CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
JAKA LOLA JILID 24
Apa yang dikatakan Yosiko memang betul. Bun Hui dengan dibantu oleh Tan Hwat Ki dan Bu Cui Kim, memimpin orang-orangnya untuk membasmi bajak-bajak laut yang telah merajalela di daerah Po-hai. Akan tetapi tidaklah gampang membasmi gerombolan penjahat itu, karena selain jumlah mereka banyak, juga mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang pandai berkelahi dan dipimpin oleh orang-orang tangguh. Apa lagi semenjak digempur oleh pasukan kerajaan ini, para bajak laut lalu bersiap-siap dan bersatu, bahkan mereka lalu mengangkat ketua Kipas Hitam menjadi pemimpin untuk melakukan perlawanan. Semua gerombolan bajak laut sudah tahu belaka akan kelihaian Hek-san Pangcu (ketua dari Kipas Hitam), Yosiko!
Pada waktu mendengar penuturan Tan Hwat Ki dan sumoi-nya tentang Yo Wan, Bun Hui merasa menyesal sekali mengapa orang gagah yang aneh itu tidak mau datang untuk menggabungkan diri dan bersama-sama membasmi bajak laut. Pemuda bangsawan ini ingin sekali dapat menangkap ketua Kipas Hitam yang tersohor, untuk dibawa sebagai tawanan ke kota raja sehingga dengan jasa itu dia akan dapat mengangkat nama besar ayahnya.
Akan tetapi selama beberapa pekan ini, dia hanya dapat mendengar namanya saja yaitu Hek-san Pangcu yang bernama Yosiko, akan tetapi belum pernah dia melihat orangnya. Hampir dia tidak percaya ketika dua orang muda dari Lu-liang-san itu bercerita bahwa ketua Kipas Hitam adalah seorang gadis peranakan yang cantik jelita.
"Itulah sebabnya mengapa saudara Yo Wan melarang kami berdua menyerang Yosiko," demikian penuturan Tan Hwat Ki. "Saudara Yo Wan adalah murid Pendekar Buta, maka dia termasuk orang dalam dan dia tidak menghendaki apa bila di antara keluarga terjadi permusuhan. Memang sungguh aneh, kenapa segala hal bisa terjadi secara kebetulan sekali. Siapa kira kepala bajak laut itu adalah saudara misanku sendiri."
Bun Hui mengerutkan keningnya. "Kalau memang begitu, mengapa tidak menginsyafkan gadis itu? Kalau dia dapat diinsyafkan dan anak buahnya tidak melakukan perlawanan, bahkan suka menyerah, bukankah tidak akan terjadi ribut-ribut lagi? Kalau memang dia itu masih terhitung cucu Raja Pedang dan suka membubarkan perkumpulan bajak laut, aku bersedia untuk mintakan ampun ke kota raja."
Tan Hwat Ki menggelengkan kepala. "Agaknya sukar. Dia itu biar pun wanita, lihai bukan main dan juga berwatak liar."
"Biar pun ada hubungan keluarga, kalau dia jahat patut dibasmi!" sambung Bu Cui Kim yang masih merasa cemburu.
Demikianlah, setiap hari Bun Hui masih terus melakukan pengejaran terhadap para bajak laut yang melakukan perlawanan secara sembuhyi-sembunyi, dipimpin oleh Yosiko yang amat licin. Banyak di antara anak buah Bun Hui menjadi korban dan selama ini belum pernah dia berhasil mendapatkan sarang bajak laut itu yang selalu berpindah-pindah.
Kedatangan Tan Cui Sian bersama Kwa Swan Bu menggirangkan hati semua orang. Tan Cui Sian adalah bantuan yang sangat hebat, karena semua maklum bahwa puteri Raja Pedang ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Apa lagi setelah Bun Hui dan Tan Hwat Ki diperkenalkan kepada si pemuda buntung yang ternyata adalah putera Pendekar Buta, mereka menjadi girang bukan main. Mereka menjadi terharu sekali menyaksikan lengan yang buntung dari pemuda tampan ini, tetapi karena wajah pemuda itu kelihatan muram dan sedih, mereka pun tidak berani banyak bertanya.
Lebih besar lagi kegembiraan hati Bun Hui ketika mendengar dari Cui Sian bahwa gadis perkasa ini sudah tahu akan sarang Yosiko ketua Kipas Hitam. Malah di bawah pimpinan pendekar wanita ini mereka lalu melakukan penggerebekan, yaitu di dalam goa di mana Cui Sian melihat Yosiko bersama Yo Wan. Sejak saat ia melihat Yo Wan tinggal bersama Yosiko itu, hati Cui Sian serasa bagaikan ditusuk-tusuk, penuh rasa cemburu. Akan tetapi dasar seorang wanita pendekar, ia dapat menyembunyikan perasaannya ini dengan baik.
Tapi mereka kecewa karena ketika mereka menggeropyok tempat itu, burungnya sudah terbang pergi dari kurungan. Yosiko tidak tampak bayangannya, dan di situ hanya tinggal terdapat bekas-bekas ditinggali orang saja. Dan sewaktu Cui Sian bersama Swan Bu, Bun Hui, Hwat Ki, dan Cui Kim melakukan penggeropyokan di situ, ternyata perkemahan mereka yang hanya dijaga oleh pasukan dari tiga puluh orang lebih, malah diserbu oleh bajak laut yang jumlahnya dua kali lipat! Belasan orang penjaga tewas dan perkemahan itu dibakar!
Hal ini membuat Bun Hui semakin gemas dan pusing. Dan hal ini pula yang membuat Cui Sian terpaksa menunda perjalanannya, karena dia melihat para bajak laut itu tidak boleh dipandang ringan, dan sudah sepatutnya kalau ia membantu Bun Hui. Swan Bu juga tidak keberatan. Sebagai seorang pendekar, dia pun tidak mungkin dapat melihat saja tanpa membantu usaha Bun Hui yang bertugas memulihkan keamanan dan membasmi bajak-bajak laut yang begitu lihai.
Setelah tinggal di situ beberapa hari lamanya, akhirnya Bun Hui dapat mendengar juga penuturan Swan Bu mengenai buntungnya lengannya. Swan Bu segera tertarik kepada Hwat Ki dan Bun Hui yang gagah. Mereka segera menjadi sahabat-sahabat baik dan mulai beranilah mereka saling membuka rahasia hati masing-masing. Akan tetapi betapa terkejut hati Bun Hui saat mendengar bahwa yang membuntungi lengan Swan Bu adalah The Siu Bi, gadis yang pernah mengacau gedung ayahnya, dan pernah pula mengacau hatinya!
"Ahh, kalau begitu betullah kekhawatiran ayah," komentar Bun Hui.
"Ayah telah melihat betapa sakit hati nona Siu Bi itu sungguh-sungguh, sehingga dahulu ayah sengaja menyuruhku pergi menemui ayahmu untuk menyampaikan peringatan agar berhati-hati. Kiranya ekornya begini hebat..."
Swan Bu tersenyum. "Tidak apa-apa, saudara Bun Hui, dan ini agaknya sudah kehendak Thian. Buktinya, buntungnya lenganku oleh Siu Bi, malah menjadi perantara ikatan jodoh antara dia dan aku.”
"Heee...?!" Bun Hui kaget bukan main, juga Hwat Ki menjadi bingung.
Akan tetapi Swan Bu hanya menarik napas panjang, tak melanjutkan kata-katanya yang tadi tanpa sengaja terloncat dari bibirnya. "Karena kalian adalah sahabat-sahabat baikku dan orang sendiri, kelak tentu akan mendengar juga."
Mereka tak berani mendesak, hanya diam-diam Bun Hui mencatat dalam hatinya bahwa Siu Bi bukanlah jodohnya, sungguh pun gadis itu dahulu pernah mengaduk-aduk hatinya dan pernah pula menjadi buah mimpinya pada setiap malam. Kiranya gadis yang hendak memusuhi Pendekar Buta itu, dan yang sudah berhasil membuntungi lengan Swan Bu, malah akan menjadi jodoh pemuda ini. Apa lagi kalau bukan gila namanya ini?
Bun Hui masih termenung, menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya mengeluarkan bunyi decak berkali-kali kalau dia teringat akan Siu Bi dan Swan Bu. Sukar dipercaya memang. Apakah Siu Bi sudah gila? Ataukah Swan Bu yang tolol? Atau juga barang kali dia yang miring otaknya?
Gadis itu dulu bersumpah untuk memusuhi Pendekar Buta sekeluarga. Kemudian gadis itu berhasil dalam balas dendamnya, yaitu membuntungi lengan Swan Bu. Akan tetapi sekarang menurut pengakuan Swan Bu, mereka akan berjodoh, berarti mereka saling mencinta! Adakah yang lebih aneh dari pada ini?
Betapa pun juga, diam-diam dia iri kepada Swan Bu. Ketika pemuda itu bercerita tentang Siu Bi, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar. Ah, alangkah senangnya mencinta dan dicinta. Kalau dia? Masih sunyi!
“Ahh, di dunia ini memang banyak terjadi hal aneh-aneh...!" la menghela napas dengan kata-kata agak keras.
Bun Hui tengah berada seorang diri di pinggir pantai yang sunyi, merenung dan menyepi karena hatinya sedang kesal. Siang hari itu panas sekali dan seorang diri dia pergi ke pantai, sekalian melihat-lihat dan mengintai. Beberapa hari ini dia merasa jengkel karena para penyelidiknya belum juga dapat mencari tempat sembunyi pimpinan bajak laut.
"Dunia memang aneh..." Sekali lagi dia berkata dan kakinya menumbuk-numbuk pasir.
"Lebih aneh lagi pertemuan ini!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Bun Hui kaget sekali, cepat dia menengok dengan tangan meraba gagang pedangnya. Akan tetapi seketika tangannya lemas dan kekhawatirannya lenyap terganti kekaguman. Bukan musuh mengerikan atau bajak laut yang kejam liar yang dihadapinya, melainkan seorang gadis yang cantik molek dengan pakaian sutera tipis warna putih berkembang merah, berkibar-kibar ujung pakaian dan rambut hitam halus terkena angin laut!
Agaknya dewi laut yang datang hendak menggodanya! Kalau memang dewi laut atau siluman, biarlah dia digoda! Pandang mata Bun Hui lekat dan sukar dialihkan dari lesung pipit yang menghias ujung bibir.
"Bun-ciangkun (Perwira Bun), panglima muda dari Tai-goan, bukan?" Gadis cantik jelita itu menegur dan memperlebar senyum sehingga berkilatlah deretan gigi kecil-kecil putih yang membuat pandang mata Bun Hui makin silau.
Bun Hui terkejut dan heran sekali. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang cerdas, dalam beberapa detik saja dia sudah dapat menduga siapa adanya nona yang cantik dan tidak pemalu ini. Maka dia pun cepat-cepat menjura dan berkata,
"Dan kalau tidak salah dugaanku, kau adalah Yosiko, Hek-san Pangcu, bukan?"
Yosiko kembali tersenyum, akan tetapi pandang matanya berkilat. "Tak salah dugaanmu. Agaknya kau cukup cerdik untuk menduga pula apa yang harus kita lakukan setelah kita saling berjumpa di tempat ini. Sudah berpekan-pekan engkau memimpin orang-orangmu untuk membasmi aku beserta teman-temanku. Sekarang kita kebetulan saling bertemu di sini, berdua saja. Nah, orang she Bun, cabutlah pedangmu dan marilah kita selesaikan urusan antara kita."
Aneh sekali. Timbul keraguan dan kesangsian di hati Bun Hui. Padahal, tadinya sering kali dia ingin dapat menangkap ketua bajak laut Kipas Hitam dengan tangannya sendiri, atau membunuhnya dengan pedangnya sendiri. Semestinya dia akan menyambut tantangan ini dengan penuh kegembiraan. Akan tetapi entah bagaimana, begitu bertemu dengan Yosiko, dia menjadi terpesona dan tidak tega untuk mengangkat senjata menghadapi nona jelita ini! Apa lagi ketika dia teringat akan penuturan Tan Hwat Ki bahwa gadis ini masih terhitung cucu keponakan Raja Pedang sendiri, makin tidak tegalah dia untuk memusuhinya.
"Hayo lekas siapkan senjatamu, mau tunggu apa lagi? Menanti kawan-kawanmu supaya dapat mengeroyokku?" Yosiko mengejek.
Gadis ini sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera putih di tangan kiri. Sikapnya gagah menantang, juga amat cantik.
"Hek-san Pangcu, dengarlah dulu omonganku," akhirnya Bun Hui dapat berkata sesudah dia menenteramkan jantungnya yang berdebaran keras. "Memang suatu kebetulan yang tidak tersangka-sangka aku dapat bertemu denganmu di sini dan memang hal ini sudah kuharapkan selalu. Ketahuilah, setelah aku mendengar siapa adanya ketua Kipas Hitam yang memimpin para bajak, sudah lama sekali keinginanku untuk memerangimu lenyap. Aku mendengar bahwa engkau adalah cucu keponakan locianpwe Tan Beng San, Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Setelah sekarang aku berhadapan denganmu, serta melihat kau adalah seorang gadis muda yang gagah dan pantas menjadi cucu seorang pendekar sakti seperti Si Raja Pedang, kuharap kau suka mendengar omonganku dan marilah kita berdamai..."
"Apa? Kau perwira tinggi kerajaan mengajak damai bajak laut? Mengajak damai sesudah kau mengobrak-abrik orang-orangku, membunuhi banyak anak buahku?"
"Pangcu... Nona, ingatlah. Kita masih orang sendiri. Aku sangat menghormati keluarga Raja Pedang, dan kau adalah cucunya. Aku merasa sayang sekali melihat kau tersesat. Kembalilah ke jalan benar. Kau bubarkan para bajak, menyatakan takluk dan bertobat. Percayalah, aku yang akan menanggung, aku yang akan mintakan ampun agar kau tidak akan dituntut..."
"Huh, siapa minta kasihan darimu? Ehh, orang muda she Bun, mengapa kau mendadak sontak begini sayang kepadaku?"
Wajah Bun Hui menjadi merah. Gadis jelita ini selain gagah dan liar, juga lidahnya amat tajam!
"Sudah kukatakan tadi, Nona. Karena kau adalah seorang wanita muda, dan karena kau masih keluarga Raja Pedang."
"Hemmm, karena kau takut! Karena kau seorang diri, tidak dapat mengandalkan bantuan orang-orangmu, maka kau takut melawan aku! Huh, begini sajakah panglima muda dari Tai-goan?"
Wajah pemuda itu sebentar pucat sebentar merah. Perlahan-lahan dia menggerakkan tangannya, meraba gagang pedang, kemudian dengan sinar mata marah dia mencabut pedangnya.
"Hek-san Pangcu, aku adalah seorang lelaki sejati, kenapa harus takut? Aku tadi bicara dengan kesungguhan hati karena sayang melihat engkau tersesat, seberapa dapat ingin menyadarkanmu. Akan tetapi kalau kau menganggap sikapku itu karena takut, silakan maju!"
Yosiko tersenyum lagi. "Nah, ini baru namanya jantan. Orang she Bun, bersiaplah untuk mampus!" Pedangnya langsung berkelebat diikuti gerakan sabuk suteranya ketika gadis ini menyerang dengan hebat.
Terkejut juga hati Bun Hui. Tak disangkanya gadis ini demikian ganas dan serangannya begitu dahsyat. Segera dia memutar pedang menangkis sambil meloncat ke samping menghindarkan diri dari pada sambaran sabuk sutera yang mendatangkan angin pukulan hebat itu.
"Tranggggg...!" Sepasang pedang bertemu dan keduanya terhuyung mundur.
Akan tetapi tiba-tiba saja Yosiko terguling dan hanya dengan berjungkir balik saja gadis ini dapat menahan dirinya agar tidak jatuh. Dia terheran-heran. Mungkinkah pemuda she Bun ini begitu kuat sehingga sekali benturan senjata membuat dia terguling hampir jatuh? Diam-diam ia kaget dan juga kagum. Yo Wan sendiri yang pernah ia uji kepandaiannya, tak mungkin sekuat ini!
Di lain pihak, Bun Hui juga kaget dan heran. la tadi merasa betapa pedangnya terbentur membalik oleh pedang gadis itu dan biar pun dia sudah menghindar, hampir saja ujung sabuk sutera putih itu menyentuh lambungnya. Akan tetapi entah kenapa, tiba-tiba sabuk itu berkibar pergi dan dia merasa ada sambaran hawa panas lewat di samping tubuhnya dan melihat gadis itu hampir jatuh.
la maklum bahwa nama besar ketua Kipas Hitam ini bukanlah nama kosong belaka. Dia juga maklum bahwa gadis jelita ini betul-betul lihai. Maka, dengan hati penuh kekaguman dan penyesalan, dia siap menghadapi serangan lawan.
Dengan hati penasaran Yosiko menerjang maju lagi, kini lebih hebat. Pedangnya diputar di atas kepalanya lalu melayang turun ke arah leher lawan, sedangkan sabuk suteranya meluncur maju menotok ulu hati yang akan mendatangkan maut bila mengenai sasaran dengan tepat. Kembali Bun Hui menggerakkan pedangnya menangkis, ada pun tangan kirinya dikebutkan untuk menyambar ujung sabuk yang menyerang dada.
"Tranggggg...!"
Kembali keduanya terhuyung.
Alangkah kaget hati Yosiko ketika tadi dia merasa betapa sabuknya tiba-tiba saja hilang kekuatannya dan bahkan membalik ke belakang kemudian menyerang dirinya sendiri! la membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, wajahnya pucat.
Hebat pemuda ini! Ilmu siluman apakah yang digunakan pemuda itu sehingga dalam dua gebrakan saja dia hampir celaka, padahal pemuda itu bukannya menyerang, melainkan menghadapi serangannya?
Bukan Yosiko saja yang terheran-heran dan kagum, juga Bun Hui merasa heran sekali. la tadi merasa tangannya kesemutan dan kalau dilanjutkan, tentu serangan ujung sabuk akan mencelakakannya sungguh pun serangan pedang dapat ditangkisnya. Akan tetapi kembali dia merasa ada angin pukulan menyambar membantunya dan membuat gadis penyerangnya itu terserang sabuknya sendiri. la cepat menoleh, akan tetapi tidak melihat apa-apa.
Sekarang Yosiko mengeluarkan sebuah kipas hitam! la betul-betul merasa kagum, akan tetapi di samping kekagumannya ini terkandung rasa penasaran. Pemuda bangsawan yang tampan ini tidak kelihatan terlalu sakti, akan tetapi mengapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapinya?
Bun Hui sudah mendengar akan jahatnya kipas hitam yang mengandung racun ini, maka dia khawatir sekali. "Nona, aku benar-benar tak ingin bertempur mati-matian melawanmu, marilah kita bicara baik-baik!"
"Terima ini!" Yosiko membentak dan sudah melompat maju.
Pedangnya menyambar, diikuti gerakan kipas yang dikibaskan ke arah Bun Hui. Uap hitam menyambar dan agaknya pemuda itu akan celaka kalau pada saat itu tidak tampak sinar menyilaukan berkelebat. Tahu-tahu Yosiko memekik kesakitan, kipasnya mencelat jauh dan pundaknya terluka ujung pedang Bun Hui. la roboh dan mengerang kesakitan.
Melihat ini, kagetlah Bun Hui. Kini dia merasa yakin, bahwa diam-diam ada orang yang membantunya. Tadi pedangnya bergerak menangkis lagi, akan tetapi entah bagaimana pedangnya itu meleset dan terus menusuk ke arah leher Yosiko, sedangkan sinar yang berkelebat dari belakangnya menghantam kipas. Baiknya dia masih dapat untuk menarik pedangnya sehingga tidak menembus leher yang indah, akan tetapi menyeleweng dan hanya melukai pundak.
Mungkin saking kaget, penasaran dan sakit, Yosiko rebah pingsan! Ketika dia membuka mata, dia rebah di tanah dan Bun Hui sedang mengobati pundaknya! Bukan main kaget dan herannya hati Yosiko, akan tetapi dia berpura-pura masih pingsan. Dari balik bulu matanya yang panjang dia memandang wajah tampan itu yang dengan penuh perhatian memeriksa lukanya dan kemudian mengobatinya dengan obat bubuk yang terasa dingin sekali.
Melihat gadis itu menggerakkan matanya, Bun Hui cepat menyelesaikan pengobatan itu dan berkata perlahan. "Maaf... maaf, aku menyesal sekali, bukan maksudku untuk..."
Yosiko sudah melompat bangun. Mukanya berubah merah dan ia memungut pedangnya yang menggeletak di atas tanah. Ketika ia melihat kipas hitamnya yang sudah remuk, ia menendang kipas itu jauh-jauh, lalu menarik napas panjang.
"Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja."
Yosiko berpaling, dan kembali wajahnya berubah ketika memandang Bun Hui. Pandang matanya masih penuh kekaguman, penuh keheranan, penuh penasaran.
"Kau hebat sekali! Gerakanmu begitu cepat sehingga aku tidak lahu bagaimana caranya kau mengalahkan aku. Agaknya aku kurang hati-hati. Bun-ciangkun, mari kita lanjutkan, aku masih penasaran. Apa bila kau dapat mengalahkan aku tanpa mempergunakan ilmu siluman itu, aku... aku bersedia menuruti segala kehendakmu, tanpa syarat apa pun!" la tersenyum dan diam-diam Bun Hui morat-marit hatinya.
Senyum dengan lesung pipit itu bukan main manisnya. la juga bingung. la tahu bahwa kepandaiannya hanya sanggup mengimbangi gadis ini. Kemenangan-kemenangan aneh yang oleh gadis itu dianggap ilmu siluman tadi adalah kemenangan karena ada bantuan dari orang sakti yang dia sendiri tidak tahu siapa adanya.
"Nona Yosiko, sudahlah, aku tidak ingin bertempur denganmu. Aku bahkan minta maaf dan ingin berdamai, kita habisi permusuhan ini..."
"Kalahkan dulu pedangku! Perlihatkan ilmu silatmu!"
Sambil membentak demikian kembali Yosiko menyerang, kini dia hanya mempergunakan pedang saja, tetapi ia mengerahkan seluruh ilmu pedangnya untuk menyerang. Karena ia mendapat kesan bahwa pemuda panglima dari Tai-goan ini memiliki ilmu kesaktian yang hebat, maka timbullah rasa sayangnya dan Yosiko tidak lagi ingin menggunakan senjata gelap, melainkan hendak menguji dengan ilmu pedangnya.
Melihat gerakan nona ini sungguh-sungguh tentu saja Bun Hui tidak mau tinggal diam. la pun segera menggerakkan pedangnya dan memainkan ilmu silatnya, yaitu Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat yang sangat kuat dan lihai. Setelah bergerak beberapa jurus kembali Yosiko menahan pedangnya, meloncat mundur dan berseru, "Pernah aku menyaksikan Ilmu Pedang Kun-lun yang hebat. Apakah kau anak murid Kun-lun-pai?"
Dengan perasaan bangga di hati Bun Hui menjawab tenang, "Ketua Kun-lun-pai adalah kakekku."
Makin kagumlah hati Yosiko dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang lagi dengan jurus yang amat berbahaya. Bun Hui amat terkejut dan cepat dia mengelak ke kiri. Akan tetapi gulungan sinar pedang lawannya bagaikan uap menyambarnya terus, sekarang mengancam lambung. Dengan pemutaran pergelangan tangan Bun Hui menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang bertemu, akan tetapi kali ini dengan cerdik sekali Yosiko sengaja mementalkan pedangnya, bukan ditarik ke belakang, melainkan menyeleweng ke depan terus menusuk dada. Inilah gerak tipu yang amat hebat dan tak tersangka-sangka.
Semua ini dibantu dengan langkah-langkah kaki gadis itu yang betul-betul membuat Bun Hui bingung. Jalan satu-satunya hanyalah menggerakkan pedang membabat kaki lawan yang terdekat, akan tetapi untuk melakukan hal ini dia merasa tidak tega. Pada saat yang berbahaya itu, kembali ada angin menyambar dan... tubuh Yosiko terhuyung-huyung ke samping, serangan pedangnya kembali menyeleweng.
"Kau menggunakan ilmu setan!" bentak Yosiko marah.
Pada saat itu muncullah Siu Bi. Melihat betapa Yosiko bertanding dengan Bun Hui, dia merasa khawatir. Bagaimana pun juga, pemuda putera jenderal di Tai-goan ini pernah bersikap baik sekali kepadanya, dahulu ketika ia menjadi tawanan Jenderal Bun.
"Yosiko, mari pergi! Dia seorang diri di sana, kesempatan baik. Mari!"
Yosiko merasa ragu-ragu, akan tetapi mendengar ucapan-ucapan terakhir itu dia segera membalikkan tubuh, lalu berlari meninggalkan Bun Hui sambil menoleh dan berkata, "Aku masih belum puas. Lain kali kita lanjutkan!”
Bun Hui berdiri bengong. la benar-benar bingung dan kaget melihat nona yang mengajak pergi Yosiko itu. Dia merasa mengenal baik nona itu, nona yang pernah mengobrak-abrik hatinya… Siu Bi. Siu Bi bersekutu dengan Kipas Hitam? Ini hebat.
Tetapi pengalamannya bertanding melawan Yosiko tadi masih meninggalkan ketegangan di hatinya. Apa lagi sesudah melihat munculnya Siu Bi di samping Yosiko, membuat dia termenung berdiri bagaikan patung dengan pedang masih di tangannya. Dia tidak boleh mengharapkan diri Siu Bi lagi, yang dahulu pernah merampas cintanya. la mendengar pengakuan Swan Bu dan dari mulut pemuda itu sendiri ia tahu bahwa antara Swan Bu dan Siu Bi terjalin kasih sayang yang mendalam.
Jika Siu Bi mencinta Swan Bu, tentu dia tak akan mau mengganggunya. Biarlah mereka berbahagia dalam cinta kasih mereka. Akan tetapi ketika tadi dia berhadapan dengan Yosiko, dia segera merasa bahwa gadis peranakan Jepang, gadis liar ketua bajak laut inilah yang menggantikan Siu Bi di hatinya. la jatuh cinta kepada Yosiko!
Bun Hui dapat mengetahui hal ini dengan cepat, karena sebagai putera bangsawan yang terkenal, tampan serta gagah, tentu saja sudah banyak dia bertemu dengan gadis-gadis kota, puteri-puteri bangsawan yang cantik dan yang oleh orang tuanya mau pun handai taulannya seakan-akan ditawarkan kepadanya untuk menjadi jodohnya.
Banyak sudah dia bertemu dengan gadis-gadis cantik, akan tetapi dia tak pernah merasa seperti dahulu ketika dia berhadapan dengan Siu Bi, atau saat tadi dia berurusan dengan Yosiko! Bukan hanya kecantikan kedua orang gadis itu agaknya yang mengguncangkan jantungnya dan membetot semangatnya, melainkan juga sikap mereka, agaknya karena keduanya sama lincah, sama liar, dan sama aneh!
Bun Hui menarik napas panjang, bingung memikirkan keadaan hatinya sendiri. Mengapa dia selalu jatuh cinta kepada wanita yang sebenarnya menjadi musuh! Ayahnya tentu tak akan setuju. Dan bagaimana dia dapat berjodoh dengan seorang seperti Yosiko? la tahu bahwa hal ini amatlah tidak mungkin, akan tetapi dia tidak dapat menyangkal perasaan hatinya yang benar-benar tertarik sekali oleh lesung pipit di sebelah pipi Yosiko tadi.
Dengan murung Bun Hui meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan orang yang kini berkelebat mengejar ke arah larinya Yosiko dan Siu Bi. Bayangan orang yang tadi secara rahasia sudah membantunya mengalahkan Yosiko dengan mudah.
Apa kata gadis aneh tadi? ‘Kalau dapat mengalahkan aku, aku bersedia menuruti segala kehendakmu tanpa syarat apa pun!’
Ucapan Yosiko ini terus berdengung-dengung dalam telinga Bun Hui ketika dia berjalan kembali ke perkemahannya. la kembali dalam keadaan yang jauh berbeda dari pada tadi ketika berangkat. Dia sudah menjadi seorang Bun Hui yang lain, seorang pemuda yang linglung terombang-ambing gelora asmara….
Bayangan yang tadi membantu Bun Hui, kini dengan gesit bagai setan melesat secepat terbang mengejar Yosiko dan Siu Bi, kemudian mengikuti kedua orang gadis itu secara diam-diam. Ia bukan lain adalah Yo Wan, Si Jaka Lola! Yo Wan selalu mengikuti Yosiko dan karenanya dia tahu akan gerak-gerik gadis ini. Dia tahu pula bahwa Yosiko dan Siu Bi sudah bersekutu untuk mencelakai Cui Sian! Dia juga menjadi saksi akan adegan-adegan aneh dari dua orang muda itu tadi, melihat betapa dengan mesra dan penuh perasaan Bun Hui merawat luka di pundak Yosiko.
Dia sengaja membantu Bun Hui karena dia tahu bahwa tanpa dia bantu, walau pun ilmu kepandaian Bun Hui belum tentu kalah oleh Yosiko, namun gadis yang sangat lincah itu mungkin merobohkan Bun Hui dengah senjata rahasianya. Ketika Yo Wan melihat Siu Bi muncul memanggil Yosiko, kemudian dua orang gadis itu berlari cepat, hatinya menjadi khawatir sekali. Kekhawatirannya terbukti karena tak lama kemudian dia melihat Cui Sian sedang bertempur mati-matian dikeroyok belasan orang bajak laut anak buah Yosiko! Kiranya tadi Siu Bi memanggil Yosiko untuk melaksanakan kehendak mereka, yaitu mengeroyok dan membunuh Cui Sian.
Seperti juga Bun Hui, siang hari itu Cui Sian berada seorang diri di pinggir laut. la sedang termenung-menung memikirkan Yo Wan. Semenjak ia melihat Yo Wan berada di dalam goa bersama Yosiko, hatinya terasa sakit sekali. la ingin marah, ingin membunuh wanita itu dan juga ingin menantang Yo Wan untuk mengadu kepandaian. Dia penasaran dan merasa terhina. Bukankah ketika perjumpaan mereka dahulu Yo Wan terang-terangan menyatakan perasaannya? Kiranya Yo Wan hanyalah seorang pemuda yang gila perempuan, seorang hidung belang yang menjemukan.
Selagi ia termenung, mukanya sebentar merah sebentar pucat, tiba-tiba saja ia tersentak kaget kemudian cepat mengelak. Sebatang anak panah menyambar di atas kepalanya, lenyap ke dalam pohon-pohon. Cui Sian cepat mencabut pedangnya dan muncullah lima belas orang lelaki, dipimpin oleh seorang gadis yang membuat Cui Sian membelalakkan matanya. Gadis itu adalah Siu Bi!
"Bocah jahat! Kau... kau bersekutu dengan bajak-bajak ini...?" tegurnya, terheran-heran dan kemarahannya memuncak. Memang ia tidak suka pada Siu Bi yang membuat Swan Bu tergila-gila, maka dapat dibayangkan kebenciannya melihat Siu Bi muncul bersama para bajak itu. Akan tetapi Siu Bi tidak mempedulikannya, malah memberi aba-aba, "Kurung dia, jangan boleh lolos!" la sendiri lalu melarikan diri untuk pergi mencari Yosiko!
Demikianlah, dengan amarah yang meluap Cui Sian memutar pedangnya, menghadapi pengeroyokan belasan orang itu. Dalam waktu beberapa menit saja pedangnya berhasil merobohkan empat orang pengeroyok, ada pun sisa lainnya hanya berani mengurungnya dari jarak yang tidak terlampau dekat. Namun pengurungan mereka ketat, tidak memberi kesempatan gadis ini keluar dari kepungan.
Cui Sian adalah puteri tunggal Si Raja Pedang. Ilmu silatnya tinggi, akan tetapi sebagai puteri pendekar sakti yang namanya dipuji-puji di mana-mana, tentu saja sifatnya tidaklah ganas. Ilmu pedangnya bersih, mengandung daya Im dan Yang, tak gentar menghadapi kepungan. Tetapi, sudah menjadi sifat ilmu pedang keturunan Raja Pedang, selalu menitik-beratkan kepada serangan balasan, yaitu apa bila diserang barulah timbul keampuhannya untuk merobohkan si penyerangnya. Oleh karena sifat ini pula, agaknya Cui Sian pun merasa segan untuk menyerang para bajak laut yang ia anggap bukan lawan sebanding itu.
Ia hanya menanti, dan empat orang yang roboh tadi pun adalah karena mereka dengan ganas menyerang dirinya, maka akibatnya hebat pula. Kini karena para pengeroyoknya hanya mengepung dari jarak agak jauh, Cui Sian hanya berdiri tegak saja. Baru setelah para bajak menerjang maju dari segenap penjuru, dia mainkan pedangnya dan kembali dua orang roboh mandi darah!
Kedatangan Yosiko dan Siu Bi menggembirakan para bajak yang sudah mulai menjadi gentar. Yosiko berseru keras dalam bahasa Jepang, memberi perintah agar supaya anak buahnya mengepung dari jarak jauh dan siap dengan anak panah, memberi kesempatan kepada dia untuk menangkap musuh. Para bajak mundur sambil menyeret enam mayat teman-temannya. Yosiko dan Siu Bi sendiri dengan pedang terhunus sudah melompat maju menghadapi Cui Sian.
Gadis dari Thai-san ini menjadi merah mukanya. Dengan pedang menuding ke depan ia memaki, "Sungguh kebetulan sekali! Memang besar keinginanku untuk membasmi kalian berdua perempuan yang tak tahu malu!"
"Sombong!" bentak Yosiko. "Kaukah yang bernama Cui Sian? Hemmm, kematian sudah di depan mata masih berani berlagak!"
Setelah berkata begitu, Yosiko menggerakkan pedang dan meloloskan sabuk suteranya. Siu Bi juga sudah melangkah maju dengan sikap mengancam. Dia membenci Cui Sian yang dianggapnya hendak menjauhkan Swan Bu dari padanya. Hebat penyerangan Yosiko dan Siu Bi, terdorong oleh kebencian di hati mereka. Namun, makin kuat dia diserang, makin kuatlah pertahanan Cui Sian. Liong-cu-kiam di tangannya laksana halilintar menggulung-gulung dan gerak Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dimainkan dengan indahnya seakan-akan dia menjadi seorang dewi yang menari-nari. Dengan gaya permainannya yang ampuh ini dia sama sekali tak memberi kesempatan kepada senjata lawan untuk dapat mendekatinya.
Betapa pun juga, ketika Cui Sian menyaksikan gerakan pedang Yosiko yang memainkan jurus-jurus yang serupa, yaitu jurus-jurus campuran dari Sian-li Kiam-sut, maka hatinya pun tergerak. Teringat ia akan penuturan Tan Hwat Ki, bahwa gadis ini adalah puteri Tan Loan Ki yang masih terhitung saudara misannya sendiri, masih sedarah!
Teringat dia akan penuturan orang tuanya tentang paman tua (uwaknya) Tan Beng Kui, yaitu ayah Tan Loan Ki atau kakek dari gadis ini! Dengan bentakan keras ia menangkis, sehingga terpentallah pedang kedua orang lawannya, kemudian ia meloncat mundur.
"Tahan dulu!"
"Mau bicara apa lagi?" bentak Yosiko.
"Yosiko, bukankah kau ini puteri enci Tan Loan Ki? Tahukah engkau bahwa aku adalah bibimu sendiri? Dan kau, Siu Bi, kau sudah berjanji hendak menanti Swan Bu. Beginikah kesetiaanmu kepadanya?"
"Bibi macam apa engkau ini?! Aku tidak peduli, kau adalah musuh Kipas Hitam!" balas Yosiko.
"Tan Cui Sian, kaulah yang memisahkan Swan Bu dari sampingku!" bantah Siu Bi.
"Ahh, dua bocah liar! Kalian jahat..."
"Cukup! Apa kau takut menghadapi kami?" ejek Yosiko.
"Hemmm, boleh ditambah sepuluh orang lagi macam kalian aku tak akan mundur. Aku hanya mengingat bahwa kau masih terhitung keponakanku, dan Siu Bi... ahhh, aku ingat Swan Bu maka aku mau bicara!"
"Cerewet!" Yosiko membentak dan menerjang lagi, diikuti Siu Bi.
Kembali mereka bertanding dengan serunya. Sementara itu, dengan tanda suitan Yosiko sudah mengundang anak buahnya sehingga tempat itu kini terkurung oleh kurang lebih lima puluh orang bajak! Namun mereka tidak ada yang turun tangan sebelum mendapat perintah pemimpin mereka.
"Yosiko! Siu Bi! Mundur...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan orang ini bukan lain adalah Yo Wan! Kagetlah kedua orang gadis itu ketika melihat munculnya Yo Wan.
"Kau?!" Yosiko berseru. "Kau... membelanya?"
"Tentu saja! Yosiko, kenapa kau belum juga mau insyaf? Siu Bi, kenapa kau ikut-ikutan?"
"Dia membawa pergi Swan Bu. Dia memisahkan kami...!" Siu Bi bingung menjawab. Gentar hatinya kalau harus menghadapi Yo Wan, apa lagi kalau diingat bahwa Yo Wan yang telah menolongnya sehingga dahulu dia tidak terbunuh oleh Lee Si dan Cui Sian.
Tiba-tiba saja dua orang pimpinan bajak dengan pedang di tangan menerjang Yo Wan. Serangan ini mendadak sekali, dilakukan dari belakang. Namun dengan gerakan ringan Yo Wan menggeser kaki, tanpa menengok tangannya bergerak ke belakang dan kakinya menendang. Akibat gerakan ini, sebatang pedang terampas dan kedua orang pimpinan bajak itu terlempar oleh tamparan dan tendangannya!
Ributlah para bajak laut. Seorang yang bercambang bauk dan bermata lebar melompat maju dengan golok besar di tangannya, diikuti anak buahnya!
"Bong-twako, jangan serang!" bentak Yosiko.
"Tapi...," bantah si cambang bauk.
"Tidak ada tapi, mundur semua!" bentak Yosiko yang segera memimpin anak buahnya pergi dari situ, diikuti oleh Siu Bi yang beberapa kali memandang ragu ke arah Yo Wan.
Dalam waktu sebentar saja tempat itu sudah menjadi sunyi kembali setelah Yosiko dan anak buahnya menghilang di balik pohon-pohon besar di hutan tepi pantai. Hanya tinggal Yo Wan dan Cui Sian berdua yang masih berdiri di situ.
"Bagus, akhirnya kita bertemu juga. Nah, kebetulan kau sudah mendapatkan pedang. Lihat seranganku!" Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu menyerang Yo Wan dengan pedangnya!
Bukan main kagetnya hati Yo Wan. "Ehhh...! Bagaimana ini...?"
Yo Wan cepat mengelak ketika melihat betapa gadis itu tidak main-main, serangannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan amat berbahaya.
"Tak perlu pura-pura kaget! Kau bersekutu dengan kepala bajak laut Kipas Hitam!" kata Cui Sian marah. "Karena itu kau adalah musuh kami!"
Kembali Cui Sian menyerang dengan gerakan kilat. Dan kembali pula Yo Wan mengelak sambil mengelebatkan pedang rampasannya untuk menangkis. la maklum kalau pedang di tangan Cui Sian adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh, sedangkan pedang yang di tangannya hanyalah pedang biasa yang tajam, sekali beradu tentu akan patah. Oleh karena itu, dia sengaja mengerahkan sinkang-nya dengan tenaga lemas sehingga ketika terbentur, pedangnya hanya membalik dan tidak menjadi rusak. Bagi Yo Wan hal ini adalah pekerjaan yang amat mudah, dan memang di sini terletak kelihaiannya. Jangankan sebuah pedang baja, sedangkan sebatang pedang kayu saja bisa merupakan senjata yang dapat menghadapi pusaka-pusaka ampuh kalau berada di tangannya.
Ketika kedua pedang bertemu dan pedang di tangan Yo Wan tidak rusak, diam-diam Cui Sian kaget dan kagum sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini sudah mahir dalam memindahkan tenaga sakti ke dalam benda yang dipegangnya. Hal ini membutuhkan Iweekang yang sangat mendalam dan kiranya hanya orang-orang setingkat ayahnya atau Pendekar Buta saja yang mampu melakukan hal itu!
"Eh, nanti dulu... Sian-moi (adik Sian)... sejak kapan aku bersekutu dengan kepala Kipas Hitam?"
"Pembohong pandai berpura-pura! Lelaki mata keranjang! Jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga)!" Cui Sian menusukkan pedangnya ke arah dada Yo Wan.
Yo Wan begitu kaget mendengar tuduhan ini sehingga dia meloncat ke atas, akan tetapi dia segera menangkis pedang Cui Sian, mengerahkan tenaga dan pedangnya berhasil menindas pedang gadis itu ke bawah. Betapa pun Cui Sian mengerahkan tenaga, dia tak mampu mengangkat pedangnya yang tertindas itu!
"Wah, nanti dulu, Sian-moi! Apa artinya tuduhan jai-hoa-cat dan mata keranjang itu?" Yo Wan bertanya gugup.
"Hemmm, apa kau masih hendak menyangkal bahwa siang malam kau tinggal berdua saja dengan... dengan... ketua Kipas Hitam yang cantik itu?"
Yo Wan menarik napas panjang. Hal ini sudah dia khawatirkan. Dia segera melepaskan pedangnya dan berkata, "Aahhh, kau salah duga, Moimoi. Kau dengarlah penjelasanku, atau bila kau sudah tidak percaya lagi kepadaku, boleh kau gunakan pedangmu itu menusuk mampus dadaku, aku tak akan melawan lagi!"
Cui Sian meragu, memandang tajam, pedangnya tidak bergerak, dia menunggu. Dengan tenang Yo Wan lalu menuturkan pengalamannya ketika dia mencari Swan Bu, betapa di tengah jalan dia melihat Tan Hwat Ki beserta sumoi-nya menyerang sarang Kipas Hitam, betapa dia menolong Tan Hwat Ki dan Bu Cui Kim, kemudian dia mengejar Yosiko dan terluka, lalu dirawat oleh gadis yang menjadi kepala Kipas Hitam itu.
"Memang kasihan gadis itu, sejak kecil terdidik liar. Dia dan ibunya beranggapan bahwa pemuda yang mampu mengalahkan mereka adalah calon jodohnya...," demikian Yo Wan menutup ceritanya sambil menarik napas panjang. "Tetapi aku tentu saja menolaknya… aku bukan mata keranjang atau jai-hoa-cat..."
Cui Sian tersenyum mengejek, akan tetapi wajahnya sudah ditinggalkan kemuramannya.
"Siapa percaya kau akan menolak seorang gadis yang begitu cantik jelita?"
"Sian-moi...!"
"Sudahlah, percaya atau tidak, tak ada bedanya! Kau suka menjadi jodohnya atau tidak, sebetulnya aku pun tidak peduli. Bukan urusanku, kan?"
Hampir Yo Wan tertawa bergelak menyaksikan sikap ini. Tadi gadis ini menyerangnya hebat, hampir membunuhnya karena cemburu, akan tetapi sekarang sesudah menerima penjelasan, mengatakan bahwa dia tidak peduli dan bukan urusannya! Memang aneh sekali watak perempuan, pikirnya.
"Sian-moi...," Yo Wan memegang tangan Cui Sian, yang berkulit halus lunak dan yang tidak ditarik ketika dia pegang, "kuharap kau tidak kehilangan kepercayaanmu kepadaku. Sian-moi, tahukah engkau kenapa Yosiko tadi hendak mengeroyok dan membunuhmu? Karena aku secara terus terang menolak usul perjodohannya dan mengatakan bahwa di dunia ini hanya seorang gadis yang kucinta dan kuharapkan menjadi calon jodohku, yaitu gadis yang bernama Tan Cui Sian. Dia menjadi marah kemudian hendak membunuhmu, bahkan ibunya juga marah lalu pergi hendak menemui suhu supaya suka memaksaku. Akan tetapi ibunya belum tahu akan pengakuanku mengenai engkau, hanya mengira aku menolak begitu saja. Sian-moi, apa pun yang terjadi, siapa pun yang akan menggodaku, tak mungkin aku mengubah pendirian hatiku yang sudah teguh bagaikan karang di pantai laut. Lihat, benda inilah yang menjadi saksi akan kesetiaanku kepadamu, Moimoi!"
Cui Sian tak mengangkat mukanya yang semenjak tadi terus menunduk, hanya matanya mengerling kepada benda yang dikeluarkan Yo Wan dari sakunya. Ternyata benda itu adalah sehelai sapu tangan, sapu tangannya yang dia berikan kepada pemuda itu ketika Yo Wan menghadapi lawan-lawan sakti, di antaranya Bhok Hwesio. Kepala itu semakin menunduk.
"Sian-moi... percayakah kau kepadaku kini?"
Cui Sian tak menjawab dengan mulut, akan tetapi dua titik air mata yang jatuh di tangan Yo Wan ketika kepala itu mengangguk perlahan sudah merupakan jawaban yang cukup meyakinkan. Sampai beberapa lama keduanya hanya berdiri saling berpegang tangan, tak ada suara yang keluar dari mulut mereka, tapi hati masing-masing dipenuhi kebahagiaan. Akhirnya, sesudah agak terlambat karena selalu menolak para pemuda yang merayunya, Cui Sian mendapatkan juga jodohnya.
Akhirnya Cui Sian juga yang memecahkan kesunyian akibat terdorong rasa sungkan dan malu di samping rasa bahagianya. Dia menarik tangannya, mengangkat muka dan kedua mata bintangnya bersinar-sinar menentang wajah Yo Wan, bibirnya tersenyum...
Pada waktu mendengar penuturan Tan Hwat Ki dan sumoi-nya tentang Yo Wan, Bun Hui merasa menyesal sekali mengapa orang gagah yang aneh itu tidak mau datang untuk menggabungkan diri dan bersama-sama membasmi bajak laut. Pemuda bangsawan ini ingin sekali dapat menangkap ketua Kipas Hitam yang tersohor, untuk dibawa sebagai tawanan ke kota raja sehingga dengan jasa itu dia akan dapat mengangkat nama besar ayahnya.
Akan tetapi selama beberapa pekan ini, dia hanya dapat mendengar namanya saja yaitu Hek-san Pangcu yang bernama Yosiko, akan tetapi belum pernah dia melihat orangnya. Hampir dia tidak percaya ketika dua orang muda dari Lu-liang-san itu bercerita bahwa ketua Kipas Hitam adalah seorang gadis peranakan yang cantik jelita.
"Itulah sebabnya mengapa saudara Yo Wan melarang kami berdua menyerang Yosiko," demikian penuturan Tan Hwat Ki. "Saudara Yo Wan adalah murid Pendekar Buta, maka dia termasuk orang dalam dan dia tidak menghendaki apa bila di antara keluarga terjadi permusuhan. Memang sungguh aneh, kenapa segala hal bisa terjadi secara kebetulan sekali. Siapa kira kepala bajak laut itu adalah saudara misanku sendiri."
Bun Hui mengerutkan keningnya. "Kalau memang begitu, mengapa tidak menginsyafkan gadis itu? Kalau dia dapat diinsyafkan dan anak buahnya tidak melakukan perlawanan, bahkan suka menyerah, bukankah tidak akan terjadi ribut-ribut lagi? Kalau memang dia itu masih terhitung cucu Raja Pedang dan suka membubarkan perkumpulan bajak laut, aku bersedia untuk mintakan ampun ke kota raja."
Tan Hwat Ki menggelengkan kepala. "Agaknya sukar. Dia itu biar pun wanita, lihai bukan main dan juga berwatak liar."
"Biar pun ada hubungan keluarga, kalau dia jahat patut dibasmi!" sambung Bu Cui Kim yang masih merasa cemburu.
Demikianlah, setiap hari Bun Hui masih terus melakukan pengejaran terhadap para bajak laut yang melakukan perlawanan secara sembuhyi-sembunyi, dipimpin oleh Yosiko yang amat licin. Banyak di antara anak buah Bun Hui menjadi korban dan selama ini belum pernah dia berhasil mendapatkan sarang bajak laut itu yang selalu berpindah-pindah.
Kedatangan Tan Cui Sian bersama Kwa Swan Bu menggirangkan hati semua orang. Tan Cui Sian adalah bantuan yang sangat hebat, karena semua maklum bahwa puteri Raja Pedang ini memiliki kepandaian yang luar biasa. Apa lagi setelah Bun Hui dan Tan Hwat Ki diperkenalkan kepada si pemuda buntung yang ternyata adalah putera Pendekar Buta, mereka menjadi girang bukan main. Mereka menjadi terharu sekali menyaksikan lengan yang buntung dari pemuda tampan ini, tetapi karena wajah pemuda itu kelihatan muram dan sedih, mereka pun tidak berani banyak bertanya.
Lebih besar lagi kegembiraan hati Bun Hui ketika mendengar dari Cui Sian bahwa gadis perkasa ini sudah tahu akan sarang Yosiko ketua Kipas Hitam. Malah di bawah pimpinan pendekar wanita ini mereka lalu melakukan penggerebekan, yaitu di dalam goa di mana Cui Sian melihat Yosiko bersama Yo Wan. Sejak saat ia melihat Yo Wan tinggal bersama Yosiko itu, hati Cui Sian serasa bagaikan ditusuk-tusuk, penuh rasa cemburu. Akan tetapi dasar seorang wanita pendekar, ia dapat menyembunyikan perasaannya ini dengan baik.
Tapi mereka kecewa karena ketika mereka menggeropyok tempat itu, burungnya sudah terbang pergi dari kurungan. Yosiko tidak tampak bayangannya, dan di situ hanya tinggal terdapat bekas-bekas ditinggali orang saja. Dan sewaktu Cui Sian bersama Swan Bu, Bun Hui, Hwat Ki, dan Cui Kim melakukan penggeropyokan di situ, ternyata perkemahan mereka yang hanya dijaga oleh pasukan dari tiga puluh orang lebih, malah diserbu oleh bajak laut yang jumlahnya dua kali lipat! Belasan orang penjaga tewas dan perkemahan itu dibakar!
Hal ini membuat Bun Hui semakin gemas dan pusing. Dan hal ini pula yang membuat Cui Sian terpaksa menunda perjalanannya, karena dia melihat para bajak laut itu tidak boleh dipandang ringan, dan sudah sepatutnya kalau ia membantu Bun Hui. Swan Bu juga tidak keberatan. Sebagai seorang pendekar, dia pun tidak mungkin dapat melihat saja tanpa membantu usaha Bun Hui yang bertugas memulihkan keamanan dan membasmi bajak-bajak laut yang begitu lihai.
Setelah tinggal di situ beberapa hari lamanya, akhirnya Bun Hui dapat mendengar juga penuturan Swan Bu mengenai buntungnya lengannya. Swan Bu segera tertarik kepada Hwat Ki dan Bun Hui yang gagah. Mereka segera menjadi sahabat-sahabat baik dan mulai beranilah mereka saling membuka rahasia hati masing-masing. Akan tetapi betapa terkejut hati Bun Hui saat mendengar bahwa yang membuntungi lengan Swan Bu adalah The Siu Bi, gadis yang pernah mengacau gedung ayahnya, dan pernah pula mengacau hatinya!
"Ahh, kalau begitu betullah kekhawatiran ayah," komentar Bun Hui.
"Ayah telah melihat betapa sakit hati nona Siu Bi itu sungguh-sungguh, sehingga dahulu ayah sengaja menyuruhku pergi menemui ayahmu untuk menyampaikan peringatan agar berhati-hati. Kiranya ekornya begini hebat..."
Swan Bu tersenyum. "Tidak apa-apa, saudara Bun Hui, dan ini agaknya sudah kehendak Thian. Buktinya, buntungnya lenganku oleh Siu Bi, malah menjadi perantara ikatan jodoh antara dia dan aku.”
"Heee...?!" Bun Hui kaget bukan main, juga Hwat Ki menjadi bingung.
Akan tetapi Swan Bu hanya menarik napas panjang, tak melanjutkan kata-katanya yang tadi tanpa sengaja terloncat dari bibirnya. "Karena kalian adalah sahabat-sahabat baikku dan orang sendiri, kelak tentu akan mendengar juga."
Mereka tak berani mendesak, hanya diam-diam Bun Hui mencatat dalam hatinya bahwa Siu Bi bukanlah jodohnya, sungguh pun gadis itu dahulu pernah mengaduk-aduk hatinya dan pernah pula menjadi buah mimpinya pada setiap malam. Kiranya gadis yang hendak memusuhi Pendekar Buta itu, dan yang sudah berhasil membuntungi lengan Swan Bu, malah akan menjadi jodoh pemuda ini. Apa lagi kalau bukan gila namanya ini?
Bun Hui masih termenung, menggeleng-gelengkan kepala. Bibirnya mengeluarkan bunyi decak berkali-kali kalau dia teringat akan Siu Bi dan Swan Bu. Sukar dipercaya memang. Apakah Siu Bi sudah gila? Ataukah Swan Bu yang tolol? Atau juga barang kali dia yang miring otaknya?
Gadis itu dulu bersumpah untuk memusuhi Pendekar Buta sekeluarga. Kemudian gadis itu berhasil dalam balas dendamnya, yaitu membuntungi lengan Swan Bu. Akan tetapi sekarang menurut pengakuan Swan Bu, mereka akan berjodoh, berarti mereka saling mencinta! Adakah yang lebih aneh dari pada ini?
Betapa pun juga, diam-diam dia iri kepada Swan Bu. Ketika pemuda itu bercerita tentang Siu Bi, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar. Ah, alangkah senangnya mencinta dan dicinta. Kalau dia? Masih sunyi!
“Ahh, di dunia ini memang banyak terjadi hal aneh-aneh...!" la menghela napas dengan kata-kata agak keras.
Bun Hui tengah berada seorang diri di pinggir pantai yang sunyi, merenung dan menyepi karena hatinya sedang kesal. Siang hari itu panas sekali dan seorang diri dia pergi ke pantai, sekalian melihat-lihat dan mengintai. Beberapa hari ini dia merasa jengkel karena para penyelidiknya belum juga dapat mencari tempat sembunyi pimpinan bajak laut.
"Dunia memang aneh..." Sekali lagi dia berkata dan kakinya menumbuk-numbuk pasir.
"Lebih aneh lagi pertemuan ini!" tiba-tiba terdengar suara orang.
Bun Hui kaget sekali, cepat dia menengok dengan tangan meraba gagang pedangnya. Akan tetapi seketika tangannya lemas dan kekhawatirannya lenyap terganti kekaguman. Bukan musuh mengerikan atau bajak laut yang kejam liar yang dihadapinya, melainkan seorang gadis yang cantik molek dengan pakaian sutera tipis warna putih berkembang merah, berkibar-kibar ujung pakaian dan rambut hitam halus terkena angin laut!
Agaknya dewi laut yang datang hendak menggodanya! Kalau memang dewi laut atau siluman, biarlah dia digoda! Pandang mata Bun Hui lekat dan sukar dialihkan dari lesung pipit yang menghias ujung bibir.
"Bun-ciangkun (Perwira Bun), panglima muda dari Tai-goan, bukan?" Gadis cantik jelita itu menegur dan memperlebar senyum sehingga berkilatlah deretan gigi kecil-kecil putih yang membuat pandang mata Bun Hui makin silau.
Bun Hui terkejut dan heran sekali. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda yang cerdas, dalam beberapa detik saja dia sudah dapat menduga siapa adanya nona yang cantik dan tidak pemalu ini. Maka dia pun cepat-cepat menjura dan berkata,
"Dan kalau tidak salah dugaanku, kau adalah Yosiko, Hek-san Pangcu, bukan?"
Yosiko kembali tersenyum, akan tetapi pandang matanya berkilat. "Tak salah dugaanmu. Agaknya kau cukup cerdik untuk menduga pula apa yang harus kita lakukan setelah kita saling berjumpa di tempat ini. Sudah berpekan-pekan engkau memimpin orang-orangmu untuk membasmi aku beserta teman-temanku. Sekarang kita kebetulan saling bertemu di sini, berdua saja. Nah, orang she Bun, cabutlah pedangmu dan marilah kita selesaikan urusan antara kita."
Aneh sekali. Timbul keraguan dan kesangsian di hati Bun Hui. Padahal, tadinya sering kali dia ingin dapat menangkap ketua bajak laut Kipas Hitam dengan tangannya sendiri, atau membunuhnya dengan pedangnya sendiri. Semestinya dia akan menyambut tantangan ini dengan penuh kegembiraan. Akan tetapi entah bagaimana, begitu bertemu dengan Yosiko, dia menjadi terpesona dan tidak tega untuk mengangkat senjata menghadapi nona jelita ini! Apa lagi ketika dia teringat akan penuturan Tan Hwat Ki bahwa gadis ini masih terhitung cucu keponakan Raja Pedang sendiri, makin tidak tegalah dia untuk memusuhinya.
"Hayo lekas siapkan senjatamu, mau tunggu apa lagi? Menanti kawan-kawanmu supaya dapat mengeroyokku?" Yosiko mengejek.
Gadis ini sudah berdiri tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera putih di tangan kiri. Sikapnya gagah menantang, juga amat cantik.
"Hek-san Pangcu, dengarlah dulu omonganku," akhirnya Bun Hui dapat berkata sesudah dia menenteramkan jantungnya yang berdebaran keras. "Memang suatu kebetulan yang tidak tersangka-sangka aku dapat bertemu denganmu di sini dan memang hal ini sudah kuharapkan selalu. Ketahuilah, setelah aku mendengar siapa adanya ketua Kipas Hitam yang memimpin para bajak, sudah lama sekali keinginanku untuk memerangimu lenyap. Aku mendengar bahwa engkau adalah cucu keponakan locianpwe Tan Beng San, Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Setelah sekarang aku berhadapan denganmu, serta melihat kau adalah seorang gadis muda yang gagah dan pantas menjadi cucu seorang pendekar sakti seperti Si Raja Pedang, kuharap kau suka mendengar omonganku dan marilah kita berdamai..."
"Apa? Kau perwira tinggi kerajaan mengajak damai bajak laut? Mengajak damai sesudah kau mengobrak-abrik orang-orangku, membunuhi banyak anak buahku?"
"Pangcu... Nona, ingatlah. Kita masih orang sendiri. Aku sangat menghormati keluarga Raja Pedang, dan kau adalah cucunya. Aku merasa sayang sekali melihat kau tersesat. Kembalilah ke jalan benar. Kau bubarkan para bajak, menyatakan takluk dan bertobat. Percayalah, aku yang akan menanggung, aku yang akan mintakan ampun agar kau tidak akan dituntut..."
"Huh, siapa minta kasihan darimu? Ehh, orang muda she Bun, mengapa kau mendadak sontak begini sayang kepadaku?"
Wajah Bun Hui menjadi merah. Gadis jelita ini selain gagah dan liar, juga lidahnya amat tajam!
"Sudah kukatakan tadi, Nona. Karena kau adalah seorang wanita muda, dan karena kau masih keluarga Raja Pedang."
"Hemmm, karena kau takut! Karena kau seorang diri, tidak dapat mengandalkan bantuan orang-orangmu, maka kau takut melawan aku! Huh, begini sajakah panglima muda dari Tai-goan?"
Wajah pemuda itu sebentar pucat sebentar merah. Perlahan-lahan dia menggerakkan tangannya, meraba gagang pedang, kemudian dengan sinar mata marah dia mencabut pedangnya.
"Hek-san Pangcu, aku adalah seorang lelaki sejati, kenapa harus takut? Aku tadi bicara dengan kesungguhan hati karena sayang melihat engkau tersesat, seberapa dapat ingin menyadarkanmu. Akan tetapi kalau kau menganggap sikapku itu karena takut, silakan maju!"
Yosiko tersenyum lagi. "Nah, ini baru namanya jantan. Orang she Bun, bersiaplah untuk mampus!" Pedangnya langsung berkelebat diikuti gerakan sabuk suteranya ketika gadis ini menyerang dengan hebat.
Terkejut juga hati Bun Hui. Tak disangkanya gadis ini demikian ganas dan serangannya begitu dahsyat. Segera dia memutar pedang menangkis sambil meloncat ke samping menghindarkan diri dari pada sambaran sabuk sutera yang mendatangkan angin pukulan hebat itu.
"Tranggggg...!" Sepasang pedang bertemu dan keduanya terhuyung mundur.
Akan tetapi tiba-tiba saja Yosiko terguling dan hanya dengan berjungkir balik saja gadis ini dapat menahan dirinya agar tidak jatuh. Dia terheran-heran. Mungkinkah pemuda she Bun ini begitu kuat sehingga sekali benturan senjata membuat dia terguling hampir jatuh? Diam-diam ia kaget dan juga kagum. Yo Wan sendiri yang pernah ia uji kepandaiannya, tak mungkin sekuat ini!
Di lain pihak, Bun Hui juga kaget dan heran. la tadi merasa betapa pedangnya terbentur membalik oleh pedang gadis itu dan biar pun dia sudah menghindar, hampir saja ujung sabuk sutera putih itu menyentuh lambungnya. Akan tetapi entah kenapa, tiba-tiba sabuk itu berkibar pergi dan dia merasa ada sambaran hawa panas lewat di samping tubuhnya dan melihat gadis itu hampir jatuh.
la maklum bahwa nama besar ketua Kipas Hitam ini bukanlah nama kosong belaka. Dia juga maklum bahwa gadis jelita ini betul-betul lihai. Maka, dengan hati penuh kekaguman dan penyesalan, dia siap menghadapi serangan lawan.
Dengan hati penasaran Yosiko menerjang maju lagi, kini lebih hebat. Pedangnya diputar di atas kepalanya lalu melayang turun ke arah leher lawan, sedangkan sabuk suteranya meluncur maju menotok ulu hati yang akan mendatangkan maut bila mengenai sasaran dengan tepat. Kembali Bun Hui menggerakkan pedangnya menangkis, ada pun tangan kirinya dikebutkan untuk menyambar ujung sabuk yang menyerang dada.
"Tranggggg...!"
Kembali keduanya terhuyung.
Alangkah kaget hati Yosiko ketika tadi dia merasa betapa sabuknya tiba-tiba saja hilang kekuatannya dan bahkan membalik ke belakang kemudian menyerang dirinya sendiri! la membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, wajahnya pucat.
Hebat pemuda ini! Ilmu siluman apakah yang digunakan pemuda itu sehingga dalam dua gebrakan saja dia hampir celaka, padahal pemuda itu bukannya menyerang, melainkan menghadapi serangannya?
Bukan Yosiko saja yang terheran-heran dan kagum, juga Bun Hui merasa heran sekali. la tadi merasa tangannya kesemutan dan kalau dilanjutkan, tentu serangan ujung sabuk akan mencelakakannya sungguh pun serangan pedang dapat ditangkisnya. Akan tetapi kembali dia merasa ada angin pukulan menyambar membantunya dan membuat gadis penyerangnya itu terserang sabuknya sendiri. la cepat menoleh, akan tetapi tidak melihat apa-apa.
Sekarang Yosiko mengeluarkan sebuah kipas hitam! la betul-betul merasa kagum, akan tetapi di samping kekagumannya ini terkandung rasa penasaran. Pemuda bangsawan yang tampan ini tidak kelihatan terlalu sakti, akan tetapi mengapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapinya?
Bun Hui sudah mendengar akan jahatnya kipas hitam yang mengandung racun ini, maka dia khawatir sekali. "Nona, aku benar-benar tak ingin bertempur mati-matian melawanmu, marilah kita bicara baik-baik!"
"Terima ini!" Yosiko membentak dan sudah melompat maju.
Pedangnya menyambar, diikuti gerakan kipas yang dikibaskan ke arah Bun Hui. Uap hitam menyambar dan agaknya pemuda itu akan celaka kalau pada saat itu tidak tampak sinar menyilaukan berkelebat. Tahu-tahu Yosiko memekik kesakitan, kipasnya mencelat jauh dan pundaknya terluka ujung pedang Bun Hui. la roboh dan mengerang kesakitan.
Melihat ini, kagetlah Bun Hui. Kini dia merasa yakin, bahwa diam-diam ada orang yang membantunya. Tadi pedangnya bergerak menangkis lagi, akan tetapi entah bagaimana pedangnya itu meleset dan terus menusuk ke arah leher Yosiko, sedangkan sinar yang berkelebat dari belakangnya menghantam kipas. Baiknya dia masih dapat untuk menarik pedangnya sehingga tidak menembus leher yang indah, akan tetapi menyeleweng dan hanya melukai pundak.
Mungkin saking kaget, penasaran dan sakit, Yosiko rebah pingsan! Ketika dia membuka mata, dia rebah di tanah dan Bun Hui sedang mengobati pundaknya! Bukan main kaget dan herannya hati Yosiko, akan tetapi dia berpura-pura masih pingsan. Dari balik bulu matanya yang panjang dia memandang wajah tampan itu yang dengan penuh perhatian memeriksa lukanya dan kemudian mengobatinya dengan obat bubuk yang terasa dingin sekali.
Melihat gadis itu menggerakkan matanya, Bun Hui cepat menyelesaikan pengobatan itu dan berkata perlahan. "Maaf... maaf, aku menyesal sekali, bukan maksudku untuk..."
Yosiko sudah melompat bangun. Mukanya berubah merah dan ia memungut pedangnya yang menggeletak di atas tanah. Ketika ia melihat kipas hitamnya yang sudah remuk, ia menendang kipas itu jauh-jauh, lalu menarik napas panjang.
"Maaf, Nona, aku... aku tidak sengaja."
Yosiko berpaling, dan kembali wajahnya berubah ketika memandang Bun Hui. Pandang matanya masih penuh kekaguman, penuh keheranan, penuh penasaran.
"Kau hebat sekali! Gerakanmu begitu cepat sehingga aku tidak lahu bagaimana caranya kau mengalahkan aku. Agaknya aku kurang hati-hati. Bun-ciangkun, mari kita lanjutkan, aku masih penasaran. Apa bila kau dapat mengalahkan aku tanpa mempergunakan ilmu siluman itu, aku... aku bersedia menuruti segala kehendakmu, tanpa syarat apa pun!" la tersenyum dan diam-diam Bun Hui morat-marit hatinya.
Senyum dengan lesung pipit itu bukan main manisnya. la juga bingung. la tahu bahwa kepandaiannya hanya sanggup mengimbangi gadis ini. Kemenangan-kemenangan aneh yang oleh gadis itu dianggap ilmu siluman tadi adalah kemenangan karena ada bantuan dari orang sakti yang dia sendiri tidak tahu siapa adanya.
"Nona Yosiko, sudahlah, aku tidak ingin bertempur denganmu. Aku bahkan minta maaf dan ingin berdamai, kita habisi permusuhan ini..."
"Kalahkan dulu pedangku! Perlihatkan ilmu silatmu!"
Sambil membentak demikian kembali Yosiko menyerang, kini dia hanya mempergunakan pedang saja, tetapi ia mengerahkan seluruh ilmu pedangnya untuk menyerang. Karena ia mendapat kesan bahwa pemuda panglima dari Tai-goan ini memiliki ilmu kesaktian yang hebat, maka timbullah rasa sayangnya dan Yosiko tidak lagi ingin menggunakan senjata gelap, melainkan hendak menguji dengan ilmu pedangnya.
Melihat gerakan nona ini sungguh-sungguh tentu saja Bun Hui tidak mau tinggal diam. la pun segera menggerakkan pedangnya dan memainkan ilmu silatnya, yaitu Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat yang sangat kuat dan lihai. Setelah bergerak beberapa jurus kembali Yosiko menahan pedangnya, meloncat mundur dan berseru, "Pernah aku menyaksikan Ilmu Pedang Kun-lun yang hebat. Apakah kau anak murid Kun-lun-pai?"
Dengan perasaan bangga di hati Bun Hui menjawab tenang, "Ketua Kun-lun-pai adalah kakekku."
Makin kagumlah hati Yosiko dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menerjang lagi dengan jurus yang amat berbahaya. Bun Hui amat terkejut dan cepat dia mengelak ke kiri. Akan tetapi gulungan sinar pedang lawannya bagaikan uap menyambarnya terus, sekarang mengancam lambung. Dengan pemutaran pergelangan tangan Bun Hui menangkis. Bunga api berpijar ketika sepasang pedang bertemu, akan tetapi kali ini dengan cerdik sekali Yosiko sengaja mementalkan pedangnya, bukan ditarik ke belakang, melainkan menyeleweng ke depan terus menusuk dada. Inilah gerak tipu yang amat hebat dan tak tersangka-sangka.
Semua ini dibantu dengan langkah-langkah kaki gadis itu yang betul-betul membuat Bun Hui bingung. Jalan satu-satunya hanyalah menggerakkan pedang membabat kaki lawan yang terdekat, akan tetapi untuk melakukan hal ini dia merasa tidak tega. Pada saat yang berbahaya itu, kembali ada angin menyambar dan... tubuh Yosiko terhuyung-huyung ke samping, serangan pedangnya kembali menyeleweng.
"Kau menggunakan ilmu setan!" bentak Yosiko marah.
Pada saat itu muncullah Siu Bi. Melihat betapa Yosiko bertanding dengan Bun Hui, dia merasa khawatir. Bagaimana pun juga, pemuda putera jenderal di Tai-goan ini pernah bersikap baik sekali kepadanya, dahulu ketika ia menjadi tawanan Jenderal Bun.
"Yosiko, mari pergi! Dia seorang diri di sana, kesempatan baik. Mari!"
Yosiko merasa ragu-ragu, akan tetapi mendengar ucapan-ucapan terakhir itu dia segera membalikkan tubuh, lalu berlari meninggalkan Bun Hui sambil menoleh dan berkata, "Aku masih belum puas. Lain kali kita lanjutkan!”
Bun Hui berdiri bengong. la benar-benar bingung dan kaget melihat nona yang mengajak pergi Yosiko itu. Dia merasa mengenal baik nona itu, nona yang pernah mengobrak-abrik hatinya… Siu Bi. Siu Bi bersekutu dengan Kipas Hitam? Ini hebat.
Tetapi pengalamannya bertanding melawan Yosiko tadi masih meninggalkan ketegangan di hatinya. Apa lagi sesudah melihat munculnya Siu Bi di samping Yosiko, membuat dia termenung berdiri bagaikan patung dengan pedang masih di tangannya. Dia tidak boleh mengharapkan diri Siu Bi lagi, yang dahulu pernah merampas cintanya. la mendengar pengakuan Swan Bu dan dari mulut pemuda itu sendiri ia tahu bahwa antara Swan Bu dan Siu Bi terjalin kasih sayang yang mendalam.
Jika Siu Bi mencinta Swan Bu, tentu dia tak akan mau mengganggunya. Biarlah mereka berbahagia dalam cinta kasih mereka. Akan tetapi ketika tadi dia berhadapan dengan Yosiko, dia segera merasa bahwa gadis peranakan Jepang, gadis liar ketua bajak laut inilah yang menggantikan Siu Bi di hatinya. la jatuh cinta kepada Yosiko!
Bun Hui dapat mengetahui hal ini dengan cepat, karena sebagai putera bangsawan yang terkenal, tampan serta gagah, tentu saja sudah banyak dia bertemu dengan gadis-gadis kota, puteri-puteri bangsawan yang cantik dan yang oleh orang tuanya mau pun handai taulannya seakan-akan ditawarkan kepadanya untuk menjadi jodohnya.
Banyak sudah dia bertemu dengan gadis-gadis cantik, akan tetapi dia tak pernah merasa seperti dahulu ketika dia berhadapan dengan Siu Bi, atau saat tadi dia berurusan dengan Yosiko! Bukan hanya kecantikan kedua orang gadis itu agaknya yang mengguncangkan jantungnya dan membetot semangatnya, melainkan juga sikap mereka, agaknya karena keduanya sama lincah, sama liar, dan sama aneh!
Bun Hui menarik napas panjang, bingung memikirkan keadaan hatinya sendiri. Mengapa dia selalu jatuh cinta kepada wanita yang sebenarnya menjadi musuh! Ayahnya tentu tak akan setuju. Dan bagaimana dia dapat berjodoh dengan seorang seperti Yosiko? la tahu bahwa hal ini amatlah tidak mungkin, akan tetapi dia tidak dapat menyangkal perasaan hatinya yang benar-benar tertarik sekali oleh lesung pipit di sebelah pipi Yosiko tadi.
Dengan murung Bun Hui meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan orang yang kini berkelebat mengejar ke arah larinya Yosiko dan Siu Bi. Bayangan orang yang tadi secara rahasia sudah membantunya mengalahkan Yosiko dengan mudah.
Apa kata gadis aneh tadi? ‘Kalau dapat mengalahkan aku, aku bersedia menuruti segala kehendakmu tanpa syarat apa pun!’
Ucapan Yosiko ini terus berdengung-dengung dalam telinga Bun Hui ketika dia berjalan kembali ke perkemahannya. la kembali dalam keadaan yang jauh berbeda dari pada tadi ketika berangkat. Dia sudah menjadi seorang Bun Hui yang lain, seorang pemuda yang linglung terombang-ambing gelora asmara….
Bayangan yang tadi membantu Bun Hui, kini dengan gesit bagai setan melesat secepat terbang mengejar Yosiko dan Siu Bi, kemudian mengikuti kedua orang gadis itu secara diam-diam. Ia bukan lain adalah Yo Wan, Si Jaka Lola! Yo Wan selalu mengikuti Yosiko dan karenanya dia tahu akan gerak-gerik gadis ini. Dia tahu pula bahwa Yosiko dan Siu Bi sudah bersekutu untuk mencelakai Cui Sian! Dia juga menjadi saksi akan adegan-adegan aneh dari dua orang muda itu tadi, melihat betapa dengan mesra dan penuh perasaan Bun Hui merawat luka di pundak Yosiko.
Dia sengaja membantu Bun Hui karena dia tahu bahwa tanpa dia bantu, walau pun ilmu kepandaian Bun Hui belum tentu kalah oleh Yosiko, namun gadis yang sangat lincah itu mungkin merobohkan Bun Hui dengah senjata rahasianya. Ketika Yo Wan melihat Siu Bi muncul memanggil Yosiko, kemudian dua orang gadis itu berlari cepat, hatinya menjadi khawatir sekali. Kekhawatirannya terbukti karena tak lama kemudian dia melihat Cui Sian sedang bertempur mati-matian dikeroyok belasan orang bajak laut anak buah Yosiko! Kiranya tadi Siu Bi memanggil Yosiko untuk melaksanakan kehendak mereka, yaitu mengeroyok dan membunuh Cui Sian.
Seperti juga Bun Hui, siang hari itu Cui Sian berada seorang diri di pinggir laut. la sedang termenung-menung memikirkan Yo Wan. Semenjak ia melihat Yo Wan berada di dalam goa bersama Yosiko, hatinya terasa sakit sekali. la ingin marah, ingin membunuh wanita itu dan juga ingin menantang Yo Wan untuk mengadu kepandaian. Dia penasaran dan merasa terhina. Bukankah ketika perjumpaan mereka dahulu Yo Wan terang-terangan menyatakan perasaannya? Kiranya Yo Wan hanyalah seorang pemuda yang gila perempuan, seorang hidung belang yang menjemukan.
Selagi ia termenung, mukanya sebentar merah sebentar pucat, tiba-tiba saja ia tersentak kaget kemudian cepat mengelak. Sebatang anak panah menyambar di atas kepalanya, lenyap ke dalam pohon-pohon. Cui Sian cepat mencabut pedangnya dan muncullah lima belas orang lelaki, dipimpin oleh seorang gadis yang membuat Cui Sian membelalakkan matanya. Gadis itu adalah Siu Bi!
"Bocah jahat! Kau... kau bersekutu dengan bajak-bajak ini...?" tegurnya, terheran-heran dan kemarahannya memuncak. Memang ia tidak suka pada Siu Bi yang membuat Swan Bu tergila-gila, maka dapat dibayangkan kebenciannya melihat Siu Bi muncul bersama para bajak itu. Akan tetapi Siu Bi tidak mempedulikannya, malah memberi aba-aba, "Kurung dia, jangan boleh lolos!" la sendiri lalu melarikan diri untuk pergi mencari Yosiko!
Demikianlah, dengan amarah yang meluap Cui Sian memutar pedangnya, menghadapi pengeroyokan belasan orang itu. Dalam waktu beberapa menit saja pedangnya berhasil merobohkan empat orang pengeroyok, ada pun sisa lainnya hanya berani mengurungnya dari jarak yang tidak terlampau dekat. Namun pengurungan mereka ketat, tidak memberi kesempatan gadis ini keluar dari kepungan.
Cui Sian adalah puteri tunggal Si Raja Pedang. Ilmu silatnya tinggi, akan tetapi sebagai puteri pendekar sakti yang namanya dipuji-puji di mana-mana, tentu saja sifatnya tidaklah ganas. Ilmu pedangnya bersih, mengandung daya Im dan Yang, tak gentar menghadapi kepungan. Tetapi, sudah menjadi sifat ilmu pedang keturunan Raja Pedang, selalu menitik-beratkan kepada serangan balasan, yaitu apa bila diserang barulah timbul keampuhannya untuk merobohkan si penyerangnya. Oleh karena sifat ini pula, agaknya Cui Sian pun merasa segan untuk menyerang para bajak laut yang ia anggap bukan lawan sebanding itu.
Ia hanya menanti, dan empat orang yang roboh tadi pun adalah karena mereka dengan ganas menyerang dirinya, maka akibatnya hebat pula. Kini karena para pengeroyoknya hanya mengepung dari jarak agak jauh, Cui Sian hanya berdiri tegak saja. Baru setelah para bajak menerjang maju dari segenap penjuru, dia mainkan pedangnya dan kembali dua orang roboh mandi darah!
Kedatangan Yosiko dan Siu Bi menggembirakan para bajak yang sudah mulai menjadi gentar. Yosiko berseru keras dalam bahasa Jepang, memberi perintah agar supaya anak buahnya mengepung dari jarak jauh dan siap dengan anak panah, memberi kesempatan kepada dia untuk menangkap musuh. Para bajak mundur sambil menyeret enam mayat teman-temannya. Yosiko dan Siu Bi sendiri dengan pedang terhunus sudah melompat maju menghadapi Cui Sian.
Gadis dari Thai-san ini menjadi merah mukanya. Dengan pedang menuding ke depan ia memaki, "Sungguh kebetulan sekali! Memang besar keinginanku untuk membasmi kalian berdua perempuan yang tak tahu malu!"
"Sombong!" bentak Yosiko. "Kaukah yang bernama Cui Sian? Hemmm, kematian sudah di depan mata masih berani berlagak!"
Setelah berkata begitu, Yosiko menggerakkan pedang dan meloloskan sabuk suteranya. Siu Bi juga sudah melangkah maju dengan sikap mengancam. Dia membenci Cui Sian yang dianggapnya hendak menjauhkan Swan Bu dari padanya. Hebat penyerangan Yosiko dan Siu Bi, terdorong oleh kebencian di hati mereka. Namun, makin kuat dia diserang, makin kuatlah pertahanan Cui Sian. Liong-cu-kiam di tangannya laksana halilintar menggulung-gulung dan gerak Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dimainkan dengan indahnya seakan-akan dia menjadi seorang dewi yang menari-nari. Dengan gaya permainannya yang ampuh ini dia sama sekali tak memberi kesempatan kepada senjata lawan untuk dapat mendekatinya.
Betapa pun juga, ketika Cui Sian menyaksikan gerakan pedang Yosiko yang memainkan jurus-jurus yang serupa, yaitu jurus-jurus campuran dari Sian-li Kiam-sut, maka hatinya pun tergerak. Teringat ia akan penuturan Tan Hwat Ki, bahwa gadis ini adalah puteri Tan Loan Ki yang masih terhitung saudara misannya sendiri, masih sedarah!
Teringat dia akan penuturan orang tuanya tentang paman tua (uwaknya) Tan Beng Kui, yaitu ayah Tan Loan Ki atau kakek dari gadis ini! Dengan bentakan keras ia menangkis, sehingga terpentallah pedang kedua orang lawannya, kemudian ia meloncat mundur.
"Tahan dulu!"
"Mau bicara apa lagi?" bentak Yosiko.
"Yosiko, bukankah kau ini puteri enci Tan Loan Ki? Tahukah engkau bahwa aku adalah bibimu sendiri? Dan kau, Siu Bi, kau sudah berjanji hendak menanti Swan Bu. Beginikah kesetiaanmu kepadanya?"
"Bibi macam apa engkau ini?! Aku tidak peduli, kau adalah musuh Kipas Hitam!" balas Yosiko.
"Tan Cui Sian, kaulah yang memisahkan Swan Bu dari sampingku!" bantah Siu Bi.
"Ahh, dua bocah liar! Kalian jahat..."
"Cukup! Apa kau takut menghadapi kami?" ejek Yosiko.
"Hemmm, boleh ditambah sepuluh orang lagi macam kalian aku tak akan mundur. Aku hanya mengingat bahwa kau masih terhitung keponakanku, dan Siu Bi... ahhh, aku ingat Swan Bu maka aku mau bicara!"
"Cerewet!" Yosiko membentak dan menerjang lagi, diikuti Siu Bi.
Kembali mereka bertanding dengan serunya. Sementara itu, dengan tanda suitan Yosiko sudah mengundang anak buahnya sehingga tempat itu kini terkurung oleh kurang lebih lima puluh orang bajak! Namun mereka tidak ada yang turun tangan sebelum mendapat perintah pemimpin mereka.
"Yosiko! Siu Bi! Mundur...!" Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan orang ini bukan lain adalah Yo Wan! Kagetlah kedua orang gadis itu ketika melihat munculnya Yo Wan.
"Kau?!" Yosiko berseru. "Kau... membelanya?"
"Tentu saja! Yosiko, kenapa kau belum juga mau insyaf? Siu Bi, kenapa kau ikut-ikutan?"
"Dia membawa pergi Swan Bu. Dia memisahkan kami...!" Siu Bi bingung menjawab. Gentar hatinya kalau harus menghadapi Yo Wan, apa lagi kalau diingat bahwa Yo Wan yang telah menolongnya sehingga dahulu dia tidak terbunuh oleh Lee Si dan Cui Sian.
Tiba-tiba saja dua orang pimpinan bajak dengan pedang di tangan menerjang Yo Wan. Serangan ini mendadak sekali, dilakukan dari belakang. Namun dengan gerakan ringan Yo Wan menggeser kaki, tanpa menengok tangannya bergerak ke belakang dan kakinya menendang. Akibat gerakan ini, sebatang pedang terampas dan kedua orang pimpinan bajak itu terlempar oleh tamparan dan tendangannya!
Ributlah para bajak laut. Seorang yang bercambang bauk dan bermata lebar melompat maju dengan golok besar di tangannya, diikuti anak buahnya!
"Bong-twako, jangan serang!" bentak Yosiko.
"Tapi...," bantah si cambang bauk.
"Tidak ada tapi, mundur semua!" bentak Yosiko yang segera memimpin anak buahnya pergi dari situ, diikuti oleh Siu Bi yang beberapa kali memandang ragu ke arah Yo Wan.
Dalam waktu sebentar saja tempat itu sudah menjadi sunyi kembali setelah Yosiko dan anak buahnya menghilang di balik pohon-pohon besar di hutan tepi pantai. Hanya tinggal Yo Wan dan Cui Sian berdua yang masih berdiri di situ.
"Bagus, akhirnya kita bertemu juga. Nah, kebetulan kau sudah mendapatkan pedang. Lihat seranganku!" Setelah berkata demikian, Cui Sian lalu menyerang Yo Wan dengan pedangnya!
Bukan main kagetnya hati Yo Wan. "Ehhh...! Bagaimana ini...?"
Yo Wan cepat mengelak ketika melihat betapa gadis itu tidak main-main, serangannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan amat berbahaya.
"Tak perlu pura-pura kaget! Kau bersekutu dengan kepala bajak laut Kipas Hitam!" kata Cui Sian marah. "Karena itu kau adalah musuh kami!"
Kembali Cui Sian menyerang dengan gerakan kilat. Dan kembali pula Yo Wan mengelak sambil mengelebatkan pedang rampasannya untuk menangkis. la maklum kalau pedang di tangan Cui Sian adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh, sedangkan pedang yang di tangannya hanyalah pedang biasa yang tajam, sekali beradu tentu akan patah. Oleh karena itu, dia sengaja mengerahkan sinkang-nya dengan tenaga lemas sehingga ketika terbentur, pedangnya hanya membalik dan tidak menjadi rusak. Bagi Yo Wan hal ini adalah pekerjaan yang amat mudah, dan memang di sini terletak kelihaiannya. Jangankan sebuah pedang baja, sedangkan sebatang pedang kayu saja bisa merupakan senjata yang dapat menghadapi pusaka-pusaka ampuh kalau berada di tangannya.
Ketika kedua pedang bertemu dan pedang di tangan Yo Wan tidak rusak, diam-diam Cui Sian kaget dan kagum sekali. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat menduga bahwa pemuda ini sudah mahir dalam memindahkan tenaga sakti ke dalam benda yang dipegangnya. Hal ini membutuhkan Iweekang yang sangat mendalam dan kiranya hanya orang-orang setingkat ayahnya atau Pendekar Buta saja yang mampu melakukan hal itu!
"Eh, nanti dulu... Sian-moi (adik Sian)... sejak kapan aku bersekutu dengan kepala Kipas Hitam?"
"Pembohong pandai berpura-pura! Lelaki mata keranjang! Jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga)!" Cui Sian menusukkan pedangnya ke arah dada Yo Wan.
Yo Wan begitu kaget mendengar tuduhan ini sehingga dia meloncat ke atas, akan tetapi dia segera menangkis pedang Cui Sian, mengerahkan tenaga dan pedangnya berhasil menindas pedang gadis itu ke bawah. Betapa pun Cui Sian mengerahkan tenaga, dia tak mampu mengangkat pedangnya yang tertindas itu!
"Wah, nanti dulu, Sian-moi! Apa artinya tuduhan jai-hoa-cat dan mata keranjang itu?" Yo Wan bertanya gugup.
"Hemmm, apa kau masih hendak menyangkal bahwa siang malam kau tinggal berdua saja dengan... dengan... ketua Kipas Hitam yang cantik itu?"
Yo Wan menarik napas panjang. Hal ini sudah dia khawatirkan. Dia segera melepaskan pedangnya dan berkata, "Aahhh, kau salah duga, Moimoi. Kau dengarlah penjelasanku, atau bila kau sudah tidak percaya lagi kepadaku, boleh kau gunakan pedangmu itu menusuk mampus dadaku, aku tak akan melawan lagi!"
Cui Sian meragu, memandang tajam, pedangnya tidak bergerak, dia menunggu. Dengan tenang Yo Wan lalu menuturkan pengalamannya ketika dia mencari Swan Bu, betapa di tengah jalan dia melihat Tan Hwat Ki beserta sumoi-nya menyerang sarang Kipas Hitam, betapa dia menolong Tan Hwat Ki dan Bu Cui Kim, kemudian dia mengejar Yosiko dan terluka, lalu dirawat oleh gadis yang menjadi kepala Kipas Hitam itu.
"Memang kasihan gadis itu, sejak kecil terdidik liar. Dia dan ibunya beranggapan bahwa pemuda yang mampu mengalahkan mereka adalah calon jodohnya...," demikian Yo Wan menutup ceritanya sambil menarik napas panjang. "Tetapi aku tentu saja menolaknya… aku bukan mata keranjang atau jai-hoa-cat..."
Cui Sian tersenyum mengejek, akan tetapi wajahnya sudah ditinggalkan kemuramannya.
"Siapa percaya kau akan menolak seorang gadis yang begitu cantik jelita?"
"Sian-moi...!"
"Sudahlah, percaya atau tidak, tak ada bedanya! Kau suka menjadi jodohnya atau tidak, sebetulnya aku pun tidak peduli. Bukan urusanku, kan?"
Hampir Yo Wan tertawa bergelak menyaksikan sikap ini. Tadi gadis ini menyerangnya hebat, hampir membunuhnya karena cemburu, akan tetapi sekarang sesudah menerima penjelasan, mengatakan bahwa dia tidak peduli dan bukan urusannya! Memang aneh sekali watak perempuan, pikirnya.
"Sian-moi...," Yo Wan memegang tangan Cui Sian, yang berkulit halus lunak dan yang tidak ditarik ketika dia pegang, "kuharap kau tidak kehilangan kepercayaanmu kepadaku. Sian-moi, tahukah engkau kenapa Yosiko tadi hendak mengeroyok dan membunuhmu? Karena aku secara terus terang menolak usul perjodohannya dan mengatakan bahwa di dunia ini hanya seorang gadis yang kucinta dan kuharapkan menjadi calon jodohku, yaitu gadis yang bernama Tan Cui Sian. Dia menjadi marah kemudian hendak membunuhmu, bahkan ibunya juga marah lalu pergi hendak menemui suhu supaya suka memaksaku. Akan tetapi ibunya belum tahu akan pengakuanku mengenai engkau, hanya mengira aku menolak begitu saja. Sian-moi, apa pun yang terjadi, siapa pun yang akan menggodaku, tak mungkin aku mengubah pendirian hatiku yang sudah teguh bagaikan karang di pantai laut. Lihat, benda inilah yang menjadi saksi akan kesetiaanku kepadamu, Moimoi!"
Cui Sian tak mengangkat mukanya yang semenjak tadi terus menunduk, hanya matanya mengerling kepada benda yang dikeluarkan Yo Wan dari sakunya. Ternyata benda itu adalah sehelai sapu tangan, sapu tangannya yang dia berikan kepada pemuda itu ketika Yo Wan menghadapi lawan-lawan sakti, di antaranya Bhok Hwesio. Kepala itu semakin menunduk.
"Sian-moi... percayakah kau kepadaku kini?"
Cui Sian tak menjawab dengan mulut, akan tetapi dua titik air mata yang jatuh di tangan Yo Wan ketika kepala itu mengangguk perlahan sudah merupakan jawaban yang cukup meyakinkan. Sampai beberapa lama keduanya hanya berdiri saling berpegang tangan, tak ada suara yang keluar dari mulut mereka, tapi hati masing-masing dipenuhi kebahagiaan. Akhirnya, sesudah agak terlambat karena selalu menolak para pemuda yang merayunya, Cui Sian mendapatkan juga jodohnya.
Akhirnya Cui Sian juga yang memecahkan kesunyian akibat terdorong rasa sungkan dan malu di samping rasa bahagianya. Dia menarik tangannya, mengangkat muka dan kedua mata bintangnya bersinar-sinar menentang wajah Yo Wan, bibirnya tersenyum...