Pendekar Buta Jilid 01

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 01

Puncak Lao San tampak menjulang tinggi di antara pegunungan di Propinsi Shantung yang kecil-kecil, biar pun sebenarnya Lao-san hanya 1100 meter tingginya. Pemandangan alam dari puncak ini amat indahnya. Memandang ke sebelah timur tampak Laut Kuning yang luas, ke sebelah utara Selat Pohai, ke sebelah barat Pegunungan Shantung dengan puncak Thai-san tampak gagah menjulang tinggi, kemudian pada sebelah selatan tampak sawah ladang dan perkampungan yang subur.

Hari masih pagi benar, namun sepagi itu sudah ada seorang manusia duduk di atas batu gunung di puncak Lao-san. Angin dari Laut Kuning membuat hawa gunung menjadi makin dingin sejuk, memecahkan kulit muka dan menusuk-nusuk tulang. Akan tetapi orang yang duduk di atas batu itu seakan-akan tidak merasakan ini semua. Tentu orang akan mengira dia sudah membeku atau membatu, kalau saja mulutnya tidak terdengar bersajak dengan suara nyaring, jelas dan bersemangat.

Wahai kasih, aku di sini!
Di puncak Lao-san menjulang tinggi
Menjadi raja sunyi di angkasa raya,
Naga-naga awan muncul dari laut di bawah kaki
Terbang melayang menuju kemari
Bersujud di sekelilingku meniupkan angin sejuk,
Kasih, aku menanti kehadiranmu
Memberi cahaya dan kehangatan pada jiwa ragaku
Wahai kasih, aku di sini!


Agaknya orang ini merasa sangat gembira dengan sajak yang dikarangnya sambil duduk itu. Diulangnya sajak ini, malah kemudian dinyanyikannya dengan suara nyaring. Tangan kanannya memukul-mukulkan tongkat pada batu dan menimbulkan bunyi ‘tok-tak-tok-tak’ berirama, mengiringi suara nyanyiannya. Suaranya yang nyaring bergema di puncak, terbawa angin dan kadang-kadang terdengar bergetar penuh perasaan, terutama di bagian ‘...kasih, aku di sini....’

Kadang-kadang tangan kirinya meraba-raba ke atas tanah di mana terdapat dua macam bungkusan. Agaknya dia khawatir kalau-kalau angin yang keras akan menerbangkan dua bungkusan pakaian dan obat-obatan itu. Melihat cara ia tadi meraba-raba, mudah diduga bahwa orang ini adalah seorang buta. Memang sebenarnyalah. Dia seorang buta. Masih muda benar, baru dua puluh tahun lebih, takkan lewat dari dua puluh lima tahun umurnya.

Sesungguhnya wajahnya sangat tampan. Kulit mukanya putih bersih dengan dahi lebar, daun telinga panjang, hidung mancung dan mulut yang manis bentuknya. Alisnya yang hitam dan berbentuk golok melindungi sepasang mata yang selalu dipejamkan, mata yang sudah tiada bijinya sehingga kelihatan pelupuknya mencekung, mendatangkan keharuan bagi yang melihatnya. Rambutnya yang hitam digelung ke atas serta dibungkus kain kepala hijau. Pakaiannya amat sederhana, baju berlengan panjang dan lebar berwarna kuning kemerahan, celana berwarna kuning dan meski pun pakaian ini terbuat dari bahan yang kasar, namun amat bersih.

"Wahai kasih, aku di sini...!" Pemuda buta ini bangkit berdiri dan mengembangkan kedua lengannya, seakan-akan hendak menyambut atau memeluk kedatangan kekasihnya. Tapi kekasihnya itu tidak ada, yang ada hanya sinar matahari pagi yang mulai menyembul ke luar dari permukaan Laut Kuning.

"Kekasihku... matahariku... dengan kehadiranmu di sampingku… aku sanggup bertahan seribu tahun lagi..."

Si buta ini tersenyum-senyum dan wajah itu menjadi semakin tampan, akan tetapi juga makin mengharukan. Ia benar-benar kelihatan gembira sekali. Setelah ‘menyambut kekasihnya’ yang agaknya sinar matahari itulah, si buta lalu duduk kembali, membuka bungkusan pakaiannya, mengeluarkan sepotong roti kering dan dia mulai sarapan dengan enaknya. Agaknya dia tidak tahu bahwa sudah sejak tadi, kurang lebih seratus meter di sebelah belakangnya, berdiri seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam.

Laki-laki ini usianya empat puluhan, berkumis panjang tanpa jenggot, pakaiannya serba hitam dan gerak-geriknya kasar. Di pinggangnya tergantung sebatang golok telanjang dan di punggungnya sebuah bungkusan kain kuning. Setelah memperhatikan beberapa lama kepada si buta dan melihat si buta mulai sarapan pagi, laki-laki tinggi besar ini mengomel.

"Sialan! Sekali mendapat mangsa, seorang buta gila!"

Dia terbatuk beberapa kali. Angin sejuk itu agaknya sangat mengganggu pernapasannya. Akan tetapi dia tidak menghentikan langkahnya mendekati si buta yang sedang makan. Setelah tiba di belakang si buta dalam jarak satu meter, dia berhenti dan membentak.

''He, buta gila! Apa isi kedua bungkusanmu itu?''

Orang muda buta itu memutar diri, masih duduk dan cepat-cepat menjawab dengan suara ramah. "Wah, ada teman! Bagus, mari silakan duduk, sahabat. Rotiku masih banyak, mari kita sarapan bersama."

Tangannya meraba-raba, mengeluarkan sepotong besar roti kering dari bungkusannya itu dan dengan wajah tersenyum serta pelupuk mata cekung itu bergerak pula, kemudian dia mengangsurkan roti itu kepada si muka hitam.

Si muka hitam dengan geram menggerakkan kaki dan roti di tangan si buta itu terlempar jauh, menggelinding dan lenyap ke dalam jurang. "Siapa sudi roti busukmu?"

Orang muda buta itu menyeringai, tapi menghela napas panjang dan suaranya tetap halus pada saat dia berkata, "Sahabat, kiranya kau tidak lapar. Heran sekali ada orang menolak makan di saat cahaya kehidupan mulai menerangi bumi. Semua makhluk sibuk mencari makan, jangan-jangan kau sakit..."

"Cerewet! Berikan bungkusan pakaianmu kepadaku!" bentak si muka hitam.

"Oooh, jadi pakaiankah yang kau butuhkan?" si buta mengangguk-angguk dan tangannya diulur ke depan, meraba ujung baju si muka hitam. "Hemmm, pakaianmu masih baik tapi amat kotor. Boleh, boleh, biarlah kuberi satu stel kepadamu, aku masih mempunyai tiga stel di dalam bungkusan ini..."

"Buta gila, serahkan semua pakaianmu kepadaku!" dengus si muka hitam yang disusul oleh suara batuk-batuk. "Semua milikmu harus kau serahkan kepadaku kalau kau ingin tetap hidup."

Si buta menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. ''Aihh, kiranya kau benar-benar sakit! Dua macam penyakit sedang mencengkerammu, sahabat. Yang satu adalah penyakit akibat luka dalam di tubuhmu, di dalam tubuhmu sudah kemasukan hawa beracun yang menimbulkan rasa gatal pada kerongkonganmu dan sewaktu-waktu, apa lagi kalau kau marah-marah seperti sekarang ini, timbul rasa sesak di dalam dada sebelah kanan. Penyakit pertama ini tidak hebat, paling-paling merenggut nyawa dari tubuh, akan tetapi penyakitmu yang ke dua lebih payah lagi karena merupakan penyakit jiwa yang membuat kau tidak pernah menaruh kasihan kepada orang lain, membuat kau kejam dan suka mempergunakan kekerasan untuk mengganggu orang lain."

"Tutup mulutmu dan serahkan bungkusan-bungkusan itu!" Si muka hitam bergerak maju dan menyambar bungkusan pakaian. Akan tetapi dia tidak berhasil merampas bungkusan obat yang dipeluk erat-erat oleh si buta.

"Ambillah...! Ambillah bungkusan pakaianku. Aku tidak gila pakaian seperti engkau. Tapi bungkusan obat ini sama sekali tak boleh kau ambil, aku sendiri tidak membutuhkan, akan tetapi orang-orang lain yang sakit akan membutuhkannya."

Ia sudah berdiri sekarang, bungkusan obat itu dia sampirkan di pundak, tongkat dipegang di tangan kiri. Si muka hitam ragu-ragu, tidak jadi merampas bungkusan obat, tetapi juga tidak segera pergi dari situ. Dia memandang tajam, lalu bertanya dengan suara kasar, "Heh, buta, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menderita luka dalam?"

Orang muda buta itu tersenyum lebar. Deretan giginya yang sehat kuat mengkilap terkena cahaya matahari pagi, putih seperti deretan mutiara.

"Aku si buta ini tukang obat, kau tahu? Tentu saja aku dapat mengetahui keadaanmu karena kau terbatuk-batuk tadi. Sahabat, maukah kau kuobati?"

Si muka hitam melengak, memandang penuh selidik. Mana dia bisa percaya? Baru saja dia merampas pakaian orang ini, mungkinkah dia mau mengobatinya?

"Tidak sudi! Kau kira aku begitu bodoh?" jawabnya sambil tertawa mengejek. "Kau hanya pura-pura hendak mengobati, padahal kau tentu akan memberi racun untuk membunuhku, membalas dendam karena pakaianmu kurampas. Ha-ha-ha, jangan kau kira aku tolol. Aku adalah Hek-twa-to (Si Hitam Bergolok Besar), mana bisa kau akali begitu saja? Bukan aku yang akan mati karena kau racuni, melainkan kau yang akan mampus di tanganku. Kau tahu aku terluka, pasti kau anak buah si tua bangka Bhe jahanam!" Setelah berkata begitu si muka hitam melangkah maju dan tangan kanannya menghantam ke arah orang muda buta itu.

Hebat pukulannya, keras sekali sampai mendatangkan sambaran angin! Agaknya dengan sekali pukulan ini si muka hitam yang berjuluk Hek-twa-to itu bermaksud untuk membikin remuk kepala si buta. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba lengan kanannya terbentur dengan sesuatu yang keras dan membuat tangannya lumpuh, kemudian dia merasa dadanya bagai diraba orang, membuat napasnya sesak dan dia terhuyung-huyung mundur. Dia terheran-heran melihat si buta itu masih berdiri dan tersenyum-senyum seperti tadi. Sama sekali ia tak melihat si buta ini tadi bergerak. Akan tetapi siapakah tadi yang menangkis pukulannya dan siapa pula yang meraba-raba ke arah dadanya?

Ia merasa jeri, mengira bahwa tentu ada orang sakti membantu si buta ini, atau jangan-jangan si tua bangka Bhe sendiri yang berada di sini? Punggungnya terasa dingin dan seram. Cepat dicabutnya golok besarnya. Betapa pun juga kalau benar-benar orang she Bhe itu muncul, dia hendak melawan mati-matian. Dengan garang goloknya dia gerak-gerakkan ke kanan kiri sampai terlihat cahaya kilat menyambar-nyambar ketika golok itu tertimpa sinar matahari.

Mendadak si buta tertawa dan berkata. "Sahabat tinggi besar, untung kau bahwa luka dalam di tubuhmu sudah lenyap sekarang..."

Dan orang buta itu membalikkan tubuh, duduk di atas batu tadi dan tidak mempedulikan pemegang golok yang masih menggerak-gerakkan goloknya. Hek-twa-to makin curiga. Jelas bahwa tidak ada orang lain di situ. Selihai-lihainya si tua Bhe, kalau dia berada di situ tentu akan nampak olehnya. Habis siapa yang melawannya tadi? Si buta inikah? Tak mungkin!

Perlahan-lahan dia menghampiri. Sekali bacok akan mampuslah si buta. Sudah banyak dia membunuh orang, baik bersebab mau pun tidak. Saat itu dia sedang mengkal hati, dikalahkan orang dan terluka hebat. Si buta ini tahu dia terluka, memalukan saja, maka harus dibunuh. Goloknya bergerak cepat ke leher orang. Dia seakan melihat ada kilat dari angkasa yang menyambar-nyambar dua kali, merasa betapa tangan kanannya tergetar, lalu ada tenaga aneh mendorongnya ke belakang sampai lima tindak. Wajahnya pucat sekali. Golok itu tinggal gagangnya saja dan di bawah kakinya kelihatan dua buah potongan golok!

Ada pun si buta tadi masih saja duduk di atas batu sambil memegangi tongkat yang kini dipukul-pukulkan ke atas batu sambil bernyanyi,

"Wahai kasih, aku di sini..."

Hek-twa-to menggigil, lalu membuang gagang goloknya dan larilah dia menuruni puncak, tidak lupa membawa serta bungkusan pakaian yang dirampasnya tadi. Dia melarikan diri seperti dikejar iblis gunung!

Dari jauh dia masih mendengar suara si buta bernyanyi-nyanyi. Suara nyanyian ini amat menyeramkan baginya, seolah-olah mengejarnya, membuat dia memperhebat tenaganya untuk lari…..

**********

Hari telah siang ketika serombongan orang tergesa-gesa mendaki puncak Lao-san. Lima belas orang ini adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tegap kuat dengan gerak-gerik yang kasar. Melihat cara mereka mendaki puncak yang amat sukar dilalui itu secara cepat dan cekatan, bisa diduga bahwa mereka adalah orang-orang yang telah biasa melakukan perjalanan di gunung-gunung serta memiliki tubuh yang kuat. Apa lagi melihat betapa setiap orang membawa senjata tajam, tergantung di punggung atau di pinggang. Yang berjalan paling depan adalah si muka hitam tinggi besar yang pagi hari tadi bertemu dengan orang muda buta di puncak itu, ialah Hek-twa-to, Si Golok Besar Muka Hitam. Setelah tiba di puncak, di mana si buta tadi duduk bernyanyi, hiruk-pikuklah suara mereka.

"Mana dia si buta itu, Twako?" bertubi-tubi pertanyaan ini menyerang Hek-twa-to yang menjadi sibuk juga. Bisa celaka dia kalau tidak dapat menemukan orang muda buta tadi.

Seperti telah kita ketahui, Hek-twa-to ini tadi lari tunggang langgang ketakutan setelah dua kali menyerang si buta dia roboh secara aneh. Dengan napas terengah-engah dia masuk hutan di pegunungan sebelah barat di mana kawan-kawannya berada, kemudian dengan hati masih merasa seram dia menceritakan semua pengalamannya.

Hek-twa-to ialah seorang di antara anak buah atau anggota perkumpulan Hui-houw-pang (Perkumpulan Harimau Terbang), yaitu satu perkumpulan golongan hitam (penjahat) yang anggotanya terdiri dari para perampok-perampok di Shantung. Hui-houw-pang berpusat di Pegunungan Shantung dan dikepalai oleh seorang bernama Lauw Teng yang berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk pendek dan bermuka kuning.

Pada waktu itu, Hui-houw-pang sedang berada dalam kedukaan karena baru saja mereka kalah berperang melawan musuh lama mereka, yaitu orang-orang dari Kiang-liong-pang (Perkumpulan Naga Sungai). Banyak di antara mereka yang terluka, bahkan Hui-houw Pangcu Lauw Teng sendiri juga terluka hebat. Dalam usahanya untuk membalas dendam, Lauw Teng mendatangkan beberapa orang sahabatnya yang pada waktu itu sudah berkumpul di situ. Ketika mendengar penuturan Hek-twa-to, Lauw Teng sangat tertarik, terlebih lagi melihat gerak-gerik Hek-twa-to yang berbeda dengan tadi sebelum bertemu dengan orang buta aneh itu.

"Buka bajumu!" Lauw Teng memerintah.

Hek-twa-to tidak mengerti apa maksud perintah ini, namun dia tidak berani membantah dan ia pun membuka bajunya. Lauw Teng mendekati, meraba dada anak buahnya ini dan mengeluarkan seruan tertahan.

"Kau benar manusia tolol!" tiba-tiba dia berseru. "Lukamu sudah disembuhkan orang dan kau menganggap dia anak buah musuh. Dia itu seorang ahli pengobatan yang pandai. Kerbau goblok kau! Hayo lekas bawa beberapa orang kawan, cari dia dan suruh ke sini. Siapa tahu dia dapat mengobati kita semua!"

Hek-twa-to kaget dan juga girang ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang betul lukanya di dalam tubuh akibat pukulan beracun dari pihak lawan sudah sembuh. Bintik merah di dadanya telah lenyap dan tidak ada rasa nyeri sedikit pun juga. Biar pun dia amat terheran-heran bagaimana dan kapan orang mengobatinya namun dia tidak berani banyak bicara lagi, maklum akan watak ketuanya yang amat keras.

Dia pun khawatir takkan dapat mencari orang buta itu. Karena inilah, maka dia menjadi sibuk dan bingung ketika dia dan kawan-kawannya tiba di puncak Lao-san dia tak melihat orang muda buta yang tadi.

"Tak mungkin dia bisa pergi jauh," katanya.

Hatinya berdebar penuh kekhawatiran karena dia pun tahu bahwa kalau dia tidak dapat membawa si buta itu ke depan ketuanya, dia tentu akan menerima hukuman yang hebat.

"Seorang buta mana bisa turun dari puncak dengan cepat? Tanpa dibantu tongkatnya dia takkan mampu melangkahkan kaki." Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tenang karena dia percaya bahwa orang buta itu pasti belum pergi jauh.

"Hek-twako, jangan pandang rendah orang aneh itu. Apa bila dia bisa naik ke puncak ini tentu juga mampu turun," kata seorang kawannya. Hek-twa-to menjadi pucat mendengar ini.

"Celaka, hayo kita cepat mencarinya. Kita berpencar ke empat penjuru. Aku akan naik ke pohon besar itu untuk melihat dari atas."

Dengan cepat dia kemudian lari menghampiri pohon dan sekali mengenjot kedua kakinya, tubuhnya melayang naik ke atas pohon. Hebat juga kepandaian si muka hitam ini. Pantas saja pagi tadi dia lari ketakutan ketika dua kali menyerang si buta, dia sendiri yang kalah tanpa dapat tahu siapa yang telah mengalahkannya.

Siapa yang tidak akan merasa seram? Kepandaiannya cukup tinggi. Apa lagi menghadapi seorang pemuda buta, belum tentu dia akan kalah dalam pertempuran. Akan tetapi pagi tadi dia merasa seakan-akan melawan iblis yang melindungi si buta!

"Heeeii, itu dia di sana. Ha-ha-ha, apa kataku? Dia tidak kan bisa pergi jauh!" tiba-tiba Hek-twa-to berseru kegirangan sambil meloncat turun dari cabang pohon.

Kawan-kawannya yang sudah mulai berpencar mencari ke empat penjuru, mendengar teriakan ini ikut menjadi girang. Mereka juga mengharapkan si tabib buta itu akan dapat menyembuhkan ketua mereka dan dua puluh lebih teman-teman lain yang juga terluka hebat.

Setelah Hek-twa-to turun, lima belas orang ini berlari-lari cepat menuruni puncak, dipimpin oleh Hek-twa-to. Betul saja, tak lama kemudian mereka melihat orang muda buta itu.

Dengan tongkatnya meraba-raba dan memukul-mukul ke tanah di depan kakinya, orang buta ini berjalan perlahan-lahan. Buntalan obat tergantung di punggungnya dan dari jauh sudah terdengar suaranya bernyanyi-nyanyi!

Siapakah sebetulnya orang muda tampan yang buta ini? Dia bukan orang sembarangan. Namanya Kwa Kun Hong, putera tunggal dari ketua Hoa-san-pai yang bernama Kwa Tin Siong dan berjuluk Hoa-san It-kiam (Si Pedang Tunggal dari Hoa-san), seorang pendekar gagah perkasa. Ibunya juga seorang tokoh Hoa-san-pai yang kosen berjuluk Kiam-eng-cu (Si Bayangan Pedang).

Akan tetapi orang muda buta yang sakti ini sama sekali bukan murid ayah bundanya sendiri. Secara kebetulan dia mewarisi Ilmu Silat Rajawali Emas (Kim-tiauw-kun), malah akhir-akhir ini dia menerima pula Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat dari Si Raja Pedang Tan Beng San ketua dari Thai-san-pai.

Karena inilah, maka biar pun usianya baru dua puluh lima tahun, dia telah mewarisi ilmu kesaktian yang luar biasa. Kwa Kun Hong bukan buta semenjak lahir. Baru saja tiga tahun dia menjadi buta.

Dia buta karena secara nekat sudah mencokel ke luar kedua biji matanya sendiri, karena penyesalan hatinya karena kekasihnya, puteri ketua Thai-san-pai, telah membunuh diri. Gadis itu telah ditunangkan dengan putera ketua Kun-lun-pai dan telah membunuh diri di depannya akibat putus asa dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong.

Semenjak hatinya patah dalam cinta kasih dan dua biji matanya dia korbankan, pemuda ini lalu merantau, ke mana saja kedua kakinya membawanya. Dahulu dia telah mewarisi ilmu pengobatan dari kitab-kitab milik Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), maka kini dalam perantauannya ia menjadi seorang tabib buta yang selalu siap menolong orang-orang sakit.

Tentu saja karena kebutaannya, biar pun dia memiliki kepandaian tinggi, dia tidak dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya dapat maju karena bantuan tongkatnya dan kakinya membawanya dari dusun ke dusun, dari kota ke kota dan dari gunung ke gunung.

Dia sengaja tidak pernah mau bertanya kepada orang lain tentang tempat yang akan dia datangi karena memang dia tidak mempunyai tujuan tertentu. Sesudah tiba pada suatu tempat, barulah dia akan bertanya dan adalah hal yang mendatangkan kegirangan juga mengetahui sebuah tempat yang sama sekali tak pernah diduga sebelumnya.

Pada sore hari kemarin dia mendaki ke puncak Lao-san yang pernah dia dengar tentang keindahannya. Semalam suntuk dia berdiam di puncak ini dan meski pun dia sudah tidak dapat mempergunakan kedua matanya lagi untuk menikmati tamasya alam indah, namun dengan perasaannya dia dapat menikmati hawa sejuk dan kehangatan matahari terbit, dengan hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga dan tetumbuhan yang sedap, dengan telinganya dia dapat menikmati suara merdu dari kicau burung di antara desir angin yang berdendang dan bergurau dengan daun-daun pohon. Ketika dia duduk bersanjak di puncak Lao-san, khayalnya menciptakan tamasya alam yang agaknya jauh lebih indah dari pada kenyataan yang tak dapat dilihatnya lagi itu.

Kwa Kun Hong memang seorang pemuda yang luar biasa. Ilmu silatnya tinggi sekali, ilmu pengobatannya juga tinggi dan selain kedua ilmu ini, dia pun sangat pandai dalam hal kesusasteraan, pandai bersajak, bernyanyi, dan tulisan tangannya amat indah. Kalau saja sepasang matanya tidak buta lagi, dia pun merupakan seorang ahli dalam hal ilmu sihir yang pernah dia pelajari dari paman gurunya, yaitu Sin-eng-cu (Garuda Sakti) Lui Bok! Tentu saja biar pun ilmu sihir yang berdasarkan hawa murni dan kekuatan batin ini masih terdapat di tubuhnya, namun dia tidak dapat lagi mempergunakannya karena penggunaan ilmu ini harus melalui pandangan mata! Peristiwa aneh yang dialami Hek-twa-to, sama sekali bukanlah perbuatan iblis atau orang sakti yang melindungi Kun Hong.

Pemuda buta ini sendiri yang menggunakan kesaktian ilmu silatnya untuk mengalahkan Hek-twa-to dan sekaligus untuk menyembuhkan dari pada luka dalam yang mengancam keselamatan nyawanya. Dari peristiwa ini saja dapat dibayangkan betapa hebat pemuda ini.

Tidak saja hebat ilmu kepandaiannya, yang lebih hebat lagi adalah pribudinya. Hek-twa-to sudah memakinya, menghinanya, bahkan sudah menyerangnya dengan niat membunuh. Akan tetapi Kun Hong masih berhati lapang, tidak hanya memaafkan ini semua, malah telah mengobatinya dengan beberapa totokan pada jalan darah di dada sehingga orang kasar itu menjadi sembuh!

Pada saat rombongan lima belas orang anggota Hui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai.

Tiba-tiba dia memiringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya ketika telinganya memperhatikan sesuatu.

Dia terus berjalan, terus saja menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang semakin mendekat dari belakang itu.

"Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia merasa amat berterima kasih kepada pemuda buta ini.

Kun Hong segera menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh perlahan, mulutnya tersenyum lebar akan tetapi kedua telinga tetap waspada mendengarkan dan mengikuti segala gerak-gerik di sekitarnya. Tentu saja dia mengenal suara perampok kasar yang dia jumpai pagi tadi, akan tetapi dia pura-pura tidak mengenalnya dan bertanya,

"Saudara siapa dan apa maksud saudara mengejar aku si buta ini?"

Dia tahu bahwa orang kasar itu kini menjura kepadanya, membungkuk-bungkuk beberapa kali sebagai tanda penghormatan. Gerakan tubuh ini saja tidak dapat terlepas dari pada pendengarannya yang amat tajam melebihi orang biasa yang tidak buta. Hal ini sangat menggembirakan dan melegakan hatinya karena dia dapat menduga bahwa kedatangan belasan orang ini kiranya tidak mengandung niat jahat.

"Tuan muda, saya Hek-twa-to datang untuk minta maaf atas kelancangan saya pagi tadi dan untuk mengembalikan bungkusan pakaianmu."

Wajah itu makin berseri, senyuman makin melebar ketika dia mengulurkan tangan untuk menyambut bungkusan.

"Ahhh, terima kasih, twako. Sebetulnya aku tidak begitu membutuhkan pakaian ini, akan tetapi kalau kau tidak memerlukan, baik kuterima untuk pengganti kalau yang kupakai ini sudah kotor. Berada padaku atau padamu sama saja, pakaian gunanya untuk dipakai, siapa pun yang memakainya tidak menjadi soal. Terima kasih." Dia lalu menggantungkan buntalan pakaian itu di pundaknya.

Hek-twa-to menjura lagi. "Juga saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan sinshe (sebutan untuk tabib) yang telah menyembuhkan luka di dalam dadaku."

Kun Hong tertawa. "Tidak perlu berterima kasih. Yang menyembuhkan adalah kau sendiri, Twako. Pada waktu kau menggunakan tenaga menghantam ke depan tadi, hawa pukulan yang tertahan oleh jalan darah yang buntu merupakan kekuatan yang hebat. Aku hanya membantu membuka jalan darah itu sehingga hawa itu dapat menerobos dan sekaligus menghalau hawa beracun yang mengeram di tubuhmu. Sama sekali tidak perlu berterima kasih."

Hek-twa-to terkejut. Kiranya si buta ini yang menyentuh dadanya. Kenapa dia sama sekali tidak melihatnya? Setelah saling pandang penuh keheranan dengan kawan-kawannya, dia lalu menjura lagi dan berkata,

"Sekarang kami minta dengan hormat supaya Sinshe suka ikut dengan kami ke tempat tinggal kami di sebelah barat bukit ini..."

"Sayang, tidak bisa..." Kun Hong memotong, "aku adalah seorang manusia bebas, tidak mau terikat oleh segala budi. Terima kasih, Twako, biarlah aku melanjutkan perjalananku seenaknya dan harap kau dan teman-temanmu kembali saja."

Salah seorang kawan Hek-twa-to yang paling kasar wataknya di antara para perampok itu menjadi marah dan berteriak, "Kita gusur saja tabib buta yang sombong ini!"

Kun Hong tersenyum sabar, maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kasar yang berwatak keji.

"Aku adalah seorang buta lagi miskin tidak memiliki apa-apa, juga aku akan mengalah kalau kalian menghendaki barang-barangku kecuali bungkusan obat dan tongkat ini. Akan tetapi jangan harap aku akan suka menuruti paksaan orang, sungguh pun paksaan untuk menjamuku dengan hidangan-hidangan mahal."

"Tong-te, kau tutup mulutmu!" bentak Hek-twa-to kepada kawannya yang kasar tadi, lalu dia menghadapi Kun Hong lagi. "Siauw-sinshe, harap kau maafkan temanku yang lancang mulut ini. Sesungguhnya kami mengharap kau suka ikut dengan kami karena kami perlu pertolonganmu untuk mengobati ketua kami dan dua puluh orang lebih teman-teman kami yang menderita luka-luka berat. Harap kau suka menolong kami seperti kau telah lakukan kepadaku tadi. Jangan khawatir, untuk biaya pengobatan ini, berapa pun juga kau minta, ketua kami sudah pasti akan memenuhinya."

Kening di muka yang tampan itu agak berkerut. Kun Hong maklum bahwa orang-orang ini bukan orang-orang baik, tentu ketuanya juga bukan orang baik. Agaknya golongan hitam pengacau rakyat. Sebetulnya kalau mengingat keadaan mereka, tidak patut ditolong. Akan tetapi dia dapat membayangkan betapa sengsaranya mereka yang menderita sakit itu dan hatinya yang penuh welas asih tidak kuasa menahan hasratnya hendak menolong.

"Hemmm, begitukah? Kalau kalian mengundangku untuk menolong orang-orang sakit, lain lagi halnya. Tidak usah bicara tentang upah, apa bila aku berhasil dapat mengurangi rasa nyeri yang mereka derita, sudah cukup bagus untukku. Mari kita berangkat."

Rombongan itu lantas berangkat turun bukit. Akan tetapi meski tongkatnya telah dituntun oleh Hek-twa-to, seorang buta seperti Kun Hong tentu saja tidak mampu berjalan cepat. Rombongan itu tidak sabar dan ketika Hek-twa-to mengusulkan untuk menggendong tabib buta itu, Kun Hong tidak menolak. Maka digendonglah pemuda itu oleh Hek-twa-to yang kuat dan rombongan ini berlari-lari turun bukit dengan cepat.

Hati Kun Hong makin merasa curiga. Di atas gendongan, dia dapat mengira-ngira tingkat kepandaian mereka. Ilmu lari cepat mereka lumayan, tanda bahwa mereka ini, terutama Hek-twa-to, memiliki kepandaian silat.

Ketua mereka tentu seorang kosen. Kalau sampai ketua mereka terluka, juga dua puluh orang lebih anak buahnya, alangkah tangguhnya musuh mereka itu. Dan mengingat sikap mereka yang jahat, agaknya yang menyebabkan mereka menderita luka-luka itu tentulah seorang pendekar. Berkali-kali dia menarik napas panjang di atas gendongan Hek-twa-to.

Pendekar itu merobohkan dan melukai orang-orang karena tugasnya sebagai pendekar yang membasmi kejahatan. Akan tetapi dia pergi akan menyembuhkan mereka, juga hal ini karena tugasnya sebagai seorang ahli pengobatan yang tidak boleh memilih penderita, baik dia kaya atau miskin, jahat atau tidak.

Ketika ketua Hui-houw-pang dan para tamunya yang terdiri dari jagoan-jagoan di dunia kang-ouw dan bu-lim itu melihat bahwa tabib buta itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang masih sangat muda, mereka terbelalak keheranan, saling pandang dan ragu-ragu. Para tamu yang hadir di sana adalah undangan-undangan Lauw Teng, terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw. Malah di antaranya terdapat seorang tosu bermuka bopeng (burik) yang mempunyai sinar mata tajam berkilat dan pada punggungnya tergantung sepasang pedang tipis.

Mereka ini banyak mengenal orang pandai, malah pernah mendengar tentang setan obat Toat-beng Yok-mo, juga sudah banyak melihat tabib-tabib pandai. Namun belum pernah mereka melihat seorang ahli pengobatan yang masih begini muda. Tidak mengherankan apa bila mereka lalu memperdengarkan suara mencemooh dan memandang rendah.

Ketua Hui-houw-pang kecewa bukan main. Diam-diam dia marah kepada Hek-twa-to yang dianggapnya telah membohong dan menipu dirinya. Untuk menutupi kekecewaannya, dia kemudian bertanya dengan nada suara keras memandang rendah.

"Heh, orang muda buta. Apakah betul kau yang telah menyembuhkan Hek-twa-to seorang anggotaku?"

Kun Hong tidak tahu siapa yang tadi bicara dengannya, akan tetapi terang bahwa dia ini adalah ketua yang dimaksudkan oleh Hek-twa-to tadi, entah ketua apa. Dia tersenyum dan menjawab, "Dia yang menyembuhkan dirinya sendiri, aku hanya membantu."

Kata-katanya halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri atau menghormat. Ketua Hui-houw-pang yang biasanya disembah-sembah oleh anak buahnya yang pandai menjilat, ditakuti semua orang, mendongkol juga melihat dan mendengar sikap orang buta ini.

"Orang buta, jangan kau main-main di sini. Apakah benar kau pandai mengobati orang sakit dan terluka?"

"Tak ada orang pandai di dunia ini, sahabat. Yang pandai hanya Tuhan. Aku hanya diberi pengertian tentang pengobatan, pengertian kecil tak berarti. Kalau Tuhan menghendaki, tentu akan menyembuhkan orang sakit."

"Dengar, orang muda. Kami dua puluh orang lebih sedang menderita luka-luka. Kalau kau bisa menyembuhkan kami, berapa saja upah yang kau minta, akan kubayar. Akan tetapi jika ternyata kau tidak mampu menyembuhkan kami, hemm, jangan tanya akan dosamu, kau tentu akan kubunuh mampus karena kau sudah mengetahui keadaan kami. Apakah kau sanggup?"

Diam-diam Kun Hong mendongkol sekali. Tidak salah dugaannya tadi bahwa ketua ini tentulah orang yang berwatak keji pula. Namun sesuai dengan wataknya yang sabar dan bijaksana, wajahnya tetap tersenyum.

"Aku selalu siap mengobati orang sakit. Sembuh atau tidaknya terserah ke dalam tangan Tuhan. Jika bisa sembuh, aku tak menentukan upahnya, terserah kepada penderita sakit. Kalau tidak dapat sembuh, itu sudah nasibnya, kenapa kau hendak membunuhku? Bukan kau yang memberi kehidupan pada tubuhku, lantas bagaimana kau dapat bicara tentang mengambilnya, sahabat?"

Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi yang disusul suara halus, "Lauw-sicu, omongan bocah ini ada isinya, kau berhati-hatilah!"

Kun Hong tercengang, kiranya di tempat itu terdapat orang pandai, pikirnya. Pembicara ini adalah seorang kakek berusia lima puluhan, memiliki Iweekang yang kuat dan pandang mata yang tajam. Semua ini dapat dia mengerti dari pendengarannya, tentu saja dia tidak tahu bahwa kakek yang bicara itu adalah seorang tosu yang bermuka burik, seorang di antara para tamu undangan.

Kun Hong agak miringkan kepalanya. Dia dapat mendengar betapa tuan rumah bersama kakek yang bicara tadi kini menggerak-gerakkan tangan dan jari, agaknya saling memberi isyarat agar apa yang mereka kehendaki tidak terdengar olehnya.

"Sinshe muda," kata Lauw Teng dengan suara agak berubah, tidak segalak tadi, "biarlah kuanggap saja kau memang pandai mengobati. Nah, kau mulailah mengobati salah satu anak buahku yang menderita luka di dalam tubuhnya,"

Setelah berkata demikian, Lauw Teng lalu berteriak, "He, A Sam, kau yang paling berat lukamu, kau merangkaklah ke sini biar diobati oleh Siauw-sinshe ini!"

Kun Hong terheran. Sejak tadi sesudah bercakap-cakap dengan ketua ini, dia tahu atau dapat menduga, bahwa ketua ini menderita luka yang amat parah di dalam tubuhnya yang perlu segera diobati. Kenapa ketua ini sekarang menyuruh dia mengobati seorang anak buahnya lebih dulu? Apakah ketua ini sengaja mengalah terhadap anak buahnya? Tidak mungkin, orang yang berhati keji selalu mementingkan diri sendiri. Ataukah masih belum percaya kepadanya maka menyuruh anak buahnya maju untuk mencoba-coba?

Tapi Kun Hong tidak pedulikan ini semua. Dia lalu duduk di atas bangku yang disediakan untuknya dan menurunkan buntalan obat. Dia tahu bahwa dari depan berjalan seseorang dengan langkah perlahan, kemudian orang ini jongkok di depannya sambil mengeluarkan suara rintihan dan berkata lemah.

"Siauw-sinshe, tolonglah saya... tak kuat lagi saya... sampai merangkak pun hampir tidak kuat. Aku terkena pukulan beracun kakek Bhe jahanam..."

Semenjak kecil Kun Hong sudah memiliki kecerdikan yang luar biasa. Begitu mendengar kata-kata ini, segeralah terbuka semua rahasia yang tidak dapat dilihatnya. Kiranya ketua she Lauw tadi bersama kakek itu bersekongkol untuk mempermainkan dan menguji dia.

Orang ini hanya pura-pura menderita luka pukulan, disuruh datang minta tolong sehingga mereka itu akan segera tahu tentang kepandaiannya mengobati. Hemmm, mereka tidak percaya dan hendak mempermainkan aku, pikir Kun Hong. Baiklah, aku akan melayani sandiwara kalian.

Sambil membungkuk Kun Hong meraba nadi tangan dan dada di dekat leher A Sam itu, mengerutkan keningnya lalu berkata, "Aihhh, kau benar-benar sedang menderita penyakit berbahaya sekali! Biang batuk sudah berkumpul di pintu paru-paru. Sekarang memang belum terasa olehmu, akan tetapi begitu tertawa, akan meledaklah batukmu dan sukar ditolong lagi. Kau sama sekali tidak terluka oleh pukulan orang she Bhe atau orang she Ma, melainkan karena terlalu banyak keluar malam sehingga masuk angin jahat!" Tentu saja sambil berkata demikian, jari-jari tangan Kun Hong yang dapat bergerak secara luar biasa dan secepat kilat itu telah menekan beberapa jalan darah tertentu di dada dan leher.

Mendengar keterangan ini, meledaklah suara ketawa para perampok itu, termasuk juga ketuanya, Lauw Teng serta para tamu undangan. Hanya tosu burik itu saja yang tidak tertawa, melainkan memandang dengan mata tajam. Lauw Teng tidak marah karena biar pun keterangan Kun Hong itu sangat lucu, namun orang ini dapat mengetahui bahwa A Sam tidak terluka oleh pukulan beracun.

Lucunya, A Sam adalah seorang yang sehat dan tidak pernah batuk, biar pun memang suka keluar malam akan tetapi lucu kiranya kalau seorang gemblengan seperti A Sam itu mudah saja masuk angin! A Sam juga tertawa terpingkal-pingkal.

Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang tadi tertawa geli itu menghentikan suara ketawa mereka. Kini hanya terdengar sebuah suara saja, yaitu suara orang berbatuk-batuk amat hebatnya. Maka tidak aneh apa bila semua orang kini memandang terheran-heran karena yang batuk secara hebat itu bukan lain adalah A Sam!

Tadinya A Sam sendiri mengira bahwa batuknya ini adalah secara kebetulan saja. Akan tetapi dia mulai menjadi khawatir dan gugup setelah batuknya itu tidak juga mau berhenti, malah semakin hebat sampai dia tak dapat menahannya lagi. Di dalam leher dan dadanya serasa dikitik-kitik, mendatangkan rasa gatal-gatal dan geli.

Tak tertahankan lagi A Sam terbatuk-batuk sambil memegangi perut dan dada, badannya membungkuk-bungkuk dan akhirnya dia sampai jatuh bergulingan. Penderitaannya bukan main hebatnya.

Tadinya orang-orang mengira bahwa A Sam yang suka berkelakar itu memang sengaja mempermainkan si tabib buta. Akan tetapi karena A Sam tak juga berhenti batuk, mereka mulai khawatir, lalu mendekat dan dengan mata terbelalak melihat bahwa A Sam sampai mendelik-delik matanya karena terbatuk-batuk terus.

"Aduh... uh-uh-uh... aduh... tolonglah...uh-uh-uh, Siauw-sinshe ...uk-uh-uh..." Sukar sekali A Sam mengeluarkan kata-kata ini karena batuk membuat napasnya sesak dan suaranya hampir hilang.

"Hemmm, sudah kukatakan tadi, kau tidak boleh tertawa. Siapa kira kau masih tertawa terbahak-bahak sehingga ledakan batukmu tidak tertahankan lagi. Kalau didiamkan saja, kau akan terus terbatuk-batuk sampai jantungmu pecah dan aku akan mendiamkan saja, A Sam, kecuali bila kau suka berterus terang mengapa kau tadi pura-pura terluka parah."

"Ampun... uh-uh, ampun Sinshe... uh-uh-uh, saya disuruh mencoba, uh-uh, main-main... ampun..."

Lauw Teng melangkah maju. "Siauw-sinshe, harap kau suka mengobatinya. Terus terang saja, tadi kami meragukan kepandaianmu maka sengaja hendak mengujimu. Maafkanlah."

Kun Hong memang bukan seorang pendendam. Tentu saja dia memaafkan mereka yang tadi hendak main-main kepadanya. Bahkan perbuatannya terhadap A Sam ini pun hanya untuk main-main belaka. Dia segera maju mendekat, beberapa kali dia membetot urat-urat di leher serta di bawah pangkal lengan. Sebentar saja berhentilah A Sam berbatuk-batuk, peluhnya keluar semua dan dia segera terduduk saking lelahnya.

"Siauw-sinshe, sekarang kuharap kau suka mengobati semua orangku, juga mengobati lukaku sendiri. Ketahuilah bahwa aku adalah Hui-houw Pangcu (ketua Hui-houw-pang) Lauw Teng. Tentu kau sudah mendengar tentang Hui-houw-pang, bukan?”

Ketua ini mengira bahwa tentu sinshe buta yang masih muda ini akan terkejut sekali bila mengetahui bahwa dia sedang berada di dalam markas Hui-houw-pang yang sudah amat terkenal di seluruh Propinsi Shantung. Akan tetapi dia terheran dan juga kecewa ketika orang muda buta itu menggeleng kepalanya dan berkata tak acuh.

"Aku baru saja datang di daerah pegunungan ini, Lauw-pangcu, maka aku tidak mengenal perkumpulanmu. Akan kucoba mengobati kalian. Suruh orang-orangmu yang menderita luka sama dengan Hek-twa-to, yang ada bintik merahnya pada tubuh mereka, maju dan berjejer di depanku."

Ada delapan orang yang menderita luka persis seperti Hek-twa-to. Lima belas orang lain menderita luka senjata yang parah dan luka-luka itu membengkak dan keracunan. Ketika mengetahui bahwa belasan orang ini terluka oleh macam-macam senjata, Kun Hong pun dapat menduga tentu telah terjadi pertempuran hebat antara orang-orang Hui-houw-pang ini melawan rombongan lain yang agaknya dikepalai oleh seorang she Bhe yang sudah melukai delapan orang itu dan tentunya seorang yang berkepandaian tinggi juga.

Cepat dia menuliskan resep obat untuk orang-orang yang terluka. Tulisannya cepat dan tidak mempedulikan seruan-seruan heran dari semua orang yang melihat betapa seorang buta dapat menulis secepat dan seindah itu. Untuk luka-luka yang dapat dia obati dengan obat-obatan yang tersedia dalam buntalannya, segera dia obati.

Akan tetapi ketika Kun Hong memeriksa tubuh Lauw Teng, diam-diam dia terkejut sekali. Dengan rabaan tangannya dia mendapat kenyataan bahwa ketua ini memiliki tubuh yang kuat dan Iweekang yang tinggi. Namun ternyata dia terkena pukulan beracun yang amat keji.

Pukulan yang mengenai pundak itu busuk menghitam sedangkan tulang pundaknya telah remuk-remuk. Hebat bukan main penderitaan ketua ini, akan tetapi dia tadi masih dapat menahannya, membuktikan bahwa Lauw Teng adalah seorang yang amat kuat.

Diam-diam Kun Hong mengeluh. Agaknya dugaannya bahwa orang yang merobohkan orang-orang ini tentulah seorang pendekar kiranya tidak betul. Seorang pendekar gagah tidak mungkin memiliki ilmu pukulan yang begini keji, atau andai kata memiliki juga, tidak akan sudi mempergunakan. Kalau begini keadaannya, agaknya pihak yang menjadi lawan Hui-houw-pang ini pun bukan golongan baik-baik!

Kun Hong menarik napas panjang, menyesalkan dirinya yang kini tanpa disengaja telah memasuki dunia golongan hitam. Akan tetapi dia tetap berusaha menolong Lauw Teng, menggunakan sebatang jarum perak untuk mengoperasi luka itu, lalu mengurut beberapa jalan darah dan menempelkan obat luka buatannya sendiri yang amat manjur. Kemudian dia menulis sebuah resep obat untuk ketua Hui-houw-pang ini.

Begitu dia selesai mengobati Lauw Teng dan ketua ini mengucapkan terima kasihnya, tiba-tiba terdengar suara keras dan tahu-tahu ada hawa menyambar ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini maklum bahwa ada orang menyerangnya, maka dia cepat menjatuhkan jarumnya ke bawah dan membungkuk untuk memungut jarum itu. Hal ini dia lakukan untuk mengelak dengan gerakan seperti tidak disengaja.

Akan tetapi kiranya serangan itu bukan untuk memukulnya, melainkan untuk menangkap pergelangan tangannya. Kun Hong tersenyum dan membiarkan saja pergelangan tangan kanannya dicengkeram orang. Dia pura-pura kaget dan berseru,

"Ehh, siapa memegang lenganku? Kau mau apa?"

"Orang muda, lekas katakan, apa hubunganmu dengan Toat-beng Yok-mo?” Penanya ini adalah kakek bersuara halus melengking tadi.

"Orang tua, beginikah caranya orang bertanya? Apa harus mencengkeram lengan orang yang ditanya? Pakaianmu seperti pendeta, kenapa sikapmu kasar seperti penjahat?"

Tosu tua itu cepat melepaskan cengkeraman tangannya, mukanya yang bopeng menjadi merah sekali dan dia melangkah mundur tiga langkah. Heran sekali dia bagaimana orang buta ini dapat mengenal pakaiannya? Tentu saja dia tidak tahu bahwa pendengaran Kun Hong yang luar biasa dapat menggambarkan bentuk pakaian!

"Siauw-sinshe, tamuku yang terhormat ini adalah Ban Kwan Tojin yang berdiam di Kuil Pek-kiok-si (Kuil Seruni Putih). Beliau seorang tokoh pantai timur yang terkenal, harap kau suka menjawab pertanyaannya."

Kun Hong menjura ke arah Ban Kwan Tojin. "Maaf, kiranya seorang tosu. Ban Kwan Tojin tadi bertanya tentang Toat-beng Yok-mo? Dia terhitung guruku karena aku mendapatkan ilmu pengobatan ini dari kitab-kitabnya."

Tidak hanya Ban Kwan Tojin yang berseru kaget, bahkan Lauw Teng dan anak buahnya menjadi kaget sekali, juga girang.
cerita silat karya kho ping hoo

Siapa yang tidak mengenal nama mendiang Toat-beng Yok-mo yang bukan saja terkenal sebagai setan obat, akan tetapi juga sebagai seorang sakti yang luar biasa? Di samping kekagetan, keheranan dan kegirangan ini, kembali timbul keraguan dan rasa tak percaya. Apa lagi Ban Kwan Tojin yang tahu betul bahwa belum pernah Toat-beng Yok-mo memiliki seorang murid buta.

"Siauw-sinshe, bolehkah pinto mengetahui namamu yang terhormat?" dia bertanya, kini suaranya menghormat karena bagaimana pun juga, pemuda buta ini sudah membuktikan kepandaiannya tentang ilmu pengobatan.

"Namaku Kwa Kun Hong, Totiang."

"Hemm, serasa belum pernah mendengar nama ini..."

"Tentu saja belum, apa sih artinya nama seorang tabib buta?" Kun Hong tersenyum polos.

"Kwa-sinshe, kalau kau betul murid Toat-beng Yok-mo, tahukah kau di mana sekarang gurumu itu berada?"

Pertanyaan dari tosu ini terdengar oleh Kun Hong sebagai pancingan, kata-kata penuh nafsu menyelidiki.

"Dia sudah meninggal dunia, tiga tahun yang lalu," jawabnya bersahaja.

"Ahh, jadi kau tahu bahwa tiga tahun yang lalu dia tewas dalam pertempuran di puncak Thai-san, pada saat Thai-san-pai didirikan? Dan kau diam saja tidak berusaha membalas dendam? Tahukah kau siapa yang membunuhnya, Sinshe?"

Pertanyaan yang bertubi-tubi dari tosu itu hanya diterima dengan senyum saja. Sudah tentu saja dia tahu bagaimana tewasnya Toat-beng Yok-mo karena kakek iblis itu tewas ketika bertanding melawan dia sendiri. Kakek berhati iblis yang amat jahat itu tewas akibat bertindak curang kepadanya dalam pertempuran itu dan boleh dibilang tewasnya adalah karena perbuatannya sendiri.

"Tentu saja aku tahu siapa yang membunuhya. Yang membunuhnya adalah dia sendiri, ya... dia membunuh diri sendiri."

Hati Kun Hong mulai tidak enak. Jangan-jangan tosu ini tiga tahun yang lalu hadir pula di Thai-san dan melihat betapa Toat-beng Yok-mo tewas pada waktu berhadapan dengan dia sebelum dia buta dan sekarang tosu ini sengaja memancing-mancing.

"Totiang, kalau tiga tahun yang lalu kau sendiri juga turut hadir di sana, mengapa mesti bertanya-tanya?" jawabnya pendek.

Tosu itu tertawa. "Ha-ha-ha, kalau pinto hadir tidak nanti bertanya lagi. Sayangnya pinto tidak hadir ketika itu, hanya mendengar berita dari kawan-kawan bahwa gurumu itu telah tewas dalam pertempuran. Kau yang menjadi muridnya tentu tahu lebih jelas bukan?"

"Sudah kujelaskan bahwa dia mati karena perbuatannya sendiri."

"Jadi kau tidak ada niat untuk mencari musuh-musuh gurumu itu dan membalas dendam? Hemmm, murid yang baik kau itu, Kwa-sinshe." Ban Kwan Tojin mengejek.

"Toat-beng Yok-mo terkenal jahat. Biar pun dia guruku, akan tetapi hanya guru dalam ilmu pengobatan saja. Dia boleh bermusuhan dengan orang lain, akan tetapi aku tidak berniat bermusuhan. Kepandaianku menyembuhkan orang sakit supaya sehat, bukan menjadikan orang sehat supaya sakit. Sudahlah, Lauw-pangcu, sesudah selesai tugasku di sini, aku mohon diri hendak melanjutkan perjalananku."

Dia menjura ke depan ke kanan kiri, lalu membereskan buntalan obatnya dan bersiap-siap untuk pergi. Ketika mengerjakan semua ini, juga ketika tadi melakukan pengobatan, Kun Hong tak lupa menyelipkan tongkatnya di punggung. Bagi orang buta seperti dia, tongkat merupakan pengganti mata dalam melakukan perjalanan, terlebih lagi apa bila tongkat itu seperti tongkatnya, yaitu tongkat yang berisi pedang pusaka Ang-hong-kiam, tongkat yang sengaja dibuat oleh kakek sakti Song-bun-kwi (Setan Berkabung) untuknya.

Pada saat itu terdengar suara seorang wanita, "Ayah...!"

Lauw Teng menengok. Keningnya berkerut pada saat dia melihat anaknya, seorang gadis berusia dua puluh tahun, gadis yang berdandan secara mewah, muncul di pintu samping.

Gadis ini perawakannya tinggi besar, cukup manis serta gerak-geriknya kasar dan genit. Pakaiannya serba indah dan mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terhias ronce-ronce merah, berkibar di dekat rambutnya yang disanggul tinggi dan dihias kupu-kupu emas bertabur mutiara.

"Swat-ji, ada keperluan apa kau datang ke sini?" tegur Lauw Teng marah.

Seharusnya anaknya itu berdiam bersama ibunya serta keluarga Hiu-houw-pang di dalam perkampungan. Biar pun dia menjadi kepala para perampok, akan tetapi dia tidak senang melihat anak perempuannya bergaul dengan para perampok yang kasar dan sudah biasa mengeluarkan ucapan-ucapan kotor dan tak sopan.

Memang beginilah watak orang seperti Lauw Teng. Biar pun dia sendiri sudah biasa tidak menghormati kaum wanita, namun dia tidak suka melihat wanita-wanita keluarganya tidak dihormati orang!

Dengan lagak genit sambil tersenyum-senyum dan melirik-lirik gadis itu menjawab, "Ayah, kau dan semua orang sibuk berobat, kabarnya ada tabib pandai di sini, mengapa tidak menyuruh tabib itu datang ke kampung? Ibu menderita batuk, bibi masuk angin dan aku sendiri sering merasa dingin kalau malam. Suruh dia ke kampung Ayah."

Mendengar ucapan terakhir ini di sana-sini sudah terdengar suara orang terkekeh-kekeh, akan tetapi segera berhenti ketika Lauw Teng dengan mata tajam menengok ke arah suara orang-orang tertawa itu.

"Huh, dasar perempuan, baru sakit batuk dan masuk angin sedikit saja sudah ribut-ribut. Pulanglah, biar nanti kumintakan obat kepada siauw-sinshe."

Akan tetapi ketika dia menengok lagi, dia melihat anaknya itu berdiri di dekat Kun Hong, memandang bengong kepada pemuda buta yang sedang membereskan buntalannya.

"Swat-ji, lekas pulang!" tegur ayahnya.

Swat-ji, gadis itu, seperti baru sadar, menengok kepada ayahnya dan berkata, "Ayah, dia inikah tabibnya? Masih muda benar dan... dan agaknya dia... dia buta, Ayah."

Mendengar gadis itu bicara dekat di depannya Kun Hong merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia segera bangkit berdiri, menjura dan berkata sambil tersenyum ramah. "Bukan agaknya lagi, Nona, memang aku seorang buta."

Sejenak Swat-ji berdiri bengong memandang wajah Kun Hong. Belum pernah ia melihat seorang pemuda setampan ini, apa lagi ketika tersenyum, benar-benar membuat Swat-ji seperti kena pesona. Mata yang buta itu bahkan menambah rasa kasihan yang sangat mendalam.

"Swat-ji, pulang kataku!" Lauw Teng membentak marah.

"Ayah, kulihat kau dan para paman sudah sembuh. Tentu sinshe buta ini yang menolong kalian. Setelah ditolong, kenapa tidak berterima kasih? Sepatutnya kita membawanya ke kampung, kemudian menjamunya dengan pesta tanda terima kasih. Ayah, kalau sekarang kau membiarkan penolongmu pergi begitu saja, bukankah Hui-houw-pang akan ditertawai orang dan dianggap tak kenal budi?"

"Ha-ha-ha, tepat sekali ucapan Nona! Lauw-sicu, benar-benar pinto tidak pernah mengira bahwa kau mempunyai seorang anak perempuan yang begini cantik lahir batinnya. Pinto benar-benar kagum dan terpaksa pinto berpihak kepada puterimu, Lauw-sicu."

Mendapat bantuan omongan tosu itu, Swat-ji tersenyum dan melirik. Kun Hong diam-diam merasa muak mendengar ucapan tosu itu, apa lagi dia dapat menangkap getaran dalam suara itu dan bisa menduga bahwa tosu ini biar pun tua tentulah seorang mata keranjang. Nona bernama Swat-ji itu tentu seorang gadis yang cantik dan dia dapat tahu pula bahwa gadis itu berwatak genit.

Cepat-cepat Kun Hong menjura. "Tidak usah... tidak usah, aku tidak dapat tinggal lama, Nona. Malah tadi aku sudah berpamit pada ayahmu, aku harus segera pergi melanjutkan perjalananku."

"Ahh, mana bisa begitu? Sinshe, kau harus menerima pernyataan terima kasih kami dulu, terutama dari aku sendiri yang sangat berterima kasih karena kau sudah menyembuhkan ayah. Mari, mari kuantar kau, Sinshe. Biar kutuntun tongkatmu.”

Pada saat Kun Hong berdiri bingung menghadapi desakan gadis yang ‘nekat’ ini, tiba-tiba semua orang terkejut melihat datangnya seorang di antara mereka yang berlari-lari dalam keadaan luka parah.

"Musuh... musuh... telah menyerbu...!" katanya dan dia pun roboh terguling.

Keadaan menjadi panik, semua orang berlari-lari untuk melakukan persiapan menyambut serbuan musuh. Lauw Teng tidak pedulikan anaknya lagi, dia sibuk memberi perintah dan mengatur para anak buahnya yang berjumlah enam puluh orang lebih itu untuk melakukan penjagaan di sana-sini. Hanya tosu itu yang kelihatan tenang-tenang saja.

"Lauw-sicu, jangan gugup. Biarlah kita menanti kedatangan mereka di sini, hendak pinto lihat apakah orang she Bhe itu mempunyai tiga kepala dan enam lengan?"

Sementara itu, tiba-tiba saja Kun Hong merasa betapa telapak tangan yang halus sudah memegang tangannya dan terdengar bisikan gadis itu, "Sinshe, mari kita bersembunyi ke sudut sana sambil menonton. Biarlah nanti kuceritakan kepadamu jalannya pertandingan, sebentar lagi akan terjadi pertempuran hebat."

Sedianya Kun Hong akan menolak dan pergi. Akan tetapi karena dia amat tertarik ingin mengetahui apakah sebenarnya yang telah terjadi dan siapa pula musuh Hui-houw-pang ini, pula ia ingin seberapa bisa mencegah terjadinya pertempuran dan bunuh-membunuh, maka dia diam saja dan menurut ketika gadis itu menuntunnya pergi dari situ. Malah dia berharap untuk mendapatkan keterangan dari gadis ini tentang sebab-sebab permusuhan.

Oleh karena semua orang tengah sibuk mengatur penjagaan, Swat-ji mengajak Kun Hong duduk di atas bangku panjang yang tersembunyi di sudut ruangan muka. Gadis itu masih tetap menggandeng tangan Kun Hong dan baru setelah mereka duduk di atas bangku, Kun Hong menarik tangannya dan bertanya,

"Nona, ada apakah ribut-ribut ini? Siapakah yang menyerbu dan mengapa sampai terjadi permusuhan?"

Gadis itu tertawa merdu dan genit. "Ah, biasa saja berebutan mangsa! Akan tetapi kali ini yang diperebutkan adalah suatu barang yang amat berharga sehingga ayah membelanya secara mati-matian. Mereka yang datang menyerbu adalah orang-orang Kiang-liong-pang (Perkumpulan Naga Sungai)."

"Kiang-liong-pang? Perkumpulan seperti apa itu dan perkumpulan ayahmu yang bernama Hui-houw-pang ini pun perkumpulan apakah sebetulnya?"

"Ihh, kiranya kau tidak tahu apa-apa! Hui-houw-pang amat terkenal di Propinsi Shantung, setidaknya tidak kalah terkenal dengan Kiang-liong-pang. Semua perampok di wilayah ini tunduk kepada Hui-houw-pang, dan ayah merupakan penarik pajak jalan yang paling adil di dunia ini."

"Apa itu pekerjaan penarik pajak jalan? Kau maksudkan perampok?"

"Sebaliknya dari perampok! Anggota-anggota kami menjaga jalan-jalan sunyi di gunung dan hutan, dan sama sekali tidak merampok rombongan pedagang atau pelancong yang lewat, karena itu mereka harus memberi pajak jalan kepada kami. Bukankah itu adil? Jika mereka memberi pajak jalan, mereka tidak akan diganggu."

Kun Hong mengangguk-angguk, namun dalam hati dia mencela. Apa bedanya pemerasan dengan perampokan?

"Sedangkan Kiang-liong-pang adalah perkumpulan para bajak air atau bajak sungai yang menguasai semua bajak di Yang-ce dan Huang-ho sampai ke muara. Memang sering kali terjadi perebutan kekuasaan antara darat dan sungai ini. Orang-orang Kiang-liong-pang memang betul-betul kurang ajar. Belum lama ini kami terpaksa menyita rombongan bekas pembesar yang mengundurkan diri karena pembesar sombong itu tidak mau membayar pajak jalan. Pertempuran terjadi dan kami berhasil melukai pembesar itu dan membunuh orang-orangnya. Akan tetapi, tiba-tiba muncul orang-orang Kiang-liong-pang yang segera turun tangan pula, menyatakan bahwa pembesar itu sedang menawar sebuah perahu dan karenanya menjadi mangsa mereka. Terjadi perang lebih hebat lagi memperebutkan harta pusaka yang ternyata sangat banyak. Banyak orang kami luka-luka termasuk ayah yang kau obati tadi. Akan tetapi barang-barang pusaka yang paling berharga dapat kami bawa pulang, di antaranya sebuah mahkota emas penuh permata yang tidak ternilai harganya, mahkota yang dibawa oleh bekas pembesar itu dari istana. Kabarnya itu adalah bekas mahkota yang dipakai oleh permaisuri kaisar di jaman Kerajaan Tang dahulu."

Muak rasa hati Kun Hong setelah mendengar penuturan ini. Tidak salah dugaannya yang mengecewakan hatinya tadi bahwa baik perkumpulan Hui-houw-pang mau pun lawannya, yaitu Kiang-liong-pang, merupakan perkumpulan golongan hitam. Kiranya mereka adalah perampok-perampok yang sekarang sedang bertengkar dengan para bajak!

"Sebenarnya, biar pun saling bersaingan, bila hanya untuk urusan harta benda biasa saja tak mungkin kedua pihak sampai bertempur," gadis itu melanjutkan penuturannya. "Akan tetapi untuk mahkota ini kami tidak mau mengalah begitu saja."

"Apakah karena terlalu berharga?" Kun Hong tertarik.

"Bukan, tetapi karena mahkota itu dapat menjadi jalan agar kami dapat mendekati kaisar baru, mengambil hatinya dan memperoleh kedudukan tinggi di dalam kerajaan. Kabarnya kaisar muda yang baru ini amat mudah diambil hatinya."

"Kaisar baru? Kaisar muda? Apa maksudmu?!" Kun Hong menahan gelora hatinya ketika mendengar kata-kata ini.

"Iihhh, kau benar-benar buta!" Gadis itu tertawa.

"Memang aku buta, siapa pernah membantah?" Kun Hong terpaksa melayani kelakar ini agar si gadis suka melanjutkan ceritanya yang mulai menarik hatinya.

Dengan lagak genit Swat-ji mencubit lengan Kun Hong. "Kau memang buta, akan tetapi kau tampan dan pandai... ehhh, aku suka padamu, kau lucu..."

Tentu saja Kun Hong tidak mau melayani kegenitan gadis itu, akan tetapi dia pun tidak mencelanya, dia hanya berkata halus. "Nona, aku ingin sekali mendengar penjelasanmu tentang kaisar baru tadi."

"Kau benar-benar belum mendengarnya? Kaisar tua telah meninggal tiga bulan yang lalu, dan sekarang di kota raja terjadi keributan dalam menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya. Akan tetapi sudah tentu calon kaisar adalah Pangeran Kian Bun Ti, cucu kaisar yang tercinta, sebagai anak dari pangeran sulung yang telah tiada. Nah, kau tahu sekarang dan tentang mahkota itu, sebetulnya sudah dilarikan oleh bekas pembesar dari kota raja yang agaknya menggunakan saat kota raja ribut-ribut, kemudian lari membawa mahkota kuno yang tak ternilai harganya itu. Sekarang mahkota itu berada di tangan kami, dan tentu akan dapat membawa ayah ke hadapan kaisar untuk menerima anugerah dan kedudukan.”

Diam-diam Kun Hong kaget juga. Selama tiga tahun ini dia merantau dan tidak pernah memperhatikan persoalan dunia. Kiranya Kaisar Thai-cu, yaitu pendiri dari Kerajaan Beng, seorang pahlawan yang sejak dahulu sering dipuji-puji ayahnya, sekarang telah meninggal dunia dan singgasana kerajaan agaknya dijadikan bahan perebutan oleh para pangeran.

Mengingat bahwa Pangeran Kian Bun Ti dicalonkan menjadi kaisar, diam-diam Kun Hong menarik napas panjang. Dia sudah pernah bertemu dengan pangeran ini, dan dia sudah mengenal watak yang kurang baik dari pangeran itu yang dahulu tidak segan-segan untuk mencoba memaksa kedua orang keponakannya, yaitu Thio Hui Cu dan Kui Li Eng, untuk menjadi selir-selirnya!

Tiba-tiba dia sadar dari lamunannya ketika kembali lengannya dicubit dan suara gadis itu terkekeh, "Hi-hik, kenapa kau termenung setelah mendengar tentang kaisar? Apakah kau ingin menjadi kaisar? Hi-hi-hi, alangkah lucu dan bagusnya, kaisar buta! Sinshe yang baik, kau tak usah melamun menjadi kaisar, biarlah kau menjadi tabib kami saja di sini, malam nanti kau boleh memijati tubuhku yang lelah. Tentu kau pandai memijat, bukan?" Gadis itu menggeser duduknya, merapatkan tubuhnya yang hangat itu kepada Kun Hong.

Kun Hong tidak mempedulikan hal ini karena pikirannya sedang bekerja keras. Telinganya sudah dapat menangkap derap kaki orang banyak menuju ke tempat itu. Berdebar dia bila ingat betapa sebentar lagi akan terjadi pertempuran, bunuh-membunuh di depan matanya yang buta.

"Nona, sebentar lagi musuh-musuhmu menyerbu. Melihat betapa ayahmu dan para anak buahnya terluka, tentu musuh itu amat kuat. Apakah kau tidak takut?"

"Ihh, mengapa harus takut? Dengan pedangku aku mampu menjaga diri. Malah aku ingin mencobai kelihaian jahanam tua she Bhe itu dengan pedangku!"

"Tapi... mereka datang untuk mahkota itu. Bagaimana kalau mereka menyerbu ke rumah ayahmu dan merampas mahkota? Kupikir, mahkota itu harus disembunyikan dulu..."

"Ahhh, ternyata kau pintar!" Tangan yang halus itu mengusap dagu Kun Hong, membuat pemuda buta ini merasa dingin di belakang punggungnya. "Tapi ayah dan aku lebih pintar. Mahkota itu tak pernah terpisah dari tubuhku," kata-kata ini dibisikkan di dekat telinga Kun Hong sehingga pemuda buta ini dapat merasa betapa napas Swat-ji panas-panas meniup pipinya.

Cepat laksana kilat Kun Hong menggerakkan tangannya dan pada detik lain tahulah dia bahwa mahkota yang dimaksudkan itu berada dalam buntalan yang digendong oleh gadis ini.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan Kun Hong mendengar suara kaki beberapa orang yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh memasuki ruangan depan tempat Swat-ji berbisik, "Mereka sudah datang, Bhe Ham Ko sendiri yang memimpin..."

Gadis ini pun tak berani main-main lagi sekarang. Ia mengalihkan perhatiannya dari tabib buta yang menarik hatinya itu kepada para musuh yang kini sudah berada di situ. Yang kelihatan berada di luar halaman saja sedikitnya ada dua puluh orang Kiang-liong-pang.

Ada pun yang telah meloncat memasuki pekarangan adalah seorang tua tinggi kurus yang memegang sebatang dayung kuningan. Swat-ji pun menduga bahwa tentu inilah orangnya yang bernama Bhe Ham Ko, ketua dari Kiang-liong-pang yang telah melukai ayahnya.

Di samping kakek ini berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang dilihat dari pakaiannya tentulah tokoh-tokoh dalam perkumpulan bajak itu. Di belakang mereka, berdiri acuh tak acuh, tampak seorang lelaki tinggi besar bermuka hitam, berusia empat puluh tahun lebih.

Berbeda dengan Bhe Ham Ko dan lima orang pembantunya yang berdiri dengan senjata di tangan, laki-laki bermuka hitam ini membiarkan ruyung bajanya tergantung di pinggang dan tidak memperlihatkan muka yang serius, bahkan menengok ke sana ke mari seperti seorang pelancong melihat-lihat pemandangan indah.

"Hui-houw Pangcu Lauw Teng, kami dari dewan pengurus Kiang-liong-pang telah datang mengunjungimu. Keluarlah supaya kita dapat merundingkan perkara sampai beres!" kakek she Bhe itu mengeluarkan suaranya. "Kami pun sudah membawakan obat dan ahli untuk menyembuhkan luka-luka para sahabat dari Hui-houw-pang!"

Jelas terdengar dalam suara ini bahwa ketua Kiang-liong-pang ini mengandung ancaman dan bujukan. Membujuk untuk berbaik di samping mengingatkan pula bahwa pertempuran hanya akan mendatangkan kerusakan dan kerugian pada pihak Hui-houw-pang!

"Kiang-liong Pangcu Bhe Ham Ko, luka-luka yang kecil dan tiada artinya itu tak perlu lagi dibicarakan. Kami sudah siap menanti kedatanganmu!" Muncullah Lauw Teng diiringi tujuh orang pembantunya dengan langkah gagah dan senjata siap di tangan kanan!

Berubah wajah Bhe Ham Ko melihat bekas lawannya itu terlihat sehat benar, malah para pembantunya yang tadinya terkena pukulannya yang mengandung hawa beracun kini juga sudah muncul dalam keadaan sehat! Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia melirik dan melihat seorang tosu berjalan keluar dari samping. Sambil mengelus jenggotnya yang tipis, dia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, kiranya Lauw-pangcu telah mendapat bantuan orang pandai. Pantas saja tidak lagi membutuhkan obat-obatan dari kami. Ataukah kini engkau hendak mempelajari kitab To-tek-keng bersama anak buahmu? Memang pantas jika gedung ini diubah menjadi kuil." Inilah ucapan menghina dan menyindir karena di pihak Hui-houw-pang terdapat seorang tosu tua.

Merah sekujur wajah Lauw Teng, juga dia menjadi heran sekali. Biasanya, seperti yang dia ketahui, ketua Kiang-liong-pang ini adalah seorang yang amat berhati-hati dan bukan seorang kasar yang sembrono. Mengapa hari ini menjadi begini sombong, berani sekali menghinanya dan malah berani mengejek Ban Kwan Tojin? Tentu ada sebabnya, pikirnya dan saat dia melihat sikap acuh tak acuh dari orang tinggi besar muka hitam di belakang rombongan ketua Kiang-liong-pang itu, dapatlah dia menduga bahwa tentu orang itu yang dijadikan andalan.

"Bhe-pangcu, tak perlu banyak bicara lagi kiranya. Kita sudah lama tahu apa maksudmu datang mengunjungiku pada saat ini, lengkap dengan anak buah dan senjata. Nah, lekas keluarkan isi hatimu. Bagi kami, tetap kami tidak akan suka mengalah, oleh karena kami merasa bahwa pembesar she Tan itu merupakan mangsa kami di daratan. Barang-barang bekalnya yang terampas oleh kami menjadi hak kami dan tak seekor setan pun boleh mengambilnya begitu saja dari tangan kami!"

Bhe Ham Ko tertawa menyeringai dan menggerak-gerakkan dayungnya. "Aku tahu akan kekerasan hati Lauw-pangcu, tahu pula bahwa benda pusaka itu kau kukuhi bukan karena harganya, akan tetapi dikarenakan pentingnya guna membuka pintu kota raja. Bukankah begitu?"

Kembali wajah Lauw Teng menjadi merah. "Apa pun yang akan kulakukan dengan benda hakku itu, bukan menjadi urusanmu, Bhe-pangcu. Dan kiranya... tiap orang berhak untuk mencari kemajuan dalam hidupnya..." Dia merasa segan dan sungkan untuk bicara terus terang dengan hasratnya mencari kedudukan di kota raja.

"Jadi kau tetap berkukuh hendak memiliki mahkota pusaka kerajaan itu?!" Bhe Ham Ko membentak.

"Memang! Dan kami akan mempertahankannya dengan senjata kami!" jawab Lauw Teng berani.

Hati Ketua Hui-houw-pang ini tentu saja menjadi besar sebab dia mengandalkan bantuan Ban Kwan Tojin beserta tiga orang gagah lainnya yang menjadi tamu undangannya, yang sekarang pun sudah memasuki pekarangan dan berdiri dengan sikap gagah di dekat Ban Kwan Tojin.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tua bangka she Bhe jangan menjual lagak di sini!" Bayangan merah berkelebat dan ternyata Swat-ji sudah melompat ke depan rombongan lawan dengan pedang di tangan, sikapnya gagah.

"Swat-ji...!" Lauw Teng menegur kaget, bukan akibat melihat puterinya hendak menentang lawan, tetapi kaget karena tidak melihat buntalan di pungung Swat-ji, buntalan mahkota yang sengaja dia suruh bawa anak gadisnya yang dia tahu mempunyai ilmu pedang yang cukup tinggi. Dalam hal ilmu silat, puteri ini tidak kalah lihai dari padanya sendiri.

"Ayah, biarkan aku mengusir anjjng tua ini supaya jangan banyak menjual lagak di sini." Gadis yang galak ini segera menggerakkan pedangnya menyerang Bhe Ham Ko.

Ketua Kiang-liong-pang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bapaknya harimau liar anaknya pun sama juga. Biarlah aku orang tua menjinakkan macan betina liar ini!"

Dengan tenang orang she Bhe ini menggerakkan dayungnya menangkis, tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk membuat pedang gadis itu terlempar hanya dengan sekali tangkis.

Swat-ji bukan seorang bodoh. Tentu saja ia sudah mendengar tentang tenaga lweekang yang tangguh dari kakek ini, karena itu dengan gerakan pergelangan tangannya ia cepat menyelewengkan pedangnya menghindarkan benturan senjata lawan, lantas dari samping pedangnya dengan cepat mengirim tusukan miring ke arah lambung.

"Aiiih, tidak jelek...!" Bhe Ham Ko berseru.

Dia cepat-cepat melompat mundur sambil mengelebatkan dayungnya yang menyambar dari atas ke arah kepala Swat-ji. Tetapi gadis itu dengan gerakan yang lincah dapat pula mengelak sambil meneruskan dengan serangan berantai. Gerakannya memang cepat dan agaknya dengan kecepatan ini ia hendak mencapai kemenangan. Pedangnya kemudian menyambar-nyambar dan sama sekali dia tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk membentur senjatanya.

"Bagus! Lauw-pangcu, kepandaian anakmu bagus juga!" Bhe Ham Ko berseru dan kakek ini pun terpaksa memutar dayungnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari pada hujan tusukan dan bacokan.

Dengan menggunakan ketajaman pendengarannya Kun Hong dapat menduga bahwa biar pun Swat-ji mempunyai gerakan yang amat cepat, namun ia takkan menang menghadapi lawannya yang mempunyaii gerakan antep, bertenaga, dan tenang itu. Dia mengerutkan keningnya. Pertandingan besar-besaran dan mati-matian tentu takkan dapat dicegah lagi.

Sebetulnya dia boleh tidak usah ambil peduli karena kedua pihak yang akan bertanding bunuh-membunuh adalah golongan hitam atau orang-orang yang mempunyai pekerjaan merampok dan membunuh. Mereka adalah orang-orang jahat. Akan tetapi, pemuda buta ini merasa tidak tega untuk membiarkan sesama manusia saling membunuh, hanya untuk memperebutkan sebuah benda mati yang oleh Swat-ji dititipkan padanya dan kini berada di buntalan pakaiannya itu.

Alangkah bodohnya manusia. Untuk mencari harta atau kedudukan, rela mengorbankan nyawa, malah tega untuk membunuh sesama manusia. Kun Hong berpikir keras, mencari akal untuk mencegah permusuhan antara kedua golongan itu.

Akan tetapi, baru saja dia bangkit berdiri untuk mencegah menghebatnya perkelahian, mendadak saja di sana-sini terdengar seruan heran dan marah. Sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu dayung di tangan Bhe Ham Ko sudah terpental ke belakang, sedangkan Swat-ji terhuyung-huyung.

Ketika mereka memandang, di sana sudah berdiri seorang gadis cantik jelita yang masih amat muda. Gadis ini berpakaian serba hitam yang ringkas dan sikapnya gagah. Kedua matanya yang jeli memandang ke kanan dan kiri. Alisnya yang hitam panjang itu berkerut, terbayang kekerasan hati dan keangkuhan dari mulut yang kecil dengan bibir merah segar itu.

Dengan hanya sekali gerakan saja dapat mengundurkan Bhe Ham Ko dan Swat-ji, dapat dibayangkan bahwa gadis jelita ini mempunyai ilmu kepandaian yang hebat. Swat-ji yang terhuyung-huyung itu amat marah, tapi sebelum ia sempat mengembalikan keseimbangan tubuhnya, bagai seekor burung walet gadis baju hitam itu bergerak, tubuhnya menyambar dan tahu-tahu Swat-ji merasa dirinya diangkat ke atas.

Kiranya tengkuk Swat-ji telah dicengkeram oleh gadis itu. Betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri, ia tidak mampu bergerak, bahkan pedang yang masih dipegangnya itu tak dapat pula ia gerakkan seakan-akan seluruh tubuhnya menjadi lumpuh!

"Kaum kotor dari Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang, dengarlah! Nonamu datang hari ini untuk mengambil mahkota pusaka. Kalian tak boleh ribut-ribut lagi dan harus mengalah kepada nonamu!"

Sikap yang sangat sombong ini menimbulkan kemarahan, juga kegelian. Apa lagi Lauw Teng yang melihat anaknya ditangkap seperti itu, kemarahannya memuncak dan dia pun lalu membentak,

"Gadis liar dari mana datang mengacau? Kau siapa berani membuka mulut besar di sini?"

Gadis muda itu tersenyum mengejek. Manis sekali ia kalau tersenyum sehingga banyak di antara para anak buah kedua pihak itu terpesona melihat cahaya gigi gemerlapan di balik bibir yang merah dan berbentuk indah itu.

"Kau ketua dari Hui-houw-pang, tak perlu banyak cakap. Aku tahu bahwa mahkota berada di tanganmu, lekas serahkan kepada nonamu, kalau tidak, akan kubanting hancur anak perempuanmu yang tak tahu malu ini!"

Hemmm, kiranya bocah ini hendak memaksaku dengan menangkap anakku, pikir Lauw Teng yang segera menjawab dengan tersenyum mengejek. "Boleh kau banting anak tiada guna itu, mana bisa aku memberikan mahkota pusaka kepadamu? Gadis liar, lebih baik lekas mengaku kau siapa dan siapa menyuruhmu datang mencampuri urusan kami?"

Gadis pakaian hitam itu nampak sangat kecewa, lalu melemparkan tubuh Swat-ji sambil mengomel, "Gadis sialan, sampai ayah sendiri tidak sayang kepadamu!"

Swat-ji terlempar dan jatuh bergulingan, akan tetapi ia cepat melompat lagi dengan mata berapi-api dan muka merah sekali. Jika saja ia tak ingat bahwa tingkat kepandaian gadis baju hitam itu jauh lebih tinggi darinya, tentu akan diserangnya mati-matian, bukan main marahnya pada saat itu.

"Pangcu dari Hui-houw-pang, juga kalian orang-orang Kiang-liong-pang. Kalian mau tahu siapa nonamu ini? Dunia kang-ouw menyebutku Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Nama asliku tak perlu kuberi tahu, karena kalian kurang berharga untuk mengenalnya. Ayahku adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui."

Pada waktu nona muda itu memperkenalkan julukannya, para penjahat itu saling pandang sambil tersenyum-senyum karena memang nama itu tidak terkenal. Akan tetapi ketika gadis itu menyebut nama Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sebagai ayahnya, berubah wajah mereka. Bahkan kedua pangcu itu dan para tamu undangan nampak kaget sekali.

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui memang jarang muncul di dunia Kang-ouw, namun namanya dikenal sebagai seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, yang sekarang hidup sebagai seorang ‘raja kecil’ di pantai Laut Pohai, di lembah muara Sungai Kuning. Oleh karena kepandaiannya yang tinggi tak seorang pun bajak laut atau perampok berani mengganggu perkampungan raja kecil ini. Sekarang tahu-tahu ada gadis jelita yang datang mengaku sebagai puterinya dan bermaksud merampas mahkota pusaka yang sedang diperebutkan oleh golongan itu.

Swat-ji yang masih merasa penasaran, ketika mendengar ini segera tahu bahwa gadis yang dibencinya itu tentulah akan dimusuhi oleh kedua pihak, maka keberaniannya timbul kembali. Baginya yang belum banyak merantau, ia tidak mengenal siapa itu Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) Tan Beng Kui.

"Budak liar jangan menjual lagak di sini!" Swat-ji memaki dan segera menyerbu dengan pedangnya, dari belakang langsung menyerang gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu.

Si Walet Jelita, gadis yang cantik itu, mengeluarkan suara mengejek dan ketika tubuhnya bergerak dengan luar biasa indahnya, ternyata ia telah dapat mengelak tanpa mengubah kedudukan kakinya dan selagi pedang lawannya menyambar lewat, tangan kirinya segera mendorong.

Tanpa dapat tertahankan lagi tubuh Swat-ji terdorong ke depan, apa lagi dari belakang ditambah pula dengan sebuah tendangan ke tubuh belakang.

“Plokk!”

Tubuh Swat-ji terperosok ke depan, pedangnya mencelat dan hidungnya yang mencium tanah dengan keras itu mengeluarkan darah.

"Tangkap gadis liar ini!" terdengar Hui-houw Pangcu Lauw Teng memberi aba-aba.

"Bunuh saja dia!" terdengar ketua Kiang-liong-pang berseru.

Dua pihak yang tadinya bermusuhan, untuk sementara melupakan permusuhan mereka dan tanpa berunding sudah bersekutu untuk mengalahkan gadis berbahaya itu.

Dengan pendengarannya yang sangat tajam Kun Hong dapat mengikuti semua peristiwa itu. Hatinya berdebar ketika dia mendengar pengakuan gadis yang baru datang itu. Nama Tan Beng Kui tentu saja dikenalnya baik sungguh pun belum pernah dia bertemu muka dengan orangnya.

Dia sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Tan Beng Kui karena orang ini dulu juga seorang pejuang gagah, murid pertama dari Raja Pedang Cia Hui Gan. Bukan itu saja, malah Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari Tan Beng San yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai.

Kun Hong amat kagum dan takluk kepada Tan Beng San, orang yang amat dia hormati karena kegagahannya. Apa lagi jika dia ingat bahwa Tan Beng San merupakan ayah dari mendiang kekasihnya, Tan Cui Bi. Malah boleh dibilang dia adalah murid langsung dari Tan Beng San Si Raja Pedang itu, yang ketika dia baru menjadi buta, telah membisikkan rahasia dari Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun-hoat.

Sekarang gadis yang mengaku berjuluk Bi-yan-cu Si Walet Jelita ini, yang bukan lain adalah keponakan dari Tan Beng San, berada di sini dan terancam bahaya pengeroyokan dua pihak yang tadinya bertentangan. Angin gerakan gadis itu tadi membuktikan bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu telah mewarisi Ilmu Silat Sian-li Kun-hoat dari ayahnya. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan demikian banyaknya orang, tentu berbahaya juga.

Seorang gadis yang menurut suaranya takkan lebih dari delapan belas tahun usianya itu mana boleh mati dikeroyok, juga amat tidak baik jika mengamuk dan menjadi pembunuh puluhan orang manusia. Dia harus segera turun tangan, demikian Kun Hong mengambil keputusan.

Sudah terdengar olehnya suara senjata beradu disusul pekik kesakitan banyak orang. Ah, jelas bahwa gadis lihai itu tentu sudah mengamuk, pikirnya. Cepat Kun Hong melompat berdiri, tongkatnya siap di tangan kanan dan tangan kirinya mengeluarkan mahkota itu, diangkatnya tinggi-tinggi lalu dia berseru nyaring,

"Heeii, kalian semua berhentilah bertempur dan lihat apa yang berada di tanganku ini!"

Oleh karena ketika berseru ini Kun Hong mengerahkan sedikit tenaga khikang dari dalam perutnya, tentu saja suaranya amat nyaring dan mengatasi semua kegaduhan. Mendadak semua pertempuran berhenti ketika mereka melihat benda emas mengkilap yang terhias permata berkilauan berada di tangan kiri pemuda buta itu.

"Mahkota pusaka...!" terdengar teriakan di sana-sini.

"Kalian bertempur untuk memperebutkan benda ini, bukan? Benar-benar kalian tidak tahu malu. Benda ini bukanlah milik kalian, terang bahwa benda ini dirampok dari tangan seorang pembesar. Sungguh tak baik kalian. Rakyat sudah cukup penderitaannya, kalian orang-orang kuat dan memiliki kepandaian, mengapa justeru mempergunakan kekuatan itu untuk menambah kekacauan dan memperberat penderitaan rakyat? Sekarang benda ini sudah berada di tanganku, hendak kukembalikan kepada yang berhak. Siapa saja tidak boleh merampas benda ini dan kalian tidak perlu saling bermusuhan lagi!"

Semua orang itu berdiri melongo. Siapa yang tidak akan terheran-heran menyaksikan aksi orang buta itu? Dan akhirnya meledaklah suara ketawa saking geli di samping marah dan mendongkol.

Yang paling marah dan mendongkol adalah Lauw Teng. Ia amat marah kepada puterinya. Benda itu dia suruh simpan atau bawa puterinya agar tidak diketahui orang, siapa duga oleh puterinya dititipkan kepada sinshe buta ini.

"Kwa-sinshe, apakah... apakah kau sudah gila?!" bentaknya marah.

Yang lebih dulu bergerak adalah Swat-ji. Gadis ini kaget dan takut sekali akan kemarahan ayahnya ketika melihat orang buta itu begitu saja memperlihatkan mahkota kepada semua orang. Ia cepat meloncat ke depan dengan hidung masih berdarah, menyambar dengan tangannya untuk merampas mahkota itu dari tangan Kun Hong.

"Sinshe, kau kembalikan titipanku!" katanya.

Akan tetapi aneh sekali, sambarannya tidak mengenai sasaran sehingga tubuhnya malah terhuyung-huyung ke depan.

Ia membalik dan dengan suara merayu ia membujuk, "Sinshe yang baik, kau kembalikan benda itu kepadaku."

"Nona Lauw mahkota ini bukan milikmu, menyesal sekali tidak dapat kuberikan kepada siapa pun juga."

Swat-ji marah dan menyerbu untuk merampas mahkota, namun tiba-tiba ia terjungkal dan untuk kedua kalinya ia mencium tanah. Hidung yang tadinya berdarah, kini malah berubah menjadi bengkak.

"Aduh..." ia pun mengeluh, "kau... keterlaluan... kau kejam. Tadi kau begitu baik... sinshe, bukankah malam nanti kau mau memijati badanku? Mengapa sekarang kau merampas mahkota?"

Kembali beberapa orang tertawa mendengar ini dan muka Kun Hong yang berkulit putih itu menjadi kemerahan. "Nona, harap jangan keluarkan omongan bukan-bukan! Sebagai seorang gadis seharusnya kau tidak bertingkah seperti ini..."

Tapi pada saat itu Lauw Teng sudah menerjang maju, tangan kanan menghantam dada Kun Hong sedangkan tangan kiri berusaha merampas mahkota sambil berseru.

"Sinshe buta, kiranya kau hendak mengacau!"

Seperti halnya Swat-ji, pukulan ini tidak mengenai sasaran, juga mahkota tidak terampas, sebaliknya entah kenapa dan cara bagaimana, tahu-tahu tubuh ketua Hui-houw-pang itu terjungkal ke bawah! Inilah hebat! Ketua Hui-houw-pang ini terkenal seorang yang cukup kosen, berkepandaian tinggi. Bagaimana ketika menyerang sinshe muda buta itu seperti tersandung batu kakinya dan terjungkal begitu mudah?

Orang-orang tidak ada yang dapat mengikuti gerakan Kun Hong dan bagi mereka pemuda buta itu seakan-akan tidak bergerak apa-apa kecuali mengangkat mahkota itu tinggi-tinggi seperti takut dirampas! Hanya beberapa orang saja yang menjadi tertegun dan berubah air mukanya.

Mereka ini adalah Lauw Teng sendiri, ketua Kiang-liong-pang, Bhe Ham Ko, tosu dan Kwan Tojin, laki-laki tinggi besar muka hitam, beberapa orang tamu undangan Lauw Teng, dan juga, nona baju hitam yang baru datang. Mereka itulah yang sempat melihat betapa ketua Hui-houw-pang tadi dirobohkan oleh gerakan tangan yang perlahan dan hampir tak kelihatan dari sinshe buta itu!

Keadaan menjadi gempar dan kini segala kemarahan dan perhatian ditumpahkan semua kepada si buta! Semua orang lupa akan urusan yang tadi, lupa akan pertengkaran antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang, lupa pula akan si nona baju hitam yang tadinya hendak mereka keroyok.

Sekarang mahkota berada di tangan sinshe buta, tentu saja dia inilah yang kini menjadi sasaran. Dan hal ini tepat seperti yang dikehendaki oleh Kun Hong.

Setelah menyaksikan betapa dengan aneh Lauw Teng roboh sendiri pada waktu hendak merampas mahkota, orang-orang tidak berani bertindak sembrono. Mereka memandang orang buta itu dengan heran dan ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan. Kun Hong juga berdiri tak bergerak, siap untuk membela diri dari setiap serangan.

Seorang anggota Kiang-liong-pang maju perlahan. Tangan kanannya memegang sebuah ruyung besi yang berat. Semenjak tadi dia mengincar Kun Hong dan dia tak percaya kalau tidak mampu menjatuhkan si buta ini. Apa sih sukarnya mengalahkan orang buta? Sekali pukul beres. Agaknya si buta ini pandai silat, pikirnya, maka harus digunakan akal.

Dengan amat hati-hati dia melangkah terus maju sampai dekat sekali dengan Kun Hong, dalam jarak satu meter. Pemuda itu tetap tidak, bergerak seakan-akan tidak tahu bahwa dia, didekati lawan dari depan yang kini sudah menggeletar seluruh urat di tubuhnya untuk menghantamnya.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, orang itu sekarang mengangkat ruyungnya tinggi-tinggi, menghimpun tenaga lalu…

"Wheerrrrr!" ruyungnya menimpa ke arah kepala Kun Hong yang agaknya akan pecah berantakan tertimpa ruyung besi yang berat itu.

Seperti tadi pula, tanpa menggeser kakinya Kun Hong memiringkan kepala dan sekali jari tangannya bergerak, lawan itu jatuh tersungkur, mengaduh-aduh kesakitan karena ujung ruyungnya sudah mencium kepalanya sendiri sampai benjol sebesar telur angsa.

Seorang anak buah Hui-houw-pang dari belakang Kun Hong berindap-indap menghampiri dengan tombak runcing di tangan. Setelah dekat tiba-tiba dia menusuk. Tombak menusuk angin, terdengar suara keras, tombak patah menjadi tiga dan tubuh orang itu terlempar ke belakang.

Sekarang barulah semua orang tahu atau menduga bahwa si buta itu kiranya bukanlah seorang sembarangan, melainkan seorang yang mempunyai kepandaian luar biasa! Akan tetapi karena dialah yang kini memegang mahkota yang amat diinginkan itu, semua orang kini mulai mendekat dengan sikap mengancam.

Dengan kepala dimiringkan Kun Hong dapat mendengar betapa orang-orang itu mendekat dan mengepungnya, malah yang mengurungnya kini bukanlah orang-orang biasa seperti yang tadi telah menyerangnya. Agaknya tokoh-tokoh penting dari dua pihak mulai hendak turun tangan secara mengeroyoknya, juga dari sebelah kirinya dia tahu bahwa gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu pun hendak ikut pula menyerbu dan merampas mahkota. Kun Hong memegang tongkatnya erat-erat di tangan kanannya.

Dia tidak usah menanti lama. Segera didengarnya angin menyambar, angin senjata yang menyerang dari kanan-kiri, depan dan belakang. Cepat dia menggerakkan tongkatnya.

"Cring-cring-cring!" terdengar suara berulang-ulang disusul dengan suara gaduh dan jerit kesakitan.

Orang-orang yang belum ikut menyerbu memandang dengan mata terbelalak keheranan. Mereka tadi melihat orang-orang pilihan dari kedua pihak menyerbu dan hanya tampak kilat berkelebatan, tapi... tahu-tahu banyak pedang, golok dan tombak beterbangan dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan lima orang sekaligus roboh bergulingan, menjerit jerit karena tangan atau lengan mereka berdarah, luka tergores benda tajam! Hebatnya, ketika mereka melihat lagi ke arah sasaran, si buta itu masih berdiri seperti biasa, dengan tangan kiri memegang mahkota tinggi dan tangan kanan membawa tongkat!

"Minggir...!" Bentakan ini keluar dari mulut ketua Kiang-liong-pang dan kakek ini dengan dayungnya menerjang hebat.

Lauw Teng yang tidak ingin melihat ketua pihak saingan ini dapat merampas mahkota, cepat mencabut golok besarnya dan hampir berbarengan turut pula menyerbu ke depan. Gerakannya ini diikuti oleh Ban Kwan Tojin yang sudah mencabut sepasang pedangnya karena tosu ini yang berpemandangan tajam sudah mengetahui bahwa pemuda buta ini bukan orang sembarangan dan memiliki kepandaian yang hebat. Apa lagi kalau diingat keterangan pemuda ini yang mengaku sebagai murid Toat-beng Yok-mo, tentu saja patut miliki ilmu silat yang luar biasa.

Sementara itu, gadis baju hitam berjuluk Bi-yan-cu, semenjak tadi menahan senjatanya. Ia seorang gadis yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi, pandang matanya awas dan tajam. Melihat gerak-gerik si buta ini, jantungnya berdebar. Segera ia dapat mengenal dasar-dasar gerakan yang aneh dan luar biasa, dasar ilmu silat yang sakti. Oleh karena itu, meski pun ia ikut mendekat, namun ia tidak berani sembrono melakukan penyerangan. Ia masih belum tahu apa kehendak orang buta yang aneh itu, tidak tahu apakah dia itu kawan atau lawan dan apa pula yang hendak dilakukan dengan perampasan mahkota itu.

Akan tetapi melihat si buta menentang dua perkumpulan penjahat sekaligus, di dalam hati gadis itu sudah menganggap Kun Hong sebagai kawan. Karena itu ia bersikap waspada, pedang di tangan untuk siap membantu kalau-kalau pemuda buta itu terancam bahaya pengeroyokan puluhan orang banyaknya itu.

Dalam waktu hampir bersamaan pelbagai senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan terlatih itu menyambar ke arah tubuh Kun Hong. Yang terdahulu sekali adalah dayung di tangan Bhe Ham Ko yang menyambar ke arah kepalanya, mengeluarkan suara mengiung saking kerasnya. Dayung ini menyambar dari kanan ke kiri. Lalu disusul berkelebatnya golok besar di tangan Lauw Teng. Sambaran golok ini mengarah ke leher, juga cepat dan bertenaga hingga mengeluarkan suara mendesing. Kemudian sepasang pedang di tangan Ban Kwan Tojin pembantu Lauw Teng itu meluncur datang, yang kiri menusuk lambung yang kanan menyerampang kaki. Gerakan ini dilakukan oleh tosu itu dengan menekuk lutut, cepat dan berbahaya sekali datangnya pedang, hampir tak dapat diikuti pandangan mata.

Diam-diam gadis jelita baju hitam mengeluarkan keringat dingin. Ia harus mengaku bahwa tiga orang ini bukanlah merupakan lawan yang lunak. Andai kata ia sendiri yang diserang secara berbareng seperti itu, hanya dengan meloncat jauh mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) saja agaknya akan dapat menyelamatkan dirinya. Akan tetapi orang buta itu tak kelihatan bergerak sama sekali, masih berdiri tegak dengan tangan kiri yang memegang mahkota diangkat tinggi, ada pun tangan kanan memegangi tongkat melintang di depan dada...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 02


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.