Pendekar Buta Jilid 02

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 02

Tetapi tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan gulungan sinar merah yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata tajam saling bertemu dan Tiga orang pengeroyok ini berseru kaget dan masing-masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.

Ketika semua orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-gulung itu kini dapat memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko bengong memandang dayungnya yang sudah patah menjadi dua potongan kecil di kedua tangannya. Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi gagang golok sedangkan Ban Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan terbang entah ke mana sedangkan yang kiri sudah semplok (patah) ujungnya!

Apa bila semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja berdiri seperti tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang mahkota emas sedangkan tangan kanan masih memegang tongkat melintang!

Apakah pemuda buta ini main sihir? Demikian para anak buah dua perkumpulan penjahat itu bertanya-tanya dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar. Akan tetapi tentu saja dugaan ini tidak betul dan para pengeroyok tadi, juga si gadis baju hitam tahu belaka betapa secara hebat pemuda buta itu tadi menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar merah bergulung-gulung yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Mereka dibuat begitu heran akan kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga bisa mematahkan senjata-senjata tajam dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu belaka?

Tentu saja tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Walau pun hanya tongkat kayu, akan tetapi sebelah dalamnya berisi pedang Ang-hong-kiam, pedang pusaka yang ampuh sekali. Apa lagi digerakkan oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian sakti seperti Kun Hong, sudah tentu para kepala penjahat itu bukanlah tandingannya!

Kun Hong tersenyum kemudian berkata, "Mahkota sudah berada di tanganku, dan akan kukembalikan kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan, apa lagi sampai bunuh-membunuh. Lebih tidak baik lagi apa bila kalian meneruskan pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti kelak tidak akan membawa kalian kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi..."

Setelah berkata demikian, dengan langkah perlahan-lahan pemuda buta itu berjalan maju. Tongkatnya yang dipakai meraba-raba ke depan mendahului kedua kakinya. Oleh karena dia buta, tentu saja dia tidak tahu bahwa dia telah salah mengambil jurusan sehingga dia bukan hendak meninggalkan tempat itu, melainkan dia malah menuju ke arah kelompok pohon-pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng bukit.

Kun Hong agak bingung ketika tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon. Dia lalu meraba-raba dan berjalan di antara pohon-pohon. Ketika dia melangkah maju, dia tidak melihat bahwa di atasnya ada sebuah cabang pohon yang tergantung rendah. Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang pohon ini. Kagetnya bukan main karena jika yang memukul kepala itu adalah serangan lawan, tentu dia dapat mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan tetapi tak dapat dia mencegah keluarnya ‘telur kecil’ menyendul di dahinya yang mencium batang pohon tadi!

Semua orang yang berada di situ saling pandang dan tanpa terasa lagi muka tiga orang tokoh yang keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja tak mampu mereka robohkan! Bahkan hanya dalam satu kali gebrakan saja mereka telah kehilangan senjata! Padahal si buta itu mencari jalan pun tidak becus!

"Serang dia!" Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru.

Ributlah para anak buah bajak dan rampok berlarian maju, menghujani tubuh Kun Hong dengan serbuan senjata mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati lagi. Dia tadi turun tangan dengan maksud untuk mencegah mereka saling bunuh dan sengaja dia menimpakan rasa permusuhan mereka kepada dirinya karena dia yakin bahwa dia mampu menjaga diri sendiri.

Melihat dirinya dikepung dan diserbu, dia cepat menggerakkan tongkatnya ke arah suara senjata yang menyerangnya. Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar suara senjata beradu bertubi-tubi, disusul pekik kesakitan dan tampaklah senjata-senjata para pengeroyok itu beterbangan seperti daun-daun kering rontok tertiup angin.

Kali ini Kun Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangannya, luka berdarah yang meski pun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup parah sehingga membuat mereka tak berdaya dan tak dapat mengeroyok pula. Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain mundur dan memegangi tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan tangan Lauw Teng, Bhe Ham Ko dan tosu Ban Kwan Tojin juga terluka!

Melihat kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apa lagi ketika Kun Hong yang kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya nyaring dan penuh pengaruh, "Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah luka pada tangan dengan tebasan pada leher atau tusukan pada ulu hati. Hemmm, orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin merampas mahkota ini yang bukan menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan busuk tak akan pernah mendatangkan kebahagiaan dan keselamatan!"

Semua orang kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati sekali berjalan didahului rabaan tongkatnya, malah sekarang agak membungkuk-bungkuk karena takut kalau-kalau kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah lagi.

"Sinshe buta, berhenti kau!" tiba-tiba saja orang tinggi besar muka hitam yang tadi datang bersama Bhe Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun Hong.

Mendengar desir angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang menyusulnya ini mempunyai kepandaian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya tadi.

"Sahabat siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"

"Kau tinggalkan mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di sini dan menghina kakak iparku, Kiang-liong Pangcu!"

"Hemm, kau siapakah berani bicara sesombong ini?" Kun Hong bertanya.

"Bukalah telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-jiu (Si Tangan Besi) Souw Ki, seorang di antara tujuh pengawal kaisar. Mahkota itu adalah benda pusaka dari dalam istana yang dicuri kemudian dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang berhenti dan mengundurkan diri. Siapa yang merampas mahkota ini berarti dialah pencurinya dan patut dihukum sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau serahkan benda itu padaku!"

Pihak Hui-houw-pang terkejut bukan main mendengar pengakuan orang tinggi besar ini. Mereka, terutama Lauw Teng, lalu memandang penuh perhatian. Kun Hong sendiri juga terkejut. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu kembali dengan seorang di antara tujuh pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi calon kaisar karena kematian kaisar tua sehingga dengan sendirinya tujuh orang pengawalnya itu akan naik pangkat menjadi pengawal kaisar pula. Setelah mendengar namanya, baru Kun Hong mengenal kembali suara orang ini.

Agaknya Tiat-jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya. Hal ini tidak aneh pula karena dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-san tiga tahun yang lalu, ketika Tiat-jiu Souw Ki dan keenam orang temannya datang pula mengacau, Kun Hong belum buta. Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya ketika dia mendengar dari mulut pengawal itu bahwa pembesar yang sudah dirampok, yang katanya telah mengambil dan melarikan mahkota ini dari istana, bukan lain adalah Tan-taijin yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!

"Tidak boleh orang merampas dari tanganku," kata Kun Hong tenang dan suaranya keras. "Kalau kalian tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu, maka aku harus mengembalikan kepadanya juga."

"Keparat, berani kau melawan pengawal kaisar?!" Tiat-jiu Souw Ki membentak.

Tanpa menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang disertai hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras besi. Memang Souw Ki ini pada waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi sehingga sekarang dia memiliki Ilmu Tiat-see-ciang (Pukulan Pasir Besi) yang membuat kepalannya keras bagai besi dan karena ini pula dia mendapat julukan Tiat-jiu (Si Tangan Besi). Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk diketahui Kun Hong mengenai keahlian lawan. Akan tetapi dia tak gentar, malah mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan dan memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya.

"Dukkk!"

Kepalan yang besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang putih dan halus bagaikan tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali. Souw Ki merasa betapa kepalannya bagai bertemu dengan kapas, seolah-olah tenaganya tenggelam ke dalam air dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul hawa panas yang membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan lengan tangannya serasa lumpuh. Kagetnya bukan main dan cepat-cepat dia menarik tangannya sambil mengerahkan tenaga.

Kun Hong melepaskan tangan lawannya. Betapa kaget hati Souw Ki saat melihat kepalan tangannya membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia segera melompat mundur dan menyeringai kesakitan. "Tanganmu tidak apa-apa, besok akan lenyap rasa nyerinya," kata Kun Hong. "Salahmu sendiri menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan sudah menyerang tanganmu sendiri." Setelah berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya.

Tak seorang pun akan mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua serangan dapat dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta. Melihat si buta itu berjalan dengan tongkat di depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak berdaya, akan tetapi hampir seratus orang banyaknya itu tidak dapat menghalanginya membawa pergi mahkota itu, benar-benar amat mengherankan! Orang-orang itu hanya mengikutinya dari jauh tak seorang pun mengeluarkan suara.

Diam-diam gadis jelita baju hitam itu pun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun Hong, dan dia juga dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak akan mau mengalah begitu saja. Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main! Dari mana datangnya dan apa maksud sebenarnya membawa pergi mahkota kuno? Demikian bermacam pikiran mengaduk di hati Bi-yan-cu. Sengaja gadis ini menyelinap di antara pepohonan dan menghilang dari pandangan mata orang banyak, lalu diam-diam ia mengikuti semua kejadian atas diri Kun Hong.

Setelah Kun Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita itu terkejut sekali dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya, tanpa diketahuinya, orang buta itu salah jalan. Dia menuju ke sebuah tebing yang buntu karena berujung jurang yang amat curam dan luas, tak mungkin dilalui manusia!

Tanpa diketahuinya, si buta itu berjalan perlahan-lahan, tongkatnya meraba-raba menuju ke pinggir jurang. Ada pun di belakangnya, hampir seratus orang dari kedua perkumpulan penjahat itu mengikutinya, siap sedia dengan senjata di tangan, bahkan ada yang sudah mementang busur!

Melihat betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi-yan-cu ingin berteriak memberi peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya. Mengapa ia harus berbuat demikian? Ia tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali bahwa mahkota itu kini berada pada si buta dan harus ia rampas. Si buta itu boleh mampus di tangan penjahat-penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya?

Pula, orang buta itu masih muda dan tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan membelanya, bukankah orang akan menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya? Apa lagi kalau diingat betapa si buta tadi demikian dekat dan baik dengan gadis pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa orang buta itu pun bukan orang baik-baik biar pun kepandaiannya benar-benar amat lihai. Biarlah mereka saling gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas mahkota itu. Inilah siasat membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menunggu kesempatan untuk menyambar daging itu!

Ketika akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali. Diraba-rabanya sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Sudah jelas bahwa tongkatnya memang meraba tempat kosong. Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur dalamnya ‘lobang’ di depannya itu, siapa tahu hanya sungai kecil. Tapi, biar pun dia sudah mengulur lengan dan tongkatnya, masih juga belum menyentuh dasarnya. Dan dia tidak mendengar suara air sungai.

Dia lalu mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut. Telinganya mendengar suara burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia sekarang bahwa di depannya adalah jurang yang sangat curam, bahwa di ‘bawah’ sana itu adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di mana burung-burung beterbangan!

"Kwa-sinshe, kau masih tidak mau menyerahkan mahkota itu?!"

Tiba-tiba saja dia mendengar suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia mendengar langkah kaki puluhan orang banyaknya, bergerak berindap-indap ke arahnya dari belakang, kanan dan kiri. Dia maklum bahwa dirinya sudah terkurung dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, sedangkan dari depan dihalangi jurang yang tidak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab,

"Pangcu, kalau mahkota ini terjatuh ke tanganmu, tentu orang-orang Kiang-liong-pang tak akan diam begitu saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau kuberikan kepada ketua Kiang-liong-pang, tentu kau dan semua anak buahmu juga tidak akan mau menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di tanganku dan kalian tidak usah saling bermusuhan." Kun Hong melangkah maju, ingin segera menjauhi pinggir jurang karena hal ini amat berbahaya baginya.

Akan tetapi atas dorongan ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera menyerbu, didahului melayangnya puluhan batang anak-anak panah ke arah Kun Hong! Pemuda buta itu cepat memutar tongkatnya dan anak-anak panah itu runtuh semua, ada yang melejit dan meluncur kembali menyerang tuannya sendiri.

Meski Kun Hong dihujani anak panah, akan tetapi tak sebuah pun dapat menyentuhnya. Tongkat yang dia gerakkan merupakan perisai yang sangat tangguh, juga gerakannya mengandung hawa sakti yang amat kuat sehingga anginnya saja cukup untuk mengusir pergi anak panah yang mendekatinya.

Akan tetapi puluhan orang itu terus mendesak maju, kini menggunakan toya, tombak dan senjata-senjata panjang lainnya. Kun Hong menangkis, mematahkan banyak tombak dan toya, merobohkan banyak pengeroyoknya dengan melukai mereka tanpa membahayakan keselamatan nyawa.

Karena menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak ke sana ke mari, mulai menendang untuk membantu tongkatnya. Dia tak gentar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan merupakan lawan yang tangguh itu... akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil berteriak, hal ini sangat membingungkan Kun Hong.

Harus diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap pertempuran hanya mengandalkan telinganya. Sekarang orang-orang itu mengeluarkan teriakan-teriakan gaduh, tentu saja pendengarannya menjadi kacau-balau sehingga dia tidak dapat menangkap desir angin sambaran senjata lagi. Dalam keadaan begini terpaksa Kun Hong hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia menggunakan kakinya untuk menendang dan merobohkan lawan, sebab untuk merobohkan lawan dengan tongkatnya, dia juga khawatir kalau-kalau akan menewaskannya.

Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang, yang dipegang melintang serta dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan. Secara tiba-tiba tambang lalu ditarik dan digunakan untuk membetot kaki orang buta itu. Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi celakalah dia kalau sampai jatuh karena libatan tambang. Orang-orang yang mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi semakin ketat.

"Manusia-manusia curang!"

Bi-yan-cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok bayangan hitam berkelebat didahului sinar pedang yang amat menyilaukan mata. Pekik kesakitan segera terdengar susul-menyusul, dan beberapa orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.

"Hee... jangan...!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan tetapi pada saat itu dia lupa dan melompat agak jauh.

Celaka baginya, dia justru melompat ke arah jurang, tepat di tepinya. Kakinya terpeleset dan tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang. Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan mereka kini membalik untuk mengeroyok gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga betina.

Sebetulnya, ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok Bi-yan-cu, karena selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui si raja kecil dari pantai Po-hai, juga mahkota kuno yang diperebutkan berada di tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan gadis liar itu?

Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja mengeroyok, adalah Bi-yan-cu yang sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke dalam jurang, gadis ini menjadi marah sekali dan lantas mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya. Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang ketua itu bersama para pembantunya menjadi marah. Mereka lalu berbareng menyerbu, maka dikeroyoklah Bi-yan-cu oleh banyak orang kosen.

Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat, tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah dan lemas, seperti gadis sedang menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti mematahkan senjata lawan atau melukainya.

Betapa pun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima orang tamu undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi juga, gadis ini mulai terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) sementara ini memang mampu menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap lincah dan indah, akan tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.

"Ha-ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmm, melihat muka ayahmu, asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan kau!" kata Lauw Teng yang bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia menimbulkan bibit permusuhan dengan raja kecil pantai Po-hai yang amat terkenal itu.

"Lebih baik mampus dari pada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!" Bi-yan-cu berseru sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan sinar kemilauan. Gadis itu bahkan memaki. "Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan main keroyokan!"

Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, salah seorang pengeroyok menjerit akibat pundaknya terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya kulit dan bagian daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan main sehingga ia pun melompat mundur sambil merintih-rintih.

Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke belakangnya berhasil merobek kulit dan daging paha seorang pengeroyok lainnya, malah dalam detik berikutnya pedang itu sudah menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi, dia sudah meramkan mata menanti datangnya maut.

"Tranggg!"

Ruyung di tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut nyawa kakak isterinya itu. Ujung ruyungnya terbabat putus, akan tetapi tubuh gadis itu sendiri terhuyung mundur, tangannya terasa sakit. Bi-yan-cu maklum bahwa tenaga lweekang dari Si Tangan Besi itu benar-benar amat kuat. Sebelum dia berhasil mengambil kedudukannya, kembali dia sudah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara bertubi-tubi. Sekali putar saja pedangnya dapat menangkis semua senjata, sedangkan ruyung yang sudah menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan tumit kakinya.

Pada saat itu pula, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya. Bi-yan-cu menggoyang pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-orang pandai ini sudah bersepakat untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan pedang yang menjepit pedangnya. Bi-yan-cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik pulang pedangnya. Akan tetapi pada saat itu, sebatang pedang lain menyerampang kakinya. Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia harus menerima hantaman dayung yang datang dari arah kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.

"Bukkk!"

Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar, tangan kanannya lumpuh kaku dan terpaksa ia melepaskan pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke belakang dan keluar dari kepungan.

"Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houw Pangcu Lauw Teng membentaknya.

Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya tersenyum mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil sudah digembleng tentang kegagahan. Mati bukanlah apa-apa bagi Bi-yan-cu. Sambil mengeluarkan pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju lagi dengan tangan kosong, menggunakan kepalan tangan dan tendangan kaki! Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu menyambutnya dengan hujan bacokan.

"Cring-cring-cring...!"

Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok itu berpelantingan. Semua orang mundur penuh keheranan dan ... kiranya si buta sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua senjata itu, menolong nyawa Bi-yan-cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang mahkota yang diperebutkan!

Pada waktu Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan terguling ke dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia mengerahkan seluruh kekuatan ginkang-nya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kiri dan kanan. Akhirnya usahanya berhasil. Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang ditusukkan telah menancap pada dinding jurang yang merupakan tanah keras. Dia bergantungan di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di punggungnya, kemudian tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang menonjol pada dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan menancapkan pedangnya di sebelah atas.

Demikianlah, meski lambat akhirnya dia berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari jurang yang merupakan mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu menyelamatkan Bi-yan-cu dari bahaya maut di tangan para penjahat.

Melihat munculnya si buta ini, Lauw Teng dan kawan-kawannya menjadi amat kaget dan khawatir sekali. Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik itu segera berkata, "Tawan dulu gadis liar ini!" Dia mendahului menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-kawannya.

Gadis itu tadinya merasa amat heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong, sekarang dengan cepat dia berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja dia melawan dan akhirnya dapatlah dia diringkus dan diikat kaki tangannya.

"Sinshe buta, jangan bergerak atau... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!" teriak Tiat-jiu Souw Ki dengan suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada kepala Bi-yan-cu.

Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya hanya bisa dia pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan dan sekalian merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar baginya, apa lagi untuk menolong gadis yang dikeroyok itu.

Dengan mengandalkan pendengarannya terhadap angin pukulan senjata, tadi dia masih dapat menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata itu. Sekarang tak mungkin dia secara mengawur dapat mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak diganggu. Maka sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat menolong puteri dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.

"Sudahlah," akhirnya ia pun berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota butut ini? Nah, kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."

Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling memandang. Lalu Tiat-jiu Souw Ki mewakili mereka semua bersuara,

"Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi tawanan kami dan menyerahkan mahkota itu."

Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja sangat berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah dan menjadi tawanan orang-orang yang kejam ini. Besar kemungkinan ia akan dibunuh mati. Sebaliknya, jika tidak menyerah dan mengamuk, sungguh pun dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan Beng Kui itu pun terancam keselamatan nyawanya.

Gadis yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau harus mati, apa lagi ia adalah puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apa lagi kemenakan Tan Beng San Taihiap! Berbeda dengan dia, hanya seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa mau pun raganya. Mati baginya hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari hidupnya!

"Baiklah, aku menyerah. Lekas kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik napas panjang.

"Ha-ha-ha, pengemis buta! Jangan dikira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk dibelenggu kedua tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.

Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu ia mengulurkan kedua lengan disejajarkan ke depan. "Boleh, kalian belenggulah."

Seorang anak buah Kiang-liong-pang yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa tambang kulit kerbau yang kuat sekali.

"Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!" tiba-tiba Bi-yan-cu berseru nyaring.

Kun Hong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh. Apa sih artinya orang buta seperti aku? Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"

"Kau harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si buta ini kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.

"Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya kepada kalian?"

"Jangan mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela dengan suaranya yang nyaring. "Jika mereka berani menggangguku, ayah tentu akan datang dan menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun akan diampuni!"

Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan tangannya dengan tali kulit yang amat kuat itu. Juga mahkota itu diambil dari buntalannya dan diserahkan orang kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.

"Lepaskan gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita tidak memegang janji. Nona, katakan pada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena kau sendiri yang memusuhi kami, maka terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah pengawal kaisar. Karena benda ini adalah milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya kembali."

Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa kaku dan tangan kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi menjemput pedangnya yang menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit bibir.

Ingin dia mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta, akan tetapi dia tidak begitu bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andai kata belum terluka lengan kanannya tentu ia tak akan menyerah mentah-mentah.

Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang dan si buta itu diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali kaki Kun Hong tersandung batu dan terhuyung-huyung akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan rampok.

Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak dapat berjalan dengan baik, tak dapat melihat adanya batu-batu yang menghalang kedua kakinya, apa lagi diseret-seret seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi tak dapat digunakan karena kedua tangannya harus diangkat agak tinggi ketika diseret.

"Kenapa... kenapa kau lakukan ini...?" gadis itu berteriak, menahan isak.

Kun Hong mendengar ini, biar pun teriakan itu sebenarnya hanya nyaring di dalam hati gadis itu, yang keluar dari bibirnya hanya keluhan perlahan. Ia menengok dan tersenyum, berkata, "Nona, mengingat pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini..."

Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.

"Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota ini dari tangan bekas pembesar Tan, kami pun mempunyai jasa, harap jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.

Tiat-jiu Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali mahkota ini ke kota raja dan di hadapan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang. Tunggu saja, tak lama lagi kalian semua akan memperoleh anugerah dari kaisar."

Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari Hui-houw-pang dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya ke kota raja. Malah Ban Kwan Tojin yang hendak berpesiar ke kota raja pun turut menyertai rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan dua puluh dua ekor kuda yang kuat-kuat untuk rombongan itu.

Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang kudanya jalan paling belakang memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong tersentak ke depan. Terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat lucu bagi kedua golongan hitam, buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli. Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang pedang diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas kedua pipinya….
cerita silat karya kho ping hoo

Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini pandai ilmu pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota raja agar dapat dipergunakan kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan karena betapa pun pandainya orang buta tentu mudah ditipu. Meski kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, tapi keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara. Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu sehingga tubuhnya terjungkal ke depan dan terseret oleh kuda.

Baiknya pemuda ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang membuat kulitnya kebal. Biar pun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya, namun sesungguhnya dia tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali.

Tadi memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia juga sengaja menurut saja diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu pergi menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan cara ‘membonceng’ seperti ini dari pada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja pada saat rombongan itu memasuki sebuah dusun di kaki gunung.

Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan. Ini terjadi akibat tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-rombongan macam itu untuk menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah dusun. Merampas makanan tanpa membayar, memaksa penduduk membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya.

Oleh karena itu, ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini, semua penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya. Rombongan itu lalu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk kecil terbuat dari pada bambu, rumah orang-orang miskin.

Juga rumah-rumah ini biar pun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu apa pun yang cukup berharga untuk dicuri orang?

Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang merasa lelah setelah tadi mengalami pertempuran, ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian tempat itu, dia mengerutkan kening dan mengomel.

"Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!"

Ban Kwan Tojin lalu menjawab. "Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera diusahakan adanya pejabat-pejabat kecil di tiap dusun sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."

Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang seperti juga orang-orang lain ternyata memiliki ambisi untuk menjadi orang berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan umum karena di dusun sekecil itu mana ada losmen?

Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak peduli tempat tinggal siapa pun, untuk dia mengaso malam itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil. Usianya paling banyak lima tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang.

Anak ini keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang sedang berkumpul di depan rumahnya. Kedua matanya yang bening itu berseri gembira dan mulutnya segera berseru,

"Kuda bagus... kuda bagus...!"

"...A Wan... A Wan..." tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam gubuk itu, suaranya yang terdengar gemetar ketakutan.

Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian paling belakang rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong.

Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu dipegang si penunggang kuda. Pakaian si buta itu robek-robek semua di bagian punggung, di bagian lain sudah kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu, membuat muka itu kotor dan hitam.

Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga pada saat mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat ‘membonceng’ rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan baru dapat bertemu dengan dusun atau orang.

"Kasihan paman buta... lepaskan... lepas...!" Anak itu berteriak-teriak sambil mendekati Kun Hong.

"Anak baik...!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.

"Anak haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan…

"Tar! tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.

Anak itu menjerit dan berlari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar seorang wanita yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.

"Ampun, Tai-ya... ampunkan kami..." Wanita itu terus memohon sambil dia mengangguk-anggukkan kepalanya sampai menyentuh tanah. Wajahnya pucat dan ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat orang buta ini dibelenggu serta pakaiannya rompang-ramping dan mukanya kotor penuh debu, dia menjadi semakin ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil!

Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu tiba-tiba menahan cambuknya. Lalu terdengar orang-orang itu tertawa kecil, malah si pemegang cambuk lalu berkata perlahan, "Aiihh, cantik..."

Kemudian terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"

Si pemegang cambuk mengajukan kudanya. Ia mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya yang masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.

"He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak minum arak manis, ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."

"Tidak...," perempuan itu menangis.

"Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?"

"Ampun, Tai-jin... hamba... hamba tidak bisa..."

"Tar! Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu.

"Anakmu berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum arak, tetapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting mampus dulu baru menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus dihentakkan ke atas.

Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat. Sesosok bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lainnya si pemegang cambuk itu telah terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada dalam pondongan Kun Hong!

Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua peristiwa yang tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut saja belenggu yang mengikat pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah menerjang si pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanannya memegang tongkat erat-erat, Kun Hong menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.

"Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun Hong memaki, berdiri dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar merupakan tujuh pengawal yang amat jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang kau dan para anak buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik. Hemmm, kalau tidak lekas-lekas membawa orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!" Sambil berkata demikian Kun Hong membuat gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.

Souw Ki terkejut dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah melihat orang muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani sekali menyebut-nyebut nama kaisar baru begitu saja.

"Kau... kau siapakah? Siapa namamu...?"

"Namaku Kun Hong. Apa kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi kaisar? Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, bahkan dia pernah makan minum semeja dengan aku!"

Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini dahulu adalah seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguh pun tak dapat disangkal memiliki keberanian yang sukar dicari bandingnya.

Di dalam cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan perempuan, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang kemudian dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini dan hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu sihirnya.

"Kau... kau anak Hoa-san-pai... putera ketua Hoa-san-pai...?" Dia bertanya gagap.

Kun Hong tersenyum, kemudian dia menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku, siapa menyebut-nyebut Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!"

Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi pada waktu dikeroyok puluhan orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya, apa lagi sekarang dia hanya berkawan sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang mahkota sudah berada di tangannya dan kalau membawa tawanan macam pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan. Ada pun tentang wanita itu, ahhh, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.

"Pergi...!" Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya.

Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera membalapkan kudanya pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol hatinya dan masih memandang rendah pada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,

"Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh? Hati-hati, manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"

Kun Hong cepat menggerakkan tangannya. Sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya dan masih menempel pada pergelangan tangannya menyambar ke arah muka penjahat itu. Terdengar suara keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan.

"Aduhh... aduh... mulutku... gigiku rontok semua... aduh...!" Dan dia pun membalapkan kudanya mengejar kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh. Kun Hong masih berdiri tanpa bergerak. Kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih memegang tongkat melintang di depan dadanya, sama sekali tak bergerak seperti patung sampai suara derap kaki kuda tak terdengar lagi oleh telinganya.


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 03


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.