Pendekar Buta Jilid 04
Kata-katanya yang terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan suara, hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga karena sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak penasaran, juga sekaligus ia dapat mencuci bersih namanya di depan umum.
Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua sudah tahu macam apa adanya tuan tanah Song dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi baru kali ini mereka mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah sendiri. Benar-benar hal yang amat luar biasa!
Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap-ratap, "...ampunkan saya, Taihiap (pendekar besar), ampunkanlah saya... saya berjanji... tidak berani lagi..."
Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, akan tetapi mereka tak berdaya dan tidak berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang ringan. Buktinya, lima orang tukang pukul yang pandai silat itu pun sekarang masih saja merintih-rintih dan tak dapat bangun. Pula, kalau mereka hendak mengeroyok, tentu tuan tanah itu akan terbunuh lebih dulu.
"Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah mati karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?" Kun Hong membentak.
"Ampun... ampun..."
"Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak untuk mengganti kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat! Hanya itu yang akan menjadi pengganti nyawamu."
Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di tempat itu untuk segera memenuhi permintaan Kun Hong ini. Para penduduk ramai membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, juga ada yang iri hati terhadap nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu terkejut menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini.
Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali membawa sebuah gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak! Semua penduduk memandang dengan melongo. Selama hidupnya belum pernah mereka melihat uang perak sebanyak itu, jangankan melihat, mimpi pun belum pernah!
"Twaso, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari pamanmu ke Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.”
"...ahh... terlalu... terlalu banyak untuk apa...?" Janda itu berkata gagap.
Kun Hong tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"
Janda itu memandang ke kanan kiri. Dia melihat betapa para penduduk memandangnya dengan mata terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus serta pakaian mereka yang tambal-tambalan. Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya berlari ke arah gerobak, melihat lima kantong uang perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun yang sudah tua.
"Chi-lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua saudara penduduk dusun kita."
Hampir saja semua orang tidak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah janda itu mengulang perkataannya, serentak terdengar mereka bersorak sorai lalu memuji-muji nyonya Yo. Malah beberapa orang wanita berlari menghampiri, memeluknya, menciuminya sambil menangis. Yang lelaki pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri, timbul harapan baru dengan adanya tambahan bantuan uang yang tidak sedikit itu.
Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah menolong seorang yang memiliki pribudi setinggi nyonya janda itu. Biar pun seorang dusun, ternyata wanita ini benar-benar seorang bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi di depan mukanya.
Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan tanah, dengan jari tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu berteriak dan roboh, dari mulutnya keluar darah.
"Kau tidak akan mati," kata Kun Hong, "akan tetapi ingat, jika sekali lagi kau melakukan gangguan kepada orang-orang yang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin perhitungan yang lebih hebat denganmu. Pulanglah!"
Tuan tanah itu merangkak bangun, segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya. Dia tidak tahu bahwa semenjak saat itu dia takkan dapat lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang laki-laki lemah.
Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan tetapi mereka ini pun mendapat bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga pada kedua lengannya, sehingga selanjutnya mereka tidak akan dapat menjadi tukang pukul lagi!
"Oleh karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus mengantar Yo-twaso ke Cin-an sampai dia bertemu dengan pamannya. Awas, jangan kau main-main karena sekali kau menyeleweng, nyawamu tak akan tertolong lagi," kata Kun Hong kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia menyentuh jalan darah di dadanya.
Lao Tiu merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat lehernya.
"Kau terancam maut oleh luka di dadamu," berkata Kun Hong, "dan obatnya hanya akan dimengerti oleh Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan dia dengan selamat sampai di Cin-an dan bertemu dengan pamannya, barulah dia akan memberi tahu kepadamu cara pengobatannya sampai kau sembuh. Nah, dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk sebelum nyawamu melayang."
Kun Hong sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang tadi dia lakukan itu hanyalah totokan biasa saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan hilang sendiri. Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk seperti Lao Tiu.
"Yo-twaso, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku akan menukar pakaianku."
Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo sambil menggandeng tangan A Wan yang lari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda muda ini tak dapat menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia. Sambil terisak menangis wanita ini menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.
"In-kong... ahhh, In-kong... kau sudah menyelamatkan hidupku... menyelamatkan nama baikku… In-kong, budimu setinggi gunung dan kau seorang buta...! Ah, betapa inginku membalas budimu... In-kong, andai kata dapat, aku rela untuk memberikan dua mataku untukmu!"
Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu karena perasaan terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta itu!
"Twaso, jangan...!" Suara Kun Hong tersedak karena dia sedang menahan perasaannya. Kedua tangannya memegang pundak wanita itu, didorong menjauh.
Sejenak wanita itu menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah belahan pelupuk itu membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, bibirnya bergerak-gerak gemetar.
"In-kong...!" wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong dan menciumi sepatunya yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya dengan rambut.
"In-kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-kong... apa artinya menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku tak akan dapat bertemu dengan orang sepertimu lagi? In-kong, biarkan aku membalas budimu dengan menghambakan diriku... biarkan aku menjadi bujangmu. A Wan juga... biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu..."
"Yo-twaso, diam...!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan dengan sekali tarik dia membuat wanita itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan mulia hatimu. Thian pasti akan memberkatimu. Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga. Mana pakaianku?"
Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, Inkong. Kalau tidak dapat berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan. Kuganti dengan pakaian suamiku pula... yang juga pergi meninggalkan kami berdua..." ia terisak lagi.
Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu dia tidak mau banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar dari pintu diikuti oleh janda itu. Sambil terisak janda itu minta diri dari semua tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu sudah duduk di depan, orang ini sekarang taat benar.
"Aku akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah mereka.
Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung. Di belakang gerobak Kun Hong berjalan sambil memegang tongkat. Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar sampai ke pinggir dusun, melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.
Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan sampai di jalan simpang empat, Kun Hong berkata, "Lao Tiu, berhenti dulu."
Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo, "Yo-twaso, nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, kau jaga ibumu baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau balapkan kudamu."
"Nanti dulu...!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lalu berlarian menghampiri Kun Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi, In-kong... bolehkan aku dan A Wan menghambakan diri padamu. Biar kami ikut ke mana kau pergi..." Suaranya penuh permohonan.
"Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis..."
"Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku... aku sanggup bekerja untukmu... andai kata harus mengemis sekali pun... aku yang akan mengemis, In-kong..."
"Cukup semua ini! Twaso, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari kau dan A Wan di Cin-an."
"Betulkah?" Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, hingga kini belum kuketahui namamu yang mulia."
Kun Hong tersenyum pahit, "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai si buta... dan ehh, jangan lupa..." Ia mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun berdiri.
"...si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu sendok sampai sebulan. Nah, selamat jalan!"
Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu dan melontarkannya ke depan. Janda itu menjerit lirih, lalu tubuhnya melayang dan jatuh dalam keadaan duduk tepat di atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya ‘terbang’ tadi.
Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong masih terus berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah gerobak. Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi, namun telinganya masih dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia menarik napas panjang, lega hatinya karena tadi ia benar-benar gelisah saat menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.
"Berbahaya... !" pikirnya.
Dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir perasaan ini dan melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi.
"Wahai kasih, aku di sini...! Menyongsong sinarmu yang hangat..."
Kata-kata di dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan perasaannya pada saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "wahai kasih, aku di sini...!"
Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyian yang dibuatnya, pikirannya selalu melayang dan terkenang kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau burung, desir angin, dendang air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu merupakan pengganti diri Ciu Bi!
Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali. Akan tetapi setelah berjalan setengah hari lebih belum juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan lapar dan bernyanyi-nyanyi.
"Wahai kasih aku di sini...! Dalam perjalanan nan sunyi..."
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia mengelak sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas.
“Plokk!”
Benda itu jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya yang menyambarnya tadi adalah sebutir buah apel masak, dari atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti disambitkan orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga memperhatikan ke atas pohon.
"Perutku memang sangat lapar dan wangi buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan sahabat yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia berkata sambil mendongak ke atas.
"Hi-hi-hik-hik!" terdengar suara seorang wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini. Kemudian tubuh orang itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa mengeluarkan banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga.
Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan kedua tangannya menangkap dan ternyata buah-buah yang masak serta harum baunya berada di tangannya. Dia tersenyum girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu.
Dengan mulut penuh daging buah dia pun berkata. "Terima kasih... terima kasih..." sambil membungkuk-bungkuk ke depan, ke arah pemberi buah.
"Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, apakah si genit puteri Hui-hou Pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"
Kun Hong merasa tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan pernapasannya. Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!
"Ehh, kiranya kau... Bi-yan-cu, Nona? Ahh, sambitanmu tadi membikin kaget orang saja..."
Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba saja menjadi marah! Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata dengan suara penuh kejengkelan.
"Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak mengenai kepala seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"
Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tak menjawab, melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya. Kesunyian kembali membangkitkan amarah gadis itu, ini terbukti dengan suaranya yang nyaring merdu dan penuh kejengkelan, "Ihhh, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan orang hanya makan saja, tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"
"Aku sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir buah itu ke dalam mulut.
"Siapa butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."
"Jawaban apa?"
"Siapa yang kau rindukan di sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw Pangcu ataukah si janda muda?"
"Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"
"Cih, kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di rumahnya, menolongnya mati-matian dan siapa pula yang tidak melihat adegan sandiwara mesra di perempatan jalan tadi pagi? Hi-hi-hik, semua ditinggalkan, akan tetapi kemudian nyanyi-nyanyi seorang diri di jalan penuh rindu. Lucu benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun Hong menjadi merah.
Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-benar sukar untuk dapat menyelami hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang buta, karena dari suaranya dia maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti hatinya.
"Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak merasa berduka."
"Habis, siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong bernyanyi tadi, "Wahai kasih, aku di sini...!"
Kun Hong hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, bisa tahu segalanya. Masih begini muda, pandai menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, mengapa kau semenjak kemarin terus mengikuti aku?"
"Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik, padahal aku jauh lebih tua dari padamu."
"Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"
"Ihhh, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku sudah dua kali umurmu, tahu?"
Kun Hong tertawa. Walau pun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara remaja ini bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkan dirinya. Hal ini dapat dia tangkap jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala, keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat, buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia dikeroyok.
"Kau bocah nakal! Biar pun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong kepala bahwa usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang nakal, cantik jelita, dan manja!"
"Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata keranjang kau... ehh, tak bermata mana bisa mata keranjang? Kau... kau hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita lantas memuji dan main gila seperti yang kau lakukan dengan puteri Hui-hou Pangcu dan janda muda."
"Bohong! Fitnah belaka itu!"
"Bohong apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu minta kau memijatinya waktu malam? Hi-hik, meski pun matamu buta, apakah jari-jari tanganmu juga buta? Dan janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau... sudahlah, kau menjemukan!"
Kun Hong semakin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tetapi malah mengajak dia bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.
"Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal apa?"
"Kau bilang aku mengikutimu semenjak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin menontonmu? Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih menariknya untuk ditonton? Paling-paling hanya menimbulkan kasihan di hati..."
"Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas belas kasihanmu itu dan..."
"Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil bibi tua, setan...!"
Mendengar gadis itu mencak-mencak saat disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barang kali."
"Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau dua kali lebih tua dari padaku, bukankah sudah sepatutnya kalau aku menyebutmu bibi tua? Kenapa marah-marah seperti kebakaran jenggot?"
"Gila lagi. Aku mana berjenggot?"
Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini.
"Betul juga kau, aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis aku!"
"Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biar pun sebenarnya aku tidak tahu dan tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu mengenai janda dan segala yang kualami itu?"
"Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis itu mengeluarkan sebuah barang dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah mahkota yang tadinya sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki.
Biar pun Kun Hong tak dapat melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang mengeluarkan sesuatu dari buntalan, dia dapat menduga benda apa itu. Kun Hong terkejut juga, karena hal ini benar-benar tak pernah disangkanya.
"Hah, kau sudah merampasnya kembali?"
"Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku lalu mengejar mereka dan apa artinya mereka bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah karena mereka mengeroyokku, puluhan, bahkan ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itu pun aku tidak akan kalah kalau saja..."
"Kalau apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya.
Gadis ini benar-benar lincah dan lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan gembira, menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak pendiamnya dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!
"Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"
"Bau keringat? Ho-ho-ho, kok aneh amat!"
"Aneh apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat mereka bercucuran, baunya melebihi biang cuka dan membuat aku sesak bernapas. Mau muntah rasanya, mana mungkin bertempur dengan baik?"
Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak, tidak tahu bahwa gadis itu sedang memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama tiga tahun ini agaknya baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat akan kekejaman gadis ini merobohkan lawan-lawannya tiba-tiba saja ketawanya terhenti, keningnya berkerut ketika dia bertanya,
"Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"
"Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya sanggup merampas mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka. Sayang lenganku begini sakit, kalau tidak, hemmmm... mereka semua akan menjadi setan tanpa kepala!"
"Kau ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.
"Apa, ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak berdosa, merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas? Kalau kau membiarkan mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"
Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu tentang perkara yang menyinggung hal pelik ini?
"Sudahlah, sekarang katakan, sesudah kau berhasil merampas mahkota, kau kemudian mengikuti aku dan bahkan menyusul, apa kehendakmu?"
"Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau sudah menghinaku tiga kali dan kau hutang penjelasan kepadaku sebanyak dua kali."
"Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemmm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau maksudkan semua itu."
"Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main gila, memijati tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor dua, di depan mataku kau berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga, kau pura-pura berkorban untukku, menukar aku yang tertawan dengan dirimu sendiri, kiranya kau hanya main-main dan tidak sungguh-sungguh berkorban, lalu melepaskan diri dengan mudah!"
Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu bukan main. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia menghina orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!
"Wah-wah, berat! Lalu hutang penjelasan itu bagaimana?"
"Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku. Ke dua kalinya, apa maksudmu menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia itu!"
Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,
"Kujawab satu demi satu. Ketiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila pada siapa pun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biar pun dia secara tak tahu malu menyebut-nyebutnya. Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa dia seorang yang berhati putih bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang menggantikan kau karena tak ingin melihat kau celaka di tangan mereka. Nah, sekarang tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andai kata bukan kau yang terancam bahaya, aku pun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya maut. Tentang diri Tan Beng San taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau adalah puterinya Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau adalah guruku. Nah puas?"
"Tidak puas... tidak puas... omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?" Gadis itu diam sejenak, memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan…
"Srattt" pedangnya sudah dicabutnya.
"Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali.
Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk dapat menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.
"Kau tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"
"Aku tidak puas karena kata-katamu tidak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau tidak bohong? Tetapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan gurunya belum juga aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang bisa mencoba muridnya juga sudah cukup memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah orang tuanya yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang takabur dan tinggi hati, merasa diri paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan bibirnya dia berkata,
"Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang aku? Apa kau lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa seorang buta ditantang bertempur?"
"Kau benar buta, apa bedanya? Biar pun buta, kau lebih pandai dari pada yang tidak buta, siapa tidak tahu hal ini? Sebaliknya, aku pun terluka pada tangan kananku, gerakanku menjadi kaku, rasanya sakit sekali. Jadi keadaan kita sudah seimbang, tidak boleh kau bilang aku menggunakan kebutaanmu untuk mencari kemenangan. Hayo, siap!"
Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini yang begini besar hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat, bahkan dahulu sudah pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu?
Teringat akan kekasihnya ini makin besar keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat. Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.
"Aku sudah siap."
Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, tetapi berkata dulu dengan nada suara angkuh. "Aku sudah dapat menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata yang amat ampuh, maka jangan nanti katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat. Nah, awas pedangku!"
Kun Hong tersenyum. Betapa pun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur dan ada sifat ‘satria’ dalam hatinya.
Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat menggerakkan tongkat menangkis. Dia sengaja tidak mau menggunakan mata pedang Ang-hong-kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu. Dari samping dia menangkis, meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga.
Dalam gebrakan pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaian pada kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya kalah setingkat bila dibandingkan dengan Cui Bi, mendiang kekasihnya. Akan tetapi tenaga lweekang-nya ternyata masih jauh dari pada cukup.
Dia segera melayani semua serangan gadis itu dengan tenang, mengimbangi tenaga dan kecepatannya. Hatinya amat gembira saat mendapat kenyataan bahwa Sian-li Kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah ilmu pedang yang tulen.
Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas. Keindahannya bisa dia rasakan dari desiran anginnya. Di dalam khayalnya Kun Hong seolah-olah melihat kekasihnya sendiri bergerak menari pedang.
Hatinya terharu bukan main dan dalam kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji gadis itu. Dia selalu mengimbangi gadis itu, tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk bisa melukai tubuhnya, akan tetapi juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.
Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu tidak mau menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka pucat karena baru sekarang dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh perhatian dan alangkah kagetnya pada waktu mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah terisak menangis!
Dia pun cepat-cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang Cui Bi sehingga mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada dara lincah ini.
"Nona, kau... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah..."
"...tidak kalah... ! Memang tidak kalah... hu-hu... tapi juga tidak menang... u-hu-huu...!"
Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia mengulur tangan hendak menghibur, tetapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa copot dan seluruh tubuhnya serasa lemas mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama, suara sedu-sedannya juga senada.
"Jangan... jangan menangis, Nona... biarlah aku mengaku kalah kalau kau menghendaki begitu."
"Siapa sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba saja tangisnya menghilang dan suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis yang aneh sehingga Kun Hong mendengarkan sambil terlongong. "Akan tetapi, hati siapa yang tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya lengan kananku yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksakan tadi, akan tetapi tetap saja aku tidak mampu mengalahkan kau seorang yang buta! Baru kau muridnya yang buta saja begini hebat, apa lagi gurunya yang tidak buta. Ahhh, aku berdebat dengan ayah, aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku tidak akan mungkin dapat mengalahkan dia. Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...!" Dia menangis lagi tersedu-sedu seperti anak kecil minta permen ditolak.
"Tan Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau harusnya bangga karena dia itu pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga dia memiliki hati emas, pribudinya luhur dan dia seorang satria sejati."
Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya? Pribudiku rendah dan aku bukan bandingannya sama sekali. Hatinya emas tetapi hatiku tembaga. Begitukah? Pantas saja kau tidak peduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku karena... lengan terkutuk ini... aduh!"
Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat menduga tadi bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa gadis ini masih kuat memainkan pedangnya sebegitu lama, tentu lukanya tidak hebat. Sekarang dari suara gadis ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.
"Berikan lenganmu, biar kuperiksa!" katanya.
Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau pun menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan tangannya dan meneliti detik darahnya. Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong menjadi merah sekali, melepaskan tangan itu dan berseru,
"Celaka...! Mana mungkin? Ahh...!" dan dia duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.
"Bagaimana? Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang dengan wajah penuh kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."
"Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan..."
"Sukar bagaimana? Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.
"Harus memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin...?" Jalan darah itu letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?
"Mengapa tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah yan-goat-hiat? Bukankah ini di sini?" Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah bawah pangkal lengannya, tapi dia segera menjerit perlahan, "... aduuuhhh...!"
"Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat hawa murni dan lweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang patah dan kau masih dapat melakukan pertempuran merampas mahkota, itu benar-benar hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah matang dan dapat menimbulkan keracunan."
"Wah, perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi tabib, juga tidak mau belajar mengobati. Lebih baik kau lekas mengobatinya."
"...bagaimana mungkin...?"
"Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini? Mengapa harus pakai bagaimana mungkin segala? Pendeknya, kau becus tidak mengobatinya?"
"Tentu saja bisa..."
"Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.
"...ya tetapi... tapi... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan totokan biasa, Nona. Harus diurut dan dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar terbawa mengalir dan..."
"Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"
"Tapi... kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di... ketiak..."
"Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu kotor? Cih, ketiakmu lebih kotor, dekil, tidak pernah kau gosok kalau mandi!" Nona itu suaranya marah sekali.
Kun Hong menarik napas panjang, tanpa disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang telinganya, benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur, agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita, dan hal ini mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.
"Ehhh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! Hee, orang buta, apakah kau memang tidak sudi menolongku?"
"...bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi..."
"...tapi apa lagi?"
"Ehh, maaf... bagian yang diobati itu harus... harus... tidak tertutup..."
Hening sejenak. Walau pun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak tanpa ditutup baju, membuat muka gadis itu menjadi merah sekali dan bingung. Dengan kening berkerut ia memandang Kun Hong penuh selidik.
Apakah dia sengaja hendak mempermainkan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang ajar? Akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang buta.
"He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"
Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan pertanyaan itu sungguh-sungguh.
"Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"
"Sama sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"
Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, malam dan siang sama gelapnya..."
Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi terharu malah segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang diobati? Hayo lekas kau kerjakan. Nih, sudah kubuka!"
Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus mengakui bahwa sifat gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan, gadis kasar, jujur, dan di dalam pikirannya masih bersih dari pada hal yang bukan-bukan. Oleh karena itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti sutera.
"...aduh...!" jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.
"Hemmm... ternyata bahkan lebih hebat dari pada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga lweekang agar kumpulan darah itu agak membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar."
Kun Hong kemudian membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan atau di ketiak kanan gadis itu. Dari tubuhnya dia mengerahkan tenaga sakti, disalurkan melalui tangan dan gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Mendadak dia menggigil karena hawa panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.
"Wah... gila..." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu berubah panas kembali.
"Apa yang gila? Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi.
Akan tetapi ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan lweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah menduga bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri.
Ketika Kun Hong menyalurkan tenaga lweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan pengerahan tenaga saktinya sehingga akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri, mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.
Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan jalan darah yang terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba dia tertawa cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat.
Kun Hong terheran dan bertanya, "Kenapa, Nona...?"
"Aiiihhh... hi-hik, geli amat... jari-jarimu menggelitik..."
Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya, sampai ke telinga-telinganya.
"Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona."
Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu, jujur dan kekanak-kanakan. Tanpa disadarinya timbullah rasa sayang kepada nona ini.
Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan kanannya, memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus! Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali. Kakak buta, aku adikmu yang bodoh sekarang merasa takluk betul. Kau hebat!"
Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong terpaksa mengikutinya dan mengomel,
"Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal sekali. Perut masih lapar kau suruh aku putar-putar begini, bisa pusing tujuh keliling aku!"
"Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah pohon, nah di sini..." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon, menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang menonjol ke luar dari tanah. "Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti."
Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi suaranya. Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi sambil tertawa-tawa girang dan kedua tangannya penuh barang-barang.
Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-sio-hi, semangkok besar pula cah udang dan semangkok lagi panggang daging ayam. Semua masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap sedap. Mangkok-mangkok berisi masakan ini semua dia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah tangannya masih menggenggam sebuah guci arak, mangkok kosong dan sumpit!
"Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan mangkok-mangkok kosong. Awas, turunkan dahulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah, lenganku panas semua, itu sih, ang-sio-hi-nya miring mangkoknya ketika kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ribut-ribut gadis itu bicara sedangkan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan sebanyak itu.
"Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah, araknya pun bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh, sumpitnya ini begini halus, apakah bukan dari gading? Dari mana kau mendapat semua ini?" Kun Hong meraba sana meraba sini, kagum dan heran.
"Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara. Kalau sampai dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang! Hayo makan, nih araknya untukmu sudah kusediakan!"
Dengan cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali pula mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya.
Gembira sekali mereka, apa lagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan pulen, araknya juga tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah disikat habis oleh keduanya!
Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya bebas lepas, sikapnya terbuka. Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya bertambah. Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah oleh gadis ini yang benar-benar masih bersih pikirannya.
Sayangnya, agaknya anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang yang sifatnya ‘ingin menang sendiri’. Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah sangat jujur dan cukup mempunyai pertimbangan yang adil...