Pendekar Buta Jilid 05

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 05

Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di atas tanah, di depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa Kun Hong meraba-raba dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak berdaya.

"Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Mengapa matamu sendiri sampai bisa menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?" Kali ini gadis itu berbicara tanpa nada kekanak-kanakan atau bergurau, suaranya bersungguh-sungguh.

Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, "Karena salahku sendiri..."

"Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan mencarinya dan membalas membutakan matanya!"

Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang kebutaannya, tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab kebutaan itu karena hal itu sama saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi. "Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."

Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang yang mau membutakan matanya sendiri, kecuali orang gila!"

"Memang aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk mencegahnya bicara soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku, maukah kau?"

Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya sebentar karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring dan gembira. "Kakak buta, sebetulnya kau siapakah? Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"

Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis ini benar-benar menggembirakan serta mudah menular. Terhadap seorang gadis seperti ini tak perlu dia menyembunyikan diri.

"Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Ada pun tempat tinggalku, heemm... untuk saat ini yah di sini inilah! Dan kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?"

"Kwa Kun Hong... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa mengenal nama ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak Tan Beng San ketua Thai-san-pai?"

"Tentu saja aku tahu. Aku memiliki hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, bahkan pernah menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap. Aku tahu pula bahwa ayahmu selain kakaknya, juga menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu adalah murid pertama dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"

"Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada pembukaan Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir juga?"

Berdebar rasa jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu, tentang Cui Bi apa lagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal itu? Dia sendiri berada di sana, malah dia mengambil bagian terpenting.

"Aku tahu... aku juga hadir di sana..." Dia cepat menambah untuk menghilangkan curiga gadis itu. "Aku bersama ayah ibuku..." Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut ayah bundanya.

"Twako, siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat..."

Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tidak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin Siong, ketua Hoa-san-pai."

Gadis itu segera kembali meloncat ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san Ciangbunjin (ketua Hoa-san-pai)! Maaf... maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan, putera seorang ketua Hoa-san-pai yang terkenal!"

"Hushh, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta jangan lagi kau menyebut-nyebut nama keturunanku. Aku sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak suka nama keturunanku dibawa-bawa. Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi."

"Habis harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong... hemm, baiknya kusebut Hong-ko (kakak Hong) saja. Bagus, kan?"

Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebut dia Hong-ko, dan suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini berada di sampingnya!

"Sesukamulah," dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tetapi kau sendiri belum memperkenalkan namamu."

Gadis itu tertawa gembira. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka kalau dipanggil Bi-yan-cu..." Nada suaranya manja.

Kun Hong juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"

"Siapa bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kalau kulitku amat bagus dan sehat, tidak seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat seperti kekurangan darah. Lihat lenganku ini... ehh, kau mana bisa lihat! Mengapa kau mengira kulitku hitam, Hong-ko?"

Biar pun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa gadis itu memandangnya dengan bibir mungil yang cemberut.

"Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak ada burung walet yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak cocok kalau kulitmu tidak sehitam bulu burung walet. Nah, kurasa betapa pun buruknya namamu, tidak akan seburuk julukanmu."

"Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru untukku. Namaku sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk sekali, bukan? Seperti nama laki-laki."

"Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat, mengingat bahwa kau mempunyai gerakan yang lincah dan cepat bagaikan burung walet. Siauw-moi (adik kecil), mulai sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?"

Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh.

"Betina liar itu tentu tak akan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang serak.

"Hemm, kalau ia dapat kutangkap, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!" Sambung seorang laki-laki yang suaranya besar.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas cepat menghubungkan sebutan ‘betina liar’ tadi dengan Loan Ki.

"Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan mengapa marah-marah?"

"Dasar pelit!" Gadis itu mengomel. "Baru kehilangan nasi dan masakan begitu saja sudah mencak-mencak seperti merak kehilangan ekor."

"Wah, jadi yang kita makan tadi..." Kun Hong berseru kaget.

"Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja jawaban gadis ini. "Kau menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah kembali." Ia lalu tertawa-tawa menggoda.

"Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan mereka mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!"

Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, kedua orang itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!"

Yang laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi..." dia lalu berseru kaget melihat mangkok-mangkok dan guci arak yang sudah kosong, "Wah, celaka si keparat, sudah disikat habis!"

Karena tidak dapat melihat, Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan pendengarannya. Laki-laki itu paling sedikit berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar diduga karena suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda dari pada yang laki-laki. Gerakan kaki si wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan derap kaki yang laki-laki mengandung tenaga lweekang membuat tanah di sekitarnya seperti tergetar. Akan tetapi Loan Ki yang dapat melihat kedua orang itu mendapatkan kesan yang lebih mengagetkannya.

Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna putih ditalikan di leher menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya masih hitam serta disisir rapi. Matanya besar sebelah dengan pandangan galak.

Tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang agak aneh bentuknya, bergagang dua dan ujungnya runcing. Kiranya senjata itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di dapur untuk mengambil arang. Tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar dan bergagang besi pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih besar dari pada biasa, juga terbuat dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.

Ada pun laki-laki itu juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning. Matanya sangat lebar seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, kedua lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan kanannya memegang sebuah pisau pemotong babi yang lebar, yang seukuran golok tapi bentuknya persegi, dan mengkilap sekali saking tajamnya.

Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw dan sudah banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini tidak mengagetkannya, juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa ketika berdiri dan menyambut mereka dengan suara mengejek.

"Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan lalu membuka mulut dan menyemburkan kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"

Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab. Mereka saling pandang dan memandang ke arah mangkok-mangkok kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,

"Keparat, anjing-anjing kelaparan! Sudah dihabiskannya semua, celaka. Toanio (nyonya) akan memukuli kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari simpanan. Aduh, celaka dua anjing kelaparan!"

Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak, matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.

"Dan aku... ahhh, aku yang kasihan... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu setelah ang-sio-hi tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampuslah aku kalau siocia memaksa aku menyelam di telaga untuk memperoleh ikan baru... celakanya, siocia tidak akan mau sudah kalau belum kudapatkan ikan yang serupa dengan yang tadi."

Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki. "Hayo mengaku, kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah menotok roboh dua orang pembantuku!"

"Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak laki-laki itu sambil mengacung-acungkan golok pemotong babinya.

Loan Ki tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa tadi perutku dan perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang kosong, hidungku tertarik oleh bau sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan saya, Uwak dan Empek, kelak bila kalian kelaparan dan kebetulan berada di dekat rumahku, kalian boleh balas mencuri tiga kali lipat banyaknya. Aku berjanji tidak akan marah kalau kalian menyikat habis masakan-masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"

"Adil matamu...!" nenek itu memaki.

"Adil mukamu... yang jelita!" kakek itu pun memaki.

Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tetapi Loan Ki telah mengeluarkan janji yang sungguh-sungguh tak masuk di akal dan seenak perutnya sendiri. Mana mungkin pencuri di ‘bayar’ dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan boleh balas mencuri pula di dapur rumahnya? Tidak masuk di akal dan alasan anak-anak.

Maka dia pun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata, "Jiwi Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya, tadi siauwte yang kelaparan dan siauwte minta adik siauwte ini agar mengemis makanan. Siapa kira dia tak berani mengemis malah mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."

Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak menjadi pekerja dapur mereka menerima kata-kata yang terdengar enak sekali memasuki telinga mereka. Mereka memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.

"Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki oleh toanio," kata kakek itu dengan suara sabar sekali.

"Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan menjala, juga daging babi dan ayam masih banyak. Siocia pun bisa kubujuk. Dua orang locianpwe harus bersikap sabar, bukan begitu, Sun-laote?" kata si nenek dan kakek itu pun mengangguk-angguk membenarkan.

"Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang jagal, kenapa kau sebut-sebut mereka locianpwe segala? Wah, kepala mereka bisa menjadi semakin besar dan kulit muka mereka makin tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget sekali melihat cara temannya ini ‘merusak’ suasana yang sudah begitu baik.

Celaka, pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan. Benar saja kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi dan wanita itu menerjang maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya.

Loan Ki tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke belakang dan tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget juga gadis ini, karena ternyata susulan serangan kipas ini amat cepatnya.

Ia menjejakkan kakinya ke atas tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas. Pada lain saat dia telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul menghias bibir.

Kun Hong sangat tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Namun karena dari gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh lebih tinggi, maka dia mendiamkannya saja, hanya berkata halus,

"Ki-moi, setelah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Jika kau melanggar aku tidak mau bicara lagi denganmu!"

Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-kunang matanya. Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis itu mempunyai lima buah bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru! Ilmu serangannya menjadi kacau balau. Dengan nekat dan ngawur dia menyerang membabi buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang berusaha menepuk lalat yang terlalu gesit.

"Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta bantuan kepada temannya.

Agaknya kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis Betina Hitam) tidak dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia menoleh kepada Kun Hong. "Orang muda, bukan aku Ban-gu-thouw (Selaksa Kepala Kerbau) dari golongan cianpwe hendak menghina yang muda, tetapi sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-nio. Terpaksa aku harus menangkapnya!"

Akan tetapi pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan dia berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Loan Ki sehingga bukan main nyerinya, ngilu sampai menusuk-nusuk tulang sumsum!

Laki-laki tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar golok pemotong babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan julukannya. Angin menderu dan diam-diam Kun Hong menjadi terkejut dan khawatir. Jelas terdengar olehnya betapa Ban-gu-thouw ini mempunyai tenaga dahsyat yang tidak boleh dipandang ringan.

Biar pun dia maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat dan mempunyai dasar yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar yang bertenaga besar dan memegang senjata yang agaknya amat berat itu, tetap merupakan bahaya bagi Loan Ki.

"Locianpwe, jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru.

Tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan jari-jari tangan terbuka dan... pada lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas golok pemotong kerbau itu!

Ban-gu-thouw berteriak keras saking kagetnya. Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya dan memandang dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak buta!"

"Siauwte memang seorang buta," jawab Kun Hong.

"Kalau buta bagaimana dapat merampas golokku?"

Tanpa menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya. Ban-Gu-Thouw menerima kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada waktu itu Loan Ki tertawa haha-hihi.

Dia menjadi marah dan berkata, "Orang muda buta, kenapa kau merampas golokku?"

"Kuharap Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Makanan itu sudah masuk perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."

"Enak saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari toanio dan siocia, namun karena omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap menerima hukuman. Siapa tahu sahabatmu si harimau betina itu suka menghina orang dan sekarang kau malah merampas golokku. Ban-gu-thouw dan Hek-kui-nio tidak bisa menerima hinaan orang!"

Kun Hong cepat menjura. "Harap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan kami orang-orang muda. Jika perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk minta maaf. Kurasa majikan kalian akan menghabiskan urusan makanan yang tak berarti ini."

Dua orang itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak dapat melihat itu terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri lagi kaki kirinya itu tertawa tak kalah kerasnya oleh temannya. Kemudian Ban-gu-thouw berkata,

"Ha-ha, bagus sekali. Kalian mau menghadap toanio atau siocia? Ha-ha-ha, orang muda, sungguh-sungguh lucu bila mana ada orang berani begini tenangnya menyatakan hendak menghadap majikan kami setelah berani mencuri makanan. Tetapi agaknya kalian hendak mengandalkan kepandaian kalian, dan kau ini orang buta agaknya juga berkepandaian. Sebelum kau menghadap majikan kami, biar kucoba lebih dahulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi? Awas serangan!"

Dengan gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun Hong. Pemuda ini dengan tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah pergelangan tangan disusul cengkeraman ke arah gagang golok dan sebelum Ban-gu-thouw tahu mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen (kesemutan), goloknya sudah pindah ke tangan orang buta itu! Tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong mengangsurkan golok kepada pemiliknya.

"Hek-cici, dia ini siluman, lebih baik kita pulang dan siap-siap menerima hukuman!" kata Ban-gu-thouw sambil menyambar goloknya dan berlari pergi diikuti temannya.

Loan Ki mengikuti mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak kelihatan lagi punggung mereka.

"Hi-hi-hik alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di depan Kun Hong yang sudah duduk pula di atas akar pohon.

"Apanya yang lucu?! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok mereka yang tentu akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat heran, siapakah majikan yang mempunyai koki dan jagal seperti mereka itu? Kepandaian mereka itu tidak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa. Tentu majikan itu luar biasa pula dan bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke sana minta maaf."

Loan Ki cemberut. "Aku tidak sudi minta maaf! Apa lagi kepada toanio dan siocia yang mereka sebut-sebut tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku untuk memberi hajaran kepada mereka."

Kun Hong menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana. Tapi tidak baik pula kita tinggal bersama-sama di sini. Kalau mereka datang lagi tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka. Ki-moi, aku sungguh merasa beruntung sekali dapat berkenalan denganmu. Adik yang baik, selanjutnya kau berhati-hatilah dalam melakukan perjalanan, akan lebih baik kalau kau segera pulang dan jangan merantau seorang diri. Seorang dara remaja seperti kau ini lebih aman apa bila berada di rumah orang tuamu sendiri. Jauhkan permusuhan, jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini. Mudah-mudahan pada lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu kembali."

Kun Hong tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak bagaikan orang kaget. Agaknya dia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan perpisahan. Tiba-tiba ia memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda buta itu berdiri.

"Hong-ko, hayo berangkat!" ajaknya.

"Ehh, ke mana? Jalan kita bersimpang di sini."

"Iihh, siapa bilang? Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut tadi."

"Heh?!" Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tidak sudi ke sana, tidak sudi minta maaf!"

"Sekarang aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu dipukuli kepalanya oleh toanio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek setan itu menyelam di air sampai perutnya kembung, hi-hi-hik!"

Kun Hong hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan mengajak lari. Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan gadis yang merupakan penggoda batinnya ini, akan tetapi dia pun tidak tega membiarkan gadis itu pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan mencurigakan itu. Dia tahu dengan pasti bahwa sekali sudah menyatakan keinginan hatinya, tidak ada lautan api yang dapat menghalangi gadis kepala batu ini.

Perumahan itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan tinggi bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna. Dan hebatnya, perumahan itu dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil di tengah danau yang besar dan luas.

Memang demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah danau besar dan di tengah danau terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu danau itu dijadikan perumahan. Memang janggal kelihatannya di tempat sunyi itu, jauh dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.

Penduduk dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu, mengenal tempat itu dengan nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun disebut Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka ini tidak tahu betul siapa penghuni perumahan mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular Hijau ini mempunyai banyak pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu yang disebut ‘Daerah Ular Hijau’ seakan-akan berada di bawah kekuasaan majikan Ular Hijau.

Orang mencari kayu kering sekali pun tak akan berani mencari nafkahnya dalam daerah Ular Hijau! Memang terdapat sebuah jalan besar yang cukup rata menuju ke danau itu dan jalan ini merupakan jalan umum, akan tetapi setibanya di danau kecil itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.

Para pedagang sayur-sayuran serta kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan untung kalau menjual dagangan mereka di tempat itu. Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka pernah berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena segala urusan tentu dibereskan oleh para pelayan. Para pelayan inilah yang kemudian menyeberang ke pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak dimiliki oleh majikan Ular Hijau.

Ada desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan dongeng bahwa majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi dan seorang puteri yang secantik bidadari dan yang pandai ‘berlari di atas air’ dan pandai ‘terbang’! Sudah tentu saja hal ini merupakan dongeng dari mulut ke mulut karena kalau ditanya sungguh-sungguh, tak ada seorang pun yang pernah menyaksikan dengan mata sendiri.

"Hong-ko, keadaan mereka benar-benar aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil menuntun Kun Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah Ching-coa itu merupakan daerah terlarang. Entah orang-orang macam apa yang menguasai daerah ini. Dari jauh kulihat rumah-rumah gedung di atas pulau kecil di tengah danau, sunyinya bukan main."

"Kalau begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"

"Aku tidak pergi ke sana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini sepi sekali, tak kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang sayur yang hendak mengantarkan sayuran kepada Ching-coa-to, maka aku ikut dengan dia. Sampai di pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan pelayan tempat itu. Kebetulan sekali datang gerobak yang membawa masakan-masakan lezat itu, juga arak. Aku minta beli, tapi malah dimaki-maki. Aku hilang sabar, lalu menotok roboh empat orang pelayan dan merampas makanan dan arak.”

"Kau memang nakal."

"Kalau perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan mencurigakan. Kita tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."

"Habis bagaimana?"

"Aku ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir telaga. Kurasa perahu-perahu itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan saja perahu itu, kita menyeberang dan melihat keadaan di sana."

"Sesukamulah, asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai tertarik oleh penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.

Betul saja seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka tiba di pinggir telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia. Dari tempat itu kelihatan tembok perumahan di atas pulau, tetapi juga tidak kelihatan ada manusia di sekitar telaga.
cerita silat karya kho ping hoo

Hari sudah menjelang senja, matahari yang kemerahan membayangkan cahayanya di atas air telaga yang berkeriput seperti sutera biru kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak memperhatikan keindahan alam di senja hari ini, sedangkan Kun Hong yang suka akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu sedang mencari-cari dengan matanya dan akhirnya dia menarik Kun Hong ke dalam hutan kecil di sebelah kiri jalan, kemudian menyelinap di antara pohon-pohon.

"Hong-ko, aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu sebelum pemiliknya datang melihat kita."

"Huh, kau hendak mencuri lagi?"

"Ih, bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang. Hatimu benar-benar terlalu suci, Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hong terpaksa tersenyum.

"Baiklah. Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."

Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke arah perahu kecil yang sedang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di antara pepohonan yang tumbuh menjulang ke pinggir telaga.

Perahu itu kecil mungil, bentuknya amat ramping dan ujungnya meruncing, terikat pada sebatang tonggak kayu yang sengaja dipasang di situ. Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir indah merupakan gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf 'CHING-COA' (ULAR HIJAU)'.

"Wah, perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."

Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun masuk setelah melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah telaga.

"Perahu kecil tetapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan, luncurannya laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ahh... terasa nikmat betul berperahu seperti ini. Hemmm... sayang tidak ada arak..."

Loan Ki tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang lelaki duduk enak-enak membiarkan seorang wanita mendayung perahu."

"Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau kembali ke daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"

"Tidak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya berdayung begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar, malah di samudera besar bersama ayah."

Memang hawa di tengah telaga nyaman sekali. Angin bertiup perlahan-lahan membawa keharuman aneka macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk dan sunyi. Suara air terkena dayung berirama amat menyedapkan pendengaran.

Suasana ini menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai sebuah sajak yang segera dia senandungkan perlahan mempergunakan suara dayung menimpa air sebagai irama pengiring nyanyian.

Biduk kecil meluncur laju
menentang hembusan angin lalu
membawa harum seribu kembang
tambah nyaman ayunan gelombang
membikin si buta ingin bertembang
wahai kasih aku di sini!


Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya kaku, "Yang mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda muda?"

Kun Hong tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa dengan pamannya dan hidup berbahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh berpisahan, Ki-moi."

Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya dia tidak lagi bertanya tentang kekasih Kun Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.

"Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya pun sedap didengar, dan suaramu empuk benar."

Kun Hong tertawa lepas. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa-bisa aku membubung tinggi ke awang-awang karena pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju, kenapa belum juga sampai di pulau? Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu tidak sejauh ini!"

"Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari arah depan? Ingat, kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari tempat yang tepat untuk mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat kedatangan kita."

Kun Hong mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tak suka bila mengunjungi tempat orang dengan sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita secara berterang mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kita? Mungkin majikan pulau itu akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis."

"Hemm, agaknya kau telah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu dengan senyum di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini..."

"Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat dari pada tamu tak diundang?"

"Apa kau lupa bahwa kita sudah memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang datang minta maaf dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu berjumpa kita akan dicaci maki. Tidak, aku tidak ingin bertemu dengan mereka, baik toanio atau siocia itu, baik si iblis betina tua mau pun si iblis betina muda. Aku hanya ingin sekali menyaksikan betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka, hi-hi-hik!"

"Kau memang nakal, Ki-moi... heeeiii, bukan main harumnya...!"

Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong, kemudian terdengar gadis ini berseru lirih, "Aduuhhh, hebat...! Bukan main...! Majikan pulau ini benar-benar telah menjadikan pulau ini sebagai taman surga...!"

"Ada apa, Ki-moi? Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak dimiringkan, hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta. Telinga serta hidung, dua alat pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di depan sana, sekarang dikerahkan.

"Taman yang amat indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung rendah... ah, entah apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko... wah, kulihat banyak kijang, ada kelinci... monyet-monyet di pohon... burung-burung beterbangan, juga merak... aduh indahnya..."

Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya tampak semakin jelas, senyumnya membayangkan kepahitan.

Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya. Gadis ini kembali memegang lengan Kun Hong dan kini suaranya telah kehilangan kegembiraan. "Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko. Masih tidak menang dengan taman ayahku. Tetapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita."

Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti melaju.

"Ada apa, Ki-moi?"

Dara itu menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini, sambung-menyambung dan tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana. Sebelah sana itu agaknya kelihatan bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini."

Ia mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini. Agak lama ia mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya. Akhirnya dapat juga ia minggir.

"Kita mendarat, Hong-ko."

Gadis itu memegang ujung tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat dan Loan Ki mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.

"Lho, di mana kita ini...?" Tiba-tiba dia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan heran sehingga Kun Hong cepat memegang tangannya.

"Ada apa lagi, Ki-moi?"

"Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tak mengerti. Ke mana lenyapnya taman surga tadi? Baru saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir taman, tampak jelas dari perahu tadi. Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"

"Barang kali hutan ini merupakan bagian dari pada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke depan. Anehnya, ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang... hemmm, baunya amat tidak enak, Ki-moi."

"Benar, Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?" Pegangan tangan Kun Hong pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.

"Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau... amisnya ular-ular beracun! Agaknya pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi seorang luar."

"Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini berikut penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."

Dengan berhati-hati kedua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka memasuki hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kiri, cepat seperti kilat menyambar.

Loan Ki amat kaget dan menengok ke kiri dan... ia menahan jeritnya melihat seekor ular sebesar lengan tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna hijau mengkilap, seluruh tubuhnya mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis makin memuakkan.

Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali pada pemuda buta ini. Bagaimana seorang buta malah dapat lebih ‘awas’ dari pada dia yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki sepasang mata yang tajam?

"Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"

"Hijau..." jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Dia maklum betapa berbahayanya ular itu, ular berbisa yang amat jahat.

"Hemm, ching-coa (ular hijau)... agaknya penghuni asli pulau ini... Ki-moi, kau keluarkan pedangmu, bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir kalau-kalau kita dikurung musuh."

Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin, "Haaiiiii! Anak-anak nakal, jangan tergesa-gesa mendarat...!"

Kun Hong dan Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga memperhatikan tapi tidak mendengar suara apa-apa.

"Apa yang kau lihat, Ki-moi? Siapa yang datang dari telaga?" bisiknya.

Loan Ki membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia bisa melihat datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju pantai. Ia kaget sekali dan mengira bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka. Mungkinkah dari jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu itu mampu melihat mereka? Ia menarik tangan Kun Hong, diajak menyelinap bersembunyi di balik rumpun pohon kembang.

"Ki-moi, apakah ada perahu datang?"

Sekali lagi Loan Ki heran dan kagum. Jalan pikiran Kun Hong benar-benar tajam dan cerdik walau pun pemuda ini tidak dapat melihat lagi. Memang sesungguhnya Kun Hong cerdik. Kalau ada orang atau apa saja berada di darat di sekitar tempat itu yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga atau hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar apa-apa, maka dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari perahu.

"Perahu besar...," kata Loan Ki, "berlayar kuning... ada lima orang lelaki berpakaian hijau di atas perahu, memegang tongkat... eh, seperti suling. Perahu sudah minggir, Hong-ko... kulihat benda-benda panjang kecil meloncat ke air, ke darat, seperti ranting-ranting kayu panjang... heiii, benda-benda itu bergerak... ohh, Hong-ko. Ular! Ular-ular besar dan kecil, banyak sekali, puluhan... ahhh, ratusan mungkin juga ribuan. Dan lima orang itu berjalan di belakang mereka. Apa itu...? Ahh, mereka... mereka agaknya menggembala ular-ular itu!"

Kun Hong miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis. "Ki-moi, kau lihat baik-baik. Apakah di antara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat, telinga kiri dan lengan kiri buntung, mata kiri buta, dan mulutnya lebar seperti robek?"

"Tidak ada, Hong-ko. Tapi... tapi ular-ular itu menuju ke sini, Hong-ko. Celaka, mari kita lari menjauhi mereka!" Loan Ki memegang tangan kiri Kun Hong dan menariknya lari dari situ, memasuki hutan. Tangan gadis itu agak dingin, tanda bahwa ia merasa ngeri sekali.

Siapa tidak akan merasa ngeri kalau melihat ular-ular yang sangat banyak itu bergerak-gerak maju seperti mengejar, dengan baunya yang amis bukan main? Apa lagi tak lama kemudian terdengar seorang di antara lima ‘penggembala ular’ itu berteriak keras.

"Heeiii, seekor peliharaan kita mati dengan kepala hancur di sini! Wah, ini tentu perbuatan orang. Hayo kita cari!"

"Jangan-jangan perahu kecil tadi yang membawa orang asing datang ke sini," kata suara lain.

"Ular ini baru saja bertemu musuh, tubuhnya masih berkelojotan. Tentu pembunuhnya belum pergi jauh. Hayo kejar, pergunakan anak-anak kita!" kata suara pertama bernada memimpin. Lalu terdengar suara suling yang ditiup secara aneh sekali.

Mendengar ini, Kun Hong berkata perlahan. "Hemm, kiranya benar ular-ular terpelihara. Jangan-jangan dia di belakang ini semua."

"Dia siapa, Hong-ko?"

Kun Hong memegang lengan gadis itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh, "Ki-moi, kalau benar dugaanku, kita benar-benar sudah berada di tempat yang amat berbahaya. Terang bahwa suling itu bersuara untuk memberi aba-aba kepada ular-ular itu untuk mengejar kita. Heii, awas!"

Tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kanan dua kali dan ketika Loan Ki menoleh... kiranya ada dua ekor ular sebesar paha sudah putus lehernya. Darahnya menyembur-nyembur dan tubuh ular yang empat lima meter panjangnya itu berkelojotan, saling belit! Dengan hati penuh ketegangan, Loan Ki lalu menarik tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu lari lebih cepat lagi.

"Wah, suara suling itu malah memberi perintah kepada semua ular yang berada di tempat ini," kata Kun Hong. "Hati-hati, Ki-moi!"

Benar saja dugaan Kun Hong, karena beberapa kali mereka diserang ular-ular besar kecil. Loan Ki menggunakan pedangnya membunuh beberapa ekor ular yang rnenghadang di depan, juga Kun Hong selalu menggunakan tongkatnya untuk membunuh ular-ular yang hendak mengganggu. Mereka tidak pernah berhenti, terus berlari ke depan dan akhirnya mereka keluar dari hutan itu.

Jalan mulai memburuk, penuh batu karang dan kiranya di situ terdapat pegunungan batu karang yang sukar dilalui. Karena tidak mengenal jalan kedua orang itu terpaksa maju terus dan sementara itu, cuaca sudah mulai gelap, senja telah lewat terganti datangnya malam.

Suara ular-ular yang mendesis-desis serta para penggembala yang tadi berteriak-teriak sudah tak terdengar lagi. Dua orang itu mendaki gunung kecil.

"Kita harus cepat mencari tempat sembunyi yang aman," kata Loan Ki. "Dengan adanya ular-ular itu, tak mungkin kita bergerak di waktu malam gelap."

Kun Hong menghela napas. Jalan itu benar sukar dan andai kata dia tidak dituntun oleh Loan Ki, tentu akan amat lambat dia dapat maju mencari jalan.

"Siapa kira, karena kau ingin melihat tontonan lucu, akhirnya menjadi tidak lucu. Kita menjadi buronan di pulau orang. Baiknya besok kita segera kembali saja ke daratan sana."

"Hong-ko, bukankah pengalaman kita tadi cukup hebat, menegangkan dan lucu? Mungkin besok kita bertemu dengan pengalaman yang lebih lucu dan hebat lagi, siapa tahu? Sementara ini, kita masih selamat. Nah, itu di depan kulihat banyak lubang-lubang besar di dinding karang, tentu ada gua yang dapat kita pakai tempat bersembunyi."

Mereka mempercepat pendakian yang sukar itu. Baiknya Loan Ki memiliki ginkang yang cukup tinggi sehingga Kun Hong bisa mengikutinya dengan baik, tanpa mengkhawatirkan keadaan temannya itu. Akhirnya mereka pun tiba di dekat dinding karang yang banyak berlubang dan merupakan goa-goa besar, jalannya menjadi rata.

Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan, "Siapa berani masuk Ching-coa-to tanpa ijin? Benar-benar sudah bosan hidup!"

Dan muncullah seorang laki-laki pendek yang bersenjata ruyung baja. Tanpa banyak cakap lagi laki-laki itu segera menerjang maju sambil mengerahkan ruyungnya. Loan Ki marah dan dengan pedang di tangan ia memapaki. Ketika ruyung menyambar ke arah kepalanya, gadis itu meliukkan tubuh ke kiri tanpa menunda terjangannya.

Sambil miring ke kiri pedangnya menyambar secepat kilat. Orang itu berteriak kaget, akan tetapi masih sempat membuang diri ke kiri sambil membabatkan ruyungnya. Dia terhindar dari bahaya, akan tetapi keringat dingin membasahi dahinya. Tak dia sangka bahwa gadis remaja itu demikian hebat ilmu pedangnya...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 06


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.