Pendekar Buta Jilid 06

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 06

Gerakan Loan Ki yang dalam sekali gebrakan saja sudah hampir bisa merobohkan lawan, membuat lawannya ragu-ragu untuk menyerang lagi. Dia lalu bersuit keras dan terdengar suitan-suitan dari beberapa penjuru. Loan Ki terkejut, maklum bahwa mereka berdua telah terkepung. Akan tetapi Kun Hong lebih cepat lagi. Sekali bergerak pemuda buta itu sudah melompat ke arah si pendek.

Dalam keadaan remang-remang itu si pemegang ruyung tak tahu bahwa yang melompati dirinya adalah seorang buta. Dia amat kaget dan menghantamkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba saja dia jatuh lemas dan ruyungnya terlempar entah ke mana. Tanpa dia ketahui bagaimana caranya, dia sudah roboh tertotok dan lemas tidak mampu bergerak mau pun bersuara lagi!

"Ki-moi, lekas, cari tempat sembunyi...!" kata Kun Hong yang tak menghendaki terjadinya pertempuran di tempat itu. Dia benar-benar merasa tidak enak sekali sudah mengganggu tempat orang dan menimbulkan keonaran.

Loan Ki adalah seorang dara remaja yang tidak pernah mengenal artinya takut setiap kali menghadapi lawan dalam pertempuran, maka sekarang pun meski dia tahu telah dikurung musuh, dia tidak merasa gentar sedikit pun. Akan tetapi karena dia sudah mulai mengenal watak temannya yang buta dan aneh, kini dia maklum pula bahwa Kun Hong tidak suka menghadapi pertempuran dengan orang-orang yang sebetulnya memang tidak memiliki urusan apa-apa dengan mereka berdua.

Maka ia lalu menggandeng tangan Kun Hong, diajak lari kembali menuruni puncak. Akan tetapi tiba-tiba ia bergidik karena terdengar suara mendesis-desis dan dari bawah puncak merayap ular-ular tadi bersama penggembala-penggembalanya yang bersuit-suit. Lawan manusia biasa Loan Ki takkan undur, akan tetapi menghadapi ular-ular itu ia benar-benar merasa jijik dan ngeri.

Ia cepat mengajak Kun Hong naik ke puncak lagi dan sekarang di depan mereka sudah muncul dua orang laki-laki yang memegang golok. Tanpa banyak tanya dua orang laki-laki itu segera menerjang mereka karena baru saja mereka melihat seorang kawan mereka rebah tak bergerak dan mereka kira sudah tewas.

Juga kali ini Kun Hong yang cepat bergerak. Bagaikan seekor burung rajawali sakti dia pun melayang ke arah kedua orang itu. Dua buah golok berkelebat menyambar ke arah tubuhnya, akan tetapi golok-golok itu segera terlempar jauh dan dua orang itu memekik lemah terus roboh tak berkutik!

"Kau hebat, Hong-ko...!" Loan Ki memuji dengan kagum sekali.

Ia sendiri sudah mewarisi Ilmu Silat Sian-li-kun-hoat yang terkenal sangat indah gerakan-gerakannya, akan tetapi menyaksikan gerakan Kun Hong tadi ia sungguh merasa kagum sekali. Akan tetapi yang dipujinya sama sekali tidak mempedulikan, malah membentak, "Hayo lekas cari tempat sembunyi, Ki-moi!"

Loan Ki kembali menarik tangan Kun Hong dan berlari ke arah dinding batu karang. Dari sebelah kanan dan kiri terdengar bentakan-bentakan orang, juga dari belakang. Gadis itu melihat banyak lubang-lubang pada dinding itu, lalu menarik Kun Hong masuk ke dalam sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki orang sambil merangkak.

Karena didorong oleh Loan Ki, Kun Hong masuk lebih dahulu, merangkak seperti seekor tikus memasuki lubangnya, kemudian disusul oleh Loan Ki. Lubang itu kurang lebih lima meter dalamnya, terus masuk ke dalam, kemudian menukik ke bawah. Kun Hong berhenti merangkak ketika tangan dan kakinya meraba lubang yang menukik ke bawah.

"Terus, Hong-ko... terus. Mereka juga sudah sampai ke sini...," bisik Loan Ki di belakang pemuda buta itu.

"Tak dapat terus, lubangnya menukik ke bawah...," jawab Kun Hong.

"...kau mepetlah, Hong-ko, biarkan aku lewat dan memeriksa di depan..."

Karena merasa bahwa dia adalah seorang buta, dia lupa bahwa di dalam keadaan gelap pekat seperti itu sebetulnya dia tidak lebih buta dari pada Loan Ki sendiri. Kun Hong lalu berbaring mepet untuk memberi jalan kepada gadis itu yang hendak melewatinya.

Lubang itu tidak besar. Oleh karena itu, ketika Loan Ki merayap melewatinya, dua orang itu berhimpitan di dalam lubang. Kun Hong merasa tak enak sekali, jengah dan berdebar hatinya. Baiknya mereka berdua adalah orang-orang yang sudah mempunyai kepandaian tinggi sehingga dengan Ilmu Sia-kut-kang (ilmu Melemaskan Tulang) mereka pun berhasil bersimpang di lubang yang sempit itu.

Loan Ki agaknya juga merasakan apa yang dirasai oleh Kun Hong, buktinya gadis yang biasanya jenaka gembira itu kali ini tidak membuka suara kecuali "ah-uh" seperti orang kepanasan. Dengan hati-hati gadis itu merangkak ke depan sampai tiba di tempat yang menukik ke bawah.

"Agak lebar di bawah, Hong-ko. Seperti sumur..."

"Memang, karena kita tidak tahu bagaimana dasarnya, tak mungkin turun ke bawah..."

Pada saat itu dari luar lubang terdengar suara mendesis-desis, lalu disusul suara seorang laki-laki yang parau, "Anak-anak, hayo masuk ke kandang, jangan berkeliaran lagi, besok kalian harus membantu mencari dua orang musuh itu."

Disusul lagi suara yang lebih tinggi, "Heran, ke mana larinya dua orang tadi? Mereka itu manusia atau setan? He, Lao Siong, apakah sudah dilaporkan kepada toanio?"

"Tentu sudah." Lalu mereka bercakap-cakap, akan tetapi sambil menjauhi mulut lubang sehingga Kun Hong dan Loan Ki tidak dapat mendengar lagi apa yang mereka bicarakan.

Akan tetapi betapa kaget hati dua orang itu ketika terdengar suara mendesis-desis dari arah belakang disusul bau yang amat amis. Kiranya lubang pada dinding batu itu adalah sarang-sarang ular atau dijadikan ‘kandang’ untuk ular-ular itu!

"Celaka, ular-ular itu justru masuk ke sini...!" Kun Hong yang berada di belakang berkata perlahan. Dia cukup tabah dan tenang, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia merasa ngeri juga.

"Lekas, Hong-ko, di belakangmu ada batu yang kuseret masuk tadi. Kau pergunakan itu untuk menutup lubang yang paling sempit dan... hei, aduh, waahh... bungkusanku jatuh ke dalam sumur, Hong-ko."

Kun Hong mendengar suara barang berat jatuh. Dengan pendengarannya yang tajam dia mendapat kenyataan yang menggembirakan hatinya. Lubang itu ternyata dasarnya tidak keras, juga tidak begitu dalam. Hal ini tentu saja dapat dia ketahui ketika buntalan pakaian dan mahkota yang dibawa gadis itu terjatuh ke bawah.

Akan tetapi pada saat itu dia sibuk mendorong batu besar untuk menutupi lubang. Tentu saja tidak bisa tertutup rapat, akan tetapi lumayan untuk menahan membanjirnya ular-ular itu ke dalam. Setelah itu dia segera berkata,

"Ki-moi, mari kita masuk saja ke dalam sumur itu. Tempatnya tidak dalam dan dasarnya mungkin tanah yang tidak keras."

"Bagaimana kau bisa tahu?" bisik Loan Ki meragu.

"Buntalanmu tadi melayang ke bawah tidak terlalu lama, juga suaranya ketika menimpa dasar sumur menyatakan bahwa dasar itu tidak keras. Tetapi tunggu, biarkan aku yang melompat masuk lebih dulu. Kau mepetlah!"

Seperti tadi, kedua orang itu kembali berhimpitan untuk dapat bertukar tempat, kini Kun Hong yang di depan dan gadis itu di belakangnya. Akan tetapi karena perasaan mereka terlampau tegang, mereka tidak merasakan lagi kecanggungan seperti tadi.

"Ki-moi, membaliklah ke belakang dan siap dengan pedangmu kalau-kalau ada ular yang menerobos masuk. Aku akan meluncur ke bawah dulu!"

Loan Ki mendengar desir suara perlahan lalu disusul suara Kun Hong dari bawah, "Ki-moi, lekas kau turun. Tidak begitu dalam di sini dan aku akan membantumu, jangan takut!"

Loan Ki merangkak mundur. Saat kakinya menyentuh bibir sumur, hatinya berdebar juga. Siapa orangnya yang takkan merasa ngeri bila harus masuk ke dalam sumur yang begitu gelap? Akan tetapi adanya Kun Hong di dalam sumur itu membesarkan hatinya dan tanpa ragu-ragu lagi ia melorot turun sambil mengerahkan ginkang-nya saat tubuhnya melayang ke bawah.

Dia memegang pedangnya tinggi-tinggi dan kedua kakinya sudah siap untuk menyentuh tanah di dasar sumur. Akan tetapi tiba-tiba ada dua buah lengan yang kuat dan cekatan menerima tubuhnya, kemudian menurunkannya ke atas tanah. Kembali dia kagum akan kehebatan Kun Hong.

"Hong-ko, ternyata sumur ini dalam juga, sedikitnya tiga kali tinggi orang. Bagaimana kita akan dapat keluar dari sini?" Loan Ki dalam gelap meraba ke sana ke mari dan hatinya menjadi kecut ketika mendapat kenyataan bahwa sumur ini pun tidak lebar, hanya cukup untuk mereka berdua berdiri. Tak mungkin meloncat ke luar dari tempat sesempit ini.

"Jangan khawatir, aku akan dapat merayap naik," kata Kun Hong tenang. "Ini buntalanmu, baru kuingat bahwa kau membawa mahkota kuno itu. Ahh, jangan-jangan rusak mahkota itu ketika jatuh."

Loan Ki menerima buntalan itu dan mengikatnya di punggung. Untuk melakukan ini saja beberapa kali tangan serta sikunya menyentuh dada Kun Hong, begitu sempitnya tempat itu. Hawanya juga panas bukan main.

Sumur itu dindingnya adalah batu karang, hanya dasarnya saja tanah lunak. Karena tidak ada hawa, atau kalau ada pun amat sedikit masuk dari lubang yang kini hampir tertutup rapat oleh batu tadi, di situ amat panasnya. Apa lagi hawa yang masuk telah membawa bau amis dari ular-ular yang memenuhi lubang di sebelah luar, maka pernapasan mereka sesak dan sebentar saja Loan Ki menjadi pusing.

Makin lama hawa makin panas. Loan Ki dan Kun Hong biar pun memiliki hawa murni dan lweekang yang kuat, tetap saja menderita hebat dan tubuh mereka telah penuh keringat. Pakaian mereka sudah basah semua.

"Aduh... Hong-ko, napasku sesak, aku muak... tidak kuat bertahan. Kita harus keluar dari neraka ini..." keluh Loan Ki.

Kun Hong bingung. "Bagaimana mungkin, Ki-moi? Kalau kita naik, tentu akan bertemu ular-ular itu di dalam lubang jalan ke luar. Menghadapi ular-ular itu memang masih dapat kita tanggulangi, akan tetapi kau dalam kegelapan... ahh, dan siapa tahu orang-orang itu masih menjaga di luar. Kau harus dapat bertahan, mungkin besok pagi-pagi mereka dan ular-ular itu akan ke luar dari lubang dan kita dapat menerobos ke luar kalau memang tak ada jalan lain. Setidaknya kalau cuaca terang, kau bisa melihat. Bergerak di malam hari, kita sama-sama buta, tentu payah."

"Tapi... aduh, panas dan sesak, Hong-ko..." Gadis itu betul-betul payah dan sekarang dia menyandarkan kepalanya yang terasa pusing berputar-putar itu kepada tubuh Kun Hong.

Dahi gadis itu ternyata sudah basah semua oleh keringat dan tubuhnya panas luar biasa. Diam-diam Kun Hong terkejut. Kiranya lweekang gadis ini belum begitu tinggi tingkatnya dan terang tidak akan dapat menahan. Dia lalu berusaha untuk berkelakar.

"Wah, kita basah oleh keringat, Ki-moi. Celakanya, keringatku tentu berbau tak enak dan kuingat kau paling tidak kuat apa bila mencium bau keringat, seperti ketika kau dikeroyok tempo hari. Jangan-jangan keringatku yang membuat kau muak dan pusing."

Kun Hong sengaja berkelakar untuk membangkitkan kegembiraan dan kejenakaan gadis ini sehingga berkurang penderitaan itu. Akan tetapi dia gagal karena dengan lemah Loan Ki menjawab, "Tidak, keringatmu tidak bau, Hongko... tapi ular-ular itu... ah, ngeri aku..." dan gadis itu tiba-tiba saja menangis!

"Lho, kenapa menangis? Adik Loan Ki, jangan bilang bahwa kau takut...!"

"...tidak! Aku tidak takut... tapi kalau ular-ular itu masuk ke sini, kita akan dimakan habis... ihhh, dan semua ini kesalahanku yang membawamu ke sini."

Kun Hong mendekap kepala di dadanya sambil mengelus-elus rambut yang halus basah itu dengan sikap menghibur, malah dia memaksa diri tertawa. "Ahh, kau aneh-aneh saja. Ular-ular itu tidak akan berani menjatuhkan diri ke dalam lubang, juga tidak akan dapat merayap turun. Andai kata ada yang berani, sekali kau pukul juga akan remuk kepalanya. Takut apa? Tentang datang ke sini... ehhh, aku sendiri pun ingin melihat badut-badut itu dihukum!"

Meski pun lemah dan kepalanya pusing, bangkit juga kegembiraan Loan Ki mendengar ini dan ia berbisik, "...kau ingin... melihat?"

"Aha, sampai lupa aku bahwa aku sudah buta. Bukan melihat dengan mataku, tetapi aku kan dapat meminjam matamu. Kau yang melihat dan kau ceritakan kepadaku, bukankah sama saja...?"

Loan Ki dapat juga tertawa. "...Hong-ko, kau... baik sekali..."

Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis di atas. Loan Ki merenggutkan kepalanya dan tubuhnya menegang.

"Celaka... mereka turun... ular-ular itu...," katanya dengan suara mengandung kengerian.

Bau amis semakin menghebat, hawa panas pun tak dapat tertahankan lagi oleh Loan Ki. Ia melepaskan buntalan pakaian dan mahkota yang membikin tubuhnya lebih panas lagi. Buntalan itu ia lemparkan begitu saja di atas tanah dan ia bersiap-siap untuk menghadapi perjuangan mati hidup melawan ular-ular itu.

Buntalan itu jatuh dan menggelinding di atas tanah, ikatannya terbuka dan tiba-tiba saja keadaan yang sangat gelap pekat itu berubah. Ada cahaya yang membuat kegelapan itu berubah remang-remang.

"Hong-ko! Aku dapat melihat! Ehh, sekarang tidak segelap tadi... heeiii, Hong-ko, kiranya mahkota itu yang mengeluarkan cahaya!" Suara Loan Ki bersemangat kembali, ia segera membungkuk, mengambil mahkota itu dan berseru, "Betul, Hong-ko, ada tiga butir batu permata di bagian depan mahkota ini yang mengeluarkan cahaya. Nah, begini baru enak hatiku, bisa melihat kalau ada ular menyerangku!" Suara gadis itu mulai gembira.

Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap hal yang lebih menggembirakan hatinya lagi. Dia tahu sekarang bahwa kelemahan dan kepusingan gadis itu tadi sebagian besar adalah pengaruh dari rasa ngeri di dalam kegelapan sehingga mengakibatkan gadis itu pusing. Selain ini, dengan girang dia mendengar betapa suara mendesis-desis di atas tadi tiba-tiba saja lenyap dan bau amis tidak begitu hebat lagi, tanda bahwa ular-ular itu takut kepada batu-batu permata yang mengeluarkan cahaya.

Dia dahulu pernah mendengar dongeng kakek Song-bun-kwi di puncak Thai-san bahwa di dunia ini memang banyak terdapat benda-benda mujijat dan aneh, di antaranya batu-batu mutiara yang disebut Ya-beng-cu. Mutiara Ya-beng-cu ini mengeluarkan cahaya di tempat gelap dan selain itu, juga ditakuti oleh sebagian besar binatang-binatang buas.

"Wah, agaknya Thian Yang Maha Kuasa sengaja menolong kita, Ki-moi. Kalau aku tidak salah, batu permata di mahkota itu adalah mutiara-mutiara Ya-beng-cu dan aku pernah mendengar bahwa binatang-binatang takut pada sinarnya. Sekarang kau bersiaplah, kita harus keluar dari tempat ini!”

"Keluar?" Loan Ki kaget. "Bukankah amat berbahaya katamu tadi, Hong-ko? Menghadapi ular-ular itu dalam terowongan sempit, belum lagi para penjaga pulau ini..."

Kun Hong menggelengkan kepalanya. "Sekarang tidak perlu lagi, adikku. Tadi yang paling mengkhawatirkan hatiku adalah kalau melawan ular-ular itu, ular-ular berbisa yang sangat jahat, apa lagi kita harus menghadapi mereka dalam terowongan yang sempit. Akan tetapi sekarang, dengan Ya-beng-cu ada pada kita, ular-ular itu pasti takkan berani mengganggu kita. Kita keluar dan tentang para penjaga, yahhh, terpaksa kita menghadapi mereka. Kita jelaskan maksud kedatangan kita yang tidak mengandung niat buruk, kalau mereka tidak mau menerimanya, kita robohkan mereka dan melarikan diri!"

Loan Ki mengangguk-angguk, namun ketika melihat ke sekelilingnya adalah dinding batu yang licin, dia mengerutkan kening. "Hong-ko, bagaimana kita bisa naik? Meloncat begitu saja? Mungkin aku sanggup meloncat ke atas dan menangkap pinggiran sumur ini, akan tetapi, bagaimana kalau ada ular-ular di sana? Pula resikonya terlalu besar kalau sampai tidak berhasil menangkap pinggiran sumur, apa lagi kalau pada waktu meloncat kepalaku tertumbuk batu karang yang menonjol."

"Tak usah meloncat. Kau bawa buntalanmu, pakai mahkota itu di kepalamu."

Gadis itu terdiam, agaknya heran. Namun diambilnya buntalan pakaian dan diikatkan ke pundak. Tiba-tiba ia tertawa, tawa jenaka seperti yang sudah-sudah sehingga Kun Hong ikut tersenyum gembira. Agaknya di dunia ini amat sukar mencari orang yang takkan turut tersenyum mendengar suara yang mengandung kesegaran watak itu.

"Hi-hi-hik, Hong-ko... mahkota ini benar-benar pas dengan kepalaku. Menurut dongeng, permaisuri Kerajaan Tang yang memakai mahkota ini adalah seorang puteri cantik jelita yang terkenal dengan julukan Puteri Harum karena tubuhnya memiliki keharuman seribu bunga. Kiranya kepalanya hanya seukuran dengan kepalaku... hi-hi-hik...!"

Mendengar kegembiraan gadis itu yang berarti bahwa semangatnya sudah kembali, Kun Hong menjadi girang sekali. Perjalanan ke luar dari tempat itu, bahkan keluar dari Pulau Ching-coa-to, bukanlah hal yang mudah dan mungkin akan menghadapi bahaya-bahaya dan rintangan. Karena itu timbulnya semangat gadis ini kembali merupakan hal yang amat penting. Mengingat ini, dia segera terjun ke dalam kegembiraan itu dan berkata,

"Apa anehnya persamaan kepala itu, Ki-moi? Memang cocok dongeng itu, kalau kepala permaisuri Kerajaan Tang itu seperti kepalamu, maka sudah semestinya dia cantik jelita dan mempunyai ukuran kepala yang tepat."

"Ehh, Hong-ko kau mana bisa melihat kepalaku?"

"Melihat sih tidak, akan tetapi tadi... ehh, meraba saja sudah cukup jelas bagiku..."

Loan Ki teringat betapa dalam gelap tadi ia menangis dan bersandar di dada Kun Hong, malah kepalanya telah dielus-elus oleh pemuda buta itu. Hal ini mendebarkan jantungnya sungguh pun ia tidak mengerti mengapa dadanya berhal seperti itu, berdebar-debar.

"Tapi, Hong-ko, mana kau tahu aku... cantik jelita?"

Kun Hong tertawa, geli juga dia mendengar ucapan kekanak-kanakan ini. "Apa susahnya? Mendengar suaramu saja sudah cukup bagiku."

Hening sejenak, lalu gadis itu berkata perlahan, "Orang bilang aku cantik, tapi belum tentu secantik puteri pemakai mahkota ini. Lagi pula, dia terkenal sebagai Puteri Harum, mana aku bisa sama? Ihhh, tadi keringatku tentu membasahi bajumu, Hong-ko..."

"Aku pun berkeringat sampai basah semua pakaianku, Ki-moi, dan tentang keharuman itu, hemmm... kurasa keringatmu pun... sedap..." Kun Hong setengah berbohong.

Mana ada keringat sedap di dunia ini? Akan tetapi memang baginya, keringat Loan Ki tidak berbau tak enak. Dia sengaja melebih-lebihkan dan mengatakan sedap hanya untuk menambah kegembiraan hati gadis kekanak-kanakan ini agar semangatnya tak menurun.

Gadis itu tidak berkata apa-apa, malah suara ketawanya terhenti dan ia diam saja sampai agak lama setelah ucapan Kun Hong terakhir ini. Kun Hong heran, miringkan kepala dan bertanya,

"Ki-moi, kenapa kau diam saja?" Ia mengulur tangan ke depan, menyentuh tangan gadis itu dan memegangnya.

Akan tetapi Loan Ki cepat merenggutnya terlepas dan terdengar suaranya agak gemetar. "Buntalan pakaian sudah kubawa, mahkota sudah kupakai. Bagaimana kita akan naik?"

Sama sekali Kun Hong tak pernah menduga di dalam hatinya bahwa ucapan-ucapan yang bersifat kelakar baginya itu ternyata mendatangkan kesan luar biasa bagi Loan Ki, sangat dalam membekas di hatinya.

"Kau duduklah di pundak kananku, siapkan pedangmu menghalau perintang di atas. Aku akan merayap naik." Kun Hong segera berjongkok untuk memudahkan Loan Ki duduk di pundaknya.

Akan tetapi gadis itu tidak segera duduk. Dengan mata terbelalak penuh kagum gadis itu memandang Kun Hong. Ia tahu bahwa agaknya si buta ini hendak mempergunakan Ilmu Pek-houw Yu-chong yang mengandalkan ginkang dan lweekang yang amat tinggi hingga membuat orang dapat merayap seperti seekor cecak pada dinding yang terjal. Kalau si buta ini sudah dapat melakukan ilmu ini, berarti bahwa tingkat kepandaian si buta ini jauh melampauinya, malah jauh lebih lihai dari pada ayahnya sendiri, Sin-kiam-eng!

Di samping kekaguman ini, juga jantungnya berdebar-debar mengingat bahwa ia harus duduk di atas pundak orang, suatu perasaan yang belum pernah ia rasai sebelumnya dan hal ini tanpa ia sadari disebabkan oleh kelakar pujian tadi.

Ia pun maklum mengapa pemuda buta itu menyuruh ia duduk di atas pundaknya. Memang hanya itulah jalan satu-satunya yang paling baik. Dengan duduk di pundak, selain ia dapat ikut ‘membonceng’ naik, juga ia bertugas sebagai mata pemuda itu, dengan mahkota di atas kepala itu sebagai pengganti obor penerangan. Memang begini lebih aman dari pada si buta itu harus merayap naik seorang diri, sungguh pun harus diakui bahwa untuk dapat mempergunakan Ilmu Pek-houw Yu-chong dengan diboncengi pundaknya, benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali.

"Hayo, lekas kau duduk, tunggu apa lagi?" Kun Hong bertanya heran ketika belum juga Loan Ki duduk di pundaknya.

Tanpa berkata apa-apa gadis itu lalu duduk di atas pundak kanan Kun Hong yang segera bangkit berdiri.

"Hati-hati jangan banyak bergerak, tapi awas melihat rintangan di atas."

Mulailah Kun Hong merayap ke atas. Memang hebat tenaga dalam pemuda buta ini. Dengan punggungnya menempel dinding, ia menggunakan tangan kanan dan kedua kaki untuk merayap naik. Dua kakinya bergantian mendorong dinding sebelah depan, tangan kanannya mencari pegangan batu menonjol untuk menarik tubuhnya ke atas, sedangkan punggungnya digunakan sebagai alat penahan tubuhnya supaya tidak kembali merosot ke bawah! Tangan kiri yang memegangi tongkat tetap siap siaga menjaga datangnya bahaya serangan.

Loan Ki kagum sekali. Sedikit demi sedikit mereka naik sehingga akhirnya sampai juga ke pinggiran sumur. Dengan girang Loan Ki melihat bahwa di sana tidak ada ular. Dia lalu meloncat ke luar, dan menarik tangan Kun Hong untuk membantu pemuda ini ke luar pula, bantuan yang sebetulnya tidak perlu bagi pemuda lihai itu.

"Tidak ada ular di sini...," bisik Loan Ki. "Entah ke mana mereka pergi."

"Agaknya ular-ular itu takut kepada cahaya mutiara Ya-beng-cu, Ki-moi. Bagus sekali, dan dengan mahkota ini kita akan ke luar tanpa khawatir diganggu ular-ular berbisa itu."

"Kalau begitu mari kita ke luar sekarang juga, Hong-ko. Kita mencari tempat istirahat lain, tadi kita telah tersesat memasuki tempat ini."

Mereka lalu merangkak ke luar, Loan Ki yang mengenakan mahkota merangkak di depan. Batu penutup lubang disingkirkan dan benar saja, tidak ada ular yang berani menghadang mereka. Agaknya ular-ular itu menjadi ketakutan melihat cahaya mutiara itu dan mereka pergi meninggalkan lubang.

Setelah tiba di luar, Loan Ki meloncat turun, diikuti oleh Kun Hong. Girang hati mereka mendapat kenyataan bahwa di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia. Dan lebih girang lagi hati Loan Ki melihat adanya bulan yang cukup terang di angkasa. Begitu menginjak tanah dan berada di udara terbuka, kedua orang muda ini merasa nyaman sekali sehingga berkali-kali mereka menarik napas panjang, menyedot hawa seperti orang kehausan mendapat minum air segar!

"Hong-ko, bulan bersinar, aku dapat melihat jalan. Lebih baik kita tinggalkan daerah ini."

Kun Hong tak membantah dan demikianlah, di bawah sinar bulan yang tiga perempat itu kedua orang muda ini dengan hati lapang meninggalkan tempat yang penuh pengalaman mengerikan tadi. Mereka langsung menuruni puncak yang penuh batu karang.

“Kurasa tak baik kita berkeliaran di malam hari, apa lagi tempat ini agaknya mengandung banyak rahasia. Lebih baik kita mengaso malam ini dan besok pagi kita berusaha keluar dan kembali ke daratan.”

"Mana ada tempat bermalam yang baik di tempat ular ini, Hong-ko?"

"Paling baik di atas pohon besar, bahaya satu-satunya hanyalah ular. Akan tetapi dengan adanya mahkota pusaka itu, kita tak usah khawatir."

Demikianlah, dua orang muda itu meloncat ke atas pohon besar, memilih cabang besar yang enak diduduki dan beristirahat melewatkan malam. Kun Hong duduk bersila di atas cabang pohon, tak bergerak seperti patung.

Tahu bahwa orang muda yang sakti itu sekarang duduk bersemedhi, Loan Ki tidak mau mengganggunya, hanya memandang bayangan orang buta itu dengan penuh kekaguman. Berkali-kali ia mendengar bisikan hatinya sendiri, "...sayang matanya buta... sayang dia buta... sayang..."

Ia merasa jengkel akan bisikan perasaan ini karena ia benar-benar tak mengerti mengapa ia merasa sayang akan kebutaan Kun Hong.

"Orang seperti dia tidak seharusnya dikasihani," dia menghibur diri, "walau pun buta, dia melebihi sepuluh orang pendekar yang dapat melihat..."

Akhirnya ia tertidur juga di atas cabang pohon. Seorang ahli silat tinggi seperti Loan Ki memang tidak perlu khawatir akan terjatuh di waktu tidur, karena ia sudah terlatih akan kebiasaan ini dan sudah banyak ia merantau dan sering kali tidur di dalam hutan seorang diri….
cerita silat karya kho ping hoo

"Hong-ko... bangun, Hong-ko... tuh di sana aku melihat air telaga!" pagi-pagi sekali Loan Ki sudah berteriak-teriak membangunkan Kun Hong yang sebetulnya memang telah sadar atau terjaga dari pada tidur dan semedhinya.

Beberapa ekor burung sampai kaget oleh teriakan Loan Ki. Mereka beterbangan sambil berbunyi keras. Gadis itu tertawa geli menyaksikan tingkah burung-burung itu, akan tetapi Kun Hong sebaliknya geli mendengar suara Loan Ki.

"Bagus, kalau begitu kita tinggal menuju ke sana, mencari perahu untuk menyeberang." jawab Kun Hong sambil meluncur turun dari batang pohon itu.

Loan Ki juga meloncat turun, lalu tertawa. "Wah, kelihatan sekarang betapa kotor pakaian kita, Hong-ko. Penuh tanah liat!"

"Tidak apa, pakaian kotor dapat dicuci, Ki-moi."

"Ah, malu kalau bertemu orang. Aku hendak menukar pakaian dulu, Hong-ko. Kan padaku ada bekal pakaian bersih. Wah, di mana ya bisa bertukar pakaian?"

Gadis itu berjalan ke sana ke mari, agaknya mencari gerombolan tanaman yang dapat ia pergunakan untuk sembunyi dan bertukar pakaian.

"Hong-ko," terdengar suaranya dari depan agak jauh, "kau menghadaplah ke sana dulu, membelakangi aku!"

Hampir-hampir tidak dapat Kun Hong menahan ketawanya. Dia tersenyum lebar sambil mengacungkan tangannya seperti hendak menampar kepala temannya itu. "Bocah nakal, apakah aku kurang buta sehingga kau suruh menghadap ke lain jurusan? Andai kata kau bertukar pakaian di depan mataku, aku pun tidak dapat melihatmu, Ki-moi." Akan tetapi tetap saja dia memutar tubuhnya menghadap ke lain jurusan.

Setelah selesai berpakaian, Loan Ki menghampiri Kun Hong dan berkata, "Hong-ko, kau selalu mengajak aku untuk kembali ke daratan, seakan-akan kau takut berada di pulau ini. Bahkan kau kemarin menyebut apakah aku melihat seorang kakek yang buntung lengan dan telinga kiri, mata kiri buta, siapakah orang itu?"

"Sebetulnya orang itu sudah mati, Ki-moi. Yang kumaksudkan itu adalah seorang tokoh jahat bernama Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena kemarin aku mendengar suara suling dan berkumpulnya ular-ular itu, aku jadi teringat kepada tokoh ini yang juga seorang ahli memelihara ular."

"Kau aneh, Hong-ko. Kalau dia sudah mati, kenapa kau takut?"

"Aku hanya terheran-heran mendengar ada ular-ular yang digembalakan orang, Ki-moi, dan aku dapat menduga bahwa pemilik-pemilik pulau ini pasti adalah orang-orang pandai seperti Giam Kin itu. Kalau kita berdua membikin onar di sini, alangkah tidak baiknya. Inilah sebabnya maka aku mengusulkan agar kita kembali saja dan jangan menimbulkan keonaran di tempat orang."

"Baiklah, malam tadi pun aku sudah merasa menyesal datang ke pulau iblis ini. Mari kita pergi ke pantai telaga yang kulihat dari atas pohon tadi, Hong-ko."

Loan Ki menggandeng tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu berlari cepat ke arah pantai telaga yang dia lihat tadi, yaitu ke sebelah timur, dari arah mana cahaya matahari memerah membakar angkasa raya. Mahkota yang semalam telah menyelamatkan mereka itu kini telah aman berada dalam buntalan pakaian yang tergantung di punggung Loan Ki lagi.

Biar pun yang seorang adalah orang buta, namun mereka lari cepat sekali. Memang inilah cara satu-satunya untuk mengajak Kun Hong berlari cepat, yaitu dengan menggandeng tangannya. Tanpa dituntun, biar pun pemuda itu memiliki kesaktian, tak mungkin dia akan dapat berlari cepat, tentu akan menabrak-nabrak.

"He, Ki-moi, kenapa belum juga sampai dan kenapa kau bawa aku menikung-nikung tidak karuan begini?"

Loan Ki berhenti, lalu menghela napas panjang. "Pulau ini benar-benar aneh, Hong-ko. Pulau iblis! Terdapat jalan yang rata, akan tetapi heran sekali, mengikuti jalan ini agaknya akan membawa kita terputar-putar tidak karuan. Kulihat seakan-akan keadaan tempat di mana kita berdiri ini serupa benar dengan tempat di mana kita berangkat tadi..." Ia berseru kaget, lari ke depan meninggalkan Kun Hong, lalu kembali lagi sambil berkata, "Wahh, benar-benar ini tempat yang tadi, Hong-ko! Tuh, di situ ada gerombolan pohon kembang di mana aku bertukar pakaian tadi, pengikat rambutku yang terjatuh di sana masih ada."

Kun Hong mengangguk-anggukkan kepala, kulit di antara kedua matanya berkerut.

"Kurasa pemilik pulau ini adalah seorang ahli dalam alat-alat rahasia dan sengaja sudah mengatur pulaunya penuh rahasia agar menyukarkan orang asing memasukinya, seperti keadaan di Thai-san. Ki-moi, coba kau lihat dari atas pohon tadi, pantai berada di jurusan manakah?"

"Di timur karena kulihat cahaya matahari di sana pula."

"Nah, kalau begitu, sekarang kita harus langsung menuju ke timur, jangan menggunakan jalan yang sengaja dibuat untuk menyesatkan kita. Kita ambil jalan liar saja, kalau perlu menerabas hutan, asal terus ke timur. Pasti akan sampai di pantai itu."

Akan tetapi hal itu ternyata lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Jalan menuju ke timur ini ternyata harus melalui hutan-hutan liar yang penuh alang-alang, melalui rawa dan malah melalui hutan kecil penuh duri. Jalannya menanjak dan pada akhirnya mereka tiba di tebing yang curam. Ketika Loan Ki menjenguk ke bawah, memang tampak air telaga di bawah sana, namun dalamnya dari tebing itu tidak kurang dari seratus meter!

Loan Ki melepaskan tangan Kun Hong, berjalan ke sana ke mari mencari jalan untuk menuruni tebing curam itu.

"Wah, sampai di sini buntu, Hong-ko. Biar kucari jalan untuk turun. Tuh, di bawah sudah kelihatan telaganya, dan jauh ke depan itu menyeberangi telaga akan sampai di darat kembali. Agaknya jalan menurun di alang-alang itu... heeii, aduhhh... Hong-ko... tolong...!"

Kun Hong terkejut sekali, cepat dia bergerak maju dengan didahului tongkatnya, ke arah suara Loan Ki. Dia mendengar banyak sekali batu-batu menggelinding dan lenyaplah suara Loan Ki.

Kagetnya bukan kepalang ketika dia tiba di tempat dari mana suara gadis itu terdengar, tongkatnya meraba tempat kosong! Kiranya dia berdiri di tepi tebing yang entah berapa dalamnya dan tongkatnya yang meraba gugusan batu yang pecah, agaknya Loan Ki yang tadi berdiri di situ sudah terperosok dan jatuh ke bawah bersama pecahan tanah beserta batu-batu.

Kun Hong mengerahkan khikang-nya dan berteriak ke bawah, "Ki-moi...!"

Hanya gema suaranya yang menjawab.

"Loan Ki...!"

Kembali suaranya yang menjawab.

"Celaka... apa yang terjadi dengan dia?" Kun Hong bingung dan menyesal sekali.

Selama dia buta, baru kali ini dia menyesal akan kebutaan matanya sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terjadi dengan gadis itu dan tak dapat menolongnya. Dia segera mengambil sebuah batu kecil dan melepaskannya ke bawah. Kepalanya dimiringkan dan bibirnya berkemak-kemik menghitung waktu.

Tujuh belas kali dia menghitung, baru batu itu menyentuh air! Kun Hong bergidik. Tidak mungkin dia mengikuti gadis itu terjun ke bawah. Hal ini berarti kematian baginya.

Akan tetapi dia masih mempunyai harapan yang menghibur hatinya. Bukankah Loan Ki pernah bilang bahwa gadis itu pandai berenang? Kalau dasar di bawah tebing itu adalah air, belum tentu gadis itu tewas. Akan tetapi, kalau selamat, kenapa dia tidak menjawab panggilannya?

Kembali pemuda buta ini menjenguk ke depan dan memanggil. Suaranya nyaring sekali dan bergema, mengejutkan burung-burung yang sedang beterbangan di sekeliling tempat itu. Beberapa kali dia memanggil namun tak pernah terjawab kecuali oleh gema suaranya sendiri.

Kun Hong menjadi sedih sekali, pelupuk matanya gemetar, kulit di antara kedua matanya berkerut dalam, wajahnya agak pucat. Lalu dia meraba-raba dengan tongkatnya mencari jalan turun. Dia hendak menuruni tebing itu dan mencari Loan Ki di bawah sana.

Akhirnya dapat juga dia turun melalui celah-celah batu karang. Sukar sekali perjalanan menurun ini, merayap seperti seekor monyet, hanya berpegang pada batu-batu karang yang menonjol. Kadang-kadang Kun Hong yang meraba sana meraba sini kehabisan batu pegangan, maka terpaksa ia menggunakan tongkatnya yang ditancapkan kepada dinding karang.

Demikianlah, sambil meraba-raba dia merayap turun terus, tidak tahu ke mana akhirnya dia akan sampai. Dia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya ini membelok ke sana ke mari karena memang sering kali dia bertemu dengan jalan buntu yang mengharuskan dia mencari jalan memutar.

Dia merasa heran sekali karena ternyata dia tidak sampai di pinggir telaga, malah tiba-tiba alat penggandanya mencium keharuman bunga-bunga yang beraneka warna dan kakinya menginjak tanah berumput yang halus. Ketika dia meraba dengan tangannya, kiranya dia sudah sampai di tengah-tengah rumput yang segar gemuk dan di sana-sini semerbak harum bunga.

"Heran sekali seakan-akan aku berada di dalam taman bunga yang sangat luas penuh bermacam-macam bunga...," pikirnya dan teringatlah dia akan seruan Loan Ki pada saat kedatangan mereka di tempat itu. Gadis itu telah melihat sebuah taman bunga yang indah. Inikah taman bunga itu?

Angin semilir sejuk dan pendengarannya yang tajam menangkap suara orang bercakap-cakap, suara wanita yang halus terbawa angin. Kun Hong girang sekali, mengira bahwa tentu Loan Ki yang sedang bercakap-cakap itu. Tetapi dia tidak berani berlaku sembrono memanggil gadis itu karena dia belum tahu dengan siapa gadis itu bercakap-cakap dan dalam keadaan bagaimana.

Dengan hati-hati dia bergerak maju ke arah suara. Setelah agak dekat dan mulai dapat mendengar jelas, dia menyelinap di balik sebuah pohon buah yang besar, bersembunyi dan mendengarkan penuh perhatian. Besar kekecewaan hatinya ketika mendengar bahwa yang bercakap-cakap itu sama sekali bukanlah Loan Ki seperti yang diharapkannya, akan tetapi suara wanita-wanita yang lain, suara wanita yang dingin dan tajam mendatangkan perasaan ngeri kepadanya karena dari suara ini dia dapat menilai orang yang mempunyai watak yang aneh dan dapat kejam melebihi iblis sendiri.

Akan tetapi suara ke dua membuat dia berdebar dan kagum. Suara ini halus lunak, merdu dan kiranya hanya patut dimiliki oleh bidadari, bukan wanita biasa. Suara pertama adalah suara seorang wanita yang sukar ditaksir usianya, akan tetapi takkan kurang dari empat puluhan. Ada pun suara ‘bidadari’ itu adalah suara seorang gadis remaja.

Bukan main suara itu, bagaikan nyanyian dewi malam, mengelus-elus perasaan hatinya sungguh pun dia menangkap getaran-getaran aneh pula dalam suara merdu merayu ini. Getaran yang mengandung sesuatu yang rahasia dan yang menyembunyikan watak dari pada si pemilik suara.

"Hui Kauw, cukup sudah semua alasanmu itu!" terdengar suara dingin dengan nada kesal. "Jodohmu adalah Pangeran Souw Bu Lai dan kau tidak boleh membantah lagi. Kau tahu, setelah sekarang kaisar muda yang tak becus menduduki tahta, pangeran itu mempunyai banyak harapan menjadi kaisar lalu membangun lagi Kerajaan Goan, dan kau mempunyai harapan menjadi permaisuri kaisar! Orang apa itu si pemuda she Bun? Huh, hanya anak ketua Kun-lun-pai, biar tampan dan gagah, tetapi hanya orang biasa. Mana boleh anakku tergila-gila kepada orang macam itu?"

"Ibu, aku tidak tergila-gila... aku hanya bertemu satu kali dengan Bun-enghiong, aku hanya bilang bahwa dia seorang pendekar perkasa. Bukan karena dia aku tidak sudi menjadi calon jodoh Pangeran Mongol itu, melainkan karena... karena aku tidak suka menikah. Aku lebih senang tinggal di sini..."

"Huh, alasan kosong. Siapa yang tidak tahu hati muda? Melihat wajah tampan dan watak pendekar lalu jatuh hati, hemmm. Sudahlah, tak mau aku berpanjang debat, aku harus menyambut para tamu kita yang akan membicarakan soal membantu usaha Pangeran Souw Bu Lai. Dan kau harus tahu, dalam hal kegagahan, kiraku orang she Bun itu takkan dapat menandingi Pangeran Souw."

"Ibu..."

Kun Hong mendengar betapa wanita bersuara dingin itu berkelebat pergi dan terkejutlah dia ketika menangkap desir angin yang amat cepat ketika wanita ini pergi. Wah, kiranya si suara dingin ini memiliki kepandaian yang hebat. Ginkang-nya terang tidak di sebelah bawah kepandaian Loan Ki!

Selain dua orang wanita yang bercakap-cakap ini, Kun Hong tahu bahwa di situ terdapat sedikitnya tiga orang wanita lain yang lemah lembut gerakan-gerakannya, mungkin para dayang-dayang yang melayani nona bersuara bidadari ini. Diam-diam Kun Hong merasa terharu dan juga tercengang.

Tak mungkin salah lagi, yang disebut-sebut sebagai pemuda she Bun dalam percakapan tadi, tentu bukan lain adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai! Bun Wan, bekas tunangan kekasihnya, mendiang Cui Bi.

Hatinya berdebar dan telinganya serasa mengiang-ngiang. Sungguh suatu hal yang amat kebetulan sekali, urusan yang sangat cocok dengan pengalamannya dahulu. Seperti juga Cui Bi yang mencintanya dan sudah ditunangkan dengan Bun Wan, juga si suara bidadari ini hendak dipaksa ibunya untuk berjodoh dengan seorang Pangeran Mongol, padahal si bidadari ini agaknya condong hatinya kepada Bun Wan! Benar-benar hal yang terbalik.

Kalau dulu, Bun Wan merupakan tunangan yang tidak dipilih dan tidak disukai oleh calon jodohnya, sekarang rupanya dia malah terbalik memegang peranan sebagai orang yang menjadi penyebab terhalangnya perjodohan orang lain! Bun Wan kini memegang peranan yang dipegangnya dahulu, peranan yang berakhir dengan pengorbanan kedua matanya untuk mengimbangi pengorbanan Cui Bi yang menyerahkan nyawanya!

Dia memperhatikan terus. Beberapa kali terdengar si bidadari itu menarik napas panjang. Dasar suara bidadari. Tarikan napas panjangnya saja terdengar begitu halus seolah-olah helaan napas itu menambah keharuman bunga-bunga di taman!

Perasaan Kun Hong menggetar, penuh iba kasihan. Teringat dia akan Cui Bi. Serupa benar nasib dara bidadari ini dengan mendiang Cui Bi. Apakah ia akan mengalami nasib seperti Cui Bi pula? Gagal dalam berkasih asmara, dan berakhir mengorbankan nyawa? Tidak! Tidak boleh! Peristiwa mengenaskan itu tak boleh terulang lagi. Apa pula terhadap diri seorang dara yang bersuara bidadari ini. Dia akan berusaha menghalau bahaya itu.

Langkah-langkah kecil dan ringan terdengar, disusul suara bening. "Siocia, ini minuman susu madu yang kau pesan, dan ini pengganti sapu tangan sutera..."

"A Man, kau letakkan saja di atas meja itu, lalu kau pergilah bersama semua temanmu dan tinggalkan aku di sini..."

"Tapi Siocia (nona), toanio (nyonya besar) akan marah jika saya dan teman-teman tidak menjaga dan melayani Nona di sini..."

"A Man, aku bukan anak kecil lagi yang harus dijaga setiap waktu. Sekarang aku mau berlatih pedang, apakah kau bermaksud hendak mencuri lihat?"

"Ahh... mana berani... mana berani, Nona."

"Nah, lebih baik kau cepat-cepat pergi keluar dari taman ini. Lebih berguna kalau kau dan teman-temanmu ikut mencari dua orang asing yang katanya sudah memasuki pulau dan membunuh banyak ular. Apa bila bertemu dengan mereka yang tentu saja lihai, kau dan teman-temanmu dapat mencoba semua kepandaian kalian. Apakah percuma saja kalian selama ini dilatih ilmu silat? Hayo, keluarlah dari sini, lekas!"

Terdengar para pelayan itu pergi sambil tertawa-tawa. Ternyata ada lima orang pelayan wanita dan agaknya yang bernama A Man itu adalah pelayan kepala atau yang paling disayang oleh nona bidadari yang bernama Hui Kauw ini.

Kun Hong mendengarkan semua itu dengan kagum. Makin indah suara nona ini ketika bercakap-cakap dengan para pelayan. Malah ucapan paling akhir itu mengandung senda gurau yang halus. Alangkah jauh bedanya dengan Loan Ki atau Cui Bi. Loan Ki dan mendiang Cui Bi, adalah gadis-gadis yang lincah jenaka, gembira dan bebas, andai kata kembang adalah kembang mawar hutan yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan tidak takut akan angin ribut dan selalu berseri namun siap melukai siapa pun yang ingin merabanya dengan duri-duri meruncing.

Ada pun dara bersuara bidadari ini, yang tadi oleh ibunya disebut Hui Kauw, merupakan seorang dara yang lemah lembut, halus gerak-geriknya, halus pula tutur sapanya, seperti setangkai bunga seruni yang indah jelita, kecantikannya menenteramkan hati, suaranya bagai musik surga mengamankan jiwa. Kemudian Kun Hong mendengar desir angin permainan pedang. Pada mulanya angin sambaran itu lambat-lambat dan juga perlahan saja, tanda bahwa pemainnya belum mahir benar dan tenaganya kecil. Kun Hong mengerutkan keningnya.

Gadis bersuara bidadari ini kalau dalam hal ilmu pedang jauh di bawah tingkat Loan Ki, apa lagi tingkat Cui Bi. Akan tetapi hawa pukulan pedangnya betul-betul aneh merupakan garis lingkaran-lingkaran. Permainan pedang dengan cara membentuk lingkaran-lingkaran seperti itu memang banyak dalam kalangan ilmu pedang tinggi, akan tetapi lingkaran ini biasanya terus menjurus ke arah lingkaran lainnya yang sejalan atau berubah menjadi tusukan, bacokan miring, bacokan lurus dan lain cara penyerangan lagi.

Anehnya, gerakan pedang dara bersuara bidadari ini lingkarannya berubah-ubah menjadi lingkaran yang bertentangan, kadang-kadang berputar dari kanan, kadang kala dari kiri. Cara bermain pedang seperti ini, mana bisa digunakan untuk bertempur, pikir Kun Hong heran...


BERSAMBUNG KE Pendekar Buta Jilid 07


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.