Pendekar Buta Jilid 09

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 09

Hampir saja ia bertumbukan dengan seorang yang berlari-lari dari luar dan yang sangat cepat gerakannya. Loan Ki meliukkan tubuhnya ke kiri sedangkan orang yang lari itu pun tiba-tiba berhenti, begitu mendadak dan cepat berhentinya sehingga Loan Ki memandang heran dan kagum karena cara berhenti seperti itu hanya sanggup dilakukan oleh orang pandai.

Keduanya berpandangan sejenak dan tanpa terasa lagi mulut Loan Ki berseru memuji, "Aduh cantiknya..."

Orang yang berlari itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis cantik jelita yang usianya sebaya dengan Loan Ki, yaitu antara tujuh belas dan delapan belas tahun. Memang Hui Siang luar biasa cantik jelitanya, ditambah orangnya pesolek lagi. Wajahnya terawat baik atas bantuan pelayan-pelayan ahli. Pakaiannya selalu mentereng sehingga biar pun ia puteri seorang pemilik pulau, akan tetapi sekali melihat orang akan menyangka bahwa ia tentulah seorang puteri keluarga kaisar di istana!

Maka tidaklah heran apa bila Loan Ki segera memujinya, sungguh pun dia sendiri adalah seorang gadis lincah yang cantik manis pula. Mungkin Loan Ki sendiri tak akan kalah baik bentuk wajah mau pun bentuk tubuhnya jika dibandingkan dengan Hui Siang. Akan tetapi oleh karena Loan Ki adalah seorang dara pendekar yang suka merantau sehingga kurang memperhatikan perawatan badannya, tentu saja kulitnya kalah putih dan kalah halus, juga pakaiannya kalah baik.

Hui Siang adalah seorang dara manja dan wataknya sangat galak dan sombong. Karena hampir saja bertumbukan dengan Loan Ki, ia amat marah dan segera memaki, "Budak hina! Apakah matamu buta? Ehhh, apakah kau pelayan baru? Belum pernah aku melihatmu. Minggir kau, aku ada urusan penting!"

Loan Ki mendongkol sekali. Ia meloncat ke pinggir akan tetapi mulutnya sudah siap untuk balas memaki. Pada saat itu Hui Siang sudah lari ke depan dan berkata, "Ibu, celaka sekali, Ibu. Enci Hui Kauw sudah membikin malu kita, sekali ini kalau Ibu tidak turun tangan, bisa-bisa nama keluarga kita terseret ke dalam lumpur!" Gadis ini mengerling ke kanan kiri seakan-akan tidak mempedulikan orang-orang yang berada di situ.

Sekali lagi sepasang mata Souw Bu Lai berkilat-kilat ketika dia melihat Hui Siang.

"Hui Siang, kau bicara apa? Apa yang telah terjadi?" Ching-toanio berkata, kemarahannya terhadap Hui Kauw yang tadi belum padam sekarang bangkit dan bernyala kembali.

"Ibu ingat tentang dua orang asing yang memasuki pulau ini? Nah, yang seorang kudapati berada di taman, dia seorang laki-laki jembel buta, akan tetapi celakanya... ia berpacaran dengan enci Hui Kauw!"

"Hui Siang! Jangan sembarangan bicara! Bohong kau!" ibunya membentak marah.

Biar pun di dalam hatinya ia tidak suka kepada anak pungutnya itu, akan tetapi ia cukup mengenal tabiat Hui Kauw dan ia rasa tak mungkin Hui Kauw berpacaran dengan seorang jembel buta.

Hui Siang cemberut dan mendengus, agaknya ngambek karena dikata-katai kasar oleh ibunya yang biasanya memanjakan. "Ibu, apakah anakmu ini biasa membohong? Biar aku mampus kalau aku bohong. Enci Hui Kauw memberikan sapu tangan suteranya kepada si jembel buta itu, dan kulihat dengan kedua mataku sendiri si jembel menciumi sapu tangan itu. Aku marah dan menyerangnya, ehhh... kiranya dia pandai dan dapat menghindarkan seranganku. Kemudian muncul enci Hui Kauw, dan enci Hui Kauw malah membela jembel buta itu. Coba, apakah ini bukan merupakan bukti-bukti yang cukup jelas...?"

"Waahhh, mata keranjang! Tidak punya mata tetapi bisa mata keranjang, apa yang lebih aneh dari pada ini? Dasar laki-laki!" Yang berkata demikian adalah Loan Ki yang segera melompat keluar hendak mencari Kun Hong. Hatinya mendongkol sekali mendengar penuturan nona cantik tadi dan ia sendiri pun tidak mengerti mengapa ia merasa iri, gemas, dan marah sekali mendengar betapa Kun Hong berpacaran dengan seorang gadis di dalam taman. Menciumi sapu tangan sutera?

Terbayanglah di depan mata Loan Ki semua pengalamannya dengan Kun Hong di dalam sumur, teringat betapa dalam keadaan bahaya maut dan setengah pingsan ia dipeluk oleh pemuda buta itu, dihibur, dielus-elus rambutnya, diciumi rambutnya. "Dasar tukang cium...!" Terloncat kata-kata ini keluar langsung dari hatinya yang mengkal.

Tiba-tiba ada angin berkesiur di sebelahnya, tahu-tahu di depannya sudah menghadang tubuh laki-laki tinggi besar. Kiranya Souw Bu Lai Pangeran Mongol itu yang memandang dirinya sambil tersenyum menyeringai memperlihatkan deretan gigi yang putih dan besar. "Nona, kau tak boleh pergi. Kau harus bersama kami untuk membicarakan hal yang amat penting," katanya sambil mendekat.

Loan Ki yang sedang jengkel terhadap Kun Hong itu sudah hendak menyerangnya. Akan tetapi ketika ia melirik, ia melihat betapa semua orang tadi kini sudah keluar dan berada di belakangnya. "Aku tidak sudi!" katanya setengah membentak. "Biarkan aku jalan sendiri!"

"Tidak bisa, Nona. Kami sudah mengambil keputusan untuk menahanmu karena kau yang akan menghubungkan kami dengan ayahmu," kata pula Souw Bu Lai.

Sebelum Loan Ki menjawab, tiba-tiba dia mendengar sambaran angin dari belakangnya. Cepat ia miringkan tubuh membalik, kiranya tongkat Ka Chong Hoatsu yang menyambar dan menyerangnya. Ia kaget sekali, menggerakkan kaki meloncat, akan tetapi tiba-tiba saja kedua lengannya sudah ditangkap orang dan ditelikung ke belakang lalu dibelenggu!

Gerakan Souw Bu Lai dan Ka Chong Hoatsu yang melakukan penangkapan ini cepat dan hebat luar biasa, membuat seorang gadis berkepandaian hebat seperti Loan Ki sekali pun sama sekali tidak berdaya, seperti anak kecil di tangan seorang dewasa.

"Monyet-monyet tua muda, kalian ini mau apa membelenggu dan menangkap aku? Kalian curang, pengecut, tak tahu malu! Kalau berani, hayo bertempur sampai seribu jurus!" dia memaki-maki.

"Cih, budak hina macam ini kenapa tidak dilempar ke dalam sumur untuk makan ular-ular kita, Ibu?" Hui Siang berkata sambil memandang Loan Ki dengan mata mendelik.

Bergidik juga Loan Ki mendengar ini. Ia memang tidak takut mati, akan tetapi kalau harus dijadikan umpan atau kurban di dalam sumur dikeroyok oleh ratusan ular, dia benar-benar merasa ngeri. Kali ini ia tidak berani banyak bicara lagi, takut kalau-kalau ia benar-benar dilempar ke dalam sumur penuh ular yang amat menjijikkan!

"Ha-ha-ha-ha, dia puteri Sin-kiam-eng, mana boleh dibunuh?" Ka Chong Hoatsu berkata. "Pinceng sangat curiga terhadap sahabat yang buta itu, karena itu sementara ini pinceng membelenggunya agar nanti dia tidak menimbulkan kerewelan. Ching-toanio, mari kita ke taman menemui orang buta itu."

Beramai mereka lari ke taman bunga, mengambil jalan rahasia yang berliku-liku. Loan Ki tadinya membandel tidak mau turut, akan tetapi ketika ujung tali pengikat dua tangannya diseret oleh Souw Bu Lai, terpaksa ia ikut lari juga sambil mengomel dan menyumpah-nyumpah Pangeran Mongol itu yang hanya tertawa saja. Diam-diam gadis ini mengagumi jalan rahasia di pulau ini, akan tetapi karena hatinya lagi jengkel sekali, ia hanya ikut lari tanpa memperhatikan kanan kiri.

Kejengkelan bertumpuk di hati Loan Ki. Pertama karena mendengar berita bahwa Kun Hong berpacaran dan menciumi sapu tangan seorang gadis bernama Hui Kauw. Ke dua kalinya karena dia merasa kecil tak berdaya menghadapi orang-orang di dalam pulau ini, dan ke tiga kalinya sekarang dia menjadi seorang tawanan, dibelenggu layaknya seekor domba!

Awas kalian semua, demikian ia menyumpah-nyumpah, sekali ayahku kuberi tahu tentang penghinaan ini, pulau ini akan diobrak-abrik, dihancurkan, dan dibasmi oleh ayah! Kalian semua berikut ular-ular laknat akan dibasmi habis, pulau ini dibumi hanguskan, tidak ada seorang pun manusia atau seekor pun makhluk yang dibiarkan hidup! Akan tetapi, di balik ancamannya ini, dia sendiri ragu-ragu apakah ayahnya akan sanggup menang melawan musuh-musuh yang begini tangguh, terutama sekali hwesio tua itu.

Akhirnya mereka tiba di taman bunga itu dan begitu melihat Kun Hong berdiri berhadapan dengan seorang gadis bermuka hitam, Loan Ki tidak dapat menahan mulutnya lagi yang lantas berteriak-teriak! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Loan Ki berseru menegur Kun Hong, "Haaiii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benar-benar mata keranjang, akan tetapi kali ini kau salah pilih, Hong-ko!"

Tentu saja Kun Hong menjadi girang dan lega bukan main hatinya mendengar suara Loan Ki ini. Ia tidak pedulikan ocehan dara nakal itu tentang mata keranjang, melainkan segera melangkah maju dan berkata dengan wajah berseri-seri,

"Ki-moi! Kau selamat? Syukurlah!"

"Hong-ko, kau benar-benar tak punya liangsim (pribudi)! Aku terjerumus ke dalam jurang, hampir mampus, menerima hinaan orang, akan tetapi kau... kau malah berpacaran dan enak-enak senang-senang di sini. Wah, sahabat macam apa kau ini?"

Muka Kun Hong merah sekali sampai ke telinganya. "Ki-moi, jangan kau percaya akan fitnah orang. Tidak ada yang berpacaran di sini! Dan kau, siapakah orangnya yang berani menghinamu?"

Sebelum Loan Ki dan Kun Hong dapat melanjutkan percakapan mereka, terdengar suara bentakan marah dari Ching-toanio yang mengagetkan mereka hingga memaksa mereka mengalihkan perhatian. Ching-toanio ternyata telah memaki-maki Hui Kauw dengan suara penuh kemarahan.

"Bocah keparat! Semenjak kecil aku bersusah-payah memeliharamu, beginikah sekarang balasanmu terhadapku? Berjinah dengan seorang jembel buta, mengotorkan taman dan mencemarkan nama baik keluargaku? Keparat, perempuan hina!"

"Plak-plak-plak!"

Terdengar oleh Kun Hong suara tiga kali, diikuti keluhan perlahan. Meski pun tidak dapat melihat, dia dapat menduga bahwa muka dara bersuara bidadari itu sudah ditampar tiga kali oleh si ibu yang galak.

"Ibu... maafkan. Aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu dan... dan aku sama sekali tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan. Hanya kebetulan saja saudara yang buta ini telah memasuki taman dan menemukan sapu tanganku yang tertinggal di sini. Harap ibu jangan mempercayai segala fitnah keji..."

"Setan, kau malah balik menuduh Hui Siang membohong? Perempuan tak bermalu kau! Adik sendiri bertempur dengan si buta ini, kenapa kau malah membela si buta memusuhi adikmu? Hui Kauw, aku tidak terima! Hari ini kau akan membayar lunas hutang-hutangmu kepadaku, hutang budi yang hanya dapat kau bayar dengan nyawamu!"

"Srrrrrttt! Singgggg!"

Bunyi pedang berdesing memecah angin, menyambar ganas dan menimbulkan cahaya berkilauan. Tak seorang pun di antara para tamu berani mencampuri urusan antara ibu dan anak. Loan Ki membelalakkan matanya yang lebar, ngeri betapa pedang di tangan nyonya yang galak dan lihai itu meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah leher si nona muka hitam yang hanya menundukkan muka, sedikit pun tak bergerak seakan-akan sudah rela untuk menerima hukuman itu dan menanti datangnya pedang yang akan memenggal lehernya serta maut yang akan merenggut nyawanya.

Pada detik berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Kauw itu, tiba-tiba sinar kemerahan berkelebat.

"Criinggggg!"

Pedang di tangan Ching-toanio tahu-tahu sudah buntung, ujung pedang melayang ke atas entah ke mana sedangkan sisanya masih terpegang oleh Ching-toanio, menggetar dan mengeluarkan bunyi!

Ching-toanio berdiri laksana patung, terbelalak kaget, juga orang-orang yang berada di situ, kecuali Loan Ki yang memandang marah, mengeluarkan seruan heran dan terkejut.

"Wah, kau betul-betul membelanya, Hong-ko! Celaka, kau telah tergila-gila oleh seorang gadis muka hitam!" Loan Ki berteriak-teriak penuh kegemasan.

Akan tetapi Kun Hong yang sudah mendekati Hui Kauw, tidak mempedulikan teriakan Loan Ki ini, melainkan dia berkata halus kepada gadis yang masih berdiri menundukkan mukanya itu. "Nona, kenapa kau diam saja membiarkan orang sewenang-wenang hendak membunuhmu?"

Ucapan Kun Hong selain mengandung perasaan kasihan, sekaligus merupakan teguran. Memang jantung Kun Hong masih berdebar kalau teringat betapa gadis bersuara bidadari ini hampir saja tewas. Ngeri dia memikirkan ini. Baiknya tadi dia bertindak cepat.

"Saudara Kwa, dia... dia ibuku..." jawab nona itu dengan suara lemah mengandung isak tertahan.

Kagum hati Kun Hong. Nona ini sekuat tenaga menahan tangisnya. Nona berbudi mulia, berhati baja. Tapi dia penasaran, mengapa ibunya seperti itu?

"Dia bukan ibumu!" Suaranya ketus dan tiba-tiba karena meluapnya perasaan hatinya.

"Heeee? Saudara Kwa... bagaimana kau bisa tahu akan hal ini...?"

"Dia tidak mungkin ibumu! Seekor harimau atau binatang yang paling liar sekali pun tak akan mungkin membunuh anaknya, apa lagi seorang ibu. Akan tetapi ia tadi benar-benar hampir membunuhmu. Ia bukan ibumu!" suara Kun Hong lantang.

Sementara itu, cara Kun Hong menangkis dan sekaligus mematahkan pedang di tangan Ching-toanio dengan tongkatnya, benar-benar membuat semua orang melongo. Bahkan Ka Chong Hoatsu sendiri terheran-heran. Kakek ini maklum sampai di mana kelihaian ilmu pedang Ching-toanio yang sudah jarang dapat ditandingi oleh kebanyakan ahli silat ternama. Akan tetapi orang muda itu yang buta matanya lagi, dengan sekali tangkis dapat mematahkan pedang Ching-toanio, sungguh hal ini membuat hwesio tua ini benar-benar tidak mengerti.

Padahal yang dipakai untuk menangkis tadi hanyalah sebatang tongkat, dan gerakannya ketika menangkis tadi pun hanya cepat saja, tidak ada yang terlalu luar biasa. Akan tetapi kekagetan mereka hanya sebentar. Ching-toanio sudah dapat menguasai kekagetannya dan mukanya berubah merah saking malu dan marahnya. Dibuntungkannya pedang di tangannya dengan sekali tangkis oleh orang muda buta itu, benar-benar merupakan penghinaan yang tiada taranya bagi nyonya jagoan ini. Masa ia kalah oleh seorang muda yang buta? Benar-benar tak masuk di akal.

Ia tidak tahu bagaimana caranya pedangnya sampai patah tadi. Akan tetapi ia tidak peduli dan mengira hal itu hanya kebetulan saja, atau mungkin sekali memang pedangnya yang sudah bercacat di luar pengetahuannya. Dengan mata mendelik ia membentak dan melangkah maju, "Jembel buta, kau siapakah berani mencampuri urusanku?"

Kun Hong menarik napas panjang. Dia maklum bahwa wanita ini adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi, bahkan kalau dia tidak keliru, menurut pendengarannya, orang-orang yang ikut datang bersama nyonya ini juga orang-orang yang berkepandaian tinggi. Dengan hormat dia menjura ke depan, lalu berkata halus, "Harap Toanio dan Cu-wi sekalian sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak berani turut mencampuri urusan orang lain, hanya saja, sebagai seorang manusia biasa, mana bisa aku membiarkan seorang ibu membunuh anaknya sendiri? Toanio harap insyaf sebelum bertindak gegabah. Sesungguhnya nona Hui Kauw ini sama sekali tak pernah melakukan perbuatan seperti yang difitnahkan tadi."

"Ching-moi (adik Ching), kenapa banyak memberi hati kepada seorang buta macam ini? Biarlah kuwakili kau membereskannya!" bentak Bouw Si Ma yang juga ikut marah sekali karena wanita bekas kekasih sute-nya ini tadi mengalami penghinaan.

Dia adalah seorang Mancu yang berangasan. Dia pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi, malah lebih tinggi dari pada Ching-toanio, dan dia murid dari Pak-thian Lo-cu, tentu saja dia memandang rendah kepada Kun Hong seorang muda buta.

"Bocah buta, kau benar-benar tak tahu diri, sudah lancang memasuki tempat tinggal orang masih berani bertingkah dan menjual lagak. Hayo kau mengaku siapa kau dan siapa pula ayah atau gurumu sebelum aku Bouw Si Ma Si Tangan Maut mengambil nyawamu!"

Kun Hong cepat menjura. Gerakan orang ini mengandung tenaga berat dan dia maklum bahwa orang ini tentu lebih lihai dari pada Ching-toanio, maka dia berhati-hati.

"Bouw-enghiong harap suka bersabar. Siauwte (aku yang muda) bernama Kwa Kun Hong, tentang orang tua dan guru tak usah dibawa-bawa dalam urusan ini. Aku mengakui bahwa aku telah lancang memasuki Ching-coa-to, akan tetapi aku menyangkal kalau dianggap bertingkah atau menjual lagak. Sesungguhnya, aku tidak mempunyai niat yang tidak baik dan apa bila kalian sudi memaafkan, biarlah sekarang juga aku pergi dan tidak akan lagi mencampuri urusan orang lain."

Ucapan ini amat merendah, dan oleh Bouw Si Ma dianggap bahwa orang buta itu menjadi jeri dan ketakutan mendengar namanya dengan julukan Si Tangan Maut. Dia lalu tertawa menyeringai dan membentak lagi, "Kau memperlihatkan kepandaian tadi, apa kau kira di sini tidak ada orang yang mampu memberi hajaran kepadamu? Nah, kau rasakan pukulan Si Tangan Maut merenggut nyawamu!"

Serta merta Bouw Si Ma menerjang. Pukulannya lambat dan perlahan saja, akan tetapi angin pukulan menderu menyerang ke arah dada Kun Hong. Orang muda ini sudah siap, maklum akan kehebatan pukulan itu. Hal ini tidak membuat dia jeri atau bingung. Yang membuat dia bingung adalah bahwa dia kini sudah terlibat dalam urusan besar, mendatangkan permusuhan pada orang-orang lihai penghuni Pulau Ching-coa-to. Inilah yang membingungkannya, karena sesungguhnya tiada niat di hatinya meski sedikit juga untuk bermusuhan dengan siapa pun juga. Sekarang karena menuruti Loan Ki, memasuki pulau ini dia bertemu dengan Hui Kauw yang menarik hatinya dan karena dia ingin melindungi nona bidadari itu, dia terseret dalam pertempuran.

Dengan hati sedih ia menggunakan langkah-langkah rahasia dari Kim-tiauw-kun sehingga lima kali pukulan bertubi dari Bouw Si Ma hanya mengenai angin belaka. Bouw Si Ma berhenti sebentar sambil melongo. Pukulan-pukulannya tadi bertingkat, makin lama makin berat dan hebat. Akan tetapi, orang yang diserangnya itu bergerak aneh dan dia merasa seakan-akan menyerang bayangan sendiri saja, sudah tentu tidak berhasil.

"Bouw-loenghiong, aku tidak ingin berkelahi..." Terpaksa Kun Hong mengelak lagi karena belum juga dia habis bicara, lawannya sudah mengirim penyerangan lagi sebanyak tujuh jurus menggunakan pukulan-pukulan tangan serta tendangan-tendangan kaki yang lebih gencar dan berat lagi. Setiap pukulan atau tendangan ini mengandung tenaga lweekang tersembunyi dan cukup kuat untuk mengirim nyawa lawannya ke akhirat.

Kun Hong mengerutkan keningnya. Kejam sekali orang ini. Untuk urusan kecil saja sudah menurunkan tangan maut, menghendaki nyawa orang. Untuk memberi peringatan, pada jurus ke tujuh selagi kepalan tangan Bouw Si Ma berkelebat ke dekat lehernya, Kun Hong menyentil dengan telunjuk kanannya ke arah belakang atau punggung kepalan kiri orang Mancu itu.

"Aduh... keparat...!"

Orang-orang yang berada di situ, kecuali Ka Chong Hoatsu, terheran-heran karena tidak ada yang dapat melihat perbuatan Kun Hong ini. Mereka hanya melihat pemuda buta itu terhuyung ke sana ke mari dengan kedua tangannya bergerak-gerak seperti mengimbangi badan agar tidak jatuh. Kenapa Bouw Si Ma yang penuh semangat menyerang membabi buta itu malah mengaduh-aduh sendiri dan tubuhnya mendadak menggigil seperti orang terserang demam malaria?

Akan tetapi karena Bouw Si Ma memang seorang ahli silat tingkat tinggi, hanya sebentar saja dia menggigil. Segera dia bisa menguasai dirinya kembali dengan jalan menyalurkan lweekang untuk melawan getaran hebat akibat sentilan si buta yang tepat menyinggung jalan darahnya itu.

"Bocah buta she Kwa, kau sudah bosan hidup!" teriaknya sambil mencabut pedangnya yang berwarna hitam, terus saja menyerang hebat.

Kun Hong kaget sekali. Desing pedang ketika dicabut dan desir angin serangan senjata itu membuat dia maklum bahwa ternyata dalam hal ilmu pedang, orang Mancu ini jauh lebih lihai dari pada ilmu silat tangan kosongnya. Pedang yang digunakannya pun sebatang pedang yang ampuh, sedangkan tenaga lweekang yang terkandung di dalam gerakan pedang amat kuat dan matang.

Kiranya orang Mancu ini seorang ahli pedang, pikirnya. Dia tidak berani gegabah, tidak mau memandang rendah dan sambil memiringkan tubuh dan menekuk lutut ke belakang, cepat tongkatnya dia gerakkan untuk menghalau serangan lawan. Benar saja dugaannya, ketika tongkatnya terbentur dengan pedang lawan, pedang itu tergetar dan dari getaran ini langsung menyeleweng menjadi serangan lanjutan yang lebih ganas!

Kun Hong berlaku hati-hati sekali. Gerakan lawan ini selain cepat dan bertenaga, juga sangat aneh, belum dikenalnya karena merupakan ilmu pedang dari utara yang beraneka ragam. Dengan Kim-tiauw-kiam-hoat, yaitu Ilmu Pedang Rajawali Emas yang gerakannya amat gesit dan kelihatan aneh pula, dia selalu berhasil menghindarkan diri menggunakan langkah-langkah rahasia sambil menggerakkan tongkat untuk membentur pedang lawan.

Orang-orang di situ menjadi makin terheran-heran. Pemuda buta ini terhuyung ke sana ke mari seperti orang mabuk, cara dia menghadapi serangan-serangan Bouw Si Ma amat aneh dan kacau, tidak seperti ilmu silat, akan tetapi mengapa semua serangan Bouw Si Ma selalu mengenai tempat kosong belaka?

Lebih heran lagi adalah Ka Chong Hoatsu, karena hwesio tua ini melongo menyaksikan Kim-tiauw-kun, lalu terdengar dia berbisik, "Apa setan tua Bu Beng Cu sudah menurunkan ilmunya kepada bocah buta ini?"

Pikirannya melayang-layang ke masa lampau. Ketika masih muda dia pernah bertempur melawan kakek Bu Beng Cu sampai ribuan jurus, namun akhirnya dia harus menerima kekalahan dengan tulang pundak patah saat Bu Beng Cu menggunakan ilmu silat seperti gerakan burung yang amat aneh.

Semenjak itu dia tak pernah bertemu pula dengan kakek Bu Beng Cu, bahkan selama berpuluh tahun merantau, belum pernah dia melihat ilmu silat aneh itu dimainkan orang. Kenapa sekarang tiba-tiba bocah buta ini bisa mainkan ilmu membela diri yang tampaknya sama benar dengan gerakan-gerakan Bu Beng Cu dahulu?
cerita silat karya kho ping hoo

Sementara itu, ketika melihat betapa Bouw Si Ma masih belum juga mampu menjatuhkan si buta, Souw Bu Lai si Pangeran Mongol mengeluarkan gerengan keras dan menerjang maju sambil membentak, "Setan buta, kau benar-benar hendak menjual lagak di sini!"

Sekaligus Pengeran Mongol ini menggerakkan senjatanya yang paling dia andalkan, yaitu sehelai sabuk baja yang digandeng-gandeng serta saling mengait dan setiap mata kaitan mengandung duri-duri meruncing. Inilah senjata semacam joan-pian baja yang berbahaya sekali karena lawan yang terkena ujungnya saja tentu akan terluka hebat!

Sambaran senjata mengerikan itu lewat di atas kepala Kun Hong ketika pemuda buta itu mengelak sambil merendahkan tubuh. Dari suara desir anginnya Kun Hong tahu bahwa penyerangnya yang baru ini memiliki tenaga gajah sehingga sekali lagi hatinya mengeluh. Dia kini harus menghadapi pengeroyokan dua orang lawan tangguh, dan siapa tahu kalau pertempuran ini tidak akan menjadi makin hebat jika yang lain-lain maju pula.

"Aku tidak ingin berkelahi... ahhh, kenapa kalian berdua mendesakku?"

"Sublai, gunakan Liok-coa-kun!" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata kepada muridnya.

Souw Bu Lai menyanggupi dan segera ruyung lemas di tangannya bergerak cepat sekali, menyambar-nyambar seperti enam ekor ular yang mengeroyok seekor katak. Liok-coa-Kun atau Ilmu Silat Enam Ekor Ular adalah ciptaan Ka Chong Hoatsu sendiri yang berdasarkan penyerangan dan mempertahankan dari enam penjuru, yaitu dari kanan kiri muka belakang dan atas bawah. Gerakan-gerakannya meniru gaya gerakan ular yang sukar sekali diduga oleh lawan, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu silat ini.

Ka Chong Hoatsu yang merasa curiga menyaksikan gerakan permainan silat Kun Hong sengaja menyuruh muridnya menggunakan ilmu simpanan itu sebab dia hendak memaksa Kun Hong mengeluarkan kepandaiannya sehingga dia dapat mengenal betul dari aliran manakah bocah buta yang amat lihai dan masih muda sudah memiliki ilmu kesaktian ini.

Tingkat kepandaian Pangeran Souw Bu Lai sebetulnya tidak lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Bouw Si Ma. Malah boleh dibilang orang Mancu murid Pak-thian Lo-cu ini lebih matang dan lebih banyak pengalamannya karena memang lebih tua. Akan tetapi karena senjata yang dipergunakan oleh pangeran itu lebih jahat dan amat ganas, maka bantuannya ini memiliki daya penyerangan yang tidak kalah hebatnya sehingga Kun Hong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya.

Kini lebih banyak lagi jurus-jurus Kim-tiauw-kun harus ia keluarkan untuk menyelamatkan dirinya, sebab dua orang ini benar-benar mengarah nyawanya. Tongkatnya berkelebatan, kadang-kadang tampak cahaya kemerahan dari pedang Ang-hong-kiam yang tersembunyi di dalam tongkat.

Sementara itu, Ching-toanio menjadi makin marah melihat betapa dua orang tamu yang amat diandalkan itu tetap juga belum dapat merobohkan si buta yang telah mendatangkan kekacauan di pulau. Ia menoleh ke arah Hui Kauw dan makin panas hatinya melihat anak pungutnya ini memandang penuh kagum dan kekhawatiran pada Kun Hong yang sedang dikeroyok. Malah ia mendengar suara gadis itu perlahan.

"Curang... curang... matanya sudah buta masih dikeroyok..."

Ching-toanio meloncat ke depan Hui Kauw, matanya menyinarkan cahaya bengis. "Hui Kauw, betul-betulkah kau tidak main gila dan berjinah dengan bocah buta itu?"

"Tidak, Ibu."

"Kalau begitu, hayo kau bantu Pangeran Souw dan pamanmu Bouw untuk merobohkan dan membikin mampus setan buta itu!"

Hening sejenak, kecuali suara beradunya senjata-senjata mereka yang tengah bertempur. Lalu lirih terdengar "tapi... dua orang yang begitu lihai masih tak mampu mengalahkan dia, apa lagi aku, Ibu? Kepandaianku amat rendah, mana bisa menangkan dia..."

"Peduli amat dengan kepandaianmu! Aku hanya ingin melihat apakah kau ini benar-benar pacarnya atau bukan. Apa bila kau berani mengeroyoknya dan kemudian membunuhnya dengan pedangmu, aku baru mau percaya bahwa kau bukan pacar si buta itu!"

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Hui Kauw mendengar ini. Sebetulnya, di luar tahu ibunya, ia telah mempunyai ilmu silat yang amat tinggi yang ia pelajari secara rahasia. Ia dapat mengira-ngira bahwa apa bila dibandingkan dengan ibunya sendiri, bahkan dengan Pangeran Sublai atau malah dengan Bouw Si Ma kiranya ia tak akan kalah!

Dan melihat ilmu silat aneh dari Kun Hong, biar pun amat lihai akan tetapi kalau ia maju lagi mengeroyok, orang buta itu takkan mampu menahan lagi. Akan tetapi, orang buta itu tak mempunyai dosa. Malah ialah orangnya yang berdosa, karena si buta ini menghadapi bahaya maut karena dia!

"Tidak, Ibu," jawabnya dengan suara tetap, "Dia tidak bersalah apa-apa, aku tidak mau mengeroyoknya. Malah kuharap Ibu suka membebaskan saja dia dan gadis temannya itu agar keluar dari pulau dengan aman. Mereka berdua itu tidak mempunyai kesalahan apa pun."

"Anak setan kau! Kau malah memihak musuh?"

"Mereka bukan musuh..."

"Kalau begitu kau ingin mampus!"

"Terlalu besar budi yang dilimpahkan Ibu sejak aku kecil, kalau Ibu kehendaki, nyawaku boleh untuk membalas budi itu..."

"Keparat...!"

Terdengar oleh Kun Hong yang sejak tadi mendengarkan suara bidadari itu, suara yang sangat mengejutkan hatinya. Suara pukulan-pukulan yang dilakukan bertubi-tubi kepada tubuh Hui Kauw yang agaknya tidak mau membalas atau mengelak, hanya mengeluh lirih menahan nyeri.

Meluap amarah di hati Kun Hong dan gerakan tongkatnya serentak berubah. Segulung sinar merah berkelebat disusul teriakan kaget Pangeran Souw Bu Lai dan Bouw Si Ma yang terhuyung mundur sambil memegangi lengan kanan yang luka-luka berdarah. Saat itu dipergunakan oleh Kun Hong untuk mencelat ke arah Hui Kauw, kakinya menendang dan... tubuh Ching-toanio terlempar sampai lima meter jauhnya!

Kun Hong meraba-raba dengan tangannya, membungkuk kemudian memondong tubuh Hui Kauw yang sudah lemas dan pingsan. Terkejut sekali hati Kun Hong ketika rabaan tangannya mendapat kenyataan betapa nona itu terluka hebat sekali, tubuhnya terserang pukulan beracun dengan beberapa tulang rusuknya patah! Saking marahnya Kun Hong merasa betapa mukanya menjadi panas sekali.

"Ching-toanio...!" Dia berteriak dengan suara agak gemetar. "Alangkah kejamnya hatimu! Kau mengaku bahwa nona ini adalah puterimu, akan tetapi perbuatanmu terhadap dia sama sekali bukan sikap seorang ibu sejati. Perbuatanmu biadab dan tak patut dilakukan oleh seorang wanita kepada anaknya. Sebab itu, jelaslah bahwa nona ini bukan anakmu! Seekor harimau betina yang bagaimana liar dan ganas sekali pun takkan makan anaknya sendiri, betapa seorang manusia bisa membunuh anaknya?"

"Jembel buta setan alas!" Ching-toanio memekik dan memaki-maki.

Malunya bukan main bahwa ia seorang tokoh dunia kangouw, majikan dari Ching-coa-to yang tersohor, kini hanya dengan sekali tendang saja telah dibikin terlempar oleh seorang pengemis muda dan buta lagi!

"Keparat tak bermalu, urusan antara ibu dan anak, kau orang luar berani mencampuri?"

Kun Hong tersenyum pahit, lalu terdengar suaranya dingin, "Alasan seorang iblis di dalam tubuh seorang ibu. Meski pun mataku buta, hatiku tidak sebuta hatimu. Aku masih dapat membedakan siapa yang berhak ditolong dan siapa pula yang wajib diberantas! Nona ini terang tak berdosa, kalian menjatuhkan fitnah hanya untuk dalih agar dapat menyiksanya, dapat membunuhnya! Tapi, selama Kwa Kun Hong masih hidup dan berada di sini, jangan harap kau akan dapat mengganggu selembar rambutnya!"

Dengan tangan kirinya mengempit tubuh Hui Kauw yang pingsan, Kun Hong berdiri sambil melintangkan tongkatnya, bersiap menanti serbuan orang-orang itu. Dia bertekad untuk melindungi nona itu.

"Hong-ko, mengapa engkau mencampuri urusan orang lain?" Mendadak suara Loan Ki mencelanya dan gadis ini sudah meloncat ke depannya. "Hong-ko, kau sudah membikin ribut dan kacau di sini, membikin urusan menjadi makin besar saja. Kau lepaskan si muka hitam itu dan mari kita ke luar dari pulau ini."

"Ki-moi, mana bisa aku membiarkan saja orang membunuh dia yang sama sekali tidak bersalah atas dasar fitnah yang begitu keji?"

"Hong-ko, kau sudah mati-matian membelanya... apakah... apakah kau sudah jatuh cinta kepadanya...?"

"Hushh, jangan bicara yang bukan-bukan, aku... aku..." Tiba-tiba tubuh Kun Hong menjadi lemas dan dia roboh.

Kiranya Loan Ki yang tadi memegang-megang tangannya itu secara mendadak menotok jalan darah di punggungnya yang membuat Kun Hong menjadi lemas kehilangan tenaga. Dia masih berusaha memulihkan kekuatan, akan tetapi yang mampu dia lakukan hanya mencengkeram tongkatnya saja, malah tubuh Hui Kauw dalam kempitannya juga terlepas dan jatuh bergulingan, saling tindih dengan tubuhnya sendiri.

Bagaimana Loan Ki yang tadinya dibelenggu bisa mendekati Kun Hong dan melakukan pengkhianatan ini? Gadis ini tadinya memang dibelenggu, akan tetapi ia dilepaskan oleh Souw Bu Lai ketika pangeran ini maju menyerang Kun Hong. Karena ujung tali itu tidak dipegangi orang, dengan mudah Loan Ki dapat sedikit demi sedikit meloloskan kedua tangannya sehingga ia menjadi bebas.

Tidak ada orang yang memperhatikannya, apa lagi dia merupakan tawanan yang tidak penting karena tadi orang mengikatnya hanya untuk menjaga kalau-kalau sahabatnya yang buta itu benar-benar amat lihai dan mengamuk, maka ia dibelenggu untuk dijadikan jaminan. Siapa kira si buta itu benar-benar mengamuk, tetapi bukan karena tertawannya Loan Ki, melainkan karena soal lain, yaitu soal nona Hui Kauw.

Ada pun Loan Ki sendiri sejak tadi hatinya telah panas dan iri menyaksikan betapa Kun Hong membela Hui Kauw secara mati-matian. Gadis ini masih terlalu muda untuk dapat menafsirkan tentang cinta kasih. Ia tidak ingat bahwa untuk dirinya sendiri pun Kun Hong membela mati-matian.

Sekarang, melihat Kun Hong membela seorang gadis lain, ia pun menjadi iri hati, bukan cemburu karena pada saat itu ia tidak tahu apakah ia mencinta si buta ini ataukah tidak. Pendeknya, hatinya tidak senang melihat Kun Hong membela Hui Kauw, apa lagi melihat betapa si buta itu memondong tubuh nona yang sudah pingsan itu.

Oleh karena itu ia lalu mendekati, menegur dan menotok roboh Kun Hong dengan maksud menghentikan usaha Kun Hong membela Hui Kauw. Tentu saja Kun Hong terkejut bukan main. Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa Loan Ki akan berbuat seperti itu dan inilah sebabnya pula dia mudah dirobohkan.

Dia sama sekali tidak pernah menduga dan karena itu tidak berjaga diri terhadap Loan Ki. Kini setelah roboh dan tidak berhasil memulihkan tenaga, dia terkejut dan terheran-heran, namun tidak khawatir karena maklum bahwa tidak akan ada hal yang lebih hebat dari pada kematian, sedangkan kematian itu baginya bukan apa-apa, seperti air sungai yang mengalir kembali ke laut di mana dia akan bersatu dengan Cui Bi!

Ternyata Ching-toanio yang ditendang sampai mencelat lima meter oleh Kun Hong tadi tidak terluka berat, hanya mendapat luka ringan berupa benjol-benjol dan barut-barut saja. Hal ini adalah karena Kun Hong memang sengaja tidak mengarah nyawa orang, hanya melakukan tendangan tanpa disertai tenaga dalam yang dapat mengakibatkan luka hebat. Malah kedua orang pengeroyoknya tadi, Souw Bu Lai dan Bouw Si Ma, hanya terluka di lengan kanannya dengan goresan-goresan yang tidak dalam, hanya mengeluarkan darah akan tetapi ternyata merupakan luka kulit belaka.

Sekarang ketika melihat betapa Kun Hong sudah roboh, Ching-toanio masih tak mampu mempertahankan kemarahannya. Ia segera mencabut pedang dan melompat maju untuk membacok putus leher pemuda buta yang sudah banyak membikin malu kepadanya itu.

"Tranggg!"

Bunga api berpijar saking kerasnya bentrokan pedang ini.

"Ching-toanio, tak boleh kau membunuh Hong-ko!" teriak Loan Ki yang menangkis pedang Ching-toanio dengan pedangnya sendiri. "Kau boleh membunuh mampus anakmu si muka hitam, tapi Hong-ko tidak bersalah, kau tidak boleh membunuhnya."

Ching-toanio memandang dengan mata mendelik. "Dia berani mencemarkan nama baik Ching-coa-to, tampan dan berkepandaian tinggi, tidak tahu malu merayu dan melakukan perbuatan jinah, masih kau bilang dia tidak berdosa?"

"Ihh, kau keliru besar toanio. Hong-ko adalah seorang buta, mana dia bisa melihat tentang cantik tidaknya wanita? Mana bisa dia mampu menarik hati wanita? Tentu anakmu yang tak tahu malu itu yang sengaja menarik hati dan memikatnya dengan kata-kata halus. Hong-ko memang seorang muda yang tampan dan berkepandaian tinggi, tidak heran anakmu itu jatuh cinta. Hong-ko sendiri karena buta mudah saja dipikat, coba dia dapat melihat, apa dia sudi melayani seorang gadis yang mukanya seperti pantat kuali?"

"Keduanya harus mampus!" Ching-toanio kembali menggerakkan pedangnya.

Akan tetapi kembali Loan Ki menangkis, biar pun dua kali tangkisan itu sudah membuat telapak tangannya lecet-lecet.

"Ching-toanio, apa kau sebagai golongan lebih tua tidak malu? Kau berani turun tangan karena Hong-ko sudah kurobohkan. Hemm, andai kata aku tidak merobohkannya dengan totokan tanpa dia menduga, apa kau kira kau akan mampu bersikap segalak ini terhadap dia? Hi-hi-hik, benar-benar orang di Ching-coa-to tidak punya sopan santun persilatan!"

Bukan main tajamnya ucapan ini, melebihi tajamnya ujung seribu pedang. Ching-toanio menjadi pucat mukanya dan menahan pedangnya, matanya mendelik dan muka yang pucat itu berubah merah. Ia adalah seorang kang-ouw yang sudah memiliki nama besar, tentu saja sekarang mendengar ucapan ini, ia tidak ada muka untuk nekat menyerang Kun Hong yang sudah tak berdaya itu.

Semua orang di situ tahu belaka bahwa robohnya Kun Hong si buta itu adalah karena serangan gelap yang dilakukan Loan Ki, sama sekali bukan roboh oleh Ching-toanio atau yang lain. Kemarahannya meluap-luap akan tetapi tertahan sehingga kini kemarahannya ini ditumpahkan kepada Hui Kauw seorang!

Hanya gadis inilah yang dapat menjadi bulan-bulanan kemarahannya tanpa ada seekor setan pun yang berani menghalanginya. Tadi pun hanya si buta itu yang membelanya dan sekarang setelah si buta roboh, siapa lagi akan membela anak angkat yang menimbulkan kemarahan dan kebencian ini?

"Anak keparat, kaulah gara-garanya!"

Ia menggerakkan pedangnya sambil melompat ke dekat Hui Kauw yang ternyata sudah sadar dari pingsannya, akan tetapi karena tubuhnya terluka hebat oleh pukulan-pukulan ibu angkatnya tadi, dia masih belum sanggup bangun. Kini melihat betapa Kun Hong tak berdaya, rebah dalam keadaan tertotok, hatinya terkejut bukan main.

Timbul kekhawatirannya untuk keselamatan si buta ini, dan sekaligus timbul ingatannya untuk menolong Kun Hong. Maka begitu melihat sambaran pedang di tangan ibunya ke arah leher, Hui Kauw menggulingkan tubuhnya. Pedang itu meluncur menghantam tanah dan gadis itu dengan pengerahan tenaga yang luar biasa telah dapat bangun dan duduk.

Pedang itu, yang dikendalikan tangan Ching-toanio yang marah mengejar dan menyerang lagi, namun kini dalam keadaan duduk Hui Kauw lebih mudah mengelak. Semua orang terheran-heran, terutama sekali Ching-toanio dan Hui Siang.

Bagaimana mendadak Hui Kauw yang sudah terluka hebat itu memiliki gerakan-gerakan aneh sehingga dalam keadaan seperti itu bisa menghindarkan serangan pedang? Dengan penuh keheranan yang berubah menjadi penasaran dan malu, Ching-toanio memperhebat serangannya, bertubi-tubi mengirim tusukan dan bacokan ke arah tubuh anak angkatnya.

Akan tetapi, kemudian benar-benar terjadi keanehan bagi nyonya galak ini. Hanya dengan menggerak-gerakkan tubuhnya secara aneh, kadang rebah dan ada kalanya meloncat ke atas dan duduk kembali, Hui Kauw dapat menyelamatkan diri dari semua serangan itu, sungguh pun makin lama gerakannya makin lemah dan lambat karena memang luka-luka di tubuhnya sudah parah. Kalau saja tidak sedemikian parah luka-luka di tubuhnya, tentu dengan kepandaiannya yang masih dirahasiakan itu ia dapat menyelamatkan diri dengan mudah.

Sementara itu, Kun Hong yang tadinya terkejut dan heran, juga maklum bahwa dia telah dikhianati Loan Ki dan tinggal menanti datangnya maut ketika dia roboh tertotok oleh Loan Ki tanpa dia dapat mencegahnya karena sebelumnya dia tidak berjaga lebih dahulu dan tidak pernah menduga akan mendapat penyerangan gelap dari gadis ini.

Tetapi dasar memang di tubuhnya sudah terisi hawa murni yang amat kuat, sedangkan tenaga dalamnya adalah tenaga dalam yang dilatih menurut ilmu silat tinggi yang bersih, maka pengaruh totokan Loan Ki yang bagi orang lain tentu akan dapat melumpuhkan sampai berjam-jam itu, ternyata bagi Kun Hong hanya melumpuhkannya beberapa menit saja! Dengan mengerahkan tenaga berulang-ulang, akhirnya Kun Hong dapat membobol kemacetan jalan darahnya dan tenaganya pulih kembali seperti sebelum tertotok.

Kun Hong tidak marah kepada Loan Ki, hanya heran karena dia masih belum mengerti mengapa gadis lincah itu merobohkan dirinya. Makin besar keheranannya pada saat dia mendengar betapa secara mati-matian Loan Ki menolong dirinya dari serangan-serangan Ching-toanio, malah membelanya dengan omongan-omongan pedas.

Tentu saja keheranan ke dua ini disertai kegirangan hati bahwa terbukti Loan Ki tidak memusuhinya, malah melindunginya. Akan tetapi mengapa tadi menotoknya roboh? Dan bagaimana pula setelah menotok roboh dengan serangan gelap, sekarang membela dan melindunginya mati-matian pula?

Benar-benar aneh sekali gadis lincah ini. Kun Hong merasa seperti menghadapi sebuah teka-teki yang sangat kuat. Dia sengaja berpura-pura tak berdaya dan membiarkan saja Loan Ki bersitegang dengan Ching-toanio, tetapi ketika mendengar betapa Ching-toanio menyerang Hui Kauw secara hebat dan membabi buta, dia tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Tiba-tiba dia meloncat bangun, sekali mengenjot tubuh dia telah menyambar ke arah Ching-toanio.

Ching-toanio mendengar seruan kaget dari semua orang yang tiba-tiba melihat gerakan Kun Hong yang tadinya lumpuh itu. Pada saat ia melihat betapa si buta itu menerjang ke arahnya, ia menjadi marah sekali dan pedangnya memapaki dengan sebuah tusukan kilat ke arah ulu hati. Dalam penyerangan ini, Ching-toanio menggunakan semua tenaganya karena ia memang marah sekali dan ingin menebus kekalahan dan semua penghinaan yang dia alami tadi.

Sinar pedang di tangan Ching-toanio berkelebat menusuk. Kun Hong miringkan tubuhnya dan pedang itu lantas ambles di bagian dada sampai menembus punggung si buta itu. Terdengar jeritan-jeritan keluar dari mulut Hui Kauw dan Loan Ki sekaligus. Akan tetapi kedua orang nona ini yang merasa ngeri dan terkejut sekali, tidak berusaha untuk maju menolong karena mereka kini, seperti yang lain-lain, berdiri bengong penuh keheranan.

Biasanya kalau orang terkena tusukan pedang, apa lagi sampai menembus punggung, tentu akan mengeluh, atau roboh, setidak-tidaknya darah tentu akan mengalir ke luar. Akan tetapi si buta ini lain lagi reaksinya. Dia berdiri tegak dengan pedang lawan masih menancap di bagian pinggir dada, mulutnya tersenyum, sikapnya tenang dan tidak ada setetes pun darah mengalir ke luar.

Ching-toanio mengerahkan tenaganya menarik ke luar pedangnya dan... tiba-tiba saja ia terhuyung ke belakang dan mukanya menjadi pucat. Pedang itu tinggal gagangnya saja, selebihnya masih ‘menancap’ di dada Kun Hong.

Ketika pemuda buta itu menggerakkan lengan kanan, terdengar suara…

"Krekk!" dan jatuhlah sebatang pedang tanpa gagang, sudah patah menjadi tiga potong!

Kiranya pemuda itu bukan tertusuk pedang, melainkan senjata itu ketika tadi menusuk ulu hatinya dia miringkan tubuh dan secara cepat dan lihai sekali sampai dapat mengelabui mata banyak orang-orang pandai, dia berhasil menjepit pedang itu di bawah ketiaknya!


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 10


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.