CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BUTA JILID 10
Kun Hong tidak pedulikan lagi Ching-toanio yang masih bengong keheranan, dia malah menghampiri Hui Kauw, membungkuk dan sekali bergerak gadis itu sudah dipondongnya lagi.
"Saudara Kwa... jangan... kau lepaskanlah aku...," Hui Kauw berkata lemah. Hatinya tidak karuan rasanya dan dia merasa amat malu dipondong oleh seorang laki-laki muda, biar pun buta, di depan banyak orang itu….
"Sshhh, diamlah, Nona. Kau tidak boleh banyak bergerak, kau tidak boleh mengeluarkan suara dan tenaga... lukamu amat hebat... kurasa sedikitnya sebuah tulang rusukmu patah, jantungmu tergoncang, hawa beracun telah memasuki darahmu, aku harus mengobatimu, jangan kau banyak bergerak, kau menurutlah saja..."
Pada waktu itu ada angin menyambar dari arah depan dan suara yang hampir tak dapat ditangkap pendengaran Kun Hong menunjukkan betapa orang yang meloncat dan turun di depan Kun Hong benar-benar memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Kun Hong maklum akan hal ini, dia bersiap-siap sambil memondong Hui Kauw, keningnya berkerut karena dia benar-benar merasa serba susah bagaimana harus melindungi gadis ini dari ancaman sekian banyaknya orang pandai.
Pada saat itu terdengar suara Hui Kauw mengeluh panjang dan tubuh gadis itu menjadi lemas. Kiranya gadis ini kembali jatuh pingsan setelah tadi mengeluarkan banyak tenaga dalam menghadapi ibu angkatnya untuk mengelak dari bahaya maut. Kun Hong merasa lega. Dengan pingsannya gadis ini, akan lebih leluasa baginya untuk bergerak. Sekarang dia dapat mengempit tubuh itu tanpa sungkan-sungkan dan tak akan mendatangkan rasa malu kepada gadis itu.
Dia cepat mengubah caranya memondong tubuh Hui Kauw, kini dia menggunakan lengan kirinya memeluk pinggang gadis yang pingsan itu dan mengempitnya. Tangan kanannya yang memegang tongkat siap menghadapi serbuan lawan. Terdengar oleh Kun Hong suara yang tenang dan berat, suara yang mengandung tenaga dalam yang amat hebat.
"Omitohud, pinceng sebetulnya harus malu menghadapi seorang pemuda yang tak dapat melihat lagi. Orang muda, kau benar-benar hebat sekali. Kelihaianmu telah mengalahkan banyak orang pandai membuat pinceng mengesampingkan rasa malu dan ingin pinceng mencoba kehebatan kepandaianmu yang sangat aneh. Akan tetapi sebelumnya pinceng ingin sekali tahu, siapakah gurumu yang mewariskan ilmu-ilmu aneh ini kepadamu?"
Kun Hong kaget dan maklum bahwa yang berada di depannya adalah seorang hwesio yang berilmu tinggi. Cepat dia menjura dan menjawab, "Syukurlah bahwa di sini terdapat Lo-suhu yang saya percaya mempunyai pertimbangan adil dan pemandangan yang luas. Lo-suhu, tentang riwayat saya bukanlah hal penting, malah tidak berharga untuk didengar oleh orang lain. Lo-suhu, kedatangan saya ini sesungguhnya sama sekali bukan ingin bermusuhan atau berkelahi, oleh karena itu harap Lo-suhu sudi melimpahkan kemurahan hati dan dapat menghentikan perkelahian-perkelahian yang tidak saya kehendaki ini. Terhadap seorang suci seperti Lo-suhu, mana berani saya yang muda dan bodoh berlaku kurang ajar?"
Pendeta itu tertawa bergelak. Kun Hong tentu saja tidak tahu betapa hwesio ini dengan kedipan matanya memberi isyarat kepada orang-orang yang berada di sana. Kemudian bertanya, "Orang muda, meski pun matamu buta tapi hatimu melek. Tentu saja pinceng tidak mau memaksa kalau kau tidak menghendaki perkelahian. Akan tetapi kau datang di sini menimbulkan keributan, apa sih yang kau inginkan sekarang?"
"Maaf, Lo-suhu. Sama sekali saya tidak bermaksud mengadakan keributan. Semua yang dilontarkan kepada saya dan nona Hui Kauw ini hanyalah fitnah belaka. Tidak ada yang saya kehendaki kecuali agar orang tidak membunuh nona Hui Kauw, membiarkan saya mengobatinya sampai sembuh kemudian memberi kebebasan kepada saya beserta nona Loan Ki untuk meninggalkan pulau ini dengan aman."
Kembali Ka Chong Hoatsu mengedipkan matanya kepada Ching-toanio dan yang lain-lain, kemudian dia tertawa lagi. "Omitohud, kiranya sahabat muda yang lihai pandai pula ilmu pengobatan. Nona itu kulihat menderita luka-luka amat berat akibat pukulan, sanggupkah kau menyembuhkannya?"
"Jika Thian menghendaki, tentu dapat. Saya yang buta sedikit banyak paham akan ilmu pengobatan."
"Hwesio tua, jangan kau memandang rendah kepadanya. Orang sakit apa pun juga asal belum mampus tentu dapat dia sembuhkan. Dia adalah murid Toat-beng Yok-mo, masa tidak bisa mengobati?"
Ucapan Loan Ki ini membuat Kun Hong mengerutkan kening dan dia tidak tahu bahwa gadis nakal itu tentu pernah mendengar dia menyebut nama Toat-beng Yok-mo, kalau tidak salah ketika dia mengobati orang-orang Hui-houw-pang di mana gadis itu diam-diam sudah lama bersembunyi dan mengintai.
Tidak hanya Kun Hong yang mengerutkan kening, bahkan semua orang di situ, terutama sekali Ka Chong Hoatsu, menjadi heran dan kaget sekali. Tentu saja semua orang pernah mendengar nama Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), siapa orangnya yang belum pernah mendengar nama tabib iblis yang luar biasa pandai mengobati, akan tetapi selalu membunuh orang yang telah diobatinya sampai sembuh itu?
Seketika pandangan mereka terhadap Kun Hong berubah, karena boleh dibilang bahwa Toat-beng Yok-mo adalah orang ‘segolongan’ dengan mereka.
"Omitohud! Betulkah kau adalah murid Yok-mo, orang muda?" Ka Chong Hoatsu akhirnya bertanya.
Kun Hong adalah seorang yang jujur dan tak suka membohong, maka dengan suara biasa dia menjawab, "Diangkat murid sih tidak, akan tetapi mendiang Yok-mo pernah memberi ijin kepadaku untuk membaca kitab-kitabnya tentang ilmu pengobatan, entah hal ini boleh dianggap saya sebagai muridnya ataukah tidak terserah."
"Oho!" Ka Chong Hoatsu kembali memberi isyarat kepada yang lain, maju ke depan dan menyentuh pundak Kun Hong. "Kiranya kau masih orang sendiri! Kwa-sicu, kalau begitu tidak ada urusan lagi di antara kita dan soal pertempuran tadi kita anggap saja sebagai kunci perkenalan. Ching-toanio, pinceng harap kau sudi menghabiskan urusan dan biarlah diberi tempat untuk Kwa-sicu mengobati puterimu."
Kun Hong menjadi melengak ketika urusan berbalik secara demikian. Semua orang, termasuk juga Hui Siang gadis yang galak itu, mengucapkan maaf kepadanya, juga Bouw Si Ma, Pangeran Souw Bu Lai, dan Ching-toanio. Malah terdengar suara Ngo Kui Ciau, orang pertama dari Ang Hwa Sam-cimoi yang bersuara kecil melengking,
"Pantas saja lihai, kiranya murid si tua bangka Yok-mo. Hi-hi-hik, tak perlu ribut-ribut, biar buta tapi amat tampan dan gagah, lagi lihai dan murid Yok-mo. Toanio, kurasa pantas dia menjadi mantumu, hi-hi-hik!"
Mendongkol sekali Kun Hong, akan tetapi juga wajahnya berubah merah tanpa dapat dia cegah, karena mendengar ucapan seperti itu, entah mengapa, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tidak banyak bicara dan menurut saja ketika dia diajak ke dalam bangunan itu yang untuk sementara diserahkan kepadanya sebagai tempat untuk mengobati Hui Kauw.
"Tidak lama... tidak lama..." katanya gugup. "Sebentar saja akan kupulihkan kedudukan urat-uratnya, kusambung tulangnya dan kubersihkan hawa beracun yang menyerangnya. Besok ia sudah pulih kembali, hanya tinggal memperkuat pertumbuhan tulang-tulang yang disambung. Aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini dan akan segera keluar dari pulau ini bersama nona Loan Ki."
Dia merasa heran sekali mengapa Loan Ki diam saja, tidak ada suaranya sama sekali. Dia tidak melihat betapa nona ini biar pun berada pula di situ, mukanya murung dan cemberut terus. Pangeran Souw Bu Lai yang beberapa kali berusaha untuk memikatnya dengan omongan-omongan manis, tidak diacuhkannya sama sekali. Akhirnya pangeran itu bosan sendiri dan nampak mendekati Hui Siang, bercakap-cakap gembira dan disambut manis oleh nona cantik jelita yang galak itu.
Orang-orang menjadi kagum menyaksikan cara Kun Hong mengobati Hui Kauw. Dengan tusukan-tusukan jarum perak dia dapat memulihkan kesehatan nona ini, mengusir ke luar hawa beracun akibat pukulan-pukulan Ching-toanio yang ampuh.
Kemudian dia meminta semua orang laki-laki keluar dari kamar karena dia hendak mulai menyambung tulang, dan untuk keperluan ini terpaksa baju nona Hui Kauw harus dibuka. Hanya Ching-toanio, Loan Ki, Ang Hwa Sam-cimoi, Hui Siang dan tiga orang pelayan wanita yang masih berada di kamar. Biar pun maklum di situ terdapat banyak orang pula yang menyaksikan, tangan Kun Hong sedikit gemetar juga ketika dia meraba kulit dada dan punggung yang halus pada waktu dia menyambung tulang iga yang patah!
Setengah hari dia bekerja keras dan akhirnya dia selesai, kemudian duduk bersila dan menempelkan dua tangannya ke pundak Hui Kauw dekat leher untuk menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh nona itu dan membantunya sekuat tenaga. Sejam dia melakukan ini dan mulailah pernapasan nona itu normal kembali dan mukanya menjadi merah sehat.
Pada saat itu Ching-toanio memberi isyarat kepada semua orang untuk meninggalkan kamar itu. Loan Ki tadinya hendak tinggal di situ, akan tetapi Ching-toanio berkata lirih, "Nona Tan, setelah sekarang kita menjadi sahabat, perlu kita bicara tentang urusan yang juga menyangkut ayahmu. Marilah, biar Kwa-sicu mengaso dulu, kulihat Hui Kauw sudah sembuh kembali."
Tak enak juga hati Loan Ki untuk membandel. Ia mengerling dengan mata ragu ke arah Kun Hong yang masih duduk bersila, lalu sinar matanya menyambar seperti kilat ke arah muka Hui Kauw yang hitam, setelah itu ia mendengus marah dan ikut keluar pula.
Kamar itu sunyi. Suara orang-orang di luar bercakap-cakap tidak dapat terdengar jelas oleh karena daun pintu kamar itu ditutup dari luar. Kun Hong melepaskan kedua telapak tangannya dari pundak nona itu, kemudian dengan perlahan dia mengurut jalan darah di punggung dan belakang leher. Terdengar nona ini mengerang perlahan. Kun Hong cepat menarik kembali tangannya dan melompat turun dari pembaringan, berdiri menanti.
"Uuuhhh, panas...," nona itu merintih.
"Tidak apa-apa, Nona. Hawa panas itu kau perlukan untuk mendorong peredaran darah di tubuhmu sehingga engkau akan menjadi sembuh benar-benar."
Hui Kauw membuka matanya, kaget melihat betapa tubuhnya bagian atas tidak berbaju, apa lagi melihat Kun Hong berdiri di situ dengan kepala tunduk. Dia cepat bangun dan menyambar bajunya yang berada di dekatnya, terus digunakan untuk menutupi tubuhnya.
"Bagaimana ini... apa yang terjadi... kau mengapa berada di sini...?" pertanyaan yang terputus-putus ini diajukan dengan suara gemetar.
Kun Hong dapat menangkap perasaan sedih, malu dan terhina dalam suara itu, maka dia membungkuk dengan hormat, kemudian berkata, "Kau menderita luka-luka, aku berusaha mengobatimu, disaksikan oleh keluargamu, Nona. Kini kau sudah selamat, perkenankan aku keluar dari tempat ini."
Tanpa menanti jawaban, dengan cepat Kun Hong lalu melangkah ke arah pintu, membuka daun pintu dan keluar dari situ.
Ka Chong Hoatsu sendiri menyambutnya. "Bagaimana Kwa-sicu, berhasilkan usahamu?"
"Dengan berkah Thian ia dapat pulih kembali kesehatannya," jawab Kun Hong sederhana.
Ching-toanio lantas berlari memasuki kamar dan Kun Hong masih mendengar suaranya, "Aduh, kasihan anakku..."
Kun Hong mengerutkan kening. Suara Ching-toanio ini adalah suara palsu. Hemm, akan berbuat apa lagikah wanita majikan pulau ini yang jahat dan palsunya sama saja dengan ular-ular hijaunya yang berbisa? Bukan urusanku, pikirnya, aku harus segera pergi dari tempat ini.
"Ki-moi, hayo kita pergi..."
Tidak ada jawaban.
"Di mana nona Loan Ki?" tanyanya kepada Ka Chong Hoatsu.
Hwesio tua itu tertawa. "Semua orang termasuk sahabatmu itu lagi berkumpul di ruangan sembahyang. Mari, Kwa-sicu, oleh karena pada saat ini kau pun menjadi seorang tamu terhormat, kau pun dipersilakan untuk ikut berpesta sambil ikut pula merayakan pelepasan perkabungan keluarga Ching-toanio."
"Pesta apa? Sembahyangan apa?" Kun Hong tak mengerti.
"Suaminya meninggal tiga setengah tahun yang lalu. Hari ini kebetulan sedang diadakan sembahyangan lalu diadakan sedikit pesta untuk merayakan pelepasan perkabungan ibu dan kedua anak."
"Maaf, Lo-suhu, aku... aku akan pergi saja. Tolong kau panggilkan nona Tan Loan Ki..."
"Ha-ha-ha, Kwa-sicu, apakah kau sebagai seorang yang sudah banyak merantau di dunia kangouw, tidak mau mengindahkan peraturan? Kau dianggap tamu terhormat, keluarga Ching-toanio hendak menyampaikan terima kasih, dan di sini sedang dilakukan upacara sembahyangan pula. Masa kau akan pergi begitu saja?"
Kun Hong menarik napas panjang. Memang betul juga ucapan hwesio itu. Apa lagi Loan Ki agaknya juga sudah berbaik dengan orang-orang itu, maka dia terpaksa mengangguk lemah.
"Baiklah, setelah sembahyang aku akan mengajak Loan Ki segera pergi. Tidak usah ikut berpesta, makanan dan arak yang dicuri Loan Ki dari sini sudah cukup mengakibatkan heboh!"
Hwesio itu tertawa lalu berjalan, sengaja memberatkan kakinya agar mudah diikuti oleh Kun Hong yang berjalan di belakangnya sambil meraba jalan dengan tongkatnya. Kiranya tidak jauh dari situ mereka sudah sampai di tempat yang dimaksudkan. Sebuah bangunan yang agak besar.
Telinga Kun Hong menangkap suara banyak sekali orang di situ, banyak suara wanita dan agaknya orang-orang pada sibuk bekerja, mungkin mengatur meja sembahyangan karena dia mendengar suara mangkuk-mangkuk ditaruh di atas meja dan tercium bau lilin besar dinyalakan di samping dupa harum memenuhi ruangan itu. Ia segera duduk pada sebuah kursi yang sudah disediakan untuknya.
Karena tempat itu ramai dengar suara orang, dia tidak dapat tahu apakah Loan Ki berada di situ ataukah tidak, untuk bertanya dia merasa kurang enak. Tentu saja dia tidak dapat melihat betapa di sudut ruangan itu Loan Ki duduk menyendiri dengan muka pucat dan sepasang mata gadis itu memandang ke arahnya dengan melotot penuh kemarahan!
Dugaannya memang benar. Di tempat itu selain orang-orang kosen yang telah disebutkan tadi berkumpul, makan minum sambil tertawa-tawa di ruangan itu bagian tengah, juga di sana terdapat belasan orang pelayan wanita berpakaian serba indah sedang mengatur meja sembahyang yang besar dan megah. Dua batang lilin naga warna merah dinyalakan di atas meja sembahyang yang dihias seperti meja sembahyang pengantin saja!
Kemudian terdengar suara Ka Chong Hoatsu berkata kepadanya, "Kwa-sicu, silakan kau melakukan sembahyang untuk menghormat abu jenazah mendiang suami Ching-toanio."
Pendeta itu menyerahkan beberapa batang hio (dupa batang) kepada Kun Hong. Pemuda buta ini bingung, akan tetapi merasa tidak enak untuk menolak. Penghormatan kepada abu jenazah merupakan syarat kesopanan yang tidak mungkin ditolak. Dia menurut saja ketika dituntun ke depan meja sembahyang.
"Bersembahyang di depan abu jenazah seorang yang tinggi tingkatnya, harus berlutut,"' Ka Chong Hoatsu berbisik.
Kun Hong yang pada dasarnya berwatak sopan dan suka merendahkan diri, kali ini juga tidak membantah, lalu berlutut, menyelipkan tongkat di pinggang dan memegangi batang-batang hio itu di antara tangannya.
Pada saat itu dia mendengar suara banyak kaki secara halus melangkah datang. Di sana sini lalu terdengar suara wanita tertawa tertahan, kemudian dia mendengar suara orang berlutut di samping kirinya. Lalu kagetlah dia ketika dia mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya, keharuman yang sama benar dengan ganda yang diciumnya ketika dia mengobati Hui Kauw di dalam kamar tadi.
Tidak dapat diragukan lagi, Hui Kauw tentu orangnya yang sekarang berlutut di sebelah kirinya! Apa artinya semua ini? Kenapa ia harus bersembahyang di depan abu jenazah itu berdampingan dengan Hui Kauw? Dia menjadi ragu-ragu dan menahan diri, tidak segera bersembahyang.
Pada saat itu, di antara suara hiruk-pikuk para pelayan, dia mendengar suara Loan Ki, penuh ejekan, penuh kebencian. "Hah, yang lelaki buta, yang perempuan bermuka hitam. Belum pernah selama hidupku melihat sepasang pengantin begini buruk!"
Kun Hong terkejut setengah mati. Tangan kirinya bergerak meraba dan... dia mendapat kenyataan bahwa Hui Kauw memakai pakaian pengantin, dengan muka berkerudung!
"Apa artinya ini?" Dia berseru dan bangkit berdiri membuang hio-nya ke samping.
Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menekan pundaknya, jari-jari tangan yang amat kuat itu mencengkeram jalan darahnya di pundak yang mengancam, karena begitu diremas dia akan menjadi lumpuh! Lalu terdengar bisikan suara Ka Chong Hoatsu,
"Orang she Kwa, jangan menolak! Kau sudah mencemarkan nama baik nona Giam Hui Kauw, kau malah sudah mengobatinya sampai sembuh. Untuk membalas budimu, dan untuk membersihkan namanya, kau sudah dipilih untuk menjadi suami yang sah. Nona Hui Kauw sendiri sudah setuju. Bagaimana kau dapat menolaknya?"
Muka Kun Hong sebentar merah sebentar pucat. Dia tidak mengerti bagaimana urusan berbalik menjadi begini. Dia memang suka kepada Hui Kauw, suka dan menaruh simpati besar, juga sangat berkasihan menghadapi nasib buruk nona bersuara bidadari ini. Baru suaranya saja sudah mampu merampas rasa kasih sayangnya.
Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dijodohkan secara begini, secara paksa dan tiba-tiba. Juga, di lubuk hatinya tidak ada sedikit pun niat untuk menikah dengan wanita lain setelah dia kehilangan Cui Bi. Orang buta seperti dia mana mampu mendatangkan kebahagiaan bagi seorang isteri?
"Tidak... tidak...! Aku bukan boneka yang boleh kalian permainkan begitu saja! Aku adalah seorang manusia!" bantahnya, tidak peduli betapa tekanan pada pundaknya terasa makin menghebat yang berarti hwesio itu memperhebat pula ancamannya.
"Orang she Kwa, kau tidak boleh menolak! Tidak ada pilihan lain bagimu, menerima dan menjadi mantu Ching-toanio untuk membersihkan nama baik nona Hui Kauw yang kau cemarkan kemudian membantu semua usaha kita bersama, atau sekarang juga kau harus mati!" Kemudian dengan suara lebih perlahan di dekat telinga Kun Hong, "Bocah tolol, tak usah kau berpura-pura. Kau mencinta dia, bukan? Nah, apa lagi soalnya?"
"Tidak! Sekali lagi tidak. Tak sudi aku dijadikan begini...!" Kun Hong berteriak lagi dengan marah sekali, seluruh urat-urat di tubuhnya telah menegang untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya karena ancaman pada jalan darah di pundaknya itu benar-benar berbahaya sekali.
Tiba-tiba Hui Kauw yang berlutut di sampingnya itu terisak-isak menangis, lalu terdengar gadis itu menjerit tinggi satu kali, disusul kata-kata yang memilukan, "Ya Tuhan... apa dosaku sehingga kalian menghina aku begini rupa?"
Setelah itu, cepat laksana kilat gadis ini menerjang ke kanan dan menyerang Ka Chong Hoatsu dengan pedangnya yang tadi dia sembunyikan di balik pakaian pengantin yang longgar. Kini kerudung kepalanya sudah dibuka dan wajahnya yang berkulit hitam itu jelas nampak agak pucat dan basah air mata. Serangan ini hebat bukan main karena Hui Kauw mempergunakan jurus dari pada ilmu pedangnya yang ia rahasiakan.
Ka Chong Hoatsu adalah seorang tokoh besar yang amat lihai, namun dia terkesiap juga menghadapi serangan luar biasa ini, yang seperti halilintar menyambar ke arah dadanya. Terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada pundak Kun Hong dan berjungkir balik ke belakang sambil mengibaskan ujung lengan bajunya yang panjang.
Hampir terpental lepas pedang di tangan Hui Kauw ketika dikebut oleh ujung lengan baju ini. Akan tetapi Hui Kauw tidak menyerang terus, melainkan terisak-isak dan meloncat jauh, berlari sambil menangis lenyap dalam gerombolan pohon di hutan. Dari jauh masih terdengar suara tangisnya yang kian menghilang. Kun Hong merasa amat bersyukur. Ia maklum bahwa tadi gadis itu menyerang Ka Chong Hoatsu dengan maksud menolongnya terlepas dari pada cengkeraman yang membuat ia tidak berdaya.
Pada saat itu terdengar Loan Ki berseru. "Bagus, Hong-ko. Jangan takut, aku bantu kau!" Dan gadis ini pun sudah meloncat ke tengah ruangan itu, di depan meja sembahyang, berdiri tegak dengan pedang di tangan di sebelah Kun Hong!
Kembali Kun Hong melengak heran. Bagaimana sih gadis lincah ini? Sebentar membantu dirinya, sejenak kemudian mencelakainya, kadang-kadang membelanya, tapi ada kalanya mengkhianatinya. Tadi baru saja dia mencemooh dan dengan ucapan mengandung suara menghina telah mengejeknya, tetapi sekarang suaranya berbeda sekali ketika menyebut ‘Hong-ko’ dan sekarang malah siap membantunya.
Dia benar-benar bingung, apa lagi mengingat perbuatan Hui Kauw tadi. Mengapa gadis yang sudah bisa dia kenal watak perangainya yang halus dan murni itu mau saja disuruh bersembahyang sebagai pengantin dengannya, kemudian kenapa pula gadis itu menangis sedih dan malah menerjang Ka Chong Hoatsu untuk menolongnya, tapi setelah itu malah melarikan diri? Benar-benar dia tidak mengerti akan sikap gadis-gadis ini.
Akan tetapi dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum betapa lihainya orang-orang di pulau ini dan kepandaian Loan Ki masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi mereka. Dia sendiri pun belum tentu akan dapat menangkan mereka yang lihai-lihai itu, apa lagi Ka Chong Hoatsu si hwesio tua yang tadi mencengkeram pundaknya. Andai kata Hui Kauw tidak lari dan mau membantunya, gadis bersuara bidadari itu memiliki kepandaian hebat dan boleh diandalkan. Tadi saja dengan sekali gebrakan, sejurus serangan saja, gadis itu telah mampu memaksa Ka Chong Hoatsu melepaskan cengkeramannya.
"Orang muda, kau benar-benar sombong. Orang telah memperlakukan kau dengan baik, sungguh pun kau telah menimbulkan keributan. Kau dimaafkan, bahkan kelakuanmu yang merusak dan mencemarkan nama baik seorang gadis sudah dimaafkan, sebaliknya dari pada dihukum, kau malah diangkat pula menjadi mantu. Akan tetapi dengan sombong kau menolak, ini bukan saja merupakan penghinaan terhadap nyonya rumah, akan tetapi juga kau telah menghancurkan perasaan seorang gadis dan kau telah menghina pinceng (aku) pula yang bertindak sebagai perantara! Dosamu bertumpuk dan sekarang pinceng takkan sudi lagi memandang kebutaan matamu atau wajah mendiang gurumu, Yok-mo."
Kun Hong melangkah maju, sengaja agar Loan Ki berada di belakangnya untuk menjaga kalau hwesio yang lihai itu mengirim serangan, jangan sampai Loan Ki menjadi korban. Kemudian dia tersenyum sinis dan menegur, "Lo-suhu, kalau aku tidak salah menduga, kau adalah seorang hwesio, pemeluk Agama Buddha yang luhur serta mulia. Lo-suhu, apakah kau lupa akan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab Buddha? Lupakah engkau akan ayat-ayat dalam kitab misalnya Dhammapada yang mengingatkan manusia sewaktu hidup akan segala maksiat yang akan merugikan diri sendiri?"
Sampai di sini Kun Hong lalu mendongak. Suaranya yang nyaring itu melagukan nyanyian yang merupakan doa dari kitab Agama Buddha.
Dia yang dapat menahan kemarahan,
seperti seorang menahan kaburnya kereta,
dialah patut disebut seorang kusir sejati.
Kalahkan amarah dengan kasih,
tundukkan kejahatan dengan kebajikan,
kerakusan dengan kerelaan,
dan kebohongan dengan kebenaran.
Sampai di sini Ka Chong Hoatsu sudah tertawa bergelak sehingga Kun Hong cepat-cepat menghentikan nyanyiannya. "Ha-ha-ha, bocah buta masih ingusan, kau berani mengajari pinceng tentang ayat kitab Dhammapada? Ha-ha-ha, seperti orang mengajar ikan tentang caranya berenang!"
"Kalau perlu boleh saja, Lo-suhu, Sungguh pun ikan pandai berenang, kadang-kadang dia akan tersesat karena tertarik oleh kemilaunya kotoran-kotoran di permukaan air sehingga tanpa disadari ikan itu akan berenang menentang arus dan menemui kehancurannya."
"Huh, bocah she Kwa. Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk bersikap kurang ajar dan sombong di depan pinceng. Hemm, bocah buta, Yok-mo sendiri yang kau sebut sebagai gurumu masih tidak berani memandang rendah terhadap pinceng. Majulah dan coba perlihatkan kepandaianmu!"
Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak. "Lo-suhu, aku tak ingin berkelahi dengan siapa pun juga..."
"Ha, kau jeri kepada Ka Chong Hoatsu?" hwesio itu mengejek.
"Aku pun tidak jeri atau takut kepada siapa pun juga."
"Kalau begitu majulah, hayo perlihatkan kepandaianmu!"
"Lo-suhu, aku tidak ingin berkelahi, hanya ingin supaya aku dan nona ini dibolehkan pergi dengan aman. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian penghuni pulau ini..."
"Taisu, mengapa berdebat dengan setan kurang ajar itu? Tolong kau tangkap dia untukku, biar puas aku memberi hukuman kepadanya!" kata Ching-toanio dengan suara gemas.
"Bocah Kwa, lihat tongkat!" bentak Ka Chong Hoatsu.
Kun Hong cepat-cepat mendorong Loan Ki ke belakang agak jauh karena dia mendengar ada sambaran angin yang dahsyat sekali menyambar ke arahnya. Bukan main hebatnya serangan ini dan Kun Hong memusatkan pikiran dan perasaannya, mengumpulkan hawa murni dan tenaga dalam di tubuhnya.
Dia tahu bahwa angin dahsyat itu menyembunyikan tongkat yang menyambar ke arah pinggangnya. Sengaja dia melambatkan gerakannya. Begitu tongkat itu telah menyambar dekat, dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia lalu meloncat ke atas.
Tongkat itu mendesing di bawah kakinya, tidak lebih dari sepuluh senti jaraknya, namun angin pukulan tongkat itu telah membuat Kun Hong seperti didorong dari bawah sehingga tubuhnya mumbul lagi belasan senti tingginya. Dia makin kagum dan maklum bahwa kali ini dia menghadapi seorang lawan yang luar biasa tangguhnya, malah mungkin tak kalah lihai kalau dibandingkan dengan lawan yang paling ampuh yang pernah dihadapinya, yaitu pada tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, si tua bangka Pak-thian Lo-cu, guru dari Si Tangan Maut Bouw Si Ma, orang Mancu yang sekarang hadir di sini.
Kekaguman tidak hanya berada di pihak Kun Hong. Juga Ka Chong Hoatsu kagum bukan main. Cara pemuda buta itu menghadapi serangannya tadi betul-betul di luar dugaannya, dan cara ini sekaligus membingungkannya karena sama sekali bukan ilmu silat seperti yang pernah dia lihat dimainkan oleh Bu Beng Cu.
Memang, Kun Hong tadi tidak menggunakan jurus dari Kim-tiauw-kun dalam menghadapi penyerangan ini, akan tetapi dia mempergunakan sebuah jurus pertahanan dari Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat yang dia terima dari Si Raja Pedang Tan Beng San.
Jurus tadi lewat cepat sekali seperti menyambarnya halilintar. Kini Kun Hong sudah berdiri tegak, kaki kanannya ditekuk dengan ujung berdiri dan tumit menempel di kaki kiri, tangan kanan yang memegang tongkat ditaruh di depan dada dan tongkatnya tegak lurus ke atas menempel ujung hidung, tangan kiri dengan jari-jari terbuka lurus ke depan seperti sedang menunjuk. Seluruh tubuh tak bergerak, semua urat dalam tubuh menegang serta segenap perhatian dicurahkan ke depan dan sekelilingnya dalam sikap menjaga diri.
Ka Chong Hoatsu juga memasang kuda-kuda, akan tetapi dia meragu dan tidak segera menjatuhkan serangannya. Betapa pun juga, dia masih sungkan untuk menyerang secara sungguh-sungguh.
Dia adalah seorang yang memiliki kedudukan besar dan dipandang tinggi di utara, sejajar dengan Pak Thian Locu, hanya kalau Pak-thian Lo-cu menganut aliran Agama To adalah dia merupakan wakil dari golongan Buddha. Sudah jauh dia merantau, bahkan belasan tahun dia berada di India. Sejak pulang dari India, dia makin dipandang dan merupakan orang yang paling berkuasa di samping kepala suku di antara bangsanya, yaitu Bangsa Mongol yang sudah kalah perang dan kehilangan kedudukan itu.
Bahkan dia merupakan orang yang dipilih untuk mendidik Pangeran Souw Bu Lai yang dipandang menjadi seorang bangsawan yang memiliki harapan untuk merampas kembali kerajaan yang hilang. Kedudukannya demikian besar dan tinggi, masa sekarang dia harus menggunakan kepandaiannya untuk bertempur sungguh-sungguh melawan pemuda yang usianya dua puluh lima tahun paling banyak, yang buta kedua matanya lagi?
Inilah yang membuat Ka Chong Hoatsu ragu-ragu karena dalam pertempuran ini, kalau dia menang takkan berarti apa-apa akan tetapi kalau sampai kalah namanya akan hancur luluh sekaligus! Dia pun maklum bahwa pemuda buta ini benar-benar memiliki simpanan rahasia ilmu yang tak boleh dipandang ringan.
Dua jagoan ini sudah saling berhadapan memasang kuda-kuda, seperti dua buah patung tak bergerak sama sekali. Ka Chong Hoatsu biar pun sudah tua namun tubuhnya tinggi besar dan kuda-kudanya gagah, kedua kaki terpentang, tubuh agak direndahkan, tongkat yang panjang dan amat berat itu melintang di depan dada, kedudukannya membayangkan tenaga yang dahsyat sekali. Kun Hong sebaliknya tenang, namun kokoh kuat seperti batu karang menghadapi serbuan ombak samudera.
"Bun-taihiap dari Kun-lun-pai yang terhormat sudah tiba untuk bertemu dengan toanio...!" terdengar seruan wanita penjaga dari jauh.
Belum lenyap gema suara itu, berkelebat bayangan putih dan seperti sehelai daun kering yang tertiup angin, melayanglah turun seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, berpakaian serba putih dan pada punggungnya tergantung sebatang pedang yang tertutup sarung pedang terukir indah. Begitu tiba di situ pemuda ini melihat keadaan Ka Chong Hoatsu, memandang heran lalu mengerling ke arah Kun Hong yang buta.
"Ah, kiranya Ka Chong Hoatsu sedang memberi pelajaran, sungguh kedatanganku sangat kebetulan!" kata pemuda itu.
Ka Chong Hoatsu sudah semenjak tadi membatalkan serangannya, lalu dia mengetukkan tongkatnya di atas tanah dan tertawa bergelak.
"Sungguh tidak tahu malu pinceng yang sudah tua bangka mau melayani seorang bocah buta, menjadikan buah tertawaan Bun-sicu dari Kun-lun-pai saja. Ha-ha-ha!"
Akan tetapi pemuda baju putih itu tidak memperhatikan Ka Chong Hoatsu karena pada saat itu dia sedang memandang ke arah Kun Hong dengan bengong, malah dia segera melangkah mendekati dan mengamat-amati wajah Kun Hong dengan pandang matanya yang penuh selidik. Suaranya berubah ketika dia bertanya.
"Ka Chong Hoatsu, mau apakah dia datang ke sini dan kenapa pula hendak bertempur melawanmu?"
Ka Chong Hoatsu tertawa lagi. Dia pernah beberapa kali datang ke Kun-lun-san dan dia mengenal pemuda Kun-lun yang lihai ini, yang selalu bersikap terbuka serta bersahaja terhadapnya, tidak menjilat-jilat akan tetapi amat jujur.
"Ha-ha, Bun-sicu, sebetulnya pinceng malu karena harus turun tangan terhadap seorang bocah buta. Tapi dia ini memang menjemukan, bermain gila dengan nona Hui Kauw..."
Pemuda baju putih itu mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan. "Hemmm, kiranya sesudah kedua matanya buta, Kwa Kung Hong masih sama saja merupakan seorang pemuda hidung belang yang suka merayu dan menundukkan hati wanita. Lucu sekali! Kwa Kun Hong, apakah kau tidak kenal padaku?"
Tentu saja Kun Hong mengenalnya. Biar pun dahulu belum mendapat kesempatan untuk berkenalan secara mendalam, namun mana bisa dia melupakan pemuda putera ketua Kun-lun-pai yang dahulu menjadi tunangan dari kekasihnya, Tan Cui Bi?
Dia tahu bahwa pemuda ini adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai yang biar pun dahulu lantas pulang dengan marah bersama ayahnya dari puncak Thai-san, dan tidak menjadi saksi atas peristiwa mengerikan yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya namun agaknya pemuda ini sudah mendengar tentang kebutaannya.
Dia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangan yang memegang gagang tongkat ke depan dada. "Tentu saja aku ingat dan mengenal suara Bun-enghiong dari Kun-lun-pai. Tetapi sayang sekali semenjak bertahun-tahun ini pandanganmu masih sesempit dulu, terutama dalam menilai watak seseorang. Sayang..."
Kembali Bun Wan, pemuda itu, mendengus mencemooh atas ucapan ini. Kemudian dia menoleh ke arah Ching-toanio dan berkata, "Toanio, karena aku telah datang di sini, aku harap Toanio suka mengampuni dia dan membebaskannya. Harap Toanio ketahui bahwa antara ayahnya dan ayahku ada hubungan persahabatan di waktu muda, oleh karena itu amatlah tidak enak kalau dia ini menerima hukuman di mana aku hadir. Tentu ayah akan menegurku."
Ching-toanio menggerutu, "Dia ini terlalu kurang ajar, terlalu menghina kami, mana bisa aku memberi ampun?"
Akan tetapi Ka Chong Hoatsu cepat-cepat berkata, "Ching-toanio, biarlah, melihat muka Bun-sicu yang terhormat, biarlah kita mengampuninya dan membiarkan si buta ini pergi dari pulau. Apa lagi bila mengingat akan nama besar Ciang-bun-jin dari Kun-lun-pai, ayah Bun-sicu yang kita hormati."
Melihat kesempatan yang baik ini, Loan Ki segera menggandeng tangan Kun Hong dan berkata, "Hayo, Hong-ko, kita pergi dari tempat terkutuk ini!" Ia lalu menarik tangan Kun Hong dari situ sambil menjebirkan bibir dan melerok ke sana ke mari kepada orang-orang yang berada di situ!
"He-he-he-he, bocah nakal. Kau tidak boleh pergi! Masih ada urusan yang akan pinceng bicarakan denganmu sebagai wakil ayahmu, urusan penting sekali. Si buta ini boleh pergi sekarang juga, tapi kau tidak. Kembalilah!" kata Ka Chong Hoatsu.
Mendengar ini Ching-toanio tersenyum dan tahulah ia sekarang mengapa hwesio yang menjadi tamu agung dan orang andalannya ini tadi membiarkan Kun Hong dibebaskan. Kiranya hwesio itu bermaksud supaya si buta itu mencari jalan ke luar dari pulau itu seorang diri dan hal ini terang tidak mungkin dan akhirnya tentu akan membuat pemuda buta itu terjeblos ke dalam perangkap-perangkap rahasia dan tak akan terlepas dari pada hukuman dan pembalasannya juga!
"Betul, Nona. Setelah menjadi tamu kami, kau tak boleh pergi dulu dari sini. Kami hendak mengadakan hubungan dengan ayahmu melalui kau!" katanya.
Loan Ki memutar otaknya. Dia maklum bahwa jumlah lawan yang banyak ini amat sukar dilawan, biar oleh Kun Hong sekali pun. Dia melepaskan tangan Kun Hong dan berjalan dengan langkah lebar ke dekat Ka Chong Hoatsu, langsung ia menegur,
"Hwesio tua, kau benar-benar mau mempermainkan aku seorang bocah perempuan? Aku tidak suka berada di sini, di dekat kalian ini, dan aku mau pergi sekarang juga. Apa bila nonamu ini mau pergi, siapa yang sanggup melarang? Aku berani bertaruh, kalau aku sungguh-sungguh menghendaki pergi, tongkatmu yang panjang dan tiada gunanya ini tak akan mampu menghalangiku, Hwesio tua!"
Ka Chong Hoatsu tertawa, juga orang-orang yang berada di situ semua tertawa mengejek mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Kun Hong diam-diam mengeluh. Benar-benar Loan Ki adalah seorang bocah yang tidak genah (normal), pikirnya, tak mengerti tingginya langit dalamnya lautan. Sudah terang bahwa tingkat kepandaiannya masih kepalang tanggung, matang tidak mentah pun tidak, jika dibandingkan dengan kepandaian Ka Chong Hoatsu masih tertinggal jauh sekali. Bagaimana sekarang berani mengucapkan tantangan yang begitu menggelikan? Seperti katak dalam tempurung!
"Ha-ha-ha-ha, pinceng kagum akan ketabahannmu, Nona cilik. Betulkah tongkat pinceng yang butut ini tidak akan mampu menghalangi kau pergi?"
"Tentu saja tidak mampu. Berani aku bertaruh! Kau boleh jadi lebih kuat dan lebih matang ilmu silatmu dibandingkan dengan aku karena kau sudah tua, akan tetapi aku menang muda sehingga aku lebih cepat dari padamu. Kalau aku berlari cepat, mana kau mampu mengejarku?"
Kembali ucapan ini menggelikan dan Ka Chong Hoatsu juga tertawa bergelak. Dia merasa malu untuk berdebat dengan seorang bocah, apa lagi dalam soal kepandaian silat, maka biar pun hatinya mendongkol, dirinya tertawa dan diam-diam ingin mengalahkan bocah ini biar kapok dan tidak membuka mulut besar.
"Tentu saja, pinceng sudah tua mana dapat berlari cepat? Akan tetapi, agaknya kau ini seorang bocah perempuan cilik, juga tidak akan dapat melangkah lebar seperti pinceng, ha-ha-ha!"
"Ehh, Hwesio tua, jangan pandang rendah padaku, ya? Berani kau bertaruh dengan aku berlomba lari cepat? Mana kau berani. Huh, kau hanya berani menghina seorang bocah perempuan mengandalkan kepandaian dan usia tua. Hayo, kalau kau berani berlomba lari cepat, biar kita bertaruh. Bila kau kalah, kau dan semua orang ini tak boleh menghalangi aku pergi dari pulau ini, kalau aku yang kalah, terserah kepadamu. Berani tidak?"
Sekali lagi Kun Hong mengeluh. Mengapa Loan Ki begitu goblok? Kalau tadi tidak usah banyak cakap, tetap berada di dekatnya, tentu dia kan dapat melindungi nona cilik nakal itu. Sekarang nona itu malah mencari penyakit sendiri. Mana mungkin menang berlomba lari cepat melawan hwesio yang sakti itu?
"Ha-ha-ha, kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah, kalau tidak dituruti kehendakmu, aku khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa gagal maksud pinceng menghubungi ayahmu. Ha-ha-ha!"
"Bagus, kau lihat bunga bwee yang tumbuh di sana itu?"
Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum lebar. Pohon bunga bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari tempat itu. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!
"Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"
"Ha-ha-ha setuju, setuju!" jawab hwesio tua.
"Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, dan sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"
"Ha-ha-ha, boleh... boleh..." Ka Chong Hoatsu menjawab, gembira juga dia menyaksikan permainan kanak-kanak ini.
Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri saja sambil mengerutkan keningnya yang bagus.
"Hayo lekas mulai!" tegur Ka Chong Hoatsu.
Loan Ki menggeleng kepalanya. "Percuma... aku masih belum percaya benar kepadamu, jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?"
Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar. "Bocah kurang ajar, pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"
"Orang gagah lebih baik mati dari pada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"
"Pinceng berjanji, gadis liar!"
Loan Ki tersenyum, manis sekali. "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?"
"Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng tak akan lari selamanya kalau kalah cepat lariku dari pada larimu. Hayo mulai!"
"Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama."
Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.
"Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!" Ka Chong Hoatsu tertawa geli.
Loan Ki tidak peduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di sana, "Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!"
Kemudian ia mulai menghitung dengan suara lantang, "Satu..."
Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biar pun semua orang yakin bahwa gadis itu tentunya akan kalah, akan tetapi menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apa gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu. Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun sudah siap memasang kuda-kuda untuk segera ‘tancap gas’ kalau hitungan itu sudah sampai tiga.
"Dua..."
Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu semakin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan ‘tiga’ tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya. Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira bahwa gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga bwee itu.
Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu, tiba-tiba saja Loan Ki berteriak nyaring sekali, "... tiga...!" dan dia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak ''Aku menang...! Hi-hik hwesio tua, kau kalah!"
Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, hanya tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali.
"Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?" bentaknya.
Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.
"Ka Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini engkau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, juga aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?"
Ka Chong Hoatsu terkesima. Untuk beberapa lama dia tidak mampu bicara. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya hingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja.
"Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!"
Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah. "Terima kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau pun akal udang, itu tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu."
Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.....
"Saudara Kwa... jangan... kau lepaskanlah aku...," Hui Kauw berkata lemah. Hatinya tidak karuan rasanya dan dia merasa amat malu dipondong oleh seorang laki-laki muda, biar pun buta, di depan banyak orang itu….
"Sshhh, diamlah, Nona. Kau tidak boleh banyak bergerak, kau tidak boleh mengeluarkan suara dan tenaga... lukamu amat hebat... kurasa sedikitnya sebuah tulang rusukmu patah, jantungmu tergoncang, hawa beracun telah memasuki darahmu, aku harus mengobatimu, jangan kau banyak bergerak, kau menurutlah saja..."
Pada waktu itu ada angin menyambar dari arah depan dan suara yang hampir tak dapat ditangkap pendengaran Kun Hong menunjukkan betapa orang yang meloncat dan turun di depan Kun Hong benar-benar memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya. Kun Hong maklum akan hal ini, dia bersiap-siap sambil memondong Hui Kauw, keningnya berkerut karena dia benar-benar merasa serba susah bagaimana harus melindungi gadis ini dari ancaman sekian banyaknya orang pandai.
Pada saat itu terdengar suara Hui Kauw mengeluh panjang dan tubuh gadis itu menjadi lemas. Kiranya gadis ini kembali jatuh pingsan setelah tadi mengeluarkan banyak tenaga dalam menghadapi ibu angkatnya untuk mengelak dari bahaya maut. Kun Hong merasa lega. Dengan pingsannya gadis ini, akan lebih leluasa baginya untuk bergerak. Sekarang dia dapat mengempit tubuh itu tanpa sungkan-sungkan dan tak akan mendatangkan rasa malu kepada gadis itu.
Dia cepat mengubah caranya memondong tubuh Hui Kauw, kini dia menggunakan lengan kirinya memeluk pinggang gadis yang pingsan itu dan mengempitnya. Tangan kanannya yang memegang tongkat siap menghadapi serbuan lawan. Terdengar oleh Kun Hong suara yang tenang dan berat, suara yang mengandung tenaga dalam yang amat hebat.
"Omitohud, pinceng sebetulnya harus malu menghadapi seorang pemuda yang tak dapat melihat lagi. Orang muda, kau benar-benar hebat sekali. Kelihaianmu telah mengalahkan banyak orang pandai membuat pinceng mengesampingkan rasa malu dan ingin pinceng mencoba kehebatan kepandaianmu yang sangat aneh. Akan tetapi sebelumnya pinceng ingin sekali tahu, siapakah gurumu yang mewariskan ilmu-ilmu aneh ini kepadamu?"
Kun Hong kaget dan maklum bahwa yang berada di depannya adalah seorang hwesio yang berilmu tinggi. Cepat dia menjura dan menjawab, "Syukurlah bahwa di sini terdapat Lo-suhu yang saya percaya mempunyai pertimbangan adil dan pemandangan yang luas. Lo-suhu, tentang riwayat saya bukanlah hal penting, malah tidak berharga untuk didengar oleh orang lain. Lo-suhu, kedatangan saya ini sesungguhnya sama sekali bukan ingin bermusuhan atau berkelahi, oleh karena itu harap Lo-suhu sudi melimpahkan kemurahan hati dan dapat menghentikan perkelahian-perkelahian yang tidak saya kehendaki ini. Terhadap seorang suci seperti Lo-suhu, mana berani saya yang muda dan bodoh berlaku kurang ajar?"
Pendeta itu tertawa bergelak. Kun Hong tentu saja tidak tahu betapa hwesio ini dengan kedipan matanya memberi isyarat kepada orang-orang yang berada di sana. Kemudian bertanya, "Orang muda, meski pun matamu buta tapi hatimu melek. Tentu saja pinceng tidak mau memaksa kalau kau tidak menghendaki perkelahian. Akan tetapi kau datang di sini menimbulkan keributan, apa sih yang kau inginkan sekarang?"
"Maaf, Lo-suhu. Sama sekali saya tidak bermaksud mengadakan keributan. Semua yang dilontarkan kepada saya dan nona Hui Kauw ini hanyalah fitnah belaka. Tidak ada yang saya kehendaki kecuali agar orang tidak membunuh nona Hui Kauw, membiarkan saya mengobatinya sampai sembuh kemudian memberi kebebasan kepada saya beserta nona Loan Ki untuk meninggalkan pulau ini dengan aman."
Kembali Ka Chong Hoatsu mengedipkan matanya kepada Ching-toanio dan yang lain-lain, kemudian dia tertawa lagi. "Omitohud, kiranya sahabat muda yang lihai pandai pula ilmu pengobatan. Nona itu kulihat menderita luka-luka amat berat akibat pukulan, sanggupkah kau menyembuhkannya?"
"Jika Thian menghendaki, tentu dapat. Saya yang buta sedikit banyak paham akan ilmu pengobatan."
"Hwesio tua, jangan kau memandang rendah kepadanya. Orang sakit apa pun juga asal belum mampus tentu dapat dia sembuhkan. Dia adalah murid Toat-beng Yok-mo, masa tidak bisa mengobati?"
Ucapan Loan Ki ini membuat Kun Hong mengerutkan kening dan dia tidak tahu bahwa gadis nakal itu tentu pernah mendengar dia menyebut nama Toat-beng Yok-mo, kalau tidak salah ketika dia mengobati orang-orang Hui-houw-pang di mana gadis itu diam-diam sudah lama bersembunyi dan mengintai.
Tidak hanya Kun Hong yang mengerutkan kening, bahkan semua orang di situ, terutama sekali Ka Chong Hoatsu, menjadi heran dan kaget sekali. Tentu saja semua orang pernah mendengar nama Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), siapa orangnya yang belum pernah mendengar nama tabib iblis yang luar biasa pandai mengobati, akan tetapi selalu membunuh orang yang telah diobatinya sampai sembuh itu?
Seketika pandangan mereka terhadap Kun Hong berubah, karena boleh dibilang bahwa Toat-beng Yok-mo adalah orang ‘segolongan’ dengan mereka.
"Omitohud! Betulkah kau adalah murid Yok-mo, orang muda?" Ka Chong Hoatsu akhirnya bertanya.
Kun Hong adalah seorang yang jujur dan tak suka membohong, maka dengan suara biasa dia menjawab, "Diangkat murid sih tidak, akan tetapi mendiang Yok-mo pernah memberi ijin kepadaku untuk membaca kitab-kitabnya tentang ilmu pengobatan, entah hal ini boleh dianggap saya sebagai muridnya ataukah tidak terserah."
"Oho!" Ka Chong Hoatsu kembali memberi isyarat kepada yang lain, maju ke depan dan menyentuh pundak Kun Hong. "Kiranya kau masih orang sendiri! Kwa-sicu, kalau begitu tidak ada urusan lagi di antara kita dan soal pertempuran tadi kita anggap saja sebagai kunci perkenalan. Ching-toanio, pinceng harap kau sudi menghabiskan urusan dan biarlah diberi tempat untuk Kwa-sicu mengobati puterimu."
Kun Hong menjadi melengak ketika urusan berbalik secara demikian. Semua orang, termasuk juga Hui Siang gadis yang galak itu, mengucapkan maaf kepadanya, juga Bouw Si Ma, Pangeran Souw Bu Lai, dan Ching-toanio. Malah terdengar suara Ngo Kui Ciau, orang pertama dari Ang Hwa Sam-cimoi yang bersuara kecil melengking,
"Pantas saja lihai, kiranya murid si tua bangka Yok-mo. Hi-hi-hik, tak perlu ribut-ribut, biar buta tapi amat tampan dan gagah, lagi lihai dan murid Yok-mo. Toanio, kurasa pantas dia menjadi mantumu, hi-hi-hik!"
Mendongkol sekali Kun Hong, akan tetapi juga wajahnya berubah merah tanpa dapat dia cegah, karena mendengar ucapan seperti itu, entah mengapa, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia tidak banyak bicara dan menurut saja ketika dia diajak ke dalam bangunan itu yang untuk sementara diserahkan kepadanya sebagai tempat untuk mengobati Hui Kauw.
"Tidak lama... tidak lama..." katanya gugup. "Sebentar saja akan kupulihkan kedudukan urat-uratnya, kusambung tulangnya dan kubersihkan hawa beracun yang menyerangnya. Besok ia sudah pulih kembali, hanya tinggal memperkuat pertumbuhan tulang-tulang yang disambung. Aku tidak bisa lama-lama tinggal di sini dan akan segera keluar dari pulau ini bersama nona Loan Ki."
Dia merasa heran sekali mengapa Loan Ki diam saja, tidak ada suaranya sama sekali. Dia tidak melihat betapa nona ini biar pun berada pula di situ, mukanya murung dan cemberut terus. Pangeran Souw Bu Lai yang beberapa kali berusaha untuk memikatnya dengan omongan-omongan manis, tidak diacuhkannya sama sekali. Akhirnya pangeran itu bosan sendiri dan nampak mendekati Hui Siang, bercakap-cakap gembira dan disambut manis oleh nona cantik jelita yang galak itu.
Orang-orang menjadi kagum menyaksikan cara Kun Hong mengobati Hui Kauw. Dengan tusukan-tusukan jarum perak dia dapat memulihkan kesehatan nona ini, mengusir ke luar hawa beracun akibat pukulan-pukulan Ching-toanio yang ampuh.
Kemudian dia meminta semua orang laki-laki keluar dari kamar karena dia hendak mulai menyambung tulang, dan untuk keperluan ini terpaksa baju nona Hui Kauw harus dibuka. Hanya Ching-toanio, Loan Ki, Ang Hwa Sam-cimoi, Hui Siang dan tiga orang pelayan wanita yang masih berada di kamar. Biar pun maklum di situ terdapat banyak orang pula yang menyaksikan, tangan Kun Hong sedikit gemetar juga ketika dia meraba kulit dada dan punggung yang halus pada waktu dia menyambung tulang iga yang patah!
Setengah hari dia bekerja keras dan akhirnya dia selesai, kemudian duduk bersila dan menempelkan dua tangannya ke pundak Hui Kauw dekat leher untuk menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh nona itu dan membantunya sekuat tenaga. Sejam dia melakukan ini dan mulailah pernapasan nona itu normal kembali dan mukanya menjadi merah sehat.
Pada saat itu Ching-toanio memberi isyarat kepada semua orang untuk meninggalkan kamar itu. Loan Ki tadinya hendak tinggal di situ, akan tetapi Ching-toanio berkata lirih, "Nona Tan, setelah sekarang kita menjadi sahabat, perlu kita bicara tentang urusan yang juga menyangkut ayahmu. Marilah, biar Kwa-sicu mengaso dulu, kulihat Hui Kauw sudah sembuh kembali."
Tak enak juga hati Loan Ki untuk membandel. Ia mengerling dengan mata ragu ke arah Kun Hong yang masih duduk bersila, lalu sinar matanya menyambar seperti kilat ke arah muka Hui Kauw yang hitam, setelah itu ia mendengus marah dan ikut keluar pula.
Kamar itu sunyi. Suara orang-orang di luar bercakap-cakap tidak dapat terdengar jelas oleh karena daun pintu kamar itu ditutup dari luar. Kun Hong melepaskan kedua telapak tangannya dari pundak nona itu, kemudian dengan perlahan dia mengurut jalan darah di punggung dan belakang leher. Terdengar nona ini mengerang perlahan. Kun Hong cepat menarik kembali tangannya dan melompat turun dari pembaringan, berdiri menanti.
"Uuuhhh, panas...," nona itu merintih.
"Tidak apa-apa, Nona. Hawa panas itu kau perlukan untuk mendorong peredaran darah di tubuhmu sehingga engkau akan menjadi sembuh benar-benar."
Hui Kauw membuka matanya, kaget melihat betapa tubuhnya bagian atas tidak berbaju, apa lagi melihat Kun Hong berdiri di situ dengan kepala tunduk. Dia cepat bangun dan menyambar bajunya yang berada di dekatnya, terus digunakan untuk menutupi tubuhnya.
"Bagaimana ini... apa yang terjadi... kau mengapa berada di sini...?" pertanyaan yang terputus-putus ini diajukan dengan suara gemetar.
Kun Hong dapat menangkap perasaan sedih, malu dan terhina dalam suara itu, maka dia membungkuk dengan hormat, kemudian berkata, "Kau menderita luka-luka, aku berusaha mengobatimu, disaksikan oleh keluargamu, Nona. Kini kau sudah selamat, perkenankan aku keluar dari tempat ini."
Tanpa menanti jawaban, dengan cepat Kun Hong lalu melangkah ke arah pintu, membuka daun pintu dan keluar dari situ.
Ka Chong Hoatsu sendiri menyambutnya. "Bagaimana Kwa-sicu, berhasilkan usahamu?"
"Dengan berkah Thian ia dapat pulih kembali kesehatannya," jawab Kun Hong sederhana.
Ching-toanio lantas berlari memasuki kamar dan Kun Hong masih mendengar suaranya, "Aduh, kasihan anakku..."
Kun Hong mengerutkan kening. Suara Ching-toanio ini adalah suara palsu. Hemm, akan berbuat apa lagikah wanita majikan pulau ini yang jahat dan palsunya sama saja dengan ular-ular hijaunya yang berbisa? Bukan urusanku, pikirnya, aku harus segera pergi dari tempat ini.
"Ki-moi, hayo kita pergi..."
Tidak ada jawaban.
"Di mana nona Loan Ki?" tanyanya kepada Ka Chong Hoatsu.
Hwesio tua itu tertawa. "Semua orang termasuk sahabatmu itu lagi berkumpul di ruangan sembahyang. Mari, Kwa-sicu, oleh karena pada saat ini kau pun menjadi seorang tamu terhormat, kau pun dipersilakan untuk ikut berpesta sambil ikut pula merayakan pelepasan perkabungan keluarga Ching-toanio."
"Pesta apa? Sembahyangan apa?" Kun Hong tak mengerti.
"Suaminya meninggal tiga setengah tahun yang lalu. Hari ini kebetulan sedang diadakan sembahyangan lalu diadakan sedikit pesta untuk merayakan pelepasan perkabungan ibu dan kedua anak."
"Maaf, Lo-suhu, aku... aku akan pergi saja. Tolong kau panggilkan nona Tan Loan Ki..."
"Ha-ha-ha, Kwa-sicu, apakah kau sebagai seorang yang sudah banyak merantau di dunia kangouw, tidak mau mengindahkan peraturan? Kau dianggap tamu terhormat, keluarga Ching-toanio hendak menyampaikan terima kasih, dan di sini sedang dilakukan upacara sembahyangan pula. Masa kau akan pergi begitu saja?"
Kun Hong menarik napas panjang. Memang betul juga ucapan hwesio itu. Apa lagi Loan Ki agaknya juga sudah berbaik dengan orang-orang itu, maka dia terpaksa mengangguk lemah.
"Baiklah, setelah sembahyang aku akan mengajak Loan Ki segera pergi. Tidak usah ikut berpesta, makanan dan arak yang dicuri Loan Ki dari sini sudah cukup mengakibatkan heboh!"
Hwesio itu tertawa lalu berjalan, sengaja memberatkan kakinya agar mudah diikuti oleh Kun Hong yang berjalan di belakangnya sambil meraba jalan dengan tongkatnya. Kiranya tidak jauh dari situ mereka sudah sampai di tempat yang dimaksudkan. Sebuah bangunan yang agak besar.
Telinga Kun Hong menangkap suara banyak sekali orang di situ, banyak suara wanita dan agaknya orang-orang pada sibuk bekerja, mungkin mengatur meja sembahyangan karena dia mendengar suara mangkuk-mangkuk ditaruh di atas meja dan tercium bau lilin besar dinyalakan di samping dupa harum memenuhi ruangan itu. Ia segera duduk pada sebuah kursi yang sudah disediakan untuknya.
Karena tempat itu ramai dengar suara orang, dia tidak dapat tahu apakah Loan Ki berada di situ ataukah tidak, untuk bertanya dia merasa kurang enak. Tentu saja dia tidak dapat melihat betapa di sudut ruangan itu Loan Ki duduk menyendiri dengan muka pucat dan sepasang mata gadis itu memandang ke arahnya dengan melotot penuh kemarahan!
Dugaannya memang benar. Di tempat itu selain orang-orang kosen yang telah disebutkan tadi berkumpul, makan minum sambil tertawa-tawa di ruangan itu bagian tengah, juga di sana terdapat belasan orang pelayan wanita berpakaian serba indah sedang mengatur meja sembahyang yang besar dan megah. Dua batang lilin naga warna merah dinyalakan di atas meja sembahyang yang dihias seperti meja sembahyang pengantin saja!
Kemudian terdengar suara Ka Chong Hoatsu berkata kepadanya, "Kwa-sicu, silakan kau melakukan sembahyang untuk menghormat abu jenazah mendiang suami Ching-toanio."
Pendeta itu menyerahkan beberapa batang hio (dupa batang) kepada Kun Hong. Pemuda buta ini bingung, akan tetapi merasa tidak enak untuk menolak. Penghormatan kepada abu jenazah merupakan syarat kesopanan yang tidak mungkin ditolak. Dia menurut saja ketika dituntun ke depan meja sembahyang.
"Bersembahyang di depan abu jenazah seorang yang tinggi tingkatnya, harus berlutut,"' Ka Chong Hoatsu berbisik.
Kun Hong yang pada dasarnya berwatak sopan dan suka merendahkan diri, kali ini juga tidak membantah, lalu berlutut, menyelipkan tongkat di pinggang dan memegangi batang-batang hio itu di antara tangannya.
Pada saat itu dia mendengar suara banyak kaki secara halus melangkah datang. Di sana sini lalu terdengar suara wanita tertawa tertahan, kemudian dia mendengar suara orang berlutut di samping kirinya. Lalu kagetlah dia ketika dia mencium bau harum yang sudah amat dikenalnya, keharuman yang sama benar dengan ganda yang diciumnya ketika dia mengobati Hui Kauw di dalam kamar tadi.
Tidak dapat diragukan lagi, Hui Kauw tentu orangnya yang sekarang berlutut di sebelah kirinya! Apa artinya semua ini? Kenapa ia harus bersembahyang di depan abu jenazah itu berdampingan dengan Hui Kauw? Dia menjadi ragu-ragu dan menahan diri, tidak segera bersembahyang.
Pada saat itu, di antara suara hiruk-pikuk para pelayan, dia mendengar suara Loan Ki, penuh ejekan, penuh kebencian. "Hah, yang lelaki buta, yang perempuan bermuka hitam. Belum pernah selama hidupku melihat sepasang pengantin begini buruk!"
Kun Hong terkejut setengah mati. Tangan kirinya bergerak meraba dan... dia mendapat kenyataan bahwa Hui Kauw memakai pakaian pengantin, dengan muka berkerudung!
"Apa artinya ini?" Dia berseru dan bangkit berdiri membuang hio-nya ke samping.
Tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menekan pundaknya, jari-jari tangan yang amat kuat itu mencengkeram jalan darahnya di pundak yang mengancam, karena begitu diremas dia akan menjadi lumpuh! Lalu terdengar bisikan suara Ka Chong Hoatsu,
"Orang she Kwa, jangan menolak! Kau sudah mencemarkan nama baik nona Giam Hui Kauw, kau malah sudah mengobatinya sampai sembuh. Untuk membalas budimu, dan untuk membersihkan namanya, kau sudah dipilih untuk menjadi suami yang sah. Nona Hui Kauw sendiri sudah setuju. Bagaimana kau dapat menolaknya?"
Muka Kun Hong sebentar merah sebentar pucat. Dia tidak mengerti bagaimana urusan berbalik menjadi begini. Dia memang suka kepada Hui Kauw, suka dan menaruh simpati besar, juga sangat berkasihan menghadapi nasib buruk nona bersuara bidadari ini. Baru suaranya saja sudah mampu merampas rasa kasih sayangnya.
Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dijodohkan secara begini, secara paksa dan tiba-tiba. Juga, di lubuk hatinya tidak ada sedikit pun niat untuk menikah dengan wanita lain setelah dia kehilangan Cui Bi. Orang buta seperti dia mana mampu mendatangkan kebahagiaan bagi seorang isteri?
"Tidak... tidak...! Aku bukan boneka yang boleh kalian permainkan begitu saja! Aku adalah seorang manusia!" bantahnya, tidak peduli betapa tekanan pada pundaknya terasa makin menghebat yang berarti hwesio itu memperhebat pula ancamannya.
"Orang she Kwa, kau tidak boleh menolak! Tidak ada pilihan lain bagimu, menerima dan menjadi mantu Ching-toanio untuk membersihkan nama baik nona Hui Kauw yang kau cemarkan kemudian membantu semua usaha kita bersama, atau sekarang juga kau harus mati!" Kemudian dengan suara lebih perlahan di dekat telinga Kun Hong, "Bocah tolol, tak usah kau berpura-pura. Kau mencinta dia, bukan? Nah, apa lagi soalnya?"
"Tidak! Sekali lagi tidak. Tak sudi aku dijadikan begini...!" Kun Hong berteriak lagi dengan marah sekali, seluruh urat-urat di tubuhnya telah menegang untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya karena ancaman pada jalan darah di pundaknya itu benar-benar berbahaya sekali.
Tiba-tiba Hui Kauw yang berlutut di sampingnya itu terisak-isak menangis, lalu terdengar gadis itu menjerit tinggi satu kali, disusul kata-kata yang memilukan, "Ya Tuhan... apa dosaku sehingga kalian menghina aku begini rupa?"
Setelah itu, cepat laksana kilat gadis ini menerjang ke kanan dan menyerang Ka Chong Hoatsu dengan pedangnya yang tadi dia sembunyikan di balik pakaian pengantin yang longgar. Kini kerudung kepalanya sudah dibuka dan wajahnya yang berkulit hitam itu jelas nampak agak pucat dan basah air mata. Serangan ini hebat bukan main karena Hui Kauw mempergunakan jurus dari pada ilmu pedangnya yang ia rahasiakan.
Ka Chong Hoatsu adalah seorang tokoh besar yang amat lihai, namun dia terkesiap juga menghadapi serangan luar biasa ini, yang seperti halilintar menyambar ke arah dadanya. Terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada pundak Kun Hong dan berjungkir balik ke belakang sambil mengibaskan ujung lengan bajunya yang panjang.
Hampir terpental lepas pedang di tangan Hui Kauw ketika dikebut oleh ujung lengan baju ini. Akan tetapi Hui Kauw tidak menyerang terus, melainkan terisak-isak dan meloncat jauh, berlari sambil menangis lenyap dalam gerombolan pohon di hutan. Dari jauh masih terdengar suara tangisnya yang kian menghilang. Kun Hong merasa amat bersyukur. Ia maklum bahwa tadi gadis itu menyerang Ka Chong Hoatsu dengan maksud menolongnya terlepas dari pada cengkeraman yang membuat ia tidak berdaya.
Pada saat itu terdengar Loan Ki berseru. "Bagus, Hong-ko. Jangan takut, aku bantu kau!" Dan gadis ini pun sudah meloncat ke tengah ruangan itu, di depan meja sembahyang, berdiri tegak dengan pedang di tangan di sebelah Kun Hong!
Kembali Kun Hong melengak heran. Bagaimana sih gadis lincah ini? Sebentar membantu dirinya, sejenak kemudian mencelakainya, kadang-kadang membelanya, tapi ada kalanya mengkhianatinya. Tadi baru saja dia mencemooh dan dengan ucapan mengandung suara menghina telah mengejeknya, tetapi sekarang suaranya berbeda sekali ketika menyebut ‘Hong-ko’ dan sekarang malah siap membantunya.
Dia benar-benar bingung, apa lagi mengingat perbuatan Hui Kauw tadi. Mengapa gadis yang sudah bisa dia kenal watak perangainya yang halus dan murni itu mau saja disuruh bersembahyang sebagai pengantin dengannya, kemudian kenapa pula gadis itu menangis sedih dan malah menerjang Ka Chong Hoatsu untuk menolongnya, tapi setelah itu malah melarikan diri? Benar-benar dia tidak mengerti akan sikap gadis-gadis ini.
Akan tetapi dia juga merasa khawatir sekali. Dia maklum betapa lihainya orang-orang di pulau ini dan kepandaian Loan Ki masih jauh dari pada cukup untuk menghadapi mereka. Dia sendiri pun belum tentu akan dapat menangkan mereka yang lihai-lihai itu, apa lagi Ka Chong Hoatsu si hwesio tua yang tadi mencengkeram pundaknya. Andai kata Hui Kauw tidak lari dan mau membantunya, gadis bersuara bidadari itu memiliki kepandaian hebat dan boleh diandalkan. Tadi saja dengan sekali gebrakan, sejurus serangan saja, gadis itu telah mampu memaksa Ka Chong Hoatsu melepaskan cengkeramannya.
"Orang muda, kau benar-benar sombong. Orang telah memperlakukan kau dengan baik, sungguh pun kau telah menimbulkan keributan. Kau dimaafkan, bahkan kelakuanmu yang merusak dan mencemarkan nama baik seorang gadis sudah dimaafkan, sebaliknya dari pada dihukum, kau malah diangkat pula menjadi mantu. Akan tetapi dengan sombong kau menolak, ini bukan saja merupakan penghinaan terhadap nyonya rumah, akan tetapi juga kau telah menghancurkan perasaan seorang gadis dan kau telah menghina pinceng (aku) pula yang bertindak sebagai perantara! Dosamu bertumpuk dan sekarang pinceng takkan sudi lagi memandang kebutaan matamu atau wajah mendiang gurumu, Yok-mo."
Kun Hong melangkah maju, sengaja agar Loan Ki berada di belakangnya untuk menjaga kalau hwesio yang lihai itu mengirim serangan, jangan sampai Loan Ki menjadi korban. Kemudian dia tersenyum sinis dan menegur, "Lo-suhu, kalau aku tidak salah menduga, kau adalah seorang hwesio, pemeluk Agama Buddha yang luhur serta mulia. Lo-suhu, apakah kau lupa akan ajaran-ajaran suci dalam kitab-kitab Buddha? Lupakah engkau akan ayat-ayat dalam kitab misalnya Dhammapada yang mengingatkan manusia sewaktu hidup akan segala maksiat yang akan merugikan diri sendiri?"
Sampai di sini Kun Hong lalu mendongak. Suaranya yang nyaring itu melagukan nyanyian yang merupakan doa dari kitab Agama Buddha.
Dia yang dapat menahan kemarahan,
seperti seorang menahan kaburnya kereta,
dialah patut disebut seorang kusir sejati.
Kalahkan amarah dengan kasih,
tundukkan kejahatan dengan kebajikan,
kerakusan dengan kerelaan,
dan kebohongan dengan kebenaran.
Sampai di sini Ka Chong Hoatsu sudah tertawa bergelak sehingga Kun Hong cepat-cepat menghentikan nyanyiannya. "Ha-ha-ha, bocah buta masih ingusan, kau berani mengajari pinceng tentang ayat kitab Dhammapada? Ha-ha-ha, seperti orang mengajar ikan tentang caranya berenang!"
"Kalau perlu boleh saja, Lo-suhu, Sungguh pun ikan pandai berenang, kadang-kadang dia akan tersesat karena tertarik oleh kemilaunya kotoran-kotoran di permukaan air sehingga tanpa disadari ikan itu akan berenang menentang arus dan menemui kehancurannya."
"Huh, bocah she Kwa. Agaknya kau mengandalkan kepandaianmu untuk bersikap kurang ajar dan sombong di depan pinceng. Hemm, bocah buta, Yok-mo sendiri yang kau sebut sebagai gurumu masih tidak berani memandang rendah terhadap pinceng. Majulah dan coba perlihatkan kepandaianmu!"
Akan tetapi Kun Hong tidak bergerak. "Lo-suhu, aku tak ingin berkelahi dengan siapa pun juga..."
"Ha, kau jeri kepada Ka Chong Hoatsu?" hwesio itu mengejek.
"Aku pun tidak jeri atau takut kepada siapa pun juga."
"Kalau begitu majulah, hayo perlihatkan kepandaianmu!"
"Lo-suhu, aku tidak ingin berkelahi, hanya ingin supaya aku dan nona ini dibolehkan pergi dengan aman. Kami tidak bermaksud mengganggu kalian penghuni pulau ini..."
"Taisu, mengapa berdebat dengan setan kurang ajar itu? Tolong kau tangkap dia untukku, biar puas aku memberi hukuman kepadanya!" kata Ching-toanio dengan suara gemas.
"Bocah Kwa, lihat tongkat!" bentak Ka Chong Hoatsu.
Kun Hong cepat-cepat mendorong Loan Ki ke belakang agak jauh karena dia mendengar ada sambaran angin yang dahsyat sekali menyambar ke arahnya. Bukan main hebatnya serangan ini dan Kun Hong memusatkan pikiran dan perasaannya, mengumpulkan hawa murni dan tenaga dalam di tubuhnya.
Dia tahu bahwa angin dahsyat itu menyembunyikan tongkat yang menyambar ke arah pinggangnya. Sengaja dia melambatkan gerakannya. Begitu tongkat itu telah menyambar dekat, dengan pengerahan ginkang (ilmu meringankan tubuh) dia lalu meloncat ke atas.
Tongkat itu mendesing di bawah kakinya, tidak lebih dari sepuluh senti jaraknya, namun angin pukulan tongkat itu telah membuat Kun Hong seperti didorong dari bawah sehingga tubuhnya mumbul lagi belasan senti tingginya. Dia makin kagum dan maklum bahwa kali ini dia menghadapi seorang lawan yang luar biasa tangguhnya, malah mungkin tak kalah lihai kalau dibandingkan dengan lawan yang paling ampuh yang pernah dihadapinya, yaitu pada tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, si tua bangka Pak-thian Lo-cu, guru dari Si Tangan Maut Bouw Si Ma, orang Mancu yang sekarang hadir di sini.
Kekaguman tidak hanya berada di pihak Kun Hong. Juga Ka Chong Hoatsu kagum bukan main. Cara pemuda buta itu menghadapi serangannya tadi betul-betul di luar dugaannya, dan cara ini sekaligus membingungkannya karena sama sekali bukan ilmu silat seperti yang pernah dia lihat dimainkan oleh Bu Beng Cu.
Memang, Kun Hong tadi tidak menggunakan jurus dari Kim-tiauw-kun dalam menghadapi penyerangan ini, akan tetapi dia mempergunakan sebuah jurus pertahanan dari Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat yang dia terima dari Si Raja Pedang Tan Beng San.
Jurus tadi lewat cepat sekali seperti menyambarnya halilintar. Kini Kun Hong sudah berdiri tegak, kaki kanannya ditekuk dengan ujung berdiri dan tumit menempel di kaki kiri, tangan kanan yang memegang tongkat ditaruh di depan dada dan tongkatnya tegak lurus ke atas menempel ujung hidung, tangan kiri dengan jari-jari terbuka lurus ke depan seperti sedang menunjuk. Seluruh tubuh tak bergerak, semua urat dalam tubuh menegang serta segenap perhatian dicurahkan ke depan dan sekelilingnya dalam sikap menjaga diri.
Ka Chong Hoatsu juga memasang kuda-kuda, akan tetapi dia meragu dan tidak segera menjatuhkan serangannya. Betapa pun juga, dia masih sungkan untuk menyerang secara sungguh-sungguh.
Dia adalah seorang yang memiliki kedudukan besar dan dipandang tinggi di utara, sejajar dengan Pak Thian Locu, hanya kalau Pak-thian Lo-cu menganut aliran Agama To adalah dia merupakan wakil dari golongan Buddha. Sudah jauh dia merantau, bahkan belasan tahun dia berada di India. Sejak pulang dari India, dia makin dipandang dan merupakan orang yang paling berkuasa di samping kepala suku di antara bangsanya, yaitu Bangsa Mongol yang sudah kalah perang dan kehilangan kedudukan itu.
Bahkan dia merupakan orang yang dipilih untuk mendidik Pangeran Souw Bu Lai yang dipandang menjadi seorang bangsawan yang memiliki harapan untuk merampas kembali kerajaan yang hilang. Kedudukannya demikian besar dan tinggi, masa sekarang dia harus menggunakan kepandaiannya untuk bertempur sungguh-sungguh melawan pemuda yang usianya dua puluh lima tahun paling banyak, yang buta kedua matanya lagi?
Inilah yang membuat Ka Chong Hoatsu ragu-ragu karena dalam pertempuran ini, kalau dia menang takkan berarti apa-apa akan tetapi kalau sampai kalah namanya akan hancur luluh sekaligus! Dia pun maklum bahwa pemuda buta ini benar-benar memiliki simpanan rahasia ilmu yang tak boleh dipandang ringan.
Dua jagoan ini sudah saling berhadapan memasang kuda-kuda, seperti dua buah patung tak bergerak sama sekali. Ka Chong Hoatsu biar pun sudah tua namun tubuhnya tinggi besar dan kuda-kudanya gagah, kedua kaki terpentang, tubuh agak direndahkan, tongkat yang panjang dan amat berat itu melintang di depan dada, kedudukannya membayangkan tenaga yang dahsyat sekali. Kun Hong sebaliknya tenang, namun kokoh kuat seperti batu karang menghadapi serbuan ombak samudera.
"Bun-taihiap dari Kun-lun-pai yang terhormat sudah tiba untuk bertemu dengan toanio...!" terdengar seruan wanita penjaga dari jauh.
Belum lenyap gema suara itu, berkelebat bayangan putih dan seperti sehelai daun kering yang tertiup angin, melayanglah turun seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, berpakaian serba putih dan pada punggungnya tergantung sebatang pedang yang tertutup sarung pedang terukir indah. Begitu tiba di situ pemuda ini melihat keadaan Ka Chong Hoatsu, memandang heran lalu mengerling ke arah Kun Hong yang buta.
"Ah, kiranya Ka Chong Hoatsu sedang memberi pelajaran, sungguh kedatanganku sangat kebetulan!" kata pemuda itu.
Ka Chong Hoatsu sudah semenjak tadi membatalkan serangannya, lalu dia mengetukkan tongkatnya di atas tanah dan tertawa bergelak.
"Sungguh tidak tahu malu pinceng yang sudah tua bangka mau melayani seorang bocah buta, menjadikan buah tertawaan Bun-sicu dari Kun-lun-pai saja. Ha-ha-ha!"
Akan tetapi pemuda baju putih itu tidak memperhatikan Ka Chong Hoatsu karena pada saat itu dia sedang memandang ke arah Kun Hong dengan bengong, malah dia segera melangkah mendekati dan mengamat-amati wajah Kun Hong dengan pandang matanya yang penuh selidik. Suaranya berubah ketika dia bertanya.
"Ka Chong Hoatsu, mau apakah dia datang ke sini dan kenapa pula hendak bertempur melawanmu?"
Ka Chong Hoatsu tertawa lagi. Dia pernah beberapa kali datang ke Kun-lun-san dan dia mengenal pemuda Kun-lun yang lihai ini, yang selalu bersikap terbuka serta bersahaja terhadapnya, tidak menjilat-jilat akan tetapi amat jujur.
"Ha-ha, Bun-sicu, sebetulnya pinceng malu karena harus turun tangan terhadap seorang bocah buta. Tapi dia ini memang menjemukan, bermain gila dengan nona Hui Kauw..."
Pemuda baju putih itu mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan. "Hemmm, kiranya sesudah kedua matanya buta, Kwa Kung Hong masih sama saja merupakan seorang pemuda hidung belang yang suka merayu dan menundukkan hati wanita. Lucu sekali! Kwa Kun Hong, apakah kau tidak kenal padaku?"
Tentu saja Kun Hong mengenalnya. Biar pun dahulu belum mendapat kesempatan untuk berkenalan secara mendalam, namun mana bisa dia melupakan pemuda putera ketua Kun-lun-pai yang dahulu menjadi tunangan dari kekasihnya, Tan Cui Bi?
Dia tahu bahwa pemuda ini adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai yang biar pun dahulu lantas pulang dengan marah bersama ayahnya dari puncak Thai-san, dan tidak menjadi saksi atas peristiwa mengerikan yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya namun agaknya pemuda ini sudah mendengar tentang kebutaannya.
Dia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangan yang memegang gagang tongkat ke depan dada. "Tentu saja aku ingat dan mengenal suara Bun-enghiong dari Kun-lun-pai. Tetapi sayang sekali semenjak bertahun-tahun ini pandanganmu masih sesempit dulu, terutama dalam menilai watak seseorang. Sayang..."
Kembali Bun Wan, pemuda itu, mendengus mencemooh atas ucapan ini. Kemudian dia menoleh ke arah Ching-toanio dan berkata, "Toanio, karena aku telah datang di sini, aku harap Toanio suka mengampuni dia dan membebaskannya. Harap Toanio ketahui bahwa antara ayahnya dan ayahku ada hubungan persahabatan di waktu muda, oleh karena itu amatlah tidak enak kalau dia ini menerima hukuman di mana aku hadir. Tentu ayah akan menegurku."
Ching-toanio menggerutu, "Dia ini terlalu kurang ajar, terlalu menghina kami, mana bisa aku memberi ampun?"
Akan tetapi Ka Chong Hoatsu cepat-cepat berkata, "Ching-toanio, biarlah, melihat muka Bun-sicu yang terhormat, biarlah kita mengampuninya dan membiarkan si buta ini pergi dari pulau. Apa lagi bila mengingat akan nama besar Ciang-bun-jin dari Kun-lun-pai, ayah Bun-sicu yang kita hormati."
Melihat kesempatan yang baik ini, Loan Ki segera menggandeng tangan Kun Hong dan berkata, "Hayo, Hong-ko, kita pergi dari tempat terkutuk ini!" Ia lalu menarik tangan Kun Hong dari situ sambil menjebirkan bibir dan melerok ke sana ke mari kepada orang-orang yang berada di situ!
"He-he-he-he, bocah nakal. Kau tidak boleh pergi! Masih ada urusan yang akan pinceng bicarakan denganmu sebagai wakil ayahmu, urusan penting sekali. Si buta ini boleh pergi sekarang juga, tapi kau tidak. Kembalilah!" kata Ka Chong Hoatsu.
Mendengar ini Ching-toanio tersenyum dan tahulah ia sekarang mengapa hwesio yang menjadi tamu agung dan orang andalannya ini tadi membiarkan Kun Hong dibebaskan. Kiranya hwesio itu bermaksud supaya si buta itu mencari jalan ke luar dari pulau itu seorang diri dan hal ini terang tidak mungkin dan akhirnya tentu akan membuat pemuda buta itu terjeblos ke dalam perangkap-perangkap rahasia dan tak akan terlepas dari pada hukuman dan pembalasannya juga!
"Betul, Nona. Setelah menjadi tamu kami, kau tak boleh pergi dulu dari sini. Kami hendak mengadakan hubungan dengan ayahmu melalui kau!" katanya.
Loan Ki memutar otaknya. Dia maklum bahwa jumlah lawan yang banyak ini amat sukar dilawan, biar oleh Kun Hong sekali pun. Dia melepaskan tangan Kun Hong dan berjalan dengan langkah lebar ke dekat Ka Chong Hoatsu, langsung ia menegur,
"Hwesio tua, kau benar-benar mau mempermainkan aku seorang bocah perempuan? Aku tidak suka berada di sini, di dekat kalian ini, dan aku mau pergi sekarang juga. Apa bila nonamu ini mau pergi, siapa yang sanggup melarang? Aku berani bertaruh, kalau aku sungguh-sungguh menghendaki pergi, tongkatmu yang panjang dan tiada gunanya ini tak akan mampu menghalangiku, Hwesio tua!"
Ka Chong Hoatsu tertawa, juga orang-orang yang berada di situ semua tertawa mengejek mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Kun Hong diam-diam mengeluh. Benar-benar Loan Ki adalah seorang bocah yang tidak genah (normal), pikirnya, tak mengerti tingginya langit dalamnya lautan. Sudah terang bahwa tingkat kepandaiannya masih kepalang tanggung, matang tidak mentah pun tidak, jika dibandingkan dengan kepandaian Ka Chong Hoatsu masih tertinggal jauh sekali. Bagaimana sekarang berani mengucapkan tantangan yang begitu menggelikan? Seperti katak dalam tempurung!
"Ha-ha-ha-ha, pinceng kagum akan ketabahannmu, Nona cilik. Betulkah tongkat pinceng yang butut ini tidak akan mampu menghalangi kau pergi?"
"Tentu saja tidak mampu. Berani aku bertaruh! Kau boleh jadi lebih kuat dan lebih matang ilmu silatmu dibandingkan dengan aku karena kau sudah tua, akan tetapi aku menang muda sehingga aku lebih cepat dari padamu. Kalau aku berlari cepat, mana kau mampu mengejarku?"
Kembali ucapan ini menggelikan dan Ka Chong Hoatsu juga tertawa bergelak. Dia merasa malu untuk berdebat dengan seorang bocah, apa lagi dalam soal kepandaian silat, maka biar pun hatinya mendongkol, dirinya tertawa dan diam-diam ingin mengalahkan bocah ini biar kapok dan tidak membuka mulut besar.
"Tentu saja, pinceng sudah tua mana dapat berlari cepat? Akan tetapi, agaknya kau ini seorang bocah perempuan cilik, juga tidak akan dapat melangkah lebar seperti pinceng, ha-ha-ha!"
"Ehh, Hwesio tua, jangan pandang rendah padaku, ya? Berani kau bertaruh dengan aku berlomba lari cepat? Mana kau berani. Huh, kau hanya berani menghina seorang bocah perempuan mengandalkan kepandaian dan usia tua. Hayo, kalau kau berani berlomba lari cepat, biar kita bertaruh. Bila kau kalah, kau dan semua orang ini tak boleh menghalangi aku pergi dari pulau ini, kalau aku yang kalah, terserah kepadamu. Berani tidak?"
Sekali lagi Kun Hong mengeluh. Mengapa Loan Ki begitu goblok? Kalau tadi tidak usah banyak cakap, tetap berada di dekatnya, tentu dia kan dapat melindungi nona cilik nakal itu. Sekarang nona itu malah mencari penyakit sendiri. Mana mungkin menang berlomba lari cepat melawan hwesio yang sakti itu?
"Ha-ha-ha, kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah, kalau tidak dituruti kehendakmu, aku khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa gagal maksud pinceng menghubungi ayahmu. Ha-ha-ha!"
"Bagus, kau lihat bunga bwee yang tumbuh di sana itu?"
Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum lebar. Pohon bunga bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari tempat itu. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja di sudah akan sampai di sana!
"Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?"
"Ha-ha-ha setuju, setuju!" jawab hwesio tua.
"Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, dan sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!"
"Ha-ha-ha, boleh... boleh..." Ka Chong Hoatsu menjawab, gembira juga dia menyaksikan permainan kanak-kanak ini.
Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri saja sambil mengerutkan keningnya yang bagus.
"Hayo lekas mulai!" tegur Ka Chong Hoatsu.
Loan Ki menggeleng kepalanya. "Percuma... aku masih belum percaya benar kepadamu, jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?"
Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar. "Bocah kurang ajar, pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!"
"Orang gagah lebih baik mati dari pada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?"
"Pinceng berjanji, gadis liar!"
Loan Ki tersenyum, manis sekali. "Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?"
"Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng tak akan lari selamanya kalau kalah cepat lariku dari pada larimu. Hayo mulai!"
"Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama."
Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan di atas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan ke atas sehingga ia nampak lucu sekali.
"Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!" Ka Chong Hoatsu tertawa geli.
Loan Ki tidak peduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada di sana, "Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!"
Kemudian ia mulai menghitung dengan suara lantang, "Satu..."
Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biar pun semua orang yakin bahwa gadis itu tentunya akan kalah, akan tetapi menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apa gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu. Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiri pun sudah siap memasang kuda-kuda untuk segera ‘tancap gas’ kalau hitungan itu sudah sampai tiga.
"Dua..."
Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu semakin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan ‘tiga’ tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya. Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira bahwa gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan ke arah bunga bwee itu.
Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu, tiba-tiba saja Loan Ki berteriak nyaring sekali, "... tiga...!" dan dia pun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak ''Aku menang...! Hi-hik hwesio tua, kau kalah!"
Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau lari pun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, hanya tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali.
"Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?" bentaknya.
Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.
"Ka Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini engkau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, juga aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?"
Ka Chong Hoatsu terkesima. Untuk beberapa lama dia tidak mampu bicara. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya hingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja.
"Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!"
Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah. "Terima kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau pun akal udang, itu tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu."
Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.....