Pendekar Buta Jilid 11

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 11

Mendadak Loan Ki mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat dia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang ke kanan kiri, semua orang yang berada di situ tertawa belaka. Loan Ki mengangkat kedua pundaknya, kemudian membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik, "Mari kita pergi, Hong-ko." Ditariknya pemuda itu.

"Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?" bisik Kun Hong.

Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan... ternyata mahkota kuno yang berada di dalam buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa. "Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, ya?" Loan Ki membentak sambil melotot.

Ka Chong Hoatsu semakin gembira tertawa. "Ha-ha-ha, pinceng tak akan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat dari padamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Ke dua kalinya, benda ini kami tahan di sini sebagai undangan kepada ayahmu."

"Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!"

Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah dia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki lalu berkata lirih, "Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari"

"Kau memang cerdik, nakal dan... aneh...," kata Kun Hong.

"Bila tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita ke luar dari tempat ini? He, Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu."

Kun Hong tersenyum. Terbayang dalam benaknya wajah Bun Wan yang memang gagah, dan terbayang pula wajah Cui Bi, maka bangkitlah perasaan bangga dan terharu, juga sedih. Cui Bi sudah mempunyai tunangan segagah Bun Wan, kenapa memberatkan dia? Padahal wajah dan bentuk tubuh Bun Wan benar-benar dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita, dan buktinya Loan Ki gadis lincah yang berhati angkuh ini sekali berjumpa terus memuji-muji.

"Dia putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja gagah dan lihai."

Hening sejenak. Kun Hong heran, merasa betapa gadis di sebelahnya yang sekarang menggandeng tangannya ini agaknya berpikir dan menimbang-nimbang, entah apa yang dipikirkannya.

"Tapi aku tidak suka kepadanya, Hong-ko," katanya tiba-tiba.

"Heee? Apa maksudmu? Kenapa tidak suka?" tanya Kun Hong heran karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang tak diduganya sama sekali. Tadi memuji sekarang tidak suka, bagaimana ini?

"Aku malah benci padanya! Dia tadi datang-datang memakimu sebagai seorang pemuda hidung belang yang senang merayu hati wanita. Sungguh pun pernyataan itu memang betul!"

"Ehh, kau juga menganggap aku begitu? Tidak betul itu..."

"Sudahlah, kau memang hidung belang! Jangan bantah lagi. Kulihat tadi gadis cantik jelita puteri Ching-toanio bermain mata dengan orang she Bun dari Kun-lun-pai itu. Hemmm, memang Hui Siang itu cantik jelita sekali, Hong-ko, cantik bagaikan bidadari. Heran aku mengapa kau tidak jatuh hati kepadanya, sebaliknya malah tergila-gila kepada Hui Kauw yang buruk rupa."

Kun Hong menarik napas panjang. "Aku tidak tergila-gila kepada siapa pun juga, Ki-moi... kau tidak tahu..."

Tiba-tiba Loan Ki berhenti melangkah dan Kun Hong juga terkejut ketika mendengar suara mendesis-desis. Mereka mencium bau yang amis. Ular! Banyak sekali ular menggeleser datang dari empat penjuru dan sebentar saja mereka terkurung ular yang amat banyak.

"Heeeiii, Ka Chong Hoatsu, tua bangka bau! Apakah kau begini tidak tahu malu untuk melanggar janjimu sendiri?" Loan Ki berteriak nyaring ke arah belakang

Tidak terdengar jawaban dari belakang, akan tetapi dari depan sana terdengar lapat-lapat suara wanita tertawa disusul kata-kata mengejek, "Ular-ular bukan manusia, tak termasuk dalam perjanjian. Yang ingin meninggalkan Ching-coa-to harus dapat melalui barisan ular hijau." Walau pun hanya lapat-lapat, jelas bahwa itu adalah suara Hui Siang gadis cantik jelita yang galak itu.

"Hui Siang budak genit!" Loan Ki berteriak marah. "Kau kira kami berdua tidak mampu membubarkan barisan anak-anakmu yang sial ini?"

Kun Hong sudah siap dengan tongkatnya untuk menghajar setiap ular yang berani maju mendekat. Akan tetapi Loan Ki menggandeng tangannya diajak maju terus.

"Hati-hati," bisik Kun Hong. "Siapkan senjatamu. Wah, sayang sekali mahkota kuno itu dirampas oleh Ka Chong Hoatsu."

Loan Ki mengikik tertawa. "Kau kira aku begitu bodoh? Hayo maju terus, Hong-ko, jangan takut ular-ular itu. Mainan kanak-kanak!" dia menyombong dan menarik tangan Kun Hong untuk maju terus.

Kun Hong merasa heran dan kaget ketika mendengar betapa barisan ular itu menyimpang di kala mereka lewat, seakan-akan binatang-binatang itu takut kepada mereka.

"Ehh, bagaimana ini... Ki-moi, mengapa ular-ular itu..." tiba-tiba dia tersenyum, "Ha, kau benar-benar bocah nakal dan cerdik. Tentu mutiara-mutiara mustika itu sudah kau ambil dari mahkota."

"Hussh, diam saja, Hong-ko. Kau biar pun buta memang cerdik. Mari kita maju terus, itu pantai sudah tampak dari sini."

Dari jauh Loan Ki melihat bayangan Hui Siang berkelebat cepat disusul suara kecewa nona cantik itu yang agaknya terheran-heran dan kecewa melihat mereka berdua ternyata dapat lolos dari kurungan barisan ular secara mudah.

Sementara itu, Kun Hong dan Loan Ki sudah tiba di pinggiran telaga. Di sana tidak ada perahu, akan tetapi Loan Ki yang cerdik tidak menjadi bingung. Dengan pedangnya dia menebang pohon besar dua batang, mengikat dua batang pohon menjadi satu dijadikan rakit atau perahu. Dengan kepandaian dan tenaga mereka mudah saja bagi mereka untuk menggunakan perahu istimewa ini dan mendayungnya ke pantai seberang.

Sebentar saja mereka telah menurunkan perahu ke dalam air, Kun Hong duduk di depan sedangkan gadis itu di belakang. Keduanya sudah memegang sebuah dayung terbuat dari pada cabang pohon yang besar dan kuat.

"Ahooi...! Orang-orang Ching-coa-to...!" Loan Ki mengeluarkan suaranya sebelum perahu itu didayung ke tengah. "Aku sudah menerima penyambutan di Ching-coa-to, kalau kalian memang punya nyali, lain waktu kutunggu kunjungan balasan kalian di Pek-tiok-lim pantai Pohai."

Namun tidak ada jawaban. Loan Ki mendayung perahunya ke tengah menuju ke pantai yang tampak di seberang sana. Gadis ini tersenyum-senyum dan terlihat gembira sekali. Ditepuknya pundak Kun Hong.

"He, Hong-ko, kenapa kau diam saja? Hayo nyanyi lagi seperti ketika kita berangkat."

Melihat betapa Kun Hong tersenyum pahit, gadis itu mengerutkan keningnya dan berkata mengejek, "Aha, agaknya hatimu tertinggal di pulau itu, ya? Waah, memang kasihan Hui Kauw, dia amat mencintamu, Hong-ko!"

Ucapan ini mendebarkan jantung Kun Hong. "Ki-moi, kau terlalu mudah menuduh orang. Siapa sudi mencinta seorang tak bermata? Ki-moi, bagaimana kau bisa bilang begitu?"

"Ehh, siapa bohong? Kalau ia tidak mencintamu, tak mungkin ia sudi menjalani upacara pernikahan denganmu"

Kun Hong jadi semakin tertarik, karena memang hal yang amat aneh baginya itu sangat membingungkan. "Loan Ki moi-moi yang baik, apa bila kau tahu akan persoalan itu, kau ceritakanlah kepadaku. Sampai sekarang aku benar-benar masih bingung sekali. Aku tak mengerti kenapa tiba-tiba mereka hendak mengawinkan aku dan kenapa pula ia tadinya suka melakukan upacara itu."

Loan Ki tertawa. "Semua gara-gara Ka Chong Hoatsu itulah. Karena tadinya aku dianggap oleh mereka ‘orang sendiri’ maka aku boleh mendengarkan semua perundingan mereka, hi-hi-hik. Sesudah kau menyembuhkan Hui Kauw, ibunya itu mendatangi Hui Kauw dan membujuknya agar suka menikah denganmu. Ibunya, si toanio yang jahat itu mengatakan kepada Hui Kauw bahwa kau juga sudah setuju menjadi suaminya, bahwa pernikahan itu sudah seharusnya karena perhubungan kau dengan Hui Kauw sudah menjadi buah bibir para pelayan dan kalau sampai bocor ke luar tentu akan mencemarkan nama Hui Kauw. Pula bahwa kau sudah menyembuhkan luka-lukanya dengan cara yang sebetulnya tidak boleh dilakukan oleh orang lain, yaitu menelanjangi tubuh bagian atas. Akhirnya Hui Kauw setuju. Biar pun dia tidak bilang apa-apa, buktinya dia tidak menolak ketika dirias seperti pengantin. Hi-hik aku geli dan juga muak melihat semua itu. Benar-benar tak tahu malu!"

Kun Hong mengerutkan keningnya. Dia merasa sangat berkasihan kepada Hui Kauw si nona bersuara bidadari itu. Sekarang dia dapat menerka apa yang sudah terjadi, dapat menyelami perasaan nona itu dan dapat menduga betapa hancur hatinya.

Sebelumnya dia sempat mendengar percakapan antara Hui Kauw dengan ibunya yang hendak memaksa anaknya itu berjodoh dengan Pangeran Mongol dan hal ini ditolak tegas oleh Hui Kauw. Lalu terjadilah kehebohan fitnah ketika dia muncul, disusul dengan terluka dan hampir tewasnya nona itu dan akhirnya pengobatan yang dia lakukan.

Agaknya karena keadaan amat terdesak Hui Kauw menerima saja keputusan dijodohkan dengan dia, ataukah di sana ada lain dasar? Cinta kasih? Tak mungkin! Mungkinkah kalau seorang gadis bidadari seperti Hui Kauw sampai jatuh cinta kepada seorang buta macam dia?

Tak mungkin, bantah hatinya. Betapa pun juga, karena dia tidak menyangka akan hal-hal ini sebelumnya, ketika mengetahui bahwa dia sedang melakukan upacara sembahyangan pengantin, dia sudah menolaknya. Tentu saja, dia dapat membayangkan ini dengan hati perih, tentu saja Hui Kauw amat tersinggung, bahkan terhina oleh penolakannya itu.

Gadis itu menjalani upacara hanya karena terhasut, dibohongi dan mengira bahwa dia pun sudah setuju. Siapa tahu gadis itu mendengar betapa dia menolaknya. Seorang gadis ditolak oleh mempelai pria! Alangkah hebat penderitaan batin gadis itu. Dapatkah gadis itu memaafkannya? Mungkinkah ada maaf untuk penghinaan sehebat itu?

"Tak mungkin!" kini jawaban hati Kun Hong disertai suara bibirnya yang bergerak.

"Apa yang tak mungkin, Hong-Ko?" Loan Ki bertanya.

Kun Hong kaget dan baru sadar bahwa dia terlalu dalam tenggelam dalam lamunannya. "Tidak apa-apa, Ki-moi. Aku hanya merasa heran akan sikapmu ketika berada di pulau. Pada saat aku menghadapi mereka kenapa kau malah merobohkan aku dengan totokan? Kenapa kau menyerangku secara menggelap? Bukankah perbuatan itu benar-benar aneh sekali, Ki-moi?"

Gadis itu cemberut. "Aneh apa? Habis melihat kau mati-matian melindungi dan membela Hui Kauw, siapa orangnya tidak menjadi dongkol hatinya!"

Kun Hong semakin heran. Mungkinkah gadis lincah ini timbul rasa cemburu dan iri hati terhadap Hui Kauw? Heran, tanpa adanya cinta mana bisa timbul cemburu dan iri hati? Apakah gadis ini... cinta kepadanya? Kun Hong menggeleng kepalanya keras-keras. Tak mungkin lagi ini!

"Ki-moi, kau benar-benar orang aneh. Mula-mula kau menotokku roboh, di lain detik kau malah membelaku ketika Ching-toanio hendak menghabisi nyawaku, lalu kau bersekutu dengan mereka, membiarkan aku dijadikan bahan permainan dan disuruh sembahyang. Kau diam saja malah juga ikut mentertawakan."

"Tentu saja. Biar pun mendongkol aku belum ingin melihat kau mampus. Tapi kau... kau kembali membela Hui Kauw mati-matian. Kau mencinta Hui Kauw seperti juga kau cinta Lauw Swat-ji si gadis genit puterinya Hui-houw Pangcu itu dan seperti kau cinta si janda muda pula. Cih, orang mata keranjang macammu mana patut dibantu?"

"Hemmm, lidahmu tajam luar biasa, adik Loan Ki. Akan tetapi mengapa kau tadi kembali membantu aku secara tiba-tiba dan mengajakku ke luar dari pulau itu?"

Suara Loan Ki terdengar kaku membayangkan kemengkalan hatinya, "Habis, ternyata kau tidak suka menikah dengan Hui Kauw, masa yang begini saja kau tanya?"

Makin heranlah Kun Hong. Mendengar ini semua, jawabannya hanya satu, yaitu bahwa gadis ini cinta kepadanya. Akan tetapi sikapnya sama sekali bukan seperti orang yang mencinta.

"Kau melongo seperti orang bingung. Benar-benar bodoh sekali. Masa yang begini saja tidak mengerti, Hong-ko? Kalau kau tergila-gila kepada seorang gadis masa aku harus berbaik kepadamu? Tidak sudi!"

"Ki-moi..." suara Kun Hong agak gemetar sebab ia amat khawatir kalau-kalau dugaannya betul, bahwa gadis ini cinta kepadanya. "Tentang hal itu... andai kata aku tergila-gila pada seorang gadis lain, ada sangkutan apakah dengan dirimu?"

"Sangkutan apa? Tentu saja aku tidak ada sangkut paut apa-apa! Akan tetapi, di depanku kau tidak semestinya tergila-gila kepada lain gadis, hemmm... pendeknya aku tidak suka, dan habis perkara!"

Kun Hong semakin tak mengerti. Gadis aneh. Akan tetapi lega juga dia karena didengar dari ucapan ini, agaknya dugaannya tidak betul, bahwa gadis ini tak mungkin jatuh cinta kepadanya.

"Sudah sampaikah ke tepi daratan, Ki-moi?"

Perahu batang pohon itu berhenti, menabrak karang.

"Sudah, mari kita melompat!" Dengan menggandeng tangan Kun Hong, Loan Ki mengajak pemuda itu melompat ke depan dan benar saja, mereka telah tiba di daratan.

Tapi begitu mendarat, serta merta Loan Ki menangis tersedu-sedu sambil mendeprok di atas tanah, menutupi mukanya dengan sapu tangan. Kun Hong heran dan kaget sekali.

"Ehh..., kenapa kau menangis?"

Sampai lama Loan Ki tidak dapat menjawab karena isak tangisnya membuat ia tak dapat berkata-kata. Kun Hong terpaksa berlutut di hadapannya dan berkali-kali mengajukan pertanyaan dengan hati cemas.

"Kau kenapakah? Sakitkah kau?" Dipegangnya nadi lengan gadis itu, ternyata tidak ada gangguan kesehatannya. "Kau tidak apa-apa, kenapa menangis?"

"Tidak apa-apa katamu? Enak saja kau bicara. Dasar kau tidak punya liangsim (pribudi), melihat orang terhina serendah-rendahnya malah kau berpura-pura tidak tahu dan masih bertanya-tanya segala!"

"Terhina? Kau? Oleh siapa dan bagaimana?" Kun Hong benar-benar bingung.

Tiba-tiba gadis itu meloncat bangun dan membanting-banting kaki, menangis lagi. Kun Hong juga bangun, menggeleng-geleng kepala dan makin bingung. Benar-benar dia tidak mengerti dan tidak dapat menduga apa yang menyebabkan gadis ini berhal seperti itu.

"Ki-moi, aku mengaku bodoh, kau katakanlah, siapa yang menghinamu dan dengan cara bagaimana aku benar-benar tidak mengerti!"

"Berkali-kali aku dikalahkan orang di pulau Ching-coa-to, aku tidak berdaya, bukankah itu berarti penghinaan-penghinaan yang paling rendah? Kau masih pura-pura bertanya lagi?" Ia membentak marah.

Kun Hong tersenyum, "Ah, itukah yang kau anggap penghinaan? Ki-moi, menang atau kalah dalam pertempuran merupakan hal yang lumrah di dunia persilatan, mengapa kau merasa terhina? Biar kalah dalam pertempuran asalkan tidak salah. Orang yang berada di pihak benar boleh kalah bertempur namun di dalam batin senantiasa merasa menang."

"Enak saja! Aku puteri tunggal dari Pek-tiok-lim, selama hidupku tak pernah kalah dalam pertempuran. Sekarang di pulau terkutuk itu berkali-kali dikalahkan orang, sedangkan kau seorang buta saja tidak pernah kalah. Bukankah ini memalukan sekali? Ahhh, celaka... celaka..." dan ia menangis lagi dengan amat sedihnya.

Kun Hong merasa kasihan. Dia akan berpisah dengan gadis ini dan kalau dia tinggalkan dalam keadaan begitu, kecewa dan berduka, sungguh dia tidak tega.

"Ki-moi, mari kuajari kau beberapa langkah yang akan membikin kau tidak mudah untuk dikalahkan orang lagi."

Seketika suara tangis gadis itu berhenti seperti seekor jangkerik terpijak. Malah suaranya mengandung kegembiraan besar, "Benarkah, Hong-ko? Kau hendak memberi pelajaran ilmu pukulan kepadaku?"

"Bukan ilmu pukulan, melainkan ilmu langkah rahasia. Kau lihat dan perhatikan baik-baik, semua ada dua puluh empat langkah rahasia. Lihat dan ingat baik-baik, aku mulai!" Kun Hong lalu memasang kuda-kuda dan mulailah dia menjalankan langkah-langkah rahasia berdasarkan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).

Melihat betapa Kun Hong melangkah dengan cara aneh, terhuyung-huyung, membongkok kadang-kadang jinjit (berdiri di atas ujung kaki), Loan Ki merasa kecewa. Agaknya tarikan nafasnya tidak terlepas dari pendengaran Kun Hong yang tertawa sambil berkata,

"Ki-moi, jangan kau pandang rendah ilmu langkah ini, kau cabutlah pedangmu dan kau boleh mencoba untuk menyerangku. Dengan langkah-langkah ini semua seranganmu akan gagal."

Dasar seorang gadis jujur, tanpa sungkan lagi Loan Ki mencabut pedangnya dan menyerang kalang-kabut. Akan tetapi ia merasa seperti menyerang bayangan saja. Kilatan pedangnya yang seakan-akan sudah akan mengenai Kun Hong sampai ia menjadi kaget sendiri, ternyata hanya lewat di samping tubuh pemuda itu yang terus melangkah dengan cara aneh itu. Lewat tiga puluh jurus ia pun berhenti menyerang dan menyimpan pedangnya.

"Wah, Hong-ko, hebat ilmu langkah itu. Mari kupelajari baik-baik. Kau melangkahlah, tapi jangan cepat-cepat!" katanya gembira sekali.

Maka belajarlah gadis itu dengan tekun dan penuh perhatian. Dasar ia berbakat baik dan memang sudah memiliki dasar-dasar yang kuat, setelah berlatih beberapa hari lamanya ia sudah hafal dan dapat melangkah dengan cukup baik. Saking girangnya gadis ini sambil menari-nari lalu memeluk Kun Hong!

"Hong-ko, terima kasih. Ilmu langkah ini apa namanya, Hong-ko?"

Kun Hong bingung. Pada waktu dia mempelajari ilmu langkah ini, dia sendiri tidak tahu namanya. Pikirannya bekerja, kemudian dengan cerdik dia berkata, "Inilah Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) sebanyak dua puluh empat langkah. Dengan ilmu ini setelah kau latih dengan sempurna, tidak mudah kau dirobohkan orang."

Dengan cerdik Kun Hong mengatakan ‘dirobohkan orang’ karena tentu saja dengan ilmu itu masih mungkin gadis yang lincah ini dikalahkan orang. Akan tetapi untuk dirobohkan, kiranya tidaklah mudah.

Loan Ki masih kegirangan, menari-nari dan melatih ilmu langkah yang baru ia pelajari itu. Memang pada dasarnya dia gesit dan lincah, tentu saja kini mendapatkan ilmu langkah yang ajaib itu, ia bagaikan seekor anak kijang tumbuh sayap! Saking asyiknya melatih diri, Loan Ki sampai tidak memperhatikan atau menengok lagi kepada Kun Hong.

"Nah, selamat berpisah, Ki-moi. Semoga Thian akan selalu memberkahimu dan terutama sekali, menuntunmu ke jalan benar."

Baru kaget hati Loan Ki ketika mendengar kata-kata ini. Ia berhenti dan menoleh. "Kau... hendak ke mana, Hong-ko?"

Kun Hong tersenyum, "Tiada pertemuan tanpa akhir di dunia ini, Ki-moi. Kini kita harus berpisah melanjutkan perjalanan masing-masing. Kau pulanglah ke rumah orang tuamu yang tentu sudah mengharap-harap pulangmu sedangkan aku... aku akan pergi ke mana saja nasib membawaku."

"Ihh, jangan begitu, Hong-ko. Mari kau ikut saja dengan aku ke Pek-tiok-lim, ayah tentu senang bertemu denganmu."

Kun Hong menggeleng kepala. "Terima kasih, Ki-moi. Biarlah lain kali kalau kebetulan aku lewat di sana, aku akan singgah menyampaikan hormatku kepada orang tuamu. Sekarang belum waktunya. Nah, selamat tinggal, adikku. Jangan lupa, janganlah kau terlalu mudah membunuh orang. Kepandaian memang untuk menjaga diri dan membela kebenaran dan keadilan, akan tetapi sekali-sekali bukanlah untuk mendahului Tuhan mencabut nyawa orang. Selamat tinggal." Kun Hong melangkah sambil meraba-raba dengan tongkatnya.

"Hong-ko...!"

Akan tetapi Kun Hong tidak mau banyak rewel lagi. Dia tahu bahwa kalau dia melayani gadis ini, akan sukar baginya untuk dapat berpisah. Maka dengan nekat Kun Hong lalu menggunakan kepandaiannya berlari bagaikan terbang cepatnya sehingga sebentar saja lenyap dari pandangan mata Loan Ki yang berdiri bengong ketika tak mampu mengejar, kemudian mengusap-usap kedua matanya.

Kun Hong tidak berani terlalu lama berlari cepat seperti itu. Dia telah berlaku nekat untuk cepat-cepat meninggalkan Loan Ki. Kalau nasibnya sedang sial, mudah saja dia terjeblos ke dalam lubang atau terguling ke selokan ketika berlari cepat seperti itu tanpa dapat mengetahui apa yang berada di depannya. Setidaknya kepalanya bisa benjol terbentur sesuatu yang keras tanpa dapat dia elakkan. Baiknya dia ternyata mujur karena kebetulan sekali dia berlari cepat di atas tanah yang rata.

Segera dia memperlambat larinya ketika tidak mendengar suara Loan Ki mengejar dan pada detik selanjutnya dia hanya berjalan biasa, meraba-raba dengan tongkatnya dan menggerutu seorang diri. Dia marah kepada diri sendiri mengapa sekarang hatinya berhal lain dari pada biasanya.

Biasanya, semua pengalaman dan peristiwa yang menimpa kepadanya, sesudah berlalu tak akan dia kenangkan lagi, malah sebagian besar terlupa sudah. Akan tetapi mengapa sekarang benaknya penuh dengan kenangan di pulau Ular Hijau dan pendengarannya masih penuh suara yang halus seperti suara bidadari? Kenapa dia tidak dapat melupakan Hui Kauw?

Banyak pertanyaan mengaduk-aduk pikirannya. Kemana Hui Kauw sekarang? Bagaimana keadaannya? Mengapa gadis bidadari itu agaknya amat dibenci oleh ibunya dan adiknya? Kenapa pula beberapa kali Loan Ki menyebut nona bersuara bidadari itu sebagai ‘nona muka buruk’ atau ‘nona muka hitam’?

Benar-benar dia tidak dapat menjawab. Juga dia tidak mengerti mengapa suara nona itu menggores dalam-dalam di hatinya dan kesan satu-satunya di dalam hati adalah bahwa nona Hui Kauw adalah seorang nona seperti bidadari!

"Cui Bi... ahhh, Bi-moi... kau bantulah aku... mengapa hatiku begini lemah?" gerutunya beberapa kali dan sesudah dia mengerahkan kenangannya kepada mendiang kekasihnya itu, perlahan-lahan terusirlah kenangan mengenai Hui Kauw dan kegembiraannya bangkit kembali.
cerita silat karya kho ping hoo

Sejam kemudian orang sudah dapat melihat orang muda buta ini berjalan keluar masuk hutan sambil berdendang dengan suara nyaring.

"Wahai kasih, aku di sini..."

Pada saat kebetulan dia memasuki sebuah dusun, maka nyanyiannya terhenti dan diganti teriakan-teriakan nyaring, "Usir penyakit... sembuhkan penyakit...! Jika di antara saudara ada yang sakit, cobalah beri kesempatan kepada saya untuk memeriksa dan mengobati! Biaya sesukanya, serelanya, cuma-cuma bagi si miskin!" Ucapan ini terus dia ulangi dan dengan cara inilah Kun Hong tidak sampai kehabisan bekal di perjalanan.

Banyak orang-orang kaya yang membalas budinya dengan hadiah banyak uang emas dan perak, akan tetapi banyak pula yang hanya membalas dengan ucapan terima kasih, malah tidak kurang jumlahnya mereka yang tidak saja menerima pemeriksaan cuma-cuma malah yang obatnya pun dibelikan oleh Kun Hong!
cerita silat karya kho ping hoo

Hari ketiga semenjak dia meninggalkan Loan Ki, Kun Hong berjalan memasuki sebuah dusun di kaki gunung. Begitu telinganya mendengar suara orang-orang dusun, dia segera meneriakkan penawarannya untuk mengobati orang-orang yang sakit. Seperti biasa di setiap tempat yang dia datangi, teriakan ini selalu disambut ejekan dan cemooh dan selalu orang tidak mau percaya kepadanya sampai ada bukti dia menyembuhkan seorang sakit.

Wah, mana bisa orang buta menyembuhkan orang sakit, ejek mereka. Masih begitu muda lagi. Tentu hanya tukang menipu, kata yang lain pula. Malah ada yang secara mengejek menyakitkan hati berkata, "Mata sampai buta tidak bisa menyembuhkan, masih tak tahu malu hendak mengobati orang lain!"

Sekarang juga di dalam dusun itu, tak seorang pun menghiraukannya kecuali beberapa orang anak nakal yang mengikutinya sambil tertawa-tawa menggoda, bahkan ada yang meniru teriakan-teriakannya. Namun, seperti biasanya Kun Hong hanya tersenyum sabar, semenjak dia kehilangan Cui Bi dan kedua biji matanya, kesabarannya menebal.

Memang luar biasa sekali besarnya kesabaran Kun Hong, dan sangatlah mengharukan ketika ada beberapa orang anak nakal menggunakan batu-batu kerikil menyambitinya. Dia berhenti berjalan, menengok ke arah anak-anak itu dan berkata dengan suara halus tapi penuh peringatan.

"Anak-anak, senangkah hati kalian bisa mengganggu seorang buta? Kalian senang, akan tetapi yang kalian ganggu belum tentu senang. Anak-anak, coba kalian meramkan mata sejenak dan bayangkan keadaan seorang buta. Andai kata kalian tiba-tiba menjadi buta, tidak bisa memandang wajah ayah bunda kalian... kemudian kalian... kalian diganggu oleh anak-anak seperti sekarang ini, bagaimana rasa hati kalian?"

Ucapan ini halus dan sama sekali tidak mengandung kemarahan, akan tetapi langsung menusuk jantung anak-anak dusun itu. Memang bocah dusun amat jauh bedanya dengan bocah kota. Bocah dusun belumlah terlalu rusak oleh keduniawian, batinnya masih cukup bersih dan mudah mereka menerima hal-hal yang langsung menyinggung perasaan. Oleh karena ini, ucapan halus ini membuat mereka sejenak berdiam. Malah di antara mereka mulai saling menyalahkan karena mengganggu seorang buta.

Kun Hong gembira sekali, tertawa dan mengeluarkan beberapa keping uang tembaga, "Anak-anak baik, aku si orang buta tidak punya apa-apa, hanya ada uang kecil ini. Nah, bagi-bagilah rata di antara kalian."

Anak-anak itu semua adalah anak-anak dusun yang miskin. Tentu saja mereka menjadi girang sekali dan bersorak-sorak menerima hadiah yang sama sekali tidak tersangka-sangka itu. Yang paling besar maju menerima uang dari Kun Hong dan dibagi-bagilah uang itu merata. Diam-diam Kun Hong kagum dan girang. Biar pun nakal seperti lajimnya anak-anak lelaki tanggung, namun ternyata bahwa mereka itu rukun dan jujur, terbukti ketika uang-uang dibagi tidak terjadi keributan.

"Paman buta ini baik sekali!" berteriak seorang anak kecil.

"Hari ini hari baik!" berkata yang lain. "Kita bertemu dengan kakek tua hampir mati di kuil rusak, kemudian dengan paman buta ini. Apa bila banyak orang seperti mereka berdua, alangkah senangnya hidup kita!"

Kun Hong tertarik lalu mendekat. "Anak-anak yang baik, siapakah kakek tua hampir mati?"

"Dia seorang kakek tua, tinggi besar seperti raksasa, tapi dia menderita sakit dan hampir mati. Biar pun hampir mati, dia amat baik, membagi-bagikan barang dan uangnya kepada kami!" kata seorang anak.

"Apakah dia tidak punya keluarga? Kenapa tinggal di kuil rusak?" Kun Hong mendesak, hatinya terharu.

"Dia bilang tidak punya keluarga, sebatang kara dan kuil rusak itu memang sudah tidak digunakan lagi. Dia luka-luka, yang paling hebat luka di tengkuknya, ihhh banyak sekali darahnya keluar."

Kun Hong segera memegang tangan anak itu, begitu cepat sehingga bocah itu kaget. Tak seorang pun di antara mereka ingat betapa anehnya seorang buta sanggup menangkap tangan anak itu seperti dapat melihat saja.

"Anak baik, hayo kau antarkan aku ke kuil itu," katanya.

"Mau apa kau ke sana? Dia berpesan supaya orang jangan mengganggunya," anak itu ragu-ragu.

"Aku bisa mengobati luka-lukanya, siapa tahu bisa menyembuhkannya."

"Wah, baik sekali ini!" Anak-anak itu bersorak. "Bawa dia ke sana, dua orang yang baik hati bertemu dan berkumpul. Paman buta kalau betul bisa menyembuhkannya, tentu dia senang hati!"

Beramai-ramai tujuh orang anak itu mengantarkan Kun Hong ke sebuah kuil rusak yang berada di luar dusun. Tempat yang sunyi, yang tidak pernah didatangi orang kecuali anak yang suka bermain-main di tempat sunyi seperti itu. Anak-anak itu mengajak Kun Hong memasuki kuil, akan tetapi mereka menjadi kecewa ketika tiba di dalam.

"Ah, dia sudah pergi...!" kata anak-anak itu setelah mencari ke sana ke mari tidak melihat kakek yang mereka ceritakan tadi.

Akan tetapi Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap adanya orang itu yang bersembunyi di atas! Hemmm, mengapa orang itu bersembunyi? Agaknya dia tidak suka bertemu dengan orang lain, pikir Kun Hong.

"Anak-anak, kakek itu sudah pergi. Biarlah, dan sekarang tempat ini untuk sementara akan kupergunakan untuk mengaso. Kalian pergilah sana main-main, jangan ganggu aku yang hendak mengaso di sini. Tentang kakek itu, seperti yang dia sudah pesan kepada kalian, jangan kalian ceritakan kepada siapa pun juga, ya?"

Seperti burung-burung di waktu pagi anak-anak itu menjawab, lalu berserabutan mereka lari keluar dari kuil itu. Kun Hong lalu meraba dengan tangannya membersihkan lantai yang penuh debu, kemudian duduk bersandar dinding yang retak-retak saking tua dan tak terpelihara. Dengan pendengarannya yang luar biasa Kun Hong dapat menangkap tarikan napas yang berat, tanda bahwa orang itu terluka parah. Namun masih mampu bersembunyi di atas membuktikan bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan.

"Bertemu dengan seorang buta tidak ada bahayanya karena dia tidak pandai mengenal muka orang. Lo-enghiong (orang tua gagah) silakan turun, siapa tahu siauwte (aku yang muda) dapat membantu luka-lukamu," katanya perlahan.

Terdengar napas ditahan, agaknya orang itu terkejut. Kemudian menyambar turun tubuh seseorang, akan tetapi kakinya menimbulkan suara berat ketika dia sudah meloncat turun ke bawah, terang bahwa selain ilmu ginkang-nya kurang hebat, mungkin juga dikarenakan luka-lukanya yang berat. Kun Hong tahu bahwa orang itu sudah berdiri di depannya, maka dia bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

"Kau... kau... bukankah kau Kwa Kun Hong dari Hoa-san-pai?" tiba-tiba orang itu berkata, suaranya besar.

Kun Hong cepat bangkit berdiri, lalu menjura penuh penghormatan. "Ah, kiranya Tan-taijin (pembesar Tan) yang berada di sini, cocok dengan dugaanku. Benar, Tan-taijin, aku si buta adalah Kwa Kun Hong..."

Belum habis Kun Hong bicara, orang itu sudah menubruk dan memeluknya sambil berkata dengan suara terharu, "Ahh, anakku... kasihan sekali kau... siapa kira kau akan menjadi begini."

Kun Hong menggigit bibirnya dan dia maklum akan keharuan kakek gagah perkasa ini. Dahulu dia pernah bertemu dengan Tan Hok ini ketika Tan Hok masih menjadi pembesar kepercayaan kaisar di kota raja. Kemudian untuk kedua kalinya bertemu lagi di puncak Thai-san, malah kakek ini menjadi saksi pula akan peristiwa hebat di puncak Thai-san yang mengakibatkan kematian Cui Bi dan kebutaan matanya.

Sekarang, agaknya karena teringat akan peristiwa itu dan melihat keadaan dirinya seperti seorang pengemis buta ini, maka kakek itu mengeluarkan ucapan seperti itu. Kun Hong memaksa diri tersenyum dan balas memeluk.

"Tan-taijin... kau benar-benar seorang yang berbudi mulia. Dirimu sendiri sedang terluka parah, menderita akibat menjadi korban perampokan, akan tetapi kau masih bisa menaruh kasihan kepada seorang seperti aku..."

Tan Hok melepaskan pelukannya, agaknya terkejut dan heran.

"Kun Hong... bagaimana kau bisa tahu akan keadaanku?"

"Tan-taijin..."

"Hushh, jangan sebut aku taijin lagi, aku bukan lagi pembesar. Aku lebih patut menjadi pamanmu!" tukas bekas pembesar itu.

"Maaf, Paman Tan Hok, memang benar ucapanmu itu. Mari duduklah dan sebelum kita bicara biarlah aku memeriksa dan berusaha mengobati luka-lukamu."

Kakek tinggi besar itu memang Tan Hok adanya. Dia adalah bekas pejuang yang dahulu namanya amat terkenal sebagai salah seorang di antara pemimpin pasukan Pek-lian-pai, berjuang bahu membahu dengan para patriot lain dalam usaha mereka menumbangkan kekuasaan Mongol. Setelah usaha ini berhasil dan Ciu Goan Ciang mendirikan Kerajaan Beng dan menjadi kaisar, karena jasanya yang amat besar, Tan Hok lalu diangkat menjadi pembesar di kota raja. Ketika dalam perjuangannya itu, Tan Hok malah mengangkat tali persaudaraan dengan Si Raja Pedang Tan Beng San, sekarang ketua Thai-san-pai. Sekarang bekas pembesar itu malah menjadi buronan, tinggal di dalam sebuah kuil rusak dalam keadaan terluka parah sekali. Sungguh nasib manusia tak dapat disangka-sangka sebelumnya.

Cepat Kun Hong melakukan pemeriksaan. Tan Hok menderita banyak luka-luka, akan tetapi yang paling hebat adalah luka di tengkuk dan di punggung bekas bacokan senjata tajam. Oleh karena tidak segera mendapat pengobatan, kini luka-luka itu keracunan dan membengkak, mendatangkan demam hebat. Kun Hong segera mengeluarkan sebatang jarum perak, membuka luka-luka membengkak itu, mengeluarkan darah yang menghitam, lalu menaruh obat bubuk yang selalu tersedia di dalam buntalannya, bahkan memberikan sebungkus obat lainnya untuk diminum.

"Syukur keadaan luka-lukamu belum terlalu lama," katanya menghibur. "Sesudah minum obat dalam tiga hari tentu akan pulih kembali tenaga paman. Biarlah aku mencari seorang anak untuk disuruh membeli obat."

"Tidak usah, hiante. Di dusun ini mana ada toko obat? Kau katakan saja nama obat-obat itu, aku akan mencarinya di kota. Sekarang pun rasanya sudah banyak enakan, terima kasih. Kwa-hiante, sekarang kau ceritakanlah bagaimana kau tahu bahwa aku mengalami perampokan?"

Kun Hong tersenyum. "Aku malah sudah pernah memegang mahkota kuno yang dirampas perampok-perampok Hui-houw-pang dari tanganmu, Paman Tan Hok."

Dengan tangan gemetar Tan Hok mendadak memegang lengan Kun Hong. "Betulkah itu? Kun Hong, betul-betul kau pernah melihat mahkota itu..."

"Melihat sih tak mungkin Paman..."

"Ah, maafkan, sampai lupa aku... tapi, tahukah kau di mana sekarang mahkota itu?"

Suara yang penuh gairah ini menimbulkan keheranan di hati Kun Hong. Masa orang yang sudah dia ketahui sebagai seorang gagah yang berbudi ini sekarang begini serakah dan begini loba akan harta benda?

Pula, kalau betul apa yang dia dengar, bukankah semua harta itu termasuk mahkota kuno adalah benda simpanan kerajaan yang dicuri dan dilarikan oleh Tan Hok? Dan kenapa dia melarikan diri membawa harta curian, bagaimana pula keadaan keluarganya? Mengapa dia tidak menceritakan keadaannya, tidak menyusahkan keadaannya malah seperti tidak peduli akan luka-lukanya sebaliknya serta merta menanyakan mahkota itu?

Kun Hong merasa tidak puas dan tidak ingin menceritakan apa yang dia ketahui tentang mahkota itu sebelum dia mendengar jelas duduknya perkara.

"Paman Tan Hok, mengapa benda itu agaknya amat penting untukmu. Milik Pamankah benda itu?"

Mendengar nada suara kecewa dari pemuda ini Tan Hok lantas menarik napas panjang. “Memang kedengarannya bodoh pertanyaanku tadi, seakan-akan tiada yang lebih penting dari pada benda berharga itu. Memang sesungguhnya demikian, Kwa-hiante. Keluargaku binasa, isteriku tewas, hampir aku sendiri tewas, namun bagiku mahkota itu lebih penting. Kau dengarkan baik-baik penuturanku."

Tan Hok lalu bercerita…..

Seperti telah diketahui, ketika kaisar pertama Kerajaan Beng-tiauw sudah tua dan mulai berpenyakitan, maka terjadilah perebutan kekuasaan di kota raja. Akan tetapi karena para pangeran atau mereka yang telah berjasa dalam menumbangkan Kerajaan Mongol masih merasa segan dan takut kepada kaisar sebagai pendiri Kerajaan Beng, sewaktu kaisar masih hidup, mereka tidak berani berterang. Diam-diam terjadi persaingan hebat, malah didesas-desuskan bahwa putera mahkota kaisar juga diam-diam terbunuh oleh seorang di antara saingannya, terbunuh dengan racun. Kemudian cucu kaisar, yaitu putera pangeran mahkota yang meninggal, bernama Pangeran Kian Bun Ti, diangkat menjadi calon kaisar.

Hal ini tentu saja mendatangkan rasa iri hati dan dendam yang disembunyikan. Namun sebaliknya, Pangeran Kian Bun Ti yang pandai mengambil hati kakeknya, memperkuat kedudukan dan pengaruhnya. Bahkan akhirnya ketika kaisar yang tua itu berpenyakitan dan semakin lemah, boleh dibilang segala keputusan kaisar tua tergantung dari pengaruh Pangeran Kian Bun Ti inilah.

Sayang sekali bahwa pangeran ini sangat terkenal sebagai seorang pemuda pemogoran, pemuda hidung belang, dan pemuda yang gampang sekali dipermainkan dan dipengaruhi oleh para penjilat. Pendeknya, seorang muda yang dangkal sekali pikirannya dan tidak bijaksana. Orang-orang yang mengelilinginya adalah orang-orang dari golongan hitam.

Tentu hal ini amat mengkhawatirkan hati para pembesar yang setia kepada kaisar tua dan Pemerintah Beng yang baru. Di antaranya terdapat Tan Hok yang menjadi kepercayaan Kaisar Thai Cu, yaitu pejuang Ciu Goan Ciang yang berhasil merobohkan kekuasaan Mongol. Diam-diam mereka ini memberi ingat kepada kaisar, akan tetapi ternyata kaisar itu selain sudah terkena pengaruh dan amat mencinta cucunya, juga karena kekuasaan Pangeran Kian Bun Ti sudah amat kuat, tidak mempercayainya.

Akan tetapi Kaisar Thai Cu akhirnya terbuka juga pikirannya dan melihat gejala tidak baik dalam watak cucunya. Namun segala sesuatu telah terlambat, dia telah menjadi lemah berpenyakitan, sedangkan pembesar-pembesar tinggi dan berkuasa sudah jatuh di bawah pengaruh pangeran mahkota. Andai kata kaisar tua ini akan mengambil tindakan, dia pun khawatir kalau-kalau terjadi pemberontakan dan alangkah akan malu hatinya kalau dalam keadaan tua menghadapi kematian itu dia harus menghadapi pemberontakan cucunya sendiri. Dia tidak berdaya dan kesehatannya makin mundur karena hatinya tertekan.

"Demikianlah, Kwa-hiante, keadaan akan kota raja. Keadaannya panas seperti api dalam sekam. Para setiawan terhadap kaisar tua merasa hidup di atas ujung pedang dan kami maklum bahwa setiap saat bila kaisar tiada, tentu kami akan dihalau, bahkan nyawa kami terancam. Kalau pangeran mahkota belum berani terang-terangan memusuhi kami adalah karena dia masih sungkan terhadap kaisar." Tan Hok mengaso sebentar untuk bernapas panjang, nampaknya patriot tua ini merasa berduka sekali akan keadaan negaranya.

"Beberapa pekan sebelum kaisar meninggal dunia, aku dipanggil menghadap dan kaisar mengusir semua orang ke luar dari kamarnya. Kaisar kemudian menyerahkan sebuah surat perintah di mana kaisar memerintahkan puteranya yang menjadi raja muda di utara, yaitu Pangeran Yung Lo, untuk bertindak dan menggantikan kedudukan kaisar apa bila kelak ternyata Pangeran Kian Bun Ti tidak benar dalam menjalankan tugas sebagai kaisar baru. Pendeknya, dalam surat perintah itu, mendiang kaisar memberi kekuasaan kepada puteranya itu untuk menjadi penghukum atas diri keponakannya, yaitu Pangeran Kian Bun Ti. Surat itu dipercayakan kepadaku untuk kelak disampaikan kepada Pangeran Yung Lo pada waktu keadaan memerlukannya."

Kun Hong sebetulnya tidak peduli akan keadaan pemerintah, karena memang dia tidak menaruh perhatian atas kehidupan kaisar dan para pembesar. Akan tetapi mendengar penuturan ini, dia tertarik.

"Kemudian bagaimana, Paman Tan?" Tan Hok menarik napas panjang.

"Tugasku itu berat sekali karena aku termasuk orang yang dianggap musuh oleh Kian Bun Ti. Banyak hal yang membikin dia tidak senang kepadaku, di antaranya peristiwa dengan dua orang keponakanmu dahulu itu dan peristiwa di puncak Thai-san. Karena tahu akan ancaman bahaya ini, maka surat penting itu lalu kusembunyikan, tidak di dalam rumahku. Kemudian kekhawatiranku menjadi kenyataan, beberapa bulan setelah kaisar wafat. Kian Bun Ti yang sudah mengangkat diri menjadi kaisar itu melakukan pembersihan terhadap pembesar-pembesar setiawan, di antaranya termasuk pula aku. Rumahku disita, isteriku sampai tewas dalam keributan, aku dapat melawan dan melarikan diri dengan pertolongan anak buahku yang setia. Tidak lupa aku membawa surat rahasia itu bersamaku. Namun celaka sekali, nasib sedang buruk, di dalam perjalananku melarikan diri itu, aku diserang oleh perampok-perampok Hui-houw-pang sehingga menderita luka-luka. Ini masih belum apa-apa, yang membuat aku putus asa adalah surat itu kena terampas juga sungguh pun tidak ada orang yang mengetahui di mana tempatnya."

"Hemm, agaknya surat itu Paman sembunyikan di dalam mahkota kuno itu, bukan?"

"Betul, Hiante! Inilah sebabnya mengapa aku ingin tahu di mana adanya mahkota itu sekarang. Benda itu jauh lebih berharga dari pada nyawaku!"

Mendengar ucapan yang bersemangat ini, Kun Hong mengerutkan keningnya.

"Paman Tan Hok, surat itu hanyalah surat yang menyangkut urusan perebutan warisan mahkota dan kedudukan kaisar, urusan keluarga kaisar belaka. Bagaimana kau anggap lebih berharga dari pada nyawamu? Keadaanmu sendiri amat sengsara, isteri meninggal, rumah tangga berantakan, bahkan diri sendiri menderita begini hebat. Mengapa kau lebih mementingkan urusan kaisar? Apakah karena Paman mempunyai harapan bahwa kelak kalau Pangeran Yung Lo berhasil merebut kekuasaan, lalu Paman akan diberi kedudukan tinggi?"

Sejenak Tan Hok tak berkata apa-apa. Kun Hong tidak tahu betapa orang tua tinggi besar itu memandang kepadanya dengan mata mendelik alis berdiri, bukan main marahnya!

"Hiante... Hiante... kalau aku tidak ingat kau sudah buta, kalau aku tidak ingat bahwa kau putera Kwa Tin Siong, kalau aku tidak tahu bahwa kau seorang pendekar gagah perkasa dan bahwa ucapanmu ini hanya karena tidak mengerti, telah kujatuhkan kedua tanganku untuk memukulmu sampai mati!"

Kun Hong kaget setengah mati sampai dia meloncat ke atas dalam keadaan masih duduk bersila. Perbuatan ini tidak dia sengaja saking kagetnya, namun Tan Hok menjadi kagum bukan main. Sedikit banyak orang she Tan ini adalah seorang pejuang kawakan, seorang yang mengerti akan ilmu silat tinggi, akan tetapi ilmu meringankan tubuh seperti ini baru sekarang dia melihatnya.

Kun Hong yang sudah duduk kembali cepat berkata sambil mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Maaf, Paman. Aku benar-benar kaget. Kuanggap kaulah yang keliru dan terlalu mementingkan harta dan kedudukan, siapa kira kau anggap aku yang keliru. Harap jelaskan, kekeliruan bagaimana yang kulakukan dengan ucapanku tadi, agar terbuka mata hatiku."

Tan Hok memegang lengan Kun Hong. "Anak muda, kau pandai ilmu silat, kau ahli filsafat, kau pun seorang yang berbudi dan penuh welas asih, akan tetapi agaknya ayahmu tidak menurunkan pengetahuan tentang jiwa kepahlawanan padamu. Ketahuilah bahwa semua usahaku ini kulakukan bukan sekali-kali untuk mencari kedudukan, bukan sekali-kali untuk membela kaisar semata-mata, melainkan demi kepentingan negara dan bangsa!"

Kun Hong kaget. "Bagaimana penjelasannya, Paman? Aku tidak mengerti."

"Ketahuilah bahwa jatuh bangunnya kebangsaan adalah dalam tangan pemerintah yang memegang tampuk pimpinan. Demikian pula dengan kesejahteraan rakyat, kemakmuran, kemajuan, ketenteraman hidup, semuanya berada di tangan pemerintah yang berkuasa. Kalau orang-orang yang memegang tampuk kekuasaan terdiri dari orang-orang yang tidak bersih batinnya, yang tidak baik martabat dan wataknya, pemerintah akan menjadi lemah, kacau-balau dan rakyat akan hidup sengsara. Walau pun kita telah berhasil menghalau pemerintah penjajah dan menjadi merdeka, namun bahaya masih selalu mengancam dari segenap penjuru. Bajak-bajak laut Jepang selalu merongrong keamanan di pantai timur, terutama sekali orang-orang Mongol yang hendak membalas dendam atas kekalahannya selalu berusaha menyerang dari utara. Juga suku-suku bangsa di sekitar perbatasan barat mengincar kedudukan di pusat sehingga jika pemegang pemerintahan lemah, ada bahaya besar mengancam negara dan bangsa. Aku melihat sendiri betapa lemah Pangeran Kian Bun Ti, betapa buruk wataknya dan dia hanya mementingkan kesenangan diri pribadinya tanpa mempedulikan bangsanya dan tugasnya sebagai pemimpin. Oleh karena inilah aku sebagai seorang pencinta bangsa dan negara, harus ikut bertindak, kalau perlu membantu Pangeran Yung Lo menjatuhkan Pangeran Kian Bun Ti sehingga keadaan pemerintahan kuat, negara dan bangsa menjadi makmur. Itulah cita-citaku, sama sekali bukan untuk kepentingan diriku sendiri dan inilah cita-cita semua patriot yang mencintai bangsanya."

Inilah pelajaran baru bagi Kun Hong. Semenjak kecil, ketika dia dahulu masih gemar membaca kitab-kitab, dia selalu membaca kitab-kitab filsafat, kebatinan dan kesasteraan. Belum pernah dia mempelajari tentang tata negara, tentang politik, mau pun sifat-sifat pahlawan yang berjiwa patriot...



BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 12


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.