CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BUTA JILID 12
Akan tetapi oleh karena dasar dari pada sifat kepahlawanan ini pun sama, yaitu sifat yang mementingkan kemakmuran rakyat dari pada diri sendiri, yaitu sifat yang sangat indah dan baik, maka dengan mudah dia dapat menerimanya.
"Terima kasih, Paman. Sekarang aku telah mengerti dan maafkan atas prasangkaku yang bukan-bukan akan usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu. Nah, kini giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu."
Dengan singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok. Bahwa mahkota itu dijadikan rebutan antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang yang hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan serta mencari muka di depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan Ki, tapi kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang pandai.
Mendengar ini, Tan Hok menjadi sangat gembira. "Memang bukan hal menggembirakan mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu sampai terjatuh ke tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong, bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andai kata aku diam-diam menyelidik ke sana dan mencari kesempatan untuk merampasnya kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya."
Kun Hong menggeleng kepala. "Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Ching-toanio dan anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan. Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang sangat berbahaya. Ini semua masih belum hebat, yang paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio sudah mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai. Apa lagi Ka Chong Hoatsu, dia benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan sembrono menyerbu ke sana, sebaiknya dicari jalan yang baik."
Berkali-kali Tan Hok mengeluh. "Aku sudah tahu hingga di mana hebatnya kepandaianmu, Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Ching-coa-to, berarti tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak ada lain jalan bagiku kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai)."
Kun Hong mengangguk-angguk. "Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup merampas kembali mahkota itu."
Tan Hok memegang pundak Kun Hong. "Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat menuju ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beri tahukan kepadaku resep obat itu."
Kun Hong lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak banyak macamnya tetapi yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas kakek patriot ini.
Setelah kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita kakek itu luar biasa mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya. Memang, apa artinya hidup ini apa bila tidak mampu berbuat kemanfaatan bagi sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan rela berkorban, baik harta benda, badan, mau pun nyawa. Betapa mulianya, betapa besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu.
Tetapi dia adalah seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan bertemu dengannya. Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok?
Kun Hong termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau balau. Orang-orang besar berebutan pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masing-masing.
Kun Hong seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.
Kalau para pembesar dan yang menyebut dirinya sendiri atau disebut orang pemimpin-pemimpin itu bisa saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik, kesejahteraan rakyat terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi. Akan tetapi sebaliknya kalau orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara menjadi kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tidak berlaku, hukum liar atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar selalu.
Semua renungan ini membuat Kun Hong berduka karena dia tidak berdaya untuk turut menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot. Kemudian dia teringat akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang kaisar. Surat itu penting sekali, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian Bun Ti tanpa harus terjadi banyak pertumpahan darah.
Ah, mengapa dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Ini pun akan merupakan sebuah usaha perjuangan untuk membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan berusaha mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau dia tidak buta.
"Duhai Cui Bi..." keluhnya sedih, "...ternyata pengorbananku membutakan mata ini sama sekali tidak hanya merugikan aku, sebaliknya malah merugikan cita-cita baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka..."
Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di puncak Thai-san….
Pegunungan Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang amat indah dan sebagian besar masih liar, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Beberapa tahun akhir-akhir ini, nama Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya Partai Persilatan Thai-san-pai. Biar pun baru beberapa tahun berdirinya, namun para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai baru ini. Siapakah di antara orang-orang kang-ouw tak pernah mendengar nama Raja Pedang Tan Beng San?
Inilah ketua Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru. Ada pun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan). Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang ahli pedang yang sulit dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apa lagi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.
Seperti dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu sangat lihai. Yang ke dua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat dan putera ke dua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.
Seperti sudah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid Hoa-san-pai.
Beberapa bulan sesudah menikah. Tan Sin Lee lalu membawa isterinya ke Pegunungan Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia mempunyai sebuah rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin ini, disegani dan dihormati oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu karena sikap kedermawanan dan keramahan mereka.
Ada pun Tan Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh kakeknya ke Pegunungan Min-san di mana dia bercita-cita mendirikan partai seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang sangat tinggi ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang asli.
Suami isteri muda ini bercita-cita untuk menggabungkan ilmu silat mereka yang berlainan ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua tentu saja menjadi pelindung dan penasehat. Di dalam masa tuanya kakek ini dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.
Demikianlah, walau pun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua Thai-san-pai serta isterinya merasa kesunyian. Puteri mereka satu-satunya, gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, sudah meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan, membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.
Baiknya tak lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang di dalam cuaca gelap, menerangi hati suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu karena puteri mereka, Cui Bi, telah mati. Akan tetapi sekarang lahir seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.
Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang.
"Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh dari pada mendiang cici-nya, ha-ha!"
Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu. Dua titik air mata menghias bulu matanya.
"Siapa... siapa namanya...?" tanyanya lirih.
Mendengar suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu, dan mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata, "Cui Sian namanya, ya... dia Cui Sian..."
Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata pasangan suami isteri ini.
Kehadiran Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin kembali melatih ilmu silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan melemahkan partai persilatan itu. Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar mengubah segalanya. Bahkan nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.
Cui Sian sendiri ternyata makin besar menjadi semakin mungil. Ia menjadi kesayangan semua orang di Thai-san-pai, bahkan disayang pula oleh anak-anak para penduduk di sekitar pegunungan itu. Biar pun dia menjadi ketua partai persilatan, namun Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Sering kali mereka mengajak puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.
Tiga tahun berlalu cepat. Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa perkumpulan ini nanti akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tak mengutamakan jumlah yang banyak, melainkan mengutamakan mutu.
Anak murid Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan kedua guru mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, juga tinggal di Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama semakin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri. Mereka yang bertempat tinggal di situlah yang mengerjakan sawah dan ladang sebagai sumber penghasilan Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal sendiri dan yang mampu menyumbang.
Pada hari itu, saat menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san. Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tidak mungkin dapat dilalui kuda. Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya,
"Tidak patut kalau kita semua naik ke puncak. Biar pun ketuanya adalah terhitung saudara angkat yang lebih muda, tapi dia adalah seorang ketua partai besar yang harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti di sini, juga ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua), biarlah saya sendiri yang naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua Thai-san-pai). Setelah mendapatkan perkenan dari pihak tuan rumah, barulah saudara-saudara naik."
Yang bicara ini bukan lain adalah Tan Hok, dan sebagian besar di antara para temannya adalah bekas-bekas anggota dan tokoh Pek-lian-pai. Dua orang laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun dan berwajah tampan dengan tubuh tegap itu adalah Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang Siang-houw (Sepasang Harimau Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid Kong-thong-pai.
Yang tua bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu Pek-lian-pai dan Tan Hok. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu saja mengandalkan pada Ilmu Golok Kong-thong To-hoat.
Ada pun dua orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai locianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan rambut putih mereka yang diikatkan ke atas. Seorang yang punggungnya agak bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang ahli pedang bernama Seng Tek Cu.
Orang ke dua ialah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah seorang ahli silat tinggi yang sangat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat dari pada bambu dengan ujung tali.
Pada punggungnya tergantung sebuah papan catur, sedangkan di pinggangnya terdapat sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu tersenyum ramah. Inilah Koai Tojin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini adalah nama samaran belaka karena Koai Tojin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, setelah dirinya kehilangan mahkota kuno yang mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan hubungan dengan bekas anak-anak buahnya yaitu para orang gagah dari Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga mendapat pertolongan dan disembuhkan.
Kemudian Tan Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu juga sudah mencari bala bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan kedua orang tosu lihai itu. Mendengar penuturan Tan Hok mengenai mahkota yang terjatuh ke tangan penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.
Mendengar permintaan Tan Hok agar mereka menanti di situ, Koai Tojin tertawa bergelak, lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata, "Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku) untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main catur sampai kenyang, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting sehingga tak akan sempat main catur lagi!"
Dalam sekejap mata saja papan catur telah diletakkan di atas tanah dan biji-bijinya diatur di atas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini. Tak Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu segera mendaki puncak karena khawatir kalau-kalau malam segera tiba sehingga membuat pendakian itu sukar. Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa itu lenyap di balik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada pekerjaan lain, sebagian di antara mereka asyik menonton dua orang tosu yang sedang mengadu otak bermain catur, dan sebagian lagi duduk bercakap-cakap.
Kita ikuti Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san-pai. Mendadak dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan ke luar dari balik batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan sikap penuh ancaman.
Tan Hok tersenyum dan menegur, "Sahabat-sahabat di depan bukankah para enghiong (orang gagah) dari Thai-san-pai?"
"Tentu saja kami adalah anak-anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?" jawab salah seorang di antara mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.
Diam-diam Tan Hok merasa heran sekali. Sangat boleh jadi kalau anak-anak Thai-san-pai ada yang belum pernah melihatnya karena tiga tahun yang lalu adalah waktu yang cukup lama dan mungkin orang-orang ini adalah anak-anak murid baru. Akan tetapi melihat sikap yang begini kasar, benar-benar sangat mengherankan hatinya karena tidak sesuai dengan watak Beng San, ketua mereka. Akan tetapi menghadapi orang-orang muda dia berlaku sabar dan tersenyum, lalu memberi hormat.
"Ahh, harap kalian memaafkan aku karena tergesa-gesa sehingga tidak sempat memberi kabar kedatanganku. Aku adalah Tan Hok, kakak angkat dari ketua kalian..."
"He kiranya kau pelarian itu? Saudara-saudara, kebetulan sekali penjahat besar yang lari sambil mencuri barang-barang berharga dari istana itu datang ke sini. Ular mencari gebuk, Hayo serang!"
Dan serta merta tujuh orang itu menyerang Tan Hok dengan pedang mereka. Bukan main kagetnya Tan Hok. Cepat dia mengelak dan masih sempat berseru,
"Saudara-saudara, jangan serang aku...! Beri tahukan kedatanganku kepada Beng San, ketua kalian. Aku bukan musuh...!"
Akan tetapi mana mungkin dia dapat menghadapi serangan-serangan itu sambil bicara? Pundaknya sudah termakan ujung pedang sehingga terpaksa Tan Hok juga mencabut pedangnya melakukan perlawanan sedapatnya.
Tan Hok adalah seorang pejuang yang memiliki kepandaian bukan rendah, akan tetapi ternyata tujuh orang itu rata-rata lihai sekali ilmu pedangnya. Selain itu, kesehatannya belum pulih benar, masih lemas. Kiranya melawan seorang di antara mereka saja belum tentu dia akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok tujuh. Tan Hok bingung dan bangkitlah rasa penasaran dan marah.
Dia mengamuk. Tetapi sia-sia saja, karena berkali-kali tubuhnya termakan senjata lawan sehingga dia menderita luka-luka parah. Terpaksa Tan Hok lalu memutar pedang sekuat tenaga dan selagi tujuh orang pengeroyoknya itu mundur menjaga diri, dia meloncat ke belakang dan lari turun dari lereng itu untuk minta bantuan teman-temannya. Tujuh orang itu mengejarnya dan... dari balik-balik pohon dan batu muncul banyak orang yang ikut pula melakukan pengejaran.
Cuaca sudah mulai gelap ketika Tan Hok dengan napas terengah-engah tiba di tempat teman-temannya mengaso. Semua orang kaget sekali melihat datangnya kakek raksasa ini, pakaiannya cabik-cabik dan tubuhnya mandi darah.
"Salah mengerti... aku... aku dikeroyok orang-orang Thai-san-pai...," kata Tan Hok yang langsung roboh dengan tubuh lemas.
Teman-temannya marah sekali. Dua orang tosu tua itu pun sudah meloncat berdiri dan siap dengan senjata mereka. Beberapa menit kemudian dari atas turunlah banyak orang, dua puluh lebih, laki-laki dan wanita, semua memegang pedang. Di dalam gelap itu sukar mengenal wajah mereka, malah ada beberapa orang wanita yang menutupi muka dengan sehelai sapu tangan hitam.
Tanpa banyak cakap lagi orang-orang ini menyerbu teman-teman Tan Hok dan terjadilah pertempuran hebat di tempat gelap itu! Hiruk-pikuk suara senjata beradu, bunyi dencing pedang bertemu pedang, mendesir-desir angin senjata yang digerakkan oleh tangan yang terlatih kuat.
Seng Tek Cu mainkan pedangnya dengan cepat sehingga di mana dia bersilat tampak cahaya pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar mencari mangsa. Ahli pedang Bu-tong-pai ini kaget bukan main karena rata-rata musuh-musuh yang menyerbu ini memiliki kepandaian tinggi, apa lagi tiga orang wanita yang menutupi muka dengan sapu tangan.
Dia dikeroyok oleh lima orang, di antaranya dua dari tiga wanita berkedok itu. Sama sekali dia tidak dapat mengenal ilmu pedang mereka, akan tetapi benar-benar pengeroyokan lima orang ini membuat dia kewalahan sekali dan dalam tiga puluh jurus saja dia sudah menderita luka bacokan pada pangkal lengan kirinya.
Keadaan Koai Tojin juga tidak menyenangkan. Tosu aneh ini mengamuk dan memainkan senjatanya yang aneh, yaitu pecut di tangan kanan dan papan catur di tangan kiri. Papan itu terbuat dari pada baja dan dia pergunakan seperti sebuah perisai, sedangkan pecutnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan suara nyaring. Hebat kepandaian Koai Tojin ini.
Akan tetapi pada saat itu dia pun kerepotan menghadapi pengeroyokan tiga orang, yaitu seorang adalah wanita berkedok sapu tangan hitam, dan dua adalah orang-orang tinggi besar yang bertenaga besar dan mainkan golok besar serta ruyung. Dia terdesak hebat sekali dan hampir saja papan caturnya terlepas ketika berkali-kali bertemu dengan ruyung, malah kemudian terdengar suara keras dan papan caturnya pecah menjadi dua!
Akan tetapi, Koai Tojin tidak menjadi gugup. Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan pecutnya menyambar-nyambar mengeluarkan suara nyaring, mencegah para pengeroyok mendesak terlampau dekat. Betapa pun para orang gagah Pek-lian-pai itu melawan dengan nekat, akan tetapi pihak pengeroyok ternyata jauh lebih kuat. Apa lagi karena teman-teman Tan Hok ini bertempur dengan hati penuh keraguan dan kebimbangan, serta kacau balau kehilangan pemimpin karena Tan Hok sendiri sudah tidak berdaya. Mereka, seperti juga Tan Hok, merasa ragu dan bingung kenapa orang-orang Thai-san-pai malah menyerang dan memusuhi mereka.
Tiba-tiba terdengar bentakan mengguntur di dalam gelap itu dan sesosok bayangan kakek tinggi besar mengamuk. Kakek ini tidak mempergunakan senjata, kedua lengan bajunya yang lebar dan panjang berkibar-kibar ke sana ke mari dan setiap orang Pek-lian-pai yang tersambar ujung lengan baju, pasti terlempar dan tak dapat melawan lagi! Kakek ini sekali melompat sudah tiba di depan Tan Hok, sambil tertawa-tawa tangan kanannya memukul ke arah dada Tan Hok yang sudah duduk di atas tanah.
Tan Hok kaget setengah mati. Ia berusaha menangkis dan berseru penuh keheranan dan kemarahan, "Song-bun-kwi...!"
Akan tetapi suaranya terhenti, tubuhnya terlempar dan kakek patriot ini menggeletak tak bernyawa lagi oleh pukulan hebat yang meremukkan isi dadanya!
Kacau balaulah rombongan Tan Hok. Tak kuat mereka melawan lagi. Seng Tek Cu dan Koai Tojin maklum bahwa kalau mereka melawan terus, agaknya akan berakibat tak enak bagi pihak mereka. Lawan terlampau kuat, apa lagi dibantu kakek luar biasa itu.
Lebih-lebih kekagetan mereka mendengar saat Tan Hok sebelum tewas menyebut nama Song-bun-kwi. Kalau benar kakek ini Song-bun-kwi, celakalah mereka. Sudah terlampau sering mereka mendengar nama besar Song-bun-kwi yang selama bertahun-tahun ini tak pernah terdengar lagi muncul di dunia kang-ouw.
"Saudara-saudara, mundur...! Lari turun gunung...!" Seng Tek Cu berseru keras.
Orang-orang Pek-lian-pai adalah bekas pejuang yang sudah biasa bertempur, maklum bahwa kemunduran mereka kali ini bukanlah mundur untuk seterusnya, namun mundur karena menghadapi lawan terlampau kuat dan mundur untuk mengatur siasat. Apa lagi setelah Tan Hok tewas, mereka perlu mengadakan perundingan bersama lebih dulu untuk menghadapi orang-orang Thai-san-pai yang secara tiba-tiba berubah menjadi musuh ini.
Sambil menyeret dan menyambar tubuh teman-teman yang terluka atau tewas, mereka beramai mengundurkan diri dan lari turun gunung. Namun sepasang orang muda murid Kong-thong-pai tidak sudi meninggalkan gelanggang pertempuran.
Mereka berdua ini, Kam Bok dan Kam Siok, adalah orang-orang muda yang baru saja turun ke dalam gelanggang perjuangan. Darah muda mereka, sifat kesatria mereka yang menjunjung tinggi kegagahan, yang beranggapan bahwa bagi orang-orang gagah pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan nyawa masih di tubuh, membuat mereka berkeras kepala tak mau ikut teman-teman mereka lagi. Lok-yang Siang-houw, sepasang harimau dari Lok-yang ini malah mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mainkan golok di tangan mereka dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
"Mundur semua, biar pinceng (aku) bereskan bocah-bocah sombong ini!"
Mendengar kata-kata kakek tinggi besar ini semua pengeroyok segera mundur sehingga berhadapanlah dua orang saudara Kam ini dengan kakek yang tadi membunuh Tan Hok ini. Lok-yang Siang-houw maklum bahwa kakek ini sangat sakti, maka mereka segera menyerang berbareng dengan Ilmu Golok Kong-thong-pai yang amat cepat. Dua batang golok di tangan mereka berkelebatan seperti sepasang naga menyambar korban.
"He-he, bocah-bocah Kong-thong-pai masih ingusan sudah berani menjual lagak di sini? Ha-ha-ha!"
Hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua lengannya. Ujung lengan baju seperti hidup bergerak ke depan memapaki sinar golok, ketika bertemu dengan golok lalu melibat bagai ular. Dua orang saudara Kam itu kaget sekali, berusaha mencabut golok masing-masing namun ternyata golok mereka seperti telah berakar di lengan baju itu, tidak dapat dicabut kembali.
Sambil tertawa-tawa kakek itu menghentakkan kedua lengannya dan dua orang saudara Kam itu terhuyung ke depan. Terpaksa dengan kaget sekali mereka melepaskan gagang golok. Akan tetapi dengan nekat mereka kembali menerjang dengan kepalan tangan, menyerang kakek tinggi besar itu dengan pukulan-pukulan keras. Kakek itu kini menggunakan pinggir telapak tangan menangkis dua kali.
"Krekk! Krekk!"
Tubuh dua orang saudara Kam terpental dan lengan tangan mereka patah-patah oleh tangkisan yang mengandung pukulan ini.
"Ha-ha-ha, bocah-bocah macam kalian mana mampu melawan Song-bun-kwi?" Kakek itu tertawa bergelak.
Kam Bok dan Kam Siok menggigit bibir menahan sakit lalu bangun berdiri dengan muka pucat.
"Hwesio jahat, kau bukan Song-bun-kwi...!" bentak Kam Bok.
Dia sudah pernah mendengar bahwa Song-bun-kwi meski pun juga seorang tinggi besar akan tetapi bukanlah seorang hwesio dan tokoh besar itu tak pernah bertempur secara keroyokan melainkan selalu turun tangan seorang diri tanpa teman.
"Kalian semua bukan orang-orang Thai-san-pai!" seru Kam Siok sambil memandang ke sekeliling. "Orang-orang Thai-san-pai tak akan berbuat curang seperti pengecut-pengecut macam kalian!"
Ucapan dua orang saudara Kam ini membangkitkan kemarahan. Terdengar suara wanita memberi aba-aba dan segera orang-orang itu menyerbu ke depan mengeroyok Kam Bok dan Kam Siok. Kasihan sekali dua orang saudara dari Lok-yang ini. Mereka berusaha melawan sedapat mungkin dengan tangan kiri, namun mana bisa tangan kiri dipergunakan untuk menangkis sekian banyaknya senjata tajam yang datang menyerang bertubi-tubi?
Lengan tangan mereka sebentar saja remuk penuh luka, kemudian tubuh mereka dihujani senjata tajam. Tetapi hebatnya, dua orang saudara Kam yang masih muda ini tak pernah mengeluarkan rintihan sedikit pun sampai tubuh mereka roboh dan masih saja dijadikan bulan-bulanan senjata sehingga terpotong-potong dan rusak mengerikan!
Setelah pertempuran berhenti, orang-orang yang mengaku orang-orang Thai-san-pai ini menghilang ke dalam kegelapan malam. Keadaan sunyi kembali di tempat itu, sunyi yang menyeramkan. Apa lagi ketika bintang-bintang di langit sudah muncul, memberi sedikit penerangan di tempat pertempuran tadi, keadaan makin menyeramkan dan mengerikan. Beberapa ekor binatang hutan yang dalam keadaan remang-remang itu tak diketahui jelas bentuknya, hati-hati dan perlahan berdatangan di tempat itu. Terjadilah pesta pora ketika binatang-binatang ini menjilati darah yang berceceran di atas rumput….
Berpekan-pekan lamanya Beng San serta isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang lampau benar-benar menggegerkan Thai-san-pai. Dia dan isterinya turun dan memeriksa sendiri ketika ada seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya. Ketua Thai-san-pai ini dan isterinya lalu melakukan pemeriksaan. Alangkah gelisah hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.
"Apakah artinya ini?" Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya pada suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala perlahan.
"Dua orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran yang terjadi di sini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengarnya sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa sebabnya. Tetapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai."
Sejak hari itu pula, Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu terasa tidak tenteram. Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain-main di luar pondok di puncak. Anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang itu selalu harus berada di dekatnya, tidak boleh berpisah sebentar pun.
Beng San maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya. "Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?"
Li Cu menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak lebih kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau nantinya Cui Sian akan mengalami nasib seperti cici-nya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia berkhawatir sekarang ini.
"Suamiku, kiranya engkau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia agaknya apa bila aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak, Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat puteri kita ini... Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi kekhawatiran."
"Sudahlah, kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya kau kurang tidur dalam beberapa hari ini."
"Memang demikian, hatiku tidak enak saja..."
Enam pekan kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon-pohon dan rumput bermandikan cahaya bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang di antara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan.
Para anak murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan, malam itu pun mulai malas untuk meronda. Malam ini terlalu indah untuk memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tidak mungkin rasanya pada malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik. Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang lain.
Cui Sian bersama ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka. Tak ada habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.
"Ibu, apakah cici Cui Bi juga di bulan?” dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak itu bertanya sambil merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dan matanya yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.
Sejenak Li Cu bertukar pandang dengan suaminya. "Betul, nak, cici-mu juga di bulan." Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.
"Ibu, aku juga ingin terbang ke bulan..." Cui Sian merengek.
Ibunya menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi. Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok dan memandang ke arah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang.
Terang sekali, di udara sebelah barat kelihatan meluncur ke atas sepucuk sinar merah, berulang-ulang sampai tiga kali. Tidak salah lagi, itulah panah api yang sengaja dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang dari pada tadi.
"Bawa dia masuk...," kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya tenang.
Li Cu bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton bulan.
"Mari masuk, Sian-ji, di luar banyak angin," ibunya menghibur dan membawanya masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang.
Cui Sian tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan dihibur bibi Cang serta para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Dia melihat suaminya sedang berdiri sambil memandang ke arah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya, melayangkan pandang ke arah barat dan utara di mana tadi tampak panah-panah api berwarna merah dan hijau.
"Siapakah yang datang? Apa maksud mereka?" bisiknya.
Beng San menggeleng kepala, mengerutkan kening. "Entah, belum pernah mendengar tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh rombongan yang memberi tanda rahasia..."
Mendadak terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama dari arah utara. Tubuh suami isteri itu menegang.
"Li Cu, aku harus segara turun dari sini untuk melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa tahu murid-murid kita menghadapi musuh."
Tanpa menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan menoleh.
"Kau di sini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri."
"Jangan...!" pinta Li Cu.
Beng San terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya, pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran,
"Li Cu...! Jangan bilang bahwa kau... takut?"
Wanita itu menarik napas panjang, mengandung isak. "Entahlah... aku tak enak sekali hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian."
Beng San memandang dengan mata terbelalak. Hampir-hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada di sini dan siapa yang dapat mengganggu Cui Sian bila kau berada di sini? Huh, cacing busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi seratus orang lawan, lagi pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tidak sembarangan orang mampu melewati jalan rahasia kita."
"Tidak, suamiku... sekali ini saja... kau bersamaku menjaga Cui Sian."
Beng San mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut. Sekali berkelebat pedang itu sudah membelah sebuah batu besar di depannya, hampir tanpa bersuara!
"Li Cu!" Suara Beng San terdengar tegas dan kereng. "Baiknya tadi hanya batu ini yang mendengar ucapanmu. Karena sudah mendengarkan suara isteriku, maka kubinasakan dia! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua Thai-san-pai berbicara seperti itu? Kau jelas tahu, aku adalah ketua Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau perlu! Mana mungkin jika Thai-san-pai kedatangan musuh, ketuanya bersembunyi saja di sini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!"
Ucapan suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak, menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Maafkan aku... kau pergilah, kau benar. Tapi... hatiku tidak enak... aku khawatir anakku, bukan keselamatan kita..."
"Li Cu, perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!" Beng San menuntut.
"Srattt!"
Kembali selarik sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut. Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan bunga api!
"Aku siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!"
Beng San tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia sudah melompat jauh dan berlari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang tanpa terasa menitikkan dua butir air mata. Li Cu lalu menjaga di depan pondok, menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.
"Terima kasih, Paman. Sekarang aku telah mengerti dan maafkan atas prasangkaku yang bukan-bukan akan usahamu yang ternyata suci murni dan gagah perkasa itu. Nah, kini giliranku untuk bercerita tentang mahkota kuno itu."
Dengan singkat, Kun Hong menceritakan tentang mahkota itu kepada Tan Hok. Bahwa mahkota itu dijadikan rebutan antara Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang yang hendak menggunakan benda itu untuk mencari kedudukan serta mencari muka di depan kaisar baru. Bahwa kemudian mahkota itu terjatuh ke dalam tangan Tiat-jiu Souw Ki akan tetapi terampas kembali oleh seorang gadis pendekar bernama Loan Ki, tapi kemudian dalam kunjungan ke pulau Ular Hijau bersama dia, mahkota itu akhirnya terampas oleh majikan pulau Ular Hijau yang dibantu banyak orang pandai.
Mendengar ini, Tan Hok menjadi sangat gembira. "Memang bukan hal menggembirakan mendengar benda itu terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat yang lihai, akan tetapi masih tidak begitu buruk. Celakalah kalau mahkota itu sampai terjatuh ke tangan kaisar baru, tentu akan musnah pula surat rahasia itu. Kun Hong, bagaimanakah keadaan Pulau Ching-coa-to di telaga itu? Adakah harapan andai kata aku diam-diam menyelidik ke sana dan mencari kesempatan untuk merampasnya kembali? Aku sudah menghubungi banyak teman, bekas anak buahku di Pek-lian-pai dahulu dan aku bisa mengumpulkan tenaga-tenaga yang dapat dipercaya."
Kun Hong menggeleng kepala. "Berbahaya, Paman. Majikan pulau itu, Ching-toanio dan anak perempuannya, adalah dua orang yang berilmu tinggi, sukar dikalahkan. Pulau itu sendiri penuh jebakan dan perangkap yang sangat berbahaya. Ini semua masih belum hebat, yang paling sulit adalah kenyataan bahwa Ching-toa-nio sudah mendapat bantuan orang-orang pandai dan benar-benar lihai. Apa lagi Ka Chong Hoatsu, dia benar-benar merupakan tokoh yang sukar dilawan. Harap kau jangan sembrono menyerbu ke sana, sebaiknya dicari jalan yang baik."
Berkali-kali Tan Hok mengeluh. "Aku sudah tahu hingga di mana hebatnya kepandaianmu, Hiante, akan tetapi kau sendiri masih memuji penghuni Ching-coa-to, berarti tentu mereka benar-benar lihai. Kalau begini, tidak ada lain jalan bagiku kecuali pergi ke Thai-san dan minta bantuan adikku Beng San, Thai-san Ciang-bun-jin (ketua Thai-san-pai)."
Kun Hong mengangguk-angguk. "Kiranya memang hanya paman Beng San yang akan sanggup merampas kembali mahkota itu."
Tan Hok memegang pundak Kun Hong. "Terima kasih atas pertolonganmu dan terutama atas keterangan tentang mahkota itu, Hiante. Sekarang juga aku akan berangkat menuju ke Thai-san agar tidak terlambat. Tolong kau beri tahukan kepadaku resep obat itu."
Kun Hong lalu menyebutkan nama bahan-bahan obat. Dia sengaja memilih ramuan yang tidak banyak macamnya tetapi yang paling manjur. Kemudian mereka berpisah dan Kun Hong tidak mencegah perginya kakek itu karena dia maklum akan pentingnya tugas kakek patriot ini.
Setelah kakek raksasa Tan Hok itu pergi, Kun Hong termenung di dalam kuil rusak. Cerita kakek itu luar biasa mempengaruhi hatinya. Bangkit jiwa kepahlawanannya. Memang, apa artinya hidup ini apa bila tidak mampu berbuat kemanfaatan bagi sesama manusia? Dan kiranya kemanfaatan yang paling utama adalah kebaktian terhadap nusa dan bangsa, kebaktian yang tak kenal batas, kebaktian berdasarkan rela berkorban, baik harta benda, badan, mau pun nyawa. Betapa mulianya, betapa besarnya. Dan Tan Hok adalah seorang pahlawan, seorang patriot seperti itu.
Tetapi dia adalah seorang buta. Apa yang dapat dia lakukan untuk ikut-ikutan berdarma bakti terhadap tanah air dan bangsa? Kepandaiannya hanya dapat dia pergunakan untuk membela diri, atau melindungi orang-orang tertindas yang kebetulan bertemu dengannya. Terbatas dan sempit sekali. Bagaimana dia akan dapat ikut membantu perjuangan seperti yang dilakukan kakek Tan Hok?
Kun Hong termenung sedih. Keadaan negara sedang kacau balau. Orang-orang besar berebutan pangkat, saling serang saling menjatuhkan, untuk membantu golongan masing-masing, untuk mengangkat kaisar pilihan masing-masing.
Kun Hong seorang ahli filsafat. Dia dapat menduga apa akan jadinya kalau orang-orang yang memiliki bakat dan kepandaian memimpin rakyat, sibuk maunya sendiri berebutan kedudukan. Lupa bahwa mereka itu menjadi pembesar dan pemimpin untuk mengatur kehidupan rakyat, untuk mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.
Kalau para pembesar dan yang menyebut dirinya sendiri atau disebut orang pemimpin-pemimpin itu bisa saling bekerja sama mencurahkan pikiran dan tenaga demi kepentingan rakyat, sudah tentu negara akan menjadi aman dan baik, kesejahteraan rakyat terjamin, kesukaran-kesukaran teratasi. Akan tetapi sebaliknya kalau orang-orang besar ini saling cakar untuk berebutan kedudukan, agaknya kesejahteraan atau kemakmuran hanya akan terasa oleh mereka sendiri, negara menjadi kacau, keamanan rusak, hukum dan keadilan tidak berlaku, hukum liar atau hukum rimba merajalela, siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar selalu.
Semua renungan ini membuat Kun Hong berduka karena dia tidak berdaya untuk turut menggulung lengan baju dan membantu usaha para patriot. Kemudian dia teringat akan mahkota itu. Mahkota yang menyimpan sehelai surat rahasia dari mendiang kaisar. Surat itu penting sekali, karena siapa tahu kekuasaan dan pengaruh surat peninggalan kaisar itu akan dapat mengakhiri kedudukan Kaisar Muda Kian Bun Ti tanpa harus terjadi banyak pertumpahan darah.
Ah, mengapa dia tidak berusaha mendapatkan surat itu? Ini pun akan merupakan sebuah usaha perjuangan untuk membantu para patriot! Dia harus kembali ke Ching-coa-to dan berusaha mendapatkan mahkota itu! Akan tetapi bagaimana? Selain dia buta, juga pulau itu amat berbahaya, penuh rahasia, bagaimana dia bisa mencari mahkota itu? Belum lagi diingat bahwa penghuni pulau amat lihai sehingga merampas mahkota merupakan hal yang amat tak mungkin baginya. Akan berbeda kiranya kalau dia tidak buta.
"Duhai Cui Bi..." keluhnya sedih, "...ternyata pengorbananku membutakan mata ini sama sekali tidak hanya merugikan aku, sebaliknya malah merugikan cita-cita baik, merugikan perjuangan dan menambah dosaku belaka..."
Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang berkeluh kesah dan mari kita menjenguk keadaan di puncak Thai-san….
Pegunungan Thai-san dengan banyak puncaknya merupakan pegunungan yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang amat indah dan sebagian besar masih liar, belum terjamah tangan dan terinjak kaki manusia. Beberapa tahun akhir-akhir ini, nama Thai-san muncul menjadi nama terkenal di dunia persilatan dengan berdirinya Partai Persilatan Thai-san-pai. Biar pun baru beberapa tahun berdirinya, namun para partai persilatan memandang partai baru ini dengan segan dan hormat karena mereka mengenal siapa orang yang menjadi pendiri dan tulang punggung partai baru ini. Siapakah di antara orang-orang kang-ouw tak pernah mendengar nama Raja Pedang Tan Beng San?
Inilah ketua Thai-san-pai, bahkan pendiri Thai-san-pai, seorang pendekar gagah perkasa yang memiliki ilmu pedang tinggi sehingga mendapat julukan Raja Pedang yang baru. Ada pun raja pedang lama adalah ayah mertuanya yang sudah meninggal, yaitu Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tiada Bandingan). Tentu saja isteri ketua Thai-san-pai ini, puteri Bu-tek-kiam-ong, juga seorang ahli pedang yang sulit dicari bandingannya. Memang demikianlah, nyonya ketua Thai-san-pai ini amat pandai dalam ilmu pedang, apa lagi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bidadari) yang menjadi kepandaian warisan.
Seperti dituturkan jelas dalam cerita Rajawali Emas, ketua Thai-san-pai ini mempunyai tiga orang anak. Pertama adalah Tan Sin Lee, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwa Hong, yang sejak kecil dididik oleh ibunya itu sangat lihai. Yang ke dua adalah Tan Kong Bu, puteranya yang terlahir dari mendiang Kwee Bi Goat dan putera ke dua ini sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakeknya, Song-bun-kwi Kwee Lun Si Iblis Berkabung. Anaknya yang ketiga, terlahir dari Cia Li Cu isterinya terakhir, adalah mendiang Tan Cui Bi. Semua ini telah dituturkan dengan jelas dan hebat di dalam cerita Rajawali Emas.
Seperti sudah diceritakan dalam Rajawali Emas, di Thai-san dirayakan pernikahan antara Tan Sin Lee dengan Thio Hui Cu dan Tan Kong Bu dengan Kui Li Eng. Perayaan itu amat meriah dan sekaligus ketua Thai-san-pai ini berbesan dengan tokoh-tokoh Hoa-san-pai karena dua orang gadis itu, Hui Cu dan Li Eng adalah anak murid Hoa-san-pai.
Beberapa bulan sesudah menikah. Tan Sin Lee lalu membawa isterinya ke Pegunungan Lu-liang-san tempat tinggal mendiang ibunya. Di tempat ini dia mempunyai sebuah rumah gedung yang lengkap dan mewah, juga mempunyai sawah ladang yang cukup luas. Bersama isterinya dia hidup dengan penuh kebahagiaan di tempat dingin ini, disegani dan dihormati oleh para penduduk di sekitar pegunungan itu karena sikap kedermawanan dan keramahan mereka.
Ada pun Tan Kong Bu lain lagi kesukaannya. Dia membawa isterinya dan juga diikuti oleh kakeknya ke Pegunungan Min-san di mana dia bercita-cita mendirikan partai seperti yang dilakukan ayahnya, untuk memperkembangkan ilmu silat yang dia miliki. Juga isterinya merupakan seorang pendekar wanita yang sangat tinggi ilmu silatnya, ilmu silat Hoa-san yang asli.
Suami isteri muda ini bercita-cita untuk menggabungkan ilmu silat mereka yang berlainan ragamnya ini menjadi ilmu silat partai mereka. Song-bun-kwi yang sudah tua tentu saja menjadi pelindung dan penasehat. Di dalam masa tuanya kakek ini dapat juga mengecap kebahagiaan dengan menyaksikan kerukunan cucunya itu.
Demikianlah, walau pun tadinya bergembira ria dalam merayakan pernikahan Sin Lee dan Kong Bu, setelah anak-anak itu pergi membawa isteri masing-masing, ketua Thai-san-pai serta isterinya merasa kesunyian. Puteri mereka satu-satunya, gadis lincah jenaka yang amat mereka sayang, sudah meninggal dunia dalam keadaan mengenaskan, membunuh diri karena patah hati dalam cinta kasihnya dengan Kwa Kun Hong. Sekarang, dua orang putera yang baru saja muncul mengakui ayah mereka setelah mereka itu dewasa, telah pergi pula.
Baiknya tak lama setelah pernikahan-pernikahan itu dilangsungkan, Cia Li Cu melahirkan anak perempuan. Bayi ini merupakan sinar terang di dalam cuaca gelap, menerangi hati suami isteri yang sedang diliputi kegelapan itu karena puteri mereka, Cui Bi, telah mati. Akan tetapi sekarang lahir seorang anak perempuan, pengganti Cui Bi! Anak itu mungil, montok sehat dan tangisnya nyaring.
Dengan muka berseri-seri ketua Thai-san-pai itu memondong bayinya, mengamat-amati muka bayi itu sambil tertawa-tawa senang.
"Aha, kau Cui Bi cilik! Ha-ha-ha, serupa benar, cuma bibirnya lebih runcing, tentu lebih suka mengoceh dari pada mendiang cici-nya, ha-ha!"
Li Cu yang masih rebah di pembaringan memandang terharu. Dua titik air mata menghias bulu matanya.
"Siapa... siapa namanya...?" tanyanya lirih.
Mendengar suara ini Beng San menengok dan dia pun menggigit bibir melihat dua titik air mata itu. Dengan hati-hati dia meletakkan puterinya di dekat Li Cu, dan mengusap dahi isterinya penuh kasih sayang lalu berkata, "Cui Sian namanya, ya... dia Cui Sian..."
Setelah mencium dahi isterinya perlahan, Beng San cepat keluar dari kamar itu agar tidak terlihat oleh isterinya betapa dia pun menitikkan dua butir air mata. Akan tetapi Li Cu tahu akan hal ini karena air mata itu tertinggal di dahinya ketika suami itu tadi menciumnya. Bayangan mendiang Cui Bi lah yang mendorong keluarnya air mata dari mata pasangan suami isteri ini.
Kehadiran Cui Sian dalam rumah tangga ketua Thai-san-pai benar-benar mendatangkan kegembiraan. Hal ini tentu saja amat menggirangkan hati para anak murid Thai-san-pai karena sekarang guru mereka mulai rajin kembali melatih ilmu silat. Tadinya, semenjak peristiwa hebat di puncak Thai-san-pai itu, semenjak kematian Cui Bi, ketua Thai-san-pai ini selalu tampak murung dan malas mengajar sehingga para anak murid menjadi khawatir karena hal ini berarti akan melemahkan partai persilatan itu. Akan tetapi kelahiran Cui Sian benar-benar mengubah segalanya. Bahkan nyonya ketua sendiri berkenan turun tangan dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada murid-murid pilihan.
Cui Sian sendiri ternyata makin besar menjadi semakin mungil. Ia menjadi kesayangan semua orang di Thai-san-pai, bahkan disayang pula oleh anak-anak para penduduk di sekitar pegunungan itu. Biar pun dia menjadi ketua partai persilatan, namun Beng San dan isterinya tidak mengasingkan diri. Sering kali mereka mengajak puterinya ini turun dari puncak untuk mengunjungi para penduduk kampung dan beramah tamah, membiarkan Cui Sian bermain-main dengan anak-anak kampung.
Tiga tahun berlalu cepat. Thai-san-pai berkembang pesat dan tampak tanda-tanda bahwa perkumpulan ini nanti akan menjadi sebuah partai persilatan yang besar dan berpengaruh. Hal ini terjadi karena Beng San memang pandai memilih murid yang memiliki bakat dan dasar yang baik. Dia tak mengutamakan jumlah yang banyak, melainkan mengutamakan mutu.
Anak murid Thai-san-pai kurang lebih lima puluh orang laki perempuan, sebagian besar tinggal di bawah gunung dan hanya beberapa hari sekali naik ke puncak untuk menerima petunjuk dan untuk memperlihatkan hasil latihan di depan kedua guru mereka. Ada pula sebagian orang anak murid, yaitu mereka yang datang dari jauh dan terutama sekali yang tidak mempunyai keluarga lagi, juga tinggal di Thai-san-pai, di bawah puncak, mendirikan pondok-pondok kayu yang makin lama semakin banyak dan merupakan perkampungan tersendiri. Mereka yang bertempat tinggal di situlah yang mengerjakan sawah dan ladang sebagai sumber penghasilan Thai-san-pai, di samping pemberian para anak murid yang memiliki tempat tinggal sendiri dan yang mampu menyumbang.
Pada hari itu, saat menjelang senja, serombongan orang mendaki Pegunungan Thai-san. Rombongan ini besar juga, lebih dari dua puluh orang berkuda, dan mereka menghentikan kuda di bagian lereng bukit yang tidak mungkin dapat dilalui kuda. Seorang kakek tinggi besar setelah melompat turun dari atas punggung kudanya dan menambatkan kendali kuda pada batang pohon, berkata kepada teman-temannya,
"Tidak patut kalau kita semua naik ke puncak. Biar pun ketuanya adalah terhitung saudara angkat yang lebih muda, tapi dia adalah seorang ketua partai besar yang harus dihormati. Saudara-saudara tinggallah menanti di sini, juga ji-wi-enghiong (saudara gagah berdua) dan ji-wi-loenghiong (orang tua gagah berdua), biarlah saya sendiri yang naik ke puncak menemui Thai-san-paicu (ketua Thai-san-pai). Setelah mendapatkan perkenan dari pihak tuan rumah, barulah saudara-saudara naik."
Yang bicara ini bukan lain adalah Tan Hok, dan sebagian besar di antara para temannya adalah bekas-bekas anggota dan tokoh Pek-lian-pai. Dua orang laki-laki yang berusia tiga puluhan tahun dan berwajah tampan dengan tubuh tegap itu adalah Kam-hengte (dua saudara Kam) dari Lok-yang, sepasang kakak beradik gagah perkasa yang terkenal dengan julukan Lok-yang Siang-houw (Sepasang Harimau Lok-yang) dan terkenal pula sebagai pendekar-pendekar perkasa anak murid Kong-thong-pai.
Yang tua bernama Kam Bok, yang muda bernama Kam Siok. Mereka ini adalah jago-jago Kong-thong-pai, murid Yang Ki Cu, tokoh Kong-thong-pai yang dahulu menjadi seorang pejuang juga. Agaknya darah patriot menurun kepada sepasang anak murid ini sehingga dalam banyak hal kedua orang saudara Kam ini suka membantu Pek-lian-pai dan Tan Hok. Mereka terkenal dengan keahlian bermain golok, tentu saja mengandalkan pada Ilmu Golok Kong-thong To-hoat.
Ada pun dua orang kakek tua yang ikut dalam rombongan itu dan yang disebut sebagai locianpwe (orang tua gagah) oleh Tan Hok adalah dua orang pendeta beragama To yang jelas dapat dilihat dari pakaian mereka yang berwarna kuning polos dan rambut putih mereka yang diikatkan ke atas. Seorang yang punggungnya agak bongkok dan tubuhnya kurus kering adalah seorang tokoh Bu-tong-pai, seorang ahli pedang bernama Seng Tek Cu.
Orang ke dua ialah sahabat baiknya, seorang tosu (pendeta To) perantauan, penggemar permainan catur yang namanya tidak banyak dikenal orang namun sesungguhnya adalah seorang ahli silat tinggi yang sangat lihai. Dia tidak membawa senjata apa-apa kecuali sebatang cambuk biasa seperti cambuk penggembala kerbau yang terbuat dari pada bambu dengan ujung tali.
Pada punggungnya tergantung sebuah papan catur, sedangkan di pinggangnya terdapat sebuah kantung berisi biji-biji catur. Tubuhnya tinggi kurus, mukanya selalu tersenyum ramah. Inilah Koai Tojin, nama yang selalu dia pakai. Tentu saja ini adalah nama samaran belaka karena Koai Tojin berarti Pendeta To Aneh. Dua orang tosu ini sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya.
Seperti sudah dituturkan di bagian depan, setelah dirinya kehilangan mahkota kuno yang mengandung rahasia itu sehingga menderita luka-luka, Tan Hok mengadakan hubungan dengan bekas anak-anak buahnya yaitu para orang gagah dari Pek-lian-pai, kebetulan dia dapat bertemu pula dengan Kun Hong sehingga mendapat pertolongan dan disembuhkan.
Kemudian Tan Hok lalu mengumpulkan teman-temannya yang sementara itu juga sudah mencari bala bantuan, bahkan berhasil mendapat bantuan Kam-hengte dan kedua orang tosu lihai itu. Mendengar penuturan Tan Hok mengenai mahkota yang terjatuh ke tangan penghuni Pulau Ching-coa-to, dua orang tosu itu kaget karena mereka sudah mendengar kehebatan pulau ini. Maka serta merta mereka menyatakan kegembiraan dan persetujuan ketika Tan Hok menyatakan hendak minta bantuan ketua Thai-san-pai Si Raja Pedang. Berangkatlah rombongan itu sampai berpekan-pekan lamanya dan menjelang senja itu mereka tiba di lereng Thai-san.
Mendengar permintaan Tan Hok agar mereka menanti di situ, Koai Tojin tertawa bergelak, lalu menurunkan papan catur dan membuka kantong biji catur sambil berkata, "Ha-ha-ha, Tan-sicu baik sekali, memberi kesempatan kepada pinto (aku) untuk mengaso dan bermain catur dengan Seng Tek Cu. Hayo, sobat, kita main catur sampai kenyang, siapa tahu kita akan segera menghadapi urusan penting sehingga tak akan sempat main catur lagi!"
Dalam sekejap mata saja papan catur telah diletakkan di atas tanah dan biji-bijinya diatur di atas papan. Seng Tek Cu tertawa pula dan menyambut tantangan ini. Tak Hok tertawa, kemudian berpamit lagi lalu segera mendaki puncak karena khawatir kalau-kalau malam segera tiba sehingga membuat pendakian itu sukar. Teman-temannya memandang dan melihat punggung orang gagah yang bertubuh raksasa itu lenyap di balik sebuah batu karang besar. Kemudian karena tidak ada pekerjaan lain, sebagian di antara mereka asyik menonton dua orang tosu yang sedang mengadu otak bermain catur, dan sebagian lagi duduk bercakap-cakap.
Kita ikuti Tan Hok yang dengan sigapnya berloncatan menuju ke puncak Thai-san-pai. Mendadak dengan kaget dia melihat tujuh orang berloncatan ke luar dari balik batu-batu gunung dan pohon, langsung menghadangnya dengan pedang di tangan dan sikap penuh ancaman.
Tan Hok tersenyum dan menegur, "Sahabat-sahabat di depan bukankah para enghiong (orang gagah) dari Thai-san-pai?"
"Tentu saja kami adalah anak-anak murid Thai-san-pai. Kau ini siapakah berani lancang memasuki wilayah Thai-san-pai tanpa ijin?" jawab salah seorang di antara mereka dengan suara keras dan sikap yang angkuh.
Diam-diam Tan Hok merasa heran sekali. Sangat boleh jadi kalau anak-anak Thai-san-pai ada yang belum pernah melihatnya karena tiga tahun yang lalu adalah waktu yang cukup lama dan mungkin orang-orang ini adalah anak-anak murid baru. Akan tetapi melihat sikap yang begini kasar, benar-benar sangat mengherankan hatinya karena tidak sesuai dengan watak Beng San, ketua mereka. Akan tetapi menghadapi orang-orang muda dia berlaku sabar dan tersenyum, lalu memberi hormat.
"Ahh, harap kalian memaafkan aku karena tergesa-gesa sehingga tidak sempat memberi kabar kedatanganku. Aku adalah Tan Hok, kakak angkat dari ketua kalian..."
"He kiranya kau pelarian itu? Saudara-saudara, kebetulan sekali penjahat besar yang lari sambil mencuri barang-barang berharga dari istana itu datang ke sini. Ular mencari gebuk, Hayo serang!"
Dan serta merta tujuh orang itu menyerang Tan Hok dengan pedang mereka. Bukan main kagetnya Tan Hok. Cepat dia mengelak dan masih sempat berseru,
"Saudara-saudara, jangan serang aku...! Beri tahukan kedatanganku kepada Beng San, ketua kalian. Aku bukan musuh...!"
Akan tetapi mana mungkin dia dapat menghadapi serangan-serangan itu sambil bicara? Pundaknya sudah termakan ujung pedang sehingga terpaksa Tan Hok juga mencabut pedangnya melakukan perlawanan sedapatnya.
Tan Hok adalah seorang pejuang yang memiliki kepandaian bukan rendah, akan tetapi ternyata tujuh orang itu rata-rata lihai sekali ilmu pedangnya. Selain itu, kesehatannya belum pulih benar, masih lemas. Kiranya melawan seorang di antara mereka saja belum tentu dia akan dapat menang, apa lagi sekarang dikeroyok tujuh. Tan Hok bingung dan bangkitlah rasa penasaran dan marah.
Dia mengamuk. Tetapi sia-sia saja, karena berkali-kali tubuhnya termakan senjata lawan sehingga dia menderita luka-luka parah. Terpaksa Tan Hok lalu memutar pedang sekuat tenaga dan selagi tujuh orang pengeroyoknya itu mundur menjaga diri, dia meloncat ke belakang dan lari turun dari lereng itu untuk minta bantuan teman-temannya. Tujuh orang itu mengejarnya dan... dari balik-balik pohon dan batu muncul banyak orang yang ikut pula melakukan pengejaran.
Cuaca sudah mulai gelap ketika Tan Hok dengan napas terengah-engah tiba di tempat teman-temannya mengaso. Semua orang kaget sekali melihat datangnya kakek raksasa ini, pakaiannya cabik-cabik dan tubuhnya mandi darah.
"Salah mengerti... aku... aku dikeroyok orang-orang Thai-san-pai...," kata Tan Hok yang langsung roboh dengan tubuh lemas.
Teman-temannya marah sekali. Dua orang tosu tua itu pun sudah meloncat berdiri dan siap dengan senjata mereka. Beberapa menit kemudian dari atas turunlah banyak orang, dua puluh lebih, laki-laki dan wanita, semua memegang pedang. Di dalam gelap itu sukar mengenal wajah mereka, malah ada beberapa orang wanita yang menutupi muka dengan sehelai sapu tangan hitam.
Tanpa banyak cakap lagi orang-orang ini menyerbu teman-teman Tan Hok dan terjadilah pertempuran hebat di tempat gelap itu! Hiruk-pikuk suara senjata beradu, bunyi dencing pedang bertemu pedang, mendesir-desir angin senjata yang digerakkan oleh tangan yang terlatih kuat.
Seng Tek Cu mainkan pedangnya dengan cepat sehingga di mana dia bersilat tampak cahaya pedangnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar mencari mangsa. Ahli pedang Bu-tong-pai ini kaget bukan main karena rata-rata musuh-musuh yang menyerbu ini memiliki kepandaian tinggi, apa lagi tiga orang wanita yang menutupi muka dengan sapu tangan.
Dia dikeroyok oleh lima orang, di antaranya dua dari tiga wanita berkedok itu. Sama sekali dia tidak dapat mengenal ilmu pedang mereka, akan tetapi benar-benar pengeroyokan lima orang ini membuat dia kewalahan sekali dan dalam tiga puluh jurus saja dia sudah menderita luka bacokan pada pangkal lengan kirinya.
Keadaan Koai Tojin juga tidak menyenangkan. Tosu aneh ini mengamuk dan memainkan senjatanya yang aneh, yaitu pecut di tangan kanan dan papan catur di tangan kiri. Papan itu terbuat dari pada baja dan dia pergunakan seperti sebuah perisai, sedangkan pecutnya menyambar-nyambar ganas mengeluarkan suara nyaring. Hebat kepandaian Koai Tojin ini.
Akan tetapi pada saat itu dia pun kerepotan menghadapi pengeroyokan tiga orang, yaitu seorang adalah wanita berkedok sapu tangan hitam, dan dua adalah orang-orang tinggi besar yang bertenaga besar dan mainkan golok besar serta ruyung. Dia terdesak hebat sekali dan hampir saja papan caturnya terlepas ketika berkali-kali bertemu dengan ruyung, malah kemudian terdengar suara keras dan papan caturnya pecah menjadi dua!
Akan tetapi, Koai Tojin tidak menjadi gugup. Dia mengeluarkan suara gerengan keras dan pecutnya menyambar-nyambar mengeluarkan suara nyaring, mencegah para pengeroyok mendesak terlampau dekat. Betapa pun para orang gagah Pek-lian-pai itu melawan dengan nekat, akan tetapi pihak pengeroyok ternyata jauh lebih kuat. Apa lagi karena teman-teman Tan Hok ini bertempur dengan hati penuh keraguan dan kebimbangan, serta kacau balau kehilangan pemimpin karena Tan Hok sendiri sudah tidak berdaya. Mereka, seperti juga Tan Hok, merasa ragu dan bingung kenapa orang-orang Thai-san-pai malah menyerang dan memusuhi mereka.
Tiba-tiba terdengar bentakan mengguntur di dalam gelap itu dan sesosok bayangan kakek tinggi besar mengamuk. Kakek ini tidak mempergunakan senjata, kedua lengan bajunya yang lebar dan panjang berkibar-kibar ke sana ke mari dan setiap orang Pek-lian-pai yang tersambar ujung lengan baju, pasti terlempar dan tak dapat melawan lagi! Kakek ini sekali melompat sudah tiba di depan Tan Hok, sambil tertawa-tawa tangan kanannya memukul ke arah dada Tan Hok yang sudah duduk di atas tanah.
Tan Hok kaget setengah mati. Ia berusaha menangkis dan berseru penuh keheranan dan kemarahan, "Song-bun-kwi...!"
Akan tetapi suaranya terhenti, tubuhnya terlempar dan kakek patriot ini menggeletak tak bernyawa lagi oleh pukulan hebat yang meremukkan isi dadanya!
Kacau balaulah rombongan Tan Hok. Tak kuat mereka melawan lagi. Seng Tek Cu dan Koai Tojin maklum bahwa kalau mereka melawan terus, agaknya akan berakibat tak enak bagi pihak mereka. Lawan terlampau kuat, apa lagi dibantu kakek luar biasa itu.
Lebih-lebih kekagetan mereka mendengar saat Tan Hok sebelum tewas menyebut nama Song-bun-kwi. Kalau benar kakek ini Song-bun-kwi, celakalah mereka. Sudah terlampau sering mereka mendengar nama besar Song-bun-kwi yang selama bertahun-tahun ini tak pernah terdengar lagi muncul di dunia kang-ouw.
"Saudara-saudara, mundur...! Lari turun gunung...!" Seng Tek Cu berseru keras.
Orang-orang Pek-lian-pai adalah bekas pejuang yang sudah biasa bertempur, maklum bahwa kemunduran mereka kali ini bukanlah mundur untuk seterusnya, namun mundur karena menghadapi lawan terlampau kuat dan mundur untuk mengatur siasat. Apa lagi setelah Tan Hok tewas, mereka perlu mengadakan perundingan bersama lebih dulu untuk menghadapi orang-orang Thai-san-pai yang secara tiba-tiba berubah menjadi musuh ini.
Sambil menyeret dan menyambar tubuh teman-teman yang terluka atau tewas, mereka beramai mengundurkan diri dan lari turun gunung. Namun sepasang orang muda murid Kong-thong-pai tidak sudi meninggalkan gelanggang pertempuran.
Mereka berdua ini, Kam Bok dan Kam Siok, adalah orang-orang muda yang baru saja turun ke dalam gelanggang perjuangan. Darah muda mereka, sifat kesatria mereka yang menjunjung tinggi kegagahan, yang beranggapan bahwa bagi orang-orang gagah pantang meninggalkan gelanggang pertempuran dengan nyawa masih di tubuh, membuat mereka berkeras kepala tak mau ikut teman-teman mereka lagi. Lok-yang Siang-houw, sepasang harimau dari Lok-yang ini malah mengeluarkan bentakan-bentakan keras, mainkan golok di tangan mereka dan merobohkan beberapa orang pengeroyok.
"Mundur semua, biar pinceng (aku) bereskan bocah-bocah sombong ini!"
Mendengar kata-kata kakek tinggi besar ini semua pengeroyok segera mundur sehingga berhadapanlah dua orang saudara Kam ini dengan kakek yang tadi membunuh Tan Hok ini. Lok-yang Siang-houw maklum bahwa kakek ini sangat sakti, maka mereka segera menyerang berbareng dengan Ilmu Golok Kong-thong-pai yang amat cepat. Dua batang golok di tangan mereka berkelebatan seperti sepasang naga menyambar korban.
"He-he, bocah-bocah Kong-thong-pai masih ingusan sudah berani menjual lagak di sini? Ha-ha-ha!"
Hwesio tinggi besar ini menggerakkan kedua lengannya. Ujung lengan baju seperti hidup bergerak ke depan memapaki sinar golok, ketika bertemu dengan golok lalu melibat bagai ular. Dua orang saudara Kam itu kaget sekali, berusaha mencabut golok masing-masing namun ternyata golok mereka seperti telah berakar di lengan baju itu, tidak dapat dicabut kembali.
Sambil tertawa-tawa kakek itu menghentakkan kedua lengannya dan dua orang saudara Kam itu terhuyung ke depan. Terpaksa dengan kaget sekali mereka melepaskan gagang golok. Akan tetapi dengan nekat mereka kembali menerjang dengan kepalan tangan, menyerang kakek tinggi besar itu dengan pukulan-pukulan keras. Kakek itu kini menggunakan pinggir telapak tangan menangkis dua kali.
"Krekk! Krekk!"
Tubuh dua orang saudara Kam terpental dan lengan tangan mereka patah-patah oleh tangkisan yang mengandung pukulan ini.
"Ha-ha-ha, bocah-bocah macam kalian mana mampu melawan Song-bun-kwi?" Kakek itu tertawa bergelak.
Kam Bok dan Kam Siok menggigit bibir menahan sakit lalu bangun berdiri dengan muka pucat.
"Hwesio jahat, kau bukan Song-bun-kwi...!" bentak Kam Bok.
Dia sudah pernah mendengar bahwa Song-bun-kwi meski pun juga seorang tinggi besar akan tetapi bukanlah seorang hwesio dan tokoh besar itu tak pernah bertempur secara keroyokan melainkan selalu turun tangan seorang diri tanpa teman.
"Kalian semua bukan orang-orang Thai-san-pai!" seru Kam Siok sambil memandang ke sekeliling. "Orang-orang Thai-san-pai tak akan berbuat curang seperti pengecut-pengecut macam kalian!"
Ucapan dua orang saudara Kam ini membangkitkan kemarahan. Terdengar suara wanita memberi aba-aba dan segera orang-orang itu menyerbu ke depan mengeroyok Kam Bok dan Kam Siok. Kasihan sekali dua orang saudara dari Lok-yang ini. Mereka berusaha melawan sedapat mungkin dengan tangan kiri, namun mana bisa tangan kiri dipergunakan untuk menangkis sekian banyaknya senjata tajam yang datang menyerang bertubi-tubi?
Lengan tangan mereka sebentar saja remuk penuh luka, kemudian tubuh mereka dihujani senjata tajam. Tetapi hebatnya, dua orang saudara Kam yang masih muda ini tak pernah mengeluarkan rintihan sedikit pun sampai tubuh mereka roboh dan masih saja dijadikan bulan-bulanan senjata sehingga terpotong-potong dan rusak mengerikan!
Setelah pertempuran berhenti, orang-orang yang mengaku orang-orang Thai-san-pai ini menghilang ke dalam kegelapan malam. Keadaan sunyi kembali di tempat itu, sunyi yang menyeramkan. Apa lagi ketika bintang-bintang di langit sudah muncul, memberi sedikit penerangan di tempat pertempuran tadi, keadaan makin menyeramkan dan mengerikan. Beberapa ekor binatang hutan yang dalam keadaan remang-remang itu tak diketahui jelas bentuknya, hati-hati dan perlahan berdatangan di tempat itu. Terjadilah pesta pora ketika binatang-binatang ini menjilati darah yang berceceran di atas rumput….
**********
Berpekan-pekan lamanya Beng San serta isterinya merasa gelisah. Peristiwa pada tiga pekan yang lampau benar-benar menggegerkan Thai-san-pai. Dia dan isterinya turun dan memeriksa sendiri ketika ada seorang anak murid melapor bahwa di lereng sebelah barat terdapat dua buah mayat manusia yang keadaannya rusak teraniaya. Ketua Thai-san-pai ini dan isterinya lalu melakukan pemeriksaan. Alangkah gelisah hati mereka melihat betapa di samping mayat dua orang laki-laki muda yang mengerikan itu, juga tampak bekas-bekas pertempuran besar di tempat itu.
"Apakah artinya ini?" Dengan muka berubah khawatir, Cia Li Cu bertanya pada suaminya, Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Yang ditanya mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala perlahan.
"Dua orang yang menjadi mayat itu sukar dikenali mukanya, dan agaknya pertempuran yang terjadi di sini baru malam tadi terjadi. Sayang kita tidak mendengarnya sama sekali sehingga tidak dapat mengetahui siapa yang telah bertempur dan apa sebabnya. Tetapi, dengan adanya dua mayat di tempat ini, dan kenyataan bahwa pertempuran dilakukan di wilayah Thai-san-pai, terang bahwa hal-hal yang tidak baik sedang terjadi dan hal itu tentu menyangkut Thai-san-pai."
Sejak hari itu pula, Beng San memberi perintah kepada para muridnya yang mondok di Thai-san-pai, untuk berjaga-jaga dan meronda setiap malam. Namun hatinya selalu terasa tidak tenteram. Juga Li Cu merasa tak enak hatinya semenjak terjadi hal yang penuh rahasia di lereng barat itu. Kekhawatirannya yang hendak disembunyikan dapat diketahui bahwa dia tidak memperbolehkan lagi Cui Sian bermain-main di luar pondok di puncak. Anak perempuan yang baru berusia empat tahun kurang itu selalu harus berada di dekatnya, tidak boleh berpisah sebentar pun.
Beng San maklum akan perasaan isterinya, maka pada suatu hari dia menghiburnya. "Isteriku, tak perlu kau terlalu gelisah. Bukan baru sekarang kita tahu bahwa banyak sekali orang-orang jahat di dunia kang-ouw selalu menaruh dendam dan memusuhi kita. Mereka itu mau apa? Kita bisa melawan, tentang mati hidup berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Kenapa harus gelisah?"
Li Cu menarik napas panjang. Semenjak kematian puterinya, Cui Bi, nyonya ini nampak lebih kurus. Kehadiran Cui San sebagai pengganti Cui Bi, memang juga membawa serta kekhawatiran besar, khawatir kalau-kalau nantinya Cui Sian akan mengalami nasib seperti cici-nya (kakak perempuannya). Karena anaknya inilah maka ia berkhawatir sekarang ini.
"Suamiku, kiranya engkau sudah cukup mengenal watakku. Akan menjadi buah tertawaan dunia agaknya apa bila aku sampai ketakutan menghadapi ancaman orang jahat. Tidak, Suamiku, semenjak kecil aku sudah dididik oleh mendiang ayah untuk menjunjung tinggi akan kegagahan dan tidak takut akan kematian. Akan tetapi, kau lihat puteri kita ini... Cui Sian masih begini kecil. Hanya kalau teringat kepadanya maka hatiku menciut, nyaliku mengecil dan perasaanku diliputi kekhawatiran."
"Sudahlah, kita serahkan saja kepada Thian Yang Maha Kuasa. Sampai pucat mukamu, agaknya kau kurang tidur dalam beberapa hari ini."
"Memang demikian, hatiku tidak enak saja..."
Enam pekan kemudian semenjak terjadinya peristiwa di lereng barat itu. Malam itu amat indah. Bulan bersinar tenang sejuk. Pohon-pohon dan rumput bermandikan cahaya bulan nampak segar. Dari puncak Bukit Thai-san, bulan seakan-akan mengambang di antara mega, begitu dekat seperti mudah dijangkau tangan.
Para anak murid Thai-san-pai, setelah sebulan lebih bekerja keras melakukan penjagaan, malam itu pun mulai malas untuk meronda. Malam ini terlalu indah untuk memikirkan hal yang bukan-bukan, untuk menguatirkan hal yang tidak-tidak. Tidak mungkin rasanya pada malam seindah itu akan terjadi hal-hai yang tidak baik. Kata orang, cahaya bulan purnama membangkitkan kasih sayang di hati manusia sehingga pada malam seperti itu, sukarlah untuk menaruh hati benci kepada orang lain.
Cui Sian bersama ayah bundanya juga bergembira di pekarangan depan pondok mereka. Tak ada habisnya anak itu bertanya kepada ibunya tentang puteri di bulan, tentang kakek bulan seperti yang didongengkan ibunya kepadanya.
"Ibu, apakah cici Cui Bi juga di bulan?” dengan kata-kata lucu dan tidak jelas anak itu bertanya sambil merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dan matanya yang lebar bening itu terbelalak memandang bulan.
Sejenak Li Cu bertukar pandang dengan suaminya. "Betul, nak, cici-mu juga di bulan." Li Cu memeluk dan menciumi dahi puterinya itu.
"Ibu, aku juga ingin terbang ke bulan..." Cui Sian merengek.
Ibunya menghibur dan memelukinya, diam-diam berdoa mohon kepada kakek bulan agar supaya kelak Cui Sian lebih bahagia dalam cinta kasihnya, tidak seperti Cui Bi. Pada saat itu tangan Beng San menyentuh lengannya penuh arti. Li Cu menengok dan memandang ke arah pandangan suaminya. Hatinya berdebar tegang.
Terang sekali, di udara sebelah barat kelihatan meluncur ke atas sepucuk sinar merah, berulang-ulang sampai tiga kali. Tidak salah lagi, itulah panah api yang sengaja dilepas orang sebagai tanda rahasia. Belum hilang kagetnya, di sebelah utara meluncur lain sinar, kini kehijauan, lebih terang dari pada tadi.
"Bawa dia masuk...," kata Beng San perlahan kepada isterinya, nada suaranya tenang.
Li Cu bangkit, memondong anaknya. Cui Sian tidak mau dan menangis ingin menonton bulan.
"Mari masuk, Sian-ji, di luar banyak angin," ibunya menghibur dan membawanya masuk ke rumah, lalu menyerahkan anak itu kepada inang pengasuh, bibi Cang.
Cui Sian tetap menangis dan rewel, akan tetapi Li Cu memaksa anak itu dibawa masuk dan dihibur bibi Cang serta para pelayan yang berada di pondok itu. Ia sendiri setelah mengambil pedangnya, lalu kembali keluar. Dia melihat suaminya sedang berdiri sambil memandang ke arah barat. Ia segera berdiri di sisi suaminya, melayangkan pandang ke arah barat dan utara di mana tadi tampak panah-panah api berwarna merah dan hijau.
"Siapakah yang datang? Apa maksud mereka?" bisiknya.
Beng San menggeleng kepala, mengerutkan kening. "Entah, belum pernah mendengar tokoh menggunakan panah api. Biasanya panah-panah api dipergunakan oleh rombongan yang memberi tanda rahasia..."
Mendadak terdengar suara tinggi melengking dari arah barat, disusul suara hampir sama dari arah utara. Tubuh suami isteri itu menegang.
"Li Cu, aku harus segara turun dari sini untuk melakukan pemeriksaan ke bawah. Siapa tahu murid-murid kita menghadapi musuh."
Tanpa menanti persetujuan Li Cu, Beng San menggerakkan kaki hendak lari turun. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang Li Cu yang menahannya. Dia heran, dan menoleh.
"Kau di sini saja, menjaga Cui Sian, biarkan aku sendiri."
"Jangan...!" pinta Li Cu.
Beng San terheran-heran. Baru kali ini selama menjadi isterinya, Li Cu memperlihatkan keraguan yang amat mengherankan ini. Dia memegang kedua pundak isterinya, pandang matanya mencari-cari ke dalam mata isterinya, lalu tanyanya heran,
"Li Cu...! Jangan bilang bahwa kau... takut?"
Wanita itu menarik napas panjang, mengandung isak. "Entahlah... aku tak enak sekali hatiku. Kau di sinilah saja bersamaku, menjaga keselamatan Cui Sian."
Beng San memandang dengan mata terbelalak. Hampir-hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, isteriku, kau seperti anak kecil merengek-rengek! Alangkah lucunya! Siapakah berani mengganggu anak kita? Pula, biar aku turun puncak, kau berada di sini dan siapa yang dapat mengganggu Cui Sian bila kau berada di sini? Huh, cacing busuk dari mana berani menghadapi isteriku! Pedangmu akan mampu membasmi seratus orang lawan, lagi pula, jalan ke puncak ini tidak mudah, tidak sembarangan orang mampu melewati jalan rahasia kita."
"Tidak, suamiku... sekali ini saja... kau bersamaku menjaga Cui Sian."
Beng San mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilat ketika Liong-cu-kiam tercabut. Sekali berkelebat pedang itu sudah membelah sebuah batu besar di depannya, hampir tanpa bersuara!
"Li Cu!" Suara Beng San terdengar tegas dan kereng. "Baiknya tadi hanya batu ini yang mendengar ucapanmu. Karena sudah mendengarkan suara isteriku, maka kubinasakan dia! Bagaimana kalau ada manusia yang mendengar isteri ketua Thai-san-pai berbicara seperti itu? Kau jelas tahu, aku adalah ketua Thai-san-pai, dan perkumpulan ini harus kupertahankan dengan nyawaku kalau perlu! Mana mungkin jika Thai-san-pai kedatangan musuh, ketuanya bersembunyi saja di sini membiarkan anak-anak murid Thai-san-pai menghadapi bahaya tanpa pimpinan? Li Cu, insyaflah, tak mungkin kita berubah menjadi pengecut!"
Ucapan suaminya ini agaknya merupakan air dingin yang menyadarkan Li Cu. Ia terisak, menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan, "Maafkan aku... kau pergilah, kau benar. Tapi... hatiku tidak enak... aku khawatir anakku, bukan keselamatan kita..."
"Li Cu, perlihatkanlah keberanianmu sebagai seorang gagah!" Beng San menuntut.
"Srattt!"
Kembali selarik sinar berkelebat ketika pedang Liong-cu-kiam yang pendek tercabut. Sinar pedang menyambar dan batu yang tadi terbabat menjadi dua potong kini terbabat menjadi empat potong oleh pedang Li Cu, hanya sedikit menimbulkan suara dan bunga api!
"Aku siap menjaga puncak ini dengan taruhan nyawa!"
Beng San tersenyum, mendekatkan muka mencium pipi isterinya, lalu sekali berkelebat dia sudah melompat jauh dan berlari turun puncak, dipandang oleh isterinya yang tanpa terasa menitikkan dua butir air mata. Li Cu lalu menjaga di depan pondok, menyesali diri sendiri yang hampir saja kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri sendiri. Ini semua karena kekhawatirannya kehilangan Cui Sian. Ia menjadi penakut setelah satu kali ia kehilangan Cui Bi.