Pendekar Buta Jilid 14

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 14

Pada suatu hari kakek ini memasuki sebuah kota pelabuhan di pantai timur yang cukup ramai, karena kota ini selain menjadi pusat perdagangan para pedagang laut yang datang dari selatan dan utara, juga terkenal sebagai pintu keluar hasil-hasil bumi dan akar-akar obat. Sayangnya sering kali kota ini diganggu bajak laut Jepang sehingga sebagian besar pedagangnya datang dari lain kota dan jarang yang mendirikan bangunan di situ.

Sudah menjadi kebiasaan setiap orang pedagang keliling yang membawa banyak barang berharga, mesti ada saja pengawalnya yang terdiri dari jagoan-jagoan pengawal bayaran yang lajim disebut piauwsu. Pengawal-pengawal bayaran dan para pedagang inilah yang meramaikan restoran-restoran yang banyak dibuka di situ sehingga begitu memasuki kota ini, Song-bun-kwi segera mengembang kempiskan hidungnya karena mencium bau harum masakan yang sedap dan gurih.

"Gurih... gurih... wah betapa sedapnya...!" dia menggerutu berkali-kali. Matanya kemudian mencari-cari hingga akhirnya dia melangkah lebar memasuki sebuah restoran yang paling besar dan berada di pinggir jalan besar dekat tempat pemberhentian perahu-perahu. Bau amis perahu-perahu yang membawa muatan ikan malah menambah sedap.

Kehadiran kakek ini menarik perhatian orang. Betapa tidak. Seorang kakek yang usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, rambutnya jarang-jarang dan pendek setengah gundul, kumis dan jenggot pendek-pendek pula dan kaku, sebagian besar sudah putih. Pantasnya kepala seperti ini dimiliki seorang pendeta, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian pendeta. Pakaian yang membungkus tubuh tinggi besar kokoh kuat itu adalah pakaian petani yang kumal dan longgar. Lengan bajunya lebar sekali seperti lengan baju tukang-tukang main sulap yang menyembunyikan benda-benda di dalamnya.

"Heee, pelayan!" suaranya menggeledek dan menggetarkan ruangan restoran itu. "Bawa ke sini cepat seguci besar arak baik, tiga kati mi, dua kati daging babi panggang dan tiga empat macam masakanmu yang paling terkenal. Lekas kataku, perutku lapar nih!"

Sambil menarik napas panjang dengan nikmat kakek ini menjatuhkan diri ke atas sebuah bangku yang lantas mengeluarkan bunyi mengenaskan karena hampir tak kuat menadahi tubuhnya yang besar dan berat itu, lalu jari-jari tangan kanannya mengetruk-ngetruk meja di depannya sampai meja itu bergoyang-goyang. Semua tamu yang duduk di situ menoleh dan memandang heran. Di mana di dunia ini ada orang yang begitu gembul? Tiga kati mi dan dua kati daging ditambah lagi tiga macam masakan, masih didorong masuk oleh seguci besar arak, bukankah itu jumlahnya lebih sepuluh kati? Perut manusia biasa mana kuat dimasuki sepuluh kati makanan sekaligus?

Juga pelayan-pelayan saling pandang, tak ada yang menyanggupi karena mereka merasa ragu-ragu. Selain aneh, juga harga masakan-masakan yang dipesan itu bukanlah sedikit uangnya!

Kakek itu merasa juga akan keraguan muka pelayan ini. Dia menggereng dan tangannya menekan meja di hadapannya yang tiba-tiba ambles ke bumi sampai setengahnya lebih! "Heh, pelayan-pelayan. Kalian ini manusia-manusia ataukah patung? Kalau patung tunggu kublesekkan kalian ke dalam tanah seperti meja ini!"

Kagetlah semua orang, kaget dan jeri. Juga para pelayan berseliweran dan separuh lari menyediakan pesanan kakek itu. Mereka tak peduli lagi apakah kakek itu nanti bisa bayar atau tidak, itu urusan pengurus restoran. Paling perlu cepat-cepat sediakan pesanannya agar mereka selamat!

Dengan senyum manis dibuat-buat sehingga senyuman itu pringas-pringis mengandung perasaan takut, para pelayan lalu antri mengantarkan makanan-makanan yang dipesan Song-bun-kwi dan mengaturnya di atas meja yang rendah itu. Begitu selesai mereka terbirit-birit menjauhkan diri. Juga para tamu yang nyalinya kurang besar, cepat-cepat menghabiskan makanan, membayar dan pergi meninggalkan tempat di mana terdapat kakek yang menyeramkan itu.

Akan tetapi yang nyalinya besar, malah menjadi girang dan diam-diam ingin menyaksikan perkembangan lebih lanjut dan menikmati keanehan yang jarang mereka lihat. Di antara mereka itu terdapat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun yang duduk seorang diri di sudut restoran, laki-laki yang bermata tajam berhidung betet berpakaian mentereng. Mencium bau arak dari sebuah guci besar yang berada di atas sebuah meja di depannya, sepasang mata Song-bun-kwi bersinar-sinar. Dia telah amat rindu melihat arak, kini begitu bertemu dia segera menyambar guci, mengangkatnya ke atas maka terdengarlah suara bergelogok seperti suara air pancuran jatuh di kolam. Tak setetes pun terbuang.

Setelah agak lama mulut-mulut orang yang menyaksikan ini melongo, baru Song-bun-kwi meletakkan guci itu kembali ke atas meja dan setengah isinya sudah ia pindah ke dalam perutnya. Tanpa mempedulikan mata orang-orang yang berada di situ, dia menyambar sumpitnya dan segera menyikat masakan-masakan di depannya. Seperti mesin saja sumpit-sumpitnya bergerak. Seperti disulap, mi, daging dan masakan-masakan itu terbang ke dalam mulutnya, dikunyah sebentar lalu masuk ke dalam lubang di kerongkongannya. Kadang-kadang masakan itu menyesakkan kerongkongan karena terlalu dijejal, dan terpaksa harus didorong arak menggelogok.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar, disusul orang lari berserabutan ke sana ke mari. Ramai orang berteriak-teriak, "Bajak laut...! Bajak laut!"

Di dalam restoran itu sendiri terjadi keributan luar biasa. Para tamu lari berserabutan ke luar, pelayan-pelayan lari pula sambil membawa barang-barang yang dianggap berharga, pengurus restoran membawa lari uang. Semua lari berserabutan meninggalkan tempat itu. Nelayan-nelayan, pedagang-pedagang dan mereka yang merasa memiliki barang-barang berharga cepat-cepat berlarian meninggalkan tempat itu. Hanya mereka yang merasa tak mempunyai apa-apa, tidak lari, hanya bersembunyi dengan muka pucat ketakutan.

Sejenak Song-bung-kwi menengok, lalu makan terus tanpa mempedulikan kegaduhan di sekelilingnya. Restoran itu sekarang kosong, kecuali laki-laki yang berpakaian mentereng tadi. Tapi laki-laki ini pun nampak tegang dan beberapa kali meraba gagang golok yang tersembunyi di balik jubah panjangnya. Matanya memandang ke luar, ke arah laut.

Dengan kecepatan luar biasa, beberapa buah perahu kecil runcing berlayar ke pantai. Perahu-perahu ini agaknya diturunkan dari sebuah perahu besar yang berlabuh beberapa li dari pantai dan di setiap kepala perahu kecil ini berkibar bendera putih dengan gambar tengkorak hitam. Itulah perahu-perahu bajak laut yang datang menyerbu kota pelabuhan ini. Jumlah perahu kecil ada sembilan buah, masing-masing ditumpangi lima orang anak buah bajak. Seorang lelaki gemuk pendek tampak berdiri di kepala perahu terdepan, tangannya memegang sebatang pedang yang besar dan panjang, pedang bengkok model Jepang.

"Bajak laut Jepang...!"

"Si Tengkorak Hitam...!"

Demikian telinga Song-bun-kwi mendengar teriakan mereka yang lari ketakutan. Namun dia pura-pura tidak mendengar dan makan terus. Para pedagang besar yang membawa banyak barang dagangan dan dikawal oleh jagoan-jagoan pengawal, sibuk mengumpulkan para jagoannya untuk melindungi barang mereka. Yang berani menjaga barang yang dipercayakan mereka hanya pengawal-pengawal yang merasa dirinya berkepandaian dan memiliki banyak teman saja, sedikitnya belasan orang anak buah.

Begitu bajak-bajak itu mendarat, terdengar teriakan-teriakan mereka yang menyeramkan. Golok dan pedang mereka angkat tinggi-tinggi dan dengan pekik serta sorak-sorai, para bajak ini menyerbu ke darat. Segera terjadi pertempuran dengan para jagoan pengawal yang jumlah semuanya tidak kurang dari tiga puluh orang. Hiruk-pikuk suara yang bertempur. Bunyi senjata tajam yang beradu mendencing-dencing, diiringi dengan pekik kesakitan dan sorak kemenangan yang mulai terdengar bersama muncratnya darah dan robohnya tubuh manusia.

Lima orang anak buah bajak lari ke dalam restoran besar. Mereka berteriak-teriak girang karena membayangkan pesta pora. Alangkah heran hati mereka ketika melihat betapa di dalam restoran besar itu terdapat dua orang tamu yang masih belum pergi. Seorang kakek gundul berusia lanjut enak-enakan saja makan, sedikit pun tidak melirik kepada lima orang bajak yang memasuki restoran. Malah ketika seorang bajak memekik sambil menendang meja hingga terguling, ia malah mengangkat guci araknya dan minum seenaknya. Orang ke dua adalah laki-laki berpakaian mewah yang duduk tenang-tenang saja, dengan tangan di gagang goloknya.

Para bajak itu memang sudah terlalu lama berada di tengah lautan dan kini melihat kakek itu makan minum, mereka lantas menjadi mengilar. Maka berebutanlah empat orang lari menghampiri Song-bun-kwi, sedangkan seorang di antara mereka tertarik dengan pakaian mewah laki-laki yang duduk di pojok, maka dia lari kepada orang itu. Sambil mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Song-bun-kwi, empat orang bajak itu menyerbu. Ada yang menghantam kepala gundul kakek itu, ada yang membacok lehernya dengan golok, dan ada pula yang menyambar guci arak untuk merampasnya. Kesudahannya hebat sekali.

Kakek itu tanpa menoleh barang sedikit, menggerakkan tangan yang memegang sumpit, perlahan saja namun cepat seperti kilat menyambar. Empat orang bajak seketika seperti orang terlongong, kemudian membalikkan tubuh dan berjalan terhuyung-huyung ke pintu restoran, mulut mereka bergerak-gerak hendak memekik akan tetapi yang keluar hanya suara mengorok bagai babi disembelih! Dan sebelum mereka tiba di tempat teman-teman mereka di luar, robohlah mereka, terkulai satu demi satu, dan hampir berbareng mereka mengeluarkan suara jeritan ngeri!

Kepala bajak yang gemuk pendek itu hebat sekali. Pedangnya yang panjang dan bengkok menyambar-nyambar dan banyaklah jagoan pengawal roboh dengan leher putus atau pun dada robek oleh pedangnya. Akan tetapi selagi enak dia mengamuk, seorang temannya berteriak sambil menuding ke arah empat orang anak buah yang roboh tanpa diserang lawan itu.

Si kepala bajak sekali melompat sudah tiba di situ. Dengan kaki kirinya dia membalik-balikkan tubuh empat orang anak buahnya dan... ternyata mereka telah putus nyawanya dengan mata mendelik, mulut berdarah sedangkan leher mereka nampak bolong sebesar jari tangan!

Mata kepala bajak itu menjadi merah saking marahnya. Dia juga merasa heran sebab tak melihat ada lawan di dekat empat orang anak buahnya ini. Matanya lalu mencari-cari dan terlihatlah olehnya cucuran-cucuran darah merah yang tercecer sepanjang jalan mulai dari tempat itu ke pintu restoran.

Dilihatnya seorang kakek duduk di dalam restoran. Tampak pula seorang anak buahnya tengah bertempur dengan seorang lelaki yang mainkan golok. Jelas bahwa anak buahnya itu terdesak hebat. Sambil memekik dengan suara yang keluar dari dasar perut, kepala bajak yang berjuluk Tengkorak Hitam ini kemudian berlari, pedangnya teracung ke depan, mulutnya memekik panjang.

"Yaaaaaaa…!!"

Dua orang jagoan pengawal mengira bahwa kepala bajak itu hendak menerjang mereka, berbareng dua orang ini memapakinya dengan pedang mereka. Akan tetapi bukan main hebatnya kepala bajak ini. Tanpa menghentikan larinya ke arah restoran, pedang panjang di tangannya berkelebat dan... dua orang jagoan pengawal itu rebah dengan perut robek dan isi perutnya berantakan ke luar!

Kepala bajak terus berlari tanpa menghentikan pekiknya yang panjang menyeramkan itu. Akan tetapi begitu sampai di ambang pintu restoran, tiba-tiba dari dalam ada bayangan menubruknya. Si Tengkorak Hitam yang baru saja berhenti memekik panjang, sekarang membentak.

"Yaaaaattt…!" pedangnya yang bengkok panjang itu bergerak ke depan dan berkelebat menyilaukan mata.

"Craaaatttt!"

Pedang yang amat tajam itu membabat pinggang bayangan itu yang... putus menjadi dua. Darah menyembur-nyembur mengerikan dibarengi suara terbahak-bahak si kepala bajak yang tertawa girang.

Tiba-tiba suara ketawanya berhenti ketika dia mendengar suara mendengus penuh ejekan di dalam restoran. Ketika dia menundukkan muka memandang, tiba-tiba muka Tengkorak Hitam menjadi pucat. Kiranya bayangan yang dibacoknya putus menjadi dua tadi adalah anak buahnya sendiri yang agaknya telah dilemparkan lawan.

Dia mengarahkan pandang matanya yang berapi-api ke dalam restoran. Kakek itu masih duduk makan minum sedangkan laki-laki bergolok yang tadi bertempur melawan anak buahnya sekarang berdiri dengan golok melintang di depan dada.

Tengkorak Hitam tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali lagi dia memekik panjang dan lari menyerbu ke dalam restoran, langsung menerjang si pemegang golok. Biasanya, setiap sabetan pedangnya tidak pernah gagal, kalau tidak merobohkan lawan, sedikitnya melukai atau mematahkan senjatanya. Akan tetapi sekali ini dia salah duga.

Pedangnya bertemu dengan sebuah golok yang kuat hingga terdengar suara berdencing nyaring yang dibarengi muncratnya bunga api berhamburan. Cepat-cepat kedua lawan ini menarik senjata masing-masing, memeriksa sebentar, lega mendapat kenyataan bahwa senjata masing-masing tidak rusak.

Tengkorak Hitam lagi-lagi menerjang, sekali ini gerakannya lebih kuat dan cepat sekali. Pedangnya berkelebat tiada henti, membobat-babit dari kanan kembali ke kiri, dari atas ke bawah seperti seorang akrobat mainkan dua obor api. Laki-laki bergolok itu beberapa kali mengeluarkan seruan kaget karena hampir saja pertahanannya bobol, akan tetapi dia terus melawan sedapat mungkin dengan permainan goloknya.

Song-bun-kwi tidak pedulikan itu semua, masih saja makan minum. Melirik pun tidak dia. Akan tetapi ketika araknya habis, dia melingukan ke sana ke mari, kemudian mulutnya mendamprat, "Pelayan keparat! Ke mana kalian? Hayo tambah lagi arak seguci penuh!"

Tentu saja tidak ada setan yang menjawabnya karena semua pelayan sudah melarikan diri jauh dari tempat itu. Song-bun-kwi marah-marah, digebraknya meja sampai mangkok-mangkok yang kosong bergulingan. "Pelayan ke mana kalian pergi?"

Tiba-tiba si pemegang golok yang menjawab, "Locianpwe, semua pelayan lari ketakutan karena bajak ini!"

Baru sekarang Song-bun-kwi menengok dan melihat pertempuran itu. Dia melihat seorang laki-laki pendek gemuk berkepala botak kelimis tetapi di sebelah pinggir dan belakangnya berambut gemuk hitam. Laki-laki pendek gemuk ini tidak berbaju, hanya memakai celana panjang yang komprang (kebesaran). Tubuhnya kelihatan kuat sekali, ada pun permainan pedangnya aneh bukan main, namun tak boleh dibilang lemah.

Sepintas lalu Song-bun-kwi dapat menilai si pemegang golok memainkan ilmu golok dari selatan. Kepandaian orang ini tidak lemah, akan tetapi agaknya tidak kuat menandingi ilmu pedang aneh bajak pendek itu.

Timbul kemarahan Song-bun-kwi kepada bajak itu. Benar-benar tidak memandang mata kepadanya. Sedang enak-enak makan berani datang mengacau sampai semua pelayan lari. Dengan langkah lebar dia menghampiri tempat pertempuran.

"Heh, babi buntung! Berani kau membikin kacau sampai semua pelayan pergi, ya? Hayo kau gantikan pekerjaan mereka, layani aku baik-baik!"

Si pemegang golok yang sempat melihat cara Song-bun-kwi mengalahkan empat orang bajak tadi, dapat mengerti bahwa kakek itu adalah seorang sakti. Maka sekarang melihat kakek itu mau turun tangan, dia pun cepat memutar goloknya lalu melompat ke samping menjauhi kepala bajak yang lihai.

Tengkorak Hitam terkejut mendengar bentakan Song-bun-kwi. Agaknya dia sudah sering kali menjelajah pantai timur ini sehingga dia mengerti juga bahasa daerah itu. Dengan kaku dia membentak sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

"Iblis tua bangka, kau memaki siapa?!"

"Memaki kau, siapa lagi? Hayo lekas ambilkan arak seguci!" Song-bun-kwi membentak.

Bukan main marahnya Tengkorak Hitam. Dia adalah seorang kepala bajak yang sudah terkenal. Hanya di seberang sini saja dia menjadi kepala bajak, kalau sudah pulang ke seberang sana membawa barang-barang rampasan, dia adalah seorang yang mempunyai gedung indah dan dihormati semua orang. Sekarang dia dihina oleh seorang tua bangka, padahal biasanya di seberang sana dia amat ditakuti orang, tentu saja dia marah sekali. Pedangnya diobat-abitkan di atas kepala, kata-katanya tidak jelas dan tercampur bahasa Jepang,

"Bakeiroo...! Kau mau mampus, ya?"

Pedang itu menyambar ke arah leher Song-bun-kwi, agaknya hanya dengan sekali tebas saja Si Tengkorak Hitam hendak menjadikan kakek itu setan tanpa kepala. Song-bun-kwi mendengus sambil bangkit berdiri, lalu tangan kirinya membabat dari samping memapaki pedang.

"Krekkk!"

Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong saking hebatnya gempuran tangan kakek ini. Si kepala bajak seketika pucat, terbelalak memandang pedang yang tinggal gagangnya saja itu.

Namun dia adalah seorang bajak laut yang buas dan tak kenal takut. Sambil menyumpah-nyumpah dia membanting gagang pedangnya dan segera kaki tangannya bergerak-gerak mempergunakan ilmu gulat yang sangat dia andalkan. Jari-jari tangannya terbuka seperti cengkeraman, siap untuk menangkap lawan dan diangkat serta dibantingkan.

Biasanya dia tidak pernah gagal dalam membanting lawan menggunakan ilmu ini. Malah lawan yang jauh lebih muda dan lebih tinggi besar dari pada kakek itu juga pernah dia permainkan, dia banting-banting seperti penatu membanting cuciannya.

Song-bun-kwi tidak mengenal ilmu berkelahi semacam ini, tetapi melihat kuda-kuda yang diberatkan ke bawah dan melihat pula kedua tangan yang siap mencengkeram, dia dapat menduga bahwa ilmu ini tentulah semacam Ilmu Kim-na-chiu, yaitu ilmu tangkap atau ilmu gulat. Dia terkekeh lalu mengulurkan tangan kirinya, sengaja dia berikan untuk ditangkap lawan!

Seorang ahli silat tentunya akan ragu-ragu dan tidak berani menerima umpan selunak ini. Namun Tengkorak Hitam agaknya tidak mengenal istilah umpan dalam ilmunya berkelahi, atau memang dia terlalu mengandalkan kepandaiannya sendiri sehingga umpan itu pun dia caplok mentah-mentah.

Cepat laksana bintang jatuh dia menerkam maju dan di lain saat lengan kiri Song-bun-kwi sudah ditangkapnya, diputar dengan gaya selicin belut, kemudian tubuhnya menyelinap dan membalik sehingga kedudukan lengan Song-bun-kwi terbalik dan dilandaskan di atas pundaknya. Dia lalu mengerahkan tenaga dari perut sambil memekik keras, menggentak lengan kiri kakek itu dengan gaya melemparkan tubuh si kakek ke atas melewati pundak dan punggungnya.

Tubuh itu terlempar ke atas sampai membentur langit-langit rumah, lalu jatuh menimpa meja makan yang belum keburu dibereskan sehingga kuah masakan di dalam mangkok memercik ke atas menyiram muka orang yang jatuh itu. Tapi bukan tubuh Song-bun-kwi yang terlempar, melainkan tubuh Tengkorak Hitam sendiri!

Kepala bajak ini gelagapan, cepat menyusuti mukanya, terengah-engah meloncat turun dari kursi. Kepalanya digoyang-goyang keras seperti laku seekor anjing habis kecemplung kolam, matanya terbeliak memandang kakek itu seakan-akan dia tidak percaya bahwa yang baru saja dia alami bukanlah mimpi buruk.

Sambil menahan rasa nyeri di seluruh tubuhnya kembali dia menggereng dan menubruk. Kali ini ia menangkap kaki Song-bun-kwi. Kakek itu hanya berdiri dan tunduk memandang orang pendek yang nekat itu. Tengkorak Hitam berkutetan, mengerahkan tenaga untuk mengangkat kaki itu supaya dia mendapat peluang untuk melontarkan si kakek. Namun kaki itu tak bergeming sedikit pun juga. Sampai payah dia mengerahkan semua tenaga perut, mulutnya terengah-engah.

Mendadak kaki itu terangkat sedikit. Girang hatinya. Mampus kau sekarang tua bangka, pikirnya. Tubuhnya menyelinap ke bawah selakangan kakek itu, kaki itu di pundaknya dan kini dia mengerahkan seluruh tenaganya sambil menggentak.

"Bulllll!"

Seperti layang-layang putus talinya tubuh itu mumbul ke atas, sekali lagi menghantam langit-langit sampai jebol kemudian terbanting ke bawah membikin remuk bangku yang ditimpanya. Juga kali ini tubuh Tengkorak Hitamlah yang melayang-layang, bukan tubuh si kakek kosen.

Sakit, marah, dan malu memenuhi benak Tengkorak Hitam, apa lagi ketika dia melihat betapa mulai berdatangan orang menonton. Dia pun menjadi nekat dan sekarang hendak menggunakan ilmu pukulan. Dia menerjang lagi dengan tangan terkepal.

Tiba-tiba tubuhnya yang merunduk dengan kepala di depan seperti laku seekor domba hendak menanduk ayam, berhenti di tengah jalan, tepat di muka kakek itu. Kepalanya tertahan sesuatu. Matanya melirik dan alangkah marahnya melihat bahwa kakek itulah yang menahan kepalanya dengan telapak tangan. Dia mengumpat caci, kedua tangannya menghantam bergantian, disusul kakinya yang juga mengirim tendangan-tendangan maut.

Akan tetapi, serangan-serangannya mengenai tempat kosong belaka, atau tegasnya, tak dapat mencapai ke tubuh si kakek. Seperti diketahui, bajak laut ini bertubuh pendek, dua lengannya pun pendek-pendek sekali, demikian pula kedua kakinya. Tentu saja setelah kakek itu yang bertubuh tinggi besar dan berlengan panjang menahan kepalanya dengan lengan diluruskan, semua pukulan dan tendangannya gagal, tidak sampai ke sasarannya.

Terdengar suara ketawa di sana-sini. Bajak itu marah sekali, kini ia menghantam lengan yang menahan kepalanya. Namun sia-sia saja, malah kedua tangannya sakit-sakit seperti menghantam baja layaknya.

Tiba-tiba dia merasa betapa telapak tangan yang menahan kepalanya itu menjadi panas sekali. Dia berusaha menarik kepalanya yang botak, namun alangkah kagetnya ketika merasa betapa botaknya itu lengket pada telapak tangan lawan. Dan panasnya tak dapat dia menahannya lebih lama, seakan-akan botaknya ditempel arang merah!

Dia mulai mengerling ke luar restoran dan tanpa malu-malu lagi mulutnya berteriak-teriak memanggil anak-anak buahnya agar membantunya melawan kakek yang aneh ini. Akan tetapi, begitu matanya mengerling ke luar, seketika wajahnya pucat. Apa yang dilihatnya?

Satu pun batang hidung anak buahnya sudah tidak kelihatan, bahkan sebuah perahunya pun tidak tampak lagi. Pantas saja banyak orang berdatangan menonton pertunjukan di dalam restoran, kiranya sekarang di luar restoran sudah tidak ada bajak laut lagi!

Apakah sebetulnya yang telah terjadi di luar restoran? Seperti telah kita ketahui, pada saat kepala bajak itu beraksi di depan Song-bun-kwi, para bajak laut itu sedang bertempur menyerbu para jagoan pengawal yang melawan mati-matian. Namun karena kalah banyak jumlahnya, para pengawal itu kena desak dan mulai mundur tak teratur. Mulai banyaklah berjatuhan korban di kedua pihak, terutama sekali di pihak para pengawal.

Pada saat itu terdengar bentakan mengguntur, disusul suara nyaring, "Keparat jahanam! Beginikah perbuatan kalian di sini? Dari rumah mengaku berdagang, kiranya melakukan perampokan. Bajak-bajak keparat, membikin malu saja kalian ini. Hayo pergi!"

Yang membentak ini adalah seorang laki-laki muda yang bertubuh tegap dan kokoh kuat. Wajahnya membayangkan kegagahan, bajunya terbuat dari kain tipis sehingga terbayang dadanya yang bidang. Rambutnya hitam panjang dan gemuk, digelung ke atas dengan model yang asing, dijepit di bagian atas dengan hiasan rambut perak.

Sebatang pedang yang panjang sekali dan bentuknya agak melengkung tergantung pada pinggangnya. Pedang ini sarung dan gagangnya berukir kembang-kembang indah, merah warnanya, dengan ronce-ronce merah pula, gagangnya agak panjang.

Para bajak laut kaget sekali mendengar suara bangsanya sendiri, karena pemuda itu tadi menggunakan bahasa Jepang. Sesudah menengok, mereka lebih kaget lagi karena dari dandanan, sikap, dan pedang pemuda itu, amat mudah diterka bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar Samurai, yaitu kaum pendekar pedang yang amat terkenal di Jepang.

Akan tetapi karena pendekar itu masih amat muda, paling banyak baru dua puluh tahun usianya, apa lagi karena bajak laut itu mengandalkan banyak teman dan bukan berada di daratan sendiri, mereka tidak takut.

"Berhenti dan pulang semua kataku!" Pendekar Samurai muda itu berseru lagi, suaranya benar-benar nyaring dan wibawa.

Ketika para bajak itu tidak mempedulikannya, tiba-tiba dia menggerakkan kedua tangan, sinar kemerahan berkelebat-kelebat menyambar bagaikan kilat di musim hujan. Terdengar pekik dan jerit di sana-sini dan di mana sinar kemerahan itu tiba, tentu ada bajak yang roboh dengan senjata mereka terlempar atau patah!

"Hayo siapa tidak menurut, akan kubasmi di sini juga. Memalukan orang-orang macam kalian ini!" lagi-lagi si pemuda berteriak. "Samurai Merah tak mengijinkan kalian merusak nama kehormatan bangsa!"

Melihat sepak terjang pemuda itu dan mendengar nama sebutan Samurai Merah, para bajak menjadi kaget dan ketakutan bukan main. Itulah nama pendekar yang amat terkenal kebengisannya terhadap kaum penjahat. Kawanan bajak itu segera membuang senjata masing-masing, menyambar tubuh teman-teman yang luka atau tewas, lalu berserabutan lari ke perahu masing-masing.

Dalam sekejap mata saja bajak-bajak itu sudah berlayar pergi, tidak merampok apa-apa hanya meninggalkan korban-korban di pihak pengawal dan saking bingung serta takutnya mereka tadi lupa bahwa pemimpin mereka, si Tengkorak Hitam masih tertinggal di dalam restoran!

Para pengawal kagum dan berterima kasih kepada pendekar Jepang itu. Akan tetapi berbareng dengan kaburnya para bajak laut, pendekar muda Jepang itu pun lenyap dari situ. Apakah dia ikut dengan perahu-perahu bajak atau tidak, tak seorang pun mengetahui karena tadi keadaannya kacau-balau.

Akan tetapi ketika orang-orang ini mendengar adanya pertempuran lain di dalam restoran, segera mereka mendatangi tempat ini. Ternyata mereka menjadi saksi akan pertandingan yang lebih menarik lagi karena lucu sekali. Juga para jagoan pengawal itu diam-diam kaget dan kagum ketika mengenal bahwa yang sedang dipermainkan kakek tua itu bukan lain adalah Tengkorak Hitam, si kepala bajak yang terkenal akan kekejaman, keganasan dan juga kesaktiannya.

Pertempuran di dalam restoran itu memang lucu sekali, terutama bagi para penonton yang semuanya membenci si kepala bajak. Tengkorak Hitam seperti seekor cecak terjepit pintu. Kepalanya yang botak menempel di telapak tangan kakek itu yang diluruskan ke depan.

Pukulan dan tendangannya gagal semua tidak mengenai sasaran, bahkan dia sekarang mulai meringis-ringis dan keluar air mata dari kedua matanya tanpa dia sengaja. Air mata ini keluar akibat saking nyerinya ketika dari telapak tangan itu keluar hawa panas seperti api yang membakar kepalanya yang botak. Akhirnya dia tak tahan lagi, menjerit-jerit dan melolong-lolong minta ampun dengan suaranya yang pelo (cedal).

"Ampun, orang tua gagah... ampun..."

Song-bun-kwi mendengus. Dia pun tidak suka dijadikan tontonan. "Aku sedang makan kau membikin ribut saja, menyebalkan sekali! Hayo lekas kau ambilkan tambahan arak!" Sekali dia mendorongkan lengannya, kepala bajak itu terlempar ke belakang menabrak bangku.

Dengan muka pucat serta tubuh menggigil kepala bajak yang biasanya ditakuti orang ini merangkak bangun, ada pun Song-bun-kwi dengan tenang duduk kembali ke bangkunya menghadapi meja makan. Dengan kening berkerut dia mengomel panjang pendek.

"Menyebalkan! Makanan ini sudah dingin semua, araknya sudah habis!"

Tiba-tiba saja para pelayan berdatangan membawakan arak dan masakan-masakan baru. Seperti main sulap saja tukang-tukang masak itu berlomba membuatkan masakan untuk kakek yang gagah perkasa ini.

Ada pun kepala bajak Si Tengkorak Hitam tadi sudah menjadi bulan-bulanan kemarahan para penduduk dan para jagoan pengawal. Dia diseret keluar kemudian digebuki sampai terkencing-kencing dan orang-orang baru menyudahi penyiksaan mereka setelah kepala bajak yang sudah membunuh ribuan itu tak bernapas lagi. Setelah itu barulah ramai-ramai mereka mengubur para korban dan merawat para pengawal yang terluka.

Sebentar saja kota pelabuhan itu menjadi ramai kembali seperti biasa. Kali ini memang sepatutnya mereka bergembira karena bukankah bajak laut-bajak laut yang menyerbu itu selain dapat dihancurkan, juga kepalanya sudah dapat ditewaskan? Jarang terjadi hal ini sehingga patut mereka bergembira.

Song-bun-kwi menoleh ke arah laki-laki yang tadi merupakan orang satu-satunya yang tidak lari dari restoran. Kebetulan laki-laki itu juga memandang kepadanya dan laki-laki itu cepat berdiri membungkuk dengan hormat lalu berkata,

"Saya merasa tunduk dan kagum sekali atas kegagahan locianpwe."

Song-bun-kwi mengerutkan keningnya yang mulai beruban, lalu dia melambaikan tangan, "Hayo kau ikut makan dengan aku. Meski pun kepandaianmu tidak seberapa, akan tetapi keberanianmu membikin kau cukup berharga untuk makan bersamaku."

Laki-laki itu tidak merasa tersinggung atau tak senang mendengar kata-kata yang angkuh ini. Cepat dia datang sambil membungkuk-bungkuk menyatakan terima kasihnya. Dengan lagak amat sopan dia lalu menarik bangku dan duduk di depan Song-bun-kwi.

Menyaksikan sikap merendah-rendah ini diam-diam Song-bun-kwi mendapat kesan tidak baik dan menganggap laki-laki ini sikapnya terlalu menjilat-jilat. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia lalu menyilakan laki-laki itu menikmati minuman dan masakan yang sudah disediakan oleh para pelayan yang merasa amat berterima kasih kepada dua orang itu karena sesungguhnya apa bila tidak ada dua orang tamu itu, tentu restoran mereka sudah habis dan rusak oleh para bajak.
cerita silat karya kho ping hoo

Akhirnya Song-bun-kwi merasa kenyang juga. Dengan lengan bajunya yang lebar dia mengusapi mulutnya dan tangan kirinya mengelus-elus perut. Laki-laki di depannya itu membungkuk sambil tersenyum dan berkata,

"Locianpwe yang gagah perkasa, nama saya Teng Cun Le dari kota raja, hanya seorang pelancong biasa. Bolehkah kiranya saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?"

Sebal hati Song-bun-kwi mendengar ini. Dia sudah menyesal dan kecewa mengapa dia tadi mengundang orang ini yang kiranya hanya mendatangkan kesebalan di hatinya dan mengganggu ketenteramannya seorang diri. Dengan gerakan tangan seakan tidak sabar dia menjawab, "Aku she Kwee... sudahlah."

Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan cepat berkata, "Kau tentu tahu akan semua bajingan di daerah pantai timur ini, bukan?"

Orang itu terkejut, gugup bagaimana harus menjawab. Tapi segera dia dapat menguasai hatinya. "Apakah yang Locianpwe maksudkan? Jika yang dimaksudkan bangsat-bangsat cilik tiada nama, tentu saja saya tidak kenal. Akan tetapi tokoh-tokoh besar di pantai timur ini banyak juga yang saya ketahui."

Wajah Song-bun-kwi yang biasanya laksana kedok itu kini membayangkan kegirangan, "Bagus, kalau begitu, hayo lekas kau tunjukkan di mana tempat tinggal si iblis bangkotan Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang?"

"Tentu saja aku tahu, Locianpwe. Akan tetapi pada saat ini hwesio tua itu tidak berada di kelentengnya. Saya mendengar dari teman-teman bahwa dia sering kali berkunjung dan tinggal di tempat lain..."

"Sayang sekali!" Song-bun-kwi membanting kakinya sehingga tanah dalam rumah makan itu tergetar.

Kembali laki-laki yang mengaku bernama Teng Cun Le itu tercengang kagum.

"Jauh-jauh kucari iblis bangkotan itu, hendak kuajak dia bertanding selama tiga malam, kiranya dia malah minggat dan kabur! Huh, Thai-lek-sin iblis tua bangka, apa kau sudah menduga akan kunjunganku ke sini lalu kabur? Sayang...!" Sesudah berkata demikian, Song-bun-kwi bangkit dari bangkunya, kemudian tanpa pamit kepada siapa pun juga pergi meninggalkan restoran itu!

Para pelayan berikut para pengurus semua mengantar sambil membungkuk-bungkuk dan mulut mereka berdendang, "Selamat jalan, pendekar tua yang gagah perkasa!"

Namun Song-bun-kwi tidak mempedulikan mereka dan tidak peduli pula bahwa dia tidak membayar makanan, tidak peduli betapa orang-orang memandangnya dengan kagum dan penuh hormat. Dia terus saja melangkah lebar keluar dari restoran, tidak mau tahu biar pun dia bisa melihat betapa lelaki yang mengajaknya bicara tadi melemparkan beberapa keping uang perak ke atas meja makan, dan betapa para pengurus restoran berusaha menolak pembayaran yang royal ini.

Namun sebal juga hati Song-bun-kwi ketika mendapat kenyataan bahwa Teng Cun Le itu mengejarnya sambil berlari-lari cepat! Setibanya di luar kota pelabuhan itu, Song-bun-kwi membalikkan tubuh, tangannya mendorong dan... Teng Cun Le roboh terjungkal!

Baiknya, meski marah Song-bun-kwi yang berwatak aneh itu masih ingat akan kegagahan orang ini ketika melawan para bajak tadi, maka tidak bermaksud mengambil nyawanya. Maka dia hanya merasa terdorong oleh tenaga raksasa sehingga orang itu tidak mampu mempertahankan diri lagi dan roboh. Dengan rasa kaget dan muka pucat Teng Cun Le merangkak bangun karena seketika dia merasa tubuhnya lemas dan kakinya menjadi lumpuh. Tahu-tahu kakek itu sudah berdiri di depannya dengan muka merah.

"Cacing busuk! Kau berani mengikuti dan mengganggu aku?" bentak Song-bun-kwi.

Melihat kemarahan kakek itu, Teng Cun Le tidak jadi berdiri, malah terus saja berlutut dan mengangguk-angguk. "Mohon beribu ampun, Locianpwe. Bukan sekali-kali maksud saya untuk mengikuti apa lagi mengganggu Locianpwe, hanya saya amat terdorong oleh rasa kagum… dan pula, teringat bahwa Locianpwe jauh-jauh datang mencari Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, agaknya saya dapat menunjukkan di mana adanya hwesio itu sekarang ini agaknya..."

"Hemm, kenapa tidak dari tadi kau bilang? Kalau tadi-tadi kau bilang, aku takkan curiga padamu dan takkan membikin kau roboh. Orang she Teng, mari tunjukkan aku di mana adanya hwesio bangkotan itu dan kau boleh ikut denganku untuk menonton pertempuran menarik antara aku dan dia."

Song-bun-kwi benar-benar gembira mendengar ada orang bisa mengantar dia kepada Thai-lek-sin. Bagus untungnya, baru saja makan lezat sekenyangnya dan sedikit ‘berlatih’ dengan Tengkorak Hitam bajak Jepang, dan sekarang dapat pula berkelahi sepuasnya melawan seorang tokoh setingkat!

Teng Cun Le dengan wajah berseri-seri segera bangkit dan berkata gembira, "Wah, kalau Locianpwe hanya ingin mencari lawan tangguh, kiraku kali ini Locianpwe akan mendapat kepuasan. Menurut pendengaran saya, sering kali Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang datang mengunjungi Pek-tiok-lim, tempat tinggal sahabatnya."

"Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih)? Di mana itu? Tempat tinggal siapa?" Song-bun-kwi mendesak gembira.

"Heran sekali bahwa Locianpwe belum mendengar tentang Pek-tiok-lim! Di sana adalah tempat tinggal seorang tokoh besar yang tak kalah terkenalnya bila dibandingkan dengan Thai-lek-sin. Dia itu adalah Sin-kiam-eng (Si Pendekar Pedang Sakti), ilmu pedangnya amat hebat dan anak perempuannya juga bukan main. Pendeknya, bila Locianpwe dapat bertanding melawan dia, tentu akan puas betul. Akan tetapi, saya benar-benar merasa ragu-ragu apakah saya akan mampu membawa Locianpwe ke sana."

"Kenapa?" Song-bun-kwi bertanya penasaran. Hatinya sudah panas mendengar orang ini memuji-muji majikan dari Pek-tiok-lim itu.

"Pek-tiok-lim adalah daerah yang penuh dengan rahasia. Jalan-jalannya sangat sukar dan kabarnya, orang yang memasukinya berarti mengantar nyawa karena jangan harap akan dapat keluar kembali dengan nyawa masih di badan."

Song-bun-kwi tak menjawab, tangan kanannya bergerak memukul dan kakinya menyapu. Serangan ini dia tujukan pada sebatang pohon besar, sebesar tubuh manusia batangnya dan sekali kena dihajar tangan dan kaki kakek itu, terdengar suara keras dan pohon itu seketika tumbang berikut akar-akarnya terjebol dari tanah. Dengan suara hiruk-pikuk luar biasa pohon itu roboh dan orang she Teng itu buru-buru melompat jauh karena khawatir tertimpa cabang-cabang pohon itu.

"Ha-ha-ha, apakah pohon-pohon bambu putih itu kuatnya melebihi pohon ini?"

Song-bun-kwi tertawa bergelak melihat orang itu ketakutan sampai mukanya pucat dan lidahnya terjulur keluar.

"Hebat... luar biasa... Locianpwe seperti malaikat...!" Teng Cun Le memuji.

Benar-benar baru sekali ini selama hidupnya dia melihat manusia kosen ini. Diam-diam dia merasa girang. "Saya percaya bahwa Locianpwe pasti akan sanggup menggempur Pek-tiok-lim!"

Teng Cun Le dengan girang lalu mengajak kakek itu berlari cepat menyusuri pantai timur itu menuju ke utara. Pek-tiok-lim itu terletak di dekat pantai Laut Po-hai, dan memang tempat ini sudah bertahun-tahun dijadikan tempat tinggal seorang tokoh ilmu pedang yang terkenal, yaitu murid pertama dari mendiang Raja Pedang Bu-tek-kiam-ong Cia Hui Gan.

Nama tokoh ini adalah Tan Beng Kui dan mempunyai julukan Sin-kiam-eng. Seperti telah disebut di bagian depan dari cerita ini, Tan Beng Kui ini merupakan kakak kandung dari ketua Thai-san-pai, dan bukan lain adalah ayah dari pada si dara lincah Tan Loan Ki yang sudah kita kenal baik itu.

Benarkah Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang sering kali datang ke Pek-tiok-lim? Kenyataannya tidak demikian! Sebetulnya tanpa disadarinya, Song-bun-kwi si tokoh yang ditakuti dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu itu terkena bujukan halus. Apakah kehendak Teng Cun Le dan mengapa dia melakukan hal ini?

Teng Cun Le sebenarnya adalah seorang mata-mata dari istana. Dia adalah seorang di antara banyak kepercayaan kaisar baru untuk melakukan penyelidikan ke daerah-daerah melihat reaksi para tokoh daerah atas pengangkatan diri Pangeran Kian Bun Ti menjadi kaisar, menggantikan kaisar tua yang meninggal dunia. Teng Cun Le ini mendapat tugas memata-matai daerah pantai timur. Tentu saja seorang yang sudah dipercayai tugas seperti ini mempunyai kepandaian yang cukup tinggi dan hal ini sudah terbukti ketika dia menyaksikan penyerbuan para bajak laut. Selain berkepandaian silat, juga orang yang diangkat menjadi mata-mata tentu saja orang yang cerdik dan memang Teng Cun Le ini cerdik sekali orangnya.

Beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan seorang dara lincah yang sangat menarik perhatiannya. Dara itu bukan lain adalah Loan Ki. Melihat seorang gadis muda seorang diri melakukan perjalanan, Teng Cun Le maklum bahwa gadis ini tentulah seorang gadis kang-ouw yang mempunyai kepandaian. Dia menjadi curiga dan diam-diam melakukan pengintaian.

Sama sekali dia tidak menduga bahwa gadis itu benar-benar amat lihai sehingga Loan Ki diam-diam tahu bahwa dirinya diintai orang! Dasar ia seorang anak yang memiliki watak nakal dan suka mempermainkan orang, maka sengaja gadis ini di dalam kamarnya membuka buntalannya, memamerkan bekal uang dan tiga buah mutiara Ya-beng-cu yang mengeluarkan cahaya di dalam gelap! Ia lakukan ini karena tahu bahwa di luar kamar ada orang itu yang selalu mengintainya selama ini!

Teng Cun Le menjadi terkejut dan gembira bukan main melihat tiga butir mutiara ini. Sebagai seorang kaki tangan kaisar, tentu saja dia mengenal mutiara itu yang tadinya menjadi penghias mahkota kuno yang telah hilang. Memang termasuk tugasnya untuk mencari jejak bekas pembesar Tan Hok karena menurut perintah rahasia yang dia terima, mahkota itu mengandung rahasia hebat dan harus dirampas kembali ke istana. Sekarang dia melihat mutiara-mutiara itu, tentu saja girangnya bukan kepalang. Jika ada mutiara itu tentu ada pula mahkotanya, dan kalau ada mahkotanya tentu pengkhianat Tan Hok ada pula.

Loan Ki yang nakal itu pura-pura tidak tahu bahwa ia selalu diikuti. Dengan enak-enakan ia malah berjalan pulang ke Pek-tiok-lim seperti sengaja menunjukkan kepada orang itu di mana tempat tinggalnya. Melihat betapa dengan berani mati orang itu menguntitnya terus memasuki Pek-tiok-lim, diam-diam dia tertawa geli dan sebentar saja dia lenyap di jalan rahasia dalam hutan wilayah ayahnya itu.

Celakalah Teng Cun Le. Hampir saja binasa di dalam hutan ini. Untungnya dia sudah mulai curiga dan sebelumnya sudah mencari keterangan mengenai keadaan di situ. Dia sudah mendengar tentang Pek-tiok-lim, tempat kediaman tokoh besar Sin-kiam-eng dan puterinya. Maka melihat keadaan hutan yang penuh bambu putih ini, dia segera sadar dengan tengkuk meremang bahwa yang dia ikuti selama ini adalah puteri Sin-kiam-eng. Hal inilah yang menolongnya karena dia segera meninggalkan hutan itu dan kabur tanpa berani menoleh lagi.

Demikianlah pengalaman Teng Cun Le. Hatinya masih merasa penasaran. Segera dia mengadakan hubungan dengan kurir yang berkuda cepat ke kota raja. Alangkah kagetnya pada saat dia mendengar berita bahwa memang mahkota kuno itu yang tadinya sudah terampas oleh panglima istana Souw Ki, sudah dirampas kembali oleh seorang gadis liar puteri Sin-kiam-eng.

Dia girang bercampur bingung. Girang karena tahu betul bahwa mahkota itu tentu berada di Pek-tiok-lim, namun bingung bagaimana dia dapat merampasnya kembali. Dia hendak mengirim utusan ke istana, mengusulkan agar secara resmi kaisar mengutus rombongan meminta kembali mahkota itu secara baik-baik dari Sin-kiam-eng. Kalau kaisar yang meminta, sudah tentu akan dikembalikan dan tidak akan terjadi sesuatu keributan. Andai kata Sin-kiam-eng berani menolak, berarti dia telah memberontak dan boleh saja digempur menggunakan pasukan.

Sambil menunggu keputusan, Teng Cun Le iseng-iseng mendatangi kota pelabuhan dan secara tidak disengaja bertemu dengan Song-bun-kwi. Dia masih belum dapat menduga siapa adanya kakek yang hebat ini, akan tetapi segera otaknya yang cerdik bekerja ketika mendapat kenyataan betapa kakek sakti ini seperti gatal-gatal tangannya hendak mencari lawan yang setingkat.

Maka, dia kini hendak mempergunakan kesaktian kakek ini untuk memasuki Pek-tiok-lim, menggunakan kesaktian kakek ini untuk merampas kembali mahkota itu. Dengan cara ini, selain lebih cepat juga semua pahala akan terjatuh ke dalam tangannya….

"Heh, keparat! Tua bangka gila dari mana yang berani mati merusak bambu peliharaan di Pek-tiok-lim...?!" bentak dua orang penjaga yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata pedang.

Tentu saja mereka ini marah sekali melihat betapa seorang kakek tinggi besar, sambil tertawa-tawa mencabut, menendang, serta melempar-lemparkan bambu-bambu putih di hutan itu begitu mudah seperti seorang mencabuti dan membuang-buang rumput kering saja!

Semenjak Pek-tiok-lim dimiliki oleh majikan mereka, jangankan manusia, malah setan pun kiranya tak akan berani merusak tanaman di situ. Ehh, tahu-tahu sekarang ada seorang kakek tua ini seperti seorang gila merusak tanaman dan di belakang kakek itu berdiri seorang laki-laki berpakaian mentereng yang tertawa-tawa juga.

Kakek itu bukan lain adalah Song-bun-kwi. Dia sudah mulai merusak bambu-bambu yang berada di luar hutan, dalam usahanya menyerbu Pek-tiok-lim untuk mencari Thai-lek-sin, menantangnya dan sekalian menantang pemilik hutan ini, yang menurut orang she Teng itu adalah seorang tokoh besar berjulukan Sin-kiam-eng. Sengaja Song-bun-kwi mencari perkara. Hatinya yang masih mengkal terbawa dari Min-san belum mencair dan dia mesti mendapatkan sesuatu untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya.

Melihat munculnya dua orang penjaga yang memakinya, kakek itu diam saja seperti tak mendengar dan tetap melanjutkan pekerjaannya merusak tanaman di situ. Tentu saja dua orang penjaga itu marah sekali. Sambil membentak dan memaki mereka menerjang kakek itu dengan kepalan tangan.

Akan tetapi biar pun tak kompak kakek itu bergerak menangkis atau memukul, tahu-tahu dua orang itu sendirilah yang terjengkang ke belakang dengan kepala benjol-benjol akibat terbanting ke atas tanah yang berbatu! Mereka kaget, heran berbareng marah. Sambil mengutuk keras mereka mencabut pedang.

"Kakek gila, kau sudah bosan hidup!" teriak mereka sambil menerjang, kini dua batang pedang itu menyambar dari kanan kiri.

Namun Song-bun-kwi terus saja merobohkan dan mencabuti bambu-bambu putih tanpa mempedulikan sambaran kedua pedang. Seperti juga tadi, dia tidak kelihatan bergerak menangkis atau mengelak apa lagi memukul, tapi tahu-tahu dua orang itu terjengkang ke kanan kiri dan pedang mereka terlepas dari tangan. Celakanya, kini mereka jatuh menyusup ke tumpukan bambu yang telah dicabut sehingga pakaian mereka menjadi robek semua. Tubuh mereka juga babak-bundas berdarah akibat tertusuk batang-batang bambu.

"Ha-ha-ha, anjing-anjing rendah. Apa mata kalian buta berani menyerang locianpwe ini? Lebih baik lekas panggil ke sini majikan kalian untuk bicara." Teng Cun Le menggunakan kesempatan ini untuk memancing keluar Sin-kiam-eng.

Dua orang itu merangkak bangun lalu tiba-tiba seorang di antara mereka meniup sebuah terompet kecil yang berbunyi nyaring. Song-bun-kwi terus saja melangkah maju sambil merusak pohon-pohon bambu di kanan kirinya. Teng Cun Le mengikuti jejak langkahnya, sama sekali tidak berani menyeleweng karena tahu bahwa di situ banyak tempat rahasia. Sebentar saja mereka telah memasuki hutan...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 15


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.