CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BUTA JILID 15
Tiba-tiba terdengar suara keras, tanah yang diinjak Song-bun-kwi melesak ke bawah dan tubuh kakek itu tergelincir masuk! Teng Cun Le menjadi pucat wajahnya. Baiknya tanah yang melesak ke bawah itu belum diinjaknya dan tepinya tepat berada di depan kakinya sehingga dia dapat menyaksikan betapa tubuh kakek tinggi besar itu tergelincir. Hebat dan ngerinya, dari bawah tanah lantas menyambar puluhan batang bambu runcing seolah-olah dilontarkan ke atas. Tentu saja tubuh kakek yang sedang tergelincir itu seperti dihujani bambu runcing dari bawah!
Akan tetapi Song-bun-kwi sama sekali tidak kaget, malah mengeluarkan suara ketawa mengejek. Kedua kakinya menendang ke kanan kiri, lengan bajunya juga mengebut ke sekeliling tubuhnya. Ketika empat buah bambu runcing yang tepat menyambar di bawah tubuhnya sudah mendekati kaki, dia malah menerima ujung bambu runcing itu dengan kedua kakinya!
Teng Cun Le hampir meramkan mata saking ngerinya karena apa bila kakek ini tewas, bukankah berarti dia sendiri juga terancam malapetaka? Akan tetapi, anehnya, bambu runcing empat buah itu sama sekali tidak menembus kaki si kakek, malah seperti tangan-tangan orang mendorong kakek itu mencelat kembali ke atas dan di lain saat kakek itu sudah melompati sumur besar yang terjadi karena tanah ambles itu!
Dari tepi lain, kakek itu menoleh kepadanya dan memberi isyarat supaya dia melompat. Teng Cun Le cepat menggunakan ginkang melompati sumur itu dan bergidiklah dia pada saat melihat betapa ujung-ujung bambu runcing itu tampak hitam kehijauan, tanda bahwa ujungnya sudah diberi racun!
Kini makin tebal kepercayaannya akan kelihaian si kakek. Dia kini dapat menduga bahwa kakek itu tadi sudah mempergunakan ginkang yang sangat luar biasa untuk menerima serangan bambu runcing, kemudian menggunakannya sebagai landasan untuk melompat ke atas. Betapa hebatnya! Menggunakan landasan benda runcing untuk mengenjot tubuh ke atas hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas tertinggi.
Diam-diam Teng Cun Le mulai menduga-duga siapa adanya kakek yang sangat sakti ini dan kadang-kadang dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Dia maklum bahwa kini dia telah memasuki pintu perjalanan yang amat berbahaya. Belum seratus langkah mereka maju, dari depan dan kanan kiri muncullah belasan orang bersenjata pedang atau tombak. Mereka segera mengurung dan salah seorang di antara mereka membentak,
"Kalian berdua menyerah saja untuk kami bawa menghadap majikan kami."
Teng Cun Le melirik dan melihat betapa orang-orang itu semakin banyak saja, juga kini beberapa orang muncul di belakangnya sehingga sekejap saja mereka telah dikurung oleh lebih dari tiga puluh orang yang dikepalai oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan kuat. Diam-diam dia bersiap sedia dan meraba gagang goloknya.
Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Teng Cun Le sambil berkata, "Kau bilang majikan Pek-tok-lim tokoh yang gagah? Huh, agaknya dia hanya orang kaya yang memelihara banyak anjing-anjing pemakan tahi belaka!"
Hebat hinaan ini. Empat orang penjaga tanpa diperintah pemimpinnya lantas membentak marah dan mengerjakan tombak mereka. Mereka adalah pemain tombak yang kuat sebab mereka menerima latihan dari majikan mereka sendiri. Ujung tombak-tombak itu tergetar saking besarnya tenaga yang menggerakkan ketika menusuk ke arah Song-bun-kwi dari empat jurusan.
"Tua bangka mau mampus masih amat sombong!" bentak seorang di antara mereka.
Melihat cara mereka menerjang dengan tombak, Teng Cun Le masih berdebar gelisah karena benar-benar kali ini puluhan orang yang mengurung mereka adalah orang-orang yang kuat dan tidak boleh dipandang rendah seperti halnya dua orang penyerang pertama tadi. Melihat getaran ujung tombak itu dia sendiri merasa sangsi apakah dia akan dapat menangkan empat orang lawan ini sekaligus. Akan tetapi dengan amat tenang sambil mengeluarkan suara mendengus, Song-bun-kwi menggerakkan kedua lengan bajunya. Hebat kesudahannya.
Terdengar suara pletak-pletak terpatahkannya gagang-gagang tombak itu. Mata tombak secara aneh dan cepat sekali menyambar ke arah tuan masing-masing. Empat orang itu memekik ngeri dan tak ada seorang pun di antara mereka yang dapat membebaskan diri dari serangan mata tombak mereka sendiri itu yang menancap ke dada atau perut mereka sampai tak nampak lagi. Keempatnya lalu roboh terjengkang, berkelojotan dan sebentar kemudian tak bergerak lagi untuk selamanya.
Hebat akibat sepak terjang kakek ini. Teng Cun Le sendiri sampai mengkirik ngeri dan memandang dengan mata terbelalak. Celaka, pikirnya, tidak dinyana sama sekali bahwa kakek ini begini ganas, sekali turun tangan lantas membunuh empat orang.
Maksudnya memancing kakek itu ke Pek-tiok-lim sebetulnya hanya hendak dia ‘boncengi’ saja, dan kepandaian kakek ini hendak dia gunakan untuk memaksa Sin-kiam-eng agar mengembalikan mahkota kuno. Siapa kira sekarang kakek itu agaknya hendak berpesta seperti tadi di restoran, kalau tadi berpesta makan minum, sekarang hendak berpesta membunuhi orang. Kalau begini caranya, kecil harapannya untuk minta kembali mahkota, karena perkelahian ini akan mengakibatkan permusuhan hebat dan dia mau tak mau akan terlibat di dalamnya. Celaka sekali!
Memang benar apa yang dikhawatirkan oleh Cun Le itu. Para anak buah Sin-kiam-eng menjadi kaget dan marah bukan main ketika menyaksikan tewasnya empat orang teman mereka. Sambil berteriak-teriak mereka lalu serentak menyerbu dan di lain saat terjadilah pertempuran hebat. Song-bun-kwi dikeroyok oleh puluhan orang, dipimpin oleh empat orang gagah itu yang hebat pula ilmu pedangnya. Akan tetapi, Song-bun-kwi melayani meraka sambil tertawa bergelak-gelak seperti seorang anak kecil mendapat permainan bagus.
Harus diketahui bahwa Song-bun-kwi ini dahulu merupakan manusia berwatak iblis yang amat jahat dan kejam di samping perangainya yang aneh. Kesukaannya hanya satu, yaitu berkelahi dan mengalahkan orang lain. Maka tidak aneh kalau kini, dalam kemarahannya terhadap cucunya, dia pergi dengan tangan dan hati gatal-gatal untuk sengaja mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Tentu saja dia merasa kurang gembira kalau bertemu dengan lawan yang rendah tingkat kepandaiannya, dan barulah hatinya bergembira kalau bertanding melawan jagoan yang setingkat. Makin kosen lawannya, makin gembiralah hatinya. Oleh karena sifat yang aneh ini pula maka dia mati-matian mencari Thai-lek-sin.
Kasihan sekali para pengeroyok itu. Mereka seperti serombongan nyamuk menyerang api. Siapa dekat dengan kakek itu pasti roboh, kalau tidak terus tewas tentu luka-luka. Siapa yang sudah roboh tidak akan dapat bangun untuk mengeroyok kembali karena luka yang dideritanya tentu patah tulang!
Sambil dengan enaknya membabati para pengeroyoknya bagai orang membabat rumput, kakek itu berseru berulang kali, "Panggil si tua bangka Thai-lek-sin ke sini, ha-ha-ha-ha, dialah lawanku, panggil dia ke sini...!"
Sementara itu, Teng Cun Le hanya berdiri di belakang Song-bun-kwi, siap dengan golok di tangannya tapi dia tidak menggerakkan golok kalau tidak diserang orang. Akan tetapi para pengeroyok juga tidak ada yang menyerangnya karena melihat betapa orang ini tidak mengamuk seperti kakek itu. Pada saat anak buah Pek-tiok-lim itu kocar-kacir dihajar kedua lengan baju Song-bun-kwi yang amat lihat, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya, kemudian segulung sinar pedang menyambar ke arah Song-bun-kwi.
"Ha-ha-ha, bagus!" Kakek itu yang terkejut sedetik, tertawa sambil cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri dari pada ancaman pedang yang gerakannya amat kuat ini. Girang sekali hatinya bahwa akhirnya muncul seorang lawan yang tangguh ilmu pedangnya.
Ketika dia sudah turun lagi ke atas tanah, dia memandang dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tegap bermuka tampan dan gagah, berdiri di depannya dengan sebatang pedang di tangan. Sikap laki-laki ini gagah dan berwibawa. Sepasang matanya mencorong laksana mata harimau, tarikan mulutnya membayangkan kekerasan dan keangkuhan hati. Pakaiannya berbentuk sederhana tapi terbuat dari pada sutera halus. Sungguh seorang yang nampak gagah perkasa dan mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu silat yang tinggi.
Sebaliknya, laki-laki itu ketika melihat wajah Song-bun-kwi, segera kelihatan terkejut dan cepat menegur, "Kiranya Song-bun-kwi Kwee lo-enghiong yang datang! Kwee lo-enghiong, apa artinya ini semua? Mengapa kau orang tua datang-datang mengamuk dan membunuh banyak anak buah dan muridku?"
Song-bun-kwi juga kaget saat mengenal majikan Hutan Bambu Putih ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang berjuluk Sin-kiam-eng itu kiranya adalah Tan Beng Kui, kakak kandung Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Akan tetapi sebagai seorang tokoh aneh yang tak mau kalah dan selalu membawa kehendak sendiri, dia tertawa bergelak dan berkata,
"Ha-ha-ha, kaukah majikan Pek-tiok-lim? Sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. Hayo kau suruh Thai-lek-sim si tua bangka itu keluar, biar melayani aku bertanding seribu jurus. Atau kau juga gatal tangan hendak memamerkan ilmu pedangmu? Ha-ha-ha, kalau begitu biar aku mewakili Beng San memberi hajaran kepadamu!"
Yang amat sangat kaget hatinya adalah Teng Cun Le. Ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Song-bun-kwi, dia merasa semangatnya seakan terbang melayang meninggalkan raganya. Tentu saja dia sudah pernah, bahkan sering kali, mendengar nama Song-bun-kwi sebagai iblis yang ganas. Siapa kira sekarang dia telah main-main dengan iblis itu! Meremang bulu tengkuknya seketika karena maklum bahwa main-main dengan seorang terkenal sebagai iblis ini sama artinya dengan main-main dengan nyawanya sendiri!
Tapi ketika mendengar betapa iblis tua itu malah menantang Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, hatinya lega juga. Sudah terlanjur dia main-main, biarlah dia lanjutkan dan membonceng kesaktian kakek iblis itu demi keuntungannya. Sejak tadi ia berdiam diri, ini penting sekali. Andai kata Song-bun-kwi kalah, dia akan mudah mencari alasan agar tidak dipersalahkan oleh Sin-kiam-eng berdasarkan tidak ikutnya mengamuk melawan anak buah Pek-tiok-lim. Sebaliknya kalau Song-bun-kwi menang, dia akan menggunakan kemenangan kakek itu untuk minta kembali mahkota kuno dari tangan orang gagah itu.
Sementara itu, Sin-kiam-eng sudah menjadi marah sekali begitu dia mendengar jawaban Song-bun-kwi tadi. Dengan sikap kereng dan mata berapi dia membentak. "Tua bangka she Kwee, kau benar-benar iblis yang tidak aturan. Kalau hendak mencari Thai-lek-sin yang tidak berada di sini, atau hendak menantang aku mengadu kepandaian, kenapa mesti pakai membunuh-bunuhi orang-orangku yang tidak tahu apa-apa? Apakah ini perbuatan orang gagah?"
"Ha-ha-ha-ha, Tan Beng Kui bocah sombong. Kalau mereka tidak mengeroyok aku si tua bangka, apakah mereka itu bisa mampus sendiri? Hayo lekas keluarkan ilmu pedangmu, ha-ha-ha, sudah lama benar aku merindukan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut, ilmu pedang yang berhasil dipakai oleh murid untuk membunuh gurunya sendiri itu, ha-ha-ha!"
Ucapan Song-bun-kwi benar-benar menusuk ulu hati Beng Kui. Seperti dikisahkan dalam cerita Rajawali Emas, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini dulu adalah murid kepala dari Raja Pedang Cia Hui Gan dan raja pedang ini tewas karena pengeroyokan beberapa orang tokoh tinggi, di antaranya juga Song-bun-kwi Kwee Lun sendiri. Dan yang paling hebat, murid kepala itu juga ikut mengeroyok gurunya!
Seketika wajah Beng Kui menjadi pucat bukan main. Dengan mata berapi dia membentak, "Song-bun-kwi iblis laknat! Kaulah seorang pengeroyok guruku itu dan biarlah sekarang aku menebus dosa terhadap guru dengan membalaskan sakit hatinya kepadamu." Sinar berkilauan menyambar dan tahu-tahu pedang di tangan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui telah menyerbu ke arah Song-bun-kwi.
Kaget juga iblis tua ini menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawannya. Dalam beberapa tahun ini agaknya Tan Beng Kui tidak menganggur saja, akan tetapi memperdalam ilmu pedangnya sehingga makin cepat dan kuat, mengandung hawa serangan yang dahsyat. Song-bun-kwi cepat mengibaskan ujung lengan bajunya menangkis sinar pedang yang demikian cepat mengancam dadanya.
"Brettt!"
Ujung lengan baju itu terbabat putus, akan tetapi Sin-kiam-eng sendiri terhuyung mundur dua langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibayangkan betapa hebatnya dua orang yang kini sedang berhadapan ini. Keduanya merupakan jago-jago tua yang tak boleh dipandang ringan.
Kaget hati Song-bun-kwi. Akan tetapi segera dia kegirangan sekali karena walau pun dia tidak bertemu dengan Thai-lek-sin, kiranya jago pedang ini cukup tangguh untuk dia ajak berlatih. Memang bagi seorang tokoh bangkotan seperti Song-bun-kwi, bertempur hanya merupakan latihan belaka dan luka atau pun tewas dalam latihan ini bukanlah apa-apa baginya, lumrah saja!
Terbabat putus ujung lengan bajunya, Song-bun-kwi malah tertawa bergelak. Tahu-tahu sebatang pedang sudah berada pada tangannya dan segera terjadilah pertandingan yang hebat bukan main. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Tan Beng Kui merupakan ilmu pedang keturunan yang bersumber pada Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam pula, yaitu ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Bidadari). Akan tetapi karena ilmu pedang ini dahulunya khusus diciptakan untuk pemain wanita, maka oleh Beng Kui telah diubah dan ditambah sedemikian rupa sehingga ketika dia yang mainkan, dari sebuah ilmu pedang seperti tari-tarian yang amat indah, ilmu pedang ini berubah menjadi sebuah ilmu pedang yang sifatnya ganas serta sukar diikuti perubahan dan perkembangannya.
Pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang pecah ke sana ke mari seperti bunga api. Akan tetapi bagaikan bunga api, setiap pecahan atau letupan bunga api juga merupakan penyerangan ujung pedang yang akan dapat merobohkan lawan karena yang diserang selalu bagian-bagian tubuh yang lemah. Apa lagi kini menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, tentu saja Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tak berani main-main. Dia sengaja mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu simpanan yang dimilikinya.
Di lain pihak, Song-bun-kwi bukan seorang jagoan baru. Siapa yang tidak mengenai Si Setan Berkabung ini? Namanya dahulu menggegerkan kolong langit, dikenal oleh semua jagoan sejagat. Selain ilmu kepandaiannya beraneka macam dan hebat-hebat, juga pada akhir-akhir ini dia telah menemukan kitab yang mengandung inti pelajaran Yang-sin-kiam sehingga kalau dia boleh diumpamakan sebagai seekor singa, dengan mendapatkan ilmu Yang-sin-kiam ini dia seakan-akan mendapat sepasang sayap menjadi singa bersayap!
Begitu hebat kepandaian kakek ini sehingga amat jarang orang di dunia persilatan melihat dia bertempur menggunakan pedangnya. Biasanya, hanya dengan menggunakan senjata berupa sepasang ujung lengan bajunya saja, sukarlah lawan mengalahkan kakek sakti ini. Akan tetapi, menghadapi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan oleh Tan Beng Kui sekarang ini, tidak mungkin kakek sakti ini hanya melawan dengan kedua ujung lengan bajunya. Sin-kiam-eng terlampau kuat untuk itu, dan Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang pilihan di seluruh muka bumi ini, masih merupakan pemecahan dari ilmu sakti Im-yang Sin-kiam, karenanya tidak boleh dibuat main-main. Inilah sebabnya kenapa terpaksa kali ini Song-bun-kwi mengeluarkan pedangnya dan segera pula mainkan Yang-sin Kiam-sut untuk menghadapi ilmu pedang lawan.
Sesungguhnya, Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut masih satu sumber dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut. Keduanya bersumber dari inti sari Ilmu Im-yang Sin-hoat yang ratusan tahun yang lampau dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su. Hanya saja Sian-li Kiam-sut adalah ciptaan Pendekar Wanita Ang I Niocu menurut sumber itu, sedangkan Yang-sin Kiam-sut langsung datang dari Pendekar Sakti Bu Pun Su.
Sayangnya, Yang-sin Kiam-sut merupakan ilmu pedang tidak lengkap, karena lengkapnya adalah Im-yang Sin-kiam yang merupakan ilmu pedang gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam, yang berdasarkan pada dua jenis tenaga dalam tubuh, yaitu tenaga halus dan tenaga kasar, hawa dingin dan hawa panas. Seperti diketahui, ilmu pedang Im-yang Sin-kiam sekarang ini hanya dimiliki oleh ketua Thai-san-pai, yaitu Tan Beng San, dan malah sudah diturunkan oleh pendekar ini kepada Kwa Kun Hong setelah pemuda ini menjadi buta kedua matanya. Agaknya karena satu sumber inilah, maka pertandingan yang terjadi antara Sin-kiam-eng Tan Beng Kui dengan Song-bung-kwi Kwee Lun hebat luar biasa. Memang harus diakui bahwa menurut pertimbangan umum, tingkat kakek ini lebih tinggi dari pada tingkat Tan Beng Kui.
Namun selama beberapa tahun menyembunyikan diri setelah kalah oleh adik kandungnya sendiri, Tan Beng San, Tan Beng Kui tidak tinggal diam dan tekun memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga sekarang dalam menghadapi Song-bun-kwi, dia tidak kalah jauh dalam hal tenaga lweekang. Ia hanya masih kalah dalam pengalaman dan keuletan sebab jika kakek iblis ini diumpamakan daging adalah daging gerotan yang tidak akan menjadi empuk biar digodog selama tiga tahun juga!
Jurus demi jurus dikeluarkan oleh kedua orang jago kawakan itu, akan tetapi setiap jurus serangan selalu dapat dipunahkan oleh jurus pertahanan lawan. Pada mulanya Beng Kui berusaha mendobrak pertahanan lawan dengan mengandalkan tenaganya, menggunakan kekerasan untuk mencapai kemenangan. Pikirnya bahwa dia yang lebih muda tentu lebih bertenaga. Akan tetapi melesetlah perkiraannya karena kakek itu benar-benar makin tua makin kuat tenaganya, atau setidaknya tak pernah tenaganya berkurang sehingga pada saat pedang mereka bertemu, keduanya lantas tergetar, bunga api berpijar menyambar ke sana sini, dan telapak tangan mereka terasa sakit-sakit.
Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing. Mereka baru menjadi lega dan saling menyerang lagi setelah mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak karena benturan hebat itu. Sesudah beberapa kali tenaga besarnya membentur karang, Beng Kui tidak mau lagi menggunakan kekerasan. Dia mulai main halus mengandalkan kelincahan dan keindahan Sian-li Kiam-sut sambil mencari kesempatan serta lowongan. Namun, hebat pertahanan Song-bun-kwi dengan Yang-sin Kiam-sut-nya, malah kakek ini dapat balas menyerang tak kalah hebatnya.
Setelah lewat lima ratus jurus, terasalah bagi Beng Kui bahwa betapa pun juga, ia takkan mampu menangkan kakek sakti ini. Dia berseru keras dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang memusat dan terbang lurus menyerang ke arah dada lawan. Hebat sekali serangan ini yang merupakan jurus inti dari Sian-li Kiam-sut. Seakan-akan semua kehebatan dari ilmu pedang itu, semua kelincahan dan kekuatan, dipusatkan pada gerakan ini dan pedang didorong oleh tenaga serta semangat sepenuhnya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya!
"Bagus!" Song-bun-kui mau tak mau memuji lawannya karena memang jurus serangan ini hebat bukan main, hawa pedang mendahului dan terasa sangat dingin menusuk tulang sedangkan matanya sampai silau oleh sinar pedang lawan.
Untuk menyelamatkan dirinya, dia memutar pedangnya melindungi dada. Namun betapa kagetnya ketika gulungan sinar itu masih mampu menerobos perisai yang tercipta oleh pemutaran pedang itu, tahu-tahu hampir saja mencium dadanya. Cepat bagaikan kilat Song-bun-kwi membuang diri ke belakang sambil berseru keras dan mengibaskan lengan baju kiri.
"Brettttt!"
Lagi-lagi ujung lengan bajunya terbabat buntung, akan tetapi dia selamat dan mukanya berubah merah saking marahnya. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan lengking tinggi seperti orang menangis dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mengeluarkan senjata jimatnya yang puluhan tahun tidak pernah dikeluarkan, yaitu sebatang suling. Inilah ‘suling tangis’ yang dahulu setiap kali terdengar suaranya membuat penjahat-penjahat bagaikan setan jatuh bangun dan iblis tunggang langgang.
Kini Song-bun-kwi mengamuk seperti iblis itu sendiri. Pedang dan sulingnya menyambar-nyambar merupakan dua gulungan cahaya yang kadang-kadang berkumpul menjadi satu menyelubungi Beng Kui dari segala penjuru. Makin lama penyerangannya semakin hebat dan dahsyat dan makin lemahlah pertahanan Tan Beng Kui yang merasa terkejut bukan main.
Beng Kui tak menyangka bahwa suling di tangan kiri kakek itu tak kalah hebatnya dengan pedang yang berada di tangan kanan. Dia merasa seakan-akan dikeroyok oleh dua orang lawan. Seorang Song-bun-kwi masih mampu dia hadapi, tapi dua orang Song-bun-kwi...? Terlalu banyak dan terlalu kuat baginya. Dia pun mengeluh dan maklum bahwa terhadap seorang lawan seperti kakek ini tidak ada kata ampun, tidak ada istilah mundur, yang ada hanya menang atau mati.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang amat ringan gerak-geriknya, disusul bentakan yang nyaring merdu, "Berhenti dulu! Tahan senjata!"
Tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis muda dengan pedang di tangan, seorang gadis yang cantik manis, lincah, tabah. Dara lincah ini bukan lain adalah Loan Ki. Namun terhadap bentakan seorang dara muda seperti Loan Ki ini, Song-bun-kwi mana mau peduli? Tentu saja Tan Beng Kui tidak dapat menahan senjata sepihak, karena hal ini berarti dia akan celaka. Kalau kakek itu tidak menghendaki berhenti, bagaimana dia bisa menghentikan pertempuran yang mati-matian itu? Memang dia ingin sekali menghentikan pertandingan, karena dia merasa lelah setelah bertanding selama lima ratus jurus lebih!
"Ihh, Kakek Song-bun-kwi ternyata namanya saja yang besar. Orangnya sih begitu-begitu saja, malah curang dan pengecut! Kalau tidak begitu masa menggunakan kesempatan menghina orang lain? Agaknya kalau berhenti sebentar saja lalu khawatir kalah. Hi-hi-hik, inikah tokoh nomor satu dari barat?"
Tan Beng Kui terkejut, juga para anak buahnya yang mendengar ucapan ini. Alangkah nekatnya Loan Ki, alangkah beraninya menghina seperti itu terhadap seorang iblis seperti Song-bun-kwi. Tentu saja kakek itu sendiri pun mendengar semua ucapan Loan Ki. Mendadak dia mengeluarkan suara gerengan laksana harimau, tubuhnya melayang cepat sekali ke arah Loan Ki. Gadis itu kaget sekali, menggerakkan pedangnya, tapi tahu-tahu pedangnya terpental jauh dan kakek itu sudah berdiri di hadapannya sambil menodong batang lehernya dengan pedang!
"Bocah bermulut busuk!" Song-bun-kwi memaki. "Apa kau bilang tadi?"
Beng Kui pucat mukanya. Dia merasa takkan mampu melindungi puterinya yang ditodong sedemikian rupa oleh kakek yang lihai ini. Dia hanya bisa berteriak, "Song-bun-kwi, jangan layani bocah. Lepaskan anakku dan hayo kita lanjutkan pertempuran seribu jurus lagi!"
Ucapan ini benar saja membuat Song-bun-kwi meragu dan menurunkan pedang yang tadi ujungnya menodong leher Loan Ki. "Anakmu terlalu lancang mulut..." dia mengomel.
Loan Ki mencebirkan bibirnya yang kecil merah, lalu berkata, "Biarlah Ayah, biar saja dia ini mendengarkan ucapanku lebih dulu. Setelah mendengar ucapanku, baru aku tantang dia bertempur sampai sepuluh ribu jurus. Ehh, tua bangka, kau berani tidak?"
"Setan cilik! Tidak berani padamu lebih baik mampus!"
"Nah, kalau begitu mampuslah, sebab kau tidak berani mendengarkan kata-kataku. Berani tidak mendengarkan kata-kataku?"
Song-bun-kwi membanting-banting kaki. Tangannya gatal-gatal untuk sekali menggaplok menghancurkan kepala cantik yang memanaskan hatinya ini.
"Buka bacotmu, lekas kau mau bilang apa jangan banyak tingkah!"
Loan Ki tersenyum dan memainkan matanya yang jeli, mengerling ke arah Teng Cun Le yang menjadi tidak enak hatinya ketika mengenal gadis yang mempunyai mutiara-mutiara hiasan mahkota kuno itu. "Kakek Song-bun-kwi, seorang tokoh tua macam kau ini mana pantas menurunkan tangan kepada seorang bocah seperti aku? Nah, dengarlah omonganku. Jika kau tidak menjawab dengan semestinya, mulai sekarang ini aku yang masih kanak-kanak akan menganggap bahwa semua nama besarmu kosong melompong belaka, bahwa mungkin kau Song-bun-kwi palsu karena yang tulen bukan macam begini tingkahnya..."
"Cukup, lekas bicara! Setan!" Song-bun-kwi membentak.
Loan Ki meleletkan lidahnya. "Waduh galaknya, kalau begitu kau agaknya yang tulen, bukan pengecut, bukan iblis curang. Kakek Song-bun-kwi, kau katanya seorang pendekar gagah segala jaman, kenapa hari ini melakukan perbuatan begini memalukan, menyerbu tempat tinggal ayahku dan membunuhi orang-orang kami tanpa alasan? Memusuhi orang tanpa punya alasan hanyalah perbuatan manusia rendah dan sepanjang pendengaranku, Song-bun-kwi si iblis tua sama sekali bukanlah orang rendah! Nah, jawab, mengapa kau melakukan semua ini, memusuhi ayahku tanpa sebab?"
Dengan cemberut Song-bun-kwi terpaksa menjawab karena kalau dia tidak menjawab, sama saja artinya dengan mengakui bahwa dia seorang pengecut, curang dan manusia rendah! Dia boleh jadi lihai sekali dalam ilmu silat, namun dalam hal silat kata-kata mana dia becus melawan Loan Ki si dara lincah yang amat cerdik dan nakal ini?
"Bocah setan jangan coba bicara pokrol-pokrolan kepadaku. Aku datang ke sini hendak mencari si tua bangka Thai-lek-sin, tapi orang-orangmu tidak tahu aturan mengeroyokku. Mereka mampus karena tak ada kepandaian, kenapa salahkan aku? Ayahmu merupakan lawan yang lumayan, kenapa selagi kami berdua sedang enak-enak saling gebuk untuk menentukan siapa lebih kuat, kau datang-datang mengacau? Heh, Tan Beng Kui, apa kau tidak bisa jewer telinga anakmu yang cerewet ini? Jewer dan usir ia, mari kita bertempur terus!"
Akan tetapi Loan Ki mana mau habis sampai di situ saja? Anak ini terlalu cerdik hingga ia tahu betul bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, ayahnya tentu akan celaka. Sebelum ayahnya yang juga gemar bertanding itu terbujuk oleh lawan, ia mendahului dengan suara nyaring,
"Kakek tua, kau benar-benar pandai mencari alasan! Selama hidupku belum pernah aku melihat tua bangka berjuluk Thai-lek-sin di tempat ayah ini, dan sekarang kau menyebut namanya untuk alasan perbuatanmu mengacau di sini! Huh, siapa sudi untuk kau akali? Benar-benar tak kusangka bahwa jagoan tua tenar Song-bun-kwi ternyata hanya seorang tukang bohong belaka!"
"Bocah, jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan! Aku tak menggunakan alasan kosong. Orang she Teng ini yang bilang bahwa aku akan dapat menemukan Thai-lek-sin di sini. Betul tidak, orang she Teng?!" bentaknya sambil menoleh ke arah Teng Cun Le yang menjadi pucat dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi terpaksa dia menjawab dengan kepalanya mengangguk-angguk dan bibirnya berkata lirih.
"...aku mendengar di luaran begitu... ehh... Thai-lek-sin sering ke sini..."
Tiba-tiba Loan Ki tertawa nyaring dan menudingkan telunjuknya kepada Teng Cun Le, lalu berkata kepada Song-bun-kwi, "Wah, kakek tua goblok Song-bun-kwi, kau kena dipedayai orang! Nanti dulu, aku hendak bertanya, pernahkah kau mendengar adanya anjing-anjing penjilat? Nah, manusia ini adalah seekor di antara anjing-anjing penjilat. Dia orang dari kota raja, mudah diduga. Ia selalu mengikuti aku karena tertarik akan mutiara Ya-beng-cu yang kubawa. Dan dia telah menggunakan kau orang tua goblok untuk menyerbu ke sini karena dia sendiri mana mampu? He-he, Song-bun-kwi kakek bodoh, kau diperalat anjing ini masih tidak tahu."
Teng Cun Le bukan seorang bodoh. Dia tadinya kaget setengah mati mendengar semua kata-kata Loan Ki dan diam-diam dia mengeluh. Gadis ini benar-benar pandai bicara dan kakek yang sudah setengah pikun itu kalau sampai kena diakali oleh gadis ini, dialah yang akan celaka. Cepat dia bicara,
"Locianpwe, harap Locianpwe jangan mendengarkan ocehan gadis ini. Jelas ia berusaha menolong ayahnya yang tadi hampir kalah oleh Locianpwe dan sengaja hendak mengadu domba kita. Locianpwe, mari kita gempur orang-orang ini, Locianpwe lanjutkan menghajar Sin-kiam-eng dan serahkanlah gadis itu kepada saya, saya sanggup menghajar kekurang ajarannya."
Sambil berkata demikian, Teng Cun Le menggerakkan goloknya hendak menyerang Loan Ki.
"Tunggu dulu dan dengar kata-kataku sampai habis!" Loan Ki menjerit. "Kalau tidak mau mendengarkan, itu tandanya kau sengaja memperalat Song-bun-kwi!"
Terpaksa Teng Cun Le menahan goloknya karena kalau dia teruskan khawatir kalau-kalau kakek itu kena diakali omongan pancingan ini.
"He, orang she Teng. Kau seorang laki-laki, hayo jawab betul tidak kau sudah mengikuti aku sejak beberapa hari yang lalu dan bahwa kau mengincar tiga butir mutiaraku atau... mungkin juga kau ingin mengetahui tentang sebuah mahkota? Jawab!"
Teng Cun Le sudah tak bisa mundur lagi, terutama karena dia melihat Song-bun-kwi amat memperhatikan percakapan itu. "Memang betul. Kau telah membawa tiga butir mutiara yang tadinya menghias mahkota yang dicuri dari istana kaisar. Sudah semestinya kau mengembalikan mahkota itu padaku untuk kubawa kembali ke kota raja!"
"Bagus, manusia she Teng! Kau hendak merampas mahkota dari kami? Apa kau berani melawan ayah dan aku?" tantangnya.
Tentu saja Teng Cun Le menjadi sibuk sekali. Tak disangkanya gadis itu akan memutar mutar omongan sedemikian rupa sehingga dia selalu terdesak. Akan tetapi dia pun bukan bodoh, maka dia pun segera menjawab berani. "Tentu saja berani karena Kwee-locianpwe tentu akan membantuku menghadapi ayahmu yang memang patut menjadi lawannya."
"Uhu-hu, sekarang mengertikah kau, kakek Song-bun-kwi? Kau dengar sendiri bahwa dia ini adalah seekor anjing penjilat kaisar dan kau telah dibodohinya, diperalat olehnya. Agar kau mau diperalat dan mau menyerbu ke sini, dia membohongimu dengan pernyataan bahwa Thai-lek-sin berada di sini. Padahal tua bangka Thai-lek-sin itu melihat pun aku belum pernah. Nah, tidak benarkah aku apa bila aku bilang bahwa Song-bun-kwi si jago kawakan itu ternyata sekarang mudah saja dikempongi oleh seekor anjing penjiiat kaisar? Hi-hik!" Dengan gaya nakal sekali Loan Ki menyambung hidungnya yang kecil mancung itu dengan jari-jari tangannya untuk mengejek Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi menjadi merah sekali mukanya. Racun yang disebar oleh Loan Ki melalui kata-katanya barusan telah mengenai hatinya. Dia seorang tokoh besar dari dunia bagian barat, dapat dengan mudah dikempongi oleh seorang anjing penjilat kaisar dan diperalat di luar kesadarannya. Benar-benar memalukan sekali. Dia menoleh dengan mata melotot kepada Teng Cun Le sambil memaki,
"Kau berani membawa aku untuk bantu menjadi perampok? Setan alas!"
"Tidak... Locianpwe... tidak...!"
Akan tetapi tangan Song-bun-kwi sudah bergerak. Teng Cun Le dalam takutnya nekat menangkis dengan goloknya, tapi akibatnya golok itu patah-patah dan tubuhnya melayang sampai sejauh lima meter lebih dan dia tak dapat bangun kembali karena dadanya sudah remuk tulang-tulangnya!
Hebat kejadian ini, namun Loan Ki memandang dengan senyum simpul saja sedangkan Tan Beng Kui yang memang wataknya angkuh tidak mau memandang siapa pun juga. Sejak tadi hanya berdiri tegak dengan pedang siap di tangan dan diam-diam dia mengatur napas serta memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi pertempuran lagi kalau perlu. Setelah membunuh orang yang mempermainkannya dengan sekali gempur, kakek itu menoleh pada Loan Ki, sepasang matanya memancarkan ancaman yang menyeramkan. Bulu tengkuk dara lincah itu meremang, akan tetapi dengan memberanikan hati ia tetap tersenyum-senyum seakan-akan kejadian mengerikan itu ‘bukan apa-apa’ baginya.
Beginilah sikap seorang cabang atas, pikirnya, dan dia tidak mau kalah dalam berlagak. Pandang matanya pada kakek itu seolah-olah menyuarakan tantangan, "kau mau apa?"
"Bocah, jangan kau ketawa-tawa dahulu. Memang bangsat she Teng itu sudah menipuku, maka dia layak mampus. Akan tetapi kau pun telah mempermainkan aku, jangan kira aku takut untuk memberi hajaran kepadamu di depan ayahmu!"
Gadis itu tertawa mengejek. "Kakek Song-bun-kwi, kau terlalu sombong. Agaknya kau tidak mau melihat tingginya langit dalamnya lautan. Ayah adalah seorang gagah yang tak mau begitu saja menanam permusuhan, kau tahu? Ayah sudah mendengar bahwa kau adalah seorang tokoh besar kawakan, maka tadi ayah telah menjaga muka dan namamu, kau tahu? Kalau ayah mau sungguh-sungguh melawanmu, dengan mudah dia akan dapat merobohkanmu, kau tahu?"
"Loan Ki! Omongan apa yang kau keluarkan ini?" Ayahnya menegur marah karena dia merasa betapa sekali ini gadisnya benar-benar keterlaluan. Masa seorang tokoh setingkat Song-bun-kwi mau di-‘kecap’-i seperti itu?
Benar saja, Song-bun-kwi sudah tak sanggup menguasai kemarahan hatinya lagi. Sambil menggerak-gerakkan pedang dan sulingnya, dia berkaok-kaok,
"Siluman! Setan! Iblis jejadian, neraka jahanam! Ayo kalian ayah dan anak maju bersama, biar kalian buktikan macam apa adanya Song-bun-kwi Kwee Lun!" Muka kakek itu merah sekali, sepasang matanya melotot, alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak terangkat tinggi. Marah betul-betul dia.
"Song-bun-kwi, jangan kira aku Sin-kiam-eng takut kepadamu. Hayoh!"
Beng Kui menantang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Dalam pertempuran tadi dia belum kalah. Memang dia agak kehabisan tenaga karena kalah ulet, akan tetapi setelah beristirahat tadi, tenaganya pulih kembali dan dia merasa sanggup menghadapi kakek yang sakti itu. Dia maklum bahwa memang sukar mencapai kemenangan, namun keangkuhannya melarang dia mengalah terhadap si kakek.
"Bagus! Mari bertanding sampai salah seorang di antara kita menggeletak!" Song-bun-kwi tertawa bergelak. "Kita berdua adalah lelaki sejati, mana sudi cerewet seperti perempuan tukang celoteh?" Dia mengejek Loan Ki dan membalikkan tubuh untuk menghampiri Tan Beng Kui.
Tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depannya. Sampai kaget Song-bun-kwi menyaksikan kegesitan gadis ini. "Kakek tua bangka pikun Song-bun-kwi! Kau benar-benar tidak bermalu! Takut melawan aku kau mau meninggalkan aku begitu saja dan menantang ayah. Huh, tak tahu diri. Ayah tadi mengalah dan kau masih tidak tahu? Kau tidak cukup pandai, tidak berharga menjadi lawan ayahku. Siapa orangnya yang sudah bisa mengalahkan aku, baru cukup berharga untuk bertanding sungguh-sungguh melawan ayah. Song-bun-kwi, apakah engkau berani melawan aku?"
"Loan Ki...!" mau tidak mau Beng Kui menegur puterinya.
Memang dia merasa bangga menyaksikan keberanian dan ketabahan Loan Ki, akan tetapi mendengar gadisnya itu menantang Song-bun-kwi, benar-benar keterlaluan! Apanya yang akan dibuat menang? Dia sendiri setengah mampus melawannya, masa sekarang Loan Ki hendak melawan kakek itu? Huh, biar dikeroyok sepuluh orang Loan Ki juga masih bukan lawan Song-bun-kwi!
Anaknya yang baru tiga hari pulang dari perantauannya ini memang benar-benar bersikap aneh, sama persis anehnya seperti ketika kemarin dia menegur karena gadis itu duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!
"Biarlah, Ayah, aku tanggung kakek yang sudah dekat lubang kubur ini tak akan mampu mengalahkan aku. Hei, dengar tidak kau Song-bun-kwi kakek tua renta? Atau barang kali kau sudah agak tuli? Perlu kuulangi kembalikah? Aku tadi menantangmu, beranikah kau melawan aku?"
Memang amat pandai Loan Ki bersilat lidah. Kali ini ia benar-benar berhasil memancing Song-bun-kwi sehingga kakek ini menjadi marah bukan main. Siapa orangnya yang tidak akan dongkol dan marah sekali, seorang kakek tokoh besar seperti dia mentah-mentah ditantang oleh seorang bocah perempuan?
Dengan gemas dia menyimpan kedua senjatanya dan membentak. "Bocah neraka! Kau patut menjadi cucuku, berani menantang seorang tua seperti aku? Apa kau sudah bosan hidup? Kalau aku tidak dapat membantingmu dalam sepuluh jurus, biar aku orang tua mengaku kalah!"
Song-bun-kwi siap menubruk gadis yang memanaskan hatinya itu.
"Hee, nanti dulu!" Loan Ki menyetop dengan isyarat tangannya. "Kenapa kau menyimpan pedangmu? Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu mengalahkan aku, tentu kau kelak memakai alasan bahwa kau bertangan kosong. Tak mau aku! Hayo kakek tua renta, kau boleh gunakan pedangmu dan aku akan menandingimu, bukan sepuluh jurus melainkan tiga puluh jurus. Tiga puluh jurus, kau dengar?"
"Iblis cilik, mulutmu benar jahat!" Song-bun-kwi membentak.
"Tapi kau yang menyebut diri tokoh besar dari barat, awas jangan kau menjilat ludahmu sendiri, ya? Kalau kau tidak bisa menangkan aku dalam tiga puluh jurus, kau harus pergi dari sini dan jangan mengganggu kami lagi. Ayah tidak mau bermusuh denganmu. Kalau tangan dan kepalamu merasa gatal-gatal ingin menerima gebukan, kau pergilah saja ke Ching-coa-to, nah, di sana banyak sekali setan-setan bangkotan yang sama kwalitasnya denganmu. Tetapi kau tentu tidak berani ya, memasuki Ching-coa-to. Huh, mana kau berani?"
"Cukup, jangan pentang mulut lagi, lihat seranganku!" Song-bun-kwi berseru dan mulai menyerang dengan tangan kosong.
Dia pikir sekali bergerak tentu akan berhasil menangkap gadis ini. Biar pun membunuh bagi Song-bun-kwi bukan apa-apa, namun dia tidak sudi membunuh seorang dara cilik seperti Loan Ki. Niatnya hendak menangkap gadis itu dan membantingnya di depan Tan Beng Kui sampai kelenger (pingsan) agar tidak banyak mengoceh lagi sehingga dia dapat melanjutkan pertandingannya melawan Sin-kiam-eng. Maka, begitu menyerang dia mencengkeram dengan tangan kiri ke arah pundak gadis itu sedangkan tangan kanannya mendahului membuat gertakan memukul ke arah pusar. Pukulan ini mendatangkan angin dan tentu akan membuat gadis yang masih pelonco itu kebingungan sehingga memudahkan tangan kirinya mencengkeram pundak.
Agaknya kalau penyerangan kakek sakti ini terjadi beberapa hari yang lalu saja, kiranya akan berhasil. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gadis lincah ini beberapa hari yang lalu telah mewarisi ilmu mukjijat dari Kwa Kun Hong, yaitu yang diberi nama dua puluh empat langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi). Maka melihat datangnya serangan yang hebat ini, tubuh Loan Ki terhuyung-huyung ke belakang seperti orang kena pukul.
Tan Beng Kui kaget sekali dan siap melompat untuk melindungi anaknya. Akan tetapi dia sangat heran mendengar seruan aneh kakek Song-bun-kwi karena ternyata bahwa kedua pukulannya itu hanyalah mengenai angin belaka! Dalam terhuyung ini ternyata gadis itu sudah berhasil menghindarkan diri secara aneh sekali. Kembali kakek Song-bun-kwi menerjang maju, kali ini malah sekaligus mengembangkan kedua lengannya hendak menerkam pinggang yang ramping itu untuk diangkat kemudian dibanting. Tapi aneh bin ajaib. Gadis yang masih terhuyung-huyung itu malah melangkah maju memapakinya. Pada saat kedua lengannya hampir berhasil menyingkap pinggang, tahu-tahu tubuh gadis itu miring seperti akan jatuh dan... sekali lagi berhasil lolos!
"Kakek tua bangka, sudah dua jurus. Hi-hik-hik!" berkata Loan Ki yang ternyata sudah melangkah ke kiri dan... berjongkok.
Kemarahan Song-bun-kwi menjadi-jadi. Dia mengira bahwa gadis itu tadi menggunakan kegesitannya dan sekarang mengejek. Mana ada orang berkelahi memasang kuda-kuda dengan berjongkok? Dia tidak mengerti bahwa memang sebetulnya begitulah kedudukan sebuah langkah dari Hui-thian Jip-te yang dipelajari Loan Ki dari Kwa Kun Hong. Ilmu langkah ini bukan lain merupakan sebagian dari ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun, maka sama sekali tak dikenal oleh Song-bun-kwi. Sambil mengeluarkan bentakan hebat dia menyerang Loan Ki yang masih berjongkok seperti orang mau buang air itu, kedua tangannya kini bergerak menjambak rambut.
Dengan tubuh masih berjongkok, kedua kaki Loan Ki main dengan gesitnya, sett-sett-sett dan... kembali Song-bun-kwi yang menerjangnya hanya dapat menjambak bau harum dari rambut hitam panjang itu.
"Jurus ke tiga, Kakek!" Loan Ki mengejek sambil tersenyum.
Kini dia sudah berdiri dengan tubuh membelakangi Song-bun-kwi, kaki kanan diangkat dengan tumit menempel paha kaki kiri, leher menoleh ke belakang dan berkedip-kediplah matanya kepada kakek itu, kedua tangannya dikembangkan, persis seperti seekor burung kuntul hendak terbang. Tan Beng Kui kaget dan heran bukan main melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dia sendirilah yang menjadi guru anaknya ini dan dia tahu betul bahwa tidak pernah dia mengajari gerakan-gerakan menggila seperti yang sedang dilakukan anaknya sekarang ini. Mana bisa dia mengajari kalau dia sendiri tidak mengenal dan tidak tahu akan gerakan-gerakan gila itu?
Siapakah yang main gila ini, Loan Ki ataukah Song-bun-kwi? Dia tidak percaya bahwa dengan gerakan-gerakan gila itu anaknya bisa menghindarkan serangan kakek itu hingga tiga kali dan sudah tentu si kakek yang main gila, pura-pura tidak dapat mengenai tubuh Loan Ki. Kalau memang main gila, apa pula kehendaknya? Ahh, jangan-jangan kakek itu sengaja berbuat demikian sambil menanti sampai sepuluh jurus atau tiga puluh jurus, kemudian merobohkan Loan Ki untuk membuat malu.
"Loan Ki, jangan kurang ajar! Kuda-kuda jurus apa itu pakai angkat-angkat sebelah kaki segala?" Tan Beng Kui membentak keras dengan maksud supaya Song-bun-kwi mengerti bahwa bukan dia yang mengajari gadisnya menggila seperti itu, karena betapa pun juga hatinya malu menyaksikan aksi anak gadisnya yang dianggapnya kosong melompong ini.
"Ayah, memang jurus ini mesti mengangkat sebelah kaki. Habis, apa yang bisa kulakukan untuk merubahnya? Kalau kedua kakiku kuangkat semua, tentu aku akan jatuh." Terang bahwa ucapan ini hanya kelakar saja untuk lebih memanaskan hati Song-bun-kwi. "Ini namanya burung bangau tidur, tapi sebetulnya tidak tidur, melainkan sedang memancing katak tua di belakangnya."
Song-bun-kwi menggereng seperti seekor beruang. Sekarang dia betul-betul menyerang Loan Ki, tidak seperti tadi lagi. Tadi dia hanya hendak menangkap dan membantingnya kelenger di depan Tan Beng Kui, tetapi sekarang dia menyerang untuk merobohkannya dengan pukulan berbahaya. Dia menyerang dari belakang dengan sangat hebatnya dan merasa yakin bahwa kali ini dia akan berhasil merobohkan Loan Ki.
"Ki-ji (anak Ki), awas...!" Tan Beng Kui terpaksa berseru saking kaget dan khawatirnya menyaksikan penyerangan dahsyat itu.
"Tidak usah khawatir, Ayah!" Gadis itu masih sempat membuka mulut, padahal ia kaget setengah mati.
Cepat-cepat ia mengeluarkan ilmu langkah mukjijat seperti yang ia pelajari dari Kun Hong. Hebat penyerangan Song-bun-kwi kali ini sehingga Loan Ki masih merasa angin pukulan menyerempet pundaknya, membuat kulit pundak di bawah pakaian itu terasa panas. Dia sampai mengeluarkan keringat dingin, namun dasar dia nakal, masih saja dia mengejek setelah pukulan itu gagal. "Sudah empat jurus!"
Sekarang Song-bun-kwi tak mau berlaku sungkan-sungkan lagi. Dia menerjang terus dan mengirim pukulan bertubi-tubi, malah mengisi pukulan-pukulannya dengan lweekangnya yang dahsyat sehingga rambut dan pakaian Loan Ki berkibar-kibar seperti diserang angin besar. Loan Ki juga tidak berani main gila lagi. Ia cukup maklum akan kesaktian kakek ini, maka ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk menjalankan langkah-langkah Hui-thian Jip-te guna menyelamatkan dirinya...
Akan tetapi Song-bun-kwi sama sekali tidak kaget, malah mengeluarkan suara ketawa mengejek. Kedua kakinya menendang ke kanan kiri, lengan bajunya juga mengebut ke sekeliling tubuhnya. Ketika empat buah bambu runcing yang tepat menyambar di bawah tubuhnya sudah mendekati kaki, dia malah menerima ujung bambu runcing itu dengan kedua kakinya!
Teng Cun Le hampir meramkan mata saking ngerinya karena apa bila kakek ini tewas, bukankah berarti dia sendiri juga terancam malapetaka? Akan tetapi, anehnya, bambu runcing empat buah itu sama sekali tidak menembus kaki si kakek, malah seperti tangan-tangan orang mendorong kakek itu mencelat kembali ke atas dan di lain saat kakek itu sudah melompati sumur besar yang terjadi karena tanah ambles itu!
Dari tepi lain, kakek itu menoleh kepadanya dan memberi isyarat supaya dia melompat. Teng Cun Le cepat menggunakan ginkang melompati sumur itu dan bergidiklah dia pada saat melihat betapa ujung-ujung bambu runcing itu tampak hitam kehijauan, tanda bahwa ujungnya sudah diberi racun!
Kini makin tebal kepercayaannya akan kelihaian si kakek. Dia kini dapat menduga bahwa kakek itu tadi sudah mempergunakan ginkang yang sangat luar biasa untuk menerima serangan bambu runcing, kemudian menggunakannya sebagai landasan untuk melompat ke atas. Betapa hebatnya! Menggunakan landasan benda runcing untuk mengenjot tubuh ke atas hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli silat kelas tertinggi.
Diam-diam Teng Cun Le mulai menduga-duga siapa adanya kakek yang sangat sakti ini dan kadang-kadang dia merasa bulu tengkuknya berdiri. Dia maklum bahwa kini dia telah memasuki pintu perjalanan yang amat berbahaya. Belum seratus langkah mereka maju, dari depan dan kanan kiri muncullah belasan orang bersenjata pedang atau tombak. Mereka segera mengurung dan salah seorang di antara mereka membentak,
"Kalian berdua menyerah saja untuk kami bawa menghadap majikan kami."
Teng Cun Le melirik dan melihat betapa orang-orang itu semakin banyak saja, juga kini beberapa orang muncul di belakangnya sehingga sekejap saja mereka telah dikurung oleh lebih dari tiga puluh orang yang dikepalai oleh empat orang yang kelihatannya gagah dan kuat. Diam-diam dia bersiap sedia dan meraba gagang goloknya.
Song-bun-kwi tertawa bergelak, lalu menoleh kepada Teng Cun Le sambil berkata, "Kau bilang majikan Pek-tok-lim tokoh yang gagah? Huh, agaknya dia hanya orang kaya yang memelihara banyak anjing-anjing pemakan tahi belaka!"
Hebat hinaan ini. Empat orang penjaga tanpa diperintah pemimpinnya lantas membentak marah dan mengerjakan tombak mereka. Mereka adalah pemain tombak yang kuat sebab mereka menerima latihan dari majikan mereka sendiri. Ujung tombak-tombak itu tergetar saking besarnya tenaga yang menggerakkan ketika menusuk ke arah Song-bun-kwi dari empat jurusan.
"Tua bangka mau mampus masih amat sombong!" bentak seorang di antara mereka.
Melihat cara mereka menerjang dengan tombak, Teng Cun Le masih berdebar gelisah karena benar-benar kali ini puluhan orang yang mengurung mereka adalah orang-orang yang kuat dan tidak boleh dipandang rendah seperti halnya dua orang penyerang pertama tadi. Melihat getaran ujung tombak itu dia sendiri merasa sangsi apakah dia akan dapat menangkan empat orang lawan ini sekaligus. Akan tetapi dengan amat tenang sambil mengeluarkan suara mendengus, Song-bun-kwi menggerakkan kedua lengan bajunya. Hebat kesudahannya.
Terdengar suara pletak-pletak terpatahkannya gagang-gagang tombak itu. Mata tombak secara aneh dan cepat sekali menyambar ke arah tuan masing-masing. Empat orang itu memekik ngeri dan tak ada seorang pun di antara mereka yang dapat membebaskan diri dari serangan mata tombak mereka sendiri itu yang menancap ke dada atau perut mereka sampai tak nampak lagi. Keempatnya lalu roboh terjengkang, berkelojotan dan sebentar kemudian tak bergerak lagi untuk selamanya.
Hebat akibat sepak terjang kakek ini. Teng Cun Le sendiri sampai mengkirik ngeri dan memandang dengan mata terbelalak. Celaka, pikirnya, tidak dinyana sama sekali bahwa kakek ini begini ganas, sekali turun tangan lantas membunuh empat orang.
Maksudnya memancing kakek itu ke Pek-tiok-lim sebetulnya hanya hendak dia ‘boncengi’ saja, dan kepandaian kakek ini hendak dia gunakan untuk memaksa Sin-kiam-eng agar mengembalikan mahkota kuno. Siapa kira sekarang kakek itu agaknya hendak berpesta seperti tadi di restoran, kalau tadi berpesta makan minum, sekarang hendak berpesta membunuhi orang. Kalau begini caranya, kecil harapannya untuk minta kembali mahkota, karena perkelahian ini akan mengakibatkan permusuhan hebat dan dia mau tak mau akan terlibat di dalamnya. Celaka sekali!
Memang benar apa yang dikhawatirkan oleh Cun Le itu. Para anak buah Sin-kiam-eng menjadi kaget dan marah bukan main ketika menyaksikan tewasnya empat orang teman mereka. Sambil berteriak-teriak mereka lalu serentak menyerbu dan di lain saat terjadilah pertempuran hebat. Song-bun-kwi dikeroyok oleh puluhan orang, dipimpin oleh empat orang gagah itu yang hebat pula ilmu pedangnya. Akan tetapi, Song-bun-kwi melayani meraka sambil tertawa bergelak-gelak seperti seorang anak kecil mendapat permainan bagus.
Harus diketahui bahwa Song-bun-kwi ini dahulu merupakan manusia berwatak iblis yang amat jahat dan kejam di samping perangainya yang aneh. Kesukaannya hanya satu, yaitu berkelahi dan mengalahkan orang lain. Maka tidak aneh kalau kini, dalam kemarahannya terhadap cucunya, dia pergi dengan tangan dan hati gatal-gatal untuk sengaja mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Tentu saja dia merasa kurang gembira kalau bertemu dengan lawan yang rendah tingkat kepandaiannya, dan barulah hatinya bergembira kalau bertanding melawan jagoan yang setingkat. Makin kosen lawannya, makin gembiralah hatinya. Oleh karena sifat yang aneh ini pula maka dia mati-matian mencari Thai-lek-sin.
Kasihan sekali para pengeroyok itu. Mereka seperti serombongan nyamuk menyerang api. Siapa dekat dengan kakek itu pasti roboh, kalau tidak terus tewas tentu luka-luka. Siapa yang sudah roboh tidak akan dapat bangun untuk mengeroyok kembali karena luka yang dideritanya tentu patah tulang!
Sambil dengan enaknya membabati para pengeroyoknya bagai orang membabat rumput, kakek itu berseru berulang kali, "Panggil si tua bangka Thai-lek-sin ke sini, ha-ha-ha-ha, dialah lawanku, panggil dia ke sini...!"
Sementara itu, Teng Cun Le hanya berdiri di belakang Song-bun-kwi, siap dengan golok di tangannya tapi dia tidak menggerakkan golok kalau tidak diserang orang. Akan tetapi para pengeroyok juga tidak ada yang menyerangnya karena melihat betapa orang ini tidak mengamuk seperti kakek itu. Pada saat anak buah Pek-tiok-lim itu kocar-kacir dihajar kedua lengan baju Song-bun-kwi yang amat lihat, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya, kemudian segulung sinar pedang menyambar ke arah Song-bun-kwi.
"Ha-ha-ha, bagus!" Kakek itu yang terkejut sedetik, tertawa sambil cepat berjungkir balik ke belakang untuk menghindarkan diri dari pada ancaman pedang yang gerakannya amat kuat ini. Girang sekali hatinya bahwa akhirnya muncul seorang lawan yang tangguh ilmu pedangnya.
Ketika dia sudah turun lagi ke atas tanah, dia memandang dan melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tegap bermuka tampan dan gagah, berdiri di depannya dengan sebatang pedang di tangan. Sikap laki-laki ini gagah dan berwibawa. Sepasang matanya mencorong laksana mata harimau, tarikan mulutnya membayangkan kekerasan dan keangkuhan hati. Pakaiannya berbentuk sederhana tapi terbuat dari pada sutera halus. Sungguh seorang yang nampak gagah perkasa dan mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu silat yang tinggi.
Sebaliknya, laki-laki itu ketika melihat wajah Song-bun-kwi, segera kelihatan terkejut dan cepat menegur, "Kiranya Song-bun-kwi Kwee lo-enghiong yang datang! Kwee lo-enghiong, apa artinya ini semua? Mengapa kau orang tua datang-datang mengamuk dan membunuh banyak anak buah dan muridku?"
Song-bun-kwi juga kaget saat mengenal majikan Hutan Bambu Putih ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang berjuluk Sin-kiam-eng itu kiranya adalah Tan Beng Kui, kakak kandung Tan Beng San ketua Thai-san-pai. Akan tetapi sebagai seorang tokoh aneh yang tak mau kalah dan selalu membawa kehendak sendiri, dia tertawa bergelak dan berkata,
"Ha-ha-ha, kaukah majikan Pek-tiok-lim? Sungguh kebetulan sekali bertemu denganmu di sini. Hayo kau suruh Thai-lek-sim si tua bangka itu keluar, biar melayani aku bertanding seribu jurus. Atau kau juga gatal tangan hendak memamerkan ilmu pedangmu? Ha-ha-ha, kalau begitu biar aku mewakili Beng San memberi hajaran kepadamu!"
Yang amat sangat kaget hatinya adalah Teng Cun Le. Ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Song-bun-kwi, dia merasa semangatnya seakan terbang melayang meninggalkan raganya. Tentu saja dia sudah pernah, bahkan sering kali, mendengar nama Song-bun-kwi sebagai iblis yang ganas. Siapa kira sekarang dia telah main-main dengan iblis itu! Meremang bulu tengkuknya seketika karena maklum bahwa main-main dengan seorang terkenal sebagai iblis ini sama artinya dengan main-main dengan nyawanya sendiri!
Tapi ketika mendengar betapa iblis tua itu malah menantang Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, hatinya lega juga. Sudah terlanjur dia main-main, biarlah dia lanjutkan dan membonceng kesaktian kakek iblis itu demi keuntungannya. Sejak tadi ia berdiam diri, ini penting sekali. Andai kata Song-bun-kwi kalah, dia akan mudah mencari alasan agar tidak dipersalahkan oleh Sin-kiam-eng berdasarkan tidak ikutnya mengamuk melawan anak buah Pek-tiok-lim. Sebaliknya kalau Song-bun-kwi menang, dia akan menggunakan kemenangan kakek itu untuk minta kembali mahkota kuno dari tangan orang gagah itu.
Sementara itu, Sin-kiam-eng sudah menjadi marah sekali begitu dia mendengar jawaban Song-bun-kwi tadi. Dengan sikap kereng dan mata berapi dia membentak. "Tua bangka she Kwee, kau benar-benar iblis yang tidak aturan. Kalau hendak mencari Thai-lek-sin yang tidak berada di sini, atau hendak menantang aku mengadu kepandaian, kenapa mesti pakai membunuh-bunuhi orang-orangku yang tidak tahu apa-apa? Apakah ini perbuatan orang gagah?"
"Ha-ha-ha-ha, Tan Beng Kui bocah sombong. Kalau mereka tidak mengeroyok aku si tua bangka, apakah mereka itu bisa mampus sendiri? Hayo lekas keluarkan ilmu pedangmu, ha-ha-ha, sudah lama benar aku merindukan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut, ilmu pedang yang berhasil dipakai oleh murid untuk membunuh gurunya sendiri itu, ha-ha-ha!"
Ucapan Song-bun-kwi benar-benar menusuk ulu hati Beng Kui. Seperti dikisahkan dalam cerita Rajawali Emas, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini dulu adalah murid kepala dari Raja Pedang Cia Hui Gan dan raja pedang ini tewas karena pengeroyokan beberapa orang tokoh tinggi, di antaranya juga Song-bun-kwi Kwee Lun sendiri. Dan yang paling hebat, murid kepala itu juga ikut mengeroyok gurunya!
Seketika wajah Beng Kui menjadi pucat bukan main. Dengan mata berapi dia membentak, "Song-bun-kwi iblis laknat! Kaulah seorang pengeroyok guruku itu dan biarlah sekarang aku menebus dosa terhadap guru dengan membalaskan sakit hatinya kepadamu." Sinar berkilauan menyambar dan tahu-tahu pedang di tangan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui telah menyerbu ke arah Song-bun-kwi.
Kaget juga iblis tua ini menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawannya. Dalam beberapa tahun ini agaknya Tan Beng Kui tidak menganggur saja, akan tetapi memperdalam ilmu pedangnya sehingga makin cepat dan kuat, mengandung hawa serangan yang dahsyat. Song-bun-kwi cepat mengibaskan ujung lengan bajunya menangkis sinar pedang yang demikian cepat mengancam dadanya.
"Brettt!"
Ujung lengan baju itu terbabat putus, akan tetapi Sin-kiam-eng sendiri terhuyung mundur dua langkah. Dari keadaan ini saja dapat dibayangkan betapa hebatnya dua orang yang kini sedang berhadapan ini. Keduanya merupakan jago-jago tua yang tak boleh dipandang ringan.
Kaget hati Song-bun-kwi. Akan tetapi segera dia kegirangan sekali karena walau pun dia tidak bertemu dengan Thai-lek-sin, kiranya jago pedang ini cukup tangguh untuk dia ajak berlatih. Memang bagi seorang tokoh bangkotan seperti Song-bun-kwi, bertempur hanya merupakan latihan belaka dan luka atau pun tewas dalam latihan ini bukanlah apa-apa baginya, lumrah saja!
Terbabat putus ujung lengan bajunya, Song-bun-kwi malah tertawa bergelak. Tahu-tahu sebatang pedang sudah berada pada tangannya dan segera terjadilah pertandingan yang hebat bukan main. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Tan Beng Kui merupakan ilmu pedang keturunan yang bersumber pada Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam pula, yaitu ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Bidadari). Akan tetapi karena ilmu pedang ini dahulunya khusus diciptakan untuk pemain wanita, maka oleh Beng Kui telah diubah dan ditambah sedemikian rupa sehingga ketika dia yang mainkan, dari sebuah ilmu pedang seperti tari-tarian yang amat indah, ilmu pedang ini berubah menjadi sebuah ilmu pedang yang sifatnya ganas serta sukar diikuti perubahan dan perkembangannya.
Pedangnya berubah menjadi segulung sinar pedang yang pecah ke sana ke mari seperti bunga api. Akan tetapi bagaikan bunga api, setiap pecahan atau letupan bunga api juga merupakan penyerangan ujung pedang yang akan dapat merobohkan lawan karena yang diserang selalu bagian-bagian tubuh yang lemah. Apa lagi kini menghadapi seorang tokoh besar seperti Song-bun-kwi, tentu saja Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tak berani main-main. Dia sengaja mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu simpanan yang dimilikinya.
Di lain pihak, Song-bun-kwi bukan seorang jagoan baru. Siapa yang tidak mengenai Si Setan Berkabung ini? Namanya dahulu menggegerkan kolong langit, dikenal oleh semua jagoan sejagat. Selain ilmu kepandaiannya beraneka macam dan hebat-hebat, juga pada akhir-akhir ini dia telah menemukan kitab yang mengandung inti pelajaran Yang-sin-kiam sehingga kalau dia boleh diumpamakan sebagai seekor singa, dengan mendapatkan ilmu Yang-sin-kiam ini dia seakan-akan mendapat sepasang sayap menjadi singa bersayap!
Begitu hebat kepandaian kakek ini sehingga amat jarang orang di dunia persilatan melihat dia bertempur menggunakan pedangnya. Biasanya, hanya dengan menggunakan senjata berupa sepasang ujung lengan bajunya saja, sukarlah lawan mengalahkan kakek sakti ini. Akan tetapi, menghadapi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang dimainkan oleh Tan Beng Kui sekarang ini, tidak mungkin kakek sakti ini hanya melawan dengan kedua ujung lengan bajunya. Sin-kiam-eng terlampau kuat untuk itu, dan Sian-li Kiam-sut adalah ilmu pedang pilihan di seluruh muka bumi ini, masih merupakan pemecahan dari ilmu sakti Im-yang Sin-kiam, karenanya tidak boleh dibuat main-main. Inilah sebabnya kenapa terpaksa kali ini Song-bun-kwi mengeluarkan pedangnya dan segera pula mainkan Yang-sin Kiam-sut untuk menghadapi ilmu pedang lawan.
Sesungguhnya, Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut masih satu sumber dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut. Keduanya bersumber dari inti sari Ilmu Im-yang Sin-hoat yang ratusan tahun yang lampau dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su. Hanya saja Sian-li Kiam-sut adalah ciptaan Pendekar Wanita Ang I Niocu menurut sumber itu, sedangkan Yang-sin Kiam-sut langsung datang dari Pendekar Sakti Bu Pun Su.
Sayangnya, Yang-sin Kiam-sut merupakan ilmu pedang tidak lengkap, karena lengkapnya adalah Im-yang Sin-kiam yang merupakan ilmu pedang gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam, yang berdasarkan pada dua jenis tenaga dalam tubuh, yaitu tenaga halus dan tenaga kasar, hawa dingin dan hawa panas. Seperti diketahui, ilmu pedang Im-yang Sin-kiam sekarang ini hanya dimiliki oleh ketua Thai-san-pai, yaitu Tan Beng San, dan malah sudah diturunkan oleh pendekar ini kepada Kwa Kun Hong setelah pemuda ini menjadi buta kedua matanya. Agaknya karena satu sumber inilah, maka pertandingan yang terjadi antara Sin-kiam-eng Tan Beng Kui dengan Song-bung-kwi Kwee Lun hebat luar biasa. Memang harus diakui bahwa menurut pertimbangan umum, tingkat kakek ini lebih tinggi dari pada tingkat Tan Beng Kui.
Namun selama beberapa tahun menyembunyikan diri setelah kalah oleh adik kandungnya sendiri, Tan Beng San, Tan Beng Kui tidak tinggal diam dan tekun memperdalam ilmu kepandaiannya sehingga sekarang dalam menghadapi Song-bun-kwi, dia tidak kalah jauh dalam hal tenaga lweekang. Ia hanya masih kalah dalam pengalaman dan keuletan sebab jika kakek iblis ini diumpamakan daging adalah daging gerotan yang tidak akan menjadi empuk biar digodog selama tiga tahun juga!
Jurus demi jurus dikeluarkan oleh kedua orang jago kawakan itu, akan tetapi setiap jurus serangan selalu dapat dipunahkan oleh jurus pertahanan lawan. Pada mulanya Beng Kui berusaha mendobrak pertahanan lawan dengan mengandalkan tenaganya, menggunakan kekerasan untuk mencapai kemenangan. Pikirnya bahwa dia yang lebih muda tentu lebih bertenaga. Akan tetapi melesetlah perkiraannya karena kakek itu benar-benar makin tua makin kuat tenaganya, atau setidaknya tak pernah tenaganya berkurang sehingga pada saat pedang mereka bertemu, keduanya lantas tergetar, bunga api berpijar menyambar ke sana sini, dan telapak tangan mereka terasa sakit-sakit.
Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing. Mereka baru menjadi lega dan saling menyerang lagi setelah mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak karena benturan hebat itu. Sesudah beberapa kali tenaga besarnya membentur karang, Beng Kui tidak mau lagi menggunakan kekerasan. Dia mulai main halus mengandalkan kelincahan dan keindahan Sian-li Kiam-sut sambil mencari kesempatan serta lowongan. Namun, hebat pertahanan Song-bun-kwi dengan Yang-sin Kiam-sut-nya, malah kakek ini dapat balas menyerang tak kalah hebatnya.
Setelah lewat lima ratus jurus, terasalah bagi Beng Kui bahwa betapa pun juga, ia takkan mampu menangkan kakek sakti ini. Dia berseru keras dan tiba-tiba pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang memusat dan terbang lurus menyerang ke arah dada lawan. Hebat sekali serangan ini yang merupakan jurus inti dari Sian-li Kiam-sut. Seakan-akan semua kehebatan dari ilmu pedang itu, semua kelincahan dan kekuatan, dipusatkan pada gerakan ini dan pedang didorong oleh tenaga serta semangat sepenuhnya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya!
"Bagus!" Song-bun-kui mau tak mau memuji lawannya karena memang jurus serangan ini hebat bukan main, hawa pedang mendahului dan terasa sangat dingin menusuk tulang sedangkan matanya sampai silau oleh sinar pedang lawan.
Untuk menyelamatkan dirinya, dia memutar pedangnya melindungi dada. Namun betapa kagetnya ketika gulungan sinar itu masih mampu menerobos perisai yang tercipta oleh pemutaran pedang itu, tahu-tahu hampir saja mencium dadanya. Cepat bagaikan kilat Song-bun-kwi membuang diri ke belakang sambil berseru keras dan mengibaskan lengan baju kiri.
"Brettttt!"
Lagi-lagi ujung lengan bajunya terbabat buntung, akan tetapi dia selamat dan mukanya berubah merah saking marahnya. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan lengking tinggi seperti orang menangis dan tahu-tahu tangan kirinya sudah mengeluarkan senjata jimatnya yang puluhan tahun tidak pernah dikeluarkan, yaitu sebatang suling. Inilah ‘suling tangis’ yang dahulu setiap kali terdengar suaranya membuat penjahat-penjahat bagaikan setan jatuh bangun dan iblis tunggang langgang.
Kini Song-bun-kwi mengamuk seperti iblis itu sendiri. Pedang dan sulingnya menyambar-nyambar merupakan dua gulungan cahaya yang kadang-kadang berkumpul menjadi satu menyelubungi Beng Kui dari segala penjuru. Makin lama penyerangannya semakin hebat dan dahsyat dan makin lemahlah pertahanan Tan Beng Kui yang merasa terkejut bukan main.
Beng Kui tak menyangka bahwa suling di tangan kiri kakek itu tak kalah hebatnya dengan pedang yang berada di tangan kanan. Dia merasa seakan-akan dikeroyok oleh dua orang lawan. Seorang Song-bun-kwi masih mampu dia hadapi, tapi dua orang Song-bun-kwi...? Terlalu banyak dan terlalu kuat baginya. Dia pun mengeluh dan maklum bahwa terhadap seorang lawan seperti kakek ini tidak ada kata ampun, tidak ada istilah mundur, yang ada hanya menang atau mati.
Tiba-tiba berkelebat bayangan yang amat ringan gerak-geriknya, disusul bentakan yang nyaring merdu, "Berhenti dulu! Tahan senjata!"
Tahu-tahu di situ sudah muncul seorang gadis muda dengan pedang di tangan, seorang gadis yang cantik manis, lincah, tabah. Dara lincah ini bukan lain adalah Loan Ki. Namun terhadap bentakan seorang dara muda seperti Loan Ki ini, Song-bun-kwi mana mau peduli? Tentu saja Tan Beng Kui tidak dapat menahan senjata sepihak, karena hal ini berarti dia akan celaka. Kalau kakek itu tidak menghendaki berhenti, bagaimana dia bisa menghentikan pertempuran yang mati-matian itu? Memang dia ingin sekali menghentikan pertandingan, karena dia merasa lelah setelah bertanding selama lima ratus jurus lebih!
"Ihh, Kakek Song-bun-kwi ternyata namanya saja yang besar. Orangnya sih begitu-begitu saja, malah curang dan pengecut! Kalau tidak begitu masa menggunakan kesempatan menghina orang lain? Agaknya kalau berhenti sebentar saja lalu khawatir kalah. Hi-hi-hik, inikah tokoh nomor satu dari barat?"
Tan Beng Kui terkejut, juga para anak buahnya yang mendengar ucapan ini. Alangkah nekatnya Loan Ki, alangkah beraninya menghina seperti itu terhadap seorang iblis seperti Song-bun-kwi. Tentu saja kakek itu sendiri pun mendengar semua ucapan Loan Ki. Mendadak dia mengeluarkan suara gerengan laksana harimau, tubuhnya melayang cepat sekali ke arah Loan Ki. Gadis itu kaget sekali, menggerakkan pedangnya, tapi tahu-tahu pedangnya terpental jauh dan kakek itu sudah berdiri di hadapannya sambil menodong batang lehernya dengan pedang!
"Bocah bermulut busuk!" Song-bun-kwi memaki. "Apa kau bilang tadi?"
Beng Kui pucat mukanya. Dia merasa takkan mampu melindungi puterinya yang ditodong sedemikian rupa oleh kakek yang lihai ini. Dia hanya bisa berteriak, "Song-bun-kwi, jangan layani bocah. Lepaskan anakku dan hayo kita lanjutkan pertempuran seribu jurus lagi!"
Ucapan ini benar saja membuat Song-bun-kwi meragu dan menurunkan pedang yang tadi ujungnya menodong leher Loan Ki. "Anakmu terlalu lancang mulut..." dia mengomel.
Loan Ki mencebirkan bibirnya yang kecil merah, lalu berkata, "Biarlah Ayah, biar saja dia ini mendengarkan ucapanku lebih dulu. Setelah mendengar ucapanku, baru aku tantang dia bertempur sampai sepuluh ribu jurus. Ehh, tua bangka, kau berani tidak?"
"Setan cilik! Tidak berani padamu lebih baik mampus!"
"Nah, kalau begitu mampuslah, sebab kau tidak berani mendengarkan kata-kataku. Berani tidak mendengarkan kata-kataku?"
Song-bun-kwi membanting-banting kaki. Tangannya gatal-gatal untuk sekali menggaplok menghancurkan kepala cantik yang memanaskan hatinya ini.
"Buka bacotmu, lekas kau mau bilang apa jangan banyak tingkah!"
Loan Ki tersenyum dan memainkan matanya yang jeli, mengerling ke arah Teng Cun Le yang menjadi tidak enak hatinya ketika mengenal gadis yang mempunyai mutiara-mutiara hiasan mahkota kuno itu. "Kakek Song-bun-kwi, seorang tokoh tua macam kau ini mana pantas menurunkan tangan kepada seorang bocah seperti aku? Nah, dengarlah omonganku. Jika kau tidak menjawab dengan semestinya, mulai sekarang ini aku yang masih kanak-kanak akan menganggap bahwa semua nama besarmu kosong melompong belaka, bahwa mungkin kau Song-bun-kwi palsu karena yang tulen bukan macam begini tingkahnya..."
"Cukup, lekas bicara! Setan!" Song-bun-kwi membentak.
Loan Ki meleletkan lidahnya. "Waduh galaknya, kalau begitu kau agaknya yang tulen, bukan pengecut, bukan iblis curang. Kakek Song-bun-kwi, kau katanya seorang pendekar gagah segala jaman, kenapa hari ini melakukan perbuatan begini memalukan, menyerbu tempat tinggal ayahku dan membunuhi orang-orang kami tanpa alasan? Memusuhi orang tanpa punya alasan hanyalah perbuatan manusia rendah dan sepanjang pendengaranku, Song-bun-kwi si iblis tua sama sekali bukanlah orang rendah! Nah, jawab, mengapa kau melakukan semua ini, memusuhi ayahku tanpa sebab?"
Dengan cemberut Song-bun-kwi terpaksa menjawab karena kalau dia tidak menjawab, sama saja artinya dengan mengakui bahwa dia seorang pengecut, curang dan manusia rendah! Dia boleh jadi lihai sekali dalam ilmu silat, namun dalam hal silat kata-kata mana dia becus melawan Loan Ki si dara lincah yang amat cerdik dan nakal ini?
"Bocah setan jangan coba bicara pokrol-pokrolan kepadaku. Aku datang ke sini hendak mencari si tua bangka Thai-lek-sin, tapi orang-orangmu tidak tahu aturan mengeroyokku. Mereka mampus karena tak ada kepandaian, kenapa salahkan aku? Ayahmu merupakan lawan yang lumayan, kenapa selagi kami berdua sedang enak-enak saling gebuk untuk menentukan siapa lebih kuat, kau datang-datang mengacau? Heh, Tan Beng Kui, apa kau tidak bisa jewer telinga anakmu yang cerewet ini? Jewer dan usir ia, mari kita bertempur terus!"
Akan tetapi Loan Ki mana mau habis sampai di situ saja? Anak ini terlalu cerdik hingga ia tahu betul bahwa kalau pertandingan dilanjutkan, ayahnya tentu akan celaka. Sebelum ayahnya yang juga gemar bertanding itu terbujuk oleh lawan, ia mendahului dengan suara nyaring,
"Kakek tua, kau benar-benar pandai mencari alasan! Selama hidupku belum pernah aku melihat tua bangka berjuluk Thai-lek-sin di tempat ayah ini, dan sekarang kau menyebut namanya untuk alasan perbuatanmu mengacau di sini! Huh, siapa sudi untuk kau akali? Benar-benar tak kusangka bahwa jagoan tua tenar Song-bun-kwi ternyata hanya seorang tukang bohong belaka!"
"Bocah, jangan sembarangan menuduh yang bukan-bukan! Aku tak menggunakan alasan kosong. Orang she Teng ini yang bilang bahwa aku akan dapat menemukan Thai-lek-sin di sini. Betul tidak, orang she Teng?!" bentaknya sambil menoleh ke arah Teng Cun Le yang menjadi pucat dan kedua kakinya menggigil. Akan tetapi terpaksa dia menjawab dengan kepalanya mengangguk-angguk dan bibirnya berkata lirih.
"...aku mendengar di luaran begitu... ehh... Thai-lek-sin sering ke sini..."
Tiba-tiba Loan Ki tertawa nyaring dan menudingkan telunjuknya kepada Teng Cun Le, lalu berkata kepada Song-bun-kwi, "Wah, kakek tua goblok Song-bun-kwi, kau kena dipedayai orang! Nanti dulu, aku hendak bertanya, pernahkah kau mendengar adanya anjing-anjing penjilat? Nah, manusia ini adalah seekor di antara anjing-anjing penjilat. Dia orang dari kota raja, mudah diduga. Ia selalu mengikuti aku karena tertarik akan mutiara Ya-beng-cu yang kubawa. Dan dia telah menggunakan kau orang tua goblok untuk menyerbu ke sini karena dia sendiri mana mampu? He-he, Song-bun-kwi kakek bodoh, kau diperalat anjing ini masih tidak tahu."
Teng Cun Le bukan seorang bodoh. Dia tadinya kaget setengah mati mendengar semua kata-kata Loan Ki dan diam-diam dia mengeluh. Gadis ini benar-benar pandai bicara dan kakek yang sudah setengah pikun itu kalau sampai kena diakali oleh gadis ini, dialah yang akan celaka. Cepat dia bicara,
"Locianpwe, harap Locianpwe jangan mendengarkan ocehan gadis ini. Jelas ia berusaha menolong ayahnya yang tadi hampir kalah oleh Locianpwe dan sengaja hendak mengadu domba kita. Locianpwe, mari kita gempur orang-orang ini, Locianpwe lanjutkan menghajar Sin-kiam-eng dan serahkanlah gadis itu kepada saya, saya sanggup menghajar kekurang ajarannya."
Sambil berkata demikian, Teng Cun Le menggerakkan goloknya hendak menyerang Loan Ki.
"Tunggu dulu dan dengar kata-kataku sampai habis!" Loan Ki menjerit. "Kalau tidak mau mendengarkan, itu tandanya kau sengaja memperalat Song-bun-kwi!"
Terpaksa Teng Cun Le menahan goloknya karena kalau dia teruskan khawatir kalau-kalau kakek itu kena diakali omongan pancingan ini.
"He, orang she Teng. Kau seorang laki-laki, hayo jawab betul tidak kau sudah mengikuti aku sejak beberapa hari yang lalu dan bahwa kau mengincar tiga butir mutiaraku atau... mungkin juga kau ingin mengetahui tentang sebuah mahkota? Jawab!"
Teng Cun Le sudah tak bisa mundur lagi, terutama karena dia melihat Song-bun-kwi amat memperhatikan percakapan itu. "Memang betul. Kau telah membawa tiga butir mutiara yang tadinya menghias mahkota yang dicuri dari istana kaisar. Sudah semestinya kau mengembalikan mahkota itu padaku untuk kubawa kembali ke kota raja!"
"Bagus, manusia she Teng! Kau hendak merampas mahkota dari kami? Apa kau berani melawan ayah dan aku?" tantangnya.
Tentu saja Teng Cun Le menjadi sibuk sekali. Tak disangkanya gadis itu akan memutar mutar omongan sedemikian rupa sehingga dia selalu terdesak. Akan tetapi dia pun bukan bodoh, maka dia pun segera menjawab berani. "Tentu saja berani karena Kwee-locianpwe tentu akan membantuku menghadapi ayahmu yang memang patut menjadi lawannya."
"Uhu-hu, sekarang mengertikah kau, kakek Song-bun-kwi? Kau dengar sendiri bahwa dia ini adalah seekor anjing penjilat kaisar dan kau telah dibodohinya, diperalat olehnya. Agar kau mau diperalat dan mau menyerbu ke sini, dia membohongimu dengan pernyataan bahwa Thai-lek-sin berada di sini. Padahal tua bangka Thai-lek-sin itu melihat pun aku belum pernah. Nah, tidak benarkah aku apa bila aku bilang bahwa Song-bun-kwi si jago kawakan itu ternyata sekarang mudah saja dikempongi oleh seekor anjing penjiiat kaisar? Hi-hik!" Dengan gaya nakal sekali Loan Ki menyambung hidungnya yang kecil mancung itu dengan jari-jari tangannya untuk mengejek Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi menjadi merah sekali mukanya. Racun yang disebar oleh Loan Ki melalui kata-katanya barusan telah mengenai hatinya. Dia seorang tokoh besar dari dunia bagian barat, dapat dengan mudah dikempongi oleh seorang anjing penjilat kaisar dan diperalat di luar kesadarannya. Benar-benar memalukan sekali. Dia menoleh dengan mata melotot kepada Teng Cun Le sambil memaki,
"Kau berani membawa aku untuk bantu menjadi perampok? Setan alas!"
"Tidak... Locianpwe... tidak...!"
Akan tetapi tangan Song-bun-kwi sudah bergerak. Teng Cun Le dalam takutnya nekat menangkis dengan goloknya, tapi akibatnya golok itu patah-patah dan tubuhnya melayang sampai sejauh lima meter lebih dan dia tak dapat bangun kembali karena dadanya sudah remuk tulang-tulangnya!
Hebat kejadian ini, namun Loan Ki memandang dengan senyum simpul saja sedangkan Tan Beng Kui yang memang wataknya angkuh tidak mau memandang siapa pun juga. Sejak tadi hanya berdiri tegak dengan pedang siap di tangan dan diam-diam dia mengatur napas serta memulihkan tenaga di dalam tubuhnya, siap menghadapi pertempuran lagi kalau perlu. Setelah membunuh orang yang mempermainkannya dengan sekali gempur, kakek itu menoleh pada Loan Ki, sepasang matanya memancarkan ancaman yang menyeramkan. Bulu tengkuk dara lincah itu meremang, akan tetapi dengan memberanikan hati ia tetap tersenyum-senyum seakan-akan kejadian mengerikan itu ‘bukan apa-apa’ baginya.
Beginilah sikap seorang cabang atas, pikirnya, dan dia tidak mau kalah dalam berlagak. Pandang matanya pada kakek itu seolah-olah menyuarakan tantangan, "kau mau apa?"
"Bocah, jangan kau ketawa-tawa dahulu. Memang bangsat she Teng itu sudah menipuku, maka dia layak mampus. Akan tetapi kau pun telah mempermainkan aku, jangan kira aku takut untuk memberi hajaran kepadamu di depan ayahmu!"
Gadis itu tertawa mengejek. "Kakek Song-bun-kwi, kau terlalu sombong. Agaknya kau tidak mau melihat tingginya langit dalamnya lautan. Ayah adalah seorang gagah yang tak mau begitu saja menanam permusuhan, kau tahu? Ayah sudah mendengar bahwa kau adalah seorang tokoh besar kawakan, maka tadi ayah telah menjaga muka dan namamu, kau tahu? Kalau ayah mau sungguh-sungguh melawanmu, dengan mudah dia akan dapat merobohkanmu, kau tahu?"
"Loan Ki! Omongan apa yang kau keluarkan ini?" Ayahnya menegur marah karena dia merasa betapa sekali ini gadisnya benar-benar keterlaluan. Masa seorang tokoh setingkat Song-bun-kwi mau di-‘kecap’-i seperti itu?
Benar saja, Song-bun-kwi sudah tak sanggup menguasai kemarahan hatinya lagi. Sambil menggerak-gerakkan pedang dan sulingnya, dia berkaok-kaok,
"Siluman! Setan! Iblis jejadian, neraka jahanam! Ayo kalian ayah dan anak maju bersama, biar kalian buktikan macam apa adanya Song-bun-kwi Kwee Lun!" Muka kakek itu merah sekali, sepasang matanya melotot, alisnya yang sudah putih itu bergerak-gerak terangkat tinggi. Marah betul-betul dia.
"Song-bun-kwi, jangan kira aku Sin-kiam-eng takut kepadamu. Hayoh!"
Beng Kui menantang sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Dalam pertempuran tadi dia belum kalah. Memang dia agak kehabisan tenaga karena kalah ulet, akan tetapi setelah beristirahat tadi, tenaganya pulih kembali dan dia merasa sanggup menghadapi kakek yang sakti itu. Dia maklum bahwa memang sukar mencapai kemenangan, namun keangkuhannya melarang dia mengalah terhadap si kakek.
"Bagus! Mari bertanding sampai salah seorang di antara kita menggeletak!" Song-bun-kwi tertawa bergelak. "Kita berdua adalah lelaki sejati, mana sudi cerewet seperti perempuan tukang celoteh?" Dia mengejek Loan Ki dan membalikkan tubuh untuk menghampiri Tan Beng Kui.
Tetapi tiba-tiba bayangan gadis itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di depannya. Sampai kaget Song-bun-kwi menyaksikan kegesitan gadis ini. "Kakek tua bangka pikun Song-bun-kwi! Kau benar-benar tidak bermalu! Takut melawan aku kau mau meninggalkan aku begitu saja dan menantang ayah. Huh, tak tahu diri. Ayah tadi mengalah dan kau masih tidak tahu? Kau tidak cukup pandai, tidak berharga menjadi lawan ayahku. Siapa orangnya yang sudah bisa mengalahkan aku, baru cukup berharga untuk bertanding sungguh-sungguh melawan ayah. Song-bun-kwi, apakah engkau berani melawan aku?"
"Loan Ki...!" mau tidak mau Beng Kui menegur puterinya.
Memang dia merasa bangga menyaksikan keberanian dan ketabahan Loan Ki, akan tetapi mendengar gadisnya itu menantang Song-bun-kwi, benar-benar keterlaluan! Apanya yang akan dibuat menang? Dia sendiri setengah mampus melawannya, masa sekarang Loan Ki hendak melawan kakek itu? Huh, biar dikeroyok sepuluh orang Loan Ki juga masih bukan lawan Song-bun-kwi!
Anaknya yang baru tiga hari pulang dari perantauannya ini memang benar-benar bersikap aneh, sama persis anehnya seperti ketika kemarin dia menegur karena gadis itu duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!
"Biarlah, Ayah, aku tanggung kakek yang sudah dekat lubang kubur ini tak akan mampu mengalahkan aku. Hei, dengar tidak kau Song-bun-kwi kakek tua renta? Atau barang kali kau sudah agak tuli? Perlu kuulangi kembalikah? Aku tadi menantangmu, beranikah kau melawan aku?"
Memang amat pandai Loan Ki bersilat lidah. Kali ini ia benar-benar berhasil memancing Song-bun-kwi sehingga kakek ini menjadi marah bukan main. Siapa orangnya yang tidak akan dongkol dan marah sekali, seorang kakek tokoh besar seperti dia mentah-mentah ditantang oleh seorang bocah perempuan?
Dengan gemas dia menyimpan kedua senjatanya dan membentak. "Bocah neraka! Kau patut menjadi cucuku, berani menantang seorang tua seperti aku? Apa kau sudah bosan hidup? Kalau aku tidak dapat membantingmu dalam sepuluh jurus, biar aku orang tua mengaku kalah!"
Song-bun-kwi siap menubruk gadis yang memanaskan hatinya itu.
"Hee, nanti dulu!" Loan Ki menyetop dengan isyarat tangannya. "Kenapa kau menyimpan pedangmu? Kalau dalam sepuluh jurus kau tak mampu mengalahkan aku, tentu kau kelak memakai alasan bahwa kau bertangan kosong. Tak mau aku! Hayo kakek tua renta, kau boleh gunakan pedangmu dan aku akan menandingimu, bukan sepuluh jurus melainkan tiga puluh jurus. Tiga puluh jurus, kau dengar?"
"Iblis cilik, mulutmu benar jahat!" Song-bun-kwi membentak.
"Tapi kau yang menyebut diri tokoh besar dari barat, awas jangan kau menjilat ludahmu sendiri, ya? Kalau kau tidak bisa menangkan aku dalam tiga puluh jurus, kau harus pergi dari sini dan jangan mengganggu kami lagi. Ayah tidak mau bermusuh denganmu. Kalau tangan dan kepalamu merasa gatal-gatal ingin menerima gebukan, kau pergilah saja ke Ching-coa-to, nah, di sana banyak sekali setan-setan bangkotan yang sama kwalitasnya denganmu. Tetapi kau tentu tidak berani ya, memasuki Ching-coa-to. Huh, mana kau berani?"
"Cukup, jangan pentang mulut lagi, lihat seranganku!" Song-bun-kwi berseru dan mulai menyerang dengan tangan kosong.
Dia pikir sekali bergerak tentu akan berhasil menangkap gadis ini. Biar pun membunuh bagi Song-bun-kwi bukan apa-apa, namun dia tidak sudi membunuh seorang dara cilik seperti Loan Ki. Niatnya hendak menangkap gadis itu dan membantingnya di depan Tan Beng Kui sampai kelenger (pingsan) agar tidak banyak mengoceh lagi sehingga dia dapat melanjutkan pertandingannya melawan Sin-kiam-eng. Maka, begitu menyerang dia mencengkeram dengan tangan kiri ke arah pundak gadis itu sedangkan tangan kanannya mendahului membuat gertakan memukul ke arah pusar. Pukulan ini mendatangkan angin dan tentu akan membuat gadis yang masih pelonco itu kebingungan sehingga memudahkan tangan kirinya mencengkeram pundak.
Agaknya kalau penyerangan kakek sakti ini terjadi beberapa hari yang lalu saja, kiranya akan berhasil. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa gadis lincah ini beberapa hari yang lalu telah mewarisi ilmu mukjijat dari Kwa Kun Hong, yaitu yang diberi nama dua puluh empat langkah Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi). Maka melihat datangnya serangan yang hebat ini, tubuh Loan Ki terhuyung-huyung ke belakang seperti orang kena pukul.
Tan Beng Kui kaget sekali dan siap melompat untuk melindungi anaknya. Akan tetapi dia sangat heran mendengar seruan aneh kakek Song-bun-kwi karena ternyata bahwa kedua pukulannya itu hanyalah mengenai angin belaka! Dalam terhuyung ini ternyata gadis itu sudah berhasil menghindarkan diri secara aneh sekali. Kembali kakek Song-bun-kwi menerjang maju, kali ini malah sekaligus mengembangkan kedua lengannya hendak menerkam pinggang yang ramping itu untuk diangkat kemudian dibanting. Tapi aneh bin ajaib. Gadis yang masih terhuyung-huyung itu malah melangkah maju memapakinya. Pada saat kedua lengannya hampir berhasil menyingkap pinggang, tahu-tahu tubuh gadis itu miring seperti akan jatuh dan... sekali lagi berhasil lolos!
"Kakek tua bangka, sudah dua jurus. Hi-hik-hik!" berkata Loan Ki yang ternyata sudah melangkah ke kiri dan... berjongkok.
Kemarahan Song-bun-kwi menjadi-jadi. Dia mengira bahwa gadis itu tadi menggunakan kegesitannya dan sekarang mengejek. Mana ada orang berkelahi memasang kuda-kuda dengan berjongkok? Dia tidak mengerti bahwa memang sebetulnya begitulah kedudukan sebuah langkah dari Hui-thian Jip-te yang dipelajari Loan Ki dari Kwa Kun Hong. Ilmu langkah ini bukan lain merupakan sebagian dari ilmu langkah ajaib Kim-tiauw-kun, maka sama sekali tak dikenal oleh Song-bun-kwi. Sambil mengeluarkan bentakan hebat dia menyerang Loan Ki yang masih berjongkok seperti orang mau buang air itu, kedua tangannya kini bergerak menjambak rambut.
Dengan tubuh masih berjongkok, kedua kaki Loan Ki main dengan gesitnya, sett-sett-sett dan... kembali Song-bun-kwi yang menerjangnya hanya dapat menjambak bau harum dari rambut hitam panjang itu.
"Jurus ke tiga, Kakek!" Loan Ki mengejek sambil tersenyum.
Kini dia sudah berdiri dengan tubuh membelakangi Song-bun-kwi, kaki kanan diangkat dengan tumit menempel paha kaki kiri, leher menoleh ke belakang dan berkedip-kediplah matanya kepada kakek itu, kedua tangannya dikembangkan, persis seperti seekor burung kuntul hendak terbang. Tan Beng Kui kaget dan heran bukan main melihat kejadian yang berlangsung di depan matanya. Dia sendirilah yang menjadi guru anaknya ini dan dia tahu betul bahwa tidak pernah dia mengajari gerakan-gerakan menggila seperti yang sedang dilakukan anaknya sekarang ini. Mana bisa dia mengajari kalau dia sendiri tidak mengenal dan tidak tahu akan gerakan-gerakan gila itu?
Siapakah yang main gila ini, Loan Ki ataukah Song-bun-kwi? Dia tidak percaya bahwa dengan gerakan-gerakan gila itu anaknya bisa menghindarkan serangan kakek itu hingga tiga kali dan sudah tentu si kakek yang main gila, pura-pura tidak dapat mengenai tubuh Loan Ki. Kalau memang main gila, apa pula kehendaknya? Ahh, jangan-jangan kakek itu sengaja berbuat demikian sambil menanti sampai sepuluh jurus atau tiga puluh jurus, kemudian merobohkan Loan Ki untuk membuat malu.
"Loan Ki, jangan kurang ajar! Kuda-kuda jurus apa itu pakai angkat-angkat sebelah kaki segala?" Tan Beng Kui membentak keras dengan maksud supaya Song-bun-kwi mengerti bahwa bukan dia yang mengajari gadisnya menggila seperti itu, karena betapa pun juga hatinya malu menyaksikan aksi anak gadisnya yang dianggapnya kosong melompong ini.
"Ayah, memang jurus ini mesti mengangkat sebelah kaki. Habis, apa yang bisa kulakukan untuk merubahnya? Kalau kedua kakiku kuangkat semua, tentu aku akan jatuh." Terang bahwa ucapan ini hanya kelakar saja untuk lebih memanaskan hati Song-bun-kwi. "Ini namanya burung bangau tidur, tapi sebetulnya tidak tidur, melainkan sedang memancing katak tua di belakangnya."
Song-bun-kwi menggereng seperti seekor beruang. Sekarang dia betul-betul menyerang Loan Ki, tidak seperti tadi lagi. Tadi dia hanya hendak menangkap dan membantingnya kelenger di depan Tan Beng Kui, tetapi sekarang dia menyerang untuk merobohkannya dengan pukulan berbahaya. Dia menyerang dari belakang dengan sangat hebatnya dan merasa yakin bahwa kali ini dia akan berhasil merobohkan Loan Ki.
"Ki-ji (anak Ki), awas...!" Tan Beng Kui terpaksa berseru saking kaget dan khawatirnya menyaksikan penyerangan dahsyat itu.
"Tidak usah khawatir, Ayah!" Gadis itu masih sempat membuka mulut, padahal ia kaget setengah mati.
Cepat-cepat ia mengeluarkan ilmu langkah mukjijat seperti yang ia pelajari dari Kun Hong. Hebat penyerangan Song-bun-kwi kali ini sehingga Loan Ki masih merasa angin pukulan menyerempet pundaknya, membuat kulit pundak di bawah pakaian itu terasa panas. Dia sampai mengeluarkan keringat dingin, namun dasar dia nakal, masih saja dia mengejek setelah pukulan itu gagal. "Sudah empat jurus!"
Sekarang Song-bun-kwi tak mau berlaku sungkan-sungkan lagi. Dia menerjang terus dan mengirim pukulan bertubi-tubi, malah mengisi pukulan-pukulannya dengan lweekangnya yang dahsyat sehingga rambut dan pakaian Loan Ki berkibar-kibar seperti diserang angin besar. Loan Ki juga tidak berani main gila lagi. Ia cukup maklum akan kesaktian kakek ini, maka ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk menjalankan langkah-langkah Hui-thian Jip-te guna menyelamatkan dirinya...