CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BUTA JILID 17
Baru setelah mereka berdua meloncat ke daratan, Kun Hong berkata, "Nona..."
"Kun Hong, kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu," potong Hui Kauw cepat-cepat.
"Hui Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang yang amat berbudi dan berhati mulia."
Sampai lama Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.
"Hui Kauw, kau kenapakah...?" tanyanya sambil melangkah maju. "Apakah kau sakit? Kau terluka...?"
Mendengar suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya. "Memang sakit, tak terperikan nyerinya... memang terluka, perih dan seperti ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya..."
Kun Hong seperti kena pukul, tunduk dan kerut di antara kedua matanya makin jelas. Dia lalu menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud oleh gadis itu. Yang sakit adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk, "Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku telah bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tidak mungkin aku sanggup membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan dapat membalas budimu, biarlah kelak di penjelmaan lain aku terlahir sebagai anjingmu atau kudamu..."
"Kun Hong... jangan kau bilang begitu...," suara Hui Kauw mengandung tangis.
"Hui Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan Ching-coa-to, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama ibu dan adikmu. Setelah aku datang, terjadi mala petaka hebat menimpa dirimu. Malah paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali penghinaan ini. Dan apa balasmu? Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan kembali mahkota yang amat penting ini. Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan kau kembali ke pulau lagi. Padahal kau hidup sebatang kara... ahhh, Hui Kauw, bagaimana aku dapat balas menolongmu?"
Tiba-tiba Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong. Pemuda buta ini merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jemari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora. "Kun Hong... Kun Hong... di samping perasaan iba di hatimu terhadapku, tidak adakah... rasa kasih sayang sedikit saja?"
Suara hati Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi. "Demi Tuhan Yang Maha kasih, Hui Kauw, aku... aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu semenjak pertama kali aku mendengar suaramu..."
Hui Kauw mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul leher Kun Hong dan menangis di dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak serta mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum itu sambil menghela napas berkali-kali. "Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu... biarlah aku ikut denganmu ke mana saja kau pergi."
Sampai lama Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali. Kemudian tergetar suaranya ketika berkata, "Tidak mungkin, Hui Kauw... tidak mungkin... biar pun aku amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu..."
"Mengapa tidak, Kun Hong? Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama-sama di depan meja sembahyang biar pun kau kemudian menolaknya? Kun Hong, aku... aku... menganggap bahwa aku… aku sudah menjadi... isterimu... apa pun yang terjadi... aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku... ahhh... aku cinta kepadamu, Kun Hong..."
Kun Hong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Dia lalu menggelengkan kepala keras-keras karena terbayang dia akan wajah Cui Bi. "Tidak, Hui Kauw, jangan begitu. Aku seorang buta, aku tidak berharga... tak berani aku membawa kau turut menderita. Kau mulia dan agung, kau adalah seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel buta macam aku..."
"Tidak, tidak...! Kun Hong, engkau selalu merendahkan diri sendiri. Kau semulia-mulianya orang dalam pandanganku. Walau pun kau buta, hatimu tidak buta. Tentang aku... ahhh, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong."
"Siapa bilang? Kau secantik-cantiknya orang, kaulah bidadari!" pemuda itu membantah dengan suara keras.
Hui Kauw mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, kemudian ia melepaskan rangkulannya. "Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku? Bukankah kau tak pandai… melihat?"
"Cukup dengan mendengar suaramu, Hui Kauw. Kalau aku... ehh, andai kata aku dapat meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi... tapi maaf, ini hanya seandainya..."
"Nah, kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk."
"Aku tidak berani, Hui Kauw... aku tak berani kurang ajar padamu..." Kun Hong menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapa pun juga, amat sangat inginnya dia meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.
"Kun Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau... ahhh, kau rabalah supaya kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selama hidup akan selalu mengenangmu, akan mencintaimu selama hayat di kandung badan, biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya..." Sampai di sini Hui Kauw menangis.
"Hui Kauw...! Jangan bilang begitu."
Akan tetapi sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong, ditariknya ke arah mukanya sambil tersendat-sendat berkata, "Rabalah... rabalah..."
Sepuluh jari tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung, pelupuk mata tipis terhiasi dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, bibir yang lunak, dagu meruncing, telinga, leher... lalu kembali lagi ke atas. Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan berkali-kali,
"Kau cantik jelita... kau cantik jelita... ahhh, Hui Kauw... alangkah cantiknya engkau..."
Kata-kata ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka ke dadanya. "Aduh, Kun Hong... selama aku hidup, baru sekali ini ada orang memuji kecantikanku... semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si muka buruk... Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu..."
Tiba-tiba Kun Hong sadar lagi. Dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu dia berkata, suaranya tegas, "Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Aku pun harus malu akan kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang baik dan..."
"Diam!" Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali. "Kun Hong, jangan kau kira aku seorang wanita semacam itu! Sekali aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu, sampai mati aku akan tetap bersetia. Meski pun kau tidak suka menerimaku, aku tetap menganggap diriku telah menjadi isterimu dan selama hidup aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kau pun benar-benar membalas cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku? Mengapa? Aku bisa mati penasaran kalau kau tidak memberi tahu sebabnya."
Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa pula menitikkan air mata. Ingin dia memeluknya, ingin dia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi dia tetap berdiri, menanti penjelasan.
"Hui Kauw, ketahuilah. Aku pun seorang manusia yang sudah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biar pun ia sudah tiada lagi di dunia. Ia... ia mati karena aku, Hui Kauw..." Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus mengenai kebutaan matanya.
Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Dia demikian terpesona dan terharu oleh cerita itu sehingga ia seperti tak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, semakin tidak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.
"Aduh, Kun Hong...!" Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya. "Kau… kasihan sekali kau... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Aku pun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..."
Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.
"Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Sekarang kau tahu sendiri betapa tidak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."
Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Kedua matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba. "Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tak akan mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-coa-to, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan meja sembahyang, tak akan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku tidak akan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat. Di sana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..." Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.
"Hui Kauw...! Biarkan aku mengobati mukamu...!" Kun Hong berteriak memanggil.
Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil berlari cepat, "Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku...?"
Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita.
Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya sudah terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.
"Cui Bi... Cui Bi... bantulah aku, perkuatlah hatiku..."
Dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, dan memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya. Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di tepi telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.
"Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"
Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti telah mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.
"Locianpwe (orang tua gagah) siapakah?" tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.
"Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"
"Kakek Kwee...!" Kun Hong berseru girang sekali.
Song-bun-kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong, memeluk pemuda buta itu. "Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tetapi bisa berkeliaran sampai di sini! Apa saja yang kau kerjakan di sini? Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?"
Kun Hong tertawa. "Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang? Locianpwe hendak ke manakah?"
"Ha-ha-ha-ha, bagus, kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau di mana adanya Ching-coa-to?"
Kun Hong kaget. "Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-coa-to?"
Bingung Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti kita ketahui, dia pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena ‘dibakar’ oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to. Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat.
Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak peduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.
"Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"
Kun Hong maklum akan watak kakek ini, juga tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian. "Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka semua sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana."
"Kau? Ke sana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"
Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki serta Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita mengenai mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,
"Mahkota ini biar pun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe. Karena itu saya mati-matian merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman Tan Hok."
"Di mana adanya Tan Hok?"
"Tadinya paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya."
"Ke Thai-san-pai? Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-san. Kebetulan pula, aku pun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!"
Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini. "Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya? Ahh, mereka selamat-selamat saja, bukan?"
Kun Hong tersenyum karena dia teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!
"Itulah. Mereka itulah yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"
"Ehhh, mengapa, Locianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe..."
"Siapa orangnya yang tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"
Mulut Kun Hong ternganga heran. "Anak...?"
"Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!"
Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,
"Harap Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"
Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata, "Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga dari pada cucuku Kong Bu. Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang pasti akan kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku padanya. Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!"
Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang sangat besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan mengenai kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.
Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata, "Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati oleh anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!"
Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu. Mendapat penunjuk jalan seperti Song-bun-kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san. Keduanya lantas merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong merasa berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.
"Kun Hong, mengapa begini sunyi di sini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?"
"Locianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting."
"Huh, orang-orang muda itu selalu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelintir dua gelintir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"
Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, tak akan ada kehidupan yang tenteram, tidak akan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan.
Bayangkan saja kalau yang berkuasa adalah orang macam kakek ini, yang tidak pedulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta. Alam semesta ini pun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa ada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin matahari akan kehilangan panasnya, bintang-bintang akan saling bertubrukan, akhirnya segalanya akan hancur lebur!
Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi, segala perang saudara pecah, disebabkan masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini karena menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik.
Sekarang terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Tetapi bagi rakyat yang mati-matian membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki para pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.
Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-bun-kwi tadi. Ia tak menjawab melainkan mengajak kakek itu terus mendaki puncak. Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi penunjuk jalannya, Kun Hong tak akan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya dari pada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.
Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan yang juga merupakan sebuah goa rahasia. Kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-bun-kwi berseru keras, "Celaka...!"
Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman serta pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir, "Locianpwe, ada apakah?"
Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang keluar menyambut?
"Locianpwe, kenapa begini sunyi?" Ada apakah? Di mana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?"
Masih saja Song-bun-kwi berjalan ke sana ke mari, berputar-putaran di sekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata, "Celaka... agaknya belum lama ini Thai-san-pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat...! Kun Hong, Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai semua pohon-pohonnya habis dan rusak binasa."
"Apa...?!" Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi di sana. "Bagaimana hal ini bisa terjadi...?" pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.
"Bagaimana kita bisa tahu? Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua sudah..." Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak pedulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.
"Tidak mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"
"Tuh di sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!" tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil.
Setelah tiba di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sedang duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang yang berpakaian putih itu, rambutnya awut-awutan seperti orang kurang waras.
Meremang bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena merasa seram, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apa lagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul pada waktu melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!
Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan, "Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?!"
Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu. Akan tetapi dengan gerakan yang tangkas dan cekatan sekali, orang itu menggoyang tubuh dan...
"Brettttt!" leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-bun-kwi!
Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apa lagi semuda itu, dapat melepaskan diri dari pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya sebab akan mendapat lawan yang lumayan.
Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru, "Kwee-locianpwe...!"
Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong.
"Kwa-taihiap... celaka...!" Sangat sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya.
Bukan main kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat, matanya cekung dan tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini ternyata bukan lain ialah Su Ki Han, murid kepala Thai-san-pai!
"Ki Han, bukankah kau ini? Apakah yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!" Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu.
Ada pun Kun Hong yang mendadak merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di atas sebuah batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya. Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang dikatakan telah rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan oleh musuh.
"Ahhh, Kwee-locianpwe... celaka sekali... malapetaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua pekan yang lalu..."
"Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai? Mengapa sekarang menangis seperti anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!" bentak Song-bun-kwi.
Su Ki Han, murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya oleh kedukaan itu jadi terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata, "Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tidak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang tidak akan hancur hatinya. Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, subo pun lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar, bahkan menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang sute-ku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?"
Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang telah bangkit berdiri dengan muka pucat. "Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-san-pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!" Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang sangat lemah lembut dan penyabar.
Sebetulnya hal ini tidaklah aneh. Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah memiliki seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti diri Cui Bi, ternyata hilang diculik orang. Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Sungguh-sungguh ini merupakan mala petaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.
Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Ki Han kemudian bercerita, bagaimana orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu hingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena maklum bahwa bentrokan di antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai.
Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa. Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani masih dapat menghalau pihak musuh, akan tetapi tidak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan.
Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya, "Kwee-locianpwe... Kwa-taihiap... alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu lalu mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan diri untuk mencari puterinya... Suhu menghancurkan segala yang ada di puncak... lalu menyatakan pembubaran Thai-san-pai..."
"Iblis neraka!" Song-bun-kwi membanting kakinya saking marahnya. "Keparat Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi."
Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata, "Kwa-taihiap..."
Song-bun-kwi cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiri pun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong pada waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seolah-olah berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar dan memperlihatkan rongga dalamnya yang kosong menghitam.
Mukanya berubah merah bagai terbakar, tubuhnya menggigil hingga mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis, mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram.
Mendadak kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang sangat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang bukan main hebatnya.
"Haaiiiittttttt…!"
Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak, seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib. Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung!
Song-bun-kwi memandang dengan dua mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap berwarna putih, betapa muka yang kini menjadi sangat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus. Sekali lagi Kun Hong yang meraba-raba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan langsung diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itu pun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara!
Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik. "Keji... keji... manusia-manusia iblis... keji...!"
Tiba-tiba Song-bun-kwi melayang ke depan sambil berseru, "Kun Hong, ingat! Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu...!"
Tubuh kakek itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba Kun Hong memapakinya dengan gerakan persis seperti tadi, tangan kiri mencengkeram dan tongkat membabat.
"Ayaaa... celaka...!" Kakek itu memekik.
Cepat dia mengerahkan segenap tenaganya, melejit merendahkan tubuh untuk mengelak dari pada sambaran maut tongkat itu sedangkan kedua tangannya dia pergunakan untuk menghantam lengan kiri Kun Hong yang bercuitan bunyinya mengarah iganya. Juga kali ini tak terdengar suara ketika lengan kiri Kun Hong bertemu dengan dua lengan kakek itu. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main.
Tubuh kakek itu terlempar seperti selembar layang-layang putus talinya, kemudian jatuh berdebuk dalam jarak enam tujuh meter jauhnya. Sedangkan tubuh Kun Hong dengan kedudukan kaki masih tetap seperti tadi, tergeser mundur sampai satu meter lebih, kedua kakinya membuat guratan dalam tanah sedalam sepuluh senti!
Song-bun-kwi tertawa bergelak dengan suara aneh menyeramkan, lalu dia merangkak bangun dan... darah segar tersembur ke luar dari mulutnya!
"Hebat... hebat... bukan main...!" Dia mengomel lalu menjatuhkan diri duduk bersila, sekali lagi muntahkan darah segar. Dia lalu meramkan mata mengatur napas karena benturan tadi telah mendatangkan sakit di dalam dadanya, tanda bahwa ia telah terluka dalam!
Ada pun Kun Hong yang tadinya seperti orang kemasukan setan, sekarang agaknya baru sadar. Dia melongo, menoleh ke sana ke mari, lalu... menangis terisak-isak, menyebut-nyebut nama Cui Bi. Kiranya pemuda ini karena sangat hancur hatinya mengingat akan nasib paman dan bibinya, sekaligus teringat kepada Cui Bi.
Ki Han tidak berani bergerak dari tempat dia berdiri. Dia tadi melihat kejadian yang amat hebat. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan ilmu kesaktian seperti tadi. Dia merasa seram dan ngeri, juga merasa sedih karena kedukaan Kun Hong itu seperti pisau yang merobek kembali luka dalam hatinya. Dia hanya berdiri dengan air mata bercucuran.
Berkat hawa murni dan tenaga dalam yang sudah amat kuat, benturan pukulan sakti tadi tidak mengakibatkan luka parah di dalam dada Song-bun-kwi. Beberapa menit kemudian dia telah dapat menyembuhkan akibat yang menimbulkan rasa nyeri di dada. Dia segera membuka mata, memandang Kun Hong yang sedang terisak-isak menangis. Cepat kakek ini melompat bangun dan dengan langkah-langkah lebar ia menghampiri Kun Hong, terus merangkulnya.
"Uhh, dengan jurus sakti yang kau miliki tadi, tidak patut kau mengeluarkan air mata, Kun Hong. Hebat sekali gerakanmu tadi dan hampir nyawaku yang sudah tua ini melayang kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengelak. Bukan main!" Dia memuji dengan muka berseri gembira sekali.
"Kwee-locianpwe, aku akan membalas dendam ini! Aku tidak terima paman Beng San dan bibi dihina dan diperlakukan seperti ini. Aku akan mencari Cui Sian sampai dapat dan aku bersumpah takkan mau hidup lagi kalau tidak dapat membalas kejahatan orang-orang itu!"
"Ha-ha-ha, ini baru ucapan seorang jantan! Benar, Kun Hong, kejahatan harus ditumpas habis. Dan dengan jurus yang kau miliki tadi, tak akan ada tokoh di dunia ini yang akan mampu melawanmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong yang sudah berhenti menangis itu terheran. "Locianpwe, jurus apa yang kau maksudkan? Aku tadi hampir pingsan oleh kemarahan yang menyesakkan dada, aku tidak sadar lagi yang kulakukan."
"Ha-ha-ha, hampir kau memukul mampus padaku, masa kau tidak ingat?"
Bukan main kaget hati Kun Hong. Disangkanya kakek yang biasanya memang berwatak aneh dan gila-gilaan ini main-main dengannya.
"Saudara Su Ki Han, betulkah kata-kata Kwee-locianpwe ini?"
Murid kepala Thai-san-pai itu sudah cukup memiliki dasar ilmu silat tinggi sehingga dia maklum apa yang telah terjadi tadi. Dia menjawab, "Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi, Taihiap. Hanya tadi saya melihat Taihiap memukul hancur dua buah batu besar, kemudian ketika locianpwe mendekat, Taihiap menyerangnya sehingga terjadi benturan yang mengakibatkan..." Dia tidak berani melanjutkan.
Song-bun-kwi tertawa. "Ha-ha-ha, akibatnya aku terlempar dengan nyawa hampir putus! Hebat sekali, Kun Hong."
Pemuda itu bingung. "Tetapi... benar-benar saya tidak tahu dengan jurus apa saya telah berlancang tangan menyerang Locianpwe."
Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan. Tentu saja pengetahuannya dalam hal ilmu silat amatlah mendalam dan luas. Dia dapat menduga bahwa kemarahan dalam batin si buta itu membuat dia melakukan gerakan otomatis yang timbul dari pada dasar tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dengan demikian terciptalah sejurus pukulan yang luar biasa hebat tanpa disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia tahu pula bahwa Kun Hong memiliki pendengaran yang amat tajam sebagai pengganti mata, maka dia lalu berkata, "Kau pinjamkan sebentar tongkatmu kepadaku, biar kucoba tiru gerakanmu tadi. Nah, kau tadi membabat dengan tongkat begini!"
Song-bun-kwi seberapa dapat dan seingatnya melakukan gerakan seperti yang dilakukan Kun Hong tadi dengan tongkat itu, membabat dari kanan ke kiri miring dari atas ke bawah.
Kagetlah Kun Hong. Itulah sebagian dari pada jurus Pedang Im-yang Sin-kiam yang dulu dia dapatkan dari Tan Beng San.
"Dan berbareng tangan kirimu mencengkeram dari kiri ke kanan mengarah iga, bergerak dari bawah seperti ini, tetapi mengeluarkan suara bercuitan." Kembali kakek itu meniru pukulan atau cengkeraman dari tangan kiri Kun Hong tadi.
Sekali lagi Kun Hong terkejut. Itulah ilmu pukulan dari Kim-tiauw-kun yang paling hebat, seperti juga gerakan pedang tadi merupakan jurus simpanan yang rahasia dari Im-yang Sin-kiam.
"Kau melakukan dua gerakan ini sekaligus menjadi sebuah jurus yang sakti, tentu saja aku tidak mampu melakukannya, karena tampaknya berlawanan sekali gerakan itu, juga sambaran tenaga dari kedua tanganmu berlawanan. Benar-benar aneh dan hebat sekali. Kun Hong coba kau mainkan lagi jurus ini, dengan kedua tanganmu, ingin sekali aku menyaksikan sekali lagi!" Dia mengembalikan tongkatnya.
Kun Hong ragu-ragu. Menurut teori, tidak mungkin kedua macam pukulan itu disatukan, sungguh pun keduanya dia faham benar. Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat biar pun terdiri dari penggunaan dua macam tenaga, tetapi tenaga Im-kang dan Yang-kang selalu digunakan secara bergantian untuk membingungkan lawan. Karena pergantian-pergantian yang tidak terduga-duga inilah maka ilmu itu merupakan ilmu yang selama ini dapat merajai dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana mungkin mempergunakan dua macam tenaga dalam satu gerakan? Namun demikian, mendengar kesungguhan suara kakek itu, dia merasa tidak enak kalau tidak mau mencobanya.
"Baiklah, akan kucoba, Locianpwe. Mengharap petunjuk Locianpwe yang berharga..."
Setelah berkata demikian, Kun Hong memasang kuda-kuda dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, kemudian dia mengerahkan tenaga karena dia ingin bergerak sungguh-sungguh. Tangan kirinya menyambar dibarengi sambaran tongkatnya dari kanan. Terdengar suara bercuitan seperti tadi, akan tetapi tiba-tiba Kun Hong mengeluh, tubuhnya limbung dan... dia roboh pingsan dengan muka pucat!
"Ah-ahh... sudah kuduga... waah, tua bangka goblok." Song-bun-kwi memukuli kepalanya sendiri lalu cepat dia berlutut mendekati Kun Hong dan memeriksanya.
Napas pemuda buta itu empas-empis, tubuhnya sebentar panas dan sebentar dingin, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Kakek itu setelah memeriksa jalan darahnya, kaget mendapat kenyataan bahwa di dalam tubuh itu, dua kekuatan yang berlawanan sedang saling desak untuk menguasai tubuh itu.
Inilah berbahaya, pikirnya, karena gempuran-gempuran yang terjadi antara dua macam hawa sakti ini akan dapat merusak jantung Kun Hong. Dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam tenaga sakti Yang-kang, maka segera dia menempelkan telapak tangannya pada dada Kun Hong, mengerahkan tenaga Yang-kang untuk membantu tenaga di dalam tubuh pemuda itu menindih tenaga Im.
Dengan penambahan tenaga Yang-kang yang amat kuat dari kakek ini, ternyata tenaga Im di tubuh Kun Hong yang meliar itu dapat ditundukkan. Muka pemuda buta ini sekarang lebih lama merahnya dari pada pucatnya, juga napasnya mulai kuat akan tetapi tubuhnya semakin panas saja. Hal ini adalah karena dia masih pingsan sehingga tidak mampu mengendalikan hawa Yang-kang di tubuhnya yang sekarang sudah mulai bisa menguasai tubuhnya.
Setengah jam kemudian Kun Hong sadar. Dia mengeluh dan cepat-cepat mengerahkan tenaga yang hampir saja membuat tubuhnya meledak saking panasnya itu berputaran di seluruh tubuh sehingga dia normal kembali. Song-bun-kwi melepaskan tangannya, keringat membasahi seluruh tubuh dan setelah mengumpulkan tenaganya dia berkata, "Waahh, berbahaya sekali. Jurusmu itu memang hebat bukan main, Kun Hong, hebat dan amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi juga berbahaya bagi dirimu sendiri."
Kun Hong maklum bahwa dia telah ditolong, maka dia pun berlutut menghaturkan terima kasih. "Mohon petunjuk Locianpwe," katanya sederhana.
Song-bun-kwi menoleh kepada Su Ki Han yang menyaksikan semua itu dengan melongo penuh keheranan dan kekaguman. Lalu kakek itu meloncat berdiri, menarik tangan Kun Hong supaya berdiri.
"Marilah kita turun gunung, biar nanti kujelaskan kepadamu. Ki Han, kau adalah murid Thai-san-pai yang setia dan jujur, mudah-mudahan kejadian semua ini akan menambah pengertianmu dan memperdalam ilmumu. Kau berjagalah di sini, menunggu kembalinya gurumu. Kami berdua tentu takkan tinggal diam, akan kubantu gurumu mencari puterinya. Hayo, Kun Hong, kita pergi!" Kakek itu mengandeng tangan Kun Hong. Keduanya melesat lenyap dari puncak itu...
"Kun Hong, kuharap kau tidak menggunakan sebutan itu," potong Hui Kauw cepat-cepat.
"Hui Kauw, budi pertolonganmu kali ini besar sekali artinya. Aku sangat berterima kasih kepadamu dan takkan melupakan bantuan ini selamanya. Kau benar seorang yang amat berbudi dan berhati mulia."
Sampai lama Hui Kauw tidak menjawab, membuat Kun Hong heran dan menduga-duga sambil memasang telinga. Akan tetapi dia menjadi kaget ketika mendengar betapa gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih seperti orang mengerang atau merintih.
"Hui Kauw, kau kenapakah...?" tanyanya sambil melangkah maju. "Apakah kau sakit? Kau terluka...?"
Mendengar suara yang mengandung penuh kekuatiran ini dan melihat wajah pemuda buta itu kerut merut, Hui Kauw terisak perlahan tapi lalu ditahannya. "Memang sakit, tak terperikan nyerinya... memang terluka, perih dan seperti ditusuk-tusuk jarum beracun rasanya..."
Kun Hong seperti kena pukul, tunduk dan kerut di antara kedua matanya makin jelas. Dia lalu menarik napas panjang, maklum apa yang dimaksud oleh gadis itu. Yang sakit adalah perasaannya, yang terluka adalah hatinya. Dia maklum akan keadaan gadis itu. Dengan suara menggetar penuh keharuan dia berkata, mukanya tetap tunduk, "Hui Kauw, akulah orangnya yang membuat kau menjadi begini. Dosaku telah bertumpuk terhadapmu, sebaliknya budimu amat besar bagiku sehingga tidak mungkin aku sanggup membalasnya. Kiranya tidak mungkin selama hidupku aku akan dapat membalas budimu, biarlah kelak di penjelmaan lain aku terlahir sebagai anjingmu atau kudamu..."
"Kun Hong... jangan kau bilang begitu...," suara Hui Kauw mengandung tangis.
"Hui Kauw, ucapanku tidak berlebihan. Tadinya kau hidup sebagai seorang nona majikan Ching-coa-to, hidup aman tenteram dan berbahagia di pulau itu bersama ibu dan adikmu. Setelah aku datang, terjadi mala petaka hebat menimpa dirimu. Malah paling akhir aku melakukan penghinaan, menolakmu di depan umum. Hebat sekali penghinaan ini. Dan apa balasmu? Kau malah tadi membantuku untuk mendapatkan kembali mahkota yang amat penting ini. Dengan pengorbanan terakhir lagi, yaitu permusuhan antara kau dan Hui Siang. Aku tahu, peristiwa itu tidak memungkinkan kau kembali ke pulau lagi. Padahal kau hidup sebatang kara... ahhh, Hui Kauw, bagaimana aku dapat balas menolongmu?"
Tiba-tiba Hui Kauw melangkah maju dan memegang kedua lengan Kun Hong. Pemuda buta ini merasa betapa tangan itu agak dingin menggigil dan mencengkeram tangannya erat-erat. Dia pun balas menggenggam sehingga dua puluh jari-jemari tangan itu saling genggam, menyalurkan perasaan hati masing-masing yang menggelora. "Kun Hong... Kun Hong... di samping perasaan iba di hatimu terhadapku, tidak adakah... rasa kasih sayang sedikit saja?"
Suara hati Kun Hong meluap melalui mulutnya tanpa dia sadari lagi. "Demi Tuhan Yang Maha kasih, Hui Kauw, aku... aku amat sayang kepadamu, aku amat kasih kepadamu semenjak pertama kali aku mendengar suaramu..."
Hui Kauw mengeluarkan suara perlahan seperti orang merintih, lalu ia tiba-tiba merangkul leher Kun Hong dan menangis di dada pemuda itu. Kun Hong menepuk-nepuk pundak serta mengelus-elus rambut yang halus dan berbau harum itu sambil menghela napas berkali-kali. "Terima kasih, Kun Hong. Kalau begitu... biarlah aku ikut denganmu ke mana saja kau pergi."
Sampai lama Kun Hong tak dapat menjawab. Kesadarannya kembali. Kemudian tergetar suaranya ketika berkata, "Tidak mungkin, Hui Kauw... tidak mungkin... biar pun aku amat cinta kepadamu, tak mungkin aku melakukan itu..."
"Mengapa tidak, Kun Hong? Bukankah kita berdua sudah pernah berlutut bersama-sama di depan meja sembahyang biar pun kau kemudian menolaknya? Kun Hong, aku... aku... menganggap bahwa aku… aku sudah menjadi... isterimu... apa pun yang terjadi... aku telah berhutang nyawa kepadamu dan aku... ahhh... aku cinta kepadamu, Kun Hong..."
Kun Hong merasa betapa hatinya seperti ditusuk-tusuk. Dia lalu menggelengkan kepala keras-keras karena terbayang dia akan wajah Cui Bi. "Tidak, Hui Kauw, jangan begitu. Aku seorang buta, aku tidak berharga... tak berani aku membawa kau turut menderita. Kau mulia dan agung, kau adalah seorang gadis cantik jelita seperti bidadari, kau patut bersuamikan seorang pemuda yang berbudi dan gagah perkasa, menjadi isteri seorang pria yang terhormat, bukan seorang jembel buta macam aku..."
"Tidak, tidak...! Kun Hong, engkau selalu merendahkan diri sendiri. Kau semulia-mulianya orang dalam pandanganku. Walau pun kau buta, hatimu tidak buta. Tentang aku... ahhh, alangkah indahnya kata-katamu yang memujiku seperti bidadari. Sebenarnya aku buruk rupa, Kun Hong."
"Siapa bilang? Kau secantik-cantiknya orang, kaulah bidadari!" pemuda itu membantah dengan suara keras.
Hui Kauw mengeluarkan suara ketawa aneh, pahit dan perih, kemudian ia melepaskan rangkulannya. "Kun Hong, bagaimana kau begini yakin akan kecantikanku? Bukankah kau tak pandai… melihat?"
"Cukup dengan mendengar suaramu, Hui Kauw. Kalau aku... ehh, andai kata aku dapat meraba mukamu, tentu aku akan lebih yakin lagi... tapi maaf, ini hanya seandainya..."
"Nah, kau rabalah! Kau rabalah biar kau tahu betapa mukaku hitam dan buruk."
"Aku tidak berani, Hui Kauw... aku tak berani kurang ajar padamu..." Kun Hong menolak akan tetapi suaranya gemetar karena betapa pun juga, amat sangat inginnya dia meraba muka gadis itu untuk dapat membayangkan bentuk mukanya.
"Kun Hong, aku telah dapat melihat mukamu sepuas hatiku, tapi kau... ahhh, kau rabalah supaya kau dapat mengenalku, dapat mengenal seorang wanita yang selama hidup akan selalu mengenangmu, akan mencintaimu selama hayat di kandung badan, biar kau telah menolaknya, biar kau tidak mau menerimanya..." Sampai di sini Hui Kauw menangis.
"Hui Kauw...! Jangan bilang begitu."
Akan tetapi sambil menangis terisak-isak Hui Kauw menyambar kedua tangan Kun Hong, ditariknya ke arah mukanya sambil tersendat-sendat berkata, "Rabalah... rabalah..."
Sepuluh jari tangan yang amat halus perasaannya itu meraba muka Hui Kauw yang basah air mata. Seperti dalam mimpi Kun Hong meraba dahi yang halus tertutup rambut sinom berurai ke bawah, bergerak ke bawah meraba alis yang panjang melengkung, pelupuk mata tipis terhiasi dengan bulu mata panjang, sepasang pipi yang halus dengan bentuk sempurna, hidung yang kecil mancung, bibir yang lunak, dagu meruncing, telinga, leher... lalu kembali lagi ke atas. Bibirnya bergerak-gerak mengeluarkan bisikan berkali-kali,
"Kau cantik jelita... kau cantik jelita... ahhh, Hui Kauw... alangkah cantiknya engkau..."
Kata-kata ini memperhebat tangis gadis itu yang kembali memeluknya dan menempelkan muka ke dadanya. "Aduh, Kun Hong... selama aku hidup, baru sekali ini ada orang memuji kecantikanku... semua orang mengejekku, mengatakan aku si muka hitam, si muka buruk... Kun Hong, kau kasihanilah aku, kalau betul kau mencintaku seperti aku mencintamu, kau bawalah aku, biarlah aku ikut denganmu..."
Tiba-tiba Kun Hong sadar lagi. Dia memegang pundak gadis itu, didorong menjauhinya, lalu dia berkata, suaranya tegas, "Hui Kauw, cukup semuanya ini! Kau adalah seorang gadis perkasa, tidak seharusnya bersikap lemah. Aku pun harus malu akan kelemahan hatiku sendiri. Hui Kauw, mukamu tidak apa-apa. Warna hitam itu hanya karena racun dan aku sanggup untuk mengobatimu, membuat kulit mukamu kembali putih bersih. Biarlah aku mengobatimu agar kau mendapatkan kecantikanmu kembali, agar kau dapat bertemu dengan jodoh yang terhormat, yang gagah, yang baik dan..."
"Diam!" Tiba-tiba Hui Kauw berteriak keras, agaknya marah sekali. "Kun Hong, jangan kau kira aku seorang wanita semacam itu! Sekali aku sudah menyerahkan hatiku kepadamu, sampai mati aku akan tetap bersetia. Meski pun kau tidak suka menerimaku, aku tetap menganggap diriku telah menjadi isterimu dan selama hidup aku takkan menikah dengan orang lain. Biarlah mukaku tetap begini karena aku tidak berniat menarik hati orang lain. Tapi, setidaknya, kau katakanlah mengapa hatimu sekeras ini. Aku dapat merasa betapa kau pun benar-benar membalas cintaku, akan tetapi mengapa kau menolakku? Mengapa? Aku bisa mati penasaran kalau kau tidak memberi tahu sebabnya."
Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi pemuda buta itu. Hui Kauw perih hatinya melihat pemuda buta ini bisa pula menitikkan air mata. Ingin dia memeluknya, ingin dia menghapus air mata di muka si buta itu, tapi dia tetap berdiri, menanti penjelasan.
"Hui Kauw, ketahuilah. Aku pun seorang manusia yang sudah menyerahkan hati kepada seseorang dan berniat tetap bersetia kepadanya, biar pun ia sudah tiada lagi di dunia. Ia... ia mati karena aku, Hui Kauw..." Kemudian dengan suara terputus-putus saking terharu, Kun Hong menceritakan kepada gadis itu tentang Cui Bi, sekaligus mengenai kebutaan matanya.
Hui Kauw mendengarkan dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, dan dari pelupuk matanya mengucurlah air mata di sepanjang kedua pipinya. Dia demikian terpesona dan terharu oleh cerita itu sehingga ia seperti tak merasa akan membanjirnya air matanya ini dan ia tidak mengusapnya. Makin lama ia mendengarkan cerita Kun Hong, semakin tidak tahanlah ia dan akhirnya ia terisak-isak menangis ketika Kun Hong menceritakan peristiwa yang terjadi di puncak Thai-san-pai.
"Aduh, Kun Hong...!" Hui Kauw akhirnya menubruk pemuda itu dan memeluknya. "Kau… kasihan sekali kau... laki-laki yang berhati mulia, semulia-mulianya orang. Cinta kasihmu demikian suci murni... ah, alangkah bahagianya Cui Bi. Aku iri kepadanya, Kun Hong. Aku pun mau mati seribu kali kalau bisa mendapatkan cinta kasihmu seperti itu besarnya. Kasihan kau..."
Menghadapi gadis ini, tak dapat menahan pula Kun Hong akan jatuhnya dua titik air mata lagi di atas pipinya. Lalu dia mengerahkan kekuatan batin menekan perasaannya.
"Sudahlah, Hui Kauw. Tiada gunanya bertangis-tangisan seperti ini. Sekarang kau tahu sendiri betapa tidak mungkin aku memenuhi dorongan hatiku yang mengandung kasih sayang kepadamu. Kau maafkanlah aku."
Hui Kauw melangkah mundur, mengusap air matanya. Kedua matanya kini memandang penuh kekaguman, penuh perasaan kasih dan penuh iba. "Kau benar, Kun Hong. Biarlah aku mengalah dan memang sudah nasib hidupku harus banyak menderita. Biarlah aku tak akan mengganggumu lagi. Akan tetapi aku tetap bersumpah bahwa peristiwa di Pulau Ching-coa-to, di mana kau dan aku sudah berlutut di depan meja sembahyang, tak akan dapat terhapus dari hatiku. Sampai mati aku akan menganggap bahwa aku sudah menjadi milikmu lahir batin dan aku tidak akan menikah dengan orang lain. Selamat tinggal, Kun Hong, kita akan bertemu kembali kelak, kalau tidak di dunia tentu di akhirat. Di sana aku akan minta kepada Cui Bi agar ia rela membiarkan kau membagi cinta kasihmu sebagian untukku..." Gadis itu terisak dan melompat pergi jauh meninggalkan tempat itu.
"Hui Kauw...! Biarkan aku mengobati mukamu...!" Kun Hong berteriak memanggil.
Akan tetapi Hui Kauw tidak berhenti hanya menjawab sambil berlari cepat, "Biarlah, Kun Hong. Apa gunanya bagiku...?"
Dalam kalimat terakhir ini terkandung kepatahan hati yang membuat Kun Hong terduduk di atas tanah saking perihnya hati dan perasaannya. Sampai lama dia duduk bersila di atas tanah di pinggir telaga itu dan terbayanglah wajah Hui Kauw yang cantik jelita.
Sekarang dia sudah mengenal Hui Kauw, tidak hanya mengenal suaranya, juga mengenal bentuk mukanya. Berkali-kali dia mengeluh panjang pendek, bukan main penderitaan hati yang penuh rindu dendam. Dia merasa seakan-akan semangatnya sudah terbawa pergi oleh gadis itu. Dia berdongak dan mulutnya berkemak-kemik.
"Cui Bi... Cui Bi... bantulah aku, perkuatlah hatiku..."
Dengan bisikan-bisikan ini dia merasa mendapat kekuatan baru dan wajah Cui Bi yang riang jenaka itu perlahan-lahan mengusir bayangan Hui Kauw, dan memulihkan kembali ketenangan di dalam dadanya. Entah beberapa jam lamanya dia duduk seperti itu, seperti seorang pertapa di tepi telaga. Tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang besar dan dalam, mengandung tenaga hebat.
"Waahhhhh, mimpikah aku atau betul-betul bertemu dengan Kun Hong di sini?"
Karena tadinya dalam keadaan melamun, Kun Hong kaget dan tidak mendengar suara ini dengan segera. Akan tetapi dia merasa seperti telah mengenal suara ini, maka cepat dia bangun berdiri dan membalikkan tubuhnya ke arah suara itu.
"Locianpwe (orang tua gagah) siapakah?" tanyanya sambil membungkuk dengan hormat.
"Ha-ha-ha! Hebat sekali! Matanya buta akan tetapi begitu aku membuka suara segera tahu bahwa aku seorang tua bangka bangkotan. Ha-ha-ha!"
"Kakek Kwee...!" Kun Hong berseru girang sekali.
Song-bun-kwi Kwee Lun tertawa bergelak-gelak dan maju merangkul Kun Hong, memeluk pemuda buta itu. "Kun Hong, kau sudah tak pandai melihat tetapi bisa berkeliaran sampai di sini! Apa saja yang kau kerjakan di sini? Wah tongkatmu itu entah sudah berapa banyak mengirim orang ke Giam-lo-ong (Raja Maut)?"
Kun Hong tertawa. "Locianpwe, mana saya berani menggunakan tongkat hadiahmu ini untuk membunuh orang? Locianpwe hendak ke manakah?"
"Ha-ha-ha-ha, bagus, kau masih menghargai pemberian seorang tua bangka. Kun Hong, tahukah kau di mana adanya Ching-coa-to?"
Kun Hong kaget. "Di seberang itulah Ching-coa-to. Locianpwe apakah mempunyai urusan dengan penghuni Ching-coa-to?"
Bingung Song-bun-kwi bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Seperti kita ketahui, dia pergi mencari Ching-coa-to hanya karena hatinya terkena ‘dibakar’ oleh si gadis nakal Loan Ki yang mengatakan bahwa kalau kakek itu ingin dijotosi orang sampai mukanya matang biru, harus pergi ke Ching-coa-to. Hanya karena kata-kata Loan Ki itu saja dia nekat mencari Ching-coa-to sampai dapat.
Bagaimana dia bisa mengatakan kepada Kun Hong bahwa dia mencari Ching-coa-to hanya karena itu? Terhadap lain orang kakek ini bersikap tidak peduli dan mau membawa kehendak sendiri, mau menang sendiri. Akan tetapi terhadap Kun Hong lain lagi sikapnya. Dia merasa kagum kepada pemuda ini dan tidak menganggap pemuda buta ini sebagai seorang muda yang dipandang rendah.
"Tidak ada urusan apa-apa, hanya aku mendengar di sana banyak orang pandai. Ingin aku menyaksikan dengan kedua mata dan kedua tanganku sendiri, ha-ha-ha!"
Kun Hong maklum akan watak kakek ini, juga tahu akan kesukaan kakek ini berkelahi mengadu kepandaian. "Locianpwe terlambat. Memang banyak orang pandai di pulau itu, akan tetapi pada waktu ini mereka semua sudah pergi meninggalkan pulau. Saya baru saja keluar dari sana."
"Kau? Ke sana? Wah-wah, agaknya banyak pengalaman hebat yang kau alami. Sayang, aku bermalas-malasan di gunung, kalau aku ikut pergi bersamamu, sedikitnya aku akan ikut menikmati pengalaman-pengalaman itu. Apa yang kau cari di sana?"
Dengan singkat tanpa menyebut-nyebut soal Loan Ki serta Hui Kauw, Kun Hong lalu bercerita mengenai mahkota yang dirampas dari tangan Tan Hok sampai mahkota itu terjatuh ke tangan orang-orang Ching-coa-to dan bagaimana dia berhasil merampasnya kembali. Akhirnya dia menutup penuturannya,
"Mahkota ini biar pun benda kuno, akan tetapi amat penting, Locianpwe. Karena itu saya mati-matian merampasnya kembali dan sekarang hendak saya antarkan kepada paman Tan Hok."
"Di mana adanya Tan Hok?"
"Tadinya paman Tan Hok pergi ke Thai-san-pai untuk minta bantuan paman Tan Beng San dalam hal merebut kembali mahkota ini. Karena itu saya pikir, lebih baik saya susul ke Thai-san-pai untuk menyerahkan mahkota ini kepadanya."
"Ke Thai-san-pai? Bagus sekali memang aku pun sudah lama kangen, hendak melancong ke Thai-san. Kebetulan pula, aku pun ingin bertemu dengan ketua Thai-san-pai, mantuku yang pintar itu agar dia memberi hajaran kepada anaknya yang goblok!"
Kun Hong melengak, tidak tahu apa maksud kata-kata ini. "Bagaimana dengan keadaan saudara Kong Bu dan isterinya? Ahh, mereka selamat-selamat saja, bukan?"
Kun Hong tersenyum karena dia teringat akan keponakannya, Kui Li Eng yang sekarang sudah menjadi nyonya Tan Kong Bu, ingat betapa keponakannya itu lincah jenaka, nakal seperti Loan Ki!
"Itulah. Mereka itulah yang menyakitkan hatiku dan hendak kuadukan kepada Beng San. Sialan betul aku mempunyai cucu goblok!"
"Ehhh, mengapa, Locianpwe? Apa kesalahan saudara Kong Bu dan isterinya? Kalau ada kesalahan, sayalah yang mintakan maaf dan ampun kepada Locianpwe..."
"Siapa orangnya yang tidak mendongkol. Di sini menanti-nanti, di sana enak-enak dan menganggap sepi saja. Masa sampai empat tahun aku mengharap-harap, belum juga mereka mempunyai anak! Coba pikir, apa ini tidak menjengkelkan?"
Mulut Kun Hong ternganga heran. "Anak...?"
"Ya, anak! Aku sampai mimpi setiap malam memondong cucu buyut. Dasar Kong Bu tidak becus!"
Hampir saja Kun Hong tak dapat menahan ledakan tawanya. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan tidak tertawa, maklum bahwa yang dia anggap lucu itu bagi kakek ini agaknya merupakan sebuah soal yang amat gawat. Maka dia malah menghibur,
"Harap Locianpwe bersabar. Saya merasa yakin bahwa seorang gagah perkasa seperti Locianpwe ini, kelak pasti dikurniai cucu buyut yang banyak!"
Benar saja. Omongan ini bagaikan segelas air es untuk seorang kehausan di tengah hari. Mendinginkan perasaan. Kakek itu tertawa-tawa lagi dan berkata, "Kun Hong, kau harus lekas-lekas kawin! Orang seperti kau ini tentu jauh lebih berharga dari pada cucuku Kong Bu. Aku tanggung bahwa kau kawin setahun aku sudah akan dapat memondong anakmu yang pasti akan kuanggap cucuku sendiri. Ha-ha-ha, alangkah senangnya kalau aku bisa menyaksikan anakmu dan menurunkan semua ilmuku padanya. Ha-ha-ha, Song-bun-kwi si setan bangkotan akan mati dengan mata meram!"
Merah muka Kun Hong. Dia merasa jengah, akan tetapi juga terharu sekali karena di dalam kekasarannya, kakek ini membayangkan kasih sayang yang sangat besar dan rasa kekeluargaan yang mendalam. Dia berterima kasih sekali, akan tetapi untuk mencegah kakek ini melantur dan berkepanjangan mengenai kawin, dia segera mengajak kakek itu berangkat ke Thai-san.
Akan tetapi, dia tidak dapat mencegah kakek itu menggali-gali soal lama ketika berkata, "Kun Hong, kau tidak boleh selalu mengenang Cui Bi. Yang sudah mati sudahlah. Kau masih hidup dan kau harus mencari gantinya. Seorang yang tidak berketurunan adalah orang yang paling puthauw (murtad) di dunia ini! Kau tirulah pamanmu Beng San. Dahulu dia sampai menjadi gila ditinggal mati oleh anakku, akan tetapi kemudian dia toh dapat berbahagia dengan Li Cu dan punya anak lagi!"
Kun Hong berdebar keras jantungnya, akan tetapi dia diam saja tidak menjawab, hanya hatinya berdoa supaya kakek itu tidak berkepanjangan bicara tentang hal yang amat tidak enak baginya itu. Mendapat penunjuk jalan seperti Song-bun-kwi, tentu saja Kun Hong dapat melakukan perjalanan yang amat cepat. Di sepanjang jalan, tiada hentinya Song-bun-kwi mengobrol dan hanya pada pemuda inilah dia dapat mencurahkan semua isi hatinya.
Beberapa hari kemudian sampailah mereka di lereng Thai-san. Keduanya lantas merasa terheran-heran melihat kesunyian daerah sekitar puncak. Kalau jantung Kun Hong merasa berdebar-debar karena teringat akan Cui Bi dan semua peristiwa yang terjadi di puncak ini empat tahun yang lalu, adalah Song-bun-kwi yang terheran-heran dan mulai merasa tidak enak hatinya.
"Kun Hong, mengapa begini sunyi di sini? Biasanya tentu ada anak murid Thai-san-pai yang hilir mudik. Mengapa Thai-san-pai sekarang begini sepi?"
"Locianpwe, lebih baik kita langsung naik ke puncak saja, agaknya para anak murid sedang dikumpulkan di puncak oleh paman Tan Beng San. Siapa tahu datangnya paman Tan Hok mendatangkan perubahan di Thai-san-pai karena menghadapi urusan penting."
"Huh, orang-orang muda itu selalu ribut-ribut saja tentang urusan negara. Huh, bosan aku! Kaisar dan para pembesar istana itu orang-orang apa sih? Mereka juga manusia biasa seperti kita! Akan tetapi mengapa untuk segelintir dua gelintir manusia seperti itu, untuk jatuh bangunnya seorang dua orang kaisar, selalu rakyat yang laksaan banyaknya harus dijadikan korban?"
Kalau saja Kun Hong belum mendengar filsafat dari mulut Tan Hok, tentu dia akan setuju seratus prosen terhadap pendapat kakek itu. Akan tetapi sekarang, berdasarkan filsafat dari Tan Hok, dia sudah mempunyai pendapat yang lebih jelas tentang urusan negara. Tanpa pemimpin yang menentukan hukum-hukum negara, tak akan ada kehidupan yang tenteram, tidak akan ada tata-tertib karena rakyat hanya akan mengenal hukum rimba, hukumnya dunia persilatan.
Bayangkan saja kalau yang berkuasa adalah orang macam kakek ini, yang tidak pedulian, yang aneh, kadang-kadang amat kejam, akan jadi apakah penghidupan ini? Negara harus ada pengaturnya, rakyat harus ada pemimpinnya, mencontoh keadaan alam semesta. Alam semesta ini pun membutuhkan pimpinan dan penguasa yang mengatur segalanya. Bayangkan saja, tanpa adanya Tuhan Seru Sekalian Alam, tanpa ada kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa, alangkah akan kacau-balaunya alam semesta ini. Mungkin matahari akan kehilangan panasnya, bintang-bintang akan saling bertubrukan, akhirnya segalanya akan hancur lebur!
Demikianlah, rakyat dan negara harus mempunyai pimpinan. Dan segala keributan terjadi, segala perang saudara pecah, disebabkan masing-masing golongan, masing-masing fihak menghendaki calon pimpinan pilihan hati masing-masing. Tentu saja ini karena menurut keyakinan masing-masing, pilihan hati itu adalah orang-orang yang mereka percaya akan mampu menjadi pemimpin yang baik.
Sekarang terjadi perebutan tahta kerajaan, tentu saja bagi para pembesar itu karena mereka memperebutkan kedudukan yang akan menjamin hidup kaya raya dan terhormat. Tetapi bagi rakyat yang mati-matian membela mereka, dasarnya hanyalah ingin memiliki para pemimpin yang benar-benar akan dapat membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi kehidupan rakyat.
Karena mempunyai dasar filsafat ini, maka Kun Hong hanya tersenyum saja mendengar ucapan Song-bun-kwi tadi. Ia tak menjawab melainkan mengajak kakek itu terus mendaki puncak. Kalau bukan Song-bun-kwi yang menjadi penunjuk jalannya, Kun Hong tak akan berani mengajak naik ke puncak karena dia maklum bahwa menaiki puncak Thai-san merupakan perjalanan yang jauh lebih sulit dan berbahaya dari pada memasuki Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi, kakek itu pernah tinggal di situ dan karenanya hafal benar akan semua rahasia di puncak Thai-san.
Setelah melalui jalan rahasia yang berakhir dengan sebuah terowongan, akhirnya mereka sampailah di puncak Thai-san. Mereka meloncat ke luar dari mulut terowongan yang juga merupakan sebuah goa rahasia. Kagetlah Kun Hong ketika dia mendengar Song-bun-kwi berseru keras, "Celaka...!"
Hidung dan telinga Kun Hong meneliti penuh perhatian, namun tidak ada sesuatu yang aneh bagi penciuman serta pendengarannya. Terpaksa dia bertanya kuatir, "Locianpwe, ada apakah?"
Kakek itu melangkah maju, terus maju, diikuti dari belakang oleh Kun Hong yang mulai merasa gelisah karena tempat ini benar-benar sunyi. Setelah tiba di puncak, kenapa Beng San dan isterinya, juga murid-murid Thai-san-pai tidak ada yang keluar menyambut?
"Locianpwe, kenapa begini sunyi?" Ada apakah? Di mana mereka, mengapa tidak ada orang menyambut kita?"
Masih saja Song-bun-kwi berjalan ke sana ke mari, berputar-putaran di sekitar puncak. Kemudian dia membanting-banting kaki dan berkata, "Celaka... agaknya belum lama ini Thai-san-pai tertimpa malapetaka. Wah, hebat...! Kun Hong, Thai-san-pai telah dibakar orang, dibasmi sampai semua pohon-pohonnya habis dan rusak binasa."
"Apa...?!" Kun Hong berteriak, lalu melangkah ke sana ke mari, tangan yang memegang tongkat meraba-raba tanah yang sudah rata dan tidak ada sebatang pun pohon tumbuh lagi di sana. "Bagaimana hal ini bisa terjadi...?" pertanyaan ini keluar dari hatinya yang penuh kegelisahan, terdengar agak gemetar.
"Bagaimana kita bisa tahu? Tidak ada seorang pun tinggal di sini. Agaknya mereka semua sudah..." Song-bun-kwi sendiri yang biasanya tidak pedulian itu, kini sikap dan bicaranya tidak bisa percaya kalau Thai-san-pai dapat dibakar dan dibasmi orang dan semua penghuni puncak Thai-san sampai lenyap semua.
"Tidak mungkin, Locianpwe! Tak mungkin paman Beng San beserta bibi dan semua anak murid dapat dibasmi begitu saja! Aku tidak percaya!"
"Tuh di sana ada bayangan orang bergerak, mari kita ke sana!" tiba-tiba kakek itu berseru dan menarik tangan Kun Hong diajak lari menuruni puncak, lalu mendaki sebuah puncak yang lebih kecil.
Setelah tiba di situ, dia melihat bayangan orang tadi ternyata adalah seorang laki-laki yang kini sedang duduk bersila di sebuah kuburan yang puluhan jumlahnya. Kuburan-kuburan yang masih baru mengelilingi orang yang berpakaian putih itu, rambutnya awut-awutan seperti orang kurang waras.
Meremang bulu tengkuk Song-bun-kwi melihat kuburan-kuburan ini. Bukan karena merasa seram, karena dia sendiri adalah seorang iblis yang tidak takut akan sesuatu, apa lagi hanya kuburan dan orang aneh itu. Akan tetapi yang membuat dia merasa seram dan ngeri adalah dugaan yang timbul pada waktu melihat kuburan-kuburan itu. Siapa tahu di antaranya adalah kuburan Beng San dan Li Cu!
Segera dia melompat ke depan dan sekali sambar saja sudah berhasil mencengkeram leher laki-laki itu sambil membentak dengan suara menyeramkan, "Siapa kau dan apa yang kau lakukan di sini?!"
Tubuh itu sudah dia angkat tinggi-tinggi dan siap dibantingkan ke atas batu-batu besar yang banyak terdapat di tanah kuburan itu. Akan tetapi dengan gerakan yang tangkas dan cekatan sekali, orang itu menggoyang tubuh dan...
"Brettttt!" leher bajunya robek akan tetapi dia berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Song-bun-kwi!
Kakek ini kaget dan kagum. Jarang ada orang, apa lagi semuda itu, dapat melepaskan diri dari pada cengkeraman tangannya. Dia sudah siap untuk menerjang lagi karena sekaligus timbul rasa penasaran, juga kegembiraannya sebab akan mendapat lawan yang lumayan.
Akan tetapi tiba-tiba orang itu berseru, "Kwee-locianpwe...!"
Lalu dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. Di antara tangisnya, dia menyebut nama Kun Hong.
"Kwa-taihiap... celaka...!" Sangat sukar dia bicara karena tangisnya terus menyesakkan kerongkongannya.
Bukan main kagetnya hati Song-bun-kwi ketika mengenal bahwa orang yang mukanya pucat seperti mayat, matanya cekung dan tubuhnya kurus dengan rambut awut-awutan dan pakaian putih seperti orang gila ini ternyata bukan lain ialah Su Ki Han, murid kepala Thai-san-pai!
"Ki Han, bukankah kau ini? Apakah yang terjadi? Hayo cepat ceritakan!" Sepasang mata Song-bun-kwi liar memandang ke arah tanah-tanah kuburan yang masih baru itu.
Ada pun Kun Hong yang mendadak merasa kedua kakinya lemas saking gelisahnya, lalu duduk di atas sebuah batu besar, telinganya mendengarkan penuh perhatian. Jantungnya berdebar-debar, karena kebutaannya membuat dia tidak dapat melihat sesuatu dan hal ini menambah kegelisahannya. Alangkah besar keinginan hatinya untuk dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana keadaan puncak Thai-san yang dikatakan telah rusak binasa dan terbasmi itu. Hampir-hampir saja tak dapat dia percaya bahwa tempat tinggal pamannya yang demikian saktinya itu dapat dihancurkan oleh musuh.
"Ahhh, Kwee-locianpwe... celaka sekali... malapetaka hebat menimpa Thai-san-pai, dua pekan yang lalu..."
"Ki Han, bukankah kau murid kepala Thai-san-pai? Mengapa sekarang menangis seperti anak kecil? Huh, mana jiwa pendekarmu? Memalukan sekali. Hayo, bangun kau bicara yang betul kalau tidak mau kutendang mampus!" bentak Song-bun-kwi.
Su Ki Han, murid Thai-san-pai yang hancur luluh perasaan hatinya oleh kedukaan itu jadi terbangun semangatnya. Dia segera bangkit berdiri, menunduk dan berkata, "Maafkan saya, Locianpwe, maafkan kelemahan hati saya yang tidak kuat menderita kedukaan ini. Siapa orangnya yang tidak akan hancur hatinya. Thai-san-pai hancur binasa, siauw-sumoi (adik seperguruan kecil) diculik orang, subo pun lenyap melakukan pengejaran, kemudian suhu juga turun gunung mengejar, bahkan menyatakan bahwa Thai-san-pai dibubarkan untuk sementara waktu. Sembilan orang sute-ku tewas, sisanya sekarang tersebar tidak karuan. Kwee-locianpwe, hati siapa takkan menjadi sedih?"
Terdengar teriakan menyeramkan keluar dari kerongkongan Kun Hong yang telah bangkit berdiri dengan muka pucat. "Iblis jahanam! Siapa berani melakukan hal itu terhadap Thai-san-pai? Su Ki Han, hayo kau ceritakan sebenarnya apa yang telah terjadi!" Suara Kun Hong menggeledek, tanda bahwa dia dalam keadaan marah besar sehingga mendatangkan rasa kaget dan heran pada Song-bun-kwi yang biasanya mengenal pemuda itu sebagai seorang yang sangat lemah lembut dan penyabar.
Sebetulnya hal ini tidaklah aneh. Kun Hong cukup maklum betapa hancur luluh hati ibu Cui Bi ketika gadis kekasihnya itu tewas secara menyedihkan. Sekarang, setelah memiliki seorang anak perempuan lagi sebagai pengganti diri Cui Bi, ternyata hilang diculik orang. Thai-san-pai dibasmi dan dibumi-hanguskan, anak-anak murid Thai-san-pai banyak yang tewas. Sungguh-sungguh ini merupakan mala petaka yang maha hebat dan inilah yang menyakitkan hatinya.
Dengan suara tersendat-sendat saking sedihnya, Ki Han kemudian bercerita, bagaimana orang-orang Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai yang marah sekali datang menyerbu hingga terjadi pertempuran yang amat tak dikehendaki ketua Thai-san-pai, karena maklum bahwa bentrokan di antara mereka yang sehaluan itu adalah karena hasutan dan fitnah musuh rahasia. Diceritakan pula betapa kemarahan Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai itu adalah karena kematian Tan Hok dan murid-murid Kong-thong-pai yang terjadi di lereng Thai-san dan yang mereka katakan dilakukan oleh anak-anak murid Thai-san-pai.
Lalu bagaimana pada saat pertempuran berlangsung, puncak Thai-san-pai diserbu musuh yang tidak diketahui siapa. Nyonya ketua Thai-san-pai dengan gagah berani masih dapat menghalau pihak musuh, akan tetapi tidak dapat mencegah penculikan terhadap Cui Sian puterinya dan pembunuhan terhadap para pelayan.
Dengan air mata bercucuran Ki Han menutup ceritanya, "Kwee-locianpwe... Kwa-taihiap... alangkah hancur hati saya melihat suhu seperti itu. Suhu lalu mengamuk setelah subo (ibu guru) pergi melarikan diri untuk mencari puterinya... Suhu menghancurkan segala yang ada di puncak... lalu menyatakan pembubaran Thai-san-pai..."
"Iblis neraka!" Song-bun-kwi membanting kakinya saking marahnya. "Keparat Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai! Awas kalian, Song-bun-kwi akan melakukan pembalasan, membasmi semua orang Kong-thong-pai dari muka bumi."
Tiba-tiba Su Ki Han memandang terbelalak ke depan, lalu dia menjadi pucat dan berkata, "Kwa-taihiap..."
Song-bun-kwi cepat memutar tubuh memandang ke arah Kwa Kun Hong dan dia sendiri pun terbelalak. Bukan main keadaan Kun Hong pada waktu itu. Berdiri tegak dengan alis mata seolah-olah berdiri, sepasang mata yang buta itu terbuka lebar dan memperlihatkan rongga dalamnya yang kosong menghitam.
Mukanya berubah merah bagai terbakar, tubuhnya menggigil hingga mengeluarkan hawa getaran, hidungnya kembang-kempis, mulutnya terbuka berkali-kali tanpa mengeluarkan suara. Tangan kanannya memegang tongkat dan tangan kirinya bergerak-gerak perlahan dengan jari-jari terbuka tertutup seperti cakar harimau hendak mencengkeram.
Mendadak kedua tangannya membuat gerakan berbareng yang sangat aneh, tangan kiri mencengkeram ke depan dengan gerakan melengkung dari bawah ke atas miring ke kanan, sedangkan tangan kanan yang memegang tongkat membuat gerakan membabat dari kanan ke kiri, menyerong dari atas ke bawah. Gerakan yang berlawanan dari kedua tangan itu menimbulkan suara angin bersiut keras dibarengi bentakannya yang bukan main hebatnya.
"Haaiiiittttttt…!"
Hebat akibatnya. Batu besar berwarna hitam, sejenis batu gunung yang amat keras, yang tadi dia duduki, terkena serangan ini. Batu itu sama sekali tidak bergerak, seakan-akan tangan kiri dan tongkat tadi lewat begitu saja menembus batu, sedangkan kedua kaki Kun Hong membuat gerakan ke depan, langkah ajaib. Ketika tubuhnya menggeser lewat meninggalkan batu itu, mendadak batu itu bergoyang dan runtuh bagian atasnya, sapat di tengah-tengah seperti agar-agar teriris pisau tajam, belah menjadi dua dan bagian atas yang terkena cengkeraman tangan kiri tadi, perlahan-lahan runtuh hancur seperti tepung!
Song-bun-kwi memandang dengan dua mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia melihat betapa dari ubun-ubun kepala Kun Hong mengepul uap berwarna putih, betapa muka yang kini menjadi sangat menyeramkan itu mengeluarkan keringat besar-besar seperti kacang kedele, dan betapa dada pemuda buta itu melembung seperti hendak meletus. Sekali lagi Kun Hong yang meraba-raba dengan tongkatnya mendapatkan batu besar dan langsung diserangnya seperti tadi. Sekali serang dengan gerakan aneh tadi, batu itu pun hancur lebur tanpa mengeluarkan suara!
Sekarang dia melangkah lagi dan mulutnya berbisik-bisik. "Keji... keji... manusia-manusia iblis... keji...!"
Tiba-tiba Song-bun-kwi melayang ke depan sambil berseru, "Kun Hong, ingat! Kau bisa mencelakakan dirimu sendiri. Ingatlah dan tekan perasaanmu...!"
Tubuh kakek itu menyambar ke depan dengan maksud hendak memegang pundak Kun Hong dan menyadarkannya. Akan tetapi alangkah kaget dan ngeri hatinya ketika tiba-tiba Kun Hong memapakinya dengan gerakan persis seperti tadi, tangan kiri mencengkeram dan tongkat membabat.
"Ayaaa... celaka...!" Kakek itu memekik.
Cepat dia mengerahkan segenap tenaganya, melejit merendahkan tubuh untuk mengelak dari pada sambaran maut tongkat itu sedangkan kedua tangannya dia pergunakan untuk menghantam lengan kiri Kun Hong yang bercuitan bunyinya mengarah iganya. Juga kali ini tak terdengar suara ketika lengan kiri Kun Hong bertemu dengan dua lengan kakek itu. Akan tetapi akibatnya hebat bukan main.
Tubuh kakek itu terlempar seperti selembar layang-layang putus talinya, kemudian jatuh berdebuk dalam jarak enam tujuh meter jauhnya. Sedangkan tubuh Kun Hong dengan kedudukan kaki masih tetap seperti tadi, tergeser mundur sampai satu meter lebih, kedua kakinya membuat guratan dalam tanah sedalam sepuluh senti!
Song-bun-kwi tertawa bergelak dengan suara aneh menyeramkan, lalu dia merangkak bangun dan... darah segar tersembur ke luar dari mulutnya!
"Hebat... hebat... bukan main...!" Dia mengomel lalu menjatuhkan diri duduk bersila, sekali lagi muntahkan darah segar. Dia lalu meramkan mata mengatur napas karena benturan tadi telah mendatangkan sakit di dalam dadanya, tanda bahwa ia telah terluka dalam!
Ada pun Kun Hong yang tadinya seperti orang kemasukan setan, sekarang agaknya baru sadar. Dia melongo, menoleh ke sana ke mari, lalu... menangis terisak-isak, menyebut-nyebut nama Cui Bi. Kiranya pemuda ini karena sangat hancur hatinya mengingat akan nasib paman dan bibinya, sekaligus teringat kepada Cui Bi.
Ki Han tidak berani bergerak dari tempat dia berdiri. Dia tadi melihat kejadian yang amat hebat. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan ilmu kesaktian seperti tadi. Dia merasa seram dan ngeri, juga merasa sedih karena kedukaan Kun Hong itu seperti pisau yang merobek kembali luka dalam hatinya. Dia hanya berdiri dengan air mata bercucuran.
Berkat hawa murni dan tenaga dalam yang sudah amat kuat, benturan pukulan sakti tadi tidak mengakibatkan luka parah di dalam dada Song-bun-kwi. Beberapa menit kemudian dia telah dapat menyembuhkan akibat yang menimbulkan rasa nyeri di dada. Dia segera membuka mata, memandang Kun Hong yang sedang terisak-isak menangis. Cepat kakek ini melompat bangun dan dengan langkah-langkah lebar ia menghampiri Kun Hong, terus merangkulnya.
"Uhh, dengan jurus sakti yang kau miliki tadi, tidak patut kau mengeluarkan air mata, Kun Hong. Hebat sekali gerakanmu tadi dan hampir nyawaku yang sudah tua ini melayang kalau aku tadi tidak cepat-cepat mengelak. Bukan main!" Dia memuji dengan muka berseri gembira sekali.
"Kwee-locianpwe, aku akan membalas dendam ini! Aku tidak terima paman Beng San dan bibi dihina dan diperlakukan seperti ini. Aku akan mencari Cui Sian sampai dapat dan aku bersumpah takkan mau hidup lagi kalau tidak dapat membalas kejahatan orang-orang itu!"
"Ha-ha-ha, ini baru ucapan seorang jantan! Benar, Kun Hong, kejahatan harus ditumpas habis. Dan dengan jurus yang kau miliki tadi, tak akan ada tokoh di dunia ini yang akan mampu melawanmu. Ha-ha-ha!"
Kun Hong yang sudah berhenti menangis itu terheran. "Locianpwe, jurus apa yang kau maksudkan? Aku tadi hampir pingsan oleh kemarahan yang menyesakkan dada, aku tidak sadar lagi yang kulakukan."
"Ha-ha-ha, hampir kau memukul mampus padaku, masa kau tidak ingat?"
Bukan main kaget hati Kun Hong. Disangkanya kakek yang biasanya memang berwatak aneh dan gila-gilaan ini main-main dengannya.
"Saudara Su Ki Han, betulkah kata-kata Kwee-locianpwe ini?"
Murid kepala Thai-san-pai itu sudah cukup memiliki dasar ilmu silat tinggi sehingga dia maklum apa yang telah terjadi tadi. Dia menjawab, "Saya tidak mengerti apa yang telah terjadi, Taihiap. Hanya tadi saya melihat Taihiap memukul hancur dua buah batu besar, kemudian ketika locianpwe mendekat, Taihiap menyerangnya sehingga terjadi benturan yang mengakibatkan..." Dia tidak berani melanjutkan.
Song-bun-kwi tertawa. "Ha-ha-ha, akibatnya aku terlempar dengan nyawa hampir putus! Hebat sekali, Kun Hong."
Pemuda itu bingung. "Tetapi... benar-benar saya tidak tahu dengan jurus apa saya telah berlancang tangan menyerang Locianpwe."
Song-bun-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan. Tentu saja pengetahuannya dalam hal ilmu silat amatlah mendalam dan luas. Dia dapat menduga bahwa kemarahan dalam batin si buta itu membuat dia melakukan gerakan otomatis yang timbul dari pada dasar tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dengan demikian terciptalah sejurus pukulan yang luar biasa hebat tanpa disadari oleh pemuda itu sendiri. Dia tahu pula bahwa Kun Hong memiliki pendengaran yang amat tajam sebagai pengganti mata, maka dia lalu berkata, "Kau pinjamkan sebentar tongkatmu kepadaku, biar kucoba tiru gerakanmu tadi. Nah, kau tadi membabat dengan tongkat begini!"
Song-bun-kwi seberapa dapat dan seingatnya melakukan gerakan seperti yang dilakukan Kun Hong tadi dengan tongkat itu, membabat dari kanan ke kiri miring dari atas ke bawah.
Kagetlah Kun Hong. Itulah sebagian dari pada jurus Pedang Im-yang Sin-kiam yang dulu dia dapatkan dari Tan Beng San.
"Dan berbareng tangan kirimu mencengkeram dari kiri ke kanan mengarah iga, bergerak dari bawah seperti ini, tetapi mengeluarkan suara bercuitan." Kembali kakek itu meniru pukulan atau cengkeraman dari tangan kiri Kun Hong tadi.
Sekali lagi Kun Hong terkejut. Itulah ilmu pukulan dari Kim-tiauw-kun yang paling hebat, seperti juga gerakan pedang tadi merupakan jurus simpanan yang rahasia dari Im-yang Sin-kiam.
"Kau melakukan dua gerakan ini sekaligus menjadi sebuah jurus yang sakti, tentu saja aku tidak mampu melakukannya, karena tampaknya berlawanan sekali gerakan itu, juga sambaran tenaga dari kedua tanganmu berlawanan. Benar-benar aneh dan hebat sekali. Kun Hong coba kau mainkan lagi jurus ini, dengan kedua tanganmu, ingin sekali aku menyaksikan sekali lagi!" Dia mengembalikan tongkatnya.
Kun Hong ragu-ragu. Menurut teori, tidak mungkin kedua macam pukulan itu disatukan, sungguh pun keduanya dia faham benar. Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat biar pun terdiri dari penggunaan dua macam tenaga, tetapi tenaga Im-kang dan Yang-kang selalu digunakan secara bergantian untuk membingungkan lawan. Karena pergantian-pergantian yang tidak terduga-duga inilah maka ilmu itu merupakan ilmu yang selama ini dapat merajai dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana mungkin mempergunakan dua macam tenaga dalam satu gerakan? Namun demikian, mendengar kesungguhan suara kakek itu, dia merasa tidak enak kalau tidak mau mencobanya.
"Baiklah, akan kucoba, Locianpwe. Mengharap petunjuk Locianpwe yang berharga..."
Setelah berkata demikian, Kun Hong memasang kuda-kuda dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, kemudian dia mengerahkan tenaga karena dia ingin bergerak sungguh-sungguh. Tangan kirinya menyambar dibarengi sambaran tongkatnya dari kanan. Terdengar suara bercuitan seperti tadi, akan tetapi tiba-tiba Kun Hong mengeluh, tubuhnya limbung dan... dia roboh pingsan dengan muka pucat!
"Ah-ahh... sudah kuduga... waah, tua bangka goblok." Song-bun-kwi memukuli kepalanya sendiri lalu cepat dia berlutut mendekati Kun Hong dan memeriksanya.
Napas pemuda buta itu empas-empis, tubuhnya sebentar panas dan sebentar dingin, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Kakek itu setelah memeriksa jalan darahnya, kaget mendapat kenyataan bahwa di dalam tubuh itu, dua kekuatan yang berlawanan sedang saling desak untuk menguasai tubuh itu.
Inilah berbahaya, pikirnya, karena gempuran-gempuran yang terjadi antara dua macam hawa sakti ini akan dapat merusak jantung Kun Hong. Dia sendiri adalah seorang yang ahli dalam tenaga sakti Yang-kang, maka segera dia menempelkan telapak tangannya pada dada Kun Hong, mengerahkan tenaga Yang-kang untuk membantu tenaga di dalam tubuh pemuda itu menindih tenaga Im.
Dengan penambahan tenaga Yang-kang yang amat kuat dari kakek ini, ternyata tenaga Im di tubuh Kun Hong yang meliar itu dapat ditundukkan. Muka pemuda buta ini sekarang lebih lama merahnya dari pada pucatnya, juga napasnya mulai kuat akan tetapi tubuhnya semakin panas saja. Hal ini adalah karena dia masih pingsan sehingga tidak mampu mengendalikan hawa Yang-kang di tubuhnya yang sekarang sudah mulai bisa menguasai tubuhnya.
Setengah jam kemudian Kun Hong sadar. Dia mengeluh dan cepat-cepat mengerahkan tenaga yang hampir saja membuat tubuhnya meledak saking panasnya itu berputaran di seluruh tubuh sehingga dia normal kembali. Song-bun-kwi melepaskan tangannya, keringat membasahi seluruh tubuh dan setelah mengumpulkan tenaganya dia berkata, "Waahh, berbahaya sekali. Jurusmu itu memang hebat bukan main, Kun Hong, hebat dan amat berbahaya bagi lawan. Akan tetapi juga berbahaya bagi dirimu sendiri."
Kun Hong maklum bahwa dia telah ditolong, maka dia pun berlutut menghaturkan terima kasih. "Mohon petunjuk Locianpwe," katanya sederhana.
Song-bun-kwi menoleh kepada Su Ki Han yang menyaksikan semua itu dengan melongo penuh keheranan dan kekaguman. Lalu kakek itu meloncat berdiri, menarik tangan Kun Hong supaya berdiri.
"Marilah kita turun gunung, biar nanti kujelaskan kepadamu. Ki Han, kau adalah murid Thai-san-pai yang setia dan jujur, mudah-mudahan kejadian semua ini akan menambah pengertianmu dan memperdalam ilmumu. Kau berjagalah di sini, menunggu kembalinya gurumu. Kami berdua tentu takkan tinggal diam, akan kubantu gurumu mencari puterinya. Hayo, Kun Hong, kita pergi!" Kakek itu mengandeng tangan Kun Hong. Keduanya melesat lenyap dari puncak itu...