CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BUTA JILID 19
Gadis itu tercengang, melihat kedua tangannya yang telah bebas dan dengan bingung kini memandang pemuda asing yang telah menghampiri gadis ke dua, melepaskan belenggu, kemudian maju untuk menolong gadis-gadis yang lain. Setelah lima orang gadis itu bebas semua, dia mundur dan membungkuk dengan dalam di depan lima orang gadis itu yang kini hanya dapat berdiri melongo memandangnya dengan sinar mata bingung, heran, dan juga terima kasih bercampur keraguan.
Nagai Ici kemudian menghampiri dua kotak tadi, membukanya dan mengambil perhiasan-perhiasan berharga itu, membagi-bagikan kepada kelima orang gadis tadi sekuat tenaga mereka membawa, malah ia membantu mengalung-ngalungkan perhiasan pada leher dan lengan mereka. Semua ini ditonton oleh Lauw Teng yang tertawa-tawa, juga para perampok tertawa-tawa akibat merasa geli melihat tingkah laku pemuda Jepang yang agaknya hendak mengambil hati para gadis itu sebelum memaksa mereka menjadi selir-selirnya. Benar-benar seorang pemuda yang cerdik, pikir mereka. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanjiri para gadis itu dengan barang-barang hadiah untuk merebut hati dan kasih!
Yang paling mendongkol adalah Loan Ki. Hatinya lantas memaki-maki, "Laki-laki ceriwis! Pemuda gila perempuan! Si mata keranjang menyebalkan!"
Akan tetapi semua orang menjadi terheran-heran, juga Loan Ki, ketika melihat Samurai Merah itu sekali lagi menjura dalam sampai kepalanya hampir menyentuh tanah di depan para gadis itu sambil berkata, "Sekarang, Nona sekalian silakan pulang ke rumah masing-masing. Kalian kubebaskan!"
Lima orang gadis itu menjadi lebih heran dan bingung lagi. Mereka saling pandang, tidak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu serta bingungnya, hanya nampak mereka menggeleng kepala, malah ada yang mulai menangis.
Nagai Ici memandang dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya yang tebal, menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Ahh, agaknya Nona sekalian tidak berani pulang sendiri? Baiklah, silakan kalian mengaso di sana, di bawah pohon besar itu, biar aku menyelesaikan urusanku dengan orang-orang ini. Nanti saya yang akan mengantar Nona semua pulang ke kampung dan rumah masing-masing.”
Lima orang gadis itu menjadi girang bukan main. Mulailah wajah mereka berseri-seri dan senyum-senyum manis tersembul di balik keharuan dan air mata, menambah jelita wajah dara-dara muda itu. Dengan langkah halus dan tertatih-tatih karena beban barang-barang berharga itu terlampau berat, mereka mentaati permintaan Nagai Ici dan pergi ke bawah pohon besar, lalu duduk bersimpuh di atas akar pohon.
Loan Ki yang bersembunyi di atas pohon itu, diam-diam menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri yang tadi telah memaki-maki pemuda Jepang itu dengan tuduhan yang bukan-bukan. Sekarang ia kembali mencurahkan perhatiannya pada pendekar muda dari Jepang itu.
Sementara itu, Lauw Teng mulai curiga dan marah. Dia melangkah maju, meraba gagang goloknya dan suaranya sudah kehilangan keramahannya ketika dia bertanya, "Nagai Ici, apa maksudmu dengan semua ini? Jangan kau main-main denganku!"
Dengan senyum mengejeknya pemuda Jepang itu membalikkan tubuh menghadapi ketua Hui-houw-pang, membungkuk dengan caranya yang dalam pandangan Loan Ki amat lucu itu dan berkata, "Hui-houw Pangcu Lauw Teng. Kau tadi menyanggupi tiga macam syarat, dan yang dua sudah kau penuhi, terima kasih. Tinggal sebuah syarat lagi, kalau ini kau penuhi, aku Nagai Ici Si Samurai Merah berjanji akan suka menjadi muridmu atau malah pembantumu sekali pun."
"Hemmm, kau katakan lekas, apa syarat ke tiga itu?"
"Kau dan anak buahmu bukanlah manusia baik-baik. Orang macam kau ini mana patut menjadi guruku? Andai kata kau sepuluh kali lipat lebih pandai sekali pun, tidak sudi aku menjadi murid dari seorang penjahat keji yang suka menculik gadis dan merampok harta orang lain. Lauw Teng, dengarlah. Syaratku ketiga adalah, kalau kau bisa memenangkan samuraiku dan mampu memenggal batang leherku, barulah aku suka menjadi murid atau pembantumu."
Loan Ki di atas pohon terkikik menahan tawa. Geli hatinya melihat Lauw Teng si gendut yang menjadi melongo penuh amarah dan kecewa itu, di samping hatinya merasa girang bahwa pemuda Jepang yang menarik hatinya serta mengagumkannya itu ternyata benar seorang gagah yang hebat. Kembali ia bersiap sedia untuk membantu Samurai Merah itu andai kata terancam bahaya.
Memang marah sekali Lauw Teng. Sambil berseru keras dia mencabut goloknya yang tajam berkilauan. "Bagus, kau Jepang keparat! Kalau kau ingin mampus, mengapa tidak sejak tadi bilang terus terang? Manusia tak tahu diri, diberi hati merogoh jantung, keparat!"
Golok Lauw Teng berkelebat dan dengan kemarahan meluap-luap ketua Hui-houw-pang itu menerjang Ici. Serangannya hebat dan dahsyat, golok menyambar menjadi kilat maut menyilaukan mata.
Samurai Merah terkejut juga dan maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang pandai. Oleh karena itu ia pun tidak berani memandang ringan. Cepat dia melompat ke belakang sejauh dua meter dan tangannya meraih pinggang.
"Srattt!"
Sinar berkilau ketika samurai yang merupakan pedang panjang melengkung itu tercabut dari sarungnya.
Baru sekarang Loan Ki dapat melihat pedang itu dengan jelas. Dia kagum dan heran. Kagum karena sebagai puteri seorang pendekar pedang, tentu saja ia juga seorang ahli pedang dan tahu akan pedang-pedang baik. Biar pun hanya melihat dari tempat jauh, ia dapat menduga bahwa pedang aneh itu terbuat dari pada bahan yang baik sekali. Bukan baja yang baik kalau tidak dapat mengeluarkan suara mengaung seperti itu ketika dicabut dari sarungnya.
Pedang itu tajam seperti silet, bermata sebelah dan termasuk golongan pedang panjang. Akan tetapi karena agak melengkung, tentu cara memainkannya seperti orang bermain golok. Anehnya, gagangnya terlampau panjang sehingga Loan Ki meragu apakah dengan gagang pedang macam itu orang dapat bersilat dengan baik?
Dengan hati berdebar Loan Ki melihat betapa pemuda Jepang itu sudah siap, memasang kuda-kuda yang amat teguh. Tubuhnya merendah, mata tenang tajam memandang lawan dan... kedua tangannya memegang gagang pedang itu. Hampir Loan Ki tertawa. Inilah aneh, pikirnya.
Walau pun tadi sudah menyaksikan sendiri betapa lihainya Samurai Merah ini membabat buntung tangan ketiga orang pembantunya, akan tetapi melihat pasangan kuda-kuda jago muda Jepang itu, Lauw Teng hanya memandang rendah. Sambil membentak nyaring dia menerjang lagi, goloknya bagaikan baling-baling yang diputar makin lama semakin cepat, merupakan gulungan sinar putih mengurung diri lawan.
"Haiiiiit!" Samurai Merah mengayun samurai sambil meloncat.
Terdengar suara nyaring disusul bunga api muncrat pada saat dua senjata itu bertemu di udara. Diam-diam mereka memuji tenaga lawan yang sanggup membuat tangan masing-masing bergetar. Namun Lauw Teng yang sudah banyak pengalaman itu terus menerjang, mempergunakan kegesitannya karena melihat betapa ilmu pedang lawan ini kurang gesit nampaknya.
Dugaannya keliru. Biar pun gerak-geriknya kaku dan aneh, kiranya jago muda Jepang itu sanggup mengimbangi permainannya, melompat-lompat dan seakan-akan bukan dia yang memainkan pedang, tapi pedangnya yang bergerak-gerak dan membawa serta tubuhnya. Tubuh Nagai Ici dan pedangnya seakan-akan menjadi satu ketika mencelat ke kanan kiri untuk menangkis dan balas membacok!
Kalau sudah bersilat seperti itu, tidak banyak bedanya kedudukan tubuhnya dengan para ahli pedang di Tiongkok. Akan tetapi setiap kali ada kesempatan dan tidak terdesak, tentu dia akan berdiri tegak memasang kuda-kuda di atas tanah, diam tak bergerak bagaikan patung, hanya biji matanya saja yang liar bergerak mengikuti gerakan lawan, sedangkan pedangnya yang dipegang dengan kedua tangan itu diacungkan ke depan dada, ujungnya mengikuti gerakan lawan pula.
Loan Ki tertawa senang. Boleh juga bocah ini, pikirnya. Apa lagi kalau dia sedang berdiri seperti itu mengikuti gerakan lawan, gagah juga!
"Keparat, mampuslah!" teriak Lauw Teng yang sudah menerjang lagi.
Sejenak dia berhenti dan mengkal hatinya melihat lawannya laksana patung tidak balas menyerang atau lebih tepat, tidak mau mendahului menyerang itu. Akan tetapi begitu dia kembali menyerang, Samurai Merah itu selain menangkis dan mengelak, juga cepat balas membacok. Bahkan kali ini tidak ada bacokan golok yang tidak dibalas. Setiap bacokan dibalas dengan bacokan pula sehingga pertandingan itu ramai bukan main. Amat seru dan setiap kali pedang atau golok berkilat, berarti tangan maut menjangkau mencari nyawa!
"Aduh sayang...," diam-diam Loan Ki menyesal melihat jalannya pertandingan seperti itu. "Ilmu pedangnya aneh dan boleh juga, akan tetapi mengapa demikian lambat dan banyak membiarkan kesempatan berlalu percuma? Kurang agresip, wah, sayang benar. Jika lebih agresip sedikit saja, hanya dalam belasan jurus saja si katak gendut itu tentu sudah dapat dikalahkan."
Memang pendapat Loan Ki ini benar. Ilmu pedang Samurai Merah itu sangat kuat dalam pertahanan, bahkan setiap kali bertahan selalu dirangkai dengan serangan balasan. Akan tetapi kurang cepat dan kurang agresip.
Biasanya, pemain pedang malah menghujani serangan dengan maksud membuat lawan bingung dan pertahanannya menjadi lemah sehingga banyak tercipta lowongan-lowongan untuk dimasuki. Akan tetapi, permainan pedang gaya Jepang ini agaknya hanya mencari lowongan di waktu lawan menyerang.
Memang hal itu benar juga karena setiap penyerangan berarti membuka pintu pertahanan, akan tetapi karena dia sendiri sudah diserang, maka tentu saja penyerangan balasannya kurang kuat karena tidak dilakukan dengan tenaga dan perhatian sepenuhnya. Sebagian tenaga dan perhatian sudah dipakai untuk mempertahankan diri dari penyerangan lawan.
Betapa pun juga, lambat laun Samurai Merah dapat pula mendesak Lauw Teng. Memang harus diakui bahwa selain ilmu pedangnya aneh dan sulit diduga perkembangannya, juga pemuda ini menang gesit dan menang kuat. Kini penyerangan Lauw Teng makin lemah dan balasan dari Samurai Merah itu makin hebat. Malah setiap bacokan dibalas dengan dua tiga kali bacokan sekaligus yang membuat Lauw Teng kelabakan!
Karena makin lama semakin repot, timbullah rasa takut di hati Lauw Teng sehingga ketua Hui-houw-pang yang amat terkenal di Propinsi Shan-tung sebagai perkumpulan perampok yang ganas ini mulai berteriak-teriak minta tolong dan bantuan dari anak buahnya!
Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh para perampok itu. Semenjak tadi mereka sudah mendongkol dan marah sekali terhadap pemuda yang agaknya akan diambil hatinya oleh ketua mereka. Begitu mendengar teriakan sang ketua, serentak mereka lalu melakukan pengeroyokan dengan senjata di tangan.
Samurai Merah tertawa bergelak, lalu mengamuk. Berkali-kali terdengar pekiknya yang dahsyat.
"Yaaaattt!"
Setiap kali dia memekik, tentu seorang di antara pengeroyoknya roboh mandi darah, dan samurainya selalu berhasil mendapatkan korban, membabat putus tangan, kaki, hidung, telinga, bahkan ada dua orang yang buntung lehernya!
Pertempuran semakin hebat mengerikan. Walau pun jagoan muda Jepang itu mengamuk seperti seekor harimau muda, menghadapi pengeroyokan para perampok yang nekat dan rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu, akhirnya dia kewalahan juga.
Loan Ki merasa sudah cukup lama menjadi penonton. Ia melayang turun dari atas cabang pohon, membuat kelima orang gadis yang sudah ketakutan setengah mati menyaksikan orang-orang bertempur, darah muncrat serta tubuh luka-luka itu, kini terkejut bukan main melihat betapa dari atas pohon tiba-tiba ada seorang manusia ‘terbang’ melewati kepala mereka!
"Hemmm, Lauw Teng perampok hina, masih beranikah kau menjual lagak mengandalkan pengeroyokan menghina orang?"
Lauw Teng menengok dan wajahnya seketika menjadi pucat. Tentu saja dia mengenal gadis yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dengan sikap gagah itu. Siapa lagi kalau bukan dara lincah yang amat gagah perkasa, yang pernah tanpa gentar merobohkan banyak anak buah Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang digabung menjadi satu.
Apa lagi kalau dia ingat bahwa munculnya gadis sakti ini mungkin sekali disusul pula oleh pendekar buta yang seperti iblis itu. Hatinya sudah setengah membeku saking takut dan gentarnya.
"Kawan-kawan... mundur...!" Ia memekikkan aba-aba ini sambil mendahului anak buahnya lari tunggang-langgang meninggalkan gelanggang pertempuran.
Tentu saja para anak buahnya juga sangat ketakutan melihat munculnya Loan Ki yang sudah mereka kenal kelihaian pedangnya. Jago muda Jepang itu saja sudah cukup berat dilawan, apa lagi muncul dara hebat ini.
Maka terjadilah perlombaan yang menarik, yaitu lomba lari tunggang-langgang bersicepat meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan lagi teman-teman yang tewas atau terluka. Bahkan mereka yang terluka berusaha pula ikut melarikan diri, walau pun mereka harus merangkak-rangkak dan terhuyung-huyung.
Sebentar saja keadaan di situ sudah sunyi. Para penjahat yang tinggal hanyalah mereka yang sudah tewas, yaitu dua orang yang putus lehernya karena mereka ini tentu saja tak mungkin dapat berlari lagi. Selain mayat dua orang penjahat ini, di situ berserakan pula potongan-potongan tangan, kaki, hidung, telinga dan ceceran darah. Mengerikan sekali!
Sampai lama Nagai Ici berdiri melongo memandang Loan Ki yang masih tersenyum geli menyaksikan tingkah laku para perampok itu. Hampir saja jago muda dari Jepang ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri serta pendengaran telinga sendiri. Mimpikah dia? Ataukah dia betul-betul melihat bidadari turun dari kahyangan dan begitu melihat bidadari ini para perampok yang ganas dan kejam itu lari tunggang-langgang ketakutan?
Inilah hal aneh yang baru pertama kali selama hidupnya dia saksikan. Seorang dara jelita berpakaian bagai seorang pendekar, yang membawa-bawa pedang di pinggangnya, gadis cilik berusia belasan tahun, ditakuti kawanan perampok yang ganas dan kejam?
Hampir Nagai Ici tertawa geli. Melihat lima orang gadis tawanan tadi, timbul kasihan dalam hatinya karena sifat mereka itu sama dengan wanita-wanita di negerinya, lemah-lembut dan tidak berdaya, membutuhkan pertolongan pria yang kuat. Akan tetapi dara muda ini, yang membawa-bawa pedang, sama sekali tak membutuhkan perlindungan dan bantuan dirinya, malah sebaliknya seperti sudah membantunya karena kemunculannya mengusir para penjahat yang tadi sudah membuat dia kewalahan dan repot terdesak.
Laki-laki atau perempuankah orang ini? Melihat dari sikap dan gerak-geriknya yang begitu gesit cekatan dan gagah, patutnya seorang pria. Akan tetapi melihat wajah yang begitu manis dan kulit yang begitu halus, bentuk tubuh yang begitu ramping dan padat tanpa otot-otot tentunya seorang wanita. Malah wanita yang cantik jelita, dengan mata seperti bintang kejora, pipi sehat kemerahan, mulut yang amat manis. Bukan main! Manusiakah atau bidadarikah?
Setelah semua penjahat itu melarikan diri, tiba-tiba saja Loan Ki merasa seakan-akan ada sesuatu yang menarik dan memaksanya menoleh. Dia membalikkan tubuh memandang dan... dua pasang mata saling pandang, dua sinar mata bertemu di udara. Seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan saling tempel sulit dilepaskan lagi! Pandang mata si pemuda penuh keheranan, kekaguman, dan penghormatan. Pandang mata si pemudi penuh keramahan, pengertian, kegigihan dan setengah mengejek bahkan menantang!
Bibir Loan Ki bergerak mengarah senyum. Geli dan senang hatinya melihat betapa orang itu melongo seperti orang yang lupa ingatan, pedang bengkok itu masih dipegang dengan kedua tangan, kedua kaki masih memasang kuda-kuda yang lucu dan aneh itu. Alangkah bagusnya kalau orang itu menjadi patung dan dipasang di depan jalan masuk Pek-tiok-lim tempat tinggal ayahnya, pikir dara nakal ini. Pikirannya itu membuat senyumnya melebar sehingga berkilatlah deretan gigi putih.
Agaknya kilauan gigi putih ini menyadarkan pula Nagai Ici yang terpesona itu. Dia menarik dua kakinya, memasukkan pedang Samurai ke dalam sarung pedang, merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, ditempelkan di depan dada lalu membungkuk dalam sekali sampai tubuhnya hampir berlipat dua.
Makin geli hati Loan Ki menyaksikan penghormatan seperti ini, tapi sebagai seorang gadis ia membalas pula dengan mengangkat dua tangan ke depan dada dalam bentuk kepalan, dan tubuhnya dibongkokkan sedikit dengan cara menekuk sedikit lutut kirinya.
"Bolehkah hamba bertanya... tuan ini siapakah? Manusia ataukah dewa?" tanya Nagai Ici dengan bahasanya yang kaku namun cukup jelas.
Segera dia melengak kaget dan kembali melongo pada saat melihat betapa makhluk yang disangkanya dewa itu mendadak terkekeh, tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan tangan, ciri kewanitaan yang berlaku juga di Jepang!
"Hi-hi-hik... aduh lucunya... hi-hi-hik, maafkan aku... tak tahan aku... ahh, kau lucu sekali. Ehh, Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah, pertanyaanmu tadi kukembalikan kepadamu, coba kau terka, aku ini manusia ataukah dewa? Wah, jangan-jangan kau malah tidak tahu pula dari jenis apa aku ini, laki-laki ataukah perempuan..."
Merah seluruh muka Nagai Ici. Makin bingunglah dia. Juga makin heran dan kaget. Kalau disebut dewa, terang bukan karena ujudnya jelas manusia, menginjak tanah, tak memiliki sayap, dan malah ada bau yang harum menyentuh hidungnya. Tetapi apa bila dikatakan manusia, mengapa begini aneh dan datang-datang sudah mengenal nama dan julukannya segala!
"Saya... saya tidak tahu... ehh, maksud saya... ehh, tuan seperti manusia... dan tentunya seorang wanita pula, tapi... ehh, kalau wanita masa ditakuti para perampok dan apa bila manusia, mana mungkin manusia wanita bisa meloncat turun dari atas pohon yang begitu tinggi? Dan tuan... ehh, sudah tahu akan nama saya pula..."
Kembali Loan Ki tertawa. "Nagai Ici, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi sungguh amat bodoh. Sudah pasti aku manusia, dan sudah jelas aku bukan laki-laki, masa kau tidak dapat membedakan? Tentang namamu, tentu saja aku tahu karena sudah sejak tadi aku mengintai dari atas pohon. Tentang meloncat turun dari pohon, apa sih sukarnya? Yang lebih tinggi lagi aku sanggup meloncati. Perkara perampok-perampok itu takut kepadaku, apa pula anehnya kalau mereka itu pernah kuhajar?"
Kini pandang mata Nagai Ici berubah kagum, kagum bukan main karena baru pertama kali ini selama hidupnya dia menyaksikan seorang wanita yang begini perkasa.
"Maaf, Nona... wah, kau hebat sekali." Tiba-tiba pandang matanya berubah dan dia lalu mendekat, matanya lekat-lekat memandang arah mulut Loan Ki.
"Astaga! Jadi kau malah pencurinya?"
Kini Loan Ki yang menjadi bingung dan heran, juga geli melihat tingkah orang Jepang yang aneh ini. Baru saja begitu ketakutan seakan-akan hendak berlutut menyembahnya karena mengira ia dewa, kemudian berubah kemalu-maluan dan ramah, tetapi sekarang tiba-tiba seperti kurang ajar!
"Apa maksudmu? Pencuri apa?" tanyanya dengan kening berkerut.
Pemuda Jepang itu meloncat-loncat, kaki tangannya bergerak-gerak dan mukanya seperti orang marah, "Siapa lagi kalau bukan kau. Ya, kau pencurinya! Tidak usah menyangkal, kau gadis nakal. Kau minta pun akan kuberi, kenapa mencuri? Hayo kau mengaku!"
Loan Ki makin terheran dan makin lama ia makin marah. "Setan alas kau! Jangan kurang ajar, ya? Kau kira aku takut kepadamu?"
Nagai Ici tersenyum mengejek. "Wah, ini mana dapat dibilang gagah kalau tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatan sendiri? Sudah pandai mencuri, kemudian pandai berpura-pura dan menyangkal pula. Hayo, di kanan dan kiri bibirmu yang merah itu masih berlepotan minyak, malah ujung hidungmu yang mancung itu pun berminyak. Kau belum sempat mencucinya, ya? Wah, agaknya sudah habis kau ganyang semua panggang paha macan punyaku tadi. Celaka!"
Loan Ki melongo dan baru teringatlah ia akan perbuatannya yang nakal tadi, yaitu mencuri panggang paha macan orang yang sedang mandi. Tiba-tiba saja mukanya menjadi merah bagai udang direbus dan otomatis tangan kirinya diangkat untuk menghapus bibirnya yang kiranya benar-benar penuh minyak!
Wah, repotlah Loan Ki sekarang menggunakan dua tangannya. Karena malu dan bingung, Loan Ki menjadi marah sekali. Dengan telunjuknya yang runcing dia menuding ke arah hidung Nagai Ici, pandang matanya melotot.
"Setan kau! Berani kau memperolokku?"
Nagai Ici tertama, tubuhnya bergerak-gerak. "Kau... kau pencuri daging, tukang nyolong!"
Kemarahan Loan Ki bukan kepalang lagi, "Kau... tikus, cacing, kadal, anjing, monyet, babi, kuda!" Ia memaki-maki sejadinya dan menyebut nama semua binatang. Paling akhir dia mencabut pedangnya dan menantang. "Hayo kita buktikan di antara kita siapa yang lebih gagah!"
Memang sebenarnya inilah yang dikehendaki Samurai Merah. Begitu bertemu dengan dara ini, semangatnya langsung terbetot, perhatiannya tertarik, hatinya terpikat tanpa dia sadari lagi. Tadinya dia hampir percaya bahwa dara jelita dan gagah perkasa ini adalah sebangsa peri atau bidadari. Akan tetapi setelah ‘bidadari’ itu bersuara, tahulah dia bahwa makhluk ini ternyata adalah seorang dara jelita yang wajar, seorang manusia yang hidup dan segar gembira lahir batinnya.
Dia kagum bukan main dan melihat cara gadis ini tadi bergerak turun dari pohon, dia pun menduga bahwa tentu ilmu kepandaian gadis ini juga hebat. Apa lagi kalau diingat bahwa menurut kata gadis itu sendiri, para perampok jahat itu tadi ketakutan melihatnya karena pernah ia beri hajaran. Tentu saja hal ini dia sendiri tidak dapat begitu saja mempercayai.
Inilah sebabnya, ketika melihat bibir dan ujung hidung yang amat lucu indah itu berlepotan minyak, dia sengaja menuduh dan mengejek, dengan maksud membangkitkan amarah gadis itu dan mendapat alasan untuk menguji kepandaiannya. Dia kurang percaya kalau seorang gadis sehalus dan secantik ini, masih amat muda lagi, dapat ‘memberi hajaran’ kepada seorang kepala penjahat seperti Lauw Teng dan anak buahnya.
Akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa gadis yang ‘besar mulut’ ini sedikitnya tentu memiliki ilmu pedang yang lumayan, terbukti dari caranya mencabut pedang yang cukup cepat dan cekatan itu. Karena itu dia tidak berani memandang rendah dan dia pun segera melolos pedang samurainya dari sarungnya.
"Nona cilik..."
"Jangan sebut-sebut nona cilik. Apa kau sudah tua bangka? Kau sendiri pun masih cilik, paling-paling hanya beberapa tahun lebih tua dari pada aku. Lagaknya seperti orang tua saja!"
Nagai Ici tertawa. Dia sebetulnya seorang yang berwatak pendiam dan serius (sungguh-sungguh), akan tetapi berhadapan dengan dara lincah seperti ini mau tidak mau bangkit kegembiraannya. Sepasang matanya yang biasanya tenang dan tajam itu kini bersinar-sinar, wajahnya yang gagah tampan berseri-seri.
"Hayo, kau mau bilang apa lekas bilang sebelum pedangku bicara, jangan cuma cengar-cengir seperti kunyuk mencium cuka!" Loan Ki membentak lagi. Dasar gadis lucu jenaka, sedang marah pun lucu, sama sekali tidak membuat orang takut.
"Nona... besar, maksudku... ehhh, apa perlunya kita mengadu senjata? Senjata pedang adalah benda tajam yang berbahaya, bagaimana kalau sampai melanggar tubuh? Lebih baik kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong saja."
"Ihhh, siapa sudi? Tadi sudah kulihat bahwa hanya dengan pedangmu yang bengkok itu kau pandai berkelahi. Kalau bertangan kosong, kau hanya mengandalkan cengkeraman dan tangkapan. Mana aku sudi bersentuh tangan dengan kau? Hayo lekas serang dengan pedangmu!"
Nagai Ici tetap ragu-ragu. Ia telah belasan tahun mempelajari ilmu pedang, dan selama ini samurainya amat ganas dan dikenal sebagai Samurai Merah. Ilmu pedangnya adalah ilmu pedang khusus untuk merobohkan lawan, begitu samurainya berkelebat, tentu membabat putus sesuatu. Mana dia tega melukai nona yang dia kagumi ini?
"Wah, kenapa bengong saja? Apa kau kira aku takut melihat pedangmu yang bengkok dan jelek itu? Pedang apa itu, pantasnya untuk potong babi!"
Diejek begini, panas juga hati Nagai Ici. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya dan tentu saja dia akan berhati-hati agar jangan sampai salah tangan melukai dara ini.
"Hemmm, kau hendak mengenal Samurai Merah? Bersiaplah!" bentaknya.
"Samurai Merah atau samurai belang bonteng, peduli apa aku? Hayo serang kalau berani, ngomong saja dari tadi kerjanya!" ejek Loan Ki.
Ia sendiri memang berwatak aneh, mudah marah, mudah gembira, namun lebih banyak gembiranya dari pada marahnya. Sekarang pun kemarahannya karena tadi dimaki tukang nyolong sudah mereda dan ia menghadapi pedang jago muda Jepang itu terutama sekali karena ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu pedang aneh itu.
"Awas!" teriak Nagai Ici.
Samurainya berkelebat membuat gerakan segitiga di depan tubuhnya. Indah sekali gaya pertahanan pertama ini. Dan dia lalu diam tak bergerak, hanya biji matanya yang hidup meneliti setiap gerakan lawan, terutama gerakan kedua lengan.
Loan Ki sudah tahu bahwa ilmu pedang orang ini memang aneh, sifatnya diam menanti serangan. Kalau ia pun diam menanti, agaknya mereka berdua akan berdiri berhadapan memasang kuda-kuda dan berdiam terus seperti patung sampai seorang di antara mereka kalah karena menjadi kesemutan akibat berdiri diam terlalu lama. Akan tetapi dia tak sudi menjadi patung. Cepat bagai kilat menyambar, pedangnya berkelebat menjadi segunduk sinar menerjang maju.
"Haaaaiiiiit!"
Nagai Ici berseru keras saking kagetnya melihat betapa seakan-akan ujung pedang gadis itu berubah menjadi belasan batang, tergetar dan menerjang kepadanya secara aneh, sukar diduga ke arah mana ujung pedang itu akan menusuk! Dia segera, memutar samurainya sekuat tenaga, membabat ke arah bayangan ujung-ujung pedang itu dengan maksud mempergunakan tenaganya untuk menghantam pedang gadis itu agar terlepas dari pegangan.
"Wuuuuuttttt!"
Samurainya yang berat, tajam dan bergerak cepat itu ternyata hanya menghantam angin belaka karena secara tiba-tiba belasan ujung pedang lawan itu sudah lenyap dan kembali berubah menjadi segundukan sinar pedang menyerangnya, kini dari kanan kiri atas bawah tak tentu ujung pangkalnya.
"Bagus...!" Mau tak mau Nagai Ici berseru memuji.
Inilah hebat, pikirnya. Ilmu pedang yang luar biasa, jauh lebih hebat dari pada ilmu golok ketua Hui-houw-pang tadi. Maklumlah dia bahwa gadis itu benar-benar bukan sekedar memiliki ilmu ‘gertak sambal’ belaka, tetapi benar-benar seorang gadis muda yang ‘berisi’, yaitu yang memiliki kepandaian tinggi.
Hatinya makin gembira dan berkurang keraguannya karena sekarang dia tidak takut lagi untuk salah tangan sebab maklum bahwa gadis itu cukup mampu menjaga diri. Cepat dia memutar samurainya sehingga sinar pedang samurai itu berkilat-kilat menyambar ke arah gulungan sinar pedang Loan Ki.
Dari angin sambaran pedang samurai, Loan Ki maklum bahwa orang muda itu memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat kuat, maka ia tidak berani mengadu pedang, kuatir kalau-kalau pedangnya akan rusak bertemu dengan samurai yang digerakkan oleh tenaga gajah itu. Ia menggunakan kegesitannya dan bersilat dengan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang luar biasa.
Gerakannya indah dan lemah lembut, seperti seorang bidadari kahyangan tengah menari. Pinggangnya yang ramping bergerak-gerak lemas dan lehernya ikut pula bergerak-gerak. Langkahnya berlenggang-lenggok dan untuk melengkapi ilmu pedang ini yang memang mengharuskannya sebagai taktik, ia pun tersenyum-senyum dan mengerling dengan amat manis dan ayunya.
Memang dahulu pencipta ilmu pedang ini, yaitu Si Pendekar Baju Merah Ang I Niocu, sengaja menciptakan ilmu pedang yang luar biasa untuk mengalahkan lawan-lawan berat. Bentuk tarian indah gemulai disertai senyum dikulum dan kerling memikat sesuai dengan wajah yang cantik jelita, semata-mata merupakan taktik untuk mengacaukan konsentrasi (pemusatan pikiran) dan melemahkan daya tempur lawan.
Tentu saja Nagai Ici pun melihat ini semua dan hatinya berdebar tak karuan. Bukan main indahnya ilmu pedang yang seperti tarian itu dan wajah gadis lincah itu makin lama makin cantik menarik.
Akan tetapi pemuda Jepang ini bukan seorang manusia biasa yang mudah lumpuh oleh kecantikan wanita. Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh seorang daimyo (pendekar bernama besar) yang sakti, tidak saja diwarisi ilmu bermain samurai yang ampuh, juga sudah digembleng memperkuat batin dengan cara bersemedhi dan menyatukan pikiran.
Oleh karena ini, biar pun dia amat tertarik dan kagum melihat lawannya, dia segera dapat menekan perasaannya dan memperhebat gerakan samurainya, malah kini dia menguras semua jurus pilihan dan yang paling rahasia dari ilmu pedangnya untuk menghadapi ilmu pedang lawan yang lemah-gemulai akan tetapi mengandung daya serangan yang sangat dahsyat.
Diam-diam Loan Ki kagum juga. Ilmu silat aneh dengan pedang aneh pula ini, sesudah bergebrak kiranya tidaklah selambat yang dia duga. Pertahanannya kokoh kuat dan biar pun serangannya tidak terlalu sering, namun tiap kali menyerang laksana kilat menyambar dari udara cerah.
Inilah inti ilmu pedang lawannya dan inilah pula yang membuat samurainya itu berkali-kali berhasil tiap kali berkelebat. Kiranya inti ilmu lawannya memang mengandung gerakan menyerang tersembunyi seperti kilat yang menyambar dari angkasa yang sehingga sama sekali tidak tersangka-sangka datangnya. Ia pun merasa malu kalau sampai kalah, maka ia kemudian mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua simpanan jurus ilmu pedangnya.
Hebat bukan main pertandingan itu. Jauh lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi sekarang tidak nampak mengerikan sehingga lima orang gadis tawanan itu yang sejak tadi melongo dan terheran-heran, sekarang pada berdiri menonton dengan kagum.
Bagi mereka yang tidak mengerti ilmu silat, dua orang muda itu terlihat seperti sedang menari-nari secara indah dan aneh. Pedang dan samurai itu lenyap dari pandangan mata mereka, yang tampak hanyalah segulung sinar pedang seperti awan putih bergerak-gerak, dibarengi melesatnya sinar seperti kilat menyambari awan itu!
Seratus jurus lebih mereka bertanding, hampir satu jam lamanya. Mereka berdua sudah gobyos (bermandi peluh) dan sudah mulai lelah karena dalam pertandingan itu mereka mempergunakan semua tenaga dan kepandaian.
Loan Ki mulai penasaran dan tak sabar. Ia menanti kesempatan baik dan tiba-tiba dengan pengerahan tenaga lweekang-nya ia menghantam samurai lawan sekuatnya.
"Tranggggg!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan amat kerasnya. Nagai Ici mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tubuhnya terhuyung mundur tiga langkah. Loan Ki sendiri tergetar telapak tangannya dan cepat dia memindahkan pedang pada tangan kirinya. Oleh karena sempat melompat ke samping, maka dia tidak sampai terhuyung seperti lawannya.
Keduanya memeriksa pedang, kemudian saling pandang dengan napas terengah-engah. Nagai Ici tertawa lebih dahulu. Kagumnya bukan kepalang, akan tetapi dia juga puas dan merasa bangga karena betapa pun juga, gadis luar biasa itu sudah berkenalan dengan samurainya yang lihai.
"Heh-heh, kau benar hebat, Nona. Selama hidupku baru kali ini aku melihat seorang gadis muda yang begini hebat. Sebelum ini, mendengar pun belum pernah. Ilmu pedangmu luar biasa, kepandaianmu hebat bukan main. Akan tetapi, betapa pun juga kau takkan mampu mengalahkan aku."
"Ihh, sombongnya! Baru mengandalkan pedang bengkok itu saja sudah berani membuka mulut besar. Kau tidak merasa bahwa aku tadi sengaja mengalah mengingat bahwa kau orang asing? Huh, benar-benar tidak punya perasaan dan tidak malu. Pedang bengkokmu itu siapa sih yang takut? Kalau mau, dalam segebrakan saja aku sanggup membikin putus lehermu, tahu?"
"Ha-ha-ha, Nona sungguh-sungguh pandai berkelakar! Sudah jelas kita bertanding sampai mandi keringat belum ada yang terluka, belum ada yang kalah atau menang, bagaimana kau bisa bilang dalam segebrakan dapat memenggal leherku? Ha-ha-ha, lucu!"
"Hemm, dasar tak tahu malu, tak berperasaan. Kau mau bukti?"
Tentu saja Nagai Ici tidak percaya, dia merasa penasaran sekali. Dia, Samurai Merah yang di Jepang sudah terkenal sekali, mana mungkin dalam segebrakan saja terpenggal lehernya oleh seorang gadis cilik?
"Boleh! Kau buktikanlah dan coba kau penggal leherku, jangan dalam segebrakan, malah dalam seribu gebrakan sekali pun boleh!" dia menantang dan sengaja dia mengulurkan lehernya.
"Huh, kau kira aku adalah algojo?" Loan Ki mendengus marah. "Biar pun kau kurang ajar setengah mati, tadi kau menentang penjahat, berarti kau bukan penjahat. Aku tidak biasa membunuh orang yang bukan penjahat. Tetapi aku bisa membuktikan bahwa aku seribu kali lebih pandai dari padamu dan bahwa tadi aku sudah sengaja mengalah, hanya kau yang buta perasaan dan tidak tahu diri."
"Heh-heh, kau tekebur sekali. Bagaimana kau akan membuktikan?"
"Kau boleh gunakan pedang bengkok pemotong babi itu untuk melawan aku yang akan melayanimu dengan bertangan kosong!" Loan Ki tersenyum mengejek. Tanpa pedulikan wajah lawan yang kelihatan kaget itu ia menyambung, "Lebih dari itu malah, dengar wahai kadal, kuda, babi! Tidak saja aku melayani pedang bengkokmu itu dengan tangan kosong, juga aku akan membiarkan kau menyerang sesukamu tanpa membalas. Kalau nanti aku membalas sekali pukulan saja boleh dianggap kalah!"
Nagai Ici melengak. Benar-benar terlalu gadis liar ini, pikirnya dengan perut terasa panas. Menghina orang tanpa takaran. Mana ada aturan seperti ini? Seorang jantan tulen seperti dia menyerang seorang gadis bertangan kosong menggunakan samurai? Dan gadis itu malah tidak akan membalas sama sekali? Waduh, dia dianggap anak kecil yang masih ingusan saja oleh gadis nakal itu. Keparat!
"Nona, apakah otakmu waras?"
Kini Loan Ki yang melengak, lalu membanting-banting kaki tanda marah. "Kau yang edan! Kau yang gila, gendeng dan miring otakmu!" Ia memaki-maki marah lagi sejadi-jadinya asal hatinya yang mengkal dapat merasa ‘plong’.
Melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, mulai meragulah hati Nagai Ici. Siapa tahu gadis ini bicara sungguh-sungguh? Wah, hebat kalau begitu.
"Nona, begini saja sekarang. Bukan watakku untuk menyerang seorang lawan, apa lagi seorang gadis seperti kau, menggunakan samurai sedangkan yang kuserang bertangan kosong dan tidak akan membalas. Sekarang begini saja, aku menerima tantanganmu tapi caranya begini. Aku akan menyerangmu selama tiga jurus dan aku tanggung dalam tiga jurus itu, aku akan dapat memilih dengan samuraiku satu di antara empat macam benda di tubuhmu, yaitu pertama pita rambutmu, ke dua ujung ikat pinggangmu, ke tiga ujung ronce pedangmu dan ke empat ujung lengan bajumu. Dalam tiga jurus saja pasti sebuah di antara yang empat tadi dapat kubabat putus, bahkan mungkin lebih dari satu atau keempatnya sekaligus! Tetapi kalau hal ini terjadi, kau harus menyatakan bahwa aku tidak kalah olehmu dan bahwa ilmu kepandaianku tidak berada di bawah kepandaianmu. Nah, bukankah ini adil namanya!"
Loan Ki mengernyitkan hidungnya, ditarik ke atas ujung hidungnya sehingga nampak lucu sekali. "Aduh-aduh, sombongnya! Tiga jurus katamu? Jadikan tiga puluh jurus baru aku sudi melayani. Nah, tiga puluh jurus kau boleh menyerangku dengan pedang pemotong babi itu. Kalau dapat kau tebas sedikit saja sebuah di antara yang empat itu, biarlah aku mengaku kalah. Akan tetapi kalau dalam tiga puluh jurus tak berhasil bagaimana?"
"Tiga puluh jurus? Tidak berhasil? Tak mungkin!"
"Janji tinggal janji, jangan menyombong dulu. Wah laki-laki kok ceriwis amat, bicara saja!"
"Biarlah aku berjanji, kalau dalam tiga puluh jurus pedangku ini tidak berhasil membabat putus sebuah di antara empat benda tadi, biarlah aku mengangkat kau menjadi guruku!"
"Hi-hi-hik, punya murid macam kau bikin repot saja! Kau berjanji akan merubah sikapmu, tidak ceriwis dan cerewet lagi dan akan taat serta menuruti segala perintahku, bersedia menjadi bujang atau pelayanku?"
Merah wajah Nagai Ici. Inilah penghinaan besar. Akan tetapi dia yakin sekali bahwa dia tidak mungkin kalah dalam taruhan ini. Andai kata dia kalah, hal itu berarti bahwa gadis ini benar-benar seorang dewi yang sakti, bahkan lebih sakti dari pada gurunya di Jepang, maka sudah sepatutnya kalau dia angkat menjadi gurunya yang baru dan sebagai murid, tentu saja dia harus mentaati gurunya dan rela mengabdi dan menjadi pelayan.
"Baik, aku berjanji!" Dia berkata sambil mengacungkan samurainya ke atas di depan dahi sebagai tanda sumpah.
"Nah, mulai seranglah!" seru Loan Ki setelah menyimpan pedangnya.
Sengaja ia memiringkan tubuh dan melambai-lambaikan ujung lengan baju, ikat pinggang, pita rambut dan ronce pedangnya agar mudah dibabat pedang lawan! Melihat ini, Nagai Ici berseru keras lalu mulai menyerang. Samurainya berkilat menyambar, kemerahan dan dengan kecepatan yang dahsyat.
Namun tiba-tiba jago muda Jepang itu berseru terheran-heran. Dia melihat betapa gadis itu sekarang bergerak amat aneh, jauh bedanya dengan gerakan tadi ketika melawannya dengan pedang.
Tadi gadis itu gerakannya lemah gemulai, seperti seorang penari dari surga, begitu indah menarik. Sekarang, gadis itu melangkah ke sana ke mari dengan gerakan kaku dan aneh, terhuyung-huyung serta meloncat-loncat sambil jongkok berdiri tidak karuan. Tubuhnya ditekuk ke sana ke mari, miring ke kanan kiri depan belakang.
Pendeknya gerakan gadis itu sekarang sangat buruk dilihat seperti gerakan orang mabuk. Akan tetapi hebatnya, semua sambaran samurainya mengenai angin belaka dan betapa pun cepat dan kuat dia menerjang, dia seakan-akan sedang menghadapi dan menyerang bayangannya sendiri.
Tentu saja jago muda Jepang ini tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sekarang sedang menggunakan langkah ajaib dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, ilmu yang tergolong di deretan paling tinggi di dunia persilatan. Inilah ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi) dan yang dipelajari oleh Loan Ki dari Si Pendekar Buta Kwa Kun Hong!
Kiranya karena memiliki modal ilmu ini maka Loan Ki berani menantang dan bersombong di depan Samurai Merah itu. Tadi ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun ia maklum bahwa untuk merobohkan lawan tangguh ini, bukanlah hal mudah baginya. Akan tetapi sebaliknya, Samurai Merah juga tak akan mungkin dapat merobohkannya, apa lagi kalau ia menggunakan Hui-thian Jip-te untuk menyelamatkan diri.
Makin lama Nagai Ici menjadi makin penasaran, ia pun bertekad mencapai kemenangan. Ia mengeluarkan pekiknya yang dahsyat, samurainya menyambar-nyambar laksana naga sakti mengamuk, namun hanya tampaknya saja samurainya hampir mengenai sasaran, kenyataannya selalu hanya berhasil membacok angin kosong.
Setelah belasan kali serangannya tidak berhasil, mulailah dia merasa terkejut, heran, dan kagum, bahkan kemudian bulu tengkuknya berdiri meremang saking ngerinya melihat betapa dengan berjongkok dan melompat-lompat seperti katak atau seperti seorang anak kecil bermain-main, gadis itu dengan sangat mudahnya menghindarkan diri dari sambaran samurainya! Ilmu ibliskah yang dipergunakan gadis ini?
Tiga puluh jurus lewat dan jangankan samurai itu mengenai sasaran. Mencium sedikit pun tak pernah. Nagai Ici adalah seorang lelaki sejati. Tepat sesudah jurus ke tiga puluh lewat tanpa hasil, dia lalu menghentikan serangannya, melempar samurainya ke atas tanah lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Ki dan berkata, "Mulai saat ini murid mentaati segala petunjuk dan perintah Guru."
Terbelalak mata Loan Ki memandang. Namun yang dipandangnya tetap berlutut dengan kepala tunduk sehingga yang tampak olehnya hanya rambut hitam digelung ke atas itu. Inilah sama sekali tidak pernah diduganya! Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa pemuda ini benar-benar hendak memenuhi janjinya dan mengangkatnya sebagai guru!
"Gila!" teriaknya. "Siapa sudi menjadi gurumu? Apa bila kau muridku, berarti aku gurumu dan kau akan menyebut ibu guru kepadaku? Setan, jangan kau menghina, ya? Aku belum tua, lebih muda dari padamu, mana bisa menjadi guru orang dewasa?"
Nagai Ici mengangkat kedua tangannya ke depan dada memberi hormat dalam keadaan masih berlutut. "Saya sudah menikmati kehebatan ilmu kepandaian Guru dan sudah kalah janji. Terserah bagaimana kehendak Guru, murid hanya akan menurut dan mentaati."
"Baik, kalau begitu dengarkan perintahku. Pertama, kau tidak boleh berlutut, hayo lekas berdiri. Aku bukan ratu, bukan pula puteri istana dan kau lebih tua dari padaku. Bisa kualat aku kalau kau sembah-sembah. Berdirilah!"
Nagai Ici bangkit berdiri dengan sikap hormat.
"Nah, sekarang dengarkan perintahku selanjutnya. Namaku Loan Ki, Tan Loan Ki dan di dunia kang-ouw aku diberi julukan Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Kau tidak boleh menyebut aku ibu guru, sebut saja namaku dan aku pun akan menyebutmu Nagai Ici begitu saja. Mengerti?!"
Nagai Ici mengangguk, di dalam hatinya bingung dan juga geli melihat sikap gadis yang luar biasa dan yang sekaligus meruntuhkan hatinya ini. Juga kelima orang gadis tawanan yang sejak tadi menonton, diam-diam saling pandang dan tersenyum simpul.
"Sekarang tugasmu yang pertama adalah membantuku mengantar para gadis tawanan itu pulang ke kampung masing-masing."
"Baik, Nona. Tapi... izinkanlah murid mengubur..."
Nagai Ici berhenti bicara ketika melihat betapa Loan Ki melotot marah.
"Mengapa mesti menyebut diri sendiri murid? Aku bukan gurumu! Bilang saja aku, habis perkara!"
"Maaf, aku... aku akan mengubur mayat-mayat itu lebih dulu..."
Loan Ki mengangguk. Hatinya sangat setuju dan diam-diam dia memuji pribudi orang ini. Akan tetapi mulutnya mengomel. "Manusia yang jahat seperti binatang, mayatnya sama pula dengan bangkai, perlu apa banyak rewel? Hayo lekas, cepat saja kubur dan jangan biarkan aku terlalu lama menunggu."
Nagai Ici tersenyum dan cepat-cepat dia menggali lubang untuk mengubur mayat-mayat para penjahat yang menjadi korban samurainya tadi. Ada pun Loan Ki mendekati para gadis tawanan yang menyambutnya penuh hormat.
Dengan terharu mereka menjawab pertanyaan Loan Ki tentang kampung halaman mereka dan tentang pengalaman mereka diculik oleh para penjahat Hui-houw-pang untuk dibawa secara paksa ke kota raja. Mereka ini kiranya adalah gadis-gadis yang tinggal di kampung dekat Sungai Kuning, anak-anak dari para petani. Memang mereka cantik-cantik karena memang mereka adalah kembang yang paling cantik di dalam dusun masing-masing.
Menurut penuturan mereka, sudah terlalu sering terjadi perampokan gadis-gadis ini, baik oleh orang-orang Hui-houw-pang mau pun oleh para bajak Kiang-liong-pang atau para penjahat lain yang berusaha untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya atau mencari muka baik dari kaisar baru dan para pejabat tinggi di kota raja yang akan menyambut gembira persembahan berupa gadis-gadis cantik itu.
Loan Ki mendengarkan dengan hati sakit. Ia seorang gadis berjiwa sederhana yang tidak mengerti tentang tata negara, tidak tahu-menahu akan keadaan di kota raja dan tentang kehidupan para pembesar. Akan tetapi, mendengar penuturan yang disertai cucuran air mata oleh para gadis itu, pendekar wanita ini menggertak gigi dan langsung menyatakan kebenciannya terhadap kaisar baru beserta para kaki tangannya dengan memaki-maki sejadinya.
Memang, sangat menyedihkan apa bila dalam sebuah negara, para pembesar yang oleh rakyat dianggap pemimpin malah melakukan penyelewengan-penyelewengan dan hanya mementingkan kesenangan pribadi saja. Sudah terlampau banyak contoh terdapat dalam sejarah kuno betapa kaum ningrat, kaum berkuasa yang duduk di tampuk pemerintahan, selalu mabuk akan kekuasaan dan apa bila kekuasaan sudah berada di tangan, langsung dimabuk segala macam kemaksiatan! Mengapa begini?
Mengapa banyak sekali terjadi contoh-contoh menyolok, di mana bekas-bekas pejuang yang dahulu ikut berjuang menumbangkan kekuasaan Mongol, yang dahulu benar-benar menjadi seorang ksatria yang rela dan siap mengorbankan nyawa guna tanah air dan bangsa, setelah perjuangan berhasil dan dia mendapat kedudukan, lalu berubah tabiatnya seperti bumi dengan langit, berubah menjadi ningrat atau pembesar yang menimbun diri dengan perbuatan maksiat? Mengapa terjadi ini semua? Jawaban satu-satunya kiranya hanya terletak pada diri pribadi masing-masing!
Kemaksiatan timbul karena dorongan nafsu yang tak dapat dikekang dan yang memaksa manusianya melaksanakan dorongannya. Ini hanya dapat terjadi bila si manusia itu lemah batinnya, lemah pertahanan dalam hatinya sehingga tidak kuat menghadapi penyerbuan nafsu-nafsu yang laksana iblis setiap saat mendobrak pertahanan batin manusia.
Kekuatan batin melemah akibat pengaruh keadaan sekeliling, karena keadaan lingkungan hidupnya, karena contoh-contoh hidup yang diperlihatkan atasannya. Apa bila atasannya mabuk kedudukan, bawahannya pun tentulah demikian. Kalau atasannya mabuk wanita, bawahannya pun tak akan berbeda jauh dan demikian selanjutnya.
Bagaimana akibatnya kalau kaum ningrat dan para pembesar sudah tenggelam ke dalam gelombang perbuatan maksiat? Celakalah! Negara akan menjadi lemah dan rakyat akan menjadi sengsara. Tanda-tanda tentang keadaan para pembesar yang demikian itu, selalu dapat dilihat dari keadaan di kota raja.
Kalau seorang pembesar, baik dia berkedudukan tinggi sekali atau pun hanya rendahan, tenggelam dan mabuk atas kemewahan, itulah tanda bahwa pertahanan batinnya menjadi lemah dan dia akan mudah tergelincir ke dalam tindakan maksiat. Dan segala macam tindakan maksiat di dunia ini mempunyai pengaruh seperti madat. Diberi satu ingin dua, mendapat dua ingin empat dan seterusnya, tak kenal puas tak kenal kenyang.
Sekali seorang manusia mabuk akan kedudukan, biar dia sudah menjadi kaisar sekali pun, dia akan merasa tak puas dan iri melihat kaisar-kaisar di negara lain yang lebih besar kedudukannya, dan andai kata dia sudah menjadi kaisar yang paling tinggi kedudukannya di dunia, agaknya dia masih akan mengiri akan kedudukan Tuhan!
Sekali seorang manusia sudah mabuk akan wanita, biar dia sudah mempunyai isteri dan selir sebanyak seribu orang sekali pun, matanya yang berminyak kiranya masih selalu akan jelalatan (melotot ke sana-sini) untuk mencari seorang wanita lainnya yang belum dia miliki!
Setelah selesai mengubur mayat-mayat itu, Nagai Ici lalu diajak Loan Ki mengantar para gadis bekas tawanan itu. Untung bahwa perkampungan mereka tidak jauh dari hutan itu sehingga dalam waktu dua hari saja mereka telah dapat sampai di rumah masing-masing. Tentu saja mereka dan orang-orang tua mereka girang dan terharu bukan main, berlutut menghaturkan terima kasih kepada Loan Ki dan Nagai Ici. Akan tetapi kedua orang muda perkasa ini tidak mau menerima atau melayani penghormatan mereka dan cepat-cepat pergi tanpa pamit lagi.
Pada pagi hari berikutnya, Loan Ki dan Nagai Ici sudah menunggang kuda berendeng sambil bercakap-cakap. Nagai Ici kini sudah berubah pakaiannya, merupakan seorang pria muda yang berpakaian gagah, tidak aneh lagi kecuali pedang samurainya yang memang berbeda dengan pedang-pedang yang biasa dibawa oleh para ahli silat di situ.
Loan Ki yang memaksanya berganti pakaian karena gadis ini tidak ingin melihat teman seperjalanannya menjadi pusat perhatian dan keheranan orang. Dengan sisa-sisa uang rampasan dari para perampok Hui-houw-pang, mereka membeli pakaian dan membeli dua ekor kuda karena Loan Ki bermaksud untuk mengadakan perjalanan jauh, menyusul ayahnya ke kota raja!
Nagai Ici yang tunduk benar kepadanya, sungguh penurut dan tidak pernah membantah, betul-betul menyenangkan hati Loan Ki. Senang dan gembira juga mendapatkan seorang pengiring yang selain gagah dan tampan, juga amat penurut dan setia seperti pemuda Jepang itu. Dalam perjalanan pada pagi hari itu, Loan Ki minta kepada Nagai Ici untuk menceritakan keadaannya!
Menurut penuturan Nagai Ici, di Jepang pada waktu itu (sekitar tahun 1399-1400) baru saja terdapat perdamaian setelah puluhan tahun di negeri itu terjadi perebutan kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara terus-menerus. Kemenangan terakhir pada tahun 1392 tercapai oleh Ashikaga Takauyi dan mulailah di tahun itu apa yang dinamakan jaman Maromaci karena Ashikaga Takauyi menempatkan markasnya di bagian kota Kyoto dan bernama Maromaci.
Sungguh pun kaisarnya masih keturunan keluarga Tenno yang berada di istana Tenno, tapi keadaan kaisar ini tidak ubahnya seperti boneka belaka. Kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Ashikaga Takauyi inilah.
Nagai Ici semenjak belasan tahun sudah menjadi yatim piatu. Selanjutnya dia dirawat dan dididik oleh gurunya, yaitu seorang daimyo (pendekar besar) yang membantu perjuangan Ashikaga Takauyi.
Setelah dalam usia lima belas tahun ikut pula mengayun samurai dan membantu perang saudara yang sudah hampir berakhir itu, Nagai Ici dinyatakan tamat dari perguruan dan dia pun diperbolehkan berdiri sendiri menjadi seorang di antara golongan Samurai! Sepak terjangnya sebagai seorang pendekar amat mengesankan sehingga pada beberapa tahun kemudian, dalam usia dua puluh tahun saja dia sudah dijuluki orang Samurai Merah.
Nagai Ici memiliki darah perantau atau mungkin juga jiwa petualangnya ingin dia puaskan dengan perantauan. Seluruh negeri Jepang sudah dia jelajahi dan akhirnya karena pada jaman itu hubungan Jepang dan Tiongkok sudah sangat baik, dia pun mendengar banyak tentang Tiongkok.
Kebudayaan dari negara besar itu, termasuk ilmu silatnya, terbawa ke Jepang dan amat terkenal. Banyak dongeng yang sering didengar Nagai Ici dalam perantauannya, betapa jago-jago silat di Tiongkok bagai dewa-dewa saja saktinya. Inilah mula-mula yang menjadi pendorong baginya untuk menyeberangi laut menuju ke Tiongkok dengan cita-cita untuk mencari seorang guru seperti dewa dan mempelajari kesaktian!
Lama sekali, setelah beberapa tahun lagi, barulah dia memperoleh kesempatan berlayar ke Tiongkok bersama perahu ikan yang dengan berani mati menempuh perjalanan yang amat berbahaya itu dengan perahu ikan yang kecil.
Seperti telah kita baca dalam bagian terdahulu, begitu mendarat, Nagai Ici dibikin kecewa dan marah menyaksikan perbuatan para bajak laut bangsanya yang merampoki sebuah kota pelabuhan. Oleh karena merasa malu akan perbuatan bangsanya yang di negerinya terkenal sebagai orang-orang kaya itu, Nagai Ici turun tangan membasmi dan mengusir para bajak laut Tengkorak Hitam. Dia kemudian menghilang karena tak ingin dilihat orang lain bahwa dia, seorang Jepang juga, mengamuk dan membasmi bajak laut bangsanya sendiri.
Sampai berpekan-pekan dalam perjalanan selanjutnya, Nagai Ici mulai kecewa karena ternyata bahwa di negara besar yang dahulunya dia sangka segalanya pasti serba hebat itu, kiranya tidak banyak bedanya dengan negerinya sendiri, kalau tidak mau dibilang lebih buruk.
Para petani demikian miskinnya sampai-sampai hidupnya tak layak lagi sebagai manusia. Di mana-mana banyak terdapat perampok dan para penjahat. Penghuni-penghuni dusun demikian sederhana hidupnya dan amatlah bodohnya sehingga kadang-kadang Nagai Ici kehabisan harapan dapat bertemu dengan seorang sakti seperti dewa di antara bangsa yang malah amat miskin ini.
Demikianlah, sehingga akhirnya pertemuan dengan Loan Ki sangat mengagumkan dan menggirangkan hatinya. Mulailah timbul harapannya. Apa bila ada seorang gadis remaja sehebat ini, tidak mustahil dia akan bertemu dengan seorang guru sesakti dewa. Baru gadis ini saja, bukan main! Belum pernah dia mendengar, apa lagi menyaksikan seorang dara remaja memiliki kepandaian seperti ini.
Samurainya itu tidak berdaya sama sekali terhadap gadis ini yang bertangan kosong! Bukankah ini aneh sekali? Gurunya sendiri, Daimyo Matsumori yang sangat terkenal di Jepang, belum tentu berani menghadapi tiga puluh jurus serangan samurainya dengan tangan kosong tanpa membalas!
Inilah yang membuat Nagai Ici menjadi penurut. Biasanya, di negerinya kaum wanita tidak mendapat tempat terlalu tinggi, dianggap sebagai mahkluk lemah yang tugasnya hanya menjadi penghibur kehidupan pria belaka. Kini dia bertemu ‘batunya’, seorang dara lincah yang hebat, yang sekaligus membangkitkan harapannya untuk mendapatkan guru pandai di samping sekaligus menjatuhkan hatinya pula, membuat dia bertekuk lutut di dalam hati, tak kuasa menentang sinar mata jeli dari si juwita itu.
Anehkah kalau jago muda dari Jepang itu tersenyum-senyum gembira, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar ketika dia mengendarai kuda di samping Loan Ki…..?
Setelah Kian Bun Ti menduduki singgasana menjadi kaisar dan terkenal juga dengan nama Hui Ti (tahun 1399), timbullah persaingan hebat di kota raja untuk memperebutkan kedudukan. Sebagian banyak pangeran tua merasa tidak puas melihat Hui Ti menjadi kaisar, karena mereka sudah mengenal Pangeran Kian Bun Ti sebagai orang muda yang hanya mengejar kesenangan belaka.
Akan tetapi, para pangeran muda dan para pembesar yang mendapat kedudukan baik setelah Kian Bun Ti naik tahta, tentu saja mati-matian membela kaisar baru ini. Dengan demikian, maka diam-diam terjadilah permusuhan. Keadaan kota raja seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu tentu akan meletus.
Walau pun kaisar Hui Ti yang muda itu sendiri adalah seorang yang keahliannya hanya mengejar wanita cantik dan bersenang-senang, akan tetapi para pembantunya yang juga mempertahankan kedudukan mereka masing-masing merupakan orang-orang pintar yang banyak pengalaman. Oleh karena itu, untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini, para menteri dan pembesar tinggi, terutama dari golongan bu (militer) segera memperkuat penjagaan, memperkuat barisan dan mendatangkan banyak ahli-ahli dari luar. Selain itu, setiap hari selalu diadakan pembersihan untuk membasmi mereka yang dianggap sebagai lawan, mereka yang dianggap membahayakan kedudukan Hui Ti beserta para pembesar pendukungnya.
Seperti sudah lazim terjadi, bila mana ada angin puyuh bertiup, yang rontok bukan hanya daun-daun kering dan buah-buah busuk, juga daun-daun segar dan buah-buah muda bisa saja turut terlanda angin puyuh dan rontok semua. Dalam keadaan negara pun demikian. Bila mana keributan terjadi, yang menjadi korban bukan hanya mereka yang memang tersangkut, juga yang tidak tahu apa-apa bisa saja menjadi korban.
Sudah tentu saja menurut rencana para pembesar yang mengatur ini semua, yang harus dibersihkan adalah mereka yang berbahaya, mereka yang diam-diam memiliki niat untuk melawan dan menumbangkan kekuasaan kaisar baru untuk diganti dengan kaisar pilihan mereka sendiri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi penyelewengan dan penyalah gunaan kekuasaan sehingga banyaklah terjadi pemerasan, penyelewengan dan kejahatan yang berdasafkan fitnah.
Bisa saja terjadi seorang petugas kecil mendatangi seorang hartawan dan melancarkan fitnah keji bahwa hartawan itu termasuk anti kaisar baru. Kemudian dengan alasan akan ‘melindungi’, si petugas kecil itu menerima ‘uang jasa’ yang jumlahnya melebihi besarnya jumlah upahnya sepuluh tahun! Ini baru contoh kecil-kecilan saja, banyak terjadi hal yang lebih hebat dari pada contoh itu.
Kota raja goncang karena pertentangan-pertentangan ini. Penduduk kota raja dicekam kekuatiran. Banyak malah yang pergi mengungsi keluar daerah, memilih tempat tinggal di dusun-dusun jauh dari kota raja, di mana rakyatnya tidak sedikit pun merasakan akibat ketegangan politik di kota raja.
Akan tetapi ketenteraman ini pun hanya sementara saja mereka rasakan, karena tak lama kemudian pembersihan dilakukan sampai ke dusun-dusun pula di mana tangan-tangan iseng dari manusia-manusia berbatin rendah itu menyebar fitnah ke sana ke mari sambil mencari kesempatan mengeduk kekayaan sebanyak mungkin.
Kota raja dijaga ketat. Semua pintu gerbang kota raja dijaga oleh para pasukan pilihan, dan di dalam kota raja sendiri penuh dengan mata-mata yang melakukan penyelidikan supaya jangan sampai kota raja diselundupi kaki tangan lawan. Memang paling repot menghadapi lawan yang tidak diketahui dari mana datangnya ini. Lawan-lawan yang bisa saja menyelundup ke dalam golongan pedagang, pengemis, buruh, seniman, malah bisa jadi menyelundup ke dalam golongan pembesar dan prajurit sendiri.
Pada suatu pagi, pagi-pagi sekali di luar pintu gerbang sebelah utara, tampak seorang laki-laki muda yang pakaiannya sederhana tapi bersih, berdiri dengan tongkat di tangan dan kepala tunduk. Orang ini bukan lain adalah Si Pendekar Buta, Kwa Kun Hong.
Telah kita ketahui bahwa setelah berpisah dari Song-bun-kwi, Pendekar Buta ini pergi ke kota raja. Banyak hal harus dia selidiki, selain persoalan yang menyangkut Thai-san-pai juga soal mahkota kuno yang mengandung rahasia kenegaraan besar itu, yang sekarang berada dalam bungkusan pakaian yang digendongnya. Biar pun dia buta, namun karena kepandaiannya yang tinggi, dia dapat juga melakukan perjalanan cepat.
Sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan, akhirnya dia sampai juga di luar pintu gerbang sebelah utara. Baru saja dia mendengar keterangan bahwa tidak mudah untuk memasuki kota raja, karena setiap orang pasti dicurigai dan pintu gerbang dijaga keras. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan para penjaga, tentu akan ditangkap dan dimasukkan tahanan.
Inilah yang membuat Kun Hong ragu-ragu dan hati-hati. Dia tidak takut dicurigai, tidak takut pula ditangkap. Akan tetapi karena mahkota kuno itu berada padanya, amatlah tidak baik kalau sampai dia tertawan. Mahkota itu harus dia jaga, kalau perlu berkorban nyawa.
Betapa pun juga, pada dasarnya Kun Hong sudah mempunyai watak berhati-hati, tidak mau sembarangan mempercayai berita yang didengamya tentang keburukan seseorang. Dia sudah mendengar dari Tan Hok tentang Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi kaisar dan bahwa hal ini amatlah buruk akibatnya.
Pangeran itu bukanlah seorang yang patut menjadi kaisar. Karena itulah maka mendiang kaisar tua sudah meninggalkan surat rahasia yang disimpan di dalam mahkota kuno itu, surat rahasia yang memberi kuasa penuh kepada Pangeran Tua Yung Lo di utara untuk bertindak terhadap kaisar baru.
Akan tetapi, Kun Hong tidak merasa puas kalau tidak mendengar sendiri keadaan di kota raja. Oleh karena ini, dia sengaja pergi ke kota raja hendak melakukan penyelidikan dan mencari sahabat-sahabatnya, yaitu perkumpulan Hwa-i Kaipang. Dia dapat mempercayai Hwa-i Kaipang, karenanya dia hendak minta bantuan kepada mereka, selain menyelidiki tentang keadaan kaisar baru, juga menyelidiki tentang musuh-musuh Thai-san-pai itu.
Selagi Kun Hong berdiri ragu-ragu di luar pintu gerbang tembok kota raja, menimbang-nimbang bagaimana dia dapat memasuki kota raja yang terjaga kuat itu, tiba-tiba saja dia mendengar langkah kaki dua orang mendekatinya dari arah belakang.
Dia mengira bahwa dua orang itu tentulah orang-orang yang lewat dan akan memasuki pintu gerbang, maka dia tidak menaruh perhatian. Baru dia kaget dan heran ketika dua orang itu berhenti di depannya dan terdengar suara halus seorang laki-laki muda,
"Aduh kasihan, semuda ini menanggung derita, tak pandai melihat! Saudara yang buta, kau hendak pergi ke manakah? Biarlah aku menunjukkan jalan yang hendak kau tuju."
Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang pria muda, paling banyak hanya beberapa tahun lebih tua dari padanya, seorang yang gerak-gerik dan tutur bahasanya halus, pantasnya seorang muda terpelajar. Akan tetapi dalam suara itu juga terkandung tenaga seorang ahli tenaga dalam, seorang yang biasa melakukan semedhi dan menguasai peraturan bernapas.
Kun Hong cepat menjura dengan hormat dan berkata sambil tersenyum, "Terima kasih banyak. Anda baik hati benar, sudi memperhatikan seorang buta seperti saya."
Orang itu tertawa, suara ketawanya lembut seperti ketawa wanita. "Aku dapat menduga bahwa kau bukanlah seorang buta biasa saja. Wajah dan pakaianmu menunjukkan bahwa kau seorang yang berpengetahuan dan terdidik. Kata-kata yang kau ucapkan memperkuat dugaanku. Sahabat, jangan kau curiga. Aku The Sun bermaksud baik terhadap seorang buta yang menarik hatiku. Apakah kau hendak memasuki kota raja? Hayo, engkau boleh bersamaku dan aku tanggung kau takkan diganggu para penjaga goblok itu. Aku sudah mereka kenal baik."
Berdebar hati Kun Hong. Ia memang tadinya menaruh hati curiga, akan tetapi mendengar penawaran ini, dia benar-benar bersyukur di dalam hati. Ini kesempatan terbaik baginya. Cepat-cepat dia menjura lagi dan berkata,
"Saudara The benar-benar budiman. Aku Kwa Kun Hong seorang buta sangat berterima kasih padamu. Sesungguhnyalah, aku bermaksud memasuki kota raja mengadu untung, siapa tahu di kota raja aku dapat menolong banyak orang dan mendapat banyak rejeki."
Hening sejenak, agaknya The Sun itu mengamat-amatinya baik-baik, lalu terdengar dia berkata, "Ahh, saudara Kwa, apakah kau seorang tukang gwamia (ahli nujum)!"
Memang banyak terdapat orang-orang buta yang membuka praktek sebagai ahli nujum, menceritakan nasib orang-orang dengan cara meraba telapak tangan mereka. Tentu saja, seperti biasa, ahli-ahli nujum ini sebagian besar hanyalah tukang bohong belaka, mencari korban di antara orang-orang bodoh yang mudah ‘dikempongi’ dan ditarik uangnya.
Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, aku hanyalah seorang tukang obat biasa, saudara The."
"Ah, begitukah? Baiklah, mari kita memasuki kota raja dan kau akan kuantarkan ke pusat kota yang paling ramai. Mudah-mudahan saja kau akan dapat menyembuhkan banyak orang sakit dan mendapatkan banyak rejeki seperti yang kau harapkan."
Sambil berkata demikian, orang itu menggerakkan tangannya hendak menangkap tongkat Kun Hong. Akan tetapi ternyata dia hanya menangkap angin saja karena seperti tanpa sengaja, Kun Hong sudah lebih dahulu menarik tongkatnya sambil tertawa.
"Terima kasih atas kebaikanmu. Marilah, aku akan mengikuti di belakangmu."
The Sun tertawa, lalu berjalanlah dia perlahan-lahan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh Kun Hong. Dengan pendengaran telinganya Kun Hong tahu bahwa orang ke dua juga ikut berjalan di samping The Sun dan diam-diam dia terkejut juga karena orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat, akan tetapi masih juga tidak mampu menandingi kepandaian The Sun yang muda karena jejak kaki The Sun ini sama sekali tidak mengeluarkan suara dan oleh pendengarannya yang amat tajam sekali pun hanya terdengar sedikit seperti langkah seekor kucing saja.
Kun Hong mulai menaruh curiga. Terang bahwa orang yang mengaku bernama The Sun bersama temannya yang tak diperkenalkan kepadanya ini adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Kebetulankah The Sun ini seorang yang berbudi dan menaruh kasihan kepadanya? Ataukah memang sengaja hendak mendekatinya?
Dia harus berhati-hati. Karena kehati-hatiannya ini pulalah maka tadi dia sengaja tidak membiarkan tongkatnya dipegang orang itu. Tongkatnya merupakan senjata yang paling dia andalkan.
Ketika mereka melewati pintu gerbang memasuki kota raja, Kun Hong melangkah dengan hati-hati dan telinganya mendengarkan penuh perhatian. Tak terjadi sesuatu pun, kecuali agaknya ada seorang di antara para penjaga yang menegur dengan suara menghormat.
"Sepagi ini The-kongcu (tuan muda The) baru pulang, agaknya mendapatkan kesenangan malam tadi. Selamat pagi, Kongcu!"
Kemudian disusul suara penjaga ke dua, "Lo-ji, kau benar lancang mulut! Seorang siucai (lulusan pelajar) seperti The-kongcu mana dapat kau samakan dengan kau yang suka keluyuran di waktu malam? Kongcu, kalau Kongcu kehendaki, biar saya mewakili Kongcu menampar muka Lo-ji yang kurang ajar ini!"
The Sun itu tertawa perlahan, agaknya dia amat dihormati, disegani, dan juga disukai para penjaga, terbukti dari keramahannya dan dari sikap para penjaga yang walau pun sangat menghormatinya dan sangat takut kepadanya, namun berani pula bermain-main.
"Sudahlah, sepagi ini sudah berkelakar. Jaga saja baik-baik sampai kalian diganti penjaga baru. Aku hendak mengajak sahabat buta tukang obat ini memasuki pintu gerbang, aku yang menanggung dia."
"Silakan... silakan...," serempak mulut penjaga berkata ramah.
Setelah mereka berhasil melewati pintu gerbang dan tiga lapis penjagaan lagi, Kun Hong mendengar The Sun berkata, "Mulai sekarang tidak ada penjagaan lagi."
Kun Hong menjura dengan hormat, "Saudara ternyata adalah seorang kongcu dan juga seorang siucai, harap suka memaafkan karena mata saya buta, saya tidak tahu dan telah berlaku kurang hormat. Budi Kongcu sangat besar, Kongcu amat baik kepada saya dan terima kasih saya ucapkan."
"Ah, saudara Kwa Kun Hong, kenapa begini banyak sungkan? Biar pun kau seorang yang menderita kebutaan, akan tetapi aku pun dapat menduga bahwa kau bukan seorang biasa yang tidak tahu apa-apa, Sikapmu penuh sopan dan kau tahu aturan, tanda bahwa kau pun seorang yang pernah mempelajari kebudayaan. Marilah, mari kuantar kau ke tempat yang ramai agar di sana kau dapat mulai dengan pekerjaan itu."
Kembali Kun Hong menjura. Di dalam hati dia merasa amat curiga, akan tetapi di luarnya dia pura-pura bersikap tidak enak.
"Mana saya berani mengganggu Kongcu lebih lama lagi? Budi Kongcu membawa saya masuk saja sudah amat besar. Harap Kongcu meninggalkan saya di sini saja, biar saya berjalan perlahan sambil mencari-cari langganan. Dengan tanya-tanya agaknya saya akan sampai juga ke tempat ramai."
"Ihh, mana bisa begitu? Aku pun hendak menuju sejalan denganmu. Marilah, tidak usah sungkan."
Telinga Kun Hong yang tajam mendengar betapa orang ke dua yang sejak tadi berjalan bersama The Sun, kini berjalan cepat sekali meninggalkan tempat itu. Dia heran, akan tetapi tidak bertanya dan pura-pura tidak tahu. Karena The Sun mendesaknya, tak dapat pula dia menolak dan terpaksa Kun Hong mengikuti pemuda itu menuju ke tengah kota.
Makin lama makin ramailah orang hilir-mudik dan makin ramai orang bercakap-cakap. Biar pun sepasang mata Kun Hong tidak dapat melihat lagi, akan tetapi dahulu sebelum dia menjadi buta kedua matanya, pernah dia datang ke kota raja, malah pernah dia menjadi tamu dari Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang menjadi kaisar. Oleh karena itu, sekarang dia dapat membayangkan keadaan kota raja ini dengan hanya mendengar keramaian di sekelilingnya dengan pendengaran saja.
"Saudara Kwa, mari kita masuk ke rumah makan ini dulu. Makan dahulu sebelum bekerja adalah hal yang paling baik," kata The Sun sambil tertawa gembira.
Kun Hong mengerutkan keningnya. Terlalu baik orang ini. Apakah dia benar-benar baik terhadapnya, ataukah ada sesuatu yang tersembunyi di balik keramahan ini? Mana ada seorang siucai yang agaknya kaya raya dan berpengaruh di kota raja suka menolong, malah sekarang hendak menjamu seorang buta seperti dia? Akan tetapi, semua ini baru dugaan dan amatlah tidak baik kalau dia menolak tawaran dan keramahan orang, apa lagi memang dia merasa tertarik hatinya untuk mengetahui apa gerangan yang menjadi dasar keramahan orang ini.
Sambil mengangguk-angguk dan berucap terima kasih dia mengikuti The Sun memasuki rumah makan yang sudah menyambut mereka dengan asap dan uap yang gurih dan sedap. Diam-diam timbul pula harapannya untuk dapat bertemu dengan seorang anggota Hwa-i Kaipang, karena bukankah sudah lazim kalau pengemis-pengemis berada di dekat rumah makan untuk mengemis sisa makanan?
Pesanan masakan The Sun cepat dilayani oleh para pelayan yang juga menyebutnya kongcu dan melayaninya dengan sikap hormat.
"Mari silakan, saudara Kwa," pemuda itu berkata sambil mengisi cawan arak, kemudian menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong.
Orang buta ini dengan berterima kasih tetapi tetap berhati-hati segera mulai makan minum dengan pengundangnya yang aneh dan ramah.
Rumah makan itu tidak banyak didatangi tamu pada saat itu. Kun Hong mendengar ada beberapa orang tamu saja di meja sebelah kanannya. Tiba-tiba dia mendengar beberapa orang memasuki rumah makan itu. Dari bunyi derap langkah mereka tahulah dia bahwa orang-orang ini adalah ahli-ahli silat, malah beberapa orang di antaranya adalah ahli silat tinggi. Dia mulai waspada.
Sukar menghitung tepat di tempat gaduh itu, akan tetapi dia tahu bahwa sedikitnya tentu ada lima orang yang datang ini. Lalu terdengarlah ribut-ribut di sebelah kanannya, dan terdengar suara kereng berkata, "Diam semua, duduk di tempat. Buka semua buntalan, kami datang melakukan penggeledahan!"
Kun Hong mengerutkan keningnya dan bertanya lirih kepada The Sun, "Saudara The Sun, apakah yang terjadi di sana?"
The Sun tertawa, "Ah, tidak apa-apa, biasa saja terjadi di kota raja. Penggeledahan, apa lagi? Di kota raja sekarang ini banyak terdapat orang-orang jahat, dan semenjak kaisar muda menggantikan mendiang kaisar tua, banyak sekali terjadi keributan. Hampir setiap hari ada orang yang ditangkap dan dihukum mati karena dia menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat."
Kun Hong kaget sekali, "Kalau begitu, kita nanti juga akan digeledah?"
Dia tahu bahwa kalau buntalannya digeledah dan mahkota itu dilihat oleh para pemeriksa, tentu dia akan ditangkap. Ini masih tidak hebat, lebih celaka lagi mahkota itu tentu akan dirampas dan dengan demikian, surat rahasia itu ikut terampas pula sehingga segala yang telah dia lakukan selama ini untuk mendapatkan kembali mahkota itu sia-sia belaka!
"Ahh, terhadap aku mereka takkan menggeledah," kata The Sun tertawa, "karena mereka semua sudah mengenalku. Mereka hanya menggeledah orang-orang asing yang datang ke kota raja dan orang-orang yang mencurigakan saja."
Meski pun Kun Hong tidak gentar menghadapi para penggeledah itu, akan tetapi dia juga merasa tidak enak kalau belum apa-apa dia harus menimbulkan keributan di kota raja. Selama dia belum dapat menemukan orang-orang Hwa-i Kaipang dan masih membawa mahkota itu, tidak baik menimbulkan keributan dan menjadi perhatian para penjaga kota. Dia segera bangkit berdiri dan berkata,
"Saudara The, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu. Kini aku sudah kenyang dan hendak pergi saja, mulai dengan pekerjaanku."
The Sun memperdengarkan suara kaget, "Ehhh, saudara Kwa. Mengapa tergesa-gesa? Apakah kau takut digeledah? Kau kan hanya tukang obat, yang kau bawa di buntalanmu, tentu hanya pakaian dan obat-obatan. Mengapa takut kelihatannya?"
"Tidak... tidak takut. Akan tetapi segan juga aku kalau harus digeledah. Siapa tahu kalau obat-obatku bisa hilang sebagian."
Tiba-tiba The Sun memegang tangan kiri Kun Hong. "Saudara Kwa, percayalah kepadaku. Aku akan melindungimu dari tangan anjing-anjing itu," bisiknya.
Kun Hong berdebar hatinya. Tidak salahkah pendengarannya? Siapa yang menyebut para pembantu kaisar dengan sebutan ‘anjing’ atau ‘anjing penjilat’, berarti orang itu termasuk golongan anti kaisar? Betulkan The Sun ini seorang yang segolongan dengan Tan Hok? Segolongan dengan Pek-lian-pai dan para orang gagah yang menentang kaisar baru yang dikatakan tidak tepat menduduki singgasana karena wataknya yang tidak baik? Dia tidak mau percaya begitu saja karena suara orang muda ini mengandung getaran yang sukar ditangkap dasarnya.
The Sun meneriaki pelayan dan cepat membayar harga makanan sambil memberi persen besar kepada pelayan. Kemudian dia menggandeng tangan Kun Hong dan diajak keluar. Bisiknya perlahan, "Saudara Kwa, apakah kau membawa sesuatu yang kau tidak suka dilihat oleh anjing-anjing itu?"
Sukar bagi Kun Hong untuk menjawab, maka dia diam saja.
Selagi mereka berdua berjalan menuju ke pintu, tiba-tiba terdengar oleh Kun Hong orang membentak, "Hei, orang buta! Berhenti dulu kau, tidak boleh ke luar sebelum digeledah!"
Kun Hong berhenti, siap melawan untuk menyelamatkan surat rahasia di dalam mahkota.
The Sun segera berkata nyaring, "Sahabat Kwa yang buta ini datang bersamaku, apa kalian tidak lihat? Dia tamuku, seorang ahli pengobatan yang hanya membawa pakaian dan obat-obatan. Apa perlunya digeledah kalau aku sudah menanggungnya?"
Terdengar oleh Kun Hong suara pimpinan para penggeledah itu yang cukup keras dan mengandung tenaga, "Maaf The-kongcu. Kami mendapat perintah atasan agar hari ini kami menggeledah setiap orang yang belum pernah kami geledah. Orang buta ini belum pernah kami lihat, terpaksa kami tidak berani lepaskan sebelum digeledah karena kalau kami lakukan hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman."
The Sun berkata mengejek, "Hemmm, kalau begitu lekas selesaikan dulu penggeledahan orang-orang itu, kami menanti di sini." Dia menarik tangan Kun Hong diajak duduk di atas bangku di pojok. Lalu berbisik. "Lekas, kau titipkan surat rahasia itu kepadaku!"
Kun Hong kaget dan heran bukan main. Apa yang dimaksudkan oleh The Sun? Apakah yang dimaksudkan surat rahasia yang berada di dalam mahkota? Bagaimana orang ini bisa tahu? Dia sendiri yang selalu membawa mahkota itu, tidak tahu di mana disimpannya surat itu.
"Apa maksudmu?" bisiknya tak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. "Aku tidak membawa surat apa-apa."
"Ah, Saudara Kwa yang baik, masih tidak percayakah kau kepadaku?" bisik The Sun, lalu ditambahkan lebih lirih lagi, "Aku segolongan denganmu... aku membantu perjuangan... aku membantu utara..."
Kun Hong lebih tidak mengerti lagi. Dia sendiri pun tidak tahu dia itu termasuk golongan mana karena biar pun dia mendengar dari Tan Hok tentang pergerakan dan pertentangan di kota raja, namun kalau dia belum mendapat kepastian siapa yang tidak benar dalam hal ini, bagaimana dia bisa membantu satu pihak?
Hanya dia dapat menduga bahwa agaknya pemuda she The ini adalah pendukung Raja Muda Yung Lo di utara. Padahal surat yang disimpan di dalam mahkota itu pun adalah surat rahasia dari mendiang kaisar untuk diserahkan kepada Raja Muda Yung Lo. Tidak akan kelirukah dia kalau mahkota itu dia berikan kepada pemuda ini supaya disampaikan kepada yang berhak menerimanya?
Karena keraguan Kun Hong ini, dia terlambat. Terdengar derap langkah menghampiri dan bentakan orang tadi.
"Heii, orang buta. Hayo turunkan buntalanmu itu dan buka. Juga pakaian luarmu, biarkan kami menggeledahmu!"
Kun Hong berdebar, lalu menjawab, "Saya hanya seorang tukang obat biasa saja, tidak membawa sesuatu, harap kalian jangan mengganggu aku seorang buta..."
"Ha-ha-ha, kau kira akan mampu mengelabui aku Bhe Hap Si Malaikat Bumi? Ha-ha-ha, orang buta, kau menyerahlah!"
Angin cengkeraman yang amat dahsyat menuju dada Kun Hong. Dia merasa kaget sekali. Ini bukanlah serangan orang biasa, melainkan jurus yang dikeluarkan oleh seorang ahli silat kelas tinggi! Masa kalau pangkatnya hanya tukang geledah saja memiliki kepandaian begini tinggi?
Pada saat itu juga dari kanan dan kiri menyambar pula angin pukulan yang membuktikan jelas bahwa penyerang-penyerangnya merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Kun Hong cepat menggerakkan kedua kakinya dan dengan langkah ajaib dia dapat menghindarkan tiga serangan sekaligus itu.
"Ha-ha-ha, kau bilang seorang buta biasa?" Bhe Hap berseru mengejek dan merasa amat penasaran sekali, lalu menerjang dengan hebat.
Kun Hong diam-diam mengeluh. Mau tidak mau, belum apa-apa dia sudah menimbulkan keributan yang tentu akan berekor tidak baik. Dia telah siap menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan orang-orang ini ketika tiba-tiba The Sun membentak,
"Orang-orang tak tahu aturan. Kalian berani menghina tamuku?"
Kun Hong merasa betapa angin menyambar di sampingnya ketika pemuda yang ramah itu berkelebat ke depannya. Terdengar suara gaduh disusul keluhan orang.
"The-kongcu jangan ikut campur!" Bhe Hap membentak.
Akan tetapi The Sun menjawab. "Menyerang tamuku sama dengan menghinaku!"
"The-kongcu, kami bukan bermaksud begitu..." Bhe Hap membantah.
"Sudahlah, bebaskan saudara Kwa ini dari pemeriksaan, kalau tidak, terpaksa aku akan melawan kalian."
"Hemmm, terpaksa pula kami menggunakan kekerasan!" bantah Bhe Hap.
Terjadilah pertandingan hebat di rumah makan itu. Kun Hong bingung. Haruskah dia turut membantu? Dengan pendengaran telinganya, dia dapat menangkap betapa gerakan Bhe Hap dan empat orang pembantunya yang lain amat kuat, cepat dan juga memiliki tenaga lweekang yang tinggi.
Akan tetapi agaknya orang muda she The ini benar-benar mempunyai kepandaian hebat seperti yang sudah diduga oleh Kun Hong. Buktinya tadi hanya dalam segebrakan saja telah merobohkan seorang lawan dan kini dikeroyok lima tidak terdesak sama sekali.
Meja kursi beterbangan dan secara kebetulan agaknya beberapa kali dengan amat keras meja dan kursi melayang ke arah tubuh Kun Hong. Terpaksa pemuda ini mengelak dan hal ini tentu saja mengherankan mereka yang melihatnya. Seorang buta bagaimana bisa mengelak dari sambaran meja kursi itu?
Kun Hong yang berdiri tegak dan diam memperhatikan jalannya pertandingan, menjadi terheran-heran ketika tiba-tiba saja Bhe Hap dan teman-temannya meloncat keluar rumah makan dan orang itu berkata, "Hebat kepandaianmu, The-kongcu. Akan tetapi, si buta itu pasti akan dapat tertawan oleh kami!" Lalu terdengar mereka itu berlarian pergi.
The Sun menangkap tangan Kun Hong.
"Lekas," bisiknya, "mereka itu hanya untuk sementara saja mampu kuusir. Mereka tentu akan datang kembali dengan teman yang lebih banyak, malah jika tokoh-tokoh pengawal yang lebih kosen datang, kita bisa celaka. Mari cepat kau ikut denganku."
Kun Hong tidak mendapat jalan lain kecuali ikut berlarian cepat bersama The Sun, Dia tidak tahu ke mana dia dibawa, jalannya berliku-liku dan lebih satu jam lamanya mereka melarikan diri. Akhirnya mereka berhenti di tempat yang sunyi dan The Sun mengajak Kun Hong memasuki sebuah rumah tua di pinggir kota yang sunyi ini.
"Di manakah kita ini?" Kun Hong bertanya, tongkatnya meraba lantai yang sudah bolong-bolong dan dinding yang tua dan retak-retak.
"Dalam sebuah bangunan bekas kuil tua yang tak dipakai lagi. Di sini kita aman, takkan ada yang menduga bahwa kau akan bersembunyi di tempat ini. Mari masuklah saja, di belakang ada sebuah kamar yang cukup bersih, kau boleh bersembunyi di sana."
"Saudara The Sun, kau baik sekali..."
Kun Hong menangkap lengan tangan kanan orang muda itu. Gerakannya ini cepat sekali dan memang sangat mengherankan bagaimana seorang yang tidak pandai melihat dapat menangkap lengan orang hanya dengan mendengarkan gerakan orang itu.
"Ahhh...!" Kun Hong menghentikan kata-katanya tadi dan kini dia berseru kaget sambil meraba-raba lengan kanan The Sun. "Saudara The, kau... kau terluka...?"
"Wah, hebat sekali kau, Kwa-lote! Begitu memegang lenganku kau sudah tahu bahwa aku terluka. Benar-benar ilmu pengobatan yang kau miliki amat tinggi!" The Sun berseru kaget dan heran.
Tapi Kun Hong tidak mempedulikan pujian ini, melainkan segera memeriksa lengan kanan sampai ke pundak, "Luka ini baru saja. The-kongcu... kau terluka ketika bertempur tadi!" Suara Kun Hong agak gemetar saking terharu mengingat betapa orang yang baru saja bertemu dengannya ini telah membelanya sampai terluka.
"Kwa-lote, jangan panggil kongcu kepadaku, bikin aku tidak enak saja. Aku sedikit lebih tua darimu, sebut saja twako kepadaku. Tentang luka ini..." dia menarik napas panjang. "Memang anjing-anjing itu amat lihai, maka untung tadi kita sempat melarikan diri. Kalau datang tokoh yang lebih sakti, celaka..."
Kun Hong terheran. "Tapi... bukankah kau tadi berhasil mengusir mereka? Bagaimana kau bisa terluka?"
The Sun tertawa mengejek. "Kadang-kadang dengan kepandaian silat saja tidak cukup untuk mencapai kemenangan, Kwa-lote. Sering kali terjadi, kecerdikan dan akal bahkan dapat mengalahkan kepandaian silat. Di antara para petugas istana tadi, terdapat seorang ahli pukulan Gin-kong-jiu (Tangan Sinar Perak) yang lihai, karena selain ilmu pukulan ini mengandung hawa beracun, juga dilakukan dengan mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati). Tadi dalam pengeroyokan dia sudah menyerangku dengan pukulan itu. Karena menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi, aku tidak memiliki kesempatan mengelak lagi, terpaksa aku menyambut pukulan itu dengan tangan kananku. Aku tahu bahwa pada saat itu aku menderita luka dalam, akan tetapi kalau hal itu kuperlihatkan, kita tentu sudah celaka tadi. Aku pura-pura tidak merasa akan hal ini, malah menyerang mereka kalang-kabut. Hal inilah yang membuat mereka kaget dan jeri, mengira bahwa pukulan hebat itu sama sekali tidak mempengaruhiku dan ini pula yang menyebabkan mereka mengaku kalah dan melarikan diri. Ha-ha-ha, Kwa-lote, kau pikir, bukankah sekali ini ilmu silat kalah oleh akal dan kecerdikan?"
"The-twako sungguh-sungguh gagah dan berbudi. Untuk aku seorang buta, engkau sudah mengorbankan diri menderita luka, membuat aku merasa tidak enak sekali."
"Kwa-lote, di antara kita, perlu apa bicara sungkan seperti itu? Sekali bertemu muka aku tahu bahwa kau bukanlah seorang tukang obat buta biasa saja. Malah aku hampir merasa yakin sekali bahwa kaulah orangnya yang disebut-sebut para teman seperjuangan yang mendesas-desuskan bahwa surat rahasia itu berada di tanganmu."
"Surat rahasia ? Apa maksudmu ?"
The Sun terdengar kecewa sekali. "Ah, sampai sekarang kau agaknya masih belum mau percaya padaku, Kwa-lote. Semua orang di antara para pejuang tahu bahwa surat rahasia peninggalan mendiang kaisar tua berada di tangan bekas pembesar Tan Hok, kemudian dikabarkan bahwa kaulah yang agaknya sudah menguasai surat itu. Kalau memang betul demikian, akulah orangnya yang akan membawa dan mengantarkan surat itu kepada Raja Muda Yung Lo di utara."
Berdebar jantung Kun Hong. Ah, kiranya pemuda gagah ini adalah utusan atau pembantu dari raja muda dari utara itu! Sungguh kebetulan. Memang dia sedang mencari orang yang berhak menerima mahkota kuno berikut rahasianya itu untuk disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo.
Akan tetapi, kehati-hatiannya membuat dia berpikir lebih jauh lagi. Baru sekarang ini dia berkenalan dengan The Sun. Bagaimana dia dapat menyerahkan mahkota demikian saja?
"The-twako, nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang biarkan aku mengobati lukamu," katanya sambil menotok dan mengurut jalan-jalan darah di seluruh lengan dan pundak The Sun, kemudian menyalurkan hawa murni melalui telapak tangan kanan pemuda itu. The Sun terkejut dan berkali-kali mengeluarkan suara memuji sesudah luka dalam itu sembuh oleh pengobatan Kun Hong yang mempergunakan sinkang di tubuhnya.
The Sun menarik napas panjang dan berkata, "Ahhh, ternyata biar pun aku bermata, aku lebih buta dari pada kau, Kwa-lote. Aku mengira bahwa kau hanyalah seorang di antara saudara-saudara seperjuangan yang menentang kekuasaan kaisar muda yang talim. Tak tahunya kau adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian seperti ini! Benar-benar amat memalukan kalau kuingat betapa tadi aku memperlihatkan kebodohan dan kedangkalan ilmu silatku di depan seorang sakti!"
Kun Hong tersenyum dan menjura. "The-twako, kau orang yang lihai, tak perlu merendah seperti ini. Aku bukan apa-apa, hanya mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Terus terang saja, aku bukanlah anggota pejuang, aku tak bisa disamakan dengan kau seorang patriot. Secara kebetulan saja aku mempunyai tugas yang ada hubungannya dengan perjuangan menentang kaisar baru."
"Sudah kuduga, sudah kuduga sebelumnya, kau tentu bukanlah seorang biasa. Betulkah desas-desus itu bahwa kau telah menerima surat rahasia dari bekas pembesar Tan Hok? Atau masih belum percayakah kau kepadaku?"
Bimbang hati Kun Hong. Pikirannya bekerja keras dan dia mendapat akal. "Bukan begitu, The-twako, akan tetapi soalnya karena aku harus berhubungan dengan orang yang berhak. Sesungguhnya, walau pun aku mempunyai hubungan dengan paman Tan Hok, akan tetapi aku tidak pernah diserahi sebuah pun surat rahasia, hanya aku telah merampas kembali sebuah mahkota kuno yang tadinya terampas dari tangan paman Tan Hok."
"Mahkota kuno? Ah, segala benda berharga, apa artinya diperebutkan?" terdengar suara The Sun kecewa.
Diam-diam Kun Hong mengambil kesimpulan bahwa pemuda pejuang ini ternyata belum tahu akan rahasia mahkota kuno yang menjadi tempat penyimpanan surat rahasia yang diperebutkan itu.
"Ahh, sayang sekali kalau kau tidak tahu tentang surat itu, Kwa-lote. Surat itu luar biasa pentingnya bagi perjuangan dan celakalah kalau sampai terjatuh ke tangan musuh."
"Surat apakah yang kau maksudkan itu, The-twako?" Kun Hong memancing.
The Sun tidak segera menjawab, dari gerakannya tahulah Kun Hong bahwa pemuda itu pergi mendekati pintu, agaknya menyelidik kalau-kalau ada orang yang mendengarkan di tempat itu. Akan tetapi dengan ketajaman telinganya Kun Hong yakin bahwa di tempat itu, selain mereka berdua, tidak ada orang lain lagi...
Nagai Ici kemudian menghampiri dua kotak tadi, membukanya dan mengambil perhiasan-perhiasan berharga itu, membagi-bagikan kepada kelima orang gadis tadi sekuat tenaga mereka membawa, malah ia membantu mengalung-ngalungkan perhiasan pada leher dan lengan mereka. Semua ini ditonton oleh Lauw Teng yang tertawa-tawa, juga para perampok tertawa-tawa akibat merasa geli melihat tingkah laku pemuda Jepang yang agaknya hendak mengambil hati para gadis itu sebelum memaksa mereka menjadi selir-selirnya. Benar-benar seorang pemuda yang cerdik, pikir mereka. Hal pertama yang dia lakukan adalah membanjiri para gadis itu dengan barang-barang hadiah untuk merebut hati dan kasih!
Yang paling mendongkol adalah Loan Ki. Hatinya lantas memaki-maki, "Laki-laki ceriwis! Pemuda gila perempuan! Si mata keranjang menyebalkan!"
Akan tetapi semua orang menjadi terheran-heran, juga Loan Ki, ketika melihat Samurai Merah itu sekali lagi menjura dalam sampai kepalanya hampir menyentuh tanah di depan para gadis itu sambil berkata, "Sekarang, Nona sekalian silakan pulang ke rumah masing-masing. Kalian kubebaskan!"
Lima orang gadis itu menjadi lebih heran dan bingung lagi. Mereka saling pandang, tidak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu serta bingungnya, hanya nampak mereka menggeleng kepala, malah ada yang mulai menangis.
Nagai Ici memandang dengan mata terbelalak, kemudian mengerutkan alisnya yang tebal, menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Ahh, agaknya Nona sekalian tidak berani pulang sendiri? Baiklah, silakan kalian mengaso di sana, di bawah pohon besar itu, biar aku menyelesaikan urusanku dengan orang-orang ini. Nanti saya yang akan mengantar Nona semua pulang ke kampung dan rumah masing-masing.”
Lima orang gadis itu menjadi girang bukan main. Mulailah wajah mereka berseri-seri dan senyum-senyum manis tersembul di balik keharuan dan air mata, menambah jelita wajah dara-dara muda itu. Dengan langkah halus dan tertatih-tatih karena beban barang-barang berharga itu terlampau berat, mereka mentaati permintaan Nagai Ici dan pergi ke bawah pohon besar, lalu duduk bersimpuh di atas akar pohon.
Loan Ki yang bersembunyi di atas pohon itu, diam-diam menjadi merah mukanya, malu kepada diri sendiri yang tadi telah memaki-maki pemuda Jepang itu dengan tuduhan yang bukan-bukan. Sekarang ia kembali mencurahkan perhatiannya pada pendekar muda dari Jepang itu.
Sementara itu, Lauw Teng mulai curiga dan marah. Dia melangkah maju, meraba gagang goloknya dan suaranya sudah kehilangan keramahannya ketika dia bertanya, "Nagai Ici, apa maksudmu dengan semua ini? Jangan kau main-main denganku!"
Dengan senyum mengejeknya pemuda Jepang itu membalikkan tubuh menghadapi ketua Hui-houw-pang, membungkuk dengan caranya yang dalam pandangan Loan Ki amat lucu itu dan berkata, "Hui-houw Pangcu Lauw Teng. Kau tadi menyanggupi tiga macam syarat, dan yang dua sudah kau penuhi, terima kasih. Tinggal sebuah syarat lagi, kalau ini kau penuhi, aku Nagai Ici Si Samurai Merah berjanji akan suka menjadi muridmu atau malah pembantumu sekali pun."
"Hemmm, kau katakan lekas, apa syarat ke tiga itu?"
"Kau dan anak buahmu bukanlah manusia baik-baik. Orang macam kau ini mana patut menjadi guruku? Andai kata kau sepuluh kali lipat lebih pandai sekali pun, tidak sudi aku menjadi murid dari seorang penjahat keji yang suka menculik gadis dan merampok harta orang lain. Lauw Teng, dengarlah. Syaratku ketiga adalah, kalau kau bisa memenangkan samuraiku dan mampu memenggal batang leherku, barulah aku suka menjadi murid atau pembantumu."
Loan Ki di atas pohon terkikik menahan tawa. Geli hatinya melihat Lauw Teng si gendut yang menjadi melongo penuh amarah dan kecewa itu, di samping hatinya merasa girang bahwa pemuda Jepang yang menarik hatinya serta mengagumkannya itu ternyata benar seorang gagah yang hebat. Kembali ia bersiap sedia untuk membantu Samurai Merah itu andai kata terancam bahaya.
Memang marah sekali Lauw Teng. Sambil berseru keras dia mencabut goloknya yang tajam berkilauan. "Bagus, kau Jepang keparat! Kalau kau ingin mampus, mengapa tidak sejak tadi bilang terus terang? Manusia tak tahu diri, diberi hati merogoh jantung, keparat!"
Golok Lauw Teng berkelebat dan dengan kemarahan meluap-luap ketua Hui-houw-pang itu menerjang Ici. Serangannya hebat dan dahsyat, golok menyambar menjadi kilat maut menyilaukan mata.
Samurai Merah terkejut juga dan maklum bahwa kini dia menghadapi lawan yang pandai. Oleh karena itu ia pun tidak berani memandang ringan. Cepat dia melompat ke belakang sejauh dua meter dan tangannya meraih pinggang.
"Srattt!"
Sinar berkilau ketika samurai yang merupakan pedang panjang melengkung itu tercabut dari sarungnya.
Baru sekarang Loan Ki dapat melihat pedang itu dengan jelas. Dia kagum dan heran. Kagum karena sebagai puteri seorang pendekar pedang, tentu saja ia juga seorang ahli pedang dan tahu akan pedang-pedang baik. Biar pun hanya melihat dari tempat jauh, ia dapat menduga bahwa pedang aneh itu terbuat dari pada bahan yang baik sekali. Bukan baja yang baik kalau tidak dapat mengeluarkan suara mengaung seperti itu ketika dicabut dari sarungnya.
Pedang itu tajam seperti silet, bermata sebelah dan termasuk golongan pedang panjang. Akan tetapi karena agak melengkung, tentu cara memainkannya seperti orang bermain golok. Anehnya, gagangnya terlampau panjang sehingga Loan Ki meragu apakah dengan gagang pedang macam itu orang dapat bersilat dengan baik?
Dengan hati berdebar Loan Ki melihat betapa pemuda Jepang itu sudah siap, memasang kuda-kuda yang amat teguh. Tubuhnya merendah, mata tenang tajam memandang lawan dan... kedua tangannya memegang gagang pedang itu. Hampir Loan Ki tertawa. Inilah aneh, pikirnya.
Walau pun tadi sudah menyaksikan sendiri betapa lihainya Samurai Merah ini membabat buntung tangan ketiga orang pembantunya, akan tetapi melihat pasangan kuda-kuda jago muda Jepang itu, Lauw Teng hanya memandang rendah. Sambil membentak nyaring dia menerjang lagi, goloknya bagaikan baling-baling yang diputar makin lama semakin cepat, merupakan gulungan sinar putih mengurung diri lawan.
"Haiiiiit!" Samurai Merah mengayun samurai sambil meloncat.
Terdengar suara nyaring disusul bunga api muncrat pada saat dua senjata itu bertemu di udara. Diam-diam mereka memuji tenaga lawan yang sanggup membuat tangan masing-masing bergetar. Namun Lauw Teng yang sudah banyak pengalaman itu terus menerjang, mempergunakan kegesitannya karena melihat betapa ilmu pedang lawan ini kurang gesit nampaknya.
Dugaannya keliru. Biar pun gerak-geriknya kaku dan aneh, kiranya jago muda Jepang itu sanggup mengimbangi permainannya, melompat-lompat dan seakan-akan bukan dia yang memainkan pedang, tapi pedangnya yang bergerak-gerak dan membawa serta tubuhnya. Tubuh Nagai Ici dan pedangnya seakan-akan menjadi satu ketika mencelat ke kanan kiri untuk menangkis dan balas membacok!
Kalau sudah bersilat seperti itu, tidak banyak bedanya kedudukan tubuhnya dengan para ahli pedang di Tiongkok. Akan tetapi setiap kali ada kesempatan dan tidak terdesak, tentu dia akan berdiri tegak memasang kuda-kuda di atas tanah, diam tak bergerak bagaikan patung, hanya biji matanya saja yang liar bergerak mengikuti gerakan lawan, sedangkan pedangnya yang dipegang dengan kedua tangan itu diacungkan ke depan dada, ujungnya mengikuti gerakan lawan pula.
Loan Ki tertawa senang. Boleh juga bocah ini, pikirnya. Apa lagi kalau dia sedang berdiri seperti itu mengikuti gerakan lawan, gagah juga!
"Keparat, mampuslah!" teriak Lauw Teng yang sudah menerjang lagi.
Sejenak dia berhenti dan mengkal hatinya melihat lawannya laksana patung tidak balas menyerang atau lebih tepat, tidak mau mendahului menyerang itu. Akan tetapi begitu dia kembali menyerang, Samurai Merah itu selain menangkis dan mengelak, juga cepat balas membacok. Bahkan kali ini tidak ada bacokan golok yang tidak dibalas. Setiap bacokan dibalas dengan bacokan pula sehingga pertandingan itu ramai bukan main. Amat seru dan setiap kali pedang atau golok berkilat, berarti tangan maut menjangkau mencari nyawa!
"Aduh sayang...," diam-diam Loan Ki menyesal melihat jalannya pertandingan seperti itu. "Ilmu pedangnya aneh dan boleh juga, akan tetapi mengapa demikian lambat dan banyak membiarkan kesempatan berlalu percuma? Kurang agresip, wah, sayang benar. Jika lebih agresip sedikit saja, hanya dalam belasan jurus saja si katak gendut itu tentu sudah dapat dikalahkan."
Memang pendapat Loan Ki ini benar. Ilmu pedang Samurai Merah itu sangat kuat dalam pertahanan, bahkan setiap kali bertahan selalu dirangkai dengan serangan balasan. Akan tetapi kurang cepat dan kurang agresip.
Biasanya, pemain pedang malah menghujani serangan dengan maksud membuat lawan bingung dan pertahanannya menjadi lemah sehingga banyak tercipta lowongan-lowongan untuk dimasuki. Akan tetapi, permainan pedang gaya Jepang ini agaknya hanya mencari lowongan di waktu lawan menyerang.
Memang hal itu benar juga karena setiap penyerangan berarti membuka pintu pertahanan, akan tetapi karena dia sendiri sudah diserang, maka tentu saja penyerangan balasannya kurang kuat karena tidak dilakukan dengan tenaga dan perhatian sepenuhnya. Sebagian tenaga dan perhatian sudah dipakai untuk mempertahankan diri dari penyerangan lawan.
Betapa pun juga, lambat laun Samurai Merah dapat pula mendesak Lauw Teng. Memang harus diakui bahwa selain ilmu pedangnya aneh dan sulit diduga perkembangannya, juga pemuda ini menang gesit dan menang kuat. Kini penyerangan Lauw Teng makin lemah dan balasan dari Samurai Merah itu makin hebat. Malah setiap bacokan dibalas dengan dua tiga kali bacokan sekaligus yang membuat Lauw Teng kelabakan!
Karena makin lama semakin repot, timbullah rasa takut di hati Lauw Teng sehingga ketua Hui-houw-pang yang amat terkenal di Propinsi Shan-tung sebagai perkumpulan perampok yang ganas ini mulai berteriak-teriak minta tolong dan bantuan dari anak buahnya!
Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh para perampok itu. Semenjak tadi mereka sudah mendongkol dan marah sekali terhadap pemuda yang agaknya akan diambil hatinya oleh ketua mereka. Begitu mendengar teriakan sang ketua, serentak mereka lalu melakukan pengeroyokan dengan senjata di tangan.
Samurai Merah tertawa bergelak, lalu mengamuk. Berkali-kali terdengar pekiknya yang dahsyat.
"Yaaaattt!"
Setiap kali dia memekik, tentu seorang di antara pengeroyoknya roboh mandi darah, dan samurainya selalu berhasil mendapatkan korban, membabat putus tangan, kaki, hidung, telinga, bahkan ada dua orang yang buntung lehernya!
Pertempuran semakin hebat mengerikan. Walau pun jagoan muda Jepang itu mengamuk seperti seekor harimau muda, menghadapi pengeroyokan para perampok yang nekat dan rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu, akhirnya dia kewalahan juga.
Loan Ki merasa sudah cukup lama menjadi penonton. Ia melayang turun dari atas cabang pohon, membuat kelima orang gadis yang sudah ketakutan setengah mati menyaksikan orang-orang bertempur, darah muncrat serta tubuh luka-luka itu, kini terkejut bukan main melihat betapa dari atas pohon tiba-tiba ada seorang manusia ‘terbang’ melewati kepala mereka!
"Hemmm, Lauw Teng perampok hina, masih beranikah kau menjual lagak mengandalkan pengeroyokan menghina orang?"
Lauw Teng menengok dan wajahnya seketika menjadi pucat. Tentu saja dia mengenal gadis yang berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang dengan sikap gagah itu. Siapa lagi kalau bukan dara lincah yang amat gagah perkasa, yang pernah tanpa gentar merobohkan banyak anak buah Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang digabung menjadi satu.
Apa lagi kalau dia ingat bahwa munculnya gadis sakti ini mungkin sekali disusul pula oleh pendekar buta yang seperti iblis itu. Hatinya sudah setengah membeku saking takut dan gentarnya.
"Kawan-kawan... mundur...!" Ia memekikkan aba-aba ini sambil mendahului anak buahnya lari tunggang-langgang meninggalkan gelanggang pertempuran.
Tentu saja para anak buahnya juga sangat ketakutan melihat munculnya Loan Ki yang sudah mereka kenal kelihaian pedangnya. Jago muda Jepang itu saja sudah cukup berat dilawan, apa lagi muncul dara hebat ini.
Maka terjadilah perlombaan yang menarik, yaitu lomba lari tunggang-langgang bersicepat meninggalkan tempat itu tanpa mempedulikan lagi teman-teman yang tewas atau terluka. Bahkan mereka yang terluka berusaha pula ikut melarikan diri, walau pun mereka harus merangkak-rangkak dan terhuyung-huyung.
Sebentar saja keadaan di situ sudah sunyi. Para penjahat yang tinggal hanyalah mereka yang sudah tewas, yaitu dua orang yang putus lehernya karena mereka ini tentu saja tak mungkin dapat berlari lagi. Selain mayat dua orang penjahat ini, di situ berserakan pula potongan-potongan tangan, kaki, hidung, telinga dan ceceran darah. Mengerikan sekali!
Sampai lama Nagai Ici berdiri melongo memandang Loan Ki yang masih tersenyum geli menyaksikan tingkah laku para perampok itu. Hampir saja jago muda dari Jepang ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri serta pendengaran telinga sendiri. Mimpikah dia? Ataukah dia betul-betul melihat bidadari turun dari kahyangan dan begitu melihat bidadari ini para perampok yang ganas dan kejam itu lari tunggang-langgang ketakutan?
Inilah hal aneh yang baru pertama kali selama hidupnya dia saksikan. Seorang dara jelita berpakaian bagai seorang pendekar, yang membawa-bawa pedang di pinggangnya, gadis cilik berusia belasan tahun, ditakuti kawanan perampok yang ganas dan kejam?
Hampir Nagai Ici tertawa geli. Melihat lima orang gadis tawanan tadi, timbul kasihan dalam hatinya karena sifat mereka itu sama dengan wanita-wanita di negerinya, lemah-lembut dan tidak berdaya, membutuhkan pertolongan pria yang kuat. Akan tetapi dara muda ini, yang membawa-bawa pedang, sama sekali tak membutuhkan perlindungan dan bantuan dirinya, malah sebaliknya seperti sudah membantunya karena kemunculannya mengusir para penjahat yang tadi sudah membuat dia kewalahan dan repot terdesak.
Laki-laki atau perempuankah orang ini? Melihat dari sikap dan gerak-geriknya yang begitu gesit cekatan dan gagah, patutnya seorang pria. Akan tetapi melihat wajah yang begitu manis dan kulit yang begitu halus, bentuk tubuh yang begitu ramping dan padat tanpa otot-otot tentunya seorang wanita. Malah wanita yang cantik jelita, dengan mata seperti bintang kejora, pipi sehat kemerahan, mulut yang amat manis. Bukan main! Manusiakah atau bidadarikah?
Setelah semua penjahat itu melarikan diri, tiba-tiba saja Loan Ki merasa seakan-akan ada sesuatu yang menarik dan memaksanya menoleh. Dia membalikkan tubuh memandang dan... dua pasang mata saling pandang, dua sinar mata bertemu di udara. Seakan-akan mengandung besi sembrani, sinar mata itu bertaut dan saling tempel sulit dilepaskan lagi! Pandang mata si pemuda penuh keheranan, kekaguman, dan penghormatan. Pandang mata si pemudi penuh keramahan, pengertian, kegigihan dan setengah mengejek bahkan menantang!
Bibir Loan Ki bergerak mengarah senyum. Geli dan senang hatinya melihat betapa orang itu melongo seperti orang yang lupa ingatan, pedang bengkok itu masih dipegang dengan kedua tangan, kedua kaki masih memasang kuda-kuda yang lucu dan aneh itu. Alangkah bagusnya kalau orang itu menjadi patung dan dipasang di depan jalan masuk Pek-tiok-lim tempat tinggal ayahnya, pikir dara nakal ini. Pikirannya itu membuat senyumnya melebar sehingga berkilatlah deretan gigi putih.
Agaknya kilauan gigi putih ini menyadarkan pula Nagai Ici yang terpesona itu. Dia menarik dua kakinya, memasukkan pedang Samurai ke dalam sarung pedang, merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah, ditempelkan di depan dada lalu membungkuk dalam sekali sampai tubuhnya hampir berlipat dua.
Makin geli hati Loan Ki menyaksikan penghormatan seperti ini, tapi sebagai seorang gadis ia membalas pula dengan mengangkat dua tangan ke depan dada dalam bentuk kepalan, dan tubuhnya dibongkokkan sedikit dengan cara menekuk sedikit lutut kirinya.
"Bolehkah hamba bertanya... tuan ini siapakah? Manusia ataukah dewa?" tanya Nagai Ici dengan bahasanya yang kaku namun cukup jelas.
Segera dia melengak kaget dan kembali melongo pada saat melihat betapa makhluk yang disangkanya dewa itu mendadak terkekeh, tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan tangan, ciri kewanitaan yang berlaku juga di Jepang!
"Hi-hi-hik... aduh lucunya... hi-hi-hik, maafkan aku... tak tahan aku... ahh, kau lucu sekali. Ehh, Nagai Ici yang berjuluk Samurai Merah, pertanyaanmu tadi kukembalikan kepadamu, coba kau terka, aku ini manusia ataukah dewa? Wah, jangan-jangan kau malah tidak tahu pula dari jenis apa aku ini, laki-laki ataukah perempuan..."
Merah seluruh muka Nagai Ici. Makin bingunglah dia. Juga makin heran dan kaget. Kalau disebut dewa, terang bukan karena ujudnya jelas manusia, menginjak tanah, tak memiliki sayap, dan malah ada bau yang harum menyentuh hidungnya. Tetapi apa bila dikatakan manusia, mengapa begini aneh dan datang-datang sudah mengenal nama dan julukannya segala!
"Saya... saya tidak tahu... ehh, maksud saya... ehh, tuan seperti manusia... dan tentunya seorang wanita pula, tapi... ehh, kalau wanita masa ditakuti para perampok dan apa bila manusia, mana mungkin manusia wanita bisa meloncat turun dari atas pohon yang begitu tinggi? Dan tuan... ehh, sudah tahu akan nama saya pula..."
Kembali Loan Ki tertawa. "Nagai Ici, kau cukup gagah perkasa, akan tetapi sungguh amat bodoh. Sudah pasti aku manusia, dan sudah jelas aku bukan laki-laki, masa kau tidak dapat membedakan? Tentang namamu, tentu saja aku tahu karena sudah sejak tadi aku mengintai dari atas pohon. Tentang meloncat turun dari pohon, apa sih sukarnya? Yang lebih tinggi lagi aku sanggup meloncati. Perkara perampok-perampok itu takut kepadaku, apa pula anehnya kalau mereka itu pernah kuhajar?"
Kini pandang mata Nagai Ici berubah kagum, kagum bukan main karena baru pertama kali ini selama hidupnya dia menyaksikan seorang wanita yang begini perkasa.
"Maaf, Nona... wah, kau hebat sekali." Tiba-tiba pandang matanya berubah dan dia lalu mendekat, matanya lekat-lekat memandang arah mulut Loan Ki.
"Astaga! Jadi kau malah pencurinya?"
Kini Loan Ki yang menjadi bingung dan heran, juga geli melihat tingkah orang Jepang yang aneh ini. Baru saja begitu ketakutan seakan-akan hendak berlutut menyembahnya karena mengira ia dewa, kemudian berubah kemalu-maluan dan ramah, tetapi sekarang tiba-tiba seperti kurang ajar!
"Apa maksudmu? Pencuri apa?" tanyanya dengan kening berkerut.
Pemuda Jepang itu meloncat-loncat, kaki tangannya bergerak-gerak dan mukanya seperti orang marah, "Siapa lagi kalau bukan kau. Ya, kau pencurinya! Tidak usah menyangkal, kau gadis nakal. Kau minta pun akan kuberi, kenapa mencuri? Hayo kau mengaku!"
Loan Ki makin terheran dan makin lama ia makin marah. "Setan alas kau! Jangan kurang ajar, ya? Kau kira aku takut kepadamu?"
Nagai Ici tersenyum mengejek. "Wah, ini mana dapat dibilang gagah kalau tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatan sendiri? Sudah pandai mencuri, kemudian pandai berpura-pura dan menyangkal pula. Hayo, di kanan dan kiri bibirmu yang merah itu masih berlepotan minyak, malah ujung hidungmu yang mancung itu pun berminyak. Kau belum sempat mencucinya, ya? Wah, agaknya sudah habis kau ganyang semua panggang paha macan punyaku tadi. Celaka!"
Loan Ki melongo dan baru teringatlah ia akan perbuatannya yang nakal tadi, yaitu mencuri panggang paha macan orang yang sedang mandi. Tiba-tiba saja mukanya menjadi merah bagai udang direbus dan otomatis tangan kirinya diangkat untuk menghapus bibirnya yang kiranya benar-benar penuh minyak!
Wah, repotlah Loan Ki sekarang menggunakan dua tangannya. Karena malu dan bingung, Loan Ki menjadi marah sekali. Dengan telunjuknya yang runcing dia menuding ke arah hidung Nagai Ici, pandang matanya melotot.
"Setan kau! Berani kau memperolokku?"
Nagai Ici tertama, tubuhnya bergerak-gerak. "Kau... kau pencuri daging, tukang nyolong!"
Kemarahan Loan Ki bukan kepalang lagi, "Kau... tikus, cacing, kadal, anjing, monyet, babi, kuda!" Ia memaki-maki sejadinya dan menyebut nama semua binatang. Paling akhir dia mencabut pedangnya dan menantang. "Hayo kita buktikan di antara kita siapa yang lebih gagah!"
Memang sebenarnya inilah yang dikehendaki Samurai Merah. Begitu bertemu dengan dara ini, semangatnya langsung terbetot, perhatiannya tertarik, hatinya terpikat tanpa dia sadari lagi. Tadinya dia hampir percaya bahwa dara jelita dan gagah perkasa ini adalah sebangsa peri atau bidadari. Akan tetapi setelah ‘bidadari’ itu bersuara, tahulah dia bahwa makhluk ini ternyata adalah seorang dara jelita yang wajar, seorang manusia yang hidup dan segar gembira lahir batinnya.
Dia kagum bukan main dan melihat cara gadis ini tadi bergerak turun dari pohon, dia pun menduga bahwa tentu ilmu kepandaian gadis ini juga hebat. Apa lagi kalau diingat bahwa menurut kata gadis itu sendiri, para perampok jahat itu tadi ketakutan melihatnya karena pernah ia beri hajaran. Tentu saja hal ini dia sendiri tidak dapat begitu saja mempercayai.
Inilah sebabnya, ketika melihat bibir dan ujung hidung yang amat lucu indah itu berlepotan minyak, dia sengaja menuduh dan mengejek, dengan maksud membangkitkan amarah gadis itu dan mendapat alasan untuk menguji kepandaiannya. Dia kurang percaya kalau seorang gadis sehalus dan secantik ini, masih amat muda lagi, dapat ‘memberi hajaran’ kepada seorang kepala penjahat seperti Lauw Teng dan anak buahnya.
Akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa gadis yang ‘besar mulut’ ini sedikitnya tentu memiliki ilmu pedang yang lumayan, terbukti dari caranya mencabut pedang yang cukup cepat dan cekatan itu. Karena itu dia tidak berani memandang rendah dan dia pun segera melolos pedang samurainya dari sarungnya.
"Nona cilik..."
"Jangan sebut-sebut nona cilik. Apa kau sudah tua bangka? Kau sendiri pun masih cilik, paling-paling hanya beberapa tahun lebih tua dari pada aku. Lagaknya seperti orang tua saja!"
Nagai Ici tertawa. Dia sebetulnya seorang yang berwatak pendiam dan serius (sungguh-sungguh), akan tetapi berhadapan dengan dara lincah seperti ini mau tidak mau bangkit kegembiraannya. Sepasang matanya yang biasanya tenang dan tajam itu kini bersinar-sinar, wajahnya yang gagah tampan berseri-seri.
"Hayo, kau mau bilang apa lekas bilang sebelum pedangku bicara, jangan cuma cengar-cengir seperti kunyuk mencium cuka!" Loan Ki membentak lagi. Dasar gadis lucu jenaka, sedang marah pun lucu, sama sekali tidak membuat orang takut.
"Nona... besar, maksudku... ehhh, apa perlunya kita mengadu senjata? Senjata pedang adalah benda tajam yang berbahaya, bagaimana kalau sampai melanggar tubuh? Lebih baik kita mengadu kepandaian dengan tangan kosong saja."
"Ihhh, siapa sudi? Tadi sudah kulihat bahwa hanya dengan pedangmu yang bengkok itu kau pandai berkelahi. Kalau bertangan kosong, kau hanya mengandalkan cengkeraman dan tangkapan. Mana aku sudi bersentuh tangan dengan kau? Hayo lekas serang dengan pedangmu!"
Nagai Ici tetap ragu-ragu. Ia telah belasan tahun mempelajari ilmu pedang, dan selama ini samurainya amat ganas dan dikenal sebagai Samurai Merah. Ilmu pedangnya adalah ilmu pedang khusus untuk merobohkan lawan, begitu samurainya berkelebat, tentu membabat putus sesuatu. Mana dia tega melukai nona yang dia kagumi ini?
"Wah, kenapa bengong saja? Apa kau kira aku takut melihat pedangmu yang bengkok dan jelek itu? Pedang apa itu, pantasnya untuk potong babi!"
Diejek begini, panas juga hati Nagai Ici. Ia akan memperlihatkan kepandaiannya dan tentu saja dia akan berhati-hati agar jangan sampai salah tangan melukai dara ini.
"Hemmm, kau hendak mengenal Samurai Merah? Bersiaplah!" bentaknya.
"Samurai Merah atau samurai belang bonteng, peduli apa aku? Hayo serang kalau berani, ngomong saja dari tadi kerjanya!" ejek Loan Ki.
Ia sendiri memang berwatak aneh, mudah marah, mudah gembira, namun lebih banyak gembiranya dari pada marahnya. Sekarang pun kemarahannya karena tadi dimaki tukang nyolong sudah mereda dan ia menghadapi pedang jago muda Jepang itu terutama sekali karena ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu pedang aneh itu.
"Awas!" teriak Nagai Ici.
Samurainya berkelebat membuat gerakan segitiga di depan tubuhnya. Indah sekali gaya pertahanan pertama ini. Dan dia lalu diam tak bergerak, hanya biji matanya yang hidup meneliti setiap gerakan lawan, terutama gerakan kedua lengan.
Loan Ki sudah tahu bahwa ilmu pedang orang ini memang aneh, sifatnya diam menanti serangan. Kalau ia pun diam menanti, agaknya mereka berdua akan berdiri berhadapan memasang kuda-kuda dan berdiam terus seperti patung sampai seorang di antara mereka kalah karena menjadi kesemutan akibat berdiri diam terlalu lama. Akan tetapi dia tak sudi menjadi patung. Cepat bagai kilat menyambar, pedangnya berkelebat menjadi segunduk sinar menerjang maju.
"Haaaaiiiiit!"
Nagai Ici berseru keras saking kagetnya melihat betapa seakan-akan ujung pedang gadis itu berubah menjadi belasan batang, tergetar dan menerjang kepadanya secara aneh, sukar diduga ke arah mana ujung pedang itu akan menusuk! Dia segera, memutar samurainya sekuat tenaga, membabat ke arah bayangan ujung-ujung pedang itu dengan maksud mempergunakan tenaganya untuk menghantam pedang gadis itu agar terlepas dari pegangan.
"Wuuuuuttttt!"
Samurainya yang berat, tajam dan bergerak cepat itu ternyata hanya menghantam angin belaka karena secara tiba-tiba belasan ujung pedang lawan itu sudah lenyap dan kembali berubah menjadi segundukan sinar pedang menyerangnya, kini dari kanan kiri atas bawah tak tentu ujung pangkalnya.
"Bagus...!" Mau tak mau Nagai Ici berseru memuji.
Inilah hebat, pikirnya. Ilmu pedang yang luar biasa, jauh lebih hebat dari pada ilmu golok ketua Hui-houw-pang tadi. Maklumlah dia bahwa gadis itu benar-benar bukan sekedar memiliki ilmu ‘gertak sambal’ belaka, tetapi benar-benar seorang gadis muda yang ‘berisi’, yaitu yang memiliki kepandaian tinggi.
Hatinya makin gembira dan berkurang keraguannya karena sekarang dia tidak takut lagi untuk salah tangan sebab maklum bahwa gadis itu cukup mampu menjaga diri. Cepat dia memutar samurainya sehingga sinar pedang samurai itu berkilat-kilat menyambar ke arah gulungan sinar pedang Loan Ki.
Dari angin sambaran pedang samurai, Loan Ki maklum bahwa orang muda itu memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) yang amat kuat, maka ia tidak berani mengadu pedang, kuatir kalau-kalau pedangnya akan rusak bertemu dengan samurai yang digerakkan oleh tenaga gajah itu. Ia menggunakan kegesitannya dan bersilat dengan Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang luar biasa.
Gerakannya indah dan lemah lembut, seperti seorang bidadari kahyangan tengah menari. Pinggangnya yang ramping bergerak-gerak lemas dan lehernya ikut pula bergerak-gerak. Langkahnya berlenggang-lenggok dan untuk melengkapi ilmu pedang ini yang memang mengharuskannya sebagai taktik, ia pun tersenyum-senyum dan mengerling dengan amat manis dan ayunya.
Memang dahulu pencipta ilmu pedang ini, yaitu Si Pendekar Baju Merah Ang I Niocu, sengaja menciptakan ilmu pedang yang luar biasa untuk mengalahkan lawan-lawan berat. Bentuk tarian indah gemulai disertai senyum dikulum dan kerling memikat sesuai dengan wajah yang cantik jelita, semata-mata merupakan taktik untuk mengacaukan konsentrasi (pemusatan pikiran) dan melemahkan daya tempur lawan.
Tentu saja Nagai Ici pun melihat ini semua dan hatinya berdebar tak karuan. Bukan main indahnya ilmu pedang yang seperti tarian itu dan wajah gadis lincah itu makin lama makin cantik menarik.
Akan tetapi pemuda Jepang ini bukan seorang manusia biasa yang mudah lumpuh oleh kecantikan wanita. Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh seorang daimyo (pendekar bernama besar) yang sakti, tidak saja diwarisi ilmu bermain samurai yang ampuh, juga sudah digembleng memperkuat batin dengan cara bersemedhi dan menyatukan pikiran.
Oleh karena ini, biar pun dia amat tertarik dan kagum melihat lawannya, dia segera dapat menekan perasaannya dan memperhebat gerakan samurainya, malah kini dia menguras semua jurus pilihan dan yang paling rahasia dari ilmu pedangnya untuk menghadapi ilmu pedang lawan yang lemah-gemulai akan tetapi mengandung daya serangan yang sangat dahsyat.
Diam-diam Loan Ki kagum juga. Ilmu silat aneh dengan pedang aneh pula ini, sesudah bergebrak kiranya tidaklah selambat yang dia duga. Pertahanannya kokoh kuat dan biar pun serangannya tidak terlalu sering, namun tiap kali menyerang laksana kilat menyambar dari udara cerah.
Inilah inti ilmu pedang lawannya dan inilah pula yang membuat samurainya itu berkali-kali berhasil tiap kali berkelebat. Kiranya inti ilmu lawannya memang mengandung gerakan menyerang tersembunyi seperti kilat yang menyambar dari angkasa yang sehingga sama sekali tidak tersangka-sangka datangnya. Ia pun merasa malu kalau sampai kalah, maka ia kemudian mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua simpanan jurus ilmu pedangnya.
Hebat bukan main pertandingan itu. Jauh lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi sekarang tidak nampak mengerikan sehingga lima orang gadis tawanan itu yang sejak tadi melongo dan terheran-heran, sekarang pada berdiri menonton dengan kagum.
Bagi mereka yang tidak mengerti ilmu silat, dua orang muda itu terlihat seperti sedang menari-nari secara indah dan aneh. Pedang dan samurai itu lenyap dari pandangan mata mereka, yang tampak hanyalah segulung sinar pedang seperti awan putih bergerak-gerak, dibarengi melesatnya sinar seperti kilat menyambari awan itu!
Seratus jurus lebih mereka bertanding, hampir satu jam lamanya. Mereka berdua sudah gobyos (bermandi peluh) dan sudah mulai lelah karena dalam pertandingan itu mereka mempergunakan semua tenaga dan kepandaian.
Loan Ki mulai penasaran dan tak sabar. Ia menanti kesempatan baik dan tiba-tiba dengan pengerahan tenaga lweekang-nya ia menghantam samurai lawan sekuatnya.
"Tranggggg!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang pedang itu bertemu dengan amat kerasnya. Nagai Ici mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tubuhnya terhuyung mundur tiga langkah. Loan Ki sendiri tergetar telapak tangannya dan cepat dia memindahkan pedang pada tangan kirinya. Oleh karena sempat melompat ke samping, maka dia tidak sampai terhuyung seperti lawannya.
Keduanya memeriksa pedang, kemudian saling pandang dengan napas terengah-engah. Nagai Ici tertawa lebih dahulu. Kagumnya bukan kepalang, akan tetapi dia juga puas dan merasa bangga karena betapa pun juga, gadis luar biasa itu sudah berkenalan dengan samurainya yang lihai.
"Heh-heh, kau benar hebat, Nona. Selama hidupku baru kali ini aku melihat seorang gadis muda yang begini hebat. Sebelum ini, mendengar pun belum pernah. Ilmu pedangmu luar biasa, kepandaianmu hebat bukan main. Akan tetapi, betapa pun juga kau takkan mampu mengalahkan aku."
"Ihh, sombongnya! Baru mengandalkan pedang bengkok itu saja sudah berani membuka mulut besar. Kau tidak merasa bahwa aku tadi sengaja mengalah mengingat bahwa kau orang asing? Huh, benar-benar tidak punya perasaan dan tidak malu. Pedang bengkokmu itu siapa sih yang takut? Kalau mau, dalam segebrakan saja aku sanggup membikin putus lehermu, tahu?"
"Ha-ha-ha, Nona sungguh-sungguh pandai berkelakar! Sudah jelas kita bertanding sampai mandi keringat belum ada yang terluka, belum ada yang kalah atau menang, bagaimana kau bisa bilang dalam segebrakan dapat memenggal leherku? Ha-ha-ha, lucu!"
"Hemm, dasar tak tahu malu, tak berperasaan. Kau mau bukti?"
Tentu saja Nagai Ici tidak percaya, dia merasa penasaran sekali. Dia, Samurai Merah yang di Jepang sudah terkenal sekali, mana mungkin dalam segebrakan saja terpenggal lehernya oleh seorang gadis cilik?
"Boleh! Kau buktikanlah dan coba kau penggal leherku, jangan dalam segebrakan, malah dalam seribu gebrakan sekali pun boleh!" dia menantang dan sengaja dia mengulurkan lehernya.
"Huh, kau kira aku adalah algojo?" Loan Ki mendengus marah. "Biar pun kau kurang ajar setengah mati, tadi kau menentang penjahat, berarti kau bukan penjahat. Aku tidak biasa membunuh orang yang bukan penjahat. Tetapi aku bisa membuktikan bahwa aku seribu kali lebih pandai dari padamu dan bahwa tadi aku sudah sengaja mengalah, hanya kau yang buta perasaan dan tidak tahu diri."
"Heh-heh, kau tekebur sekali. Bagaimana kau akan membuktikan?"
"Kau boleh gunakan pedang bengkok pemotong babi itu untuk melawan aku yang akan melayanimu dengan bertangan kosong!" Loan Ki tersenyum mengejek. Tanpa pedulikan wajah lawan yang kelihatan kaget itu ia menyambung, "Lebih dari itu malah, dengar wahai kadal, kuda, babi! Tidak saja aku melayani pedang bengkokmu itu dengan tangan kosong, juga aku akan membiarkan kau menyerang sesukamu tanpa membalas. Kalau nanti aku membalas sekali pukulan saja boleh dianggap kalah!"
Nagai Ici melengak. Benar-benar terlalu gadis liar ini, pikirnya dengan perut terasa panas. Menghina orang tanpa takaran. Mana ada aturan seperti ini? Seorang jantan tulen seperti dia menyerang seorang gadis bertangan kosong menggunakan samurai? Dan gadis itu malah tidak akan membalas sama sekali? Waduh, dia dianggap anak kecil yang masih ingusan saja oleh gadis nakal itu. Keparat!
"Nona, apakah otakmu waras?"
Kini Loan Ki yang melengak, lalu membanting-banting kaki tanda marah. "Kau yang edan! Kau yang gila, gendeng dan miring otakmu!" Ia memaki-maki marah lagi sejadi-jadinya asal hatinya yang mengkal dapat merasa ‘plong’.
Melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, mulai meragulah hati Nagai Ici. Siapa tahu gadis ini bicara sungguh-sungguh? Wah, hebat kalau begitu.
"Nona, begini saja sekarang. Bukan watakku untuk menyerang seorang lawan, apa lagi seorang gadis seperti kau, menggunakan samurai sedangkan yang kuserang bertangan kosong dan tidak akan membalas. Sekarang begini saja, aku menerima tantanganmu tapi caranya begini. Aku akan menyerangmu selama tiga jurus dan aku tanggung dalam tiga jurus itu, aku akan dapat memilih dengan samuraiku satu di antara empat macam benda di tubuhmu, yaitu pertama pita rambutmu, ke dua ujung ikat pinggangmu, ke tiga ujung ronce pedangmu dan ke empat ujung lengan bajumu. Dalam tiga jurus saja pasti sebuah di antara yang empat tadi dapat kubabat putus, bahkan mungkin lebih dari satu atau keempatnya sekaligus! Tetapi kalau hal ini terjadi, kau harus menyatakan bahwa aku tidak kalah olehmu dan bahwa ilmu kepandaianku tidak berada di bawah kepandaianmu. Nah, bukankah ini adil namanya!"
Loan Ki mengernyitkan hidungnya, ditarik ke atas ujung hidungnya sehingga nampak lucu sekali. "Aduh-aduh, sombongnya! Tiga jurus katamu? Jadikan tiga puluh jurus baru aku sudi melayani. Nah, tiga puluh jurus kau boleh menyerangku dengan pedang pemotong babi itu. Kalau dapat kau tebas sedikit saja sebuah di antara yang empat itu, biarlah aku mengaku kalah. Akan tetapi kalau dalam tiga puluh jurus tak berhasil bagaimana?"
"Tiga puluh jurus? Tidak berhasil? Tak mungkin!"
"Janji tinggal janji, jangan menyombong dulu. Wah laki-laki kok ceriwis amat, bicara saja!"
"Biarlah aku berjanji, kalau dalam tiga puluh jurus pedangku ini tidak berhasil membabat putus sebuah di antara empat benda tadi, biarlah aku mengangkat kau menjadi guruku!"
"Hi-hi-hik, punya murid macam kau bikin repot saja! Kau berjanji akan merubah sikapmu, tidak ceriwis dan cerewet lagi dan akan taat serta menuruti segala perintahku, bersedia menjadi bujang atau pelayanku?"
Merah wajah Nagai Ici. Inilah penghinaan besar. Akan tetapi dia yakin sekali bahwa dia tidak mungkin kalah dalam taruhan ini. Andai kata dia kalah, hal itu berarti bahwa gadis ini benar-benar seorang dewi yang sakti, bahkan lebih sakti dari pada gurunya di Jepang, maka sudah sepatutnya kalau dia angkat menjadi gurunya yang baru dan sebagai murid, tentu saja dia harus mentaati gurunya dan rela mengabdi dan menjadi pelayan.
"Baik, aku berjanji!" Dia berkata sambil mengacungkan samurainya ke atas di depan dahi sebagai tanda sumpah.
"Nah, mulai seranglah!" seru Loan Ki setelah menyimpan pedangnya.
Sengaja ia memiringkan tubuh dan melambai-lambaikan ujung lengan baju, ikat pinggang, pita rambut dan ronce pedangnya agar mudah dibabat pedang lawan! Melihat ini, Nagai Ici berseru keras lalu mulai menyerang. Samurainya berkilat menyambar, kemerahan dan dengan kecepatan yang dahsyat.
Namun tiba-tiba jago muda Jepang itu berseru terheran-heran. Dia melihat betapa gadis itu sekarang bergerak amat aneh, jauh bedanya dengan gerakan tadi ketika melawannya dengan pedang.
Tadi gadis itu gerakannya lemah gemulai, seperti seorang penari dari surga, begitu indah menarik. Sekarang, gadis itu melangkah ke sana ke mari dengan gerakan kaku dan aneh, terhuyung-huyung serta meloncat-loncat sambil jongkok berdiri tidak karuan. Tubuhnya ditekuk ke sana ke mari, miring ke kanan kiri depan belakang.
Pendeknya gerakan gadis itu sekarang sangat buruk dilihat seperti gerakan orang mabuk. Akan tetapi hebatnya, semua sambaran samurainya mengenai angin belaka dan betapa pun cepat dan kuat dia menerjang, dia seakan-akan sedang menghadapi dan menyerang bayangannya sendiri.
Tentu saja jago muda Jepang ini tidak pernah mimpi bahwa gadis itu sekarang sedang menggunakan langkah ajaib dari Ilmu Silat Kim-tiauw-kun, ilmu yang tergolong di deretan paling tinggi di dunia persilatan. Inilah ilmu langkah ajaib yang diberi nama Hui-thian Jip-te (Terbang ke Langit Ambles ke Bumi) dan yang dipelajari oleh Loan Ki dari Si Pendekar Buta Kwa Kun Hong!
Kiranya karena memiliki modal ilmu ini maka Loan Ki berani menantang dan bersombong di depan Samurai Merah itu. Tadi ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, namun ia maklum bahwa untuk merobohkan lawan tangguh ini, bukanlah hal mudah baginya. Akan tetapi sebaliknya, Samurai Merah juga tak akan mungkin dapat merobohkannya, apa lagi kalau ia menggunakan Hui-thian Jip-te untuk menyelamatkan diri.
Makin lama Nagai Ici menjadi makin penasaran, ia pun bertekad mencapai kemenangan. Ia mengeluarkan pekiknya yang dahsyat, samurainya menyambar-nyambar laksana naga sakti mengamuk, namun hanya tampaknya saja samurainya hampir mengenai sasaran, kenyataannya selalu hanya berhasil membacok angin kosong.
Setelah belasan kali serangannya tidak berhasil, mulailah dia merasa terkejut, heran, dan kagum, bahkan kemudian bulu tengkuknya berdiri meremang saking ngerinya melihat betapa dengan berjongkok dan melompat-lompat seperti katak atau seperti seorang anak kecil bermain-main, gadis itu dengan sangat mudahnya menghindarkan diri dari sambaran samurainya! Ilmu ibliskah yang dipergunakan gadis ini?
Tiga puluh jurus lewat dan jangankan samurai itu mengenai sasaran. Mencium sedikit pun tak pernah. Nagai Ici adalah seorang lelaki sejati. Tepat sesudah jurus ke tiga puluh lewat tanpa hasil, dia lalu menghentikan serangannya, melempar samurainya ke atas tanah lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Loan Ki dan berkata, "Mulai saat ini murid mentaati segala petunjuk dan perintah Guru."
Terbelalak mata Loan Ki memandang. Namun yang dipandangnya tetap berlutut dengan kepala tunduk sehingga yang tampak olehnya hanya rambut hitam digelung ke atas itu. Inilah sama sekali tidak pernah diduganya! Sama sekali dia tidak pernah mengira bahwa pemuda ini benar-benar hendak memenuhi janjinya dan mengangkatnya sebagai guru!
"Gila!" teriaknya. "Siapa sudi menjadi gurumu? Apa bila kau muridku, berarti aku gurumu dan kau akan menyebut ibu guru kepadaku? Setan, jangan kau menghina, ya? Aku belum tua, lebih muda dari padamu, mana bisa menjadi guru orang dewasa?"
Nagai Ici mengangkat kedua tangannya ke depan dada memberi hormat dalam keadaan masih berlutut. "Saya sudah menikmati kehebatan ilmu kepandaian Guru dan sudah kalah janji. Terserah bagaimana kehendak Guru, murid hanya akan menurut dan mentaati."
"Baik, kalau begitu dengarkan perintahku. Pertama, kau tidak boleh berlutut, hayo lekas berdiri. Aku bukan ratu, bukan pula puteri istana dan kau lebih tua dari padaku. Bisa kualat aku kalau kau sembah-sembah. Berdirilah!"
Nagai Ici bangkit berdiri dengan sikap hormat.
"Nah, sekarang dengarkan perintahku selanjutnya. Namaku Loan Ki, Tan Loan Ki dan di dunia kang-ouw aku diberi julukan Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Kau tidak boleh menyebut aku ibu guru, sebut saja namaku dan aku pun akan menyebutmu Nagai Ici begitu saja. Mengerti?!"
Nagai Ici mengangguk, di dalam hatinya bingung dan juga geli melihat sikap gadis yang luar biasa dan yang sekaligus meruntuhkan hatinya ini. Juga kelima orang gadis tawanan yang sejak tadi menonton, diam-diam saling pandang dan tersenyum simpul.
"Sekarang tugasmu yang pertama adalah membantuku mengantar para gadis tawanan itu pulang ke kampung masing-masing."
"Baik, Nona. Tapi... izinkanlah murid mengubur..."
Nagai Ici berhenti bicara ketika melihat betapa Loan Ki melotot marah.
"Mengapa mesti menyebut diri sendiri murid? Aku bukan gurumu! Bilang saja aku, habis perkara!"
"Maaf, aku... aku akan mengubur mayat-mayat itu lebih dulu..."
Loan Ki mengangguk. Hatinya sangat setuju dan diam-diam dia memuji pribudi orang ini. Akan tetapi mulutnya mengomel. "Manusia yang jahat seperti binatang, mayatnya sama pula dengan bangkai, perlu apa banyak rewel? Hayo lekas, cepat saja kubur dan jangan biarkan aku terlalu lama menunggu."
Nagai Ici tersenyum dan cepat-cepat dia menggali lubang untuk mengubur mayat-mayat para penjahat yang menjadi korban samurainya tadi. Ada pun Loan Ki mendekati para gadis tawanan yang menyambutnya penuh hormat.
Dengan terharu mereka menjawab pertanyaan Loan Ki tentang kampung halaman mereka dan tentang pengalaman mereka diculik oleh para penjahat Hui-houw-pang untuk dibawa secara paksa ke kota raja. Mereka ini kiranya adalah gadis-gadis yang tinggal di kampung dekat Sungai Kuning, anak-anak dari para petani. Memang mereka cantik-cantik karena memang mereka adalah kembang yang paling cantik di dalam dusun masing-masing.
Menurut penuturan mereka, sudah terlalu sering terjadi perampokan gadis-gadis ini, baik oleh orang-orang Hui-houw-pang mau pun oleh para bajak Kiang-liong-pang atau para penjahat lain yang berusaha untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya atau mencari muka baik dari kaisar baru dan para pejabat tinggi di kota raja yang akan menyambut gembira persembahan berupa gadis-gadis cantik itu.
Loan Ki mendengarkan dengan hati sakit. Ia seorang gadis berjiwa sederhana yang tidak mengerti tentang tata negara, tidak tahu-menahu akan keadaan di kota raja dan tentang kehidupan para pembesar. Akan tetapi, mendengar penuturan yang disertai cucuran air mata oleh para gadis itu, pendekar wanita ini menggertak gigi dan langsung menyatakan kebenciannya terhadap kaisar baru beserta para kaki tangannya dengan memaki-maki sejadinya.
Memang, sangat menyedihkan apa bila dalam sebuah negara, para pembesar yang oleh rakyat dianggap pemimpin malah melakukan penyelewengan-penyelewengan dan hanya mementingkan kesenangan pribadi saja. Sudah terlampau banyak contoh terdapat dalam sejarah kuno betapa kaum ningrat, kaum berkuasa yang duduk di tampuk pemerintahan, selalu mabuk akan kekuasaan dan apa bila kekuasaan sudah berada di tangan, langsung dimabuk segala macam kemaksiatan! Mengapa begini?
Mengapa banyak sekali terjadi contoh-contoh menyolok, di mana bekas-bekas pejuang yang dahulu ikut berjuang menumbangkan kekuasaan Mongol, yang dahulu benar-benar menjadi seorang ksatria yang rela dan siap mengorbankan nyawa guna tanah air dan bangsa, setelah perjuangan berhasil dan dia mendapat kedudukan, lalu berubah tabiatnya seperti bumi dengan langit, berubah menjadi ningrat atau pembesar yang menimbun diri dengan perbuatan maksiat? Mengapa terjadi ini semua? Jawaban satu-satunya kiranya hanya terletak pada diri pribadi masing-masing!
Kemaksiatan timbul karena dorongan nafsu yang tak dapat dikekang dan yang memaksa manusianya melaksanakan dorongannya. Ini hanya dapat terjadi bila si manusia itu lemah batinnya, lemah pertahanan dalam hatinya sehingga tidak kuat menghadapi penyerbuan nafsu-nafsu yang laksana iblis setiap saat mendobrak pertahanan batin manusia.
Kekuatan batin melemah akibat pengaruh keadaan sekeliling, karena keadaan lingkungan hidupnya, karena contoh-contoh hidup yang diperlihatkan atasannya. Apa bila atasannya mabuk kedudukan, bawahannya pun tentulah demikian. Kalau atasannya mabuk wanita, bawahannya pun tak akan berbeda jauh dan demikian selanjutnya.
Bagaimana akibatnya kalau kaum ningrat dan para pembesar sudah tenggelam ke dalam gelombang perbuatan maksiat? Celakalah! Negara akan menjadi lemah dan rakyat akan menjadi sengsara. Tanda-tanda tentang keadaan para pembesar yang demikian itu, selalu dapat dilihat dari keadaan di kota raja.
Kalau seorang pembesar, baik dia berkedudukan tinggi sekali atau pun hanya rendahan, tenggelam dan mabuk atas kemewahan, itulah tanda bahwa pertahanan batinnya menjadi lemah dan dia akan mudah tergelincir ke dalam tindakan maksiat. Dan segala macam tindakan maksiat di dunia ini mempunyai pengaruh seperti madat. Diberi satu ingin dua, mendapat dua ingin empat dan seterusnya, tak kenal puas tak kenal kenyang.
Sekali seorang manusia mabuk akan kedudukan, biar dia sudah menjadi kaisar sekali pun, dia akan merasa tak puas dan iri melihat kaisar-kaisar di negara lain yang lebih besar kedudukannya, dan andai kata dia sudah menjadi kaisar yang paling tinggi kedudukannya di dunia, agaknya dia masih akan mengiri akan kedudukan Tuhan!
Sekali seorang manusia sudah mabuk akan wanita, biar dia sudah mempunyai isteri dan selir sebanyak seribu orang sekali pun, matanya yang berminyak kiranya masih selalu akan jelalatan (melotot ke sana-sini) untuk mencari seorang wanita lainnya yang belum dia miliki!
Setelah selesai mengubur mayat-mayat itu, Nagai Ici lalu diajak Loan Ki mengantar para gadis bekas tawanan itu. Untung bahwa perkampungan mereka tidak jauh dari hutan itu sehingga dalam waktu dua hari saja mereka telah dapat sampai di rumah masing-masing. Tentu saja mereka dan orang-orang tua mereka girang dan terharu bukan main, berlutut menghaturkan terima kasih kepada Loan Ki dan Nagai Ici. Akan tetapi kedua orang muda perkasa ini tidak mau menerima atau melayani penghormatan mereka dan cepat-cepat pergi tanpa pamit lagi.
Pada pagi hari berikutnya, Loan Ki dan Nagai Ici sudah menunggang kuda berendeng sambil bercakap-cakap. Nagai Ici kini sudah berubah pakaiannya, merupakan seorang pria muda yang berpakaian gagah, tidak aneh lagi kecuali pedang samurainya yang memang berbeda dengan pedang-pedang yang biasa dibawa oleh para ahli silat di situ.
Loan Ki yang memaksanya berganti pakaian karena gadis ini tidak ingin melihat teman seperjalanannya menjadi pusat perhatian dan keheranan orang. Dengan sisa-sisa uang rampasan dari para perampok Hui-houw-pang, mereka membeli pakaian dan membeli dua ekor kuda karena Loan Ki bermaksud untuk mengadakan perjalanan jauh, menyusul ayahnya ke kota raja!
Nagai Ici yang tunduk benar kepadanya, sungguh penurut dan tidak pernah membantah, betul-betul menyenangkan hati Loan Ki. Senang dan gembira juga mendapatkan seorang pengiring yang selain gagah dan tampan, juga amat penurut dan setia seperti pemuda Jepang itu. Dalam perjalanan pada pagi hari itu, Loan Ki minta kepada Nagai Ici untuk menceritakan keadaannya!
Menurut penuturan Nagai Ici, di Jepang pada waktu itu (sekitar tahun 1399-1400) baru saja terdapat perdamaian setelah puluhan tahun di negeri itu terjadi perebutan kekuasaan yang mengakibatkan perang saudara terus-menerus. Kemenangan terakhir pada tahun 1392 tercapai oleh Ashikaga Takauyi dan mulailah di tahun itu apa yang dinamakan jaman Maromaci karena Ashikaga Takauyi menempatkan markasnya di bagian kota Kyoto dan bernama Maromaci.
Sungguh pun kaisarnya masih keturunan keluarga Tenno yang berada di istana Tenno, tapi keadaan kaisar ini tidak ubahnya seperti boneka belaka. Kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Ashikaga Takauyi inilah.
Nagai Ici semenjak belasan tahun sudah menjadi yatim piatu. Selanjutnya dia dirawat dan dididik oleh gurunya, yaitu seorang daimyo (pendekar besar) yang membantu perjuangan Ashikaga Takauyi.
Setelah dalam usia lima belas tahun ikut pula mengayun samurai dan membantu perang saudara yang sudah hampir berakhir itu, Nagai Ici dinyatakan tamat dari perguruan dan dia pun diperbolehkan berdiri sendiri menjadi seorang di antara golongan Samurai! Sepak terjangnya sebagai seorang pendekar amat mengesankan sehingga pada beberapa tahun kemudian, dalam usia dua puluh tahun saja dia sudah dijuluki orang Samurai Merah.
Nagai Ici memiliki darah perantau atau mungkin juga jiwa petualangnya ingin dia puaskan dengan perantauan. Seluruh negeri Jepang sudah dia jelajahi dan akhirnya karena pada jaman itu hubungan Jepang dan Tiongkok sudah sangat baik, dia pun mendengar banyak tentang Tiongkok.
Kebudayaan dari negara besar itu, termasuk ilmu silatnya, terbawa ke Jepang dan amat terkenal. Banyak dongeng yang sering didengar Nagai Ici dalam perantauannya, betapa jago-jago silat di Tiongkok bagai dewa-dewa saja saktinya. Inilah mula-mula yang menjadi pendorong baginya untuk menyeberangi laut menuju ke Tiongkok dengan cita-cita untuk mencari seorang guru seperti dewa dan mempelajari kesaktian!
Lama sekali, setelah beberapa tahun lagi, barulah dia memperoleh kesempatan berlayar ke Tiongkok bersama perahu ikan yang dengan berani mati menempuh perjalanan yang amat berbahaya itu dengan perahu ikan yang kecil.
Seperti telah kita baca dalam bagian terdahulu, begitu mendarat, Nagai Ici dibikin kecewa dan marah menyaksikan perbuatan para bajak laut bangsanya yang merampoki sebuah kota pelabuhan. Oleh karena merasa malu akan perbuatan bangsanya yang di negerinya terkenal sebagai orang-orang kaya itu, Nagai Ici turun tangan membasmi dan mengusir para bajak laut Tengkorak Hitam. Dia kemudian menghilang karena tak ingin dilihat orang lain bahwa dia, seorang Jepang juga, mengamuk dan membasmi bajak laut bangsanya sendiri.
Sampai berpekan-pekan dalam perjalanan selanjutnya, Nagai Ici mulai kecewa karena ternyata bahwa di negara besar yang dahulunya dia sangka segalanya pasti serba hebat itu, kiranya tidak banyak bedanya dengan negerinya sendiri, kalau tidak mau dibilang lebih buruk.
Para petani demikian miskinnya sampai-sampai hidupnya tak layak lagi sebagai manusia. Di mana-mana banyak terdapat perampok dan para penjahat. Penghuni-penghuni dusun demikian sederhana hidupnya dan amatlah bodohnya sehingga kadang-kadang Nagai Ici kehabisan harapan dapat bertemu dengan seorang sakti seperti dewa di antara bangsa yang malah amat miskin ini.
Demikianlah, sehingga akhirnya pertemuan dengan Loan Ki sangat mengagumkan dan menggirangkan hatinya. Mulailah timbul harapannya. Apa bila ada seorang gadis remaja sehebat ini, tidak mustahil dia akan bertemu dengan seorang guru sesakti dewa. Baru gadis ini saja, bukan main! Belum pernah dia mendengar, apa lagi menyaksikan seorang dara remaja memiliki kepandaian seperti ini.
Samurainya itu tidak berdaya sama sekali terhadap gadis ini yang bertangan kosong! Bukankah ini aneh sekali? Gurunya sendiri, Daimyo Matsumori yang sangat terkenal di Jepang, belum tentu berani menghadapi tiga puluh jurus serangan samurainya dengan tangan kosong tanpa membalas!
Inilah yang membuat Nagai Ici menjadi penurut. Biasanya, di negerinya kaum wanita tidak mendapat tempat terlalu tinggi, dianggap sebagai mahkluk lemah yang tugasnya hanya menjadi penghibur kehidupan pria belaka. Kini dia bertemu ‘batunya’, seorang dara lincah yang hebat, yang sekaligus membangkitkan harapannya untuk mendapatkan guru pandai di samping sekaligus menjatuhkan hatinya pula, membuat dia bertekuk lutut di dalam hati, tak kuasa menentang sinar mata jeli dari si juwita itu.
Anehkah kalau jago muda dari Jepang itu tersenyum-senyum gembira, wajahnya berseri matanya bersinar-sinar ketika dia mengendarai kuda di samping Loan Ki…..?
Setelah Kian Bun Ti menduduki singgasana menjadi kaisar dan terkenal juga dengan nama Hui Ti (tahun 1399), timbullah persaingan hebat di kota raja untuk memperebutkan kedudukan. Sebagian banyak pangeran tua merasa tidak puas melihat Hui Ti menjadi kaisar, karena mereka sudah mengenal Pangeran Kian Bun Ti sebagai orang muda yang hanya mengejar kesenangan belaka.
Akan tetapi, para pangeran muda dan para pembesar yang mendapat kedudukan baik setelah Kian Bun Ti naik tahta, tentu saja mati-matian membela kaisar baru ini. Dengan demikian, maka diam-diam terjadilah permusuhan. Keadaan kota raja seperti api dalam sekam, sewaktu-waktu tentu akan meletus.
Walau pun kaisar Hui Ti yang muda itu sendiri adalah seorang yang keahliannya hanya mengejar wanita cantik dan bersenang-senang, akan tetapi para pembantunya yang juga mempertahankan kedudukan mereka masing-masing merupakan orang-orang pintar yang banyak pengalaman. Oleh karena itu, untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini, para menteri dan pembesar tinggi, terutama dari golongan bu (militer) segera memperkuat penjagaan, memperkuat barisan dan mendatangkan banyak ahli-ahli dari luar. Selain itu, setiap hari selalu diadakan pembersihan untuk membasmi mereka yang dianggap sebagai lawan, mereka yang dianggap membahayakan kedudukan Hui Ti beserta para pembesar pendukungnya.
Seperti sudah lazim terjadi, bila mana ada angin puyuh bertiup, yang rontok bukan hanya daun-daun kering dan buah-buah busuk, juga daun-daun segar dan buah-buah muda bisa saja turut terlanda angin puyuh dan rontok semua. Dalam keadaan negara pun demikian. Bila mana keributan terjadi, yang menjadi korban bukan hanya mereka yang memang tersangkut, juga yang tidak tahu apa-apa bisa saja menjadi korban.
Sudah tentu saja menurut rencana para pembesar yang mengatur ini semua, yang harus dibersihkan adalah mereka yang berbahaya, mereka yang diam-diam memiliki niat untuk melawan dan menumbangkan kekuasaan kaisar baru untuk diganti dengan kaisar pilihan mereka sendiri. Akan tetapi dalam pelaksanaannya banyak sekali terjadi penyelewengan dan penyalah gunaan kekuasaan sehingga banyaklah terjadi pemerasan, penyelewengan dan kejahatan yang berdasafkan fitnah.
Bisa saja terjadi seorang petugas kecil mendatangi seorang hartawan dan melancarkan fitnah keji bahwa hartawan itu termasuk anti kaisar baru. Kemudian dengan alasan akan ‘melindungi’, si petugas kecil itu menerima ‘uang jasa’ yang jumlahnya melebihi besarnya jumlah upahnya sepuluh tahun! Ini baru contoh kecil-kecilan saja, banyak terjadi hal yang lebih hebat dari pada contoh itu.
Kota raja goncang karena pertentangan-pertentangan ini. Penduduk kota raja dicekam kekuatiran. Banyak malah yang pergi mengungsi keluar daerah, memilih tempat tinggal di dusun-dusun jauh dari kota raja, di mana rakyatnya tidak sedikit pun merasakan akibat ketegangan politik di kota raja.
Akan tetapi ketenteraman ini pun hanya sementara saja mereka rasakan, karena tak lama kemudian pembersihan dilakukan sampai ke dusun-dusun pula di mana tangan-tangan iseng dari manusia-manusia berbatin rendah itu menyebar fitnah ke sana ke mari sambil mencari kesempatan mengeduk kekayaan sebanyak mungkin.
Kota raja dijaga ketat. Semua pintu gerbang kota raja dijaga oleh para pasukan pilihan, dan di dalam kota raja sendiri penuh dengan mata-mata yang melakukan penyelidikan supaya jangan sampai kota raja diselundupi kaki tangan lawan. Memang paling repot menghadapi lawan yang tidak diketahui dari mana datangnya ini. Lawan-lawan yang bisa saja menyelundup ke dalam golongan pedagang, pengemis, buruh, seniman, malah bisa jadi menyelundup ke dalam golongan pembesar dan prajurit sendiri.
Pada suatu pagi, pagi-pagi sekali di luar pintu gerbang sebelah utara, tampak seorang laki-laki muda yang pakaiannya sederhana tapi bersih, berdiri dengan tongkat di tangan dan kepala tunduk. Orang ini bukan lain adalah Si Pendekar Buta, Kwa Kun Hong.
Telah kita ketahui bahwa setelah berpisah dari Song-bun-kwi, Pendekar Buta ini pergi ke kota raja. Banyak hal harus dia selidiki, selain persoalan yang menyangkut Thai-san-pai juga soal mahkota kuno yang mengandung rahasia kenegaraan besar itu, yang sekarang berada dalam bungkusan pakaian yang digendongnya. Biar pun dia buta, namun karena kepandaiannya yang tinggi, dia dapat juga melakukan perjalanan cepat.
Sambil bertanya-tanya di sepanjang jalan, akhirnya dia sampai juga di luar pintu gerbang sebelah utara. Baru saja dia mendengar keterangan bahwa tidak mudah untuk memasuki kota raja, karena setiap orang pasti dicurigai dan pintu gerbang dijaga keras. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan para penjaga, tentu akan ditangkap dan dimasukkan tahanan.
Inilah yang membuat Kun Hong ragu-ragu dan hati-hati. Dia tidak takut dicurigai, tidak takut pula ditangkap. Akan tetapi karena mahkota kuno itu berada padanya, amatlah tidak baik kalau sampai dia tertawan. Mahkota itu harus dia jaga, kalau perlu berkorban nyawa.
Betapa pun juga, pada dasarnya Kun Hong sudah mempunyai watak berhati-hati, tidak mau sembarangan mempercayai berita yang didengamya tentang keburukan seseorang. Dia sudah mendengar dari Tan Hok tentang Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi kaisar dan bahwa hal ini amatlah buruk akibatnya.
Pangeran itu bukanlah seorang yang patut menjadi kaisar. Karena itulah maka mendiang kaisar tua sudah meninggalkan surat rahasia yang disimpan di dalam mahkota kuno itu, surat rahasia yang memberi kuasa penuh kepada Pangeran Tua Yung Lo di utara untuk bertindak terhadap kaisar baru.
Akan tetapi, Kun Hong tidak merasa puas kalau tidak mendengar sendiri keadaan di kota raja. Oleh karena ini, dia sengaja pergi ke kota raja hendak melakukan penyelidikan dan mencari sahabat-sahabatnya, yaitu perkumpulan Hwa-i Kaipang. Dia dapat mempercayai Hwa-i Kaipang, karenanya dia hendak minta bantuan kepada mereka, selain menyelidiki tentang keadaan kaisar baru, juga menyelidiki tentang musuh-musuh Thai-san-pai itu.
Selagi Kun Hong berdiri ragu-ragu di luar pintu gerbang tembok kota raja, menimbang-nimbang bagaimana dia dapat memasuki kota raja yang terjaga kuat itu, tiba-tiba saja dia mendengar langkah kaki dua orang mendekatinya dari arah belakang.
Dia mengira bahwa dua orang itu tentulah orang-orang yang lewat dan akan memasuki pintu gerbang, maka dia tidak menaruh perhatian. Baru dia kaget dan heran ketika dua orang itu berhenti di depannya dan terdengar suara halus seorang laki-laki muda,
"Aduh kasihan, semuda ini menanggung derita, tak pandai melihat! Saudara yang buta, kau hendak pergi ke manakah? Biarlah aku menunjukkan jalan yang hendak kau tuju."
Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang pria muda, paling banyak hanya beberapa tahun lebih tua dari padanya, seorang yang gerak-gerik dan tutur bahasanya halus, pantasnya seorang muda terpelajar. Akan tetapi dalam suara itu juga terkandung tenaga seorang ahli tenaga dalam, seorang yang biasa melakukan semedhi dan menguasai peraturan bernapas.
Kun Hong cepat menjura dengan hormat dan berkata sambil tersenyum, "Terima kasih banyak. Anda baik hati benar, sudi memperhatikan seorang buta seperti saya."
Orang itu tertawa, suara ketawanya lembut seperti ketawa wanita. "Aku dapat menduga bahwa kau bukanlah seorang buta biasa saja. Wajah dan pakaianmu menunjukkan bahwa kau seorang yang berpengetahuan dan terdidik. Kata-kata yang kau ucapkan memperkuat dugaanku. Sahabat, jangan kau curiga. Aku The Sun bermaksud baik terhadap seorang buta yang menarik hatiku. Apakah kau hendak memasuki kota raja? Hayo, engkau boleh bersamaku dan aku tanggung kau takkan diganggu para penjaga goblok itu. Aku sudah mereka kenal baik."
Berdebar hati Kun Hong. Ia memang tadinya menaruh hati curiga, akan tetapi mendengar penawaran ini, dia benar-benar bersyukur di dalam hati. Ini kesempatan terbaik baginya. Cepat-cepat dia menjura lagi dan berkata,
"Saudara The benar-benar budiman. Aku Kwa Kun Hong seorang buta sangat berterima kasih padamu. Sesungguhnyalah, aku bermaksud memasuki kota raja mengadu untung, siapa tahu di kota raja aku dapat menolong banyak orang dan mendapat banyak rejeki."
Hening sejenak, agaknya The Sun itu mengamat-amatinya baik-baik, lalu terdengar dia berkata, "Ahh, saudara Kwa, apakah kau seorang tukang gwamia (ahli nujum)!"
Memang banyak terdapat orang-orang buta yang membuka praktek sebagai ahli nujum, menceritakan nasib orang-orang dengan cara meraba telapak tangan mereka. Tentu saja, seperti biasa, ahli-ahli nujum ini sebagian besar hanyalah tukang bohong belaka, mencari korban di antara orang-orang bodoh yang mudah ‘dikempongi’ dan ditarik uangnya.
Kun Hong menggeleng kepala. "Bukan, aku hanyalah seorang tukang obat biasa, saudara The."
"Ah, begitukah? Baiklah, mari kita memasuki kota raja dan kau akan kuantarkan ke pusat kota yang paling ramai. Mudah-mudahan saja kau akan dapat menyembuhkan banyak orang sakit dan mendapatkan banyak rejeki seperti yang kau harapkan."
Sambil berkata demikian, orang itu menggerakkan tangannya hendak menangkap tongkat Kun Hong. Akan tetapi ternyata dia hanya menangkap angin saja karena seperti tanpa sengaja, Kun Hong sudah lebih dahulu menarik tongkatnya sambil tertawa.
"Terima kasih atas kebaikanmu. Marilah, aku akan mengikuti di belakangmu."
The Sun tertawa, lalu berjalanlah dia perlahan-lahan menuju ke pintu gerbang, diikuti oleh Kun Hong. Dengan pendengaran telinganya Kun Hong tahu bahwa orang ke dua juga ikut berjalan di samping The Sun dan diam-diam dia terkejut juga karena orang itu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang cukup hebat, akan tetapi masih juga tidak mampu menandingi kepandaian The Sun yang muda karena jejak kaki The Sun ini sama sekali tidak mengeluarkan suara dan oleh pendengarannya yang amat tajam sekali pun hanya terdengar sedikit seperti langkah seekor kucing saja.
Kun Hong mulai menaruh curiga. Terang bahwa orang yang mengaku bernama The Sun bersama temannya yang tak diperkenalkan kepadanya ini adalah dua orang yang memiliki kepandaian silat tinggi. Kebetulankah The Sun ini seorang yang berbudi dan menaruh kasihan kepadanya? Ataukah memang sengaja hendak mendekatinya?
Dia harus berhati-hati. Karena kehati-hatiannya ini pulalah maka tadi dia sengaja tidak membiarkan tongkatnya dipegang orang itu. Tongkatnya merupakan senjata yang paling dia andalkan.
Ketika mereka melewati pintu gerbang memasuki kota raja, Kun Hong melangkah dengan hati-hati dan telinganya mendengarkan penuh perhatian. Tak terjadi sesuatu pun, kecuali agaknya ada seorang di antara para penjaga yang menegur dengan suara menghormat.
"Sepagi ini The-kongcu (tuan muda The) baru pulang, agaknya mendapatkan kesenangan malam tadi. Selamat pagi, Kongcu!"
Kemudian disusul suara penjaga ke dua, "Lo-ji, kau benar lancang mulut! Seorang siucai (lulusan pelajar) seperti The-kongcu mana dapat kau samakan dengan kau yang suka keluyuran di waktu malam? Kongcu, kalau Kongcu kehendaki, biar saya mewakili Kongcu menampar muka Lo-ji yang kurang ajar ini!"
The Sun itu tertawa perlahan, agaknya dia amat dihormati, disegani, dan juga disukai para penjaga, terbukti dari keramahannya dan dari sikap para penjaga yang walau pun sangat menghormatinya dan sangat takut kepadanya, namun berani pula bermain-main.
"Sudahlah, sepagi ini sudah berkelakar. Jaga saja baik-baik sampai kalian diganti penjaga baru. Aku hendak mengajak sahabat buta tukang obat ini memasuki pintu gerbang, aku yang menanggung dia."
"Silakan... silakan...," serempak mulut penjaga berkata ramah.
Setelah mereka berhasil melewati pintu gerbang dan tiga lapis penjagaan lagi, Kun Hong mendengar The Sun berkata, "Mulai sekarang tidak ada penjagaan lagi."
Kun Hong menjura dengan hormat, "Saudara ternyata adalah seorang kongcu dan juga seorang siucai, harap suka memaafkan karena mata saya buta, saya tidak tahu dan telah berlaku kurang hormat. Budi Kongcu sangat besar, Kongcu amat baik kepada saya dan terima kasih saya ucapkan."
"Ah, saudara Kwa Kun Hong, kenapa begini banyak sungkan? Biar pun kau seorang yang menderita kebutaan, akan tetapi aku pun dapat menduga bahwa kau bukan seorang biasa yang tidak tahu apa-apa, Sikapmu penuh sopan dan kau tahu aturan, tanda bahwa kau pun seorang yang pernah mempelajari kebudayaan. Marilah, mari kuantar kau ke tempat yang ramai agar di sana kau dapat mulai dengan pekerjaan itu."
Kembali Kun Hong menjura. Di dalam hati dia merasa amat curiga, akan tetapi di luarnya dia pura-pura bersikap tidak enak.
"Mana saya berani mengganggu Kongcu lebih lama lagi? Budi Kongcu membawa saya masuk saja sudah amat besar. Harap Kongcu meninggalkan saya di sini saja, biar saya berjalan perlahan sambil mencari-cari langganan. Dengan tanya-tanya agaknya saya akan sampai juga ke tempat ramai."
"Ihh, mana bisa begitu? Aku pun hendak menuju sejalan denganmu. Marilah, tidak usah sungkan."
Telinga Kun Hong yang tajam mendengar betapa orang ke dua yang sejak tadi berjalan bersama The Sun, kini berjalan cepat sekali meninggalkan tempat itu. Dia heran, akan tetapi tidak bertanya dan pura-pura tidak tahu. Karena The Sun mendesaknya, tak dapat pula dia menolak dan terpaksa Kun Hong mengikuti pemuda itu menuju ke tengah kota.
Makin lama makin ramailah orang hilir-mudik dan makin ramai orang bercakap-cakap. Biar pun sepasang mata Kun Hong tidak dapat melihat lagi, akan tetapi dahulu sebelum dia menjadi buta kedua matanya, pernah dia datang ke kota raja, malah pernah dia menjadi tamu dari Pangeran Kian Bun Ti yang sekarang menjadi kaisar. Oleh karena itu, sekarang dia dapat membayangkan keadaan kota raja ini dengan hanya mendengar keramaian di sekelilingnya dengan pendengaran saja.
"Saudara Kwa, mari kita masuk ke rumah makan ini dulu. Makan dahulu sebelum bekerja adalah hal yang paling baik," kata The Sun sambil tertawa gembira.
Kun Hong mengerutkan keningnya. Terlalu baik orang ini. Apakah dia benar-benar baik terhadapnya, ataukah ada sesuatu yang tersembunyi di balik keramahan ini? Mana ada seorang siucai yang agaknya kaya raya dan berpengaruh di kota raja suka menolong, malah sekarang hendak menjamu seorang buta seperti dia? Akan tetapi, semua ini baru dugaan dan amatlah tidak baik kalau dia menolak tawaran dan keramahan orang, apa lagi memang dia merasa tertarik hatinya untuk mengetahui apa gerangan yang menjadi dasar keramahan orang ini.
Sambil mengangguk-angguk dan berucap terima kasih dia mengikuti The Sun memasuki rumah makan yang sudah menyambut mereka dengan asap dan uap yang gurih dan sedap. Diam-diam timbul pula harapannya untuk dapat bertemu dengan seorang anggota Hwa-i Kaipang, karena bukankah sudah lazim kalau pengemis-pengemis berada di dekat rumah makan untuk mengemis sisa makanan?
Pesanan masakan The Sun cepat dilayani oleh para pelayan yang juga menyebutnya kongcu dan melayaninya dengan sikap hormat.
"Mari silakan, saudara Kwa," pemuda itu berkata sambil mengisi cawan arak, kemudian menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong.
Orang buta ini dengan berterima kasih tetapi tetap berhati-hati segera mulai makan minum dengan pengundangnya yang aneh dan ramah.
Rumah makan itu tidak banyak didatangi tamu pada saat itu. Kun Hong mendengar ada beberapa orang tamu saja di meja sebelah kanannya. Tiba-tiba dia mendengar beberapa orang memasuki rumah makan itu. Dari bunyi derap langkah mereka tahulah dia bahwa orang-orang ini adalah ahli-ahli silat, malah beberapa orang di antaranya adalah ahli silat tinggi. Dia mulai waspada.
Sukar menghitung tepat di tempat gaduh itu, akan tetapi dia tahu bahwa sedikitnya tentu ada lima orang yang datang ini. Lalu terdengarlah ribut-ribut di sebelah kanannya, dan terdengar suara kereng berkata, "Diam semua, duduk di tempat. Buka semua buntalan, kami datang melakukan penggeledahan!"
Kun Hong mengerutkan keningnya dan bertanya lirih kepada The Sun, "Saudara The Sun, apakah yang terjadi di sana?"
The Sun tertawa, "Ah, tidak apa-apa, biasa saja terjadi di kota raja. Penggeledahan, apa lagi? Di kota raja sekarang ini banyak terdapat orang-orang jahat, dan semenjak kaisar muda menggantikan mendiang kaisar tua, banyak sekali terjadi keributan. Hampir setiap hari ada orang yang ditangkap dan dihukum mati karena dia menjadi mata-mata musuh dan pengkhianat."
Kun Hong kaget sekali, "Kalau begitu, kita nanti juga akan digeledah?"
Dia tahu bahwa kalau buntalannya digeledah dan mahkota itu dilihat oleh para pemeriksa, tentu dia akan ditangkap. Ini masih tidak hebat, lebih celaka lagi mahkota itu tentu akan dirampas dan dengan demikian, surat rahasia itu ikut terampas pula sehingga segala yang telah dia lakukan selama ini untuk mendapatkan kembali mahkota itu sia-sia belaka!
"Ahh, terhadap aku mereka takkan menggeledah," kata The Sun tertawa, "karena mereka semua sudah mengenalku. Mereka hanya menggeledah orang-orang asing yang datang ke kota raja dan orang-orang yang mencurigakan saja."
Meski pun Kun Hong tidak gentar menghadapi para penggeledah itu, akan tetapi dia juga merasa tidak enak kalau belum apa-apa dia harus menimbulkan keributan di kota raja. Selama dia belum dapat menemukan orang-orang Hwa-i Kaipang dan masih membawa mahkota itu, tidak baik menimbulkan keributan dan menjadi perhatian para penjaga kota. Dia segera bangkit berdiri dan berkata,
"Saudara The, banyak terima kasih atas segala kebaikanmu. Kini aku sudah kenyang dan hendak pergi saja, mulai dengan pekerjaanku."
The Sun memperdengarkan suara kaget, "Ehhh, saudara Kwa. Mengapa tergesa-gesa? Apakah kau takut digeledah? Kau kan hanya tukang obat, yang kau bawa di buntalanmu, tentu hanya pakaian dan obat-obatan. Mengapa takut kelihatannya?"
"Tidak... tidak takut. Akan tetapi segan juga aku kalau harus digeledah. Siapa tahu kalau obat-obatku bisa hilang sebagian."
Tiba-tiba The Sun memegang tangan kiri Kun Hong. "Saudara Kwa, percayalah kepadaku. Aku akan melindungimu dari tangan anjing-anjing itu," bisiknya.
Kun Hong berdebar hatinya. Tidak salahkah pendengarannya? Siapa yang menyebut para pembantu kaisar dengan sebutan ‘anjing’ atau ‘anjing penjilat’, berarti orang itu termasuk golongan anti kaisar? Betulkan The Sun ini seorang yang segolongan dengan Tan Hok? Segolongan dengan Pek-lian-pai dan para orang gagah yang menentang kaisar baru yang dikatakan tidak tepat menduduki singgasana karena wataknya yang tidak baik? Dia tidak mau percaya begitu saja karena suara orang muda ini mengandung getaran yang sukar ditangkap dasarnya.
The Sun meneriaki pelayan dan cepat membayar harga makanan sambil memberi persen besar kepada pelayan. Kemudian dia menggandeng tangan Kun Hong dan diajak keluar. Bisiknya perlahan, "Saudara Kwa, apakah kau membawa sesuatu yang kau tidak suka dilihat oleh anjing-anjing itu?"
Sukar bagi Kun Hong untuk menjawab, maka dia diam saja.
Selagi mereka berdua berjalan menuju ke pintu, tiba-tiba terdengar oleh Kun Hong orang membentak, "Hei, orang buta! Berhenti dulu kau, tidak boleh ke luar sebelum digeledah!"
Kun Hong berhenti, siap melawan untuk menyelamatkan surat rahasia di dalam mahkota.
The Sun segera berkata nyaring, "Sahabat Kwa yang buta ini datang bersamaku, apa kalian tidak lihat? Dia tamuku, seorang ahli pengobatan yang hanya membawa pakaian dan obat-obatan. Apa perlunya digeledah kalau aku sudah menanggungnya?"
Terdengar oleh Kun Hong suara pimpinan para penggeledah itu yang cukup keras dan mengandung tenaga, "Maaf The-kongcu. Kami mendapat perintah atasan agar hari ini kami menggeledah setiap orang yang belum pernah kami geledah. Orang buta ini belum pernah kami lihat, terpaksa kami tidak berani lepaskan sebelum digeledah karena kalau kami lakukan hal ini, tentu kami akan mendapat hukuman."
The Sun berkata mengejek, "Hemmm, kalau begitu lekas selesaikan dulu penggeledahan orang-orang itu, kami menanti di sini." Dia menarik tangan Kun Hong diajak duduk di atas bangku di pojok. Lalu berbisik. "Lekas, kau titipkan surat rahasia itu kepadaku!"
Kun Hong kaget dan heran bukan main. Apa yang dimaksudkan oleh The Sun? Apakah yang dimaksudkan surat rahasia yang berada di dalam mahkota? Bagaimana orang ini bisa tahu? Dia sendiri yang selalu membawa mahkota itu, tidak tahu di mana disimpannya surat itu.
"Apa maksudmu?" bisiknya tak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. "Aku tidak membawa surat apa-apa."
"Ah, Saudara Kwa yang baik, masih tidak percayakah kau kepadaku?" bisik The Sun, lalu ditambahkan lebih lirih lagi, "Aku segolongan denganmu... aku membantu perjuangan... aku membantu utara..."
Kun Hong lebih tidak mengerti lagi. Dia sendiri pun tidak tahu dia itu termasuk golongan mana karena biar pun dia mendengar dari Tan Hok tentang pergerakan dan pertentangan di kota raja, namun kalau dia belum mendapat kepastian siapa yang tidak benar dalam hal ini, bagaimana dia bisa membantu satu pihak?
Hanya dia dapat menduga bahwa agaknya pemuda she The ini adalah pendukung Raja Muda Yung Lo di utara. Padahal surat yang disimpan di dalam mahkota itu pun adalah surat rahasia dari mendiang kaisar untuk diserahkan kepada Raja Muda Yung Lo. Tidak akan kelirukah dia kalau mahkota itu dia berikan kepada pemuda ini supaya disampaikan kepada yang berhak menerimanya?
Karena keraguan Kun Hong ini, dia terlambat. Terdengar derap langkah menghampiri dan bentakan orang tadi.
"Heii, orang buta. Hayo turunkan buntalanmu itu dan buka. Juga pakaian luarmu, biarkan kami menggeledahmu!"
Kun Hong berdebar, lalu menjawab, "Saya hanya seorang tukang obat biasa saja, tidak membawa sesuatu, harap kalian jangan mengganggu aku seorang buta..."
"Ha-ha-ha, kau kira akan mampu mengelabui aku Bhe Hap Si Malaikat Bumi? Ha-ha-ha, orang buta, kau menyerahlah!"
Angin cengkeraman yang amat dahsyat menuju dada Kun Hong. Dia merasa kaget sekali. Ini bukanlah serangan orang biasa, melainkan jurus yang dikeluarkan oleh seorang ahli silat kelas tinggi! Masa kalau pangkatnya hanya tukang geledah saja memiliki kepandaian begini tinggi?
Pada saat itu juga dari kanan dan kiri menyambar pula angin pukulan yang membuktikan jelas bahwa penyerang-penyerangnya merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Kun Hong cepat menggerakkan kedua kakinya dan dengan langkah ajaib dia dapat menghindarkan tiga serangan sekaligus itu.
"Ha-ha-ha, kau bilang seorang buta biasa?" Bhe Hap berseru mengejek dan merasa amat penasaran sekali, lalu menerjang dengan hebat.
Kun Hong diam-diam mengeluh. Mau tidak mau, belum apa-apa dia sudah menimbulkan keributan yang tentu akan berekor tidak baik. Dia telah siap menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan orang-orang ini ketika tiba-tiba The Sun membentak,
"Orang-orang tak tahu aturan. Kalian berani menghina tamuku?"
Kun Hong merasa betapa angin menyambar di sampingnya ketika pemuda yang ramah itu berkelebat ke depannya. Terdengar suara gaduh disusul keluhan orang.
"The-kongcu jangan ikut campur!" Bhe Hap membentak.
Akan tetapi The Sun menjawab. "Menyerang tamuku sama dengan menghinaku!"
"The-kongcu, kami bukan bermaksud begitu..." Bhe Hap membantah.
"Sudahlah, bebaskan saudara Kwa ini dari pemeriksaan, kalau tidak, terpaksa aku akan melawan kalian."
"Hemmm, terpaksa pula kami menggunakan kekerasan!" bantah Bhe Hap.
Terjadilah pertandingan hebat di rumah makan itu. Kun Hong bingung. Haruskah dia turut membantu? Dengan pendengaran telinganya, dia dapat menangkap betapa gerakan Bhe Hap dan empat orang pembantunya yang lain amat kuat, cepat dan juga memiliki tenaga lweekang yang tinggi.
Akan tetapi agaknya orang muda she The ini benar-benar mempunyai kepandaian hebat seperti yang sudah diduga oleh Kun Hong. Buktinya tadi hanya dalam segebrakan saja telah merobohkan seorang lawan dan kini dikeroyok lima tidak terdesak sama sekali.
Meja kursi beterbangan dan secara kebetulan agaknya beberapa kali dengan amat keras meja dan kursi melayang ke arah tubuh Kun Hong. Terpaksa pemuda ini mengelak dan hal ini tentu saja mengherankan mereka yang melihatnya. Seorang buta bagaimana bisa mengelak dari sambaran meja kursi itu?
Kun Hong yang berdiri tegak dan diam memperhatikan jalannya pertandingan, menjadi terheran-heran ketika tiba-tiba saja Bhe Hap dan teman-temannya meloncat keluar rumah makan dan orang itu berkata, "Hebat kepandaianmu, The-kongcu. Akan tetapi, si buta itu pasti akan dapat tertawan oleh kami!" Lalu terdengar mereka itu berlarian pergi.
The Sun menangkap tangan Kun Hong.
"Lekas," bisiknya, "mereka itu hanya untuk sementara saja mampu kuusir. Mereka tentu akan datang kembali dengan teman yang lebih banyak, malah jika tokoh-tokoh pengawal yang lebih kosen datang, kita bisa celaka. Mari cepat kau ikut denganku."
Kun Hong tidak mendapat jalan lain kecuali ikut berlarian cepat bersama The Sun, Dia tidak tahu ke mana dia dibawa, jalannya berliku-liku dan lebih satu jam lamanya mereka melarikan diri. Akhirnya mereka berhenti di tempat yang sunyi dan The Sun mengajak Kun Hong memasuki sebuah rumah tua di pinggir kota yang sunyi ini.
"Di manakah kita ini?" Kun Hong bertanya, tongkatnya meraba lantai yang sudah bolong-bolong dan dinding yang tua dan retak-retak.
"Dalam sebuah bangunan bekas kuil tua yang tak dipakai lagi. Di sini kita aman, takkan ada yang menduga bahwa kau akan bersembunyi di tempat ini. Mari masuklah saja, di belakang ada sebuah kamar yang cukup bersih, kau boleh bersembunyi di sana."
"Saudara The Sun, kau baik sekali..."
Kun Hong menangkap lengan tangan kanan orang muda itu. Gerakannya ini cepat sekali dan memang sangat mengherankan bagaimana seorang yang tidak pandai melihat dapat menangkap lengan orang hanya dengan mendengarkan gerakan orang itu.
"Ahhh...!" Kun Hong menghentikan kata-katanya tadi dan kini dia berseru kaget sambil meraba-raba lengan kanan The Sun. "Saudara The, kau... kau terluka...?"
"Wah, hebat sekali kau, Kwa-lote! Begitu memegang lenganku kau sudah tahu bahwa aku terluka. Benar-benar ilmu pengobatan yang kau miliki amat tinggi!" The Sun berseru kaget dan heran.
Tapi Kun Hong tidak mempedulikan pujian ini, melainkan segera memeriksa lengan kanan sampai ke pundak, "Luka ini baru saja. The-kongcu... kau terluka ketika bertempur tadi!" Suara Kun Hong agak gemetar saking terharu mengingat betapa orang yang baru saja bertemu dengannya ini telah membelanya sampai terluka.
"Kwa-lote, jangan panggil kongcu kepadaku, bikin aku tidak enak saja. Aku sedikit lebih tua darimu, sebut saja twako kepadaku. Tentang luka ini..." dia menarik napas panjang. "Memang anjing-anjing itu amat lihai, maka untung tadi kita sempat melarikan diri. Kalau datang tokoh yang lebih sakti, celaka..."
Kun Hong terheran. "Tapi... bukankah kau tadi berhasil mengusir mereka? Bagaimana kau bisa terluka?"
The Sun tertawa mengejek. "Kadang-kadang dengan kepandaian silat saja tidak cukup untuk mencapai kemenangan, Kwa-lote. Sering kali terjadi, kecerdikan dan akal bahkan dapat mengalahkan kepandaian silat. Di antara para petugas istana tadi, terdapat seorang ahli pukulan Gin-kong-jiu (Tangan Sinar Perak) yang lihai, karena selain ilmu pukulan ini mengandung hawa beracun, juga dilakukan dengan mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati). Tadi dalam pengeroyokan dia sudah menyerangku dengan pukulan itu. Karena menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian tinggi, aku tidak memiliki kesempatan mengelak lagi, terpaksa aku menyambut pukulan itu dengan tangan kananku. Aku tahu bahwa pada saat itu aku menderita luka dalam, akan tetapi kalau hal itu kuperlihatkan, kita tentu sudah celaka tadi. Aku pura-pura tidak merasa akan hal ini, malah menyerang mereka kalang-kabut. Hal inilah yang membuat mereka kaget dan jeri, mengira bahwa pukulan hebat itu sama sekali tidak mempengaruhiku dan ini pula yang menyebabkan mereka mengaku kalah dan melarikan diri. Ha-ha-ha, Kwa-lote, kau pikir, bukankah sekali ini ilmu silat kalah oleh akal dan kecerdikan?"
"The-twako sungguh-sungguh gagah dan berbudi. Untuk aku seorang buta, engkau sudah mengorbankan diri menderita luka, membuat aku merasa tidak enak sekali."
"Kwa-lote, di antara kita, perlu apa bicara sungkan seperti itu? Sekali bertemu muka aku tahu bahwa kau bukanlah seorang tukang obat buta biasa saja. Malah aku hampir merasa yakin sekali bahwa kaulah orangnya yang disebut-sebut para teman seperjuangan yang mendesas-desuskan bahwa surat rahasia itu berada di tanganmu."
"Surat rahasia ? Apa maksudmu ?"
The Sun terdengar kecewa sekali. "Ah, sampai sekarang kau agaknya masih belum mau percaya padaku, Kwa-lote. Semua orang di antara para pejuang tahu bahwa surat rahasia peninggalan mendiang kaisar tua berada di tangan bekas pembesar Tan Hok, kemudian dikabarkan bahwa kaulah yang agaknya sudah menguasai surat itu. Kalau memang betul demikian, akulah orangnya yang akan membawa dan mengantarkan surat itu kepada Raja Muda Yung Lo di utara."
Berdebar jantung Kun Hong. Ah, kiranya pemuda gagah ini adalah utusan atau pembantu dari raja muda dari utara itu! Sungguh kebetulan. Memang dia sedang mencari orang yang berhak menerima mahkota kuno berikut rahasianya itu untuk disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo.
Akan tetapi, kehati-hatiannya membuat dia berpikir lebih jauh lagi. Baru sekarang ini dia berkenalan dengan The Sun. Bagaimana dia dapat menyerahkan mahkota demikian saja?
"The-twako, nanti saja kita bicara tentang itu. Sekarang biarkan aku mengobati lukamu," katanya sambil menotok dan mengurut jalan-jalan darah di seluruh lengan dan pundak The Sun, kemudian menyalurkan hawa murni melalui telapak tangan kanan pemuda itu. The Sun terkejut dan berkali-kali mengeluarkan suara memuji sesudah luka dalam itu sembuh oleh pengobatan Kun Hong yang mempergunakan sinkang di tubuhnya.
The Sun menarik napas panjang dan berkata, "Ahhh, ternyata biar pun aku bermata, aku lebih buta dari pada kau, Kwa-lote. Aku mengira bahwa kau hanyalah seorang di antara saudara-saudara seperjuangan yang menentang kekuasaan kaisar muda yang talim. Tak tahunya kau adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian seperti ini! Benar-benar amat memalukan kalau kuingat betapa tadi aku memperlihatkan kebodohan dan kedangkalan ilmu silatku di depan seorang sakti!"
Kun Hong tersenyum dan menjura. "The-twako, kau orang yang lihai, tak perlu merendah seperti ini. Aku bukan apa-apa, hanya mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Terus terang saja, aku bukanlah anggota pejuang, aku tak bisa disamakan dengan kau seorang patriot. Secara kebetulan saja aku mempunyai tugas yang ada hubungannya dengan perjuangan menentang kaisar baru."
"Sudah kuduga, sudah kuduga sebelumnya, kau tentu bukanlah seorang biasa. Betulkah desas-desus itu bahwa kau telah menerima surat rahasia dari bekas pembesar Tan Hok? Atau masih belum percayakah kau kepadaku?"
Bimbang hati Kun Hong. Pikirannya bekerja keras dan dia mendapat akal. "Bukan begitu, The-twako, akan tetapi soalnya karena aku harus berhubungan dengan orang yang berhak. Sesungguhnya, walau pun aku mempunyai hubungan dengan paman Tan Hok, akan tetapi aku tidak pernah diserahi sebuah pun surat rahasia, hanya aku telah merampas kembali sebuah mahkota kuno yang tadinya terampas dari tangan paman Tan Hok."
"Mahkota kuno? Ah, segala benda berharga, apa artinya diperebutkan?" terdengar suara The Sun kecewa.
Diam-diam Kun Hong mengambil kesimpulan bahwa pemuda pejuang ini ternyata belum tahu akan rahasia mahkota kuno yang menjadi tempat penyimpanan surat rahasia yang diperebutkan itu.
"Ahh, sayang sekali kalau kau tidak tahu tentang surat itu, Kwa-lote. Surat itu luar biasa pentingnya bagi perjuangan dan celakalah kalau sampai terjatuh ke tangan musuh."
"Surat apakah yang kau maksudkan itu, The-twako?" Kun Hong memancing.
The Sun tidak segera menjawab, dari gerakannya tahulah Kun Hong bahwa pemuda itu pergi mendekati pintu, agaknya menyelidik kalau-kalau ada orang yang mendengarkan di tempat itu. Akan tetapi dengan ketajaman telinganya Kun Hong yakin bahwa di tempat itu, selain mereka berdua, tidak ada orang lain lagi...