Pendekar Buta Jilid 20

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 20

Kemudian The Sun datang lagi mendekati Kun Hong dan berkata lirih. "Surat itu adalah surat peninggalan mendiang kaisar tua yang diserahkan kepada bekas pembesar Tan Hok. Isi surat itu mengatakan bahwa kaisar tua memberi kekuasaan penuh kepada Raja Muda Yung Lo dari utara untuk mewakilinya memberi hukuman kepada kaisar muda yang baru ini andai kata kaisar baru ini menyeleweng. Nah, bukankah amat penting surat itu? Jika surat itu diperlihatkan kepada para menteri dan pembesar yang berada di kota raja, tentu menimbulkan keributan besar karena sebagian besar tentu saja akan tunduk kepada pesan terakhir kaisar tua pendiri Kerajaan Beng. Sebaliknya apa bila terjatuh ke tangan musuh dan dimusnahkan, tentu amat merugikan perjuangan."

Mendengar ini, makin menipis keraguan hati Kun Hong. Tak salah lagi, pemuda gagah ini tentulah seorang pejuang yang diberi kepercayaan dari Raja Muda Yung Lo. Memang patut diberi kepercayaan karena orang ini amat cerdik. Kalau tidak cerdik, mana mungkin seorang yang bertugas mata-mata dapat seenaknya tinggal di kota raja, malah dikenal oleh para penjaga dan pengawal istana sebagai seorang kongcu dan siucai?

Ingin sekali dia tahu murid siapakah pemuda ini dan sampai di mana tingkat ilmu silatnya. Tentu saja Kun Hong tidak berani bertanya tentang ini, apa lagi menguji kepandaiannya, namun diam-diam dia sudah menjadi makin kagum saja.

"Wah, kalau begitu benar-benar amat penting surat rahasia itu, The-twako. Sayang aku tidak tahu akan hal itu. Tentang mahkota kuno ini, aku bermaksud untuk menyerahkannya kepada seorang sahabat baikku. Karena itu kuharap kau sudi menolongku mencarikan sahabatku itu. Dia seorang pejuang kawakan dan tentu kau mengenalnya."

"Siapakah dia?"

"Dia adalah Hwa-i Lokai ketua dari perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang."

"Ahh, dia...?" Suara The Sun terdengar seperti orang kaget. Akan tetapi menjadi tenang kembali ketika dia berkata. "Tentu saja aku mengenalnya dengan baik. Siapa yang tidak mengenal Hwa-i Lokai yang sangat lihai? Akan tetapi, mencari Hwa-i Lokai kiranya lebih sulit dari pada mencari iblis sendiri. Perkumpulan pengemis itu merupakan perkumpulan rahasia, pengaruhnya sama besar seperti perkumpulan Pek-lian-pai yang juga menentang kaisar."

Kun Hong mengangguk-angguk. "Kurasa kalau kau dapat mencari seorang dua orang anggota Hwa-i Kaipang dan dapat mengajak mereka, tentu akan mudah menjumpai Hwa-i Lokai. Tolonglah kau cari dia dan ajak Hwa-i Lokai datang ke sini menemuiku. Asal kau katakan bahwa Kwa Kun Hong yang minta dia datang, pasti dia akan datang ke sini."

"Wah-wah, kiranya kau begini berpengaruh, Kwa-lote? Benar-benar membuat aku makin tunduk dan kagum."

"Bukan, bukan... hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perjuangan. Soalnya karena... beberapa tahun yang lalu aku pernah mencampuri urusan dalam mereka, urusan Hwa-i Kaipang dan akhirnya aku diangkat mereka menjadi ketua kehormatan. Itulah, tidak ada sebab lain."

The Sun diam sampai lama, agaknya bimbang dan ragu apakah dia akan mampu mencari kakek itu. Kemudian katanya lagi, "Kwa-lote, dari pada susah-susah mencari Hwa-i Lokai, apakah bedanya kalau kau serahkan saja tugas itu kepadaku? Disuruh ke mana pun aku akan pergi, asal saja urusan itu penting untuk perjuangan."

"Maaf, The-twako, soalnya bukan tidak percaya kepadamu, akan tetapi aku harus tidak mau mengecewakan paman Tan Hok yang sudah menaruh kepercayaan kepadaku."

Akhirnya The Sun pergi setelah berkata, "Baik, akan kucari Hwa-i Lokai. Kau tunggulah saja di sini, lote."

Ternyata Kun Hong harus menunggu sehari penuh. Hari telah mulai sore dan Kun Hong sudah kehabisan sabar. Selain merasa lelah menunggu dan lapar, dia juga tidak suka berada dalam keadaan yang serba tidak pasti itu. Dia sudah hampir pergi meninggalkan tempat itu untuk mencoba mencari sendiri ketika terdengar derap langkah beberapa orang memasuki bangunan tua ini. Kun Hong cepat berdiri tegak menanti dengan sikap tenang namun penuh kesiap siagaan. Kiranya The Sun yang datang itu, bersama tiga orang kakek pengemis.

"Kwa-lote, tak mungkin bertemu dengan Hwa-i Lokai karena dia sedang pergi keluar kota, agaknya ke utara. Akan tetapi aku bertemu dengan tiga orang tokoh Hwa-i Kaipang, dan sekarang mereka kuajak ke sini."

Sedangkan ketiga orang pengemis tua yang pakaiannya berkembang-kembang itu begitu melihat Kun Hong lalu serentak menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka berkata, "Ah, kiranya Kwa-pangcu (ketua pengemis Kwa) berada di sini! Kami bertiga pengemis tua menyampaikan hormat kepada Kwa-pangcu."

"Sam-wi lokai (Saudara pengemis tua bertiga) tidak usah berlutut dan terlalu sungkan, akan tetapi aku tidak mengenal suara sam-wi. Maaf, sam-wi siapakah dan apa kedudukan sam-wi di Hwa I Kai-pang?"

"Tidak aneh jika Kwa-pangcu belum mengenal kami bertiga sebab sudah bertahun-tahun Kwa-pangcu tidak pernah datang mengunjungi Hwa-i Kaipang. Kami bertiga merupakan pembantu-pembantu Lo-pangcu di samping Coa Lokai, sebagai pengganti dari Sun Lokai dan Beng Lokai yang telah diusir. Kami bertiga tahu semua akan kejadian beberapa tahun yang lalu saat Kwa-pangcu datang dan membereskan keruwetan yang terjadi pada Hwa-i Kaipang."

Kun Hong mengangguk-angguk. Teringat ia akan semua pengalamannya beberapa tahun yang lalu sebelum kedua matanya menjadi cacat. Memang, karena dia pernah berhasil membereskan keributan yang terjadi karena perebutan kedudukan ketua di perkumpulan Hwa-i Kaipang, dia malah diangkat menjadi ketua mereka! Dengan mempergunakan akal untuk mencegah terjadinya keributan, dia lalu menerima kedudukan ketua, akan tetapi dia mewakilkannya kembali kepada Hwa-i Lokai yang dia angkat menjadi ji-pangcu (ketua ke dua).

Tiba-tiba muka Kun Hong mengerut di bagian antara kedua matanya yang buta. Kenapa ketiga orang pengemis tua ini menyebut Hwa-i Lokai sebagai lo-pangcu, tidak ji-pangcu?

"Lo-pangcu kami sedang pergi ke utara untuk tugas perjuangan, namun pangcu sudah memesan kepada kami bahwa kalau ada orang mencarinya untuk menyampaikan pesan rahasia atau surat rahasia, boleh kami mewakilinya. Oleh karena itu, setelah mendengar keterangan mengenai Kwa-pangcu dari The-kongcu, kami segera datang menghadap ke sini. Sekarang, kami menanti perintah dan petunjuk Kwa-pangcu."

Mendadak Kun Hong membuat gerakan kilat dan tahu-tahu tangannya sudah menangkap pergelangan lengan pengemis terdekat, lalu dia membentak. "Siapakah kalian? Jangan coba-coba mengelabui orang buta! Aku tahu pasti, kalian bukan pembantu-pembantu Hwa-i Lokai!"

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar bangunan itu dan ternyata banyak sekali orang berpakaian pengawal istana berlompatan masuk. Di antara suara mereka, Kun Hong mengenal suara Tiat-jiu Souw Ki yang berseru, "Betul dia si buta yang merampas mahkota kuno. Hati-hati dia lihai!"

Pengemis yang dipegang pergelangan tangannya oleh Kun Hong itu berseru keras dan meronta. Kun Hong terpaksa melepaskan pegangannya karena dia harus menghadapi bahaya baru yang datang dari luar. Dia taksir bahwa yang datang ini ada belasan orang banyaknya dan segera terdengar suara senjata tajam dicabut dan digerakkan.

"Kwa Kun Hong, kau sudah terkepung! Lebih baik menyerah dan serahkan mahkota serta surat rahasia yang dipercayakan Tan Hok kepadamu!" terdengar suara seorang laki-laki tua yang suaranya tinggi melengking.

Dari suara gerak-gerik mereka itu Kun Hong tahu bahwa dia dikepung oleh orang-orang pandai yang memiliki kepandaian tinggi. Namun dia tidak gentar, siap mempertahankan mahkota kuno itu dengan taruhan nyawanya. Hanya satu hal yang membuat dia gelisah, yaitu keselamatan The Sun. Kasihan bila pemuda itu sampai ikut celaka akibat menolong dirinya. Dia hendak memancing pertempuran supaya semua orang mengeroyoknya, dan dalam keributan itu memberi kesempatan kepada The Sun untuk melarikan diri. Dia lalu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha, anjing-anjing penjilat kaisar lalim! Kalau memang kaisar muda yang baru ini seorang yang benar, mengapa takut akan segala surat rahasia peninggalan kaisar tua? Aku tidak tahu di mana surat yang kalian cari-cari itu, akan tetapi kalau mahkota kuno memang berada padaku. Akan tetapi jangan harap aku sudi menyerah dan memberikan mahkota kuno itu kepada siapa pun juga di antara kalian! Kalau kalian memang sanggup, boleh tangkap aku!"

Tentu saja para pengawal istana itu marah sekali mendengar betapa ada seorang buta menantang mereka. Mereka itu memaki-maki dan mulai mendesak maju untuk berlomba menangkap atau merobohkan Kun Hong. Tiba-tiba tiga orang berpakaian pengemis itu yang berdiri paling dekat dengan Kun Hong dan yang diam-diam sudah menyiapkan senjata mereka, yaitu masing-masing sebatang tongkat, serentak menyerang Kun Hong!

Bila saja Kun Hong tadinya tidak menaruh hati curiga kepada tiga orang ini, agaknya dia akan terkena serangan gelap, atau setidaknya akan terkejut sekali. Akan tetapi dia tadi memang sudah menduga bahwa tiga orang pengemis ini adalah anggota-anggota Hwa-i Kaipang yang palsu, yang agaknya sengaja menyamar sebagai anggota-anggota Hwa-i Kaipang untuk menipunya. Maka sekarang menghadapi serangan mereka, dia malah tertawa mengejek. Tubuhnya berkelebat cepat dan aneh, kedua tangannya bekerja dan... berturut-turut tubuh tiga orang pengemis tua itu melayang ke arah para pengawal yang maju hendak mengeroyoknya.

Akan tetapi Kun Hong segera harus mencurahkan seluruh perhatiannya guna menghadapi pengeroyokan para pengawal istana yang mulai dengan penyerangan mereka itu. Pada mulanya dia hanya mempergunakan langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan diri dari setiap sambaran senjata, akan tetapi karena para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi, Kun Hong mulai menggerakkan tongkatnya untuk menangkis.

"The-twako, harap lekas kau pergi!" Kun Hong sempat berseru beberapa kali karena dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau penolongnya itu akan terbawa-bawa.

Akan tetapi tak mungkin dia dapat memperhatikan dan mencari tahu keadaan pemuda itu karena kepungan dan pengeroyokan ketat para pengawal istana itu benar-benar membuat dia sangat sibuk. Sudah ada beberapa buah senjata lawan dapat dia pukul dan terlepas dari pegangan, sedangkan tangan kirinya juga telah merobohkan tiga orang yang terkena dorongannya.

Akan tetapi serbuan para pengeroyok semakin hebat sehingga terpaksa Kun Hong kini memainkan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam sambil tidak lupa mencelat ke sana ke mari mempergunakan langkah sakti dari ilmu Silat Kim-tiauw-kun. Ributlah para pengeroyok itu, terdengar seruan-seruan kaget dan beberapa orang roboh lagi. Akan tetapi mereka itu roboh hanya untuk sejenak saja karena Kun Hong sama sekali tidak mau menggunakan pukulan maut, cukup baginya kalau dapat mendorong orang roboh atau membuat senjata mereka terlempar.

"The-twako, tinggalkan aku...!" Dia sempat berseru lagi sambil berusaha membuka jalan untuk ke luar dari rumah itu. Dia dapat menduga bahwa waktunya sekarang tentu hampir malam, karena dia tadi telah menunggu sehari penuh dan hawa siang yang panas telah mulai menghilang tadi.

"The-twako, pergilah, biar aku menghadapi sendiri anjing-anjing ini!" serunya lagi.

Kun Hong berpikir bahwa kalau hari sudah menjadi gelap dan dia sudah berhasil ke luar dari kepungan dan lari ke luar rumah, agaknya akan lebih mudah baginya untuk melarikan diri. Tentu saja dia akan dikejar, akan tetapi dia dapat merobohkan setiap orang pengejar dan mencoba untuk lari keluar dari tembok kota raja, atau mencari tempat sembunyi yang lebih baik.

"Kwa-lote, jangan khawatir, aku membantumu!" mendadak terdengar suara The Sun dan tahu-tahu pemuda itu telah berada di dekatnya, malah kini The Sun juga menggerakkan pedangnya menangkis beberapa senjata para pengeroyok.

"Ahh, jangan, The-twako. Tidak perlu kau membantuku, larilah...!" kata Kun Hong sambil menghantam runtuh sebuah tombak panjang dengan tangan kirinya yang dimiringkan.

"Aha, kau hebat, Lote. Tetapi jangan kira aku pengecut! Aku pun berani mengorbankan nyawa untuk perjuangan..."

"Ahh, jangan..." Kun Hong terharu dan saking marahnya kepada para pengeroyok, sekali kaki kirinya menendang, dua orang berteriak kesakitan dan terlempar ke belakang.

"Kwa-lote, kulihat para perwira kerajaan datang. Mereka lihai... aku tidak takut, akan tetapi sayang... bagaimana kalau sampai rahasia yang kau bawa terjatuh ke tangan mereka? Lebih baik kau serahkan padaku. Katakan ke mana harus kusampaikan, rahasia itu lebih penting dari pada nyawa kita."

Kun Hong memutar otaknya sambil menghadapi pengeroyokan yang semakin ketat itu. Benar juga, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan mahkota kuno dengan rahasianya, hanya menyerahkan kepada The Sun.

"Lekas, ambil mahkota di buntalanku... kau bawa lari..."

"...mahkota...?" The Sun berbisik, suaranya kecewa, "untuk apa benda itu? Surat rahasia itu yang penting!"

"Tiada waktu bicara panjang lebar..."

Kun Hong mengambil keluar mahkota itu dan menyerahkannya kepada The Sun dengan tangan kiri, sedangkan tongkatnya diputar melindungi mereka berdua. "Bawa ini kepada anggota-anggota Pek-lian-pai, tentu mereka mengerti... lekas kau pergi..."

The Sun menerima mahkota itu. Pada waktu itu, empat orang perwira yang bersenjata golok telah menerjang masuk. Gerakan golok mereka berat dan cepat. Desir angin senjata mereka membuat Kun Hong maklum bahwa sekali ini dia harus mempertahankan dirinya mati-matian karena selain jumlah musuh sangat banyak, juga ternyata makin lama yang datang mengeroyoknya adalah orang-orang yang makin tinggi ilmu kepandaiannya.

"The-twako lekas pergi! Menanti apa lagi?" bentaknya ketika belum juga dia mendengar sahabatnya itu melompat pergi meninggalkannya.

Lama The Sun tidak menjawab, kemudian terdengar suaranya. "Nanti dulu, aku menanti saat baik..."

Pada saat itu pula, empat buah golok besar yang bergerak bagaikan empat ekor naga menyambar, bercuitan di atas kepala Kun Hong, dibarengi bentakan seorang di antara para perwira.

"Pemberontak buta, lebih baik kau menyerah!"

Kun Hong terkejut sekali. Jurus keempat buah golok yang dipersatukan ini benar-benar amat berbahaya. Cepat dia melintangkan tongkatnya di depan dada dan kakinya yang kiri tiba-tiba menyapu dengan gerakan cepat tak terduga.

Empat orang perwira itu terkejut dan meloncat sambil membabatkan golok mereka. Kun Hong menangkis sekaligus, tongkatnya seakan-akan tergencet empat batang golok dari empat orang perwira yang mempersatukan tenaga. Kun Hong menunggu saat baik untuk memperoleh kemenangan, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar The Sun mendekatinya. Dia mengira bahwa sahabatnya ini hendak membantu dirinya karena mengkhawatirkan keadaannya.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendadak dia merasa betapa jalan darahnya di punggung ditotok orang. Seketika tubuhnya menjadi lemas seperti lumpuh dan pada saat itu, sebatang pedang tajam yang datang dari tempat The Sun menyambar, menikam ke arah lambungnya!

Kun Hong mengerahkan seluruh tenaga sakti di dalam tubuhnya. Dia berhasil mengusir pengaruh totokan dan jalan darahnya normal kembali, akan tetapi karena pengerahan tenaga ini, gerakannya kurang cepat ketika mengelak dan..."Craattt!"

Ujung pedang itu biar pun tidak mengenai lambungnya, masih menancap dan mengiris robek kulit dan daging pada pangkal pahanya bagian belakang!

"The Sun keparat jahanam!" Kun Hong menggereng.

Tubuhnya menubruk maju, tongkat serta tangan kirinya dikerjakan. Gerakannya cepat laksana kilat menyambar sehingga dia berhasil merampas kembali mahkota dari tangan The Sun, akan tetapi dia tidak berhasil merobohkan The Sun yang cepat menghindar pergi sambil tertawa mengejek. Agaknya pemuda yang ternyata adalah seorang di antara para musuh itu sudah maklum akan kelihaian Kun Hong dan tidak mau secara ceroboh menyambut serangan tadi.

Kun Hong cepat menyimpan mahkota dalam buntalannya lagi dan dadanya penuh hawa amarah, penuh dendam dan penasaran. Ternyata dia telah ditipu oleh The Sun! Dia telah dipermainkan, dan tahulah pula dia sekarang bahwa tiga orang pengemis tua tadi pun adalah kaki tangan The Sun ini yang menyamar sebagai anggota-anggota Hwa-i Kaipang!

"The Sun, jahanam pengecut! Hayo maju lawan aku, jangan sembunyi seperti seorang pengecut hina!" Kun Hong menantang-nantang dengan kemarahan luar biasa.

Kun Hong tidak lagi bergerak lincah seperti tadi, melainkan berdiri seperti seekor harimau kepepet. Akan tetapi tiap ada senjata pengeroyok melayang dekat, sekali menggerakkan tongkat senjata itu akan terpental kembali.

Dari jauh terdengar The Sun menjawab dengan suara mengejek. "Pengemis buta hina, tak usah kau sombong! Lebih baik menyerah dan takluk. Kalau tidak, sebentar lagi pun kau akan roboh oleh luka itu, ha-ha-ha!"

Kun Hong menggerakkan tubuhnya, mencelat ke arah suara. Tongkat dan tangan kirinya bergerak aneh ke depan. Terdengar jerit mengerikan ketika dua orang perwira yang tidak sempat menyingkir, tahu-tahu pinggang mereka telah terbabat putus dan kepala mereka hancur mengerikan terkena hantaman atau cengkeraman tangan kiri Kun Hong. Kiranya dalam keadaan marah luar biasa ini, tanpa disadarinya Kun Hong telah mempergunakan jurus ‘Sakit Hati’ hasil ciptaannya sendiri yang ditunjukkan oleh kakek sakti Song-bun-kwi!

Bukan main marahnya para perwira ketika melihat dua orang teman mereka roboh tanpa bernyawa dalam keadaan yang begitu mengerikan. Mereka merasa ngeri, akan tetapi kemarahan membuat mereka nekat menyerbu sambil berteriak-teriak. Kini yang menyerbu adalah para perwira pilihan yang memiliki kepandaian tinggi, karena yang berkepandaian lebih rendah tingkatnya dari pada dua orang perwira yang tewas itu tidak ada yang berani maju mendekat!

Seorang perwira tinggi besar bermuka hitam, dia ini adalah orang yang siang tadi datang bersama The Sun dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun, seorang yang mempunyai kepandaian tinggi dan senjatanya adalah sepasang ruyung baja yang dipasangi duri-duri, sekarang maju dan menerjang Kun Hong dengan sepasang ruyungnya menyambar dari kiri dan dari atas.

Berbareng dengan serangan ini, seorang perwira lain yang bertubuh gemuk pendek sudah menerjang pula dengan pedangnya dari belakang, menusuk punggung Kun Hong sambil menggerakkan tangan kiri dengan pengerahan tenaga lweekang untuk bersiap menyusul dengan pukulan apa bila pedangnya tidak berhasil.

Beberapa detik kemudian dari pada serangan pedang ini, seorang perwira lain yang kurus dan bermuka kuning menyerang pula dari sebelah kanan. Senjatanya adalah sepasang kongce (tombak cagak) yang bergagang pendek. Gerakannya cepat bertenaga dan ujung kongce itu tergetar dengan hebat ketika dia menusuk ke arah lambung Kun Hong.

Kun Hong sudah seperti orang keranjingan. Dia tidak bergerak, seperti sebuah patung, akan tetapi andai kata Song-bun-kwi berada di situ, tentu kakek yang dijuluki iblis ini akan merasa ngeri melihat kedudukan tubuh atau pasangan kuda-kuda pemuda buta itu, sebab dia mengenal betul kuda-kuda mukjijat itu.

Tubuh pemuda buta ini tak bergerak seperti patung, kaki kanan di depan dengan ujungnya berjungkit, kaki kiri di belakang dengan lututnya ditekuk, tangan kanan memegang tongkat melintang di atas kepala, tangan kirinya dengan jari-jari tangan terbuka bagaikan hendak mencengkeram sesuatu dari tanah, mulutnya agak terbuka, hidungnya kembang-kempis, dadanya turun naik dan dari ubun-ubun serta kedua lengannya mengepul uap putih! Inilah kuda-kuda dari jurus Sakit Hati yang amat dahsyat dan mukjijat itu!

Kun Hong seakan-akan membiarkan tiga orang perwira dengan senjata masing-masing itu menerjangnya, dan seakan-akan sepasang ruyung baja itu sudah tentu akan meremukkan kepalanya, pedang si gemuk pendek sudah hampir menembus punggungnya dan senjata kongce itu pasti akan menembus lambungnya.

"Haiiiiittttttt!"

Tiba-tiba suara nyaring bagai guntur ini memekakkan telinga semua pengeroyok. Tampak sinar kemerahan menyambar menyilaukan mata, tubuh Kun Hong bergerak sedikit dan ketiga orang perwira itu seakan-akan tertahan gerakannya karena tiba-tiba saja gerakan mereka terhenti, tubuh mereka berdiri kaku bagaikan disambar halilintar, sedangkan Kun Hong sudah memasang kuda-kuda lagi seperti tadi.

Semua pengeroyok berdiri bengong, lantas muka mereka menjadi pucat dan hati mereka ngeri bukan main ketika tiga orang perwira yang tadinya berdiri tegak kaku itu mendadak roboh ke atas tanah dan tubuh mereka putus menjadi dua di bagian pinggang sedangkan kepala mereka hancur!

Tanpa ada orang yang dapat melihat atau mengetahui bagaimana caranya, tiga orang perwira itu tadi sudah mati seketika karena pinggang mereka terbabat putus dan kepala mereka dihantam remuk! Inilah akibat dari jurus Sakit Hati yang kembali telah merobohkan tiga orang korban dalam waktu beberapa detik saja.

Kun Hong menggigit bibirnya menahan sakit. Luka pada pangkal paha sebelah belakang amat perih dan panas, juga ada rasa gatal-gatal yang amat nyeri. Seluruh punggungnya terasa kaku. Dia tahu bahwa lukanya itu amat berbahaya, tertusuk pedang yang ujungnya diberi racun yang amat berbahaya, mungkin racun ular.

Tentu saja dia akan dapat menyembuhkan luka itu kalau dia mendapat kesempatan. Akan tetapi dia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk itu, maka satu-satunya jalan yang dapat dia lakukan hanyalah mengerahkan tenaga dalam dan mendorong hawa sakti di tubuhnya untuk menahan racun itu agar jangan menjalar ke dalam tubuh.

Sementara itu hatinya risau bukan main. Dia telah membunuh lima orang dalam waktu beberapa detik saja. Dia dapat membayangkan betapa hebat dan mengerikan kematian lima orang lawannya itu. Akan tetapi pada saat itu, walau pun agak risau dan tak enak hatinya, pikirannya memaksanya untuk tidak ambil peduli. Dia didesak, diancam maut, dan perasaannya dilukai oleh penipuan The Sun.

Betapa pun marahnya, Kun Hong bukanlah orang nekat yang hendak mengadu nyawa dengan musuh-musuhnya. Setelah merobohkan tiga orang dan tidak lagi mendengar ada pengeroyok bergerak menyerang, kakinya otomatis bergerak melangkah, menggunakan langkah-langkah yang dia namakan Hui-thian Jip-te itu menuju ke pintu bangunan tua. Dia bermaksud untuk melarikan diri, menghindarkan pertempuran lebih jauh.

Tadinya dia melayani pertempuran hanya karena dia hendak melindungi mahkota itu. Dan hampir tanpa dia sadari dia telah menggunakan jurus dahsyat itu sampai menewaskan lima orang akibat terdorong amarah yang hebat terhadap The Sun yang telah menipunya.

"Penjahat buta jangan lari!" terdengar bentakan. Kembali belasan senjata mengepungnya.

Kun Hong tersenyum mengejek, akan tetapi hatinya mengeluh. Agaknya para perwira ini benar-benar merupakan anjing-anjing penjilat yang beraninya hanya mengeroyok.

"Aku bosan mendengar suara kalian, aku hendak pergi dari sini. Siapa berani melarang?" Katanya perlahan sambil melanjutkan langkahnya keluar.

Sebatang toya dengan kuatnya menghantam belakang kepalanya dari kanan, digerakkan oleh dua buah tangan yang bertenaga besar.

"Blukkk!"

Ujung toya menghantam kepala demikian kerasnya sehingga robohlah seketika orang itu dengan kepala keluar kecap! Tetapi orang itu bukan Kun Hong, melainkan si pemegang toya sendiri.

Pada saat toya tadi menyambar, Kun Hong melejit ke samping, tongkatnya bergerak dan dengan tenaga ‘menempel’ tongkatnya seolah-olah menangkap toya itu, lalu meneruskan dengan meminjam tenaga malah ditambahnya dengan tenaga sendiri, memaksa toya itu terayun balik dan menghantam kepala si pemegangnya sendiri!

Para perwira bengong. Inilah aneh! Mana mungkin seorang perwira berkepandaian tinggi, terkenal sebagai ahli toya di antara mereka, mempunyai jurus yang demikian aneh dan goblok sehingga toya itu berbalik menghantam kepala sendiri? Memang bagi orang luar, nampaknya di pemegang toya tadi seperti memukul kepala dengan toyanya sendiri karena gerakan Kun Hong demikian cepatnya sehingga sukar diikuti pandangan mata.

Hanya sebentar saja para perwira itu bengong, segera mereka menerjang kembali, lebih marah dan penasaran lagi. Mana patut jika sekian banyaknya perwira pilihan dari istana mengepung seorang pemuda buta saja sampai tak mampu merobohkan atau menawan?

Kun Hong terpaksa menggerakkan tongkatnya lagi. Tak mungkin ia hanya mengandalkan langkah-langkah ajaib saja menghadapi pengeroyokan dan pengepungan demikian ketat. Kembali dia mengeluh karena terpaksa dia berlaku kejam, menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan setiap orang yang menghalang jalannya.

Dia tidak mau memberi hati, tidak mau bersabar lagi karena soalnya sekarang adalah mati atau hidup. Kalau dia kalah, tentu dia akan mati dan kalau dia ingin hidup, dia terpaksa harus merobohkan, melukai bahkan mungkin membunuh orang!

Hebat pertempuran itu. Bagaikan hujan bermacam-macam senjata menerjang Kun Hong dari semua jurusan. Dan semua orang kaget, heran, kagum tiada habisnya. Orang buta itu seperti orang memiliki puluhan pasang mata saja, seakan-akan semua bagian tubuhnya bermata! Gerakannya aneh dan tampak amat lambat, tapi pada hakekatnya cepat sekali. Pukulan dan hantaman tongkatnya perlahan tapi pada hakekatnya amatlah kuat melihat betapa setiap benturan senjata pasti membuat senjata pengeroyok terlepas.

Sudah belasan orang roboh oleh tongkat, tamparan tangan kiri, atau tendangan kaki Kun Hong. Sedikit demi sedikit dia telah mendekati pintu. Biar pun belum lama dia tinggal di rumah tua ini, dia telah hafal dan sekarang tahulah dia bahwa dia sudah berada dekat dengan pintu keluar.

Dia mengeluarkan suara keras, tongkatnya berkelebat dan kembali robohlah tiga orang pengeroyoknya yang menghadang di depannya. Sekali dia menggenjot tubuh, dia sudah berhasil menerobos pintu dan kini dia telah berada di luar rumah.

Hawa malam yang dingin segar menyambutnya setelah dia keluar dari bangunan itu. Timbul semangatnya dan dia sudah siap melompat dan menggunakan ilmu lari cepatnya dengan untung-untungan karena kalau dia menabrak pohon atau terjerumus jurang, tentu dia akan celaka, Dia harus dapat membebaskan diri dari orang-orang itu, apa lagi kini selain luka itu membuat dia lelah dan kaku, juga terasa amat nyeri.

"Kwa Kun Hong, kau hendak lari ke mana? Lebih baik menyerah dan kalau kau bersedia takluk, aku yang tanggung kau akan mendapat kedudukan besar sebagai tabib negara!" tiba-tiba terdengar suara orang.

Mendengar suara ini seketika muka Kun Hong menjadi merah saking marahnya. Itulah suara The Sun!

Munculnya The Sun ini tiba-tiba menghentikan semua pengeroyokan. Dengan telinganya Kun Hong dapat mendengar betapa para perwira yang mengepungnya tadi dan yang kini sudah mengejar sampai di luar, membuat lingkaran lebar seakan-akan memberi tempat kepadanya untuk berhadapan dengan The Sun. Depan bangunan itu memang merupakan pekarangan rumput yang luas.

Kun Hong berhati-hati, tidak mau berlaku sembrono. Dia telah mendengar pula suara api menyala-nyala, dan dapat menduga bahwa tempat itu tentu diterangi oleh banyak obor yang dipegang oleh para pengawal dan penjaga.

Dia maklum bahwa The Sun memiliki kepandaian tinggi, hal ini dapat dibuktikan tadi ketika dia menerjang The Sun, dia tidak berhasil mengenai pemuda itu, hanya dapat merampas kembali mahkota kuno. Akan tetapi sebaliknya dia kena dicurangi dan dilukai.

Juga dia tahu bahwa kalau dia melanjutkan pertempuran di tempat yang diterangi api obor itu, menghadapi pengeroyokan orang-orang pandai sedangkan dia sudah menderita luka parah, akhirnya dia akan roboh. Hal ini tidak ada gunanya.

Dia tidak takut mati, akan tetapi khawatir kalau-kalau mahkota berikut rahasianya itu dapat dirampas orang-orang ini. Yang paling penting menyelamatkan mahkota itu lebih dahulu, menyerahkan kepada orang yang dapat dipercaya, baru kemudian menghadapi The Sun dan menghajar orang ini.

Pikiran ini membuat Kun Hong menahan amarahnya, mendengar kata-kata The Sun yang membujuknya supaya menyerah dengan janji diberi kedudukan mulia. Tanpa menjawab, secara cepat dan sangat tiba-tiba, dia melayang ke arah orang itu sambil menggerakkan tongkatnya yang berkelebat lenyap berubah menjadi sinar kemerahan itu.

"Tranggggg!" Pedang di tangan The Sun menangkis dan bertemu dengan tongkat itu.

Kun Hong merasa betapa pedang pemuda itu adalah sebuah pedang pusaka yang ampuh sehingga tidak rusak oleh pedang di dalam tongkatnya, juga ternyata betapa tenaga The Sun amat kuat. Tergetarlah telapak tangannya ketika kedua senjata tadi bertemu.

Di lain pihak, The Sun semakin kagum karena pedang pusakanya yang ampuh itu tidak mampu membikin patah tongkat si buta ini dan telapak tangannya bahkan terasa sakit. Siapakah sebetulnya The Sun, pemuda yang amat cerdik, juga amat lihai ini? Baiklah kita menjenguk keadaan pemuda itu.

Di pegunungan Go-bi-san terdapat banyak sekali puncak-puncak yang menjulang tinggi di angkasa. Karena keadaan pegunungan yang amat luas dan penuh dengan rahasia alam ini, maka banyaklah pertapa-pertapa, orang-orang pandai dan sakti yang mengasingkan diri di sana. Malah partai Go-bi-pai terkenal sebagai partai persilatan besar yang memiliki banyak murid pandai.

Akan tetapi bukan hanya Go-bi-pai saja yang terdapat di pegunungan itu. Masih banyak lagi orang-orang pandai yang tak bergabung di partai Go-bi-pai ini, diam-diam melakukan pertapaan, bahkan kadang-kadang mereka mempunyai seorang dua orang murid rahasia yang tiada sangkut-pautnya dengan Go-bi-pai yang besar.

The Sun adalah seorang pemuda dari Go-bi-san. Ayahnya seorang bekas pembesar pada Pemerintahan Mongol yang melarikan diri setelah bangsa Mongol terusir oleh Ciu Goan Ciang dan para pejuang. Ayahnya yang bernama The Siu Kai adalah seorang pembesar militer yang mempunyai kepandaian tinggi dan merupakan seorang tokoh dari Go-bi-san pula. The Sun masih kecil sekali ketika dibawa lari mengungsi oleh ayahnya, sedangkan keluarga lain semuanya tewas dalam kekacauan perang.

The Siu Kai yang terluka hebat ketika lari ke Go-bi-san membawa puteranya, akhirnya mampu juga mencapai sebuah puncak di mana tinggal gurunya, yaitu seorang tosu tua yang bermuka dan berkulit hitam, yang puluhan tahun bertapa di puncak itu tanpa mau mencampuri urusan dunia ramai. Tosu tua ini karena kulitnya yang hitam disebut orang Hek Lojin (Orang Tua Hitam). Luka parah ditambah penderitaan selama melarikan diri ini tak dapat tertahan lagi oleh The Siu Kai dan dia pun tewas di depan kaki gurunya setelah berhasil membujuk gurunya agar supaya sudi mendidik The Sun putera tunggalnya.

Demikianlah, The Sun yang masih kecil itu akhirnya dipelihara dan dididik oleh Hek Lojin, diberi pelajaran ilmu silat dan ilmu sastra sehingga akhirnya menjadi seorang pemuda yang amat pandai, lihai dan cerdik. Makin lama Hek Lojin makin cinta kepada murid cilik ini sehingga bangkit pula gairahnya untuk urusan duniawi, akan tetapi bukan demi dirinya sendiri, melainkan demi muridnya terkasih itulah.

Dia sengaja membawa The Sun turun gunung ke kota raja, malah menyuruh muridnya ini menempuh ujian di kota raja sehingga berhasil memperoleh gelar siucai. Akhirnya karena kepandaiannya, The Sun mendapat kepercayaan dari Pangeran Kian Bun Ti dan sesudah pangeran ini menjadi kaisar, The Sun tetap menjadi orang kepercayaannya, bahkan dia mendapat tugas untuk menghimpun kekuatan, mengumpulkan orang-orang pandai untuk memperkuat kedudukan kaisar baru ini yang maklum akan adanya ancaman-ancaman terhadap kedudukannya.

Memang The Sun orang yang cerdik sekali. Dia lalu menyebar mata-mata untuk menjaga keamanan kota raja, menyebar orang-orang pandai untuk menghubungi para tokoh besar di dunia kang-ouw, malah dia berhasil mendatangkan banyak orang pandai, di antaranya beberapa orang sakti yang kini sudah tinggal di kota raja pula.

"Sayang, orang muda begini cerdik pandai dan lihai merendahkan diri menjadi anjing kaisar!" tak terasa lagi Kun Hong berseru ketika pemuda itu dapat menangkis tongkatnya dengan tenaga lweekang yang mengagumkan!

The Sun tertawa mengejek. "Kaulah yang patut disayangkan, seorang pendekar buta ahli pengobatan tetapi merendahkan diri menjadi pemberontak, mudah saja dihasut oleh para pengkhianat yang hendak memberontak terhadap pemerintah yang sah!"

Akan tetapi Kun Hong tidak mendengarkan ejekan ini karena kembali dia sudah bergerak, kini ke kiri untuk mencari jalan ke luar. Akan tetapi angin bertiup dari arah The Sun dan kembali pedang The Sun dengan amat cepatnya telah menghadang di depannya, bahkan mengirim tusukan maut yang amat dahsyat.

Pedang yang ampuh serta digerakkan dengan jurus-jurus ilmu pedang dari Go-bi-san ini benar-benar luar biasa. Bagi mereka yang bisa melihat tampak sinar yang berkeredepan, bagi Kun Hong terdengar bunyi berdesing-desing laksana sebuah gasing berputar cepat atau seperti kitiran angin dilanda angin kencang.

"Hebat!" Dia memuji dan cepat menggerakkan tongkat.

"Trang-tring-trang-tring!”

Kembali terdengar bunyi nyaring pada saat tongkat bertemu dengan pedang dan sesudah saling serang bertukar tikaman dan babatan maut sampai tujuh jurus, keduanya kembali terpental ke belakang oleh benturan senjata yang amat keras.

Kun Hong diam-diam mengeluh di dalam hatinya. Pemuda ini benar-benar lihai. Agaknya kalau dilawan dengan Kim-tiauw-kun atau Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam saja, walau pun akan menang akan tetapi akan mempergunakan banyak waktu karena ilmu kepandaian pemuda itu memang tinggi sekali. Untuk menggunakan jurus sakit Hati, dia merasa tidak tega, Sayang seorang pemuda begini hebat dibunuh.

"Kwa Kun Hong, kau tidak mungkin dapat meloloskan diri. Lebih baik kau menyerah dan takluk, mari kita bekerja sama!" kembali The Sun membujuk.

"Tutup mulut dan tak perlu kau membujukku." Kun Hong membentak marah.

"Hemmm, kalau begitu kau memang harus mampus!" The Sun juga membentak dan dia segera menerjang dengan kilatan pedangnya yang diputar cepat di depan dadanya.

Kun Hong tahu akan kelihaian lawan ini, maka dia cepat menggerakkan tongkatnya untuk menghadapi dengan jurus-jurus Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam. Hebat sekali ilmu pedang warisan Si Raja Pedang Tan Beng San ini karena ke arah mana pun pedang The Sun bergerak, pada akhirnya selalu terbentur oleh tongkat yang bahkan otomatis dapat pula membalas, bacokan demi bacokan atau tusukan dengan tusukan. Mengagumkan melihat dua orang muda itu bertanding.

Keduanya sama tampan, sama lincah cekatan, sama tinggi ilmu pedangnya. Baru kali ini Kun Hong menghadapi lawan yang kuat dalam ilmu pedang sehingga dia makin kagum dan makin menyesal mengapa orang seperti ini harus menjadi lawannya.

Karena tiada niat di dalam hatinya untuk bertempur terus, dia mencari kesempatan baik. Dengan gerakan memutar, tongkatnya melakukan tusukan tujuh kali ke arah punggung lawan. Menghadapi jurus aneh dari Im-yang Sin-kiam ini, The Sun kaget. Lawan berada di depan, bagaimana ujung tongkatnya seakan-akan mengarah tengkuk dan punggungnya? Cepat dia melompat ke kiri dan memutar pedangnya melindungi tubuh.

Kesempatan ini dipergunakan Kun Hong untuk lari ke kanan, menggunakan langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun sehingga beberapa bacokan golok dari para perwira yang berdiri di tempat itu mampu dia hindarkan dengan mudah. Tiga orang perwira lainnya yang sudah menghadang dia robohkan dengan dua kali dorongan tangan kirinya, sedangkan kakinya melangkah terus berloncatan ke sana ke mari ketika mainkan langkah-langkah Hui-thian Jip-te. Sebentar saja Kun Hong sudah berhasil lolos dari kepungan yang begitu ketatnya!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan berpengaruh di sebelah depannya.

"Pemberontak buta, jangan lari! The-siucai, serahkan dia padaku!" kata-kata ini dibarengi desir angin tusukan pedang.

Kun Hong terkejut sekali dan segera dia membanting diri ke kiri. Gerakan menyelematkan diri ini dia lakukan tergesa-gesa sehingga luka pada pangkal pahanya terasa nyeri sekali, akan tetapi dia selamat dari pada sebuah tusukan yang hampir tidak mengeluarkan suara, demikian halus akan tetapi demikian kuatnya. Celaka, pikirnya, ilmu pedang orang ini luar biasa sekali.

Karena maklum bahwa yang dihadapinya seorang ahli pedang kawakan yang amat lihai, Kun Hong cepat menggerakkan tongkatnya membalas serangan tadi. Segera dia terlibat dalam pertandingan pedang sampai belasan jurus dengan penyerang baru ini. Makin lama makin heran dan terkejut hati Kun Hong.

Pada jurus ke lima belas, dia menggunakan tongkatnya menangkis keras sehingga kedua senjata yang bertemu itu terpental ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kun Hong untuk berseru.

"Bukankah tuan ini Sin-kiam-eng Tan Beng Kui lo-enghiong?"

"Hemmm, kalau sudah kenal baik lekas menyerah, tak perlu melawan," jawab orang itu yang bukan lain adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, majikan Pek-tiok-lim di pantai Po-hai, yaitu ayah dari Tan Loan Ki si dara lincah!

Kun Hong cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat, wajahnya berubah penuh harapan ketika dia berkata, "Lo-enghiong, harap jangan lanjutkan pertempuran, kita orang sendiri! Bukankah adik Loan Ki baik-baik saja? Dia dan aku sudah seperti saudara sendiri, kami bertemu dan bersama mengalami hal-hal hebat di Pulau Ching-coa-to, dan..."

"Tutup mulutmu! Tak perlu membawa-bawa nama anakku ke sini, keparat!" Sin-kiam-eng membentak sambil menerjang lagi, kini malah lebih hebat karena dia marah sekali.

Kun Hong cepat mengelak dan mengeluh. Celaka, pikirnya, agaknya gadis nakal lincah itu tidak pernah bercerita kepada ayahnya tentang dia sehingga sekarang Sin-kiam-eng tidak mengenalnya dan tentu saja pendekar itu amat marah mendengar puterinya disebut-sebut namanya oleh seorang yang tidak dikenal!

Sesungguhnya bukan demikianlah soalnya. Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang sudah sejak tadi melihat sepak terjang dan gerakan Kun Hong, diam-diam terkejut dan heran sekali karena gerakan dan langkah-langkah ajaib yang dilakukan oleh pemuda buta ini persis seperti yang dia lihat dilakukan oleh Loan Ki ketika menghadapi serangan-serangan kakek Song-bun-kwi!

Diam-diam dia terheran-heran akan tetapi juga penasaran dan amat marah. Jadi puterinya itu dalam perantauannya telah melakukan hubungan dengan seorang buta, dan menerima pelajaran dari seorang buta yang kini ternyata adalah seorang mata-mata pemberontak pula.

Inilah sebabnya ketika melihat betapa The Sun tidak sanggup mengalahkan Kun Hong, dia segera turun tangan, tidak saja untuk menyatakan kemarahannya karena persamaan ilmu pemuda ini dengan puterinya, juga untuk mencari jasa. Sebagai seorang pendatang baru yang diterima oleh The Sun, Tan Beng Kui yang bercita-cita besar ini segera ingin memperoleh kedudukan tinggi dengan jasa besar.

Ilmu pedang Sin-kiam-eng Tan Beng Kui memang hebat bukan main. Dia adalah murid kepala dari mendiang Bu-Tek Kiam-ong Cia Hui Gan ayah Cia Li Cu yang sekarang menjadi Nyonya Tan Beng San. Nyonya ini saja ilmu pedangnya sudah hebat luar biasa, apa lagi ilmu pedang Sin-kiam-eng yang menjadi kakak seperguruannya.

Memang dahulu ketika masih muda, Tan Beng Kui menjadi harapan mendiang gurunya, karena itu semua kepandaiannya diturunkan kepadanya. Ilmu Pedang Sian-Ii Kiam-sut adalah ilmu pedang turunan yang sesumber dengan Im-yang Sin-kiam, apa lagi dimainkan oleh seorang pendekar besar yang sudah matang dalam pengalaman seperti Tan Beng Kui, benar-benar membuat Kun Hong kelabakan ketika dia diterjang dengan dahsyat oleh Sin-kiam-eng.

Dengan langkah-langkah Hui-thian Jip-te, Kun Hong berusaha menghindarkan diri dari kurungan sinar pedang lawan. Dia merasa segan untuk balas menyerang setelah kini dia tahu bahwa orang ini adalah ayah dari Loan Ki.

Tidak sampai hatinya, kalau dia teringat akan suara ketawa dan celoteh Loan Ki yang nakal dan lincah itu. Betapa dia ada hati untuk melawan ayah gadis jenaka itu. Dia merasa menyesal bukan main, menyesal mengapa justru ayah dara lincah itu yang kini sedang menghalangi jalan larinya, mengapa ayah Loan Ki justru menjadi pembantu kaisar baru?

Selain kebimbangan ini, ditambah lagi luka di pangkal pahanya yang parah membuat Kun Hong kurang gesit menghadapi ilmu pedang yang hebat dari Tan Beng Kui. Betapa pun lihai dan aneh langkah-langkah ajaibnya, tapi menghadapi seorang jago kawakan seperti Tan Beng Kui, tanpa melakukan perlawanan sungguh-sungguh, akhirnya dia celaka juga.

"Lo-enghiong, aku tak mau bertempur melawanmu...," kata Kun Hong dan kesempatan ini digunakan oleh lawannya untuk mendesak, memainkan jurus yang paling sulit dihadapi.

Kun Hong kaget dan masih berusaha menjatuhkan diri ke belakang, namun ujung pedang lawannya masih sempat menggores dagunya, terus merobek baju di dada dan merobek pula kulit dadanya sehingga darah bercucuran membasahi bajunya. Kun Hong terkejut juga karena baru saja dia terhindar dari bahaya maut, sebab ujung pedang itu sebenarnya tadi mengarah leher dilanjutkan ke ulu hatinya. Lebih hebat lagi, pada saat itu dari belakang menyambar gerakan pedang yang amat cepat membabat ke arah lehernya.

Inilah pedang di tangan The Sun yang kemudian membentak pula, "Mampuslah engkau, jembel buta!"

Akan tetapi The Sun terlalu memandang rendah kepada Kun Hong kalau mengira bahwa sekali babat akan berhasil memenggal leher Pendekar Buta. Tongkat di tangan Kun Hong bergerak cepat.

"Tranggg...!"

The Sun kaget setengah mati karena begitu bertemu, tongkat itu terus menyerong melalui bawah lengannya, menusuk ke arah tenggorokannya secara amat aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka olehnya.

"Celaka...!" Dia berseru keras dan cepat tubuhnya mencelat ke belakang dalam usahanya menghindarkan diri dari bahaya maut ini.

Kun Hong yang sudah marah sekali kepada The Sun juga melesat dalam pengejarannya tanpa menghentikan ancaman tongkatnya ke arah tenggorokan lawan.

"Penjahat buta, jangan sombong kau!" tiba-tiba terdengar seruan yang amat berpengaruh, dibarengi melayangnya lengan baju yang membawa serta angin pukulan dahsyat sekali.

"Plakkk!"

Tanpa dapat ditangkis atau dihindarkan lagi oleh Kun Hong yang pada saat itu tubuhnya sedang mengapung dalam usahanya mengejar The Sun, ujung lengan baju itu tahu-tahu sudah menghantam punggungnya. Kun Hong segera mengerahkan tenaga Iweekang-nya untuk menahan pukulan, akan tetapi pukulan itu hebat bukan main sehingga dia merasa seolah-olah terpukul benda keras yang ribuan kati beratnya.

Tubuh Kun Hong terlempar dan terbanting ke atas tanah sampai bergulingan! Dua batang pedang lain mengejarnya dan langsung menyambar dari kanan kiri.

"Wuuuttt! Singgg!"

Kun Hong melenting ke atas. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, otomatis dia telah membuat gerakan jurus Sakit Hati.

"Tranggg! Wesss!"

Tongkat dan tangan kirinya telah bergerak tanpa dapat dicegah lagi. Dua orang perwira yang tadi berlomba untuk membunuhnya setelah melihat dia terluka dan bergulingan, kini berdiri tegak bagai patung, kemudian pelan-pelan roboh terguling dan pinggang mereka ternyata telah putus dan kepala mereka remuk-remuk!

Bukan main ngerinya hati para perwira menyaksikan ini. Malah orang-orang sakti yang kini sudah berada di situ melengak heran.

"Penjahat keji!" Terdengar Sin-kiam-eng Tan Beng Kui berseru marah dan pedangnya menyambar dengan suara mendesing-desing.

Kun Hong merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Luka di pangkal paha makin panas dan perih, gatal dan sukar ditahan nyerinya. Luka di dagu dan dada terus mengucurkan darah sedangkan punggungnya terasa patah-patah tulangnya oleh hantaman ujung lengan baju yang amat hebat tadi.

Dia terheran-heran, siapakah gerangan si pemukul ini. Melihat hebatnya hantaman itu, dia taksir tingkat kepandaian orang ini tidak di bawah Song-bun-kwi. Celaka, kiranya di kota raja telah berkumpul begini banyak orang sakti! Karena ini, dengan pikiran sudah pening, Kun Hong berlaku nekat dan menanti setiap lawan dengan jurus Sakit Hati!

Sambaran pedang yang datang cepat laksana kilat dari Sin-kiam-eng itu sudah ditunggu oleh Kun Hong. Dia tidak ingat lagi siapa lawannya, yang teringat olehnya hanya bahwa dia harus melindungi surat rahasia di dalam mahkota dan harus mengalahkan tiap orang musuhnya untuk dapat melarikan diri dari kepungan. Setelah serangan itu tiba, tubuhnya bergerak, tongkatnya menyambar berbareng dengan tangan kirinya mencengkeram.

"Ayaaaa…!" Sin-kiam-eng berteriak keras.

Tubuhnya melayang sampai lima enam meter jauhnya, lalu dia terbanting ke atas tanah dan terengah napasnya, mukanya pucat. Nyaris dia menjadi korban jurus Sakit Hati yang amat mukjijat itu.

Meski pun dia tidak menjadi korban, namun tetap saja hawa pukulan tangan kiri Kun Hong yang mengandung hawa Yang-kang itu telah membuat dadanya serasa panas terbakar. Cepat-cepat Sin-kiam-eng duduk bersila mengatur napas memulihkan tenaga agar jangan sampai isi dadanya terluka.

"Omitohud, ilmu siluman apakah ini?" kembali terdengar suara berpengaruh yang tadi dan segumpal hawa dingin menyambar ke arah Kun Hong.

Pemuda buta ini maklum bahwa lawannya yang bersenjata ujung lengan baju, yang tadi berhasil menghantam punggungnya, ternyata adalah seorang hwesio. Maklumlah dia kini bahwa semakin lama dia berada di tempat ini, semakin besar pula bahayanya. Hantaman kali ini yang mendatangkan segumpal hawa dingin menandakan bahwa dalam hal ilmu tenaga dalam hwesio ini sudah mencapai tingkat tertinggi sehingga sukar dilawan.

Akan tetapi dia sudah nekat. Tiada artinya kalau dia hanya mengelak ke sana ke mari, akhirnya tentu celaka juga. Lebih baik mengadu tenaga dan tinggal pilih satu antara dua. Menang dan lolos, atau kalah dan tewas! Dengan pikiran ini, sambaran dingin itu lalu dia sambut dengan jurus Sakit Hati.

"Dess! Bukkk!"

Tubuh Kun Hong serasa didorong oleh tenaga yang maha kuat sehingga kuda-kuda jurus Sakit Hati itu biar pun masih tetap, namun sudah tidak di tempatnya lagi karena kedua kakinya itu bergeser sejauh dua meter lebih, membuat garis pada tanah yang dalamnya sampai dua dim lebih!

Dari tempat lima enam meter jauhnya terdengar hwesio itu berseru heran, "Omitohud... hebat... hebat"

Diam-diam Kun Hong mengeluh. Tadi tongkat yang dia gerakkan bertemu dengan benda lemas, agaknya ujung lengan baju, ada pun tangan kirinya bertemu dengan lengan hwesio itu yang mengandung getaran tenaga dalam yang hebat pula.

Berkat dua ilmu sakti Kim-tiauw-kun dan Im-yang Sin-kiam, dia tadi dapat menggunakan tenaga mukjijat. Kalau diukur berdasarkan benturan tadi, dia sama sekali tidak kalah. Tapi hwesio yang dapat menyambut jurus Sakit Hati ini sudah terang merupakan lawan yang paling berat! Dia sudah memasang kuda-kuda lagi dan bersiap sedia mengadu nyawa.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk, dari atas terdengar pula suara bentakan nyaring. "Jago-jago kawakan yang mengaku para tokoh istana, kiranya hanya cacing-cacing busuk yang beraninya mengeroyok seorang pemuda buta!”

Pada waktu itu terdengar sorak-sorai, disusul dengan suara senjata saling beradu, tanda terjadi pertempuran besar di tempat itu antara para perwira dan banyak orang yang baru datang dipimpin oleh orang yang membentak tadi. Kun Hong mengerutkan kening dan mencoba mengingat-ingat, dia merasa kenal suara tadi.

Pada saat itu pula suara tadi berkata perlahan kepadanya, "Pangcu (ketua), silakan pergi mengaso."

"Hwa-i Lokai...!" Kun Hong berseru kaget.

Memang benar. Yang datang adalah Hwa-i Lokai bersama anak buahnya yang dengan nekat sekarang bertanding melawan para jagoan istana itu. Karena tidak ada kesempatan untuk bicara lagi setelah Hwa-i Lokai kini bertanding melawan tokoh-tokoh istana, Kun Hong lantas mengamuk, menggunakan jurus Sakit Hati sambil melompat ke sana ke mari. Para perwira yang lancang berani menyambut atau menghadangnya langsung roboh tak bernyawa lagi.

Dengan jalan membuka jalan darah ini, akhirnya Kun Hong berhasil keluar dari kepungan yang ketat itu. Mulailah dia melarikan diri karena merasa betapa tubuhnya sudah makin lemas dan gemetar. Ia mengerahkan tenaga terakhir dan lari sekuatnya di malam gelap, lari secara ngawur karena tidak dapat melihat. Ia hanya menyerahkan nasibnya ke tangan Thian Yang Maha Kuasa.

Agaknya Thian memang masih melindunginya karena secara aneh sekali Kun Hong dapat berlari jauh meninggalkan tempat itu. Akan tetapi akhirnya, di tempat yang sunyi, agaknya daerah penduduk kota yang miskin, dia menabrak pohon besar yang berdiri di belakang sebuah pondok kecil. Karena dia tertumbuk pada batang pohon itu dengan dahi di depan, pendekar buta ini roboh terguling dalam keadaan pingsan!

Hening sejenak sesudah suara kepala beradu dengan batang pohon dan robohnya tubuh Kun Hong. Lalu pintu pondok berderit terbuka dan sinar lampu menyorot keluar mengantar bayangan seorang anak laki-laki yang agaknya kaget mendengar suara tadi. Anak ini melangkah ke luar pintu belakang dan memandang ke kanan kiri. Seorang anak laki-laki yang tabah. Biasanya anak sebesar itu, berusia sekitar enam tujuh tahun, suka takut-takut terhadap tempat gelap. Akan tetapi anak ini meski pun tadi mendengar suara gedebukan aneh, masih berani membuka pintu belakang dan keluar di tempat gelap.

Tidak lama kemudian dia sudah menghampiri tubuh yang menggeletak miring di bawah pohon itu dan terdengar teriakannya. "Ibu...! Ibu... mari ke sini, ada orang jatuh... mari bantu aku...!"

Tanpa ragu-ragu sedikit pun anak itu sudah mulai berusaha membangunkan Kun Hong yang masih pingsan. Kali ini kembali membayangkan ketabahan hati anak itu, bahkan juga membayangkan wataknya yang baik dan suka menolong orang lain.

Seorang wanita muda muncul dari pintu belakang. Dia ragu-ragu sejenak, ngeri melihat kesunyian dan kegelapan malam. "A-wan...! Kau di mana? Siapa yang jatuh?"

"Di sini, Bu. Lekas, jangan-jangan dia mati."

Ibu muda itu datang menghampiri, tersentak kaget mendengar ucapan terakhir.

"Apa...? Ma... mati...?"

"Mungkin juga belum. Aduh beratnya, lekas bantu, Bu. Mari kita bawa masuk dan beri pertolongan."

Ibu muda itu membulatkan hatinya dan melangkah maju. Dengan susah payah Kun Hong diangkat dan setengah diseret oleh ibu dan anak itu, lalu dibawa masuk ke dalarn rumah melalui pintu belakang yang segera ditutup kembali.

"Inkong...!"

"Paman buta...! Betul, dia paman buta...!"

Ibu dan anaknya itu terbelalak memandang wajah Kun Hong yang kini sudah direbahkan di atas tempat tidur bambu yang sangat sederhana. Keduanya menubruk, memeluk serta mengguncang-guncang tubuh Kun Hong. Terdengar Kun Kong mengeluh, bibirnya bergerak perlahan. "...terlalu banyak musuh... terlalu banyak..." Kemudian dia menjadi lemas dan mengigau tidak karuan.

"Inkong, ingatlah... Inkong, ini aku janda Yo..."

"Paman, aku A Wan..."

Kun Hong mendengar suara ini, nampak terheran-heran, lalu berkata lirih, "Yo-twaso...? A Wan...? Bagaimana... ahhhhh..." Dia menjadi lemas dan pingsan lagi.

"Celaka! Inkong terluka hebat. Lihat darahnya begini banyak. Wah, bagaimana ini? A Wan lekas kau buka pakaiannya, bersihkan luka-lukanya, aku akan memasak air..."

Janda itu dengan gugup sekali lalu lari ke sana ke mari mempersiapkan segala keperluan, akan tetapi sesungguhnya tidak tahu betul bagaimana ia harus menolong Kun Hong yang mandi darah itu.

A Wan adalah seorang anak yang tabah. Biar pun ngeri juga dia melihat semua baju Kun Kong penuh darah, akan tetapi dengan cepat dia membuka pakaian, lalu menurunkan buntalan dari punggung Kun Hong. Pada saat dia membuka buntalan itu untuk mencari pengganti baju, dia melihat mahkota kecil dari emas yang mencorong terkena sinar lampu. Terkejutlah dia dan diambilnya mahkota itu, diamat-amatinya penuh perhatian.

A Wan adalah anak yang cerdik, otaknya lantas bekerja. Tadi paman buta bicara tentang musuh banyak, tentu habis berkelahi dan dikeroyok oleh banyak musuh, pikirnya. Kenapa berkelahi? Paman buta ini adalah seorang miskin, pendekar berbudi yang miskin, lalu dari mana bisa mempunyai benda begini indah? Tak salah lagi, tentu paman buta berebutan benda ini dengan banyak orang jahat, akhirnya dikeroyok dan luka-luka.

Pikiran ini membuat A Wan cepat membawa lari mahkota itu keluar kamar. Agak lama dia pergi ke belakang rumah di luar tahu ibunya yang sibuk memasak air. Setelah dia kembali menyelinap ke dalam kamar, dia sudah tidak membawa mahkota tadi. Dengan cepat A Wan membersihkan luka-luka di badan Kun Hong, menggunakan sehelai kain bersih.

Ibunya datang membawa air panas. Janda ini cepat mengusir rasa jengah dan malu ketika melihat keadaan Kun Hong yang setengah telanjang itu, malah perasaan ini lenyap sama sekali dan terganti rasa ngeri dan cemas melihat betapa dada pemuda buta itu tergurat membujur dari atas ke bawah, juga dagunya terluka serta pangkal paha sebelah belakang biru mengembung, punggungnya pun kebiruan. Badan pemuda ini panas sekali, napasnya terengah-engah.

Dengan air mata mengalir saking bingung dan cemasnya, janda itu lalu membersihkan luka-luka Kun Hong dengan kain yang dicelup air panas. Hilang sudah semua rasa malu dan sungkan. Air matanya mengalir semakin deras ketika dia melihat betapa wajah yang tampan itu nampak pucat dan mulutnya terbuka menahan nyeri.

"A Wan, lekas kau pergi panggil sinshe (tukang obat) Thio di jalan raya utara. Katakan di rumah ada orang sakit, luka-luka, lekaslah!"

"Baik, Ibu. Kasihan paman buta, bagaimana kalau dia... mati...?"

"Hushh...? Jangan bicara dengan siapa juga mengenai dia, ini rahasia, mengerti? Lekas pergi dan lekas kembali!"

A Wan mengangguk dan melompat ke luar, lenyap di dalam kegelapan malam.

Setelah anak itu pergi, janda muda ini tak sanggup menahan sedu-sedannya lagi. Sambil membersihkan luka-luka itu, dia merangkul dan mengguncang-guncang tubuh Kun Hong sambil berseru lirih memanggil, "Inkong...! Inkong... sadarlah, Inkong..."

Melihat betapa muka itu makin lama seakan-akan makin pucat, dia menjadi amat cemas. Terbayanglah dia akan semua pengalamannya dulu ketika pemuda buta ini menolongnya, dan sekarang melihat penolong yang selama ini tak pernah meninggalkan lubuk hatinya itu sedang menggeletak seperti mayat di depannya, nyonya janda Yo tak dapat menahan luapan perasaan hatinya.

"Inkong...!" Dia mendekap kepala itu, diciuminya penuh perasaan dan dibanjirinya dengan air mata. "Jangan mati, Inkong... jangan tinggalkan aku lagi setelah Thian mengembalikan kau kepadaku..."

Kemudian kegelisahan lebih menguasai hatinya. Dia berhenti menangis dan memeriksa dengan teliti luka-luka pada tubuh Kun Hong di bawah sinar lampu remang-remang. Dia bergidik, jelas bahwa luka-luka itu adalah luka bekas bacokan. Nampak tanda-tanda yang jelas bahwa penolongnya ini baru saja habis berkelahi dengan hebat.

Wajahnya tiba-tiba pucat. Kalau penolongnya terluka seperti ini, berarti musuh-musuhnya masih ada. Siapa tahu melakukan pengejaran sampai ke sini! Ia tahu bahwa penolongnya sakti, akan tetapi dalam keadaan pingsan seperti ini, jika musuh datang lalu bagaimana? Ia kembali bergidik dan merasa ngeri, lalu menoleh ke kanan kiri, matanya jelalatan penuh ketakutan.

Melihat tongkat Kun Hong menggeletak di atas lantai, cepat ia mengambilnya dan dengan tangan gemetar ia menyusupkan tongkat itu ke bawah tilam pembaringan. Matanya cepat mencari-cari lagi, siap menghapus tanda-tanda akan adanya Kun Hong di situ.

Pakaian Kun Hong yang penuh darah berada di sudut kamar. Cepat dia menyambarnya dan melemparkannya ke kolong pembaringan. Lalu dengan cekatan ia menggosok-gosok dan menghapus tanda-tanda darah di lantai dengan sehelai kain.

Setelah keadaan kamar itu normal kembali, dia lalu duduk lagi di pinggiran pembaringan, memegang lengan tangan Kun Hong dan memandang bingung. Bagaikan seekor kelinci bersembunyi dari kejaran harimau, sebentar-sebentar dia menoleh ke arah pintu depan, bibirnya gemetar berbisik lirih, "A Wan... kenapa kau belum juga pulang...?"

Terdengar suara langkah kaki di luar rumah. Janda muda itu berseri wajahnya.

"A Wan dan sinshe datang...," pikirnya dan ia sudah bangkit berdiri.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia mendengar suara seorang laki-laki di luar pintu pondoknya itu, suara halus tapi penuh ejekan.

"Hemmm, si buta keparat itu menghilang di sini."

"Tok-tok-tok!" terdengar pintu itu diketuk dari luar.

Menggigil kedua kaki janda Yo, sesaat ia seperti terpaku dan tak mampu menjawab atau bergerak sedikit pun juga.

"Tok-tok-tok!” kembali pintu diketuk dari luar.

“Hee, sahabat pemilik rumah, harap buka pintu sebentar, aku ingin bertanya!" suara halus tadi kini terdengar berteriak.

Seperti kilat menyambar sebuah pikiran menyelinap ke dalam kepala janda muda itu. Dia tahu benar bahwa orang di luar pondoknya itu tentu musuh penolongnya yang datang membawa niat buruk. Berdegup jantungnya kalau ia ingat bahwa orang itu datang untuk membunuh Si Pendekar Buta!

Hanya beberapa detik pikiran ini memenuhi kepalanya dan timbullah akal seorang wanita yang dengan sepenuh perasaannya berusaha menolong seorang yang sangat dikasihinya dan dipujanya dari bahaya maut. Rasa takut dan cemas sekaligus lenyap ketika timbul kenekatan di dalam hatinya untuk membela serta melindungi penolongnya itu. Wajahnya memancarkan kecerdikan dan tubuhnya tidak menggigil lagi.

Cekatan sekali ia meraih selubung lampu minyak, menggosokkan jari-jari tangannya pada langes yang menempel pada selubung lampu, lalu menghampiri Kun Hong dan memupuri muka pemuda itu dengan langes. Dalam waktu sekejap saja muka itu sudah berubah jadi hitam, menyembunyikan muka yang asli dari pemuda itu. Tangan lain meraih dinding yang masih ada sisa kapurnya, digosok-gosokkan seperti tadi lalu ia menggosokkan kapur yang menempel di tangannya pada rambut Kun Hong.

Melihat hasilnya kurang memuaskan, ia segera memutar otak, memandang ke kanan kiri, lalu mengambil tempat bedaknya dan menaburkan bedak itu pada kepala Kun Hong yang kini berubah menjadi keputih-putihan seperti rambut ubanan seorang laki-laki tua!

"Tok-tok-tok! Sahabat, bukakan pintu, kalau tidak kau buka, terpaksa akan kurobohkan!" suara di luar mendesak tidak sabar lagi.

"Tunggu sebentar...!" Janda muda itu berseru kaget, menarik selimut menutupi tubuh Kun Hong sampai ke leher.

Ia lalu melangkah ke pintu kamar, menoleh sekali lagi. Lega hatinya melihat bahwa kini tak ada lagi tanda-tanda bahwa yang berbaring dalam kamar itu adalah seorang pemuda yang pingsan, akan tetapi kelihatan seperti seorang laki-laki tua tidur pulas!

Tergesa-gesa ia keluar kamar. Tiba-tiba dia teringat akan sesuatu, pikirannya yang cerdik bekerja keras dalam usahanya menolong Pendekar Buta itu. Dia melirik ke arah pakaian di tubuhnya dan cepat dia membuka dua buah kancing di dekat leher dan melonggarkan ikat pinggangnya, mengusutkan pakaiannya di sana sini, melepaskan sebagian rambut dari pita rambutnya yang ia kendurkan, kemudian cepat ia berlari-lari ke arah pintu yang sudah mulai digedor lagi oleh orang di luar itu.

"Aku datang...! Tunggu sebentar... siapa sih yang suka mengganggu orang tidur?" kata nyonya janda ini dengan suara yang tiba-tiba berubah genit!

Di ruang tengah ia menyambar lilin yang sudah menyala, kemudian dengan lilin dipegang tinggi-tinggi dengan tangan kiri, ia membuka palang pintu depan dengan tangan kanan.

"Kriiiiitt!"

Daun pintu berderit pada saat dibuka perlahan oleh tangan nyonya janda Yo yang sedikit gemetar. Sinar lilin bergerak-gerak tertiup angin, menerangi wajahnya serta wajah orang yang berdiri di luar pintu.

"Ohhhhh...!" Dua buah mulut mengeluarkan seruan sama dan dua pasang mata saling pandang.

Mata nyonya Yo memandang dengan perasaan cemas, heran dan seruannya tadi yang memang ia sengaja untuk melengkapi aksinya bergenit tadi menjadi sumbang karena rasa heranannya ini. Sama sekali dia tidak menyangka akan melihat seorang pemuda yang berpakaian seperti seorang kongcu terpelajar, yang sikapnya halus dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda orang jahat. Hal ini membuatnya ragu-ragu dan sejenak dia hanya bengong, tidak tahu harus berbuat dan berkata apa.

Di lain pihak, seruan yang keluar dari mulut orang muda itu adalah seruan tercengang dan kagum, lalu sepasang matanya menjelajahi pemandangan di hadapannya itu dari atas ke bawah lalu kembali lagi dari bawah ke atas.

Sanggul rambut yang awut-awutan, sebagian rambut terurai menutupi sebuah muka yang berkulit putih kuning berbentuk bulat telur, mata yang jernih, hidung mancung mulut kecil manis. Pakaian yang biar pun sederhana akan tetapi membayangkan bentuk tubuh yang padat dan bagus, baju yang terbuka kancingnya di bagian atas memperlihatkan sebagian leher dan dada yang berkulit halus bersih. Apa lagi di bawah cahaya api lilin yang mobat-mabit karena angin. Wanita yang berdiri di depannya benar-benar amat manis dan menggairahkan hati!

Orang muda itu bukan lain adalah The Sun. Pemuda cerdik ini diam-diam meninggalkan gelanggang pertempuran karena maklum bahwa para pengemis anggota Hwa-i Kaipang itu tidak akan mungkin dapat lepas dari pada hantaman para perwira yang selain menang banyak, juga dibantu oleh tokoh-tokoh lihai.

Yang dia pentingkan adalah Kwa Kun Hong, maka cepat dia mengejar ketika melihat Si Pendekar Buta itu mampu meloloskan diri dari pada kepungan. Akan tetapi karena dia pun maklum bahwa Pendekar buta itu memiliki jurus aneh yang amat dahsyat, dia lalu berlaku hati-hati dan mengejar secara diam-diam. Dia maklum bahwa orang itu sudah terluka parah dan dia akan mencari kesempatan baik untuk turun tangan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira bahwa lawannya itu yang bermata buta dapat berlari secepat itu sampai dia kehilangan jejaknya.

The Sun penasaran dan melakukan pengejaran ke sana ke mari. Dengan penuh perhatian dia mencari jejak si buta itu dan akhirnya pemuda cerdik ini dapat menyusul sampai ke pondok janda Yo!

Hanya sebentar saja The Sun terpesona oleh kemanisan wajah nyonya janda muda itu. Ia memang seorang pemuda yang romantis dan kadang kala tidak melewatkan kesempatan baik untuk melayani wanita-wanita cantik yang tergila-gila kepada ketampanan wajahnya atau kepada kedudukannya yang tinggi.

Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa The Sun adalah seorang mata keranjang atau hidung belang yang suka mengganggu wanita, sama sekali bukan. Hanya dapat dikatakan bahwa pertahanan terhadap kecantikan wanita tidaklah begitu kuat. Ketika dia teringat lagi akan buronannya, secepat kilat dia menarik ke luar pedangnya dan mengelebatkan pedangnya yang tajam itu di depan muka nyonya Yo yang menjadi pucat seketika.

"Katakan di mana jahanam buta itu, hayo cepat mengaku sebelum pedangku memenggal lehermu yang putih itu!" The Sun mengancam, tapi matanya tak lepas dari kulit leher putih yang mengintai dari balik baju yang terbuka dua buah kancingnya.

"Apa... apa maksudmu? Ehh, Kong-cu, harap kau jangan main-main dan cepat simpanlah senjatamu itu yang bisa membikin aku mati ketakutan! Aku sedang pusing dan jengkel memikirkan suamiku tua bangka yang berpenyakitan ini, kau datang-datang mengganggu dengan gedoran pintu dan sekarang menuduh yang bukan-bukan, bicara tentang jahanam buta yang sama sekali tidak kumengerti artinya! Apa sih maksudmu sebenarnya dan kau ini siapakah, Kongcu?"

Aneh sekali, ucapan dan nada suara nyonya janda ini jauh berbeda dari pada biasanya. Sekarang kata-katanya centil, sikapnya genit dan matanya yang bagus itu menyambar-nyambar wajah tampan The Sun!

"Hemmm, tak usah kau pura-pura!" bentak The Sun tanpa menurunkan pedangnya. "Aku mengejar seorang penjahat buta dan jejaknya lenyap di tempat ini. Tentu dia bersembunyi di dalam rumahmu ini, hayo lekas mengaku dan tunjukkan aku di mana dia!"

Jantung di dalam dada nyonya janda itu serasa hendak meloncat ke luar saking takutnya. Akan tetapi ia pura-pura marah dan memandang kepada The Sun dengan mata melotot akan tetapi malah menambah kemanisan wajahnya karena bibir yang mungil itu mengarah senyum dan sikapnya menantang.

"Apa kau bilang, Kongcu? Hemmm... harap kau jangan pandang rendah kepadaku! Biar pun suamiku tua bangka dan berpenyakitan, tapi jangan kira aku mau berdekatan dengan seorang penjahat, apa lagi kalau dia itu buta. Cih, menjijikkan!" Kembali lirikan matanya menyambar dalam kerlingan yang amat manis memikat.

Mau tak mau The Sun tersenyum, jantungnya mulai berdebar. Hemm, jelas sekali wanita muda yang cantik manis ini ‘memberi hati’ kepadanya dengan sikapnya menantang sekali. Benarkah suaminya tua bangka serta berpenyakitan? Hal ini saja sudah menjadi alasan kuat. Akan tetapi, betulkah Kun Hong tidak bersembunyi di situ? Dia tidak boleh sembrono dan lebih baik menyelidiki lebih dulu.

"Aku tidak percaya! Hayo lekas kau tunjukkan di mana suamimu dan biar aku melakukan penggeledahan dulu. Dengan siapa saja kau di sini?"

Janda Yo sengaja cemberut, bibirnya yang merah itu diruncingkan ketika ia melangkah ke samping memberi jalan kepada The Sun. "Kongcu begini halus dan tampan, tapi galaknya bukan main!" ia bersungut-sungut. "Sudah terang suamiku tua bangka muka hitam yang buruk dan berpenyakitan, kau masih ingin menjenguknya lagi, apakah untuk bahan ejekan dan memperolokku?"

Kembali The Sun berdebar dan tersenyum. "Mana bisa aku percaya kalau belum melihat sendiri? Siapa dapat percaya seorang cantik jelita seperti kau ini suaminya tua bangka berpenyakitan?"

"Ihh, Kongcu ceriwis!" Janda Yo membuang muka dengan lagak yang genit dan memikat sekali. Di dalam hatinya nyonya janda ini berdoa supaya musuh penolongnya ini akan percaya dan tidak akan memeriksa ke dalam kamar.

Akan tetapi The Sun bukan orang bodoh. Dia amat cerdik dan biar pun kali ini jantungnya sudah berjungkir-balik terkena pengaruh kecantikan janda muda itu, akan tetapi dia tidak kehilangan kewaspadaannya dan mendahulukan tugasnya dari pada kesenangan hatinya.

"Hayo, perlihatkan aku kamar suamimu!"

Janda Yo mengangkat lilin dan dengan kaki agak menggigil ia melangkah ke arah pintu kamarnya. Dia berdoa semoga penolongnya itu masih pingsan seperti tadi.

Pada saat dia dan The Sun melangkahkan kaki ke ambang pintu kamar, janda Yo sengaja menggoyang-goyang tempat lilin sehingga api lilin itu bergerak-gerak dan keadaan dalam kamar itu tidak begitu jelas, hanya tampak remang-remang oleh The Sun betapa seorang laki-laki bermuka kehitaman dan berambut penuh uban sedang berbaring tidak bergerak, tidur pulas agaknya!

"Sshhhhh, harap jangan berisik. Kalau dia bangun, batuknya akan kumat dan akulah yang berabe harus terus mengurut-urut dadanya..." bisik nyonya janda Yo sambil mendekatkan mukanya di telinga The Sun sehingga orang muda itu mencium bau sedap yang agaknya keluar dari rambut wanita muda itu.

Terpikat oleh ini, The Sun tidak jadi melangkah masuk, hanya melepas pandang dengan tajamnya ke arah ‘kakek’ itu lalu sinar matanya berkeliaran ke seluruh kamar yang hanya kecil sederhana itu. Tiba-tiba pedangnya berkelebat dan mengeluarkan bunyi mendesing menyambar ke depan!

"Crakkk!" Papan ujung pembaringan itu tahu-tahu telah terbelah.

"Oh-ohh... jangan... ahh...!" Janda Yo kaget setengah mati dan menubruk lalu merangkul pundak The Sun, lilin yang dipegangnya jatuh dan padam.

The Sun tersenyum lega. Kakek itu ternyata masih enak tidur saja. Kalau di dalam kamar itu terdapat Kun Hong yang bersembunyi, sebagai seorang ahli silat sudah pasti akan keluar mendengar desingan pedangnya tadi. Terang di situ tidak terdapat orang yang dia kejar, sedangkan kakek tua bangka suami wanita muda yang cantik jelita ini jelas adalah orang yang tiada guna. Dia menyimpan pedangnya kembali, kemudian tertawa perlahan sambil menarik tangan nyonya Yo yang masih gemetar ketakutan itu keluar kamar. Gelap pekat di luar kamar karena sekarang tidak ada lilin lagi.

"Kau cantik manis..."

"Ah, pergilah... jangan kau ganggu kami yang tidak berdosa... pergilah dari sini, kasihani aku dan suamiku yang tua dan sakit..."

The Sun tertawa, tidak halus seperti biasanya lagi, melainkan suara tertawa yang parau dan mengandung nafsu kotor. "Manis, kalau aku tidak kasihan dan cinta kepadamu, tentu pedangku tadi sudah memenggal leher suamimu si tua bangka tiada guna, ha-ha-ha!"

Tak lama kemudian yang terdengar hanya desah napas dan rintih perlahan….
cerita silat karya kho ping hoo

The Sun sudah lama pergi meninggalkan pondok tempat tinggal janda muda itu. Kini dia tampak terguguk menangis menahan isaknya sambil memeluki dada Kun Hong. Dengan rambutnya yang kusut dan seluruh mukanya basah air mata, janda muda ini merintih-rintih dalam tangisnya.

"Inkong... bangunlah... jangan mati, Inkong, sembuhlah kembali, jangan engkau sia-siakan pengorbananku..." kembali ia menangis dengan amat sedihnya sampai-sampai napasnya menjadi sesak.

Pada saat itu pula, dari pintu kamar melayang masuk sesosok bayangan orang yang amat ringan dan gesit. Begitu masuk bayangan ini lantas menendang sehingga tubuh nyonya janda ini terguling roboh.

"Ahh... Ahh...!" Nyonya Yo bersambat lirih, tapi rasa nyeri pada tubuhnya tak ia pedulikan lagi karena hatinya dipenuhi kekhawatiran terhadap keselamatan Kun Hong yang masih pingsan.

Tadinya ia mengira bahwa sosok bayangan itu adalah orang muda musuh Kun Hong yang tadi datang dan sudah siap untuk menegur. Akan tetapi alangkah kaget dan heran serta takutnya ketika dia melihat wajah yang jauh berlainan tertimpa sinar api lilin di kamar itu.

Wajah seorang wanita! Tubuh ramping seorang wanita! Seorang wanita muda dengan muka kehitaman dan pedang di tangan, kelihatan berdiri dengan penuh amarah.

Nyonya Yo segera menubruk Kun Hong dan memeluk dadanya untuk melindungi pemuda itu. "Jangan ganggu dia...! Jangan bunuh dia...!" dia berteriak dengan suara mengandung isak tangis.

Wanita itu kembali bergerak. Sekali lagi tubuh nyonya Yo terlempar dari tepi pembaringan, malah kini terguling-guling sampai di sudut kamar.

"Perempuan jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!" bentak wanita itu yang sudah menyarungkan pedangnya dan melangkah maju mendekati pembaringan. Cekatan sekali dia membungkuk dan kedua tangannya bergerak, tahu-tahu tubuh Kun Hong sudah dikempitnya.

"Heeeiiiii... jangan ganggu dia.….!"

Meski merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit, dengan nekat Nyonya Yo berdiri dan hendak merampas tubuh Kun Hong dari tangan wanita itu.

"Diam kau, perempuan hina!" wanita itu membentak lagi. "Dia ini adalah sahabat baikku, tak boleh berada di tempat hina ini berdekatan dengan perempuan lacur macam kau!"

Mata janda muda itu terbelalak, diam-diam bersyukur bahwa orang ini bukanlah musuh penolongnya. "Aku... aku... tidak... ahhh, dia adalah... penolongku...," katanya gagap.

Wanita itu mendengus marah. "Huh, dia penolong semua orang, akan tetapi perempuan rendah macam engkau tidak perlu ditolong!"

"Nona, kau siapa? Mengapa engkau memaki-maki aku? Meski pun aku miskin... aku... aku betul-betul berusaha mengobatinya dan..."

"Tutup mulutmu! Apa kau kira aku tidak tahu betapa kau main gila dengan setiap orang laki-laki? Hemmm, siapa laki-laki yang barusan keluar dari sini? Bukankah dia kekasihmu pula? Huh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong? Menyebalkan!"

Bayangan wanita itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja dia dan Kun Hong yang dipondongnya sudah lenyap dari situ. Nyonya janda Yo berdiri terkesiap, mukanya pucat bagai mayat, matanya terbelalak lebar dan dari kedua matanya itu turun air mata bertitik-titik, deras mengalir di sepanjang kedua pipinya. Untuk sesaat tidak ada suara keluar dari mulutnya, kecuali napas yang terengah-engah. Teringat dia akan segala hal yang tadi menimpa dirinya, akan segala yang sudah dilakukannya.

Kedatangan The Sun tadi membuat ia berada dalam ketakutan hebat. Takut dan cemas akan keselamatan penolongnya membuat ia bertekat untuk melindungi dan membelanya, menyelamatkannya dengan jalan apa pun juga. Sebagai seorang wanita yang lemah dan tak berdaya, dia tahu bahwa satu-satunya senjata miliknya hanyalah kecantikannya. Dan dia sudah pergunakan itu, sudah memberikan dirinya dengan kata-kata manis dan mulut tersenyum namun dengan hati perih dan seperti disayat-sayat. Namun usahanya berhasil.

Dia telah menyelamatkan Kun Hong, telah membeli keselamatan penolongnya itu dengan pengorbanan yang paling besar yang dapat dilakukan seorang wanita lemah seperti dia. Akan tetapi sekarang muncul wanita gagah itu yang memaki-makinya, yang telah melihat perbuatannya tadi.

"Ya Tuhan... aku perempuan hina... perempuan rendah..." Janda Yo tak kuat lagi. Kedua lututnya lemas dan dia pun jatuh nglumpruk di atas lantai, menutupi muka dengan kedua tangannya.

Tiba-tiba dia terbelalak memandang ke kanan kiri, menatap pembaringan yang kini sudah kosong, telinganya terus mendengar gema wanita tadi memaki-makinya.

"Perempuan jalang! Pelacur! Jangan pegang-pegang dia dengan tanganmu yang kotor!" lalu terdengar lagi, "Bukankah laki-laki tadi kekasihmu? Uh, dan kau berani mendekatkan tubuhmu yang hina dan kotor itu dengan Kwa Kun Hong?"

"Ooohhhhh...!" Janda Yo menangis lagi, sekarang tersedu-sedan, kemudian dia menubruk pembaringan yang kosong itu. "Kwa Kun Hong... jadi namamu Kwa Kun Hong, Inkong? Setidaknya wanita itu berjasa memberi tahu namamu. Orang mengatakan aku kotor, hina, jalang, lacur... Inkong (Tuan penolong), tidak apalah, asalkan kau selamat. Badan dan namaku kotor bisa dicuci dengan... ini..."

Janda muda itu melolos ikat pinggangnya dan matanya memandang ke atas, mencari-cari tiang atau usuk genteng rumah itu.

"A Wan...!" Hanya jerit ini saja terdengar satu kali dari dalam pondok di malam sunyi itu, kemudian sunyi tak terdengar suara apa-apa lagi.

"Ibu...!" A Wan lari memasuki rumah itu.

Anak ini tidak berhasil mengundang datang sinshe Thio. Hal ini tidaklah mengherankan. Sinshe mana yang sudi dipanggil oleh keluarga miskin? Selain tidak dapat mengharapkan pembayaran yang banyak, jangan-jangan malah harus merogoh saku untuk membelikan obat!

Pada saat Sinshe Thio mendengar permintaan A Wan supaya suka datang ke rumahnya mengobati seorang paman yang ‘jatuh’ dan luka-luka, dia hanya menggelengkan kepala sambil mengebulkan asap huncwe (pipa tembakau) yang tebal dan berbau apek ke muka A Wan. Tanpa ‘uang muka’ dua tail perak dia tidak akan sudi berangkat, katanya. A Wan terus membujuk-bujuk, memohon dan bahkan menangis, akan tetapi sinshe Thio tetap tak melayaninya, malah ditinggal masuk.

A Wan adalah anak yang keras hati, dia tidak putus asa, terus saja dia mengetuk-ngetuk pintu dan merengek-rengek. Akhirnya, bukan dituruti permohonannya, malah kepalanya mendapat benjol-benjol karena pukulan huncwe sinshe itu pada kepalanya.

Sambil menangis akhirnya A Wan berlari pulang dan dia merasa hatinya amat tidak enak memikirkan keadaan si paman buta. Jarak ke rumahnya yang amat jauh itu ditempuhnya sambil berlari-lari. Seperti ada firasat tidak baik dia kemudian mempercepat larinya, malah telinganya serasa mendengar suara ibunya memanggil-manggilnya.

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri, dan bingungnya ketika dia memasuki pondok, dia melihat tubuh ibunya sedang tergantung pada ikat pinggang yang ditalikan ke atas tiang. Ikat pinggang itu melilit leher ibunya dan dengan mata terbelalak dia melihat betapa kedua kaki ibunya masih berkelojotan.

Biar pun merasa ngeri dan takut, namun A Wan adalah anak cerdik. Dia hanya terpaku sebentar saja. Cepat dia merayap naik tiang sambil memekik-mekik dan memanggil nama ibunya. Jari-jari tangannya gemetar pada saat dia merenggut-renggut ikat pinggang yang terikat kuat-kuat pada tiang. Bagaikan seekor kera dia melorot kembali, berlari ke dapur mengambil pisau dan merayap naik lagi. Akhirnya dia dapat memotong ikat pinggang itu sampai putus dan tubuh ibunya jatuh berdebuk di atas tanah.

"Ibu...! Ibu...!"

A Wan menubruk dan merangkul ibunya, menangis sambil menciumi muka ibunya yang pucat membiru. "Ibu... kenapa Ibu... ahhh, bagaimana ini...? Ibuuuuu...!"

Jeritan terakhir yang keluar dari mulut A Wan ini seakan-akan sanggup membetot kembali semangat janda muda itu yang sudah mulai meninggalkan tubuhnya. Bibir yang biru itu berkomat-kamit, biji mata yang sudah melotot tanpa cahaya itu bergerak-gerak perlahan, lalu terdengar suara janda muda yang bernasib malang itu berbisik-bisik.

"A Wan... balas... budi Kwa Kun Hong... balas... dendam The Sun..."

"Ibu...! Ibuuu...!! Ibuuuuuu...!!!"

A Wan menggoncang-guncang tubuh ibunya yang makin lama makin lemas dan makin dingin karena pada saat itu janda muda ini sudah terbebas dari pada duka nestapa dan derita sengsara dunia. Matanya yang tadi melotot sudah meram, mulutnya menyungging senyum dan biar pun muka itu kini pucat dan rambutnya awut-awutan, namun kelihatan tenang dan damai, makin nyata kecantikan aslinya. Sebaliknya, puteranya yang masih hidup, yang masih sedang berkembang dalam hidup, menangis menggerung-gerung dan memanggil-manggilnya. Alangkah ganjil penglihatan ini.

Yang hidup menangisi yang mati. Yang hidup merasa penuh duka lara. Yang mati tenang diam begitu damai dan tenteram. Tidak janggalkah ini? Sudah benarkah itu kalau yang hidup menangisi yang mati? Ataukah harus sebaliknya…..?

**********


Kita tinggalkan dulu Yo Wan atau A Wan yang sedang menangis menggerung-gerung memenuhi malam sunyi itu, suara tangisannya tersaing oleh kentung peronda dan dengan suara doa dari kelenteng-kelenteng berdekatan.

Mari kita mengikuti keadaan Kun Hong yang dalam keadaan pingsan dibawa lari oleh seorang gadis aneh. Kun Hong benar-benar tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan dirinya sejak dia menabrak pohon dan roboh pingsan di belakang pondok itu. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan janda Yo setelah dia siuman sebentar hanya untuk mengenal suara mereka ibu dan anak. Malah dia pun tidak sadar ketika tubuhnya dikempit oleh seorang wanita dan dibawa lari berlompatan di dalam gelap dengan gerakan ringan dan cepat.

Dengan kesigapan dan kecepatan gerakan yang luar biasa hebatnya, wanita itu akhirnya membawa tubuh Kun Hong meloncat tinggi ke atas genteng sebuah rumah gedung, kemudian bagaikan seekor kucing saja ringan dan cepatnya, ia telah melayang turun dan menerobos masuk ke sebuah kamar di dalam gedung itu melalui jendela yang terbuka daunnya. Sebuah kamar yang besar dan sangat indah, dengan pembaringan, meja rias, kursi-kursi dan perabotan lain yang serba halus dan mahal. Sebuah kamar milik seorang gadis yang kaya-raya, atau patutnya kamar puteri seorang bangsawan besar.

Gadis itu dengan cepat merebahkan tubuh Kun Hong di atas pembaringan yang bertilam kasur dan kain merah berkembang. Dengan cekatan ia melakukan pemeriksaan di bawah penerangan lampu yang cukup terang dan besar. Keningnya berkerut dan sepasang mata yang bening itu menjadi cemas ketika ia melihat luka membiru di punggung dan kulit yang membengkak di pangkal paha karena sebuah luka bergurat panjang yang menghitam!

"Keji!" Perlahan dia memaki. "Senjata beracun dan pukulan maut yang amat kuat..." Tanpa ragu-ragu lagi dia merobek lebih lebar pakaian yang menutupi pangkal paha Kun Hong, lalu mencabut pedangnya dan dengan ujung pedangnya yang tajam dan runcing itu ia menggurat luka membengkak yang darahnya sudah mengering. Pecahlah kulit itu dan keluar darah yang menghitam.

Gadis itu meletakkan pedangnya di atas ranjang, berlutut di atas ranjang di sebelah Kun Hong, lalu dia membungkuk dan... tanpa ragu-ragu lagi dia menggunakan mulutnya yang mungil untuk mengecup dan menyedot ke luar darah hitam dari luka di pangkal paha itu! Beberapa kali meludahkan darah yang telah disedotnya ke atas lantai, lalu menyedot lagi tanpa mempedulikan bau darah menghitam yang tidak enak itu. Baru ia berhenti setelah ia menyedot darah yang merah segar.

"Hebat..." gumamnya. "Kun Hong benar-benar mempunyai sinkang (hawa sakti) yang luar biasa di dalam tubuhnya sehingga meski pun dia pingsan, racun itu tidak dapat menjalar terus ke dalam tubuh, hanya berhenti di sekitar luka. Kalau tidak demikian, ahh, tentu dia tidak akan dapat disembuhkan lagi..."

Gadis itu kemudian duduk bersila, menempelkan dua telapak tangan pada punggung Kun Hong yang dia dorong miring, kemudian dia menyalurkan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk memulihkan tenaga dan menyembuhkan luka di dalam dada Kun Hong.

Sejam kemudian Kun Hong bergerak, mengeluh panjang. Gadis itu cepat menarik kembali kedua tangannya. Gerakan ini perlahan sekali akan tetapi cukup membuat Kun Hong maklum bahwa dia sedang berbaring dan di dekatnya ada seorang yang sedang duduk bersila. Serentak Kun Hong menggerakkan tubuhnya dan di lain saat dia sudah meloncat turun dari pembaringan dan berdiri dengan bingung tetapi siap dan waspada.

"Kun Hong, syukur kau telah siuman..."

"Hui Kauw...!"

Hampir saja Kun Hong tidak percaya ketika mendengar suara itu, akan tetapi sekarang hidungnya mencium keharuman yang biasa keluar dari rambut gadis itu. Apa lagi suara itu tidak mungkin dapat dia lupakan. Di antara seribu macam suara orang dia pasti akan mengenal suara Hui Kauw si nona bidadari!

"Betul Kun Hong. Aku Hui Kauw dan kau berada di dalam kamarku."

Kini Kun Hong teringat segalanya dan dia meraba luka di belakang pangkal pahanya. Dia menjadi heran sekali. Luka itu sudah bersih dari pada racun yang tadinya mengeram di sekitar luka. Dia menunduk dan tiba-tiba tercium olehnya bau tak enak dari darah yang kotor oleh racun, bau darah yang agaknya berada di lantai.

"Hui Kauw... kau... kau... dengan cara bagaimana kau tadi mengeluarkan racun dari luka di pahaku?"

"Lukamu tadi menghitam, berbahaya sekali kalau menjalar sampai ke jantung. Aku tidak mengerti cara lain, maka tadi kusedot keluar sampai bersih." Menjawab begini, agak berubah air muka gadis ini karena sekarang dia teringat betapa perbuatannya tadi sesungguhnya amat tidak sopan dan memalukan...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 20


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.