CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO
PENDEKAR BUTA JILID 24
Gui Hwa terkejut sekali, cepat menghindar, namun ujung bajunya kena dipegang oleh Nagai Ici dan terdengar suara keras ketika baju itu terobek oleh cengkeraman pemuda ini. Baju robek menjadi dua sehingga tampaklah pakaian dalam nenek itu.
Dasar Loan Ki seorang yang nakal. Melihat ini, saking girangnya karena Nagai Ici ternyata berani mati membelanya, ia mengejek, "Hi-hik, nenek buruk, baju siapakah yang robek?"
Gui Hwa menjerit marah, pedangnya cepat berkelebat ke arah dada Nagai Ici merupakan tusukan maut. Kini ia tidak main-main lagi. Tadi sengaja ia tidak mau melukai Loan Ki, hanya berusaha mendesaknya dan mencari kesempatan untuk merobek-robek pakaian gadis itu. Kini dalam kemarahannya, ia menggunakan jurus mematikan untuk membalas perbuatan Nagai Ici yang ia anggap penghinaan besar itu.
Agaknya pemuda ini tidak akan mampu mempertahankan dirinya lagi. Baiknya Loan Ki yang melihat bahaya ini, cepat menangkis pedang Gui Hwa sehingga Nagai Ici terlepas dari pada bahaya maut.
"Minggirlah, kau sudah terluka...," pinta Loan Ki sambil mendorong pemuda itu ke pinggir.
Ia sendiri menghadapi Gui Hwa yang kini menyerangnya tanpa sungkan-sungkan lagi. Semua jurus yang dia lancarkan dalam penyerangan ini adalah jurus yang mengandung hawa maut, tidak main-main lagi seperti tadi. Loan Ki berusaha mempertahankan diri, namun pada suatu saat ia kurang cepat dan…
"Breett!" ujung bajunya terbabat putus sebagai pengganti lengannya!
Ia menjadi pucat, tetapi tetap melawan terus, biar pun ia didesak hebat. Kembali Nagai lci meloncat lantas menerkam Gui Hwa karena melihat betapa Loan Ki hampir kalah. Dia khawatir sekali kalau-kalau gadis pujaan hatinya itu akan terluka hebat, maka dengan nekat dia menerjang lagi tanpa mempedulikan larangan Loan Ki. Gui Hwa sudah siap. Begitu melihat tubuh pemuda itu maju selagi pedangnya bertemu dengan pedang Loan Ki, dia memapaki dengan tendangan.
"Bleeeggg!"
Tubuh Nagai Ici terjengkang dan pemuda ini muntahkan darah segar. Namun dia bangkit lagi, menekan dada dan dengan nekat dia hendak maju menerjang lagi untuk membantu Loan Ki. Sementara itu, melihat Nagai Ici tertendang, Loan Ki menjadi kaget dan marah sehingga perasaan ini membuat langkah-langkah ajaibnya menjadi kacau balau. Ketika pedang Gui Hwa menyambar, tak dapat ia mengelak lagi dan terpaksa menerima dengan pedangnya. Dua pedang menempel dan kedudukan Loan Ki sudah terjepit. Gui Hwa sudah mengulur tangan kiri hendak merobek pakaian gadis itu.
"Tahan...!" terdengar bentakan mengguntur.
Mendadak Gui Hwa terjengkang ke belakang, terhuyung dan cepat menarik pedangnya lantas bersiap sedia. Kiranya tadi Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang mendorongnya untuk menolong puterinya. Semua orang memandang ke arah ayah dan anak yang kini sedang berhadapan muka.
"Ayah, kau membiarkan anakmu dihina orang, sekarang kau mau apa lagi? Aku tidak tahu menahu tentang surat, dan aku pun tidak sudi digeledah, lebih baik mati!" Loan Ki berkata dengan sikap menantang, lehernya tegak, kepala dikedikkan, kedua mata bersinar-sinar akan tetapi air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya, bibirnya pucat tetapi digigitnya sendiri untuk memperkuat kenekatan hatinya.
"Loan Ki, berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu menahu akan surat rahasia itu?" bentak ayahnya.
"Aku bersumpah, demi arwah Ibu!"
Terpukullah hati Beng Kui mendengar sumpah ini, seakan dia diingatkan bahwa puterinya ini semenjak kecil tidak lagi ditunggui ibunya. Hatinya perih sekali. Tiba-tiba dia menoleh kepada Nagai Ici yang masih berdiri tegak dengan muka pucat, tetapi dengan sikap nekat membela Loan Ki.
"Siapa dia?" tanya Sin-kiam-eng.
"Dia sahabat baikku, Ayah, tadinya hendak kubawa kepadamu agar menjadi muridmu. Dia bernama Nagai Ici."
"Apa...? Seorang Jepang? Bajak laut...?" Tan Beng Kui kaget sekali, kaget dan kecewa.
"Siapa bilang dia bajak laut?" Loan Ki juga berteriak, tidak kalah nyaringnya dengan suara ayahnya. "Dia adalah seorang pendekar, berjuluk Samurai Merah! Dia orang gagah yang datang ke sini dengan maksud mencari guru yang pandai. Dia sahabatku, Ayah, buktinya tadi, kalau ayahku sendiri tidak peduli akan keadaanku, dia membantuku mati-matian!"
Tan Beng Kui menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berpaling kepada Bhok Hwesio. "Bhok-losuhu, aku percaya bahwa anakku tidak membawa surat itu. Aku minta supaya dia dan sahabatnya dilepas dan jangan diganggu lagi."
"Hemmm, mana mungkin begitu, Sicu? Pinceng pernah mendengar dari pengawal istana Tiat-jiu Souw Ki bahwa yang merampas mahkota dahulu dari tangannya adalah puterimu inilah, dibantu oleh Kun Hong si pemberontak buta. Jelas bahwa anakmu ini membantu para pemberontak. Mana bisa pinceng percaya bahwa surat itu tidak berada padanya? Kalau memang sudah digeledah tidak ada, biarlah pinceng memandang persahabatan di antara kita dan pinceng perbolehkan dia pergi."
"Bhok-losuhu, apakah kau tidak percaya kepadaku?"
Kembali hwesio itu tertawa dengan tenang. "Tan-sicu, memang biasanya, seorang gagah di dunia kang-ouw paling memegang teguh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tetapi sekarang kedudukan kita lain lagi. Kita bekerja demi keselamatan negara, dan karenanya peraturan yang berlaku juga peraturan negara, bukan peraturan kang-ouw lagi. Sebagai petugas, mau tidak mau pinceng harus mendahulukan kepentingan negara. Pinceng kira bagimu juga seharusnya demikian, kepentingan tugas lebih tinggi dari pada kepentingan antara ayah dan anak. Biarkan It-to-kiam Gui Hwa memeriksanya, kalau memang dia tidak membawa surat, itu, boleh dia pergi."
"Aku tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menyerah di bawah penghinaan kalian!" Loan Ki berseru marah.
"Jangan takut, Loan Ki. Aku membantumu, kalau perlu kita mati bersama!" berkata pula Nagai Ici dengan tabah dan gagah.
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui kembali menghadapi puterinya, memandang tajam pada dua orang muda itu sampai lama sekali, kemudian suaranya terdengar menggetar, "Nagai Ici, kau siap melindunginya dengan jiwa ragamu?"
"Siap!" seru Nagai Ici dengan sikap tegak.
"Kau... kau mencinta Loan Ki dengan seluruh jiwa ragamu?"
"Ya!" jawab pemuda itu pula, tanpa ragu-ragu. "Aku siap mati untuk Loan Ki!"
Tan Beng Kui tersenyum getir, kemudian berkata kepada Loan Ki, "Anakku, kau merasa bahagiakah di samping Nagai Ici?"
Merah muka yang pucat itu seketika dan air matanya deras mengalir. "Ayah... dia baik sekali...," jawabnya perlahan.
"Cukup! Nagai Ici, mulai saat ini aku menyerahkan keselamatan anakku ke tanganmu. Nah, sekarang pergilah jauh-jauh dan jangan mencampuri urusanku, jangan mencampuri urusan negara lagi. Pergilah! Cepat!"
Agaknya Nagai Ici maklum akan isi hati pendekar pedang ini. Dia lalu menggandeng tangan Loan Ki dan diajaknya gadis itu pergi dari tempat itu.
"He, jangan pergi dulu!" seru Lui-kong Thian Te Cu.
"Siinngggg…!"
Sinar pedang berkelebat dan tahu-tahu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sudah menghadang Thian Te Cu dengan pedang di tangan serta sikap yang kereng dan gagah menantang. Sepasang matanya menyala-nyala ketika menatap tiga orang di depannya, Bhok Hwesio, Thian Te Cu dan Gui Hwa.
"Aku mengganti mereka dengan nyawaku! Siapa yang berniat mengejar mereka akan berhadapan dengan pedangku." Suaranya nyaring sehingga bergema, terdengar pula oleh Loan Ki yang menoleh dan menoleh lagi sambil terisak menangis, akan tetapi Nagai Ici terus menyeretnya pergi.
"Omitohud! Tan-sicu apakah hendak memberontak?"
"Bhok Hwesio, baru kali ini kau muncul dalam urusan negara, tetapi kau sudah hendak membuka mulut besar bicara mengenai pemberontakan? Huh, kau mau bersikap sebagai pahlawan? Dengarlah kalian bertiga! Di jamannya mendiang kaisar ketika masih menjadi pejuang Ciu Goan Ciang, aku Tan Beng Kui sudah menjadi pejuang mengusir penjajah Mongol. Kalian bertiga tahu apa tentang perjuangan? Kalian hanya datang dan enak-enak mendapatkan kedudukkan tinggi dan kemuliaan, sekarang sudah akan bersikap sombong menganggap diri sendiri benar? Menjemukan sekali !"
"Tan Beng Kui, apa yang kau bicarakan ini?" Bhok Hwesio marah. "Kalau kau memang tidak mempunyai hati memberontak terhadap kaisar seharusnya kau akan mementingkan urusan tugas, tidak memberatkan anakmu. Kau telah membiarkan anakmu terlepas, apa kau kira pinceng tak dapat mengejarnya?"
"Harus melalui pedang beserta mayatku!" teriak Tan Beng Kui marah. "Anakku sudah bersumpah demi arwah ibunya. Ini jauh lebih kuat, lebih penting dari pada segala urusan tetek-bengek. Selama aku masih dapat menggerakkan pedang, jangan harap kalian akan dapat mengganggu Loan Ki!"
"Kau memang pemberontak! Dahulu pun pernah menjadi pemberontak, siapa tidak tahu?"' Lui-kong Thian Te Cu berseru marah.
Dengan senjatanya tanduk rusa dia sudah bergerak menyerang. Juga It-to-kiam Gui Gwa sudah menerjang dengan pedangnya. Sambil memutar pedang, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui maju menghadapi dua orang itu. Ilmu pedangnya hebat bukan main. Ilmu Pedang Sin-li Kiam-sut yang sudah dikuasainya benar sehingga baik It-to-kiam Gui Hwa mau-pun Lui-kong Thian Te Cu yang lihai merasa terkesiap dan terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung itu.
"Omitohud, semua pemberontak harus dibasmi, baru aman negara!" Bhok Hwesio berseru sambil melangkah maju.
Dia bertempur dengan tangan kosong saja, akan tetapi jangan dikira bahwa dia boleh dipandang ringan karena tidak bersenjata. Sepasang ujung lengan bajunya merupakan sepasang senjata yang amat ampuh, kalau digunakan memukul melebihi kerasnya ruyung baja dan kalau menotok tiada ubahnya senjata toya. Juga kibasan kedua tangannya sama ampuhnya dengan tebasan pedang tajam. Jangan kata sampai kena terpukul, baru angin pukulannya saja sudah mendatangkan angin dingin yang terasa tajam menusuk kulit.
Sesungguhnya ilmu pedang dari Tan Beng Kui sangat hebat. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia adalah murid tertua dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding). Kalau mau bicara tentang ilmu pedang, kiranya tiga orang lawan yang mengeroyoknya ini tidak akan ada yang mampu menandinginya, biar pun It-to-kiam Gui Hwa juga memiliki ilmu pedang tingkat tinggi dari Kun-lun-pai.
Akan tetapi, ilmu pedang semata bukan merupakan ilmu yang mutlak dapat menentukan kemenangan, sebab dalam banyak hal lain, dia kalah ampuh oleh ketiga orang lawannya. It-to-kiam Gui Hwa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, setingkat lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri sehingga dengan keringanan tubuhnya itu, It-to-kiam Gui Hwa dapat menutupi kekurangannya dalam hal ilmu pedang.
Lui-kong Thian Te Cu mempunyai khikang yang hebat, sehingga setiap kali mengeluarkan bentakan dalam pertempuran, membuat jantung Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tergetar dan mengacaukan permainan pedangnya. Lebih hebat lagi adalah Bhok Hwesio, karena hwesio ini benar-benar kosen dan gagah sekali. Hwesio Siauw-lim ini memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Dorongan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang selalu berhasil memukul miring pedang di tangan Tan Beng Kui.
Tan Beng Kui mempertahankan diri mati-matian. Dia pun maklum bahwa kalau dia terlalu cepat jatuh, keselamatan Loan Ki masih terancam bahaya besar. Dia rela mengorbankan diri asal anaknya itu sudah lari jauh dan tidak akan dapat dikejar lagi oleh tiga orang ini.
Dia tadi sudah menyaksikan kesetiaan dan kecintaan hati pemuda Jepang itu dan hatinya lega. Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, Loan Ki sudah terjamin hidupnya, sudah ada orang yang menggantikan kedudukannya, bahkan yang agaknya lebih mencintainya dengan segenap jiwa raganya. Kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang Jepang tidak mengecewakan hatinya. Dia sudah sering kali mendengar betapa bangsa di seberang lautan itu pada jaman dahulunya juga serumpun dengan bangsanya, malah dia mendengar bahwa bangsa itu mempunyai kecerdikan tinggi.
"Siaaattttt!"
Ujung lengan baju sebelah kiri dari Bhok Hwesio menghantamnya dari pinggir. Biar pun dia sudah berhasil mengelak, tetapi angin pukulannya memanaskan telinga membuat dia agak nanar. Pada saat itu, pedangnya beradu dengan pedang It-to-kiam Gui Hwa dan pada detik berikutnya, tanduk rusa di tangan Thian Te Cu sudah menusuk ke arah perut.
"Siiiinggggg!"
Tarikan pedang Tan Beng Kui membuat It-to-kiam menjerit kesakitan karena pedangnya sendiri tergetar hebat dan telapak tangannya terasa panas hingga dia terpaksa melompat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Beng Kui untuk membabat ke depan dan menangkis tanduk rusa, kemudian mementalkan pedangnya ke kanan untuk mengirimkan tusukan maut ke arah leher Bhok Hwesio yang sudah mendekatinya.
"Omitohud, kau bosan hidup...!" seru hwesio itu.
Ujung lengan bajunya yang kanan menyambar, bertemu dengan ujung pedang, membuat Tan Beng Kui merasa kaget sekali karena tahu-tahu ujung lengan baju itu sudah melibat pedangnya, tak dapat dia tarik kembaii. Dia masih mampu merendahkan tubuh mengelak dari pada sambaran pedang Gui Hwa yang mengarah lehernya, juga serangan Thian Te Cu dia gagalkan dengan sebuah tendangan kilat ke pergelangan tangan yang memegang tanduk rusa. Namun pada saat itu, tangan kiri dengan telapak tangan yang besar lebar dari Bhok Hwe-sio sudah menyambar dan tidak dapat dia hindari lagi punggungnya kena ditampar.
"Plaakkkk...!"
Tan Beng Kui mengaduh, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya lepas dari tangan. Mukanya pucat sekali. Ia telah menerima tamparan maut yang mengandung tenaga lweekang dan yang telah merusak isi dadanya. Akan tetapi dia benar-benar gagah perkasa karena begitu merasa bahwa dadanya terluka hebat sebelah dalam, dengan nekat dia lantas menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah Bhok Hwesio sambil mengerahkan semua tenaganya. Bhok Hwesio tersenyum mengejek, menerima pukulan ini dengan tangan yang dibuka.
Kedua tangan itu bertumbukan di udara. Akibatnya tubuh Tan Beng Kui kembali mental ke belakang, akan tetapi Bhok Hwesio juga terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah hwesio ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dalam keadaan terluka hebat, lawan itu masih memiliki tenaga demikian besarnya.
Tan Beng Kui roboh dan bangkit lagi sambil muntahkan darah segar dari mulutnya, malah masih sempat mengelak dari sambaran tanduk rusa dan membalas serangan Thian Te Cu ini dengan sebuah pukulan tangan kiri. Namun tenaganya sudah hampir habis sehingga begitu Thian Te Cu menangkisnya, dia kembali roboh. Pada saat itu It-to-kiam Gui Hwa sudah meloncat maju dan pedangnya berkelebat menusuk dada.
"Criiiinggggg...!"
Gui Hwa menjerit sambil meloncat mundur ketika terlihat berkelebatnya sinar kilat disusul suara keras dan patahnya pedang di tangannya. Tiga orang itu terkejut memandang dan tahu-tahu di situ sudah berjongkok seorang laki-laki gagah perkasa yang memeluk leher Beng Kui dengan tangan kiri, sedangkan sebatang pedang yang berkilauan terpegang di tangan kanan.
"Omitohud... bukankah yang datang ini adalah ciangbunjin (ketua) Thai-san-pai, Tan Beng San taihiap...?" seru Bhok Hwesio terkejut ketika mengenal laki-laki itu.
Memang tidak salah. Laki-laki itu adalah Tan Beng San, ketua dari Thai-san-pai yang tadi menggunakan pedang Liong-cu-kiam menyelamatkan Tan Beng Kui dari tusukan pedang It-to-kiam Gui Hwa sehingga sekaligus mematahkan pedang nyonya itu.
Dia tidak menjawab kata-kata Bhok Hwesio, melainkan cepat mengangkat kepala Beng Kui dan dipangkunya. Dengan sedih dia mendapat kenyataan bahwa keadaan kakaknya ini sudah tidak dapat ditolong lagi karena menderita luka dalam yang amat parah. Beng Kui membuka matanya, terbelalak seperti orang terheran-heran dan tidak percaya, kemudian dia tersenyum dan mengedipkan mata lalu merangkul Beng San.
"Aduh, kau Beng San... adikku... siapa kira kau malah orangnya yang akan menunggui kematianku..." Kemudian dia tertawa terbahak-bahak dan terpaksa berhenti ketawa sebab kembali dia muntahkan darah.
Beng San cepat mengurut dada kakak kandungnya serta menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan muntah darah ini dan mengurangi rasa nyeri. Mendadak Beng Kui mendapatkan kembali tenaganya. Dia mendorong Beng San minggir, lalu berdiri dengan susah payah. Kembali dia tertawa menghadapi tiga orang lawannya itu.
"Beng San, adikku, terima kasih... jangan kau mencampuri urusanku."
"Kui-koko, mereka ini orang-orang tak tahu malu, melakukan pengeroyokan atas dirimu..."
"Tidak! Mereka adalah orang-orangnya kaisar yang hanya melakukan tugas mereka dan aku... ha-ha-ha, aku sekarang berani menentang mereka, demi anakku... ahh... Beng San, aku titip Loan Ki kepadamu... dia dan sahabat baiknya, pemuda perkasa Jepang, Nagai... eh, Nagai Ici, ha-ha-ha! Hayo, Bhok Hwesio, Thian Te Cu, dan It-to-kiam, aku bilang tadi, kalian baru dapat mengejar Loan Ki melalui mayatku. Aku belum menjadi mayat dan... anakku sudah pergi jauh... tidak mungkin kalian kejar, ha-ha-ha!"
Mendadak Tan Beng Kui menubruk maju, mengirim pukulan kilat kepada tiga orang itu secara mengawur. Melihat adegan itu, tiga orang tokoh ini sudah merasa tidak enak hati. Kini serangan Tan Beng Kui tentu saja tidak mereka layani, berbereng mereka melompat mundur dan Beng Kui terjungkal dengan sendirinya, tidak mampu bangun kembali. Beng San cepat menghampirinya, berlutut.
"Beng San... kau melupakan semua kesalahanku dahulu... bagus, beginilah adikku sejati... huh... aku titip Loan Ki... Loan... Ki..."
Pendekar pedang ini menghembuskan napas terakhir dalam rangkulan adik kandungnya yang sejak dahulu dimusuhinya. Sambil menghela napas panjang Beng San meletakkan tubuh kakak kandungnya di atas tanah, kemudian perlahan-lahan dia bangkit, berdiri sambil menatap wajah tiga orang itu berganti-ganti. Akhirnya terdengar suaranya, sangat jelas, lambat-lambat, namun nyaring berwibawa.
"Aku mentaati permintaan terakhir kakakku, tidak akan mencampuri urusan kalian bertiga dengannya. Akan tetapi, aku melarang kalian melanjutkan pengejaran terhadap Loan Ki puteri kakakku. Kalau kalian tidak terima, hayo kalian maju mengeroyokku seperti yang kalian bertiga lakukan kepadanya!" Dengan pedang melintang di depan dada, Beng San menantang, sikapnya garang, kemarahannya ditahan-tahan.
"Omitohud...!" Bhok Hwesio merangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Selamanya Siauw-lim tidak pernah bermusuhan dengan Thai-san..."
"Losuhu tidak usah membawa-bawa nama partai. Ini urusan pribadi antara Tan Beng San dan tiga orang tokoh yang baru saja mengeroyok dan membunuh kakakku!"
Lui-kong Thian Te Cu dan It-to-kiam Gui Hwa nampak ragu-ragu, jelas bahwa mereka merasa jeri terhadap ketua Thai-san-pai ini. Sudah sering kali mereka mendengar nama besar Raja Pedang ini, apa lagi tadi dengan sekali gebrak saja Raja Pedang ini berhasil mematahkan pedang It-to-kiam Gui Hwa.
Hanya Bhok Hwesio yang masih tenang, lalu dia tersenyum tawar. "Tugas pinceng adalah mengamankan negara, membasmi para pemberontak yang ingin membikin kacau negara, sama sekali bukan menanam permusuhan dengan siapa pun juga, Tan-taihiap, selamat berpisah."
Dia lalu membalikkan tubuhnya, mengambil dua keping potongan mahkota lalu bergegas meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kedua temannya. Beng San masih berdiri tegak dengan pedang melintang di dada. Besar keinginan hatinya untuk melompati mereka, untuk menyerang mereka, mengajak mereka memperhitungkan kematian kakak kandungnya.
Biar pun kakak kandungnya ini selalu memusuhinya, banyak sudah mendatangkan derita dalam hidupnya, namun dia tetap mengasihi kakak kandungnya. Akan tetapi perasaan itu dia tahan-tahan karena masih berdengung di telinganya pesan terakhir kakaknya itu, pula, ia pun meragu apakah orang sakti seperti Bhok Hwesio itu berada di pihak yang salah.
Setelah tiga orang itu tidak tampak bayangannya lagi, kembali ke jurusan kota raja, dia lalu berjongkok dan dengan perasaan berat sekali dia lalu memondong jenazah kakaknya, mencarikan tempat yartg baik tanahnya di dalam hutan sebelah timur kota raja, kemudian menguburnya dengan penuh hormat dan khidmat.
Tubuh pendekar pedang ini tampak kurus dan agak pucat. Memang dia telah menderita tekanan batin yang hebat sekali. Anaknya, Cui Sian, diculik orang, Thai-san-pai dirusak binasakan musuh, banyak anak murid yang tewas, isterinya marah-marah dan melarikan diri mencari Cui Sian.
Dia sendiri sudah berkelana mencari jejak isterinya dan menyelidiki tentang musuh-musuh yang sudah menyerbu Thai-san dan yang telah menculik anaknya. Dari beberapa orang kenalan di dunia kang-ouw, dia dapat mendengar bahwa tiga orang wanita yang berilmu tinggi itu sangat boleh jadi adalah Ang Hwa Sam-ci-moi yang belum pernah dia dengar namanya karena ketiga orang tokoh ini baru beberapa tahun saja memasuki pedalaman, datang dari See-thian.
Akan tetapi ketika mendengar bahwa tiga orang kakak beradik ini adalah para sumoi (adik seperguruan) Hek-hwa Kui-bo, kecurigaannya menebal. Apa bila mereka itu sumoi-sumoi dari Hek-hwa Kui-bo, sangat boleh jadi mereka melakukan perbuatan itu untuk membalas dendam terhadap suci (kakak seperguruan) mereka. Akan tetapi, agaknya mereka tidak bekerja bertiga saja, tentu ada orang-orang lain. Sukarnya, tidak seorang pun yang tahu di mana adanya Ang Hwa Sam-ci-moi itu.
Dia seakan-akan meraba di dalam gelap dan perantauannya membawanya ke kota raja karena dia berpendapat bahwa segala sesuatu mengenai keadaan orang-orang besar di dunia kang-ouw, lebih mudah diselidiki di kota raja. Apa lagi karena urusan di Thai-san ini agaknya ada hubungannya dengan kematian Tan Hok, berarti ada hubungannya dengan urusan kerajaan, karena semenjak dahulu Tan Hok adalah seorang pejuang dan bahkan akhir-akhir ini menjadi pembesar yang dipercaya oleh kaisar pertama Ahala Beng.
Demikianlah, secara kebetulan sekali, di luar kota raja dia melihat pengeroyokan atas diri Tan Beng Kui. Sayang dia agak terlambat sehingga kakak kandungnya itu tewas dalam pertempuran. Setelah dia selesai mengubur jenazah kakaknya, Beng San ragu-ragu untuk memasuki kota raja.
Dia lalu teringat akan Loan Ki. Setelah pertemuan terakhir dengan kakak kandungnya, timbullah secara tiba-tiba kerinduan hatinya untuk bertemu dengan keturunan kakaknya ini, dengan keponakan tunggalnya. Semenjak berpisah dengan kakaknya belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah bertemu lagi dan tidak tahu keadaan kakaknya itu. Sekarang pertemuan terakhir membangkitkan kembali kasih sayang lama.
Loan Ki, Tan Loan Ki, demikian nama keponakannya. Dengan pemuda Jepang? Pesan terakhir kakaknya terngiang di telinganya. Lebih baik sekarang menyusul Loan Ki. Kenapa tidak? Selain dia dapat bertemu dengan keponakannya itu dan dapat menjaganya serta memberi petunjuk, juga dari keponakannya itu dia dapat mendengar banyak hal tentang kakaknya, tentang keadaan kota raja. Siapa tahu keponakannya itu akan mendengar pula tentang Thai-san-pai. Maklumlah, puteri seorang pendekar seperti kakaknya tentu tidak asing pula dengan keadaan dunia kang-ouw.
Berpikir demikian, Beng San kemudian melompat dan berlari cepat sekali, menyusul keponakannya yang agaknya lari ke arah timur seperti yang tadi ditunjuk oleh kakaknya. Ilmu lari cepat yang digunakan oleh Beng San ini adalah Ilmu Lari Cepat Liok-te Hui-teng Kang-hu, ilmu lari cepat yang dilakukan sambil melompat-lompat dan kecepatannya seperti terbang saja.
Wusssssss...!
"Kanda Bun Wan...!"
Seruan girang ini mengagetkan Bun Wan yang sedang berjalan dengan kepala tunduk dan hati penuh kekecewaan. Dia mengangkat mukanya dan kaget melihat bahwa yang memanggilnya dengan suara merdu dan gembira itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis dari Pulau Ching-coa-to itu!
Pertemuan ini sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Sekarang dia berada jauh dari Ching-coa-to, di sebuah hutan di luar kota raja. Baru saja dia mengalami kekecewaan dan penyesalan karena dia kalah dalam perebutan mahkota kuno.
"Hui Siang! Kau dari mana, bagaimana bisa berada di sini?" tanyanya, tersenyum sambil mengusap rambut kepala gadis yang telah merangkulnya dengan sikap manja dan penuh cinta kasih itu.
"Kanda Bun Wan, kau benar-benar tidak tahu dicinta orang," Hui Siang berkata manja. "Kenapa kau tinggalkan aku di Ching-coa-to? Kenapa kau pergi secara diam-diam? Aku kesepian di sana, Ibu belum pulang dan karena kau bilang ingin pergi ke kota raja, aku lalu menyusulmu. Sungguh kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini, bukankah ini tanda bahwa kita benar-benar berjodoh, kanda Bun Wan?"
Bun Wan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Hui Siang, kau seperti anak kecil saja. Apakah kau tidak percaya bahwa aku akan datang kembali ke sana menjemputmu?"
Hui Siang merengut dan mukanya yang cantik itu kelihatan susah. "Wan-koko, banyak sudah kudengar laki-laki yang tidak memegang teguh janjinya dalam hubungan mereka dengan wanita. Hanya bermanis mulut menjual madu di bibir kalau berhadapan, akan tetapi begitu berpisah lalu bercabang hati dan lupa akan sumpah dan janji. Banyak sudah contohnya. Ibu sendiri bertahun-tahun menderita karena Ayah. Kata Ibu, di dunia ini tidak ada lelaki yang boleh dipercaya janjinya terhadap wanita."
"Hui Siang, kau kira aku ini laki-laki macam apa?" Bun Wan berseru keras dan penasaran. "Sungguh pun hubungan kita ini tadinya kuanggap karena engkau yang membujuk, akan tetapi akhirnya aku insyaf bahwa aku pun bersalah terlampau menuruti nafsu hati. Aku seorang laki-laki, keturunan tunggal dari Kun-lun-pai, tidak mungkin aku menyia-nyiakan wanita yang sudah kujatuhi cinta, tidak mungkin aku mengingkari pertanggungan jawabku. Hui Siang, sudah kukatakan kepadamu bahwa apa pun yang terjadi, kau tetap akan menjadi isteriku, hanya aku harus menyelesaikan lebih dulu tugasku yang maha penting."
"Kanda Bun Wan, bukan sekali-kali aku tidak percaya kepadamu. Akan tetapi setelah kau meninggalkan aku, aku kesepian dan amat khawatir. Biarkan aku ikut denganmu, Koko, dan biarlah aku membantu tugasmu sampai selesai."
"Tugasku berat, mungkin mempertaruhkan nyawa, Moi-moi," kata Bun Wan halus karena dia terharu pula menyaksikan besarnya cinta kasih gadis jelita ini.
"Apa lagi kalau harus mempertaruhkan nyawa, tidak boleh aku melepaskan kau, Koko. Biarlah pertanggungan itu kita pikul berdua, akan lebih ringan."
Bun Wan menggandeng tangan Hui Siang, dituntunnya gadis itu dan diajaknya duduk di tempat teduh, di bawah pohon yang tinggi dan besar. Mereka duduk bersanding di atas akar pohon itu dan dengan sikap manja dan mesra Hui Siang tidak pernah melepaskan tangan kekasihnya.
"Hui Siang, lebih baik kau pulang ke Ching-coa-to dan kau tunggulah aku di sana. Hatiku akan lebih tenteram mengingat bahwa kekasihku menanti di sana, dari pada harus melihat kau terancam bahaya bersamaku."
"Tidak, aku tidak mau. Biar bahaya atau mati sekali pun asal bersamamu," kata gadis itu dengan nekat.
"Wah, repot kalau kau rewel begini," Bun Wan menggerutu, kemudian berkata lagi sambil memandang wajah yang cantik itu, "Hui Siang, ketahuilah bahwa tugasku ini bertentangan sama sekali dengan ibumu, malah mungkin sekali aku akan menjadi lawan ibumu."
Agak terkejut Hui Siang mendengar kata-kata ini. Dia balas memandang, agaknya tidak percaya, akan tetapi melihat kesungguhan wajah Bun Wan, ia pun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh, "Kalau sampai Ibu memusuhimu, aku akan berada di pihakmu."
Kembali Bun Wan menarik napas panjang, "Kau mana tahu urusannya? Tak ada urusan pribadi yang membuat ibumu mungkin memusuhiku. Akan tetapi, ini semata-mata urusan tugas. Ketahuilah, Hui Siang, aku yang kau jadikan pilihan hatimu, aku adalah seorang utusan Raja Muda Yung Lo di utara." Sambil berkata demikian, pemuda itu dengan penuh selidik menatap wajah kekasihnya.
Sejenak Hui Siang terpukul. Inilah hebat. Kalau begitu, kekasihnya ini merupakan seorang mata-mata pemberontak! Alangkah beraninya, sudah menggabungkan diri pula dengan Ching-coa-to. Betapa berani, pandai dan sama sekali tidak disangka-sangka. Akan tetapi ia segera menjawab mesra.
"Kau adalah laki-laki pilihanku, kau suamiku. Andai kata kau ternyata seorang utusan dari neraka sekali pun, aku akan tetap menyertai dan membantumu. Aku tidak peduli urusan negara."
Bun Wan terharu dan merangkul leher Hui Siang. Hatinya mulai besar dan bangga. Tidak keliru dia mencintai gadis ini. Kecantikan Hui Siang luar biasa dan jarang bandingannya. Kepandaiannya lumayan dan ternyata sekarang memiliki kesetiaan pula.
"Hui Siang, aku girang mendengar pernyataanmu ini. Ketahuilah, sejak dahulu aku adalah keturunan orang-orang pejuang. Kun-lun-pai terkenal sebagai sumber pahlawan-pahlawan pejuang dan dulu banyak tokoh-tokoh Kun-lun-pai membantu perjuangan mendiang kaisar pendiri Kerajaan Beng. Karena itu, Raja Muda Yung Lo yang menjadi keturunan kaisar menaruh kepercayaan penuh kepada Kun-lun-pai. Sekarang sedang terjadi pergolakan sesudah kaisar tua meninggal dunia. Kaisar muda agaknya tidak benar dan Raja Muda Yung Lo merasa lebih berhak menggantikan kedudukan kaisar dari pada keponakannya, kaisar muda sekarang ini. Aku sudah dipiiih sebagai orang kepercayaan dan utusan untuk menyelidiki keadaan di selatan serta mengadakan hubungan dengan paman Tan Hok. Sebetulnya aku harus mendapatkan surat wasiat yang kabarnya oleh mendiang kaisar diberikan kepada paman Tan Hok yang sudah meninggal pula. Kuduga surat itu berada di dalam mahkota kuno itu, maka aku ikut pula memperebutkan. Sayang gagal..."
Tiba-tiba pemuda ini berhenti bicara, menarik tangan Hui Siang dan cepat melompat dari tempat yang tadi diduduki itu sambil mengangkat muka memandang ke atas. Hui Siang juga memandang dan... alangkah kaget hati mereka melihat seorang laki-laki tua berkulit hitam seluruhnya, duduk di atas cabang pohon itu dengan kedua kaki tergantung.
Kakek ini sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput. Pakaiannya sederhana berwarna kuning sehingga kehitaman kulitnya semakin nyata. Mukanya yang hitam itu hampir tidak kelihatan di antara daun-daun pohon, yang tampak jelas hanyalah biji matanya. Kakek tua renta berkulit hitam itu kini terkekeh-kekeh dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah.
Kagetlah hati Bun Wan dan Hui Siang pada waktu melihat betapa kakek itu jatuh seperti sebatang balok. Terpelanting dan kaku dengan kepala lebih dahulu! Namun, kekagetan dalam hati mereka berubah kagum dan terheran-heran ketika kepala itu menyentuh tanah dengan enaknya, sama sekali ttdak bersuara seakan-akan kepala yang temyata gundul pacul itu terbuat dari pada karet yang lembek dan lunak.
Sejenak kakek itu berjungkir seperti itu, kemudian dia tertawa pula dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan kini dia berdiri di atas kedua kakinya. Kiranya dia seorang yang tinggi dan kulitnya memang hitam semua, memegang sebatang tongkat yang berwarna hitam pula, lucunya, biar pun usianya sudah ada tujuh puluh tahun, akan tetapi mulutnya masih bergigi penuh, gigi yang putih berkilau di balik kulitnya yang kehitaman ftu.
"Heh-heh-heh, orang-orang Kun-lun-pai memang semenjak dahulu pemberontak semua! Mendiang Pek Gan Siansu juga pemberontak, cucu-cucu muridnya sekarang juga kaum pemberontak. Heh-heh-heh!"
Bun Wan cukup maklum bahwa kakek hitam ini adalah seorang yang memiliki kesaktian seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi mendengar betapa Kun-lun-pai dicela, betapa kakek gurunya dimaki pemberontak, dia menjadi penasaran dan mendongkol juga. Namun dia mempertahankan kesabarannya dan dengan hormat dia menjura dan bertanya.
"Locianpwe ini siapa, dan apa dosanya hingga Locianpwe memaki Kun-lun-pai sebagai pemberontak?"
"Heh-heh-heh, bocah berlagak pahlawan, mana kau tahu namaku. Aku orang biasa saja, bukan pahlawan macam orang-orang Kun-lun-pai, dan aku dipanggil orang Hek Lojin dari Go-bi-san. Heh-heh-heh, kau penasaran karena kukatakan bahwa Pek Gan Siansu dan semua anak murid Kun-lun adalah pemberontak hina? Hemmm, bocah berlagak patriot. Setiap orang yang melawan kekuatan pemerintah yang ada dialah pemberontak! Dahulu melawan kekuasaan Pemerintah Goan (Mongol), kakek-kakekmu adalah pemberontak. Kau sekarang hendak melawan kekuasaan kaisar yang berkuasa, kau pun pemberontak. Dan aku adalah orang yang paling benci terhadap pemberontak. Hayo kalian dua orang pemberontak cilik ini menyerah, menjadi tawananku dan kubawa ke kota raja."
Sekarang Bun Wan marah sekali. Dia memang tidak pernah mendengar nama Hek Lojin, karena memang tokoh sakti dari Go-bi-san ini jarang muncul di dunia kang-ouw dan sudah mengasingkan diri. Biar pun dia tahu bahwa yang dia hadapi adalah seorang sakti, mana dia sudi dijadikan tawanan?
Sementara itu, Hui Siang sudah tidak dapat menahan kemarahannya karena kekasihnya dimaki-maki. Ia seorang gadis yang manja dan selalu mengandalkan kepandaian sendiri. Begitu melihat gelagat tidak baik, diam-diam ia sudah menyiapkan jarum-jarum beracun, senjata rahasia yang amat dia andalkan karena mengandung racun ular di Ching-coa-to. Jarum ini amat ganas dan jahat, sedikit saja mengenai kulit lawan tentu akan mengancam keselamatan nyawanya.
"Kakek hitam sombong, makanlah ini!" bentaknya dan sekali kedua tangannya bergerak, puluhan batang jarum melesat keluar dari kedua tangannya, menyerang tubuh kakek itu dari kepala sampai kakinya.
"Ihh, ilmu keji!"
Tiba-tiba kakek itu lenyap dari situ, kiranya dia tadi menggunakan tongkat hitamnya untuk menjejak tanah sehingga tubuhnya melesat ke atas, tangan kirinya menyambar beberapa barang jarum dan dari tengah udara dia berseru, "Nih, kau makan sendiri jarum-jarum beracunmu!"
Bukan main kagetnya hati Hui Siang ketika serangkum hawa yang amat dahsyat datang menyambarnya. Ia dapat menduga bahwa itulah pukulan jarak jauh yang amat kuat, pula disertai sambitan jarum-jarumnya sendiri. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun terlambat, masih ada tiga batang jarum dengan tepat sekali menancap di atas dadanya. Gadis itu menjerit dan roboh, tak berkutik lagi karena seketika ia menjadi pingsan.
Dapat dibayangkan alangkah terkejut dan gelisahnya hati Bun Wan. Dia mengira bahwa kekasihnya sudah terpukul tewas, maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun menerjang kakek itu dengan pedangnya.
Hek Lojin tertawa bergelak, melayani pedang Bun Wan dengan tongkat hitamnya yang ternyata amat kuat dan setiap kali bertemu pedang, Bun Wan merasa betapa tangannya tergetar dan sakit-sakit. Akan tetapi kemarahannya melihat Hui Siang roboh membuat dia menjadi nekat dan dengan kemarahan meluap-luap dia memainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang sepenuh tenaga.
"Bagus! Kun-lun Kiam-sut ternyata masih ampuh. Akan tetapi melawan aku si tua bangka dari Go-bi, tiada artinya, heh-heh-heh!"
Memang sesungguhnyalah, Bun Wan merasa betapa sinar pedangnya yang dia dorong dengan sepenuh semangatnya, seakan-akan menghadapi benteng hitam dari tongkat itu, bahkan beberapa kali membalik dengan keras sehingga pedang itu hampir terlepas dari pegangannya.
Setelah lewat tiga puluh jurus, dia menjadi pening. Benteng hitam itu makin melebar dan makin mendesak sehingga akhirnya mengurungnya, membuat pandangan matanya gelap dan bayangan kakek itu sendiri sudah lenyap tertelan gulungan sinar hitam. Akhirnya dia tidak tahu lagi di mana adanya kakek itu dan tahu-tahu tengkuknya telah kena tampar tangan kiri kakek itu.
Perlahan saja tamparan itu, namun cukup membuat Bun Wan berteriak keras. Tubuhnya lantas terguling, roboh pingsan di dekat tubuh Hui Siang yang juga belum dapat bergerak sama sekali.
"Heh-heh-heh, segala pemberontak hijau. Biarlah kalian mati di sini, tidak perlu kubawa lagi, membikin repot saja." Sambil berkata demikian, Hek Lojin menyeret tongkat hitamnya yang panjang, hendak pergi dari tempat itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar lengking panjang yang memekakkan telinga, dari atas datangnya. Dia merasa kaget bukan main dan cepat berdongak. Mulutnya yang hitam melongo terbuka, matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung rajawali emas yang besar sekali menukik ke bawah, ditungganggi oleh seorang laki-laki muda yang agaknya buta kedua matanya.
"Kim-tiauw-ko, jangan menyerang orang!" Kun Hong, pemuda yang menunggang rajawali emas itu, berseru ketika mendengar gerakan kim-tiauw, dan dia pun melompat turun ke atas tanah.
Seperti kita ketahui, selama beberapa hari ini Kun Hong berada di dalam hutan bersama-sama kim-tiauw, menghibur diri dan kadang-kadang dia menunggang punggung burung itu dan menyuruhnya terbang berputaran di atas hutan.
Pagi hari itu, entah kenapa kim-tiauw menukik ke bawah dan kiranya hendak menyerang orang. Karena itu cepat dia mencegahnya dan meloncat ke atas tanah karena hidungnya mencium bau daun dan tanah, tanda bahwa burung itu sudah turun dan mendekati tanah.
Akan tetapi burung rajawali emas itu tetap saja marah-marah. Dia memekik-mekik dan mengeluarkan suara melengking tinggi, bersiap untuk menyerang Hek Lojin yang sudah hilang kagetnya dan kini kakek itulah yang berbalik menjadi marah.
Ia adalah seorang yang sakti, biasanya ditakuti orang. Melihat mukanya yang hitam saja, orang-orang sudah pada takut, apa lagi menyaksikan sepak terjangnya yang sakti. Kini ada seorang bocah buta dan burung rajawali datang-datang menimbulkan kekagetannya, tentu saja dia marah.
"Burung keparat, kau kira kau ini luar biasa gagahnya maka berani membikin kaget Hek Lojin. Apa kau sudah bosan hidup? Keparat!"
Rajawali emas adalah seekor burung sakti, burung yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang sakti. Andai kata dia tidak dapat menangkap ucapan kakek itu, setidaknya, dia dapat merasa bahwa kakek itu marah dan memaki-maki serta menantangnya. Maka dia pun lalu membuka sepasang sayapnya, matanya memandang berapi-api, siap untuk menerjang. Mulutnya mengeluarkan pekik tantangan mengagetkan Kun Hong.
"Kim-tiauw-ko, sabarlah. Locianpwe, harap suka mengalah kepada burung sahabat baikku ini..."
"Burung jahat ini harus dibunuh, kalau tidak dia hanya akan mendatangkan kekacauan belaka!"
Hek Lojin yang merasa ditantang oleh burung itu, sudah menggerakkan tongkatnya untuk memukul. Hebat sekali pukulan ini, mendatangkan angin berdesir. Agaknya dia hendak menewaskan burung itu dengan sekali pukul! Rajawali emas itu agaknya tahu pula akan kehebatan pukulan ini, maka dia cepat melejit dan mengelak.
Kun Hong yang dapat menangkap angin pukulan, dia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek yang berangasan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan lawan burungnya. Tahu pula bahwa kakek itu benar-benar hendak membinasakan rajawali maka cepat-cepat dia menjura dan berkata,
"Locianpwe, sudahlah. Biarlah aku yang mintakan maaf apa bila burungku bersalah, dan biarlah kami pergi tidak mengganggumu lagi."
Akan tetapi Hek Lojin sudah semakin panas perutnya. Dia seorang ahli silat kelas tinggi, seorang yang kesaktiannya telah menggemparkan Go-bi-san, masa sekarang sekali pukul tak dapat mengenai tubuh burung celaka itu? Apa lagi melihat kini kim-tiauw lincak-lincak (berloncatan) seakan-akan mengejek, hawa amarah sudah naik ke ubun-ubunnya.
"Burung iblis, mampuslah!"
Sekarang tongkatnya diputar cepat dan sekali terjang dia sudah mengirim belasan jurus. Kagetlah Kun Hong. Terlebih kaget lagi burung itu sendiri, karena meski pun dia sudah mengibaskan sayap, sudah mengelak dan menangkis dengan cakarnya, namun tetap saja punggungnya terkena gebukan satu kali, membuat dia terlempar beberapa meter dan banyak bulunya yang kuning emas rontok.
Akan tetapi dasar burung sakti. Walau pun pukulan itu mendatangkan rasa nyeri, namun tidak melukainya. Hal ini membuat Hek Lojin kaget dan heran, akan tetapi malah makin marah. Ketika dia menerjang lagi, ternyata Kun Hong sudah berdiri menghadangnya. Pemuda ini maklum bahwa burungnya tidak mungkin dapat melawan kakek ini dan kalau dia diamkan saja, berbahayalah bagi kim-tiauw.
"Locianpwe, sekali lagi, harap kau suka maafkan kami. Di antara kita tiada permusuhan, maka untuk apakah urusan kecil ini dibesar-besarkan dan pertempuran yang tidak ada gunanya ini dilanjutkan?"
Melihat sikap pemuda buta ini, Hek Lojin menahan kemarahannya. Dia dapat menduga bahwa kalau burungnya demikian hebat, pemiliknya tentu bukan orang lemah pula. Hanya saja orang ini masih sangat muda, apa lagi buta, kepandaian apakah yang dimilikinya?
Maka dia memandang rendah dan berkata, "Kalau kau pemiliknya dan mintakan maaf, aku mau memberi ampun asal kau bisa menyuruh dia berlutut dan mengangguk tujuh kali di depanku untuk minta ampun."
Kun Hong kaget dan bingung. Dia cukup mengenal watak kim-tiauw. Burung itu angkuh sekali, mana sudi merendahkan diri dan berlutut minta ampun seperti itu? Tidak mungkin!
"Menyesal sekali, hal itu tidak mungkin dapat kulakukan, Locianpwe, karena burung itu tidak pernah diajar berlutut, tentu tidak bisa dan tidak mengerti kalau kusuruh berlutut." Dalam hal ini Kun Hong membohong, karena kalau dia mau, burung itu akan melakukan ini dengan amat mudahnya. Soalnya, burung itu tentu tidak sudi berlutut di depan orang tua galak ini.
"Hemm, burungnya jahat dan sombong, pemiliknya amat baik," kakek itu menggerutu. "Sudahlah, kalau dia tidak bisa disuruh berlutut, biar kau yang mewakili juga tidak apa."
Hebat kesombongan kakek ini. Akan tetapi, memang pada dasarnya Kun Hong adalah seorang yang sangat penyabar dan luas pandangannya. Apa salahnya berlutut di depan seorang kakek yang memiliki kepandaian tinggi ini, pikirnya.
Kalau dia tidak mau memenuhi permintaan ini tentulah terjadi pertempuran hebat yang sama sekali tidak ada sebabnya, pertempuran yang tiada gunanya. Maka dia tersenyum dan segera menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala tujuh kali.
Kakek itu tampak girang sekali dan agaknya hendak menguji kelihaian Kun Hong. Karena itu dia segera mengangkat sebelah kakinya dan dilayangkan ke atas kepala Kun Hong. Penghinaan yang hebat!
Kun Hong menggigit bibirnya karena biar pun matanya buta, tentu saja telinganya dapat menangkap gerakan ini dan kalau dia mau, sekali menggerakkan tangan tentu dia mampu merobohkan kakek sombong itu ketika si kakek melakukan gerakan yang menghina dan juga berbahaya bagi diri kakek itu sendiri. Dia pura-pura tidak tahu dan kakek itu tertawa bergelak-gelak sambil menyeret tongkatnya, pergi dari situ.
Masih terdengar suaranya dari jauh terkekeh-kekeh sambil berkata, "Ajaib sekali, burung yang demikian kuatnya memiliki majikan begitu lemah, heh-heh-heh!"
Sesudah suara kakek itu tidak terdengar lagi, Kun Hong baru bangkit sambil menggerutu, "Berbahaya sekali..." Dia maksudkan berbahaya kalau dia tidak mampu mempertahankan kesabarannya tadi, tentu akan terjadi pertempuran hebat karena dia pun dapat menduga bahwa ilmu kepandaian kakek itu memang amat tinggi.
"Kim-tiauw-ko, kenapa kau mencari gara-gara?" Dia menegur burung itu.
Burung rajawali meloncat mendekatinya, menyambar ujung lengan bajunya dan dengan suara menggerang panjang burung itu menariknya dari situ. Kun Hong amat heran dan mengikuti. Burung itu berhenti dan menarik dia supaya berjongkok.
Dengan hati mengandung penuh pertanyaan Kun Hong berjongkok, tangannya meraba dan jari-jari tangannya menyentuh tubuh seorang laki-laki yang pingsan dan menderita luka dalam yang hebat. Tangannya meraba lagi ke kiri dan... sekali ini menyentuh tubuh seorang wanita.
Dia berseru kaget karena wanita ini malah lebih hebat lagi keadaannya. Tubuhnya panas membara seperti terbakar, napasnya sesak, tanda bahwa ia menderita luka yang hampir mencabut nyawanya.
"Celaka... ahhh, kim-tiauw-ko, kiranya aku benar-benar buta!" Dia menyumpahi diri sendiri karena sekarang mengertilah dia bahwa burung itu tadi menyerang seorang kakek yang baru saja merobohkan dua orang muda secara ganas dan keji!
Cepat dia memeriksa laki-laki itu. Segera dia tahu bahwa laki-laki itu menderita pukulan dengan tenaga lweekang yang sangat hebat pada punggungnya. Dia cepat mengurut dan menotok beberapa jalan darah. Hatinya menjadi lega sesudah dia mendapat kenyataan bahwa orang ini tidak berbahaya lagi sekarang keadaannya.
Dia cepat mengalihkan perhatian pada wanita itu. Hatinya berdebar karena sungkan dan ragu ketika jari-jari tangannya meraba tubuh seorang wanita yang masih muda. Apa lagi setelah dia melakukan pemeriksaan teliti, dia mendapat kenyataan bahwa wanita ini telah terkena senjata rahasia yang sangat halus di dadanya dan berada dalam keadaan yang membahayakan keselamatan nyawanya. Dia bingung dan ragu.
"Apa boleh buat, demi menolong nyawanya." Akhirnya dia menggerutu seorang diri. Cepat dia menurunkan buntalannya dan digeledahnya saku-saku bajunya, kemudian dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Tanpa ragu-ragu lagi karena maklum bahwa kalau terlambat akan berbahaya bagi wanita ini, dia segera merobek baju wanita itu di bagian dadanya. Rabaan jari-jari tangannya menyatakan bahwa kulit dada itu telah ditembusi tiga batang jarum kecil yang rupanya mengandung bisa yang mendatangkan hawa panas.
"Hemmm, agaknya racun ular," Kun Hong bergumam sendiri setelah dia memencet luka itu, mengeluarkan sedikit darah dan diciumnya darah di jarinya.
Cepat dia mengerahkan kepandaiannya, menusuki beberapa jalan darah dengan jarum peraknya untuk mencegah racun itu menjalar. Dari detak jantung dia mendapat kenyataan yang menimbulkan harapan bahwa racun itu belum menjalar sampai ke dalam jantung. Pada tusukan terakhir di dekat leher, tubuh wanita itu bergerak dan terdengar ia mengeluh perlahan sekali, akan tetapi disusul suaranya penuh kekagetan.
"Aduhhhh... tua bangka keparat... ehh... heeeee, siapa kau, lepaskan aku...!"
Berdebar jantung Kun Hong karena telinganya serasa mengenal suara ini, akan tetapi dia lupa lagi siapa dan di mana.
“Tenanglah, Nona, aku berusaha mengobatimu," katanya dengan suara dingin dan halus.
"Kau...? Ahh, kau... Kwa Kun Hong Pendekar buta..."
Kini teringatlah Kun Hong. Kiranya nona ini adalah Giam Hui Siang, ‘siocia’ yang amat galak dari Ching-coa-to. Kalau begitu, apakah lelaki yang pingsan ini pemuda Kun-lun-pai, Bun Wan itu? Ah, apa bedanya? Hal itu tak penting baginya, yang penting hanya bahwa dia harus mengobati dua orang yang terancam bahaya maut ini, siapa pun juga mereka.
"Harap kau diam dan jangan bergerak, Nona. Dadamu telah terkena senjata rahasia yang mengandung racun ular, biar kukeluarkan tiga batang jarum ini."
Hui Siang mengeluh, akan tetapi ia benar-benar tidak bergerak sekarang. Dua tangannya ia pergunakan untuk menutupi mukanya karena biar pun ia tahu bahwa Kun Hong adalah seorang buta dan tidak dapat melihatnya, akan tetapi sebagai seorang gadis tentu saja ia menjadi jengah dan malu sekali karena bajunya terobek seperti itu dan Kun Hong sedang meraba-raba kulit tubuh bagian dada!
Karena maklum bahwa dia berlomba dengan waktu untuk menolong gadis ini, Kun Hong cepat-cepat mengerahkan tenaga lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang disalurkan ke telapak tangan, kemudian telapak tangannya dia tempelkan ke atas luka-luka di dada itu dengan tenaga ‘menyedot’. Dia menekan perasaan hatinya untuk melupakan perasaan tangannya yang meraba bagian tubuh yang dirahasiakan itu, membekukan perasaan ini dengan keyakinan bahwa dia tidak memiliki kehendak lain kecuali sebagai ahli obat yang hendak menolong nyawa seseorang.
Usahanya berhasil baik. Tiga batang jarum yang telah menancap sampai tidak kelihatan lagi di dalam dada itu, kini tersembul dan dapatlah Kun Hong menjepit serta mencabuti keluar ketiganya. Akan tetapi tidak ada darah mengucur keluar.
Kagetlah Kun Hong. Hal ini hanya menjadi bukti bahwa racun itu telah bekerja, darah telah membeku dan tidak dapat keluar karena tertutup oleh gumpalan darah matang yang kotor oleh racun. Kalau saja dia bisa mendapatkan beberapa macam daun obat yang memiliki sifat menghisap, nona ini akan cepat tertolong. Akan tetapi dia tidak mempunyai daun itu dan untuk mencarinya, tidaklah mudah, apa lagi dia seorang buta.
"Nona, kau maafkanlah aku, tidak ada jalan lain mengeluarkan racun dari dalam luka di dadamu kecuali dihisap dengan mulut. Kau diam sajalah, tidak lama tentu sembuh."
Terpaksa sekali, tanpa mempedulikan apa-apa lagi karena khawatir kalau-kalau racun itu akan semakin meresap ke dalam, Kun Hong menundukkan mukanya, dan menggunakan mulutnya menyedot luka-luka di dada itu sambil mengerahkan tenaga sinkang.
Andai kata seorang biasa yang melakukan hal ini, kiranya akan makan waktu lama sekali. Akan tetapi Kun Hong bukanlah orang biasa, tenaga sinkang-nya hebat sekali sehingga sekali sedot saja dia sudah menghisap bersih racun pada satu luka. Setelah meludahkan darah mati yang dihisapnya, darah segar sudah mulai keluar dari luka kecil pertama itu. Kun Hong lalu menyedot luka ke dua, kemudian ke tiga.
Dapat dibayangkan betapa jengah dan malunya Hui Siang. Tentu saja ia bisa mengenal kehebatan jarum-jarumnya sendiri dan andai kata ia membekal obat penawarnya, tentu ia tak sudi diobati secara demikian oleh Kun Hong. Akan tetapi apa daya, ia lupa membawa obat bekalnya, dan ia pun tahu bahwa jalan satu-satunya untuk menolongnya memang seperti yang dilakukan Kun Hong itulah.
Teringat ia akan keadaan cici angkatnya dahulu ketika diobati oleh Kun Kong dan hatinya tertusuk. Mulailah timbul penyesalannya akan sikap-sikapnya dahulu terhadap Hui Kauw dan Kun Hong. Pendekar Buta ini ternyata benar-benar seorang manusia yang berbudi luhur, yang mengobati siapa saja tanpa pamrih sesuatu. Buktinya, sebelum ia sadar, tentu si buta ini tidak mengenalnya siapa.
Betapa pun juga, merasa betapa muka dan mulut orang buta itu menempel di dadanya, Hui Siang tak dapat menahan rasa malunya. Dia menutupi muka dengan kedua tangan, mukanya yang tadinya pucat sekarang menjadi merah seperti udang rebus.
Ketika Kun Hong sedang menghisap luka ke tiga atau yang terakhir, dan tubuhnya sedang berlutut itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan sebuah tendangan kilat yang sangat kuat membuat tubuh Kun Hong terlempar beberapa meter jauhnya kemudian jatuh terguling-guling. Baiknya Kun Hong keburu mengerahkan lweekang-nya sehingga dia tidak terluka, hanya terlempar dan bergulingan saja.
Tadi dia hanya mendengar bentakan itu, akan tetapi karena seluruh perhatian sedang ditujukan kepada pengobatan, sedang sinkang-nya pun sedang disalurkan kepada mulut yang menyedot, dia tidak sempat membela diri.
Ketika dia cepat melompat bangun, Kun Hong mendengar suara Bun Wan yang penuh kemarahan. "Kwa Kun Hong jahanam besar! Dulu kau telah menghancurkan hubunganku dengan perbuatanmu yang tidak tahu malu terhadap Cui Bi, kini kembali kau melakukan penghinaan terhadap diri Hui Siang! Kun Hong kau benar-benar seorang berhati binatang, sampai matamu menjadi buta masih saja kau merupakan manusia iblis. Kali ini aku tidak akan suka menerima penghinaan begitu saja. Keparat!"
"Wan-koko... jangan menuduh yang bukan-bukan...!" Suara Hui Siang sangat lemah dan tercampur isak.
Nona ini sudah dapat bangun dan tadi saking kagetnya dia tidak mampu bicara, hanya cepat-cepat menutup bajunya yang robek. Dadanya masih terasa nyeri, akan tetapi tidak sesak lagi dan kekuatannya sudah pulih. Dengan mata terbelalak dia melihat betapa Kun Hong terguling-guling dan begitu mendengar suara Bun Wan, barulah dia sadar kembali bahwa kekasihnya itu telah salah duga.
Akan tetapi Bun Wan tidak mendengar ucapan Hui Siang ini karena pada saat itu dia sedang marah bukan main. Siapa orangnya yang tidak akan marah kalau begitu dia sadar dari pingsannya melihat apa yang dilakukan Kun Hong terhadap kekasihnya tadi? Dengan amarah meluap-luap dia sudah melompati Kun Hong dan mengirim serangan mati-matian, tidak mempedulikan punggungnya yang masih terasa ngilu dan nyeri.
Mendadak terdengar suara lengking tinggi dan rajawali emas sudah menerjang Bun Wan, menggantikan Kun Hong yang masih berdiri termangu-mangu. Burung itu marah sekali. Biar pun hanya seekor binatang, dia tadi mengerti bahwa sahabatnya sedang mengobati atau menolong dua orang yang menjadi korban keganasan Hek Lojin, akan tetapi kenapa yang ditolong oleh sahabatnya itu kini berbalik menyerang Kun Hong? Maka marahlah dia dan serta merta gerakan Bun Wan tadi segera dia sambut dengan kepakan sayap dan cengkeraman kukunya yang runcing.
Bun Wan kaget sekali, namun dia tidak kehilangan akal. Melihat bahwa gerakan burung ini mengandung kekuataan luar biasa besarnya, dia segera menjejak tanah dan tubuhnya melayang ke belakang, terluput dari pada serbuan burung itu. Rajawali emas memekik lagi dan menerjang maju, lebih hebat dari pada tadi.
"Kim-tiauw-ko, jangan...!" Kun Hong berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke arah burung rajawali.
Burung itu meragu ketika mendengar teriakan Kun Hong, menunda serbuannya dan di lain saat lehernya telah dirangkul oleh Kun Hong.
"Jangan serang dia...," kata pula Kun Hong, suaranya sedih.
"Kun Hong, kau manusia tidak tahu malu!" kembali Bun Wan memaki dengan dada turun naik saking marahnya. "Apakah kau tak bisa mendapatkan lain wanita kecuali calon-calon isteriku? Apakah karena matamu menjadi buta maka tidak ada wanita sudi kepadamu? Kami sedang pingsan, namun engkau hendak menggunakan kesempatan ini berlaku hina kepada Hui Siang. Benar-benar iblis berujud manusia, jahanam! Kalau memang laki-laki, hayo kita mengadu nyawa, seorang di antara kita harus menggeletak mampus di sini!"
Kun Hong hanya tersenyum sedih dan menundukkan mukanya. Sementara itu wajah Hui Siang menjadi pucat sekali ketika mendengar ucapan kekasihnya ini. Cepat ia memegang lengan Bun Wan dan diguncang-guncangkan seperti seorang membangunkan seseorang dari pada mimpi buruk.
"Wan-koko, diamlah...! Sudah, diamlah jangan bicara dulu...!" Setelah Bun Wan selesai memaki-maki Kun Hong, baru dia berkata, "Wan-koko, kau salah duga... ahh, bagaimana kau bisa menjatuhkan tuduhan sekeji itu kepadanya? Wan-koko, kau lihat ini..."
Ia membuka bajunya yang robek itu sehingga tampaklah luka bekas jarum-jarum itu pada kulit dadanya yang putih halus. "Aku tadi terluka oleh tiga batang jarumku sendiri, aku pingsan dan pasti aku tidak akan dapat berkumpul lagi dalam keadaan hidup denganmu kalau tidak ada dia yang menolongku. Dia tidak berlaku kurang ajar, Koko... ahh, jangan salah duga... dia tadi berbuat begitu untuk menghisap keluar darah yang sudah terkena racun. Tanpa usahanya itu, darah beracun akan menjalar terus dan merusak jantungku. Wan-koko... kau sadarlah..."
Bun Wan merasa seakan-akan mendengar halilintar menyambar di hari terang. Ketika dia mendengar ini, matanya berkedip-kedip dan mulutnya melongo sambil menatap Kun Hong yang membelai-belai leher kim-tiauw. Dia tadi merasa kepalanya nanar dan pening. Kini dia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir rasa pusing itu. Kemudian dia merangkul leher Hui Siang dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya, matanya dimeramkan dan ketika dibuka kembali tampak dua butir air mata menitik turun.
"Kun Hong..." suaranya serak, hampir tidak terdengar, "...Kun Hong... biar pun aku melek ternyata aku lebih buta dari padamu. Maafkan aku, Kun Hong..."
Kun Hong tersenyum, bukan senyum sedih lagi, dia gembira dan juga terharu. Sekaligus dia melupakan sikap Bun Wan yang menyakitkan hati tadi. Untuk melenyapkan suasana tidak enak, serta merta dia bertanya,
"Bun Wan, siapakah kakek keji yang merobohkan kalian tadi?"
Bun Wan masih dalam keadaan terpukul dan terharu, maka suaranya masih menggetar ketika dia menjawab, "...aku... aku tidak kenal, dia mengaku bernama Hek Lojin."
Diam-diam Kun Hong terkejut. Pernah dia mendengar cerita Hui Kauw bahwa The Sun pemuda cerdik dan sakti itu adalah murid Hek Lojin. Hemm, pantas begitu lihai, kiranya guru The Sun, pikirnya.
"Kenapa dia menyerang kalian dan merobohkan secara keji?"
Orang yang merasa sudah melakukan sesuatu yang salah, dan merasa amat menyesal akan kesalahannya yang membuat dia nampak tidak baik itu, tentu akan selalu berusaha mengemukakan alasan segi baiknya untuk menutupi kesalahannya tadi, atau setidaknya mengurangi kesan-kesan buruk akibat kesalahannya. Apa lagi kalau orang itu memang memiliki watak yang angkuh.
Demikian pula dengan Bun Wan. Ia adalah seorang pemuda keturunan ketua Kun-lun-pai, selamanya menjunjung tinggi kegagahan, merasa bahwa dia sebagai keturunan pendekar dan patriot, maka kesalahan tadi amat memalukan dan membuatnya menyesal. Sekarang mendengar pertanyaan Kun Hong, terbukalah kesempatan untuk menonjolkan diri, untuk menonjolkan segi-segi baik dari dirinya.
"Karena agaknya dia berpihak kepada kaisar kemudian membenciku sebab mendengar bahwa aku adalah utusan raja muda di utara. Dia menghina Kun-lun-pai, memaki-maki mendiang kakek guru dan para tokoh Kun-lun yang dikatakannya para pemberontak. Aku marahi, tetapi dia lihai... bukan lawan aku dan Hui Siang."
Berubah wajah Kun Hong mendengar ucapan ini, hatinya berdebar keras dan dia menjadi sangat terharu. Alangkah jauh menyeleweng pikirannya terhadap Bun Wan selama ini. Kiranya pemuda ini adalah seorang pejuang pula, malah seorang yang amat penting, yaitu utusan Raja Muda Yung Lo! Bahkan inilah orangnya yang dimaksudkan untuk menerima surat rahasia itu.
Dalam sekelebatan saja otaknya mengingat-ingat dan bekerja. Ahh, tidak aneh, semenjak dulu memang orang-orang Kun-lun-pai selalu membantu perjuangan dan sudah terkenal kecerdikan mereka melakukan pekerjaan penyelidikan atau mata-mata. Masih teringat dia akan ceritera ayahnya mengenai diri Pek-lek-jiu Kwee Sin, bekas tunangan ibunya, tokoh Kun-lun-pai yang juga menjadi seorang tokoh mata-mata amat lihai dan cerdik.
Kiranya pemuda ini menyelundup ke Ching-coa-to hanya untuk mempelajari keadaan dan menyelidiki keadaan para tokoh kang-ouw sampai kepada tokoh-tokoh jahatnya! Agaknya dalam menjalankan tugasnya ini, pemuda gagah itu tersandung batu asmara dan terlibat tali-talinya yang ruwet dengan Hui Siang! Dia menjadi terharu sekali, lalu cepat-cepat dia mengulurkan tangan memegang tangan Bun Wan.
"Wah, aku sampai lupa. Saudara Bun Wan, kau duduklah bersila. Kau harus mendapat pengobatan cepat-cepat karena lukamu di dalam akibat pukulan pada punggungmu cukup parah." Ucapannya kini terdengar halus dan penuh sayang.
Bun Wan merasa akan hal ini, akan tetapi dia tidak membantah karena dia pun maklum akan bahayanya luka oleh tamparan tangan kakek sakti tadi. Cepat dia duduk bersila dan membiarkan Kun Hong mengobatinya.
Pendekar Buta itu bersila pula di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung dan leher Bun Wan sambil mengerahkan sinkang-nya. Bun Wan dapat merasa betapa dari kedua telapak tangan itu menjalar hawa yang panas dan dingin, hawa panas dari telapak tangan kanan dan hawa dingin dari yang kiri.
Diam-diam dia kagum bukan main dan menjadi terharu. Alangkah hebat dan baiknya hati Pendekar Buta ini dan alangkah buruk nasibnya. Diam-diam dia melamun. Urusan dahulu dengan Cui Bi terbayang dalam benaknya. Dan teringatlah dia akan urusannya sendiri dengan Hui Siang.
Seperti juga dia dan Hui Siang, Pendekar Buta ini dahulu terlibat oleh tali asmara dengan Cui Bi, tanpa dia ketahui bahwa Cui Bi telah ditunangkan dengannya sehingga percintaan itu berakhir secara amat menyedihkan. Sekarang, kembali dia tadi sudah mendatangkan penghinaan, menuduhnya yang bukan-bukan.
Padahal Kun Hong hanya menolong Hui Siang, mungkin merenggut nyawa kekasihnya itu dari pada tangan maut. Dan dia sudah menghinanya, menuduh yang bukan-bukan seperti yang pernah dia lakukan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, seperti yang dia lakukan pula belum lama ini di Ching-coa-to, menuduh Kun Hong mempermainkan Hui Kauw. Ternyata yang mendatangkan pikiran yang bukan-bukan terhadap diri Pendekar Buta ini hanyalah akibat sakit hati karena urusan Cui Bi saja, membuat Pendekar Buta ini selalu salah dalam pikirannya.
Ternyata semua itu tidak benar. Kun Hong benar-benar seorang pendekar yang bersih dan sekarang ditambah lagi dengan bukti bahwa betapa pun sudah berkali-kali dihina olehnya kini Pendekar Buta itu duduk bersila di belakangnya mengerahkan tenaga dalam untuk menyembuhkannya! Tidak terasa lagi bebetapa butir air mata mengalir turun dari pelupuk mata Bun Wan.
Apa bila dia ingat sekarang, dengan pikiran baru karena kesadarannya, dialah orangnya yang tanpa disengaja telah menggagalkan hubungan antara Kun Hong dan Cui Bi, dialah orangnya yang tanpa disengaja telah menghancurkan kebahagiaan Kun Hong. Semua itu masih dia tambah dengan sengaja untuk menghinanya, mendakwanya yang bukan-bukan, menanam bibit kebencian di dalam hatinya sendiri.
Dan kini Kun Hong membalasnya dengan kebaikan, dengan pertolongan besar, mungkin dengan penyelamatan nyawa dia dan Hui Siang karena siapa tahu kalau-kalau dia dan kekasihnya tidak dibunuh kakek sakti itu karena kedatangan Kun Hong! Dia akan segera bertanya tentang ini setelah selesai pengobatan itu. Sekarang tidak mungkin Pendekar Buta itu diajaknya bicara karena dia tahu bahwa Kun Hong tengah mengerahkan tenaga sinkang untuk menyembuhkannya.
Semakin lama hawa panas itu semakin membakar di samping hawa dingin yang terasa menusuk-nusuk. Kedua hawa itu berputaran di sekitar punggungnya dan mendatangkan rasa nikmat luar biasa, mengusir rasa pegal dan sesak di dadanya.
"Untung lweekang-mu sudah kuat sekali," akhirnya Kun Hong berkata sambil melepaskan kedua tangannya, "sehingga pukulan itu dapat tertahan olehmu."
Kun Hong bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Bun Wan juga berdiri dan selagi ia hendak menghaturkan terima kasihnya sambil bertanya mengenai munculnya Kun Hong, Pendekar Buta itu sudah mendahului berkata,
"Bun Wan, kaukah orang yang diutus Raja Muda Yung Lo untuk menerima surat rahasia peninggalan mendiang kaisar tua?"
Bun Wan kaget. Sebelum pertemuannya dengan Kun Hong sekarang ini, kalau dia ditanya demikian, sudah tentu dia akan menyangkal keras. Akan tetapi tadi dia sudah mengaku, maka dia menjawab tanpa ragu lagi, "Betul!"
Kun Hong tersenyum.
"Lama sekali aku mencari-cari orangnya, mengharapkan kedatangannya, kiranya engkau malah orang itu. Jangan kau khawatir, Bun Wan. Surat itu selama ini berada di tanganku dan sekarang sudah diantarkan kepada Raja Muda Yung Lo."
Kaget dan herannya Bun Wan tidak kepalang besarnya sampai dia melongo. "Apa kau bilang? Kau tahu surat wasiat itu?"
"Tentu saja aku tahu. Paman Tan Hok sendiri yang berkata kepadaku sebelum beliau meninggal. Surat itu disimpan secara rahasia di dalam mahkota kuno dan..."
"Tetapi mahkota itu terampas oleh nona Loan Ki..."
"Heee? Kau bilang Loan Ki?" Kini Kun Hong yang terheran-heran.
Bun Wan lalu menceriterakan perebutan mahkota itu antara dia dan Loan Ki yang dibantu oleh seorang pemuda aneh dan kemudian dibantu pula oleh Hui Kauw sehingga terpaksa dia meninggalkan mahkota itu kepada mereka.
Kun Hong tersenyum girang, mengangguk-angguk. "Bagus, Loan Ki tidak seperti ayahnya, ada juga jiwa pahlawan di dalam dadanya, ha-ha-ha! Lucunya, kau dan mereka itu telah memperebutkan mahkota dengan tujuan yang sama, karena mereka pun tidak rela kalau surat itu terjatuh ke tangan kaisar yang sekarang. Dan yang lebih lucu lagi, kalian semua memperebutkan mahkota yang kosong karena surat itu sudah berada padaku. Sekarang telah dibawa oleh Sin Lee dan isterinya ke utara."
Bukan main girangnya hati Bun Wan dan di samping kegirangan yang luar biasa karena surat rahasia penting itu sudah diselamatkan dan berhasil dikirimkan ke utara, juga dia menjadi kagum dan terharu terhadap Kun Hong. Siapa kira, Kun Hong yang buta dan yang dahulu dia pandang rendah ini tidak saja menjadi penolongnya, malah telah berjasa menyelamatkan surat wasiat itu!
Kekagumannya yang memuncak membuat dia lalu merasa betapa jahat dan rendahnya sikapnya kepada Kun Hong, betapa besar dosanya terhadap orang buta itu. Penyesalan yang luar biasa menyelubungi hati Bun Wan. Dia berdiri tegak, tetesan air mata masih membasahi pipinya. Dengan perasaan menyesal dia memandang Kun Hong yang masih saja tersenyum-senyum di depannya itu. Dalam pandangannya, senyum di wajah yang tidak berbiji mata itu mendatangkan perasaan yang menusuk-nusuk jantungnya, menimbulkan iba yang menjadi-jadi.
Dia teringat akan Kun Hong sebelum buta, seorang pemuda tampan dan halus, seorang pemuda yang dengan gagah berani menghadapi lawan-lawan berat di puncak Thai-san. Dan karena dia tidak mau mengalah, karena dia membeberkan rahasia di depan orang banyak, Kun Hong yang tampan dan bermata tajam seperti mata burung rajawali emas itu kini menjadi buta! Bun Wan merasa betapa dadanya perih laksana ditusuk pisau.
"Saudara Kun Hong, kiranya kau adalah seorang pendekar besar yang patut kusembah dan kujunjung tinggi. Ah, selama ini aku benar-benar telah buta. Kedua mataku tidak ada gunanya sama sekali, tidak dapat melihat siapa adanya engkau ini. Apa lagi kalau aku ingat bahwa kebutaan kedua matamu adalah karena aku... ah, dan kau sudah menolong keselamatan nyawaku dan nyawa Hui Siang... dan kau pun sudah menyelamatkan surat wasiat... benar-benar aku menyesal. Tidak patut aku menjadi keturunan Kun-lun-pai!" Suara terakhir ini mengandung isak tertahan.
"Hushhh, kau jangan bicara seperti itu, Saudara Bun Wan. Tidak perlu kau membongkar-bongkar peristiwa lama. Kebutaanku adalah sudah dikehendaki Thian Yang Maha Kuasa, tidak perlu siapa pun menyesalkan. Kau seorang pendekar, seorang keturunan pahlawan, kau patut menjadi tokoh Kun-lun-pai."
"Ah, ucapanmu ini menunjukkan kebersihan hatimu, bahwa kau tidak pernah mendendam, dan aku selama ini... ah, Saudara Kun Hong, selama hidupku aku akan terus menyesal dan penyesalanku tidak akan pernah berakhir tanpa pengorbanan!"
"Saudara Bun Wan, jangan...!"
Kun Hong hanya dapat menduga dengan perasaannya yang halus saja bahwa pemuda Kun-lun yang berhati keras itu akan melakukan sesuatu yang ‘gila’. Akan tetapi karena matanya buta, tidaklah dapat dia melihat apa yang akan dilakukannya itu, maka dia hanya dapat mencegah dengan mulut.
Terdengar gerakan cepat disusul pekik Hui Siang, "Wan-koko...! Ah, Wan-koko... kenapa kau lakukan ini...?" Gadis itu menangis.
Kun Hong hanya berdiri pucat, tidak tahu bahwa untuk menyatakan penyesalan hatinya, dengan nekat Bun Wan sudah menggunakan jari tangannya mencokel keluar sebuah biji matanya sebelah kanan! Darah keluar dari lubang mata kanannya itu, akan tetapi pemuda itu dengan tegak masih berdiri, ditangisi oleh Hui Siang yang menjadi kebingungan tidak karuan.
"Ha-ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Puaslah hatiku kini. Untuk membutakan kedua mataku seperti yang telah kau lakukan, aku tak sanggup karena ilmu kepandaianku tidak mungkin setinggi tingkatmu. Aku masih membutuhkan mataku yang sebelah lagi demi... demi... Hui Siang..."
"Ahhh...!"
Pucat wajah Kun Hong dan sekali berkelebat dia sudah berada di hadapan Bun Wan. Tangannya meraba muka pemuda Kun-lun-pai itu dan tahulah dia kini bahwa pemuda itu benar-benar telah melakukan perbuatan gila, telah membutakan mata kanannya sendiri!
"Kau gila...! Bun Wan, mengapa kau lakukan ini?"
Dengan suara gemetar Bun Wan berkata, "Kau pun telah membutakan kedua matamu, karena aku! Dan kau berani membutakan mata biar pun kau seorang yang tidak bersalah dan kau masih mampu menjalani hidup ini dengan gagah perkasa, bahkan masih dapat menolong kami yang bermata! Kalau kau berani sehebat itu, apa artinya aku yang hanya berani membutakan sebelah mata karena penyesalanku dan karena dosa-dosaku...?"
"Gila...! Bocah gila...!"
Kun Hong cepat menotok jalan darah di tengkuk Bun Wan, kemudian dia menggunakan tongkatnya untuk mencoret beberapa huruf di dekat kakinya sambil menahan keharuan hatinya. Dengan suara serak dia pun berkata, "Kau carilah obat yang kutulis ini, kau pakai mengobati matamu... ahhh, tidak kusangka akan begini... Bun Wan, Hui Siang, selamat tinggal..."
Cepat-cepat Kun Hong membalikkan tubuh dan pergi dari situ agar tak tampak oleh dua orang itu betapa ada dua titik air mata menetes turun dari pelupuk matanya yang sudah kosong. Burung rajawali emas mengeluarkan suara merintih panjang, terbang di atasnya dan mengikutinya pergi dari situ, dipandang oleh Bun Wan yang masih berdiri tegak dan yang ditangisi Hui Siang yang memeluknya. Di bawah, di depan kaki pemuda Kun-lun-pai itu, di atas batu yang sangat keras, terdapat huruf-huruf coretan dalam, tadi dibuat oleh tongkat Kun Hong, menggores dalam seperti dipahat saja….
Sudah sebulan lebih Kong Bu beserta isterinya, Li Eng, meninggalkan puncak Min-san. Sebulan yang lalu, secara tiba-tiba seperti juga pada saat perginya, kakek Song-bun-kwi muncul di Min-san. Tadinya Kong Bu dan Li Eng menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hati mereka ketika dengan muka cemberut kakek itu berkata pendek,
"Kalian dengar baik-baik. Thai-san-pai telah diserbu orang, dirusak binasakan, dan banyak muridnya yang tewas. Adikmu Cui Sian diculik orang, sekarang ayahmu Tan Beng San dan isterinya meninggalkan Thai-san untuk mencari jejak musuh dan Cui Sian. Kau, Kong Bu, sebagai putera ketua Thai-san-pai, apa bila tidak cepat turun gunung membalas sakit hati ayahmu ini, kau akan menjadi dua kali puthauw (durhaka), selain goblok tidak bisa mempunyai keturunan juga durhaka karena tidak tahu budi orang tua." Hanya demikian saja kakek itu bicara, lalu membalikkan tubuh lari pula turun gunung.
Kong Bu dan isterinya saling pandang dengan muka pucat. Mereka tahu bahwa kakek itu masih saja penasaran dan marah karena mereka tidak mempunyai keturunan. Sakit hati mereka dikata-katai seperti itu oleh kakek mereka dan Li Eng yang biasanya tabah dan keras hati itu sudah menangis.
"Eng-moi," Kong Bu menghibur sambil memeluk isterinya, "sabarlah, sudah tidak aneh lagi kalau kakek bersikap seperti itu. Memang beliau seorang yang berwatak keras dan aneh."
Li Eng menggelengkan kepala. "Bukan itu... bukan itu..." kata Li Eng menahan isak. "Aku bersumpah, sebelum aku dapat melihat adik Cui Sian kembali kepada orang tuanya dan sebelum mampu membalas musuh-musuh Thai-san-pai, aku tidak akan mau pulang ke Min-san."
Kong Bu mengangguk. "Baiklah, mari kita turun gunung dan membantu ayah mencari adik Cui Sian sekalian membalas musuh-musuh itu."
Demikianlah, sepasang suami isteri ini lalu turun gunung, meninggalkan puncak Min-san dan mulai melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Semenjak mereka menikah empat tahun yang lalu, baru kali ini mereka melakukan perjalanan berdua, turun gunung. Dengan heran mereka mendapatkan kenyataan alangkah menyenangkan perjalanan ini, alangkah menggembirakan!
Perjalanan ini mengingatkan mereka akan pertemuan pertama mereka dahulu, pertemuan yang aneh, lucu dan mesra. Pada pertemuan pertama itu keduanya juga masing-masing sedang merantau seperti sekarang ini, begitu bertemu saling bermusuhan mengadu ilmu kepandaian sampai berjam-jam lamanya karena ilmu silat mereka memang setingkat.
Akhirnya Li Eng dapat dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Kong Bu, ke mana-mana dipondong di luar kemauan Li Eng. Kemudian, dengan menggunakan akal, Li Eng dapat merobohkan Kong Bu dan bertukar peranan. Li Eng yang sekarang menawan Kong Bu dan karena tidak sudi memondong tawanannya, ia lalu menyeretnya di sepanjang jalan. Semua peristiwa ini terbayang oleh sepasang suami isteri itu, menimbulkan kegembiraan besar dan kini mereka saling pandang dengan amat mesra, dengan kasih sayang baru. Kenangan masa lalu itu membangkitkan kembali kasih mesra di antara mereka.
Memang sesungguhnya sangatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan hal-hal seperti ini. Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai alat-alat mati, segalanya sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa perubahan, tiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan.
Tanpa disadari akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka menjadi hamba dari pada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri, memaksa mereka menjadi sebagian dari pada bangunan mesin rumah tangga yang mereka bentuk sendiri. Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang baru dan mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh ini pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan mencari sesuatu yang baru.
Begitu pula dengan suami isteri. Karena mereka hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya mereka pun membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan memperbarui atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri.
Suami isteri harus pandai memilih saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri dari pada keseragaman tiap hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri dari pada suasana sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan.
Demikianlah, dengan kepergian mereka turun gunung, tanpa disengaja Kong Bu dan Li Eng sudah menciptakan suasana baru. Tidak mengherankan apa bila mereka merasakan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa dalam perjalanan ini, seakan-akan mereka kini memasuki hidup baru yang jauh berbeda dari pada kehidupan mereka sehari-hari yang begitu-begitu saja di puncak Min-san.
Biasanya setiap hari mereka hanya mengenal hal-hal seperti ini, yaitu bangun pagi-pagi, melatih para murid, bekerja di ladang, melatih murid-murid lagi, malamnya berlatih sendiri, mengaso, tidur. Demikianlah acara tunggal mereka setiap hari. Pemandangan alam yang dilihat pun itu-itu juga. Kasihan, kan?
Sekarang, begitu keduanya turun gunung, mereka memasuki suasana baru. Hawa baru, pemandangan baru, pendengaran baru dan semuanya ini menyiram bunga kebahagiaan yang tadinya agak melayu oleh kebosanan. Bersinar-sinar mata mereka, bibir mereka pun tersenyum-senyum, kemerahan pipi Li Eng pada saat memandang suaminya, amat mesra pandang mata Kong Bu pada saat menatap wajah isterinya, dan keduanya mendapatkan kebagiaan baru dalam perjalanan ini.
Seperti juga yang telah dilakukan oleh kakek mereka, juga oleh suami isteri Thai-san-pai dan oleh Sin Lee dan isterinya, suami isteri Min-san ini pun melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Banyak sudah tokoh kang-ouw yang mereka datangi untuk dimintakan keterangan, kalau-kalau ada di antara mereka yang mendengar siapa-siapa yang telah menyerbu Thai-san. Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui akan peristiwa itu dan karenanya juga tidak dapat menduga-duga siapa yang memusuhi Thai-san.
Malah berita ini lalu mengejutkan dan menggegerkan dunia kang-ouw, karena kejadian itu sudah pasti akan berekor panjang. Siapa mereka yang begitu berani mati mengganggu Thai-san-pai? Dengan hati berdebar dan tegang, para tokoh kang-ouw kini menanti-nanti datangnya ledakan dahsyat akibat kejadian ini, karena tentu saja tidak boleh tidak pihak Thai-san-pai akan melakukan pembalasan!
"Tidak ada lain jalan, isteriku," kata Kong Bu ketika mereka berdua sedang mengaso pada tengah hari yang terik di bawah pohon besar, "kita harus mendatangi tempat tinggal para musuh Ayah. Penyerbuan di Thai-san itu agaknya dilakukan penuh rahasia sehingga tidak ada yang tahu. Menurut pendapatku, mereka yang menyerbu Thai-san-pai pasti keluarga atau pun handai-taulan dari musuh-musuh ayah. Tanpa dasar dendam sakit hati, siapakah orangnya yang berani dan mau menyerbu Thai-san-pai sedangkan ayah terkenal sebagai seorang pendekar besar?"
Li Eng sedang duduk melonjorkan kedua kakinya dan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu, kedua matanya dimeramkan. Agaknya ia nampak lelah sekali dan mengantuk. Mendengar ucapan suaminya, ia menjawab, "Memang agaknya begitu, akan tetapi yang lebih jelas lagi adalah bahwa mereka yang menyerbu itu tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mampu mereka mengganggu Thai-san-pai?"
Kong Bu setuju dengan pendapat isterinya ini. Ayahnya adalah Raja Pedang yang sukar dicari bandingannya di dunia kang-ouw, ibu tirinya juga seorang pendekar pedang wanita yang berilmu tinggi. Kalau bukan orang-orang sakti, takkan mungkin berani mengganggu ke sana, apa lagi sampai berhasil merusak binasakan dan menculik Cui Sian.
Ia mengingat-ingat mereka yang dahulu memusuhi ayahnya. Siauw-ong-kwi tokoh utama dari utara dan muridnya, Siauw-coa-ong Giam Kin, keduanya sudah sama tewas dalam pertemuan di Thai-san. Toat-beng Yok-mo juga sudah tewas, begitu pun Pak Thian Lo-cu dan Hek-hwa Kuibo.
Tokoh-tokoh utama dunia persilatan sudah banyak yang tewas dan di antara empat besar yaitu Song-bun-kwi dari barat, Swi Lek Hosiang dari timur, Siauw-ong-kwi dari utara dan Hek-hwa Kui-bo dari selatan, kini yang masih hidup hanya kakeknya, Song-bun-kwi dan Swi Lek Hosiang.
Akan tetapi Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang bukanlah orang yang termasuk menjadi musuh ayahnya. Ada pun kakeknya, walau pun dahulu memusuhi ayahnya, akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, malah membantu. Siapakah pula orang sakti yang dapat menyerbu ke Thai-san? Terbayanglah wajah Hek-hwa Kui-bo yang jahat dan dia mengingat-ingat siapa sanak keluarga nenek iblis ini.
Tiba-tiba dia meloncat bangun dan menepuk-nepuk pahanya. "Wah, kalau bukan mereka siapa lagi?"
Mendengar suara suaminya ini, Li Eng lalu membuka kedua matanya yang mengantuk, terheran-heran melihat sikap suaminya yang seperti keranjingan itu.
"Ehh, kau teringat siapakah?" tanyanya, terganggu karena tadi dia hampir pulas saking nikmatnya mengaso di bawah pohon yang teduh dan dikipasi angin semilir.
"Ketemu sekarang, Eng-moi! Tentu mereka, wah, siapa lagi kalau bukan mereka?"
Li Eng kini melempangkan punggungnya, duduknya tidak bersandar lagi, matanya sudah terbuka lebar menatap wajah suaminya. "Duduklah yang baik, bicara yang benar! Siapa yang kau maksudkan? Kau seperti sedang teringat kepada kekasihmu yang dulu saja."
"Eh, ehh, tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja kau cemburu?" Kong Bu segera duduk di dekat isterinya dan merangkul lehernya. "Sejak dahulu kekasihku hanya kau, ada siapa lagi? Aku bukan sedang teringat akan kekasih, melainkan teringat akan murid mendiang Hek-hwa Kui-bo, yaitu ketua Ngo-lian-kauw yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Kau tentu masih ingat akan dia, bukan? Nah, dia sudah tewas tetapi Ngo-lian-kauw masih berdiri, kabarnya malah makin kuat. Orang-orang Ngo-lian-kauw lihai, juga licin dan curang sekali. Mereka patut dicurigai. Kurasa, setidak-tidaknya mereka tentu bercampur tangan dalam penyerbuan Thai-san-pai."
Li Eng mengerutkan keningnya yang hitam panjang, lalu mengangguk-angguk. "Betul juga katamu, kalau mengingat mereka, aku pun curiga. Perkumpulan iblis itu dapat melakukan kejahatan yang bagaimana pun juga."
"Aku tahu sarangnya!" Kong Bu berkata cepat. "Ngo-lian-kauw (Perkumpulan Agama Lima Teratai) berpusat di lembah Sungai Huai, di sebelah barat kota raja dan sebelah utara kota Ho-pei. Li Eng, hayo kita berangkat sekarang juga."
Kong Bu melompat berdiri lagi, akan tetapi dia memandang heran kepada isterinya yang masih saja duduk bermalas-malasan, malah sambil menguap dan mengulet isterinya kini kembali bersandar kepada batang pohon. Kong Bu memegang tangan Li Eng, menarik-nariknya mengajak bangun. "Hayo, bangunlah...!"
Tetapi dia menjadi keheranan ketika melihat Li Eng sama sekali tidak mau bangun berdiri, malah merenggut tangannya.
"Ihhh, kenapakah kau ini?" Kong Bu cepat berlutut lagi dekat isterinya. "Kenapa malas benar? Atau tidak enakkah badanmu?"
"Entahlah, aku malas... ngantuk. Kita mengaso dulu, biarlah aku tidur, hari masih amat panas, aku ogah melakukan perjalanan. Di sini enak sekali, sejuk dan nyaman. Nanti saja kalau sudah teduh kita melanjutkan perjalanan, mengapa sih buru-buru amat?”
Kong Bu memandang amat terheran-heran. Ini bukan watak Li Eng sehari-hari, pikirnya. Biasanya, isterinya adalah seorang wanita yang lincah, yang selalu bergerak bagai burung walet, tak mau diam apa lagi bermalas-malasan seperti ini. Apakah yang terjadi? Kenapa isterinya mengalami prerubahan watak begini aneh?
"Eng-moi, sakitkah kau...?" Dengan penuh kasih sayang Kong Bu meraba jidat isterinya.
Akan tetapi Li Eng mengipatkan tangan itu dan berkata, suaranya agak kaku, "Jangan ganggu aku! Aku mau tidur, aku tidak sakit apa-apa!" Dan ia tidak mau pedulikan lagi pada suaminya karena matanya sudah meram dan ia benar-benar berusaha untuk tidur.
Kong Bu tercengang, lalu duduk termenung menatapi wajah isterinya. Benar-benar luar biasa. Kenapa Li Eng jadi berangasan seperti ini? Tampaknya hendak marah-marah, akan tetapi anehnya, sebentar saja isterinya itu telah pulas, bisa diketahui dari pernapasannya yang panjang. Kong Bu terpaksa menahan sabar, menunda keberangkatannya ke sarang Ngo-lian-kauw untuk menyelidiki perkumpulan itu yang dia duga tentu mempunyai saham besar dalam peristiwa penyerbuan Thai-san-pai.
Memang panas hawa pada tengah hari yang amat terik itu. Biar pun sinarnya ditangkis oleh dahan-dahan pohon, tapi sinar yang menerobos dari celah-celah daun menyilaukan mata. Nyaman berlindung di bawah pohon itu, dan Kong Bu perlahan-lahan mengantuk juga setelah lama dia memandang wajah isterinya yang sudah tidur pulas dengan aman tenteramnya.
Akan tetapi selagi dia layap-layap hendak pulas, dia terbangun lagi. Cepat dia duduk dan memperhatikan. Tidak salah, ada orang bernyanyi-nyanyi di tengah hutan. Suara orang itu makin lama makin jelas, tanda bahwa orang yang bernyanyi itu sedang berjalan menuju ke mari. Suaranya parau dan keras, akan tetapi kata-kata dalam lagu yang dinyanyikan itu menarik perhatian Kong Bu. Dia memperhatikan. Mendengar suara nyaring itu diam-diam dia dapat menduga bahwa orang yang lewat di hutan dan bernyanyi ini tentulah seorang berkepandaian.
Kemenangan melahirkan kesombongan
menimbulkan benci permusuhan
hidup tak tenteram lagi.
Kekalahan melahirkan penasaran
menimbulkan dendam memupuk pembalasan
hidup tak tenteram lagi.
Yang melempar jauh-jauh kemenangan mau pun kekalahan
dialah orang bahagia.
Yang dikagumi dan dikehendaki para bijak budiman
adalah kemenangan batin!
Suara orang yang bernyanyi itu kini tidak semakin dekat, tanda bahwa orang itu agaknya juga berhenti, akan tetapi terus bernyanyi. Sehabis bernyanyi dengan suara parau seperti kaleng diseret, terdengar dia terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh tertawa,
"Ha-ha-he-he-he, pendeta-pendeta palsu, hwesio-hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya, bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih suci di antara segala ayat dari pada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayatnya tetap suci, para pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat suci tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!"
Diam-diam Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya ditujukan untuk mengejek para hwesio yang biasanya melakukan sembahyang dan berdoa dengan lagu seperti itu. Tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apa lagi pada saat itu dia bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk di hari hujan.
Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana
mengenal diri sendiri barulah waspada.
Mengalahkan orang lain memang kuat badannya
mengalahkan diri sendiri barulah kuat batinnya.
"He-he-heh, segala tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-tek-keng. Akan tetapi hanya mulut... mulut...! Lidah tidak bertulang, orang nampak manis pada mulutnya, gigi nampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor... kotor... palsu! Ha-ha-ha-he-he-he, hwesio-hwesio dan tosu-tosu sama saja, setali tiga uang. Mulut dan hati bagaikan bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti terang dengan gelap!"
Terdengar suara orang itu mendekat lagi. Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tak boleh main-main. Lebih baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya.
Dia sudah banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiri pun seorang yang dijuluki iblis. Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para pendeta, baik pendeta hwesio (Buddha) mau pun pendeta tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat suci mereka. Orang yang sudah membenci semua pendeta, meski pun mengejek kepalsuan mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang ini amatlah berbahaya...
Dasar Loan Ki seorang yang nakal. Melihat ini, saking girangnya karena Nagai Ici ternyata berani mati membelanya, ia mengejek, "Hi-hik, nenek buruk, baju siapakah yang robek?"
Gui Hwa menjerit marah, pedangnya cepat berkelebat ke arah dada Nagai Ici merupakan tusukan maut. Kini ia tidak main-main lagi. Tadi sengaja ia tidak mau melukai Loan Ki, hanya berusaha mendesaknya dan mencari kesempatan untuk merobek-robek pakaian gadis itu. Kini dalam kemarahannya, ia menggunakan jurus mematikan untuk membalas perbuatan Nagai Ici yang ia anggap penghinaan besar itu.
Agaknya pemuda ini tidak akan mampu mempertahankan dirinya lagi. Baiknya Loan Ki yang melihat bahaya ini, cepat menangkis pedang Gui Hwa sehingga Nagai Ici terlepas dari pada bahaya maut.
"Minggirlah, kau sudah terluka...," pinta Loan Ki sambil mendorong pemuda itu ke pinggir.
Ia sendiri menghadapi Gui Hwa yang kini menyerangnya tanpa sungkan-sungkan lagi. Semua jurus yang dia lancarkan dalam penyerangan ini adalah jurus yang mengandung hawa maut, tidak main-main lagi seperti tadi. Loan Ki berusaha mempertahankan diri, namun pada suatu saat ia kurang cepat dan…
"Breett!" ujung bajunya terbabat putus sebagai pengganti lengannya!
Ia menjadi pucat, tetapi tetap melawan terus, biar pun ia didesak hebat. Kembali Nagai lci meloncat lantas menerkam Gui Hwa karena melihat betapa Loan Ki hampir kalah. Dia khawatir sekali kalau-kalau gadis pujaan hatinya itu akan terluka hebat, maka dengan nekat dia menerjang lagi tanpa mempedulikan larangan Loan Ki. Gui Hwa sudah siap. Begitu melihat tubuh pemuda itu maju selagi pedangnya bertemu dengan pedang Loan Ki, dia memapaki dengan tendangan.
"Bleeeggg!"
Tubuh Nagai Ici terjengkang dan pemuda ini muntahkan darah segar. Namun dia bangkit lagi, menekan dada dan dengan nekat dia hendak maju menerjang lagi untuk membantu Loan Ki. Sementara itu, melihat Nagai Ici tertendang, Loan Ki menjadi kaget dan marah sehingga perasaan ini membuat langkah-langkah ajaibnya menjadi kacau balau. Ketika pedang Gui Hwa menyambar, tak dapat ia mengelak lagi dan terpaksa menerima dengan pedangnya. Dua pedang menempel dan kedudukan Loan Ki sudah terjepit. Gui Hwa sudah mengulur tangan kiri hendak merobek pakaian gadis itu.
"Tahan...!" terdengar bentakan mengguntur.
Mendadak Gui Hwa terjengkang ke belakang, terhuyung dan cepat menarik pedangnya lantas bersiap sedia. Kiranya tadi Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang mendorongnya untuk menolong puterinya. Semua orang memandang ke arah ayah dan anak yang kini sedang berhadapan muka.
"Ayah, kau membiarkan anakmu dihina orang, sekarang kau mau apa lagi? Aku tidak tahu menahu tentang surat, dan aku pun tidak sudi digeledah, lebih baik mati!" Loan Ki berkata dengan sikap menantang, lehernya tegak, kepala dikedikkan, kedua mata bersinar-sinar akan tetapi air mata mengalir turun ke atas kedua pipinya, bibirnya pucat tetapi digigitnya sendiri untuk memperkuat kenekatan hatinya.
"Loan Ki, berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu menahu akan surat rahasia itu?" bentak ayahnya.
"Aku bersumpah, demi arwah Ibu!"
Terpukullah hati Beng Kui mendengar sumpah ini, seakan dia diingatkan bahwa puterinya ini semenjak kecil tidak lagi ditunggui ibunya. Hatinya perih sekali. Tiba-tiba dia menoleh kepada Nagai Ici yang masih berdiri tegak dengan muka pucat, tetapi dengan sikap nekat membela Loan Ki.
"Siapa dia?" tanya Sin-kiam-eng.
"Dia sahabat baikku, Ayah, tadinya hendak kubawa kepadamu agar menjadi muridmu. Dia bernama Nagai Ici."
"Apa...? Seorang Jepang? Bajak laut...?" Tan Beng Kui kaget sekali, kaget dan kecewa.
"Siapa bilang dia bajak laut?" Loan Ki juga berteriak, tidak kalah nyaringnya dengan suara ayahnya. "Dia adalah seorang pendekar, berjuluk Samurai Merah! Dia orang gagah yang datang ke sini dengan maksud mencari guru yang pandai. Dia sahabatku, Ayah, buktinya tadi, kalau ayahku sendiri tidak peduli akan keadaanku, dia membantuku mati-matian!"
Tan Beng Kui menundukkan kepala, menarik napas panjang, lalu berpaling kepada Bhok Hwesio. "Bhok-losuhu, aku percaya bahwa anakku tidak membawa surat itu. Aku minta supaya dia dan sahabatnya dilepas dan jangan diganggu lagi."
"Hemmm, mana mungkin begitu, Sicu? Pinceng pernah mendengar dari pengawal istana Tiat-jiu Souw Ki bahwa yang merampas mahkota dahulu dari tangannya adalah puterimu inilah, dibantu oleh Kun Hong si pemberontak buta. Jelas bahwa anakmu ini membantu para pemberontak. Mana bisa pinceng percaya bahwa surat itu tidak berada padanya? Kalau memang sudah digeledah tidak ada, biarlah pinceng memandang persahabatan di antara kita dan pinceng perbolehkan dia pergi."
"Bhok-losuhu, apakah kau tidak percaya kepadaku?"
Kembali hwesio itu tertawa dengan tenang. "Tan-sicu, memang biasanya, seorang gagah di dunia kang-ouw paling memegang teguh kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tetapi sekarang kedudukan kita lain lagi. Kita bekerja demi keselamatan negara, dan karenanya peraturan yang berlaku juga peraturan negara, bukan peraturan kang-ouw lagi. Sebagai petugas, mau tidak mau pinceng harus mendahulukan kepentingan negara. Pinceng kira bagimu juga seharusnya demikian, kepentingan tugas lebih tinggi dari pada kepentingan antara ayah dan anak. Biarkan It-to-kiam Gui Hwa memeriksanya, kalau memang dia tidak membawa surat, itu, boleh dia pergi."
"Aku tidak sudi! Lebih baik mati dari pada menyerah di bawah penghinaan kalian!" Loan Ki berseru marah.
"Jangan takut, Loan Ki. Aku membantumu, kalau perlu kita mati bersama!" berkata pula Nagai Ici dengan tabah dan gagah.
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui kembali menghadapi puterinya, memandang tajam pada dua orang muda itu sampai lama sekali, kemudian suaranya terdengar menggetar, "Nagai Ici, kau siap melindunginya dengan jiwa ragamu?"
"Siap!" seru Nagai Ici dengan sikap tegak.
"Kau... kau mencinta Loan Ki dengan seluruh jiwa ragamu?"
"Ya!" jawab pemuda itu pula, tanpa ragu-ragu. "Aku siap mati untuk Loan Ki!"
Tan Beng Kui tersenyum getir, kemudian berkata kepada Loan Ki, "Anakku, kau merasa bahagiakah di samping Nagai Ici?"
Merah muka yang pucat itu seketika dan air matanya deras mengalir. "Ayah... dia baik sekali...," jawabnya perlahan.
"Cukup! Nagai Ici, mulai saat ini aku menyerahkan keselamatan anakku ke tanganmu. Nah, sekarang pergilah jauh-jauh dan jangan mencampuri urusanku, jangan mencampuri urusan negara lagi. Pergilah! Cepat!"
Agaknya Nagai Ici maklum akan isi hati pendekar pedang ini. Dia lalu menggandeng tangan Loan Ki dan diajaknya gadis itu pergi dari tempat itu.
"He, jangan pergi dulu!" seru Lui-kong Thian Te Cu.
"Siinngggg…!"
Sinar pedang berkelebat dan tahu-tahu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sudah menghadang Thian Te Cu dengan pedang di tangan serta sikap yang kereng dan gagah menantang. Sepasang matanya menyala-nyala ketika menatap tiga orang di depannya, Bhok Hwesio, Thian Te Cu dan Gui Hwa.
"Aku mengganti mereka dengan nyawaku! Siapa yang berniat mengejar mereka akan berhadapan dengan pedangku." Suaranya nyaring sehingga bergema, terdengar pula oleh Loan Ki yang menoleh dan menoleh lagi sambil terisak menangis, akan tetapi Nagai Ici terus menyeretnya pergi.
"Omitohud! Tan-sicu apakah hendak memberontak?"
"Bhok Hwesio, baru kali ini kau muncul dalam urusan negara, tetapi kau sudah hendak membuka mulut besar bicara mengenai pemberontakan? Huh, kau mau bersikap sebagai pahlawan? Dengarlah kalian bertiga! Di jamannya mendiang kaisar ketika masih menjadi pejuang Ciu Goan Ciang, aku Tan Beng Kui sudah menjadi pejuang mengusir penjajah Mongol. Kalian bertiga tahu apa tentang perjuangan? Kalian hanya datang dan enak-enak mendapatkan kedudukkan tinggi dan kemuliaan, sekarang sudah akan bersikap sombong menganggap diri sendiri benar? Menjemukan sekali !"
"Tan Beng Kui, apa yang kau bicarakan ini?" Bhok Hwesio marah. "Kalau kau memang tidak mempunyai hati memberontak terhadap kaisar seharusnya kau akan mementingkan urusan tugas, tidak memberatkan anakmu. Kau telah membiarkan anakmu terlepas, apa kau kira pinceng tak dapat mengejarnya?"
"Harus melalui pedang beserta mayatku!" teriak Tan Beng Kui marah. "Anakku sudah bersumpah demi arwah ibunya. Ini jauh lebih kuat, lebih penting dari pada segala urusan tetek-bengek. Selama aku masih dapat menggerakkan pedang, jangan harap kalian akan dapat mengganggu Loan Ki!"
"Kau memang pemberontak! Dahulu pun pernah menjadi pemberontak, siapa tidak tahu?"' Lui-kong Thian Te Cu berseru marah.
Dengan senjatanya tanduk rusa dia sudah bergerak menyerang. Juga It-to-kiam Gui Gwa sudah menerjang dengan pedangnya. Sambil memutar pedang, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui maju menghadapi dua orang itu. Ilmu pedangnya hebat bukan main. Ilmu Pedang Sin-li Kiam-sut yang sudah dikuasainya benar sehingga baik It-to-kiam Gui Hwa mau-pun Lui-kong Thian Te Cu yang lihai merasa terkesiap dan terdesak oleh sinar pedang yang bergulung-gulung itu.
"Omitohud, semua pemberontak harus dibasmi, baru aman negara!" Bhok Hwesio berseru sambil melangkah maju.
Dia bertempur dengan tangan kosong saja, akan tetapi jangan dikira bahwa dia boleh dipandang ringan karena tidak bersenjata. Sepasang ujung lengan bajunya merupakan sepasang senjata yang amat ampuh, kalau digunakan memukul melebihi kerasnya ruyung baja dan kalau menotok tiada ubahnya senjata toya. Juga kibasan kedua tangannya sama ampuhnya dengan tebasan pedang tajam. Jangan kata sampai kena terpukul, baru angin pukulannya saja sudah mendatangkan angin dingin yang terasa tajam menusuk kulit.
Sesungguhnya ilmu pedang dari Tan Beng Kui sangat hebat. Hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia adalah murid tertua dari mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan yang berjuluk Bu-tek Kiam-ong (Raja Pedang Tanpa Tanding). Kalau mau bicara tentang ilmu pedang, kiranya tiga orang lawan yang mengeroyoknya ini tidak akan ada yang mampu menandinginya, biar pun It-to-kiam Gui Hwa juga memiliki ilmu pedang tingkat tinggi dari Kun-lun-pai.
Akan tetapi, ilmu pedang semata bukan merupakan ilmu yang mutlak dapat menentukan kemenangan, sebab dalam banyak hal lain, dia kalah ampuh oleh ketiga orang lawannya. It-to-kiam Gui Hwa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, setingkat lebih tinggi dari pada ilmunya sendiri sehingga dengan keringanan tubuhnya itu, It-to-kiam Gui Hwa dapat menutupi kekurangannya dalam hal ilmu pedang.
Lui-kong Thian Te Cu mempunyai khikang yang hebat, sehingga setiap kali mengeluarkan bentakan dalam pertempuran, membuat jantung Sin-kiam-eng Tan Beng Kui tergetar dan mengacaukan permainan pedangnya. Lebih hebat lagi adalah Bhok Hwesio, karena hwesio ini benar-benar kosen dan gagah sekali. Hwesio Siauw-lim ini memiliki tenaga dalam yang sangat hebat. Dorongan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang selalu berhasil memukul miring pedang di tangan Tan Beng Kui.
Tan Beng Kui mempertahankan diri mati-matian. Dia pun maklum bahwa kalau dia terlalu cepat jatuh, keselamatan Loan Ki masih terancam bahaya besar. Dia rela mengorbankan diri asal anaknya itu sudah lari jauh dan tidak akan dapat dikejar lagi oleh tiga orang ini.
Dia tadi sudah menyaksikan kesetiaan dan kecintaan hati pemuda Jepang itu dan hatinya lega. Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa sepeninggalnya, Loan Ki sudah terjamin hidupnya, sudah ada orang yang menggantikan kedudukannya, bahkan yang agaknya lebih mencintainya dengan segenap jiwa raganya. Kenyataan bahwa pemuda itu adalah seorang Jepang tidak mengecewakan hatinya. Dia sudah sering kali mendengar betapa bangsa di seberang lautan itu pada jaman dahulunya juga serumpun dengan bangsanya, malah dia mendengar bahwa bangsa itu mempunyai kecerdikan tinggi.
"Siaaattttt!"
Ujung lengan baju sebelah kiri dari Bhok Hwesio menghantamnya dari pinggir. Biar pun dia sudah berhasil mengelak, tetapi angin pukulannya memanaskan telinga membuat dia agak nanar. Pada saat itu, pedangnya beradu dengan pedang It-to-kiam Gui Hwa dan pada detik berikutnya, tanduk rusa di tangan Thian Te Cu sudah menusuk ke arah perut.
"Siiiinggggg!"
Tarikan pedang Tan Beng Kui membuat It-to-kiam menjerit kesakitan karena pedangnya sendiri tergetar hebat dan telapak tangannya terasa panas hingga dia terpaksa melompat mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tan Beng Kui untuk membabat ke depan dan menangkis tanduk rusa, kemudian mementalkan pedangnya ke kanan untuk mengirimkan tusukan maut ke arah leher Bhok Hwesio yang sudah mendekatinya.
"Omitohud, kau bosan hidup...!" seru hwesio itu.
Ujung lengan bajunya yang kanan menyambar, bertemu dengan ujung pedang, membuat Tan Beng Kui merasa kaget sekali karena tahu-tahu ujung lengan baju itu sudah melibat pedangnya, tak dapat dia tarik kembaii. Dia masih mampu merendahkan tubuh mengelak dari pada sambaran pedang Gui Hwa yang mengarah lehernya, juga serangan Thian Te Cu dia gagalkan dengan sebuah tendangan kilat ke pergelangan tangan yang memegang tanduk rusa. Namun pada saat itu, tangan kiri dengan telapak tangan yang besar lebar dari Bhok Hwe-sio sudah menyambar dan tidak dapat dia hindari lagi punggungnya kena ditampar.
"Plaakkkk...!"
Tan Beng Kui mengaduh, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dan pedangnya lepas dari tangan. Mukanya pucat sekali. Ia telah menerima tamparan maut yang mengandung tenaga lweekang dan yang telah merusak isi dadanya. Akan tetapi dia benar-benar gagah perkasa karena begitu merasa bahwa dadanya terluka hebat sebelah dalam, dengan nekat dia lantas menerjang maju, mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah Bhok Hwesio sambil mengerahkan semua tenaganya. Bhok Hwesio tersenyum mengejek, menerima pukulan ini dengan tangan yang dibuka.
Kedua tangan itu bertumbukan di udara. Akibatnya tubuh Tan Beng Kui kembali mental ke belakang, akan tetapi Bhok Hwesio juga terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah hwesio ini. Tidak disangkanya sama sekali bahwa dalam keadaan terluka hebat, lawan itu masih memiliki tenaga demikian besarnya.
Tan Beng Kui roboh dan bangkit lagi sambil muntahkan darah segar dari mulutnya, malah masih sempat mengelak dari sambaran tanduk rusa dan membalas serangan Thian Te Cu ini dengan sebuah pukulan tangan kiri. Namun tenaganya sudah hampir habis sehingga begitu Thian Te Cu menangkisnya, dia kembali roboh. Pada saat itu It-to-kiam Gui Hwa sudah meloncat maju dan pedangnya berkelebat menusuk dada.
"Criiiinggggg...!"
Gui Hwa menjerit sambil meloncat mundur ketika terlihat berkelebatnya sinar kilat disusul suara keras dan patahnya pedang di tangannya. Tiga orang itu terkejut memandang dan tahu-tahu di situ sudah berjongkok seorang laki-laki gagah perkasa yang memeluk leher Beng Kui dengan tangan kiri, sedangkan sebatang pedang yang berkilauan terpegang di tangan kanan.
"Omitohud... bukankah yang datang ini adalah ciangbunjin (ketua) Thai-san-pai, Tan Beng San taihiap...?" seru Bhok Hwesio terkejut ketika mengenal laki-laki itu.
Memang tidak salah. Laki-laki itu adalah Tan Beng San, ketua dari Thai-san-pai yang tadi menggunakan pedang Liong-cu-kiam menyelamatkan Tan Beng Kui dari tusukan pedang It-to-kiam Gui Hwa sehingga sekaligus mematahkan pedang nyonya itu.
Dia tidak menjawab kata-kata Bhok Hwesio, melainkan cepat mengangkat kepala Beng Kui dan dipangkunya. Dengan sedih dia mendapat kenyataan bahwa keadaan kakaknya ini sudah tidak dapat ditolong lagi karena menderita luka dalam yang amat parah. Beng Kui membuka matanya, terbelalak seperti orang terheran-heran dan tidak percaya, kemudian dia tersenyum dan mengedipkan mata lalu merangkul Beng San.
"Aduh, kau Beng San... adikku... siapa kira kau malah orangnya yang akan menunggui kematianku..." Kemudian dia tertawa terbahak-bahak dan terpaksa berhenti ketawa sebab kembali dia muntahkan darah.
Beng San cepat mengurut dada kakak kandungnya serta menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan muntah darah ini dan mengurangi rasa nyeri. Mendadak Beng Kui mendapatkan kembali tenaganya. Dia mendorong Beng San minggir, lalu berdiri dengan susah payah. Kembali dia tertawa menghadapi tiga orang lawannya itu.
"Beng San, adikku, terima kasih... jangan kau mencampuri urusanku."
"Kui-koko, mereka ini orang-orang tak tahu malu, melakukan pengeroyokan atas dirimu..."
"Tidak! Mereka adalah orang-orangnya kaisar yang hanya melakukan tugas mereka dan aku... ha-ha-ha, aku sekarang berani menentang mereka, demi anakku... ahh... Beng San, aku titip Loan Ki kepadamu... dia dan sahabat baiknya, pemuda perkasa Jepang, Nagai... eh, Nagai Ici, ha-ha-ha! Hayo, Bhok Hwesio, Thian Te Cu, dan It-to-kiam, aku bilang tadi, kalian baru dapat mengejar Loan Ki melalui mayatku. Aku belum menjadi mayat dan... anakku sudah pergi jauh... tidak mungkin kalian kejar, ha-ha-ha!"
Mendadak Tan Beng Kui menubruk maju, mengirim pukulan kilat kepada tiga orang itu secara mengawur. Melihat adegan itu, tiga orang tokoh ini sudah merasa tidak enak hati. Kini serangan Tan Beng Kui tentu saja tidak mereka layani, berbereng mereka melompat mundur dan Beng Kui terjungkal dengan sendirinya, tidak mampu bangun kembali. Beng San cepat menghampirinya, berlutut.
"Beng San... kau melupakan semua kesalahanku dahulu... bagus, beginilah adikku sejati... huh... aku titip Loan Ki... Loan... Ki..."
Pendekar pedang ini menghembuskan napas terakhir dalam rangkulan adik kandungnya yang sejak dahulu dimusuhinya. Sambil menghela napas panjang Beng San meletakkan tubuh kakak kandungnya di atas tanah, kemudian perlahan-lahan dia bangkit, berdiri sambil menatap wajah tiga orang itu berganti-ganti. Akhirnya terdengar suaranya, sangat jelas, lambat-lambat, namun nyaring berwibawa.
"Aku mentaati permintaan terakhir kakakku, tidak akan mencampuri urusan kalian bertiga dengannya. Akan tetapi, aku melarang kalian melanjutkan pengejaran terhadap Loan Ki puteri kakakku. Kalau kalian tidak terima, hayo kalian maju mengeroyokku seperti yang kalian bertiga lakukan kepadanya!" Dengan pedang melintang di depan dada, Beng San menantang, sikapnya garang, kemarahannya ditahan-tahan.
"Omitohud...!" Bhok Hwesio merangkapkan kedua tangannya di depan dada. "Selamanya Siauw-lim tidak pernah bermusuhan dengan Thai-san..."
"Losuhu tidak usah membawa-bawa nama partai. Ini urusan pribadi antara Tan Beng San dan tiga orang tokoh yang baru saja mengeroyok dan membunuh kakakku!"
Lui-kong Thian Te Cu dan It-to-kiam Gui Hwa nampak ragu-ragu, jelas bahwa mereka merasa jeri terhadap ketua Thai-san-pai ini. Sudah sering kali mereka mendengar nama besar Raja Pedang ini, apa lagi tadi dengan sekali gebrak saja Raja Pedang ini berhasil mematahkan pedang It-to-kiam Gui Hwa.
Hanya Bhok Hwesio yang masih tenang, lalu dia tersenyum tawar. "Tugas pinceng adalah mengamankan negara, membasmi para pemberontak yang ingin membikin kacau negara, sama sekali bukan menanam permusuhan dengan siapa pun juga, Tan-taihiap, selamat berpisah."
Dia lalu membalikkan tubuhnya, mengambil dua keping potongan mahkota lalu bergegas meninggalkan tempat itu, diikuti oleh kedua temannya. Beng San masih berdiri tegak dengan pedang melintang di dada. Besar keinginan hatinya untuk melompati mereka, untuk menyerang mereka, mengajak mereka memperhitungkan kematian kakak kandungnya.
Biar pun kakak kandungnya ini selalu memusuhinya, banyak sudah mendatangkan derita dalam hidupnya, namun dia tetap mengasihi kakak kandungnya. Akan tetapi perasaan itu dia tahan-tahan karena masih berdengung di telinganya pesan terakhir kakaknya itu, pula, ia pun meragu apakah orang sakti seperti Bhok Hwesio itu berada di pihak yang salah.
Setelah tiga orang itu tidak tampak bayangannya lagi, kembali ke jurusan kota raja, dia lalu berjongkok dan dengan perasaan berat sekali dia lalu memondong jenazah kakaknya, mencarikan tempat yartg baik tanahnya di dalam hutan sebelah timur kota raja, kemudian menguburnya dengan penuh hormat dan khidmat.
Tubuh pendekar pedang ini tampak kurus dan agak pucat. Memang dia telah menderita tekanan batin yang hebat sekali. Anaknya, Cui Sian, diculik orang, Thai-san-pai dirusak binasakan musuh, banyak anak murid yang tewas, isterinya marah-marah dan melarikan diri mencari Cui Sian.
Dia sendiri sudah berkelana mencari jejak isterinya dan menyelidiki tentang musuh-musuh yang sudah menyerbu Thai-san dan yang telah menculik anaknya. Dari beberapa orang kenalan di dunia kang-ouw, dia dapat mendengar bahwa tiga orang wanita yang berilmu tinggi itu sangat boleh jadi adalah Ang Hwa Sam-ci-moi yang belum pernah dia dengar namanya karena ketiga orang tokoh ini baru beberapa tahun saja memasuki pedalaman, datang dari See-thian.
Akan tetapi ketika mendengar bahwa tiga orang kakak beradik ini adalah para sumoi (adik seperguruan) Hek-hwa Kui-bo, kecurigaannya menebal. Apa bila mereka itu sumoi-sumoi dari Hek-hwa Kui-bo, sangat boleh jadi mereka melakukan perbuatan itu untuk membalas dendam terhadap suci (kakak seperguruan) mereka. Akan tetapi, agaknya mereka tidak bekerja bertiga saja, tentu ada orang-orang lain. Sukarnya, tidak seorang pun yang tahu di mana adanya Ang Hwa Sam-ci-moi itu.
Dia seakan-akan meraba di dalam gelap dan perantauannya membawanya ke kota raja karena dia berpendapat bahwa segala sesuatu mengenai keadaan orang-orang besar di dunia kang-ouw, lebih mudah diselidiki di kota raja. Apa lagi karena urusan di Thai-san ini agaknya ada hubungannya dengan kematian Tan Hok, berarti ada hubungannya dengan urusan kerajaan, karena semenjak dahulu Tan Hok adalah seorang pejuang dan bahkan akhir-akhir ini menjadi pembesar yang dipercaya oleh kaisar pertama Ahala Beng.
Demikianlah, secara kebetulan sekali, di luar kota raja dia melihat pengeroyokan atas diri Tan Beng Kui. Sayang dia agak terlambat sehingga kakak kandungnya itu tewas dalam pertempuran. Setelah dia selesai mengubur jenazah kakaknya, Beng San ragu-ragu untuk memasuki kota raja.
Dia lalu teringat akan Loan Ki. Setelah pertemuan terakhir dengan kakak kandungnya, timbullah secara tiba-tiba kerinduan hatinya untuk bertemu dengan keturunan kakaknya ini, dengan keponakan tunggalnya. Semenjak berpisah dengan kakaknya belasan tahun yang lalu, dia tidak pernah bertemu lagi dan tidak tahu keadaan kakaknya itu. Sekarang pertemuan terakhir membangkitkan kembali kasih sayang lama.
Loan Ki, Tan Loan Ki, demikian nama keponakannya. Dengan pemuda Jepang? Pesan terakhir kakaknya terngiang di telinganya. Lebih baik sekarang menyusul Loan Ki. Kenapa tidak? Selain dia dapat bertemu dengan keponakannya itu dan dapat menjaganya serta memberi petunjuk, juga dari keponakannya itu dia dapat mendengar banyak hal tentang kakaknya, tentang keadaan kota raja. Siapa tahu keponakannya itu akan mendengar pula tentang Thai-san-pai. Maklumlah, puteri seorang pendekar seperti kakaknya tentu tidak asing pula dengan keadaan dunia kang-ouw.
Berpikir demikian, Beng San kemudian melompat dan berlari cepat sekali, menyusul keponakannya yang agaknya lari ke arah timur seperti yang tadi ditunjuk oleh kakaknya. Ilmu lari cepat yang digunakan oleh Beng San ini adalah Ilmu Lari Cepat Liok-te Hui-teng Kang-hu, ilmu lari cepat yang dilakukan sambil melompat-lompat dan kecepatannya seperti terbang saja.
Wusssssss...!
"Kanda Bun Wan...!"
Seruan girang ini mengagetkan Bun Wan yang sedang berjalan dengan kepala tunduk dan hati penuh kekecewaan. Dia mengangkat mukanya dan kaget melihat bahwa yang memanggilnya dengan suara merdu dan gembira itu bukan lain adalah Giam Hui Siang, gadis dari Pulau Ching-coa-to itu!
Pertemuan ini sama sekali tidak pernah diduga-duganya. Sekarang dia berada jauh dari Ching-coa-to, di sebuah hutan di luar kota raja. Baru saja dia mengalami kekecewaan dan penyesalan karena dia kalah dalam perebutan mahkota kuno.
"Hui Siang! Kau dari mana, bagaimana bisa berada di sini?" tanyanya, tersenyum sambil mengusap rambut kepala gadis yang telah merangkulnya dengan sikap manja dan penuh cinta kasih itu.
"Kanda Bun Wan, kau benar-benar tidak tahu dicinta orang," Hui Siang berkata manja. "Kenapa kau tinggalkan aku di Ching-coa-to? Kenapa kau pergi secara diam-diam? Aku kesepian di sana, Ibu belum pulang dan karena kau bilang ingin pergi ke kota raja, aku lalu menyusulmu. Sungguh kebetulan sekali kita bisa bertemu di sini, bukankah ini tanda bahwa kita benar-benar berjodoh, kanda Bun Wan?"
Bun Wan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. "Hui Siang, kau seperti anak kecil saja. Apakah kau tidak percaya bahwa aku akan datang kembali ke sana menjemputmu?"
Hui Siang merengut dan mukanya yang cantik itu kelihatan susah. "Wan-koko, banyak sudah kudengar laki-laki yang tidak memegang teguh janjinya dalam hubungan mereka dengan wanita. Hanya bermanis mulut menjual madu di bibir kalau berhadapan, akan tetapi begitu berpisah lalu bercabang hati dan lupa akan sumpah dan janji. Banyak sudah contohnya. Ibu sendiri bertahun-tahun menderita karena Ayah. Kata Ibu, di dunia ini tidak ada lelaki yang boleh dipercaya janjinya terhadap wanita."
"Hui Siang, kau kira aku ini laki-laki macam apa?" Bun Wan berseru keras dan penasaran. "Sungguh pun hubungan kita ini tadinya kuanggap karena engkau yang membujuk, akan tetapi akhirnya aku insyaf bahwa aku pun bersalah terlampau menuruti nafsu hati. Aku seorang laki-laki, keturunan tunggal dari Kun-lun-pai, tidak mungkin aku menyia-nyiakan wanita yang sudah kujatuhi cinta, tidak mungkin aku mengingkari pertanggungan jawabku. Hui Siang, sudah kukatakan kepadamu bahwa apa pun yang terjadi, kau tetap akan menjadi isteriku, hanya aku harus menyelesaikan lebih dulu tugasku yang maha penting."
"Kanda Bun Wan, bukan sekali-kali aku tidak percaya kepadamu. Akan tetapi setelah kau meninggalkan aku, aku kesepian dan amat khawatir. Biarkan aku ikut denganmu, Koko, dan biarlah aku membantu tugasmu sampai selesai."
"Tugasku berat, mungkin mempertaruhkan nyawa, Moi-moi," kata Bun Wan halus karena dia terharu pula menyaksikan besarnya cinta kasih gadis jelita ini.
"Apa lagi kalau harus mempertaruhkan nyawa, tidak boleh aku melepaskan kau, Koko. Biarlah pertanggungan itu kita pikul berdua, akan lebih ringan."
Bun Wan menggandeng tangan Hui Siang, dituntunnya gadis itu dan diajaknya duduk di tempat teduh, di bawah pohon yang tinggi dan besar. Mereka duduk bersanding di atas akar pohon itu dan dengan sikap manja dan mesra Hui Siang tidak pernah melepaskan tangan kekasihnya.
"Hui Siang, lebih baik kau pulang ke Ching-coa-to dan kau tunggulah aku di sana. Hatiku akan lebih tenteram mengingat bahwa kekasihku menanti di sana, dari pada harus melihat kau terancam bahaya bersamaku."
"Tidak, aku tidak mau. Biar bahaya atau mati sekali pun asal bersamamu," kata gadis itu dengan nekat.
"Wah, repot kalau kau rewel begini," Bun Wan menggerutu, kemudian berkata lagi sambil memandang wajah yang cantik itu, "Hui Siang, ketahuilah bahwa tugasku ini bertentangan sama sekali dengan ibumu, malah mungkin sekali aku akan menjadi lawan ibumu."
Agak terkejut Hui Siang mendengar kata-kata ini. Dia balas memandang, agaknya tidak percaya, akan tetapi melihat kesungguhan wajah Bun Wan, ia pun berkata dengan nada suara sungguh-sungguh, "Kalau sampai Ibu memusuhimu, aku akan berada di pihakmu."
Kembali Bun Wan menarik napas panjang, "Kau mana tahu urusannya? Tak ada urusan pribadi yang membuat ibumu mungkin memusuhiku. Akan tetapi, ini semata-mata urusan tugas. Ketahuilah, Hui Siang, aku yang kau jadikan pilihan hatimu, aku adalah seorang utusan Raja Muda Yung Lo di utara." Sambil berkata demikian, pemuda itu dengan penuh selidik menatap wajah kekasihnya.
Sejenak Hui Siang terpukul. Inilah hebat. Kalau begitu, kekasihnya ini merupakan seorang mata-mata pemberontak! Alangkah beraninya, sudah menggabungkan diri pula dengan Ching-coa-to. Betapa berani, pandai dan sama sekali tidak disangka-sangka. Akan tetapi ia segera menjawab mesra.
"Kau adalah laki-laki pilihanku, kau suamiku. Andai kata kau ternyata seorang utusan dari neraka sekali pun, aku akan tetap menyertai dan membantumu. Aku tidak peduli urusan negara."
Bun Wan terharu dan merangkul leher Hui Siang. Hatinya mulai besar dan bangga. Tidak keliru dia mencintai gadis ini. Kecantikan Hui Siang luar biasa dan jarang bandingannya. Kepandaiannya lumayan dan ternyata sekarang memiliki kesetiaan pula.
"Hui Siang, aku girang mendengar pernyataanmu ini. Ketahuilah, sejak dahulu aku adalah keturunan orang-orang pejuang. Kun-lun-pai terkenal sebagai sumber pahlawan-pahlawan pejuang dan dulu banyak tokoh-tokoh Kun-lun-pai membantu perjuangan mendiang kaisar pendiri Kerajaan Beng. Karena itu, Raja Muda Yung Lo yang menjadi keturunan kaisar menaruh kepercayaan penuh kepada Kun-lun-pai. Sekarang sedang terjadi pergolakan sesudah kaisar tua meninggal dunia. Kaisar muda agaknya tidak benar dan Raja Muda Yung Lo merasa lebih berhak menggantikan kedudukan kaisar dari pada keponakannya, kaisar muda sekarang ini. Aku sudah dipiiih sebagai orang kepercayaan dan utusan untuk menyelidiki keadaan di selatan serta mengadakan hubungan dengan paman Tan Hok. Sebetulnya aku harus mendapatkan surat wasiat yang kabarnya oleh mendiang kaisar diberikan kepada paman Tan Hok yang sudah meninggal pula. Kuduga surat itu berada di dalam mahkota kuno itu, maka aku ikut pula memperebutkan. Sayang gagal..."
Tiba-tiba pemuda ini berhenti bicara, menarik tangan Hui Siang dan cepat melompat dari tempat yang tadi diduduki itu sambil mengangkat muka memandang ke atas. Hui Siang juga memandang dan... alangkah kaget hati mereka melihat seorang laki-laki tua berkulit hitam seluruhnya, duduk di atas cabang pohon itu dengan kedua kaki tergantung.
Kakek ini sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput. Pakaiannya sederhana berwarna kuning sehingga kehitaman kulitnya semakin nyata. Mukanya yang hitam itu hampir tidak kelihatan di antara daun-daun pohon, yang tampak jelas hanyalah biji matanya. Kakek tua renta berkulit hitam itu kini terkekeh-kekeh dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke bawah.
Kagetlah hati Bun Wan dan Hui Siang pada waktu melihat betapa kakek itu jatuh seperti sebatang balok. Terpelanting dan kaku dengan kepala lebih dahulu! Namun, kekagetan dalam hati mereka berubah kagum dan terheran-heran ketika kepala itu menyentuh tanah dengan enaknya, sama sekali ttdak bersuara seakan-akan kepala yang temyata gundul pacul itu terbuat dari pada karet yang lembek dan lunak.
Sejenak kakek itu berjungkir seperti itu, kemudian dia tertawa pula dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan kini dia berdiri di atas kedua kakinya. Kiranya dia seorang yang tinggi dan kulitnya memang hitam semua, memegang sebatang tongkat yang berwarna hitam pula, lucunya, biar pun usianya sudah ada tujuh puluh tahun, akan tetapi mulutnya masih bergigi penuh, gigi yang putih berkilau di balik kulitnya yang kehitaman ftu.
"Heh-heh-heh, orang-orang Kun-lun-pai memang semenjak dahulu pemberontak semua! Mendiang Pek Gan Siansu juga pemberontak, cucu-cucu muridnya sekarang juga kaum pemberontak. Heh-heh-heh!"
Bun Wan cukup maklum bahwa kakek hitam ini adalah seorang yang memiliki kesaktian seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi mendengar betapa Kun-lun-pai dicela, betapa kakek gurunya dimaki pemberontak, dia menjadi penasaran dan mendongkol juga. Namun dia mempertahankan kesabarannya dan dengan hormat dia menjura dan bertanya.
"Locianpwe ini siapa, dan apa dosanya hingga Locianpwe memaki Kun-lun-pai sebagai pemberontak?"
"Heh-heh-heh, bocah berlagak pahlawan, mana kau tahu namaku. Aku orang biasa saja, bukan pahlawan macam orang-orang Kun-lun-pai, dan aku dipanggil orang Hek Lojin dari Go-bi-san. Heh-heh-heh, kau penasaran karena kukatakan bahwa Pek Gan Siansu dan semua anak murid Kun-lun adalah pemberontak hina? Hemmm, bocah berlagak patriot. Setiap orang yang melawan kekuatan pemerintah yang ada dialah pemberontak! Dahulu melawan kekuasaan Pemerintah Goan (Mongol), kakek-kakekmu adalah pemberontak. Kau sekarang hendak melawan kekuasaan kaisar yang berkuasa, kau pun pemberontak. Dan aku adalah orang yang paling benci terhadap pemberontak. Hayo kalian dua orang pemberontak cilik ini menyerah, menjadi tawananku dan kubawa ke kota raja."
Sekarang Bun Wan marah sekali. Dia memang tidak pernah mendengar nama Hek Lojin, karena memang tokoh sakti dari Go-bi-san ini jarang muncul di dunia kang-ouw dan sudah mengasingkan diri. Biar pun dia tahu bahwa yang dia hadapi adalah seorang sakti, mana dia sudi dijadikan tawanan?
Sementara itu, Hui Siang sudah tidak dapat menahan kemarahannya karena kekasihnya dimaki-maki. Ia seorang gadis yang manja dan selalu mengandalkan kepandaian sendiri. Begitu melihat gelagat tidak baik, diam-diam ia sudah menyiapkan jarum-jarum beracun, senjata rahasia yang amat dia andalkan karena mengandung racun ular di Ching-coa-to. Jarum ini amat ganas dan jahat, sedikit saja mengenai kulit lawan tentu akan mengancam keselamatan nyawanya.
"Kakek hitam sombong, makanlah ini!" bentaknya dan sekali kedua tangannya bergerak, puluhan batang jarum melesat keluar dari kedua tangannya, menyerang tubuh kakek itu dari kepala sampai kakinya.
"Ihh, ilmu keji!"
Tiba-tiba kakek itu lenyap dari situ, kiranya dia tadi menggunakan tongkat hitamnya untuk menjejak tanah sehingga tubuhnya melesat ke atas, tangan kirinya menyambar beberapa barang jarum dan dari tengah udara dia berseru, "Nih, kau makan sendiri jarum-jarum beracunmu!"
Bukan main kagetnya hati Hui Siang ketika serangkum hawa yang amat dahsyat datang menyambarnya. Ia dapat menduga bahwa itulah pukulan jarak jauh yang amat kuat, pula disertai sambitan jarum-jarumnya sendiri. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang, namun terlambat, masih ada tiga batang jarum dengan tepat sekali menancap di atas dadanya. Gadis itu menjerit dan roboh, tak berkutik lagi karena seketika ia menjadi pingsan.
Dapat dibayangkan alangkah terkejut dan gelisahnya hati Bun Wan. Dia mengira bahwa kekasihnya sudah terpukul tewas, maka sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun menerjang kakek itu dengan pedangnya.
Hek Lojin tertawa bergelak, melayani pedang Bun Wan dengan tongkat hitamnya yang ternyata amat kuat dan setiap kali bertemu pedang, Bun Wan merasa betapa tangannya tergetar dan sakit-sakit. Akan tetapi kemarahannya melihat Hui Siang roboh membuat dia menjadi nekat dan dengan kemarahan meluap-luap dia memainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut dan menyerang sepenuh tenaga.
"Bagus! Kun-lun Kiam-sut ternyata masih ampuh. Akan tetapi melawan aku si tua bangka dari Go-bi, tiada artinya, heh-heh-heh!"
Memang sesungguhnyalah, Bun Wan merasa betapa sinar pedangnya yang dia dorong dengan sepenuh semangatnya, seakan-akan menghadapi benteng hitam dari tongkat itu, bahkan beberapa kali membalik dengan keras sehingga pedang itu hampir terlepas dari pegangannya.
Setelah lewat tiga puluh jurus, dia menjadi pening. Benteng hitam itu makin melebar dan makin mendesak sehingga akhirnya mengurungnya, membuat pandangan matanya gelap dan bayangan kakek itu sendiri sudah lenyap tertelan gulungan sinar hitam. Akhirnya dia tidak tahu lagi di mana adanya kakek itu dan tahu-tahu tengkuknya telah kena tampar tangan kiri kakek itu.
Perlahan saja tamparan itu, namun cukup membuat Bun Wan berteriak keras. Tubuhnya lantas terguling, roboh pingsan di dekat tubuh Hui Siang yang juga belum dapat bergerak sama sekali.
"Heh-heh-heh, segala pemberontak hijau. Biarlah kalian mati di sini, tidak perlu kubawa lagi, membikin repot saja." Sambil berkata demikian, Hek Lojin menyeret tongkat hitamnya yang panjang, hendak pergi dari tempat itu.
Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar lengking panjang yang memekakkan telinga, dari atas datangnya. Dia merasa kaget bukan main dan cepat berdongak. Mulutnya yang hitam melongo terbuka, matanya terbelalak ketika dia melihat seekor burung rajawali emas yang besar sekali menukik ke bawah, ditungganggi oleh seorang laki-laki muda yang agaknya buta kedua matanya.
"Kim-tiauw-ko, jangan menyerang orang!" Kun Hong, pemuda yang menunggang rajawali emas itu, berseru ketika mendengar gerakan kim-tiauw, dan dia pun melompat turun ke atas tanah.
Seperti kita ketahui, selama beberapa hari ini Kun Hong berada di dalam hutan bersama-sama kim-tiauw, menghibur diri dan kadang-kadang dia menunggang punggung burung itu dan menyuruhnya terbang berputaran di atas hutan.
Pagi hari itu, entah kenapa kim-tiauw menukik ke bawah dan kiranya hendak menyerang orang. Karena itu cepat dia mencegahnya dan meloncat ke atas tanah karena hidungnya mencium bau daun dan tanah, tanda bahwa burung itu sudah turun dan mendekati tanah.
Akan tetapi burung rajawali emas itu tetap saja marah-marah. Dia memekik-mekik dan mengeluarkan suara melengking tinggi, bersiap untuk menyerang Hek Lojin yang sudah hilang kagetnya dan kini kakek itulah yang berbalik menjadi marah.
Ia adalah seorang yang sakti, biasanya ditakuti orang. Melihat mukanya yang hitam saja, orang-orang sudah pada takut, apa lagi menyaksikan sepak terjangnya yang sakti. Kini ada seorang bocah buta dan burung rajawali datang-datang menimbulkan kekagetannya, tentu saja dia marah.
"Burung keparat, kau kira kau ini luar biasa gagahnya maka berani membikin kaget Hek Lojin. Apa kau sudah bosan hidup? Keparat!"
Rajawali emas adalah seekor burung sakti, burung yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang sakti. Andai kata dia tidak dapat menangkap ucapan kakek itu, setidaknya, dia dapat merasa bahwa kakek itu marah dan memaki-maki serta menantangnya. Maka dia pun lalu membuka sepasang sayapnya, matanya memandang berapi-api, siap untuk menerjang. Mulutnya mengeluarkan pekik tantangan mengagetkan Kun Hong.
"Kim-tiauw-ko, sabarlah. Locianpwe, harap suka mengalah kepada burung sahabat baikku ini..."
"Burung jahat ini harus dibunuh, kalau tidak dia hanya akan mendatangkan kekacauan belaka!"
Hek Lojin yang merasa ditantang oleh burung itu, sudah menggerakkan tongkatnya untuk memukul. Hebat sekali pukulan ini, mendatangkan angin berdesir. Agaknya dia hendak menewaskan burung itu dengan sekali pukul! Rajawali emas itu agaknya tahu pula akan kehebatan pukulan ini, maka dia cepat melejit dan mengelak.
Kun Hong yang dapat menangkap angin pukulan, dia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek yang berangasan ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, bukan lawan burungnya. Tahu pula bahwa kakek itu benar-benar hendak membinasakan rajawali maka cepat-cepat dia menjura dan berkata,
"Locianpwe, sudahlah. Biarlah aku yang mintakan maaf apa bila burungku bersalah, dan biarlah kami pergi tidak mengganggumu lagi."
Akan tetapi Hek Lojin sudah semakin panas perutnya. Dia seorang ahli silat kelas tinggi, seorang yang kesaktiannya telah menggemparkan Go-bi-san, masa sekarang sekali pukul tak dapat mengenai tubuh burung celaka itu? Apa lagi melihat kini kim-tiauw lincak-lincak (berloncatan) seakan-akan mengejek, hawa amarah sudah naik ke ubun-ubunnya.
"Burung iblis, mampuslah!"
Sekarang tongkatnya diputar cepat dan sekali terjang dia sudah mengirim belasan jurus. Kagetlah Kun Hong. Terlebih kaget lagi burung itu sendiri, karena meski pun dia sudah mengibaskan sayap, sudah mengelak dan menangkis dengan cakarnya, namun tetap saja punggungnya terkena gebukan satu kali, membuat dia terlempar beberapa meter dan banyak bulunya yang kuning emas rontok.
Akan tetapi dasar burung sakti. Walau pun pukulan itu mendatangkan rasa nyeri, namun tidak melukainya. Hal ini membuat Hek Lojin kaget dan heran, akan tetapi malah makin marah. Ketika dia menerjang lagi, ternyata Kun Hong sudah berdiri menghadangnya. Pemuda ini maklum bahwa burungnya tidak mungkin dapat melawan kakek ini dan kalau dia diamkan saja, berbahayalah bagi kim-tiauw.
"Locianpwe, sekali lagi, harap kau suka maafkan kami. Di antara kita tiada permusuhan, maka untuk apakah urusan kecil ini dibesar-besarkan dan pertempuran yang tidak ada gunanya ini dilanjutkan?"
Melihat sikap pemuda buta ini, Hek Lojin menahan kemarahannya. Dia dapat menduga bahwa kalau burungnya demikian hebat, pemiliknya tentu bukan orang lemah pula. Hanya saja orang ini masih sangat muda, apa lagi buta, kepandaian apakah yang dimilikinya?
Maka dia memandang rendah dan berkata, "Kalau kau pemiliknya dan mintakan maaf, aku mau memberi ampun asal kau bisa menyuruh dia berlutut dan mengangguk tujuh kali di depanku untuk minta ampun."
Kun Hong kaget dan bingung. Dia cukup mengenal watak kim-tiauw. Burung itu angkuh sekali, mana sudi merendahkan diri dan berlutut minta ampun seperti itu? Tidak mungkin!
"Menyesal sekali, hal itu tidak mungkin dapat kulakukan, Locianpwe, karena burung itu tidak pernah diajar berlutut, tentu tidak bisa dan tidak mengerti kalau kusuruh berlutut." Dalam hal ini Kun Hong membohong, karena kalau dia mau, burung itu akan melakukan ini dengan amat mudahnya. Soalnya, burung itu tentu tidak sudi berlutut di depan orang tua galak ini.
"Hemm, burungnya jahat dan sombong, pemiliknya amat baik," kakek itu menggerutu. "Sudahlah, kalau dia tidak bisa disuruh berlutut, biar kau yang mewakili juga tidak apa."
Hebat kesombongan kakek ini. Akan tetapi, memang pada dasarnya Kun Hong adalah seorang yang sangat penyabar dan luas pandangannya. Apa salahnya berlutut di depan seorang kakek yang memiliki kepandaian tinggi ini, pikirnya.
Kalau dia tidak mau memenuhi permintaan ini tentulah terjadi pertempuran hebat yang sama sekali tidak ada sebabnya, pertempuran yang tiada gunanya. Maka dia tersenyum dan segera menjatuhkan diri berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala tujuh kali.
Kakek itu tampak girang sekali dan agaknya hendak menguji kelihaian Kun Hong. Karena itu dia segera mengangkat sebelah kakinya dan dilayangkan ke atas kepala Kun Hong. Penghinaan yang hebat!
Kun Hong menggigit bibirnya karena biar pun matanya buta, tentu saja telinganya dapat menangkap gerakan ini dan kalau dia mau, sekali menggerakkan tangan tentu dia mampu merobohkan kakek sombong itu ketika si kakek melakukan gerakan yang menghina dan juga berbahaya bagi diri kakek itu sendiri. Dia pura-pura tidak tahu dan kakek itu tertawa bergelak-gelak sambil menyeret tongkatnya, pergi dari situ.
Masih terdengar suaranya dari jauh terkekeh-kekeh sambil berkata, "Ajaib sekali, burung yang demikian kuatnya memiliki majikan begitu lemah, heh-heh-heh!"
Sesudah suara kakek itu tidak terdengar lagi, Kun Hong baru bangkit sambil menggerutu, "Berbahaya sekali..." Dia maksudkan berbahaya kalau dia tidak mampu mempertahankan kesabarannya tadi, tentu akan terjadi pertempuran hebat karena dia pun dapat menduga bahwa ilmu kepandaian kakek itu memang amat tinggi.
"Kim-tiauw-ko, kenapa kau mencari gara-gara?" Dia menegur burung itu.
Burung rajawali meloncat mendekatinya, menyambar ujung lengan bajunya dan dengan suara menggerang panjang burung itu menariknya dari situ. Kun Hong amat heran dan mengikuti. Burung itu berhenti dan menarik dia supaya berjongkok.
Dengan hati mengandung penuh pertanyaan Kun Hong berjongkok, tangannya meraba dan jari-jari tangannya menyentuh tubuh seorang laki-laki yang pingsan dan menderita luka dalam yang hebat. Tangannya meraba lagi ke kiri dan... sekali ini menyentuh tubuh seorang wanita.
Dia berseru kaget karena wanita ini malah lebih hebat lagi keadaannya. Tubuhnya panas membara seperti terbakar, napasnya sesak, tanda bahwa ia menderita luka yang hampir mencabut nyawanya.
"Celaka... ahhh, kim-tiauw-ko, kiranya aku benar-benar buta!" Dia menyumpahi diri sendiri karena sekarang mengertilah dia bahwa burung itu tadi menyerang seorang kakek yang baru saja merobohkan dua orang muda secara ganas dan keji!
Cepat dia memeriksa laki-laki itu. Segera dia tahu bahwa laki-laki itu menderita pukulan dengan tenaga lweekang yang sangat hebat pada punggungnya. Dia cepat mengurut dan menotok beberapa jalan darah. Hatinya menjadi lega sesudah dia mendapat kenyataan bahwa orang ini tidak berbahaya lagi sekarang keadaannya.
Dia cepat mengalihkan perhatian pada wanita itu. Hatinya berdebar karena sungkan dan ragu ketika jari-jari tangannya meraba tubuh seorang wanita yang masih muda. Apa lagi setelah dia melakukan pemeriksaan teliti, dia mendapat kenyataan bahwa wanita ini telah terkena senjata rahasia yang sangat halus di dadanya dan berada dalam keadaan yang membahayakan keselamatan nyawanya. Dia bingung dan ragu.
"Apa boleh buat, demi menolong nyawanya." Akhirnya dia menggerutu seorang diri. Cepat dia menurunkan buntalannya dan digeledahnya saku-saku bajunya, kemudian dia mengeluarkan sebatang jarum perak. Tanpa ragu-ragu lagi karena maklum bahwa kalau terlambat akan berbahaya bagi wanita ini, dia segera merobek baju wanita itu di bagian dadanya. Rabaan jari-jari tangannya menyatakan bahwa kulit dada itu telah ditembusi tiga batang jarum kecil yang rupanya mengandung bisa yang mendatangkan hawa panas.
"Hemmm, agaknya racun ular," Kun Hong bergumam sendiri setelah dia memencet luka itu, mengeluarkan sedikit darah dan diciumnya darah di jarinya.
Cepat dia mengerahkan kepandaiannya, menusuki beberapa jalan darah dengan jarum peraknya untuk mencegah racun itu menjalar. Dari detak jantung dia mendapat kenyataan yang menimbulkan harapan bahwa racun itu belum menjalar sampai ke dalam jantung. Pada tusukan terakhir di dekat leher, tubuh wanita itu bergerak dan terdengar ia mengeluh perlahan sekali, akan tetapi disusul suaranya penuh kekagetan.
"Aduhhhh... tua bangka keparat... ehh... heeeee, siapa kau, lepaskan aku...!"
Berdebar jantung Kun Hong karena telinganya serasa mengenal suara ini, akan tetapi dia lupa lagi siapa dan di mana.
“Tenanglah, Nona, aku berusaha mengobatimu," katanya dengan suara dingin dan halus.
"Kau...? Ahh, kau... Kwa Kun Hong Pendekar buta..."
Kini teringatlah Kun Hong. Kiranya nona ini adalah Giam Hui Siang, ‘siocia’ yang amat galak dari Ching-coa-to. Kalau begitu, apakah lelaki yang pingsan ini pemuda Kun-lun-pai, Bun Wan itu? Ah, apa bedanya? Hal itu tak penting baginya, yang penting hanya bahwa dia harus mengobati dua orang yang terancam bahaya maut ini, siapa pun juga mereka.
"Harap kau diam dan jangan bergerak, Nona. Dadamu telah terkena senjata rahasia yang mengandung racun ular, biar kukeluarkan tiga batang jarum ini."
Hui Siang mengeluh, akan tetapi ia benar-benar tidak bergerak sekarang. Dua tangannya ia pergunakan untuk menutupi mukanya karena biar pun ia tahu bahwa Kun Hong adalah seorang buta dan tidak dapat melihatnya, akan tetapi sebagai seorang gadis tentu saja ia menjadi jengah dan malu sekali karena bajunya terobek seperti itu dan Kun Hong sedang meraba-raba kulit tubuh bagian dada!
Karena maklum bahwa dia berlomba dengan waktu untuk menolong gadis ini, Kun Hong cepat-cepat mengerahkan tenaga lweekang-nya, menggunakan hawa sinkang disalurkan ke telapak tangan, kemudian telapak tangannya dia tempelkan ke atas luka-luka di dada itu dengan tenaga ‘menyedot’. Dia menekan perasaan hatinya untuk melupakan perasaan tangannya yang meraba bagian tubuh yang dirahasiakan itu, membekukan perasaan ini dengan keyakinan bahwa dia tidak memiliki kehendak lain kecuali sebagai ahli obat yang hendak menolong nyawa seseorang.
Usahanya berhasil baik. Tiga batang jarum yang telah menancap sampai tidak kelihatan lagi di dalam dada itu, kini tersembul dan dapatlah Kun Hong menjepit serta mencabuti keluar ketiganya. Akan tetapi tidak ada darah mengucur keluar.
Kagetlah Kun Hong. Hal ini hanya menjadi bukti bahwa racun itu telah bekerja, darah telah membeku dan tidak dapat keluar karena tertutup oleh gumpalan darah matang yang kotor oleh racun. Kalau saja dia bisa mendapatkan beberapa macam daun obat yang memiliki sifat menghisap, nona ini akan cepat tertolong. Akan tetapi dia tidak mempunyai daun itu dan untuk mencarinya, tidaklah mudah, apa lagi dia seorang buta.
"Nona, kau maafkanlah aku, tidak ada jalan lain mengeluarkan racun dari dalam luka di dadamu kecuali dihisap dengan mulut. Kau diam sajalah, tidak lama tentu sembuh."
Terpaksa sekali, tanpa mempedulikan apa-apa lagi karena khawatir kalau-kalau racun itu akan semakin meresap ke dalam, Kun Hong menundukkan mukanya, dan menggunakan mulutnya menyedot luka-luka di dada itu sambil mengerahkan tenaga sinkang.
Andai kata seorang biasa yang melakukan hal ini, kiranya akan makan waktu lama sekali. Akan tetapi Kun Hong bukanlah orang biasa, tenaga sinkang-nya hebat sekali sehingga sekali sedot saja dia sudah menghisap bersih racun pada satu luka. Setelah meludahkan darah mati yang dihisapnya, darah segar sudah mulai keluar dari luka kecil pertama itu. Kun Hong lalu menyedot luka ke dua, kemudian ke tiga.
Dapat dibayangkan betapa jengah dan malunya Hui Siang. Tentu saja ia bisa mengenal kehebatan jarum-jarumnya sendiri dan andai kata ia membekal obat penawarnya, tentu ia tak sudi diobati secara demikian oleh Kun Hong. Akan tetapi apa daya, ia lupa membawa obat bekalnya, dan ia pun tahu bahwa jalan satu-satunya untuk menolongnya memang seperti yang dilakukan Kun Hong itulah.
Teringat ia akan keadaan cici angkatnya dahulu ketika diobati oleh Kun Kong dan hatinya tertusuk. Mulailah timbul penyesalannya akan sikap-sikapnya dahulu terhadap Hui Kauw dan Kun Hong. Pendekar Buta ini ternyata benar-benar seorang manusia yang berbudi luhur, yang mengobati siapa saja tanpa pamrih sesuatu. Buktinya, sebelum ia sadar, tentu si buta ini tidak mengenalnya siapa.
Betapa pun juga, merasa betapa muka dan mulut orang buta itu menempel di dadanya, Hui Siang tak dapat menahan rasa malunya. Dia menutupi muka dengan kedua tangan, mukanya yang tadinya pucat sekarang menjadi merah seperti udang rebus.
Ketika Kun Hong sedang menghisap luka ke tiga atau yang terakhir, dan tubuhnya sedang berlutut itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras dan sebuah tendangan kilat yang sangat kuat membuat tubuh Kun Hong terlempar beberapa meter jauhnya kemudian jatuh terguling-guling. Baiknya Kun Hong keburu mengerahkan lweekang-nya sehingga dia tidak terluka, hanya terlempar dan bergulingan saja.
Tadi dia hanya mendengar bentakan itu, akan tetapi karena seluruh perhatian sedang ditujukan kepada pengobatan, sedang sinkang-nya pun sedang disalurkan kepada mulut yang menyedot, dia tidak sempat membela diri.
Ketika dia cepat melompat bangun, Kun Hong mendengar suara Bun Wan yang penuh kemarahan. "Kwa Kun Hong jahanam besar! Dulu kau telah menghancurkan hubunganku dengan perbuatanmu yang tidak tahu malu terhadap Cui Bi, kini kembali kau melakukan penghinaan terhadap diri Hui Siang! Kun Hong kau benar-benar seorang berhati binatang, sampai matamu menjadi buta masih saja kau merupakan manusia iblis. Kali ini aku tidak akan suka menerima penghinaan begitu saja. Keparat!"
"Wan-koko... jangan menuduh yang bukan-bukan...!" Suara Hui Siang sangat lemah dan tercampur isak.
Nona ini sudah dapat bangun dan tadi saking kagetnya dia tidak mampu bicara, hanya cepat-cepat menutup bajunya yang robek. Dadanya masih terasa nyeri, akan tetapi tidak sesak lagi dan kekuatannya sudah pulih. Dengan mata terbelalak dia melihat betapa Kun Hong terguling-guling dan begitu mendengar suara Bun Wan, barulah dia sadar kembali bahwa kekasihnya itu telah salah duga.
Akan tetapi Bun Wan tidak mendengar ucapan Hui Siang ini karena pada saat itu dia sedang marah bukan main. Siapa orangnya yang tidak akan marah kalau begitu dia sadar dari pingsannya melihat apa yang dilakukan Kun Hong terhadap kekasihnya tadi? Dengan amarah meluap-luap dia sudah melompati Kun Hong dan mengirim serangan mati-matian, tidak mempedulikan punggungnya yang masih terasa ngilu dan nyeri.
Mendadak terdengar suara lengking tinggi dan rajawali emas sudah menerjang Bun Wan, menggantikan Kun Hong yang masih berdiri termangu-mangu. Burung itu marah sekali. Biar pun hanya seekor binatang, dia tadi mengerti bahwa sahabatnya sedang mengobati atau menolong dua orang yang menjadi korban keganasan Hek Lojin, akan tetapi kenapa yang ditolong oleh sahabatnya itu kini berbalik menyerang Kun Hong? Maka marahlah dia dan serta merta gerakan Bun Wan tadi segera dia sambut dengan kepakan sayap dan cengkeraman kukunya yang runcing.
Bun Wan kaget sekali, namun dia tidak kehilangan akal. Melihat bahwa gerakan burung ini mengandung kekuataan luar biasa besarnya, dia segera menjejak tanah dan tubuhnya melayang ke belakang, terluput dari pada serbuan burung itu. Rajawali emas memekik lagi dan menerjang maju, lebih hebat dari pada tadi.
"Kim-tiauw-ko, jangan...!" Kun Hong berseru dan cepat tubuhnya mencelat ke arah burung rajawali.
Burung itu meragu ketika mendengar teriakan Kun Hong, menunda serbuannya dan di lain saat lehernya telah dirangkul oleh Kun Hong.
"Jangan serang dia...," kata pula Kun Hong, suaranya sedih.
"Kun Hong, kau manusia tidak tahu malu!" kembali Bun Wan memaki dengan dada turun naik saking marahnya. "Apakah kau tak bisa mendapatkan lain wanita kecuali calon-calon isteriku? Apakah karena matamu menjadi buta maka tidak ada wanita sudi kepadamu? Kami sedang pingsan, namun engkau hendak menggunakan kesempatan ini berlaku hina kepada Hui Siang. Benar-benar iblis berujud manusia, jahanam! Kalau memang laki-laki, hayo kita mengadu nyawa, seorang di antara kita harus menggeletak mampus di sini!"
Kun Hong hanya tersenyum sedih dan menundukkan mukanya. Sementara itu wajah Hui Siang menjadi pucat sekali ketika mendengar ucapan kekasihnya ini. Cepat ia memegang lengan Bun Wan dan diguncang-guncangkan seperti seorang membangunkan seseorang dari pada mimpi buruk.
"Wan-koko, diamlah...! Sudah, diamlah jangan bicara dulu...!" Setelah Bun Wan selesai memaki-maki Kun Hong, baru dia berkata, "Wan-koko, kau salah duga... ahh, bagaimana kau bisa menjatuhkan tuduhan sekeji itu kepadanya? Wan-koko, kau lihat ini..."
Ia membuka bajunya yang robek itu sehingga tampaklah luka bekas jarum-jarum itu pada kulit dadanya yang putih halus. "Aku tadi terluka oleh tiga batang jarumku sendiri, aku pingsan dan pasti aku tidak akan dapat berkumpul lagi dalam keadaan hidup denganmu kalau tidak ada dia yang menolongku. Dia tidak berlaku kurang ajar, Koko... ahh, jangan salah duga... dia tadi berbuat begitu untuk menghisap keluar darah yang sudah terkena racun. Tanpa usahanya itu, darah beracun akan menjalar terus dan merusak jantungku. Wan-koko... kau sadarlah..."
Bun Wan merasa seakan-akan mendengar halilintar menyambar di hari terang. Ketika dia mendengar ini, matanya berkedip-kedip dan mulutnya melongo sambil menatap Kun Hong yang membelai-belai leher kim-tiauw. Dia tadi merasa kepalanya nanar dan pening. Kini dia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir rasa pusing itu. Kemudian dia merangkul leher Hui Siang dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya, matanya dimeramkan dan ketika dibuka kembali tampak dua butir air mata menitik turun.
"Kun Hong..." suaranya serak, hampir tidak terdengar, "...Kun Hong... biar pun aku melek ternyata aku lebih buta dari padamu. Maafkan aku, Kun Hong..."
Kun Hong tersenyum, bukan senyum sedih lagi, dia gembira dan juga terharu. Sekaligus dia melupakan sikap Bun Wan yang menyakitkan hati tadi. Untuk melenyapkan suasana tidak enak, serta merta dia bertanya,
"Bun Wan, siapakah kakek keji yang merobohkan kalian tadi?"
Bun Wan masih dalam keadaan terpukul dan terharu, maka suaranya masih menggetar ketika dia menjawab, "...aku... aku tidak kenal, dia mengaku bernama Hek Lojin."
Diam-diam Kun Hong terkejut. Pernah dia mendengar cerita Hui Kauw bahwa The Sun pemuda cerdik dan sakti itu adalah murid Hek Lojin. Hemm, pantas begitu lihai, kiranya guru The Sun, pikirnya.
"Kenapa dia menyerang kalian dan merobohkan secara keji?"
Orang yang merasa sudah melakukan sesuatu yang salah, dan merasa amat menyesal akan kesalahannya yang membuat dia nampak tidak baik itu, tentu akan selalu berusaha mengemukakan alasan segi baiknya untuk menutupi kesalahannya tadi, atau setidaknya mengurangi kesan-kesan buruk akibat kesalahannya. Apa lagi kalau orang itu memang memiliki watak yang angkuh.
Demikian pula dengan Bun Wan. Ia adalah seorang pemuda keturunan ketua Kun-lun-pai, selamanya menjunjung tinggi kegagahan, merasa bahwa dia sebagai keturunan pendekar dan patriot, maka kesalahan tadi amat memalukan dan membuatnya menyesal. Sekarang mendengar pertanyaan Kun Hong, terbukalah kesempatan untuk menonjolkan diri, untuk menonjolkan segi-segi baik dari dirinya.
"Karena agaknya dia berpihak kepada kaisar kemudian membenciku sebab mendengar bahwa aku adalah utusan raja muda di utara. Dia menghina Kun-lun-pai, memaki-maki mendiang kakek guru dan para tokoh Kun-lun yang dikatakannya para pemberontak. Aku marahi, tetapi dia lihai... bukan lawan aku dan Hui Siang."
Berubah wajah Kun Hong mendengar ucapan ini, hatinya berdebar keras dan dia menjadi sangat terharu. Alangkah jauh menyeleweng pikirannya terhadap Bun Wan selama ini. Kiranya pemuda ini adalah seorang pejuang pula, malah seorang yang amat penting, yaitu utusan Raja Muda Yung Lo! Bahkan inilah orangnya yang dimaksudkan untuk menerima surat rahasia itu.
Dalam sekelebatan saja otaknya mengingat-ingat dan bekerja. Ahh, tidak aneh, semenjak dulu memang orang-orang Kun-lun-pai selalu membantu perjuangan dan sudah terkenal kecerdikan mereka melakukan pekerjaan penyelidikan atau mata-mata. Masih teringat dia akan ceritera ayahnya mengenai diri Pek-lek-jiu Kwee Sin, bekas tunangan ibunya, tokoh Kun-lun-pai yang juga menjadi seorang tokoh mata-mata amat lihai dan cerdik.
Kiranya pemuda ini menyelundup ke Ching-coa-to hanya untuk mempelajari keadaan dan menyelidiki keadaan para tokoh kang-ouw sampai kepada tokoh-tokoh jahatnya! Agaknya dalam menjalankan tugasnya ini, pemuda gagah itu tersandung batu asmara dan terlibat tali-talinya yang ruwet dengan Hui Siang! Dia menjadi terharu sekali, lalu cepat-cepat dia mengulurkan tangan memegang tangan Bun Wan.
"Wah, aku sampai lupa. Saudara Bun Wan, kau duduklah bersila. Kau harus mendapat pengobatan cepat-cepat karena lukamu di dalam akibat pukulan pada punggungmu cukup parah." Ucapannya kini terdengar halus dan penuh sayang.
Bun Wan merasa akan hal ini, akan tetapi dia tidak membantah karena dia pun maklum akan bahayanya luka oleh tamparan tangan kakek sakti tadi. Cepat dia duduk bersila dan membiarkan Kun Hong mengobatinya.
Pendekar Buta itu bersila pula di belakangnya, menempelkan kedua telapak tangan pada punggung dan leher Bun Wan sambil mengerahkan sinkang-nya. Bun Wan dapat merasa betapa dari kedua telapak tangan itu menjalar hawa yang panas dan dingin, hawa panas dari telapak tangan kanan dan hawa dingin dari yang kiri.
Diam-diam dia kagum bukan main dan menjadi terharu. Alangkah hebat dan baiknya hati Pendekar Buta ini dan alangkah buruk nasibnya. Diam-diam dia melamun. Urusan dahulu dengan Cui Bi terbayang dalam benaknya. Dan teringatlah dia akan urusannya sendiri dengan Hui Siang.
Seperti juga dia dan Hui Siang, Pendekar Buta ini dahulu terlibat oleh tali asmara dengan Cui Bi, tanpa dia ketahui bahwa Cui Bi telah ditunangkan dengannya sehingga percintaan itu berakhir secara amat menyedihkan. Sekarang, kembali dia tadi sudah mendatangkan penghinaan, menuduhnya yang bukan-bukan.
Padahal Kun Hong hanya menolong Hui Siang, mungkin merenggut nyawa kekasihnya itu dari pada tangan maut. Dan dia sudah menghinanya, menuduh yang bukan-bukan seperti yang pernah dia lakukan beberapa tahun yang lalu di puncak Thai-san, seperti yang dia lakukan pula belum lama ini di Ching-coa-to, menuduh Kun Hong mempermainkan Hui Kauw. Ternyata yang mendatangkan pikiran yang bukan-bukan terhadap diri Pendekar Buta ini hanyalah akibat sakit hati karena urusan Cui Bi saja, membuat Pendekar Buta ini selalu salah dalam pikirannya.
Ternyata semua itu tidak benar. Kun Hong benar-benar seorang pendekar yang bersih dan sekarang ditambah lagi dengan bukti bahwa betapa pun sudah berkali-kali dihina olehnya kini Pendekar Buta itu duduk bersila di belakangnya mengerahkan tenaga dalam untuk menyembuhkannya! Tidak terasa lagi bebetapa butir air mata mengalir turun dari pelupuk mata Bun Wan.
Apa bila dia ingat sekarang, dengan pikiran baru karena kesadarannya, dialah orangnya yang tanpa disengaja telah menggagalkan hubungan antara Kun Hong dan Cui Bi, dialah orangnya yang tanpa disengaja telah menghancurkan kebahagiaan Kun Hong. Semua itu masih dia tambah dengan sengaja untuk menghinanya, mendakwanya yang bukan-bukan, menanam bibit kebencian di dalam hatinya sendiri.
Dan kini Kun Hong membalasnya dengan kebaikan, dengan pertolongan besar, mungkin dengan penyelamatan nyawa dia dan Hui Siang karena siapa tahu kalau-kalau dia dan kekasihnya tidak dibunuh kakek sakti itu karena kedatangan Kun Hong! Dia akan segera bertanya tentang ini setelah selesai pengobatan itu. Sekarang tidak mungkin Pendekar Buta itu diajaknya bicara karena dia tahu bahwa Kun Hong tengah mengerahkan tenaga sinkang untuk menyembuhkannya.
Semakin lama hawa panas itu semakin membakar di samping hawa dingin yang terasa menusuk-nusuk. Kedua hawa itu berputaran di sekitar punggungnya dan mendatangkan rasa nikmat luar biasa, mengusir rasa pegal dan sesak di dadanya.
"Untung lweekang-mu sudah kuat sekali," akhirnya Kun Hong berkata sambil melepaskan kedua tangannya, "sehingga pukulan itu dapat tertahan olehmu."
Kun Hong bangkit berdiri dan menarik napas panjang. Bun Wan juga berdiri dan selagi ia hendak menghaturkan terima kasihnya sambil bertanya mengenai munculnya Kun Hong, Pendekar Buta itu sudah mendahului berkata,
"Bun Wan, kaukah orang yang diutus Raja Muda Yung Lo untuk menerima surat rahasia peninggalan mendiang kaisar tua?"
Bun Wan kaget. Sebelum pertemuannya dengan Kun Hong sekarang ini, kalau dia ditanya demikian, sudah tentu dia akan menyangkal keras. Akan tetapi tadi dia sudah mengaku, maka dia menjawab tanpa ragu lagi, "Betul!"
Kun Hong tersenyum.
"Lama sekali aku mencari-cari orangnya, mengharapkan kedatangannya, kiranya engkau malah orang itu. Jangan kau khawatir, Bun Wan. Surat itu selama ini berada di tanganku dan sekarang sudah diantarkan kepada Raja Muda Yung Lo."
Kaget dan herannya Bun Wan tidak kepalang besarnya sampai dia melongo. "Apa kau bilang? Kau tahu surat wasiat itu?"
"Tentu saja aku tahu. Paman Tan Hok sendiri yang berkata kepadaku sebelum beliau meninggal. Surat itu disimpan secara rahasia di dalam mahkota kuno dan..."
"Tetapi mahkota itu terampas oleh nona Loan Ki..."
"Heee? Kau bilang Loan Ki?" Kini Kun Hong yang terheran-heran.
Bun Wan lalu menceriterakan perebutan mahkota itu antara dia dan Loan Ki yang dibantu oleh seorang pemuda aneh dan kemudian dibantu pula oleh Hui Kauw sehingga terpaksa dia meninggalkan mahkota itu kepada mereka.
Kun Hong tersenyum girang, mengangguk-angguk. "Bagus, Loan Ki tidak seperti ayahnya, ada juga jiwa pahlawan di dalam dadanya, ha-ha-ha! Lucunya, kau dan mereka itu telah memperebutkan mahkota dengan tujuan yang sama, karena mereka pun tidak rela kalau surat itu terjatuh ke tangan kaisar yang sekarang. Dan yang lebih lucu lagi, kalian semua memperebutkan mahkota yang kosong karena surat itu sudah berada padaku. Sekarang telah dibawa oleh Sin Lee dan isterinya ke utara."
Bukan main girangnya hati Bun Wan dan di samping kegirangan yang luar biasa karena surat rahasia penting itu sudah diselamatkan dan berhasil dikirimkan ke utara, juga dia menjadi kagum dan terharu terhadap Kun Hong. Siapa kira, Kun Hong yang buta dan yang dahulu dia pandang rendah ini tidak saja menjadi penolongnya, malah telah berjasa menyelamatkan surat wasiat itu!
Kekagumannya yang memuncak membuat dia lalu merasa betapa jahat dan rendahnya sikapnya kepada Kun Hong, betapa besar dosanya terhadap orang buta itu. Penyesalan yang luar biasa menyelubungi hati Bun Wan. Dia berdiri tegak, tetesan air mata masih membasahi pipinya. Dengan perasaan menyesal dia memandang Kun Hong yang masih saja tersenyum-senyum di depannya itu. Dalam pandangannya, senyum di wajah yang tidak berbiji mata itu mendatangkan perasaan yang menusuk-nusuk jantungnya, menimbulkan iba yang menjadi-jadi.
Dia teringat akan Kun Hong sebelum buta, seorang pemuda tampan dan halus, seorang pemuda yang dengan gagah berani menghadapi lawan-lawan berat di puncak Thai-san. Dan karena dia tidak mau mengalah, karena dia membeberkan rahasia di depan orang banyak, Kun Hong yang tampan dan bermata tajam seperti mata burung rajawali emas itu kini menjadi buta! Bun Wan merasa betapa dadanya perih laksana ditusuk pisau.
"Saudara Kun Hong, kiranya kau adalah seorang pendekar besar yang patut kusembah dan kujunjung tinggi. Ah, selama ini aku benar-benar telah buta. Kedua mataku tidak ada gunanya sama sekali, tidak dapat melihat siapa adanya engkau ini. Apa lagi kalau aku ingat bahwa kebutaan kedua matamu adalah karena aku... ah, dan kau sudah menolong keselamatan nyawaku dan nyawa Hui Siang... dan kau pun sudah menyelamatkan surat wasiat... benar-benar aku menyesal. Tidak patut aku menjadi keturunan Kun-lun-pai!" Suara terakhir ini mengandung isak tertahan.
"Hushhh, kau jangan bicara seperti itu, Saudara Bun Wan. Tidak perlu kau membongkar-bongkar peristiwa lama. Kebutaanku adalah sudah dikehendaki Thian Yang Maha Kuasa, tidak perlu siapa pun menyesalkan. Kau seorang pendekar, seorang keturunan pahlawan, kau patut menjadi tokoh Kun-lun-pai."
"Ah, ucapanmu ini menunjukkan kebersihan hatimu, bahwa kau tidak pernah mendendam, dan aku selama ini... ah, Saudara Kun Hong, selama hidupku aku akan terus menyesal dan penyesalanku tidak akan pernah berakhir tanpa pengorbanan!"
"Saudara Bun Wan, jangan...!"
Kun Hong hanya dapat menduga dengan perasaannya yang halus saja bahwa pemuda Kun-lun yang berhati keras itu akan melakukan sesuatu yang ‘gila’. Akan tetapi karena matanya buta, tidaklah dapat dia melihat apa yang akan dilakukannya itu, maka dia hanya dapat mencegah dengan mulut.
Terdengar gerakan cepat disusul pekik Hui Siang, "Wan-koko...! Ah, Wan-koko... kenapa kau lakukan ini...?" Gadis itu menangis.
Kun Hong hanya berdiri pucat, tidak tahu bahwa untuk menyatakan penyesalan hatinya, dengan nekat Bun Wan sudah menggunakan jari tangannya mencokel keluar sebuah biji matanya sebelah kanan! Darah keluar dari lubang mata kanannya itu, akan tetapi pemuda itu dengan tegak masih berdiri, ditangisi oleh Hui Siang yang menjadi kebingungan tidak karuan.
"Ha-ha-ha-ha, Saudara Kun Hong. Puaslah hatiku kini. Untuk membutakan kedua mataku seperti yang telah kau lakukan, aku tak sanggup karena ilmu kepandaianku tidak mungkin setinggi tingkatmu. Aku masih membutuhkan mataku yang sebelah lagi demi... demi... Hui Siang..."
"Ahhh...!"
Pucat wajah Kun Hong dan sekali berkelebat dia sudah berada di hadapan Bun Wan. Tangannya meraba muka pemuda Kun-lun-pai itu dan tahulah dia kini bahwa pemuda itu benar-benar telah melakukan perbuatan gila, telah membutakan mata kanannya sendiri!
"Kau gila...! Bun Wan, mengapa kau lakukan ini?"
Dengan suara gemetar Bun Wan berkata, "Kau pun telah membutakan kedua matamu, karena aku! Dan kau berani membutakan mata biar pun kau seorang yang tidak bersalah dan kau masih mampu menjalani hidup ini dengan gagah perkasa, bahkan masih dapat menolong kami yang bermata! Kalau kau berani sehebat itu, apa artinya aku yang hanya berani membutakan sebelah mata karena penyesalanku dan karena dosa-dosaku...?"
"Gila...! Bocah gila...!"
Kun Hong cepat menotok jalan darah di tengkuk Bun Wan, kemudian dia menggunakan tongkatnya untuk mencoret beberapa huruf di dekat kakinya sambil menahan keharuan hatinya. Dengan suara serak dia pun berkata, "Kau carilah obat yang kutulis ini, kau pakai mengobati matamu... ahhh, tidak kusangka akan begini... Bun Wan, Hui Siang, selamat tinggal..."
Cepat-cepat Kun Hong membalikkan tubuh dan pergi dari situ agar tak tampak oleh dua orang itu betapa ada dua titik air mata menetes turun dari pelupuk matanya yang sudah kosong. Burung rajawali emas mengeluarkan suara merintih panjang, terbang di atasnya dan mengikutinya pergi dari situ, dipandang oleh Bun Wan yang masih berdiri tegak dan yang ditangisi Hui Siang yang memeluknya. Di bawah, di depan kaki pemuda Kun-lun-pai itu, di atas batu yang sangat keras, terdapat huruf-huruf coretan dalam, tadi dibuat oleh tongkat Kun Hong, menggores dalam seperti dipahat saja….
**********
Sudah sebulan lebih Kong Bu beserta isterinya, Li Eng, meninggalkan puncak Min-san. Sebulan yang lalu, secara tiba-tiba seperti juga pada saat perginya, kakek Song-bun-kwi muncul di Min-san. Tadinya Kong Bu dan Li Eng menyambut kedatangannya dengan gembira sekali. Akan tetapi alangkah kaget dan kecewa hati mereka ketika dengan muka cemberut kakek itu berkata pendek,
"Kalian dengar baik-baik. Thai-san-pai telah diserbu orang, dirusak binasakan, dan banyak muridnya yang tewas. Adikmu Cui Sian diculik orang, sekarang ayahmu Tan Beng San dan isterinya meninggalkan Thai-san untuk mencari jejak musuh dan Cui Sian. Kau, Kong Bu, sebagai putera ketua Thai-san-pai, apa bila tidak cepat turun gunung membalas sakit hati ayahmu ini, kau akan menjadi dua kali puthauw (durhaka), selain goblok tidak bisa mempunyai keturunan juga durhaka karena tidak tahu budi orang tua." Hanya demikian saja kakek itu bicara, lalu membalikkan tubuh lari pula turun gunung.
Kong Bu dan isterinya saling pandang dengan muka pucat. Mereka tahu bahwa kakek itu masih saja penasaran dan marah karena mereka tidak mempunyai keturunan. Sakit hati mereka dikata-katai seperti itu oleh kakek mereka dan Li Eng yang biasanya tabah dan keras hati itu sudah menangis.
"Eng-moi," Kong Bu menghibur sambil memeluk isterinya, "sabarlah, sudah tidak aneh lagi kalau kakek bersikap seperti itu. Memang beliau seorang yang berwatak keras dan aneh."
Li Eng menggelengkan kepala. "Bukan itu... bukan itu..." kata Li Eng menahan isak. "Aku bersumpah, sebelum aku dapat melihat adik Cui Sian kembali kepada orang tuanya dan sebelum mampu membalas musuh-musuh Thai-san-pai, aku tidak akan mau pulang ke Min-san."
Kong Bu mengangguk. "Baiklah, mari kita turun gunung dan membantu ayah mencari adik Cui Sian sekalian membalas musuh-musuh itu."
Demikianlah, sepasang suami isteri ini lalu turun gunung, meninggalkan puncak Min-san dan mulai melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Semenjak mereka menikah empat tahun yang lalu, baru kali ini mereka melakukan perjalanan berdua, turun gunung. Dengan heran mereka mendapatkan kenyataan alangkah menyenangkan perjalanan ini, alangkah menggembirakan!
Perjalanan ini mengingatkan mereka akan pertemuan pertama mereka dahulu, pertemuan yang aneh, lucu dan mesra. Pada pertemuan pertama itu keduanya juga masing-masing sedang merantau seperti sekarang ini, begitu bertemu saling bermusuhan mengadu ilmu kepandaian sampai berjam-jam lamanya karena ilmu silat mereka memang setingkat.
Akhirnya Li Eng dapat dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Kong Bu, ke mana-mana dipondong di luar kemauan Li Eng. Kemudian, dengan menggunakan akal, Li Eng dapat merobohkan Kong Bu dan bertukar peranan. Li Eng yang sekarang menawan Kong Bu dan karena tidak sudi memondong tawanannya, ia lalu menyeretnya di sepanjang jalan. Semua peristiwa ini terbayang oleh sepasang suami isteri itu, menimbulkan kegembiraan besar dan kini mereka saling pandang dengan amat mesra, dengan kasih sayang baru. Kenangan masa lalu itu membangkitkan kembali kasih mesra di antara mereka.
Memang sesungguhnya sangatlah tidak baik kalau suami isteri melupakan hal-hal seperti ini. Tinggal di rumah saja bertahun-tahun, hidup sebagai alat-alat mati, segalanya sudah teratur dan selalu begitu-begitu tanpa perubahan, tiap hari terulang kembali tanpa muncul hal-hal baru, tanpa melihat hal-hal baru, akan mudah mendatangkan rasa bosan.
Tanpa disadari akan membuat suami isteri itu merasa bahwa mereka terikat oleh beban rumah tangga yang membuat mereka tunduk terbungkuk-bungkuk, menyeret mereka menjadi hamba dari pada keseragaman yang mereka ciptakan sendiri, memaksa mereka menjadi sebagian dari pada bangunan mesin rumah tangga yang mereka bentuk sendiri. Tubuh ini milik dunia, dan sudah menjadi sifat dunia selalu menghendaki yang baru dan mengubur yang lama. Oleh karena tubuh ini milik dunia maka tubuh ini pun seperti halnya dunia, menghendaki pula hal-hal yang baru, selalu rindu dan mencari sesuatu yang baru.
Begitu pula dengan suami isteri. Karena mereka hanya manusia-manusia yang bertubuh, dengan sendirinya mereka pun membutuhkan hal-hal yang baru untuk mempertahankan kebahagiaan rumah tangganya. Mereka sendirilah yang harus menciptakan hal-hal baru ini, harus pandai mencari suasana yang baru karena hal ini akan membangkitkan gairah hidup, akan menambah terang cahaya kebahagiaan rumah tangga, akan memperbarui atau mempertebal kasih mesra di antara mereka sendiri.
Suami isteri harus pandai memilih saat-saat di mana mereka dapat memisahkan diri dari pada keseragaman tiap hari itu, berdua saja untuk sementara memisahkan diri dari pada suasana sehari-hari yang selalu begitu-begitu saja sehingga membosankan.
Demikianlah, dengan kepergian mereka turun gunung, tanpa disengaja Kong Bu dan Li Eng sudah menciptakan suasana baru. Tidak mengherankan apa bila mereka merasakan kebahagiaan dan kegembiraan luar biasa dalam perjalanan ini, seakan-akan mereka kini memasuki hidup baru yang jauh berbeda dari pada kehidupan mereka sehari-hari yang begitu-begitu saja di puncak Min-san.
Biasanya setiap hari mereka hanya mengenal hal-hal seperti ini, yaitu bangun pagi-pagi, melatih para murid, bekerja di ladang, melatih murid-murid lagi, malamnya berlatih sendiri, mengaso, tidur. Demikianlah acara tunggal mereka setiap hari. Pemandangan alam yang dilihat pun itu-itu juga. Kasihan, kan?
Sekarang, begitu keduanya turun gunung, mereka memasuki suasana baru. Hawa baru, pemandangan baru, pendengaran baru dan semuanya ini menyiram bunga kebahagiaan yang tadinya agak melayu oleh kebosanan. Bersinar-sinar mata mereka, bibir mereka pun tersenyum-senyum, kemerahan pipi Li Eng pada saat memandang suaminya, amat mesra pandang mata Kong Bu pada saat menatap wajah isterinya, dan keduanya mendapatkan kebagiaan baru dalam perjalanan ini.
Seperti juga yang telah dilakukan oleh kakek mereka, juga oleh suami isteri Thai-san-pai dan oleh Sin Lee dan isterinya, suami isteri Min-san ini pun melakukan penyelidikan di dunia kang-ouw. Banyak sudah tokoh kang-ouw yang mereka datangi untuk dimintakan keterangan, kalau-kalau ada di antara mereka yang mendengar siapa-siapa yang telah menyerbu Thai-san. Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka yang mengetahui akan peristiwa itu dan karenanya juga tidak dapat menduga-duga siapa yang memusuhi Thai-san.
Malah berita ini lalu mengejutkan dan menggegerkan dunia kang-ouw, karena kejadian itu sudah pasti akan berekor panjang. Siapa mereka yang begitu berani mati mengganggu Thai-san-pai? Dengan hati berdebar dan tegang, para tokoh kang-ouw kini menanti-nanti datangnya ledakan dahsyat akibat kejadian ini, karena tentu saja tidak boleh tidak pihak Thai-san-pai akan melakukan pembalasan!
"Tidak ada lain jalan, isteriku," kata Kong Bu ketika mereka berdua sedang mengaso pada tengah hari yang terik di bawah pohon besar, "kita harus mendatangi tempat tinggal para musuh Ayah. Penyerbuan di Thai-san itu agaknya dilakukan penuh rahasia sehingga tidak ada yang tahu. Menurut pendapatku, mereka yang menyerbu Thai-san-pai pasti keluarga atau pun handai-taulan dari musuh-musuh ayah. Tanpa dasar dendam sakit hati, siapakah orangnya yang berani dan mau menyerbu Thai-san-pai sedangkan ayah terkenal sebagai seorang pendekar besar?"
Li Eng sedang duduk melonjorkan kedua kakinya dan tubuhnya bersandar pada batang pohon itu, kedua matanya dimeramkan. Agaknya ia nampak lelah sekali dan mengantuk. Mendengar ucapan suaminya, ia menjawab, "Memang agaknya begitu, akan tetapi yang lebih jelas lagi adalah bahwa mereka yang menyerbu itu tentu orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mampu mereka mengganggu Thai-san-pai?"
Kong Bu setuju dengan pendapat isterinya ini. Ayahnya adalah Raja Pedang yang sukar dicari bandingannya di dunia kang-ouw, ibu tirinya juga seorang pendekar pedang wanita yang berilmu tinggi. Kalau bukan orang-orang sakti, takkan mungkin berani mengganggu ke sana, apa lagi sampai berhasil merusak binasakan dan menculik Cui Sian.
Ia mengingat-ingat mereka yang dahulu memusuhi ayahnya. Siauw-ong-kwi tokoh utama dari utara dan muridnya, Siauw-coa-ong Giam Kin, keduanya sudah sama tewas dalam pertemuan di Thai-san. Toat-beng Yok-mo juga sudah tewas, begitu pun Pak Thian Lo-cu dan Hek-hwa Kuibo.
Tokoh-tokoh utama dunia persilatan sudah banyak yang tewas dan di antara empat besar yaitu Song-bun-kwi dari barat, Swi Lek Hosiang dari timur, Siauw-ong-kwi dari utara dan Hek-hwa Kui-bo dari selatan, kini yang masih hidup hanya kakeknya, Song-bun-kwi dan Swi Lek Hosiang.
Akan tetapi Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang bukanlah orang yang termasuk menjadi musuh ayahnya. Ada pun kakeknya, walau pun dahulu memusuhi ayahnya, akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi, malah membantu. Siapakah pula orang sakti yang dapat menyerbu ke Thai-san? Terbayanglah wajah Hek-hwa Kui-bo yang jahat dan dia mengingat-ingat siapa sanak keluarga nenek iblis ini.
Tiba-tiba dia meloncat bangun dan menepuk-nepuk pahanya. "Wah, kalau bukan mereka siapa lagi?"
Mendengar suara suaminya ini, Li Eng lalu membuka kedua matanya yang mengantuk, terheran-heran melihat sikap suaminya yang seperti keranjingan itu.
"Ehh, kau teringat siapakah?" tanyanya, terganggu karena tadi dia hampir pulas saking nikmatnya mengaso di bawah pohon yang teduh dan dikipasi angin semilir.
"Ketemu sekarang, Eng-moi! Tentu mereka, wah, siapa lagi kalau bukan mereka?"
Li Eng kini melempangkan punggungnya, duduknya tidak bersandar lagi, matanya sudah terbuka lebar menatap wajah suaminya. "Duduklah yang baik, bicara yang benar! Siapa yang kau maksudkan? Kau seperti sedang teringat kepada kekasihmu yang dulu saja."
"Eh, ehh, tiada hujan tiada angin tiba-tiba saja kau cemburu?" Kong Bu segera duduk di dekat isterinya dan merangkul lehernya. "Sejak dahulu kekasihku hanya kau, ada siapa lagi? Aku bukan sedang teringat akan kekasih, melainkan teringat akan murid mendiang Hek-hwa Kui-bo, yaitu ketua Ngo-lian-kauw yang berjuluk Kim-thouw Thian-li. Kau tentu masih ingat akan dia, bukan? Nah, dia sudah tewas tetapi Ngo-lian-kauw masih berdiri, kabarnya malah makin kuat. Orang-orang Ngo-lian-kauw lihai, juga licin dan curang sekali. Mereka patut dicurigai. Kurasa, setidak-tidaknya mereka tentu bercampur tangan dalam penyerbuan Thai-san-pai."
Li Eng mengerutkan keningnya yang hitam panjang, lalu mengangguk-angguk. "Betul juga katamu, kalau mengingat mereka, aku pun curiga. Perkumpulan iblis itu dapat melakukan kejahatan yang bagaimana pun juga."
"Aku tahu sarangnya!" Kong Bu berkata cepat. "Ngo-lian-kauw (Perkumpulan Agama Lima Teratai) berpusat di lembah Sungai Huai, di sebelah barat kota raja dan sebelah utara kota Ho-pei. Li Eng, hayo kita berangkat sekarang juga."
Kong Bu melompat berdiri lagi, akan tetapi dia memandang heran kepada isterinya yang masih saja duduk bermalas-malasan, malah sambil menguap dan mengulet isterinya kini kembali bersandar kepada batang pohon. Kong Bu memegang tangan Li Eng, menarik-nariknya mengajak bangun. "Hayo, bangunlah...!"
Tetapi dia menjadi keheranan ketika melihat Li Eng sama sekali tidak mau bangun berdiri, malah merenggut tangannya.
"Ihhh, kenapakah kau ini?" Kong Bu cepat berlutut lagi dekat isterinya. "Kenapa malas benar? Atau tidak enakkah badanmu?"
"Entahlah, aku malas... ngantuk. Kita mengaso dulu, biarlah aku tidur, hari masih amat panas, aku ogah melakukan perjalanan. Di sini enak sekali, sejuk dan nyaman. Nanti saja kalau sudah teduh kita melanjutkan perjalanan, mengapa sih buru-buru amat?”
Kong Bu memandang amat terheran-heran. Ini bukan watak Li Eng sehari-hari, pikirnya. Biasanya, isterinya adalah seorang wanita yang lincah, yang selalu bergerak bagai burung walet, tak mau diam apa lagi bermalas-malasan seperti ini. Apakah yang terjadi? Kenapa isterinya mengalami prerubahan watak begini aneh?
"Eng-moi, sakitkah kau...?" Dengan penuh kasih sayang Kong Bu meraba jidat isterinya.
Akan tetapi Li Eng mengipatkan tangan itu dan berkata, suaranya agak kaku, "Jangan ganggu aku! Aku mau tidur, aku tidak sakit apa-apa!" Dan ia tidak mau pedulikan lagi pada suaminya karena matanya sudah meram dan ia benar-benar berusaha untuk tidur.
Kong Bu tercengang, lalu duduk termenung menatapi wajah isterinya. Benar-benar luar biasa. Kenapa Li Eng jadi berangasan seperti ini? Tampaknya hendak marah-marah, akan tetapi anehnya, sebentar saja isterinya itu telah pulas, bisa diketahui dari pernapasannya yang panjang. Kong Bu terpaksa menahan sabar, menunda keberangkatannya ke sarang Ngo-lian-kauw untuk menyelidiki perkumpulan itu yang dia duga tentu mempunyai saham besar dalam peristiwa penyerbuan Thai-san-pai.
Memang panas hawa pada tengah hari yang amat terik itu. Biar pun sinarnya ditangkis oleh dahan-dahan pohon, tapi sinar yang menerobos dari celah-celah daun menyilaukan mata. Nyaman berlindung di bawah pohon itu, dan Kong Bu perlahan-lahan mengantuk juga setelah lama dia memandang wajah isterinya yang sudah tidur pulas dengan aman tenteramnya.
Akan tetapi selagi dia layap-layap hendak pulas, dia terbangun lagi. Cepat dia duduk dan memperhatikan. Tidak salah, ada orang bernyanyi-nyanyi di tengah hutan. Suara orang itu makin lama makin jelas, tanda bahwa orang yang bernyanyi itu sedang berjalan menuju ke mari. Suaranya parau dan keras, akan tetapi kata-kata dalam lagu yang dinyanyikan itu menarik perhatian Kong Bu. Dia memperhatikan. Mendengar suara nyaring itu diam-diam dia dapat menduga bahwa orang yang lewat di hutan dan bernyanyi ini tentulah seorang berkepandaian.
Kemenangan melahirkan kesombongan
menimbulkan benci permusuhan
hidup tak tenteram lagi.
Kekalahan melahirkan penasaran
menimbulkan dendam memupuk pembalasan
hidup tak tenteram lagi.
Yang melempar jauh-jauh kemenangan mau pun kekalahan
dialah orang bahagia.
Yang dikagumi dan dikehendaki para bijak budiman
adalah kemenangan batin!
Suara orang yang bernyanyi itu kini tidak semakin dekat, tanda bahwa orang itu agaknya juga berhenti, akan tetapi terus bernyanyi. Sehabis bernyanyi dengan suara parau seperti kaleng diseret, terdengar dia terbahak-bahak dan terkekeh-kekeh tertawa,
"Ha-ha-he-he-he, pendeta-pendeta palsu, hwesio-hwesio menggelikan! Indah-indah bunyi sajaknya, bagus-bagus pitutur dan ayat-ayat sucinya. Apa yang lebih suci di antara segala ayat dari pada yang terdapat dalam kitab-kitabnya? Tetapi, ayat-ayatnya tetap suci, para pelakunya yang kotor, heh-heh-heh, mulut menghambur ayat-ayat suci tangan melakukan perbuatan-perbuatan kotor!"
Diam-diam Kong Bu terkejut. Ingin sekali dia melihat macam apa orangnya yang dapat menyanyikan kata-kata sehebat itu lalu bicara seorang diri yang agaknya ditujukan untuk mengejek para hwesio yang biasanya melakukan sembahyang dan berdoa dengan lagu seperti itu. Tetapi dia menunda maksud hatinya karena takut kalau-kalau akan membikin orang itu tidak senang, apa lagi pada saat itu dia bernyanyi pula dengan suaranya yang parau dan kacau seperti suara katak buduk di hari hujan.
Mengenal keadaan orang lain memang bijaksana
mengenal diri sendiri barulah waspada.
Mengalahkan orang lain memang kuat badannya
mengalahkan diri sendiri barulah kuat batinnya.
"He-he-heh, segala tosu bau, bisa saja menyanyikan ayat-ayat To-tek-keng. Akan tetapi hanya mulut... mulut...! Lidah tidak bertulang, orang nampak manis pada mulutnya, gigi nampak putih berkilat. Tetapi lihat di baliknya! Kotor... kotor... palsu! Ha-ha-ha-he-he-he, hwesio-hwesio dan tosu-tosu sama saja, setali tiga uang. Mulut dan hati bagaikan bumi dengan langit, kata-kata dan perbuatan seperti terang dengan gelap!"
Terdengar suara orang itu mendekat lagi. Entah bagaimana, Kong Bu mendapat perasaan aneh seperti membisikinya bahwa terhadap orang ini dia tak boleh main-main. Lebih baik menjauhinya atau lebih baik tidak mengenalnya.
Dia sudah banyak mengenal tokoh aneh, kakeknya sendiri pun seorang yang dijuluki iblis. Akan tetapi orang ini mencaci dan mengejek para pendeta, baik pendeta hwesio (Buddha) mau pun pendeta tosu (Agama To) sambil menyanyikan ayat-ayat suci mereka. Orang yang sudah membenci semua pendeta, meski pun mengejek kepalsuan mereka, pastilah bukan orang sembarangan dan dia mendapat firasat bahwa orang ini amatlah berbahaya...