Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 07
Setelah sebulan lamanya mencari-cari tanpa hasil, akhirnya Jokowanengpati mengajak rombongan kembali ke Selopenangkep. Sebetulnya ia masih ingin mencari sampai dapat, akan tetapi Cekel Aksomolo mengomel saja menyatakan kesal dan bosan berkeliaran di tepi laut, kedua karena waktu untuk mengadakan pertemuan besar antara para tokoh sakti yang akan bersekutu dengan Adipati Joyowiseso sudah dekat, maka terpaksa mereka beramai kembali ke Selopenangkep.
Pada suatu hari tibalah rombongan ini dalam sebuah hutan penuh pohon randu alas dan jati. Untuk menghibur hati yang kesal, Jokowanengpati mengajak rombongannya menggunakan kesempatan terluang untuk sekalian berburu binatang. Oleh karena itu mereka sengaja mencari jalan melalui gunung yang banyak hutannya. Semua pendapatan berburu dimakan dagingnya di tempat dan dalam perburuan ini, Cekel Aksomolo memperlihatkan kepandaiannya. Kalau para pengawal berburu binatang dengan anak panah, sedangkan Jokowanengpati yang memiliki Aji Bayu Sakti dapat mengejar dan membunuh kijang dengan pukulan tangannya, adalah kakek sakti ini hanya dengan segenggam isi mlanding sekali lempar berhasil menjatuhkan belasan ekor burung terkukur atau kepodang yang sedang terbang lewat di atas!
Akan tetapi hutan-hutan di Pegunungan Kidul tidaklah kaya dengan binatang. Apalagi hutan randu alas yang mereka masuki pagi hari itu, amat sunyi. Tidak ada kijang, tidak ada babi hutan, yang ada hanya monyet dan harimau. Memburu harimau sangat sukar karena begitu rombongan itu memasuki hutan, semua harimau sudah lari bersembunyi jauh. Adapun monyet-monyet merupakan binatang yang tak mereka sukai dagingnya.
"Sayang sekali perjalananku jauh-jauh dari Wilis sia-sia belaka." Untuk ke sekian kalinya Cekel Aksomolo mengomel.
Tak enak hati Jokowanengpati. Memang sudah jauh-jauh ia mengundang orang tua sakti ini, kiranya sekarang hanya diajak berputar-putar mencari orang tanpa hasil sampai sebulan lebih. "Agaknya benar dugaan eyang bahwa Resi Bhargowo dan Pujo sudah mendengar akan kedatangan kita. Resi Bhargowo tentu takut mendengar bahwa eyang ikut datang, maka lebih dulu menyingkir dan bersembunyi. Kalau tidak demikian, tentu ada penduduk yang mengetahui di mana dia pergi. Agaknya mereka semua pergi dengan diam-diam."
Cekel Aksomolo menggeleng-geleng kepalanya. "Aku pernah bertemu dengan gurumu, Ki Empu Bharodo, akan tetapi Resi Bhargowo hanya baru kudengar suaranya saja. Akan tetapi mengingat dia itu adik seperguruan Empu Bharodo kurasa tak mungkin ia takut menghadap lawan yang belum pernah dicobanya."
"Betapapun saktinya, dia pasti akan mati konyol bertanding melawan eyang " Jokowanengpati memuji. "Guru saya sendiri takkan menang melawan eyang."
Kakek tua renta itu memang seorang yang haus akan puji dan umpak. Ia terkekeh senang. "Jelek-jelek, kalau hanya menghadapi Resi Bhargowo saja, tasbih ini pasti masih sanggup menghancurkan kepalanya!"
Pada saat itu terdengar bunyi tertawa meringkik. Kiranya seekor kera jantan sedang mengenjot-enjot batang pohon di atas mereka sambil terkekeh-kekeh entah apa yang ditertawakan dan entah binatang Itu sedang tertawa ataukah menangis, akan tetapi lagaknya seperti seorang anak kecil bermain-main sambil tertawa. Agaknya kelakuan kera itu menggemaskan hati Cekel Aksomolo. Dari atas kuda ia menggerakkan tangannya, dikebutkan ke atas dan kera itu memekik lalu terguling jatuh terbanting ke bawah. Dari hidung, mulut dan telinganya mengalir darah dan ia mati seketika !
"Huh, sayang dia bukan Resi Bhargowo! Resi Bhargowo, di mana engkau? Muncullah di sini, aku siap menghadapimu, Resi Bhargowo.....!!" Cekel Aksomolo dengan tingkah sombong menantang-nantang memanggil Resi Bhargowo.
Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun bayangan orang. Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo terkejut memandang gerakan orang itu gesit sekali dan ternyata dia adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, rambut dan jenggotnya putih semua, pakaiannya juga putih, kakinya telanjang. Tanpa menghiraukan mereka yang duduk di atas kuda, kakek ini mengeluarkan suara ngak-ngak nguk-nguk seperti kera, langsung menghampiri kera yang terbanting mati, lalu menangis! Masih terisak-isak kakek tua itu membongkar dan menggali tanah, kemudian mengubur bangkai kera dan menangis lagi!
"Heh-heh, kau ini orang gila ataukah kera mabok kecubung?" Cekel Aksomolo menegur karena merasa mendongkol melihat si kakek itu sama sekali tidak memperdulikannya, sedangkan cara mengubur bangkai kera itu merupakan perbuatan yang terang-terangan berlawanan dan mencela perbuatannya membunuh kera tadi.
Kini kakek itu membalikkan tubuh dan memandang penuh perhatian. Hanya sejenak saja ia memandang Cekel Aksomolo, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan Jokowanengpati, ia segera bertanya, suaranya parau, "Apakah engkau yang bernama Pujo anak mantu Resi Bhargowo?"
Jokowanengpati terkejut dan diam-diam timbul harapan hatinya untuk mendengar dari kakek aneh ini di mana adanya Resi Bhargowo. Maka ia lalu menjawab, "Kalau aku betul Pujo bagaimana dan kalau bukan bagaimana?"
"Krrrr! Krrrrr! Betul sombong... sombong sekali....!" Kakek putih itu berjingkrak-jingkrak lalu bertanya kepada Cekel Aksomolo, "Dan engkau ini tua bangka buruk apakah seorang cantrik pengikut Resi Bhargowo?"
"Uuhh-huh-huh, sialan awakku! Eh , kera monyet ketek kunyuk lutung!" la memaki. "Kalau benar bagaimana kalau bukan bagaimana? " Ia meniru jawaban Jokowanengpati.
Kakek tua aneh itu bukan lain adalah Resi Telomoyo, pertapa di puncak Gunung Telomoyo. Dia memang berwatak aneh dan edan-edanan, kadang-kadang seperti seekor kera. Akan tetapi ia amat marah kalau melihat seekor kera diganggu, maka sekarang ia marah bukan main melihat seekor kera dibunuh secara keji Agaknya karena ia pemuja Hanoman, tokoh kera sakti, ia lalu menganggap binatang kera sebagai segolongannya dan amat menyayang binatang ini. Mendengar jawaban-jawaban itu ia makin marah dan berjingkrak, mengeluarkan gerangan-gerengan seperti seekor kera jantan marah.
"Cantrik tua mau mampus! Tanpa sebab kau membunuh seekor kera yang tidak berdosa. Biarlah kubunuh juga engkau dan kau lihat siapakah di antara kau dan kera tadi yang akan mendapat tempat lebih nikmat di alam halus!"
Baru saja ucapannya habis, tubuhnya sudah meloncat dan ia menerkam Cekel Aksomolo yang masih duduk di atas kuda! Menyaksikan gerakan orang yang amat cekatan ini dan sambaran angin pukulan amat dahsyat keluar dari tangan yang hendak mencengkeram, Cekel Aksomolo terkejut sekali dan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Bressss!!"
Hebat sekali tenaga sakti kedua orang tokoh tua ini, sama dahsyat dan kuatnya berjumpa di tengah udara dan akibatnya, keduanya terpental seperti disambar halilintar! Resi Telomoyo terpental dan berjungkir balik sampai lima kali di udara, baru tubuhnya turun ke arah tanah sejauh lima meter. Adapun Cekel Aksomolo juga terpental dari atas kudanya, melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan turun ke atas tanah seperti sehelai daun kering sambil menyumpah-nyumpah!
Sejenak keduanya saling pandang dari jarak sepuluh meter, Saling pandang dengan terheran-heran dan kedua mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan bunyi aneh. Resi Telomoyo mengeluarkan suara meringkik-ringkik sedangkan Cekel Aksomolo menyumpah-nyumpah. Dua puluh empat orang pengawal yang melihat pertandingan dimulai, cepai melompat tutun dari kuda masing-masing dan lari mendekati, mencabut pedang dan golok lalu mengurung tempat pertandingan, siap untuk mengeroyok kakek seperti kera itu. Adapun Jokowanengpati diam-diam merasa gembira sekali karena agaknya kini Cekel Aksomolo bertemu tanding.
Betapapun juga, ia ingin mendengar dari kakek aneh ini apa sebabnya mencari Pujo dan apakah kakek ini mengetahui tempat sembunyi Resi Bhargowo Di samping itu, iapun bersiap-siap untuk mengeroyok jika Cekel Aksomolo tidak mampu mengalahkan lawannya. Untuk menguji kepandaian kakek aneh ini, ia lalu memberi tanda kepada kepala pasukan untuk maju menangkap Resi Telomoyo. Kepala pasukan memberi aba-aba dan dua belas orang pengawal serentak maju dengan senjata di tangan mengurung kakek yang sudah mulai menggaruk-garuk punggung seperti seekor kera.
"Orang tua, menyerahlah untuk kami belenggu!" bentak kepala pengawal, diam-diam merasa sungkan juga harus mengerahkan dua belas orang anak buahnya hanya untuk menangkap seorang kakek kurus tua renta yang bertangan kosong.
"Ha-ha-ha-ha, apakah kalau kaki tanganku sudah dibelenggu, kalian merasa akan menang? Majulah, aku melawanmu dengan tangan dan kaki terangkap seperti dibelenggu!"
Resi Telomoyo berkata sambil tertawa dan benar saja, ia merangkapkan kedua tangan dan juga kedua kakinya, berdiri agak membongkok dan matanya yang kecil itu melirik-lirik nakal seperti mata seekor kera. Tentu saja sikap ini membuat para pengawal menjadi marah dan juga geli, mengira bahwa kakek ini tentulah seorang yang sudah miring otaknya atau sudah pikun dan linglung saking tuanya.
Karena itu,kepala pasukan memberi aba-aba, "Serbu dan tangkap dia, boleh pukul tapi jangan bunuh!"
Bagaikan berlomba mencari jasa, dua belas orang pasukan pengawal itu menubruk maju, pedang dan golok dibalikkan karena mereka hanya ingin menggunakan punggung senjata yang tidak tajam saja. Sambil tertawa mengejek dan berteriak-teriak, mereka menyerbu ke depan. Tiba-tiba tubuh kakek itu mencelat ke atas dengan keadaan tegak dan dari atas ia membalik turun. Benar saja seperti janjinya, ia tidak pernah melepas kedua tangan dan kakinya yang tetap menjadi satu, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak menyambar-nyambar ke bawah, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu, roboh karena dihantam siku atau lutut, bahkan ada yang roboh karena gempuran kepala si kakek yang berambut putih! Mereka roboh tumpang-tindih, mengerang-erang dan merintih-rintih tanpa dapat bangun kembali sedangkan Resi Telomoyo sudah berdiri kembali di tempat tadi, Pertempuran ini tidak lebih satu menit lamanya!
"Rrriiiiikkkk....... ttrrriiikkk.......!!"
Tiada hentinya bunyi berkeritik yang amat nyaring ini dan kiranya Cekel Aksomolo sudah melangkah maju dan memutar tasbihnya yang mengeluarkan suara sakti untuk merobohkan kakek lawan tangguh itu. Jokowanengpati terkejut sekali karena tidak mempergunakan alat penutup telinga, maka ia cepat-cepat mengerahkan ilmu dan ajiannya, mengerahkan tenaga sakti dalam tubuh, menyalurkan hawa panas tenaga sakti itu kearah sepanjang telinganya untuk menolak pengaruh suara mujijat.
Sejenak Resi Tolomoyo yang diserang langsung oleh suara itu, bergoyang-goyang tubuhnya, kemudian ia meringkik-ringkik dan menggereng-gereng sambil berloncatan, makin lama suaranya makin cepat dan nyaring, mengimbangi suara tasbih sehingga terjadilah adu suara yang sama sekali tidak merdu di antara keduanya, didorong oleh tenaga sakti tingkat tinggi. Kasihan adalah nasib sisa dua belas orang yang belum roboh. Begitu mendengar suara berkeritik dari tasbih Cekel Aksomolo, mereka menggigil. Kali ini Cekel Aksomolo tidak menggunakan nada suara tinggi halus untuk memecahkan kendangan telinga, melainkan mempergunakan nada suara keras untuk mengguncang jantung.
Dua belas orang itu menjambak-jambak dada yang terasa sakit dan tak lama kemudian mereka sudah terjungkal roboh dan berkelojotan seperti cacing yang terkena abu, dan betapapun mereka menutupi telinga, suara itu tetap menerobos masuk dan seakan-akan menusuk-nusuk jantung. Apalagi setelah kakek rambut putih itu mengeluarkan suara pula yang amat tidak enak didengar, keadaan mereka makin tersiksa. Adapun dua belas orang pengawal yang lain tidaklah begitu menderita.
Mereka telah terluka parah dan kelemahan tubuh mereka membuat mereka segera roboh pingsan begitu mendengar suara sakti, Cekel Aksomolo makin penasaran dan juga marah, apalagi setelah melihat betapa selain kakek putih itu tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya, juga semua pengawal sudah roboh, bahkan Jokowanengpati dalam keadaan setengah samadhi sehingga takkan dapat membantunya.
Dalam gebrakan pertama ini dia sudah rugi. Karena itu, dengan gemas ia menghentikan suara tasbihnya dan membentak, "Kunyuk tua manusia monyet liar! Siapakah engkau berani main-main di depanku? Apakah kehendakmu? Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Ha-ha-ha, aku memang bosan hidup, akan tetapi bukan engkau yang menentukan! Apa engkaupun belum bosan, cantrik tua bangka? Tubuhmu sudah bongkok, pipimu sudah peyot, kulitmu sudah keriput, akan tetapi matamu masih memancarkan nafsu! Ha-ha-ha, aku tidak ada waktu untuk melayanimu, yang kuperlukan si Pujo ini!"
Begitu berhenti ucapannya, secepat kilat menyambar, Resi Telomoyo sudah menggerakkan tubuhnya berkelebat ke arah Jokowanengpati yang sudah sejak tadi bersiap-siap.
"Aiihhh...??" Terkejut sekali Resi Telomoyo ketika melihat sambarannya tidak berhasil, dapat dielakkan oleh pemuda itu dengan gerakan yang tangkas sekali.
Tidak aneh, karena Jokowanengpati bukanlah pemuda sembarangan, ia adalah bekas murid terkasih Empu Bharodo yang sudah menurunkan ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti! Jokowanengpati memang seorang pemuda yang memiliki watak tinggi hati, tidak mau kalah dan memandang rendah orang lain. Terhadap Resi Telomoyo tentu saja ia tidak mau memandang rendah dan sudah dapat menduga bahwa kakek seperti kera ini memiliki ilmu kesaktian tinggi, akan tetapi ia belum puas kalau belum mencobanya sendiri.
Pula, dia adalah seorang pemuda cerdik. Andaikata di sampingnya tidak ada Cekel Aksomolo yang dapat diandalkan untuk membantu dan menolongnya apabila ia terancam bahaya, agaknya sikapnya terhadap lawan sakti ini akan lain lagi. Kini, melihat betapa ia mampu mengelak terhadap terkaman si kakek putih, hatinya menjadi besar dan sambil membalikkan tubuhnya ia bersiap dengan kuda-kuda yang kokoh kuat.
Begitu kakek rambut putih itu menubruk lagi. ia mengelak ke kiri sambil balas menghantam dengan tangan kanan ke arah dada, disusul dupakan kaki kiri ke arah lutut kanan lawan. Pukulan tangan Jokowanengpati amatlah ampuhnya karena ia mempergunakan aji pukulan Siyung Warak yang mengandung penuh tenaga sakti dan sanggup menghancurkan batu gunung! Juga pukulan kakinya amat dahsyat, apalagi yang dijadikan sasaran adalah lutut. Betapapun saktinya seseorang, apabila, sambungan lututnya terlepas, tentu akan menjadi pincang dan berkurang kegesitannya.
Namun, betapa kagetnya hati Jokowanengpati ketika pukulan tangan kanannya itu bertemu dengan daging dada yang lunak dan membuat tenaga pukulannya seakan-akan tenggelam ke dalam air yang tak berdasar, adapun tendangannya yang menyusul itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Cepat ia menarik pukulannya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. Tahulah ia bahwa lawan yang tua ini benar-benar merupakan tandingan berat yang memiliki tenaga dalam yang sukar diukur tingkatnya!
"Ha-ha-ha, sebegitu saja kepandaianmu? Lebih baik kau menurut saja kubawa!" Kembali Resi Telomoyo menubruk hendak menangkap lawannya yang muda dan gesit, namun kembali Jokowanengpati dapat mengelak mempergunakan Ilmu Bayu Saktinya.
Sambil mengelak ia tidak mau tinggal diam. Ia maklum akan kekuatan kakek ini, akan tetapi juga dapat menduga bahwa kakek ini memiliki bagian-bagian tubuh yang tidak kebal, buktinya tadi tendangan yang diarahkan kepada sambungan lutut, tidak berani kakek itu menerimanya. Kini Jokowanengpati menyerbu dan mainkan Ilmu Silat Jonggring Saloko yang ia warisi dari gurunya.
Empu Bharodo memang seorang sakti yang terkenal dengan dua macam ilmunya, yaitu Bayu Sakti sebagai ilmu meringankan tubuh yang membuat pertapa itu dianggap dapat terbang saking tingginya ilmunya ini, dan kedua adalah Ilmu Tombak Jonggring Saloko. Ilmu tombak ini kabarnya belum pernah menemui tanding dan juga ilmu tombak ini merupakan rahasia yang tidak diturunkan kepada muridnya oleh Empu Bharodo.
Akan tetapi sebagai pecahan ilmu tombak ini diciptakanlah ilmu pukulan tangan Jonggring Saloko dan ilmu inilah yang ia turunkan kepada muridnya. Karena Jokowanengpati mempergunakan ilmu pukulan Jonggring Saloko, sebuah ilmu yang diciptakan oleh Empu Bharodo sendiri, tentu saja amatlah ampuhnya. Apalagi karena ilmu ini dimainkan dengan dasar Aji Bayu Sakti yang membuat geraknya menjadi cepat seperti kilat sedangkan ke dalam kedua tangannya ia isi dengan aji pukulan Siyung Warak, maka pada saat itu pemuda ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!
"Bagus! Hebat juga!" Berkali-kali Resi Telomoyo memuji.
Dia benar-benar kagum sekali, dan harus mengaku dalam hati bahwa belum pernah ia bertemu lawan sekuat ini, apalagi lawan seorang rnuda. Kalau saja ia tidak menang kuat ilmu dalamnya dan tidak lebih matang ajiannya, agaknya sukar untuk menanggulangi sepak terjang setangkas ini. Ah, pantas saja muridnya, Roro Luhito yang manis, yang mungil dan denok, tergila-gila kepada pemuda ini. Tidak aneh. Memang pemuda pilihan, pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi suami Roro Luhito muridnya! Aku harus dapat menangkapnya dan membawanya ke depan Roro Luhito, pikir sang resi. Oleh karena itu ia tidak mau main-main lebih lama lagi biarpun ingin ia menguji sampai di mana hebatnya kepandaian pemuda ini.
Segera ia mengeluarkan seruan meringkik, tubuhnya bergoyang-goyang kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya terbuka, matanya mendelik mulutnya terbuka menyeringai. Inilah Ilmu Sosro Satwo (Seribu Binatang) yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Seketika Jokowanengpati meremang tengkuknya karena Aji Sosro Satwo yang dipergunakan Resi Telomoyo itu memang memancarkan wibawa yang mujijat.
Sebelum pemuda ini dapat menenteramkan hatinya, ia sudah diserbu hebat. Kedua lengan tangan resi itu seakan-akan telah menjadi puluhan banyaknya dan Jokowanengpati mendengar suara bermacam binatang liar di sekelilingnya! Ia hanya dapat mengerahkan Bayu Sakti, mundur-mundur sambil mengelak dan menangkis sedapatnya.
"Werrrr......, ssyyuuuut.......!"
Sinar hitam meluncur ke depan menyambar kepala Resi Telomoyo yang cepat melompat mundur karena hawa sambaran benda bersinar hitam itu luar biasa sekali pengaruhnya. Ternyata Cekel Aksomolo yang sudah maju. Kakek pertapa Gunung Wilis ini berkata, "Mundurlah, raden. Biarlah aku yang maju. Hayo, kunyuk tua manusia kera, majulah. Akulah lawanmu, tua sama tua! Huh-huh!"
Resi Telomoyo sudah menjadi marah sekali, akan tetapi iapun merasa heran. Mengapa ada seorang cantrik yang agaknya lebih sakti daripada Pujo? Ia merasa direndahkan kalau hanya dilawan oleh seorang cantrik saja. Maka sambil menggeram keras ia menerjang maju dengan pukulan Kapi Dibyo. Kedua tangannya menghantam dengan hawa pukulan jarak jauh yang cukup merobohkan lawan dari jarah jauh tanpa menyentuh orangnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo tertawa dan menyambut lawan dengan hantaman tasbihnya yang ampuh.
Resi Telomoyo tidak berani menerima hantaman tasbih ini, tasbih yang mengarah lehernya dari kiri, cepat tubuhnya miring ke arah kiri, menyelinap di antara sinar hitam tasbih, akan tetapi melanjutkan pukulan tangan kirinya menebak (memukul dengan telapak tangan) dada lawan. Cekel Aksomolo tentu saja tidak mau mengambil resiko pukulan yang ampuhnya bukan main ini, yang mendatangkan hawa panas, maka ia juga mendorong dengan telapak tangan kanannya memapaki tangan lawan.
"Dukkk!!"
Untuk kedua kalinya dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya hebat. Tubuh Resi Telomoyo terlempar ke belakang, terjengkang dan berjungkir balik beberapa kali dengan amat tangkasnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo juga terdorong ke belakang, terhuyung-huyung hampir roboh. Keduanya terpental sampai lima meter ke belakang dan kini berhadapan dengan mata terbelalak kagum dan kaget.
"Uuh-huh-huh, kiranya bukan sembarang orang! Eh, kunyuk tua, sebelum mampus di tangan Cekel Aksomolo, mengakulah, siapa gerangan engkau ini dan apakah engkau tadi terlalu banyak minum arak maka tiada hujan tiada angin mengamuk seperti kera mabok?"
Tercengang Resi Telomoyo mendengar nama ini. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya lalu terkekeh. "Wah-wah, kiranya bukan cekel sembarang cekel, bukan cantrik sembarang cantrik! Kusangka cantrik bujang Resi Bhargowo, siapa tahu ternyata Cekel Aksomolo si cantrik iblis! Heh, cekel bongkok, aku adalah Resi Telomoyo! Mengapa engkau melindungi si Pujo ini yang hendak kubawa untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya ? Hayo, benar-benarkah kau hendak mengadu kesaktian, menguji ampuhnya mantera tebalnya aji?"
Kini giliran Cekel Aksomolo yang kaget. Belum pernah ia bertemu memang, baru kali ini, namun nama Resi Telomoyo sudah pernah ia dengar, dan menyaksikan akibat benturan tenaga sakti tadi, ia maklum bahwa manusia seperti monyet ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Sementara itu, Jokowanengpati ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Resi Telomoyo yang kabarnya sakti mandraguna seperti Sang Hanoman di jaman Ramayana, juga menjadi terkejut.
Pemuda cerdik ini memang sedang berusaha mengumpulkan sekutu yang pandai-pandai, maka cepat ia berkata, "Mohon paman Resi Telomoyo sudi mengampunkan saya. Saya sama sekali bukanlah Pujo yang paman cari. Saya bernama Jokowanengpati, murid Empu Bharodo."
Resi Telomoyo tertegun, kecewa dan mendongkol. "Mengapa tidak dari tadi mengaku? Empu Bharodo saudara seperguruan Resi Bhargowo? Kalau begitu engkau sama busuknya dengan Pujo ! Tampak pada kilatan matamu. Huh, walaupun pakaianmu pakaian satria, ilmu kepandaianmu ilmu satria, namun matamu mata jalang, kau tentu satria tukmisi satria batuk kelimis (dahi halus, dimaksudkan mata keranjang)!"
"Huh-huh-huh, celaka, tiada hujan tiada angin memaki-maki. Monyet mendem (mabok)! Terima sajalah, raden, hitung-hitung buang sebel (sial)! Dia kakek mabok, kalau dilayani bukankah sama maboknya?" Cekel Aksomolo berkata.
"Wah lagaknya si cekel bongkok! Kau inipun tua-tua tuanya keladi, makin tua? makin menjadi-jadi! Tua-tua kelapa, makin tua makin keras tempurungnya, makin banyak santannya! Kakek tuwek (tua) kurus kering bongkok juling seperti kau ini tentu masih suka mengejar-ngejar wanita ayu!"
Cekel Aksomolo mencak-mencak saking marahnya. "Heh keparat Resi Telomoyo, mulutmu bobrok asal njeplak (terbuka) saya memaki orang seenak perutnya. Rasakan tasbih keramat ini!"
Dengan amarah meluap-luap Cekel Aksomolo menerjang dengan tasbihnya, juga Jokowanengpati setelah mendapat kenyataan bahwa kakek putih itu tidak dapat diajak berteman, mencabut kerisnya dan ikut pula menerjang maju. Resi Telomoyo kaget sekali. Kalau dikeroyok dua, ia bisa celaka, maka ia lalu mengeluarkan teriak keras seperti seekor kera dan tubuhnya mencelat ke atas, tahu-tahu ia sudah menyambar ranting pohon dan sambil terkekeh-kekeh ia melarikan, diri dengan cara meloncat-loncat di atas pohon.
Akan tetapi sebelum meloncat jauh, ia membuka jubah bagian bawah dan menyambarlah "air hujan" dari atas menimpa Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati!. Kedua orang itu cepat meloncat ke pinggir, akan tetapi tetap saja sebagian lengan mereka terkena air. Ketika itu tercium bau pesing dan tahulah mereka bahwa si kakek gila-gilaan itu sambil melarikan diri telah menyiram mereka dengan air kencing! Benar-benar persis Watak nakal seekor monyet.
Jokowanengpati merasa geli dan juga mendongkol sekali akan hinaan ini. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Cekel Aksomolo menggerak-gerakkan hidung mencium-cium, mukanya menjadi pucat sekali dan bibirnya berkata perlahan, "Untung tidak kena kepala.......!"
"Kena kepalapun mengapa, eyang? Dapat dicuci!"
"Uuuh-huh-huh, sial dangkalan bertemu monyet tua bangka! Biarpun dapat dicuci, penghinaan ini sekali waktu harus kubalas! Awas dia, kelak kutangkap dan kupaksa ia minum air kencingnya sendiri!!"
Akan tetapi diam-diam Jokowanengpati merasa bersangsi apakah kakek ini akan sanggup melaksanakan ancamannya, mengingat betapa si manusia kera itu benar-benar sakti, dan belum tentu kalah oleh Cekel Aksomolo. Pemuda ini sama sekali tidak mengira bahwa tadi hampir saja pertapa lereng Wilis itu membuka rahasianya sendiri. Seperti banyak ahli-ahli ilmu hitam yang selalu mempunyai pantangan, juga Cekel Aksomolo mempunyai semacam sirikan atau pantangan yang aneh, yaitu kepalanya tidak boleh tersiram air kencing.
Ini merupakan pengapesan atau kenaasannya. Makin bersih air kencing itu, makin celakalah dia. Air kencing anak-anak tentu akan membuatnya lumpuh seketika kalau mengenai kepalanya. Biarpun air kencing Resi Telomoyo tidak sebersih air kencing anak-anak, dan hanya mengenal lengannya bukan kepalanya, namun sudah cukup lumayan, membuat kepalanya pening sebentar dan mau muntah!
Dengan hati penuh kegemasan, Jokowanengpati terpaksa menolong anak buahnya, kemudian rombongan ini melanjutkan perjalanan pulang ke Kadipaten Selopenangkep dengan tubuh lemas. Usaha mencari Pujo tidak berhasil, malah mereka mendapat hinaan dari Resi Telomoyo! Bersungut-sungut Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo memasuki Kadipaten Selopenangkep.
Orang-orang sama terheran melihat betapa pasukan yang ketika berangkat dahulu gagah-gagah itu kini pulang dengan pakaian kumal, wajah kesal dan pakaian kusut, bahkan ada yang masih mengerang-erang dan ada pula yang tertelungkup di atas punggung kudanya, terlukai seperti pasukan kalah perang. Akan tetapi, ada hiburan bagi Jokowangpati dan Cekel Aksomolo dalam kegemasan mereka, yaitu bahwa Kadipaten Selopenangkep sudah kedatangan tamu-tamu agung.
Selain Wisangjiwo yang datang bersama dua orang wanita sakti yang bukan lain adalah Ni Durgogini, dan Ni Nogogini, juga kedatangan beberapa orang sakti lain yang akan memperkuat persekutuan mereka diharapkan datang dalam beberapa hari, yaitu di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo dan Ki Krendoyakso dari Bagelen! Secara singkat Jokowanengpati menceritakan usaha mereka mencari Pujo dan Resi Bhargowo tidak berhasil, sebaliknya di tengah jalan bertemu dengan Resi Telomoyo dan terjadilah perselisihan yang mengakibatkan terlukanya para pengawal.
"Manusia kera yang tua itu benar-benar menjemukan sekali," Jokowanengpati mengakhiri ceritanya. "Tanpa alasan dia mencari keributan dengan kami. Tentu saja para perajurit bukan lawannya. Kami berdua sudah turun tangan dan tentu dia akan mampus kalau saja tidak lekas-lekas lari mempergunakan kegesitannya seperti monyet, meloncat-loncat ke atas pohon sukar dikejar."
"Uuh-huh-huh, lain kali tidak kuberi ampun si monyet tua dari Telomoyo!" Cekel Aksomolo ikut bicara.
"Aku pernah mendengar tentang Resi Telomoyo manusia monyet, kukira hanya dongeng belaka, kiranya benar-benar ada," Ni Nogogini ikut bicara dan matanya mengerling ke arah Wisangjiwo.
Akan tetapi Ni Durgogini agaknya tidak memperhatikan cerita itu. Ia sedang kesima memandangi wajah Jokowanengpati yang ganteng dan matanya menyinarkan api gairah. Kemudian Adipati Joyowiseso memperkenalkan kedua wanita sakti itu kepada Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati.
"Waduh-waduh... sudah terlalu lama mendengar nama andika berdua yang hebat menjulang ke angkasa! Siapa sangka kedua nini yang sakti mandraguna jug amat cantik jelita seperti bidadari-bidadari kahyangan! Uh-huh-huh!" CekelAksomolo memuji.
Diam-diam Wisangjiwo merasa khawatir sekali kalau-kalau gurunya dan bibi gurunya akan menjadi marah. Akan tetapi ternyata tidak. Malah gurunya tersenyum manis sekali sambil mengerling ke arah Jokowanengpati dan berkata, "Paman Cekel Aksomolo terlalu memuji. Dan orang muda ini yang bernam Jckowanengpati? Pernah aku mendengar dari muridku Wisangjiwo bahwa kau adalah murid Empu Bharodo, betulkah, raden?" Suaranya manis sekali, seperti orang bertembang, sehingga Jokowanengpati yang ditanya sejenak tertegun ia ta dapat menjawab, terpesona. Bukan main kakangmas Wisangjiwo, pikirnya, punya guru begini ayu, begini denok, menggiurkan!
"Dimas Joko, kau ditanya guruku!" Wisangjiwo menegur geli, maklum betapa tamunya itu terpesona dan ada rasa bangga di hatinya.
"Oh.... ah... betul, bibi! Tetapi hanya bekas murid... sekarang bukan muridnya lagi. Kami berselisih faham. Bapa Empu terlalu membela sri baginda sedangkan saya menentang kekuasaan orang Bali..."
Ni Durgogini dan Ni Nogogini saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata mendengar ucapan ini, hanya cuping hidung mereka bergerak sedikit. Tidak ada orang lain yang lebih dekat dengan sepasang orang Bali yang kini menjadi raja dan patih Mataram, daripada mereka. Ni Durgogini dahulu adalah selir kinasih ki patih sedangkan Ni Nogogini selir kinasih (terkasih) sang prabu! Akan tetapi merekapun mengandung dendam terhadap raja dan patih karena mereka telah diusir!
Adipati Joyowiseso lalu cepat-cepat mempersilahkan mereka duduk di ruangan dalam dan memerintahkan para abdi (pelayan) untuk mengeluarkan hidangan yang memang telah disediakan. Suasana di kadipaten dalam pesta-pora untuk menghormat tamu-tamu agung dan didatangkanlah penari-penari dan penyanyi-penyanyi pilihan untuk menghibur mereka. Kamar-kamar terbaik dibersihkan dan dipersiapkan untuk para tamu.
Melihat betapa Ni Durgogini tertarik kepada Jokowanengpati, diam-diam Ni Nogogini girang hatinya. Terbukalah kesempatan baginya untuk mendekati Wisangjiwo yang amat lama ia rindukan itu. Di lain pihak, Wisangjiwo juga bisa menangkap arti kerling mata bibi gurunya yang semenjak setahun yang lalu di pantai Laut Selatan, tak pernah ia jumpai pula. Isteri Wisangjiwo, Listyokumolo yang bernasib malang, oleh putera adipati itu sudah lama dipulangkan kembali kepada ayahnya, seorang lurah dusun di sebelah timur Gunung Lawu.
Semenjak itu, Wisangjiwo merasa lebih bebas, sekarangpun karena di situ tidak ada isterinya, kedatangan Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar merupakan anugerah bagi kehausan nafsunya. Lirik dan senyum manis Ni Nogogini penuh arti dan memberi janji-janji banyak yang muluk-muluk. Karena di situ ada gurunya, tentu saja Wisangjiwo tidak berani banyak tingkah, dan ia hanya dapat menanti. Kalau tidak ada gerakan dari bibi gurunya sendiri, mana berani ia main-main? Ia hanya dapat menanti dan akan menanti sampai malam nanti. Harapan dan dugaan Wisangjiwo memang tidak meleset.
Menjelang tengah malam, pesta dibubarkan dan para tamu dipersilahkan beristirahat di kamar masing-masing. Suasana menjadi sunyi sekali dan dalam kesunyian itulah Wisangjiwo menanti. Menanti untuk waktu sebentar saja karena tak lama kemudian jendela kamarnya terbuka dari luar dan bagaikan sehelai selendang sutera halus dan ringannya, melayanglah tubuh Ni Nogogini memasuki kamarnya!
Rindu dendam mereka sudah ditahan-tahan selama setahun, maka tanpa bicara lagi Wisangjiwo bangkit dan mengembangkan kedua lengannya menyambut dengan penuh kegembiraan dan berdekap ciumlah kedua insan budak hawa nafsu itu. "Bibi," Wisangjiwo berbisik perlahan ketika mendapat kesempatan, "ni guru berada di sini, aku... takut..."
Ni Nogogini tertawa lirih. "Takut? Hi-hi-hik! Kau mau tahu apakah yang saat ini sedang dilakukan oleh orang yang kautakuti itu ? Mari...... kau ikut aku sebentar dan kau akan melihat apakah kau perlu takut atau tidak kepada mbok-ayu Durgogini!"
Tak sempat Wisangjiwo membantah karena ia sudah dipeluk dan dibawa keluar kamarnya seperti seorang anak kecil saja. Ternyata Ni Nogogini membawanya ke kamar JokoWanengpati dan wanita sakti itu tanpa mengeluarkan suara membawanya mendekat jendela. Pada saat itu terdengarlah bisik-bisik di dalam kamar diseling suara ketawa lirih, suara gurunya!
"Cah bagus (anak tampan)... kenapa tanganmu ini kehilangan kelingkingnya...?" Suara Ni Durgogini lirih, merdu, dan manja. Hafal benar Wisangjiwo akan suara ini, suara gurunya kalau sedang bercinta!
".... eh, ini...? Digigit... ular..." jawab Jokowanengpati dengan suara tersendat-sendat.
"Ihhh, ular apa?"
".... anu ular kuning berlidah merah"
"Hemmm, dengan ular saja kau kalah sampai kehilangan kelingking? Aku tukang mempermainkan ular. Ular apa saja! Segala macam racun ular tidak akan mempan terhadapku!"
"Ah, tentu saja. Bibi seorang sakti mandraguna, ratu gunung dan hutan, tentu segala binatang si hutan takluk kepadamu..."
"Kau ingin belajar aji menaklukkan ular?"
"Tentu saja, kalau bibi sudi mengajarku....."
"Hi-hik, kita lihat saja. Kalau kau cukup manis dan pandai menyenangkan hatiku, mungkin....."
Wisangjiwo mengirik tangan Ni Nogogini yang tersenyum lebar dan sekali melompat Ni Nogogini sudah meninggalkan jendela sambil mengempit pinggang orang muda itu dalam gulungan lengan kirinya Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali ke dalam kamar Wisangjiwo dilemparkannya pemuda itu di atas pembaringan dan ditubruknya. Mereka bergumul di situ sambil tertawa-tawa.
Setelah mendapat kenyataan bahwa gurunya sendiri bermain gila dengan Jokowanengpati, Wisangjiwo dapat melayani kehendak bibi gurunya dengan gembira dan tidak ragu-ragu lagi. Ia tidak marah kepada Jokowanengpati karena maklum bahwa tidak ada laki-laki yang dapat menolak kehendak gurunya itu.
Hanya ia merasa heran mengapa Jokowanengpati membohong tentang kelingkingnya yang putus, bukankah dahulu bercerita bahwa jari kelingking kirinya putus karena bacokan senjata ketika ia dikeroyok gerombolan! perampok? Mengapa pula sekarang mengatakan digigit ular? Yang mana yang benar? Akan tetapi sepak terjang Ni Nogogini yang ganas dan liar membuat ia segera lupa akan Jokowanengpati, lupa akan segala, tenggelam dalam lautan nafsu.
Memuakkan memang bagi mereka yang bersusila! Mengerikan bagi mereka yang tahu membedakan perbuatan baik dan buruk, bagi mereka yang belum bejat ahlaknya. Di Kadipaten Selopenangkep, di malam hari itu, terjadilah perbuatan mesum dan hina oleh dua pasang manusia yang tenggelam dalam perzinaan, menikmati perbuatan maksiat, tak sadar bahwa mereka menjadi hamba hawa nafsu dan berenang di tempat kotor.
Tiada ubahnya binatang-binatang kerbau yang bergelimang dalam lumpur, menikmati air lumpur kotor yang menempel di tubuh. Setiap ada kesempatan, siang maupun malam, kedua orang wanita sakti itu tentu akan menyeret kedua orang muda untuk memuaskan kehausan mereka yang tak kunjung padam.
Bagaimana dengan Cekel Aksomolo? Tiada bedanya! Maklum akan selera kakek itu, Adipati Joyowiseso sengaja memanggil beberapa orang abdi wanita yang cantik-cantik untuk melayani si kakek bandot tua. Karena pelayanan inilah maka tiga orang sakti yang sama mutunya ini merasa betah tinggal di kadipaten, menanti datangnya orang-orang sakti lain yang ditunggu-tunggu oleh Adipati Joyosiseso.
Adipati inipun maklum akan perbuatan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, akan tetapi karena sepaham sekwalitas, adipati ini dapat memaklumi dan bahkan diam-diam merasa girang bahwa puteranya dan calon mantunya dapat melayani dua orang wanita sakti itu dengan baiknya. Dengan pelayanan-pelayanan memuaskan ini sudah boleh dipastikan bahwa tiga orang sakti itu takkan terlepas dari tangannya, akan merupakan pembantu-pembantu setia dan berguna bagi cita-citanya.
Beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah tamu-tamu agung yang diundang dan lama dinanti-nanti itu. Pertama-tama yang datang adalah Ki Warok Gendroyono, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang rambutnya sudah banyak ubannya, namun tubuhnya masih kekar penuh otot-otot, kaki tangannya seperti empat kaki singa, mukanya berkulit hitam terbakar sinar matahari, matanya bersembunyi di balik alis yang panjang, kalau memandang orang melotot seperti orang marah, bicaranya kasar dan apa adanya tanpa tedeng aling-aling, jujur mbejujur.
Pakaiannya serba hitam dengan celana sebatas lutut, kolor (ikat pinggangnya) besar sebesar ibu jari kaki, dua kali melilit pinggang tapi ujungnya masih panjang bergantungan di depan, pada ujungnya sekali disimpul besar. Kelihatan lucu kolor itu, akan tetapi jangan main-main dengan benda ini. Semua warok memusatkan ilmunya pada benda yang dapat dipergunakan sebagai senjata atau jimat inilah, dan kolor yang dipakai Ki Warok Gendroyono berwarna kuning dengan belang-belang hitam merah bukanlah kolor sembarang kolor, melainkan kolor sakti yang ampuh dan disebut Ki Bandot. Kabarnya, demikian ampuhnya Ki Bandot ini sehingga sekali saja simpul di ujungnya menghantam lawan, sama hebatnya dengan gigitan seekor ular Bandot yang berbisa !
Ki Warok Gendroyono tidak datang seorang diri, melainkan dengan seorang sahabatnya yang dikenal sebagai yang baurekso (penjaga) Danau Sarangan di lereng Lawu. Karena dari Ponorogo ke Selopenangkep melalui jalan ini, maka Ki Warok Gendroyono singgah di tempat tinggal sabahatnya, bicara tentang undangan Adipati Joyowiseso yang memusuhi Raja Mataram, dan Ki Tejoranu demikian nama sahabatnya itu, menjadi tertarik lalu ikut bersamanya.
Ki Tejoranu berusia hampir lima puluh tahun tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti penderita penyakit kuning, matanya sipit dan bicaranya sukar sekali dan pelo (tak dapat menyebut R). Memang dia seorang perantau dari Tiongkok yang sejak mudanya bertapa di Danau Sarangan. Dia ahli silat tangan kosong dan yang amat terkenal adalah permainannya dengan sepasang golok.
Kemudian datang pula tamu dari barat, yaitu Ki Krendayakso. Hebat sekali tubuh kakek ini. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar melampaui ukuran manusia biasa, pantasnya seorang raksasa di jaman pewayangan! Matanya melotot lebar dan bundar, hidungnya besar pesek, mulutnya tak tampak tertutup cambang bauk yang hitam tebal dan kaku seperti kawat baja yang besar itu seakan-akan tidak kuat menahan tubuhnya seperti hampir pecah di sana-sini jika tubuhnya bergerak.
Di pinggangnya sebelah kanan tergantung sebuah senjata yang mengerikan, yaitu sebuah penggada yang terbuat daripada baja, ujungnya berduri dua di kanan kiri seperti taring singa. Inilah dia Ki Krendayakso kepala rampok di Bagelen yang sudah terkenal namanya di mana-mana karena banyak sudah orang dari empat penjuru mengalami gangguan apabila lewat di daerahnya, yaitu hutan Mundingseto.
Kedatangan Ki Krendayakso ini diikuti oleh selusin anak buahnya yang kesemuanya tinggi besar, kasar-kasar dan kuat, karena memang mereka semua adalah "orang-orang hutan" yang tidak mengenal tata susila atau sopan santun. Namun Adipati Joyowiseso yang cerdik dan pandai bersiasat itu menerima mereka dengan ramah di taman, bahkan lalu memerintahkan para abdinya menyediakan tempat tersendiri untuk selosin orang anak buah Ki Krendayakso, memberi mereka hidangan-hidangan enak agar mereka tidak merasa bosan menanti kepala mereka yang menjadi tamu agung di kadipaten.
Dengan gembira Adipati Joyowiseso dibantu oleh Wisangjiwo dan Jokowanengpati, mengajak para tamunya ke ruang tamu di mana telah tersedia hidangan hidangan lezat. Maka duduklah mereka mengitari meja yang penuh makanan dan minuman. Adipati Joyowiseso diapit Wisangjiwo dan Jokowanengpati kemudian berturut-turut duduk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Tejoranu, dan paling ujung Ki Krendayakso.
Adipati Joyowiseso menghaturkan terima kasih atas kedatangan para tamu agungnya, kemudian ia menyinggung-nyinggung tentang keadaan Mataram yang kini dikuasai oleh seorang raja keturunan Bali yang kini telah menaklukkan seluruh daerah Mataram lama. Disinggungnya pula bahwa selain rajanya keturunan Bali, juga raja ini tidak menghargai orang jawa sehingga patihnya pun sahabatnya sendiri, seorang dari Bali pula.
"Terus terang saja," Adipati Joyowiseso melanjutkan kata-katanya, "saya sendiri seorang taklukan dan kini masih menjadi adipati adalah berkat kemurahan Sang Prabu Airlangga. Akan tetapi, hati siapa akan puas menyaksikan keadaan di istana? Biarlah kita terima kenyataan bahwa raja dan patihnya orang-orang Bali, akan tetapi siapa dapat menahan perih hati melihat kenyataan yang pahit tentang nasib sang prameswari puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa? Betapa pedih hati ini memikirkan puteri keturunan raja kita dahulu, yang kini rela mengundurkan diri menjadi pertapa karena mengalah sehingga kedudukannya tergeser dan dirampas oleh seorang puteri bekas musuh lama, puteri dari Sriwijaya!"
Semua orang terdiam, tak ada yang bicara setelah kata-kata Adipati Joyowieso ini berakhir. Hanya Ni Nogogini bekas selir Raja Airlangga, menjebikan bibirnya yang merah, akan tetapi kepalanya diangguk-anggukkan. Masing-masing terlelap dalam lamunan dan kenangan sendiri. Memang semua juga tahu akan keadaan di kerajaan. Tahu bahwa sang prameswari (permaisuri), puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa yang menjadi isteri pertama Prabu Airlangga, kini mengundurkan diri dan menjadi pertapa, bertapa dengan julukan Sang Panembahan Kilisuci
Sunyi setelah Adipati Joyowiseso menghentikan kata-katanya. Kemudian terdengar suara Ki Warok Gendroyono yang keras dan nyaring, dibarengi tangannya yang besar dan berat menggebrak meja, "Aku tidak tahu tentang urusan dalam istana raja dan aku tidak peduli dia hendak menceraikan semua isterinya atau kawin lagi! Bukan urusanku! Akan tetapi dua tahun yang lalu, karena membunuh tiga puluh orang musuh-musuhku, aku di tangkap oleh ki patih, kemudian dijatuhi hukuman penggal kepala. Ha-ha-ha! Segala macam pedang dan golok kanak-kanak di Mataram mana yang mampu memenggal leherku? Agaknya sang prabu gentar menyaksikan betapa golok dan pedang tidak berhasil menabas atau melukai batang leherku, maka aku dibebaskan. Akan tetapi aku selalu diawasi, dan semua ini merupakan penghinaan yang takkan dapat kulupakan, terutama sekali Ki Patih Kanuruhan!"
"Hi-hi-hik!" Ni Durgogini tertawa sambil memandang Ki Warok Gendroyono. "Ki Warok Gendroyono, aku pernah mendengar bahwa Rakyan Patih Kanuruhan adalah seorang yang digdaya sekali. Engkau sendiri tadi mengakui telah ditangkap olehnya. Bagaimanakah caramu hendak membalas dendam?"
Mata itu melotot ke arah Ni Nogogini ketika ia menjawab, "Betul bahwa dahulu aku kalah olehnya, akan tetapi apakah kau kira selama ini aku tinggal diam saja? Tidak, aku sudah memperdalam ilmu, mencari aji yang akan dapat kupakai untuk menandinginya. Lihat saja nanti, apakah ia akan kuat menadahi ke ampuhan Ki Bandot!"
Sambil berkata demikian, tangannya mengelus-elus ujung kolor yang berada di bawah perut di antara kedua pahanya, sehingga gerakan ini tentu saja nampak lucu dan tidak patut!
"Ki Warok benal...!" kata Ki Tejoranu mengangguk-angguk. "Bialpun ki patih lihai sekali, tentu ada yang lebih tinggi. Ilmu tidak ada batasnya, makin dikenal makin tinggi. Saya dengal banyak olang lihai di Matalam, kalau tidak sekalang ikut sobat-sobat mencoba kepandaian meleka, untuk apa kita belajal ilmu?
Biarpun kata-katanya pelo, namun semua yang hadir dapat menangkap artinya dan tahulah mereka bahwa pertapa Danau Sarangan ini adalah seorang petualang yang hanya tertarik akan mengadu ilmu. Akan tetapi Ki Warok Gendroyono yang jujur berkata sambil tertawa, "Wah, sahabatku Ki Tejoranu! Selain mencari korban kehebatan sepasang golokmu, apakah kelak kau tidak akan menerimanya apabila memperoleh pahala dan disodori kedudukan pangkat? Kalau begitu, biarlah kelak aku yang mewakilimu menerima semua pahala."
"Hayaaaa.... bukan begitu, Ki Walok sobat baik! Kalau kalah saya mati kalau menang sudah patut telima hadiah." Ia tertawa meringis dan sepasang matanya menjadi makin sipit sehingga tinggal merupakan dua garis melintang saja.
Kini Adipati Joyowiseso menoleh ke arah kepala rampok dari Bagelen yang duduk di ujung meja dan tiada hentinya menggerogoti paha ayam sambil mendorong dari tenggorokan ke perut dengan arak ketan.
"Semua saudara sudah menyatakan pendapatnya, bolehkah kami mendengarkan pendapatmu tentang Mataram, kisanak?"
Menghadapi seorang perampok besar yang kasar dan liar ini, tidak ada sebutan lain yang lebih tepat. Ki Krendroyakso sendiri menyebut ki sanak (saudara) kepada siapapun yang ia jumpai! Ki Krendroyakso mencuci mulut dan tenggorokannya dengan arak lebih dulu sebelum menjawab, matanya melotot lebar dan cambang bauknya bergerak gerak.
"Heemmmmm, kalau kalian mau menggempur Mataram, aku dan anak buahku siap setiap saat! Kami pernah digempur oleh pasukan Mataram, banyak anak buahku tewas. Raja Mataram yang sekarang adalah musuhku!" Setelah berkata demikian, kembali ia menyambar daging kambing dan melahapnya tanpa mempedulikan orang lain.
"Uuh-huh-huh, demi segala jin dan setan iblis peri gadungan, siluman banaspati tetekan! Bagus, bagus... semua telah menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap si Raja Bali. Huh-huh tapi bagaimana pelaksanaannya? Mataram memiliki panglima-panglima dan senopati senopati yang sakti mandraguna! Apakah tenaga kita mencukupi? Uh-huh-huh kalau sampai gagal, kita semua tidak urung akan binasa...!"
"Bruuuukkkk!" Ki Warok Gendroyono menggebrak meja sampai tergetar dan piring-piring berloncatan. "Paman Cekel Aksomolo apakah takut?"
"Uh-huh-huh, sialan awakku, disangka takut. Bukan takut, Ki Warok, akan tetapi kita harus mengatur siasat, harus mengukur tenaga sendiri dan membandingkannya dengan tenaga calon lawan... "
"Paman Cekel Aksomolo berkata benar!" Tiba-tiba terdengar suara halus suara Ni Nogogini. "Memang harus berhati-hati dan sekali bertindak ceroboh selain usaha gagal juga kita akan binasa. Benar apa yang dikatakan mbokayu Ni Durgogini tadi. Baru Narotama Patih Kanuruhan itu saja kedigdayaannya sudah menggiriskan, apalagi kalau kita ingat akan Sang Prabu Airlangga sendiri yang sakti mandraguna! Seakan-akan Sang Batara Wisnu sendiri yang menjelma. Dalam kedigdayaannya, biarpun sang prabu ini saudara seperguruan ki patih, namun ilmunya jauh melampauinya! Karena itulah, selain kita harus berhati-hati, juga harus dapat melihat keadaan dan pandai memilih waktu."
"Sekaranglah waktunya!" tiba-tiba Ni Durgogini berkata. "Kalau mau memilih yang paling tepat, sekarang inilah!"
"Mbokayu, apa maksudmu?" Ni Nogogini bertanya, sedangkan yang lain-lain juga menengok memandang wajah ayu kemayu dan mata yang kocak bening itu. Bibir yang merah basah tanpa dubang (air kapur sirih) itu merekah membayangkan kilatan gigi yang putih.
"Kalian semua belum tahu bahwa pada saat ini Kerajaan Mataram kehilangan sebuah pusaka yang selama ratusan tahun menjadi lambang kejayaan Mataram, Patung kencana Sri Batara Wishnu telah lenyap dari keraton!"
Semua orang menyambut berita ini dengan kaget. Terdengar suara ah-ah-oh-oh dan semua mata memandang wajah ayu Ni Durgogini, bukan karena kagum oleh kecantikan melainkan oleh rasa ingin tahu yang besar. Wanita itu mengangguk-angguk.
"Pusaka keramat itu lenyap tak meninggalkan bekas. Sang prabu gelisah, bahkan mengutus ki patih sendiri untuk turun tangan keluar dari istana pergi mencari patung kencana yang hilang. Nah, pada saat pusaka keramat lenyap dan Kerajaan Mataram menyuram, apalagi ki patih tidak berada di keraton, bukankah saat ini adalah saat terbaik?"
"Uh-huh-huh, Jagat Dewa Batara! Semoga selalu jaya wijaya bagianku dan apes sial dangkal bagian musuh-musuhku! Uh-huh, aku pernah mendengar bahwa patung kencana itu amat bertuah, siapa mendapatkannya akan menerima wahyu (anugerah dewata) mahkota, berhak menjadi raja tanah Jawa! Aku mendengar pula bahwa di dalam patung kencana itu tersimpan pusaka Brojol Luwuk (keris tanpa ganja berwarna abu-abu), satu-satunya pusaka yang mampu menembus jantung raja yang sudah kehilangan wahyunya! Uh-huh-huh, yang paling perlu sekarang adalah mendapatkan patung kencana itu lebih dulu, baru menggulingkan Raja Bali di Kahuripan. Pusaka keris Brojol Luwuk dalam patung kencana menjadi ajimat sejak Prabu Sanjaya mendirikan Mataram, selalu menjadi patung bertuah selama Kerajaan Mataram berdiri. Ketika dahulu lenyap dari keraton, Mataram runtuh dan hampir terbasmi habis, ditaklukkan oleh Kerajaa Syailendra, Setelah pusaka itu didapatka kembali oleh Sang Rakai Pikatan, Mataram bangkit dan jaya kembali. Pernah hilang pada waktu Kerajaan Medang, baru didapatkan kembali oleh Raja Airlangga dari Bali yang kini disebut Raja Kahuripan. Uh-huh-huh, sekarang lenyap, bukankah itu berarti akan runtuhnya Kahuripan dan bangkitnya kembali Mataram yang dahulu?"
Mendengar ini semua orang termenung Mereka semua memiliki hati dendam penasaran terhadap Sang Prabu Airlangga, merasa dirugikan ditambah lagi mengingat bahwa Sang Prabu Airlangga dan Narotama patihnya adalah orang-orang Bali. Kenyataan bahwa sesungguhnya Airlangga juga masih seorang keturunan Raja-raja Mataram tidak meredakan kebencian mereka. Sebetulnya, Airlangga yang menjadi mantu Raja Medang terakhir, yaitu Teguh Dharmawangsa adalah anak kemenakan dari permaisuri Raja Medang ini. Ibu Airlangga adalah Puteri Mataram yang bernama Mahendradata yang menikah dengan Pangeran Udayana dari Bali.
"Akan tetapi kalau harus mencari pusaka yang hilang, sampai kapankah kita dapat bergerak menghancurkan Kahuripan?" Ni Nogogini berkata tidak puas. "Mencari pusaka bukanlah hal yang mudah, apalagi ki patih sendiri juga sedang mencari-carinya."
Kembali semua orang meragu, dan akhirnya terdengar suara Jokowanengpati. Pemuda ini memang cerdik, kata-katanya jelas, buah pikirannya masuk akal dan begitu ia bicara, perhatian mereka semua tertarik, "Saya rasa pendapat Ni Durgogini bahwa kini sudah tiba saatnya adalah benar, juga pendapat eyang Cekel Aksomolo agar kita mencari pusaka yang hilang lebih dulu juga benar pula. Kita harus dapat menyatukan pendapat-pendapat benar dan mencari manfaat daripadanya. Menurut pendapat saya yang muda dan bodoh, marilah kita mencari pusaka yang hilang itu dengan terpencar. Sementara kita mencari pusaka yang hilang, kita kerahkan tenaga, kita didik orang-orang di pedusunan menjadi perajurit untuk memperbesar bala tentara kita, karena betapapun juga, tanpa pasukan yang besar dan kuat, usaha kita takkan berhasil. Tentang keadaan di Mataram, tak perlu dikhawatirkan karena kakangmas Wisangjiwo bertugas di sana sehingga dialah yang wajib mengawasi gerak-gerik di istana Kahuripan sehingga kita mengetahui semua perubahan dan rahasianya. Kalau pasukan yang kita tempa sudah cukup kuat dan siap, baru kita bergerak. Syukur kalau pada waktu itu kita sudah dapat menemukan pusaka yang hilang."
Semua yang hadir di situ mengangguk-angguk setuju. Memang, mengadakan perlawanan terhadap Raja Airlangga dan patihnya Narotama bukanlah hal yang ringan dan mudah, karenanya perlu siasat yang matang. Tiba-tiba Jokowanengpati berkata lagi, "Karena pusaka patung kencana itu merupakan lambang kejayaan Mataram dan siapa memilikinya mendapat wahyu mahkota Mataram, sebaiknya kita putuskan bahwa siapa di antara kita yang mampu mendapatkannya, akan kita angkat sebagai pimpinan persekutuan ini dan andaikata kelak berhasil, dialah yang akan diangkat menjadi Raja Mataram!"
Semua orang kaget, akan tetapi setelah dipikir secara mendalam, membenarkan juga pendapat ini.
"Uuh-huh-huh, itu sudah tepat sekali!" kata Cekel Aksomolo.
"Benar dan adil!" seru Ki Krendayakso. "Sekarang juga aku akan mengerahkan anak buahku mencari pusaka!" Ia sudah bangkit berdiri, kelihatannya tergesa-gesa.
Adipati Joyowiseso tersenyum dan cepat menahan raksasa ini. Di dalam hatinya ia sudah khawatir juga akan usul Jokowanengpati yang disetujui semua orang. Bagaimana kelak akan jadinya andaikata Ki Krendrayakso kepala rampok ini yang mendapatkan pusakanya?
"Harap kisanak bersabar dan tidak tergesa-gesa. Semua usul anakmas Jokowanengpati memang tepat dan semua telah menyetujuinya. Akan tetapi setelah para bijak dan pandai sudi melangkahkan kaki datang ke Kadipaten Selopenangkep, harap jangan tergesa-gesa pergi lagi. Selain itu, sudah amat lama saya mendengar akan kesaktian anda sekalian. Setelah kini ada kesempatan berjumpa, saya mohon sedikit petunjuk untuk membuka mata saya, dan untuk membesarkan hati menghadapi usaha kita yang amat besar dan berbahaya ini. Setelah menyaksikan kesaktian anda semua, agaknya barulah hati saya akan tenteram dan dengan penuh kepercayaan akan dapat saya kumpulkan tenaga serta saya hubungi para adipati di empat penjuru."
"Hayaaaa..." Ki Tejoranu berkata sambil bangkit berdiri. "Laden Joko dan sang adipati, semua pintal bicala sekali. Saya tidak bisa bicala, cuma bisa mainkan golok..."
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangannya bergerak dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika sepasang goloknya sudah dicabut. Sepasang golok itu ia putar-putar di sekeliling tubuhnya merupakan gulungan dua gulungan sinar putih, yang satu menyambar ke arah bangku kosong di sebelah kiri, yang satu menyambar pula ke arah seekor anjing yang sedang sibuk menggigiti tulang di atas lantai.
Tidak terdengar suara apa-apa, dan kedua sinar itu lenyap, Ki Tejoranu menyeringai sambil memasukkan sepasang senjatanya ke sarung, lalu duduk kembali setelah mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, "Maaf, siang-to (sepasang golok) yang buluk, tidak baik."
Adipati Joyowiseso tidak dapat menahan geli hatinya. Ia melihat bangku itu masih berdiri di tempatnya, anjing itu masih duduk mendeprok, hanya tidak menggigit tulang lagi, kini menyalak lirih.
"Ha-ha-ha, Ki Warok Gendroyono, pertunjukan apakah yang diperlihatkan sahabatmu dari Sarangan tadi? Cukup menyilaukan mata, akan tetapi terlalu singkat waktunya dan apa gunanya?"
Ki Warok Gendroyono tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Harap kanjeng adipati periksa yang baik-baik!
Setelah berkata demikian, Ki Warok Gendroyono menyentuh bangku di sebelah kiri, mendorongnya sedikit dan bangku itu ternyata telah terbelah menjadi tiga, agaknya saking tajam dan cepatnya gerakan golok, biarpun sudah terbelah bangku itu masih kelihatan utuh dan tidak roboh! Kemudian Ki Warok Gendroyono membentak dan mengusir anjing hitam yang masih duduk mendeprok. Anjing yang mengeluarkan bunyi lirih itu meloncat dan kepalanya menggelinding, lehernya yang telah sapat (terbabat putus) itu mengucurkan darah!
Kagetlah Adipati Joyowiseso dan para tamu. Hebat sekali Ki Tejoranu yang kurus pucat itu. Melihat orangnya yang kurus pucat, mendengar suaranya yang pelo dan tidak karuan, benar-benar orang akan memandang rendah. Akan tetapi melihat kenyataannya sekarang, benar-benar sepasang goloknya itu mengerikan sekali. Lawan akan dapat tewas terbabat golok tanpa terasa!
Melihat semua orang terdiam dan memandang Ki Tejoranu dengan pandang mata yang berbeda daripada tadi, penuh kagum dan heran, Ki Warok Gendroyono tertawa lagi keras-keras. Kemudian ia berkata, "Kanjeng Adipati Joyowiseso menghendaki kita memperlihatkan kepandaian. Setelah kita menjadi sahabat, pula setelah kita disambut dengan manis, kenyang makan minum, sudah sepantasnya kita memenuhi kehendaknya itu."
Sambil tertawa-tawa Ki Warok Gendroyono menanggalkan bajunya sehingga tampak bahunya yang bidang, dadanya yang menonjol dengan bulu tebal di tengah, kemudian ia berkata kepada para penjaga yang menjaga pintu ruangan itu setelah memanggil mereka. "Hayo kalian gunakan tombak dan golok kalian untuk membacoki tubuhku ini, boleh pilih bagian yang paling lunak!"
Tiga orang penjaga itu memandang bingung.Tentu saja mereka tidak berani melakukan hal ini, maklum bahwa kakek ini adalah seorang di antara tamu agung yang dijamu oleh adipati. Akan tetapi tiba-tiba Sang Adipati Joyowiseso sendiri berkata, "Lakukan apa yang diperintahkan Ki Warok!"
Kini mengertilah tiga orang penjaga itu bahwa tamu itu hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Gembiralah hati mereka dan ketiganya lalu menggunakan tombak mereka menusuk, ada yang memilih perut, ada yang menusuk ulu hati dan orang ketiga malah menusuk tenggorokan! Akan tetapi Ki Warok adalah seorang yang kebal, tan tedas tapak paluning pande (tidak mempan senjata buatan pandai besi)! Begitu mata tombak menyentuh kulit, terdengar suara "krek-krekkrek" dan tiga orang itu terbanting jatuh karena leher tombak mereka patah-patah!
Pada suatu hari tibalah rombongan ini dalam sebuah hutan penuh pohon randu alas dan jati. Untuk menghibur hati yang kesal, Jokowanengpati mengajak rombongannya menggunakan kesempatan terluang untuk sekalian berburu binatang. Oleh karena itu mereka sengaja mencari jalan melalui gunung yang banyak hutannya. Semua pendapatan berburu dimakan dagingnya di tempat dan dalam perburuan ini, Cekel Aksomolo memperlihatkan kepandaiannya. Kalau para pengawal berburu binatang dengan anak panah, sedangkan Jokowanengpati yang memiliki Aji Bayu Sakti dapat mengejar dan membunuh kijang dengan pukulan tangannya, adalah kakek sakti ini hanya dengan segenggam isi mlanding sekali lempar berhasil menjatuhkan belasan ekor burung terkukur atau kepodang yang sedang terbang lewat di atas!
Akan tetapi hutan-hutan di Pegunungan Kidul tidaklah kaya dengan binatang. Apalagi hutan randu alas yang mereka masuki pagi hari itu, amat sunyi. Tidak ada kijang, tidak ada babi hutan, yang ada hanya monyet dan harimau. Memburu harimau sangat sukar karena begitu rombongan itu memasuki hutan, semua harimau sudah lari bersembunyi jauh. Adapun monyet-monyet merupakan binatang yang tak mereka sukai dagingnya.
"Sayang sekali perjalananku jauh-jauh dari Wilis sia-sia belaka." Untuk ke sekian kalinya Cekel Aksomolo mengomel.
Tak enak hati Jokowanengpati. Memang sudah jauh-jauh ia mengundang orang tua sakti ini, kiranya sekarang hanya diajak berputar-putar mencari orang tanpa hasil sampai sebulan lebih. "Agaknya benar dugaan eyang bahwa Resi Bhargowo dan Pujo sudah mendengar akan kedatangan kita. Resi Bhargowo tentu takut mendengar bahwa eyang ikut datang, maka lebih dulu menyingkir dan bersembunyi. Kalau tidak demikian, tentu ada penduduk yang mengetahui di mana dia pergi. Agaknya mereka semua pergi dengan diam-diam."
Cekel Aksomolo menggeleng-geleng kepalanya. "Aku pernah bertemu dengan gurumu, Ki Empu Bharodo, akan tetapi Resi Bhargowo hanya baru kudengar suaranya saja. Akan tetapi mengingat dia itu adik seperguruan Empu Bharodo kurasa tak mungkin ia takut menghadap lawan yang belum pernah dicobanya."
"Betapapun saktinya, dia pasti akan mati konyol bertanding melawan eyang " Jokowanengpati memuji. "Guru saya sendiri takkan menang melawan eyang."
Kakek tua renta itu memang seorang yang haus akan puji dan umpak. Ia terkekeh senang. "Jelek-jelek, kalau hanya menghadapi Resi Bhargowo saja, tasbih ini pasti masih sanggup menghancurkan kepalanya!"
Pada saat itu terdengar bunyi tertawa meringkik. Kiranya seekor kera jantan sedang mengenjot-enjot batang pohon di atas mereka sambil terkekeh-kekeh entah apa yang ditertawakan dan entah binatang Itu sedang tertawa ataukah menangis, akan tetapi lagaknya seperti seorang anak kecil bermain-main sambil tertawa. Agaknya kelakuan kera itu menggemaskan hati Cekel Aksomolo. Dari atas kuda ia menggerakkan tangannya, dikebutkan ke atas dan kera itu memekik lalu terguling jatuh terbanting ke bawah. Dari hidung, mulut dan telinganya mengalir darah dan ia mati seketika !
"Huh, sayang dia bukan Resi Bhargowo! Resi Bhargowo, di mana engkau? Muncullah di sini, aku siap menghadapimu, Resi Bhargowo.....!!" Cekel Aksomolo dengan tingkah sombong menantang-nantang memanggil Resi Bhargowo.
Tiba-tiba dari atas pohon melayang turun bayangan orang. Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo terkejut memandang gerakan orang itu gesit sekali dan ternyata dia adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, rambut dan jenggotnya putih semua, pakaiannya juga putih, kakinya telanjang. Tanpa menghiraukan mereka yang duduk di atas kuda, kakek ini mengeluarkan suara ngak-ngak nguk-nguk seperti kera, langsung menghampiri kera yang terbanting mati, lalu menangis! Masih terisak-isak kakek tua itu membongkar dan menggali tanah, kemudian mengubur bangkai kera dan menangis lagi!
"Heh-heh, kau ini orang gila ataukah kera mabok kecubung?" Cekel Aksomolo menegur karena merasa mendongkol melihat si kakek itu sama sekali tidak memperdulikannya, sedangkan cara mengubur bangkai kera itu merupakan perbuatan yang terang-terangan berlawanan dan mencela perbuatannya membunuh kera tadi.
Kini kakek itu membalikkan tubuh dan memandang penuh perhatian. Hanya sejenak saja ia memandang Cekel Aksomolo, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan Jokowanengpati, ia segera bertanya, suaranya parau, "Apakah engkau yang bernama Pujo anak mantu Resi Bhargowo?"
Jokowanengpati terkejut dan diam-diam timbul harapan hatinya untuk mendengar dari kakek aneh ini di mana adanya Resi Bhargowo. Maka ia lalu menjawab, "Kalau aku betul Pujo bagaimana dan kalau bukan bagaimana?"
"Krrrr! Krrrrr! Betul sombong... sombong sekali....!" Kakek putih itu berjingkrak-jingkrak lalu bertanya kepada Cekel Aksomolo, "Dan engkau ini tua bangka buruk apakah seorang cantrik pengikut Resi Bhargowo?"
"Uuhh-huh-huh, sialan awakku! Eh , kera monyet ketek kunyuk lutung!" la memaki. "Kalau benar bagaimana kalau bukan bagaimana? " Ia meniru jawaban Jokowanengpati.
Kakek tua aneh itu bukan lain adalah Resi Telomoyo, pertapa di puncak Gunung Telomoyo. Dia memang berwatak aneh dan edan-edanan, kadang-kadang seperti seekor kera. Akan tetapi ia amat marah kalau melihat seekor kera diganggu, maka sekarang ia marah bukan main melihat seekor kera dibunuh secara keji Agaknya karena ia pemuja Hanoman, tokoh kera sakti, ia lalu menganggap binatang kera sebagai segolongannya dan amat menyayang binatang ini. Mendengar jawaban-jawaban itu ia makin marah dan berjingkrak, mengeluarkan gerangan-gerengan seperti seekor kera jantan marah.
"Cantrik tua mau mampus! Tanpa sebab kau membunuh seekor kera yang tidak berdosa. Biarlah kubunuh juga engkau dan kau lihat siapakah di antara kau dan kera tadi yang akan mendapat tempat lebih nikmat di alam halus!"
Baru saja ucapannya habis, tubuhnya sudah meloncat dan ia menerkam Cekel Aksomolo yang masih duduk di atas kuda! Menyaksikan gerakan orang yang amat cekatan ini dan sambaran angin pukulan amat dahsyat keluar dari tangan yang hendak mencengkeram, Cekel Aksomolo terkejut sekali dan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Bressss!!"
Hebat sekali tenaga sakti kedua orang tokoh tua ini, sama dahsyat dan kuatnya berjumpa di tengah udara dan akibatnya, keduanya terpental seperti disambar halilintar! Resi Telomoyo terpental dan berjungkir balik sampai lima kali di udara, baru tubuhnya turun ke arah tanah sejauh lima meter. Adapun Cekel Aksomolo juga terpental dari atas kudanya, melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan turun ke atas tanah seperti sehelai daun kering sambil menyumpah-nyumpah!
Sejenak keduanya saling pandang dari jarak sepuluh meter, Saling pandang dengan terheran-heran dan kedua mulut mereka tiada hentinya mengeluarkan bunyi aneh. Resi Telomoyo mengeluarkan suara meringkik-ringkik sedangkan Cekel Aksomolo menyumpah-nyumpah. Dua puluh empat orang pengawal yang melihat pertandingan dimulai, cepai melompat tutun dari kuda masing-masing dan lari mendekati, mencabut pedang dan golok lalu mengurung tempat pertandingan, siap untuk mengeroyok kakek seperti kera itu. Adapun Jokowanengpati diam-diam merasa gembira sekali karena agaknya kini Cekel Aksomolo bertemu tanding.
Betapapun juga, ia ingin mendengar dari kakek aneh ini apa sebabnya mencari Pujo dan apakah kakek ini mengetahui tempat sembunyi Resi Bhargowo Di samping itu, iapun bersiap-siap untuk mengeroyok jika Cekel Aksomolo tidak mampu mengalahkan lawannya. Untuk menguji kepandaian kakek aneh ini, ia lalu memberi tanda kepada kepala pasukan untuk maju menangkap Resi Telomoyo. Kepala pasukan memberi aba-aba dan dua belas orang pengawal serentak maju dengan senjata di tangan mengurung kakek yang sudah mulai menggaruk-garuk punggung seperti seekor kera.
"Orang tua, menyerahlah untuk kami belenggu!" bentak kepala pengawal, diam-diam merasa sungkan juga harus mengerahkan dua belas orang anak buahnya hanya untuk menangkap seorang kakek kurus tua renta yang bertangan kosong.
"Ha-ha-ha-ha, apakah kalau kaki tanganku sudah dibelenggu, kalian merasa akan menang? Majulah, aku melawanmu dengan tangan dan kaki terangkap seperti dibelenggu!"
Resi Telomoyo berkata sambil tertawa dan benar saja, ia merangkapkan kedua tangan dan juga kedua kakinya, berdiri agak membongkok dan matanya yang kecil itu melirik-lirik nakal seperti mata seekor kera. Tentu saja sikap ini membuat para pengawal menjadi marah dan juga geli, mengira bahwa kakek ini tentulah seorang yang sudah miring otaknya atau sudah pikun dan linglung saking tuanya.
Karena itu,kepala pasukan memberi aba-aba, "Serbu dan tangkap dia, boleh pukul tapi jangan bunuh!"
Bagaikan berlomba mencari jasa, dua belas orang pasukan pengawal itu menubruk maju, pedang dan golok dibalikkan karena mereka hanya ingin menggunakan punggung senjata yang tidak tajam saja. Sambil tertawa mengejek dan berteriak-teriak, mereka menyerbu ke depan. Tiba-tiba tubuh kakek itu mencelat ke atas dengan keadaan tegak dan dari atas ia membalik turun. Benar saja seperti janjinya, ia tidak pernah melepas kedua tangan dan kakinya yang tetap menjadi satu, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak menyambar-nyambar ke bawah, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan robohlah dua belas orang itu satu demi satu, roboh karena dihantam siku atau lutut, bahkan ada yang roboh karena gempuran kepala si kakek yang berambut putih! Mereka roboh tumpang-tindih, mengerang-erang dan merintih-rintih tanpa dapat bangun kembali sedangkan Resi Telomoyo sudah berdiri kembali di tempat tadi, Pertempuran ini tidak lebih satu menit lamanya!
"Rrriiiiikkkk....... ttrrriiikkk.......!!"
Tiada hentinya bunyi berkeritik yang amat nyaring ini dan kiranya Cekel Aksomolo sudah melangkah maju dan memutar tasbihnya yang mengeluarkan suara sakti untuk merobohkan kakek lawan tangguh itu. Jokowanengpati terkejut sekali karena tidak mempergunakan alat penutup telinga, maka ia cepat-cepat mengerahkan ilmu dan ajiannya, mengerahkan tenaga sakti dalam tubuh, menyalurkan hawa panas tenaga sakti itu kearah sepanjang telinganya untuk menolak pengaruh suara mujijat.
Sejenak Resi Tolomoyo yang diserang langsung oleh suara itu, bergoyang-goyang tubuhnya, kemudian ia meringkik-ringkik dan menggereng-gereng sambil berloncatan, makin lama suaranya makin cepat dan nyaring, mengimbangi suara tasbih sehingga terjadilah adu suara yang sama sekali tidak merdu di antara keduanya, didorong oleh tenaga sakti tingkat tinggi. Kasihan adalah nasib sisa dua belas orang yang belum roboh. Begitu mendengar suara berkeritik dari tasbih Cekel Aksomolo, mereka menggigil. Kali ini Cekel Aksomolo tidak menggunakan nada suara tinggi halus untuk memecahkan kendangan telinga, melainkan mempergunakan nada suara keras untuk mengguncang jantung.
Dua belas orang itu menjambak-jambak dada yang terasa sakit dan tak lama kemudian mereka sudah terjungkal roboh dan berkelojotan seperti cacing yang terkena abu, dan betapapun mereka menutupi telinga, suara itu tetap menerobos masuk dan seakan-akan menusuk-nusuk jantung. Apalagi setelah kakek rambut putih itu mengeluarkan suara pula yang amat tidak enak didengar, keadaan mereka makin tersiksa. Adapun dua belas orang pengawal yang lain tidaklah begitu menderita.
Mereka telah terluka parah dan kelemahan tubuh mereka membuat mereka segera roboh pingsan begitu mendengar suara sakti, Cekel Aksomolo makin penasaran dan juga marah, apalagi setelah melihat betapa selain kakek putih itu tidak terpengaruh oleh suara tasbihnya, juga semua pengawal sudah roboh, bahkan Jokowanengpati dalam keadaan setengah samadhi sehingga takkan dapat membantunya.
Dalam gebrakan pertama ini dia sudah rugi. Karena itu, dengan gemas ia menghentikan suara tasbihnya dan membentak, "Kunyuk tua manusia monyet liar! Siapakah engkau berani main-main di depanku? Apakah kehendakmu? Apakah kau sudah bosan hidup?"
"Ha-ha-ha, aku memang bosan hidup, akan tetapi bukan engkau yang menentukan! Apa engkaupun belum bosan, cantrik tua bangka? Tubuhmu sudah bongkok, pipimu sudah peyot, kulitmu sudah keriput, akan tetapi matamu masih memancarkan nafsu! Ha-ha-ha, aku tidak ada waktu untuk melayanimu, yang kuperlukan si Pujo ini!"
Begitu berhenti ucapannya, secepat kilat menyambar, Resi Telomoyo sudah menggerakkan tubuhnya berkelebat ke arah Jokowanengpati yang sudah sejak tadi bersiap-siap.
"Aiihhh...??" Terkejut sekali Resi Telomoyo ketika melihat sambarannya tidak berhasil, dapat dielakkan oleh pemuda itu dengan gerakan yang tangkas sekali.
Tidak aneh, karena Jokowanengpati bukanlah pemuda sembarangan, ia adalah bekas murid terkasih Empu Bharodo yang sudah menurunkan ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti! Jokowanengpati memang seorang pemuda yang memiliki watak tinggi hati, tidak mau kalah dan memandang rendah orang lain. Terhadap Resi Telomoyo tentu saja ia tidak mau memandang rendah dan sudah dapat menduga bahwa kakek seperti kera ini memiliki ilmu kesaktian tinggi, akan tetapi ia belum puas kalau belum mencobanya sendiri.
Pula, dia adalah seorang pemuda cerdik. Andaikata di sampingnya tidak ada Cekel Aksomolo yang dapat diandalkan untuk membantu dan menolongnya apabila ia terancam bahaya, agaknya sikapnya terhadap lawan sakti ini akan lain lagi. Kini, melihat betapa ia mampu mengelak terhadap terkaman si kakek putih, hatinya menjadi besar dan sambil membalikkan tubuhnya ia bersiap dengan kuda-kuda yang kokoh kuat.
Begitu kakek rambut putih itu menubruk lagi. ia mengelak ke kiri sambil balas menghantam dengan tangan kanan ke arah dada, disusul dupakan kaki kiri ke arah lutut kanan lawan. Pukulan tangan Jokowanengpati amatlah ampuhnya karena ia mempergunakan aji pukulan Siyung Warak yang mengandung penuh tenaga sakti dan sanggup menghancurkan batu gunung! Juga pukulan kakinya amat dahsyat, apalagi yang dijadikan sasaran adalah lutut. Betapapun saktinya seseorang, apabila, sambungan lututnya terlepas, tentu akan menjadi pincang dan berkurang kegesitannya.
Namun, betapa kagetnya hati Jokowanengpati ketika pukulan tangan kanannya itu bertemu dengan daging dada yang lunak dan membuat tenaga pukulannya seakan-akan tenggelam ke dalam air yang tak berdasar, adapun tendangannya yang menyusul itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Cepat ia menarik pukulannya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. Tahulah ia bahwa lawan yang tua ini benar-benar merupakan tandingan berat yang memiliki tenaga dalam yang sukar diukur tingkatnya!
"Ha-ha-ha, sebegitu saja kepandaianmu? Lebih baik kau menurut saja kubawa!" Kembali Resi Telomoyo menubruk hendak menangkap lawannya yang muda dan gesit, namun kembali Jokowanengpati dapat mengelak mempergunakan Ilmu Bayu Saktinya.
Sambil mengelak ia tidak mau tinggal diam. Ia maklum akan kekuatan kakek ini, akan tetapi juga dapat menduga bahwa kakek ini memiliki bagian-bagian tubuh yang tidak kebal, buktinya tadi tendangan yang diarahkan kepada sambungan lutut, tidak berani kakek itu menerimanya. Kini Jokowanengpati menyerbu dan mainkan Ilmu Silat Jonggring Saloko yang ia warisi dari gurunya.
Empu Bharodo memang seorang sakti yang terkenal dengan dua macam ilmunya, yaitu Bayu Sakti sebagai ilmu meringankan tubuh yang membuat pertapa itu dianggap dapat terbang saking tingginya ilmunya ini, dan kedua adalah Ilmu Tombak Jonggring Saloko. Ilmu tombak ini kabarnya belum pernah menemui tanding dan juga ilmu tombak ini merupakan rahasia yang tidak diturunkan kepada muridnya oleh Empu Bharodo.
Akan tetapi sebagai pecahan ilmu tombak ini diciptakanlah ilmu pukulan tangan Jonggring Saloko dan ilmu inilah yang ia turunkan kepada muridnya. Karena Jokowanengpati mempergunakan ilmu pukulan Jonggring Saloko, sebuah ilmu yang diciptakan oleh Empu Bharodo sendiri, tentu saja amatlah ampuhnya. Apalagi karena ilmu ini dimainkan dengan dasar Aji Bayu Sakti yang membuat geraknya menjadi cepat seperti kilat sedangkan ke dalam kedua tangannya ia isi dengan aji pukulan Siyung Warak, maka pada saat itu pemuda ini benar-benar tak boleh dipandang ringan!
"Bagus! Hebat juga!" Berkali-kali Resi Telomoyo memuji.
Dia benar-benar kagum sekali, dan harus mengaku dalam hati bahwa belum pernah ia bertemu lawan sekuat ini, apalagi lawan seorang rnuda. Kalau saja ia tidak menang kuat ilmu dalamnya dan tidak lebih matang ajiannya, agaknya sukar untuk menanggulangi sepak terjang setangkas ini. Ah, pantas saja muridnya, Roro Luhito yang manis, yang mungil dan denok, tergila-gila kepada pemuda ini. Tidak aneh. Memang pemuda pilihan, pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi suami Roro Luhito muridnya! Aku harus dapat menangkapnya dan membawanya ke depan Roro Luhito, pikir sang resi. Oleh karena itu ia tidak mau main-main lebih lama lagi biarpun ingin ia menguji sampai di mana hebatnya kepandaian pemuda ini.
Segera ia mengeluarkan seruan meringkik, tubuhnya bergoyang-goyang kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya terbuka, matanya mendelik mulutnya terbuka menyeringai. Inilah Ilmu Sosro Satwo (Seribu Binatang) yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali! Seketika Jokowanengpati meremang tengkuknya karena Aji Sosro Satwo yang dipergunakan Resi Telomoyo itu memang memancarkan wibawa yang mujijat.
Sebelum pemuda ini dapat menenteramkan hatinya, ia sudah diserbu hebat. Kedua lengan tangan resi itu seakan-akan telah menjadi puluhan banyaknya dan Jokowanengpati mendengar suara bermacam binatang liar di sekelilingnya! Ia hanya dapat mengerahkan Bayu Sakti, mundur-mundur sambil mengelak dan menangkis sedapatnya.
"Werrrr......, ssyyuuuut.......!"
Sinar hitam meluncur ke depan menyambar kepala Resi Telomoyo yang cepat melompat mundur karena hawa sambaran benda bersinar hitam itu luar biasa sekali pengaruhnya. Ternyata Cekel Aksomolo yang sudah maju. Kakek pertapa Gunung Wilis ini berkata, "Mundurlah, raden. Biarlah aku yang maju. Hayo, kunyuk tua manusia kera, majulah. Akulah lawanmu, tua sama tua! Huh-huh!"
Resi Telomoyo sudah menjadi marah sekali, akan tetapi iapun merasa heran. Mengapa ada seorang cantrik yang agaknya lebih sakti daripada Pujo? Ia merasa direndahkan kalau hanya dilawan oleh seorang cantrik saja. Maka sambil menggeram keras ia menerjang maju dengan pukulan Kapi Dibyo. Kedua tangannya menghantam dengan hawa pukulan jarak jauh yang cukup merobohkan lawan dari jarah jauh tanpa menyentuh orangnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo tertawa dan menyambut lawan dengan hantaman tasbihnya yang ampuh.
Resi Telomoyo tidak berani menerima hantaman tasbih ini, tasbih yang mengarah lehernya dari kiri, cepat tubuhnya miring ke arah kiri, menyelinap di antara sinar hitam tasbih, akan tetapi melanjutkan pukulan tangan kirinya menebak (memukul dengan telapak tangan) dada lawan. Cekel Aksomolo tentu saja tidak mau mengambil resiko pukulan yang ampuhnya bukan main ini, yang mendatangkan hawa panas, maka ia juga mendorong dengan telapak tangan kanannya memapaki tangan lawan.
"Dukkk!!"
Untuk kedua kalinya dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara dan akibatnya hebat. Tubuh Resi Telomoyo terlempar ke belakang, terjengkang dan berjungkir balik beberapa kali dengan amat tangkasnya. Akan tetapi Cekel Aksomolo juga terdorong ke belakang, terhuyung-huyung hampir roboh. Keduanya terpental sampai lima meter ke belakang dan kini berhadapan dengan mata terbelalak kagum dan kaget.
"Uuh-huh-huh, kiranya bukan sembarang orang! Eh, kunyuk tua, sebelum mampus di tangan Cekel Aksomolo, mengakulah, siapa gerangan engkau ini dan apakah engkau tadi terlalu banyak minum arak maka tiada hujan tiada angin mengamuk seperti kera mabok?"
Tercengang Resi Telomoyo mendengar nama ini. Ia menggaruk-garuk belakang telinganya lalu terkekeh. "Wah-wah, kiranya bukan cekel sembarang cekel, bukan cantrik sembarang cantrik! Kusangka cantrik bujang Resi Bhargowo, siapa tahu ternyata Cekel Aksomolo si cantrik iblis! Heh, cekel bongkok, aku adalah Resi Telomoyo! Mengapa engkau melindungi si Pujo ini yang hendak kubawa untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya ? Hayo, benar-benarkah kau hendak mengadu kesaktian, menguji ampuhnya mantera tebalnya aji?"
Kini giliran Cekel Aksomolo yang kaget. Belum pernah ia bertemu memang, baru kali ini, namun nama Resi Telomoyo sudah pernah ia dengar, dan menyaksikan akibat benturan tenaga sakti tadi, ia maklum bahwa manusia seperti monyet ini sama sekali tak boleh dipandang ringan. Sementara itu, Jokowanengpati ketika mendengar bahwa kakek itu adalah Resi Telomoyo yang kabarnya sakti mandraguna seperti Sang Hanoman di jaman Ramayana, juga menjadi terkejut.
Pemuda cerdik ini memang sedang berusaha mengumpulkan sekutu yang pandai-pandai, maka cepat ia berkata, "Mohon paman Resi Telomoyo sudi mengampunkan saya. Saya sama sekali bukanlah Pujo yang paman cari. Saya bernama Jokowanengpati, murid Empu Bharodo."
Resi Telomoyo tertegun, kecewa dan mendongkol. "Mengapa tidak dari tadi mengaku? Empu Bharodo saudara seperguruan Resi Bhargowo? Kalau begitu engkau sama busuknya dengan Pujo ! Tampak pada kilatan matamu. Huh, walaupun pakaianmu pakaian satria, ilmu kepandaianmu ilmu satria, namun matamu mata jalang, kau tentu satria tukmisi satria batuk kelimis (dahi halus, dimaksudkan mata keranjang)!"
"Huh-huh-huh, celaka, tiada hujan tiada angin memaki-maki. Monyet mendem (mabok)! Terima sajalah, raden, hitung-hitung buang sebel (sial)! Dia kakek mabok, kalau dilayani bukankah sama maboknya?" Cekel Aksomolo berkata.
"Wah lagaknya si cekel bongkok! Kau inipun tua-tua tuanya keladi, makin tua? makin menjadi-jadi! Tua-tua kelapa, makin tua makin keras tempurungnya, makin banyak santannya! Kakek tuwek (tua) kurus kering bongkok juling seperti kau ini tentu masih suka mengejar-ngejar wanita ayu!"
Cekel Aksomolo mencak-mencak saking marahnya. "Heh keparat Resi Telomoyo, mulutmu bobrok asal njeplak (terbuka) saya memaki orang seenak perutnya. Rasakan tasbih keramat ini!"
Dengan amarah meluap-luap Cekel Aksomolo menerjang dengan tasbihnya, juga Jokowanengpati setelah mendapat kenyataan bahwa kakek putih itu tidak dapat diajak berteman, mencabut kerisnya dan ikut pula menerjang maju. Resi Telomoyo kaget sekali. Kalau dikeroyok dua, ia bisa celaka, maka ia lalu mengeluarkan teriak keras seperti seekor kera dan tubuhnya mencelat ke atas, tahu-tahu ia sudah menyambar ranting pohon dan sambil terkekeh-kekeh ia melarikan, diri dengan cara meloncat-loncat di atas pohon.
Akan tetapi sebelum meloncat jauh, ia membuka jubah bagian bawah dan menyambarlah "air hujan" dari atas menimpa Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati!. Kedua orang itu cepat meloncat ke pinggir, akan tetapi tetap saja sebagian lengan mereka terkena air. Ketika itu tercium bau pesing dan tahulah mereka bahwa si kakek gila-gilaan itu sambil melarikan diri telah menyiram mereka dengan air kencing! Benar-benar persis Watak nakal seekor monyet.
Jokowanengpati merasa geli dan juga mendongkol sekali akan hinaan ini. Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat Cekel Aksomolo menggerak-gerakkan hidung mencium-cium, mukanya menjadi pucat sekali dan bibirnya berkata perlahan, "Untung tidak kena kepala.......!"
"Kena kepalapun mengapa, eyang? Dapat dicuci!"
"Uuuh-huh-huh, sial dangkalan bertemu monyet tua bangka! Biarpun dapat dicuci, penghinaan ini sekali waktu harus kubalas! Awas dia, kelak kutangkap dan kupaksa ia minum air kencingnya sendiri!!"
Akan tetapi diam-diam Jokowanengpati merasa bersangsi apakah kakek ini akan sanggup melaksanakan ancamannya, mengingat betapa si manusia kera itu benar-benar sakti, dan belum tentu kalah oleh Cekel Aksomolo. Pemuda ini sama sekali tidak mengira bahwa tadi hampir saja pertapa lereng Wilis itu membuka rahasianya sendiri. Seperti banyak ahli-ahli ilmu hitam yang selalu mempunyai pantangan, juga Cekel Aksomolo mempunyai semacam sirikan atau pantangan yang aneh, yaitu kepalanya tidak boleh tersiram air kencing.
Ini merupakan pengapesan atau kenaasannya. Makin bersih air kencing itu, makin celakalah dia. Air kencing anak-anak tentu akan membuatnya lumpuh seketika kalau mengenai kepalanya. Biarpun air kencing Resi Telomoyo tidak sebersih air kencing anak-anak, dan hanya mengenal lengannya bukan kepalanya, namun sudah cukup lumayan, membuat kepalanya pening sebentar dan mau muntah!
Dengan hati penuh kegemasan, Jokowanengpati terpaksa menolong anak buahnya, kemudian rombongan ini melanjutkan perjalanan pulang ke Kadipaten Selopenangkep dengan tubuh lemas. Usaha mencari Pujo tidak berhasil, malah mereka mendapat hinaan dari Resi Telomoyo! Bersungut-sungut Jokowanengpati dan Cekel Aksomolo memasuki Kadipaten Selopenangkep.
Orang-orang sama terheran melihat betapa pasukan yang ketika berangkat dahulu gagah-gagah itu kini pulang dengan pakaian kumal, wajah kesal dan pakaian kusut, bahkan ada yang masih mengerang-erang dan ada pula yang tertelungkup di atas punggung kudanya, terlukai seperti pasukan kalah perang. Akan tetapi, ada hiburan bagi Jokowangpati dan Cekel Aksomolo dalam kegemasan mereka, yaitu bahwa Kadipaten Selopenangkep sudah kedatangan tamu-tamu agung.
Selain Wisangjiwo yang datang bersama dua orang wanita sakti yang bukan lain adalah Ni Durgogini, dan Ni Nogogini, juga kedatangan beberapa orang sakti lain yang akan memperkuat persekutuan mereka diharapkan datang dalam beberapa hari, yaitu di antaranya Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo dan Ki Krendoyakso dari Bagelen! Secara singkat Jokowanengpati menceritakan usaha mereka mencari Pujo dan Resi Bhargowo tidak berhasil, sebaliknya di tengah jalan bertemu dengan Resi Telomoyo dan terjadilah perselisihan yang mengakibatkan terlukanya para pengawal.
"Manusia kera yang tua itu benar-benar menjemukan sekali," Jokowanengpati mengakhiri ceritanya. "Tanpa alasan dia mencari keributan dengan kami. Tentu saja para perajurit bukan lawannya. Kami berdua sudah turun tangan dan tentu dia akan mampus kalau saja tidak lekas-lekas lari mempergunakan kegesitannya seperti monyet, meloncat-loncat ke atas pohon sukar dikejar."
"Uuh-huh-huh, lain kali tidak kuberi ampun si monyet tua dari Telomoyo!" Cekel Aksomolo ikut bicara.
"Aku pernah mendengar tentang Resi Telomoyo manusia monyet, kukira hanya dongeng belaka, kiranya benar-benar ada," Ni Nogogini ikut bicara dan matanya mengerling ke arah Wisangjiwo.
Akan tetapi Ni Durgogini agaknya tidak memperhatikan cerita itu. Ia sedang kesima memandangi wajah Jokowanengpati yang ganteng dan matanya menyinarkan api gairah. Kemudian Adipati Joyowiseso memperkenalkan kedua wanita sakti itu kepada Cekel Aksomolo dan Jokowanengpati.
"Waduh-waduh... sudah terlalu lama mendengar nama andika berdua yang hebat menjulang ke angkasa! Siapa sangka kedua nini yang sakti mandraguna jug amat cantik jelita seperti bidadari-bidadari kahyangan! Uh-huh-huh!" CekelAksomolo memuji.
Diam-diam Wisangjiwo merasa khawatir sekali kalau-kalau gurunya dan bibi gurunya akan menjadi marah. Akan tetapi ternyata tidak. Malah gurunya tersenyum manis sekali sambil mengerling ke arah Jokowanengpati dan berkata, "Paman Cekel Aksomolo terlalu memuji. Dan orang muda ini yang bernam Jckowanengpati? Pernah aku mendengar dari muridku Wisangjiwo bahwa kau adalah murid Empu Bharodo, betulkah, raden?" Suaranya manis sekali, seperti orang bertembang, sehingga Jokowanengpati yang ditanya sejenak tertegun ia ta dapat menjawab, terpesona. Bukan main kakangmas Wisangjiwo, pikirnya, punya guru begini ayu, begini denok, menggiurkan!
"Dimas Joko, kau ditanya guruku!" Wisangjiwo menegur geli, maklum betapa tamunya itu terpesona dan ada rasa bangga di hatinya.
"Oh.... ah... betul, bibi! Tetapi hanya bekas murid... sekarang bukan muridnya lagi. Kami berselisih faham. Bapa Empu terlalu membela sri baginda sedangkan saya menentang kekuasaan orang Bali..."
Ni Durgogini dan Ni Nogogini saling pandang tanpa mengeluarkan kata-kata mendengar ucapan ini, hanya cuping hidung mereka bergerak sedikit. Tidak ada orang lain yang lebih dekat dengan sepasang orang Bali yang kini menjadi raja dan patih Mataram, daripada mereka. Ni Durgogini dahulu adalah selir kinasih ki patih sedangkan Ni Nogogini selir kinasih (terkasih) sang prabu! Akan tetapi merekapun mengandung dendam terhadap raja dan patih karena mereka telah diusir!
Adipati Joyowiseso lalu cepat-cepat mempersilahkan mereka duduk di ruangan dalam dan memerintahkan para abdi (pelayan) untuk mengeluarkan hidangan yang memang telah disediakan. Suasana di kadipaten dalam pesta-pora untuk menghormat tamu-tamu agung dan didatangkanlah penari-penari dan penyanyi-penyanyi pilihan untuk menghibur mereka. Kamar-kamar terbaik dibersihkan dan dipersiapkan untuk para tamu.
Melihat betapa Ni Durgogini tertarik kepada Jokowanengpati, diam-diam Ni Nogogini girang hatinya. Terbukalah kesempatan baginya untuk mendekati Wisangjiwo yang amat lama ia rindukan itu. Di lain pihak, Wisangjiwo juga bisa menangkap arti kerling mata bibi gurunya yang semenjak setahun yang lalu di pantai Laut Selatan, tak pernah ia jumpai pula. Isteri Wisangjiwo, Listyokumolo yang bernasib malang, oleh putera adipati itu sudah lama dipulangkan kembali kepada ayahnya, seorang lurah dusun di sebelah timur Gunung Lawu.
Semenjak itu, Wisangjiwo merasa lebih bebas, sekarangpun karena di situ tidak ada isterinya, kedatangan Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar merupakan anugerah bagi kehausan nafsunya. Lirik dan senyum manis Ni Nogogini penuh arti dan memberi janji-janji banyak yang muluk-muluk. Karena di situ ada gurunya, tentu saja Wisangjiwo tidak berani banyak tingkah, dan ia hanya dapat menanti. Kalau tidak ada gerakan dari bibi gurunya sendiri, mana berani ia main-main? Ia hanya dapat menanti dan akan menanti sampai malam nanti. Harapan dan dugaan Wisangjiwo memang tidak meleset.
Menjelang tengah malam, pesta dibubarkan dan para tamu dipersilahkan beristirahat di kamar masing-masing. Suasana menjadi sunyi sekali dan dalam kesunyian itulah Wisangjiwo menanti. Menanti untuk waktu sebentar saja karena tak lama kemudian jendela kamarnya terbuka dari luar dan bagaikan sehelai selendang sutera halus dan ringannya, melayanglah tubuh Ni Nogogini memasuki kamarnya!
Rindu dendam mereka sudah ditahan-tahan selama setahun, maka tanpa bicara lagi Wisangjiwo bangkit dan mengembangkan kedua lengannya menyambut dengan penuh kegembiraan dan berdekap ciumlah kedua insan budak hawa nafsu itu. "Bibi," Wisangjiwo berbisik perlahan ketika mendapat kesempatan, "ni guru berada di sini, aku... takut..."
Ni Nogogini tertawa lirih. "Takut? Hi-hi-hik! Kau mau tahu apakah yang saat ini sedang dilakukan oleh orang yang kautakuti itu ? Mari...... kau ikut aku sebentar dan kau akan melihat apakah kau perlu takut atau tidak kepada mbok-ayu Durgogini!"
Tak sempat Wisangjiwo membantah karena ia sudah dipeluk dan dibawa keluar kamarnya seperti seorang anak kecil saja. Ternyata Ni Nogogini membawanya ke kamar JokoWanengpati dan wanita sakti itu tanpa mengeluarkan suara membawanya mendekat jendela. Pada saat itu terdengarlah bisik-bisik di dalam kamar diseling suara ketawa lirih, suara gurunya!
"Cah bagus (anak tampan)... kenapa tanganmu ini kehilangan kelingkingnya...?" Suara Ni Durgogini lirih, merdu, dan manja. Hafal benar Wisangjiwo akan suara ini, suara gurunya kalau sedang bercinta!
".... eh, ini...? Digigit... ular..." jawab Jokowanengpati dengan suara tersendat-sendat.
"Ihhh, ular apa?"
".... anu ular kuning berlidah merah"
"Hemmm, dengan ular saja kau kalah sampai kehilangan kelingking? Aku tukang mempermainkan ular. Ular apa saja! Segala macam racun ular tidak akan mempan terhadapku!"
"Ah, tentu saja. Bibi seorang sakti mandraguna, ratu gunung dan hutan, tentu segala binatang si hutan takluk kepadamu..."
"Kau ingin belajar aji menaklukkan ular?"
"Tentu saja, kalau bibi sudi mengajarku....."
"Hi-hik, kita lihat saja. Kalau kau cukup manis dan pandai menyenangkan hatiku, mungkin....."
Wisangjiwo mengirik tangan Ni Nogogini yang tersenyum lebar dan sekali melompat Ni Nogogini sudah meninggalkan jendela sambil mengempit pinggang orang muda itu dalam gulungan lengan kirinya Beberapa detik kemudian mereka sudah kembali ke dalam kamar Wisangjiwo dilemparkannya pemuda itu di atas pembaringan dan ditubruknya. Mereka bergumul di situ sambil tertawa-tawa.
Setelah mendapat kenyataan bahwa gurunya sendiri bermain gila dengan Jokowanengpati, Wisangjiwo dapat melayani kehendak bibi gurunya dengan gembira dan tidak ragu-ragu lagi. Ia tidak marah kepada Jokowanengpati karena maklum bahwa tidak ada laki-laki yang dapat menolak kehendak gurunya itu.
Hanya ia merasa heran mengapa Jokowanengpati membohong tentang kelingkingnya yang putus, bukankah dahulu bercerita bahwa jari kelingking kirinya putus karena bacokan senjata ketika ia dikeroyok gerombolan! perampok? Mengapa pula sekarang mengatakan digigit ular? Yang mana yang benar? Akan tetapi sepak terjang Ni Nogogini yang ganas dan liar membuat ia segera lupa akan Jokowanengpati, lupa akan segala, tenggelam dalam lautan nafsu.
Memuakkan memang bagi mereka yang bersusila! Mengerikan bagi mereka yang tahu membedakan perbuatan baik dan buruk, bagi mereka yang belum bejat ahlaknya. Di Kadipaten Selopenangkep, di malam hari itu, terjadilah perbuatan mesum dan hina oleh dua pasang manusia yang tenggelam dalam perzinaan, menikmati perbuatan maksiat, tak sadar bahwa mereka menjadi hamba hawa nafsu dan berenang di tempat kotor.
Tiada ubahnya binatang-binatang kerbau yang bergelimang dalam lumpur, menikmati air lumpur kotor yang menempel di tubuh. Setiap ada kesempatan, siang maupun malam, kedua orang wanita sakti itu tentu akan menyeret kedua orang muda untuk memuaskan kehausan mereka yang tak kunjung padam.
Bagaimana dengan Cekel Aksomolo? Tiada bedanya! Maklum akan selera kakek itu, Adipati Joyowiseso sengaja memanggil beberapa orang abdi wanita yang cantik-cantik untuk melayani si kakek bandot tua. Karena pelayanan inilah maka tiga orang sakti yang sama mutunya ini merasa betah tinggal di kadipaten, menanti datangnya orang-orang sakti lain yang ditunggu-tunggu oleh Adipati Joyosiseso.
Adipati inipun maklum akan perbuatan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, akan tetapi karena sepaham sekwalitas, adipati ini dapat memaklumi dan bahkan diam-diam merasa girang bahwa puteranya dan calon mantunya dapat melayani dua orang wanita sakti itu dengan baiknya. Dengan pelayanan-pelayanan memuaskan ini sudah boleh dipastikan bahwa tiga orang sakti itu takkan terlepas dari tangannya, akan merupakan pembantu-pembantu setia dan berguna bagi cita-citanya.
Beberapa hari kemudian berturut-turut datanglah tamu-tamu agung yang diundang dan lama dinanti-nanti itu. Pertama-tama yang datang adalah Ki Warok Gendroyono, seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang rambutnya sudah banyak ubannya, namun tubuhnya masih kekar penuh otot-otot, kaki tangannya seperti empat kaki singa, mukanya berkulit hitam terbakar sinar matahari, matanya bersembunyi di balik alis yang panjang, kalau memandang orang melotot seperti orang marah, bicaranya kasar dan apa adanya tanpa tedeng aling-aling, jujur mbejujur.
Pakaiannya serba hitam dengan celana sebatas lutut, kolor (ikat pinggangnya) besar sebesar ibu jari kaki, dua kali melilit pinggang tapi ujungnya masih panjang bergantungan di depan, pada ujungnya sekali disimpul besar. Kelihatan lucu kolor itu, akan tetapi jangan main-main dengan benda ini. Semua warok memusatkan ilmunya pada benda yang dapat dipergunakan sebagai senjata atau jimat inilah, dan kolor yang dipakai Ki Warok Gendroyono berwarna kuning dengan belang-belang hitam merah bukanlah kolor sembarang kolor, melainkan kolor sakti yang ampuh dan disebut Ki Bandot. Kabarnya, demikian ampuhnya Ki Bandot ini sehingga sekali saja simpul di ujungnya menghantam lawan, sama hebatnya dengan gigitan seekor ular Bandot yang berbisa !
Ki Warok Gendroyono tidak datang seorang diri, melainkan dengan seorang sahabatnya yang dikenal sebagai yang baurekso (penjaga) Danau Sarangan di lereng Lawu. Karena dari Ponorogo ke Selopenangkep melalui jalan ini, maka Ki Warok Gendroyono singgah di tempat tinggal sabahatnya, bicara tentang undangan Adipati Joyowiseso yang memusuhi Raja Mataram, dan Ki Tejoranu demikian nama sahabatnya itu, menjadi tertarik lalu ikut bersamanya.
Ki Tejoranu berusia hampir lima puluh tahun tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti penderita penyakit kuning, matanya sipit dan bicaranya sukar sekali dan pelo (tak dapat menyebut R). Memang dia seorang perantau dari Tiongkok yang sejak mudanya bertapa di Danau Sarangan. Dia ahli silat tangan kosong dan yang amat terkenal adalah permainannya dengan sepasang golok.
Kemudian datang pula tamu dari barat, yaitu Ki Krendayakso. Hebat sekali tubuh kakek ini. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar melampaui ukuran manusia biasa, pantasnya seorang raksasa di jaman pewayangan! Matanya melotot lebar dan bundar, hidungnya besar pesek, mulutnya tak tampak tertutup cambang bauk yang hitam tebal dan kaku seperti kawat baja yang besar itu seakan-akan tidak kuat menahan tubuhnya seperti hampir pecah di sana-sini jika tubuhnya bergerak.
Di pinggangnya sebelah kanan tergantung sebuah senjata yang mengerikan, yaitu sebuah penggada yang terbuat daripada baja, ujungnya berduri dua di kanan kiri seperti taring singa. Inilah dia Ki Krendayakso kepala rampok di Bagelen yang sudah terkenal namanya di mana-mana karena banyak sudah orang dari empat penjuru mengalami gangguan apabila lewat di daerahnya, yaitu hutan Mundingseto.
Kedatangan Ki Krendayakso ini diikuti oleh selusin anak buahnya yang kesemuanya tinggi besar, kasar-kasar dan kuat, karena memang mereka semua adalah "orang-orang hutan" yang tidak mengenal tata susila atau sopan santun. Namun Adipati Joyowiseso yang cerdik dan pandai bersiasat itu menerima mereka dengan ramah di taman, bahkan lalu memerintahkan para abdinya menyediakan tempat tersendiri untuk selosin orang anak buah Ki Krendayakso, memberi mereka hidangan-hidangan enak agar mereka tidak merasa bosan menanti kepala mereka yang menjadi tamu agung di kadipaten.
Dengan gembira Adipati Joyowiseso dibantu oleh Wisangjiwo dan Jokowanengpati, mengajak para tamunya ke ruang tamu di mana telah tersedia hidangan hidangan lezat. Maka duduklah mereka mengitari meja yang penuh makanan dan minuman. Adipati Joyowiseso diapit Wisangjiwo dan Jokowanengpati kemudian berturut-turut duduk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Tejoranu, dan paling ujung Ki Krendayakso.
Adipati Joyowiseso menghaturkan terima kasih atas kedatangan para tamu agungnya, kemudian ia menyinggung-nyinggung tentang keadaan Mataram yang kini dikuasai oleh seorang raja keturunan Bali yang kini telah menaklukkan seluruh daerah Mataram lama. Disinggungnya pula bahwa selain rajanya keturunan Bali, juga raja ini tidak menghargai orang jawa sehingga patihnya pun sahabatnya sendiri, seorang dari Bali pula.
"Terus terang saja," Adipati Joyowiseso melanjutkan kata-katanya, "saya sendiri seorang taklukan dan kini masih menjadi adipati adalah berkat kemurahan Sang Prabu Airlangga. Akan tetapi, hati siapa akan puas menyaksikan keadaan di istana? Biarlah kita terima kenyataan bahwa raja dan patihnya orang-orang Bali, akan tetapi siapa dapat menahan perih hati melihat kenyataan yang pahit tentang nasib sang prameswari puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa? Betapa pedih hati ini memikirkan puteri keturunan raja kita dahulu, yang kini rela mengundurkan diri menjadi pertapa karena mengalah sehingga kedudukannya tergeser dan dirampas oleh seorang puteri bekas musuh lama, puteri dari Sriwijaya!"
Semua orang terdiam, tak ada yang bicara setelah kata-kata Adipati Joyowieso ini berakhir. Hanya Ni Nogogini bekas selir Raja Airlangga, menjebikan bibirnya yang merah, akan tetapi kepalanya diangguk-anggukkan. Masing-masing terlelap dalam lamunan dan kenangan sendiri. Memang semua juga tahu akan keadaan di kerajaan. Tahu bahwa sang prameswari (permaisuri), puteri mendiang Prabu Teguh Dharmawangsa yang menjadi isteri pertama Prabu Airlangga, kini mengundurkan diri dan menjadi pertapa, bertapa dengan julukan Sang Panembahan Kilisuci
Sunyi setelah Adipati Joyowiseso menghentikan kata-katanya. Kemudian terdengar suara Ki Warok Gendroyono yang keras dan nyaring, dibarengi tangannya yang besar dan berat menggebrak meja, "Aku tidak tahu tentang urusan dalam istana raja dan aku tidak peduli dia hendak menceraikan semua isterinya atau kawin lagi! Bukan urusanku! Akan tetapi dua tahun yang lalu, karena membunuh tiga puluh orang musuh-musuhku, aku di tangkap oleh ki patih, kemudian dijatuhi hukuman penggal kepala. Ha-ha-ha! Segala macam pedang dan golok kanak-kanak di Mataram mana yang mampu memenggal leherku? Agaknya sang prabu gentar menyaksikan betapa golok dan pedang tidak berhasil menabas atau melukai batang leherku, maka aku dibebaskan. Akan tetapi aku selalu diawasi, dan semua ini merupakan penghinaan yang takkan dapat kulupakan, terutama sekali Ki Patih Kanuruhan!"
"Hi-hi-hik!" Ni Durgogini tertawa sambil memandang Ki Warok Gendroyono. "Ki Warok Gendroyono, aku pernah mendengar bahwa Rakyan Patih Kanuruhan adalah seorang yang digdaya sekali. Engkau sendiri tadi mengakui telah ditangkap olehnya. Bagaimanakah caramu hendak membalas dendam?"
Mata itu melotot ke arah Ni Nogogini ketika ia menjawab, "Betul bahwa dahulu aku kalah olehnya, akan tetapi apakah kau kira selama ini aku tinggal diam saja? Tidak, aku sudah memperdalam ilmu, mencari aji yang akan dapat kupakai untuk menandinginya. Lihat saja nanti, apakah ia akan kuat menadahi ke ampuhan Ki Bandot!"
Sambil berkata demikian, tangannya mengelus-elus ujung kolor yang berada di bawah perut di antara kedua pahanya, sehingga gerakan ini tentu saja nampak lucu dan tidak patut!
"Ki Warok benal...!" kata Ki Tejoranu mengangguk-angguk. "Bialpun ki patih lihai sekali, tentu ada yang lebih tinggi. Ilmu tidak ada batasnya, makin dikenal makin tinggi. Saya dengal banyak olang lihai di Matalam, kalau tidak sekalang ikut sobat-sobat mencoba kepandaian meleka, untuk apa kita belajal ilmu?
Biarpun kata-katanya pelo, namun semua yang hadir dapat menangkap artinya dan tahulah mereka bahwa pertapa Danau Sarangan ini adalah seorang petualang yang hanya tertarik akan mengadu ilmu. Akan tetapi Ki Warok Gendroyono yang jujur berkata sambil tertawa, "Wah, sahabatku Ki Tejoranu! Selain mencari korban kehebatan sepasang golokmu, apakah kelak kau tidak akan menerimanya apabila memperoleh pahala dan disodori kedudukan pangkat? Kalau begitu, biarlah kelak aku yang mewakilimu menerima semua pahala."
"Hayaaaa.... bukan begitu, Ki Walok sobat baik! Kalau kalah saya mati kalau menang sudah patut telima hadiah." Ia tertawa meringis dan sepasang matanya menjadi makin sipit sehingga tinggal merupakan dua garis melintang saja.
Kini Adipati Joyowiseso menoleh ke arah kepala rampok dari Bagelen yang duduk di ujung meja dan tiada hentinya menggerogoti paha ayam sambil mendorong dari tenggorokan ke perut dengan arak ketan.
"Semua saudara sudah menyatakan pendapatnya, bolehkah kami mendengarkan pendapatmu tentang Mataram, kisanak?"
Menghadapi seorang perampok besar yang kasar dan liar ini, tidak ada sebutan lain yang lebih tepat. Ki Krendroyakso sendiri menyebut ki sanak (saudara) kepada siapapun yang ia jumpai! Ki Krendroyakso mencuci mulut dan tenggorokannya dengan arak lebih dulu sebelum menjawab, matanya melotot lebar dan cambang bauknya bergerak gerak.
"Heemmmmm, kalau kalian mau menggempur Mataram, aku dan anak buahku siap setiap saat! Kami pernah digempur oleh pasukan Mataram, banyak anak buahku tewas. Raja Mataram yang sekarang adalah musuhku!" Setelah berkata demikian, kembali ia menyambar daging kambing dan melahapnya tanpa mempedulikan orang lain.
"Uuh-huh-huh, demi segala jin dan setan iblis peri gadungan, siluman banaspati tetekan! Bagus, bagus... semua telah menyatakan kebencian dan permusuhan terhadap si Raja Bali. Huh-huh tapi bagaimana pelaksanaannya? Mataram memiliki panglima-panglima dan senopati senopati yang sakti mandraguna! Apakah tenaga kita mencukupi? Uh-huh-huh kalau sampai gagal, kita semua tidak urung akan binasa...!"
"Bruuuukkkk!" Ki Warok Gendroyono menggebrak meja sampai tergetar dan piring-piring berloncatan. "Paman Cekel Aksomolo apakah takut?"
"Uh-huh-huh, sialan awakku, disangka takut. Bukan takut, Ki Warok, akan tetapi kita harus mengatur siasat, harus mengukur tenaga sendiri dan membandingkannya dengan tenaga calon lawan... "
"Paman Cekel Aksomolo berkata benar!" Tiba-tiba terdengar suara halus suara Ni Nogogini. "Memang harus berhati-hati dan sekali bertindak ceroboh selain usaha gagal juga kita akan binasa. Benar apa yang dikatakan mbokayu Ni Durgogini tadi. Baru Narotama Patih Kanuruhan itu saja kedigdayaannya sudah menggiriskan, apalagi kalau kita ingat akan Sang Prabu Airlangga sendiri yang sakti mandraguna! Seakan-akan Sang Batara Wisnu sendiri yang menjelma. Dalam kedigdayaannya, biarpun sang prabu ini saudara seperguruan ki patih, namun ilmunya jauh melampauinya! Karena itulah, selain kita harus berhati-hati, juga harus dapat melihat keadaan dan pandai memilih waktu."
"Sekaranglah waktunya!" tiba-tiba Ni Durgogini berkata. "Kalau mau memilih yang paling tepat, sekarang inilah!"
"Mbokayu, apa maksudmu?" Ni Nogogini bertanya, sedangkan yang lain-lain juga menengok memandang wajah ayu kemayu dan mata yang kocak bening itu. Bibir yang merah basah tanpa dubang (air kapur sirih) itu merekah membayangkan kilatan gigi yang putih.
"Kalian semua belum tahu bahwa pada saat ini Kerajaan Mataram kehilangan sebuah pusaka yang selama ratusan tahun menjadi lambang kejayaan Mataram, Patung kencana Sri Batara Wishnu telah lenyap dari keraton!"
Semua orang menyambut berita ini dengan kaget. Terdengar suara ah-ah-oh-oh dan semua mata memandang wajah ayu Ni Durgogini, bukan karena kagum oleh kecantikan melainkan oleh rasa ingin tahu yang besar. Wanita itu mengangguk-angguk.
"Pusaka keramat itu lenyap tak meninggalkan bekas. Sang prabu gelisah, bahkan mengutus ki patih sendiri untuk turun tangan keluar dari istana pergi mencari patung kencana yang hilang. Nah, pada saat pusaka keramat lenyap dan Kerajaan Mataram menyuram, apalagi ki patih tidak berada di keraton, bukankah saat ini adalah saat terbaik?"
"Uh-huh-huh, Jagat Dewa Batara! Semoga selalu jaya wijaya bagianku dan apes sial dangkal bagian musuh-musuhku! Uh-huh, aku pernah mendengar bahwa patung kencana itu amat bertuah, siapa mendapatkannya akan menerima wahyu (anugerah dewata) mahkota, berhak menjadi raja tanah Jawa! Aku mendengar pula bahwa di dalam patung kencana itu tersimpan pusaka Brojol Luwuk (keris tanpa ganja berwarna abu-abu), satu-satunya pusaka yang mampu menembus jantung raja yang sudah kehilangan wahyunya! Uh-huh-huh, yang paling perlu sekarang adalah mendapatkan patung kencana itu lebih dulu, baru menggulingkan Raja Bali di Kahuripan. Pusaka keris Brojol Luwuk dalam patung kencana menjadi ajimat sejak Prabu Sanjaya mendirikan Mataram, selalu menjadi patung bertuah selama Kerajaan Mataram berdiri. Ketika dahulu lenyap dari keraton, Mataram runtuh dan hampir terbasmi habis, ditaklukkan oleh Kerajaa Syailendra, Setelah pusaka itu didapatka kembali oleh Sang Rakai Pikatan, Mataram bangkit dan jaya kembali. Pernah hilang pada waktu Kerajaan Medang, baru didapatkan kembali oleh Raja Airlangga dari Bali yang kini disebut Raja Kahuripan. Uh-huh-huh, sekarang lenyap, bukankah itu berarti akan runtuhnya Kahuripan dan bangkitnya kembali Mataram yang dahulu?"
Mendengar ini semua orang termenung Mereka semua memiliki hati dendam penasaran terhadap Sang Prabu Airlangga, merasa dirugikan ditambah lagi mengingat bahwa Sang Prabu Airlangga dan Narotama patihnya adalah orang-orang Bali. Kenyataan bahwa sesungguhnya Airlangga juga masih seorang keturunan Raja-raja Mataram tidak meredakan kebencian mereka. Sebetulnya, Airlangga yang menjadi mantu Raja Medang terakhir, yaitu Teguh Dharmawangsa adalah anak kemenakan dari permaisuri Raja Medang ini. Ibu Airlangga adalah Puteri Mataram yang bernama Mahendradata yang menikah dengan Pangeran Udayana dari Bali.
"Akan tetapi kalau harus mencari pusaka yang hilang, sampai kapankah kita dapat bergerak menghancurkan Kahuripan?" Ni Nogogini berkata tidak puas. "Mencari pusaka bukanlah hal yang mudah, apalagi ki patih sendiri juga sedang mencari-carinya."
Kembali semua orang meragu, dan akhirnya terdengar suara Jokowanengpati. Pemuda ini memang cerdik, kata-katanya jelas, buah pikirannya masuk akal dan begitu ia bicara, perhatian mereka semua tertarik, "Saya rasa pendapat Ni Durgogini bahwa kini sudah tiba saatnya adalah benar, juga pendapat eyang Cekel Aksomolo agar kita mencari pusaka yang hilang lebih dulu juga benar pula. Kita harus dapat menyatukan pendapat-pendapat benar dan mencari manfaat daripadanya. Menurut pendapat saya yang muda dan bodoh, marilah kita mencari pusaka yang hilang itu dengan terpencar. Sementara kita mencari pusaka yang hilang, kita kerahkan tenaga, kita didik orang-orang di pedusunan menjadi perajurit untuk memperbesar bala tentara kita, karena betapapun juga, tanpa pasukan yang besar dan kuat, usaha kita takkan berhasil. Tentang keadaan di Mataram, tak perlu dikhawatirkan karena kakangmas Wisangjiwo bertugas di sana sehingga dialah yang wajib mengawasi gerak-gerik di istana Kahuripan sehingga kita mengetahui semua perubahan dan rahasianya. Kalau pasukan yang kita tempa sudah cukup kuat dan siap, baru kita bergerak. Syukur kalau pada waktu itu kita sudah dapat menemukan pusaka yang hilang."
Semua yang hadir di situ mengangguk-angguk setuju. Memang, mengadakan perlawanan terhadap Raja Airlangga dan patihnya Narotama bukanlah hal yang ringan dan mudah, karenanya perlu siasat yang matang. Tiba-tiba Jokowanengpati berkata lagi, "Karena pusaka patung kencana itu merupakan lambang kejayaan Mataram dan siapa memilikinya mendapat wahyu mahkota Mataram, sebaiknya kita putuskan bahwa siapa di antara kita yang mampu mendapatkannya, akan kita angkat sebagai pimpinan persekutuan ini dan andaikata kelak berhasil, dialah yang akan diangkat menjadi Raja Mataram!"
Semua orang kaget, akan tetapi setelah dipikir secara mendalam, membenarkan juga pendapat ini.
"Uuh-huh-huh, itu sudah tepat sekali!" kata Cekel Aksomolo.
"Benar dan adil!" seru Ki Krendayakso. "Sekarang juga aku akan mengerahkan anak buahku mencari pusaka!" Ia sudah bangkit berdiri, kelihatannya tergesa-gesa.
Adipati Joyowiseso tersenyum dan cepat menahan raksasa ini. Di dalam hatinya ia sudah khawatir juga akan usul Jokowanengpati yang disetujui semua orang. Bagaimana kelak akan jadinya andaikata Ki Krendrayakso kepala rampok ini yang mendapatkan pusakanya?
"Harap kisanak bersabar dan tidak tergesa-gesa. Semua usul anakmas Jokowanengpati memang tepat dan semua telah menyetujuinya. Akan tetapi setelah para bijak dan pandai sudi melangkahkan kaki datang ke Kadipaten Selopenangkep, harap jangan tergesa-gesa pergi lagi. Selain itu, sudah amat lama saya mendengar akan kesaktian anda sekalian. Setelah kini ada kesempatan berjumpa, saya mohon sedikit petunjuk untuk membuka mata saya, dan untuk membesarkan hati menghadapi usaha kita yang amat besar dan berbahaya ini. Setelah menyaksikan kesaktian anda semua, agaknya barulah hati saya akan tenteram dan dengan penuh kepercayaan akan dapat saya kumpulkan tenaga serta saya hubungi para adipati di empat penjuru."
"Hayaaaa..." Ki Tejoranu berkata sambil bangkit berdiri. "Laden Joko dan sang adipati, semua pintal bicala sekali. Saya tidak bisa bicala, cuma bisa mainkan golok..."
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangannya bergerak dan tampaklah sinar menyilaukan mata ketika sepasang goloknya sudah dicabut. Sepasang golok itu ia putar-putar di sekeliling tubuhnya merupakan gulungan dua gulungan sinar putih, yang satu menyambar ke arah bangku kosong di sebelah kiri, yang satu menyambar pula ke arah seekor anjing yang sedang sibuk menggigiti tulang di atas lantai.
Tidak terdengar suara apa-apa, dan kedua sinar itu lenyap, Ki Tejoranu menyeringai sambil memasukkan sepasang senjatanya ke sarung, lalu duduk kembali setelah mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, "Maaf, siang-to (sepasang golok) yang buluk, tidak baik."
Adipati Joyowiseso tidak dapat menahan geli hatinya. Ia melihat bangku itu masih berdiri di tempatnya, anjing itu masih duduk mendeprok, hanya tidak menggigit tulang lagi, kini menyalak lirih.
"Ha-ha-ha, Ki Warok Gendroyono, pertunjukan apakah yang diperlihatkan sahabatmu dari Sarangan tadi? Cukup menyilaukan mata, akan tetapi terlalu singkat waktunya dan apa gunanya?"
Ki Warok Gendroyono tertawa terbahak-bahak, lalu berkata, "Harap kanjeng adipati periksa yang baik-baik!
Setelah berkata demikian, Ki Warok Gendroyono menyentuh bangku di sebelah kiri, mendorongnya sedikit dan bangku itu ternyata telah terbelah menjadi tiga, agaknya saking tajam dan cepatnya gerakan golok, biarpun sudah terbelah bangku itu masih kelihatan utuh dan tidak roboh! Kemudian Ki Warok Gendroyono membentak dan mengusir anjing hitam yang masih duduk mendeprok. Anjing yang mengeluarkan bunyi lirih itu meloncat dan kepalanya menggelinding, lehernya yang telah sapat (terbabat putus) itu mengucurkan darah!
Kagetlah Adipati Joyowiseso dan para tamu. Hebat sekali Ki Tejoranu yang kurus pucat itu. Melihat orangnya yang kurus pucat, mendengar suaranya yang pelo dan tidak karuan, benar-benar orang akan memandang rendah. Akan tetapi melihat kenyataannya sekarang, benar-benar sepasang goloknya itu mengerikan sekali. Lawan akan dapat tewas terbabat golok tanpa terasa!
Melihat semua orang terdiam dan memandang Ki Tejoranu dengan pandang mata yang berbeda daripada tadi, penuh kagum dan heran, Ki Warok Gendroyono tertawa lagi keras-keras. Kemudian ia berkata, "Kanjeng Adipati Joyowiseso menghendaki kita memperlihatkan kepandaian. Setelah kita menjadi sahabat, pula setelah kita disambut dengan manis, kenyang makan minum, sudah sepantasnya kita memenuhi kehendaknya itu."
Sambil tertawa-tawa Ki Warok Gendroyono menanggalkan bajunya sehingga tampak bahunya yang bidang, dadanya yang menonjol dengan bulu tebal di tengah, kemudian ia berkata kepada para penjaga yang menjaga pintu ruangan itu setelah memanggil mereka. "Hayo kalian gunakan tombak dan golok kalian untuk membacoki tubuhku ini, boleh pilih bagian yang paling lunak!"
Tiga orang penjaga itu memandang bingung.Tentu saja mereka tidak berani melakukan hal ini, maklum bahwa kakek ini adalah seorang di antara tamu agung yang dijamu oleh adipati. Akan tetapi tiba-tiba Sang Adipati Joyowiseso sendiri berkata, "Lakukan apa yang diperintahkan Ki Warok!"
Kini mengertilah tiga orang penjaga itu bahwa tamu itu hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Gembiralah hati mereka dan ketiganya lalu menggunakan tombak mereka menusuk, ada yang memilih perut, ada yang menusuk ulu hati dan orang ketiga malah menusuk tenggorokan! Akan tetapi Ki Warok adalah seorang yang kebal, tan tedas tapak paluning pande (tidak mempan senjata buatan pandai besi)! Begitu mata tombak menyentuh kulit, terdengar suara "krek-krekkrek" dan tiga orang itu terbanting jatuh karena leher tombak mereka patah-patah!