Cerita Silat Badai Laut Selatan Jilid 01

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

Badai Laut Selatan Jilid 01

"Aduh Kakangmas Pujo, telapak kakiku sakit, batu karang ini tajam runcing dan nakal, menggigit kakiku!" keluhnya lalu mogok jalan, duduk di atas batu, jari-jari tangan kecil mungil halus mengusap sinom yang berjuntai di atas dahi, membasah oleh peluh. Alis hitam menjelirit mengerut, bibir yang merah membasah merengut.

cerita silat online karya kho ping hoo

Pujo berhenti melangkah dan menengok. Sejenak ia terpesona. Kartikosari telah sebulan lebih menjadi isterinya namun setiap saat ia masih saja terpesona akan kejelitaan isterinya. Amboi... bisik hatinya kagum. Di dunia ini tak mungkin ada keduanya, wanita seindah ini bentuk tubuhnya sekuning halus ini kulitnya, secantik jelita ini wajahnya. Dari ujung rambut yang hitam subur mengandan-andan dengan rambut sinom melingkar-lingkar di depan telinga dan atas dahi, sampai ke tumit kaki yang kemerahan, membuktikan kesempurnaan ciptaan Yang Maha Wenang sebagai anugerah.

Pujo berjongkok di depan isterinya. Ia tersenyum lebar dan wajahnya yang tampan berseri-seri, matanya yang tajam bersinar-sinar. la maklum bahwa telah kumat lagi penyakit isterinya, yaitu penyakit manja yang muncul semenjak mereka menikah. Perjalanan menuju Laut Selatan ini memang tidak mudah, bahkan terlalu sukar bagi manusia biasa, harus mendaki Pegunungan Seribu, naik turun puncak dan jurang, menerjang rumpun duri dan alang-alang.

Akan tetapi, isterinya bukanlah wanita biasa, melainkan seorang wanita gemblengan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna, dan telah menerima pelajaran berbagai ilmu olah keperajuritan dan ilmu kesaktian. Kartikosari adalah puteri tunggal Resi Bargowo yang sakti mandraguna. Tikaman segala keris biasa masih belum dapat menembus kekebalan kulit yang halus menguning itu. Masa sekarang berjalan di atas batu karang saja telapak kakinya menjadi sakit-sakit?

Akan tetapi, tentu saja Pujo tidak melahirkan pengertian ini dalam bentuk kata-kata. Terlalu besar kasih sayangnya kepada isterinya sehingga ia jauhi benar sikap dan kata-kata yang akan menyinggung hati kekasih. Dengan penuh perhatian dan mesra ia membersihkan tanah lempung dari telapak kaki isterinya yang halus kemerahan itu, kemudian memijit-mijitnya untuk mengusir rasa lelah.

''Nimas Sari, kasihan sekali kakimu yang mungil. Biarlah kugendong engkau, nimas. Tapi upahnya kauberikan dulu, upah cium....

''lhhh...dasar...Tiada bosan-bosannya ih...

Pujo merangkul isterinya, dan menciumi kedua pipi yang kemerahan, mengecup keringat yang membasahi kening. Kartikosari memejamkan kedua matanya. Sudah sebulan lebih Pujo menjadi suaminya yang tak kunjung henti mencumbunya mesra, namun masih saja serasa ia terayun di awang-awang (angkasa) tiap kali Pujo mencium dan mencumbunya.

"Kau mustikaku, pujaan hatiku mana bisa bosan, kasih?" Pujo membelai rambut yang agak kusut, mengusapnya kebelakang dan membereskannya. Melihat setangkai bunga mawar merah kecil yang tumbuh liar di dekatnya, ia memetiknya dan menyelipkan bunga itu di antara rambut atas telinga kanan, lalu mencium telinga kanan isterinya yang tampak makin cantik.

"Tunggu saja kalau aku sudah menjadi nenek-nenek dan kau menjadi kakek-kakek, kalau gigi kita sudah ompong dan pipi kita sudah kempot peyot, apakah kau juga masih suka menci ....!"

Kartikosari malu-malu untuk mengucapkan kata-kata itu, lalu tertawa. Deretan giginya yang putih bersih berbaris rapi di dalam mulut yang merah, di balik sepasang bibir kemerahan yang bergerak-gerak patut, menciptakan kombinasi yang elok. Pujo, tak dapat menahan hatinya dan sekali lagi ia mencium isterinya, pada bibimya. Beberapa saat mereka berdekapan mesra, terbuai kasih sayang yang amat dalam, sampai terasa di tulang sungsum.

Burung laut camar yang terbang di angkasa memekik-mekik nyaring, agaknya menyaksikan sepasang manusia yang berasyik-masyuk berkasih mesra di sebelah bawah, mendatangkan rasa iri dan rindu kepada betinanya. Angin laut bertiup lirih, silir dan sejuk menggerakkan rambut halus hitam Kartikosari menyapu-nyapu pipi dan leher suaminya.

''Sudahlah kangmas, dengar itu burung mentertawai kita. Dan lihat hidung dan bibirmu basah oleh keringat ku ......."

''Keringatmu sedap"

iihhhh! Tunggu kalau aku sudah nenek-nenek kelak '' Kartikosari tertawa.

Dengan halus Pujo menarik tangan isterinya bangkit berdiri. "Sampai kau menjadi nenek-nenek dan aku menjadi kakek-kakek, aku akan tetap mencintamu nimas. Kau akan tetap cantik jelita bagiku, seperti Dewi Suprobo"

''lhhh . sudahlah. Takkan pernah sampai di tempat tujuan kita kalau begini. Kau gendong aku?''

"Tentu! Agar jangan kotor telapak kakimu yang halus bersih oleh lumpur."

Dengan sikap manja Kartikosari lalu-merangkul leher suaminya dari belakang dan ia meloncat duduk di atas punggung Pujo. Suami yang bahagia ini tertawa, lalu melangkah dengan cepat melanjutkan perjalanan, meloncat-loncat dari batu ke batu menuruni tebing yang curam dengan cekatan sekali. Kartikosari merangkul leher suaminya dan meletakkan pipi kanannya di atas bahu yang bidang dan kokoh kuat itu.

Pagi tadi suami isteri muda ini meninggalkan pondok Baymismo, tempat tinggal Resi Bhargowo yang bertapa di Sungapan, yaitu muara Sungai Progo di pantai Laut Selatan. Kartikosari adalah puteri tunggal Resi Bhargowo, adapun Pujo adalah murid pertapa itu. Murid tersayang yang kemudian menjadi mantunya. Dengan demikian, suami isteri ini adalah juga saudara tunggal guru.

Di atas gendongan suaminya, Kartikosari merasa aman sentosa dan bangga. Bulu matanya yang lentik melengkung ke atas itu bergerak-gerak ketika matanya meram-melek nyaman. Jari-jari tangannya yang kecil meruncing mempermainkan rambut di atas tengkuk yang keluar dari balik destar suaminya.

"Kangmas" bisiknya manja di dekat telinga kanan.

''Hemm?'' jawab Pujo sambil terus meloncat-loncat dengan tangkasnya."

"Apakah kangmas benar-benar mencintaku?"

'"Ehh ??" Pujo berhenti meloncat.

Mereka berdiri di puncak bukit terakhir. Pemandangan di depan amatlah indahnya, tampak Laut Selatan yang maha luas itu terbentang di depan mata, tanpa batas.

"Mengapa kau bertanya begitu, sayang? Tentu saja aku mencintamu, sepenuh jiwa ragaku!''

Ucapan penuh perasaan ini menyejukkan hati dan mendapat upah sebuah ciuman bibir yang mengecup pangkal telinga kanan.

"Seperti apa besamya cintamu, kangmas?"

Pujo menuding ke arah laut. "Kau lihat laut Selatan itu, nimas. Demikian luas dan besar. Seperti Laut Selatan itulah besarnya cinta kasihku kepadamu.

Kartikosari memandang ke arah laut bebas, lalu cemberut dan merajuk, kentara dari kedua betisnya yang bergerak-gerak tak puas di pinggang Pujo, kepalanya digeleng-gelengkan.

"Ah, tak senang aku Betapapun besar dan luasnya, laut itu masih selalu berubah, kadang-kadang pasang kadang-kadang surut. Aku tidak suka kalau cintamu kadang-kadang surut pula, kangmas Dan lagi, laut itu terlalu ganas terlalu besar, aku takut akan tenggelam di dalamnya kalau cintamu seganas dan sebesar itu!"

"Ha-ha-ha-hal Kau lucu!, nimas. Eh, tahu aku sekarang hemmm, cintaku kepadamu sebesar kuku hitam!"

"Ihhhhh !!"

Tiba-tiba Kartikosari melorot turun dari punggung suaminya dan ketika Pujo membalikkan tubuh, ia melihat isterinya berdiri dengan kedua tangan menolak pinggang, dada yang Sudah membusung itu dibusungkan lagi kepala dikedikkan, sepasang mata yang biasanya lembut bening sejuk mesra itu kini seakan-akan memijarkan bunga api kedua pipinya yang biasanya memerah jambu kini menjadi merah darah.!

"Apa? Cinta kasihmu hanya sekuku hitam? Terlalu! Lebih baik aku mati!" Wanita cantik yang menjadi isteri manja ini membanting-bantingkan kakinya yang bertelapak halus itu, akan tetapi batu terinjak bantingan kakinya menjadi hancur seperti tepung!

Menyaksikan kemarahan isterinya Pujo hanya tersenyum, akan tetapi cepat-cepat berkata, '"Nimas pujaan hatiku. Aku tidak main-main ketika aku mengatakan bahwa cinta kasihku kepadamu sebesar kuku hitam. Tahukah engkau, nimas, bahwa biarpun kuku hitam itu kecil-kecil, akan tetapi tak pernah dapat musnah? Pagi dipotong sore tumbuh, sore dibuang pagi muncul. Demikianpun cinta kasihku, nimas, selalu akan tumbuh dan ia.."

"Aku tidak suka! Biarpun akan timbul lagi akan tetapi bisa hilang!"

Pujo mengerutkan keningnya, memutar otak. Wajahnya yang tampan itu tiba-tiba berseri dan ia cepat berkata, "Ah, tahu aku sekarang! Cinta kasihku kepadamu sebesar ujung rambut!"

"Apa ?? Malah lebih kecil lagi?? Kakangmas, apakah kau tega menghina Sari?'" Sepasang pelupuk mata itu sudah mulai merah, ibarat langit sudah mulai mendung akan hujan.

"Sama sekali tidak menghina, manis. Apakah yang dapat memusnahkan ujung rambut? Kalau laut akan surut, kuku hitam bisa dipotong, akan tetapi seribu kali orang memangkas rambut, tentu masih selalu akan ada ujungnya. Ujung rambut takkan pernah lenyap, takkan peenah surut selalu ada dan demikianlah cinta kasihku kepadamu!"

"Kalau digunduli?"

"Kepala digunduli pun masih akan ada akar rambutnya dan akar itupun ada ujungnya. Pendeknya, ujung rambut tak kan dapat lenyap, kecuali kalau kulit kepalanya dikupas Akan tetapi siapa mau mengupas kulit kepalanya? Tentu dia akan mampusi!"

Bukan main bahagia rasa hati Pujo melihat wajah isterinya berseri-seri lagi, matanya sejuk dan mesra pandangnya, akan tetapi dua titik air mata seperti mutiara tergenang lalu menggantung di bulu mata. la memeluk dan berbisik risau, "Mengapa menangis sayang?"

Kartikosari juga memeluk suaminya. "Karena bahagia, kakangmas!"

Mereka kembali berdekapan dan berciuman. Mesra! Mesra memang kasih sayang suami isteri muda ini. Kasih sayang pengantin baru. Dunia milik mereka. Surga milik mereka. Lupa akan segala sesuatu. Lupa bahwa mereka tenggelam dalam buaian asmara. sehingga tidak ingat bahwa tiada yang kekal di dunia ini. Cinta kasihpun tidak. Ada cinta ada benci, ada suka ada duka, seperti halnya ada siang tentu ada malam!

"Jangan gendong aku lagi, kangmas. Kasihan kau terlalu lelah. Mari kita lanjutkan perjalanan."

Mereka bergandeng tangan, lalu menuruni puncak bukit menuju ke tebing yang menjulang ke depan, amat curam di atas laut. Berdiri di pinggir tebing ini saja sudah mendatangkan rasa ngerl bagi yang tidak biasa. Bisa membuat tengkuk menebal dan bulu tengkuk meremang.

Dari tebing ini memandang ke bawah, tampak ombak laut bercumbu dengan batu-batu karang raksasa, menghantam batu karang menimbulkan suara menggelegar lalu air pecah muncrat ke atas menjadi uap dan mencipta wama pelangi. Sebentar menghilang, disusul ombak berikutnya, terus-menerus begitu, siang malam tiada hentinya sehingga di sepanjang pantai air laut membuih putih.

Dinding batu karang yang tinggi itu bentuknya aneh-aneh, berlubang-lubang seperti menjadi perkampungan tempat tinggal para jin dan iblis penghuni laut.

Di atas tebing, Pujo dan Kartikosari berdiri mengagumi pemandangan di bawah kaki mereka. Mereka kagum terpesona oleh keindahan dan kebesaran alam yang maha hebat. Apalagi bagi Kartlkosari yang belum pemah datang ke tempat ini. Tempat tinggal ayahnya terletak di Sungapan, di pantai yang datar dan rendah, tertutup pasir, di mana air Sungai Progo terjun ke laut, kembali kepada sumbernya. Yang mereka datangi ini adalah pantai yang berdinding gunung karang, di sebelah timur. Rambut dan ujung kain Kartikosari berkibar-kibar tertiup angin laut.

"Cancutkan kainmu, nimas. Kita turun ke bawah."

Kartikosari adalah seorang wanita gemblengan, yang tidak gentar menghadapi seekor harimau dengan tangan kosong. Akan tetapi melihat tebing yang curam itu, yang tingginya melebihi tiga puluh batang pohon kelapa, ia bergidik. Menuruni tebing securam itu? Sekali terpeleset dan terbanting ke bawah, tubuh akan melayang-layang dan batu-batu karang runcing tajam akan menyambut tubuh, lalu ombak dahsyat akan menghancur luluhkan tubuh dengan hempasan keras pada batu karang!

"Kau ngeri, nimas? Biarlah kugendong ...."

"Tak usah kau gendong, kangmas. Akan tetapi perlukah kita turun?"

Pujo tersenyum. "Tentu saja. Kalau kita tidak turun ke sana, bagaimana kita mampu mendapatkan tiram kencana dan mutiara hijau?"

Kartikosari menarik napas panjang. Di dalam hati ia mengeluh. Mengapa ayahnya merasa begitu yakin bahwasanya kebahagiaan suami isteri hanya akan dapat kekal kalau mereka dapat memiliki mutiara hijau yang berada dalam tiram kencana? Bukankah cinta kasih antara dia dan suaminya dapat menjamin kebahagiaan yang kekal? Namun, ayahnya adalah seorang pertapa yang sidik permana, waspada dan bijaksana. Tak mungkin mereka dapat membantah kehendak orang tua itu.

"Di manakah kita akan mencari benda langka itu?" Kartikosari menjenguk ke bawah, tangan kirinya memegang tangan kanan suaminya karena ia merasa ingeri.

"Kaulihat di sana itu, batu yang menonjol itu, yang atasnya terdapat pohon besar, dibawah itulah letaknya Guha Siluman. di depan Guha Siluman itulah kita harus mencarl, karena. disana terdapat banyak batu-batu kecil dan segala macam jenis tiram, ketam, dan udang terdampar di sana. Akan tetapi, seperti pesan bapa resi, kita harus bersamadhi minta anugerah dewata, karena tanpa anugerah dan wahyu dewata, takkan mungkin kita dapat menemukan tiram kencana disitu."

Kartikosari tersenyum, pipinya menjadi merah sekali.

"Syaratnya untuk samadhi begitu aneh lagi"

"Pujo menarik napas panjang dan menggenggam jari tangan isterinya.

"Tidak saja aneh, nimas Sari, juga amat berat bagiku. Apakah aku akan kuat menahan dalam keadaan begitu bersamamu, hal Ini benar-benar masih kusangsikan. Aku ragu-ragu dan takut kalau-kalau aku akan gagal."

Keduanya saling pandang dan termenung. Kartikosari bertemu pandang dengan suaminya perlahan menundukkan mukanya. Ia maklum betapa berat syarat itu bagi suaminya yang amat mencintanya. Mereka berdua. adalah pengantin baru yang sedang diamuk badai asmara. Betapa mungkin mereka melakukan puja samadhi dengan syarat seperti itu.

"Kangmas Pujo, aku yakin kita bersama akan dapat melawan gelora nafsu yang merupakan godaan dan tantangan terberat. Latihan untuk kita sudah kita lakukan sejak kecil."

"Kau benar, sayang. Kau lihat, di sebelah timur Gua Siluman itu, yang ada batu karang menonjol seperti ikan, nah di sanalah letak Gua Celeng. Di kanan kiri Gua Siluman masih banyak terdapat gua-gua kecil seperti Gua Walet, Guha Kalong dan Guha Leter, dan di sebelah barat itu adalah Dwarawati."

"Wah, kau hafal benar keadaan di bawah sana, kangmas!"

"Dahulu aku sering kali turun ke sana, nimas. Indah bukan main disana, akan tetapi juga Serem dan gawat. Maklumlah, di bawah sana adalah tempat para laskar Laut Selatan bersenang-senang apabila mereka mendarat."

"Ihhh..."

"Kau takut?"

"Tidak, hanya ngeri. Manusia dapat dilawan, akan tetapi bangsa halus begitu..."

"Tak usah khawatir, kasih. Bukankah ada aku di sampingmu? Di samping itu, kita sudah hafal ajaran bapa resi untuk menyelamatkan diri dari gangguan makhluk halus."

"Widada Mantra?"

"Benar, marilah kita turun, nimas. Biarlah aku di depan dan kau berpegang dengan tangan kiriku. Tidak sukar, banyak akar pohon dan batu karang untuk tempat berpegang tangan atau berinjak kaki."

Turunlah suami isteri muda ini berbimbingan tangan, melalui jalan yang tak patut disebut jalan karena mereka harus bergantung kepada akar-akar pohon dan meloncat kesana ke mari melalui batu karang yang licin dan ada pula yang tajam runcing.

Kesukaran jalan yang mereka lalui ini ditambah lagi oleh kengerian kalau mereka menjenguk kebawah kaki di mana tampak kekosongan yang mengerikan dan jauh di sebelah bawah sana tampak batu karang runcing seperti barisan tombak yang siap menerima tubuh mereka kalau mereka terjatuh ke bawah.

Kiranya hanya sebangsa kera saja yang akan mampu melalui jalan turun ini dengan aman. Namun suami isteri Ini adalah orang-orang muda gemblengan yang tidak saja memiliki tubuh yang kuat, juga memiliki batin yang sentausa dan ketabahan besar. Sepuluh menit kemudian mereka telah tiba di bawah, berjalan di atas karang di antara tetumbuhan pandan berduri dan rumput laut.

Kini terdengarlah oleh mereka gemuruh bunyi ombak memecah di pantai batu karang susul-menyusul seperti mendidih, diseling bunyi menggelegar di kala ombak besar menghantam karang yang menggetarkan dinding gunung karang di sekelilingnya.

Setelah berada di bawah, tampaklah oleh mereka betapa ombak yang dari atas tadi hanya kelihatan seperti air berkeriput, kini ternyata bahwa ombak itu amatlah dahsyat, dari tengah-tengah laut berlumba-lumba ke pinggir, makin lama makin besar sampai setinggi pohon kelapa, panjang dengan kepala keputihan seperti seekor naga bergulingan, untuk kemudian terhempas di batu karang dan pecah, porak-poranda menimbulkan uap air mengembun.

Tak tampak manusia lain di situ. Memang, tempat seperti ini tak patut didatangi oleh manusia, patutnya berpenghuni sebangsa jin dan iblis bekasakan. Tak mengherankan kiranya apabila di tempat seperti ini muncul makhluk-makhluk yang mengerikan dari dalam laut, makhluk-makhluk yang hanya akan muncul dalam mimpi buruk seorang yang terserang demam panas. Ombak yang tiada hentinya mengganas menggelora itu menimbulkan suasana seram, seakan-akan seperti inilah agaknya neraka jahanam yang siap menelan dan menyiksa roh-roh manusia jahanam.

"Mari, nimas, kita ke sebelah sana, ke Guha Siluman." Kata Pujo menggandeng tangan. Kartikosari yang merasa dingin.

"Kau kenapa, sayang? Tanganmu dingin sekali!" Pujo membawa telapak tangan isterinya ke depan hidung dan menciuminya, seakan-akan dengan ciumannya itu ia akan dapat menghangatkan tangan isterinya.

Akan tetapi Kartikosari menarik tangannya, wajahnya muram membayangkan kekhawatiran. "Entah, kangmas, aku merasa ngeri, tidak enak rasa hatiku."

"Ah, tidak apa-apa, nimas. Tempat begini indah. Mari kita ke guha!" la menarik tangan isterinya dan pergilah mereka kesebuah guha yang besar.

Guha yang merupakan sebuah mulut ternganga lebar, bentuknya seperti mulut raksasa dan kebetulan sekali, di atas gua, pada dinding gunung karang, terdapat dua buah batu hitam sehingga merupakan mata sedangkan di atas tumbuh sebuah pohon merupakan rambut raksasa. Dan agaknya kebetulan sekali, batu-batu yang dibentuk oleh tetesan air bergantungan dari atas dan menjungat di lantai, membentuk gigi dan caling yang mengerikan.

Gua Siluman inilah agaknya yang pada masa kini disebut Gua Langsey yang letaknya di sebelah timur atau di sebelah kiri Parangtritis dan sampai kini masih terkenal sebagai gua keramat di mana banyak orang datang untuk bertapa, meminta berkah, atau membayar kaul.

Apalagi di dalam bulan Suro, teristimewa tanggal satu dan lima belas Suro, banyak orang dengan nekat melalui jalan yang amat sukar dan berbahaya menuruni tebing tinggi untuk datang bersujud atau bertapa di dalam Gua Langse.

Pujo dan Kartikosari sudah memasuki gua dan waktu itu menjelang senja di dalam gua sudah mulai gelap. Beberapa ekor burung walet beterbangan ke luar masuk gua mengeluarkan bunyi mencicit ramal. Gua itu amat dalam, makin ke dalam makin menurun ke bawah, seram dan gelap sekali. Terdengar bunyi air terjun dari dalam gua, akan tetapi, tidak tampak dari luar.

"Kita bersamadhi di mulut gua sepertl pesan bapa resi nimas Sari. Tiga hari tiga malam. Kemudian ke situlah kita mencari tiram kencana."

Kartikosari sudah duduk di mulut gua. Ia memandang kearah telunjuk suaminya menuding. Benar, di depan gua itu terdapat banyak sekali batu karang kecil, agak sebelah bawah karena memang gua itu tinggi letaknya, ada lima-belas meter dari permukaan laut. Di antara batu-batu itu tampaklah bermacam-macam benda laut kulit-kulit kerang, tiram dan sebangsanya.

Airnya jernih bukan main sehingga tampak semua benda di dasamya, tidak dalam, akan tetapi selalu bergerak-gerak naik turun mengikuti datangnya ombak yang memecah pada batu karang besar di sebelah depan, seakan-akan batu karang besar ini menjadi penghalang amukan ombak ke tempat itu.

"Kau nimas sudah siap nimas?"

Kartikosari mengangguk.

"Nah kalau begitu kita mulai. Mari kita menanggalkan pakaian, taruh di sudut sini agar jangan sampai terbawa angin.'' Sambil berkata demikian Pujo sudah menanggalkan destarnya dan mulai membuka baju. Tiba-tiba Kartikosari menghampirinya, merangkul terus menciumnya sambil terisak.

"Kangmas hatiku tidak enak kau jangan tinggalkan aku, ya?"

Pujo terpaksa tertawa, sungguhpun ia merasa tidak nyaman hatinya menyaksikan tingkah isterinya. Isterinya biasanya seorang yang tabah, seorang Srikandi tulen, mengapa kini menjadi begini lemah?

"Ah, apakah aku gila? Sampai matipun tak mungkin aku meninggalkanmu hal ini kau tentu sudah yakin, nimas." Ia balas mencium dan membelai rambut kekasihnya. Sampai lama mereka berpelukan, kemudian Pujo melepaskan rangkulan Isterinya sambil berkata dengan senyum.

"Ah... belum apa-apa kita sudah tenggelam lagi. Bagimana aku bisa menahan tiga hari tiga malam kalau begini?"

Kartikosari tertawa juga, lalu menjauhkan diri.

"Kita lihat saja, siapa yang tidak tahan, kau atau aku!" Kemudian Kartikosari memilih tempat di sudut kiri, sedangkan Pujo hanya menurut ke mana isterinya memilih tempat. Ia menghampiri dan suami isteri ini lalu menanggalkan seluruh pakaian Yang menempel di tubuh.

Inilah syaratnya menurut petunjuk Resi Bhargowo hanya dengan cara demikian itulah, yaitu dengan duduk samadhi bersama dalam keadaan bertelanjang bulat, sepasang suami isteri akan dapat diterima oleh dewata dan mendapatkan wahyu untuk menemukan mutiara hijau dalam tiram kencana.

Suami Isteri Yang amat taat kepada orang tua. Dan ia kini sudah duduk berhadapan, duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas. Mereka memilih sikap masing-masing seenaknya.

Kartikosari seperti biasa merangkap kedua telapak tangan membentuk sembah, menempelkan kedua ibu jari depan hidung dan memejamkan mata, duduk bersila dengan tegak dan lurus. Hebat bukan main! Seperti sebuah patung kencana yang cantik gemilang, patung dewi kahyangan terbuat daripada kencana sedikitpun tidak ada cacatnya.

Adapun Pujo Yang bertubuh tegap dan bidang duduk bersila dengan kedua telapak kaki menghadap ke atas pula, akan tetapi sikap kedua tangannya berbeda yaitu lengan kiri memeluk pusar melingkar ke kanan, lengan kanan memeluk pundak kiri, duduknya juga tegak lurus, matanya setengah terpejam dipusatkan ke puncak hidung.

Suami isteri ini mengheningkan Cipta memusatkan panca indera mengerahkan daya cipta kearah satu yakni memohon anugerah dewata untuk memperoleh mutiara hijau.

Baik Kartikosari maupun Pujo adalah dua orang muda Yang sejak kecil sudah biasa bersamadhi. Biasanya sekali duduk bersila mengatur sikap, otomatis pernapasan mereka teratur sesuai dengan latiihan dan dalam waktu sekejap mata saja mereka sudah dapat hening. Akan tetapi kali ini, apalagi Pujo, mengalami siksaan dan godaan yang bukan main beratnya.

Kesadaran bahwa isterinya yang terkasih, isterinya yang cantik jelita isterinya yang memiliki bentuk tubuh menggairahkan tanpa cacat, duduk bersila berselimut rambut di depannya membuatnya sukar sekali memusatkan panca indera. Dengan pengerahan tenaga batinnya ia berusaha sampai berjam-jam sampai lewat tengah malam, namun hasilnya sia-sia.

Berkali-kali ia terpaksa membuka mata untuk memandang bayangan isterinya yang duduk bersila di depannya merasakan tiupan halus pemapasan isterinya, menyadari sedalamnya akan kehadiran Kartikosari tak pernah dapat mengusir bau sedap keringat dan rambut isterinya.

Pujo Menjadi kesal hatinya, hampir putus asa dan diam-diam ia mulai mengerjakan pikirannya menyelami mengapa ayah mertuanya Resi Bhargowo yang sakti itu menyuruh mereka menjalani tapa seperti ini. Untuk memperoleh kebahagiaan kekal bersuami isteri, mengapa harus mendapatkan mutiara hijau dalam cara bersamadhi bersama dalam keadaan telanjang bulat seperti ini?

Menjelang pagi, barulah terdapat titik pertemuan dalam alam pikiran Pujo yang ruwet dan terputar-putar. Bukankah semua ini hanya merupakan lambang saja? Merupakan ujian bagi mereka? Ujian bagi kekuatan batin mereka sehingga mereka terlatih dan mendasari cinta kasih suami isteri tidak hanya dengan nafsu birahi, tidak hanya oleh tarikan daya dari kecantikan wajah dan keindahan tubuh belaka.

Karena, suami isteri yang mendasari kasih sayang hanya dengan nafsu berahi, dengan daya tarik badani maka kasih sayang seperti itu akan mudah luntur. Badan yang sudah tua kelak, mana ada daya penariknya lagi? Hal itu sudah disinggung isterinya dalam senda gurau siang tadi. Isterinya berpendapat bahwa kalau mereka sudah menjadi kakek-nenek, suami ini akan luntur cinta kasihnya.

Dan hal ini mungkin saja terjadi kalau cinta kasihnya terhadap Kartikosari hanya berdasar pada keindahan jasmani. Inikah kehendak Resi Bhargowo? Melatih mereka agar dapat mengekang nafsu, agar dapat terbuka alam kesadarannya bahwa yang indah dalam cinta kasih bukan pemuasan nafsu berahi karena keindahan tubuh semata?

Mereka disuruh berlatih menguasai diri, menolak daya tarik masing-masing jangan sampai terseret dan diperbudak hawa nafsu agar mencari dasar kasih sayang yang suci yang lebih mendalam, cinta kasih batin yang tentu saja akan mengekalkan cinta kasih mereka karena apapun yang terjadi pada tubuh mereka, bahkan andaikata mereka menjadi manusia cacat sekalipun, cinta kasih mereka akan tetap kekal!

Agaknya itulah maksud perintah Resi Bhargowo agar mereka mencari mutiara hijau secara aneh ini. Setelah matahari mulai bersinar, barulah Pujo dapat mengendalikan panca inderanya. la menekan semua lamunan tentang kecantikan isterinya, mengubah kenangan akan isterinya itu lebih mendalam lagi membayangkan isterinya sebagai wanita yang sudah menjadi haknya, yang sudah bersandar kepadanya.

Dan menjadi tanggung jawabnya sebagai wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya menjadi kawan hidup selamanya bersama mendidik anak-anak. Sebagai teman hidup senasib sependeritaan, susah sama diderita, suka sama dinikmati. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.

Akhirnya ia terlelap dalam samadhinya, peerapasannya lambat teratur, wajahnya tenang tenteram dan ia berhasil. Deru ombak yang makin membesar sama sekali tidak mengganggu suami isteri yang sedang tekun dalam Samadhi itu. Juga cicit burung walet yang beterbangan keluar dari dalam gua untuk mencari makanan bagi anak-anak mereka, sama sekali tak tampak atau terdengar. Keduanya sudah tenggelam betul-betul dan seakan-akan ada cahaya manter (bersinar) dari ubun-ubun kepala mereka.

Tak tahu mereka bahwa ada anak-anak burung dalam sarang bercicit-cicit merengek-rengek dan menangis kelaparan karena ayah bunda tak pernah pulang semenjak kemarin, karena ayah bunda burung-burung itu telah berpindah kedalam perut elang yang menyambar mereka dan menjadikan mereka santapan anak-anak elang. Mengapa sepasang walet ini demikian buruk nasibnya? Dosa apa gerangan yang telah mereka lakukan?

Tak seorangpun akan dapat menjawabnya Suami isteri itupun tidak pernah tahu bahwa beberapa ekor ikan kecil dilempar ombak ke atas batu karang, berkelojotan berkelepekan disiksa terik sinar matahari, megap-megap menanti maut datang menjemput dalam keadaan tersiksa. Apakah dosa ikan-ikan ini sehingga mereka terhukum sedemikian rupa? Tak ada yang akan dapat menjawab pula.

Banyak sekali hal-hal yang gaib, hal-hal yang tampaknya ganjil, yang tampaknya menurut alam pikiran dan pendapat manusia tidak adil. Yang jahat hidup bahagia, yang baik hidup merana. Inilah rahasia besar yang hanya mampu diselami oleh kesadaran mereka yang tahu akan kuasa tertinggi. Dan apa yang akan menimpa sepasang suami isteri yang tekun bersamadhi itupun berada mutlak di tangan Yang Maha Wenang, tak seorangpun manusia mampu merubahnya!

Hari sudah menjelang senja lagi, ketika udara mendadak menjadi mendung. Awan hitam berkumpul dari atas darat menuju ke atas laut. Geledek menyambar-nyambar diseling kilat berkeredepan. Gemuruh suara halilintar menyaingi gemuruh ombak memecah di batu karang.

Lambat-laun air laut makin tenang dan deburan ombak tidak keras lagi menghantam karang. Seolah-olah air laut dengan ombaknya menyatakan takluk dan kalah terhadap guruh di angkasa, mengakui kekuasaan angkasa, yang dapat merubah keadaan laut. Tak jauh dari Gua Siluman, dekat Gua Leter, di bagian pantai yang datar dan tertutup pasir halus, ombak tak tertahan karang dan selalu mengalir sampai ke pasir.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar air bergolak disusul suara wanita tertawa, suaranya merdu. Lalu tampaklah mahluk bergerak-gerak di permukaan air, seakan-akan menunggang ombak yang menuju ke pasir. Dari jauh mahluk itu kelihatan berambut panjang dan seperti menerkam sesuatu, akan tetapi setelah makin dekat dengan pantai, tampaklah bahwa ia adalah seorang wanita yang cantik berkulit kuning bersih, rambutnya panjang sampai ke kaki.

Wanita ini usianya tentu sudah tiga puluh tahun lebih, namun benar-benar amat cantik, wajahnya berseri-seri dan giginya amat putih berkilauan di kala sinar kilat menerangi permukaan air laut itu. Ia memang sedang menerkam sesuatu, akan tetapi menerkam dengan mesra atau memeluk tubuh seorang laki-laki muda tampan yang juga tertawa-tawa.

Wanita itu membawa si laki-laki berenang ke pantai, bukan berenang seperti manusia biasa, melainkan berenang seperti ikan Tubuhnya yang ramping semampai itu dapat bergerak-gerak menggeliat seperti Ikan berenang, akan tetapi amat cepat tubuhnya maju.

Laki-laki itu sebaliknya. tidak pandai berenangi, buktinya ia selalu berusaha menaikkan kepalanya. ke permukaan air sambil merangkul leher si wanita. Seekor lkan hiu besar, sebesar manusla, berenang cepat menghampiri, agaknya tertarik oleh mahluk-mahluk aneh ini. Akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba hiu itu menghentikan renangnya, mundur-mundur karena takut.

"Bibi... Ikan besar itu!! Tiba-tiba si lelaki berseru ketakutan dan merangkul si wanita makin erat.

Wanita itu dengan gerakan luar biasa cepatnya sudah memutar tubuh di dalam air, mukanya yang cantik tiba-tiba menjadi murka. "Bedebah...! Berani kau menggangguku?" bentaknya, tubuhnya meluncur di air cepat sekali, tangan kirinya menyeret laki-laki itu dan tangan kanannya mengayun sebuah cundrik (keris) yang tepat menghantam perut ikan hiu itu dan sekali menyontekkan tangan, perut itu pecah dan ususnya keluar. Ikan itu lari kesakitan dan ketakutan, namun hukum laut yang sama dengan hukum rimba menimpanya.

Tak lama kemudian la menjadi mangsa ikan-ikan lain yang berpesta pora atas daging dan isi perut. Wanita, itu tertawa bergelak, lalu meluncur lagi ke pantai. Mereka, bergulingan di atas pasir seperti orang bergumul sehingga tubuh mereka kotor semua oleh pasir. Sambil bercumbu wanita itu tertawa-tawa. Akhimya lelaki muda itu melepaskan diri dari pelukan kedua lengan halus dan rambut panjang, lalu bangkit berdiri dan berkata, "Cukuplah, bibi. Kita sudah bersenang-senang selama tiga hari di sini. Kalau Ni-guru Durgogini tahu...!"

"Hi-hi-hik, kalau dia, tahu mengapa? Kau yang akan dibunuhnya lebih dulu, sedangkan aku...? belum tentu mbakyu Durgogini mampu mengalahkan aku!" Ia meraih lagi dan hendak mencium muka yang tampan itu.

Akan tetapi pemuda itu menolak dengan kedua tangannya, mendorong dada padat yang tertutup tapih pinjung (kain sedada).

"Sudahlah, bibi, lihat udara mendung, hampir hujan. Jangan-jangan badai mengamuk"

"Hi-hik... cah bagus. Siapa takut badai?"

"Kau tidak takut, akan tetapi aku takut. Bibi guru yang manis, aku sudah mematuhi kehendakmu selama tiga hari. Mana pusaka yang bibi hendak hadiahkan kepadaku? Aku hendak pergi dari sini, berlindung semalam dalam guha dan besok akan kembali ke Selopenangkep."

Wanita itu tertawa, lalu menarik napas panjang. "Baiklah, raden, kau sudah menyenangkan hatiku selama tiga hari. Pusaka yang hendak kuberikan kepadamu bukanlah sembarang pusaka. Ilmu pukulan yang kuajarkan kepadamu selama tiga hari ini sudah dapat kau lakukan dengan baik, akan tetapi tanpa pusaka ini, ilmu pukulan Tirto Rudiro (Air Darah) itu takkan sempuma. Di samping itu, kau pun harus tekun berlatih selama dua puluh satu hari dengan pantangan, tidak boleh makan daging dan tidak boleh bergaul dengan wanita!"

Setelah berkata demikian wanita itu lalu mengeluarkan sebuah rumah kerang yang berwama merah kepada pemuda itu. Pemuda itu menerimanya dengan girang, lalu berkata, "Terima kasih atas kebaikan hati bibi guru. Aku akan selalu mentaati perintah dan kehendak bibi."

"Hi-hik, cah bagus. Kau tunggu saja sewaktu-waktu aku akan ajak kau bersenang-senang sampai puas. Kau tunggu saja panggilanku bagus!" la membelai dagu pemuda itu yang ditumbuhi rambut halus, kemudian katanya, "Sekarang pergilah. Malam nanti badai Laut Selatan akan mengamuk. Sampai jumpa!" Setelah berkata demikian, wanita itu lalu melempar diri ke dalam ombak yang datang ke pantal dan sebentar kemudian ia sudah lenyap, ditelan ombak.

Pemuda tampan itu menggenggam kerang merah lalu melompat-lompat ke atas batu karang. Ia memandang ke angkasa yang makin gelap. Tidak baik melakukan perjalanan malam ini, pikimya. Lebih baik malam ini mengaso di Gua Siluman dan besok pagi-pagi baru naik ke atas dan pulang ke dusun Selopenangkep. Dengan gerakan sigap pemuda itu terus berloncatan dari batu ke batu menuju ke Gua Siluman.

Pemuda ini adalah Raden Wisangjiwo, putera tunggal bekas Adipati Joyowiseso yang tadinya menguasai pantai Laut Selatan. Setahun yang lalu, yaitu pada, tahun 1031 ketika Kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Raja Airlangga (1019-1049) mengirim pasukan untuk menundukkan seluruh wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, daerah Pantai Selatan inipun dilanda perang.

Adipati Joyowiseso mengadakan perlawanan hebat, namun tak kuasa menghadang penyerbuan bala tentara Mataram yang kuat dan dipimpin panglima-panglima yang sakti mandraguna dan pandai, sehingga akhirnya terpaksa menyerah.

Betapapun juga, seperti di daerah lain, Adipati Joyowiseso inipun tidak dihukum, bahkan diberi kedudukan kembali sebagai adipati di pantai Laut Selatan. Akan tetapi ia sekarang merupakan orang taklukan atau sebagai punggawa dari Kerajaan Mataram di timur, siap mentaati segala perintah yang dipertuan Raja Airlangga.

Selain menjadi putera orang tertinggi kedudukannya di pedusunan pantai selatan, juga Raden Wisangjiwo menjadi murid terkasih seorang pertapa wanita yang sakti mandraguna, yang oleh manusia biasa dianggap sebagai siluman atau peri penjaga gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang saja memperlihatkan diri kepada umum. Datang dan perginya seperti iblis Yang pandai menghilang.

Tak seorangpun di daerah Laut Selatan berani menyebut namanya secara terbuka, sebuah nama Yang membuat bulu tengkuk berdiri, membuat orang menggigil ketakutan, sebuah nama Yang sekali didengar sukar dilupa, Yang juga amat terkenal sampai jauh di luar wilayah pantai selatan.

Para pertapa, para ksatiria, para jagoan mengenal nama ini, Ni Durgogini. Karena gurunya seorang wanita sakti Yang luar biasa, sudah tentu saja Raden Wisangjiwo juga memiliki kesaktian Yang sukar dilawan.

Ketika terjadi perang melawan tentara Kerajaan Mataram setahun yang lalu, banyaklah perwira dan tamtama Mataram binasa di ujung keris dan kepalan tangannya. Biarpun akhirnya perlawanan ayahnya patah dan mereka harus mengakui keunggulan bala tentara Mataram, namun Raden Wisangjiwo tidak sampai pernah dirobohkan atau tertawan.

Sayang seribu kali sayang, pemuda rupawan yang sakti ini, agaknya terlalu dimanja oleh orang tuanya, seperti Lazim terjadi pada keluarga bangsawan. Agaknya karena terlalu manja inilah yang membentuk watak tinggi hati, sombong, tak pernah mau kalah, dan lambat laun watak ini membentuk pula sifat-sifat kejam, curang, dan hendak berkuasa sendiri, tak pernah mau menghiraukan perasaan atau pendapat orang.

Raden Wisangjiwo terkenal sebagai seorang pemuda berandalan Yang bengis tidak ada yang berani menentangnya. Mungkin sekali, biarpun dimanja ia takkan sampai tersesat sedemikian jauhnya kalau saja ia tidak menjadi murid Ni Durgogini, seorang wanita yang berwatak iblis. Watak gurunya ini tentu saja sedikit banyak menurun pula kepadanya.

Pertama-tama, begitu pemuda ganteng ini menjadi murid Ni Durgogini, iapun merangkap menjadi kekasih gurunya. Tidaklah terlalu aneh kalau orang tahu bagaimana macamnya manusia iblis Ni Durgogini itu. Seorang wanita yang cantik dan genit, yang tak pernah dapat diterka berapa usianya akan tetapi kelihatan masih muda, kurang tiga puluh, dan di antara sekian banyak ilmu-ilmunya yang mujijat, ia memiliki pula ilmu guna-guna yang disebut Guno Asmoro.

Tidaklah mengherankan apabila Raden Wisangjiwo yang memang berjiwa lemah ini hanyut dan mentaati kehendak kotor gurunya dengan gembira. Namun, sikapnya yang pandai melayani gurunya ini menguntungkan Raden Wisangjiwo, karena gurunya makin sayang kepadanya dan menurunkan pelbagai ilmu simpanan yang hebat-hebat.

Ni Durgogini mempunyai seorang adik seperguruan, yang juga amat terkenal, terutama sekali oleh para nelayan dan bajak. Adapun penduduk pantai dan para nelayan malah menganggap bahwa ia adalah Dewi Roro Kidul yang menguasai Laut Selatan!

Betapa orang takkan menyangka demikian kalau menyaksikan seorang wanita cantik dengan rambut terurai panjang, bermain-main di antara ombak laut bagaikan seekor ikan saja lincahnya. Akan tetapi, seperti juga halnya Ni Durgogini, wanita cantik jelita yang bemama Ni Nogogini ini, membuat orang menggigil kalau mengingatnya.

Selain sakti, juga Ni Nogogini berwatak iblis, mudah sekali menjatuhkan tangan saktinya membunuh orang tanpa sebab. Mudah sekali menyerbu golongan-golongan lain untuk mengacau dan membunuh. Kalau Ni Durgogini dianggap sebarai iblis betina hutan dan gunung, maka Ni Nogogini ini adalah iblis betina sungai dan Laut Selatan!

Sebagaimana dapat kita duga dari adegan di pantai tadi, Ni Nogogini pun mempunyai penyakit yang sama dengan penyakit kakak seperguruannya, yaitu gila laki-laki dan cabul. Bibi guru ini melihat murid keponakannya dan tidak mau melewatkan kesempatan untuk menggodanya. Raden Wisangiiwo memang tampan dan gagah, juga amat cerdik.

Tentu saja ia tidak menolak godaan bibi gurunya yang biarpun kulitnya tidak seputih dan sehalus kulit tubuh gurunya, namun memiliki kecantikan khas, dan pula memiliki bentuk tubuh yang lebih indah dan padat kalau dibandingkan dengan gurunya, karena agaknya kebiasaan bermain di air dan renang itulah yang membuat ia memiliki bentuk tubuh yang amat baik.

Di samping ini, iapun sudah maklum akan keganasan watak bibi gurunya sehingga kalau ia menolak, amatlah berbahaya. Oleh karena ini maka ia melayani bibi gurunya, bermain asmara sampai tiga hari di pantai, kadang-kadang Raden Wisangjiwo harus mandah dibawa ke tengah laut dipermainkan sesuka hati bibi gurunya. Namun, ia tidak bodoh dan kesempatan ini ia pergunakan untuk minta upah berupa ilmu kesaktian dan pusaka. Dan bujukannya berhasil sehingga ia diberi pelajaran ilmu pukulan Tirto Rudiro yang ampuh bersama pusaka. Kerang Merah.

Demikianlah, dengan hati gembira karena mendapatkan ilmu dan pusaka, juga karena akhirnya ia dapat terlepas dari pelukan bibi gurunya yang mulai membosankan itu, Raden Wisangjiwo berlompatan menuju ke Gua Siluman. Ketika akhirnya ia dapat melompat sampai ke mulut gua, ia berdiri bagaikan patung dengan mata terbelalak lebar memandang ke dalam gua. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka, hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri.

Di bawah sinar matahari senja yang keemasan, ia melihat sebuah patung sebesar manusia, patung seorang dewi kahyangan yang bertubuh keemasan, rambut terurai, bertelanjang bulat, cantik jelita tanpa cacat! Akan tetapi patung itu bernapas. Dada yang indah bentuknya itu bergerak perlahan.

"Demi Ratu Lelembut" Tak terasa lagi mulut Raden Wisangjiwo berseru penuh kekaguman dan keheranan.

Seruan penuh nafsu ini cukup untuk membuat Pujo dan Kartikosari tersentak kaget, seakan-akan semangat mereka disendal memasuki alam kesadaran kembali. Otomatis Kartikosari menggerakkan tangan menyambar kain di sebelahnya dan menutupi tubuhnya dengan kain, mengikat ujungnya erat-erat di atas dada, matanya berkilat marah ketika ia melihat seorang laki-laki muda berdiri di mulut gua, menelannya dengan pandang mata lahap. Pujo juga cepat melompat berdiri dan berseru keras ketika mengenal orang yang datang itu.

"Raden Wisangjiwo! Benar-benar tidak sopan mengganggu orang bersamadi, apa lagi jika suami isteri bersamadhi bersama!"

Raden Wisangjiwo juga sadar daripada pesona yang menggairahkan hatinya, membalikkan tubuh memandang penegurnya. la tertawa mengejek, lalu bertolak pinggang.

"Aha, kiranya engkau ini, Pujo? Dan dia isterimu? Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali. Sudah lama aku ingin berhadapan dengan seorang laki-laki pengecut macam engkau, kiranya para dewata mengabulkan pengharapanku."

Pujo mengenal baik siapa Raden Wisangjiwo. Taat akan kehendak gurunya, ia memang selalu menjauhkan diri dan tidak mencampuri urusan putera adipati ini, maka tak pernah antara dia dan putera bangsawan itu terdapat sesuatu hal. Mengapa kini ia dimaki pengecut dan sudah lama dicari?

"Raden Wisangjiwo jalan hidupmu dan jalan hidupku seperti jalannya air dan asap, tak pernah dapat bertemu. Mengapa kau datang-datang memaki aku dan ada keperluan apa kau hendak bertemu denganku?'' tanya Pujo sambil menyambar pakaiannya dan mengenakan pakaian sebelah bawah. Tubuh atasnya masih bertelanjang.

"Hua-ha-ha-ha-ha...masih pura-pura bertanya? Tidak merasa betapa kau seorang laki-laki pengecut dan penakut? Percuma saja kau mengaku murid Resi Bhargowo malah ehm... menjadi mantunya, menikah dengan puteri Resi Bhargowo yang eh, begini denok!'' Matanya mengerling ke arah Kartikosari.

"Raden Wisangjiwo, harap jangan menggunakan ucapan kasar, tak patut didengar wanita. Katakan saja, mengapa aku kau anggap pengecut?"

Kini pandang mata putera adipati itu melotot marah, kedua tangannya mengepal tinju. "Benar-benar kau tidak merasa ataukah berpura-pura? Setahun yang lalu, daerah kita dilanda perang, diserbu oleh bala tentara dari Mataram. Semua laki-laki turun tangan membela tanah air, mengapa engkau tidak mau ikut membantu biarpun ramanda adipati memerintah dan mengirim utusan ke Sungapan? Bukankah kau tidak mau ikut berperang karena kau takut, karena kau pengecut?"

"Raden Wisangjiwo, harap kau simpan saja maki-makian kotor itu ke dalam mulutmu, di situ lebih cocok daripada dihambur keluar membusukkan udara! Kami memang tidak berangkat membantu, aku dan para cantrik, juga isteriku yang di kala itu masih menjadi adik seperguruanku, karena dilarang oleh bapa resi. Kami harus tunduk dan mentaati perintah guru, apapun yang terjadi. Bapa resi menyatakan bahwa tak mungkin dilawan kekuasaan dari Mataram karena memang sudah semestinya semua daerah di bawah kekuasaan Mataram. Sama sekali bukan karena takut!"

"Hemmm, alasan kosong! Karena mengingat bahwa Res Bhargowo sudah lanjut usianya, maka, aku tidak menyalahkannya. Dan karena memandang wajah Resi Bhargowo maka aku tidak mau mencari kau dan membikin ribut di Sungapan." Ia melirik kembali ke arah Kartikosari untuk menandaskan bahwa dia tidak mau bermusuh dengan ayah wanita jelita ini. "Akan tetapi engkau yang masih muda dan kuat, hemmm, tak mungkin aku memaafkanmu begitu saja"

Biarpun Pujo sudah menerima gemblengan lahir batin dari gurunya, namun darah muda masih mengalir di tubuhnya dan hawa panas yang naik dari dalam hatinya membuat kepalanya panas pula.

"Raden Wisangjiwo! Dengan mencela mereka yang tidak ikut berperang, kau seakan-akan hendak mengagungkan dirimu sendiri yang menentang Mataram. Akan tetapi bagaimana. buktinya sekarang? Ayahmu dan kau menakluk kepada Mataram, dan rela menjadi abdi Mataram? Itukah yang kau anggap kegagahanmu?"

"Tutup mulutmu! Bersiaplah engkau!"

Pujo, juga. mengepal tinju. "Kau mau apa?"

Raden Wisangjiwo sudah hendak menerjang maju, akan tetapi ia mendengar betapa wanita jelita itu menahan napas, lalu ia mengerling dan tersenyum.

"Pujo, isterimu cantik bukan main. Keluarlah kau dari gua ini dan biarkan aku bercakap-cakap dengan isterimu. Biarkan dia mengawaniku semalam ini di gua, karena aku hendak bermalam di sini. Dan besok pagi kuampuni kesalahanmu yang dahulu."

"Jahanam...." Teriakan ini bukan keluar dari mulut Pujo melainkan keluar dari mulut Kartikosari yang sudah menerjang dari belakang dengan pukulan yang disebut Gelap Musti (Tinju Petir).

"Nimas jangan bunuh orang!"

Pujo berseru kaget dan melompat ke depan. Orang muda ini memang sudah mendalami wejangan guru dan ayah mertuanya, maka sifat welas asih selalu menyelubungi lubuk hatinya. Betapapun marahnya mendengar ucapan kotor dan kurang sopan dari Raden Wisangjiwo terhadap isterinya, namun melihat isterinya mempergunakan pukulan gledek yang ampuh bukan main itu, ia merasa terkejut dan hendak mencegah.

Terlambat! Pukulan Gelap Musti memang hebat bukan main, batu karang hancur sekali pukul, apalagi tubuh manusia biasa. Namun, Raden Wisangjiwo bukanlah manusia biasa. Dia murid terkasih seorang manusia iblis yang tentu saja tidak dapat dipersamakan manusia biasa.

Ketika pukulan dari arah belakangnya ini menyambar, mendatangkan hawa panas seperti lahar cepat ia membalikkan tubuh dan mendorong dengan kedua tangannya, tangan kanan menyambut pukulan dengan pengerahan tenaga sakti dan dengan gerakan ilmu pukulan Tirto Rudiro yang baru saja ia pelajari dari bibi gurunya, Ni Nogogini.

Memang Kerang Merah berada di tangan kanan, maka otomatis ia menggunakan pukulan ini. Perlu diketahui bahwa ilmu pukulan Gelap Musti (Tinju Petir) adalah pukulan yang keras dengan penggunaan tenaga yang dikerahkan dari pusar yang membentuk api hidup maka jika dipergunakan mengeluarkan hawa panas yang dapat melebihi panasnya api biasa.

Di lain pihak, sebagai kebalikannya, ilmu pukulan Tirto Rudiro yang dikeluarkan oleh Raden Wisangjiwo adalah pukulan yang berhawa dingin, sedingin air membeku akan tetapi karena ilmu ini hasil penciptaan Ni Nogogini yang hidupnya menjadi hamba nafsu dan menyimpang dari pada kebenaran terjerumus ke jalan sesat maka hasil penciptaan inipun adalah ilmu sesat (ilmu hitam).

Andaikata yang mencipta ilmu ini seorang suci seperti Resi Bhargowo dan yang lain-lain, maka api yang bagaimana panaspun sekali terkena sambaran hawa pukulan ini tentu akan padam dan dingin.

Akan tetapi ilmu ini sudah jauh menyimpang, biarpun pada dasarnya menggunakan hawa yang timbul dari pusar juga, namun telah dicampur dengan hawa beracun, terutama sekali setelah dicampur dengan khasiat pusaka Kerang Merah. Pukulan ini selain dapat membekukan darah, juga dapat menyebar hawa beracun yang menyusup ke dalam tubuh lawan yang terpukul!

"Dessss...."

Kedua lengan yang disaluri hawa yang bertentangan itu bertemu hebat. Raden Wisangjiwo terkejut sekali karena merasa betapa hawa panas seperti lahar menyerap ke dalam lengan kanannya. Hal ini menandakan bahwa hawa saktinya kalah kuat dan kalah latihan dalam penggunaan ilmu pukulan.

Maka, cepat-cepat ia menggunakan tangan kirinya yang sudah siap tadi untuk melanjutkan rencananya yang sejak tadi sudah ia persiapkan. Begitu jari-jari tangannya bergerak dan secepat kilat menyentuh pundak kiri Kartikosari murid Ni Durgogini yang licik dan cerdik ini sudah menggunakan ilmu pemberian gurunya.

Ilmu sesat yang hanya digunakan oleh manusia-manusia hamba nafsu, yaitu Ilmu Asmoro Kingkin (Rindu Berahi). Jari-jari tangannya menyentuh jalan darah di pundak, diperkuat oleh penyaluran tenaga tidak sewajarnya yang timbul dari mantra yang cepat ia ucapkan dengan gerak bibir yang tanpa suara.

Tentu saja Kartikosari terkejut. Tadinya wanita ini sudah merasa girang karena maklum bahwa ia menang kuat dalam pertemuan lengan, maka ia menjadi agak lengah, apa lagi karena tangan kiri lawan bergerak terlalu cepat menuju ke pundak, ia tidak sempat mengelak. Ia Ingin merobohkan lawan dengan tindihan tenaga Gelap Musti siapa kira setelah pundak dekat lehemya tersentuh jari tangan Raden Wisangjiwo, mendadak ia merasa betapa jantungnya berdenyutan, darahnya bergolak dan nafsu berahi mengamuk di benaknya.

Kartikosari terkejut dan berusaha melawan dorongan nafsu yang seperti ditimbulkan oleh iblis ini, namun dengan usaha ini, ia harus mengerahkan hawa saktinya sehingga saluran hawa panas pada pukulan Gelap Musti di lengan menjadi habis daya. Inilah yang mencelakakan Kartikosari.

Begitu hawa pukulan Gelap Musti membuyar. Ia terserang oleh hawa pukulan dingin dari dorongan ilmu pukulan Tirto Rudiro hawa dingin yang menyusup dari lengan menyerang isi dadanya. Kartikosari menjerit dan roboh terguling ke sudut gua.

"Wisangjiwo keparat, kau lukai isteriku?'' Pujo marah sekali dan dengan gerakan kilat ia menerjang putera adipati itu.

Namun Raden Wisangjiwo sambil tersenyum mengejek sudah mengelak sehingga pukulan Pujo lewat di atas kepalanya. Sambil mengelak kaki Raden Wisangjiwo melayang ke arah lambung kiri Pujo, disusul tamparan tangan kiri dengan jari terbuka. Hebat serangan ini karena yang diserang kaki adalah lambung kiri dan yang diancam tamparan tangan adalah leher, dua tempat yang apabila terkena dapat mendatangkan maut.

Pujo yang merasa gelisah melihat isterinya pingsan, mengeluarkan ajiannya yang ia dapat dari guru dan ayah mertuanya, yaitu ilmu meringankan tubuh cepat Bayu Tantra (Gerak Angin) berkelebat cepat dan berhasil menghindarkan diri dari pada tendangan dan pukulan lawan. Kemudian kembali Pujo membalas serangan lawannya yang sakti ini dengan pukulan Gelap Musti Seperti yang dilakukan isterinya tadi.

Tingkat kepandaian Pujo lebih unggul dari pada Kartikosari, maka penggunaan Gelap Musti ia menang setingkat, maka pukulannya ini tentu saja lebih hebat dari pada yang dilakukan Kartikosari tadi. Raden Wisangjiwo terkejut. Tadi ia telah merasai kehebatan ilmu pukulan yang mengandung hawa panas lahar ini dari Kartikosari.

Maka, tentu saja ia tidak berani berlaku sembrono. Dengan geseran kaki ke kanan ia miringkan tubuhnya sehingga pukulan lawan tidak langsung menghantamnya, kemudian ia mengerahkan ajiannya untuk menyampok pukulan yang dahsyat itu dari samping, menggunakan ilmu barunya, pukulan Tirto Rudiro.

"Plakkk...!"

Pukulannya tepat mengenai lengan Pujo dari samping. Menurut perhitungan, Raden Wisangjiwo menang posisi karena ia memukul dari samping. Akan tetapi kenyataannya adalah hebat. Begitu kepalan tangannya yang menggenggam Kerang Merah itu menghantam lengan Pujo, tubuh Raden Wisangjiwo serasa dibakar api neraka.

la menarik tangannya dan oleh hawa pukulan lawan ditambah daya tariknya, tubuhnya mencelat ke belakang, menabrak dinding gua dan terbanting ke bawah. la mengerang kesakitan, akan tetapi sebagai murid manusia iblis yang sudah memiliki tubuh kebal, tentu saja pertemuan keras dengan batu karang itu tidak membuatnya luka sambil menggereng marah ia melompat bangun lagi.

Ketika melihat Pujo menoleh ke arah isterinya yang masih pingsan, Raden Wisangjiwo lalu menyambar sebuah batu karang sebesar perut kerbau bunting di sebelahnya. Batu karang ini beratnya melebihi seekor kerbau bunting sendiri, namun dengan pengerahan tenaga saktinya, ia dapat mengangkatnya dengan mudah ke atas kepala, lalu melontarkan batu besar itu ke arah kepala Pujo yang berdiri dalam jarak empat meter. Terdengar angin menguik ketika batu besar itu terbang melayang dengan cepat ke arah Pujo.

"Duaaaarrrrr..."

Batu karang yang besar itu hancur luluh dan pecah berhamburan ketika bertemu dengan pukulan ujung-ujung jari tangan Pujo. Hebat dan dahsyatnya bukan kepalang gerakan orang muda ini ketika menyambut batu karang. Jauh lebih hebat dari pada ilmu pukulan Gelap Musti, tidak mengandung hawa panas lagi, akan tetapi mengandung kekuatan yang tak terukur besarnya.

Itulah aji kesaktian yang disebut ilmu Pethit Nogo (Ekor Naga) yang menjadi ilmu simpanan dari Resi Bhargowo. Dengan Ilmu Pethit Nogo inilah puluhan tahun yang lalu Resi Bhargowo membuat nama besar. Dan hanya kepada Pujo seorang ilmu ini diturunkan, bahkan kepada puterinya sendiripun tidak.

Tidak sembarang orang dapat menerima aji ini, karena banyak yang takkan kuat menahan. Dan ilmu inipun merupakan ilmu simpanan yang takkan dipergunakan kalau tidak terpaksa. Sebetulnya, serangan batu karang yang dilontarkan itu tidaklah berbahaya bagi seorang pendekar seperti Pujo, dan tanpa penggunaan Pethit Nogo sekalipun ia tentu akan sanggup menghindar. Akan tetapi Pujo sedang marah dan gelisah melihat isterinya, maka dalam kemarahannya itu ia menghajar batu karang yang menyambamya.

Raden Wisangjiwo sendiri terkejut setengah mati ketika melihat cahaya menyilaukan seperti keluar dari tangan Pujo, menyambar batu karang dan menghancurkannya. Maklumlah ia bahwa Pujo benar-benar merupakan lawan yang amat berat, maka cepat ia meloloskan senjatanya dari pinggang sambil menyimpan Kerang Merahnya. Di lain saat tangannya sudah memegang sebatang cambuk berwama hitam dengan lorek-lorek putih seperti ular belang Bandot, kemudian ia menggerakkan cambuk itu ke atas kepalanya.

"Tar-tar-tar...!"

Ledakan-ledakan seperti halilintar menyambar dan batu karang di langit-langit gua yang terkena ujung cambuk rontok semua berhamburan. Inilah ilmu Cambuk Sarpokenoko yang merupakan inti dari pada kesaktian Ni Durgogini, yang sudah menurun kepada murid tunggalnya yang terkasih.

"Hemm, Raden Wisangjiwo, sesungguhnya di antara kita tidak terdapat permusuhan mengapa, engkau begini mendesakku, bahkan telah melukai isteriku? Aku mengenal cambukmu, apakah kau benar-benar hendak mengadu nyawa?"

"Pengecut Pujo, tak usah banyak cerewet. Saat ini kematianmu sudah di depan mata. Kau mampus dan isterimu menjadi milikku semalam suntuk."

"Keparat...!"

Pujo marah sekali dan menerjang ke depan dengan tangan terbuka. Biasanya dalam ilmu silat pukulan tangan terbuka dilakukan dengan jari-jari tangan saling berapatan dan ibu jari ditekuk ke dalam. Akan tetapi ilmu Pethit Nogo lain lagi, mempunyai keistimewaan tersendiri.

Ilmu Pethit Nogo ini bukan mengandalkan keampuhannya pada pukulan tangan miring atau keampuhan epek-epek (telapakan) tangan. Melainkan mendasarkan keampuhannya pada ujung-ujung jari tangan. Ujung-ujung jari tangan inilah yang menjadi pethit (ekor) naga. Oleh karena itu, jari-jari itu tidak merapat satu kepada yang lain, melainkan terpisah seperti kaki burung garuda, namun lurus-lurus tidak melengkung atau mencengkeram.

"Tar-tar... Wesss Ciuuuttt..."

Cambuk Sarpokenoko benar-benar ampuh sekali, ketika diputar membentuk bayang-bayang hitam namun dayanya seperti halilintar menyambar, hawa pukulannya saja sudah terasa panas dan kalau mengenal tubuh manusia, konon akibatnya seperti sambaran petir, kulit tubuh bisa mlonyoh seperti tersiram air mendidih...!

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.