CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO
KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 15
Dalam perjalanannya itu, ditengah jalan ia melihat seorang pemuda dikeroyok tiga orang dan mereka semua mempergunakan aji kesaktian, maka ia merasa penasaran lalu terjun ke dalam pertempuran tanpa bertanya lagi, membantu pemuda yang dikeroyok sesuai dengan naluri jiwanya yang tidak senang melihat ketidak-adilan. Terjangan Puspa Dewi dahsyat dan ganas sekali. Melihat kehebatan tiga orang yang mengeroyok pemuda itu, Ia sudah mencabut pedangnya. Begitu menerjang dengan pedang pusaka Candrasa Langking, pedang itu berubah menjadi segulungan sinar hitam yang menyambar nyambar!
"Tranggg .....!"
Tasbih di tangan Cekel Aksomolo terpental ketika bertemu dengan pedang di tangan Puspa Dewi sehingga tokoh sesat duplikat Durna itu terkejut dan melompat ke belakang. Puspa Dewi tidak perduli dan ia sudah menyerang Ratu Mayang Gupita dengan pedang hitamnya. Wanita raksasa itupun terkejut karena sambaran pedang itu dahsyat sekali, mengeluarkan suara berdesing dan terasa hawanya yang panas karena mengandung racun yang amat kuat. Ia pun melompat ke belakang dan siap melontarkan pukulan tangan yang mengeluarkan bola api. Namun, begitu ia mendorongkan tangannya, Puspa Dewi sudah menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan Aji Guntur Geni.
"Bresss .....!"
Dua aji pukulan dahsyat itu bertemu di udara dan akibatnya tubuh Puspa Dewi terpental ke belakang. Akan tetapi gadis ini dengan keras kepala sudah menerjang lagi dengan nekat. Pedangnya diputar di depan tubuhnya seperti kitiran, membentuk sinar bergulung-gulung dan menyerang kearah tubuh Ratu Mayang Gupita. Diserang seperti itu, wanita raksasa itu lalu cepat mencabut sebatang keris panjang dari pinggangnya dan menangkis, lalu balas menyerang. Kedua orang wanita itu sudah saling serang.
Sementara itu, Dibyo Mamangkoro yang menyerang Nurseta dengan pukulan Aji Wisangnolo, disambut oleh Nurseta dengan dorongan tangan. Ketika dua pukulan itu bertemu, Dibyo Manmangkoro terhuyung ke belakang. Bantuan Puspa Dewi mengejutkan tiga orang itu dan mereka merasa jerih. Baru melawan Nurseta seorang diri saja mereka bertiga tadi belum mampu mengalahkannya. Kini muncul gadis liar itu yang memiliki ilmu yang liar pula. Maka Ratu Mayang Gupita lalu melompat dan memasuki keretanya yang lalu dilarikan cepat.
Ketika Puspa Dewi hendak mengejarnya, ia disambut oleh belasan orang perajurit pengawal. Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo lalu maju membantu para pengawal karena baru beberapa gebrakan saja, pedang hitam di tangan Puspa Dewi telah merobohkan dua orang perajurit.
Begitu dua orang sakti ini maju dan menyerang, Dibyo Mamangkoro dengan pukulan jarak jauhnya dan Cekel Aksomolo dengan tasbihnya, Puspa Dewi terkejut dan mau tidak mau harus berlompatan ke belakang. Terlalu berbahaya serangan dua orang itu. Begitu ia melompat kebelakang, dua orang tokoh sesat itu lalu melarikan diri bersama para pengawal, mengejar kereta yang ditumpangi Ratu Mayang Gupita yanag lari terlebih dulu.
Puspa Dewi yang nekat itu hendak melakukan pengejaran sambil memaki maki. "Heh, orang-orang pengecut hina, Hendak lari ke mana kalian?"
Akan tetapi terdengar suara di belakangnya, "Puspa Dewi, kukira tidak perlu mengejar mereka."
Dara itu menahan langkahnya dan berbalik dengan cepat, mengamati wajah Nurseta dan bertanya dengan ketus, "Heh...!!! Dari mana engkau mengetahui namaku, hah?"
Nurseta tersenyum. Kegalakan dara itu baginya tampak lucu sekali, seperti melihat seorang anak kecil yang bandel.
"Puspa Dewi, tentu saja aku mengenalmu karena engkau adalah seorang gadis tukang keroyok. Tanpa tahu masalahnya engkau langsung saja mengeroyok dan menyerang!"
"He? Engkau..... tak tahu diuntung, tak mengenal budi! Aku tadi bukan mengeroyokmu, malah membantu kamu yang dikeroyok! Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa aku tukang keroyok?"
"Sekarang memang engkau membantu aku dan untuk itu, biarlah kuucapkan terima kasih. Akan tetapi tempo hari, didusun kita Karang Tirta, tiada hujan tiada angin engkau datang-datang mengeroyok aku!"
"Di..... Karang Tirta.....? Eh, oh, ingat aku sekarang. Engkau adalah Nurseta, kan?"
"Sekarang baru engkau ingat padaku, Biarlah kesalahanmu yang sudah berlalu itu kubikin habis sampai di sini saja karena kesalahan itu telah kau tebus hari ini dengan menolongku terlepas dari ancaman bahaya."
Puspa Dewi menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya sambil memandang wajah Nurseta dengan mata bersinar. "Bagus sekali kita dapat bertemu di sini, Nurseta. Memang aku sedang mencarimu!"
"Hemm, engkau mencari aku, Puspa Dewi? Apakah untuk minta maaf bahwa engkau dahulu itu sudah mengeroyokku bersama Linggajaya?"
"Aku? Minta maaf padamu? Huh, tak tahu diri! Engkaulah yang harus minta maaf padaku karena engkau telah berani mengganggu dan mengancam hendak membunuh ayahku?"
"Siapa hendak membunuh ayahmu?"
"Engkau mengamuk di rumah ayahku dan engkau masih berani pura-pura bertanya lagi?"
"Hemm, aku mempunyai urusan dengan Ki Lurah Suramenggala, bagaimana mungkin engkau menuduh aku mengganggu ayahmu? Apakah Ki Lurah Suramenggala itu....."
"Dia ayahku dan jangan katakan dia jahat!"
"Tapi..... setahu ku engkau adalah anak Bibi Lasmi yang telah janda ....."
"Ibuku telah menjadi isteri Ki Lurah Suramenggala, maka dia adalah ayahku."
Nurseta mengangguk-angguk. Sebagai orang yang pernah bekerja pada lurah itu, tentu saja dia tahu bahwa Ki Lurah Suramenggala sudah mempunyai isteri bahkan setahu dia lurah itu sudah mempunyai dua orang selir. Hemm, tentu Bibi Lasmi menjadi selirnya yang ke tiga, pikirnya.
"Ooh, begitukah?" kata Nurseta sambil memandang wajah yang cantik jelita itu.
Memang Puspa Dewi kini telah menjadi seorang dara yang dewasa dan cantik jelita. Dulu, ia seorang gadis remaja yang sederhana seperti gadis desa pada umumnya, pakaiannya sederhana dan sikapnya lembut dan pemalu. Akan tetapi kini, sungguh perubahan besar telah terjadi pada diri dara itu.
Dalam usianya yang sekitar Sembilan belas tahun itu, ia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Kulitnya putih kuning mulus, tubuhnya sedang dan padat dengan lekuk lengkung sempurna dan menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dan di dahinya serta pelipisnya, sinom (anak rambut) melingkar-lingkar indah. Alisnya melengkung melindungi sepasang mata yang bersinar-sinar seperti bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya segar merah membasah.
Tahi lalat hitam kecil di dagu itu menambah kemanisannya. Dan yang mencolok sekali, sikapnya yang dulu pendiam dan pemalu itu, kini sama sekali berubah. Kini ia menjadi seorang dara sakti mandraguna yang lincah dan tampak liar dan ganas! Juga pakaiannya serba mewah dan indah, seperti seorang puteri saja! Tentu saja ia sama sekali tidak menyangka bahwa memang Puspa Dewi telah menjadi seorang puteri, menjadi Puteri Sekar Kedaton (Puteri Bunga Istana) Kadipaten Wura wuri.
"Tadi engkau mengatakan bahwa engkau memang sedang mencari aku... Nah, kita sekarang telah saling bertemu di tempat ini. Lalu apa yang kau inginkan dariku, Puspa Dewi?"
"Pertama, aku ingin membalaskan penghinaan mu terhadap ayahku ....."
"Ayah tirimu Ki Lurah Suramenggala itu?"
"Ya, ayah tiriku. Engkau telah bertindak sewenang-wenang dan menghinanya."
"Tenang dulu, Puspa Dewi. Sangat tidak adil kalau engkau hanya mendengarkan keterangan sepihak. Kau tahu apa yang telah dilakukan Ki Suramenggala padaku? Pertama, dia yang menyebabkan orang tuaku terpaksa melarikan diri dari Karang Tirta. Kedua, dia telah menipuku, membeli rumah dan pekarangan serta ladang orang tuaku hanya dengan memberi aku makan selama tiga tahun, itupun aku harus bekerja sebagai bujang untuknya. Ketiga, ketika aku datang untuk menanyakan tentang orang tuaku padanya, dia menyuruh para jagoannya untuk mengeroyok dan memukuli aku. Keempat, ternyata dia bersahabat dengan kepala gerombolan yang merampok di dusun Karang Sari. Nah, itulah sebabnya, aku menghajarnya, Puspa Dewi. Kalau engkau hendak membelanya, maka jelas bahwa engkau membela orang yang bersalah, engkau ikut salah juga. Kalau dia menjadi ayah tirimu, kewajibanmu adalah untuk menyadarkan dia agar kembali ke jalan benar, tidak memeras rakyatnya dan tidak bertindak sewenang-wenang."
Wajah gadis itu berubah merah, la memang sudah menduga bahwa ayah tirinya bukan orang baik-baik dan sebetulnya ia sendiri juga menyesal dan kecewa mengapa ibunya mau dijadikan selir lurah itu.
"Hemm, akan kuselidiki dan kalau benar semua keteranganmu, aku pasti akan menyadarkannya. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang lebih penting, yaitu aku memenuhi pesan guruku agar mencarimu."
"Hemm, siapa gurumu itu? Kalau menyuruhmu mencariku berarti dia sudah mengenal aku. Dan mengapa dia menyuruh engkau mencariku, Puspa Dewi?"
"Guruku adalah ibu angkatku dan juga bernama Nyi Dewi Durgakumala dan kini menjadi Permaisuri Adipati Wura-wuri" kata Puspa Dewi dengan nada bangga.
Nurseta memandang ke arah pakaian dan perhiasan yang dipakai Puspa Dewi dan mengertilah dia kini. Keterangan ini sudah menjelaskan segalanya. Nyi Dewi Durgakumala adalah wanita cantik sakti yang dulu menculik Linggajaya. Kenapa malah sekarang Puspa Dewi yang dulu diculik oleh Resi Bajrasakti yang menjadi murid wanita itu?
Dia teringat akan Linggajaya yang kini juga sakti mandraguna. Kalau begitu, tentu Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Agaknya mereka berdua itu saling bertukar anak yang mereka culik. Dan diapun tidak heran melihat Puspa Dewi begitu berubah. Murid Nyi Dewi Durgakumala, datuk wanita sesat itu tentu saja menurunkan wataknya kepada muridnya, dan tidak aneh pula kalau Puspa Dewi memakai pakaian mewah dan perhiasan serba gemerlapan karena dara itu telah menjadi puteri Adipati Wura-wuri!
"Hemm, kiranya engkau sekarang telah menjadi anak lurah juga puteri adipati! Hebat! Lalu apa maksud Nyi Dewi Durgakumala atau Gusti Permaisuri Adipati Wura-wuri itu mengutusmu mencari aku? ...
"Serahkan keris pusaka Sang Megatantra kepadaku, Nurseta!" kata Puspa Dewi.
"Ohh... jadi itukah yang dikehendakinya? Apa hak gurumu dan engkau minta Sang Megatantra itu, Puspa Dewi? Pusaka Itu bukan milikmu atau milik gurumu"
"Jangan banyak cerewet. Serahkan Megatantra atau aku akan merampas dengan kekerasan!"
"Pusaka Megatantra adalah hak milik Sang Prabu Erlangga di Kahuripan."
Tidak perduli, serahkan Megatantra padaku!" kata Puspa Dewi dengan alis berkerut.
"Bagaimana aku dapat menyerahkan Megatantra kepadamu kalau pusaka itu tidak berada di tanganku?"
"Bohong! Guruku mengatakan bahwa engkaulah yang menemukan pusaka itu daerah pantai Laut Kidul!"
"Benar, akan tetapi sekarang pusaka itu tidak berada padaku."
"Sudah kau serahkan kepada Sang Prabu Erlangga?"
"Belum, akan tetapi ....."
"Kalau begitu, berarti masih ada padamu?"
"Juga tidak, pusaka itu tidak ada padaku."
"Lalu di mana?"
Nurseta menggelengkan kepalanya. Sungguh aneh, pikirnya. Dara ini bersikap begini galak dan liar, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi tak senang atau marah. Agaknya tidak mungkin dia dapat marah kepada wajah yang manis dan yang amat menarik hatinya itu. "Sayang, aku tidak dapat memberitahukan hal itu kepadamu."
"Nurseta! Kalau begitu engkau menantang aku?" bentak Puspa Dewi marah.
Nurseta tersenyum. "Puspa Dewi, aku tidak pernah menantangmu. Di antara kita berdua tidak ada urusan apapun yang patut dipertentangkan. Kalau gurumu menghendaki Megatantra dariku, katakan saja bahwa Megatantra tidak ada padaku. Aku tidak berbohong dan selebihnya aku tidak dapat memberi tahu apa-apa lagi. Puspa Dewi, aku tahu bahwa engkau seorang dara perkasa yang baik hati, buktinya tadi engkau tidak suka melihat orang dikeroyok secara tidak adil dan membantu. Sadarilah bahwa Megatantra itu hak milik Kerajaan Kahuripan. Amat tidak baik menginginkan hak milik lain orang."
"Tidak perlu memberi wejangan! Cepat katakan di mana sekarang Sang Megatantra!" bentak Puspa Dewi jengkel
"Maaf, aku tidak dapat mengatakannya, Puspa Dewi."
"Keparat, kalau begitu aku harus menggunakan kekerasan memaksamu" kata dara itu dan ia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kaki agak ditekuk yang kanan di depan dan yang kiri ke belakang, kedua lengan dipentang seperti burung terbang. Itulah pembukaan dari Aji Guntur Geni.
Melihat sikap dan gerakan gadis itu diam-diam Nurseta kagum. Sungguh dara itu tampak gagah bukan main. "Terserah kepadamu, Puspa Dewi. Akan tetapi yang menghendaki perkelahian bukan aku, melainkan engkau." Kata Nurseta dengan sikap tenang dan dia berdiri santai saja menanti gadis itu menyerang lebih dulu.
"Sambut seranganku Hyaaaaattt .....!" Dara itu sudah membuka serangan. Cepat seperti kilat menyambar tubuhnya sudah menerjang ke depan, kedua lengan yang tadinya dipentang itu meluncur dengan cepat sekali, yang kanan memukul kearah leher Nurseta dengan tangan miring, di susul tangan kiri yang mencengkeram kearah perut pemuda itu! Bukan cengkraman biasa karena ia sudah menggunakan Aji Wisakenaka dalam cengkeraman itu sehingga kuku-kuku jarinya mengandung racun dan sekali menggores kulit lawan, kalau sampai terluka, dapat mendatangkan bahaya maut seperti gigitan ular berbisa!
"Hemm .....!" Nurseta melihat datangnya serangan yang berbahaya dan juga ganas itu. Dia telah menggunakan Aji Bayu Sakti dan tubuhnya sudah berkelebat, menghindar dari serangan kedua tangan gadis itu. Akan tetapi setelah serangan pertamanya luput dan gagal, Puspa Dewi sudah menyusulkan serangan beruntun dengan cepat dan kuat.
Setelah beberapa kali mengelak, Nurseta lalu melayani dara itu dengan gerakan silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan dan terkadang melompat tinggi seperti seekor bangau terbang. Perkelahian berlangsung seru, saling serang dengan hebat. Namun sesungguhnya, Nurseta tentu saja tidak benar-benar dalam serangannya, tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya dan sama sekali tidak bermaksud melukai gadisl itu. Dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai, akan tetapi hal ini sungguh amat sukar karena sepak terjang Puspa Dewi hebat dan ganas. Setelah menahan semua serangan gadis itu dan terkadang membalas yang dapat pula dihindarkan Puspa Dewi, gadis itu menyerang dengan pukulan Guntur Geni yang mendatangkan hawa panas. Pukulan tangan kanan terbuka itu mengarah dada Nurseta. Melihat serangan ini, Nurseta mendapatkan kesempatan untuk mencapai maksudnya, yaitu mengalahkan tanpa melukai. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dari samping.
"Wuuuttt ..... dessss .....!!" Tubuh Puspa Dewi terdorong dari samping dengan kuatnya sehingga hampir saja ia terpelanting. Akan tetapi ia dapat berlompatan dan berjungkir balik tiga kali sehingga tidak sampai jatuh, hanya terhuyung saja. Namun hal itu sudah jelas menunjukkan bahwa ia kalah dalam pertandingan silat tangan kosong itu. Bukannya menerima dan mengakui kekalahannya, Puspa Dewi yang keras kepala dan keras hati itu malah menjadi semakin penasaran dan marah.
"Hemm, Nurseta! Aku belum kalah! cabut senjatamu keris pusaka Megatantra dan coba lawan pedangku ini!" Gadis itu menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar hitam berkilauan dan tahu tahu Pedang Hitam Candrasa Langking sudah berada di tangannya.
"Sudah ku katakan bahwa Sang Megatantra tidak ada padaku dan aku tidak biasa menggunakan senjata, Puspa Dewi. Sudahlah, untuk apa kita bertanding? Biar aku mengaku kalah dan anggap saja engkau menang. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Puspa Dewi. Ingat, kita adalah orang-orang sedusun, sama sama berasal dari Karang Tirta." Nurseta membujuk.
"Kau pilih saja salah satu. Memberi tahu kepadaku di mana sekarang keris pusaka Sang Megatantra atau kalau engkau tidak mau mengatakannya, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memaksamu dengan pedangku ini!"
"Wah, engkau ini nekat benar, Puspa Dewi. Sudah kukatakan bahwa keris pusaka itu tidak ada padaku dan keris pusaka itu adalah milik Sang Prabu Erlangga di Kahuripan karena itu merupakan pusaka Mataram yang harus diserahkan kepada keturunan raja Mataram. Untuk apa engkau nekat ingin memilikinya?"
"Tak perlu banyak cakap lagi. Aku hanya mentaati perintah guru atau ibu angkatku. Nah, katakan dimana Sang Megatantra!"
"Nurseta menggeleng kepalanya. "Tidak akan kukatakan kepada siapa juga."
"Kalau begitu sambutlah Candrasa Langking ini!" Puspa Dewi yang sudah merasa penasaran sekali karena tadi dalam pertandingan tangan kosong ia dikalahkan Nurseta, kini sudah maju dan menyerang dengan pedang hitamnya, tidak perduli bahwa Nurseta tidak membawa senjata.
Pedangnya menyambar nyambar seperti kilat. Nurseta cepat menggerakkan tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti untuk mengatasi kecepatan sambaran pedang dan tubuhnya berkelebatan diantara gulungan sinar pedang hitam. Permainan pedang dara itu memang hebat sekali dan akhirnya Nurseta terdesak juga karena dia tidak mau membalas dengan pukulan yang ampuh, takut kalau melukai gadis itu. Akan tetapi kalau terus mempertahankan diri dengan mengelak, akhirnya dia akan terancam bahaya juga karena pedang hitam itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.
Terpaksa Nurseta lalu mengerahkan ajinya yang jarang dipergunakan, yaitu Aji Sirnasarira. Tiba-tiba saja Puspa Dewi mengeluarkan jeritan tertahan karena tiba-tiba ia kehilangan lawannya, tubuh Nurseta lenyap dan selagi ia meragu dan bingung mencari-cari bayangan Nurseta, siku kanannya ditepuk jari-jari tangan yang kuat sekali namun tidak tampak dan seketika lengan kanannya menjadi lumpuh dan tak dapat ditahannya lagi pedang hitam yang dipegangnya itupun terlepas dari tangannya. Ia terkejut sekali dan pada saat itu ia dapat melihat Nurseta lagi yang sudah berdiri sambil tersenyum kepadanya.
Sejenak Puspa Dewi memandang nanar, tidak percaya akan apa yang dialaminya tadi. Tidak mungkin Nurseta menghilang lalu menyerangnya dengan tubuh yang tidak tampak! tetapi kenyataannya, lengannya masih kesemutan dan pedangnya sudah menggeletak di atas tanah, terlepas dari pegangannya. Biarpun begitu, gadis yang berhati keras ini masih penasaran dan belum yakin bahwa dapat dikalahkan sedemikian mudahnya.
Maka sambil menggigit bibir sendiri cepat menyambar pedangnya lagi dan kini mulutnya mengeluarkan jerit yang menggetarkan sekeliling tempat itu. Itulah Aji Jerit Guruh Bairawa! Dengan jerit ini saja, Puspa Dewi sudah mampu membuat lawannya tergetar hebat dan roboh. Dengan jeritnya yang dahsyat ini masih menyayat udara, ia sudah menggerakkan pedangnya lagi, menyerang dengan sekuat tenaga, pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta!
"Singgg .....!" Pedang itu menyambar lebih dahsyat daripada tadi karena didukung dan didorong oleh Jerit Guruh Bairawa yang melengking nyaring! Namun dengan gerakan yang lebih cepat lagi, Nurseta sudah menghindar dengan loncatan ringan ke belakang sehingga pedang itu hanya menyambar angin. Namun, Puspa Dewi yang sudah marah sekali dan hatinya dipenuhi rasa penasaran, sudah meloncat mengejar dan pedangnya berputar-putar sehingga berubah menjadi gulungan sinar yang berkelebatan mengirim serangan bertubi-tubi.
Tubuh Nurseta melompat ke atas dan "lessss .....!" tubuh itu sudah lenyap lagi dari pandangan Puspa Dewi! Dara itu kembali menjadi bingung akan tetapi kemarahannya makin berkobar, la mengamuk dan mengobat-abitkan pedangnya membacok ke sana-sini dengan ngawur.
"Keparat kau, Nurseta! Hayo perlihatkan dirimu, jangan pergunakan ilmu setan!"
Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya ditangkap tangan yang tak tampak dan tahu-tahu pedangnya telah dirampas. Pedang itu kini melayang dan tampaklah tubuh Nurseta dan pemuda itu berdiri depannya sambil memegang pedang hitam yang sudah dirampasnya!
"Puspa Dewi, untuk apa kita lanjutkan pertandingan ini? Ilmu pedangmu hebat sekali, aku tidak kuat melawannya. Sudahlah, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian, Nurseta melemparkan pedang itu ke arah Puspa Dewi.
Dara itu terkejut melihat pedangnya meluncur dan mengancam dirinya, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba pedang itu membalik meluncur ke arahnya dengan gagang depan. Hatinya menjadi lega dan cepat ia menyambut pedang itu dan menyimpannya kembali ke sarung pedang. Percuma saja menyerang lagi. Kalau Nurseta dapat menghilang seperti itu, bagaimana mungkin ia akan mampu mengalahkannya?
"Huh, kau ..... curang!" Dara itu menggerutu dengan bibir meruncing cemberut dan matanya dilebarkan. Dalam keadaan begitu, dara itu malah tampak semakin manis dalam pandangan Nurseta.
"Jangan kau menggunakan ilmu setan yang membuat engkau bisa menghilang seperti setan!"
Nurseta tersenyum. "Puspa Dewi, ilmu Ilmu disebut ilmu setan kalau penggunanya untuk mencelakai orang. Engkau sendiri mempergunakan ilmu-ilmu yang mengandung hawa beracun, bahkan pedangmu itupun beracun sehingga kalau seranganmu mengenai lawan, lawan akan tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi aku sama sekali tidak mencelakaimu. Sekarang ku ingatkan engkau sekali lagi, Puspa Dewi. Engkau seorang dara muda namun telah menguasai banyak aji yang dahsyat, sayang kalau engkau menjadi orang sesat yang mempergunakan ilmumu untuk membunuh atau melukai orang yang tidak bersalah. Ketahuilah bahwa keris pusaka Megatantra memang aku yang menemukan, dan aku hendak mengembalikan kepada yang berhak, yaitu Sang Prabu Erlangga dari Kerajaan Kahuripan. Akan tetapi sungguh celaka, dalam perjalananku, keris pusaka itu dicuri orang karena kelengahanku. Aku tertipu dan Pusaka itu dilarikan orang. Akan tetapi aku harus merampasnya kembali dari tangan si pencuri."
Mendengar semua ucapan Nurseta, di lubuk hatinya Puspa Dewi membenarkan kata-kata pemuda itu. Kebenaran yang tak dapat dibantah, Pikir gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang condong membela kebenaran itu. Hanya karena pengaruh sifat gurunya dan pengaruh lingkungan, maka menjadi liar dan ganas. Namun tetap saja ia selalu mempertahankan keadilan maka mendengar ucapan Nurseta itu ia diam-diam menbenarkan.
"Akan tetapi aku hanya menaati perintah guruku yang juga ibu angkatku, Permaisuri Kadipaten Wura-wuri .....!" katanya seolah membantah suara hatinya yang membenarkan Nurseta.
"Bukankah seorang murid harus berbakti dan setia pada gurunya yang telah melepas banyak budi?"
"Benar sekali kata-katamu itu, Puspa Dewi. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya, itu merupakan suatu kewajiban seorang murid yang baik dan tahu membalas budi. Akan tetapi ada kewajiban lain yang lebih penting lagi, Puspa, yaitu kewajiban sebagai seorang manusia. Karena itu, setiap tugas harus diperhitungkan dengan prikemanusiaan. Kalau tugas yang diberikan guru itu menyimpang dari kemanusiaan, maka kita tidak perlu melaksanakannya. Menyimpang dari prikemanusiaan berarti kejahatan dan haruskah seseorang membantu orang lain melakukan kejahatan, biarpun orang lain itu gurunya sendiri? Tidak, Puspa, engkau bukan seorang gadis yang jahat. Karena itu, tugas yang bersifat jahat amat tidak cocok dan tidak pantas kaulakukan!"
Puspa Dewi menjadi semakin bimbang, ia lalu mengangguk-angguk.
"Baiklah, aku akan mengatakan kepada guruku bahwa perintahnya untuk merampas Megatantra yang menjadi hak milik orang lain itu adalah tidak benar dan jahat sehingga aku berani melanggar perintahnya. Masih ada tugas lain yang tidak kalah pentingnya dan dapat kulakukan dengan berhasil baik."
Senang hati Nurseta mendengar ucapan ini. Kata-kata dara itu menunjukkan bahwa Puspa Dewi belum rusak betul masih mampu menyadari kesalahannya dan dapat mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah.
"Bagus! Aku girang mendengar bahwa engkau tidak akan membantu guru memperebutkan Sang Megatantra lagi Puspa Dewi."
Kini Puspa Dewi menatap wajah Nurseta dan sinar matanya bersinar-sinar!
"Nurseta, engkau ..... engkau percaya padaku?"
"Tentu saja aku percaya padamu Puspa Dewi. Engkau tadi sudah begitu baik menolongku dari pengeroyokan tiga orang itu. Ratu Mayang Gupita tadi sungguh berbahaya, sakti dan kejam sekali. Juga dua orang yang membantunya, Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo,memiliki ilmu kepandaian yang hebat."
"Hemm, jadi raksasa wanita tadi adalah Ratu Mayang Gupita?"
"Ya, ia ratu dari Kerajaan Siluman laut Kidul."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya, dipati Bhismaprabhawa yang menjadi ayah angkatnya itu berpesan kepadanya agar bekerja sama dengan para kadipaten, termasuk Kadipaten Siluman Laut Kidul untuk menentang Kahuripan. Hemm, tak senang hatinya diharuskan bekerja sama dengan orang seperti raksasa wanita tadi!
"Dan kenapa mereka bertiga itu menyerang dan mengeroyokmu?"
"Mula-mula Ratu Mayang Gupita itu yang menyerangku karena seperti juga gurumu, ia ingin minta Sang Megatantra dariku. Lalu kedua orang yang merupakan tokoh-tokoh sesat itu membantunya."
"Nurseta, sekali lagi aku bertanya, apakah engkau benar percaya kepadaku bahwa aku tidak akan memperebutkan keris pusaka Megatantra lagi?"
Nurseta mengangguk. "Aku percaya padamu, Puspa."
"Kalau begitu, buktikan kepercayaanmu padaku itu dengan mengatakan siapa orangnya yang sudah mencuri pusaka itu dari tanganmu." Ia berhenti sebentar memandang tajam lalu melanjutkan "Kalau engkau tidak mau berterus terang, itu menandakan bahwa engkau berbohong dan sebetulnya engkau masih tidak percaya kepadaku."
Nurseta mengerutkan alisnya. Gadis ini sungguh cerdik, pikirnya. Ucapan itu menyudutkannya dan membuat dia tidak berdaya. Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh, maka dia cepat berbalik mengajukan pertanyaan.
"Hemm, jawablah dulu pertanyaaan ini, Puspa Dewi. Kalau engkau mengetahui siapa pencurinya, kemudian pada suatu saat engkau bertemu dengannya lalu apa yang akan kau lakukan? kau rampas Sang Megatantra itu lalu serahkan kepada gurumu?"
"Hemm, bukankah aku sudah berjanji tidak akan merampas keris pusaka untuk guruku? Andaikata aku merampasnya dari pencuri itu, tentu bukan kepada guruku pusaka itu kuserahkan, melainkan kepadamu!"
"Benarkah itu, Puspa Dewi? Ah, aku girang sekali! Akan tetapi kenapa tidak langsung saja kauhaturkan kepada Sang Prabu Erlangga, andaikata keris pusaka itu dapat kau rampas dari si pencuri?"
"Hemm, tidak mungkin. Aku bukan punggawa Kahuripan, dan ingat, aku adalah Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri!"
"Ah, benar juga. Nah, dengarkan baik-baik. Dalam perjalanan aku bertemu dengan Raden Hendratama yang ternyata adalah seorang pangeran, masih keluarga sang Prabu Erlangga sendiri. Dialah yang menipuku dan mencuri keris pusaka Sang megatantra itu."
"Hemm, Pangeran Hendratama? Belum pernah aku mendengar nama itu. Betapa pun juga, terima kasih, Nurseta. Ternyata engkau benar-benar percaya kepadaku."
"Ada satu hal yang ingin kuketahui, Puspa Dewi. Kalau aku tidak keliru, dulu engkau diculik oleh Resi Bajrasakti, sedangkan Linggajaya diculik oleh Nyi Dewi Durgakumala. Akan tetapi mengapa tahu-tahu engkau dan Linggajaya yang ketika itu sudah kusuruh melarikan diri dapat tertangkap lagi dan engkau menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala?
Puspa Dewi menghela napas panjang. "Aku dan Linggajaya melarikan diri dan saking takutnya kami berpencar. Tiba-tiba aku ditawan oleh Nyi Durgakumala dan diambil sebagai murid. Aku bersyukur sekali. Aku masih merasa ngeri membayangkan tertawan oleh raksasa Resi Bajrasakti itu. Setelah aku bertemu Linggajaya, aku mendengar dari dia bahwa ternyata diapun tertawan Resi Bajrasakti dan menjadi muridnya. Kemudian aku diambil anak angkat oleh Nyi Durgakumala dan ketika ia menjadi permaisuri Raja Bhismaprabhawa dari Kerajaan Wura-wuri, aku menjadi Sekar Kedaton.
"Wah, hebat sekali engkau, Puspa Dewi. Sudah menjadi murid seorang sakti mandraguna, masih diangkat menjadi puteri istana lagi! Dan sekarang, engkau hendak pergi kemanakah?"
Puspa Dewi tersenyum. "Tidak perlu aku menceritakan semua urusanku, Nurseta. Aku masih mempunyai tugas-tugas lain yang harus kulaksanakan dengan baik setelah tugas merampas keris pusaka Megatantra kubatalkan. Nah, selamat berpisah, Nurseta."
"Selamat berpisah, Puspa Dewi. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa dalam keadaan yang lebih baik, tidak perlu kita harus saling bermusuhan."
Kedua orang muda itu lalu berpisah. Puspa Dewi melompat ke atas punggung Bajradenta, kuda putih pemberian Adipati wura-wuri yang tadi ia tambatkan tak jauh dari situ. Nurseta mengikuti bayangan dara perkasa yang membalapkan kuda putihnya itu dan dia menghela napas panjang.
Biarpun baru sebentar dia mengenal Puspa Dewi, namun dia telah dapat meraba watak gadis yang menarik hatinya itu. Seorang gadis yang memiliki dasar watak yang baik dan gagah, pembela keadilan, namun sifatnya dipengaruhi gurunya sehingga menjadi binal, ganas dan galak. Sayang kalau gadis seperti itu tidak mendapatkan bimbingan yang baik, bisa saja menjadi sesat.
Dan dia..... dia akan senang sekali kalau mendapat kesempatan memberi bimbingan kepada Puspa Dewi! Perasaan cintakah ini? Dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, belum pernah dia merasakan seperti ini. Tiga orang selir Pangeran Hendratama dengan genit berusaha merayunya, namun dia sama sekali tidak tertarik, tidak bergairah, bahkan dia merasa muak dengan sikap mereka yang genit.
Kepada Widarti, selir termuda Pangeran Hendratama yang bersikap baikpun dia tidak tertarik, hanya merasa iba kepada gadis yang terpaksa menjadi selir pangeran itu. Kemudian Ki Lurah Warsita, lurah dusun Karang Sari, ingin menjodohkan dia dengan Kartiyah, puterinya, akan tetapi diapun sama sekali tidak tertarik. Baru sekarang dia merasa tertarik sekali kepada seorang gadis, yaitu kepada Puspa Dewi.
Nurseta mengusir semua lamunan Itu dari hati dan pikirannya dan melanjutkan perjalanannya. Masih ada dua buah tugas yang harus dia selesaikan sebelum tugas terakhir, yaitu membantu Kerajaan Kahuripan. Kedua buah tugas itu ialah, pertama mencari Senopati Sindukerta yang pernah dilapori tentang orang tuanya sehingga orang tuanya ketakutan dan melarikan diri.
Dari senopati ini agaknya dia akan bisa mendapatkan keterangan tentang orang tuanya. Kedua, dia harus mencari Pangeran Hendratama untuk merampas kembali keris pusaka Megatantra untuk dihaturkan kepada Sang Prabu Erlangga seperti yang dipesan oleh mendiang Empu Dewamurti. Teringat akan tugas-tugasnya ini, Nurseta mempercepat jalannya.
Dua orang itu berdiri saling berhadapan di sebuah puncak sebuah bukit kapur gersang di daerah pegunungan kidul yang memiliki ratusan, bahkan ribuan bukit itu. Bukit itu tandus karena tanahnya mengandung banyak kapur dan jauh dari pedusunan. Siapa mau tinggal di daerah yang gersang dan tidak dapat ditanami apa-apa itu?
Dua orang itu berdiri di situ, sejak tadi tak bergerak seperti arca. Suasananya sepi karena selain mereka berdua, di bukit itu dan sekitarnya, di pegunungan kapur itu memang jarang dikunjungi manusia. Yang seorang adalah seorang wanita yang usianya sudah lima puluh tahun, namun wajahnya masih tampak cantik, belum tampak dihias keriput. Juga tubuhnya masih padat dan sehat sehingga bagi yang tidak mengenalnya, tentu mengira ia berusia sekitar tiga puluh tahun.
Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan serba hitam, meskipun terhias coretan kembang di sana-sini. Rambutnya di gelung seperti kebiasaan wanita Bali, digelung dan ditekuk dengan ciri khas, masih dihias ronce-ronce kembang melati, sepasang matanya mencorong sehingga melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa wanita ini bukanlah orang sembarangan.
Memang ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang sakti mandraguna, seorang yang menguasai banyak aji kanuragan dan sihir, yang selama puluhan tahun ia latih dari para pendeta dan pertapa di Nusa Bali. Adapun yang berdiri dengan sikap tenang di depannya adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh dua tahun. Kalau wanita itu berpakaian serba hitam, maka pria itu berpakaian serba putih bersih dan sederhana sekali. Hanya merupakan kain putih yang dilibat-libatkan di tubuhnya.
Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai lepas di pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya juga panjang namun terawat bersih dan rapi. Wajah laki-laki inipun masih memperlihatkan bekas ketampanan, pandangan matanya lembut namun penuh wibawa, mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran dan gerak geriknya lembut. Sungguh merupakan kebalikan dari wajah wanita itu yang tampak muram dan murung, seperti wajah orang yang sakit hati atau sedang susah dan muram.
"Yayi Gayatri ....." terdengar suara laki-laki itu lembut. Akan tetapi segera dipotong oleh suara wanita itu yang terdengar ketus.
"Kakang Ekadenta, namaku sekarang bukan lagi Gayatri.
Gayatri sudah mati dan yang ada ialah Nini Bumigarbo!"
Pria itu tersenyum sabar. "Baik sekali, Nini Bumigarbo dan ketahuilah, aku sendiri sekarang juga memakai nama Bhagawan Jitendriya. Nini Bumigarbo, mengapa engkau tiada henti-hentinya berusaha untuk menentang bahkan membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama dari Kahuripan?"
"Hemm, Bhagawan Jitendriya, engkau masih berpura-pura tanya sebabnya kalau engkau sendiri terlibat di dalamnya? Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah murid-murid Sang Resi Satyadharma di Gunung Agung Nusa Bali. Karena tidak mungkin aku dapat membunuh Resi Satyadharma yang sakti mandraguna seperti dewa, maka satu-satunya jalan untuk membalas dendam dan menghilangkan rasa penasaran di hatiku hanyalah membunuh kedua orang muridnya itu."
"Aduh, yayi (dinda) Gayatri .....! Eh, maksudku Nini Bumigarbo, kenapa engkau yang dulu amat membanggakan hatiku memiliki adik seperguruan yang cantik lahir batin, sakti mandraguna, kini dapat tersesat dan membiarkan racun kebencian mengeram di dalam hatimu? Sudah berulang kali kujelaskan kepadamu bahwa Sang Resi Satyadharma sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak mempunyai kesalahan terhadap dirimu. Mengapa engkau menanam dendam kebencian sedemikian mendalam terhadap dia? Engkau akan kesiku (bersalah) kepada para dewata, yayi!"
"Tidak berdosa, tidak bersalah kepadaku? Itu adalah pendapat mu, karena engkau tidak merasakan, Kakang Ekadenta! Sejak muda remaja kita telah saling mencinta. Sejak dulu aku mendambakan engkau sebagai calon jodohku dan aku menolak semua pinangan pria, para pendekar, bahkan pangeran dan adipati kutolak semua karena hanya engkaulah satu-satunya pria di dunia ini yang ku inginkan menjadi suamiku. Engkaupun telah menyatakan cintamu kepadaku dan kita sudah sama berjanji untuk menjadi suami isteri. Akan tetapi engkau bertemu dan berguru kepada Resi Satyadharma dan dia yang membujuk dan mengajarmu agar engkau tidak menikah selama hidup, sejak itu engkau memutuskan hubungan cinta kita. Dan engkau kini mengatakan bahwa dia tidak bersalah padaku?"
"Benar, yayi, beliau sama sekali tidak bersalah. Sang Resi Satyadharma hanya menasihatkan agar aku tidak menikah dan mengikat diriku dengan keluarga, sama sekali beliau tidak menyinggung tentang dirimu karena beliau tidak mengenalmu dan tidak tahu bahwa dulu kita saling mencinta. Jadi yang memutuskan hubungan itu adalah aku sendiri. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa aku tidak cinta padamu, yayi. Cinta tidak harus dihubungkan dengan pernikahan, dengan berahi. Cintaku padamu lebih murni, lebih mendalam dan lebih tinggi."
"Omong kosong! Engkau tentu tahu bahwa karena penolakanmu itu, karena engkau menjauhi aku, engkau telah membuat aku patah hati, engkau telah membuat hidupku merana, kecewa, dan penasaran. Karena itu, bagaimanapun juga aku sekarang akan pergi membunuh Erlangga dan Narotama"
"Itu tidak adil, yayi. Kalau engkau menganggap Resi Satyadharma yang bersalah, kenapa tidak kau kunjungi beliau di Gunung Agung dan berhitungan dengan beliau?"
"Huh, aku bukan seorang tolol, kakang! Aku tahu, biar aku menambah ilmu-ilmu sampai seratus tahun lagi, aku tidak akan mampu mengalahkan Resi Satyadharma. Karena itu, aku akan membunuh dua orang muridnya itu!"
"Yayi, kalau engkau merasa hidupmu merana karena aku, mengapa engkau tidak membunuh aku saja?"
"Tidak, aku harus membunuh dua orang murid resi itu agar dia merasai betapa pedihnya kehilangan orang yang di cintanya!" kata Gayatri atau Nini Bumigarbo dengan kukuh.
"Hemm, karena aku tahu benar bahwa tindakanmu itu menyimpang dari kebenaran dan keadilan, maka terpaksa aku menentangmu, Yayi Gayatri. Aku yang akan menghalangi kalau engkau hendak membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama."
Sepasang mata itu berkilat dan sepasang alis yang masih hitam melengkung Itu bergerak-gerak. "Babo-babo, Kakang Ekadenta, engkau menantangku? Engkau, yang dulu menjadi kekasihku yang amat mencintaku dan menjadi kakak seperguruanku, kini hendak memusuhi aku? Kau kira aku takut padamu, kakang? Ingat, aku bukan Gayatri yang dulu. Aku telah memperdalam ilmu-ilmuku. Sekarang begini saja, kakang, daripada kita bermusuhan, mari kita putuskan begini saja. Sekarang kita mengadu kesaktian. Kalau kau kalah, maka engkau harus lepas tangan dan tidak mencampuri urusanku dengan Erlangga dan Narotama. Sebaliknya kalau aku yang kalah, aku akan mundur dan berjanji tidak akan membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Bagaimana, kakang?"
Bhagawan Ekadenta atau Bhagawan Jitendriya menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. "Yayi Gayatri, engkau adalah adik seperguruanku. Sudah berapa kali selama tiga puluhan tahun ini engkau dalam kemarahanmu menyerangku? Engkau selalu kalah. Sekarangpun engkau tidak akan menang melawan aku yayi. Untuk apa kita bertanding lagi? Sudahlah, lebih baik buang semua dendam kebencian itu dan mari ikut aku bertapabrata. Aku akan menuntunmu ke jalan kebenaran yang akan menerangi kehidupanmu."
"Babo-babo, kakang! Jangan memandang rendah Gayatri! Sekarang engkau tidak akan menang dan aku pasti akan dapat membunuh Erlangga dan Narotama..heh-heh-hi-hi-hik!"
Wanita itu tertawa terus, cekikikan dan diam-diam Bhagawan Ekadenta terkejut dan cepat dia mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi telinga dan jantungnya. Suara tawa Nini Bumigarbo demikian dahsyat makin lama semakin kuat menimbulkan getaran amat kuat, seperti gelombang lautan yang makin lama makin mengganas. Bahkan beberapa ekor burung derkuku yang sedang berada dibalik batu-batu kapur, terkejut mendengar suara yang menggetarkan udara itu. Mereka terbang ke atas akan tetapi getaran suara tawa itu menyerang mereka dan burung-burung itu berjatuhan dan mati seketika!
Hebat bukan main serangan Nini Bumigarbo melalui getaran suara tawanya itu. Bhagawan Ekadenta sudah melindungi dirinya dengan tenaga saktinya. Dia berdiri tegak dan memejamkan dua matanya. Namun, betapapun juga, tubuhnya bergoyang-goyang saking hebatnya serangan melalui suara tawa itu.
Nini Bumigarbo yang memandang dengan sinar mata tajam ke arah Bhagawan Ekadenta, menjadi penasaran sekali melihat tubuh bekas kakak seperguruan dan kekasihnya itu hanya bergoyang-goyang tubuhnya akan tetapi tidak roboh. Banyak tokoh sakti yang roboh hanya oleh serangan suara tawanya itu.
Akan tetapi Bhagawan Ekadenta hanya bergoyang goyang tubuhnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, tawanya semakin melengking dan getarannya semakin dahsyat, namun tetap saja Bhagawan Ekadenta tidak roboh. Akhirnya Nini Bumigarbo menjadi kelelahan sendiri dan menghentikan tawanya. Getaran yang timbul dari suara tawa yang amat dahsyat itu, begitu dihentikan secara tiba-tiba juga mendatangkan pengaruh kuat. Telinga yang tadinya digetarkan oleh suara melengking-lengking itu, tiba-tiba menjadi kosong dan perubahan mendadak ini menimbulkan suara berdenging dalam telinga.
Bhagawan Ekadenta menarik napas panjang tiga kali dan dengingan itu lenyap dari pendengarannya. Dia membuka matanya dan memandang kepada Nini Bumigarbo sambil tersenyum. Akan tetapi hatinya disentuh rasa iba melihat wanita itu menggunakan sehelai saputangan untuk menyeka keringat yang membasahi dahinya.
"Yayi Gayatri, cukuplah main-main ini, untuk apa dilanjutkan?" kata Bhagawan Ekadenta lembut.
"Hemm, aku belum kalah, kakang! Kita sudah sepakat, siapa kalah harus mematuhi janjinya! Nah, sambutlah ini! Hyaaaaahhh" Nini Bumigarbo membaca mantera, lalu kedua tangannya diangkat ke atas kemudian dilambaikan dan tiba-tiba dari kedua telapak tangannya keluar asap hitam membubung ke atas. Asap itu makin tebal dan besar, kemudian dari dalam asap itu beterbangan keluar puluhan ekor kelelawar hitam sebesar kucing. Puluhan ekor kelelawar itu dengan suara bercicitan, dengan matanya yang merah, bergigi bertaring terbang meluncur ke arah Bhagawan Ekadenta, siap mencakar dan menggigit!
"Sadhu-sadhu-sadhu ..... Mahluk jadi-jadian, kembalilah kedalam kegelapan. Sinar terang mengalahkan kegelapan!" kata Bhagawan Ekadenta dan begitu dia menggerakkan tangannya menadah ke atas lalu sinar matahari seolah menimpa telapak tangannya lalu membias dengan terang sekali ke arah segerombolan kelelawar itu.
Diterjang sinar matahari yang membias dari telapak tangan Bhagawan Ekadenta, mahluk-mahluk mengerikan itu tersentak dan tertolak ke belakang, mencicit-cicit ketakutan, saling bertabrakan ketika terbang kembali ke dalam asap hitam. Kini sinar terang itu menerjang asap hitam dan asap itu perlahan-lahan mengecil dan meluncur turun kembali ke telapak kedua tangan Nini Bumigarbo.
Wajah wanita itu menjadi agak pucat dan napasnya memburu, la merasa penasaran dan marah bukan main. Hampir tiap tahun sekali sejak ia merasa dibuat patah hati oleh kakak seperguruannya yang memutuskan tali percintaan mereka, ia mencoba untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta, namun ia selalu gagal. Setelah gagal, ia cepat memperdalam ilmu-ilmunya dengan mempelajari segala macam aji kesaktian dan ilmu sihir, ilmu hitam, santet dan tenung.
Namun setiap kali ia mencoba kepandaiannya, Bhagawan Ekadenta selalu dapat mengalahkannya. Agaknya kakak seperguruannya yang mengasingkan diri dari dunia ramai itupun makin memperdalam ilmu-ilmunya sehingga menjadi semakin sakti mandraguna! Dua macam ilmu baru tadipun ternyata dapat dibuyarkan oleh Bhagawan Ekadenta. Ia masih memiliki aji pamungkas yang baru saja dipelajarinya di Nusa Bali, akan tetapi masih merasa ragu untuk mengeluarkannya karena ajinya itu berbahaya sekali dan bagaimanapun juga ia tidak ingin membunuh pria yang sampai sekarang masih dicintanya itu. la hanya ingin mengalahkannya
"Sudah cukup main-majn ini, yayi"
"Aku belum kalah! Sambut serangan ini!" Nini Bumigarbo menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang ranting sedepa panjangnya, sebatang ranting hitam.
"Haamtt!" Ranting itu seperti hidup di tangannya, meluncur dengan kecepatan kilat menyerang kearah leher Bhagawan Ekadenta. Pria yang usianya sekitar lima puluh dua tahun ini melompat ke belakang untuk mengelak, tangannya merogoh dibalik jubahnya dan mengeluarkan sehelai kain p utih yang biasa dia pergunakan untuk mengikat rambutnya. Sehelai kain yang panjangnya selengan, tampak sederhana lemas. Akan tetapi ketika ranting itu menyambar lagi, dia menangkis dengan kain putih itu yang tiba-tiba menjadi kaku seperti sebatang kayu.
"Takkk!" Ranting hitam bertemu kain putih dan sungguh luar biasa, pertemuan dua benda sederhana itu menimbulkan bunga api dan asap. Lalu keduanya saling serang dengan kecepatan kilat sehingga ranting itu beruban menjadi gulungan sinar hitam sedangkan kain itu berubah menjadi gulungan sinar putih. Kedua sinar itu berkelebatan saling mendesak dan saling mengurung.
Kalau kebetulan ada orang menyaksikan pertandingan ini, dia tentu akan takjub melihat dua orang itu hanya tampak sebagai bayang-bayang saja yang terkurung dua gulungan sinar hitam dan putih. Bukan main hebatnya pertandingan ini. Gerakan keduanya mendatangkan angin bersiutan yang membuat tanah dan debu berhamburan lalu membubung naik seolah di situ ada dua mahluk raksasa yang amat kuat sedang berlaga.
Kadang-kadang terdengar suara keras dan batu pecah berhamburan terkena pukulan ujung ranting atau kain. Bahkan orang-orang yang memiliki kesaktianpun akan tercengang menyaksikan pertandingan dahsyat ini. Keadaan sekeliling tempat pertandingan, dalam jarak belasan tombak terlanda gelombang tenaga mereka yang akan dapat merobohkan orang dari jarak jauh.
Memang tingkat kepandaian dua orang ini sudah amat tinggi, maka pertandingan itupun hebat bukan main. Ilmu silat yang mereka pelajari dan latih selama puluhan tahun telah mendarah daging di tubuh mereka. Gerakan mereka sudah otomatis seolah tanpa dikendalikan pikiran lagi, tangan kaki sudah bergerak sendiri dan seolah olah mempunyai mata sendiri. Dan setiap gerakan mengandung tenaga dalam yang dahsyat dan sakti.
Kedua orang sakti mandraguna itu dahulunya adalah kakak dan adik seperguruan. Bersama mendiang Empu Dewamurti, mereka bertiga merupakan murid murid terkasih dari Sang Mahatma Budhi Dharma, pendeta perantau yang tak diketahui asal-usulnya dan tidak diketahui pula ke mana perginya.
Sebagian besar ilmu-ilmunya diserap oleh tiga orang muridnya itu, ialah Empu Dewamurti, Bhagawan Ekadenta dan Nini Bumigarbo Hanya kalau Empu Dewamurti lalu mengasingkan diri dan bertapa, kedua orang ini, terutama Nini Bumigarbo, memperdalam ilmu-ilmu mereka dengan belajar kepada para pendeta sakti mandraguna dan mereka yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Maka dapat dibayangkan betapa saktinya dua orang kakak beradik ini.
Dua orang yang tadinya saling mencinta dan sudah berjanji untuk menjadi suami isteri itu mulai pecah ketika Bhagawan Ekadenta menyatakan bahwa dia ingin memperdalam kerohanian dan metutuskan untuk tidak menikah. Nini Bumigarbo yang dulu bernama Gayatri menjadi kecewa dan patah hati. Apalagi dalam mencari tambahan ilmu, ia bertemu dengan datuk-datuk sesat sehingga ia masuk ke dalam lingkungan dunia hitam, wataknya menjadi keras dan pendendam.
Karena untuk memaksa kakak seperguruannya jelas tidak mungkin, maka ia melampiaskan kemarahan dan dendamnya dengan cara mengajak Bhagawan Ekadenta bertanding hampir setiap tahun. Akan tetapi selalu ia kalah sehingga hatinya menjadi semakin kecewa dan penasaran. Kemudian timbul bencinya kepada Resi Satyadharma yang dianggapnya sebagai biang keladi sehingga kakak seperguruan atau kekasihnya itu berubah pikiran dan tidak mau menikah!
Maka, tidak mengherankan kalau kali ini Nini Bumigarbo mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta. Namun, sampai seratus jurus lebih mereka bertanding belum juga ia mampu mendesak bekas kekasihnya itu. Semua tenaga sakti, tenaga hitam dan sihir, telah ia kerahkan namun semua mental, tidak mampu menembus pertahanan Bhagawan Ekadenta yang senantiasa sabar dan lembut terhadapnya itu. Bhagawan Ekadenta yang banyak mengalah dalam pertandingan itu merasa sudah cukup lama memberi kelonggaran kepada Nini Bumigarbo.
Sebetulnya dia merasa kasihan kepada kekasihnya itu bahkan sampai kini masih ada rasa kasih itu dalam hatinya, namun bukan seperti cinta kasih yang diharapkan Nini Bumigarbo. Dia lalu membuat gerakan kuat dengan kain putih pengikat rambutnya dan tiba-tiba ujung kain itu seperti seekor ular dapat membelit ranting di tangan Nini Bumigarbo dan dengan sentakan kuat, kain itu telah berhasil membetot ranting terlepas dari tangan Nini Bumigarbo. Bhagawan Ekadenta melompat kebelakang, lalu melemparkan ranting yang dirampasnya itu ke arah Nini Bumigarbo yang menyambut dan menangkap rantingnya.
"Cukup sekian saja kita main-main, Yayi Gayatri!" kata Bhagawan Ekadenta.
"Tidak, memang rantingku dapat kau rampas, akan tetapi itu belum berarti bahwa aku sudah kalah! Coba Jawan aji pamungkasku ini! " Nini Bumigarbo lalu bersedakap (melipat lengan di depan dada) dan memejamkan matanya, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra. Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat dan perlahan-lahan tubuhnya berubah!
Wajahnya, rambutnya, tubuhnya, semua berubah menjadi leyak, menjadi wujud setan betina dan gimbal (lekat) wajahnya menakutkan dengan mata besar mencorong seperti mengeluarkan sinar berapi, hidungnya besar pesek dan mulutnya lebar dengan gigi bercaling dan lidahnya panjang terjulur keluar. Buah dadanya besar dan panjang, keluar dari bajunya, tergantung sampai perut. Jari-jari tangannya berkuku panjang.
"jagad Dewa Bathara! Sadhu, sadhu..sadhu .....!"
Bhagawan Ekadenta mengerahkan tenaga saktinya untuk menggetarkan iblis jadi-jadian itu. Akan tetapi ternyata iblis jadi-jadian yang ini amat kuat dan sakti, juga kebal sehingga serangan tenaga sakti yang dikerahkan Bhagawan Ekadenta tidak dapat mengenyahkannya, bahkan iblis betina itu mengangkat kedua tangan berkuku panjang itu ke atas. Dari kedua telapak tangan leyak itu menyambar keluar sinar kilat ke arah tubuh Bhagawan Ekadenta Sang bhagawan mengerahkan tenaga sakti menyambut.
"Blarrr .....!" Tubuh sang bhagawan sempoyongan ke belakang.
Leyak yang menyeramkan itu terkekeh, suara tawanya mendirikan bulu roma. Bhagawan Ekadenta mengerutkan alisnya. Sungguh ilmu hitam yang amat tangguh dan berbahaya, pikirnya. Kalau Nini Bumigarbo mempergunakan ilmu sesat macam itu, mau tidak mau dia harus mengeluarkan aji simpanannya. Leyak itu terlalu kuat untuk dilawan dengan kekuatan biasa.
Bhagawan Ekadenta lalu bersedakap dan memejamkan kedua matanya, mengheningkan cipta. Nini Bumigarbo yang merasa di atas angin sambil terkekeh sudah hendak menyerang lagi dengan sinar kilat dari kedua telapak tangannya. Akan tetapi tiba-tiba la menahan serangannya dan mengeluarkan teriakan menyayat hati dan menjadi marah sekali karena ia melihat betapa tubuh sang bhagawan itu kini telah tumbuh menjadi besar sekali! Itulah Aji Triwikrama!
Begitu melangkah tiga kali, tubuh sang bhagawan tampak oleh Nini Bumigarbo berubah menjadi sebesar bukit! Sinar kilat yang meluncur dari kedua telapak tangan Nini Bumigarbo membalik ketika menghantam tubuh sang bhagawan, bahkan menghantam dirinya sendiri sehingga ia terjengkang dan jatuh terlentang. Melihat lawannya jatuh, Bhagawan Ekadenta kembali merasa kasihan karena begitu membentur tanah, tubuh leyak itu kembali menjadi tubuh Nini Bumigarbo.
Ia pun menyimpan ajiannya dan kembali menjadi Bhagawan Ekadenta. Nini Bumigarbo melompat bangun lagi sambil mengeluarkan jerit melengking kini ia menggoyang tubuhnya dan ketika tubuhnya diselimuti uap hitam sehingga tak tampak. Yang tampak hanyalah uap hitam itu yang kini bergerak cepat ke arah Bhagawan Ekadenta. Sang bhagawan juga menggoyang tubuhnya dan uap putih menyelubungi tubuhnya.
Kalau ada orang kebetulan menyaksikan pertandingan itu, tentu dia akan merasa heran dan bingung karena kini tidak tampak ada orang bertanding, melainkan ada uap hitam dan uap putih yang saling terjang dan saling dorong! Tampaknya saja uap hitam dan uap putih yang saling dorong akan tetapi sebetulnya Nini Bumigarbo dan Bhagawan Ekadenta sedang bertarung sambil mengeluarkan ilmu masing-masing dan mengerahkan seluruh tenaga.
Seperti juga tadi, Bhagawan Ekaderta banyak mengalah dan memberi kesempatan kepada Nini Bumigarbo untuk melancarkan serangan-serangannya, mengeluarkan semua ilmunya dan dia hanya mempertahankan. Setelah seratus jurus lebih, barulah dia menambah pengerahan tenaganya dan tampaklah awan atau uap hitam itu mulai terdesak mundur, bahkan semakin menyuram. Akhirnya, terdengar pekik melengking penuh kekecewaan dan kemarahan, dan uap hitam itu melayang pergi meninggalkan tempat itu. Awan putih juga lenyap dan tampak Bhagawan Ekadenta berdiri sambil menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Yayi Gayatri, jangan melanggar janjimu!" dia berseru.
"Bhagawan Ekadenta, aku tidak akan membunuh Erlangga dan Narotama, akan tetapi aku akan menurunkan ilmuku kepada seorang murid dan dialah yang akan Mewakili aku memusuhi Kahuripan!" terdengar suara melengking dari jauh, suara Nini Bumigarbo. Bhagawan Ekadenta menghela napas panjang, lalu berkata kepada diri sendiri.
"Sadhu-sadhu-sadhu, kehendak Sang Hyang Widhi pasti terjadi, tak dapat diubah oleh siapapun juga! Sudah sesuai dengan garisnya bahwa keturunan Mataram akan menghadapi banyak gangguan!" setelah berkata demikian, dengan langkah tenang sang bhagawan meninggalkan bukit itu.
Sementara itu, dengan hati yang mengkal, sakit dan penasaran, Nini Bumigarbo yang terpaksa tidak berani melanggar janjinya dan tidak melanjutkan niatnya untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, lalu mencari murid. Akhirnya ia menemukan seorang murid yang dianggapnya baik sekali untuk dapat melaksanakan niatnya yaitu membunuh atau setidaknya mencelakai sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sebagai murid-murid Sang Resi Satyadharma untuk membalaskan dendamnya terhadap sang resi yang dianggap sebagai penyebab kekasihnya, Ekadenta meninggalkannya.
Murid itu adalah permaisuri dari Adipati Adhamapanuda, Raja Kerajaan Wengker, bernama Dewi Mayangsari. Permaisuri Wengker ini seorang wanita yang cantik jelita, genit dan cerdik, berusia dua puluh lima tahun. Sudah enam tahun ia menjadi permaisuri Adipati Adhamapanuda, akan tetapi belum mempunyai anak dan ia amat disayang oleh sang adipati karena selain cantik jelita dan pandai menyenangkan hati, juga Dewi Mayangsari ini sejak kecil telah mempelajari ilmu kanuragan sehingga ia memiliki kesaktian.
Wanita ini dipilih oleh Nini Bumigarbo karena ia tahu bahwa Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Mataram. Ia mengharap agar muridnya ini yang akan dapat mewakilinya, membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Permaisuri Dewi Mayangsari menyambut Nini Bumigarbo dengan girang dan selama tiga tahun ia digembleng oleh guru barunya itu sehingga Dewi Mayangsari menjadi semakin sakti. Dengan senang hati pula ia berjanji kepada Nini Bumigarbo untuk menentang Kahuripan dan berusaha untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Demikianlah, Dewi Mayangsari mendorong suaminya untuk selalu memusuhi Kahuripan dan permaisuri ini yang menganjurkan Adipati Adhamapanuda untuk mengangkat Linggajaya menjadi senopati muda dan mengutus pemuda murid Resi Bajrasakti untuk membantu usaha para puteri Kerajaan Parang Siluman mengadakan kekacauan di Kahuripan.
Kini usia Dewi Mayangsari sudah dua puluh delapan tahun dan ia membantu suaminya untuk menyusun pasukan yang kuat, bersiap-siap dan melatih pasukan itu agar siap siaga kalau sewaktu-waktu pecah perang terbuka antara Kerajaan Wengker dan Kerajaan Kahuripan.
"Tranggg .....!"
Tasbih di tangan Cekel Aksomolo terpental ketika bertemu dengan pedang di tangan Puspa Dewi sehingga tokoh sesat duplikat Durna itu terkejut dan melompat ke belakang. Puspa Dewi tidak perduli dan ia sudah menyerang Ratu Mayang Gupita dengan pedang hitamnya. Wanita raksasa itupun terkejut karena sambaran pedang itu dahsyat sekali, mengeluarkan suara berdesing dan terasa hawanya yang panas karena mengandung racun yang amat kuat. Ia pun melompat ke belakang dan siap melontarkan pukulan tangan yang mengeluarkan bola api. Namun, begitu ia mendorongkan tangannya, Puspa Dewi sudah menyambut dengan dorongan tangan kiri dengan Aji Guntur Geni.
"Bresss .....!"
Dua aji pukulan dahsyat itu bertemu di udara dan akibatnya tubuh Puspa Dewi terpental ke belakang. Akan tetapi gadis ini dengan keras kepala sudah menerjang lagi dengan nekat. Pedangnya diputar di depan tubuhnya seperti kitiran, membentuk sinar bergulung-gulung dan menyerang kearah tubuh Ratu Mayang Gupita. Diserang seperti itu, wanita raksasa itu lalu cepat mencabut sebatang keris panjang dari pinggangnya dan menangkis, lalu balas menyerang. Kedua orang wanita itu sudah saling serang.
Sementara itu, Dibyo Mamangkoro yang menyerang Nurseta dengan pukulan Aji Wisangnolo, disambut oleh Nurseta dengan dorongan tangan. Ketika dua pukulan itu bertemu, Dibyo Manmangkoro terhuyung ke belakang. Bantuan Puspa Dewi mengejutkan tiga orang itu dan mereka merasa jerih. Baru melawan Nurseta seorang diri saja mereka bertiga tadi belum mampu mengalahkannya. Kini muncul gadis liar itu yang memiliki ilmu yang liar pula. Maka Ratu Mayang Gupita lalu melompat dan memasuki keretanya yang lalu dilarikan cepat.
Ketika Puspa Dewi hendak mengejarnya, ia disambut oleh belasan orang perajurit pengawal. Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo lalu maju membantu para pengawal karena baru beberapa gebrakan saja, pedang hitam di tangan Puspa Dewi telah merobohkan dua orang perajurit.
Begitu dua orang sakti ini maju dan menyerang, Dibyo Mamangkoro dengan pukulan jarak jauhnya dan Cekel Aksomolo dengan tasbihnya, Puspa Dewi terkejut dan mau tidak mau harus berlompatan ke belakang. Terlalu berbahaya serangan dua orang itu. Begitu ia melompat kebelakang, dua orang tokoh sesat itu lalu melarikan diri bersama para pengawal, mengejar kereta yang ditumpangi Ratu Mayang Gupita yanag lari terlebih dulu.
Puspa Dewi yang nekat itu hendak melakukan pengejaran sambil memaki maki. "Heh, orang-orang pengecut hina, Hendak lari ke mana kalian?"
Akan tetapi terdengar suara di belakangnya, "Puspa Dewi, kukira tidak perlu mengejar mereka."
Dara itu menahan langkahnya dan berbalik dengan cepat, mengamati wajah Nurseta dan bertanya dengan ketus, "Heh...!!! Dari mana engkau mengetahui namaku, hah?"
Nurseta tersenyum. Kegalakan dara itu baginya tampak lucu sekali, seperti melihat seorang anak kecil yang bandel.
"Puspa Dewi, tentu saja aku mengenalmu karena engkau adalah seorang gadis tukang keroyok. Tanpa tahu masalahnya engkau langsung saja mengeroyok dan menyerang!"
"He? Engkau..... tak tahu diuntung, tak mengenal budi! Aku tadi bukan mengeroyokmu, malah membantu kamu yang dikeroyok! Bagaimana engkau berani mengatakan bahwa aku tukang keroyok?"
"Sekarang memang engkau membantu aku dan untuk itu, biarlah kuucapkan terima kasih. Akan tetapi tempo hari, didusun kita Karang Tirta, tiada hujan tiada angin engkau datang-datang mengeroyok aku!"
"Di..... Karang Tirta.....? Eh, oh, ingat aku sekarang. Engkau adalah Nurseta, kan?"
"Sekarang baru engkau ingat padaku, Biarlah kesalahanmu yang sudah berlalu itu kubikin habis sampai di sini saja karena kesalahan itu telah kau tebus hari ini dengan menolongku terlepas dari ancaman bahaya."
Puspa Dewi menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya sambil memandang wajah Nurseta dengan mata bersinar. "Bagus sekali kita dapat bertemu di sini, Nurseta. Memang aku sedang mencarimu!"
"Hemm, engkau mencari aku, Puspa Dewi? Apakah untuk minta maaf bahwa engkau dahulu itu sudah mengeroyokku bersama Linggajaya?"
"Aku? Minta maaf padamu? Huh, tak tahu diri! Engkaulah yang harus minta maaf padaku karena engkau telah berani mengganggu dan mengancam hendak membunuh ayahku?"
"Siapa hendak membunuh ayahmu?"
"Engkau mengamuk di rumah ayahku dan engkau masih berani pura-pura bertanya lagi?"
"Hemm, aku mempunyai urusan dengan Ki Lurah Suramenggala, bagaimana mungkin engkau menuduh aku mengganggu ayahmu? Apakah Ki Lurah Suramenggala itu....."
"Dia ayahku dan jangan katakan dia jahat!"
"Tapi..... setahu ku engkau adalah anak Bibi Lasmi yang telah janda ....."
"Ibuku telah menjadi isteri Ki Lurah Suramenggala, maka dia adalah ayahku."
Nurseta mengangguk-angguk. Sebagai orang yang pernah bekerja pada lurah itu, tentu saja dia tahu bahwa Ki Lurah Suramenggala sudah mempunyai isteri bahkan setahu dia lurah itu sudah mempunyai dua orang selir. Hemm, tentu Bibi Lasmi menjadi selirnya yang ke tiga, pikirnya.
"Ooh, begitukah?" kata Nurseta sambil memandang wajah yang cantik jelita itu.
Memang Puspa Dewi kini telah menjadi seorang dara yang dewasa dan cantik jelita. Dulu, ia seorang gadis remaja yang sederhana seperti gadis desa pada umumnya, pakaiannya sederhana dan sikapnya lembut dan pemalu. Akan tetapi kini, sungguh perubahan besar telah terjadi pada diri dara itu.
Dalam usianya yang sekitar Sembilan belas tahun itu, ia bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum. Kulitnya putih kuning mulus, tubuhnya sedang dan padat dengan lekuk lengkung sempurna dan menggairahkan. Rambutnya hitam panjang dan di dahinya serta pelipisnya, sinom (anak rambut) melingkar-lingkar indah. Alisnya melengkung melindungi sepasang mata yang bersinar-sinar seperti bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya segar merah membasah.
Tahi lalat hitam kecil di dagu itu menambah kemanisannya. Dan yang mencolok sekali, sikapnya yang dulu pendiam dan pemalu itu, kini sama sekali berubah. Kini ia menjadi seorang dara sakti mandraguna yang lincah dan tampak liar dan ganas! Juga pakaiannya serba mewah dan indah, seperti seorang puteri saja! Tentu saja ia sama sekali tidak menyangka bahwa memang Puspa Dewi telah menjadi seorang puteri, menjadi Puteri Sekar Kedaton (Puteri Bunga Istana) Kadipaten Wura wuri.
"Tadi engkau mengatakan bahwa engkau memang sedang mencari aku... Nah, kita sekarang telah saling bertemu di tempat ini. Lalu apa yang kau inginkan dariku, Puspa Dewi?"
"Pertama, aku ingin membalaskan penghinaan mu terhadap ayahku ....."
"Ayah tirimu Ki Lurah Suramenggala itu?"
"Ya, ayah tiriku. Engkau telah bertindak sewenang-wenang dan menghinanya."
"Tenang dulu, Puspa Dewi. Sangat tidak adil kalau engkau hanya mendengarkan keterangan sepihak. Kau tahu apa yang telah dilakukan Ki Suramenggala padaku? Pertama, dia yang menyebabkan orang tuaku terpaksa melarikan diri dari Karang Tirta. Kedua, dia telah menipuku, membeli rumah dan pekarangan serta ladang orang tuaku hanya dengan memberi aku makan selama tiga tahun, itupun aku harus bekerja sebagai bujang untuknya. Ketiga, ketika aku datang untuk menanyakan tentang orang tuaku padanya, dia menyuruh para jagoannya untuk mengeroyok dan memukuli aku. Keempat, ternyata dia bersahabat dengan kepala gerombolan yang merampok di dusun Karang Sari. Nah, itulah sebabnya, aku menghajarnya, Puspa Dewi. Kalau engkau hendak membelanya, maka jelas bahwa engkau membela orang yang bersalah, engkau ikut salah juga. Kalau dia menjadi ayah tirimu, kewajibanmu adalah untuk menyadarkan dia agar kembali ke jalan benar, tidak memeras rakyatnya dan tidak bertindak sewenang-wenang."
Wajah gadis itu berubah merah, la memang sudah menduga bahwa ayah tirinya bukan orang baik-baik dan sebetulnya ia sendiri juga menyesal dan kecewa mengapa ibunya mau dijadikan selir lurah itu.
"Hemm, akan kuselidiki dan kalau benar semua keteranganmu, aku pasti akan menyadarkannya. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang lebih penting, yaitu aku memenuhi pesan guruku agar mencarimu."
"Hemm, siapa gurumu itu? Kalau menyuruhmu mencariku berarti dia sudah mengenal aku. Dan mengapa dia menyuruh engkau mencariku, Puspa Dewi?"
"Guruku adalah ibu angkatku dan juga bernama Nyi Dewi Durgakumala dan kini menjadi Permaisuri Adipati Wura-wuri" kata Puspa Dewi dengan nada bangga.
Nurseta memandang ke arah pakaian dan perhiasan yang dipakai Puspa Dewi dan mengertilah dia kini. Keterangan ini sudah menjelaskan segalanya. Nyi Dewi Durgakumala adalah wanita cantik sakti yang dulu menculik Linggajaya. Kenapa malah sekarang Puspa Dewi yang dulu diculik oleh Resi Bajrasakti yang menjadi murid wanita itu?
Dia teringat akan Linggajaya yang kini juga sakti mandraguna. Kalau begitu, tentu Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Agaknya mereka berdua itu saling bertukar anak yang mereka culik. Dan diapun tidak heran melihat Puspa Dewi begitu berubah. Murid Nyi Dewi Durgakumala, datuk wanita sesat itu tentu saja menurunkan wataknya kepada muridnya, dan tidak aneh pula kalau Puspa Dewi memakai pakaian mewah dan perhiasan serba gemerlapan karena dara itu telah menjadi puteri Adipati Wura-wuri!
"Hemm, kiranya engkau sekarang telah menjadi anak lurah juga puteri adipati! Hebat! Lalu apa maksud Nyi Dewi Durgakumala atau Gusti Permaisuri Adipati Wura-wuri itu mengutusmu mencari aku? ...
"Serahkan keris pusaka Sang Megatantra kepadaku, Nurseta!" kata Puspa Dewi.
"Ohh... jadi itukah yang dikehendakinya? Apa hak gurumu dan engkau minta Sang Megatantra itu, Puspa Dewi? Pusaka Itu bukan milikmu atau milik gurumu"
"Jangan banyak cerewet. Serahkan Megatantra atau aku akan merampas dengan kekerasan!"
"Pusaka Megatantra adalah hak milik Sang Prabu Erlangga di Kahuripan."
Tidak perduli, serahkan Megatantra padaku!" kata Puspa Dewi dengan alis berkerut.
"Bagaimana aku dapat menyerahkan Megatantra kepadamu kalau pusaka itu tidak berada di tanganku?"
"Bohong! Guruku mengatakan bahwa engkaulah yang menemukan pusaka itu daerah pantai Laut Kidul!"
"Benar, akan tetapi sekarang pusaka itu tidak berada padaku."
"Sudah kau serahkan kepada Sang Prabu Erlangga?"
"Belum, akan tetapi ....."
"Kalau begitu, berarti masih ada padamu?"
"Juga tidak, pusaka itu tidak ada padaku."
"Lalu di mana?"
Nurseta menggelengkan kepalanya. Sungguh aneh, pikirnya. Dara ini bersikap begini galak dan liar, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi tak senang atau marah. Agaknya tidak mungkin dia dapat marah kepada wajah yang manis dan yang amat menarik hatinya itu. "Sayang, aku tidak dapat memberitahukan hal itu kepadamu."
"Nurseta! Kalau begitu engkau menantang aku?" bentak Puspa Dewi marah.
Nurseta tersenyum. "Puspa Dewi, aku tidak pernah menantangmu. Di antara kita berdua tidak ada urusan apapun yang patut dipertentangkan. Kalau gurumu menghendaki Megatantra dariku, katakan saja bahwa Megatantra tidak ada padaku. Aku tidak berbohong dan selebihnya aku tidak dapat memberi tahu apa-apa lagi. Puspa Dewi, aku tahu bahwa engkau seorang dara perkasa yang baik hati, buktinya tadi engkau tidak suka melihat orang dikeroyok secara tidak adil dan membantu. Sadarilah bahwa Megatantra itu hak milik Kerajaan Kahuripan. Amat tidak baik menginginkan hak milik lain orang."
"Tidak perlu memberi wejangan! Cepat katakan di mana sekarang Sang Megatantra!" bentak Puspa Dewi jengkel
"Maaf, aku tidak dapat mengatakannya, Puspa Dewi."
"Keparat, kalau begitu aku harus menggunakan kekerasan memaksamu" kata dara itu dan ia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kaki agak ditekuk yang kanan di depan dan yang kiri ke belakang, kedua lengan dipentang seperti burung terbang. Itulah pembukaan dari Aji Guntur Geni.
Melihat sikap dan gerakan gadis itu diam-diam Nurseta kagum. Sungguh dara itu tampak gagah bukan main. "Terserah kepadamu, Puspa Dewi. Akan tetapi yang menghendaki perkelahian bukan aku, melainkan engkau." Kata Nurseta dengan sikap tenang dan dia berdiri santai saja menanti gadis itu menyerang lebih dulu.
"Sambut seranganku Hyaaaaattt .....!" Dara itu sudah membuka serangan. Cepat seperti kilat menyambar tubuhnya sudah menerjang ke depan, kedua lengan yang tadinya dipentang itu meluncur dengan cepat sekali, yang kanan memukul kearah leher Nurseta dengan tangan miring, di susul tangan kiri yang mencengkeram kearah perut pemuda itu! Bukan cengkraman biasa karena ia sudah menggunakan Aji Wisakenaka dalam cengkeraman itu sehingga kuku-kuku jarinya mengandung racun dan sekali menggores kulit lawan, kalau sampai terluka, dapat mendatangkan bahaya maut seperti gigitan ular berbisa!
"Hemm .....!" Nurseta melihat datangnya serangan yang berbahaya dan juga ganas itu. Dia telah menggunakan Aji Bayu Sakti dan tubuhnya sudah berkelebat, menghindar dari serangan kedua tangan gadis itu. Akan tetapi setelah serangan pertamanya luput dan gagal, Puspa Dewi sudah menyusulkan serangan beruntun dengan cepat dan kuat.
Setelah beberapa kali mengelak, Nurseta lalu melayani dara itu dengan gerakan silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan dan terkadang melompat tinggi seperti seekor bangau terbang. Perkelahian berlangsung seru, saling serang dengan hebat. Namun sesungguhnya, Nurseta tentu saja tidak benar-benar dalam serangannya, tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya dan sama sekali tidak bermaksud melukai gadisl itu. Dia hanya ingin mengalahkan tanpa melukai, akan tetapi hal ini sungguh amat sukar karena sepak terjang Puspa Dewi hebat dan ganas. Setelah menahan semua serangan gadis itu dan terkadang membalas yang dapat pula dihindarkan Puspa Dewi, gadis itu menyerang dengan pukulan Guntur Geni yang mendatangkan hawa panas. Pukulan tangan kanan terbuka itu mengarah dada Nurseta. Melihat serangan ini, Nurseta mendapatkan kesempatan untuk mencapai maksudnya, yaitu mengalahkan tanpa melukai. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyambut pukulan itu dengan tangkisan dari samping.
"Wuuuttt ..... dessss .....!!" Tubuh Puspa Dewi terdorong dari samping dengan kuatnya sehingga hampir saja ia terpelanting. Akan tetapi ia dapat berlompatan dan berjungkir balik tiga kali sehingga tidak sampai jatuh, hanya terhuyung saja. Namun hal itu sudah jelas menunjukkan bahwa ia kalah dalam pertandingan silat tangan kosong itu. Bukannya menerima dan mengakui kekalahannya, Puspa Dewi yang keras kepala dan keras hati itu malah menjadi semakin penasaran dan marah.
"Hemm, Nurseta! Aku belum kalah! cabut senjatamu keris pusaka Megatantra dan coba lawan pedangku ini!" Gadis itu menggerakkan tangan kanannya dan tampak sinar hitam berkilauan dan tahu tahu Pedang Hitam Candrasa Langking sudah berada di tangannya.
"Sudah ku katakan bahwa Sang Megatantra tidak ada padaku dan aku tidak biasa menggunakan senjata, Puspa Dewi. Sudahlah, untuk apa kita bertanding? Biar aku mengaku kalah dan anggap saja engkau menang. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, Puspa Dewi. Ingat, kita adalah orang-orang sedusun, sama sama berasal dari Karang Tirta." Nurseta membujuk.
"Kau pilih saja salah satu. Memberi tahu kepadaku di mana sekarang keris pusaka Sang Megatantra atau kalau engkau tidak mau mengatakannya, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan memaksamu dengan pedangku ini!"
"Wah, engkau ini nekat benar, Puspa Dewi. Sudah kukatakan bahwa keris pusaka itu tidak ada padaku dan keris pusaka itu adalah milik Sang Prabu Erlangga di Kahuripan karena itu merupakan pusaka Mataram yang harus diserahkan kepada keturunan raja Mataram. Untuk apa engkau nekat ingin memilikinya?"
"Tak perlu banyak cakap lagi. Aku hanya mentaati perintah guru atau ibu angkatku. Nah, katakan dimana Sang Megatantra!"
"Nurseta menggeleng kepalanya. "Tidak akan kukatakan kepada siapa juga."
"Kalau begitu sambutlah Candrasa Langking ini!" Puspa Dewi yang sudah merasa penasaran sekali karena tadi dalam pertandingan tangan kosong ia dikalahkan Nurseta, kini sudah maju dan menyerang dengan pedang hitamnya, tidak perduli bahwa Nurseta tidak membawa senjata.
Pedangnya menyambar nyambar seperti kilat. Nurseta cepat menggerakkan tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti untuk mengatasi kecepatan sambaran pedang dan tubuhnya berkelebatan diantara gulungan sinar pedang hitam. Permainan pedang dara itu memang hebat sekali dan akhirnya Nurseta terdesak juga karena dia tidak mau membalas dengan pukulan yang ampuh, takut kalau melukai gadis itu. Akan tetapi kalau terus mempertahankan diri dengan mengelak, akhirnya dia akan terancam bahaya juga karena pedang hitam itu mengandung hawa beracun yang amat berbahaya.
Terpaksa Nurseta lalu mengerahkan ajinya yang jarang dipergunakan, yaitu Aji Sirnasarira. Tiba-tiba saja Puspa Dewi mengeluarkan jeritan tertahan karena tiba-tiba ia kehilangan lawannya, tubuh Nurseta lenyap dan selagi ia meragu dan bingung mencari-cari bayangan Nurseta, siku kanannya ditepuk jari-jari tangan yang kuat sekali namun tidak tampak dan seketika lengan kanannya menjadi lumpuh dan tak dapat ditahannya lagi pedang hitam yang dipegangnya itupun terlepas dari tangannya. Ia terkejut sekali dan pada saat itu ia dapat melihat Nurseta lagi yang sudah berdiri sambil tersenyum kepadanya.
Sejenak Puspa Dewi memandang nanar, tidak percaya akan apa yang dialaminya tadi. Tidak mungkin Nurseta menghilang lalu menyerangnya dengan tubuh yang tidak tampak! tetapi kenyataannya, lengannya masih kesemutan dan pedangnya sudah menggeletak di atas tanah, terlepas dari pegangannya. Biarpun begitu, gadis yang berhati keras ini masih penasaran dan belum yakin bahwa dapat dikalahkan sedemikian mudahnya.
Maka sambil menggigit bibir sendiri cepat menyambar pedangnya lagi dan kini mulutnya mengeluarkan jerit yang menggetarkan sekeliling tempat itu. Itulah Aji Jerit Guruh Bairawa! Dengan jerit ini saja, Puspa Dewi sudah mampu membuat lawannya tergetar hebat dan roboh. Dengan jeritnya yang dahsyat ini masih menyayat udara, ia sudah menggerakkan pedangnya lagi, menyerang dengan sekuat tenaga, pedangnya menyambar ke arah leher Nurseta!
"Singgg .....!" Pedang itu menyambar lebih dahsyat daripada tadi karena didukung dan didorong oleh Jerit Guruh Bairawa yang melengking nyaring! Namun dengan gerakan yang lebih cepat lagi, Nurseta sudah menghindar dengan loncatan ringan ke belakang sehingga pedang itu hanya menyambar angin. Namun, Puspa Dewi yang sudah marah sekali dan hatinya dipenuhi rasa penasaran, sudah meloncat mengejar dan pedangnya berputar-putar sehingga berubah menjadi gulungan sinar yang berkelebatan mengirim serangan bertubi-tubi.
Tubuh Nurseta melompat ke atas dan "lessss .....!" tubuh itu sudah lenyap lagi dari pandangan Puspa Dewi! Dara itu kembali menjadi bingung akan tetapi kemarahannya makin berkobar, la mengamuk dan mengobat-abitkan pedangnya membacok ke sana-sini dengan ngawur.
"Keparat kau, Nurseta! Hayo perlihatkan dirimu, jangan pergunakan ilmu setan!"
Akan tetapi tiba-tiba pergelangan tangannya ditangkap tangan yang tak tampak dan tahu-tahu pedangnya telah dirampas. Pedang itu kini melayang dan tampaklah tubuh Nurseta dan pemuda itu berdiri depannya sambil memegang pedang hitam yang sudah dirampasnya!
"Puspa Dewi, untuk apa kita lanjutkan pertandingan ini? Ilmu pedangmu hebat sekali, aku tidak kuat melawannya. Sudahlah, aku mengaku kalah!" Setelah berkata demikian, Nurseta melemparkan pedang itu ke arah Puspa Dewi.
Dara itu terkejut melihat pedangnya meluncur dan mengancam dirinya, akan tetapi setelah dekat, tiba-tiba pedang itu membalik meluncur ke arahnya dengan gagang depan. Hatinya menjadi lega dan cepat ia menyambut pedang itu dan menyimpannya kembali ke sarung pedang. Percuma saja menyerang lagi. Kalau Nurseta dapat menghilang seperti itu, bagaimana mungkin ia akan mampu mengalahkannya?
"Huh, kau ..... curang!" Dara itu menggerutu dengan bibir meruncing cemberut dan matanya dilebarkan. Dalam keadaan begitu, dara itu malah tampak semakin manis dalam pandangan Nurseta.
"Jangan kau menggunakan ilmu setan yang membuat engkau bisa menghilang seperti setan!"
Nurseta tersenyum. "Puspa Dewi, ilmu Ilmu disebut ilmu setan kalau penggunanya untuk mencelakai orang. Engkau sendiri mempergunakan ilmu-ilmu yang mengandung hawa beracun, bahkan pedangmu itupun beracun sehingga kalau seranganmu mengenai lawan, lawan akan tewas atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi aku sama sekali tidak mencelakaimu. Sekarang ku ingatkan engkau sekali lagi, Puspa Dewi. Engkau seorang dara muda namun telah menguasai banyak aji yang dahsyat, sayang kalau engkau menjadi orang sesat yang mempergunakan ilmumu untuk membunuh atau melukai orang yang tidak bersalah. Ketahuilah bahwa keris pusaka Megatantra memang aku yang menemukan, dan aku hendak mengembalikan kepada yang berhak, yaitu Sang Prabu Erlangga dari Kerajaan Kahuripan. Akan tetapi sungguh celaka, dalam perjalananku, keris pusaka itu dicuri orang karena kelengahanku. Aku tertipu dan Pusaka itu dilarikan orang. Akan tetapi aku harus merampasnya kembali dari tangan si pencuri."
Mendengar semua ucapan Nurseta, di lubuk hatinya Puspa Dewi membenarkan kata-kata pemuda itu. Kebenaran yang tak dapat dibantah, Pikir gadis yang pada dasarnya memiliki hati yang condong membela kebenaran itu. Hanya karena pengaruh sifat gurunya dan pengaruh lingkungan, maka menjadi liar dan ganas. Namun tetap saja ia selalu mempertahankan keadilan maka mendengar ucapan Nurseta itu ia diam-diam menbenarkan.
"Akan tetapi aku hanya menaati perintah guruku yang juga ibu angkatku, Permaisuri Kadipaten Wura-wuri .....!" katanya seolah membantah suara hatinya yang membenarkan Nurseta.
"Bukankah seorang murid harus berbakti dan setia pada gurunya yang telah melepas banyak budi?"
"Benar sekali kata-katamu itu, Puspa Dewi. Seorang murid harus berbakti kepada gurunya, itu merupakan suatu kewajiban seorang murid yang baik dan tahu membalas budi. Akan tetapi ada kewajiban lain yang lebih penting lagi, Puspa, yaitu kewajiban sebagai seorang manusia. Karena itu, setiap tugas harus diperhitungkan dengan prikemanusiaan. Kalau tugas yang diberikan guru itu menyimpang dari kemanusiaan, maka kita tidak perlu melaksanakannya. Menyimpang dari prikemanusiaan berarti kejahatan dan haruskah seseorang membantu orang lain melakukan kejahatan, biarpun orang lain itu gurunya sendiri? Tidak, Puspa, engkau bukan seorang gadis yang jahat. Karena itu, tugas yang bersifat jahat amat tidak cocok dan tidak pantas kaulakukan!"
Puspa Dewi menjadi semakin bimbang, ia lalu mengangguk-angguk.
"Baiklah, aku akan mengatakan kepada guruku bahwa perintahnya untuk merampas Megatantra yang menjadi hak milik orang lain itu adalah tidak benar dan jahat sehingga aku berani melanggar perintahnya. Masih ada tugas lain yang tidak kalah pentingnya dan dapat kulakukan dengan berhasil baik."
Senang hati Nurseta mendengar ucapan ini. Kata-kata dara itu menunjukkan bahwa Puspa Dewi belum rusak betul masih mampu menyadari kesalahannya dan dapat mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang salah.
"Bagus! Aku girang mendengar bahwa engkau tidak akan membantu guru memperebutkan Sang Megatantra lagi Puspa Dewi."
Kini Puspa Dewi menatap wajah Nurseta dan sinar matanya bersinar-sinar!
"Nurseta, engkau ..... engkau percaya padaku?"
"Tentu saja aku percaya padamu Puspa Dewi. Engkau tadi sudah begitu baik menolongku dari pengeroyokan tiga orang itu. Ratu Mayang Gupita tadi sungguh berbahaya, sakti dan kejam sekali. Juga dua orang yang membantunya, Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo,memiliki ilmu kepandaian yang hebat."
"Hemm, jadi raksasa wanita tadi adalah Ratu Mayang Gupita?"
"Ya, ia ratu dari Kerajaan Siluman laut Kidul."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya, dipati Bhismaprabhawa yang menjadi ayah angkatnya itu berpesan kepadanya agar bekerja sama dengan para kadipaten, termasuk Kadipaten Siluman Laut Kidul untuk menentang Kahuripan. Hemm, tak senang hatinya diharuskan bekerja sama dengan orang seperti raksasa wanita tadi!
"Dan kenapa mereka bertiga itu menyerang dan mengeroyokmu?"
"Mula-mula Ratu Mayang Gupita itu yang menyerangku karena seperti juga gurumu, ia ingin minta Sang Megatantra dariku. Lalu kedua orang yang merupakan tokoh-tokoh sesat itu membantunya."
"Nurseta, sekali lagi aku bertanya, apakah engkau benar percaya kepadaku bahwa aku tidak akan memperebutkan keris pusaka Megatantra lagi?"
Nurseta mengangguk. "Aku percaya padamu, Puspa."
"Kalau begitu, buktikan kepercayaanmu padaku itu dengan mengatakan siapa orangnya yang sudah mencuri pusaka itu dari tanganmu." Ia berhenti sebentar memandang tajam lalu melanjutkan "Kalau engkau tidak mau berterus terang, itu menandakan bahwa engkau berbohong dan sebetulnya engkau masih tidak percaya kepadaku."
Nurseta mengerutkan alisnya. Gadis ini sungguh cerdik, pikirnya. Ucapan itu menyudutkannya dan membuat dia tidak berdaya. Akan tetapi diapun bukan seorang bodoh, maka dia cepat berbalik mengajukan pertanyaan.
"Hemm, jawablah dulu pertanyaaan ini, Puspa Dewi. Kalau engkau mengetahui siapa pencurinya, kemudian pada suatu saat engkau bertemu dengannya lalu apa yang akan kau lakukan? kau rampas Sang Megatantra itu lalu serahkan kepada gurumu?"
"Hemm, bukankah aku sudah berjanji tidak akan merampas keris pusaka untuk guruku? Andaikata aku merampasnya dari pencuri itu, tentu bukan kepada guruku pusaka itu kuserahkan, melainkan kepadamu!"
"Benarkah itu, Puspa Dewi? Ah, aku girang sekali! Akan tetapi kenapa tidak langsung saja kauhaturkan kepada Sang Prabu Erlangga, andaikata keris pusaka itu dapat kau rampas dari si pencuri?"
"Hemm, tidak mungkin. Aku bukan punggawa Kahuripan, dan ingat, aku adalah Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri!"
"Ah, benar juga. Nah, dengarkan baik-baik. Dalam perjalanan aku bertemu dengan Raden Hendratama yang ternyata adalah seorang pangeran, masih keluarga sang Prabu Erlangga sendiri. Dialah yang menipuku dan mencuri keris pusaka Sang megatantra itu."
"Hemm, Pangeran Hendratama? Belum pernah aku mendengar nama itu. Betapa pun juga, terima kasih, Nurseta. Ternyata engkau benar-benar percaya kepadaku."
"Ada satu hal yang ingin kuketahui, Puspa Dewi. Kalau aku tidak keliru, dulu engkau diculik oleh Resi Bajrasakti, sedangkan Linggajaya diculik oleh Nyi Dewi Durgakumala. Akan tetapi mengapa tahu-tahu engkau dan Linggajaya yang ketika itu sudah kusuruh melarikan diri dapat tertangkap lagi dan engkau menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala?
Puspa Dewi menghela napas panjang. "Aku dan Linggajaya melarikan diri dan saking takutnya kami berpencar. Tiba-tiba aku ditawan oleh Nyi Durgakumala dan diambil sebagai murid. Aku bersyukur sekali. Aku masih merasa ngeri membayangkan tertawan oleh raksasa Resi Bajrasakti itu. Setelah aku bertemu Linggajaya, aku mendengar dari dia bahwa ternyata diapun tertawan Resi Bajrasakti dan menjadi muridnya. Kemudian aku diambil anak angkat oleh Nyi Durgakumala dan ketika ia menjadi permaisuri Raja Bhismaprabhawa dari Kerajaan Wura-wuri, aku menjadi Sekar Kedaton.
"Wah, hebat sekali engkau, Puspa Dewi. Sudah menjadi murid seorang sakti mandraguna, masih diangkat menjadi puteri istana lagi! Dan sekarang, engkau hendak pergi kemanakah?"
Puspa Dewi tersenyum. "Tidak perlu aku menceritakan semua urusanku, Nurseta. Aku masih mempunyai tugas-tugas lain yang harus kulaksanakan dengan baik setelah tugas merampas keris pusaka Megatantra kubatalkan. Nah, selamat berpisah, Nurseta."
"Selamat berpisah, Puspa Dewi. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa dalam keadaan yang lebih baik, tidak perlu kita harus saling bermusuhan."
Kedua orang muda itu lalu berpisah. Puspa Dewi melompat ke atas punggung Bajradenta, kuda putih pemberian Adipati wura-wuri yang tadi ia tambatkan tak jauh dari situ. Nurseta mengikuti bayangan dara perkasa yang membalapkan kuda putihnya itu dan dia menghela napas panjang.
Biarpun baru sebentar dia mengenal Puspa Dewi, namun dia telah dapat meraba watak gadis yang menarik hatinya itu. Seorang gadis yang memiliki dasar watak yang baik dan gagah, pembela keadilan, namun sifatnya dipengaruhi gurunya sehingga menjadi binal, ganas dan galak. Sayang kalau gadis seperti itu tidak mendapatkan bimbingan yang baik, bisa saja menjadi sesat.
Dan dia..... dia akan senang sekali kalau mendapat kesempatan memberi bimbingan kepada Puspa Dewi! Perasaan cintakah ini? Dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, belum pernah dia merasakan seperti ini. Tiga orang selir Pangeran Hendratama dengan genit berusaha merayunya, namun dia sama sekali tidak tertarik, tidak bergairah, bahkan dia merasa muak dengan sikap mereka yang genit.
Kepada Widarti, selir termuda Pangeran Hendratama yang bersikap baikpun dia tidak tertarik, hanya merasa iba kepada gadis yang terpaksa menjadi selir pangeran itu. Kemudian Ki Lurah Warsita, lurah dusun Karang Sari, ingin menjodohkan dia dengan Kartiyah, puterinya, akan tetapi diapun sama sekali tidak tertarik. Baru sekarang dia merasa tertarik sekali kepada seorang gadis, yaitu kepada Puspa Dewi.
Nurseta mengusir semua lamunan Itu dari hati dan pikirannya dan melanjutkan perjalanannya. Masih ada dua buah tugas yang harus dia selesaikan sebelum tugas terakhir, yaitu membantu Kerajaan Kahuripan. Kedua buah tugas itu ialah, pertama mencari Senopati Sindukerta yang pernah dilapori tentang orang tuanya sehingga orang tuanya ketakutan dan melarikan diri.
Dari senopati ini agaknya dia akan bisa mendapatkan keterangan tentang orang tuanya. Kedua, dia harus mencari Pangeran Hendratama untuk merampas kembali keris pusaka Megatantra untuk dihaturkan kepada Sang Prabu Erlangga seperti yang dipesan oleh mendiang Empu Dewamurti. Teringat akan tugas-tugasnya ini, Nurseta mempercepat jalannya.
********************
Dua orang itu berdiri saling berhadapan di sebuah puncak sebuah bukit kapur gersang di daerah pegunungan kidul yang memiliki ratusan, bahkan ribuan bukit itu. Bukit itu tandus karena tanahnya mengandung banyak kapur dan jauh dari pedusunan. Siapa mau tinggal di daerah yang gersang dan tidak dapat ditanami apa-apa itu?
Dua orang itu berdiri di situ, sejak tadi tak bergerak seperti arca. Suasananya sepi karena selain mereka berdua, di bukit itu dan sekitarnya, di pegunungan kapur itu memang jarang dikunjungi manusia. Yang seorang adalah seorang wanita yang usianya sudah lima puluh tahun, namun wajahnya masih tampak cantik, belum tampak dihias keriput. Juga tubuhnya masih padat dan sehat sehingga bagi yang tidak mengenalnya, tentu mengira ia berusia sekitar tiga puluh tahun.
Pakaiannya terbuat dari sutera halus dan serba hitam, meskipun terhias coretan kembang di sana-sini. Rambutnya di gelung seperti kebiasaan wanita Bali, digelung dan ditekuk dengan ciri khas, masih dihias ronce-ronce kembang melati, sepasang matanya mencorong sehingga melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa wanita ini bukanlah orang sembarangan.
Memang ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang sakti mandraguna, seorang yang menguasai banyak aji kanuragan dan sihir, yang selama puluhan tahun ia latih dari para pendeta dan pertapa di Nusa Bali. Adapun yang berdiri dengan sikap tenang di depannya adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh dua tahun. Kalau wanita itu berpakaian serba hitam, maka pria itu berpakaian serba putih bersih dan sederhana sekali. Hanya merupakan kain putih yang dilibat-libatkan di tubuhnya.
Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai lepas di pundak dan punggungnya. Kumis dan jenggotnya juga panjang namun terawat bersih dan rapi. Wajah laki-laki inipun masih memperlihatkan bekas ketampanan, pandangan matanya lembut namun penuh wibawa, mulutnya terhias senyuman penuh kesabaran dan gerak geriknya lembut. Sungguh merupakan kebalikan dari wajah wanita itu yang tampak muram dan murung, seperti wajah orang yang sakit hati atau sedang susah dan muram.
"Yayi Gayatri ....." terdengar suara laki-laki itu lembut. Akan tetapi segera dipotong oleh suara wanita itu yang terdengar ketus.
"Kakang Ekadenta, namaku sekarang bukan lagi Gayatri.
Gayatri sudah mati dan yang ada ialah Nini Bumigarbo!"
Pria itu tersenyum sabar. "Baik sekali, Nini Bumigarbo dan ketahuilah, aku sendiri sekarang juga memakai nama Bhagawan Jitendriya. Nini Bumigarbo, mengapa engkau tiada henti-hentinya berusaha untuk menentang bahkan membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama dari Kahuripan?"
"Hemm, Bhagawan Jitendriya, engkau masih berpura-pura tanya sebabnya kalau engkau sendiri terlibat di dalamnya? Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah murid-murid Sang Resi Satyadharma di Gunung Agung Nusa Bali. Karena tidak mungkin aku dapat membunuh Resi Satyadharma yang sakti mandraguna seperti dewa, maka satu-satunya jalan untuk membalas dendam dan menghilangkan rasa penasaran di hatiku hanyalah membunuh kedua orang muridnya itu."
"Aduh, yayi (dinda) Gayatri .....! Eh, maksudku Nini Bumigarbo, kenapa engkau yang dulu amat membanggakan hatiku memiliki adik seperguruan yang cantik lahir batin, sakti mandraguna, kini dapat tersesat dan membiarkan racun kebencian mengeram di dalam hatimu? Sudah berulang kali kujelaskan kepadamu bahwa Sang Resi Satyadharma sama sekali tidak berdosa, sama sekali tidak mempunyai kesalahan terhadap dirimu. Mengapa engkau menanam dendam kebencian sedemikian mendalam terhadap dia? Engkau akan kesiku (bersalah) kepada para dewata, yayi!"
"Tidak berdosa, tidak bersalah kepadaku? Itu adalah pendapat mu, karena engkau tidak merasakan, Kakang Ekadenta! Sejak muda remaja kita telah saling mencinta. Sejak dulu aku mendambakan engkau sebagai calon jodohku dan aku menolak semua pinangan pria, para pendekar, bahkan pangeran dan adipati kutolak semua karena hanya engkaulah satu-satunya pria di dunia ini yang ku inginkan menjadi suamiku. Engkaupun telah menyatakan cintamu kepadaku dan kita sudah sama berjanji untuk menjadi suami isteri. Akan tetapi engkau bertemu dan berguru kepada Resi Satyadharma dan dia yang membujuk dan mengajarmu agar engkau tidak menikah selama hidup, sejak itu engkau memutuskan hubungan cinta kita. Dan engkau kini mengatakan bahwa dia tidak bersalah padaku?"
"Benar, yayi, beliau sama sekali tidak bersalah. Sang Resi Satyadharma hanya menasihatkan agar aku tidak menikah dan mengikat diriku dengan keluarga, sama sekali beliau tidak menyinggung tentang dirimu karena beliau tidak mengenalmu dan tidak tahu bahwa dulu kita saling mencinta. Jadi yang memutuskan hubungan itu adalah aku sendiri. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa aku tidak cinta padamu, yayi. Cinta tidak harus dihubungkan dengan pernikahan, dengan berahi. Cintaku padamu lebih murni, lebih mendalam dan lebih tinggi."
"Omong kosong! Engkau tentu tahu bahwa karena penolakanmu itu, karena engkau menjauhi aku, engkau telah membuat aku patah hati, engkau telah membuat hidupku merana, kecewa, dan penasaran. Karena itu, bagaimanapun juga aku sekarang akan pergi membunuh Erlangga dan Narotama"
"Itu tidak adil, yayi. Kalau engkau menganggap Resi Satyadharma yang bersalah, kenapa tidak kau kunjungi beliau di Gunung Agung dan berhitungan dengan beliau?"
"Huh, aku bukan seorang tolol, kakang! Aku tahu, biar aku menambah ilmu-ilmu sampai seratus tahun lagi, aku tidak akan mampu mengalahkan Resi Satyadharma. Karena itu, aku akan membunuh dua orang muridnya itu!"
"Yayi, kalau engkau merasa hidupmu merana karena aku, mengapa engkau tidak membunuh aku saja?"
"Tidak, aku harus membunuh dua orang murid resi itu agar dia merasai betapa pedihnya kehilangan orang yang di cintanya!" kata Gayatri atau Nini Bumigarbo dengan kukuh.
"Hemm, karena aku tahu benar bahwa tindakanmu itu menyimpang dari kebenaran dan keadilan, maka terpaksa aku menentangmu, Yayi Gayatri. Aku yang akan menghalangi kalau engkau hendak membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama."
Sepasang mata itu berkilat dan sepasang alis yang masih hitam melengkung Itu bergerak-gerak. "Babo-babo, Kakang Ekadenta, engkau menantangku? Engkau, yang dulu menjadi kekasihku yang amat mencintaku dan menjadi kakak seperguruanku, kini hendak memusuhi aku? Kau kira aku takut padamu, kakang? Ingat, aku bukan Gayatri yang dulu. Aku telah memperdalam ilmu-ilmuku. Sekarang begini saja, kakang, daripada kita bermusuhan, mari kita putuskan begini saja. Sekarang kita mengadu kesaktian. Kalau kau kalah, maka engkau harus lepas tangan dan tidak mencampuri urusanku dengan Erlangga dan Narotama. Sebaliknya kalau aku yang kalah, aku akan mundur dan berjanji tidak akan membunuh mereka dengan tanganku sendiri. Bagaimana, kakang?"
Bhagawan Ekadenta atau Bhagawan Jitendriya menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. "Yayi Gayatri, engkau adalah adik seperguruanku. Sudah berapa kali selama tiga puluhan tahun ini engkau dalam kemarahanmu menyerangku? Engkau selalu kalah. Sekarangpun engkau tidak akan menang melawan aku yayi. Untuk apa kita bertanding lagi? Sudahlah, lebih baik buang semua dendam kebencian itu dan mari ikut aku bertapabrata. Aku akan menuntunmu ke jalan kebenaran yang akan menerangi kehidupanmu."
"Babo-babo, kakang! Jangan memandang rendah Gayatri! Sekarang engkau tidak akan menang dan aku pasti akan dapat membunuh Erlangga dan Narotama..heh-heh-hi-hi-hik!"
Wanita itu tertawa terus, cekikikan dan diam-diam Bhagawan Ekadenta terkejut dan cepat dia mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi telinga dan jantungnya. Suara tawa Nini Bumigarbo demikian dahsyat makin lama semakin kuat menimbulkan getaran amat kuat, seperti gelombang lautan yang makin lama makin mengganas. Bahkan beberapa ekor burung derkuku yang sedang berada dibalik batu-batu kapur, terkejut mendengar suara yang menggetarkan udara itu. Mereka terbang ke atas akan tetapi getaran suara tawa itu menyerang mereka dan burung-burung itu berjatuhan dan mati seketika!
Hebat bukan main serangan Nini Bumigarbo melalui getaran suara tawanya itu. Bhagawan Ekadenta sudah melindungi dirinya dengan tenaga saktinya. Dia berdiri tegak dan memejamkan dua matanya. Namun, betapapun juga, tubuhnya bergoyang-goyang saking hebatnya serangan melalui suara tawa itu.
Nini Bumigarbo yang memandang dengan sinar mata tajam ke arah Bhagawan Ekadenta, menjadi penasaran sekali melihat tubuh bekas kakak seperguruan dan kekasihnya itu hanya bergoyang-goyang tubuhnya akan tetapi tidak roboh. Banyak tokoh sakti yang roboh hanya oleh serangan suara tawanya itu.
Akan tetapi Bhagawan Ekadenta hanya bergoyang goyang tubuhnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, tawanya semakin melengking dan getarannya semakin dahsyat, namun tetap saja Bhagawan Ekadenta tidak roboh. Akhirnya Nini Bumigarbo menjadi kelelahan sendiri dan menghentikan tawanya. Getaran yang timbul dari suara tawa yang amat dahsyat itu, begitu dihentikan secara tiba-tiba juga mendatangkan pengaruh kuat. Telinga yang tadinya digetarkan oleh suara melengking-lengking itu, tiba-tiba menjadi kosong dan perubahan mendadak ini menimbulkan suara berdenging dalam telinga.
Bhagawan Ekadenta menarik napas panjang tiga kali dan dengingan itu lenyap dari pendengarannya. Dia membuka matanya dan memandang kepada Nini Bumigarbo sambil tersenyum. Akan tetapi hatinya disentuh rasa iba melihat wanita itu menggunakan sehelai saputangan untuk menyeka keringat yang membasahi dahinya.
"Yayi Gayatri, cukuplah main-main ini, untuk apa dilanjutkan?" kata Bhagawan Ekadenta lembut.
"Hemm, aku belum kalah, kakang! Kita sudah sepakat, siapa kalah harus mematuhi janjinya! Nah, sambutlah ini! Hyaaaaahhh" Nini Bumigarbo membaca mantera, lalu kedua tangannya diangkat ke atas kemudian dilambaikan dan tiba-tiba dari kedua telapak tangannya keluar asap hitam membubung ke atas. Asap itu makin tebal dan besar, kemudian dari dalam asap itu beterbangan keluar puluhan ekor kelelawar hitam sebesar kucing. Puluhan ekor kelelawar itu dengan suara bercicitan, dengan matanya yang merah, bergigi bertaring terbang meluncur ke arah Bhagawan Ekadenta, siap mencakar dan menggigit!
"Sadhu-sadhu-sadhu ..... Mahluk jadi-jadian, kembalilah kedalam kegelapan. Sinar terang mengalahkan kegelapan!" kata Bhagawan Ekadenta dan begitu dia menggerakkan tangannya menadah ke atas lalu sinar matahari seolah menimpa telapak tangannya lalu membias dengan terang sekali ke arah segerombolan kelelawar itu.
Diterjang sinar matahari yang membias dari telapak tangan Bhagawan Ekadenta, mahluk-mahluk mengerikan itu tersentak dan tertolak ke belakang, mencicit-cicit ketakutan, saling bertabrakan ketika terbang kembali ke dalam asap hitam. Kini sinar terang itu menerjang asap hitam dan asap itu perlahan-lahan mengecil dan meluncur turun kembali ke telapak kedua tangan Nini Bumigarbo.
Wajah wanita itu menjadi agak pucat dan napasnya memburu, la merasa penasaran dan marah bukan main. Hampir tiap tahun sekali sejak ia merasa dibuat patah hati oleh kakak seperguruannya yang memutuskan tali percintaan mereka, ia mencoba untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta, namun ia selalu gagal. Setelah gagal, ia cepat memperdalam ilmu-ilmunya dengan mempelajari segala macam aji kesaktian dan ilmu sihir, ilmu hitam, santet dan tenung.
Namun setiap kali ia mencoba kepandaiannya, Bhagawan Ekadenta selalu dapat mengalahkannya. Agaknya kakak seperguruannya yang mengasingkan diri dari dunia ramai itupun makin memperdalam ilmu-ilmunya sehingga menjadi semakin sakti mandraguna! Dua macam ilmu baru tadipun ternyata dapat dibuyarkan oleh Bhagawan Ekadenta. Ia masih memiliki aji pamungkas yang baru saja dipelajarinya di Nusa Bali, akan tetapi masih merasa ragu untuk mengeluarkannya karena ajinya itu berbahaya sekali dan bagaimanapun juga ia tidak ingin membunuh pria yang sampai sekarang masih dicintanya itu. la hanya ingin mengalahkannya
"Sudah cukup main-majn ini, yayi"
"Aku belum kalah! Sambut serangan ini!" Nini Bumigarbo menggerakkan tangan kanannya dan tahu-tahu ia sudah memegang sebatang ranting sedepa panjangnya, sebatang ranting hitam.
"Haamtt!" Ranting itu seperti hidup di tangannya, meluncur dengan kecepatan kilat menyerang kearah leher Bhagawan Ekadenta. Pria yang usianya sekitar lima puluh dua tahun ini melompat ke belakang untuk mengelak, tangannya merogoh dibalik jubahnya dan mengeluarkan sehelai kain p utih yang biasa dia pergunakan untuk mengikat rambutnya. Sehelai kain yang panjangnya selengan, tampak sederhana lemas. Akan tetapi ketika ranting itu menyambar lagi, dia menangkis dengan kain putih itu yang tiba-tiba menjadi kaku seperti sebatang kayu.
"Takkk!" Ranting hitam bertemu kain putih dan sungguh luar biasa, pertemuan dua benda sederhana itu menimbulkan bunga api dan asap. Lalu keduanya saling serang dengan kecepatan kilat sehingga ranting itu beruban menjadi gulungan sinar hitam sedangkan kain itu berubah menjadi gulungan sinar putih. Kedua sinar itu berkelebatan saling mendesak dan saling mengurung.
Kalau kebetulan ada orang menyaksikan pertandingan ini, dia tentu akan takjub melihat dua orang itu hanya tampak sebagai bayang-bayang saja yang terkurung dua gulungan sinar hitam dan putih. Bukan main hebatnya pertandingan ini. Gerakan keduanya mendatangkan angin bersiutan yang membuat tanah dan debu berhamburan lalu membubung naik seolah di situ ada dua mahluk raksasa yang amat kuat sedang berlaga.
Kadang-kadang terdengar suara keras dan batu pecah berhamburan terkena pukulan ujung ranting atau kain. Bahkan orang-orang yang memiliki kesaktianpun akan tercengang menyaksikan pertandingan dahsyat ini. Keadaan sekeliling tempat pertandingan, dalam jarak belasan tombak terlanda gelombang tenaga mereka yang akan dapat merobohkan orang dari jarak jauh.
Memang tingkat kepandaian dua orang ini sudah amat tinggi, maka pertandingan itupun hebat bukan main. Ilmu silat yang mereka pelajari dan latih selama puluhan tahun telah mendarah daging di tubuh mereka. Gerakan mereka sudah otomatis seolah tanpa dikendalikan pikiran lagi, tangan kaki sudah bergerak sendiri dan seolah olah mempunyai mata sendiri. Dan setiap gerakan mengandung tenaga dalam yang dahsyat dan sakti.
Kedua orang sakti mandraguna itu dahulunya adalah kakak dan adik seperguruan. Bersama mendiang Empu Dewamurti, mereka bertiga merupakan murid murid terkasih dari Sang Mahatma Budhi Dharma, pendeta perantau yang tak diketahui asal-usulnya dan tidak diketahui pula ke mana perginya.
Sebagian besar ilmu-ilmunya diserap oleh tiga orang muridnya itu, ialah Empu Dewamurti, Bhagawan Ekadenta dan Nini Bumigarbo Hanya kalau Empu Dewamurti lalu mengasingkan diri dan bertapa, kedua orang ini, terutama Nini Bumigarbo, memperdalam ilmu-ilmu mereka dengan belajar kepada para pendeta sakti mandraguna dan mereka yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Maka dapat dibayangkan betapa saktinya dua orang kakak beradik ini.
Dua orang yang tadinya saling mencinta dan sudah berjanji untuk menjadi suami isteri itu mulai pecah ketika Bhagawan Ekadenta menyatakan bahwa dia ingin memperdalam kerohanian dan metutuskan untuk tidak menikah. Nini Bumigarbo yang dulu bernama Gayatri menjadi kecewa dan patah hati. Apalagi dalam mencari tambahan ilmu, ia bertemu dengan datuk-datuk sesat sehingga ia masuk ke dalam lingkungan dunia hitam, wataknya menjadi keras dan pendendam.
Karena untuk memaksa kakak seperguruannya jelas tidak mungkin, maka ia melampiaskan kemarahan dan dendamnya dengan cara mengajak Bhagawan Ekadenta bertanding hampir setiap tahun. Akan tetapi selalu ia kalah sehingga hatinya menjadi semakin kecewa dan penasaran. Kemudian timbul bencinya kepada Resi Satyadharma yang dianggapnya sebagai biang keladi sehingga kakak seperguruan atau kekasihnya itu berubah pikiran dan tidak mau menikah!
Maka, tidak mengherankan kalau kali ini Nini Bumigarbo mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengalahkan Bhagawan Ekadenta. Namun, sampai seratus jurus lebih mereka bertanding belum juga ia mampu mendesak bekas kekasihnya itu. Semua tenaga sakti, tenaga hitam dan sihir, telah ia kerahkan namun semua mental, tidak mampu menembus pertahanan Bhagawan Ekadenta yang senantiasa sabar dan lembut terhadapnya itu. Bhagawan Ekadenta yang banyak mengalah dalam pertandingan itu merasa sudah cukup lama memberi kelonggaran kepada Nini Bumigarbo.
Sebetulnya dia merasa kasihan kepada kekasihnya itu bahkan sampai kini masih ada rasa kasih itu dalam hatinya, namun bukan seperti cinta kasih yang diharapkan Nini Bumigarbo. Dia lalu membuat gerakan kuat dengan kain putih pengikat rambutnya dan tiba-tiba ujung kain itu seperti seekor ular dapat membelit ranting di tangan Nini Bumigarbo dan dengan sentakan kuat, kain itu telah berhasil membetot ranting terlepas dari tangan Nini Bumigarbo. Bhagawan Ekadenta melompat kebelakang, lalu melemparkan ranting yang dirampasnya itu ke arah Nini Bumigarbo yang menyambut dan menangkap rantingnya.
"Cukup sekian saja kita main-main, Yayi Gayatri!" kata Bhagawan Ekadenta.
"Tidak, memang rantingku dapat kau rampas, akan tetapi itu belum berarti bahwa aku sudah kalah! Coba Jawan aji pamungkasku ini! " Nini Bumigarbo lalu bersedakap (melipat lengan di depan dada) dan memejamkan matanya, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra. Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat dan perlahan-lahan tubuhnya berubah!
Wajahnya, rambutnya, tubuhnya, semua berubah menjadi leyak, menjadi wujud setan betina dan gimbal (lekat) wajahnya menakutkan dengan mata besar mencorong seperti mengeluarkan sinar berapi, hidungnya besar pesek dan mulutnya lebar dengan gigi bercaling dan lidahnya panjang terjulur keluar. Buah dadanya besar dan panjang, keluar dari bajunya, tergantung sampai perut. Jari-jari tangannya berkuku panjang.
"jagad Dewa Bathara! Sadhu, sadhu..sadhu .....!"
Bhagawan Ekadenta mengerahkan tenaga saktinya untuk menggetarkan iblis jadi-jadian itu. Akan tetapi ternyata iblis jadi-jadian yang ini amat kuat dan sakti, juga kebal sehingga serangan tenaga sakti yang dikerahkan Bhagawan Ekadenta tidak dapat mengenyahkannya, bahkan iblis betina itu mengangkat kedua tangan berkuku panjang itu ke atas. Dari kedua telapak tangan leyak itu menyambar keluar sinar kilat ke arah tubuh Bhagawan Ekadenta Sang bhagawan mengerahkan tenaga sakti menyambut.
"Blarrr .....!" Tubuh sang bhagawan sempoyongan ke belakang.
Leyak yang menyeramkan itu terkekeh, suara tawanya mendirikan bulu roma. Bhagawan Ekadenta mengerutkan alisnya. Sungguh ilmu hitam yang amat tangguh dan berbahaya, pikirnya. Kalau Nini Bumigarbo mempergunakan ilmu sesat macam itu, mau tidak mau dia harus mengeluarkan aji simpanannya. Leyak itu terlalu kuat untuk dilawan dengan kekuatan biasa.
Bhagawan Ekadenta lalu bersedakap dan memejamkan kedua matanya, mengheningkan cipta. Nini Bumigarbo yang merasa di atas angin sambil terkekeh sudah hendak menyerang lagi dengan sinar kilat dari kedua telapak tangannya. Akan tetapi tiba-tiba la menahan serangannya dan mengeluarkan teriakan menyayat hati dan menjadi marah sekali karena ia melihat betapa tubuh sang bhagawan itu kini telah tumbuh menjadi besar sekali! Itulah Aji Triwikrama!
Begitu melangkah tiga kali, tubuh sang bhagawan tampak oleh Nini Bumigarbo berubah menjadi sebesar bukit! Sinar kilat yang meluncur dari kedua telapak tangan Nini Bumigarbo membalik ketika menghantam tubuh sang bhagawan, bahkan menghantam dirinya sendiri sehingga ia terjengkang dan jatuh terlentang. Melihat lawannya jatuh, Bhagawan Ekadenta kembali merasa kasihan karena begitu membentur tanah, tubuh leyak itu kembali menjadi tubuh Nini Bumigarbo.
Ia pun menyimpan ajiannya dan kembali menjadi Bhagawan Ekadenta. Nini Bumigarbo melompat bangun lagi sambil mengeluarkan jerit melengking kini ia menggoyang tubuhnya dan ketika tubuhnya diselimuti uap hitam sehingga tak tampak. Yang tampak hanyalah uap hitam itu yang kini bergerak cepat ke arah Bhagawan Ekadenta. Sang bhagawan juga menggoyang tubuhnya dan uap putih menyelubungi tubuhnya.
Kalau ada orang kebetulan menyaksikan pertandingan itu, tentu dia akan merasa heran dan bingung karena kini tidak tampak ada orang bertanding, melainkan ada uap hitam dan uap putih yang saling terjang dan saling dorong! Tampaknya saja uap hitam dan uap putih yang saling dorong akan tetapi sebetulnya Nini Bumigarbo dan Bhagawan Ekadenta sedang bertarung sambil mengeluarkan ilmu masing-masing dan mengerahkan seluruh tenaga.
Seperti juga tadi, Bhagawan Ekaderta banyak mengalah dan memberi kesempatan kepada Nini Bumigarbo untuk melancarkan serangan-serangannya, mengeluarkan semua ilmunya dan dia hanya mempertahankan. Setelah seratus jurus lebih, barulah dia menambah pengerahan tenaganya dan tampaklah awan atau uap hitam itu mulai terdesak mundur, bahkan semakin menyuram. Akhirnya, terdengar pekik melengking penuh kekecewaan dan kemarahan, dan uap hitam itu melayang pergi meninggalkan tempat itu. Awan putih juga lenyap dan tampak Bhagawan Ekadenta berdiri sambil menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Yayi Gayatri, jangan melanggar janjimu!" dia berseru.
"Bhagawan Ekadenta, aku tidak akan membunuh Erlangga dan Narotama, akan tetapi aku akan menurunkan ilmuku kepada seorang murid dan dialah yang akan Mewakili aku memusuhi Kahuripan!" terdengar suara melengking dari jauh, suara Nini Bumigarbo. Bhagawan Ekadenta menghela napas panjang, lalu berkata kepada diri sendiri.
"Sadhu-sadhu-sadhu, kehendak Sang Hyang Widhi pasti terjadi, tak dapat diubah oleh siapapun juga! Sudah sesuai dengan garisnya bahwa keturunan Mataram akan menghadapi banyak gangguan!" setelah berkata demikian, dengan langkah tenang sang bhagawan meninggalkan bukit itu.
Sementara itu, dengan hati yang mengkal, sakit dan penasaran, Nini Bumigarbo yang terpaksa tidak berani melanggar janjinya dan tidak melanjutkan niatnya untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, lalu mencari murid. Akhirnya ia menemukan seorang murid yang dianggapnya baik sekali untuk dapat melaksanakan niatnya yaitu membunuh atau setidaknya mencelakai sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama sebagai murid-murid Sang Resi Satyadharma untuk membalaskan dendamnya terhadap sang resi yang dianggap sebagai penyebab kekasihnya, Ekadenta meninggalkannya.
Murid itu adalah permaisuri dari Adipati Adhamapanuda, Raja Kerajaan Wengker, bernama Dewi Mayangsari. Permaisuri Wengker ini seorang wanita yang cantik jelita, genit dan cerdik, berusia dua puluh lima tahun. Sudah enam tahun ia menjadi permaisuri Adipati Adhamapanuda, akan tetapi belum mempunyai anak dan ia amat disayang oleh sang adipati karena selain cantik jelita dan pandai menyenangkan hati, juga Dewi Mayangsari ini sejak kecil telah mempelajari ilmu kanuragan sehingga ia memiliki kesaktian.
Wanita ini dipilih oleh Nini Bumigarbo karena ia tahu bahwa Kerajaan Wengker merupakan musuh bebuyutan Mataram. Ia mengharap agar muridnya ini yang akan dapat mewakilinya, membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Permaisuri Dewi Mayangsari menyambut Nini Bumigarbo dengan girang dan selama tiga tahun ia digembleng oleh guru barunya itu sehingga Dewi Mayangsari menjadi semakin sakti. Dengan senang hati pula ia berjanji kepada Nini Bumigarbo untuk menentang Kahuripan dan berusaha untuk membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Demikianlah, Dewi Mayangsari mendorong suaminya untuk selalu memusuhi Kahuripan dan permaisuri ini yang menganjurkan Adipati Adhamapanuda untuk mengangkat Linggajaya menjadi senopati muda dan mengutus pemuda murid Resi Bajrasakti untuk membantu usaha para puteri Kerajaan Parang Siluman mengadakan kekacauan di Kahuripan.
Kini usia Dewi Mayangsari sudah dua puluh delapan tahun dan ia membantu suaminya untuk menyusun pasukan yang kuat, bersiap-siap dan melatih pasukan itu agar siap siaga kalau sewaktu-waktu pecah perang terbuka antara Kerajaan Wengker dan Kerajaan Kahuripan.
********************