Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 18

Cerita silat online karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO

KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 18

Puspa Dewi menjadi bimbang dan ragu. Di satu pihak ia harus melaksanakan perintah ibu angkatnya dan juga sebagai puteri Sekar Kedaton, puteri Raja Wura wuri, ia harus membantu mereka yang memusuhi Kahuripan. Akan tetapi di lain pihak ia teringat akan pembicaraannya dengan Nurseta.

Orang-orang yang memusuhi Sang Prabu Erlangga ini bukanlah orang baik-baik. Dua orang puteri Kerajaan Parang Siluman itu telah mengorbankan diri, menjadi selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, hanya agar mereka dapat berdekatan dengan musuh-musuh mereka sehingga memudahkan mereka untuk menyerang, kalau saatnya tiba.

Sungguh merupakan perbuatan yang hina, menyerahkan dirinya menjadi selir untuk kemudian mencelakakan orang yang telah menjadi suaminya. Dan sekutu mereka, Pangeran Hendratama itu, juga bukan orang baik-baik melihat cara dia mencuri pusaka Sang Megatantra dari tangan Nurseta. Sekumpulan orang-orang yang licik bersekutu untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang demikian bijaksana! Dan kini ia harus membantu orang-orang licik itu.

"Puspa Dewi yang cantik manis, kenapa andika melamun seorang diri dalam taman ini? Mari, kami temani agar engkau bergembira dan tidak kesepian!" kata Ki Lembara sambil cengar-cengir berdiri di depan Puspa Dewi.

Tiga orang temannya hanya berdiri di belakangnya dan mereka hanya menyeringai. Puspa Dewi tetap duduk di atas bangku, mengangkat muka memandang wajah yang dihias kumis tebal melintang dan mata yang lebar itu, lalu berkata dingin.

"Aku tidak mengenal kamu. Pergilah dan jangan ganggu aku!"

"Ha ha-ha... Tadi kita sudah saling diperkenalkan oleh Gusti Pangeran, apakah andika lupa lagi, Dewi? Aku boleh memanggilmu Dewi saja, bukan? Andika memang cantik seperti Dewi Kahyangan. Namaku Lembara, pendekar jagoan dari Pesisir Utara!"

Puspa Dewi mengerutkan alisnya. "Aku tidak perduli kamu jagoan atau bukan, dari pesisir atau dari gunung, aku tidak ingin berteman dengan kamu dan pergilah sebelum aku hilang sabar dan akan menghajarmu!"

Gertakan ini membuat tiga orang teman Lembara merasa tidak enak. Mereka teringat bahwa gadis ini adalah utusan Puteri Mandari, maka mereka mundur tiga langkah dan seorang di antara mereka memegang lengan Lembara dari belakang untuk menariknya mundur. Akan tetapi Lembara mengibaskan lengannya dan dia malah melangkah maju mendekati Puspa Dewi sambil tersenyum lebar.

"He-heh, andika hendak menghajarku? Bagaimana caranya, manis? Pukulan tanganmu yang halus itu seperti pijatan yang nyaman bagiku. Mari, nimas ayu, pijatilah tubuhku dengan pukulanmu. Kau boleh pilih, bagian mana yang hendak kau pijit, ha-ha!"

Puspa Dewi bangkit berdiri, alisnya berkerut matanya bersinar mencorong akan tetapi mulutnya tersenyum manis. Bagi orang yang sudah mengenalnya dengan baik, akan merasa tegang melihat gadis itu tersenyum seperti ini. Senyum manis hanya bibirnya saja akan tetapi bagian muka yang lain sama sekali tidak tersenyum, terutama matanya yang mencorong menyeramkan itu.

Hal ini menandakan bahwa gadis itu mulai terbakar kemarahan dan kalau sudah begitu ia dapat berbahaya sekali! Akan tetapi dasar sombong, Lembara bahkan menganggap gadis itu mulai mau melayaninya, maka dia berkata lagi dengan berlagak, bibirnya dicibirkan dengan mengira bahwa kalau sudah begitu dia tampak gagah dan tampan!

"Marilah, manis, kita menjadi sahabat yang akrab dan mesra. Menyenangkan sekali, bukan? Aku akan mengajarkan padamu bagaimana caranya menikmati kesenangan dalam hidup ini."

"Anjing busuk! Kamu ingin dipijit? Nah, rasakanlah ini!"

Tangan kiri Puspa Dewi bergerak cepat menepuk ke arah dada Lembara. Melihat betapa dara itu hanya menepuk seperti benar-benar hendak memijit atau membelai dadanya, Lembara menyeringai senang, bahkan membusungkan dadanya yang kokoh.

"Tukk .....!" Jari telunjuk tangan kiri Puspa Dewi hanya menyentuh dada itu, akan tetapi itu bukan sembarangan sentuhan karena sesungguhnya jari tangan kiri dara itu menotok jalan darah di dada.

Tiga orang teman Lembara terbelalak heran ketika melihat betapa Lembara yang tadinya menyeringai itu tiba-tiba berteriak mengaduh, wajahnya pucat, kedua tangan mendekap dada dan dia terkulai roboh! Puspa Dewi menggerakkan kaki kanannya yang mencuat sebagai tendangan.

"Bukk!" Tubuh Lembara terlempar dan jatuh ke dalam kolam ikan yang berada tak jauh dari situ.

"Byuurrrr .....!"

Lembara merangkak naik dan keluar dari kolam ikan. Pakaian dan rambutnya basah kuyup akan tetapi rasa nyeri di dadanya lenyap, hanya masih terasa agak sesak kalau bernapas. Dia marah bukan main. Tiga orang temannya tak dapat menahan tawa mereka melihat kejadian yang mereka anggap lucu itu, walaupun mereka masih terheran-heran bagaimana dapat terjadi. Mereka tahu bahwa Lembara adalah seorang jagoan yang benar benar tangguh.

Pangeran Hendratama muncul keluar dari pintu belakang. Dia tadi mendengar teriakan Lembara dan karena suasana sudah amat mencekam baginya, dalam kekhawatirannya kalau kalau Nurseta datang menyerbu, dia cepat keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika dia keluar, dia melihat Lembara keluar dari kolam ikan dengan badan basah kuyup dan tiga orang jagoan lainnya menertawakan.

Di depan Lembara berdiri Puspa Dewi. Gadis itu bertolak pinggang dan sikapnya tenang dan anggun. Sejak kedatangannya, Pangeran Hendratama memang sudah tergila-gila kepada Puspa Dewi. Hanya karena mengingat bahwa dara jelita itu adalah utusan Puteri Mandari, maka dia menahan diri dan belum berani main-main dengan Puspa Dewi.

Kini melihat agaknya terjadi sesuatu antara Puspa Dewi dan Lembara bersama tiga orang jagoan lainnya, Pangeran Hendratama menyelinap di balik sebatang pohon dalam taman itu dan mengintai. Dia tidak mau memperlihatkan diri lebih dulu karena kalau dia lakukan itu, tentu mereka semua tidak berani melanjutkan pertikaian mereka. Lembara semakin marah mendengar tiga orang temannya tertawa-tawa.

"Sialan! Kenapa kalian malah tertawa? Lihat aku akan menghajar wanita tak tahu diri ini!"

Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan mata yang lebar itu terbelalak, Lembara yang agaknya nafsu berahinya telah didinginkan oleh air kolam, melompat ke depan Puspa Dewi

"Puspa Dewi, aku mengajak mu bersahabat, sebaliknya engkau malah secara curang menyerang dan menghinaku. Akan tetapi mengingat bahwa aku adalah seorang pendekar yang jantan sedangkan engkau seorang perempuan, aku akan melupakan semua ini dan memaafkan mu kalau engkau suka minta maaf dan bersedia menjadi sahabat baikku!"

Lembara yang tidak mengenal tingginya langit dalamnya lautan, yang menganggap kepandaiannya sendiri paling tinggi dan pengetahuannya sendiri paling dalam, masih bersikap seperti seorang jagoan yang gagah perkasa. Akan tetapi, kemarahan Puspa Dewi belum reda.

"Anjing buduk! Kamu yang harus minta maaf kepadaku atas kekurang-ajaranmu. Kalau tidak, aku akan memberi hajaran yang lebih keras lagi!"

Lembara tak dapat menahan lagi kemarahannya yang berkobar.

"Keparat, engkau memang tidak tahu disayang orang!"

"Habis, kamu mau apa?" tantang Puspa Dewi.

"Lihat pukulanku...!" Lembara lalu menyerang dengan tamparan bertubi-tubi, menggunakan kedua tangannya yang menyambar dari kanan kiri. Gerakan jagoan ini memang cepat dan juga tamparannya mengandung tenaga yang kuat. Lembara memang seorang jagoan yang cukup tangguh. Bahkan di antara para jagoan muda yang menghambakan diri kepada Pangeran Hendratama, dia adalah yang terkuat.

Setelah kini Lembara menyerang dengan sungguh-sungguh, Puspa Dewi juga menyadari bahwa lawannya ini bukan orang lemah dan kalau tadi ia dapat merobohkannya dengan mudah adalah karena Lembara tadi memandang rendah kepadanya dan sama sekali tidak siap mengerahkan tenaga saktinya sehingga dengan mudah ia dapat menotok jalan darah dan merobohkannya. Memang, kelemahan yang paling berbahaya bagi seorang jagoan adalah kalau dia meremehkan kepandaian lawan dan karenanya menjadi lengah.

Setelah kini Lembara menyerangnya dengan bertubi dan dengan pengerahan tenaga sakti, karena agaknya pria itu hendak membalas dendam karena dirobohkan dan ditendang masuk ke dalam kolam sehingga hal itu tentu saja dianggapnya sebagai penghinaan, Puspa Dewi juga melayaninya dengan gerakan tubuhnya yang lincah dan ringan.

Pada waktu itu, Puspa Dewi sudah mewarisi semua ilmu yang dikuasai Nyi Dewi Durgakumala. Tentu saja gurunya yang menjadi ibu angkatnya itu menang pengalaman, akan tetapi di lain pihak Puspa Dewi menang muda dan lebih kuat daya tahan dan pernapasannya sehingga kalau dibuat perbandingan, tingkat yang dimiliki Puspa Dewi seimbang dengan kepandaian Nyi Dewi Durgakumala sendiri.

Maka dapat dibayangkan betapa saktinya dara perkasa ini. Setelah bertanding saling serang selama lima puluh jurus lebih, Puspa Dewi tahu bahwa lawannya memang tangguh dan kokoh kuat pula pertahanannya. Kalau ia mau mengeluarkan aji pamungkasnya untuk membunuh, seperti pukulan beracun Wisa kenaka, tentu ia akan dapat merobohkan lawannya.

Akan tetapi, ia tidak ingin membunuh jagoan anak buah Pangeran Hendratama karena hal itu tentu akan menimbulkan urusan besar yang menimbulkan geger dan tidak enak. Maka setelah mendapatkan saat lawannya mengerahkan semua tenaga dalamnya menyerang dengan pukulan lurus ke arah dadanya, Puspa Dewi cepat melompat kekiri, kemudian ia balas menyerang dengan pekik melengking yang menggetarkan seluruh taman. Itulah Pekik Guruh Bairawa yang amat kuat getarannya, mengguncang jantung lawan.

Diserang dengan pekik yang sama sekali tidak disangka-sangka itu, Lembara terkejut dan dia terhuyung. Kesempatan ini dipergunakan oleh Puspa Dewi untuk mengirim tendangan berantai dengan kedua kakinya bergantian. Lembara yang terhuyung masih dapat mengelakkan dua kali tendangan dan menangkis sekali tendangan, akan tetapi tendangan ke empat kalinya mengenai pahanya.

"Bukk .....!" Tak dapat dihindarkan lagi, Lembara jatuh terjengkang!

Pangeran Hendratama yang menyaksikan pertandingan itu kagum bukan main. Hampir sukar dipercaya bahwa gadis muda remaja itu mampu mengalahkan Lembara, jagoannya yang paling tangguh. Bahkan dia sendiri akan sukar mengalahkan Lembara! Kini dia melihat Lembara mencabut goloknya yang besar. Pangeran Itu merasa tegang, akan tetapi dia membiarkan saja, ingin sekali melihat apakah Puspa Dewi akan mampu menandingi Lembara.

Ketika Puspa Dewi melihat lawannya yang sudah dua kali ia jatuhkan itu masih nekat, bahkan kini mencabut sebatang golok besar, ia membentak marah.

"Anjing tolol, apakah engkau masih belum mengaku kalah dan nekat?"

Lembara yang merasa malu sekali memang sudah nekat. Dia dipermalukan di depan tiga orang temannya. Maka tanpa menjawab dia sudah memutar-mutar golok besarnya sehingga terdengar suara mengaung dan golok itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Akan tetapi Puspa Dewi sudah menekuk kedua lututnya yang berada di depan dan belakang, kedua lengan dipentang seperti burung hendak terbang.

Itulah jurus pembukaan atau kuda-kuda dari Aji Guntur Geni. Begitu Lembara menerjang ke depan dengan goloknya, dara itu mendorongkan kedua tangannya ke depan. Akan tetapi karena tidak ingin membunuh, ia membatasi tenaganya.

"Wuuuuttt ..... desss .....!"

Tubuh Lembara yang menerjang ke depan itu tiba-tiba terpental ke belakang dan terbanting keras. Goloknya terpental jauh dan dia jatuh pingsan oleh gempuran tenaga pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Tiga orang temannya segera berjongkok dan menolongnya. Pangeran Hendratama muncul dan berlari mendekat. Melihat munculnya Pangeran Hendratama, Puspa Dewi lalu memberi hormat dengan membungkuk.

"Maaf, pangeran. Orang itu kurang ajar dan hendak mengganggu saya, terpaksa saya memberi hajaran kepadanya."

Pangeran Hendratama mendekati Lembara yang pada saat itu baru siuman dari pingsannya dan bangkit dipapah tiga orang temannya. Baju di bagian dadanya hangus dan hancur, akan tetapi dia tidak terluka parah. Hanya guncangan akibat hawa pukulan dahsyat tadi saja yang membuatnya pingsan.

"Lembara, masih untung andika tidak tewas. Berani benar andika mengganggu puteri Nyi Dewi Durgakumala yang sekarang menjadi permaisuri Kerajaan Wira-wuri. Hayo cepat mohon ampun kepada Ni Puspa Dewi." kata Pangeran Hendratama kepada Lembara.

Mendengar ini, Lembara terkejut bukan main. Baru mendengar nama Nyi Dewi Durgakumala saja, dia sudah merasa ngeri. Kiranya gadis itu puteri datuk wanita yang sakti mandraguna itu. Dan tadi dia telah mencoba untuk merayu gadis yang ternyata puteri sekar kedaton Kerajaan wura-wuri itu! Maka, biarpun dadanya masih terasa sesak dan kepalanya masih pening, dia segera merangkap kedua tangan ke depan hidungnya sambil membungkukkan badan, menyembah kepada Puspa Dewi.

"Ampunkan hamba yang tidak mengenal paduka dan berani bersikap tidak patut, gusti puteri....."

Puspa Dewi memang tidak ingin mencari keributan, maka ia hanya menjawab singkat, "Sudah, pergilah...!"

Sambil membungkuk-bungkuk Lembara dipapah tiga orang temannya, pergi dari taman itu. Setelah kini tinggal mereka berdua dalam taman, Pangeran Hendratama berkata kepada Puspa Dewi.

"Puspa Dewi maafkanlah mereka. Mereka hanya orang orang kasar yang tidak tahu sopan santun."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya dan menjawab dengan suara halus namun kata-katanya cukup menggigit. "Tidak apa, paman pangeran, akan tetapi seyogianya paduka memperingatkan mereka Sikap sombong mereka dapat menyeret nama paduka menjadi celaan orang."

Wajah Hendratama menjadi kemerahan. Ucapan gadis itu sama saja dengan mengatakan bahwa dia tidak pernah mengajarkan sikap baik kepada orang-orangnya. Akan tetapi setelah menyaksikan sendiri kesaktian Puspa Dewi, bukan saja sikapnya menjadi hati-hati dan hormat, juga gairahnya terhadap dara jelita itu dia hilangkan dari dalam hatinya.

"Aku akan memberi peringatan keras kepada mereka. Selain itu, Puspa Dewi, yang terpenting adalah bahwa malam ini kita harus waspada. Aku khawatir akan muncul orang-orang yang hendak mengancam nyawaku. Untuk memperkuat penjagaan menghadapi ancaman itulah maka kami minta bantuan Puteri Mandari yang mengutusmu."

Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Dari cerita yang didengarnya ketika Nurseta menceritakan tentang dicurinya pusaka Sang Megatantra oleh pangeran ini, ia tahu bahwa Pangeran Hendratama adalah seorang yang licik dan curang. Orang seperti ini tentu saja mempunyai banyak musuh. "Paman, siapakah orang yang mengancam keselamatan paduka?" tanyanya.

"Wah, banyak orang yang memusuhi aku, Puspa Dewi."

"Mengapa banyak orang memusuhi paduka, paman pangeran?" tanya gadis itu. Dalam hatinya ia berkata: Hanya orang jahat yang dimusuhi banyak orang!

"Mereka itu merasa iri hati kepadaku. Mungkin karena aku kembali ke kota raja, mungkin karena kekayaanku."

"Saya melihat paduka memiliki koleksi pusaka yang amat banyak sehingga memenuhi sebuah gudang pusaka yang dijaga ketat. Apakah mereka itu memusuhi paduka untuk mencuri pusaka?" gadis itu memancing.

Ditanya tentang pusaka, Pangeran Hendratama menjawab singkat, "Mungkin sekali. Siapa yang tidak ingin memiliki pusaka-pusaka yang ampuh? Sudahlah, Puspa Dewi, kuharap andika suka waspada malam ini. Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan."

Pangeran Hendratama lalu meninggalkannya, kembali ke dalam gedung. Setelah Pangeran Hendratama pergi, Puspa Dewi duduk lagi di atas bangku dan ia mengenang kembali apa yang telah terjadi. Pangeran Hendratama itu tampaknya bersikap ramah, lembut dan sopan. Akan tetapi hal ini tidak mendatangkan perasaan suka di hatinya karena ia sudah mendengar dari Nurseta tentang pangeran ini. Kehalusan sikapnya itu justeru berbahaya.

Nurseta sendiri sampai lengah dan dapat tertipu karena percaya melihat sikap baik pangeran itu. Yang jelas, pangeran itu mempunyai jagoan-jagoan pengawal yang terdiri dari orang-orang yang kasar dan tidak sopan, la mulai merasa ragu akan tugas yang diberikan ibu angkatnya ini. Tugas pertama, merampas pusaka Megatantra dari tangan Nurseta gagal karena bukan saja keris pusaka itu memang sudah tidak berada pada pemuda itu, juga ia malah menyadari bahwa tugas yang diberikan gurunya itu tidak benar.

Pusaka Megatantra itu hak milik Sang Prabu Erlangga, mengapa harus direbut? Itu sama saja dengan pencuri atau perampok yang hendak mengambil hak milik orang lain. Maka ia telah memutuskan untuk menghiraukan tugas pertama itu. Kemudian tugas kedua bahwa ia harus membunuh Ki Patih Narotama. Tugas kedua inipun gagal ia lakukan karena selain Ki Patih Narotama terlalu sakti baginya dan sama sekali bukan lawannya, juga ia disadarkan oleh patih yang bijaksana itu.

Malah menurut keterangan Ki Patih Narotama, gurunya atau ibu angkatnya itulah yang sesat dan jahat. Keterangan inipun terpaksa ia percaya karena ia melihat sendiri bahwa gurunya itu memang seorang wanita sesat, suka mempermainkan pemuda-pemuda remaja, kejam dan mudah membunuh orang. Maka, tugas kedua inipun ia hiraukan.

Betapapun juga, ia harus mengakui bahwa gurunya yang sesat itu amat sayang kepadanya, telah mewariskan semua kesaktiannya kepadanya. Karena inilah maka ia mau melaksanakan perintahnya, sekadar untuk membalas budinya yang berlimpah. Kini tinggal tugas ketiga, tugas terakhir, yaitu membantu gerakan Puteri Lasmini dan Puteri Mandari, dari Kerajaan Parang Siluman untuk menghancurkan Kahuripan, musuh bebuyutan kerajaan-kerajaan kecil itu. Akan tetapi iapun mulai merasa ragu akan pelaksanaan tugas terakhir ini.

Memang sebagai seorang puteri istana Kerajaan Wura wuri, sudah sepantasnya kalau ia membela kerajaan itu. Akan tetapi caranya ini yang ia tidak suka. Kalau Wura-wuri diserang oleh kerajaan manapun, termasuk Kahuripan, tentu ia akan membela Wura-wuri dengan suka rela, bahkan sebagai puteri angkat raja ia sudah sepatutnya siap untuk membela dengan taruhan nyawa. Akan tetapi cara licik seperti yang mereka lakukan sekarang ini, sungguh berlawanan dengan watak dan suara hatinya.

Ini sungguh tidak adil, tidak sepantasnya dilakukan orang gagah, hanya patut dilakukan orang-orang pengecut yang suka mempergunakan kecurangan dan kelicikan. Akan tetapi, dua tugas pertama telah gagal dan bahkan ia hiraukan, apakah untuk tugas terakhir ini ia harus mundur juga. Hal inilah yang membuat Puspa Dewi termenung dalam keraguan. Apalagi sekarang ia diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu Pangeran Hendratama, menjaga keselamatan pangeran itu dari ancaman musuh-musuhnya.

Tugas ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Parang Siluman! Akan tetapi karena Adipati Bhismaprahhawa sebagai Raja Wura-wuri dan ayah angkatnya, dan Ratu Dewi Durgakumala sebagai guru dan ibu angkatnya menugaskan ia harus membantu Puteri Mandari, maka ia harus mentaati semua perintahnya. Diam-diam Puspa Dewi menjadi penasaran, dan tidak senang karena pekerjaan ini dilakukan dengan terpaksa, walaupun tidak disukainya. Akhirnya lapun meninggalkan taman sari dan kembali kekamarnya dalam istana pangeran itu.

********************


Malam itu udara dingin sekali. Segala sesuatu yang berada di luar rumah basah kuyup karena sore tadi hujan turun dengan derasnya. Namun malam ini udara cerah dan bulan yang hampir penuh tersenyum di langit. Kalau saja malam tidak sedingin itu, tentu semua orang lebih senang berada di luar rumah menikmati malam terang bulan yang mendatangkan suasana menggembirakan itu. Akan tetapi udara terlalu dingin sehingga di jalan jalan, di luar rumah, tampak sepi.

Nurseta berjalan perlahan di atas jalan besar dalam kesepian itu. Dia menuju ke istana tempat tinggal Pangeran Hendratama yang siang tadi sudah dia selidiki dimana letaknya. Siang tadi, Senopati Sindukerta sudah melakukan penyelidikan dan memastikan bahwa Pangeran Hendratama berada di istananya dan menurut penyelidikan itu, sang pangeran tidak ada rencana untuk pergi keluar istana.

"Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Hendratama mengumpulkan sedikitnya tujuh orang jagoan yang digdaya untuk menjadi pengawalnya, belum lagi para perajurit anggauta pasukan pengawal yang jumlahnya tidak kurang dari tua losin, menjaga di sekeliling istananya. Karena itu, amat berbahaya kalau engkau mengunjungi istana itu, Nurseta."

"Harap kanjeng eyang tenang. Saya dapat menjaga diri. Bagaimanapun juga, saya harus dapat merampas kembali Sang Megatantra dari tangannya, apalagi mengingat seperti dugaan eyang bahwa dia akan menggunakan Sang Megatantra untuk mencari pengaruh dan dukungan bagi niatnya untuk memberontak."

"Bukti-bukti bahwa dia akan memberontak belum ada, Nurseta. Kalau sudah ada buktinya, tentu aku akan melaporkannya kepada Sang Prabu."

"Kanjeng eyang, buktinya ada, yaitu bahwa dia telah mencuri Sang Megatantra dari saya. Itu saja sudah membuktikan bahwa dia ingin memiliki Sang Megatantra untuk memperkuat kedudukannya sehingga dia kelak dapat menjadi raja setelah berhasil menggulingkan sang prabu. Saya dapat menjadi saksinya, eyang!"

Ki Sindukerta tersenyum. "Ingatlah, Nurseta. Pangeran Hendratama adalah kakak tiri sang permaisuri, dia adalah kakak ipar Sang Prabu Erlangga. Bukti itu belum cukup dan lemah. Bayangkan, apakah Sang Prabu akan lebih percaya kepada kesaksian seorang pemuda seperti engkau yang tidak dikenalnya daripada kepercayaannya terhadap kakak iparnya sendiri?"

Nurseta mengangguk-angguk, melihat kebenaran ucapan kakeknya.

"Kalau begitu, saya akan mencoba mencari buktinya, eyang, di samping mencari dan merampas kembali Sang Megatantra."

"Baiklah, kalau niatmu sudah teguh. akan tetapi benar-benar engkau harus berhati-hati, Nurseta."

"Baik, kanjeng eyang. Semua nasehat eyang akan saya perhatikan dan saya mohon doa restu kanjeng eyang."

Demikianlah, malam hari itu kebetulan hawa udara yang dingin sekali memaksa orang-orang tinggal di dalam rumah masing-masing sehingga kota raja menjadi sepi. Hal ini memudahkan Nurseta melaksanakan rencananya berkunjung ke istana Pangeran Hendratama. Tentu saja hawa udara yang amat dingin itu sama sekali tidak mengganggu tubuhnya yang terlatih.

Dengan tenaga saktinya dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat. Dengan tenang dia berjalan menuju ke istana pangeran dan setelah tiba di luar istana, dia melihat betapa pintu gerbang yang memisahkan jalan raya dengan halaman rumah yang luas itu dijaga oleh tiga orang perajurit.

Dari eyangnya dia sudah mendapat keterangan bahwa pintu gerbang itu dijaga siang malam secara bergiliran. Juga para perajurit pengawal selalu melakukan perondaan di balik pagar tembok yang mengelilingi Istana itu. Memasuki pintu gerbang itu tentu akan memancing datangnya para perajurit dan jagoan pengawal. Menurut keterangan eyangnya, satu-satunya jalan yang agak aman dan tidak begitu terjaga ketat adalah melalui taman yang berada di belakang istana, akan tetapi untuk memasuki taman itu dia harus dapat melewati pagar tembok yang tingginya dua kali tinggi manusia dewasa dan di atasnya di pasangi ujung tombak-tombak runcing.

Nurseta mengambil jalan memutar mengelilingi setengah lingkaran perumahan istana itu dan tiba di bagian belakang. Pagar tembok di situ memang tinggi dan di bagian atas, terlihat di bawah sinar bulan tombak-tombak runcing menjulang ke atas, berjejer rapat. Nurseta memejamkan kedua matanya sejenak, menyatukan perhatiannya, menghimpun tenaga saktinya lalu menyalurkan ke dalam kakinya dan mengerahkan tenaganya. Begitu dia menggenjot kedua kakinya, tubuhnya meluncur ke atas dan dengan ringannya kedua kakinya hinggap di atas dua batang ujung tombak!

Bagaikan seekor burung raksasa Nurseta berdiri seenak di atas dua batang ujung tombak,mengamati ke dalam dan sudah siap siaga untuk melompat keluar lagi apabila terdapat penjaga-penjaga di sebelah dalam. Akan tetapi di sebelah dalam pagar tembok itu hanya penuh dengan tumbuh tumbuhan berbagai macam bunga, tidak tampak seorangpun manusia. Dia merasa lega dan cepat melompat ke dalam taman.

Dengan hati-hati Nurseta menyelinap di antara pohon-pohon dalam taman itu, menghampiri bangunan yang tampak megah, walaupun tampak dari belakang. Lampu-lampu gantung di bagian belakang gedung itu menambah terang sinar bulan yang kini sudah berada tepat di atas kepala.

Ketika Nurseta tiba dekat bangunan dia berhenti sebentar dan berpikir untuk merencanakan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia harus dapat memasuki istana itu dan menangkap Pangeran Hendratama. Kalau dia sudah dapat menguasai sang pangeran, maka para jago dan pasukan pengawal tidak akan berani menyerangnya. Dia dapat menggunakan sang pangeran sebagai sandera dan akan memaksa Pangeran Hendratama untuk menyerahkan kembali Sang Megatantra. Dengan ancaman membunuhnya pangeran itu tentu akan memenuhi permintaannya dan dengan menggunakan pangeran itu sebagai perisai, dia akan dapat keluar lagi dengan aman!

Setelah mengatur rencananya, Nurseta maju lagi. Kini dia tiba di tempat terbuka antara taman dan bangunan, sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Dia berhenti di tengah-tengah lapangan rumput itu, memandang ke atas untuk memilih bagian mana yang paling rendah dan paling mudah untuk dilompati. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suitan bertubi-tubi dari sekelilingnya dan muncullah banyak sekali perajurit yang membawa tombak, pedang atau golok di tangan.

Mereka muncul dari depan, kanan kiri dan belakang dan dia sudah terkepung! semua ini terjadi begitu tiba-tiba dan cepat sehingga Nurseta menduga bahwa memang kedatangannya sudah diketahui dan mereka memang sudah siap menjebaknya sehingga kini dia terkepung oleh sedikitnya tiga puluh orang yang semua memegang senjata!

Tujuh orang yang berpakaian biasa, tidak seperti yang lain, yang mengenakan pakaian seragam perajurit, maju menghadapi Nurseta dan seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar berkumis melintang, berusia sekitar tiga puluh tahun dan memegang sebatang golok besar, menyeringai dengan pandang mata mengejek kepada Nurseta.

Orang itu bukan lain adalah Lembara yang sudah pulih kesehatannya. Untung baginya bahwa siang tadi Puspa Dewi membatasi tenaganya ketika menyerangnya dengan Aji Guntur Geni sehingga hanya bajunya saja yang hangus dan hancur. Dadanya tidak terluka hanya terguncang dan membuatnya sesak napas sebentar. Kini, mengepung pemuda itu bersama enam orang rekannya dan dua losin perajurit, dia merasa bahwa tak mungkin pemuda yang sejak melompat pagar taman memang sudah diketahui itu akan dapat lolos.

"Heh-he-he-heh! Maling busuk, menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!" bentak Ki Lembara sambil mengamangkan goloknya.

Karena sudah terkepung dan merasa kepalang, Nurseta menjawab dengan tenang. "Aku bukan maling, aku ingin bertemu dan bicara dengan Pangeran Hendratama. Minta dia keluar menemui aku"

"Kurang ajar...! Orang rendah macam kamu berani menyuruh Gusti Pangeran keluar untuk menemuimu? Kamu yang harus menyerah untuk kami belenggu dan kami seret ke hadapan Gusti Pangeran"

"Aku bukan penjahat dan tidak melakukan pencurian, hadapkan aku kepada Pangeran Hendratama, akan tetapi aku tidak mau menjadi tangkapan dan dibelenggu!"

"Jahanam, berani kamu, ya...? Tangkap dia, serang!" perintah Ki Lembara kepada anak buahnya.

Para pengepung itu segera bergerak, seolah hendak berlomba merobohkan Nurseta. Melihat begitu banyak orang mengepung dan menerjangnya dengan senjata runcing dan tajam, Nurseta cepat mengerahkan Aji Sirna Sarira. Tubuhnya berkelebat menjadi bayangan lalu tiba-tiba lenyap dari pandang mata para pengeroyoknya. Kemudian, para pengeroyok itu berteriak mengaduh dan mereka berpelantingan karena ditampar oleh tangan yang tidak tampak. Tentu saja mereka menjadi geger dan panik, juga seram dan merinding (meremang) karena merasa seolah-olah mereka melawan setan!

Ki Lembara dan enam orang rekannya adalah jagoan-jagoan yang tangguh. Biarpun mereka tidak dapat memunahkan ilmu yang dipergunakan Nurseta dan tidak dapat melihat bayangan pemuda itu, namun mereka dapat mengelak dan menangkis tamparan Nurseta dengan mendengarkan suara sambaran tangan yang tidak tampak itu. Juga mereka bertujuh memutar pedang atau golok mereka, menyerang sekeliling tubuh mereka sehingga Nurseta tentu saja tidak dapat mendekati mereka dan hanya merobohkan para perajurit.

Dia bermaksud memancing munculnya Pangeran Hendratama dan kalau pangeran itu muncul, akan ditawannya dan dijadikan sandera. Akan tetapi yang muncul bukannya Pangeran Hendratama, melainkan orang yang sama sekali tidak diduganya akan berada di situ dan ikut menyerangnya.

"Siapa berani mengacau di sini?" terdengar Puspa Dewi membentak dan ia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan pekik Aji Guruh Bairawa.

"Hyaaaaaaaaaahhhhh...!"

Pekik ini memang hebat sekali, dan dilanda getaran lengkingan ini Aji Sirna Sarira yang dipergunakan Nurseta menjadi buyar dan tubuhnya tampak lagi!

Mereka berdua saling pandang dan sama-sama terkejut. Puspa Dewi tidak mengira bahwa yang datang pada waktu tengah malam itu adalah Nurseta. Seketika ia tahu bahwa Nurseta tentu datang untuk merampas kembali Sang Megatantra. Sebaliknya, Nurseta juga terkejut melihat Puspa Dewi. Bagaimana gadis ini sekarang menjadi pengawal Pangeran Hendratama?

Akan tetapi melihat munculnya gadis itu, Nurseta maklum bahwa usahanya akan gagal, maka dia lalu mempergunakan Aji Bayu Sakti dan tubuhnya berkelebat cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kalau dia menggunakan Aji Sirna Sarira atau Triwikrama, mungkin dia masih akan mampu menangkap Pangeran Hendratama. Akan tetapi Puspa Dewi berada di situ dan dia tidak mau terlibat permusuhan dengan gadis itu. Para perajurit yang masih panik tidak berani mengejar. Bahkan tujuh orang jagoan itupun agaknya jerih.

"Biar aku yang mengejarnya!" kata Puspa Dewi dan iapun mempergunakan tenaga saktinya untuk melompat dan mengejar dengan cepat sekali ke dalam taman.

"Nurseta...!"

Puspa Dewi berseru ketika melihat bayangan pemuda itu sudah mendekati pagar tembok. Mendengar seruan ini, Nurseta berhenti dan memutar tubuh Dengan cepat Puspa Dewi sudah berada di depannya.

"Puspa Dewi, engkau mengejar hendak menangkap aku?" Nurseta bertanya.

"Tidak, Nurseta. Aku tahu bahwa engkau datang pasti hendak merampas kembali Sang Megatantra dari tangan pangeran itu."

"Baik sekali kalau engkau mengetahui hal itu, Puspa Dewi. Akan tetapi kenapa engkau berada di sini, menjadi pengawal pangeran jahat itu?"

"Aku bukan pengawalnya. Aku hanya terpaksa karena diutus oleh Puteri Mandari untuk membantu. Akan tetapi engkau tidak mungkin akan dapat merampas pusaka itu, Nurseta. Penjagaan amat kuatnya, bahkan sebelum engkau masuk ke sini, pangeran itu sudah tahu dan sudah melakukan penjagaan ketat. Pusaka itu tentu disembunyikan, entah dimana. Sekarang pergilah, biar aku membantumu menyelidiki dimana dia menyimpan pusaka itu."

"Terima kasih, Puspa Dewi. Aku tahu dan yakin engkau bukan gadis sesat. Karena itu tadi aku memilih melarikan diri daripada harus bertanding melawanmu. Selamat berpisah!"

Nurseta lalu mengerahkan tenaganya, melompat ke atas pagar tembok dan hinggap di atas dua ujung tombak yang runcing, lalu menoleh, melambaikan tangan dan meloncat keluar. Puspa Dewi menghela napas, merasa kagum bukan main. Ia sendiri harus mengakui bahwa ia tidak berani melompat keatas pagar tembok setinggi itu dan hinggap di atas ujung tombak! Terlalu berbahaya. Ia mendengar suara orang-orang berlarian di belakangnya. Ia tahu bahwa itu adalah para jagoan dan perajurit. la lalu berteriak, "Maling jahat, hendak lari ke mana kau?"

Ketika para pengejar tiba di bawah pagar tembok, mereka melihat gadis itu memegang pedangnya yang hitam dan mengacung-acungkan ke atas pagar tembok.

"Di mana malingnya?" tanya mereka.

"Ah, sungguh luar biasa. Dia pandai terbang ke atas pagar tembok dan hinggap di atas ujung tombak-tombak itu, Terpaksa aku hanya dapat mengejar sampai di sini." Kata Puspa Dewi.

Para jagoan dan para perajurit sibuk membicarakan maling yang pandai menghilang dan pandai terbang itu. Tujuh orang jagoan bersama Puspa Dewi lalu menghadap Pangeran Hendratama yang bersembunyi di dalam kamar rahasia. Pangeran ini memang merasa jerih pada Nurseta, maka dia merasa lebih aman untuk bersembunyi dan mengharapkan tujuh orang jagoannya ditambah Puspa Dewi dan pasukan pengawalnya akan mampu menangkap atau membunuh pemuda sakti mandraguna itu.

"Bagaimana hasilnya? Apakah dapat ditangkap atau dibunuh?" Pangeran Hendratama bertanya kepada Lembara ketika mereka semua menghadapnya. Dengan muka kemerahan karena merasa malu Lembara melaporkan.

"Harap paduka memaafkan kami, Gusti Pangeran. Kami telah mengepung maling itu, akan tetapi dia itu sangat sakti mandraguna, pandai menghilang dan terbang ....."

"Omong kosong! Mana ada manusia pandai menghilang dan terbang? Laporkan yang benar!" bentak Pangeran Hendratama dengan alis berkerut karena kecewa mendengar laporan itu dan tidak melihat Nurseta tertawan atau terbunuh.

"Hamba tidak berbohong, gusti...! Maling itu telah kami kepung dan keroyok, tiga puluh orang mengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba dia menghilang dan kami dirobohkan oleh tangan yang tidak tampak. baru setelah Puteri Puspa Dewi datang, pekik saktinya dapat membuyarkan ilmu maling itu sehingga dia tampak. Akan tetapi dia melarikan diri dikejar oleh puteri Puspa Dewi. Akan tetapi dia terbang ke atas pagar tembok, hinggap diatas ujung tombak yang berada di atas pagar tembok lalu melarikan diri keluar."

Diam-diam Pangeran Hendratama terkejut. Memang dia sudah mendengar dari para selirnya bahwa pemuda itu sakti, akan tetapi dia tidak menyangka bahwa Nurseta demikian sakti mandraguna sehingga dikeroyok tiga puluh orang lebih termasuk tujuh orang jagoannya dibantu pula oleh Puspa Dewi, masih dapat meloloskan diri. Dia menjadi semakin gentar dan merasa sangat terancam keselamatannya selama pemuda itu belum ditangkap atau dibunuh.

"Benarkah apa yang diceritakan Lembara itu, Puspa Dewi?" tanyanya kepada Puspa Dewi.

"Benar, Paman Pangeran. Maling ini memang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali sehingga saya pun tidak berhasil menangkapnya." kata Puspa Dewi. "Karena itu, tidak ada gunanya lagi saya berada di sini. Harap paman mencari bantuan orang-orang lain yang lebih pandai agar keselamatan paman terjamin."

Pangeran Hendratama menghela panjang dan tampak gelisah.

"Kalau andika sendiri dibantu semua pengawalku tidak dapat menandingi maling itu, lalu siapa lagi yang dapat kumintai bantuan?"

Puspa Dewi memandang pangeran itu dengan sinar mata tajam menyelidik, lalu bertanya, "Paman Pangeran, kalau saya boleh bertanya, siapakah gerangan maling sakti itu dan mengapa pula dia datang mencari paman?"

Karena Puspa Dewi adalah utusan dan orang kepercayaan Puteri Mandari, apalagi dara itu adalah puteri angkat Raja Wura-wuri, tentu saja dia percaya kepadanya sebagai sekutu yang memusuhi Sang Prabu Erlangga. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan tentang Sang Megatantra yang berada padanya, hal ini masih dia rahasiakan karena belum waktunya diberitahukan orang lain. Kelak dia dapat mempergunakan Sang Megatantra sebagai alasan kuat yang mengesahkan dia untuk menjadi Raja Kahuripan kalau saatnya untuk itu tiba.

"Maling itu bernama Nurseta, seorang maling yang licik dan sakti."

"Akan tetapi, kenapa dia malam-malam datang dan mencari paman? Apa yang dikehendakinya?" Puspa Dewi mengejar.

"Dia datang untuk membunuhku." kata Pangeran Hendratama singkat.

"Eh? Akan tetapi, kenapa?" desak Puspa Dewi yang maklum bahwa Nurseta mencari pangeran itu bukan untuk membunuhnya, melainkan untuk merampas kembali Sang Megatantra.

Mendengar pertanyaan itu, Pangeran Hendratama termenung sejenak lalu menjawab. "Ceritanya panjang dan biarlah kalian semua mengetahui persoalannya agar tidak bertanya-tanya. Kalian tau bahwa aku adalah penggemar pusaka. Aku mengumpulkan banyak pusaka. Banyak sudah harta kekayaan kuhamburkan untuk membeli pusaka-pusaka itu dengan harga mahal. Beberapa bulan yang lalu, secara kebetulan sekali aku membeli sebuah pusaka yang dibawa seorang kakek pengemis. Aku terkejut dan girang melihat bahwa pusaka itu adalah Sang Megatantra, keris pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu. Kakek pengemis itu menemukan pusaka itu di dekat pantai Laut Selatan dan dia tidak tahu bahwa itu adalah keris pusaka Sang Megatantra milik Mataram yang tak ternilai harganya. Aku segera membelinya dengan harga yang murah."

"Menarik sekali, paman. Lalu bagaimana?" desak Puspa Dewi ketika pangeran itu berhenti bercerita dan seperti orang berpikir. Apalagi yang akan dikarangnya, pikir Puspa Dewi.

"Sialnya, agaknya kakek pengemis itu menceritakan penjualan keris pusaka itu kepada seorang maling, yaitu Nurseta. Pada suatu malam, dia mencuri Sang Megatantra dan sebagai gantinya, dia meninggalkan sebatang keris Megatantra palsu."

"Bagaimana paman tahu bahwa pencuri itu adalah orang yang bernama Nurseta itu?" Puspa Dewi mengejar.

"Tiga orang selirku sempat memergoki dan dia mengakui namanya. Tiga orang selirku lalu menyerangnya untuk merampas kembali keris pusaka, akan tetapi mereka bertiga kalah dan maling itu membawa lari Sang Megatantra."

"Akan tetapi kenapa sekarang dia yang mencari paman dan hendak membunuh paman? Bukankah itu terbalik. Semestinya paman yang mencari dia untuk merampas kembali keris pusaka itu!"

"Mengapa dia ingin membunuhku. Mudah saja diduga! Karena aku mengetahui rahasianya bahwa dia memiliki Sang Megatantra yang menjadi hak milik Kerajaan Kahuripan, maka dia ingin membunuhku agar jangan ada orang yang tahu bahwa dia memiliki pusaka itu, Jelas, bukan?"

Kini wajah Pangeran Hendratama berseri. Hatinya memang merasa girang karena kini dia mendapatkan cara untuk menjatuhkan Nurseta yang ditakutinya itu. Ceritanya tadi yang mendatangkan akal yang dianggapnya amat baik itu. Puspa Dewi tentu saja lebih percaya kepada Nurseta. la tahu bahwa pangeran itu mengarang cerita dan sengaja memutar balikkan kenyataan! Dia yang mencuri menjadi pemilik yang sah, sedangkan Nurseta yang kehilangan pusaka malah dicap sebagai pencurinya. Siasat apakah yang akan dilakukan pangeran ini? Ia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukannya.

"Gusti Pangeran, kalau paduka menyetujui dan mengizinkan, hamba dapat mengajukan permohonan bantuan kepada Sri Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul." kata Lembara yang selain merasa gentar terhadap Nurseta dan ingin mendapatkan kawan yang dapat diandalkan, juga dia ingin membuat jasa.

"Sri Ratu Kerajaan Siluman Laut Kidul? Kau maksudkan Ratu Mayang Gupita, Lembara?"

"Kasinggihan (betul), gusti...!"

"Akan tetapi, Ratu Mayang Gupita adalah seorang tokoh yang aneh dan sukar dihubungi. Selain sukar minta bantuannya, juga salah-salah akan membuat ia marah dan kalau raseksi (raksasa wanita) itu marah, siapa berani tanggung?"

Nama Ratu Mayang Gupita memang terkenal sebagai seorang raksasa wanita yang berwatak keras dan kejam sekali.

"Harap paduka tidak khawatir tentang hal itu, gusti. Pertama, hamba pernah bekerja kepada Sri Ratu Mayang Gupita sebagai seorang perwira pasukan pengawal dan hamba mengundurkah diri dengan baik-baik sehingga hamba berani menghadap beliau dan hamba yakin akan diterima baik. Kedua, bukan rahasia lagi bahwa Ratu Mayang Gupita juga amat membenci dan memusuhi Sang Prabu Erlangga. Oleh karena itu, hamba yakin beliau akan suka membantu, atau setidaknya mengirim orang yang dapat diandalkan untuk memperkuat penjagaan di sini."

Wajah pangeran itu berseri gembira mendengar ini. "Baik sekali...! Kalau begitu, cepat laksanakan usulmu itu dan sampaikan salam hormatku kepada Ratu Mayang Gupita. Nanti dulu, aku akan mengirimkan beberapa buah senjata pusaka untuk dihadiahkan kepada Sri Ratu!"

"Kalau begitu, saya mohon pamit, paman pangeran. Besok pagi-pagi saya akan kembali ke istana, melapor kepada Puteri Mandari."

"Baiklah, Puspa Dewi. Sampaikan terima kasihku kepada Puteri Mandari." Kemudian Pangeran Hendratama memerintahkan para jagoan lain untuk menambah jumlah perajurit sampai mendekati seratus orang untuk menjaga keamanan di situ karena Puspa Dewi dan Lembara akan meninggalkan gedungnya.

Pagi-pagi sekali Puspa Dewi kembali ke istana, menyelinap melalui taman sari dan langsung ke keputren. Ia diterima Puteri Mandari di kamar selir itu dan Puspa Dewi menceritakan apa yang telah terjadi di gedung Pangeran Hendratama tanpa mengatakan bahwa ia telah mengenal Nurseta.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Sang Prabu Erlangga adalah seorang raja yang di waktu mudanya banyak bergaul dengan rakyat kecil dan terkenal sebagai seorang ksatria, seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Setelah menjadi raja, diapun bijaksana, adil dan memperhatikan kehidupan rakyat, bukan seperti kebanyakan penguasa yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi, menumpuk harta benda untuk diri sendiri dan keluarganya, sanak dan handai tautannya, tanpa memperdulikan penderitaan rakyat miskin yang hidup sengsara. Diapun memiliki kewaspadaan dan kepekaan tinggi.

Namun semua perasaannya tidak pernah diperlihatkan pada sikap dan wajahnya. Tentu saja sebagai manusia, dia memiliki kelemahan karena tidak ada seorangpun manusia yang sempurna di dunia ini. Betapapun baiknya seorang manusia, pasti mempunyai cacat. Adapun kelemahan Sang Prabu Erlangga adalah kelemahan pria, pada umumnya, yaitu lemah terhadap rayuan wanita cantik.

Karena itu, tidaklah mengherankan kalau Sang Prabu Erlangga terlena dalam rayuan Mandari yang memang cantik jelita dan pandai sekali merayu dan menyenangkan hati pria. Tentu saja kewaspadaannya membuat dia merasa bahwa Mandari bukanlah seorang wanita yang baik budi. Semua rayuan, kemanjaan, kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya itu hanya polesan atau indah diluar saja. Wanita ini tidak mempunyai perasaan cinta kasih murni terhadap dirinya.

Yang ada hanya cinta nafsu dan di balik semua bagian tubuhnya yang serba menggairahkan itu, tersembunyi pamrih untuk dirinya sendiri. Namun, dan inilah kelemahan pria pada umumnya, semua itu tertutup oleh gairah dan kenikmatan nafsu kedagingan. Apa lagi ditambah dengan alasan bahwa ditariknya Mandari sebagai selirnya berarti menanam perdamaian dengan Kerajaan Parang Siluman. Sang Prabu juga mempunyai perasaan bahwa Pangeran Hendratama adalah seorang yang tidak baik bahkan berbahaya. Biarpun sikapnya ramah dan merendah, namun dari sinar matanya kadang dia menangkap getaran nafsu kebencian terhadap dirinya.

Namun raja yang bijaksana ini dapat memaafkannya, dalam hatinya dia memaklumi bahwa nafsu kebencian itu timbul dari perasaan iri hati karena pangeran Itu merasa sebagai putera mendiang Sang Prabu Teguh Dharmawangsa lebih berhak menjadi raja Kahuripan daripada dia yang hanya seorang mantu. Biarpun Sang Prabu Erlangga telah memaafkan, namun dia juga tetap waspada.!

Setelah peristiwa kunjungan Nurseta di tengah malam digedung Pangeran Hendratama, pada keesokan harinya, pagi-pagi Pangeran Hendratama telah naik kereta yang dikawal, menuju keistana raja. Dia mohon menghadap Sang Prabu Erlangga yang ketika itu sedang hendak makan pagi.

Mendengar laporan bahwa Pangeran Hendratama mohon menghadap dan laporan itu didengar pula oleh Permaisuri Pertama dan Permaisuri Ke Dua yang menemaninya makan pagi, sang Prabu Erlangga segera memerintahkan pengawal untuk mengundang kakak iparnya itu untuk makan pagi bersama dan ditunggu di ruangan makan. Hal ini dilakukan Sang Prabu Erlangga untuk menyenangkan hati Permaisuri Pertama dan memang benar, Permaisuri Pertama tampak gembira ketika mendengar bahwa kakak tirinya datang berkunjung dan diundang makan pagi bersama.

Akan tetapi Pangeran Hendratama memasuki ruangan makan dengan wajah muram dan lesu dan setelah memberi salam dan dipersilakan duduk menghadapi meja makan, dia hanya makan sedikit sekali dan selama makan tidak banyak bicara dan wajahnya dibayangi kegelisahan.

Sang Prabu Erlangga dapat menduga bahwa tentu ada urusan yang membuat kakak iparnya itu gelisah. Akan tetapi dia cukup bijaksana untuk tidak membicarakan atau menanyakan urusan itu kepada kakak iparnya di depan kedua orang permaisurinya. Setelah selesai makan pagi, Sang Prabu Erlangga mengajak Pangeran Hendratama ke ruangan tamu untuk bicara berdua saja. Para pengawal dan pelayan disuruh meninggalkan ruangan itu sehingga mereka dapat bicara berdua tanpa didengarkan orang lain.

"Nah, Kakang Pangeran, sekarang ceritakanlah urusan apa yang merisaukan hati andika dan yang membuat andika sepagi ini sudah datang berkunjung." kata Sang Prabu Erlangga dengan nada suara lembut.

"Ah, ketiwasan (celaka), Yayi (Adinda) Prabu .....!" Sang pangeran mengeluh dimukanya tampak muram dan gelisah sekali. "Tadi malam hampir saja saya dibunuh orang ....."

Sang Prabu Erlangga hanya merasa heran, namun tidak terkejut.

"Hemm, siapa yang hendak membunuh andika, dan kenapa?"

"Sesungguhnya, ceritanya panjang Yayi Prabu. Beberapa bulan yang lalu saya yang memang sejak dahulu suka sekali mengumpulkan pusaka kuno, seorang pengemis tua menawarkan sebuah pusaka kuno yang katanya didapatkannya di dekat pantai Laut Kidul. Saya membeli keris pusaka itu dengan murah dan setelah penjual itu pergi dan saya meneliti keris yang kotor itu, saya gosok-gosok bukan main kaget hati saya karena keris pusaka itu ternyata adalah Sang Megatantra."

"Jagad Dewa Bathara .....!" Sekali ini Sang Prabu Erlangga terkejut. "Pusaka Mataram yang hilang puluhan tahun yang lalu itu, Kakang Pangeran?"

"Benar, Yayi Prabu. Karena benda keramat itu merupakan pusaka Mataram, maka saya bermaksud menghaturkan Sang Megatantra kepada paduka. Akan tetapi ternyata pengemis tua jahanam itu ....."

"Kakang Pangeran, pengemis tua itu sudah berjasa besar menemukan Sang Megatantra!" Sang Prabu Erlangga memotong dengan suara mencela mendengar Pangeran Hendratama memaki pengemis tua itu.

"Maaf, Yayi Prabu, hati saya masih mendongkol. Dia ternyata menceritakan tentang Sang Megatantra kepada seorang maling muda yang sakti mandraguna. Maling itu mencuri Sang Megatantra dan meninggalkan keris palsu ini sebagai gantinya." Pangeran Hendratama mengeluarkan sebatang keris yang mirip Sang Megatantra dan menyerahkannya kepada Sang Prabu Erlangga. Sang Prabu menerima keris itu dan sekali jari-jari tangannya menekuk, keris itu patah-patah menjadi tiga potong!

"Hemm, ini terbuat dari besi biasa, Kakang Pangeran."

"Memang demikianlah. Setelah Sang Megatantra tercuri, saya mengerahkan segala daya untuk mencari pencuri itu. Akan tetapi selalu gagal dan saya lalu pindah ke kota raja setelah mendapat perkenan paduka."

"Kenapa selama ini andika tidak memberitahukan kepada kami, Kakang Pangeran?"

"Maaf, Yayi Prabu. Saya ingin mendapatkan kembali pusaka itu agar saya dapat menghaturkannya kepada paduka, Dan malam tadi, pencuri Sang Megatantra itu menyerbu rumah saya dan nyaris membunuh saya. Masih beruntung bahwa para pengawal dapat melindungi saya dan jahanam busuk itu dapat melarikan diri."

"Hemm, ceritamu aneh, kakang. Kenapa pencuri itu hendak membunuhmu setelah dia berhasil mencuri Sang Megatantra?"

"Hal itu sudah saya selidiki, Yayi Prabu. Setelah saya mengetahui kemana larinya pencuri itu yang diam-diam diikuti oleh para pembantu saya, dan tahu apa yang berdiri di belakangnya, maka tidak aneh kalau dia hendak membunuh saya. Ada yang hendak mempergunakan Sang Megatantra untuk mengangkat diri sendiri menjadi raja karena dikabarkan bahwa pusaka itu merupakan tanda turunnya wahyu kedaton (istana) sehingga berhak menjadi raja. Berarti, pemilik Sang Megatantra itu, si pencuri dan orang yang berada dibelakangnya, jelas merencanakan pemberontakan terhadap paduka, Yayi Prabu. Karena saya satu-satunya orang yang mengetahui rahasianya, maka dia berusaha untuk membunuh saya."

Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya. "Kakang Pangeran, katakan, siapa pencuri itu dan siapa pula yang berdiri di belakangnya, yang merencanakan pemberontakan?"

"Pencuri muda yang sakti mandraguna itu bernama Nurseta, Yayi Prabu, dan paduka tidak akan merasa heran karena pemuda itu adalah cucu dari Senopati Sindukerta! Senopati Sindukerta itu memang sejak mendiang Rama Prabu Teguh Dharmawangsa memimpin kerajaan ini sudah memperlihatkan wataknya yang memberontak. Yayi Prabu tentu sudah mendengar betapa dahulu dia menghina saya dan mendiang Ramanda Prabu dengan menyembunyikan puterinya yang sudah kami pinang dan sudah diterima. Nah, maling muda Nurseta itu adalah anak dan puterinya yang disembunyikan dan diam-diam melarikan diri dengan seorang laki-laki sesat."

Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya dengan hati panas. Berani benar senopati tua itu merencanakan pemberontakan, pikirnya. Dia lalu bertepuk tangan memberi isyarat dan dua orang perajurit pengawal yang berjaga di luar pintu ruangan segera berlari masuk dan berlutut menyembah.

"Cepat undang Kakang Patih Narotama ke sini, sekarang juga!" perintahnya.

Dua orang perajurit pengawal itu memberi hormat dan mereka berlari keluar. Melihat kemarahan Sang Prabu Erlangga, Pangeran Hendratama diam diam merasa girang. Muslihatnya berhasil. Mampuslah kau, Nurseta, begitu suara hatinya. Dia lalu berkata kepada Sang Prabu Erlangga.

"Saya merasa girang dan aman dari ancaman Nurseta dan Senopati Sindukerta setelah paduka hendak mengambil tindakan tegas. Sekarang perkenankan saya pulang untuk beristirahat karena semalam suntuk saya tidak dapat tidur, gelisah memikirkan ancaman terhadap nyawa saya."

"Baik, Kakang Pangeran. Terima kasih atas semua laporanmu, akan tetapi kalau pencuri dan kakeknya itu sudah kami tangkap, harap Kakang Pangeran bersedia untuk menjadi saksi bahwa dia mencuri sang Megatantra dan berusaha membunuh andika."

"Tentu saja, Yayi Prabu. Bahkan saksi-saksi mata yang paling mengetahui karena melihat sendiri maling itu, yaitu tiga orang selir saya yang juga bertugas bagai pengawal-pengawal pribadi, akan saya hadirkan sebagai saksi pula."

"Baik, terima kasih, Kakang Pangeran Hendratama."

"Mohon pamit, Yayi Prabu."

Pangeran Hendratama lalu keluar dari istana dan dengan pengawalan kuat dia kembali naik kereta pulang ke gedungnya. Di dalam kereta, dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan tersenyum-senyum gembira. Orang yang dia takuti sebentar lagi akan dihukum! Kini tinggal memikirkan siasat pemberontakan yang akan dia lakukan dengan bantuan para sekutunya dari Kerajaan Wengker, Wura-wuri, Siluman Laut Kidul, dan Parang Siluman, dibantu pula oleh para pembesar sipil dan militer yang sudah jatuh di bawah pengaruhnya.

********************


BERSAMBUNG KE JILID 19


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.