Cerita Silat Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 21

Cerita silat kho ping hoo
Sonny Ogawa

Cerita Silat Online Karya Kho Ping Hoo

Keris Pusaka Sang Megatantra Jilid 21

Puteri Lasmini dan Mandari menunggang kuda memasuki hutan lebat. Sang Prabu Erlangga hanya mengetahui bahwa selirnya, Mandari, yang dikunjungi kakak nya, Lasmini, pergi berdua untuk berburu seperti yang biasa dilakukan dua orang puteri itu, seperti yang dikemukakan Mandari kepadanya ketika berpamit.

Tidak seperti para puteri lain, dua orang puteri kakak beradik ini melakukan perjalanan berburu binatang dalam hutan tanpa pengawal seorang pun. Hal ini tidak mengherankan, juga Sang Prabu Erlangga memperkenankan, karena dia mengetahui bahwa dua orang wanita cantik itu adalah wanita-wanita digdaya yang tidak membutuhkan pengawal dan mampu melindungi diri sendiri.

Sesungguhnya, dua orang puteri itu bukan berburu binatang biasa saja seperti yang dikatakan ketika berpamit dari Sang Prabu Erlangga. Mereka hanya menggunakan perburuan sebagai dalih saja. Sebetulnya mereka memasuki hutan atas undangan Pangeran Hendratama yang mengadakan pertemuan dengan para sekutunya. Persekutuan yang diam-diam merencanakan kehancuran Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini memang telah lama saling mengadakan kontak rahasia.

Mereka berdua menuju ke tengah hutan dan di tempat yang sunyi dan tak pernah dikunjungi orang luar itu terdapat sebuah pondok kayu yang sederhana namun cukup besar. Di tengah perjalanan tadi, setelah semakin dekat dengan pondok, kedua orang puteri itu melihat orang-orang yang melakukan penjagaan. Itu adalah orang-orang yang ditugaskan Pangeran Hendratama untuk menjaga agar jangan ada orang luar datang mendekati pondok dimana berkumpul para sekutunya untuk mengadakan perundingan.

Ketika Lasmini dan Mandari tiba, dua orang anak buah Pangeran Hendratama segera menyambut dan mengurus dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Lasmini dan Mandari. Dua orang puteri melompat turun, menyerahkan kuda kepada dua orang anak buah itu, lalu menuju ke pondok. Sebelum memasuki pintu, mereka disambut Pangeran Hendratama sendiri. Dengan sikap hormat Pangeran Hendratama membungkuk dan berkata.

"Selamat datang, puteri-puteri yang Cantik dan gagah perkasa, silakan masuk kawan-kawan sudah menanti kedatangan andika berdua sejak pagi tadi."

Lasmini dan Mandari mengangguk dan mereka memasuki ruangan pondok yang luas. Semua orang yang berada dalam ruangan itu bangkit dan membungkuk dengan hormat menyambut kedatangan Lasmini dan Mandari. Dua orang puteri itu mengangguk senang sambil memperhatikan siapa yang sudah berkumpul diruangan itu.

Di situ terdapat Puspa Dewi sebagai wakil Kerajaan Wurawuri, Linggajaya mewakili Kerajaan Wengker, Lasmini dan Mandari sendiri mewakili Kerajaan Parang Siluman, dan Pangeran Hendratama merupakan sekutu yang berambisi menggulingkan adik iparnya, Sang Prabu Erlangga agar dia dapat menggantikan kedudukan sebagai Raja Kahuripan. Setelah duduk menghadapi meja besar dan melayangkan pandang matanya, Lasmini berkata.

"Hemm, aku tidak melihat wakil dari Kerajaan Siluman Laut Kidul!"

Pada saat itu, seolah menjawab pertanyaan yang dilontarkan Lasmini, terdengar derap kaki banyak kuda didepan pondok. Pangeran Hendratama yang bertindak sebagai tuan rumah bergegas keluar dan dia tersenyum gembira menyambut seorang wanita seperti raseksi (raksasa wanita), berusia lima puluh tahun, tubuhnya gembrot dan tinggi besar, mukanya berbedak tebal, pakaiannya mewah sekali, mengenakan perhiasan emas permata, wajahnya serba bulat dan dari celah-celah bibirnya tampak mengintip keluar dua buah taring! Inilah Ratu Mayang Gupita, ratu yang berkuasa di kerajaan Siluman Laut Kidul!

"Selamat datang, Kanjeng Ratu, kami berbahagia sekali menerima kedatangan andika yang sudah kami tunggu-tunggu." kata Pangeran Hendratama.

Ratu yang menyeramkan itu memandang wajah Pangeran Hendratama dan bertanya, "Apakah wakil semua kerajaan yang bersekutu datang?"

Pangeran Hendratama mengangguk, "semua lengkap, Kanjeng Ratu. Wakil dari wengker, dari Wura-wuri, dan dari Parang siluman sudah hadir."

"Bagus! Tidak sia-sia aku melakukan perjalanan jauh." katanya sambil melangkah memasuki ruangan pondok itu.

Setelah mempersilakan Ratu Mayang Gupita duduk, Pangeran Hendratama lalu memperkenalkan Linggajaya dan Puspa Dewi kepada ratu itu yang sudah mengenal Lasmini dan Mandari. Atas isyarat pangeran Hendratama, dua orang pelayan pria masuk keruangan membawa minuman dan makanan beberapa macam kue. mereka menghidangkan makanan dan minuman di atas meja lalu cepat pergi lagi meninggalkan ruangan itu dan menutupkan daun pintu ruangan. Setelah mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada mereka yang hadir, Pangeran Hendratama lalu menceritakan pendapat dan usulnya.

"Keadaan kini menjadi gawat dan kita harus dapat segera bertindak agar jangan sampai terlambat. Aku terancam oleh penjahat cilik Nurseta dan kakeknya senopati Sindukerta."

"Akan tetapi pangeran, bukankah mereka berdua kini telah ditahan dalam penjara istana? Mereka tidak mungkin dapat lolos dari penjara. Apa yang dikhawatirkan?" kata Mandari yang telah mendengar akan hasil persidangan istana itu.

"Benar, akan tetapi mereka hanya ditahan sementara saja. Kini Ki Patih Narotama sedang melakukan penyelidikan dan kalau sampai kemudian diketahui bahwa keris Sang Megatantra berada padaku, rencana kita semua akan gagal."

"Akan tetapi Ki patih tidak akan dapat membuktikan bahwa keris itu berada padamu, pangeran?" kata Lasmini.

"Memang tidak, akan tetapi Ki Patih Narotama itu cerdik sekali. Aku khawatir dia akan mencurigaiku." kata Pangeran Hendratama kelihatan jerih terhadap ki Patih itu.

"Lalu, apa rencanamu, pangeran?" mendengar suara parau Ratu Mayang Gupita.

"Kita harus cepat bertindak. Ada tiga hal yang harus kita lakukan kalau kita ingin berhasil dalam rencana kita. Pertama, kita harus berusaha untuk membunuh Ki Patih Narotama! Kedua, kita juga harus membunuh Nurseta dan Ki Sindukerta dalam kamar tahanan. Dan ketiga ini yang terpenting, kita harus mempersiapkan bala tentara gabungan untuk menyerbu istana dan menguasainya."

"Wah, tiga hal yang andika rencanakan itu kesemuanya amat sukar, Pangeran!" Linggajaya sebagai wakil Kerajaan Wengker dia tidak mau bersikap rendah terhadap Pangeran Hendratama. "Aku tahu betapa saktinya Ki Patih Narotama. Juga aku pernah bertanding melawan Nurseta dan dia bukan orang yang mudah dibunuh begitu saja. Bagaimana dua hal ini akan dapat dilaksanakan?"

Pangeran Hendratama mengerutkan alisnya, tidak senang mendengar pendapat Linggajaya yang menurunkan semangat itu.

"Semua orang tahu bahwa semua hal itu tidaklah mudah, akan tetapi setiap perjuangan memang tidak ada yang mudah, setiap hasil baik itu harus ditebus dengan usaha yang sekuatnya. Mari kita bahas satu demi satu tiga macam usaha kita untuk mencapai kemenangan itu. Pertama, tentang rencana pembunuhan terhadap Ki Patih Narotama Apakah andika sekalian mempunyai usul yang baik?"

"Menurut pendapatku, yang paling tepat memikul tugas membunuh Ki Patih Narotama ini haruslah orang-orang yang dekat dengan dia. Tidak ada orang lain yang lebih dekat kecuali Puteri Lasmini dari Kerajaan Parang Siluman yang telah menjadi selirnya, dibantu oleh Linggajaya sebagai wakil Kerajaan Wengker karena dia telah berhasil menyusup ke kepatihan sebagai juru taman!"

Semua orang tampaknya setuju dan Pangeran Hendratama berkata, "Usul itu memang baik sekali dan cocok dengan rencanaku. Akan tetapi tentu saja kami minta pendapat yang bersangkutan, dalam hal ini Puteri Lasmini. Bagaimana pendapat andika dengan usul itu? Dan juga Linggajaya, sanggupkah membantu Puteri Lasmini melaksanakan tugas ini?"

Lasmini tersenyum. "Terus terang saja, aku memang sudah merencanakan pembunuhan terhadap Ki Patih Narotama, dibantu oleh Linggajaya. Kami sudah merencanakan itu dan hanya tinggal menanti saat baik saja. Baik, kuterima tugas itu."

"Aku juga menerima tugas itu!" kata Linggajaya yang tidak punya pilihan lain.

"Bagus, kalau begitu masalah pertama sudah diputuskan. Sekarang persoalan kedua, yaitu pembunuhan Nurseta dan Sindukerta. Siapa yang pantas melaksanakan tugas berat ini?"

"Tugas ini memang berat sekali, terutama karena mereka itu ditahan dalam ruangan tahanan istana, jadi dekat dengan Sang Prabu Erlangga. Aku sendiri tidak dapat membantu karena aku merasa bahwa sedikit banyak Sang Prabu Erlangga sudah agak berubah sikapnya terhadap diriku, seolah sudah menaruh curiga. Aku hanya dapat membantu dengan memberi jalan keluar kepada mereka yang ditugaskan untuk membunuh kedua orang tahanan itu, kalau usaha mereka gagal." kata Dewi Mandari.

"Memang sebaiknya, seperti hal pertama tadi, hal kedua ini dilakukan pula oleh orang yang tinggal di istana." Kata Pangeran Hendratama. "Dan yang tinggal di istana adalah Puteri Mandari dan Puspa Dewi. Karena tidak mungkin bagi Puteri Mandari melaksanakan tugas itu maka tinggal Puspa Dewi yang tinggal di istana, karenanya ia yang dapat melakukan dengan tidak begitu sukar."

Puspa Dwi mengerutkan alisnya. "Pangeran, aku juga pernah bertanding melawan Nurseta, bahkan mengeroyoknya bersama Linggajaya, dan harus ku katakan bahwa dia adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi. Aku sendiri tidak mungkin dapat membunuhnya!" Tentu saja ucapan Puspa Dewi ini tidak sama dengan suara hatinya. Dalam hatinya, ia tidak mau membunuh Nurseta karena kini semakin jelas baginya pihak siapa yang benar dan siapa yang bersalah.

Untuk membalas budi gurunya, Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi permaisuri Raja Mhismaprabhawa di Kerajaan Wura-wuri, tentu saja ia mau membela Wura-wuri. Akan tetapi bukan dengan cara curang dan bersekutu dengan orang-orang jahat seperti ini!

"Tentu saja bukan andika seorang diri, puspa Dewi. Aku sendiri juga tahu betapa tangguhnya si Nurseta itu. Sekarang marilah kita membagi-bagi tugas. Linggajaya dan Puteri Lasmini sudah mendapat tugas membunuh Ki Patih Narotama..! Selain itu, aku juga akan mempersiapkan pasukan Kerajaan Wengker untuk membantu merebut kekuasaan diKahuripan!" kata Linggajaya.

"Ratu Mayang Gupita, kalau kami boleh mengusulkan dan minta bantuanmu, dapatkah andika mempersiapkan diri untuk membantu Puspa Dewi untuk membunuh Nurseta dan Sindukerta dalam tahanan? Jangan khawatir, Puteri Mandari tentu akan dapat menyelundupkan mu kedalam istana."

Raksasa wanita itu mengangguk angguk. "Baiklah, aku akan membantu Puspa Dewi dan aku akan mengajak Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo. Mustahil kami berempat dengan Puspa Dewi tidak akan mampu membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta."

"Bagus sekali! Kalau andika dan pembantu andika mau turun tangan, kami yakin tugas ini akan dapat diselesaikan dengan berhasil baik!" kata Pangeran Hendratama gembira sekali.

Selain dia akan terbebas dari musuh-musuhnya yang hendak membongkar rahasianya dan merampas Sang Megatantra, juga kalau dua pembunuhan itu dapat dilaksanakan dengan baik, berarti memperlancar rencana pemberontakannya dan merampas tahta Kerajaan Kahuripan dari tangan Sang Prabu Erlangga.

Puspa Dewi yang sejak tadi mencari jalan untuk mengetahui semua rencana pangeran pengkhianat itu, lalu berkata, "bagaimana wakil Kerajaan Wura-wuri, aku ingin sekali mengetahui rencana kita yang ketiga, yaitu tentang penyerbuan ke Istana dan menguasainya. Bagaimana hal yang amat sulit ini dapat diatur?"

"Memang hal yang ke tiga itu harus kita rundingkan baik-baik sekarang setelah dua hal pertama dan kedua sudah kuputuskan. Untuk melaksanakan ini dengan berhasil, kita harus bekerja sama. semua kekuatan harus dipersatukan, karena itu kami harap semua kerajaan mengirimkan pasukan dan bergabung di hutan ini. Bagaimana pendapat kalian?"

"Aku akan mengabarkan kepada Kanjeng Ibu Durgamala di Kerajaan Parang Siluman kami untuk mengirimkan pasukan ke hutan ini?" kata Lasmini.

"Aku juga akan mengerahkan para senopatiku untuk memimpin pasukan dan membawa pasukan kami ke sini." Kata Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul.

"Baik sekali kalau begitu, hal ke tiga yang terpenting juga sudah disepakati. Linggajaya bertugas mengirim pasukan dari Kerajaan Wengker, Puspa Dewi mengirim pasukan dari Wura wuri, Ratu Mayang Gupita mengirim pasukan dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dan Puteri Lasmini mengirim pasukan dari Kerajaan Parang Siluman. Jadi dari empat kadipaten atau kerajaan itu sudah sepakat mengirimkan pasukan masing-masing ke hutan ini untuk bersatu dan kami sendiri akan mengerahkan pasukan dari para senopati yang mendukung gerakan ini. Kita sekarang rundingkan untuk menetapkan hari dan saat gerakan pasukan gabungan itu untuk menyerbu istana. Semua pasukan harus sudah siap di dalam hutan ini sebelum hari yang telah ditentukan Itu dan semua harus dilakukan secara rahasia agar jangan sampai ketahuan orang dan sebaiknya kalau dilakukan di waktu malam."

"Bagus, dan aku sendiri akan membantu dari dalam istana kalau saat penyerbuan ke istana dilakukan." kata Puteri Mandari.

"Pangeran, bagaimana kita dapat yakin bahwa pasukan para senopati di Kahuripan akan benar-benar membantu kalau mereka tahu bahwa pusaka Sang Megatantra tidak berada padamu? Kalau pusaka itu berada di tangan Nurseta, terutama semua orang di Kahuripan condong membantu dia karena pusaka itu dipuja sebagai wahyu keraton oleh semua orang Kahuripan sebagai keturunan Mataram." kata Puspa Dewi untuk memancing. Memang ia seorang gadis yang cerdik. Ia memancing dan mengajukan alasan yang masuk akal sehingga Pangeran Hendratama sama sekali tidak menyangka bahwa gadis itu memancingnya untuk mengetahui di mana sebetulnya pusaka itu.

Pangeran Hendratama tersenyum. Hati pangeran itu masih amat tertarik kepada gadis jelita yang kini menjadi sekar kedaton Wura-wuri itu dan dia mengharapkan kalau dia sampai berhasil menjadi Raja Kahuripan, Puspa Dewi akan bersikap lain kepadanya, memberinya harapan untuk mempersunting gadis yang membuatnya tergila-gila itu!

"Jangan khawatir, Puspa Dewi. Para sahabat dari Empat Kadipaten, biarlah antara para sahabat aku akan berterus terang. Pusaka Sang Megatantra itu tidak pernah terlepas dari tanganku. Aku yang memiliki pusaka itu!"

Semua orang tercengang mendengar ini. Hanya Puspa Dewi yang tidak merasa heran karena diam-diam ia sudah mengetahui bahwa pusaka itu yang tadinya milik Nurseta telah dicuri pangeran ini. Betapa beraninva pangeran itu kini mengaku!

"Ah, pangeran! Jadi kalau begitu andika yang ....."

"Jangan salah mengerti, Puspa Dewi Pusaka itu memang milikku. Aku membeli pusaka itu dari seorang pengemis seperti yang sudah kuceritakan dahulu ..."

"Akan tetapi andika mengatakan bahwa pusaka itu telah dicuri Nurseta!" kata Puspa Dewi, penasaran walaupun ia mengatur agar suara dan sikapnya tidak membayangkan bahwa ia merasa curiga kepada pangeran itu.

"Memang benar Nurseta mencuri kerisku. Akan tetapi aku selalu berhati-hati sejak mendapatkan pusaka itu sehingga aku membuat tiruannya, dan menyembunyikan yang aseli. Jadi, ketika Nurseta mencurinya, dia hanya mendapatkan Megatantra yang palsu dan Megatantra yang aseli masih ada padaku."

"Kenapa tidak andika serahkan kepada Sang Prabu Erlangga?" Puspa Dewi terkejut sendiri mendengar pertanyaannya yang keluar begitu saja dari dalam hatinya.

"Ha-ha-ha, apakah engkau mengira aku begitu bodoh, Puspa Dewi?" Pangeran yang sudah tergila-gila kepada Puspa Dewi itu tidak menjadi curiga dengan pertanyaan itu, bahkan dia ingin memamerkan kecerdikannya...!

"Sang Prabu Erlangga adalah musuh kita bersama, bagaimana aku harus mengembalikan pusaka itu kepadanya? Keris itu hak milik Kahuripan sebagai keturunan Mataram, dan setelah Kanjeng Rama Teguh Dharmawangsa wafat, akulah puteranya, akulah satu-satunya keturunan Mataram yang berhak memiliki Sang Megatantra maka berhak pula menjadi Raja Kahuripan bukan Erlangga bocah Bali itu!"

Puspa Dewi tidak bicara lebih lanjut. Biarpun keterangan Pangeran Hendratama itu meyakinkan hati semua orang yang berada di situ, namun di dalam hatinya Puspa Dewi lebih percaya kepada keterangan Nurseta. Ia juga melihat betapa sikap Lasmini dan Linggajaya tampak mesra. Kedua orang itu saling bertukar senyum dan pandang mata mereka kalau saling pandang bicara banyak.

Mudah saja diduga bahwa antara selir Ki Patih Narotama dengan Linggajaya yang kini menyamar sebagai tukang kebun kepatihan pasti ada hubungan yang tidak wajar! diam-diam ia memperhatikan semua orang yang hadir itu satu demi satu. Makin diperhatikan, ia semakin merasa muak dan tidak suka. Orang-orang ini semua bukanlah orang baik-baik, pikirnya dan ia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia terlibat dalam persekongkolan jahat ini.

Andaikata Kadipaten Wura-wuri berperang melawan kerajaan manapun juga, ia tidak akan ragu membela Wura-wuri demi membalas budi guru yang juga menjadi ibu angkatnya dan yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri itu. Akan tetapi kalau menjadi anggota persekutuan jahat dan curang seperti ini, ia merasa muak dan malu sendiri.

Setelah merundingkan dengan matang semua persiapan pemberontakan Pangeran Hendratama yang digabung dengan kekuatan pasukan empat kerajaan yang menjadi musuh lama Kahuripan, pertemuan itu dibubarkan dan semua orang pulang ke tempat masing-masing.

********************


Malam itu gelap sekali. Sebetulnya, bulan setengah tua semestinya muncul dengan cahayanya yang walaupun tidak terang benar, cukup mendatangkan cuaca yang remang-remang. Akan tetapi agaknya mendung tebal menutupi bulan sehingga tidak tampak dan cuaca menjadi gelap pekat.

Ki Patih Narotama baru saja kembali dari perjalanannya menyelidiki Nurseta Kini dia harus menyelidiki keadaan Pangeran Hendratama untuk melihat siapa di antara kedua pihak itu yang benar dan siapa yang berbohong dan bersalah. Selama ini, hatinya sering merasa tidak enak karena Sang Prabu Erlangga pernah bercerita kepadanya tentang peringatan Empu Bharada akan adanya awan gelap atas Kahuripan yang berarti bahwa Kahuripan akan terancam bahaya.

Malam ini, setelah kembali dari dusun Karang Tirta, dan melihat langit begitu gelap bukan saja bulan sepotong tidak tampak juga tidak ada sebutirpun bintang tampak hatinya menjadi semakin tidak enak Seperti biasanya, kalau hatinya sedang risau tanpa sebab seperti itu, dia melarikan diri kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Kuasa) untuk berserah diri dan mohon perlindungan dan bimbingan.

la pun pesan kepada para isteri dan dayang-pelayan di kepatihan bahwa malam itu dia tidak mau diganggu, kemudian dia memasuki sanggar pamujan (tempat berdoa) untuk bersamadhi dan mencurahkan seluruh hati akal pikiran, seluruh cipta, rasa, dan karsa (kemauan) kepada Yang Maha Esa.

Samadhi yang dilakukan Narotama bukan samadhi seorang pendeta pertapa, melainkan samadhi seorang satria sehingga walaupun dia tenggelam dalam samadhinya, namun perasaan jasmaninya tetap peka dan siap melindungi dirinya dari marabahaya.

Menjelang tengah malam seluruh penghuni istana kepatihan telah tidur lelap. Suasana menjadi sunyi sekali, udara amat dingin sehingga beberapa orang perajurit yang bertugas jaga, berkumpul dalam gardu penjagaan di depan gedung di mana mereka membuat api unggun untuk mengusir dingin dan nyamuk.

Di dalam taman kepatihan terdapat kesibukan. Beberapa sosok bayangan orang berkelebatan. Saking gelapnya cuaca, hanya orang yang amat dekat dengan mereka saja yang dapat mengetahui bahwa disana ada beberapa orang bergerak dalam gelap. Dari jarak sepuluh depa saja, orang tidak akan dapat melihat apa-apa.

Mereka itu adalah Lasmini dan Linggajaya bersama tujuh orang yang membawa gendewa dan di pinggang mereka tergantung tempat anak panah. Tujuh orang itu adalah pemanah-pemanah ulung, pembidik tepat yang dikirim oleh Pangeran Hendratama untuk membantu dua orang yang bertugas membunuh Ki Patih Narotama.

Mereka semua, termasuk Lasmini dan Linggajaya, mengenakan pakaian hitam, bahkan kepala dan muka mereka memakai kerudung hitam yang dilubangi di bagian mata sehingga mereka kelihatan sama semua, tidak dapat dikenal, bahkan tidak dapat diketahui pria atau wanita.

Lasmini tentu saja tidak membawa Cambuk Sarpakenaka yang menjadi senjata andalannya, juga Linggajaya tidak membawa Pecut Tatit Geni karena senjata mereka ini tentu akan membuka rahasia mereka, sungguhpun kehadiran Linggajaya di situ merupakan rahasia.

Tentu saja mereka tidak tahu bahwa Ki Patih Narotama telah mendengar bahwa putera Ki Lurah Suramenggala yang dia pecat itu bernama Linggajaya yang mungkin sekali adalah pemuda yang menjadi juru taman, yang namanya juga Linggajaya!

Lasmini bersenjatakan sebatang pedang dan Linggajaya membawa kerisnya, Candalamanik, luk tiga belas yang amat ampuh. Tujuh orang pemanah itu lalu diperintahkan untuk bersembunyi di luar pondok sanggar pamujan yang berdiri di sudut kiri taman. Pondok kecil ini tidak pernah dimasuki siapapun kecuali sang patih dan hanya dipergunakan kalau Narotama hendak bersamadhi.

Setelah tujuh orang pemanah itu mencari tempat yang cocok, mereka mempersiapkan gendewa dan anak panah untuk menyerang apabila Narotama keluar dari pondok itu. Ki Patih Narotama memiliki kepekaan perasaan yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Dia dan Sang Prabu Erlangga adalah orang-orang sakti mandraguna dan ahli tapa yang hidupnya bersih dan selalu menjaga agar mereka melangkah di sepanjang jalan kebenaran.

Semua ini mendatangkan kepekaan yang tak dapat dilatih manusia, melainkan yang datang sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa bagi orang-orang yang senantiasa melaksanakan kebenaran dan kebaikan dalam kehidupan mereka.

Selagi tenggelam ke dalam samadhi yang tenang dan kosong, tiba-tiba Narotama merasa betapa nadinya berdenyut cepat. Denyut jantung itu tidak normal, terasa di seluruh tubuh dan tahulah Narotama bahwa ada hal yang tidak wajar, tidak beres dan mengancam keselamatannya. Akan tetapi dia tetap tenang saja, sama sekali tidak menjadi gugup, bahkan tetap duduk bersila, namun seluruh urat syarafnya siap untuk menghadapi segala sesuatu yang mengancamnya, siap untuk melindungi dirinya dari ancaman marabahaya.

Tiba-tiba dia merasa ada angin berhembus perlahan dan lampu penerangan yang berada di kamar itu apinya bergoyang. Ini menandakan bahwa ada angin masuk ke kamar itu, walaupun angin itu sedikit saja. Mungkin ada sesuatu yang terbuka, terbuka sedikit sehingga ada angin menerobos masuk. Narotama tetap duduk bersila dengan tenang, seolah tidak merasakan atau melihat apa-apa. Akan tetapi pendengarannya yang amat peka menangkap gerakan lembut di luar jendela pondok itu, lebih dari seorang. Seluruh urat syarafnya menegang karena siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Tiba-tiba pendengarannya dapat menangkap suara mendesir, suara benda kecil menyambar ke arahnya. Dengan tubuh masih duduk bersila, Narotama mencelat ke atas dan sinar hitam menyambar ke arah punggungnya. Narotama tentu saja tidak melihat ini karena serangan itu datang dari arah belakang. Namun pendengaran dan perasaannya dapat menangkap bahkan mungkin lebih jelas daripada kalau dia melihatnya karena cuaca dalam kamar itu hanya remang-remang saking kecilnya lampu penerangan di dalam ruangan itu.

Sinar hitam itu meluncur lewat di bawah tubuhnya dan ketika mengenai dinding di depannya, tampak bara api berpijar dan suara pasir runtuh ke atas lantai. Diam-diam Narotama mengenal senjata rahasia yang ditimpukkan ke arahnya itu. Dia pernah mengenal senjata rahasia seperti itu, yakni pasir yang mengandung racun dan melihat bara api berpijar ketika pasir-pasir mengenai dinding dia tahu bahwa penyerangnya memiliki tenaga sakti yang cukup hebat.

"Pengecut!" bentaknya dan tubuhnya yang tadinya mencelat ke atas kini meluncur ke arah jendela.

"Braaakkkk .....!"

Jendela itu telah diterjangnya dan jebol. Sinar lampu dan kamar kini menyorot keluar melalui jendela dan Narotama melihat dua orang yang berpakaian serba hitam dan kepala berikut mukanya ditutupi kerudung hitam yang ada dua lubang kecil di bagian mata. Tampak mata kedua itu berkilau terkena sinar lampu dari dalam.

Dua orang itu. Lasmini dan Linggajaya. tidak merasa heran melihat Narotama dapat menghindarkan diri dari serangan sambitan Pasir Sakti yang dilontarkan Linggajaya tadi karena mereka memang maklum akan kedigdayaan sang patih dan tidak terlalu mengharapkan Narotama dapat dirobohkan sedemikian mudahnya dengan serangan senjata gelap. Mereka berdua tidak memberi kesempatan lagi. Begitu Narotama turun keatas tanah. Lasmini sudah menerjang dengan pedangnya dan Linggajaya juga menyerang dengan keris pusakanya.

Melihat datangnya serangan yang demikian dahsyat, secepat kilat dan saking kuatnya mendatangkan angin berdesing, Narotama diam-diam terkejut. Dua orang penyerangnya adalah orang orang sakti!

Dengan mengerahkan tenaga saktinya tubuh Narotama berkelebatan mengelak dari dua serangan itu. Sambil mengelak dia mengirim tamparan dan tendangan yang mengandung tenaga sakti yang amat kuat. Dua orang itu terkejut bukan main karena biarpun tamparan dan tendangan Itu tidak mengenai tubuh mereka, akan tetapi angin pukulannya menyambar dahsyat membuat mereka terhuyung!

Lasmini terkejut bukan main. Ia tahu bahwa orang yang menjadi suaminya ini sakti mandraguna, akan tetapi ia belum pernah mengalami diserang dengan tenaga sakti yang sedemikian dahsyat, panas dan mendatangkan angin pukulan yang dapat membuat dia dan Linggajaya terhuyung!

Mereka berdua masih mencoba untuk mengeroyok dan mendesak Narotama. Ki Patih Narotama sejenak terdesak saking hebatnya pedang dan keris itu menyerang secara bertubi-tubi. Tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya mencelat ke atas, ke arah sebatang pohon sawo yang tumbuh di dekat sanggar pamujan yang berada di taman itu. Sekali tangannya meraih, ketika tubuhnya melayang turun, dia sudah memegang potongan ranting pohon sebesar lengannya, sepanjang satu depa. Masih ada berapa helai daun menempel pada ranting itu.

Kini dengan ranting di tangan Narotama mengamuk. Rantingnya digerakkan sedemikian hebatnya sehingga terdengar angin menderu dan tubuh ki patih dilindungi gulungan sinar yang menimbulkan angin kuat. Ketika dua orang itu mendesak, ranting itu menangkis pedang dan keris hampir berbareng.

"Trang-tranggg .....!"

Lasmini dan Linggajaya kaget setengah mati karena tangkisan ranting pada senjata mereka itu mengandung tenaga yang demikian dahsyatnya sehingga mereka terpental kebelakang dan nyaris terjengkang. Cepat mereka berjungkir balik ke belakang sampai tiga kali lalu seperti dikomando saja mereka berdua menghilang dalam kegelapan malam.

Pada saat itu, tujuh orang pemanah yang sudah mendapat tugas meluncurkan anak panah mereka ke arah tubuh Narotama. Ki Patih Narotama marah melihat serangan gelap dengan anak panah ini. Bagaikan seekor burung garuda terbang, tubuhnya bergerak cepat dan begitu tubuhnya berputar, kedua tangannya sudah berhasil menangkap tujuh batang anak panah itu dan kedua tangannya bergantian menyambitkan tujuh batang anak panah Itu ke arah dari mana senjata gelap itu datang menyerangnya. Terdengar jeritan susul menyusul dan tujuh orang pemanah itu tewas dengan dada tertembus anak panah mereka sendiri! Peristiwa itu terjadi amat cepat sehingga mereka tidak sempat meluncurkan anak panah kedua.

Narotama hendak mengejar dua orang penyerangnya tadi, akan tetapi mereka sudah tidak tampak lagi. Pada saat itu, terdengar suara Lasmini.

"Kakangmas Narotama .....! Paduka berada di mana?"

Narotama kembali mendekati jendela sehingga tersorot sinar lampu dari dalam.

"Aku di sini, yayi Lasmini!"

Lasmini melompat dekat dan memegang kedua tangan suaminya, wajahnya tampak pucat ketika ia memandang kearah jendela yang jebol.

"Kakangmas, apa yang terjadi? Hamba tadi merasa gelisah dan tidak enak sekali hati ini... hamba khawatir terjadi sesuatu. Dan kakangmas berada luar pondok dan jendela itu... ah, tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Apakah yang telah terjadi, kakangmas?"

"Hemm, ada dua orang bertopeng berusaha membunuhku dan ada beberapa orang lain yang menyerangku dengan panah secara menggelap. Akan tetapi agaknya aku telah dapat merobohkan penyerang-penyerang gelap itu."

Lasmini berkata, "Mari kita periksa kakangmas. Aku akan mengambil obor!"

Ia berlari ke arah belakang gedung dan tak lama kemudian sudah datang kembali obor di tangan kiri dan Cambuk Sarpokenoko di tangan kanan! Ia tampak marah sekali. Narotama dan Lasmini lalu memeriksa di tempat-tempat dari mana tadi datang sambaran anak panah yang dia kembalikan dengan lontaran kuat. Mereka menemukan tujuh orang berpakaian hitam hitam yang memakai kerudung di kepalanya, sudah menggeletak tewas dengan anak panah menembus dada. Akan tetapi dua orang di antara mereka yang hanya terkena anak panah di pundak sehingga semestinya mereka tidak tewas, akan tetapi ternyata mereka berdua juga sudah tewas dengan luka tikaman keris pada dada mereka! Narotama mengerutkan alisnya, jelas bahwa ada tangan lain yang membunuh dua orang yang tidak mati oleh anak panah ini!

Melihat betapa tujuh orang itu sudah tewas, lega hati Lasmini. Tadi ia sudah khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang belum mati, maka ia sengaja membawa Cambuk Sarpokenoko untuk membunuh mereka yang belum mati. Akan tetapi ternyata hal itu tidak perlu ia lakukan dan hal ini membuktikan bahwa Linggajaya telah melaksanakan tugasnya dengan baik.

Setelah tadi ia dan Linggajaya gagal membunuh Narotama, Mereka cepat melarikan diri dan ia memerintahkan Linggajaya untuk membunuh pemanah gelap kalau mereka juga gagal membunuh Narotama agar jangan ada yang dapat membuka rahasia.

"Aduh, sayang sekali, kakangmas! Kenapa mereka dibunuh semua? Kalau ada yang dapat tertangkap hidup kan dapat ditanya siapa yang menyuruh mereka mencoba membunuh paduka?" kata Lasmini dengan suara menyesal.

Narotama hendak menjawab, akan tetapi entah bagaimana, ada suatu perasaan tidak enak yang membuat dia tidak jadi bicara dan menyinggung soal dua orang pemanah yang bukan tewas oleh sambitan anak panah yang dilakukannya, melainkan tewas oleh tikaman keris.

"Sudahlah, mari kita masuk ke dalam." katanya dan mereka berdua meninggalkan taman itu memasuki gedung.

Setelah masuk gedung baru Narotama tahu apa perasaan tidak enak itu. Dia merasa curiga kepada Lasmini! Akan tetapi karena tidak ada bukti, diapun tidak dapat sembarangan menuduhnya. Akan tetapi jauh lewat tengah malam, ketika Lasmini sudah tidur pulas, Narotama keluar dari kamarnya dan berkelebat tanpa suara menuju ke bagian belakang gedung kepatihan.

Dia sudah tahu dimana kamar orang yang hendak dicarinya, yaitu Sarti, pelayan pribadi Lasmini. Dia harus bertindak sekarang juga, sebelum keadaan menjadi semakin berbahaya. Sarti itulah satu-satunya orang yang mengetahui segalanya tentang Lasmini. Tanpa mengeluarkan suara, Narotama dapat membuka jendela kamar itu dari luar, lalu dia melompat masuk. Sebuah lampu kecil yang tergantung di situ cukup terang baginya untuk dapat melihat tubuh yang rebah miring di atas pembaringan dalam keadaan tidur nyenyak dan mendengkur. Tubuh seorang wanita yang tinggi besar. Itulah Sarti.

Narotama mendekati pembaringan dan mengguncang pundak wanita itu. Sarti terbangun dan melihat sesosok bayangan berdiri di dekat pembaringannya, wanita ini trengginas (dengan sigap) bangkit dan menyerang dengan tamparan tangannya yang besar dan kuat. Akan tetapi Narotama menangkap pergelangan tangan itu dan sekali jari-jari tangannya bergerak, dia menyodok leher Sarti dan tubuh tinggi besar itu terkulai pingsan.

Narotama lalu mengempit tubuh Sarti, dibawanya keluar memasuki taman yang sepi, membawanya ke pondok di tengah taman. Setelah melepaskan tubuh Sarti ke atas bangku yang berada di pondok itu, Narotama lalu memijat tengkuk wanita itu dan siumanlah Sarti. la terbelalak melihat dirinya di dalam pondok yang sudah diterangi lampu gantung dan menahan jeritnya ketika mengenal siapa yang berdiri kamar itu.

"Gusti patih .....!" ia cepat turun dari atas bangku dan menyembah.

"Sarti, engkau tahu siapa aku?"

"paduka.... gusti patih yang hamba hormati ....."

"Hemm, engkau adalah pelayan pribadi yayi Lasmini, tentu tahu segala hal mengenai diri Lasmini. Hayo sekarang ceritakan kepadaku apa yang direncanakannya, apa yang dilakukannya! Bicara terus terang, jangan membohong!"

"Hamba..... hamba tidak tahu apa-apa, gusti. Yang hamba ketahui adalah bahwa Gusti Puteri Lasmini adalah garwa Paduka yang setia dan amat mencinta Paduka....."

"Sarti, sekarang katakan, apa yang kau ketahui tentang Linggajaya, juru taman yang baru itu. Hayo katakan!"

Karena merasa ketakutan, Sarti menjadi gugup. "Hamba..... hamba tidak tahu apa-apa tentang denmas Linggajaya, gusti..."

Narotama mengerutkan alisnya. Bau busuk yang ditutupi itu mulai tercium!

"Denmas Linggajaya? Engkau menyebutnya denmas? Bukankah Linggajaya itu adik misan mu?"

"Bukan ....." Tiba-tiba Sarti teringat akan pesan Lasmini. ".....oh, ya, gusti. Dia itu adik misan hamba....."

"Lalu kenapa engkau menyebutnya denmas? Jangan bohong kau!"

"Hamba..... hamba..... tidak tahu apa-apa, gusti..... ampun, gusti ....."

"Sarti, jelas engkau berbohong kepada ku! Sekarang katakan terus terang, ada hubungan apa antara Lasmini dan Linggajaya? Hayo jawab!"

Wajah Sarti menjadi pucat. Biar pun ia seorang yang pemberani, akan tetapi sekali ini ia ketakutan bukan main.

>"Hamba ..... hamba tidak tahu, gusti ..... hamba tidak berani ....."

Narotama maklum bahwa wanita ini amat setia kepada Lasmini, selain setia juga takut dihukum oleh selirnya itu. Maklum bahwa Lasmini adalah puteri Kerajaan Parang Siluman, sedangkan Sarti adalah seorang abdi di kerajaan itu, tentu saja setia dan juga takut. Setelah berpikir-pikir sejenak, Narotama menggerakkan tangannya menampar pundak Sarti.

"Plakk!"

Sarti terguling dan ia merintih-rintih dan bergulingan. Tamparan itu mengandung Aji Hasta Dibya yang dibatasi. Sarti menderita rasa nyeri yang amat hebat, seluruh isi dada dan perutnya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum, seperti disayat-sayat, panas, pedih perih hampir tak tertahankan, la mengaduh-aduh dan menangis, padahal wanita ini sudah hampir lupa bagaimana menangis itu.

Narotama menjulurkan tangan menekan pundak Sarti dan rasa nyeri luar biasa itupun lenyap. Sarti masih mendekam di atas lantai sambil terengah-engah, akan tetapi tidak merintih lagi. Ia merasa napasnya sesak dan seluruh tubuhnya lemas dan gemetaran.

"Nah, sekarang akuilah terus terang atau aku akan membiarkan engkau tersiksa seperti tadi, mati tidak hidup pun tidak!" Narotama membentak.

"Mohon ampun, gusti ....."

"Hayo katakan, jangan takut!"

"Gusti puteri.....beliau..... memadu asmara dengan.....dengan denmas Linggajaya ....."

Narotama tersenyum pahit. Hal ini sedikit banyak sudah diduganya. Ketika dia kembali dari Karang Tirta dan dilayani Lasmini sebagai selirnya, dia sudah menaruh curiga, merasakan ada sesuatu yang tidak wajar pada diri Lasmini. Tentu selirnya itu telah melakukan kesalahan besar yang dia tidak tahu apa. Kemudian, ketika terjadi penyerangan atas dirinya, dia menjadi semakin curiga. Kiranya Lasmini bertindak menyeleweng, berjina dengan Linggajaya itu.

Kini dia benar-benar hampir yakin bahwa Linggajaya pasti bukan juru taman biasa saja. Tentu dia itulah putera Ki Suramenggala, mantan lurah Karang Tirta, yang kabarnya sakti. Dan mengingat bahwa Lasmini yang memasukkan Linggajaya sebagai juru taman dan membohonginya, mengatakan bahwa Linggajaya adalah saudara misan Sarti, tentu kedua orang sesat ini telah mengadakan persekutuan yang busuk.

Besar sekali kemungkinannya Lasmini dan Linggajaya yang mengatur percobaan pembunuhan atas dirinya itu dan dia tidak akan heran kalau dua orang yang menyerangnya tadi adalah Lasmini dan Linggajaya!

"Bagus, engkau mau berterus terang Sekarang coba ceritakan, apa saja yang direncanakan Lasmini dan Linggajaya". Melihat Sarti tampak ketakutan, Narotama berkata, "Jangan takut, kalau engkau mau berterus terang, aku akan mengampunimu karena engkau hanya seorang pelayan."

"Hamba sungguh tidak tahu, gusti, Yang hamba tahu adalah bahwa gusti puteri melakukan hubungan dengan Linggajaya sejak paduka meninggalkan kepatihan....."

Narotama termenung dan berulang-ulang menarik napas panjang. Sebetulnya, sejak pertama kalinya, ketika dia melaksanakan perintah Sang Prabu Erlangga untuk meminang Lasmini dan Mandari, dia sudah merasa agak khawatir. Kemudian cara yang digunakan Lasmini untuk dapat menjadi selirnya, memberi peluang kepadanya untuk meraba perut wanita itu karena hendak mengobati dan menyelamatkan nyawanya lalu hal itu dijadikan alasan mengapa Lasmini ingin menjadi selirnya, hal itu sudah membuat curiga.

Dia tidak mencinta Lasmini, akan tetapi karena pandainya Lasmini merayunya dan menyenangkan hatinya, diapun tunduk kepada nafsunya sendiri. Dia hanya mencinta Lasmini karena nafsu, karena gairah berahi. Lalu dia teringat akan cerita Sang Prabu Erlangga tentang peringatan Sang Empu Bharada. Kini peringatan itu agaknya akan terjadi, dimulai dengan penyelewengan Lasmini yang agaknya merencanakan pembunuhan terhadap dirinya.

Karena melamun, Narotama kurang memperhatikan Sarti, maka dia terkejut sekali ketika mendengar desir angin dan ada sinar hitam menyambar. Dia cepat melompat ke samping, akan tetapi sinar itu menyambar ke arah Sarti dan perempuan itu terpelanting roboh! Narotama terkejut akan tetapi dia segera melompat keluar dari pondok untuk mengejar orang yang telah melakukan penyerangan itu.

Akan tetapi setelah tiba di pondok, kegelapan malam menghalanginya untuk dapat melakukan penangkapan. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana dan penyerang itu tentu memiliki kepandaian tinggi sehingga tentu saja dapat mempergunakan kegelapan malam itu untuk melarikan diri.

Karena merasa percuma melakukan pengejaran tanpa mengetahui siapa penyerangnya dan ke mana arah larinya, Narotama kembali ke dalam pondok dan memeriksa keadaan Sarti. Wanita itu telah tewas dan pada lehernya terdapat totol-totol hitam yang membuat seluruh leher itu berubah menghitam.

Narotama tahu bahwa Sarti tewas terkena serangan senjata rahasia beracun, berupa pasir. Kecurigaannya terhadap Lasmini semakin kuat. Lasmini telah berjina dengan Linggajaya, tentu ada persekutuan jahat di antara mereka yang memiliki maksud lebih hebat daripada sekedar hubungan kotor itu. Dia tidak akan bersikap lemah lagi. Lasmini dan Linggajaya harus dia tangkap dan dia akan memaksa mereka mengaku apa yang tersembunyi di balik hubungan mereka. Siapa tahu, bukan dia saja yang menjadi sasaran pembunuhan, melainkan ada maksud lain yang lebih besar, misalnya dengan mencoba untuk meruntuhkan kekuasaan Sang Prabu Erlangga! Narotama cepat berkelebat kembali ke gedung kepatihan untuk menangkap Lasmini, kemudian baru menangkap Linggajaya.

Ki Patih Narotama tidak merasa heran ketika mendapatkan bahwa Lasmini tidak berada di kamarnya, juga tidak ada dimanapun juga dalam gedung kepatihan. Lasmini telah minggat. Tentu ia tahu bahwa rahasia busuknya, berjina dengan Linggajaya, telah dibuka oleh Sarti kepada Narotama. Karena itu pula, dan agar jangan sampai Sarti membuka mulut lebih lebar, maka Sarti dibunuh!

Mungkin pembunuhnya adalah Linggajaya dan pasir beracun itu sama dengan yang dipergunakan untuk menyerangnya ketika dia bersamadhi dalam sanggar pamujan! Juga Narotama sama sekali tidak heran ketika mendengar laporan bahwa Linggajaya juru taman baru itu, telah minggat dari perumahan untuk para pekerja di kepatihan. Dia sudah menduganya demikian!

Narotama lalu menemui Listyarini, isterinya, dan perlahan-lahan menceritakan tentang Lasmini. Wajahnya tampak muram, bukan karena merasa sedih kehilangan selirnya yang pandai merayu dan menyenangkan hatinya itu, melainkan menyesal bahwa dulu dia tidak percaya kepada Listyarini yang sudah menyangka buruk kepada selir itu.

"Maafkan aku, yayi Listyarini. Engkau benar sekali ketika dulu mencurigai Lasmini. Kini akupun yakin bahwa Lasmini yang mengatur penculikan dan usaha pembunuhan atas dirimu dahulu itu. Aku menyesal sekali tidak menanggapi kecurigaanmu terhadap wanita yang rendah budi itu."

"Sudahlah, kakangmas. Hal yang sudah lalu tidak perlu kita sesali. Masih beruntung kakangmas terhindar dari malapetaka dan untuk berkah dan perlindungan Hyang Widhi ini, sudah sepatutnya kalau kita menghaturkan rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Hyang Widhi Wasa atas kasih karunianya ini."

"Aduh, yayi. Engkau adalah seorang wanita yang halus budi dan bijaksana. sekarang persiapkan pakaian pengganti untukku. Setelah pagi nanti, aku akan pergi menghadap Sang Prabu untuk melaporkan segala peristiwa ini agar beliau dapat berhati-hati terhadap Puteri Mandari, karena kalau Lasmini mempunyai niat busuk terhadap diriku, tentu Mandari juga mempunyai rencana busuk yang mungkin akan membahayakan Gusti Sinuwun dan kedudukannya."

Suami isteri itu lalu memuja Yang Maha Kasih untuk menghaturkan rasa syukur dan terima kasih mereka dan Narotama menanti datangnya pagi untuk membuat persiapan menghadapi Sang Prabu Erlangga.

********************


cerita silat online karya kho ping hoo

Sementara itu, di istana Sang Prabu Erlangga juga terjadi hal-hal yang menggegerkan, walaupun Sang Prabu Erlangga merahasiakan peristiwa itu dan dengan bijaksana sekali mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi keadaan. Terjadinya dua hari yang lalu. Pada hari itu, pada waktu siang, Dyah Untari selir pertama Sang Prabu Erlangga, mencari angin di taman karena hari itu panas bukan main.

Dengan ditemani dua orang pelayan, yaitu dua orang gadis dayang Dyah Untari duduk di dekat kolam ikan yang ada air mancurnya sehingga terlindung pohon rindang, hawa udara disitu sejuk dan nyaman. Selagi ia duduk diatas bangku panjang dan menikmati semilirnya angin, tiba-tiba datang Puspa Dewi menghampirinya. Karena di situ terdapat dua orang dayang pelayan selir pertama Sang Prabu Erlangga, Puspa Dewi berjongkok dan menyembah sebagaimana layaknya seorang dayang terhadap majikannya.

"Gusti Puteri Dyah Untari, perkenankan hamba menghadap dan menyampaikan seuatu yang amat penting kepada paduka." kata Puspa Dewi.

Dyah Untari memandang dan ia tersenyum. Sejak gadis ini menjadi dayang melayani Mandari, selir sang prabu yang paling baru, ia memperhatikannya dan ternyata sikap dayang ini baik, hormat dan ramah, terutama kepadanya sehingga sudah beberapa kali Dyah Untari bertemu dan mengajaknya bercakap-cakap. Ia menilai sikap Puspa Dewi baik sekali dan ia merasa suka kepada dayang ini, walaupun semula ia curiga karena Puspa Dewi adalah dayang pelayan Puteri Mandari.

"Ah, engkaukah itu, Puspa Dewi? Apakah engkau diutus Puteri Mandari kemari?"

"Maafkan hamba, gusti puteri. Hamba mempunyai urusan teramat penting yang hanya dapat hamba sampaikan kepada paduka seorang, tanpa didengar oleh orang lain." kata Puspa Dewi sambil mengerling ke arah dua orang dayang pelayan yang duduk bersimpuh tak jauh dari situ.

Dyah Untari mengangguk, lalu berkata kepada dua orang dayang pelayannya "Kalian pergilah ke pintu taman di sana dan jangan sekali-kali mendengarkan percakapanku dengan Puspa Dewi, juga jangan sekali-kali mengatakan kepada siapapun juga bahwa Puspa Dewi menghadap padaku."

Dua orang dayang itu menyembah lalu pergi. Puspa Dewi merasa kagum kepada Dyah Untari karena sebelum ia bicara puteri itu agaknya sudah tahu bahwa ia akan membicarakan hal penting sekali dan juga dapat menduga bahwa ia tidak ingin diketahui, terutama oleh Puteri Mandari bahwa siang hari itu ia menghadap Puteri Dyah Untari di dalam taman.

"Nah, bicaralah, Puspa Dewi." kata Dyah Untari. "Duduk sajalah di sini." Ia menunjuk ke sisi bangku di sebelahnya.

"Biar hamba di sini saja, gusti puteri. Kalau terlihat orang lain hamba duduk sejajar dengan paduka, sungguh akan menimbulkan kecurigaan dan keheranan orang."

"Hem , pada hakekatnya, kalau bicara dengan orang yang kurasa cocok, aku lebih suka bicara seperti sahabat, bukan seperti pelayan dengan majikannya. Akan tetapi sudahlah, mungkin engkau benar. Nah, apa yang hendak kau katakan?"

"Perkara yang besar sekali, gusti puteri, yang juga mengancam keselamatan kerajaan paduka."

Dyah Untari terbelalak dan kini duduk tegak, alisnya berkerut dan ia memandang kepada Puspa Dewi dengan sinar mata menyelidik.

"Puspa Dewi, perkara sepenting itu sebaiknya kau laporkan langsung kepada Gusti Sinuwun!"

"Tidak, gusti. Hamba tahu bahwa ada bahayanya laporan hamba tidak akan dipercaya dan hanya menimbulkan kegemparan. Hamba merasa bahwa di dalam istana ini, hanya paduka yang percaya kepada hamba, karena itu hamba memberanikan diri memberitahukan kepada paduka, dengan bahaya ketahuan."

"Cepat katakan, perkara apakah itu?" tanya sang puteri cemas mendengar bahwa ada perkara yang mengancam keselamatan kerajaan Kahuripan.

Puspa Dewi menoleh ke arah pintu ruangan itu. "Maaf, gusti puteri, hamba harus menutupkan daun pintu dan jendela itu dulu." Lalu ia bangkit dan menutupkan daun pintu jendela.

Dyah Untari memandang heran melihat kelakuan dayang yang muda dan cantik jelita itu.

"Ada apakah sebenarnya, Puspa Dewi, Engkau begitu penuh rahasia!" tanyanya.

Puspa Dewi sudah duduk kembali diatas lantai, bersimpuh dan dekat sekali dengan Dyah Untari sehingga dengan berbisik saja ia sudah dapat didengar oleh puteri itu. Dengan suara berbisik Puspa Dewi menceritakan akan terjadinya persekutuan untuk membunuh Ki Patih Narotama, Nurseta, Senopati Sindukerta, dan pemberontakan yang direncanakan Pangeran Hendratama yang dibantu oleh empat kerajaan kecil. Mendengar ini, wajah Dyah Untari menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Puspa Dewi. Ada keraguan dalam pandangan matanya seolah ia kurang percaya akan laporan itu.

"Puspa Dewi, laporanmu ini merupakan perkara yang amat gawat! Akan tetapi sukar dapat dipercaya! Bagaimanakah engkau dapat mengetahui semua itu?" Mata yang lembut itu kini menatap wajah Puspa Dewi penuh selidik.

"Gusti puteri, sebaiknya hamba mengaku terus terang saja. Sesungguhnya, Hamba bukanlah dayang biasa. Hamba diselundupkan ke istana oleh Puteri Mandari."

"Ahh? Aku sudah menduga bahwa Engkau bukan gadis biasa seperti para dayang lainnya. Puspa Dewi, siapakah engkau sesungguhnya?"

"Hamba mempunyai seorang guru yang juga menjadi ibu angkat hamba dan ibu angkat itu kini menjadi Permaisuri Kerajaan Wura-wuri sehingga hamba diangkat menjadi sekar kedaton (kembang istana Kerajaan Wura-wuri.)"

"Ohh.....!" Dyah Untari terkejut bukan main. Wura-wuri adalah sebuah diantara kerajaan-kerajaan yang menjadi musuh bebuyutan Kahuripan. Jadi, gadis ini adalah puteri kerajaan yang memusuhi kerajaan suaminya! "Lalu..... apa maksudmu..... eh, apakah engkau hendak membunuh aku?"

Puspa Dewi tersenyum. "Mengapa paduka mempunyai kekhawatiran seperti itu? Kalau hamba hendak membantu persekutuan itu, pasti hamba tidak akan bercerita seperti ini kepada paduka. Memang hamba ikut dalam rapat pertemuan sebagai wakil Wura-wuri karena hamba ditugaskan oleh Raja Wura-wuri yang menjadi ayah angkat hamba. Akan tetapi hamba sama sekali tidak setuju dengan perilaku mereka yang amat curang ini. Sekarang hamba mohon paduka cepat melapor kepada Gusti Sinuwun bahwa Pangeran Hendratama hendak memberontak dengan mengandalkan keris pusaka Sang Megatantra yang berada di tangannya agar wahyu keraton dan dia bersekutu dengan Kerajaan Parang Siluman yang diwakili oleh Puteri Mandari dan Puteri Lasmini, Kerajaan Siluman Laut Kidul yang diwakili oleh ratunya sendiri yaitu Ratu Mayang Gupita, Kerajaan Wengker yang diwakili oleh Linggajaya yang kini menjadi juru taman di kepatihan, dan Kerajaan Wura-wuri yang diwakili oleh hamba sendiri. Adapun rencana mereka adalah membunuh Ki Patih Narotama yang akan dilakukan oleh Puteri Lasmini dan Linggajaya, membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta yang akan dilakukan oleh Ratu Mayang Gupita yang dibantu oleh orang-orang sakti lain, kemudian empat kerajaan hendak mengirim pasukan ke dalam hutan selatan, bergabung dengan pasukan yang akan di kerahkan Pangeran Hendratama dan para senopati pendukungnya untuk menyerbu Istana."

"Aduh, bagaimana, ya? Kalau aku sendiri yang melapor tentu akan menimbulkan kecurigaan dan aku khawatir akan diketahui Mandari yang selalu mengamati kalau aku dekat dengan Sinuwun. Padahal urusan ini harus segera dilaporkan! Dan cara melaporkan harus dirahasiakan agar jangan bocor dan diketahui oleh orang-orangnya persekongkolan jahat itu!"

"Terserah kepada paduka karena paduka tentu lebih mengetahui bagaimana sebaiknya hal ini dapat dilaporkan kepada Gusti Sinuwun. Akan tetapi hamba mohon dapat dilaporkan dengan secepatnya agar tidak terlambat. Sekarang hamba hendak mencari jalan untuk menghubungi Nurseta dan Senopati Sindukerta di rumah tahanan. Hamba pamit undur, gusti."

Dyah Untari mengangguk. "Terima kasih, Puspa Dewi. Engkau telah berjasa besar terhadap Kerajaan Kahuripan. Jasamu tidak akan kami lupakan. Hanya sebuah pertanyaanku yang akan selalu mengusik hatiku kalau belum kau jawab yaitu; Kenapa engkau yang sudah menjadi sekar kedaton Wura-wuri membela Kahuripan?"

Puspa Dewi tersenyum. "Alasannya banyak, gusti puteri. Pertama, hamba adalah penduduk Karang Tirta dan ibu kandung hamba juga berasal dari sana, dan mengingat bahwa Karang Tirta termasuk wilayah Kahuripan, maka berarti hamba juga kawula Kahuripan. Kedua, guru yang juga ibu angkat hamba itu biarpun sudah melepas banyak budi kepada hamba, namun ia adalah seorang datuk sesat dan raja Wura-wuri juga bukan orang yang berbudi luhur, maka hamba tidak suka membantunya dan lebih condong membela Kahuripan. Ketiga, persekutuan itu adalah persekutuan yang jahat dan curang dan hamba selamanya tidak suka akan kejahatan dan kecurangan. Apalagi hamba sudah banyak mendengar akan kebajikan yang diucapkan Ki Patih Narotama dan Nurseta."

Setelah Puspa Dewi keluar dari ruangan itu, Dyah Untari cepat menyuruh dayangnya untuk memanggil Bancak dan Doyok, dua orang hamba sahaya yang menjadi kiangenan (kesukaan) Sang Prabu Erlangga. Dua orang abdi yang sudah menjadi pengasuh Erlangga sejak dia masih kecil itu merupakan dua orang abdi yang selain terkasih juga paling dipercayai oleh Sang Prabu Erlangga. Hanya dua orang abdi inilah yang mampu mendekati Sang Prabu tanpa ada yang mencurigai mereka. Biarpun sedang berada di dalam kamarnya, kalau dua orang abdi ini yang datang menghadap, tentu akan diterima oleh Sang Prabu Erlangga.

Setelah Bancak dan Doyok datang menghadap, terheran-heran mengapa mereka dipanggil Dyah Untari hal yang langka terjadi, Dyah Untari lalu menyuruh para dayangnya keluar dari ruangan. Kemudian dengan berbisik-bisik ia menceritakan semua hal yang baru saja didengarnya dari Puspa Dewi itu kepada mereka. Dua orang abdi yang setia itu mendengarkan penuh perhatian dan wajah mereka menjadi pucat, mata mereka terbelalak, berulang-ulang mereka menggeleng kepala dan menghela napas panjang, terheran-heran mendengar akan rencana pemberontakan yang amat jahat itu. Setelah menceritakan semuanya dengan jelas dan lengkap, Dyah Untari lalu berkata kepada mereka.

"Nah, demikianlah apa yang dilaporkan Puspa Dewi kepadaku, Paman Bancak dan Paman Doyok. Karena aku tidak tahu bagaimana akan dapat menyampaikan berita ini kepada Gusti Sinuwun tanpa diketahui orang lain, maka aku memanggil andika berdua dan setelah aku menceritakannya kepada kalian, sekarang menjadi tugas kalian untuk menyampaikannya kepada Gusti Sinuwun tanpa diketahui orang lain."

"Jangan khawatir, Gusti Puteri. Hamba berdua pasti akan dapat menyampaikan berita penting ini kepada Gusti Sinuwun." kata Bancak yang segera pamit dan bersama Doyok lalu cepat keluar dari ruangan itu dan bergegas mencari kesempatan untuk dapat menghadap Sang Prabu Erlangga.

Akhirnya Bancak dan Doyok mendapat kesempatan itu. Mereka dapat menghadap Sang Prabu Erlangga ketika Sri Baginda berada seorang diri dalam ruangan perpustakaan. Sang Prabu Erlangga terkejut bukan main mendengar laporan Bancak dan Doyok. Akan tetapi sebagai seorang raja yang bijaksana, Sang Prabu Erlangga tidak mau percaya begitu saja kepada laporan yang disampaikan Puspa Dewi kepada selirnya itu. Harus ada buktinya, barulah dia akan dapat bertindak menghukum mereka yang bersalah. Maka, dia merahasiakan urusan itu, akan tetapi diam-diam mengatur segalanya untuk mengatasi bahaya yang mengancam. Dia menulis sebuah surat perintah dan mengutus Bancak dan Doyok menyerahkan surat itu kepada Senopati Wiradana yang dipercaya karena Sang Prabu Erlangga sudah yakin akan kesetiaan senopati tua yang menjadi kepala dari semua senopati di Kahuripan.

Biasanya dia menyerahkan urusan penting ini kepada Ki Patih Narotama, akan tetapi karena dia mendengar bahwa komplotan itu juga merencanakan pembunuhan atas diri Narotama, maka ia memerintahkan Senopati Wiradana untuk mempersiapkan segalanya dan menghancurkan usaha pemberontakan itu, kalau benar-benar terjadi pemberontakan seperti yang dilaporkan Puspa Dewi itu.

Sementara itu, Puspa Dewi juga mencari akal untuk dapat memperingatkan Nurseta akan bahaya yang mengancam dirinya karena menurut rencana, malam itu ia dan Ratu Mayang Gupita beserta dua pembantunya, yaitu Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo, akan melaksanakan tugas membunuh Nurseta dan Senopati Sindukerta. Adapun tugas membunuh Ki Patih Narotama akan dilakukan malam itu juga oleh Puteri Lasmini dan Linggajaya. Gadis yang cerdik ini akhirnya mendapat akal Ia menghadap Puteri Mandari untuk merundingkan dengan lebih terperinci tentang tugas membunuh dua orang tawanan itu.

Setelah berhadapan berdua saja, Puspa Dewi tidak bersikap sebagai seorang dayang karena ia menganggap dirinya sederajat dengan Mandari. Mandari adalah puteri Ratu Durgamala dari Parang Siluman akan tetapi iapun puteri Raja Bhismaprabhawa dari Wura-wuri, walaupun hanya anak angkat!

"Agar tugas yang kami lakukan dapat berhasil baik, saya minta diberi kesempatan untuk melakukan penyelidikan kerumah tahanan itu, melihat ruangan di mana Nurseta ditahan agar nanti malam kami dapat melaksanakan rencanan itu dengan hasil baik." katanya.

Mandari tidak menaruh curiga dan tentu saja menyetujui usul Puspa Dewi Itu. Ia lalu menuliskan surat kuasa untuk Puspa Dewi. Dan dengan membawa surat ini, Puspa Dewi dapat dengan mudah memasuki rumah tahanan karena para petugas yang menjaga di situ tentu saja tidak ada yang berani menentang surat perintah Gusti Puteri Mandari!

Para penjaga itupun tidak curiga karena mereka melihat dayang itu hanya lewat saja di depan kamar tahanan sambil memandang ke dalam. Nurseta yang sedang duduk bersila didalam ruangan tahanan yang berpintu baja dengan ruji-ruji (terali), melihat Puspa Dewi dan dia merasa heran sekali. Akan tetapi, tanpa dapat dilihat para penjaga yang hanya memandang dari jauh, ada berkelebat sinar putih kecil memasuki kamar tahanannya. Dia cepat menangkap kertas terlipat-lipat yang meluncur ke arahnya itu. Setelah Puspa Dewi pergi, dia cepat membaca surat itu tanpa diketahui para penjaga. Tulisan itu rapi dan cukup jelas hanya singkat saja:

Bersiaplah! Malam nanti engkau dan Senopati Sindukerta akan dibunuh. Juga Ki Patih Narotama. Tinggalkan rumah tahanan dan selamatkan ki patih!

Surat itu singkat namun cukup jelas. Walaupun Puspa Dewi tidak menyebut siapa yang akan membunuhnya, namun Nurseta dapat menduga bahwa pembunuhnya tentu ada hubungan dengan Pangeran Hendratama. Karena pangeran itulah yang merasa terancam olehnya. Tidak mungkin Sang Prabu Erlangga yang hendak membunuhnya karena Ki Patih Narotama juga terancam!

Hemm, sebetulnya dia tidak takut dan tidak perlu melarikan diri. Akan tetapi dia teringat akan eyangnya Senopati Sindukerta juga hendak dibunuh dan biarpun eyangnya bukan seorang yang lemah, namun dia tidak bisa membiarkan eyangnya terancam bahaya maut. Si pembunuh tentu seorang yang sakti mandraguna karena tidak mungkin Pangeran Hendratama mengirim pembunuh yang kepandaiannya biasa saja.

Malam nanti..., Nurseta mengambil keputusan untuk bertindak sebelum para pembunuh muncul dan dia sudah tahu apa yang akan dia lakukan untuk menyelamatkan eyangnya, juga untuk membantu Ki Patih Narotama yang juga akan dibunuh.

Kita telah mengetahui apa yang terjadi di kepatihan pada malam harinya. Pembunuhan yang di usahakan oleh Linggajaya dan Lasmini terhadap Ki Patih Narotama telah gagal, bahkan terpaksa Lasmini dan Linggajaya melarikan diri karena Ki Patih Narotama telah berhasil mengorek rahasia Lasmini dari mulut Sarti yang kemudian dibunuh Linggajaya dengan Pasir Saktinya.

Dan pada malam itu juga, usaha pembunuhan terjadi pula di rumah tahanan dalam kompleks istana Sang Prabu Erlangga. Ratu Mayang Gupita bersama Ki Dibyo Mamangkoro dan Cekel Aksomolo dapat diselundupkan ke dalam taman istana oleh Puteri Mandari. Tiga orang ini mengenakan pakaian serba hitam dan kepala mereka dikerudungi kain hitam yang ada lubangnya di bagian kedua mata.

Puspa Dewi juga muncul dan gadis inipun menggunakan pakaian dan kerudung kepala yang sama. Karena sebelumnya memang sudah diatur, maka tanpa banyak cakap lagi mereka berempat sudah bergerak dengan cepat, menyusup di antara pohon-pohon dan tanaman bunga di taman mendekati rumah tahanan.

Sejam kemudian empat orang ini bergerak, pelayan pribadi Puteri Mandari yaitu Kanthi wanita berusia tiga puluh lima tahun yang tinggi kurus dan bermuka burik hitam, membawa beberapa guci terisi anggur merah dan membawa minuman itu ke tempat para perajurit yang menjaga rumah tahanan itu. Jumlah mereka ada tujuh orang.

"Saya diperintahkan Gusti Puteri Mandari untuk menghadiahkan anggur ini kepada kalian dengan pesan agar kalian bertujuh tidak lengah dan menjaga benar-benar supaya disini aman dan tidak ada tahanan yang dapat melarikan diri." kata Kanthi sambil menyerahkan guci-guci terisi anggur itu.

Para penjaga menjadi gembira bukan main, apalagi setelah mereka membuka tutup guci dan tercium bau anggur yang harum dan sedap bukan main. Setelah Kanthi pergi, mereka lalu minum-minum sampai lima guci anggur itu habis pindah ke dalam perut mereka. Dan beberapa lama kemudian, mereka bertujuh sudah rebah tumpang tindih di dalam gardu penjagaan dalam keadaan pulas dan mendengkur.

Ternyata Mandari telah mengisi racun pembius yang amat kuat dalam anggur yang ia hadiahkan. Maka, empat orang calon pembunuh Itu mudah saja memasuki rumah tahanan karena semua penjaga telah tertidur dan suara apa saja tidak mungkin dapat mengugah mereka dari keadaan tidur yang lebih mirip pingsan itu.

Mereka segera memasuki rumah tahanan dan Puspa Dewi berjalan paling depan karena ia yang dianggap sebagai penunjuk jalan karena yang mengenal keadaan di situ. Puspa Dewi berjalan dan bersikap gagah, siap dengan pedangnya seolah ia yang akan bergerak lebih dulu menyerang dua orang yang harus mereka bunuh!

Akan tetapi ketika mereka tiba depan ruangan di mana Nurseta ditahan ruangan itu kosong! Mereka memeriksa ruangan kedua di mana Senopati Sindukerta dikeram, akan tetapi ruangan inipun kosong! Diam-diam Puspa Dewi tersenyum lega. Ternyata Nurseta telah mampu menggunakan kesaktiannya untuk membuka kamar tahanan itu dan keluar dari situ!

"Wah, celaka! Mereka berdua telah kabur!" kata Puspa Dewi.

Ratu Mayang Gupita dan dua orang pembantunya tentu saja menjadi terkejut bukan main. Ratu yang seperti raksasa betina ini tadinya sudah merasa yakin bahwa mereka berempat pasti akan dapat membunuh dua orang tahanan itu dan mereka sama sekali tidak khawatir karena yang menyelundupkan mereka masuk istana adalah Puteri Mandari selir terkasih Sang Prabu Erlangga sendiri. Juga andaikata mereka gagal, jalan keluar untuk kabur sudah dipersiapkan Puteri Mandari. Akan tetapi ternyata sekarang, dua orang tawanan itu sudah kabur, tidak berada di dalam kamar tahanan.

"Mereka ke mana? Ke mana kita harus mencari mereka?" tanya Ratu Mayang Gupita kepada Puspa Dewi.

"Aku khawatir kita terjebak....." kata Cekel Aksomolo dengan suaranya yang tinggi kecil seperti suara wanita. Bagaimanapun juga, kalau teringat akan nama besar Sang Prabu Erlangga yang terkenal sakti mandraguna, tiga orang itu merasa gentar bukan main....


BERSAMBUNG KE JILID 22


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.