CERITA SILAT ONLINE KARYA KHO PING HOO
KERIS PUSAKA SANG MEGATANTRA JILID 22
Tiba-tiba Nurseta muncul dari kegelapan. "Kalian mencari aku? Nah, aku berada di sini!"
Dibyo Mamangkoro yang sudah gentar itu berseru, "Celaka, kita terjebak!"
Akan tetapi Ratu Mayang Gupita cepat mendorongkan kedua tangannya kearah Nurseta yang berdiri dalam jarak lima depa. Dari kedua tangan wanita raksasa ini keluar bola api yang mengeluarkan suara meledak.
Nurseta mengenal serangan ampuh dan dahsyat sekali. Diapun lalu mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan orang tinggi besar berkerudung hitam itu.
"Blaaaaaarrrrr....!"
Dua tenaga sakti bertemu dan tubuh tinggi besar itu terhuyung kebelakang. Diam-diam Ratu Mayang Gupita terkejut bukan main.
"Bahaya, ayo kita lari!" kata Puspa Dewi dan Nurseta segera mengenal gadis itu. Seruan gadis itu tentu mengandung maksud agar dia membiarkan mereka berempat itu melarikan diri. Dia tidak tahu mengapa Puspa Dewi menghendaki demikian, akan tetapi yakin bahwa gadis itu tentu berniat baik terhadap dirinya, pun tidak mengejar dan membiarkan mereka berempat melarikan diri! Mereka berempat lari ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu kedalam taman lalu menuju ke sudut taman di mana terdapat semak-semak tebal. Di tempat itu muncul Puteri Mandari menyongsong mereka.
"Bagaimana hasilnya? Kenapa kalian berempat berlari seperti ketakutan? Sudah berhasilkah.....?" tanya sang puteri.
"Celaka, kita gagal' Mereka itu sudah keluar dari dalam kamar tahanan!" kata Ratu Mayang Gupita.
"Kita harus cepat lari dari sini!" kata Puspa Dewi.
"Jangan khawatir. Mari...!" Puteri Mandari berkata dan mengajak mereka menyelinap di belakang semak-semak tebal.
Di sana ternyata terdapat sebuah pintu kecil yang memang disediakan untuk para abdi kalau ada keperluan di luar istana dan pintu kecil ini hanya diketahui oleh penghuni istana keputren. Biarpun tugas membunuh para tahanan itu gagal, namun Puteri Mandari tidak merasa gentar karena mereka berempat itu berkerudung sehingga Nurseta tentu tidak mengenal mereka dan kini mereka telah berhasil melarikan diri dengan selamat.
Keadaannya menjadi aman sudah walaupun rencana ke dua itu gagal. Ia mengharapkan rencana pertama membunuh Ki Patih Narotama berhasil dan terutama yang terpenting adalah rencana ketiga, yaitu mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerbu istana dan menggulingkan kedudukan Sang Prabu Erlangga.
Biarpun demi membela kerajaan ibunya ia tetap mencelakakan dan membunuh Sang Prabu Erlangga akan tetapi kalau ingat akan kejantanan suaminya itu, ingat akan ketampanan dan kegagahannya, kelembutannya kalau bermesraan, ia menjadi sedih karena maklum bahwa akan sukar mencari seorang pria seperti Sang Prabu Erlangga. Setelah empat orang pembunuh gagal itu keluar dari taman melalui pintu kecil, Puteri Mandari masih berdiri termenung. Ia merasa kecewa dan menyesal bahwa usaha empat orang itu gagal.
Selagi ia hendak kembali ke istana keputren, tiba-tiba ada bayangan berkelebat, la sudah siap untuk menyerang, akan tetapi niat itu urung ketika ia mengenal bahwa yang muncul di depannya bukan lain adalah Lasmini, mbakayunya! Dari sinar lampu taman, ia melihat wajah Lasmini pucat dan tegang.
"Mbakayu Lasmini .....!"
"Ketiwasan (celaka), Mandari! Hayo cepat kita pergi dari sini. Cepat sebelum terlambat!" kata Lasmini memotong ucapan adiknya.
"Eh, ada apakah?" tanya Mandari terkejut dan heran.
"Jangan banyak bertanya, nanti kuceritakan. Sekarang, mari kita cepat melarikan diri!"
Mandari dengan ragu menengok ke arah istana. "Akan tetapi aku harus mengambil pakaian dan perhiasan...!"
"Aduh, apa artinya semua itu dibandingkan keselamatan nyawamu? Cepat, sebentar lagi Ki Patih Narotama datang dan Sang Prabu Erlangga mendengar tentang kita. Rahasia kita telah pecah! Hayo kita lari!"
Mendengar ini, Mandari terkejut dan iapun menjadi ketakutan. Jelas bahwa usaha Lasmini dan Lingga jaya membunuh Narotama telah gagal. Kalau hanya gagal tidak mengapa, akan tetapi kalau rahasia mereka berdua yang bersekutu dengan pemberontak, hal itu sungguh berbahaya sekali. Maka, dengan hati tidak karuan rasanya mereka cepat melarikan diri melalui pintu kecil itu yang juga diketahui Lasmini sehingga ia tadi masuk dari situ. Dua orang puteri cantik jelita yang juga sakti itu malam-malam terus melarikan diri menuju ke Kerajaan Parang Siluman di selatan.
Tadi ketika menerima surat dari Puspa Dewi, dan setelah mendengar para penjaga bicara sambil tertawa-tawa karena menikmati minuman anggur kemudian suasana menjadi sunyi, Nurseta lalu menggunakan tenaga saktinya untuk membongkar gembok yang mengunci pintu besi kamar tahanan dengan mudah. Dia keluar dan membongkar gembok di pintu kamar tahanan eyangnya, Ki Sindukerta.
Mula-mula Senopati Sindukerta hendak mencela perbuatan Nurseta karena dia tidak setuju kalau harus melarikan diri dari tahanan atas perintah Sang Prabu Erlangga, kepada siapa dia amat setia dan taat. Akan tetapi setelah Nurseta menjelaskan apa yang terjadi dia terkejut bukan main bahkan mendesak kepada Nurseta agar cepat melaksanakan apa yang diminta oleh Puspa Dewi, yaitu membantu Ki Patih Narotama menghadapi musuh yang hendak membunuhnya.
Nurseta menanti sampai para pembunuh datang. Dia mendengar ucapan Puspa Dewi yang mengajak tiga orang pembunuh lainnya lari dan dia sengaja tidak merobohkan mereka dan tidak melakukan pengejaran karena dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu mempunyai maksud tertentu dengan ucapan itu. Akan tetapi setelah para pembunuh itu pergi, dia berkata kepada Senopati Sindukerta yang tadi bersembunyi dalam kegelapan seperti yang dikehendaki Nurseta karena dia tidak ingin eyangnya terancam bahaya maut.
"Eyang, harap eyang tinggal saja disini karena saya kira bahaya telah lewat Saya harus cepat melihat keadaan Ki Patih Narotama dan kalau perlu membantu beliau yang terancam pembunuhan."
"Benar, Nurseta, cepatlah pergi ke kepatihan!" kata Senopati Sindukerta.
Nurseta lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat memasuki taman. Karena dia tidak tahu akan pintu kecil, maka dia keluar dari taman istana itu dengan jalan melompat ke atas pagar tembok dan keluar dengan cepat. Malam telah berganti pagi ketika Nurseta melangkah menuju kepatihan. Karena sudah banyak orang berlalu lalang di jalan itu, Nurseta tidak berani berlari cepat, hanya berjalan agak cepat sambil memperhatikan keadaan di luar istana. Akan tetapi tidak tampak ada ketegangan dan wajah para penduduk kota raja, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang menggemparkan.
Tiba-tiba wajah Nurseta berseri dan hatinya lega karena dia melihat Ki Patih Narotama berjalan dari depan. Ki Patih Narotama juga melihat Nurseta dan dia memanggil.
"Nurseta, andika di sini?" Pertanyaan itu menunjukkan perasaan herannya melihat Nurseta yang berada dalam tahanan istana, pagi ini dapat berkeliaran di situ.
"Ah, betapa lega rasa hati hamba Gusti Patih, melihat paduka dalam keadaan selamat, terhindar dari bahaya maut!"
"Apa? Hemm, andika tahu bahwa aku terancam bahaya?" Narotama menjadi semakin heran. "Nurseta, mari kita bicara di sana." Ki Patih Narotama mengajak Nurseta meninggalkan jalan raya memasuki ladang yang sunyi. "Nah, ceritakan sekarang, bagaimana andika yang ditahan di istana dapat berada di sini dan bagaimana pula andika dapat mengetahui bahwa keselamatanku terancam?"
Nurseta lalu menceritakan pengalamannya. Bagaimana ketika malam itu Puspa Dewi muncul di depan kamar tahanan dan melemparkan surat dengan tulisan bahwa malam itu dia dan eyangnya akan dibunuh, juga Ki Patih Narotama akan dibunuh orang. Maka dia lalu meloloskan diri dan melihat empat orang bertopeng yang hendak membunuhnya. Seorang di antara mereka adalah Puspa Dewi dan mereka berempat melarikan diri ketika melihat kamar tahanan kosong.
"Hamba memenuhi permintaan Puspa Dewi dalam surat itu agar hamba meninggalkan rumah tahanan dan menolong paduka yang terancam bahaya." Nurseta mengakhiri keterangannya sambil menyerahkan surat dari Puspa Dewi itu.
Ki Patih Narotama menerima surat itu dan membacanya. Dia mengangguk angguk. "Hemm, syukurlah bahwa anak itu ternyata telah menyadari kesalahannya. Mari, Nurseta, mari kita menghadap Gusti Sinuwun. Urusan ini mungkin masih ada ekornya. Tampaknya ada persekutuan yang membahayakan kerajaan. Kita harus melapor kepada Gusti Sinuwun."
Mereka berdua lalu bergegas menuju ke istana. Mereka semakin tegang dan curiga karena sepagi itu Sang Prabu Erlangga segera dapat menerima mereka, bahkan mereka diajak bicara dalam sebuah ruangan tertutup tanpa dapat didengar orang luar. Pasti telah terjadi sesuatu di dalam istana, selain percobaan pembunuhan atas diri Nurseta dan Ki Sindukerta! Akan tetapi sikap Sang Prabu Erlangga masih tenang, walaupun alis matanya berkerut. Juga dia sama sekali tidak merasa heran melihat Nurseta yang mestinya berada dalam kamar tahanan dapat bersama Ki Patih Narotama menghadapnya.
"Kakang Patih Narotama, urusan apakah yang mendorong kakang sepagi ini datang menghadap? Dan andika, Nurseta, bagaimana andika dapat keluar dari tahanan dan ikut menghadap?"
"Perkenankan hamba yang melapor lebih dulu, gusti. Malam tadi, hamba diserang dan hendak dibunuh dua orang pembunuh gelap. Hamba dapat menghindarkan diri dan dua orang pembunuh gelap itu melarikan diri. Akan tetapi setelah hamba melakukan penyelidikan ternyata bahwa dua orang pembunuh gelap itu bukan lain adalah juru taman baru Linggajaya dan Lasmini. Mereka berdua telah melarikan diri dari kepatihan. Hamba datang menghadap paduka untuk melapor karena hamba khawatir terjadi sesuatu di sini."
Sang Prabu Erlangga sama sekali tidak terkejut karena dia sudah mengetahui semua itu dari laporan selirnya, Dyah Untari yang mendengar dari Puspa Dewi dan menyuruh Bancak dan Doyok melapor kepadanya.
"Dan andika, Nurseta, bagaimana ceritamu?" tanya Sang Prabu Erlangga kepada pemuda itu.
"Ampun, gusti, kalau hamba berani lancang ikut menghadap. Malam tadi juga terjadi percobaan pembunuhan atas diri hamba dan Eyang Sindukerta. Baiknya sebelum itu, Puspa Dewi telah memberi tahu hamba, sehingga hamba dan eyang dapat meloloskan diri. Puspa Dewi juga memberitahu bahwa gusti patih juga terancam, maka hamba bermaksud pergi ke kepatihan untuk membantu beliau, akan tetapi hamba bertemu dengan gusti patih di jalan dan langsung menghadap paduka."
Kembali Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk. "Kami sudah mengetahui semuanya dan ternyata Puspa Dewi tidak berbohong. Ketahuilah, kakang Narotama ada persekutuan jahat yang hendak melakukan pemberontakan. Persekutuan yang terdiri dari empat kerajaan Wura-wuri, Wengker, Siluman Laut Kidul, dan Parang Siluman yang bergabung dengan Pangeran Hendratama yang hendak mengadakan pemberontakan. Yang menyedihkan, Mandari dan Lasmini juga terlibat sebagai wakil dari Kerajaan Parang Siluman. Kini Mandari juga sudah lolos dari istana!" Sang Prabu Erlangga menceritakan semua yang didengarnya tentang rencana pemberontakan itu seperti yang diceritakan Puspa Dewi kepada Dyah Untari.
"Syukur bahwa rencana pertama dan kedua, yaitu membunuh kakang Narotama dan Nurseta bersama eyangnya, telah dapat digagalkan. Akan tetapi yang berbahaya adalah rencana ke tiga, yaitu penggabungan pasukan mereka yang akan berkumpul di hutan selatan. Kami sudah mengutus Senopati Wiradana untuk mengerahkan pasukan untuk menghadapi pemberontakan. Akan tetapi sebaiknya andika sendiri, Kakang Narotana yang memimpin dan temuilah Senopati Wiradana. Ingat, Pangeran Hendratama ternyata benar seperti cerita Nurseta, dia mempunyai pusaka Sang Megatantra, maka ada juga para pengkhianat yang mendukungnya."
"Sendika, gusti...! Mari, Nurseta, engkau harus membantuku!" kata Narotama dan setelah memberi hormat, mereka berdua bergegas meninggalkan istana.
Setelah tiba di luar istana, Narotama berkata kepada Nurseta.
"Sekarang kita membagi tugas. Aku akan menemui Senopati Wiradana dan mengatur pasukan, sedangkan engkau, pergilah lebih dulu ke hutan selatan dan selidiki keadaan mereka. Setelah mengetahui keadaan dan rencana mereka dengan baik, baru andika menemui aku."
"Baik, gusti patih!"
Mereka lalu berpisah dan Nurseta keluar dari kota raja melalui pintu gerbang selatan. Keadaan di kota raja masih tenang dan biasa saja karena tidak ada yang mengetahui bahwa kota raja saat itu terancam serbuan pasukan pemberontak!
Matahari telah naik tinggi ketika Nurseta tiba di tepi hutan selatan. Dia berhati-hati dan memasuki hutan lebat itu dengan sembunyi-sembunyi, menyelinap di antara pepohonan. Setelah tiba agak dalam di hutan itu, dia melihat betapa perajurit-perajurit melakukan penjagaan sekeliling tengah hutan dimana terdapat sebuah pondok besar dan beberapa pondok lain yang tampaknya baru saja dibangun.
Nurseta mengelilingi tempat itu dan melihat betapa penjagaan amat rapat dan yang mengherankan hatinya, para perajurit itu adalah perajurit Kahuripan. Dia menduga bahwa tentu ini pasukan Kahuripan yang dipimpin para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama! Karena penjagaan ketat dan berbahaya sekali kalau sampai ketahuan, maka dia bersembunyi agak jauh, menanti datangnya malam. Dia akan lebih leluasa bergerak di waktu malam gelap.
Sementara itu, di kota raja juga terjadi kesibukan. Ki Patih Narotama bertemu dengan senopati Wiradana dan memberi petunjuk kepada senopati itu. Pasukan Kahuripan dikerahkan dan diketahui bahwa beberapa orang senopati muda telah membawa pasukan mereka pergi entah kemana.
Narotama dapat menduga bahwa pasukan-pasukan yang menjadi pendukung Pangeran Hendratama itu pasti sudah berangkat ke hutan selatan untuk bergabung dengan pasukan dari empat kerajaan. Dia memerintahkan Senopati Wiradana siap untuk diberangkatkan sewaktu-waktu untuk menyerbu para pemberontak di hutan selatan, mendahului mereka sebelum mereka bergerak menyerang kota raja agar tidak menggegerkan rakyat.
Untuk itu, dia menanti berita dan Nurseta yang sudah dikirim ke sana untuk melakukan penyelidikan. Kemudian, Narotama membawa seregu pasukan dan memimpin sendiri pasukan Itu menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Hendratama. Akan tetapi, seperti sudah diduganya terlebih dulu, gedung yang mewah seperti istana itu telah dikosongkan.
Pangeran Hendratama dengan semua selir dan pembantunya telah pergi. Narotama menduga bahwa tentu pangeran itu juga pergi ke hutan selatan di mana pasukan-pasukan para senopati Kahuripan yang mendukungnya sudah berkumpul.
Dugaan Narotama memang benar. Begitu mendengar akan kegagalan usaha pembunuhan terhadap Ki Patih Narotama, Nurseta dan Senopati Sindukerta sehingga mengakibatkan Puteri Lasmini dan Puteri Mandari melarikan diri karena rahasia mereka terbongkar, Pangeran Hendratama juga merasa lebih aman untuk segera melarikan diri dari gedungnya di kota raja. Diapun membawa semua keluarga, pelayan dan harta bendanya yang ringkas melarikan diri kedalam hutan selatan dimana pasukan para senopati yang mendukungnya sudah berkumpul dengan mereka.
Senopati Sindukerta juga sudah dibebaskan atas perintah Sang Prabu Erlangga yang minta agar senopati tua itu membantu Ki Patih Narotama memimpin pasukan menghadapi pemberontakan. Demikianlah, kedua pihak, pemberontak dan kerajaan Kahuripan, telah membuat persiapan.
Hanya perbedaannya yang menguntungkan Kerajaan Kahuripan adalah bahwa kalau pihak kerajaan sudah megetahui akan rencana pemberontakan yang menggabungkan pasukan di hutan selatan itu, sebaliknya pihak pemberontak sama sekali tidak tahu pihak kerajaan sudah mengetahui akan rencana mereka dan pihak pemberontak mengira bahwa Kerajaan Kahuripan tidak mengadakan persiapan apa-apa sehingga dapat diserbu dengan mendadak dan dapat dikalahkan!
Matahari mulai condong ke barat. Nurseta masih menanti datangnya malam. Dia bersembunyi di atas sebatang pohon besar yang berdaun lebat sehingga tidak akan tampak dari bawah pohon sekalipun. Tiba-tiba dia yang mengintai dari atas pohon melihat seorang gadis berlari terhuyung-huyung.
Di belakangnya, sekitar belasan depa jauhnya tampak dua orang gadis lain mengejarnya. Gadis itu rambutnya terurai lepas dari gelungnya berkibar di belakangnya. pakaiannya sudah koyak-koyak dan melihat larinya yang terhuyung Itu Nurseta menduga bahwa ia tentu terluka.
"Widarti, berhenti kau! serahkan kembali Megatantra kepada kami" teriak wanita-wanita yang mengejarnya dan seorang diantara dua pengejar iu meluncurkan anak panah.
Anak panah mengenai bahu gadis itu, menancap dan gadis itu mengaduh lalu terpelanting rubuh. Kini Nurseta teringat, Gadis itu adalah Widarti, selir termuda dari Pangeran Hendratama, dan mereka yang mengejar adalah Sukarti dan Kenangasari, dua orang selir Pangeran Hendratama yang lain. Maka cepat Nurseta melayang turun dari atas pohon dan dengan lompataan yang jauh dan cepat, dia telah tiba lebih dulu di dekat Widarti.
Sukarti dan Kenangasari terkejut bukan main ketika tiba-tiba mereka melihat Nurseta disitu. Tanpa banyak cakap mereka sudah meluncurkan anak panah menyerang pemuda itu. Namun Nurseta bergerak maju menghampiri mereka dan ketika empat batang anak panah menyambar kearah tubuhnya, dia menangkis dengan kibasan kedua tangan dan anak-anak panah itu rubuh.
Akan tetapi dua orang gadis cantik selir Pangeran Hendratama itu kini menyerang dengan keris mereka, menusukkan keris itu ke arah perut dan dada Nurseta. Nurseta menangkis dengan pengerahan tenaga.
"Plak... Plak..."
Dua orang gadis itu menjerit kesakitan, keris mereka terlepas dari pegangan mereka dan terlempar dan lengan kanan mereka terasa nyeri bukan main terkena tangkisan tangan Nurseta. Maklum bahwa mereka berdua bukan lawan pemuda itu, Sukarti dan Kenangasari lalu membalikkan tubuh mereka dan melarikan diri secepatnya.
Nurseta tidak memperdulikan mereka, cepat dia menghampiri Widarti, lalu berjongkok untuk memeriksa keadaan gadis itu. Widarti rebah telentang, memandang kepada Nurseta dan tersenyum, walaupun senyumnya tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang ditanggungnya.
Nurseta terkejut melihat bahwa gadis ini bukan hanya terluka anak panah yang masih menancap di bahunya, akan tetapi juga lambungnya bercucuran darah, agaknya terluka tusukan keris. Luar biasa sekali bahwa gadis itu masih dapat bertahan dan melarikan diri.
"Nurseta..... terima kasih..... engkau datang..... aku memang mencarimu..... untuk menyerahkan ini....." dengan tangan gemetar Widarti mengambil keris dengan warangkanya yang terselip di pinggangnya dan menyerahkannya kepada Nurseta. "ini..... Megatantra, terimalah....."
Nurseta melihat keris itu memiliki gagang dan warangka yang indah. Dia lalu mencabutnya dan alangkah girangnya melihat bahwa keris itu memang Sang Megatantra yang dulu ditukar dengan keris palsu oleh Pangeran Hendratama.
"Ah, terima kasih Widarti. Jangan banyak bicara, aku akan mencoba mengobati lukamu.
"Tidak, Jangan.. Percuma.. aku tidak kuat lagi.. "
"Akan tetapi, kenapa engkau lakukan ini , Widarti? Mengapa engkau mengambil Megatantra dan menyerahkan kepadaku dengan mengorbankan dirimu? Mengapa?"
Napas gadis itu sudah empas empis. Agaknya ia sudah mengeluarkan terlalu banyak darah dari luka dilambungnya sehingga wajahnya pucat sekali.
"aku... ayahku.. dibunuh jahanam Hendratama itu.. karena tidak mau ikut memberontak.. aku.. aku lalu mencuri Megatantra...hendak aku serahkan kepadamu... akan tetapi aku kepergok Sukarti dan Kenangasari.. aku terluka... mencoba lari.. dan... " Ia terkulai, tidak kuat bicara lagi.
"Widarti... !" Nurseta mengguncang lengannya. Widarti membuka kembali matanya yang sudah kehilangan cahayanya.
"Nur..... Nurseta..... aku.....maafkan aku....." Ia terkulai lagi dan ketika Nurseta memeriksanya, ternyata wanita itu sudah menghembuskan napas terakhir.
Gadis malang, pikir Nurseta dengan hati terharu. Gadis ini terpaksa menjadi selir Pangeran Hcndratama karena ayahnya seolah berada di tangan pangeran itu. ia terpaksa melayani dan bersikap setia kepada Pangeran Hendratama, akan tetapi akhirnya ayahnya dibunuh juga karena ayahnya tidak mau ikut memberontak. dan akhirnya, Widarti membalas dendam dengan mencuri Megatantra untuk dikembalikan kepadanya dan untuk itu ia harus menebus dengan nyawanya.
"Terima kasih, Widarti, semoga rohmu mendapatkan tempat yang jauh lebih membahagiakan daripada hidupnya di dunia ini." Nurseta berbisik dan menggunakan jari-jari tangannya untuk metutupkan sepasang mata yang agak terbuka itu.
Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari arah larinya dua orang selir Pangeran Hendratama tadi. Tentu dua orang selir itu memanggil bala bantuan. Nurseta cepat menyelipkan keris di pinggang, lalu memondong dan membawa lari jenazah Widarti pergi dari situ. Dia membawa jenazah itu cukup jauh memasuki kota raja sambil memondong jenazah sehingga orang-orang melihatnya dengan heran. Akan tetapi Nurseta langsung mencari Ki Patih Narotama di benteng pasukan.
Setelah bertemu, diceritakannya tentang Widarti yang mencuri Sang Mcgatantra dari Pangeran Hendratama dan mengembalikannya kepadanya. Sore hari itu juga K i Patih Narotama membawa Nurseta menghadap Sang Prabu Erlangga. Ketika Nurseta menceritakan tentang Widarti dan keris pusaka Sang Megatantra, lalu mempersembahkan keris pusaka itu, Sang Prabu Erlangga menerima dan mencabut keris pusaka itu. Dia menghela napas.
"Kasihan Widarti itu. Ia telah berjasa maka kakang patih, aturlah agar jenazah Widarti mendapatkan tempat pemakaman terhormat. Sekarang Sang Megatantra tidak berada di tangan Pangeran Hendratama lagi. Terimalah, Kakang Narotama dan pergunakan pusaka ini untuk di liatkan kepada para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama untuk membuktikan bahwa wahyu kedaton tidak berada pada pemberontak itu."
Narotama mengerti akan maksud Sribaginda. Dia menerima keris pusaka itu lalu mohon diri, keluar dari istana bersama Nurseta. "Nurseta, menurut hasil penyelidikan mu tadi, yang berada di dalam hutan selatan itu hanya pasukan Kahuripan? Apakah andika tidak melihat dari empat kerajaan yang bergabung dengan Pangeran Hendratama itu?"
"Hamba kira mereka belum datang, gusti patih. Hamba melihat betapa sarang mereka itu dikepung oleh para penjaga yang terdiri dari perajurit Kahuripan. Kalau mereka sudah datang, tentu akan ada perajurit mereka yang ikut melakukan penjagaan."
"Bagus, kalau begitu, kita serbu mereka sebelum pasukan dari empat kerajaan itu datang bergabung. Kalau diberi kesempatan mereka bergabung, mereka akan menjadi barisan yang kuat sekali. Yang menjadi pelopor adalah Pangeran Hendratama yang mengandalkan pengaruh Sang Megatantra. Kalau dia dihancurkan, kerajaan-kerajaan kecil itu pasti tidak akan berani menyerang sendiri-sendiri. Juga tanpa ada pelopor yang mengaturnya tidak mungkin mereka berempat dapat bersatu karena di antara mereka sendiri sering terjadi bentrokan."
Ki Patih Narotama lalu memimpin sendiri pasukan Kahuripan memasuki hutan selatan, dibantu oleh Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, Nurseta dan beberapa orang senopati lain yang setia kepada Sang Prabu Erlangga. Karena Ki Patih Narotama sudah mengetahui siapa-siapa di antara para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama dan tahu berapa besar jumlah perajurit mereka, maka dia memimpin pasukan secukupnya saja agar kota raja tidak kosong dengan pasukan dan tetap terjaga.
Setelah tiba di tengah hutan yang mereka datangi dengan diam-diam, Narotama mengatur barisannya mengepung sarang pemberontak itu. Setelah dikepung rapat, Narotama memberi isyarat dan para perajurit menyalakan obor dan menancapkan obor obor itu di atas tanah sedang mereka sendiri menjauhi penerangan obor agar jangan menjadi sasaran anak panah musuh.
Begitu obor-obor dinyalakan, gegerlah pasukan yang berada di sarang pemberontak itu. Mereka sedang menanti datangnya pasukan empat kerajaan yang akan bergabung dan tiba-tiba saja kini mereka dikepung musuh. Pangeran Hendratama dan para senopati pendukungnya segera memimpin pasukan mereka untuk siap melakukan perlawanan.
Pangeran Hendratama sedang marah-marah karena keris pusaka Sang Megatantra yang disimpannya telah hilang, padahal yang mengetahui tempat penyimpanan pusaka itu hanya dia sendiri dan tiga orang selirnya yang dia percaya akan kesetiaan mereka.
Kemudian datang Sukarti dan Kenangasari yang melaporkan bahwa Widarti yang mencuri pusaka itu dan mereka berdua mengejarnya hanya berhasil merobohkan Widarti akan tetapi tidak dapat merampas kembali pusaka itu karena muncul Nurseta yang melindungi Widarti.
Saking kecewa, penasaran dan marahnya, Pangeran Hendratama mengamuk, membunuh Sukarti dan Kenangasari yang dia anggap bersekongkol dengan Nurseta dan sengaja membiarkan Widarti melarikan pusaka itu. Dia sedang marah dan kebingungan karena hanya pusaka itulah yang menjadi andalannya untuk menarik para senopati untuk mendukungnya. Dia merasa telah menemukan pusaka yang menjadi wahyu kedaton sehingga dia sudah ditentukan oleh para dewa untuk menjadi raja. Dan kini pusaka itu hilang!
Selagi dia marah dan kebingungan, terjadi geger bahwa sarang mereka dikepung balatentara Kahuripan! Para perajurit pasukan pemberontak menjadi panik dan karena ketakutan mereka lalu menyerang dengan anak panah secara ngawur karena biarpun di sekeliling sarang itu terang benderang oleh ribuan obor, namun pihak musuh tidak tampak. Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali sehingga terdengar oleh semua perajurit anak buah pemberontak.
"Dengar dan lihat baik-baik, para perwira dan tamtama Kahuripan yang memberontak! Aku Ki Patih Narotama memperingatkan bahwa kalian telah ditipu oleh pengkhianat Hendratama!" Suara Ki Patih Narotama terdengar lantang sekali karena patih yang sakti mandraguna ini mengerahkan tenaga saktinya sehingga suara itu terdengar nyaring dan jelas.
Pangeran Hendratama melihat Ki Patih Narotama berdiri di atas sebuah batu besar. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menghujankan anak panah kepada Ki Patih Narotama. Puluhan batang anak panah meluncur ke arah patih yang berdiri di atas batu besar dan tampak jelas karena disinari beberapa batang obor yang ditancapkan di sekeliling batu besar.
Akan tetapi, Nurseta yang sudah berada di situ dan memang bertugas melindungi Ki Patih Narotama, melompat dan memutar sebatang ranting. Tubuhnya berkelebatan seperti tatit dan ranting ditangannya itu menjadi gulungan sinar yang menangkis semua anak panah yang meluncur ke arah tubu Narotama. Patih ini yakin akan kemampuan Nurseta maka tidak mengacuhkan serangan itu dan melanjutkan kata-katanya yang nyaring.
"Dengar kalian semua! Pengkhianat Hendratama itu tidak memiliki keris pusaka Sang Megatantra. Lihat ini! Keris pusaka Sang Megatantra telah kembali kepada Gusti Sinuwun, Sang Prabu Erlangga. Ini buktinya, kalian lihat sendiri!" Narotama mengacungkan keris Megatantra ke atas sehingga dapat dilihat semua orang.
Para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama terkejut melihat keris pusaka di tangan Ki Patih Narotama itu. "Bohong, dia bohong! Sang Megatantra ada padaku!"
Pangeran Hendratama berteriak dengan khawatir dan bingung, tidak mengira bahwa pusaka yang dicuri oleh Widarti itu kini telah berada di tangan Ki Patih Narotama.
"Kalau dia bohong, coba perlihatkan Pusaka Megatantra itu, pangeran!" kata seorang senopati yang diturut oleh yang lain.
"Ada, ada kusimpan baik-baik!" kata Pangeran Hendratama.
"Mari kita gempur pasukan kerajaan itu!"
Pada saat itu terdengar sorak sorai dari arah selatan. Seorang perajurit yang bertugas jaga di bagian selatan, datang berlari-lari dan melaporkan kepada Ki Patih Narotama.
"Gusti Patih, pasukan Parang Siluman dan Wengker sudah datang dari arah selatan! Jumlah mereka semua sekitar tiga ribu orang lebih!"
Mendengar laporan ini, Narotama kembali berseru dengan suara lantang. "Dengarlah, para senopati yang tertipu oleh pengkhianat Hendratama. Kalau kalian membantu kami menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker yang datang itu, rnaka dosa kalian akan diampuni! Sebaliknya kalau kalian melanjutkan pemberontakan mendukung pengkhianat Hendratama dan bergabung dengan empat kerajaan musuh, kalian semua akan dibinasakan!"
Mendengar seruan lantang ini, para senopati merasa bimbang ragu. Sementara itu, pasukan Parang Siluman yang dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala, yaitu kakak Ratu Durgamala, ditemani kedua orang keponakan juga muridnya, yaitu Lasmini dan Mandari, sudah tiba di luar sarang itu dan terjadilah bentrokan perang dengan pasukan Kahuripan. Juga pasukan Kerajaan Wengker yang dipimpin oleh Resi Bajrasakti dan muridnya, Linggajaya, sudah bertempur melawan pasukan Kahuripan yang mengepung sarang itu dibagian Barat Daya. Tiba-tiba para senopati yang tadinya, mendukung Pangeran Hendratama, berseru memberi perintah kepada pasukan mereka. Terdengar teriakan-teriakan menggegap gempita.
"Hidup Ki Patih Narotama! Hidup Sang Prabu Ertangga'" Dan mereka sudah bergerak ke selatan dan barat daya untuk membantu pasukan Kerajaan Kahuripan menyambut dan menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker!
Ki Patih Narotama tersenyum lega. Siasatnya berhasil. Pasukan yang tadinya mendukung Pangeran Hendratama yang hendak memberontak itu telah dapat disadarkan dan kini mereka menambah kekuatan pasukannya untuk menghadapi pasukan kerajaan-kerajaan yang sejak dulu memang memusuhi Kahuripan.
Maka dia lalu memberi aba-aba yang diteruskan para perwira untuk mengumpulkan pasukan dan menyerbu ke dalam sarang musuh. Dia sendiri bersama Nurseta memimpin paling depan. Karena yang berada di sarang itu hanya pasukan para senopati Kahuripan yang mendukung Pangeran Hendratama dan kini hampir semua pasukan telah membalik dan menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker yang baru tiba, maka pasukan Narotama yang memasuki sarang itu tidak mendapatkan perlawanan yang berarti. Sebagian dari mereka yang benar benar setia kepada Pangeran Hendratama dengan mudah dirobohkan atau ditawan.
Pangeran Hendratama menjadi panik melihat pasukan yang mendukungnya kini membalik malah menyambut kedatangan pasukan Parang Siluman dan Wengker dengan serangan. Perasaan takut lebih besar daripada kemarahannya. Dia maklum bahwa usahanya merebut tahta kerajaan dari Sang Prabu Erlangga telah gagal total. Maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, dia sudah bermaksud untuk melarikan diri, akan tetapi tiba tiba, di antara sinar obor obor yang begitu banyak sehingga cukup menerangi tempat itu, tahu-tahu Ki Patih Narotama sudah berdiri menghadang di depannya.
"Pangeran Hendratama, permainan andika sudah usai. Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Gusti Sinuwun!" kata Ki Patih Narotama.
Sesosok bayangan lain berkelebat dan Nurseta berdiri di samping ki patih. Melihat dua orang ini, Pangeran Hendratama menjadi pucat wajahnya. Apalagi melawan keduanya, baru melawan seorang di antara mereka saja dia takkan menang. Namun karena keadaan sudah membuat dia tersudut, dia menjadi nekat. Dengan tombak pusaka yang sejak tadi memang sudah dibawanya, dia menyerang Ki Patih Narotama sambil mengeluarkan suara gereng seperti seekor harimau marah. Ki Patih Narotama melompat ke belakang.
"Nurseta, kuserahkan dia kepadamu. Tangkaplah agar dapat kita hadapkan Gusti Sinuwun!"
"Sendika, gusti patih!" kata Nurseta yang maklum bahwa Ki Patih Narotama mempunyai tugas yang penting, yaitu mengatur pasukan untuk menghadapi dua pasukan musuh dari Parang Siluman dan Wengker.
"Pangeran, memang lebih baik kalau andika menyerah." katanya sambil menghadapi pangeran yang sudah nekat itu.
Melihat pemuda yang dianggap menjadi gara-gara kegagalan ambisinya itu, Pangeran Hendratama menjadi semakin marah dan dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu tombaknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang dan membunuh Nurseta.
Akan tetapi, dengan ilmu meringankan tubuh yaitu Aji Bayu Sakti Nurseta yang bertangan kosong memainkan ilmu silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan seperti berubah menjadi bayangan sehingga Pangeran Hendratama menjadi bingung. Dia merasa seolah menyerang sebuah bayangan. Karena lawan seolah tidak mungkin diserang, Pangeran Hendratama memutar tombak sehingga sinar tombak itu menjadi perisai yang melindungi dirinya. Dengan demikian, biarpun dia tidak dapat menyerang lawan, lawanpun sukar untuk dapat menyerangnya.
Kalau saja Nurseta menghendaki, tentu dia akan mampu merobohkan pangeran itu dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh atau melukai pangeran ini yang bagaimanapun juga adalah kakak ipar Sang Prabu Erlangga sendiri. Bahkan Ki Patih Narotama saja tadi tampak enggan bertanding melawan Pangeran Hendratama.
Apalagi ki patih tadi menugaskan kepadanya untuk menangkap pangeran yang berkhianat dan memberontak ini, maka diapun bermaksud hendak menangkap tanpa melukainya. Melihat sang pangeran pemberontak itu memutar tombak dengan dahsyat sehingga sinar tombak membuat dia sukar untuk dapat menangkapnya, maka Nurseta terpaksa menggunakan satu di antara aji-aji pamungkasnya yang tidak akan dipergunakan kalau tidak terpaksa sekali.
Tiba-tiba Pangeran Hendratama menjadi bingung karena bayangan Nurseta kini hilang, tidak tampak lagi! Inilah Aji Sirnasarira yang dipergunakan Nurseta untuk menangkap lawannya. Melihat pemuda itu hilang, Pangeran Hendratama mengendurkan putaran tombaknya karena memutar tombak sekuat itu dalam waktu lama akan menguras tenaganya. Begitu dia mengendurkan putaran tombak, tiba-tiba tombak itu berhenti berputar dan tidak dapat digerakkan. Kini tampak olehnya betapa Nurseta telah menangkap ujung tombaknya, dibawah mata tombak yang runcing.
"Menyerahlah, pangeran!"
Pangeran Hendratama mengerahkan tenaga untuk melepaskan tombaknya dari pegangan lawan. Namun sia-sia karena tombaknya seolah melekat pada tangan Nurseta. Dalam kemarahan dan kenekatannya, Pangeran Hendratama melangkah maju dan menghantam dengan tangan kirinya kearah muka Nurseta. Kesempatan kini terbuka bagi Nurseta. Dia menyambut pukulan tangan kiri itu dengan ketukan jarinya ke arah bawah siku lengan kiri Pangeran Hendratama.
"Dukk..!"
Seketika Pangeran Hendratama merasa lengan kirinya lumpuh dan di detik berikutnya, tangan Nurseta menepuk pundaknya dan tubuh pangeran itu terkulai lemas, tombaknya terlepas dari pegangannya. Pangeran Hendratama roboh terguling dan tidak mampu bangkit kembali. Dia tidak terluka dan tidak menderita nyeri, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.
Nurseta memanggil seorang perwira, menyerahkan pangeran itu agar ditawan dan dijaga agar jangan sampai dapat melarikan diri atau ada orang yang membebaskannya. Kemudian Nurseta menyusuli Ki Patih Narotama yang memimpin pasukan bersama para senopati menyerbu pasukan Parang Siluman dan Wengker.
Sementara itu, kedua pasukan yang baru tiba itu, menjadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba pasukan Kahuripan yang berada di sarang pemberontak itu, yang tadinya dianggap sebagai sekutu untuk membuat persiapan menyerbu kota raja Kahuripan, tiba-tiba keluar dari sarang dan menyerang mereka. Apalagi mendengar teriakan-teriakan mereka yang menyerukan hidup Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Baik mereka yang memimpin pasukan Wengker, yaitu Resi Bajrasakti dan Linggajaya, maupun mereka yang memimpin pasukan Parang Siluman, yaitu Lasmini, Mandari dan paman atau guru mereka, Ki Nagakumala, semua merasa gentar mendengar bahwa Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama turun tangan sendiri memimpin pasukan. Apalagi mendengar bahwa pasukan pemberontak yang tadinya mendukung Pangeran Hendratama kini berbalik mendukung Kerajaan Kahuripan.
Bahkan dari para penyelidik mereka mendengar bahwa Pangeran Hendratama tidak memiliki Sang Megatantra dan sekarang sudah menjadi tawanan. Mereka menjadi gentar sekali dan ketika pasukan Kahuripan menyerang, mereka hanya mempertahankan diri sambil mundur. Melihat jumlah pasukan Kerajaan Kahuripan yang bergabung dengan bekas pendukung Pangeran Hendratama jauh lebih besar dari jumlah mereka, apalagi karena sudah merasa gentar karena di pihak Kahuripan terdapat Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna dibantu pula oleh Nurseta yang juga memiliki kepandaian tinggi, nyali para pemimpin itu menciut dan akhirnya, setelah terang tanah, mereka menarik mundur pasukan dan melarikan diri, kembali ke daerah masing-masing. Usaha persekutuan empat kerajaan yang membantu Pangeran Hendratama melaksanakan pemberontakan di Kahuripan itu gagal sama sekali.
Mengapa pasukan dua kerajaan lain yang juga bersekutu dengan mereka, yaitu Kerajaan Siluman Laut Kidul dan Wura wuri, tidak muncul malam itu? Ini adalah karena pasukan Siluman Laut Kidul yang paling jauh letaknya di pesisir Laut Kidul, datangnya terlambat, yaitu pada keesokan harinya setelah siang. Ketika mereka memasuki hutan, mereka melihat bekas pertempuran dan dari mereka yang terluka mendengar bahwa pasukan Wengker dan Parang Siluman telah terpukul mundur dan melarikan diri.!
Tentu saja mereka terkejut dan menjadi gentar, apa lagi mendengar bahwa Pangeran Hendratama telah tertawan dan pasukannya membalik dan membantu pasukan Kahuripan. Maka, Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul yang memimpin pasukan, lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan pulang keselatan.
Sementara itu, pasukan dari Wura-wuri datangnya malah lebih lambat lagi, terlambat dua hari dari malam yang ditentukan. Hal ini adalah Puspa Dewi memberi laporan yang sengaja dibuat agar pasukan itu datangnya terlambat. Maka ketika pasukan itu tiba di hutan, mereka tidak melihat sekutu mereka dan karenanya, Tri Kala yang memimpin pasukan itu bersama Puspa Dewi lalu menarik pasukan untuk kembali.<
Dalam gerakan ini, tiga orang senopati Wura wuri itu, Kalamuka, Kalamanik, dan Kalateja tidak melihat Puspa Dewi. Setelah dicari mereka yakin bahwa gadis itu telah meninggalkan pasukan Wura-wuri dan pergi entah ke mana.
Dalam perjalanan kembali ke kota raja, Nurseta berjalan disamping Ki Patih Narotama dan mereka bercakap-cakap. Ki Patih Narotama merasa lega dan girang bahwa pemberontakan itu dapat digagalkan tanpa pertumpahan darah yang besar dan hanya mengakibatkan tewasnya beberapa puluh orang saja.
Pangeran Hendratama juga sudah dapat diringkus dan menjadi tawanan dan yang lebih membuat girang adalah bahwa pasukan para senopati yang mendukung pemberontakan dapat disadarkan sehingga akhirnya mereka membalik dan membela Kahuripan.
Dia pasti akan memintakan ampun kepada Sang Prabu Erlangga untuk para senopati yang terkena bujukan Pangeran Hendratama itu sehingga mereka tidak dihukum terlalu berat. Akan tetapi diam-diam Ki Patih Narotama mengakui bahwa yang paling besar jasanya sehingga pemberontakan ini dapat dengan mudah ditumpas adalah Puspa Dewi!
"Nurseta, aku ingin sekali mengetahui bagaimana nasib Puspa Dewi. Dara itu berjasa besar terhadap Kahuripan. Kalau tidak ada Puspa Dewi yang membocorkan rahasia persekutuan itu, tentu akan terjadi hal-hal yang lebih hebat lagi sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban."
"Paduka benar, gusti patih. Puspa Dewi memang berjasa besar sekali. Ia telah menjadi puteri istana Wura-wuri, entah apa yang menimpa dirinya kalau Raja Wura-wuri mengetahui akan perbuatannya yang tentu dianggap sebagai pengkhianat oleh Kerajaan Wura-wuri."
"Ya, akupun berpikir demikian dan mengkhawatirkan nasibnya. Akan tetapi, jasamu juga amat besar, Nurseta. Maka, akan ku haturkan kepada Gusti Sinuwun tentang semua jasa mu agar engkau mendapatkan kedudukan yang sepadan dengan jasamu."
"Maafkan hamba, gusti patih. Akan tetapi apa yang hamba lakukan semua itu bukan untuk membuat jasa dan mendapatkan imbalan, melainkan untuk melaksanakan kewajiban hamba. Hamba tidak menghendaki imbalan apapun, gusti patih, apalagi kedudukan yang mengikat hamba, padahal hamba masih harus melaksanakan tugas lain yang amat penting."
"Tugas apakah itu, Nurseta?"
"Hamba harus mencari ayah ibu hamba dan mengajak mereka menghadap eyang, juga hamba masih ingin bebas merantau untuk meluaskan pengalaman hamba."
"Hemm, bagus, itukah kehendakmu?" Narotama mengangguk-angguk. "Adalah hak mu untuk memilih dan kalau engkau memilih hendak merantau mencari orang tua mu, aku hanya titip pesan kalau engkau bertemu dengan Puspa Dewi agar memberi tahu bahwa aku dan Gusti Sinuwun ingin bertemu dan bicara dengannya."
"Baik, gusti patih."
"Dan ingatlah selalu akan peristiwa pemberontakan Pangeran Hendratama, Nurseta. Peristiwa itu dapat kita jadikan sebagai contoh betapa bahayanya kalau orang mengejar cita-cita."
"Akan tetapi, gusti patih. Bukankah seorang manusia, apalagi sewaktu muda, harus mempunyai cita-cita yang baik agar mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup?"
Ki Patih Narotama mengajak Nurseta berhenti di tepi jalan untuk bercakap-cakap.
"Justeru pendapat itulah yang menjerumuskan banyak orang, Nurseta. Cita-cita adalah tujuan, ambisi, cita-cita adalah harapan mendapatkan sesuatu yang belum diperoleh, masa depan dan bukan kenyataan, melainkan bayangan. Baik buruknya tujuan tergantung dari cara mendapatkan tujuan itu. Besar sekali bahayanya, tujuan menghalalkan segala cara, sehingga untuk mencapai apa yang dicita-citakan, orang tidak segan melakukan cara apapun. Jadi yang menentukan bukanlah bercita-cita muluk, melainkan caranya, pelaksanaannya, pekerjaannya dan sifat pekerjaannya itu. Yang baik atau buruk, benar atau salah, adalah caranya. Tidak mungkin cara yang jahat menghasilkan sesuatu yang baik. Kalau sedang bekerja mencari nafkah, bekerjalah yang baik dan benar, karena itulah yang menentukan hasilnya dan yang melakukan cara yang baik dan benar, hasilnya tentu baik dan benar pula. Sebaliknya kalau hanya mementingkan cita-cita atau tujuan, orang dapat terseret ke dalam cara yang buruk dan salah seperti penipu, korupsi, pengkhianatan seperti yang dilakukan Pangeran Hendratama. Dia bercita-cita memperoleh kedudukan tinggi dan menggunakan cara yang jahat dan buruk, berkhianat, memberontak dan bersekutu dengan musuh-musuh Kahuripan. Kalau saja dia menggunakan cara yang baik, berjuang dan bekerja dengan setia dan jujur untuk Kahuripan, tentu dengan sendirinya dia memperoleh kedudukan yang tinggi."
"Akan tetapi, gusti patih, hamba sering mendengar orang mengatakan bahwa tanpa cita-cita hidup akan kosong dan tidak akan memperoleh kemajuan. Cita-cita merupakan pendorong manusia untuk maju. Bagaimana pendapat paduka dengan pernyataan itu, gusti patih?"
"Ucapan seperti itu hanya dilakukan orang yang menganggap bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah mencari kemajuan yang berarti kekayaan dan kedudukan. Orang yang meningkat kekayaannya atau kedudukannya dianggap maju. Karena itu, dalam mengejar cita-cita untuk memperbanyak kekayaan dan mempertinggi kedudukan orang menjadi lupa diri, saling berebutan dan saling bermusuhan. Orang lupa bahwa kedudukan tinggi atau kekayaan besar sama sekali bukan ukuran orang untuk hidup berbahagia dan tenteram lahir batin. Cita-cita itu baru dapat dinilai bersih kalau ditujukan untuk kepentingan orang banyak dalam hal ini rakyat jelata yang hidupnya merana. Selama cita-cita itu untuk kepentingan pribadi, maka itu bukan lain hanyalah kemurkaan dan menuruti dorongan nafsu yang condong selalu mengejar kesenangan, mengejar yang serba enak dan menyenangkan jasmani. Orang menilai maju untuk meningkatkan harta dan kedudukan, mendewa-dewakan harta benda dan kekuasaan. Pengejaran keinginan nafsu berupa kesenangan jasmani inilah yang menyeret kita melakukan segala macam perbuatan jahat demi mencapai apa yang dicita-citakan itu."
Nurseta merasa kagum. Pendapat yang dikemukakan Ki Patih Narotama ini sungguh berbeda, bahkan berlawanan dengan pendapat umum tentang cita-cita, akan tetapi dia dapat menangkap kebenaran yang terkandung di dalamnya. Karena dia ingin mengerti lebih banyak, dia berkata lagi.
"Hamba masih mempunyai sebuah pertanyaan tentang cita-cita, gusti patih, yang hamba harap dapat menerima penjelasan dari paduka. Bagaimana kalau ada yang bercita-cita menjadi orang yang baik? Apakah juga tidak ada gunanya dan juga berbahaya karena menjurus ke arah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan?"
Narotama tersenyum. "Apakah andika pikir kebaikan atau kebajikan itu merupakan sesuatu yang dapat dicapai melalui suatu cara atau pelajaran? Ah, Nurseta. Kebajikan adalah suatu sikap hidup terhadap orang lain yang terpantul dari dalam perasaan hati sanubari. Kebajikan yang dilakukan dengan cara yang disengaja adalah kebajikan yang dibuat-buat. Mengejar cita-cita agar kita menjadi orang baik hanya akan membuat kita menjadi seorang munafik yang hanya baik pada lahirnya belaka yang sering bahkan berlawanan dengan keadaan batinnya. Mengejar kebaikan berarti kita mengejar pendapat orang agar kita dianggap sebagai orang baik, dan kalau sudah begitu, kita menghalalkan segala cara agar dapat dianggap baik. Tidak, Nurseta, kebaikan bukan merupakan tujuan, kebaikan bukan pamrih, kebaikan adalah suatu sipat yang timbul dari hati sanubari. Hati sanubari yang sudah dihuni kasih sejati akan memancarkan sikap dan perbuatan yang pasti baik. Marah adalah buruk, sabar adalah baik. Dapatkah orang belajar sabar? Tidak mungkin. Selama ada kemarahan dalam hati, kesabaran menjauh, yang dapat dicapai hanya kemarahan yang bertopeng kesabaran atau kesabaran palsu. Kalau kemarahan tiada lagi di hati, tidak perlu belajar sabar lagi. Kalau kejahatan tidak lagi mengeram dalam hati, tidak perlu belajar baik lagi, kalau nafsu-nafsu daya rendah tidak lagi menguasai hati sanubari seseorang, dia akan hidup sebagai seorang manusia sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Kalau iblis tidak lagi menguasai hati akal pikiran, Dewa Ruci (Sang Roh Suci) yang akan mengambil alih dan membimbing ke jalan benar dan baik. Bukan cita-cita menjadi baik yang penting, melainkan sekarang, saat ini, saat demi saat tidak ada lagi nafsu jahat menguasai diri lahir batin. Mengertikah andika, Nurseta?"
Nurseta menyembah. "Aduh, terima kasih, gusti patih. Semoga Hyang Widhi Wasa akan membimbing hamba sehingga dapat terbuka mata hati hamba untuk melihat kebenaran itu. Sekarang hamba mohon pamit, gusti. Hamba mohon sudilah kiranya paduka memberi tahu kepada kanjeng eyang Sindukerta bahwa hamba melanjutkan perjalanan mencari kedua orang tua hamba."
"Begitulah kehendak mu, Nurseta. Baik, akan ku sampaikan kepada Paman Senopati Sindukerta. Selamat jalan dan semoga Sang Hyang Widhi selalu melimpahi Kasih Karunia dan bimbingan kepadamu."
Nurseta menyembah lagi lalu mengambil jalan simpang, meninggalkan Ki Patih Narotama yang mengikuti kepergian pemuda itu sampai bayangannya menghilang.
Sampai di sini berakhirlah sudah riwayat Nurseta bagian pertama dalam episode Sang Megatantra ini dengan harapan pengarang semoga kisah ini bermanfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa di kisah selanjutnya, di mana pembaca akan mengikuti perjalanan Nurseta dan bertemu pula dengan Puspa Dewi, Linggajaya, Lasmini, Mandari, dan para tokoh lain dalam kisah selanjutnya yang berjudul NURSETA SATRIA KARANG TIRTA
Dibyo Mamangkoro yang sudah gentar itu berseru, "Celaka, kita terjebak!"
Akan tetapi Ratu Mayang Gupita cepat mendorongkan kedua tangannya kearah Nurseta yang berdiri dalam jarak lima depa. Dari kedua tangan wanita raksasa ini keluar bola api yang mengeluarkan suara meledak.
Nurseta mengenal serangan ampuh dan dahsyat sekali. Diapun lalu mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut serangan orang tinggi besar berkerudung hitam itu.
"Blaaaaaarrrrr....!"
Dua tenaga sakti bertemu dan tubuh tinggi besar itu terhuyung kebelakang. Diam-diam Ratu Mayang Gupita terkejut bukan main.
"Bahaya, ayo kita lari!" kata Puspa Dewi dan Nurseta segera mengenal gadis itu. Seruan gadis itu tentu mengandung maksud agar dia membiarkan mereka berempat itu melarikan diri. Dia tidak tahu mengapa Puspa Dewi menghendaki demikian, akan tetapi yakin bahwa gadis itu tentu berniat baik terhadap dirinya, pun tidak mengejar dan membiarkan mereka berempat melarikan diri! Mereka berempat lari ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya, yaitu kedalam taman lalu menuju ke sudut taman di mana terdapat semak-semak tebal. Di tempat itu muncul Puteri Mandari menyongsong mereka.
"Bagaimana hasilnya? Kenapa kalian berempat berlari seperti ketakutan? Sudah berhasilkah.....?" tanya sang puteri.
"Celaka, kita gagal' Mereka itu sudah keluar dari dalam kamar tahanan!" kata Ratu Mayang Gupita.
"Kita harus cepat lari dari sini!" kata Puspa Dewi.
"Jangan khawatir. Mari...!" Puteri Mandari berkata dan mengajak mereka menyelinap di belakang semak-semak tebal.
Di sana ternyata terdapat sebuah pintu kecil yang memang disediakan untuk para abdi kalau ada keperluan di luar istana dan pintu kecil ini hanya diketahui oleh penghuni istana keputren. Biarpun tugas membunuh para tahanan itu gagal, namun Puteri Mandari tidak merasa gentar karena mereka berempat itu berkerudung sehingga Nurseta tentu tidak mengenal mereka dan kini mereka telah berhasil melarikan diri dengan selamat.
Keadaannya menjadi aman sudah walaupun rencana ke dua itu gagal. Ia mengharapkan rencana pertama membunuh Ki Patih Narotama berhasil dan terutama yang terpenting adalah rencana ketiga, yaitu mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerbu istana dan menggulingkan kedudukan Sang Prabu Erlangga.
Biarpun demi membela kerajaan ibunya ia tetap mencelakakan dan membunuh Sang Prabu Erlangga akan tetapi kalau ingat akan kejantanan suaminya itu, ingat akan ketampanan dan kegagahannya, kelembutannya kalau bermesraan, ia menjadi sedih karena maklum bahwa akan sukar mencari seorang pria seperti Sang Prabu Erlangga. Setelah empat orang pembunuh gagal itu keluar dari taman melalui pintu kecil, Puteri Mandari masih berdiri termenung. Ia merasa kecewa dan menyesal bahwa usaha empat orang itu gagal.
Selagi ia hendak kembali ke istana keputren, tiba-tiba ada bayangan berkelebat, la sudah siap untuk menyerang, akan tetapi niat itu urung ketika ia mengenal bahwa yang muncul di depannya bukan lain adalah Lasmini, mbakayunya! Dari sinar lampu taman, ia melihat wajah Lasmini pucat dan tegang.
"Mbakayu Lasmini .....!"
"Ketiwasan (celaka), Mandari! Hayo cepat kita pergi dari sini. Cepat sebelum terlambat!" kata Lasmini memotong ucapan adiknya.
"Eh, ada apakah?" tanya Mandari terkejut dan heran.
"Jangan banyak bertanya, nanti kuceritakan. Sekarang, mari kita cepat melarikan diri!"
Mandari dengan ragu menengok ke arah istana. "Akan tetapi aku harus mengambil pakaian dan perhiasan...!"
"Aduh, apa artinya semua itu dibandingkan keselamatan nyawamu? Cepat, sebentar lagi Ki Patih Narotama datang dan Sang Prabu Erlangga mendengar tentang kita. Rahasia kita telah pecah! Hayo kita lari!"
Mendengar ini, Mandari terkejut dan iapun menjadi ketakutan. Jelas bahwa usaha Lasmini dan Lingga jaya membunuh Narotama telah gagal. Kalau hanya gagal tidak mengapa, akan tetapi kalau rahasia mereka berdua yang bersekutu dengan pemberontak, hal itu sungguh berbahaya sekali. Maka, dengan hati tidak karuan rasanya mereka cepat melarikan diri melalui pintu kecil itu yang juga diketahui Lasmini sehingga ia tadi masuk dari situ. Dua orang puteri cantik jelita yang juga sakti itu malam-malam terus melarikan diri menuju ke Kerajaan Parang Siluman di selatan.
********************
Tadi ketika menerima surat dari Puspa Dewi, dan setelah mendengar para penjaga bicara sambil tertawa-tawa karena menikmati minuman anggur kemudian suasana menjadi sunyi, Nurseta lalu menggunakan tenaga saktinya untuk membongkar gembok yang mengunci pintu besi kamar tahanan dengan mudah. Dia keluar dan membongkar gembok di pintu kamar tahanan eyangnya, Ki Sindukerta.
Mula-mula Senopati Sindukerta hendak mencela perbuatan Nurseta karena dia tidak setuju kalau harus melarikan diri dari tahanan atas perintah Sang Prabu Erlangga, kepada siapa dia amat setia dan taat. Akan tetapi setelah Nurseta menjelaskan apa yang terjadi dia terkejut bukan main bahkan mendesak kepada Nurseta agar cepat melaksanakan apa yang diminta oleh Puspa Dewi, yaitu membantu Ki Patih Narotama menghadapi musuh yang hendak membunuhnya.
Nurseta menanti sampai para pembunuh datang. Dia mendengar ucapan Puspa Dewi yang mengajak tiga orang pembunuh lainnya lari dan dia sengaja tidak merobohkan mereka dan tidak melakukan pengejaran karena dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu mempunyai maksud tertentu dengan ucapan itu. Akan tetapi setelah para pembunuh itu pergi, dia berkata kepada Senopati Sindukerta yang tadi bersembunyi dalam kegelapan seperti yang dikehendaki Nurseta karena dia tidak ingin eyangnya terancam bahaya maut.
"Eyang, harap eyang tinggal saja disini karena saya kira bahaya telah lewat Saya harus cepat melihat keadaan Ki Patih Narotama dan kalau perlu membantu beliau yang terancam pembunuhan."
"Benar, Nurseta, cepatlah pergi ke kepatihan!" kata Senopati Sindukerta.
Nurseta lalu menggunakan kepandaiannya untuk berlari cepat memasuki taman. Karena dia tidak tahu akan pintu kecil, maka dia keluar dari taman istana itu dengan jalan melompat ke atas pagar tembok dan keluar dengan cepat. Malam telah berganti pagi ketika Nurseta melangkah menuju kepatihan. Karena sudah banyak orang berlalu lalang di jalan itu, Nurseta tidak berani berlari cepat, hanya berjalan agak cepat sambil memperhatikan keadaan di luar istana. Akan tetapi tidak tampak ada ketegangan dan wajah para penduduk kota raja, seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang menggemparkan.
Tiba-tiba wajah Nurseta berseri dan hatinya lega karena dia melihat Ki Patih Narotama berjalan dari depan. Ki Patih Narotama juga melihat Nurseta dan dia memanggil.
"Nurseta, andika di sini?" Pertanyaan itu menunjukkan perasaan herannya melihat Nurseta yang berada dalam tahanan istana, pagi ini dapat berkeliaran di situ.
"Ah, betapa lega rasa hati hamba Gusti Patih, melihat paduka dalam keadaan selamat, terhindar dari bahaya maut!"
"Apa? Hemm, andika tahu bahwa aku terancam bahaya?" Narotama menjadi semakin heran. "Nurseta, mari kita bicara di sana." Ki Patih Narotama mengajak Nurseta meninggalkan jalan raya memasuki ladang yang sunyi. "Nah, ceritakan sekarang, bagaimana andika yang ditahan di istana dapat berada di sini dan bagaimana pula andika dapat mengetahui bahwa keselamatanku terancam?"
Nurseta lalu menceritakan pengalamannya. Bagaimana ketika malam itu Puspa Dewi muncul di depan kamar tahanan dan melemparkan surat dengan tulisan bahwa malam itu dia dan eyangnya akan dibunuh, juga Ki Patih Narotama akan dibunuh orang. Maka dia lalu meloloskan diri dan melihat empat orang bertopeng yang hendak membunuhnya. Seorang di antara mereka adalah Puspa Dewi dan mereka berempat melarikan diri ketika melihat kamar tahanan kosong.
"Hamba memenuhi permintaan Puspa Dewi dalam surat itu agar hamba meninggalkan rumah tahanan dan menolong paduka yang terancam bahaya." Nurseta mengakhiri keterangannya sambil menyerahkan surat dari Puspa Dewi itu.
Ki Patih Narotama menerima surat itu dan membacanya. Dia mengangguk angguk. "Hemm, syukurlah bahwa anak itu ternyata telah menyadari kesalahannya. Mari, Nurseta, mari kita menghadap Gusti Sinuwun. Urusan ini mungkin masih ada ekornya. Tampaknya ada persekutuan yang membahayakan kerajaan. Kita harus melapor kepada Gusti Sinuwun."
Mereka berdua lalu bergegas menuju ke istana. Mereka semakin tegang dan curiga karena sepagi itu Sang Prabu Erlangga segera dapat menerima mereka, bahkan mereka diajak bicara dalam sebuah ruangan tertutup tanpa dapat didengar orang luar. Pasti telah terjadi sesuatu di dalam istana, selain percobaan pembunuhan atas diri Nurseta dan Ki Sindukerta! Akan tetapi sikap Sang Prabu Erlangga masih tenang, walaupun alis matanya berkerut. Juga dia sama sekali tidak merasa heran melihat Nurseta yang mestinya berada dalam kamar tahanan dapat bersama Ki Patih Narotama menghadapnya.
"Kakang Patih Narotama, urusan apakah yang mendorong kakang sepagi ini datang menghadap? Dan andika, Nurseta, bagaimana andika dapat keluar dari tahanan dan ikut menghadap?"
"Perkenankan hamba yang melapor lebih dulu, gusti. Malam tadi, hamba diserang dan hendak dibunuh dua orang pembunuh gelap. Hamba dapat menghindarkan diri dan dua orang pembunuh gelap itu melarikan diri. Akan tetapi setelah hamba melakukan penyelidikan ternyata bahwa dua orang pembunuh gelap itu bukan lain adalah juru taman baru Linggajaya dan Lasmini. Mereka berdua telah melarikan diri dari kepatihan. Hamba datang menghadap paduka untuk melapor karena hamba khawatir terjadi sesuatu di sini."
Sang Prabu Erlangga sama sekali tidak terkejut karena dia sudah mengetahui semua itu dari laporan selirnya, Dyah Untari yang mendengar dari Puspa Dewi dan menyuruh Bancak dan Doyok melapor kepadanya.
"Dan andika, Nurseta, bagaimana ceritamu?" tanya Sang Prabu Erlangga kepada pemuda itu.
"Ampun, gusti, kalau hamba berani lancang ikut menghadap. Malam tadi juga terjadi percobaan pembunuhan atas diri hamba dan Eyang Sindukerta. Baiknya sebelum itu, Puspa Dewi telah memberi tahu hamba, sehingga hamba dan eyang dapat meloloskan diri. Puspa Dewi juga memberitahu bahwa gusti patih juga terancam, maka hamba bermaksud pergi ke kepatihan untuk membantu beliau, akan tetapi hamba bertemu dengan gusti patih di jalan dan langsung menghadap paduka."
Kembali Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk. "Kami sudah mengetahui semuanya dan ternyata Puspa Dewi tidak berbohong. Ketahuilah, kakang Narotama ada persekutuan jahat yang hendak melakukan pemberontakan. Persekutuan yang terdiri dari empat kerajaan Wura-wuri, Wengker, Siluman Laut Kidul, dan Parang Siluman yang bergabung dengan Pangeran Hendratama yang hendak mengadakan pemberontakan. Yang menyedihkan, Mandari dan Lasmini juga terlibat sebagai wakil dari Kerajaan Parang Siluman. Kini Mandari juga sudah lolos dari istana!" Sang Prabu Erlangga menceritakan semua yang didengarnya tentang rencana pemberontakan itu seperti yang diceritakan Puspa Dewi kepada Dyah Untari.
"Syukur bahwa rencana pertama dan kedua, yaitu membunuh kakang Narotama dan Nurseta bersama eyangnya, telah dapat digagalkan. Akan tetapi yang berbahaya adalah rencana ke tiga, yaitu penggabungan pasukan mereka yang akan berkumpul di hutan selatan. Kami sudah mengutus Senopati Wiradana untuk mengerahkan pasukan untuk menghadapi pemberontakan. Akan tetapi sebaiknya andika sendiri, Kakang Narotana yang memimpin dan temuilah Senopati Wiradana. Ingat, Pangeran Hendratama ternyata benar seperti cerita Nurseta, dia mempunyai pusaka Sang Megatantra, maka ada juga para pengkhianat yang mendukungnya."
"Sendika, gusti...! Mari, Nurseta, engkau harus membantuku!" kata Narotama dan setelah memberi hormat, mereka berdua bergegas meninggalkan istana.
Setelah tiba di luar istana, Narotama berkata kepada Nurseta.
"Sekarang kita membagi tugas. Aku akan menemui Senopati Wiradana dan mengatur pasukan, sedangkan engkau, pergilah lebih dulu ke hutan selatan dan selidiki keadaan mereka. Setelah mengetahui keadaan dan rencana mereka dengan baik, baru andika menemui aku."
"Baik, gusti patih!"
Mereka lalu berpisah dan Nurseta keluar dari kota raja melalui pintu gerbang selatan. Keadaan di kota raja masih tenang dan biasa saja karena tidak ada yang mengetahui bahwa kota raja saat itu terancam serbuan pasukan pemberontak!
Matahari telah naik tinggi ketika Nurseta tiba di tepi hutan selatan. Dia berhati-hati dan memasuki hutan lebat itu dengan sembunyi-sembunyi, menyelinap di antara pepohonan. Setelah tiba agak dalam di hutan itu, dia melihat betapa perajurit-perajurit melakukan penjagaan sekeliling tengah hutan dimana terdapat sebuah pondok besar dan beberapa pondok lain yang tampaknya baru saja dibangun.
Nurseta mengelilingi tempat itu dan melihat betapa penjagaan amat rapat dan yang mengherankan hatinya, para perajurit itu adalah perajurit Kahuripan. Dia menduga bahwa tentu ini pasukan Kahuripan yang dipimpin para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama! Karena penjagaan ketat dan berbahaya sekali kalau sampai ketahuan, maka dia bersembunyi agak jauh, menanti datangnya malam. Dia akan lebih leluasa bergerak di waktu malam gelap.
Sementara itu, di kota raja juga terjadi kesibukan. Ki Patih Narotama bertemu dengan senopati Wiradana dan memberi petunjuk kepada senopati itu. Pasukan Kahuripan dikerahkan dan diketahui bahwa beberapa orang senopati muda telah membawa pasukan mereka pergi entah kemana.
Narotama dapat menduga bahwa pasukan-pasukan yang menjadi pendukung Pangeran Hendratama itu pasti sudah berangkat ke hutan selatan untuk bergabung dengan pasukan dari empat kerajaan. Dia memerintahkan Senopati Wiradana siap untuk diberangkatkan sewaktu-waktu untuk menyerbu para pemberontak di hutan selatan, mendahului mereka sebelum mereka bergerak menyerang kota raja agar tidak menggegerkan rakyat.
Untuk itu, dia menanti berita dan Nurseta yang sudah dikirim ke sana untuk melakukan penyelidikan. Kemudian, Narotama membawa seregu pasukan dan memimpin sendiri pasukan Itu menuju ke gedung tempat tinggal Pangeran Hendratama. Akan tetapi, seperti sudah diduganya terlebih dulu, gedung yang mewah seperti istana itu telah dikosongkan.
Pangeran Hendratama dengan semua selir dan pembantunya telah pergi. Narotama menduga bahwa tentu pangeran itu juga pergi ke hutan selatan di mana pasukan-pasukan para senopati Kahuripan yang mendukungnya sudah berkumpul.
Dugaan Narotama memang benar. Begitu mendengar akan kegagalan usaha pembunuhan terhadap Ki Patih Narotama, Nurseta dan Senopati Sindukerta sehingga mengakibatkan Puteri Lasmini dan Puteri Mandari melarikan diri karena rahasia mereka terbongkar, Pangeran Hendratama juga merasa lebih aman untuk segera melarikan diri dari gedungnya di kota raja. Diapun membawa semua keluarga, pelayan dan harta bendanya yang ringkas melarikan diri kedalam hutan selatan dimana pasukan para senopati yang mendukungnya sudah berkumpul dengan mereka.
Senopati Sindukerta juga sudah dibebaskan atas perintah Sang Prabu Erlangga yang minta agar senopati tua itu membantu Ki Patih Narotama memimpin pasukan menghadapi pemberontakan. Demikianlah, kedua pihak, pemberontak dan kerajaan Kahuripan, telah membuat persiapan.
Hanya perbedaannya yang menguntungkan Kerajaan Kahuripan adalah bahwa kalau pihak kerajaan sudah megetahui akan rencana pemberontakan yang menggabungkan pasukan di hutan selatan itu, sebaliknya pihak pemberontak sama sekali tidak tahu pihak kerajaan sudah mengetahui akan rencana mereka dan pihak pemberontak mengira bahwa Kerajaan Kahuripan tidak mengadakan persiapan apa-apa sehingga dapat diserbu dengan mendadak dan dapat dikalahkan!
********************
Matahari mulai condong ke barat. Nurseta masih menanti datangnya malam. Dia bersembunyi di atas sebatang pohon besar yang berdaun lebat sehingga tidak akan tampak dari bawah pohon sekalipun. Tiba-tiba dia yang mengintai dari atas pohon melihat seorang gadis berlari terhuyung-huyung.
Di belakangnya, sekitar belasan depa jauhnya tampak dua orang gadis lain mengejarnya. Gadis itu rambutnya terurai lepas dari gelungnya berkibar di belakangnya. pakaiannya sudah koyak-koyak dan melihat larinya yang terhuyung Itu Nurseta menduga bahwa ia tentu terluka.
"Widarti, berhenti kau! serahkan kembali Megatantra kepada kami" teriak wanita-wanita yang mengejarnya dan seorang diantara dua pengejar iu meluncurkan anak panah.
Anak panah mengenai bahu gadis itu, menancap dan gadis itu mengaduh lalu terpelanting rubuh. Kini Nurseta teringat, Gadis itu adalah Widarti, selir termuda dari Pangeran Hendratama, dan mereka yang mengejar adalah Sukarti dan Kenangasari, dua orang selir Pangeran Hendratama yang lain. Maka cepat Nurseta melayang turun dari atas pohon dan dengan lompataan yang jauh dan cepat, dia telah tiba lebih dulu di dekat Widarti.
Sukarti dan Kenangasari terkejut bukan main ketika tiba-tiba mereka melihat Nurseta disitu. Tanpa banyak cakap mereka sudah meluncurkan anak panah menyerang pemuda itu. Namun Nurseta bergerak maju menghampiri mereka dan ketika empat batang anak panah menyambar kearah tubuhnya, dia menangkis dengan kibasan kedua tangan dan anak-anak panah itu rubuh.
Akan tetapi dua orang gadis cantik selir Pangeran Hendratama itu kini menyerang dengan keris mereka, menusukkan keris itu ke arah perut dan dada Nurseta. Nurseta menangkis dengan pengerahan tenaga.
"Plak... Plak..."
Dua orang gadis itu menjerit kesakitan, keris mereka terlepas dari pegangan mereka dan terlempar dan lengan kanan mereka terasa nyeri bukan main terkena tangkisan tangan Nurseta. Maklum bahwa mereka berdua bukan lawan pemuda itu, Sukarti dan Kenangasari lalu membalikkan tubuh mereka dan melarikan diri secepatnya.
Nurseta tidak memperdulikan mereka, cepat dia menghampiri Widarti, lalu berjongkok untuk memeriksa keadaan gadis itu. Widarti rebah telentang, memandang kepada Nurseta dan tersenyum, walaupun senyumnya tak dapat menyembunyikan rasa nyeri yang ditanggungnya.
Nurseta terkejut melihat bahwa gadis ini bukan hanya terluka anak panah yang masih menancap di bahunya, akan tetapi juga lambungnya bercucuran darah, agaknya terluka tusukan keris. Luar biasa sekali bahwa gadis itu masih dapat bertahan dan melarikan diri.
"Nurseta..... terima kasih..... engkau datang..... aku memang mencarimu..... untuk menyerahkan ini....." dengan tangan gemetar Widarti mengambil keris dengan warangkanya yang terselip di pinggangnya dan menyerahkannya kepada Nurseta. "ini..... Megatantra, terimalah....."
Nurseta melihat keris itu memiliki gagang dan warangka yang indah. Dia lalu mencabutnya dan alangkah girangnya melihat bahwa keris itu memang Sang Megatantra yang dulu ditukar dengan keris palsu oleh Pangeran Hendratama.
"Ah, terima kasih Widarti. Jangan banyak bicara, aku akan mencoba mengobati lukamu.
"Tidak, Jangan.. Percuma.. aku tidak kuat lagi.. "
"Akan tetapi, kenapa engkau lakukan ini , Widarti? Mengapa engkau mengambil Megatantra dan menyerahkan kepadaku dengan mengorbankan dirimu? Mengapa?"
Napas gadis itu sudah empas empis. Agaknya ia sudah mengeluarkan terlalu banyak darah dari luka dilambungnya sehingga wajahnya pucat sekali.
"aku... ayahku.. dibunuh jahanam Hendratama itu.. karena tidak mau ikut memberontak.. aku.. aku lalu mencuri Megatantra...hendak aku serahkan kepadamu... akan tetapi aku kepergok Sukarti dan Kenangasari.. aku terluka... mencoba lari.. dan... " Ia terkulai, tidak kuat bicara lagi.
"Widarti... !" Nurseta mengguncang lengannya. Widarti membuka kembali matanya yang sudah kehilangan cahayanya.
"Nur..... Nurseta..... aku.....maafkan aku....." Ia terkulai lagi dan ketika Nurseta memeriksanya, ternyata wanita itu sudah menghembuskan napas terakhir.
Gadis malang, pikir Nurseta dengan hati terharu. Gadis ini terpaksa menjadi selir Pangeran Hcndratama karena ayahnya seolah berada di tangan pangeran itu. ia terpaksa melayani dan bersikap setia kepada Pangeran Hendratama, akan tetapi akhirnya ayahnya dibunuh juga karena ayahnya tidak mau ikut memberontak. dan akhirnya, Widarti membalas dendam dengan mencuri Megatantra untuk dikembalikan kepadanya dan untuk itu ia harus menebus dengan nyawanya.
"Terima kasih, Widarti, semoga rohmu mendapatkan tempat yang jauh lebih membahagiakan daripada hidupnya di dunia ini." Nurseta berbisik dan menggunakan jari-jari tangannya untuk metutupkan sepasang mata yang agak terbuka itu.
Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari arah larinya dua orang selir Pangeran Hendratama tadi. Tentu dua orang selir itu memanggil bala bantuan. Nurseta cepat menyelipkan keris di pinggang, lalu memondong dan membawa lari jenazah Widarti pergi dari situ. Dia membawa jenazah itu cukup jauh memasuki kota raja sambil memondong jenazah sehingga orang-orang melihatnya dengan heran. Akan tetapi Nurseta langsung mencari Ki Patih Narotama di benteng pasukan.
Setelah bertemu, diceritakannya tentang Widarti yang mencuri Sang Mcgatantra dari Pangeran Hendratama dan mengembalikannya kepadanya. Sore hari itu juga K i Patih Narotama membawa Nurseta menghadap Sang Prabu Erlangga. Ketika Nurseta menceritakan tentang Widarti dan keris pusaka Sang Megatantra, lalu mempersembahkan keris pusaka itu, Sang Prabu Erlangga menerima dan mencabut keris pusaka itu. Dia menghela napas.
"Kasihan Widarti itu. Ia telah berjasa maka kakang patih, aturlah agar jenazah Widarti mendapatkan tempat pemakaman terhormat. Sekarang Sang Megatantra tidak berada di tangan Pangeran Hendratama lagi. Terimalah, Kakang Narotama dan pergunakan pusaka ini untuk di liatkan kepada para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama untuk membuktikan bahwa wahyu kedaton tidak berada pada pemberontak itu."
Narotama mengerti akan maksud Sribaginda. Dia menerima keris pusaka itu lalu mohon diri, keluar dari istana bersama Nurseta. "Nurseta, menurut hasil penyelidikan mu tadi, yang berada di dalam hutan selatan itu hanya pasukan Kahuripan? Apakah andika tidak melihat dari empat kerajaan yang bergabung dengan Pangeran Hendratama itu?"
"Hamba kira mereka belum datang, gusti patih. Hamba melihat betapa sarang mereka itu dikepung oleh para penjaga yang terdiri dari perajurit Kahuripan. Kalau mereka sudah datang, tentu akan ada perajurit mereka yang ikut melakukan penjagaan."
"Bagus, kalau begitu, kita serbu mereka sebelum pasukan dari empat kerajaan itu datang bergabung. Kalau diberi kesempatan mereka bergabung, mereka akan menjadi barisan yang kuat sekali. Yang menjadi pelopor adalah Pangeran Hendratama yang mengandalkan pengaruh Sang Megatantra. Kalau dia dihancurkan, kerajaan-kerajaan kecil itu pasti tidak akan berani menyerang sendiri-sendiri. Juga tanpa ada pelopor yang mengaturnya tidak mungkin mereka berempat dapat bersatu karena di antara mereka sendiri sering terjadi bentrokan."
Ki Patih Narotama lalu memimpin sendiri pasukan Kahuripan memasuki hutan selatan, dibantu oleh Senopati Wiradana, Senopati Sindukerta, Nurseta dan beberapa orang senopati lain yang setia kepada Sang Prabu Erlangga. Karena Ki Patih Narotama sudah mengetahui siapa-siapa di antara para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama dan tahu berapa besar jumlah perajurit mereka, maka dia memimpin pasukan secukupnya saja agar kota raja tidak kosong dengan pasukan dan tetap terjaga.
Setelah tiba di tengah hutan yang mereka datangi dengan diam-diam, Narotama mengatur barisannya mengepung sarang pemberontak itu. Setelah dikepung rapat, Narotama memberi isyarat dan para perajurit menyalakan obor dan menancapkan obor obor itu di atas tanah sedang mereka sendiri menjauhi penerangan obor agar jangan menjadi sasaran anak panah musuh.
Begitu obor-obor dinyalakan, gegerlah pasukan yang berada di sarang pemberontak itu. Mereka sedang menanti datangnya pasukan empat kerajaan yang akan bergabung dan tiba-tiba saja kini mereka dikepung musuh. Pangeran Hendratama dan para senopati pendukungnya segera memimpin pasukan mereka untuk siap melakukan perlawanan.
Pangeran Hendratama sedang marah-marah karena keris pusaka Sang Megatantra yang disimpannya telah hilang, padahal yang mengetahui tempat penyimpanan pusaka itu hanya dia sendiri dan tiga orang selirnya yang dia percaya akan kesetiaan mereka.
Kemudian datang Sukarti dan Kenangasari yang melaporkan bahwa Widarti yang mencuri pusaka itu dan mereka berdua mengejarnya hanya berhasil merobohkan Widarti akan tetapi tidak dapat merampas kembali pusaka itu karena muncul Nurseta yang melindungi Widarti.
Saking kecewa, penasaran dan marahnya, Pangeran Hendratama mengamuk, membunuh Sukarti dan Kenangasari yang dia anggap bersekongkol dengan Nurseta dan sengaja membiarkan Widarti melarikan pusaka itu. Dia sedang marah dan kebingungan karena hanya pusaka itulah yang menjadi andalannya untuk menarik para senopati untuk mendukungnya. Dia merasa telah menemukan pusaka yang menjadi wahyu kedaton sehingga dia sudah ditentukan oleh para dewa untuk menjadi raja. Dan kini pusaka itu hilang!
Selagi dia marah dan kebingungan, terjadi geger bahwa sarang mereka dikepung balatentara Kahuripan! Para perajurit pasukan pemberontak menjadi panik dan karena ketakutan mereka lalu menyerang dengan anak panah secara ngawur karena biarpun di sekeliling sarang itu terang benderang oleh ribuan obor, namun pihak musuh tidak tampak. Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring sekali sehingga terdengar oleh semua perajurit anak buah pemberontak.
"Dengar dan lihat baik-baik, para perwira dan tamtama Kahuripan yang memberontak! Aku Ki Patih Narotama memperingatkan bahwa kalian telah ditipu oleh pengkhianat Hendratama!" Suara Ki Patih Narotama terdengar lantang sekali karena patih yang sakti mandraguna ini mengerahkan tenaga saktinya sehingga suara itu terdengar nyaring dan jelas.
Pangeran Hendratama melihat Ki Patih Narotama berdiri di atas sebuah batu besar. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menghujankan anak panah kepada Ki Patih Narotama. Puluhan batang anak panah meluncur ke arah patih yang berdiri di atas batu besar dan tampak jelas karena disinari beberapa batang obor yang ditancapkan di sekeliling batu besar.
Akan tetapi, Nurseta yang sudah berada di situ dan memang bertugas melindungi Ki Patih Narotama, melompat dan memutar sebatang ranting. Tubuhnya berkelebatan seperti tatit dan ranting ditangannya itu menjadi gulungan sinar yang menangkis semua anak panah yang meluncur ke arah tubu Narotama. Patih ini yakin akan kemampuan Nurseta maka tidak mengacuhkan serangan itu dan melanjutkan kata-katanya yang nyaring.
"Dengar kalian semua! Pengkhianat Hendratama itu tidak memiliki keris pusaka Sang Megatantra. Lihat ini! Keris pusaka Sang Megatantra telah kembali kepada Gusti Sinuwun, Sang Prabu Erlangga. Ini buktinya, kalian lihat sendiri!" Narotama mengacungkan keris Megatantra ke atas sehingga dapat dilihat semua orang.
Para senopati yang mendukung Pangeran Hendratama terkejut melihat keris pusaka di tangan Ki Patih Narotama itu. "Bohong, dia bohong! Sang Megatantra ada padaku!"
Pangeran Hendratama berteriak dengan khawatir dan bingung, tidak mengira bahwa pusaka yang dicuri oleh Widarti itu kini telah berada di tangan Ki Patih Narotama.
"Kalau dia bohong, coba perlihatkan Pusaka Megatantra itu, pangeran!" kata seorang senopati yang diturut oleh yang lain.
"Ada, ada kusimpan baik-baik!" kata Pangeran Hendratama.
"Mari kita gempur pasukan kerajaan itu!"
Pada saat itu terdengar sorak sorai dari arah selatan. Seorang perajurit yang bertugas jaga di bagian selatan, datang berlari-lari dan melaporkan kepada Ki Patih Narotama.
"Gusti Patih, pasukan Parang Siluman dan Wengker sudah datang dari arah selatan! Jumlah mereka semua sekitar tiga ribu orang lebih!"
Mendengar laporan ini, Narotama kembali berseru dengan suara lantang. "Dengarlah, para senopati yang tertipu oleh pengkhianat Hendratama. Kalau kalian membantu kami menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker yang datang itu, rnaka dosa kalian akan diampuni! Sebaliknya kalau kalian melanjutkan pemberontakan mendukung pengkhianat Hendratama dan bergabung dengan empat kerajaan musuh, kalian semua akan dibinasakan!"
Mendengar seruan lantang ini, para senopati merasa bimbang ragu. Sementara itu, pasukan Parang Siluman yang dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala, yaitu kakak Ratu Durgamala, ditemani kedua orang keponakan juga muridnya, yaitu Lasmini dan Mandari, sudah tiba di luar sarang itu dan terjadilah bentrokan perang dengan pasukan Kahuripan. Juga pasukan Kerajaan Wengker yang dipimpin oleh Resi Bajrasakti dan muridnya, Linggajaya, sudah bertempur melawan pasukan Kahuripan yang mengepung sarang itu dibagian Barat Daya. Tiba-tiba para senopati yang tadinya, mendukung Pangeran Hendratama, berseru memberi perintah kepada pasukan mereka. Terdengar teriakan-teriakan menggegap gempita.
"Hidup Ki Patih Narotama! Hidup Sang Prabu Ertangga'" Dan mereka sudah bergerak ke selatan dan barat daya untuk membantu pasukan Kerajaan Kahuripan menyambut dan menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker!
Ki Patih Narotama tersenyum lega. Siasatnya berhasil. Pasukan yang tadinya mendukung Pangeran Hendratama yang hendak memberontak itu telah dapat disadarkan dan kini mereka menambah kekuatan pasukannya untuk menghadapi pasukan kerajaan-kerajaan yang sejak dulu memang memusuhi Kahuripan.
Maka dia lalu memberi aba-aba yang diteruskan para perwira untuk mengumpulkan pasukan dan menyerbu ke dalam sarang musuh. Dia sendiri bersama Nurseta memimpin paling depan. Karena yang berada di sarang itu hanya pasukan para senopati Kahuripan yang mendukung Pangeran Hendratama dan kini hampir semua pasukan telah membalik dan menyerang pasukan Parang Siluman dan Wengker yang baru tiba, maka pasukan Narotama yang memasuki sarang itu tidak mendapatkan perlawanan yang berarti. Sebagian dari mereka yang benar benar setia kepada Pangeran Hendratama dengan mudah dirobohkan atau ditawan.
Pangeran Hendratama menjadi panik melihat pasukan yang mendukungnya kini membalik malah menyambut kedatangan pasukan Parang Siluman dan Wengker dengan serangan. Perasaan takut lebih besar daripada kemarahannya. Dia maklum bahwa usahanya merebut tahta kerajaan dari Sang Prabu Erlangga telah gagal total. Maklum akan bahaya yang mengancam dirinya, dia sudah bermaksud untuk melarikan diri, akan tetapi tiba tiba, di antara sinar obor obor yang begitu banyak sehingga cukup menerangi tempat itu, tahu-tahu Ki Patih Narotama sudah berdiri menghadang di depannya.
"Pangeran Hendratama, permainan andika sudah usai. Menyerahlah untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Gusti Sinuwun!" kata Ki Patih Narotama.
Sesosok bayangan lain berkelebat dan Nurseta berdiri di samping ki patih. Melihat dua orang ini, Pangeran Hendratama menjadi pucat wajahnya. Apalagi melawan keduanya, baru melawan seorang di antara mereka saja dia takkan menang. Namun karena keadaan sudah membuat dia tersudut, dia menjadi nekat. Dengan tombak pusaka yang sejak tadi memang sudah dibawanya, dia menyerang Ki Patih Narotama sambil mengeluarkan suara gereng seperti seekor harimau marah. Ki Patih Narotama melompat ke belakang.
"Nurseta, kuserahkan dia kepadamu. Tangkaplah agar dapat kita hadapkan Gusti Sinuwun!"
"Sendika, gusti patih!" kata Nurseta yang maklum bahwa Ki Patih Narotama mempunyai tugas yang penting, yaitu mengatur pasukan untuk menghadapi dua pasukan musuh dari Parang Siluman dan Wengker.
"Pangeran, memang lebih baik kalau andika menyerah." katanya sambil menghadapi pangeran yang sudah nekat itu.
Melihat pemuda yang dianggap menjadi gara-gara kegagalan ambisinya itu, Pangeran Hendratama menjadi semakin marah dan dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu tombaknya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang dan membunuh Nurseta.
Akan tetapi, dengan ilmu meringankan tubuh yaitu Aji Bayu Sakti Nurseta yang bertangan kosong memainkan ilmu silat Baka Denta. Tubuhnya berkelebatan seperti berubah menjadi bayangan sehingga Pangeran Hendratama menjadi bingung. Dia merasa seolah menyerang sebuah bayangan. Karena lawan seolah tidak mungkin diserang, Pangeran Hendratama memutar tombak sehingga sinar tombak itu menjadi perisai yang melindungi dirinya. Dengan demikian, biarpun dia tidak dapat menyerang lawan, lawanpun sukar untuk dapat menyerangnya.
Kalau saja Nurseta menghendaki, tentu dia akan mampu merobohkan pangeran itu dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Akan tetapi dia tidak ingin membunuh atau melukai pangeran ini yang bagaimanapun juga adalah kakak ipar Sang Prabu Erlangga sendiri. Bahkan Ki Patih Narotama saja tadi tampak enggan bertanding melawan Pangeran Hendratama.
Apalagi ki patih tadi menugaskan kepadanya untuk menangkap pangeran yang berkhianat dan memberontak ini, maka diapun bermaksud hendak menangkap tanpa melukainya. Melihat sang pangeran pemberontak itu memutar tombak dengan dahsyat sehingga sinar tombak membuat dia sukar untuk dapat menangkapnya, maka Nurseta terpaksa menggunakan satu di antara aji-aji pamungkasnya yang tidak akan dipergunakan kalau tidak terpaksa sekali.
Tiba-tiba Pangeran Hendratama menjadi bingung karena bayangan Nurseta kini hilang, tidak tampak lagi! Inilah Aji Sirnasarira yang dipergunakan Nurseta untuk menangkap lawannya. Melihat pemuda itu hilang, Pangeran Hendratama mengendurkan putaran tombaknya karena memutar tombak sekuat itu dalam waktu lama akan menguras tenaganya. Begitu dia mengendurkan putaran tombak, tiba-tiba tombak itu berhenti berputar dan tidak dapat digerakkan. Kini tampak olehnya betapa Nurseta telah menangkap ujung tombaknya, dibawah mata tombak yang runcing.
"Menyerahlah, pangeran!"
Pangeran Hendratama mengerahkan tenaga untuk melepaskan tombaknya dari pegangan lawan. Namun sia-sia karena tombaknya seolah melekat pada tangan Nurseta. Dalam kemarahan dan kenekatannya, Pangeran Hendratama melangkah maju dan menghantam dengan tangan kirinya kearah muka Nurseta. Kesempatan kini terbuka bagi Nurseta. Dia menyambut pukulan tangan kiri itu dengan ketukan jarinya ke arah bawah siku lengan kiri Pangeran Hendratama.
"Dukk..!"
Seketika Pangeran Hendratama merasa lengan kirinya lumpuh dan di detik berikutnya, tangan Nurseta menepuk pundaknya dan tubuh pangeran itu terkulai lemas, tombaknya terlepas dari pegangannya. Pangeran Hendratama roboh terguling dan tidak mampu bangkit kembali. Dia tidak terluka dan tidak menderita nyeri, akan tetapi tidak mampu menggerakkan kaki tangannya.
Nurseta memanggil seorang perwira, menyerahkan pangeran itu agar ditawan dan dijaga agar jangan sampai dapat melarikan diri atau ada orang yang membebaskannya. Kemudian Nurseta menyusuli Ki Patih Narotama yang memimpin pasukan bersama para senopati menyerbu pasukan Parang Siluman dan Wengker.
Sementara itu, kedua pasukan yang baru tiba itu, menjadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba pasukan Kahuripan yang berada di sarang pemberontak itu, yang tadinya dianggap sebagai sekutu untuk membuat persiapan menyerbu kota raja Kahuripan, tiba-tiba keluar dari sarang dan menyerang mereka. Apalagi mendengar teriakan-teriakan mereka yang menyerukan hidup Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Baik mereka yang memimpin pasukan Wengker, yaitu Resi Bajrasakti dan Linggajaya, maupun mereka yang memimpin pasukan Parang Siluman, yaitu Lasmini, Mandari dan paman atau guru mereka, Ki Nagakumala, semua merasa gentar mendengar bahwa Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama turun tangan sendiri memimpin pasukan. Apalagi mendengar bahwa pasukan pemberontak yang tadinya mendukung Pangeran Hendratama kini berbalik mendukung Kerajaan Kahuripan.
Bahkan dari para penyelidik mereka mendengar bahwa Pangeran Hendratama tidak memiliki Sang Megatantra dan sekarang sudah menjadi tawanan. Mereka menjadi gentar sekali dan ketika pasukan Kahuripan menyerang, mereka hanya mempertahankan diri sambil mundur. Melihat jumlah pasukan Kerajaan Kahuripan yang bergabung dengan bekas pendukung Pangeran Hendratama jauh lebih besar dari jumlah mereka, apalagi karena sudah merasa gentar karena di pihak Kahuripan terdapat Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna dibantu pula oleh Nurseta yang juga memiliki kepandaian tinggi, nyali para pemimpin itu menciut dan akhirnya, setelah terang tanah, mereka menarik mundur pasukan dan melarikan diri, kembali ke daerah masing-masing. Usaha persekutuan empat kerajaan yang membantu Pangeran Hendratama melaksanakan pemberontakan di Kahuripan itu gagal sama sekali.
Mengapa pasukan dua kerajaan lain yang juga bersekutu dengan mereka, yaitu Kerajaan Siluman Laut Kidul dan Wura wuri, tidak muncul malam itu? Ini adalah karena pasukan Siluman Laut Kidul yang paling jauh letaknya di pesisir Laut Kidul, datangnya terlambat, yaitu pada keesokan harinya setelah siang. Ketika mereka memasuki hutan, mereka melihat bekas pertempuran dan dari mereka yang terluka mendengar bahwa pasukan Wengker dan Parang Siluman telah terpukul mundur dan melarikan diri.!
Tentu saja mereka terkejut dan menjadi gentar, apa lagi mendengar bahwa Pangeran Hendratama telah tertawan dan pasukannya membalik dan membantu pasukan Kahuripan. Maka, Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul yang memimpin pasukan, lalu memerintahkan pasukannya untuk kembali dan pulang keselatan.
Sementara itu, pasukan dari Wura-wuri datangnya malah lebih lambat lagi, terlambat dua hari dari malam yang ditentukan. Hal ini adalah Puspa Dewi memberi laporan yang sengaja dibuat agar pasukan itu datangnya terlambat. Maka ketika pasukan itu tiba di hutan, mereka tidak melihat sekutu mereka dan karenanya, Tri Kala yang memimpin pasukan itu bersama Puspa Dewi lalu menarik pasukan untuk kembali.<
Dalam gerakan ini, tiga orang senopati Wura wuri itu, Kalamuka, Kalamanik, dan Kalateja tidak melihat Puspa Dewi. Setelah dicari mereka yakin bahwa gadis itu telah meninggalkan pasukan Wura-wuri dan pergi entah ke mana.
Dalam perjalanan kembali ke kota raja, Nurseta berjalan disamping Ki Patih Narotama dan mereka bercakap-cakap. Ki Patih Narotama merasa lega dan girang bahwa pemberontakan itu dapat digagalkan tanpa pertumpahan darah yang besar dan hanya mengakibatkan tewasnya beberapa puluh orang saja.
Pangeran Hendratama juga sudah dapat diringkus dan menjadi tawanan dan yang lebih membuat girang adalah bahwa pasukan para senopati yang mendukung pemberontakan dapat disadarkan sehingga akhirnya mereka membalik dan membela Kahuripan.
Dia pasti akan memintakan ampun kepada Sang Prabu Erlangga untuk para senopati yang terkena bujukan Pangeran Hendratama itu sehingga mereka tidak dihukum terlalu berat. Akan tetapi diam-diam Ki Patih Narotama mengakui bahwa yang paling besar jasanya sehingga pemberontakan ini dapat dengan mudah ditumpas adalah Puspa Dewi!
"Nurseta, aku ingin sekali mengetahui bagaimana nasib Puspa Dewi. Dara itu berjasa besar terhadap Kahuripan. Kalau tidak ada Puspa Dewi yang membocorkan rahasia persekutuan itu, tentu akan terjadi hal-hal yang lebih hebat lagi sehingga mengakibatkan jatuhnya banyak korban."
"Paduka benar, gusti patih. Puspa Dewi memang berjasa besar sekali. Ia telah menjadi puteri istana Wura-wuri, entah apa yang menimpa dirinya kalau Raja Wura-wuri mengetahui akan perbuatannya yang tentu dianggap sebagai pengkhianat oleh Kerajaan Wura-wuri."
"Ya, akupun berpikir demikian dan mengkhawatirkan nasibnya. Akan tetapi, jasamu juga amat besar, Nurseta. Maka, akan ku haturkan kepada Gusti Sinuwun tentang semua jasa mu agar engkau mendapatkan kedudukan yang sepadan dengan jasamu."
"Maafkan hamba, gusti patih. Akan tetapi apa yang hamba lakukan semua itu bukan untuk membuat jasa dan mendapatkan imbalan, melainkan untuk melaksanakan kewajiban hamba. Hamba tidak menghendaki imbalan apapun, gusti patih, apalagi kedudukan yang mengikat hamba, padahal hamba masih harus melaksanakan tugas lain yang amat penting."
"Tugas apakah itu, Nurseta?"
"Hamba harus mencari ayah ibu hamba dan mengajak mereka menghadap eyang, juga hamba masih ingin bebas merantau untuk meluaskan pengalaman hamba."
"Hemm, bagus, itukah kehendakmu?" Narotama mengangguk-angguk. "Adalah hak mu untuk memilih dan kalau engkau memilih hendak merantau mencari orang tua mu, aku hanya titip pesan kalau engkau bertemu dengan Puspa Dewi agar memberi tahu bahwa aku dan Gusti Sinuwun ingin bertemu dan bicara dengannya."
"Baik, gusti patih."
"Dan ingatlah selalu akan peristiwa pemberontakan Pangeran Hendratama, Nurseta. Peristiwa itu dapat kita jadikan sebagai contoh betapa bahayanya kalau orang mengejar cita-cita."
"Akan tetapi, gusti patih. Bukankah seorang manusia, apalagi sewaktu muda, harus mempunyai cita-cita yang baik agar mencapai kemakmuran dan kebahagiaan hidup?"
Ki Patih Narotama mengajak Nurseta berhenti di tepi jalan untuk bercakap-cakap.
"Justeru pendapat itulah yang menjerumuskan banyak orang, Nurseta. Cita-cita adalah tujuan, ambisi, cita-cita adalah harapan mendapatkan sesuatu yang belum diperoleh, masa depan dan bukan kenyataan, melainkan bayangan. Baik buruknya tujuan tergantung dari cara mendapatkan tujuan itu. Besar sekali bahayanya, tujuan menghalalkan segala cara, sehingga untuk mencapai apa yang dicita-citakan, orang tidak segan melakukan cara apapun. Jadi yang menentukan bukanlah bercita-cita muluk, melainkan caranya, pelaksanaannya, pekerjaannya dan sifat pekerjaannya itu. Yang baik atau buruk, benar atau salah, adalah caranya. Tidak mungkin cara yang jahat menghasilkan sesuatu yang baik. Kalau sedang bekerja mencari nafkah, bekerjalah yang baik dan benar, karena itulah yang menentukan hasilnya dan yang melakukan cara yang baik dan benar, hasilnya tentu baik dan benar pula. Sebaliknya kalau hanya mementingkan cita-cita atau tujuan, orang dapat terseret ke dalam cara yang buruk dan salah seperti penipu, korupsi, pengkhianatan seperti yang dilakukan Pangeran Hendratama. Dia bercita-cita memperoleh kedudukan tinggi dan menggunakan cara yang jahat dan buruk, berkhianat, memberontak dan bersekutu dengan musuh-musuh Kahuripan. Kalau saja dia menggunakan cara yang baik, berjuang dan bekerja dengan setia dan jujur untuk Kahuripan, tentu dengan sendirinya dia memperoleh kedudukan yang tinggi."
"Akan tetapi, gusti patih, hamba sering mendengar orang mengatakan bahwa tanpa cita-cita hidup akan kosong dan tidak akan memperoleh kemajuan. Cita-cita merupakan pendorong manusia untuk maju. Bagaimana pendapat paduka dengan pernyataan itu, gusti patih?"
"Ucapan seperti itu hanya dilakukan orang yang menganggap bahwa yang terpenting dalam hidup ini adalah mencari kemajuan yang berarti kekayaan dan kedudukan. Orang yang meningkat kekayaannya atau kedudukannya dianggap maju. Karena itu, dalam mengejar cita-cita untuk memperbanyak kekayaan dan mempertinggi kedudukan orang menjadi lupa diri, saling berebutan dan saling bermusuhan. Orang lupa bahwa kedudukan tinggi atau kekayaan besar sama sekali bukan ukuran orang untuk hidup berbahagia dan tenteram lahir batin. Cita-cita itu baru dapat dinilai bersih kalau ditujukan untuk kepentingan orang banyak dalam hal ini rakyat jelata yang hidupnya merana. Selama cita-cita itu untuk kepentingan pribadi, maka itu bukan lain hanyalah kemurkaan dan menuruti dorongan nafsu yang condong selalu mengejar kesenangan, mengejar yang serba enak dan menyenangkan jasmani. Orang menilai maju untuk meningkatkan harta dan kedudukan, mendewa-dewakan harta benda dan kekuasaan. Pengejaran keinginan nafsu berupa kesenangan jasmani inilah yang menyeret kita melakukan segala macam perbuatan jahat demi mencapai apa yang dicita-citakan itu."
Nurseta merasa kagum. Pendapat yang dikemukakan Ki Patih Narotama ini sungguh berbeda, bahkan berlawanan dengan pendapat umum tentang cita-cita, akan tetapi dia dapat menangkap kebenaran yang terkandung di dalamnya. Karena dia ingin mengerti lebih banyak, dia berkata lagi.
"Hamba masih mempunyai sebuah pertanyaan tentang cita-cita, gusti patih, yang hamba harap dapat menerima penjelasan dari paduka. Bagaimana kalau ada yang bercita-cita menjadi orang yang baik? Apakah juga tidak ada gunanya dan juga berbahaya karena menjurus ke arah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, yaitu kebaikan?"
Narotama tersenyum. "Apakah andika pikir kebaikan atau kebajikan itu merupakan sesuatu yang dapat dicapai melalui suatu cara atau pelajaran? Ah, Nurseta. Kebajikan adalah suatu sikap hidup terhadap orang lain yang terpantul dari dalam perasaan hati sanubari. Kebajikan yang dilakukan dengan cara yang disengaja adalah kebajikan yang dibuat-buat. Mengejar cita-cita agar kita menjadi orang baik hanya akan membuat kita menjadi seorang munafik yang hanya baik pada lahirnya belaka yang sering bahkan berlawanan dengan keadaan batinnya. Mengejar kebaikan berarti kita mengejar pendapat orang agar kita dianggap sebagai orang baik, dan kalau sudah begitu, kita menghalalkan segala cara agar dapat dianggap baik. Tidak, Nurseta, kebaikan bukan merupakan tujuan, kebaikan bukan pamrih, kebaikan adalah suatu sipat yang timbul dari hati sanubari. Hati sanubari yang sudah dihuni kasih sejati akan memancarkan sikap dan perbuatan yang pasti baik. Marah adalah buruk, sabar adalah baik. Dapatkah orang belajar sabar? Tidak mungkin. Selama ada kemarahan dalam hati, kesabaran menjauh, yang dapat dicapai hanya kemarahan yang bertopeng kesabaran atau kesabaran palsu. Kalau kemarahan tiada lagi di hati, tidak perlu belajar sabar lagi. Kalau kejahatan tidak lagi mengeram dalam hati, tidak perlu belajar baik lagi, kalau nafsu-nafsu daya rendah tidak lagi menguasai hati sanubari seseorang, dia akan hidup sebagai seorang manusia sebagaimana yang dikehendaki oleh Sang Pencipta. Kalau iblis tidak lagi menguasai hati akal pikiran, Dewa Ruci (Sang Roh Suci) yang akan mengambil alih dan membimbing ke jalan benar dan baik. Bukan cita-cita menjadi baik yang penting, melainkan sekarang, saat ini, saat demi saat tidak ada lagi nafsu jahat menguasai diri lahir batin. Mengertikah andika, Nurseta?"
Nurseta menyembah. "Aduh, terima kasih, gusti patih. Semoga Hyang Widhi Wasa akan membimbing hamba sehingga dapat terbuka mata hati hamba untuk melihat kebenaran itu. Sekarang hamba mohon pamit, gusti. Hamba mohon sudilah kiranya paduka memberi tahu kepada kanjeng eyang Sindukerta bahwa hamba melanjutkan perjalanan mencari kedua orang tua hamba."
"Begitulah kehendak mu, Nurseta. Baik, akan ku sampaikan kepada Paman Senopati Sindukerta. Selamat jalan dan semoga Sang Hyang Widhi selalu melimpahi Kasih Karunia dan bimbingan kepadamu."
Nurseta menyembah lagi lalu mengambil jalan simpang, meninggalkan Ki Patih Narotama yang mengikuti kepergian pemuda itu sampai bayangannya menghilang.
Sampai di sini berakhirlah sudah riwayat Nurseta bagian pertama dalam episode Sang Megatantra ini dengan harapan pengarang semoga kisah ini bermanfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa di kisah selanjutnya, di mana pembaca akan mengikuti perjalanan Nurseta dan bertemu pula dengan Puspa Dewi, Linggajaya, Lasmini, Mandari, dan para tokoh lain dalam kisah selanjutnya yang berjudul NURSETA SATRIA KARANG TIRTA