Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 01
Tanah perdikan Lemah Citra merupakan sebuah dusun yang tidak banyak penduduknya. Tanahnya subur, loh jinawi, tanahnya gembur airnya cukup, bahkan di musim kemarau pun! Sumber air di lereng bukit yang membentuk anak sungai itu tidak pernah kering. Segala tumbuh-tumbuhan yang ditanam para petani tumbuh dengan suburnya sehingga tanah perdikan itu kalau dilihat dari atas bukit tampak ijo royo-royo menyegarkan penglihatan. Hawanya pun sejuk di waktu pagi dan sore, hangat di siang hari, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas.
Penduduknya percaya, bahkan yakin bahwa tanah di situ mendapatkan berkat yang berlimpah dari Sang Hyang Widhi karena tanah perdikan itu milik Sang Empu Bharada, seorang pertapa yang selain sakti mandraguna, juga luhur budi pekertinya, bijaksana, setia kepada Kerajaan Kahuripan dan selalu menjadi pembela kebenaran dan keadilan, menjadi penentang kejahatan dan keangkaramurkaan. Tanah perdikan Lemah Citra itu merupakan tanah yang dihadiahkan Sang Prabu Erlangga kepada Sang Empu Bharada.
Wibawa Sang Empu yang bijaksana itu mendatangkan suasana tenteram dan damai di tanah perdikan itu. Para penduduknya setiap hari bekerja dengan gembira dan tenang, yakin bahwa semua orang yang diperbudak nafsu-nafsunya menjadi tunduk dan lemah kalau memasuki daerah itu sehingga tidak pernah ada yang berani melakukan kejahatan.
Para penduduknya merasa berkecukupan sandang pangan papan. Walaupun pakaian mereka sederhana, makanan juga seadanya dan rumah tinggal bersahaja, namun perasaan cukup itu letaknya dalam hati sanubari. Berbahagialah orang yang merasa cukup hidupnya sehingga dalam keadaan bagaimana pun juga, dia akan selalu memuji syukur dan berterima kasih kepada Sang Hyang Widhi atas semua kasih dan berkatNya.
Apa pun yang dimakan terasa nikmat, apa pun yang dikenakan di badan terasa nyaman, dan bagaimanapun keadaan rumahnya terasa menyenangkan. Demikianlah keadaan hati seorang yang selalu merasa diberkati dan menyerah kepada Sang Hyang Widhi, bukan menyerah lalu diam saja, melainkan penyerahan yang mendasari usaha sekuat memampuannya.
Berikhtiar atau berusaha sekuat kemampuannya sebagai kewajiban hidup mempergunakan semua alat tubuh dan pikiran menggarap bumi dan hasilnya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup jasmani. Penyerahan sebagai kesadaran bahwa di atas semua kuasa manusia ada Yang Maha Kuasa, di atas semua peraturan manusia terdapat Yang Maha Pengatur, dan di atas semua rencana manusia terdapat Yang Maha Pengatur.
Malam itu hawanya amat dingin di Lemah Citra. Tanah dan segala yang berada di atasnya basah semua karena sejak sore tadi hujan turun deras dan menjelang tengah malam baru reda. Akan tetapi malam itu gelap karena masih ada sisa mendung mengambang di atas Lemah Citra. Tidak tampak seorang pun di luar rumah.
Semua orang merasa lebih enak berada di rumah bahkan sebagian besar telah tidur pulas karena pekerjaan sehari tadi cukup melelahkan. Alangkah nikmatnya tidur malam itu setelah siang tadi bekerja berat. Tubuh lelah, udara dingin, hati akal pikiran tidak terganggu apa pun. Tidur di dalam rumah sederhana, di atas amben kayu atau bambu beralaskan tikar pun sudah nyaman sekali.
Rumah Empu Bharada yang terbuat dari kayu jati, juga hadiah Sang Prabu Erlangga juga sunyi. Para cantrik yang menjadi murid merangkap pelayan Sang Empu, sudah tidur semua. Kesunyian malam menjadi syahdu dengan adanya suara mahJuk malam, kutu-kutu walang atogo (segala macam serangga belalang dan jangkerik). Dalam bilik sanggar pamujan yang sederhana, Empu Bharada duduk bersila di atas bale-bale di mana dia biasa duduk bersamadhi.
Dia tidak tidur, melainkan sedang tenggelam dalam samadhi, membiarkan sukmanya mengadakan kontak dengan Hyang Widhi Wasa melalui Suara Kehidupan yang tidak pernah berhenti mengiang ngiang dalam kepalanya, berpusat di belakang kedua matanya. Seluruh keadaan dirinya berpusat pada suara itu yang kini terdengar bagaikan air hujan, atau berdesahnya angin di antara daun-daun, berkericiknya air sungai, begitu tenang, begitu menghanyutkan.
Suara-suara dari luar yang tertangkap oleh pendengarannya, suara keheningan (suaraning asepi), suara kutu-kutu walang atogo, seolah nyanyian yang mengikuti alunan lagu sorgawi yang terdengar tiada hentinya dalam kepalanya, terasa oleh seluruh panca inderanya, namun tidak menimbulkan suatu rangsangan, bahkan menenteramkan segala sesuatu yang berada di luar maupun di dalam dirinya.
Sang Empu membiarkan dirinya hanyut dalam suasana yang maha agung itu. Tiba-tiba penglihatan batinnya melihat segala itu terjadi dengan jelas. Dia melihat suatu tempat yang juga bukan dapat dinamakan tempat tertentu, bentuknya tidak dapat direka atau dikenal oleh akal pikiran, namun terasa amat indahnya. Keindahan yang juga tidak dapat dikenal oleh akal pikiran, atau lebih tepat disebut kebahagiaan. Lalu tiba-tiba Sang Empu mengerutkan alisnya.
Dia melihat atau lebih tepat merasakan angkara murka dan segala macam nafsu daya rendah berdatangan, bagaikan raksasa-raksasa dalam pewayangan, mengamuk dan mengacau tempat itu sehingga dia melihat kegelapan, kilat menyambar-nyambar, awan gelap menyelubungi dan menutupi semua keindahan atau kebahagiaan itu. Menuruti nalurinya Empu Bharada segera berdoa, setelah dia merasa tidak kuasa melawan gerombolan raksasa itu.
"Duh Gusti, hanya kepada Padukalah hamba mengharapkan pertolongan. Terjadilah, duh Gusti, segala kehendak Paduka..."
Dengan khidmat dia berdoa terus dan tiba-tiba dia melihat cahaya putih meluncur dan cahaya putih ini menerjang gerombolan pengacau dan perlahan-lahan membuyar dan menghilanglah semua awan kegelapan yang tadi menutupi semua keindahan yang membahagiakan tadi.
Empu Bharada membuka kedua matanya. Laki-laki setengah tua itu berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya cukup tampan dengan jenggot panjang hitam, matanya agak cekung dengan sinar yang lembut namun penuh wibawa, mulutnya selalu terhias senyum simpul membayangkan kesabaran dan pengertian. Tubuhnya tinggi agak kurus. Pakaiannya sederhana saja, serba hitam.
Empu Bharada ini merupakan seorang tokoh yang terkenal dan dihormati semua orang di kota raja Kahuripan. Bahkan Sang Prabu Erlangga dan semua ponggawa Kahuripan menghormatinya. Biarpun tidak menduduki jabatan apa pun karena dia tidak mau terikat oleh jabatan, Empu Bharada merupakan seorang yang selalu dimintai nasihat oleh Sang Prabu Erlangga apabila kerajaan menghadapi persoalan yang rumit. Empu Bharada tak dapat melupakan cahaya putih yang mengusir semua kegelapan tadi. Dia mengangguk-angguk.
"Duh Gusti, terima kasih bahwa dalam kegelapan Paduka mengirim Nur Seta (Cahaya Putih)," gumamnya. Lalu dia mengerutkan alisnya dan berbisik, "Nurseta...?"
Dia mengangguk-angguk lagi dan menyimpan pengertian yang memasuki hati akal pikirannya untuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh membuka hal-hal yang belum terjadi kepada siapapun juga. Kehendak dan rencana Sang Hyang Widhi Wasa harus tetap menjadi rahasia bagi manusia yang tidak berhak mengungkap atau mengetahuinya.
Empu Bharada lalu bangkit dan keluar dari sanggar pamujan, memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan untuk membiarkan tubuhnya tidur, beristirahat. Pemuda itu berjalan tergesa-gesa. Dia seorang pemuda yang masih muda, usianya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya tampan, dengan mata lebar dan hidung mancung, mulutnya tersenyum mengejek. Tubuhnya tinggi tegap sehingga dia tampak gagah.
Pakaiannya mewah dan dia seorang pemuda pesolek. Sepasang matanya lincah dan terkadang mencorong tajam. Akan tetapi pada saat itu, wajah yang tampan itu tampak muram, bahkan kedua matanya agak kemerahan, tanda bahwa pemuda itu menderita kelelahan lahir batin.
Pemuda ini bernama Linggajaya, murid Sang Resi Bajrasakti, datuk Kerajaan Wengker (Ponorogo). Sebagai murid Resi Bajrasakti, Lingga jaya telah menguasai ilmu-ilmu yang ampuh, menjadi sakti dan dia sudah diangkat sebagai seorang senopati muda di Kerajaan Wengker dan mendapatkan nama pangkat Linggawijaya. Senopati muda Linggawijaya!
Akan tetapi kini hatinya kesal sehingga wajahnya Nampak murung. Dia merasa penasaran, kecewa dan marah sekali. Sebagai senopati muda, dia mewakili Kerajaan Wengker, mengadakan persekutuan dengan para kadipaten atau kerajaan kecil lain seperti Kerajaan Wura-wuri di Lwarang (Lawang), Kerajaan Parang Siluman di pantai Laut Kidul dan dengan Kerajaan Siluman Laut Kidul di pantai Laut Kidul sebelah timur. Namun persekutuan itu gagal menguasai Kahuripan, gagal menjatuhkan Sang Prabu Erlangga.
Kedudukan Sang Prabu Erlangga terlampau kuat dengan bantuan patihnya yang digdaya, yaitu Ki Patih Narotama dan banyak satria yang gagah perkasa dan sakti. Usaha persekutuan itu gagal, bahkan mereka dipukul cerai-berai, banyak yang tewas dan sisanya melarikan diri, termasuk dia. Dia harus melarikan diri, kembali ke Kerajaan Wengker. Akan tetapi dia ingin singgah dulu di dusun Karang Tirta, kampong halamannya di mana ayahnya, Ki Suramenggala, menjadi Lurah Karang Tirta.
Segala keindahan yang terbentang luas di sekelilingnya ketika dia melakukan perjalanan dari Kahuripan ke Karang Tirta itu sama sekali tidak nampak olehnya. Bahkan segala yang indah tampak buruk membosankan bagi Linggajaya yang hatinya sedang kesal dan murung. Keindahan penglihatan, kemerduan pendengaran, segala hal yang menggembirakan hanya dapat terasa oleh hati yang bahagia.
Segala sesuatu serba indah dan mengenakkan. Namun, apabila hati sedang murung, apapun juga terasa hampa dan tidak enak, tidak menyenangkan. Mulut tersenyum berubah cemberut, mata bersinar berubah keruh, wajah berseri berubah suram muram.
Untuk melupakan kekesalan hatinya, Linggajaya atau Senopati Linggawijaya mengerahkan ilmunya lalu berlari cepat. Tubuhnya meluncur cepat sekali seperti larinya seekor kijang menuju ke dusun Karang Tirta. Dia telah menjadi senopati muda di Wengker. Untuk apa ayahnya menjadi lurah yang dibawahi Kahuripan? Dia akan memboyong keluarga ayahnya ke Wengker agar ikut menikmati kemuliaan yang diperolehnya di kerajaan itu.
Ketika dia memasuki dusun, beberapa orang dusun bertemu dengan dia. Akan tetapi Linggajaya melihat betapa mereka itu, laki-laki maupun perempuan, hanya memandangnya sepintas lalu membuang muka, seolah-olah tidak mengenalnya atau tidak memperdulikannya. Dia merasa heran bukan main. Padahal, semua penduduk Karang tirta tahu belaka siapa dia!
Setelah dewasa dia pernah pulang ke dusun ini dan semua orang menghormatinya karena selain dia putera Ki Lurah Suramenggala, juga semua orang tahu bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Dahulu, semua orang menghormat dan takut kepadanya, mencari muka, apa lagi para gadisnya, bersaing untuk merebut perhatiannya. Akan tetapi mengapa sekarang mereka semua memalingkan muka darinya. Bahkan ketika ada beberapa orang perawan dusun melihatnya, mereka membalikkan tubuh dan pergi menjajahnya!
Karena merasa heran, juga penasaran, dia mempercepat langkahnya dara mengejar seorang laki-laki setengah tua. Dia menangkap lengan orang itu dan dengan kasar menariknya sehingga oraag itu hampir terpelanting. Ketika orapg itu memandang dan mengenalnya, wajahnya berubah pucat dan matanya membayangkan ketakutan.
"Hemm, apakah engkau juga tidak mengenal aku?" bentak Linggajaya dengan ketus.
Orang itu menjawab gagap. "Saya... saya mengenal. Denmas adalah... Denmas Linggajaya..."
"Hemm, mengapa semua orang tidak ada yang menyapaku? Mengapa mereka tidak mau memandangku? Apa yang telah terjadi di dusun ini? Hayo jawab yang jelas!" Linggajaya membentak.
"Maaf.... Denmas... karena.... karena ayah Denmas, Ki Lurah Suramenggala telah diusir dari dusun ini sehingga ketika melihat Andika memasuki dusun, kami semua takut terlibat dan lebih baik pura-pura tidak tahu dan menjauhkan diri."
Linggajaya terbelalak, kaget mendengar keterangan itu.
"Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan Ayahku, ceritakan yang jelas semuanya. Awas, kalau engkau berani berbohong, akan kuhancurkan kepalamu!"
Dengan suara ditenang-tenangkan namun lirih, orang itu lalu bercerita.
"Beberapa bulan yang lalu, Ki Patih Narotama datang kedusun ini, Denmas, dan beliau yang memecat Ki Lurah Suramenggala dan mengusirnya keluar dari Karang Tirta. Sebagai pengganti lurah baru di sini, Ki Patih Narotama mengangkat Ki Lurah Pujosaputro."
"Keparat!" Linggajaya mengepal tinju dengan geram. "Dan ke mana perginya Ayahku?"
"Saya tidak tahu, Denmas. Saya kira tidak ada yang tahu karena Ki Suramenggala bersama keluarganya meninggalkan dusun ini tanpa pamit dan tidak memberi tahu ke mana perginya."
"Hemm, Ki Pujosaputro yang diangkat menjadi lurah baru itu, siapakah dia?"
"Dia adalah penduduk Karang Tirta sejak dulu, Denmas."
"Di mana lurah baru itu? Di mana rumahnya?"
"Dia menempati bekas rumah Ki Su-ramenggala...."
Linggajaya berkelebat pergi, meninggalkan orang itu terlongong dan tergesa-gesa dia lalu berlari pergi. Ketika memasuki pekarangan bekas rumahnya, rumah Ayahnya, Linggajaya melihat empat orang laki-laki duduk di pendopo. Mereka adalah para pembantu lurah. Ki Lurah Pujosaputro sendiri tidak tampak karena dia berada di dalam. Empat orang laki-laki itu terkejut sekali ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka, telah berdiri Linggajaya yang tentu saja telah mereka kenal dengan baik. Memang sejak Ki Lurah Suramenggala terusir dari Karang Tirta dan lurah dusun itu digantikan Ki Lurah Pujosaputro seperti telah ditentukan Ki Patih Narotama, seluruh penduduk Karang Tirta merasa lega dan senang.
Kehidupan di dusun itu menjadi tenteram dan kehidupan gotong-royong dapat dilaksanakan dengan rela dan sepenuh hati karena tidak ada lagi penindasan yang dilakukan oleh yang berkuasa di dusun itu. Tidak ada lagi tekanan dan paksaan, tidak ada lagi pasukan jagabaya yang bertindak seperti tukang pukul.
Akan tetapi di samping perasaan senang dan tenteram ini, tetap saja semua orang merasa gelisah kalau mereka teringat akan Linggajaya, putera Ki Suramenggala. Pemuda itu berwatak keras dan kejam, juga memiliki kesaktian. Mereka membayangkan betapa akan kacaunya kalau pemuda itu muncul dan mengamuk karena ayahnya dicopot dari kedudukannya sebagai lurah dan diusir dari dusun itu.
Maka, dapat dimengerti betapa orang' yang ditanyai Linggajaya menjadi ketakutan dan dia berlari cepat dan menceritakan pertemuannya itu dengan para penduduk. Demikian pula, empat orang petugas kelurahan itu gemetar dari muka mereka pucat begitu mereka mengenal siapa yang berdiri di depan mereka.
"Keparat, kalian sudah bosan hidup berani mengambil alih rumah dan kedudukan-Bapakku?" bentak Linggajaya dengan suara mengguntur sehingga menggetarkan seluruh rumah itu.
"Bukan kami... Denmas.... kami hanya... hanya melaksanakan perintah membantu Ki Lurah Pujosaputro..."
Seorang di antara mereka yang masih ada sisa keberanian untuk bicara sedangkan tiga orang lainnya sudah berjongkok dengan tubuh menggigil.
"Mana dia Pujosaputro? Suruh dia keluar, akan kuremukkan kepalanya!"
Linggajaya lalu menggunakan kedua tangan dan kakinya menampar dan menendangi meja kursi yang berada di ruangan pendopo itu sehingga prabotan itu hancur berantakan dan mengeluarkan suara hiruk pikuk. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun muncul dari dalam. Pakaiannya tidak mentereng akan tetapi berbeda dengan pakaian para petani dan sikapnya tenang.
"Anakmas Linggajaya, tenang dan bersabarlah. Ada persoalan dapat diurus dan dibicarakan, tidak perlu menggunakan kekerasan seperti itu."
Linggajaya memutar tubuh menghadapi orang itu. "Engkau yang bernama Pujosaputro?"
"Benar, akulah Ki Pujosaputro."
"Hemm, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Engkau telah berani mengambil-alih kedudukan Bapak ku dan mengusirnya dari rumah kami ini. Engkau keparat, harus mati di tanganku!"
"Nanti dulu, Anakmas." kata Ki Lurah Pujosaputro yang walaupun tahu bahwa nyawanya terancam hebat, dia masih bersikap tenang dan tidak takut karena merasa tidak bersalah. "Semua ini bukan kemauan ku. Gusti Patih Narotama yang mencopot Kakang Suramenggala dan yang mengangkat aku menjadi lurah di sini."
"Tidak perlu menggertak aku dengan nama Ki Patih Narotama! Siapapun juga yang mengangkatmu, engkau harus mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke depan seperti melempar sesuatu. Terdengar suara mendengung-dengung seolah ada banyak sekali tawon beterbangan dan tampak sinar hitam menyambar ke arah Ki Lurah Pujosaputro. Serangan itu sesungguhnya dahsyat sekali, merupakan ancaman maut yang mengerikan karena itu adalah Aji Bramara Sewu (Seribu Lebah) berupa senjata rahasia pasir yang dilemparkan dengan tenaga sakti diperkuat tenaga sihir. Kalau mengenai tubuh lawan, pasir pasir itu akan menembus kulit memasuki daging dan meracuni tubuh sehingga lawan yang terkena pasir itu akan tewas dengan tubuh gosong!
Pada saat yang amat gawat dan berbahaya bagi keselamatan Ki Lurah Pujosaputro itu, tiba-tiba dari pintu dalam tampak sesosok bayangan berkelebat dan begitu ia mendorong kedua tangannya bergantian ke arah sinar hitam yang meluncur dari tangan Linggajaya, segenggam pasir itu terpukul runtuh!
Linggajaya terkejut dan memandang dengan sinar mata mencorong marah. Kiranya yang muncul dan yang memukul runtuh pasirnya dengan pukulan jarak jauh yang ampuh itu seorang gadis cantik jelita. Gadis itu masih muda sekali, usianya sekitar delapan belas tahun. Tubuh yang sedang dan ramping itu berkulit putih kuning mulus, dengan lekuk lengkung yang indah menggairahkan, bagaikan setangkai bunga mawar yang sedang mekar semerbak harum.
Rambutnya yang hitam panjang itu digelung sederhana, menempel di tengkuk. Sinom lembut melingkar-lingkar di sekitar atas dahi dan pelipisnya. Alisnya melengkung kecil hitam, melindungi sepasang mata bintang yang jeli dan jernih. Hidungnya mancung dan mulutnya memiliki bibir yang merah basah tanpa gincu dan setitik hitam tahi lalat di dagu membuat wajah itu manis sekali. Akan tetapi sinar mata yang jeli itu tampak mencorong membayangkan kekerasan hati dan saat itu jelas ia tampak marah bukan main. Kedua matanya menatap wajah Linggajaya dengan sinar berapi.
Linggajaya memandang heran dan marah. Tentu saja dia mengenal baik gadis itu. Gadis itu adalah Puspa Dewi, puteri Nyi Lasmi, seorang janda yang kemudian diambil sebagai selir oleh Ayahnya sehingga Puspa Dewi termasuk Adik tirinya walaupun tidak ada hubungan darah sama sekali di antara mereka karena ayah ibu mereka berlainan.
"Puspa Dewi!" Dia menegur dengan marah. "Engkau menentangku, membela orang yang telah mengambil-alih kedudukan Ayah kita?"
"Linggajaya, Ki Suramenggala Bapakmu itu bukan Ayahku lagi! Diantara kita tidak ada hubungan apa pun lagi, kita adalah orang asing satu sama lain"
"Ngawur kau! Ibumu adalah selir Bapakku, bagaimana engkau bisa berkata begitu? Engkau hendak murtad terhadap Ibu kandungmu sendiri yang tentu membela Ayahku yang menjadi suaminya?"
Pada saat itu terdengar suara yang lembut namun tegas. "Linggajaya, aku tidak mengikuti Ayahmu yang melarikan diri. Aku bukan isterinya lagi!"
Linggajaya menoleh dan melihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh delapan tahun yang berwajah manis berdiri di ambang pintu. Itu adalah Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi yang tadinya menjadi selir ayahnya selama beberapa tahun akan tetapi tidak mempunyai anak.
"Bagus! Ternyata memang keluargamu merupakan orang-orang yang tak mengenal budi, murtad, bahkan menjadi pengkhianat!"
Linggajaya marah sekali. Tanpa adanya urusan ayahnya ini saja dia sudah merasa marah kepada Puspa Dewi. Gadis ini telah diaku anak oleh gurunya sendiri, yaitu Nyi Dewi Durgakumala, seorang datuk wanita yang sakti mandraguna dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun namun tampak cantik seperti baru berusia tiga puluh tahun saja. Belum lama ini, kurang lebih setahun yang lalu, Nyi Dewi Durgakumala menjadi permaisuri dari Raja Wura-wuri bernama Adipati Bhismaprabhawa. Karena gurunya yang menjadi ibu angkatnya menjadi permaisuri Wura-wuri, maka otomatis Puspa Dewi menjadi sekar kedaton (bunga, istana) Wura-wuri, menjadi puteri Sang Adipati Bhismaprabhawa.
Nah, sebagai puteri istana Wura-wuri, Puspa Dewi menjadi utusan atau wakil Kerajaan Wura-wuri untuk bergabung dan bersekutu dengan para kadipaten yang menentang Kahuripan dan berusaha menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dari tahtanya. Akan tetapi apa yang terjadi? Puspa Dewi ini berkhianat! Ketika persekutuan itu membantu Pangeran Hendratama yang hendak merebut kekuasaan Sang Prabu Erlangga, Puspa Dewi berbalik membantu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, menggagalkan usaha pemberontakan yang didukung para kadipaten itu.
Demikianlah, untuk perbuatan Puspa Dewi yang dianggapnya berkhianat itu saja Linggajaya sudah marah sekali. Apalagi sekarang gadis itu muncul dan menentang dia dan Ayahnya, bahkan ibu Puspa Dewi sudah melepaskan diri dari Ayahnya. Tentu saja Linggajaya menjadi marah dan membenci gadis yang tadinya digilainya itu karena memang Puspa Dewi amat cantik jelita.
"Linggajaya tidak perlu engkau membuka mulutmu yang busuk itu!"
Puspa Dewi yang galak itu membentak marah karena Linggajaya mengatakan ia dan Ibunya tidak mengenal budi, murtad dan pengkhianat.
"Semua tahu orang-orang macam apa adanya keluargamu! Ayahmu adalah seorang yang kejam dan jahat sekali, mengandalkan kedudukannya sebagai lurah dan memaksakan kehendaknya menindas rakyat di Karang Tirta selama bertahun-tahun. Siapa tidak tahu akan hal itu? Dan engkau sendiri, engkau adalah seorang muda yang jahat dan kejam. Engkau bersekutu dengan Pangeran Hendratama yang memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga! Nah, siapakah yang menjadi pengkhianat? Bukankah engkau juga seorang kawula Kahuripan?"
"Bocah sombong!"
Linggajaya segera menyerang dengan melakukan pukulan jarak jauh. Pukulan Aji Gelap Sewu itu dahsyat bukan main, mendatangkan angin yang amat kuat. Namun Puspa Dewi yang maklum akan ketangguhan lawan, sudah siap sejak tadi dan segera menyambut dengan kedua kaki membuat kuda-kuda depan belakang, lutut ditekuk dan kedua tangannya terpentang seperti seekor burung terbang. Pada saat lawannya mendorongkan kedua tangan kearahnya, ia pun menggerakkan tangan dari kanan kiri menyambut dengan dorongan yang kuat. Itulah Guntur Geni yang tidak kalah dahsyatnya.
"Syuuuut.... blarrr....!!"
Sebuah meja besar yang berada di antara mereka pecah berantakan ketika dua tenaga sakti itu bertemu di udara dan menghimpit meja itu dari kanan kiri! Baik Linggajaya maupun Puspa Dewi terdorong mundur tiga langkah sebagai akibat pertemuan dua tenaga sakti yang dahsyat itu.
Linggajaya yang selalu menganggap diri sendiri paling hebat, merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa Puspa Dewi adalah murid terkasih dari Nyi Dewi Durgakumala yang sakti mandraguna yang merupakan seorang datuk berasal dari Blambangan dan kini menjadi Permaisuri Kerajaan Wura-wuri, maka tentu saja gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia merasa malu kalau kalah oleh seorang gadis muda. Maka dengan marah dia sudah melolos senjata andalannya, yaitu sebatang pecut yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Begitu di lolos, dia menggerakkan pecut itu ke atas.
"Tar-tar-tar-tarrr...!"
Pecut itu meledak-ledak di atas kepalanya dan tampaklah sinar berapi dan asap hitam seolah-olah ujung pecut itu mengeluarkan percikan api ketika dilecutkan. Inilah pecut yang disebut Pecut Tatit Geni, senjata yang ampuh dan berbahaya sekali bagi lawannya.
Namun Puspa Dewi sama sekali tidak merasa gentar. Bibirnya yang tipis dan merah membasah itu bahkan tersenyum. Tangan kanannya meraih ke punggung dan tampak sinar hitam berkelebat. Sebatang pedang telah berada di tangan kanannya. Pedang itu mengeluarkan sinar hitam yang menyeramkan. Itulah Pedang Candrasa Langking, pedang pusaka pemberian gurunya yang juga mengakuinya sebagai anak, yaitu Nyi Dewi Durgakumala.
Pedang ini bukan saja tajam dan amat kuat karena terbuat dari baja hitam yang langka, akan tetapi juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tergores sedikit saja oleh pedang ini, kalau lawan tidak memiliki obat penawar racun yang manjur, lawan itu akan tewas.
Kalau Linggajaya merasa penasaran kalau tidak dapat mengalahkan Puspa Dewi, sebaliknya gadis jelita ini maklum akan ketangguhan lawan dan tidak memandang ringan, maka sikapnya lebih hati-hati dan waspada dibandingkan Linggajaya yang sombong dan dibakar kemarahan dan penasaran.
"Heeiiitt... tar-tar-tarrr...!"
Linggajaya nenyerang dengan pecutnya. Sinar pecutnya yang kemerahan menyambar-nyambar dari atas, bagaikan halilintar menyambar-nyambar kearah kepala Puspa Dewi. Namun, gadis cantik jelita yang sakti mandraguna ini pun menggerakkan pelangnya. Tampaklah sinar hitam bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung.
Terjadilah perkelahian mati-matian di ruangan pendopo kelurahan itu. Orang-orang yang menonton, termasuk Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi, tentu saja menjadi ngeri menyaksikan sinar hitam dan sinar merah bergulung-gulung dan setiap kali ia sinar mencuat dan mengenai meja atau kursi, prabot itu tentu terbelah! Di antara gulungan kedua sinar itu terkadang diselingi bunyi berdencing dan tampak bara api berpijar apabila kedua senjata ampuh itu bertemu.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan puluhan bahkan ratusan orang-orang menyerbu ke dalam pekarangan rumah kelurahan itu. Mereka semua mengacung-ngcungkan berbagai senjata tajam. Mereka adalah para pria penduduk Dusun Karang Tirta!
Laki-laki yang tadi dimintai keterangan oleh Linggajaya ternyata memberitahukan kepada para pemuda yang segera mengumpulkan semua pria yang berada di dusun. Mereka tahu bahwa tentu putera bekas lurah Ki Suramenggala yang terkenal jahat itu akan mengganggu lurah yang baru.
Maka mereka lalu membawa senjata seadanya dan menyerbu kelurahan untuk melindungi Ki Lurah Pujosaputro yang mereka suka dan hormati karena lurah baru yang diangkat oleh Ki Patih Narotama itu ternyata merupakan seorang pemimpin yang adil, jujur, dan baik.
Linggajaya yang sedang bertanding melawan Puspa Dewi dan belum juga dapat mendesak gadis yang ternyata amat tangguh itu, menengok dan terkejut melihat ratusan orang itu. Diam-diam dia merasa heran. Dahulu, ketika Ayahnya yang menjadi lurah, para penduduk itu bagaikan sekawanan domba yang jinak dan lemah, menurut saja digiring kemana, tak pernah ada yang berani menentang. Akan tetapi sekarang, mereka itu bagaikan sekawanan banteng yang siap menerjang siapa yang berani mengganggu kampung halaman mereka!
Merasa terancam bahaya kalau harus melawan Puspa Dewi yang dibantu ratusan orang. Linggajaya lalu melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan jauh dia sudah keluar dari pekarangan kelurahan dan cepat melarikan diri meninggalkan dusun Karang Tirta, menuju ke barat, untuk kembali ke Kerajaan Wengker. Kalau sudah tiba di sana, dia akan mengirim orang-orang untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya Ayahnya dan sekeluarga ayahnya.
Wajah Linggajaya semakin muram dan keruh. Dia merasa nelangsa, merasa betapa segala yang dia lakukan ternyata menemui kegagalan. Usaha menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dengan persekutuan yang tadinya tampak kuat dan meyakinkan itu, ternyata gagal dan persekutuan itu diporak porandakan para pendukung Sang Prabu Erlangga sehingga mereka yang lolos dari maut terpaksa harus melarikan diri, kembali ke kadipaten masing-masing, termasuk dia yang harus kembali ke Kerajaan atau Kadipaten Wengker.
Kemudian, keinginannya untuk bertemu keluarga ayahnya dan mengajak mereka pindah ke Wengker juga gagal. Bukan saja mendengar Ayahnya dipecat dari kedudukan lurah dan diusir dari Karang Tirta, bahkan niatnya membunuh lurah baru juga gagal karena Puspa Dewi melindungi lurah baru itu. Dia terpaksa melarikan diri melihat Puspa Dewi hendak dibantu ratusan penduduk Karang Tirta!
"Sialan!" gerutunya dengan jengkel.
Dia merasa lelah sekali karena semenjak meninggalkan Karang Tirta, dia melakukan perjalanan siang malam dan hanya berhenti untuk melewatkan malam gelap, Bahkan dia lupa makan selama berhari-hari sehingga wajahnya yang tampan kelihatan agak kurus, matanya cekung. Dia tiba di tepi Kali Watu. Air sungai itu penuh karena beberapa hari ini hampir setiap malam turun hujan.
"Sialan!" gerutunya.
Kerajaan atau Kadipaten Wengker, ibu kotanya, sudah tak berapa jauh lagi dan dia terhalang oleh sungai ini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang bertembang, suara seorang laki-laki, suaranya biasa saja namun mengandung getaran yang menyentuh kalbu dan amat menarik perhatian sehingga Linggajaya menghentikan langkahnya dan mendengarkan penuh perhatian. Tembang Dandang Gendis.
"Poma-poma, den gatekna kaki.
Uripira ana ing ngalam donya.
Saka Sibe Hyang jektine
mulo kono tan suwung
ing tumindak kang sarwa becik
srana panembahira
mring Hyang kang maha Gung
mula yekti nyatanira
maka Gusti yen mulih bali mring Gusti mengkono karsanira."
Linggajaya tertegun. Bagaikan kilat isi tembang itu menyusup ke dalam benaknya. Dia tahu arti kata-kata itu yang kalau diterjemahkan kurang lebih begini.
"Camkan dan perhatikanlah, nak hidupmu di dalam dunia ini sesungguhnya berkat Kasih Hyang Widhi karena itu jangan kosongkan hidupmu dari tindakan yang serba baik (bajik) disertai penyembahanmu kepada Hyang Maha Agung maka sungguh kenyataannya datang dari Tuhan berpulang kepada Tuhan demikianlah kehendak-Nya."
Mulut Linggajaya menyeringai. Huh, omong kosong orang-orang lemah, cemoohnya dan dia segera melangkah ke arah datangnya suara. Akhirnya dia menemukan orang yang bertembang tadi. Dia seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, Tubuhnya tinggi kurus namun tampak sehat dengan kulitnya yang halus kemerahan. Wajahnya tampak lembut dan terang tampak agung dan penuh wibawa dengan jenggotnya yang panjang. Rambutnya digelung ke atas dan pakaiannya sederhana, seperti pakaian pertapa. Laki-laki itu memegang sebatang walesan (tangkai pancing) dan duduk di atas perahunya diam tak bergerak seperti patung.
"Hai, orang tua! Keluarlah dari perahumu dan kesinilah, aku mau bicara denganmu!" kata Linggajaya, suaranya terdengar memerintah.
Laki-laki setengah tua itu menoleh dan tersenyum. Diam-diam Linggajaya terkejut melihat sepasang mata yang sekilas mencorong seperti mata harimau di tempat gelap, akan tetapi segera berubah lembut.
"Ada keperluan apakah dengan aku orang muda?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Keluarlah dari perahumu dan naiklah ke sini. Jangan banyak membantah atau engkau kulemparkan ke air!"
Orang itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perahunya, melangkah ke darat lalu mendaki, meninggalkan perahunya yang diikat pada batu di tepi sungai. Linggajaya memandang kepada kakek yang kelihatan ringkih (lemah) itu, lalu tersenyum.
"Nah, engkau tunggu saja di sini, aku mau memakai perahumu menyeberang."
Dia lalu melompat ke dalam perahu, melepaskan ikatannya dan mendayung perahu ke tengah tanpa menoleh lagi kepada kakek pemilik perahu yang ditinggalkannya itu. Karena arus air yang memenuhi Kali Watu itu agak kuat, Linggajaya mengerahkan tenaganya untuk mendayung. Akhirnya dia tiba di seberang dan tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya.
"Tinggalkan saja perahu itu, biar aku yang akan mengikatnya pada batang pohon itu."
Linggajaya terkejut dan dia menoleh ke belakang. Matanya terbelalak lebar ketika dia melihat kakek pemilik perahu tadi berjalan mengikuti perahunya. Berjalan di atas air! Saking heran dan kagetnya, dia melompat dari perahu itu ke darat. Dia melihat betapa dengan tenang kakek itu menarik tali perahu dan mengikatkan perahunya kepada akar sebatang pohon yang tumbuh di tepi sungai, lalu kakek itu melangkah ke darat.
Kini Linggajaya maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti mandraguna. Gurunya, Sang Resi Bajrasakti, pernah bercerita kepadanya bahwa di nusantara itu terdapat beberapa orang yang demikian saktinya sehingga dapat berjalan di atas air. Sekarang dia melihat dengan mata sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjatuhkan diri menyembah di depan kaki orang itu.
"Heh-heh, apa yang kau lakukan ini orang muda?"
"Paman yang mulia, saya Linggajaya mohon sudilah kiranya Paman menerima saya sebagai murid Paman."
"Hemm, Linggajaya, apa yang ingin kau pelajari dari orang seperti aku ini?"
"Paman, saya ingin mempelajari aji-aji kesaktian dari Paman."
"Aji kesaktian? Untuk apa? Kulihat engkau seorang pemuda yang sakti mandraguna. Untuk apa engkau ingin menambah kesaktianmu?"
"Untuk melawan mereka yang pernah mengalahkan saya, Paman, Untuk dapat memenuhi cita-cita saya dan untuk mencapai semua cita-cita itu, saya harus memiliki aji kesaktian yang tidak dapat dikalahkan siapapun juga."
"Ha-ha-ha-ha!"
Kakek itu tertawa geli. "Betapa pun saktinya seorang manusia, dalam dunia ini kesaktian itu tiada lain hanya seperti permainan kanak-kanak, Linggajaya. Tidak ada manusia paling sakti di dunia ini. Betapa pun saktinya manusia tidak mampu menentang datangnya usia tua dan penyakit yang datang dan membuat dia lemah, juga tidak berdaya terhadap datangnya Sang Yama-dipati (Dewa Maut) yang mengambil nyawanya. Linggajaya, untuk mengalahkan semua musuh di dunia ini, caranya hanya satu."
"Apakah caranya itu, Paman?"
"Mari kita duduk di sana agar lebih santai kita bicara." Kakek itu mengajak Linggajaya duduk di atas rumput tebal. Kemudian dia melanjutkan. "Cara untuk mengalahkan semua musuhmu hanya satu, yaitu engkau harus lebih dulu dapat mengalahkan dirimu sendiri."
"Diri saya sendiri?"
"Ya, dirimu yang palsu, yang mengaku-aku sebagai jati dirimu, yaitu hati akal pikiran berikut seluruh anggauta tubuhmu yang telah dikuasai nafsu-nafsu setan. Jasmanimu yang selalu haus akan kenikmatan, lapar akan kesenangan yang menimbulkan dendam, kemarahan, kebencian, iri hati, angkara murka. Nah, jasmanimu yang kotor berasal dari debu itulah yang harus kau kalahkan lebih dulu. Dengan demikian, rohanimu yang tumbuh, bersatu dengan Kekuasaan Sang Hyang Widhi sehingga segala tindakanmu akan terbimbing oleh-Nya dan segala tindakan, ucapanmu, pikiranmu hanya menjadi alat yang dipilih oleh-Nya untuk menyalurkan berkat kepada sesama hidupmu di dunia ini."
"Wah, saya tidak mengerti, Paman. Saya ini seorang manusia hidup, untuk apa kalau tidak mengejar kebahagiaan hidup? Dan kebahagiaan hidup hanya dapat diperoleh kalau kita mempunyai kedudukan tinggi, memiliki kekuasaan, memiliki harta benda berlimpah, dan untuk mendapatkan itu, saya harus memiliki aji kesaktian yang tidak terkalahkan untuk memusnahkan semua musuh dan saingan saya!"
Kakek itu menghela napas panjang. "Jagad Dewa Bathara! Gusti, segala Kehendak dan Rencana Paduka pasti terjadi, hamba tidak kuasa mengubahnya." Ucapan ini dia keluarkan lirih seperti bicara kepada diri sendiri. Kemudian dia memandang kepada Linggajaya.
"Linggajaya, ceritakan dulu siapa dirimu dan apa kedudukanmu."
Karena dia menemukan kakek ini di daerah Kadipaten Wengker, bahkan tempat itu pun sudah dekat dengan ibu kota Wengker, tanpa ragu lagi Linggajaya lalu membuat pengakuan. "Ketahuilah, Paman. Saya adalah senopati muda Linggajaya Kerajaan Wengker, murid Sang Resi Bajrasakti yang menjadi penasehat Sang Adipati Wengker. Baru-baru ini saya mengalami kegagalan di Kahuripan dan saya ingin membalas kekalahan itu. Akan saya hancurkan dan tundukkan Kerajaan Kahuripan, akan saya binasakan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, musuh-musuh besar saya. Untuk itu saya harus memiliki aji kesaktian yang lebih tinggi daripada mereka. Maka, demi kejayaan Kerajaan Wengker, bantulah saya, Paman. Terimalah saya menjadi murid Paman untuk mempelajari semua aji kesaktian yang Paman kuasai!"
"Jagad Dewa Bathara...! Andika telah keliru memahami hidup ini, Angger. Keliru, sungguh keliru kalau engkau berpendapat bahwa kedudukan, kekuasaan dan harta benda menjadi sarana manusia merasakan kebahagiaan hidup. Sarana kesenangan, mungkin. Akan tetapi apakah artinya kesenangan? Kesenangan itu tipis dan rapuh sekali, orang muda. Saat kepala atau sakit gigi saja sudah dapat mengusir semua kesenangan!
Jenguklah orang-orang yang berkuasa dan orang-orang yang kaya raya. Betapa mereka itu selalu dikejar rasa gelisah dan takut kehilangan kekuasaan, kedudukan atau harta benda. Makanan mewah hanya terasa lezat dalam bayangan seorang yang tidak mampu mengadakannya. Rumah dan istana mewah megah hanya terasa indah dan nyaman dalam bayangan seorang yang rumahnya kecil dan sederhana. Tengok keadaan mereka yang berkedudukan tinggi dan yang kaya-raya, dan lihatlah kenyataannya!
Mereka yang setiap hari mendapat hidangan yang serba mahal dan mewah, sama sekali tidak merasakan kenikmatan hidangan itu, bahkan merasa bosan dan merindukan hidangan sederhana yang biasa dimakan para petani sederhana! Mereka yang tinggal dalam istana megah tidak lagi merasakan keindahannya, tidak merasakan kenyamanannya karena mereka merasa jenuh, mungkin mereka merindukan lapangan terbuka dimana mereka dapat bermandikan cahaya matahari, menghirup udara pegunungan segar dan berteduh di bawah pohon yang rindang!
Kenikmatan hanya dapat dirasakan orang yang hatinya tenteram dan damai, Angger. Dan rasa tenteram dan damai itu hanya dapat dirasakan orang yang setiap saat berserah diri terhadap Kekuasaan Hyang Widhi. Penyerahan diri ini akan mendatangkan bimbingan kepada kita sehingga apa pun yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan pasti didasari Kasih yang datangnya dari Hyang Widhi Wasa dan kalau semua gerakan hati akal pikiran dan tubuh ini didasari Kasih atas bimbingan-Nya, sudah pasti benar dan baik. Kalau sudah begitu, ketenteraman dan kedamaian itu ada, sehingga Kebahagiaan selalu berada bersama kita."
"Wah, Paman. Saya ingin berguru kepada Paman mempelajari aji-aji kesaktian, bukan untuk mendengarkan wejangan-wejangan yang memusingkan itu." kata Linggajaya sambil mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar penasaran dan hilang kesabarannya.
"Hemm, jawablah dulu, Senopati Linggawijaya! Seorang murid sudah semestinya menaati semua perintah gurunya. Nah, kalau Andika ingin menjadi muridku, siapkah Andika untuk menaati perintahku?"
Setelah diam meragu sesaat, Linggajaya yang ingin sekali memperoleh aji kesaktian dari kakek ini, menjawab.
"Tentu saja, saya siap dan bersedia menaati perintah Bapa Guru." Dia langsung saja menyebut bapa guru.
"Bagus, kalau begitu perintahku yang pertama adalah begini. Mulai saat ini, berhentilah menjadi Senopati Kerajaan Wengker dan jangan lagi memusuhi Sang Prabu Erlangga."
Mendengar ini, Linggajaya bangkit berdiri. Mukanya merah, alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat penuh kemarahan.
"Apa? Kiranya engkau adalah seorang pembela Kahuripan?" teriaknya penasaran.
"Aku tidak mencampuri permusuhan antara kerajaan. Aku hanya membela siapa saja yang benar, membela keadilan dan kebenaran dan menentang yang jahat."
"Keparat, kiranya engkau pun seorang pengkhianat, kawula Wengker akan tetapi membela Kahuripan!" Dengan marah sekali Linggajaya lalu melompat ke depan dan mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam ke arah kepala kakek itu dengan Aji Gelap Sewu!
"Wuuuttt.... wirrr....!!!"
Tubuh Linggajaya terpental ke belakang seolah diterbangkan angin taufan! Tadi dia memukul, akan tetapi pukulannya seolah mengenai perisai lunak yang tidak kelihatan, yang membuat tenaga pukulannya membalik dan tubuhnya terlempar ke belakang lalu terbanting jatuh! Linggajaya terbelalak, merasa dadanya agak sesak. Dia cepat bangkit berdiri, memandang ke arah kakek itu yang masih duduk bersila di atas rumput dengan sikap tenang dan mulut tersenyum sabar.
Linggajaya bukan bodoh. Dia maklum bahwa orang itu memiliki kesaktian luar biasa dan dia mengerti pula bahwa kalau dia menyerang lagi dengan menggunakan senjata, tentu akibatnya akan semakin parah baginya.
"Orang tua, aku yang muda sekarang mengaku kalah. Akan tetapi katakan siapa namamu agar lain kali aku dapat mencarimu untuk menebus kekalahan ini!"
Kakek setengah tua itu masih tersenyum. "Senopati Linggajaya, aku adalah Bhagawan Ekadenta. Aku menasihati engkau agar tidak memusuhi Sang Prabu Erlangga karena kalau engkau lanjutkan akibatnya akan buruk bagi dirimu sendiri. Keangkara-murkaan hanya tampak unggul pada permulaannya saja, akan tetapi pada akhirnya akan hancur. Camkanlah kata-kataku ini."
Akan tetapi Linggajaya tidak mau mendengarkan lagi. Dia sudah melompat jauh dan melarikan diri menuju ibu kota Wengker. Dia tidak akan melupakan nama Bhagawan Ekadenta. Biarpun orang sakti mandraguna itu tidak mengaku sebagai pendukung atau pembela Kahuripan, namun jelas dia tidak akan berpihak kepada Wengker kalau terjadi perang antara kedua kerajaan itu. Berarti, Bhagawan Ekadenta termasuk jajaran orang-orang yang tidak disuka dan harus dimusuhinya.
Penduduknya percaya, bahkan yakin bahwa tanah di situ mendapatkan berkat yang berlimpah dari Sang Hyang Widhi karena tanah perdikan itu milik Sang Empu Bharada, seorang pertapa yang selain sakti mandraguna, juga luhur budi pekertinya, bijaksana, setia kepada Kerajaan Kahuripan dan selalu menjadi pembela kebenaran dan keadilan, menjadi penentang kejahatan dan keangkaramurkaan. Tanah perdikan Lemah Citra itu merupakan tanah yang dihadiahkan Sang Prabu Erlangga kepada Sang Empu Bharada.
Wibawa Sang Empu yang bijaksana itu mendatangkan suasana tenteram dan damai di tanah perdikan itu. Para penduduknya setiap hari bekerja dengan gembira dan tenang, yakin bahwa semua orang yang diperbudak nafsu-nafsunya menjadi tunduk dan lemah kalau memasuki daerah itu sehingga tidak pernah ada yang berani melakukan kejahatan.
Para penduduknya merasa berkecukupan sandang pangan papan. Walaupun pakaian mereka sederhana, makanan juga seadanya dan rumah tinggal bersahaja, namun perasaan cukup itu letaknya dalam hati sanubari. Berbahagialah orang yang merasa cukup hidupnya sehingga dalam keadaan bagaimana pun juga, dia akan selalu memuji syukur dan berterima kasih kepada Sang Hyang Widhi atas semua kasih dan berkatNya.
Apa pun yang dimakan terasa nikmat, apa pun yang dikenakan di badan terasa nyaman, dan bagaimanapun keadaan rumahnya terasa menyenangkan. Demikianlah keadaan hati seorang yang selalu merasa diberkati dan menyerah kepada Sang Hyang Widhi, bukan menyerah lalu diam saja, melainkan penyerahan yang mendasari usaha sekuat memampuannya.
Berikhtiar atau berusaha sekuat kemampuannya sebagai kewajiban hidup mempergunakan semua alat tubuh dan pikiran menggarap bumi dan hasilnya sebagai pemenuhan kebutuhan hidup jasmani. Penyerahan sebagai kesadaran bahwa di atas semua kuasa manusia ada Yang Maha Kuasa, di atas semua peraturan manusia terdapat Yang Maha Pengatur, dan di atas semua rencana manusia terdapat Yang Maha Pengatur.
Malam itu hawanya amat dingin di Lemah Citra. Tanah dan segala yang berada di atasnya basah semua karena sejak sore tadi hujan turun deras dan menjelang tengah malam baru reda. Akan tetapi malam itu gelap karena masih ada sisa mendung mengambang di atas Lemah Citra. Tidak tampak seorang pun di luar rumah.
Semua orang merasa lebih enak berada di rumah bahkan sebagian besar telah tidur pulas karena pekerjaan sehari tadi cukup melelahkan. Alangkah nikmatnya tidur malam itu setelah siang tadi bekerja berat. Tubuh lelah, udara dingin, hati akal pikiran tidak terganggu apa pun. Tidur di dalam rumah sederhana, di atas amben kayu atau bambu beralaskan tikar pun sudah nyaman sekali.
Rumah Empu Bharada yang terbuat dari kayu jati, juga hadiah Sang Prabu Erlangga juga sunyi. Para cantrik yang menjadi murid merangkap pelayan Sang Empu, sudah tidur semua. Kesunyian malam menjadi syahdu dengan adanya suara mahJuk malam, kutu-kutu walang atogo (segala macam serangga belalang dan jangkerik). Dalam bilik sanggar pamujan yang sederhana, Empu Bharada duduk bersila di atas bale-bale di mana dia biasa duduk bersamadhi.
Dia tidak tidur, melainkan sedang tenggelam dalam samadhi, membiarkan sukmanya mengadakan kontak dengan Hyang Widhi Wasa melalui Suara Kehidupan yang tidak pernah berhenti mengiang ngiang dalam kepalanya, berpusat di belakang kedua matanya. Seluruh keadaan dirinya berpusat pada suara itu yang kini terdengar bagaikan air hujan, atau berdesahnya angin di antara daun-daun, berkericiknya air sungai, begitu tenang, begitu menghanyutkan.
Suara-suara dari luar yang tertangkap oleh pendengarannya, suara keheningan (suaraning asepi), suara kutu-kutu walang atogo, seolah nyanyian yang mengikuti alunan lagu sorgawi yang terdengar tiada hentinya dalam kepalanya, terasa oleh seluruh panca inderanya, namun tidak menimbulkan suatu rangsangan, bahkan menenteramkan segala sesuatu yang berada di luar maupun di dalam dirinya.
Sang Empu membiarkan dirinya hanyut dalam suasana yang maha agung itu. Tiba-tiba penglihatan batinnya melihat segala itu terjadi dengan jelas. Dia melihat suatu tempat yang juga bukan dapat dinamakan tempat tertentu, bentuknya tidak dapat direka atau dikenal oleh akal pikiran, namun terasa amat indahnya. Keindahan yang juga tidak dapat dikenal oleh akal pikiran, atau lebih tepat disebut kebahagiaan. Lalu tiba-tiba Sang Empu mengerutkan alisnya.
Dia melihat atau lebih tepat merasakan angkara murka dan segala macam nafsu daya rendah berdatangan, bagaikan raksasa-raksasa dalam pewayangan, mengamuk dan mengacau tempat itu sehingga dia melihat kegelapan, kilat menyambar-nyambar, awan gelap menyelubungi dan menutupi semua keindahan atau kebahagiaan itu. Menuruti nalurinya Empu Bharada segera berdoa, setelah dia merasa tidak kuasa melawan gerombolan raksasa itu.
"Duh Gusti, hanya kepada Padukalah hamba mengharapkan pertolongan. Terjadilah, duh Gusti, segala kehendak Paduka..."
Dengan khidmat dia berdoa terus dan tiba-tiba dia melihat cahaya putih meluncur dan cahaya putih ini menerjang gerombolan pengacau dan perlahan-lahan membuyar dan menghilanglah semua awan kegelapan yang tadi menutupi semua keindahan yang membahagiakan tadi.
Empu Bharada membuka kedua matanya. Laki-laki setengah tua itu berusia sekitar lima puluh tahun, wajahnya cukup tampan dengan jenggot panjang hitam, matanya agak cekung dengan sinar yang lembut namun penuh wibawa, mulutnya selalu terhias senyum simpul membayangkan kesabaran dan pengertian. Tubuhnya tinggi agak kurus. Pakaiannya sederhana saja, serba hitam.
Empu Bharada ini merupakan seorang tokoh yang terkenal dan dihormati semua orang di kota raja Kahuripan. Bahkan Sang Prabu Erlangga dan semua ponggawa Kahuripan menghormatinya. Biarpun tidak menduduki jabatan apa pun karena dia tidak mau terikat oleh jabatan, Empu Bharada merupakan seorang yang selalu dimintai nasihat oleh Sang Prabu Erlangga apabila kerajaan menghadapi persoalan yang rumit. Empu Bharada tak dapat melupakan cahaya putih yang mengusir semua kegelapan tadi. Dia mengangguk-angguk.
"Duh Gusti, terima kasih bahwa dalam kegelapan Paduka mengirim Nur Seta (Cahaya Putih)," gumamnya. Lalu dia mengerutkan alisnya dan berbisik, "Nurseta...?"
Dia mengangguk-angguk lagi dan menyimpan pengertian yang memasuki hati akal pikirannya untuk dirinya sendiri. Dia tidak boleh membuka hal-hal yang belum terjadi kepada siapapun juga. Kehendak dan rencana Sang Hyang Widhi Wasa harus tetap menjadi rahasia bagi manusia yang tidak berhak mengungkap atau mengetahuinya.
Empu Bharada lalu bangkit dan keluar dari sanggar pamujan, memasuki kamarnya dan merebahkan diri di atas pembaringan untuk membiarkan tubuhnya tidur, beristirahat. Pemuda itu berjalan tergesa-gesa. Dia seorang pemuda yang masih muda, usianya sekitar dua puluh tahun. Wajahnya tampan, dengan mata lebar dan hidung mancung, mulutnya tersenyum mengejek. Tubuhnya tinggi tegap sehingga dia tampak gagah.
Pakaiannya mewah dan dia seorang pemuda pesolek. Sepasang matanya lincah dan terkadang mencorong tajam. Akan tetapi pada saat itu, wajah yang tampan itu tampak muram, bahkan kedua matanya agak kemerahan, tanda bahwa pemuda itu menderita kelelahan lahir batin.
Pemuda ini bernama Linggajaya, murid Sang Resi Bajrasakti, datuk Kerajaan Wengker (Ponorogo). Sebagai murid Resi Bajrasakti, Lingga jaya telah menguasai ilmu-ilmu yang ampuh, menjadi sakti dan dia sudah diangkat sebagai seorang senopati muda di Kerajaan Wengker dan mendapatkan nama pangkat Linggawijaya. Senopati muda Linggawijaya!
Akan tetapi kini hatinya kesal sehingga wajahnya Nampak murung. Dia merasa penasaran, kecewa dan marah sekali. Sebagai senopati muda, dia mewakili Kerajaan Wengker, mengadakan persekutuan dengan para kadipaten atau kerajaan kecil lain seperti Kerajaan Wura-wuri di Lwarang (Lawang), Kerajaan Parang Siluman di pantai Laut Kidul dan dengan Kerajaan Siluman Laut Kidul di pantai Laut Kidul sebelah timur. Namun persekutuan itu gagal menguasai Kahuripan, gagal menjatuhkan Sang Prabu Erlangga.
Kedudukan Sang Prabu Erlangga terlampau kuat dengan bantuan patihnya yang digdaya, yaitu Ki Patih Narotama dan banyak satria yang gagah perkasa dan sakti. Usaha persekutuan itu gagal, bahkan mereka dipukul cerai-berai, banyak yang tewas dan sisanya melarikan diri, termasuk dia. Dia harus melarikan diri, kembali ke Kerajaan Wengker. Akan tetapi dia ingin singgah dulu di dusun Karang Tirta, kampong halamannya di mana ayahnya, Ki Suramenggala, menjadi Lurah Karang Tirta.
Segala keindahan yang terbentang luas di sekelilingnya ketika dia melakukan perjalanan dari Kahuripan ke Karang Tirta itu sama sekali tidak nampak olehnya. Bahkan segala yang indah tampak buruk membosankan bagi Linggajaya yang hatinya sedang kesal dan murung. Keindahan penglihatan, kemerduan pendengaran, segala hal yang menggembirakan hanya dapat terasa oleh hati yang bahagia.
Segala sesuatu serba indah dan mengenakkan. Namun, apabila hati sedang murung, apapun juga terasa hampa dan tidak enak, tidak menyenangkan. Mulut tersenyum berubah cemberut, mata bersinar berubah keruh, wajah berseri berubah suram muram.
Untuk melupakan kekesalan hatinya, Linggajaya atau Senopati Linggawijaya mengerahkan ilmunya lalu berlari cepat. Tubuhnya meluncur cepat sekali seperti larinya seekor kijang menuju ke dusun Karang Tirta. Dia telah menjadi senopati muda di Wengker. Untuk apa ayahnya menjadi lurah yang dibawahi Kahuripan? Dia akan memboyong keluarga ayahnya ke Wengker agar ikut menikmati kemuliaan yang diperolehnya di kerajaan itu.
Ketika dia memasuki dusun, beberapa orang dusun bertemu dengan dia. Akan tetapi Linggajaya melihat betapa mereka itu, laki-laki maupun perempuan, hanya memandangnya sepintas lalu membuang muka, seolah-olah tidak mengenalnya atau tidak memperdulikannya. Dia merasa heran bukan main. Padahal, semua penduduk Karang tirta tahu belaka siapa dia!
Setelah dewasa dia pernah pulang ke dusun ini dan semua orang menghormatinya karena selain dia putera Ki Lurah Suramenggala, juga semua orang tahu bahwa dia seorang yang sakti mandraguna. Dahulu, semua orang menghormat dan takut kepadanya, mencari muka, apa lagi para gadisnya, bersaing untuk merebut perhatiannya. Akan tetapi mengapa sekarang mereka semua memalingkan muka darinya. Bahkan ketika ada beberapa orang perawan dusun melihatnya, mereka membalikkan tubuh dan pergi menjajahnya!
Karena merasa heran, juga penasaran, dia mempercepat langkahnya dara mengejar seorang laki-laki setengah tua. Dia menangkap lengan orang itu dan dengan kasar menariknya sehingga oraag itu hampir terpelanting. Ketika orapg itu memandang dan mengenalnya, wajahnya berubah pucat dan matanya membayangkan ketakutan.
"Hemm, apakah engkau juga tidak mengenal aku?" bentak Linggajaya dengan ketus.
Orang itu menjawab gagap. "Saya... saya mengenal. Denmas adalah... Denmas Linggajaya..."
"Hemm, mengapa semua orang tidak ada yang menyapaku? Mengapa mereka tidak mau memandangku? Apa yang telah terjadi di dusun ini? Hayo jawab yang jelas!" Linggajaya membentak.
"Maaf.... Denmas... karena.... karena ayah Denmas, Ki Lurah Suramenggala telah diusir dari dusun ini sehingga ketika melihat Andika memasuki dusun, kami semua takut terlibat dan lebih baik pura-pura tidak tahu dan menjauhkan diri."
Linggajaya terbelalak, kaget mendengar keterangan itu.
"Hayo ceritakan apa yang terjadi dengan Ayahku, ceritakan yang jelas semuanya. Awas, kalau engkau berani berbohong, akan kuhancurkan kepalamu!"
Dengan suara ditenang-tenangkan namun lirih, orang itu lalu bercerita.
"Beberapa bulan yang lalu, Ki Patih Narotama datang kedusun ini, Denmas, dan beliau yang memecat Ki Lurah Suramenggala dan mengusirnya keluar dari Karang Tirta. Sebagai pengganti lurah baru di sini, Ki Patih Narotama mengangkat Ki Lurah Pujosaputro."
"Keparat!" Linggajaya mengepal tinju dengan geram. "Dan ke mana perginya Ayahku?"
"Saya tidak tahu, Denmas. Saya kira tidak ada yang tahu karena Ki Suramenggala bersama keluarganya meninggalkan dusun ini tanpa pamit dan tidak memberi tahu ke mana perginya."
"Hemm, Ki Pujosaputro yang diangkat menjadi lurah baru itu, siapakah dia?"
"Dia adalah penduduk Karang Tirta sejak dulu, Denmas."
"Di mana lurah baru itu? Di mana rumahnya?"
"Dia menempati bekas rumah Ki Su-ramenggala...."
Linggajaya berkelebat pergi, meninggalkan orang itu terlongong dan tergesa-gesa dia lalu berlari pergi. Ketika memasuki pekarangan bekas rumahnya, rumah Ayahnya, Linggajaya melihat empat orang laki-laki duduk di pendopo. Mereka adalah para pembantu lurah. Ki Lurah Pujosaputro sendiri tidak tampak karena dia berada di dalam. Empat orang laki-laki itu terkejut sekali ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan mereka, telah berdiri Linggajaya yang tentu saja telah mereka kenal dengan baik. Memang sejak Ki Lurah Suramenggala terusir dari Karang Tirta dan lurah dusun itu digantikan Ki Lurah Pujosaputro seperti telah ditentukan Ki Patih Narotama, seluruh penduduk Karang Tirta merasa lega dan senang.
Kehidupan di dusun itu menjadi tenteram dan kehidupan gotong-royong dapat dilaksanakan dengan rela dan sepenuh hati karena tidak ada lagi penindasan yang dilakukan oleh yang berkuasa di dusun itu. Tidak ada lagi tekanan dan paksaan, tidak ada lagi pasukan jagabaya yang bertindak seperti tukang pukul.
Akan tetapi di samping perasaan senang dan tenteram ini, tetap saja semua orang merasa gelisah kalau mereka teringat akan Linggajaya, putera Ki Suramenggala. Pemuda itu berwatak keras dan kejam, juga memiliki kesaktian. Mereka membayangkan betapa akan kacaunya kalau pemuda itu muncul dan mengamuk karena ayahnya dicopot dari kedudukannya sebagai lurah dan diusir dari dusun itu.
Maka, dapat dimengerti betapa orang' yang ditanyai Linggajaya menjadi ketakutan dan dia berlari cepat dan menceritakan pertemuannya itu dengan para penduduk. Demikian pula, empat orang petugas kelurahan itu gemetar dari muka mereka pucat begitu mereka mengenal siapa yang berdiri di depan mereka.
"Keparat, kalian sudah bosan hidup berani mengambil alih rumah dan kedudukan-Bapakku?" bentak Linggajaya dengan suara mengguntur sehingga menggetarkan seluruh rumah itu.
"Bukan kami... Denmas.... kami hanya... hanya melaksanakan perintah membantu Ki Lurah Pujosaputro..."
Seorang di antara mereka yang masih ada sisa keberanian untuk bicara sedangkan tiga orang lainnya sudah berjongkok dengan tubuh menggigil.
"Mana dia Pujosaputro? Suruh dia keluar, akan kuremukkan kepalanya!"
Linggajaya lalu menggunakan kedua tangan dan kakinya menampar dan menendangi meja kursi yang berada di ruangan pendopo itu sehingga prabotan itu hancur berantakan dan mengeluarkan suara hiruk pikuk. Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun muncul dari dalam. Pakaiannya tidak mentereng akan tetapi berbeda dengan pakaian para petani dan sikapnya tenang.
"Anakmas Linggajaya, tenang dan bersabarlah. Ada persoalan dapat diurus dan dibicarakan, tidak perlu menggunakan kekerasan seperti itu."
Linggajaya memutar tubuh menghadapi orang itu. "Engkau yang bernama Pujosaputro?"
"Benar, akulah Ki Pujosaputro."
"Hemm, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Engkau telah berani mengambil-alih kedudukan Bapak ku dan mengusirnya dari rumah kami ini. Engkau keparat, harus mati di tanganku!"
"Nanti dulu, Anakmas." kata Ki Lurah Pujosaputro yang walaupun tahu bahwa nyawanya terancam hebat, dia masih bersikap tenang dan tidak takut karena merasa tidak bersalah. "Semua ini bukan kemauan ku. Gusti Patih Narotama yang mencopot Kakang Suramenggala dan yang mengangkat aku menjadi lurah di sini."
"Tidak perlu menggertak aku dengan nama Ki Patih Narotama! Siapapun juga yang mengangkatmu, engkau harus mati di tanganku!"
Setelah berkata demikian, tangan kirinya bergerak ke depan seperti melempar sesuatu. Terdengar suara mendengung-dengung seolah ada banyak sekali tawon beterbangan dan tampak sinar hitam menyambar ke arah Ki Lurah Pujosaputro. Serangan itu sesungguhnya dahsyat sekali, merupakan ancaman maut yang mengerikan karena itu adalah Aji Bramara Sewu (Seribu Lebah) berupa senjata rahasia pasir yang dilemparkan dengan tenaga sakti diperkuat tenaga sihir. Kalau mengenai tubuh lawan, pasir pasir itu akan menembus kulit memasuki daging dan meracuni tubuh sehingga lawan yang terkena pasir itu akan tewas dengan tubuh gosong!
Pada saat yang amat gawat dan berbahaya bagi keselamatan Ki Lurah Pujosaputro itu, tiba-tiba dari pintu dalam tampak sesosok bayangan berkelebat dan begitu ia mendorong kedua tangannya bergantian ke arah sinar hitam yang meluncur dari tangan Linggajaya, segenggam pasir itu terpukul runtuh!
Linggajaya terkejut dan memandang dengan sinar mata mencorong marah. Kiranya yang muncul dan yang memukul runtuh pasirnya dengan pukulan jarak jauh yang ampuh itu seorang gadis cantik jelita. Gadis itu masih muda sekali, usianya sekitar delapan belas tahun. Tubuh yang sedang dan ramping itu berkulit putih kuning mulus, dengan lekuk lengkung yang indah menggairahkan, bagaikan setangkai bunga mawar yang sedang mekar semerbak harum.
Rambutnya yang hitam panjang itu digelung sederhana, menempel di tengkuk. Sinom lembut melingkar-lingkar di sekitar atas dahi dan pelipisnya. Alisnya melengkung kecil hitam, melindungi sepasang mata bintang yang jeli dan jernih. Hidungnya mancung dan mulutnya memiliki bibir yang merah basah tanpa gincu dan setitik hitam tahi lalat di dagu membuat wajah itu manis sekali. Akan tetapi sinar mata yang jeli itu tampak mencorong membayangkan kekerasan hati dan saat itu jelas ia tampak marah bukan main. Kedua matanya menatap wajah Linggajaya dengan sinar berapi.
Linggajaya memandang heran dan marah. Tentu saja dia mengenal baik gadis itu. Gadis itu adalah Puspa Dewi, puteri Nyi Lasmi, seorang janda yang kemudian diambil sebagai selir oleh Ayahnya sehingga Puspa Dewi termasuk Adik tirinya walaupun tidak ada hubungan darah sama sekali di antara mereka karena ayah ibu mereka berlainan.
"Puspa Dewi!" Dia menegur dengan marah. "Engkau menentangku, membela orang yang telah mengambil-alih kedudukan Ayah kita?"
"Linggajaya, Ki Suramenggala Bapakmu itu bukan Ayahku lagi! Diantara kita tidak ada hubungan apa pun lagi, kita adalah orang asing satu sama lain"
"Ngawur kau! Ibumu adalah selir Bapakku, bagaimana engkau bisa berkata begitu? Engkau hendak murtad terhadap Ibu kandungmu sendiri yang tentu membela Ayahku yang menjadi suaminya?"
Pada saat itu terdengar suara yang lembut namun tegas. "Linggajaya, aku tidak mengikuti Ayahmu yang melarikan diri. Aku bukan isterinya lagi!"
Linggajaya menoleh dan melihat seorang wanita berusia sekitar tiga puluh delapan tahun yang berwajah manis berdiri di ambang pintu. Itu adalah Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi yang tadinya menjadi selir ayahnya selama beberapa tahun akan tetapi tidak mempunyai anak.
"Bagus! Ternyata memang keluargamu merupakan orang-orang yang tak mengenal budi, murtad, bahkan menjadi pengkhianat!"
Linggajaya marah sekali. Tanpa adanya urusan ayahnya ini saja dia sudah merasa marah kepada Puspa Dewi. Gadis ini telah diaku anak oleh gurunya sendiri, yaitu Nyi Dewi Durgakumala, seorang datuk wanita yang sakti mandraguna dan biarpun usianya sudah lima puluh tahun namun tampak cantik seperti baru berusia tiga puluh tahun saja. Belum lama ini, kurang lebih setahun yang lalu, Nyi Dewi Durgakumala menjadi permaisuri dari Raja Wura-wuri bernama Adipati Bhismaprabhawa. Karena gurunya yang menjadi ibu angkatnya menjadi permaisuri Wura-wuri, maka otomatis Puspa Dewi menjadi sekar kedaton (bunga, istana) Wura-wuri, menjadi puteri Sang Adipati Bhismaprabhawa.
Nah, sebagai puteri istana Wura-wuri, Puspa Dewi menjadi utusan atau wakil Kerajaan Wura-wuri untuk bergabung dan bersekutu dengan para kadipaten yang menentang Kahuripan dan berusaha menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dari tahtanya. Akan tetapi apa yang terjadi? Puspa Dewi ini berkhianat! Ketika persekutuan itu membantu Pangeran Hendratama yang hendak merebut kekuasaan Sang Prabu Erlangga, Puspa Dewi berbalik membantu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, menggagalkan usaha pemberontakan yang didukung para kadipaten itu.
Demikianlah, untuk perbuatan Puspa Dewi yang dianggapnya berkhianat itu saja Linggajaya sudah marah sekali. Apalagi sekarang gadis itu muncul dan menentang dia dan Ayahnya, bahkan ibu Puspa Dewi sudah melepaskan diri dari Ayahnya. Tentu saja Linggajaya menjadi marah dan membenci gadis yang tadinya digilainya itu karena memang Puspa Dewi amat cantik jelita.
"Linggajaya tidak perlu engkau membuka mulutmu yang busuk itu!"
Puspa Dewi yang galak itu membentak marah karena Linggajaya mengatakan ia dan Ibunya tidak mengenal budi, murtad dan pengkhianat.
"Semua tahu orang-orang macam apa adanya keluargamu! Ayahmu adalah seorang yang kejam dan jahat sekali, mengandalkan kedudukannya sebagai lurah dan memaksakan kehendaknya menindas rakyat di Karang Tirta selama bertahun-tahun. Siapa tidak tahu akan hal itu? Dan engkau sendiri, engkau adalah seorang muda yang jahat dan kejam. Engkau bersekutu dengan Pangeran Hendratama yang memberontak terhadap Sang Prabu Erlangga! Nah, siapakah yang menjadi pengkhianat? Bukankah engkau juga seorang kawula Kahuripan?"
"Bocah sombong!"
Linggajaya segera menyerang dengan melakukan pukulan jarak jauh. Pukulan Aji Gelap Sewu itu dahsyat bukan main, mendatangkan angin yang amat kuat. Namun Puspa Dewi yang maklum akan ketangguhan lawan, sudah siap sejak tadi dan segera menyambut dengan kedua kaki membuat kuda-kuda depan belakang, lutut ditekuk dan kedua tangannya terpentang seperti seekor burung terbang. Pada saat lawannya mendorongkan kedua tangan kearahnya, ia pun menggerakkan tangan dari kanan kiri menyambut dengan dorongan yang kuat. Itulah Guntur Geni yang tidak kalah dahsyatnya.
"Syuuuut.... blarrr....!!"
Sebuah meja besar yang berada di antara mereka pecah berantakan ketika dua tenaga sakti itu bertemu di udara dan menghimpit meja itu dari kanan kiri! Baik Linggajaya maupun Puspa Dewi terdorong mundur tiga langkah sebagai akibat pertemuan dua tenaga sakti yang dahsyat itu.
Linggajaya yang selalu menganggap diri sendiri paling hebat, merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa Puspa Dewi adalah murid terkasih dari Nyi Dewi Durgakumala yang sakti mandraguna yang merupakan seorang datuk berasal dari Blambangan dan kini menjadi Permaisuri Kerajaan Wura-wuri, maka tentu saja gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi dia merasa malu kalau kalah oleh seorang gadis muda. Maka dengan marah dia sudah melolos senjata andalannya, yaitu sebatang pecut yang tadinya dipergunakan sebagai ikat pinggang. Begitu di lolos, dia menggerakkan pecut itu ke atas.
"Tar-tar-tar-tarrr...!"
Pecut itu meledak-ledak di atas kepalanya dan tampaklah sinar berapi dan asap hitam seolah-olah ujung pecut itu mengeluarkan percikan api ketika dilecutkan. Inilah pecut yang disebut Pecut Tatit Geni, senjata yang ampuh dan berbahaya sekali bagi lawannya.
Namun Puspa Dewi sama sekali tidak merasa gentar. Bibirnya yang tipis dan merah membasah itu bahkan tersenyum. Tangan kanannya meraih ke punggung dan tampak sinar hitam berkelebat. Sebatang pedang telah berada di tangan kanannya. Pedang itu mengeluarkan sinar hitam yang menyeramkan. Itulah Pedang Candrasa Langking, pedang pusaka pemberian gurunya yang juga mengakuinya sebagai anak, yaitu Nyi Dewi Durgakumala.
Pedang ini bukan saja tajam dan amat kuat karena terbuat dari baja hitam yang langka, akan tetapi juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tergores sedikit saja oleh pedang ini, kalau lawan tidak memiliki obat penawar racun yang manjur, lawan itu akan tewas.
Kalau Linggajaya merasa penasaran kalau tidak dapat mengalahkan Puspa Dewi, sebaliknya gadis jelita ini maklum akan ketangguhan lawan dan tidak memandang ringan, maka sikapnya lebih hati-hati dan waspada dibandingkan Linggajaya yang sombong dan dibakar kemarahan dan penasaran.
"Heeiiitt... tar-tar-tarrr...!"
Linggajaya nenyerang dengan pecutnya. Sinar pecutnya yang kemerahan menyambar-nyambar dari atas, bagaikan halilintar menyambar-nyambar kearah kepala Puspa Dewi. Namun, gadis cantik jelita yang sakti mandraguna ini pun menggerakkan pelangnya. Tampaklah sinar hitam bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung.
Terjadilah perkelahian mati-matian di ruangan pendopo kelurahan itu. Orang-orang yang menonton, termasuk Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi, tentu saja menjadi ngeri menyaksikan sinar hitam dan sinar merah bergulung-gulung dan setiap kali ia sinar mencuat dan mengenai meja atau kursi, prabot itu tentu terbelah! Di antara gulungan kedua sinar itu terkadang diselingi bunyi berdencing dan tampak bara api berpijar apabila kedua senjata ampuh itu bertemu.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan puluhan bahkan ratusan orang-orang menyerbu ke dalam pekarangan rumah kelurahan itu. Mereka semua mengacung-ngcungkan berbagai senjata tajam. Mereka adalah para pria penduduk Dusun Karang Tirta!
Laki-laki yang tadi dimintai keterangan oleh Linggajaya ternyata memberitahukan kepada para pemuda yang segera mengumpulkan semua pria yang berada di dusun. Mereka tahu bahwa tentu putera bekas lurah Ki Suramenggala yang terkenal jahat itu akan mengganggu lurah yang baru.
Maka mereka lalu membawa senjata seadanya dan menyerbu kelurahan untuk melindungi Ki Lurah Pujosaputro yang mereka suka dan hormati karena lurah baru yang diangkat oleh Ki Patih Narotama itu ternyata merupakan seorang pemimpin yang adil, jujur, dan baik.
Linggajaya yang sedang bertanding melawan Puspa Dewi dan belum juga dapat mendesak gadis yang ternyata amat tangguh itu, menengok dan terkejut melihat ratusan orang itu. Diam-diam dia merasa heran. Dahulu, ketika Ayahnya yang menjadi lurah, para penduduk itu bagaikan sekawanan domba yang jinak dan lemah, menurut saja digiring kemana, tak pernah ada yang berani menentang. Akan tetapi sekarang, mereka itu bagaikan sekawanan banteng yang siap menerjang siapa yang berani mengganggu kampung halaman mereka!
Merasa terancam bahaya kalau harus melawan Puspa Dewi yang dibantu ratusan orang. Linggajaya lalu melompat jauh ke belakang dan dengan beberapa lompatan jauh dia sudah keluar dari pekarangan kelurahan dan cepat melarikan diri meninggalkan dusun Karang Tirta, menuju ke barat, untuk kembali ke Kerajaan Wengker. Kalau sudah tiba di sana, dia akan mengirim orang-orang untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya Ayahnya dan sekeluarga ayahnya.
Wajah Linggajaya semakin muram dan keruh. Dia merasa nelangsa, merasa betapa segala yang dia lakukan ternyata menemui kegagalan. Usaha menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dengan persekutuan yang tadinya tampak kuat dan meyakinkan itu, ternyata gagal dan persekutuan itu diporak porandakan para pendukung Sang Prabu Erlangga sehingga mereka yang lolos dari maut terpaksa harus melarikan diri, kembali ke kadipaten masing-masing, termasuk dia yang harus kembali ke Kerajaan atau Kadipaten Wengker.
Kemudian, keinginannya untuk bertemu keluarga ayahnya dan mengajak mereka pindah ke Wengker juga gagal. Bukan saja mendengar Ayahnya dipecat dari kedudukan lurah dan diusir dari Karang Tirta, bahkan niatnya membunuh lurah baru juga gagal karena Puspa Dewi melindungi lurah baru itu. Dia terpaksa melarikan diri melihat Puspa Dewi hendak dibantu ratusan penduduk Karang Tirta!
"Sialan!" gerutunya dengan jengkel.
Dia merasa lelah sekali karena semenjak meninggalkan Karang Tirta, dia melakukan perjalanan siang malam dan hanya berhenti untuk melewatkan malam gelap, Bahkan dia lupa makan selama berhari-hari sehingga wajahnya yang tampan kelihatan agak kurus, matanya cekung. Dia tiba di tepi Kali Watu. Air sungai itu penuh karena beberapa hari ini hampir setiap malam turun hujan.
"Sialan!" gerutunya.
Kerajaan atau Kadipaten Wengker, ibu kotanya, sudah tak berapa jauh lagi dan dia terhalang oleh sungai ini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang bertembang, suara seorang laki-laki, suaranya biasa saja namun mengandung getaran yang menyentuh kalbu dan amat menarik perhatian sehingga Linggajaya menghentikan langkahnya dan mendengarkan penuh perhatian. Tembang Dandang Gendis.
"Poma-poma, den gatekna kaki.
Uripira ana ing ngalam donya.
Saka Sibe Hyang jektine
mulo kono tan suwung
ing tumindak kang sarwa becik
srana panembahira
mring Hyang kang maha Gung
mula yekti nyatanira
maka Gusti yen mulih bali mring Gusti mengkono karsanira."
Linggajaya tertegun. Bagaikan kilat isi tembang itu menyusup ke dalam benaknya. Dia tahu arti kata-kata itu yang kalau diterjemahkan kurang lebih begini.
"Camkan dan perhatikanlah, nak hidupmu di dalam dunia ini sesungguhnya berkat Kasih Hyang Widhi karena itu jangan kosongkan hidupmu dari tindakan yang serba baik (bajik) disertai penyembahanmu kepada Hyang Maha Agung maka sungguh kenyataannya datang dari Tuhan berpulang kepada Tuhan demikianlah kehendak-Nya."
Mulut Linggajaya menyeringai. Huh, omong kosong orang-orang lemah, cemoohnya dan dia segera melangkah ke arah datangnya suara. Akhirnya dia menemukan orang yang bertembang tadi. Dia seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun lebih, Tubuhnya tinggi kurus namun tampak sehat dengan kulitnya yang halus kemerahan. Wajahnya tampak lembut dan terang tampak agung dan penuh wibawa dengan jenggotnya yang panjang. Rambutnya digelung ke atas dan pakaiannya sederhana, seperti pakaian pertapa. Laki-laki itu memegang sebatang walesan (tangkai pancing) dan duduk di atas perahunya diam tak bergerak seperti patung.
"Hai, orang tua! Keluarlah dari perahumu dan kesinilah, aku mau bicara denganmu!" kata Linggajaya, suaranya terdengar memerintah.
Laki-laki setengah tua itu menoleh dan tersenyum. Diam-diam Linggajaya terkejut melihat sepasang mata yang sekilas mencorong seperti mata harimau di tempat gelap, akan tetapi segera berubah lembut.
"Ada keperluan apakah dengan aku orang muda?"
"Sudahlah, jangan banyak bertanya. Keluarlah dari perahumu dan naiklah ke sini. Jangan banyak membantah atau engkau kulemparkan ke air!"
Orang itu bangkit berdiri dan melangkah keluar dari perahunya, melangkah ke darat lalu mendaki, meninggalkan perahunya yang diikat pada batu di tepi sungai. Linggajaya memandang kepada kakek yang kelihatan ringkih (lemah) itu, lalu tersenyum.
"Nah, engkau tunggu saja di sini, aku mau memakai perahumu menyeberang."
Dia lalu melompat ke dalam perahu, melepaskan ikatannya dan mendayung perahu ke tengah tanpa menoleh lagi kepada kakek pemilik perahu yang ditinggalkannya itu. Karena arus air yang memenuhi Kali Watu itu agak kuat, Linggajaya mengerahkan tenaganya untuk mendayung. Akhirnya dia tiba di seberang dan tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya.
"Tinggalkan saja perahu itu, biar aku yang akan mengikatnya pada batang pohon itu."
Linggajaya terkejut dan dia menoleh ke belakang. Matanya terbelalak lebar ketika dia melihat kakek pemilik perahu tadi berjalan mengikuti perahunya. Berjalan di atas air! Saking heran dan kagetnya, dia melompat dari perahu itu ke darat. Dia melihat betapa dengan tenang kakek itu menarik tali perahu dan mengikatkan perahunya kepada akar sebatang pohon yang tumbuh di tepi sungai, lalu kakek itu melangkah ke darat.
Kini Linggajaya maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti mandraguna. Gurunya, Sang Resi Bajrasakti, pernah bercerita kepadanya bahwa di nusantara itu terdapat beberapa orang yang demikian saktinya sehingga dapat berjalan di atas air. Sekarang dia melihat dengan mata sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjatuhkan diri menyembah di depan kaki orang itu.
"Heh-heh, apa yang kau lakukan ini orang muda?"
"Paman yang mulia, saya Linggajaya mohon sudilah kiranya Paman menerima saya sebagai murid Paman."
"Hemm, Linggajaya, apa yang ingin kau pelajari dari orang seperti aku ini?"
"Paman, saya ingin mempelajari aji-aji kesaktian dari Paman."
"Aji kesaktian? Untuk apa? Kulihat engkau seorang pemuda yang sakti mandraguna. Untuk apa engkau ingin menambah kesaktianmu?"
"Untuk melawan mereka yang pernah mengalahkan saya, Paman, Untuk dapat memenuhi cita-cita saya dan untuk mencapai semua cita-cita itu, saya harus memiliki aji kesaktian yang tidak dapat dikalahkan siapapun juga."
"Ha-ha-ha-ha!"
Kakek itu tertawa geli. "Betapa pun saktinya seorang manusia, dalam dunia ini kesaktian itu tiada lain hanya seperti permainan kanak-kanak, Linggajaya. Tidak ada manusia paling sakti di dunia ini. Betapa pun saktinya manusia tidak mampu menentang datangnya usia tua dan penyakit yang datang dan membuat dia lemah, juga tidak berdaya terhadap datangnya Sang Yama-dipati (Dewa Maut) yang mengambil nyawanya. Linggajaya, untuk mengalahkan semua musuh di dunia ini, caranya hanya satu."
"Apakah caranya itu, Paman?"
"Mari kita duduk di sana agar lebih santai kita bicara." Kakek itu mengajak Linggajaya duduk di atas rumput tebal. Kemudian dia melanjutkan. "Cara untuk mengalahkan semua musuhmu hanya satu, yaitu engkau harus lebih dulu dapat mengalahkan dirimu sendiri."
"Diri saya sendiri?"
"Ya, dirimu yang palsu, yang mengaku-aku sebagai jati dirimu, yaitu hati akal pikiran berikut seluruh anggauta tubuhmu yang telah dikuasai nafsu-nafsu setan. Jasmanimu yang selalu haus akan kenikmatan, lapar akan kesenangan yang menimbulkan dendam, kemarahan, kebencian, iri hati, angkara murka. Nah, jasmanimu yang kotor berasal dari debu itulah yang harus kau kalahkan lebih dulu. Dengan demikian, rohanimu yang tumbuh, bersatu dengan Kekuasaan Sang Hyang Widhi sehingga segala tindakanmu akan terbimbing oleh-Nya dan segala tindakan, ucapanmu, pikiranmu hanya menjadi alat yang dipilih oleh-Nya untuk menyalurkan berkat kepada sesama hidupmu di dunia ini."
"Wah, saya tidak mengerti, Paman. Saya ini seorang manusia hidup, untuk apa kalau tidak mengejar kebahagiaan hidup? Dan kebahagiaan hidup hanya dapat diperoleh kalau kita mempunyai kedudukan tinggi, memiliki kekuasaan, memiliki harta benda berlimpah, dan untuk mendapatkan itu, saya harus memiliki aji kesaktian yang tidak terkalahkan untuk memusnahkan semua musuh dan saingan saya!"
Kakek itu menghela napas panjang. "Jagad Dewa Bathara! Gusti, segala Kehendak dan Rencana Paduka pasti terjadi, hamba tidak kuasa mengubahnya." Ucapan ini dia keluarkan lirih seperti bicara kepada diri sendiri. Kemudian dia memandang kepada Linggajaya.
"Linggajaya, ceritakan dulu siapa dirimu dan apa kedudukanmu."
Karena dia menemukan kakek ini di daerah Kadipaten Wengker, bahkan tempat itu pun sudah dekat dengan ibu kota Wengker, tanpa ragu lagi Linggajaya lalu membuat pengakuan. "Ketahuilah, Paman. Saya adalah senopati muda Linggajaya Kerajaan Wengker, murid Sang Resi Bajrasakti yang menjadi penasehat Sang Adipati Wengker. Baru-baru ini saya mengalami kegagalan di Kahuripan dan saya ingin membalas kekalahan itu. Akan saya hancurkan dan tundukkan Kerajaan Kahuripan, akan saya binasakan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, musuh-musuh besar saya. Untuk itu saya harus memiliki aji kesaktian yang lebih tinggi daripada mereka. Maka, demi kejayaan Kerajaan Wengker, bantulah saya, Paman. Terimalah saya menjadi murid Paman untuk mempelajari semua aji kesaktian yang Paman kuasai!"
"Jagad Dewa Bathara...! Andika telah keliru memahami hidup ini, Angger. Keliru, sungguh keliru kalau engkau berpendapat bahwa kedudukan, kekuasaan dan harta benda menjadi sarana manusia merasakan kebahagiaan hidup. Sarana kesenangan, mungkin. Akan tetapi apakah artinya kesenangan? Kesenangan itu tipis dan rapuh sekali, orang muda. Saat kepala atau sakit gigi saja sudah dapat mengusir semua kesenangan!
Jenguklah orang-orang yang berkuasa dan orang-orang yang kaya raya. Betapa mereka itu selalu dikejar rasa gelisah dan takut kehilangan kekuasaan, kedudukan atau harta benda. Makanan mewah hanya terasa lezat dalam bayangan seorang yang tidak mampu mengadakannya. Rumah dan istana mewah megah hanya terasa indah dan nyaman dalam bayangan seorang yang rumahnya kecil dan sederhana. Tengok keadaan mereka yang berkedudukan tinggi dan yang kaya-raya, dan lihatlah kenyataannya!
Mereka yang setiap hari mendapat hidangan yang serba mahal dan mewah, sama sekali tidak merasakan kenikmatan hidangan itu, bahkan merasa bosan dan merindukan hidangan sederhana yang biasa dimakan para petani sederhana! Mereka yang tinggal dalam istana megah tidak lagi merasakan keindahannya, tidak merasakan kenyamanannya karena mereka merasa jenuh, mungkin mereka merindukan lapangan terbuka dimana mereka dapat bermandikan cahaya matahari, menghirup udara pegunungan segar dan berteduh di bawah pohon yang rindang!
Kenikmatan hanya dapat dirasakan orang yang hatinya tenteram dan damai, Angger. Dan rasa tenteram dan damai itu hanya dapat dirasakan orang yang setiap saat berserah diri terhadap Kekuasaan Hyang Widhi. Penyerahan diri ini akan mendatangkan bimbingan kepada kita sehingga apa pun yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan pasti didasari Kasih yang datangnya dari Hyang Widhi Wasa dan kalau semua gerakan hati akal pikiran dan tubuh ini didasari Kasih atas bimbingan-Nya, sudah pasti benar dan baik. Kalau sudah begitu, ketenteraman dan kedamaian itu ada, sehingga Kebahagiaan selalu berada bersama kita."
"Wah, Paman. Saya ingin berguru kepada Paman mempelajari aji-aji kesaktian, bukan untuk mendengarkan wejangan-wejangan yang memusingkan itu." kata Linggajaya sambil mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar penasaran dan hilang kesabarannya.
"Hemm, jawablah dulu, Senopati Linggawijaya! Seorang murid sudah semestinya menaati semua perintah gurunya. Nah, kalau Andika ingin menjadi muridku, siapkah Andika untuk menaati perintahku?"
Setelah diam meragu sesaat, Linggajaya yang ingin sekali memperoleh aji kesaktian dari kakek ini, menjawab.
"Tentu saja, saya siap dan bersedia menaati perintah Bapa Guru." Dia langsung saja menyebut bapa guru.
"Bagus, kalau begitu perintahku yang pertama adalah begini. Mulai saat ini, berhentilah menjadi Senopati Kerajaan Wengker dan jangan lagi memusuhi Sang Prabu Erlangga."
Mendengar ini, Linggajaya bangkit berdiri. Mukanya merah, alisnya berkerut dan pandang matanya berkilat penuh kemarahan.
"Apa? Kiranya engkau adalah seorang pembela Kahuripan?" teriaknya penasaran.
"Aku tidak mencampuri permusuhan antara kerajaan. Aku hanya membela siapa saja yang benar, membela keadilan dan kebenaran dan menentang yang jahat."
"Keparat, kiranya engkau pun seorang pengkhianat, kawula Wengker akan tetapi membela Kahuripan!" Dengan marah sekali Linggajaya lalu melompat ke depan dan mengerahkan seluruh tenaganya, menghantam ke arah kepala kakek itu dengan Aji Gelap Sewu!
"Wuuuttt.... wirrr....!!!"
Tubuh Linggajaya terpental ke belakang seolah diterbangkan angin taufan! Tadi dia memukul, akan tetapi pukulannya seolah mengenai perisai lunak yang tidak kelihatan, yang membuat tenaga pukulannya membalik dan tubuhnya terlempar ke belakang lalu terbanting jatuh! Linggajaya terbelalak, merasa dadanya agak sesak. Dia cepat bangkit berdiri, memandang ke arah kakek itu yang masih duduk bersila di atas rumput dengan sikap tenang dan mulut tersenyum sabar.
Linggajaya bukan bodoh. Dia maklum bahwa orang itu memiliki kesaktian luar biasa dan dia mengerti pula bahwa kalau dia menyerang lagi dengan menggunakan senjata, tentu akibatnya akan semakin parah baginya.
"Orang tua, aku yang muda sekarang mengaku kalah. Akan tetapi katakan siapa namamu agar lain kali aku dapat mencarimu untuk menebus kekalahan ini!"
Kakek setengah tua itu masih tersenyum. "Senopati Linggajaya, aku adalah Bhagawan Ekadenta. Aku menasihati engkau agar tidak memusuhi Sang Prabu Erlangga karena kalau engkau lanjutkan akibatnya akan buruk bagi dirimu sendiri. Keangkara-murkaan hanya tampak unggul pada permulaannya saja, akan tetapi pada akhirnya akan hancur. Camkanlah kata-kataku ini."
Akan tetapi Linggajaya tidak mau mendengarkan lagi. Dia sudah melompat jauh dan melarikan diri menuju ibu kota Wengker. Dia tidak akan melupakan nama Bhagawan Ekadenta. Biarpun orang sakti mandraguna itu tidak mengaku sebagai pendukung atau pembela Kahuripan, namun jelas dia tidak akan berpihak kepada Wengker kalau terjadi perang antara kedua kerajaan itu. Berarti, Bhagawan Ekadenta termasuk jajaran orang-orang yang tidak disuka dan harus dimusuhinya.
********************