Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 04
Pemuda itu berjalan dengan santai mendaki Gunung Arjuna. Usianya sekitar dua puluh dua tahun. Wajahnya sederhana namun ada sesuatu yang menarik hati dan menimbulkan rasa suka pada orang yang memandangnya. Mungkin sinar mata yang lembut dan senyumnya yang ramah penuh kesabaran itulah yang membuat orang tertarik. Tidak tampan seperti Arjuna, akan tetapi juga tidak buruk. Kulitnya agak gelap akan tetapi bersih. Tubuhnya sedang namun tegap dan jalannya tegak, lenggangnya seperti seekor harimau.
Pemuda ini adalah Nurseta. Dia mendaki gunung itu karena tertarik akan keindahannya dan ingin sekali menikmati keindahan alam pegunungan itu. Dia berjalan perlahan sambil mengenang semua pengalaman hidupnya yang penuh liku-liku.
Ketika kecil dia tinggal di dusun Karang Tirta bersama Ayah Ibunya. Akan tetapi, ketika dia berusia sepuluh tahun, tiba-tiba saja Ayah dan Ibunya pergi meninggalkan dia hidup seorang diri di dusun Karang Tirta. Dia hidup sebagai kacung dan pelayan pada Lurah dusun Karang Tirta itu, baru kemudian dia ketahui Ki Lurah itu jahat dan curang. Semua harta peninggalan orang tuanya diambil lurah itu.
Ketika dia berusia sekitar enam belas tahun, dia diambil murid oleh seorang pertapa yang amat sakti, yaitu Empu Dewamurti dan diajak ke lereng Gunung Arjuna yang kini dia daki. Selain ingin menikmati keindahan alam, dia pun mengunjungi bekas tempat dia tinggal menjadi murid Empu Dewamurti selama kurang lebih lima tahun.
Nurseta melanjutkan kenangannya. Setelah Empu Dewamurti wafat karena luka-luka setelah dikeroyok tiga orang datuk senopati Wura-wuri bernama Tri Kala (Tiga Kala) yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik dan Kala Teja, bersama Resi Bajrasakti datuk Kerajaan Wengker, dan Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dia memperabukan jenazah gurunya dan menyebarkan abunya di permukaan lereng Gunung Arjuna seperti yang dipesan gurunya sebelum wafat.
Akan tetapi gurunya itu wanti-wanti (dengan tegas) meninggalkan pesan kepadanya agar dia jangan membalas dendam kepada orang-orang dari kerajaan itu. Tentu saja dia boleh membela Kahuripan dan menentang tiga kerajaan itu kalau mereka mengganggu Kahuripan dan boleh menentang mereka, akan tetapi tidak berdasar balas dendam.
Setelah itu dia mengalami banyak suka duka dalam hidupnya, membela Kahuripan dan mengembalikan Keris Pusaka Megatantra, yang dia temukan di tegal Karang Tirta, kepada Sang Prabu Erlangga yang berhak karena keris itu adalah keris pusaka Mataram. Dia juga membela Kahuripan dari pengeroyokan kerajaan-kcrajaan kecil yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama sehingga semua pemberontak dan sekutunya dapat dipukul mundur.
Dia telah bertemu dengan Senopati Sindukerta di kota raja. Senopati ini adalah kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Endang Sawitri. Ternyata dahulu, Senopati Sindukerta tidak setuju kalau puterinya itu menjadi isteri Dharmaguna, seorang sastrawan putera seorang pendeta miskin. Akan tetapi karena sudah saling mencinta, Endang Sawitri dan Dharmaguna melarikan diri berdua.
Senopati Sindukerta menyuruh para perajurit mencari, namun tidak berhasil. Akhirnya suami isteri itu mempunyai seorang anak, yaitu dirinya. Mereka masih terus berpindah-pindah dalam pelarian mereka sampai akhirnya bersama Nurseta mereka tinggal di dusun Karang Tirta sampai dia berusia sepuluh tahun. Setelah dia menjadi dewasa dan menyelidiki, dia tahu bahwa orang tuanya pergi meninggalkan dia karena mereka dilaporkan oleh Ki Lurah Suramenggala yang jahat. Dia mendengar semua itu dari kakeknya, Senopati Sindukerta.
Kini dia melakukan perjalanan untuk mencari ayah ibunya yang melarikan diri. Berbulan-bulan dia merantau, namun belum juga dia dapat menemukan mereka. Pada pagi hari ini, ketika lewat di kaki Gunung Arjuna, dia melihat pemandangan yang indah lalu teringat kepada mendiang Empu Dewamurti.
Maka dia lalu mendaki gunung itu dengan santai sambil menikmati pemandangan alam yang dilewatinya. Tentu saja dia masih ingat akan jalan pendakian yang paling mudah karena dia sudah hafal. Selama lima tahun dia tinggal di lereng gunung itu dan seringkali naik turun melalui jalan pendakian itu.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara melengking nyaring. Suara itu demikian tajam dan kuatnya sehingga dia harus cepat mengerahkan tenaga saktinya karena suara itu menyerang pendengarannya dan langsung menyerang jantung! Dia terkejut bukan main karena maklum bahwa siapa pun orangnya yang mengeluarkan lengkingan yang membawa getaran sehebat itu, tentu seorang sakti mandraguna! Dia lalu berlompatan mendaki lereng Gunung Arjuna, ke arah suara melengking yang mengeluarkan gaung panjang seolah suara setan penunggu jurang menyambut lengkingan tadi.
Karena dia mempergunakan Aji Bayu Sakti, maka tubuhnya seolah melayang cepat sekali dan tak lama kemudian dia sudah mendekam di balik semak-semak memandang ke depan dengan jantung berdebar. Di depannya terbentang lapangan rumput yang landai dan di sana dia melihat dua orang saling berhadapan. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu berusia sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya tinggi kurus, wajahnya masih memperlihatkan bekas ketampanannya.
Jenggotnya panjang dan pakaiannya yang hanya kain putih dibelit-belitkan di tubuhnya itu menunjukkan bahwa dia seorang pertapa atau seorang pendeta. Gerak-geriknya lembut dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi pada saat itu, kedua matanya mengeluarkan sinar berkilat yang ditujukan kepada nenek yang berdiri di depannya dengan jarak kurang lebih lima tombak.
Nurseta kini memandang ke arah nenek itu. Nenek itu berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih tampak cantik, rambutnya panjang dan masih hitam, agak berombak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Mulut yang bibirnya masih merah itu tersenyum mengejek matanya mencorong liar. Pakaiannya serba hitam! Tiba-tiba nenek itu membuka mulut dan terdengarlah lengkingan yang tinggi dan dahsyat sekali. Nurseta yang bersembunyi sejauh sepuluh tombak itu merasa jantungnya terguncang biarpun dia sudah melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga saktinya.
Akan tetapi kakek berpakaian putih itu sama sekali tidak tampak terpengaruh walaupun lengkingan itu merupakan serangan hebat yang langsung diarahkan kepadanya. Dia malah tersenyum dan setelah suara melengking itu berhenti, tinggal gaungnya saja yang menggema di bawah sana, kakek itu berkata, suaranya lembut namun dapat terdengar jelas oleh Nurseta.
"Sudahlah, Gayatri, mengapa selama puluhan tahun engkau masih memelihara kebencian di dalam hatimu? Mengapa engkau membiarkan racun dendam itu merusak batinmu? Sadarlah bahwa kekuatan Setan bagaimanapun hebatnya tidak akan mampu menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi. Pertentangan antara yang benar dan yang salah akhirnya akan dimenangkan oleh yang benar karena Sang Hyang Widhi selalu membimbing mereka yang benar. Sadar dan bertaubatlah, Ga-yatri, dan aku yakin bahwa Yang Maha Kasih dan Maha Pengampun tentu akan mengampuni dan membimbingmu ke arah jalan yang benar."
"Ekadenta manusia sombong! Jangan mengira bahwa setelah aku kalah dahulu itu, aku tidak berani lagi menantangmu. Selama ini aku terus memperdalam ajianku dan sekali ini aku pasti akan dapat menebus semua kekalahanku yang sudah-sudah."
"Gayatri, semangatmu itu memang mengagumkan. Engkau tidak pernah menyerah dan putus asa. Alangkah baiknya kalau semua orang memiliki semangat seperti yang kau miliki. Hanya sayang sekali, Gayatri, semangatmu itu kau pergunakan untuk tekadmu untuk membalas dendam yang merupakan keangkara-murkaan!"
"Tidak perlu memberi wejangan padaku, Ekadenta! Sekarang dengar omonganku. Aku tidak akan melanggar janjiku yang dulu, yaitu aku pribadi tidak akan mengganggu Erlangga dan Narotama kalau aku kalah olehmu. Sebaliknya kalau engkau yang kalah, aku dapat melakukan apa saja sesuka hatiku!"
"Hemm, engkau tidak akan dapat menang, Gayatri, karena nafsu dendam kemarahanmu meracuni dirimu sendiri dan membuatmu lemah."
"Andaikata aku kalah juga, aku masih dapat melampiaskan dendamku kepada Erlangga dan Narotama, dua orang murid Resi Satyadharma itu! Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepada para pimpinan Kerajaan Wengker, aku akan membentuk pasukan siluman yang akan menghancurkan Kahuripan!"
"Engkau boleh mencobanya, Gayatri. Engkau tidak akan dapat mengubah apa yang telah digariskan Sang Hyang Widhi Wasa. Engkau akan menyesal kelak. Sadar dan bertaubatlah, Gayatri, aku dengan senang hati akan membimbingmu dan menemanimu."
"Tidak! Kecuali kalau engkau mau mengambil aku sebagai isterimu..."
"Gayatri, mengapa engkau masih menginginkan hal itu? Kita bukan orang muda lagi."
"Huh, engkau selalu saja menolak, karena itu sebelum dendamku kepada murid-murid Resi Satyadharma terlaksana, aku akan selalu hidup dalam penasaran."
"Sekali lagi, sadarlah, Gayatri. Yakinlah bahwa kasih sayangku kepadamu tidak pernah hilang."
"Kalau begitu mengapa engkau tidak mau menjadi suamiku?"
"Bukan, bukan itu, Gayatri. Cintaku kepadamu tidak dikotori nafsu."
"Huh, itulah yang diajarkan oleh Resi Satyadharma sehingga engkau menolak menikah denganku. Sudahlah, sambut ini, Ekadenta!"
Nenek itu mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke depan. Kedua tangannya dijulurkan ke arah kakek itu dan dari kedua telapak tangan nenek itu meluncur sinar yang membawa bola-bola api menyerang kakek itu.
Nurseta yang menonton sambil bersembunyi di balik semak belukar, terbelalak. Bukan main Serangan seperti itu hanya dapat dilakukan orang yang sudah memiliki tenaga sakti yang tinggi sekali! Dia melihat kakek itu masih berdiri tenang dan tersenyum. Setelah bola-bola api itu meluncur dekat, dia pun menjulurkan kedua tangannya dan dari telapak tangan kakek itu berkelebat sinar putih yang menyambar ke arah bola-bola api dalam sinar merah itu.
"Darrr....! Darrr....!"
Dua bola api itu meledak dan padam, sedangkan sinar merah itu terpental ke belakang dan kembali menghilang ke telapak tangan nenek itu. Sinar putih juga berkelebat pulang ke telapak tangan kakek itu. Nenek itu mengeluarkan teriakan melengking dan ia menggerak-gerakkan lagi kedua tangannya yang didorong ke arah kakek itu. Kini bukan bola-bola api yang keluar, melainkan asap hitam bergulung-gulung menyerbu ke arah kakek itu.
Nurseta cepat menutup hidungnya dengan tangan karena dia mencium bau yang amat keras, amis dan tajam menusuk hidung, bau yang keluar dari asap hitam itu sehingga dia tahu bahwa asap itu malah lebih berbahaya daripada bola-bola api yang membakar itu. Asap hitam ini mengandung racun yang ganas!
"Shanti-shanti-shanti! Segala macam ilmu sesat kau pelajari, Gayatri. Sungguh sayang!"
Kakek itu berkata lalu kembali kedua tangannya mendorong ke depan dan dari telapak tangannya kini menyambar asap putih. Terjadi "pertempuran" antara asap hitam dan asap putih. Dorong-mendorong sehingga sebentar asap putih terdorong akan tetapi segera asap hitam yang berbalik terdorong. Akhirnya, asap hitam terdorong terus sampai kembali ke telapak tangan nenek itu. Sebelum asap hitam yang mendorong itu menyentuh Si Nenek, kakek itu telah menyimpan kembali asap putih.
"Sudahlah, Gayatri, untuk apa semua ini kita lakukan? Hanya akan menjadi buah tertawaan anak-anak saja." Kata kakek itu membujuk dengan suara halus, sama sekali tidak marah atau mengejek. Bahkan suaranya mengandung penuh kasih sayang seperti seorang kakak terhadap adiknya.
"Aku belum kalah" Nenek itu membentak galak, matanya mencorong liar. la lalu bersedakap (melipat kedua lengan di depan dada) dan memejamkan kedua matanya, alisnya berkerut dan mukanya ditundukkan, mulutnya berkemak kemik membaca mantera.
Nurseta menonton dengan jantung berdebar-debar. Tanpa disangka-sangka, dia diam-diam telah menjadi saksi pertandingan adu kesaktian dari dua orang yang benar-benar sakti mandraguna. Kini dia melihat ada uap hitam perlahan-lahan mengepul keluar dari kepala nenek itu. Uap itu menjadi semakin tebal dan menjadi sebuah bentuk, makin lama semakin jelas dan uap itu kini menjadi seekor harimau yang besar. Harimau jadi-jadian itu mengaum dan menubruk ke arah kakek itu.
Kakek yang bernama Bhagawan Ekadenta itu juga melipat kedua lengannya ke depan dada, memejamkan kedua matanya dan dari kepalanya keluar uap putih yang tidak membentuk apa-apa hanya menjadi seperti segumpal awan menyambut tubrukan harimau hitam itu. Binatang jadi-jadian itu menggereng seperti kesakitan, masih mencoba untuk menggigit, mencakar dan menubruk, namun sia-sia karena selalu terpental ke belakang. Akhirnya harimau hitam itu kembali menjadi asap.
Kini nenek yang bernama Gayatri, yang sesungguhnya setelah tua kini disebut Nini Bumigarbo, membaca mantram dengan suara agak keras dan uap hitam itu kini membentuk seekor naga yang hitam dan amat menyeramkan bagi Nurseta yang menontonnya. Naga hitam itu sepasang matanya seperti sinar menyilaukan, moncongnya terbuka dan menyemburkan api bernyala-nyala!
"Om, shanti-shanti-shanti! Nirboyo sedyo rahayu! Kembalilah ke asalmu'" Bhagawan Ekadenta berkata lirih dan uap putih itu menyambar ke depan.
Terjadi pertempuran yang lebih dahsyat dari tadi. Agaknya ilmu sihir menjadikan naga ini lebih kuat daripada harimau tadi. Nenek Bumigarbo dapat bertahan lebih lama sehingga sempat Bhagawan Ekadenta berkeringat pada dahinya. Akan tetapi ketika dia meniup dengan mulutnya ke arah naga jadi-jadian ini, seolah uap seperti mega putih itu menjadi lebih kuat dan naga jadi-jadian itu pun terpukul dan lenyap. Nenek Bumigarbo terengah-engah dan tampak marah sekali sehingga wajah yang tadinya masih tampak cantik itu kini menjadi menyeramkan. Matanya berkilat, cuping hidungnya kembang kempis, mulutnya agak terbuka dan menyeringai.
"Gayatri, mari kita sudahi saja main-main yang tidak ada gunanya ini." kata Bhagawan Ekadenta.
Akan tetapi nenek itu agaknya semakin penasaran. Ia mengeluarkan teriakan melengking-lengking dan disusul pembacaan mantram dan begitu ada asap hitam mengepul, nenek yang cantik itu berubah menjadi seorang raksasa wanita yang amat mengerikan. Ia telah berubah menjadi Leak!
Matanya merah mencorong dan melotot, giginya bertaring dan taringnya menonjol keluar, lidahnya terjulur keluar dari mulutnya, panjang dan merah, menetes-neteskan air liur, payudaranya panjang bergantungan, kedua tangan dan kedua kakinya berkuku panjang. Sungguh, baru melihatnya saja orang biasa dapat jatuh pingsan saking takut dan ngerinya.
Nurseta yang mengintai, terbelalak dan dia bergidik ketika mencium bau dupa yang wanginya memuakkan, seperti bunga-bunga yang mulai membusuk. Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan gemuruh, Leak itu menerjang Bhagawan Ekadema! Amat cepat dan ganas gerakannya ketika menyerang. Akan tetapi Sang Bhagawan tetap tenang dan dengan gerakan halus dia dapat menghindarkan diri dari setiap serangan.
"Gayatri, sudahlah, aku sungguh tidak ingin menyakitimu!" beberapa kali Bhagawan Ekadenta berseru dengan suara memohon. Namun, Leak itu menyerang semakin ganas.
Nurseta menonton dengan hati tegang dan hampir tak pernah berkedip saking kagumnya. Belum pernah dia menyaksikan pertandingan aji kesaktian sehebat ini. Dia sendiri tidak takut andaikata menghadapi nenek itu, akan tetapi dia ragu apakah dia akan mampu menandinginya. Nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan berbahaya sekali. Akan tetapi kakek itu lebih hebat lagi, dan dia merasa amat kagum sungguhpun tidak merasa heran karena kini dia mengetahui bahwa kakek dan nenek ini agaknya masih ada hubungan persaudaraan seperguruan, maka tentu saja memiliki aji kesaktian yang luar biasa.
Kini dua orang tua itu bertanding dengan seru. Gerakan mereka makin lama semakin cepat sehingga yang tampak kini hanya bayangan hitam dan putih yang saling sambar.
"Maafkan aku, Gayatri!" terdengar suara kakek itu.
"Auhh...!" Nenek itu menjerit dan terhuyung ke belakang.
Agaknya ia terkena tamparan tangan kakek itu. Akan tetapi kabut hitam menyelubungi tubuhnya dan ketika kabut itu lenyap, nenek itu pun sudah tidak ada lagi. Bhagawan Ekadenta berhenti bergerak, menghela napas panjang tiga kali lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah semak belukar dan berkata lembut namun dengan nada memerintah. "Keluarlah Andika dari balik semak!"
Nurseta tidak terkejut. Orang yang demikian sakti mandraguna, tidaklah mengherankan kalau dapat mengetahui bahwa ada orang bersembunyi di balik semak-semak. Maka dia pun cepat keluar dari balik semak-semak, menghampiri kakek itu dan langsung dia berjongkok dan menyembah depan kaki Bhagawan Ekadenta.
"Mohon seribu ampun, Eyang, bahwa saya telah lancang berani sembunyi dan mengintai dari balik semak-semak karena untuk keluar memperlihatkan diri saya tidak berani."
"Orang muda, Andika siapakah?"
"Nama saya Nurseta, Eyang."
Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya yang panjang. Teringat dia akan pertemuannya dengan Sang Empu Bharada, sahabat baiknya dan sama-sama tokoh yang setia kepada Kahuripan. Empu Bharada menceritakan tentang penglihatannya bahwa ada bahaya mengancam Kahuripan, dan sambil lalu Empu Bharada bercerita tentang seorang pemuda bernama Nurseta murid mendiang Empu Dewamurti yang menjadi sahabat baik Empu Bharada, yang dalam penglihatannya merupakan cahaya putih (Nur Seta) yang ikut mengusir kegelapan yang menyelubungi Kahuripan.
Juga bahwa Nurseta telah berjasa ketika Kahuripan dilanda kemelut dengan adanya pemberontakan yang dilakukan Pangeran Hendratama dibantu oleh persekutuan para kerajaan kecil. Bahkan lebih dari itu, Nurseta yang telah menemukan dan mengembalikan Sang Megatantra, keris pusaka yang telah puluhan tahun hilang dari kerajaan Mataram. Dan kini, tanpa di sengaja, pemuda itu telah duduk bersimpuh dan menyembahnya.
"Kulihat engkau telah memiliki kekuatan sehingga tidak terpengaruh kekuatar sihir yang amat ganas yang dipergunakan Nini Bumigarbo tadi. Siapakah gurumu, Nurseta?" Bhagawan Ekadenta bertanya untuk memperoleh keterangan dari pemuda itu sendiri sungguhpun dia sudah mendapat keterangan dari Empu Bharada.
"Saya pernah mendapat bimbingan dari mendiang Eyang Guru Empu Dewamurti, Eyang."
"Mendiang Kakang Empu Dewamurti adalah Kakak seperguruanku, Nurseta. Aku mendengar bahwa beliau wafat setelah terluka oleh pengeroyokan lima orang datuk sesat dari kerajaan-kerajaan Siluman Laut Kidul, Wengker dan Wurawuri. Bagaimana hal itu dapat terjadi dan apakah engkau tidak membela gurumu?"
"Ampun, Eyang. Ketika pengeroyokan tu terjadi, saya sedang tidak berada di pondok sehingga saya tidak sempat membela Eyang Guru."
"Hemm, dan engkau sama sekali tidak mencari mereka yang membunuh gurumu untuk membalas dendam?" Bhagawan ekadenta menguji.
"Tidak, Eyang. Mendiang Eyang Guru sudah menanamkan kesadaran kepada saya bahwa dendam kebencian merupakan racun bagi batin sendiri. Kalau saya mencari mereka dan membunuh mereka untuk membalas dendam, berarti saya telah mengingkari janji saya kepada Eyang Guru untuk menaati pesan terakhirnya."
Wajah Bhagawan Ekadenta berseri. "Sadhu-sadhu-sadhu, beruntung sekali Kakang Empu Dewamurti mempunyai engkau sebagai muridnya! Dan lebih beruntung lagi Kerajaan Kahuripan mempunyai seorang kawula seperti engkau, Nurseta. Engkau memiliki jiwa satria."
"Harap Eyang ketahui bahwa saya ini hanyalah seorang dusun dari desa Karang Tirta yang bodoh." kata Nurseta dengan rendah hati secara tulus, bukan berpura-pura. Melihat kakek ini tadi bertanding melawan Nini Bumigarbo, dia benar-benar merasa seperti seorang anak kecil yang lemah dan semua aji kanuragan yang di kuasai hanya sebagai mainan anak-anak belaka.
"Tidak Nurseta. Engkau adalah seorang satria dan mendiang Kakang Empu Dewamurti telah memberi bimbingan yang baik sekali kepadamu. Mungkin hanya kurang polesan saja."
"Saya mohon petunjuk Eyang."
"Baik, engkau memang berhak menerimanya. Mari kuberi polesan selama tiga bulan kepadamu, Nurseta."
Bukan main girangnya hati Nurseta. Dia lalu membangun sebuah pondok sederhana di mana dulu pondok gurunya berada. Semenjak hari itu, selama tiga bulan lamanya Bhagawan Ekadenta memberi petunjuk oleh memoles dan mematangkan semua aji kesaktian yang telah dikuasai Nurseta. Bukan itu saja, akan tetapi dia juga mendengar tentang Nini Bumigarbo yang amat sakti itu akan memperkuat Kerajaan Wengker agar kerajaan itu dapat menjatuhkan Kahuripan. Bahkan nenek itu telah mengambil Dewi Mayangsari, permaisuri Wengker, menjadi muridnya.
"Karena itu, kalau engkau membela Kahuripan, waspada dan berhati-hatilah terhadap Kerajaan Wengker karena mungkin kerajaan itulah yang akan merupakan musuh yang paling berbahaya bagi Kahuripan di samping tentu saja Kerajaan Parang Siluman karena di sana terdapat banyak orang sakti, terutama Lasmini dan Mandarl bekas selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, dan Ki Nagakumala!
Setelah menerima gemblengan selami tiga bulan, kesaktian Nurseta meningkat dengan pesat. Pada malam terakhir, ketika Nurseta masih tidur, dia mendengar suara lapat-lapat namun jelas.
"Nurseta, kita berpisah. Aku melanjutkan perjalananku."
Itu adalah suara Bhagawan Ekadenta. Nurseta cepat melompat bangun, akan tetapi kakek itu sudah tidak berada dalam pondok itu lagi. Dia tahu bahwa percuma saja mencoba untuk mengejar atau mencari karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya masih jauh selisihnya dibanding tingkat Sang Bhagawan itu.
Gadis itu melangkah santai memasuki gapura kota raja Kahuripan yang sudah dikenalnya dengan baik. Masih terbayang dalam ingatannya, seolah baru kemarin dulu terjadi, ketika ia diselundupkan ke istana Sang Prabu Erlangga dan diterima oleh Puteri Mandari, ketika itu masih menjadi selir Sang Prabu Erlangga. Sebagai wakil Kerajaan Wura-wuri ia menyamar sebagai pelayan pribadi Puteri Mandari, namun akhirnya ia sadar dan membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak.
Puspa Dewi menghela napas panjang. Ia teringat kepada ibunya dan kembali menghela napas. Kasihan ibunya, hidup menderita sejak berpisah dari ayahnya. Setelah berpisah dari Sang Maha Resi Satyadarma yang telah menggemblengnya selama tiga bulan, ia langsung saja pergi ke kota raja untuk melanjutkan keinginannya yang ia tunda selama tiga bulan. Keinginan itu adalah menemui ayah kandungnya dan menegurnya karena telah menyia-nyiakan ibunya.
Akan tetapi hati Puspa Dewi sudah berubah sama sekali semenjak ia digembleng Sang Maha Resi Satyadharma. Kalau dulu ia merasa penasaran dan ingin memberi teguran kepada ayahnya, kini kemarahannya sudah tidak berbekas lagi. Ia hanya ingin bertemu dan melihat ayahnya, juga ia ingin menceritakan kepada ayahnya tentang penderitaan ibunya selama ini. Biarpun masih ada sisa ketegasan dalam sikap Puspa Dewi, jujur dan terbuka, namun sifatnya yang liar kini sudah berubah, la lembut dan suka tersenyum ramah, juga pandai dan kuat menahan gejolak perasaannya.
Setelah bertanya-tanya, dengan mudah Puspa Dewi mendapat keterangan di mana gedung tempat tinggal Tumenggung Jayatanu, senopati Kahuripan. Juga ia mendapat keterangan bahwa Prasetyo kini telah menjadi seorang senopati pula, akan tetapi tetap tinggal di rumah mertuanya, yaitu Tumenggung Jayatanu. Prasetyo telah memperoleh kedudukan dan kini menjadi Senopati Yudajaya.
Setelah mengetahui di mana tempat tinggal ayah kandungnya, yaitu Prasetyo yang kini bernama Senopati Yudajaya, ia segera mencari rumah itu. Tak lama kemudian ia sudah berdiri di tepi jalan, tepat di depan sebuah gedung besar yang bagian depannya memiliki pekarangan luas dan di belakang pintu gapura terdapat sebuah gardu di mana terdapat beberapa orang perajurit melakukan penjagaan.
Sampai lama Puspa Dewi berdiri di situ. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi juga merasa betapa janggalnya keadaan itu. Ayah kandungnya hidup di gedung yang besar dan megah ini sebagai seorang senopati yang memiliki kekuasaan, harta, dan kemuliaan. Rumah tempat tinggalnya saja dijaga selusin orang perajurit. Akan tetapi ibunya? Terlunta-lunta, miskin dan papa. Ibunya rela hidup sengsara, berkorban demi cintanya kepada pria yang namanya Prasetyo, yang kini menjadi Senopati Yudajaya. Panas juga rasa hatinya mengingat akan keadaan ibunya, akan tetapi sekali menarik napas panjang saja ia sudah menenangkan hatinya kembali.
Matahari pagi telah naik cukup tinggi sehingga sinarnya menerangi pekarangan yang terhias hamparan rumput hijau sehingga tertimpa cahaya matahari tampak hijau indah dan menyegarkan pandang mata. Selusin orang perajurit penjaga itu agaknya juga terpengaruh kecerahan pagi yang mendatangkan kegembiraan dalan hati mereka sehingga mereka duduk bergerombol dan bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, agaknya mereka bersenda-gurau di antara mereka.
Puda saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda berbulu putih yang besar dan bagus sekali muncul dari belakang, melalui sisi sebelah kiri gedung. Para perajurit penjaga memandang dan mereka menghentikan percakapan, memandang kagum. Juga Puspa Dewi memandang dengan kagum. Bukan hanya kagum kepada kuda yang indah itu akan tetapi lebih kagum lagi melihat orang yang menunggang kuda itu.
Penunggang kuda putih itu seorang gadis yang usianya sekitar delapan belas tahun. Rambutnya hitam panjang sampai ke pinggul, agak berombak dan ketika diterpa angin, berkibar dan sebagian rambutnya menyapu dan menutupi sebelah mukanya yang berkulit putih. Wajah itu cantik jelita dan anggun, terutama sepasang matanya yang seperti bintang dan bibirnya yang merah membasah. Tubuhnya sintal padat dengan pinggang ramping.
Kedua kaki yang telanjang dari betis ke bawah itu putih dan halus mulus, tampak kekuningan ketika menempel ketat di kanan kiri perut kuda berbulu putih itu. Pakaian..gadis Itu jelas menunjukkan bahwa ia seorang gadis bangsawan. Akan tetapi cara ia menunggang kuda, memegang kendali dengan sebelah tangan kiri dan tangan kanannya menepuk-nepuk punggung kuda sambil bicara dengan suara nyaring.
"Hirr... bagus, Nagadenta, hayo loncat.....!"
Kedua kakinya menendang-nendang perut kuda di kanan kiri dan kuda putih besar yang terlatih itu lalu berlari congklang setengah berlompatan di atas lapangan rumput di pekarangan luas itu. Kuda itu dilarikan congklahg mengitari pekarangan. Tubuh yang indah itu duduknya tegak, bergerak lentur mengikuti gerakan kuda, menandakan bahwa gadis itu memang mahir menunggang kuda. Tampak serasi sekali antara gadis dan kuda itu sehingga tampak indah sekali. Puspa Dewi sendiri kagum melihatnya.
"Heii, Nimas, mau apa Andika sejak tadi berdiri di situ? Harap segera tinggalkan tempat ini karena sikap Andika dapat menimbulkan kecurigaan." kepala pasukan jaga yang usianya sekitar empat puluh tahun menegur dengan suara halus namun tegas.
Puspa Dewi yang tadinya tertarik dan menonton gadis penunggang kuda itu melarikan kudanya memutari pekarangan, kini menghadapi kepala jaga itu. Ia melihat betapa semua perajurit jaga kini memandang dan memperhatikannya.
"Maaf, Paman." kata Puspa Dewi halus dan orang yang setahun lalu mengenalnya akan terheran menyaksikan sikapnya dan mendengar suaranya yang lembut ramah, tidak seperti biasanya lincah dan galak. "Saya hendak mencari seorang laki-laki bernama Prasetyo."
"Prasetyo....?" Kepala jaga itu mengerutkan alisnya, memejamkan matanya, mengingat-ingat. Lalu dia membuka matanya kembali, memandang kepada Puspa Dewi dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal orang yang bernama Prasetyo. Hei, kawan-kawan, apakah kalian mengenal seorang bernama Prasetyo?" Sebelas orang perajurif itu berbisik-bisik lalu menggelengkan kepala mereka.
"Tidak ada yang mengenal siapa Prasetyo itu, Kakang Jiman!" kata seseorang kepada kepala jaga.
"Sayang sekali, Ninmas. Kami tidak mengenal orang yang bernama Prasetyo itu. Di mana rumahnya?"
Puspa Dewi menuding ke arah rumah gedung itu. "Rumahnya di sini."
Para perajurit itu saling pandang dan ada yang tertawa geli, bahkan ada yang mulai memandang Puspa Dewi dengan alis berkerut, mengira bahwa gadis itu tentu tidak waras! Si kepala jaga bernama Jiman itu pun mengerutkan alis dan memandang wajah Puspa Dewi dengan aneh karena menduga gadis cantik itu agak miring ingatannya.
"Engkau keliru, Nimas atau mungkin engkau sedang bingung! Semua orang di kota raja ini tahu belaka bahwa gedung ini adalah milik Gusti Tumenggung Jayatanu, senopati tua Kerajaan Kahuripan!"
"Ya-ya... Tumenggung Jayatanu. Aku mencari Prasetyo, mantu Sang Tumenggung itu!"
Kepala jaga itu semakin yakin bahwa gadis cantik di depannya ini memang agak miring alias tidak waras ingatannya. Dia memandang dengan pandang mata mengandung iba. Sayang, pikirnya, gadis yang begini cantik jelita ternyata setengah gila?
"Sadarlah, Nimas. Engkau salah masuk dan salah sangka. Mantu Gusti Tumenggung Jayatanu bernama Senopati Yudajaya!"
Puspa Dewi tertegun. Kelirukah dia? Ah, tidak mungkin. "Paman, tentu ada mantunya yang bernama Prasetyo."
"Tidak ada! Mantunya hanya seorang saja karena puterinya memang hanya seorang dan nama mantunya adalah Senopati Yudajaya. Ah, pergilah, Nimas, engkau menjadi tontonan orang nanti. Pulanglah ke rumahmu." Kepala jaga itu membujuk.
"Kalau begitu, aku ingin, bertemu dengan Senopati Yudajaya itu, Paman. Hadapkan aku padanya!"
Ki Jiman mengaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia menjadi serba salah menghadapi gadis yang agaknya gendeng (idiot) ini! Kalau dia melapor kepada Senopati Yudajaya dan mempertemukan Sang Senopati itu dengan seorang gadis gila, tentu dia akan mendapat marah besar dan juga mendapat malu. Akan tetapi kalau tidak, gadis ini agaknya nekat dan bagaimana kalau gadis gila ini mengamuk?”
"Wah, tidak begitu mudah, Nimas," dia membujuk. "Tidak mudah menghadap dan bertemu dengan Senopati Yudajaya. kami tidak berani mengganggunya karena kami tentu akan mendapat marah!" Dia lalu membujuk lagi. "Karena itu pulanglah saja, Nimas. Orang tuamu tentu sedang mencarimu."
Kesabaran Puspa Dewi menipis, la sudah mencoba untuk membujuk dan mendesak. Namun kepala jaga ini agaknya kukuh tidak mau mempertemukannya dengan Senopati Yudajaya, bahkan melihat sikap nya seolah meragukan kewarasan otaknyal
"Sudahlah, kalau kalian tidak dapat menolongku, biar aku mencari dan menghadap sendiri!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi lalu melangkah masuk dan ingin pergi menyeberangi pekarangan menuju ke rumah besar itu.
"Hee! Perlahan dulu!" Kepala jaga itu berseru dan dua belas orang perajurit itu lalu menghadang dan melintangkan tombak mereka untuk mencegah Puspa Dewi melangkah maju.
"Andika tidak boleh masuk!" kata kepala jaga. Kini agak marah karena jengkel harus melayani gadis yang jelas agak gila ini.
"Hemm, kalian tidak mau melaporkan ke dalam, tidak mau menolongku dan ketika aku hendak mencari dan menghadap sendiri, kalian menghalangi aku! Minggirlah kalian!"
"Nimas, lebih baik engkau keluar dan pulanglah, jangan membikin kekacauan di sini. Kami tidak ingin bersikap kasar kepada seorang wanita. Keluarlah!" Kepala jaga itu bersama teman-temannya, menggunakan tombak yang dillntangkan untuk memaksa dan mendorong Puspa Dewi keluar dari dalam pintu gapura itu.
Melihat betapa selusin orang itu berkeras hendak mendorongnya keluar, Puspa Dewi lalu mendorongkan kedua tangannya yang menangkap tombak Ki Jirnan yang didorongkan kepadanya.
"Wuuuttt...!" Bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin, dua belas orang perajurit itu terlempar ke belakang dan berpelantingan. Tentu saja mereka terkejut bukan main. Terdengar derap kaki kuda dan kuda putih itu sudah tiba di situ. Agaknya tadi ketika mengitari pekarangan, gadis penunggang kuda itu melihat peristiwa ini dan ia cepat melarikan kuda menghampiri.
"Apa yang terjadi di sini, Paman Jiman?"
Sambil merangkak bangun seperti juga teman-temannya yang tidak terluka, hanya terkejut saja, Ki Jiman berkata, "Den Roro, gadis pengacau ini memaksa kami untuk melaporkan kepada Gusti Senopati Yudajaya bahwa ia ingin bertemu. Ia hendak nekad masuk dan ketika kami menghalanginya, la mendorong kami."
Gadis itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Atas isyarat gadis itu, seorang perajurit yang paling dekat segera melompat dan menerima kendali kuda. Dia segera membawa kuda itu menjauh. Sejenak gadis itu mengamati Puspa Dewi dari kepala sampai ke kaki. Tubuh mereka sama sintal padat, sama ramping. Wajah mereka juga sama-sama cantik jelita, walaupun bentuknya berlainan. Setelah cukup mengamati Puspa Dewi, gadis itu bertanya, suaranya dan sikapnya menunjukkan kebangsawanannya, anggun dan agak tinggi hati.
"Siapakah engkau dan mau apa engkau mencari Ayahku?"
"Ayahmu?"
"Senopati Yudajaya, dia adalah Ayahku. Mengapa engkau hendak bertemu dengan dia? Siapa engkau?"
Puspa Dewi tertegun dan kini ia yang mengamati gadis di depannya itu dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian. Gadis ini puteri ayah kandungnya?
"Kau... kau puteri Senopati Yudajaya?" tanyanya dengan suara tidak percaya.
"Hemm, seluruh penduduk Kahuripan mengenal siapa aku. Aku adalah Niken Harni, puteri tunggal Senopati Yudajaya dan engkau agaknya tidak percaya? Manusia aneh, siapa sih engkau ini?"
"Aku... namaku Puspa Dewi." kata Puspa Dewi, agak bingung karena kini ia berhadapan dengan puteri ayahnya, berarti gadis ini adalah Adik tirinya, satu ayah berlainan ibu.
Inilah agaknya anak dari Dyah Mularsih seperti yang diceritakan ibunya. Dyah Mularsih puteri Senopati Jayatanu yang menjadi isteri ke dua ayahnya! Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan seorang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun, gagah dan tegak di atas kudanya, memasuki gapura dan melihat ribut-ribut, dia melompat turun. Gerakannya masih sigap dan melihat pakaiannya tentu dia seorang berpangkat.
"Hei, ada apa ribut-ribut ini? Niken, ada terjadi apakah?" tanya orang itu yang bukan lain adalah Tumenggung Jayatanu, Kakek dari Niken Harni.
Dengan suara manja Niken Harni mendekati kakek itu dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Puspa Dewi.
"Gadis itu, Kanjeng Eyang, membikin kacau dan berkeras hendak menemui Ayah, namanya Puspa Dewi."
"Puspa Dewi....??" Senopati Tumenggung Jayatanu cepat memandang dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat Puspa Dewi, kemudian dia cepat mencabut kerisnya dan berseru.
"Benar! Ia Puspa Dewi, mata-mata Wura-wuri yang dulu menyelundup ke istana dan menjadi pelayan pribadi selir Mandari yang berkhianat! Para pengawal, tangkap ia! Kalau melawan bunuh mata-mata ini, karena tentu ia berniat buruk terhadap kita!"
Seorang perajurit memukul kentungan dan dari dalam gedung datang berlarian belasan orang pengawal yang memegang senjata klewang atau tombak. Mendengar perintah Sang Tumenggung, mereka semua yang berjumlah sekitar dua puluh lima orang bersama regu penjaga, mengepung Puspa Dewi dengan senjata siap menyerang.
"Puspa Dewi, menyerahlah kami tangkap agar kami tidak perlu menggunakan tangan kejam membunuhmu!" bentak seorang perwira pengawal, lalu dia sendiri bersama dua orang memasuki kepungan dengan niat untuk menangkap Puspa Dewi. Dua orang perajurit itu lalu menjulurkan tangan hendak menelikung kedua lengan Puspa Dewi. Akan tetapi gadis ini hanya tersenyum saja dan sebelum tangan-tangan itu menyentuhnya, ia menggerakkan kedua tangannya dan dua orang itu bersama Sang Perwira terpelanting keras sampai terguling-guling!
Melihat ini. Tumenggung Jayatanu menjadi marah. Dia merasa yakin bahwa gadis yang dia dengar merupakan Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri itu tentu akan mengamuk dan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Maka dia membentak memberi aba-aba.
"Serbu! Bunuh mata-mata Wura-wuri ini!"
Dua puluh lebih orang itu segera menerjang dengan senjata mereka. Belasan batang tombak, klewang dan keris menyambar-nyambar bagaikan hujan ke arah tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi tetap tenang dan tersenyum.
Kalau saja dirinya dikeroyok seperti itu setahun yang lalu, tentu dia akan marah dan mengamuk. Entah betapa banyak pengeroyok yang akan roboh tewas. Akan tetapi sekarang ia tidak membiarkan nafsu amarah mempengaruhinya. Apalagi para pengeroyok itu bukan orang-orang jahat. Maka ia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menggerakkan tubuhnya.
Kedua tangannya berkelebatan dan dari kedua tangan itu menyambar angin yang kuat sekali sehingga mereka yang berani mendekat tentu terpelanting dan roboh dengan tubuh babak bundas (lecet-lecet) akan tetapi tidak ada yang terluka berat, apalagi tewas. Namun, setelah dua puluh lima orang itu terpelanting roboh, mereka merasa jerih dan maklum bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebatl
Niken Harni yang sejak kecil sudah mempelajari aji kanuragan, melihat semua perajurit berpelantingan, menjadi marah. Ia mencabut sebatang patrem (keris kecil) dan melontarkannya ke arah Puspa Dewi. Melempar patrem ini merupakan satu di antara keahlian gadis cantik ini. Pernah ia merobohkan seekor harimau dengan lontaran patremnya yang tepat mengenai leher harimau itu.
Pada saat hampir berbareng, Tumenggung Jayatanu juga sudah melontarkan sebatang tombak ke arah Puspa Dewi. Dua buah senjata itu meluncur dengan cepat, terutama tombak itu mengeluarkan suara berdesing dan menyambar seperti kilat ke arah perut Puspa Dewi, sedangkan patrern itu menyambar ke arah lehernya!
Puspa Dewi tidak marah, la dapat mengerti mengapa Tumenggung Jayatanu langsung saja memusuhinya. Tentu Tumenggung Jayatanu tidak tahu bahwa dulu itu ia membela Kahuripan dan masih saja dianggap sebagai Sekar Kedaton Wengker yang ikut dalam persekutuan pemberontak. Yang tahu akan hal itu hanyalah Ki Patih Narotama, Nurseta, dan Dyah Untari, selir Sang Prabu Erlangga. Agaknya Sang Prabu Erlangga tentu mengetahui pula, mendengar dari laporan Dyah Untari.
Selain mereka, mungkin hanya beberapa orang senopati atau pejabat tinggi yang dekat dengan raja dan patih itu yang mengetahuinya. Kalau hanya mendengar bahwa ia adalah wakil Wura-wuri dalam persekutuan pemberontak itu, tentu saja ia akan dimusuhi, seperti sikap Tumenggung Jayatanu ini. Ketika patrem dan tombak itu menyambar ke arahnya, kedua tangan Puspa Dewi bergerak dan ia sudah menyambar dan menangkap dua buah senjata yang menyerangnya itu.
"Krek-krek-krek...!"
Dengan tenang saja kedua tangan gadis itu lalu mematah-matahkan patrem dan tombak itu, demikian mudahnya seperti orang mematah-matahkan dua batang lidi saja! Tentu saja Tumenggung Jayatanu dan cucunya, Niken Harni, terbelalak memandang dengan muka pucat.
Pada saat itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berwajah tampan dan ganteng, berpakaian seperti seorang perwira, berlari cepat memasuki pintu gapura itu. Dia melihat dua puluh lima orang perajurit yang masih tampak ketakutan dan babak belur itu, lalu melihat Tumenggung Jayatanu dan Niken Harni berdiri terbelalak dan muka mereka pucat memandang kepada seorang gadis cantik. Dia segera maju menghampiri dan pandang matanya seperti melekat kepada Puspa Dewi. Puspa Dewi juga memandang kepada laki-laki itu.
"Ayah, perempuan ini datang mengacau dan mengancam kita!" kata Niken Harni kepada laki-laki yang baru datang.
Akan tetapi Senopati Yudajaya atau ketika dahulu bernama Prasetyo, seolah tidak mendengar ucapan puterinya dan tetap memandang kepada Puspa Dewi seperti terpesona. Setelah tiba di depan Puspa Dewi dalam jarak sekitar tiga tombak, dia berhenti melangkah dan berdiri dengan mata tetap terbelalak.
“Lasmi.... engkau.... Lasmi...." dia berseru perlahan dan terputus-putus.
Hati Puspa Dewi merasa terharu sekali, akan tetapi juga merasa penasaran dan kecewa. "Hemm, masih ada orang yang ingat kepada Nyi Lasmi? Selama, sembilan belas tahun ia hidup terlantar, terlunta-lunta dan sengsara, akibat ulah seorang laki-laki kejam bernama Prasetyo!"
Prasetyo, atau Senopati Yudajaya, menjadi pucat wajahnya dan dia mengamati wajah dan bentuk tubuh Puspa Dewi penuh selidik. Kini baru dia menyadari bahwa wanita di depannya ini tidak mungkin Lasmi yang sekarang tentu jauh lebih tua.
"Andika.... siapakah? Di mana kini... Lasmi isteriku?"
"Prasetyo, gadis ini adalah seorang telik sandi dari Wura wuri! la dahulu mewakili Wura-wuri dalam persekutuan pemberontak pimpinan Pangeran Hendratama. la ini sekar Kedaton dari Wura-wuri yang jahat!"
"Benar, Ayah! Puspa Dewi ini jahat dan hendak membunuh Ayah!" kata Niken Harni.
Tubuh Prasetyo gemetar dan wajahnya menjadi pucat ketika dia menatap Puspa Dewi dengan mata terbelalak.
"Puspa Dewi.... kau Puspa Dewi.... puteri dari Lasmi....?"
Puspa Dewi tersenyum. "Hemm, Andika masih ingat kepada Ibu dan Anak yang telah Andika telantarkan, Andika tinggal begitu saja dengan kejam karena Andika mabok kesenangan dan kedudukan? Begitukah sikap seorang satria, seorang suami dan Ayah yang bertanggung jawab?"
Tubuh Prasetyo gemetar seolah lumpuh semua urat dan syarafnya dan dia terkulai dan jatuh berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan .
"....aduhh ... Lasmi... ampunkan aku.... ampunkan aku...." Laki-laki yang gagah petkasa itu menangis tanpa suara dan kedua pundaknya bergoyang-goyang, tubuhnya terguncang.
"Ayah....!" Niken Harni menubruk ayahnya. Kemudian ia meloncat berdiri dengan muka merah dan mata berkilat memandang kepada Puspa Dewi. "Puspa Dewi! Jangan sembarangan menuduh Ayahku! Kalau engkau hendak menghina dan membunuh Ayahku, langkahi dulu mayatku!"
Dengan gagah Niken Harni menantang Puspa Dewi, sungguhpun ia tahu benar betapa saktinya gadis itu. Tumenggung Jayatanu maju menghampiri Puspa Dewi.
"Andika keliru kalau menuduh Prasetyo seorang suami dan Ayah yang tidak bertanggung jawab. Selama ini dia juga menderita dan sudah berusaha mencari Lasmi tanpa hasil. Kalau mau mencari siapa yang bersalah, akulah yang bersalah."
Hati Puspa Dewi seperti diremas-remas. Ia sudah merasa terharu dan kasihan melihat laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu, menangis menyesali perbuatannya dan minta ampun, ditambah lagi pembelaan adik tirinya yang menantang maut untuk membela ayahnya, dan sikap Tumenggung Jayatanu yang mengakui bersalah. Tak dapat ditahannya lagi, beberapa butir air mata mengalir turun dari sepasang matanya, la lalu melangkah menghampiri Prasetyo yang masih berlutut dan kepala menunduk dan kedua tangan menutupi mukanya.
Niken Harni dan Tumenggung Jayatanu mengikuti Puspa Dewi dengan khawatir, siap untuk melindungi Prasetyo kalau-kalau akan diserang Puspa Dewi. Dalam jarak satu tombak Puspa Dewi berhenti dan berdiri di depan ayahnya, memandang laki-laki yang masih berlutut dan menangis tanpa suara itu. Air mata semakin deras keluar dari kedua matanya, mengalir di atas kedua pipinya.
"Ayah... bangunlah...." katanya lirih.
Prasetyo atau Senopati Yudajaya menurunkan kedua tangannya, mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata itu memandang kepada Puspa Dewi dan dengan kaki gemetar dia bangkit berdiri. Ayah dan anak ini sejenak saling pandang.
"Engkau... engkau Puspa Dewi, anak Lasmi.... kau.... anakku...."
"Ayah....!!" Mereka saling tubruk dan saling rangkul, keduanya menangis. Prasetyo mendekap kepala itu ke dadanya, menengadah dengan mata basah.
"Duh Gusti.... terima kasih atas anugerah yang membahagiakan ini....! Puspa Dewi, anakku, engkau mau memaafkan Ayahmu ini?"
Puspa Dewi tidak dapat menjawab dengan suara karena keharuan serasa mencekik lehernya, la hanya mengangguk dalam rangkulan ayahnya.
"Ibumu di mana?"
Sebelum Puspa Dewi menjawab. Tumenggung Jayatanu berkata. "Sebaiknya kita masuk dan bicara di dalam. Tidak enak dan tidak leluasa bicara di sini."
Prasetyo teringat bahwa di situ banyak perajurit yang kini memandang ke arah mereka dengan heran. "Mari, Anakku, kita bicara di dalam."
Puspa Dewi tidak membantah dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki gedung tumenggungan itu. Tumenggung Jayatanu dan Niken Harni mengikuti dari belakang. Hati kakek dan cucunya ini merasa lega bahwa Puspa Dewi tidak jadi mengamuk seperti yang mereka kira.
Nyai Tumenggung menyambut dan ketika ia mendengar bahwa gadis yang datang itu adalah puteri Prasetyo dan Lasmi, ia memegang kedua tangan Puspa Dewi dan berkata lembut. "Ah, Cucuku! Engkau Cucuku juga karena sudah lama Ayahmu mencari-carimu sehingga kami juga merasa prihatin sekali."
Pada saat itu, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh enam tahun yang berwajah lembut muncul. Ketika ia mendengar bahwa gadis itu adalah Puspa Dewi, ia merangkulnya dan suaranya serak karena terharu ketika bicara.
"Aduh, Anakku! Kami semua bingung memikirkan Ibumu. Ayahmu selalu merasa menyesal dan berduka kalau teringat kepada Ibumu dan engkau. Mengapa Mbakyu Lasmi tidak mau tinggal di sini? Di mana adanya Mbakyu Lasmi sekarang dan mengapa ia tidak ikut datang ke sini?"
Puspa Dewi merasa terharu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa keluarga Tumenggung Jayatanu adalah orang-orang yang baik hati, tidak seperti yang semula ia duga. Biarpun mereka adalah orang-orang bangsawan, namun sama sekali tidak angkuh, bahkan ibu tirinya yang tadinya ia benci karena ia anggap wanita itu merebut ayahnya dari samping ibunya, bersikap demikian ramah dan baik.
Mereka kini duduk mengitari sebuah meja bundar. Keharuan sudah mereda dan mereka dapat bersikap biasa, bahkan Prasetyo kini sudah berseri wajahnya, jelas dia berbahagia sekali dapat bertemu dengan puterinya. Tumenggung Jayatanu masih merasa penasaran dan dia berkata.
"Wah, aku telah salah sangka. Kukira tadi bahwa engkau adalah puteri Kerajaan Wura-wuri yang dulu membantu persekutuan pemberontak dan kini datang untuk melakukan kekacauan!" katanya sambil tersenyum lebar. "Tentu hanya merupakan persamaan nama yang kebetulan saja."
"Eyang tidak salah sangka. Memang sayalah Sekar Kedaton Wura-wuri itu, Eyang."
"Apa...??" Tumenggung Jayatanu berseru kaget sambil bangkit berdiri dari kursinya. Juga Niken Harni, Dyah Mularsih, dan Nyai Tumenggung terkejut dan memandang kepada Puspa Dewi dengan mata terbelalak. Akan tetapi Prasetyo atau Senopati Yudajaya tetap tenang bahkan dia tertawa dan berkata.
"Kanjeng Rama dan semua saja harap jangan kaget dan khawatir. Saya telah mendengar dari Gusti Patih Narotama bahwa Puspa Dewi yang tadinya mewakili Wura-wuri bersekutu dengan pemberontak itu telah mengubah sikap, berbalik membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak. Bahkan, Gusti Patih memerintahkan kepada saya dan pasukan khusus untuk menyelidiki di mana adanya Puspa Dewi dan mengundangnya ke istana karena Gusti Sinuhun berkenan ingin bertemu dengannya. Tadinya saya mengira bahwa tentu Puspa Dewi yang dimaksudkan sebagai puteri Wura-wuri itu bukan anak saya, tentu hanya persamaan nama yang kebetulan saja. Akan tetapi, baru saja Puspa Dewi mengaku bahwa Sekar Kedaton Wura-wuri itu memang ia orangnya! Nah, Puspa Dewi Anakku, engkau telah membuat kami semua menjadi heran, bingung dan bertanya-tanya. Apakah... apakah..." wajah Prasetyo berubah, jelas ia tampak rikuh dan segan mengajukan pertanyaan selanjutnya.
"Apakah apa, Ayah?" Puspa Dewi mendorongnya.
"Apakah... maaf, apakah Ibumu kini menjadi permaisuri di Wura-wuri?"
Puspa Dewi menggeleng kepalanya. "Sebelum aku memberi penjelasan dan menceritakan pengalaman Ibu dan saya, saya harap Ayah suka menceritakan dulu bagaimana dan mengapa Ayah dan Ibu sampai berpisah."
Prasetyo memandang kepada isterinya dan Dyah Mularsih berkata dengan lembut dan tenang. "Kakangmas Prasetyo, tidak perlu sangsi dan bimbang, ceritakan saja semuanya. Anakmu Puspa Dewi memang berhak untuk mengetahui segalanya agar terhapus semua sangkaan yang keliru."
"Benar kata-kata isterimu itu. Keterbukaan itu penting sekali bagi sebuah keluarga agar terdapat saling pengertian. Kesalahan yang terlanjur dilakukan dapat ditebus dengan penyesalan dan pengakuan secara jujur." kata'Tumenggung Jayatanu
Mendengar ucapan ibu tiri dan kakek tirinya itu, Puspa Dewi menjadi rikuh dan merasa tidak enak hati. Mereka begitu terbuka dan sikap mereka membayangkan bahwa mereka adalah keluarga yang terhormat dan baik budi.
"Baiklah, Puspa Dewi. Begini ceritanya. Aku menikah dengan Lasmi, Ibumu itu dan kami hidup berbahagia di kota raja ini di mana aku bekerja sebagai seorang perwira pengawal. Ketika Ibumu mengandung, ia minta pulang ke dusun Munggung agar kalau ia melahirkan, ia akan dekat dengan Ibunya yang akan merawatnya. Aku mengantarnya pulang ke Munggung."
"Ibu telah bercerita tentang itu kepada saya. Setelah Ibu tinggal di Munggung sampai saya terlahir, Ayah telah menikah lagi..." Puspa dewi memandang kepada Dyah Mularsih dan merasa rikuh. "Maaf, Ibu... saya tidak bermaksud menuntut, hanya menceritakan yang sebenarnya."
Dyah Mularsih tersenyum. "Tidak mengapa, Anakku, memang sudah semestinya begitu. Kami saling mencinta dan ketika aku mendengar bahwa Ayahmu telah beristeri, aku yang sudah terlanjur saling jatuh cinta, dapat menerima untuk menjadi isteri kedua."
"Begitulah, Puspa Dewi." Prasetyo melanjutkan.
"Sesungguhnya, tidak ada niatku semula untuk tidak setia kepada Lasmi. Akan tetapi, berbulan-bulan aku hidup seorang diri di kota raja, dan pada suatu hari, secara kebetulan aku menolong Ibumu ini, Dyah Mularsih, yang terancam bahaya karena kuda yang ditungganginya kabur dengan liar. Aku berhasil menyelamatkannya dan sejak saat itu, kami saling jatuh cinta. Akhirnya, karena akrab dengannya, aku harus bertanggung jawab menikahinya. Aku mengajak Ibumu yang telah melahirkan untuk kuboyong ke sini, akan tetapi Ibumu tidak mau, berkeras ia menolak untuk kuboyong ke rumah ini."
"Itu benar, Puspa Dewi. Bahkan aku sendiri yang mendesak Ayahmu agar Mbakyu Lasmi diboyong ke sini dan hidup satu keluarga dengan kami. Akan tetapi ia selalu menolak."
"Ibu juga telah menceritakan hal Itu. Ibu menolak karena merasa malu kalau harus tinggal di sini yang dianggapnya mondok di rumah madunya. Ia rela dimadu, akan tetapi Ibu yang merasa sebagai orang kecil yang miskin, tidak mau merendahkan diri. Saya kira hal ini tidak buruk karena kalau seorang wanita dusun yang miskin tidak memiliki harga diri, lalu apa yang ia miliki?"
"Ah... Cucuku!" kata Tumenggung Jayatanu. "Ibumu seorang wanita yang berhati keras. Ia berkeras tidak mau pindah kesini sehingga tentu saja amat sukar bagi Ayahmu memiliki dua orang istrri yang tempat tinggalnya jauh terpisah. Setelah jelas Ibumu tidak mau pindah dan Ayahmu menjadi bingung, aku lalu minta Ayahmu mengambil keputusan dan bertanggung jawab. Tidak mungkin dia mempunyai dua orang isteri yang terpisah jauh tempat tinggalnya. Maka jalan satu-satunya adalah Ayahmu harus memilih salah satu, yaitu menceraikan Dyah Mularsih dan hidup bersama Ibumu, atau Ibumu dan hidup dengan kami di sini. Ya, itulah yang menjadikan persoalan, cucuku" kata Tumenggung Jayatanu ".
"Ya, demikianlah, Puspa Dewi. Aku menjadi bingung sekali. Aku mendatangi Diajeng Lasmi dan kuceritakan hal itu. Kuceritakan bahwa aku merasa berat untuk menceraikan salah seorang, apalagi kedua orang isteriku sama-sama telah mempunyai anak. Lasmi mempunyai engkau dan Dyah Mularsih mempunyai Niken Harni ini. Aku menjadi serba salah dan aku masih seringkali berkunjung ke Munggung, bahkan ketika engkau baru berusia beberapa hulan, Ibumu diganggu dan hendak dikawin dengan paksa oleh Darsikun putera seorang demang. Ibumu menolak dan Bapak mertuaku, yaitu Ayah dari Ibumu, membela Lasmi akan tetapi dia malah tewas dibunuh. Pada saat itu aku datang dan kubunuh Darsikun dan dua orang tukang pukulnya. Setelah terjadi hal itu, tak lama kemudian, Nenekmu Ibu mertuaku, sakit-sakitan dan meninggal dunia pula. Kemudian, tanpa memberitahu kepadaku, Ibumu mengajak engkau pergi. Tidak ada orang mengetahui kemana perginya dan percayalah, kami berusaha mencari Ibumu akan tetapi gagal, Ibumu seolah-olah hilang tak meninggalkan jejak, dan tak tentu rimbanya." Prasetyo berhenti dan memandang kepada anaknya dengan sedih.
"Mbakyu Puspa Dewi, sejak aku dapat mengingat, Ayahku selalu berduka mengingat Ibu Lasmi dan engkau sehingga aku, Ibu, Kakek dan Nenek juga ikut bersedih. Semua keluarga mengharapkan dapat bertemu dan mengajak Ibu Lasmi dan engkau hidup bersama kami di sini." kata Niken Harni yang tadi ikut pula mengeluarkan air mata karena haru melihat ayahnya dan kakek tirinya.
"Nah, sekarang tiba giliranmu, Puspa Dewi. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan Ibumu dan engkau setelah meninggalkan Munggung?" tanya Prasetyo.
Daun pintu diketuk dan percakapan terhenti. Setelah diperbolehkan masuk, seorang pelayan datang membawa Baki (nampan) berisi cangkir-cangkir minuman. Setelah menaruh minuman di atas meja, Nyai Tumenggung memberi isyarat dengan tangannya agar pelayan itu cepat pergi meninggalkan ruangan itu.
"Baiklah, sekarang saya akan menceritakan semua, akan tetapi dengan singkat saja karena sesungguhnya amat tidak menyenangkan menceritakan semua pengalaman buruk itu. Menurut penuturan Ibuku, setelah meninggalkan Munggung Ibu membawa saya merantau dan selalu menyembunyikan nama agar tidak mudah dilacak ke mana Ibu pergi. Akhirnya, setelah merantau dengan susah payah, mengalami banyak penderitaan, berpindah-pindah dari satu dusun ke dusun lain, selalu memilih dusun yang sunyi terpencil, Ibu tinggal di dusun Karang Tirta, ketika itu saya berusia sekitar enam tahun."
"Kasihan Diajeng Lasmi." kata Prasetyo terharu.
"Ketika itu Ibumu sih muda, mengapa tidak menikah lagi?" tanya Tumenggung Jayatanu.
"Kata Ibu, selama itu memang banyak laki-laki yang meminangnya sebagai isteri, akan tetapi semua Ibu tolak karena Ibu hanya ingin hidup berdua dengan saya dan tidak ingin diganggu dengan kehadiran orang lain. Kami tinggal di Karung Tirta dan Ibu merasa tenteram dan tenang di sana sehingga sampai bertahun-tahun kami tidak pindah lagi. Ketika saya berusia tiga belas tahun, terjadilah peristiwa yang mengubah sama sekali kehidupan Ibu dan saya. Saya diculik dan dibawa lari Nyi Dewi Durgakumala."
"Aduh! Nyi Dewi Durgakumala, datuk sesat dari Wura-wuri itu?" kata Tumenggung Jayatanu kaget.
"Benar, Eyang. Saya tidak boleh meninggalkannya dan kalau saya nekat tentu saya akan dibunuhnya. Akan tetapi, ia bersikap baik sekali kepada saya. Ia mengambil saya menjadi muridnya dan mengajarkan aji kanuragan kepada saya."
"Wah, pantas engkau digdaya sekali, Mbakayu Puspa Dewi!" seru Niken Harni. "Engkau harus mengajarkan kesaktianmu kepadaku!"
"Niken, biarkan Mbakayumu melanjutkan ceritanya dulu!" kata Prasetyo, menegur puterinya.
"Akan tetapi, Nyi Dewi Durgakumala terkenal sebagai seorang datuk wanita yang amat jahat dan kejam...." kata Tumenggung Jayatanu dengan suara meragu sambil menatap wajah Puspa Dewi, seolah dia khawatir mendengar gadis itu mempunyai guru sejahat itu.
"Memang benar. Eyang, la jahat sekali dan melakukan banyak kekejaman sehingga seringkali bentrok dengan saya. Akan tetapi, ia menyayangi saya dan menganggap saya sebagai anaknya sendiri sehingga sering juga ia mendengar omongan saya dan membatalkan perbuatan jahatnya. Kemudian, Nyi Dewi Durgakumala menjadi isteri Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri. Karena saya telah diakui sebagai anak oleh Nyi Dewi Durgakurnala, maka dengan sendirinya saya menjadi Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri. Sebagai puteri angkat Permaisuri Wura-wuri, saya dijadikan utusan yang mewakili Wura-wuri dalam persekutuan para kadipaten yang bergabung dengan pemberontak di Kahuripan, untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga yang mereka musuhi."
"Lalu engkau diselundupkan ke istana Sang Prabu Erlangga sebagai pelayan pribadi Selir Mandari, begitu yang kudengar sehingga aku mengira engkau tentu memusuhi Kahuripan. Baru sekarang aku mendengar dari Prasetyo tadi bahwa engkau malah membela Kahuripan dan menentang para pemberontak." kata Tumenggung Jayatanu.
"Saya tidak dapat menolak perintah Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala maka saya lalu berangkat ke Kahuripan dan secara rahasia bergabung dengan persekutuan itu. Akan tetapi setelah saya bertemu dengan Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga, saya menjadi tahu bahwa Kahuripan dipimpin orang-orang yang bijaksana, sebaliknya persekutuan itu terdiri dari orang-orang yang jahat dan sesat. Maka setelah menyadari hal itu, saya membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan itu dapat dihancurkan, tentu saja saya tidak berani kembali ke Wura-wuri karena mereka tentu akan memusuhi saya yang telah mengkhianati mereka."
"Engkau sama sekali bukan pengkhianat, Puspa Dewi." kata Prasetyo. "Engkau adalah Anakku dan Lasmi. Kami berdua adalah kawula Kahuripan, maka engkau juga kawida Kahuripan yang sudah semestinya membela Kahuripan dan menentang mereka yang memusuhi Kahuripan. Akan tetapi, bagaimana dengan Ibumu?"
Puspa Dewi merasa tidak enak sekali untuk menceritakan ibunya. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak dan memang lebih baik berterus terang, la pun siap membela ibunya kalau dianggap bersalah.
"Sampai saya berusia tiga belas tahun, selama itu Ibu tidak mau menjadi isteri orang karena Ibu ingin hidup berdua dengan saya tanpa ada gangguan seorang suami yang tentu akan menjadi Ayah tiriku. Akan tetapi saya diculik Nyi Dewi Durgakumala. Ibu menjadi bingung dan kehilangan pegangan. Saya adalah satu-satunya orang yang dekat dengannya dan menjadi tumpuan harapannya akan tetapi saya hilang tanpa ada yang mengetahui ke mana saya dilarikan penculik. Dalam keadaan bingung, gelisah, duka yang membuat Ibu putus asa itu, datang uluran tangan dari Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta."
"Ah, Lurah Suramenggala yang dipecat oleh Gusti Patih Narotama itu?" Tumenggung Jayatanu berseru.
"Jadi Eyang sudah mengetahui hal itu?"
"Aku hanya mendengar bahwa Gusti Patih telah memecat Lurah Karang Tirta yang dianggap nyeleweng dan Ki Suramenggala beserta seluruh keluarganya diusir keluar dari dusun Karang Tirta. Lalu bagaimana selanjutnya dengan Ibumu?"
"Dalam keadaan gelisah, bingung dan putus asa itu Ibu dihibur oleh Ki Lurah Suramenggala. Sikap lurah itu baik sekali kepada Ibu, bahkan menjanjikan akan mencari saya sampai dapat ditemukan. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, datang uluran tangan, Ibu berterima kasih sekali dan... dan Ibu tidak dapat menolak ketika Ki Suramenggala mengambilnya menjadi selirnya." Puspa Dewi menghentikan kata-katanya dan mengamati wajah ayahnya dengan penuh selidik untuk mengetahui bagaimana tanggapan batin pria itu terhadap cerita tentang ibunya.
Sepasang alis Prasetyo berkerut, dia mengangkat muka setelah tadi menunduk, memandang kepada Puspa Dewi dan menghela napas panjang.
"Diajeng Lasmi berhak untuk menikah lagi dengan pria mana pun yang ia sukai, malah sebetulnya hal itu sudah sejak dulu ia lakukan."
Yang lain-lain diam saja tidak memberi komentar karena maklum bahwa urusan itu rawan dan peka sekali bagi perasaan Prasetyo dan terutama Puspa Dewi. Melihat sikap dan mendengar ucapan ayahnya, Puspa Dewi merasa lega. Ayah kandungnya ini ternyata seorang yang bijaksana. Andaikata ayahnya menyambut cerita itu dengan memperlihatkan kemarahan, ia tentu akan menegur ayahnya untuk bercermin dan melihat bahwa keadaan ibunya itu dialah yang menjadi sebabnya. Kini, melihat sikap ayahnya, Puspa Dewi juga menghela napas panjang
"Sayang sekali, Ibu yang sedang kebingungan karena kehilangan saya itu, ternyata salah lihat, dan salah pilih. Lurah itu bagaikan musang berbulu ayam atau srigala bermuka domba. Dia menolong Ibu bukan karena dia merasa iba, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena memang sejak dulu dia menaksir Ibu. Maka dapat dibayangkan betapa kesengsaraan Ibu semakin parah, sudah kehilangan saya, bertambah lagi menjadi selir orang yang ternyata berwatak buruk dan jahat."
"Duh Gusti.... kasihan Diajeng Lasmi, terlunta-lunta dan semua itu gara-gara aku..." Prasetyo mengeluh.
"Yang bersalah adalah aku." kata Dyah Mularsih sambil menundukkan mukanya. "Aku telah merampas Kakangmas Prasetyo dari Ibumu, Puspa Dewi."
"Tidak, Akulah yang bersalah!" kata Tumenggung Jayatanu. "Kalau aku membiarkan Prasetyo tinggal di rumahnya sendiri, tentu hal ini tidak berlarut-larut."
"Akan tetapi rumah sebesar ini, apakah harus ditinggali kita berdua saja?" Nyai Tumenggung membantah suaminya, lalu berpaling kepada Puspa Dewi. "Puspa Dewi, aku tidak tahan untuk berpisah dari Anakku Dyah Mularsih adalah Anakku satu-satunya, bagaimana mungkin kami membiarkan ia pergi ikut suaminya pindah ke rumah lain membiarkan kami berdua orang tua kesepian dalam rumah sebesar ini? Aku memang bersalah, karena akulah yang membujuk Eyangmu untuk melarang agar Dyah Mularsih jangan pindah meninggalkan kami."
Mendengar ucapan mereka dan melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh merasa bersalah dan menyatakan penyesalan mereka dalam suara mereka, Puspa Dewi menghela napas panjang dan berkata,
"Sesungguhnya, Ibuku juga bersalah, la terlalu keras hati dan berkukuh tidak mau diboyong Ayah ke sini, andaikata ketika itu ia mau, tentu tidak timbul persoalan lagi."
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang tentu saja terdengar janggal dan memecahkan suasana haru dan serius tadi. Suara tawa merdu dari mulut Niken Harni.
"He-he-he-hi-hik! Semua orang mengaku salah. Eyang Kakung (Kakek) bersalah, Eyang Puteri (Nenek) bersalah, Ayah bersalah, Ibu bersalah, dan menurut Mbakayu Puspa Dewi, Ibu Lasmi juga bersalah! Mbakayu Puspa Dewi, lalu kita berdua ini bagaimana? Apakah kita berdua sebagai Anak-anak mereka juga bersalah?"
Puspa Dewi tertawa dan semua orang tertawa sehingga suasananya berubah gembira. Ternyata pengakuan bersalah dari dirinya sendiri itu mendatangkan kelegaan yang membangkitkan kegembiraan!
"Yah, beginilah seharusnya. Dunia penuh pertikaian, permusuhan, semua itu dikarenakan setiap orang merasa benar sendiri dan mencari-cari kesalahan orang lain sehingga saling menyalahkan yang menimbulkan permusuhan. Kalau saja kita masing-masing mencari dan menemukan lalu berani mengakui kesalahan sendiri masing-masing, dunia ini tentu akan damai dan tenteram. Pertaubatan dan pembaharuan langkah hidup dimulai dengan pengakuan kesalahan diri sendiri." kata Tumenggung Jayatanu. Semua orang terdiam dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam.
"Puspa Dewi, lalu bagaimana dengan Ibumu? Bagaimana keadaannya sekarang dan di mana ia berada?" Tanya Prasetyo atau Senopati Yudajaya.
"Tadi Eyang Tumenggung sudah menceritakan bahwa Gusti Patih Narotama membikin pembersihan di dusun Karang Tirta. Ki Lurah Suramenggala dipecat dan diusir dari Karang Tirta. Ibu menggunakan kesempatan ini untuk membebaskan diri dari Ki Suramenggala dan tidak mau ikut dia pergi. Ibu lalu diterima oleh Ki Pujosaputro beserta keluarganya. Ki Pujosaputro adalah lurah baru Karang Tirta hasil pilihan penduduk dusun itu dan disahkan oleh Gusti Patih Narotama. Semua yang terjadi itu saya ketahui dari penuturan Ibu. Ketika saya berada di sana, pada suatu hari datang lima orang senopati Wura-wuri yang diperintahkan Adipati Bhismaprabhawa untuk menangkap saya. Tentu saja saya tidak mau dan terjadi perkelahian. Saya dikeroyok lima orang senopati itu. Kemudian mereka bertindak curang. Seorang di antara mereka menangkap Ibuku dan mengancam saya untuk menyerah, kalau tidak mereka akan membunuh Ibuku."
"Wah, licik! Curang! Kalau aku berada di sana, tentu aku akan membantumu, Mbakayu Puspa Dewi!" teriak Niken Harni sambil bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya!
"Niken, biarkan Mbakayumu melanjutkan ceritanya." Kata Prasetyo dan Niken Harni duduk kembali.
"Pada saat yang gawat karena saya meragu harus berbuat apa, dan Ibu berteriak agar aku tidak menyerah, tiba-tiba muncul seorang kakek yang sakti mandraguna dan dia membuat lima orang Wura-wuri itu ketakutan dan melarikan diri. Kakek itu lalu pergi begitu saja. Saya merasa kagum dan penasaran. Saya kejar dia dan akhirnya setelah kami berkejaran semalam suntuk, kakek itu mengalah dan berhenti. Beliau lalu memberi pelajaran kepada saya selama tiga bulan."
"Mbakayu Puspa Dewi, siapakah Kakek itu? Kalau dia begitu sakti mandraguna, saya pun ingin menjadi muridnya!"
"Nama beliau adalah Sang Maha Resi Satyadharma dari Gunung Agung di Bali-dwipa."
"Jagad Dewa Bathara....!" Tumenggung Jayatanu berseru dengan kagum dan heran. "Maha Resi Satyadarma? Beliau adalah guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!"
"Benar, Eyang. Beliau juga memberitahu saya akan hal itu."
"Waduh! Hebat engkau, Mbakayu! Engkau menjadi saudara seperguruan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih!"
"Ah, mana bisa dikatakan begitu, Niken. Kedua Beliau itu adalah murid-murid Eyang Maha Resi Satyadharma selama bertahun-tahun, sedangkan aku hanya mendapat polesan selama tiga bulan saja."
"Niken, jangan memotong cerita Mbakayumul" Nyai Tumenggung menegur cucunya.
"Baik... baik...!" Niken cemberut manja. "Nah, silakan melanjutkan ceritamu, Mbakayu Dewi."
"Setelah membimbing saya selama tiga bulan, Eyang Resi lalu berpisah dari saya dan saya langsung pergi ke kota raja untuk mencari Ayah dan menceritakan segala hal mengenai Ibu. Sungguh menyesal sekali kedatangan saya menimbulkan kekacauan, Eyang. Mohon diampuni kelancangan saya."
Tumenggung Jayatanu, isterinya, juga Prasetyo dan Dyah Mularsih, merasa terharu mendengar ucapan terakhir Puspa Dewi itu.
"Ah, itu hanya kesalahpahaman di pihak kami, Puspa Dewi." kata Tumenggung Jayatanu.
"Niken Harni, engkau mendengar semua cerita Mbakayumu tadi? Nah, contohlah sikap dan sepak terjang Mbakayumu itu, jangan sekali-kali bersikap tinggi hati dan manja."
Niken cemberut. "Aih, Ibu...! Siapa sih yang tinggi hati dan manja?"
"Jadi sekarang Diajeng Lasmi masih berada di Karang Tirta?"
"Benar, Ayah. Di rumah Ki Lurah Pujosaputro."
"Kalau begitu, kita berangkat ke sana, sekarang juga untuk menjemputnya!"
"Aku ikut, Ayah!" kata Niken Harni.
"Sebaiknya kita semua pergi ke sana beramai-ramai menjemput Mbakayu Lasmi. Dengan begitu ia tentu maklum akan maksud baik kita dan mau ikut ke sini." kata Dyah Mularsih.
"Isterimu benar, Prasetyo. Akan tetapi sebelum kita pergi ke Karang Tirta, aku ingin lebih dulu menghadapkan Puspa Dewi kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena memang aku pernah ditugaskan untuk mencari Puspa Dewi dan membawanya menghadap ke istana. Puspa Dewi, engkau tidak keberatan untuk menghadap kedua Beliau itu, bukan?"
"Tentu saja tidak, Eyang. Kalau memang Gusti Sinuhun dan Gusti Patih memanggil saya, saya akan menghadap dengan senang hati."
Puspa Dewi diterima oleh keluarga Tumenggung Jayatanu sebagai keluarga sendiri sehingga ia merasa senang. Apalagi kalau membayangkan bahwa ibunya akan diterima pula, bersatu dengan ayahnya, hatinya merasa gembira sekali. Setelah tinggal semalam di gedung tumenggungan itu, pada keesokan harinya Tumenggung Jayatanu mengajak Puspa Dewi untuk menghadap Ki Patih Narotama di kepatihan. Kebetulan sekali Ki Patih berada di rumah sehingga mereka dapat diterima langsung. Ki Patih Narotama menerima mereka di ruangan depan dan wajahnya berseri ketika dia mengenal siapa yang datang bersama Tumenggung Jayatanu.
"Ah, kiranya Paman Tumenggung Jayatanu yang datang. Dan ini... bukankah Puspa Dewi...? Silakan duduk, mari silakan duduk di sini." Ki Patih menerima sembah mereka dan mempersilakan duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia.
Ki Patih Narotama memang bersikap lembut dan ramah kepada para pamong praja yang menjadi bawahannya. Dia tidak mau kalau dia dihormati secara berlebihan seperti seorang raja dan selalu menerima para bawahannya dengan sama-sama duduk di atas kursi.
"Paman Tumenggung, saya merasa gembira sekali Paman datang membawa Puspa Dewi."
"Sesungguhnya, Gusti Patih, saya juga merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Cucu saya ini dan membawanya ke hadapan Paduka."
"Cucu? Apakah Puspa Dewi ini cucumu, Paman?"
"Benar, Gusti, ia adalah Cucu saya, maksud saya Cucu tiri, karena dia adalah anak kandung mantu saya Senopati Yudajaya dari isteri yang pertama."
"Hemm, benarkah ini, Puspa Dewi? Setahuku Andika adalah murid Nyi Durgakumala, bahkan kemudian Andika menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri ketika Gurumu yang mengangkatmu sebagai anak Itu menjadi permaisuri wura wuri! Bagaimanakah sebetulnya semua ini? Coba jelaskan agar aku tidak menjadi ragu dan bingung."
Puspa Dewi menyembah, la pernah bertemu dengan Ki Patih Narotama ini. Bahkan ketika itu, ia mencari Ki Patih Narotama untuk membunuhnya atas perintah gurunya, Nyi Dewi Durgakumala yang mendendam kepada patih itu. Akan tetapi, selain ia tidak mampu menandingi Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna, juga sebaliknya patih itu memberi wejangan-wejangan yang menyadarkan pikiran dan membuka mata batinnya bahwa gurunya adalah seorang yang amat sesat.
Pertemuannya dengan Nurseta, dan terutama dengan Ki Patih Narotama inilah yang membuat ia sadar dan mendorongnya untuk membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak yang berusaha menggulingkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Maka, gadis ini amat menghormati Ki Patih Narotama dan sebelum menjawab pertanyaan tadi, ia lebih dulu menyembah dengan hormat.
"Memang riwayat hamba agak ruwet, Gusti. Hamba sendiri baru saja mengetahui siapa Ayah hamba dan bahwa Eyang Tumenggung ini adalah Eyang hamba. Ketika hamba masih kecil, Ibu hamba berpisah dari Ayah hamba dan tinggal di dusun Karang Tirta."
"Hemm, sekarang aku ingat. Ketika aku melakukan penyelidikan ke Karang Tirta, aku mendengar bahwa Ki Suramenggala mempunyai dua orang anak yang digdaya, puteranya sendiri adalah Si Linggajaya yang jahat itu dan puteri tirinya adalah Puspa Dewi. Kemudian setelah aku mengusir Ki Suramenggala, aku melihat Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan menangis, menceritakan bahwa ia terpaksa menjadi selir Ki Suramenggala yang hidup sewenang-wenang sebagai lurah di Karang Tirta. Nyi Lasmi itukah Ibumu?"
"Benar, Gusti. Hamba diaku sebagai anak oleh guru hamba, Nyi Dewi Durgarkumala dan setelah guru hamba menjadi permaisuri Kerajaan Wura-wuri hamba menjadi Sekar Keraton. Maka hamba tidak dapat menolak ketika hamba diutus menjadi wakil Wura-wuri untuk bergabung dengan kadipaten lain yang berusaha untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Akan tetapi setelah melihat kenyataan bahwa Kahuripan berada di pihak benar dan para kadipaten yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama adalah pihak yang sesat, hamba mengambil keputusan untuk berbalik membela Kahuripan dan menentang persekutuan itu."
"Ya, untuk itu Sang Prabu Erlangga dan aku merasa gembira dan berterima kasih kepadamu, Puspa Dewi. Maka para senopati termasuk Paman Tumenggung Jayatanu dipesan agar mencarimu dan kalau bertemu denganmu mengajak engkau datang menghadap. Lanjutkan ceritamu."
"Setelah perang usai, hamba kembali ke Karang Tirta dan mendengar bahwa Ibu hamba telah dapat terbebas dari Ki Suramenggala, hamba merasa lega karena sesungguhnya hamba juga tidak suka mempunyai Ayah tiri seperti Ki Suramenggala yang kejam dan jahat. Ketika itu, Ibu hamba berterus terang kepada hamba bahwa Ayah kandung hamba sesungguhnya belum mati seperti yang ia ceritakan sebelumnya. Setelah ia menceritakan tentang Ayah kandung hamba, hamba lalu mencarinya ke kota raja dan akhirnya hamba bertemu dengan Ayah kandung hamba, juga dengan Eyang Tumenggung Jayatanu dan semua keluarganya. Nah, demikianlah Gusti Patih dan atas kehendak Eyang Tumenggung, sekarang hamba dibawa menghadap Paduka."
Ki Patih Narotama mengangguk-angguk. "Bagus sekali, dan aku ikut merasa gembira bahwa akhirnya engkau dapat bertemu kembali dengan Ayahmu Senopati Yudajaya dan keluarganya dan lebih senang lagi bahwa engkau telah menyadari bahwa sudah semestinya engkau membela Kahuripan karena engkau kawula Kahuripan mengingat bahwa Karang Tirta adalah wilayah Kahuripan, Puspa Dewi. Sekarang, marilah engkau dan Paman Tumenggung kuantar menghadap Gusti Sinuhun."
Mereka bertiga lalu pergi ke istana dan seperti biasa, Ki Patih Narotama adalah satu-satunya pembantu Sang Prabu Erlangga yang dengan mudah dapat keluar masuk istana tanpa pengawasan atau pertanyaan. Ketika pengawal dalam keraton melaporkan, Sang Prabu Erlangga dengan gembira siap menerima Ki Patih Narotama yang membawa Tumenggung Jayatanu dan Puspa Dewi datang menghadap.
Sang Prabu Erlangga juga menyatakan kegembiraan hatinya, dan berterima kasih kepada Puspa Dewi akan apa yang pernah ia lakukan ketika ia membela Kahuripan dan menentang persekutuan di mana ia tadinya menjadi wakil. Akan tetapi ketika Sang Prabu Erlangga menawarkan kedudukan sebagai perwira pengawal wanita yang menjaga keselamatan para penghuni istana bagian keputren, Puspa Dewi menolak halus dengan sembah.
"Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan hamba semata menolak anugerah yang Paduka berikan kepada hamba. Hamba menghaturkan banyak terima kasih dan hamba merasa berbahagia sekali atas kemurahan hati Paduka kepada hamba. Akan tetapi, Gusti, pada waktu ini hamba masih ingin bebas dari semua ikatan. Hamba ingin merasakan kebahagiaan hidup berkumpul dengan kedua orang tua hamba, hal yang sejak kecil hamba rindukan. Walaupun hamba tidak menjadi seorang punggawa, namun setiap saat hamba siap membela kerajaan Paduka apabila ada pihak yang mengganggu, Gusti."
Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk, tersenyum. "Kami dapat memaklumi pendirianmu itu, Puspa Dewi. Baiklah, kami pasti akan menghubungimu apabila kami membutuhkan bantuan. Sekarang terimalah hadiah dari kami ini. Pusaka yang berbentuk patrem Ini disebut Sang Cundrik Arum, hasil tempaan Sang Empu Ramahadi di jaman Jawa Kandha. Pernah menjadi pusaka ageman (pakaian) Sang Permaisuri Bathari Nawangsih dari Kerajaan Medang Kamulan. Pusaka ini, selain ampuh dan memiliki daya pelindung dan penyembuhan, juga dengan memegang pusaka ini Andika dapat memasuki istana kami sewaktu-waktu sebagai seorang kepercayaan kami, Puspa Dewi."
Puspa Dewi merasa senang, bangga dan terharu menerima pusaka yang tak ternilai harganya itu. Ia berlutut menyembah, menerima pusaka berbentuk patrem atau cundrik itu sambil menghaturkan banyak terima kasih. Setelah menerima hadiah lain berupa beberapa perangkat pakaian berikut perhiasan yang serba indah, Puspa Dewi diperkenankan mundur bersama Tumenggung Jayatanu, sedangkan Ki Patih Narotama masih tinggal di istana untuk berbincang-bincang dengan Sang Prabu Erlangga.
Dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Puspa Dewi. Senopati Yudajaya atau Prasetyo, ayah Puspa Dewi dan seluruh keluarga Sang Tumenggung ikut merasa senang. Kemudian keluarga itu berkemas dan pada hari yang sudah mereka pilih dan tentukan, berangkatlah keluarga yang terdiri dari Tumenggung Jayatanu, Nyai Tumenggung, Senopati Yudajaya, Dyah Mularsih, Niken Harni, Puspa Dewi dan selosin perajurit pengawal berikut kusirnya, dalam dua buah kereta, menuju ke dusun Karang Tirta.
Dusun Karang Tirta kini merupakan dusun yang jauh lebih makmur dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Rumah-rumah para penduduk telah diperbaiki semua. Juga melihat pakaian mereka dan keadaan kesehatan tubuh mereka, mudah diketahui bahwa seluruh penduduk dusun itu sudah terangkat dari lembah kemiskinan.
Setidaknya mereka sudah tercukupi kebutuhan sandang-pangan-papan (pakaian, makan, dan rumah tinggal). Semua ini terjadi dengan cepat berkat kebijaksanaan Ki Lurah Pujosaputro, pengganti Ki Lurah Suramenggala yang dicopot oleh Ki Narotama kemudian diusir dari dusun Karang Tirta.
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa kemakmuran tidak jatuh begitu saja dari langit! Kebutuhan hidup manusia tidak begitu saja disediakan Sang Hyang Widhi, walaupun jelas bahwa semua bahannya memang hasil ciptaan Yang Maha Pencipta. Sang Hyang Widhi menciptakan tanah, air, hawa udara, sinar matahari, juga benih tanaman-tanaman. Semua benda ini tidak dapat dibuat oleh manusia dan memang sudah dianugerahkan kepada manusia untuk kepentingan hidup manusia.
Namun, semua benda itu tidak ada gunanya kalau tidak diolah, dikerjakan, diusahakan oleh manusia sendiri. Jasmani kita, berikut hati akal pikiran, juga merupakan ciptaan Yang Maha Kasih, dan setiap bagian tubuh kita sudah dibuat sedemikian rupa sehingga cocok dan tepat untuk dikerjakan demi kesejahteraan hidup kita. Berkat dari Yang Maha Kasih Itu tidak dapat dipisahkan dengan usaha kita, merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan dan harus bekerja sama untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup kita.
Semua bahan yang telah disediakan oleh-Nya itu tidak akan ada gunanya kalau tidak kita olah dan kerjakan, yaitu kita cangkul, kita airi, kita pupuk, kita pelihara dan rawat dengan baik. Sebaliknya, betapa hebat pun kita berusaha, tanpa adanya satu saja dari semua bahan yang sudah disediakan oleh-Nya itu, juga tidak akan dapat menghasilkan apa-apa. Itu merupakan tugas pribadi untuk mempertahankan hidup, yaitu bekerja!
Akan tetapi kita hidup bermasyarakat, bernegara, berpemerintahan, terdiri dari banyak orang. Para penduduk Karang Tirta terdiri dari ratusan orang. Masyarakat perlu diatur, dengan hukum-hukum agar tidak kacau dan saling berebut. Jelas bahwa kehidupan rakyat diatur oleh hukum, agar tertib, agar adil dan membawa rakyat kepada kemakmuran atau kesejahteraan seperti yang diidamkan setiap orang di mana pun di dunia ini.
Apakah adanya peraturan hukum menjamin datangnya kemakmuran rakyat? Hukum adalah barang mati! Karena itu, tangan-tangan yang memegang dan menguasai pelaksanaan hukum itulah yang sepenuhnya diserahi wewenang dan tugas untuk memakmurkan rakyatnya. Jelas, ditangan para pemimpinlah terletak kunci untuk membuka pintu kemakmuran bagi rakyatnya.
Pemuda ini adalah Nurseta. Dia mendaki gunung itu karena tertarik akan keindahannya dan ingin sekali menikmati keindahan alam pegunungan itu. Dia berjalan perlahan sambil mengenang semua pengalaman hidupnya yang penuh liku-liku.
Ketika kecil dia tinggal di dusun Karang Tirta bersama Ayah Ibunya. Akan tetapi, ketika dia berusia sepuluh tahun, tiba-tiba saja Ayah dan Ibunya pergi meninggalkan dia hidup seorang diri di dusun Karang Tirta. Dia hidup sebagai kacung dan pelayan pada Lurah dusun Karang Tirta itu, baru kemudian dia ketahui Ki Lurah itu jahat dan curang. Semua harta peninggalan orang tuanya diambil lurah itu.
Ketika dia berusia sekitar enam belas tahun, dia diambil murid oleh seorang pertapa yang amat sakti, yaitu Empu Dewamurti dan diajak ke lereng Gunung Arjuna yang kini dia daki. Selain ingin menikmati keindahan alam, dia pun mengunjungi bekas tempat dia tinggal menjadi murid Empu Dewamurti selama kurang lebih lima tahun.
Nurseta melanjutkan kenangannya. Setelah Empu Dewamurti wafat karena luka-luka setelah dikeroyok tiga orang datuk senopati Wura-wuri bernama Tri Kala (Tiga Kala) yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik dan Kala Teja, bersama Resi Bajrasakti datuk Kerajaan Wengker, dan Ratu Mayang Gupita dari Kerajaan Siluman Laut Kidul, dia memperabukan jenazah gurunya dan menyebarkan abunya di permukaan lereng Gunung Arjuna seperti yang dipesan gurunya sebelum wafat.
Akan tetapi gurunya itu wanti-wanti (dengan tegas) meninggalkan pesan kepadanya agar dia jangan membalas dendam kepada orang-orang dari kerajaan itu. Tentu saja dia boleh membela Kahuripan dan menentang tiga kerajaan itu kalau mereka mengganggu Kahuripan dan boleh menentang mereka, akan tetapi tidak berdasar balas dendam.
Setelah itu dia mengalami banyak suka duka dalam hidupnya, membela Kahuripan dan mengembalikan Keris Pusaka Megatantra, yang dia temukan di tegal Karang Tirta, kepada Sang Prabu Erlangga yang berhak karena keris itu adalah keris pusaka Mataram. Dia juga membela Kahuripan dari pengeroyokan kerajaan-kcrajaan kecil yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama sehingga semua pemberontak dan sekutunya dapat dipukul mundur.
Dia telah bertemu dengan Senopati Sindukerta di kota raja. Senopati ini adalah kakeknya, ayah dari ibunya yang bernama Endang Sawitri. Ternyata dahulu, Senopati Sindukerta tidak setuju kalau puterinya itu menjadi isteri Dharmaguna, seorang sastrawan putera seorang pendeta miskin. Akan tetapi karena sudah saling mencinta, Endang Sawitri dan Dharmaguna melarikan diri berdua.
Senopati Sindukerta menyuruh para perajurit mencari, namun tidak berhasil. Akhirnya suami isteri itu mempunyai seorang anak, yaitu dirinya. Mereka masih terus berpindah-pindah dalam pelarian mereka sampai akhirnya bersama Nurseta mereka tinggal di dusun Karang Tirta sampai dia berusia sepuluh tahun. Setelah dia menjadi dewasa dan menyelidiki, dia tahu bahwa orang tuanya pergi meninggalkan dia karena mereka dilaporkan oleh Ki Lurah Suramenggala yang jahat. Dia mendengar semua itu dari kakeknya, Senopati Sindukerta.
Kini dia melakukan perjalanan untuk mencari ayah ibunya yang melarikan diri. Berbulan-bulan dia merantau, namun belum juga dia dapat menemukan mereka. Pada pagi hari ini, ketika lewat di kaki Gunung Arjuna, dia melihat pemandangan yang indah lalu teringat kepada mendiang Empu Dewamurti.
Maka dia lalu mendaki gunung itu dengan santai sambil menikmati pemandangan alam yang dilewatinya. Tentu saja dia masih ingat akan jalan pendakian yang paling mudah karena dia sudah hafal. Selama lima tahun dia tinggal di lereng gunung itu dan seringkali naik turun melalui jalan pendakian itu.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara melengking nyaring. Suara itu demikian tajam dan kuatnya sehingga dia harus cepat mengerahkan tenaga saktinya karena suara itu menyerang pendengarannya dan langsung menyerang jantung! Dia terkejut bukan main karena maklum bahwa siapa pun orangnya yang mengeluarkan lengkingan yang membawa getaran sehebat itu, tentu seorang sakti mandraguna! Dia lalu berlompatan mendaki lereng Gunung Arjuna, ke arah suara melengking yang mengeluarkan gaung panjang seolah suara setan penunggu jurang menyambut lengkingan tadi.
Karena dia mempergunakan Aji Bayu Sakti, maka tubuhnya seolah melayang cepat sekali dan tak lama kemudian dia sudah mendekam di balik semak-semak memandang ke depan dengan jantung berdebar. Di depannya terbentang lapangan rumput yang landai dan di sana dia melihat dua orang saling berhadapan. Seorang kakek dan seorang nenek. Kakek itu berusia sekitar lima puluh tiga tahun, tubuhnya tinggi kurus, wajahnya masih memperlihatkan bekas ketampanannya.
Jenggotnya panjang dan pakaiannya yang hanya kain putih dibelit-belitkan di tubuhnya itu menunjukkan bahwa dia seorang pertapa atau seorang pendeta. Gerak-geriknya lembut dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi pada saat itu, kedua matanya mengeluarkan sinar berkilat yang ditujukan kepada nenek yang berdiri di depannya dengan jarak kurang lebih lima tombak.
Nurseta kini memandang ke arah nenek itu. Nenek itu berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih tampak cantik, rambutnya panjang dan masih hitam, agak berombak dibiarkan terurai di atas kedua pundak dan punggungnya. Mulut yang bibirnya masih merah itu tersenyum mengejek matanya mencorong liar. Pakaiannya serba hitam! Tiba-tiba nenek itu membuka mulut dan terdengarlah lengkingan yang tinggi dan dahsyat sekali. Nurseta yang bersembunyi sejauh sepuluh tombak itu merasa jantungnya terguncang biarpun dia sudah melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga saktinya.
Akan tetapi kakek berpakaian putih itu sama sekali tidak tampak terpengaruh walaupun lengkingan itu merupakan serangan hebat yang langsung diarahkan kepadanya. Dia malah tersenyum dan setelah suara melengking itu berhenti, tinggal gaungnya saja yang menggema di bawah sana, kakek itu berkata, suaranya lembut namun dapat terdengar jelas oleh Nurseta.
"Sudahlah, Gayatri, mengapa selama puluhan tahun engkau masih memelihara kebencian di dalam hatimu? Mengapa engkau membiarkan racun dendam itu merusak batinmu? Sadarlah bahwa kekuatan Setan bagaimanapun hebatnya tidak akan mampu menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi. Pertentangan antara yang benar dan yang salah akhirnya akan dimenangkan oleh yang benar karena Sang Hyang Widhi selalu membimbing mereka yang benar. Sadar dan bertaubatlah, Ga-yatri, dan aku yakin bahwa Yang Maha Kasih dan Maha Pengampun tentu akan mengampuni dan membimbingmu ke arah jalan yang benar."
"Ekadenta manusia sombong! Jangan mengira bahwa setelah aku kalah dahulu itu, aku tidak berani lagi menantangmu. Selama ini aku terus memperdalam ajianku dan sekali ini aku pasti akan dapat menebus semua kekalahanku yang sudah-sudah."
"Gayatri, semangatmu itu memang mengagumkan. Engkau tidak pernah menyerah dan putus asa. Alangkah baiknya kalau semua orang memiliki semangat seperti yang kau miliki. Hanya sayang sekali, Gayatri, semangatmu itu kau pergunakan untuk tekadmu untuk membalas dendam yang merupakan keangkara-murkaan!"
"Tidak perlu memberi wejangan padaku, Ekadenta! Sekarang dengar omonganku. Aku tidak akan melanggar janjiku yang dulu, yaitu aku pribadi tidak akan mengganggu Erlangga dan Narotama kalau aku kalah olehmu. Sebaliknya kalau engkau yang kalah, aku dapat melakukan apa saja sesuka hatiku!"
"Hemm, engkau tidak akan dapat menang, Gayatri, karena nafsu dendam kemarahanmu meracuni dirimu sendiri dan membuatmu lemah."
"Andaikata aku kalah juga, aku masih dapat melampiaskan dendamku kepada Erlangga dan Narotama, dua orang murid Resi Satyadharma itu! Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepada para pimpinan Kerajaan Wengker, aku akan membentuk pasukan siluman yang akan menghancurkan Kahuripan!"
"Engkau boleh mencobanya, Gayatri. Engkau tidak akan dapat mengubah apa yang telah digariskan Sang Hyang Widhi Wasa. Engkau akan menyesal kelak. Sadar dan bertaubatlah, Gayatri, aku dengan senang hati akan membimbingmu dan menemanimu."
"Tidak! Kecuali kalau engkau mau mengambil aku sebagai isterimu..."
"Gayatri, mengapa engkau masih menginginkan hal itu? Kita bukan orang muda lagi."
"Huh, engkau selalu saja menolak, karena itu sebelum dendamku kepada murid-murid Resi Satyadharma terlaksana, aku akan selalu hidup dalam penasaran."
"Sekali lagi, sadarlah, Gayatri. Yakinlah bahwa kasih sayangku kepadamu tidak pernah hilang."
"Kalau begitu mengapa engkau tidak mau menjadi suamiku?"
"Bukan, bukan itu, Gayatri. Cintaku kepadamu tidak dikotori nafsu."
"Huh, itulah yang diajarkan oleh Resi Satyadharma sehingga engkau menolak menikah denganku. Sudahlah, sambut ini, Ekadenta!"
Nenek itu mendorongkan kedua tangannya yang terbuka ke depan. Kedua tangannya dijulurkan ke arah kakek itu dan dari kedua telapak tangan nenek itu meluncur sinar yang membawa bola-bola api menyerang kakek itu.
Nurseta yang menonton sambil bersembunyi di balik semak belukar, terbelalak. Bukan main Serangan seperti itu hanya dapat dilakukan orang yang sudah memiliki tenaga sakti yang tinggi sekali! Dia melihat kakek itu masih berdiri tenang dan tersenyum. Setelah bola-bola api itu meluncur dekat, dia pun menjulurkan kedua tangannya dan dari telapak tangan kakek itu berkelebat sinar putih yang menyambar ke arah bola-bola api dalam sinar merah itu.
"Darrr....! Darrr....!"
Dua bola api itu meledak dan padam, sedangkan sinar merah itu terpental ke belakang dan kembali menghilang ke telapak tangan nenek itu. Sinar putih juga berkelebat pulang ke telapak tangan kakek itu. Nenek itu mengeluarkan teriakan melengking dan ia menggerak-gerakkan lagi kedua tangannya yang didorong ke arah kakek itu. Kini bukan bola-bola api yang keluar, melainkan asap hitam bergulung-gulung menyerbu ke arah kakek itu.
Nurseta cepat menutup hidungnya dengan tangan karena dia mencium bau yang amat keras, amis dan tajam menusuk hidung, bau yang keluar dari asap hitam itu sehingga dia tahu bahwa asap itu malah lebih berbahaya daripada bola-bola api yang membakar itu. Asap hitam ini mengandung racun yang ganas!
"Shanti-shanti-shanti! Segala macam ilmu sesat kau pelajari, Gayatri. Sungguh sayang!"
Kakek itu berkata lalu kembali kedua tangannya mendorong ke depan dan dari telapak tangannya kini menyambar asap putih. Terjadi "pertempuran" antara asap hitam dan asap putih. Dorong-mendorong sehingga sebentar asap putih terdorong akan tetapi segera asap hitam yang berbalik terdorong. Akhirnya, asap hitam terdorong terus sampai kembali ke telapak tangan nenek itu. Sebelum asap hitam yang mendorong itu menyentuh Si Nenek, kakek itu telah menyimpan kembali asap putih.
"Sudahlah, Gayatri, untuk apa semua ini kita lakukan? Hanya akan menjadi buah tertawaan anak-anak saja." Kata kakek itu membujuk dengan suara halus, sama sekali tidak marah atau mengejek. Bahkan suaranya mengandung penuh kasih sayang seperti seorang kakak terhadap adiknya.
"Aku belum kalah" Nenek itu membentak galak, matanya mencorong liar. la lalu bersedakap (melipat kedua lengan di depan dada) dan memejamkan kedua matanya, alisnya berkerut dan mukanya ditundukkan, mulutnya berkemak kemik membaca mantera.
Nurseta menonton dengan jantung berdebar-debar. Tanpa disangka-sangka, dia diam-diam telah menjadi saksi pertandingan adu kesaktian dari dua orang yang benar-benar sakti mandraguna. Kini dia melihat ada uap hitam perlahan-lahan mengepul keluar dari kepala nenek itu. Uap itu menjadi semakin tebal dan menjadi sebuah bentuk, makin lama semakin jelas dan uap itu kini menjadi seekor harimau yang besar. Harimau jadi-jadian itu mengaum dan menubruk ke arah kakek itu.
Kakek yang bernama Bhagawan Ekadenta itu juga melipat kedua lengannya ke depan dada, memejamkan kedua matanya dan dari kepalanya keluar uap putih yang tidak membentuk apa-apa hanya menjadi seperti segumpal awan menyambut tubrukan harimau hitam itu. Binatang jadi-jadian itu menggereng seperti kesakitan, masih mencoba untuk menggigit, mencakar dan menubruk, namun sia-sia karena selalu terpental ke belakang. Akhirnya harimau hitam itu kembali menjadi asap.
Kini nenek yang bernama Gayatri, yang sesungguhnya setelah tua kini disebut Nini Bumigarbo, membaca mantram dengan suara agak keras dan uap hitam itu kini membentuk seekor naga yang hitam dan amat menyeramkan bagi Nurseta yang menontonnya. Naga hitam itu sepasang matanya seperti sinar menyilaukan, moncongnya terbuka dan menyemburkan api bernyala-nyala!
"Om, shanti-shanti-shanti! Nirboyo sedyo rahayu! Kembalilah ke asalmu'" Bhagawan Ekadenta berkata lirih dan uap putih itu menyambar ke depan.
Terjadi pertempuran yang lebih dahsyat dari tadi. Agaknya ilmu sihir menjadikan naga ini lebih kuat daripada harimau tadi. Nenek Bumigarbo dapat bertahan lebih lama sehingga sempat Bhagawan Ekadenta berkeringat pada dahinya. Akan tetapi ketika dia meniup dengan mulutnya ke arah naga jadi-jadian ini, seolah uap seperti mega putih itu menjadi lebih kuat dan naga jadi-jadian itu pun terpukul dan lenyap. Nenek Bumigarbo terengah-engah dan tampak marah sekali sehingga wajah yang tadinya masih tampak cantik itu kini menjadi menyeramkan. Matanya berkilat, cuping hidungnya kembang kempis, mulutnya agak terbuka dan menyeringai.
"Gayatri, mari kita sudahi saja main-main yang tidak ada gunanya ini." kata Bhagawan Ekadenta.
Akan tetapi nenek itu agaknya semakin penasaran. Ia mengeluarkan teriakan melengking-lengking dan disusul pembacaan mantram dan begitu ada asap hitam mengepul, nenek yang cantik itu berubah menjadi seorang raksasa wanita yang amat mengerikan. Ia telah berubah menjadi Leak!
Matanya merah mencorong dan melotot, giginya bertaring dan taringnya menonjol keluar, lidahnya terjulur keluar dari mulutnya, panjang dan merah, menetes-neteskan air liur, payudaranya panjang bergantungan, kedua tangan dan kedua kakinya berkuku panjang. Sungguh, baru melihatnya saja orang biasa dapat jatuh pingsan saking takut dan ngerinya.
Nurseta yang mengintai, terbelalak dan dia bergidik ketika mencium bau dupa yang wanginya memuakkan, seperti bunga-bunga yang mulai membusuk. Sambil mengeluarkan teriakan-teriakan gemuruh, Leak itu menerjang Bhagawan Ekadema! Amat cepat dan ganas gerakannya ketika menyerang. Akan tetapi Sang Bhagawan tetap tenang dan dengan gerakan halus dia dapat menghindarkan diri dari setiap serangan.
"Gayatri, sudahlah, aku sungguh tidak ingin menyakitimu!" beberapa kali Bhagawan Ekadenta berseru dengan suara memohon. Namun, Leak itu menyerang semakin ganas.
Nurseta menonton dengan hati tegang dan hampir tak pernah berkedip saking kagumnya. Belum pernah dia menyaksikan pertandingan aji kesaktian sehebat ini. Dia sendiri tidak takut andaikata menghadapi nenek itu, akan tetapi dia ragu apakah dia akan mampu menandinginya. Nenek itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan berbahaya sekali. Akan tetapi kakek itu lebih hebat lagi, dan dia merasa amat kagum sungguhpun tidak merasa heran karena kini dia mengetahui bahwa kakek dan nenek ini agaknya masih ada hubungan persaudaraan seperguruan, maka tentu saja memiliki aji kesaktian yang luar biasa.
Kini dua orang tua itu bertanding dengan seru. Gerakan mereka makin lama semakin cepat sehingga yang tampak kini hanya bayangan hitam dan putih yang saling sambar.
"Maafkan aku, Gayatri!" terdengar suara kakek itu.
"Auhh...!" Nenek itu menjerit dan terhuyung ke belakang.
Agaknya ia terkena tamparan tangan kakek itu. Akan tetapi kabut hitam menyelubungi tubuhnya dan ketika kabut itu lenyap, nenek itu pun sudah tidak ada lagi. Bhagawan Ekadenta berhenti bergerak, menghela napas panjang tiga kali lalu memutar tubuhnya menghadap ke arah semak belukar dan berkata lembut namun dengan nada memerintah. "Keluarlah Andika dari balik semak!"
Nurseta tidak terkejut. Orang yang demikian sakti mandraguna, tidaklah mengherankan kalau dapat mengetahui bahwa ada orang bersembunyi di balik semak-semak. Maka dia pun cepat keluar dari balik semak-semak, menghampiri kakek itu dan langsung dia berjongkok dan menyembah depan kaki Bhagawan Ekadenta.
"Mohon seribu ampun, Eyang, bahwa saya telah lancang berani sembunyi dan mengintai dari balik semak-semak karena untuk keluar memperlihatkan diri saya tidak berani."
"Orang muda, Andika siapakah?"
"Nama saya Nurseta, Eyang."
Kakek itu tersenyum dan mengangguk-angguk sambil mengelus jenggotnya yang panjang. Teringat dia akan pertemuannya dengan Sang Empu Bharada, sahabat baiknya dan sama-sama tokoh yang setia kepada Kahuripan. Empu Bharada menceritakan tentang penglihatannya bahwa ada bahaya mengancam Kahuripan, dan sambil lalu Empu Bharada bercerita tentang seorang pemuda bernama Nurseta murid mendiang Empu Dewamurti yang menjadi sahabat baik Empu Bharada, yang dalam penglihatannya merupakan cahaya putih (Nur Seta) yang ikut mengusir kegelapan yang menyelubungi Kahuripan.
Juga bahwa Nurseta telah berjasa ketika Kahuripan dilanda kemelut dengan adanya pemberontakan yang dilakukan Pangeran Hendratama dibantu oleh persekutuan para kerajaan kecil. Bahkan lebih dari itu, Nurseta yang telah menemukan dan mengembalikan Sang Megatantra, keris pusaka yang telah puluhan tahun hilang dari kerajaan Mataram. Dan kini, tanpa di sengaja, pemuda itu telah duduk bersimpuh dan menyembahnya.
"Kulihat engkau telah memiliki kekuatan sehingga tidak terpengaruh kekuatar sihir yang amat ganas yang dipergunakan Nini Bumigarbo tadi. Siapakah gurumu, Nurseta?" Bhagawan Ekadenta bertanya untuk memperoleh keterangan dari pemuda itu sendiri sungguhpun dia sudah mendapat keterangan dari Empu Bharada.
"Saya pernah mendapat bimbingan dari mendiang Eyang Guru Empu Dewamurti, Eyang."
"Mendiang Kakang Empu Dewamurti adalah Kakak seperguruanku, Nurseta. Aku mendengar bahwa beliau wafat setelah terluka oleh pengeroyokan lima orang datuk sesat dari kerajaan-kerajaan Siluman Laut Kidul, Wengker dan Wurawuri. Bagaimana hal itu dapat terjadi dan apakah engkau tidak membela gurumu?"
"Ampun, Eyang. Ketika pengeroyokan tu terjadi, saya sedang tidak berada di pondok sehingga saya tidak sempat membela Eyang Guru."
"Hemm, dan engkau sama sekali tidak mencari mereka yang membunuh gurumu untuk membalas dendam?" Bhagawan ekadenta menguji.
"Tidak, Eyang. Mendiang Eyang Guru sudah menanamkan kesadaran kepada saya bahwa dendam kebencian merupakan racun bagi batin sendiri. Kalau saya mencari mereka dan membunuh mereka untuk membalas dendam, berarti saya telah mengingkari janji saya kepada Eyang Guru untuk menaati pesan terakhirnya."
Wajah Bhagawan Ekadenta berseri. "Sadhu-sadhu-sadhu, beruntung sekali Kakang Empu Dewamurti mempunyai engkau sebagai muridnya! Dan lebih beruntung lagi Kerajaan Kahuripan mempunyai seorang kawula seperti engkau, Nurseta. Engkau memiliki jiwa satria."
"Harap Eyang ketahui bahwa saya ini hanyalah seorang dusun dari desa Karang Tirta yang bodoh." kata Nurseta dengan rendah hati secara tulus, bukan berpura-pura. Melihat kakek ini tadi bertanding melawan Nini Bumigarbo, dia benar-benar merasa seperti seorang anak kecil yang lemah dan semua aji kanuragan yang di kuasai hanya sebagai mainan anak-anak belaka.
"Tidak Nurseta. Engkau adalah seorang satria dan mendiang Kakang Empu Dewamurti telah memberi bimbingan yang baik sekali kepadamu. Mungkin hanya kurang polesan saja."
"Saya mohon petunjuk Eyang."
"Baik, engkau memang berhak menerimanya. Mari kuberi polesan selama tiga bulan kepadamu, Nurseta."
Bukan main girangnya hati Nurseta. Dia lalu membangun sebuah pondok sederhana di mana dulu pondok gurunya berada. Semenjak hari itu, selama tiga bulan lamanya Bhagawan Ekadenta memberi petunjuk oleh memoles dan mematangkan semua aji kesaktian yang telah dikuasai Nurseta. Bukan itu saja, akan tetapi dia juga mendengar tentang Nini Bumigarbo yang amat sakti itu akan memperkuat Kerajaan Wengker agar kerajaan itu dapat menjatuhkan Kahuripan. Bahkan nenek itu telah mengambil Dewi Mayangsari, permaisuri Wengker, menjadi muridnya.
"Karena itu, kalau engkau membela Kahuripan, waspada dan berhati-hatilah terhadap Kerajaan Wengker karena mungkin kerajaan itulah yang akan merupakan musuh yang paling berbahaya bagi Kahuripan di samping tentu saja Kerajaan Parang Siluman karena di sana terdapat banyak orang sakti, terutama Lasmini dan Mandarl bekas selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, dan Ki Nagakumala!
Setelah menerima gemblengan selami tiga bulan, kesaktian Nurseta meningkat dengan pesat. Pada malam terakhir, ketika Nurseta masih tidur, dia mendengar suara lapat-lapat namun jelas.
"Nurseta, kita berpisah. Aku melanjutkan perjalananku."
Itu adalah suara Bhagawan Ekadenta. Nurseta cepat melompat bangun, akan tetapi kakek itu sudah tidak berada dalam pondok itu lagi. Dia tahu bahwa percuma saja mencoba untuk mengejar atau mencari karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya masih jauh selisihnya dibanding tingkat Sang Bhagawan itu.
********************
Gadis itu melangkah santai memasuki gapura kota raja Kahuripan yang sudah dikenalnya dengan baik. Masih terbayang dalam ingatannya, seolah baru kemarin dulu terjadi, ketika ia diselundupkan ke istana Sang Prabu Erlangga dan diterima oleh Puteri Mandari, ketika itu masih menjadi selir Sang Prabu Erlangga. Sebagai wakil Kerajaan Wura-wuri ia menyamar sebagai pelayan pribadi Puteri Mandari, namun akhirnya ia sadar dan membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak.
Puspa Dewi menghela napas panjang. Ia teringat kepada ibunya dan kembali menghela napas. Kasihan ibunya, hidup menderita sejak berpisah dari ayahnya. Setelah berpisah dari Sang Maha Resi Satyadarma yang telah menggemblengnya selama tiga bulan, ia langsung saja pergi ke kota raja untuk melanjutkan keinginannya yang ia tunda selama tiga bulan. Keinginan itu adalah menemui ayah kandungnya dan menegurnya karena telah menyia-nyiakan ibunya.
Akan tetapi hati Puspa Dewi sudah berubah sama sekali semenjak ia digembleng Sang Maha Resi Satyadharma. Kalau dulu ia merasa penasaran dan ingin memberi teguran kepada ayahnya, kini kemarahannya sudah tidak berbekas lagi. Ia hanya ingin bertemu dan melihat ayahnya, juga ia ingin menceritakan kepada ayahnya tentang penderitaan ibunya selama ini. Biarpun masih ada sisa ketegasan dalam sikap Puspa Dewi, jujur dan terbuka, namun sifatnya yang liar kini sudah berubah, la lembut dan suka tersenyum ramah, juga pandai dan kuat menahan gejolak perasaannya.
Setelah bertanya-tanya, dengan mudah Puspa Dewi mendapat keterangan di mana gedung tempat tinggal Tumenggung Jayatanu, senopati Kahuripan. Juga ia mendapat keterangan bahwa Prasetyo kini telah menjadi seorang senopati pula, akan tetapi tetap tinggal di rumah mertuanya, yaitu Tumenggung Jayatanu. Prasetyo telah memperoleh kedudukan dan kini menjadi Senopati Yudajaya.
Setelah mengetahui di mana tempat tinggal ayah kandungnya, yaitu Prasetyo yang kini bernama Senopati Yudajaya, ia segera mencari rumah itu. Tak lama kemudian ia sudah berdiri di tepi jalan, tepat di depan sebuah gedung besar yang bagian depannya memiliki pekarangan luas dan di belakang pintu gapura terdapat sebuah gardu di mana terdapat beberapa orang perajurit melakukan penjagaan.
Sampai lama Puspa Dewi berdiri di situ. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi juga merasa betapa janggalnya keadaan itu. Ayah kandungnya hidup di gedung yang besar dan megah ini sebagai seorang senopati yang memiliki kekuasaan, harta, dan kemuliaan. Rumah tempat tinggalnya saja dijaga selusin orang perajurit. Akan tetapi ibunya? Terlunta-lunta, miskin dan papa. Ibunya rela hidup sengsara, berkorban demi cintanya kepada pria yang namanya Prasetyo, yang kini menjadi Senopati Yudajaya. Panas juga rasa hatinya mengingat akan keadaan ibunya, akan tetapi sekali menarik napas panjang saja ia sudah menenangkan hatinya kembali.
Matahari pagi telah naik cukup tinggi sehingga sinarnya menerangi pekarangan yang terhias hamparan rumput hijau sehingga tertimpa cahaya matahari tampak hijau indah dan menyegarkan pandang mata. Selusin orang perajurit penjaga itu agaknya juga terpengaruh kecerahan pagi yang mendatangkan kegembiraan dalan hati mereka sehingga mereka duduk bergerombol dan bercakap-cakap sambil tertawa-tawa, agaknya mereka bersenda-gurau di antara mereka.
Puda saat itu terdengar derap kaki kuda dan seekor kuda berbulu putih yang besar dan bagus sekali muncul dari belakang, melalui sisi sebelah kiri gedung. Para perajurit penjaga memandang dan mereka menghentikan percakapan, memandang kagum. Juga Puspa Dewi memandang dengan kagum. Bukan hanya kagum kepada kuda yang indah itu akan tetapi lebih kagum lagi melihat orang yang menunggang kuda itu.
Penunggang kuda putih itu seorang gadis yang usianya sekitar delapan belas tahun. Rambutnya hitam panjang sampai ke pinggul, agak berombak dan ketika diterpa angin, berkibar dan sebagian rambutnya menyapu dan menutupi sebelah mukanya yang berkulit putih. Wajah itu cantik jelita dan anggun, terutama sepasang matanya yang seperti bintang dan bibirnya yang merah membasah. Tubuhnya sintal padat dengan pinggang ramping.
Kedua kaki yang telanjang dari betis ke bawah itu putih dan halus mulus, tampak kekuningan ketika menempel ketat di kanan kiri perut kuda berbulu putih itu. Pakaian..gadis Itu jelas menunjukkan bahwa ia seorang gadis bangsawan. Akan tetapi cara ia menunggang kuda, memegang kendali dengan sebelah tangan kiri dan tangan kanannya menepuk-nepuk punggung kuda sambil bicara dengan suara nyaring.
"Hirr... bagus, Nagadenta, hayo loncat.....!"
Kedua kakinya menendang-nendang perut kuda di kanan kiri dan kuda putih besar yang terlatih itu lalu berlari congklang setengah berlompatan di atas lapangan rumput di pekarangan luas itu. Kuda itu dilarikan congklahg mengitari pekarangan. Tubuh yang indah itu duduknya tegak, bergerak lentur mengikuti gerakan kuda, menandakan bahwa gadis itu memang mahir menunggang kuda. Tampak serasi sekali antara gadis dan kuda itu sehingga tampak indah sekali. Puspa Dewi sendiri kagum melihatnya.
"Heii, Nimas, mau apa Andika sejak tadi berdiri di situ? Harap segera tinggalkan tempat ini karena sikap Andika dapat menimbulkan kecurigaan." kepala pasukan jaga yang usianya sekitar empat puluh tahun menegur dengan suara halus namun tegas.
Puspa Dewi yang tadinya tertarik dan menonton gadis penunggang kuda itu melarikan kudanya memutari pekarangan, kini menghadapi kepala jaga itu. Ia melihat betapa semua perajurit jaga kini memandang dan memperhatikannya.
"Maaf, Paman." kata Puspa Dewi halus dan orang yang setahun lalu mengenalnya akan terheran menyaksikan sikapnya dan mendengar suaranya yang lembut ramah, tidak seperti biasanya lincah dan galak. "Saya hendak mencari seorang laki-laki bernama Prasetyo."
"Prasetyo....?" Kepala jaga itu mengerutkan alisnya, memejamkan matanya, mengingat-ingat. Lalu dia membuka matanya kembali, memandang kepada Puspa Dewi dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal orang yang bernama Prasetyo. Hei, kawan-kawan, apakah kalian mengenal seorang bernama Prasetyo?" Sebelas orang perajurif itu berbisik-bisik lalu menggelengkan kepala mereka.
"Tidak ada yang mengenal siapa Prasetyo itu, Kakang Jiman!" kata seseorang kepada kepala jaga.
"Sayang sekali, Ninmas. Kami tidak mengenal orang yang bernama Prasetyo itu. Di mana rumahnya?"
Puspa Dewi menuding ke arah rumah gedung itu. "Rumahnya di sini."
Para perajurit itu saling pandang dan ada yang tertawa geli, bahkan ada yang mulai memandang Puspa Dewi dengan alis berkerut, mengira bahwa gadis itu tentu tidak waras! Si kepala jaga bernama Jiman itu pun mengerutkan alis dan memandang wajah Puspa Dewi dengan aneh karena menduga gadis cantik itu agak miring ingatannya.
"Engkau keliru, Nimas atau mungkin engkau sedang bingung! Semua orang di kota raja ini tahu belaka bahwa gedung ini adalah milik Gusti Tumenggung Jayatanu, senopati tua Kerajaan Kahuripan!"
"Ya-ya... Tumenggung Jayatanu. Aku mencari Prasetyo, mantu Sang Tumenggung itu!"
Kepala jaga itu semakin yakin bahwa gadis cantik di depannya ini memang agak miring alias tidak waras ingatannya. Dia memandang dengan pandang mata mengandung iba. Sayang, pikirnya, gadis yang begini cantik jelita ternyata setengah gila?
"Sadarlah, Nimas. Engkau salah masuk dan salah sangka. Mantu Gusti Tumenggung Jayatanu bernama Senopati Yudajaya!"
Puspa Dewi tertegun. Kelirukah dia? Ah, tidak mungkin. "Paman, tentu ada mantunya yang bernama Prasetyo."
"Tidak ada! Mantunya hanya seorang saja karena puterinya memang hanya seorang dan nama mantunya adalah Senopati Yudajaya. Ah, pergilah, Nimas, engkau menjadi tontonan orang nanti. Pulanglah ke rumahmu." Kepala jaga itu membujuk.
"Kalau begitu, aku ingin, bertemu dengan Senopati Yudajaya itu, Paman. Hadapkan aku padanya!"
Ki Jiman mengaruk-garuk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia menjadi serba salah menghadapi gadis yang agaknya gendeng (idiot) ini! Kalau dia melapor kepada Senopati Yudajaya dan mempertemukan Sang Senopati itu dengan seorang gadis gila, tentu dia akan mendapat marah besar dan juga mendapat malu. Akan tetapi kalau tidak, gadis ini agaknya nekat dan bagaimana kalau gadis gila ini mengamuk?”
"Wah, tidak begitu mudah, Nimas," dia membujuk. "Tidak mudah menghadap dan bertemu dengan Senopati Yudajaya. kami tidak berani mengganggunya karena kami tentu akan mendapat marah!" Dia lalu membujuk lagi. "Karena itu pulanglah saja, Nimas. Orang tuamu tentu sedang mencarimu."
Kesabaran Puspa Dewi menipis, la sudah mencoba untuk membujuk dan mendesak. Namun kepala jaga ini agaknya kukuh tidak mau mempertemukannya dengan Senopati Yudajaya, bahkan melihat sikap nya seolah meragukan kewarasan otaknyal
"Sudahlah, kalau kalian tidak dapat menolongku, biar aku mencari dan menghadap sendiri!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi lalu melangkah masuk dan ingin pergi menyeberangi pekarangan menuju ke rumah besar itu.
"Hee! Perlahan dulu!" Kepala jaga itu berseru dan dua belas orang perajurit itu lalu menghadang dan melintangkan tombak mereka untuk mencegah Puspa Dewi melangkah maju.
"Andika tidak boleh masuk!" kata kepala jaga. Kini agak marah karena jengkel harus melayani gadis yang jelas agak gila ini.
"Hemm, kalian tidak mau melaporkan ke dalam, tidak mau menolongku dan ketika aku hendak mencari dan menghadap sendiri, kalian menghalangi aku! Minggirlah kalian!"
"Nimas, lebih baik engkau keluar dan pulanglah, jangan membikin kekacauan di sini. Kami tidak ingin bersikap kasar kepada seorang wanita. Keluarlah!" Kepala jaga itu bersama teman-temannya, menggunakan tombak yang dillntangkan untuk memaksa dan mendorong Puspa Dewi keluar dari dalam pintu gapura itu.
Melihat betapa selusin orang itu berkeras hendak mendorongnya keluar, Puspa Dewi lalu mendorongkan kedua tangannya yang menangkap tombak Ki Jirnan yang didorongkan kepadanya.
"Wuuuttt...!" Bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin, dua belas orang perajurit itu terlempar ke belakang dan berpelantingan. Tentu saja mereka terkejut bukan main. Terdengar derap kaki kuda dan kuda putih itu sudah tiba di situ. Agaknya tadi ketika mengitari pekarangan, gadis penunggang kuda itu melihat peristiwa ini dan ia cepat melarikan kuda menghampiri.
"Apa yang terjadi di sini, Paman Jiman?"
Sambil merangkak bangun seperti juga teman-temannya yang tidak terluka, hanya terkejut saja, Ki Jiman berkata, "Den Roro, gadis pengacau ini memaksa kami untuk melaporkan kepada Gusti Senopati Yudajaya bahwa ia ingin bertemu. Ia hendak nekad masuk dan ketika kami menghalanginya, la mendorong kami."
Gadis itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Atas isyarat gadis itu, seorang perajurit yang paling dekat segera melompat dan menerima kendali kuda. Dia segera membawa kuda itu menjauh. Sejenak gadis itu mengamati Puspa Dewi dari kepala sampai ke kaki. Tubuh mereka sama sintal padat, sama ramping. Wajah mereka juga sama-sama cantik jelita, walaupun bentuknya berlainan. Setelah cukup mengamati Puspa Dewi, gadis itu bertanya, suaranya dan sikapnya menunjukkan kebangsawanannya, anggun dan agak tinggi hati.
"Siapakah engkau dan mau apa engkau mencari Ayahku?"
"Ayahmu?"
"Senopati Yudajaya, dia adalah Ayahku. Mengapa engkau hendak bertemu dengan dia? Siapa engkau?"
Puspa Dewi tertegun dan kini ia yang mengamati gadis di depannya itu dari kepala sampai ke kaki penuh perhatian. Gadis ini puteri ayah kandungnya?
"Kau... kau puteri Senopati Yudajaya?" tanyanya dengan suara tidak percaya.
"Hemm, seluruh penduduk Kahuripan mengenal siapa aku. Aku adalah Niken Harni, puteri tunggal Senopati Yudajaya dan engkau agaknya tidak percaya? Manusia aneh, siapa sih engkau ini?"
"Aku... namaku Puspa Dewi." kata Puspa Dewi, agak bingung karena kini ia berhadapan dengan puteri ayahnya, berarti gadis ini adalah Adik tirinya, satu ayah berlainan ibu.
Inilah agaknya anak dari Dyah Mularsih seperti yang diceritakan ibunya. Dyah Mularsih puteri Senopati Jayatanu yang menjadi isteri ke dua ayahnya! Pada saat itu, terdengar derap kaki kuda dan seorang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun, gagah dan tegak di atas kudanya, memasuki gapura dan melihat ribut-ribut, dia melompat turun. Gerakannya masih sigap dan melihat pakaiannya tentu dia seorang berpangkat.
"Hei, ada apa ribut-ribut ini? Niken, ada terjadi apakah?" tanya orang itu yang bukan lain adalah Tumenggung Jayatanu, Kakek dari Niken Harni.
Dengan suara manja Niken Harni mendekati kakek itu dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah Puspa Dewi.
"Gadis itu, Kanjeng Eyang, membikin kacau dan berkeras hendak menemui Ayah, namanya Puspa Dewi."
"Puspa Dewi....??" Senopati Tumenggung Jayatanu cepat memandang dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat Puspa Dewi, kemudian dia cepat mencabut kerisnya dan berseru.
"Benar! Ia Puspa Dewi, mata-mata Wura-wuri yang dulu menyelundup ke istana dan menjadi pelayan pribadi selir Mandari yang berkhianat! Para pengawal, tangkap ia! Kalau melawan bunuh mata-mata ini, karena tentu ia berniat buruk terhadap kita!"
Seorang perajurit memukul kentungan dan dari dalam gedung datang berlarian belasan orang pengawal yang memegang senjata klewang atau tombak. Mendengar perintah Sang Tumenggung, mereka semua yang berjumlah sekitar dua puluh lima orang bersama regu penjaga, mengepung Puspa Dewi dengan senjata siap menyerang.
"Puspa Dewi, menyerahlah kami tangkap agar kami tidak perlu menggunakan tangan kejam membunuhmu!" bentak seorang perwira pengawal, lalu dia sendiri bersama dua orang memasuki kepungan dengan niat untuk menangkap Puspa Dewi. Dua orang perajurit itu lalu menjulurkan tangan hendak menelikung kedua lengan Puspa Dewi. Akan tetapi gadis ini hanya tersenyum saja dan sebelum tangan-tangan itu menyentuhnya, ia menggerakkan kedua tangannya dan dua orang itu bersama Sang Perwira terpelanting keras sampai terguling-guling!
Melihat ini. Tumenggung Jayatanu menjadi marah. Dia merasa yakin bahwa gadis yang dia dengar merupakan Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri itu tentu akan mengamuk dan melakukan pembunuhan-pembunuhan. Maka dia membentak memberi aba-aba.
"Serbu! Bunuh mata-mata Wura-wuri ini!"
Dua puluh lebih orang itu segera menerjang dengan senjata mereka. Belasan batang tombak, klewang dan keris menyambar-nyambar bagaikan hujan ke arah tubuh Puspa Dewi. Akan tetapi Puspa Dewi tetap tenang dan tersenyum.
Kalau saja dirinya dikeroyok seperti itu setahun yang lalu, tentu dia akan marah dan mengamuk. Entah betapa banyak pengeroyok yang akan roboh tewas. Akan tetapi sekarang ia tidak membiarkan nafsu amarah mempengaruhinya. Apalagi para pengeroyok itu bukan orang-orang jahat. Maka ia lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menggerakkan tubuhnya.
Kedua tangannya berkelebatan dan dari kedua tangan itu menyambar angin yang kuat sekali sehingga mereka yang berani mendekat tentu terpelanting dan roboh dengan tubuh babak bundas (lecet-lecet) akan tetapi tidak ada yang terluka berat, apalagi tewas. Namun, setelah dua puluh lima orang itu terpelanting roboh, mereka merasa jerih dan maklum bahwa gadis itu memiliki kesaktian yang hebatl
Niken Harni yang sejak kecil sudah mempelajari aji kanuragan, melihat semua perajurit berpelantingan, menjadi marah. Ia mencabut sebatang patrem (keris kecil) dan melontarkannya ke arah Puspa Dewi. Melempar patrem ini merupakan satu di antara keahlian gadis cantik ini. Pernah ia merobohkan seekor harimau dengan lontaran patremnya yang tepat mengenai leher harimau itu.
Pada saat hampir berbareng, Tumenggung Jayatanu juga sudah melontarkan sebatang tombak ke arah Puspa Dewi. Dua buah senjata itu meluncur dengan cepat, terutama tombak itu mengeluarkan suara berdesing dan menyambar seperti kilat ke arah perut Puspa Dewi, sedangkan patrern itu menyambar ke arah lehernya!
Puspa Dewi tidak marah, la dapat mengerti mengapa Tumenggung Jayatanu langsung saja memusuhinya. Tentu Tumenggung Jayatanu tidak tahu bahwa dulu itu ia membela Kahuripan dan masih saja dianggap sebagai Sekar Kedaton Wengker yang ikut dalam persekutuan pemberontak. Yang tahu akan hal itu hanyalah Ki Patih Narotama, Nurseta, dan Dyah Untari, selir Sang Prabu Erlangga. Agaknya Sang Prabu Erlangga tentu mengetahui pula, mendengar dari laporan Dyah Untari.
Selain mereka, mungkin hanya beberapa orang senopati atau pejabat tinggi yang dekat dengan raja dan patih itu yang mengetahuinya. Kalau hanya mendengar bahwa ia adalah wakil Wura-wuri dalam persekutuan pemberontak itu, tentu saja ia akan dimusuhi, seperti sikap Tumenggung Jayatanu ini. Ketika patrem dan tombak itu menyambar ke arahnya, kedua tangan Puspa Dewi bergerak dan ia sudah menyambar dan menangkap dua buah senjata yang menyerangnya itu.
"Krek-krek-krek...!"
Dengan tenang saja kedua tangan gadis itu lalu mematah-matahkan patrem dan tombak itu, demikian mudahnya seperti orang mematah-matahkan dua batang lidi saja! Tentu saja Tumenggung Jayatanu dan cucunya, Niken Harni, terbelalak memandang dengan muka pucat.
Pada saat itu, tampak seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun, berwajah tampan dan ganteng, berpakaian seperti seorang perwira, berlari cepat memasuki pintu gapura itu. Dia melihat dua puluh lima orang perajurit yang masih tampak ketakutan dan babak belur itu, lalu melihat Tumenggung Jayatanu dan Niken Harni berdiri terbelalak dan muka mereka pucat memandang kepada seorang gadis cantik. Dia segera maju menghampiri dan pandang matanya seperti melekat kepada Puspa Dewi. Puspa Dewi juga memandang kepada laki-laki itu.
"Ayah, perempuan ini datang mengacau dan mengancam kita!" kata Niken Harni kepada laki-laki yang baru datang.
Akan tetapi Senopati Yudajaya atau ketika dahulu bernama Prasetyo, seolah tidak mendengar ucapan puterinya dan tetap memandang kepada Puspa Dewi seperti terpesona. Setelah tiba di depan Puspa Dewi dalam jarak sekitar tiga tombak, dia berhenti melangkah dan berdiri dengan mata tetap terbelalak.
“Lasmi.... engkau.... Lasmi...." dia berseru perlahan dan terputus-putus.
Hati Puspa Dewi merasa terharu sekali, akan tetapi juga merasa penasaran dan kecewa. "Hemm, masih ada orang yang ingat kepada Nyi Lasmi? Selama, sembilan belas tahun ia hidup terlantar, terlunta-lunta dan sengsara, akibat ulah seorang laki-laki kejam bernama Prasetyo!"
Prasetyo, atau Senopati Yudajaya, menjadi pucat wajahnya dan dia mengamati wajah dan bentuk tubuh Puspa Dewi penuh selidik. Kini baru dia menyadari bahwa wanita di depannya ini tidak mungkin Lasmi yang sekarang tentu jauh lebih tua.
"Andika.... siapakah? Di mana kini... Lasmi isteriku?"
"Prasetyo, gadis ini adalah seorang telik sandi dari Wura wuri! la dahulu mewakili Wura-wuri dalam persekutuan pemberontak pimpinan Pangeran Hendratama. la ini sekar Kedaton dari Wura-wuri yang jahat!"
"Benar, Ayah! Puspa Dewi ini jahat dan hendak membunuh Ayah!" kata Niken Harni.
Tubuh Prasetyo gemetar dan wajahnya menjadi pucat ketika dia menatap Puspa Dewi dengan mata terbelalak.
"Puspa Dewi.... kau Puspa Dewi.... puteri dari Lasmi....?"
Puspa Dewi tersenyum. "Hemm, Andika masih ingat kepada Ibu dan Anak yang telah Andika telantarkan, Andika tinggal begitu saja dengan kejam karena Andika mabok kesenangan dan kedudukan? Begitukah sikap seorang satria, seorang suami dan Ayah yang bertanggung jawab?"
Tubuh Prasetyo gemetar seolah lumpuh semua urat dan syarafnya dan dia terkulai dan jatuh berlutut, menutupi mukanya dengan kedua tangan .
"....aduhh ... Lasmi... ampunkan aku.... ampunkan aku...." Laki-laki yang gagah petkasa itu menangis tanpa suara dan kedua pundaknya bergoyang-goyang, tubuhnya terguncang.
"Ayah....!" Niken Harni menubruk ayahnya. Kemudian ia meloncat berdiri dengan muka merah dan mata berkilat memandang kepada Puspa Dewi. "Puspa Dewi! Jangan sembarangan menuduh Ayahku! Kalau engkau hendak menghina dan membunuh Ayahku, langkahi dulu mayatku!"
Dengan gagah Niken Harni menantang Puspa Dewi, sungguhpun ia tahu benar betapa saktinya gadis itu. Tumenggung Jayatanu maju menghampiri Puspa Dewi.
"Andika keliru kalau menuduh Prasetyo seorang suami dan Ayah yang tidak bertanggung jawab. Selama ini dia juga menderita dan sudah berusaha mencari Lasmi tanpa hasil. Kalau mau mencari siapa yang bersalah, akulah yang bersalah."
Hati Puspa Dewi seperti diremas-remas. Ia sudah merasa terharu dan kasihan melihat laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu, menangis menyesali perbuatannya dan minta ampun, ditambah lagi pembelaan adik tirinya yang menantang maut untuk membela ayahnya, dan sikap Tumenggung Jayatanu yang mengakui bersalah. Tak dapat ditahannya lagi, beberapa butir air mata mengalir turun dari sepasang matanya, la lalu melangkah menghampiri Prasetyo yang masih berlutut dan kepala menunduk dan kedua tangan menutupi mukanya.
Niken Harni dan Tumenggung Jayatanu mengikuti Puspa Dewi dengan khawatir, siap untuk melindungi Prasetyo kalau-kalau akan diserang Puspa Dewi. Dalam jarak satu tombak Puspa Dewi berhenti dan berdiri di depan ayahnya, memandang laki-laki yang masih berlutut dan menangis tanpa suara itu. Air mata semakin deras keluar dari kedua matanya, mengalir di atas kedua pipinya.
"Ayah... bangunlah...." katanya lirih.
Prasetyo atau Senopati Yudajaya menurunkan kedua tangannya, mengangkat mukanya yang pucat dan basah air mata itu memandang kepada Puspa Dewi dan dengan kaki gemetar dia bangkit berdiri. Ayah dan anak ini sejenak saling pandang.
"Engkau... engkau Puspa Dewi, anak Lasmi.... kau.... anakku...."
"Ayah....!!" Mereka saling tubruk dan saling rangkul, keduanya menangis. Prasetyo mendekap kepala itu ke dadanya, menengadah dengan mata basah.
"Duh Gusti.... terima kasih atas anugerah yang membahagiakan ini....! Puspa Dewi, anakku, engkau mau memaafkan Ayahmu ini?"
Puspa Dewi tidak dapat menjawab dengan suara karena keharuan serasa mencekik lehernya, la hanya mengangguk dalam rangkulan ayahnya.
"Ibumu di mana?"
Sebelum Puspa Dewi menjawab. Tumenggung Jayatanu berkata. "Sebaiknya kita masuk dan bicara di dalam. Tidak enak dan tidak leluasa bicara di sini."
Prasetyo teringat bahwa di situ banyak perajurit yang kini memandang ke arah mereka dengan heran. "Mari, Anakku, kita bicara di dalam."
Puspa Dewi tidak membantah dan membiarkan dirinya digandeng ayahnya memasuki gedung tumenggungan itu. Tumenggung Jayatanu dan Niken Harni mengikuti dari belakang. Hati kakek dan cucunya ini merasa lega bahwa Puspa Dewi tidak jadi mengamuk seperti yang mereka kira.
Nyai Tumenggung menyambut dan ketika ia mendengar bahwa gadis yang datang itu adalah puteri Prasetyo dan Lasmi, ia memegang kedua tangan Puspa Dewi dan berkata lembut. "Ah, Cucuku! Engkau Cucuku juga karena sudah lama Ayahmu mencari-carimu sehingga kami juga merasa prihatin sekali."
Pada saat itu, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh enam tahun yang berwajah lembut muncul. Ketika ia mendengar bahwa gadis itu adalah Puspa Dewi, ia merangkulnya dan suaranya serak karena terharu ketika bicara.
"Aduh, Anakku! Kami semua bingung memikirkan Ibumu. Ayahmu selalu merasa menyesal dan berduka kalau teringat kepada Ibumu dan engkau. Mengapa Mbakyu Lasmi tidak mau tinggal di sini? Di mana adanya Mbakyu Lasmi sekarang dan mengapa ia tidak ikut datang ke sini?"
Puspa Dewi merasa terharu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa keluarga Tumenggung Jayatanu adalah orang-orang yang baik hati, tidak seperti yang semula ia duga. Biarpun mereka adalah orang-orang bangsawan, namun sama sekali tidak angkuh, bahkan ibu tirinya yang tadinya ia benci karena ia anggap wanita itu merebut ayahnya dari samping ibunya, bersikap demikian ramah dan baik.
Mereka kini duduk mengitari sebuah meja bundar. Keharuan sudah mereda dan mereka dapat bersikap biasa, bahkan Prasetyo kini sudah berseri wajahnya, jelas dia berbahagia sekali dapat bertemu dengan puterinya. Tumenggung Jayatanu masih merasa penasaran dan dia berkata.
"Wah, aku telah salah sangka. Kukira tadi bahwa engkau adalah puteri Kerajaan Wura-wuri yang dulu membantu persekutuan pemberontak dan kini datang untuk melakukan kekacauan!" katanya sambil tersenyum lebar. "Tentu hanya merupakan persamaan nama yang kebetulan saja."
"Eyang tidak salah sangka. Memang sayalah Sekar Kedaton Wura-wuri itu, Eyang."
"Apa...??" Tumenggung Jayatanu berseru kaget sambil bangkit berdiri dari kursinya. Juga Niken Harni, Dyah Mularsih, dan Nyai Tumenggung terkejut dan memandang kepada Puspa Dewi dengan mata terbelalak. Akan tetapi Prasetyo atau Senopati Yudajaya tetap tenang bahkan dia tertawa dan berkata.
"Kanjeng Rama dan semua saja harap jangan kaget dan khawatir. Saya telah mendengar dari Gusti Patih Narotama bahwa Puspa Dewi yang tadinya mewakili Wura-wuri bersekutu dengan pemberontak itu telah mengubah sikap, berbalik membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak. Bahkan, Gusti Patih memerintahkan kepada saya dan pasukan khusus untuk menyelidiki di mana adanya Puspa Dewi dan mengundangnya ke istana karena Gusti Sinuhun berkenan ingin bertemu dengannya. Tadinya saya mengira bahwa tentu Puspa Dewi yang dimaksudkan sebagai puteri Wura-wuri itu bukan anak saya, tentu hanya persamaan nama yang kebetulan saja. Akan tetapi, baru saja Puspa Dewi mengaku bahwa Sekar Kedaton Wura-wuri itu memang ia orangnya! Nah, Puspa Dewi Anakku, engkau telah membuat kami semua menjadi heran, bingung dan bertanya-tanya. Apakah... apakah..." wajah Prasetyo berubah, jelas ia tampak rikuh dan segan mengajukan pertanyaan selanjutnya.
"Apakah apa, Ayah?" Puspa Dewi mendorongnya.
"Apakah... maaf, apakah Ibumu kini menjadi permaisuri di Wura-wuri?"
Puspa Dewi menggeleng kepalanya. "Sebelum aku memberi penjelasan dan menceritakan pengalaman Ibu dan saya, saya harap Ayah suka menceritakan dulu bagaimana dan mengapa Ayah dan Ibu sampai berpisah."
Prasetyo memandang kepada isterinya dan Dyah Mularsih berkata dengan lembut dan tenang. "Kakangmas Prasetyo, tidak perlu sangsi dan bimbang, ceritakan saja semuanya. Anakmu Puspa Dewi memang berhak untuk mengetahui segalanya agar terhapus semua sangkaan yang keliru."
"Benar kata-kata isterimu itu. Keterbukaan itu penting sekali bagi sebuah keluarga agar terdapat saling pengertian. Kesalahan yang terlanjur dilakukan dapat ditebus dengan penyesalan dan pengakuan secara jujur." kata'Tumenggung Jayatanu
Mendengar ucapan ibu tiri dan kakek tirinya itu, Puspa Dewi menjadi rikuh dan merasa tidak enak hati. Mereka begitu terbuka dan sikap mereka membayangkan bahwa mereka adalah keluarga yang terhormat dan baik budi.
"Baiklah, Puspa Dewi. Begini ceritanya. Aku menikah dengan Lasmi, Ibumu itu dan kami hidup berbahagia di kota raja ini di mana aku bekerja sebagai seorang perwira pengawal. Ketika Ibumu mengandung, ia minta pulang ke dusun Munggung agar kalau ia melahirkan, ia akan dekat dengan Ibunya yang akan merawatnya. Aku mengantarnya pulang ke Munggung."
"Ibu telah bercerita tentang itu kepada saya. Setelah Ibu tinggal di Munggung sampai saya terlahir, Ayah telah menikah lagi..." Puspa dewi memandang kepada Dyah Mularsih dan merasa rikuh. "Maaf, Ibu... saya tidak bermaksud menuntut, hanya menceritakan yang sebenarnya."
Dyah Mularsih tersenyum. "Tidak mengapa, Anakku, memang sudah semestinya begitu. Kami saling mencinta dan ketika aku mendengar bahwa Ayahmu telah beristeri, aku yang sudah terlanjur saling jatuh cinta, dapat menerima untuk menjadi isteri kedua."
"Begitulah, Puspa Dewi." Prasetyo melanjutkan.
"Sesungguhnya, tidak ada niatku semula untuk tidak setia kepada Lasmi. Akan tetapi, berbulan-bulan aku hidup seorang diri di kota raja, dan pada suatu hari, secara kebetulan aku menolong Ibumu ini, Dyah Mularsih, yang terancam bahaya karena kuda yang ditungganginya kabur dengan liar. Aku berhasil menyelamatkannya dan sejak saat itu, kami saling jatuh cinta. Akhirnya, karena akrab dengannya, aku harus bertanggung jawab menikahinya. Aku mengajak Ibumu yang telah melahirkan untuk kuboyong ke sini, akan tetapi Ibumu tidak mau, berkeras ia menolak untuk kuboyong ke rumah ini."
"Itu benar, Puspa Dewi. Bahkan aku sendiri yang mendesak Ayahmu agar Mbakyu Lasmi diboyong ke sini dan hidup satu keluarga dengan kami. Akan tetapi ia selalu menolak."
"Ibu juga telah menceritakan hal Itu. Ibu menolak karena merasa malu kalau harus tinggal di sini yang dianggapnya mondok di rumah madunya. Ia rela dimadu, akan tetapi Ibu yang merasa sebagai orang kecil yang miskin, tidak mau merendahkan diri. Saya kira hal ini tidak buruk karena kalau seorang wanita dusun yang miskin tidak memiliki harga diri, lalu apa yang ia miliki?"
"Ah... Cucuku!" kata Tumenggung Jayatanu. "Ibumu seorang wanita yang berhati keras. Ia berkeras tidak mau pindah kesini sehingga tentu saja amat sukar bagi Ayahmu memiliki dua orang istrri yang tempat tinggalnya jauh terpisah. Setelah jelas Ibumu tidak mau pindah dan Ayahmu menjadi bingung, aku lalu minta Ayahmu mengambil keputusan dan bertanggung jawab. Tidak mungkin dia mempunyai dua orang isteri yang terpisah jauh tempat tinggalnya. Maka jalan satu-satunya adalah Ayahmu harus memilih salah satu, yaitu menceraikan Dyah Mularsih dan hidup bersama Ibumu, atau Ibumu dan hidup dengan kami di sini. Ya, itulah yang menjadikan persoalan, cucuku" kata Tumenggung Jayatanu ".
"Ya, demikianlah, Puspa Dewi. Aku menjadi bingung sekali. Aku mendatangi Diajeng Lasmi dan kuceritakan hal itu. Kuceritakan bahwa aku merasa berat untuk menceraikan salah seorang, apalagi kedua orang isteriku sama-sama telah mempunyai anak. Lasmi mempunyai engkau dan Dyah Mularsih mempunyai Niken Harni ini. Aku menjadi serba salah dan aku masih seringkali berkunjung ke Munggung, bahkan ketika engkau baru berusia beberapa hulan, Ibumu diganggu dan hendak dikawin dengan paksa oleh Darsikun putera seorang demang. Ibumu menolak dan Bapak mertuaku, yaitu Ayah dari Ibumu, membela Lasmi akan tetapi dia malah tewas dibunuh. Pada saat itu aku datang dan kubunuh Darsikun dan dua orang tukang pukulnya. Setelah terjadi hal itu, tak lama kemudian, Nenekmu Ibu mertuaku, sakit-sakitan dan meninggal dunia pula. Kemudian, tanpa memberitahu kepadaku, Ibumu mengajak engkau pergi. Tidak ada orang mengetahui kemana perginya dan percayalah, kami berusaha mencari Ibumu akan tetapi gagal, Ibumu seolah-olah hilang tak meninggalkan jejak, dan tak tentu rimbanya." Prasetyo berhenti dan memandang kepada anaknya dengan sedih.
"Mbakyu Puspa Dewi, sejak aku dapat mengingat, Ayahku selalu berduka mengingat Ibu Lasmi dan engkau sehingga aku, Ibu, Kakek dan Nenek juga ikut bersedih. Semua keluarga mengharapkan dapat bertemu dan mengajak Ibu Lasmi dan engkau hidup bersama kami di sini." kata Niken Harni yang tadi ikut pula mengeluarkan air mata karena haru melihat ayahnya dan kakek tirinya.
"Nah, sekarang tiba giliranmu, Puspa Dewi. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan Ibumu dan engkau setelah meninggalkan Munggung?" tanya Prasetyo.
Daun pintu diketuk dan percakapan terhenti. Setelah diperbolehkan masuk, seorang pelayan datang membawa Baki (nampan) berisi cangkir-cangkir minuman. Setelah menaruh minuman di atas meja, Nyai Tumenggung memberi isyarat dengan tangannya agar pelayan itu cepat pergi meninggalkan ruangan itu.
"Baiklah, sekarang saya akan menceritakan semua, akan tetapi dengan singkat saja karena sesungguhnya amat tidak menyenangkan menceritakan semua pengalaman buruk itu. Menurut penuturan Ibuku, setelah meninggalkan Munggung Ibu membawa saya merantau dan selalu menyembunyikan nama agar tidak mudah dilacak ke mana Ibu pergi. Akhirnya, setelah merantau dengan susah payah, mengalami banyak penderitaan, berpindah-pindah dari satu dusun ke dusun lain, selalu memilih dusun yang sunyi terpencil, Ibu tinggal di dusun Karang Tirta, ketika itu saya berusia sekitar enam tahun."
"Kasihan Diajeng Lasmi." kata Prasetyo terharu.
"Ketika itu Ibumu sih muda, mengapa tidak menikah lagi?" tanya Tumenggung Jayatanu.
"Kata Ibu, selama itu memang banyak laki-laki yang meminangnya sebagai isteri, akan tetapi semua Ibu tolak karena Ibu hanya ingin hidup berdua dengan saya dan tidak ingin diganggu dengan kehadiran orang lain. Kami tinggal di Karung Tirta dan Ibu merasa tenteram dan tenang di sana sehingga sampai bertahun-tahun kami tidak pindah lagi. Ketika saya berusia tiga belas tahun, terjadilah peristiwa yang mengubah sama sekali kehidupan Ibu dan saya. Saya diculik dan dibawa lari Nyi Dewi Durgakumala."
"Aduh! Nyi Dewi Durgakumala, datuk sesat dari Wura-wuri itu?" kata Tumenggung Jayatanu kaget.
"Benar, Eyang. Saya tidak boleh meninggalkannya dan kalau saya nekat tentu saya akan dibunuhnya. Akan tetapi, ia bersikap baik sekali kepada saya. Ia mengambil saya menjadi muridnya dan mengajarkan aji kanuragan kepada saya."
"Wah, pantas engkau digdaya sekali, Mbakayu Puspa Dewi!" seru Niken Harni. "Engkau harus mengajarkan kesaktianmu kepadaku!"
"Niken, biarkan Mbakayumu melanjutkan ceritanya dulu!" kata Prasetyo, menegur puterinya.
"Akan tetapi, Nyi Dewi Durgakumala terkenal sebagai seorang datuk wanita yang amat jahat dan kejam...." kata Tumenggung Jayatanu dengan suara meragu sambil menatap wajah Puspa Dewi, seolah dia khawatir mendengar gadis itu mempunyai guru sejahat itu.
"Memang benar. Eyang, la jahat sekali dan melakukan banyak kekejaman sehingga seringkali bentrok dengan saya. Akan tetapi, ia menyayangi saya dan menganggap saya sebagai anaknya sendiri sehingga sering juga ia mendengar omongan saya dan membatalkan perbuatan jahatnya. Kemudian, Nyi Dewi Durgakumala menjadi isteri Adipati Bhismaprabhawa dari Wura-wuri. Karena saya telah diakui sebagai anak oleh Nyi Dewi Durgakurnala, maka dengan sendirinya saya menjadi Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri. Sebagai puteri angkat Permaisuri Wura-wuri, saya dijadikan utusan yang mewakili Wura-wuri dalam persekutuan para kadipaten yang bergabung dengan pemberontak di Kahuripan, untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga yang mereka musuhi."
"Lalu engkau diselundupkan ke istana Sang Prabu Erlangga sebagai pelayan pribadi Selir Mandari, begitu yang kudengar sehingga aku mengira engkau tentu memusuhi Kahuripan. Baru sekarang aku mendengar dari Prasetyo tadi bahwa engkau malah membela Kahuripan dan menentang para pemberontak." kata Tumenggung Jayatanu.
"Saya tidak dapat menolak perintah Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala maka saya lalu berangkat ke Kahuripan dan secara rahasia bergabung dengan persekutuan itu. Akan tetapi setelah saya bertemu dengan Ki Patih Narotama dan Sang Prabu Erlangga, saya menjadi tahu bahwa Kahuripan dipimpin orang-orang yang bijaksana, sebaliknya persekutuan itu terdiri dari orang-orang yang jahat dan sesat. Maka setelah menyadari hal itu, saya membalik, membela Kahuripan dan menentang persekutuan itu dapat dihancurkan, tentu saja saya tidak berani kembali ke Wura-wuri karena mereka tentu akan memusuhi saya yang telah mengkhianati mereka."
"Engkau sama sekali bukan pengkhianat, Puspa Dewi." kata Prasetyo. "Engkau adalah Anakku dan Lasmi. Kami berdua adalah kawula Kahuripan, maka engkau juga kawida Kahuripan yang sudah semestinya membela Kahuripan dan menentang mereka yang memusuhi Kahuripan. Akan tetapi, bagaimana dengan Ibumu?"
Puspa Dewi merasa tidak enak sekali untuk menceritakan ibunya. Akan tetapi ia tidak dapat mengelak dan memang lebih baik berterus terang, la pun siap membela ibunya kalau dianggap bersalah.
"Sampai saya berusia tiga belas tahun, selama itu Ibu tidak mau menjadi isteri orang karena Ibu ingin hidup berdua dengan saya tanpa ada gangguan seorang suami yang tentu akan menjadi Ayah tiriku. Akan tetapi saya diculik Nyi Dewi Durgakumala. Ibu menjadi bingung dan kehilangan pegangan. Saya adalah satu-satunya orang yang dekat dengannya dan menjadi tumpuan harapannya akan tetapi saya hilang tanpa ada yang mengetahui ke mana saya dilarikan penculik. Dalam keadaan bingung, gelisah, duka yang membuat Ibu putus asa itu, datang uluran tangan dari Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta."
"Ah, Lurah Suramenggala yang dipecat oleh Gusti Patih Narotama itu?" Tumenggung Jayatanu berseru.
"Jadi Eyang sudah mengetahui hal itu?"
"Aku hanya mendengar bahwa Gusti Patih telah memecat Lurah Karang Tirta yang dianggap nyeleweng dan Ki Suramenggala beserta seluruh keluarganya diusir keluar dari dusun Karang Tirta. Lalu bagaimana selanjutnya dengan Ibumu?"
"Dalam keadaan gelisah, bingung dan putus asa itu Ibu dihibur oleh Ki Lurah Suramenggala. Sikap lurah itu baik sekali kepada Ibu, bahkan menjanjikan akan mencari saya sampai dapat ditemukan. Tentu saja dalam keadaan seperti itu, datang uluran tangan, Ibu berterima kasih sekali dan... dan Ibu tidak dapat menolak ketika Ki Suramenggala mengambilnya menjadi selirnya." Puspa Dewi menghentikan kata-katanya dan mengamati wajah ayahnya dengan penuh selidik untuk mengetahui bagaimana tanggapan batin pria itu terhadap cerita tentang ibunya.
Sepasang alis Prasetyo berkerut, dia mengangkat muka setelah tadi menunduk, memandang kepada Puspa Dewi dan menghela napas panjang.
"Diajeng Lasmi berhak untuk menikah lagi dengan pria mana pun yang ia sukai, malah sebetulnya hal itu sudah sejak dulu ia lakukan."
Yang lain-lain diam saja tidak memberi komentar karena maklum bahwa urusan itu rawan dan peka sekali bagi perasaan Prasetyo dan terutama Puspa Dewi. Melihat sikap dan mendengar ucapan ayahnya, Puspa Dewi merasa lega. Ayah kandungnya ini ternyata seorang yang bijaksana. Andaikata ayahnya menyambut cerita itu dengan memperlihatkan kemarahan, ia tentu akan menegur ayahnya untuk bercermin dan melihat bahwa keadaan ibunya itu dialah yang menjadi sebabnya. Kini, melihat sikap ayahnya, Puspa Dewi juga menghela napas panjang
"Sayang sekali, Ibu yang sedang kebingungan karena kehilangan saya itu, ternyata salah lihat, dan salah pilih. Lurah itu bagaikan musang berbulu ayam atau srigala bermuka domba. Dia menolong Ibu bukan karena dia merasa iba, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena memang sejak dulu dia menaksir Ibu. Maka dapat dibayangkan betapa kesengsaraan Ibu semakin parah, sudah kehilangan saya, bertambah lagi menjadi selir orang yang ternyata berwatak buruk dan jahat."
"Duh Gusti.... kasihan Diajeng Lasmi, terlunta-lunta dan semua itu gara-gara aku..." Prasetyo mengeluh.
"Yang bersalah adalah aku." kata Dyah Mularsih sambil menundukkan mukanya. "Aku telah merampas Kakangmas Prasetyo dari Ibumu, Puspa Dewi."
"Tidak, Akulah yang bersalah!" kata Tumenggung Jayatanu. "Kalau aku membiarkan Prasetyo tinggal di rumahnya sendiri, tentu hal ini tidak berlarut-larut."
"Akan tetapi rumah sebesar ini, apakah harus ditinggali kita berdua saja?" Nyai Tumenggung membantah suaminya, lalu berpaling kepada Puspa Dewi. "Puspa Dewi, aku tidak tahan untuk berpisah dari Anakku Dyah Mularsih adalah Anakku satu-satunya, bagaimana mungkin kami membiarkan ia pergi ikut suaminya pindah ke rumah lain membiarkan kami berdua orang tua kesepian dalam rumah sebesar ini? Aku memang bersalah, karena akulah yang membujuk Eyangmu untuk melarang agar Dyah Mularsih jangan pindah meninggalkan kami."
Mendengar ucapan mereka dan melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh merasa bersalah dan menyatakan penyesalan mereka dalam suara mereka, Puspa Dewi menghela napas panjang dan berkata,
"Sesungguhnya, Ibuku juga bersalah, la terlalu keras hati dan berkukuh tidak mau diboyong Ayah ke sini, andaikata ketika itu ia mau, tentu tidak timbul persoalan lagi."
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang tentu saja terdengar janggal dan memecahkan suasana haru dan serius tadi. Suara tawa merdu dari mulut Niken Harni.
"He-he-he-hi-hik! Semua orang mengaku salah. Eyang Kakung (Kakek) bersalah, Eyang Puteri (Nenek) bersalah, Ayah bersalah, Ibu bersalah, dan menurut Mbakayu Puspa Dewi, Ibu Lasmi juga bersalah! Mbakayu Puspa Dewi, lalu kita berdua ini bagaimana? Apakah kita berdua sebagai Anak-anak mereka juga bersalah?"
Puspa Dewi tertawa dan semua orang tertawa sehingga suasananya berubah gembira. Ternyata pengakuan bersalah dari dirinya sendiri itu mendatangkan kelegaan yang membangkitkan kegembiraan!
"Yah, beginilah seharusnya. Dunia penuh pertikaian, permusuhan, semua itu dikarenakan setiap orang merasa benar sendiri dan mencari-cari kesalahan orang lain sehingga saling menyalahkan yang menimbulkan permusuhan. Kalau saja kita masing-masing mencari dan menemukan lalu berani mengakui kesalahan sendiri masing-masing, dunia ini tentu akan damai dan tenteram. Pertaubatan dan pembaharuan langkah hidup dimulai dengan pengakuan kesalahan diri sendiri." kata Tumenggung Jayatanu. Semua orang terdiam dan ucapan itu mendatangkan kesan mendalam.
"Puspa Dewi, lalu bagaimana dengan Ibumu? Bagaimana keadaannya sekarang dan di mana ia berada?" Tanya Prasetyo atau Senopati Yudajaya.
"Tadi Eyang Tumenggung sudah menceritakan bahwa Gusti Patih Narotama membikin pembersihan di dusun Karang Tirta. Ki Lurah Suramenggala dipecat dan diusir dari Karang Tirta. Ibu menggunakan kesempatan ini untuk membebaskan diri dari Ki Suramenggala dan tidak mau ikut dia pergi. Ibu lalu diterima oleh Ki Pujosaputro beserta keluarganya. Ki Pujosaputro adalah lurah baru Karang Tirta hasil pilihan penduduk dusun itu dan disahkan oleh Gusti Patih Narotama. Semua yang terjadi itu saya ketahui dari penuturan Ibu. Ketika saya berada di sana, pada suatu hari datang lima orang senopati Wura-wuri yang diperintahkan Adipati Bhismaprabhawa untuk menangkap saya. Tentu saja saya tidak mau dan terjadi perkelahian. Saya dikeroyok lima orang senopati itu. Kemudian mereka bertindak curang. Seorang di antara mereka menangkap Ibuku dan mengancam saya untuk menyerah, kalau tidak mereka akan membunuh Ibuku."
"Wah, licik! Curang! Kalau aku berada di sana, tentu aku akan membantumu, Mbakayu Puspa Dewi!" teriak Niken Harni sambil bangkit berdiri dan mengepal kedua tangannya!
"Niken, biarkan Mbakayumu melanjutkan ceritanya." Kata Prasetyo dan Niken Harni duduk kembali.
"Pada saat yang gawat karena saya meragu harus berbuat apa, dan Ibu berteriak agar aku tidak menyerah, tiba-tiba muncul seorang kakek yang sakti mandraguna dan dia membuat lima orang Wura-wuri itu ketakutan dan melarikan diri. Kakek itu lalu pergi begitu saja. Saya merasa kagum dan penasaran. Saya kejar dia dan akhirnya setelah kami berkejaran semalam suntuk, kakek itu mengalah dan berhenti. Beliau lalu memberi pelajaran kepada saya selama tiga bulan."
"Mbakayu Puspa Dewi, siapakah Kakek itu? Kalau dia begitu sakti mandraguna, saya pun ingin menjadi muridnya!"
"Nama beliau adalah Sang Maha Resi Satyadharma dari Gunung Agung di Bali-dwipa."
"Jagad Dewa Bathara....!" Tumenggung Jayatanu berseru dengan kagum dan heran. "Maha Resi Satyadarma? Beliau adalah guru Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama!"
"Benar, Eyang. Beliau juga memberitahu saya akan hal itu."
"Waduh! Hebat engkau, Mbakayu! Engkau menjadi saudara seperguruan Gusti Sinuhun dan Gusti Patih!"
"Ah, mana bisa dikatakan begitu, Niken. Kedua Beliau itu adalah murid-murid Eyang Maha Resi Satyadharma selama bertahun-tahun, sedangkan aku hanya mendapat polesan selama tiga bulan saja."
"Niken, jangan memotong cerita Mbakayumul" Nyai Tumenggung menegur cucunya.
"Baik... baik...!" Niken cemberut manja. "Nah, silakan melanjutkan ceritamu, Mbakayu Dewi."
"Setelah membimbing saya selama tiga bulan, Eyang Resi lalu berpisah dari saya dan saya langsung pergi ke kota raja untuk mencari Ayah dan menceritakan segala hal mengenai Ibu. Sungguh menyesal sekali kedatangan saya menimbulkan kekacauan, Eyang. Mohon diampuni kelancangan saya."
Tumenggung Jayatanu, isterinya, juga Prasetyo dan Dyah Mularsih, merasa terharu mendengar ucapan terakhir Puspa Dewi itu.
"Ah, itu hanya kesalahpahaman di pihak kami, Puspa Dewi." kata Tumenggung Jayatanu.
"Niken Harni, engkau mendengar semua cerita Mbakayumu tadi? Nah, contohlah sikap dan sepak terjang Mbakayumu itu, jangan sekali-kali bersikap tinggi hati dan manja."
Niken cemberut. "Aih, Ibu...! Siapa sih yang tinggi hati dan manja?"
"Jadi sekarang Diajeng Lasmi masih berada di Karang Tirta?"
"Benar, Ayah. Di rumah Ki Lurah Pujosaputro."
"Kalau begitu, kita berangkat ke sana, sekarang juga untuk menjemputnya!"
"Aku ikut, Ayah!" kata Niken Harni.
"Sebaiknya kita semua pergi ke sana beramai-ramai menjemput Mbakayu Lasmi. Dengan begitu ia tentu maklum akan maksud baik kita dan mau ikut ke sini." kata Dyah Mularsih.
"Isterimu benar, Prasetyo. Akan tetapi sebelum kita pergi ke Karang Tirta, aku ingin lebih dulu menghadapkan Puspa Dewi kepada Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena memang aku pernah ditugaskan untuk mencari Puspa Dewi dan membawanya menghadap ke istana. Puspa Dewi, engkau tidak keberatan untuk menghadap kedua Beliau itu, bukan?"
"Tentu saja tidak, Eyang. Kalau memang Gusti Sinuhun dan Gusti Patih memanggil saya, saya akan menghadap dengan senang hati."
Puspa Dewi diterima oleh keluarga Tumenggung Jayatanu sebagai keluarga sendiri sehingga ia merasa senang. Apalagi kalau membayangkan bahwa ibunya akan diterima pula, bersatu dengan ayahnya, hatinya merasa gembira sekali. Setelah tinggal semalam di gedung tumenggungan itu, pada keesokan harinya Tumenggung Jayatanu mengajak Puspa Dewi untuk menghadap Ki Patih Narotama di kepatihan. Kebetulan sekali Ki Patih berada di rumah sehingga mereka dapat diterima langsung. Ki Patih Narotama menerima mereka di ruangan depan dan wajahnya berseri ketika dia mengenal siapa yang datang bersama Tumenggung Jayatanu.
"Ah, kiranya Paman Tumenggung Jayatanu yang datang. Dan ini... bukankah Puspa Dewi...? Silakan duduk, mari silakan duduk di sini." Ki Patih menerima sembah mereka dan mempersilakan duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia.
Ki Patih Narotama memang bersikap lembut dan ramah kepada para pamong praja yang menjadi bawahannya. Dia tidak mau kalau dia dihormati secara berlebihan seperti seorang raja dan selalu menerima para bawahannya dengan sama-sama duduk di atas kursi.
"Paman Tumenggung, saya merasa gembira sekali Paman datang membawa Puspa Dewi."
"Sesungguhnya, Gusti Patih, saya juga merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Cucu saya ini dan membawanya ke hadapan Paduka."
"Cucu? Apakah Puspa Dewi ini cucumu, Paman?"
"Benar, Gusti, ia adalah Cucu saya, maksud saya Cucu tiri, karena dia adalah anak kandung mantu saya Senopati Yudajaya dari isteri yang pertama."
"Hemm, benarkah ini, Puspa Dewi? Setahuku Andika adalah murid Nyi Durgakumala, bahkan kemudian Andika menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri ketika Gurumu yang mengangkatmu sebagai anak Itu menjadi permaisuri wura wuri! Bagaimanakah sebetulnya semua ini? Coba jelaskan agar aku tidak menjadi ragu dan bingung."
Puspa Dewi menyembah, la pernah bertemu dengan Ki Patih Narotama ini. Bahkan ketika itu, ia mencari Ki Patih Narotama untuk membunuhnya atas perintah gurunya, Nyi Dewi Durgakumala yang mendendam kepada patih itu. Akan tetapi, selain ia tidak mampu menandingi Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna, juga sebaliknya patih itu memberi wejangan-wejangan yang menyadarkan pikiran dan membuka mata batinnya bahwa gurunya adalah seorang yang amat sesat.
Pertemuannya dengan Nurseta, dan terutama dengan Ki Patih Narotama inilah yang membuat ia sadar dan mendorongnya untuk membela Kahuripan dan menentang persekutuan pemberontak yang berusaha menggulingkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Maka, gadis ini amat menghormati Ki Patih Narotama dan sebelum menjawab pertanyaan tadi, ia lebih dulu menyembah dengan hormat.
"Memang riwayat hamba agak ruwet, Gusti. Hamba sendiri baru saja mengetahui siapa Ayah hamba dan bahwa Eyang Tumenggung ini adalah Eyang hamba. Ketika hamba masih kecil, Ibu hamba berpisah dari Ayah hamba dan tinggal di dusun Karang Tirta."
"Hemm, sekarang aku ingat. Ketika aku melakukan penyelidikan ke Karang Tirta, aku mendengar bahwa Ki Suramenggala mempunyai dua orang anak yang digdaya, puteranya sendiri adalah Si Linggajaya yang jahat itu dan puteri tirinya adalah Puspa Dewi. Kemudian setelah aku mengusir Ki Suramenggala, aku melihat Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan menangis, menceritakan bahwa ia terpaksa menjadi selir Ki Suramenggala yang hidup sewenang-wenang sebagai lurah di Karang Tirta. Nyi Lasmi itukah Ibumu?"
"Benar, Gusti. Hamba diaku sebagai anak oleh guru hamba, Nyi Dewi Durgarkumala dan setelah guru hamba menjadi permaisuri Kerajaan Wura-wuri hamba menjadi Sekar Keraton. Maka hamba tidak dapat menolak ketika hamba diutus menjadi wakil Wura-wuri untuk bergabung dengan kadipaten lain yang berusaha untuk menjatuhkan Sang Prabu Erlangga dari tahta. Akan tetapi setelah melihat kenyataan bahwa Kahuripan berada di pihak benar dan para kadipaten yang bersekutu dengan pemberontak Pangeran Hendratama adalah pihak yang sesat, hamba mengambil keputusan untuk berbalik membela Kahuripan dan menentang persekutuan itu."
"Ya, untuk itu Sang Prabu Erlangga dan aku merasa gembira dan berterima kasih kepadamu, Puspa Dewi. Maka para senopati termasuk Paman Tumenggung Jayatanu dipesan agar mencarimu dan kalau bertemu denganmu mengajak engkau datang menghadap. Lanjutkan ceritamu."
"Setelah perang usai, hamba kembali ke Karang Tirta dan mendengar bahwa Ibu hamba telah dapat terbebas dari Ki Suramenggala, hamba merasa lega karena sesungguhnya hamba juga tidak suka mempunyai Ayah tiri seperti Ki Suramenggala yang kejam dan jahat. Ketika itu, Ibu hamba berterus terang kepada hamba bahwa Ayah kandung hamba sesungguhnya belum mati seperti yang ia ceritakan sebelumnya. Setelah ia menceritakan tentang Ayah kandung hamba, hamba lalu mencarinya ke kota raja dan akhirnya hamba bertemu dengan Ayah kandung hamba, juga dengan Eyang Tumenggung Jayatanu dan semua keluarganya. Nah, demikianlah Gusti Patih dan atas kehendak Eyang Tumenggung, sekarang hamba dibawa menghadap Paduka."
Ki Patih Narotama mengangguk-angguk. "Bagus sekali, dan aku ikut merasa gembira bahwa akhirnya engkau dapat bertemu kembali dengan Ayahmu Senopati Yudajaya dan keluarganya dan lebih senang lagi bahwa engkau telah menyadari bahwa sudah semestinya engkau membela Kahuripan karena engkau kawula Kahuripan mengingat bahwa Karang Tirta adalah wilayah Kahuripan, Puspa Dewi. Sekarang, marilah engkau dan Paman Tumenggung kuantar menghadap Gusti Sinuhun."
Mereka bertiga lalu pergi ke istana dan seperti biasa, Ki Patih Narotama adalah satu-satunya pembantu Sang Prabu Erlangga yang dengan mudah dapat keluar masuk istana tanpa pengawasan atau pertanyaan. Ketika pengawal dalam keraton melaporkan, Sang Prabu Erlangga dengan gembira siap menerima Ki Patih Narotama yang membawa Tumenggung Jayatanu dan Puspa Dewi datang menghadap.
Sang Prabu Erlangga juga menyatakan kegembiraan hatinya, dan berterima kasih kepada Puspa Dewi akan apa yang pernah ia lakukan ketika ia membela Kahuripan dan menentang persekutuan di mana ia tadinya menjadi wakil. Akan tetapi ketika Sang Prabu Erlangga menawarkan kedudukan sebagai perwira pengawal wanita yang menjaga keselamatan para penghuni istana bagian keputren, Puspa Dewi menolak halus dengan sembah.
"Mohon beribu ampun, Gusti. Bukan hamba semata menolak anugerah yang Paduka berikan kepada hamba. Hamba menghaturkan banyak terima kasih dan hamba merasa berbahagia sekali atas kemurahan hati Paduka kepada hamba. Akan tetapi, Gusti, pada waktu ini hamba masih ingin bebas dari semua ikatan. Hamba ingin merasakan kebahagiaan hidup berkumpul dengan kedua orang tua hamba, hal yang sejak kecil hamba rindukan. Walaupun hamba tidak menjadi seorang punggawa, namun setiap saat hamba siap membela kerajaan Paduka apabila ada pihak yang mengganggu, Gusti."
Sang Prabu Erlangga mengangguk-angguk, tersenyum. "Kami dapat memaklumi pendirianmu itu, Puspa Dewi. Baiklah, kami pasti akan menghubungimu apabila kami membutuhkan bantuan. Sekarang terimalah hadiah dari kami ini. Pusaka yang berbentuk patrem Ini disebut Sang Cundrik Arum, hasil tempaan Sang Empu Ramahadi di jaman Jawa Kandha. Pernah menjadi pusaka ageman (pakaian) Sang Permaisuri Bathari Nawangsih dari Kerajaan Medang Kamulan. Pusaka ini, selain ampuh dan memiliki daya pelindung dan penyembuhan, juga dengan memegang pusaka ini Andika dapat memasuki istana kami sewaktu-waktu sebagai seorang kepercayaan kami, Puspa Dewi."
Puspa Dewi merasa senang, bangga dan terharu menerima pusaka yang tak ternilai harganya itu. Ia berlutut menyembah, menerima pusaka berbentuk patrem atau cundrik itu sambil menghaturkan banyak terima kasih. Setelah menerima hadiah lain berupa beberapa perangkat pakaian berikut perhiasan yang serba indah, Puspa Dewi diperkenankan mundur bersama Tumenggung Jayatanu, sedangkan Ki Patih Narotama masih tinggal di istana untuk berbincang-bincang dengan Sang Prabu Erlangga.
Dapat dibayangkan betapa bahagianya hati Puspa Dewi. Senopati Yudajaya atau Prasetyo, ayah Puspa Dewi dan seluruh keluarga Sang Tumenggung ikut merasa senang. Kemudian keluarga itu berkemas dan pada hari yang sudah mereka pilih dan tentukan, berangkatlah keluarga yang terdiri dari Tumenggung Jayatanu, Nyai Tumenggung, Senopati Yudajaya, Dyah Mularsih, Niken Harni, Puspa Dewi dan selosin perajurit pengawal berikut kusirnya, dalam dua buah kereta, menuju ke dusun Karang Tirta.
********************
Dusun Karang Tirta kini merupakan dusun yang jauh lebih makmur dibandingkan tahun-tahun yang lalu. Rumah-rumah para penduduk telah diperbaiki semua. Juga melihat pakaian mereka dan keadaan kesehatan tubuh mereka, mudah diketahui bahwa seluruh penduduk dusun itu sudah terangkat dari lembah kemiskinan.
Setidaknya mereka sudah tercukupi kebutuhan sandang-pangan-papan (pakaian, makan, dan rumah tinggal). Semua ini terjadi dengan cepat berkat kebijaksanaan Ki Lurah Pujosaputro, pengganti Ki Lurah Suramenggala yang dicopot oleh Ki Narotama kemudian diusir dari dusun Karang Tirta.
Tak dapat disangkal kenyataan bahwa kemakmuran tidak jatuh begitu saja dari langit! Kebutuhan hidup manusia tidak begitu saja disediakan Sang Hyang Widhi, walaupun jelas bahwa semua bahannya memang hasil ciptaan Yang Maha Pencipta. Sang Hyang Widhi menciptakan tanah, air, hawa udara, sinar matahari, juga benih tanaman-tanaman. Semua benda ini tidak dapat dibuat oleh manusia dan memang sudah dianugerahkan kepada manusia untuk kepentingan hidup manusia.
Namun, semua benda itu tidak ada gunanya kalau tidak diolah, dikerjakan, diusahakan oleh manusia sendiri. Jasmani kita, berikut hati akal pikiran, juga merupakan ciptaan Yang Maha Kasih, dan setiap bagian tubuh kita sudah dibuat sedemikian rupa sehingga cocok dan tepat untuk dikerjakan demi kesejahteraan hidup kita. Berkat dari Yang Maha Kasih Itu tidak dapat dipisahkan dengan usaha kita, merupakan dwitunggal yang tidak dapat dipisahkan dan harus bekerja sama untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup kita.
Semua bahan yang telah disediakan oleh-Nya itu tidak akan ada gunanya kalau tidak kita olah dan kerjakan, yaitu kita cangkul, kita airi, kita pupuk, kita pelihara dan rawat dengan baik. Sebaliknya, betapa hebat pun kita berusaha, tanpa adanya satu saja dari semua bahan yang sudah disediakan oleh-Nya itu, juga tidak akan dapat menghasilkan apa-apa. Itu merupakan tugas pribadi untuk mempertahankan hidup, yaitu bekerja!
Akan tetapi kita hidup bermasyarakat, bernegara, berpemerintahan, terdiri dari banyak orang. Para penduduk Karang Tirta terdiri dari ratusan orang. Masyarakat perlu diatur, dengan hukum-hukum agar tidak kacau dan saling berebut. Jelas bahwa kehidupan rakyat diatur oleh hukum, agar tertib, agar adil dan membawa rakyat kepada kemakmuran atau kesejahteraan seperti yang diidamkan setiap orang di mana pun di dunia ini.
Apakah adanya peraturan hukum menjamin datangnya kemakmuran rakyat? Hukum adalah barang mati! Karena itu, tangan-tangan yang memegang dan menguasai pelaksanaan hukum itulah yang sepenuhnya diserahi wewenang dan tugas untuk memakmurkan rakyatnya. Jelas, ditangan para pemimpinlah terletak kunci untuk membuka pintu kemakmuran bagi rakyatnya.