Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 05
Di Karang Tirta, orang pertama yang paling berkuasa adalah Sang Lurah. Sesungguhnya, di tangannyalah tergenggam nasib para penduduk Karang Tirta. Ketika Ki Lurah Suramenggala menjadi lurah, dia bukan merupakan seorang pemimpin yang baik. Dia menggunakan semua sumber hasil tanah dan sumber tenaga manusia menjadi sumber penghasilan yang berlimpahan untuk dirinya sendiri, untuk dia dan keluarganya.
Rakyat diperas habis-habisan sehingga kehidupan penduduk Karang Tirta berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan kehidupan Sang Lurah dan orang-orang yang dekat dengannya, sanak saudara dan para pembantunya, hidup bermewah-mewah dan berlebihan, kaya raya dan makmur. Padahal Ki Suramenggala dan para pembantunya selalu menganjurkan agar penduduk Karang Tirta berprihatin, hidup hemat dan serba kekurangan demi pembangunan Karang Tirta untuk kemakmuran kehidupan anak cucu kelak!
Semua pembantu lurah, dari carik sampai jagabaya dan pamong yang paling rendah pangkatnya, tidak ada yang jujur. Semua memeras rakyat dengan dalih pembangunan dusun, akan tetapi uangnya mereka kantongi sendiri. Para jagabaya yang semestinya menjaga keamanan penduduk, bahkan menjadi penggangu keamanan. Hukum yang dilaksanakan adalah hukum lurah dan para pembantunya, mudah saja memutar-balikkan fakta, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah demi keuntungan para penguasa itu.
Semua ini terjadi karena Ki Lurah Suramenggala tidak menjadi tauladan yang baik sebagaimana seharusnya seorang pemimpin. Dia sebagai orang nomor satu di Karang Tirta, bertangan kotor melakukan penindasan, mengandalkan kekuasaan untuk melaksanakan segala kehendaknya, menumpuk harta tanpa memperdulikan kemiskinan penduduk.
Kalau pemimpin tertinggi di dusun Karang Tirta itu bertangan kotor, bagaimana mungkin para pembantunya, para pamong praja, dapat bertangan bersih? Mereka juga melakukan segala macam kejahatan demi menum-puk harta. Atasannya tidak mungkin berani menegur karena atasan itu, sendiri tangannya kotor,demikian atasannya lagi sampai kepada yang paling atas di dusun itu, yakni Ki Lurah Suramenggala! Jadilah semua pamong itu bertangan kotor!
Untunglah bahwa Kerajaan Kahuripan dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, berhati jujur dan bersikap bijaksana. Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, ketika melihat seorang bawahannya, yaitu Ki Lurah Suramenggala, bertangan kotor, langsung saja dia berani memberantasnya. Dia melakukan pembersihan tanpa sungkan karena dia sendiri bertangan bersih!
Atas pilihan penduduk, disetujui oleh Ki Patih Narotama, dusun Karang Tirta kini dipimpin oleh Ki Lurah Pujosaputro. Lurah Pujosaputro ini adalah seorang lurah yang baik, pemimpin yang bijaksana. Dia selalu ingat bahwa dia menjadi lurah karena ada rakyat yang memilihnya, dan rakyat memilihnya karena rakyat percaya bahwa dia akan menjadi pemimpin yang baik, yang memperhatikan kesejahteraan rakyat dusun Karang Tirta. Dan ternyata harapan penduduk Karang Tirta tidak sia-sia.
Ki Lurah Pujosaputro benar-benar mendahulukan kepentingan penduduk daripada kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dia tidak mau menumpuk harta dari perasan keringat rakyat, tidak mau memperkaya diri sendiri dan hasil tanah pedusunan dinikmati penduduk yang mengolahnya. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya hidup biasa saja, tidak berlebihan dan tentu saja sebagai lurah, juga tidak kekurangan.
Karena kebijaksanaannya ini, penduduk suka dan hormat kepadanya. Ada saja yang mengirimi hasil palawija, buah-buahan dan hasil usaha lain kepada keluarga Ki Lurah. Kehidupan penduduk Karang Tirta meningkat dengan pesat dan semua orang merasa gembira. Kini penduduk Karang Tirta tidak merasa iri kepada dusun-dusun lain yang makmur karena kebijaksanaan lurah masing-masing.
Karena lurahnya bertangan bersih, bawahannya, para pamong, tidak ada yang berani bermain kotor dan karena pamong prajanya jujur dan adil, rakyatnya juga senang dan menaati semua peraturan dan hukum yang diberlakukan sama rata, bukan untuk menindas yang bawah dan memenangkan yang atas.
Akan tetapi, menjadi sebuah kenyataan yang membuat kebanyakan orang, terutama yang imannya kurang penuh, menjadi penasaran, betapa banyaknya terjadi orang-orang yang dalam hidupnya dikenal sebagai orang yang baik budi, mengalami bencana dan kesengsaraan, sebaliknya orang yang angkara murka dan mementingkan diri sendiri dan suka melakukan perbuatan jahat, hidupnya bergelimang kesenangan dan kemuliaan! Tentu saja ini sebetulnya hanya menurut pandangan jasmaniah belaka.
Pada suatu malam, belasan orang yang berpakaian serba hitam dan bersikap sombong dan bengis memasuki dusun Karang Tirta. Ketika empat orang pemuda dusun yang bertugas jaga malam menghadang dan bertanya karena melihat betapa dua belas orang itu tidak mereka kenal dan di antara mereka terdapat dua orang yang berpakaian mewah, rombongan itu tanpa banyak cakap lagi menyerang dan merobohkan empat orang pemuda itu sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali karena setelah dipukul pingsan!
Rombongan terdiri dari dua belas orang itu lalu melangkah lebar dan cepat menuju rumah Ki Lurah Pujosaputro. Dua orang pemimpin rombongan yang berpakaian mewah itu adalah Wirobento yang tinggi besar bersenjata pecut berujung besi-besi kecil dan Wirobandrek yang juga tinggi besar dengan senjata sepasang kolor merah. Kakak beradik ini merupakan sepasang warok yang terkenal sesat, berusia sekitar tiga puluh dua dan tiga puluh tahun.
"Adi Bandrek, bagaimana kalau gadis sakti Puspa Dewi itu berada di Karang Tirta ini?" kata Ki Wirobento dengan suara yang membayangkan perasaan gentar.
"Kakang Bento, mengapa khawatir? Hal ini tidak mungkin karena para penyelidik sudah melaporkan dengan jelas bahwa saat ini gadis itu tidak berada di sini. Kita aman! Pula, bukankah ia telah menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri?"
"Hemm, tidak mungkin ia dapat diterima di Wura-wuri setelah ia mengkhianati persekutuan di mana Wura-wuri juga terlibat itu. Aku khawatir kalau-kalau para penyelidik salah duga dan ia nanti akan melakukan pengejaran terhadap kita. Ia sakti mandraguna, Bandrek, kita sama sekali bukan tandingannya."
"Ah, Kakang Bento, tidak perlu takut. Asalkan kita sudah dapat meringkus Nyi Lasmi, Puspa Dewi tidak akan berani berkutik. Kita jadikan Ibunya itu sebagal sandera dan kita lihat saja, apa yang akan dapat ia lakukan!"
"Kamu benar, Bandrek. Mari kita bereskan mereka dan tangkap Nyi Lasmi sesuai dengan pesan Ki Suramenggala!"
Setelah tiba di rumah Ki Lurah Pujosaputro, dua belas orang itu lalu menyerbu. Mereka mendobrak dan menjebol pintu lalu menerjang ke dalam rumah besar itu. Lima orang pemuda yang sedang berjaga di samping rumah, cepat berlari mendatangi, akan tetapi mereka berlima segera roboh disambut serangan orang-orang yang rata-rata memiliki kedigdayaan itu.
Dua belas orang itu lalu mengamuk. Sesuai dengan perintah yang mereka terima dari Ki Suramenggala yang kini telah berada di Kerajaan Wengker sebagai orang yang tinggi kedudukannya sebagai ayah Sang Adipati Linggawijaya, mereka membacok siapa saja yang mereka temukan di dalam rumah kelurahan itu.!
Ketika Ki Pujosaputro dan isterinya muncul dari kamar, mereka berdua disambut bacokan golok yang membuat mereka tewas seketika. Ketika mereka menemukan Nyi Lasmi, mereka meringkusnya dan Ki Wirobandrek segera memanggul wanita yang telah diikat kaki tangannya itu di atas pundaknya dan dua belas orang itu berusaha mencari orang-orang lain yang menjadi penghuni rumah itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan gaduh di luar kelurahan dan dua belas orang itu ketika melihat betapa puluhan, bahkan mungkin seratus lebih pemuda dusun dating sambil membawa segala macam senjata dengan sikap mengancam, mereka menjadi gentar juga. Mereka hanya dua belas orang dan sungguhpun mereka merupakan jagoan-jagoan tangguh, namun menghadapi demikian banyak orang mereka menjadi ketakutan dan segera dua belas orang itu melarikan diri sambil memutar senjata mereka untuk menjaga diri.
Para pemuda dusun Karang Tirta, setelah mengetahui bahwa gerombolan itu melakukan pembunuhan terhadap para penghuni rumah Ki Lurah, segera melakukan pengejaran sambil membawa obor. Akan tetapi, dua belas orang itu telah lenyap dalam hutan yang lebat. Terpaksa mereka kembali dengan tangan hampa.
Seluruh penduduk dusun Karang Tirta berduka setelah mengetahui bahwa Ki Lurah Pujosaputro yang mereka sayangi dan hormati telah dibunuh. Juga semua keluarganya dan para pelayan. Hanya ada seorang pelayan wanita yang lolos dari maut karena ia bersembunyi di tempat gelap sambil mengintai ketakutan. Gerombolan itu tidak melihatnya maka ia selamat.
Setelah mereka mengadakan penelitian, ada enam orang pemuda yang berjaga malam tewas, lainnya luka-luka, dan penghuni rumah kelurahan itu hanya seorang yang selamat, yang lainnya, Ki Lurah Pujosaputro dan isterinya serta keluarganya yang berjumlah sembilan orang berikut pelayan, semua tewas! Mereka juga mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi lenyap, dan ada yang melihat malam tadi bahwa wanita itu diculik, dipanggul dan dilarikan penjahat. Gegerlah dusun Karang Tirta!
Semua penduduk wanita menangisi musibah itu, dan yang laki-laki marah dan penasaran, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu karena ada yang mendengar percakapan para gerombolan itu bahwa mereka adalah orang-orang Kerajaan Wengker, anak buah Ki Lurah Suramenggala yang datang untuk membalas dendam dan menculik Nyi Lasmi yang dulu menjadi selirnya kemudian tidak mau ikut ketika Ki Sura-menggala terusir keluar dari Karang Tirta.
Para penduduk yang berkabung itu hanya dapat merawat semua jenazah dan menguburkannya. Ki Lurah Warsita, lurah dari Karang Sari yang terletak dekat Karang Tirta dan merupakan lurah yang baik dan menjadi sahabat Ki Lurah Pujosaputro, begitu mendengar musibah itu, cepat datang dan mengatur sendiri semua urusan di Karang Tirta.
Juga Ki Lurah Warsita lalu mengumpulkan para pemuda Karang Tirta dan karang Sari untuk bersatu melakukan penjagaan terutama di waktu malam untuk melawan kalau-kalau para pengacau itu datang lagi. Dia juga segera mengirim laporan tentang musibah itu ke kota raja Kahuripan. Utusan ke kota raja ini terdiri dari tiga orang, di pimpin oleh Ki Tejomoyo, seorang kakek yang dianggap sebagai sesepuh Karang Tirta.
Akan tetapi baru melakukan perjalanan setengah hari, utusan ini bertemu dengan rombongan terdiri dari dua kereta yang dikawal selosin perajurit. Melihat ini, tiga orang dusun Karang Tirta itu mengenal bahwa seregu perajurit itu adalah perajurit Kahuripan, maka mereka berhenti di tepi jalan dengan membungkuk hormat karena orang yang berada di kereta dan dikawal pasukan itu pasti seorang priyagung (bangsawan).
"Paman Tejomoyo...!"
Tiba-tiba seorang gadis melompat turun dari dalam kereta yang sudah berhenti dan begitu Tejomoyo mengenal siapa gadis yang mengenalinya itu, dia segera menghampiri, lalu berjongkok dan menangis.
"Aduh, Nak ayu Puspa Dewi....!" Dia tidak dapat melanjutkan karena sudah menangis mengguguk sambil mendeprok dan menutupi muka dengan kedua tangan. Dua orang temannya yang juga mengenal siapa gadis itu, memberi hormat dan juga tidak berani bicara, tidak sampai hati menyampaikan berita yang amat menyedihkan itu.
"Paman, ada apakah? Mengapa Paman bersikap begini? Berdirilah Paman dan ceritakan dengan tenang." Puspa Dewi memegang kedua bahu kakek itu dan membantunya bangkit berdiri.
Ki Tejomoyo berusaha menenangkan hatinya dengan menghela napas panjang berulang kali. Akhirnya dia dapat tenang dan menghentikan tangisnya.
"Malapetaka menimpa Karang Tirta..."
"Apa yang terjadi? Puspa Dewi, siapa orang itu dan apa yang terjadi?"
Tumenggung Jayatanu keluar pula dari keretanya dan melihat seorang laki-laki berpakaian bangsawan tinggi, Ki Tejomoyo dan dua orang temannya segera berjongkok dan menyembah.
"Eyang, ini adalah Paman Tejomoyo dan dua orang temannya itu saya kenal sebagai penduduk Karang Tirta pula. Paman Tejomoyo ini adalah Eyang Tumenggung Jayatanu, maka ceritakan apa yang terjadi, jangan membuat kami bingung dan penasaran."
"Ampunkah hamba bertiga, Gusti Tumenggung. Hamba tidak tahu bahwa Paduka yang lewat maka hamba tidak menyambut dengan hormat." kata Ki Tejomoyo dengan sikap hormat.
"Tidak mengapa, Ki Tejomoyo. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi di Karang Tirta sehingga Andika sampai menangis sedih."
"Aduh, katiwasan, Gusti! Baru kemarin malam terjadinya. Segerombolan orang berjumlah belasan datang menyerbu rumah Ki Lurah Pujosaputro dan mengamuk, membunuhi penghuni rumah kalurahan..."
Puspa Dewi menyambar lengan Ki Tejomoyo dan bertanya dengan nyaring,
"ibuku...! Bagaimana dengan Ibuku...?"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya yang juga sudah turun dan menghampiri mereka berkata. "Dewi tenanglah. Engkau menyakiti lengan Paman ini."
Puspa Dewi sadar dan melepaskan Lengan Ki Tejomoyo yang meringis kesakitan karena lengannya serasa dijepit besi!
"Nyi Lasmi... diculik gerombolan..."
Puspa Dewi berkelebat dan lenyap dari situ. Ia telah menggunakan ilmunya berlari cepat seperti terbang menuju dusun Karang Tirta. Prasetyo berkata kepada Ki Tejomoyo.
"Paman, ceritakan dengan ringkas apa yang telah terjadi."
Dia pun merasa khawatir sekali akan keselamatan Nyi Lasmi. Dengan singkat Ki Tejomoyo menceritakan tentang penyerbuan gerombolan yang membunuh seluruh penghuni rumah Ki Pujosaputro dan hanya seorang pelayan wanita yang lolos dari maut. Juga Nyi Lasmi lenyap diculik gerombolan. Tumenggung Jayatanu marah sekali. Wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan.
"Keparat! Akan kuhajar mereka! Hayo, Prasetyo, kita cepat membalapkan kereta menyusul Puspa Dewi ke Karang Tirta! Dan Andika, Ki Tejomoyo, tadinya hendak pergi kemanakah?"
"Hamba diutus Ki Lurah Warsita dari Karang Sari untuk pergi melaporkan peristiwa itu ke kota raja."
"Kalau begitu lanjutkan perjalananmu dan setelah tiba di sana laporkanlah peristiwa ini kepada Gusti Patih Narotama."
"Baik, Gusti Tumenggung."
Dua buah kereta itu dijalankan lagi dengan cepat menuju Karang Tirta dan tiga orang utusan dari Karang Tirta itu melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja Kahuripan Sementara itu Puspa Dewi telah memasuki pintu gerbang dusun Karang Tirta. Semua orang yang melihatnya menyambut dengan wajah sedih dan segera mengikuti gadis yang cepat lari menuju ke rumah kelurahan itu.
Jerit tangis para wanita menyambut kedatangan Puspa Dewi di rumah itu. Puspa Dewi dikepung banyak orang. Wajah gadis itu agak pucat, akan tetapi ia tetap tenang, lalu ia mengangkat kedua tangan memberi isyarat agar semua orang menghentikan tangis dan suara mereka yang bising.
"Kuharap Andika sekalian berhenti menangis dan saling bicara sendiri. Aku sekarang ingin mendengar keterangan yang sejelasnya tentang peristiwa ini. Siapa yang lebih mengetahui akan peristiwa ini? Aku mendengar Bibi Katmi lolos dari maut, tentu ia lebih mengetahui. Mana Bibi Katmi?"
Nyi Katmi yang tadinya menangis di sudut lalu maju menghampiri Puspa Dewi. la dipersilakan duduk berhadapan dengan Puspa Dewi, sedangkan orang-orang lain tidak gaduh lagi, mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Nah, Bibi Katmi, hapuskan air matamu dan tenanglah. Sekarang ceritakan dengan rinci apa yang telah terjadi kemarin malam."
Nyi Katmi lalu menceritakan dengan suara terharu dan sambil menahan tangisnya. "Malam itu saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Ketika saya keluar dari kamar saya melihat belasan orang berpakaian serba hitam membunuhi semua penghuni rumah dengan kejam. Mereka menggunakan klewang (golok). Karena takut, saya terkulai dan jatuh menelungkup dalam keadaan setengah pingsan. Akan tetapi saya masih dapat melihat Mas Ajeng Lasmi dipanggul seorang penjahat dengan kaki tangan terikat dan mendengar ia menangis dan memaki-maki. Karena tidak tahan melihat banjir darah yang terjadi malam itu, saya tidak dapat bangun dan hanya dapat pura-pura mati sambil menahan tangis. Mungkin mereka mengira bahwa saya telah mati, maka tidak ada yang mengganggu saya."
"Apakah engkau mendengar mereka bicara yang menunjukkan siapa mereka?" tanya Puspa Dewi.
"Saya mendengar percakapan singkat dua orang di antara mereka. Yang memanggul Mas Ajeng Lasmi berkata; ‘Wah, wanita ini masih denok lembut!’ Lalu orang ke dua menjawab, 'Awas, ia itu selir Bendoro Menggung Suramenggala, jangan main-main!' Hanya itulah yang saya dengar."
Wajah Puspa Dewi menjadi merah sekali dan ia mengepal tangan kanannya. "Jahanam Suramenggala yang melakukan ini, keparat!"
Tiba-tiba seorang laki-laki yang usianya sekitar dua puluh enam tahun berkata, "Saya juga mendengar percakapan dua orang tinggi besar yang memimpin gerombolan itu, Mas Ayu..."
Orang ini menderita luka serangan gerombolan dan lengan kanan dan paha kirinya masih dibalut.
"Hemm, bagus, Kakang Canang. Cepat ceritakan!" kata Puspa Dewi sambil memandang pemuda itu.
"Ketika itu saya dan teman-teman melakukan penjagaan di gapura desa ketika dua belas orang berpakaian hitam itu menyerbu masuk. Sebelum dapat berbuat banyak, kami telah mereka serang dan saya pun menderita luka-luka dan roboh. Pada saat itu, saya mendengar dua orang pemimpin mereka bicara. Yang seorang berkata, 'Kita harus berhasil, kalau tidak Gusti Adipati Linggawijaya tentu akan marah kepada kita'. Kemudian orang ke dua berkata, 'Bukan hanya Gusti Adipati, akan tetapi terutama sekali Tumenggung Suramenggala, ayah Gusti Adipati itu, tentu akan menghukum kita. Kabarnya dia lebih kejam dibandingkan puteranya'. Nah, itulah percakapan mereka."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya mendengar keterangan itu. Adipati Linggawijaya? Setahunya, adipati di Wengker bernama Adipati Adhamapanuda. Ah, tentu Linggajaya kini telah menjadi adipati di Wengker dan Ki Suramenggala sekarang menjadi Tumenggung Suramenggala karena dia Ayah Linggajaya. Tidak salah lagi. Tentu Ki Suramenggala dan Linggajaya yang mendalangi pembantaian keluarga Ki Lurah Pujosaputro dan menculik Ibunya.
Puspa Dewi lalu meninggalkan pesan kepada mereka yang berada di situ untuk melaporkan kepada Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya yang akan tiba di dusun itu tak lama lagi bahwa ia langsung melakukan pengejaran terhadap para pembunuh dan penculik Ibunya ke Kerajaan Wengker. Setelah meninggalkan pesan itu, Puspa Dewi segera melesat lenyap dan sudah berlari dengan cepat sekali keluar dusun Karang Tirta menuju ke kota raja atau kota Kadipaten Wengker.
Menjelang sore, dua buah kereta yang ditumpangi keluarga Tumenggung Jayatanu tiba di dalam dusun Karang Tirta. Para penduduk menyambut dengan hormat. Setelah Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya mendengar keterangan para penduduk tentang penyerbuan orang-orang Wengker dan membantai keluarga Ki Lurah dan menculik Nyi Lasmi, mereka menjadi marah sekali. Terutama Senopati Yudajaya selain marah juga merasa sedih dan iba kepada Nyi Lasmi, isterinya yang hidup terlunta-lunta setelah berpisah darinya.
Menurut gejolak hatinya. Ingin ia langsung menyusul Puspa Dewi yang oleh para penduduk dikabarkan melakukan pengejaran ke Kadipaten Wengker. Akan tetapi Tumenggung Jayatanu mencegahnya.
"Sungguh tidak bijaksana kalau engkau menyusul puterimu ke sana sekarang." kata Kakek itu.
"Kadipaten Wengker mempunyai banyak sekali orang sakti dan mereka juga mempunyai pasukan yang kuat. Engkau akan mencelakai diri sendiri dan tidak akan dapat menyelamatkan Nyi Lasmi kalau mengejar sendiri."
"Akan tetapi, Kanjeng Rama! Lasmi dan Dewi berada di sana! Saya harus membela mereka!"
"Tentu saja kita harus membela mereka, akan tetapi bukan seorang diri. Kita melaporkan ke kota raja dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran ke pedalaman Wengker. Mengenal isterimu Lasmi dan puterimu Puspa Dewi, jangan terlalu dikhawatirkan. Penculik itu tidak akan membunuh Lasmi karena kalau demikian halnya, tentu ia sudah dibunuh bersama anggauta keluarga Ki Pujosaputro, tidak perlu susah-susah diculik. Dan tentang Puspa Dewi, tidak usah khawatir. Puterimu itu adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak sembarang orang dapat mengganggunya. Ia Pasti dapat menjaga diri, bahkan tidak mustahil ia akan mampu menolong Ibunya."
Tiba-tiba terdengar teriakan Nyai Tumenggung, "Aduh, cucuku Ken Harni menghilang...!!"
Tumenggung Jayatanu dan Prasetyo cepat berlari memasuki rumah dan Nyai tumenggung dengan wajah pucat memberitahukan bahwa sejak tadi ia tidak melihat Niken Harni. Dicari-cari juga tidak dapat ditemukan.
"Tadi ia bersamaku, lalu bilang hendak keluar berjalan-jalan sebentar," kata Dyah Mularsih yang juga kebingungan dan khawatir. "Akan tetapi sampai sekarang ia tidak kembali!"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya cepat berlari ke belakang di mana kuda dan kereta berada. Akan tetapi kusir dan para Prajurit juga tidak melihat Niken Harni. Dia berlari keluar dan bertanya-tanya kepada semua orang yang dijumpai di dusun Itu. Akhirnya seorang pemuda yang berada dekat pintu gapura melaporkan bahwa tadi dia melihat gadis bangsawan itu berlari cepat meninggalkan dusun Karang Tirta.
Dengan jantung berdebar tegang dan hatinya gelisah sekali, Prasetyo kembali kepada mertuanya. "Ada yang melihat Niken berlari meninggalkan dusun!" katanya.
"Aduh, bocah ngeyel (tidak penurut) itu! Ia tentu pergi menyusul Puspa Dewi! Ia memasuki gua harimau, sungguh berbahaya sekali!" Tumenggung Jayatanu berseru.
"Ah, bagaimana ini?" Nyi Tumenggung menangis.
"Kakangmas Prasetyo, Paduka harus cepat menyusul anak kita!" Dyah Mularsih mendesak suaminya.
"Tentu saja!" jawab Prasetyo. "Aku akan menyusul mereka sekarang juga, bahaya apa pun akan kutempuh untuk menyelamatkan mereka bertiga!"
Baru saja Prasetyo melangkah hendak keluar, Tumenggung Jayatanu memegang lengan mantunya. "Nanti dulu, Prasetyo. Sebagai seorang senopati, engkau tidak boleh sembrono. Semua harus diperhitungkan dengan matang agar dapat mengatur siasat sehingga usaha kita tidak gagal. Kalau engkau nekat hendak memasuki Wengker engkau bawalah selosin perajurit pengawal itu. Mereka adalah perajurit-perajurit yang cukup terlatih dan tangguh. Sementara itu, aku akan cepat minta bantuan ke Kahuripan agar dikirim pasukan yang kuat dan aku akan memimpin sendiri pasukan itu menyusul ke Wengker."
Prasetyo mengangguk. "Sendika dhawuh (siap melaksanakan perintah), Kanjeng Rama!" Dia lalu memandang kepada isterinya. "Jangan khawatir, Diajeng, aku pasti akan dapat membawa pulang anak kita."
"Bukan hanya Niken yang kuharapkan akan dapat ditolong, Kakangmas, akan tetapi juga Puspa Dewi dan Ibunya." Kata Dyah Mularsih.
Prasetyo lalu mengumpulkan selosin orang perajurit pengawal lalu dia memimpin mereka naik kuda dan menuju keselatan, ke arah Kadipaten Wengker yang dianggap daerah berbahaya.
Sementara itu, Tumenggung Jayatanu cepat mengirim utusan yang menyusul perjalanan Tejomoyo dan dua orang temannya untuk minta bantuan kepada Ki Patih Narotama. Sambil menanti datangnya pasukan, Nyai Tumenggung, Dyah Mularsih dan Tumenggung Jayatanu sendiri bermalam didusun Karang Sari yang dekat dari Karang Tirta, di rumah Ki Lurah Warsita.
Ki Suramenggala yang usianya sekitar lima puluh satu tahun itu tertawa bergelak. Tubuhnya yang tinggi besar terguncang, matanya bersinar-sinar ketika dia tertawa senang.
"Ha-ha-ha! Lasmi, akhirnya engkau datang juga untuk melayani suamimu dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang! Lasmi, wong ayu denok, betapa aku rindu kepadamu!"
Nyi Lasmi yang tadi diturunkan ke atas lantai dalam ruangan itu oleh Ki Wirobandrek yang segera keluar dari ruangan itu, duduk bersimpuh dan menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa nyeri karena terlalu lama diikat dan baru saja dilepaskan setelah ia dibawa ke depan Ki Suramenggala. Diam-diam ia merasa heran sekali. Rumah di mana ia dihadapkan bekas suaminya itu merupakan sebuah gedung mewah sekali, dan Ki Suramenggala mengenakan pakaian seperti seorang bangsawan tinggi! Tidak ada orang lain di ruangan itu karena memang Ki Suramenggala menghendaki demikian.
Biarpun di dalam hatinya Nyi Lasmi merasa penasaran dan bersedih sekali mengingat akan pembantaian yang dilakukan terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan ia maklum pula bahwa dirinya berada dalam cengkeraman laki-laki yang jahat itu, namun ia sama sekali tidak merasa takut. Ia tahu benar bahwa Ki Suramenggala amat menyayangnya dan pasti tidak akan menyakitinya. Cinta laki-laki itu kepadanya hanyalah cinta berahi yang didorong nafsu semata.
"Mari, Lasmi, ke sinilah kupeluk kupondong untuk melepaskan rinduku yang sudah menulang-sumsum!" Ki Suramenggala melangkah maju dan membungkuk hendak meraih tubuh Nyi Lasmi. Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan tangannya dan bangkit berdiri, agak terhuyung karena kedua kakinya juga terasa kaku kejang karena terlalu lama diikat.
"Jangan sentuh aku!" bentaknya ketus. "Aku bukan isterimu lagi!"
"Ah, jangan begitu, manisku. Jangan bersikap jual mahal...!" laki-laki itu menggoda sambil menyeringai dan matanya bersinar-sinar penuh gairah nafsu memandang tubuh Nyi Lasmi yang masih tampak padat dan denok itu.
"Ki Suramenggala, aku bukan isterimu lagi dan tidak sudi melayanimu. Andika seorang yang berhati kejam dan jahat! Andika menyuruh anak buah Andika membunuhi Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, padahal mereka tidak bersalah. Mereka adalah orang-orang yang baik budi dan Andika membantai mereka. Alangkah kejamnya!"
"Wah, Lasmi, sayangku. Jangan berpendapat seperti itu. Siapa bilang dia tidak bersalah? Dia merampas kedudukanku sebagai Lurah Karang Tirta."
"Dia menjadi lurah karena pilihan penduduk Karang Tirta, dan Andika dipecat bukan olehnya, melainkan oleh Gusti Patih Narotama! Seharusnya kepada Gusti Patih itu Andika membalas dendam, bukan kepada Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga!"
"Ha-ha-ha, akan tiba saatnya aku membunuh Narotama dengan kerisku! Sudahlah mari kita bersenang-senang, yayi (Adinda) Lasmi! Sekarang derajatmu akan meningkat tinggi sekali. Kalau dulu engkau hanya selir lurah, sekarang menjadi selir tercinta seorang tumenggung! Ketahuilah, manis, aku sekarang adalah Tumenggung Suramenggala dan anakku Linggajaya itu sekarang menjadi raja, menjadi Adipati Linggawijaya dari Kerajaan Wengker ini, ha-ha-ha!"
Diam-diam Nyi Lasml menjadi terkejut dan heran. Sukar membayangkan Linggajaya kini menjadi raja! Akan tetapi, mendengar bahwa Ki Suramenggala kini menjadi tumenggung, tidak membuat ia senang menjadi selirnya. Sebetulnya, beberapa bulan saja setelah diambil sebagal selir oleh Ki Suramenggala, ia sudah merasa tidak suka kepada orang yang berwatak kejam dan congkak ini.
Kalau dulu ia bertahan, hal itu karena terpaksa, ia kehilangan puterinya dan Ki Suramenggala amat menyayangnya dan laki-laki itu menjadi satu-satunya orang yang dapat dijadikan tempat ia berlindung dan bersandar. Akan tetapi, setelah ia terbebas dari cengkeraman orang itu, apalagi setelah melihat betapa kejamnya Ki Suramenggala mengirim anak buahnya membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, kini ia merasa muak dan benci kepadanya.
"Ki Suramenggala, tidak ada gunanya Andika membujuk rayu padaku. Aku tidak sudi menjadi selirmu, tidak sudi melayanimu. Andaikata Andika menjadi raja besar sekalipun aku tidak ingin nunut mukti (ikut menikmati kemuliaan) denganmu. Andika jahat dan kejam sekali, dan aku benci padamu!"
"Hemm, apa yang kau andalkan maka engkau berani bersikap seperti ini kepadaku, Lasmi? Puterimu Puspa Dewi pun tidak akan mampu berbuat sesuatu dan kalau ia berani muncul, ia pasti akan menjadi tawanan kami pula! Apa kau kira engkau akan dapat melepaskan diri dariku? Dapat melawan kehendakku?"
"Aku seorang yang lemah dan tidak akan mampu melawan manusia berwatak iblis seperti engkau, Ki Suramenggala. Akan tetapi aku tidak sudi menyerah dan kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri!"
Ki Suramenggala menjadi marah sekali. Kalau saja wanita lain yang berani menolak keinginannya dan merendahkannya seperti itu, tentu sudah dihantamnya seketika dan membunuh
atau menyiksanya. Akan tetapi, dia memang amat mencinta Nyi Lasmi, sungguhpun cintanya itu terdorong oleh gairah nafsunya. Dia tidak jadi menyentuh Nyi Lasmi, lalu duduk di atas kursi dan menggebrak meja di depannya.
"Brakkk...!"
Wajah Ki Suramenggala berubah merah seperti udang direbus. Dia menahan kekecewaan dan kemarahannya. Tadinya ia membayangkan bahwa melihat dia kini menjadi tumenggung, ayah dari Raja Wengker, Nyi Lasmi pasti akan senang dan bangga hatinya dan akan melayaninya dengan manis, menyerahkan diri sebulatnya kepadanya. Akan tetapi ternyata kenyataannya sungguh amat berlawanan. Wanita itu bukan hanya menolak dan tidak sudi melayaninya, bahkan membencinya dan merendahkannya.
"Keparat engkau, Lasmi! Tidak tahu disayang orang, manusia tak mengenal budi! Keras kepala kau! Baik, aku akan melunakkan kekerasan hatimu itu!" Ki Suramenggala lalu bertepuk tangan dan dua orang perajurit pengawal memasuki ruangan itu dan berdiri dengan sikap hormat.
"Bawa wanita ini dan masukkan dalam kamar tahanan di belakang! Awas, perlakukan ia baik-baik dan jangan ada yang mengganggunya! Cukupi semua kebutuhannya akan tetapi jangan sekali-kali memberi makan padanya. Aku sendiri yang akan memberi makan. Kerjakan...!"
"Sendika (siap melaksanakan perintah), Gusti Tumenggung!" jawab pengawal dan mereka segera memegang lengan Nyi Lasmi dari kanan kiri dengan halus.
Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan kedua tangan yang memegang lengannya itu dan dengan sikap tegak ia berjalan keluar dari ruangan dikawal dua orang perajurit yang membawanya ke dalam sebuah kamar tahanan di bagian belakang gedung katumenggungan itu.
Nyi Lasmi dikeram dalam kamar sebagai tahanan. Ia memang diperlakukan dengan hormat dan baik oleh para pengawal dan pelayan, akan tetapi sama sekali tidak diberi makan. Setelah sehari semalam ia tidak makan, pada keesokan harinya Ki Suramenggala sendiri memasuki kamar dan menyerahkan sepiring nasi bersama lauk-pauknya kepada Nyi Lasmi Tentu saja di dalam makanan ini telah diisi kekuatan sihir untuk melunakkan dan menundukkan hati wanita yang masih amat dicinta oleh Ki Suramenggala itu. Akan tetapi dengan penuh kebencian dalam sinar matanya. Nyi Lasmi memandang piring yang disodorkan oleh Ki Suramenggala itu dengan alis berkerut.
"Aku tidak sudi makan suguhanmu! Lebih baik mati kelaparan!" wanita itu membentak ketus dan tangannya menampar piring sehingga terlepas dari tangan Ki Suramenggala dan isinya berserakan di atas lantai.
Ki Suramenggala terkejut sekali, tidak menyangka Nyi Lasmi akan berbuat demikian. Dia sudah mengepal tinju, siap memukul saking marahnya. Nyi Lasmi berdiri tegak dan menanti pukulan dengan mata terbuka, penuh tantangan. Melihat wajah itu, Ki Suramenggala tidak tega memukul dan dia hanya menghela napas panjang lalu keluar dari kamar itu.
Pelayan segera datang membersihkan lantai. Ki Suramenggala menemui puteranya di istana Kerajaan Wengker. Kebetulan sekali pada waktu itu, Linggajaya yang kini menjadi Adipati Linggawijaya, raja Kerajaan Wengker, sedang bercakap-cakap dalam ruangan pribadinya dengan isterinya, Permaisuri Dewi Mayangsari, dan Sang Resi Bajrasakti.
Mereka sedang membicarakan tentang permusuhan mereka dengan Kahuripan, atau lebih tepat kebencian mereka yang membuat mereka selalu memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Sejak menjadi raja di Wengker, Adipati Linggawijaya tidak pernah melupakan kebenciannya terhadap raja dan patih Kahuripan itu, bersama semua satria yang membela Kahuripan. Dia ingin sekali menundukkan Kahuripan, karena kalau dia dapat menguasai Kahuripan, dia akan menjadi raja besar yang akhirnya dapat menguasai seluruh Nusantara!
Sang Adipati Linggawijaya tampak berbeda dengan ketika dia masih menjadi Linggajaya pemuda Karang Tirta putera Ki Lurah Suramenggala. Memang, sejak dahulu dia merupakan seorang pemuda pesolek dan tampan. Akan tetapi sekarang dia mengenakan pakaian kebesaran yang serba gemerlapan dan tampak anggun berwibawa sekali, sungguhpun usianya masih amat muda, baru sekitar dua puluh satu tahun!
Di sampingnya duduk Dewi Mayangsari yang kini menjadi permaisurinya. Wanita ini pun berpakaian serba indah dan harus diakui bahwa ia cantik sekali dan sungguhpun usianya sudah sekitar dua puluh sembilan tahun, namun ia tidak tampak lebih tua daripada Adipati Linggawijaya! Kulitnya yang agak hitam namun halus bersih itu membuat ia tampak semakin manis. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dalam tubuh yang ramping padat, wajah cantik manis dengan sinar mata dan senyum genit ini, terdapat kekuatan yang amat dahsyat karena ia yang tadinya memang sudah digdaya ini mendapat tambahan banyak ajian yang serba hebat dari gurunya yang baru, yaitu Nini Bumigarbo.
Seperti kita ketahui, Nini Bumigarbo yang sakti mandraguna itu amat membenci Sang Maha Resi Satyadarma karena Sang Resi ini telah memberi wejangan kepada Ekadenta sehingga Ekadenta mengambil keputusan untuk menjadi Brahmacari (pantang menikah). Padahal Ekadenta, kakak seperguruannya Itu adalah juga kekasihnya dan sebelumnya mereka berdua yang saling mencinta telah bersepakat untuk menjadi suami isteri.
Keputusan Ekadenta untuk tidak menikah selama hidupnya tentu saja membuat Gayatri, yaitu nama Nini Bumigarbo ketika masih gadis muda, berduka sekali dan ia membenci Sang Maha Resi Satyadharma. Akan tetapi ia tidak berani melampiaskan kebenciannya kepada pendeta yang sakti mandraguna itu. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah menang melawan Sang Maha Resi.
Maka, ia lalu berusaha untuk membunuh dua orang murid terkasih dari Maha Resi Satyadharma, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Akan tetapi, sungguh menjengkelkan hatinya, Ekadenta selalu menentangnya dan bekas kakak seperguruan dan juga kekasihnya itu membela raja dan patih itu. Beberapa kali ia bertanding, namun selalu kalah oleh Bhagawan Ekadenta yang juga bernama Bhagawan Oitendrya.
Akhirnya Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari, permaisuri Kerajaan Wengker sebagai murid. Ia menurunkan kepandaiannya kepada permaisuri itu dengan maksud agar melalui muridnya ini, ia akan dapat melampiaskan sakit hatinya dengan menyerang dan kalau mungkin membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Berhadapan dengan suami Isteri pimpinan Kerajaan Wengker itu, duduk Sang Resi Bajrasakti, kakek yang berusia sekitar lima puluh enam tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok dan berkulit hitam arang.
Seperti kita ketahui, Resi Bajrasakti ini sejak dulu menjadi tokoh Wengker dan dia adalah guru Adipati Linggawijaya. Setelah muridnya itu menjadi Adipati Wengker, Resi Bajrasakti diangkat menjadi Guru Kerajaan atau penasihat pribadi Sang Adipati. Kedudukan ini amat tinggi dan dia memiliki kekuasaan besar, hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati dan Sang Permaisuri.
Mereka bertiga sedang berbincang-bincang membicarakan keinginan mereka untuk menggempur Kahuripan. Mereka bertiga memang sama-sama membenci Kahuripan. Resi Bajrasakti membenci Kahuripan karena sejak dulu ia memang menjadi tokoh Wengker yang selalu memusuhi Kahuripan, akan tetapi dia sering kali kalah bertanding melawan para tokoh Kahuripan.
Permaisuri Dewi Mayangsari membenci Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena selain sejak dulu menjadi musuh bebuyutan, ditambah lagi desakan Nini Bumigarbo agar ia menyerang dan membunuh raja dan patih Kahuripan itu. Adapun Adipati Linggawijaya sendiri, dia ingin merampas kedudukan sebagai maharaja di Kahuripan yang memiliki wilayah luas sekali.
Selagi mereka bercakap-cakap, datanglah Tumenggung Suramenggala. Sebagai ayah Sang Adipati, tentu saja para pengawal tidak berani melarangnya untuk kapan saja memasuki Istana. Melihat kedatangan ayahnya, Adipati Linggawijaya mempersilakan Tumenggung Suramenggala duduk di sebelah Resi Bajrasakti. Dia memandang wajah ayahnya yang tampak keruh.
"Kanjeng Rama, apakah yang menyusahkan hati Rama?" Adipati Linggawijaya bertanya.
Semenjak dia menjadi adipati dan ayahnya menjadi tumenggung, dia mengubah panggilannya. Kalau dulu memanggil ayahnya cukup bapak saja, sekarang menjadi kanjeng rama, tentu saja untuk disesuaikan dengan kedudukannya!
Tumenggung Suramenggala menghela napas. "Siapa lagi yang dapat menyusahkan hatiku kalau bukan Ibunda Nyi Lasmi itu? Ia berkeras tidak mau kembali sebagai keluarga kita."
Wajah bekas lurah itu menjadi merah dan alisnya berkerut. "Bukan saja ia menolak, bahkan menghina dan setelah sehari semalam tidak diberi makan, tadi ia menolak dan menampar tumpah nasi yang kubawakan untuknya. Ah, perempuan itu sungguh keras kepala!"
"Kanjeng Rama, mengapa Andika bersedih hanya karena penolakan seorang perempuan dusun seperti itu?" kata Dewi Mayangsari. "Kalau Andika menghendaki selir baru, saya dapat mencarikan seorang perawan cantik untuk Andika!"
"Benar sekali apa yang dikatakan Yayi Ratu Dewi Mayangsari, Kanjeng Rama. Untuk apa memusingkan penolakan perempuan itu? Ia bukan apa-apa bagi keluarga kita, bahkan selama menjadi selir Kanjeng Rama, ia tidak menurunkan anak. Sebaiknya dibunuh saja perempuan itu!" kata Adipati Linggawijaya.
"Baik sekali usul itu, Kanjeng Rama." kata Dewi Mayangsari. "Memang sebaiknya dibunuh saja perempuan sombong tak tahu diri itu! Seorang perempuan dusun, janda lagi, berani menolak untuk menjadi selir Kanjeng Rama Tumenggung?"
Mendengar ucapan puteranya dan mantunya itu, Tumenggung Suramenggala termenung, alisnya berkerut. "Ah, aku... aku tidak tega untuk membunuhnya..."
"Ah, itu mudah saja, Kanjeng Rama? Biar kita suruh saja seorang perajurit pengawal untuk membunuhnya. Kalau Kanjeng Rama tidak tega ia dibunuh di sini, biar ia dibawa keluar istana, ke dalam sebuah hutan lalu dibunuh."
Tumenggung Suramenggala menghela napas panjang beberapa kali lalu mengangguk-angguk. "Agaknya tidak ada jalan lain..."
"Saya tidak setuju kalau Nyi Lasmi dibunuh!"
Tiga orang itu memandang Resi Bajrasakti yang mengeluarkan kata-kata itu. Adipati Linggawijaya tertawa.
"Ha-ha-heh-heh, agaknya Bapa Resi tertarik kepada Nyi Lasmi?" tanyanya.
Resi Bajrasakti juga tertawa. "Ha-ha-ha, Ananda Adipati, lima orang selir yang masih muda-muda itu sudah cukup banyak bagi saya, untuk apa menambah lagi dengan seorang perempuan yang sudah setengah tua? Bukan itu maksud saya."
"Hemm, kalau begitu, mengapa Bapa Resi tidak setuju kalau ia dibunuh?"
"Ingat, wanita itu adalah Ibu kandung Puspa dewi!"
"Kami tidak takut!" kata Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari berbareng. Adipati Linggawijaya menyambung.
"Biar ia datang ke sini kalau ia berani, kita akan tangkap gadis liar itu!"
"Bukan begitu maksud saya! Akan tetapi kita pun tahu bahwa Puspa Dewi adalah Sekar Kedaton Wura-wuri yang sudah mengkhianati Wura-wuri. Mengapa kita tidak menggunakan Nyi Lasmi untuk berjasa terhadap Wura-wuri sehingga kita papat bekerja sama semakin erat dengan Kerajaan Wura-wuri? Adipati Bhimaprabhawa, terutama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, pasti marah sekali kepada Puspa Dewi dan ingin sekali menangkap gadis itu. Nah, lebih baik kita serahkan Nyi Lasmi kepada mereka. Wura-wuri dapat memancing datangnya Puspa Dewi dengan Ibu kandung gadis itu sebagai sandera dan akhirnya mereka dapat menangkapnya. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua keuntungan, karena Wura-wuri tentu akan berterima kasih kepada kita."
Adipati Linggawijaya dan permaisurinya mengangguk-angguk senang. "Gagasan yang baik sekali itu, Bapa Resi! Bagaimana, Kanjeng Rama, apakah Andika juga setuju dengan usul itu?"
Tumenggung Suramenggala menghela napas panjang. "Terserah, aku sudah pusing memikirkan kekerasan hati Nyi Lasmi. Biarlah, kalau ia tidak mau melayani aku, masih banyak wanita yang bersedia melakukannya dengan senang hati."
"Tentu saja, Kanjeng Rama. Saya akan mencarikan pengganti Nyi Lasmi, seorang gadis muda yang cantik jelita untuk menghibur hati Kanjeng Rama." kata Dewi Mayangsari.
Setelah mengakhiri percakapan itu, Adipati Longgawijaya lalu membuat sepucuk surat kepada Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala, yang isinya menyerahkan Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi, kepada Wura-wuri sebagai tanda persahabatan karena Wengker juga merasa penasaran akan pengkhianatan Puspa Dewi terhadap Wura-wuri dan persekutuan mereka bersama sehingga usaha mereka menghancurkan Kahuripan gagal.
Perjalanan dari Wengker ke Wura-wuri tidak dekat, dengan berkuda pun akan memakan waktu sedikitnya lima hari. Maka, Adipati Linggawijaya lalu mengutus dua orang jagoan Wengker yang berjasa menculik Nyi Lasmi dari Karang Tirta, yaitu Wirobento dan Wlrobandrek, memimpin selosin orang perajurit pilihan, untuk mengawal Nyi Lasmi dan mengantarkannya ke kota raja Wura-wuri.
Berangkatlah rombongan itu setelah untuk yang terakhir kalinya Tumenggung Suramenggala membujuk Nyi Lasmi untuk menyerah kepadanya daripada dibawa ke Wura-wuri akan tetapi Nyi Lasmi berkeras menolak. Empat belas orang pengawal itu menunggang kuda dan Nyi Lasmi terpaksa juga menunggang kuda karena kalau ia berkeras tidak mau, ia akan diboncengkan oleh Wirobandrek di atas seekor kuda. Wanita itu memilih menunggang kuda sendiri, dan ia memang sudah terbiasa menunggang kuda dahulu ketika menjadi selir Ki Suramenggala di Karang Tirta.
Pemuda Cina itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Pakaiannya sederhana dan dari pakaiannya yang sama dengan pakaian pemuda pribumi dapat diketahui bahwa pemuda Cina itu tentu sudah lama berada di Nusa Jawa sehingga sudah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan penduduk pribumi.
Tubuhnya tinggi agak kurus, mukanya pucat kuning. Matanya yang sipit mengandung sinar tajam. Di punggungnya terselip siang-to (sepasang golok). Bahkan rambutnya pun digelung ke atas model rambut para pria pribumi. Yang membuat orang dapat menyangka bahwa dia seorang asing adalah kekuningan kulitnya dan kesipitan matanya. Juga kalau dia bicara, walaupun fasih bicara daerah, tetap saja masih agak cadel.
Pemuda Cina itu adalah seorang pemuda dari Negeri Cina yang melarikan diri ke Nusa Jawa karena ia dikejar-kejar beberapa orang jagoan yang hendak membunuhnya. Sekitar tujuh tahun yang lalu pemuda Cina yang bernama The Jiauw Lan ini tinggal di sebuah dusun dekat kota raja Nan-king. Sejak muda dia telah pandai bermain silat dan hidup sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan.
Pada suatu hari dia melihat Bong Kongcu (Tuan muda Bong), putera seorang pembesar kota raja bersama beberapa orang jagoannya mengganggu seorang gadis. The Jiauw Lan marah dan menghajar pemuda bangsawan dan jagoan-jagoannya itu dan menyelamatkan gadis yang diganggu. Akan tetapi ternyata peristiwa Itu mendatangkan malapetaka besar bagi The Jiauw Lan.
Ketika dia tidak berada di rumah, serombongan anak buah Bong Kongcu menyerbu rumahnya dan ayah ibunya dibunuh. Adiknya, seorang gadis remaja yang ketika itu berusia sekitar tiga belas tahun hilang entah ke mana. The Jiauw Lan menjadi marah sekali. Dia membalas dendam, menyerbu rumah Bangsawan Bong dan berhasil membunuh Bong Kongcu dan beberapa orang jagoannya.
Perbuatan ini tentu saja menggemparkan kota raja dan dia terpaksa melarikan diri dan menjadi orang buruan. Pembesar Bong tidak mau menerima begitu saja dan dia menyuruh para pembunuh bayaran untuk mencari dan mengejar Jiauw Lan untuk dibunuh. Belum puas dengan ini, Pembesar Bong juga memaksa kekasih Jiauw Lan yang bernama Mei Hwa yang sudah bertunangan dengannya, untuk menjadi selir Bangsawan Bong. Hal ini dilakukan pembesar Itu bukan sekedar memuaskan nafsunya, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam kepada Jiauw Lan yang telah membunuh puteranya.
Demikianlah, Jiauw Lan terpaksa melarikan diri berlayar ke selatan karena daratan Cina merupakan tempat yang tidak aman baginya. Setelah tiba di Nusa Jawa, dia merantau, berpindah-pindah tempat dan akhirnya dia mengasingkan diri di Danau Sarangan, di lereng Gunung Lawu. Sungguh di luar dugaannya, Pembesar Bong yang masih mendendam kepadanya, berhasil membujuk gurunya yang berjuluk Pek I Kiam-sian (Dewa Pedang Baju Putih) bernama Souw Kiat untuk mencarinya sampai ke Nusa Jawa.
Gurunya itu masih ditemani dua orang paman gurunya yang bernama Gan Hok dan Giam Lun. Kurang lebih dua tahun yang lalu, secara kebetulan The Jiauw Lan menyelamatkan Puteri Listyarini, Isteri Ki Patih Narotama yang diculik penjahat. Ki Patih Narotama datang untuk menjemput isterinya yang diselamatkan Jiauw Lan. Akan tetapi kedatangan Ki Patih Narotama agak terlambat sehingga kedahuluan munculnya guru dan dua orang paman guru Jiauw Lan. Percuma saja Jiauw Lan melawan.
Dia terluka dan dirobohkan bahkan menerima Hwe tok-ciang (Tangan Racun Api) dari Pek I Kiamsian yang hendak membuat bekas muridnya itu cacat dan kehilangan tenaga saktinya sebagai hukuman. Akan tetapi, Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna, mempergunakan tongkat pusakanya Tunggul Manik yang dapat memunahkan racun dari tubuh Jiauw Lan sehingga pemuda Cina itu selamat.
Jadilah dia sahabat baik Ki Patih Narotama yang berterima kasih, bahkan Listyarini menganggap dia sebagai saudara. Akan tetapi Jiauw Lan menolak ketika hendak diajak ke Kahuripan. Dia lebih suka mengasingkan diri dan merantau. Sejak pertemuan dan perkenalannya dengan Listyarini yang menganggap dia sebagai kakak angkat, Jiauw Lan menggunakan nama Tejoranu. Listyiarini tidak dapat menyebut nama The Jiauw Lan dan menyebutnya Tejoranu!
Demikianlah sedikit riwayat singkat The Jiauw Lan yang kini bernama Ki Tejoranu. Beberapa bulan yang lalu dia bertemu dengan seorang Cina lain di kaki Gunung Lawu. Kebetulan sekali dia mengenal laki-laki itu yang bernama Tan Sek. Dari Tan Sek Inilah dia memperoleh berita yang mengejutkan, mengherankan akan tetapi juga menyenangkan. Kenalannya itu bercerita banyak tentang The Kim Lan, adik perempuannya yang hilang ketika ayah Ibunya terbunuh dan ketika itu berusia tiga belas tahun.
Menurut penuturan Tan Sek, adiknya itu kini telah menjadi seorang gadis yang amat lihai setelah berguru kepada seorang hwesio (Pendeta Buddha) dari Kuil Siaw Lim. Yang menggembirakan adalah berita bahwa The Kim Lan, adiknya yang kini menjadi seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun, menyusulnya ke Jawa dan kini sedang mencarinya.
"Sejak dua bulan ini, Adikmu, The Kim Lan itu berada di sekitar Gunung Kawi." demikian Tan Sek, temannya itu bercerita.
Mendengar cerita temannya itu, Ki Tejoranu merasa gembira sekali dan dia segera melakukan perjalanan menuju Gunung Kawi! Setelah tiba di daerah Gunung Kawi, dia merantau di sekitar gunung itu untuk mencari adiknya yang menurut Tan Sek berada di situ. Akan tetapi sampai hari itu, dia belum juga dapat menemukan The Kim Lan.
Pagi hari itu dia berjalan dengan penuh semangat karena malam tadi, di sebuah dusun di mana dia bermalam, dia mendengar dari seorang penduduk yang melihat seorang gadis Cina berjalan menuju ke barat. Mendengar ini, pagi-pagi sekali Ki Tejoranu berangkat ke barat untuk menyusul gadis Cina itu, hampir yakin bahwa gadis itu tentu adiknya karena pada waktu itu langka menemukan seorang gadis Cina di pedalaman. Kalaupun ada wanita Cina, yang belum begitu banyak, mereka itu tentu berada di kota-kota di pesisir utara.
Selagi dia berjalan sambil dengan teliti memandang ke sekeliling untuk menemukan jejak adiknya, dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Ki Tejoranu cepat menyelinap di balik pohon besar untuk mengintai siapa yang datang itu. Dia melihat lima orang menunggang kuda lewat di jalan yang kasar itu. Mereka adalah dua belas orang perajurit yang dipimpin dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian mewah.
Yang mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat seorang wanita di antara mereka. Wanita itu pun menunggang kuda, diapit oleh dua orang pemimpin pasukan. Melihat wanita itu berwajah sedih, bahkan jelas tampak bahwa ia habis menangis, kedua matanya agak merah membengkak, hati Ki Tejoranu tertarik.
Timbul jiwa kependekarannya. Dia mencium keadaan yang tidak wajar, tentu ada yang tidak beres dalam rombongan itu. Siapa tahu, wanita itu membutuhkan pertolongan. Maka Ki Tejoranu cepat berlari mengikuti rombongan berkuda itu. Jalan itu memasuki sebuah hutan.
Matahari mulai naik tinggi dan Ki Wirobento yang memimpin pasukan bersama Ki Wirobandrek mengantar Nyi Lasmi ke Kerajaan Wura-wuri, memberi aba-aba untuk berhenti. Dia memerintahkan berhenti ketika melihat Nyi Lasmi tampak lemas dan duduknya mulai miring-miring hampir jatuh.
"Kita berhenti mengaso di sini. Nyi Lasmi, turunlah, Andika boleh beristirahat menghilangkan lelah." katanya kepada Nyi Lasmi.
Dengan tubuh lemas karena kelelahan dan kelaparan, Nyi Lasmi turun dari atas punggung kudanya dan terkulai, duduk mendeprok di atas tanah. Wirobandrek lalu menghampiri Nyi Lasmi yang masih duduk mendeprok di atas tanah, menjulurkan tangan menawarkan tempat minuman dan sebungkus makanan.
"Nih, makan dan minumlah dulu, Nyi Lasmi, agar engkau tidak lemah dan sakit."
Akan tetapi Nyi Lasmi menggeleng kepalanya. "Biarkan aku mati saja, aku tidak ingin menjadi sandera untuk memancing Anakku...."
"Kakang Bento, kalau perempuan ini tidak mau makan dan mati kelaparan di jalan, kita tentu akan dipersalahkan oleh Tumenggung Suramenggala."
"Benar, Adi Bandrek. Gusti Adipati Linggawijaya tidak akan mengampuni kita. Maka, paksa saja ia makan!"
Ki Wirobento lalu memegang kedua lengan Nyi Lasmi, ditelikung ke belakang dan Ki Wirobandrek mulai memaksa Nyi Lasmi makan dengan menjejalkan nasi ke mulut wanita itu. Nyi Lasmi mengatupkan mulutnya dan membuang muka ke kanan kiri untuk menghindarkan jejalan makanan pada mulutnya.
Ki Tejoranu marah sekali melihat hal ini. Akan tetapi sebelum dia melompat keluar untuk menolong wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Orang-orang jahat!"
Dan berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu muncul seorang gadis berpakaian serba biru. Sekali pandang saja orang dapat mengetahui bahwa ia tentu seorang gadis Cina. Hal ini dapat dikenal dari bentuk pakaiannya, dan gelung rambutnya ke atas. Gadis ini berusia sekitar dua puluh tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis, berkulit putih kuning. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Begitu muncul, gadis itu telah melompat dekat Nyi Lasmi dan cepat sekali tangan kanannya menghantam ke arah tubuh Wirobento dan kaki kirinya menendang ke arah tubuh Wirobandrek. Dua orang jagoan Wengker ini bukan orang lemah. Melihat betapa pukulan dan tendangan itu mendatangkan angin serangan yang kuat, mereka maklum bahwa mereka diserang seorang yang digdaya, maka mereka cepat berlompatan ke belakang untuk mengelak. Gadis itu lalu berkata dengan suara nyaring namun ucapannya cadel (pelo).
"Bibi, jangan takut! Aku akan menghajar mereka!"
Setelah berkata demikian, gadis Cina itu sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar berkelebat ketika pedangnya tercabut. Ki Tejoranu membelalakkan matanya yang sipit. Jantungnya berdebar kencang dan hatinya merasa terharu sekali. Sukar untuk mengenali gadis Cina itu, akan tetapi dia masih teringat bahwa mata dan mulut gadis itu adalah mata dan mulut The Kim Lan, adik perempuannya yang ketika mereka berpisah masih merupakan seorang gadis remaja cilik berusia tiga belas tahun. Tentu saja dia tidak berani menegur gadis itu sebagai adiknya, takut kalau kalau dugaannya salah, maka dia hanya mengintai saja dan siap siaga kalau-kalau gadis itu membutuhkan bantuan.
Dua orang kakak beradik jagoan Wengker itu marah bukan main ketika mereka melihat seorang gadis asing menyerang mereka. Melihat gadis itu sudah mencabut pedang, Ki Wirobandrek berteriak kepada anak buahnya.
"Perempuan bosan hidup berani mencampuri urusan kami! Kawan-kawan, bunuh perempuan itu!"
Dua belas orang perajurit Wengker yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis itu segera mencabut golok mereka dan mereka maju menghampiri gadis itu. Gadis Cina itu tidak ingin Nyi Lasmi ikut terkepung sehingga membahayakan keselamatannya, maka ia berlari menjauhi sehingga ketika ia terkepung, Nyi Lasmi tidak ikut dikepung, ia berdiri dengan gagahnya dalam kepungan dua belas orang itu, berdiri dengan kedua kaki agak terpentang dan kedua lutut ditekuk, tangan kiri terbuka dan lurus miring di depan dada, sedangkan pedang di tangan kanan melintang di atas kepalanya. Tubuhnya tidak bergerak, akan tetapi sepasang matanya yang tajam itu mengerling ke kanan kiri. Sikapnya tenang seolah ia sama sekali tidak gentar menghadapi pengepungan selosin perajurit Wengker itu.
Ki Tejoranu mengenal sikap itu sebagai kuda-kuda ilmu pedang Siauw-lim-pai, maka semakin yakinlah hatinya bahwa gadis itu tentu adiknya yang sedang dia cari-cari. Bukankah Tan Sek menceritakan bahwa adiknya itu telah berguru kepada seorang hwesio Siauw-lim-pai? Tiba-tiba, dua orang pengepung yang berdiri di belakang gadis itu, setelah mendapat isyarat kedipan mata dan Ki Wirobento, segera menggerakkan golok menyerang gadis itu dari belakang, tanpa memberi peringatan. Dua batang golok menyambar, yang satu membacok kepala, yang kedua menusuk punggung.
Akan tetapi gadis itu agaknya telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat datangnya penyerangan dari belakang, namun pendengarannya yang sudah terlatih tajam, dapat menangkap gerakan serangan Itu. Tubuhnya tiba-tiba membalik, pedangnya berkelebat bagaikan kilat menyambar.
"Cring... trangg....!"
Bunga api berpijar dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh karena setelah pedang tadi menangkis golok mereka, pedang itu mencuat dengan kecepatan kilat dan tidak terduga-duga, merobek baju dan kulit dada mereka sehingga tergores panjang, cukup dalam sehingga mereka terluka parah.
Sepuluh orang perajurit yang lain menjadi marah dan mereka segera menyerbu dan menyerang membabi-buta dan tidak teratur lagi. Dengan kacau mereka membacok dengan golok mereka. Akan tetapi tiba-tiba mereka menjadi bingung karena tubuh gadis yang mereka keroyok itu berkelebatan amat cepatnya, merupakan bayang-bayang biru yang berkelebatan terlindung gulungan sinar pedangnya yang seperti kilat. Terdengar suara berkerontangan berulang-ulang disusul golok-golok terpental dan tubuh para pengeroyok berpelantingan! Lima orang pengeroyok roboh dan sisanya, lima orang lagi menjadi gentar.
Melihat ini, Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek berseru nyaring dan mereka berdua sudah menerjang maju membantu para anak buah yang tinggal lima orang itu. Ki Wirobento sudah menggerakkan pecutnya yang ujungnya dipasangi paku-paku atau besi-besi kecil yang runcing tajam. Hebat sekali senjata ini, yang menyambar-nyambar dahsyat. Sementara itu, Ki Wirobandrek menggunakan senjata andalannya yang merupakan senjata pusaka para warok, yaitu sepasang ujung kolor berwarna merah. Ujung kolor yang lemas ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena sudah dirajah (dipasangi mantra) dan mengandung racun yang amat kuat.
Setelah dua orang jagoan Wengker ini maju mengeroyok dan senjata mereka bergulung-gulung sinarnya, menyambar dengan dahsyat dari semua jurusan, gadis itu tampak kaget dan mulailah ia terdesak dan main mundur walaupun putaran pedangnya membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya. Biarpun dua orang jagoan Wengker dan sisa anak buahnya yang tinggal lima orang itu sukar untuk dapat menembus perisai gulungan sinar pedang itu, namun gadis itu pun sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk balas menyerang.
Melihat ini, Ki Tejoranu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Dia melompat keluar sambil mencabut siang-to (sepasang golok) dan berseru dengan nyaring. "Adikku, jangan khawatir. Aku datang membantumu!"
Ucapan itu menggunakan bahasa Cina. Gadis itu cepat melompat ke belakang dan menoleh. Matanya yang tajam terbelalak dan mulutnya berteriak girang. "Koko (Kakak) Jiauw Lan.....!"
Ki Tejoranu sudah menyerbu dan kini mereka berdua menyambut pengeroyokan tujuh orang itu. Setelah Ki Tejoranu maju, walaupun tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi daripada tingkat gadis itu, namun tentu saja Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek kini terkejut dan terdesak mundur. Bahkan dalam waktu singkat, dua orang anak buahnya sudah roboh lagi. Maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi gadis Cina dan orang yang muncul membantunya itu, Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek lalu melarikan diri, diikuti dua belas orang anak buah mereka yang saling bantu dan kabur dengan kuda mereka.
Gadis itu tidak mengejar dan kini ia berhadapan dengan Ki Tejoranu, saling pandang dengan penuh perhatian. Kemudian, seperti digerakkan tenaga gaib, dua orang itu saling tubruk dan saling rangkul. "Lan-ko (Kakak Lan).... ahh.... Lan-ko....!"
Gadis itu menangis dalam rangkulan Ki Tejoranu. Laki-laki itu pun tidak dapat menahan tangisnya, walaupun tanpa mengeluarkan suara. Laki-laki yang sudah tergembleng bertahun-tahun dalam kepahitan dan kesengsaraan itu tidak dapat menahan keharuan dan kebahagiaan hatinya dapat bertemu dengan adik kandungnya, hal yang sama sekali tidak pernah dia impikan!
"Kim Lan, Adikku....!"
Nyi Lasmi bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan heran. Ia tahu bahwa dua orang itulah yang telah membebaskannya dari tangan orang-orang Wengker tadi. Gadis Cina itu demikian gagah dan tangkas, mengingatkan ia akan Puspa Dewi, puterinya. Melihat betapa dua orang itu saling rangkul sambil menangis, ia merasa terharu pula walaupun ia tidak mengerti siapa mereka dan mengapa mereka menangis karena ia tidak dapat mengerti bahasa mereka. Yang jelas baginya adalah bahwa mereka orang-orang baik yang telah menolongnya.
Biarpun Ki Tejoranu atau The Jiauw Lan dan The Kim Lan, kakak beradik itu sedang tenggelam ke dalam kebahagiaan yang mengharukan namun mereka memiliki pendengaran dan perasaan yang sudah terlatih baik. Maka keduanya segera dapat mengetahui ketika Nyi Lasmi menghampiri mereka. Mereka saling melepaskan rangkulan dan Ki Tejoranu berkata lirih kepada Kim Lan dalam bahasa Cina.
"Adikku, nanti saja kita bicara tentang kita. Sekarang kita bicara dulu dengan wanita ini." Setelah berkata demikian, keduanya menghadapi Nyi Lasmi sambil menghapus air mata mereka dan tersenyum kepada Nyi Lasmi. Senyum yang tulus karena keduanya memang sedang merasa senang sekali dapat saling bertemu.
"Maafkan kami... karena kami hampir melupakan Andika... eh, perkenalkan, saya bernama Ki Tejoranu dan ini Adik kandungku, namanya The Kim Lan..." Ki Tejoranu memperkenalkan dirinya dan adiknya.
Nyi Lasmi terharu. Dua orang penolongnya ini sungguh aneh! Mereka malah minta maaf kepadanya!
"Saya yang minta maaf kepada Andika berdua, Kisanak, karena saya telah merepotkan Andika berdua. Andika telah menolong saya terlepas dari bahaya yang bagi saya lebih mengerikan daripada maut." Suara Nyi Lasmi tergetar. "Saya bernama Lasmi..." Baru sampai sekian Nyi Lasmi bicara, ia yang sejak tadi menahan diri sekuatnya kini tidak dapat menahan lagi dan ia terkulai dan pingsan dalam rangkulan The Kim Lan. Ia tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul gadis Cina itu. Kelelahan yang luar biasa karena selama tiga hari sama sekali tidak makan, ditambah kekhawatiran dan ketegangan membuat ia pingsan setelah mendapat kebebasan.
"Koko, ia pingsan." kata Kim Lan sambil merebahkan tubuh Nyi Lasmi ke atas tanah.
Ki Tejoranu cepat memeriksa denyut nadi pergelangan tangan Nyi Lasmi. "Hemm, kasihan sekali wanita ini, Lan-moi (Adik Lan). Menurut denyut nadinya, ia lemah sekali, agaknya ia menderita kelaparan, juga batinnya tertekan dan ketakutan. Engkau mempunyai sedikit makanan dan minuman?"
Kim Lan mengambil buntalan yang tadi ia tinggalkan di bawah pohon dan mengambil beberapa ketela merah bakar dan seguci air. "Ini air bersih, Koko. Sebaiknya ia diberi minum, akan tetapi harus dibikin sadar dulu."
"Engkau dapat melakukannya?"
Gadis itu mengangguk. "Aku pernah mempelajari beberapa ilmu pengobatan dari suhu (guru)."
Setelah berkata demikian, Kim Lan lalu menekan beberapa bagian tubuh Nyi Lasmi dengan jarinya sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), yaitu di antara pangkal ibu jari dan telunjuk, lalu di bibir atas tepat di bawah hidung, dan mengurut punggung. Sebentar saja Nyi Lasmi mengeluh dan membuka kedua matanya. Ia bergerak hendak bangkit. Kim Lan membantunya sehingga ia dapat duduk. Suara gadis Cina itu lembut akan tetapi cadel sekali sungguhpun cukup dapat dimengerti Nyi Lasmi.
"Bibi, tenangkan hatimu dan minumlah air ini lebih dulu."
Setelah berkata demikian, Kim Lan mendekatkan cawan yang sudah diisi air ke mulut Nyi Lasmi yang tidak membantah dan minum air di cawan itu sampai habis. Ketika ia hendak bicara, Kim Lan mencegahnya. "Nanti saja kita bicara, Bibi. Sekarang, makanlah dulu ubi bakar ini. Maaf, kami hanya mempunyai makanan ini dan tidak memberi yang lebih baik. Bibi perlu makan agar menjadi kuat kembali."
Nyi Lasmi juga tidak membantah. Ia tahu benar bahwa gadis asing ini bermaksud baik, tadi telah menyelamatkannya. Apalagi perutnya memang lapar sekali, maka tanpa malu-malu lagi ia menerima ketela bakar itu dan memakannya. Setelah menghabiskan tiga potong ketela bakar dan minum lagi dua cawan air, Nyi Lasmi merasa sehat dan segar kembali. Ia memandang kepada dua orang kakak beradik itu, lalu menghela napas panjang dan berkata. "Ah, orang-orang tadi sungguh kejam dan jahat...."
"Bibi yang baik, kami baru akan mengetahui apakah mereka itu benar-benar jahat kalau kami sudah mendengar bibi menceritakan siapa mereka dan mengapa mereka menawan Andika." Kata Ki Tejoranu.
Nyi Lasmi lalu menceritakan tentang penyerbuan orang-orang Wengker ke Karang Tirta, membunuh lurah dan sekeluarganya dan menculiknya. Ia tidak merasa perlu untuk menceritakan tentang bekas suaminya, Ki Suramenggala, hanya menceritakan bahwa ia tidak mau ketika hendak diselir seorang tumenggung di Wengker.
"Karena penolakanku itu, tumenggung itu menyuruh anak buahnya membawa aku ke Wura-wuri untuk diserahkan penguasa di sana."
"Akan tetapi, mengapa Bibi dibawa ke sana?" tanya Kim Lan yang sudah mengetahui pula akan adanya Kerajaan Wura-wuri.
"Karena Kerajaan Wura-wuri memusuhi anakku, maka agar aku dijadikan sandera untuk memaksa anakku menyerahkan diri. Aahhh, betapa jahatnya mereka itu, padahal mereka adalah bangsaku sendiri, sedangkan kalian yang bangsa asing begini baik kepadaku."
Mendengar ini, Kim Lan dan Tejoranu bicara dalam bahasa Cina sampai beberapa lamanya, kemudian Ki Tejoranu berkata kepada Nyi Lasmi, "Bibi, kami tadi menanggapi pendapat Bibi tadi. Begini, Bibi Lasmi yang baik. Di bagian mana di dunia ini, bangsa apa pun juga, sama saja keadaannya. Ada yang baik, tentu ada pula yang jahat. Bangsamu, bangsa negara ini, banyak yang baik budi. Sedangkan bangsa kami, bangsa Cina, juga amat banyak yang jahat, bahkan jahat sekali. Ketahuilah bahwa kami berdua sampai merantau di negara ini karena melarikan diri dari kejaran orang-orang jahat sekali di negara kami. Yang jahat itu bukan bangsanya, Bibi, melainkan orangnya, pribadinya masing-masing tanpa melihat kebangsaannya. Memang sudah demikian semestinya di dunia ini, Bibi. Ada yang baik, pasti ada yang buruk, seperti ada terang pasti ada gelap. Kalau tidak ada baik, tidak ada pula sebutan buruk, sebaliknya kalau tidak ada buruk, juga tidak ada pula sebutan baik. Kalau terang terus, tentu tidak ada gelap, dan kalau gelap terus, juga tidak ada terang. Baik buruk itu saling mengadakan, dan kita manusia berhak untuk memilih, kalau memilih menjadi alat Thian (Tuhan) tentu prilakunya baik, sebaliknya, kalau memilih menjadi alat Setan, tentu prilakunya buruk atau jahat."
Nyi Lasmi memandang kagum. "Pendapat seperti itu keluar dari pikiran Nak Kim Lan ini? Semuda ini telah memiliki kebijaksanaan seperti itu, sungguh mengagumkan sekali!"
"Aih, Bibi, aku juga hanya mendengar dari apa yang diajarkan guruku, dan guruku itu seorang pendeta Buddha." kata Kim Lan yang sudah pandai menangkap arti ucapan bahasa daerah, akan tetapi kalau harus bicara yang panjang-panjang ia masih merasa kaku. Karena itu tadi ia minta kakaknya yang bicara karena kakaknya yang sudah tujuh tahun berada di Nusa Jawa tentu saja lebih fasih bicara bahasa daerah.
"Engkau murid seorang pendeta Buddha? Ah, di sini juga banyak pendeta Buddha dan pendeta Hindu. Akan tetapi sungguh menyedihkan, aku melihat banyak pendeta Buddha atau Hindu masih saja melakukan perbuatan yang buruk dan jahat."
Sekarang Ki Tejoranu sendiri yang menjawab langsung. "Keadaan seperti itu pun sama saja, Terjadi di Cina, Negara kami, Bibi. Kalau di sini terdapat Agama Buddha dan Agama Hindu, di Cina terdapat Agama Buddha dan Agama To. Di sana juga terdapat banyak para pemeluk kedua agama itu, bahkan juga Pendeta Buddha atau Pendeta To berprilaku sesat dan jahat! Kembali di sini bukan agamanya yang salah. Agama apa pun mengajarkan manusia untuk menjadi baik, saling tolong dan membangun dunia ini menjadi tempat yang indah tenteram penuh kedamaian dan kebahagiaan. Jadi yang jahat itu manusianya, oknumnya dan hal itu dapat terjadi kepada orang itu karena dia tidak menghayati agamanya, tidak menghormati agamanya, bahkan mencemarkan agamanya."
"Guruku pernah berkata kepadaku, Bibi," Kim Lan menyambung dengan ucapan yang cadel (pelo) akan tetapi cukup jelas. "Katanya, kalau ada seorang beragama Buddha melakukan pencurian, maka sesungguhnya dia itu bukan umat Buddha, melainkan maling yang mengaku-aku sebagai umat Buddha. Kalau ada orang beragama To melakukan kejahatan maka sesungguhnya dia bukan umat Agama To, melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama To. Kalau dua orang itu benar-benar beragama Buddha, maupun Agama To atau agama apa pun juga, sudah pasti dia tidak melakukan kejahatan karena agamanya melarangnya melakukan kejahatan."
Nyi Lasmi mendengarkan dengan kagum. "Wah, mendengar kalian bicara, aku teringat akan puteriku. Anakku Puspa Dewi selain digdaya juga seringkali bicara tentang kehidupan dan kebenaran seperti itu."
"Aih, puteri Bibi juga seorang pendekar rupanya!" seru Kim Lan.
"Aku tahu bahwa di sini. seperti juga di Cina sana, terdapat banyak wanita yang sakti mandraguna dan gagah perkasa. Kalau begitu, bagaimana Bibi dapat ditawan penjahat? Apakah puteri Bibi tidak mampu mengalahkan mereka tadi?" tanya Ki Tejoranu.
"Hemm, kalau puteriku berada di Karang Tirta ketika para penjahat itu menyerbu, tentu mereka semua sudah roboh oleh Puspa Dewi. Sayangnya, ketika itu ia sedang pergi ke kota raja Kahuripan. Akan tetapi kalau ia pulang, tentu ia akan melakukan pengejaran dan mencariku."
Melihat Nyi Lasmi masih tampak lemas, The Kim Lan lalu berkata. "Bibi Lasmi, sebaiknya Bibi mengaso dulu untuk memulihkan kekuatan tubuh Bibi. Maafkan kami, karena kami kakak beradik baru saling bertemu setelah berpisah selama tujuh tahun, sekarang ingin sekali kami membicarakan urusan pribadi kami."
Nyi Lasmi tersenyum dan mengangguk, lalu duduk bersandar pada sebatang pohon sambil memejamkan matanya. Hatinya yang kembali tenang, kelelahan, kantuk karena selama beberapa malam tidak dapat tidur, membuat ia sebentar saja tertidur.
Ki Tejoranu mengajak adiknya duduk agak menjauh dari Nyi Lasmi agar tidak mengganggu wanita yang sedang pulas itu. Ki Tejoranu lalu menceritakan semua pengalamannya sejak dia terpaksa melarikan diri menjadi buronan dari pengejaran para jagoan yang dikirim Bangsawan Bong untuk membalas dendam atas kematian puteranya, Bong Kongcu di tangannya. Dia menceritakan pula bahwa dia nyaris tewas di tangan gurunya sendiri, Pek I Kiam-sian (Dewa Pedang Baju Putih), Souw Kiat dan kedua orang paman gurunya bernama Gan Hok dan Giam Lun.
"Masih baik nasibku, karena Thian (Tuhan) masih melindungiku sehingga dalam keadaan terluka parah itu muncul Gusti Patih Narotama yang sakti sehingga aku dapat diobatinya sampai pulih kembali tenagaku." Dia menceritakan peristiwa itu dan Kim Lan mendengarkan dengan kagum. Setelah kakaknya berhenti bercerita, ia berseru kagum.
"Wah, hebat sekali Ki Patih Narotama itu, Lan-ko (Kakak Lan)! Kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat bertemu denganmu. Aku ingin sekali berjumpa dengan Ki Patih Narotama untuk menyampaikan sendiri terima kasihku."
"Hal itu mudah dilakukan, Adikku. Gusti Patih Narotama telah menerima aku sebagai seorang sahabat dan kalau kita pergi ke kota raja Kahuripan dan menghadapnya, tentu kita akan diterima dengan baik. Sekarang, ceritakan pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai hari ini kita bertemu di sini, Kim Lan."
Gadis itu lalu bercerita. Ketika rumah orang tua mereka diserbu orang-orangnya Bangsawan Bong dan ayah ibu mereka terbunuh, Kim Lan yang ketika itu berusia dua belas tahun melarikan diri dari pintu belakang dengan ketakutan. Ketika akhirnya ia dapat keluar dari dusun dan tiba di jalan dekat hutan, tiba-tiba ia melihat ada seorang laki-laki tinggi besar lari mengejarnya. Kim Lan menjadi ketakutan dan lari semakin kencang, akan tetapi sebentar saja laki-laki itu, seorang di antara para jagoan yang menyerbu rumahnya, dapat menangkapnya.
Kim Lan meronta-ronta, namun ia tidak berdaya dan laki-laki itu sambil tertawa-tawa memondongnya sambil memuji kecantikan gadis cilik itu dengan kurang ajar. Tiba-tiba muncul seorang hwesio (pendeta Buddha) yang kepalanya gundul, berjubah longgar dan memegang sebatang tongkat pendeta. Menghadang di depan jagoan itu sambil minta agar penjahat itu melepaskan Kim Lan. Penjahat itu marah dan menyerangnya dengan golok, akan tetapi dengan mudah hwesio tua itu merobohkan si jagoan yang lari terbirit-birit meninggalkan Kim Lan...
Rakyat diperas habis-habisan sehingga kehidupan penduduk Karang Tirta berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan kehidupan Sang Lurah dan orang-orang yang dekat dengannya, sanak saudara dan para pembantunya, hidup bermewah-mewah dan berlebihan, kaya raya dan makmur. Padahal Ki Suramenggala dan para pembantunya selalu menganjurkan agar penduduk Karang Tirta berprihatin, hidup hemat dan serba kekurangan demi pembangunan Karang Tirta untuk kemakmuran kehidupan anak cucu kelak!
Semua pembantu lurah, dari carik sampai jagabaya dan pamong yang paling rendah pangkatnya, tidak ada yang jujur. Semua memeras rakyat dengan dalih pembangunan dusun, akan tetapi uangnya mereka kantongi sendiri. Para jagabaya yang semestinya menjaga keamanan penduduk, bahkan menjadi penggangu keamanan. Hukum yang dilaksanakan adalah hukum lurah dan para pembantunya, mudah saja memutar-balikkan fakta, menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah demi keuntungan para penguasa itu.
Semua ini terjadi karena Ki Lurah Suramenggala tidak menjadi tauladan yang baik sebagaimana seharusnya seorang pemimpin. Dia sebagai orang nomor satu di Karang Tirta, bertangan kotor melakukan penindasan, mengandalkan kekuasaan untuk melaksanakan segala kehendaknya, menumpuk harta tanpa memperdulikan kemiskinan penduduk.
Kalau pemimpin tertinggi di dusun Karang Tirta itu bertangan kotor, bagaimana mungkin para pembantunya, para pamong praja, dapat bertangan bersih? Mereka juga melakukan segala macam kejahatan demi menum-puk harta. Atasannya tidak mungkin berani menegur karena atasan itu, sendiri tangannya kotor,demikian atasannya lagi sampai kepada yang paling atas di dusun itu, yakni Ki Lurah Suramenggala! Jadilah semua pamong itu bertangan kotor!
Untunglah bahwa Kerajaan Kahuripan dipimpin Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, berhati jujur dan bersikap bijaksana. Ki Patih Narotama yang bertangan bersih, ketika melihat seorang bawahannya, yaitu Ki Lurah Suramenggala, bertangan kotor, langsung saja dia berani memberantasnya. Dia melakukan pembersihan tanpa sungkan karena dia sendiri bertangan bersih!
Atas pilihan penduduk, disetujui oleh Ki Patih Narotama, dusun Karang Tirta kini dipimpin oleh Ki Lurah Pujosaputro. Lurah Pujosaputro ini adalah seorang lurah yang baik, pemimpin yang bijaksana. Dia selalu ingat bahwa dia menjadi lurah karena ada rakyat yang memilihnya, dan rakyat memilihnya karena rakyat percaya bahwa dia akan menjadi pemimpin yang baik, yang memperhatikan kesejahteraan rakyat dusun Karang Tirta. Dan ternyata harapan penduduk Karang Tirta tidak sia-sia.
Ki Lurah Pujosaputro benar-benar mendahulukan kepentingan penduduk daripada kepentingan diri dan keluarganya sendiri. Dia tidak mau menumpuk harta dari perasan keringat rakyat, tidak mau memperkaya diri sendiri dan hasil tanah pedusunan dinikmati penduduk yang mengolahnya. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya hidup biasa saja, tidak berlebihan dan tentu saja sebagai lurah, juga tidak kekurangan.
Karena kebijaksanaannya ini, penduduk suka dan hormat kepadanya. Ada saja yang mengirimi hasil palawija, buah-buahan dan hasil usaha lain kepada keluarga Ki Lurah. Kehidupan penduduk Karang Tirta meningkat dengan pesat dan semua orang merasa gembira. Kini penduduk Karang Tirta tidak merasa iri kepada dusun-dusun lain yang makmur karena kebijaksanaan lurah masing-masing.
Karena lurahnya bertangan bersih, bawahannya, para pamong, tidak ada yang berani bermain kotor dan karena pamong prajanya jujur dan adil, rakyatnya juga senang dan menaati semua peraturan dan hukum yang diberlakukan sama rata, bukan untuk menindas yang bawah dan memenangkan yang atas.
Akan tetapi, menjadi sebuah kenyataan yang membuat kebanyakan orang, terutama yang imannya kurang penuh, menjadi penasaran, betapa banyaknya terjadi orang-orang yang dalam hidupnya dikenal sebagai orang yang baik budi, mengalami bencana dan kesengsaraan, sebaliknya orang yang angkara murka dan mementingkan diri sendiri dan suka melakukan perbuatan jahat, hidupnya bergelimang kesenangan dan kemuliaan! Tentu saja ini sebetulnya hanya menurut pandangan jasmaniah belaka.
Pada suatu malam, belasan orang yang berpakaian serba hitam dan bersikap sombong dan bengis memasuki dusun Karang Tirta. Ketika empat orang pemuda dusun yang bertugas jaga malam menghadang dan bertanya karena melihat betapa dua belas orang itu tidak mereka kenal dan di antara mereka terdapat dua orang yang berpakaian mewah, rombongan itu tanpa banyak cakap lagi menyerang dan merobohkan empat orang pemuda itu sehingga mereka tidak mampu bangkit kembali karena setelah dipukul pingsan!
Rombongan terdiri dari dua belas orang itu lalu melangkah lebar dan cepat menuju rumah Ki Lurah Pujosaputro. Dua orang pemimpin rombongan yang berpakaian mewah itu adalah Wirobento yang tinggi besar bersenjata pecut berujung besi-besi kecil dan Wirobandrek yang juga tinggi besar dengan senjata sepasang kolor merah. Kakak beradik ini merupakan sepasang warok yang terkenal sesat, berusia sekitar tiga puluh dua dan tiga puluh tahun.
"Adi Bandrek, bagaimana kalau gadis sakti Puspa Dewi itu berada di Karang Tirta ini?" kata Ki Wirobento dengan suara yang membayangkan perasaan gentar.
"Kakang Bento, mengapa khawatir? Hal ini tidak mungkin karena para penyelidik sudah melaporkan dengan jelas bahwa saat ini gadis itu tidak berada di sini. Kita aman! Pula, bukankah ia telah menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri?"
"Hemm, tidak mungkin ia dapat diterima di Wura-wuri setelah ia mengkhianati persekutuan di mana Wura-wuri juga terlibat itu. Aku khawatir kalau-kalau para penyelidik salah duga dan ia nanti akan melakukan pengejaran terhadap kita. Ia sakti mandraguna, Bandrek, kita sama sekali bukan tandingannya."
"Ah, Kakang Bento, tidak perlu takut. Asalkan kita sudah dapat meringkus Nyi Lasmi, Puspa Dewi tidak akan berani berkutik. Kita jadikan Ibunya itu sebagal sandera dan kita lihat saja, apa yang akan dapat ia lakukan!"
"Kamu benar, Bandrek. Mari kita bereskan mereka dan tangkap Nyi Lasmi sesuai dengan pesan Ki Suramenggala!"
Setelah tiba di rumah Ki Lurah Pujosaputro, dua belas orang itu lalu menyerbu. Mereka mendobrak dan menjebol pintu lalu menerjang ke dalam rumah besar itu. Lima orang pemuda yang sedang berjaga di samping rumah, cepat berlari mendatangi, akan tetapi mereka berlima segera roboh disambut serangan orang-orang yang rata-rata memiliki kedigdayaan itu.
Dua belas orang itu lalu mengamuk. Sesuai dengan perintah yang mereka terima dari Ki Suramenggala yang kini telah berada di Kerajaan Wengker sebagai orang yang tinggi kedudukannya sebagai ayah Sang Adipati Linggawijaya, mereka membacok siapa saja yang mereka temukan di dalam rumah kelurahan itu.!
Ketika Ki Pujosaputro dan isterinya muncul dari kamar, mereka berdua disambut bacokan golok yang membuat mereka tewas seketika. Ketika mereka menemukan Nyi Lasmi, mereka meringkusnya dan Ki Wirobandrek segera memanggul wanita yang telah diikat kaki tangannya itu di atas pundaknya dan dua belas orang itu berusaha mencari orang-orang lain yang menjadi penghuni rumah itu.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan gaduh di luar kelurahan dan dua belas orang itu ketika melihat betapa puluhan, bahkan mungkin seratus lebih pemuda dusun dating sambil membawa segala macam senjata dengan sikap mengancam, mereka menjadi gentar juga. Mereka hanya dua belas orang dan sungguhpun mereka merupakan jagoan-jagoan tangguh, namun menghadapi demikian banyak orang mereka menjadi ketakutan dan segera dua belas orang itu melarikan diri sambil memutar senjata mereka untuk menjaga diri.
Para pemuda dusun Karang Tirta, setelah mengetahui bahwa gerombolan itu melakukan pembunuhan terhadap para penghuni rumah Ki Lurah, segera melakukan pengejaran sambil membawa obor. Akan tetapi, dua belas orang itu telah lenyap dalam hutan yang lebat. Terpaksa mereka kembali dengan tangan hampa.
Seluruh penduduk dusun Karang Tirta berduka setelah mengetahui bahwa Ki Lurah Pujosaputro yang mereka sayangi dan hormati telah dibunuh. Juga semua keluarganya dan para pelayan. Hanya ada seorang pelayan wanita yang lolos dari maut karena ia bersembunyi di tempat gelap sambil mengintai ketakutan. Gerombolan itu tidak melihatnya maka ia selamat.
Setelah mereka mengadakan penelitian, ada enam orang pemuda yang berjaga malam tewas, lainnya luka-luka, dan penghuni rumah kelurahan itu hanya seorang yang selamat, yang lainnya, Ki Lurah Pujosaputro dan isterinya serta keluarganya yang berjumlah sembilan orang berikut pelayan, semua tewas! Mereka juga mendapat kenyataan bahwa Nyi Lasmi lenyap, dan ada yang melihat malam tadi bahwa wanita itu diculik, dipanggul dan dilarikan penjahat. Gegerlah dusun Karang Tirta!
Semua penduduk wanita menangisi musibah itu, dan yang laki-laki marah dan penasaran, akan tetapi mereka tidak mampu berbuat sesuatu karena ada yang mendengar percakapan para gerombolan itu bahwa mereka adalah orang-orang Kerajaan Wengker, anak buah Ki Lurah Suramenggala yang datang untuk membalas dendam dan menculik Nyi Lasmi yang dulu menjadi selirnya kemudian tidak mau ikut ketika Ki Sura-menggala terusir keluar dari Karang Tirta.
Para penduduk yang berkabung itu hanya dapat merawat semua jenazah dan menguburkannya. Ki Lurah Warsita, lurah dari Karang Sari yang terletak dekat Karang Tirta dan merupakan lurah yang baik dan menjadi sahabat Ki Lurah Pujosaputro, begitu mendengar musibah itu, cepat datang dan mengatur sendiri semua urusan di Karang Tirta.
Juga Ki Lurah Warsita lalu mengumpulkan para pemuda Karang Tirta dan karang Sari untuk bersatu melakukan penjagaan terutama di waktu malam untuk melawan kalau-kalau para pengacau itu datang lagi. Dia juga segera mengirim laporan tentang musibah itu ke kota raja Kahuripan. Utusan ke kota raja ini terdiri dari tiga orang, di pimpin oleh Ki Tejomoyo, seorang kakek yang dianggap sebagai sesepuh Karang Tirta.
Akan tetapi baru melakukan perjalanan setengah hari, utusan ini bertemu dengan rombongan terdiri dari dua kereta yang dikawal selosin perajurit. Melihat ini, tiga orang dusun Karang Tirta itu mengenal bahwa seregu perajurit itu adalah perajurit Kahuripan, maka mereka berhenti di tepi jalan dengan membungkuk hormat karena orang yang berada di kereta dan dikawal pasukan itu pasti seorang priyagung (bangsawan).
"Paman Tejomoyo...!"
Tiba-tiba seorang gadis melompat turun dari dalam kereta yang sudah berhenti dan begitu Tejomoyo mengenal siapa gadis yang mengenalinya itu, dia segera menghampiri, lalu berjongkok dan menangis.
"Aduh, Nak ayu Puspa Dewi....!" Dia tidak dapat melanjutkan karena sudah menangis mengguguk sambil mendeprok dan menutupi muka dengan kedua tangan. Dua orang temannya yang juga mengenal siapa gadis itu, memberi hormat dan juga tidak berani bicara, tidak sampai hati menyampaikan berita yang amat menyedihkan itu.
"Paman, ada apakah? Mengapa Paman bersikap begini? Berdirilah Paman dan ceritakan dengan tenang." Puspa Dewi memegang kedua bahu kakek itu dan membantunya bangkit berdiri.
Ki Tejomoyo berusaha menenangkan hatinya dengan menghela napas panjang berulang kali. Akhirnya dia dapat tenang dan menghentikan tangisnya.
"Malapetaka menimpa Karang Tirta..."
"Apa yang terjadi? Puspa Dewi, siapa orang itu dan apa yang terjadi?"
Tumenggung Jayatanu keluar pula dari keretanya dan melihat seorang laki-laki berpakaian bangsawan tinggi, Ki Tejomoyo dan dua orang temannya segera berjongkok dan menyembah.
"Eyang, ini adalah Paman Tejomoyo dan dua orang temannya itu saya kenal sebagai penduduk Karang Tirta pula. Paman Tejomoyo ini adalah Eyang Tumenggung Jayatanu, maka ceritakan apa yang terjadi, jangan membuat kami bingung dan penasaran."
"Ampunkah hamba bertiga, Gusti Tumenggung. Hamba tidak tahu bahwa Paduka yang lewat maka hamba tidak menyambut dengan hormat." kata Ki Tejomoyo dengan sikap hormat.
"Tidak mengapa, Ki Tejomoyo. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi di Karang Tirta sehingga Andika sampai menangis sedih."
"Aduh, katiwasan, Gusti! Baru kemarin malam terjadinya. Segerombolan orang berjumlah belasan datang menyerbu rumah Ki Lurah Pujosaputro dan mengamuk, membunuhi penghuni rumah kalurahan..."
Puspa Dewi menyambar lengan Ki Tejomoyo dan bertanya dengan nyaring,
"ibuku...! Bagaimana dengan Ibuku...?"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya yang juga sudah turun dan menghampiri mereka berkata. "Dewi tenanglah. Engkau menyakiti lengan Paman ini."
Puspa Dewi sadar dan melepaskan Lengan Ki Tejomoyo yang meringis kesakitan karena lengannya serasa dijepit besi!
"Nyi Lasmi... diculik gerombolan..."
Puspa Dewi berkelebat dan lenyap dari situ. Ia telah menggunakan ilmunya berlari cepat seperti terbang menuju dusun Karang Tirta. Prasetyo berkata kepada Ki Tejomoyo.
"Paman, ceritakan dengan ringkas apa yang telah terjadi."
Dia pun merasa khawatir sekali akan keselamatan Nyi Lasmi. Dengan singkat Ki Tejomoyo menceritakan tentang penyerbuan gerombolan yang membunuh seluruh penghuni rumah Ki Pujosaputro dan hanya seorang pelayan wanita yang lolos dari maut. Juga Nyi Lasmi lenyap diculik gerombolan. Tumenggung Jayatanu marah sekali. Wajahnya yang gagah itu menjadi kemerahan.
"Keparat! Akan kuhajar mereka! Hayo, Prasetyo, kita cepat membalapkan kereta menyusul Puspa Dewi ke Karang Tirta! Dan Andika, Ki Tejomoyo, tadinya hendak pergi kemanakah?"
"Hamba diutus Ki Lurah Warsita dari Karang Sari untuk pergi melaporkan peristiwa itu ke kota raja."
"Kalau begitu lanjutkan perjalananmu dan setelah tiba di sana laporkanlah peristiwa ini kepada Gusti Patih Narotama."
"Baik, Gusti Tumenggung."
Dua buah kereta itu dijalankan lagi dengan cepat menuju Karang Tirta dan tiga orang utusan dari Karang Tirta itu melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja Kahuripan Sementara itu Puspa Dewi telah memasuki pintu gerbang dusun Karang Tirta. Semua orang yang melihatnya menyambut dengan wajah sedih dan segera mengikuti gadis yang cepat lari menuju ke rumah kelurahan itu.
Jerit tangis para wanita menyambut kedatangan Puspa Dewi di rumah itu. Puspa Dewi dikepung banyak orang. Wajah gadis itu agak pucat, akan tetapi ia tetap tenang, lalu ia mengangkat kedua tangan memberi isyarat agar semua orang menghentikan tangis dan suara mereka yang bising.
"Kuharap Andika sekalian berhenti menangis dan saling bicara sendiri. Aku sekarang ingin mendengar keterangan yang sejelasnya tentang peristiwa ini. Siapa yang lebih mengetahui akan peristiwa ini? Aku mendengar Bibi Katmi lolos dari maut, tentu ia lebih mengetahui. Mana Bibi Katmi?"
Nyi Katmi yang tadinya menangis di sudut lalu maju menghampiri Puspa Dewi. la dipersilakan duduk berhadapan dengan Puspa Dewi, sedangkan orang-orang lain tidak gaduh lagi, mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Nah, Bibi Katmi, hapuskan air matamu dan tenanglah. Sekarang ceritakan dengan rinci apa yang telah terjadi kemarin malam."
Nyi Katmi lalu menceritakan dengan suara terharu dan sambil menahan tangisnya. "Malam itu saya mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Ketika saya keluar dari kamar saya melihat belasan orang berpakaian serba hitam membunuhi semua penghuni rumah dengan kejam. Mereka menggunakan klewang (golok). Karena takut, saya terkulai dan jatuh menelungkup dalam keadaan setengah pingsan. Akan tetapi saya masih dapat melihat Mas Ajeng Lasmi dipanggul seorang penjahat dengan kaki tangan terikat dan mendengar ia menangis dan memaki-maki. Karena tidak tahan melihat banjir darah yang terjadi malam itu, saya tidak dapat bangun dan hanya dapat pura-pura mati sambil menahan tangis. Mungkin mereka mengira bahwa saya telah mati, maka tidak ada yang mengganggu saya."
"Apakah engkau mendengar mereka bicara yang menunjukkan siapa mereka?" tanya Puspa Dewi.
"Saya mendengar percakapan singkat dua orang di antara mereka. Yang memanggul Mas Ajeng Lasmi berkata; ‘Wah, wanita ini masih denok lembut!’ Lalu orang ke dua menjawab, 'Awas, ia itu selir Bendoro Menggung Suramenggala, jangan main-main!' Hanya itulah yang saya dengar."
Wajah Puspa Dewi menjadi merah sekali dan ia mengepal tangan kanannya. "Jahanam Suramenggala yang melakukan ini, keparat!"
Tiba-tiba seorang laki-laki yang usianya sekitar dua puluh enam tahun berkata, "Saya juga mendengar percakapan dua orang tinggi besar yang memimpin gerombolan itu, Mas Ayu..."
Orang ini menderita luka serangan gerombolan dan lengan kanan dan paha kirinya masih dibalut.
"Hemm, bagus, Kakang Canang. Cepat ceritakan!" kata Puspa Dewi sambil memandang pemuda itu.
"Ketika itu saya dan teman-teman melakukan penjagaan di gapura desa ketika dua belas orang berpakaian hitam itu menyerbu masuk. Sebelum dapat berbuat banyak, kami telah mereka serang dan saya pun menderita luka-luka dan roboh. Pada saat itu, saya mendengar dua orang pemimpin mereka bicara. Yang seorang berkata, 'Kita harus berhasil, kalau tidak Gusti Adipati Linggawijaya tentu akan marah kepada kita'. Kemudian orang ke dua berkata, 'Bukan hanya Gusti Adipati, akan tetapi terutama sekali Tumenggung Suramenggala, ayah Gusti Adipati itu, tentu akan menghukum kita. Kabarnya dia lebih kejam dibandingkan puteranya'. Nah, itulah percakapan mereka."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya mendengar keterangan itu. Adipati Linggawijaya? Setahunya, adipati di Wengker bernama Adipati Adhamapanuda. Ah, tentu Linggajaya kini telah menjadi adipati di Wengker dan Ki Suramenggala sekarang menjadi Tumenggung Suramenggala karena dia Ayah Linggajaya. Tidak salah lagi. Tentu Ki Suramenggala dan Linggajaya yang mendalangi pembantaian keluarga Ki Lurah Pujosaputro dan menculik Ibunya.
Puspa Dewi lalu meninggalkan pesan kepada mereka yang berada di situ untuk melaporkan kepada Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya yang akan tiba di dusun itu tak lama lagi bahwa ia langsung melakukan pengejaran terhadap para pembunuh dan penculik Ibunya ke Kerajaan Wengker. Setelah meninggalkan pesan itu, Puspa Dewi segera melesat lenyap dan sudah berlari dengan cepat sekali keluar dusun Karang Tirta menuju ke kota raja atau kota Kadipaten Wengker.
Menjelang sore, dua buah kereta yang ditumpangi keluarga Tumenggung Jayatanu tiba di dalam dusun Karang Tirta. Para penduduk menyambut dengan hormat. Setelah Tumenggung Jayatanu dan Senopati Yudajaya mendengar keterangan para penduduk tentang penyerbuan orang-orang Wengker dan membantai keluarga Ki Lurah dan menculik Nyi Lasmi, mereka menjadi marah sekali. Terutama Senopati Yudajaya selain marah juga merasa sedih dan iba kepada Nyi Lasmi, isterinya yang hidup terlunta-lunta setelah berpisah darinya.
Menurut gejolak hatinya. Ingin ia langsung menyusul Puspa Dewi yang oleh para penduduk dikabarkan melakukan pengejaran ke Kadipaten Wengker. Akan tetapi Tumenggung Jayatanu mencegahnya.
"Sungguh tidak bijaksana kalau engkau menyusul puterimu ke sana sekarang." kata Kakek itu.
"Kadipaten Wengker mempunyai banyak sekali orang sakti dan mereka juga mempunyai pasukan yang kuat. Engkau akan mencelakai diri sendiri dan tidak akan dapat menyelamatkan Nyi Lasmi kalau mengejar sendiri."
"Akan tetapi, Kanjeng Rama! Lasmi dan Dewi berada di sana! Saya harus membela mereka!"
"Tentu saja kita harus membela mereka, akan tetapi bukan seorang diri. Kita melaporkan ke kota raja dan mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran ke pedalaman Wengker. Mengenal isterimu Lasmi dan puterimu Puspa Dewi, jangan terlalu dikhawatirkan. Penculik itu tidak akan membunuh Lasmi karena kalau demikian halnya, tentu ia sudah dibunuh bersama anggauta keluarga Ki Pujosaputro, tidak perlu susah-susah diculik. Dan tentang Puspa Dewi, tidak usah khawatir. Puterimu itu adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak sembarang orang dapat mengganggunya. Ia Pasti dapat menjaga diri, bahkan tidak mustahil ia akan mampu menolong Ibunya."
Tiba-tiba terdengar teriakan Nyai Tumenggung, "Aduh, cucuku Ken Harni menghilang...!!"
Tumenggung Jayatanu dan Prasetyo cepat berlari memasuki rumah dan Nyai tumenggung dengan wajah pucat memberitahukan bahwa sejak tadi ia tidak melihat Niken Harni. Dicari-cari juga tidak dapat ditemukan.
"Tadi ia bersamaku, lalu bilang hendak keluar berjalan-jalan sebentar," kata Dyah Mularsih yang juga kebingungan dan khawatir. "Akan tetapi sampai sekarang ia tidak kembali!"
Prasetyo atau Senopati Yudajaya cepat berlari ke belakang di mana kuda dan kereta berada. Akan tetapi kusir dan para Prajurit juga tidak melihat Niken Harni. Dia berlari keluar dan bertanya-tanya kepada semua orang yang dijumpai di dusun Itu. Akhirnya seorang pemuda yang berada dekat pintu gapura melaporkan bahwa tadi dia melihat gadis bangsawan itu berlari cepat meninggalkan dusun Karang Tirta.
Dengan jantung berdebar tegang dan hatinya gelisah sekali, Prasetyo kembali kepada mertuanya. "Ada yang melihat Niken berlari meninggalkan dusun!" katanya.
"Aduh, bocah ngeyel (tidak penurut) itu! Ia tentu pergi menyusul Puspa Dewi! Ia memasuki gua harimau, sungguh berbahaya sekali!" Tumenggung Jayatanu berseru.
"Ah, bagaimana ini?" Nyi Tumenggung menangis.
"Kakangmas Prasetyo, Paduka harus cepat menyusul anak kita!" Dyah Mularsih mendesak suaminya.
"Tentu saja!" jawab Prasetyo. "Aku akan menyusul mereka sekarang juga, bahaya apa pun akan kutempuh untuk menyelamatkan mereka bertiga!"
Baru saja Prasetyo melangkah hendak keluar, Tumenggung Jayatanu memegang lengan mantunya. "Nanti dulu, Prasetyo. Sebagai seorang senopati, engkau tidak boleh sembrono. Semua harus diperhitungkan dengan matang agar dapat mengatur siasat sehingga usaha kita tidak gagal. Kalau engkau nekat hendak memasuki Wengker engkau bawalah selosin perajurit pengawal itu. Mereka adalah perajurit-perajurit yang cukup terlatih dan tangguh. Sementara itu, aku akan cepat minta bantuan ke Kahuripan agar dikirim pasukan yang kuat dan aku akan memimpin sendiri pasukan itu menyusul ke Wengker."
Prasetyo mengangguk. "Sendika dhawuh (siap melaksanakan perintah), Kanjeng Rama!" Dia lalu memandang kepada isterinya. "Jangan khawatir, Diajeng, aku pasti akan dapat membawa pulang anak kita."
"Bukan hanya Niken yang kuharapkan akan dapat ditolong, Kakangmas, akan tetapi juga Puspa Dewi dan Ibunya." Kata Dyah Mularsih.
Prasetyo lalu mengumpulkan selosin orang perajurit pengawal lalu dia memimpin mereka naik kuda dan menuju keselatan, ke arah Kadipaten Wengker yang dianggap daerah berbahaya.
Sementara itu, Tumenggung Jayatanu cepat mengirim utusan yang menyusul perjalanan Tejomoyo dan dua orang temannya untuk minta bantuan kepada Ki Patih Narotama. Sambil menanti datangnya pasukan, Nyai Tumenggung, Dyah Mularsih dan Tumenggung Jayatanu sendiri bermalam didusun Karang Sari yang dekat dari Karang Tirta, di rumah Ki Lurah Warsita.
********************
Ki Suramenggala yang usianya sekitar lima puluh satu tahun itu tertawa bergelak. Tubuhnya yang tinggi besar terguncang, matanya bersinar-sinar ketika dia tertawa senang.
"Ha-ha-ha! Lasmi, akhirnya engkau datang juga untuk melayani suamimu dengan penuh kesetiaan dan kasih sayang! Lasmi, wong ayu denok, betapa aku rindu kepadamu!"
Nyi Lasmi yang tadi diturunkan ke atas lantai dalam ruangan itu oleh Ki Wirobandrek yang segera keluar dari ruangan itu, duduk bersimpuh dan menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa nyeri karena terlalu lama diikat dan baru saja dilepaskan setelah ia dibawa ke depan Ki Suramenggala. Diam-diam ia merasa heran sekali. Rumah di mana ia dihadapkan bekas suaminya itu merupakan sebuah gedung mewah sekali, dan Ki Suramenggala mengenakan pakaian seperti seorang bangsawan tinggi! Tidak ada orang lain di ruangan itu karena memang Ki Suramenggala menghendaki demikian.
Biarpun di dalam hatinya Nyi Lasmi merasa penasaran dan bersedih sekali mengingat akan pembantaian yang dilakukan terhadap Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan ia maklum pula bahwa dirinya berada dalam cengkeraman laki-laki yang jahat itu, namun ia sama sekali tidak merasa takut. Ia tahu benar bahwa Ki Suramenggala amat menyayangnya dan pasti tidak akan menyakitinya. Cinta laki-laki itu kepadanya hanyalah cinta berahi yang didorong nafsu semata.
"Mari, Lasmi, ke sinilah kupeluk kupondong untuk melepaskan rinduku yang sudah menulang-sumsum!" Ki Suramenggala melangkah maju dan membungkuk hendak meraih tubuh Nyi Lasmi. Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan tangannya dan bangkit berdiri, agak terhuyung karena kedua kakinya juga terasa kaku kejang karena terlalu lama diikat.
"Jangan sentuh aku!" bentaknya ketus. "Aku bukan isterimu lagi!"
"Ah, jangan begitu, manisku. Jangan bersikap jual mahal...!" laki-laki itu menggoda sambil menyeringai dan matanya bersinar-sinar penuh gairah nafsu memandang tubuh Nyi Lasmi yang masih tampak padat dan denok itu.
"Ki Suramenggala, aku bukan isterimu lagi dan tidak sudi melayanimu. Andika seorang yang berhati kejam dan jahat! Andika menyuruh anak buah Andika membunuhi Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, padahal mereka tidak bersalah. Mereka adalah orang-orang yang baik budi dan Andika membantai mereka. Alangkah kejamnya!"
"Wah, Lasmi, sayangku. Jangan berpendapat seperti itu. Siapa bilang dia tidak bersalah? Dia merampas kedudukanku sebagai Lurah Karang Tirta."
"Dia menjadi lurah karena pilihan penduduk Karang Tirta, dan Andika dipecat bukan olehnya, melainkan oleh Gusti Patih Narotama! Seharusnya kepada Gusti Patih itu Andika membalas dendam, bukan kepada Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga!"
"Ha-ha-ha, akan tiba saatnya aku membunuh Narotama dengan kerisku! Sudahlah mari kita bersenang-senang, yayi (Adinda) Lasmi! Sekarang derajatmu akan meningkat tinggi sekali. Kalau dulu engkau hanya selir lurah, sekarang menjadi selir tercinta seorang tumenggung! Ketahuilah, manis, aku sekarang adalah Tumenggung Suramenggala dan anakku Linggajaya itu sekarang menjadi raja, menjadi Adipati Linggawijaya dari Kerajaan Wengker ini, ha-ha-ha!"
Diam-diam Nyi Lasml menjadi terkejut dan heran. Sukar membayangkan Linggajaya kini menjadi raja! Akan tetapi, mendengar bahwa Ki Suramenggala kini menjadi tumenggung, tidak membuat ia senang menjadi selirnya. Sebetulnya, beberapa bulan saja setelah diambil sebagal selir oleh Ki Suramenggala, ia sudah merasa tidak suka kepada orang yang berwatak kejam dan congkak ini.
Kalau dulu ia bertahan, hal itu karena terpaksa, ia kehilangan puterinya dan Ki Suramenggala amat menyayangnya dan laki-laki itu menjadi satu-satunya orang yang dapat dijadikan tempat ia berlindung dan bersandar. Akan tetapi, setelah ia terbebas dari cengkeraman orang itu, apalagi setelah melihat betapa kejamnya Ki Suramenggala mengirim anak buahnya membantai Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, kini ia merasa muak dan benci kepadanya.
"Ki Suramenggala, tidak ada gunanya Andika membujuk rayu padaku. Aku tidak sudi menjadi selirmu, tidak sudi melayanimu. Andaikata Andika menjadi raja besar sekalipun aku tidak ingin nunut mukti (ikut menikmati kemuliaan) denganmu. Andika jahat dan kejam sekali, dan aku benci padamu!"
"Hemm, apa yang kau andalkan maka engkau berani bersikap seperti ini kepadaku, Lasmi? Puterimu Puspa Dewi pun tidak akan mampu berbuat sesuatu dan kalau ia berani muncul, ia pasti akan menjadi tawanan kami pula! Apa kau kira engkau akan dapat melepaskan diri dariku? Dapat melawan kehendakku?"
"Aku seorang yang lemah dan tidak akan mampu melawan manusia berwatak iblis seperti engkau, Ki Suramenggala. Akan tetapi aku tidak sudi menyerah dan kalau engkau memaksaku, aku akan bunuh diri!"
Ki Suramenggala menjadi marah sekali. Kalau saja wanita lain yang berani menolak keinginannya dan merendahkannya seperti itu, tentu sudah dihantamnya seketika dan membunuh
atau menyiksanya. Akan tetapi, dia memang amat mencinta Nyi Lasmi, sungguhpun cintanya itu terdorong oleh gairah nafsunya. Dia tidak jadi menyentuh Nyi Lasmi, lalu duduk di atas kursi dan menggebrak meja di depannya.
"Brakkk...!"
Wajah Ki Suramenggala berubah merah seperti udang direbus. Dia menahan kekecewaan dan kemarahannya. Tadinya ia membayangkan bahwa melihat dia kini menjadi tumenggung, ayah dari Raja Wengker, Nyi Lasmi pasti akan senang dan bangga hatinya dan akan melayaninya dengan manis, menyerahkan diri sebulatnya kepadanya. Akan tetapi ternyata kenyataannya sungguh amat berlawanan. Wanita itu bukan hanya menolak dan tidak sudi melayaninya, bahkan membencinya dan merendahkannya.
"Keparat engkau, Lasmi! Tidak tahu disayang orang, manusia tak mengenal budi! Keras kepala kau! Baik, aku akan melunakkan kekerasan hatimu itu!" Ki Suramenggala lalu bertepuk tangan dan dua orang perajurit pengawal memasuki ruangan itu dan berdiri dengan sikap hormat.
"Bawa wanita ini dan masukkan dalam kamar tahanan di belakang! Awas, perlakukan ia baik-baik dan jangan ada yang mengganggunya! Cukupi semua kebutuhannya akan tetapi jangan sekali-kali memberi makan padanya. Aku sendiri yang akan memberi makan. Kerjakan...!"
"Sendika (siap melaksanakan perintah), Gusti Tumenggung!" jawab pengawal dan mereka segera memegang lengan Nyi Lasmi dari kanan kiri dengan halus.
Akan tetapi Nyi Lasmi menepiskan kedua tangan yang memegang lengannya itu dan dengan sikap tegak ia berjalan keluar dari ruangan dikawal dua orang perajurit yang membawanya ke dalam sebuah kamar tahanan di bagian belakang gedung katumenggungan itu.
Nyi Lasmi dikeram dalam kamar sebagai tahanan. Ia memang diperlakukan dengan hormat dan baik oleh para pengawal dan pelayan, akan tetapi sama sekali tidak diberi makan. Setelah sehari semalam ia tidak makan, pada keesokan harinya Ki Suramenggala sendiri memasuki kamar dan menyerahkan sepiring nasi bersama lauk-pauknya kepada Nyi Lasmi Tentu saja di dalam makanan ini telah diisi kekuatan sihir untuk melunakkan dan menundukkan hati wanita yang masih amat dicinta oleh Ki Suramenggala itu. Akan tetapi dengan penuh kebencian dalam sinar matanya. Nyi Lasmi memandang piring yang disodorkan oleh Ki Suramenggala itu dengan alis berkerut.
"Aku tidak sudi makan suguhanmu! Lebih baik mati kelaparan!" wanita itu membentak ketus dan tangannya menampar piring sehingga terlepas dari tangan Ki Suramenggala dan isinya berserakan di atas lantai.
Ki Suramenggala terkejut sekali, tidak menyangka Nyi Lasmi akan berbuat demikian. Dia sudah mengepal tinju, siap memukul saking marahnya. Nyi Lasmi berdiri tegak dan menanti pukulan dengan mata terbuka, penuh tantangan. Melihat wajah itu, Ki Suramenggala tidak tega memukul dan dia hanya menghela napas panjang lalu keluar dari kamar itu.
Pelayan segera datang membersihkan lantai. Ki Suramenggala menemui puteranya di istana Kerajaan Wengker. Kebetulan sekali pada waktu itu, Linggajaya yang kini menjadi Adipati Linggawijaya, raja Kerajaan Wengker, sedang bercakap-cakap dalam ruangan pribadinya dengan isterinya, Permaisuri Dewi Mayangsari, dan Sang Resi Bajrasakti.
Mereka sedang membicarakan tentang permusuhan mereka dengan Kahuripan, atau lebih tepat kebencian mereka yang membuat mereka selalu memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Sejak menjadi raja di Wengker, Adipati Linggawijaya tidak pernah melupakan kebenciannya terhadap raja dan patih Kahuripan itu, bersama semua satria yang membela Kahuripan. Dia ingin sekali menundukkan Kahuripan, karena kalau dia dapat menguasai Kahuripan, dia akan menjadi raja besar yang akhirnya dapat menguasai seluruh Nusantara!
Sang Adipati Linggawijaya tampak berbeda dengan ketika dia masih menjadi Linggajaya pemuda Karang Tirta putera Ki Lurah Suramenggala. Memang, sejak dahulu dia merupakan seorang pemuda pesolek dan tampan. Akan tetapi sekarang dia mengenakan pakaian kebesaran yang serba gemerlapan dan tampak anggun berwibawa sekali, sungguhpun usianya masih amat muda, baru sekitar dua puluh satu tahun!
Di sampingnya duduk Dewi Mayangsari yang kini menjadi permaisurinya. Wanita ini pun berpakaian serba indah dan harus diakui bahwa ia cantik sekali dan sungguhpun usianya sudah sekitar dua puluh sembilan tahun, namun ia tidak tampak lebih tua daripada Adipati Linggawijaya! Kulitnya yang agak hitam namun halus bersih itu membuat ia tampak semakin manis. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dalam tubuh yang ramping padat, wajah cantik manis dengan sinar mata dan senyum genit ini, terdapat kekuatan yang amat dahsyat karena ia yang tadinya memang sudah digdaya ini mendapat tambahan banyak ajian yang serba hebat dari gurunya yang baru, yaitu Nini Bumigarbo.
Seperti kita ketahui, Nini Bumigarbo yang sakti mandraguna itu amat membenci Sang Maha Resi Satyadarma karena Sang Resi ini telah memberi wejangan kepada Ekadenta sehingga Ekadenta mengambil keputusan untuk menjadi Brahmacari (pantang menikah). Padahal Ekadenta, kakak seperguruannya Itu adalah juga kekasihnya dan sebelumnya mereka berdua yang saling mencinta telah bersepakat untuk menjadi suami isteri.
Keputusan Ekadenta untuk tidak menikah selama hidupnya tentu saja membuat Gayatri, yaitu nama Nini Bumigarbo ketika masih gadis muda, berduka sekali dan ia membenci Sang Maha Resi Satyadharma. Akan tetapi ia tidak berani melampiaskan kebenciannya kepada pendeta yang sakti mandraguna itu. Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah menang melawan Sang Maha Resi.
Maka, ia lalu berusaha untuk membunuh dua orang murid terkasih dari Maha Resi Satyadharma, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Akan tetapi, sungguh menjengkelkan hatinya, Ekadenta selalu menentangnya dan bekas kakak seperguruan dan juga kekasihnya itu membela raja dan patih itu. Beberapa kali ia bertanding, namun selalu kalah oleh Bhagawan Ekadenta yang juga bernama Bhagawan Oitendrya.
Akhirnya Nini Bumigarbo mengambil Dewi Mayangsari, permaisuri Kerajaan Wengker sebagai murid. Ia menurunkan kepandaiannya kepada permaisuri itu dengan maksud agar melalui muridnya ini, ia akan dapat melampiaskan sakit hatinya dengan menyerang dan kalau mungkin membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama.
Berhadapan dengan suami Isteri pimpinan Kerajaan Wengker itu, duduk Sang Resi Bajrasakti, kakek yang berusia sekitar lima puluh enam tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh brewok dan berkulit hitam arang.
Seperti kita ketahui, Resi Bajrasakti ini sejak dulu menjadi tokoh Wengker dan dia adalah guru Adipati Linggawijaya. Setelah muridnya itu menjadi Adipati Wengker, Resi Bajrasakti diangkat menjadi Guru Kerajaan atau penasihat pribadi Sang Adipati. Kedudukan ini amat tinggi dan dia memiliki kekuasaan besar, hanya di bawah kekuasaan Sang Adipati dan Sang Permaisuri.
Mereka bertiga sedang berbincang-bincang membicarakan keinginan mereka untuk menggempur Kahuripan. Mereka bertiga memang sama-sama membenci Kahuripan. Resi Bajrasakti membenci Kahuripan karena sejak dulu ia memang menjadi tokoh Wengker yang selalu memusuhi Kahuripan, akan tetapi dia sering kali kalah bertanding melawan para tokoh Kahuripan.
Permaisuri Dewi Mayangsari membenci Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama karena selain sejak dulu menjadi musuh bebuyutan, ditambah lagi desakan Nini Bumigarbo agar ia menyerang dan membunuh raja dan patih Kahuripan itu. Adapun Adipati Linggawijaya sendiri, dia ingin merampas kedudukan sebagai maharaja di Kahuripan yang memiliki wilayah luas sekali.
Selagi mereka bercakap-cakap, datanglah Tumenggung Suramenggala. Sebagai ayah Sang Adipati, tentu saja para pengawal tidak berani melarangnya untuk kapan saja memasuki Istana. Melihat kedatangan ayahnya, Adipati Linggawijaya mempersilakan Tumenggung Suramenggala duduk di sebelah Resi Bajrasakti. Dia memandang wajah ayahnya yang tampak keruh.
"Kanjeng Rama, apakah yang menyusahkan hati Rama?" Adipati Linggawijaya bertanya.
Semenjak dia menjadi adipati dan ayahnya menjadi tumenggung, dia mengubah panggilannya. Kalau dulu memanggil ayahnya cukup bapak saja, sekarang menjadi kanjeng rama, tentu saja untuk disesuaikan dengan kedudukannya!
Tumenggung Suramenggala menghela napas. "Siapa lagi yang dapat menyusahkan hatiku kalau bukan Ibunda Nyi Lasmi itu? Ia berkeras tidak mau kembali sebagai keluarga kita."
Wajah bekas lurah itu menjadi merah dan alisnya berkerut. "Bukan saja ia menolak, bahkan menghina dan setelah sehari semalam tidak diberi makan, tadi ia menolak dan menampar tumpah nasi yang kubawakan untuknya. Ah, perempuan itu sungguh keras kepala!"
"Kanjeng Rama, mengapa Andika bersedih hanya karena penolakan seorang perempuan dusun seperti itu?" kata Dewi Mayangsari. "Kalau Andika menghendaki selir baru, saya dapat mencarikan seorang perawan cantik untuk Andika!"
"Benar sekali apa yang dikatakan Yayi Ratu Dewi Mayangsari, Kanjeng Rama. Untuk apa memusingkan penolakan perempuan itu? Ia bukan apa-apa bagi keluarga kita, bahkan selama menjadi selir Kanjeng Rama, ia tidak menurunkan anak. Sebaiknya dibunuh saja perempuan itu!" kata Adipati Linggawijaya.
"Baik sekali usul itu, Kanjeng Rama." kata Dewi Mayangsari. "Memang sebaiknya dibunuh saja perempuan sombong tak tahu diri itu! Seorang perempuan dusun, janda lagi, berani menolak untuk menjadi selir Kanjeng Rama Tumenggung?"
Mendengar ucapan puteranya dan mantunya itu, Tumenggung Suramenggala termenung, alisnya berkerut. "Ah, aku... aku tidak tega untuk membunuhnya..."
"Ah, itu mudah saja, Kanjeng Rama? Biar kita suruh saja seorang perajurit pengawal untuk membunuhnya. Kalau Kanjeng Rama tidak tega ia dibunuh di sini, biar ia dibawa keluar istana, ke dalam sebuah hutan lalu dibunuh."
Tumenggung Suramenggala menghela napas panjang beberapa kali lalu mengangguk-angguk. "Agaknya tidak ada jalan lain..."
"Saya tidak setuju kalau Nyi Lasmi dibunuh!"
Tiga orang itu memandang Resi Bajrasakti yang mengeluarkan kata-kata itu. Adipati Linggawijaya tertawa.
"Ha-ha-heh-heh, agaknya Bapa Resi tertarik kepada Nyi Lasmi?" tanyanya.
Resi Bajrasakti juga tertawa. "Ha-ha-ha, Ananda Adipati, lima orang selir yang masih muda-muda itu sudah cukup banyak bagi saya, untuk apa menambah lagi dengan seorang perempuan yang sudah setengah tua? Bukan itu maksud saya."
"Hemm, kalau begitu, mengapa Bapa Resi tidak setuju kalau ia dibunuh?"
"Ingat, wanita itu adalah Ibu kandung Puspa dewi!"
"Kami tidak takut!" kata Adipati Linggawijaya dan Dewi Mayangsari berbareng. Adipati Linggawijaya menyambung.
"Biar ia datang ke sini kalau ia berani, kita akan tangkap gadis liar itu!"
"Bukan begitu maksud saya! Akan tetapi kita pun tahu bahwa Puspa Dewi adalah Sekar Kedaton Wura-wuri yang sudah mengkhianati Wura-wuri. Mengapa kita tidak menggunakan Nyi Lasmi untuk berjasa terhadap Wura-wuri sehingga kita papat bekerja sama semakin erat dengan Kerajaan Wura-wuri? Adipati Bhimaprabhawa, terutama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, pasti marah sekali kepada Puspa Dewi dan ingin sekali menangkap gadis itu. Nah, lebih baik kita serahkan Nyi Lasmi kepada mereka. Wura-wuri dapat memancing datangnya Puspa Dewi dengan Ibu kandung gadis itu sebagai sandera dan akhirnya mereka dapat menangkapnya. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua keuntungan, karena Wura-wuri tentu akan berterima kasih kepada kita."
Adipati Linggawijaya dan permaisurinya mengangguk-angguk senang. "Gagasan yang baik sekali itu, Bapa Resi! Bagaimana, Kanjeng Rama, apakah Andika juga setuju dengan usul itu?"
Tumenggung Suramenggala menghela napas panjang. "Terserah, aku sudah pusing memikirkan kekerasan hati Nyi Lasmi. Biarlah, kalau ia tidak mau melayani aku, masih banyak wanita yang bersedia melakukannya dengan senang hati."
"Tentu saja, Kanjeng Rama. Saya akan mencarikan pengganti Nyi Lasmi, seorang gadis muda yang cantik jelita untuk menghibur hati Kanjeng Rama." kata Dewi Mayangsari.
Setelah mengakhiri percakapan itu, Adipati Longgawijaya lalu membuat sepucuk surat kepada Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala, yang isinya menyerahkan Nyi Lasmi, ibu kandung Puspa Dewi, kepada Wura-wuri sebagai tanda persahabatan karena Wengker juga merasa penasaran akan pengkhianatan Puspa Dewi terhadap Wura-wuri dan persekutuan mereka bersama sehingga usaha mereka menghancurkan Kahuripan gagal.
Perjalanan dari Wengker ke Wura-wuri tidak dekat, dengan berkuda pun akan memakan waktu sedikitnya lima hari. Maka, Adipati Linggawijaya lalu mengutus dua orang jagoan Wengker yang berjasa menculik Nyi Lasmi dari Karang Tirta, yaitu Wirobento dan Wlrobandrek, memimpin selosin orang perajurit pilihan, untuk mengawal Nyi Lasmi dan mengantarkannya ke kota raja Wura-wuri.
Berangkatlah rombongan itu setelah untuk yang terakhir kalinya Tumenggung Suramenggala membujuk Nyi Lasmi untuk menyerah kepadanya daripada dibawa ke Wura-wuri akan tetapi Nyi Lasmi berkeras menolak. Empat belas orang pengawal itu menunggang kuda dan Nyi Lasmi terpaksa juga menunggang kuda karena kalau ia berkeras tidak mau, ia akan diboncengkan oleh Wirobandrek di atas seekor kuda. Wanita itu memilih menunggang kuda sendiri, dan ia memang sudah terbiasa menunggang kuda dahulu ketika menjadi selir Ki Suramenggala di Karang Tirta.
*********************
Pemuda Cina itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Pakaiannya sederhana dan dari pakaiannya yang sama dengan pakaian pemuda pribumi dapat diketahui bahwa pemuda Cina itu tentu sudah lama berada di Nusa Jawa sehingga sudah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan penduduk pribumi.
Tubuhnya tinggi agak kurus, mukanya pucat kuning. Matanya yang sipit mengandung sinar tajam. Di punggungnya terselip siang-to (sepasang golok). Bahkan rambutnya pun digelung ke atas model rambut para pria pribumi. Yang membuat orang dapat menyangka bahwa dia seorang asing adalah kekuningan kulitnya dan kesipitan matanya. Juga kalau dia bicara, walaupun fasih bicara daerah, tetap saja masih agak cadel.
Pemuda Cina itu adalah seorang pemuda dari Negeri Cina yang melarikan diri ke Nusa Jawa karena ia dikejar-kejar beberapa orang jagoan yang hendak membunuhnya. Sekitar tujuh tahun yang lalu pemuda Cina yang bernama The Jiauw Lan ini tinggal di sebuah dusun dekat kota raja Nan-king. Sejak muda dia telah pandai bermain silat dan hidup sebagai seorang pendekar yang menentang kejahatan.
Pada suatu hari dia melihat Bong Kongcu (Tuan muda Bong), putera seorang pembesar kota raja bersama beberapa orang jagoannya mengganggu seorang gadis. The Jiauw Lan marah dan menghajar pemuda bangsawan dan jagoan-jagoannya itu dan menyelamatkan gadis yang diganggu. Akan tetapi ternyata peristiwa Itu mendatangkan malapetaka besar bagi The Jiauw Lan.
Ketika dia tidak berada di rumah, serombongan anak buah Bong Kongcu menyerbu rumahnya dan ayah ibunya dibunuh. Adiknya, seorang gadis remaja yang ketika itu berusia sekitar tiga belas tahun hilang entah ke mana. The Jiauw Lan menjadi marah sekali. Dia membalas dendam, menyerbu rumah Bangsawan Bong dan berhasil membunuh Bong Kongcu dan beberapa orang jagoannya.
Perbuatan ini tentu saja menggemparkan kota raja dan dia terpaksa melarikan diri dan menjadi orang buruan. Pembesar Bong tidak mau menerima begitu saja dan dia menyuruh para pembunuh bayaran untuk mencari dan mengejar Jiauw Lan untuk dibunuh. Belum puas dengan ini, Pembesar Bong juga memaksa kekasih Jiauw Lan yang bernama Mei Hwa yang sudah bertunangan dengannya, untuk menjadi selir Bangsawan Bong. Hal ini dilakukan pembesar Itu bukan sekedar memuaskan nafsunya, akan tetapi terutama sekali untuk membalas dendam kepada Jiauw Lan yang telah membunuh puteranya.
Demikianlah, Jiauw Lan terpaksa melarikan diri berlayar ke selatan karena daratan Cina merupakan tempat yang tidak aman baginya. Setelah tiba di Nusa Jawa, dia merantau, berpindah-pindah tempat dan akhirnya dia mengasingkan diri di Danau Sarangan, di lereng Gunung Lawu. Sungguh di luar dugaannya, Pembesar Bong yang masih mendendam kepadanya, berhasil membujuk gurunya yang berjuluk Pek I Kiam-sian (Dewa Pedang Baju Putih) bernama Souw Kiat untuk mencarinya sampai ke Nusa Jawa.
Gurunya itu masih ditemani dua orang paman gurunya yang bernama Gan Hok dan Giam Lun. Kurang lebih dua tahun yang lalu, secara kebetulan The Jiauw Lan menyelamatkan Puteri Listyarini, Isteri Ki Patih Narotama yang diculik penjahat. Ki Patih Narotama datang untuk menjemput isterinya yang diselamatkan Jiauw Lan. Akan tetapi kedatangan Ki Patih Narotama agak terlambat sehingga kedahuluan munculnya guru dan dua orang paman guru Jiauw Lan. Percuma saja Jiauw Lan melawan.
Dia terluka dan dirobohkan bahkan menerima Hwe tok-ciang (Tangan Racun Api) dari Pek I Kiamsian yang hendak membuat bekas muridnya itu cacat dan kehilangan tenaga saktinya sebagai hukuman. Akan tetapi, Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna, mempergunakan tongkat pusakanya Tunggul Manik yang dapat memunahkan racun dari tubuh Jiauw Lan sehingga pemuda Cina itu selamat.
Jadilah dia sahabat baik Ki Patih Narotama yang berterima kasih, bahkan Listyarini menganggap dia sebagai saudara. Akan tetapi Jiauw Lan menolak ketika hendak diajak ke Kahuripan. Dia lebih suka mengasingkan diri dan merantau. Sejak pertemuan dan perkenalannya dengan Listyarini yang menganggap dia sebagai kakak angkat, Jiauw Lan menggunakan nama Tejoranu. Listyiarini tidak dapat menyebut nama The Jiauw Lan dan menyebutnya Tejoranu!
Demikianlah sedikit riwayat singkat The Jiauw Lan yang kini bernama Ki Tejoranu. Beberapa bulan yang lalu dia bertemu dengan seorang Cina lain di kaki Gunung Lawu. Kebetulan sekali dia mengenal laki-laki itu yang bernama Tan Sek. Dari Tan Sek Inilah dia memperoleh berita yang mengejutkan, mengherankan akan tetapi juga menyenangkan. Kenalannya itu bercerita banyak tentang The Kim Lan, adik perempuannya yang hilang ketika ayah Ibunya terbunuh dan ketika itu berusia tiga belas tahun.
Menurut penuturan Tan Sek, adiknya itu kini telah menjadi seorang gadis yang amat lihai setelah berguru kepada seorang hwesio (Pendeta Buddha) dari Kuil Siaw Lim. Yang menggembirakan adalah berita bahwa The Kim Lan, adiknya yang kini menjadi seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun, menyusulnya ke Jawa dan kini sedang mencarinya.
"Sejak dua bulan ini, Adikmu, The Kim Lan itu berada di sekitar Gunung Kawi." demikian Tan Sek, temannya itu bercerita.
Mendengar cerita temannya itu, Ki Tejoranu merasa gembira sekali dan dia segera melakukan perjalanan menuju Gunung Kawi! Setelah tiba di daerah Gunung Kawi, dia merantau di sekitar gunung itu untuk mencari adiknya yang menurut Tan Sek berada di situ. Akan tetapi sampai hari itu, dia belum juga dapat menemukan The Kim Lan.
Pagi hari itu dia berjalan dengan penuh semangat karena malam tadi, di sebuah dusun di mana dia bermalam, dia mendengar dari seorang penduduk yang melihat seorang gadis Cina berjalan menuju ke barat. Mendengar ini, pagi-pagi sekali Ki Tejoranu berangkat ke barat untuk menyusul gadis Cina itu, hampir yakin bahwa gadis itu tentu adiknya karena pada waktu itu langka menemukan seorang gadis Cina di pedalaman. Kalaupun ada wanita Cina, yang belum begitu banyak, mereka itu tentu berada di kota-kota di pesisir utara.
Selagi dia berjalan sambil dengan teliti memandang ke sekeliling untuk menemukan jejak adiknya, dia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Ki Tejoranu cepat menyelinap di balik pohon besar untuk mengintai siapa yang datang itu. Dia melihat lima orang menunggang kuda lewat di jalan yang kasar itu. Mereka adalah dua belas orang perajurit yang dipimpin dua orang laki-laki tinggi besar berpakaian mewah.
Yang mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat seorang wanita di antara mereka. Wanita itu pun menunggang kuda, diapit oleh dua orang pemimpin pasukan. Melihat wanita itu berwajah sedih, bahkan jelas tampak bahwa ia habis menangis, kedua matanya agak merah membengkak, hati Ki Tejoranu tertarik.
Timbul jiwa kependekarannya. Dia mencium keadaan yang tidak wajar, tentu ada yang tidak beres dalam rombongan itu. Siapa tahu, wanita itu membutuhkan pertolongan. Maka Ki Tejoranu cepat berlari mengikuti rombongan berkuda itu. Jalan itu memasuki sebuah hutan.
Matahari mulai naik tinggi dan Ki Wirobento yang memimpin pasukan bersama Ki Wirobandrek mengantar Nyi Lasmi ke Kerajaan Wura-wuri, memberi aba-aba untuk berhenti. Dia memerintahkan berhenti ketika melihat Nyi Lasmi tampak lemas dan duduknya mulai miring-miring hampir jatuh.
"Kita berhenti mengaso di sini. Nyi Lasmi, turunlah, Andika boleh beristirahat menghilangkan lelah." katanya kepada Nyi Lasmi.
Dengan tubuh lemas karena kelelahan dan kelaparan, Nyi Lasmi turun dari atas punggung kudanya dan terkulai, duduk mendeprok di atas tanah. Wirobandrek lalu menghampiri Nyi Lasmi yang masih duduk mendeprok di atas tanah, menjulurkan tangan menawarkan tempat minuman dan sebungkus makanan.
"Nih, makan dan minumlah dulu, Nyi Lasmi, agar engkau tidak lemah dan sakit."
Akan tetapi Nyi Lasmi menggeleng kepalanya. "Biarkan aku mati saja, aku tidak ingin menjadi sandera untuk memancing Anakku...."
"Kakang Bento, kalau perempuan ini tidak mau makan dan mati kelaparan di jalan, kita tentu akan dipersalahkan oleh Tumenggung Suramenggala."
"Benar, Adi Bandrek. Gusti Adipati Linggawijaya tidak akan mengampuni kita. Maka, paksa saja ia makan!"
Ki Wirobento lalu memegang kedua lengan Nyi Lasmi, ditelikung ke belakang dan Ki Wirobandrek mulai memaksa Nyi Lasmi makan dengan menjejalkan nasi ke mulut wanita itu. Nyi Lasmi mengatupkan mulutnya dan membuang muka ke kanan kiri untuk menghindarkan jejalan makanan pada mulutnya.
Ki Tejoranu marah sekali melihat hal ini. Akan tetapi sebelum dia melompat keluar untuk menolong wanita itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Orang-orang jahat!"
Dan berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu muncul seorang gadis berpakaian serba biru. Sekali pandang saja orang dapat mengetahui bahwa ia tentu seorang gadis Cina. Hal ini dapat dikenal dari bentuk pakaiannya, dan gelung rambutnya ke atas. Gadis ini berusia sekitar dua puluh tahun, bertubuh ramping padat dan wajahnya manis, berkulit putih kuning. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Begitu muncul, gadis itu telah melompat dekat Nyi Lasmi dan cepat sekali tangan kanannya menghantam ke arah tubuh Wirobento dan kaki kirinya menendang ke arah tubuh Wirobandrek. Dua orang jagoan Wengker ini bukan orang lemah. Melihat betapa pukulan dan tendangan itu mendatangkan angin serangan yang kuat, mereka maklum bahwa mereka diserang seorang yang digdaya, maka mereka cepat berlompatan ke belakang untuk mengelak. Gadis itu lalu berkata dengan suara nyaring namun ucapannya cadel (pelo).
"Bibi, jangan takut! Aku akan menghajar mereka!"
Setelah berkata demikian, gadis Cina itu sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar berkelebat ketika pedangnya tercabut. Ki Tejoranu membelalakkan matanya yang sipit. Jantungnya berdebar kencang dan hatinya merasa terharu sekali. Sukar untuk mengenali gadis Cina itu, akan tetapi dia masih teringat bahwa mata dan mulut gadis itu adalah mata dan mulut The Kim Lan, adik perempuannya yang ketika mereka berpisah masih merupakan seorang gadis remaja cilik berusia tiga belas tahun. Tentu saja dia tidak berani menegur gadis itu sebagai adiknya, takut kalau kalau dugaannya salah, maka dia hanya mengintai saja dan siap siaga kalau-kalau gadis itu membutuhkan bantuan.
Dua orang kakak beradik jagoan Wengker itu marah bukan main ketika mereka melihat seorang gadis asing menyerang mereka. Melihat gadis itu sudah mencabut pedang, Ki Wirobandrek berteriak kepada anak buahnya.
"Perempuan bosan hidup berani mencampuri urusan kami! Kawan-kawan, bunuh perempuan itu!"
Dua belas orang perajurit Wengker yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis itu segera mencabut golok mereka dan mereka maju menghampiri gadis itu. Gadis Cina itu tidak ingin Nyi Lasmi ikut terkepung sehingga membahayakan keselamatannya, maka ia berlari menjauhi sehingga ketika ia terkepung, Nyi Lasmi tidak ikut dikepung, ia berdiri dengan gagahnya dalam kepungan dua belas orang itu, berdiri dengan kedua kaki agak terpentang dan kedua lutut ditekuk, tangan kiri terbuka dan lurus miring di depan dada, sedangkan pedang di tangan kanan melintang di atas kepalanya. Tubuhnya tidak bergerak, akan tetapi sepasang matanya yang tajam itu mengerling ke kanan kiri. Sikapnya tenang seolah ia sama sekali tidak gentar menghadapi pengepungan selosin perajurit Wengker itu.
Ki Tejoranu mengenal sikap itu sebagai kuda-kuda ilmu pedang Siauw-lim-pai, maka semakin yakinlah hatinya bahwa gadis itu tentu adiknya yang sedang dia cari-cari. Bukankah Tan Sek menceritakan bahwa adiknya itu telah berguru kepada seorang hwesio Siauw-lim-pai? Tiba-tiba, dua orang pengepung yang berdiri di belakang gadis itu, setelah mendapat isyarat kedipan mata dan Ki Wirobento, segera menggerakkan golok menyerang gadis itu dari belakang, tanpa memberi peringatan. Dua batang golok menyambar, yang satu membacok kepala, yang kedua menusuk punggung.
Akan tetapi gadis itu agaknya telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Biarpun kedua matanya tidak dapat melihat datangnya penyerangan dari belakang, namun pendengarannya yang sudah terlatih tajam, dapat menangkap gerakan serangan Itu. Tubuhnya tiba-tiba membalik, pedangnya berkelebat bagaikan kilat menyambar.
"Cring... trangg....!"
Bunga api berpijar dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh karena setelah pedang tadi menangkis golok mereka, pedang itu mencuat dengan kecepatan kilat dan tidak terduga-duga, merobek baju dan kulit dada mereka sehingga tergores panjang, cukup dalam sehingga mereka terluka parah.
Sepuluh orang perajurit yang lain menjadi marah dan mereka segera menyerbu dan menyerang membabi-buta dan tidak teratur lagi. Dengan kacau mereka membacok dengan golok mereka. Akan tetapi tiba-tiba mereka menjadi bingung karena tubuh gadis yang mereka keroyok itu berkelebatan amat cepatnya, merupakan bayang-bayang biru yang berkelebatan terlindung gulungan sinar pedangnya yang seperti kilat. Terdengar suara berkerontangan berulang-ulang disusul golok-golok terpental dan tubuh para pengeroyok berpelantingan! Lima orang pengeroyok roboh dan sisanya, lima orang lagi menjadi gentar.
Melihat ini, Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek berseru nyaring dan mereka berdua sudah menerjang maju membantu para anak buah yang tinggal lima orang itu. Ki Wirobento sudah menggerakkan pecutnya yang ujungnya dipasangi paku-paku atau besi-besi kecil yang runcing tajam. Hebat sekali senjata ini, yang menyambar-nyambar dahsyat. Sementara itu, Ki Wirobandrek menggunakan senjata andalannya yang merupakan senjata pusaka para warok, yaitu sepasang ujung kolor berwarna merah. Ujung kolor yang lemas ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena sudah dirajah (dipasangi mantra) dan mengandung racun yang amat kuat.
Setelah dua orang jagoan Wengker ini maju mengeroyok dan senjata mereka bergulung-gulung sinarnya, menyambar dengan dahsyat dari semua jurusan, gadis itu tampak kaget dan mulailah ia terdesak dan main mundur walaupun putaran pedangnya membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya. Biarpun dua orang jagoan Wengker dan sisa anak buahnya yang tinggal lima orang itu sukar untuk dapat menembus perisai gulungan sinar pedang itu, namun gadis itu pun sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk balas menyerang.
Melihat ini, Ki Tejoranu sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Dia melompat keluar sambil mencabut siang-to (sepasang golok) dan berseru dengan nyaring. "Adikku, jangan khawatir. Aku datang membantumu!"
Ucapan itu menggunakan bahasa Cina. Gadis itu cepat melompat ke belakang dan menoleh. Matanya yang tajam terbelalak dan mulutnya berteriak girang. "Koko (Kakak) Jiauw Lan.....!"
Ki Tejoranu sudah menyerbu dan kini mereka berdua menyambut pengeroyokan tujuh orang itu. Setelah Ki Tejoranu maju, walaupun tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi daripada tingkat gadis itu, namun tentu saja Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek kini terkejut dan terdesak mundur. Bahkan dalam waktu singkat, dua orang anak buahnya sudah roboh lagi. Maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi gadis Cina dan orang yang muncul membantunya itu, Ki Wirobento dan Ki Wirobandrek lalu melarikan diri, diikuti dua belas orang anak buah mereka yang saling bantu dan kabur dengan kuda mereka.
Gadis itu tidak mengejar dan kini ia berhadapan dengan Ki Tejoranu, saling pandang dengan penuh perhatian. Kemudian, seperti digerakkan tenaga gaib, dua orang itu saling tubruk dan saling rangkul. "Lan-ko (Kakak Lan).... ahh.... Lan-ko....!"
Gadis itu menangis dalam rangkulan Ki Tejoranu. Laki-laki itu pun tidak dapat menahan tangisnya, walaupun tanpa mengeluarkan suara. Laki-laki yang sudah tergembleng bertahun-tahun dalam kepahitan dan kesengsaraan itu tidak dapat menahan keharuan dan kebahagiaan hatinya dapat bertemu dengan adik kandungnya, hal yang sama sekali tidak pernah dia impikan!
"Kim Lan, Adikku....!"
Nyi Lasmi bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan heran. Ia tahu bahwa dua orang itulah yang telah membebaskannya dari tangan orang-orang Wengker tadi. Gadis Cina itu demikian gagah dan tangkas, mengingatkan ia akan Puspa Dewi, puterinya. Melihat betapa dua orang itu saling rangkul sambil menangis, ia merasa terharu pula walaupun ia tidak mengerti siapa mereka dan mengapa mereka menangis karena ia tidak dapat mengerti bahasa mereka. Yang jelas baginya adalah bahwa mereka orang-orang baik yang telah menolongnya.
Biarpun Ki Tejoranu atau The Jiauw Lan dan The Kim Lan, kakak beradik itu sedang tenggelam ke dalam kebahagiaan yang mengharukan namun mereka memiliki pendengaran dan perasaan yang sudah terlatih baik. Maka keduanya segera dapat mengetahui ketika Nyi Lasmi menghampiri mereka. Mereka saling melepaskan rangkulan dan Ki Tejoranu berkata lirih kepada Kim Lan dalam bahasa Cina.
"Adikku, nanti saja kita bicara tentang kita. Sekarang kita bicara dulu dengan wanita ini." Setelah berkata demikian, keduanya menghadapi Nyi Lasmi sambil menghapus air mata mereka dan tersenyum kepada Nyi Lasmi. Senyum yang tulus karena keduanya memang sedang merasa senang sekali dapat saling bertemu.
"Maafkan kami... karena kami hampir melupakan Andika... eh, perkenalkan, saya bernama Ki Tejoranu dan ini Adik kandungku, namanya The Kim Lan..." Ki Tejoranu memperkenalkan dirinya dan adiknya.
Nyi Lasmi terharu. Dua orang penolongnya ini sungguh aneh! Mereka malah minta maaf kepadanya!
"Saya yang minta maaf kepada Andika berdua, Kisanak, karena saya telah merepotkan Andika berdua. Andika telah menolong saya terlepas dari bahaya yang bagi saya lebih mengerikan daripada maut." Suara Nyi Lasmi tergetar. "Saya bernama Lasmi..." Baru sampai sekian Nyi Lasmi bicara, ia yang sejak tadi menahan diri sekuatnya kini tidak dapat menahan lagi dan ia terkulai dan pingsan dalam rangkulan The Kim Lan. Ia tentu sudah roboh kalau tidak cepat dirangkul gadis Cina itu. Kelelahan yang luar biasa karena selama tiga hari sama sekali tidak makan, ditambah kekhawatiran dan ketegangan membuat ia pingsan setelah mendapat kebebasan.
"Koko, ia pingsan." kata Kim Lan sambil merebahkan tubuh Nyi Lasmi ke atas tanah.
Ki Tejoranu cepat memeriksa denyut nadi pergelangan tangan Nyi Lasmi. "Hemm, kasihan sekali wanita ini, Lan-moi (Adik Lan). Menurut denyut nadinya, ia lemah sekali, agaknya ia menderita kelaparan, juga batinnya tertekan dan ketakutan. Engkau mempunyai sedikit makanan dan minuman?"
Kim Lan mengambil buntalan yang tadi ia tinggalkan di bawah pohon dan mengambil beberapa ketela merah bakar dan seguci air. "Ini air bersih, Koko. Sebaiknya ia diberi minum, akan tetapi harus dibikin sadar dulu."
"Engkau dapat melakukannya?"
Gadis itu mengangguk. "Aku pernah mempelajari beberapa ilmu pengobatan dari suhu (guru)."
Setelah berkata demikian, Kim Lan lalu menekan beberapa bagian tubuh Nyi Lasmi dengan jarinya sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti), yaitu di antara pangkal ibu jari dan telunjuk, lalu di bibir atas tepat di bawah hidung, dan mengurut punggung. Sebentar saja Nyi Lasmi mengeluh dan membuka kedua matanya. Ia bergerak hendak bangkit. Kim Lan membantunya sehingga ia dapat duduk. Suara gadis Cina itu lembut akan tetapi cadel sekali sungguhpun cukup dapat dimengerti Nyi Lasmi.
"Bibi, tenangkan hatimu dan minumlah air ini lebih dulu."
Setelah berkata demikian, Kim Lan mendekatkan cawan yang sudah diisi air ke mulut Nyi Lasmi yang tidak membantah dan minum air di cawan itu sampai habis. Ketika ia hendak bicara, Kim Lan mencegahnya. "Nanti saja kita bicara, Bibi. Sekarang, makanlah dulu ubi bakar ini. Maaf, kami hanya mempunyai makanan ini dan tidak memberi yang lebih baik. Bibi perlu makan agar menjadi kuat kembali."
Nyi Lasmi juga tidak membantah. Ia tahu benar bahwa gadis asing ini bermaksud baik, tadi telah menyelamatkannya. Apalagi perutnya memang lapar sekali, maka tanpa malu-malu lagi ia menerima ketela bakar itu dan memakannya. Setelah menghabiskan tiga potong ketela bakar dan minum lagi dua cawan air, Nyi Lasmi merasa sehat dan segar kembali. Ia memandang kepada dua orang kakak beradik itu, lalu menghela napas panjang dan berkata. "Ah, orang-orang tadi sungguh kejam dan jahat...."
"Bibi yang baik, kami baru akan mengetahui apakah mereka itu benar-benar jahat kalau kami sudah mendengar bibi menceritakan siapa mereka dan mengapa mereka menawan Andika." Kata Ki Tejoranu.
Nyi Lasmi lalu menceritakan tentang penyerbuan orang-orang Wengker ke Karang Tirta, membunuh lurah dan sekeluarganya dan menculiknya. Ia tidak merasa perlu untuk menceritakan tentang bekas suaminya, Ki Suramenggala, hanya menceritakan bahwa ia tidak mau ketika hendak diselir seorang tumenggung di Wengker.
"Karena penolakanku itu, tumenggung itu menyuruh anak buahnya membawa aku ke Wura-wuri untuk diserahkan penguasa di sana."
"Akan tetapi, mengapa Bibi dibawa ke sana?" tanya Kim Lan yang sudah mengetahui pula akan adanya Kerajaan Wura-wuri.
"Karena Kerajaan Wura-wuri memusuhi anakku, maka agar aku dijadikan sandera untuk memaksa anakku menyerahkan diri. Aahhh, betapa jahatnya mereka itu, padahal mereka adalah bangsaku sendiri, sedangkan kalian yang bangsa asing begini baik kepadaku."
Mendengar ini, Kim Lan dan Tejoranu bicara dalam bahasa Cina sampai beberapa lamanya, kemudian Ki Tejoranu berkata kepada Nyi Lasmi, "Bibi, kami tadi menanggapi pendapat Bibi tadi. Begini, Bibi Lasmi yang baik. Di bagian mana di dunia ini, bangsa apa pun juga, sama saja keadaannya. Ada yang baik, tentu ada pula yang jahat. Bangsamu, bangsa negara ini, banyak yang baik budi. Sedangkan bangsa kami, bangsa Cina, juga amat banyak yang jahat, bahkan jahat sekali. Ketahuilah bahwa kami berdua sampai merantau di negara ini karena melarikan diri dari kejaran orang-orang jahat sekali di negara kami. Yang jahat itu bukan bangsanya, Bibi, melainkan orangnya, pribadinya masing-masing tanpa melihat kebangsaannya. Memang sudah demikian semestinya di dunia ini, Bibi. Ada yang baik, pasti ada yang buruk, seperti ada terang pasti ada gelap. Kalau tidak ada baik, tidak ada pula sebutan buruk, sebaliknya kalau tidak ada buruk, juga tidak ada pula sebutan baik. Kalau terang terus, tentu tidak ada gelap, dan kalau gelap terus, juga tidak ada terang. Baik buruk itu saling mengadakan, dan kita manusia berhak untuk memilih, kalau memilih menjadi alat Thian (Tuhan) tentu prilakunya baik, sebaliknya, kalau memilih menjadi alat Setan, tentu prilakunya buruk atau jahat."
Nyi Lasmi memandang kagum. "Pendapat seperti itu keluar dari pikiran Nak Kim Lan ini? Semuda ini telah memiliki kebijaksanaan seperti itu, sungguh mengagumkan sekali!"
"Aih, Bibi, aku juga hanya mendengar dari apa yang diajarkan guruku, dan guruku itu seorang pendeta Buddha." kata Kim Lan yang sudah pandai menangkap arti ucapan bahasa daerah, akan tetapi kalau harus bicara yang panjang-panjang ia masih merasa kaku. Karena itu tadi ia minta kakaknya yang bicara karena kakaknya yang sudah tujuh tahun berada di Nusa Jawa tentu saja lebih fasih bicara bahasa daerah.
"Engkau murid seorang pendeta Buddha? Ah, di sini juga banyak pendeta Buddha dan pendeta Hindu. Akan tetapi sungguh menyedihkan, aku melihat banyak pendeta Buddha atau Hindu masih saja melakukan perbuatan yang buruk dan jahat."
Sekarang Ki Tejoranu sendiri yang menjawab langsung. "Keadaan seperti itu pun sama saja, Terjadi di Cina, Negara kami, Bibi. Kalau di sini terdapat Agama Buddha dan Agama Hindu, di Cina terdapat Agama Buddha dan Agama To. Di sana juga terdapat banyak para pemeluk kedua agama itu, bahkan juga Pendeta Buddha atau Pendeta To berprilaku sesat dan jahat! Kembali di sini bukan agamanya yang salah. Agama apa pun mengajarkan manusia untuk menjadi baik, saling tolong dan membangun dunia ini menjadi tempat yang indah tenteram penuh kedamaian dan kebahagiaan. Jadi yang jahat itu manusianya, oknumnya dan hal itu dapat terjadi kepada orang itu karena dia tidak menghayati agamanya, tidak menghormati agamanya, bahkan mencemarkan agamanya."
"Guruku pernah berkata kepadaku, Bibi," Kim Lan menyambung dengan ucapan yang cadel (pelo) akan tetapi cukup jelas. "Katanya, kalau ada seorang beragama Buddha melakukan pencurian, maka sesungguhnya dia itu bukan umat Buddha, melainkan maling yang mengaku-aku sebagai umat Buddha. Kalau ada orang beragama To melakukan kejahatan maka sesungguhnya dia bukan umat Agama To, melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama To. Kalau dua orang itu benar-benar beragama Buddha, maupun Agama To atau agama apa pun juga, sudah pasti dia tidak melakukan kejahatan karena agamanya melarangnya melakukan kejahatan."
Nyi Lasmi mendengarkan dengan kagum. "Wah, mendengar kalian bicara, aku teringat akan puteriku. Anakku Puspa Dewi selain digdaya juga seringkali bicara tentang kehidupan dan kebenaran seperti itu."
"Aih, puteri Bibi juga seorang pendekar rupanya!" seru Kim Lan.
"Aku tahu bahwa di sini. seperti juga di Cina sana, terdapat banyak wanita yang sakti mandraguna dan gagah perkasa. Kalau begitu, bagaimana Bibi dapat ditawan penjahat? Apakah puteri Bibi tidak mampu mengalahkan mereka tadi?" tanya Ki Tejoranu.
"Hemm, kalau puteriku berada di Karang Tirta ketika para penjahat itu menyerbu, tentu mereka semua sudah roboh oleh Puspa Dewi. Sayangnya, ketika itu ia sedang pergi ke kota raja Kahuripan. Akan tetapi kalau ia pulang, tentu ia akan melakukan pengejaran dan mencariku."
Melihat Nyi Lasmi masih tampak lemas, The Kim Lan lalu berkata. "Bibi Lasmi, sebaiknya Bibi mengaso dulu untuk memulihkan kekuatan tubuh Bibi. Maafkan kami, karena kami kakak beradik baru saling bertemu setelah berpisah selama tujuh tahun, sekarang ingin sekali kami membicarakan urusan pribadi kami."
Nyi Lasmi tersenyum dan mengangguk, lalu duduk bersandar pada sebatang pohon sambil memejamkan matanya. Hatinya yang kembali tenang, kelelahan, kantuk karena selama beberapa malam tidak dapat tidur, membuat ia sebentar saja tertidur.
Ki Tejoranu mengajak adiknya duduk agak menjauh dari Nyi Lasmi agar tidak mengganggu wanita yang sedang pulas itu. Ki Tejoranu lalu menceritakan semua pengalamannya sejak dia terpaksa melarikan diri menjadi buronan dari pengejaran para jagoan yang dikirim Bangsawan Bong untuk membalas dendam atas kematian puteranya, Bong Kongcu di tangannya. Dia menceritakan pula bahwa dia nyaris tewas di tangan gurunya sendiri, Pek I Kiam-sian (Dewa Pedang Baju Putih), Souw Kiat dan kedua orang paman gurunya bernama Gan Hok dan Giam Lun.
"Masih baik nasibku, karena Thian (Tuhan) masih melindungiku sehingga dalam keadaan terluka parah itu muncul Gusti Patih Narotama yang sakti sehingga aku dapat diobatinya sampai pulih kembali tenagaku." Dia menceritakan peristiwa itu dan Kim Lan mendengarkan dengan kagum. Setelah kakaknya berhenti bercerita, ia berseru kagum.
"Wah, hebat sekali Ki Patih Narotama itu, Lan-ko (Kakak Lan)! Kalau tidak ada dia, belum tentu hari ini aku dapat bertemu denganmu. Aku ingin sekali berjumpa dengan Ki Patih Narotama untuk menyampaikan sendiri terima kasihku."
"Hal itu mudah dilakukan, Adikku. Gusti Patih Narotama telah menerima aku sebagai seorang sahabat dan kalau kita pergi ke kota raja Kahuripan dan menghadapnya, tentu kita akan diterima dengan baik. Sekarang, ceritakan pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai hari ini kita bertemu di sini, Kim Lan."
Gadis itu lalu bercerita. Ketika rumah orang tua mereka diserbu orang-orangnya Bangsawan Bong dan ayah ibu mereka terbunuh, Kim Lan yang ketika itu berusia dua belas tahun melarikan diri dari pintu belakang dengan ketakutan. Ketika akhirnya ia dapat keluar dari dusun dan tiba di jalan dekat hutan, tiba-tiba ia melihat ada seorang laki-laki tinggi besar lari mengejarnya. Kim Lan menjadi ketakutan dan lari semakin kencang, akan tetapi sebentar saja laki-laki itu, seorang di antara para jagoan yang menyerbu rumahnya, dapat menangkapnya.
Kim Lan meronta-ronta, namun ia tidak berdaya dan laki-laki itu sambil tertawa-tawa memondongnya sambil memuji kecantikan gadis cilik itu dengan kurang ajar. Tiba-tiba muncul seorang hwesio (pendeta Buddha) yang kepalanya gundul, berjubah longgar dan memegang sebatang tongkat pendeta. Menghadang di depan jagoan itu sambil minta agar penjahat itu melepaskan Kim Lan. Penjahat itu marah dan menyerangnya dengan golok, akan tetapi dengan mudah hwesio tua itu merobohkan si jagoan yang lari terbirit-birit meninggalkan Kim Lan...