Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 07

Cerita Silat kho ping hoo
Sonny Ogawa

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 07

Aku harus menyelamatkannya...! Ucapan ini berulang kali dibisikkan mulut yang manis itu dan kedua kakinya yang mungil melangkah dengan cepat. Gadis itu bertubuh ramping, tingginya sedang, rambutnya panjang terurai sampai di pungggung, rambut yang hitam berombak. Rambut yang hitam itu membuat kulit lehernya tampak lebih putih mulus.

Wajahnya bulat telur, matanya lebar bersinar terang penuh semangat, hidungnya mancung, ujungnya agak menjungat memberi kesan lucu, mulutnya berbentuk indah dan bibirnya menggairahkan. Pakaiannya dari sutera halus dan di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan gagang dan sarung terukir indah.

"Aku harus menyelamatkan Ibu Lasmi untuk menebus kesalahan ayah sehingga selama belasan tahun Ibu Lasmi hidup menderita! Aku yang akan membawanya pulang!"

Demikian, Niken Harni, gadis itu, berkata kepada dirinya sendiri. Niken Harni adalah seorang gadis yang pemberani. Ketika muncul Puspa Dewi sebagai kakak tirinya dan mendengar cerita tentang Nyi Lasmi, isteri ayahnya yang pertama, diam-diam ia sudah merasa penasaran kepada ayahnya dan merasa iba kepada Nyi Lasmi.

Maka, ketika rombongan keluarga mereka tiba di Karang Tirta dan mendengar musibah yang menimpa Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, dan hilangnya Nyi Lasmi diculik orang-orang Kadipaten Wengker, ia marah sekali. Ketika mendengar bahwa Puspa Dewi sudah pergi melakukan pengejaran ke Wengker, ia pun diam-diam pergi tanpa pamit untuk menyusul Puspa Dewi dan berusaha untuk membebaskan Nyi Lasmi. Ia sengaja tidak pamit karena kalau ia pamit, tentu ayah dan kakeknya akan melarangnya!

Bagaikan seekor anak harimau yang baru pertama kali keluar dari sarang orang tuanya, Niken Harni sama sekali belum berpengalaman dan ia hanya mengandalkan keberaniannya saja, juga ia merasa bahwa ia telah memiliki aji kanuragan yang cukup tangguh. Ayahnya sendiri yang menggemblengnya sejak kecil mengatakan bahwa ia berbakat besar dan saat itu semua ilmu ayahnya telah ia kuasai sehingga menurut ayahnya, tingkat ketangguhannya tidak berada di bawah ayahnya sendiri. Dia memiliki kepercayaan yang besar sekali akan kemampuannya sendiri, maka ketika akhirnya pada suatu siang ia tiba di kota raja Wengker, dengan berani ia memasuki pintu gerbang kadipaten yang dijaga belasan orang perajurit Wengker seperti memasuki rumah sendiri!

Ia sama sekali tidak mengira bahwa mbakayunya, Puspa Dewi, kemarin malam telah meninggalkan Wengker, tidak tahu bahwa para pimpinan Wengker, yaitu Adipati Linggawijaya, Dewi Mayangsari, Resi Bajrasakti, dan Tumenggung Suramenggala baru saja pagi tadi mendapat berita yang membuat mereka terkejut dan marah sekali. Wirobento dan Wirobandrek pulang dan memberi laporan bahwa usaha mereka mengantar Nyi Lasmi ke Wura-wuri telah gagal karena muncul Ki Patih Narotama yang melindungi wanita itu!

"Hei, berhenti!" tiba-tiba Niken Harni mendengar bentakan dan tahu-tahu ada dua belas laki-laki berpakaian seragam telah menghadang di depannya, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang mukanya hitam sekali, kumisnya sekepal sebelah dan matanya melotot lebar. Tubuhnya tinggi besar dan kokoh. Juga anak buah mereka yang terdiri dari laki-laki berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun itu rata-rata bertubuh besar dan kokoh, akan tetapi wajah mereka tidak ada yang tampan!

Memang sudah terkenal bahwa orang-orang Kadipaten Wengker bertubuh jelek dan sikapnya kasar. Agaknya kegagahan, kekasaran, dan kekuatan, bukan ketampanan yang menjadi kebanggaan mereka. Kalau wanitanya biasa-biasa saja, ada yang cantik dan ada juga yang buruk. Kalau gadis biasa, menghadapi dua belas orang laki-laki yang menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan pandang mata beringas itu, tentu sudah menjadi takut dan lemas, seperti seekor anak domba dikepung srigala.

Akan tetapi Niken Harni bukan anak domba, melainkan anak harimau! Harimau muda yang belum mengenal takut! Melihat mereka menyeringai menjijikkan dan menghadangnya, ia berdiri tegak, kedua kakinya agak terpentang, kedua tangannya bertolak pinggang, kepala dikedikkan, matanya mencorong, hidungnya kembang kempis, semua ini pertanda bahwa Niken Harni sedang jengkel atau marah.

"Huh, kalian ini segerombolon anjing srigala mau apa menggonggong dan menghadang perjalananku?"

Dua belas orang penjaga itu bukan marah, melainkan terkejut dan heran sekali melihat gadis yang asing, gadis muda belia yang cantik jelita ini, berani bersikap dan bicara seperti itu terhadap mereka! Pimpinan mereka yang berkumis tebal itu tertawa bergelak menoleh kepada anak buahnya yang berada di belakangnya.

"Hua-ha-ha-ha-ha! Kawan-kawan, kalian lihat dan dengar ini? Lucu sekali!"

Dua belas orang itu tertawa semua. Kalau bukan gadis muda cantik jelita yang memaki mereka segerombolan srigala, tentu mereka sudah marah sekali dan mungkin mereka akan langsung membunuhnya.

"Eh, bocah denok montrok-montrok, ayu kuning manis merak ati! Kalau kami segerombolan srigala, memang kami sedang kelaparan dan kebetulan sekali engkau, seekor domba betina muda berdaging lunak dan berdarah hangat. Hemhmm...!"

Si Kumis tebal itu menjilat-jilat bibirnya dan Niken Harni melihat betapa dua belas orang laki-laki kasar itu semua menjilati bibir mereka sendiri, seolah mereka itu memang segerombolan srigala yang mengilar untuk merobek-robek tubuh domba, megunyah dagingnya dan menjilati darahnya! Mengkirig (meremang) juga ia, akan tetapi ia makin marah.

"Kalian jahanam bosan hidup! Hayo kembalikan Ibu Lasmi kepadaku!"

Dan tiba-tiba gadis itu sudah menerjang dan mengamuk. Bagaikan lesus (angin puting beliung) tubuhnya berputaran, kedua pasang kaki tangannya menyambar-nyambar dan dua belas orang itu berteriak dan berpelantingan!

Mereka itu hanyalah perajurit-perajurit biasa dari Wengker yang hanya mengandalkan penampilan angker dan tenaga kasar belaka, maka menghadapi terjangan Niken Harni yang memainkan ilmu silat yang cukup tangguh, tentu saja mereka kocar-kacir. Apalagi mereka sudah terkejut dan nyali mereka terbang mendengar gadis itu menuntut dikembalikannya ibunya, yaitu Nyi Lasmi. Tak salah lagi, ini tentu gadis yang kemunculannya ditakuti Tumenggung Suramenggala, yang kabarnya sakti mandraguna, puteri Nyi Lasmi.

"Puspa Dewi...!"

Dua belas orang yang semua telah merasakan tamparan atau tendangan gadis itu yang membuat mereka terpelanting berseru ketakutan lalu melarikan diri untuk melapor kepada Tumenggung Suramenggala!

"Huh, tikus-tikus pengecut!" Niken Harni mengejek sambil tersenyum dan membusungkan dadanya yang sudah menonjol itu dengan bangga karena di situ terdapat banyak juga orang yang menyaksikan sepak terjangnya itu. Ia lalu memasuki kota raja Wengker dengan niat mencari rumah Tumenggung Suramenggala karena ia mendengar di Karang Tirta bahwa biang keladi penculikan itu adalah Tumenggung Suramenggala.

Mendengar laporan para perajurit jaga bahwa Puspa Dewi memasuki Kadipaten Wengker, tentu saja Tumenggung Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Ia tahu betapa saktinya puteri Nyi Lasmi itu, maka cepat dia berlari ke istana Adipati Linggawijaya dan dengan muka pucat dan napas terengah-engah melapor kepada puteranya tentang munculnya Puspa Dewi yang ditakuti.

"Aha...! ia berani datang? Bagus, kebetulan sekali, Kanjeng Rama, aku tinggal menangkapnya saja!" kata Adipati Linggawijaya yang sekarang memanggil ayahnya dengan sebutan kanjeng rama seperti lazimnya keluarga bangsawan. Harta dan pangkat biasanya memang mempengaruhi sikap orang sehingga ucapan dan gerak-geriknya berubah sama sekali, disesuaikan dengan harta atau pangkatnya.

"Puspa Dewi berani datang ke sini? Hemm, seperti ia sendiri saja wanita sakti di dunia ini! Kakangmas Adipati, biarlah aku yang akan membunuh gadis sombong itu!" kata Dewi Mayangsari kepada suaminya.

Linggawijaya tersenyum maklum. Ia maklum akan kesaktian isterinya. Akan tetapi dia tidak yakin isterinya akan mampu mengalahkan Puspa Dewi. Pula, dia tidak ingin Puspa Dewi dibunuh. Teringat akan kejelitaan Puspa Dewi, timbul berahinya.

"Tidak, Diajeng. Tidak pantas kalau untuk menangkap seorang gadis pengacau saja engkau yang harus turun tangan sendiri, seolah-olah di Wengker sudah tidak ada yang mampu melawan Puspa Dewi! Biarlah, aku akan memimpin seregu perajurit pengawal istana untuk menangkapnya."

"Bunuh saja dia!" Dewi Mayangsari berseru karena diam-diam ia membenci Puspa Dewi yang kabarnya cantik dan sakti, apalagi gadis itu telah menjadi satu di antara sebab utama gagalnya persekutuan yang menentang Kahuripan setahun yang lalu.

"Sabarlah, Diajeng. Aku sendiri juga membencinya dan aku sendiri yang akan membunuhnya kalau saatnya tiba. Akan tetapi kita tidak boleh melupakan kenyataan bahwa ia adalah Sekar Kedaton Kadipaten Wura-wuri karena Nyi Dewi Durgakumala, permaisuri kerajaan itu adalah gurunya yang amat menyayanginya sehingga ia diangkat menjadi puterinya. Akan tetapi lebih menguntungkan kalau kita menangkapnya dan menyerahkannya kepada Wura-wuri."

Dewi Mayangsari menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, ia mengerti bahwa ucapan suaminya itu memang benar. Kebencian pribadi memang kalau perlu harus dikesampingkan demi kepentingan kadipaten yang harus menggalang persatuan dengan para kadipaten lain agar kedudukan mereka kuat untuk melawan Kahuripan.

"Sesukamulah, Kakangmas." katanya.

Adipati Linggawijaya lalu membawa seregu pasukan pengawal sebanyak dua belas orang. Tumenggung Suramenggala yang ingin melihat sendiri gadis yang ditakutinya itu tertangkap ikut pula menyertainya. Tidak ketinggalan Wirobento dan Wirobanrek yang baru datang melaporkan bahwa Nyi Lasmi dirampas dan dilindungi Ki Patih Narotama.

Empat belas orang ini bergegas pergi mencari gadis yang baru saja memasuki kota dan merobohkan dua belas orang penjaga di gapura itu. Pada waktu itu, Resi Bajrasakti tidak berada di kadipaten, maka dia tidak tahu akan urusan itu. Linggawijaya sengaja tidak memberitahu kepada guru dan penasehatnya itu, karena dia khawatir kalau-kalau kakek itu akan memperkuat pendapat istrinya, yaitu bahwa Puspa Dewi sebaiknya dibunuh saja.

Sementara itu, Niken Harni yang bertanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan, mendapat keterangan dimana rumah Tumenggung Suramenggala. Cepat ia menuju ke rumah itu. Melihat tempat tinggal orang yang dicarinya itu merupakan gedung besar dan di gapura pekarangan yang luas depan gedung itu terdapat empat orang perajurit yang berjaga, ia langsung saja melangkah masuk!

"He, siapakah Andika? Tidak boleh sembarangan masuk ke sini tanpa ijin!" bentak kepala jaga yang tubuhnya tinggi kurus. Empat orang penjaga itu sudah berdiri menghadang di depan Niken Harni dengan sikap galak. Niken Harni yang dihadang mengerutkan alisnya, berdiri tegak bertolak pinggang dengan kedua tangan lalu bertanya.

"Ijin siapa?"

"Ijin dari kami tentu saja!" bentak Si Tinggi Kurus.

"Hemm, memangnya kamu yang mempunyai rumah ini?"

Kepala jaga itu tertegun juga dan sejenak dia bingung tak dapat menjawab.

Seorang temannya yang menolongnya, menjawab. "Rumah ini milik Gusti Tumenggung Suramenggala. Andika siapakah dan apakah Andika ingin menghadap Gusti Tumenggung?"

Penjaga ini khawatir kalau-kalau gadis yang membawa pedang di punggungnya ini mempunyai hubungan dengan Tumenggung Suramenggala sehingga kalau mereka bersikap kurang hormat, mungkin saja akan di marahi majikan mereka. Mendengar ucapan ini, kemarahan Niken Harni mereda.

"Bagus, kalau begitu cepat engkau melapor kepada Tumenggung Suramenggala, suruh dia keluar sekarang juga untuk menemui aku. Aku ingin bicara dengan dia!"

Mendengar ucapan yang amat meremehkan Sang Tumenggung itu, kepala jaga yang tinggi kurus menjadi penasaran sekali.

"Eh, Andika ini siapakah, berani memandang rendah Gusti Tumenggung dan menyuruh beliau keluar?"

Niken Harni yang sejak tadi memang sudah jengkel dan tidak senang terhadap kepala jaga tinggi kurus itu, membentak, "Kamu tidak pantas mengenal namaku!"

Si Tinggi Kurus marah, akan tetapi Niken Harni menggerakkan tangan kirinya sambil menghardik, "Pergilah,tikus busuk!"

"Plakk...!" Si Tinggi Kurus mengaduh dan terpelanting roboh, lalu bangkit duduk terengah-engah sambil meraba pipinya yang membengkak.

"Hayo, mau tidak kalian menyuruh Suramenggala keluar? Atau minta kutampari semua?"

Seorang penjaga berkata, "Akan tetapi beliau tadi keluar..."

"Hemm, kamu tidak bohong?"

"Tidak sungguh mati, saya bersumpah, beliau tidak berada di rumah... "

"Kalau begitu, beritahu di mana adanya Nyi Lasmi!" Niken Harni membentak.

"Nyi Lasmi...?" Orang itu terbelalak. "Saya... saya tidak tahu... "

"Bohong...!"

"Kami tidak tahu.....Nyi Lasmi tidak berada di sini... "

"Plak-plak-plak...!" Niken Harni menyerang dengan cepat dan tiga orang itu pun terpelanting seperti orang pertama.

"Biar aku cari sendiri!" kata Niken Harni sambil melangkah menyeberangi pekarangan menuju gedung besar itu. Akan tetapi, baru saja ia tiba di bawah anak tangga pendopo, dari dalam berlarian keluar dua belas orang perajurit pengawal dipimpin oleh seorang perwira pasukan pengawal yang berusia sekltar empat puluh tahun, bertubuh pendek gendut dan mukanya penuh bopeng (bekas cacar).

"Berhenti!" bentak perwira itu sambil mencabut goloknya. Dua belas orang anak buahnya berdiri di belakangnya dan sudah siap pula dengan senjata golok mereka. "Dari mana datangnya seorang gadis liar yang berani mengacau di sini? Siapa namamu?"

"Katakan dulu siapa namamu!" kata Niken Harni sambil memandang angkuh.

Perwira pengawal itu memandang ringan kepada gadis cantik itu dan dia ingin menyombongkan dirinya, apalagi di depan dua belas orang anak buahnya. Bagaimana pun juga, dia terkenal kuat di antara para pengawal Tumenggung Suramenggala.

"Mau tahu namaku? Aku Jayeng, dikenal dengan julukan Sardula Krastala (Macan Kuat)! Menyerahlah, daripada aku menggunakan kekerasan!" Hayo mengaku siapa namamu!"

"Namamu Macan Cebol? Ketahuilah, aku disebut Liman Sakti (Gajah Sakti)! Nah, apakah seekor harimau cebol berani berlagak di depan seekor gajah sakti?" Niken Harni tersenyum mengejek.

Disebut macan cebol, perwira yang bernama Jayeng itu marah sekali. Melihat gadis itu tidak memegang senjata, dia pun ingin memperlihatkan kegagahannya dan menyarungkan kembali goloknya.

"Bocah kurang ajar!" Setelah membentak marah dia lalu melompat dan menerkam ke arah Niken Harni. Dia benar-benar melakukan gerakan menerkam, agaknya hendak pamer bahwa dia pantas mendapat julukan Macan Kuat. Niken Harni bergerak cepat, menggeser kaki ke kiri sambil mencondongkan tubuhnya sehingga tubuh pendek gendut yang menubruknya itu lewat di sampingnya dan sekali mendorong dengan tangan kirinya ke punggung lawan, perwira itu terbanting menelungkup

"Bresss...!"

ubuh pendek gendut itu terbanting keras dan ketika dia bangkit dengan marah, darah mengucur keluar dari hidungnya. Agaknya ketika terbanting menelungkup, hidungnya menghantam tanah berbatu dan mimisen (mengeluarkan darah)! Makin marahlah Jayeng. Kini dia tidak ingin menangkap dan main-main lagi, sambil mengeluarkan bentakan nyaring dia menyerang dengan pukulan yang kuat ke arah dada Niken Harni. Kembali gadis itu menggunakan kecepatan gerakannya untuk menghindar ke kanan dan secepat kilat kakinya mencuat ke arah perut yang gendut itu.

"Wuuuutt... ngekk!" Yang berbunyi ngek itu adalah hawa yang keluar dari mulut Jayeng ketika perutnya yang gendut disambar kaki mungil namun amat kuat itu. Kini tubuhnya roboh terjengkang, dan dia bangkit sambil memegangi perutnya yang terasa mulas! Akan tetapi kemarahannya memuncak membuat dia tidak merasakan lagi kenyerian itu.

"Srattt...!" Dia mencabut goloknya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang gadis yang bertangan kosong itu dengan bacokan golok ke arah leher Niken Harni! Serangan ini cukup berbahaya bagi Niken Harni. Gadis Itu tidak berani main-main mellhat betapa cepat dan kuatnya serangan golok itu. Ia melompat menghindar ke belakang dan cepat mencabut pedangnya. Jayeng yang merasa penasaran dan marah sekali karena merasa dipermainkan dihina di depan anak buahnya, melihat gadis itu melompat ke belakang, mengira bahwa lawannya itu mulai ketakutan. Maka dia pun mengejar dan memutar goloknya dengan buas.

"Trangg...!" Golok bertemu pedang dan Jayeng tersentak kaget karena tangannya yang memegang golok tergetar. Akan tetapi dia menyerang lagi lebih hebat, mengerahkan semua tenaganya.

"Cringgg...!" kembali pedang di tangan Niken Harni menangkis dari samping, tidak langsung sehingga gadis itu tidak terlalu banyak menggunakan tenaga namun sudah membuat bacokan lawan melenceng. Niken Harni membalas dengan cepat dan Jayeng menjadi kewalahan. Terpaksa dia memutar goloknya membentuk perisai melindungi tubuhnya.

Perkelahian menjadi semakin seru. Setelah Jayeng mempergunakan golok, ternyata Niken Harni tidak mudah mengalahkannya. Hal ini karena adalah memang ayahnya, Prasetyo atau Senopati Yudajaya, lebih menekankan pelajaran silat tangan kosong, terutama kecepatan gerakan kepada puterinya karena ilmu itu dimaksudkan untuk dapat membela diri. Bukan untuk menyerang atau membunuh lawan.

Betapapun juga, karena gadis ini memang memiliki gerakan yang jauh lebih ringan dan cepat dibandingkan lawannya, maka Jayeng yang merasa repot dan dia hampir tidak mendapat kesempatan untuk menyerang. Serangan gadis itu datang bertubi-tubi, pedangnya menjadi sinar bergulung=gulung membuat Jayeng merasa pusing.

"Pergilah!" bentak Niken Harni dan ketika pedangnya berkelebat ia tidak menyerang ke arah tubuh lawan, melainkan ke arah tangan Jayeng yang memegang golok.

"Singgg... cratt!" Punggung tangan Jayeng terluka berdarah dan goloknya terlepas. Dia cepat membungkuk untuk mengambil goloknya, akan tetapi Niken Harni mengangkat lutut kanannya ke arah perut lawan.

"Ngekk!" Jayeng mengaduh dan membungkuk, menekan perutnya dan pada saat itu, tangan kiri Niken Harni menyambar ke arah tengkuknya.

"Kekk!" Tubuh pendek gendut itu terguling dan seketika klenger (pingsan)!

Melihat pemimpin mereka roboh tak bergerak lagi, barulah dua belas orang perajurit pengawal Itu serentak mengepung dan menyerang Niken Harni. Tadi mereka diam saja karena selain mereka mengira bahwa Jayeng akan dapat mengalahkan gadis itu, juga Jayeng tidak memberi aba-aba kepada mereka untuk mengeroyok. Kini, mereka menghujani Niken Harni dengan bacokan golok mereka. Niken Harni mengamuk. Pedangnya menyambar-nyambar dan tangan kiri dibantu kakinya membagi-bagi tamparan dan tendangan.

Delapan orang pengawal roboh dan yang empat orang lagi menjadi gentar. Mereka masih hendak menyerang, akan tetapi begitu Niken Harni menggerakkan pedang, diangkat ke atas mengancam, empat orang itu lari lintangpukang! Mereka yang ter-luka juga saling menolong dan meninggalkan pekarangan di depan pendopo. Jayeng juga sudah dipapah anak buahnya meninggalkan tempat itu. Niken Harni melompat ke dalam pendopo dan terus memasuki pintu depan gedung. Ketika melihat beberapa orang wanita berpakaian pelayan, ia menghardik.

"Hayo katakan, di mana Nyi Lasmi?"

"Hamba... hamba tidak tahu, Den Ajeng... " kata mereka ketakutan.

"Hemm, biar kucari sendiri!" Gadis itu dengan berani terus memasuki gedung dan memeriksa semua ruangan dan kamar.

Setiap kali bertemu pelayan wanita, ia bertanya, akan tetapi jawaban mereka selalu tidak tahu. Akhirnya ia memasuki ruangan dalam yang luas dan di situ berkumpul isteri dan para selir Tumenggung Suramenggala. Para wanita ini tadi sudah ketakutan karena mendengar bahwa Puspa Dewi mengamuk dan mencari ibunya. Ketika Niken Harni memasuki ruangan itu, mereka semua merasa heran karena mereka sama sekali tidak mengenal gadis ini. Bukan Puspa Dewi yang tentu saja sudah mereka kenal baik, melainkan seorang gadis lain yang belum pernah mereka lihat. Niken Harni yang merasa jengkel karena tidak menemukan Nyi Lasmi yang juga belum pernah dilihatnya, melihat para wanita yang berpakaian mewah itu.

"Hei, apakah kalian ini keluarga Suramenggala?"

"Benar, kami adalah keluarganya, isteri-isterinya... "

Niken Harni menggerakkan tangannya ke arah sebuah meja dari kayu yang berada di sudut ruangan.

"Wuutt... brakkkkk...!" Semua wanita menjadi ketakutan.

"Hayo katakan, di mana adanya Nyi Lasmi? Kalau kalian tidak mau mengatakan, bukan meja yang akan kupukul pecah!"

Para wanita itu menjadi pucat melihat betapa meja dari kayu tebal itu pecah berantakan terkena pukulan tangan yang mungil Itu.

"Sungguh mati, kami tidak tahu. Kami hanya tahu bahwa Nyi Lasmi dibawa keluar dari rumah ini." kata Isteri pertama Ki Suramenggala.

"Dibawa ke mana?"

"Kami tidak tahu. Hanya Tumenggung Suramenggala yang mengetahuinya."

"Mana dia Si Suramenggala?"

"Dia sedang keluar. Kalau nanti dia sudah kembali, tanyakan saja kepadanya." kata isteri Ki Suramenggala yang mengharapkan suaminya segera datang membawa bala bantuan untuk menghadapi gadis yang liar dan galak ini.

"Sebaiknya Andika menunggu di sini sebentar. Tak lama lagi dia tentu pulang."

Niken Harni tidak menjawab, dan setelah menggeledah semua kamar dan tidak menemukan wanita yang mengaku bernama Nyi Lasmi, ia lalu keluar dan duduk di atas kursi yang berada dl pendopo! Ia duduk dengan tenang dan santai, benar-benar hendak menanti kembalinya Tumenggung Suramenggala untuk dipaksa mengakui di mana adanya Nyi Lasmi!

Karena pendopo itu luas menghadap pekarangan, maka semilir angin mendatangkan kesejukan, ditambah lagi ia merasa lelah setelah berkelahi, maka begitu berhembus angina semilir, ia mulai mengantuk. Ia sendiri puteri seorang senopati, cucu seorang tumenggung Kahuripan, maka ia sudah terbiasa dengan gedung-gedung besar seperti itu dan merasa seperti di rumah sendiri!

Beberapa orang pelayan wanita dan pengawal berindap-indap ke pintu dan mengintai. Mereka terheran-heran melihat gadis yang galak itu duduk di atas kursi, menyandarkan mukanya di atas meja di depannya, berbantalkan kedua lengannya dan jelas tampak sedang tidur! Niken Harni memang lelah dan mengantuk sekali. Selama dalam perjalanan dari Karang Tirta ke Wengker, ia hampir tidak pernah mengaso dan kurang sekali tidur. Lapar, lelah, dan ngantuk membuat ia cepat dapat pulas dengan enaknya walaupun sambil duduk!

Biarpun ia tertidur, tangan kanannya masih memegang pedangnya yang diletakkan di atas meja. Para pengawal yang melihat ini, tetap saja tidak berani sembarangan turun tangan. Apalagi menyerang, bahkan mendekat pun mereka tidak berani. Tadi mereka masih beruntung karena di antara mereka tidak ada yang dibunuh gadis galak ini, hanya dilukai saja. Kalau gadis itu marah, mungkin saja ia mengamuk dan membunuh siapa saja yang mengganggunya.

Para pengawal dan penghuni gedung tumenggungan itu merasa lega ketika mereka melihat Tumenggung Suramenggala dan serombongan orang itu memasuki pekarangan. Apalagi rombongan perajurit pengawal kadipaten itu dipimpin sendiri oleh Sang Adipati Linggawijaya! Seorang pengawal segera berlari menyambut dan melaporkan bahwa gadis yang mengamuk itu kini tertidur di dalam pendopo.

"Tertidur...?" Adipati Linggawijaya bertanya heran.

"Benar, Gusti. Gadis itu tertidur pulas di pendopo." Kepala pengawal yang gendut pendek, Jayeng, melapor.

Adipati Linggawijaya lalu melangkah menuju ke pendopo menyeberangi pekarangan itu. Tumenggung Suramenggala yang takut terhadap Puspa Dew! Itu mengikuti dari belakang. Dua belas orang perajurit pengawal pilihan dari kadipaten juga mengikuti dari belakang dengan siap siaga. Setelah tiba di anak tangga pendopo, Linggawijaya memandang terheran-heran kepada gadis yang tertidur di atas kursi itu. Gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! Juga Ki Suramenggala memandang heran.

"Bukan ia..." Bisiknya.

Adipati Linggawijaya mengangguk dan tersenyum. Menghadapi Puspa Dewi, dia masih meragukan apakah dia akan mampu mengalahkan gadis yang dia tahu amat sakti itu, maka dia membawa seregu pengawal pilihan. Akan tetapi gadis itu bukan Puspa Dewi dan tentu saja dia memandang rendah. Dan timbul kegembiraan hatinya melihat rambut hitam panjang terurai berombak dan kulit yang putih mulus itu.

Wajah gadis itu belum tampak akan tetapi dia merasa hamper yakin bahwa gadis itu tentu cantik sekali. Dia memberi isarat kepada Tumenggung Suramenggala dan selusin perajurit agar tinggal saja di bawah anak tangga. Lalu dia mendaki anak tangga dengan ringan memasuki pendopo. Dengan jalan mengitari meja itu dia dapat melihat wajah Niken Harni dan jantung Adipati Linggawijaya berdebar. Cantik manis dan masih amat muda, lebih muda daripada Puspa Dewi!

"Nimas yang ayu merak ati, bangunlah!"

Ucapan Adipati Linggawijaya mengandung getaran kuat sehingga Niken Harni yang pulas itu seperti disentakkan dan ia terbangun. Sebagai seorang gadis puteri senopati yang terlatih, begitu terbangun dia sudah melompat berdiri dan siap melintangkan pedangnya di depan dada. Sebagian rambutnya yang terurai menutup mukanya sebelah kiri dan Adipati Linggawijaya terpesona. Cantik menggairahkan nian gadis ini!

Dengan alis berkerut, mata mencorong tajam walaupun masih ada bekas kantuk di matanya, Niken Harni menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Linggawijaya.

"Engkau Suramenggala?"

Linggawijaya menggeleng kepala sambil tersenyum melihat sikap galak seperti kuda liar ini. Melihat pria Itu menggeleng, Niken Harni menyambung, "Ah, benar juga. Ki Suramenggala itu sudah tua dan engkau masih muda! Lalu siapa engkau?" Baru sekarang Niken Harni mendapat kenyataan bahwa laki-laki muda yang berdiri di depannya ini mengenakan pakaian yang amat mewah dan indah, lebih mewah daripada pakaian kakeknya yang tumenggung. Dan wajah itu tampan gagah sekali!

"Aku? Aku adalah Linggawijaya, Adipati Wengker."

Sepasang mata yang jeli dan indah itu terbelalak sehingga sisa kantuknya menghilang. "Adipati Wengker? Hemm, tampan juga!"

Kini Linggawijaya yang melebarkan matanya. Tidak salah dengarkah dia? Gadis itu begitu saja memuji ketampanannya. "Nimas, terima kasih atas pujianmu bahwa aku tampan!" katanya gembira.

"Wih! Jangan ge-er (gede rasa), ya? Aku sama sekali tidak memuji, hanya terheran. Aku mendengar bahwa pria di Wengker, itu rata-rata buruk mukanya, akan tetapi engkau yang jadi adipatinya tidak buruk!"

Wajah Linggawijaya agak kemerahan, akan tetapi dia tidak marah, bahkan merasa betapa lucunya gadis yang bersikap galak dan ugal-ugalan ini.

"Nimas, engkau cantik manis merak ati, juga gagah dan lucu sekali. Bolehkah aku mengetahui, siapa nama Andika dan mengapa Andika membikin ribut di Wengker?" pertanyaan itu lembut, bahkan merayu.

Niken Harni cemberut. "Namaku Niken Harni. Sesungguhnya aku tidak ingin membikin ribut. Akan tetapi mereka itu tidak mau mengatakan di mana adanya Nyi Lasmi, maka terpaksa kuhajar!"

"Niken Harni, nama yang indah sekali, sesuai benar dengan orangnya. Kalau orang-orangku bersikap tidak semestinya, aku yang mintakan maaf, Nimas Niken. Akan tetapi mengapa Andika mencari Nyi Lasmi?"

"Mengapa aku mencari Nyi Lasmi? Tentu saja aku mencarinya! Ia adalah Ibuku yang dibawa lari orang-orang Wengker yang jahat!"

Linggawijaya terbelalak heran. Apakah Puspa Dewi mempunyai adik? Mustahil! Setahunya Nyi Lasmi hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Puspa Dewi!

"Anak Nyi Lasmi? Benarkah ia itu Ibumu? Bagaimana mungkin?"

"Eh, engkau tidak percaya, Adipati Linggawijaya? Kau kira aku berbohong? Selama hidupku aku tidak pernah berbohong kecuali... kecuali dulu ketika masih kecil!"

"Hemm, ketika kecil suka bohong, ya?

"Tentu saja! Kalau aku melakukan kesalahan, aku berbohong agar jangan dihukum Ayah."

"Akan tetapi, Nimas Niken Harni. Setahu ku, Nyi Lasmi tidak mempunyai anak lain. Puterinya hanya seorang saja, yaitu Puspa Dewi."

"Mbakayu Puspa Dewi itu kakakku, Kakak tiriku."

"Tidak mungkin!"

"Heh, Adipati Wengker, jangan main-main engkau! Aku tidak berbohong. Aku memang anak tiri Nyi Lasmi!"

"Nimas, aku bilang tidak mungkin bukan tidak percaya kepadamu, aku hanya merasa bingung dan heran sekali karena aku mengenal benar Nyi Lasmi itu. Ia adalah Ibu tiriku!"

"Eh? Ibu tirimu? Mana mungkin...!"

"Hemm, agaknya Mbakayumu Puspa Dewi belum menceritakannya kepadamu. Ketahuilah bahwa Nyi Lasmi pernah menjadi isteri Ayah kandungku selama lima tahun."

"Benarkah? Siapa itu Ayah kandungmu?"

"Ayahku adalah Tumenggung Suramenggala!"

"Jadi engkau anak Suramenggala yang jahat itu? Kebetulan sekali kalau engkau anak Suramenggala. Hayo katakan dimana adanya Nyi Lasmi yang diculik Suramenggala!"

"Tenanglah, Nimas Niken Harni. Agaknya engkau tidak mengetahui persoalannya dan hanya mendengarkan satu pihak saja yang menjelek-jelekkan kami. Sarungkan pedangmu. Engkau berhadapan dengan sahabat, bukan musuh. Mari kita bicara dari hati ke hati dan kuperkenalkan engkau kepada Ayah kandungku." Ucapan Linggawijaya demikian lembut dan mengandung bujukan kuat sehingga biarpun tadinya ia ragu-ragu, akan tetapi akhirnya Niken Harni menyarungkan pedangnya.

"Baik, aku akan mendengarkan apa yang hendak kau bicarakan."

Adipati Linggawijaya lalu menoleh dan memberi isyarat kepada Ki Suramenggala untuk memasuki pendopo. Para pengawal tinggal di bawah. Setelah Tumenggung Suramenggala berada di situ, Adipati Linggawijaya memperkenalkan.

"Nimas Niken Harni, inilah Ayahku, Tumenggung Suramenggala, suami Nyi Lasmi. Kanjeng Rama, ini adalah Nimas Niken Harni yang mengaku sebagai anak tiri Ibu Lasmi."

"Ah, benarkah?" Tumenggung Suramenggala yang tadi sudah mendengarkan percakapan mereka, memandang gadis itu dengan senyum ramah. "Niken Harni, bagaimana ceritanya bahwa Andika adalah anak tiri Diajeng Lasmi?"

"Nimas, mari kita duduk dan bicara dengan enak di ruangan dalam." ajak Linggawijaya dengan suara lembut dan sikap halus.

Niken Harni yang masih hijau dan sama sekali belum berpengalaman, hanya melihat sikap dan kata-kata orang untuk menilai baik buruknya orang itu, semakin tertarik dan ia menganggap pemuda yang telah menjadi Adipati Wengker itu seorang yang amat baik dan ramah, sopan pula. Maka bagaikan seekor domba yang tidak menyadari bahwa ia digiring memasuki rumah jagal, ia mengikuti ayah dan anak itu masuk ke ruangan dalam. Setelah berada di ruangan dalam yang cukup mewah dari gedung tumenggungan itu, Niken Harni dipersilakan duduk menghadapi sebuah meja besar dan dua orang ayah dan anak itu duduk di seberang meja.

"Nah, apa yang hendak engkau bicarakan dengan aku, dan katakan di mana adanya Nyi Lasmi sekarang!"

"Sabar, Nimas. Mari kuceritakan dari permulaannya agar engkau mengetahui duduknya perkara. Kurang lebih enam tujuh tahun yang lalu, Ayahku ini menjadi lurah di Karang Tirta. Nyi Lasmi ketika itu tinggal dl Karang Tirta sebagai seorang janda dengan seorang anak, yaitu Puspa Dewi. Kami saling mengenal dengan baik karena tinggal sedusun. Kemudian, Nyi Lasmi menjadi isteri Ayahku, maka dengan sendirinya Nyi Lasmi adalah Ibu tiriku. Selama lima tahun Nyi Lasmi menjadi anggota keluarga kami sampai setahun lebih yang lalu terpaksa Nyi Lasmi berpisah dari kami."

"Hemm, aku sudah mendengar. Ki Suramenggala dicopot sebagai lurah oleh Gusti Patih Narotama dan diusir keluar dari Karang Tirta, bukan?"

"Benar, akan tetapi peristiwa itu terjadi karena ayahku difitnah oleh beberapa orang dusun yang iri hati dan hendak merampas kedudukannya sebagai Lurah. Mereka itu antara lain Ki Pujosaputro yang kemudian berhasil menjadi lurah. Ayahku difitnah sehingga Ki Patih Narotama tertipu dan mengusir Ayah dan sekeluarga kami. Atas bujukan Ki Pujosaputro pula, Ibu tiriku, Nyi Lasmi, tidak ikut keluarga kami yang pindah ke sini. Nah, tentu saja Ayahku merasa sakit hati kepada Ki Pujosaputro dan setelah Ayahku menjadi tumenggung di Wengker ini, Ayah lalu mengirim orang-orang untuk membalas dendam, membunuh Ki Pujosaputro sekeluarga dan mengajak Ibu Lasmi ke sini karena ia memang isteri Ayah."

Mendengar cerita yang diucapkan Linggawijaya dengan gaya meyakinkan itu, Niken Harni menjadi ragu.

"Kalau begitu, benar Ibu Lasmi berada di sini? Di mana ia? Aku ingin bertemu dan menanyakan kebenaran ceritamu itu kepadanya!"

"Nanti dulu, Nimas. Ceritaku belum selesai. Sudah kuceritakan tadi bahwa Ibu Lasmi mempunyai seorang puteri, yaitu Puspa Dewi. Nah, ketika guru Puspa Dewi yang bernama Nyi Dewi Durgakumala menjadi permaisuri di Wura wuri, Puspa Dewi dengan sendirinya menjadi Sekar Kedaton (Puteri Istana) karena ia telah dianggap anak sendiri oleh Nyi Durgakumala. Maka, ketika terjadi perang antara Wura-wuri bersama kadipaten lain termasuk Wengker ini, Puspa Dewi sebagai Sekar Kedaton Wura-wuri menjadi wakil Wura-wuri untuk bekerja sama dengan kadipaten lain dalam usaha kami merobohkan Kahuripan. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Puspa Dewi telah membalik, membela Kahuripan dan mengkhianati persekutuan kami, terutama mengkhianati Kerajaan Wura-wuri."

"Hemm, sudah sepantasnya kalau Mbakayu Puspa Dewi membela Kahuripan karena ia adalah seorang kawula Kahuripan!"

"Engkau benar, Nimas. Akan tetapi jangan lupa bahwa ia sudah diangkat menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri dan menjadi wakil Wura-wuri untuk menentang Kahuripan. Akan tetapi kemudian ia membalik dan ini berarti pengkhianatan bagi Wura-wuri. Tentu saja gurunya, Nyi Dewi Durgakumala marah sekali dan ia sudah mengancam akan menangkap murid atau anak angkat yang berkhianat itu untuk dihukum. Maka, setelah Ibu Lasmi berada di sini dan mendengar akan ancaman dari Wura-wuri terhadap puterinya Itu, Ibu Lasmi gelisah sekali. Akhirnya, setelah kami sekeluarga merundingkannya, Ibu Lasmi lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Wura-wuri, menemui Nyi Dewi Durgakumala, disertai surat dari aku dan Kanjeng Rama Tumenggung Suramenggala, dan mintakan maaf untuk Puspa Dewi. Nah, begitulah ceritanya, Nimas."

"Jadi sekarang ini Ibu Lasmi tidak berada di sini?"

"Beliau sedang pergi ke Wura-wuri, dikawal oleh sepasukan perajurit."

"Wah, kalau begitu aku akan menyusul kesana!"

"Nanti dulu, Nimas. Kami kira, hal itu amat tidak tepat dan bahkan dapat membahayakan Ibu Lasmi. Kalau engkau pergi ke Sana lalu terjadi kesalahpahaman, tentu usaha Ibu Lasmi mintakan maaf atas kesalahan Puspa Dewi menjadi gagal dan bukan mustahil beliau sendiri akan dijatuhi hukuman."

"Eh, lalu bagaimana baiknya?"

"Nimas, menurut perhitungan kami, dalam satu dua hari ini Ibu Lasmi pasti pulang ke sini. Sebaiknya kalau engkau menanti saja kembalinya di sini. Bagaimanapun juga engkau bukan orang lain bagi kami, masih terhitung sanak keluarga. Kita berdua sama-sama anak tiri Ibu Lasmi, bukan?"

"Hemm.... kau pikir begitu sebaiknya?"

"Tidak ada jalan lebih baik, Nimas. Mari kita makan dan selagi menanti para pelayan mempersiapkan makanan, kami ingin sekali mendengar tentang hubunganmu dengan Ibu Lasmi. Bagaimana duduknya perkara sehingga beliau kau sebut sebagai Ibu tirimu?"

Niken Harni sudah benar-benar terpengaruh oleh sikap dan kata-kata Linggawijaya. Tumenggung Suramenggala sejak tadi hanya mendengarkan dan tidak mau ikut bicara, khawatir kalau-kalau dia salah omong. Dia mendengarkan dan merasa girang dan kagum sekali akan kecerdikan puteranya.

"Begini ceritanya. Ibu Lasmi dulu adalah isteri dari Ayahku. Ketika itu, Ibu Lasmi tinggal di dusun dan Ayah bekerja di kota raja Kahuripan. Di kota raja Ayah menikah lagi dengan Ibuku. Hal ini membuat Ibu Lasmi meninggalkan dusun bersama puterinya, yaitu Mbakayu Puspa Dewi. Ayahku, dan seluruh keluarga Ibuku mencari-carinya tanpa hasil. Baru setelah Mbakayu Puspa Dewi datang mencari Ayah, kami tahu bahwa Ibu Lasmi berada di Karang Tirta. Kami semua pergi ke Karang Tirta dan ternyata terjadi peristiwa hilangnya Ibu Lasmi. Mbakayu Puspa Dewi melakukan pengejaran, dan aku menyusulnya. Apakah Mbakayu Puspa Dewi belum tiba disini?"

Linggawijaya sudah mendengar pelaporan para perajurit yang dipaksa mengaku oleh Puspa Dewi dan perajurit terakhir yang ditangkap gadis itu melaporkan bahwa dia terpaksa memberitahu bahwa Nyi Lasmi dikawal pasukan ke Wurawuri. Maka, Linggawijaya dapat menduga bahwa tentu Puspa Dewi langsung melakukan pengejaran ke Wura-wuri. Bagaimanapun juga, Puspa Dewi merupakan ancaman dan kalau sekarang dia dapat menahan Niken Harni, dia dapat mempergunakan gadis ini sebagai sandera.

"Ya, Puspa Dewi adikku itu sudah sampai di sini dan mendengar bahwa ibunya pergi ke Wura-wuri, ia menjadi khawatir dan pergi menyusulnya. Maka dari itu, Niken Harni, adikku yang manis, engkau menunggu saja di sini. Aku yakin besok atau lusa, Ibu Lasmi dan Adik Puspa Dewi tentu akan datang ke sini. Baru engkau dapat melihat sendiri betapa baik dan akrabnya hubungan kami satu sama lain."

Niken Harni mengangguk-angguk. Memang dalam hatinya ia merasa bingung. Kalau menurut cerita mbakayu-nya itu, Ki Suramenggala dan Linggawijaya ini adalah orang-orang jahat. Akan tetapi sekarang ia melihat kenyataan bahwa pemuda ini sungguh halus tutur sapanya, baik budi bahasanya, tampan menarik pula. Mana yang benar?

"Biarlah aku menanti di sini dan melihat bagaimana hubungan antara kalian." katanya seperti menjawab pertanyaan hatinya sendiri.

Bukan main girangnya hati Linggawijaya dan Suramenggala. Tumenggung itu memesan para isterinya dan para pelayan untuk bersikap ramah dan baik terhadap Niken Harni, kemudian dia memperkenalkan keluarganya itu kepada Niken Harni. Tentu saja gadis ini semakin senang melihat keramahan mereka dan menganggap bahwa keluarga ini benar-benar baik hati. Sebuah kamar yang indah disediakan untuknya, dan keluarga itu mengadakan pesta untuk menyambut kedatangan gadis ini.

Gembira juga hati Niken Harni diajak makan minum semeriah itu. Kemudian, setelah makan minum sampai puas, ia di persilakan membersihkan diri mandi, lalu diberi kesempatan untuk mengaso, tidur di kamar yang disediakan untuknya. Karena memang ia merasa lelah dan lapar, juga pakaiannya dan tubuhnya kotor oleh debu, maka sekarang setelah makan dan mandi, sebentar saja Niken Harni sudah tertidur pulas dalam kamar itu!

Menjelang sore hari Niken Harni terbangun. Ia merasa tubuhnya segar. Seorang Isteri selir Tumenggung Suramenggala memasuki kamar dan menaruh seperangkat pakaian di atas meja. Ia melangkah dengan hati-hati agar jangan membangunkan gadis itu. Akan tetapi Niken Harni sudah terbangun dan ia cepat bangkit duduk.

"Bibi, apakah itu?" tanyanya kepada wanita yang tadi sudah diperkenalkan kepadanya sebagai seorang di antara isteri-isteri Tumenggung Suramenggala.

Wanita itu terkejut karena tidak mengira gadis itu sudah terbangun.

"Ah, engkau sudah bangun?" katanya sambil mengambil pakaian tadi dari atas meja. "Nak Niken Harni, ini kami sediakan pakaian pengganti untukmu. Mandi dan berganti pakaianlah agar engkau merasa segar. Hari telah hampir senja."

"Wah, terima kasih, Bibi. Sungguh Andika sekalian di sini amat baik kepadaku, membuat aku menjadi sungkan."

"Mengapa sungkan, Niken? Bagaimana pun juga, biarpun bukan langsung, engkau masih terhitung sanak keluarga kami. Nah, sekarang mandi dan bertukar pakaianlah. Kami menantimu di ruangan makan."

"Makan lagi?" seru Niken Harni.

Wanita itu tersenyum. Manis sekali walaupun usianya sudah hampir empat puluh tahun. "Tentu saja, Niken. Tadi kita makan siang, dan nanti makan malam."

"Wah, sudah setengah hari aku tertidur?" Niken Harni berseru kaget dan ia lalu berlari ke kamar mandi sambil membawa pakaian pengganti itu.

Selir Ki Suramenggala itu tertawa dan diam-diam ia merasa suka kepada gadis yang lincah dan bersikap polos itu. Tak lama kemudian, dengan pakaian yang baru dan bersih, dan rias wajah sederhaha, hanya rambut panjang yang habis dikeramas itu disisir dan digelung, kulit muka yang putih mulus itu dilapisi bedak tipis dan bibir yang merah alami tanpa gincu itu hanya dibasahi dengan lidah, sinom (anak rambut) halus melingkar di pelipis dan dahi, Niken Harni tampak cantik manis bukan main!

Semua orang, terutama Linggawijaya yang sudah datang lagi setelah tadi pulang ke kadipaten, memandang kagum. Kalau dibiarkan, mungkin Linggawijaya akan mengilar seperti seekor srigala kelaparan melihat seekor domba muda yang dagingnya lembut dan darahnya hangat! Sambil tersenyum manis kepada semua orang yang sudah berkumpul di ruangan dalam depan kamarnya, Niken Harni memasuki ruangan itu.

Adipati Linggawijaya bangkit berdiri menyambut Niken Harni dan berkata dengan ramah dan lembut. "Diajeng Niken Harni, mari kita makan malam bersama, sejak tadi sudah disediakan untuk kita."

"Sang Adipati.... "

"Ahh, mengapa engkau menyebut aku begitu? Kita ini bagaimanapun juga masih terhitung kakak beradik, bukan? Engkau anak tiri Nyi Lasmi, akupun juga, maka engkau adalah Adikku dan sepatutnya engkau menyebut aku kakangmas!" tegur Linggawijaya.

"Hemm, baiklah, Kakangmas Adipati Linggawijaya!" kata gadis itu sambil tersenyum lucu, seolah-olah ucapannya itu hanya gurauan saja. "Akan tetapi, Kakang-mas, mengapa semua anggota tidak ikut makan seperti siang tadi?" katanya ketika melihat bahwa Linggawijaya hanya mengajak ia sendiri memasuki ruangan makan.

"Tidak, Diajeng. Siang tadi kami memang sengaja mengadakan penyambutan kepadamu sehingga seluruh keluarga hadir dan ikut dalam perjamuan makan. Akan tetapi malam ini, aku ingin kita makan berdua karena banyak yang ingin kubicarakan denganmu."

Niken Harni tidak membantah lagi karena tentu saja ia sebagai tamu hanya menurut saja kepada apa yang telah diatur oleh pihak tuan rumah. Dan Linggawijaya bukan tuan rumah sembarangan, melainkan Adipati Wengker, orang nomor satu di kadipaten itu!

Biarpun dia ingin sekali memiliki tubuh gadis ini, namun Linggawijaya tidak mau mempergunakan pembius. Dia ingin agar Niken Harni menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Dia tahu bahwa gadis ini masih hijau, tentu akan mudah dia jatuhkan dengan rayuan mautnya!

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap. "Diajeng Niken, tadi engkau sudah menceritakan tentang hubunganmu dengan ibu kita Nyi Lasmi. Akan tetapi engkau belum menceritakan dengan jelas siapa nama Ayahmu dan siapa pula Ibu kandungmu. Mengingat bahwa kita masih saudara, maka sudah sepatutnya kalau aku mengetahui lebih banyak tentang orang tuamu."

Sambil makan Niken Harni menceritakan keadaan orang tuanya. "Ayahku adalah senopati muda Kahuripan bernama Senopati Yudajaya, sebelum menjadi senopati bernama Prasetyo. Adapun Ibu kandungku bernama Dyah Mularsih, Puteri dari Eyang Tumenggung Jayatanu di Kahuripan. Kami semua tinggal di kota raja."

"Wah, kiranya engkau keturunan senopati dan tumenggung! Pantas saja engkau begini cantik, agung, dan sakti!" Linggawijaya memuji.

Niken Harni tersenyum, senang menerima pujian itu. Gadis mana yang tidak akan berbunga-bunga hatinya kalau mendapat pujian, apalagi pujian yang keluar dari mulut seorang pemuda yang selain tampan dan sakti, juga seorang adipati?

"Ih, Kakangmas, bisa saja memuji orang. Engkau sendiri seorang raja, seorang adipati, yang berkuasa penuh di Wengker. Aku telah mengenalmu sebagai kakak, akan tetapi engkau belum memperkenalkan aku kepada keluargamu. Kakangmas Adipati. Isterimu tentu cantik jelita seperti bidadari!"

"Ah, jauh dari persangkaanmu, Diajeng. Isteriku yang bernama Dewi Mayangsari sudah tua, dibandingkan dengan engkau, ia jauh kalah cantik!"

Kedua pipi Niken Harni berubah kemerahan. Pujian ini sudah terlalu, pikirnya. Masa ia dipuji lebih cantik dari isteri adipati itu?

"Hemm, jangan bohong, Kakangmas."

"Tidak, Diajeng. Dewi Mayangsari permaisuriku itu sudah janda, usianya sudah hampir tiga puluh tahun sedangkan usiaku baru dua puluh satu tahun!"

"Akan tetapi selir-selirmu tentu masih muda-muda dan cantik jelita!"

"Salah lagi, Diajeng. Aku sama sekali tidak mempunyai seorang selir pun!"

"Ihh! Mana mungkin? Engkau seorang adipati! Sedangkan ayahmu yang hanya seorang tumenggung saja begitu banyak selirnya! Jangan bohong, ah!"

"Sungguh, Diajeng. Aku berani sumpah. Aku sungguh tidak mempunyai seorang pun selir. Siapa sih yang mau menjadi selir seorang seperti aku ini?"

"Wah, jangan terlalu merendahkan dirimu, Kakangmas. Siapa yang mau menjadi selirmu? Engkau seorang adipati, masih muda, tampan dan gagah perkasa! Aku yakin, setiap orang gadis akan senang sekali menjadi selirmu!"

Hati Linggawijaya girang sekali. Pancingannya mengena!

"Akan tetapi dl sini tidak ada seorang pun gadis yang cantik, Diajeng."

"Kalau begitu Andika bisa mencari di lain tempat!"

Percakapan terhenti, agaknya Linggawijaya tidak dapat menjawab, padahal sebenarnya dia mulai mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang dia pelajari dari Lasmini, bekas selir Ki Patih Narotama yang dulu pernah berlangen-asmara dengan dia ketika masih menjadi selir Ki Patih Narotama. Kini Linggawijaya mulai mengerahkan ajian itu untuk mempengaruhi Niken Harni. Setelah merasa bahwa pengerahan Aji Pengasihan atau Aji Pameletan itu sudah mencapai kekuatan puncak, baru dia bicara lagi. Ketika itu mereka telah selesai makan.

"Diajeng Niken Harni, dalam ruangan ini hawanya kurang enak. Mari kita bicara di dalam taman. Taman tumenggungan ini luas dan indah sekali, dan malam ini terang bulan, tahukah engkau?"

Dengan sepasang pipi berwarna kemerahan, Niken Harni memandang wajah adipati itu dengan mata berseri dan mulut tersenyum manis. Ada sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Ia merasa tertarik dan suka sekali kepada pemuda ini! Ia tidak menyadari bahwa ini adalah pengaruh rayuan ditambahi aji pameletan yang di kerahkan Linggawijaya untuk mempengaruhinya.

Ketika pemuda itu mengajaknya keluar, ke taman, ia pun hanya mengangguk dan tersenyum. Bahkan ketika mereka berdua memasuki taman yang memang teratur indah, di malam terang bulan, tangan kanan Linggawijaya memegang tangan kirinya dan menggandengnya, Niken Harni tidak menolak. Hatinya berbisik, apa salahnya bergandengan tangan antara adik dan kakak?

Taman itu memang indah. Dihias lampu warna-warni di sana-sini dan berbagai macam bunga berkembang, semerbak harum. Ditambah lagi dengan sinar bulan, maka suasananya sungguh indah dan menggairahkan. Linggawijaya mengajak Niken Harni berjalan-jalan sampai ke tengah taman di mana terdapat sebuah pondok kecil mungil. Mereka duduk di atas bangku panjang di luar pondok, menghadapi kolam ikan emas, yang selaln tampak ikan berbagai warna berenang-renang, juga ditumbuhi beberapa tangkai bunga teratai merah.

Mereka duduk bersanding. Linggawijaya bersikap hati-hati, dan dia sudah melepaskan pegangan tangannya. Niken Harni duduk diam seperti terpesona. Ia masih merasakan daya tarik yang amat kuat keluar dari pemuda itu, daya tarik yang penuh cinta kasih. Akan tetapi ia menganggap hal itu sebagai kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Pendidikan moral yang ketat dan tinggi dari ayah, Ibu, dan kakeknya membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat walaupun benteng itu pada saat ini agak goyah oleh daya aji pameletan yang kuat.

"Diajeng, mari kita lanjutkan pembicaraan kita di ruangan makan tadi. Sampai di mana pembicaraan kita?"

Niken Harni mengingat-ingat, lalu tersenyum dan berkata.

"Engkau mengatakan bahwa di sini tidak ada seorang pun gadis yang cantik, dan aku berkata bahwa engkau dapat mencari di lain tempat, Kakangmas."

Linggawijaya menggeleng kepala. "Biarpun di lain daerah terdapat banyak wanita cantik, akan tetapi aku tidak suka, Diajeng. Aku tidak dapat jatuh cinta kepada mereka. Ahh, kalau saja ada seorang gadis seperti engkau, Diajeng, seorang saja yang mau menjadi teman hidupku, aku akan hidup berbahagia selamanya." Setelah berkata demikian, kembali tangan kanan Linggawijaya menggenggam tangan kiri Niken Harni. Gadis ini sama sekali belum pernah bergaul dekat dengan pria, maka ia tidak menyadari betapa pemuda di sampingnya itu telah terbakar nafsu berahinya sendiri. Biarpun jantungnya berdebar dan merasa aneh, Niken Harni masih membiarkan saja tangannya dipegang dan diam-diam ia merasa iba kepada pemuda yang mengaku masih sanak dengannya itu.

"Kakangmas, jangan putus asa. Aku yakin bahwa engkau pasti akan dapat menemukan seorang gadis yang pantas untuk menjadi selirmu."

"Tidak, Diajeng. Aku hanya menginginkan engkau seorang! Engkaulah yang pantas menjadi kawan hidupku!"

Melihat kini sinar mata pemuda itu memandang kepadanya seolah mata seekor harimau yang hendak menerkamnya, Niken Harni terkejut sekali.

"Kakangmas! Ingatlah, aku ini Adikmu! Kita masih bersaudara."

"Tidak mengapa, Diajeng. Kita berlainan Ibu berlainan Ayah. Kita tidak sedarah daging. Diajeng Niken Harni, aku cinta padamu, Diajeng. Begitu melihatmu, aku jatuh cinta padamu. Engkau seorang yang pantas menjadi selirku. Mari, Diajeng..!"

Kini Linggawijaya merangkul dengan penuh keyakinan bahwa gadis itu pasti tidak menolaknya karena telah terpengaruh aji pameletannya. Memang pada saat itu, hati dan pikiran Niken Harni telah terpikat dan kacau, namun jiwanya yang bersih menolongnya. Hati nuraninya mengatakan tidak dan menolak kemesraan yang akan dilakukan pemuda itu terhadap dirinya. Ia cepat meronta melepaskan diri dari rangkulan Linggawijaya dan melompat berdiri agak menjauh.

"Tidak! Aku tidak mau menjadi isterimu, Kakangmas. Aku tidak mau menjadi isteri siapapun juga saat ini!" bentaknya dan ia mulai marah.

Akan tetapi nafsu dalam diri Linggawijaya telah berkobar membakar dirinya. Apa pun yang terjadi, dia harus memiliki gadis itu.

"Diajeng, jangan menolak aku!" bentaknya dan dia sudah menubruk dengan cepat sekali. Niken Harni marah dan hendak memukul, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tak dapat bergerak ketika Linggawijaya menepuk tengkuknya. Tentu saja di bandingkan kesaktian Linggawijaya, kepandaian gadis ini tidak ada artinya. Ia terkulai lemas dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan dengan tenaga besar. Linggawijaya merangkulnya dan pemuda ini merasa penasaran sekali. Bagaimana mungkin aji pameletannya gagal menunduk-kan gadis ini? Sebetulnya dia igin menundukkan gadis ini agar ia menyerahkan diri dengan suka rela, akan tetapi karena hal itu tidak mungkin, terpaksa dia akan menggunakan kekerasan! Bukan hanya karena berani yang membuat dia ingin menguasai Niken Harni, akan tetapi terutama untuk menggunakan sebagai perisai untuk memaksa Puspa Dewi tidak memusuhinya!

"Diajeng Niken Harni yang cantik manis, sekarang engkau akan menjadi Isteriku!" kata Linggawijaya dan dia memondong tubuh itu lalu melangkah menuju pintu pondok.

"Jahanam! Jahat engkau! Terkutuk!" Niken Harni hendak meronta, namun tenaganya tidak dapat ia kerahkan.

Linggawijaya merasa senang sekali ketika merasa betapa tubuh yang padat dan hangat itu meronta-ronta dengan lemah dalam pondongannya. Saking girangnya, dia tertawa bergelak sambil melangkah ke pintu pondok dan dorongan kakinya membuat daun pintu pondok itu terbuka lebar. Dalam pondok itu telah terdapat sebuah lampu gantung yang bernyala cukup terang karena memang sebelumnya Linggawijaya telah mempersiapkannya.

Akan tetapi, tiba-tiba suara tawa Linggawijaya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke dalam pondok. Dari dalam pondok itu tampak awan hitam melayang-layang dan berputaran menghadang sampai ke pintu pondok! Linggawijaya adalah seorang sakti. Melihat kejadian aneh ini, dia dapat menduga bahwa tentu ini perbuatan manusia.

"Hei, siapa yang berani main-main menggangguku? Aku adalah Sang Adipati Lingga-wijaya dari Kerajaan Wengker!" dia membentak dengan suara mengandung tenaga sakti yang dahsyat sehingga suara ini saja mempunyai daya yang ampuh untuk melumpuhkan lawan.

Akan tetapi awan hitam itu tidak bergeming dan kini terdengar suara yang nyaring menusuk telinga.

"Linggawijaya, bebaskan gadis ini!" Nada suaranya memerintah dan suara itu kecil tinggi dan parau, suara seorang wanita tua.

"Jahanam, siapa engkau? Kalau bukan iblis, perlihatkan dirimu!" Linggawijaya yang selalu mengagulkan kepandaian dan kesaktiannya sendiri itu, membentak dan memaki.

Terdengar suara tawa cekikikan, makin lama semakin nyaring dan Linggawijaya terkejut bukan main ketika merasa betapa suara tawa itu mengguncang jantungnya. Cepat dia melepaskan tubuh Niken Harni yang jatuh terduduk di bawah anak tangga pondok, lalu Linggawijaya mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi jantung dan perasaannya.

Perlahan-lahan awan hitam itu menipis dan tampaklah sosok tubuh seorang wanita tua. Makin lama sosok itu semakin jelas dan Linggawijaya melihat seorang wanita tua berusia sekitar lima puluh tahun, masih ada bekas. Kecantikan wajahnya, tubuhnya agak kurus dan pakaiannya serba hitam. Sepasang matanya mencorong penuh wibawa dan menyeramkan. Melihat bahwa pengganggunya hanya seorang wanita tua, Linggawijaya memandang rendah dan dia menjadi marah sekali karena wanita itu mengganggu ke senangannya.

"Nenek jahat, siapa engkau? Pergilah dan jangan menggangguku, atau engkau akan menyesal nanti!"

"Hi-hi-hik!" Nenek itu tertawa dan giginya masih berderet rapi dan putih terkena sinar lampu. "Bocah sombong, engkau tidak berharga untuk mengenal namaku. Hayo engkau menggelinding pergi dan tinggalkan gadis itu!"

Dapat dibayangkan betapa marah hati Linggawijaya mendengar ucapan yang amat memandang rendah bahkan menghinanya itu. Sementara itu, Niken Harni yang mendengar ucapan nenek itu mengerti bahwa nenek itu hendak menolongnya, maka katanya dengan nyaring tanpa dapat menggerakkan tubuhnya yang masih lumpuh.

"Bibi yang baik, sikat saja! Orang ini jahat seperti ular berbisa! Curang licik seperti bajing (tupai)! Dia memang bajingan (makian, penjahat)!"

Linggawijaya sudah marah sekali dan sambil mengeluarkan bentakan menggelegar dia sudah menerjang dan memukul dengan Aji Gelap Sewu yang amat kuat.

"Syuuuttt... Desss!!"

Bukan main kagetnya hati Linggawijaya karena begitu pukulannya tiba dekat tubuh nenek itu, tiba tiba saja ada hawa yang luar biasa kuatnya menolak sehingga dia tidak mampu bertahan lagi, tubuhnya terlempar ke belakang dan bergulingan.

"Bagus! Dia benar-benar menggelinding seperti bola!" Niken Harni biarpun belum dapat bergerak, mengejek dan mentertawakan.

Linggawijaya merasa terkejut dan heran. Bagaimana mungkin pukulannya dengan Aji Gelap Sewu itu dapat mental kembali seolah bertemu dengan sesuatu yang amat kuat dan lentur? Dia tidak percaya dan begitu dapat melompat bangun, dia sudah menerjang lagi, lebih hebat daripada tadi, karena ktni dia menggunakan Aji Sihung Naga, pukulan tangannya yang teramat dahsyat sambil mengerahkan tenaga sakti Wisa Langking yang mengubah kedua tangannya yang memukul berubah hitam karena mengandung racun yang amat kuat.

"Wuuuuttt... bresss...!!"

Kembali tubuh Linggawijaya terpental dan roboh terguling-guling ke bawah anak tangga pondok!

"Horeee...! Rasakan kamu sekarang, manusia busuk!" Niken Harni bersorak.

Linggawijaya adalah seorang yang terlalu mengagulkan kesaktian sendiri dan memandang rendah kepandaian orang lain. Kalau tidak demikian wataknya, tentu kini dia sudah menyadari benar bahwa lawannya ini adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat yang melampaui tingkatnya sendiri. Sebaliknya, dia malah menjadi semakin penasaran dan marah. Karena pada saat itu dia tidak membawa senjatanya Pecut Tatit Ceni, maka dia segera mencabut kerisnya.

Keris ini bukan keris sembarangan, melainkan sebatang keris pusaka luk tiga belas yang disebut Kyai Candalamaik. Begitu dicabut, lawan sudah merasakan getaran daya yang kuat keluar dari pusaka itu. Akan tetapi sungguh aneh dan menyeramkan melihat betapo nenek itu tertawa cekikikan melihat adipati itu memegang keris pusakanya, seolah melihat seorang anak-anak nakal memegang pisau dapur saja.

Linggawijaya sudah mengumpulkan seluruh tenaga saktinya, tangan kirinya merogoh sekepal pasir hitam dan melontarkan pasir itu ke arah nenek berpakaian hitam. Terdengar suara berdengung-dengung seperti ada ribuan lebah beterbangan ketika pasir itu menjadi sinar hitam menerjang ke arah lawan. Akan tetapi dengan tenang saja nenek berpakaian hitam itu menggerakkan kedua tangannya, seperti menggapai ke depan dan semua pasir sakti Brahmara Sewu itu pun rontok ke atas tanah, tak sebutir pun mengenai tubuhnya! Linggawijaya melompat ke depan dan menusukkan kerisnya!

Nenek itu hanya terkekeh.

"Wuuuttt... ceppp!"

Keris itu menusuk perut dan seolah menancap masuk ke perut nenek itu. Akan tetapi nenek itu tetap terkekeh, kemudian ia membentak dengan nyaring.

"Bocah sombong, pergilah!"

Tiba-tiba dari perutnya keluar hawa yang teramat kuat mendorong sehingga Linggawijaya bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, terlempar dan jatuh terbanting sampai beberapa tombak jauhnya. Keris di tangannya itu ternyata tidak ada tanda darah padahal tadi tampaknya menancap di perut nenek itu. Kepalanya menjadi pening karena dia terbanting jatuh cukup keras.

"Horeeee...! Mampus kamu sekarang!" Niken Harni bersorak.

Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan Dewi Mayangsari telah berada di situ, membantu suaminya bangun dan bertanya.

"Kakangmas adipati, apa yang terjadi di sini? Aku menanti-nanti Andika sejak tadi belum juga pulang dan..."

"Diajeng..... bantulah aku.... melawan iblis betina itu..."

Dengan telunjuk gemetar Linggawijaya menunjuk ke arah pintu pondok yang terbuka. Nenek berpakaian hitam tadi sudah tidak ada lagi di sltul. Dewi Mayangsari memandang ke pintu pondok yang terbuka.

"Tidak ada siapa-siapa di sana...." katanya dan tiba-tiba ia melihat Niken Harni yang masih rebah duduk di atas tanah luar pondok. "Eh, siapa wanita Ini.,.?" tanyanya heran.

"Ia anak tiri Nyi Lasmi. Aku hendak membunuhnya ketika muncul iblis wanita tua itu menghalangiku." kata Linggawijaya.

"Dasar bajingan!" Niken Harni berteriak. "Dia hendak menperkosaku tadi! Dia bohong, jahanam keparat Linggawijaya!"

Dewi Mayangsari marah sekali. "Biar ku bunuh gadis kurang ajar ini!"

Setelah berkata demikian, Dewi Mayangsari mencabut sebatang keris kecil berwarna hitam dan dengan gerakan cepat sekali ia menubruk ke arah Niken Harni sambil menusukkan kerisnya ke arah dada gadis yang duduk bersandar batang pohon itu. Karena tidak mampu bergerak, Niken Harni hanya menerima serangan itu dengan mata memandang penuh kemarahan kepada penyerangnya. Keris ditusukkan dan...

"Tranggg...!" keris itu terlepas dan terlempar dari tangan Dewi Mayangsari sehingga permaisuri Wengker ini terkejut bukan main dan cepat melompat ke belakang. Nenek berpakaian hitam tadi muncul di depan pintu. la yang menangkis serangan keris yang hendak membunuh Niken Harni tadi.

Linggawijaya sudah bangkit kembali "Diajeng, iblis ini tangguh sekali. Mari kita keroyok..."

Akan tetapi Linggawijaya menghentikan kata-katanya ketika dia melihat isterinya itu tiba-tiba maju bertekuk lutut dan menyembah ke arah nenek berpakaian hitam sambil berkata dengan sikap hormat.

"Ibu Guru...!"

Linggawijaya kaget bukan main dan dia hanya dapat berdiri mematung dengan mata terbelalak. Kiranya nenek yang sakti mandraguna ini adalah guru terakhir isterinya, yaitu Nini Bumigarbo yang terkenal sebagai seorang nenek yang aneh dan memiliki kesaktian luar biasa, yang tidak pernah bergaul dengan orang biasa. Saking kagetnya, dia hanya dapat berdiri terbelalak, tidak tahu harus bersikap dan berkata bagaimana.

"Dewi Mayangsari, apa kamu sudah melupakan pesanku yang menjadi syarat engkau mempelajari ilmu dariku?" nenek itu yang bukan lain adalah Nini Bumgarbo atau yang dulu bernama Ni Gayatri bertanya dengan suara penuh wibawa.

"Murid tidak pernah melupakannya."

"Hemm, coba ulangi apa pesanku itu."

"Bahwa murid harus berusaha untuk memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, dan berusaha untuk membunuh mereka."

"Dan kamu sudah melaksanakan itu?" tanya Nenek itu dengan ketus.

"Ampun, Ibu Guru, murid sedang berusaha. Murid telah memilih Linggawijaya sebagai suami agar kami berdua bersama-sama dapat menyusun kekuatan untuk menyerang Kahuripan."

"Huh, mana mungkin akan berhasil kalau suamimu ini hanya mengejar wanita dan menjadi budak nafsunya sendiri, hanya ingin bersenang-senang sendiri saja?"

"Ampunkan kami, Ibu Guru. Kedudukan Erlangga dan Narotama amat kuat. Kami harus menyusun kekuatan dan bersekutu dengan para kadipaten lain agar berhasil. Murid tidak pernah melupakan pesan Paduka itu dan sedang mencari jalan dan menyusun kekuatan."

"Hemm, kuberi waktu setahun lagi. Kalau belum juga kau laksanakan membunuh Erlangga dan Narotama, aku akan datang lagi dan mencabut semua ilmumu dariku dan mungkin juga nyawamu! Hayo, gadis cilik, engkau ikut aku!" Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo dengan gerakan seperti terbang, melompat dekat Niken Harni dan tahu-tahu gadis itu merasa dirinya diterbangkan! Orang lain melihat betapa nenek itu lenyap seolah berubah menjadi awan hitam dan berkelebat lenyap dari situ bersama Niken Harni!

Setelah nenek itu pergi, Dewi Mayangsari menghampiri suaminya. Ia tahu akan watak suaminya yang mata keranjang, maka kalau suaminya hendak memperkosa gadis mana pun, hal itu tidak dipedulikannya benar. Akan tetapi kalau sampai suaminya membuat Nini Bumigarbo marah, hal ini amat gawat.

"Kakangmas, sebetulnya, apakah yang telah terjadi? Sungguh aneh dan tidak mengenakkan sekali kalau sampai Ibu Guru Nini Bumigarbo datang dan marah kepada kita."

Linggawijaya menghela napas panjang. Hatinya masih merasa tegang setelah peristiwa tadi. Akan tetapi kini dia tidak merasa penasaran telah dipermainkan nenek itu seolah dia seorang anak kecil yang tidak berdaya. Sudah lama dia mendengar akan kesaktian Nini Bumigarbo yang sukar dicari keduanya pada waktu itu.

"Aduh, Diajeng... Sungguh mati, aku sama sekali tidak menyangka bahwa ia itu adalah gurumu, Nini Bumigarbo. Kalau aku tahu tentu aku sama sekali tidak berani melawannya. Aku salah sangka dan mendapatkan pelajaran pahit sekali. Gurumu itu benar-benar seorang manusia luar biasa dan memiliki kesaktian yang amat hebat."

"Apakah yang telah terjadi. Aku di kadipaten hanya mendengar bahwa di tumenggungan kedatangan gadis yang mengamuk, dan aku menanti-nantimu akan tetapi engkau tidak kunjung pulang. Hatiku merasa tidak enak maka aku menyusul ke sini."

"Untung sekali engkau ke sini, Diajeng. Kalau tidak, mungkin aku tewas di tangan gurumu itu."

"Tapi mengapa guruku marah kepadamu?. Dan siapa pula gadis tadi?"

"Diajeng, mari kita pulang dulu, nanti kuceritakan semua kepadamu. Lihat, orang-orang mulai berdatangan." Kata Linggawijaya sambil menunjuk ke arah gedung tumenggungan dari mana keluar orang-orang menuju ke taman.

Dewi Mayangsari setuju. Mereka lalu menyambut Tumenggung Suramenggala dan keluarganya yang memasuki taman dan berpamit untuk pulang ke kadipaten.

"Tapi, di mana gadis liar tadi?" tanya Tumenggung Suramenggala kepada Linggawijaya dengan suara mengandung kekhawatiran.

"Ah, ia telah kami usir pergi." jawab Linggawijaya dan ayahnya tidak berani banyak bertanya lagi. Adipati dan isterinya itu lalu kembali ke istana kadipaten menunggang kereta yang disediakan oleh Tumenggung Suramenggala.

Setelah duduk di kamar mereka dalam istana kadipaten, Linggawijaya lalu bercerita. "Tumenggungan kedatangan seorang gadis yang mengamuk dan bertanya tentang Nyi Lasmi. Tadinya semua orang khawatir kalau-kalau Puspa Dewi yang datang mengamuk, bahkan engkau sendiri mendengar akan amukan gadis itu. Aku sendiri lalu pergi bersama Kanjeng Rama dan seregu pengawal menuju ke tumenggungan. Akan tetapi setelah tiba di sana kami melihat bahwa gadis itu sama sekali bukan Puspa Dewi! ia cukup digdaya akan tetapi tidak sesakti Puspa Dewi. Ia amat pemberani dan galak kurang ajar. la adalah anak tiri Nyi Lasmi."

"Anak tiri? Kalau anak tiri Nyi Lasmi seperti juga engkau, Kakangmas, berarti ia tentu puteri Kanjeng Rama Tumenggung Suramenggala."

"Sama sekali bukan, Diajeng. Ternyata suami Nyi Lasmi yang pertama, Ayah kandung Puspa Dewi, mempunyai seorang isteri lain dan isterinya itulah Ibu kandung Niken Harni, gadis tadi. Ibunya itu puteri Tumenggung Jayatanu dari Kahuripan dan Ayahnya seorang senopati. Ia menyusul Puspa Dewi yang mencari Nyi Lasmi yang dilarikan ke tumenggungan oleh Kanjeng Rama."

"Mengapa tidak dibunuh saja gadis liar itu?

"Tadinya aku juga berniat begitu. Akan tetapi aku lalu mendapat gagasan yang lebih menguntungkan. Kalau aku dapat menundukkan Niken Harni, ia dapat kita jadikan sandera apabila sewaktu-waktu Puspa Dewi datang ke Wengker. Sebetulnya aku sudah dapat membujuknya dan hampir berhasil menaklukkannya ketika muncul Nini Bumigarbo itu dengan tiba-tiba. Karena sama sekali tidak mengenalnya dan tidak mengira bahwa ia adalah gurumu, tentu saja aku melawannya."

Suasana menjadi hening. Mereka tenggelam ke dalam lamunan. Kemudian Dewi Mayangsan mengeluh. "Ahh, aku tidak tahu mengapa Ibu Guru membela gadis itu! Dan peristiwa malam ini sungguh tidak menyenangkan hatiku, Kakangmas. Engkau mendengar sendiri betapa Ibu Guru mengancamku untuk menyerang dan membinasakan Erlangga dan Narotama, diberi waktu setahun. Kalau aku gagal, mungkin saja ia membunuhku!"

"Aku juga heran mengapa gurumu membela seorang gadis puteri senopati Kahuripan kalau ia memusuhi raja dan patih Kahuripan, Diajeng. Sudahlah, jangan risaukan ancamannya itu. Yang penting sekarang kita mencari jalan untuk membasmi raja dan patih di Kahuripan dan untuk itu, tidak mungkin kita mengandalkan kekuatan sendiri."

"Engkau benar, Kakangmas. Sungguh menyebalkan sekali bahwa Nyi Lasmi yang kita kirim ke Wura-wuri itu juga dapat dibebaskan oleh Ki Patih Narotama. Aku semakin membenci saja patih itu. Biar besok aku sendiri yang akan berkunjung ke Wura-wuri merundingkan usaha menundukkan Kahuripan dengan Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala."

"Bagus, kalau begitu aku pun akan pergi mengunjungi Kerajaan Parang Siluman. Di sana terdapat banyak orang-orang sakti seperti Ratu Parang Siluman Durgakumala, suaminya, Bhagawan Kundolomuka, dua orang puteri mereka yang terkenal itu, Dewi Lasmini dan Dewi Mandari, juga kakak Ratu Durgakumala yaitu Ki Naga Kumala, dan para senopati mereka. Dari sana aku akan pergi mengunjungi Kerajaan Siluman Laut Kidul, yaitu Ratu Mayang Gupita yang juga sakti mandraguna. Kalau kita semua mempersatukan tenaga, mustahil kita tidak akan dapat membinasakan Erlangga dan Narotama!"

Suami isteri itu mendapatkan kembali kegembiraan hati mereka dengan saling menghibur dan tak lama kemudian mereka sudah berenang dalam lautan nafsu mereka sendiri, diombang-ambingkan gelombang-gelombang, dimabokkan buih-buih nafsu sehingga lupa akan segalanya.

Orang-orang seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari ini adalah orang-orang yang seluruh hidupnya ditujukan hanya untuk mencari kesenangan hati dan kenikmatan tubuh sehingga mereka tanpa mereka sadari telah menjadi hamba-hamba nafsunya mereka sendiri yang semakin menebal, menutupi jiwa mereka sendiri sehingga semakin jauh meninggalkan Sang Sumber dari mana roh mereka berasal.

Ketika Sang Maha Pencipta menciptakan kita terlahir di dunia sebagai manusia, kita, jiwa-jiwa ini dianugerahi jasmani yang sempurna. Jiwa kita mempunyai hubungan langsung dengan Yang Maha Kuasa. Selain jasmani dan rohani, kita juga disertai nafsu-nafsu daya rendah yang menjadi pembantu dan pelayan kita.

Nafsu-nafsu ini yang membuat kita mengenal yang enak dan yang tidak enak, yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan, melalui anggauta-anggauta tubuh kita. Rasa enak menyenangkan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, selera, perabaan, dan sebagainya. Nafsu-nafsu ini yang membuat kita dapat menikmati segala macam kesenangan selagi kita hidup sebagai manusia di dunia. Ini merupakan anugerah yang amat besar dari Sang Hyang Widhi Wasa.

Manusia hidup berbahagia apabila dia tetap memiliki jiwa yang terbuka, tidak terhalang apa pun, untuk selalu dapat berhubungan, selalu ada kontak, dengan Yang Maha Kasih dan Maha Agung. Itu mengenai rohaniahnya. Adapun secara jasmaniah, jasmaninya dapat menikmati kehidupan di dunia ini melalui dorongan nafsu-nafsunya yang tetap menjadi peserta, pembantu, atau pelayan.

Akan tetapi sudah menjadi kodrat Tuhan bahwa di samping manusia dan para mahluk lain yang diciptakan hidup di dunia, Tuhan juga membolehkan Setan, Iblis dan sebagainya yang tergabung dalam Kuasa Kegelapan untuk berkeliaran di permukaan bumi untuk menggoda manusia untuk menarik manusia agar menjadi hambanya dan menjauhi Tuhan. Adapun cara yang termudah bagi Kuasa Kegelapan untuk menggoda manusia adalah melalui nafsu-nafsunya.

Nafsu manusia mendatangkan segala macam kenikmatan jasmani. Yang serba enak dan serba nikmat inilah dijadikan umpan oleh Kuasa Kegelapan untuk memancing manusia meninggalkan jalan yang ditentukan oleh Tuhan. Yang serba enak dan nikm ini mendorong manusia untuk mengejarnya sehingga nafsu-nafsu lepas kendali. Kalau sudah begitu, manusia bukan lagi menjadi majikan nafsu, sebaliknya menjadi hamba nafsu dan dia siap melakukan apa saja demi pemuasan nafsunya.

Nafsu mencari harta kekayaan? Baik saja karena harta itu dapat dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya, keluarganya, bahkan untuk keperluan hidup orang-orang lain. Mencari harta baik saja selama nafsu tetap menjadi pembantu, karena tentu cara mendapatkan harta itu tetap halal dan bersih. Akan tetapi kalau nafsu sudah memperhamba manusia, maka manusia, demi mengejar harta, menjadi buta akan kebenaran dan mau melakukan apa saja demi mencapai tujuan, yaitu mengumpulkan harta. Dengan cara mencuri, menipu, merampas, korupsi, dan lain perbuatan haram lagi. Dan setan pun berbisik-bisik membela dan membenarkan semua perbuatan itu!

Nafsu berahi? Baik saja karena nafsu mi pun merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi yang diberikan kepada semua mahluk di dunia ini. Nafsu ini yang menjadi sarana sehingga manusia dan mahluk lain dapat berkembang biak sesuai dengan kehendak Tuhan. Nafsu berahi ini baik dan bersih selama nafsu ini menjadi hamba dan kita manusia menjadi majikannya sehingga pelaksanaan nafsu ini pun halal dan baik. Akan tetapi bagaimana kalau nafsu berahi sudah berbalik menjadi majikan dan manusia menjadi hambanya?

Setan menggunakan nafsu berahi untuk menyeret manusia mengejar kesenangan melalui nafsu ini dan tidak segan melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran. Lahirlah perkosaan, perzinaan, dan pelacuran. Demikian pula dengan semua nafsu. Kalau tetap dalam kedudukan semula, menjadi pelayan kita, merupakan karunia dari Hyang Widhi Wasa. Sebaliknya kalau menjadi majikan kita, merupakan alat setan yang menyeret kita ke dalam dosa.

Maka, segala tindakan yang dilakukan dua orang yang telah menjadi hamba nafsu seperti Linggawijaya dan Dewi Mayangsari, selalu untuk memenuhi dorongan nafsu mereka, memenuhi semua keinginan untuk memuaskan hati membalas dendam dan mengejar segala macam kesenangan.


Niken Harni sendiri tidak tahu berapa lama ia pingsan dan dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh Nini Bumigarbo. Tahu-tahu ketika la membuka matanya, ia mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah bale-bale yang terbuat dari bambu, dalam sebuah ruangan pondok kayu sederhana. Hawa udara yang memasuki ruangan melalui sebuah jendela, terasa amat dingin sejuk. Ia termangu, mengingat-ingat dan rasanya seperti mimpi, la teringat bahwa ia nyaris diperkosa Adipati Linggawijaya dan diselamatkan seorang nenek berpakaian serba hitam. Kemudian ia dibawa terbang nenek itu dan selanjutnya ia tidak ingat apa-apa lagi.

Tahu-tahu sekarang la rebah di atas bale-bale dalam pondok ini. Teringat akan semua itu, Niken Harni cepat bangkit duduk dan dengan girang ia mendapat kenyataan bahwa tubuhnya tidak setengah lumpuh lagi seperti ketika ia dipondong Linggawijaya. Ia dapat bergerak bebas. Ia lalu melompat turun dari pembaringan ke dekat jendela kamar yang terbuka, memandang ke luar jendela. Semilir angin yang sejuk segar menyambutnya dan apa yang tampak di luar jendela membuat ia terperangah, terkagum-kagum.

Pemandangan pagi hari yang amat indah. Tampak hamparan lereng-lereng gunung dengan jurang-jurang dan perbukitannya. Di sana sini dikelilingi puncak yang sebagian masih tertutup awan putih. Sinar matahari pagi membuat segalanya bagaikan mandi cahaya keemasan dan berseri-seri gembira. Sekarang saatnya pagi hari! Dan ia berada di puncak gunung. Niken Harni yang sejak kecil tinggal di kota raja yang ramai penuh manusia, yang selalu ramai sehingga udara terasa sesak dan telinga dipenuhi segala macam suara berisik, kini merasa betapa tenang dan penuh damai tempat itu. Ia menghirup udara dengan lahapnya, mengisi dada sepenuhnya dengan hawa murni yang segar. Nikmat sekali.

Bunyi burung beraneka nada dan irama bagaikan tembang yang diiringi gemercik air sebagai gamelan. Niken Harni merasa seolah berada dalam dunia lain. Beginikah surgaloka yang sering ia dengar dalam dongeng? Apakah ia bermimpi? Tiba-tiba terdengar suara yang tinggi melengking, suara wanita!

"Niken Harni, pondok ini hanya untuk tempat makan dan tidur! Hiduplah seperti burung, hanya berada di sarangnya kalau perlu saja dan selebihnya berada di udara terbuka. Jangan hidup seperti tikus yang selalu bersembunyi dalam sarangnya. Engkau sudah bangun dari tidur, keluarlah!"

Niken Harni tersenyum. Ia mengenal suara itu. Suara nenek yang luar biasa, nenek yang sakti mandraguna dan yang telah menolongnya terbebas dari ancaman Linggawijaya yang mengerikan. Ia ditolong dan dibawa ke tempat ini! Kalau saja ia dapat mempelajari ilmu kesaktian dari nenek ini! Mungkin ia akan menjadi sakti mandraguna, seperti Mbakayu Puspa Dewi dan tidak akan mudah diganggu orang-orang jahat macam Linggawijaya!

Ia pun segera berlari keluar dari pondok dan setelah tiba di luar pintu pondok, ia bertemu dengan pemandangan yang lebih indah lagi. Di depan pondok terdapat taman yang ditumbuhi beraneka macam bunga dan pohon buah, dan di depan sana terbentang alam bawah puncak yang lebih indah daripada yang tampak dari jendela. Ketika melihat nenek yang berpakaian hitam itu duduk bersila di atas batu hitam yang bundar dan datar, ia berlari menghampiri dan ia pun duduk di atas sebuah batu di depan nenek itu.

Dua orang wanita itu saling berpandangan. Yang seorang sudah berusia setengah abad lebih, biarpun masih ada bekas kecantikan pada wajahnya, namun tampak garis-garis dan keriput ketuaan menghias wajahnya. Yang seorang lagi masih muda remaja, berusia delapan belas tahun, masih agak kekanak-kanakan. Namun di dalam sinar mata kedua orang wanita ini, terdapat persamaan. Yaitu, keduanya membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang tak mengenal takut dan pantang menyerah? Kini pun Niken Harni menghadapi dan memandang wajah nenek yang bagi orang lain amat menakutkan, apalagi kalau sudah mendengar namanya, dengan terbuka, polos dan sama sekali tidak mengenal takut atau jerih, bahkan mulutnya tersenyum seolah berhadapan dengan seorang kawan sederajat dan setingkat!

Sikap gadis inilah yang menarik hati Nini Bumigarbo, terutama kekuatan dasar yang ada pada batin gadis ini sehingga tadi pun tidak terpengaruh oleh aji pameletan Linggawijaya yang cukup ampuh dan kuat itu. Keberanian, kekerasan hati, dan kekuatan dasar ini amat menarik hati nenek itu. Gadis ini mengingatkan ia akan dirinya sendiri di waktu muda, hanya harus diakui bahwa pertahanannya tidaklah sekokoh dan sekuat batin gadis ini. Justru inilah yang membuat ia mengambil keputusan untuk mengajak gadis ini ke pondok tempat kediaman sementaranya di Puncak Gunung Kelud.

Setelah sekian lamanya bertatap muka dengan nenek itu, kembali Niken Harni melayangkan pandang matanya ke bawah puncak dan matanya bersinar-sinar gembira penuh kagum.

"Niken, engkau senang dengan tempat ini?" Nini Bumigarbo bertanya.

"Wah, senang sekali, Bibi! Akan tetapi siapakah Bibi ini?"

Nini Bumigarbo senang mendengar dirinya disebut Bibi oleh Niken Harni. Bahkan seorang wanita luar biasa dan sakti mandraguna seperti Nini Bumigarbo masih belum kehilangan kebanggaan hati wanita yang merasa senang kalau disebut lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Biasanya ia disebut nini atau nenek, kini disebut bibi, berarti penurunan usia yang cukup banyak! Kalau biasanya ia memperkenalkan diri sebagai Nini Bumigarbo, akan tetapi setelah disebut bibi ia pun langsung mengubah sebutan namanya.

"Namaku Nyi Bumigarbo, dulu namaku Ni Gayatri."

"Wah, aku lebih senang nama Gayatri itu, maka biar aku menyebut Bibi Gayatri saja!" Niken Harni berkata, ucapan yang polos dari hatinya, bukan dibuat-buat untuk menyenangkan hati orang. "Akan tetapi, Bibi Gayatri, bagaimana ceritanya engkau malam itu dapat dengan tepat menolongku terlepas dari tangan si jahanam Linggawijaya, mengapa pula engkau menolongku, dan mengapa kini engkau membawa aku ke tempat ini?"

Dihujani pertanyaan itu, Nini Bumigarbo tersenyum. Wajah yang tadinya dingin menyeramkan itu tampak manis juga ketika tersenyum dan matanya yang galak menjadi lembut sejenak.

"Niken, malam itu kebetulan saja aku melihat engkau hendak dijadikan korban kebiadaban Linggawijaya. Karena aku suka akan sikapmu yang mati-matian menentangnya, maka aku lalu turun tangan menolongmu."

"Akan tetapi wanita itu mengakuimu sebagai ibu guru. Bukankah ia itu isteri Linggawijaya yang bernama Dewi Mayangsari?"

"Benar, Dewi Mayangsari pernah mempelajari ilmu dariku."

"Akan tetapi mengapa, Bibi Gayatri? Mengapa engkau mengajarkan ilmu kepada permaisuri Wengker yang terkenal menjadi kadipaten yang sesat dan jahat?"

Nini Bumigarbo memandang dengan mata berkilat sehingga mengejutkan hati Niken Harni. "Aku mau mengajar siapa pun juga, laki atau perempuan, tua atau muda, baik atau jahat, siapa peduli?" Ia membentak.

Melihat nenek ini marah, Niken Harni juga mengerutkan alisnya dan cemberut. "Benar juga, sama sekali bukan urusanku, mengapa aku bertanya?"

Mereka berdua berdiam diri. Keduanya cemberut sampai bibir mereka meruncing, cuping hidung mekar dan alis berkerut, pandang mata keruh dan saling menghindarkan pertemuan pandang. Sampai lama keadaan sunyi seperti itu, diam seolah keduanya telah berubah menjadi arca! Agaknya mereka berdua sama-sama keras hati dan keras kepala sehingga tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau mulai mendahului membuka percakapan, seolah menjaga gengsi masing-masing! Tiba-tiba terdengar suara tawa berkepanjangan.

"Heh-heh-hi-hi-hi-hik...!"

Niken Harni mengangkat muka memandang wanita yang tertawa-tawa itu, kerut di antara kedua alisnya semakin mendalam, "Hemm, engkau mentertawakan aku, Bibi?" tegurnya dengan ketus.

Mendengar pertanyaan ketus ini, Nini Bumigarbo tertawa semakin terkekeh-kekeh. "Heh-he-he-heh... mirip sekali... heh heh heh... sama benar... hi-hi-hik...!"

"Bibi Gayatri, kalau engkau mentertawakan aku seperti itu, lebih baik aku pergi saja dari sini!" kata Niken Harni sambil bangkit berdiri.

Melihat nenek itu masih juga tertawa, ia lalu menyeberangi taman depan rumah itu menuju ke pintu pagar depan. Akan tetapi setelah tiba di situ, ia terbelalak melihat betapa di depannya terdapat jurang ternganga lebar dan amat dalam. Ia mengambil jalan memutar, memutari pondok itu. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa pondok itu berdiri di sebuah di antara puncak-puncak itu dan dikelilingi jurang-jurang yang amat lebar dan dalam.

Sama sekali tidak ada jalan untuk menuruni puncak itu. Untuk turun ke jurang tidak mungkin dan amat berbahaya. Untuk melompati juga sama sekali tidak mungkin karena lebarnya tidak kurang dari dua puluh tombak! Niken Harni membanting-banting kakinya karena jengkel dan akhirnya ia terpaksa kembali memasuki pekarangan pondok itu dan ia berdiri sambil bertolak pinggang di depan Nini Bumigarbo.

"Kalau engkau hendak membunuhku, lakukanlah! Tidak perlu engkau mentertawakan aku seperti itu!" bentaknya.

Nenek yang masih terkekeh itu bangkit berdiri di atas batu dan telunjuk kirinya menuding ke arah muka Niken Harni.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Ah... heh-heh, sungguh luar biasa... aku juga begitu dulu... aha, engkau adalah gambaranku di waktu seusiamu, Niken Harni. Kita sama benar, heh-heh, seperti kembar saja. Bagaimana ada dua orang yang begini sama presis watak dan sikapnya? Heh-heh-heh"

Hilang kemarahan dari hati Niken Harni. "Oo... Jadi engkau tertawa seperti itu karena melihat persamaan di antara kita?"

"Ya, ya... karena persamaan itu pula aku membelamu dari kebiadaban Linggawijaya. Aku tertarik dan suka sekali padamu, Niken Harni. Engkau sama dengan aku, engkau cocok dengan aku... Hanya saja..." Nenek itu tiba-tiba kehilangan gairah tawanya dan tampak kecewa dan susah!

"Hanya apa, Bibi?"

Nini Bumigarbo tiba-tiba terkulai dan duduk kembali di atas batu hitam, "...hanya saja..." suaranya terengah seolah tertahan tangis, "....hanya.... kalau saja aku mempunyai keteguhan hati sepertimu, tidak mudah tergila-gila dan dipermainkan cinta... tidak akan begini nasibku..." dan tiba-tiba Nini Bumigarbo menangis. Dia terisak-isak lalu mengguguk, tangisnya sehebat tawanya tadi. Ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya dan pundaknya terguncang-guncang, tubuhnya menggigil.

Niken Harni adalah seorang gadis yang keras hati, berani mati, dan pantang mundur. Akan tetapi di balik itu, ia pun perasa sekali, mudah merasa iba kepada orang yang menderita, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu.

"Bibi Gayatri... jangan menangis, Bibi. Segala macam persoalan dapat diperundingkan dan dibicarakan. Tidak ada persoalan yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi. Tidak cukup hanya ditangisi saja Bibi."

"Ah, engkau tidak tahu, Niken. Engkau tidak tahu...! Nasibku yang buruk, nasibku yang sengsara... semua ini gara-gara cinta... ah, sungguh aku seorang wanita tolol... goblok... akan tetapi aku lemah... kalau saja aku sekuat engkau! Niken..."

Mendengar keluh kesah ini, timbul terharu. Melihat Nini Bumigarbo Melihat Nini Bumigarbo seperti itu, ia lalu maju mendekati, berlutut dekat batu hitam dan merangkul tubuh nenek itu. keinginan dalam hati Niken Harni untuk mengetahui apa yang telah terjadi dengan nenek ini sehingga ia menjadi begitu sedih.

"Bibi Gayatri, aku merasa ikut bersedih. Maukah engkau menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi dengan dirimu? Engkau seorang yang begini sakti mandraguna, siapa yang akan dapat mengganggumu, Bibi?"

"Orang lain tidak dapat menggangguku, Niken. Akan tetapi hatiku sendiri, keinginanku sendiri, alangkah kuatnya, membuat aku gila, membuat aku merana selama hidupku..."

Niken Harni menjadi semakin tertarik. "Kalau Bibi tidak merasa keberatan, aku ingin mendengar bagaimana kisahnya sampai Bibi menderita seperti ini..."

"Baik, akan kuceritakan padamu, Niken. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu engkau mau menjadi muridku!"

"Hemm, aku senang sekali, Bibi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Orang tua dan keluargaku tentu akan menjadi gelisah kalau terlalu lama aku tidak pulang."

"Bisa beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Tergantung bakat dan jodohmu denganku sejauh mana. Nah, dengar ceritaku karena setelah ini aku tidak akan mau menceritakan lagi kepada siapapun juga."

Niken Harni lalu duduk kembali di atas batu hitam di depan Nini Bumigarbo, mendengarkan dengan penuh perhatian. Nini Bumigarbo lalu bercerita. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, ketika ia masih seorang gadis dewasa bernama Ni Gayatri, ia menjadi murid seorang pertapa yang tidak pernah muncul di dunia ramai dan terkenal sejak kecil hanya bertapa sehingga disebut sebagai manusia setengah dewa! Pertapa itu hanya dikenai dengan nama Sang Resi Dewakaton dan jarang ada orang dapat bertemu dengannya karena hanya terkadang saja dia berada di puncak Gunung Semeru yang sulit didatangi manusia biasa.

Sang Resi Dewakaton ini sudah amat tua, tak seorang pun mengetahui berapa usianya. Menurut dongeng orang-orang tua, ketika mereka masih kecil mereka sudah mendengar akan nama Sang Resi Dewakaton ini sehingga kalau dihitung dari usia mereka maka tentu usia pertapa itu sudah mendekati dua ratus tahun.

Muridnya hanya dua orang, yaitu Ni Gayatri dan .kakak seperguruannya, yang bernama Ki Ekadenta. Mungkin karena mereka bergaul sejak kecil, tidak mengherankan; kalau gadis yang cantik dan pemuda yang tampan itu saling jatuh cinta. Cinta mereka begitu mendalam sehingga keduanya sudah saling berjanji kelak akan hidup berdampingan selama hidup mereka sebagai suami isteri. Kemudian terjadilah peristiwa yang sama sekali mengubah keadaan hidup Ni Gayatri.

"Kakang Ekadenta bertemu dengan seorang resi dari Gunung Agung, Bali-dwipa dan berguru mengenai kejiwaan kepada Sang Resi. Setelah berguru kepada resi itu, sikap Kakang Ekadenta terhadap diriku sama sekali berubah, bahkan terhadap kehidupan duniawi. Dia tidak mau lagi mencampuri urusan duniawi, termasuk tidak mau menikah! Akibatnya, dia menjauhkan diri dariku dan tidak mau lagi terikat perjodohan denganku." Setelah berkata demikian, wajah nenek itu tampak kecewa bukan main.

"Dia meninggalkanmu dan tidak cinta lagi padamu, Bibi?"

"Dia bilang tetap cinta padaku, bahkan cintanya lebih murni menurut dia, cinta suci yang tanpa pamrih, tanpa keinginan untuk mengambil aku sebagai isteri. Siapa butuh cinta macam itu?"

Niken Harni juga merasa penasaran. "Mengapa cinta seperti itu? Kalau mencinta tentu ingin menjadi suami isteri! Dia telah menyakiti hatimu, Bibi. Kalau aku bertemu dengan Si Ekadenta itu, akan kutegur dan kumarahi dia!"

Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala. "Sukar menyadarkan dia, Niken. Selama tiga puluh tahun ini aku membujuknya dengan halus sampai kasar, namun dia sama sekali tidak tergerak dan berkukuh tidak mau menikah dengan aku atau dengan siapapun juga. Aku menjadi marah sekali dan mulai membencinya, akan tetapi dia tetap bersikap lembut kepadaku. Berkali-kali aku menyerangnya, akan tetapi aku selalu kalah olehnya."

"Wah, kalau engkau kalah olehnya, berarti dia tentu amat sakti mandraguna, Bibi Gayatril" Niken Harni terkejut.

"Memang dia sakti mandraguna. Setiap kali aku kalah olehnya, aku lalu tekun memperdalam semua aji-ajiku, akan tetapi setiap kali aku maju lagi, aku tetap saja kalah lagi. Agaknya setiap kali dia pun memperdalam ilmu-ilmunya."

"Apakah Bibi menyerang untuk membunuhnya?"

"Ah, tidak sama sekali. Aku mencintanya dengan segenap jiwa ragaku, itulah kelemahanku. Mana mungkin aku tega membunuhnya? Tadinya aku menyerangnya untuk mengalahkannya dan memaksa dia mengawini aku. Kemudian, aku setiap kali menyerangnya membuat perjanjian. Kalau aku kalah, aku tidak akan turun tangan sendiri membunuh Erlangga dan Narotama. Akan tetapi kalau dia yang kalah, aku akan membunuh raja dan patih Kahuripan itu dan dia tidak boleh menghalangikul Akan tetapi itulah, aku selalu kalah!"

"Ah, aneh sekail perjanjian itu, Bibil Apa hubungannya Sang Prabu Erlangga dan Kl Patih Narotama dari Kahurlpan dengan urusan Bibi dan Ekadenta itu?"

"Hubungannya erat sekali! Resi yang mengajarkan kejiwaan kepada Kakang Ekadenta yang membuat Kakang Ekadenta tidak mau menikah, adalah Sang Resi Satyadharma yang bertapa di Gunung Agung Bali-dwipa. Jelas dialah biang keladinya sehingga Kakang Ekadenta tidak jadi menikah dengan aku. Untuk membalas sakit hati ini kepada Resi Satyadharma tidak mungkin karena dia memiliki kesaktian yang tidak akan dapat ku tandingi. Maka aku lalu mengalihkan dendamku kepada dua orang muridnya, yaitu Erlangga dan Narotama! Aku ingin membunuh mereka agar Resi Satyadharma menderita kehilangan orang-orang yang dicintanya seperti yang telah kurasakan. Akan tetapi di sana ada Kakang Ekadenta yang selalu menghalangi aku! Aku tidak berdaya... ah, aku tidak berdaya mengobati sakit hati yang bernyala-nyala selama puluhan tahun..." Nini Bumigarbo menangis lagi.

"Bibi Gayatri, kurasa masih tidak adil kalau Bibi berusaha membalas dendam kepada Resi Satyadharma dengan cara membunuh dua orang muridnya, yaitu Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Mereka itu sama sekali tidak bersalah apa-apa. Yang bersalah atau yang membuat engkau menderita adalah Resi Satyadharma. Entah kalau memang engkau mempunyai permusuhan dengan Kahuripan."

Nini Bumigarbo menggeleng kepalanya. "Aku tidak mencampuri urusan kerajaan dan kadipaten. Aku tidak berpihak kepada siapa pun juga dan tidak mau terlibat tidak mau ikut campur. Yang kubenci hanyalah Erlangga dan Narotama karena mereka itu murid-murid Resi Satyadharma. Aku ingin membunuh mereka untuk membuat resi itu menderita!"

"Kalau begitu, mengapa tidak membalas kepada Resi Satyadharma secara langsung saja, Bibi?"

"Huh, kau tahu apa! Biar aku memperdalam ilmu-ilmuku selama puluhan tahun lagi, masih tidak mudah untuk mengalahkan resi yang sakti mandraguna itu."

"Akan tetapi, Bibi. Mengapa Bibi tidak minta bantuan guru Bibi yang merupakan manusia setengah dewa itu? Kalau dia mau membantu, tentu Bibi dapat membalas dendam Bibi terhadap Resi Satyadharma."

"Huh, kau kira aku begitu bodoh untuk tidak berpikir sampai ke sana? Dahulu pun, begitu Kakang Ekadenta memutuskan hubungan dan mengambil keputusan untuk tidak menikah, aku sudah menghadap Bapa Guru dan menangis di hadapannya, menceritakan segala sakit hatiku dan keinginanku untuk membalas dendam kepada Resi Satyadharma. Akan tetapi tahukah engkau apa yang Bapa Guru katakan? Dia mengatakan bahwa Resi Satyadharma tidak bersalah dan dia sendiri akan merasa malu kalau aku membalas dendam kepada Sang Resi itu. Selain itu, Bapa Guru mengatakan bahwa dia yakin tidak akan menang melawan Resi Satyadharma, bukan karena kalah sakti, melainkan karena berada di pihak yang salah. Siapa salah akhirnya akan kalah, begitu kata Bapa Guru. Tentu saja aku menjadi semakin penasaran dan mencari jalan untuk menimpakan pembalasan dendam ku kepada dua orang murid Resi Satyadharma itu."

Kembali hening karena dua orang wanita itu berdiam diri, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Niken Harni merasa iba sekali kepada nenek itu yang kini menundukkan mukanya yang muram, akhirnya ia berkata.

"Bibi Gayatri, lalu cara atau jalan apa yang Bibi temukan untuk membalas dendam itu?"

"Aku telah melatih beberapa orang murid, di antaranya Dewi Mayangsari permaisuri Wengker dengan syarat agar mereka itu berusaha untuk menyerang Kahuripan dan kalau mungkin membunuh Erlangga dan Narotama, atau setidaknya menggulingkan kedudukan mereka!"

"Dan mengapa engkau membawa aku ke tempat Ini? Kalau engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat seperti itu, aku tidak mau menjadi muridmu! Kakekku adalah seorang tumenggung, ayahku seorang senopati, mereka adalah pejabat-pejabat Kahuripan dan aku adalah kawula Kahuripan. Bagaimana mungkin aku menjadi seorang pengkhianat memusuhi Kerajaan Kahuripan sendiri? Aku tidak mau, Bibi, lebih baik engkau bunuh saja aku!"

Sikap Niken Harni yang berani menantang agar dibunuh ini kembali membuat nenek itu tersenyum! Lenyaplah kemuraman wajahnya dan ia memandang gadis itu dengan mata bersinar.

"Tidak, Niken. Ketika aku melihatmu yang demikian gigih menentang Linggawijaya dan kuat menahan bujuk rayu dan ketampanannya, aku mendapat gagasan baru untuk membalas dendam. Kini bukan membalas dendam kepada Resi Satyadharma dan para muridnya, melainkan membalas dendam kepada Kakang Ekadenta yang telah menyia-nyiakan cintaku dan menghancurkan kehidupanku!"

"Apa?" Niken Harni terbelalak. "Engkau hendak mengajarkan ilmu kepadaku dengan syarat agar aku membunuh Ekadenta kakak seperguruanmu itu? Bagaimana mungkin, Bibi? Sedangkan engkau sendiri pun tidak pernah menang melawannya!"

"Hemm, aku tidak begitu bodoh, Niken. Bukan, bukan membalas dendam ini kepada Kakang Ekadenta. Akan tetapi kepada semua laki-laki di dunia ini! Engkau akan kuajari ilmu dan engkaulah yang akan mewakili aku membalas dendam kepada semua laki-laki, membuat mereka tergila-gila, rindu, dan hancur hatinya, menderita dan merana seperti. yang telah ku alami!" Suara Nenek itu meninggi dan tampak ia gembira sekali seolah telah membayangkan terjadinya apa yang di inginkannya itu.

"Eh? Aku harus menghancurkan kebahagiaan hidup semua laki-laki? Apa maksudmu itu, Bibi? Aku tidak mengerti."

"Begini, Niken. Aku sendiri tidak dapat melakukannya karena aku sudah tua. Akan tetapi engkau dapat! Engkau muda belia, cantik jelita dan menarik, semua pria tentu akan tergila-gila melihatmu. Aku akan mengajarkan ilmu-ilmu kepadamu dan kau hadapi para pria itu, terutama yang muda dan tampan. Kalau mereka itu tertarik dan suka kepadamu, bersikaplah seolah-olah engkau juga mencinta mereka. Buat mereka itu tergila-gila dan setelah mereka berada dalam keadaan kasmaran (jatuh cinta) sampai sedalam-dalamnya, nah, saatnya engkau menghancurkannya dengan mentertawakannya dan meninggalkannya. Biar mereka itu tahu rasa, biar merasakan betapa sakitnya diputus cinta, rindu dan menderita selama hidupnya, seperti yang ku alami !"

"Lalu apa hubungannya para pria itu dengan sakit hatimu terhadap Ekadenta?"

"Mereka semua itu laki-laki dan mereka memang kejam dan cintanya palsu terhadap kaum wanita. Kalau wanita mencinta dengan sepenuh jiwa, siap mengorbankan diri, laki-laki hanya mencari kesenangannya sendiri. Nah, engkau yang akan mewakili aku menghancurkan kebahagiaan hidup para pria itu, Niken Harni!"

"Kalau aku tidak mau bagaimana?"

Tiba-tiba muka nenek itu berubah menyeramkan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.

"Tidak mau....??"

Akan tetapi Niken Harni tidak takut. "Ingat, Bibi Gayatri. Aku bukan orang yang takut ancaman. Aku tidak takut mati!" Ia menantang.

Nini Bumigarbo tiba-tiba terkekeh. "Hi-hi-hik? Tidak mau? Kalau begitu, engkaulah yang akan menderita, melebihi aku. Engkau bukan hanya akan kehilangan kebahagiaan hidupmu, bahkan engkau akan menderita sengsara yang hebat. Aku tidak akan membunuhmu, Niken. Aku hanya akan meninggalkanmu di sini! Hidup disini seorang diri, tidak bertemu dengan orang-orang yang kau kasihi, tidak bergaul dengan seorang pun manusia. Engkau akan hidup terus disini, tahun demi tahun sampai engkau menjadi tua renta dan karatan, remuk sedikit demi sedikit. Dan aku terkadang akan menjenguk mu untuk mentertawakan mu, he-he-heh-heh!"

Diam-diam Niken Harni merasa ngeri juga. Ia tidak takut mati akan tetapi kalau ditinggal sendiri di situ, tak pernah dapat meninggalkan tempat itu, perlahan-lahan menua dan membusuk di situ, sungguh bayangan itu amat mengerikan. Ia seorang gadis yang cerdik, maka ia tidak kehilangan akal dan harapan.

"Kalau aku mau, lalu berapa lama aku harus belajar ilmu darimu di tempat ini?"

"Bisa beberapa hari, beberapa bulan atau beberapa tahun, semua itu tergantung dari kesungguhan dan ketekunanmu sendiri. Engkau belajar di sini sampai engkau ada kemampuan untuk pergi meninggalkan tempat ini."

Niken Harni berpikir cepat. Sekali waktu nenek itu pasti turun dari puncak untuk mencari persediaan makanan kalau habis, dan ia dapat memperhatikan dan mempelajari. Akhirnya, tidak sampai makan waktu lama ia pasti akan dapat turun pula dan bebas. Maka dengan tegas ia berkata.

"Baik, aku mau belajar dengan syarat Itu, Bibi Gayatri!"

"Benarkah? Nah, kalau begitu ucapkan janjimu bahwa engkau akan melaksanakan syarat yang kuajukan tadi!"

Tanpa ragu Niken Harni bangkit berdiri dan mengucapkan janjinya.

"Aku akan mempelajari ilmu-ilmu dari Bibi Gayatri dengan syarat bahwa sesudah rampung aku akan mewakilinya menghancurkan kebahagiaan hidup para pria yang jatuh cinta kepadaku."

"Berlagak membalas cinta mereka, kemudian meninggalkan mereka begitu saja sehingga mereka menjadi patah hati dan hancur kebahagiaan hidupnya!" Nenek itu mendikte. Niken Harni mengulang kata-kata itu dengan suara mantap.

Setelah selesai mengucapkan janji, Nini Bumigarbo merangkul gadis itu dengan gembira. "Engkau sama benar dengan aku, aku yakin engkaulah yang akan dapat mewakili aku, memuaskan hatiku, membuat laki-laki seperti Kakang Ekadenta merana hidupnya! Ingat, melanggar janji akan membuat engkau menjadi manusia yang paling rendah dan hina, Niken."

"Aku tidak akan melanggar janji, Bibi...!"

Demikianlah, mulai hari itu Niken Harni menerima gemblengan ilmu-ilmu yang hebat dari Nini Bumigarbo. Bahkan nenek itu mengajarkan Aji Pengasihan dan Aji Pamelet yang amat ampuh dan kuat. Dan saking sukanya kepada gadis itu, Nini Bumigarbo bahkan pada suatu hari mengoperkan tenaga sakti tingkat tinggi kepada Niken Harni, hal yang belum pernah ia berikan kepada para murid. Bahkan Dewi Mayangsari pun tidak memperoleh pengoperan tenaga sakti ini. Tentu saja kepandaian Niken Harni meningkat dengan amat cepat, apalagi gadis itu memang berbakat baik dan tekun pula.

********************


BERSAMBUNG KE JILID 08

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.