Cerita Silat Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 08

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 08

Rombongan Itu berhenti di sebuah dusun dan seperti biasa, Ki Patih Narotama mengajak rombongannya yang terdiri dari Ki Tejoranu, Nyi Lasmi, dan The Kim Lan untuk bermalam di rumah kepala dusun yang tentu saja menyambut K i Patih Narotama dengan penuh kehormatan. Setelah dijamu makan oleh Lurah Desa Magel, rombongan Itu lalu mengaso dalam kamar masing-masing. Ki Patih Narotama dan ki Tejoranu mendapatkan sebuah kamar masing-masing, adapun Nyi Lasmi dan The Kim Lan tidur sekamar.

Ki Patih Narotama, seperti biasa, dalam kesempatan itu didaulat oleh keluarga Lurah Desa Magel yang memohon agar Ki Patih Narotama suka memberi wejangan kepada keluarganya, terutama belasan orang muda-mudi remaja, yaitu anak-anaknya dan keponakan-keponakannya. Seperti biasa, setiap kali berada di sebuah dusun, Ki Patih Narotama selalu memenuhi permintaan lurah dusun untuk memberi wejangan tenteng tugas para pamong praja, tentang cara hidup yang baik dan benar.

Sekali ini, Ki Patih Narotama mendengar dari Kl Lurah bahwa di dusun Magel sedang terjadi banyak penyelewengan dan kesesatan yang dilakukan para muda mudi. Agaknya nafsu berahi sedang mengamuk di kalangan para muda mudi Magel itu sehingga terjadi banyak pelanggaran berupa perkosaan, perjinaan dan sebagainya.

Mendengar ini, Ki Patih Narotama minta agar Ki Lurah mengumpulkan muda-mudi di keluarahan itu. Lebih dari lima puluh orang pemuda remaja dan tiga puluh gadis remaja pada malam itu berkumpul di balai desa. Mereka semua duduk bersila atau bersimpuh di atas lantai, menghadap Ki Patih Narotama yang juga duduk bersila di atas sebuah bangku sehingga dapat kelihatan oleh para muda mudi itu. Karena yang dilanggar oleh para muda mudi itu adalah kesusilaan, maka Ki Patih Narotama memberi penerangan tentang arti kesusilaan sebagai bagian penting dari kebudayaan.

"Kita manusia dikatakan sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya, satu antara lain adalah karena manusia mengenal kesusilaan. Kalau kesusilaan ini dilanggar, maka derajat manusia menurun banyak mendekati derajat binatang. Aku mendengar bahwa di dusun kalian ini terdapat banyak pelanggaran kesusilaan, terutama sekali perjinaan antara muda-mudi. Mereka yang melakukan hal ini membela diri dengan alasan bahwa mereka saling mencinta maka boleh saja mereka itu melakukan hubungan sanggama (persetubuhan). Kalau begitu halnya, mereka tidak ada bedanya dengan binatang. Binatang pun melakukan hal itu, baik karena saling suka atau dengan paksaan karena binatang memang tidak mempunyai peraturan atau kesusilaan. Maka kalau kita juga bertindak seperti itu, tidak ada bedanya antara kita dan binatang!"

Mendengar uraian yang agak menekan ini, para remaja, terutama pemudanya, mulai berbisik-bisik seolah tidak setuju dengan pendapat Ki Patih itu. Ki Patih Narotama membiarkan mereka berbisik-bisik beberapa saat lamanya, kemudian dia mengangkat tangan, dan semua remaja terdiam.

"Kita ini manusia yang di dalam segala hal dalam kehidupan ini mempunyai peraturan-peraturan yang telah diterima oleh masyarakat. Tanpa adanya peraturan yang harus dipatuhi, kehidupan menjadi kacau balau dan orang boleh bertindak sesuka hati masing-masing sehingga pasti menimbulkan bentrokan dan pertengkaran. Menaati peraturan dianggap baik dan melanggar peraturan dianggap buruk atau jahat. Bahkan pemerintah mengadakan peraturan hukuman bagi mereka yang melanggar peraturan. Ketahuilah kalian, adik-adik muda dan remaja. Kalian harus dapat membedakan antara cinta kasih dan nafsu berahi. Cinta kasih bukanlah nafsu berahi walaupun dalam cinta kasih antara suami isteri terkandung nafsu berahi yang wajar."

Ki Patih Narotama melihat betapa wajah para remaja itu tegang dan agaknya mereka mulai tertarik tidak ada suara berbisik sedikit pun. Dia lalu melanjutkan dengan suara lantang.

"Kalau ada seorang pemuda dan seorang gadis saling suka, saling mencinta, hal Itu adalah wajar dan baik-baik saja. Cinta kasih adalah soal perasaan hati setiap orang maka tidak ada yang dapat melarang orang jatuh cinta. Akan tetapi, kalau nafsu berahi menerkam dan menguasai hati sehingga mereka berdua melakukan sanggama di luar pernikahan, maka mereka telah melakukan pelanggaran kesusilaan dan cinta kasih mereka itu tidak murni lagi, tidak bersih lagi melainkan kotor. Dan akibatnya juga amat tidak baik bagi mereka berdua. Si gadis akan tertimpa aib sebagai bukan perawan lagi, dicemooh dan dihina masyarakat. Si pemuda yang dianggap jahat dan bukan tidak mungkin orang tua dan keluarga si gadis marah dan mengamuk, menyerang dan membunuh pemuda itu. Keluarga pemuda membela dan terjadilah permusuhan. Ini bukan berarti bahwa aku hendak mengatakan bahwa perbuatan sanggama menuruti gejolak berahi adalah hal yang kotor dan buruk. Sama sekali tidak! Seperti nafsu-nafsu lain, nafsu berahi merupakan anugerah dari Sang Hyang Widi bagi manusia dan merupakan sesuatu yang bersih, bahkan suci karena merupakan sarana bagi perkembang-biakan manusia! Akan tetapi, pelakunya hanyalah suami isteri. Bagi suami isteri, perbuatan itu baik dan benar, bersih dan suci. Akan tetapi kalau perbuatan itu dilakukan oleh muda-mudi yang belum menjadi suami isteri, maka perbuatan itu menjadi kotor dan buruk. Perbuatan itu hanya merupakan dorongan nafsu berahi yang telah mencengkeram, menguasai dan memperhamba pelakunya. Apakah kalian semua sudah mengerti sekarang?"

Para muda-mudi itu mengangguk. Mereka teringat akan semua peristiwa semacam yang terjadi. Kebanyakan berakibat buruk sekali bagi pemuda dan gadis yang bersangkutan. Memang ada yang kemudian menjadi suami isteri yang cukup bahagia, akan tetapi betapa banyaknya yang berakhir dengan aib dan cemooh bagi para pelakunya, terutama bagi pemudinya. Bahkan ada pula beberapa orang pemuda yang melakukan hal itu kemudian tidak mau bertanggung jawab, dikejar dan dibunuh keluarg si gadis yang menjadi korban.

"Nah, sukurlah kalau kalian sudah tahu akan bahayanya. Untuk mempertegas lagi, mulai sekarang kami akan memerintahkan kepada Ki Lurah untuk menangkap dan menghukum para pelanggar kesusilaan!"

Pertemuan ini dibubarkan dan banyak orang tua mereka merasa lega karena peringatan Ki Patih Narotama itu setidaknya membuat para muda-mudi harus berpikir seratus kali sebelum nekat melakukan pelanggaran. Sementara itu di sebelah dalam rumah kelurahan itu, di dalam kamar Ki Tejoranu, The Kim Lan sedang bercakap-cakap dengan kakaknya dan tampaknya percakapan mereka amat serius. Ketika Kini Lan memasuki kamar kakaknya, ia langsung bertanya.

"Lan-ko, Bibi Lasmi bilang bahwa engkau memanggil aku ke sini?"

Ki Tejoranu mengangguk. "Duduklah,! Lam-moi (Adik Lan)."

Setelah mereka duduk di atas kursi saling berhadapan, Ki Tejoranu memandang wajah adiknya dengan tajam penuh selidik dan berkata, suaranya lembut lirih namun penuh kesungguhan.

"Adikku Kim Lan, benarkah apa yang kudengar dari Bibi Lasmi tadi? Menurut laporannya, engkau telah jatuh cinta kepada Gusti Patih Narotama dan ingin mengabdikan dirimu kepadanya? Dan engkau minta bantuan Bibi Lasmi untuk menyampaikan pengakuanmu itu kepadaku?"

Kim Lan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan, lalu pucat, lalu merah kembali dan bibirnya gemetar. Agaknya terjadi pergolakan dalam hatinya, membuat ia ragu dan bingung. Akan tetapi akhirnya ia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menekan ketegangan itu dan menjawab dengan suara gemetar lirih.

"Sesungguhnya, apa yang dilaporkan Bibi Lasmi itu benar belaka, Lan-ko (Kakak Lan). Selama hidupku, belum pernah aku mempunyai perasaan seperti ini. Kalau dia menerima pengabdianku, hidupku akan berbahagia sekali. Sebaliknya kalau hasratku ini tidak tercapai, rasanya hidupku akan hampa dan tidak ada artinya lagi."

Ki Tejoranu mengerutkan alisnya dan mengepal tangannya. Dia merasa tegang dan gelisah sekali. Kim Lan merupakan satu-satunya orang yang dipunyainya dalam dunia ini. Setelah bertemu dan berkumpul dengan Kim Lan, dia merasa berbahagia dan baru merasa betapa dia amat mencinta adik kandungnya ini. Dia berjanji kepada diri sendiri untuk membela dan melindungi adiknya, kalau perlu dengan taruhan nyawanya sendiri. Hidupnya sendiri boleh saja merana, akan tetapi dia harus dapat membahagiakan kehidupan The Kim Lan, adik tunggal yang telah menyeberangi lautan luas dan amat jauh untuk mencari dia, kakak kandungnya, pengganti orang tuanya! Dan sekarang, Kim Lan menyatakan sesuatu yang dia anggap tidak mungkin terjadi dan dia khawatir sekali mendengar pengakuan adiknya tadi.

"Kim Lan, aku tidak menyalahkan engkau, Adikku. Jatuh cinta merupakan hal yang wajar saja bagi siapa pun juga. Akan tetapi, biarpun demikian harus juga disertai perhitungan yang bijaksana. Tidak ingatkah engkau siapa Gusti Patih Narotama itu? Dia adalah seorang yang sakti mandraguna dan berkedudukan tinggi. Dia itu orang besar, Adikku, patih dan menjadi orang kedua di Kahuripan! Sedangkan engkau, kita ini, kita ini orang-orang asing yang merantau ke sini, miskin dan papa. Aduh, Adikku yang tersayang terlampau tinggi jangkauan dan keinginanmu itu, Kim Lan. Jangan dilanjutkan, Adikku... hilangkan saja perasaan hatimu itu. Kelak engkau akan bertemu dengan jodohmu yang lebih tepat, lebih seimbang, lebih...."

"Cukup, Lan-ko!" Gadis itu memutuskan ucapan kakaknya. Wajahnya pucat dan matanya bersinar, membayangkan penasaran hatinya. "Apa sih bedanya antara orang berpangkat dan yang tidak berpangkat? Apakah bedanya antara orang besar dan kecil, antara orang kaya dan orang miskin? Kalau aku berniat menghambakan diri kepada Gusti Patih Narotama dan dia suka menerimaku, tidak ada masalah lain."

"Hmm, engkau keras hati, Adikku. Lalu apa yang kau kehendaki aku berbuat?"

"Apakah Bibi Lasmi belum menyampaikannya kepadamu, Lan-ko?"

"Bahwa aku harus menghadap Gusti Patih Narotama sekarang juga untuk menyampaikan keinginanmu itu, menyatakan terus terang bahwa engkau mencintanya dan ingin menghambakan diri menjadi seorang selirnya?"

Kedua pipi Kim Lan berubah merah akan tetapi ia mengangguk. "Benar"

Ki Tejoranu menghela napas panjang. "Aihh... Kim Lan...! Bagaimana aku dapat melakukannya? Mengapa bukan engkau sendiri saja yang menghadap dan bicara kepada Gusti Patih?"

"Lan-ko, aku seorang wanita, tidak pantas kalau aku menyampaikannya sendiri. Menurut kebiasaan bangsa kita pun, yang membicarakan urusan perjodohan adalah orang tua, dan engkau menjadi pengganti orang tuaku."

Ki Tejoranu kembali menghela napas panjang. "Sungguh merupakan tugas yang amat berat, Adikku."

"Apanya yang berat, Lan-ko? Engkau tinggal menghadap dan mengatakan hal itu kepada Gusti Patih. Mengapa ragu dan tampaknya engkau takut-takut?"

"Aku memang takut, Adikku. Takut kalau-kalau engkau ditolak, pengabdianmu tidak diterima."

"Aku yakin akan diterima, Lan-ko. Aku dapat melihat dari sikap dan bicaranya yang manis padaku, melihat sinar matanya yang lembut kalau memandangku. Aku yakin perasaan hatiku ini bukan hanya bertepuk sebelah tangan, Lan-ko."

"Hemm, baiklah, Lan-moi. Akan tetapi hanya dengan syarat, yaitu engkau ikut denganku menghadap Gusti patih!" Melihat adiknya terkejut, dia menyambung cepat. "Aku tidak mau kalau disangka bahwa semua ini kehendakku sendiri saja."

"Baik, Lan-ko. Aku harus berani menghadapi segala kenyataan dan akibatnya" jawab gadis itu dengan tegas.

Kakak beradik itu lalu menghadap Ki Patih Narotama. Ketika Ki Tejoranu menyatakan bahwa dia dan adiknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting dengan Ki Patih sendiri, Ki Patih Narotama lalu menerima mereka di ruangan dalam dan memesan kepada Ki Lurah agar jangan ada yang mengganggu pertemuannya dengan kakak beradik itu.

Kini mereka duduk berhadapan terhalang meja di ruangan dalam. Sinar lampu gantung yang besar itu memberi penerangan yang cukup. Ki Patih Narotama memandang wajah kakak dan adik itu bergantian dengan senyum heran karena dia tidak dapat menduga apa gerangan yang akan dibicarakan mereka yang tampak bersikap aneh dan mengandung rahasia itu.

"Nah, sekarang katakan apakah yang Andika berdua hendak bicarakan dengan aku, Tejoranu dan Kim Lan?" Tanya Narotama dengan sikapnya yang lembut dan ramah seperti biasa.

Ki Tejoranu merasa begitu tegang sehingga sejenak dia tidak mampu mengeluarkan suara. Kim Lan yang duduk di rampingnya menggunakan tangannya untuk menyodok pinggang kakaknya. Karena gerakan itu dilakukan di bawah meja maka agaknya tidak tampak oleh Ki Patih Narotama. Ki Tejoranu kini nekad mulai bicara.

"Begini, Gusti Patih, sebetulnya... eh, sebelumnya kami berdua mohon maaf yang sebesarnya kalau apa yang hendak kami bicarakan Ini terlalu lancang dan membuat Paduka marah...."

Ki Patih Narotama membelalakkan matanya dan tertawa, "He-he-he-he...! Tejoranu, apakah engkau mengenal aku sebagai seorang pemarah? Tenanglah dan jangan gugup. Bicara saja secara terbuka, aku tidak akan marah. Bagaimana aku dapat marah kepada orang-orang seperti engkau dan Kim Lan adikmu Ini?"

"Gusti Patih, saya tahu benar akan kebijaksanaan dan kemuliaan hati Paduka, akan tetapi apa yang hendak saya katakan ini... mungkin terlalu lancang...."

"Saudara, Tejoranu. Keragu-raguan mu itu malah tidak mengenakkan hati. Bicaralah yang jelas dan terbuka. Seperti bukan seorang gagah saja!" kata Ki Patih Narotama dengan nada menegur.

"Baik, Gusti. Sesungguhnya begini. Kami datang menghadap Paduka ini untuk mengajukan sebuah permohonan dengan harapan Paduka akan sudi mengabulkan dan menerimanya."

"Katakan dulu, apa permohonan Itu, Tejoranu. Sebelum kalian mengatakan, bagaimana aku dapat memutuskannya?"

"Adik saya ini, Kim Lan, ia berniat untuk suwita (menghambakan diri) kepada Paduka dan mohon agar Paduka sudi menerimanya." Lega hati Ki Tejoranu setelah mengeluarkan apa yang harus dikatakannya.

Ki Patih Narotama tercengang dan memandang kepada Kim Lan yang menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

"Suwita...? Maksudnya..., menghambakan diri untuk bekerja membantuku?"

"Tentu saja membantu segala yang dapat la bantu, la akan melaksanakan segala perintah Paduka. Akan tetapi, maksudnya... eh, sesungguhnya, maafkan adik saya, Gusti, sebetulnya Kim Lan mengaku kepada saya bahwa ia amat kagum dan jatuh cinta kepada Paduka dan ia.... ia mohon agar dapat Paduka terima menjadi.... selir Paduka."

Tentu saja Ki Patih Narotama terkejut bukan main, juga merasa heran. "Mencintaku....? Kim Lan...? Yang baru saja bertemu dengan aku...."

Setelah kakaknya menceritakan semua keinginannya kepada Ki Patih Narotama, Kim Lan menyingkirkan semua perasaan malu dan rikuh, dan ia lalu berkata, lirih dan suaranya menggetar.

"Gusti, saya ingin menyerahkan jiwa raga saya kepada Paduka, saya siap membantu Paduka dengan setia, rela berkorban nyawa untuk membela Paduka."

Ki Patih Narotama merasa terharu, akan tetapi dia juga mempertahankan batinnya agar jangan terpikat oleh penawaran yang amat menyenangkan hati itu. Mempunyai seorang selir seperti The Kim Lan. Memiliki kecantikan yang khas, asing namun menarik, juga gadis ini memiliki aji kanuragan yang lumayan dan boleh di andalkan! Akan tetapi perjodohan tidak dapat dilaksanakan begitu saja atas dasar kekaguman. Rasanya masih terlalu pagi bagi seorang gadis untuk begitu saja jatuh cinta kepada seorang pria setelah sekali bertemu.

Tentu rasa cintanya Itu timbul dari perasaan kagum. Sebagai seorang patih yang di samping raja menjadi panutan bagi rakyat, dia harus berhati-hati. Dia sudah salah jalan satu kali ketika dia mengambil Dewi Lasmini dari Parang Siluman menjadi selir. Akibatnya geger. Dia merasa menyesal sekali. Kalau sekarang dia menerima Kim Lan sebagai selirnya, kemudian terjadi hal-hal yang tidak baik, dia tentu akan menjadi kesan buruk bagi rakyat.

Apalagi Kim Lan adalah seorang bangsa asing! Kecuali Itu, walaupun dia kagum kepada Kim Lan, merasa suka karena gadis itu adik Tejoranu yang dianggap saudara oleh Listyarini lsterinya, namun rasa sukanya itu sama sekali bukan cinta. Tidak ada sedikit pun dalam hatinya perasaan cinta yang mendorongnya untuk memperisteri Kim Lan.

Ki Patih Narotama menghela napas panjang berulang kali, dan dia memandang kepada kakak beradik itu. Dia melihat betapa mereka berdua juga memandang kepadanya. Pandang mata Kim Lan penuh permohonan dan pandang mata Ki Tejoranu penuh harapan. Ki Patih Narotama kembali menarik napas panjang. Sungguh tidak enak perasaan hatinya. Tidak tega dia mengecewakan dua orang ini yang sepatutnya menerima penghargaan yang menggembirakan hati mereka. Dengan wajah sedih, dia mengeraskan hatinya dan berkata penuh nada penyesalan.

"Aduh Tejoranu dan engkau The Kim Lan, bagaimana aku dapat menerima permintaanmu Itu? Keadaan yang tidak memungkinkan. Tejoranu, pahamilah kedudukanku sebagai patih. Kim Lan, hilangkan perasaanmu kepadaku itu. Kita menjadi sahabat saja, menjadi saudara. Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan gagah, pasti kelak akan bertemu dengan jodohmu yang serasi. Terpaksa aku tidak dapat menerimamu sebagai isteri seperti yang kau kehendaki itu."

Wajah gadis itu berubah pucat dan ia menundukkan muka, namun tetap saja Ki Patih Narotama dapat melihat betapa kedua mata yang jeli dan Indah Itu mengucurkan air mata. Sementara itu, muka Ki Tejoranu berubah merah sekali. Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, matanya menyinarkan kemarahan. Kalau saja hal yang tidak baik menimpa dirinya sendiri, apalagi yang menyebabkannya Ki Patih Narotama, dia tentu akan menerimanya dengan lapang dada. Akan tetapi sekali ini menyangkut diri Kim Lan, Adiknya yang amat disayangnya, satu-satunya orang yang harus dilindungi dan dibelanya!

Dan dia tahu benar akan kekerasan hati adiknya. Penolakan cintanya ini tentu akan menghancurkan hatinya, selain merasa sedih juga tentu merasa malu karena sebagai seorang gadis ia telah mengaku cinta namun ditolak! Hal ini terjadi karena Kim Lan salah sangka. Ia merasa yakin bahwa Narotama juga mencintanya. Kalau ia tahu bahwa patih itu tidak mempunyai perasaan cinta kepadanya, sampai bagaimana pun juga ia pasti tidak akan mau menyatakan cintanya. Lebih baik menderita patah hati tanpa ada yang mengetahuinya.

"Jadi Paduka menolak cinta adik saya Kim Lan, Gusti Patih?" tanya Ki Tejoranu dengan suara mengandung penasaran. "Paduka menganggap Kim Lan kurang berharga untuk menjadi selir seorang patih?"

Ki Patih Narotama terkejut dan mengerutkan alisnya sambil memandang Tejoranu dengan sinar mata tajam penuh selidik.

"Tejoranu!" katanya dengan suara mengandung teguran. "Persepakatan menjadi suami isteri bukan didasari penilaian berharga atau tidak, melainkan sepenuhnya didasari rasa cinta kedua pihak. Terus terang saja, aku kagum, suka dan hormat kepada The Kim Lan, akan tetapi tidak ada perasaan cinta yang diperlukan untuk ikatan perjodohan itu. Baru saja kami bertemu, bagaimana dapat langsung ada perasaan cinta?"

Tejoranu merasa seolah jantungnya diremas-remas ketika dia melihat adiknya menangis terisak-isak sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya.

"Gusti Patih, Paduka.... Paduka kejam..." Ki Tejoranu berseru marah. Hatinya sakit sekali melihat keadaan adiknya dan dia merangkul Kim Lan yang menangis semakin sedih dalam rangkulan kakaknya.

Ki Patih Narotama maklum bahwa untuk menghilangkan perasaan tidak enak di antara dia dan kakak beradik itu, perlu dia jelaskan tentang kedudukannya, tentang tindakannya yang keliru ketika mengambil Lasmini sebagai selir dan bahwa dia tidak mau melakukan kesalahan lagi.

"Tejoranu, engkau belum mengetahui keadaanku..."

Akan tetapi sebelum dia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba terdengar suara melengking yang datangnya dari jauh namun terdengar jelas dalam ruangan itu.

"Narotama! Saat kematianmu sudah tiba...!"

Menyusul suara itu, terdengar suara berbletakan di atas genting dan dari atas genteng yang sudah berlubang, kini tampak dua sinar hitam melayang turun dan menyambar ke arah kepala Ki Patih Narotama! Dua sinar hitam Itu mengeluarkan bunyi mencicit dan tercium bau apek memuakkan dan memusingkan memenuhi ruangan itu.

Ki Patih Narotama maklum bahwa dia diserang orang yang memiliki kepandaian tinggi, dan serangan yang mengandung sihir tingkat tinggi ini berbahaya sekali. Dua buah benda bersinar hitam itu jelas mengandung racun yang amat jahat. Namun Ki Patih Narotama tidak menjadi gentar atau gugup. Sambil mengerahkan tenaga saktinya, kedua tangannya menampar ke arah dua sinar hitam itu.

"Wirrr.... plak! Plak!" Dua benda bersinar hitam itu terpental dan menghantam dinding.

"Plok! Plok!" Dua buah benda hitam itu jatuh dan ternyata itu adalah dua ekor kelelawar hitam yang kini menggelepar sekarat!

Ki Tejoranu dan Kim Lan terserang bau apek yang menyengat itu dan mereka mulai merasa pusing.

"Tejoranu! Kim Lan! Cepat keluar dari ruangan ini! Jangan keluar rumah, ada musuh yang sakti mandraguna dan berbahaya sekail. Diam saja dalam kamar kalian!"

Ki Tejoranu yang masih merangkul adiknya lalu meninggalkan ruangan itu bersama Kim Lan yang masih menangis. Mereka lari ke kamar Ki Tejoranu dan setelah memasuki kamar, Kim Lan menjatuhkan diri di atas kursi dan menangis sedih.

"Lan-ko, aku malu... ah, aku malu, menyesal dan hancur perasaan hatiku! Dia... dia menolakku, Lan-ko... ah, lalu bagaimana aku ini... hu-hu-huuh...!"

Melihat keadaan adiknya yang menangis mengguguk itu, Ki Tejoranu menghiburnya. 'Tenanglah, Adikku. Engkau tidak perlu memikirkan dia, di sana masih banyak pemuda yang pantas menjadi suamimu kelak."

"Tidak! Tidak, Lan-ko... kebahagiaan dan harapan hidupku sudah hancur. Rasanya.... tidak ada artinya lagi aku hidup!"

"Jangan berkata begitu, Lan-moi. Kalau dia memang amat menyakitkan hatimu karena penolakannya yang kejam, kita putuskan hubungan dengannya dan mari kita pergi saja."

"Tidak, Lan-ko. Bagaimana pun Juga, aku tetap mencintanya, aku akan membelanya dengan taruhan nyawaku!"

"Lan-moi...!"

Pada saat Itu, terdengar bunyi ledakan keras di atas genteng sehingga mengejutkan mereka. Tiba-tiba Kim Lan tampak marah dan ia mencabut pedangnya.

"Jahanam busuk mana berani mengganggu Gusti Patih Narotama!" Setelah berteriak demikian, gadis ini lalu melompat keluar dari jendela kamar itu.

"Lan-moi....!" Ki Tejoranu cepat mengejar adiknya, melompat keluar pula dari jendela itu.

Sementara itu, setelah dua ekor kelelawar hitam itu tertampar jatuh oleh tangkisan Ki Patih Narotama dan kakak beradik itu keluar dari ruangan, terdengar ledakan di atas genteng dan dari lubang di atas genteng kini meluncur sinar api menyala-nyala ke arah Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama kini sudah bangkit berdiri dari kursinya dan melihat sinar api bernyala itu meluncur ke arah dadanya seperti sebatang anak panah berapi, dia mengelak dengan gesit sehingga sambaran sinar berapi itu luput dan meluncur lewat. Akan tetapi hebatnya, sinar berapi itu seolah hidup dan memiliki mata karena sebelum membentur dinding, sinar itu sudah melayang berputaran seperti seekor burung di ruangan itu lalu meluncur lagi menyerang ke arah kepala Ki Patih Narotama!

Ki Patih Narotama mengerahkan tenaga sakti ke matanya dan kini dia dapat melihat bahwa sinar berapi itu ternyata adalah sebatang keris luk tujuh! Keris dapat mengeluarkan sinar api bernyala dan dapat melayang-layang mencari sasaran itu jelas bukan keris biasa, melainkan sebatang keris ampuh yang "dikendalikan" kekuatan sihir yang ampuh!

Ketika keris itu menyambar dekat, Ki Patih Narotama miringkan tubuhnya sehingga keris meluncur di sampingnya. Dia cepat menggerakkan tangannya untuk menghantam keris itu agar patah atau terlempar.

"Wuuutt...!" Tamparan ampuh tangan Ki Patih Narotama itu tidak mengenai sasaran. Keris itu secara aneh telah dapat mengelak sehingga tamparan itu luput! Keris itu melayang-layang lagi, bagaikan seekor burung rajawali mengintai calon korbannya dan mencari kesempatan dan posisi terbaik untuk menyerang lagi!

Pada saat itu, di atas genteng terjadi perkelahian yang seru. Ketika The Kim Lan melompat keluar dari kamar kakaknya, ia melihat bayangan orang di atas genteng rumah kelurahan itu. Kebetulan malam itu bulan bersinar terang sehingga memudahkan ia untuk melihat keadaan di luar rumah. Melihat bayangan itu, Kim Lan yang bertekad untuk membela Ki Patih Narotama dan menangkap penyerang gelap, hidup atau mati, segera membentak dan melompat naik ke atas genteng.

Begitu tiba di atas atap rumah kelurahan, sebatang ruyung menyambutnya dengan hantaman yang dahsyat ke atas kepalanya. Kim Lan cepat mengelak kiri dan ketika ruyung meluncur lewati pedangnya sudah menusuk ke arah pemegang ruyung yang bertubuh kurus tinggi. Tusukannya cepat sekali dan datang dari arah bawah meluncur ke arah ulu hati lawan.

"Tranggg...!"

Bunga api berpijar ketika pedangnya ditangkis orang dari samping. Penangklsnya itu seorang iaki-Iaki tinggi besar yang bersenjata sebatang klewang (golok) besar. Biarpun ia menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang melihat dari gerakannya jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, Kim Lan tidak menjadi takut dan ia membentak, "Langkahi dulu mayatku sebelum kalian dapat membunuh Gusti Patih!"

Setelah membentak demikian, gadis itu mengamuk dengan pedangnya yang diputar cepat sekali membentuk gulungan sinar menyambar-nyambar. Dua orang pengeroyoknya juga menggerakkan senjata mereka dan terjadilah perkelahian yang seru di atas genteng.

Akan tetapi Ki Tejoranu datang membantu. Dia marah melihat adiknya dikeroyok dua orang dan sepasang goloknya lalu diputar cepat dan dia sudah menyerang orang yang bersenjata ruyung karena biarpun tubuh orang ini tinggi kurus, namun gerakan ruyungnya dahsyat sekali. Pada saat dua orang kakak beradik ini berkelahi dengan dua orang itu, Ki Patih Narotama masih dikejar-kejar keris yang dapat terbang dan seperti dikemudikan burung yang tidak tampak itu.

Dia merasa penasaran sekali karena beberapa kali, tangannya yang menampar ke arah keris itu selalu luput. Tahulah Narotama bahwa keris itu digerakkan oleh tenaga sihir yang amat kuat. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, menyalurkan ke dalam kedua telapak tangannya, kemudian ketika keris itu untuk ke sekian kalinya meluncur bagaikan anak panah ke arahnya, dia menyambut dengan mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah benda bersinar seperti api bernyala itu.

"Wuuuutttt.... darrr...!" Terdengar bunyi ledakan keras dan keris Itu terpental dan meluncur keluar dari lubang di atap dari mana dia tadi masuk.

Pada saat itu, Kim Lan dan Ki Tejoranu masih bertanding seru melawan dua orang di atas genteng. Ternyata lawan mereka itu cukup tangguh sehingga pertandingan itu seru dan seimbang. Tiba-tiba tampak sinar bernyala meluncur keluar dari atap rumah.

"Singgg... capp...!!" Keris yang tadi dipukul balik oleh tenaga sakti Ki Patih Narotama itu meluncur dan menancap di punggung Kim Lan dari belakang!

Kim Lan merintih lirih, pedangnya terlepas dan jatuh berkerontangan di atas genteng, tubuhnya terkulai roboh dan terguling-guling di atas genteng akan tetapi tertahan oleh sambungan wuwungan sehingga tidak sampai melayang jatuh ke bawah.

"Lan-moi....!" Ki Tejoranu berteriak, akan tetapi dia harus memutar sepasang goloknya karena sekarang dia dikeroyok dua yang membuat dia repot dan kewalahan.

Pada saat yang gawat itu, tubuh Ki Patih Narotama melayang ke atas genteng dan melihat Ki Tejoranu dikeroyok dua, dia lalu melompat dekat dan begitu dia menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengeroyok itu, mereka terhuyung ke belakang seperti tertiup angin topan yang amat kuat. Dua orang itu terkejut sekali dan mereka kini menujukan serangan mereka kepada Ki Patih Narotama. Ki Tejoranu yang telah terbebas dari pengeroyokan, kini lari menghampiri tubuh adiknya yang rebah miring.

"Lan-moi....!" Dia berlutut dan pada saat Itu, keris yang menancap di punggung Kim Lan itu tiba-tiba seperti tercabut dan melayang pergi, berbentuk sinar berapi. Ki Tejoranu merangkul adiknya, ditelentangkan dan dirangkul.

"Lan-moi, bagaimana keadaanmu?" tanya Ki Tejoranu akan tetapi melihat keadaan adiknya itu, dia tidak memerlukan jawaban lagi. Adiknya terluka parah sekali dan napasnya terengah-engah, tubuhnya terasa panas.

"Lan-ko.... bagaimana dengan.... Gusti Patih Narotama....? Dia selamat, bukan...?"

Ki Tejoranu menggigit bibirnya. Dalam keadaan terluka parah seperti itu, Kim Lan seolah tidak memperdullkan keadaan diri sendiri dan yang dikhawatirkan adalah keselamatan Ki Patih Naro-tamal Ah, betapa besarnya kasih sayang adiknya terhadap patih Itu, dan Patih Narotama menolak cinta yang sebesar dan sedalam itu!

"Lan-moi, jangan pikirkan dia! Bagaimana keadaanmu?" tanyanya sambil mendekap kepala adiknya itu ke dadanya dan suaranya bercampur isak.

"Lan-ko... aku tidak bisa melupakan dia... biarpun dia... dia telah menolakku.. ... ah, bagiku mati lebih baik, Twako..."

"Adikku....!" Ki Tejoranu kini menangis.

"Lan-ko, penuhi permintaanku terakhir, ya?"

Ki Tejoranu hanya dapat mengangguk, tidak dapat mengeluarkan suara lagi karena isaknya.

"Tolong... tolong panggilkan dia... aku ingin berpamit..."

"Untuk apa... " Ki Tejoranu membentak, semakin marah dan benci kepada Ki Patih Narotama karena dia menganggap bahwa pria itulah yang menyebabkan kematian adiknya!

"Tolong.... Lan-ko.... tolong.... panggil dia..."

Ki Tejoranu menoleh ke arah K i Patih Narotama. Dia melihat sekarang muncul orang ke tiga mengeroyok Ki Patih Narotama, seorang laki-laki tua bongkok yang menudingkan tongkat hitamnya dan tongkat itu mengeluarkan bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama marah. Dia mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya direndahkan dengan menekuk kedua kakinya dan kedua tangannya didorongkan ke arah tiga orang pengeroyoknya.

"Wuuussshhh...!" Api berkobar menerangi tiga orang Itu. Dengan Aji Bojrodahono itu, Ki Patih Narotama mengerahkan kekuatannya dan tiga orang itu melarikan diri dan berlompatan turun sambil mengaduh-aduh karena sebagian tubuh mereka terjilat api dan hangus! Ki Patih Narotama lalu menoleh dan di bawah sinar bulan dia melihat Ki Tejoranu bersimpuh dan merangkul tubuh atas Kim Lan. Cepat dia melompat mendekat.

"Apa yang terjadi....?" Dia bertanya dan bersimpuh dekat tubuh Kim Lan. "Apakah Kim Lan terluka? Coba kuperiksa ia!"

Ki Tejoranu tidak menjawab, hanya diam saja sambil menangis sesenggukan. Ki Patih Narotama cepat memeriksa dan melihat luka di punggung gadis itu, melihat keadaannya yang sudah empas-empis dengan tubuh panas sekali, tahulah dia bahwa gadis Itu tidak dapat diselamatkan lagi...!

"Kim Lan...!" Ki Patih Narotama mengeluh sambil memegang pundak gadis itu.

Kim Lan tersenyum memandang wajah Ki Patih Narotama.

"...Gusti Patih Narotama.... saya.... saya berbahagia sekali..... dapat.... dapat... mati membela Paduka.... saya.... saya.... cinta.....! Gadis itu terkulai, menghembuskan napas terakhir dalam pelukan kakaknya.

"Kim Lan....!" Ki Patih Narotama mengeluh.

"Kim Lan! Lan-moi....! Jangan tinggalkan aku...!" Ki Tejoranu berteriak sambil mendekap tubuh adiknya dan menangis.

"Sudahlah, Tejoranu. Sang Hyang Widhi telah mengambil kembali apa yang menjadi milik-Nya." Ki Patih Narotama menghibur. Akan tetapi tiba-tiba Ki Tejoranu berdiri sambil memondong jenazah adiknya.

"Narotama! Engkau yang menyebabkan kematian adikku. Ia sengaja menghadang maut karena ia merasa lebih baik mati setelah engkau menolak cintanya. Ia rela mati membelamu, demikian besar cintanya akan tetapi, engkau menolaknya! Engkau kejam! Kejam! Aku tidak sudi menjadi teman mu lagi. Engkau kejam...!' Ki Tejoranu menangis sesenggukan lalu melompat turun dari atas genteng dan terus berlari pergi sambil memondong jenazah The Kim Lan.

Ki Patih Narotama bangkit berdiri, hanya dapat memandang ke arah lenyapnya bayangan Ki Tejoranu. Dia tahu bahwa mengejar dan membujuk Ki Tejoranu tidak akan ada gunanya. Dia dapat merasakan betapa hancur hati laki-laki itu melihat nasib adik kandungnya. Dia berdiri termangu-mangu, mengenang semua peristiwa itu. Dia tadi sudah memperingatkan agar kakak beradik itu berdiam di kamarnya saja karena dia tahu bahwa ada musuh yang sakti dating menyerang.

Siapa kira, Kim Lan dengan nekat menyambut musuh itu untuk membelanya! Ah, kalau saja dia tahu sampai demikian mendalam rasa cinta gadis itu kepadanya! Kalau dia tahu bahwa peristiwa menyedihkan ini akan terjadi! Kalau... kalau... tiada gunanya lagi. Semua telah terjadi. Dia tahu bahwa selama hidupnya, bayangan Kim Lan tidak akan pernah dapat terlupa olehnya. Ki Patih Narotama menghela napas panjang dan merangkap kedua tangan sebagai sembah kepada Yang Maha Kuasa, bibirnya berbisik lirih.

"Duh Sang Hyang Widhi Wasa, terjadilah semua kehendak-Mu seperti yang Engkau kehendaki. Tiada apa atau siapa pun yang akan mampu mengubahnya."

Setelah termenung beberapa lamanya dan berulang kali menghela napas panjang, merasa kehilangan besar sekali karena dia tahu bahwa Ki Tejoranu pasti akan selalu merasa sakit hatinya dan tidak akan pernah dapat menjadi sahabat baiknya lagi, Ki Patih Narotama lalu turun dan dia disambut oleh Nyi Lasmi dan seisi rumah Ki Lurah yang ingin tahu apa yang terjadi. Mereka tadi mendengar suara ribut-ribut di atas atap rumah dan tidak ada seorang pun berani mencari tahu apa yang terjadi karena mereka takut dan sungkan kepada Ki Patih Narotama. Ki Patih Narotama berkata kepada Ki Lurah dusun Magel.

"Jangan takut. Ada orang-orang jahat datang untuk menyerangku, akan tetapi telah dapat ku usir pergi."

Semua orang merasa lega mendengar ini. Akan tetapi Nyi Lasmi bertanya, "Gusti Patih, di mana Tejoranu dan Kim Lan? Hamba tidak melihat mereka sejak tadi."

Ki Patih Narotama menghela napas panjang beberapa kali sebelum menjawab dengan suara mengandung keprihatinan.

"Tejoranu dan Kim Lan tadi berkelahi dengan orang-orang jahat. Kim Lan tewas dan Tejoranu yang hancur hatinya itu membawa jenazah adiknya pergi, entah ke mana. Mungkin dia tidak akan kembali ke sini."

"Ohhh...!" Nyi Lasmi berseru dan memandang wajah Ki Patih Narotama dengan sinar mata kaget dan heran. Akan tetapi ia tidak berani banyak bertanya. Siang tadi Kim Lan mengeluarkan isi hatinya kepadanya, menceritakan tentang perasaan hatinya yang gandrung (kasmaran) kepada Ki Patih Narotama. Bahkan gadis itu mengatakan kepadanya bahwa ia lebih baik mati kalau tidak dapat menjadi selir Sang Patih. Ia lalu meneruskan suara hati gadis itu kepada Ki Tejoranu agar kakak Ini mengurus persoalan adiknya. Dan kini, tahu-tahu gadis itu telah tewas! Nyi Lasmi yang sudah akrab sekali dengan Kim Lan, tak dapat menahan kesedihannya dan ia menangis terisak-isak lalu berlari memasuki kamarnya. Di situ ia mendekap buntalan pakaian Kim Lan sambil menangis tersedu-sedu.

Ki Tejoranu memondong jenazah adiknya dan berlari di bawah penerangan bulan remang-remang sambil menangis. Hatinya hancur dan biarpun dia maklum bahwa bukan niat Ki Patih Narotama mencelakai adiknya, namun bagaimanapun juga, Kim Lan nekat menyerang mereka yang memusuhi Ki Patih Narotama karena cintanya yang mendalam terhadap patih itu. Selain itu, juga adiknya itu mengalami penderitaan hati yang hebat sehingga ia menjadi nekat. Adiknya itu merasa lebih baik mati karena orang yang dipuja dan dicintanya Itu ternyata menolaknya, menolak cintanya! Maka timbul penyesalan besar dalam hatinya terhadap Ki Patih Narotama.

Semalam suntuk dia memondong jenazah Kim Lan dan melangkah tanpa hentinya sampai pada keesokan harinya, setelah matahari bersinar, dia tiba di sebuah bukit kecil. Dia lalu merebahkan jenazah adiknya Itu dengan hati-hati sekali ke atas rumput, dia lalu mengumpulkan kayu-kayu yang kering, juga daun-daun kering. Ditumpuknya kayu-kayu itu sampai setombak tingginya. Kemudian, dengan hati-hati dia memondong jenazah Kim Lan dan meletakkannya di atas tumpukan kayu.

"Maafkan, Lan-moi, karena keadaan memaksa, aku tidak dapat mengubur jenazahmu dengan upacara sebagaimana mestinya." Dia berbisik dan untuk penghabisan kali dia mengamati wajah adiknya yang tersayang itu. Kemudian dia membuat api dan membakar tumpukan kayu itu. Api berkobar besar dan Ki Tejoranu menjauh, lalu duduk bersila di bawah pohon, memandang api yang berkobar. Dia bersikap seperti orang sedang bersamadi, dengan sikap tenang dan hormat seolah untuk mengantar kepulangan The Kim Lan ke alam baka.

Akan tetapi, melihat api berkobar dan jenazah adiknya terbakar, Ki Tejoranu tak dapat menahan dirinya lagi. Dia menangis terisak-isak dan timbul kemarahannya mengingat bahwa adiknya itu tewas oleh orang-orang jahat yang tidak diketahuinya siapa, namun yang dia yakin tentulah orang-orang Wengker dan Wura-wuri yang hendak menangkap Nyi Lasmi dan memusuhi Ki Patih Narotama.

Tiba-tiba dia melompat bangun dan mencabut sepasang goloknya, lalu dia mengamuk, bersilat dan membacok-bacokkan sepasang goloknya ke arah pohon besar sehingga ranting-ranting dan daun pohon terbabat berhamburan. Tak jauh dari situ, sepasang mata bening tajam mengintai dari balik sebatang pohon besar. Pengintai itu adalah Puspa Dewi. Seperti kita ketahui, setelah mendapat keterangan di Kadipaten Wengker bahwa ibunya dibawa rombongan pengawal ke Kadipaten Wura-wuri, ia segera menyusul ke Wura-wuri.

Pagi itu, ketika ia melewati tempat itu dan berada di bawah bukit, tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh asap yang mengepul tinggi di puncak bukit kecil itu. Ia segera mendaki bukit untuk melihat apa yang terjadi. Ketika tiba di puncak dan mengintai dari balik pohon, ia melihat seorang laki-laki sedang membakar jenazah seorang wanita. Ia merasa heran dan juga iba sekali melihat laki-laki itu menangis sesenggukan sambil bicara dalam bahasa yang asing baginya dan yang tidak ia mengerti maknanya.

Kemudian ia melihat laki-laki yang tadinya duduk bersila itu melompat dan mengamuk dengan sepasang goloknya. Gerakannya cepat dan kuat sekali sehingga ranting daun pohon berhamburan. Juga sepasang golok itu mengeluarkan bunyi berdesing-desing, menandakan bahwa sepasang golok itu digerakkan oleh tenaga yang kuat sekali.

Puspa Dewi menjadi semakin heran. Ia tahu bahwa laki-laki itu berduka sekali karena kematian wanita yang jenazahnya sedang diperabukan (dibakar sampai menjadi abu), akan tetapi mengapa orang itu kini marah-marah seperti kesetanan dan agaknya merasa sakit hati dan penasaran sekali?

Karena ingin tahu dan mengharapkan barang kali orang itu mengetahui atau melihat rombongan pengawal yang membawa ibunya ke Wura-wuri, Puspa Dewi lalu muncul dari balik pohon dan menghampiri orang yang sedang mengamuk dengan sepasang goloknya itu. Akan tetapi begitu Ki Tejoranu melihat munculnya seorang wanita, dia yang sedang marah seperti gila itu lalu berlari menghampiri sambil memaki-maki.

"Engkau orang Wengker atau Wura-wuri yang jahatl Engkau harus mati di tanganku untuk mengiringkan arwah Adikku!" Setelah berkata demikian, dia segera menyerang Puspa Dewi dengan sepasang goloknya!

Puspa Dewi menghadapi serangan itu dengan tenang. Setelah menerima gemblengan selama setahun dari Sang Maha Resi Satyadharma, Puspa Dewi. selalu tenang dan waspada. Ia tidak marah diserang orang yang sedang kesetanan ini, apalagi mendengar orang itu memakl-maki orang Wengker dan Wura-wuri, Ini berarti bahwa laki-laki Ini menjadi musuh orang Wengker dan Wura-wuri.

Ketika sepasang golok itu menyambar-nyambar, Puspa Dewi menggunakan keringanan dan kecepatan tubuhnya untuk mengelak. Kalau saja ia menghendaki, tentu ia dapat membalas dengan serangan ampuh untuk melukai atau menewaskan orang itu. Akan tetapi ia tidak mau melakukannya karena maklum bahwa orang ini mengamuk kesetanan karena dilanda duka yang amat berat, apalagi orang ini memusuhi Wengker dan Wura-wuri.

Bagaimanapun juga, serangan Ki Tejoranu cukup berbahaya. Kalau Puspa Dewi tidak memiliki gerakan yang amat cepat, ia tentu terancam bahaya. Karena tidak ingin mencelakai orang yang mengamuk ini, Puspa Dewi tidak mencabut pedangnya. Akan tetapi setelah mendapat kesempatan baik, ia mendorongkan tangan kirinya sambil membentak.

"Tahan! Aku mau bicara!" Tangannya mendorong ke arah tubuh Ki Tejoranu.

Angin dahsyat menyambar dan Ki Tejoranu tidak mampu bertahan terhadap dorongan angin dahsyat itu. Dia terhuyung-huyung ke belakang dan hanya dengan pok-sai (salto) tiga kali dia dapat mencegah tubuhnya terbanting ke atas tanah. Tentu saja dia terkejut bukan main karena apa yang dilakukan gadis tadi membuktikan bahwa ia memiliki tenaga sakti yang hebat!

"Kisanak, tenang dan bersabarlah dulu. Aku tidak mengenalmu dan engkau tidak mengenalku, di antara kita tidak ada urusan apapun juga. Mengapa engkau menyerangku seperti itu? Apa engkau ingin membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah padamu?"

"Hemm, kau tentu orang Wengker atau Wura-wuri!" bentak Ki Tejoranu sambil menyilangkan goloknya di depan dada, siap untuk menyerang lagi.

"Engkau keliru, Kisanak. Aku justru dimusuhi orang Wengker dan Wura-wuri. Aku malah ingin bertanya kepadamu apakah engkau melihat orang-orang Wengker membawa lari ibuku...."

"ibumu...." Ki Tejoranu memotong. "Ibumu itu Nyi Lasmi?"

Puspa Dewi girang sekali. "Engkau mengenal Ibuku? Di mana ia? Apa yang terjadi dengan Ibuku dan siapakah engkau ini, siapa pula wanita yang meninggal dan jenazahnya engkau perabukan itu?"

Ki Tejoranu menengok ke arah api yang masih berkobar membakar jenazah adiknya. Lalu ia memandang iagi kepada Puspa Dewi. Dia teringat akan cerita Nyi Lasmi bahwa puteri wanita itu adalah seorang gadis yang sakti dan bernama Puspa Dewi.

"Engkau yang bernama Puspa Dewi?"

"Benar, Kisanak. Aku puteri Ibu Lasmi. Engkau melihat ia? Di mana ia sekarang?"

"Bibi Lasmi selamat dan ia berada bersama Ki Patih Narotama." jawab Ki Tejoranu singkat dan dia sudah menyimpan kembali sepasang goloknya lalu duduk di atas tanah memandang kobaran api yang membakar jenazah adiknya.

Lega rasanya hati Puspa Dewi mendengar bahwa ibunya dalam keadaan selamat, apalagi bersama Ki Patih Narotama. Hatinya lega dan girang. Akan tetapi la ingin sekali tahu apa yang terjadi dan bagaimana orang yang bicaranya pelo (cadel) ini dapat mengenal ibunya, bahkan tahu namanya.

"Apa yang telah terjadi, Kisanak? Engkau telah mengenal namaku, akan tetapi aku belum mengenal namamu. Siapakah engkau?"

Ki Tejoranu mengerutkan alisnya. "Nona, aku sedang dilanda duka dan sedang memperabukan jenazah adikku tersayang. Kalau engkau mau bicara, harap suka menunggu sampai aku selesai mengurus jenazah adikku. Kalau engkau tidak sabar menanti, tinggalkan saja aku."

"Maaf," kata Puspa Dewi dan ia dapat memaklumi orang ini. "Aku akan menunggu." Ia lalu pergi menjauh dan duduk bersila di bawah pohon sambil memandang ke arah api yang berkobar membakar jenazah yang kini sudah kehilangan bentuknya itu.

Menjelang tengah hari, perabuan jenazah itu pun selesai. Dapat berlangsung cepat karena Ki Tejoranu selalu menambahkan kayu kering sehingga api selalu berkobar. Setelah api padam, Ki Tejoranu menyingkirkan arang dan abu kayu, mengumpulkan abu jenazah yang warnanya keputihan. Dia bingung mencari tempat untuk abu adiknya dan teringat bahwa dia malam tadi meninggalkan semua buntalan pakaian di rumah kelurahan. Dia lalu membuka baju luarnya dan mempergunakan baju luar itu untuk membungkus abu jenazah.

Setelah abu dibungkus lalu dia talikan di punggung, Ki Tejoranu menoleh ke arah Puspa Dewi yang masih duduk bersila di bawah pohon. Ki Tejoranu menghampiri gadis itu dan duduk di atas akar pohon yang menonjol di tanah. Mereka duduk berhadapan.

"Sekarang aku dapat menceritakan semua apa yang ingin engkau ketahui, Nona."

"Terima kasih, Kisanak. Pertama aku ingin mengetahui, siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal Ibuku." kata Puspa Dewi, tidak memberondongkan banyak pertanyaan seperti tadi.

"Namaku Tejoranu, dahulu namaku The Jiauw Lan dan...." dia menepuk buntalan abu di punggungnya. "... ini adalah abu adikku, The Kim Lan. Kami berdua sedang melakukan perjalanan beberapa hari yang lalu dan di tengah perjaianan kami melihat seorang wanita dibawa dengan paksa oleh serombongan orang dari Wengker..."

"Ibuku....!"

"Benar, wanita itu Bibi Lasmi. Kami berdua lalu turun tangan menolongnya dan berhasil mengusir orang-orang jahat dari Wengker itu. Kami lalu mengantar ibumu menuju ke Karang Tirta. Akan tetapi muncul belasan orang, yaitu orang-orang dari Wengker yang telah kami usir bersama orang-orang dari Wura-wuri. Kami dikeroyok dan pada saat kami kerepotan menghadapi pengeroyokan banyak orang tangguh itu, Bibi Lasmi dilarikan dua orang warok dari Wengker dan kami tidak dapat menghalangi karena kami dikeroyok dengan ketat."

"Hemm, mereka memang Jahat dan curang!" kata Puspa Dewi sambil mengerutkan alis dengan khawatir mendengar ibunya dilarikan orang sedangkan kakak beradik itu tidak dapat menghalangi.

"Kami berdua memang terdesak hebat karena di antara orang-orang Itu terdapat beberapa orang sakti dan tangguh sekali. Akan tetapi kami mempertahankan diri sekuat dan semampu kami. Pada saat yang gawat bagi kami itu, muncullah Ki Patih Narotama yang ternyata telah berhasil menolong Bibi Lasmi. Ki Patih Narotama lalu membantu kami dan orang-orang jahat dari Wengker dan Wura-wuri itu melarikan diri."

"Ah, sukurlah, kalian berdua tertolong dan ibuku selamat. Akan tetapi mengapa Adikmu..." Puspa Dewi menunjuk ke arah buntalan abu di punggung Ki Tejoranu.

Ki Tejoranu mengerutkan alis dan menghela napas panjang. Sinar matanya menjadi sayu, wajahnya muram dan dia tampak sedih sekali. Dia tidak mau menceritakan bahwa adiknya tergila-gila mencinta Ki Patih Narotama namun cintanya ditolak patih itu. Dia menjawab dengan lirih dan singkat.

"Kami berempat lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Malam tadi kami menginap di rumah Ki Lurah Magel. Kemudian datang orang-orang hendak menyerang dan membunuh Ki Patih Narotama. Kim Lan segera naik ke atas atap untuk menyambut orang-orang jahat itu biarpun Ki Patih Narotama sudah melarangnya karena musuh-musuh itu amat sakti. Aku segera mengikutinya dan ketika tiba di atas genteng, kami melihat dua orang dan kami segera bertanding melawan dua orang yang ternyata tangguh sekali itu. Dan dalam perkelahian ini... Adikku... Kim Lan.... terkena tikaman keris terbang di punggungnya sehingga ia tewas..." Ki Tejoranu berhenti bercerita karena kesedihan telah menekannya kembali.

"Ahh...!" Puspa Dewi ikut merasa terharu. "Akan tetapi, apakah Ki Patih Narotama tidak membantu kalian? Bukankah dia sakti mandraguna?"

"Ki Patih Narotama sendiri sibuk menghadapi serangan ilmu sihir yang berbahaya. Dia memang kemudian muncul, namun telah terlambat. Dia mengusir penjahat-penjahat itu, akan tetapi Kim Lan sudah roboh terluka parah dan akhirnya ia meninggal...."

Sunyi mengikuti akhir cerita Ki Tejoranu. Ki Tejoranu diam tenggelam ke dalam lautan duka, sedangkan Puspa Dewi terdiam karena terharu dan kasihan. Dari penuturan itu tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang pendekar yang telah menolong ibunya dan penolong itu sekarang sedang menderita duka yang amat mendalam karena kematian adiknya. "Ki Tejoranu" akhirnya Puspa Dewi berkata lirih dan lembut. "Apakah engkau akan membawa abu jenazah Kim Lan itu kepada keluargamu?"

"Keluargaku? Ah, Adikku inilah satu-satunya keluargaku di dunia ini. Aku hanya hidup berdua dengan adikku, merantau di sini, jauh dari negeri Cina dari mana kami berasal, ia satu-satunya yang kumiliki di dunia ini dan sekarang... sekarang...." Ki Tejoranu terisak, lalu dia bangkit berdiri lari meninggalkan Puspa Dewi.

"Ki Tejoranu....!" Puspa Dewi memanggil namun laki-laki itu terus berlari dengan cepat. Kalau ia mau, tentu Puspa Dewi akan dapat menyusulnya. Ia ingin minta keterangan lebih jelas di mana ibunya kini berada. Akan tetapi ia merasa kasihan sekali kepada Ki Tejoranu dan tidak mau mengganggunya.
cerita silat online karya kho ping hoo

Apa lagi tadi Ki Tejoranu telah menceritakan bahwa peristiwa semalam itu terjadi di rumah kelurahan Magel. Maka Puspa Dewi juga segera meninggalkan tempat itu dan akhirnya ia memperoleh keterangan di mana adanya kelurahan Magel. Setelah ia tiba di dusun Magel dan mencari ke kelurahan, ia mendapat kabar bahwa ibunya bersama Ki Patih Narotama baru saja telah meninggalkan Magel menuju ke Karang Tirta.

Puspa Dewi segera melakukan pengejaran dan tak lama kemudian ia dapat menyusul Ki Patih Narotama yang menunggang kuda dan menuntun seekor kuda lain yang ditunggangi Nyi Lasmi. Karena Ibunya tidak pandai menunggang kuda, tentu saja perjalanan itu dilakukan lambat-lambat saja.

"Ibu....!" Puspa Dewi berseru.

Ki Patih Narotama sudah menghentikan kudanya dan Nyi Lasmi yang mendengar suara itu, walaupun ia belum melihat orangnya, sudah berseru girang, "Puspa Dewi....!!"

"Bagus sekali Andika datang, Puspa Dewi." kata Ki Patih Narotama sambil melompat turun dari atas kudanya.

Puspa Dewi menurunkan ibunya dan berangkulan. Ia lalu memberi sembah hormat kepada Ki Patih Narotama.

"Banyak terima kasih hamba haturkan atas pertolongan Paduka kepada ibu hamba." kata Puspa Dewi dengan hormat.

"Bagaimana engkau bisa mendapatkan kami di sini?" Tanya Ki Patih Narotama.

"Tadi pagi hamba bertemu dengan Ki Tejoranu, Gusti Patih."

Mendengar ini, Ki Patih Narotama tertarik, dan bertanya dengan suara ingin tahu sekali. "Ah, benarkah? Lalu bagaimana dengan dia?"

"Engkau melihat Ki Tejoranu, Puspa Dewi? Lalu apakah engkau melihat.... jenazah Kim Lan....?" Nyi Lasmi ikut bertanya karena ia merasa amat iba kepada kakak beradik yang sudah akrab sekali dengannya itu.

"Hamba melihat Ki Tejoranu sedang memperabukan jenazah adiknya di atas sebuah bukit. Ketika hamba mendekati dia mengamuk dengan sepasang goloknya, merontokkan daun-daun dan ranting-ranting pohon. Ketika melihat hamba, dia malah menyerang hamba dengan goloknya mengira bahwa hamba orang Wengker atau orang Wura-wuri. Setelah hamba jelaskan, dia lalu menceritakan tentang kematian adiknya oleh penjahat Wengker dan Wurawuri dan dialah yang menceritakan di mana adanya Ibu dan Paduka. Maka hamba lalu menyusul ke dusun Magel dan akhirnya dapat menyusul ke sini."

Ki Patih Narotama memejamkan kedua matanya. Dia membayangkan betapa sedihnya hati Ki Tejoranu sehingga dia mengamuk dengan sepasang goloknya!

"Kebetulan sekali Andika datang, Puspa Dewi. Sekarang engkau dapat mengantarkan ibumu ke Karang Tirta dan berboncengan kuda sehingga perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Aku masih mempunyai urusan lain. Nah, kita berpisah di sini." Ki Patih Narotama lalu melompat ke atas punggung kudanya dan melarikan kuda itu.

"Aduh, kasihan sekali orang-orang muda itu. Betapa sering kali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke dalam lembah kekecewaan dan kedukaan."

"Apa maksud Ibu?" tanya Puspa Dewi yang mengira bahwa ibunya menyinggung keadaan ibunya dengan ucapan itu.

"Puspa Dewi, mari kita lanjutkan perjalanan ke Karang Tirta. Kasihan keluarga Ki Lurah Pujosaputro. Nanti dalam perjalanan akan kuceritakan semua pengalamanku dan engkau juga menceritakan pengalamanmu selama kita berpisah."

Puspa Dewi lalu mengangkat ibunya ke atas punggung kuda dan ia sendiri meloncat dan duduk di belakangnya. Agar mereka dapat bicara dengan leluasa, ia hanya menjalankan kudanya lambat-lambat.

"Ibu, aku telah mendengar di Karang Tirta bahwa Ibu dibawa lari orang-orang Wengker, lalu aku melakukan pengejaran ke Wengker dan mendengar bahwa Ibu dibawa ke Wura-wuri. Dari Ki Tejoranu aku mendengar bahwa Ibu telah ditolong oleh dia dan Adiknya, lalu ditolong pula oleh Gusti Patih Narotama. Nah, apa yang sesungguhnya terjadi, Ibu?"

"Semua itu ulah Suramenggala yang sekarang menjadi tumenggung di Wengker. Dia hendak memaksa aku kembali menjadi keluarganya. Aku teguh menolak dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim aku dan menyerahkannya ke Wura-wuri dengan maksud untuk memaksa engkau menyerahkan diri kepada Adipati Wura wuri."

"Hemm, aku sudah menduga begitu, Ibu. Sekarang aku sudah jelas mengetahui apa yang ibu alami ketika diculik. Akan tetapi apa maksud kata-kata ibu tadi yang mengatakan bahwa seringkali cinta menjerumuskan orang-orang muda ke alam lembah kedukaan?"

Nyi Lasmi menghela napas panjang. "Yang kumaksudkan adalah mengenai diri The Kim Lan."

"Mengapa dengan Kim Lan, Ibu?"

"Sesungguhnya, gadis yang malang itu, yang amat akrab dengan ku, seperti -anak sendiri, ia sengaja menyambut musuh yang sakti untuk membela Gusti Patih Narotama, sama dengan membunuh diri."

"Eh? Apa maksud ibu?"

"Begini, Anakku. Kim Lan malam itu berterus terang kepadaku bahwa ia jatuh cinta kepada Gusti Patih Narotama dan Ia ingin agar diterima suwita, menjadi selir Gusti Patih. Akan tetapi, Gusti Patih Narotama agaknya menolaknya sehingga gadis itu putus asa. Ia sendiri bilang kepadaku bahwa kalau tidak dapat menjadi isteri Ki Patih Narotama, hidup tiada artinya lagi dan ia lebih suka mati. Ketika ada musuh sakti menyerang, ia nekat menyambut sehingga ia terluka dan tewas."

"Ahhh.... menyedihkan sekali, Ibu. Dan bagaimana dengan Kakaknya?"

"Tejoranu? Tentu saja hatinya hancur lebur dan dia lari membawa jenazah Adiknya. Mungkin dia juga menyesal bahwa cinta dan penyerahan diri adiknya kepada Gusti Patih Narotama ditolak. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu Puspa Dewi."

"Cerita dari pengalamanku berbeda jauh dengan apa yang kau alami, Ibu. Pengalamanku sungguh menggembirakan dan membahagiakan kita semua."

"Hemm, bagaimana ceritanya? Apakah engkau sudah bertemu dengan Kakang Prasetyo?"

"Bukan hanya Ayah, aku telah bertemu dengan mereka semua! Ayah, Ibu Dyah Mularsih, Niken Harni puteri mereka, juga Kakek Tumenggung Jayatanu dan isterinya. Dan tahukah Ibu, mereka menyambut kedatanganku dengan gembira dan ramah sekali! Agaknya Ibu salah paham terhadap mereka. Kakek Tumenggung Jayatanu baik sekali dan merasa menyesal bahwa dia telah menyebabkan Ibu berpisah dari Ayah. Nenek Jayatanu juga amat baik. Dan Ibu Dyah Mularsih dan puterinya, Niken Harni, mereka baik sekali, Ibu. Ibu Dyah Mularsih menganggap aku sebagai anaknya sendiri dan Niken Harni sangat sayang kepadaku. Ibu, mereka semua itu merasa menyesal bahwa Ibu telah meninggalkan Ayah. Mereka selalu berusaha untuk mencari Ibu, namun tidak berhasil. Dan sekarang mereka telah menanti di Karang Tirta!"

"Apa?" Nyi Lasmi terkejut. "Mereka di Karang Tirta?"

"Semua keluarga itu tidak mau ketinggalan, ikut bersama Ayah yang datang ke Karang Tirta untuk menyambut dan memboyong kita ke kota raja!"

"Ah, tidak....!"

"Ibu, percayalah. Mereka semua itu dengan hati tulus menginginkan ibu dan aku tinggal bersama mereka, menjadi satu keluarga dan Ibu akan dianggap tetap sebagai isteri pertama ayah. Ayah sekarang telah menjadi seorang Senopati Kahuripan, Ibu."

"Tidak, anakku.... tidak....!" Nyi Lasmi lalu menangis.

Puspa Dewi menahan kudanya dan ia merangkul Ibunya dari belakang.

"Mengapa, Ibu? Mengapa Ibu menolak, diboyong Ayah ke kota raja? Bukankah Ibu amat mencinta Ayah?"

Di antara tangisnya, Nyi Lasmi berkata, "Justeru karena aku amat mencintai dan menghormatinya, aku tidak bisa dan tidak boleh menerima ajakannya itu. Bahkan aku tidak boleh bertemu muka dengan Kakang Prasetyo....!" Tangisnya semakin mengguguk.

Puspa Dewi melompat turun dari atas kuda dan menurunkan ibunya. Nyi Lasmi mendeprok di atas rumput sambil menangis sedih. Puspa Dewi merangkulnya.

"Ibu, katakan, mengapa ibu berpendapat begitu? Apakah ibu tidak percaya omonganku bahwa mereka semua amat baik dan ramah, semua mengharapkan Ibu tinggal serumah dengan mereka sebagai anggauta keluarga? Sesungguhnya, ibu. Aku sama sekali tidak berbohong!"

"Ohh.... aku tidak berharga lagi, Puspa Dewi. Aku tidak pantas bertemu muka dengan Ayahmu! Aku sudah kotor dan hina Bagaimana mungkin aku sanggup bertemu muka dengan Kakang Prasetyo? Kalau dia tahu bahwa aku pernah menjadi selir Ki Suramenggala yang jahat! Ah, kalau keluarga Tumenggung Jayatanu, kalau Isteri Kakang Prasetyo tahu, betapa malunya aku! Mereka tentu akan mencemooh dan menghinaku habis-habisan! Tidak, Puspa Dewi, lebih baik aku mati daripada menghadapi semua penghinaan itu. Aku tidak sanggup menghadapinya....!"

Puspa Dewi mengusap air mata yang membasahi muka ibunya. "Mereka tidak akan memandang rendah kepadamu, Ibu. Apa ibu mengira aku berdiam diri saja kalau ada orang menghina dan memandang rendah kepada ibu? Mereka sama sekali tidak menyalahkan Ibu, mereka bahkan merasa kasihan sekali kepada Ibu yang hidup menderita. Ayah dan semua keluarga sudah tahu, Ibu. Aku sudah memberitahu kepada mereka, menceritakan semua pengalaman ibu. Ayah tidak menyalahkan Ibu, bahkan semakin menyesali sikapnya sendiri dulu. Semua akan menerima Ibu dan menghormati Ibu. Aku yakin akan hal Ini. Mereka sekarang sedang menanti di Karang Tirta."

"Apa....? Mereka..Ayahmu.... sudah tahu bahwa aku pernah menjadi selir Suramenggala?"

"Benar, ibu. Aku sudah menceritakan semuanya dan mereka sama sekali tidak menyalahkan ibu. Semua keluarga mengikuti aku datang ke Karang Tirta dan ketika kami mendengar bahwa ibu diculik dan keluarga Paman Lurah Pujosaputro dibunuh penjahat, mereka semua marah sekali dan aku tidak tahu apa yang sekarang mereka lakukan karena aku meninggalkan mereka di sana untuk mengejar dan mencari Ibu. Marilah, Ibu. Aku yang menanggung bahwa tidak akan ada seorang pun di antara mereka yang akan menghina Ibu."

Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki banyak kuda datang ke arah mereka. Puspa Dewi siap siaga.

"Ibu, duduklah di bawah pohon itu dan jangan takut. Aku akan menghajar mereka yang berani mengganggumu!" Gadis itu dengan gagah berdiri di tengah jalan, menanti munculnya rombongan berkuda itu.

Senopati Yudajaya atau Prasetyo yang memimpin selusin orang perajurit pengawal itu menahan kudanya dan mengangkat tangan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti ketika dia melihat Puspa Dewi berdiri tegak di tengah jalan.

"Puspa Dewi....!" Serunya dan dia melompat turun dari atas kudanya dan lari menghampiri gadis itu.

"Ayah....!" Puspa Dewi berseru, lega melihat bahwa rombongan berkuda itu adalah perajurit pengawal yang dipimpin Senopati Yudajaya.

"Puspa Dewi, bagaimana hasil pengejaranmu?"

Puspa Dewi hanya menjawab dengan gerakan ibu jarinya menuding ke arah ibunya.

"Diajeng Lasmi.....!" Senopati Yudajaya berseru ketika dia melihat Lasmi duduk di bawah pohon dan wanita itu menangis. Dia lalu berlari menghampiri dan sudah berlutut dekat Nyi Lasmi.

"Diajeng Lasmi, bertahun-tahun aku mencarimu...." kata Yudajaya dengan suara terharu dan dia memegang kedua tangan bekas isterinya itu.

"Jangan....!" Nyi Lasmi melepaskan kedua tangannya dan bangkit berdiri. "Kakang Prasetyo...., jangan sentuh aku... aku.... aku tidak pantas..."

"Hushh, Diajeng. Jangan bicara begitu, tak baik didengar para perajurit. Mari, mari kita ke Karang Tirta, semua keluarga menantimu. Di sana nanti kita bicara, Diajeng."

Puspa Dewi menghampiri mereka. "Ayah benar, ibu. Mari kita berangkat sekarang ke Karang Tirta."

Nyi Lasmi hanya mengangguk dan ketika beradu pandang dengan bekas suaminya, Nyi Lasmi merasa jantungnya berdebar. Betapa ia amat mencinta suaminya. Bahkan sampai sekarang pun! Memandang wajah suaminya yang kini Nampak kurus dan tua itu, ia merasa kasihan dan terharu sekali. Akan tetapi ia juga melihat dengan jelas betapa sinar mata Prasetyo masih seperti dulu kalau memandangnya, masih mengandung penuh kasih sayang.

Puspa Dewi tetap memboncengkan ibunya dan rombongan itu lalu melakukan perjalanan ke Karang Tirta dengan cepat. Senopati Yudajaya yang menunggang kuda di samping Puspa Dewi bertanya kepada gadis itu.

"Puspa Dewi, apakah engkau tidak melihat Nlken Harni?"

"Niken? Aku tidak melihatnya. Ia ke manakah, Ayah?"

"Hemm, itulah yang merisaukan hati. Ketika mendengar engkau pergi melakukan pengejaran terhadap para penculik dari Wengker itu, Niken Harni pergi tanpa pamit. Kami semua menduga bahwa ia tentu melakukan pengejaran pula untuk membantu mu menghadapi orang-orang Wengker."

"Ah, mengapa ia begitu sembrono?" Puspa Dewi berseru kaget. "Di Wengker terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna! Sungguh amat berbahaya kalau ia melakukan pengejaran memasuki Kadipaten Wengker!"

"Hemm, Niken Harni memang anak yang keras hati dan tidak mengenal takut. Aku khawatir sekali akan keselamatannya. Puspa Dewi, lalu bagaimana baiknya sekarang? Apakah aku bersama seregu pengawal ini akan melanjutkan saja ke Wengker mencari Niken Harni?" Senopati Yudajaya memberi isyarat untuk berhenti. Semua kuda berhenti. Mendengar ini, Nyi Lasmi berkata kepada puterinya.

"Puspa Dewi, sebaiknya engkau yang memiliki kesaktian dan dapat menjaga diri, segera pergi mencari Adikmu Niken Harni."

"Dan bagaimana dengan Ibu?" tanya Puspa Dewi.

"Ibumu akan kembali ke Karang Tirta bersama kami. Atau, kau pikir aku membawa seregu perajurit ini membantumu? Kalau begitu, biar dua orang perajurit mengantar Diajeng Lasmini pulang ke Karang Tirta dan aku bersama para perajurit pengawal ikut denganmu mencari Niken Harni."

"Ah, tidak, Ayah. Aku lebih leluasa kalau pergi sendiri. Aku akan mencari Adik Niken sampai dapat kutemukan dan kami akan segera pulang. Sebaiknya sekarang Ayah dan Ibu kembali ke Karang Tirta dan langsung saja pulang ke kota raja. Aku hanya titip ibuku, agar ia dapat berbahagia bersama Ayah dan semua keluarga di kota raja. Nah, aku pergi, Ayah. Ibu, aku pergi mencari Niken Harni."

Nyi Lasmi merangkul puterinya. "Hati-hatilah, Puspa Dewi, dan cari Adikmu sampai dapat ditemukan dengan selamat."

Puspa Dewi meloncat ke atas kudanya dan membalapkan kuda menuju ke arah yang berlawanan. Setelah bayangan gadis dan kudanya lenyap di tikungan, Senopati Yudajaya menghampiri Nyi Lasmi.

"Aku kira anak kita Puspa Dewi sudah menceritakan semua kepadamu tentang kami sekeluarga."

Nyi Lasmi mengangguk.

"Kalau begitu, Diajeng. Mari kita segera kembali ke Karang Tirta, di sana keluarga kita telah menanti dengan hati gelisah."

Melihat para perajurit berada ditempat yang agak jauh dari situ, Nyi Lasmi berbisik. "Akan tetapi, Kakang Prasetyo, aku sudah tidak berharga, aku pernah menjadi selir Suramenggala...."

"Kami semua sudah mengetahui akan hal itu, Diajeng. Dan kami sama sekali tidak menganggap engkau tidak berharga. Engkau melakukan hal itu dalam keadaan terpaksa ketika Puspa Dewi hilang diculik orang. Sudahlah, Diajeng, bagi kami, terutama bagi aku, engkau tetap Diajeng Lasmi yang dulu. Aku berjanji untuk menebus semua kesalahanku dahulu dengan membahagiakan mu, Diajeng. Tenangkan hatimu dan percayalah. Dyah Mularsih dan orang tuanya juga amat menantikanmu, mereka akan berbahagia sekali menerimamu karena hal itu akan membuat mereka merasa bebas dari kesalahan terhadap dirimu."

Lega rasa hati Lasmi mendengar ucapan suaminya yang dikeluarkan dengan nada sungguh-sungguh dan bukan hanya sekedar bermanis bibir untuk menghiburnya itu. Timbul keberaniannya untuk bertemu dengan madunya, Dyah Mularsih dan keluarga madunya itu. Ia pun tidak merasa canggung atau malu-malu lagi ketika ia diboncengkan suaminya duduk di atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri ini, dikawal dua belas orang perajurit menuju ke Karang Tirta.

Mula-mula, karena dilihat selusin orang perajurit, ada juga rasa sungkan dan malu diboncengkan Prasetyo duduk berhimpitan di atas punggung kuda, akan tetapi setelah ia menyadari bahwa yang memboncengkannya itu adalah Prasetyo, suaminya yang sah, rasa sungkannya perlahan-lahan menghilang dan perasaan bahagia yang amat mendalam membuat ia tidak dapat menahan mengalirnya berbutir-butir air mata ke atas pipinya.

Senopati Yudajaya atau Prasetyo menyentuh pundak Lasmi dengan tangan kirinya. Sentuhan lembut lalu terdengar pertanyaannya dengan suara lembut pula.

"Diajeng Lasmi, mengapa engkau menangis?" Dia tidak mendengar tangisan yang bersuara, akan tetapi dari guncangan pundak Nyi Lasmi membuat dia menjenguk dan melihat betapa kedua pipi isterlnya basah oleh air mata yang menetes-netes dari kedua mata wanita itu.

Nyi Lasmi meletakkan tangan kirinya di atas tangan suaminya yang menyentuh pundaknya dan menggunakan tangan kanannya untuk mengusap air mata dari kedua pipinya, dan ia tersenyum.

"Kakang.... aku.... aku merasa berbahagia sekali...."

Tangan Prasetyo meremas lembut pundaknya, kemudian melepaskannya untuk memegang kendali kuda dan dia membalapkan kudanya. Dua belas orang perajurit yang mengiringkan di belakangnya juga membedal kuda mereka.

Akan tetapi setelah memasuki Dusun Karang Tirta dan kuda mereka menuju ke rumah Ki Lurah Pujosaputro yang bersama keluarganya telah dibantai gerombolan penjahat, kembali Nyi Lasmi merasa sungkan dan malu sehingga jantungnya berdebar penuh ketegangan. Rasanya ia sungkan dan khawatir sekali harus berhadapan muka dengan Tumenggung Jayatanu, Nyi Tumenggung, dan Dyah Mularsih. Ia merasa begitu rendah, seorang dusun bertemu dengan keluarga bangsawan, seorang miskin bertemu dengan keluarga kaya, dan ia bahkan pernah menjadi selir laki-laki lain pula! la merasa rendah dan tak berharga. Prasetyo merasa betapa tubuh yang duduk di depannya itu gemetar.

"Engkau mengapa, Diajeng?"

"Kakang..... aku.... aku malu, aku takut...."

"He-heh, mengapa malu dan takut, Diajeng? Engkau isteriku dan mereka semua akan menyambutmu dengan gembira. Engkau akan diterima dengan hormat. Percayalah, kalau mereka tidak akan bersikap demikian, tentu aku tidak berani mengajakmu pulang ke sini."

Ucapan suaminya ini agak membangkitkan keberanian Nyi Lasmi dan ketika kuda mereka memasuki halaman rumah mendiang Ki Lurah Pujosaputro, ia pun turun dan dengan tabah ia melangkah di samping suaminya menuju ke pendopo rumah kelurahan itu.

Agaknya mereka yang berada dalam rumah mendengar derap kaki kuda di halaman depan karena ketika Nyi Lasmi dan Senopati Yudajaya memasuki pendopo, berbondong-bondong keluar dari dalam rumah itu Dyah Mularsih, Tumenggung Jayatanu, dan Nyi Tumenggung. Nyi Lasmi tertegun memandang tiga orang yang dari pakaiannya saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah keluarga bangsawan. Dyah Mularsih maju ke depan menyambut suaminya.

"Diajeng Lasmi, inilah Diajeng Dyah Mularsih, ibu Niken Harni. Dyah Mularsih, ini Diajeng Lasmi, ibu Puspa Dewi."

Nyi Lasmi tertegun dan merasa canggung dan rendah melihat wanita cantik bersikap lembut yang berdiri di depannya dan yang memandang kepadanya dengan sepasang mata yang mengandung perasaan iba dan menyesal itu. Inilah isteri Prasetyo dan tidak aneh kalau Prasetyo jatuh cinta kepada wanita seperti ini. Ia pun isteri Prasetyo, akan tetapi sekarang ia sudah kotor dan hina, sudah menjadi selir Suramenggala selama beberapa tahun la merasa tidak pantas berada di antara keluarga inil

Dyah Mularsih juga memandang penuh perhatian. Ia melihat seorang wanita yang cantik manis, akan tetapi sinar mata Nyi Lasmi begitu penuh penderitaan, sayu dan kehilangan cahayanya, wajahnya agak pucat dan kurus, mulutnya seperti hendak menangis. Tiba-tiba ia merasa bersalah besar sekali terhadap wanita ini. Ialah yang menjadi penyebab wanita Ini menderita, berpisah dari suaminya dan hidup sengsara bersama anak nya, terlunta-lunta sampai jatuh ke tangan seorang laki-laki yang jahat.

"Mbakayu Lasmi....!" Ia mengeluh lalu menubruk dan merangkul Nyi Lasmi sambil menangis.

Nyi Lasmi terkejut dan heran, tak mengira madunya akan merangkulnya seperti itu. la hanya balas merangkul tanpa dapat mengeluarkan separah kata pun dan ia bingung harus berbuat dan berkata apa.

"Mbakayu Lasmi.... aku telah menyebabkan Andika.... menderita sengsara bertahun-tahun.... Mbakayu, maukah Andika mengampuni aku....?"

Mendengar ucapan yang tersendat-sendat bercampur isak dari Dyah Mularsih yang merangkulnya itu, Nyi Lasmi merasa terharu bukan main dan tak dapat ditahan lagi ia pun menangis. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa madunya akan bersikap seperti inil Saking terharunya, ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata dan hanya dapat sesenggukan.

Nyi Tumenggung juga memegang tangan Nyi Lasmi dan mengguncang-guncangnya. "Aduh Anakku Lasmi...., kami orang-orang tua yang telah bersalah terhadapmu. Kami yang dulu merampas suamimu untuk kami jodohkan dengan anak kami. Kami merasa menyesal sekali telah menyebabkanmu hidup merana, Angger...! Maafkan kami, Lasmi...."

Tangis Nyi Lasmi semakin mengguguk mendengar ucapan Nyi Tumenggung itu. Dua orang wanita yang merangkulnya itu sungguh merupakan orang-orang yang amat baik budi. Benar kata puterinya, Puspa Dewi. Mereka adalah orang-orang yang bijaksana, sedangkan ia sendiri.... ah, ia merasa semakin rendah.

"Kanjeng Bibi.... jeng Dyah.... mohon jangan berkata begitu.... sesungguhnya sayalah yang harus minta maaf.... kedatangan saya hanya akan mengganggu kebahagiaan keluarga yang terhormat ini.... saya.... saya.... tidak berharga untuk menjadi anggauta keluarga ini.... saya.... orang hina dina.... biarkan saya pergi....!" Nyi Lasmi meronta lepas dan hendak berlari keluar.

"Mbakayu Lasmi....!" Dyah Mularsih menjerit dan mengejar lalu merangkul madunya. juga Nyi Tumenggung kini merangkul Nyi Lasmi. Tiga orang wanita Itu bertangis-tangisan.

Kini Tumenggung Jayatanu melangkah menghampiri. Suaranya yang besar berkata dengan lembut dan tenang.

"Wah, kalian bertiga ini bagaimana sih? Sepantasnya pertemuan ini mendatangkan tawa bahagia, akan tetapi sebaliknya kalian malah bertangis-tangisan dengan sedih? Sudahlah, tidak perlu dan tidak ada sajah menyalahkan di antara kita semua. Ketahuilah, Lasmi, sejak Andika pergi, kami sekeluarga tiada hentinya berusaha mencari dan menemukan Andika untuk kami ajak hidup bersama kami sekeluarga. Namun kami tidak berhasil menemukan Andika, baru setelah cucuku Puspa Dewi datang ke sini, kami mencarimu di Karang Tirta ini. Sekarang kita sudah bertemu dan berkumpul, kita sepatutnya berbahagia. Puspa Dewi sudah menceritakan seluruhnya tentang penderitaanmu dan kami sama sekali tidak menyalahkanmu, sama sekali tidak memandang rendah padamu. Bahkan kami merasa kasihan kepadamu dan kami ingin melihat Andika hidup berbahagia bersama suamimu dan kami di dalam keluarga kami. Mari kita semua masuk dan bicara di dalam."

Dengan digandeng Dyah Mularsih, Nyi Lasmi ikut masuk dan hatinya merasa terharu, akan tetapi juga berbahagia sekali. Tadinya ia masih ragu walaupun Puspa Dewi sudah memberitahu akan kebaikan sikap keluarga Dyah Mularsih, bahkan pertemuannya dengan Prasetyo semakin memberi keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan diterima dengan baik.

Namun setelah kini ia mengalami sendiri dan merasakan kebaikan dan ketulusan hati Dyah Mularsih dan ayah ibu madunya itu, barulah ia merasa lega dan berbahagia sekali. Bahkan setelah mereka berdua malam Itu berada sekamar dan melihat Dyah Mularsih tampak gelisah memikirkan Nlken Harni, Nyi Lasmi menghiburnya.

"Tenangkan hatimu, Adik Dyah Mularsih. Kalian sekeluarga adalah orang-orang yang baik budi. Aku yakin bahwa Niken Harni tentu akan mendapatkan perlindungan dari Sang Hyang Widhi. Mari kita mendoakan saja semoga Sang Hyang Widhi selalu melindungi Niken Harni, kita berserah diri dan menerima dengan tulus Ikhlas apa yang telah ditentukan oleh Dia Yang Maha Kuasa. Juga, aku percaya bahwa anak kita Puspa Dewi akan mampu menemukan dan menyelamatkannya."

"Terima kasih, Mbakayu Lasmi. Aku pun mengharap demikian. Baru akan lega dan berbahagia sepenuhnya rasa hatiku kalau Niken Harni dan Puspa Dewi sudah berada bersama kita sehingga keluarga kita utuh seluruhnya dan berkumpul dalam ketumenggungan di Kahuripan."

Pada keesokan harinya, keluarga Itu naik kereta kembali ke Kahuripan, dikawal oleh sepasukan perajurit.

*********************


BERSAMBUNG KE JILID 09


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.