Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 11
Nenek berpakaian serba hitam itu berlari seperti terbang cepatnya ke arah selatan. Gadis jelita itu juga berlari cepat mengikuti di belakangnya. Rambutnya yang hitam tebal dan panjang itu terurai lepas dari sanggulnya, berkibar di belakang kepalanya seperti sehelai bendera hitam.
Kalau wajah nenek berpakaian hitam itu masih tampak tenang dan biasa saja, sebaliknya wajah gadis itu berkilau basah oleh keringatnya sendiri dan pernapasannya agak terengah. Namun dengan nekat ia berlari terus, tidak mau tertinggal oleh nenek yang berlari di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak saja!
Nenek itu berusia sekitar lima puluh satu tahun. Wajahnya masih membayangkan bekas wajah wanita cantik, namun wajah itu dingin dan tampak bengis, terutama sinar matanya. Pakaiannya yang serba hitam menambah seram penampilannya. Sebaliknya, gadis berusia sekitar delapan belas tahun lebih itu cantik jelita dan lincah. Mereka adalah Nini Bumigarbo, nenek yang amat sakti mandraguna itu bersama muridnya yang baru, yaitu Niken Harni.
Seperti kita ketahui, Niken Harni diselamatkan Nini Bumigarbo dan tertarik oleh watak Niken Harni yang lincah pemberani, nenek itu mengambilnya sebagai murid. Sekali ini Nini Bumigarbo mengambil murid bukan dengan maksud agar muridnya ini memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia tahu bahwa Niken Harni adalah gadis bangsawan Kahuripan, maka tidak dapat diharapkan akan memusuhi Sang Prabu Erlangga. Ia mempunyai maksud dan niat lain.
Gadis ini akan dijadikan murid untuk melampiaskan sakit hatinya terhadap Bhagawan Ekadenta. Bukan langsung memusuhi Bhagawan Ekadenta yang kesaktiannya tak pernah dapat ditandihginya itu, melainkan kepada semua laki-laki! Niken Harni yang cantik jelita pasti akan memikat hati banyak laki-laki dan la menghendaki agar murid barunya ini kelak menghancurkan kebahagiaan banyak laki-laki dengan mematahkan cinta dan harapan para laki-laki yang tergila-gila kepadanya!
"Bibi Gayatri, masih jauhkah perjalanan kita?" Niken Harni berseru kepada Nini Bumigarbo sambil terengah-engah, akan tetapi ia tetap nekat berlari cepat agar tidak tertinggal jauh.
Nini Bumigarbo terkekeh dan menghentikan larinya. Niken Harni tiba di dekatnya dan gadis ini baru menjatuhkan dirinya duduk di atas batu, mengatur pernapasan dan menyusut keringat yang membasahi leher dan mukanya.
"Heh-heh, engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, Niken. Aku senang melihatnya. Ternyata benar dugaanku, engkau murid yang amat berbakat."
"Masih jauh perjalanan kita?"
"Lihat itu. Laut Kidul sudah tampak dari sini, sudah dekat!" kata nenek itu sambil menuding ke selatan.
Niken Harni bangkit berdiri dan memandang. Benar saja, dari bukit kapur itu tampak laut membentang luas, tidak jauh lagi.
"Kita akan ke manakah, Bibi?"
"Lihat di sana itu, yang tampak menghitam di tengah laut! Kita akan ke sana!"
Niken Harni melihat sebuah pulau menghitam cukup jauh dari pantai.
"Ke pulau Itu?"
"Benar, Itulah Pulau Nusa barung yang akan kita kunjungi."
"Akan tetapi, siapa yang tinggal di sana dan mau apa kita ke sana, Bibi Gayatri?"
"Kita mengunjungi seorang kawanku, kawan baik di waktu ia masih muda. Sahabatku Itu menikah dengan seorang datuk terkenal bernama Dibya Krendasakti, juragan yang berkuasa di pulau itu. Sejak Woro Sumarni menikah dengan Dibya Krendasakti, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya."
Mereka melanjutkan perjalanan dan karena Niken Harni sudah mengaso, perjalanan dapat dilakukan cepat dan akhirnya mereka tiba di pantai Laut Kidul. Mereka menemukan bagian pantai yang landai dan di situ terdapat belasan buah perahu nelayan, sebagian sudah berada di lautan, akan tetapi ada dua buah perahu yang masih berada di pantai, sedang bersiap-siap untuk berangkat menyusul kawan-kawan mereka mencari ikan.
Nini Bumlgarbo menghampiri seorang nelayan. Nelayan ini berusia sekitar empat puluh tahun, tubuhnya hanya mengenakan celana hitam sebetis, dadanya yang telanjang tampak kokoh dan kulitnya menghitam terbakar sinar matahari. Melihat seorang nenek dan seorang gadis cantik menghampiri, dia memandang heran.
"Kisanak, antarkan kami ke tengah laut!" kata Nini Bumigarbo.
Nelayan itu memandang heran. "Ke tengah lautan? Andika berdua mau apa ke sana? Aku hendak mencari ikan, tidak sempat mengantar Andika...."
"Aku tidak peduli. Mau atau tidak engkau harus mengantar kami!" Nini Bumigarbo menghardik.
Nelayan itu marah, akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Niken Harni sudah maju dan menyodorkan sebuah cincin emas kepadanya.
"Kisanak, Andika turuti saja keinginan Bibiku ini. Cincin ini kalau Andika jual, hasilnya lebih besar daripada hasil tangkapan ikan selama satu bulan. Terimalah, cincin ini untuk menyewa perahu mu!"
Nelayan itu bengong, akan tetapi matanya bersinar gembira. Tanpa bicara dia lalu menerima cincin itu dan dengan tangannya mempersilakan dua orang wanita itu naik ke perahunya dan duduk di atas papan yang melintang di tengah perahu. Nelayan mendayung perahunya ke tengah. Sebagai seorang ahli naik perahu, dengan cekatan dia mendayung perahu melewati gulungan ombak yang menepi sampai dia berhasil melewati susunan ombak dan berada di atas air yang tenang.
"Ke mana kita akan pergi, Nona?" tanya nelayan itu.
"Ke sana, ke pulau itu." kata Niken Harni sambil menunjuk ke arah pulau.
Nelayan itu terbelalak. "Pulau Nusa Barung....?" bisiknya.
"Benar...!"
"Ah, tidak.... tidak bisa, aku tidak berani...." katanya.
"Hemm, takut apa? Jangan takut! Teruskan ke sana!" Nini Bumigarbo membentak.
"Tidak.... Tidak....! Apa artinya aku menerima upah besar kalau setibanya di sana aku mati?"
"Mengapa, Kisanak? Mengapa mati? Siapa yang akan membunuhmu?" tanya Niken Harni terheran.
"Siluman.... siluman akan membunuhku. Kami semua tidak ada yang berani mendekati pulau siluman itu..."
"Cukup! Jangan banyak bicara! Hayo cepat pasang layar dan kita menuju ke sana!" Nini Bumigarbo menghardik.
"Tidak..., aku tidak mau mati...." Nelayan itu lalu memutar perahunya dan hendak kembali ke pantai. Akan tetapi ia berteriak mengaduh ketika tangan Nini Bumigarbo memegang pundaknya. Rasanya pundak itu seperti dijepit baja yang keras dan panas.
"Masih hendak membantah? Apakah engkau ingin kuhancurkan pundakmu?"
Nelayan yang bertubuh kuat itu mengerahkan tenaga dan berusaha meronta untuk melepaskan tangan nenek yang mencengkeram pundaknya. Akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga meronta, semakin nyeri rasa pundaknya sehingga akhirnya dia menjadi lemas dan menghentikan perlawanannya.
"Aduh.... ampun..., akan tetapi... aku akan mati di sana...."
"jangan khawatir. Andika hanya mengantar kami dan Bibiku ini yang akan menanggung bahwa Andika tidak akan diganggu siluman di sana." kata Niken Harni.
Terpaksa nelayan itu lalu memasang dan mengembangkan layarnya yang tidak berapa besarnya. Perahunya meluncur cepat menuju kepulau yang tampak menghitam. Jelas tampak nelayan itu ketakutan. Wajahnya pucat, matanya jelalatan (liar) memandang ke arah pulau dan kedua tangannya yang mengendalikan perahu gemetar.
"Aduh celaka....!" Tiba-tiba dia berkata dengan suara gemetar.
"Ada apa?" tanya Niken Harni.
"Itu.... di sana... ikan hiu besar dan ganas...!" nelayan itu menunjuk ke sebelah kanan perahu.
Niken Harni melihat sirip-sirip besar meluncur tak jauh dari perahu. Sirip hitam runcing dan lebar. Ada dua buah meluncur ke arah perahu.
"Jangan takut!" Tiba-tiba Nini Bumigarbo membentak dan wanita Itu bangkit berdiri. Kemudian terjadilah hal yang bukan saja membuat nelayan itu terbelalak, bahkan Niken Harni juga terbelalak, hampir tak percaya akan apa yang dilihatnya. Ia tahu benar bahwa Nini Bumigarbo seorang yang sakti mandraguna, akan tetapi tidak pernah menduga akan sehebat itu kesaktiannya. Nenek itu ternyata melompat keluar dari perahu, kakinya tiba di atas air dekat dua ekor ikan hiu yang tampak siripnya itu.
Dua kali tangannya membuat gerakan menghantam ke arah dua ekor sirip itu. Air muncrat bergelombang dan ketika Nini Bumigarbo melompat kembali ke perahu, dua ekor ikan hiu yang lebih besar dari tubuh manusia itu terapung di atas air dengan perut mereka yang putih di atas, sudah mati! Dapat dibayangkan betapa hebatnya aji pukulan yang digunakan Nini Bumigarbo itu dan betapa hebatnya ilmunya meringankan tubuh sehingga ia mampu berdiri di atas air ketika menyerang dua ekor Ikan hiu itu!
Memang, Nini Bumigarbo yang dulu bernama Ni Gayatri ini merupakan seorang di antara murid-murid Sang Maha Resi Dewakaton yang dulu bertapa di puncak Gunung Semeru. Tingkat kepandaiannya hanya di bawah tingkat Sang Bhagawan Ekadenta atau Sang Bhagawan Jitendriya yang merupakan kakak seperguruannya.
"Melihat kesaktian nenek itu, Si Nelayan kini tidak berani banyak cakap lagi, tidak berani membantah dan dia melayarkan perahunya menuju Pulau Nusa Barung. Setelah tiba di pantai pulau itu, tampak ada lima orang laki-laki berdiri di pantai dan menyambut perahu itu dengan luncuran anak panah! Nini Bumigarbo mendengus dan sekali tangannya bergerak dikibaskan, empat batang anak panah yang meluncur ke arah tubuhnya dan tubuh nelayan, dapat dipukul runtuh oleh angin pukulannya. Sementara sebatang anak panah yang meluncur ke arah Niken Harni, dapat ditangkap oleh gadis itu!
"Heii, apakah kalian ini orang-orang gila yang bermata buta? Laporkan kepada Dibya Krendasakti bahwa aku Nini Bumigarbo Gayatri datang berkunjung! Kalau kalian menyerang sekali lagi, kalian akan mampus oleh anak panah kalian sendiri!"
Lima orang itu agaknya meragu dan berunding, lalu tiga orang di antara mereka memutar tubuh lari meninggalkan pantai. Akan tetapi yang dua orang lagi mementang busur mereka dan dua batang anak panah meluncur ke arah dada Nini Bumigarbo!
"Singggg...! Singggg....!!"
Nini Bumigarbo menggerakkan kedua tangan dan ia sudah menangkap dua batang anap panah itu, lalu kedua tangannya bergerak menyambitkan senjata itu kearah penyerangnya yang berdiri di tepi pantai.
Dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dua batang anak panah itu dengan tepat menembus leher mereka sehingga mereka tewas seketika! Perahu sudah menggulung layar dan nelayan mendayung perahunya mendarat. Dia menggigil ketakutan melihat peristiwa penyerangan tadi.
Setelah perahu ditarik ke atas pasir dan dua orang penumpangnya turun, nelayan itu tak berani bergerak, akan tetapi dengan suara gemetar dia bertanya kepada Niken Harni.
"Den Roro.... bolehkah saya sekarang pergi?"
"Tunggu! Jangan pergi sebelum kuperintah. Kalau melanggar, kamu akan mampus!" bentak Nini Bumigarbo dan nelayan itu menjadi pucat, lalu duduk mendeprok di atas pasir, di dekat perahunya.
Tak lama kemudian, terdengar suara tawa yang menggelegar, datangnya dari tengah pulau, makin lama semakin kuat suara tawa itu dan akhirnya muncullah seorang laki-laki yang menyeramkan. Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh seperti raksasa, rambutnya masih hitam digelung ke atas dan diikat dengan kain sutera merah. Pakaiannya mewah dan sebatang gendewa (busur) besar panjang tergantung di pundaknya. Tempat anak panah dengan belasan batang anak panah tersembul di belakang punggungnya.
Setelah tiba di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni, laki-laki itu berhenti melangkah, berdiri memandang kedua orang wanita itu dan menghentikan suara tawanya yang membuat nelayan tadi menelungkup sambil menutupi kedua telinganya yang rasanya seperti ditusuk-tusuk mendengar suara tawa yang mengandung kekuatan sihir tadi. Niken Harni sendiri harus mengerahkan tenaga sakti untuk melawan gelombang suara yang amat kuat itu. Kini kakek itu memandang kepada Nini Bumigarbo dengan alis berkerut, lalu berkata, suaranya dalam dan parau.
"Gayatri? Andika Gayatri yang kini terkenal sebagai Nini Bumigarbo? Hemm, aku masih mengenal wajahmu Gayatri. Masih cantik, akan tetapi Andika tampak tua!"
Nini Bumigarbo mendengus. "Huh, tengoklah mukamu sendiri, Dibya Krendasakti! Engkau juga sudah menjadi kakek tua bangka!"
Kembali terdengar suara tawa bergelak-gelak. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, mukanya menengadah, mulutnya terbuka lebar, dadanya membusung dan suara tawa itu semakin bergelombang, bergetar dan terkadang seperti halilintar menggeledek. Niken Harni tak dapat bertahan lagi. Terpaksa ia lalu duduk bersila dan memejamkan kedua matanya, melindungi dirinya dengan himpunan kekuatan batinnya, tenaga saktinya menjaga pendengarannya. Akan tetapi nelayan itu kini jatuh bergulingan sambil menutupi telinganya dengan tangan, mengaduh-aduh, mukanya sepucat mayat. Akan tetapi Nini Bumigarbo tetap berdiri tenang, kemudian berkata dengan suaranya yang tinggi melengking.
"Kamu Iblis Tua! Beginikah menyambut seorang sahabat yang bertamu?"
Teguran itu membuat kakek yang bernama Dibya Krendasakti itu menghentikan tawanya. Niken Harni membuka matanya dan bangkit berdiri lagi. Nelayan itu juga bangkit duduk dan dari kedua telinganya mengalir darah.
"Heh, sampah itu tidak layak berada di sini!" kata Kakek itu menuding kepada nelayan.
"Dia nelayan yang mengantar kami ke sini!" kata Nini Bumigarbo. "Dan dia akan mengantar kami kembali ke darat sana."
"Hemm, Gayatri, engkau kira aku ini orang apa? Aku pun dapat menjadi seorang tuan rumah yang pantas. Aku punya banyak perahu dan orang-orangku dapat mengantar engkau pulang. Suruh dia pergi dari sini sekarang juga atau aku akan lempar dia ke laut menjadi makanan ikan!"
Nini Bumigarbo menoleh kepada nelayan itu dan berkata, "Pergilah engkau dari sini!"
Nelayan itu tampak girang sekali. Dia menyembah dan mendorong perahunya ke air, lalu mendayungnya sekuat tenaga, tidak memperdulikan kedua telinganya yang terasa nyeri.
Menyaksikan semua ini, timbul rasa penasaran dalam hati Niken Harni.
"Bibi Gayatri, mengapa Andika membiarkan saja orang tua ini berbuat kejam dan sewenang-wenang memamerkan kesaktiannya mencelakai orang lain yang sama sekali tidak bersalah kepadanya?"
"Niken, pulau yang kita injak ini adalah Nusa Barung dan Dibya Krendasakti adalah pemilik dan penguasa di sini. Dia boleh berbuat sekehendak hatinya di pulaunya sendiri."
"Akan tetapi kalau kita disambut seburuk ini, untuk apa kita bertamu di sini?"
"Hoa-ha-ha! Perawan cilik kemethik! Bicaramu penuh teguran kepadaku. Ha-ha-ha, baru ini aku ditegur bocah kemarin sore yang ubun-ubun kepalanya masih berbau brambang (bawang merah). Gayatri, siapa sih bocah lucu namun kemethak (layak dipukul) ini?"
"Ini muridku yang baru, Niken Harni."
"Aha, pantas menjadi muridmu. Sama kewat (genit) dan cerewetnya dengan kamu waktu muda dulu! Hemm, ia juga berbakat baik. Eh, Niken Harni, tadi aku sengaja hendak menguji kalian. Kalau engkau ingin melihat sambutanku sebagai tuan rumah yang baik, mari, kalian ikut aku!"
Nini Bumigarbo dan Niken Harni mengikuti Dibya Krendasakti menuju ke tengah pulau. Ketika melewati mayat dua orang anak buahnya, Dibya Krendasakti mengomel. "Huh, orang-orang ini tolol sekali berani menyerangmu dengan panah, Gayatri."
Nini Bumigarbo tersenyum. "Hemm, mereka sudah kuperingatkan namun nekat. Agaknya memang mereka sudah bosan hidup, Dibya. Akan tetapi aku tidak minta maaf kepadamu, lho!"
"Hoa-ha-ha, di antara kita apakah perlu bermaaf-maafan? Kita sudah saling mengenal watak masing-masing." Raksasa yang gagah itu tertawa dan Niken yang memperhatikan sekeliling melihat orang-orang yang sedang mengerjakan sawah ladang. Begitu melihat Dibya Krendasakti, mereka cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam.
Kiranya mereka itu adalah anak buah penguasa Nusa Barung ini. Dari percakapan dua orang tua itu dalam perjalanan menuju perkampungan tempat tinggal Dibya Krendasakti, Niken mengetahui bahwa raksasa itu mempunyai anak buah sebanyak seratus orang yang tinggal di pulau itu. Sebagian dari mereka adalah murid-muridnya. Di Nusa Barung, Dibya Krendasakti hidup bersama isterinya yang bernama Woro Sumarni yang ketika gadis dulu menjadi sahabat Gayatri yang kini menjadi Bumigarbo.
"Huh, setelah engkau menjadi raja kecil di pulau ini, tentu hidupmu seperti raja. Kaya-raya, dipuja dan ditaati banyak anak buah, dan terutama sekali, punya banyak isteri..!" kata Nini Bumigarbo dengan nada mengejek.
"Engkau menuduh secara membuta, Gayatri. Aku sejak dulu hanya mempunyai seorang isteri, yaitu Woro Sumarni!"
"Huh, mulut laki-laki! Siapa percaya?"
"Aku tidak bohong, Gayatri. Aku terlalu mencinta Woro Sumarni!" kata Kakek itu, akan tetapi suaranya mengandung kesedihan. Hal ini terasa benar oleh Niken Harni, akan tetapi agaknya tidak terasa oleh Nini Bumigarbo.
"Aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya dan mendengar pengakuan Woro Sumarni sendiri." kata Nenek itu.
"Kalau begitu, nanti akan kau saksikan dan kau dengar."
Kini mereka tiba di perkampungan di mana terdapat banyak rumah-rumah dari kayu yang kokoh dan cukup baik. Akan tetapi yang paling besar dan indah terdapat di tengah perkampungan dan inilah rumah Dibya Krendasakti. Begitu memasuki pekarangan, tiga orang murid yang bertubuh kekar menyambut dengan penghormatan mereka. Tiga Orang murid ini yang bertugas jaga di depan rumah pada saat itu. Setelah memasuki pendapa rumah, lima orang wanita berpakaian pelayan menyambut dengan sembah penghormatan mereka.
"Perintahkan ke dapur untuk mempersiapkan pesta meriah menyambut tamu-tamu kehormatan ini. Cepat!" kata Dibya Krendasakti kepada para pelayan itu yang segera berlari kecil masuk ke dalam rumah.
"Mari, kita duduk di ruangan tamu." Dibya Krendasakti mengajak kedua orang tamunya.
Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar di ruangan tamu yang luas itu, dua orang tua sakti itu bercakap-cakap, sedangkan Niken Harni hanya duduk diam mendengarkan.
"Aku mendengar kabar angin bahwa gadis jelita Gayatri itu telah menjadi Nini Bumigarbo yang tersohor! Ha-ha-ha, siapa sangka hari ini Nini Bumigarbo datang berkunjung. Eh, Gayatri, bagaimana kabarnya dengan Adi Ekadenta, Kakak seperguruan mu yang juga pacarmu yang ganteng itu? Tentu kalian telah menjadi suami isteri!"
"Cukup! Jangan bicara tentang dia, jangan sebut namanya!" Nini Bumigarbo memotong dengan ketus dan wajahnya berubah kemerahan.
"Lhadalah! Hubungan mesra itu gagal dan terputus, ya? Ha-ha-ha-ha! Kebahagiaan tidak selamanya singgah pada wajah-wajah yang cantik! Baiklah, aku tidak akan bicara tentang dia."
"Mana sahabatku Woro Sumarni? Panggil ia keluar menemuiku. Aku sudah kangen (rindu) padanya." kata Nini Bumigarbo.
"Gayatri, kita tidak bicara tentang Adi Ekadenta maka kita tidak bicara pula tentang Woro Sumarni. Akan tetapi ia akan menemani kita makan-makan nanti. Engkau pasti akan bertemu dengannya. Sekarang yang penting, katakan, apa yang membawamu datang berkunjung? Aku tidak percaya kalau hanya karena kangen kepada Woro Sumarni. Apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku sedang membutuhkan pertolongan dan mengingat akan kemampuanmu dan bahwa engkau adalah seorang sahabatku, maka aku datang berkunjung ini untuk minta bantuanmu, Dibya!"
"Heh-heh-heh, Nini Bumigarbo yang tersohor itu masih membutuhkan bantuan orang lain? Aneh sekali! Coba katakan, bantuan apa yang dapat kuberikan padamu?"
"Aku minta bantuan agar engkau suka mencuri Cupu Manik Maya dari gedung pusaka milik Sang Prabu Erlangga di Istana Kahuripan."
Sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran. "Hemm, aneh sekali! Bukankah Cupu Manik Maya itu merupakan sebuah di antara pusaka wahyu kraton yang menjadi ciri kekuasaan raja? Untuk apa engkau menginginkan benda pusaka itu, Gayatri? Apakah engkau bercita-cita menjadi ratu?"
"Tidak, Dibya. Kalau engkau berhasil mengambil benda pusaka itu, engkau boleh memilikinya karena engkaulah yang kini bahkan menjadi raja kecil di Nusa Barung. Aku tidak membutuhkan pusaka itu."
"Hemm, kalau engkau tidak membutuhkan pusaka itu, lalu mengapa engkau menyuruh aku mencurinya?"
"Aku hanya ingin agar Sang Prabu Erlangga gelisah dan susah karena kehilangan benda pusaka yang penting itu. Aku ingin agar kekuasaan Sang Prabu Erlangga menjadi lemah dan akhirnya hancur. Aku benci kepadanya dan ingin melihat dia sengsara dan jatuh dari kedudukannya sebagai raja besar!"
"Lho! Mengapa begitu?"
"Aku benci padanya! Aku benci kepada Sang Prabu Erlangga dan Patih Narotama. Aku ingin keduanya hancur, Kerajaan Kahuripan jatuh. Aku benci...!!"
"Wah, kalau engkau membenci mereka dan ingin agar benda pusaka itu dicuri, mengapa tidak kau lakukan saja sendiri, Gayatri? Aku yakin kalau engkau mau, akan mudah bagimu untuk mencuri benda pusaka itu!"
Nini Bumigarbo cemberut. "Kalau aku bisa melakukannya, apa kau kira aku akan datang ke sini dan minta tolong kepadamu?"
"Lho! Mengapa tidak bisa, Gayatri? Apa engkau takut terhadap raja yang masih muda itu? Menggelikan!"
"Siapa yang takut?" Nini Bumigarbo menghardik. "Aku tidak takut, akan tetapi aku tidak bisa melakukannya sendiri karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu mereka dengan tanganku sendiri!"
"Eh? Kepada siapa engkau berjanji itu, Gayatri?"
"Hemm, sudahlah, tak perlu engkau banyak bertanya. Sekarang jawab saja, maukah engkau membantuku melakukan pencurian benda pusaka Cupu Manik Maya?"
"Hemm.... entahlah.... akan kupikirkan dulu, Gayatri. Nanti kujawab sehabis kita makan."
Pada saat itu, pelayan datang memberitahu bahwa hidangan telah dipersiapkan di ruang makan.
"Ha-ha-ha, bagus! mari, Gayatri dan engkau juga, Niken Harni, mari kita makan bersama dalam ruang makan." Ki Dibya Krendasakti tampak gembira sekali.
Nini Bumigarbo dan Niken Harni mengikutinya meninggalkan ruang tamu menuju ke ruang makan yang ternyata juga cukup luas dan prabotannya mewah. Sebuah meja makan persegi yang besar berada di tengah ruangan. Lima buah kursi berada di seputar meja. Belasan macam masakan berada di atas meja, dan masih mengepulkan uap. Tiga orang pelayan wanita berdiri di dekat dinding, dengan sikap hormat dan siap melayani.
"Ha-ha, duduklah, Gayatri dan Niken. Kalian berdua duduk di sini." Dia menunjuk dua buah kursi yang berjajar. Di seberang meja, berhadapan dengan mereka, terdapat dua buah kursi yang berjajar pula, sedangkan Ki Dibya Krendasakti sendiri duduk di kepala meja.
Diam-diam Nini Bumigarbo merasa heran mengapa ada dua buah kursi kosong di depannya. Siapa yang akan duduk disitu? Akan tetapi ia tidak menyinggung hal itu ketika bertanya.
"Dibya, di mana sahabatku Woro Sumarni? Aku ingin bertemu dengannya dan kau bilang tadi ia akan hadir dalam perjamuan ini."
"Sabar, Gayatri, sebentar juga ia akan datang." Ki Dibya lalu berkata kepada seorang pelayan. "Cepat kamu mohon Bendoro Puteri untuk hadir sekarang!" Pelayan itu membungkuk lalu pergi.
Tak lama kemudian, muncullah orang yang dinanti-nanti Nini Bumigarbo. Niken Harni ikut memandang dan ia merasa kagum. Seorang wanita, usianya sekitar empat puluh delapan tahun, masih cantik dan tubuhnya ramping padat, kulitnya kuning, namun wajahnya pucat dan matanya suram tanpa gairah, mulutnya yang manis bentuknya itupun menunjukkan hati yang penuh duka.
Pakaiannya mewah, bersih dan rapi, dari sutera mahal. Rambutnya masih hitam, panjang dan digelung rapi, dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sungguh seorang wanita yang anggun dan cantik. Namun ia pucat dan tak bersemangat, bahkan seperti mayat hidup. Ki Dibya Krendasakti cepat bangkit dari duduknya dan menarik dua buah kursi yang berjajar di depan Niken dan Nini Bumigarbo.
"Diajeng, duduklah."
Wanita itu duduk dengan lesu. Yang membuat Niken Harni terbelalak adalah ketika ia melihat seorang pelayan wanita yang tadi berjalan di belakang wanita cantik itu, membawa sebuah baki kecil hitam yang tertutup sehelai kain kuning. Pelayan itu kini meletakkan baki di atas meja, di depan kursi kosong yang berada di sebelah kiri wanita cantik Itu. Kemudian dengan perlahan dan hati-hati la membuka kain kuning yang menutup baki.
Niken Harni terbelalak dan menahan seruan kagetnya ketika melihat bahwa di atas baki itu terdapat sebuah tengkorak. Tulang itu putih bersih dengan lubang-lubang ternganga pada kedua mata, hidung dan mulutnya. Yang mengerikan adalah mulut tengkorak itu. Masih tampak deretan gigi berbaris rapi pada mulut yang setengah terbuka itu sehingga tengkorak itu seolah menyeringai mentertawakan!
"Diajeng Woro Sumarni, lihat siapa yang datang mengunjungi kita ini!" kata pula Dibya Krendasakti kepada isterinya yang sejak tadi hanya menundukkan muka dan sama sekali tidak melihat ke arah Nini Bumigarbo dan Niken Harni.
"Woro! Engkau kenapa? Ini aku, Gayatri!" kata Nini Bumigarbo sambil bangkit dari kursinya dan menghampiri wanita itu.
Woro Sumarni mengangkat mukanya memandang, sikapnya dingin saja ketika la berkata.
"Ah, engkaukah yang datang, Mbakayu Gayatri?" Setelah berkata demikian, ia menunduk kembali.
Nini Bumigarbo merangkul Woro Sumarni yang dulu ketika masih sama-sama muda menjadi sahabat baiknya.
"Marni..., engkau kenapakah....?"
Akan tetapi Woro Sumarni bersikap dingin saja, menggeleng kepalanya dan berkata, "Tidak apa-apa, Mbakayu Gayatri."
"Ha-ha-ha, Gayatri, ternyata isteriku tercinta ini lebih tenang daripada kamu. Duduklah dan mari kita mulai dengan perjamuan makan yang kami adakan untuk menyambut kalian berdua sebagai tamu kehormatan." Kemudian Dibya Krendasakti memberi isarat kepada para pelayan wanita yang kini berjumlah empat orang itu. "Hayo isi cangkir kami dengan minuman!"
Empat orang pelayan itu dengan cekatan lalu menuangkan minuman berwarna kuning dan dari baunya dapat diketahui bahwa minuman itu terbuat dari perasan jeruk ke dalam cangkir-cangkir kosong yang berada di atas meja di depan Ki Dibya Krendasakti, Nini Bumigarbo, dan Niken Harni.
Di depan wanita cantik itu tidak terdapat gelas kosong dan anehnya, pelayan yang tadi membawa baki terisi tengkorak itu lalu menuangkan minuman ke dalam tengkorak melalui lubang yang berada di bagian ubun-ubun kepala tengkorak itu! Agaknya lubang-lubang di bagian bawah telah ditambal sehingga minuman itu berada di dalam tengkorak, tidak mengalir keluar.
"Mari kita minum untuk menyambut pertemuan yang menggembirakan ini!" kata Dibya Krendasakti sambil mengangkat cangkirnya.
Minuman yang terbuat dari perasan jeruk itu tampak segar dan baunya juga sedap menimbulkan selera. Niken Harni dan Nini Bumigarbo juga sudah mengangkat cangkir masing-masing akan tetapi Woro Sumarni diam saja, dan melihat ini, dua orang tamu itu memandang penuh rasa heran. Di depan Nyonya rumah itu tidak terdapat cangkir lain jeruk.
"Mari, Diajeng, isteriku yang tercinta, Isteriku yang ayu manis merak ati, mari kita minum!" Suara Dibya Krendasakti tampak lembut membujuk dan mesra, namun ada tekanan pada akhir kalimat yang mengandung kekerasan.
Niken Harni memandang Woro Sumarni dengan penuh perhatian, la tidak mengerti apa maksud Ki Dibya dengan ucapannya kepada isterinya itu. Sejak wanita itu datang dan melihat tengkorak itu ditaruh di atas meja, berhadapan dengannya, Niken Harni sudah merasa tidak suka dan muak. Woro Sumarni, tanpa memandang siapa pun, menggunakan kedua tangannya mengambil tengkorak itu, dihadapkan kepadanya, lalu mendekatkan tengkorak itu dan mulutnya dirapatkan pada mulut tengkorak yang ditundukkan. Ia minum minuman itu yang keluar dari mulut tengkorak dan tampak tentu saja seperti orang berciuman!
"Gayatri dan Niken, mari kita minum, ha-ha-ha!" Dibya Krendasakti berkata lalu minun dari cangkirnya.
Nini Bumigarbo agaknya sama sekali tidak peduli akan perbuatan Woro Sumarni. Ia Juga minum sampai minuman itu habis. Akan tetapi Niken Harni merasa muak dan tidak mau minum, bahkan lalu menaruh kembali cangkir minuman itu di atas meja. Seperti juga Nini Bumigarbo, Ki Dibya menghabiskan minumannya. Bahkan Woro Sumarni juga menghabiskan minumannya, minum melalui mulut tengkorak, lalu seperti menaruh cangkir kosong, ia meletakkan kembali tengkorak itu ke atas meja.
Melihat Niken Harni tidak mau minum, Ki Dibya berkata, "Niken Harni, minumlah air jeruk yang segar itu, dan rnari kita makan bersama dengan gembira."
Niken Harni marah sekali, la sudah muak dan rasanya mau muntah, la bangkit berdiri dengan kasar dan sebelum membentak nyaring ia menggebrak meja sehingga mangkuk piring di atas meja berloncatan.
"Brakk...!
Aku tidak suka makan minum bersama manusia iblis macam kamu...! Bibi Gayatri, mengapa Bibi diam saja melihat laki-laki iblis jahanam ini menghina dan menyiksa isterinya, yang sahabat Bibi sendiri, seperti ini? Iblis ini sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi!"
Nini Bumigarbo adalah seorang datuk aneh yang sama sekali tidak tersentuh perasaannya oleh peristiwa apa pun juga. Juga Ki Dibya Krendasakti juga seorang datuk yang luar biasa, biar dimaki seperti Itu, malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku menghina dan menyiksa isteriku yang amat kucinta ini? Heh-heh-heh, Diajeng Woro Sumarni, isteriku sayang, pujaan hatiku, tolong ceritakan kepada perawan cantik yang kewat (genit) ini, siapakah yang kejam? Ceritakan semuanya agar sahabatmu Gayatri ini juga mendengar dan mengerti."
Ucapan itu lembut dan manis, namun terasa ada kekerasan yang mengancam oleh Niken Harni. Woro Sumarni menghela napas panjang, mengangkat muka memandang suaminya, kemudian menoleh dan memandang ke arah tengkorak itu, dan akhirnya ia menghadapkan mukanya kepada Niken Harni dan Nini Bumigarbo yang duduk berhadapan dengannya, di seberang meja. Setelah menghela napas panjang sekali lagi, ia lalu bicara, suaranya lembut halus, mengandung penyesalan dan kedukaan.
"Sesungguhnyalah, Kakangmas Dibya Krendasakti tidak bersalah, tidak kejam dan tidak menyiksaku, melainkan dia amat mencintaku. Akulah yang bersalah kepadanya, akulah yang kejam dan telah menyiksa batinnya."
Niken Harni terheran-heran mendengar ucapan wanita itu. Nini Bumigarbo sambil minum lagi minuman yang sudah diisi ke dalam cangkirnya oleh pelayan, memandang sahabatnya itu dan berkata.
"Marni, tadi aku mendengar suamimu mengatakan bahwa engkau boleh menceritakan semuanya agar aku dan muridku dapat mendengar dan mengerti keadaanmu. Nah, sekarang ceritakan kepada kami apa kesalahanmu kepada Dibya Krendasakti. Kekejaman dan penyiksaan batin apakah Yang telah kau lakukan kepadanya."
Wanita itu mengarahkan pandang matanya kepada suaminya dan Dibya Krendasakti tersenyum dan mengangguk, kemudian dia menoleh ke belakang dan berseru galak kepada empat orang pelayan wanita itu.
"Kalian berempat keluar dari ruangan ini dan tutupkan daun pintunya. Awas, kalau ada yang mengintai dan mendengarkan pasti akan kulemparkan ke sarang ikan hiu!"
Ancaman itu agaknya bukan gertak sambal karena empat orang pelayan itu menjadi pucat dan segera keluar dari ruangan makan itu. Agaknya sudah pernah atau bahkan sering ada anak buah yang melakukan kesalahan dan benar-benar dilempar ke laut dan menjadi makanan gerombolan ikan hiu yang ganas dan buas. Setelah menghela napas lagi, Woro Sumarni mulai bercerita dengan suara lirih, lembut dan datar.
"Terjadinya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, Mbakayu Gayatri. Setahun setelah aku menjadi lsteri Kakangmas Dibya Krendasakti, kami pindah ke Pulau Nusa Barung ini dan kami hidup berbahagia. Kami saling mencinta, terutama suamiku amat mencintaku. Lalu.... Kakangmas Kunarpo datang berkunjung ke sini...."
"Hemm, Kunarpo adik seperguruan Dibya?"
"Benar, Mbakayu. Mungkin engkau masih ingat, dia seorang pemuda tampan, ketika itu berusia sekitar dua puluh lima tahun dan aku berusia dua puluh tiga tahun..."
"Dan aku sudah tiga puluh lima tahun, jauh lebih tua, ha-haha!" potong Dibya Krendasakti.
"Semula tidak terjadi sesuatu, Mbakayu Gayatri. Akan tetapi, Kakangmas Kunarpo dan aku masih muda dan dia memang memiliki pribadi yang menarik dan tentu saja, dia jatuh cinta kepada ku, Kakak iparnya sendiri. Lebih lagi Kakangmas Dibya Krendasakti terlalu memanjakan aku dan mempercaya kami berdua sehingga kami berdua seringkali ditinggalkan karena dia sibuk membangun pulau ini. Terkadang sampai dua tiga hari dia tidak pulang dan kami tinggal berdua saja dalam rumah. Kami tidak mampu menahan godaan nafsu maka terjadilah hubungan cinta di antara kami."
Gayatri atau Nini Bumigarbo mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar betapa lemahnya sahabatnya itu. Padahal, menurut pendapatnya, yang lemah dalam kesetiaan cinta adalah kaum pria, sedangkan wanita, seperti ia sendiri, tetap setia kepada cintanya sehingga ia sendiri begitu berpisah dari Ekadenta tidak mau berdekatan lagi dengan pria!
"Huh, memalukan sekali, Mami!" kata Nini Bumigarbo dan kembali ia menenggak minuman dari cangkirnya yang ia isi sendiri karena semua pelayan telah pergi.
"Bibi Gayatri biarkan Bibi Woro Sumarni melanjutkan ceritanya!" kata Niken Harni yang merasa iba kepada wanita yang lemah lembut tutur bahasanya itu. "Lanjutkanlah, Bibi Woro Sumarni."
"Akhirnya hubungan kami diketahui Kakangmas Dibya Krendasakti. Tentu saja dia marah sekali kepada Kakangmas Kunarpo dan menantangnya untuk bertanding sampai mati memperebutkan diriku...."
"Huh, kau dengar itu, Niken? Laki-laki memang biadab, memperebutkan wanita yang dianggap sebagai permainan belaka!" kata Nini Bumigarbo.
"Teruskanlah ceritamu, Bibi Woro Sumarni." kata Niken.
"Mereka bertanding dan Kakangmas Kunarpo tewas dalam pertandingan itu."
"Heh-heh-heh, dia mengalah. Adi Kunarpo sengaja mengalah dan rela mati untuk Diajeng Woro Sumarni. Hemm, dia amat mencinta Diajeng Woro Sumarni, akan tetapi aku lebih mencintanya!"
"Lanjutkanlah, Bibi Woro Sumarni!" desak Niken Harni sambil mengerling kepada Dibya Krendasakti dengan mata mencorong karena tak senang.
"Setelah Kakangmas Kunarpo tewas.... Kakangmas Dibya Krendasakti mengatakan bahwa Kakangmas Kunarpo berhak untuk terus merasakan cintaku dan harus terus berdampingan dengan aku. Maka, Kakangmas Dibya Krendasakti membiarkan Kakangmas Kunarpo selalu bersanding denganku, katanya agar aku tidak rindu setelah ditinggal mati kekasihku..."
"Ahh! Jadi.... tengkorak ini adalah tengkoraknya?" Niken Harni berseru nyaring dan memandang tengkorak itu dengan mata terbelalak.
"Benar. Ini adalah tengkorak Kakangmas Kunarpo yang sengaja dipenggal dan dikeringkan. Aku diharuskan minum dari mulut tengkorak untuk menyatakan cintaku kepada Kakangmas Kunarpo, dan tidak pernah berpisah. Bahkan kalau malam, tengkorak ini ditaruh di pembaringanku dan Kakangmas Dibya Krendasakti membiarkan tengkorak ini menjadi saksi ketika dia membelaiku, bercinta dan menggauli aku...."
"Wah, keparat jahanam!!" Niken Harni kini bangkit berdiri dan memandang kepada tuan rumah dengan muka merah dan mata mencorong penuh kemarahan.
"Heh-heh, Diajeng Woro Sumarni, katakanlah, apakah selama dua puluh lima tahun ini aku tidak memperlihatkan cintaku kepadamu yang berlimpahan? Pernahkah aku menyiksamu, atau memakimu, atau memukul dan menghinamu?"
"Tidak, Kakangmas Dibya Krendasakti bersikap amat mencintaku, bahkan berlebihan, seolah hendak pamer kepada tengkorak Kakangmas Kunarpo bahwa dia memang benar-benar amat menyayangku, amat mencintaku dan tetap mencintaku biarpun aku telah mengkhianatinya dan menyeleweng. Dia tidak mau mempunyai selir seorang pun, dia hanya mencinta aku seorang dan aku.... aku memang layak menerima hukuman derita batin ini...."
"Bohong! Dia masih gila karena dendam dan cemburu! Dia pada lahirnya bilang cinta, akan tetapi sesungguhnya pada batinnya penuh dendam kebencian dan cemburu! Dia menyiksamu dengan kejam sekali, Bibi Woro Sumarni! Dan Bibi menderita hebat! Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Bibi menjadi seperti mayat hidup, semangat dan kebahagiaan Bibi telah mati, yang ada hanya kepedihan hati dan derita!" Niken Harni berteriak lantang.
Tiba-tiba Woro Sumarni menutup mukanya dengan kedua tangannya. Tidak mengeluarkan suara, akan tetapi jelas ia menangis sedih. Air matanya menetes keluar dari celah-celah jari tangannya, pundaknya terguncang-guncang.
"Ah, Diajeng Woro Sumarni, isteriku sayang. Mengapa engkau menangis? Bukankah aku selalu mencintamu dan engkau tidak kekurangan sesuatu di sini, hidup berbahagia sebagai isteriku?" Dibya Krendasakti membujuk dengan lembut dan mengelus pundak isterinya.
"Dibya Krendasakti, engkau manusia berwatak iblis! Engkau menyiksa hati Bibi Woro Sumarni dengan kejam! Lebih kejam dari pembunuhan. Selama dua puluh lima tahun engkau menyiksanya seperti ini, menghinanya dan menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya! Engkau jahat! Bibi Gayatri, buat apa kita menjadi tamu manusia iblis seperti dia ini?" Niken Harni membentak-bentak saking marahnya.
"Ha-ha-ha, Niken Harni Engkau memang pantas menjadi murid Gayatri. Engkau kewat dan galak seperti Gayatri di waktu muda Nah, Cah ayu (Anak cantik), sekarang katakan, apa yang kau ingin aku lakukan? Apakah aku harus mengubah cintaku terhadap isteriku?"
"Dibya Krendasakti! Engkau harus membebaskan Bibi Woro Sumarni dari siksaan ini. Tengkorak itu harus dikubur dan engkau harus memberi kebebasan kepada isterimu...!"
"Kalau aku menolak?"
"Terpaksa aku akan menghajarmu!" Niken Harni berseru galak.
"Ha-ha-ha-heh-heh!" Dibya Krendasakti tertawa bergelak dan terkekeh-kekeh, tidak marah, melainkan geli bahkan gembira. "Bocah ayu, engkau akan menghajarku? Begini saja, kita bertanding. Kalau aku kalah, aku akan menaati perintahmu, akan tetapi kalau engkau kalah, engkau menjadi isteriku yang ke dua. Baru sekali ini aku tertarik kepada seorang gadis lain...!"
"Keparat! Siapa sudi menjadi Isterimu? Kalau aku kalah, lebih baik aku mati daripada menjadi isteri seorang laki-laki yang kejam seperti iblis macam kamu!"
"Wah, Dibya, engkau tua bangka menantang muridku? Tak tahu malu! Kalau sudah gatal tanganmu dan ingin bertanding, akulah musuhmu. Kita tua sama tua dan mari kita bertaruh. Kalau dalam pertandingan kita engkau kalah, engkau harus memenuhi permintaanku tadi dan permintaan Niken, yaitu engkau harus mencuri Cupu Manik Maya dari Istana Kahuripan dan engkau harus membebaskan Woro Sumarni dari penyiksaanmu untuk melampiaskan dendam dan cemburumu."
"Dan kalau aku yang menang, aku boleh bersikap sesuka hatiku terhadap isteriku, dan Niken Harni harus menjadi isteriku. Bagaimana, Gayatri, pertaruhan ini telah adil, bukan?"
"Baik...! Kalau engkau kalah, engkau harus memenuhi permintaan kami tadi. Sebaliknya kalau aku yang kalah, aku tidak akan menghalangi apa yang hendak kau lakukan terhadap Woro Sumarni dan terhadap Niken Harni."
"Bagus! Mari kita lakukan pertandingan itu sekarang juga! Aku ingin cepat-cepat dapat menikmati pengantinan dengan Niken Harni. Gayatri, terus terang saja, aku belum pernah tertarik wanita lain, kecuali isteriku dan dulu aku pernah tergila-gila kepadamu. Sekarang, muridmu Ini menjadi penggantimu. Ha-ha-ha-ha.."
"Ruangan Ini pun cukup luas untuk kita bertanding, Dibya. Mari kita mulai agar cepat selesai!" Nini Bumigarbo meninggalkan kursinya.
Niken Harni dan Woro Sumarni juga bangkit berdiri dan Niken cepat mendorong meja penuh hidangan Itu ke pinggir sehingga ruangan itu menjadi semakin luas. Nini Bumigarbo sudah berdiri di tengah ruangan itu. Sambil menyeringai dan bersikap memandang rendah, Ki Dibya Krendasakti juga melangkah dan menghampiri Nini Bumigarbo.
Tidak aneh kalau kakek itu memandang ringan calon lawannya. Bukan karena dia berwatak sombong, akan tetapi karena memang dulu, ketika mereka masih muda dan sudah saling mengenal, tingkat kepandaian Dibya Krendasakti memang lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Nini Bumigarbo. Pada waktu itu, kepandaian Dibya Krendasakti sudah tinggi dan setingkat dengan Ekadenta.
Dan sejak itu, Dibya Krendasakti terus memperdalam iImu-ilmunya sehingga kini dia menganggap ringan kepandaian Gayatri yang telah menjadi Nini Bumigarbo. Tentu saja dia tidak tahu betapa karena ditolak cintanya oleh Ekadenta dan dalam usahanya yang tiada hentinya ingin mengungguli kepandaian kakak seperguruannya itu, Nini Bumigarbo terus meningkatkan kepandaiannya, biarpun ia sudah semakin tua.
Niken Harni yang merasa iba kepada Woro Sumarni, menarik dua buah kursi ke dekat dinding, menjauhi meja dimana terdapat tengkorak itu. Lalu dengan halus ia menggandeng tangan wanita itu dan mengajaknya duduk di atas kursi Itu, menonton pertandingan. Akan tetapi setelah mereka duduk berdampingan, Woro Sumarni berkata lirih, suaranya penuh teguran.
"Niken, mengapa engkau lakukan ini? Engkau membuat aku susah saja."
"Eh? Bibi, aku melakukan ini untuk membelamu!"
"Tidak, Niken. Pertandingan itu akibatnya akan membuat aku susah. Kalau Mbakayu Gayatri menang, kemudian suamiku membiarkan aku pergi dan berpisah darinya, hidupku tidak ada artinya lagi. Kalau suamiku yang menang dan mengambilmu sebagai isteri, hal itu pun akan menghancurkan hatiku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari dia atau melihat dia mencinta wanita lain."
Niken terbelalak. Hati gadis muda ini terkejut dan heran, juga tidak mengerti.
"Bibi.... engkau.... engkau begitu amat mencintainya?"
"Tentu saja aku mencintainya, Anak bodoh."
Niken Harni tertegun dan bingung sehingga ia tidak mampu berkata-kata lagi. Apakah suami isteri itu keduanya sudah gila? Demikian pikirnya kebingungan. Woro Sumarni begitu mencinta suaminya sehingga biarpun sudah dua puluh lima tahun disiksa batinnya seperti itu, masih tetap mencintanya. Akan tetapi mengapa dulu ia menyeleweng dengan laki-laki lain?
Sebaliknya Dibya Krendasakti sampai sekarang masih amat mencintai isterinya sehingga tidak mau membagi cintanya dengan wanita lain. Akan tetapi mengapa dia tidak mau memaafkan kesalahan isterinya itu dan menyiksa batinnya sedemikian kejamnya? Beginikah cinta? Ataukah mereka gila? Renungannya terhenti karena pada saat itu, Nini Bumigarbo sudah mulai mengadu kesaktian melawan Dibya Krendasakti. Dua orang datuk yang sakti mandraguna itu berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar sepuluh langkah.
Nini Bumigarbo tersenyum mengejek dan berkata dengan suara tenang. "Dibya Krendasakti, mulailah dan keluarkan semua aji kesaktianmu. Hendak kulihat sampai di mana sekarang kemajuanmu!"
Dibya Krendasakti menggerakkan kedua tangannya seperti menyembah di depan dada, kemudian matanya memandang dengan sinar mencorong dan mulutnya berkemak-kemik. Setelah beberapa lamanya, dia lalu membuka kedua lengannya, diangkat ke atas seperti orang berdoa dan dia lalu memukulkan kedua telapak tangannya ke depan dan berteriak lantang.
"Gayatri, sambutlah Aji Bajra Langking!"
Tiba-tiba terdengar suara seperti angin menderu dan banyak sinar hitam meluncur seperti puluhan batang anak panah menuju ke tubuh Nini Bumigarbo. Melihat serangan aji pukulan yang mengandung ilmu sihir ini, Nini Bumigarbo lalu menyambut dengan dorongan kedua telapak tangan ke depan sambil mengerahkan tenaga saktinya, juga diperkuat dengan daya sihirnya. Dari kedua telapak tangannya menyambar angin yang berpusing.
"Wuuuttt.... byarrr....!!"
Dua tenaga sakti yang diperkuat ilmu sihir Itu bertemu di udara, menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan Niken Harni merasa tubuhnya terguncang oleh getaran yang amat kuat sehingga ia harus menahan napas mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tubuhnya, terutama jantungnya. Ia melihat betapa Woro Sumarni tampak duduk tenang saja. Hal ini membuatnya kagum karena ia dapat menduga bahwa wanita cantik itu juga memiliki kesaktian sehingga mampu menahan getaran yang amat kuat itu.
Ketika dua tenaga sakti Itu bertemu di udara, sinar kecil-kecil seperti puluhan batang anak panah itu terdorong dan membalik, lenyap kembali ke dalam kedua tangan Dibya Krendasakti. Nini Bumigarbo juga menarik kembali tenaganya dan tersenyum.
"Apakah masih ada lainnya, Dibya Krendasakti? Keluarkan semua ilmu mu!"
Dibya Krendasakti terkejut bukan main. Dia tadi telah mengerahkan Aji Pukulan Bajra Langking, akan tetapi ternyata lawannya dapat menyambut dan membuyarkan serangannya. Tak disangkanya Gayatri kini memiliki tenaga sakti yang sedemikian kuatnya. Dia merasa penasaran sekali, maklum bahwa menggunakan aji pukulan yang mengandung sihir itu tidak ada gunanya dan tidak akan dapat mengalahkan lawan.
Maka dia lalu mengerahkan serangan yang menggempur lawan melalui suara. Dia menekuk kedua lututnya, membuka mulutnya dan keluarlah gerengan yang amat dahsyat, menggetar dan menggelora. Tidak lantang benar, namun suara pekik itu seperti gelombang lautan yang datang menerjang, mula-mula perlahan, namun semakin lama menjadi semakin kuat dan getarannya membuat prabot ruangan itu bergoyang.
Kembali Niken Harni harus mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melindungi dirinya. Bahkan ia terpaksa memejamkan kedua matanya dan menulikan pendengarannya, memusatkan tenaga untuk melindungi otak dan jantungnya.
Menghadapi serangan pekik yang dahsyat Itu, Nini Bumigarbo tiba-tiba tertawa cekikikan. Akan tetapi suara tawa ini juga mengandung getaran hebat yang menyambut dan menolak pengaruh pekik yang dikeluarkan lawannya. Dua suara yang berlainan itu seolah saling mendorong dan saling menyerang. Akhirnya perlahan-lahan pekik itu melemah dan suara tawa Nini Bumigarbo juga ikut melemah dan keduanya berhenti. Suasana menjadi lengang setelah dua suara itu berhenti. Namun dalam telinga Niken Harni yang menghentikan pengerahan tenaganya, masih terngiang-ngiang.
"Bagaimana, Dibya? Masih ada lagi?" tanya Nun Bumigarbo dengan senyum mengejek.
Ki Dibya Krendasakti semakin terkejut dan penasaran. Tahulah dia bahwa dalam hal daya sihir dan tenaga sakiti, dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya. Maka dia akan mengajak nenek itu bertanding lewat ketangkasan dan keahlian dalam gerakan silat. Dia lalu menyambar gendewa besar yang tadi dia letakkan di atas meja.
"Gayatri, kalau memang engkau sakti, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang dan ketangkasan ilmu silat kita...! Keluarkan senjatamu untuk menandingi senjata pusaka gendewaku ini!"
Nini Bumigarbo adalah seorang datuk yang sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam aji kanuragan, maka ia hampir tidak pernah menggunakan senjata untuk memperkuat dirinya. Seluruh tubuhnya, kaki tangan, baikan rambutnya, dapat menjadi senjata yang amat ampuh. Juga ia memiliki senjata rahasia berupa segenggam pasir yang amat ampuh karena setiap butir pasir sakti Ini sudah cukup untuk meracuni tubuh lawan dan membinasakannya. Akan tetapi kini ia menghadapi Dibya Krendasakti dan ia tahu bahwa gendewa di tangan lawan ini amat ampuh.
Gendewa itu adalah sebuah senjata yang termasuk keras. Maka ia lalu melolos sehelai sabuk hitam yang panjangnya hanya sekitar lima kaki, sabuk dari kain tebal yang kuat. Sebetulnya ini hanyalah sabuk biasa, bukan senjata. Akan tetapi bagi nenek yang sakti ini, setiap benda apa saja dapat ia pergunakan sebagai senjata, la memilih sabuk yang lemas untuk menandingi gendewa lawan yang keras.
Sambil merentangkan sabuk hitam itu dengan kedua tangannya, Nini Bumigarbo berkata, "Dibya, majulah. Ingin aku membuktikan betapa ampuhnya gendewa di tanganmu itu!"
Ki Dibya Krendasakti mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang maju dengan serangan yang dahsyat. Karena dia maklum betul betapa saktinya Nini Bumigarbo, maka begitu menyerang dia langsung mengeluarkan jurus-jurus terampuhnya. Namun, dengan gerakan lincah dan tenang saja Nini Bumigarbo menyambut serangan itu dengan sabuk hitamnya. Mereka saling serang dengan dahsyatnya, menggerakkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus terampuh dan aji pamungkas mereka. Namun, keduanya memiliki pertahanan yang kokoh kuat, tidak mudah didesak lawan.
Niken Hami sampai merasa pening menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu. Seluruh ruangan itu seolah terguncang. Seakan-akan ada dua ekor gajah yang sedang berkelahi mati-matian di ruangan itu, bukan seorang kakek dan seorang nenek! Dua orang itu lenyap tidak tampak bentuknya lagi. Yang tampak hanya bayangan dua orang berkelebatan telah menjadi banyak, diselubungi sinar hitam sabuk di tangan Nini Bumigarbo dan sinar keabuan dari gendewa Dibya Krendasakti. Suara yang terdengar hanya desiran angin, terkadang bersuitan dan berdesingan seperti suara senjata tajam meluncur. Terkadang terdengar bunyi nyaring ketika sabuk bertemu gendewa dan tampak bunga api perpijar-pijar...!
Tidak disangka oleh Niken Harni bahwa pertandingan itu akan sedemikian hebatnya, la sendiri sampai mengeluarkan keringat dingin saking tegangnya. Kalau ia menoleh dan memandang kepada Woro Surnarni, ia melihat wanita cantik itu menonton tanpa berkedip. Sepasang alisnya berkerut dan wajahnya tampak tegang dan gelisah.
Diam-diam ia merasa semakin iba dan juga terheran-heran. Wanita ini sungguh amat mencinta suaminya. Inikah yang disebut cinta yang sesungguhnya, ataukah ia mencinta seperti itu karena merasa menyesal akan penyelewengannya dahulu? Ia tidak tahu dan tidak akan pernah mengerti. Kini mulai terdengar pernapasan Dibya Krendasakti yang terengah-engah.
Sebaliknya, Nini Bumigarbo masih tenang dan teguh seperti sebelum bertanding. Dari kenyataan ini saja dapat dimengerti bahwa tingkat kepandaian Nini Bumigarbo masih lebih unggul. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat ilmu yang mereka pelajari dan kuasai tidak banyak selisihnya. Akan tetapi yang berbeda adalah daya tahan tubuh mereka.
Hal Ini dapat dimengerti. Dibya Krendasokti telah beristeri selama hampir tiga puluh tahun dan dia pun selama dua puluh lima tahun sebetulnya mengalami tekanan batin yang amat hebat, namun ditahan dan disembunyikan di balik cintanya terhadap isterinya. Juga dia jarang berlatih setelah hidup sebagai raja kecil di Nusa Barung.
Sebaliknya, Nini Bumigarbo adalah seorang wanita yang tidak pernah menikah, seorang yang masih perawan, dan selain itu, sampai dua tahun yang ialu pun ia masih tekun berlatih untuk menambah ilmu dan memperkuat diri dalam usahanya mengalahkan Bhagawan Ekadenta. Maka dalam pertandingan ini, Nini Bumigarbo memiliki kelebihan dalam kekuatan dan daya tahan tubuh.
"Sambut ini, Dibya!" terdengar bentakan nyaring.
"Syuuuuttt.... krakk...!"
Tubuh Dibya Krendasakti terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Gendewanya patah dan wajahnya pucat, napasnya terengah-engah dan dia menggunakan tangan kiri untuk menekan dadanya yang terasa sesak terkena pukulan tangan kiri Nini Bumigarbo.
"Kakangmas....!!" Woro Sumarni melompat dari tempat duduknya dan begitu dekat dengan suaminya, ia merangkul dengan penuh kasih sayang dan kekhawatiran. "Engkau tidak apa-apa, Kakangmas... ...?" tanyanya sambil meraba dada suaminya.
Dibya Krendasakti merangkul pundak isterinya. "Tidak apa-apa, Diajeng. Gayatri agaknya masih teringat akan persahabatan masa lalu maka ia tidak menurunkan tangan maut kepadaku. Dan agaknya sudah tiba saatnya bahwa aku harus membebaskanmu, Diajeng. Ah, biarlah aku menderita dan mati kalau engkau tega meninggalkan aku, Diajeng Woro Sumarni..." Kakek yang gagah perkasa itu kini tampak berduka dan memandang Wajah isterinya penuh permohonan.
"Tidak, Kakangmas. Aku tidak pernah meninggalkanmu, sampai aku mati...!"
"Diajeng.... aduh, baru sekarang aku menyadari betapa kejamnya aku kepadamu. Diajeng, maukah engkau mengampuni aku...? Aku tidak ingin kehilangan engkau, Diajeng, kalau engkau pergi meninggalkan aku, aku tidak akan menghalangi, akan tetapi berarti engkau membunuh aku...."
"Tidak, Kakangmas, tidak....!" Suami isteri itu berangkulan dan bertangisan.
Niken Harni bengong terlongong menyaksikan ini.
"He-he-hi-hi-hik! Bertangis-tangisan...! Alangkah mesranya, alangkah mengharukan! Dibya, engkau mengaku kalah?" Nini Bumigarbo bertanya.
Sambil merangkul pinggang isterinya dengan tangan kiri dan membawa isterinya duduk kembali ke kursinya, Dibya Krendasakti menjawab.
"Aku mengaku kalah, Gayatri. Engkau memang hebat sekali. Bahkan aku tahu, kalau engkau menghendaki, agaknya sudah sejak tadi aku roboh dan tewas di tanganmu."
"Ihh, tidak begitu mudah, Dibya. Engkaulah lawanku yang paling tangguh selama ini, tentu saja di bawah kesaktian Bhagawan Ekadenta. Nah, sekarang engkau mau memenuhi permintaan kami berdua, bukan?"
"Tentu saja, Gayatri!" Dibya Krendasakti lalu bertepuk tangan tiga kali.
Lima orang anak buah laki-laki bermunculan dari pintu. Mereka tadi tidak berani menonton atau mendengarkan, namun tepuk tangan yang nyaring tiga kali ini merupakan perintah panggilan yang harus mereka taati.
"Hayo kalian cepat bawa pergi tengkorak itu dan kuburkan di dalam makam Kunarpo di bukit kecil itu. Kalian sudah tahu dimana makam itu. Kubur baik-baik dan dengan penuh penghormatan..!"
Lima orang murid itu menyanggupi dan mereka lalu membawa tengkorak bersama bakinya keluar dari ruangan itu. Niken Harni melihat betapa kini wajah Woro Surnarni berseri-seri dan tampak semakin cantik. Agaknya kehidupan baru yang gemilang dan bahagia menanti di depannya. Juga wajah Dibya Krendasakti tampak berseri, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
"Gayatri, Niken Harni, sekarang marilah kita makan minum dulu, baru nanti kita bicara! Diajeng Woro Sumarni, sekarang tidak periu lagi memanggil pelayan. Mereka hanya mengganggu saja. Biar tanganmu sendiri yang melayani aku dan tamu-tamu kita ini."
Woro Sumarni tersenyum dan menyentuh pundak Nini Bumigarbo. "Mbakayu Gayatri, aku sungguh merasa girang sekali bahwa engkau masih ingat kepada kami dan suka dating berkunjung. Terima kasih, Mbakayu, terima kasih. Ternyata kunjunganrnu mendatangkan berkah dan kami berdua merasa mendapatkan hidup baru yang cerah."
"Benar kata isteriku, Gayatri. Kini tidak ada lagi penghalang di antara cinta kami berdua. Semua halangan itu merupakan masa lalu yang sudah kami lupakan semua."
Gayatri tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. "Aku tetap saja tidak percaya kepada laki-laki. Semua omongan laki-laki terhadap wanita itu gombal belaka, merayu dan mengambil hati, akan tetapi sebetulnya palsu!"
"Akan tetapi suamiku tidak, Mbakayu....."
"Ah, sudahlah. Aku tidak mau bicara lagi tentang kepalsuan laki-laki. Hayo kita makan setelah itu baru kita bicara tentang kesanggupan Dibya Krendasakti"
Mereka lalu makan minum dan Niken Harni melihat betapa Woro Surnarni benar-benar tampak gembira dan bahagia, melayani suaminya dengan sikap lembut dan mesra. Juga wajah Dibya Krendasakti tampak bahagia, terlihat dari sinar matanya yang terang, tidak seperti tadi yang suram mengandung kekerasan. Sehabis makan, Nini Bumigarbo segera mengajak Dibya Krendasakti bicara.
"Aku akan memegang teguh janjiku, Gayatri. Aku sudah kalah dan aku telah pula memenuhi permintaan Niken Harni, yaitu memberi kebebasan kepada isteriku. Sekarang, kita bicara tentang permintaanmu agar aku mencuri pusaka Kahuripan, yaitu Cupu Manik Maya."
"Memang seharusnya begitu, Dibya. Lebih dulu perlu engkau ketahui tentang bangunan istana dan di mana pusaka yang ku maksudkan itu di simpan. Nah, dengarkan baik-baik, akan kugambarkan keadaan istana Kahuripan." Nini Bumigarbo lalu memberi penjelasan tentang keadaan Istana Kahnripan, dari mana Dibya Krendasakti dapat masuk tanpa banyak halangan dan di mana pula letaknya Gedung Pusaka. Setelah Nini Bumigarbo selesai memberi keterangan, Ki Dibya Krendasakti mengangguk-angguk.
"Aku sudah paham, Gayatri dan percayalah, aku pasti akan berhasil mencuri pusaka Cupu Manik Maya itu dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan. Akan tetapi sebelum aku pergi memenuhi permintaanmu, aku masih merasa penasaran, Gayatri. Engkau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau engkau turun tangan sendiri mengambil pusaka itu, tentu akan dapat kau lakukan dengan mudah. Akan tetapi mengapa engkau malah minta bantuan kepadaku?"
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tidak bisa turun tangan sendiri karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu Erlangga dan Narotama dengan tanganku sendiri. Aku sudah berjanji kepada Bhagawan Ekadenta yang melindungi raja dan patihnya itu. Nah, sudah jangan banyak bertanya lagi. Kapan engkau akan berangkat melaksanakan pengambilan pusaka seperti yang sudah kau janjikan itu?"
"Hari ini juga aku berangkat, Gayatri!"
"Kakangmas Dibya, aku ikut. Aku akan membantumu!" kata Woro Surnarni. "Aku dapat membelamu kalau engkau terancam bahaya, Kakangmas. Aku mendengar bahwa Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah orang yang sakti mandraguna. Aku khawatir engkau akan mengalami bencana. "
"Hiah ha ha, Waduh, sikapmu ini membuat aku merasa bahagia sekali, Diajeng! Ternyata engkau memang amat mencintaku, siap membelaku. Terima kasih, Diajeng Woro Surnarni, aku berjanji, mulai saat ini, aku akan lebih mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku! Akan tetapi, jangan khawatir. Mencuri pusaka dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan hanya merupakan permainan kanak-kanak bagiku!"
"Dibya Krendasakti, seperti yang telah ku katakan kepadamu, setelah engkau berhasil mencuri Cupu Manik Maya, benda pusaka itu boleh kau miliki. Aku tidak membutuhkannya. Tentu saja engkau harus menjaganya sendiri dan menghadapi segala akibatnya."
"Ha-ha-ha, tentu saja, Gayatri."
Nah,... sekarang aku dan Niken akan meninggalkan Nusa Barung, tolong kau sediakan perahu penyeberangan ke daratan."
Dibya Krendasakti memberi perintah kepada anak buahnya. Nini Bumigarbo dan Niken Harni lalu berpamit kepada suami isteri itu, dan tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk dalam sebuah perahu yang didayung oleh dua orang anak buah Nusa Barung dengan cepat.
Kalau wajah nenek berpakaian hitam itu masih tampak tenang dan biasa saja, sebaliknya wajah gadis itu berkilau basah oleh keringatnya sendiri dan pernapasannya agak terengah. Namun dengan nekat ia berlari terus, tidak mau tertinggal oleh nenek yang berlari di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak saja!
Nenek itu berusia sekitar lima puluh satu tahun. Wajahnya masih membayangkan bekas wajah wanita cantik, namun wajah itu dingin dan tampak bengis, terutama sinar matanya. Pakaiannya yang serba hitam menambah seram penampilannya. Sebaliknya, gadis berusia sekitar delapan belas tahun lebih itu cantik jelita dan lincah. Mereka adalah Nini Bumigarbo, nenek yang amat sakti mandraguna itu bersama muridnya yang baru, yaitu Niken Harni.
Seperti kita ketahui, Niken Harni diselamatkan Nini Bumigarbo dan tertarik oleh watak Niken Harni yang lincah pemberani, nenek itu mengambilnya sebagai murid. Sekali ini Nini Bumigarbo mengambil murid bukan dengan maksud agar muridnya ini memusuhi Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Ia tahu bahwa Niken Harni adalah gadis bangsawan Kahuripan, maka tidak dapat diharapkan akan memusuhi Sang Prabu Erlangga. Ia mempunyai maksud dan niat lain.
Gadis ini akan dijadikan murid untuk melampiaskan sakit hatinya terhadap Bhagawan Ekadenta. Bukan langsung memusuhi Bhagawan Ekadenta yang kesaktiannya tak pernah dapat ditandihginya itu, melainkan kepada semua laki-laki! Niken Harni yang cantik jelita pasti akan memikat hati banyak laki-laki dan la menghendaki agar murid barunya ini kelak menghancurkan kebahagiaan banyak laki-laki dengan mematahkan cinta dan harapan para laki-laki yang tergila-gila kepadanya!
"Bibi Gayatri, masih jauhkah perjalanan kita?" Niken Harni berseru kepada Nini Bumigarbo sambil terengah-engah, akan tetapi ia tetap nekat berlari cepat agar tidak tertinggal jauh.
Nini Bumigarbo terkekeh dan menghentikan larinya. Niken Harni tiba di dekatnya dan gadis ini baru menjatuhkan dirinya duduk di atas batu, mengatur pernapasan dan menyusut keringat yang membasahi leher dan mukanya.
"Heh-heh, engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, Niken. Aku senang melihatnya. Ternyata benar dugaanku, engkau murid yang amat berbakat."
"Masih jauh perjalanan kita?"
"Lihat itu. Laut Kidul sudah tampak dari sini, sudah dekat!" kata nenek itu sambil menuding ke selatan.
Niken Harni bangkit berdiri dan memandang. Benar saja, dari bukit kapur itu tampak laut membentang luas, tidak jauh lagi.
"Kita akan ke manakah, Bibi?"
"Lihat di sana itu, yang tampak menghitam di tengah laut! Kita akan ke sana!"
Niken Harni melihat sebuah pulau menghitam cukup jauh dari pantai.
"Ke pulau Itu?"
"Benar, Itulah Pulau Nusa barung yang akan kita kunjungi."
"Akan tetapi, siapa yang tinggal di sana dan mau apa kita ke sana, Bibi Gayatri?"
"Kita mengunjungi seorang kawanku, kawan baik di waktu ia masih muda. Sahabatku Itu menikah dengan seorang datuk terkenal bernama Dibya Krendasakti, juragan yang berkuasa di pulau itu. Sejak Woro Sumarni menikah dengan Dibya Krendasakti, aku tidak pernah bertemu lagi dengannya."
Mereka melanjutkan perjalanan dan karena Niken Harni sudah mengaso, perjalanan dapat dilakukan cepat dan akhirnya mereka tiba di pantai Laut Kidul. Mereka menemukan bagian pantai yang landai dan di situ terdapat belasan buah perahu nelayan, sebagian sudah berada di lautan, akan tetapi ada dua buah perahu yang masih berada di pantai, sedang bersiap-siap untuk berangkat menyusul kawan-kawan mereka mencari ikan.
Nini Bumlgarbo menghampiri seorang nelayan. Nelayan ini berusia sekitar empat puluh tahun, tubuhnya hanya mengenakan celana hitam sebetis, dadanya yang telanjang tampak kokoh dan kulitnya menghitam terbakar sinar matahari. Melihat seorang nenek dan seorang gadis cantik menghampiri, dia memandang heran.
"Kisanak, antarkan kami ke tengah laut!" kata Nini Bumigarbo.
Nelayan itu memandang heran. "Ke tengah lautan? Andika berdua mau apa ke sana? Aku hendak mencari ikan, tidak sempat mengantar Andika...."
"Aku tidak peduli. Mau atau tidak engkau harus mengantar kami!" Nini Bumigarbo menghardik.
Nelayan itu marah, akan tetapi sebelum dia mengeluarkan kata-kata, Niken Harni sudah maju dan menyodorkan sebuah cincin emas kepadanya.
"Kisanak, Andika turuti saja keinginan Bibiku ini. Cincin ini kalau Andika jual, hasilnya lebih besar daripada hasil tangkapan ikan selama satu bulan. Terimalah, cincin ini untuk menyewa perahu mu!"
Nelayan itu bengong, akan tetapi matanya bersinar gembira. Tanpa bicara dia lalu menerima cincin itu dan dengan tangannya mempersilakan dua orang wanita itu naik ke perahunya dan duduk di atas papan yang melintang di tengah perahu. Nelayan mendayung perahunya ke tengah. Sebagai seorang ahli naik perahu, dengan cekatan dia mendayung perahu melewati gulungan ombak yang menepi sampai dia berhasil melewati susunan ombak dan berada di atas air yang tenang.
"Ke mana kita akan pergi, Nona?" tanya nelayan itu.
"Ke sana, ke pulau itu." kata Niken Harni sambil menunjuk ke arah pulau.
Nelayan itu terbelalak. "Pulau Nusa Barung....?" bisiknya.
"Benar...!"
"Ah, tidak.... tidak bisa, aku tidak berani...." katanya.
"Hemm, takut apa? Jangan takut! Teruskan ke sana!" Nini Bumigarbo membentak.
"Tidak.... Tidak....! Apa artinya aku menerima upah besar kalau setibanya di sana aku mati?"
"Mengapa, Kisanak? Mengapa mati? Siapa yang akan membunuhmu?" tanya Niken Harni terheran.
"Siluman.... siluman akan membunuhku. Kami semua tidak ada yang berani mendekati pulau siluman itu..."
"Cukup! Jangan banyak bicara! Hayo cepat pasang layar dan kita menuju ke sana!" Nini Bumigarbo menghardik.
"Tidak..., aku tidak mau mati...." Nelayan itu lalu memutar perahunya dan hendak kembali ke pantai. Akan tetapi ia berteriak mengaduh ketika tangan Nini Bumigarbo memegang pundaknya. Rasanya pundak itu seperti dijepit baja yang keras dan panas.
"Masih hendak membantah? Apakah engkau ingin kuhancurkan pundakmu?"
Nelayan yang bertubuh kuat itu mengerahkan tenaga dan berusaha meronta untuk melepaskan tangan nenek yang mencengkeram pundaknya. Akan tetapi makin kuat dia mengerahkan tenaga meronta, semakin nyeri rasa pundaknya sehingga akhirnya dia menjadi lemas dan menghentikan perlawanannya.
"Aduh.... ampun..., akan tetapi... aku akan mati di sana...."
"jangan khawatir. Andika hanya mengantar kami dan Bibiku ini yang akan menanggung bahwa Andika tidak akan diganggu siluman di sana." kata Niken Harni.
Terpaksa nelayan itu lalu memasang dan mengembangkan layarnya yang tidak berapa besarnya. Perahunya meluncur cepat menuju kepulau yang tampak menghitam. Jelas tampak nelayan itu ketakutan. Wajahnya pucat, matanya jelalatan (liar) memandang ke arah pulau dan kedua tangannya yang mengendalikan perahu gemetar.
"Aduh celaka....!" Tiba-tiba dia berkata dengan suara gemetar.
"Ada apa?" tanya Niken Harni.
"Itu.... di sana... ikan hiu besar dan ganas...!" nelayan itu menunjuk ke sebelah kanan perahu.
Niken Harni melihat sirip-sirip besar meluncur tak jauh dari perahu. Sirip hitam runcing dan lebar. Ada dua buah meluncur ke arah perahu.
"Jangan takut!" Tiba-tiba Nini Bumigarbo membentak dan wanita Itu bangkit berdiri. Kemudian terjadilah hal yang bukan saja membuat nelayan itu terbelalak, bahkan Niken Harni juga terbelalak, hampir tak percaya akan apa yang dilihatnya. Ia tahu benar bahwa Nini Bumigarbo seorang yang sakti mandraguna, akan tetapi tidak pernah menduga akan sehebat itu kesaktiannya. Nenek itu ternyata melompat keluar dari perahu, kakinya tiba di atas air dekat dua ekor ikan hiu yang tampak siripnya itu.
Dua kali tangannya membuat gerakan menghantam ke arah dua ekor sirip itu. Air muncrat bergelombang dan ketika Nini Bumigarbo melompat kembali ke perahu, dua ekor ikan hiu yang lebih besar dari tubuh manusia itu terapung di atas air dengan perut mereka yang putih di atas, sudah mati! Dapat dibayangkan betapa hebatnya aji pukulan yang digunakan Nini Bumigarbo itu dan betapa hebatnya ilmunya meringankan tubuh sehingga ia mampu berdiri di atas air ketika menyerang dua ekor Ikan hiu itu!
Memang, Nini Bumigarbo yang dulu bernama Ni Gayatri ini merupakan seorang di antara murid-murid Sang Maha Resi Dewakaton yang dulu bertapa di puncak Gunung Semeru. Tingkat kepandaiannya hanya di bawah tingkat Sang Bhagawan Ekadenta atau Sang Bhagawan Jitendriya yang merupakan kakak seperguruannya.
"Melihat kesaktian nenek itu, Si Nelayan kini tidak berani banyak cakap lagi, tidak berani membantah dan dia melayarkan perahunya menuju Pulau Nusa Barung. Setelah tiba di pantai pulau itu, tampak ada lima orang laki-laki berdiri di pantai dan menyambut perahu itu dengan luncuran anak panah! Nini Bumigarbo mendengus dan sekali tangannya bergerak dikibaskan, empat batang anak panah yang meluncur ke arah tubuhnya dan tubuh nelayan, dapat dipukul runtuh oleh angin pukulannya. Sementara sebatang anak panah yang meluncur ke arah Niken Harni, dapat ditangkap oleh gadis itu!
"Heii, apakah kalian ini orang-orang gila yang bermata buta? Laporkan kepada Dibya Krendasakti bahwa aku Nini Bumigarbo Gayatri datang berkunjung! Kalau kalian menyerang sekali lagi, kalian akan mampus oleh anak panah kalian sendiri!"
Lima orang itu agaknya meragu dan berunding, lalu tiga orang di antara mereka memutar tubuh lari meninggalkan pantai. Akan tetapi yang dua orang lagi mementang busur mereka dan dua batang anak panah meluncur ke arah dada Nini Bumigarbo!
"Singggg...! Singggg....!!"
Nini Bumigarbo menggerakkan kedua tangan dan ia sudah menangkap dua batang anap panah itu, lalu kedua tangannya bergerak menyambitkan senjata itu kearah penyerangnya yang berdiri di tepi pantai.
Dua orang itu menjerit dan roboh terjengkang, dua batang anak panah itu dengan tepat menembus leher mereka sehingga mereka tewas seketika! Perahu sudah menggulung layar dan nelayan mendayung perahunya mendarat. Dia menggigil ketakutan melihat peristiwa penyerangan tadi.
Setelah perahu ditarik ke atas pasir dan dua orang penumpangnya turun, nelayan itu tak berani bergerak, akan tetapi dengan suara gemetar dia bertanya kepada Niken Harni.
"Den Roro.... bolehkah saya sekarang pergi?"
"Tunggu! Jangan pergi sebelum kuperintah. Kalau melanggar, kamu akan mampus!" bentak Nini Bumigarbo dan nelayan itu menjadi pucat, lalu duduk mendeprok di atas pasir, di dekat perahunya.
Tak lama kemudian, terdengar suara tawa yang menggelegar, datangnya dari tengah pulau, makin lama semakin kuat suara tawa itu dan akhirnya muncullah seorang laki-laki yang menyeramkan. Laki-laki itu berusia sekitar enam puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh seperti raksasa, rambutnya masih hitam digelung ke atas dan diikat dengan kain sutera merah. Pakaiannya mewah dan sebatang gendewa (busur) besar panjang tergantung di pundaknya. Tempat anak panah dengan belasan batang anak panah tersembul di belakang punggungnya.
Setelah tiba di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni, laki-laki itu berhenti melangkah, berdiri memandang kedua orang wanita itu dan menghentikan suara tawanya yang membuat nelayan tadi menelungkup sambil menutupi kedua telinganya yang rasanya seperti ditusuk-tusuk mendengar suara tawa yang mengandung kekuatan sihir tadi. Niken Harni sendiri harus mengerahkan tenaga sakti untuk melawan gelombang suara yang amat kuat itu. Kini kakek itu memandang kepada Nini Bumigarbo dengan alis berkerut, lalu berkata, suaranya dalam dan parau.
"Gayatri? Andika Gayatri yang kini terkenal sebagai Nini Bumigarbo? Hemm, aku masih mengenal wajahmu Gayatri. Masih cantik, akan tetapi Andika tampak tua!"
Nini Bumigarbo mendengus. "Huh, tengoklah mukamu sendiri, Dibya Krendasakti! Engkau juga sudah menjadi kakek tua bangka!"
Kembali terdengar suara tawa bergelak-gelak. Kakek itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, mukanya menengadah, mulutnya terbuka lebar, dadanya membusung dan suara tawa itu semakin bergelombang, bergetar dan terkadang seperti halilintar menggeledek. Niken Harni tak dapat bertahan lagi. Terpaksa ia lalu duduk bersila dan memejamkan kedua matanya, melindungi dirinya dengan himpunan kekuatan batinnya, tenaga saktinya menjaga pendengarannya. Akan tetapi nelayan itu kini jatuh bergulingan sambil menutupi telinganya dengan tangan, mengaduh-aduh, mukanya sepucat mayat. Akan tetapi Nini Bumigarbo tetap berdiri tenang, kemudian berkata dengan suaranya yang tinggi melengking.
"Kamu Iblis Tua! Beginikah menyambut seorang sahabat yang bertamu?"
Teguran itu membuat kakek yang bernama Dibya Krendasakti itu menghentikan tawanya. Niken Harni membuka matanya dan bangkit berdiri lagi. Nelayan itu juga bangkit duduk dan dari kedua telinganya mengalir darah.
"Heh, sampah itu tidak layak berada di sini!" kata Kakek itu menuding kepada nelayan.
"Dia nelayan yang mengantar kami ke sini!" kata Nini Bumigarbo. "Dan dia akan mengantar kami kembali ke darat sana."
"Hemm, Gayatri, engkau kira aku ini orang apa? Aku pun dapat menjadi seorang tuan rumah yang pantas. Aku punya banyak perahu dan orang-orangku dapat mengantar engkau pulang. Suruh dia pergi dari sini sekarang juga atau aku akan lempar dia ke laut menjadi makanan ikan!"
Nini Bumigarbo menoleh kepada nelayan itu dan berkata, "Pergilah engkau dari sini!"
Nelayan itu tampak girang sekali. Dia menyembah dan mendorong perahunya ke air, lalu mendayungnya sekuat tenaga, tidak memperdulikan kedua telinganya yang terasa nyeri.
Menyaksikan semua ini, timbul rasa penasaran dalam hati Niken Harni.
"Bibi Gayatri, mengapa Andika membiarkan saja orang tua ini berbuat kejam dan sewenang-wenang memamerkan kesaktiannya mencelakai orang lain yang sama sekali tidak bersalah kepadanya?"
"Niken, pulau yang kita injak ini adalah Nusa Barung dan Dibya Krendasakti adalah pemilik dan penguasa di sini. Dia boleh berbuat sekehendak hatinya di pulaunya sendiri."
"Akan tetapi kalau kita disambut seburuk ini, untuk apa kita bertamu di sini?"
"Hoa-ha-ha! Perawan cilik kemethik! Bicaramu penuh teguran kepadaku. Ha-ha-ha, baru ini aku ditegur bocah kemarin sore yang ubun-ubun kepalanya masih berbau brambang (bawang merah). Gayatri, siapa sih bocah lucu namun kemethak (layak dipukul) ini?"
"Ini muridku yang baru, Niken Harni."
"Aha, pantas menjadi muridmu. Sama kewat (genit) dan cerewetnya dengan kamu waktu muda dulu! Hemm, ia juga berbakat baik. Eh, Niken Harni, tadi aku sengaja hendak menguji kalian. Kalau engkau ingin melihat sambutanku sebagai tuan rumah yang baik, mari, kalian ikut aku!"
Nini Bumigarbo dan Niken Harni mengikuti Dibya Krendasakti menuju ke tengah pulau. Ketika melewati mayat dua orang anak buahnya, Dibya Krendasakti mengomel. "Huh, orang-orang ini tolol sekali berani menyerangmu dengan panah, Gayatri."
Nini Bumigarbo tersenyum. "Hemm, mereka sudah kuperingatkan namun nekat. Agaknya memang mereka sudah bosan hidup, Dibya. Akan tetapi aku tidak minta maaf kepadamu, lho!"
"Hoa-ha-ha, di antara kita apakah perlu bermaaf-maafan? Kita sudah saling mengenal watak masing-masing." Raksasa yang gagah itu tertawa dan Niken yang memperhatikan sekeliling melihat orang-orang yang sedang mengerjakan sawah ladang. Begitu melihat Dibya Krendasakti, mereka cepat memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam.
Kiranya mereka itu adalah anak buah penguasa Nusa Barung ini. Dari percakapan dua orang tua itu dalam perjalanan menuju perkampungan tempat tinggal Dibya Krendasakti, Niken mengetahui bahwa raksasa itu mempunyai anak buah sebanyak seratus orang yang tinggal di pulau itu. Sebagian dari mereka adalah murid-muridnya. Di Nusa Barung, Dibya Krendasakti hidup bersama isterinya yang bernama Woro Sumarni yang ketika gadis dulu menjadi sahabat Gayatri yang kini menjadi Bumigarbo.
"Huh, setelah engkau menjadi raja kecil di pulau ini, tentu hidupmu seperti raja. Kaya-raya, dipuja dan ditaati banyak anak buah, dan terutama sekali, punya banyak isteri..!" kata Nini Bumigarbo dengan nada mengejek.
"Engkau menuduh secara membuta, Gayatri. Aku sejak dulu hanya mempunyai seorang isteri, yaitu Woro Sumarni!"
"Huh, mulut laki-laki! Siapa percaya?"
"Aku tidak bohong, Gayatri. Aku terlalu mencinta Woro Sumarni!" kata Kakek itu, akan tetapi suaranya mengandung kesedihan. Hal ini terasa benar oleh Niken Harni, akan tetapi agaknya tidak terasa oleh Nini Bumigarbo.
"Aku tetap tidak percaya kalau tidak melihat buktinya dan mendengar pengakuan Woro Sumarni sendiri." kata Nenek itu.
"Kalau begitu, nanti akan kau saksikan dan kau dengar."
Kini mereka tiba di perkampungan di mana terdapat banyak rumah-rumah dari kayu yang kokoh dan cukup baik. Akan tetapi yang paling besar dan indah terdapat di tengah perkampungan dan inilah rumah Dibya Krendasakti. Begitu memasuki pekarangan, tiga orang murid yang bertubuh kekar menyambut dengan penghormatan mereka. Tiga Orang murid ini yang bertugas jaga di depan rumah pada saat itu. Setelah memasuki pendapa rumah, lima orang wanita berpakaian pelayan menyambut dengan sembah penghormatan mereka.
"Perintahkan ke dapur untuk mempersiapkan pesta meriah menyambut tamu-tamu kehormatan ini. Cepat!" kata Dibya Krendasakti kepada para pelayan itu yang segera berlari kecil masuk ke dalam rumah.
"Mari, kita duduk di ruangan tamu." Dibya Krendasakti mengajak kedua orang tamunya.
Setelah duduk berhadapan terhalang meja besar di ruangan tamu yang luas itu, dua orang tua sakti itu bercakap-cakap, sedangkan Niken Harni hanya duduk diam mendengarkan.
"Aku mendengar kabar angin bahwa gadis jelita Gayatri itu telah menjadi Nini Bumigarbo yang tersohor! Ha-ha-ha, siapa sangka hari ini Nini Bumigarbo datang berkunjung. Eh, Gayatri, bagaimana kabarnya dengan Adi Ekadenta, Kakak seperguruan mu yang juga pacarmu yang ganteng itu? Tentu kalian telah menjadi suami isteri!"
"Cukup! Jangan bicara tentang dia, jangan sebut namanya!" Nini Bumigarbo memotong dengan ketus dan wajahnya berubah kemerahan.
"Lhadalah! Hubungan mesra itu gagal dan terputus, ya? Ha-ha-ha-ha! Kebahagiaan tidak selamanya singgah pada wajah-wajah yang cantik! Baiklah, aku tidak akan bicara tentang dia."
"Mana sahabatku Woro Sumarni? Panggil ia keluar menemuiku. Aku sudah kangen (rindu) padanya." kata Nini Bumigarbo.
"Gayatri, kita tidak bicara tentang Adi Ekadenta maka kita tidak bicara pula tentang Woro Sumarni. Akan tetapi ia akan menemani kita makan-makan nanti. Engkau pasti akan bertemu dengannya. Sekarang yang penting, katakan, apa yang membawamu datang berkunjung? Aku tidak percaya kalau hanya karena kangen kepada Woro Sumarni. Apa yang kau inginkan dariku?"
"Aku sedang membutuhkan pertolongan dan mengingat akan kemampuanmu dan bahwa engkau adalah seorang sahabatku, maka aku datang berkunjung ini untuk minta bantuanmu, Dibya!"
"Heh-heh-heh, Nini Bumigarbo yang tersohor itu masih membutuhkan bantuan orang lain? Aneh sekali! Coba katakan, bantuan apa yang dapat kuberikan padamu?"
"Aku minta bantuan agar engkau suka mencuri Cupu Manik Maya dari gedung pusaka milik Sang Prabu Erlangga di Istana Kahuripan."
Sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran. "Hemm, aneh sekali! Bukankah Cupu Manik Maya itu merupakan sebuah di antara pusaka wahyu kraton yang menjadi ciri kekuasaan raja? Untuk apa engkau menginginkan benda pusaka itu, Gayatri? Apakah engkau bercita-cita menjadi ratu?"
"Tidak, Dibya. Kalau engkau berhasil mengambil benda pusaka itu, engkau boleh memilikinya karena engkaulah yang kini bahkan menjadi raja kecil di Nusa Barung. Aku tidak membutuhkan pusaka itu."
"Hemm, kalau engkau tidak membutuhkan pusaka itu, lalu mengapa engkau menyuruh aku mencurinya?"
"Aku hanya ingin agar Sang Prabu Erlangga gelisah dan susah karena kehilangan benda pusaka yang penting itu. Aku ingin agar kekuasaan Sang Prabu Erlangga menjadi lemah dan akhirnya hancur. Aku benci kepadanya dan ingin melihat dia sengsara dan jatuh dari kedudukannya sebagai raja besar!"
"Lho! Mengapa begitu?"
"Aku benci padanya! Aku benci kepada Sang Prabu Erlangga dan Patih Narotama. Aku ingin keduanya hancur, Kerajaan Kahuripan jatuh. Aku benci...!!"
"Wah, kalau engkau membenci mereka dan ingin agar benda pusaka itu dicuri, mengapa tidak kau lakukan saja sendiri, Gayatri? Aku yakin kalau engkau mau, akan mudah bagimu untuk mencuri benda pusaka itu!"
Nini Bumigarbo cemberut. "Kalau aku bisa melakukannya, apa kau kira aku akan datang ke sini dan minta tolong kepadamu?"
"Lho! Mengapa tidak bisa, Gayatri? Apa engkau takut terhadap raja yang masih muda itu? Menggelikan!"
"Siapa yang takut?" Nini Bumigarbo menghardik. "Aku tidak takut, akan tetapi aku tidak bisa melakukannya sendiri karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu mereka dengan tanganku sendiri!"
"Eh? Kepada siapa engkau berjanji itu, Gayatri?"
"Hemm, sudahlah, tak perlu engkau banyak bertanya. Sekarang jawab saja, maukah engkau membantuku melakukan pencurian benda pusaka Cupu Manik Maya?"
"Hemm.... entahlah.... akan kupikirkan dulu, Gayatri. Nanti kujawab sehabis kita makan."
Pada saat itu, pelayan datang memberitahu bahwa hidangan telah dipersiapkan di ruang makan.
"Ha-ha-ha, bagus! mari, Gayatri dan engkau juga, Niken Harni, mari kita makan bersama dalam ruang makan." Ki Dibya Krendasakti tampak gembira sekali.
Nini Bumigarbo dan Niken Harni mengikutinya meninggalkan ruang tamu menuju ke ruang makan yang ternyata juga cukup luas dan prabotannya mewah. Sebuah meja makan persegi yang besar berada di tengah ruangan. Lima buah kursi berada di seputar meja. Belasan macam masakan berada di atas meja, dan masih mengepulkan uap. Tiga orang pelayan wanita berdiri di dekat dinding, dengan sikap hormat dan siap melayani.
"Ha-ha, duduklah, Gayatri dan Niken. Kalian berdua duduk di sini." Dia menunjuk dua buah kursi yang berjajar. Di seberang meja, berhadapan dengan mereka, terdapat dua buah kursi yang berjajar pula, sedangkan Ki Dibya Krendasakti sendiri duduk di kepala meja.
Diam-diam Nini Bumigarbo merasa heran mengapa ada dua buah kursi kosong di depannya. Siapa yang akan duduk disitu? Akan tetapi ia tidak menyinggung hal itu ketika bertanya.
"Dibya, di mana sahabatku Woro Sumarni? Aku ingin bertemu dengannya dan kau bilang tadi ia akan hadir dalam perjamuan ini."
"Sabar, Gayatri, sebentar juga ia akan datang." Ki Dibya lalu berkata kepada seorang pelayan. "Cepat kamu mohon Bendoro Puteri untuk hadir sekarang!" Pelayan itu membungkuk lalu pergi.
Tak lama kemudian, muncullah orang yang dinanti-nanti Nini Bumigarbo. Niken Harni ikut memandang dan ia merasa kagum. Seorang wanita, usianya sekitar empat puluh delapan tahun, masih cantik dan tubuhnya ramping padat, kulitnya kuning, namun wajahnya pucat dan matanya suram tanpa gairah, mulutnya yang manis bentuknya itupun menunjukkan hati yang penuh duka.
Pakaiannya mewah, bersih dan rapi, dari sutera mahal. Rambutnya masih hitam, panjang dan digelung rapi, dihias tusuk sanggul dari emas permata. Sungguh seorang wanita yang anggun dan cantik. Namun ia pucat dan tak bersemangat, bahkan seperti mayat hidup. Ki Dibya Krendasakti cepat bangkit dari duduknya dan menarik dua buah kursi yang berjajar di depan Niken dan Nini Bumigarbo.
"Diajeng, duduklah."
Wanita itu duduk dengan lesu. Yang membuat Niken Harni terbelalak adalah ketika ia melihat seorang pelayan wanita yang tadi berjalan di belakang wanita cantik itu, membawa sebuah baki kecil hitam yang tertutup sehelai kain kuning. Pelayan itu kini meletakkan baki di atas meja, di depan kursi kosong yang berada di sebelah kiri wanita cantik Itu. Kemudian dengan perlahan dan hati-hati la membuka kain kuning yang menutup baki.
Niken Harni terbelalak dan menahan seruan kagetnya ketika melihat bahwa di atas baki itu terdapat sebuah tengkorak. Tulang itu putih bersih dengan lubang-lubang ternganga pada kedua mata, hidung dan mulutnya. Yang mengerikan adalah mulut tengkorak itu. Masih tampak deretan gigi berbaris rapi pada mulut yang setengah terbuka itu sehingga tengkorak itu seolah menyeringai mentertawakan!
"Diajeng Woro Sumarni, lihat siapa yang datang mengunjungi kita ini!" kata pula Dibya Krendasakti kepada isterinya yang sejak tadi hanya menundukkan muka dan sama sekali tidak melihat ke arah Nini Bumigarbo dan Niken Harni.
"Woro! Engkau kenapa? Ini aku, Gayatri!" kata Nini Bumigarbo sambil bangkit dari kursinya dan menghampiri wanita itu.
Woro Sumarni mengangkat mukanya memandang, sikapnya dingin saja ketika la berkata.
"Ah, engkaukah yang datang, Mbakayu Gayatri?" Setelah berkata demikian, ia menunduk kembali.
Nini Bumigarbo merangkul Woro Sumarni yang dulu ketika masih sama-sama muda menjadi sahabat baiknya.
"Marni..., engkau kenapakah....?"
Akan tetapi Woro Sumarni bersikap dingin saja, menggeleng kepalanya dan berkata, "Tidak apa-apa, Mbakayu Gayatri."
"Ha-ha-ha, Gayatri, ternyata isteriku tercinta ini lebih tenang daripada kamu. Duduklah dan mari kita mulai dengan perjamuan makan yang kami adakan untuk menyambut kalian berdua sebagai tamu kehormatan." Kemudian Dibya Krendasakti memberi isarat kepada para pelayan wanita yang kini berjumlah empat orang itu. "Hayo isi cangkir kami dengan minuman!"
Empat orang pelayan itu dengan cekatan lalu menuangkan minuman berwarna kuning dan dari baunya dapat diketahui bahwa minuman itu terbuat dari perasan jeruk ke dalam cangkir-cangkir kosong yang berada di atas meja di depan Ki Dibya Krendasakti, Nini Bumigarbo, dan Niken Harni.
Di depan wanita cantik itu tidak terdapat gelas kosong dan anehnya, pelayan yang tadi membawa baki terisi tengkorak itu lalu menuangkan minuman ke dalam tengkorak melalui lubang yang berada di bagian ubun-ubun kepala tengkorak itu! Agaknya lubang-lubang di bagian bawah telah ditambal sehingga minuman itu berada di dalam tengkorak, tidak mengalir keluar.
"Mari kita minum untuk menyambut pertemuan yang menggembirakan ini!" kata Dibya Krendasakti sambil mengangkat cangkirnya.
Minuman yang terbuat dari perasan jeruk itu tampak segar dan baunya juga sedap menimbulkan selera. Niken Harni dan Nini Bumigarbo juga sudah mengangkat cangkir masing-masing akan tetapi Woro Sumarni diam saja, dan melihat ini, dua orang tamu itu memandang penuh rasa heran. Di depan Nyonya rumah itu tidak terdapat cangkir lain jeruk.
"Mari, Diajeng, isteriku yang tercinta, Isteriku yang ayu manis merak ati, mari kita minum!" Suara Dibya Krendasakti tampak lembut membujuk dan mesra, namun ada tekanan pada akhir kalimat yang mengandung kekerasan.
Niken Harni memandang Woro Sumarni dengan penuh perhatian, la tidak mengerti apa maksud Ki Dibya dengan ucapannya kepada isterinya itu. Sejak wanita itu datang dan melihat tengkorak itu ditaruh di atas meja, berhadapan dengannya, Niken Harni sudah merasa tidak suka dan muak. Woro Sumarni, tanpa memandang siapa pun, menggunakan kedua tangannya mengambil tengkorak itu, dihadapkan kepadanya, lalu mendekatkan tengkorak itu dan mulutnya dirapatkan pada mulut tengkorak yang ditundukkan. Ia minum minuman itu yang keluar dari mulut tengkorak dan tampak tentu saja seperti orang berciuman!
"Gayatri dan Niken, mari kita minum, ha-ha-ha!" Dibya Krendasakti berkata lalu minun dari cangkirnya.
Nini Bumigarbo agaknya sama sekali tidak peduli akan perbuatan Woro Sumarni. Ia Juga minum sampai minuman itu habis. Akan tetapi Niken Harni merasa muak dan tidak mau minum, bahkan lalu menaruh kembali cangkir minuman itu di atas meja. Seperti juga Nini Bumigarbo, Ki Dibya menghabiskan minumannya. Bahkan Woro Sumarni juga menghabiskan minumannya, minum melalui mulut tengkorak, lalu seperti menaruh cangkir kosong, ia meletakkan kembali tengkorak itu ke atas meja.
Melihat Niken Harni tidak mau minum, Ki Dibya berkata, "Niken Harni, minumlah air jeruk yang segar itu, dan rnari kita makan bersama dengan gembira."
Niken Harni marah sekali, la sudah muak dan rasanya mau muntah, la bangkit berdiri dengan kasar dan sebelum membentak nyaring ia menggebrak meja sehingga mangkuk piring di atas meja berloncatan.
"Brakk...!
Aku tidak suka makan minum bersama manusia iblis macam kamu...! Bibi Gayatri, mengapa Bibi diam saja melihat laki-laki iblis jahanam ini menghina dan menyiksa isterinya, yang sahabat Bibi sendiri, seperti ini? Iblis ini sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi!"
Nini Bumigarbo adalah seorang datuk aneh yang sama sekali tidak tersentuh perasaannya oleh peristiwa apa pun juga. Juga Ki Dibya Krendasakti juga seorang datuk yang luar biasa, biar dimaki seperti Itu, malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku menghina dan menyiksa isteriku yang amat kucinta ini? Heh-heh-heh, Diajeng Woro Sumarni, isteriku sayang, pujaan hatiku, tolong ceritakan kepada perawan cantik yang kewat (genit) ini, siapakah yang kejam? Ceritakan semuanya agar sahabatmu Gayatri ini juga mendengar dan mengerti."
Ucapan itu lembut dan manis, namun terasa ada kekerasan yang mengancam oleh Niken Harni. Woro Sumarni menghela napas panjang, mengangkat muka memandang suaminya, kemudian menoleh dan memandang ke arah tengkorak itu, dan akhirnya ia menghadapkan mukanya kepada Niken Harni dan Nini Bumigarbo yang duduk berhadapan dengannya, di seberang meja. Setelah menghela napas panjang sekali lagi, ia lalu bicara, suaranya lembut halus, mengandung penyesalan dan kedukaan.
"Sesungguhnyalah, Kakangmas Dibya Krendasakti tidak bersalah, tidak kejam dan tidak menyiksaku, melainkan dia amat mencintaku. Akulah yang bersalah kepadanya, akulah yang kejam dan telah menyiksa batinnya."
Niken Harni terheran-heran mendengar ucapan wanita itu. Nini Bumigarbo sambil minum lagi minuman yang sudah diisi ke dalam cangkirnya oleh pelayan, memandang sahabatnya itu dan berkata.
"Marni, tadi aku mendengar suamimu mengatakan bahwa engkau boleh menceritakan semuanya agar aku dan muridku dapat mendengar dan mengerti keadaanmu. Nah, sekarang ceritakan kepada kami apa kesalahanmu kepada Dibya Krendasakti. Kekejaman dan penyiksaan batin apakah Yang telah kau lakukan kepadanya."
Wanita itu mengarahkan pandang matanya kepada suaminya dan Dibya Krendasakti tersenyum dan mengangguk, kemudian dia menoleh ke belakang dan berseru galak kepada empat orang pelayan wanita itu.
"Kalian berempat keluar dari ruangan ini dan tutupkan daun pintunya. Awas, kalau ada yang mengintai dan mendengarkan pasti akan kulemparkan ke sarang ikan hiu!"
Ancaman itu agaknya bukan gertak sambal karena empat orang pelayan itu menjadi pucat dan segera keluar dari ruangan makan itu. Agaknya sudah pernah atau bahkan sering ada anak buah yang melakukan kesalahan dan benar-benar dilempar ke laut dan menjadi makanan gerombolan ikan hiu yang ganas dan buas. Setelah menghela napas lagi, Woro Sumarni mulai bercerita dengan suara lirih, lembut dan datar.
"Terjadinya sekitar dua puluh lima tahun yang lalu, Mbakayu Gayatri. Setahun setelah aku menjadi lsteri Kakangmas Dibya Krendasakti, kami pindah ke Pulau Nusa Barung ini dan kami hidup berbahagia. Kami saling mencinta, terutama suamiku amat mencintaku. Lalu.... Kakangmas Kunarpo datang berkunjung ke sini...."
"Hemm, Kunarpo adik seperguruan Dibya?"
"Benar, Mbakayu. Mungkin engkau masih ingat, dia seorang pemuda tampan, ketika itu berusia sekitar dua puluh lima tahun dan aku berusia dua puluh tiga tahun..."
"Dan aku sudah tiga puluh lima tahun, jauh lebih tua, ha-haha!" potong Dibya Krendasakti.
"Semula tidak terjadi sesuatu, Mbakayu Gayatri. Akan tetapi, Kakangmas Kunarpo dan aku masih muda dan dia memang memiliki pribadi yang menarik dan tentu saja, dia jatuh cinta kepada ku, Kakak iparnya sendiri. Lebih lagi Kakangmas Dibya Krendasakti terlalu memanjakan aku dan mempercaya kami berdua sehingga kami berdua seringkali ditinggalkan karena dia sibuk membangun pulau ini. Terkadang sampai dua tiga hari dia tidak pulang dan kami tinggal berdua saja dalam rumah. Kami tidak mampu menahan godaan nafsu maka terjadilah hubungan cinta di antara kami."
Gayatri atau Nini Bumigarbo mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar betapa lemahnya sahabatnya itu. Padahal, menurut pendapatnya, yang lemah dalam kesetiaan cinta adalah kaum pria, sedangkan wanita, seperti ia sendiri, tetap setia kepada cintanya sehingga ia sendiri begitu berpisah dari Ekadenta tidak mau berdekatan lagi dengan pria!
"Huh, memalukan sekali, Mami!" kata Nini Bumigarbo dan kembali ia menenggak minuman dari cangkirnya yang ia isi sendiri karena semua pelayan telah pergi.
"Bibi Gayatri biarkan Bibi Woro Sumarni melanjutkan ceritanya!" kata Niken Harni yang merasa iba kepada wanita yang lemah lembut tutur bahasanya itu. "Lanjutkanlah, Bibi Woro Sumarni."
"Akhirnya hubungan kami diketahui Kakangmas Dibya Krendasakti. Tentu saja dia marah sekali kepada Kakangmas Kunarpo dan menantangnya untuk bertanding sampai mati memperebutkan diriku...."
"Huh, kau dengar itu, Niken? Laki-laki memang biadab, memperebutkan wanita yang dianggap sebagai permainan belaka!" kata Nini Bumigarbo.
"Teruskanlah ceritamu, Bibi Woro Sumarni." kata Niken.
"Mereka bertanding dan Kakangmas Kunarpo tewas dalam pertandingan itu."
"Heh-heh-heh, dia mengalah. Adi Kunarpo sengaja mengalah dan rela mati untuk Diajeng Woro Sumarni. Hemm, dia amat mencinta Diajeng Woro Sumarni, akan tetapi aku lebih mencintanya!"
"Lanjutkanlah, Bibi Woro Sumarni!" desak Niken Harni sambil mengerling kepada Dibya Krendasakti dengan mata mencorong karena tak senang.
"Setelah Kakangmas Kunarpo tewas.... Kakangmas Dibya Krendasakti mengatakan bahwa Kakangmas Kunarpo berhak untuk terus merasakan cintaku dan harus terus berdampingan dengan aku. Maka, Kakangmas Dibya Krendasakti membiarkan Kakangmas Kunarpo selalu bersanding denganku, katanya agar aku tidak rindu setelah ditinggal mati kekasihku..."
"Ahh! Jadi.... tengkorak ini adalah tengkoraknya?" Niken Harni berseru nyaring dan memandang tengkorak itu dengan mata terbelalak.
"Benar. Ini adalah tengkorak Kakangmas Kunarpo yang sengaja dipenggal dan dikeringkan. Aku diharuskan minum dari mulut tengkorak untuk menyatakan cintaku kepada Kakangmas Kunarpo, dan tidak pernah berpisah. Bahkan kalau malam, tengkorak ini ditaruh di pembaringanku dan Kakangmas Dibya Krendasakti membiarkan tengkorak ini menjadi saksi ketika dia membelaiku, bercinta dan menggauli aku...."
"Wah, keparat jahanam!!" Niken Harni kini bangkit berdiri dan memandang kepada tuan rumah dengan muka merah dan mata mencorong penuh kemarahan.
"Heh-heh, Diajeng Woro Sumarni, katakanlah, apakah selama dua puluh lima tahun ini aku tidak memperlihatkan cintaku kepadamu yang berlimpahan? Pernahkah aku menyiksamu, atau memakimu, atau memukul dan menghinamu?"
"Tidak, Kakangmas Dibya Krendasakti bersikap amat mencintaku, bahkan berlebihan, seolah hendak pamer kepada tengkorak Kakangmas Kunarpo bahwa dia memang benar-benar amat menyayangku, amat mencintaku dan tetap mencintaku biarpun aku telah mengkhianatinya dan menyeleweng. Dia tidak mau mempunyai selir seorang pun, dia hanya mencinta aku seorang dan aku.... aku memang layak menerima hukuman derita batin ini...."
"Bohong! Dia masih gila karena dendam dan cemburu! Dia pada lahirnya bilang cinta, akan tetapi sesungguhnya pada batinnya penuh dendam kebencian dan cemburu! Dia menyiksamu dengan kejam sekali, Bibi Woro Sumarni! Dan Bibi menderita hebat! Siapa yang tidak tahu akan hal ini? Bibi menjadi seperti mayat hidup, semangat dan kebahagiaan Bibi telah mati, yang ada hanya kepedihan hati dan derita!" Niken Harni berteriak lantang.
Tiba-tiba Woro Sumarni menutup mukanya dengan kedua tangannya. Tidak mengeluarkan suara, akan tetapi jelas ia menangis sedih. Air matanya menetes keluar dari celah-celah jari tangannya, pundaknya terguncang-guncang.
"Ah, Diajeng Woro Sumarni, isteriku sayang. Mengapa engkau menangis? Bukankah aku selalu mencintamu dan engkau tidak kekurangan sesuatu di sini, hidup berbahagia sebagai isteriku?" Dibya Krendasakti membujuk dengan lembut dan mengelus pundak isterinya.
"Dibya Krendasakti, engkau manusia berwatak iblis! Engkau menyiksa hati Bibi Woro Sumarni dengan kejam! Lebih kejam dari pembunuhan. Selama dua puluh lima tahun engkau menyiksanya seperti ini, menghinanya dan menghancurkan semua harapan dan kebahagiaannya! Engkau jahat! Bibi Gayatri, buat apa kita menjadi tamu manusia iblis seperti dia ini?" Niken Harni membentak-bentak saking marahnya.
"Ha-ha-ha, Niken Harni Engkau memang pantas menjadi murid Gayatri. Engkau kewat dan galak seperti Gayatri di waktu muda Nah, Cah ayu (Anak cantik), sekarang katakan, apa yang kau ingin aku lakukan? Apakah aku harus mengubah cintaku terhadap isteriku?"
"Dibya Krendasakti! Engkau harus membebaskan Bibi Woro Sumarni dari siksaan ini. Tengkorak itu harus dikubur dan engkau harus memberi kebebasan kepada isterimu...!"
"Kalau aku menolak?"
"Terpaksa aku akan menghajarmu!" Niken Harni berseru galak.
"Ha-ha-ha-heh-heh!" Dibya Krendasakti tertawa bergelak dan terkekeh-kekeh, tidak marah, melainkan geli bahkan gembira. "Bocah ayu, engkau akan menghajarku? Begini saja, kita bertanding. Kalau aku kalah, aku akan menaati perintahmu, akan tetapi kalau engkau kalah, engkau menjadi isteriku yang ke dua. Baru sekali ini aku tertarik kepada seorang gadis lain...!"
"Keparat! Siapa sudi menjadi Isterimu? Kalau aku kalah, lebih baik aku mati daripada menjadi isteri seorang laki-laki yang kejam seperti iblis macam kamu!"
"Wah, Dibya, engkau tua bangka menantang muridku? Tak tahu malu! Kalau sudah gatal tanganmu dan ingin bertanding, akulah musuhmu. Kita tua sama tua dan mari kita bertaruh. Kalau dalam pertandingan kita engkau kalah, engkau harus memenuhi permintaanku tadi dan permintaan Niken, yaitu engkau harus mencuri Cupu Manik Maya dari Istana Kahuripan dan engkau harus membebaskan Woro Sumarni dari penyiksaanmu untuk melampiaskan dendam dan cemburumu."
"Dan kalau aku yang menang, aku boleh bersikap sesuka hatiku terhadap isteriku, dan Niken Harni harus menjadi isteriku. Bagaimana, Gayatri, pertaruhan ini telah adil, bukan?"
"Baik...! Kalau engkau kalah, engkau harus memenuhi permintaan kami tadi. Sebaliknya kalau aku yang kalah, aku tidak akan menghalangi apa yang hendak kau lakukan terhadap Woro Sumarni dan terhadap Niken Harni."
"Bagus! Mari kita lakukan pertandingan itu sekarang juga! Aku ingin cepat-cepat dapat menikmati pengantinan dengan Niken Harni. Gayatri, terus terang saja, aku belum pernah tertarik wanita lain, kecuali isteriku dan dulu aku pernah tergila-gila kepadamu. Sekarang, muridmu Ini menjadi penggantimu. Ha-ha-ha-ha.."
"Ruangan Ini pun cukup luas untuk kita bertanding, Dibya. Mari kita mulai agar cepat selesai!" Nini Bumigarbo meninggalkan kursinya.
Niken Harni dan Woro Sumarni juga bangkit berdiri dan Niken cepat mendorong meja penuh hidangan Itu ke pinggir sehingga ruangan itu menjadi semakin luas. Nini Bumigarbo sudah berdiri di tengah ruangan itu. Sambil menyeringai dan bersikap memandang rendah, Ki Dibya Krendasakti juga melangkah dan menghampiri Nini Bumigarbo.
Tidak aneh kalau kakek itu memandang ringan calon lawannya. Bukan karena dia berwatak sombong, akan tetapi karena memang dulu, ketika mereka masih muda dan sudah saling mengenal, tingkat kepandaian Dibya Krendasakti memang lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Nini Bumigarbo. Pada waktu itu, kepandaian Dibya Krendasakti sudah tinggi dan setingkat dengan Ekadenta.
Dan sejak itu, Dibya Krendasakti terus memperdalam iImu-ilmunya sehingga kini dia menganggap ringan kepandaian Gayatri yang telah menjadi Nini Bumigarbo. Tentu saja dia tidak tahu betapa karena ditolak cintanya oleh Ekadenta dan dalam usahanya yang tiada hentinya ingin mengungguli kepandaian kakak seperguruannya itu, Nini Bumigarbo terus meningkatkan kepandaiannya, biarpun ia sudah semakin tua.
Niken Harni yang merasa iba kepada Woro Sumarni, menarik dua buah kursi ke dekat dinding, menjauhi meja dimana terdapat tengkorak itu. Lalu dengan halus ia menggandeng tangan wanita itu dan mengajaknya duduk di atas kursi Itu, menonton pertandingan. Akan tetapi setelah mereka duduk berdampingan, Woro Sumarni berkata lirih, suaranya penuh teguran.
"Niken, mengapa engkau lakukan ini? Engkau membuat aku susah saja."
"Eh? Bibi, aku melakukan ini untuk membelamu!"
"Tidak, Niken. Pertandingan itu akibatnya akan membuat aku susah. Kalau Mbakayu Gayatri menang, kemudian suamiku membiarkan aku pergi dan berpisah darinya, hidupku tidak ada artinya lagi. Kalau suamiku yang menang dan mengambilmu sebagai isteri, hal itu pun akan menghancurkan hatiku. Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari dia atau melihat dia mencinta wanita lain."
Niken terbelalak. Hati gadis muda ini terkejut dan heran, juga tidak mengerti.
"Bibi.... engkau.... engkau begitu amat mencintainya?"
"Tentu saja aku mencintainya, Anak bodoh."
Niken Harni tertegun dan bingung sehingga ia tidak mampu berkata-kata lagi. Apakah suami isteri itu keduanya sudah gila? Demikian pikirnya kebingungan. Woro Sumarni begitu mencinta suaminya sehingga biarpun sudah dua puluh lima tahun disiksa batinnya seperti itu, masih tetap mencintanya. Akan tetapi mengapa dulu ia menyeleweng dengan laki-laki lain?
Sebaliknya Dibya Krendasakti sampai sekarang masih amat mencintai isterinya sehingga tidak mau membagi cintanya dengan wanita lain. Akan tetapi mengapa dia tidak mau memaafkan kesalahan isterinya itu dan menyiksa batinnya sedemikian kejamnya? Beginikah cinta? Ataukah mereka gila? Renungannya terhenti karena pada saat itu, Nini Bumigarbo sudah mulai mengadu kesaktian melawan Dibya Krendasakti. Dua orang datuk yang sakti mandraguna itu berdiri saling berhadapan dalam jarak sekitar sepuluh langkah.
Nini Bumigarbo tersenyum mengejek dan berkata dengan suara tenang. "Dibya Krendasakti, mulailah dan keluarkan semua aji kesaktianmu. Hendak kulihat sampai di mana sekarang kemajuanmu!"
Dibya Krendasakti menggerakkan kedua tangannya seperti menyembah di depan dada, kemudian matanya memandang dengan sinar mencorong dan mulutnya berkemak-kemik. Setelah beberapa lamanya, dia lalu membuka kedua lengannya, diangkat ke atas seperti orang berdoa dan dia lalu memukulkan kedua telapak tangannya ke depan dan berteriak lantang.
"Gayatri, sambutlah Aji Bajra Langking!"
Tiba-tiba terdengar suara seperti angin menderu dan banyak sinar hitam meluncur seperti puluhan batang anak panah menuju ke tubuh Nini Bumigarbo. Melihat serangan aji pukulan yang mengandung ilmu sihir ini, Nini Bumigarbo lalu menyambut dengan dorongan kedua telapak tangan ke depan sambil mengerahkan tenaga saktinya, juga diperkuat dengan daya sihirnya. Dari kedua telapak tangannya menyambar angin yang berpusing.
"Wuuuttt.... byarrr....!!"
Dua tenaga sakti yang diperkuat ilmu sihir Itu bertemu di udara, menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan Niken Harni merasa tubuhnya terguncang oleh getaran yang amat kuat sehingga ia harus menahan napas mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tubuhnya, terutama jantungnya. Ia melihat betapa Woro Sumarni tampak duduk tenang saja. Hal ini membuatnya kagum karena ia dapat menduga bahwa wanita cantik itu juga memiliki kesaktian sehingga mampu menahan getaran yang amat kuat itu.
Ketika dua tenaga sakti Itu bertemu di udara, sinar kecil-kecil seperti puluhan batang anak panah itu terdorong dan membalik, lenyap kembali ke dalam kedua tangan Dibya Krendasakti. Nini Bumigarbo juga menarik kembali tenaganya dan tersenyum.
"Apakah masih ada lainnya, Dibya Krendasakti? Keluarkan semua ilmu mu!"
Dibya Krendasakti terkejut bukan main. Dia tadi telah mengerahkan Aji Pukulan Bajra Langking, akan tetapi ternyata lawannya dapat menyambut dan membuyarkan serangannya. Tak disangkanya Gayatri kini memiliki tenaga sakti yang sedemikian kuatnya. Dia merasa penasaran sekali, maklum bahwa menggunakan aji pukulan yang mengandung sihir itu tidak ada gunanya dan tidak akan dapat mengalahkan lawan.
Maka dia lalu mengerahkan serangan yang menggempur lawan melalui suara. Dia menekuk kedua lututnya, membuka mulutnya dan keluarlah gerengan yang amat dahsyat, menggetar dan menggelora. Tidak lantang benar, namun suara pekik itu seperti gelombang lautan yang datang menerjang, mula-mula perlahan, namun semakin lama menjadi semakin kuat dan getarannya membuat prabot ruangan itu bergoyang.
Kembali Niken Harni harus mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melindungi dirinya. Bahkan ia terpaksa memejamkan kedua matanya dan menulikan pendengarannya, memusatkan tenaga untuk melindungi otak dan jantungnya.
Menghadapi serangan pekik yang dahsyat Itu, Nini Bumigarbo tiba-tiba tertawa cekikikan. Akan tetapi suara tawa ini juga mengandung getaran hebat yang menyambut dan menolak pengaruh pekik yang dikeluarkan lawannya. Dua suara yang berlainan itu seolah saling mendorong dan saling menyerang. Akhirnya perlahan-lahan pekik itu melemah dan suara tawa Nini Bumigarbo juga ikut melemah dan keduanya berhenti. Suasana menjadi lengang setelah dua suara itu berhenti. Namun dalam telinga Niken Harni yang menghentikan pengerahan tenaganya, masih terngiang-ngiang.
"Bagaimana, Dibya? Masih ada lagi?" tanya Nun Bumigarbo dengan senyum mengejek.
Ki Dibya Krendasakti semakin terkejut dan penasaran. Tahulah dia bahwa dalam hal daya sihir dan tenaga sakiti, dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya. Maka dia akan mengajak nenek itu bertanding lewat ketangkasan dan keahlian dalam gerakan silat. Dia lalu menyambar gendewa besar yang tadi dia letakkan di atas meja.
"Gayatri, kalau memang engkau sakti, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang dan ketangkasan ilmu silat kita...! Keluarkan senjatamu untuk menandingi senjata pusaka gendewaku ini!"
Nini Bumigarbo adalah seorang datuk yang sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali dalam aji kanuragan, maka ia hampir tidak pernah menggunakan senjata untuk memperkuat dirinya. Seluruh tubuhnya, kaki tangan, baikan rambutnya, dapat menjadi senjata yang amat ampuh. Juga ia memiliki senjata rahasia berupa segenggam pasir yang amat ampuh karena setiap butir pasir sakti Ini sudah cukup untuk meracuni tubuh lawan dan membinasakannya. Akan tetapi kini ia menghadapi Dibya Krendasakti dan ia tahu bahwa gendewa di tangan lawan ini amat ampuh.
Gendewa itu adalah sebuah senjata yang termasuk keras. Maka ia lalu melolos sehelai sabuk hitam yang panjangnya hanya sekitar lima kaki, sabuk dari kain tebal yang kuat. Sebetulnya ini hanyalah sabuk biasa, bukan senjata. Akan tetapi bagi nenek yang sakti ini, setiap benda apa saja dapat ia pergunakan sebagai senjata, la memilih sabuk yang lemas untuk menandingi gendewa lawan yang keras.
Sambil merentangkan sabuk hitam itu dengan kedua tangannya, Nini Bumigarbo berkata, "Dibya, majulah. Ingin aku membuktikan betapa ampuhnya gendewa di tanganmu itu!"
Ki Dibya Krendasakti mengeluarkan bentakan nyaring dan menerjang maju dengan serangan yang dahsyat. Karena dia maklum betul betapa saktinya Nini Bumigarbo, maka begitu menyerang dia langsung mengeluarkan jurus-jurus terampuhnya. Namun, dengan gerakan lincah dan tenang saja Nini Bumigarbo menyambut serangan itu dengan sabuk hitamnya. Mereka saling serang dengan dahsyatnya, menggerakkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua jurus terampuh dan aji pamungkas mereka. Namun, keduanya memiliki pertahanan yang kokoh kuat, tidak mudah didesak lawan.
Niken Hami sampai merasa pening menyaksikan pertandingan yang amat hebat itu. Seluruh ruangan itu seolah terguncang. Seakan-akan ada dua ekor gajah yang sedang berkelahi mati-matian di ruangan itu, bukan seorang kakek dan seorang nenek! Dua orang itu lenyap tidak tampak bentuknya lagi. Yang tampak hanya bayangan dua orang berkelebatan telah menjadi banyak, diselubungi sinar hitam sabuk di tangan Nini Bumigarbo dan sinar keabuan dari gendewa Dibya Krendasakti. Suara yang terdengar hanya desiran angin, terkadang bersuitan dan berdesingan seperti suara senjata tajam meluncur. Terkadang terdengar bunyi nyaring ketika sabuk bertemu gendewa dan tampak bunga api perpijar-pijar...!
Tidak disangka oleh Niken Harni bahwa pertandingan itu akan sedemikian hebatnya, la sendiri sampai mengeluarkan keringat dingin saking tegangnya. Kalau ia menoleh dan memandang kepada Woro Surnarni, ia melihat wanita cantik itu menonton tanpa berkedip. Sepasang alisnya berkerut dan wajahnya tampak tegang dan gelisah.
Diam-diam ia merasa semakin iba dan juga terheran-heran. Wanita ini sungguh amat mencinta suaminya. Inikah yang disebut cinta yang sesungguhnya, ataukah ia mencinta seperti itu karena merasa menyesal akan penyelewengannya dahulu? Ia tidak tahu dan tidak akan pernah mengerti. Kini mulai terdengar pernapasan Dibya Krendasakti yang terengah-engah.
Sebaliknya, Nini Bumigarbo masih tenang dan teguh seperti sebelum bertanding. Dari kenyataan ini saja dapat dimengerti bahwa tingkat kepandaian Nini Bumigarbo masih lebih unggul. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat ilmu yang mereka pelajari dan kuasai tidak banyak selisihnya. Akan tetapi yang berbeda adalah daya tahan tubuh mereka.
Hal Ini dapat dimengerti. Dibya Krendasokti telah beristeri selama hampir tiga puluh tahun dan dia pun selama dua puluh lima tahun sebetulnya mengalami tekanan batin yang amat hebat, namun ditahan dan disembunyikan di balik cintanya terhadap isterinya. Juga dia jarang berlatih setelah hidup sebagai raja kecil di Nusa Barung.
Sebaliknya, Nini Bumigarbo adalah seorang wanita yang tidak pernah menikah, seorang yang masih perawan, dan selain itu, sampai dua tahun yang ialu pun ia masih tekun berlatih untuk menambah ilmu dan memperkuat diri dalam usahanya mengalahkan Bhagawan Ekadenta. Maka dalam pertandingan ini, Nini Bumigarbo memiliki kelebihan dalam kekuatan dan daya tahan tubuh.
"Sambut ini, Dibya!" terdengar bentakan nyaring.
"Syuuuuttt.... krakk...!"
Tubuh Dibya Krendasakti terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Gendewanya patah dan wajahnya pucat, napasnya terengah-engah dan dia menggunakan tangan kiri untuk menekan dadanya yang terasa sesak terkena pukulan tangan kiri Nini Bumigarbo.
"Kakangmas....!!" Woro Sumarni melompat dari tempat duduknya dan begitu dekat dengan suaminya, ia merangkul dengan penuh kasih sayang dan kekhawatiran. "Engkau tidak apa-apa, Kakangmas... ...?" tanyanya sambil meraba dada suaminya.
Dibya Krendasakti merangkul pundak isterinya. "Tidak apa-apa, Diajeng. Gayatri agaknya masih teringat akan persahabatan masa lalu maka ia tidak menurunkan tangan maut kepadaku. Dan agaknya sudah tiba saatnya bahwa aku harus membebaskanmu, Diajeng. Ah, biarlah aku menderita dan mati kalau engkau tega meninggalkan aku, Diajeng Woro Sumarni..." Kakek yang gagah perkasa itu kini tampak berduka dan memandang Wajah isterinya penuh permohonan.
"Tidak, Kakangmas. Aku tidak pernah meninggalkanmu, sampai aku mati...!"
"Diajeng.... aduh, baru sekarang aku menyadari betapa kejamnya aku kepadamu. Diajeng, maukah engkau mengampuni aku...? Aku tidak ingin kehilangan engkau, Diajeng, kalau engkau pergi meninggalkan aku, aku tidak akan menghalangi, akan tetapi berarti engkau membunuh aku...."
"Tidak, Kakangmas, tidak....!" Suami isteri itu berangkulan dan bertangisan.
Niken Harni bengong terlongong menyaksikan ini.
"He-he-hi-hi-hik! Bertangis-tangisan...! Alangkah mesranya, alangkah mengharukan! Dibya, engkau mengaku kalah?" Nini Bumigarbo bertanya.
Sambil merangkul pinggang isterinya dengan tangan kiri dan membawa isterinya duduk kembali ke kursinya, Dibya Krendasakti menjawab.
"Aku mengaku kalah, Gayatri. Engkau memang hebat sekali. Bahkan aku tahu, kalau engkau menghendaki, agaknya sudah sejak tadi aku roboh dan tewas di tanganmu."
"Ihh, tidak begitu mudah, Dibya. Engkaulah lawanku yang paling tangguh selama ini, tentu saja di bawah kesaktian Bhagawan Ekadenta. Nah, sekarang engkau mau memenuhi permintaan kami berdua, bukan?"
"Tentu saja, Gayatri!" Dibya Krendasakti lalu bertepuk tangan tiga kali.
Lima orang anak buah laki-laki bermunculan dari pintu. Mereka tadi tidak berani menonton atau mendengarkan, namun tepuk tangan yang nyaring tiga kali ini merupakan perintah panggilan yang harus mereka taati.
"Hayo kalian cepat bawa pergi tengkorak itu dan kuburkan di dalam makam Kunarpo di bukit kecil itu. Kalian sudah tahu dimana makam itu. Kubur baik-baik dan dengan penuh penghormatan..!"
Lima orang murid itu menyanggupi dan mereka lalu membawa tengkorak bersama bakinya keluar dari ruangan itu. Niken Harni melihat betapa kini wajah Woro Surnarni berseri-seri dan tampak semakin cantik. Agaknya kehidupan baru yang gemilang dan bahagia menanti di depannya. Juga wajah Dibya Krendasakti tampak berseri, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.
"Gayatri, Niken Harni, sekarang marilah kita makan minum dulu, baru nanti kita bicara! Diajeng Woro Sumarni, sekarang tidak periu lagi memanggil pelayan. Mereka hanya mengganggu saja. Biar tanganmu sendiri yang melayani aku dan tamu-tamu kita ini."
Woro Sumarni tersenyum dan menyentuh pundak Nini Bumigarbo. "Mbakayu Gayatri, aku sungguh merasa girang sekali bahwa engkau masih ingat kepada kami dan suka dating berkunjung. Terima kasih, Mbakayu, terima kasih. Ternyata kunjunganrnu mendatangkan berkah dan kami berdua merasa mendapatkan hidup baru yang cerah."
"Benar kata isteriku, Gayatri. Kini tidak ada lagi penghalang di antara cinta kami berdua. Semua halangan itu merupakan masa lalu yang sudah kami lupakan semua."
Gayatri tersenyum, akan tetapi senyumnya masam. "Aku tetap saja tidak percaya kepada laki-laki. Semua omongan laki-laki terhadap wanita itu gombal belaka, merayu dan mengambil hati, akan tetapi sebetulnya palsu!"
"Akan tetapi suamiku tidak, Mbakayu....."
"Ah, sudahlah. Aku tidak mau bicara lagi tentang kepalsuan laki-laki. Hayo kita makan setelah itu baru kita bicara tentang kesanggupan Dibya Krendasakti"
Mereka lalu makan minum dan Niken Harni melihat betapa Woro Surnarni benar-benar tampak gembira dan bahagia, melayani suaminya dengan sikap lembut dan mesra. Juga wajah Dibya Krendasakti tampak bahagia, terlihat dari sinar matanya yang terang, tidak seperti tadi yang suram mengandung kekerasan. Sehabis makan, Nini Bumigarbo segera mengajak Dibya Krendasakti bicara.
"Aku akan memegang teguh janjiku, Gayatri. Aku sudah kalah dan aku telah pula memenuhi permintaan Niken Harni, yaitu memberi kebebasan kepada isteriku. Sekarang, kita bicara tentang permintaanmu agar aku mencuri pusaka Kahuripan, yaitu Cupu Manik Maya."
"Memang seharusnya begitu, Dibya. Lebih dulu perlu engkau ketahui tentang bangunan istana dan di mana pusaka yang ku maksudkan itu di simpan. Nah, dengarkan baik-baik, akan kugambarkan keadaan istana Kahuripan." Nini Bumigarbo lalu memberi penjelasan tentang keadaan Istana Kahnripan, dari mana Dibya Krendasakti dapat masuk tanpa banyak halangan dan di mana pula letaknya Gedung Pusaka. Setelah Nini Bumigarbo selesai memberi keterangan, Ki Dibya Krendasakti mengangguk-angguk.
"Aku sudah paham, Gayatri dan percayalah, aku pasti akan berhasil mencuri pusaka Cupu Manik Maya itu dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan. Akan tetapi sebelum aku pergi memenuhi permintaanmu, aku masih merasa penasaran, Gayatri. Engkau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada aku. Kalau engkau turun tangan sendiri mengambil pusaka itu, tentu akan dapat kau lakukan dengan mudah. Akan tetapi mengapa engkau malah minta bantuan kepadaku?"
"Seperti telah kukatakan tadi, aku tidak bisa turun tangan sendiri karena aku sudah berjanji untuk tidak mengganggu Erlangga dan Narotama dengan tanganku sendiri. Aku sudah berjanji kepada Bhagawan Ekadenta yang melindungi raja dan patihnya itu. Nah, sudah jangan banyak bertanya lagi. Kapan engkau akan berangkat melaksanakan pengambilan pusaka seperti yang sudah kau janjikan itu?"
"Hari ini juga aku berangkat, Gayatri!"
"Kakangmas Dibya, aku ikut. Aku akan membantumu!" kata Woro Surnarni. "Aku dapat membelamu kalau engkau terancam bahaya, Kakangmas. Aku mendengar bahwa Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah orang yang sakti mandraguna. Aku khawatir engkau akan mengalami bencana. "
"Hiah ha ha, Waduh, sikapmu ini membuat aku merasa bahagia sekali, Diajeng! Ternyata engkau memang amat mencintaku, siap membelaku. Terima kasih, Diajeng Woro Surnarni, aku berjanji, mulai saat ini, aku akan lebih mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku! Akan tetapi, jangan khawatir. Mencuri pusaka dari Gedung Pusaka Istana Kahuripan hanya merupakan permainan kanak-kanak bagiku!"
"Dibya Krendasakti, seperti yang telah ku katakan kepadamu, setelah engkau berhasil mencuri Cupu Manik Maya, benda pusaka itu boleh kau miliki. Aku tidak membutuhkannya. Tentu saja engkau harus menjaganya sendiri dan menghadapi segala akibatnya."
"Ha-ha-ha, tentu saja, Gayatri."
Nah,... sekarang aku dan Niken akan meninggalkan Nusa Barung, tolong kau sediakan perahu penyeberangan ke daratan."
Dibya Krendasakti memberi perintah kepada anak buahnya. Nini Bumigarbo dan Niken Harni lalu berpamit kepada suami isteri itu, dan tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk dalam sebuah perahu yang didayung oleh dua orang anak buah Nusa Barung dengan cepat.
********************
Selanjutnya,
JILID 12
JILID 12