Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 12
Dengan ilmunya berlari cepat yang membuat Puspa Dewi dapat berlari seperti terbang, gadis itu yang mencari adik tirinya, Niken Harni, memasuki daerah Kerajaan Wengker. Ia tahu bahwa daerah itu berbahaya. Di situ terdapat banyak orang sakti. Apalagi kini yang menjadi adipati adalah Linggajaya, seorang pria yang jahat namun sakti dan yang menjadi satu di antara musuh-musuhnya.
Setelah dulu dalam gerakan persekutuan antara tiga kerajaan kecil yang membantu pemberontakan di Kahuripan, ia telah berbalik membela Kahuripan sehingga dianggap pengkhianat oleh persekutuan, ia dianggap musuh oleh empat kerajaan itu.
Kerajaan Wengker dengan adipatinya Linggawijaya, Kerajaan Wura-wuri dengan adipatinya Bhismaprabhawa di mana gurunya, Nyi Dewi Durgakumala, kini menjadi permaisuri Wura-wuri. Yang ke tiga adalah Kerajaan Parang Siluman dengan adipatinya Ratu Wanita Durgamala yang memiliki banyak pembantu sakti, di antaranya puteri-puterinya sendiri, Ni Lasmini dan Ni Mandari, dan yang ke empat adalah Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan penguasanya Ratu Mayang Gupita, raksasa wanita yang sakti itu.
Kini ia memasuki wilayah Kerajaan Wengker, sebuah diantara empat kerajaan itu dan Wengker dapat dikatakan sebagai yang terbesar dan terkuat di samping Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi ia tidak merasa gentar. Ia harus dapat menemukan Niken Harni dan kalau perlu ia akan menemui Adipati Linggawijaya sendiri untuk minta agar adiknya itu dibebaskan, seandainya Niken Harni memang tertawan di Wengker.
Kerajaan Wengker adalah sebuah kerajaan yang cukup luas dan di daerah itu memiliki ciri yang khas, yaitu bahwa para penduduknya sebagian besar terdiri dari orang-orang yang pembawaannya kasar dan jarang terdapat wanita cantik. Para prianya kebanyakan tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat, pembawaannya gagah dan keras. Jarang terdapat wanita cantik di antara penduduk Wengker asli. Karena itu, ketika Puspa Dewi melakukan perjalanan memasuki daerah Wengker, orang-orang yang bertemu dengannya memandang penuh perhatian dan mereka merasa kagum sekali. Tentu saja Puspa Dewi tidak mempedulikan mereka dan langsung saja ia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota Kadipaten Wengker.
Pada suatu sore ia tiba di sebuah dusun di tepi sebuah sungai yaitu Kali Ngebel. Dusun Nguter itu merupakan sebuah dusun yang cukup besar karena penduduknya dapat hidup cukup makmur dengan hasil sawah ladang mereka yang subur karena mendapatkan air yang cukup dari Kali Ngebel. Seperti juga di setiap tempat yang ia lalui, ketika ia memasuki dusun itu pun, orang-orang yang melihatnya, terutama orang-orang lelaki, memandangnya dengan tertarik dan penuh kagum. Mereka jarang melihat wanita secantik Puspa Dewi dan mereka tahu bahwa gadis ini adalah seorang asing karena di antara mereka tidak ada yang mengenalnya.
Puspa Dewi terpaksa menunda perjalanannya. Senja telah mendatang. Ia harus melewatkan malam di tempat ini. Ia tidak ingin ada orang di dusun itu yang mencurigainya sehingga perjalanannya ke kota kadipaten akan mengalami banyak gangguan. Karena itu, ia memilih tempat yang terpencil dan jauh dari perumahan, di tepi sungai. Akan tetapi perutnya terasa lapar sekali. Ketika ia berjalan perlahan di tepi sungai, ia melihat berkilatnya kulit ikan yang meluncur di dalam air sungai yang bening itu. Sepasang matanya berkilat, wajahnya berseri. Ada makanan tersedia di dalam air sungai, pikirnya.
Puspa Dewi lalu mencari sebatang ranting pohon dan meruncingi ujungnya. Setelah itu ia lalu berjalan perlahan menyusuri tepi Kali Ngebet sambil memperhatikan ke arah air dengan ranting runcing siap di tangan kanan. Tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa ekor ikan berenang di depannya. Cepat sekali ranting runcing itu meluncur dan ujungnya yang kecil runcing sudah menembus kepala seekor ikan!
Dengan girang Puspa Dewi mengambil ikan itu dari tongkat runcingnya. Kemudian ia mengintai lagi. Sedikitnya ia harus mendapatkan tiga ekor ikan untuk dapat mengenyangkan perutnya yang lapar karena ikan itu pun tidak terlalu besar, hanya sebesar pergelangan tangannya. Akan tetapi agaknya gerakan di air ketika ia menangkap seekor ikan tadi membuat ikan-ikan di dekat situ ketakutan. Terpaksa ia harus berjalan terus, mencari ke bagian lain. Akhirnya ia berhasil memperoleh tiga ekor ikan.
Gadis yang sudah biasa melakukan perantauan ini dengan girang lalu membuang isi perut ikan dan memanggang ikan-ikan itu di tepi sungai. Biarpun ikan-ikan itu tidak diberi bumbu, dipanggang begitu saja, namun terasa cukup lezat dan sebentar saja tiga ekor ikan itu tinggal kepala dan tulang saja yang ia lemparkan ke dalam sungai.
Puspa Dewi membersihkan tangan, lalu mencuci muka dan kaki lengannya. Lalu ia mulai mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Ketika ia sedang mencari-cari tempat untuk mengaso melewatkan malam, tiba-tiba ia mendengar jeritan suara wanita yang datangnya dari dalam hutan kecil di tepi sungai. Cepat ia melompat dan berlari memasuki hutan kecil itu.
Tak jauh ia berlari, ia melihat seorang laki laki bertubuh tinggi besar bermuka hitam, berusia sekitar tiga puluh lima tahun, menarik-narik lengan seorang wanita muda dan menyeretnya menuju ke sebuah gua yang berada di situ.
"Jangan....! Lepaskan aku, lepaskan...! Tolooongggg....!!"
"Ha-ha, tidak ada yang akan mendengarmu. Andaikata ada pun siapa berani mencampuri urusan Drohawisa? Diamlah dan aku tidak akan bertindak kasar terhadap dirimu!" Tiba-tiba laki-laki tinggi besar itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu dia telah memondong tubuh wanita yang meronta-ronta dan menjerit-jerit itu.
"Lepaskan aku....! Aku mau menolong suamiku.... lepaskan aku, kasihanilah aku.... suamiku.... ah, engkau telah membunuhnya...!" Wanita itu menangis.
"Ha-ha, Wiyanti, engkau menurut saja padaku dan engkau akan hidup senang. Suamimu berani menentangku, maka kubunuh dia dan kalau engkau selalu menolakku, akan kukirim kau menyusul suamimu!"
"Bunuh saja aku! Bunuh....!"
"Ha-ha-ha, sayang kalau dibunuh!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Jahanam busuk!" dan Puspa Dewi telah berdiri menghadang di depan laki-laki yang memondong tubuh wanita itu dan hendak memasuki gua.
Laki-laki yang tadi mengaku bernama Drohawisa itu terkejut dan marah sekali melihat ada orang berani menentangnya. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menghadang dan memakinya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita, dia terbelalak kagum dan segera melepaskan tubuh wanita yang dipondongnya dengan kasar, seperti membuang sebuah benda yang tidak berharga. Wanita itu terbanting jatuh dan mengeluh kesakitan menangis lalu merangkak menjauhi laki-laki itu, duduk bersandar batang pohon dan menangis.
"Wah! Bidadari dari mana datang menemuiku? Cantik sekali engkau. Aduh .... beruntung sekali aku hari Ini, mendapatkan seorang bidadari!"
Dahulu, Puspa Dewi adalah seorang gadis yang berwatak keras dan ganas. Hal ini adalah karena selama lima tahun ia digembleng dalam pendidikan Nyi Dewi Durgakumala yang sesat. Dulu, kalau bertemu orang yang dianggapnya musuh, tentu ia akan menurunkan tangan besi dan menghajar orang itu tanpa banyak bertanya lagi.
Akan tetapi semenjak ia mendapat pendidikan Sang Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, wataknya berubah banyak. Biarpun kini ia marah sekail melihat Drohawisa menculik dan hendak memperkosa Wiyanti, namun la menahan diri sebelum mengetahui duduknya perkara. Maka, ia tidak mempedulikan ucapan Drohawisa tadi dan menghampiri Wiyanti yang duduk menangis sambil bersandar pada batang pohon itu.
Wanita itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Seperti kebanyakan wanita daerah Wengker, wanita ini pun memiliki bentuk tubuh yang tegap dan besar. Wajahnya termasuk sedang saja bagi wanita pada umumnya, namun bagi orang-orang Wengker, ia sudah dapat disebut manis dan menarik.
"Mbakayu, ceritakanlah apa yang telah terjadi? Jangan takut, aku akan melindungimu."
Dengan terisak-isak Wiyanti menceritakan betapa Drohawisa selalu menggoda dan membujuk-rayunya. Wiyanti yang sudah bersuami tentu saja menolak dan siang tadi, ketika Drohawisa menggodanya lagi, suami Wiyanti yang bernama Garino pulang dan menegur Drohawisa dengan marah melihat laki-laki itu menggoda isterinya.
Terjadi perkelahian dan Garino dihajar oleh Drohawisa yang tentu saja jauh lebih kuat karena dia adalah seorang jagoan, murid seorang warok muda terkenal bernama Wirobento. Drohawisa menangkap dan melarikan Wiyanti, meninggalkan Garino yang roboh pingsan dengan tubuh menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan Drohawisa.
"Demikianlah, Mas Roro.... dia membawa aku sampai ke tempat ini.... dan aku tidak tahu bagaimana dengan nasib suamiku...."
Wiyanti mengakhiri ceritanya sambil menangis. Mendengar ini, sepasang mata Puspa Dewi mencorong ketika ia membalik dan menghadapi Drohawisa. Ia melihat betapa laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu menyeringai dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat gadis cantik jelita yang berdiri di depannya itu.
"Ha-ha-ha, sekarang juga akan membebaskanmu, Wiyanti. Aku tidak membutuhkan engkau lagi. Sepuluh orang seperti engkau pun akan ku tukarkan dengan gadis bidadari ini, heh-heh-heh!"
"Jahanam busuk! Orang macam engkau ini tidak pantas hidup di dunia ini!"
"Ha-ha, aku mau hidup di neraka asalkan bersama engkau, perawan denok montok, ayu manis merak ati! Mari kupondong engkau, dewiku!"
Drohawisa adalah seorang hamba nafsu yang selalu melakukan perbuatan apa pun untuk melampiaskan nafsu nafsunya. Tidak ada perbuatan yang dipantangnya dan sudah terbiasa memaksakan kehendaknya. Orang seperti dia itu berwatak sombong dan mengagulkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada semua orang. Kalau bertemu orang yang lebih kuat dia tidak segan untuk merangkak dan menjilat-jilat seperti anjing mencari perhatian, sebaliknya terhadap yang lemah dia selalu menindas dan memandang rendah. Tentu saja dia memandang rendah seorang gadis muda seperti Puspa Dewi.
Setelah berkata demikian, sambil menyeringai dia sudah menubruk maju dengan cepat untuk menangkap gadis yang kecantikannya membuat dia tergila-gila itu. Sudah gatal-gatal tangannya untuk mendekap dan membelai gadis itu. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangan itu dari kanan kiri menyambar ke arah tubuh Puspa Dewi untuk menangkapnya.
Puspa Dewi yang sudah marah tidak mau memberi hati lagi. Cepat seperti kilat menyambar, kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum kedua tangan Drohawisa sempat menyentuhnya, kakinya telah lebih dulu menghantam perut laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu.
"Syuuutt.... desss....!"
"Hekk....!"
Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh. Drohawisa menggunakan dua tangan untuk menekan-nekan perutnya yang terasa nyeri dan mulas sekali. Mungkin usus buntunya terkena tendangan kaki Puspa Dewi. Akan tetapi dasar orang sombong, hajaran itu masih belum menyadarkannya bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tangguh daripada dia.
Sambil menahan rasa, nyeri dengan kemarahan luar biasa dia bangkit, meringis dan sudah menerjang ke arah Puspa Dewi. Kini terjangannya bukan didorong nafsu berahi untuk merangkul dan mendekap, melainkan didorong nafsu amarah. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Puspa Dewi itu menyambar, agaknya hendak memukul pecah kepala gadis yang tadi membuat dia tergila-gila itu.
Dengan tenang Puspa Dewi menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya yang bergerak dari dalam keluar dan berbareng tangan kanannya dengan jari-jari terbuka memukul ke arah dada lawan.
"Plakk....! Desss....!!"
Drohawisa mengeluarkan suara aneh, tubuhnya sekali lagi terjengkang dan dia roboh, terduduk. Dia terengah-engah, sukar bernapas karena dadanya terasa seolah disambar palu godam, membuat napasnya sesak. Juga pergelangan tangan kanannya seolah tadi ditangkis sepotong baja yang membuat lengannya terasa ngilu sampai ke tulangnya.
Hajaran keras ini tetap saja belum menembus kekebalan otak Drohawisa, bukan membuat dia sadar bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran, juga malu karena dia telah dirobohkan dua kali oleh seorang gadis muda. Biarpun perutnya masih terasa mulas dan dadanya sesak, dia memaksa diri bangkit dan mencabut sebatang golok yang terselip di pinggangnya. Golok besar itu berkilauan saking tajamnya.
"Perempuan setan, engkau sudah bosan hidup Mampuslah!" bentaknya dan dia sudah melompat ke depan dan menyerang dengan bacokan buas ke arah kepala Puspa Dewi.
Gadis ini maklum bahwa lawannya menyerang untuk membunuhnya. Seorang yang jahat dan kejam, pikirnya dan orang macam ini tidak akan pernah kapok (bertaubat) kalau tidak diberi hajaran yang amat keras. Maka, begitu golok itu menyambar ke arah kepalanya, ia menggeser kaki dan miringkan tubuhnya.
Golok menyambar dari atas, lewat samping tubuhnya dan secepat kilat kedua tangan Puspa Dewi bergerak, yang kiri mengetuk siku kanan lawan dan begitu siku terketuk dan lumpuh sehingga golok terlepas, tangan kanannya sudah merampas golok itu! Demikian cepat peristiwa Itu terjadi sehingga Drohawisa tidak dapat mengerti mengapa goloknya dapat terampas. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat dua kali.
"Crak-crak...., aduhhh....!!"
Drohawisa terpelanting roboh dan bangkit duduk, merintih-rintih dan tangan kirinya sibuk menekan lengan kanan yang buntung sebatas pergelangan lalu berpindah ke kaki kiri yang terbabat buntung separuh, sehingga semua jari kaki kiri itu buntung! Darah bercucuran dan laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu merintih dan menangis saking nyeri dan takutnya.
"Manusia jahat dan kejam" Puspa Dewi berkata. "Lain kali kalau engkau tidak mengubah watakmu yang jahat, aku akan membuntungi lehermu!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi menggunakan kedua tangan menekuk dan terdengar suara nyaring ketika golok itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkan ke atas tanah oleh Puspa Dewi.
Drohawisa terbelalak. Demikian kaget dia sehingga sejenak rasa nyerinya hampir tidak terasa lagi. Baru sekarang matanya terbuka dan dia sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sakti mandraguna.
Akan tetapi dasar jahat. Yang timbul dalam hatinya bukan penyesalan dan kesadaran untuk bertaubat, melainkan dendam sakit hati dan dia harus membalas dendam dengan mengerahkan bantuan kawan-kawannya! Dengan susah payah dia bangkit berdiri, memandang gadis itu dengan mata yang masih basah oleh tangis kesakitan tadi.
"Katakan, siapa engkau dan tunggu pembalasanku!" bentaknya.
Puspa Dewi tersenyum. "Setiap saat akan kutunggu pembalasan mu. Nama ku Puspa Dewi."
Wajah Drohawisa berubah pucat dan matanya terbelalak semakin lebar mendengar nama ini dan bagaikan dikejar setan dia lalu melarikan diri, terpincang pincang, terjatuh, merangkak lalu berlari lagi berloncatan dengan sebelah kaki karena kaki kirinya terasa nyeri bukan main kalau dipakai menginjak tanah.
Puspa Dewi tidak mempedulikan lagi laki-laki itu dan menghampiri Wiyanti. Wanita itu kini bangkit dan lari menghampiri Puspa Dewi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah.
"Aduh, terimakasih atas pertolonganmu, Den Roro...."
"Bangkitlah, Mbakayu Wiyanti dan mari kita lihat keadaan suamimu."
Wiyanti lalu berjalan cepat setengah berlari menuju ke sebuah rumah terpencil yang berada di luar hutan itu. Daerah Itu memang masih belum padat penduduknya dan setiap keluarga memiliki tanah pekarangan yang amat luas sehingga jauh dari tetangga. Ketika mereka tiba di rumah Wiyanti, cuaca sudah mulai remang senja.
Mereka melihat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun duduk di atas lantai pendapa bersandar dinding bambu dan mukanya matang biru membengkak bekas pukulan. Melihat Wiyanti datang, Garino, laki-laki itu dengan susah payah memaksa diri bangkit berdiri.
"Wiyanti.... engkau.... engkau pulang dengan selamat....?"
"Kakang Garino....!" Suami isteri itu berangkulan dan Wiyanti menangis.
"Mbakayu Wiyanti, kukira suamimu perlu beristirahat." Kata Puspa Dewi.
Baru wanita itu menyadari dan ia pun memapah suaminya memasuki ruangan dalam dan membantu suaminya rebah di atas sebuah amben (pembaringan sederhana dari bambu). Garino rebah telentang dan Wiyanti segera menyalakan lampu, lalu mempersilakan Puspa Dewi duduk di atas bangku kayu sederhana yang berada di ruangan itu.
Setelah cuaca mulai terang oleh sinar lampu, Puspa Dewi melihat bahwa Garino adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya kokoh dan tinggi kurus, wajahnya sederhana namun tidak membayangkan watak yang kasar seperti kebanyakan orang laki-laki di Kerajaan Wengker. Ia juga dapat melihat bahwa Garino hanya menderita luka-luka karena pukulan dan tendangan, hanya bengkak-bengkak dan matang biru, akan tetapi agaknya tidak terdapat luka yang membahayakan nyawanya. Sebaliknya, ketika Garino memandang dan melihat bahwa wanita yang datang bersama isterinya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita, dia merasa heran sekali.
"Wiyanti, siapakah gadis ini?"
"Kakang Garino, gadis inilah yang telah menyelematkan aku dari Drohawisa yang jahat dan kejam. Ia amat sakti mandraguna, Kakang, Drohawisa dihajar sampai sebuah tangan dan sebuah kakinya buntung!" Wiyanti menceritakan dengan wajah gembira. "Inilah penoIongku, namanya Raden Roro Puspa Dewi!"
Nama Puspa Dewi amat tersohor bagi para senopati dan perajurit Wengker. Akan tetapi Garino adalah seorang petani yang hidup di Lembah Kali Ngebel dan nama gadis itu asing baginya. Maka dia pun tidak terkejut seperti halnya Drohawisa mendengar nama Puspa Dewi, hanya memandang kagum dan dia segera bangkit duduk, dibantu isterinya.
"Den Roro, saya menghaturkan terimakasih atas pertolongan Andika kepada isteri saya."
"Sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Penjahat macam Drohawisa itu memang sudah sepatutnya menerima hukuman. Sebaliknya, aku yang mengharapkan bantuan Andika berdua."
Suami isteri itu memandang heran.
"Bantuan dari kami? Bantuan apakah yang dapat diberikan suami isteri miskin dan lemah seperti kami?" tanya Wiyanti.
"Benar kata isteri saya, Den Roro. Bahkan setelah terjadinya peristiwa tadi, kami tidak berani lagi tinggal di sini. Besok pagi kami harus sudah pergi dari sini, pindah ke tempat yang tersembunyi dari mereka."
"Kalau kalian merasa lebih aman pergi dari sini, tentu saja hal itu yang terbaik. Akan tetapi aku hanya ingin minta bantuan dua hal kepada kalian. Pertama, aku ingin menumpang di sini untuk melewatkan malam ini...."
"Wah, tentu saja boleh, Den Roro!" suami isteri itu berseru hampir berbareng.
"Terima kasih Dan bantuan ke dua, aku minta keterangan dari kalian, barangkali saja kalian mendengar tentang adanya seorang gadis bernama Niken Harni memasuki daerah Wengker baru-baru ini."
"Niken Harni? Saya tidak pernah mendengarnya, Den Roro." kata Wiyanti. "Kakang, apakah engkau pernah mendengar nama itu?"
Suaminya menggeleng kepalanya. "Saya juga belum pernah mendengar nama itu, Den Roro. Maaf, kami, tidak dapat membantu Andika dalam hai ini."
"Tidak mengapa kalau kalian tidak mengetahuinya. Biarlah malam ini aku menumpang di sini semalam dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan mencari Niken Harni."
"Kalau boleh saya mengetahui, siapakah Niken Harni itu, Den Roro?"
Puspa Dewi menghela napas panjang, "Dia Adikku."
Karena Puspa Dewi tidak bicara lebih lanjut mengenai Niken Harni, suami isteri Itu pun tidak berani banyak bertanya.
"Den Roro, setelah Drohawisa Andika beri hajaran keras, dia pasti akan mengerahkan kawan-kawannya dan saya khawatir malam ini juga mereka akan datang ke sini untuk melakukan pembalasan. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja malam ini juga meninggalkan tempat ini?"
Mendengar ucapan suaminya yang mengandung ketakutan itu, Wiyanti malah menangis lagi. "Ahh.... bagaimana baiknya, Kakang? Den Roro, tolonglah kami, Den Roro Puspa Dewi...."
"Jangan kalian khawatir. Malam ini, kalau benar ada yang berani datang mengganggumu, aku yang akan menghadapi mereka!"
"Akan tetapi, Den Roro.... Drohawisa itu berbahaya sekali. Dia mempunyai kawan-kawan jagoan yang juga menjadi gurunya, yaitu Wirobento dan Wirobandrek, dua orang warok muda yang tersohor kedigdayaannya. Bahkan dua orang warok muda itu merupakan pembantu-pembantu atau anak buah dari Ki Surogeni, warok terkenal di Wengker karena dia adalah Ayah dari Sang Ratu Mayangsari. Saya tidak ingin menyusahkah Andika, Den Roro. Saya sendiri tidak takut mati, akan tetapi saya tidak dapat membayangkan isteri saya ini terjatuh ke tangan mereka...." Suara Garino penuh kegelisahan.
"Hemm, jangan khawatir. Biar Ratu Mayangsari sendiri yang datang, kalau ia membela keparat macam Drohawisa tadi, akan kuhadapi dan kulawan!" kata Puspa Dewi. Sikapnya yang gagah dan suaranya yang mantap itu melegakan hati suami isteri itu.
"Wiyanti, mengapa engkau tidak cepat menyiapkan makan malam untuk Den Roro Puspa Dewi?"
"Wah, aku sampai lupa...! Biar sekarang juga aku menyiapkan makan malam...!" kata Wiyanti sambil bangkit dari amben di mana ia duduk sambil memijiti kaki suaminya.
"Biar aku membantumu, Mbakayu. Tutup dan palangi saja pintu depan agar aku mendengar kalau ada orang datang ke rumah ini." kata Puspa Dewi.
Wiyanti lalu menutupkan daun pintu dan memasang palangnya. Setelah itu, dua orang wanita itu sibuk di dapur, Wiyanti menyembelih seekor ayam peliharaannya dan mereka lalu menanak nasi dan memasak lauk.
Ternyata tidak terjadi sesuatu seperti yang dikhawatirkan suami isteri itu pada malam itu. Pada keesokan harinya, Garino yang sudah agak pulih kesehatannya bersama Wiyanti sudah berkemas, membawa pakaian dan barang-barang yang dianggap berharga dan tidak berat, siap meninggalkan rumah mereka.
Setelah mandi Puspa Dewi melihat dua orang suami isteri itu berdiri di depan pondok mereka dengan wajah muram, bahkan tampak keduanya habis menangis. Puspa Dewi dapat memaklumi kesedihan hati mereka. Mereka harus meninggalkan segala yang mereka miliki, rumah dan sawah ladang, dan pergi dari situ untuk tidak kembali lagi. Menurut pembicaraan mereka semalam, mereka bahkan belum tahu kemana mereka akan pergi dan bagaimana nasib mereka kemudian.
"Apakah kalian hendak pergi sekarang? Sepagi Ini?" tanyanya.
"Kami harus pergi sekarang, Den Roro. Kami khawatir kalau mereka datang sebelum kami pergi." jawab Garino.
"Kalian sudah memutuskan hendak ke mana?"
"Sudah, Den Roro." jawab Wiyanti dengan suara serak karena semalam ia menangis terus, "Saya teringat mempunyai seorang paman jauh yang tinggal di pantai selatan. Kami akan pergi ke sana."
Suami isteri itu agaknya membawa barang-barang mereka yang mereka anggap berharga dan dapat mereka bawa. Wiyanti menggendong buntalan besar, agaknya terisi pakaian mereka. Garino membawa sepikul barang-barang perabot dapur dan alat pertanian. Betapa sederhana kehidupan mereka, pikir Puspa Dewi. Betapa sedikit kebutuhan mereka. Ia merasa terharu karena mereka terpaksa berpisah dengan milik mereka yang paling berharga, yaitu rumah tempat mereka tinggal dan sawah ladang yang menjadi sumber nafkah mereka. Puspa Dewi mengeluarkan bungkusan kain dari ikat pinggangnya, membuka bungkusan terisi perhiasan itu lalu menyerahkan sepasang subang emas terhias permata indah kepada Wiyanti.
"Mbakayu Wiyanti, terimalah pemberian ku ini. Kalau kalian tiba di tempat baru, juallah ini untuk membeli sawah ladang dan rumah."
Suami isteri itu terbelalak. Perhiasan itu amat Indah dan tentu mahal sekali harganya, lebih mahal dari harga rumah dan sawah ladang yang mereka tinggalkan. Sebagai orang-orang dusun yang polos dan lugu, mereka merasa bingung dan sungkan sekali.
"Akan tetapi, Den Roro...." kata Wiyanti sambil menatap sepasang subang itu dengan mata terbelalak.
"Terima sajalah, Mbakayu, tidak usah ragu. Benda ini adalah milikku sendiri. Kalian tentu memerlukannya untuk membeli tanah dan rumah baru."
"Aduh, terimakasih, Den Roro. Andika bukan hanya telah menyelamatkan nyawa kami, bahkan juga menyerahkan benda berharga kepada kami. Bagaimana kami dapat membalas kebaikan budi Den Roro?"
"Aku tidak minta dan tidak berhak menerima balasan, Mbakayu Wiyanti. Yang kalian terima merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi, oleh karena itu kalian berkewajiban membalas berkah-Nya dengan cara melaksanakan hidup yang baik dan benar sebagai bakti kalian kepada-Nya. Nah, selamat berpisah dan selamat jalan."
Suami isteri itu memberi hormat dengan sembah kepada gadis yang telah melimpahkan kebaikan kepada mereka, lalu mereka pergi ke arah selatan. Halimun pagi segera menyelimuti dan menyembunyikan mereka dari pandangan Puspa Dewi yang masih berdiri di depan pondok, la memang sengaja menanti di situ, menjaga kalau-kalau benar terjadi apa yang dikhawatirkan suami isteri itu.
Setelah matahari pagi mengusir bersih halimun yang menyelimuti bumi sehingga cuaca menjadi terang dan sinar matahari menghidupi semua yang berada di permukaan bumi, Puspa Dewi juga bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ia sudah meringkas pakaiannya dalam buntalan kain hendak meninggalkan pondok kosong itu ketika ia mendengar derap kaki kuda makin lama semakin nyaring, menandakan bahwa ada beberapa orang penunggang kuda menuju ke pondok itu. Puspa Dewi meletakkan buntalan pakaiannya ke atas bangku bambu di depan pintu pondok, dan berdiri menanti dengan sikap tenang.
Tak lama kemudian tampaklah empat orang penunggang kuda datang memasuki pekarangan pondok itu. Puspa Dewi melihat Drohawisa berada bersama tiga orang lain. Agaknya ada yang merawat Drohawisa sehingga kini dia mampu menunggang kuda, walaupun kendali hanya dia pegang dengan tangan kiri saja. Tangan kanan dan kaki kiri yang buntung itu telah dibalut. Diam-diam Puspa Dewi merasa gemas. Ternyata hajaran yang diberikannya kepada Drohawisa tidak membuat orang itu kapok!
Sekarang dia bahkan datang bersama tiga orang yang tampaknya menyeramkan dan buas. Ia tidak mengenal siapa tiga orang itu. Ketika tiga orang itu berlompatan turun dari atas kuda mereka, ia mengamati penuh perhatian. Drohawisa sendiri tidak turun dari atas punggung kudanya. Agaknya, dalam keadaan buntung tangan kanan dan kaki kirinya itu, untuk naik turun kuda dia harus dibantu orang lain.
Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan ternyata laki-laki ini berwajah cukup tampan kalau dibandingkan dengan para pria pada umumnya di Wengker. Pakaiannya indah seperti pakaian bangsawan dan wajahnya yang tampan itu menunjukkan keangkuhan. Sepasang matanya membayangkan kegenitan seorang laki-laki mata keranjang ketika dia memandang kepada Puspa Dewi dengan kagum.
Laki-laki ini bukan lain adalah Ki Warok Surogeni, ayah dari Ratu Mayangsari! Warok Surogeni adalah seorang warok yang terkenal di Wengker dan ditakuti orang, apalagi setelah puterinya, Mayangsari, menjadi permaisuri, isteri Sang Adipati Wengker, mendiang Adipati Adhamapanuda dan kemudian diperisteri Adipati Wengker yang baru, yaitu Adipati Linggawijaya.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya serba tebal dan kasar. Pinggangnya terbelit sebatang pecut yang ujungnya dipasangi potongan besi kecil-kecil dan runcing tajam. Inilah Ki Wirobento, seorang warok muda yang menjadi anak buah Warok Surogeni.
Orang ke tiga juga seorang warok muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun, juga bertubuh tinggi besar dan dia menggunakan sabuk kolor merah yang besar dan kuat karena kolor itu merupakan senjata ampuhnya. Dia ini bernama Ki Wirobandrek, adik dari Wirobento.
Ketika Drohawisa yang terluka memberitahu sahabat dan juga gurunya, Ki Wirobento, warok ini menjadi marah akan tetapi juga terkejut bukan main mendengar bahwa yang melukai Drohawisa adalah Puspa Dewi! Wirobento dan Wirobandrek merasa jerih menghadapi Puspa Dewi sendiri, maka mereka lalu melapor dan minta bantuan Warok Surogeni.
Ki Warok Surogeni tentu saja sudah mendengar nama Puspa Dewi sebagai seorang yang dimusuhi Kadipaten Wengker. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dan belum tahu akan kesaktian gadis itu. Biarpun dia mendengar bahwa Puspa Dewi seorang gadis yang sakti mandraguna, namun dia memandang remeh. Sampai di mana sih kehebatan seorang gadis muda? Juga dia mendengar bahwa Puspa Dewi cantik jelita seperti bidadari kahyangan! Maka dia lalu cepat mengajak Wirobento dan Wirobandrek untuk mengikuti Drohawisa sebagai penunjuk jalan, pergi mencari Puspa Dewi di rumah Garino.
Demikianlah, pagi itu mereka bertiga yang mengikuti Drohawisa sebagai penunjuk jalan telah memasuki pekarangan dan tiga orang itu sudah berlompatan turun dari atas kuda dan Drohawisa segera berseru.
"Itulah ia Puspa Dewi!"
Puspa Dewi menghadapi tiga orang itu dengan sikap tenang. Kalau mungkin, ia tidak ingin membuat keributan dan bertanding dengan orang-orang Wengker karena kedatangannya adalah untuk mencari Niken Harni. Ia tidak mempunyai urusan dengan tiga orang ini.
"Benar, aku adalah Puspa Dewi. Andika siapakah dan ada keperluan apa mencari aku di sini?"
Ki Surogeni memandang kagum dan tangan kirinya meraba kumisnya yang tebal.
"Heh, Puspa Dewi. Tentu Andika ini Sekar Kedaton Wura-wuri yang dikabarkan berkhianat itu! Ketahuilah, aku adalah Ki Surogeni, Ayah kandung Dewi Mayangsari, permaisuri Wengker. Dua orang ini pembantuku Wirobento dan Wirobandrek. Kami mendengar bahwa Andika telah melukai anak buah kami Drohawisa, karena itu kami datang menemuimu!"
"Ah, kiranya Andika adalah Ki Surogeni, Ayah dari Dewi Mayangsari! Aku memang memberi hajaran kepada Drohawisa karena dia mengganggu seorang wanita. Aku tidak percaya bahwa sebagai Ayah permaisuri Wengker Andika akan membela seorang penjahat yang menjadi perusak pagar ayu, Ki Surogeni!"
Ki Surogeni menggulung ujung kumisnya dengan ibu jari dan telunjuk kirinya sambil mengerling ke arah Drohawisa yang masih duduk di atas kudanya dengan wajah pucat mendengar ucapan Puspa Dewi tadi.
"Hemrn, kami akan melakukan tindakan kepada anak buah kami kalau dia bersalah, Puspa Dewi. Akan tetapi, engkau telah melanggar wilayah kami, memasuki daerah Wengker tanpa ijin."
"Ki Surogeni, aku memasuki daerah Wengker bukan dengan niat bermusuhan. Aku ke sini untuk mencari Adikku yang bernama Niken Harni. Kebetulan sekali Andika datang. Andika tentu mengetahui di mana adanya Adikku Niken Harni, maka katakanlah kepadaku, di mana ia?"
Tentu saja Ki Surogeni telah mendengar bahwa Niken Harni menjadi tamu di Istana Kadipaten Wengker, walaupun dia tidak tahu bahwa gadis itu kini telah dibawa pergi Nini Bumigarbo.
"Hemm, kiranya Andika mencari Niken Harni? Gadis itu kini menjadi tamu Istana Kadipaten. Akan tetapi karena Andika memasuki wilayah kami tanpa ijin, bahkan begitu datang membuat ribut dalam perkara orang Wengker yang sebenarnya Andika tidak mempunyai hak untuk mencampuri, maka menyerahlah Andika untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Sang Adipati Wengker"
"Hemm.... aku telah sejak kecil mengenal Linggajaya yang kini menjadi Adipati Wengker. Aku mau kalian antar menghadap dia, akan tetapi sebagai tamu yang hendak mencari Adikku, bukan sebagai tawanan!"
"Puspa Dewi! Andika memandang rendah kepadaku! Aku tidak ingin mempergunakan kekerasan, maka menyerahlah untuk menjadi tangkapanku dan kuhadapkan Sang Adipati."
"Ki Surogeni, sekali lagi kutegaskan. Aku tidak mencari permusuhan, akan tetapi aku juga tidak mau diperhina dan dijadikan tawanan. Baik secara halus maupun kasar, aku tidak mau dijadikan tawanan. Aku akan menghadap Sang Adipati sebagai seorang tamu! Terserah kalau Andika hendak menggunakan cara halus maupun kasar!"
"Andika menantang? Wirobento dan Wirobandrek, kalian tangkap gadis sombong ini!"
Andaikata mereka berdua tidak disertai Warok Surogeni, Wirobento dan Wirobandrek tidak akan berani menyerang Puspa Dewi karena mereka sudah mendengar akan kesaktian gadis itu yang kabarnya memiliki ketangguhan yang setingkat dengan Adipati Linggawijaya sendiri. Akan tetapi karena ada Warok Surogeni di situ, mereka menjadi berani dan mendengar atasan mereka mengeluarkan perintah itu, mereka berdua dengan sikap gagah lalu menerjang maju, menyerang Puspa Dewi dari kanan dan kiri.
Puspa Dewi tidak ingin memberi hati. Begitu dua orang itu menyerangnya dari kanan kiri, ia sudah mendahului gerakan mereka. Tubuhnya melesat ke depan menyambut kedua orang itu dengan tendangan beruntun ke kanan kiri dengan kedua kakinya.
"Wuut... suuuttt... desss! Desss!"
Dua orang jagoan Wengker itu terlempar dan jatuh berguling-guling terkena sambaran kedua kaki Puspa Dewi yang cepat dan mengandung kekuatan dahsyat itu. Mereka terbanting dan merasa pening, juga dada mereka sesak karena tendangan tadi mengenai dada mereka. Puspa Dewi menendang sambil melompat tinggi, kedua kakinya menendang ke kanan kiri dan gerakan ini cepat bukan main sehingga tidak dapat diikuti dengan pandang mata.
Melihat ini, Ki Surogeni menjadi terkejut juga. Dia tahu bahwa memang tingkat kepandaian dua orang anak buahnya itu belum seberapa tinggi, akan tetapi kalau dibandingkan dengan para perajurit biasa, mereka berdua itu sudah termasuk jagoan yang cukup digdaya dan tangguh. Masa, dalam segebrakan saja mereka berdua sudah dapat dirobohkan oleh gadis itu, hal ini membuktikan bahwa gadis itu memang memiliki kesaktian yang luar biasa. Bagaimanapun juga, dia masih memandang rendah. Gadis itu tampak sakti sekali karena dua orang anak buahnya itu yang lemah dan bodoh. Maka dia lalu melangkah maju menghampiri Puspa Dewi dan tersenyum, masih memandang rendah.
"Puspa Dewi, jangan mengira bahwa karena sudah mampu mengalahkan Wirobento dan Wirobandrek, engkau akan dapat merajalela di Kadipaten Wengker. Hanya karena merasa malu melawan seorang gadis muda, maka aku tadi menyuruh dua orang anak buahku itu maju melawanmu. Nah, sekarang aku sendiri maju dan ingin aku melihat sampai di mana tingginya kesaktianmu."
"Ki Surogeni, sekali lagi aku tegaskan bahwa sungguh aku tidak bermaksud mencari permusuhan di Wengker. Aku hanya ingin mencari Adikku Niken Harni. Marilah, kalau Andika hendak mengajak aku pergi menghadap Adipati Linggawijaya, karena memang aku ingin bertemu dengan dia untuk mencari Adikku. Akan tetapi aku hanya mau pergi sebagai seorang tamu, bukan sebagai seorang tawanan."
"Hemm, Puspa Dewi. Sudah lama aku mendengar bahwa Andika seorang gadis yang digdaya dan angkuh. Keangkuhanmu sudah kulihat sekarang, akan tetapi kesaktianmu belum. Sekarang mari kita bertanding mengukur keampuhan aji masing-masing. Kalau Andika mampu mengalahkan aku, barulah aku akan mengiringimu sebagai seorang tamu Kadipaten Wengker. Sebaliknya kalau Andika kalah, Andika akan menjadi tawananku."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, seandainya Niken Harni benar-benar berada di Kadipaten Wengker, tentu ia harus siap menghadapi tantangan kekerasan dari Adipati Linggawijaya. Mereka tentu tidak akan mudah begitu saja melepaskan Niken Harni. Maka, tantangan ayah dari Permaisuri Wengker ini harus diterimanya untuk memperlihatkan mereka bahwa ia bersungguh-sungguh ingin membebaskan adik kandungnya itu, dan bahwa ia siap menentang dengan kekerasan kalau Kadipaten Wengker menolak untuk menyerahkan Niken Harni kepadanya.
Keterangan Ki Surogeni bahwa adiknya itu menjadi tamu di Wengker, membuat ia curiga dan khawatir. Niken Harni memasuki Wengker untuk menyelamatkan Nyi Lasmi yang diculik anak buah Ki Suramenggala yang kini kabarnya telah diangkat menjadi seorang Tumenggung di Wengker. Maka, kiranya tidak mungkin kalau Niken Harni diterima sebagai tamu dan diperlakukan dengan baik. Apalagi mengingat bahwa watak Niken Harni amat berani dan galak. Besar kemungkinan adiknya itu menjadi tawanan. Maka ia harus siap melawan dan kalau memang benar kekhawatirannya bahwa Niken Harni tertawan, ia akan menggunakan kekerasan untuk membebaskannya.
Ia tahu bahwa ia berada di gua harimau, berada di Kerajaan Wengker di mana terdapat banyak orang sakti mandraguna dan terdapat banyak sekali Pasukan. Tak mungkin ia seorang diri akan mampu melawan mereka semua. Namun, demi keselamatan Niken Harni, ia siap menghadapi bahaya bagi dirinya sendiri.
"Baik, tantanganmu kuterima, Ki Surogeni..! Aku percaya bahwa ayah seorang permaisuri tidak akan bertindak curang dan melanggar janji. Kalau aku dapat mengalahkan Andika, aku akan berkunjung ke istana Kerajaan Wengker sebagai seorang tamu dan Andika mengantarku."
Diam-diam warok besar itu merasa kagum juga. Gadis ini sungguh memiliki keberanian luar biasa. Seorang diri berani memasuki daerah yang mungkin memusuhinya! Jarang ada orang, bahkan seorang senopati sekalipun mungkin tidak ada yang berani begitu nekat memasuki daerah lawan seorang diri saja, menghadapi kemungkinan dikeroyok puluhan ribu orang pasukan.
Sudah lama dia yang berusia lima puluh tahun hidup menduda. Kalau saja dia dapat memiliki gadis seperti ini menjadi isterinya, wah, alangkah senangnya! Harta dan kedudukan dia sudah tidak butuh lagi karena dia tidak kekurangan harta benda, dan dia adalah ayah mertua Sang Adipati Wengker, berarti kedudukannya sudah tinggi dan dihormati seluruh orang Wengker. Akan tetapi sisihan atau teman hidup yang akan memuaskan hatinya dia belum punya.
Dia dapat setiap saat bersenang-senang dengan wanita yang dipilihnya, namun belum pernah ada seorang wanita secantik Puspa Dewi. Isterinya dulu, ibu kandung Dewi Mayangsari, juga seorang wanita cantik, akan tetapi isterinya itu telah meninggal dunia karena sakit. Tentu saja dia tidak sungguh-sungguh ketika berjanji bahwa dia akan menghadapkan gadis ini sebagai tawanan ke Kadipaten Wengker.
Baru saja dia mendengar bahwa Niken Harni menjadi tamu kadipaten itu dan pada saat ini, baik Sang Adipati Linggawijaya maupun Dewi Mayangsari, tidak berada di istana mereka. Adipati Linggawijaya pergi ke Parang Siluman dan Kerajaan Siluman Laut Kidul untuk mengajak kedua kadipaten itu untuk bekerjasama meruntuhkan Kahuripan. Adapun Dewi Mayangsari juga pergi ke Kerajaan Wura-wuri dengan maksud yang sama.
Empat kerajaan kecil itu hendak mengadakan persekutuan lagi untuk mengulang usaha mereka yang dulu gagal, yaitu membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, menghancurkan Kerajaan Kahuripan yang menjadi musuh bebuyutan mereka.
"Puspa Dewi, sebaliknya Andika tentu tidak akan mengingkari janji bahwa kalau Andika kalah, Andika menjadi tawanan dan akan kubawa ke kadipaten."
"Baik, aku telah siap, Ki Surogeni!" kata Puspa Dewi dan gadis ini berdiri tenang dan santai di depan calon lawannya, dalam jarak sekitar tiga tombak.
"Puspa Dewi, sambut ini !" Warok Ki Surogeni mengangkat kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, seluruh tubuhnya tergetar dan bergoyang-goyang, mulutnya meringis dan bibir atasnya bergerak-gerak, lalu terdengar gerengan yang amat dahsyat dan menggetarkan.
Tiga ekor kuda tunggangan mereka meringkik ketakutan, mengangkat kaki depan ke atas lalu melarikan diri keluar dari pekarangan. Bahkan kuda yang ditunggangi Drohawisa juga meringkik ketakutan. Sia-sia saja tangan kiri Drohawisa berusaha menenangkan kuda dengan menarik kendali. Bahkan kuda itu ikut melompat-lompat melarikan diri sehingga tubuh Drohawisa yang masih lemah itu terlempar dari punggung kuda dan terbanting jatuh ke atas tanah!
Itulah Aji Sanghara Macan, yaitu serangan melalui suara yang amat kuat dan mengandung getaran bergelombang yang dapat melumpuhkan lawan, seperti auman harimau yang dapat melumpuhkan korban yang menjadi calon mangsanya. Akan tetapi getaran suara yang dahsyat itu seolah tidak terasa oleh Puspa Dewi, padahal la yang diserang secara langsung. Serangan Itu bagaikan gelombang samudera yang menghantam batu karang, setelah gelombang itu lewat, batu karang masih berdiri tegak. Atau seperti angin badai menerjang bukit karang. Angin lewat, bukit karang tetap tak terpengaruh.
Melihat serangannya dengan Aji Sanghara Macan itu sama sekali tidak mempengaruhi lawan, Ki Surogeni merasa penasaran. Kini dia melompat ke depan dan berseru nyaring, "Sambut seranganku!" Dia sudah menerjang dengan tamparan telapak tangan kirinya, disusul pukulan ke arah perut. Tamparan tangan kiri itu menyambar ke arah kepala Puspa Dewi.
Gadis ini dengan tenang namun lincah sekali mengelak sehingga dua pukulan lawan itu luput. Puspa Dewi membalas dengan dua kali tendangan, namun Ki Surogeni juga dapat menangkis dua tendangan ini lalu menyerang lagi semakin ganas. Terjadilah pertandingan yang seru. Akan tetapi. Puspa Dewi yang pernah menerima gemblengan Sang Maha Resi Satyadharma, kini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Kalau ia menghendaki, ia akan mampu mengalahkan Ki Surogeni dalam waktu yang tidak terlalu lama, yaitu dengan menggunakan aji yang paling ampuh.
Namun, ia tidak ingin membunuh orang, apalagi lawannya ini adalah ayah Dewi Mayangsari permaisuri Wengker. Maka, Puspa Dewi membatasi tenaganya sehingga pertandingan itu berlangsung seru. Akan tetapi diam-diam Ki Surogeni terkejut bukan main dan mulai merasa gentar. Semua serangannya tidak mampu menyentuh ujung baju gadis itu dan setiap serangan gadis itu tak dapat dia elakkan dan terpaksa dia tangkis. Akan tetapi setiap kali lengannya beradu dengan tangan gadis itu ketika dia menangkis, dia merasa lengannya tergetar hebat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Sebenarnya, Ki Surogeni kini maklum bahwa nama besar Puspa Dewi sebagai seorang gadis yang sakti mandraguna, bukan nama kosong belaka. Akan tetapi untuk mengaku bahwa dia kalah atau takut, dia merasa malu. Dia adalah seorang jagoan warok yang terkenal di Wengker. Masa dia harus mengaku kalah terhadap seorang gadis muda belia ini?
Karena merasa bahwa dalam adu ilmu silat dia akhirnya tentu kalah karena selain kalah kuat tenaga saktinya, juga gerakannya kalah cepat dan lincah, maka tiba-tiba Ki Surogeni melompat ke belakang dan menggunakan aji pukulan mautnya. "Aji Bala Latul!" Ketika kedua tangannya yang terbuka itu mendorong ke arah Puspa Dewi, ada uap panas sekali menyambar ke arah Puspa Dewi.
Melihat aji pukulan yang ampuh ini, Puspa Dewi menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula, akan tetapi ia membatasi tenaganya karena maklum bahwa kalau terlalu kuat ia menyambut pukulan maut Ki Surogeni itu dapat membalik dan mungkin membunuhnya.
"Wuuuuttt.... byarrr....!!"
Tubuh Ki Surogeni terdorong ke belakang sampai dia terhuyung-huyung. Pukulannya membalik dan dia merasa dadanya panas dan sesak, wajahnya pucat dan setelah dapat berdiri tegak dia memejamkan mata dan menarik napas panjang-panjang untuk melindungi dadanya. Kemudian dia membuka matanya memandang kepada Puspa Dewi yang masih berdiri santai dan tersenyum kepadanya.
"Bagaimana, Ki Surogeni? Apakah Andika sekarang mau mengantar aku sebagai tamu yang berkunjung ke Kadipaten Wengker?"
Tentu saja Ki Surogeni tidak dapat menolak dan mengingkari janji. Pula, ini merupakan kesempatan baik baginya untuk membalas kekalahannya. Puterinya, Dewi Mayangsari, sedang tidak berada di istana. Demikian pula Adipati Linggawijaya, mantunya. Akan tetapi di sana terdapat para senopati yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali Resi Bajrasakti, guru dari Adipati Linggawijaya. Kalau sudah berada di kadipaten dan berhadapan dengan Resi Bajrasakti, maka Sang Resi tentu akan dapat bertindak dan membereskan gadis yang berbahaya ini!
"Andika memang sakti mandraguna dan pantas menjadi tamu Istana Wengker, Puspa Dewi. Mari, kuantar Andika ke sana." Ki Surogeni memberikan kuda yang tadi ditunggangi Drohawisa kepada Puspa Dewi, lalu bersama Wirobento dan Wirobandrek dia mengantar Puspa Dewi menuju ke Kadipaten Wengker. Drohawisa yang ditinggalkan menyumpah-nyumpah, akan tetapi setelah tiga orang atasan itu pergi jauh. Terpaksa dia terpincang-pincang berjalan kaki sambil menahan rasa nyeri pada tangan kanan dan kaki kirinya yang buntung.
Dengan sikap tenang dan angkuh, Puspa Dewi tampak gagah ketika ia memasuki istana Kadipaten Wengker bersama Ki Surogeni. Tentu saja sebelum Puspa Dewi diajak memasuki istana Wengker, lebih dulu Wirobento dan Wirobandrek cepat melaporkan tentang kedatangan Puspa Dewi itu kepada Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala.
Para perajurit pengawal yang berjaga di Istana itu berdiri tegak dalam keadaan siap. Akan tetapi mata mereka memandang penuh kagum dan gentar terhadap gadis cantik jelita yang melangkah tenang di samping Ki Surogeni, memasuki ruangan tamu di sebelah pendapa istana Kadipaten Wengker. Banyaknya perajurit pengawal yang berada di sekitar istana, memenuhi halaman istana yang luas dan berjaga di sepanjang lorong sampai ke pendapa, sama sekali tidak membuat Puspa Dewi merasa gentar.
Sebagai seorang yang pernah menjadi Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri, Puspa Dewi tentu saja tidak merasa asing dengan kemewahan yang terdapat di istana Wengker itu. Akan tetapi ia pun tahu bahwa banyaknya perajurit pengawal di luar dan dalam istana itu tidaklah wajar. Ia menduga bahwa pihak istana berada dalam keadaan siap siaga dan bahwa istana itu setidaknya bagian pendapa dan ruang tamunya, telah dikepung pasukan!
Pasti Wirobento dan Wirobandrek yang telah memberi laporan dan Linggawijaya yang sekarang menjadi Adipati Linggawijaya itu lelah membuat persiapan! Namun hal ini tidak mambuat hati Puspa Dewi menjadi jerih. Ketika Puspa Dewi dan Ki Surogeni memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah itu, di situ telah menunggu Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala. Tentu saja Puspa Dewi mengenal baik dua orang laki-laki tua ini. Ki Suramenggala adalah bekas Lurah Dusun Karang Tirta, bahkan pernah menjadi ayah tirinya karena ibunya menjadi selir bekas lurah ini.
Mengingat bahwa ibu kandungnya baru-baru ini diculik oleh orang-orang Ki Suramenggala, sepasang mata gadis itu memandang kepada Ki Suramenggala dengan kilatan marah. Ki Suramenggala diam-diam bergidik ngeri dan tak dapat bertahan lama beradu pandang, segera ia menundukkan pandang matanya. Kemudian Puspa Dewi menatap wajah Resi Bajarasakti.
Tentu saja ia pun mengenal baik pertapa sesat ini. Kurang lebih tujuh tahun yang lalu, ia pernah diculik dan dilarikan Resi Bajrasakti ini. Akan tetapi kemudian ia terjatuh ke tangan Nyi Dewi Durgakumala, dan sebaliknya Linggawijaya yang diculik Nyi Dewi Durgakumala terjatuh ke tangan Sang Resi Bajrasakti. Kemudian ia menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala sedangkan Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Maka ia pun memandang kepada resi itu dengan mata mencorong. Dulu ia masih gadis remaja ketika diculik Resi Bajrasakti dan nyaris menjadi korban kekejian pendeta sesat ini.
Akan tetapi Resi Bajrasakti tersenyum dan berkata, "Selamat datang di Istana Wengker, Ni Puspa Dewi. Silakan duduk!"
Akan tetapi Puspa Dewi tetap berdiri dan ia berkata dengan sikap angkuh dan tegas. "Aku datang berkunjung untuk bertemu dan bicara dengan Adipati Wengker, bukan dengan sembarang orang!"
Tumenggung Suramenggala bangkit berdiri dan berkata dengan wajah tersenyum cerah. "Wahai, Anakku Puspa Dewi yang manis dan gagah perkasa. Apakah engkau tidak mengenal lagi aku, Tumenggung Suramenggala, Ayah tirimu yang menyayangmu?"
Puspa Dewi memandang ke arah bekas ayah tirinya itu dengan pandang mata tajam menusuk. "Ki Suramenggala, tidak perlu Andika banyak cakap lagi! Kalau saja aku belum menemukan kembali Ibuku dalam keadaan selamat, sekarang juga aku pasti sudah turun tangan menghajar Andika!"
Mendengar ucapan Ini, Suramenggala menjadi pucat dan tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Kini Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Puspa Dewi, kalau Andika hendak bertemu dengan Kanjeng Adipati Llnggawljaya, keinginanmu itu sia-sia karena beliau sedang tidak berada di Istana."
Mendengar ucapan Resi Bajrasakti yang nadanya sungguh-sungguh itu, Puspa Dewi menduga bahwa kakek itu tidak berbohong. "Kalau begitu, biarkan aku bertemu dan bicara dengan isterinya, Dewi Mayangsari...!"
"Sayang sekali, juga beliau sedang bepergian, tidak berada di istana." Jawab Resi Bajrasakti. "Akan tetapi, ketahuilah, Puspa Dewi, kalau Andika memang ada kepentingan, Andika dapat membicarakan dengan kami bertiga. Aku adalah wakil Kanjeng Adipati dalam urusan pemerintahan Wengker. Ki Tumenggung Suramenggala ini adalah Ayahanda Kanjeng Adipati sehingga beliau dapat mewakili puteranya. Adapun Ki Surogeni ini adalah Ayahanda Permaisuri Dewi Mayangsari sehingga beliau dapat mewakili puterinya. Nah, kalau kedatangan mu ini membawa urusan penting, kami bertiga dapat mewakili Kanjeng Adipati Llnggawijaya yang Andika tahu juga adalah muridku. Katakanlah, apa yang Andika kehendaki, Puspa Dewi?"
"Hemm, aku tidak mempunyai kepentingan pribadi dengan Andika, Resi Bajrasakti, atau dengan Ki Suramenggaia ataupun Ki Surogeni. Aku hanya Ingin mencari Adikku Niken Harni karena aku tahu bahwa ia memasuki Wengker dan menurut keterangan Ki Surogeni, ia berada di Istana Wengker. Sekarang, kalian katakan di mana Adikku itu. Aku datang tidak dengan niat bermusuhan. Akan tetapi kalau kalian tidak menyerahkan Adikku, atau kalau kalian mengganggu Adikku, aku tidak akan berhenti sebelum membuat Wengker menjadi karang abang (lautan api)..!"
Ucapan Puspa Dewi dikeluarkan dengan suara lembut, namun terdengar kering dan mengerikan. Tiga orang tua itu merasakan betapa dalam suara itu terkandung ancaman-ancaman yang sungguh-sungguh, bukan sekadar gertakan.
"Heh, tenanglah, Puspa Dewi. Sebenarnya, mengingat bahwa Andika adalah murid Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri dan Andika dianggap sebagai puterinya dan menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri, Andika bukanlah orang luar dan di antara kita ada hubungan. Wura-wuri selalu bersahabat dengan Wengker. Karena itu, marilah kita bicara seperti sahabat dan duduklah, Puspa Dewi."
"Hemm, aku tidak ada urusan dengan Wengker maupun Wura-wuri, Resi Bajrasakti. Katakan saja di mana adanya Niken Harni."
"Hemm,...! kalau Andika tidak mau menganggap kami sebagai kawan, lalu apa artinya Andika bertanya kepada kami? Kalaupun kami menjawabnya, kalau Andika menganggap kami sebagai musuh, Andika bagaimana dapat percaya keterangan kami? Ingat, terhadap musuh orang dapat saja berbohong, sebaliknya terhadap teman tentu orang tidak akan berbohong."
"Sesukamu akan menganggap aku kawan atau lawan, Resi Bajrasakti. Akan tetapi, mengingat bahwa Andika menjadi seorang yang berkedudukan tinggi dan berkuasa di Wengker, dan Andika berada di sarang sendiri sehingga tidak mendapat tekanan dariku, maka mustahil kalau Andika mau merendahkan diri menjadi seorang pengecut yang berbohong. Aku percaya Andika akan bicara sejujurnya tentang adikku Niken Harni."
Wajah Resi Bajrasakti berubah merah, matanya melotot dan dia marah sekali. Memang tidak ada alasan baginya untuk berbohong karena dia tidak takut kepada Puspa Dewi, bahkan dapat dibilang bahwa saat itu dia yang menguasai keadaan dan dapat menangkap bahkan membunuh gadis itu kalau dia kehendaki. Dia marah mendengar Puspa Dewi bersikap demikian berani dan penuh tantangan.
"Huh, aku pun tidak sudi berbohong kepadamu karena aku tidak takut untuk bicara terus terang. Nah, dengarlah, Puspa Dewi. Niken Harni memang pernah menjadi tamu di Istana Wengker, akan tetapi beberapa hari yang lalu ia dibawa pergi oleh Nini Bumigarbo...! Nah,... percaya atau tidak, terserah!"
Sepasang mata Puspa Dewi mencorong dan seolah hendak menembus mata Resi Bajrasakti untuk menjenguk isi hatinya. Ia berkata, "Aku percaya kepada Andika, Resi Bajrasakti. Mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni, dan ke mana Adikku dibawa pergi?"
"Hoa-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Apakah Andika belum mendengar tentang watak aneh luar biasa dari Nini Bumigarbo, Puspa Dewi? Siapa yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya dan mengapa ia melakukan sesuatu? Ia datang dan membawa pergi Niken Harni, siapa yang dapat melarang dan siapa pula yang dapat bertanya? Dia datang dan pergi begitu saja. Yang kami ketahui hanyalah bahwa Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo. Kalau Andika ingin mengetahui sebabnya, carilah Nini Bumigarbo dan tanyalah sendiri kepadanya..!"
Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama besar Nini Bumigarbo, seorang datuk wanita yang dikabarkan orang sebagai manusia setengah dewa atau setengah iblis yang memiliki kesaktian yang luar biasa. Bahkan ketika ia digembleng Sang Maha Resi Satyadharma, pertapa itu pernah berkata kepadanya bahwa di antara para tokoh sakti pada waktu itu, kiranya yang dapat dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya adalah Sang Bhagawan Ekadenta dan Nini Bumigarbo! Akan tetapi sungguh aneh sekali, mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni? Resi Bajrasakti benar ketika berkata bahwa tidak ada yang tahu apa yang dilakukan nenek aneh itu dan mengapa ia melakukannya.
"Hemm, baiklah. Aku percaya keterangan Andika bahwa Adikku itu telah dibawa pergi Nini Bumigarbo, Resi Bajrasakti. Aku akan mencarinya. Akan tetapi, aku teringat bahwa kabarnya Dewi Mayangsari adalah murid Nini Bumigarbo. Tentu ia tahu mengapa dan ke mana Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo."
"Agaknya Andika belum tahu benar siapa Nini Bumigarbo. Bahkan kepada muridnya sendiri pun ia tidak pernah memberitahu. Sepengetahuanku, Kanjeng Puteri Dewi Mayangsari juga tidak tahu ke mana Niken Harni dibawa Nini Bumigarbo."
"Sudahlah, aku tidak ingin merepotkan mu lebih jauh. Aku pamit pergi dan terimakasih atas keteranganmu, Resi Bajrasakti...!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi memutar tubuh dan melangkah keluar dari ruangan tamu.
"Puspa Dewi, engkau sudah berani memasuki Wengker, tidak boleh pergi begitu saja...! Engkau harus tunggu pulangnya Adipati Linggawijaya dan isterinya" kata Ki Suramenggala.
Akan tetapi Puspa Dewi tidak mempedulikan ucapan bekas ayah tirinya itu dan melangkah keluar. Akan tetapi setibanya di pendapa istana, ia melihat ratusan orang perajurit sudah siap siaga dengan senjata tombak, golok, atau pedang di tangan, menutup semua jalan keluar. Bahkan di sana, di halaman yang merupakan alun-alun, masih terdapat sedikitnya seribu orang perjurit.
"Ha-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa-tawa dan muncul dari dalam ruangan tamu bersama Ki Surogeni dan Tumenggung Suramenggala. Mereka bertiga tertawa-tawa. "Puspa Dewi, Andika tidak boleh pergi sebelum Sang Adipati dan isterinya pulang...! Andaikata Andika bersayap sekalipun, tidak mungkin Andika dapat terbang lolos dari Wengker... ha-ha-ha!"
"Untuk keluar dari Wengker, aku tidak perlu terbang, Resi Bajrasakti...! Haiiitttt....!" Tiba-tiba Puspa Dewi mengeluarkan pekik melengking.
Itulah Aji Jerit Guruh Bairawa dan ia sudah mencabut pedangnya Kyai Candrasa Langking dan memutarnya dengan cepat sambil menerjang ke arah Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung dibarengi angin dahsyat menyambar-nyambar dan didorong pula oleh getaran pekik yang amat hebat itu.
Resi Bajrasakti cepat melompat ke belakang dan melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga sakti sambil mencabut dan memutar cambuknya yang bergagang gading. Juga Ki Surageni yang sudah merasakan kehebatan gadis itu, cepat melompat ke belakang sambil mencabut kerisnya. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat dari Puspa Dewi itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu ia sudah menggunakan tangan kirinya untuk menghantam tengkuk Ki Suramenggala yang sama sekali tidak menduganya karena tadi dia tidak diserang.
"Plakk...!"
Tubuh Ki Suramenggala seketika menjadi lemas setengah lumpuh dan dia sama sekail tidak berdaya ketika tangan kiri Puspa Dewi mencengkeram baju tumenggung yang mewah dan tebal itu pada punggungnya. Sambil menempelkan pedang di leher bekas ayah tirinya itu Puspa Dewi menghardik.
"Resi Bajrasakti..! Kalau Andika tidak memerintahkan semua perajurit agar mundur dan tidak boleh mengganggu kepergianku, aku akan memenggal leher Ki Suramenggala ini lebih dulu sebelum aku mengamuk dan menjadikan tempat ini sebagai banjir darah...!"
Tentu saja Ki Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Sedikit saja pedang yang menempel di kulit lehernya itu digoreskan, nyawanya tidak akan tertolong lagi dan dia akan mati seperti ayam disembelih. Saking takutnya, tubuhnya yang setengah lumpuh itu menggigil.
"Puspa Dewi... ingat... aku adalah ayahmu... ampunilah aku, jangan bunuh aku, Puspa Dewi...."
Puspa Dewi tidak menjawab, akan tetapi tangan kirinya semakin kuat mencengkeram punggung baju itu sehingga kini leher baju itu mencekik leher Ki Suramenggala sehingga dia menjadi semakin ketakutan.
Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni terkejut dan saling pandang. Mereka berdua maklum sepenuhnya bahwa tidak mungkin mereka membiarkan gadis itu membunuh Ki Suramenggala. Kalau tumenggung itu tewas, tentu Adipati Linggawijaya akan marah sekali dan menyalahkan mereka. Gadis itu bukan hanya menggertak kosong.
Sekali pedangnya bergerak, Ki Suramenggala tentu tewas dan kalaupun akhirnya mereka mampu membunuh gadis itu dengan keroyokan ribuan pasukan, yang sudah pasti gadis itu tidak akan roboh sebelum ia membunuh banyak sekali orang. Gertakannya merupakan ancaman yang mengerikan. Akan benar-benar terjadi banjir darah di Wengker kalau mereka tidak menuruti kehendaknya.
"Resi Bajrasakti, bagaimana tanggapan mu? Jangan membuat aku kehilangan kesabaran...!" Bentak Puspa Dewi sambil mendorong Ki Suramenggala keluar dari pendapa.
Para perajurit yang berada paling depan di pendapa itu hanya mengacung-acungkan senjata mereka, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyerang, pertama karena meiihat Ki Tumenggung Suramenggala dijadikan sandera, kedua karena mereka tidak mendapat perintah dari Resi Bajrasakti.
Resi Bajrasakti merasa ngeri sendiri membayangkan ada perajurit yang menyerang Puspa Dewi dan menyebabkan gadis itu membunuh Tumenggung Suramenggala dan mengamuk. Dia lalu berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua perajurit, juga oleh mereka yang berkumpul di alun-alun halaman istana.
"Haiiii Para perajurit dan para perwira...! Dengar perintah kami...! Jangan halangi Puspa Dewi keluar dari kota raja!"
Setelah berteriak demikian Resi Bajrasakti berkata kepada Puspa Dewi.
"Nah, Puspa Dewi, Andika boleh pergi, akan tetapi Andika harus memegang janji dan membebaskan Ki Tumenggung Suramenggala."
"Resi Bajrasakti, aku bukan orang yang suka melanggar janji. Biarpun Ki Suramenggala pantas dihukum atas kejahatannya terhadap ibuku, namun aku akan membebaskannya kalau aku sudah terlepas dari kepungan pasukanmu."
Setelah berkata demikian, dengan sikap tenang namun waspada, Puspa Dewi mendorong Ki Suramenggala dan melangkah keluar dari pendapa istana, kemudian terus menyeberangi alun-alun di antara deretan perajurit yang berkumpul di kanan kiri. Para perajurit itu hanya dapat memandang dengan kagum akan tetapi tidak ada yang berani bergerak. Juga ketika Puspa Dewi yang menodong Ki Suramenggala itu keluar dari pintu gerbang kota kadipaten, tidak ada seorang pun berani menghalanginya.
Sebetulnya banyak para perwira dan senopati merasa penasaran karena mereka merasa yakin bahwa apabila mereka diperbolehkan dan maju menyerbu, mustahil gadis itu mampu lolos dari pengeroyokan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit!
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani melanggar perintah Resi Bajrasakti tadi. Juga mereka semua merasa ngeri, kalau sampai Ki Suramenggala tewas dan mereka dipersalahkan sebagai penyebabnya, tentu Sang Adipati akan marah sekali dan menghukum mereka. Maka, biarpun di situ berkumpul banyak sekali perajurit, tak seorang pun berani bergerak menghalangi gadis yang keluar dari kota Kadipaten Wengker itu.
Setelah tiba di luar kota dan tidak ada lagi perajurit berjaga, Puspa Dewi melepaskan Ki Suramenggala dan berkata, "Ki Suramenggala, kalau Andika berani lagi mengganggu ibuku, aku tidak akan mengampuni mu!"
Setelah berkata demikian, Puspa Dewi melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan Ki Suramenggala yang kini dapat bernapas lega. Dia terbebas dari ancaman maut, akan tetapi juga dia merasa kehilangan muka karena tadinya Ki Tumenggung Suramenggala dikenal selain sebagai ayah kandung Sang Adipati Wengker, juga sebagai seorang yang sakti. Maka, dia tidak kembali ke istana, melainkan diam-diam pulang ke rumahnya sendiri.
Setelah dulu dalam gerakan persekutuan antara tiga kerajaan kecil yang membantu pemberontakan di Kahuripan, ia telah berbalik membela Kahuripan sehingga dianggap pengkhianat oleh persekutuan, ia dianggap musuh oleh empat kerajaan itu.
Kerajaan Wengker dengan adipatinya Linggawijaya, Kerajaan Wura-wuri dengan adipatinya Bhismaprabhawa di mana gurunya, Nyi Dewi Durgakumala, kini menjadi permaisuri Wura-wuri. Yang ke tiga adalah Kerajaan Parang Siluman dengan adipatinya Ratu Wanita Durgamala yang memiliki banyak pembantu sakti, di antaranya puteri-puterinya sendiri, Ni Lasmini dan Ni Mandari, dan yang ke empat adalah Kerajaan Siluman Laut Kidul dengan penguasanya Ratu Mayang Gupita, raksasa wanita yang sakti itu.
Kini ia memasuki wilayah Kerajaan Wengker, sebuah diantara empat kerajaan itu dan Wengker dapat dikatakan sebagai yang terbesar dan terkuat di samping Kerajaan Parang Siluman. Akan tetapi ia tidak merasa gentar. Ia harus dapat menemukan Niken Harni dan kalau perlu ia akan menemui Adipati Linggawijaya sendiri untuk minta agar adiknya itu dibebaskan, seandainya Niken Harni memang tertawan di Wengker.
Kerajaan Wengker adalah sebuah kerajaan yang cukup luas dan di daerah itu memiliki ciri yang khas, yaitu bahwa para penduduknya sebagian besar terdiri dari orang-orang yang pembawaannya kasar dan jarang terdapat wanita cantik. Para prianya kebanyakan tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat, pembawaannya gagah dan keras. Jarang terdapat wanita cantik di antara penduduk Wengker asli. Karena itu, ketika Puspa Dewi melakukan perjalanan memasuki daerah Wengker, orang-orang yang bertemu dengannya memandang penuh perhatian dan mereka merasa kagum sekali. Tentu saja Puspa Dewi tidak mempedulikan mereka dan langsung saja ia melakukan perjalanan cepat menuju ke kota Kadipaten Wengker.
Pada suatu sore ia tiba di sebuah dusun di tepi sebuah sungai yaitu Kali Ngebel. Dusun Nguter itu merupakan sebuah dusun yang cukup besar karena penduduknya dapat hidup cukup makmur dengan hasil sawah ladang mereka yang subur karena mendapatkan air yang cukup dari Kali Ngebel. Seperti juga di setiap tempat yang ia lalui, ketika ia memasuki dusun itu pun, orang-orang yang melihatnya, terutama orang-orang lelaki, memandangnya dengan tertarik dan penuh kagum. Mereka jarang melihat wanita secantik Puspa Dewi dan mereka tahu bahwa gadis ini adalah seorang asing karena di antara mereka tidak ada yang mengenalnya.
Puspa Dewi terpaksa menunda perjalanannya. Senja telah mendatang. Ia harus melewatkan malam di tempat ini. Ia tidak ingin ada orang di dusun itu yang mencurigainya sehingga perjalanannya ke kota kadipaten akan mengalami banyak gangguan. Karena itu, ia memilih tempat yang terpencil dan jauh dari perumahan, di tepi sungai. Akan tetapi perutnya terasa lapar sekali. Ketika ia berjalan perlahan di tepi sungai, ia melihat berkilatnya kulit ikan yang meluncur di dalam air sungai yang bening itu. Sepasang matanya berkilat, wajahnya berseri. Ada makanan tersedia di dalam air sungai, pikirnya.
Puspa Dewi lalu mencari sebatang ranting pohon dan meruncingi ujungnya. Setelah itu ia lalu berjalan perlahan menyusuri tepi Kali Ngebet sambil memperhatikan ke arah air dengan ranting runcing siap di tangan kanan. Tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa ekor ikan berenang di depannya. Cepat sekali ranting runcing itu meluncur dan ujungnya yang kecil runcing sudah menembus kepala seekor ikan!
Dengan girang Puspa Dewi mengambil ikan itu dari tongkat runcingnya. Kemudian ia mengintai lagi. Sedikitnya ia harus mendapatkan tiga ekor ikan untuk dapat mengenyangkan perutnya yang lapar karena ikan itu pun tidak terlalu besar, hanya sebesar pergelangan tangannya. Akan tetapi agaknya gerakan di air ketika ia menangkap seekor ikan tadi membuat ikan-ikan di dekat situ ketakutan. Terpaksa ia harus berjalan terus, mencari ke bagian lain. Akhirnya ia berhasil memperoleh tiga ekor ikan.
Gadis yang sudah biasa melakukan perantauan ini dengan girang lalu membuang isi perut ikan dan memanggang ikan-ikan itu di tepi sungai. Biarpun ikan-ikan itu tidak diberi bumbu, dipanggang begitu saja, namun terasa cukup lezat dan sebentar saja tiga ekor ikan itu tinggal kepala dan tulang saja yang ia lemparkan ke dalam sungai.
Puspa Dewi membersihkan tangan, lalu mencuci muka dan kaki lengannya. Lalu ia mulai mencari tempat yang enak untuk melewatkan malam. Ketika ia sedang mencari-cari tempat untuk mengaso melewatkan malam, tiba-tiba ia mendengar jeritan suara wanita yang datangnya dari dalam hutan kecil di tepi sungai. Cepat ia melompat dan berlari memasuki hutan kecil itu.
Tak jauh ia berlari, ia melihat seorang laki laki bertubuh tinggi besar bermuka hitam, berusia sekitar tiga puluh lima tahun, menarik-narik lengan seorang wanita muda dan menyeretnya menuju ke sebuah gua yang berada di situ.
"Jangan....! Lepaskan aku, lepaskan...! Tolooongggg....!!"
"Ha-ha, tidak ada yang akan mendengarmu. Andaikata ada pun siapa berani mencampuri urusan Drohawisa? Diamlah dan aku tidak akan bertindak kasar terhadap dirimu!" Tiba-tiba laki-laki tinggi besar itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu dia telah memondong tubuh wanita yang meronta-ronta dan menjerit-jerit itu.
"Lepaskan aku....! Aku mau menolong suamiku.... lepaskan aku, kasihanilah aku.... suamiku.... ah, engkau telah membunuhnya...!" Wanita itu menangis.
"Ha-ha, Wiyanti, engkau menurut saja padaku dan engkau akan hidup senang. Suamimu berani menentangku, maka kubunuh dia dan kalau engkau selalu menolakku, akan kukirim kau menyusul suamimu!"
"Bunuh saja aku! Bunuh....!"
"Ha-ha-ha, sayang kalau dibunuh!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Jahanam busuk!" dan Puspa Dewi telah berdiri menghadang di depan laki-laki yang memondong tubuh wanita itu dan hendak memasuki gua.
Laki-laki yang tadi mengaku bernama Drohawisa itu terkejut dan marah sekali melihat ada orang berani menentangnya. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang menghadang dan memakinya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita, dia terbelalak kagum dan segera melepaskan tubuh wanita yang dipondongnya dengan kasar, seperti membuang sebuah benda yang tidak berharga. Wanita itu terbanting jatuh dan mengeluh kesakitan menangis lalu merangkak menjauhi laki-laki itu, duduk bersandar batang pohon dan menangis.
"Wah! Bidadari dari mana datang menemuiku? Cantik sekali engkau. Aduh .... beruntung sekali aku hari Ini, mendapatkan seorang bidadari!"
Dahulu, Puspa Dewi adalah seorang gadis yang berwatak keras dan ganas. Hal ini adalah karena selama lima tahun ia digembleng dalam pendidikan Nyi Dewi Durgakumala yang sesat. Dulu, kalau bertemu orang yang dianggapnya musuh, tentu ia akan menurunkan tangan besi dan menghajar orang itu tanpa banyak bertanya lagi.
Akan tetapi semenjak ia mendapat pendidikan Sang Maha Resi Satyadharma selama tiga bulan, wataknya berubah banyak. Biarpun kini ia marah sekail melihat Drohawisa menculik dan hendak memperkosa Wiyanti, namun la menahan diri sebelum mengetahui duduknya perkara. Maka, ia tidak mempedulikan ucapan Drohawisa tadi dan menghampiri Wiyanti yang duduk menangis sambil bersandar pada batang pohon itu.
Wanita itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Seperti kebanyakan wanita daerah Wengker, wanita ini pun memiliki bentuk tubuh yang tegap dan besar. Wajahnya termasuk sedang saja bagi wanita pada umumnya, namun bagi orang-orang Wengker, ia sudah dapat disebut manis dan menarik.
"Mbakayu, ceritakanlah apa yang telah terjadi? Jangan takut, aku akan melindungimu."
Dengan terisak-isak Wiyanti menceritakan betapa Drohawisa selalu menggoda dan membujuk-rayunya. Wiyanti yang sudah bersuami tentu saja menolak dan siang tadi, ketika Drohawisa menggodanya lagi, suami Wiyanti yang bernama Garino pulang dan menegur Drohawisa dengan marah melihat laki-laki itu menggoda isterinya.
Terjadi perkelahian dan Garino dihajar oleh Drohawisa yang tentu saja jauh lebih kuat karena dia adalah seorang jagoan, murid seorang warok muda terkenal bernama Wirobento. Drohawisa menangkap dan melarikan Wiyanti, meninggalkan Garino yang roboh pingsan dengan tubuh menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan Drohawisa.
"Demikianlah, Mas Roro.... dia membawa aku sampai ke tempat ini.... dan aku tidak tahu bagaimana dengan nasib suamiku...."
Wiyanti mengakhiri ceritanya sambil menangis. Mendengar ini, sepasang mata Puspa Dewi mencorong ketika ia membalik dan menghadapi Drohawisa. Ia melihat betapa laki-laki berusia sekitar tiga puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam itu menyeringai dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat gadis cantik jelita yang berdiri di depannya itu.
"Ha-ha-ha, sekarang juga akan membebaskanmu, Wiyanti. Aku tidak membutuhkan engkau lagi. Sepuluh orang seperti engkau pun akan ku tukarkan dengan gadis bidadari ini, heh-heh-heh!"
"Jahanam busuk! Orang macam engkau ini tidak pantas hidup di dunia ini!"
"Ha-ha, aku mau hidup di neraka asalkan bersama engkau, perawan denok montok, ayu manis merak ati! Mari kupondong engkau, dewiku!"
Drohawisa adalah seorang hamba nafsu yang selalu melakukan perbuatan apa pun untuk melampiaskan nafsu nafsunya. Tidak ada perbuatan yang dipantangnya dan sudah terbiasa memaksakan kehendaknya. Orang seperti dia itu berwatak sombong dan mengagulkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada semua orang. Kalau bertemu orang yang lebih kuat dia tidak segan untuk merangkak dan menjilat-jilat seperti anjing mencari perhatian, sebaliknya terhadap yang lemah dia selalu menindas dan memandang rendah. Tentu saja dia memandang rendah seorang gadis muda seperti Puspa Dewi.
Setelah berkata demikian, sambil menyeringai dia sudah menubruk maju dengan cepat untuk menangkap gadis yang kecantikannya membuat dia tergila-gila itu. Sudah gatal-gatal tangannya untuk mendekap dan membelai gadis itu. Kedua lengannya yang panjang dikembangkan, jari-jari tangannya terbuka dan kedua tangan itu dari kanan kiri menyambar ke arah tubuh Puspa Dewi untuk menangkapnya.
Puspa Dewi yang sudah marah tidak mau memberi hati lagi. Cepat seperti kilat menyambar, kaki kirinya mencuat ke depan dan sebelum kedua tangan Drohawisa sempat menyentuhnya, kakinya telah lebih dulu menghantam perut laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu.
"Syuuutt.... desss....!"
"Hekk....!"
Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan roboh. Drohawisa menggunakan dua tangan untuk menekan-nekan perutnya yang terasa nyeri dan mulas sekali. Mungkin usus buntunya terkena tendangan kaki Puspa Dewi. Akan tetapi dasar orang sombong, hajaran itu masih belum menyadarkannya bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tangguh daripada dia.
Sambil menahan rasa, nyeri dengan kemarahan luar biasa dia bangkit, meringis dan sudah menerjang ke arah Puspa Dewi. Kini terjangannya bukan didorong nafsu berahi untuk merangkul dan mendekap, melainkan didorong nafsu amarah. Tangan kanannya yang dikepal sebesar kepala Puspa Dewi itu menyambar, agaknya hendak memukul pecah kepala gadis yang tadi membuat dia tergila-gila itu.
Dengan tenang Puspa Dewi menangkis pukulan itu dengan tangan kirinya yang bergerak dari dalam keluar dan berbareng tangan kanannya dengan jari-jari terbuka memukul ke arah dada lawan.
"Plakk....! Desss....!!"
Drohawisa mengeluarkan suara aneh, tubuhnya sekali lagi terjengkang dan dia roboh, terduduk. Dia terengah-engah, sukar bernapas karena dadanya terasa seolah disambar palu godam, membuat napasnya sesak. Juga pergelangan tangan kanannya seolah tadi ditangkis sepotong baja yang membuat lengannya terasa ngilu sampai ke tulangnya.
Hajaran keras ini tetap saja belum menembus kekebalan otak Drohawisa, bukan membuat dia sadar bahkan membuat dia semakin marah dan penasaran, juga malu karena dia telah dirobohkan dua kali oleh seorang gadis muda. Biarpun perutnya masih terasa mulas dan dadanya sesak, dia memaksa diri bangkit dan mencabut sebatang golok yang terselip di pinggangnya. Golok besar itu berkilauan saking tajamnya.
"Perempuan setan, engkau sudah bosan hidup Mampuslah!" bentaknya dan dia sudah melompat ke depan dan menyerang dengan bacokan buas ke arah kepala Puspa Dewi.
Gadis ini maklum bahwa lawannya menyerang untuk membunuhnya. Seorang yang jahat dan kejam, pikirnya dan orang macam ini tidak akan pernah kapok (bertaubat) kalau tidak diberi hajaran yang amat keras. Maka, begitu golok itu menyambar ke arah kepalanya, ia menggeser kaki dan miringkan tubuhnya.
Golok menyambar dari atas, lewat samping tubuhnya dan secepat kilat kedua tangan Puspa Dewi bergerak, yang kiri mengetuk siku kanan lawan dan begitu siku terketuk dan lumpuh sehingga golok terlepas, tangan kanannya sudah merampas golok itu! Demikian cepat peristiwa Itu terjadi sehingga Drohawisa tidak dapat mengerti mengapa goloknya dapat terampas. Tiba-tiba tampak sinar golok berkelebat dua kali.
"Crak-crak...., aduhhh....!!"
Drohawisa terpelanting roboh dan bangkit duduk, merintih-rintih dan tangan kirinya sibuk menekan lengan kanan yang buntung sebatas pergelangan lalu berpindah ke kaki kiri yang terbabat buntung separuh, sehingga semua jari kaki kiri itu buntung! Darah bercucuran dan laki-laki tinggi besar bermuka hitam itu merintih dan menangis saking nyeri dan takutnya.
"Manusia jahat dan kejam" Puspa Dewi berkata. "Lain kali kalau engkau tidak mengubah watakmu yang jahat, aku akan membuntungi lehermu!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi menggunakan kedua tangan menekuk dan terdengar suara nyaring ketika golok itu patah menjadi dua potong lalu dilemparkan ke atas tanah oleh Puspa Dewi.
Drohawisa terbelalak. Demikian kaget dia sehingga sejenak rasa nyerinya hampir tidak terasa lagi. Baru sekarang matanya terbuka dan dia sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang sakti mandraguna.
Akan tetapi dasar jahat. Yang timbul dalam hatinya bukan penyesalan dan kesadaran untuk bertaubat, melainkan dendam sakit hati dan dia harus membalas dendam dengan mengerahkan bantuan kawan-kawannya! Dengan susah payah dia bangkit berdiri, memandang gadis itu dengan mata yang masih basah oleh tangis kesakitan tadi.
"Katakan, siapa engkau dan tunggu pembalasanku!" bentaknya.
Puspa Dewi tersenyum. "Setiap saat akan kutunggu pembalasan mu. Nama ku Puspa Dewi."
Wajah Drohawisa berubah pucat dan matanya terbelalak semakin lebar mendengar nama ini dan bagaikan dikejar setan dia lalu melarikan diri, terpincang pincang, terjatuh, merangkak lalu berlari lagi berloncatan dengan sebelah kaki karena kaki kirinya terasa nyeri bukan main kalau dipakai menginjak tanah.
Puspa Dewi tidak mempedulikan lagi laki-laki itu dan menghampiri Wiyanti. Wanita itu kini bangkit dan lari menghampiri Puspa Dewi lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah-nyembah.
"Aduh, terimakasih atas pertolonganmu, Den Roro...."
"Bangkitlah, Mbakayu Wiyanti dan mari kita lihat keadaan suamimu."
Wiyanti lalu berjalan cepat setengah berlari menuju ke sebuah rumah terpencil yang berada di luar hutan itu. Daerah Itu memang masih belum padat penduduknya dan setiap keluarga memiliki tanah pekarangan yang amat luas sehingga jauh dari tetangga. Ketika mereka tiba di rumah Wiyanti, cuaca sudah mulai remang senja.
Mereka melihat seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun duduk di atas lantai pendapa bersandar dinding bambu dan mukanya matang biru membengkak bekas pukulan. Melihat Wiyanti datang, Garino, laki-laki itu dengan susah payah memaksa diri bangkit berdiri.
"Wiyanti.... engkau.... engkau pulang dengan selamat....?"
"Kakang Garino....!" Suami isteri itu berangkulan dan Wiyanti menangis.
"Mbakayu Wiyanti, kukira suamimu perlu beristirahat." Kata Puspa Dewi.
Baru wanita itu menyadari dan ia pun memapah suaminya memasuki ruangan dalam dan membantu suaminya rebah di atas sebuah amben (pembaringan sederhana dari bambu). Garino rebah telentang dan Wiyanti segera menyalakan lampu, lalu mempersilakan Puspa Dewi duduk di atas bangku kayu sederhana yang berada di ruangan itu.
Setelah cuaca mulai terang oleh sinar lampu, Puspa Dewi melihat bahwa Garino adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya kokoh dan tinggi kurus, wajahnya sederhana namun tidak membayangkan watak yang kasar seperti kebanyakan orang laki-laki di Kerajaan Wengker. Ia juga dapat melihat bahwa Garino hanya menderita luka-luka karena pukulan dan tendangan, hanya bengkak-bengkak dan matang biru, akan tetapi agaknya tidak terdapat luka yang membahayakan nyawanya. Sebaliknya, ketika Garino memandang dan melihat bahwa wanita yang datang bersama isterinya adalah seorang gadis muda yang cantik jelita, dia merasa heran sekali.
"Wiyanti, siapakah gadis ini?"
"Kakang Garino, gadis inilah yang telah menyelematkan aku dari Drohawisa yang jahat dan kejam. Ia amat sakti mandraguna, Kakang, Drohawisa dihajar sampai sebuah tangan dan sebuah kakinya buntung!" Wiyanti menceritakan dengan wajah gembira. "Inilah penoIongku, namanya Raden Roro Puspa Dewi!"
Nama Puspa Dewi amat tersohor bagi para senopati dan perajurit Wengker. Akan tetapi Garino adalah seorang petani yang hidup di Lembah Kali Ngebel dan nama gadis itu asing baginya. Maka dia pun tidak terkejut seperti halnya Drohawisa mendengar nama Puspa Dewi, hanya memandang kagum dan dia segera bangkit duduk, dibantu isterinya.
"Den Roro, saya menghaturkan terimakasih atas pertolongan Andika kepada isteri saya."
"Sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Penjahat macam Drohawisa itu memang sudah sepatutnya menerima hukuman. Sebaliknya, aku yang mengharapkan bantuan Andika berdua."
Suami isteri itu memandang heran.
"Bantuan dari kami? Bantuan apakah yang dapat diberikan suami isteri miskin dan lemah seperti kami?" tanya Wiyanti.
"Benar kata isteri saya, Den Roro. Bahkan setelah terjadinya peristiwa tadi, kami tidak berani lagi tinggal di sini. Besok pagi kami harus sudah pergi dari sini, pindah ke tempat yang tersembunyi dari mereka."
"Kalau kalian merasa lebih aman pergi dari sini, tentu saja hal itu yang terbaik. Akan tetapi aku hanya ingin minta bantuan dua hal kepada kalian. Pertama, aku ingin menumpang di sini untuk melewatkan malam ini...."
"Wah, tentu saja boleh, Den Roro!" suami isteri itu berseru hampir berbareng.
"Terima kasih Dan bantuan ke dua, aku minta keterangan dari kalian, barangkali saja kalian mendengar tentang adanya seorang gadis bernama Niken Harni memasuki daerah Wengker baru-baru ini."
"Niken Harni? Saya tidak pernah mendengarnya, Den Roro." kata Wiyanti. "Kakang, apakah engkau pernah mendengar nama itu?"
Suaminya menggeleng kepalanya. "Saya juga belum pernah mendengar nama itu, Den Roro. Maaf, kami, tidak dapat membantu Andika dalam hai ini."
"Tidak mengapa kalau kalian tidak mengetahuinya. Biarlah malam ini aku menumpang di sini semalam dan besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan mencari Niken Harni."
"Kalau boleh saya mengetahui, siapakah Niken Harni itu, Den Roro?"
Puspa Dewi menghela napas panjang, "Dia Adikku."
Karena Puspa Dewi tidak bicara lebih lanjut mengenai Niken Harni, suami isteri Itu pun tidak berani banyak bertanya.
"Den Roro, setelah Drohawisa Andika beri hajaran keras, dia pasti akan mengerahkan kawan-kawannya dan saya khawatir malam ini juga mereka akan datang ke sini untuk melakukan pembalasan. Apakah tidak sebaiknya kalau kita pergi saja malam ini juga meninggalkan tempat ini?"
Mendengar ucapan suaminya yang mengandung ketakutan itu, Wiyanti malah menangis lagi. "Ahh.... bagaimana baiknya, Kakang? Den Roro, tolonglah kami, Den Roro Puspa Dewi...."
"Jangan kalian khawatir. Malam ini, kalau benar ada yang berani datang mengganggumu, aku yang akan menghadapi mereka!"
"Akan tetapi, Den Roro.... Drohawisa itu berbahaya sekali. Dia mempunyai kawan-kawan jagoan yang juga menjadi gurunya, yaitu Wirobento dan Wirobandrek, dua orang warok muda yang tersohor kedigdayaannya. Bahkan dua orang warok muda itu merupakan pembantu-pembantu atau anak buah dari Ki Surogeni, warok terkenal di Wengker karena dia adalah Ayah dari Sang Ratu Mayangsari. Saya tidak ingin menyusahkah Andika, Den Roro. Saya sendiri tidak takut mati, akan tetapi saya tidak dapat membayangkan isteri saya ini terjatuh ke tangan mereka...." Suara Garino penuh kegelisahan.
"Hemm, jangan khawatir. Biar Ratu Mayangsari sendiri yang datang, kalau ia membela keparat macam Drohawisa tadi, akan kuhadapi dan kulawan!" kata Puspa Dewi. Sikapnya yang gagah dan suaranya yang mantap itu melegakan hati suami isteri itu.
"Wiyanti, mengapa engkau tidak cepat menyiapkan makan malam untuk Den Roro Puspa Dewi?"
"Wah, aku sampai lupa...! Biar sekarang juga aku menyiapkan makan malam...!" kata Wiyanti sambil bangkit dari amben di mana ia duduk sambil memijiti kaki suaminya.
"Biar aku membantumu, Mbakayu. Tutup dan palangi saja pintu depan agar aku mendengar kalau ada orang datang ke rumah ini." kata Puspa Dewi.
Wiyanti lalu menutupkan daun pintu dan memasang palangnya. Setelah itu, dua orang wanita itu sibuk di dapur, Wiyanti menyembelih seekor ayam peliharaannya dan mereka lalu menanak nasi dan memasak lauk.
Ternyata tidak terjadi sesuatu seperti yang dikhawatirkan suami isteri itu pada malam itu. Pada keesokan harinya, Garino yang sudah agak pulih kesehatannya bersama Wiyanti sudah berkemas, membawa pakaian dan barang-barang yang dianggap berharga dan tidak berat, siap meninggalkan rumah mereka.
Setelah mandi Puspa Dewi melihat dua orang suami isteri itu berdiri di depan pondok mereka dengan wajah muram, bahkan tampak keduanya habis menangis. Puspa Dewi dapat memaklumi kesedihan hati mereka. Mereka harus meninggalkan segala yang mereka miliki, rumah dan sawah ladang, dan pergi dari situ untuk tidak kembali lagi. Menurut pembicaraan mereka semalam, mereka bahkan belum tahu kemana mereka akan pergi dan bagaimana nasib mereka kemudian.
"Apakah kalian hendak pergi sekarang? Sepagi Ini?" tanyanya.
"Kami harus pergi sekarang, Den Roro. Kami khawatir kalau mereka datang sebelum kami pergi." jawab Garino.
"Kalian sudah memutuskan hendak ke mana?"
"Sudah, Den Roro." jawab Wiyanti dengan suara serak karena semalam ia menangis terus, "Saya teringat mempunyai seorang paman jauh yang tinggal di pantai selatan. Kami akan pergi ke sana."
Suami isteri itu agaknya membawa barang-barang mereka yang mereka anggap berharga dan dapat mereka bawa. Wiyanti menggendong buntalan besar, agaknya terisi pakaian mereka. Garino membawa sepikul barang-barang perabot dapur dan alat pertanian. Betapa sederhana kehidupan mereka, pikir Puspa Dewi. Betapa sedikit kebutuhan mereka. Ia merasa terharu karena mereka terpaksa berpisah dengan milik mereka yang paling berharga, yaitu rumah tempat mereka tinggal dan sawah ladang yang menjadi sumber nafkah mereka. Puspa Dewi mengeluarkan bungkusan kain dari ikat pinggangnya, membuka bungkusan terisi perhiasan itu lalu menyerahkan sepasang subang emas terhias permata indah kepada Wiyanti.
"Mbakayu Wiyanti, terimalah pemberian ku ini. Kalau kalian tiba di tempat baru, juallah ini untuk membeli sawah ladang dan rumah."
Suami isteri itu terbelalak. Perhiasan itu amat Indah dan tentu mahal sekali harganya, lebih mahal dari harga rumah dan sawah ladang yang mereka tinggalkan. Sebagai orang-orang dusun yang polos dan lugu, mereka merasa bingung dan sungkan sekali.
"Akan tetapi, Den Roro...." kata Wiyanti sambil menatap sepasang subang itu dengan mata terbelalak.
"Terima sajalah, Mbakayu, tidak usah ragu. Benda ini adalah milikku sendiri. Kalian tentu memerlukannya untuk membeli tanah dan rumah baru."
"Aduh, terimakasih, Den Roro. Andika bukan hanya telah menyelamatkan nyawa kami, bahkan juga menyerahkan benda berharga kepada kami. Bagaimana kami dapat membalas kebaikan budi Den Roro?"
"Aku tidak minta dan tidak berhak menerima balasan, Mbakayu Wiyanti. Yang kalian terima merupakan berkah dari Sang Hyang Widhi, oleh karena itu kalian berkewajiban membalas berkah-Nya dengan cara melaksanakan hidup yang baik dan benar sebagai bakti kalian kepada-Nya. Nah, selamat berpisah dan selamat jalan."
Suami isteri itu memberi hormat dengan sembah kepada gadis yang telah melimpahkan kebaikan kepada mereka, lalu mereka pergi ke arah selatan. Halimun pagi segera menyelimuti dan menyembunyikan mereka dari pandangan Puspa Dewi yang masih berdiri di depan pondok, la memang sengaja menanti di situ, menjaga kalau-kalau benar terjadi apa yang dikhawatirkan suami isteri itu.
Setelah matahari pagi mengusir bersih halimun yang menyelimuti bumi sehingga cuaca menjadi terang dan sinar matahari menghidupi semua yang berada di permukaan bumi, Puspa Dewi juga bersiap-siap untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ia sudah meringkas pakaiannya dalam buntalan kain hendak meninggalkan pondok kosong itu ketika ia mendengar derap kaki kuda makin lama semakin nyaring, menandakan bahwa ada beberapa orang penunggang kuda menuju ke pondok itu. Puspa Dewi meletakkan buntalan pakaiannya ke atas bangku bambu di depan pintu pondok, dan berdiri menanti dengan sikap tenang.
Tak lama kemudian tampaklah empat orang penunggang kuda datang memasuki pekarangan pondok itu. Puspa Dewi melihat Drohawisa berada bersama tiga orang lain. Agaknya ada yang merawat Drohawisa sehingga kini dia mampu menunggang kuda, walaupun kendali hanya dia pegang dengan tangan kiri saja. Tangan kanan dan kaki kiri yang buntung itu telah dibalut. Diam-diam Puspa Dewi merasa gemas. Ternyata hajaran yang diberikannya kepada Drohawisa tidak membuat orang itu kapok!
Sekarang dia bahkan datang bersama tiga orang yang tampaknya menyeramkan dan buas. Ia tidak mengenal siapa tiga orang itu. Ketika tiga orang itu berlompatan turun dari atas kuda mereka, ia mengamati penuh perhatian. Drohawisa sendiri tidak turun dari atas punggung kudanya. Agaknya, dalam keadaan buntung tangan kanan dan kaki kirinya itu, untuk naik turun kuda dia harus dibantu orang lain.
Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan ternyata laki-laki ini berwajah cukup tampan kalau dibandingkan dengan para pria pada umumnya di Wengker. Pakaiannya indah seperti pakaian bangsawan dan wajahnya yang tampan itu menunjukkan keangkuhan. Sepasang matanya membayangkan kegenitan seorang laki-laki mata keranjang ketika dia memandang kepada Puspa Dewi dengan kagum.
Laki-laki ini bukan lain adalah Ki Warok Surogeni, ayah dari Ratu Mayangsari! Warok Surogeni adalah seorang warok yang terkenal di Wengker dan ditakuti orang, apalagi setelah puterinya, Mayangsari, menjadi permaisuri, isteri Sang Adipati Wengker, mendiang Adipati Adhamapanuda dan kemudian diperisteri Adipati Wengker yang baru, yaitu Adipati Linggawijaya.
Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar, wajahnya serba tebal dan kasar. Pinggangnya terbelit sebatang pecut yang ujungnya dipasangi potongan besi kecil-kecil dan runcing tajam. Inilah Ki Wirobento, seorang warok muda yang menjadi anak buah Warok Surogeni.
Orang ke tiga juga seorang warok muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun, juga bertubuh tinggi besar dan dia menggunakan sabuk kolor merah yang besar dan kuat karena kolor itu merupakan senjata ampuhnya. Dia ini bernama Ki Wirobandrek, adik dari Wirobento.
Ketika Drohawisa yang terluka memberitahu sahabat dan juga gurunya, Ki Wirobento, warok ini menjadi marah akan tetapi juga terkejut bukan main mendengar bahwa yang melukai Drohawisa adalah Puspa Dewi! Wirobento dan Wirobandrek merasa jerih menghadapi Puspa Dewi sendiri, maka mereka lalu melapor dan minta bantuan Warok Surogeni.
Ki Warok Surogeni tentu saja sudah mendengar nama Puspa Dewi sebagai seorang yang dimusuhi Kadipaten Wengker. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dan belum tahu akan kesaktian gadis itu. Biarpun dia mendengar bahwa Puspa Dewi seorang gadis yang sakti mandraguna, namun dia memandang remeh. Sampai di mana sih kehebatan seorang gadis muda? Juga dia mendengar bahwa Puspa Dewi cantik jelita seperti bidadari kahyangan! Maka dia lalu cepat mengajak Wirobento dan Wirobandrek untuk mengikuti Drohawisa sebagai penunjuk jalan, pergi mencari Puspa Dewi di rumah Garino.
Demikianlah, pagi itu mereka bertiga yang mengikuti Drohawisa sebagai penunjuk jalan telah memasuki pekarangan dan tiga orang itu sudah berlompatan turun dari atas kuda dan Drohawisa segera berseru.
"Itulah ia Puspa Dewi!"
Puspa Dewi menghadapi tiga orang itu dengan sikap tenang. Kalau mungkin, ia tidak ingin membuat keributan dan bertanding dengan orang-orang Wengker karena kedatangannya adalah untuk mencari Niken Harni. Ia tidak mempunyai urusan dengan tiga orang ini.
"Benar, aku adalah Puspa Dewi. Andika siapakah dan ada keperluan apa mencari aku di sini?"
Ki Surogeni memandang kagum dan tangan kirinya meraba kumisnya yang tebal.
"Heh, Puspa Dewi. Tentu Andika ini Sekar Kedaton Wura-wuri yang dikabarkan berkhianat itu! Ketahuilah, aku adalah Ki Surogeni, Ayah kandung Dewi Mayangsari, permaisuri Wengker. Dua orang ini pembantuku Wirobento dan Wirobandrek. Kami mendengar bahwa Andika telah melukai anak buah kami Drohawisa, karena itu kami datang menemuimu!"
"Ah, kiranya Andika adalah Ki Surogeni, Ayah dari Dewi Mayangsari! Aku memang memberi hajaran kepada Drohawisa karena dia mengganggu seorang wanita. Aku tidak percaya bahwa sebagai Ayah permaisuri Wengker Andika akan membela seorang penjahat yang menjadi perusak pagar ayu, Ki Surogeni!"
Ki Surogeni menggulung ujung kumisnya dengan ibu jari dan telunjuk kirinya sambil mengerling ke arah Drohawisa yang masih duduk di atas kudanya dengan wajah pucat mendengar ucapan Puspa Dewi tadi.
"Hemrn, kami akan melakukan tindakan kepada anak buah kami kalau dia bersalah, Puspa Dewi. Akan tetapi, engkau telah melanggar wilayah kami, memasuki daerah Wengker tanpa ijin."
"Ki Surogeni, aku memasuki daerah Wengker bukan dengan niat bermusuhan. Aku ke sini untuk mencari Adikku yang bernama Niken Harni. Kebetulan sekali Andika datang. Andika tentu mengetahui di mana adanya Adikku Niken Harni, maka katakanlah kepadaku, di mana ia?"
Tentu saja Ki Surogeni telah mendengar bahwa Niken Harni menjadi tamu di Istana Kadipaten Wengker, walaupun dia tidak tahu bahwa gadis itu kini telah dibawa pergi Nini Bumigarbo.
"Hemm, kiranya Andika mencari Niken Harni? Gadis itu kini menjadi tamu Istana Kadipaten. Akan tetapi karena Andika memasuki wilayah kami tanpa ijin, bahkan begitu datang membuat ribut dalam perkara orang Wengker yang sebenarnya Andika tidak mempunyai hak untuk mencampuri, maka menyerahlah Andika untuk kami tangkap dan kami hadapkan kepada Sang Adipati Wengker"
"Hemm.... aku telah sejak kecil mengenal Linggajaya yang kini menjadi Adipati Wengker. Aku mau kalian antar menghadap dia, akan tetapi sebagai tamu yang hendak mencari Adikku, bukan sebagai tawanan!"
"Puspa Dewi! Andika memandang rendah kepadaku! Aku tidak ingin mempergunakan kekerasan, maka menyerahlah untuk menjadi tangkapanku dan kuhadapkan Sang Adipati."
"Ki Surogeni, sekali lagi kutegaskan. Aku tidak mencari permusuhan, akan tetapi aku juga tidak mau diperhina dan dijadikan tawanan. Baik secara halus maupun kasar, aku tidak mau dijadikan tawanan. Aku akan menghadap Sang Adipati sebagai seorang tamu! Terserah kalau Andika hendak menggunakan cara halus maupun kasar!"
"Andika menantang? Wirobento dan Wirobandrek, kalian tangkap gadis sombong ini!"
Andaikata mereka berdua tidak disertai Warok Surogeni, Wirobento dan Wirobandrek tidak akan berani menyerang Puspa Dewi karena mereka sudah mendengar akan kesaktian gadis itu yang kabarnya memiliki ketangguhan yang setingkat dengan Adipati Linggawijaya sendiri. Akan tetapi karena ada Warok Surogeni di situ, mereka menjadi berani dan mendengar atasan mereka mengeluarkan perintah itu, mereka berdua dengan sikap gagah lalu menerjang maju, menyerang Puspa Dewi dari kanan dan kiri.
Puspa Dewi tidak ingin memberi hati. Begitu dua orang itu menyerangnya dari kanan kiri, ia sudah mendahului gerakan mereka. Tubuhnya melesat ke depan menyambut kedua orang itu dengan tendangan beruntun ke kanan kiri dengan kedua kakinya.
"Wuut... suuuttt... desss! Desss!"
Dua orang jagoan Wengker itu terlempar dan jatuh berguling-guling terkena sambaran kedua kaki Puspa Dewi yang cepat dan mengandung kekuatan dahsyat itu. Mereka terbanting dan merasa pening, juga dada mereka sesak karena tendangan tadi mengenai dada mereka. Puspa Dewi menendang sambil melompat tinggi, kedua kakinya menendang ke kanan kiri dan gerakan ini cepat bukan main sehingga tidak dapat diikuti dengan pandang mata.
Melihat ini, Ki Surogeni menjadi terkejut juga. Dia tahu bahwa memang tingkat kepandaian dua orang anak buahnya itu belum seberapa tinggi, akan tetapi kalau dibandingkan dengan para perajurit biasa, mereka berdua itu sudah termasuk jagoan yang cukup digdaya dan tangguh. Masa, dalam segebrakan saja mereka berdua sudah dapat dirobohkan oleh gadis itu, hal ini membuktikan bahwa gadis itu memang memiliki kesaktian yang luar biasa. Bagaimanapun juga, dia masih memandang rendah. Gadis itu tampak sakti sekali karena dua orang anak buahnya itu yang lemah dan bodoh. Maka dia lalu melangkah maju menghampiri Puspa Dewi dan tersenyum, masih memandang rendah.
"Puspa Dewi, jangan mengira bahwa karena sudah mampu mengalahkan Wirobento dan Wirobandrek, engkau akan dapat merajalela di Kadipaten Wengker. Hanya karena merasa malu melawan seorang gadis muda, maka aku tadi menyuruh dua orang anak buahku itu maju melawanmu. Nah, sekarang aku sendiri maju dan ingin aku melihat sampai di mana tingginya kesaktianmu."
"Ki Surogeni, sekali lagi aku tegaskan bahwa sungguh aku tidak bermaksud mencari permusuhan di Wengker. Aku hanya ingin mencari Adikku Niken Harni. Marilah, kalau Andika hendak mengajak aku pergi menghadap Adipati Linggawijaya, karena memang aku ingin bertemu dengan dia untuk mencari Adikku. Akan tetapi aku hanya mau pergi sebagai seorang tamu, bukan sebagai seorang tawanan."
"Hemm, Puspa Dewi. Sudah lama aku mendengar bahwa Andika seorang gadis yang digdaya dan angkuh. Keangkuhanmu sudah kulihat sekarang, akan tetapi kesaktianmu belum. Sekarang mari kita bertanding mengukur keampuhan aji masing-masing. Kalau Andika mampu mengalahkan aku, barulah aku akan mengiringimu sebagai seorang tamu Kadipaten Wengker. Sebaliknya kalau Andika kalah, Andika akan menjadi tawananku."
Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, seandainya Niken Harni benar-benar berada di Kadipaten Wengker, tentu ia harus siap menghadapi tantangan kekerasan dari Adipati Linggawijaya. Mereka tentu tidak akan mudah begitu saja melepaskan Niken Harni. Maka, tantangan ayah dari Permaisuri Wengker ini harus diterimanya untuk memperlihatkan mereka bahwa ia bersungguh-sungguh ingin membebaskan adik kandungnya itu, dan bahwa ia siap menentang dengan kekerasan kalau Kadipaten Wengker menolak untuk menyerahkan Niken Harni kepadanya.
Keterangan Ki Surogeni bahwa adiknya itu menjadi tamu di Wengker, membuat ia curiga dan khawatir. Niken Harni memasuki Wengker untuk menyelamatkan Nyi Lasmi yang diculik anak buah Ki Suramenggala yang kini kabarnya telah diangkat menjadi seorang Tumenggung di Wengker. Maka, kiranya tidak mungkin kalau Niken Harni diterima sebagai tamu dan diperlakukan dengan baik. Apalagi mengingat bahwa watak Niken Harni amat berani dan galak. Besar kemungkinan adiknya itu menjadi tawanan. Maka ia harus siap melawan dan kalau memang benar kekhawatirannya bahwa Niken Harni tertawan, ia akan menggunakan kekerasan untuk membebaskannya.
Ia tahu bahwa ia berada di gua harimau, berada di Kerajaan Wengker di mana terdapat banyak orang sakti mandraguna dan terdapat banyak sekali Pasukan. Tak mungkin ia seorang diri akan mampu melawan mereka semua. Namun, demi keselamatan Niken Harni, ia siap menghadapi bahaya bagi dirinya sendiri.
"Baik, tantanganmu kuterima, Ki Surogeni..! Aku percaya bahwa ayah seorang permaisuri tidak akan bertindak curang dan melanggar janji. Kalau aku dapat mengalahkan Andika, aku akan berkunjung ke istana Kerajaan Wengker sebagai seorang tamu dan Andika mengantarku."
Diam-diam warok besar itu merasa kagum juga. Gadis ini sungguh memiliki keberanian luar biasa. Seorang diri berani memasuki daerah yang mungkin memusuhinya! Jarang ada orang, bahkan seorang senopati sekalipun mungkin tidak ada yang berani begitu nekat memasuki daerah lawan seorang diri saja, menghadapi kemungkinan dikeroyok puluhan ribu orang pasukan.
Sudah lama dia yang berusia lima puluh tahun hidup menduda. Kalau saja dia dapat memiliki gadis seperti ini menjadi isterinya, wah, alangkah senangnya! Harta dan kedudukan dia sudah tidak butuh lagi karena dia tidak kekurangan harta benda, dan dia adalah ayah mertua Sang Adipati Wengker, berarti kedudukannya sudah tinggi dan dihormati seluruh orang Wengker. Akan tetapi sisihan atau teman hidup yang akan memuaskan hatinya dia belum punya.
Dia dapat setiap saat bersenang-senang dengan wanita yang dipilihnya, namun belum pernah ada seorang wanita secantik Puspa Dewi. Isterinya dulu, ibu kandung Dewi Mayangsari, juga seorang wanita cantik, akan tetapi isterinya itu telah meninggal dunia karena sakit. Tentu saja dia tidak sungguh-sungguh ketika berjanji bahwa dia akan menghadapkan gadis ini sebagai tawanan ke Kadipaten Wengker.
Baru saja dia mendengar bahwa Niken Harni menjadi tamu kadipaten itu dan pada saat ini, baik Sang Adipati Linggawijaya maupun Dewi Mayangsari, tidak berada di istana mereka. Adipati Linggawijaya pergi ke Parang Siluman dan Kerajaan Siluman Laut Kidul untuk mengajak kedua kadipaten itu untuk bekerjasama meruntuhkan Kahuripan. Adapun Dewi Mayangsari juga pergi ke Kerajaan Wura-wuri dengan maksud yang sama.
Empat kerajaan kecil itu hendak mengadakan persekutuan lagi untuk mengulang usaha mereka yang dulu gagal, yaitu membunuh Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama, menghancurkan Kerajaan Kahuripan yang menjadi musuh bebuyutan mereka.
"Puspa Dewi, sebaliknya Andika tentu tidak akan mengingkari janji bahwa kalau Andika kalah, Andika menjadi tawanan dan akan kubawa ke kadipaten."
"Baik, aku telah siap, Ki Surogeni!" kata Puspa Dewi dan gadis ini berdiri tenang dan santai di depan calon lawannya, dalam jarak sekitar tiga tombak.
"Puspa Dewi, sambut ini !" Warok Ki Surogeni mengangkat kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, seluruh tubuhnya tergetar dan bergoyang-goyang, mulutnya meringis dan bibir atasnya bergerak-gerak, lalu terdengar gerengan yang amat dahsyat dan menggetarkan.
Tiga ekor kuda tunggangan mereka meringkik ketakutan, mengangkat kaki depan ke atas lalu melarikan diri keluar dari pekarangan. Bahkan kuda yang ditunggangi Drohawisa juga meringkik ketakutan. Sia-sia saja tangan kiri Drohawisa berusaha menenangkan kuda dengan menarik kendali. Bahkan kuda itu ikut melompat-lompat melarikan diri sehingga tubuh Drohawisa yang masih lemah itu terlempar dari punggung kuda dan terbanting jatuh ke atas tanah!
Itulah Aji Sanghara Macan, yaitu serangan melalui suara yang amat kuat dan mengandung getaran bergelombang yang dapat melumpuhkan lawan, seperti auman harimau yang dapat melumpuhkan korban yang menjadi calon mangsanya. Akan tetapi getaran suara yang dahsyat itu seolah tidak terasa oleh Puspa Dewi, padahal la yang diserang secara langsung. Serangan Itu bagaikan gelombang samudera yang menghantam batu karang, setelah gelombang itu lewat, batu karang masih berdiri tegak. Atau seperti angin badai menerjang bukit karang. Angin lewat, bukit karang tetap tak terpengaruh.
Melihat serangannya dengan Aji Sanghara Macan itu sama sekali tidak mempengaruhi lawan, Ki Surogeni merasa penasaran. Kini dia melompat ke depan dan berseru nyaring, "Sambut seranganku!" Dia sudah menerjang dengan tamparan telapak tangan kirinya, disusul pukulan ke arah perut. Tamparan tangan kiri itu menyambar ke arah kepala Puspa Dewi.
Gadis ini dengan tenang namun lincah sekali mengelak sehingga dua pukulan lawan itu luput. Puspa Dewi membalas dengan dua kali tendangan, namun Ki Surogeni juga dapat menangkis dua tendangan ini lalu menyerang lagi semakin ganas. Terjadilah pertandingan yang seru. Akan tetapi. Puspa Dewi yang pernah menerima gemblengan Sang Maha Resi Satyadharma, kini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Kalau ia menghendaki, ia akan mampu mengalahkan Ki Surogeni dalam waktu yang tidak terlalu lama, yaitu dengan menggunakan aji yang paling ampuh.
Namun, ia tidak ingin membunuh orang, apalagi lawannya ini adalah ayah Dewi Mayangsari permaisuri Wengker. Maka, Puspa Dewi membatasi tenaganya sehingga pertandingan itu berlangsung seru. Akan tetapi diam-diam Ki Surogeni terkejut bukan main dan mulai merasa gentar. Semua serangannya tidak mampu menyentuh ujung baju gadis itu dan setiap serangan gadis itu tak dapat dia elakkan dan terpaksa dia tangkis. Akan tetapi setiap kali lengannya beradu dengan tangan gadis itu ketika dia menangkis, dia merasa lengannya tergetar hebat yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Sebenarnya, Ki Surogeni kini maklum bahwa nama besar Puspa Dewi sebagai seorang gadis yang sakti mandraguna, bukan nama kosong belaka. Akan tetapi untuk mengaku bahwa dia kalah atau takut, dia merasa malu. Dia adalah seorang jagoan warok yang terkenal di Wengker. Masa dia harus mengaku kalah terhadap seorang gadis muda belia ini?
Karena merasa bahwa dalam adu ilmu silat dia akhirnya tentu kalah karena selain kalah kuat tenaga saktinya, juga gerakannya kalah cepat dan lincah, maka tiba-tiba Ki Surogeni melompat ke belakang dan menggunakan aji pukulan mautnya. "Aji Bala Latul!" Ketika kedua tangannya yang terbuka itu mendorong ke arah Puspa Dewi, ada uap panas sekali menyambar ke arah Puspa Dewi.
Melihat aji pukulan yang ampuh ini, Puspa Dewi menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula, akan tetapi ia membatasi tenaganya karena maklum bahwa kalau terlalu kuat ia menyambut pukulan maut Ki Surogeni itu dapat membalik dan mungkin membunuhnya.
"Wuuuuttt.... byarrr....!!"
Tubuh Ki Surogeni terdorong ke belakang sampai dia terhuyung-huyung. Pukulannya membalik dan dia merasa dadanya panas dan sesak, wajahnya pucat dan setelah dapat berdiri tegak dia memejamkan mata dan menarik napas panjang-panjang untuk melindungi dadanya. Kemudian dia membuka matanya memandang kepada Puspa Dewi yang masih berdiri santai dan tersenyum kepadanya.
"Bagaimana, Ki Surogeni? Apakah Andika sekarang mau mengantar aku sebagai tamu yang berkunjung ke Kadipaten Wengker?"
Tentu saja Ki Surogeni tidak dapat menolak dan mengingkari janji. Pula, ini merupakan kesempatan baik baginya untuk membalas kekalahannya. Puterinya, Dewi Mayangsari, sedang tidak berada di istana. Demikian pula Adipati Linggawijaya, mantunya. Akan tetapi di sana terdapat para senopati yang memiliki kepandaian tinggi, terutama sekali Resi Bajrasakti, guru dari Adipati Linggawijaya. Kalau sudah berada di kadipaten dan berhadapan dengan Resi Bajrasakti, maka Sang Resi tentu akan dapat bertindak dan membereskan gadis yang berbahaya ini!
"Andika memang sakti mandraguna dan pantas menjadi tamu Istana Wengker, Puspa Dewi. Mari, kuantar Andika ke sana." Ki Surogeni memberikan kuda yang tadi ditunggangi Drohawisa kepada Puspa Dewi, lalu bersama Wirobento dan Wirobandrek dia mengantar Puspa Dewi menuju ke Kadipaten Wengker. Drohawisa yang ditinggalkan menyumpah-nyumpah, akan tetapi setelah tiga orang atasan itu pergi jauh. Terpaksa dia terpincang-pincang berjalan kaki sambil menahan rasa nyeri pada tangan kanan dan kaki kirinya yang buntung.
Dengan sikap tenang dan angkuh, Puspa Dewi tampak gagah ketika ia memasuki istana Kadipaten Wengker bersama Ki Surogeni. Tentu saja sebelum Puspa Dewi diajak memasuki istana Wengker, lebih dulu Wirobento dan Wirobandrek cepat melaporkan tentang kedatangan Puspa Dewi itu kepada Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala.
Para perajurit pengawal yang berjaga di Istana itu berdiri tegak dalam keadaan siap. Akan tetapi mata mereka memandang penuh kagum dan gentar terhadap gadis cantik jelita yang melangkah tenang di samping Ki Surogeni, memasuki ruangan tamu di sebelah pendapa istana Kadipaten Wengker. Banyaknya perajurit pengawal yang berada di sekitar istana, memenuhi halaman istana yang luas dan berjaga di sepanjang lorong sampai ke pendapa, sama sekali tidak membuat Puspa Dewi merasa gentar.
Sebagai seorang yang pernah menjadi Sekar Kedaton Kerajaan Wura-wuri, Puspa Dewi tentu saja tidak merasa asing dengan kemewahan yang terdapat di istana Wengker itu. Akan tetapi ia pun tahu bahwa banyaknya perajurit pengawal di luar dan dalam istana itu tidaklah wajar. Ia menduga bahwa pihak istana berada dalam keadaan siap siaga dan bahwa istana itu setidaknya bagian pendapa dan ruang tamunya, telah dikepung pasukan!
Pasti Wirobento dan Wirobandrek yang telah memberi laporan dan Linggawijaya yang sekarang menjadi Adipati Linggawijaya itu lelah membuat persiapan! Namun hal ini tidak mambuat hati Puspa Dewi menjadi jerih. Ketika Puspa Dewi dan Ki Surogeni memasuki ruangan tamu yang luas dan mewah itu, di situ telah menunggu Resi Bajrasakti dan Ki Tumenggung Suramenggala. Tentu saja Puspa Dewi mengenal baik dua orang laki-laki tua ini. Ki Suramenggala adalah bekas Lurah Dusun Karang Tirta, bahkan pernah menjadi ayah tirinya karena ibunya menjadi selir bekas lurah ini.
Mengingat bahwa ibu kandungnya baru-baru ini diculik oleh orang-orang Ki Suramenggala, sepasang mata gadis itu memandang kepada Ki Suramenggala dengan kilatan marah. Ki Suramenggala diam-diam bergidik ngeri dan tak dapat bertahan lama beradu pandang, segera ia menundukkan pandang matanya. Kemudian Puspa Dewi menatap wajah Resi Bajarasakti.
Tentu saja ia pun mengenal baik pertapa sesat ini. Kurang lebih tujuh tahun yang lalu, ia pernah diculik dan dilarikan Resi Bajrasakti ini. Akan tetapi kemudian ia terjatuh ke tangan Nyi Dewi Durgakumala, dan sebaliknya Linggawijaya yang diculik Nyi Dewi Durgakumala terjatuh ke tangan Sang Resi Bajrasakti. Kemudian ia menjadi murid Nyi Dewi Durgakumala sedangkan Linggajaya menjadi murid Resi Bajrasakti. Maka ia pun memandang kepada resi itu dengan mata mencorong. Dulu ia masih gadis remaja ketika diculik Resi Bajrasakti dan nyaris menjadi korban kekejian pendeta sesat ini.
Akan tetapi Resi Bajrasakti tersenyum dan berkata, "Selamat datang di Istana Wengker, Ni Puspa Dewi. Silakan duduk!"
Akan tetapi Puspa Dewi tetap berdiri dan ia berkata dengan sikap angkuh dan tegas. "Aku datang berkunjung untuk bertemu dan bicara dengan Adipati Wengker, bukan dengan sembarang orang!"
Tumenggung Suramenggala bangkit berdiri dan berkata dengan wajah tersenyum cerah. "Wahai, Anakku Puspa Dewi yang manis dan gagah perkasa. Apakah engkau tidak mengenal lagi aku, Tumenggung Suramenggala, Ayah tirimu yang menyayangmu?"
Puspa Dewi memandang ke arah bekas ayah tirinya itu dengan pandang mata tajam menusuk. "Ki Suramenggala, tidak perlu Andika banyak cakap lagi! Kalau saja aku belum menemukan kembali Ibuku dalam keadaan selamat, sekarang juga aku pasti sudah turun tangan menghajar Andika!"
Mendengar ucapan Ini, Suramenggala menjadi pucat dan tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Kini Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Puspa Dewi, kalau Andika hendak bertemu dengan Kanjeng Adipati Llnggawljaya, keinginanmu itu sia-sia karena beliau sedang tidak berada di Istana."
Mendengar ucapan Resi Bajrasakti yang nadanya sungguh-sungguh itu, Puspa Dewi menduga bahwa kakek itu tidak berbohong. "Kalau begitu, biarkan aku bertemu dan bicara dengan isterinya, Dewi Mayangsari...!"
"Sayang sekali, juga beliau sedang bepergian, tidak berada di istana." Jawab Resi Bajrasakti. "Akan tetapi, ketahuilah, Puspa Dewi, kalau Andika memang ada kepentingan, Andika dapat membicarakan dengan kami bertiga. Aku adalah wakil Kanjeng Adipati dalam urusan pemerintahan Wengker. Ki Tumenggung Suramenggala ini adalah Ayahanda Kanjeng Adipati sehingga beliau dapat mewakili puteranya. Adapun Ki Surogeni ini adalah Ayahanda Permaisuri Dewi Mayangsari sehingga beliau dapat mewakili puterinya. Nah, kalau kedatangan mu ini membawa urusan penting, kami bertiga dapat mewakili Kanjeng Adipati Llnggawijaya yang Andika tahu juga adalah muridku. Katakanlah, apa yang Andika kehendaki, Puspa Dewi?"
"Hemm, aku tidak mempunyai kepentingan pribadi dengan Andika, Resi Bajrasakti, atau dengan Ki Suramenggaia ataupun Ki Surogeni. Aku hanya Ingin mencari Adikku Niken Harni karena aku tahu bahwa ia memasuki Wengker dan menurut keterangan Ki Surogeni, ia berada di Istana Wengker. Sekarang, kalian katakan di mana Adikku itu. Aku datang tidak dengan niat bermusuhan. Akan tetapi kalau kalian tidak menyerahkan Adikku, atau kalau kalian mengganggu Adikku, aku tidak akan berhenti sebelum membuat Wengker menjadi karang abang (lautan api)..!"
Ucapan Puspa Dewi dikeluarkan dengan suara lembut, namun terdengar kering dan mengerikan. Tiga orang tua itu merasakan betapa dalam suara itu terkandung ancaman-ancaman yang sungguh-sungguh, bukan sekadar gertakan.
"Heh, tenanglah, Puspa Dewi. Sebenarnya, mengingat bahwa Andika adalah murid Nyi Dewi Durgakumala yang kini menjadi Permaisuri Wura-wuri dan Andika dianggap sebagai puterinya dan menjadi Sekar Kedaton Wura-wuri, Andika bukanlah orang luar dan di antara kita ada hubungan. Wura-wuri selalu bersahabat dengan Wengker. Karena itu, marilah kita bicara seperti sahabat dan duduklah, Puspa Dewi."
"Hemm, aku tidak ada urusan dengan Wengker maupun Wura-wuri, Resi Bajrasakti. Katakan saja di mana adanya Niken Harni."
"Hemm,...! kalau Andika tidak mau menganggap kami sebagai kawan, lalu apa artinya Andika bertanya kepada kami? Kalaupun kami menjawabnya, kalau Andika menganggap kami sebagai musuh, Andika bagaimana dapat percaya keterangan kami? Ingat, terhadap musuh orang dapat saja berbohong, sebaliknya terhadap teman tentu orang tidak akan berbohong."
"Sesukamu akan menganggap aku kawan atau lawan, Resi Bajrasakti. Akan tetapi, mengingat bahwa Andika menjadi seorang yang berkedudukan tinggi dan berkuasa di Wengker, dan Andika berada di sarang sendiri sehingga tidak mendapat tekanan dariku, maka mustahil kalau Andika mau merendahkan diri menjadi seorang pengecut yang berbohong. Aku percaya Andika akan bicara sejujurnya tentang adikku Niken Harni."
Wajah Resi Bajrasakti berubah merah, matanya melotot dan dia marah sekali. Memang tidak ada alasan baginya untuk berbohong karena dia tidak takut kepada Puspa Dewi, bahkan dapat dibilang bahwa saat itu dia yang menguasai keadaan dan dapat menangkap bahkan membunuh gadis itu kalau dia kehendaki. Dia marah mendengar Puspa Dewi bersikap demikian berani dan penuh tantangan.
"Huh, aku pun tidak sudi berbohong kepadamu karena aku tidak takut untuk bicara terus terang. Nah, dengarlah, Puspa Dewi. Niken Harni memang pernah menjadi tamu di Istana Wengker, akan tetapi beberapa hari yang lalu ia dibawa pergi oleh Nini Bumigarbo...! Nah,... percaya atau tidak, terserah!"
Sepasang mata Puspa Dewi mencorong dan seolah hendak menembus mata Resi Bajrasakti untuk menjenguk isi hatinya. Ia berkata, "Aku percaya kepada Andika, Resi Bajrasakti. Mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni, dan ke mana Adikku dibawa pergi?"
"Hoa-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa bergelak. "Apakah Andika belum mendengar tentang watak aneh luar biasa dari Nini Bumigarbo, Puspa Dewi? Siapa yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya dan mengapa ia melakukan sesuatu? Ia datang dan membawa pergi Niken Harni, siapa yang dapat melarang dan siapa pula yang dapat bertanya? Dia datang dan pergi begitu saja. Yang kami ketahui hanyalah bahwa Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo. Kalau Andika ingin mengetahui sebabnya, carilah Nini Bumigarbo dan tanyalah sendiri kepadanya..!"
Puspa Dewi mengerutkan alisnya. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama besar Nini Bumigarbo, seorang datuk wanita yang dikabarkan orang sebagai manusia setengah dewa atau setengah iblis yang memiliki kesaktian yang luar biasa. Bahkan ketika ia digembleng Sang Maha Resi Satyadharma, pertapa itu pernah berkata kepadanya bahwa di antara para tokoh sakti pada waktu itu, kiranya yang dapat dianggap paling tinggi ilmu kepandaiannya adalah Sang Bhagawan Ekadenta dan Nini Bumigarbo! Akan tetapi sungguh aneh sekali, mengapa Nini Bumigarbo membawa pergi Niken Harni? Resi Bajrasakti benar ketika berkata bahwa tidak ada yang tahu apa yang dilakukan nenek aneh itu dan mengapa ia melakukannya.
"Hemm, baiklah. Aku percaya keterangan Andika bahwa Adikku itu telah dibawa pergi Nini Bumigarbo, Resi Bajrasakti. Aku akan mencarinya. Akan tetapi, aku teringat bahwa kabarnya Dewi Mayangsari adalah murid Nini Bumigarbo. Tentu ia tahu mengapa dan ke mana Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo."
"Agaknya Andika belum tahu benar siapa Nini Bumigarbo. Bahkan kepada muridnya sendiri pun ia tidak pernah memberitahu. Sepengetahuanku, Kanjeng Puteri Dewi Mayangsari juga tidak tahu ke mana Niken Harni dibawa Nini Bumigarbo."
"Sudahlah, aku tidak ingin merepotkan mu lebih jauh. Aku pamit pergi dan terimakasih atas keteranganmu, Resi Bajrasakti...!" Setelah berkata demikian, Puspa Dewi memutar tubuh dan melangkah keluar dari ruangan tamu.
"Puspa Dewi, engkau sudah berani memasuki Wengker, tidak boleh pergi begitu saja...! Engkau harus tunggu pulangnya Adipati Linggawijaya dan isterinya" kata Ki Suramenggala.
Akan tetapi Puspa Dewi tidak mempedulikan ucapan bekas ayah tirinya itu dan melangkah keluar. Akan tetapi setibanya di pendapa istana, ia melihat ratusan orang perajurit sudah siap siaga dengan senjata tombak, golok, atau pedang di tangan, menutup semua jalan keluar. Bahkan di sana, di halaman yang merupakan alun-alun, masih terdapat sedikitnya seribu orang perjurit.
"Ha-ha-ha-ha!" Resi Bajrasakti tertawa-tawa dan muncul dari dalam ruangan tamu bersama Ki Surogeni dan Tumenggung Suramenggala. Mereka bertiga tertawa-tawa. "Puspa Dewi, Andika tidak boleh pergi sebelum Sang Adipati dan isterinya pulang...! Andaikata Andika bersayap sekalipun, tidak mungkin Andika dapat terbang lolos dari Wengker... ha-ha-ha!"
"Untuk keluar dari Wengker, aku tidak perlu terbang, Resi Bajrasakti...! Haiiitttt....!" Tiba-tiba Puspa Dewi mengeluarkan pekik melengking.
Itulah Aji Jerit Guruh Bairawa dan ia sudah mencabut pedangnya Kyai Candrasa Langking dan memutarnya dengan cepat sambil menerjang ke arah Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni. Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung dibarengi angin dahsyat menyambar-nyambar dan didorong pula oleh getaran pekik yang amat hebat itu.
Resi Bajrasakti cepat melompat ke belakang dan melindungi dirinya dengan pengerahan tenaga sakti sambil mencabut dan memutar cambuknya yang bergagang gading. Juga Ki Surageni yang sudah merasakan kehebatan gadis itu, cepat melompat ke belakang sambil mencabut kerisnya. Akan tetapi ternyata serangan dahsyat dari Puspa Dewi itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu ia sudah menggunakan tangan kirinya untuk menghantam tengkuk Ki Suramenggala yang sama sekali tidak menduganya karena tadi dia tidak diserang.
"Plakk...!"
Tubuh Ki Suramenggala seketika menjadi lemas setengah lumpuh dan dia sama sekail tidak berdaya ketika tangan kiri Puspa Dewi mencengkeram baju tumenggung yang mewah dan tebal itu pada punggungnya. Sambil menempelkan pedang di leher bekas ayah tirinya itu Puspa Dewi menghardik.
"Resi Bajrasakti..! Kalau Andika tidak memerintahkan semua perajurit agar mundur dan tidak boleh mengganggu kepergianku, aku akan memenggal leher Ki Suramenggala ini lebih dulu sebelum aku mengamuk dan menjadikan tempat ini sebagai banjir darah...!"
Tentu saja Ki Suramenggala menjadi terkejut dan ketakutan. Sedikit saja pedang yang menempel di kulit lehernya itu digoreskan, nyawanya tidak akan tertolong lagi dan dia akan mati seperti ayam disembelih. Saking takutnya, tubuhnya yang setengah lumpuh itu menggigil.
"Puspa Dewi... ingat... aku adalah ayahmu... ampunilah aku, jangan bunuh aku, Puspa Dewi...."
Puspa Dewi tidak menjawab, akan tetapi tangan kirinya semakin kuat mencengkeram punggung baju itu sehingga kini leher baju itu mencekik leher Ki Suramenggala sehingga dia menjadi semakin ketakutan.
Resi Bajrasakti dan Ki Surogeni terkejut dan saling pandang. Mereka berdua maklum sepenuhnya bahwa tidak mungkin mereka membiarkan gadis itu membunuh Ki Suramenggala. Kalau tumenggung itu tewas, tentu Adipati Linggawijaya akan marah sekali dan menyalahkan mereka. Gadis itu bukan hanya menggertak kosong.
Sekali pedangnya bergerak, Ki Suramenggala tentu tewas dan kalaupun akhirnya mereka mampu membunuh gadis itu dengan keroyokan ribuan pasukan, yang sudah pasti gadis itu tidak akan roboh sebelum ia membunuh banyak sekali orang. Gertakannya merupakan ancaman yang mengerikan. Akan benar-benar terjadi banjir darah di Wengker kalau mereka tidak menuruti kehendaknya.
"Resi Bajrasakti, bagaimana tanggapan mu? Jangan membuat aku kehilangan kesabaran...!" Bentak Puspa Dewi sambil mendorong Ki Suramenggala keluar dari pendapa.
Para perajurit yang berada paling depan di pendapa itu hanya mengacung-acungkan senjata mereka, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyerang, pertama karena meiihat Ki Tumenggung Suramenggala dijadikan sandera, kedua karena mereka tidak mendapat perintah dari Resi Bajrasakti.
Resi Bajrasakti merasa ngeri sendiri membayangkan ada perajurit yang menyerang Puspa Dewi dan menyebabkan gadis itu membunuh Tumenggung Suramenggala dan mengamuk. Dia lalu berseru nyaring sehingga terdengar oleh semua perajurit, juga oleh mereka yang berkumpul di alun-alun halaman istana.
"Haiiii Para perajurit dan para perwira...! Dengar perintah kami...! Jangan halangi Puspa Dewi keluar dari kota raja!"
Setelah berteriak demikian Resi Bajrasakti berkata kepada Puspa Dewi.
"Nah, Puspa Dewi, Andika boleh pergi, akan tetapi Andika harus memegang janji dan membebaskan Ki Tumenggung Suramenggala."
"Resi Bajrasakti, aku bukan orang yang suka melanggar janji. Biarpun Ki Suramenggala pantas dihukum atas kejahatannya terhadap ibuku, namun aku akan membebaskannya kalau aku sudah terlepas dari kepungan pasukanmu."
Setelah berkata demikian, dengan sikap tenang namun waspada, Puspa Dewi mendorong Ki Suramenggala dan melangkah keluar dari pendapa istana, kemudian terus menyeberangi alun-alun di antara deretan perajurit yang berkumpul di kanan kiri. Para perajurit itu hanya dapat memandang dengan kagum akan tetapi tidak ada yang berani bergerak. Juga ketika Puspa Dewi yang menodong Ki Suramenggala itu keluar dari pintu gerbang kota kadipaten, tidak ada seorang pun berani menghalanginya.
Sebetulnya banyak para perwira dan senopati merasa penasaran karena mereka merasa yakin bahwa apabila mereka diperbolehkan dan maju menyerbu, mustahil gadis itu mampu lolos dari pengeroyokan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit!
Akan tetapi, tentu saja mereka tidak berani melanggar perintah Resi Bajrasakti tadi. Juga mereka semua merasa ngeri, kalau sampai Ki Suramenggala tewas dan mereka dipersalahkan sebagai penyebabnya, tentu Sang Adipati akan marah sekali dan menghukum mereka. Maka, biarpun di situ berkumpul banyak sekali perajurit, tak seorang pun berani bergerak menghalangi gadis yang keluar dari kota Kadipaten Wengker itu.
Setelah tiba di luar kota dan tidak ada lagi perajurit berjaga, Puspa Dewi melepaskan Ki Suramenggala dan berkata, "Ki Suramenggala, kalau Andika berani lagi mengganggu ibuku, aku tidak akan mengampuni mu!"
Setelah berkata demikian, Puspa Dewi melompat jauh dan berlari cepat meninggalkan Ki Suramenggala yang kini dapat bernapas lega. Dia terbebas dari ancaman maut, akan tetapi juga dia merasa kehilangan muka karena tadinya Ki Tumenggung Suramenggala dikenal selain sebagai ayah kandung Sang Adipati Wengker, juga sebagai seorang yang sakti. Maka, dia tidak kembali ke istana, melainkan diam-diam pulang ke rumahnya sendiri.
********************