Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 15
Seperti juga keadaan di Parang Siluman dan dua kerajaan yang lain, para pimpinan Kerajaan Wura-wuri juga mengalami kedukaan dan kekecewaan karena dalam perang melawan Kahuripan itu mereka menderita kekalahan besar. Tiga orang senopati andalan mereka, yaitu Tri Kala yang terdiri dari Kala Muka, Kala Manik, dan Kala Teja, telah tewas dalam pertempuran. Juga mereka kehilangan ribuan orang perajurit. Pimpinan tertinggi di Wura-wuri adalah Adipati Bhismaprabhawa, permaisurinya yaitu Nyi Dewi Durgakumala, dan Senopati Muda Ki Gandarwo.
Setelah menderita kekalahan, kehilangan Tri Kala, Adipati Bhismaprabhawa lalu mengutus Ki Gandarwo untuk mengundang orang pandai agar dapat menggantikan tiga orang Tri Kala yang tewas, dan memperkuat Wura-wuri. Ki Gandarwo segera mengundang lagi kakak seperguruannya, yaitu Cekel Aksomolo. Dahulu, Cekel Aksomolo juga pernah membantu Wura-wuri melalui Ki Gandarwo, akan tetapi dia lalu kembali ke tempat pertapaannya, yaitu di Hutan Werdo, lereng Gunung Wilis. Ketika didatangi Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh satu tahun itu menerima undangan Adipati Wura-wuri dan dia pun ikut bersama Ki Gandarwo menghadap Adipati Wura-wuri.
Cekel Aksomolo yang sakti dan cerdik Itu diterima dengan gembira dan hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan karena Sang Adipati sudah mengetahui kesenangan Cekel Aksomolo, maka pertapa muda ini lalu diberi sebuah rumah mungil Indah dan mewah. Dan tidak lupa, Adipati Bhismaprabhawa menyediakan beberapa orang pemuda perjaka remaja yang tampan wajahnya untuk melayaninya. Pertapa muda yang tinggi kurus bongkok, mukanya seperti Pendeta Durna, dan suaranya tinggi kecil seperti suara wanita ini mempunyai watak yang aneh. Dia sama sekali tidak suka kepada wanita, akan tetapi dia suka sekali kepada pemuda-pemuda remaja yang ganteng yang dia jadikan kekasihnya!
Pada suatu pagi, Adipati Bhismaprabhawa mengadakan persidangan dengan isterinya, Nyi Dewi Durgakumala dan para pembantunya, yaitu Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo, dan beberapa orang perwira pembantu.
Dalam rapat ini, Adipati Bhismaprabhawa menyatakan kekhawatirannya bahwa Kahuripan tentu akan melakukan serangan balasan ke Wura-wuri, padahal Wura-wuri baru saja mengalami kekalahan, banyak perajurit tewas dan sisa para perajurlt menurun semangatnya karena kekalahan itu.
"Kalau Kahuripan menyerang selagi kita berada dalam keadaan lemah seperti sekarang ini, tentu akan berbahaya sekail." Sang Adipati menyatakan kekhawatirannya.
"Hi-hik-he-he-he!" Cekel Aksomolo terkekeh genit lalu berkata dengan suaranya yang seperti wanita. "Gusti Adipati mengapa mengkhawatirkan hal itu? Harap Paduka tenang! Kalau Kahuripan berani menyerang ke sini... ah, hal itu kecil saja! Ada saya, Cekel Aksomolo di sini, dan tangan kakiku, kalau perlu tasbeh dan ganitri (biji tasbeh) saya ini tentu akan membinasakan dan mengusir mereka! Heh-he-he-he!"
Mendengar ucapan yang sombong ini, hati Adipati Bhismaprabhawa bukan menjadi tenang, bahkan dia semakin gelisah. Dia tahu bahwa Cekel Aksomolo memang sakti, akan tetapi kalau sikapnya demikian takaburnya, Sang Adipati meragukan kemampuannya.
Melihat suaminya tampak gelisah, Nyi Dewi Durgakumala berkata dengan nada suara menghibur. "Kakangmas Adipati. Paduka tenanglah. Saya telah memiliki senjata yang ampuh untuk menghadapi Kahuripan. Kalau pasukan Kahuripan menyerang, biasanya yang menjadi Manggala (Pemimpin) Agung tentu Ki Patih Narotama. Paduka tahu bahwa saya dan Ni Lasmini telah berhasil menculik putera Ki Patih Narotama. Dengan adanya puteranya di tangan kita, maka Ki patih Narotama tentu tidak berani menyerang kita. Kita pergunakan anak itu sebagai sandera untuk memaksa Ki Patih Narotama menarik mundur pasukannya dan selanjutnya tidak akan mengganggu kita lagi."
Adipati Bhismaprabhawa mengangguk-angguk, lalu mengerutkan alisnya. "Pendapatmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau yang menjadi Manggala Perang bukan Ki Patih Narotama, melainan Sang Prabu Erlangga sendiri?"
Nyi Dewi Durgakumala menggeleng kepalanya. "Rasanya tidak mungkin Sang Prabu Erlangga memimpin sendiri pasukannya. Biasanya dia tentu mewakilkannya kepada Ki Patih Narotarna. Akan tetapi, andaikata Sang Prabu Erlangga sendiri yang memimpin, tetap saja kita dapat menggunakan Joko Pekik Satyabudhi itu sebagal sandera. Sang Prabu Erlangga amat menyayang dan menghormati Ki Patih Narotarna. Mereka berdua itu tunggal guru dan seperti saudara saja. Tentu dia tidak akan tega mengorbankan putera Ki Patih Narotarna."
"Akan tetapi anak itu sekarang tidak berada di sini. Bukankah tempo hari andika melaporkan bahwa anak itu dipinjam oleh Kerajaan Parang Siluman?" tanya Sang Adipati.
"Benar, Kakangmas. Saya dan Ni Lasmini bersepakat untuk menyembunyikan anak itu di suatu tempat yang tersembunyi dan aman, di perbatasan. Tempo hari Lasmini utusan Ki Nagakumala untuk meminjam dan mengambil Joko Pekik Satyabudhi."
"Kalau begitu sebaiknya kita mengutus orang untuk mengambilnya kembali dan agar untuk semenara anak itu berada di sini sehingga kalau sewaktu-waktu pasukan Kahuripan menyerang, kita dapat mempergunakan anak itu sebagai perisai!"
Nyi Dewi Durgakumala mengangguk dan tersenyum, lalu memandang kepada Ki Gandarwo. "Senopati Gandarwo, Andika berangkatlah ke Kerajaan Parang Siluman, bawalah pesanku kepada Sang Ratu Durgamala dan kedua Puteri Lasmini dan Mandari, juga Ki Nagakumala, bahwa kami di sini membutuhkan kehadiran Joko Pekik Setyabudhi putera Ki Patih Narotama. Bawalah anak itu ke sini dan bawa perajurit secukupnya agar dapat mengawal anak itu sehingga dapat selamat sampai di sini."
Ki Gandarwo, senopati muda tampan yang juga menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala, matur sendika (menaati) dan segera berangkat bersama seregu pasukan ke Parang Siluman. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Ki Gandarwo kembali melaporkan bahwa Parang Siluman tidak dapat menyerahkan Joko Pekik Satyabudhi karena mereka membutuhkan anak itu sendiri. Tentu saja Nyi Dewi Durgakumala menjadi marah sekali.
"Keparat Si Lasmini. Dulu ia hendak membunuh anak itu. Aku yang mempunyai gagasan agar anak itu dijadikan sandera untuk kepentingan Wura-wuri dan Parang Siluman! Akan tetapi sekarang ia hendak menguasainya sendiri untuk kepentingan Parang Siluman! Apa mereka mengira Wura-wuri takut melawan Parang Siluman yang kecil? Kita gempur saja dan minta anak itu dengan kekerasan!" Nyi Dewi Durgakumala berseru marah.
Dengan wajah merah Nyi Dewi Durgakumala sudah bangkit dan hendak mengerahkan pasukan untuk menyerang Parang Siluman, untuk merampas Joko Pekik yang ditahan di Parang Siluman. Akan tetapi suaminya cepat bangkit, memegang pundaknya dan mengajaknya duduk kembali, berkata dengan halus.
"Bersabarlah, Diajeng. Kalau kita menuruti nafsu amarah dan menyerang Parang Siluman, berarti di antara kita terjadi bentrokan sendiri yang akhirnya hanya melemahkan kita. Padahal kita sama-sama terancam oleh Kahuripan."
Para senopati mendukung ucapan Adipati Bhismaprabhawa ini sehingga akhirnya Nyi Dewi Durgakumala mengalah. "Baiklah, Kakangmas Adipati, saya tidak akan menuruti amarah dan menyerang sekutu sendiri, akan tetapi Parang Siluman sungguh mau enaknya sendiri saja. Saya akan mencoba untuk mengancam Narotarna agar dia tidak menyerang kita atau akan membunuh puteranya! Kalau dia tidak percaya dan tetap menyerang, kita harus mempertahankan diri. Untuk itu kita harus memperkuat diri dan saya akan mengundang dua orang kakak seperguruan saya, dua orang saudara kembar yang menjadi datuk-datuk Blambangan, yaitu Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit. Sudah puluhan tahun kami tidak saling jumpa, akan tetapi kalau saya mengirim utusan kesana memanggil mereka, pasti mereka akan datang dan membantu kita. Kedua kakak seperguruan saya itu memiliki kesaktian yang boleh diandalkan."
Adipati Bhismaprabhawa menjadi girang sekali dan Nyi Dewi Durgakumala segera mengirim utusan mengundang dua orang datuk Blambangan itu.
Telah lama kita berpisah dari Nurseta dan sekarang kita ikuti perjalanan pemuda perkasa yang pergi mencari Niken Harni dan Puspa Dewi itu. Pada suatu pagi, Nurseta berjalan memasuki kota Kadipaten Wengker yang sunyi. Pada waktu itu, kota kadipaten itu memang sepi karena ditinggalkan para pimpinan Kadipaten Wengker berikut para perwira pembantu mereka dan memimpin pasukan sebanyak selaksa orang perajurit lebih, bergabung dengan para kadipaten lain melakukan penyerbuan terhadap Kerajaan Kahuripan!
Para perajurit pasukan yang ditinggalkan untuk menjaga kadipaten tidak ada yang mengenal Nurseta, maka pemuda itu dapat memasuki kadipaten dengan aman tanpa ada yang mengganggu, karena Nurseta memakai pakaian sederhana, dan biasa seperti para pemuda lainnya. Karena semua senopati dan perwira dikerahkan untuk ikut dalam pasukan yang menyerang ke Kahuripan, maka yang bertugas menjaga kota kadipaten adalah Tumenggung Suramenggala.
Ki Suramenggala ini diangkat menjadi tumenggung bukan karena kepandaiannya, bukan karena kedigdayaannya yang tidak seberapa, melainkan karena dia adalah ayah kandung Adipati Linggawijaya. Maka dia tidak diikutkan dalam perang. Dasar watak Ki Suramenggala ini memang buruk. Dia sudah sejak mudanya selalu mengagulkan diri sendiri, penuh dikusaai daya rendah nafsu-nafsunya sehingga dirinya sepenuhnya menjadi budak nafsu yang selalu haus akan kesenangan dan mengejar-ngejar kesenangan, tidak pantang bersikap sewenang-wenang.
Maka, kini mendapat kesempatan menjadi penguasa sementara di Wengker, tidak ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya daripada dia, maka dia merasa seolah menjadi raja besar di Kerajaan Wengker. Sama sekali dia tidak ikut prihatin, tidak mendoakan agar penyerangan Wengker ke Kahuripan berhasil. Bahkan setiap hari dia berpesta pora dengan dua orang gadis dayang yang diambilnya dari istana Adipati Linggawijaya dan dijadikan selirnya, penambah kumpulan selirnya yang sudah banyak itu, tanpa menanti kembalinya Adipati Linggawijaya untuk minta persetujuannya.
Pada siang hari itu, selagi dia berpesta pora sambil menonton tarian menggairahkan para penari, minum arak sampai mabok dilayani dua orang selirnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan gedungnya yang mewah menyaingi kemewahan istana kadipaten sendiri. Tumenggung Suramenggala mengerutkan alisnya dan kemarahannya bangkit karena dia merasa terganggu dalam kesenangannya. Menuruti wataknya yang keras dan siap memberi hukuman berat kepada pengganggunya, dia lalu bangkit berdiri meninggalkan dua orang selir barunya itu dan melangkah lebar berjalan keluar. Seorang perajurit pengawal hampir menabraknya.
"Heh, mengapa kamu menabrak-nabrak! Matamu buta, ya?" bentak Tumenggung Suramenggala.
"Ampunkan hamba, Gusti Tumenggung. Di luar ada seorang laki-laki hendak memasuki gedung. Hamba dan kawan kawan sudah melarangnya, akan tetapi dia hendak nekat sehingga terjadi keributan." Perajurit itu melapor.
"Jahanam! Minta mampus dia!" Tumenggung Suramenggala setengah berlari keluar agar dapat cepat menghukum pengacau itu.
Setibanya di pendapa, dia melihat belasan orang perajurit pengawalnya sudah rebah malang melintang dan mengaduh-aduh, ada yang bengkak pipinya, ada yang salah urat, ada yang mulas perutnya, ada pula yang pening kepalanya. Mereka semua baru saja menerima hajaran, tamparan atau tendangan. Tumenggung Suramenggala terkejut dan matanya terbelalak mencari-cari karena dia tidak melihat orang yang membikin kacau di gedungnya.
"Ki Suramenggala, Andika mencariku?" Tiba-tiba ada suara di belakangnya.
Ki Suramenggala cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak kaget ketika dia melihat dan mengenal pemuda yang berdiri tersenyum memandangnya.
"Nurseta...! Engkau..., mau apa kau membikin kacau disini?" Tumenggung Suramenggala sudah menoleh hendak berteriak memanggil bala bantuan, akan tetapi Nurseta cepat berseru.
"Tidak perlu, Ki Suramenggala. Sebelum pasukanmu tiba disini, Andika tentu akan kurobohkan lebih dulu. Aku datang bukan untuk membuat ribut! Aku hanya menuntut agar Andika menjawab sejujurnya. Di mana Niken Harni dan Puspa Dewi yang beberapa waktu yang lalu berkunjung ke sini? Jawab sejujurnya dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!"
Agak lega hati Ki Suramenggala yang tadinya sudah amat ketakutan itu. "Ah, itukah yang engkau tanyakan, Nurseta? Belum lama ini, Puspa Dewi juga datang ke sini menanyakan tentang adiknya yang bernama Niken Harni itu dan aku sudah mernberitahu kepadanya di mana adanya Niken Harni."
"Hemm, katakan kepadaku, Ki Suramenggala, di mana adanya Niken Harni?"!
"Seperti sudah kuberitahukan Puspa Dewi, ketika itu Niken Harni memang menjadi tamu di sini. Akan tetapi pada suatu malam datang Nini Bumigarbo dan nenek sakti itu membawa pergi Niken Harni. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya!"
"Hemm, benarkah keteranganmu itu?"
"Aku bersumpah!"
"Siapa percaya kepada sumpahmu, Ki Suramenggala? Kalau engkau memberi keterangan seperti itu kepada Puspa Dewi, lalu ke mana perginya Puspa Dewi sekarang?"
"Aku tidak tahu, Nurseta. Ia tidak mengatakannya. Setelah mendapat keterangan itu, ia lalu pergi lagi. Aku bersumpah memang begitulah keadaannya, aku tidak berbohong!"
"Sekarang katakan, kemana Niken Harni dibawa pergi oleh Nini Bumigarbo? Aku mendengar bahwa permaisuri Wengker, Dewi Mayangsari, adalah murid Nini Bumigarbo. Nah, tentu kalian tahu di mana tempat tinggal Nini Bumigarbo. Katakan dimana tempat tinggalnya!" Suara Nurseta mengandung ancaman dan Ki Suramenggala yang sudah maklum akan kedigdayaan pemuda itu bergidik.
"Ah, Nurseta. Siapa yang dapat melacak di mana adanya wanita sakti mandraguna seperti Nini Bumigarbo? Hanya aku pernah mendengar Dewi Mayangsari berkata bahwa gurunya itu mempunyai pesanggrahan di puncak Gunung Kelud."
"Biarlah kali ini aku percaya kepadamu, Ki Suramenggala. Akan tetapi kalau ternyata kau bohong, aku akan kembali dan minta pertanggungan jawabmu! Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Nurseta keluar dari situ, dan dia pun melakukan perjalanan cepat menuju ke Gunung Kelud.
Keadaan Wengker yang sunyi tadinya membuat dia merasa heran. Akan tetapi dari seorang perajurit yang dia paksa mengaku dia mendengar bahwa para pimpinan Wengker membawa pasukan besar menyerang Kahuripan. Dia merasa kecewa bahwa dia terlambat untuk ikut mempertahankan Kahuripan dari penyerangan itu, akan tetapi dia merasa bahwa mencari dan menolong Niken Harni dan mungkin juga Puspa Dewi pada saat itu lebih penting.
Mendengar bahwa Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo, dia merasa khawatir sekali. Nenek itu seorang yang luar biasa sekali, sakti mandraguna dan berwatak aneh. Membayangkan Niken Harni berada dalam kekuasaan nenek yang aneh itu, sungguh membuat hatinya khawatir. Apalagi besar kemungkinan Puspa Dewi juga menyusul ke sana. Biarpun dia tahu bahwa Puspa Dewi sakti dan tangguh, namun menghadapi Nini Bumigarbo sulitlah bagi gadis itu untuk mampu menandinginya.
Inilah sebabnya maka Nurseta tetap melakukan pencarian ke Gunung Kelud, walaupun hatinya juga merasa tidak enak dan kecewa bahwa pada saat Kahuripan terancam bahaya penyerangan Wengker, dia tidak dapat membantu dan membela.
Sinar matahari yang mulai menghangat pada pagi hari itu perlahan-lahan mengusir halimun yang enggan meninggalkan bumi. Namun kehangatan sinar matahari mengusik mereka dan dibantu oleh angin pagi pegunungan yang semilir lembut, halimun mulai mengudara dan cuaca mulai menjadi terang. Kokok ayam jantan sudah lama berhenti, juga burung-burung sudah meninggalkan sarang.
Dari puncak Gunung Kelud, pedusunan yang berada di lereng bawah, hanya tampak samar-samar atap rumah itu, akan tetapi pagi ini seperti biasa, asap yang membubung dari atap dapur rumah-rumah itu tampak jelas, menandakan bahwa di sana penghuni dusun mulai sibuk dengan pekerjaan mereka.
Sejak fajar tadi Niken Harni sudah duduk di atas batu yang biasa ia pergunakan untuk duduk bersamadhi. Nini Bumigarbo duduk bersila di atas batu lain tak jauh darinya. Mereka berdua duduk berjajar, menghadapi lereng-lereng di bawah puncak di mana tampak jalan kecil buatan para penduduk pegunungan itu. Jalan itu berliku-liku seperti seekor ular besar yang membelit gunung.
Tiba-tiba Niken Harni menuding ke bawah puncak dan berseru kepada Nira Bumigarbo, "Di sana ada orang mendaki puncak, larinya cepat sekalil"
Suaranya penuh ketegangan karena selama ia digembleng oleh Nini Bumigarbo, tidak pernah ada orang mampu mendaki puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat dalam itu. Dan orang yang berpakaian serba putih itu mendaki dengan cepat sekali, bahkan jurang yang tidak berapa lebar, namun amat lebar bagi orang biasa, dia lompati begitu saja. Gerakannya bagaikan seekor burung garuda, jubah putihnya berkibar membenti sayap. Nini Bumigarbo mengangkat muka memandang dan ia terkekeh.
"Heh-heh-heh, hi-hik! Tentu saja dia dapat berlari cepat!"
"Bibi Bumigarbo, apakah Andika mengenal orang itu? Siapa dia?"
"Seperti Dibya Krendasakti, dia juga seorang sahabatku dua puluh tahun yang lalu. Namanya Wiku Ktut Bumisetra, seorang datuk dari Bali Dwipa." Nini Bumigarbo memandang penuh perhatian, lalu terkekeh lagi dan berkata, "Tidak salah, pasti dia! Ajiannya berlari cepat itu tentu Aji Garuda Anglayang, tidak salah lagil"
Niken Harni mengamati gerakan orang yang mendaki puncak itu dengan pandang mata kagum. Ia sendiri setelah beberapa lamanya digembleng Nini Bumigarbo, masih belum berani naik turun puncak sambil berlari dan berloncatan seperti Itu. Tingkat kepandaian orang itu agaknya tidak berada di bawah tingkat Nini Bumigarbo!
Dan setelah orang itu mencapai lereng di bawah puncak, Niken Harni mulai dapat melihat wajahnya dengan jelas. Orang itu mendaki dari barat sehingga sinar matahari sepenuhnya meneranginya. Kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan kulit coklat kehitaman, rambutnya panjang diikat ke belakang dengan kain putih, tergantung sampai ke bawah punggung. Wajahnya yang kurus itu pentil bekas cacar sehingga tampak aneh, matanya berkilauan dan mengeluarkan sinar berkilat.
Pakaiannya serba putih dengan jubah lebar. Kakinya mengenakan alas kaki dari kulit tebal, tangan kanannya memegang sebatang tongkat berbentuk ular dan pergelangan kedua tangannya terhias akar bahar besar dan hitam. Dengan sebuah lompatan jauh seperti terbang, tubuh kakek itu melayang dan tiba di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni. Begitu berada di depan Nini Bumigarbo dan melihat nenek itu, dia terbelalak, memandang penuh perhatian lalu tertawa terbahak-bahak, dan telunjuk kirinya menuding ke arah Nini Bumigarbo.
"Ha..ha.. ha ..Tidak salah lagi. Engkau pasti Ni Gayatri, kembang Puncak Semeru itu! Lihat, tahi lalat di dagumu itu, pakaian serba hitam itu, dan wajahmu masih tetap ayu! Ha-haha, Dibya Krendasakti tidak salah! Nini Bumigarbo adalah Ni Gayatri yang cantik manis dulu itu. Heh, Ni Gayatri, pangling (lupa) ya kepada seorang di antara para pengagummu ini?"
"Huh, siapa yang lupa kepada orang sepertimu, Ktut Bumi Setra? Jadi engkau bertemu dengan Dibya Krendasakti di Nusa Barung dan dia yang menceritakan kepadamu tentang diriku?"
Kakek itu tanpa dipersilakan duduk di atas batu yang berada di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni. Dia tidak menjawab pertanyaan Nini Bumigarbo karena dia seperti terpesona memandang wajah Niken Harni sampai beberapa lamanya lalu berkata perlahan.
"Wadu-du-duuhh... ini muridmu, Gayatri? Benar Si Dibya Krendasakti. Muridmu ini sungguh ayu manis merak ati, juga berbakat baik sekali! Wah, aku akan senang sekali kalau mempunyai murid seperti ini! Heh-heh-eh-heh!
"Huh, mata keranjangmu itu tidak juga berkurang! Hayo jawab pertanyaanku tadi, Ktut! Engkau berkunjung ke Nusa Barung?"
"Benar, Gayatri dan wah... dasar perutku sedang beruntung, Si Dibya itu agaknya sedang berbahagia sekali. Sepanjang malam dia mengajak aku berpesta pora didampingi isterinya yang semakin cantik saja, dia tertawa-tawa dan bertingkah seperti anak kecil saking senangnya, ha..ha..ha!"
"Paman Ktut Bumi Setra, mengapa Paman Dibya Krendasakti bersenang-senang?" tanya Niken Harni yang ingin tahu sekali.
"Heh? Oh? Lho, engkau sudah mengenal namaku, bocah ayu?"
"Huh, makin tua engkau makin bodoh saja, Ktut! Tadi sudah kusebut namamu tentu saja Niken Harni mengetahui namamu!"
"Waduh! Namanya Niken Harni? Sungguh tepat, namanya sama manisnya dengan orangnya."
"Sudahlah, Paman. Tidak ada gunanya Paman memuji-mujiku. Pertanyaanku tadi belum dijawab!" kata Niken Harni ketus.
"Walah-walah! Sama galaknya dengan gurunya, ha-ha-ha! Baiklah, cah ayu, Si Dibya Krendasakti itu agaknya menjadi muda kembali. Dia begitu mesra dengan isterinya, tampak sekali mereka bermesraan seperti sepasang kekasih remaja, ha-ha. Dan selain itu, dia juga memamerkan hasilnya mengambil Cupu Manik Maya dari kedaton (istana) Kahuripan! Hebat tidak Si Tua Bangka itu?"
"He-he! jadi Si Dibya itu sudah berhasil mengambil Cupu Manik Maya? Bagus, bagus sekali! Ah, Si Erlangga tentu kebingungan seperti kebakaran jenggot, he-he-he!"
"Sang Prabu Erlangga tidak berjenggot Wajahnya bersih halus!" tiba-tiba Niken Harni berseru membelanya.
"Lho! Bagaimana ini? Mengapa guru dan murid berbeda pendapat?" tegur Wiku Ktut Bumi Setra heran.
"Huh, aku benci Erlangga dan Narotama!" kata Nini Bumigarbo sambil cemberut.
"Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah pepundenku (junjunganku)! Sebagai kawula Kahuripan tentu aku membela mereka!" kata pula Niken Harni.
"Ha-ha-ha, kalian lucu. Berbeda pendapat seperti bumi dan langit akan tetapi sama kerasnya seperti batu gunungl" Wiku Ktut Bumi Setra tertawa. "Dibya Krendasakti bercerita banyak. Malam itu dia menyaksikan betapa Kadipaten Kahuripan diserbu banyak tokoh empat kadipaten."
"Ahhh...!" Niken Harni berseru kaget.
"Ha ha, bagus sekali! Lalu bagaimana ceritanya, Ktut?" tanya Nini Bumigarbo dengan wajah berseri.
"Akhirnya muncul Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang berhasil mengusir para penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu telah membunuh banyak perajurit, dan bahkan Dibya Krendasakti sempat melihat putera Patih Narotama dibawa lari oleh para penyerbu."
"Wah, bagus! Bagus sekali!" Nini Bumigarbo berteriak kegirangan.
"Huh, para penyerbu pengecut! Kalah menghadapi orang tuanya, mengapa menculik anak kecil yang tidak tahu apa-apa?" seru Niken Harni penasaran sekali. Ia pernah melihat Joko Pekik Satyabudhi, putera tunggal Ki Patih Narotarna. Anak berusia setahun lebih itu amat lucu dan mungil dan sekarang diculik oleh orang-orang jahat! Agaknya hati Wiku Ktut Bumi Setra senang melihat betapa ceritanya mendatangkan perasaan yang berlawanan pada guru dan murid itu.
"Dalam perjalananku ke sini, aku lewat Kahuripan dan mendengar bahwa baru saja, Kahuripan diserang secara besar-besaran oleh laksaan perajurit dari Wengker, Wurawuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Mereka berempat itu menyerang dari empat jurusan, mengepung Kahuripan!"
"Wah, bagus sekali! Mampus kalian sekarang, murid-murid Resi Satyadharma! He-he-hl-hik!" Nini Bumigarbo tertawa senang.
"Kabarnya terjadi perang besar yang amat hebat, mendatangkan korban beribu-ribu orang di kedua pihak."
"Dan Kahuripan dapat diduduki dan dltaklukkan, Erlangga dan Narotama ditawan atau dibunuh?" tanya Nini Bumigarbo. penuh harapan.
Wiku Ktut Bumi Setra menggeleng kepalanya. "Tidak mudah menundukkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Setelah perang besar yang menjatuhkan banyak korban kedua pihak, kabarnya pasukan Kahuripan dapat memukul mundur semua pasukan keempat kerajaan yang mengepung dan menyerangnya."
"Huh, menyebalkan. Mereka semua tolol, tidak becus!" Nini Bumigarbo mengomel dengan kecewa.
"Horeeee...! Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama memang hebat! Kahuripan amat kuat, siapa yang mampu mengalahkannya?" teriak Niken Harni kegirangan mendengar bahwa Kahuripan menang perang.
Biarpun mereka berdua sudah saling berjanji bahwa Niken Harni tidak akan dibawa dalam permusuhan Nini Bumigarbo terhadap raja dan patih Kahuripan itu, tetap saja Nini Bumigarbo panas hatinya melihat gadis itu kegirangan sedangkan ia sebaliknya merasa kecewa dan marah sekail.
"Huh, kalau saja aku tidak terikat janji dengan Ekadenta, kepala Erlangga dan Narotama tentu sudah kupenggal dari tubuh mereka!"
"Hei, Gayatri! Mengapa engkau begitu membenci Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotarna?" tanya Wiku Ktut Bumi Setra.
Nini Bumigarbo yang sedang jengkel mendengar kegagalan empat kerajaan menundukkan Kahuripan, menjawab ketus.
"Bukan urusanmu! Hemm, Ktut, sebetulnya engkau datang ke sini ada keperluan apakah? Hayo katakan... karena aku tidak suka kalau engkau datang tanpa keperluan apa-apa. Aku tidak suka diganggu!"
"Ho-ho, mengapa engkau bersikap galak terhadap aku, Gayatri? Bukankah sejak dahulu kita bersahabat dan saling bertukar ilmu? Terus terang saja, selama perantauanku ke Nusa Jawa ini, aku belum pernah menemui tandingan yang dapat mengalahkan aku. Maka aku teringat kepadamu dan aku menduga-duga apakah sekarang ilmu kepandaianmu sudah meningkat hebat? Aku ingin sekali menguji kesaktianmu, Gayatri. Itulah keperluanku datang berkunjung ini!"
Tiba-tiba terdengar seruan dari bawah puncak, suaranya nyaring terdengar dari tempat itu.
"Bibi Nini Bumigarbo, maafkan kelancangan saya yang datang berkunjung tanpa diundang!"
Tiga orang itu memandang ke arah suara di bawah puncak dan mereka melihat seorang pemuda mendaki puncak dengan cepat dan mudah, seperti yang dilakukan Wiku Ktut Bumi Setra tadi, ini menandakan bahwa pemuda yang sedang mendaki puncak itu bukan orang sembarangan. Nini Bumigarbo memandang dengan alis berkerut, tanda bahwa hatinya tidak senang menerima kunjungi orang yang tidak diundangnya. Akan tetapi Wiku Ktut Bumi Setra memandang dengan wajah berseri.
"Wah, pemuda itu pantas untuk kuajak menguji kesaktian!"
Tak lama kemudian Nurseta telah berdiri, berhadapan dengan tiga orang yang masih duduk di atas batu itu. Dia sudah pernah melihat Nini Bumigarbo ketika nenek itu bertanding melawan Bhagawan Ekadenta. Akan tetapi dia tidak mengenal kakek yang tinggi kurus bermuka burik (bopeng) berpakaian serba putih, kedua pergelangan tangan dilingkari akar bahar hitam besar dan tangannya memegang sebatang tongkat ular itu. Wajah kakek itu menyeramkan karena matanya mencorong aneh. Ketika dia melihat gadis jelita yang duduk di atas batu memandang kepadanya, Nurseta juga tidak mengenalnya, akan tetapi dia menduga mungkin gadis ini adik Puspa Dewi yang bernama Niken Harni.
"Apakah Andika Nimas Niken Harni, adik Puspa Dewi?" tanyanya dengan lembut sambil memandang gadis itu.
Karena tidak mengenal Nurseta, Niken Harni tidak segera menjawab, melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Nini Bumigarbo berkata dengan ketus.
"Bocah lancang, kalau ia benar Niken Harni, lalu engkau mau apa? Berani engkau datang ke tempatku ini tanpa diundang? Apa engkau sudah bosan hidup?"
Nurseta merangkap kedua tangan di depan dada, memberi sembah dengar hormat ke arah Nini Bumigarbo yang dia tahu merupakan wanita yang disayang oleh Bhagawan Ekadenta, maka patut dihormatinya.
"Bibi yang mulia, saya ulangi lagi permohonan maaf saya bahwa saya telah berani bertindak lancang datang berkunjung tanpa dipanggil. Kedatangan saya menghadap Bibi adalah untuk mohon agar Bibi sudi membebaskan Niken Harni."
"Huh berani engkau mencampuri urusanku? Sudah terlalu tinggi kesaktianmu maka engkau berani menentangku?"
"Maaf, Bibi. Saya sama sekali tidak berani menentang Bibi, saya sebagai orang yang pernah mendapat kebahagiaan menerima pendidikan Bapa Guru Bhagawan Ekadenta, tidak berani kurang ajar terhadap Bibi."
"Hemm, murid Ekadenta?" Nini Bumigarbo meragu.
Tentu saja ia merasa tidak enak kalau harus membunuh murid Ekadenta, apalagi membunuh, melukai berat saja ia merasa sungkan, "Heh, Wiku Ktut, engkau tadi menantang aku. Nah, lawanlah murid Bhagawan Ekadenta ini, kalau engkau dapat menang, baru engkau ada harganya melawan aku!"
Dengan cara ini, Nini Bumigarbo hendak menghukum Nurseta akan tetapi ia lepas tangan. Kalau Nurseta terbunuh atau terluka, Ktut Bumi Setra yang disalahkan, bukan ia! Mendengar ini, Wiku Ktut Bumi Setra bangkit berdiri, turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Nurseta dan berdiri di depan pemuda itu. Dia mengamati wajah pemuda itu dan menyeringai dengan sikap mengejek.
"Orang muda, engkau murid Bhagawan Ekadenta?"
"Saya tidak berani mengaku murid penuh, namun saya pernah menerima petunjuk beliau, Paman."
"Siapa namamu, orang muda?" tanya Wiku Ktut Bumi Setra, agak senang hatinya karena pemuda itu bersikap sopan dan halus.
"Nama saya Nurseta."
Mendengar ini, Niken Harni memandang penuh perhatian. Ia belum pernah bertemu Nurseta, akan tetapi tentu saja ia pernah mendengar namanya. Nama Nurseta ini menjadi buah percakapan para pamong praja di kota raja, bahkan ayah dan kakeknya memuji-muji nama ini. Sekarang pemuda yang terkenal setia dan berjasa terhadap Kahuripan itu datang menempuh bahaya untuk membebaskannya!
"Nurseta. agaknya kita memang berjodoh untuk saling menguji kesaktian. Aku Wiku Ktut Bumi Setra dari Bali-dwip berkunjung ke sini untuk menantang Nini Bumigarbo saling menguji ilmu kepandaian. Dan engkau datang juga menantang Nini Bumigarbo untuk membebaskan Niken Harni. Sekarang Nini Bumigarbo mewakilkan padaku untuk melawanmu. Nah, mari Nurseta, kita main-main sebentar. Ingin aku menguji kesaktian murid Bhagawan Ekadenta!"
Nurseta maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang tua yang sakti mandraguna. Seorang yang sudah berani menantang Nini Bumigarbo sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bersikap hormat, menyembah dan berkata tanpa bermaksud menghindar karena takut.
"Paman Wiku Ktut Bumi Setra, saya datang ke sini bukan untuk menentang atau menantang Bibi Nini Bumigarbo, juga tidak hendak menantang Andika. Saya tidak ingin bermusuhan dengan Andika, Paman."
"Ha-ha-ho-ho-ho! Tidak suka bermusuhan dan merendahkan hati, ciri khas Bhagawan Ekadenta! Akan tetapi, Nurseta, kalau engkau tidak menantangku, sebaliknya akulah yang menantangmu. Hayo!" tantang Wiku Ktut Bumi Setra.
"Saya tidak ingin berkelahi dengan Andika, Paman Wiku."
"Ini bukan berkelahi, melainkan saling menguji ilmu kepandaian" bantah kakek dari Bali itu.
"Huh...! Mengapa Bhagawan Ekadenta mempunyai murid seperti ini? Pengecut dan penakut! Dia tentu akan merasa malu sekali kalau melihat sendiri betapa muridnya ketakutan dan tidak berani menerima tantangan Wiku Ktut Bumi Setra!" kata Nini Bumigarbo dengan suara mengejek.
Tiba-tiba Niken Harni bicara dengan suara nyaring dan mengandung penasaran.
"Wih! Namanya dikenal dan dipuji seluruh orang Kahuripan, akan tetapi nyatanya ditantang seorang kakek kurus saja tidak berani. Sungguh memalukan!"
Mendengar celaan-celaan itu, wajah Nurseta menjadi kemerahan.
"Nurseta, mau atau tidak mau engkau harus melawan aku mengadu kesaktian. Nah, sambutlah seranganku ini!" Setelah berkata demikian, Wiku Ktut Bumi Setra sudah bergerak memutar tongkat ularnya lalu dengan Aji Garuda Anglayang, tubuhnya seolah melayang dan meluncur ke arah Nurseta dan tongkat ularnya itu seolah menjadi ular hidup dan ujungnya menusuk ke arah leher Nurseta! Gerakannya itu selain cepat juga mengandung tenaga dalam yang amat kuat sehingga terdengar bunyi angin bersiutan.
Akan tetapi dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, gerakan Nurseta tidak kalah cepatnya dan dia sudah mengelak sehingga tusukan tongkat ular hitam itu meluncur lewat di samping tubuhnya. Namun Nurseta masih belum mau membalas. Bagaimanapun juga, melawan seorang datuk yang sudah mengenal baik Nini Bumigarbo dan Bhagawan Ekadenta ini, dia merasa agak sungkan.
Akan tetapi agaknya Wiku Ktut Bumi Setra tidak ragu-ragu atau sungkan lagi. Begitu tusukannya luput, kini tangan kirinya menyambar ke arah kepala Nurseta dengan tamparan yang amat dahsyat. Gerakan tangan kiri yang dihias gelang akar bahar hitam itu sedemikian cepatnya sehingga berubah menjadi bayangan hitam menyambar kepala seperti geledek mengancam kepala Nurseta.
Sekali ini Nurseta menggerakkan tangan kanan menangkis tamparan tangan kiri Sang Wiku sambil mengerahkan tenaga sakti karena dia maklum betapa dahsyat tamparan itu, walaupun tampaknya perlahan saja.
"Syuuuttt... plakk...!"
Dua tangan bertemu dan keduanya terpental. Kakek itu terkejut dan dia baru maklum bahwa pemuda ini tidak percuma pernah mendapat pendidikan Bhagawan Ekadenta karena ternyata memiliki tenaga sakti yang mampu menandinginya! Tongkatnya kini sudah menyambar lagi setelah dia mundur dua langkah. Ujung tongkatnya menusuk ke arah ulu hati pemuda itu. Kembali tangan Nurseta bergerak, yang kiri menangkis dari dalam, membuat tongkat itu terpental dan tusukan ke arah ulu hati itu gagal. Nurseta kini merasa sudah tiba saatnya untuk membalas karena kalau mengalah terus dan membiarkan dirinya dihujani serangan hal itu akan merugikan diri sendiri.
Dari samping, kakinya mencuat dan menendang ke arah lutut lawan. Dia masih rikuh (sungkan) untuk menendang perut atau dada, maka yang ditendangnya lutut kanan lawan. Akan tetapi kalau tendangan itu mengenai sasaran, mungkin sambungan tulang pada lutut akan terlepas! Akan tetapi dengan sigapnya Wiku Ktut Bumi Setra melompat ke belakang menghindarkan lututnya dari ancaman tendangan. Kemudian dia menerjang lagi dan mengerahkan tongkat lebih cepat sehingga tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam.
Nurseta adalah seorang pemuda yang mendapat gemblengan dari gurunya, mendiang Empu Dewamurti, kemudian selama tiga bulan dia menerima petunjuk-petunjuk dari Bhagawan Ekadenta. Selama ini, Nurseta tidak pernah mempergunakan senjata, melainkan hanya mengandalkan kecepatan gerak tubuhnya dan keampuhan dua pasang kaki tangannya.
Maka, keris pusaka Kyai Kolomisani pemberian Ki Patih Narotarna hanya terselip di pinggangnya dan hampir tidak pernah dia menggunakannya. Sekarang pun, biar menghadapi serangan bertubi dari Sang Wiku yang bersenjatakan sebatang tongkat ular hitam, dia pun hanya mengandalkan kaki tangannya untuk mengelak, menangkis, dan membalas serangan lawan.
Akan tetapi karena lawannya itu memang seorang datuk dari Bali-dwipa yang amat tangguh, maka Nurseta harus mengerahkan seluruh tenaga dan tak pernah melepaskan gerakan dari Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti angin, dan menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih). Kedua lengannya seperti sayap bangau menangkis atau menampar, kedua kakinya seperti kaki bangau yang menendang-nendang, dan terkadang jari tangannya seperti paruh bangau yang menotok dan menusuk.
Pertandingan berjalan seru. Mereka saling bertukar serangan, saling tendang dan tangkis. Tubuh mereka seolah menjadi dua bayangan yang bergerak cepat diselimuti gulungan sinar hitam dan tongkat yang dimainkan Wiku Ktut Bum Setra.
Kini Niken Harni memandang dengan sepasang mata yang tak pernah berkedip dan kagum. Ia menyaksikan pertandingan adu kesaktian tingkat tinggi yang menegangkan. Ia sendiri agak sukar mengikuti gerakan dua orang itu dan ia melihat Nini Bumigarbo juga menonton pertandingan dan beberapa kali gurunya itu mengangguk-angguk seperti orang memuji. Semakin kuat dorongan hasrat hati Niken Harni untuk mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Nini Bumigarbo. Ia tidak dapat menilai siapa yang lebih unggul dan tidak tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Setelah kurang lebih setengah jam mereka bertanding, saling serang dan mengeluarkan semua jurus yang mereka kuasai, namun belum juga dapat mengalahkan lawan, Wiku Ktut Bumi Setra menjadi penasaran juga. Segala gerak tipu ilmu silat telah dia pergunakan, semua tenaga sakti telah dia kerahkan, namun dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak dapat.
Biarpun sudah tiga kali sebuah tamparan tangan kirinya dan dua kali hantaman tongkat ularnya menyerempet tubuh pemuda itu, namun hal itu seolah tidak dirasakan oleh Nurseta yang melindungi dirinya dengan kekebalan. Dia sendiri juga menerima dua kali tamparan Nurseta yang mengenai pundak dan pangkal lengannya, namun juga tidak membuatnya goyah karena dia melindungi bagian yang terpukul dengan kekebalan.
"Tahan dulu...!" Seru Wiku Ktut Bumi Setra.
Ketika Nurseta menghentikan gerakannya, Sang Wiku melompat ke belakang. Dia menahan diri agar tidak tampak betapa napasnya mulai terengah-engah. Biarpun dia tidak terdesak atau kalah, usia tuanya membuat daya tahan tubuhnya kurang kuat.
"Terima kasih, Paman Wiku. Memang sebaiknya kalau kita sudahi saja pertandingan yang tidak ada gunanya ini." Kata Nurseta agak lega. Dia tidak ingin melukai Sang Wiku, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin dirinya dilukai.
"Nurseta, dalam pertandingan tadi, ternyata engkau tidak mengecewakan menjadi murid Bhagawan Ekadenta..."
"Paman Wiku,... guru saya adalah mendiang Empu Dewamurti, adapun Paman Bhagawan Ekadenta hanya memberi petunjuk selama beberapa waktu saja."
"Bagus, Empu Dewamurti juga seorang pertapa yang sakti mandraguna. Aku pernah mendengar nama besarnya. Bukankah dia dahulu bertapa di Gunung Arjuna? Akan tetapi, Nurseta, dalam pertandingan tadi aku belum kalah. Sekarang, cobalah engkau sambut serangan ilmu sihirku!"
Nurseta tidak dapat membujuknya lagi dan pemuda ini pun tahu bahwa dia harus waspada karena lawannya bukanlah orang sembarangan. Biarpun dia percaya bahwa Wiku Ktut Bumi Setra tidak berniat untuk mencelakainya melainkan hanya hendak menguji ilmu, namun serangannya dapat mencelakakan kalau dia tidak waspada dan benar-benar mencurahkan perhatian dan kekuatannya untuk membela diri.
Kini Wiku Ktut Bumi Setra berdiri tegak, kepalanya ditundukkan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra, kemudian tubuhnya menggetar dan dia mengangkat mukanya memandang kepada Nurseta, matanya mencorong berkilat, tangan kanan yang memegang tongkat diangkat ke atas. Lalu terdengar suaranya, lirih namun mengandung gema yang menggetarkan jantung, "Nurseta, lawanlah Si Naga Langking ini!"
Tiba-tiba saja muncul kabut atau semacam asap tebal berwarna kelabu bergerak perlahan dari datuk Bali itu kearah Nurseta, dibarengi datangnya angin seperti badai dan muncul pula kilat geledek bergemuruh menyambar-nyambar ke arah Nurseta! Kemudian, tongkat di tangan Sang Wiku seolah hidup dan terbang dari tangan yang memegangnya, kini menjadi besar, merupakan seekor ular atau naga sebesar paha manusia dewasa, mulutnya menyemburkan api, mendengus-dengus dengan dahsyatnya, terbang meluncur ke arah Nurseta!
Nurseta melipat kedua lengan depan dada, dan perlahan-lahan tubuhnya semakin kabur seolah perlahan-lahan lenyap dan hanya tampak bayangannya saja, itu pun samar-samar.
"Hemm, bocah itu telah menguasai Aji Sirna Sarira!" seru Nini Bumigarbo lirih namun suaranya mengandung kekaguman. Sepengetahuannya, hanya ada beberapa orang saja yang menguasai aji kesaktian ini dan di antara mereka, termasuk ia dan Bhagawan Ekadenta!
"Ho-ha! Ajimu itu tidak dapat menghindar dari serangan maut Naga Langking!" teriak Wiku Ktut ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk memperkuat ciptaan sihirnya itu.
Naga hitam itu menyambar dan api yang dihembuskan dari mulutnya itu berkobar menyerang bayangan Nurseta! Nurseta terkejut juga melihat betapa naga hitam jadi-jadian itu demikian kuatnya sehingga masih mampir menyerangnya walaupun dia telah bersembunyi dengan Aji Sirna Sarira. Maka, dia pun menyambut serangan naga hitam yang menyemburkan api itu dengan mengerahkan tenaga sakti dan mendorongkan kedua tangan ke depan.
"Wuuuttt.... blarrrr...!"
Hawa pukulan yang amat dahsyat keluar dari sepasang tangan Nurseta, bertemu dengan naga hitam itu. Naga hitam terpental dan bunga api yang amat besar berpijar-pijar, akan tetapi naga hitam itu segera membalik dan menyerang lagi lebih dahsyat.
Terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali naga hitam itu bertemu dengan pukulan jarak jauh sehingga terdengar ledakan-ledakan, namun hantaman pukulan sakti Nurseta belum juga dapat mengalahkan naga hitam itu. Ternyata dalam adu tenaga sakti kekuatan mereka juga selmbang. Mungkin Wiku Ktut Bumi Setra lebih kuat sedikit, akan tetapi kembali unsur usia memegang peran penting dalam kekuatan tubuh manusia, terutama dalam daya tahan.
Setelah berkali-kali mengadu tenaga sakti, mulailah Wiku Ktut Bumi Setra terengah-engah dan wajahnya agak pucat, dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih! Sementara itu, biarpun Nurseta juga sudah bermandi keringat, namun dia masih tegar dan napasnya masih biasa. Akhirnya Sang Wiku menyadari bahwa dia harus tunduk terhadap ketuaannya sendiri dan dia maklum bahwa kalau adu tenaga sakti itu dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka. Mengadu tenaga sakti jarak jauh seperti ini jauh lebih menguras tenaga daripada adu tenaga melalui kaki tangan.
Padahal Nurseta hanya menangkis saja, tidak pernah balas menyerang. Hal ini sudah menunjukkan bahwa pemuda Itu tidak mempunyai niat untuk bermusuhan. Akan tetapi walaupun hanya menangkis, tetap saja mereka berdua menggunakan tenaga yang sama besarnya dan sama melelahkan. Tiba-tiba Wiku Ktut Bumi Setra menghentikan Ilmu sihirnya dan naga hitam itu melayang ke tangannya dan berubah menjadi tongkat ular hitam lagi. Kabut hitam dan angin pun berhenti dan cuaca terang kembali.
Wiku Ktut Bumi Setra menggunakan kain jubahnya untuk menghapus keringat dari muka dan lehernya, mengatur pernapasannya, lalu berkata, "Nurseta, engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah dan kalau sekali ini engkau mampu menandingi aji pamungkasku, barulah aku mengaku kalah!"
Nurseta diam saja karena dia maklum bahwa mencegah atau membujuk kakek yang keras hati dan suka bertanding ini akan percuma saja. Dia hanya siap untuk melayani lawan yang amat tangguh ini, menunggu dan waspada memperhatikan apa yang hendak dilakukan lawan yang belum mau mengaku kalah itu...
Setelah menderita kekalahan, kehilangan Tri Kala, Adipati Bhismaprabhawa lalu mengutus Ki Gandarwo untuk mengundang orang pandai agar dapat menggantikan tiga orang Tri Kala yang tewas, dan memperkuat Wura-wuri. Ki Gandarwo segera mengundang lagi kakak seperguruannya, yaitu Cekel Aksomolo. Dahulu, Cekel Aksomolo juga pernah membantu Wura-wuri melalui Ki Gandarwo, akan tetapi dia lalu kembali ke tempat pertapaannya, yaitu di Hutan Werdo, lereng Gunung Wilis. Ketika didatangi Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo yang berusia sekitar tiga puluh satu tahun itu menerima undangan Adipati Wura-wuri dan dia pun ikut bersama Ki Gandarwo menghadap Adipati Wura-wuri.
Cekel Aksomolo yang sakti dan cerdik Itu diterima dengan gembira dan hormat oleh Adipati Bhismaprabhawa dan karena Sang Adipati sudah mengetahui kesenangan Cekel Aksomolo, maka pertapa muda ini lalu diberi sebuah rumah mungil Indah dan mewah. Dan tidak lupa, Adipati Bhismaprabhawa menyediakan beberapa orang pemuda perjaka remaja yang tampan wajahnya untuk melayaninya. Pertapa muda yang tinggi kurus bongkok, mukanya seperti Pendeta Durna, dan suaranya tinggi kecil seperti suara wanita ini mempunyai watak yang aneh. Dia sama sekali tidak suka kepada wanita, akan tetapi dia suka sekali kepada pemuda-pemuda remaja yang ganteng yang dia jadikan kekasihnya!
Pada suatu pagi, Adipati Bhismaprabhawa mengadakan persidangan dengan isterinya, Nyi Dewi Durgakumala dan para pembantunya, yaitu Ki Gandarwo, Cekel Aksomolo, dan beberapa orang perwira pembantu.
Dalam rapat ini, Adipati Bhismaprabhawa menyatakan kekhawatirannya bahwa Kahuripan tentu akan melakukan serangan balasan ke Wura-wuri, padahal Wura-wuri baru saja mengalami kekalahan, banyak perajurit tewas dan sisa para perajurlt menurun semangatnya karena kekalahan itu.
"Kalau Kahuripan menyerang selagi kita berada dalam keadaan lemah seperti sekarang ini, tentu akan berbahaya sekail." Sang Adipati menyatakan kekhawatirannya.
"Hi-hik-he-he-he!" Cekel Aksomolo terkekeh genit lalu berkata dengan suaranya yang seperti wanita. "Gusti Adipati mengapa mengkhawatirkan hal itu? Harap Paduka tenang! Kalau Kahuripan berani menyerang ke sini... ah, hal itu kecil saja! Ada saya, Cekel Aksomolo di sini, dan tangan kakiku, kalau perlu tasbeh dan ganitri (biji tasbeh) saya ini tentu akan membinasakan dan mengusir mereka! Heh-he-he-he!"
Mendengar ucapan yang sombong ini, hati Adipati Bhismaprabhawa bukan menjadi tenang, bahkan dia semakin gelisah. Dia tahu bahwa Cekel Aksomolo memang sakti, akan tetapi kalau sikapnya demikian takaburnya, Sang Adipati meragukan kemampuannya.
Melihat suaminya tampak gelisah, Nyi Dewi Durgakumala berkata dengan nada suara menghibur. "Kakangmas Adipati. Paduka tenanglah. Saya telah memiliki senjata yang ampuh untuk menghadapi Kahuripan. Kalau pasukan Kahuripan menyerang, biasanya yang menjadi Manggala (Pemimpin) Agung tentu Ki Patih Narotama. Paduka tahu bahwa saya dan Ni Lasmini telah berhasil menculik putera Ki Patih Narotama. Dengan adanya puteranya di tangan kita, maka Ki patih Narotama tentu tidak berani menyerang kita. Kita pergunakan anak itu sebagai sandera untuk memaksa Ki Patih Narotama menarik mundur pasukannya dan selanjutnya tidak akan mengganggu kita lagi."
Adipati Bhismaprabhawa mengangguk-angguk, lalu mengerutkan alisnya. "Pendapatmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi bagaimana kalau yang menjadi Manggala Perang bukan Ki Patih Narotama, melainan Sang Prabu Erlangga sendiri?"
Nyi Dewi Durgakumala menggeleng kepalanya. "Rasanya tidak mungkin Sang Prabu Erlangga memimpin sendiri pasukannya. Biasanya dia tentu mewakilkannya kepada Ki Patih Narotarna. Akan tetapi, andaikata Sang Prabu Erlangga sendiri yang memimpin, tetap saja kita dapat menggunakan Joko Pekik Satyabudhi itu sebagal sandera. Sang Prabu Erlangga amat menyayang dan menghormati Ki Patih Narotarna. Mereka berdua itu tunggal guru dan seperti saudara saja. Tentu dia tidak akan tega mengorbankan putera Ki Patih Narotarna."
"Akan tetapi anak itu sekarang tidak berada di sini. Bukankah tempo hari andika melaporkan bahwa anak itu dipinjam oleh Kerajaan Parang Siluman?" tanya Sang Adipati.
"Benar, Kakangmas. Saya dan Ni Lasmini bersepakat untuk menyembunyikan anak itu di suatu tempat yang tersembunyi dan aman, di perbatasan. Tempo hari Lasmini utusan Ki Nagakumala untuk meminjam dan mengambil Joko Pekik Satyabudhi."
"Kalau begitu sebaiknya kita mengutus orang untuk mengambilnya kembali dan agar untuk semenara anak itu berada di sini sehingga kalau sewaktu-waktu pasukan Kahuripan menyerang, kita dapat mempergunakan anak itu sebagai perisai!"
Nyi Dewi Durgakumala mengangguk dan tersenyum, lalu memandang kepada Ki Gandarwo. "Senopati Gandarwo, Andika berangkatlah ke Kerajaan Parang Siluman, bawalah pesanku kepada Sang Ratu Durgamala dan kedua Puteri Lasmini dan Mandari, juga Ki Nagakumala, bahwa kami di sini membutuhkan kehadiran Joko Pekik Setyabudhi putera Ki Patih Narotama. Bawalah anak itu ke sini dan bawa perajurit secukupnya agar dapat mengawal anak itu sehingga dapat selamat sampai di sini."
Ki Gandarwo, senopati muda tampan yang juga menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala, matur sendika (menaati) dan segera berangkat bersama seregu pasukan ke Parang Siluman. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Ki Gandarwo kembali melaporkan bahwa Parang Siluman tidak dapat menyerahkan Joko Pekik Satyabudhi karena mereka membutuhkan anak itu sendiri. Tentu saja Nyi Dewi Durgakumala menjadi marah sekali.
"Keparat Si Lasmini. Dulu ia hendak membunuh anak itu. Aku yang mempunyai gagasan agar anak itu dijadikan sandera untuk kepentingan Wura-wuri dan Parang Siluman! Akan tetapi sekarang ia hendak menguasainya sendiri untuk kepentingan Parang Siluman! Apa mereka mengira Wura-wuri takut melawan Parang Siluman yang kecil? Kita gempur saja dan minta anak itu dengan kekerasan!" Nyi Dewi Durgakumala berseru marah.
Dengan wajah merah Nyi Dewi Durgakumala sudah bangkit dan hendak mengerahkan pasukan untuk menyerang Parang Siluman, untuk merampas Joko Pekik yang ditahan di Parang Siluman. Akan tetapi suaminya cepat bangkit, memegang pundaknya dan mengajaknya duduk kembali, berkata dengan halus.
"Bersabarlah, Diajeng. Kalau kita menuruti nafsu amarah dan menyerang Parang Siluman, berarti di antara kita terjadi bentrokan sendiri yang akhirnya hanya melemahkan kita. Padahal kita sama-sama terancam oleh Kahuripan."
Para senopati mendukung ucapan Adipati Bhismaprabhawa ini sehingga akhirnya Nyi Dewi Durgakumala mengalah. "Baiklah, Kakangmas Adipati, saya tidak akan menuruti amarah dan menyerang sekutu sendiri, akan tetapi Parang Siluman sungguh mau enaknya sendiri saja. Saya akan mencoba untuk mengancam Narotarna agar dia tidak menyerang kita atau akan membunuh puteranya! Kalau dia tidak percaya dan tetap menyerang, kita harus mempertahankan diri. Untuk itu kita harus memperkuat diri dan saya akan mengundang dua orang kakak seperguruan saya, dua orang saudara kembar yang menjadi datuk-datuk Blambangan, yaitu Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit. Sudah puluhan tahun kami tidak saling jumpa, akan tetapi kalau saya mengirim utusan kesana memanggil mereka, pasti mereka akan datang dan membantu kita. Kedua kakak seperguruan saya itu memiliki kesaktian yang boleh diandalkan."
Adipati Bhismaprabhawa menjadi girang sekali dan Nyi Dewi Durgakumala segera mengirim utusan mengundang dua orang datuk Blambangan itu.
********************
Telah lama kita berpisah dari Nurseta dan sekarang kita ikuti perjalanan pemuda perkasa yang pergi mencari Niken Harni dan Puspa Dewi itu. Pada suatu pagi, Nurseta berjalan memasuki kota Kadipaten Wengker yang sunyi. Pada waktu itu, kota kadipaten itu memang sepi karena ditinggalkan para pimpinan Kadipaten Wengker berikut para perwira pembantu mereka dan memimpin pasukan sebanyak selaksa orang perajurit lebih, bergabung dengan para kadipaten lain melakukan penyerbuan terhadap Kerajaan Kahuripan!
Para perajurit pasukan yang ditinggalkan untuk menjaga kadipaten tidak ada yang mengenal Nurseta, maka pemuda itu dapat memasuki kadipaten dengan aman tanpa ada yang mengganggu, karena Nurseta memakai pakaian sederhana, dan biasa seperti para pemuda lainnya. Karena semua senopati dan perwira dikerahkan untuk ikut dalam pasukan yang menyerang ke Kahuripan, maka yang bertugas menjaga kota kadipaten adalah Tumenggung Suramenggala.
Ki Suramenggala ini diangkat menjadi tumenggung bukan karena kepandaiannya, bukan karena kedigdayaannya yang tidak seberapa, melainkan karena dia adalah ayah kandung Adipati Linggawijaya. Maka dia tidak diikutkan dalam perang. Dasar watak Ki Suramenggala ini memang buruk. Dia sudah sejak mudanya selalu mengagulkan diri sendiri, penuh dikusaai daya rendah nafsu-nafsunya sehingga dirinya sepenuhnya menjadi budak nafsu yang selalu haus akan kesenangan dan mengejar-ngejar kesenangan, tidak pantang bersikap sewenang-wenang.
Maka, kini mendapat kesempatan menjadi penguasa sementara di Wengker, tidak ada orang lain yang lebih tinggi kedudukannya daripada dia, maka dia merasa seolah menjadi raja besar di Kerajaan Wengker. Sama sekali dia tidak ikut prihatin, tidak mendoakan agar penyerangan Wengker ke Kahuripan berhasil. Bahkan setiap hari dia berpesta pora dengan dua orang gadis dayang yang diambilnya dari istana Adipati Linggawijaya dan dijadikan selirnya, penambah kumpulan selirnya yang sudah banyak itu, tanpa menanti kembalinya Adipati Linggawijaya untuk minta persetujuannya.
Pada siang hari itu, selagi dia berpesta pora sambil menonton tarian menggairahkan para penari, minum arak sampai mabok dilayani dua orang selirnya yang baru, tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan gedungnya yang mewah menyaingi kemewahan istana kadipaten sendiri. Tumenggung Suramenggala mengerutkan alisnya dan kemarahannya bangkit karena dia merasa terganggu dalam kesenangannya. Menuruti wataknya yang keras dan siap memberi hukuman berat kepada pengganggunya, dia lalu bangkit berdiri meninggalkan dua orang selir barunya itu dan melangkah lebar berjalan keluar. Seorang perajurit pengawal hampir menabraknya.
"Heh, mengapa kamu menabrak-nabrak! Matamu buta, ya?" bentak Tumenggung Suramenggala.
"Ampunkan hamba, Gusti Tumenggung. Di luar ada seorang laki-laki hendak memasuki gedung. Hamba dan kawan kawan sudah melarangnya, akan tetapi dia hendak nekat sehingga terjadi keributan." Perajurit itu melapor.
"Jahanam! Minta mampus dia!" Tumenggung Suramenggala setengah berlari keluar agar dapat cepat menghukum pengacau itu.
Setibanya di pendapa, dia melihat belasan orang perajurit pengawalnya sudah rebah malang melintang dan mengaduh-aduh, ada yang bengkak pipinya, ada yang salah urat, ada yang mulas perutnya, ada pula yang pening kepalanya. Mereka semua baru saja menerima hajaran, tamparan atau tendangan. Tumenggung Suramenggala terkejut dan matanya terbelalak mencari-cari karena dia tidak melihat orang yang membikin kacau di gedungnya.
"Ki Suramenggala, Andika mencariku?" Tiba-tiba ada suara di belakangnya.
Ki Suramenggala cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak kaget ketika dia melihat dan mengenal pemuda yang berdiri tersenyum memandangnya.
"Nurseta...! Engkau..., mau apa kau membikin kacau disini?" Tumenggung Suramenggala sudah menoleh hendak berteriak memanggil bala bantuan, akan tetapi Nurseta cepat berseru.
"Tidak perlu, Ki Suramenggala. Sebelum pasukanmu tiba disini, Andika tentu akan kurobohkan lebih dulu. Aku datang bukan untuk membuat ribut! Aku hanya menuntut agar Andika menjawab sejujurnya. Di mana Niken Harni dan Puspa Dewi yang beberapa waktu yang lalu berkunjung ke sini? Jawab sejujurnya dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!"
Agak lega hati Ki Suramenggala yang tadinya sudah amat ketakutan itu. "Ah, itukah yang engkau tanyakan, Nurseta? Belum lama ini, Puspa Dewi juga datang ke sini menanyakan tentang adiknya yang bernama Niken Harni itu dan aku sudah mernberitahu kepadanya di mana adanya Niken Harni."
"Hemm, katakan kepadaku, Ki Suramenggala, di mana adanya Niken Harni?"!
"Seperti sudah kuberitahukan Puspa Dewi, ketika itu Niken Harni memang menjadi tamu di sini. Akan tetapi pada suatu malam datang Nini Bumigarbo dan nenek sakti itu membawa pergi Niken Harni. Tidak ada seorang pun yang berani menentangnya!"
"Hemm, benarkah keteranganmu itu?"
"Aku bersumpah!"
"Siapa percaya kepada sumpahmu, Ki Suramenggala? Kalau engkau memberi keterangan seperti itu kepada Puspa Dewi, lalu ke mana perginya Puspa Dewi sekarang?"
"Aku tidak tahu, Nurseta. Ia tidak mengatakannya. Setelah mendapat keterangan itu, ia lalu pergi lagi. Aku bersumpah memang begitulah keadaannya, aku tidak berbohong!"
"Sekarang katakan, kemana Niken Harni dibawa pergi oleh Nini Bumigarbo? Aku mendengar bahwa permaisuri Wengker, Dewi Mayangsari, adalah murid Nini Bumigarbo. Nah, tentu kalian tahu di mana tempat tinggal Nini Bumigarbo. Katakan dimana tempat tinggalnya!" Suara Nurseta mengandung ancaman dan Ki Suramenggala yang sudah maklum akan kedigdayaan pemuda itu bergidik.
"Ah, Nurseta. Siapa yang dapat melacak di mana adanya wanita sakti mandraguna seperti Nini Bumigarbo? Hanya aku pernah mendengar Dewi Mayangsari berkata bahwa gurunya itu mempunyai pesanggrahan di puncak Gunung Kelud."
"Biarlah kali ini aku percaya kepadamu, Ki Suramenggala. Akan tetapi kalau ternyata kau bohong, aku akan kembali dan minta pertanggungan jawabmu! Selamat tinggal!" Setelah berkata demikian, Nurseta keluar dari situ, dan dia pun melakukan perjalanan cepat menuju ke Gunung Kelud.
Keadaan Wengker yang sunyi tadinya membuat dia merasa heran. Akan tetapi dari seorang perajurit yang dia paksa mengaku dia mendengar bahwa para pimpinan Wengker membawa pasukan besar menyerang Kahuripan. Dia merasa kecewa bahwa dia terlambat untuk ikut mempertahankan Kahuripan dari penyerangan itu, akan tetapi dia merasa bahwa mencari dan menolong Niken Harni dan mungkin juga Puspa Dewi pada saat itu lebih penting.
Mendengar bahwa Niken Harni dibawa pergi Nini Bumigarbo, dia merasa khawatir sekali. Nenek itu seorang yang luar biasa sekali, sakti mandraguna dan berwatak aneh. Membayangkan Niken Harni berada dalam kekuasaan nenek yang aneh itu, sungguh membuat hatinya khawatir. Apalagi besar kemungkinan Puspa Dewi juga menyusul ke sana. Biarpun dia tahu bahwa Puspa Dewi sakti dan tangguh, namun menghadapi Nini Bumigarbo sulitlah bagi gadis itu untuk mampu menandinginya.
Inilah sebabnya maka Nurseta tetap melakukan pencarian ke Gunung Kelud, walaupun hatinya juga merasa tidak enak dan kecewa bahwa pada saat Kahuripan terancam bahaya penyerangan Wengker, dia tidak dapat membantu dan membela.
********************
Sinar matahari yang mulai menghangat pada pagi hari itu perlahan-lahan mengusir halimun yang enggan meninggalkan bumi. Namun kehangatan sinar matahari mengusik mereka dan dibantu oleh angin pagi pegunungan yang semilir lembut, halimun mulai mengudara dan cuaca mulai menjadi terang. Kokok ayam jantan sudah lama berhenti, juga burung-burung sudah meninggalkan sarang.
Dari puncak Gunung Kelud, pedusunan yang berada di lereng bawah, hanya tampak samar-samar atap rumah itu, akan tetapi pagi ini seperti biasa, asap yang membubung dari atap dapur rumah-rumah itu tampak jelas, menandakan bahwa di sana penghuni dusun mulai sibuk dengan pekerjaan mereka.
Sejak fajar tadi Niken Harni sudah duduk di atas batu yang biasa ia pergunakan untuk duduk bersamadhi. Nini Bumigarbo duduk bersila di atas batu lain tak jauh darinya. Mereka berdua duduk berjajar, menghadapi lereng-lereng di bawah puncak di mana tampak jalan kecil buatan para penduduk pegunungan itu. Jalan itu berliku-liku seperti seekor ular besar yang membelit gunung.
Tiba-tiba Niken Harni menuding ke bawah puncak dan berseru kepada Nira Bumigarbo, "Di sana ada orang mendaki puncak, larinya cepat sekalil"
Suaranya penuh ketegangan karena selama ia digembleng oleh Nini Bumigarbo, tidak pernah ada orang mampu mendaki puncak yang dikelilingi jurang-jurang amat dalam itu. Dan orang yang berpakaian serba putih itu mendaki dengan cepat sekali, bahkan jurang yang tidak berapa lebar, namun amat lebar bagi orang biasa, dia lompati begitu saja. Gerakannya bagaikan seekor burung garuda, jubah putihnya berkibar membenti sayap. Nini Bumigarbo mengangkat muka memandang dan ia terkekeh.
"Heh-heh-heh, hi-hik! Tentu saja dia dapat berlari cepat!"
"Bibi Bumigarbo, apakah Andika mengenal orang itu? Siapa dia?"
"Seperti Dibya Krendasakti, dia juga seorang sahabatku dua puluh tahun yang lalu. Namanya Wiku Ktut Bumisetra, seorang datuk dari Bali Dwipa." Nini Bumigarbo memandang penuh perhatian, lalu terkekeh lagi dan berkata, "Tidak salah, pasti dia! Ajiannya berlari cepat itu tentu Aji Garuda Anglayang, tidak salah lagil"
Niken Harni mengamati gerakan orang yang mendaki puncak itu dengan pandang mata kagum. Ia sendiri setelah beberapa lamanya digembleng Nini Bumigarbo, masih belum berani naik turun puncak sambil berlari dan berloncatan seperti Itu. Tingkat kepandaian orang itu agaknya tidak berada di bawah tingkat Nini Bumigarbo!
Dan setelah orang itu mencapai lereng di bawah puncak, Niken Harni mulai dapat melihat wajahnya dengan jelas. Orang itu mendaki dari barat sehingga sinar matahari sepenuhnya meneranginya. Kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus dengan kulit coklat kehitaman, rambutnya panjang diikat ke belakang dengan kain putih, tergantung sampai ke bawah punggung. Wajahnya yang kurus itu pentil bekas cacar sehingga tampak aneh, matanya berkilauan dan mengeluarkan sinar berkilat.
Pakaiannya serba putih dengan jubah lebar. Kakinya mengenakan alas kaki dari kulit tebal, tangan kanannya memegang sebatang tongkat berbentuk ular dan pergelangan kedua tangannya terhias akar bahar besar dan hitam. Dengan sebuah lompatan jauh seperti terbang, tubuh kakek itu melayang dan tiba di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni. Begitu berada di depan Nini Bumigarbo dan melihat nenek itu, dia terbelalak, memandang penuh perhatian lalu tertawa terbahak-bahak, dan telunjuk kirinya menuding ke arah Nini Bumigarbo.
"Ha..ha.. ha ..Tidak salah lagi. Engkau pasti Ni Gayatri, kembang Puncak Semeru itu! Lihat, tahi lalat di dagumu itu, pakaian serba hitam itu, dan wajahmu masih tetap ayu! Ha-haha, Dibya Krendasakti tidak salah! Nini Bumigarbo adalah Ni Gayatri yang cantik manis dulu itu. Heh, Ni Gayatri, pangling (lupa) ya kepada seorang di antara para pengagummu ini?"
"Huh, siapa yang lupa kepada orang sepertimu, Ktut Bumi Setra? Jadi engkau bertemu dengan Dibya Krendasakti di Nusa Barung dan dia yang menceritakan kepadamu tentang diriku?"
Kakek itu tanpa dipersilakan duduk di atas batu yang berada di depan Nini Bumigarbo dan Niken Harni. Dia tidak menjawab pertanyaan Nini Bumigarbo karena dia seperti terpesona memandang wajah Niken Harni sampai beberapa lamanya lalu berkata perlahan.
"Wadu-du-duuhh... ini muridmu, Gayatri? Benar Si Dibya Krendasakti. Muridmu ini sungguh ayu manis merak ati, juga berbakat baik sekali! Wah, aku akan senang sekali kalau mempunyai murid seperti ini! Heh-heh-eh-heh!
"Huh, mata keranjangmu itu tidak juga berkurang! Hayo jawab pertanyaanku tadi, Ktut! Engkau berkunjung ke Nusa Barung?"
"Benar, Gayatri dan wah... dasar perutku sedang beruntung, Si Dibya itu agaknya sedang berbahagia sekali. Sepanjang malam dia mengajak aku berpesta pora didampingi isterinya yang semakin cantik saja, dia tertawa-tawa dan bertingkah seperti anak kecil saking senangnya, ha..ha..ha!"
"Paman Ktut Bumi Setra, mengapa Paman Dibya Krendasakti bersenang-senang?" tanya Niken Harni yang ingin tahu sekali.
"Heh? Oh? Lho, engkau sudah mengenal namaku, bocah ayu?"
"Huh, makin tua engkau makin bodoh saja, Ktut! Tadi sudah kusebut namamu tentu saja Niken Harni mengetahui namamu!"
"Waduh! Namanya Niken Harni? Sungguh tepat, namanya sama manisnya dengan orangnya."
"Sudahlah, Paman. Tidak ada gunanya Paman memuji-mujiku. Pertanyaanku tadi belum dijawab!" kata Niken Harni ketus.
"Walah-walah! Sama galaknya dengan gurunya, ha-ha-ha! Baiklah, cah ayu, Si Dibya Krendasakti itu agaknya menjadi muda kembali. Dia begitu mesra dengan isterinya, tampak sekali mereka bermesraan seperti sepasang kekasih remaja, ha-ha. Dan selain itu, dia juga memamerkan hasilnya mengambil Cupu Manik Maya dari kedaton (istana) Kahuripan! Hebat tidak Si Tua Bangka itu?"
"He-he! jadi Si Dibya itu sudah berhasil mengambil Cupu Manik Maya? Bagus, bagus sekali! Ah, Si Erlangga tentu kebingungan seperti kebakaran jenggot, he-he-he!"
"Sang Prabu Erlangga tidak berjenggot Wajahnya bersih halus!" tiba-tiba Niken Harni berseru membelanya.
"Lho! Bagaimana ini? Mengapa guru dan murid berbeda pendapat?" tegur Wiku Ktut Bumi Setra heran.
"Huh, aku benci Erlangga dan Narotama!" kata Nini Bumigarbo sambil cemberut.
"Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama adalah pepundenku (junjunganku)! Sebagai kawula Kahuripan tentu aku membela mereka!" kata pula Niken Harni.
"Ha-ha-ha, kalian lucu. Berbeda pendapat seperti bumi dan langit akan tetapi sama kerasnya seperti batu gunungl" Wiku Ktut Bumi Setra tertawa. "Dibya Krendasakti bercerita banyak. Malam itu dia menyaksikan betapa Kadipaten Kahuripan diserbu banyak tokoh empat kadipaten."
"Ahhh...!" Niken Harni berseru kaget.
"Ha ha, bagus sekali! Lalu bagaimana ceritanya, Ktut?" tanya Nini Bumigarbo dengan wajah berseri.
"Akhirnya muncul Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama yang berhasil mengusir para penyerbu, akan tetapi para penyerbu itu telah membunuh banyak perajurit, dan bahkan Dibya Krendasakti sempat melihat putera Patih Narotama dibawa lari oleh para penyerbu."
"Wah, bagus! Bagus sekali!" Nini Bumigarbo berteriak kegirangan.
"Huh, para penyerbu pengecut! Kalah menghadapi orang tuanya, mengapa menculik anak kecil yang tidak tahu apa-apa?" seru Niken Harni penasaran sekali. Ia pernah melihat Joko Pekik Satyabudhi, putera tunggal Ki Patih Narotarna. Anak berusia setahun lebih itu amat lucu dan mungil dan sekarang diculik oleh orang-orang jahat! Agaknya hati Wiku Ktut Bumi Setra senang melihat betapa ceritanya mendatangkan perasaan yang berlawanan pada guru dan murid itu.
"Dalam perjalananku ke sini, aku lewat Kahuripan dan mendengar bahwa baru saja, Kahuripan diserang secara besar-besaran oleh laksaan perajurit dari Wengker, Wurawuri, Parang Siluman, dan Siluman Laut Kidul. Mereka berempat itu menyerang dari empat jurusan, mengepung Kahuripan!"
"Wah, bagus sekali! Mampus kalian sekarang, murid-murid Resi Satyadharma! He-he-hl-hik!" Nini Bumigarbo tertawa senang.
"Kabarnya terjadi perang besar yang amat hebat, mendatangkan korban beribu-ribu orang di kedua pihak."
"Dan Kahuripan dapat diduduki dan dltaklukkan, Erlangga dan Narotama ditawan atau dibunuh?" tanya Nini Bumigarbo. penuh harapan.
Wiku Ktut Bumi Setra menggeleng kepalanya. "Tidak mudah menundukkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama. Setelah perang besar yang menjatuhkan banyak korban kedua pihak, kabarnya pasukan Kahuripan dapat memukul mundur semua pasukan keempat kerajaan yang mengepung dan menyerangnya."
"Huh, menyebalkan. Mereka semua tolol, tidak becus!" Nini Bumigarbo mengomel dengan kecewa.
"Horeeee...! Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama memang hebat! Kahuripan amat kuat, siapa yang mampu mengalahkannya?" teriak Niken Harni kegirangan mendengar bahwa Kahuripan menang perang.
Biarpun mereka berdua sudah saling berjanji bahwa Niken Harni tidak akan dibawa dalam permusuhan Nini Bumigarbo terhadap raja dan patih Kahuripan itu, tetap saja Nini Bumigarbo panas hatinya melihat gadis itu kegirangan sedangkan ia sebaliknya merasa kecewa dan marah sekail.
"Huh, kalau saja aku tidak terikat janji dengan Ekadenta, kepala Erlangga dan Narotama tentu sudah kupenggal dari tubuh mereka!"
"Hei, Gayatri! Mengapa engkau begitu membenci Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotarna?" tanya Wiku Ktut Bumi Setra.
Nini Bumigarbo yang sedang jengkel mendengar kegagalan empat kerajaan menundukkan Kahuripan, menjawab ketus.
"Bukan urusanmu! Hemm, Ktut, sebetulnya engkau datang ke sini ada keperluan apakah? Hayo katakan... karena aku tidak suka kalau engkau datang tanpa keperluan apa-apa. Aku tidak suka diganggu!"
"Ho-ho, mengapa engkau bersikap galak terhadap aku, Gayatri? Bukankah sejak dahulu kita bersahabat dan saling bertukar ilmu? Terus terang saja, selama perantauanku ke Nusa Jawa ini, aku belum pernah menemui tandingan yang dapat mengalahkan aku. Maka aku teringat kepadamu dan aku menduga-duga apakah sekarang ilmu kepandaianmu sudah meningkat hebat? Aku ingin sekali menguji kesaktianmu, Gayatri. Itulah keperluanku datang berkunjung ini!"
Tiba-tiba terdengar seruan dari bawah puncak, suaranya nyaring terdengar dari tempat itu.
"Bibi Nini Bumigarbo, maafkan kelancangan saya yang datang berkunjung tanpa diundang!"
Tiga orang itu memandang ke arah suara di bawah puncak dan mereka melihat seorang pemuda mendaki puncak dengan cepat dan mudah, seperti yang dilakukan Wiku Ktut Bumi Setra tadi, ini menandakan bahwa pemuda yang sedang mendaki puncak itu bukan orang sembarangan. Nini Bumigarbo memandang dengan alis berkerut, tanda bahwa hatinya tidak senang menerima kunjungi orang yang tidak diundangnya. Akan tetapi Wiku Ktut Bumi Setra memandang dengan wajah berseri.
"Wah, pemuda itu pantas untuk kuajak menguji kesaktian!"
Tak lama kemudian Nurseta telah berdiri, berhadapan dengan tiga orang yang masih duduk di atas batu itu. Dia sudah pernah melihat Nini Bumigarbo ketika nenek itu bertanding melawan Bhagawan Ekadenta. Akan tetapi dia tidak mengenal kakek yang tinggi kurus bermuka burik (bopeng) berpakaian serba putih, kedua pergelangan tangan dilingkari akar bahar hitam besar dan tangannya memegang sebatang tongkat ular itu. Wajah kakek itu menyeramkan karena matanya mencorong aneh. Ketika dia melihat gadis jelita yang duduk di atas batu memandang kepadanya, Nurseta juga tidak mengenalnya, akan tetapi dia menduga mungkin gadis ini adik Puspa Dewi yang bernama Niken Harni.
"Apakah Andika Nimas Niken Harni, adik Puspa Dewi?" tanyanya dengan lembut sambil memandang gadis itu.
Karena tidak mengenal Nurseta, Niken Harni tidak segera menjawab, melainkan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Nini Bumigarbo berkata dengan ketus.
"Bocah lancang, kalau ia benar Niken Harni, lalu engkau mau apa? Berani engkau datang ke tempatku ini tanpa diundang? Apa engkau sudah bosan hidup?"
Nurseta merangkap kedua tangan di depan dada, memberi sembah dengar hormat ke arah Nini Bumigarbo yang dia tahu merupakan wanita yang disayang oleh Bhagawan Ekadenta, maka patut dihormatinya.
"Bibi yang mulia, saya ulangi lagi permohonan maaf saya bahwa saya telah berani bertindak lancang datang berkunjung tanpa dipanggil. Kedatangan saya menghadap Bibi adalah untuk mohon agar Bibi sudi membebaskan Niken Harni."
"Huh berani engkau mencampuri urusanku? Sudah terlalu tinggi kesaktianmu maka engkau berani menentangku?"
"Maaf, Bibi. Saya sama sekali tidak berani menentang Bibi, saya sebagai orang yang pernah mendapat kebahagiaan menerima pendidikan Bapa Guru Bhagawan Ekadenta, tidak berani kurang ajar terhadap Bibi."
"Hemm, murid Ekadenta?" Nini Bumigarbo meragu.
Tentu saja ia merasa tidak enak kalau harus membunuh murid Ekadenta, apalagi membunuh, melukai berat saja ia merasa sungkan, "Heh, Wiku Ktut, engkau tadi menantang aku. Nah, lawanlah murid Bhagawan Ekadenta ini, kalau engkau dapat menang, baru engkau ada harganya melawan aku!"
Dengan cara ini, Nini Bumigarbo hendak menghukum Nurseta akan tetapi ia lepas tangan. Kalau Nurseta terbunuh atau terluka, Ktut Bumi Setra yang disalahkan, bukan ia! Mendengar ini, Wiku Ktut Bumi Setra bangkit berdiri, turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Nurseta dan berdiri di depan pemuda itu. Dia mengamati wajah pemuda itu dan menyeringai dengan sikap mengejek.
"Orang muda, engkau murid Bhagawan Ekadenta?"
"Saya tidak berani mengaku murid penuh, namun saya pernah menerima petunjuk beliau, Paman."
"Siapa namamu, orang muda?" tanya Wiku Ktut Bumi Setra, agak senang hatinya karena pemuda itu bersikap sopan dan halus.
"Nama saya Nurseta."
Mendengar ini, Niken Harni memandang penuh perhatian. Ia belum pernah bertemu Nurseta, akan tetapi tentu saja ia pernah mendengar namanya. Nama Nurseta ini menjadi buah percakapan para pamong praja di kota raja, bahkan ayah dan kakeknya memuji-muji nama ini. Sekarang pemuda yang terkenal setia dan berjasa terhadap Kahuripan itu datang menempuh bahaya untuk membebaskannya!
"Nurseta. agaknya kita memang berjodoh untuk saling menguji kesaktian. Aku Wiku Ktut Bumi Setra dari Bali-dwip berkunjung ke sini untuk menantang Nini Bumigarbo saling menguji ilmu kepandaian. Dan engkau datang juga menantang Nini Bumigarbo untuk membebaskan Niken Harni. Sekarang Nini Bumigarbo mewakilkan padaku untuk melawanmu. Nah, mari Nurseta, kita main-main sebentar. Ingin aku menguji kesaktian murid Bhagawan Ekadenta!"
Nurseta maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang tua yang sakti mandraguna. Seorang yang sudah berani menantang Nini Bumigarbo sudah pasti memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bersikap hormat, menyembah dan berkata tanpa bermaksud menghindar karena takut.
"Paman Wiku Ktut Bumi Setra, saya datang ke sini bukan untuk menentang atau menantang Bibi Nini Bumigarbo, juga tidak hendak menantang Andika. Saya tidak ingin bermusuhan dengan Andika, Paman."
"Ha-ha-ho-ho-ho! Tidak suka bermusuhan dan merendahkan hati, ciri khas Bhagawan Ekadenta! Akan tetapi, Nurseta, kalau engkau tidak menantangku, sebaliknya akulah yang menantangmu. Hayo!" tantang Wiku Ktut Bumi Setra.
"Saya tidak ingin berkelahi dengan Andika, Paman Wiku."
"Ini bukan berkelahi, melainkan saling menguji ilmu kepandaian" bantah kakek dari Bali itu.
"Huh...! Mengapa Bhagawan Ekadenta mempunyai murid seperti ini? Pengecut dan penakut! Dia tentu akan merasa malu sekali kalau melihat sendiri betapa muridnya ketakutan dan tidak berani menerima tantangan Wiku Ktut Bumi Setra!" kata Nini Bumigarbo dengan suara mengejek.
Tiba-tiba Niken Harni bicara dengan suara nyaring dan mengandung penasaran.
"Wih! Namanya dikenal dan dipuji seluruh orang Kahuripan, akan tetapi nyatanya ditantang seorang kakek kurus saja tidak berani. Sungguh memalukan!"
Mendengar celaan-celaan itu, wajah Nurseta menjadi kemerahan.
"Nurseta, mau atau tidak mau engkau harus melawan aku mengadu kesaktian. Nah, sambutlah seranganku ini!" Setelah berkata demikian, Wiku Ktut Bumi Setra sudah bergerak memutar tongkat ularnya lalu dengan Aji Garuda Anglayang, tubuhnya seolah melayang dan meluncur ke arah Nurseta dan tongkat ularnya itu seolah menjadi ular hidup dan ujungnya menusuk ke arah leher Nurseta! Gerakannya itu selain cepat juga mengandung tenaga dalam yang amat kuat sehingga terdengar bunyi angin bersiutan.
Akan tetapi dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, gerakan Nurseta tidak kalah cepatnya dan dia sudah mengelak sehingga tusukan tongkat ular hitam itu meluncur lewat di samping tubuhnya. Namun Nurseta masih belum mau membalas. Bagaimanapun juga, melawan seorang datuk yang sudah mengenal baik Nini Bumigarbo dan Bhagawan Ekadenta ini, dia merasa agak sungkan.
Akan tetapi agaknya Wiku Ktut Bumi Setra tidak ragu-ragu atau sungkan lagi. Begitu tusukannya luput, kini tangan kirinya menyambar ke arah kepala Nurseta dengan tamparan yang amat dahsyat. Gerakan tangan kiri yang dihias gelang akar bahar hitam itu sedemikian cepatnya sehingga berubah menjadi bayangan hitam menyambar kepala seperti geledek mengancam kepala Nurseta.
Sekali ini Nurseta menggerakkan tangan kanan menangkis tamparan tangan kiri Sang Wiku sambil mengerahkan tenaga sakti karena dia maklum betapa dahsyat tamparan itu, walaupun tampaknya perlahan saja.
"Syuuuttt... plakk...!"
Dua tangan bertemu dan keduanya terpental. Kakek itu terkejut dan dia baru maklum bahwa pemuda ini tidak percuma pernah mendapat pendidikan Bhagawan Ekadenta karena ternyata memiliki tenaga sakti yang mampu menandinginya! Tongkatnya kini sudah menyambar lagi setelah dia mundur dua langkah. Ujung tongkatnya menusuk ke arah ulu hati pemuda itu. Kembali tangan Nurseta bergerak, yang kiri menangkis dari dalam, membuat tongkat itu terpental dan tusukan ke arah ulu hati itu gagal. Nurseta kini merasa sudah tiba saatnya untuk membalas karena kalau mengalah terus dan membiarkan dirinya dihujani serangan hal itu akan merugikan diri sendiri.
Dari samping, kakinya mencuat dan menendang ke arah lutut lawan. Dia masih rikuh (sungkan) untuk menendang perut atau dada, maka yang ditendangnya lutut kanan lawan. Akan tetapi kalau tendangan itu mengenai sasaran, mungkin sambungan tulang pada lutut akan terlepas! Akan tetapi dengan sigapnya Wiku Ktut Bumi Setra melompat ke belakang menghindarkan lututnya dari ancaman tendangan. Kemudian dia menerjang lagi dan mengerahkan tongkat lebih cepat sehingga tongkat itu berubah menjadi gulungan sinar hitam.
Nurseta adalah seorang pemuda yang mendapat gemblengan dari gurunya, mendiang Empu Dewamurti, kemudian selama tiga bulan dia menerima petunjuk-petunjuk dari Bhagawan Ekadenta. Selama ini, Nurseta tidak pernah mempergunakan senjata, melainkan hanya mengandalkan kecepatan gerak tubuhnya dan keampuhan dua pasang kaki tangannya.
Maka, keris pusaka Kyai Kolomisani pemberian Ki Patih Narotarna hanya terselip di pinggangnya dan hampir tidak pernah dia menggunakannya. Sekarang pun, biar menghadapi serangan bertubi dari Sang Wiku yang bersenjatakan sebatang tongkat ular hitam, dia pun hanya mengandalkan kaki tangannya untuk mengelak, menangkis, dan membalas serangan lawan.
Akan tetapi karena lawannya itu memang seorang datuk dari Bali-dwipa yang amat tangguh, maka Nurseta harus mengerahkan seluruh tenaga dan tak pernah melepaskan gerakan dari Aji Bayu Sakti yang membuat tubuhnya dapat bergerak seperti angin, dan menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat Baka Denta (Bangau Putih). Kedua lengannya seperti sayap bangau menangkis atau menampar, kedua kakinya seperti kaki bangau yang menendang-nendang, dan terkadang jari tangannya seperti paruh bangau yang menotok dan menusuk.
Pertandingan berjalan seru. Mereka saling bertukar serangan, saling tendang dan tangkis. Tubuh mereka seolah menjadi dua bayangan yang bergerak cepat diselimuti gulungan sinar hitam dan tongkat yang dimainkan Wiku Ktut Bum Setra.
Kini Niken Harni memandang dengan sepasang mata yang tak pernah berkedip dan kagum. Ia menyaksikan pertandingan adu kesaktian tingkat tinggi yang menegangkan. Ia sendiri agak sukar mengikuti gerakan dua orang itu dan ia melihat Nini Bumigarbo juga menonton pertandingan dan beberapa kali gurunya itu mengangguk-angguk seperti orang memuji. Semakin kuat dorongan hasrat hati Niken Harni untuk mempelajari dan menguasai ilmu-ilmu tinggi dari Nini Bumigarbo. Ia tidak dapat menilai siapa yang lebih unggul dan tidak tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Setelah kurang lebih setengah jam mereka bertanding, saling serang dan mengeluarkan semua jurus yang mereka kuasai, namun belum juga dapat mengalahkan lawan, Wiku Ktut Bumi Setra menjadi penasaran juga. Segala gerak tipu ilmu silat telah dia pergunakan, semua tenaga sakti telah dia kerahkan, namun dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Jangankan mengalahkan, mendesak pun tidak dapat.
Biarpun sudah tiga kali sebuah tamparan tangan kirinya dan dua kali hantaman tongkat ularnya menyerempet tubuh pemuda itu, namun hal itu seolah tidak dirasakan oleh Nurseta yang melindungi dirinya dengan kekebalan. Dia sendiri juga menerima dua kali tamparan Nurseta yang mengenai pundak dan pangkal lengannya, namun juga tidak membuatnya goyah karena dia melindungi bagian yang terpukul dengan kekebalan.
"Tahan dulu...!" Seru Wiku Ktut Bumi Setra.
Ketika Nurseta menghentikan gerakannya, Sang Wiku melompat ke belakang. Dia menahan diri agar tidak tampak betapa napasnya mulai terengah-engah. Biarpun dia tidak terdesak atau kalah, usia tuanya membuat daya tahan tubuhnya kurang kuat.
"Terima kasih, Paman Wiku. Memang sebaiknya kalau kita sudahi saja pertandingan yang tidak ada gunanya ini." Kata Nurseta agak lega. Dia tidak ingin melukai Sang Wiku, akan tetapi tentu saja dia pun tidak ingin dirinya dilukai.
"Nurseta, dalam pertandingan tadi, ternyata engkau tidak mengecewakan menjadi murid Bhagawan Ekadenta..."
"Paman Wiku,... guru saya adalah mendiang Empu Dewamurti, adapun Paman Bhagawan Ekadenta hanya memberi petunjuk selama beberapa waktu saja."
"Bagus, Empu Dewamurti juga seorang pertapa yang sakti mandraguna. Aku pernah mendengar nama besarnya. Bukankah dia dahulu bertapa di Gunung Arjuna? Akan tetapi, Nurseta, dalam pertandingan tadi aku belum kalah. Sekarang, cobalah engkau sambut serangan ilmu sihirku!"
Nurseta tidak dapat membujuknya lagi dan pemuda ini pun tahu bahwa dia harus waspada karena lawannya bukanlah orang sembarangan. Biarpun dia percaya bahwa Wiku Ktut Bumi Setra tidak berniat untuk mencelakainya melainkan hanya hendak menguji ilmu, namun serangannya dapat mencelakakan kalau dia tidak waspada dan benar-benar mencurahkan perhatian dan kekuatannya untuk membela diri.
Kini Wiku Ktut Bumi Setra berdiri tegak, kepalanya ditundukkan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra, kemudian tubuhnya menggetar dan dia mengangkat mukanya memandang kepada Nurseta, matanya mencorong berkilat, tangan kanan yang memegang tongkat diangkat ke atas. Lalu terdengar suaranya, lirih namun mengandung gema yang menggetarkan jantung, "Nurseta, lawanlah Si Naga Langking ini!"
Tiba-tiba saja muncul kabut atau semacam asap tebal berwarna kelabu bergerak perlahan dari datuk Bali itu kearah Nurseta, dibarengi datangnya angin seperti badai dan muncul pula kilat geledek bergemuruh menyambar-nyambar ke arah Nurseta! Kemudian, tongkat di tangan Sang Wiku seolah hidup dan terbang dari tangan yang memegangnya, kini menjadi besar, merupakan seekor ular atau naga sebesar paha manusia dewasa, mulutnya menyemburkan api, mendengus-dengus dengan dahsyatnya, terbang meluncur ke arah Nurseta!
Nurseta melipat kedua lengan depan dada, dan perlahan-lahan tubuhnya semakin kabur seolah perlahan-lahan lenyap dan hanya tampak bayangannya saja, itu pun samar-samar.
"Hemm, bocah itu telah menguasai Aji Sirna Sarira!" seru Nini Bumigarbo lirih namun suaranya mengandung kekaguman. Sepengetahuannya, hanya ada beberapa orang saja yang menguasai aji kesaktian ini dan di antara mereka, termasuk ia dan Bhagawan Ekadenta!
"Ho-ha! Ajimu itu tidak dapat menghindar dari serangan maut Naga Langking!" teriak Wiku Ktut ia mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk memperkuat ciptaan sihirnya itu.
Naga hitam itu menyambar dan api yang dihembuskan dari mulutnya itu berkobar menyerang bayangan Nurseta! Nurseta terkejut juga melihat betapa naga hitam jadi-jadian itu demikian kuatnya sehingga masih mampir menyerangnya walaupun dia telah bersembunyi dengan Aji Sirna Sarira. Maka, dia pun menyambut serangan naga hitam yang menyemburkan api itu dengan mengerahkan tenaga sakti dan mendorongkan kedua tangan ke depan.
"Wuuuttt.... blarrrr...!"
Hawa pukulan yang amat dahsyat keluar dari sepasang tangan Nurseta, bertemu dengan naga hitam itu. Naga hitam terpental dan bunga api yang amat besar berpijar-pijar, akan tetapi naga hitam itu segera membalik dan menyerang lagi lebih dahsyat.
Terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali naga hitam itu bertemu dengan pukulan jarak jauh sehingga terdengar ledakan-ledakan, namun hantaman pukulan sakti Nurseta belum juga dapat mengalahkan naga hitam itu. Ternyata dalam adu tenaga sakti kekuatan mereka juga selmbang. Mungkin Wiku Ktut Bumi Setra lebih kuat sedikit, akan tetapi kembali unsur usia memegang peran penting dalam kekuatan tubuh manusia, terutama dalam daya tahan.
Setelah berkali-kali mengadu tenaga sakti, mulailah Wiku Ktut Bumi Setra terengah-engah dan wajahnya agak pucat, dari ubun-ubun kepalanya mengepul uap putih! Sementara itu, biarpun Nurseta juga sudah bermandi keringat, namun dia masih tegar dan napasnya masih biasa. Akhirnya Sang Wiku menyadari bahwa dia harus tunduk terhadap ketuaannya sendiri dan dia maklum bahwa kalau adu tenaga sakti itu dilanjutkan, akhirnya dia akan celaka. Mengadu tenaga sakti jarak jauh seperti ini jauh lebih menguras tenaga daripada adu tenaga melalui kaki tangan.
Padahal Nurseta hanya menangkis saja, tidak pernah balas menyerang. Hal ini sudah menunjukkan bahwa pemuda Itu tidak mempunyai niat untuk bermusuhan. Akan tetapi walaupun hanya menangkis, tetap saja mereka berdua menggunakan tenaga yang sama besarnya dan sama melelahkan. Tiba-tiba Wiku Ktut Bumi Setra menghentikan Ilmu sihirnya dan naga hitam itu melayang ke tangannya dan berubah menjadi tongkat ular hitam lagi. Kabut hitam dan angin pun berhenti dan cuaca terang kembali.
Wiku Ktut Bumi Setra menggunakan kain jubahnya untuk menghapus keringat dari muka dan lehernya, mengatur pernapasannya, lalu berkata, "Nurseta, engkau memang hebat. Akan tetapi aku belum kalah dan kalau sekali ini engkau mampu menandingi aji pamungkasku, barulah aku mengaku kalah!"
Nurseta diam saja karena dia maklum bahwa mencegah atau membujuk kakek yang keras hati dan suka bertanding ini akan percuma saja. Dia hanya siap untuk melayani lawan yang amat tangguh ini, menunggu dan waspada memperhatikan apa yang hendak dilakukan lawan yang belum mau mengaku kalah itu...