Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 16
Dengan tenang, Wiku Ktut Bumi Setra mengeluarkan tiga batang dupa lidi, lalu dia mengambil sehelai daun kering dan memukulkan ujung tongkatnya pada batu. Bunga api berpijar menyambar daun kering yang dia dekatkan sehingga daun itu terbakar dan dia pun membakar ujung tiga batang dupa lidi itu sehingga membara. Tiga batang dupa lidi membara itu lalu dia selipkan di atas kain putih pengikat kepalanya. Setelah itu, Wiku Ktut Bumi Setra lalu bersedakap (melipat kedua lengan depan dada), memejamkan mata dan mulutnya membaca mantra berkepanjangan.
"Huh, dia akan mengeluarkan aji pamungkasnya yang mengerikan, yaitu Aji Malih Leyak." kata Nini Bumigarbo kepada Niken Harni.
Gadis ini pernah mendengar bahwa di Bali-dwipa terkenal dengan aji yang ada hubungannya dengan pemujaan Sang Batari Durga, atau pemujaan Setan ini, yang kabarnya amat dahsyat dan jahat. Maka ia memandang dengan penuh perhatian dan merasa ngeri melihat betapa kepala Wiku Ktut Bumi Setra mulai bergerak-gerak sehingga tiga batang dupa lilin itu bergoyang-goyang dan asapnya membuat bentuk yang aneh. Juga bau asap dupa lidi itu makin lama semakin memuakkan. Kalau tadinya berbau wangi yang aneh, kini makin lama berubah menjadi bau busuk, seperti bau bangkai.
Tiba-tiba seluruh tubuh Wiku Ktut Bumi Setra menggigil dan dari tubuhnya mengepul uap kehitaman tipis yang mengeluarkan bau apek dan busuk. Tubuh yang menggigil itu menjadi semakin besar, hampir dua kali lipat besarnya dan tampaklah wujud yang mengerikan sekali. Mahluk yang tinggi besarnya dua kali manusia dewasa itu bukan manusia lagi, melainkan iblis yang menyeramkan.
Rambutnya gimbal dan mencuat ke sana-sini, matanya lebar dan melotot seperti akan melompat keluar biji matanya yang besar-besar, alisnya tebal dan kaku seperti juga rambutnya, mirip kawat. Lengannya berbulu dan panjang, dan tangannya berkuku panjang. Hidungnya besar merekah dan mulutnya yang paling menakutkan. Mulut itu ternganga, dengan gigi besar-besar dan ada taring di kanan kiri, lidahnya terjulur keluar, panjang dan merah dan dari dalam mulutnya tampak api keluar masuk, seolah dia bernapaskan api!
Mahluk itulah yang dikenal sebagai Leyak atau Iblis yang dipuja mereka yang meninggalkan jalan kebenaran. Leyak itu terselimuti uap kehitaman yang tipis dan terdengarlah suara gemuruh seperti suara ratusan mulut setan berteriak-teriak di belakang Leyak ini. Wujud yang mengerikan itu kini melangkah maju menghampiri Nurseta sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat.
Niken Harni yang amat pemberani itu pun kini mengkirik (menggeliang-geliut) saking ngerinya melihat mahluk yang menyeramkan itu. Apalagi tercium bau yang hampir tak tertahankan saking busuknya. Mahluk itu sudah merupakan wujud lain dari Wiku Ktut Bumi Setra. Sukar untuk percaya melihat Sang Wiku dapat berubah seperti mahluk itu, akan tetapi bukti bahwa di atas pengikat rambut mahluk itu terdapat tiga batang dupa lidi yang masih membara dan mengeluarkan asap putih, dan kedua pergelangan tangan mahluk itu juga memakai gelang akar bahar hitam seperti yang dipakai Wiku Ktut Bumi Setra, maka orang baru akan percaya bahwa Leyak itu memang malihan (pergantian rupa) Sang Wiku.
Nurseta juga terkejut dan sesaat jantungnya berdebar tegang menghadapi mahluk yang selain menyeramkan, juga mengeluarkan wibawa yang teramat kuat. Dia pernah mendengar tentang Aji Malih Leyak ini, akan tetapi baru sekarang dia berhadapan dengan mahluk itu. Akan tetapi dia segera dapat memulihkan ketenangannya dan karena dia tahu betapa kuatnya mahluk ini, dia lalu mencabut Keris Pusaka Kolomisani pemberian Ki Patih Narotama. Dengan keris pusaka di tangan kanan, dia menanti dengan tenang namun waspada.
Dengan mengeluarkan gerengan yang dahsyat, Leyak itu mulai menyerang ke depan, kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyambar yang kanan ke arah kepala Nurseta, yang kiri ke arah lehernya. Tangan-tangan besar berkuku panjang itu pasti akan meremukkan kepala dan mematahkan batang leher. Namun Nurseta yang sudah siap siaga itu dengan cepat sekali sudah mengelak ke belakang, lalu dengan loncatan memutar kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah dada mahluk itu.
"Dess...!"
Kaki itu tepat menendang perut, dan Leyak itu hanya mundur dua langkah. Nurseta menyusul dengan tusukan kerisnya, juga ke arah perut yang besar itu.
"Tukk...!"
Tusukan itu tepat mengenai perut Leyak yang gerakannya kaku dan lamban itu, akan tetapi tusukan itu yang mengenai perut seolah menusuk air saja, sama sekali tidak dirasakan Leyak itu! Bahkan tangan kiri Leyak itu menyambar dari samping. Nurseta tidak sempat mengelak hanya miringkan tubuh sehingga bukan dadanya yang terpukul melainkan pundaknya. Dia terhuyung, merasa seperti dipukul palu godam yang amat kuat!
Terjadilah perkelahian yang seru. Leyak itu lamban dan kaku, namun tubuhnya kebal. Terkadang keris dan tamparan tangan kiri Nurseta seperti mengenai air dan tembus tanpa melukai, akan tetapi terkadang seperti bertemu baja yang keras sehingga tangan atau kerisnya terpental! Nurseta memang jauh lebih cepat gerakannya, akan tetapi karena semua serangannya gagal, dan sebaliknya kalau sampai pukulan tangan Leyak itu mengenainya, dapat mencelakakannya, maka dia berhati-hati sekali. Leyak itu memiliki tenaga yang luar biasa sekali. Juga api yang menyambar-nyambar dari mulutnya itu bukan api biasa, dan lebih panas daripada api biasa.
Nurseta mulai terdesak dan Leyak itu yang juga selalu gagal dengan serangannya karena gerakan Nurseta terlalu cepat baginya, kini berusaha untuk menangkap tubuh lawan yang hanya setengah besar dan tinggi tubuhnya itu. Nurseta mulai maklum bahwa kalau dia terus melawan dengan mengandalkan kecepatannya, tanpa mampu membalas karena semua serangannya tidak terasa oleh Leyak itu, dia akan terancam bahaya. Sekali saja tubuhnya dapat diringkus tangan-tangan berkuku panjang dan kokoh kuat itu, berarti dia kalah, bahkan mungkin saja dia akan mengalami cedera berat, atau bahkan tewas.
Setelah mempertahankan diri beberapa lamanya, akhirnya Nurseta mengambil keputusan untuk mempergunakan aji pamungkas yang sebetulnya tidak boleh sembarangan dia pergunakan. Sekali ini karena terpaksa, maka dia mengambil keputusan untuk mempergunakannya. Dia melompat cepat ke belakang, bersedakap, mencurahkan segala perhatian dan kekuatan batinnya, membanting kaki tiga kali ke atas tanah dan tiba-tiba mengepul uap putih dan tubuhnya berubah menjadi besar sekali, sebesar Pohon Beringin, jauh lebih besar beberapa kali lipat dibandingkan besar tubuh Leyak!
"Hemm, bocah ini bahkan menguasai Aji Triwikrama! Bukan main!" kata Nini Bumigarbo kagum.
Perwujudan raksasa itu berdiri tegak, kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, dari mulutnya terdengar gerengan yang menggetar seluruh permukaan gunung, bahkan terasa oleh para penduduk didusun-dusun yang berada di lereng bawah. Leyak itu kalah wibawa. Dia gemetar dan terhuyung ke belakang sampai belasan langkah. Tubuhnya menyusut, semakin kecil dan akhirnya berubah kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra. Hal ini tidaklah mengherankan.
Aji Malih Leyak ini merupakan aji yang berasal dari Bathari Durga yang menjadi Ratu Iblis, adapun Aji Triwikrama berasal dari Sang Hyang Wisnu! Begitu Leyak kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra, raksasa itu pun menyusut dan berubah kembali menjadi Nurseta. Wiku Ktut Bumi Setra berdiri dengan wajah agak pucat, lalu tiba-tiba wajahnya berubah kemerahan.
"Gayatri, aku pamit!" Dan tubuhnya sudah berkelebat pergi dari situ.
"Paman Wiku, maafkan saya...!" Nurseta berkata, menyesal bahwa dia telah mengalahkan datuk itu sehingga membuat hatinya tersinggung.
"Nurseta, sampaikan salamku kepada Bhagawan Ekadenta!" terdengar jawaban dari bayangan Wiku Ktut Bumi Setra yang sudah menuruni puncak dengan cepatnya.
Setelah sisa ketegangan pertandingan tadi menghilang dan suasana menjadi tenang dan sunyi kembali, Nurseta menghampiri Nini Bumigarbo dan memberi hormat dengan sembah.
"Mohon maaf apabila pertandingan tadi mengganggu ketenteraman tempat tinggal Bibi di sini, akan tetapi saya dipaksa membela diri oleh Paman Wiku Ktut Bumi Setra tadi."
"Hemm, Nurseta. Kalau tidak ingat bahwa engkau pernah menjadi murid Bhagawan Ekadanta, aku akan senang sekali mengadu kesaktian denganmu! Sekarang katakan, apa kehendakmu?"
"Maaf, Bibi. Saya mohon sukalah kiranya Andika membebaskan Niken Harni yang Andika tahan di sini agar saya dapat mengantarkannya pulang ke rumah orang tuanya."
"Huh, ucapanmu lancang, Nurseta! Siapa yang menahan Niken Harni di sini? Tanyakan saja sendiri padanya!" Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo bersila menegakkan tubuh dan memejamkan kedua matanya.
Nurseta menghampiri Niken Harni yang masih duduk diatas batu. Gadis itu masih terkagum-kagum menonton pertandingan yang hebat tadi. Ia kagum kepada Nurseta yang mampu mengalahkan Wiku Ktut Bumi Setra yang demikian sakti mandraguna. Kini keinginannya untuk menimba ilmu dari Nini Bumigarbo semakin kuat. Ketika Nurseta menghampirinya, ia menatap dengan sinar mata tajam."Nimas Ken Harni, Andika ditunggu-tunggu orang tua dan seluruh keluarga Andika yang merasa cemas memikirkan keselamatan Andika. Marilah Andika kuantar pulang, Nimas."
"Apakah Andika diutus orang tuaku untuk mengajak aku pulang?" tanya Niken Harni.
"Tidak, Nimas. Aku hanya membantu Puspa Dewi untuk mencarimu di Wengker dan di sana aku mendengar bahwa Andika dibawa pergi Bibi Nini Bumigarbo, maka aku menyusul ke sini dan mengajak Andika pulang."
"Hemm, kalau begitu, Andika tidak perlu mencampuri urusanku. Aku memang ingin ikut Bibi Nini Bumigarbo dan menjadi muridnya. Andika atau siapa saja tidak boleh menghalangi kehendakku ini. Pergilah dan jangan ganggu kami di sini! Kalau bertemu keluargaku, katakan bahwa kalau sudah selesai belajar, aku akan pulang dan tidak perlu mencari aku!"
Nurseta tertegun. Sama sekali. tidak disangkanya bahwa gadis ini memang ikut Nini Bumigarbo dengan suka rela karena ingin menjadi murid nenek berpakaian serba hitam itu! Dia merasa kecelik. Kalau mengetahui bahwa Niken Harni memang ingin mengikuti nenek itu, tentu dia tidak akan bersusah payah mencarinya. Dan dia pun tahu bahwa gadis ini benar-benar ingin menjadi murid nenek itu. Sekiranya gadis itu dipegaruhi sihir atau ada daya yang tidak wajar, pasti dia dapat merasakannya sekarang. Dia merasa malu sendiri.
"Kalau begitu, terserah Andika." kata Nurseta yang segera menghampiri Nini Bumigarbo, memberi hormat dan berkata, "Bibi Nini Bumigarbo, saya mohon maaf atas persangkaan saya tadi bahwa Bibi yang membawa pergi dan menawan Niken Harni. Sekarang saya mohon pamit meninggalkan tempat ini."
Akan tetapi Nini Bumigarbo tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan samadhi. Setelah menanti beberapa lamanya nenek berpakaian serba hitam itu tetap tidak bergerak dan tidak menjawab, Nurseta lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan puncak itu dengan cepat. Bayangannya diikuti pandang mata Niken Harni.
Pagi itu Kerajaan Wura-wuri gempar. Pasukan besar Kahuripan ketika memasuki tapal batas daerah Wura-wuri, tidak menemui hambatan. Rakyat Wura-wuri ketakutan karena biasanya, apabila terjadi perang, para perajurit musuh selalu menimbulkan kekacauan dengan perbuatan-perbuatan yang kejam dan biadab. Merampok, membunuh, memperkosa.
Semua nafsu setan mereka diumbar, sebagian memang karena didorong nafsu hendak memuaskan diri, sebagian lagi dilakukan sebagai siasat mengacaukan pertahanan musuh. Akan tetapi sekali ini, pasukan Kahuripan sama sekali tidak mengganggu rakyat daerah Wura-wuri. Tidak ada penganiayaan, tidak ada pembunuhan, pembakaran rumah, pencurian maupun gangguan wanita.
Pasukan besar itu lewat saja melalui dusun-dusun tanpa mengganggu sehingga berita ini segera tersiar dan akibatnya, di sepanjang perjalanan, pasukan Kahuripan bahkan disambut rakyat dengan suguhan dawegan (kelapa muda), pisang, dan buah-buahan lain. Ibu kota Wura-wuri gempar ketika para pamong praja mendengar bahwa pasukan besar Kahuripan sudah mulai memasuki daerah mereka dan sedang menuju ke kota raja, dipelopori seribu orang perajurit yang dipimpin oleh Puspa Dewi.
Pada waktu itu, dua orang kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala yang diundang oleh permaisuri itu telah tiba di kota raja Wura-wuri. Mereka adalah dua orang saudara kembar berusia sekitar lima puluh lima tahun. Orang akan merasa heran dan bingung kalau berhadapan dengan mereka berdua. Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit yang kembar ini serupa benar, baik wajah mereka yang kurus tubuh mereka yang tinggi kurus sampai bentuk rambut dan pakaian mereka.
Sebagai kakak-kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala, dapat dibayangkan betapa saktinya dua orang saudara kembar ini. Mereka merupakan dua di antara para datuk yang terkenal di daerah Blambangan. Senjata ruyung (penggada) merupakan senjata andalan mereka, dinamakan Kyai Rujak Polo! Di samping ilmu silat mereka yang tangguh, kedua orang saudara kembar ini pun memiliki ilmu sihir yang ampuh.
Mendengar berita bahwa pasukan Kahuripan sudah dating menuju kota Kadipaten Wura-wuri, Adipati Bhismaprabhawa bersama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, lalu membuat persiapan mengatur barisan untuk menyambut pasukan musuh. Kedua orang saudara kembar, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, diangkat menjadi senopati yang akan menghadapi para pimpinan pasukan Kahuripan yang sakti, dan mereka berdua itu dibantu oleh Ki Gandarwo dan Cekel Aksomolo yang juga sudah berada di Wura-wuri, diundang oleh adik seperguruannya, Ki Gandarwo, untuk membantu Wura-wuri.
Sisa pasukan Wura-wuri yang dapat lolos ketika mereka menyerbu Kahuripan, dikerahkan. Namun diam-diam semangat para perajurit Ini sudah menguncup, jerih menghadapi pasukan Kahuripan yang tangguh dan dipimpin orang-orang sakti mandraguna. Ketika menyerbu ke Kahuripan, mereka bergabung dengan tiga kerajaan lain, namun masih kalah. Apalagi sekarang mereka harus menghadapi pasukan Kahuripan sendirian saja!
Para perwiranya saja sudah patah semangat. Akan tetapi, Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala mengadakan peraturan keras. Kalau ada perajurit melarikan diri dan tidak menyambut serbuan musuh, mereka akan dibunuh sendiri oleh pasukan khusus yang berada di belakang!
Karena pasukan Wura-wuri sudah kehilangan banyak perajurit ketika menyerbu Kahuripan, maka Adipati Bhismaprabhawa tidak berani melakukan penghadangan jauh dari kota raja, melainkan mengerahkan seluruh pasukan untuk mempertahankan kota raja Kadipaten Wura-wuri.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi setelah matahari naik cukup tinggi, tibalah saat yang dinanti-nantikan dengan penuh ketegangan itu. Pasukan Kahuripan tiba di luar tembok benteng kota raja Wura-wuri, dipelopori seribu orang perajurit. Pasukan pelopor itu dipimpin oleh Puspa Dewi yang menunggang seekor kuda pancal panggung (keempat ujung kakinya berwarna putih), dan tampak gagah sekali. Kedua pihak telah siap dan masing-masing pasukan sudah saling berhadapan, menanti perintah untuk mulai menyerbu.
Pasukan Wura-wuri berbaris di luar pintu gerbang. Tiba-tiba dari barisan Wura-wuri muncul Nyi Dewi Durgakumala. Wanita setengah tua masih cantik ini mengenakan pakaian gemerlapan. Permaisuri itu kini mengenakan pakaian perang sebagai seorang senopati wanita yang cantik dan gagah. Ia mengangkat tangan tanda bahwa ia ingin bicara. Kemudian terdengar suaranya yang lantang.
"Hai, orang-orang Kahuripan, dengarlah! Aku, Permaisuri Dewi Durgakumala, sebagai senopati perang mewakili Sang Adipati Bhismaprabhawa, minta agar Ki Patih Narotama maju kesini karena kami ingin bicara!"
Ki Patih Narotama yang berada di belakang Pasukan Pelopor pimpinan Puspa Dewi, menggeprak kudanya dan maju sehingga berada di depan pasukan itu.
"Dewi Durgakumala, apalagi yang hendak dibicarakan? Kami minta agar Wura-wuri menyerah agar kami tidak perlu memukul dengan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya banyak perajurit Wura-wuri!" kata Narotama, suaranya menggelegar terdengar oleh seluruh pasukan Wura-wuri.
"Heh, Ki Patih Narotama, kalian tidak dapat menggertak kami! Ketahuilah bahwa puteramu Joko Pekik Satyabudhi telah berada di tangan kami! Kalau Andika tetap hendak menyerbu kami, sebelum ada seorang pun perajurit kami tewas, lebih dulu puteramu akan kami bunuh! Maka, kalau Andika sayang kepada puteramu, tariklah mundur pasukan kalian dan jangan memaksa kami untuk membunuh anak kecil itu!"
Mendengar ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya.
"Orang Wura-wuri pengecut! Curang dan licik menculik anak kecil yang tidak tahu apa-apa dijadikan sandera!" Ia membentak marah.
Akan tetapi Ki Patih Narotama memajukan kudanya. "Nyi Dewi Durgakumala...! Perlihatkan dulu puteraku Joko Pekik Satyabudhi, baru kami percaya omonganmu dan akan mempertimbangkan permintaanmu!"
"Tidak perlu kami perlihatkan! Pendeknya, Joko Pekik Satyabudhi berada di tangan kami dan kalau pasukanmu maju, kami akan lebih dulu membunuh anak itu!" teriak Nyi Dewi Durgakumala.
Ki Patih Narotama masih ragu. Dia melihat bahwa putranya itu berada di tangan Lasmini di Parang Siluman. Bagaimana mungkin berada di Wura-wuri? Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar teriakan lantang.
"Gusti Patih, jangan percaya omongannyal Ia bohong, putera Paduka tidak berada di Istana Wura-wuri!"
Tiba-tiba dari atas tembok benteng Wura-wuri tampak bayangan orang berkelebat dan Nurseta telah melayang turun dan kini berada di dekat Ki Patih Narotama.
"Nurseta...!!" Seruan ini keluar dari mulut Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi.
"Hamba sudah melakukan penyelidikan ke dalam istana dan memaksa para dayang istana dan memang putera Paduka tidak berada di sana. Nyi Dewi Durgakumala berbohong!"
Ki Patih Narotama melompat turun dari atas punggung kudanya. "Nyi Dewi Durgakumala, atas nama Sang Prabu Erlangga, Raja Kahuripan, kami perintahkan kalian para pemimpin Wura-wuri untuk menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan mengorbankan nyawa banyak perajurit!".
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah dua orang yang serupa segala-galanya, wajahnya, bentuk tubuhnya, pakaiannya! Mereka adalah datuk kembar dari Blambangan itu.
"Ha-ha-ha, inikah yang bernama Ki Patih Narotama yang kabarnya sombong sekali, dari orang gunung nang-nung, orang desa klutuk di Bali-dwipa, sekarang mendapat kedudukan patih menjadi besar kepala?" kata Menak Gambir Anom.
"Heh-heh...! Ingin tahu aku sampai di mana kemampuannya. Apakah kesaktiannya sebesar nama dan kesombongannya? Hei, Narotama, sebelum pasukan kita saling bertempur, beranikah kau melawan kami, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, datuk kembar dari Blambangan?" kata Menak Gambir Sawit.
Ki Patih Narotama pernah mendengar nama besar Datuk Kembar Blambangan ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja dia tidak gentar sedikit pun. Apalagi ketika itu, dia menjadi pemimpin barisan Kahuripan. Pantang untuk takut atau mundur.
"Majulah Pantang bagi Narotama menghindari tantangan musuh dalam perang!" katanya dengan tegas namun tetap tenang dan waspada.
Dua datuk kembar itu lalu menggerak-gerakkan kedua lengan bersilang dan kedua lengannya itu menggetar dan perlahan-lahan kedua lengan mereka berubah menghitam! Mereka mulai mengerahkan Aji Hasta Langking (Tangan Hitam) dan setelah kedua lengan tangan itu menghitam, maka pukulan atau tamparan tangan itu mengandung bisa yang amat ampuh dan jahat. Kalau pukulan tangan itu mengenai badan lawan, maka bagian badan yang terpukul itu dapat menjadi hitam dan membusuk! Setelah kedua lengan mereka menjadi hitam legam, keduanya lalu menyerang sambil berteriak nyaring.
"Hooooohhh...!"
"Haaaaahhh...!"
Tangan-tangan hitam itu menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Narotama. Akan tetapi Narotama menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Terkadang dia menangkis dengan lengannya yang kebal terhadap segala hawa beracun, dan membalas serangan kedua orang pengeroyoknya. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Kalau dua orang itu maju satu demi satu, mereka bukanlah lawan Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini mereka maju berdua dan tentu saja mereka menjadi kuat sekali sehingga dapat mengimbangi kesaktian Ki Patih Narotama.
Melihat dua orang datuk kembar itu sudah bertanding melawan Ki Patih Narotama, dan patih itu dikeroyok dua, Nurseta tidak merasa senang. Sungguh curang orang-orang Wura-wuri, bertanding dengan cara mengeroyok.
Seperti telah diketahui, Nurseta meninggalkan Puncak Gunung Kelud setelah mendengar pengakuan Niken Harni bahwa gadis itu memang ingin menjadi murid Nini Bumigarbo dan bukannya menjadi tawanan nenek itu. Di tengah perjalanan dia mendengar akan perang yang terjadi ketika Empat Kerajaan menyerbu Kahuripan dan dipukul mundur oleh Pasukan Kahuripan. Dia mendengar pula bahwa sebuah pusaka Keraton Kahuripan dicuri musuh, bahkan putera Ki Patih Narotama juga diculik pihak musuh.
Mendengar ini Nurseta menjadi marah sekali. Alangkah curangnya mereka yang memusuhi Kahuripan. Karena di antara Empat Kerajaan musuh itu yang terdekat adalah Wura-wuri, maka dia langsung pergi ke Wura-wuri. Di sini dia melakukan penyelidikan sampai berhasil menyusup ke dalam istana untuk mencari putera Ki Patih Narotama. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan anak itu dan menurut keterangan para dayang keraton anak itu memang tidak berada di istana Wura-wuri.
Kebetulan sekali pada saat itu, pasukan Kahuripan datang. Nurseta menyaksikan kesibukan dan kegemparan dalam kota raja, dan ketika dia menyelinap dan membaur dengan para perajurit, dia mendengar percakapan antara Ki Patih Narotama dengan Nyi Dewi Durgakumala, maka dia langsung melompat keluar dan menggabungkan diri dengan Pasukan Kahuripan.
Kini melihat Ki Patih Narotama dikeroyok dua orang yang memiliki kepandaian tinggi, Nurseta sudah maju dengan niat membantu Ki Patih. Akan tetapi tiba-tiba dari pihak musuh muncul dua orang menghadangnya. Mereka ini bukan lain adalah Ki Gandarwo dan kakak seperguruannya, Cekel Aksomolo yang bentuk tubuh dan mukanya seperti Bhagawan Durna!
"Rrrik-tik-tik-tikkk....!"
Cekel Aksomolo menggerakkan tasbehnya sehingga terdengar bunyi nyaring berkeritikan yang dapat menggetarkan jantung lawan. Ki Gandarwo juga sudah mencabut senjata andalannya, yaitu sebatang pedang. Mereka berdua, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang Nurseta. Seperti biasa, pemuda ini hanya mengandalkan kaki tangannya saja untuk membela diri. Dengan gerak silat Baka Denta, didasari Aji Bayu Sakti, dia dapat dengan mudah menghindarkan hujan serangan dua orang itu dengan elakan atau terkadang dia menangkis dengan tangannya yang kebal dan berani menangkis senjata baja yang tajam sekalipun. Dia pun membalas dengan tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan serangan kedua orang pengeroyoknya.
Sejak tadi Puspa Dewi hanya menonton saja. Ia tidak merasa khawatir melihat Ki Patih Narotama dan Nurseta masing-masing dikeroyok dua orang lawan yang tangguh. Ia yakin akan kemampuan dua orang itu. Kini ia melihat Nyi Dewi Durgakumala, wanita yang pernah menjadi gurunya merangkap ibu angkatnya itu. Juga permaisuri Wura-wuri itu memandang kepadanya dan bibir wanita yang masih cantik itu tersenyum mengejek.
Puspa Dewi sudah mengenal bekas gurunya ini. Senyum seperti itu menandakan bahwa wanita itu marah sekali. Ia pernah melihat Nyi Durgakumala membunuh orang sambil mengembangkan senyum seperti itu! Ia melihat Nyi Dewi Durgakumala memberi isyarat kepada Adipati Bhismaprabhawa. Adipati yang bertubuh tinggi kurus itu mengangguk dan mencabut klewang (golok) bergagang emas, lalu bersama Nyi Dewi Durgakumala menghampiri Puspa Dewi.
"Anak durhaka, murid tak mengenal budi!" Nyi Dewi Durgakumala memaki. "Tidak malu engkau membawa pedangku? Kembalikan pedang Candrasa Langking itu kepadaku!"
Wajah Puspa Dewi menjadi merah mendengar ucapan bekas gurunya itu. Dia cepat mengambil pedang hitam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala.
"Dulu aku tidak minta, engkau sendiri yang memberikannya kepadaku. Sekarang engkau memintanya kembali. Mari, terimalah!"
Dengan gerakan cepat Nyi Dewi Durgakumala merenggut pedang itu dari tangan Puspa Dewi, lalu sambil mencabut pedang itu ia berseru dengan suara mengandung kemarahan.
"Puspa Dewi, bersiaplah untuk mampus, engkau bocah tak mengenal budi!" Pedang di tangannya berubah menjadi sinar hitam yang menyambar bagaikan kilat ke arah leher Puspa Dewi ketika Permaisuri Wura-wuri itu menyerang dengan ganas. Puspa Dewi yang sudah siap cepat menghindar. Pada saat itu, Adipati Bhisniaprabhawa juga menerjang dan membacokkan klewangnya ke arah pinggang dara itu.
Kembali Puspa Dewi menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Bagaimanapun juga, Puspa Dewi tidak lupa bahwa dua orang ini pernah memperlakukannya dengan baik sekali, terutama Nyi Dewi Durgakumala. Mereka bahkan pernah mengangkatnya menjadi Sekar kedaton, diakui sebagai puteri mereka yang dihormati dan dimuliakan rakyat Kadipaten Wura-wuri.
Maka sampai belasan jurus ia hanya menghindar saja. kemudian ia teringat bahwa ia merupakan seorang yang dipercaya oleh Ki Patih Narotama memimpin Pasukan Pelopor, maka ia pun paham bahwa kalau ia kini bertanding melawan Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala, pertandingan itu bukan untuk urusan pribadi, melainkan masing-masing membela kerajaannya.
Mulailah ia membalas, menggunakan Sang Cundrik Arum, yaitu sebatang keris mungil pemberian Sang Prabu Erlangga. Biarpun hanya kecil, namun Cundrik Arum merupakan sebuah pusaka Kahuripan yang ampuh.
"Tranggg...!"
Klewang besar yang menyambar itu ditangkis Puspa Dewi dengan cundriknya. Bunga api berpijar dan Adipati Bhismaprabhawa terkejut melihat betapa ujung klewang yang beradu dengan cundrik kecil tadi telah somplak! Saking kagetnya, Sang Adipati melangkah mundur dengan mata terbelalak. Melihat ini, Nyi Dewi Durgakumala kembali menyerang dengan hebatnya. Sinar pedang hitam menyambar ke arah kepala Puspa Dewi.
"Cringggg...!"
Pedang terpental ketika bertemu dengan cundrik yang menangkis dengan tenaga yang amat kuat. Setelah rnenerima gemblengan Sang Maha Resi Satyadharma selama satu tahun, kini kekuatan dan kepandaian Puspa Dewi sudah jauh melampaui kesaktian bekas gurunya itu.
Suami isteri penguasa Kerajaan Wura-wuri itu mengeroyok Puspa Dewi. Mereka berdua amat membenci Puspa Dewi karena mereka yang telah mengangkat gadis itu menjadi Sekar Kedaton kini malah bertanding sebagai musuh dengan gadis itu. Terutama sekali Nyi Dewi Durgakumala. Ia amat benci kepada Puspa Dewi yang dulu sungguh disayangnya seperti anaknya sendiri. Wanita ini tidak pernah mempunyai anak dan ketika ia mengambil Puspa Dewi sebagai murid, ia merasa sayang sekali kepada murid yang wataknya keras seperti dirinya sendiri itu.
Saking sayangnya, ia bukan saja menurunkan semua aji kesaktiannya kepada Puspa Dewi, bahkan mengangkatnya sebagai anak sendiri. Lebih dari itu, ia seringkali mengurungkan keinginannya yang ditentang oleh Puspa Dewi. Seperti ketika ia memberi syarat kepada Adipati Bhismaprabhawa untuk membunuh Dewi Gendari, isteri Adipati Bhismaprabhawa, sebelum ia menerima lamaran Sang Adipati itu.
Akan tetapi Puspa Dewi melarangnya sehingga akhirnya Dewi Gendari tidak dibunuh, melainkan dipulangkan ke kampung halamannya dengan diberi bekal harta yang cukup banyak. Juga ketika beberapa kali Nyi Dewi Durgakumala menculik pemuda untuk dijadikan kekasihnya dan kemudian dibunuh, Puspa Dewi melarangnya dan ia pun kemudian membebaskan pemuda-pemuda itu, sungguhpun diam-diam ia melukai mereka dengan Aji Wisakenaka sehingga mereka akan tewas pula.
Biarpun merasa agak ragu harus bertanding melawan dua orang yang pernah bersikap baik kepadanya itu, namun mengingat bahwa ia kini bertanding sebagai seorang komandan pasukan Kahuripan melawan musuh Kerajaan itu, pula melihat betapa dua orang itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh penuh kebencian dan semua serangan mereka merupakan serangan maut, akhirnya Puspa Dewi mulai membalas serangan mereka. Terjadilah pertandingan yang tidak kalah serunya dibandingkan petandingan yang dilakukan Nurseta dan Ki Patih Narotama.
Pasukan kedua pihak hanya menjadi penonton. Pasukan Wura-wuri yang memang sudah gentar, tidak berani bergerak karena semua pemimpin mereka sedang bertanding mati-matian. Sementara itu, para perwira Kahuripan yang tidak ikut bertanding juga tidak berani sembarangan menggerakkan pasukan mereka tanpa aba-aba dari para pemimpin, terutama Ki Patih Narotama. Jadi, pasukan kedua pihak hanya menonton pertandingan yang amat dahsyat itu.
Kesaktian Ki Patih Narotama untuk kesekian kalinya teruji ketika dia menghadapi pengeroyokan dua saudara kembar dari Blambangan itu. Dua orang saudara kembar ini masing-masing menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi dan mungkin karena mereka kembar, ketika mereka berdua mengeroyok Ki Patih Narotama, terdapat kerja sama yang amat baik. Mereka itu seolah-olah dua tubuh yang dikendalikan satu hati dan satu pikiran.
Masing-masing seolah dapat merasakan dan dapat mengetahui perkembangan gerakan yang dilakukan saudara kembarnya sehingga pengeroyokan terhadap Ki Patih Narotama dapat dilakukan secara kompak sekali. Mereka berdua seolah saling melindungi secara otomatis. Kalau serangan balasan Ki Patih Narotama membahayakan Menak Gambir Anom, maka Menak Gambir Sawit sudah siap menolong saudaranya dan demikian sebaliknya. Dengan adanya kerja sama yang amat kompak ini, kekuatan mereka seolah dipersatukan sehingga selain pertahanan mereka kokoh, juga penyerangan mereka yang saling dorong itu amat berbahaya, Ki Patih Narotama harus waspada sekali menghadapi lawan-lawan seperti ini.
Untuk mengimbangi kecepatan dan kekompakan gerakan dua orang Datuk Kembar Blambangan itu, Ki Patih Narotama bersilat dengan Ilmu Silat Kukilo Sakti. Akan tetapi dengan ilmu silat ini, dia masih terdesak sehingga dia lalu mengubah gerakannya. Kini tubuhnya berkelebatan seperti beterbangan di antara dua orang pengeroyoknya, menjadi bayangan putih yang cepat sekali. Inilah Ilmu Silat Bramoro Seto (Lebah Putih) dan dengan ilmu silat ini, baru dia dapat mengimbangi pengeroyokan Datuk Kembar Blambangan itu. Pertandingan di antara mereka terjadi dengan dahsyatnya, masing-masing mengeluarkan jurus-jurus simpanan terampuh.
Sepasang Datuk Kembar itu merasa penasaran bukan main. Baru maju sendiri saja sudah jarang ada orang yang mampu menandingi masing-masing. Kini mereka maju bersama berarti kekuatan mereka menjadi berlipat ganda. Namun sebegitu lamanya mereka masih belum mampu melukai tubuh Ki Patih Narotama, apalagi merobohkannya! Bahkan beberapa kali mereka terkejut dan nyaris celaka terkena sambaran pukulan Ki Patih Narotama yang menggunakan Aji Bojrodahono (Api Halilintar) sehingga mereka merasa panas sekali dan terkejut sekali.
Setelah pertandingan berlangsung cukup lama dan Sepasang Datuk Kembar itu merasa bahwa dengan mengandalkan ilmu silat dan pertandingan kekuatan tubuh, tebalnya kulit dan kerasnya tulang, mereka tidak akan menang. Maka setelah saling memberi isyarat, mereka berdua berloncatan ke belakang, lalu menyimpan ruyung masing-masing digantungkan di pinggang.
Tangan kanan Menak Gambir Sawit memegang tangan kiri Menak Gambir Anom, lalu Menak Gambir Anom menghantamkan telapak tangan kanannya ke arah Narotama. Dengan cara itu, mereka berdua menggabungkan tenaga sakti mereka lewat tangan yang saling berpegangan kemudian tenaga sakti yang tergabung itu dikeluarkan melalui tangan kanan Menak Gambir Anom untuk menyerang Narotama.
"Wuuuuuttt...!"
Telapak tangan kanan Menak Gambir Anom itu mengeluarkan uap putih yang dingin sekali. Bahkan keadaan sekelilingnya terasa ada angin yang amat dingin menyambar. Itulah Aji Ampak-ampak Petak, pukulan jarak jauh yang mengandung hawa dingin seperti salju. Sambaran angin berhawa dingin itu menyambar ke arah Ki Patih Narotama yang segera dapat mengetahui bahwa dia diserang secara hebat oleh tenaga sakti gabungan dua Datuk Kembar dari Blambangan itu.
Serangan ini merupakan serangan maut yang amat berbahaya, terlalu besar resikonya kalau dihadapi dengan elakan atau tangkisan karena serangan itu mengandung daya kekuatan yang luas. Satu-satunya jalan adalah menyambutnya dengan kekerasan dan mengadu tenaga sakti. Maka Ki Patih Narotama berkemak-kemik membaca doa, mohon ampun dan bimbingan Sang Hyang Widhi, lalu dia mengerahkan tenaga Bojrodahono yang panas untuk melawan serangan hawa dingin itu. Lalu dia menekuk lutut depan, menjulurkan kaki belakang dan mendorong dengan tangan kirinya menyambut pukulan tangan kanan Menak Gambir Anom yang mengandung tenaga gabungan Sepasang Datuk Kembar itu.
"Syuuuuuttt.... blaarrrr...!"
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti yang berlawanan, satu amat dingin dan yang lain amat panas itu. Tanah di sekitarnya terasa guncang oleh pertemuan dua tenaga raksasa itu. Tubuh Ki Patih Narotama terhuyung beberapa langkah ke belakang, akan tetapi tubuh dua orang datuk itu terlempar dan roboh. Dari mulut, hidung, dan telinga Menak Gambir Sawit keluar darah dan dia tewas seketika, sedangkan Menak Gambir Anom hanya merasa dadanya sesak.
Ternyata akibat benturan tenaga itu, yang paling parah menanggung akibatnya adalah Menak Gambir Sawit yang berada di belakang atau di ujung penggabungan tenaga sakti itu, sedangkan Menak Gambir Anom hanya menjadi penyambung dan dilewati getaran hebat dari tenaga sakti yang membalik. Tenaga sakti itu langsung dan sepenuhnya menghantam balik tubuh Menak Gambir Sawit sehingga dia tewas seketika. Melihat saudara kembarnya tewas, Menak Gambir Anom terkejut dan tanpa mempedulikan dadanya yang sesak dia memondong jenazah saudaranya lalu membawanya lari memasuki barisannya dan terdengar dia meraung dalam tangisnya!
Ki Patih Narotama berdiri dan menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan isi dadanya yang sempat terguncang. Lalu dia menghela napas beberapa kali, timbul penyesalannya bahwa orang sesakti Menak Gambir Sawit harus berkorban nyawa membela Wura-wuri yang dipimpin orang-orang yang berwatak angkara murka. Dia lalu menoleh dan memandang ke arah Nurseta dan Puspa Dewi yang masing-masing masih menghadapi pengeroyokan dua orang lawan. Ki Patih Narotama tidak membantu mereka karena dia dapat melihat bahwa dua orang muda itu tidak membutuhkan bantuan dan tidak akan kalah.
Perhitungan Ki Patih Narotama memang benar. Biarpun sampai saat itu Nurseta belum dapat merobohkan Ki Gandarwo dan Cekel Aksomolo yang mengeroyoknya, namun dia mulai mendesak kedua orang kakak beradik seperguruan itu, Yang membuat Nurseta agak repot dan belum dapat mengalahkan mereka adalah serangan-serangan yang amat hebat dan berbahaya dari Cekel Aksomolo. Orang yang tinggi kurus bongkok dan tampaknya lemah Ini ternyata amat berbahaya dengan senjatanya yang Istimewa, yaitu seuntai tasbeh hitam.
Biji-biji tasbeh hitam itu mengeluarkan bau aneh yang memuakkan dan mengandung racun jahat. Juga ketika digerakkan sebagai senjata, tasbeh itu mengeluarkan suara berkerotokan memekakkan telinga dan mengguncang jantung menimbulkan rasa nyeri dalam dada. Nurseta merasa seolah-olah dikeroyok banyak lebah dan merasa terganggu sekali sehingga tidak dapat memusatkan perhatian yang selalu tergoda dan terkecoh oleh suara berkerotoknya biji-biji tasbeh.
Maka, biarpun dia dapat menghindarkan semua serangan tasbeh yang dibantu serangan pedang Ki Gandarwo yang ganas, serangan baliknya kurang terpusat dan tidak begitu kuat. Sehingga dia belum juga mampu mengalahkan dua orang pengeroyoknya itu.
Kakak beradik seperguruan itu pun merasa penasaran bukan main. Terutama sekali Cekel Aksomolo yang wataknya tinggi hati dan memandang rendah lawan, mengagulkan diri sendiri. Ketika Nurseta membalas dengan tusukan keris pusaka Kolomisani, Cekel Aksomolo miringkan tubuhnya dan secepat kilat tasbehnya menyambar dan tasbeh itu berhasil dikalungkan pada keris di tangan Nurseta dan membelit keris itu!
Nurseta berusaha menarik lepas kerisnya, namun Cekel Aksomolo mempertahankan. Selagi kedua orang ini bersitegang, Ki Gandarwo membacokkan pedangnya ke arah kepala Nurseta! Melihat dirinya terancam bahaya maut, Nurseta mengeluarkan teriakan mengguntur dan tangan kirinya menyambut pedang itu dengan pukulan telapak tangannya.
"Wuuttt... plakk...!!"
Pedang itu mental dan membalik, membacok kepala Ki Gandarwo sendiri. Senopati muda Wura wuri yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas karena kepalanya terbacok pedangnya sendiri sampai dalam!
"Rrrrttt...!"
Nurseta merenggut kerisnya dan tasbeh itu putus, biji tasbehnya sebagian masih digenggam Cekel Aksomolo, sebagian lagi tercecer di atas tanah. Cekel Aksomolo terkejut sekali, terutama melihat tewasnya Ki Gandarwo. Dia menjerit seperti seorang wanita, melompat ke dalam barisannya dan tiba-tiba dia menggerakkan tangan dan beberapa buah ganatri (biji tasbeh) meluncur ke arah Nurseta, mengeluarkan bunyi berdengung seperti tawon.
Nurseta mengelak dan menampar jatuh beberapa buah ganatri, akan tetapi dua buah yang luput dan lewat di dekat tubuhnya, tiba-tiba membalik seperti mahluk hidup dan menyambar lagi ke arah kepalanya! Nurseta memukul runtuh dua buah ganatri ini dan ketika dia memandang ke depan, Cekel Aksomolo telah menghilang dalam barisan Wura-wuri.
Pada saat yang hampir bersamaan, Puspa Dewi juga berhasil menendang roboh Adipati Bhismaprabhawa. Pada kesempatan selagi Puspa Dewi melakukan tendangan, Nyi Dewi Durgakumala mengelebatkan pedang hitamnya ke arah leher Puspa Dewi. Gadis itu cepat menggunakan Cundrik Arum untuk menangkis.
"Cringgg...!"
Pedang terpental dan hampir saja terlepas dari tangan Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi marah melihat suaminya tertendang roboh. Ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya menyerang dengan Aji Wisakenaka dari jarak dekat. Kuku jari-jari tangan permaisuri Wura-wuri itu mencengkeram dan kalau sampai kulit Puspa Dewi tercakar dan terluka, maka racun dari kuku-kuku itu akan dapat mencelakakannya. Akan tetapi tentu saja Puspa Dewi sudah hafal akan aji ini yang juga sudah dikuasainya dengan baik, maka ia menangkis dari samping sambil mengerahkan tenaga saktinya yang sudah diperkuat oleh Sang Maha Resi Satyadharma.
"Plakk...!"
Tangkisan itu membuat tubuh Nyi Dewi Durgakumala terpelanting roboh. Puspa Dewi mengejar dan menangkap pundak bekas gurunya yang roboh miring, tangan kanan mengangkat cundrik (keris kecil atau belati) untuk ditusukkan. Nyi Dewi Durgakumala tak mampu menghindar lagi karena ketika roboh, tangannya yang memegang pedang tertindih tubuhnya. Ia hanya menanti kematian dengan mata terbelalak. Pada saat itu, Adipati Bhismaprabhawa yang tadi tertendang jatuh, kini bangkit dan dengan pedangnya dia melompat dan menyerang Puspa Dewi dari belakang!
"Singgg... cappp!!"
Adipati Bhismaprabhawa mengaduh dan jatuh terpelanting, sebatang tombak menembus punggungnya. Dia tewas seketika, tanpa mengetahui bahwa yang menewaskannya adalah sebatang tombak yang dilontarkan Ki Patih Narotama yang melihat kecurangan Sang Adipati Wura wuri itu. Dia cepat mengambil sebatang tombak di atas tanah dan meluncurlah tombak itu ke arah punggung Sang Adipati Bhismaprabhawa untuk menyelamatkan Puspa Dewi dari serangan gelap itu.
Sementara itu, melihat Adipati Bhismaprabhawa telah tewas dan semua pemimpin Wura-wuri kalah, Nyi Dewi Durgakumala yang masih ditodong Puspa Dewi berkata, "Murid tak kenal budi, cepat bunuh aku agar kemurtadan mu lengkap!"
Akan tetapi Puspa Dewi melangkah mundur. "Nyi Dewi Durgakumala, biarlah sekali ini aku membalas budimu dan kalau ada yang hendak membunuhmu, aku yang akan mencegahnya dan melindungimu. Pergilah!"
Nyi Dewi Durgakumala bangkit berdiri dan tersenyum mengejek. "He-heh, ternyata engkau masih belum dapat menandingiku. Engkau masih lemah hati. Engkau melepaskan aku, tidak membunuhku, merupakan penghinaan yang tidak akan kulupakan. Lain waktu kita akan bertemu kembali dan aku akan menebus semua ini!" Setelah berkata demikian, Nyi Dewi Durgakumala melompat dan menghilang di balik barisannya.
Setelah semua pimpinan mereka kalah, ada yang tewas dan ada yang melarikan diri, hati para perajurit Wura-wuri menjadi semakin gentar. Akan tetapi Ki Patih Narotama menaati pesan Sang Prabu Erlangga. Dia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukan Kahuripan diam di tempat dan tidak bergerak. Kemudian dia menancapkan dua batang tombak panjang yang banyak berserakan di tanah, dan bagaikan seekor burung dia melompat lalu berdiri di atas kedua batang tombak itu. Dia berdiri tegak seperti di atas tanah saja dan hal ini menunjukkan betapa ilmu meringankan tubuh Ki Patih Narotama sudah mencapai tingkat tinggi.
Setelah berdiri tegak di atas dua batang tombak itu sehingga dia berada di tempat agak tinggi dan dapat dilihat para perajurit musuh, Ki Patih Narotama berseru dengan lantang. Suaranya mengandung getaran amat kuat sehingga terdengar sampai ke ujung kota raja.
"Haiii...! Para perwira, perajurit, dan rakyat Wura-wuri, dengarlah baik-baik! Kami, Ki Patih Narotama dan segenap Senopati Kahuripan diutus yang mulia Gusti Sinuwuh Sang Prabu Erlangga untuk memberitahu kepada Andika sekalian bahwa kami datang untuk memberi hukuman kepada para penguasa Wura-wuri yang beberapa kali telah merongrong kewibawaan Kerajaan Kahuripan, membuat kekacauan dan melakukan penyerangan sehingga mengakibatkan tewasnya ribuan orang perajurit semua pihak yang berperang. Kami tidak ingin mengganggu rakyat jelata, dan kami datang tidak akan membunuh para perajurit Wura-wuri, bahkan memberi kebebasan kepada Andika sekalian. Hanya mereka yang membuat onar dan kekacauan yang akan kami tindak dan kami hukum! Pasukan kami akan memasuki Kadipaten Wura wuri dengan damai!"
Setelah berkata demikian, Ki Patih Narotama lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menggerakkan pasukan memasuki kota raja atau kadipaten dengan tertib.
"Huh, dia akan mengeluarkan aji pamungkasnya yang mengerikan, yaitu Aji Malih Leyak." kata Nini Bumigarbo kepada Niken Harni.
Gadis ini pernah mendengar bahwa di Bali-dwipa terkenal dengan aji yang ada hubungannya dengan pemujaan Sang Batari Durga, atau pemujaan Setan ini, yang kabarnya amat dahsyat dan jahat. Maka ia memandang dengan penuh perhatian dan merasa ngeri melihat betapa kepala Wiku Ktut Bumi Setra mulai bergerak-gerak sehingga tiga batang dupa lilin itu bergoyang-goyang dan asapnya membuat bentuk yang aneh. Juga bau asap dupa lidi itu makin lama semakin memuakkan. Kalau tadinya berbau wangi yang aneh, kini makin lama berubah menjadi bau busuk, seperti bau bangkai.
Tiba-tiba seluruh tubuh Wiku Ktut Bumi Setra menggigil dan dari tubuhnya mengepul uap kehitaman tipis yang mengeluarkan bau apek dan busuk. Tubuh yang menggigil itu menjadi semakin besar, hampir dua kali lipat besarnya dan tampaklah wujud yang mengerikan sekali. Mahluk yang tinggi besarnya dua kali manusia dewasa itu bukan manusia lagi, melainkan iblis yang menyeramkan.
Rambutnya gimbal dan mencuat ke sana-sini, matanya lebar dan melotot seperti akan melompat keluar biji matanya yang besar-besar, alisnya tebal dan kaku seperti juga rambutnya, mirip kawat. Lengannya berbulu dan panjang, dan tangannya berkuku panjang. Hidungnya besar merekah dan mulutnya yang paling menakutkan. Mulut itu ternganga, dengan gigi besar-besar dan ada taring di kanan kiri, lidahnya terjulur keluar, panjang dan merah dan dari dalam mulutnya tampak api keluar masuk, seolah dia bernapaskan api!
Mahluk itulah yang dikenal sebagai Leyak atau Iblis yang dipuja mereka yang meninggalkan jalan kebenaran. Leyak itu terselimuti uap kehitaman yang tipis dan terdengarlah suara gemuruh seperti suara ratusan mulut setan berteriak-teriak di belakang Leyak ini. Wujud yang mengerikan itu kini melangkah maju menghampiri Nurseta sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat.
Niken Harni yang amat pemberani itu pun kini mengkirik (menggeliang-geliut) saking ngerinya melihat mahluk yang menyeramkan itu. Apalagi tercium bau yang hampir tak tertahankan saking busuknya. Mahluk itu sudah merupakan wujud lain dari Wiku Ktut Bumi Setra. Sukar untuk percaya melihat Sang Wiku dapat berubah seperti mahluk itu, akan tetapi bukti bahwa di atas pengikat rambut mahluk itu terdapat tiga batang dupa lidi yang masih membara dan mengeluarkan asap putih, dan kedua pergelangan tangan mahluk itu juga memakai gelang akar bahar hitam seperti yang dipakai Wiku Ktut Bumi Setra, maka orang baru akan percaya bahwa Leyak itu memang malihan (pergantian rupa) Sang Wiku.
Nurseta juga terkejut dan sesaat jantungnya berdebar tegang menghadapi mahluk yang selain menyeramkan, juga mengeluarkan wibawa yang teramat kuat. Dia pernah mendengar tentang Aji Malih Leyak ini, akan tetapi baru sekarang dia berhadapan dengan mahluk itu. Akan tetapi dia segera dapat memulihkan ketenangannya dan karena dia tahu betapa kuatnya mahluk ini, dia lalu mencabut Keris Pusaka Kolomisani pemberian Ki Patih Narotama. Dengan keris pusaka di tangan kanan, dia menanti dengan tenang namun waspada.
Dengan mengeluarkan gerengan yang dahsyat, Leyak itu mulai menyerang ke depan, kedua tangannya yang berkuku panjang itu menyambar yang kanan ke arah kepala Nurseta, yang kiri ke arah lehernya. Tangan-tangan besar berkuku panjang itu pasti akan meremukkan kepala dan mematahkan batang leher. Namun Nurseta yang sudah siap siaga itu dengan cepat sekali sudah mengelak ke belakang, lalu dengan loncatan memutar kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah dada mahluk itu.
"Dess...!"
Kaki itu tepat menendang perut, dan Leyak itu hanya mundur dua langkah. Nurseta menyusul dengan tusukan kerisnya, juga ke arah perut yang besar itu.
"Tukk...!"
Tusukan itu tepat mengenai perut Leyak yang gerakannya kaku dan lamban itu, akan tetapi tusukan itu yang mengenai perut seolah menusuk air saja, sama sekali tidak dirasakan Leyak itu! Bahkan tangan kiri Leyak itu menyambar dari samping. Nurseta tidak sempat mengelak hanya miringkan tubuh sehingga bukan dadanya yang terpukul melainkan pundaknya. Dia terhuyung, merasa seperti dipukul palu godam yang amat kuat!
Terjadilah perkelahian yang seru. Leyak itu lamban dan kaku, namun tubuhnya kebal. Terkadang keris dan tamparan tangan kiri Nurseta seperti mengenai air dan tembus tanpa melukai, akan tetapi terkadang seperti bertemu baja yang keras sehingga tangan atau kerisnya terpental! Nurseta memang jauh lebih cepat gerakannya, akan tetapi karena semua serangannya gagal, dan sebaliknya kalau sampai pukulan tangan Leyak itu mengenainya, dapat mencelakakannya, maka dia berhati-hati sekali. Leyak itu memiliki tenaga yang luar biasa sekali. Juga api yang menyambar-nyambar dari mulutnya itu bukan api biasa, dan lebih panas daripada api biasa.
Nurseta mulai terdesak dan Leyak itu yang juga selalu gagal dengan serangannya karena gerakan Nurseta terlalu cepat baginya, kini berusaha untuk menangkap tubuh lawan yang hanya setengah besar dan tinggi tubuhnya itu. Nurseta mulai maklum bahwa kalau dia terus melawan dengan mengandalkan kecepatannya, tanpa mampu membalas karena semua serangannya tidak terasa oleh Leyak itu, dia akan terancam bahaya. Sekali saja tubuhnya dapat diringkus tangan-tangan berkuku panjang dan kokoh kuat itu, berarti dia kalah, bahkan mungkin saja dia akan mengalami cedera berat, atau bahkan tewas.
Setelah mempertahankan diri beberapa lamanya, akhirnya Nurseta mengambil keputusan untuk mempergunakan aji pamungkas yang sebetulnya tidak boleh sembarangan dia pergunakan. Sekali ini karena terpaksa, maka dia mengambil keputusan untuk mempergunakannya. Dia melompat cepat ke belakang, bersedakap, mencurahkan segala perhatian dan kekuatan batinnya, membanting kaki tiga kali ke atas tanah dan tiba-tiba mengepul uap putih dan tubuhnya berubah menjadi besar sekali, sebesar Pohon Beringin, jauh lebih besar beberapa kali lipat dibandingkan besar tubuh Leyak!
"Hemm, bocah ini bahkan menguasai Aji Triwikrama! Bukan main!" kata Nini Bumigarbo kagum.
Perwujudan raksasa itu berdiri tegak, kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangan bertolak pinggang, dari mulutnya terdengar gerengan yang menggetar seluruh permukaan gunung, bahkan terasa oleh para penduduk didusun-dusun yang berada di lereng bawah. Leyak itu kalah wibawa. Dia gemetar dan terhuyung ke belakang sampai belasan langkah. Tubuhnya menyusut, semakin kecil dan akhirnya berubah kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra. Hal ini tidaklah mengherankan.
Aji Malih Leyak ini merupakan aji yang berasal dari Bathari Durga yang menjadi Ratu Iblis, adapun Aji Triwikrama berasal dari Sang Hyang Wisnu! Begitu Leyak kembali menjadi Wiku Ktut Bumi Setra, raksasa itu pun menyusut dan berubah kembali menjadi Nurseta. Wiku Ktut Bumi Setra berdiri dengan wajah agak pucat, lalu tiba-tiba wajahnya berubah kemerahan.
"Gayatri, aku pamit!" Dan tubuhnya sudah berkelebat pergi dari situ.
"Paman Wiku, maafkan saya...!" Nurseta berkata, menyesal bahwa dia telah mengalahkan datuk itu sehingga membuat hatinya tersinggung.
"Nurseta, sampaikan salamku kepada Bhagawan Ekadenta!" terdengar jawaban dari bayangan Wiku Ktut Bumi Setra yang sudah menuruni puncak dengan cepatnya.
Setelah sisa ketegangan pertandingan tadi menghilang dan suasana menjadi tenang dan sunyi kembali, Nurseta menghampiri Nini Bumigarbo dan memberi hormat dengan sembah.
"Mohon maaf apabila pertandingan tadi mengganggu ketenteraman tempat tinggal Bibi di sini, akan tetapi saya dipaksa membela diri oleh Paman Wiku Ktut Bumi Setra tadi."
"Hemm, Nurseta. Kalau tidak ingat bahwa engkau pernah menjadi murid Bhagawan Ekadanta, aku akan senang sekali mengadu kesaktian denganmu! Sekarang katakan, apa kehendakmu?"
"Maaf, Bibi. Saya mohon sukalah kiranya Andika membebaskan Niken Harni yang Andika tahan di sini agar saya dapat mengantarkannya pulang ke rumah orang tuanya."
"Huh, ucapanmu lancang, Nurseta! Siapa yang menahan Niken Harni di sini? Tanyakan saja sendiri padanya!" Setelah berkata demikian, Nini Bumigarbo bersila menegakkan tubuh dan memejamkan kedua matanya.
Nurseta menghampiri Niken Harni yang masih duduk diatas batu. Gadis itu masih terkagum-kagum menonton pertandingan yang hebat tadi. Ia kagum kepada Nurseta yang mampu mengalahkan Wiku Ktut Bumi Setra yang demikian sakti mandraguna. Kini keinginannya untuk menimba ilmu dari Nini Bumigarbo semakin kuat. Ketika Nurseta menghampirinya, ia menatap dengan sinar mata tajam."Nimas Ken Harni, Andika ditunggu-tunggu orang tua dan seluruh keluarga Andika yang merasa cemas memikirkan keselamatan Andika. Marilah Andika kuantar pulang, Nimas."
"Apakah Andika diutus orang tuaku untuk mengajak aku pulang?" tanya Niken Harni.
"Tidak, Nimas. Aku hanya membantu Puspa Dewi untuk mencarimu di Wengker dan di sana aku mendengar bahwa Andika dibawa pergi Bibi Nini Bumigarbo, maka aku menyusul ke sini dan mengajak Andika pulang."
"Hemm, kalau begitu, Andika tidak perlu mencampuri urusanku. Aku memang ingin ikut Bibi Nini Bumigarbo dan menjadi muridnya. Andika atau siapa saja tidak boleh menghalangi kehendakku ini. Pergilah dan jangan ganggu kami di sini! Kalau bertemu keluargaku, katakan bahwa kalau sudah selesai belajar, aku akan pulang dan tidak perlu mencari aku!"
Nurseta tertegun. Sama sekali. tidak disangkanya bahwa gadis ini memang ikut Nini Bumigarbo dengan suka rela karena ingin menjadi murid nenek berpakaian serba hitam itu! Dia merasa kecelik. Kalau mengetahui bahwa Niken Harni memang ingin mengikuti nenek itu, tentu dia tidak akan bersusah payah mencarinya. Dan dia pun tahu bahwa gadis ini benar-benar ingin menjadi murid nenek itu. Sekiranya gadis itu dipegaruhi sihir atau ada daya yang tidak wajar, pasti dia dapat merasakannya sekarang. Dia merasa malu sendiri.
"Kalau begitu, terserah Andika." kata Nurseta yang segera menghampiri Nini Bumigarbo, memberi hormat dan berkata, "Bibi Nini Bumigarbo, saya mohon maaf atas persangkaan saya tadi bahwa Bibi yang membawa pergi dan menawan Niken Harni. Sekarang saya mohon pamit meninggalkan tempat ini."
Akan tetapi Nini Bumigarbo tidak menjawab, tetap duduk bersila dalam keadaan samadhi. Setelah menanti beberapa lamanya nenek berpakaian serba hitam itu tetap tidak bergerak dan tidak menjawab, Nurseta lalu bangkit berdiri dan pergi meninggalkan puncak itu dengan cepat. Bayangannya diikuti pandang mata Niken Harni.
********************
Pagi itu Kerajaan Wura-wuri gempar. Pasukan besar Kahuripan ketika memasuki tapal batas daerah Wura-wuri, tidak menemui hambatan. Rakyat Wura-wuri ketakutan karena biasanya, apabila terjadi perang, para perajurit musuh selalu menimbulkan kekacauan dengan perbuatan-perbuatan yang kejam dan biadab. Merampok, membunuh, memperkosa.
Semua nafsu setan mereka diumbar, sebagian memang karena didorong nafsu hendak memuaskan diri, sebagian lagi dilakukan sebagai siasat mengacaukan pertahanan musuh. Akan tetapi sekali ini, pasukan Kahuripan sama sekali tidak mengganggu rakyat daerah Wura-wuri. Tidak ada penganiayaan, tidak ada pembunuhan, pembakaran rumah, pencurian maupun gangguan wanita.
Pasukan besar itu lewat saja melalui dusun-dusun tanpa mengganggu sehingga berita ini segera tersiar dan akibatnya, di sepanjang perjalanan, pasukan Kahuripan bahkan disambut rakyat dengan suguhan dawegan (kelapa muda), pisang, dan buah-buahan lain. Ibu kota Wura-wuri gempar ketika para pamong praja mendengar bahwa pasukan besar Kahuripan sudah mulai memasuki daerah mereka dan sedang menuju ke kota raja, dipelopori seribu orang perajurit yang dipimpin oleh Puspa Dewi.
Pada waktu itu, dua orang kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala yang diundang oleh permaisuri itu telah tiba di kota raja Wura-wuri. Mereka adalah dua orang saudara kembar berusia sekitar lima puluh lima tahun. Orang akan merasa heran dan bingung kalau berhadapan dengan mereka berdua. Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit yang kembar ini serupa benar, baik wajah mereka yang kurus tubuh mereka yang tinggi kurus sampai bentuk rambut dan pakaian mereka.
Sebagai kakak-kakak seperguruan Nyi Dewi Durgakumala, dapat dibayangkan betapa saktinya dua orang saudara kembar ini. Mereka merupakan dua di antara para datuk yang terkenal di daerah Blambangan. Senjata ruyung (penggada) merupakan senjata andalan mereka, dinamakan Kyai Rujak Polo! Di samping ilmu silat mereka yang tangguh, kedua orang saudara kembar ini pun memiliki ilmu sihir yang ampuh.
Mendengar berita bahwa pasukan Kahuripan sudah dating menuju kota Kadipaten Wura-wuri, Adipati Bhismaprabhawa bersama permaisurinya, Nyi Dewi Durgakumala, lalu membuat persiapan mengatur barisan untuk menyambut pasukan musuh. Kedua orang saudara kembar, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, diangkat menjadi senopati yang akan menghadapi para pimpinan pasukan Kahuripan yang sakti, dan mereka berdua itu dibantu oleh Ki Gandarwo dan Cekel Aksomolo yang juga sudah berada di Wura-wuri, diundang oleh adik seperguruannya, Ki Gandarwo, untuk membantu Wura-wuri.
Sisa pasukan Wura-wuri yang dapat lolos ketika mereka menyerbu Kahuripan, dikerahkan. Namun diam-diam semangat para perajurit Ini sudah menguncup, jerih menghadapi pasukan Kahuripan yang tangguh dan dipimpin orang-orang sakti mandraguna. Ketika menyerbu ke Kahuripan, mereka bergabung dengan tiga kerajaan lain, namun masih kalah. Apalagi sekarang mereka harus menghadapi pasukan Kahuripan sendirian saja!
Para perwiranya saja sudah patah semangat. Akan tetapi, Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala mengadakan peraturan keras. Kalau ada perajurit melarikan diri dan tidak menyambut serbuan musuh, mereka akan dibunuh sendiri oleh pasukan khusus yang berada di belakang!
Karena pasukan Wura-wuri sudah kehilangan banyak perajurit ketika menyerbu Kahuripan, maka Adipati Bhismaprabhawa tidak berani melakukan penghadangan jauh dari kota raja, melainkan mengerahkan seluruh pasukan untuk mempertahankan kota raja Kadipaten Wura-wuri.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi setelah matahari naik cukup tinggi, tibalah saat yang dinanti-nantikan dengan penuh ketegangan itu. Pasukan Kahuripan tiba di luar tembok benteng kota raja Wura-wuri, dipelopori seribu orang perajurit. Pasukan pelopor itu dipimpin oleh Puspa Dewi yang menunggang seekor kuda pancal panggung (keempat ujung kakinya berwarna putih), dan tampak gagah sekali. Kedua pihak telah siap dan masing-masing pasukan sudah saling berhadapan, menanti perintah untuk mulai menyerbu.
Pasukan Wura-wuri berbaris di luar pintu gerbang. Tiba-tiba dari barisan Wura-wuri muncul Nyi Dewi Durgakumala. Wanita setengah tua masih cantik ini mengenakan pakaian gemerlapan. Permaisuri itu kini mengenakan pakaian perang sebagai seorang senopati wanita yang cantik dan gagah. Ia mengangkat tangan tanda bahwa ia ingin bicara. Kemudian terdengar suaranya yang lantang.
"Hai, orang-orang Kahuripan, dengarlah! Aku, Permaisuri Dewi Durgakumala, sebagai senopati perang mewakili Sang Adipati Bhismaprabhawa, minta agar Ki Patih Narotama maju kesini karena kami ingin bicara!"
Ki Patih Narotama yang berada di belakang Pasukan Pelopor pimpinan Puspa Dewi, menggeprak kudanya dan maju sehingga berada di depan pasukan itu.
"Dewi Durgakumala, apalagi yang hendak dibicarakan? Kami minta agar Wura-wuri menyerah agar kami tidak perlu memukul dengan kekerasan yang mengakibatkan tewasnya banyak perajurit Wura-wuri!" kata Narotama, suaranya menggelegar terdengar oleh seluruh pasukan Wura-wuri.
"Heh, Ki Patih Narotama, kalian tidak dapat menggertak kami! Ketahuilah bahwa puteramu Joko Pekik Satyabudhi telah berada di tangan kami! Kalau Andika tetap hendak menyerbu kami, sebelum ada seorang pun perajurit kami tewas, lebih dulu puteramu akan kami bunuh! Maka, kalau Andika sayang kepada puteramu, tariklah mundur pasukan kalian dan jangan memaksa kami untuk membunuh anak kecil itu!"
Mendengar ini, Puspa Dewi mengerutkan alisnya.
"Orang Wura-wuri pengecut! Curang dan licik menculik anak kecil yang tidak tahu apa-apa dijadikan sandera!" Ia membentak marah.
Akan tetapi Ki Patih Narotama memajukan kudanya. "Nyi Dewi Durgakumala...! Perlihatkan dulu puteraku Joko Pekik Satyabudhi, baru kami percaya omonganmu dan akan mempertimbangkan permintaanmu!"
"Tidak perlu kami perlihatkan! Pendeknya, Joko Pekik Satyabudhi berada di tangan kami dan kalau pasukanmu maju, kami akan lebih dulu membunuh anak itu!" teriak Nyi Dewi Durgakumala.
Ki Patih Narotama masih ragu. Dia melihat bahwa putranya itu berada di tangan Lasmini di Parang Siluman. Bagaimana mungkin berada di Wura-wuri? Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar teriakan lantang.
"Gusti Patih, jangan percaya omongannyal Ia bohong, putera Paduka tidak berada di Istana Wura-wuri!"
Tiba-tiba dari atas tembok benteng Wura-wuri tampak bayangan orang berkelebat dan Nurseta telah melayang turun dan kini berada di dekat Ki Patih Narotama.
"Nurseta...!!" Seruan ini keluar dari mulut Ki Patih Narotama dan Puspa Dewi.
"Hamba sudah melakukan penyelidikan ke dalam istana dan memaksa para dayang istana dan memang putera Paduka tidak berada di sana. Nyi Dewi Durgakumala berbohong!"
Ki Patih Narotama melompat turun dari atas punggung kudanya. "Nyi Dewi Durgakumala, atas nama Sang Prabu Erlangga, Raja Kahuripan, kami perintahkan kalian para pemimpin Wura-wuri untuk menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan mengorbankan nyawa banyak perajurit!".
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak dan muncullah dua orang yang serupa segala-galanya, wajahnya, bentuk tubuhnya, pakaiannya! Mereka adalah datuk kembar dari Blambangan itu.
"Ha-ha-ha, inikah yang bernama Ki Patih Narotama yang kabarnya sombong sekali, dari orang gunung nang-nung, orang desa klutuk di Bali-dwipa, sekarang mendapat kedudukan patih menjadi besar kepala?" kata Menak Gambir Anom.
"Heh-heh...! Ingin tahu aku sampai di mana kemampuannya. Apakah kesaktiannya sebesar nama dan kesombongannya? Hei, Narotama, sebelum pasukan kita saling bertempur, beranikah kau melawan kami, Menak Gambir Anom dan Menak Gambir Sawit, datuk kembar dari Blambangan?" kata Menak Gambir Sawit.
Ki Patih Narotama pernah mendengar nama besar Datuk Kembar Blambangan ini dan maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi tentu saja dia tidak gentar sedikit pun. Apalagi ketika itu, dia menjadi pemimpin barisan Kahuripan. Pantang untuk takut atau mundur.
"Majulah Pantang bagi Narotama menghindari tantangan musuh dalam perang!" katanya dengan tegas namun tetap tenang dan waspada.
Dua datuk kembar itu lalu menggerak-gerakkan kedua lengan bersilang dan kedua lengannya itu menggetar dan perlahan-lahan kedua lengan mereka berubah menghitam! Mereka mulai mengerahkan Aji Hasta Langking (Tangan Hitam) dan setelah kedua lengan tangan itu menghitam, maka pukulan atau tamparan tangan itu mengandung bisa yang amat ampuh dan jahat. Kalau pukulan tangan itu mengenai badan lawan, maka bagian badan yang terpukul itu dapat menjadi hitam dan membusuk! Setelah kedua lengan mereka menjadi hitam legam, keduanya lalu menyerang sambil berteriak nyaring.
"Hooooohhh...!"
"Haaaaahhh...!"
Tangan-tangan hitam itu menyambar-nyambar secara bertubi-tubi ke arah tubuh Narotama. Akan tetapi Narotama menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, menghindarkan diri dengan elakan-elakan. Terkadang dia menangkis dengan lengannya yang kebal terhadap segala hawa beracun, dan membalas serangan kedua orang pengeroyoknya. Terjadilah pertempuran yang amat seru. Kalau dua orang itu maju satu demi satu, mereka bukanlah lawan Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini mereka maju berdua dan tentu saja mereka menjadi kuat sekali sehingga dapat mengimbangi kesaktian Ki Patih Narotama.
Melihat dua orang datuk kembar itu sudah bertanding melawan Ki Patih Narotama, dan patih itu dikeroyok dua, Nurseta tidak merasa senang. Sungguh curang orang-orang Wura-wuri, bertanding dengan cara mengeroyok.
Seperti telah diketahui, Nurseta meninggalkan Puncak Gunung Kelud setelah mendengar pengakuan Niken Harni bahwa gadis itu memang ingin menjadi murid Nini Bumigarbo dan bukannya menjadi tawanan nenek itu. Di tengah perjalanan dia mendengar akan perang yang terjadi ketika Empat Kerajaan menyerbu Kahuripan dan dipukul mundur oleh Pasukan Kahuripan. Dia mendengar pula bahwa sebuah pusaka Keraton Kahuripan dicuri musuh, bahkan putera Ki Patih Narotama juga diculik pihak musuh.
Mendengar ini Nurseta menjadi marah sekali. Alangkah curangnya mereka yang memusuhi Kahuripan. Karena di antara Empat Kerajaan musuh itu yang terdekat adalah Wura-wuri, maka dia langsung pergi ke Wura-wuri. Di sini dia melakukan penyelidikan sampai berhasil menyusup ke dalam istana untuk mencari putera Ki Patih Narotama. Akan tetapi dia tidak dapat menemukan anak itu dan menurut keterangan para dayang keraton anak itu memang tidak berada di istana Wura-wuri.
Kebetulan sekali pada saat itu, pasukan Kahuripan datang. Nurseta menyaksikan kesibukan dan kegemparan dalam kota raja, dan ketika dia menyelinap dan membaur dengan para perajurit, dia mendengar percakapan antara Ki Patih Narotama dengan Nyi Dewi Durgakumala, maka dia langsung melompat keluar dan menggabungkan diri dengan Pasukan Kahuripan.
Kini melihat Ki Patih Narotama dikeroyok dua orang yang memiliki kepandaian tinggi, Nurseta sudah maju dengan niat membantu Ki Patih. Akan tetapi tiba-tiba dari pihak musuh muncul dua orang menghadangnya. Mereka ini bukan lain adalah Ki Gandarwo dan kakak seperguruannya, Cekel Aksomolo yang bentuk tubuh dan mukanya seperti Bhagawan Durna!
"Rrrik-tik-tik-tikkk....!"
Cekel Aksomolo menggerakkan tasbehnya sehingga terdengar bunyi nyaring berkeritikan yang dapat menggetarkan jantung lawan. Ki Gandarwo juga sudah mencabut senjata andalannya, yaitu sebatang pedang. Mereka berdua, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang Nurseta. Seperti biasa, pemuda ini hanya mengandalkan kaki tangannya saja untuk membela diri. Dengan gerak silat Baka Denta, didasari Aji Bayu Sakti, dia dapat dengan mudah menghindarkan hujan serangan dua orang itu dengan elakan atau terkadang dia menangkis dengan tangannya yang kebal dan berani menangkis senjata baja yang tajam sekalipun. Dia pun membalas dengan tamparan dan tendangan yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan serangan kedua orang pengeroyoknya.
Sejak tadi Puspa Dewi hanya menonton saja. Ia tidak merasa khawatir melihat Ki Patih Narotama dan Nurseta masing-masing dikeroyok dua orang lawan yang tangguh. Ia yakin akan kemampuan dua orang itu. Kini ia melihat Nyi Dewi Durgakumala, wanita yang pernah menjadi gurunya merangkap ibu angkatnya itu. Juga permaisuri Wura-wuri itu memandang kepadanya dan bibir wanita yang masih cantik itu tersenyum mengejek.
Puspa Dewi sudah mengenal bekas gurunya ini. Senyum seperti itu menandakan bahwa wanita itu marah sekali. Ia pernah melihat Nyi Durgakumala membunuh orang sambil mengembangkan senyum seperti itu! Ia melihat Nyi Dewi Durgakumala memberi isyarat kepada Adipati Bhismaprabhawa. Adipati yang bertubuh tinggi kurus itu mengangguk dan mencabut klewang (golok) bergagang emas, lalu bersama Nyi Dewi Durgakumala menghampiri Puspa Dewi.
"Anak durhaka, murid tak mengenal budi!" Nyi Dewi Durgakumala memaki. "Tidak malu engkau membawa pedangku? Kembalikan pedang Candrasa Langking itu kepadaku!"
Wajah Puspa Dewi menjadi merah mendengar ucapan bekas gurunya itu. Dia cepat mengambil pedang hitam berikut sarungnya dan menyerahkannya kepada Nyi Dewi Durgakumala.
"Dulu aku tidak minta, engkau sendiri yang memberikannya kepadaku. Sekarang engkau memintanya kembali. Mari, terimalah!"
Dengan gerakan cepat Nyi Dewi Durgakumala merenggut pedang itu dari tangan Puspa Dewi, lalu sambil mencabut pedang itu ia berseru dengan suara mengandung kemarahan.
"Puspa Dewi, bersiaplah untuk mampus, engkau bocah tak mengenal budi!" Pedang di tangannya berubah menjadi sinar hitam yang menyambar bagaikan kilat ke arah leher Puspa Dewi ketika Permaisuri Wura-wuri itu menyerang dengan ganas. Puspa Dewi yang sudah siap cepat menghindar. Pada saat itu, Adipati Bhisniaprabhawa juga menerjang dan membacokkan klewangnya ke arah pinggang dara itu.
Kembali Puspa Dewi menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Bagaimanapun juga, Puspa Dewi tidak lupa bahwa dua orang ini pernah memperlakukannya dengan baik sekali, terutama Nyi Dewi Durgakumala. Mereka bahkan pernah mengangkatnya menjadi Sekar kedaton, diakui sebagai puteri mereka yang dihormati dan dimuliakan rakyat Kadipaten Wura-wuri.
Maka sampai belasan jurus ia hanya menghindar saja. kemudian ia teringat bahwa ia merupakan seorang yang dipercaya oleh Ki Patih Narotama memimpin Pasukan Pelopor, maka ia pun paham bahwa kalau ia kini bertanding melawan Adipati Bhismaprabhawa dan Nyi Dewi Durgakumala, pertandingan itu bukan untuk urusan pribadi, melainkan masing-masing membela kerajaannya.
Mulailah ia membalas, menggunakan Sang Cundrik Arum, yaitu sebatang keris mungil pemberian Sang Prabu Erlangga. Biarpun hanya kecil, namun Cundrik Arum merupakan sebuah pusaka Kahuripan yang ampuh.
"Tranggg...!"
Klewang besar yang menyambar itu ditangkis Puspa Dewi dengan cundriknya. Bunga api berpijar dan Adipati Bhismaprabhawa terkejut melihat betapa ujung klewang yang beradu dengan cundrik kecil tadi telah somplak! Saking kagetnya, Sang Adipati melangkah mundur dengan mata terbelalak. Melihat ini, Nyi Dewi Durgakumala kembali menyerang dengan hebatnya. Sinar pedang hitam menyambar ke arah kepala Puspa Dewi.
"Cringggg...!"
Pedang terpental ketika bertemu dengan cundrik yang menangkis dengan tenaga yang amat kuat. Setelah rnenerima gemblengan Sang Maha Resi Satyadharma selama satu tahun, kini kekuatan dan kepandaian Puspa Dewi sudah jauh melampaui kesaktian bekas gurunya itu.
Suami isteri penguasa Kerajaan Wura-wuri itu mengeroyok Puspa Dewi. Mereka berdua amat membenci Puspa Dewi karena mereka yang telah mengangkat gadis itu menjadi Sekar Kedaton kini malah bertanding sebagai musuh dengan gadis itu. Terutama sekali Nyi Dewi Durgakumala. Ia amat benci kepada Puspa Dewi yang dulu sungguh disayangnya seperti anaknya sendiri. Wanita ini tidak pernah mempunyai anak dan ketika ia mengambil Puspa Dewi sebagai murid, ia merasa sayang sekali kepada murid yang wataknya keras seperti dirinya sendiri itu.
Saking sayangnya, ia bukan saja menurunkan semua aji kesaktiannya kepada Puspa Dewi, bahkan mengangkatnya sebagai anak sendiri. Lebih dari itu, ia seringkali mengurungkan keinginannya yang ditentang oleh Puspa Dewi. Seperti ketika ia memberi syarat kepada Adipati Bhismaprabhawa untuk membunuh Dewi Gendari, isteri Adipati Bhismaprabhawa, sebelum ia menerima lamaran Sang Adipati itu.
Akan tetapi Puspa Dewi melarangnya sehingga akhirnya Dewi Gendari tidak dibunuh, melainkan dipulangkan ke kampung halamannya dengan diberi bekal harta yang cukup banyak. Juga ketika beberapa kali Nyi Dewi Durgakumala menculik pemuda untuk dijadikan kekasihnya dan kemudian dibunuh, Puspa Dewi melarangnya dan ia pun kemudian membebaskan pemuda-pemuda itu, sungguhpun diam-diam ia melukai mereka dengan Aji Wisakenaka sehingga mereka akan tewas pula.
Biarpun merasa agak ragu harus bertanding melawan dua orang yang pernah bersikap baik kepadanya itu, namun mengingat bahwa ia kini bertanding sebagai seorang komandan pasukan Kahuripan melawan musuh Kerajaan itu, pula melihat betapa dua orang itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh penuh kebencian dan semua serangan mereka merupakan serangan maut, akhirnya Puspa Dewi mulai membalas serangan mereka. Terjadilah pertandingan yang tidak kalah serunya dibandingkan petandingan yang dilakukan Nurseta dan Ki Patih Narotama.
Pasukan kedua pihak hanya menjadi penonton. Pasukan Wura-wuri yang memang sudah gentar, tidak berani bergerak karena semua pemimpin mereka sedang bertanding mati-matian. Sementara itu, para perwira Kahuripan yang tidak ikut bertanding juga tidak berani sembarangan menggerakkan pasukan mereka tanpa aba-aba dari para pemimpin, terutama Ki Patih Narotama. Jadi, pasukan kedua pihak hanya menonton pertandingan yang amat dahsyat itu.
Kesaktian Ki Patih Narotama untuk kesekian kalinya teruji ketika dia menghadapi pengeroyokan dua saudara kembar dari Blambangan itu. Dua orang saudara kembar ini masing-masing menguasai ilmu-ilmu tingkat tinggi dan mungkin karena mereka kembar, ketika mereka berdua mengeroyok Ki Patih Narotama, terdapat kerja sama yang amat baik. Mereka itu seolah-olah dua tubuh yang dikendalikan satu hati dan satu pikiran.
Masing-masing seolah dapat merasakan dan dapat mengetahui perkembangan gerakan yang dilakukan saudara kembarnya sehingga pengeroyokan terhadap Ki Patih Narotama dapat dilakukan secara kompak sekali. Mereka berdua seolah saling melindungi secara otomatis. Kalau serangan balasan Ki Patih Narotama membahayakan Menak Gambir Anom, maka Menak Gambir Sawit sudah siap menolong saudaranya dan demikian sebaliknya. Dengan adanya kerja sama yang amat kompak ini, kekuatan mereka seolah dipersatukan sehingga selain pertahanan mereka kokoh, juga penyerangan mereka yang saling dorong itu amat berbahaya, Ki Patih Narotama harus waspada sekali menghadapi lawan-lawan seperti ini.
Untuk mengimbangi kecepatan dan kekompakan gerakan dua orang Datuk Kembar Blambangan itu, Ki Patih Narotama bersilat dengan Ilmu Silat Kukilo Sakti. Akan tetapi dengan ilmu silat ini, dia masih terdesak sehingga dia lalu mengubah gerakannya. Kini tubuhnya berkelebatan seperti beterbangan di antara dua orang pengeroyoknya, menjadi bayangan putih yang cepat sekali. Inilah Ilmu Silat Bramoro Seto (Lebah Putih) dan dengan ilmu silat ini, baru dia dapat mengimbangi pengeroyokan Datuk Kembar Blambangan itu. Pertandingan di antara mereka terjadi dengan dahsyatnya, masing-masing mengeluarkan jurus-jurus simpanan terampuh.
Sepasang Datuk Kembar itu merasa penasaran bukan main. Baru maju sendiri saja sudah jarang ada orang yang mampu menandingi masing-masing. Kini mereka maju bersama berarti kekuatan mereka menjadi berlipat ganda. Namun sebegitu lamanya mereka masih belum mampu melukai tubuh Ki Patih Narotama, apalagi merobohkannya! Bahkan beberapa kali mereka terkejut dan nyaris celaka terkena sambaran pukulan Ki Patih Narotama yang menggunakan Aji Bojrodahono (Api Halilintar) sehingga mereka merasa panas sekali dan terkejut sekali.
Setelah pertandingan berlangsung cukup lama dan Sepasang Datuk Kembar itu merasa bahwa dengan mengandalkan ilmu silat dan pertandingan kekuatan tubuh, tebalnya kulit dan kerasnya tulang, mereka tidak akan menang. Maka setelah saling memberi isyarat, mereka berdua berloncatan ke belakang, lalu menyimpan ruyung masing-masing digantungkan di pinggang.
Tangan kanan Menak Gambir Sawit memegang tangan kiri Menak Gambir Anom, lalu Menak Gambir Anom menghantamkan telapak tangan kanannya ke arah Narotama. Dengan cara itu, mereka berdua menggabungkan tenaga sakti mereka lewat tangan yang saling berpegangan kemudian tenaga sakti yang tergabung itu dikeluarkan melalui tangan kanan Menak Gambir Anom untuk menyerang Narotama.
"Wuuuuuttt...!"
Telapak tangan kanan Menak Gambir Anom itu mengeluarkan uap putih yang dingin sekali. Bahkan keadaan sekelilingnya terasa ada angin yang amat dingin menyambar. Itulah Aji Ampak-ampak Petak, pukulan jarak jauh yang mengandung hawa dingin seperti salju. Sambaran angin berhawa dingin itu menyambar ke arah Ki Patih Narotama yang segera dapat mengetahui bahwa dia diserang secara hebat oleh tenaga sakti gabungan dua Datuk Kembar dari Blambangan itu.
Serangan ini merupakan serangan maut yang amat berbahaya, terlalu besar resikonya kalau dihadapi dengan elakan atau tangkisan karena serangan itu mengandung daya kekuatan yang luas. Satu-satunya jalan adalah menyambutnya dengan kekerasan dan mengadu tenaga sakti. Maka Ki Patih Narotama berkemak-kemik membaca doa, mohon ampun dan bimbingan Sang Hyang Widhi, lalu dia mengerahkan tenaga Bojrodahono yang panas untuk melawan serangan hawa dingin itu. Lalu dia menekuk lutut depan, menjulurkan kaki belakang dan mendorong dengan tangan kirinya menyambut pukulan tangan kanan Menak Gambir Anom yang mengandung tenaga gabungan Sepasang Datuk Kembar itu.
"Syuuuuuttt.... blaarrrr...!"
Hebat bukan main pertemuan dua tenaga sakti yang berlawanan, satu amat dingin dan yang lain amat panas itu. Tanah di sekitarnya terasa guncang oleh pertemuan dua tenaga raksasa itu. Tubuh Ki Patih Narotama terhuyung beberapa langkah ke belakang, akan tetapi tubuh dua orang datuk itu terlempar dan roboh. Dari mulut, hidung, dan telinga Menak Gambir Sawit keluar darah dan dia tewas seketika, sedangkan Menak Gambir Anom hanya merasa dadanya sesak.
Ternyata akibat benturan tenaga itu, yang paling parah menanggung akibatnya adalah Menak Gambir Sawit yang berada di belakang atau di ujung penggabungan tenaga sakti itu, sedangkan Menak Gambir Anom hanya menjadi penyambung dan dilewati getaran hebat dari tenaga sakti yang membalik. Tenaga sakti itu langsung dan sepenuhnya menghantam balik tubuh Menak Gambir Sawit sehingga dia tewas seketika. Melihat saudara kembarnya tewas, Menak Gambir Anom terkejut dan tanpa mempedulikan dadanya yang sesak dia memondong jenazah saudaranya lalu membawanya lari memasuki barisannya dan terdengar dia meraung dalam tangisnya!
Ki Patih Narotama berdiri dan menghirup napas dalam-dalam untuk menenangkan isi dadanya yang sempat terguncang. Lalu dia menghela napas beberapa kali, timbul penyesalannya bahwa orang sesakti Menak Gambir Sawit harus berkorban nyawa membela Wura-wuri yang dipimpin orang-orang yang berwatak angkara murka. Dia lalu menoleh dan memandang ke arah Nurseta dan Puspa Dewi yang masing-masing masih menghadapi pengeroyokan dua orang lawan. Ki Patih Narotama tidak membantu mereka karena dia dapat melihat bahwa dua orang muda itu tidak membutuhkan bantuan dan tidak akan kalah.
Perhitungan Ki Patih Narotama memang benar. Biarpun sampai saat itu Nurseta belum dapat merobohkan Ki Gandarwo dan Cekel Aksomolo yang mengeroyoknya, namun dia mulai mendesak kedua orang kakak beradik seperguruan itu, Yang membuat Nurseta agak repot dan belum dapat mengalahkan mereka adalah serangan-serangan yang amat hebat dan berbahaya dari Cekel Aksomolo. Orang yang tinggi kurus bongkok dan tampaknya lemah Ini ternyata amat berbahaya dengan senjatanya yang Istimewa, yaitu seuntai tasbeh hitam.
Biji-biji tasbeh hitam itu mengeluarkan bau aneh yang memuakkan dan mengandung racun jahat. Juga ketika digerakkan sebagai senjata, tasbeh itu mengeluarkan suara berkerotokan memekakkan telinga dan mengguncang jantung menimbulkan rasa nyeri dalam dada. Nurseta merasa seolah-olah dikeroyok banyak lebah dan merasa terganggu sekali sehingga tidak dapat memusatkan perhatian yang selalu tergoda dan terkecoh oleh suara berkerotoknya biji-biji tasbeh.
Maka, biarpun dia dapat menghindarkan semua serangan tasbeh yang dibantu serangan pedang Ki Gandarwo yang ganas, serangan baliknya kurang terpusat dan tidak begitu kuat. Sehingga dia belum juga mampu mengalahkan dua orang pengeroyoknya itu.
Kakak beradik seperguruan itu pun merasa penasaran bukan main. Terutama sekali Cekel Aksomolo yang wataknya tinggi hati dan memandang rendah lawan, mengagulkan diri sendiri. Ketika Nurseta membalas dengan tusukan keris pusaka Kolomisani, Cekel Aksomolo miringkan tubuhnya dan secepat kilat tasbehnya menyambar dan tasbeh itu berhasil dikalungkan pada keris di tangan Nurseta dan membelit keris itu!
Nurseta berusaha menarik lepas kerisnya, namun Cekel Aksomolo mempertahankan. Selagi kedua orang ini bersitegang, Ki Gandarwo membacokkan pedangnya ke arah kepala Nurseta! Melihat dirinya terancam bahaya maut, Nurseta mengeluarkan teriakan mengguntur dan tangan kirinya menyambut pedang itu dengan pukulan telapak tangannya.
"Wuuttt... plakk...!!"
Pedang itu mental dan membalik, membacok kepala Ki Gandarwo sendiri. Senopati muda Wura wuri yang menjadi kekasih gelap Nyi Dewi Durgakumala ini hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas karena kepalanya terbacok pedangnya sendiri sampai dalam!
"Rrrrttt...!"
Nurseta merenggut kerisnya dan tasbeh itu putus, biji tasbehnya sebagian masih digenggam Cekel Aksomolo, sebagian lagi tercecer di atas tanah. Cekel Aksomolo terkejut sekali, terutama melihat tewasnya Ki Gandarwo. Dia menjerit seperti seorang wanita, melompat ke dalam barisannya dan tiba-tiba dia menggerakkan tangan dan beberapa buah ganatri (biji tasbeh) meluncur ke arah Nurseta, mengeluarkan bunyi berdengung seperti tawon.
Nurseta mengelak dan menampar jatuh beberapa buah ganatri, akan tetapi dua buah yang luput dan lewat di dekat tubuhnya, tiba-tiba membalik seperti mahluk hidup dan menyambar lagi ke arah kepalanya! Nurseta memukul runtuh dua buah ganatri ini dan ketika dia memandang ke depan, Cekel Aksomolo telah menghilang dalam barisan Wura-wuri.
Pada saat yang hampir bersamaan, Puspa Dewi juga berhasil menendang roboh Adipati Bhismaprabhawa. Pada kesempatan selagi Puspa Dewi melakukan tendangan, Nyi Dewi Durgakumala mengelebatkan pedang hitamnya ke arah leher Puspa Dewi. Gadis itu cepat menggunakan Cundrik Arum untuk menangkis.
"Cringgg...!"
Pedang terpental dan hampir saja terlepas dari tangan Nyi Dewi Durgakumala yang menjadi marah melihat suaminya tertendang roboh. Ia mengeluarkan pekik melengking dan tangan kirinya menyerang dengan Aji Wisakenaka dari jarak dekat. Kuku jari-jari tangan permaisuri Wura-wuri itu mencengkeram dan kalau sampai kulit Puspa Dewi tercakar dan terluka, maka racun dari kuku-kuku itu akan dapat mencelakakannya. Akan tetapi tentu saja Puspa Dewi sudah hafal akan aji ini yang juga sudah dikuasainya dengan baik, maka ia menangkis dari samping sambil mengerahkan tenaga saktinya yang sudah diperkuat oleh Sang Maha Resi Satyadharma.
"Plakk...!"
Tangkisan itu membuat tubuh Nyi Dewi Durgakumala terpelanting roboh. Puspa Dewi mengejar dan menangkap pundak bekas gurunya yang roboh miring, tangan kanan mengangkat cundrik (keris kecil atau belati) untuk ditusukkan. Nyi Dewi Durgakumala tak mampu menghindar lagi karena ketika roboh, tangannya yang memegang pedang tertindih tubuhnya. Ia hanya menanti kematian dengan mata terbelalak. Pada saat itu, Adipati Bhismaprabhawa yang tadi tertendang jatuh, kini bangkit dan dengan pedangnya dia melompat dan menyerang Puspa Dewi dari belakang!
"Singgg... cappp!!"
Adipati Bhismaprabhawa mengaduh dan jatuh terpelanting, sebatang tombak menembus punggungnya. Dia tewas seketika, tanpa mengetahui bahwa yang menewaskannya adalah sebatang tombak yang dilontarkan Ki Patih Narotama yang melihat kecurangan Sang Adipati Wura wuri itu. Dia cepat mengambil sebatang tombak di atas tanah dan meluncurlah tombak itu ke arah punggung Sang Adipati Bhismaprabhawa untuk menyelamatkan Puspa Dewi dari serangan gelap itu.
Sementara itu, melihat Adipati Bhismaprabhawa telah tewas dan semua pemimpin Wura-wuri kalah, Nyi Dewi Durgakumala yang masih ditodong Puspa Dewi berkata, "Murid tak kenal budi, cepat bunuh aku agar kemurtadan mu lengkap!"
Akan tetapi Puspa Dewi melangkah mundur. "Nyi Dewi Durgakumala, biarlah sekali ini aku membalas budimu dan kalau ada yang hendak membunuhmu, aku yang akan mencegahnya dan melindungimu. Pergilah!"
Nyi Dewi Durgakumala bangkit berdiri dan tersenyum mengejek. "He-heh, ternyata engkau masih belum dapat menandingiku. Engkau masih lemah hati. Engkau melepaskan aku, tidak membunuhku, merupakan penghinaan yang tidak akan kulupakan. Lain waktu kita akan bertemu kembali dan aku akan menebus semua ini!" Setelah berkata demikian, Nyi Dewi Durgakumala melompat dan menghilang di balik barisannya.
Setelah semua pimpinan mereka kalah, ada yang tewas dan ada yang melarikan diri, hati para perajurit Wura-wuri menjadi semakin gentar. Akan tetapi Ki Patih Narotama menaati pesan Sang Prabu Erlangga. Dia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukan Kahuripan diam di tempat dan tidak bergerak. Kemudian dia menancapkan dua batang tombak panjang yang banyak berserakan di tanah, dan bagaikan seekor burung dia melompat lalu berdiri di atas kedua batang tombak itu. Dia berdiri tegak seperti di atas tanah saja dan hal ini menunjukkan betapa ilmu meringankan tubuh Ki Patih Narotama sudah mencapai tingkat tinggi.
Setelah berdiri tegak di atas dua batang tombak itu sehingga dia berada di tempat agak tinggi dan dapat dilihat para perajurit musuh, Ki Patih Narotama berseru dengan lantang. Suaranya mengandung getaran amat kuat sehingga terdengar sampai ke ujung kota raja.
"Haiii...! Para perwira, perajurit, dan rakyat Wura-wuri, dengarlah baik-baik! Kami, Ki Patih Narotama dan segenap Senopati Kahuripan diutus yang mulia Gusti Sinuwuh Sang Prabu Erlangga untuk memberitahu kepada Andika sekalian bahwa kami datang untuk memberi hukuman kepada para penguasa Wura-wuri yang beberapa kali telah merongrong kewibawaan Kerajaan Kahuripan, membuat kekacauan dan melakukan penyerangan sehingga mengakibatkan tewasnya ribuan orang perajurit semua pihak yang berperang. Kami tidak ingin mengganggu rakyat jelata, dan kami datang tidak akan membunuh para perajurit Wura-wuri, bahkan memberi kebebasan kepada Andika sekalian. Hanya mereka yang membuat onar dan kekacauan yang akan kami tindak dan kami hukum! Pasukan kami akan memasuki Kadipaten Wura wuri dengan damai!"
Setelah berkata demikian, Ki Patih Narotama lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menggerakkan pasukan memasuki kota raja atau kadipaten dengan tertib.