Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 18
Puspa Dewi tinggal di situ sebagai wakil Senopati Tanujoyo untuk memimpin dan mengawasi pasukan. Beberapa kali ia menemui Ki Patih Narotama dan membicarakan urusan itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jalan terbaik untuk mengatasi masalah rumit itu.
"Tidak ada lain jalan bagiku, Puspa Dewi. Aku harus menepati janjiku kepada Lasmini karena aku tidak ingin melihat anakku dibunuh. Pula, aku sudah melepas janji bahwa selama anakku ditahan di Parang Siluman, aku tidak akan menyerangnya. Tidak mungkin aku melanggar janji dan lebih lagi, tidak mungkin aku membiarkan anakku dibunuh."
"Ah, saya ikut merasa prihatin sekali, Gusti Patih."
"Sudahlah, Puspa Dewi, jangan memikirkan urusanku ini. Biar nanti Gusti Sinuwun saja yang mengambil keputusan."
Beberapa hari kemudian seregu pengawal istana dating menunggang kuda, mengiringkan Sang Prabu Erlangga yang diikuti Senopati Tanujoyo dan para senopati lainnya. Senopati Tanujoyo yang merasa sakit hati karena di depan para pasukan dia dirobohkan Ki Patih Narotama, telah melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa Ki Patih Narotama sengaja melarang pasukan menggempur Parang Siluman untuk membela dan melindungi bekas selirnya, yaitu Lasmini! Bahkan Ki Patih Narotama telah memukul roboh dia dan para perwira lainnya, yang hendak mencegah dia memberontak.
Tentu saja Sang Prabu Erlangga marah bukan main. Dia maklum bahwa kalau Narotama memberontak, tidak akan ada yang mampu menandinginya kecuali dia sendiri. Karena itu, Sang Prabu Erlangga segera berangkat ke tempat berhentinya pasukan Kahuripan yang dihadang Narotama itu. Setelah tiba di situ dia mendengar bahwa Narotama berada di balik batu-batu besar yang berada di depan. Sang Prabu Erlangga yang masih marah segera turun dari kudanya, melompat ke depan lalu berseru sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar menggelegar.
"Kakang Narotama....! Andika seorang satria, seorang jantan, mengapa bersembunyi? Keluarlah dan hadapi aku!!"
Perlahan-lahan Ki Patih Narotama keluar dari batu besar dan melangkah tenang menghampiri Sang Prabu Erlangga. Pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan, dan mukanya pucat, matanya redup dan sayu. Setelah berhadapan dengan Sang Prabu Erlangga, dia lalu menyembah dengan kedua tangan di depan hidungnya.
"Gusti Sinuwun..." Dia hanya menyapa dengan hormat, suaranya gemetar.
"Kakang Narotama, Andika berani berkhianat dan memberontak melawan aku demi untuk membela Lasmini yang telah berkhianat dan berbuat jahat terhadap kita? Untuk perempuan berwatak iblis itu engkau sampai hati mbalelo (memberontak) terhadap aku?"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Hamba tidak sekali-kali hendak memberontak terhadap Sinuwun. Paduka, hamba tetap setia kepada Kahuripan, siap mempertaruhkan nyawa demi membela Paduka dan Kahuripan."
"Hemm, kalau engkau tidak mbalelo, mengapa engkau menghalangi pasukan Kahuripan yang akan menyerang Parang Siluman?"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Hamba hanya menghendaki agar pasukan kita menyerang Wengker lebih dulu."
Sang Prabu Erlangga marah. Dia sudah mendapatkan laporan dari Senopati Tanujoyo akan keinginan Narotama menyerang Wengker lebih dulu. Dia mengira bahwa hal itu sengaja dilakukan Narotama untuk menghindarkan Parang Siluman dari serangan, tentu saja karena Narotama masih mencinta Lasmini dan ingin melindunginya.
"Kakang Narotama, jelas bahwa engkau berani melanggar perintahku! Agaknya engkau mengandalkan kedigdayaanmu untuk menentangku! Kalau begitu mari, kita sama-sama laki-laki jantan, kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita berdua!" Sang Prabu Erlangga menantang. "Kecuali kalau engkau mau mengaku salah dan tidak lagi menghalangi pasukan yang hendak menyerang Parang Siluman!"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Untuk hal lain, hamba akan menaati semua perintah Paduka. Akan tetapi untuk yang satu ini, yaitu kalau pasukan hendak menyerang Parang Siluman, terpaksa hamba akan menghalangi."
"Keparat! Kalau begitu terpaksa aku tega kepadamu!" Sang Prabu Erlangga sudah marah sekali dan tubuhnya gemetar mengeluarkan hawa sakti yang menggiriskan. Akan tetapi pada saat itu, Puspa Dewi melompat ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sang Prabu Erlangga.
"Duh Gusti Sinuwun, hamba mohon Paduka bersabar dulu dan sudi mendengarkan keterangan hamba."
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya memandang kepada Puspa Dewi dengan sinar mata mencorong.
"Engkau juga, Puspa Dewi? Engkau hendak membela pengkhianat ini yang melindungi Parang Siluman?"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Sesungguhnya Gusti Patih Narotama sama sekali tidak melindungi Parang Siluman ataupun Lasmini, akan tetapi beliau hendak melindungi keselamatan nyawa putera beliau, Joko Pekik Satyabudhi..."
"Puspa Dewi...!" seru Ki Patih Narotama.
"Biarlah saya menjelaskannya, Gusti Patih. Semua ini hanya salah paham saja. Gusti Sinuwun, seperti telah diketahui, Joko Pekik Satyabudhi telah diculik orang. Gusti Patih Narotama sudah melakukan pencarian ke Parang Siluman dan ternyata Joko Pekik berada di tangan Lasmini. Lasmini dan para tokoh Parang Siluman mengancam bahwa kalau Gusti Patih Narotama mengerahkan pasukan menyerang Parang Siluman, maka putera beliau akan lebih dulu dibunuh! Mereka memaksa Gusti Patih Narotama berjanji tidak akan membawa pasukan menyerang Parang Siluman dan demi melindungi keselamatan putera beliau, Gusti Patih Narotama terpaksa berjanji dan tentu saja menghalangi kalau pasukan Kahuripan hendak menyerang Parang Siluman sebelum puteranya dapat direbut kembali."
Kemarahan Sang Prabu Erlangga menguap seperti embun terpanggang sinar matahari pagi. Dia memandang ke arah Ki Patih Narotama yang berdiri dengan kepala tunduk.
"Kakang Narotama, benarkah apa yang dikatakan Puspa Dewi itu?"
"Benar, Gusti Sinuwun." kata Ki Patih Narotama lirih.
"Akan tetapi, mengapa engkau tidak mengatakan hal itu kepadaku, dan tidak memberitahukan kepada Kakang Senopati Tanujoyo?".
"Ampun, Gusti. Hamba merasa malu dan takut untuk menceritakan kelemahan hamba kepada Paduka."
"Ah, Kakang Narotama, engkau ini bagaimanakah? Melindungi keselamatan anak bukan suatu kelemahan. Apa kau kira aku sendiri akan tega mengorbankan nyawa Joko Pekik Satyabudhi? Kalau aku mengetahui persoalannya, aku pun tentu akan melarang untuk menyerang Parang Siluman dan menundanya untuk sementara waktu sampai puteramu itu dapat direbut kembali. Dan sekarang apa usahamu untuk merebut puteramu itu?"
"Hamba sudah minta tolong kepada Nurseta untuk berusaha merampas Joko Pekik, Gusti."
"Bagus kalau begitu. Sekarang begini saja, Kakang Patih Narotama. Pimpinlah pasukan dengan bantuan Kakang Senopati Tanujoyo, sedangkan Puspa Dewi kami minta untuk menyusul Nurseta, menyusup ke Parang Siluman dan membantu dia merampas Joko Pekik!"
"Hamba siap melaksanakan perintah Paduka, Gusti." Kata Ki Patih Narotama dengan wajah berseri.
"Hamba juga siap melaksanakan perintah Paduka, Gusti Sinuwun!" kata Senopati Tanujoyo, lalu dia menoleh kepada Ki Patih Narotama dan berkata lirih, "Gusti Patih Narotama, saya mohon maaf sebesarnya atas sikap saya yang menuduh Paduka berkhianat karena saya tidak tahu duduknya perkara."
"Tidak mengapa, Kakang Senopati Tanujoyo. Salahku sendiri yang tidak bicara terus terang."
"Bagaimana dengan engkau, Puspa Dewi? Sanggupkah engkau membantu Nurseta merebut kembali putera Kakang Patih Narotama?"
"Hamba siap melaksanakan perintah Paduka, walaupun hamba kira tidak akan mudah bagi hamba untuk menyusup ke Parang Siluman. Mereka di sana tentu sudah mengenal hamba sehingga hamba tidak dapat bergerak dengan leluasa."
"Puspa Dewi, mengapa engkau tidak menyamar saja sebagai seorang pria? Dengan demikian engkau tidak akan dikenali orang di sana." kata Ki Patih Narotama.
Mendengar usul itu, Puspa Dewi mengangguk sambil tersenyum. "Gagasan itu baik sekali, Gusti Patih. Akan saya laksanakan!"
Berangkatlah pasukan itu, dipimpin Ki Patih Narotama dan Senopati Tanujoyo, menuju Kerajaan Wengker. Sang Prabu Erlangga dikawal pasukan pengawal kembali ke Kahuripan, dan Puspa Dewi seorang diri lalu berangkat ke Parang Siluman dengan menyamar sebagai seorang pemuda ganteng.
Sebelum memenuhi permintaan Ki Patih Narotama untuk menyusup ke Parang Siluman dan berusaha membebaskan putera patih itu dari tangan Lasmini, Nurseta telah diberitahu oleh Ki Patih Narotama bahwa dia telah menyebar belasan orang telik-sandi (mata-mata) ke dalam Kerajaan Parang Siluman.
"Mereka adalah perwira-perwira menengah, para pembantuku yang setia dan mereka semua sudah pernah melihatmu. Tentu mereka akan mengenalmu dan dapat membantumu di sana." Demikian Ki Patih Narotama memberitahu kepadanya.
Tidak sukar bagi Nurseta untuk memasuki daerah Parang Siluman. Para penduduk pedusunan di daerah itu tidak mengenalnya. Yang sukar, bahkan amat berbahaya baginya adalah memasuki Kota Raja Parang Siluman. Selain penjagaannya ketat, terdapat banyak orang sakti di sana dan mereka semua telah mengenal wajahnya.
Pada suatu senja, Nurseta memasuki sebuah dusun yang sudah tak jauh letaknya dari Kota Raja Parang Siluman. Dusun itu cukup ramai karena sawah ladang di sekitar dusun itu subur sehingga dusun Werdoyo ini menjadi pemasok sayur-sayuran dan hasil bumi yang cukup besar bagi kota raja. Untuk memperkecil bahaya kemungkinan dikenal orang. Nurseta menjauhi tempat yang ramai dan menyusup di pinggir dusun. Dia bermaksud melewatkan malam di dusun itu. Tubuhnya lelah dan perutnya lapar, akan tetapi dia tidak berani sembrono (gegabah) mencari makan di warung nasi karena tempat seperti itu tentu dikunjungi banyak orang. Ketika dia melihat sebuah rumah sederhana berdiri terpencil di tepi dusun, agak jauh dari tetangga karena rumah itu memiliki kebun dan di sekelilingnya penuh dengan tanaman sayur, dia lalu memasuki pekarangan yang luas dan menghampiri rumah yang sederhana itu.
Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh kokoh kuat dan berkulit kecoklatan hitam karena setiap hari terbakar sinar matahari, pakaiannya jelas menunjukkan bahwa dia seorang petani, keluar dari pintu depan menyambutnya.
"Kisanak, apakah Andika hendak membeli sayuran? Akan tetapi, mana keranjang dan pikulanmu?"
"Maaf, Paman. Aku tidak ingin membeli sayur, akan tetapi ingin mohon diperbolehkan beristirahat dan melewatkan malam di rumah Paman. Biar aku beristirahat di bangku itu pun cukuplah." Nurseta menunjuk ke arah bangku panjang yang terdapat di emper rumah. Dia sengaja bicara dengan bahasa sederhana seperti biasa dipergunakan penduduk dusun.
Orang itu mengerutkan alisnya dan menatap wajah Nurseta penuh perhatian. "Andika siapakah, dari mana dan hendak kemana?"
"Namaku Baroto, Paman, datang dari Kidul Gunung. Aku hendak mencari Pamanku bernama Martoyo yang sebulan lalu katanya hendak pergi ke sini akan tetapi sampai sekarang belum pulang. Bibiku menyuruh aku mencarinya. Barangkali Paman mengenalnya?"
Orang itu menggelengkan kepalanya, memandang Nurseta penuh perhatian, lalu dia tersenyum ramah sekali.
"Aku tidak mengenalnya, akan tetapi tentu saja Andika boleh melewatkan malam ini di sini. Bukan di bangku luar, mari masuk. Aku masih mempunyai sebuah kamar kosong di bagian belakang rumahku. Mari, Baroto, masuk saja dan jangan sungkan. Namaku Juhari, duda yang hidup bersama dua orang keponakanku di sini."
Nurseta merasa girang dan ketika dia memasuki rumah yang telah diterangi lampu gantung dia melihat bahwa di ruangan yang cukup luas itu terdapat banyak tumpukan jagung, ada pula keranjang-keranjang berisi wortel dan buncis. Agaknya semua itu hasil perkebunan yang cukup luas di sekitar rumah sederhana namun ternyata cukup besar itu. Juhari ternyata seorang yang ramah. Dia menyuruh dua orang keponakannya, dua orang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun lebih yang tadi sibuk mengisi keranjang kosong dengan buncis yang masih ditumpuk di atas lantai, agar menyediakan makan malam.
Nurseta lalu diajak makan bersama tiga orang itu. Makanan sederhana dengan sayur dan sambal, namun cukup nikmat bagi Nurseta yang memang sedang lapar. Nurseta lega karena tuan rumah yang baik itu tidak banyak bertanya. Maka untuk memulihkan tenaganya yang banyak terkuras melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, dia pamit untuk mengaso lalu memasuki kamar kecil sederhana yang diberikan kepadanya untuk mengaso malam itu. Kamar itu kecil saja, dengan sebuah dipan kayu tua tanpa prabot lain lagi. Ada sebuah jendela kayu dan Nurseta menutupkan daun pintu, lalu merebahkan diri di atas dipan.
Baru saja dia layap-layap mendekati pulas, telinganya mendengar suara orang bicara ramai diselingi tawa di luar kamarnya. Nurseta membuka matanya, masih rebah akan tetapi kini dia mendengarkan percakapan itu.
"He, Kartowi, mengapa malam-malam begini engkau datang? Biasanya besok pagi-pagi sekali engkau kulakan (beli untuk dijual lagi) ke sini!"
"Heh-heh-eh, sekali ini aku tidak mau didahului mereka. Kakang Juhari! Sekarang aku hendak mendahului mereka, maka malam-malam aku datang, kulakan dan dapat memilih sayur lebih dulu sehingga mendapatkan yang terbaik, kemudian besok pagi-pagi sekali sebelum mereka datang kesini mengambil sayur, aku sudah lebih dulu memasuki kota raja menjual daganganku, ha-ha-ha!"
"Ha-ha, engkau cerdik, Kartowi! Tentu engkau akan dapat menjual dengan harga tinggi karena sainganmu belum ada. Dan dua keranjangmu ini... wah, besar amat, dua kali lebih besar dari yang biasa!"
"He-he-heh, Kakang Juhari, setelah berhasil mendahului para penjual sayur lainnya, tentu saja aku harus membawa sebanyak mungkin dagangan agar sekali pikul dapat untung lumayan... Betul tidak?"
Dua orang itu lalu tertawa-tawa lagi.
"Akan tetapi Kakang Juhari, engkau tentu tidak tega membiarkan aku malam-malam begini memikul dagangan yang begini berat, bukan? Kalau boleh, aku akan tidur di sini, biar tidur di lantai beralaskan jerami juga tidak mengapa agar besok pagi-pagi benar, sebelum mereka datang kulakan ke sini, aku sudah bisa berangkat."
"Wah, masa sama langganan yang sudah lama aku tega begitu? Tentu saja boleh. Kebetulan sekali, Kartowi. Sebetulnya kamar di belakang itu ditempati seorang tamu, akan tetapi baiknya malam ini dua orang keponakanku ada keperluan keluar rumah sehingga malam ini engkau boleh tidur di kamar mereka."
Nurseta tidak mendengarkan lagi karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya, apalagi setelah pedagang sayur itu mendapatkan kamar untuk bermalam. Lewat tengah malam, tiba-tiba Nurseta terbangun oleh suara yang tidak wajar yang datang dari arah pintu kamar.
Penerangan lampu yang redup masih membuat dia dapat melihat sehelai kertas putih melayang masuk ke kamar itu. Agaknya kertas itu dimasukkan dengan cara menyisipkan di antara celah-celah daun pintu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Nurseta turun dari pembaringan. Naluri kependekarannya menyadarkannya bahwa tentu terjadi sesuatu yang amat penting, yang membuat dia waspada. Dia mengambil kertas itu dan membawanya ke dekat lampu. Ternyata ada tulisannya, singkat saja namun cukup jelas.
JUHARI ADALAH PENYELIDIK PARANG SILUMAN. ANDIKA SUDAH DIKETAHUI. CEPAT PERGI KE BARAT DUSUN, TUNGGU AKU DI TEPI ANAK SUNGAI...!
Nurseta terkejut. Dia percaya akan isi surat itu. Kalau pengirim surat berniat buruk, untuk apa dia mengirim surat gelap ini? Entah siapa yang mengirim surat ini, akan tetapi yang penting, dia harus cepat pergi meninggalkan rumah ini dan pergi menuju tepi anak sungai seperti yang ditunjuk oleh surat itu. Dia akan hadapi apa pun yang akan terjadi. Dengan cepat Nurseta keluar dari kamarnya melalui jendela. Menutupkan daun jendela kembali dari luar lalu berjalan dalam kegelapan yang remang-remang karena mendapatkan sedikit sinar dari bintang-bintang di langit, menuju ke arah barat setelah keluar dari dusun. Tak lama kemudian dia memasuki sebuah hutan kecil dan akhirnya tibalah dia di tepi sebuah anak sungai yang mengalir deras. Dia berhenti lalu duduk di atas sebuah batu di tepi sungai, menanti dengan sikap waspada yang akan terjadi selanjutnya.
Sementara itu, tidak lama setelah Nurseta pergi, menjelang fajar, belasan orang perajurit yang dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala, Senopati Parang Siluman, kakak Sang Ratu Durgamala yang gagah dan tampan, guru Lasmini dan Mandari, berkuda dan memasuki pekarangan rumah Ki Juhari, diikuti pula oleh dua orang muda keponakan Ki Juhari yang semalam meninggalkan rumah itu. Kiranya dua orang muda itu oleh Ki Juhari disuruh pergi melapor ke kota raja tentang kedatangan Nurseta di dusun Werdoyo.
Ternyata Ki Juhari adalah seorang mata-mata Parang Siluman yang disebar untuk menjaga keamanan dan menyelidiki kalau-kalau ada musuh menyusup ke daerah Parang Siluman. Biarpun dia sendiri belum pernah melihat Nurseta, namun dia telah mendapat gambaran oleh atasannya tentang orang-orang yang perlu diperhatikan, termasuk Nurseta. Maka, begitu dia bertemu Nurseta, dia sudah menaruh curiga dan cepat menyuruh dua orang keponakannya untuk melapor malam Itu juga ke Kota Raja Parang Siluman. Mendengar laporan bahwa mungkin sekali yang bernama Nurseta muncul di dusun Werdoyo, Ki Nagakumala sendiri lalu memimpin pasukan pengawal pilihan dan malam itu juga pergi ke dusun Itu membalapkan kuda mereka. Menjelang fajar mereka tiba di pekarangan rumah itu.
Ki Kartowi, pedagang sayur yang bermalam di rumah Juhari itu sedang mempersiapkan dua buah keranjang besar yang berisi sayur-sayuran dan sudah hendak dipikulnya ketika dia mendengar derap kaki kuda di pekarangan rumah itu. Dia menunda pekerjaannya dan memutar tubuh memandang kepada Ki Juhari yang juga keluar dari kamarnya.
"Kakang Juhari. siapa yang datang itu?"
Akan tetapi Juhari tidak menjawab. Dia bergegas ke depan dan membuka daun pintu. Ki Nagakumala diikuti belasan orang perajurit memasuki rumah. Melihat Kartowi, dia memandang tajam dengan sinar mata penuh selidik dan bertanya kepada Juhari dengan suara keren.
"Juhari, siapakah orang ini?"
Ki Juhari menyembah dengan sikap hormat!
"Gusti, ini adalah Kartowi, seorang pedagang sayur yang menjadi langganan hamba."
Mendengar Juhari menyebut Gusti kepada pendatang yang gagah dan berpakaian mewah itu, Kartowi menjadi takut dan dia pun membungkuk-bungkuk.
"Hamba... hamba... pedagang sayur Gusti..." katanya dengar suara gemetaran.
"Mana dia, Juhari?"
"Di kamar belakang, Gusti."
Ki Nagakumala segera masuk ke bagian belakang diikuti belasan orang perajurit pengawalnya, disertai Juhari dan dua orang keponakan yang sesungguhnya adalah rekan-rekan atau anak buahnya. Daun pintu kamar yang semalam ditempati Nurseta didorong terbuka, akan tetapi tentu saja mereka hanya menemukan sebuah kamar kosong! Ki Juhari berseru kaget, lari memasuki kamar dan membuka daun jendela.
"Ah, keparat...! Dia telah melarikan diri!"
"Bodoh kamu! Bagaimana dapat melarikan diri? Mengapa tidak kau jaga semalam?" Ki Nagakumala membentak.
"Tapi... tapi.... dia sama sekali tidak tampak curiga dan sudah masuk kamar ini untuk tidur, Gusti..." kata Juhari bingung dan takut.
"Hayo kita cari!" Dengan marah Ki Nagakumala keluar dari kamar. Setibanya di ruangan depan, dia berseru, "He, di mana pedagang sayur tadi?"
Ki Juhari cepat mejawab. "Dia tentu sudah pergi untuk menjual sayurnya ke kota, Gusti."
"Tolol kau...! Orang itu harus diperiksa. Mungkin dia mempunyai hubungan dengan Nurseta!"
"Hamba kira tidak, Gusti. Ki Kartowi itu langganan hamba, dia benar-benar pedagang sayur..."
"Diam kau, bodoh...! Cari dia dan tangkap!"
Mereka semua lalu keluar dari rumah untuk mencari dua orang itu. Pemuda yang mengaku bernama Baroto. Akan tetapi yang diduga adalah Nurseta orangnya, dan Ki Kartowi pedagang sayur yang dicurigai Ki Nagakumala sebagai orang yang ada hubungan dengan Nurseta. Akan tetapi mereka tidak mencari ke arah barat karena siapa yang mengira orang-orang yang dicari itu akan memasuki hutan yang sunyi itu? Mereka menduga bahwa tentu dua orang yang dicurigai itu akan menuju ke Kota Raja Parang Siluman. Karena itu Ki Nagakumala kembali ke kota raja untuk memperketat penjagaan di sana agar tidak memungkinkan orang yang bernama Baroto dan diduga Nurseta adanya itu dapat menyelundup ke kota raja.
Sementara itu, Nurseta duduk di tepi anak sungai sampai datang fajar. Tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki memikul dua buah keranjang berisi sayur-sayuran. Setelah orang itu tiba dekat, dia melihat bahwa orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, berusia sekitar empat puluh tahun dan begitu tiba di depannya, langsung menurunkan pikulannya dan menyeka keringat.
Nurseta terkejut. "Andika mengenal saya, Paman?"
"He-he-he, jangan sebut saya Paman, Denmas!" Orang itu tertawa lalu menggosok-gosok muka dan rambutnya dengan sehelai kain. Nurseta terbelalak ketika melihat betapa orang yang tadinya tampak setengah tua, berusia sekitar empat puluh tahun itu kini berubah menjadi seorang pemuda yang sebaya dengan dia!
"Hemm, siapakah Andika, Kisanak?"
"Saya bernama Witarto, Denmas..."
"Jangan sebut aku Denmas!"
"Ah, tentu saja Andika harus disebut Denmas karena Andika adalah cucu mendiang Gusti Senopati Sindukerta, Denmas Nurseta. Juga saya tahu bahwa Andika telah membuat banyak jasa terhadap Kerajaan Kahuripan, kepercayaan Gusti Sinuwun dan Gusti Patih!"
"Hemm, agaknya Andika mengenal betul keadaanku, Witarto. Sebenarnya siapakah Andika dan tentu Andika yang semalam mengirim surat peringatan kepadaku itu, bukan?"
"Benar, Denmas. Dahulu saya menjadi perwira muda membantu mendiang Gusti Senopati Sindukerta dan tugas saya adalah menjadi telik sandi (mata-mata). Sekarang saya ditugaskan oleh Gusti Patih Narotama untuk memata-matai Parang Siluman. Saya sudah menduga bahwa Gusti Patih Narotama pasti tidak mendiamkan saja puteranya dijadikan sandera di sini. Ternyata sekarang Andika yang agaknya diutus untuk berusaha merampas Denmas Joko Pekik, bukan?"
"Benar sekali dugaanmu. Witarto. Tahukah Andika di mana anak itu disimpan?"
"Saya bersama sebelas orang rekan saya sudah beberapa bulan bertugas di kota raja dan kami telah mengetahui bahwa Denmas Joko Pekik disembunyikan dalam sebuah gua yang dijaga ketat sekali. Bahkan kami tidak tahu dengan pasti apakah benar anak itu dikeram di situ, atau itu hanya palsu dan pancingan belaka. Mungkin saja putera Gusti Patih itu masih berada di istana. Kami dua belas orang tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyelidikan di istana, Denmas. Kebetulan Andika datang dan kiranya hanya Andika yang akan mampu menyusup ke dalam istana."
"Aku akan masuk kota raja, akan tetapi nanti malam karena rasanya tidak mungkin memasuki kota raja pada siang hari. Semua orang akan mengenalku."
"Jangan memasuki kota raja dalam keadaan biasa begitu, Denmas. Hal itu berbahaya sekali dan akan menggagalkan usaha Andika. Tadi pun, biar Andika sudah berganti nama, tetap saja Juhari mengenal Andika. Hampir saja kita celaka karena baru saja Andika pergi, pasukan Parang Siluman muncul dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala yang sakti dan cerdik. Kalau saya tidak cepat-cepat pergi, tentu saya akan ditangkap karena dicurigai. Denmas harus menyamar, dan untuk itu, sayalah ahlinya, Denmas. Saya biasa menyamar sebagai Kartowi yang setengah tua, dan rekan-rekan saya semua menyamar, sehingga kami tidak dikenal. Mari, saya akan mendandani Andika dan percayalah, tak seorang pun akan mengenal Andika sebagai Denmas Nurseta kalau sudah saya dandani."
Nurseta setuju dan di tepi anak sungai itu, Witarto yang ahli menyamar itu lalu mengeluarkan sekantung alat-alatnya mendandani Nurseta. Tak lama kemudian Nurseta sudah berubah menjadi seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun dengan rambut berwarna dua dan mukanya dihias keriput! Setelah selesai dan dia melihat bayangannya sendiri di air, Nurseta merasa kagum bukan main. Dia sendiri pun tidak mengenal wajah tua itu!
Witarto menerangkan banyak hal kepadanya. Keadaan di kota raja dan terutama di istana. Juga bagaimana dapat menghubungi dia dan rekan-rekannya. Nurseta dianjurkan menggunakan nama Ki Kambana, sebuah nama yang umum dan tidak mencolok, berasal dari sebuah dusun kecil di pesisir Kidul. Setelah itu, Witarto membagi sayur-sayuran menjadi dua pikul dan dia sudah menyiapkan pikulan dan keranjang sayuran di tepi anak sungai.
"Nah, sekarang Andika dan saya menjadi dua orang pedagang sayuran, berjualan ke kota raja. Takkan ada orang yang mencurigai kita."
"Akan tetapi engkau sendiri? Mengapa engkau tidak menyamar lagi?"
"Wah, penyamaran saya sebagai Ki Kartowi sudah dikenal orang, bahkan sudah dicurigai oleh para telik sandi Parang Siluman, Denmas. Malah dengan keadaanku yang asli seperti ini, tidak akan ada yang mengenalku. Kalau nanti ada orang bertemu dengan kita selagi berdua, saya akan mengaku sebagai keponakan Denmas dan mulai sekarang agar terbiasa, saya akan menyebutmu Pakde, dan Andika menyebut saya Tarto."
"Baiklah, Tarto." kata Nurseta dan orang lain tidak akan mengenal suaranya itu karena dia sudah dilatih oleh Witarto untuk bicara seperti seorang tua, agak serak, agak gemetar, dan tenang perlahan. Keduanya lalu memikul pikulan keranjang sayur mereka dan berangkat menuju Kota Raja Parang Siluman.
Tepat seperti yang telah diperhitungkan Witarto, telik sandi Kahuripan yang biarpun masih muda namun amat cerdik itu, mereka berdua dapat lolos melewati gapura Parang Siluman yang terjaga ketat. Para perajurit penjaga memang memeriksa semua orang yang lewat melalui pintu gapura. Akan tetapi yang mereka cari adalah Nurseta, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang berwajah tampan dan Ki Kartowi, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar empat puluh tahun. Akan tetapi Witarto pada saat lewat di situ merupakan pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang matanya juling mulutnya agak perot dan pundaknya tinggi sebelah! Sedangkan Ki Kambana adalah seorang kakek berusia sekitar lima puluh tahun yang rambutnya penuh uban dan kakinya timpang (pincang)! Tentu saja keduanya jauh berbeda dari gambaran dua orang yang mereka cari dan dengan mudah mereka berdua lolos masuk ke dalam Kota Raja Parang Siluman. Jangankan para petugas jaga, para perajurit yang tidak mengenal wajah aseli Nurseta. Bahkan para tokohnya yang sudah mengenal betul wajah itu pun tidak akan menduga bahwa kakek berambut ubanan dan kakinya pincang itu adalah Nurseta!
Setelah memasuki kota raja, sesuai dengan rencana yang sudah diatur sebelumnya, Nurseta berpisah dari Witarto. Dia hendak menyelidiki ke dalam istana untuk memastikan apakah Joko Pekik Satyabudhi dikeram dalam istana ataukah tidak. Adapun Witarto bersama sebelas orang rekannya akan melakukan penyelidikan ke guna yang mereka duga menjadi tempat untuk menyembunyikan putera Ki Patih Narotama itu.
Biarpun dia sudah menyamar menjadi Ki Kambana dan tidak akan ada yang dapat menduganya bahwa dia sebetulnya Nurseta, namun Nurseta tentu saja tidak mau bersikap sembrono. Dia tahu bahwa tidaklah mudah untuk dapat menyusup ke dalam istana yang selain terjaga ketat oleh banyak perajurit pengawal, juga di dalamnya terdapat orang-orang sakti mandraguna. Di antara mereka yang sungguh merupakan lawan-lawan yang berat dan berbahaya adalah Durgamala sendiri yang kini menjadi Ratu Parang Siluman menggantikan mendiang ayahnya Raja Dirgabaskara. Lalu kakak kandung Ratu Durgamala yang bernama Ki Nagakumala dengan tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat Ratu Durgamala. Kemudian ada dua orang puteri Sang Ratu. atau yang menjadi murid Ki Nagakumala, yaitu Lasmini dan Mandari, dua orang puteri yang cantik jelita masih muda karena usia Lasmini baru dua puluh empat tahun dan Mandari dua puluh dua tahun. Selain memiliki wajah yang luar biasa cantik jelita, kedua orang puteri ini juga memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan.
Selain cantik jelita dan menggairahkan, mereka berdua memiliki kesaktian yang bahkan melampaui kesaktian ibu mereka dan sudah hampir menandingi kesaktian guru mereka karena keduanya pernah mendapat bimbingan Sang Prabu Erlangga yang mengambil Mandari sebagai selir, dan Ki Patih Narotama yang menjadikan Lasmini sebagai selir terkasihnya. Empat orang sakti mandraguna tinggal di istana itu dan mereka sama sekali tidak boleh dipandang ringan, baik oleh Nurseta sekalipun! Di samping mereka berempat, dalam istana itu terdapat pasukan pengawal istimewa, terdiri dari lima losin perajurit pilihan!
Akan tetapi Nurseta harus mengambil keputusan untuk nekat menyusup ke dalam istana yang megah dan penuh bahaya itu karena kalau dia tidak berani nekat, bagaimana dia dapat memastikan apakah putera Ki Patih Narotama berada di istana ataukah tidak? Dia menunggu sampai datangnya malam gelap tanpa bulan.
Setelah malam gelap tiba, Nurseta mempergunakan kesaktiannya untuk menyelinap ke dalam istana Parang Siluman. Dengan Aji Sirna Sarira dan menggunakan kecepatan Aji Bayu Sakti, dia berhasil melewati para penjaga di luar istana. Tubuhnya berkelebat seperti bayangan sehingga dia dapat masuk tanpa terlihat oleh para penjaga yang banyak dan yang melakukan penjagaan ketat.
Malam itu gelap sekali. Dengan gerakan yang amat ringan dan gesit, seperti seekor monyet, Nurseta berlompatan ke atas wuwungan bangunan istana, mengintai dari atas dan memeriksa keadaan. Malam itu istana sudah sepi. Agaknya para penghuninya sudah tertidur karena waktu sudah tengah malam. Yang tampak hanya para perajurit pengawal yang mengadakan perondaan.
Nurseta tidak mau menangkap perajurit pengawal, untuk memaksanya mengaku di mana adanya Joko Pekik Satyabudhi. Dia maklum bahwa mereka yang diangkat menjadi perajurit pengawal istana pastilah orang yang memiliki kesetiaan tebal dan menaati atasannya sampai mati. Orang-orang seperti para perajurit pengawal istana itu tidak mungkin dapat dibujuk atau diancam. Dan kalau dia sudah menangkap seorang lalu gagal mengancamnya, hal itu bahkan merugikannya, dan mungkin akan menggagalkan penyelidikannya. Maka dia menanti dengan sabar, mencari kesempatan untuk turun ke bawah tanpa diketahui dan melanjutkan penyelidikannya di bawah, yaitu di sebelah dalam istana. Memang berbahaya baginya, akan tetapi kiranya tidak ada jalan lain.
Tiba-tiba mata Nurseta bersinar. Dia melihat seorang wanita setengah tua, dari pakaiannya dapat diduga bahwa wanita itu tentu seorang pelayan istana. Wanita ini lewat dengan perlahan, membawa sebuah baki berisi sebuah poci minuman dan cangkir. Nah, inilah kesempatan terbaik, piker Nurseta. Lebih mudah memaksa wanita pelayan Ini membuka mulut dan memberitahu kepadanya di mana adanya anak yang diculik itu daripada memaksa seorang perajurit pengawal.
Ketika wanita itu melewati sebuah lorong di mana tidak ada perajurit pengawal yang menjaga, tiba-tiba ia disergap oleh kedua tangan Nurseta yang kuat. Sekali tekan pada tengkuknya, wanita pelayan itu terkulai lemas, tidak mampu bersuara maupun meronta lagi. Nurseta cepat mengambil baki agar jangan jatuh menimbulkan suara. Dia memanggul tubuh wanita itu dan membawanya melompat lagi ke atas wuwungan yang gelap. Setelah, menaruh baki dengan poci dan cangkir ke sudut wuwungan, dia menurunkan tubuh pelayan wanita itu, mendudukkan di atas wuwungan dan berkata lirih dekat telinganya.
"Jangan berteriak dan aku tidak akan mengganggumu. Kalau engkau berteriak, akan kulemparkan ke bawah sana!"
Wanita itu menggigil kengerian dan tidak berani menjerit ketika Nurseta mengurut tengkuknya sehingga ia mampu besuara dan bergerak lagi.
"Ampunkan hamba..." rintihnya lirih ketakutan.
"Katakan terus terang, di mana adanya putera Ki Patih Narotama yang diculik? Di mana dia dikeram? Hayo jawab sejujurnya kalau engkau ingin seIamat" hardik Nurseta sambil memegang kedua lengan wanita itu seolah-olah siap hendak melemparkan ke bawah!
"Ampun... anak itu... anak itu berada di sana..." Wanita itu menudingkan telunjuknya yang menggigil ke bawah.
"Di mana? Yang jelas!"
"Melalui lorong itu ke depan, lalu ada tikungan ke kanan dan dia berada di dalam sebuah kamar yang pintunya bercat hijau terbuat dari besi dan berterali. Anak itu tampak dari luar, akan tetapi dijaga ketat..."
"Engkau tidak bohong? Awas, kalau engkau bohong, aku akan kembali ke sini dan melemparmu ke bawah!"
"Hamba tidak berani berbohong..." Wanita itu meratap.!
Nurseta percaya bahwa wanita itu pasti tidak akan berani membohonginya, maka dia lalu menepuk lagi tengkuknya sehingga wanita itu terkulai, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat bergerak lagi. Nurseta meninggalkannya di atas wuwungan, lalu dia melayang turun di bagian yang gelap. Kemudian dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, Nurseta berkelebat mengikuti lorong seperti yang dikatakan pelayan tadi. Dia tiba di lorong yang berbelok. Dia menuju ke kanan dan benar saja, dari jauh dia melihat lima orang perajurit pengawal duduk di atas bangku panjang di depan sebuah kamar yang pintunya terbuat dari besi bercat hijau dan di bagian atasnya ada teralinya! Dengan jalan memutar dia dapat melihat kamar itu dari depan, agak jauh.
Dalam kamar yang tampak dari terali daun pintu tampak remang-remang karena hanya ada sebuah lampu kecil dalam kamar itu. Akan tetapi dia dapat melihat dengan jelas sebuah pembaringan kecil dan seorang anak kecil tidur di atas pembaringan itu, berselimut merah. Hatinya lega melihat ini. Joko Pekik Satyabudhi, putera Ki Patih Narotama, ternyata masih hidup dan dalam keadaan selamat dan melihat dia tertidur, tentu dia sehat-sehat saja.
Nurseta lalu membuat perhitungan masak sebelum bertindak lebih lanjut. Dia harus melumpuhkan lima orang perajurit yang berjaga di depan kamar tahanan itu. Dan hal ini harus dia lakukan dengan cepat dan tidak menimbulkan suara gaduh, karena kalau sampai terdengar oleh para tokoh sakti di istana dan mereka keburu datang, usahanya tentu akan gagal. Dia harus sudah dapat membawa anak itu sebelum para lawan tangguh muncul!
Nurseta lalu mengerahkan Aji Sirna Sarira sekuatnya dan tubuhnya lalu berkelebat ke depan kamar tahanan. Lima orang perajurit itu hanya melihat bayangan berkelabat. Mereka terkejut dan bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba mereka roboh satu demi satu daiam keadaan pingsan tanpa sempat berteriak! Nurseta cepat mencari dan mengambil kunci dari saku baju seorang dari mereka, dan membuka gembok besar pada pintu besi itu. Dengan mudah dibukanya gembok itu, dibukanya pintu besi dan dia cepat masuk ke dalam kamar tahanan itu. Dia menghampiri pembaringan dan matanya terbelalak kaget ketika dia melihat bahwa yang tidur di atas pembaringan tertutup selimut merah itu hanya sebuah boneka!
"Ha-ha-ha-ha...!"
"He-he-heh...!"
"Hi-hi-hi-hik...!"
Nurseta menoleh dan membalikkan tubuhnya ke pintu mendengar suara tawa beberapa orang itu. Dia melihat betapa daun pintu besi itu ditutup dari luar dan digembok kembali. Dari terali pintu besi dia melihat mereka berempat berdiri di luar pintu sambil tertawa-tawa. Ratu Durgamala, Ki Nagakumala, Lasmini dan Mandari! Seketika mengertilah dia kini. Semua itu ternyata merupakan pancingan dan jebakan saja! Wanita pelayan tadi pun tentu dipergunakan sebagai pancingan dan mereka berhasil memancing dan menjebaknya! Di belakang empat orang tokoh Parang Siluman yang tertawa-tawa itu berdiri seregu pasukan pengawal, lengkap dengan senjata tombak, pedang, dan busur!
"He-he-he-heh! Nurseta, sejak engkau melewati gapura istana, kami sudah mengamati dan mengikuti semua gerak-gerikmu! He-he-heh!" Ratu Durgamala berkata sambil tersenyum mengejek. Ratu wanita yang sudah janda dan berusia empat puluh tahun lebih itu. masih tampak cantik jelita, berdiri di samping kedua puterinya itu ia tampak seperti kakak mereka saja.
Nurseta menjadi lemas! Kiranya mereka bukan saja berhasil menjebaknya, bahkan penyamarannya pun tidak dapat mengelabuhi mereka. Mereka sudah mengenalnya! Dia merasa penasaran sekali, namun dapat bersikap tenang ketika dia bertanya, "Hemm... harus ku akui bahwa Andika sekalian memang cerdik sekali. Akan tetapi bagaimana Andika dapat mengetahui siapa diriku?"
Ki Nagakumala yang menjawab. "Hmmm, apa sukarnya? Permainan anak kecil...! Biarpun penyamaranmu memang bagus sekali dan mula-mula kami tidak mengenalmu, akan tetapi ketika engkau bergerak, kami mengenal Aji Bayu Sakti dan Aji Sirna Sarira, bahkan kami dapat mengetahui bahwa engkau adalah utusan Ki Patih Narotama karena kami melihat Tongkat Pusaka Kyai Tunggul Manik yang berada di pinggangmu itu, Nurseta!"
Nurseta merasa kagum. Mereka itu cerdik dan licik, juga sakti mandraguna. Dia merasa seperti harimau dalam kurungan dan dapat menduga bahwa ruangan tahanan itu pasti kokoh kuat sekali. Pintu besi itu tampak kokoh dan dia menduga bahwa dinding tembok itu pun tentu dilapis besi. Kiranya tidak mungkin menjebol kamar tahanan itu. Mereka memang sudah mempersiapkan segalanya!
"Sudahlah, Kakang Nagakumala, untuk apa berpanjang cerita dengan orang ini? Dia terlalu berbahaya, sebaiknya dibinasakan sekarang juga!" kata Ratu Durgamala tak sabar karena ratu ini sudah maklum akan kesaktian Nurseta yang akan membahayakan kerajaannya.
"Engkau benar, Yayi Ratu." kata Ki Nagakumala lalu dia memberi perintah kepada dua lusin perajurit pengawalnya.
"Kalian kepung tempat ini dan pasang anak panah beracun. Hujani dia dengan anak panah beracun!"
Dua lusin perajurit itu maju dan bersiap di depan pintu besi yang lebar itu. Mereka mengambil posisi, ada yang berjongkok, ada yang berlutut dan ada yang berdiri menodongkan anak panah, merupakan tiga lapis, bawah, tengah, dan atas. Mereka sudah memasang anak panah yang ujungnya berwarna hijau kehitaman tanda racun yang amat kuat, pada busur mereka, siap untuk menarik tali busur dan melepas anak panah.
"Tahan...!!" Tiba-tiba Lasmini berseru.
"Jangan bunuh dia sekarang!"
"Lasmini...! Mengapa engkau melarang?" tanya Ratu Durgamala heran. Juga Ki Nagakumala memandang Lasmini dengan alis berkerut. Seperti juga adiknya, dia berpendapat bahwa Nurseta merupakan ancaman bahaya besar bagi Parang Siluman, maka lebih cepat dibunuh lebih baik.
"Kanjeng Ibu, Mbakayu Lasmini benar...! Orang ini jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak dia kalau dibunuh begitu saja!"
"Hemm..., Lalu seharusnya bagaimana?" tanya Ratu Durgamala.
"Begini, Kanjeng Ibu." kata Lasmini sambil tersenyum simpul, "Lumpuhkan dia dengan asap pembius. Nanti aku dan Mandari yang akan menangani dan membereskan dia!"
Ratu Durgamala tentu saja maklum dan dapat membaca senyum simpul yang berkembang di bibir manis Lasmini dan Mandari. Kedua orang puterinya itu bukan hanya mewarisi kecantikannya, akan tetapi juga kelemahannya terhadap gairah nafsunya sendiri yang membuat wataknya menjadi mata keranjang. Ia pun tersenyum maklum dan segera memerintahkan kepada para perajurit.
"Lumpuhkan dia dengan asap pembius!"
Dua lusin perajurit itu mengganti busur anak panah mereka dengan alat penyemprot dari bumbung bambu. Nurseta tak dapat menemukan jalan untuk menghindar dari serangan. Dia tidak berdaya dan maklum bahwa menggunakan kekerasan takkan menolongnya. Dia tidak takut mati, bahkan dia lalu menghapus penyamarannya karena kalau dia sampai mati, dia ingin mati sebagai Nurseta, sebagai dirinya yang asli, bukan dalam penyamaran. Menyamar pun sekarang tidak ada gunanya lagi karena rahasianya sudah ketahuan. Segera setelah dua lusin perajurit itu menyemprotkan asap pembius yang berbau harum menyengat, dia melompat ke atas pembaringan kecil, duduk bersila dan memejamkan kedua matanya. Dia menahan panas agar tidak keracunan pembius.
Namun, segera kamar itu penuh asap dan kurang lebih satu jam kemudian, dia tidak dapat lagi menahan pernapasannya. Dia bernapas dan asap pembius memasuki rongga dadanya. Kepalanya terasa pening, semua gelap dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi. Namun, badannya yang terlatih itu tetap duduk bersila walaupun dia pingsan!
Ketika siuman dari pingsannya, dan membuka matanya, Nurseta mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah pembaringan yang besar, lunak dan indah, dalam sebuah kamar yang mewah dan berbau harum. Dia memandang ke sekeliling. Di sebelah kiri terdapat sebuah jendela yang terbuka dan menembus ke sebuah taman yang penuh tanaman bunga. Ketika dia meraba dengan tangannya, dia mendapatkan badannya memakai pakaian baru yang indah. Mukanya dan rambutnya bersih bekas dicuci dan penyamarannya sudah hilang sama sekali. Dia teringat. Dia telah terjebak dalam kamar dan diserang asap pembius! Diraba pinggangnya. Tongkat Pusaka Tunggul Manik juga telah hilang! Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya.
"Hi-hi-hi-hik...!"
Nurseta cepat memutar tubuh dan dia melihat Lasmini dan Mandari muncul di pintu sambil memandang kepadanya dan terkekeh-kekeh. Dia marah sekali lalu melompat turun dengan niat menyerang dua orang wanita itu. Akan tetapi dia mengeluh dan tubuhnya terpelanting, terhuyung dan dia cepat menjatuhkan diri di atas pembaringan karena kalau tidak, dia tentu akan terbanting roboh di atas lantai. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi ketika dia tadi mengerahkan tenaga sakti untuk menyerang dua orang wanita itu!
"He-he-he-heh! Bocah bagus (anak tampan), engkau akan mati kalau mencoba untuk mengerahkan tenaga dan melawan kami!" kata Mandari sambil tersenyum manis.
Sekali lagi Nutseta mencoba untuk mengerahkan tenaganya, namun rasa nyeri yang luar biasa membuat dia terpaksa duduk bersila di atas pembaringan dan menarik napas panjang.
"Apa yang telah kalian lakukan terhadap diriku?" tanyanya, tetap tenang walaupun dia tahu bahwa dia telah keracunan secara hebat sekali.
"Engkau ingin mengetahui, Nurseta? Tubuhmu telah kemasukan racun Perusak Tulang. Kalau engkau mau menaati kami, engkau akan kami beri obat penawar. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menurut, dalam waktu satu bulan, tulang-tulangmu akan hancur dan tidak ada obat apa pun di dunia ini yang akan dapat menyelamatkanmu!" kata Lasmini sambil tersenyum dan mengerling penuh daya pikat.
Nurseta kini maklum mengapa Tongkat Pusaka Tunggul Manik mereka ambil darinya. Kalau tongkat itu masih tergantung di pinggangnya, tentu racun itu akan kehilangan dayanya.
"Menaati dan menurut bagaimana maksud kalian?" tanyanya, sikapnya tetap tenang.
Kakak beradik yang sama-sama cantik jelita itu saling padang dengan tersenyum. Mereka berdua sama-sama cantik walaupun kecantikan mereka berbeda, Lasmini berwajah bulat berkulit putih mulus, mata dan mulutnya penuh gairah, rambutnya panjang hitam dan lekuk-lengkung tubuhnya nyaris sempurna. Mandari berwajah agak lain, dengan dagu meruncing wajahnya menjadi bulat telur, anak rambut melingkar-lingkar di dahi dan pelipis, mulutnya kecil matanya lebar, hidungnya mancung indah. Biarpun kulitnya tidak seputih kulit Lasmini, namun halus dan jernih. Bentuk tubuhnya juga amat ramping dan padat. Sukar mengatakan siapa lebih menarik di antara kedua kakak beradik ini. Daya tarik kecantikan mereka sama-sama kuat dan menggairahkan karena sikap mereka yang menantang dan genit.
"Pertama, engkau harus membantu kami, memperkuat Kerajaan Parang Siluman." Kata Mandari sambil tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih seperti mutiara tersusun rapi.
"Hemm, kalau untuk melakukan kebaikan, mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman kehidupan rakyat, aku siap membantu kerajaan manapun juga. Akan tetapi kalau untuk mengumbar angkara murka, apalagi untuk memusuhi Kahuripan, tak mungkin aku dapat membantui kalian." jawab Nurseta tegas.
"Urusan pertama itu boleh ditunda dulu, akan tetapi sekarang engkau harus menuruti keinginan kami yang kedua, yaitu kita berpesta dan bersenang-senang dalam kamar kami ini. Engkau tentu akan suka menemani kami bersenang-senang, bukan?"
Nurseta sudah mengenal dua orang wanita itu, maklum bahwa kedua orang wanita bekas selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini adalah hamba-hamba nafsu berahi. Dia maklum bahwa mereka mengajak dia berzina! Sambil mengerutkan alisnya dia menjawab dengan lembut agar tidak menyinggung hati mereka. "Aku sama sekali tidak tertarik. Maafkan kalau aku menolak ajakan itu."
Dua orang puteri itu tidak menjadi marah. Mereka malah tersenyum lebar sehingga tampak rongga mulut mereka dan lidah mereka yang kemerahan. "Hi-hi-hik, engkau tidak akan dapat menolak kami, Nurseta!" kata Mandari, lalu disambung ucapan Lasmini dengan suara lembut manis namun mengandung wibawa dan daya pikat amat kuatnya. "Pandanglah kami, Nurseta!"
Seolah di luar kehendaknya, Nurseta memandang mereka dan jantungnya berdegup keras. Dia melihat betapa Lasmini dan Mandarai tampak luar biasa cantiknya, seolah dua orang dewi kahyangan. Wajah mereka memancarkan cahaya indah, senyum mulut mereka mengandung lautan madu, kerling mata mereka seolah menarik-narik perasaan hatinya. Nurseta segera menyadari bahwa dua orang wanita itu telah mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang amat kuat yang kabarnya dapat meruntuhkan iman seorang pertapa sekalipun. Nurseta segera berlindung dalam Aji Sirna Sarira. Aji ini merupakan aji yang meniadakan diri jasmani sehingga tentu saja tidak dapat terpengaruh segala macam daya tarik nafsu yang menguasai jasmani. Dia tetap duduk bersila dan sungguhpun dia tidak perlu memejamkan matanya, namun matanya sama sekali tidak silau oleh daya tarik kecantikan dua orang wanita itu. Bahkan dia seolah melihat dua tengkorak terbungkus kulit yang menjijikkan!
Dua orang wanita yang berpengalaman itu segera mengerti bahwa aji pengasihan mereka tidak cukup kuat untuk meruntuhkan perasaan hati dan membangkitkan nafsu berahi Nurseta. Mereka merasa penasaran sekali dan kegagalan mereka itu bahkan merupakan senjata yang berbalik menyerang diri mereka sendiri. Penolakan pemuda itu justru membuat napsu mereka menjadi semakin menyala berkobar-kobar membakar diri mereka! Keduanya menjadi nekat dan mereka menyerbu ke atas pembaringan yang lebar itu.
Mereka berdua mulai merayu Nurseta dengan bisikan-bisikan, belaian dan melekatkan tubuh mereka yang panas penuh gairah itu ke tubuh Nurseta. Namun pemuda itu kini memejamkan mata dan dia seolah menjadi seperti ketika Arjuna digoda dan diuji keteguhan batinnya oleh tujuh dewi kahyangan! Arjuna juga sama sekali tidak terguncang seperti diceritakan dalam Kisah Mahabharata Episode Arjuna Mintaraga.
Dua orang wanita cantik itu seperti cacing terkena abu panas! Mereka menggeliat-geliat merintih-rintih, merayu dan membelai. Namun Nurseta tetap tak tergoyahkan sedikit pun. Lasmini menjadi semakin penasaran. Ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan sihirnya, menggerakkan jari tangan menotok tengkuk Nurseta lalu mengurut tulang punggungnya dengan Aji Asmara Kingkin. Totokan ini biasanya amat ampuh, dapat membangkitkan gairah berahi orang yang ditotoknya.
Nurseta, sempat merasakan tubuhnya panas dingin, namun tubuhnya yang memang terbiasa kuat menguasai gejolak nafsu-nafsunya, kini juga teguh dan tidak goyah. Dia tetap duduk bersila memejamkan mata. Akhirnya dua orang wanita itu menjadi kelelahan sendiri. Napas mereka terengah-engah, wajah mereka merah padam dan senyum manis tadi berubah menjadi seringai penuh kekesalan, kekecewaan, kemarahan dan juga ada perasaan malu dan terhina.
"Jahanam...!" Lasmini menggerakkan tangan menampar.
"Plak...!"
Pipi kanan Nurseta ditampar. Pemuda yang tidak dapat mengerahkan tenaga sakti itu hampir terguling terkena tamparan yang membuat dia merasa nyeri, perih dan panas pada pipi kanannya.
"Keparat... plakk!" Tangan Mandari menampar pipi kiri Nurseta sehingga kedua pipi pemuda itu menjadi merah membengkak, ujung bibirnya di kanan kiri sedikit pecah dan berdarah. Akan tetapi wajah Nurseta tidak menunjukkan perasaan apa pun tidak ada kerut pada wajahnya, tetap tenang, bahkan kini dia membuka kedua matanya dan memandang kepada dua orang wanita itu seperti orang yang merasa iba!
"Nurseta, keparat sombong...! Engkau sudah menolak dua permintaan kami. Engkau sudah menghina kami! Sepatutnya sekarang juga engkau kami bunuh. Akan tetapi terlalu enak kalau engkau dibunuh sekarang, Maka, biarlah kau rasakan siksaan racun Perusak Tulang yang akan menggerogotirnu setiap saat selama satu bulan sampai engkau mati!" Lasmini berkata marah sambil turun dari atas pembaringan.
Mandari juga turun dan membetulkan letak pakaiannya yang kusut dan sebagian terbuka ketika tadi mereka membujuk rayu dan menggoda Nurseta.
"Kecuali kalau engkau berubah pikiran dan mau menaati perintah kami, tentu kami menyelamatkan mu!"
Setelah berkata demikian, dua orang wanita itu memanggil para perajurit pengawal yang berjaga di luar kamar itu. Empat orang perajurit pengawal yang bertubuh tinggi besar masuk dengan sikap hormat.
"Bawa dia ke kamar tahanan di belakang. Awas, jaga ketat jangan sampai dia lolos melarikan diri..! Bunuh saja kalau dia mencoba untuk melarikan diri!" kata Lasmini kepada mereka. "Nyawa kalian taruhannya kalau dia lolos!" kata pula Mandari. "Akan tetapi perlakukan dia baik-baik, jangan sekali-kali kalian menyiksanya. Mengerti?"
Empat orang itu menyatakan siap dan taat, lalu mereka berempat menuntun dan mengawal Nurseta keluar dari kamar itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan di belakang. Kamar tahanan ini kokoh kuat sekali karena dindingnya terbuat dari baja, daun pintunya juga dari besi dengan terali kokoh dari atas ke bawah sehingga keadaan dalam kamar tahanan itu selalu diawasi oleh para perajurit penjaga. Selusin orang perajurit berjaga secara bergiliran di sekitar luar kamar tahanan itu.
Begitu dimasukkan kamar tahanan dan daun pintu besi ditutup, Nurseta lalu duduk di atas dipan kayu yang berada di sudut kamar tahanan. Dia tahu bahwa tubuhnya keracunan dan mengerahkan tenaga merupakan hal tidak mungkin. Kalau dia paksakan, tentu tulang-tulangnya akan hancur dan dia tewas seketika. Maka dia membuat tubuhnya lemas, tidak mengeluarkan tenaga. Dia harus banyak beristirahat. Direbahkannya tubuhnya yang lemas dengan muka terasa panas dan pedih oleh tamparan kedua orang wanita tadi. Dia telentang dan merenungkan keadaannya yang terancam bahaya maut yang mengerikan.
Para tokoh Parang Siluman itu memang licik dan cerdik sekali. Mengatur jebakan dan pancingan sedemikian halusnya sehingga dia yang sudah berhati-hati itu tetap saja terjebak dan tertawan. Bahkan rasanya tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri. Satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari kematian yang menyiksa hanyalah kalau dia menuruti kehendak Lasmini dan Mandari!
Pikirannya mulai melayang-layang dan Nurseta membiarkan pikirannya bekerja sendiri tanpa dia kendalikan. Mulai terbayanglah dia akan segala yang baru dialaminya, sejak dia melakukan penyelidikan sampai kemudian tertawan dan pengalaman terakhir dalam kamar indah itu pun terbayang-bayang. Betapa cantiknya dua orang puteri Parang Siluman itu! Bukan saja wajah mereka yang cantik manis menggiurkan, bahkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama pernah terpikat oleh kecantikan mereka! Betapa indah bentuk tubuh mereka dan terbayanglah semua peristiwa tadi, betapa tubuh-tubuh yang lunak hangat lembut itu membelainya, betapa harum semerbak bau rambut dan tubuh mereka. Betapa akan menyenangkan kalau dia memenuhi permintaan mereka. Tidak, itu tidak benar sama sekali, terdengar bisikan halus namun penuh teguran dari dalam dadanya.
"Tidak,... Nurseta, hal itu tidak boleh kau lakukan." Hatinya berbisik.
"Uh, mengapa tidak boleh?" suara lain yang parau terdengar dari dalam kepalanya. "Engkau tidak akan menjadi manusia tolol, Nurseta! Engkau laki-laki, dan mereka itu begitu cantik menarik, bayangkan betapa indah mata dan mulut mereka, betapa mulus dan indah tubuh mereka, betapa akan berbahagianya engkau kalau engkau menerima dan membalas cinta kasih mereka!"
"Hemm,... itu bukan cinta kasih." cela suara dalam hatinya. "Itu hanya gairah nafsu birahi semata yang akan menyeretmu ke dalam dosa, Nurseta. Itu perzinaan namanya dan engkau membiarkan dirimu diseret dan diperbudak napsu birahi yang akan menyengsarakan dirimu sendiri. Seorang satria utama tidak akan sudi melakukan kesesatan itu."
Nurseta mengangguk-angguk. "Itu benar sekali, aku tidak boleh melakukan perbuatan sesat itu!" katanya lirih walaupun suara bisikannya itu tidak yakin dan tegas benar, masih bercampur keraguan.
"Phuah,... omong kosong! Siapa bilang berzina dan dosa? Ini merupakan usaha untuk menyelamatkan diri. Setiap orang manusia berhak untuk mencari keselamatan, menghindar diri dari ancaman maut! Sudah jelas engkau akan mati, tulang-tulangmu akan hancur dan kau tidak akan dapat tertolong lagi! Kalau jalan satu-satunya untuk menghindarkan kematian hanya menuruti kemauan dua orang wanita itu, apanya yang dosa? Itu bukan perzinaan, bukan dosa namanya! Itu hanya cara untuk mempertahankan hidup, hak setiap orang manusia! Bahkan kalau engkau tidak mempertahankan hidupmu, membiarkan dirimu mati tanpa berusaha mencari keselamatan, itu dosa besar namanya! Sudahlah, Nurseta, kau turuti saja kemauan Lasmini dan Mandari. Engkau akan memperoleh kenikmatan, kesenangan, dan juga luput dari kematian!" Suara parau dalam kepalanya semakin lantang.
"Jangan dengarkan bujuk rayu menyesatkan itu, Nurseta." bisikan dalam dadanya membantah. "Ingat, engkau seorang satria, engkau utusan Ki Patih Narotama dan engkau selalu berpendirian bahwa seribu kali lebih baik mati sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang budak nafsu yang sesat berdosa!"
"Hua-ha-ha...!" Suara dalam kepalanya terbahak. "Siapa sih manusia hidup di dunia ini yang tidak berdosa? Melakukan dosa untuk mempertahankan hidup itu tidak salah, Nurseta!"
Namun jiwa Nurseta sudah tegar kembali, sepenuhnya menyadari akan kebenaran bisikan dari hatinya tadi. "Hemm, enyahlah kamu, Nafsu Setan!" bentaknya kepada pikirannya sendiri.
Terdengar suara dalam kepala tadi tertawa bergelak, menertawakan kebodohannya, akan tetapi juga terdengar bisikan suara dalam dadanya. "Puja-puji tertinggi bagi Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Besar dan Maha Kuasa!"
Setelah dua suara yang bertentangan, suara yang muncul dalam pikiran di kepala dan suara dari hati sanubari, menghilang dan keseimbangan dirinya pulih kembali dan tenang, Nurseta termenung. Dia menyadari bahwa suara yang membujuk-bujuknya untuk tunduk memenuhi permintaan Lasmini dan Mandari tadi adalah suara nafsunya yang pada umumnya disebut suara Setan. Akan tetapi, jahatkah Setan yang selalu membujuk-bujuk manusia untuk menyimpang dari kebenaran, untuk melakukan perbuatan yang sesat dan jahat?
Nurseta tersenyum sendiri. Sudah tentu saja Setan itu jahat, kalau tidak jahat bukan Setan namanya! Setan itu adalah Si Jahat itu sendiri, maka setan itu tidak bisa jahat lagi karena sudah maha jahat sejak mulanya! Mana mungkin api dapat terbakar? Api dan nyalanya tidak terpisah, seperti setan dan jahatnya. Sudah ditentukan Sang Hyang Widhi bahwa Setan harus menggoda manusia, maka membujuk manusia menyeleweng dari kebenaran merupakan tugas-kewajiban Setan! Kalau Setan tidak menggoda manusia, lalu apa pekerjaannya? Lalu namanya pun bukan setan lagi!
Tidak, yang jahat bukanlah setan, melainkan tergantung kepada manusia sendiri bagaimana menghadapi godaan itu. Betapapun hebat setan menggoda, bagaimana kuat pun nafsu-nafsu dalam badan ini membujuk rayu, menjanjikan kesenangan dan kenikmatan yang kalau dituruti akan menyeret kita ke dalam dosa, namun kalau kita tidak menyerah, pasti tidak akan terjadi perbuatan sesat atau dosa!
Jelaslah bahwa dosa terjadi karena kelemahan manusia, bukan karena godaan setan. Sudah ditakdirkan bahwa manusia hidup di dunia harus menghadapi banyak sekali godaan dan tantangan, baik tantangan jasmani maupun rohani. Segala macam godaan jasmani mengancam kehidupan kita, misalnya binatang-binatang yang mengganggu seperti nyamuk, lalat, tikus dan masih banyak lagi. Banyak pula peristiwa alam yang mengganggu dan merupakan tantangan kita, seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi, badai dan sebagainya. Akan tetapi Sang Hyang Widhi Wasa juga memberi bekal akal budi kepada kita sehingga kita dapat mempergunakannya untuk mengatasi semua gangguan itu.
Demikian pula dengan gangguan rohani yang pada umumnya disebut gangguan setan. Seperti juga kita tidak menyalahkan nyamuk yang mengganggu, mengisap darah kita, karena memang nyamuk sudah ditakdirkan harus hidup dari mengisap darah sehingga nyamuk tidak bersalah, tergantung kepada kita dapat menghindarkan diri atau tidak, maka setan juga tidak bisa disalahkan kalau kita sampai tergelincir ke dalam perbuatan dosa. Kita sendirilah yang bersalah, karena lemah.
Memang, melawan bujukan setan berarti melawan nafsu-nafsu diri kita sendiri dan hal ini amatlah sukar. Manusia sendiri tidak akan mampu melawan dan mengatasi musuh besar sepanjang hidup berupa keinginan-keinginan napsunya sendiri. Hanya Sang Hyang Wldhi Wasa yang akan mampu memperkuat kita untuk mengatasi semua godaan itu. Satu-satunya jalan hanyalah mohon kekuatan dari DIA YANG MAHA KUAT, dengan penyerahan diri secara total kepada-Nya sehingga kekuatan-Nyalah yang bekerja, bukan lagi kekuatan kita untuk meredam gairah nafsu yang berkobar-kobar.
Tuhan Maha Murah dan Maha Adil, segala ciptaan-Nya diberi kebebasan sepenuhnya. Juga manusia selain diberi perlengkapan hidup berupa nafsu-nafsu dan hati akal pikiran serta budi, diberi pula kebebasan. Manusia bebas untuk memilih, kepada siapa kita akan mengabdi. Bebas untuk mengabdi kepada nafsu-nafsu daya rendah Setan atau mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang kedua pengabdian itu mendatangkan akibat-akibat tertentu. Akibat lahir dari sebab ini tak dapat dihindarkan lagi, sudah adil dan sempurna!
"Tidak ada lain jalan bagiku, Puspa Dewi. Aku harus menepati janjiku kepada Lasmini karena aku tidak ingin melihat anakku dibunuh. Pula, aku sudah melepas janji bahwa selama anakku ditahan di Parang Siluman, aku tidak akan menyerangnya. Tidak mungkin aku melanggar janji dan lebih lagi, tidak mungkin aku membiarkan anakku dibunuh."
"Ah, saya ikut merasa prihatin sekali, Gusti Patih."
"Sudahlah, Puspa Dewi, jangan memikirkan urusanku ini. Biar nanti Gusti Sinuwun saja yang mengambil keputusan."
Beberapa hari kemudian seregu pengawal istana dating menunggang kuda, mengiringkan Sang Prabu Erlangga yang diikuti Senopati Tanujoyo dan para senopati lainnya. Senopati Tanujoyo yang merasa sakit hati karena di depan para pasukan dia dirobohkan Ki Patih Narotama, telah melaporkan kepada Sang Prabu Erlangga bahwa Ki Patih Narotama sengaja melarang pasukan menggempur Parang Siluman untuk membela dan melindungi bekas selirnya, yaitu Lasmini! Bahkan Ki Patih Narotama telah memukul roboh dia dan para perwira lainnya, yang hendak mencegah dia memberontak.
Tentu saja Sang Prabu Erlangga marah bukan main. Dia maklum bahwa kalau Narotama memberontak, tidak akan ada yang mampu menandinginya kecuali dia sendiri. Karena itu, Sang Prabu Erlangga segera berangkat ke tempat berhentinya pasukan Kahuripan yang dihadang Narotama itu. Setelah tiba di situ dia mendengar bahwa Narotama berada di balik batu-batu besar yang berada di depan. Sang Prabu Erlangga yang masih marah segera turun dari kudanya, melompat ke depan lalu berseru sambil mengerahkan tenaga saktinya sehingga suaranya terdengar menggelegar.
"Kakang Narotama....! Andika seorang satria, seorang jantan, mengapa bersembunyi? Keluarlah dan hadapi aku!!"
Perlahan-lahan Ki Patih Narotama keluar dari batu besar dan melangkah tenang menghampiri Sang Prabu Erlangga. Pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan, dan mukanya pucat, matanya redup dan sayu. Setelah berhadapan dengan Sang Prabu Erlangga, dia lalu menyembah dengan kedua tangan di depan hidungnya.
"Gusti Sinuwun..." Dia hanya menyapa dengan hormat, suaranya gemetar.
"Kakang Narotama, Andika berani berkhianat dan memberontak melawan aku demi untuk membela Lasmini yang telah berkhianat dan berbuat jahat terhadap kita? Untuk perempuan berwatak iblis itu engkau sampai hati mbalelo (memberontak) terhadap aku?"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Hamba tidak sekali-kali hendak memberontak terhadap Sinuwun. Paduka, hamba tetap setia kepada Kahuripan, siap mempertaruhkan nyawa demi membela Paduka dan Kahuripan."
"Hemm, kalau engkau tidak mbalelo, mengapa engkau menghalangi pasukan Kahuripan yang akan menyerang Parang Siluman?"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Hamba hanya menghendaki agar pasukan kita menyerang Wengker lebih dulu."
Sang Prabu Erlangga marah. Dia sudah mendapatkan laporan dari Senopati Tanujoyo akan keinginan Narotama menyerang Wengker lebih dulu. Dia mengira bahwa hal itu sengaja dilakukan Narotama untuk menghindarkan Parang Siluman dari serangan, tentu saja karena Narotama masih mencinta Lasmini dan ingin melindunginya.
"Kakang Narotama, jelas bahwa engkau berani melanggar perintahku! Agaknya engkau mengandalkan kedigdayaanmu untuk menentangku! Kalau begitu mari, kita sama-sama laki-laki jantan, kita buktikan siapa yang lebih unggul di antara kita berdua!" Sang Prabu Erlangga menantang. "Kecuali kalau engkau mau mengaku salah dan tidak lagi menghalangi pasukan yang hendak menyerang Parang Siluman!"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Untuk hal lain, hamba akan menaati semua perintah Paduka. Akan tetapi untuk yang satu ini, yaitu kalau pasukan hendak menyerang Parang Siluman, terpaksa hamba akan menghalangi."
"Keparat! Kalau begitu terpaksa aku tega kepadamu!" Sang Prabu Erlangga sudah marah sekali dan tubuhnya gemetar mengeluarkan hawa sakti yang menggiriskan. Akan tetapi pada saat itu, Puspa Dewi melompat ke depan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sang Prabu Erlangga.
"Duh Gusti Sinuwun, hamba mohon Paduka bersabar dulu dan sudi mendengarkan keterangan hamba."
Sang Prabu Erlangga mengerutkan alisnya memandang kepada Puspa Dewi dengan sinar mata mencorong.
"Engkau juga, Puspa Dewi? Engkau hendak membela pengkhianat ini yang melindungi Parang Siluman?"
"Ampun, Gusti Sinuwun. Sesungguhnya Gusti Patih Narotama sama sekali tidak melindungi Parang Siluman ataupun Lasmini, akan tetapi beliau hendak melindungi keselamatan nyawa putera beliau, Joko Pekik Satyabudhi..."
"Puspa Dewi...!" seru Ki Patih Narotama.
"Biarlah saya menjelaskannya, Gusti Patih. Semua ini hanya salah paham saja. Gusti Sinuwun, seperti telah diketahui, Joko Pekik Satyabudhi telah diculik orang. Gusti Patih Narotama sudah melakukan pencarian ke Parang Siluman dan ternyata Joko Pekik berada di tangan Lasmini. Lasmini dan para tokoh Parang Siluman mengancam bahwa kalau Gusti Patih Narotama mengerahkan pasukan menyerang Parang Siluman, maka putera beliau akan lebih dulu dibunuh! Mereka memaksa Gusti Patih Narotama berjanji tidak akan membawa pasukan menyerang Parang Siluman dan demi melindungi keselamatan putera beliau, Gusti Patih Narotama terpaksa berjanji dan tentu saja menghalangi kalau pasukan Kahuripan hendak menyerang Parang Siluman sebelum puteranya dapat direbut kembali."
Kemarahan Sang Prabu Erlangga menguap seperti embun terpanggang sinar matahari pagi. Dia memandang ke arah Ki Patih Narotama yang berdiri dengan kepala tunduk.
"Kakang Narotama, benarkah apa yang dikatakan Puspa Dewi itu?"
"Benar, Gusti Sinuwun." kata Ki Patih Narotama lirih.
"Akan tetapi, mengapa engkau tidak mengatakan hal itu kepadaku, dan tidak memberitahukan kepada Kakang Senopati Tanujoyo?".
"Ampun, Gusti. Hamba merasa malu dan takut untuk menceritakan kelemahan hamba kepada Paduka."
"Ah, Kakang Narotama, engkau ini bagaimanakah? Melindungi keselamatan anak bukan suatu kelemahan. Apa kau kira aku sendiri akan tega mengorbankan nyawa Joko Pekik Satyabudhi? Kalau aku mengetahui persoalannya, aku pun tentu akan melarang untuk menyerang Parang Siluman dan menundanya untuk sementara waktu sampai puteramu itu dapat direbut kembali. Dan sekarang apa usahamu untuk merebut puteramu itu?"
"Hamba sudah minta tolong kepada Nurseta untuk berusaha merampas Joko Pekik, Gusti."
"Bagus kalau begitu. Sekarang begini saja, Kakang Patih Narotama. Pimpinlah pasukan dengan bantuan Kakang Senopati Tanujoyo, sedangkan Puspa Dewi kami minta untuk menyusul Nurseta, menyusup ke Parang Siluman dan membantu dia merampas Joko Pekik!"
"Hamba siap melaksanakan perintah Paduka, Gusti." Kata Ki Patih Narotama dengan wajah berseri.
"Hamba juga siap melaksanakan perintah Paduka, Gusti Sinuwun!" kata Senopati Tanujoyo, lalu dia menoleh kepada Ki Patih Narotama dan berkata lirih, "Gusti Patih Narotama, saya mohon maaf sebesarnya atas sikap saya yang menuduh Paduka berkhianat karena saya tidak tahu duduknya perkara."
"Tidak mengapa, Kakang Senopati Tanujoyo. Salahku sendiri yang tidak bicara terus terang."
"Bagaimana dengan engkau, Puspa Dewi? Sanggupkah engkau membantu Nurseta merebut kembali putera Kakang Patih Narotama?"
"Hamba siap melaksanakan perintah Paduka, walaupun hamba kira tidak akan mudah bagi hamba untuk menyusup ke Parang Siluman. Mereka di sana tentu sudah mengenal hamba sehingga hamba tidak dapat bergerak dengan leluasa."
"Puspa Dewi, mengapa engkau tidak menyamar saja sebagai seorang pria? Dengan demikian engkau tidak akan dikenali orang di sana." kata Ki Patih Narotama.
Mendengar usul itu, Puspa Dewi mengangguk sambil tersenyum. "Gagasan itu baik sekali, Gusti Patih. Akan saya laksanakan!"
Berangkatlah pasukan itu, dipimpin Ki Patih Narotama dan Senopati Tanujoyo, menuju Kerajaan Wengker. Sang Prabu Erlangga dikawal pasukan pengawal kembali ke Kahuripan, dan Puspa Dewi seorang diri lalu berangkat ke Parang Siluman dengan menyamar sebagai seorang pemuda ganteng.
*******************
Sebelum memenuhi permintaan Ki Patih Narotama untuk menyusup ke Parang Siluman dan berusaha membebaskan putera patih itu dari tangan Lasmini, Nurseta telah diberitahu oleh Ki Patih Narotama bahwa dia telah menyebar belasan orang telik-sandi (mata-mata) ke dalam Kerajaan Parang Siluman.
"Mereka adalah perwira-perwira menengah, para pembantuku yang setia dan mereka semua sudah pernah melihatmu. Tentu mereka akan mengenalmu dan dapat membantumu di sana." Demikian Ki Patih Narotama memberitahu kepadanya.
Tidak sukar bagi Nurseta untuk memasuki daerah Parang Siluman. Para penduduk pedusunan di daerah itu tidak mengenalnya. Yang sukar, bahkan amat berbahaya baginya adalah memasuki Kota Raja Parang Siluman. Selain penjagaannya ketat, terdapat banyak orang sakti di sana dan mereka semua telah mengenal wajahnya.
Pada suatu senja, Nurseta memasuki sebuah dusun yang sudah tak jauh letaknya dari Kota Raja Parang Siluman. Dusun itu cukup ramai karena sawah ladang di sekitar dusun itu subur sehingga dusun Werdoyo ini menjadi pemasok sayur-sayuran dan hasil bumi yang cukup besar bagi kota raja. Untuk memperkecil bahaya kemungkinan dikenal orang. Nurseta menjauhi tempat yang ramai dan menyusup di pinggir dusun. Dia bermaksud melewatkan malam di dusun itu. Tubuhnya lelah dan perutnya lapar, akan tetapi dia tidak berani sembrono (gegabah) mencari makan di warung nasi karena tempat seperti itu tentu dikunjungi banyak orang. Ketika dia melihat sebuah rumah sederhana berdiri terpencil di tepi dusun, agak jauh dari tetangga karena rumah itu memiliki kebun dan di sekelilingnya penuh dengan tanaman sayur, dia lalu memasuki pekarangan yang luas dan menghampiri rumah yang sederhana itu.
Seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, bertubuh kokoh kuat dan berkulit kecoklatan hitam karena setiap hari terbakar sinar matahari, pakaiannya jelas menunjukkan bahwa dia seorang petani, keluar dari pintu depan menyambutnya.
"Kisanak, apakah Andika hendak membeli sayuran? Akan tetapi, mana keranjang dan pikulanmu?"
"Maaf, Paman. Aku tidak ingin membeli sayur, akan tetapi ingin mohon diperbolehkan beristirahat dan melewatkan malam di rumah Paman. Biar aku beristirahat di bangku itu pun cukuplah." Nurseta menunjuk ke arah bangku panjang yang terdapat di emper rumah. Dia sengaja bicara dengan bahasa sederhana seperti biasa dipergunakan penduduk dusun.
Orang itu mengerutkan alisnya dan menatap wajah Nurseta penuh perhatian. "Andika siapakah, dari mana dan hendak kemana?"
"Namaku Baroto, Paman, datang dari Kidul Gunung. Aku hendak mencari Pamanku bernama Martoyo yang sebulan lalu katanya hendak pergi ke sini akan tetapi sampai sekarang belum pulang. Bibiku menyuruh aku mencarinya. Barangkali Paman mengenalnya?"
Orang itu menggelengkan kepalanya, memandang Nurseta penuh perhatian, lalu dia tersenyum ramah sekali.
"Aku tidak mengenalnya, akan tetapi tentu saja Andika boleh melewatkan malam ini di sini. Bukan di bangku luar, mari masuk. Aku masih mempunyai sebuah kamar kosong di bagian belakang rumahku. Mari, Baroto, masuk saja dan jangan sungkan. Namaku Juhari, duda yang hidup bersama dua orang keponakanku di sini."
Nurseta merasa girang dan ketika dia memasuki rumah yang telah diterangi lampu gantung dia melihat bahwa di ruangan yang cukup luas itu terdapat banyak tumpukan jagung, ada pula keranjang-keranjang berisi wortel dan buncis. Agaknya semua itu hasil perkebunan yang cukup luas di sekitar rumah sederhana namun ternyata cukup besar itu. Juhari ternyata seorang yang ramah. Dia menyuruh dua orang keponakannya, dua orang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun lebih yang tadi sibuk mengisi keranjang kosong dengan buncis yang masih ditumpuk di atas lantai, agar menyediakan makan malam.
Nurseta lalu diajak makan bersama tiga orang itu. Makanan sederhana dengan sayur dan sambal, namun cukup nikmat bagi Nurseta yang memang sedang lapar. Nurseta lega karena tuan rumah yang baik itu tidak banyak bertanya. Maka untuk memulihkan tenaganya yang banyak terkuras melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, dia pamit untuk mengaso lalu memasuki kamar kecil sederhana yang diberikan kepadanya untuk mengaso malam itu. Kamar itu kecil saja, dengan sebuah dipan kayu tua tanpa prabot lain lagi. Ada sebuah jendela kayu dan Nurseta menutupkan daun pintu, lalu merebahkan diri di atas dipan.
Baru saja dia layap-layap mendekati pulas, telinganya mendengar suara orang bicara ramai diselingi tawa di luar kamarnya. Nurseta membuka matanya, masih rebah akan tetapi kini dia mendengarkan percakapan itu.
"He, Kartowi, mengapa malam-malam begini engkau datang? Biasanya besok pagi-pagi sekali engkau kulakan (beli untuk dijual lagi) ke sini!"
"Heh-heh-eh, sekali ini aku tidak mau didahului mereka. Kakang Juhari! Sekarang aku hendak mendahului mereka, maka malam-malam aku datang, kulakan dan dapat memilih sayur lebih dulu sehingga mendapatkan yang terbaik, kemudian besok pagi-pagi sekali sebelum mereka datang kesini mengambil sayur, aku sudah lebih dulu memasuki kota raja menjual daganganku, ha-ha-ha!"
"Ha-ha, engkau cerdik, Kartowi! Tentu engkau akan dapat menjual dengan harga tinggi karena sainganmu belum ada. Dan dua keranjangmu ini... wah, besar amat, dua kali lebih besar dari yang biasa!"
"He-he-heh, Kakang Juhari, setelah berhasil mendahului para penjual sayur lainnya, tentu saja aku harus membawa sebanyak mungkin dagangan agar sekali pikul dapat untung lumayan... Betul tidak?"
Dua orang itu lalu tertawa-tawa lagi.
"Akan tetapi Kakang Juhari, engkau tentu tidak tega membiarkan aku malam-malam begini memikul dagangan yang begini berat, bukan? Kalau boleh, aku akan tidur di sini, biar tidur di lantai beralaskan jerami juga tidak mengapa agar besok pagi-pagi benar, sebelum mereka datang kulakan ke sini, aku sudah bisa berangkat."
"Wah, masa sama langganan yang sudah lama aku tega begitu? Tentu saja boleh. Kebetulan sekali, Kartowi. Sebetulnya kamar di belakang itu ditempati seorang tamu, akan tetapi baiknya malam ini dua orang keponakanku ada keperluan keluar rumah sehingga malam ini engkau boleh tidur di kamar mereka."
Nurseta tidak mendengarkan lagi karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirinya, apalagi setelah pedagang sayur itu mendapatkan kamar untuk bermalam. Lewat tengah malam, tiba-tiba Nurseta terbangun oleh suara yang tidak wajar yang datang dari arah pintu kamar.
Penerangan lampu yang redup masih membuat dia dapat melihat sehelai kertas putih melayang masuk ke kamar itu. Agaknya kertas itu dimasukkan dengan cara menyisipkan di antara celah-celah daun pintu. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Nurseta turun dari pembaringan. Naluri kependekarannya menyadarkannya bahwa tentu terjadi sesuatu yang amat penting, yang membuat dia waspada. Dia mengambil kertas itu dan membawanya ke dekat lampu. Ternyata ada tulisannya, singkat saja namun cukup jelas.
JUHARI ADALAH PENYELIDIK PARANG SILUMAN. ANDIKA SUDAH DIKETAHUI. CEPAT PERGI KE BARAT DUSUN, TUNGGU AKU DI TEPI ANAK SUNGAI...!
Nurseta terkejut. Dia percaya akan isi surat itu. Kalau pengirim surat berniat buruk, untuk apa dia mengirim surat gelap ini? Entah siapa yang mengirim surat ini, akan tetapi yang penting, dia harus cepat pergi meninggalkan rumah ini dan pergi menuju tepi anak sungai seperti yang ditunjuk oleh surat itu. Dia akan hadapi apa pun yang akan terjadi. Dengan cepat Nurseta keluar dari kamarnya melalui jendela. Menutupkan daun jendela kembali dari luar lalu berjalan dalam kegelapan yang remang-remang karena mendapatkan sedikit sinar dari bintang-bintang di langit, menuju ke arah barat setelah keluar dari dusun. Tak lama kemudian dia memasuki sebuah hutan kecil dan akhirnya tibalah dia di tepi sebuah anak sungai yang mengalir deras. Dia berhenti lalu duduk di atas sebuah batu di tepi sungai, menanti dengan sikap waspada yang akan terjadi selanjutnya.
Sementara itu, tidak lama setelah Nurseta pergi, menjelang fajar, belasan orang perajurit yang dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala, Senopati Parang Siluman, kakak Sang Ratu Durgamala yang gagah dan tampan, guru Lasmini dan Mandari, berkuda dan memasuki pekarangan rumah Ki Juhari, diikuti pula oleh dua orang muda keponakan Ki Juhari yang semalam meninggalkan rumah itu. Kiranya dua orang muda itu oleh Ki Juhari disuruh pergi melapor ke kota raja tentang kedatangan Nurseta di dusun Werdoyo.
Ternyata Ki Juhari adalah seorang mata-mata Parang Siluman yang disebar untuk menjaga keamanan dan menyelidiki kalau-kalau ada musuh menyusup ke daerah Parang Siluman. Biarpun dia sendiri belum pernah melihat Nurseta, namun dia telah mendapat gambaran oleh atasannya tentang orang-orang yang perlu diperhatikan, termasuk Nurseta. Maka, begitu dia bertemu Nurseta, dia sudah menaruh curiga dan cepat menyuruh dua orang keponakannya untuk melapor malam Itu juga ke Kota Raja Parang Siluman. Mendengar laporan bahwa mungkin sekali yang bernama Nurseta muncul di dusun Werdoyo, Ki Nagakumala sendiri lalu memimpin pasukan pengawal pilihan dan malam itu juga pergi ke dusun Itu membalapkan kuda mereka. Menjelang fajar mereka tiba di pekarangan rumah itu.
Ki Kartowi, pedagang sayur yang bermalam di rumah Juhari itu sedang mempersiapkan dua buah keranjang besar yang berisi sayur-sayuran dan sudah hendak dipikulnya ketika dia mendengar derap kaki kuda di pekarangan rumah itu. Dia menunda pekerjaannya dan memutar tubuh memandang kepada Ki Juhari yang juga keluar dari kamarnya.
"Kakang Juhari. siapa yang datang itu?"
Akan tetapi Juhari tidak menjawab. Dia bergegas ke depan dan membuka daun pintu. Ki Nagakumala diikuti belasan orang perajurit memasuki rumah. Melihat Kartowi, dia memandang tajam dengan sinar mata penuh selidik dan bertanya kepada Juhari dengan suara keren.
"Juhari, siapakah orang ini?"
Ki Juhari menyembah dengan sikap hormat!
"Gusti, ini adalah Kartowi, seorang pedagang sayur yang menjadi langganan hamba."
Mendengar Juhari menyebut Gusti kepada pendatang yang gagah dan berpakaian mewah itu, Kartowi menjadi takut dan dia pun membungkuk-bungkuk.
"Hamba... hamba... pedagang sayur Gusti..." katanya dengar suara gemetaran.
"Mana dia, Juhari?"
"Di kamar belakang, Gusti."
Ki Nagakumala segera masuk ke bagian belakang diikuti belasan orang perajurit pengawalnya, disertai Juhari dan dua orang keponakan yang sesungguhnya adalah rekan-rekan atau anak buahnya. Daun pintu kamar yang semalam ditempati Nurseta didorong terbuka, akan tetapi tentu saja mereka hanya menemukan sebuah kamar kosong! Ki Juhari berseru kaget, lari memasuki kamar dan membuka daun jendela.
"Ah, keparat...! Dia telah melarikan diri!"
"Bodoh kamu! Bagaimana dapat melarikan diri? Mengapa tidak kau jaga semalam?" Ki Nagakumala membentak.
"Tapi... tapi.... dia sama sekali tidak tampak curiga dan sudah masuk kamar ini untuk tidur, Gusti..." kata Juhari bingung dan takut.
"Hayo kita cari!" Dengan marah Ki Nagakumala keluar dari kamar. Setibanya di ruangan depan, dia berseru, "He, di mana pedagang sayur tadi?"
Ki Juhari cepat mejawab. "Dia tentu sudah pergi untuk menjual sayurnya ke kota, Gusti."
"Tolol kau...! Orang itu harus diperiksa. Mungkin dia mempunyai hubungan dengan Nurseta!"
"Hamba kira tidak, Gusti. Ki Kartowi itu langganan hamba, dia benar-benar pedagang sayur..."
"Diam kau, bodoh...! Cari dia dan tangkap!"
Mereka semua lalu keluar dari rumah untuk mencari dua orang itu. Pemuda yang mengaku bernama Baroto. Akan tetapi yang diduga adalah Nurseta orangnya, dan Ki Kartowi pedagang sayur yang dicurigai Ki Nagakumala sebagai orang yang ada hubungan dengan Nurseta. Akan tetapi mereka tidak mencari ke arah barat karena siapa yang mengira orang-orang yang dicari itu akan memasuki hutan yang sunyi itu? Mereka menduga bahwa tentu dua orang yang dicurigai itu akan menuju ke Kota Raja Parang Siluman. Karena itu Ki Nagakumala kembali ke kota raja untuk memperketat penjagaan di sana agar tidak memungkinkan orang yang bernama Baroto dan diduga Nurseta adanya itu dapat menyelundup ke kota raja.
Sementara itu, Nurseta duduk di tepi anak sungai sampai datang fajar. Tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki memikul dua buah keranjang berisi sayur-sayuran. Setelah orang itu tiba dekat, dia melihat bahwa orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, berusia sekitar empat puluh tahun dan begitu tiba di depannya, langsung menurunkan pikulannya dan menyeka keringat.
Nurseta terkejut. "Andika mengenal saya, Paman?"
"He-he-he, jangan sebut saya Paman, Denmas!" Orang itu tertawa lalu menggosok-gosok muka dan rambutnya dengan sehelai kain. Nurseta terbelalak ketika melihat betapa orang yang tadinya tampak setengah tua, berusia sekitar empat puluh tahun itu kini berubah menjadi seorang pemuda yang sebaya dengan dia!
"Hemm, siapakah Andika, Kisanak?"
"Saya bernama Witarto, Denmas..."
"Jangan sebut aku Denmas!"
"Ah, tentu saja Andika harus disebut Denmas karena Andika adalah cucu mendiang Gusti Senopati Sindukerta, Denmas Nurseta. Juga saya tahu bahwa Andika telah membuat banyak jasa terhadap Kerajaan Kahuripan, kepercayaan Gusti Sinuwun dan Gusti Patih!"
"Hemm, agaknya Andika mengenal betul keadaanku, Witarto. Sebenarnya siapakah Andika dan tentu Andika yang semalam mengirim surat peringatan kepadaku itu, bukan?"
"Benar, Denmas. Dahulu saya menjadi perwira muda membantu mendiang Gusti Senopati Sindukerta dan tugas saya adalah menjadi telik sandi (mata-mata). Sekarang saya ditugaskan oleh Gusti Patih Narotama untuk memata-matai Parang Siluman. Saya sudah menduga bahwa Gusti Patih Narotama pasti tidak mendiamkan saja puteranya dijadikan sandera di sini. Ternyata sekarang Andika yang agaknya diutus untuk berusaha merampas Denmas Joko Pekik, bukan?"
"Benar sekali dugaanmu. Witarto. Tahukah Andika di mana anak itu disimpan?"
"Saya bersama sebelas orang rekan saya sudah beberapa bulan bertugas di kota raja dan kami telah mengetahui bahwa Denmas Joko Pekik disembunyikan dalam sebuah gua yang dijaga ketat sekali. Bahkan kami tidak tahu dengan pasti apakah benar anak itu dikeram di situ, atau itu hanya palsu dan pancingan belaka. Mungkin saja putera Gusti Patih itu masih berada di istana. Kami dua belas orang tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyelidikan di istana, Denmas. Kebetulan Andika datang dan kiranya hanya Andika yang akan mampu menyusup ke dalam istana."
"Aku akan masuk kota raja, akan tetapi nanti malam karena rasanya tidak mungkin memasuki kota raja pada siang hari. Semua orang akan mengenalku."
"Jangan memasuki kota raja dalam keadaan biasa begitu, Denmas. Hal itu berbahaya sekali dan akan menggagalkan usaha Andika. Tadi pun, biar Andika sudah berganti nama, tetap saja Juhari mengenal Andika. Hampir saja kita celaka karena baru saja Andika pergi, pasukan Parang Siluman muncul dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala yang sakti dan cerdik. Kalau saya tidak cepat-cepat pergi, tentu saya akan ditangkap karena dicurigai. Denmas harus menyamar, dan untuk itu, sayalah ahlinya, Denmas. Saya biasa menyamar sebagai Kartowi yang setengah tua, dan rekan-rekan saya semua menyamar, sehingga kami tidak dikenal. Mari, saya akan mendandani Andika dan percayalah, tak seorang pun akan mengenal Andika sebagai Denmas Nurseta kalau sudah saya dandani."
Nurseta setuju dan di tepi anak sungai itu, Witarto yang ahli menyamar itu lalu mengeluarkan sekantung alat-alatnya mendandani Nurseta. Tak lama kemudian Nurseta sudah berubah menjadi seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun dengan rambut berwarna dua dan mukanya dihias keriput! Setelah selesai dan dia melihat bayangannya sendiri di air, Nurseta merasa kagum bukan main. Dia sendiri pun tidak mengenal wajah tua itu!
Witarto menerangkan banyak hal kepadanya. Keadaan di kota raja dan terutama di istana. Juga bagaimana dapat menghubungi dia dan rekan-rekannya. Nurseta dianjurkan menggunakan nama Ki Kambana, sebuah nama yang umum dan tidak mencolok, berasal dari sebuah dusun kecil di pesisir Kidul. Setelah itu, Witarto membagi sayur-sayuran menjadi dua pikul dan dia sudah menyiapkan pikulan dan keranjang sayuran di tepi anak sungai.
"Nah, sekarang Andika dan saya menjadi dua orang pedagang sayuran, berjualan ke kota raja. Takkan ada orang yang mencurigai kita."
"Akan tetapi engkau sendiri? Mengapa engkau tidak menyamar lagi?"
"Wah, penyamaran saya sebagai Ki Kartowi sudah dikenal orang, bahkan sudah dicurigai oleh para telik sandi Parang Siluman, Denmas. Malah dengan keadaanku yang asli seperti ini, tidak akan ada yang mengenalku. Kalau nanti ada orang bertemu dengan kita selagi berdua, saya akan mengaku sebagai keponakan Denmas dan mulai sekarang agar terbiasa, saya akan menyebutmu Pakde, dan Andika menyebut saya Tarto."
"Baiklah, Tarto." kata Nurseta dan orang lain tidak akan mengenal suaranya itu karena dia sudah dilatih oleh Witarto untuk bicara seperti seorang tua, agak serak, agak gemetar, dan tenang perlahan. Keduanya lalu memikul pikulan keranjang sayur mereka dan berangkat menuju Kota Raja Parang Siluman.
Tepat seperti yang telah diperhitungkan Witarto, telik sandi Kahuripan yang biarpun masih muda namun amat cerdik itu, mereka berdua dapat lolos melewati gapura Parang Siluman yang terjaga ketat. Para perajurit penjaga memang memeriksa semua orang yang lewat melalui pintu gapura. Akan tetapi yang mereka cari adalah Nurseta, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang berwajah tampan dan Ki Kartowi, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar empat puluh tahun. Akan tetapi Witarto pada saat lewat di situ merupakan pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang matanya juling mulutnya agak perot dan pundaknya tinggi sebelah! Sedangkan Ki Kambana adalah seorang kakek berusia sekitar lima puluh tahun yang rambutnya penuh uban dan kakinya timpang (pincang)! Tentu saja keduanya jauh berbeda dari gambaran dua orang yang mereka cari dan dengan mudah mereka berdua lolos masuk ke dalam Kota Raja Parang Siluman. Jangankan para petugas jaga, para perajurit yang tidak mengenal wajah aseli Nurseta. Bahkan para tokohnya yang sudah mengenal betul wajah itu pun tidak akan menduga bahwa kakek berambut ubanan dan kakinya pincang itu adalah Nurseta!
Setelah memasuki kota raja, sesuai dengan rencana yang sudah diatur sebelumnya, Nurseta berpisah dari Witarto. Dia hendak menyelidiki ke dalam istana untuk memastikan apakah Joko Pekik Satyabudhi dikeram dalam istana ataukah tidak. Adapun Witarto bersama sebelas orang rekannya akan melakukan penyelidikan ke guna yang mereka duga menjadi tempat untuk menyembunyikan putera Ki Patih Narotama itu.
Biarpun dia sudah menyamar menjadi Ki Kambana dan tidak akan ada yang dapat menduganya bahwa dia sebetulnya Nurseta, namun Nurseta tentu saja tidak mau bersikap sembrono. Dia tahu bahwa tidaklah mudah untuk dapat menyusup ke dalam istana yang selain terjaga ketat oleh banyak perajurit pengawal, juga di dalamnya terdapat orang-orang sakti mandraguna. Di antara mereka yang sungguh merupakan lawan-lawan yang berat dan berbahaya adalah Durgamala sendiri yang kini menjadi Ratu Parang Siluman menggantikan mendiang ayahnya Raja Dirgabaskara. Lalu kakak kandung Ratu Durgamala yang bernama Ki Nagakumala dengan tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat Ratu Durgamala. Kemudian ada dua orang puteri Sang Ratu. atau yang menjadi murid Ki Nagakumala, yaitu Lasmini dan Mandari, dua orang puteri yang cantik jelita masih muda karena usia Lasmini baru dua puluh empat tahun dan Mandari dua puluh dua tahun. Selain memiliki wajah yang luar biasa cantik jelita, kedua orang puteri ini juga memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan.
Selain cantik jelita dan menggairahkan, mereka berdua memiliki kesaktian yang bahkan melampaui kesaktian ibu mereka dan sudah hampir menandingi kesaktian guru mereka karena keduanya pernah mendapat bimbingan Sang Prabu Erlangga yang mengambil Mandari sebagai selir, dan Ki Patih Narotama yang menjadikan Lasmini sebagai selir terkasihnya. Empat orang sakti mandraguna tinggal di istana itu dan mereka sama sekali tidak boleh dipandang ringan, baik oleh Nurseta sekalipun! Di samping mereka berempat, dalam istana itu terdapat pasukan pengawal istimewa, terdiri dari lima losin perajurit pilihan!
Akan tetapi Nurseta harus mengambil keputusan untuk nekat menyusup ke dalam istana yang megah dan penuh bahaya itu karena kalau dia tidak berani nekat, bagaimana dia dapat memastikan apakah putera Ki Patih Narotama berada di istana ataukah tidak? Dia menunggu sampai datangnya malam gelap tanpa bulan.
Setelah malam gelap tiba, Nurseta mempergunakan kesaktiannya untuk menyelinap ke dalam istana Parang Siluman. Dengan Aji Sirna Sarira dan menggunakan kecepatan Aji Bayu Sakti, dia berhasil melewati para penjaga di luar istana. Tubuhnya berkelebat seperti bayangan sehingga dia dapat masuk tanpa terlihat oleh para penjaga yang banyak dan yang melakukan penjagaan ketat.
Malam itu gelap sekali. Dengan gerakan yang amat ringan dan gesit, seperti seekor monyet, Nurseta berlompatan ke atas wuwungan bangunan istana, mengintai dari atas dan memeriksa keadaan. Malam itu istana sudah sepi. Agaknya para penghuninya sudah tertidur karena waktu sudah tengah malam. Yang tampak hanya para perajurit pengawal yang mengadakan perondaan.
Nurseta tidak mau menangkap perajurit pengawal, untuk memaksanya mengaku di mana adanya Joko Pekik Satyabudhi. Dia maklum bahwa mereka yang diangkat menjadi perajurit pengawal istana pastilah orang yang memiliki kesetiaan tebal dan menaati atasannya sampai mati. Orang-orang seperti para perajurit pengawal istana itu tidak mungkin dapat dibujuk atau diancam. Dan kalau dia sudah menangkap seorang lalu gagal mengancamnya, hal itu bahkan merugikannya, dan mungkin akan menggagalkan penyelidikannya. Maka dia menanti dengan sabar, mencari kesempatan untuk turun ke bawah tanpa diketahui dan melanjutkan penyelidikannya di bawah, yaitu di sebelah dalam istana. Memang berbahaya baginya, akan tetapi kiranya tidak ada jalan lain.
Tiba-tiba mata Nurseta bersinar. Dia melihat seorang wanita setengah tua, dari pakaiannya dapat diduga bahwa wanita itu tentu seorang pelayan istana. Wanita ini lewat dengan perlahan, membawa sebuah baki berisi sebuah poci minuman dan cangkir. Nah, inilah kesempatan terbaik, piker Nurseta. Lebih mudah memaksa wanita pelayan Ini membuka mulut dan memberitahu kepadanya di mana adanya anak yang diculik itu daripada memaksa seorang perajurit pengawal.
Ketika wanita itu melewati sebuah lorong di mana tidak ada perajurit pengawal yang menjaga, tiba-tiba ia disergap oleh kedua tangan Nurseta yang kuat. Sekali tekan pada tengkuknya, wanita pelayan itu terkulai lemas, tidak mampu bersuara maupun meronta lagi. Nurseta cepat mengambil baki agar jangan jatuh menimbulkan suara. Dia memanggul tubuh wanita itu dan membawanya melompat lagi ke atas wuwungan yang gelap. Setelah, menaruh baki dengan poci dan cangkir ke sudut wuwungan, dia menurunkan tubuh pelayan wanita itu, mendudukkan di atas wuwungan dan berkata lirih dekat telinganya.
"Jangan berteriak dan aku tidak akan mengganggumu. Kalau engkau berteriak, akan kulemparkan ke bawah sana!"
Wanita itu menggigil kengerian dan tidak berani menjerit ketika Nurseta mengurut tengkuknya sehingga ia mampu besuara dan bergerak lagi.
"Ampunkan hamba..." rintihnya lirih ketakutan.
"Katakan terus terang, di mana adanya putera Ki Patih Narotama yang diculik? Di mana dia dikeram? Hayo jawab sejujurnya kalau engkau ingin seIamat" hardik Nurseta sambil memegang kedua lengan wanita itu seolah-olah siap hendak melemparkan ke bawah!
"Ampun... anak itu... anak itu berada di sana..." Wanita itu menudingkan telunjuknya yang menggigil ke bawah.
"Di mana? Yang jelas!"
"Melalui lorong itu ke depan, lalu ada tikungan ke kanan dan dia berada di dalam sebuah kamar yang pintunya bercat hijau terbuat dari besi dan berterali. Anak itu tampak dari luar, akan tetapi dijaga ketat..."
"Engkau tidak bohong? Awas, kalau engkau bohong, aku akan kembali ke sini dan melemparmu ke bawah!"
"Hamba tidak berani berbohong..." Wanita itu meratap.!
Nurseta percaya bahwa wanita itu pasti tidak akan berani membohonginya, maka dia lalu menepuk lagi tengkuknya sehingga wanita itu terkulai, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat bergerak lagi. Nurseta meninggalkannya di atas wuwungan, lalu dia melayang turun di bagian yang gelap. Kemudian dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, Nurseta berkelebat mengikuti lorong seperti yang dikatakan pelayan tadi. Dia tiba di lorong yang berbelok. Dia menuju ke kanan dan benar saja, dari jauh dia melihat lima orang perajurit pengawal duduk di atas bangku panjang di depan sebuah kamar yang pintunya terbuat dari besi bercat hijau dan di bagian atasnya ada teralinya! Dengan jalan memutar dia dapat melihat kamar itu dari depan, agak jauh.
Dalam kamar yang tampak dari terali daun pintu tampak remang-remang karena hanya ada sebuah lampu kecil dalam kamar itu. Akan tetapi dia dapat melihat dengan jelas sebuah pembaringan kecil dan seorang anak kecil tidur di atas pembaringan itu, berselimut merah. Hatinya lega melihat ini. Joko Pekik Satyabudhi, putera Ki Patih Narotama, ternyata masih hidup dan dalam keadaan selamat dan melihat dia tertidur, tentu dia sehat-sehat saja.
Nurseta lalu membuat perhitungan masak sebelum bertindak lebih lanjut. Dia harus melumpuhkan lima orang perajurit yang berjaga di depan kamar tahanan itu. Dan hal ini harus dia lakukan dengan cepat dan tidak menimbulkan suara gaduh, karena kalau sampai terdengar oleh para tokoh sakti di istana dan mereka keburu datang, usahanya tentu akan gagal. Dia harus sudah dapat membawa anak itu sebelum para lawan tangguh muncul!
Nurseta lalu mengerahkan Aji Sirna Sarira sekuatnya dan tubuhnya lalu berkelebat ke depan kamar tahanan. Lima orang perajurit itu hanya melihat bayangan berkelabat. Mereka terkejut dan bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba mereka roboh satu demi satu daiam keadaan pingsan tanpa sempat berteriak! Nurseta cepat mencari dan mengambil kunci dari saku baju seorang dari mereka, dan membuka gembok besar pada pintu besi itu. Dengan mudah dibukanya gembok itu, dibukanya pintu besi dan dia cepat masuk ke dalam kamar tahanan itu. Dia menghampiri pembaringan dan matanya terbelalak kaget ketika dia melihat bahwa yang tidur di atas pembaringan tertutup selimut merah itu hanya sebuah boneka!
"Ha-ha-ha-ha...!"
"He-he-heh...!"
"Hi-hi-hi-hik...!"
Nurseta menoleh dan membalikkan tubuhnya ke pintu mendengar suara tawa beberapa orang itu. Dia melihat betapa daun pintu besi itu ditutup dari luar dan digembok kembali. Dari terali pintu besi dia melihat mereka berempat berdiri di luar pintu sambil tertawa-tawa. Ratu Durgamala, Ki Nagakumala, Lasmini dan Mandari! Seketika mengertilah dia kini. Semua itu ternyata merupakan pancingan dan jebakan saja! Wanita pelayan tadi pun tentu dipergunakan sebagai pancingan dan mereka berhasil memancing dan menjebaknya! Di belakang empat orang tokoh Parang Siluman yang tertawa-tawa itu berdiri seregu pasukan pengawal, lengkap dengan senjata tombak, pedang, dan busur!
"He-he-he-heh! Nurseta, sejak engkau melewati gapura istana, kami sudah mengamati dan mengikuti semua gerak-gerikmu! He-he-heh!" Ratu Durgamala berkata sambil tersenyum mengejek. Ratu wanita yang sudah janda dan berusia empat puluh tahun lebih itu. masih tampak cantik jelita, berdiri di samping kedua puterinya itu ia tampak seperti kakak mereka saja.
Nurseta menjadi lemas! Kiranya mereka bukan saja berhasil menjebaknya, bahkan penyamarannya pun tidak dapat mengelabuhi mereka. Mereka sudah mengenalnya! Dia merasa penasaran sekali, namun dapat bersikap tenang ketika dia bertanya, "Hemm... harus ku akui bahwa Andika sekalian memang cerdik sekali. Akan tetapi bagaimana Andika dapat mengetahui siapa diriku?"
Ki Nagakumala yang menjawab. "Hmmm, apa sukarnya? Permainan anak kecil...! Biarpun penyamaranmu memang bagus sekali dan mula-mula kami tidak mengenalmu, akan tetapi ketika engkau bergerak, kami mengenal Aji Bayu Sakti dan Aji Sirna Sarira, bahkan kami dapat mengetahui bahwa engkau adalah utusan Ki Patih Narotama karena kami melihat Tongkat Pusaka Kyai Tunggul Manik yang berada di pinggangmu itu, Nurseta!"
Nurseta merasa kagum. Mereka itu cerdik dan licik, juga sakti mandraguna. Dia merasa seperti harimau dalam kurungan dan dapat menduga bahwa ruangan tahanan itu pasti kokoh kuat sekali. Pintu besi itu tampak kokoh dan dia menduga bahwa dinding tembok itu pun tentu dilapis besi. Kiranya tidak mungkin menjebol kamar tahanan itu. Mereka memang sudah mempersiapkan segalanya!
"Sudahlah, Kakang Nagakumala, untuk apa berpanjang cerita dengan orang ini? Dia terlalu berbahaya, sebaiknya dibinasakan sekarang juga!" kata Ratu Durgamala tak sabar karena ratu ini sudah maklum akan kesaktian Nurseta yang akan membahayakan kerajaannya.
"Engkau benar, Yayi Ratu." kata Ki Nagakumala lalu dia memberi perintah kepada dua lusin perajurit pengawalnya.
"Kalian kepung tempat ini dan pasang anak panah beracun. Hujani dia dengan anak panah beracun!"
Dua lusin perajurit itu maju dan bersiap di depan pintu besi yang lebar itu. Mereka mengambil posisi, ada yang berjongkok, ada yang berlutut dan ada yang berdiri menodongkan anak panah, merupakan tiga lapis, bawah, tengah, dan atas. Mereka sudah memasang anak panah yang ujungnya berwarna hijau kehitaman tanda racun yang amat kuat, pada busur mereka, siap untuk menarik tali busur dan melepas anak panah.
"Tahan...!!" Tiba-tiba Lasmini berseru.
"Jangan bunuh dia sekarang!"
"Lasmini...! Mengapa engkau melarang?" tanya Ratu Durgamala heran. Juga Ki Nagakumala memandang Lasmini dengan alis berkerut. Seperti juga adiknya, dia berpendapat bahwa Nurseta merupakan ancaman bahaya besar bagi Parang Siluman, maka lebih cepat dibunuh lebih baik.
"Kanjeng Ibu, Mbakayu Lasmini benar...! Orang ini jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak dia kalau dibunuh begitu saja!"
"Hemm..., Lalu seharusnya bagaimana?" tanya Ratu Durgamala.
"Begini, Kanjeng Ibu." kata Lasmini sambil tersenyum simpul, "Lumpuhkan dia dengan asap pembius. Nanti aku dan Mandari yang akan menangani dan membereskan dia!"
Ratu Durgamala tentu saja maklum dan dapat membaca senyum simpul yang berkembang di bibir manis Lasmini dan Mandari. Kedua orang puterinya itu bukan hanya mewarisi kecantikannya, akan tetapi juga kelemahannya terhadap gairah nafsunya sendiri yang membuat wataknya menjadi mata keranjang. Ia pun tersenyum maklum dan segera memerintahkan kepada para perajurit.
"Lumpuhkan dia dengan asap pembius!"
Dua lusin perajurit itu mengganti busur anak panah mereka dengan alat penyemprot dari bumbung bambu. Nurseta tak dapat menemukan jalan untuk menghindar dari serangan. Dia tidak berdaya dan maklum bahwa menggunakan kekerasan takkan menolongnya. Dia tidak takut mati, bahkan dia lalu menghapus penyamarannya karena kalau dia sampai mati, dia ingin mati sebagai Nurseta, sebagai dirinya yang asli, bukan dalam penyamaran. Menyamar pun sekarang tidak ada gunanya lagi karena rahasianya sudah ketahuan. Segera setelah dua lusin perajurit itu menyemprotkan asap pembius yang berbau harum menyengat, dia melompat ke atas pembaringan kecil, duduk bersila dan memejamkan kedua matanya. Dia menahan panas agar tidak keracunan pembius.
Namun, segera kamar itu penuh asap dan kurang lebih satu jam kemudian, dia tidak dapat lagi menahan pernapasannya. Dia bernapas dan asap pembius memasuki rongga dadanya. Kepalanya terasa pening, semua gelap dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi. Namun, badannya yang terlatih itu tetap duduk bersila walaupun dia pingsan!
Ketika siuman dari pingsannya, dan membuka matanya, Nurseta mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah pembaringan yang besar, lunak dan indah, dalam sebuah kamar yang mewah dan berbau harum. Dia memandang ke sekeliling. Di sebelah kiri terdapat sebuah jendela yang terbuka dan menembus ke sebuah taman yang penuh tanaman bunga. Ketika dia meraba dengan tangannya, dia mendapatkan badannya memakai pakaian baru yang indah. Mukanya dan rambutnya bersih bekas dicuci dan penyamarannya sudah hilang sama sekali. Dia teringat. Dia telah terjebak dalam kamar dan diserang asap pembius! Diraba pinggangnya. Tongkat Pusaka Tunggul Manik juga telah hilang! Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya.
"Hi-hi-hi-hik...!"
Nurseta cepat memutar tubuh dan dia melihat Lasmini dan Mandari muncul di pintu sambil memandang kepadanya dan terkekeh-kekeh. Dia marah sekali lalu melompat turun dengan niat menyerang dua orang wanita itu. Akan tetapi dia mengeluh dan tubuhnya terpelanting, terhuyung dan dia cepat menjatuhkan diri di atas pembaringan karena kalau tidak, dia tentu akan terbanting roboh di atas lantai. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi ketika dia tadi mengerahkan tenaga sakti untuk menyerang dua orang wanita itu!
"He-he-he-heh! Bocah bagus (anak tampan), engkau akan mati kalau mencoba untuk mengerahkan tenaga dan melawan kami!" kata Mandari sambil tersenyum manis.
Sekali lagi Nutseta mencoba untuk mengerahkan tenaganya, namun rasa nyeri yang luar biasa membuat dia terpaksa duduk bersila di atas pembaringan dan menarik napas panjang.
"Apa yang telah kalian lakukan terhadap diriku?" tanyanya, tetap tenang walaupun dia tahu bahwa dia telah keracunan secara hebat sekali.
"Engkau ingin mengetahui, Nurseta? Tubuhmu telah kemasukan racun Perusak Tulang. Kalau engkau mau menaati kami, engkau akan kami beri obat penawar. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menurut, dalam waktu satu bulan, tulang-tulangmu akan hancur dan tidak ada obat apa pun di dunia ini yang akan dapat menyelamatkanmu!" kata Lasmini sambil tersenyum dan mengerling penuh daya pikat.
Nurseta kini maklum mengapa Tongkat Pusaka Tunggul Manik mereka ambil darinya. Kalau tongkat itu masih tergantung di pinggangnya, tentu racun itu akan kehilangan dayanya.
"Menaati dan menurut bagaimana maksud kalian?" tanyanya, sikapnya tetap tenang.
Kakak beradik yang sama-sama cantik jelita itu saling padang dengan tersenyum. Mereka berdua sama-sama cantik walaupun kecantikan mereka berbeda, Lasmini berwajah bulat berkulit putih mulus, mata dan mulutnya penuh gairah, rambutnya panjang hitam dan lekuk-lengkung tubuhnya nyaris sempurna. Mandari berwajah agak lain, dengan dagu meruncing wajahnya menjadi bulat telur, anak rambut melingkar-lingkar di dahi dan pelipis, mulutnya kecil matanya lebar, hidungnya mancung indah. Biarpun kulitnya tidak seputih kulit Lasmini, namun halus dan jernih. Bentuk tubuhnya juga amat ramping dan padat. Sukar mengatakan siapa lebih menarik di antara kedua kakak beradik ini. Daya tarik kecantikan mereka sama-sama kuat dan menggairahkan karena sikap mereka yang menantang dan genit.
"Pertama, engkau harus membantu kami, memperkuat Kerajaan Parang Siluman." Kata Mandari sambil tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih seperti mutiara tersusun rapi.
"Hemm, kalau untuk melakukan kebaikan, mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman kehidupan rakyat, aku siap membantu kerajaan manapun juga. Akan tetapi kalau untuk mengumbar angkara murka, apalagi untuk memusuhi Kahuripan, tak mungkin aku dapat membantui kalian." jawab Nurseta tegas.
"Urusan pertama itu boleh ditunda dulu, akan tetapi sekarang engkau harus menuruti keinginan kami yang kedua, yaitu kita berpesta dan bersenang-senang dalam kamar kami ini. Engkau tentu akan suka menemani kami bersenang-senang, bukan?"
Nurseta sudah mengenal dua orang wanita itu, maklum bahwa kedua orang wanita bekas selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini adalah hamba-hamba nafsu berahi. Dia maklum bahwa mereka mengajak dia berzina! Sambil mengerutkan alisnya dia menjawab dengan lembut agar tidak menyinggung hati mereka. "Aku sama sekali tidak tertarik. Maafkan kalau aku menolak ajakan itu."
Dua orang puteri itu tidak menjadi marah. Mereka malah tersenyum lebar sehingga tampak rongga mulut mereka dan lidah mereka yang kemerahan. "Hi-hi-hik, engkau tidak akan dapat menolak kami, Nurseta!" kata Mandari, lalu disambung ucapan Lasmini dengan suara lembut manis namun mengandung wibawa dan daya pikat amat kuatnya. "Pandanglah kami, Nurseta!"
Seolah di luar kehendaknya, Nurseta memandang mereka dan jantungnya berdegup keras. Dia melihat betapa Lasmini dan Mandarai tampak luar biasa cantiknya, seolah dua orang dewi kahyangan. Wajah mereka memancarkan cahaya indah, senyum mulut mereka mengandung lautan madu, kerling mata mereka seolah menarik-narik perasaan hatinya. Nurseta segera menyadari bahwa dua orang wanita itu telah mengerahkan Aji Pameletan Guna Asmara yang amat kuat yang kabarnya dapat meruntuhkan iman seorang pertapa sekalipun. Nurseta segera berlindung dalam Aji Sirna Sarira. Aji ini merupakan aji yang meniadakan diri jasmani sehingga tentu saja tidak dapat terpengaruh segala macam daya tarik nafsu yang menguasai jasmani. Dia tetap duduk bersila dan sungguhpun dia tidak perlu memejamkan matanya, namun matanya sama sekali tidak silau oleh daya tarik kecantikan dua orang wanita itu. Bahkan dia seolah melihat dua tengkorak terbungkus kulit yang menjijikkan!
Dua orang wanita yang berpengalaman itu segera mengerti bahwa aji pengasihan mereka tidak cukup kuat untuk meruntuhkan perasaan hati dan membangkitkan nafsu berahi Nurseta. Mereka merasa penasaran sekali dan kegagalan mereka itu bahkan merupakan senjata yang berbalik menyerang diri mereka sendiri. Penolakan pemuda itu justru membuat napsu mereka menjadi semakin menyala berkobar-kobar membakar diri mereka! Keduanya menjadi nekat dan mereka menyerbu ke atas pembaringan yang lebar itu.
Mereka berdua mulai merayu Nurseta dengan bisikan-bisikan, belaian dan melekatkan tubuh mereka yang panas penuh gairah itu ke tubuh Nurseta. Namun pemuda itu kini memejamkan mata dan dia seolah menjadi seperti ketika Arjuna digoda dan diuji keteguhan batinnya oleh tujuh dewi kahyangan! Arjuna juga sama sekali tidak terguncang seperti diceritakan dalam Kisah Mahabharata Episode Arjuna Mintaraga.
Dua orang wanita cantik itu seperti cacing terkena abu panas! Mereka menggeliat-geliat merintih-rintih, merayu dan membelai. Namun Nurseta tetap tak tergoyahkan sedikit pun. Lasmini menjadi semakin penasaran. Ia lalu mengerahkan tenaga sakti dan sihirnya, menggerakkan jari tangan menotok tengkuk Nurseta lalu mengurut tulang punggungnya dengan Aji Asmara Kingkin. Totokan ini biasanya amat ampuh, dapat membangkitkan gairah berahi orang yang ditotoknya.
Nurseta, sempat merasakan tubuhnya panas dingin, namun tubuhnya yang memang terbiasa kuat menguasai gejolak nafsu-nafsunya, kini juga teguh dan tidak goyah. Dia tetap duduk bersila memejamkan mata. Akhirnya dua orang wanita itu menjadi kelelahan sendiri. Napas mereka terengah-engah, wajah mereka merah padam dan senyum manis tadi berubah menjadi seringai penuh kekesalan, kekecewaan, kemarahan dan juga ada perasaan malu dan terhina.
"Jahanam...!" Lasmini menggerakkan tangan menampar.
"Plak...!"
Pipi kanan Nurseta ditampar. Pemuda yang tidak dapat mengerahkan tenaga sakti itu hampir terguling terkena tamparan yang membuat dia merasa nyeri, perih dan panas pada pipi kanannya.
"Keparat... plakk!" Tangan Mandari menampar pipi kiri Nurseta sehingga kedua pipi pemuda itu menjadi merah membengkak, ujung bibirnya di kanan kiri sedikit pecah dan berdarah. Akan tetapi wajah Nurseta tidak menunjukkan perasaan apa pun tidak ada kerut pada wajahnya, tetap tenang, bahkan kini dia membuka kedua matanya dan memandang kepada dua orang wanita itu seperti orang yang merasa iba!
"Nurseta, keparat sombong...! Engkau sudah menolak dua permintaan kami. Engkau sudah menghina kami! Sepatutnya sekarang juga engkau kami bunuh. Akan tetapi terlalu enak kalau engkau dibunuh sekarang, Maka, biarlah kau rasakan siksaan racun Perusak Tulang yang akan menggerogotirnu setiap saat selama satu bulan sampai engkau mati!" Lasmini berkata marah sambil turun dari atas pembaringan.
Mandari juga turun dan membetulkan letak pakaiannya yang kusut dan sebagian terbuka ketika tadi mereka membujuk rayu dan menggoda Nurseta.
"Kecuali kalau engkau berubah pikiran dan mau menaati perintah kami, tentu kami menyelamatkan mu!"
Setelah berkata demikian, dua orang wanita itu memanggil para perajurit pengawal yang berjaga di luar kamar itu. Empat orang perajurit pengawal yang bertubuh tinggi besar masuk dengan sikap hormat.
"Bawa dia ke kamar tahanan di belakang. Awas, jaga ketat jangan sampai dia lolos melarikan diri..! Bunuh saja kalau dia mencoba untuk melarikan diri!" kata Lasmini kepada mereka. "Nyawa kalian taruhannya kalau dia lolos!" kata pula Mandari. "Akan tetapi perlakukan dia baik-baik, jangan sekali-kali kalian menyiksanya. Mengerti?"
Empat orang itu menyatakan siap dan taat, lalu mereka berempat menuntun dan mengawal Nurseta keluar dari kamar itu dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar tahanan di belakang. Kamar tahanan ini kokoh kuat sekali karena dindingnya terbuat dari baja, daun pintunya juga dari besi dengan terali kokoh dari atas ke bawah sehingga keadaan dalam kamar tahanan itu selalu diawasi oleh para perajurit penjaga. Selusin orang perajurit berjaga secara bergiliran di sekitar luar kamar tahanan itu.
Begitu dimasukkan kamar tahanan dan daun pintu besi ditutup, Nurseta lalu duduk di atas dipan kayu yang berada di sudut kamar tahanan. Dia tahu bahwa tubuhnya keracunan dan mengerahkan tenaga merupakan hal tidak mungkin. Kalau dia paksakan, tentu tulang-tulangnya akan hancur dan dia tewas seketika. Maka dia membuat tubuhnya lemas, tidak mengeluarkan tenaga. Dia harus banyak beristirahat. Direbahkannya tubuhnya yang lemas dengan muka terasa panas dan pedih oleh tamparan kedua orang wanita tadi. Dia telentang dan merenungkan keadaannya yang terancam bahaya maut yang mengerikan.
Para tokoh Parang Siluman itu memang licik dan cerdik sekali. Mengatur jebakan dan pancingan sedemikian halusnya sehingga dia yang sudah berhati-hati itu tetap saja terjebak dan tertawan. Bahkan rasanya tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri. Satu-satunya jalan untuk menghindarkan diri dari kematian yang menyiksa hanyalah kalau dia menuruti kehendak Lasmini dan Mandari!
Pikirannya mulai melayang-layang dan Nurseta membiarkan pikirannya bekerja sendiri tanpa dia kendalikan. Mulai terbayanglah dia akan segala yang baru dialaminya, sejak dia melakukan penyelidikan sampai kemudian tertawan dan pengalaman terakhir dalam kamar indah itu pun terbayang-bayang. Betapa cantiknya dua orang puteri Parang Siluman itu! Bukan saja wajah mereka yang cantik manis menggiurkan, bahkan Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama pernah terpikat oleh kecantikan mereka! Betapa indah bentuk tubuh mereka dan terbayanglah semua peristiwa tadi, betapa tubuh-tubuh yang lunak hangat lembut itu membelainya, betapa harum semerbak bau rambut dan tubuh mereka. Betapa akan menyenangkan kalau dia memenuhi permintaan mereka. Tidak, itu tidak benar sama sekali, terdengar bisikan halus namun penuh teguran dari dalam dadanya.
"Tidak,... Nurseta, hal itu tidak boleh kau lakukan." Hatinya berbisik.
"Uh, mengapa tidak boleh?" suara lain yang parau terdengar dari dalam kepalanya. "Engkau tidak akan menjadi manusia tolol, Nurseta! Engkau laki-laki, dan mereka itu begitu cantik menarik, bayangkan betapa indah mata dan mulut mereka, betapa mulus dan indah tubuh mereka, betapa akan berbahagianya engkau kalau engkau menerima dan membalas cinta kasih mereka!"
"Hemm,... itu bukan cinta kasih." cela suara dalam hatinya. "Itu hanya gairah nafsu birahi semata yang akan menyeretmu ke dalam dosa, Nurseta. Itu perzinaan namanya dan engkau membiarkan dirimu diseret dan diperbudak napsu birahi yang akan menyengsarakan dirimu sendiri. Seorang satria utama tidak akan sudi melakukan kesesatan itu."
Nurseta mengangguk-angguk. "Itu benar sekali, aku tidak boleh melakukan perbuatan sesat itu!" katanya lirih walaupun suara bisikannya itu tidak yakin dan tegas benar, masih bercampur keraguan.
"Phuah,... omong kosong! Siapa bilang berzina dan dosa? Ini merupakan usaha untuk menyelamatkan diri. Setiap orang manusia berhak untuk mencari keselamatan, menghindar diri dari ancaman maut! Sudah jelas engkau akan mati, tulang-tulangmu akan hancur dan kau tidak akan dapat tertolong lagi! Kalau jalan satu-satunya untuk menghindarkan kematian hanya menuruti kemauan dua orang wanita itu, apanya yang dosa? Itu bukan perzinaan, bukan dosa namanya! Itu hanya cara untuk mempertahankan hidup, hak setiap orang manusia! Bahkan kalau engkau tidak mempertahankan hidupmu, membiarkan dirimu mati tanpa berusaha mencari keselamatan, itu dosa besar namanya! Sudahlah, Nurseta, kau turuti saja kemauan Lasmini dan Mandari. Engkau akan memperoleh kenikmatan, kesenangan, dan juga luput dari kematian!" Suara parau dalam kepalanya semakin lantang.
"Jangan dengarkan bujuk rayu menyesatkan itu, Nurseta." bisikan dalam dadanya membantah. "Ingat, engkau seorang satria, engkau utusan Ki Patih Narotama dan engkau selalu berpendirian bahwa seribu kali lebih baik mati sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang budak nafsu yang sesat berdosa!"
"Hua-ha-ha...!" Suara dalam kepalanya terbahak. "Siapa sih manusia hidup di dunia ini yang tidak berdosa? Melakukan dosa untuk mempertahankan hidup itu tidak salah, Nurseta!"
Namun jiwa Nurseta sudah tegar kembali, sepenuhnya menyadari akan kebenaran bisikan dari hatinya tadi. "Hemm, enyahlah kamu, Nafsu Setan!" bentaknya kepada pikirannya sendiri.
Terdengar suara dalam kepala tadi tertawa bergelak, menertawakan kebodohannya, akan tetapi juga terdengar bisikan suara dalam dadanya. "Puja-puji tertinggi bagi Sang Hyang Widhi Wasa. Yang Maha Besar dan Maha Kuasa!"
Setelah dua suara yang bertentangan, suara yang muncul dalam pikiran di kepala dan suara dari hati sanubari, menghilang dan keseimbangan dirinya pulih kembali dan tenang, Nurseta termenung. Dia menyadari bahwa suara yang membujuk-bujuknya untuk tunduk memenuhi permintaan Lasmini dan Mandari tadi adalah suara nafsunya yang pada umumnya disebut suara Setan. Akan tetapi, jahatkah Setan yang selalu membujuk-bujuk manusia untuk menyimpang dari kebenaran, untuk melakukan perbuatan yang sesat dan jahat?
Nurseta tersenyum sendiri. Sudah tentu saja Setan itu jahat, kalau tidak jahat bukan Setan namanya! Setan itu adalah Si Jahat itu sendiri, maka setan itu tidak bisa jahat lagi karena sudah maha jahat sejak mulanya! Mana mungkin api dapat terbakar? Api dan nyalanya tidak terpisah, seperti setan dan jahatnya. Sudah ditentukan Sang Hyang Widhi bahwa Setan harus menggoda manusia, maka membujuk manusia menyeleweng dari kebenaran merupakan tugas-kewajiban Setan! Kalau Setan tidak menggoda manusia, lalu apa pekerjaannya? Lalu namanya pun bukan setan lagi!
Tidak, yang jahat bukanlah setan, melainkan tergantung kepada manusia sendiri bagaimana menghadapi godaan itu. Betapapun hebat setan menggoda, bagaimana kuat pun nafsu-nafsu dalam badan ini membujuk rayu, menjanjikan kesenangan dan kenikmatan yang kalau dituruti akan menyeret kita ke dalam dosa, namun kalau kita tidak menyerah, pasti tidak akan terjadi perbuatan sesat atau dosa!
Jelaslah bahwa dosa terjadi karena kelemahan manusia, bukan karena godaan setan. Sudah ditakdirkan bahwa manusia hidup di dunia harus menghadapi banyak sekali godaan dan tantangan, baik tantangan jasmani maupun rohani. Segala macam godaan jasmani mengancam kehidupan kita, misalnya binatang-binatang yang mengganggu seperti nyamuk, lalat, tikus dan masih banyak lagi. Banyak pula peristiwa alam yang mengganggu dan merupakan tantangan kita, seperti banjir, gunung meletus, gempa bumi, badai dan sebagainya. Akan tetapi Sang Hyang Widhi Wasa juga memberi bekal akal budi kepada kita sehingga kita dapat mempergunakannya untuk mengatasi semua gangguan itu.
Demikian pula dengan gangguan rohani yang pada umumnya disebut gangguan setan. Seperti juga kita tidak menyalahkan nyamuk yang mengganggu, mengisap darah kita, karena memang nyamuk sudah ditakdirkan harus hidup dari mengisap darah sehingga nyamuk tidak bersalah, tergantung kepada kita dapat menghindarkan diri atau tidak, maka setan juga tidak bisa disalahkan kalau kita sampai tergelincir ke dalam perbuatan dosa. Kita sendirilah yang bersalah, karena lemah.
Memang, melawan bujukan setan berarti melawan nafsu-nafsu diri kita sendiri dan hal ini amatlah sukar. Manusia sendiri tidak akan mampu melawan dan mengatasi musuh besar sepanjang hidup berupa keinginan-keinginan napsunya sendiri. Hanya Sang Hyang Wldhi Wasa yang akan mampu memperkuat kita untuk mengatasi semua godaan itu. Satu-satunya jalan hanyalah mohon kekuatan dari DIA YANG MAHA KUAT, dengan penyerahan diri secara total kepada-Nya sehingga kekuatan-Nyalah yang bekerja, bukan lagi kekuatan kita untuk meredam gairah nafsu yang berkobar-kobar.
Tuhan Maha Murah dan Maha Adil, segala ciptaan-Nya diberi kebebasan sepenuhnya. Juga manusia selain diberi perlengkapan hidup berupa nafsu-nafsu dan hati akal pikiran serta budi, diberi pula kebebasan. Manusia bebas untuk memilih, kepada siapa kita akan mengabdi. Bebas untuk mengabdi kepada nafsu-nafsu daya rendah Setan atau mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang kedua pengabdian itu mendatangkan akibat-akibat tertentu. Akibat lahir dari sebab ini tak dapat dihindarkan lagi, sudah adil dan sempurna!
********************