Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 24
Pada saat itu, tiga buah Watu Lintang sudah menyambar pula. Joko Wandiro mengenjot tanah, tubuhnya mencelat ke atas dan tiga buah Watu Lintang itu lewat di bawah kakinya. Ketika la berjungkir balik turun, kedua tangannya bergerak dan dua batang tombak kecil rampasan tadi kini melayang ke arah Gagak Kunto dan Gagak Rudro. Joko Wandiro tidak biasa mempergunakan senjata ini, maka kini dua batang tombak kecil itu yang ia lemparkan tidak meluncur seperti anak panah, melainkan berputaran, namun amat cepat menerjang lawan seperti dua baling-baling angin!
Gagak Kunto dan Gagak Kudro, dua orang ahli dalam permainan ini, tentu saja dapat cepat menghindarkan diri. Mereka sejenak terlongong kagum dan mulailah mereka merasa jerih terhadap pemuda yang benar-benar sakti mandraguna itu. Joko Wandiro yang sudah turun ke atas tanah, kini menudingkan telunjuknya ke arah mereka sambil berkata,
"Gagak Kunto dan Gagak Rudro! Belum terlambat bagi kalian untuk sadar dan insyaf. Mundurlah dan rubahlah jalan hidupmu, bertaubat dan hidup sebagai manusia baik-baik. Mundurlah sebelum terlambat!"
Sepasang Gagak ini dalah bekas perwira perwira Kerajaan Wengker. Hidup mereka sudah penuh dengan kejahatan, berlepotan darah tangan-tangan mereka. Mereka tidak mengenal hukum lain kecuali siapa kuat dia menang. Hukum rimba yang mengakibatkan mereka menjadi buas dan pengecut, menindas bawahan menjilat atasan. Tentu saja peringatan seorang muda seperti Joko Wandiro sama sekali tidak meninggalkan kesan di hati mereka, bahkan membangkitkan kemarahan karena merasa dihina.
Sambil mengeluarkan suara seperti burung-burung gagak marah, keduanya sudah menerjang maju lagi. Kini mereka telah mengeluarkan semua aji, dan sedikit llmu hitam yang mereka miliki membuat wajah mereka tampak beringas menakutkan, ada getaran hawa dingin menyeramkan menyerang Joko Wandiro dan sekeliling dua orang itu tampak awan gelap menyelimuti mereka.
Akan tetapi, semenjak digembleng oleh Resi Narotama, permainan ilmu hitam itu sama sekali tidak ada artinya bagi Joko Wandiro. Sekali dia membaca mentera singkat memperkuat batin dan kedua tangannya mengebut ke depan, lenyaplah hawa dingin dan awan gelap itu. Saat itu, Gagak Kunto dan Gagak Rudro sudah menyerbu ke depan sambil mengayun senjata mereka. Sikap mereka ganas sekali, liar dan buas, tidak seperti manusia lagi.
Joko Wandiro menarik napas panjang. Tubuhnya tidak beralih dari tempatnya, hanya kedua tangannya yang menyambut, bergerak dengan jari-jari terbuka. Begitu kedua senjata lawan itu menyambar, ia memapaki dengan tamparan-tamparan jari tangannya yang menggunakan Aji Pethit Nogo.
"Krakkk....! Krakkk....!!"
Gagak Kunto dan Gagak Rudro berteriak kaget, akan tetapi teriakan mereka segera disusul lengking tinggi yang merupakan jerit maut. Ketika tadi tamparan-tamparan Pethit Nogo berhasil mematahkan kedua senjata lawan, Joko Wandiro melanjutkan tamparannya dua kali yang dapat menyambar pelipis Gagak Kunto dan tengkuk Gagak Rudro. Kelihatannya perlahan saja tamparan itu, namun akibatnya hebat bukan main. Sepasang Gagak Itu mengeluarkan pekik maut, tubuh mereka berputar-putar seperti disambar halilintar, mata mereka terbelalak dan agaknya dalam ingatan terakhir, mereka hendak melarikan diri ke arah pasukan mereka, akan tetapi di depan Wirokolo, mereka jatuh tersungkur, tertelungkup dan tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang pergi!
"Bojleng-bojleng iblis laknat!"
Wirokolo memaki dan menggereng-gereng saking marahnya menyaksikan kedua orang pembantunya yang setia itu tewas.
"Joko Wandiro bocah keparat! Kau harus mengganti nyawa mereka!"
Serta-merta raksasa tinggi besar ini menerjang maju dengan gerakan kilat. Pukulan tangannya mengandung hawa panas Aji Anolo Hasto (Tangan Berapi) dan tampak betapa kedua telapak tangannya kemerahan mengeluarkan asap! Lima tahun yang lalu, di Jalatunda, pernah Joko Wandiro menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya, akan tetapi hantaman goloknya tidak melukai tubuh yang kebal itu, sebaliknya sekali ia kena ditampar, ia roboh pingsan. Joko Wandiro cukup maklum akan kesaktian raksasa ini yang menggiriskan, bahkan Resi Bhargowo bersama Empu Bharodo yang mengeroyok raksasa inipun tidak dapat menang!
Raksasa ini sakti mandraguna dan ahli ilmu hitam. Ular yang melilit leher, pergelangan tangan dan kaki sungguh mengerikan, juga amat berbahaya karena setiap saat ular-ular itu dapat membantu Wirokolo menyerang lawan dengan semburan atau gigitan berbisa. Inilah sebabnya maka Joko Wandiro sama sekali tidak berani memandang rendah lawannya, sejak tadi sudah siap sedia dengan penuh kewaspadaan. Gemblengan Resi Narotama membuat Joko Wandiro menjadi seorang pemuda yang tidak sombong, berhati-hati dan tabah. Juga filsafat kebatinan yang berdasarkan sari pelajaran Sri Bathara Wishnu yang dipuja oleh mendiang Sang Prabu Airlangga dan juga oleh Resi Narotama, telah mendalam di sanubarinya.
Oleh karena itu pula, tadi ketika dalam pertandingan melawan Sepasang Gagak, ia berhasil membunuh mereka, tidak terjadi sesuatu di hatinya, tenang saja. Ia tidak merasa membunuh yaitu menurut paham dia dan pelajarannya, ia tidak mempunyai hasrat membunuh, tidak pula membenci lawan-lawannya. Kematian kedua lawannya adalah wajar, sebagai akibat daripada pelaksanaan kewajibannya. Kewajiban seorang satria harus menantang segala bentuk kejahatan.
Betapapun juga, karena pemuda gemblengan Ini kurang pengalaman dalam pertempuran, maka gebrakan pertama dalam menghadapi Wirokolo hampir mencelakainya. Melihat terjangaan Wirokolo sedemikian hebatnya, amat cepat dan mengandung hawa panas pula, Joko Wandiro cepat mengerahkan hawa sakti di tangannya, menggeser kaki kiri ke bala kang sehingga tubuhnya miring dan darl samping tangan kirinya menangkis pukulan lawan yang dahsyat itu.
"Desss....!!"
Joko Wandiro merasa betapa tubuhnya didorong tenaga mujijat yang amat kuat dan tak mungkin ia tahan lagi. Kalau ia mempertahankan kedudukan kedua kakinya, ada bahayanya ia akan terjengkang atau setidaknya akan terhuyung-huyung. Oleh karena inilah, ia malah mengerahkan Aji Bayu Sakti, membuat tubuhnya ringan dan membiarkan tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya. Akan tetapi ia terlempar dalam keadaan berdiri, tanpa mengubah sedikitpun kedudukan kuda-kuda kakinya dan dengan ringan bagaikan sehelai daun kering ia turun pula ke atas tanah.
Wajahnya tetap biasa, lengannya yang beradu dengan lawan tidak terasa sakit. Namun diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya mempunyai tenaga yang mujijat dan amat kuat. Karena hawa sakti di tubuhnya lebih murni daripada lawan, maka untuk pertahanan di dalam tubuh ia tidak akan kalah oleh lawan. Akan tetapi mengenai tenaga luar, tenaga otot yang kasar, ia kalah jauh! Mengertilah ia bahwa tindakannya menangkis tadi keliru, namun membuat ia dapat mengukur tenaga sendiri dan dapat berlaku lebih hati-hati.
Di lain pihak, Wirokolo sejenak berdiri seperti tertegun, terheran-heran dan juga kagum dan penasaran menjadi satu. Pertemuan lengan tadi menginsafkannya bahwa pemuda itu sungguh bukan merupakan lawan yang ringan! Dapat menangkis tangannya yang mengandung Aji Anolo Hasto sepenuhnya, tanpa mengalami cedera, bahkan sekaligus dapat mengatasi kekalahan tenaga kasar dengan loncatan ke belakang sebagus itu, benar-benar menjadi bukti bahwa hawa sakti pemuda itu amat kuat, tidak berada di bawah tingkatnya sendiri. Ia mengeluarkan pekik dahsyat sambil menerjang maju lagi mengerahkan semua ajinya.
Dalam keadaan seperti itu, Wirokolo amat menggiriskan. Lima ekor ular yang melilit leher dan kaki tangannya, bergerak kepalanya, mendesis-desis dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar dari mulut, Wirokolo sama sekali tidak berani mengeluarkan Aji Calon Arang atau ilmu hitamnya yang lain mengingat bahwa di situ ada Narotama yang tentu akan datang membuyarkan ilmu hitamnya dengan mudah. Pula penggunaan ilmu hitam kalau menemui lawan yang lebih tangguh amatlah berbahaya karena ilmu itu bisa membalik dan memukul diri sendiri. Betapapun juga, karena Aji Calon Arang sudah mendarah daging padanya, ketika ia menjadi marah, tampaklah bayangan nenek iblis yang mengerlkan di belakangnya.
Mendengar pekik dahsyat dan melihat keadaan Wirokolo dan nenek iblis membayang di belakangnya itu, tergetar juga hati Joko Wandiro. Pemuda ini cepat-cepat menggosok kedua telapak tangannya tiga kali sambil membaca mantera Widodo Mantera. Begitu bibirnya mengucapkan Widodo Mantera, seketika bayangan iblis betina itu lenyap atau tidak tertampak lagi olehnya, dan Wirokolo juga tidak tampak menakutkan lagi. Adapun kedua telapak tangannya setelah ia gosok tiga kali, menjadi panas dan mengeluarkan cahaya. Menghadapi lawan setangguh Wirokolo, Joko Wandiro tidak berani memandang rendah maka ia sudah mengeluarkan Aji Bojro Dahono yang tadi ia latih dan coba pada batang pohon!
"Hyyaaaahhh.... mampus kau...!!'"
Bentakan ini mengiringi serangan Wirokolo yang sudah menubruk maju dengan pukulan kedua tangan saling susul, ke arah kepala dan dada Joko Wandiro.
"Wuuuttt... wuuuttt...!"
Joko Wandiro sudah menggunakan Aji Bayu Sakti dan dengan gerakan lincah sekali ia mengelak, akan tetapi elakan yang sama sekali tidak menjauhkan diri, bahkan gerakan mengelak ke samping dengan tubuh setengah melingkar ini membuat ia mendekati lawan, kemudian ia langsung mengirim pukulan balasan.
Karena ia tadi bergerak mengelak dengan Aji Bayu Sakti, maka untuk mengimbangi aji ini, ia melanjutkan serangan dengan pukulan Pethit Nogo, yaitu dengan jari-jari tangan dikipatkan. Memang lebih mudah menggunakan pukulan Pethit Nogo dengan kebutan jari-jari tangan dalam kedudukan tubuh melengkung seperti itu.
Kembali Wirokolo terkejut. Tidak disangkanya lawannya yang masih muda ini dapat mengelak secara demikian anehnya, mengelaknya sambil mendekat dan balas menyerang. Demikian cepat gerakan Joko Wandiro sehingga tahu-tahu jari-jari tangan pemuda itu sudah mengancam pelipisnya, bagian yang paling lemah di kepala.
"Celaka.......!!
Wirokolo berteriak sambil membuang tubuhnya ke belakang. Dari sambaran angin pukulan Pethit Nogo itu saja ia maklum bahwa amatlah berbahaya mengandalkan kekebalannya untuk menerima tamparan macam itu dengan pelipis kepalanya!
"Tasss!"
Oleh elakan ini, pelipis luput tertampar, akan tetapi sebagai gantinya, pundak dekat leber raksasa itu terkena jepretan jari-jari tangan yang ampuh. Wirokolo terhuyung-huyung. Tubuhnya kebal dan kuat luar biasa. Kalau pukulan Pethit Nogo ini mengenai pundak sebelah luar saja tak mungkin ia sampai terhuyung. Akan tetapi karena kenanya dekat leher, terasa juga olehnya. Pandang matanya sampai berkunang!
"Bocah setan! Awas kau Kalau tertangkap olehku, kubeset kulitmu, kuganyang dagingmu, kuhisap darahmu dan kukemah-kemah tulangmu!"
Wirokolo mengancam dengan muka merah seperti udang direbus. Biarpun ancamannya menunjukkan kemarahan luar biasa dan kini ia menerjang lagi dengan buas, namun Wirokolo tidak sembrono seperti tadi, maklum bahwa lawannya biar masih muda akan tetapi amat kuat. Ia menerjang dengan hati-hati sehingga ketika Joko Wandiro mengelak lalu balas memukul, ia dapat pula menangkis.
Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Pukulan dan gerakan Wirokolo mendatangkan angin berpusing, tenaganya yang dahsyat membuat bumi yang diinjaknya tergetar, angina pukulan tangannya membuat tetumbuhan di sekitar tempat itu bergoyang-goyang. Namun sukar sekali baginya untuk dapat menyentuh Joko Wandiro karena pemuda ini memillki gerakan yang lebih gesit.
Sebaliknya, hujan serangan lawan yang buas dan dahsyat itu membuat Joko Wandiro sukar sekali untuk membalas dengan serangan yang seimbang karena ia maklum akan bahayanya pukulan tangan lawan yang ampuh. Ia selalu menghindar atau kalau menangkispun hanya berani ia lakukan dalam keadaan posisi tubuh menang kuat, itupun dengan cara mendorong dari samping. Tidak mau ia menempatkan diri dalam bahaya dengan cara menangkis langsung mengadu tenaga. Akan tetapi, sikapnya yang amat berhati-hati ini membuat ia sukar sekali dapat merobohkan lawan. Balasan serangannya yang hanya kadang-kadang itu ada kalanya berhasil menyentuh tubuh lawan. Akan tetapi karena kenanya tidak tepat, tubuh Wirokolo yang kebal seakan-akan tidak merasa apa-apa!
Pertandingan sudah berlangsung sejam lebih, namun belum tampak siapa yang akan menang. Melihat ini, diam-diam Dibyo Mamangkoro terkejut bukan main. Ia tahu akan kesaktian adik seperguruannya, yang tidak kalah jauh olehnya sendiri. Bagaimana kini adik seperguruannya itu tidak mampu mengalahkan seorang pemuda? Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Tadinya ia mengira bahwa di dalam dunia ini, orang muda satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian tinggi hanyalah muridnya. Siapa kira, pemuda inipun hebat. Kalau tidak dibunuh sekarang, kelak tentu merupakan tandingan berat bagi Endang Patibroto. Pemuda ini tidak banyak selisih tingkatnya dengan Wirokolo, hanya menang cepat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, belum dapat dipastikan siapa yang akan menang, akan tetapi sudah jelas akan makan waktu lama sekali.
Keadaan mereka berimbang, maka kalau Wirokolo dibantu sedikit saja, pemuda itu tentu akan dapat dirobohkan. Lebih baik pasukan dikerahkan untuk membantu Wirokolo, sedangkan Narotama sendiri kalau turun tangan, dialah yang akan menanggulanginya!
"Apa kerja kalian? Hanya menonton saja? Hayo serbu bocah setan itu!" Tiba-tiba Dibyo Mamangkoro berseru.
Pasukan terdiri dari tiga puluh enam orang itu terkejut. Tadi mereka tertegun dan terpesona menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Karena kepala pasukan, Sepasang Gagak sudah roboh dan tewas oleh pemuda itu dan kini bahkan Wirokolo sendiri sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkannya, pasukan itu menonton dengan hati berdebar, tidak berani bergerak kalau tidak diperintah, maklum akan hebatnya kepandaian Joko Wandiro. Akan tetapi kini mendengar bentakan Dibyo Mamangkoro, mereka segera bergerak, mencabut senjata masing-masing dan mendekat medan pertandingan.
Melihat ini, tiba-tiba Narotama meloncat dari atas batu tempat ia bersila, mengerahkan Aji Dirodo Meto dan terdengarlah pekik melengking dahsyat sekali yang seakan-akan menimbulkan gempa bumi hebat dan angin taupan mengamuk! Aji Dirodo Meto (Gajah Mengamuk) merupakan aji kewibawaan yang berdasarkan pekik dahsyat sekali seakan-akan pekik seekor gajah jantan yang sedang marah.
Mendengar pekik dahsyat ini tiga puluh enam orang itu seketika seperti lumpuh, jantung serasa copot, tubuh menggigil dan muka pucat. Ketika mereka menengok dan memandang ke arah Narotama yang berdiri tegak, pandang mata mereka seakan-akan melihat seekor gajah raksasa yang mengancam. Tanpa dapat dicegah lagi, tiga puluh enam orang itu memaksa kaki mereka yang dengkelen (menggigil sukar digerakkan) untuk lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Bahkan Wirokolo sendiri merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan ketika ia mengerahkan hawa sakti untuk menahan pengaruh pekik melengking, ia merasa kelelahan. Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia sendiri memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga Aji Dirodo Meto yang dahsyat itu dapat ia lawan dengan pengerahan hawa sakti.
"Si keparat Narotama! Kau curang!!" bentaknya.
"Hemm, Dibyo Mamangkoro, siapa yang curang? Engkau yang mengerahkan balamu hendak mengeroyok muridku ataukah aku yang menghalangi pengeroyokan curang itu? Sudah kukatakan tadi, aku siap melayani segala tingkahmu!"
"Babo-babo, Narotama! Kalau begitu kita harus mengadu nyawa! Sambutlah!!"
Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggerakkan tangan kanannya, diputar-putar dan tubuhnya agak merendah, kemudian dengan tangan terkepal ia memukul ke depan, ke arah Narotama. Inilah pukulan maut yang bernama Aji Wisangnala! Namanya saja sudah menyebutkan keampuhannya, yaitu Api Berbisa! Kalau dilakukan dari jarak jauh, angin pukulannya yang membawa hawa panas beracun dapat merobohkarn dan menewaskan lawan tangguh. Apalagi kalau sampai mengenai kulit lawan, sukar dibayangkan akibatnya. Terlalu ngeri!
Namun Narotama yang cukup mengenal kesaktian lawannya ini, sudah siap sedia. Dua puluh tahun yang lalu, dalam perang menundukkan Kerajaan Wengker, la sudah pernah bertanding yuda melawan Dibyo Mamangkoro. Dalam pertandingan mati-matian yang memakan waktu sampai dua hari dua malam, setelah mengeluarkan semua aji dan kesaktian, barulah ia berhasil mengalahkan Dibyo Mamangkoro yang lalu melarikan diri!
Kini melihat betapa begitu menyerang, Dibyo Mamangkoro menggunakan aji pukulan maut yang demikian ganas dan dahsyatnya, ia terkejut dan maklum bahwa benar-benar raksasa Wengker itu hendak mengadu nyawa dan tidak ingin bertempur berlambat-lambatan seperti dahulu lagi. Serangan Itu adalah serangan maut dan akibatnya hanyalah dua, kalah atau menang! Ia cukup maklum bahwa untuk pukulan macam itu, pukulan yang sedemikian hebatnya sehingga kepalan tangan raksasa itu mengeluarkan sinar, tidak dapat dielakkan tanpa merugikan dirinya. Oleh karena itu iapun lalu mengerahkan tenaga memutar tubuhnya dan berseru keras sambil mengangkat tangan kiri ke atas kepala dari belakang tubuh, sedangkan tangan kanannya dikepal dan dlpukulkan ke depan, menyambut hawa pukulan Dibyo Mamangkoro.
"Syuuuuttt!!"
Dua hawa sakti yang sama-sama ampuh dan mengandung hawa panas bertemu di udara dengan hebatnya. Seperti Dibyo Mamangkoro yang menggunakan Aji Wisangnala, Narotama juga mengerahkan Aji Bojro Dahono yang mengandung hawa panas yang keluar dari sumbernya di pusar. Biarpun kedua kepalan tangan itu masih terpisah satu depa lebih jauhnya satu kepada yang lain, namun pertemuan kedua hawa sakti Itu menimbulkan cahaya bagaikan api ber kilat. Dahsyat sekali pertemuan tenaga sakti ini. Resi Narotama masih tetap kedudukan kakinya, akan tetapi ia terdorong ke belakang sampai setombak lebih, kedua kakinya yang masih tetap memasang kuda-kuda itu menggurat tanah sampai sejengkal dalamnya. Wajahnya pucat keningnya berkerut dahinya berkeringat.
Adapun Dibyo Mamangkoro juga terhuyung ke belakang, tampaknya ia tertawa mengejek, akan tetapi matanya merah sekali, berbeda dengan mukanya yang memperlihatkan bayangan kehijauan. Ia masih tertawa ketika melompat maju lagi dan kembali ia melakukan pukulan seperti tadi bahkan kini dibarengi dengan suaranya yang parau berteriak seperti srigala marah. Narotama juga melakukan gerakan menyambut seperti tadi, melayani lawan tangguh itu sambil berteriak keras pula.
"Wessss!!!"
Akibat pertemuan dahsyat tenaga sakti mereka untuk yang kedua kalinya ini, Resi Narotama jatuh bertekuk lutut, tubuhnya agak menggigil dan keringat di dahi makin banyak. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro mencelat ke belakang, melakukan gerak jungkir balik tiga kali dan akhirnya dapat ia menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga tidak roboh terguling. Matanya yang tadi merah itu kini makin merah sehingga seperti berubah hitam, mulutnya masih tertawa menyeringai akan tetapi di ujung bibirnya tampak sedikit darah!
"Belum puaskah engkau.....?" Narotama berkata, suaranya halus agak terengah.
"Huah-hah-hah...! Mampuslah......!"
Dibyo Mamangkoro kembali melakukan pukulan ke tiga, lebih hebat karena agaknya ia mengerahkan seluruh tenaganya. Narotama yang sudah bangkit berdiri kembali menyambut seperti tadi, juga bekas Patih Kahuripan yang sakti ini mengerahkan seluruh tenaga terakhir, maklum sepenuhnya bahwa ia mempertahankan nyawanya dalam gempuran tenaga sakti ini.
"Desss... werrrrr...!!!!"
Kini akibatnya lebih hebat lagi daripada dua pukulan pertama. Bukan saja karena pukulan ke tiga ini mereka lakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, juga karena tubuh mereka sudah lelah dan lemah oleh benturan dua kali tadi. Resi Narotama mengeluh perlahan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang lalu ia jatuh terduduk di atas tanah, napasnya terengah-engah mukanya pucat. Adapun Dibyo Mamangkoro terpental dan roboh miring di atas tanah, lalu bergulingan menjauhkan diri lalu lenyap dari situ, hanya suara ketawanya saja yang terdengar bergema sampai di tempat itu, suara ketawa yang aneh karena bercampur rintihan.
Sementara itu, pertandingan antara Wirokolo dan Joko Wandiro juga berkesudahan amat hebat. Wirokolo yang merasa amat penasaran belum juga dapat merobohkan lawannya yang muda, menerjang makin dahsyat. Akan tetapi ketika tadi Resi Narotama mengeluarkan aji pekik melengking dahsyat Dirodo Meto, jantungnya tergetar hebat sekali. Sejenak matanya berkunang dan jantungnya berdebar-debar.
Hanya dengan pengerahan tenaga dalam sekuatnya saja ia mampu menahan. Akan tetapi, serangan pekik mujijat Resi Narotama yang sebetulnya tidak langsung ditujukan kepadanya ini membuat tenaga dalamnya banyak berkurang. Namun, Wirokolo yang berwatak sombong dan terlalu bangga 脿kan kesaktian sendiri ini tidak sadar akan hal ini. Ketika itu Joko Wandiro yang juga ingin mengakhiri pertandingan karena melihat gurunya sudah menghadapi Dibyo Mamangkoro yang amat sakti, telah mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu Bojro Dahono.
Pukulannya dilakukan dengan kepalan tangan kiri yang meluncur ke arah dada Wirokolo. Tadi sebelum musuh-musuh datang, pemuda ini sudah mendemonstrasikan kepandaiannya ini dan dengan Aji Bojro Dahono telah membuat sebatang pohon menjadi hangus sebelah dalamnya! Tentu saja Wirokolo juga merasa akan datangnya hawa panas mujijat.yang mengiringi pukulan anak muda itu. Akan tetapi karena ia terlalu mengandalkan ajinya Anolo Hasto, melihat datangnya pukulan tangan kiri ini, ia menjadi girang dan segera menyambut dengan telapak tangan kanannya yang lebar dan besar.
Begitu kepalan tangan kiri Joko Wandiro tiba, Wirokolo menerimanya dengan telapak tangan kanan dan menggenggamnya. Kepalan tangan yang kecil itu lenyap dalam genggaman tangan kanannya yang penuh dengan Aji Anolo Hasto sehingga kepalan tangan Joko Wandiro seakan-akan masuk dan terjepit ke dalam tungku api membara!
Melihat ini, Joko Wandiro memukul lagi, kini dengan tangan kanannya, juga tetap menggunakan Aji Bojro Dahono. Melihat kenekadan pemuda ini, Wirokolo tertawa terbahak-bahak dan menggunakan tangan kirinya menyambut pukulan ke dua dan di lain saat kembali kepalan tangan kanan Joko Wandiro lenyap dalam genggaman tangan kiri Wirokolo!
Sambil mengerahkan kekuatannya untuk menghancurkan kedua kepalan tangan Joko Wandiro dalam genggaman tangannya, Wirokolo tertawa bergelak. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali dan bagaikan disambar petir, tubuhnya mencelat ke belakang, kedua tangannya yang tadi menggenggam kepalan tangan Joko Wandiro kini mencengkeram dadanya sendiri, kemudian ia mengeluarkan jerit mengerikan dan sambil mencengkeram dadanya Wirokolo membalikkan tubuh, lari terhuyung-huyung dan membabi buta sehingga tanpa disadarinya ia lari ke arah jurang.
Ketika tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, kembali ia memekik nyaring. Kemudian sunyi. Wirokolo salah hitung, terlalu memandang rendah lawan atau terlalu membanggakan diri sendiri sehingga ia lalai dan ketika menggenggam kedua kepalan pemuda tadi, ia hanya ingin menghancurkan kepalan dengan remasan tenaga kasar. Siapa kira, dari kepalan Joko Wandiro tersalur hawa sakti Bojro Dahono (Kilat Api) sehingga karena Wirokolo tidak mengerahkan hawa saktinya, maka ia terserang aji itu yang membuat isi dadanya seperti disambar petir! Andaikata ia tidak terjungkal ke dalam jurang yang membuat tubuhnya hancur, juga ia akan tewas oleh Bojro Dahono yang ampuhnya menggiriskan itu.
Joko Wandiro memandang kedua tangannya. Punggung tangannya kebiruan dan membengkak. Untung tulang-tulang tangannya tidak sampai remuk. Bukan main hebatnya Wirokolo. Kemudian ia teringat gurunya, menoleh. Dilihatnya Resi Narotama duduk bersila di atas tanah, wajahnya pucat, napasnya memburu, dari ujung kanan kiri bibirnya keluar darah!
"Bapa guru!" Joko Wandiro lari menghampiri lalu berlutut di depannya.
Resi Narotama membuka mata, lalu dengan gerakan lemah menghapus darah di kedua ujung bibirnya.
"Sungguh mengagumkan Dibyo Mamangkoro...." Ia menghela napas pnnjang.
"Tapi, bukankah tadi dia kalah dan lari, bapa!
Narotama menggeleng kepala. "Ia jerih terhadap aku, akan tetapi sesungguhnya, dia hebat. Kalau dia tidak jerih dan tadi melanjutkan, belum tentu aku akan menang. Hemmm...."
Resi Narotama mengerutkan kening, jelas menahan rasa nyeri hebat, tangannya meraba dada.
"Bapa terluka...."
Resi Narotama mengangguk. "Joko, muridku. Kini tibalah waktunya kita saling berpisah. Kau harus meninggalkan tempat ini"
"Akan tetapi, bapa. Hamba yang bertahun-tahun menerima petunjuk bapa guru, bagaimana sekarang dapat berlaku sekeji itu? Hamba melihat bapa sedang menderita luka dan perlu perawatan, bagaimana hamba tega untuk meninggalkan bapa? Tidak, hamba mohon agar diperkenankan tinggal di sini, merawat bapa guru sampai sembuh."
"Tidak, muridku. Perawatanmu takkan menolong tubuhku. Kau tidak bisa tinggal di sini, karena aku sendiripun akan meninggalkan tempat ini. Tidak guna kau bertanya ke mana aku hendak pergi." Narotama tersenyum, lalu berkata lagi, "Sudah kuceritakan padamu bahwa aku sudah berjanji kepada mendiang Sang Prabu Airlangga bahwa aku tidak akan mencampuri urusan kerajaan kedua orang puteranya. Akan tetapi, melihat betapa Kerajaan Jenggala sudah mempergunakan tenaga orang-orang seperti Dibyo Mamangkoro, kurasa tidaklah adil kalau fihak Kerajaan Panjalu tidak menerima bantuan pula. Engkau pergilah ke Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu dan mohon diterima suwita (berhamba) di sana. Aku sekali-kali tidak menganjurkanmu untuk mencari kedudukan, muridku, hanya engkau harus sadar akan kewajibanmu menentang kejahatan. Dan menurut wawasanku, setelah Kerajaan Jenggala mempergunakan Dibyo Mamangkoro, kewajibanmulah untuk menentang mereka."
"Hamba akan rnentaati perintah bapa.Akan tetapi.... bilakah hamba diperkenankan menghadap bapa lagi? Dimana?"
Resi Narotama menggeleng kepala sambil tersenyum. "Dasar orang muda, nafsu perasaan masih tebal menyelimuti kesadaran. Pergunakanlah kesadaranmu. Lupakah kau bahwa sebetulnya tidak ada kesusahan seperti juga tidak ada kesenangan? Sadarlah dan kembalilah kepada kepribadianmu yang berpegang kepada kewajiban hidup berdasarkan kebaktian. Nah, engkau berangkatlah sekarang, muridku dan kau terimalah Ki Megantoro ini, kuberikan kepadamu."
Sambil berlutut dan menyembah Joko Wandiro menerima keris pusaka gurunya, Ki Megantoro, keris eluk tujuh yang ampuh dan puluhan tahun menjadi sahabat setia Resi Narotama. Kemudian pergilah Joko Wandiro menuruni lereng Gunung Bekel, diikuti doa restu dan pandang mata penuh kasih gurunya Sang Resi Narotama.
Wajah sang prabu di Kerajaan Panjalu kelihatan muram. Demikian pula para senopati dan hulubalang yang menghadap di persidangan, tampak muram dan gelisah. Peristiwa sebulan yang lalu masih saja membekas di hati mereka. Sang prabu berikut semua senopati merasa terhina.
Sang prabu selalu marah-marah kepada para pengawal yang dianggapnya tiada guna. Bayangkan saja! Pada suatu malam, kurang lebih sebulan yang lalu, dua orang kepala pengawal tahu-tahu tewas tanpa kepala! Kepala mereka lenyap bersama dengan bendera pusaka yang berkibar di puncak istana! Tidak seorangpun tahu siapa yang melakukan hal yang menggemparkan itu. Seakan-akan iblis sendiri yang sudah turun tangan mendatangkan bencana dan meramalkan malapetaka hebat di Kerajaan Panjalu! Bahkan para menteri dan para pendeta yang dimintai nasehat, tidak seorangpun dapat menduga siapa gerangan pelaku perbuatan dahsyat itu.
Dan pada pagi hari itu, persidangan terganggu oleh datangnya seorang pemuda gunung yang menghadap sang nata untuk mohon diterima menjadi ponggawa keraton! Seorang pemuda tampan dan berpakaian sederhana yang kelihatan pendiam dan pemalu. Ketika pemuda itu berlutut di depan sang Prabu yang memandang dengan wajah muram, para ponggawa saling berbisik.
"Untuk apa pemuda lemah ini?" Demikian bisik mereka.
"Kita membutuhkan seorang sakti mandraguna untuk menandingi maling haguna, bukan seorang bocah dusun!"
"Untuk kacung kandang kudapun masih belum memenuhi syarat!" bisik yang lain.
"Berani mampus, bocah desa berani mengotori lantai persidangan menghadap sang prabu. Tentu beliau akan marah!" kata yang lain.
Akan tetapi ketika sang prabu menggerakkan kepala mengangkat muka untuk memandang ke arah mereka yang kasak-kusuk itu, semua suara lenyap dan semua orang duduk bersila dengan anteng seperti area. Sang prabu lalu menunduk dan kembali memandang kepada pemuda yang masih bersila di depannya itu.
"Siapa namamu tadi? Ruangan ini seperti pasar sehingga kami tidak begitu mendengar keteranganmu!" sabda sang prabu yang semenjak peristiwa memalukan itu menjadi seorang pemarah.
"Hamba Joko Wandiro, gusti," kata pemuda itu dengan suaranya yang lantang dan sikapnya yang tenang, menundukkan muka.
"Engkau mohon akan menghambakan diri di sini?"
"Betul seperti sabda paduka, gusti."
"Hemmm, engkau bocah dari mana, Joko Wandiro?"
"Hamba hidup sebatangkara, gusti, tiada ayah bunda, tiada tempat tinggal. Hamba laksana sehelai daun kering tertiup angin, melayang ke mana saja menurutkan arah angin."
"Joko Wandiro! Engkau minta bekerja di sini. Bekerja apakah, dan apa yang dapat kau lakukan?"
"Bekerja apa saja hamba sanggup melakukan, gusti. Hamba menyediakan jiwa raga hamba untuk melakukan tugas yang paduka perintahkan."
Sang prabu mengeluarkan suara mengejek. "Huh, semua orang sebelum diterima bekerja, memberi janji muluk-muluk setinggi langit. Setelah diberi tugas, tidak seorangpun becus memegangnya. Begini banyak perajurlt dan pengawal, seperti tidak ada manusia saja!"
Semua senopati dan hulubalang tertunduk mendengar ini, maklum bahwa kembali sang prabu teringat akan peristiwa sebulan yang lalu.
"Kaupun agaknya hanya pandai berjanji seperti yang lain-lain, Joko Wandiro "
"Hamba siap untuk diuji bila perlu, gusti."
"Engkau berani menghadapi musuh? Melawan maling haguna yang sakti?"
Sejenak Joko Wandiro tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan raja itu. Akan tetapi ketika melirik ke kanan kiri untuk minta keterangan dari para penghadap, ia melihat bahwa mereka itu memandang kepadanya dengan sinar mata mencemooh, ia segera menyembah.
"Hamba tidak akan mundur, demi menjunjung titah paduka." Kembali Joko Wandiro melirik ke kanan kiri karena telinganya yang tajam terlatih itu mendengar suara tawa tertahan, suara penuh ejekan yang merupakan dengus dari hidung. Ia. maklum bahwa mereka itu diam-diam memandang rendah kepadanya dan menganggap jawaban tadi seperti sebuah lelucon belaka.
Akan tetapi sang prabu, putera mendiang Prabu Airlangga, sedikitnya mewarisi ketajaman mata dan kewaspadaan ayahnya. Sang prabu melihat sesuatu pada diri pemuda itu, sesuatu yang tidak tampak oleh mata orang biasa. Sang prabu mengerti bahwa pemuda ini bukan pemuda gunung biasa dan bahwa semua ucapannya tadi keluar dari lubuk hati.
"Hemm, Joko Wandiro. Kesanggupan dan kesetiaan saja tanpa kepandaian, takkan ada gunanya jika sewaktu-waktu kerajaan kedatangan musuh yang tangguh, beranikah engkau menghadapi dan melawannya?"
"Hamba berani asal mendapat titah paduka."
"Murid siapakah engkau?"
Joko Wandiro sudah mendapat pesan dari Resi Narotama agar jangan menyebut nama kakek itu, apalagi di depan sang prabu di Panjalu.
"Hamba murid seorang pertapa yang tidak mau disebut namanya, gusti. Kepandaian hamba tidak ada artinya, akan tetapi dengan kebulatan tekad dan dengan berkah paduka, kiranya hamba akan dapat melaksanakan tugas yang paduka titahkan kepada hamba."
Girang hati sang prabu mendengar kesanggupan ini. Agak jernih wajahnya. Pemuda ini boleh diharapkan, sungguhpun masih amat disangsikan kepandaiannya. Kelihatannya hanya seorang pemuda sederhana, sederhana lahir batinnya.
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar dan dua orang yang berpakaian prajurit menyerbu masuk, muka mereka pucat sekali dan serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut di depan anak tangga ruangan persidangan itu. Dengan tubuh menggigil mereka menyembah kepada sang prabu. Para senopati dan hulubalang melempar pandang marah kepada dua orang perajurit ini yang dianggap mengganggu.
"Heh, bocah perajurit! Mengapa kalian berani lancang menghadap dan mengganggu persidangan?" Sang prabu menegur sambil mengerutkan keningnya.
"Mohon diberi ampun, gusti. Hamba berdua berani menghadap tanpa diperintah karena terpaksa, hamba... hamba...." Dua orang itu tergagap-gagap ketakutan.
"Apakah kalian Ini sudah bosan hidup? Keparat! Hayo bikin laporan yang betul di hadapan gusti prabu!" bentak ki patih yang sejak tadi sudah memandang dengan mata melotot.
"Kalau tidak, kuhancurkan kepala kalian!"
Melihat sikap patih ini, kedua orang perajurit menjadi makin bingung dan gugup. "Hamba... ham..."
Mereka menelan ludah berkali-kali, akan tetapi tetap saja tidak dapat melanjutkan katanya karena leher serasa tercekik. Ki patih makin marah dan sudah hendak bangkit untuk memberi hajaran.
"Patih Suroyudo, biarkan mereka tenang dan memberi laporan yang betul. Heh, bocah perajurit. Jangan takut dan ceritakan, apa yang terjadi?" kata sang prabu.
"Ampun, gusti. Di alun-alun ada dua orang musuh melakukan amuk. Banyak sudah para perajurit dan perwira yang tewas. Mereka berdua amat digdaya dan menyebar maut di antara perajurit. Sepak terjang mereka seperti iblis betina...."
"Apa ? Dua orang wanita ?" Sang prabu memotong heran.
"Betul seperti sabda paduka. Dua orang pengamuk itu adalah wanita-wanita cantik."
"Siapa nama mereka?" Sang prabu memotong.
"Mereka mengaku bernama Ni Nogogini dan Ni Durgogini, gusti..."
"Patih Suroyuda, kiranya dua orang iblis itu yang datang lagi mengacau! Bawa pasukan dan kerahkan senopati, tangkap mereka!"
"Paduka jangan khawatir. Hamba akan menangkap mereka!" jawab Patih Suroyuda yang segera pamit keluar diikuti para senopati dan hulubalang.
Karena sedang pusing menghadapi banyak kekacauan, sang prabu meninggalkan ruangan itu, lupa kepada Joko Wandiro yang masih duduk bersila. Setelah semua orang pergi, barulah Joko Wandiro sadar bahwa ia ditinggalkan begitu saja. Selagi ia bingung, seorang pengawal membentaknya,
"Heh bocah gunung! Mau apa lagi di sini? Hayo keluar!"
"Tapi....! tapi.... hamba ingin menghambakan diri kepada sang prabu..."
"Bocah seperti engkau ini mau bekerja apa di sini? Tidak tahukah engkau betapa sang prabu sedang duka? Engkau tidak diterima, tahu? Hayo pergi keluar!"
Joko Wandiro mendongkol sekali, akan tetapi ia menekan perasaannya dan bersikap sabar. Setelah menarik napas panjang ia lalu keluar dari tempat itu. Diam-diam ia berpikir, andaikata ia mengaku sebagai murid Resi Narotama yang dahulu merupakan seorang patih junjungan di Kahuripan, agaknya tidak akan begini sikap sang prabu dan para pengawal. Setelah ia tiba di luar istana, ia melihat keadaan kacau dan geger, terutama sekali di alun-alun. Tampak para perajurit berlarian ke sana ke mari membawa tombak. Ada pula perajurit-perajurit yang mengangkut temantemannya yang terluka atau yang telah tewas.
Teringatlah Joko Wandiro akan pelaporan dua orang perajurit tadi. Di alun-alun ada dua orang wanita mengamuk, dua orang wanita musuh. Karena adanya pelaporan tentang mengamuknya dua orang wanita inilah sang prabu lalu membubarkan persidangan dan meninggalkannya. Karena gara-gara dua orang wanita itulah maka ia sampai dilupakan begitu saja sehingga ia ditegur dan diusir pengawal. Joko Wandiro membelokkan kakinya berjalan ke arah alun-alun. Ingin ia melihat siapa gerangan dua orang wanita yang demikian digdaya, berani melawan dan merobohkan para perajurit dan pengawal.
Dari jauh sudah kelihatan betapa di tengah alun-alun terjadi pertandingan hebat. Joko Wandiro mempercepat langkahnya dan ketika ia tiba di tempat pertempuran, ia memandang.dengan kaget dan heran. Benar saja laporan tadi. Di situ terdapat dua orang wanita yang mengamuk. Dua orang wanita yang cantik-cantik, mengamuk dengan kaki tangan tanpa senjata. Akan tetapi gerakan mereka hebat sehingga para perajurit yang mengeroyok dan bersenjata itu tidak mampu mendesak mereka.
Bahkan Patih Suroyudo sendiri bersama beberapa orang senopati yang tadi memandangnya penuh ejekan, kini berdiri dengan senjata di tangan dan ikut menyerang. Namun dua orang wanita itu benar-benar hebat dan gesit gerakan mereka. Hanya ki patih dan senopati yang baru keluar dari istana saja yang tidak roboh oleh sambaran tangan kedua orang wanita itu. Para perajurit biasa, baru terkena sambaran hawa pukulan saja sudah jatuh tunggang-langgang!
Sepasang mata Joko Wandiro yang berpemandangan awas itu melihat hawa yang kotor dari ilmu hitam. Juga kedua wanita itu memiliki wajah cantik yang tidak sewajarnya, dengan kilatan sepasang mata genit dan cabul. Sekali pandang saja Joko Wandiro tahu bahwa dua orang wanita ini bukanlah orang baik-baik. Diam-diam ia menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita itu.
Joko Wandiro memang belum pernah bertemu dengan dua orang wanita ini yang bukan lain adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Mengapa kedua orang wanita sakti ini datang ke Panjalu dan mengamuk di alun-alun? Hal ini ada hubungannya dengan perbuatan Endang Patibroto. Telah kita ketahui betapa Endang Patibroto diajak gurunya, Dibyo Mamangkoro untuk menghadap sang prabu di Jenggala dan di sana kepandaiannya diuji oleh sang prabu. Gadis remaja ini disuruh menyelidiki keadaan di Panjalu dan mencuri bendera pusaka yang berkibar di puncak istana!
Gadis remaja yang sakti itu segera berangkat menuju Kerajaan Panjalu dan dengan kepandaiannya yang tinggi, malam hari itu ia berhasil menyelundup ke pekarangan belakang istana. Dengan cara melompat ke atas genteng istana seperti seekor kucing Candramawa, ia berhasil mencuri bendera pusaka yang sedang berkibar di atas puncak istana tertiup angin malam.
Ketika ia melompat turun, Endang Patibroto bertemu dengan dua orang perwira pengawal yang segera menerjang Untuk menangkapnya. Akan tetapi dengan mudah Endang Patibroto merobohkan mereka, menggunakan golok mereka memenggal leher keduanya dan menjambak rambut dua buah kepala itu dibawa kembali ke Jenggala untuk bukti bahwa tugasnya telah terlaksana dengan baik!
Tentu saja hal ini menggemparkan Jenggala. Sang prabu di Jenggaia merasa kaget, heran dan juga girang sekali. Tanpa menanti kembalinya Dibyo Mamangkoro lagi, sang prabu lalu mengangkat Endang Patibroto sebagai kepala pengawal istana! Semua senopati di Jenggala membicarakan hal ini dengan penuh kekaguman, memuji-muji Endang Patibroto setinggi langit, padahal mereka itu seorangpun tidak ada yang pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kesaktian gadis remaja itu.
Sudah lajim di dunia ini semenjak jaman dahulu sampai sekarang, setiap ada orang mencapai kemuliaan, sudah tentu ada orang lain yang merasa iri hati dan dengki. Hal ini tidak terluput pada diri Endang Patibroto. Banyak di antara para senopati dan orang-orang sakti yang menghambakan diri di Jenggala merasa iri hati.
Masih untung bagi Endang Patibroto bahwa dia adalah murid Dibyo Mamangkoro. Nama gurunya ini cukup mengerikan sehingga mereka yang merasa iri hati merasa ragu-ragu dan takut untuk mcngganggu murid Dibyo Mamangkoro. Mereka tidak takut terhadap Endang Patibroto yang mereka buktikan kesaktiannya, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang tidak gentar menghadapi Dibyo Mamangkoro.
Di antara mereka yang merasa iri hati kepada Endang Patibroto, juga termasuk mereka yang terkenal sebagai orang-orang sakti yang membantu Kerajaan Jenggala, yaitu tokoh-tokoh yang sudah lama kita kenal dan yang sejak Sang Prabu Jenggala masih menjadi Pangeran Anom dahulu telah pula membantunya.
Mereka ini adalah Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Sebelum Dibyo Mamangkoro dan muridnya, bersama pengikutnya Wirokolo, Sepasang Gagak dan anak buahnya datang ke Jenggala, mereka adalah orang-orang terhormat yang dianggap sebagai pembantu-pembantu utama.
Kini menyaksikan betapa murid Dibyo Mamangkoro seorang diri sanggup menyerbu Panjalu, berhasil mencuri bendera pusaka, tentu saja mereka merasa kedudukan mereka terancam. Apalagi setelah mendengar betapa sang prabu amat menghormat dan menyambut Endang Patibroto penuh kegembiraan, memberi gadis remaja itu kedudukan tinggi di dalam istana sebagai kepala semua pengawal pribadi sang prabu, mereka menjadi makin tidak enak.
Sudah tentu saja yang merasa paling iri dan tidak enak di antara mereka, adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Bukan hanya karena Endang Patibroto hanyalah seorang gadis remaja, akan tetapi terutama sekali karena mereka berdua pernah berusaha mcncuri bendera pusaka itu dan gagal!.
Usaha Endang Patibroto yang berhasil baik itu merupakan tamparan bagi mereka berdua, maka untuk menebus kekalahan dan menebus muka, mereka berdua lalu pergi menyerbu ke Panjalu dan melakukan pengamukan di alun-alun! Tentu saja perbuatan mereka ini hanya terdorong hati panas dan untuk mengangkat kembali nama mereka yang jatuh oleh persaingan Endang Patibroto.
Mereka berdua, betapapun saktinya, maklum bahwa hanya tenaga mereka berdua saja tidak mungkin dapat melawan perajurit dan pengawal Panjalu yang ribuan orang banyaknya. Merekapun bukan bermaksud untuk menaklukkan Panjalu hanya dengan tenaga mereka berdua, melainkan hanya untuk mengamuk, kemudian kalau kewalahan akan melarikan diri, kembali ke Jenggala dengan perasaan bangga. Tentu saja sang prabu di Jenggala akan mendengar hal ini dan akan menghargai mereka.
Demikianlah, ketika Joko Wandiro yang keluar dari istana Kerajaan Panjalu dengan hati mendongkol menonton keributan di alun-alun, ia melihat dua orang wanita cantik itu tengah mengamuk. Pasukan perajurit Panjalu sama sekali bukan lawan kedua orang wanita sakti ini, seperti mentimun melawan durian saja. Kalau saja perasaan hatinya tidak terpukul oleh penolakan yang dilakukan terhadap dirinya di dalam istana, tentu Joko Wandiro sudah menyerbu dan menghadapi dua orang wanita yang berhawa jahat itu. Akan tetapi karena hatinya masih mendongkol, ia kini hanya duduk di pinggiran, di atas akar pohon waringin yang tumbuh di pinggir alun-alun, menongkrong dan menonton pertandingan.
"Minggir! Biarkan kami menangkap iblis-iblis betina ini!"
Tiba-tiba terdengar bentakan. Para perajurit pengeroyok yang memang sejak tadi sudah gentar sekali, girang mendengar bentakan ini dan cepat-cepat mereka mundur sambil menarik pergi teman-teman yang menggeletak terluka.
Joko Wandiro kini terpaksa berdiri agar dapat menonton lebih jelas karena mundurnya para perajurit itu menjadi penghalang bagi penglihatannya. Ia melihat betapa yang melompat maju adalah dua orang senopati yang tadi ikut menghadap sang prabu. Dua orang senopati yang tadi berbisik-bisik ketika ia menghadap. Mereka itu tampak kuat dan sinar mata mereka membayangkan bahwa sedikit banyak mereka memiliki aji kesaktian.
"He, tahan dulu! Dua orang perempuan setan dari mana berani membikin kacau di Panjalu? Mengakulah sebelum kami turun tangan membunuhmu!" teriak seorang di antara mereka berdua yang kumisnya sekepal sebelah.
"Bukankah kalian ini yang pernah mengacau pada waktu malam hari beberapa bulan yang lalu?"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Mereka tampak gagah dan cantik sekali. Benar hebat dua orang wanita ini. Ni Durgogini yang dahulu pernah menjadi selir terkasih Ki Patih Narotama dan bernama Lasmini adalah seorang wanita yang usianya sudah lima puluh enam tahun, akan tetapi masih tampak muda dan cantik jelita seperti wanita berusia dua puluh enam tahun saja!
Demikian pula Ni Nogogini, dahulu bekas selir Sang Prabu Airlangga dan bernama Mandari, usianya pun hanya dua tahun lebih muda daripada Lasmini, akan tetapi juga masih amat muda dan cantik jelita. Semua ini adalah berkat khasiat obat Suketsungsang, semacam rumput laut yang amat sukar didapat, ditambah dengan ilmu hitam mereka. Ketika Ni Durgogini tertawa, giginya putih indah ber kilat.
"Hi-hik, orang-orang Panjalu! Ketahuilah, aku bernama Durgogini dan ini adikku Ni Nogogini. Beberapa bulan yang lalu kami menyerbu dan kalian sudah merasakan hajaran kami. Hayo, orang Panjalu, keluarkan semua jagomu dan lawanlah kami, dua orang kepercayaan sang prabu di Jenggala!"
"Ehh, kalian ini dua ekor tikus, lebih baik mundur saja. Suruh senopati yang paling sakti maju. Yang kalian andalkan hanya kumis tebal saja, huhhh, menjijikkan!" Ni Nogogini berkata, kemudian dua orang wanita itu tertawa-tawa geli.
Melihat lagak dua orang wanita itu, dua orang senopati muda menjadi tertarik hatinya. Mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa saat itu, Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah mengerahkan aji pengasihan Guno Asmoro sehingga dalam pandang mata dua orang senopati itu mereka yang tersenyum-senyum tampak makin cantik jelita seperti dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Lebih celaka lagi, mereka berdua adalah laki-laki yang tak dapat menahan nafsu berahi kalau berhadapan dengan wanita cantik. Maka seketika lenyaplah kemarahan mereka, lenyap nafsu mereka untuk menangkap atau membunuh dua orang wanita musuh yang membikin kacau itu. Si kumis tebal mendengar ucapan Ni Nogogini yang menyinggung kumisnya, merasa seperti dipuji, mengira bahwa Ni Nogogini jatuh hati kepadanya. Ia lalu melangkah maju dan dengan cengar-cengir memasang aksi, mengelus-elus dan memilin-milin kumisnya, ia berkata,
"Duhai yayi dewi nan ayu rupawan melebihi bidadari! Sayang nian apabila yayi dewi nan cantik jelita menerima hukuman mati. Lebih baik menyerahlah saja, dewi. Menyerahlah kepada kakanda Diroprono, heh Ni Nogogini. Kakanda yang akan mohon kepada gusti prabu agar adinda diampuni dan menjadi isteri kakanda!" Bagaikan orang mabok senopati Diroprono merayu-rayu Ni Nogogini yang tersenyum makin manis.
"Hi-hik!" Ni Nogogini tertawa genit sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. "Engkau ingin memperisteri aku? Diroprono, namamu cukup gagah dan aku suka kepadamu. Akan tetapi kumismu itu lho yang nggilani (menjijikkan). Asal kau cukur kelimis dulu kumismu, baru aku mau mempertimbangkan pinanganmu!"
"Heh....? Kumisku dicukur kelimis? Bagaimana ini? Kumisku bagus seperti kumis Raden Gatotkaca kok disuruh buang? Apa kau tidak kecewa nanti, manis? Tapi biarlah, asal engkau yang mencukurnya, aku rela berkorban kumis!"
Setelah berkata demikian, senopati Diroprono melangkah maju seperti orang mabok, mendekatkan mukanya pada Ni Nogogini. Melihat betapa lawannya ini sudah terjatuh ke dalam pengaruh aji pengasihan, Ni Nogogini sambil tertawa lalu menggerakkan tangan mencengkeram ke depan dan sekali renggut saja kumis yang tebal itu telah dicabutnya dari atas bibir.
"Aduhhh.....!"
Diroprono mencengkeram bibir atasnya yang robek dan berdarah. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan susulan yang dilakukan Ni Nogogini sambil tertawa terkekeh membuat tubuhnya terlempar.
Adapun senopati muda yang ke dua, seperti Diroprono, telah mabok oleh kekuasaan aji pengasihan itu dan seketika tubuhnya menjadi lemas, lenyap semua semangat hendak bertanding dan tanpa disadari lagi ia sudah menjatuhkan diri berlutut hendak memeluk kaki Ni Durgogini! Tentu saja iapun menjadi makanan empuk bagi wanita sakti itu. yang sekali pukul telah berhasil membuat senopati muda itu terjungkal tak dapat bangkit kembali.
Joko Wandiro yang menyaksikan semua itu menjadi makin tak senang. Seperti itu sajakah perwira Panjalu? Sungguh memalukan sekali. Dan dua orang wanita itu sungguh keji.
"Amuk-amuk! Mana senopati-senopati pilihan di Panjalu? Mana mereka yang beberapa bulan yang lalu telah mengeroyok kami? Hayo keluarlah jago-jago Panjalu! Inilah Ni Durgogini menanti tanding!" Durgogini bersumbar dengan lagak sombong.
"Bukankah Resi Telomoyo membantu Panjalu? Mana monyet tua itu? Dan juga Pujo dan dua orang isterinya. Hayo keluarlah!" teriak pula Ni Nogogini.
Mendengar disebutnya ayah angkat atau gurunya, Joko Wandiro terkejut juga, sungguhpun ia sudah mendengar dari Resi Narotama bahwa guru pertama atau ayah angkatnya itu membantu Panjalu bersama dua orang isterinya. Ia tidak tahu apakah Pujo berada di Panjalu ataukah masih berada di Bayuwismo di pantai Laut Selatan.
Melihat sikap congkak dan tantangan yang ditujukan kepada Pujo, panas juga hati Joko Wandiro. Ia sudah melihat Ki Patih Suroyudo dan beberapa orang senopati tua yang tampaknya memiliki kepandaian berarti, tidak seperti dua orang senopati muda tadi, sudah maju. Akan tetapi Joko Wandiro sudah mendahului mereka, meloncat dengan gerakan sigap sehingga tahu-tahu pemuda ini telah berhadapan dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini.
Ketika dua orang sakti itu memandang, sejenak mereka tertegun. Dengan pandang mata mereka yang awas, kedua orang wanita sakti ini mengerti bahwa pemuda di depan mereka ini bukanlah orang sembarangan. Dengan kagum mereka memandang pemuda itu. Timbul rasa sayang di hati wanita cabul ini.
"Eh-eh, bocah bagus. Siapakah engkau? Pakaianmu bukan seperti seorang ponggawa kerajaan. Apa kehendakmu maju menghadapi kami?" tanya Ni Durgogini sambil tersenyum memikat.
"Bocah sigit, siapakah namamu? Kalau kami pulang nanti, ikutlah kami karena kau mempunyai bakat yang baik sekali untuk menjadi murid kami yang terkasih!" kata Ni Nogogini. Kali ini mereka mengerahkan aji pengasihan bukan untuk melumpuhkan dan mengalahkan, melainkan terdorong hati tertarik dan rasa suka.
Joko Wandiro tidak biasa bersikap kasar, sungguhpun ia maklum akan hawa mujijat yang seakan-akan menarik dirinya mendekat dan membuat kedua orang wanita itu seakan-akan menjadi makin cantik. Diam-diam ia lalu membaca mantera pelindung diri dari ilmu hitam, kemudian tersenyum menjawab, "Namaku Joko Wandiro dan aku menghadapi kalian untuk menyambut tantanganmu tadi. Aku mewakili Pujo, guruku dan juga ayah angkatku!"
Dua orang wanita itu tersenyum lebar. Pujo sendiri bukan lawan mereka, apalagi hanya seorang muridnya. Akan tetapi diam-diam mereka terheran bagaimana Pujo dapat mempunyai seorang murid seperti ini. Mereka saling pandang, mulai terheran mengapa pemuda ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda terpengaruh Aji Guno Asmoro!
Ni Durgogini mengerahkan tenaga batinnya, lalu melangkah maju dengan langkah bergaya, lenggangnya menarik seperti orang menari, matanya disipitkan, hidungnya kembang kempis. Demikian hebat pengaruh Guno Asmoro yang diterapkan oleh Ni Durgogini pada saat itu sehingga biarpun aji itu ditujukan kepada Joko Wandiro, namun para perwira dan tamtama yang mengepung alun-alun itu ikut terpengaruh dan terpesona menatap wajah cantik jelita dan bentuk tubuh padat menggiurkan itu.
"Joko Wandiro, bocah bagus, mari ke sini, kuberi peluk cium...!" suara Ni Durgogini merdu merayu bagaikan orang bertembang.
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, hentikan permainan kotor ini! Ilmu setanmu itu hanya merobohkan hati laki-laki mata keranjang. Bagiku hanya menimbulkan muak dan jijik! Lebih baik lekas minggat kalian dari sini!"
"Aiiihhhh!!"
Ni Durgogini tersentak kaget dan meloncat mundur. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Para senopati yang kini melihat wajah yang tidak diselimuti Aji Guno Asmoro lagi juga kaget karena wajah kedua orang wanita itu kini menjadi beringas. Mereka semua terlongong menyaksikan betapa pemuda yang tadi menghadap sang prabu yang mereka jadikan bahan ejekan, kini dengan penuh keberanian menghadapi dua orang wanita sakti seperti iblis itu.
"Bocah keparat, rasakan pukulan mautku!" Ni Durgogini berteriak marah.
"Bocah tak tahu disayang, lebih baik mampus!" Ni Nogogini juga berseru, kedua orang wanita itu lalu meloncat maju dan menyerang Joko Wandiro dengaan tamparan tangan mereka yang ampuh.
Gerakan mereka serupa dan ketika mereka berdua menggerakkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka, terdengar suara mencicit nyaring memekakkan telinga. Itulah aji pukulan Ampak-ampak yang ampuhnya menggila.
Joko Wandiro mengerti bahwa ia menghadapi serangan dahsyat. Hawa dingin yang diakibatkan sambaran tangan itu memberi tahu kepadanya bahwa kedua orang lawannya mempergunakan pukulan yang berdasarkan hawa sakti di dalam tubuh, pukulan berhawa dingin yang amat berbahaya bagi tulang-tulangnya. Oleh karena itu, iapun cepat mengerahkan hawa sakti ke arah kedua tangannya, kemudian dengan tabah ia memapaki kedua lawannya ini sambil mengipatkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka pula. Untuk melawan hawa dingin yang keluar dari tangan lawan, ia sengaja menggunakan Aji Bojro Dahono dan tangannya digerakkan dengan pukulan Pethit Nogo.
"Plakk.... plakkk...!!"
Tamparan kedua orang wanita sakti itu ditangkisnya dan sengaja Joko Wandiro mengadu telapak tangannya dengan telapak tangan mereka.
"Iiiiihhh....!!"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini mengeluarkan jerit nyaring ketika tubuh mereka terlempar sampai lima meter lebih seakan-akan dilontarkan tenaga mujijat. Namun sebagai dua orang wanita yang memiliki kedigdayaan, mereka dapat meloncat turun dan tidak sampai terbanting. Kemarahan mereka meluap-luap, bercampur rasa keheranan dan penasaran.
Adapun Ki Patih Suroyudo dan para perwira kerajaan, kini benar-benar berdiri dengan mata. terbelalak lebar dan mulut ternganga. Andaikata ada lalat memasuki mulut pada saat itu, agaknya mereka tidak merasakannya. Mereka tenggelam ke dalam keheranan yang amat sangat.
Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah tentu takkan ada yang percaya kalau mendengar bahwa pemuda gunung yang tadi minta pekerjaan di istana, kini dalam gebrakan pertama sudah sanggup membuat Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar sampai jauh!
Dengan dua kali loncatan, Ni Durgogini dan Ni Nogogini sudah kembali ke hadapan Joko Wandiro. Sepasang mata mereka berkilat-kilat penuh kemarahan, wajah mereka kini cemberut kehilangan manisnya, kening berkerut. Sinar maut membayang pada mata mereka yang dengan penuh kebencian menentang wajah Joko Wandiro. Pemuda ini tetap tenang, lalu berkata.
Gagak Kunto dan Gagak Kudro, dua orang ahli dalam permainan ini, tentu saja dapat cepat menghindarkan diri. Mereka sejenak terlongong kagum dan mulailah mereka merasa jerih terhadap pemuda yang benar-benar sakti mandraguna itu. Joko Wandiro yang sudah turun ke atas tanah, kini menudingkan telunjuknya ke arah mereka sambil berkata,
"Gagak Kunto dan Gagak Rudro! Belum terlambat bagi kalian untuk sadar dan insyaf. Mundurlah dan rubahlah jalan hidupmu, bertaubat dan hidup sebagai manusia baik-baik. Mundurlah sebelum terlambat!"
Sepasang Gagak ini dalah bekas perwira perwira Kerajaan Wengker. Hidup mereka sudah penuh dengan kejahatan, berlepotan darah tangan-tangan mereka. Mereka tidak mengenal hukum lain kecuali siapa kuat dia menang. Hukum rimba yang mengakibatkan mereka menjadi buas dan pengecut, menindas bawahan menjilat atasan. Tentu saja peringatan seorang muda seperti Joko Wandiro sama sekali tidak meninggalkan kesan di hati mereka, bahkan membangkitkan kemarahan karena merasa dihina.
Sambil mengeluarkan suara seperti burung-burung gagak marah, keduanya sudah menerjang maju lagi. Kini mereka telah mengeluarkan semua aji, dan sedikit llmu hitam yang mereka miliki membuat wajah mereka tampak beringas menakutkan, ada getaran hawa dingin menyeramkan menyerang Joko Wandiro dan sekeliling dua orang itu tampak awan gelap menyelimuti mereka.
Akan tetapi, semenjak digembleng oleh Resi Narotama, permainan ilmu hitam itu sama sekali tidak ada artinya bagi Joko Wandiro. Sekali dia membaca mentera singkat memperkuat batin dan kedua tangannya mengebut ke depan, lenyaplah hawa dingin dan awan gelap itu. Saat itu, Gagak Kunto dan Gagak Rudro sudah menyerbu ke depan sambil mengayun senjata mereka. Sikap mereka ganas sekali, liar dan buas, tidak seperti manusia lagi.
Joko Wandiro menarik napas panjang. Tubuhnya tidak beralih dari tempatnya, hanya kedua tangannya yang menyambut, bergerak dengan jari-jari terbuka. Begitu kedua senjata lawan itu menyambar, ia memapaki dengan tamparan-tamparan jari tangannya yang menggunakan Aji Pethit Nogo.
"Krakkk....! Krakkk....!!"
Gagak Kunto dan Gagak Rudro berteriak kaget, akan tetapi teriakan mereka segera disusul lengking tinggi yang merupakan jerit maut. Ketika tadi tamparan-tamparan Pethit Nogo berhasil mematahkan kedua senjata lawan, Joko Wandiro melanjutkan tamparannya dua kali yang dapat menyambar pelipis Gagak Kunto dan tengkuk Gagak Rudro. Kelihatannya perlahan saja tamparan itu, namun akibatnya hebat bukan main. Sepasang Gagak Itu mengeluarkan pekik maut, tubuh mereka berputar-putar seperti disambar halilintar, mata mereka terbelalak dan agaknya dalam ingatan terakhir, mereka hendak melarikan diri ke arah pasukan mereka, akan tetapi di depan Wirokolo, mereka jatuh tersungkur, tertelungkup dan tidak bergerak-gerak lagi karena nyawa mereka telah melayang pergi!
"Bojleng-bojleng iblis laknat!"
Wirokolo memaki dan menggereng-gereng saking marahnya menyaksikan kedua orang pembantunya yang setia itu tewas.
"Joko Wandiro bocah keparat! Kau harus mengganti nyawa mereka!"
Serta-merta raksasa tinggi besar ini menerjang maju dengan gerakan kilat. Pukulan tangannya mengandung hawa panas Aji Anolo Hasto (Tangan Berapi) dan tampak betapa kedua telapak tangannya kemerahan mengeluarkan asap! Lima tahun yang lalu, di Jalatunda, pernah Joko Wandiro menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya, akan tetapi hantaman goloknya tidak melukai tubuh yang kebal itu, sebaliknya sekali ia kena ditampar, ia roboh pingsan. Joko Wandiro cukup maklum akan kesaktian raksasa ini yang menggiriskan, bahkan Resi Bhargowo bersama Empu Bharodo yang mengeroyok raksasa inipun tidak dapat menang!
Raksasa ini sakti mandraguna dan ahli ilmu hitam. Ular yang melilit leher, pergelangan tangan dan kaki sungguh mengerikan, juga amat berbahaya karena setiap saat ular-ular itu dapat membantu Wirokolo menyerang lawan dengan semburan atau gigitan berbisa. Inilah sebabnya maka Joko Wandiro sama sekali tidak berani memandang rendah lawannya, sejak tadi sudah siap sedia dengan penuh kewaspadaan. Gemblengan Resi Narotama membuat Joko Wandiro menjadi seorang pemuda yang tidak sombong, berhati-hati dan tabah. Juga filsafat kebatinan yang berdasarkan sari pelajaran Sri Bathara Wishnu yang dipuja oleh mendiang Sang Prabu Airlangga dan juga oleh Resi Narotama, telah mendalam di sanubarinya.
Oleh karena itu pula, tadi ketika dalam pertandingan melawan Sepasang Gagak, ia berhasil membunuh mereka, tidak terjadi sesuatu di hatinya, tenang saja. Ia tidak merasa membunuh yaitu menurut paham dia dan pelajarannya, ia tidak mempunyai hasrat membunuh, tidak pula membenci lawan-lawannya. Kematian kedua lawannya adalah wajar, sebagai akibat daripada pelaksanaan kewajibannya. Kewajiban seorang satria harus menantang segala bentuk kejahatan.
Betapapun juga, karena pemuda gemblengan Ini kurang pengalaman dalam pertempuran, maka gebrakan pertama dalam menghadapi Wirokolo hampir mencelakainya. Melihat terjangaan Wirokolo sedemikian hebatnya, amat cepat dan mengandung hawa panas pula, Joko Wandiro cepat mengerahkan hawa sakti di tangannya, menggeser kaki kiri ke bala kang sehingga tubuhnya miring dan darl samping tangan kirinya menangkis pukulan lawan yang dahsyat itu.
"Desss....!!"
Joko Wandiro merasa betapa tubuhnya didorong tenaga mujijat yang amat kuat dan tak mungkin ia tahan lagi. Kalau ia mempertahankan kedudukan kedua kakinya, ada bahayanya ia akan terjengkang atau setidaknya akan terhuyung-huyung. Oleh karena inilah, ia malah mengerahkan Aji Bayu Sakti, membuat tubuhnya ringan dan membiarkan tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya. Akan tetapi ia terlempar dalam keadaan berdiri, tanpa mengubah sedikitpun kedudukan kuda-kuda kakinya dan dengan ringan bagaikan sehelai daun kering ia turun pula ke atas tanah.
Wajahnya tetap biasa, lengannya yang beradu dengan lawan tidak terasa sakit. Namun diam-diam ia harus mengakui bahwa lawannya mempunyai tenaga yang mujijat dan amat kuat. Karena hawa sakti di tubuhnya lebih murni daripada lawan, maka untuk pertahanan di dalam tubuh ia tidak akan kalah oleh lawan. Akan tetapi mengenai tenaga luar, tenaga otot yang kasar, ia kalah jauh! Mengertilah ia bahwa tindakannya menangkis tadi keliru, namun membuat ia dapat mengukur tenaga sendiri dan dapat berlaku lebih hati-hati.
Di lain pihak, Wirokolo sejenak berdiri seperti tertegun, terheran-heran dan juga kagum dan penasaran menjadi satu. Pertemuan lengan tadi menginsafkannya bahwa pemuda itu sungguh bukan merupakan lawan yang ringan! Dapat menangkis tangannya yang mengandung Aji Anolo Hasto sepenuhnya, tanpa mengalami cedera, bahkan sekaligus dapat mengatasi kekalahan tenaga kasar dengan loncatan ke belakang sebagus itu, benar-benar menjadi bukti bahwa hawa sakti pemuda itu amat kuat, tidak berada di bawah tingkatnya sendiri. Ia mengeluarkan pekik dahsyat sambil menerjang maju lagi mengerahkan semua ajinya.
Dalam keadaan seperti itu, Wirokolo amat menggiriskan. Lima ekor ular yang melilit leher dan kaki tangannya, bergerak kepalanya, mendesis-desis dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar dari mulut, Wirokolo sama sekali tidak berani mengeluarkan Aji Calon Arang atau ilmu hitamnya yang lain mengingat bahwa di situ ada Narotama yang tentu akan datang membuyarkan ilmu hitamnya dengan mudah. Pula penggunaan ilmu hitam kalau menemui lawan yang lebih tangguh amatlah berbahaya karena ilmu itu bisa membalik dan memukul diri sendiri. Betapapun juga, karena Aji Calon Arang sudah mendarah daging padanya, ketika ia menjadi marah, tampaklah bayangan nenek iblis yang mengerlkan di belakangnya.
Mendengar pekik dahsyat dan melihat keadaan Wirokolo dan nenek iblis membayang di belakangnya itu, tergetar juga hati Joko Wandiro. Pemuda ini cepat-cepat menggosok kedua telapak tangannya tiga kali sambil membaca mantera Widodo Mantera. Begitu bibirnya mengucapkan Widodo Mantera, seketika bayangan iblis betina itu lenyap atau tidak tertampak lagi olehnya, dan Wirokolo juga tidak tampak menakutkan lagi. Adapun kedua telapak tangannya setelah ia gosok tiga kali, menjadi panas dan mengeluarkan cahaya. Menghadapi lawan setangguh Wirokolo, Joko Wandiro tidak berani memandang rendah maka ia sudah mengeluarkan Aji Bojro Dahono yang tadi ia latih dan coba pada batang pohon!
"Hyyaaaahhh.... mampus kau...!!'"
Bentakan ini mengiringi serangan Wirokolo yang sudah menubruk maju dengan pukulan kedua tangan saling susul, ke arah kepala dan dada Joko Wandiro.
"Wuuuttt... wuuuttt...!"
Joko Wandiro sudah menggunakan Aji Bayu Sakti dan dengan gerakan lincah sekali ia mengelak, akan tetapi elakan yang sama sekali tidak menjauhkan diri, bahkan gerakan mengelak ke samping dengan tubuh setengah melingkar ini membuat ia mendekati lawan, kemudian ia langsung mengirim pukulan balasan.
Karena ia tadi bergerak mengelak dengan Aji Bayu Sakti, maka untuk mengimbangi aji ini, ia melanjutkan serangan dengan pukulan Pethit Nogo, yaitu dengan jari-jari tangan dikipatkan. Memang lebih mudah menggunakan pukulan Pethit Nogo dengan kebutan jari-jari tangan dalam kedudukan tubuh melengkung seperti itu.
Kembali Wirokolo terkejut. Tidak disangkanya lawannya yang masih muda ini dapat mengelak secara demikian anehnya, mengelaknya sambil mendekat dan balas menyerang. Demikian cepat gerakan Joko Wandiro sehingga tahu-tahu jari-jari tangan pemuda itu sudah mengancam pelipisnya, bagian yang paling lemah di kepala.
"Celaka.......!!
Wirokolo berteriak sambil membuang tubuhnya ke belakang. Dari sambaran angin pukulan Pethit Nogo itu saja ia maklum bahwa amatlah berbahaya mengandalkan kekebalannya untuk menerima tamparan macam itu dengan pelipis kepalanya!
"Tasss!"
Oleh elakan ini, pelipis luput tertampar, akan tetapi sebagai gantinya, pundak dekat leber raksasa itu terkena jepretan jari-jari tangan yang ampuh. Wirokolo terhuyung-huyung. Tubuhnya kebal dan kuat luar biasa. Kalau pukulan Pethit Nogo ini mengenai pundak sebelah luar saja tak mungkin ia sampai terhuyung. Akan tetapi karena kenanya dekat leher, terasa juga olehnya. Pandang matanya sampai berkunang!
"Bocah setan! Awas kau Kalau tertangkap olehku, kubeset kulitmu, kuganyang dagingmu, kuhisap darahmu dan kukemah-kemah tulangmu!"
Wirokolo mengancam dengan muka merah seperti udang direbus. Biarpun ancamannya menunjukkan kemarahan luar biasa dan kini ia menerjang lagi dengan buas, namun Wirokolo tidak sembrono seperti tadi, maklum bahwa lawannya biar masih muda akan tetapi amat kuat. Ia menerjang dengan hati-hati sehingga ketika Joko Wandiro mengelak lalu balas memukul, ia dapat pula menangkis.
Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Pukulan dan gerakan Wirokolo mendatangkan angin berpusing, tenaganya yang dahsyat membuat bumi yang diinjaknya tergetar, angina pukulan tangannya membuat tetumbuhan di sekitar tempat itu bergoyang-goyang. Namun sukar sekali baginya untuk dapat menyentuh Joko Wandiro karena pemuda ini memillki gerakan yang lebih gesit.
Sebaliknya, hujan serangan lawan yang buas dan dahsyat itu membuat Joko Wandiro sukar sekali untuk membalas dengan serangan yang seimbang karena ia maklum akan bahayanya pukulan tangan lawan yang ampuh. Ia selalu menghindar atau kalau menangkispun hanya berani ia lakukan dalam keadaan posisi tubuh menang kuat, itupun dengan cara mendorong dari samping. Tidak mau ia menempatkan diri dalam bahaya dengan cara menangkis langsung mengadu tenaga. Akan tetapi, sikapnya yang amat berhati-hati ini membuat ia sukar sekali dapat merobohkan lawan. Balasan serangannya yang hanya kadang-kadang itu ada kalanya berhasil menyentuh tubuh lawan. Akan tetapi karena kenanya tidak tepat, tubuh Wirokolo yang kebal seakan-akan tidak merasa apa-apa!
Pertandingan sudah berlangsung sejam lebih, namun belum tampak siapa yang akan menang. Melihat ini, diam-diam Dibyo Mamangkoro terkejut bukan main. Ia tahu akan kesaktian adik seperguruannya, yang tidak kalah jauh olehnya sendiri. Bagaimana kini adik seperguruannya itu tidak mampu mengalahkan seorang pemuda? Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Tadinya ia mengira bahwa di dalam dunia ini, orang muda satu-satunya yang memiliki ilmu kesaktian tinggi hanyalah muridnya. Siapa kira, pemuda inipun hebat. Kalau tidak dibunuh sekarang, kelak tentu merupakan tandingan berat bagi Endang Patibroto. Pemuda ini tidak banyak selisih tingkatnya dengan Wirokolo, hanya menang cepat. Kalau pertandingan itu dilanjutkan, belum dapat dipastikan siapa yang akan menang, akan tetapi sudah jelas akan makan waktu lama sekali.
Keadaan mereka berimbang, maka kalau Wirokolo dibantu sedikit saja, pemuda itu tentu akan dapat dirobohkan. Lebih baik pasukan dikerahkan untuk membantu Wirokolo, sedangkan Narotama sendiri kalau turun tangan, dialah yang akan menanggulanginya!
"Apa kerja kalian? Hanya menonton saja? Hayo serbu bocah setan itu!" Tiba-tiba Dibyo Mamangkoro berseru.
Pasukan terdiri dari tiga puluh enam orang itu terkejut. Tadi mereka tertegun dan terpesona menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya. Karena kepala pasukan, Sepasang Gagak sudah roboh dan tewas oleh pemuda itu dan kini bahkan Wirokolo sendiri sampai sekian lamanya belum mampu mengalahkannya, pasukan itu menonton dengan hati berdebar, tidak berani bergerak kalau tidak diperintah, maklum akan hebatnya kepandaian Joko Wandiro. Akan tetapi kini mendengar bentakan Dibyo Mamangkoro, mereka segera bergerak, mencabut senjata masing-masing dan mendekat medan pertandingan.
Melihat ini, tiba-tiba Narotama meloncat dari atas batu tempat ia bersila, mengerahkan Aji Dirodo Meto dan terdengarlah pekik melengking dahsyat sekali yang seakan-akan menimbulkan gempa bumi hebat dan angin taupan mengamuk! Aji Dirodo Meto (Gajah Mengamuk) merupakan aji kewibawaan yang berdasarkan pekik dahsyat sekali seakan-akan pekik seekor gajah jantan yang sedang marah.
Mendengar pekik dahsyat ini tiga puluh enam orang itu seketika seperti lumpuh, jantung serasa copot, tubuh menggigil dan muka pucat. Ketika mereka menengok dan memandang ke arah Narotama yang berdiri tegak, pandang mata mereka seakan-akan melihat seekor gajah raksasa yang mengancam. Tanpa dapat dicegah lagi, tiga puluh enam orang itu memaksa kaki mereka yang dengkelen (menggigil sukar digerakkan) untuk lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu.
Bahkan Wirokolo sendiri merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan ketika ia mengerahkan hawa sakti untuk menahan pengaruh pekik melengking, ia merasa kelelahan. Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia sendiri memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga Aji Dirodo Meto yang dahsyat itu dapat ia lawan dengan pengerahan hawa sakti.
"Si keparat Narotama! Kau curang!!" bentaknya.
"Hemm, Dibyo Mamangkoro, siapa yang curang? Engkau yang mengerahkan balamu hendak mengeroyok muridku ataukah aku yang menghalangi pengeroyokan curang itu? Sudah kukatakan tadi, aku siap melayani segala tingkahmu!"
"Babo-babo, Narotama! Kalau begitu kita harus mengadu nyawa! Sambutlah!!"
Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggerakkan tangan kanannya, diputar-putar dan tubuhnya agak merendah, kemudian dengan tangan terkepal ia memukul ke depan, ke arah Narotama. Inilah pukulan maut yang bernama Aji Wisangnala! Namanya saja sudah menyebutkan keampuhannya, yaitu Api Berbisa! Kalau dilakukan dari jarak jauh, angin pukulannya yang membawa hawa panas beracun dapat merobohkarn dan menewaskan lawan tangguh. Apalagi kalau sampai mengenai kulit lawan, sukar dibayangkan akibatnya. Terlalu ngeri!
Namun Narotama yang cukup mengenal kesaktian lawannya ini, sudah siap sedia. Dua puluh tahun yang lalu, dalam perang menundukkan Kerajaan Wengker, la sudah pernah bertanding yuda melawan Dibyo Mamangkoro. Dalam pertandingan mati-matian yang memakan waktu sampai dua hari dua malam, setelah mengeluarkan semua aji dan kesaktian, barulah ia berhasil mengalahkan Dibyo Mamangkoro yang lalu melarikan diri!
Kini melihat betapa begitu menyerang, Dibyo Mamangkoro menggunakan aji pukulan maut yang demikian ganas dan dahsyatnya, ia terkejut dan maklum bahwa benar-benar raksasa Wengker itu hendak mengadu nyawa dan tidak ingin bertempur berlambat-lambatan seperti dahulu lagi. Serangan Itu adalah serangan maut dan akibatnya hanyalah dua, kalah atau menang! Ia cukup maklum bahwa untuk pukulan macam itu, pukulan yang sedemikian hebatnya sehingga kepalan tangan raksasa itu mengeluarkan sinar, tidak dapat dielakkan tanpa merugikan dirinya. Oleh karena itu iapun lalu mengerahkan tenaga memutar tubuhnya dan berseru keras sambil mengangkat tangan kiri ke atas kepala dari belakang tubuh, sedangkan tangan kanannya dikepal dan dlpukulkan ke depan, menyambut hawa pukulan Dibyo Mamangkoro.
"Syuuuuttt!!"
Dua hawa sakti yang sama-sama ampuh dan mengandung hawa panas bertemu di udara dengan hebatnya. Seperti Dibyo Mamangkoro yang menggunakan Aji Wisangnala, Narotama juga mengerahkan Aji Bojro Dahono yang mengandung hawa panas yang keluar dari sumbernya di pusar. Biarpun kedua kepalan tangan itu masih terpisah satu depa lebih jauhnya satu kepada yang lain, namun pertemuan kedua hawa sakti Itu menimbulkan cahaya bagaikan api ber kilat. Dahsyat sekali pertemuan tenaga sakti ini. Resi Narotama masih tetap kedudukan kakinya, akan tetapi ia terdorong ke belakang sampai setombak lebih, kedua kakinya yang masih tetap memasang kuda-kuda itu menggurat tanah sampai sejengkal dalamnya. Wajahnya pucat keningnya berkerut dahinya berkeringat.
Adapun Dibyo Mamangkoro juga terhuyung ke belakang, tampaknya ia tertawa mengejek, akan tetapi matanya merah sekali, berbeda dengan mukanya yang memperlihatkan bayangan kehijauan. Ia masih tertawa ketika melompat maju lagi dan kembali ia melakukan pukulan seperti tadi bahkan kini dibarengi dengan suaranya yang parau berteriak seperti srigala marah. Narotama juga melakukan gerakan menyambut seperti tadi, melayani lawan tangguh itu sambil berteriak keras pula.
"Wessss!!!"
Akibat pertemuan dahsyat tenaga sakti mereka untuk yang kedua kalinya ini, Resi Narotama jatuh bertekuk lutut, tubuhnya agak menggigil dan keringat di dahi makin banyak. Akan tetapi Dibyo Mamangkoro mencelat ke belakang, melakukan gerak jungkir balik tiga kali dan akhirnya dapat ia menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga tidak roboh terguling. Matanya yang tadi merah itu kini makin merah sehingga seperti berubah hitam, mulutnya masih tertawa menyeringai akan tetapi di ujung bibirnya tampak sedikit darah!
"Belum puaskah engkau.....?" Narotama berkata, suaranya halus agak terengah.
"Huah-hah-hah...! Mampuslah......!"
Dibyo Mamangkoro kembali melakukan pukulan ke tiga, lebih hebat karena agaknya ia mengerahkan seluruh tenaganya. Narotama yang sudah bangkit berdiri kembali menyambut seperti tadi, juga bekas Patih Kahuripan yang sakti ini mengerahkan seluruh tenaga terakhir, maklum sepenuhnya bahwa ia mempertahankan nyawanya dalam gempuran tenaga sakti ini.
"Desss... werrrrr...!!!!"
Kini akibatnya lebih hebat lagi daripada dua pukulan pertama. Bukan saja karena pukulan ke tiga ini mereka lakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, juga karena tubuh mereka sudah lelah dan lemah oleh benturan dua kali tadi. Resi Narotama mengeluh perlahan, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang lalu ia jatuh terduduk di atas tanah, napasnya terengah-engah mukanya pucat. Adapun Dibyo Mamangkoro terpental dan roboh miring di atas tanah, lalu bergulingan menjauhkan diri lalu lenyap dari situ, hanya suara ketawanya saja yang terdengar bergema sampai di tempat itu, suara ketawa yang aneh karena bercampur rintihan.
Sementara itu, pertandingan antara Wirokolo dan Joko Wandiro juga berkesudahan amat hebat. Wirokolo yang merasa amat penasaran belum juga dapat merobohkan lawannya yang muda, menerjang makin dahsyat. Akan tetapi ketika tadi Resi Narotama mengeluarkan aji pekik melengking dahsyat Dirodo Meto, jantungnya tergetar hebat sekali. Sejenak matanya berkunang dan jantungnya berdebar-debar.
Hanya dengan pengerahan tenaga dalam sekuatnya saja ia mampu menahan. Akan tetapi, serangan pekik mujijat Resi Narotama yang sebetulnya tidak langsung ditujukan kepadanya ini membuat tenaga dalamnya banyak berkurang. Namun, Wirokolo yang berwatak sombong dan terlalu bangga 脿kan kesaktian sendiri ini tidak sadar akan hal ini. Ketika itu Joko Wandiro yang juga ingin mengakhiri pertandingan karena melihat gurunya sudah menghadapi Dibyo Mamangkoro yang amat sakti, telah mengirim pukulannya yang paling ampuh, yaitu Bojro Dahono.
Pukulannya dilakukan dengan kepalan tangan kiri yang meluncur ke arah dada Wirokolo. Tadi sebelum musuh-musuh datang, pemuda ini sudah mendemonstrasikan kepandaiannya ini dan dengan Aji Bojro Dahono telah membuat sebatang pohon menjadi hangus sebelah dalamnya! Tentu saja Wirokolo juga merasa akan datangnya hawa panas mujijat.yang mengiringi pukulan anak muda itu. Akan tetapi karena ia terlalu mengandalkan ajinya Anolo Hasto, melihat datangnya pukulan tangan kiri ini, ia menjadi girang dan segera menyambut dengan telapak tangan kanannya yang lebar dan besar.
Begitu kepalan tangan kiri Joko Wandiro tiba, Wirokolo menerimanya dengan telapak tangan kanan dan menggenggamnya. Kepalan tangan yang kecil itu lenyap dalam genggaman tangan kanannya yang penuh dengan Aji Anolo Hasto sehingga kepalan tangan Joko Wandiro seakan-akan masuk dan terjepit ke dalam tungku api membara!
Melihat ini, Joko Wandiro memukul lagi, kini dengan tangan kanannya, juga tetap menggunakan Aji Bojro Dahono. Melihat kenekadan pemuda ini, Wirokolo tertawa terbahak-bahak dan menggunakan tangan kirinya menyambut pukulan ke dua dan di lain saat kembali kepalan tangan kanan Joko Wandiro lenyap dalam genggaman tangan kiri Wirokolo!
Sambil mengerahkan kekuatannya untuk menghancurkan kedua kepalan tangan Joko Wandiro dalam genggaman tangannya, Wirokolo tertawa bergelak. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti, matanya terbelalak, mukanya pucat sekali dan bagaikan disambar petir, tubuhnya mencelat ke belakang, kedua tangannya yang tadi menggenggam kepalan tangan Joko Wandiro kini mencengkeram dadanya sendiri, kemudian ia mengeluarkan jerit mengerikan dan sambil mencengkeram dadanya Wirokolo membalikkan tubuh, lari terhuyung-huyung dan membabi buta sehingga tanpa disadarinya ia lari ke arah jurang.
Ketika tubuhnya terjungkal ke dalam jurang, kembali ia memekik nyaring. Kemudian sunyi. Wirokolo salah hitung, terlalu memandang rendah lawan atau terlalu membanggakan diri sendiri sehingga ia lalai dan ketika menggenggam kedua kepalan pemuda tadi, ia hanya ingin menghancurkan kepalan dengan remasan tenaga kasar. Siapa kira, dari kepalan Joko Wandiro tersalur hawa sakti Bojro Dahono (Kilat Api) sehingga karena Wirokolo tidak mengerahkan hawa saktinya, maka ia terserang aji itu yang membuat isi dadanya seperti disambar petir! Andaikata ia tidak terjungkal ke dalam jurang yang membuat tubuhnya hancur, juga ia akan tewas oleh Bojro Dahono yang ampuhnya menggiriskan itu.
Joko Wandiro memandang kedua tangannya. Punggung tangannya kebiruan dan membengkak. Untung tulang-tulang tangannya tidak sampai remuk. Bukan main hebatnya Wirokolo. Kemudian ia teringat gurunya, menoleh. Dilihatnya Resi Narotama duduk bersila di atas tanah, wajahnya pucat, napasnya memburu, dari ujung kanan kiri bibirnya keluar darah!
"Bapa guru!" Joko Wandiro lari menghampiri lalu berlutut di depannya.
Resi Narotama membuka mata, lalu dengan gerakan lemah menghapus darah di kedua ujung bibirnya.
"Sungguh mengagumkan Dibyo Mamangkoro...." Ia menghela napas pnnjang.
"Tapi, bukankah tadi dia kalah dan lari, bapa!
Narotama menggeleng kepala. "Ia jerih terhadap aku, akan tetapi sesungguhnya, dia hebat. Kalau dia tidak jerih dan tadi melanjutkan, belum tentu aku akan menang. Hemmm...."
Resi Narotama mengerutkan kening, jelas menahan rasa nyeri hebat, tangannya meraba dada.
"Bapa terluka...."
Resi Narotama mengangguk. "Joko, muridku. Kini tibalah waktunya kita saling berpisah. Kau harus meninggalkan tempat ini"
"Akan tetapi, bapa. Hamba yang bertahun-tahun menerima petunjuk bapa guru, bagaimana sekarang dapat berlaku sekeji itu? Hamba melihat bapa sedang menderita luka dan perlu perawatan, bagaimana hamba tega untuk meninggalkan bapa? Tidak, hamba mohon agar diperkenankan tinggal di sini, merawat bapa guru sampai sembuh."
"Tidak, muridku. Perawatanmu takkan menolong tubuhku. Kau tidak bisa tinggal di sini, karena aku sendiripun akan meninggalkan tempat ini. Tidak guna kau bertanya ke mana aku hendak pergi." Narotama tersenyum, lalu berkata lagi, "Sudah kuceritakan padamu bahwa aku sudah berjanji kepada mendiang Sang Prabu Airlangga bahwa aku tidak akan mencampuri urusan kerajaan kedua orang puteranya. Akan tetapi, melihat betapa Kerajaan Jenggala sudah mempergunakan tenaga orang-orang seperti Dibyo Mamangkoro, kurasa tidaklah adil kalau fihak Kerajaan Panjalu tidak menerima bantuan pula. Engkau pergilah ke Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu dan mohon diterima suwita (berhamba) di sana. Aku sekali-kali tidak menganjurkanmu untuk mencari kedudukan, muridku, hanya engkau harus sadar akan kewajibanmu menentang kejahatan. Dan menurut wawasanku, setelah Kerajaan Jenggala mempergunakan Dibyo Mamangkoro, kewajibanmulah untuk menentang mereka."
"Hamba akan rnentaati perintah bapa.Akan tetapi.... bilakah hamba diperkenankan menghadap bapa lagi? Dimana?"
Resi Narotama menggeleng kepala sambil tersenyum. "Dasar orang muda, nafsu perasaan masih tebal menyelimuti kesadaran. Pergunakanlah kesadaranmu. Lupakah kau bahwa sebetulnya tidak ada kesusahan seperti juga tidak ada kesenangan? Sadarlah dan kembalilah kepada kepribadianmu yang berpegang kepada kewajiban hidup berdasarkan kebaktian. Nah, engkau berangkatlah sekarang, muridku dan kau terimalah Ki Megantoro ini, kuberikan kepadamu."
Sambil berlutut dan menyembah Joko Wandiro menerima keris pusaka gurunya, Ki Megantoro, keris eluk tujuh yang ampuh dan puluhan tahun menjadi sahabat setia Resi Narotama. Kemudian pergilah Joko Wandiro menuruni lereng Gunung Bekel, diikuti doa restu dan pandang mata penuh kasih gurunya Sang Resi Narotama.
*********************
Wajah sang prabu di Kerajaan Panjalu kelihatan muram. Demikian pula para senopati dan hulubalang yang menghadap di persidangan, tampak muram dan gelisah. Peristiwa sebulan yang lalu masih saja membekas di hati mereka. Sang prabu berikut semua senopati merasa terhina.
Sang prabu selalu marah-marah kepada para pengawal yang dianggapnya tiada guna. Bayangkan saja! Pada suatu malam, kurang lebih sebulan yang lalu, dua orang kepala pengawal tahu-tahu tewas tanpa kepala! Kepala mereka lenyap bersama dengan bendera pusaka yang berkibar di puncak istana! Tidak seorangpun tahu siapa yang melakukan hal yang menggemparkan itu. Seakan-akan iblis sendiri yang sudah turun tangan mendatangkan bencana dan meramalkan malapetaka hebat di Kerajaan Panjalu! Bahkan para menteri dan para pendeta yang dimintai nasehat, tidak seorangpun dapat menduga siapa gerangan pelaku perbuatan dahsyat itu.
Dan pada pagi hari itu, persidangan terganggu oleh datangnya seorang pemuda gunung yang menghadap sang nata untuk mohon diterima menjadi ponggawa keraton! Seorang pemuda tampan dan berpakaian sederhana yang kelihatan pendiam dan pemalu. Ketika pemuda itu berlutut di depan sang Prabu yang memandang dengan wajah muram, para ponggawa saling berbisik.
"Untuk apa pemuda lemah ini?" Demikian bisik mereka.
"Kita membutuhkan seorang sakti mandraguna untuk menandingi maling haguna, bukan seorang bocah dusun!"
"Untuk kacung kandang kudapun masih belum memenuhi syarat!" bisik yang lain.
"Berani mampus, bocah desa berani mengotori lantai persidangan menghadap sang prabu. Tentu beliau akan marah!" kata yang lain.
Akan tetapi ketika sang prabu menggerakkan kepala mengangkat muka untuk memandang ke arah mereka yang kasak-kusuk itu, semua suara lenyap dan semua orang duduk bersila dengan anteng seperti area. Sang prabu lalu menunduk dan kembali memandang kepada pemuda yang masih bersila di depannya itu.
"Siapa namamu tadi? Ruangan ini seperti pasar sehingga kami tidak begitu mendengar keteranganmu!" sabda sang prabu yang semenjak peristiwa memalukan itu menjadi seorang pemarah.
"Hamba Joko Wandiro, gusti," kata pemuda itu dengan suaranya yang lantang dan sikapnya yang tenang, menundukkan muka.
"Engkau mohon akan menghambakan diri di sini?"
"Betul seperti sabda paduka, gusti."
"Hemmm, engkau bocah dari mana, Joko Wandiro?"
"Hamba hidup sebatangkara, gusti, tiada ayah bunda, tiada tempat tinggal. Hamba laksana sehelai daun kering tertiup angin, melayang ke mana saja menurutkan arah angin."
"Joko Wandiro! Engkau minta bekerja di sini. Bekerja apakah, dan apa yang dapat kau lakukan?"
"Bekerja apa saja hamba sanggup melakukan, gusti. Hamba menyediakan jiwa raga hamba untuk melakukan tugas yang paduka perintahkan."
Sang prabu mengeluarkan suara mengejek. "Huh, semua orang sebelum diterima bekerja, memberi janji muluk-muluk setinggi langit. Setelah diberi tugas, tidak seorangpun becus memegangnya. Begini banyak perajurlt dan pengawal, seperti tidak ada manusia saja!"
Semua senopati dan hulubalang tertunduk mendengar ini, maklum bahwa kembali sang prabu teringat akan peristiwa sebulan yang lalu.
"Kaupun agaknya hanya pandai berjanji seperti yang lain-lain, Joko Wandiro "
"Hamba siap untuk diuji bila perlu, gusti."
"Engkau berani menghadapi musuh? Melawan maling haguna yang sakti?"
Sejenak Joko Wandiro tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan raja itu. Akan tetapi ketika melirik ke kanan kiri untuk minta keterangan dari para penghadap, ia melihat bahwa mereka itu memandang kepadanya dengan sinar mata mencemooh, ia segera menyembah.
"Hamba tidak akan mundur, demi menjunjung titah paduka." Kembali Joko Wandiro melirik ke kanan kiri karena telinganya yang tajam terlatih itu mendengar suara tawa tertahan, suara penuh ejekan yang merupakan dengus dari hidung. Ia. maklum bahwa mereka itu diam-diam memandang rendah kepadanya dan menganggap jawaban tadi seperti sebuah lelucon belaka.
Akan tetapi sang prabu, putera mendiang Prabu Airlangga, sedikitnya mewarisi ketajaman mata dan kewaspadaan ayahnya. Sang prabu melihat sesuatu pada diri pemuda itu, sesuatu yang tidak tampak oleh mata orang biasa. Sang prabu mengerti bahwa pemuda ini bukan pemuda gunung biasa dan bahwa semua ucapannya tadi keluar dari lubuk hati.
"Hemm, Joko Wandiro. Kesanggupan dan kesetiaan saja tanpa kepandaian, takkan ada gunanya jika sewaktu-waktu kerajaan kedatangan musuh yang tangguh, beranikah engkau menghadapi dan melawannya?"
"Hamba berani asal mendapat titah paduka."
"Murid siapakah engkau?"
Joko Wandiro sudah mendapat pesan dari Resi Narotama agar jangan menyebut nama kakek itu, apalagi di depan sang prabu di Panjalu.
"Hamba murid seorang pertapa yang tidak mau disebut namanya, gusti. Kepandaian hamba tidak ada artinya, akan tetapi dengan kebulatan tekad dan dengan berkah paduka, kiranya hamba akan dapat melaksanakan tugas yang paduka titahkan kepada hamba."
Girang hati sang prabu mendengar kesanggupan ini. Agak jernih wajahnya. Pemuda ini boleh diharapkan, sungguhpun masih amat disangsikan kepandaiannya. Kelihatannya hanya seorang pemuda sederhana, sederhana lahir batinnya.
Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di luar dan dua orang yang berpakaian prajurit menyerbu masuk, muka mereka pucat sekali dan serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut di depan anak tangga ruangan persidangan itu. Dengan tubuh menggigil mereka menyembah kepada sang prabu. Para senopati dan hulubalang melempar pandang marah kepada dua orang perajurit ini yang dianggap mengganggu.
"Heh, bocah perajurit! Mengapa kalian berani lancang menghadap dan mengganggu persidangan?" Sang prabu menegur sambil mengerutkan keningnya.
"Mohon diberi ampun, gusti. Hamba berdua berani menghadap tanpa diperintah karena terpaksa, hamba... hamba...." Dua orang itu tergagap-gagap ketakutan.
"Apakah kalian Ini sudah bosan hidup? Keparat! Hayo bikin laporan yang betul di hadapan gusti prabu!" bentak ki patih yang sejak tadi sudah memandang dengan mata melotot.
"Kalau tidak, kuhancurkan kepala kalian!"
Melihat sikap patih ini, kedua orang perajurit menjadi makin bingung dan gugup. "Hamba... ham..."
Mereka menelan ludah berkali-kali, akan tetapi tetap saja tidak dapat melanjutkan katanya karena leher serasa tercekik. Ki patih makin marah dan sudah hendak bangkit untuk memberi hajaran.
"Patih Suroyudo, biarkan mereka tenang dan memberi laporan yang betul. Heh, bocah perajurit. Jangan takut dan ceritakan, apa yang terjadi?" kata sang prabu.
"Ampun, gusti. Di alun-alun ada dua orang musuh melakukan amuk. Banyak sudah para perajurit dan perwira yang tewas. Mereka berdua amat digdaya dan menyebar maut di antara perajurit. Sepak terjang mereka seperti iblis betina...."
"Apa ? Dua orang wanita ?" Sang prabu memotong heran.
"Betul seperti sabda paduka. Dua orang pengamuk itu adalah wanita-wanita cantik."
"Siapa nama mereka?" Sang prabu memotong.
"Mereka mengaku bernama Ni Nogogini dan Ni Durgogini, gusti..."
"Patih Suroyuda, kiranya dua orang iblis itu yang datang lagi mengacau! Bawa pasukan dan kerahkan senopati, tangkap mereka!"
"Paduka jangan khawatir. Hamba akan menangkap mereka!" jawab Patih Suroyuda yang segera pamit keluar diikuti para senopati dan hulubalang.
Karena sedang pusing menghadapi banyak kekacauan, sang prabu meninggalkan ruangan itu, lupa kepada Joko Wandiro yang masih duduk bersila. Setelah semua orang pergi, barulah Joko Wandiro sadar bahwa ia ditinggalkan begitu saja. Selagi ia bingung, seorang pengawal membentaknya,
"Heh bocah gunung! Mau apa lagi di sini? Hayo keluar!"
"Tapi....! tapi.... hamba ingin menghambakan diri kepada sang prabu..."
"Bocah seperti engkau ini mau bekerja apa di sini? Tidak tahukah engkau betapa sang prabu sedang duka? Engkau tidak diterima, tahu? Hayo pergi keluar!"
Joko Wandiro mendongkol sekali, akan tetapi ia menekan perasaannya dan bersikap sabar. Setelah menarik napas panjang ia lalu keluar dari tempat itu. Diam-diam ia berpikir, andaikata ia mengaku sebagai murid Resi Narotama yang dahulu merupakan seorang patih junjungan di Kahuripan, agaknya tidak akan begini sikap sang prabu dan para pengawal. Setelah ia tiba di luar istana, ia melihat keadaan kacau dan geger, terutama sekali di alun-alun. Tampak para perajurit berlarian ke sana ke mari membawa tombak. Ada pula perajurit-perajurit yang mengangkut temantemannya yang terluka atau yang telah tewas.
Teringatlah Joko Wandiro akan pelaporan dua orang perajurit tadi. Di alun-alun ada dua orang wanita mengamuk, dua orang wanita musuh. Karena adanya pelaporan tentang mengamuknya dua orang wanita inilah sang prabu lalu membubarkan persidangan dan meninggalkannya. Karena gara-gara dua orang wanita itulah maka ia sampai dilupakan begitu saja sehingga ia ditegur dan diusir pengawal. Joko Wandiro membelokkan kakinya berjalan ke arah alun-alun. Ingin ia melihat siapa gerangan dua orang wanita yang demikian digdaya, berani melawan dan merobohkan para perajurit dan pengawal.
Dari jauh sudah kelihatan betapa di tengah alun-alun terjadi pertandingan hebat. Joko Wandiro mempercepat langkahnya dan ketika ia tiba di tempat pertempuran, ia memandang.dengan kaget dan heran. Benar saja laporan tadi. Di situ terdapat dua orang wanita yang mengamuk. Dua orang wanita yang cantik-cantik, mengamuk dengan kaki tangan tanpa senjata. Akan tetapi gerakan mereka hebat sehingga para perajurit yang mengeroyok dan bersenjata itu tidak mampu mendesak mereka.
Bahkan Patih Suroyudo sendiri bersama beberapa orang senopati yang tadi memandangnya penuh ejekan, kini berdiri dengan senjata di tangan dan ikut menyerang. Namun dua orang wanita itu benar-benar hebat dan gesit gerakan mereka. Hanya ki patih dan senopati yang baru keluar dari istana saja yang tidak roboh oleh sambaran tangan kedua orang wanita itu. Para perajurit biasa, baru terkena sambaran hawa pukulan saja sudah jatuh tunggang-langgang!
Sepasang mata Joko Wandiro yang berpemandangan awas itu melihat hawa yang kotor dari ilmu hitam. Juga kedua wanita itu memiliki wajah cantik yang tidak sewajarnya, dengan kilatan sepasang mata genit dan cabul. Sekali pandang saja Joko Wandiro tahu bahwa dua orang wanita ini bukanlah orang baik-baik. Diam-diam ia menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita itu.
Joko Wandiro memang belum pernah bertemu dengan dua orang wanita ini yang bukan lain adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Mengapa kedua orang wanita sakti ini datang ke Panjalu dan mengamuk di alun-alun? Hal ini ada hubungannya dengan perbuatan Endang Patibroto. Telah kita ketahui betapa Endang Patibroto diajak gurunya, Dibyo Mamangkoro untuk menghadap sang prabu di Jenggala dan di sana kepandaiannya diuji oleh sang prabu. Gadis remaja ini disuruh menyelidiki keadaan di Panjalu dan mencuri bendera pusaka yang berkibar di puncak istana!
Gadis remaja yang sakti itu segera berangkat menuju Kerajaan Panjalu dan dengan kepandaiannya yang tinggi, malam hari itu ia berhasil menyelundup ke pekarangan belakang istana. Dengan cara melompat ke atas genteng istana seperti seekor kucing Candramawa, ia berhasil mencuri bendera pusaka yang sedang berkibar di atas puncak istana tertiup angin malam.
Ketika ia melompat turun, Endang Patibroto bertemu dengan dua orang perwira pengawal yang segera menerjang Untuk menangkapnya. Akan tetapi dengan mudah Endang Patibroto merobohkan mereka, menggunakan golok mereka memenggal leher keduanya dan menjambak rambut dua buah kepala itu dibawa kembali ke Jenggala untuk bukti bahwa tugasnya telah terlaksana dengan baik!
Tentu saja hal ini menggemparkan Jenggala. Sang prabu di Jenggaia merasa kaget, heran dan juga girang sekali. Tanpa menanti kembalinya Dibyo Mamangkoro lagi, sang prabu lalu mengangkat Endang Patibroto sebagai kepala pengawal istana! Semua senopati di Jenggala membicarakan hal ini dengan penuh kekaguman, memuji-muji Endang Patibroto setinggi langit, padahal mereka itu seorangpun tidak ada yang pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan kesaktian gadis remaja itu.
Sudah lajim di dunia ini semenjak jaman dahulu sampai sekarang, setiap ada orang mencapai kemuliaan, sudah tentu ada orang lain yang merasa iri hati dan dengki. Hal ini tidak terluput pada diri Endang Patibroto. Banyak di antara para senopati dan orang-orang sakti yang menghambakan diri di Jenggala merasa iri hati.
Masih untung bagi Endang Patibroto bahwa dia adalah murid Dibyo Mamangkoro. Nama gurunya ini cukup mengerikan sehingga mereka yang merasa iri hati merasa ragu-ragu dan takut untuk mcngganggu murid Dibyo Mamangkoro. Mereka tidak takut terhadap Endang Patibroto yang mereka buktikan kesaktiannya, akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang tidak gentar menghadapi Dibyo Mamangkoro.
Di antara mereka yang merasa iri hati kepada Endang Patibroto, juga termasuk mereka yang terkenal sebagai orang-orang sakti yang membantu Kerajaan Jenggala, yaitu tokoh-tokoh yang sudah lama kita kenal dan yang sejak Sang Prabu Jenggala masih menjadi Pangeran Anom dahulu telah pula membantunya.
Mereka ini adalah Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Sebelum Dibyo Mamangkoro dan muridnya, bersama pengikutnya Wirokolo, Sepasang Gagak dan anak buahnya datang ke Jenggala, mereka adalah orang-orang terhormat yang dianggap sebagai pembantu-pembantu utama.
Kini menyaksikan betapa murid Dibyo Mamangkoro seorang diri sanggup menyerbu Panjalu, berhasil mencuri bendera pusaka, tentu saja mereka merasa kedudukan mereka terancam. Apalagi setelah mendengar betapa sang prabu amat menghormat dan menyambut Endang Patibroto penuh kegembiraan, memberi gadis remaja itu kedudukan tinggi di dalam istana sebagai kepala semua pengawal pribadi sang prabu, mereka menjadi makin tidak enak.
Sudah tentu saja yang merasa paling iri dan tidak enak di antara mereka, adalah Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Bukan hanya karena Endang Patibroto hanyalah seorang gadis remaja, akan tetapi terutama sekali karena mereka berdua pernah berusaha mcncuri bendera pusaka itu dan gagal!.
Usaha Endang Patibroto yang berhasil baik itu merupakan tamparan bagi mereka berdua, maka untuk menebus kekalahan dan menebus muka, mereka berdua lalu pergi menyerbu ke Panjalu dan melakukan pengamukan di alun-alun! Tentu saja perbuatan mereka ini hanya terdorong hati panas dan untuk mengangkat kembali nama mereka yang jatuh oleh persaingan Endang Patibroto.
Mereka berdua, betapapun saktinya, maklum bahwa hanya tenaga mereka berdua saja tidak mungkin dapat melawan perajurit dan pengawal Panjalu yang ribuan orang banyaknya. Merekapun bukan bermaksud untuk menaklukkan Panjalu hanya dengan tenaga mereka berdua, melainkan hanya untuk mengamuk, kemudian kalau kewalahan akan melarikan diri, kembali ke Jenggala dengan perasaan bangga. Tentu saja sang prabu di Jenggala akan mendengar hal ini dan akan menghargai mereka.
Demikianlah, ketika Joko Wandiro yang keluar dari istana Kerajaan Panjalu dengan hati mendongkol menonton keributan di alun-alun, ia melihat dua orang wanita cantik itu tengah mengamuk. Pasukan perajurit Panjalu sama sekali bukan lawan kedua orang wanita sakti ini, seperti mentimun melawan durian saja. Kalau saja perasaan hatinya tidak terpukul oleh penolakan yang dilakukan terhadap dirinya di dalam istana, tentu Joko Wandiro sudah menyerbu dan menghadapi dua orang wanita yang berhawa jahat itu. Akan tetapi karena hatinya masih mendongkol, ia kini hanya duduk di pinggiran, di atas akar pohon waringin yang tumbuh di pinggir alun-alun, menongkrong dan menonton pertandingan.
"Minggir! Biarkan kami menangkap iblis-iblis betina ini!"
Tiba-tiba terdengar bentakan. Para perajurit pengeroyok yang memang sejak tadi sudah gentar sekali, girang mendengar bentakan ini dan cepat-cepat mereka mundur sambil menarik pergi teman-teman yang menggeletak terluka.
Joko Wandiro kini terpaksa berdiri agar dapat menonton lebih jelas karena mundurnya para perajurit itu menjadi penghalang bagi penglihatannya. Ia melihat betapa yang melompat maju adalah dua orang senopati yang tadi ikut menghadap sang prabu. Dua orang senopati yang tadi berbisik-bisik ketika ia menghadap. Mereka itu tampak kuat dan sinar mata mereka membayangkan bahwa sedikit banyak mereka memiliki aji kesaktian.
"He, tahan dulu! Dua orang perempuan setan dari mana berani membikin kacau di Panjalu? Mengakulah sebelum kami turun tangan membunuhmu!" teriak seorang di antara mereka berdua yang kumisnya sekepal sebelah.
"Bukankah kalian ini yang pernah mengacau pada waktu malam hari beberapa bulan yang lalu?"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Mereka tampak gagah dan cantik sekali. Benar hebat dua orang wanita ini. Ni Durgogini yang dahulu pernah menjadi selir terkasih Ki Patih Narotama dan bernama Lasmini adalah seorang wanita yang usianya sudah lima puluh enam tahun, akan tetapi masih tampak muda dan cantik jelita seperti wanita berusia dua puluh enam tahun saja!
Demikian pula Ni Nogogini, dahulu bekas selir Sang Prabu Airlangga dan bernama Mandari, usianya pun hanya dua tahun lebih muda daripada Lasmini, akan tetapi juga masih amat muda dan cantik jelita. Semua ini adalah berkat khasiat obat Suketsungsang, semacam rumput laut yang amat sukar didapat, ditambah dengan ilmu hitam mereka. Ketika Ni Durgogini tertawa, giginya putih indah ber kilat.
"Hi-hik, orang-orang Panjalu! Ketahuilah, aku bernama Durgogini dan ini adikku Ni Nogogini. Beberapa bulan yang lalu kami menyerbu dan kalian sudah merasakan hajaran kami. Hayo, orang Panjalu, keluarkan semua jagomu dan lawanlah kami, dua orang kepercayaan sang prabu di Jenggala!"
"Ehh, kalian ini dua ekor tikus, lebih baik mundur saja. Suruh senopati yang paling sakti maju. Yang kalian andalkan hanya kumis tebal saja, huhhh, menjijikkan!" Ni Nogogini berkata, kemudian dua orang wanita itu tertawa-tawa geli.
Melihat lagak dua orang wanita itu, dua orang senopati muda menjadi tertarik hatinya. Mereka berdua ini sama sekali tidak tahu bahwa saat itu, Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah mengerahkan aji pengasihan Guno Asmoro sehingga dalam pandang mata dua orang senopati itu mereka yang tersenyum-senyum tampak makin cantik jelita seperti dua orang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Lebih celaka lagi, mereka berdua adalah laki-laki yang tak dapat menahan nafsu berahi kalau berhadapan dengan wanita cantik. Maka seketika lenyaplah kemarahan mereka, lenyap nafsu mereka untuk menangkap atau membunuh dua orang wanita musuh yang membikin kacau itu. Si kumis tebal mendengar ucapan Ni Nogogini yang menyinggung kumisnya, merasa seperti dipuji, mengira bahwa Ni Nogogini jatuh hati kepadanya. Ia lalu melangkah maju dan dengan cengar-cengir memasang aksi, mengelus-elus dan memilin-milin kumisnya, ia berkata,
"Duhai yayi dewi nan ayu rupawan melebihi bidadari! Sayang nian apabila yayi dewi nan cantik jelita menerima hukuman mati. Lebih baik menyerahlah saja, dewi. Menyerahlah kepada kakanda Diroprono, heh Ni Nogogini. Kakanda yang akan mohon kepada gusti prabu agar adinda diampuni dan menjadi isteri kakanda!" Bagaikan orang mabok senopati Diroprono merayu-rayu Ni Nogogini yang tersenyum makin manis.
"Hi-hik!" Ni Nogogini tertawa genit sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri. "Engkau ingin memperisteri aku? Diroprono, namamu cukup gagah dan aku suka kepadamu. Akan tetapi kumismu itu lho yang nggilani (menjijikkan). Asal kau cukur kelimis dulu kumismu, baru aku mau mempertimbangkan pinanganmu!"
"Heh....? Kumisku dicukur kelimis? Bagaimana ini? Kumisku bagus seperti kumis Raden Gatotkaca kok disuruh buang? Apa kau tidak kecewa nanti, manis? Tapi biarlah, asal engkau yang mencukurnya, aku rela berkorban kumis!"
Setelah berkata demikian, senopati Diroprono melangkah maju seperti orang mabok, mendekatkan mukanya pada Ni Nogogini. Melihat betapa lawannya ini sudah terjatuh ke dalam pengaruh aji pengasihan, Ni Nogogini sambil tertawa lalu menggerakkan tangan mencengkeram ke depan dan sekali renggut saja kumis yang tebal itu telah dicabutnya dari atas bibir.
"Aduhhh.....!"
Diroprono mencengkeram bibir atasnya yang robek dan berdarah. Akan tetapi pada saat itu, sebuah tendangan susulan yang dilakukan Ni Nogogini sambil tertawa terkekeh membuat tubuhnya terlempar.
Adapun senopati muda yang ke dua, seperti Diroprono, telah mabok oleh kekuasaan aji pengasihan itu dan seketika tubuhnya menjadi lemas, lenyap semua semangat hendak bertanding dan tanpa disadari lagi ia sudah menjatuhkan diri berlutut hendak memeluk kaki Ni Durgogini! Tentu saja iapun menjadi makanan empuk bagi wanita sakti itu. yang sekali pukul telah berhasil membuat senopati muda itu terjungkal tak dapat bangkit kembali.
Joko Wandiro yang menyaksikan semua itu menjadi makin tak senang. Seperti itu sajakah perwira Panjalu? Sungguh memalukan sekali. Dan dua orang wanita itu sungguh keji.
"Amuk-amuk! Mana senopati-senopati pilihan di Panjalu? Mana mereka yang beberapa bulan yang lalu telah mengeroyok kami? Hayo keluarlah jago-jago Panjalu! Inilah Ni Durgogini menanti tanding!" Durgogini bersumbar dengan lagak sombong.
"Bukankah Resi Telomoyo membantu Panjalu? Mana monyet tua itu? Dan juga Pujo dan dua orang isterinya. Hayo keluarlah!" teriak pula Ni Nogogini.
Mendengar disebutnya ayah angkat atau gurunya, Joko Wandiro terkejut juga, sungguhpun ia sudah mendengar dari Resi Narotama bahwa guru pertama atau ayah angkatnya itu membantu Panjalu bersama dua orang isterinya. Ia tidak tahu apakah Pujo berada di Panjalu ataukah masih berada di Bayuwismo di pantai Laut Selatan.
Melihat sikap congkak dan tantangan yang ditujukan kepada Pujo, panas juga hati Joko Wandiro. Ia sudah melihat Ki Patih Suroyudo dan beberapa orang senopati tua yang tampaknya memiliki kepandaian berarti, tidak seperti dua orang senopati muda tadi, sudah maju. Akan tetapi Joko Wandiro sudah mendahului mereka, meloncat dengan gerakan sigap sehingga tahu-tahu pemuda ini telah berhadapan dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini.
Ketika dua orang sakti itu memandang, sejenak mereka tertegun. Dengan pandang mata mereka yang awas, kedua orang wanita sakti ini mengerti bahwa pemuda di depan mereka ini bukanlah orang sembarangan. Dengan kagum mereka memandang pemuda itu. Timbul rasa sayang di hati wanita cabul ini.
"Eh-eh, bocah bagus. Siapakah engkau? Pakaianmu bukan seperti seorang ponggawa kerajaan. Apa kehendakmu maju menghadapi kami?" tanya Ni Durgogini sambil tersenyum memikat.
"Bocah sigit, siapakah namamu? Kalau kami pulang nanti, ikutlah kami karena kau mempunyai bakat yang baik sekali untuk menjadi murid kami yang terkasih!" kata Ni Nogogini. Kali ini mereka mengerahkan aji pengasihan bukan untuk melumpuhkan dan mengalahkan, melainkan terdorong hati tertarik dan rasa suka.
Joko Wandiro tidak biasa bersikap kasar, sungguhpun ia maklum akan hawa mujijat yang seakan-akan menarik dirinya mendekat dan membuat kedua orang wanita itu seakan-akan menjadi makin cantik. Diam-diam ia lalu membaca mantera pelindung diri dari ilmu hitam, kemudian tersenyum menjawab, "Namaku Joko Wandiro dan aku menghadapi kalian untuk menyambut tantanganmu tadi. Aku mewakili Pujo, guruku dan juga ayah angkatku!"
Dua orang wanita itu tersenyum lebar. Pujo sendiri bukan lawan mereka, apalagi hanya seorang muridnya. Akan tetapi diam-diam mereka terheran bagaimana Pujo dapat mempunyai seorang murid seperti ini. Mereka saling pandang, mulai terheran mengapa pemuda ini belum juga memperlihatkan tanda-tanda terpengaruh Aji Guno Asmoro!
Ni Durgogini mengerahkan tenaga batinnya, lalu melangkah maju dengan langkah bergaya, lenggangnya menarik seperti orang menari, matanya disipitkan, hidungnya kembang kempis. Demikian hebat pengaruh Guno Asmoro yang diterapkan oleh Ni Durgogini pada saat itu sehingga biarpun aji itu ditujukan kepada Joko Wandiro, namun para perwira dan tamtama yang mengepung alun-alun itu ikut terpengaruh dan terpesona menatap wajah cantik jelita dan bentuk tubuh padat menggiurkan itu.
"Joko Wandiro, bocah bagus, mari ke sini, kuberi peluk cium...!" suara Ni Durgogini merdu merayu bagaikan orang bertembang.
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, hentikan permainan kotor ini! Ilmu setanmu itu hanya merobohkan hati laki-laki mata keranjang. Bagiku hanya menimbulkan muak dan jijik! Lebih baik lekas minggat kalian dari sini!"
"Aiiihhhh!!"
Ni Durgogini tersentak kaget dan meloncat mundur. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Para senopati yang kini melihat wajah yang tidak diselimuti Aji Guno Asmoro lagi juga kaget karena wajah kedua orang wanita itu kini menjadi beringas. Mereka semua terlongong menyaksikan betapa pemuda yang tadi menghadap sang prabu yang mereka jadikan bahan ejekan, kini dengan penuh keberanian menghadapi dua orang wanita sakti seperti iblis itu.
"Bocah keparat, rasakan pukulan mautku!" Ni Durgogini berteriak marah.
"Bocah tak tahu disayang, lebih baik mampus!" Ni Nogogini juga berseru, kedua orang wanita itu lalu meloncat maju dan menyerang Joko Wandiro dengaan tamparan tangan mereka yang ampuh.
Gerakan mereka serupa dan ketika mereka berdua menggerakkan tangan kanan dengan jari-jari terbuka, terdengar suara mencicit nyaring memekakkan telinga. Itulah aji pukulan Ampak-ampak yang ampuhnya menggila.
Joko Wandiro mengerti bahwa ia menghadapi serangan dahsyat. Hawa dingin yang diakibatkan sambaran tangan itu memberi tahu kepadanya bahwa kedua orang lawannya mempergunakan pukulan yang berdasarkan hawa sakti di dalam tubuh, pukulan berhawa dingin yang amat berbahaya bagi tulang-tulangnya. Oleh karena itu, iapun cepat mengerahkan hawa sakti ke arah kedua tangannya, kemudian dengan tabah ia memapaki kedua lawannya ini sambil mengipatkan kedua tangan dengan jari-jari terbuka pula. Untuk melawan hawa dingin yang keluar dari tangan lawan, ia sengaja menggunakan Aji Bojro Dahono dan tangannya digerakkan dengan pukulan Pethit Nogo.
"Plakk.... plakkk...!!"
Tamparan kedua orang wanita sakti itu ditangkisnya dan sengaja Joko Wandiro mengadu telapak tangannya dengan telapak tangan mereka.
"Iiiiihhh....!!"
Ni Durgogini dan Ni Nogogini mengeluarkan jerit nyaring ketika tubuh mereka terlempar sampai lima meter lebih seakan-akan dilontarkan tenaga mujijat. Namun sebagai dua orang wanita yang memiliki kedigdayaan, mereka dapat meloncat turun dan tidak sampai terbanting. Kemarahan mereka meluap-luap, bercampur rasa keheranan dan penasaran.
Adapun Ki Patih Suroyudo dan para perwira kerajaan, kini benar-benar berdiri dengan mata. terbelalak lebar dan mulut ternganga. Andaikata ada lalat memasuki mulut pada saat itu, agaknya mereka tidak merasakannya. Mereka tenggelam ke dalam keheranan yang amat sangat.
Kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, sudah tentu takkan ada yang percaya kalau mendengar bahwa pemuda gunung yang tadi minta pekerjaan di istana, kini dalam gebrakan pertama sudah sanggup membuat Ni Durgogini dan Ni Nogogini terlempar sampai jauh!
Dengan dua kali loncatan, Ni Durgogini dan Ni Nogogini sudah kembali ke hadapan Joko Wandiro. Sepasang mata mereka berkilat-kilat penuh kemarahan, wajah mereka kini cemberut kehilangan manisnya, kening berkerut. Sinar maut membayang pada mata mereka yang dengan penuh kebencian menentang wajah Joko Wandiro. Pemuda ini tetap tenang, lalu berkata.