Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 25
"Sesungguhnya aku tidak mencari permusuhan. Andaikata kalian ini tidak melakukan sesuatu yang jahat, tidak nanti aku akan mencampuri urusan kalian. Akan tetapi, melihat kalian mengamuk di alun-alun Kerajaan Panjalu, membunuh banyak orang kemudian malah menantang-nantang semua orang yang terkenal sebagai satria-satria utama, tidak mungkin aku mendiamkannya saja."
"bocah keparat!"
"Jahanam sialan!"
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, belum terlambat apabila kalian insyaf dan pergi dari sini."
Akan tetapi dua orang wanita itu mana mau berhenti sampai sekian saja? Sambil memekik nyaring, suaranya melengking seperti bukan suara manusia lagi, kakak beradik yang sakti mandraguna ini lalu menerjang Joko Wandiro. Gerakan mereka cekatan sekali, tubuh mereka seperti lenyap dan hanya tampak bayangan mereka menyambar-nyambar di sekeliling Joko Wandiro. Apabila bayangan tangan mereka berkelebat, terdengar angin bersiutan. membuat debu beterbangan daun-daun pohon waringin yang kecil-kecil itu bergoyang-goyang.
Namun Joko Wandiro menghadapi mereka dengan tenang. Gerakannya pun lambat dan tenang, namun kedua tangannya yang bergerak itu membentuk lingkaran-lingkaran hawa sakti yang amat kuat, yang merupakan benteng melindungi tubuhnya daripada terjangan-terjangan lawan. Semua pukulan lawan, sebelum dapat menyentuh tubuhnya telah bertemu dengar lingkaran hawa sakti itu dan membalik.
Bagi pandangan para perwira yang kurang tinggi ilmunya, keadaan Joko Wandiro seperti terdesak. Pemuda ini kelihatan menggerak-gerakkan kaki tangan melawan dua bayangan yang amat cepatnya. Akan tetapi bagi Ki Patih Suroyuda dan mereka yang ahli, terutarna bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini sendiri, mereka amat kagum menyaksikan perlawanan Joko Wandiro yang jelas membuktikan keunggulannya.
"Pergilah!!" Tiba-tiba Joko Wandiro berseru keras dan tubuh dua orang wanita itu kembali terlempar jauh, melayang seperti daun kering tertiup angin. Bentakan tadi disertai Aji Dirodo Meto dan kedua tangannya mendorong dengan Aji Bojro Dahono. Demikian dahsyat serangan balasan ini sehingga tidak tertahankan oleh kedua orang lawannya yang mencelat sampai beberapa meter jauhnya.
Namun Ni Durgogini dan Ni Nogogini juga bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak kuat menahan hawa sakti yang mendorong sedemikian dahsyatnya, namun tubuh mereka juga memiliki kekebalan sehingga biarpun terlempar, mereka masih belum terluka karena cepat-cepat mereka tadi mengerahkan tenaga sehingga ketika terbanting ke tanah, mereka dapat mencelat kembali ke atas dan kini sudah berdiri dengan muka merah saking marahnya.
"Tar-tar-tar!!"
Terdengar ledakan-ledakan nyaring ketika Ni Durgogini menggerakkan dan melecutkan cambuknya di udara. Kiranya dalam keadaan marah sekali wanita ini telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu cambuk Sarpokenoko. Juga Ni Nogogini tidak mau ketinggalan. Ia pun merasa marah dan malu, maka dengan gerakan cepat penuh kegemasan ia telah menghunus pusakanya, yaitu sebuah cundrik yang terkenal ampuh dan mengeluarkan sinar berkilauan. Inilah cundrik Embun Sumilir!
Joko Wandiro cepat mengerahkan Bayu Sakti untuk menyelamatkan diri daripada hujan serangan itu. Cambuk Sarpokenoko hebat bukan main. Suaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat, karena suara ledakan-ledakan itu mengandung daya menggetarkan jantung. Dari atas, cambuk itu menyambar-nyambar ganas sekali melingkar-lingkar, ujungnya mematuk-matuk mencari bagian tubuh yang berbahaya atau jalan darah mematikan, seperti seekor ular sakti!
Selain diserang oleh sambaran cambuk dari atas yang sudah amat berbahaya, dari bawah Joko Wandiro diterjang bertubi-tubi oleh Ni Nogogini yang mempergunakan keris pusakanya Embun Sumilir. Hanya dengan gerakan Bayu Sakti yang luar biasa cepatnya, barulah ia dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan itu lalu melompat ke belakang. Dua orang lawannya berseru garang dan menerjarg maju lagi.
Akan tetapi pada saat itu, para senopati dan pengawal yang menonton pertandingan, tiba-tiba menjadi gaduh, menuding-nuding ke arah dua orang wanita itu, berseru kaget dan ada yang menahan ketawa. Hal ini mengherankan hati kedua orang wanita itu sehingga sesaat mereka menunda penyerangan mereka lalu saling pandang. Begitu mereka saling pandang, keduanya menahan jerit, tangan kiri membuat gerakan menutup mulut.
"Aiiiiihh! Mbokayu Lasmini....! Kau kenapa....? Rambutmu penuh uban, mukamu penuh keriput....!" Ni Nogogini menegur dengan mata terbelalak.
"Kau...kau...juga, Mandari....!"
Ni Durgogini berkata sambil menudingkan telunjuk kiri ke arah adiknya dan dengan suara terisak. Kedua orang wanita itu lalu sibuk meraba-raba rambut dan wajahnya sendiri. Jelas terasa oleh ujung jari betapa kulit muka yang biasanya halus itu kini menjadi kasar dan kerut-merut berkeriputan. Dan ketika mereka membawa rambut ke depan untuk dilihat, sebagian besar rambut itu membodol (rontok) dan yang masih tinggal bercampur banyak uban!
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, mengertilah kedua orang wanita ini. Apa yang telah terjadi. Ternyata pukulan pemuda tadi yang mengandung hawa panas seperti halilintar, disertai pekik dahsyat, yang membuat mereka berdua terlempar, telah membuyarkan aji dan khasiat obat Suketsungsang yang membuat mereka menjadi awet muda.
Getaran hebat yang hampir mematahkan tungkai jantung, yang tadi menjalar ke seluruh tubuh, telah membuat mereka terluka di sebelah dalam sehingga hawa yang mempengaruhi jalan darah membuat mereka awet muda itu terdorong keluar. Akibatnya, keadaan mereka menjadi badar dan kembali asal, atau menjadi sewajarnya, Rambut mereka beruban, kulit mereka berkeriput, sesuai dengan keadaan semestinya wanita-wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun!.
Bagi seorang wanita biasa dan normal, dalam usia hampir enam puluh tahun, kiranya kenyataan ini tidak mempengaruh铆 hatinya, uban dan keriput bukan hal yang mengecilkan hati. Akan tetapi, bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kenyataan ini amat hebat. Mereka adalah orang-orang yang telah menjadi hamba nafsu berahi, bagi mereka hidup adalah senang, dan senang hanya dapat mereka nikmati melalui wajah cantik dan tubuh muda menarik. Kini mereka telah sadar dan kenyataan ini bagi mereka terasa lebih menderita daripada luka-luka maut. Wajah mereka menjadi pucat sekali, tubuh gemetaran dan urat syaraf lemas, Kedukaan hati mereka demikian besar, jauh melampaui kemarahan mereka terhadap Joko Wandiro. Terdengarlah ratap tangis mereka.
"Aduh Dewa, cabutlah saja nyawa hamba...!" Ni Nogogini mengeluh.
"Aduh rama (ayah)....rama bhagawan.... ketiwasan (celaka), rama.....!"
Ni Durgogini menjerit-jerit lalu lari pergi dari tempat itu sambil menyeret cambuknya. Ni Nogogini juga mengikuti kakaknya sambil menangis. Dalam waktu sebentar saja lenyaplah bayangan kedua orang wanita sakti itu.
Sejenak Joko Wandito berdiri tertegun. Kemudian la menarik napas panjang, hatinya terasa trenyuh. Dia tidak membenci mereka berdua dan hanya menentang mereka berdua karena mereka membuat geger, membunuh banyak orang dan menantang ayah angkatnya. Kini, menyaksikan keadaan mereka, mendengar ratap tangis mereka, hati pemuda ini merasa kasihan dan terharu. Akan tetapi tidak ada rasa sesal di hatinya oleh karena bukan dialah yang membuat mereka berdua menderita. Dia sama sekali tidak ada niat membuat mereka menderita seperti itu dan semua yang terjadi tadi adalah buah daripada perbuatan mereka sendiri.
"Orang muda, kiranya andika adalah seorang satria yang perkasa!" terdengar Ki Patih Suroyudo berkata kagum.
"Raden Joko Wandiro, maafkan kami yang tadi kurang hormat kepada andika," kata seorang perwira.
"Marilah, Joko Wandiro. Mari ikut bersamaku menghadap sang prabu, akan kulaporkan tentang kedigdayaanmu dan kau tentu dianugerahi kedudukan yang pantas," kata pula Ki Patih Suroyudo.
Di dalam hatinya, Joko Wandiro merasa senang. Ternyata sekarang bahwa ki patih dan para ponggawa keraton ini adalah orang-orang yang baik hati, tidak menaruh iri hati dan dengki kepada orang lain yang berjasa. Kiranya tadi memandang rendah kepadanya karena memang ragu-ragu dan tidak percaya kepada seorang pemuda dari dusun seperti lajimnya sikap para bangsawan terhadap rakyat kecil.
Perasaan Joko Wandiro yang halus segera dapat memaklumi hal ini dan dia memang tidak suka memelihara dendam. Akan tetapi, sejak semula ia memang tidak mempunyai hasrat untuk menghambakan diri ke istana. Kalau tadi ia menghadap raja, hanyalah untuk memenuhi pesan gurunya. Dan ia tadi sudah menghadap, berarti ia tidak mengabaikan pesan gurunya. Kalau ia tidak diterima, itu bukan salahnya. Maka ia cepat-cepat memberi hormat dan berkata,
"Gusti patih, hamba tidak berani lagi mengganggu gusti prabu. Biarlah lain kali saja hamba datang menghadap."
Setelah berkata demikian, tanpa jawaban lagi, Joko Wandiro sudah melompat jauh ke belakang lalu menggunakan Aji Bayu Sakti lari meninggalkan tempat itu. Ki Patih Suroyudo dan para senopati dan pasukan pengawal, hanya dapat memandang dengan melongo. Mereka semua merasa menyesal sekali mengapa seorang pemuda sakti mandraguna seperti itu kini tidak mau tinggal di kota raja karena kekeliruan sikap mereka tadi. Agaknya hanya orang sesakti pemuda itu yang akan mampu menandingi si maling haguna yang telah menggegerkan istana sebulan yang lalu.
Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu itu amat luas dan indah. Air kebiruan menelan bayangan pohon-pohon cemara yang tumbuh di tepinya. Sunyi dan damai keadaan sekelilingnya. Hanya kicau burung dan teriakan-teriakan kera bercanda kadang-kadang terdengar, menambah indah keadaan. Hawa udaranya sejuk bersih.
Di pinggir telaga sebelah selatan tampak sebuah pondok kayu berdiri sunyi menyendiri. Para pendeta, pertapa, dan orang-orang yang sudah bosan akan keramaian kota dan dusun, yang ingin menyatukan diri dengan keindahan alam aseli itu, tentu akan mengilar karena kepingin melihat pondok dan suasana di sekitarnya yang hening dan bersih ini.
Dahulu, beberapa tahun yang lalu, pondok ini menjadi tempat tinggal Ki Tejoranu. Seperti telah kita ketahui, Ki Tejoranu beberapa tahun yang lalu telah pergi meninggalkan Pulau Jawa, pulang ke tanah asalnya, yaitu Negeri Cina. Pondok itu ditinggalkan begitu saja tak terpelihara dan menjadi rusak. Akan tetapi setahun yang lalu, datanglah seorang laki-laki tinggi kurus bersama isteri dan puterinya. Mereka menemukan pondok kosong ini, memperbaikinya dan selanjutnya merekalah yang tinggal di tempat indah sunyi ini. Mereka bertiga hidup penuh damai dan bahagia.
Siapakah gerangan mereka bertiga yang memilih tempat sunyi sebagai tempat tinggal ini? Laki-laki tinggi kurus berusia lima puluh tahun itu adalah seorang pendekar terkenal. Namanya Ki Adibroto, seorang sakti mandraguna dari Ponorogo. Di Ponorogo iapun terkenal sebagai seorang warok yang gemblengan dan namanya tidak kalah terkenalnya kalau dibandingkan dengan Ki Warok Gendroyono.
Akan tetapi, berbeda dengan Ki Gendroyono, Ki Adibroto ini adalah tokoh warok golongan putih yang selalu menentang kejahatan. Berkat pimpinan Ki Adibroto bersama saudara-saudara seperguruan dan para tokoh warok aliran atau golongan putih inilah maka daerah Ponorogo menjadi aman dari gangguan para warok golongan hitam. Bahkan Ki Warok Gendroyono yang menjadi tokoh utama warok golongan hitam, terdesak dan akhirnya menghilang dari daerah Ponorogo.
Tadinya, Ki Adibroto hidup bahagia bersama isterinya dan seorang puteri yang diberi nama Ayu Candra, tinggal di Ponorogo sebagai seorang yang dihormati kawan disegani lawan. Namun, seperti segala apa di permukaan bumi ini, juga keadaan hidup seseorang tidaklah kekal. Ketika Ayu Candra berusia satu tahun, ibu anak ini meninggal dunia karena sakit. Hal ini menghancurkan kebahagiaan Ki Adibroto yang tenggelam dalam laut kedukaan. Tidak tahan lagi hati Ki Adibroto untuk tinggal di tempat di mana ia akan selalu terkenang kepada isterinya. Maka ia lalu membawa puterinya yang masih kecil itu pergi merantau.
Pada suatu pagi, sambil memondong puterinya, Ki Adibroto berjalan perlahan melewati sebuah hutan di lereng Gunung Lawu sebelah barat. Ia berniat hendak menuruni gunung ini dari barat. Melihat anaknya yang tidur pulas dalam pondongannya, hati pendekar ini amat trenyuh. Anak ini mirip benar dengan ibunya, dan teringat akan isterinya yang sudah meninggal, meninggalkan dia dan puterinya, Ki Adibroto mengeluh dan mengambungi pipi anaknya yang masih tidur pulas.
"Duh Hyang Wiseso yang menguasai jagad semoga hamba diberi kekuatan menahan segala derita ini demi anak hamba Ayu Candra!"
Dua butir air mata menetes di atas pipi anaknya. Pada saat itu muncullah belasan orang perampok yang segera mengurung Ki Adibroto. Kalau saja Ki Adibroto tidak sedang tenggelam dalam duka nestapa, tentu sejak tadi ia sudah tahu bahwa di sekeliling tempat itu terdapat banyak orang. Kini ia baru sadar bahwa ia telah dikepung, ketika beberapa orang di antara para perampok itu tertawa.
Ki Adibroto mengangkat mukanya dan memandang ke sekeliling. Ada tujuh belas orang laki-laki kasar yang mudah diduga dari golongan apa. Dan di belakang mereka ini, di tempat-tempat tersembunyi, masih ada belasan orang lagi. Di sudut kiri berdiri seorang laki-laki yang mukanya penuh brewok. Melihat pakaiannya, agaknya laki-laki brewokan ini tentulah kepala perampok. Ia berdiri sambil merangkulkan lengan kirinya pada leher seorang wanita yang cantik manis. Heran sekali hati Ki Adibroto melihat seorang wanita cantik dan gerak-geriknya halus seperti itu dapat bersama dengan orang-orang kasar macam ini. Melihat wajah orang-orang kasar yang mengepungnya itu menyeringai, Ki Adibroto menegur,
"Kalian ini mengapa mengepungku?"
"Ha-ha-ha! Lihat mukanya sudah pucat!"
"Heh-heh-heh, tubuhnya menggigil!"
Banyak suara mengejek dan menertawakannya. Kemudian terdengar suara laki-laki brewokan, suara yang parau dan keras, "Kisanak, tinggalkan semua pakaian, juga perhiasan-perhiasan emas di tubuh anak itu!"
Ki Adibroto penasaran.
"Untuk apa harus kutinggalkan?"
Kembali muka-muka yang mengerikan itu tertawa bergelak. "Untuk ditukar dengan nyawamu, tolol!" teriak seorang di antara mereka.
Si kepala rampok hanya tersenyum-senyum saja, tangannya yang merangkul leher itu kini meraih dagu dan hendak mencium muka yang ayu manis itu. Akan tetapi wanita itu mengeluh, memalingkan mukanya dan keningnya berkerut tanda tidak senang hati. Namun pandang mata wanita itu tidak pernah beralih dari anak dalam pondongan Ki Adibroto.
"Ha-ha-ha-ha, bojoku denok ayu, sudah hampir setahun kau bersamaku, mengapa masih jual mahal? Hayo beri cium...!" Laki-Iaki brewokan itu menangkap dagu wanita itu, lalu dengan paksa menariknya dan mencium bibirnya dengan kasar sekali.
Kembali wanita itu mengeluh dan meronta, namun tak mungkin ia dapat melepaskan diri dari cengkeraman dua tangan kasar dan kuat itu. Para anak buah perampok hanya tertawa-tawa menyaksikan perbuatan tak tahu malu ini.
"Kekasihku yang ayu kuning, denok montok, kau lihatlah ada rejeki datang, perhiasan emas anak itu akan menghias tubuhmu, manis..." kata laki-laki brewokan setelah melepaskan mukanya yang brewokan dari atas muka yang halus itu.
Menyaksikan peristiwa ini, dada Ki Adibroto terasa panas. Kemarahan bergejolak dalam hatinya. la dapat menduga kini bahwa wanita cantik itu tentulah seorang wanita yang dipaksa, diperkosa atau diculik oleh kepala perampok itu. Dengan sepasang mata berkilat dan muka merah saking marahnya, Ki Adibroto memandang kepala perampok itu. Agaknya dadanya yang panas terasa oleh anaknya karena tiba-tiba Ayu Candra terbangun dari tidurnya lalu menangis menjerit-jerit!.
"Anakku! Kesinikan anakku!!"
Tiba-tiba wanita cantik itu menjerit dan memberontak dari dekapan kepala perampok. Pengaruh tangisan anak itu sedemikian hebat sehingga agaknya wanita itu memperoleh tenaga mujijat dan ia berhasil merenggutkan diri dan terlepas dari pelukan, lalu lari menubruk Ki Adibroto dengan kedua tangan terbuka, agaknya hendak merampas Ayu Candra.
"Anakku! Kembalikan anakku!"
Berdiri bulu tengkuk Ki Adibroto ketika ia cepat mengelak. Gilakah wanita itu? Ataukah dia sendiri yang gila dan melihat yang bukan-bukan? Ataukah arwah isterinya menyusup kedalam tubuh wanita ini? Akan tetapi, melihat betapa kepala rampok brewokan itu agaknya marah melihat wanita cantik itu melepaskan diri, kemudian sekali menggerakkan cambuk panjang kepala rampok jtu telah membelit kaki si wanita dengan ujung cambuk dan menarik cambuk sehingga wanita itu roboh terguling, hatinya tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Sambil mengeluarkan suara gerengan, Ki Adibroto yang masih memondong anaknya yang menangis menjerit-jerit lalu menerjang ke depan. Tangan kirinya memondong anaknya, namun dengan tangan kanannya ia menyerang. Tubuhnya berkelebat ke arah kepala rampok, tangan kanannya bergerak memukul. Kepala rampok itu berusaha untuk menangkis akan tetapi tangkisan tangannya tidak ada gunanya karena selain tangannya terpental, juga pukulan Ki Adibroto terus meluncur mengenai kepalanya.
"Desss.......!!
Terdengar jerit ngeri dan tubuh kepala rampok yang tinggi besar itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi karena kepalanya sudah pecah berantakan terkena hantaman tangan yang ampuh itu.
Para perampok yang terdiri dari orang-orang kasar itu terkejut sekali, akan tetapi mereka kurang cerdik untuk memaklumi bahwa pendekar yang memondong anak kecil itu sama sekali bukanlah tandingan mereka. Mereka hanya menurutkan nafsu amarah melihat kepala mereka roboh tewas. Sambil berteriak-teriak mereka lalu menyerbu dengan senjata di tangan. Golok, pedang, keris dan tombak berkilauan datang bagaikan hujan menyerbu Ki Adibroto.
Tentu saja para perampok kasar itu tidak dipandang sebelah mata oleh Ki Adibroto. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong anaknya, ia lebih mengkhawatirkan keselamatan puterinya itu. Maka cepat ia melolos lepas sabuk dan pinggangnya. Ketika ia menggerakkan sabuk berwarna putih ini di tangan kanannya, terdengar teriakan-teriakan kesakitan. Senjata-senjata lawan beterbangan dan bagaikan membabat rumput saja, tubuh para perampok bergelimpangan.
Ternyata sabuk yang lemas itu ketika disabetkan, dapat memecah kulit meremuk tulang sehingga banyak perampok roboh untuk tak dapat bangun kembali karena telah pingsan. Kini para perampok yang tadinya tinggal di belakang, sudah maju pula. Namun Ki Adibroto mengamuk dan sebentar saja belasan orang perampok sudah roboh.
Setelah setengah lebih para perampok roboh bertumpang tindih, baru sisanya sadar bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, berarti mereka semua membunuh diri. Timbul sifat pengecut mereka. Dengan tubuh gemetar mereka melempar senjata lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah-nyembah minta ampun! Ki Adibroto tegak berdiri. Anaknya di pondongan masih menangis. Ia memandang ke arah para perampok yang berlutut, lalu tersenyum masam.
"Kalau menurut sepatutnya kalian harus kubunuh semua. Akan tetapi biarlah aku melihat muka anakku ini dan mengampuni kalian semua!"
Setelah berkata demikian, tanpa menoleh ke belakang lagi Ki Adibroto lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong dan mengayun-ayun anaknya yang masih terus menangis. Hatinya bingung dan gelisah sekali. Pendekar ini boleh jadi gagah perkasa dan selalu tenang menghadapi apapun juga. Akan tetapi, semenjak melakukan perjalanan, apabila anaknya menangis dan rewel seperti ini, ia betul-betul bingung dan tak tahu Apa yang harus ia lakukan kecuali mengayun-ayun tubuh kecil lemah ini dengan keringat membasahi dahi dan jantung serasa diremas-remas. Sudah jauh juga ia meninggalkan tempat pertempuran tadi, akan tetapi anaknya masih juga menangis. Saking bingungnya ia lalu duduk di bawah pohon yang teduh, memangku anaknya sambil mengeluh berkali-kali,
"Aduh anakku sayang....angger Ayu Candra, kau diamlah, nak. Diamlah anakku bocah ayu....jangan kau membikin hancur hati ayahmu..!"
Akan tetapi anak kecil itu tetap menangis sampai terisak-isak. Saking bingungnya, tak terasa pula dua butir air mata menetes turun ke atas pipi Ki Adibroto. Pendekar yang baru saja dengan sebelah tangan membikin kocar-kacir pengeroyokan tiga puluh lebih perampok-kasar, kini ingin sekali menangis meraung-raung saking sedih dan bingungnya menghadapi puterinya yang menangis terus!
"Anakk....! Aduh kasihanilah aku, kasihani anakku....mari kembalikan anakku, biar dia kugendong selendang, kubopong kutimang-timang, kutidur-tidurkan"
Ki Adibroto terkejut. Saking bingungnya, ia tidak tahu bahwa sejak tadi, wanita yang tadi bersama kepala rampok telah rnengikutinya. Cepat ia melompat bangun dan memandang. Wanita itu amat cantik. Cantik jelita, akan tetapi wajahnya pucat, rambutnya kusut, pakaiannya sudah robek sana-sini, sebagian membayangkan kulit tubuhnya yang kuning halus. Kini wanita itu memandangnya dengan mata penuh permohonan, mata yang bercucuran air mata.
"Apa....Apa maksudmu....??!!" Ki Adibroto tergagap. "Siapakah engkau?"
"Dia anakku anakku sayang kembalikanlah...." Kini wanita itu menekuk lutut, mengembangkan kedua lengannya, wajahnya menimbulkan iba.
"Dia anakku, jangan engkau mengaku yang tidak-tidak!" Ki Adibroto berkata, masih ragu-ragu tidak tahu dengan orang bagaimana ia berhadapan. Gilakah wanita ini? Atau mempunyai niat buruk hendak mencelakai puterinya? Ataukah ataukah berpikir begini kembali bulu tengkuknya meremang, arwah isterinya menyusup ke dalam tubuh wanita ini?
"Kasihanilah dia....ooohhh, betapa kejam hatimu...! Lihat, dia menangis begitu hebat....aduh, bisa putus dan sesak napasnya...dia minta dipondong ibunya...hu-hu-huukk!!" Wanita itu menangis makin keras sampai tersedu-sedu.
Ki Adibroto menundukkan muka memandang puterinya. Benar-benar aneh anak ini. Menangis begini hebat. Kembali bulu tengkuknya meremang. Benarkah anak ini minta dipondong ibunya? Dan wanita itu benarkah arwah isterinya di situ? Tanpa disadarinya lagi ia mengulurkan kedua lengan, memberikan puterinya. Namun seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk mencegah kalau-kalau wanita itu akan mencelakai anaknya. Dengan teriakan girang sekali wanita itu menerima Ayu Candra yang masih menangis, mendekap anak itu ke dadanya, menciumnya sambil bercucuran air mata dan berbisik-bisik,
"Anakku....anakku....diamlah, nak. Ini ibumu ini ibumu..... engkau juntung hatiku, pujaan kalbu, mustika hidupku....ahhh, anakku, Joko Wandiro."
Ki Adibroto memandang dengan mata terbelalak. Benar saja. Anaknya mulai berkurang tangisnya, kemudian malah berhenti menangis ketika wanita itu memangkunya, menidurkannya membujur di ruas pangkuan sambil melepas-lepaskan baju dan selimut sarung yang membungkusnya.
"Aduh kasihan engkau, anakku...tentu saja kau menangis karena panas Orang telah berlaku nakal kepadamu manis? Engkau merasa panas? Ah, tentu saja, tapi diamlah, ibu kini menjagamu, nak"
Ki Adibroto melongo. Tahulah ia kini bahwa anaknya tadi menangis sampai begitu kerasnya. Kiranya anak itu merasa gerah, panas tubuhnya dibungkus serapat itu!.
"Nah, ini dia! Engkau digigit semut ini, anakku? Semut kurang ajar. Huh mampus tidak kau sekarang!" Wanita itu meremas seekor semut angkrang yang tadi rnenempel di paha anak kecil itu.
Makin mengertilah kini Ki Adibroto Kiranya hawa panas dan semut angkrang. la mulai merasa girang dan tertarik ke pada wanita itu. Ia memandang jari-jari tangan halus yang cekatan sekali membuka-buka pakaian anaknya dan tiba-tiba wanita itu terbelalak dan berteriak keras,
"Joko anakku kenapa menjadi perempuan....??? "
Mengertilah kini Ki Adibroto. Wanita ini sama sekali tidak disusupi arwah mendiang isterinya. Wanita ini terganggu jiwanya, agaknya karena kehilangan puteranya yang bernama Joko Wandiro. Entah hilang karena tewas ataukah hilang karena diculik orang. Akan tetapi agaknya puteranya itu tewas, mengingat bahwa wanita ini sendiri terjatuh ke tangan kepala rampok yang demikian kejam. Naik hawa amarah di dadanya, akan tetapi segera dingin kembali setelah ia ingat bahwa kepala rampok itu telah ia bunuh tadi. Mau rasanya ia membunuh sekali lagi kepala rampok keji itu. Dengan hati penuh iba menyaksikan wajah wanita itu demikian kaget, bingung, dan duka, ia lalu berjongkok di dekatnya dan berkata halus,
"Harap andika jangan kaget. Anak ini adalah anak saya, bernama Ayu Candra. Tentu saja perempuan. Karena itulah tadi tidak saya berikan kepadamu." Setelah berkata demikian, Ki Adibroto mengambil anaknya dari pangkuan wanita itu dan memondongnya kembali.
Wanita itu kini diam saja hanya memandang dengan mata terbuka lebar, mata yang bening dan bagus bentuknya, sayang bersinar layu dan penuh duka. Alangkah akan indahnya mata ini kalau sinarnya penuh bahagia pikir Ki Adibroto.
"Aduh, Jagad Dewa Bathara kenapa tidak dicabut saja nyawa hamba??" Wanita itu merintih-rintih lalu menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya sambil tetap berlutut.
Wanita itu bukan lain adalah Listykumolo, isteri Raden Wisangjiwo, mantu Kadipaten Selopenangkep. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini wanita yang bernasib malang ini setelah kehilangan anaknya, Joko Wandiro yang dibawa lari Pujo, telah terganggu ingatannya. Oleh suaminya ia dipulangkan kerumah ayahnya yang menjadi lurah Selogiri di lereng Gunung Lawu. Ketika Wisangjiwo sudah insyaf dan menyuruh pasukan menjemput isterinya, ia mendengar bahwa Listyokumolo telah diculik oleh gerombolan perampok, tidak lama setela pulang ke dusun itu, sedangkan dusun Selogiri dibumi hanguskan para perampok!
Memang amat malang nasib wanita ini. ia diculik oleh perampok kasar dan ada baiknya bahwa kepala rampok itu jatuh cinta padanya, biarpun ia memperlihatkan tanda-tanda tidak waras otaknya. Cinta kasih kepala rampok ini menyelamatkan Listyokumolo dari serbuan para perampok yang haus perempuan itu. Namun, ia harus menderita siksaan lahir batin di tangan kepala perampok. Wanita ini seakan-akan mati sekerat demi sekerat.
Baiknya Ki Adibroto yang membebaskannya dari siksaan batin itu. Melihat Listyokumolo menangis sedih, hati Ki Adibroto serasa ditusuk. Ia merasa terharu dan kasihan sekali. Apalagi ketika itu anaknya mulai menangis lagi!
"Di manakah rumah andika? Biar saya antar andika pulang." Akhirnya Ki Adibroto bertanya, suaranya mengandung getaran iba hati.
Listyokumolo mengangkat mukanya, memandang. Matanya kemerahan, pipinya basah oleh air mata yang masih terus bercucuran, sangat mengharukan.
"Pulang...? Pulang....? Ke mana pulang? Aku aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai keluarga...aku sebatangkara....tinggal menanti maut datang menjemput. Sungguh tega benar para Dewata membiarkan aku hidup seperti ini...."
Ki Adibroto menarik napas panjang, kembali memandang anaknya. Berkali-kali ia menggeleng kepala, ragu-ragu. Ia amat mencinta isterinya dan seakan-akan merasa berdosa kalau sepeninggal isterinya ia menoleh kepada wanita lain. Ah, tidak, bukan demi aku sendiri, melainkan demi Ayu Candra, demikian akhirnya ia menghibur hatinya dan menekan debar jantungnya sebelum berkata,
"Saya amat kasihan melihat anda. Siapakah nama anda dan Apa yang telah terjadi dengan keluargamu? Mengapa sampai terjatuh ke tangan perampok laknat itu? Harap anda suka ceritakan kepada saya dan percayalah bahwa saya tentu akan menolong anda sekuasa saya."
Semenjak ditimpa malapetaka ketika la dicilik Pujo sampai saat itu, agaknya baru kali ini Listyokumolo mendengar kata-kata yang menyatakan kasihan kepadanya dan baru kali ini ada orang hendak menolongnya. Hal ini menggetarkan jantungnya dan tangisnya makin tersedu-sedu. Akan tetapi ketika ia mengangkat mukanya melihat anak dalam pondongan Ki Adibroto, kembali ia mengulurkan kedua lengannya ke depan dan merintih,
"Kembalikan anakku...berikan anak itu kepadaku...."
Ki Adibroto menarik napas panjang. Kumat lagi wanita ini, pikirnya.
"Sudah saya jelaskan tadi bahwa anak ini bukanlah anakmu yang bernama Joko Wandiro, anak ini adalah Ayu Candra, anak saya yang sudah tidak beribu lagi "
Listyokumolo membelalakkan mata memandang anak itu. Mata yang masih amat indah bentuknya, lebar dengan bulu mata panjang lentik yang membentuk bayang-bayang teduh di bawah mata, dengan biji mata bening dan ujung mata yang meruncing tajam. Mata yang membayangkan berahi. Akan tetapi mata yang diselimuti kesayuan pandang dan dilayukan hati duka.
"Tidak beribu lagi....?"
Agaknya kenyataan ini sejenak menyadarkan Listyokumolo dari keadaan bingung, timbul dari hati iba. Kemudian ia bangkit dan menghampiri Ki Adibroto.
"Biarkan dia kugendong, biarkan aku menjadi pengganti ibunya, aduh kasihan biar aku menjadi pengganti ibunya dan ia menjadi pengganti anakku...."
Kata-kata Ini dikeluarkan dengan suara penuh harap, setengah berbisik, suara yang keluar langsung dari lubuk hatinya. Ki Adibroto sejenak memandang dan tahulah orang sakti ini bahwa sekaligus hatinya terampas oleh wajah yang ayu tapi menyedihkan itu, terampas oleh kepribadian yang menimbulkan cinta kasih akan tetapi sekaligus keharuan dan iba hati. Ia memberikan anaknya dan berbisik pula,
"Aku...aku akan bahagia sekali Kalau anda sudi menjadi pengganti ibunya"
Mungkin makna dari kata-kata Ki Adibroto ini dapat menembus kegelapan yang menyelimuti pikiran Listyokumolo karena tiba-tiba ketika menerima anak itu, kedua pipinya menjadi kemerahan, matanya menunduk dan bibirnya terhias senyum ditahan, senyum malu-malu. Akan tetapi hanya sebentar saja karena segera wajahnya berubah gembira penuh bahagia ketika ia merasa betapa anak itu bergerak-gerak di dadanya. Sebentar saja anak itupun tertidur setelah didekap oleh dada yang lunak dan hangat.
Tanpa pernah membantah sedikitpun, Listyokumolo lalu ikut dengan Ki Adibroto ke manapun pendekar itu pergi. Setelah setiap hari merawat Ayu Candra, mulai teringatlah ia akan keadaan dirinya dan akhirnya iapun sembuh dari gangguan pikirannya. Bahkan hal yang tak dapat dicegah lagi terjadi setelah wanita cantik jelita yang masih muda ini berkumpul dengan Ki Adibroto, pendekar yang juga belum tua yang gagah serta tampan itu, yaitu mereka saling jatuh cinta. Akhirnya mereka menjadi suami isteri yang saling mencinta, saling menghormat dan saling mengasihi.
Dengan kasih sayang besar mereka berdua mendidik dan membesarkan Ayu Candra sehingga anak ini sama sekali tidak pernah tahu bahwa wanita itu bukanlah ibu kandungnya. Setelah Ayu Candra berusia enam belas tahun, ayah bundanya pindah dan memilih Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu sebagai tempat tinggal yang baru.
Tadinya Ayu Candra yang tinggal bersama orang tuanya di daerah Ponorogo, menyatakan keberatan hatinya mengapa ayahnya ke tempat yang sunyi itu. Akan tetapi mengertilah gadis remaja yang cukup cerdik ini ketika ayahnya menjawab,
"Kita tinggal di tempat aman ini hanya untuk sementara, Candra. Ketahuilah bahwa perang saudara antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala sudah hampir pecah. Permusuhan terjadi di mana-mana. Kalau perang pecah, berarti keadaan akan menjadi kacau dan tidak aman. Engkau sudah remaja puteri, tidak akan baik jadinya kalau kita tinggal di tempat ramai. Biarlah kita tidak mencampuri keributan, kita tinggal di tempat yang indah dan aman ini sampai keadaan Negara menjadi aman kembali. Aku sudah bosan akan perang dan keributan, apalagi perang antara saudara sendiri!"
Mereka bertiga hidup tenang dan penuh damai di pinggir telaga. Sampai setahun lebih lamanya mereka bertiga tinggal di tempat yang indah itu. Akan tetapi hanya kelihatannya saja mereka hidup penuh ketenangan dan damai. Sebetulnya ada hal yang mengganggu hati Listyokumolo. Di waktu malam, setelah tidur pulas, seringkali suami isteri ini berbantahan. Listyokumolo tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya terhadap Pujo!
Dendam ini pula yang membuat ia semenjak menjadi isteri Ki Adibroto, dengan tekun dan rajin bersama puteri tirinya menggembleng diri dengan ilmu silat dan kesaktian. Biarpun ia tidak semaju Ayu Candra, namun setelah lewat enam belas tahun, Listyokumolo yang sekarang bukanlah Listyokumolo belasan tahun yang lalu. Ia kini menjadi seorang wanita yang berkepandaian. Dan setiap malam, ia membujuk suaminya untuk membantunya mencari Pujo, mencari puteranya, Joko Wandiro dan membalaskan dendamnya kepada Pujo.
Ki Adibroto adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan karena ia telah mendengar riwayat isterinya, ia dapat menduga bahwa suami isterinya yang pertama, Raden Wisangjiwo tentu bukan seorang baik-baik sehingga dimusuhi orang yang bernama Pujo. Ia selalu mengingatkan isterinya,
"Engkau sendiri menyatakan bahwa bekas suamimu, Wisangjiwo adalah seorang yang menyeleweng daripada kebenaran. Sangat boleh jadi dia itu melakukan sesuatu yang mendatangkan dendam kepada Pujo."
"Memang begitulah. Agaknya Wisangjiwo telah memperkosa isteri Pujo karena ketika menculikku, Pujo menyatakan hal itu kepadaku. Akan tetapi mengapa dia membalasnya kepadaku dan membawa pergi anakku?" Listyokumolo penasaran.
Ki Adibroto menghela napas panjang. "Isteriku, orang yang diracuni dendam hatinya menjadi seperti orang buta. Mungkin Pujo melarikan engkau, kemudian menculik anakmu, sama sekali tidak bermaksud sesuatu kepada dirimu pribadi melainkan semua ia tujukan untuk merusak hati bekas suamimu. Sudah kukatakan tadi bahwa dendam membuat orang seperti buta sehingga ia tidak melihat bahwa perbuatannya itu bukan hanya merusak hati Wisangjiwo secara tidak langsung, akan tetapi bahkan secara langsung merusak hatimu dan Joko Wandiro. Akan tetapi, setelah tahu bahwa dendam amat tidak baik, apakah engkau masih mau diracuni dendam terhadap Pujo?'
"Kakang Adibroto, aku tidak akan ngawur seperti Pujo. Aku hanya akan membalas kepadanya, bukan kepada orang lain. Pula, aku harus bertemu dengan dia untuk menanyakan dimana adanya Joko Wandiro. Kalau engkau tidak mau mengantarku, biarlah aku mencarinya sendiri. Biarpun belum tentu aku mampu mengalahkan Pujo, akan tetapi apa yang telah kupelajari darimu kiranya cukup untuk bekal melakukan perjalanan."
Ki Adibroto yang amat mencinta isterinya, tentu saja tidak dapat membiarkan isterinya pergi seorang diri menempuh bahaya. Akhirnya ia terpaksa menerima permintaan isterinya. Apalagi kalau ia ingat bahwa kini puterinya, Ayu Candra sudah berusia tujuh belas tahun, sudah cukup dewasa jntuk menjaga diri sendiri di tempat yang aman itu sampai mereka kembali dari perjalanan. Malah selain memenuhi permintaan isterinya, ia juga ada keperluan lain, yaitu pergi menemui sahabat-sahabatnya untuk mencari dan memilihkan seorang calon suami bagi Ayu Candra!
"Candra, ayah bundamu ada keperluan penting sekali, akan pergi untuk beberapa pekan lamanya. Engkau harus tinggal sendiri di sini, menanti sampai kami pulang."
Alis yang kecil panjang hitam melengkung itu berkerut.
"Mengapa aku tidak diajak pergi, ayah? Mengapa ditinggal sendiri di sini? Ayah dan ibu hendak ke manakah?"
"Negara sedang kacau, Candra. Permusuhan terjadi di mana-mana dan banyak orang jahat berkeliaran bebas. Engkau seorang wanita muda yang tentu akan menarik perhatian dan menimbulkan pertentangan. Pula, urusan yang akan kami urus adalah urusan kami orang-orang tua, tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Perhatikanlah, jangan kau pergi ke mana-mana, tinggal saja di sini dan tunggu sampai kami pulang."
Ayu Candra memang seorang anak yang taat kepada ayahnya. Biarpun hatinya amat kecewa dan tidak senang, ia tidak berani banyak membantah lagi. Akan tetapi ketika pagi hari itu ia melihat ayah bundanya pergi turun dari lereng, ia berdiri termangu-mangu dan memandang ke arah bayangan mereka sampai mereka lenyap di sebuah tikungan. Barulah ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menghapus air matanya.
Namun, Ayu Candra bukan seorang anak perempuan yang cengeng. Hanya sebentar saja ia melepaskan kekecewaannya dengan menangis Tidak lama kemudian ia sudah bekerja seperti biasa, menyapu pekarangan mengumpulkan daun kering yang memenuhi pekarangan dan membakarnya. Kemudian ia rnelakukan pekerjaan rumah seperti biasa.dan wajahnya sudah cerah kembali.
Beberapa hari kemudian, karena kayu bakar persediaan mereka habis, Ayu Candra pagi-pagi telah meninggalkan pondoknya dan berlari-lari mendaki jalan yang menanjak. Sejak kecil ia sudah dilatih ayahnya untuk melawan hawa dingin pegunungan di waktu pagi dengan berlari-larian. Amat lincah gerakannya, laksana seekor kijang muda ketika ia lari mendaki jalan yang licin dan sukar itu. Namun bagi Ayu Candra tidaklah sukar.
Selain untuk melawan hawa dingin, juga pagi itu amat indah, udara cerah dan sinar matahari pagi mulai menerobos rnelalui celah-celah daun pohon membagi cahaya kehidupan ke muka bumi. Pagi cerah yang menimbulkan rasa gembira di hati Ayu Candra, segembira burung-burung di pohon yang berkicau riang, segembira bajing-bajing yang berloncatan dari cabang ke cabang, kelinci yang lari berkejaran menyusup semak-semak.
Baru kali ini Ayu Candra merasa betapa senangnya bebas seperti itu. la merasa bebas, seorang diri di dunia ini setelah ayah bundanya pergi. Ia masih ingat akan pesan ayahnya agar ia jangan pergi mengunjungi dusun-dusun yang terletak di kaki gunung. Akan tetapi pagi ini ia tidak mengunjungi dusun-dusun itu, ia malah mendaki naik menjauhi dusun dusun, menjauhi manusia. Apa salahnya?
Belum pernah ia pergi ke hutan di sebelah puncak kiri itu. Ia akan mencari kayu bakar di sana sambil melihat lihat keadaan hutan yang belum pernah ia kunjungi. Dari jauh tampak beberapa batang pohon kelapa dan hal ini menambah tertarik hatinya. Sukar mencari pohon kelapa di daerah Sarangan, dan agaknya hanya kebetulan saja di hutan sebelah depan itu terdapat beberapa batang pohon kelapa. Makin girang hatinya setelah dekat ia melihat bahwa sebatang di antara pohon-pohon kelapa itu ada buahnya yang sudah besar.
Sudah lama ia tidak pernah makan dawegan (kelapa muda), maka tiga butir buah yang tergantung di pohon tinggi itu merupakan daya penarik yang amat kuat sehingga Ayu Candra mempercepat larinya. Setelah tiba di bawah pohon kelapa, ia segera mengambil batu dan dua kali lontaran saja dengan tangannya yang kuat, ia telah berhasil merontokkan tiga butir kelapa muda itu.
Dengan girang ia mengambil tiga butir buah itu, membayangkan kesedapan air dawegan dan kelezatan dagingnya. Akan tetapi teringat olehnya akan kayu bakar yang habis persediaannya. Ia segera pergi mengumpulkan kayu bakar yang amat banyak terdapat di hutan itu, kemudian setelah mengikat kayu-kayu kering itu ia menggendongnya dan menjinjing tiga butir kelapa, hendak dibawa pulang.
Ayu Candra dengan wajah berseri berjalan keluar dari hutan itu. Ia sengaja menahan haus dan baru di pondok nanti akan menikmati air dawegan yang manis dan sedap. Akan tetapi ketika tiba di pinggir hutan dan melewati sebuah pohon randu alas yang besar sekali karena tiga batang pohon tumbuh menjadi satu, mendadak ia berhenti melangkah karena mendengar suara orang!
"Duh Dewa...! kenapa tidak dicabut saja nyawaku? Tidak kuat aku menderita siksaan ini...!
Ayu Candra adalah seorang gadis yang tidak pernah mengenal takut karena sejak kecil ia telah digembleng ayahnya. Akan tetapi, mendengar dengan telinga sendiri betapa pohon randu alas dapat bicara dan mengeluh seperti manusia benar-benar ia merasa ngeri juga dan wajahnya yang cantik jelita itu berubah agak pucat. Ia tahu bahwa iblis dan setan berkeliaran di atas bumi ini, akan tetapi di waktu malam hari.
Sekarang, di waktu matahari masih bersinar seterang-terangnya, menjelang tengah hari, bagaimana ada iblis berani muncul dan memperdengarkan suaranya? Kalau bukan iblis, mustahil ada pohon randu alas benar-benar bisa mengeluh seperti manusia dan menyatakan bosan hidup? Ah tak mungkin, pikirnya. Tentu orang! Akan tetapi kalau ada orangnya, di mana sembunyinya? Ayu Candra merasa curiga dan karena kedua tangannya menjinjing buah buah kelapa, ia lalu melemparkan tiga butir buah kelapa itu ke atas tanah. Kemudian ia mendekati pohon randu alas dan bertanya,
"Siapakah orangnya yang mengeluarkan suara keluhan tadi?"
Sunyi mengikuti pertanyaan ini, seakan akan orang yang mengeluarkan suara tadi merasa kaget. Kemudian terdengar orang merintih, suaranya keluar dari dalam pohon!
"Sudah begini menderita masih ada wanita menggangguku lagi? Ah, Dewata Yang Agung, sampai di ambang maut masih haruskah aku berhadapan dengan penggodaku?"
Tiba-tiba kulit pohon itu terbuka dari dalam dan seorang laki-laki menggelundung keluar. Kiranya batang pohon itu berlubang dalamnya dan laki-laki ini tadi bersembunyi di dalam pohon. Melihat keadaan laki-laki ini, Ayu Candra terkejut bukan main. Keadaan laki-laki ini mengerikan. Laki-laki itu usianya tentu empat puluh tahun lebih pakaiannya compang-camping, wajahnya penuh bekas luka.
Melihat ke bawah Ayu Candra merasa makin ngeri. Kedua kaki orang itu buntung sebatas lutut! Karena celananya juga compang camping maka tampaklah kaki yang buntung itu yang ujungnya merupakan tulang menjedol keluar dikelilingi daging terbungkus kulit berkeriputan. Laki-laki itu setelah menggelundung keluar, lalu menoleh dan sepasang matanya terbelalak penuh kekaguman memandang wajah cantik jelita dan tubuh yang muda, montok, dan padat. Akan tetapi hanya sebentar saja kekaguman itu terpancar keluar dari sinar matanya. Segera ia mengerang kesakitan dan sinar matanya layu.
"aduh....mati aku...!"
Ayu Candra memiliki dasar watak yang penuh welas asih seperti watak ayahnya. Melihat keadaana orang itu dan mendengar rintihannya, ia merasa sangat kasihan sekali. Bagaimana ada orang sampai begini sengsara?
"Kasihan sekali engkau paman. Mengapa engkau sampai menjadi begini?!
Laki-laki itu mengerang panjang, tubuhnya yang miring itu terlentang dan ia memandang ke arah wajah yan cantik Jelita itu.
"Aku....aku menderita sakit...ohh.. tolonglah aaugghhh. Kembali ia mengerang dan melanjutkan, terengah-engah, "lapar....Haus....aduh....."
Ayu Candra merasa hatinya seperti di tusuk-tusuk. Entah bagaimana wajah orang ini mendatangkan iba dalam hatinya. Ia dapat melihat bahwa dahulunya orang ini memiliki bentuk wajah yang tampan dan pakaiannya walaupun butut, dilihat dari celana, baju, kain dan destarnya, pasti bukan orang dusun biasa. Dan sinar mata itu amat tajam berpengaruh menandakan seorang berisi.
"Aku hanya punya kelapa. Maukah kau minum air dawegan?"
Laki-laki itu menggerakkan kepala mengangguk. Ayu Candra lalu berjongkok memungut sebutir dawegan yang tadi ia lemparkan keatas tanah, kemudian menggunakan sepotong batu untuk mengupas kulitnya bagian atas dan membuat lubang. Hal ini dapat ia lakukan dengan mudah, menggunakan tenaga dalam. Orang biasa saja, biarpun ia laki laki, takkan mungkin mengupas kulit kelapa yang amat liat dan keras itu hanya menggunakan sepotong batu! Hal ini rupanya dimengerti pula oleh laki-laki buntung karena ia kini sudah bangkit duduk sambil memandang dengan mata terbelalak kaget.
Kalau saja Ayu Candra tidak sedang asyik membuka kulit kelapa, dan melihat cara laki-laki itu bangkit duduk, tentu ia akan menjadi curiga, Ketika itu, laki-laki buntung itu tidak kelihatan selemah tadi, bahkan sekali tubuhnya bergerak ia sudah dapat bangkit dan duduk. Ketika Ayu Candra membalikkan tubuh membawa kelapa yang sudah terkupas dan terlubang, laki-laki itu kembali kelihatan menyeringai kesakitan, sungguhpun matanya masih terbelalak heran dan kaget.
"Minumlah air kelapa ini, paman. baik untuk kesehatan selain mengurangi haus," kata Ayu Candra dengan suara halus dan penuh perasaan.
Makin dipandang, makin kasihan ia terhadap laki-laki itu. Sebaliknya bagi laki-laki itu, makin dipandang, makin luar biasa cantik jelita dan halus budi pekerti gadis itu, membuat ia menelan ludah bukan karena haus.
"Terima kasih. terima kasih" katanya menerima dawegan, menyembunyikan debar jantungnya yang berdegupan ketika jari tangannya menyentuh jari tangan yang halus dan hangat.
Diteguknya air dawegan itu sampai habis, kemudian diusapnya air yang membasahi ujung bibir dan dagunya.
"Aaahhhh segar sekali. Sudah berkurang peningku. Terima kasih, nak. Engkau sungguh baik sekali."
Tiba-tiba Ayu Candra merasa betapa mukanya menjadi agak panas dan cepat ia membuang muka. Pandang mata orang itu membuat hatinya berdebar. Pandang mata itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hati dan pikirannya. Bukan main tajamnya dan ia merasa aneh. Untuk menghilangkan rasa anehnya ini ia lalu memandang dan berkata, "Apakah paman mau dahar daging dawegan ini?"
Kembali laki-laki itu mengangguk-angguk, menjilati bibir dengan lidah dan memandang kelapa muda sambil berkata, "Bagaimana membukanya? Kulihat engkau tidak membawa parang...."
Ayu Candra merasa bahwa di depan seorang tapadaksa itu tidak perlu lagi ia berpura-pura dan menyembunyikan kepandaiannya.
"Tidak perlu pakai parang" katanya singkat sambil mengangkat tangan kanan, dipukulkan pada kelapa muda yang berada di atas telapak tangan kirinya.
"Prakkk!" Kelapa muda itu pecah menjadi dua, terbelah seperti dibacok kapak tajam saja. Padahal kelapa itu masih terbungkus serabutnya yang liat!
Laki-laki itu makin heran sampai melongo, kemudian diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya, diterimanya kelapa itu dan dimakanlah daging kelapa muda yang lembut, gurih dan manis dengan lahapnya.
"Mau lagikah, paman? Aku masih punya dua butir..." tanya Ayu Candra sejujurnya ketika melihat orang itu sudah makan daging kelapa muda.
"Tidak...sudah cukup. Terima kasih "
"Di manakah rumah paman? Dan mengapa sampai di tempat. ini dalam keadaan seperti...itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah kedua kaki yang buntung.
Laki-laki itu memandang kepadanya dan pcrlahan-lahan beberapa butir air mata menetes turun....Trenyuh sekali hati Ayu Candra.
"Apakah paman dicelakai orang? Siapa mereka yang mencelakai paman? Kejam benar mereka!"
Mewarisi watak ayahnya, seorang pendekar besar, Ayu Candra mengepal kedua tinju, merasa marah sekali menyaksikan kekejaman orang terhadap laki-laki buntung ini. Dengan suara pilu laki-laki itu berkata,
"Terima kasih atas perhatianmu, nak. Aku....aku memang seorang yang bernasib buruk. Aku disiksa orang-orang jahat, kedua kakiku dibuntungi dan nyaris dibunuh mereka. Akan tetapi, aku sendiri tidak tahu siapa mereka. Namaku Ki Jatoko dan aku tidak bersanak-kadang, tidak berkeluarga tidak punya tempat tinggal. Aku berusaha mencari pedusunan sambil merangkak-rangkak sedapatnya, sampai di tempat ini terserang sakit dan agaknya Dewata sudah akan mencabut nyawaku. Akan tetapi engkau muncul dan menolongku, ini hanya berarti kematianku agak diperpanjang berikut siksaan dan derita"
Wajah Ayu Candra menjadi pucat. Ia tidak tahu bagaimana harus menolong orang ini. Kalau sekarang ia pulang dan meninggalkan orang ini di sini, tentu orang Ini akan mati. KaJau tidak mati diterkam harimau atau binatang buas lain, tentu akan mati kelaparan dan kehausan. Membawanya pulang? Bagaimana caranya? Dia sudah buntung kedua kakinya. Pula, kedua orang tuanya tidak berada di rumah.
"Sayang. Ayah dan ibu tidak ada di rumah. Entah kapan pulangnya. Kalau ada ayah, tentu dia akan dapat menolongmu, paman. Ayah tidak akan membiarkan orang Iain menderita tanpa menolongnya."
Ayu Candra tidak melihat betapa sinar mata laki-laki itu berkilat ketika mendengar bahwa ayah bunda gadis itu tidak berada di rumah.
"Siapakan nama ayahmu yang mulia,nak? Dan siapakah namamu? Aku harus tahu nama dewi penolongku"
"Ayah bernama Ki Adibroto. Kini bersama ibu sedang pergi, mungkin masih lama kembalinya karena baru sepekan dan menurut pesan ayah, mungkin sampai berbulan. Aku bernama Ayu Candra."
"Ayu Candra, anak yang baik, engkau telah menyambung nyawaku tadi apakah sekarang engkau tega meninggalkan paman mati kelaparan di sini? Tolonglah aku, nak, tolonglah....biarlah aku ikut mondok di tempat tinggalmu, sampai orang tuamu datang, atau sampai aku sembuh kembali aduuhhh....!"
Laki-laki itu roboh dan bergulingan di atas tanah. Ayu Candra kaget sekali, cepat ia berjongkok dan meraba dahi orang. Amat panas! Terang bahwa orang ini terkena penyakit demam. Bagaimana mungkin ia membiarkan saja orang yang sakit ini di dalam hutan tanpa menolongnya?
"Aku suka menolongmu, paman. Dan aku tidak keberatan kau mondok di pondok kami. Akan tetapi bagaimana kau dapat sampai ke sana? Dari tempat ini agak jauh juga, dan jalannya sukar, naik turun dan licin."
Laki-laki ini mengeluh dan kembali bangkit duduk sambil menekan tanah. Cepat-cepat ia menjawab, "Jangan khawatir, nak. Keadaanku ini membuat aku terpaksa dapat berjalan menggunakan kedua tanganku. Bertahun-tahun aku melatih jalan dengan kedua tanganku dan aku berhasil. Asal tidak terlalu cepat, agaknya aku akan dapat bersamamu pergi ke pondokmu."
Ayu Candra mengangguk-angguk. "Baiklah, paman. Dan nanti apabila menemui jalan yang terlalu sukar, aku dapat membantumu."
Laki-laki yang mengaku bernama Ki Jatoko itu kelihatan girang sekali. Dengan menekankan kedua tangan ke Atas tanah, ia bangkit dan "berdiri" di atas kedua kakinya" yang buntung. Kemudian ia menggerakkan kedua kaki dan ia dapat berjalan cukup baik, seperti seorang anak kecil.
"Jika aku merasa lelah dan kedua kakiku yang bunting terasa nyeri, aku dapat membantunya dengan kedua tangan seperti ini." katanya dan kini ia berjalan dengan "empat kaki", sehingga Ayu Candra yang melihatnya merasa terharu sekali.
Melihat keharuan membayang di wajah yang cantik manis itu, Ki Jantoko berkata dengan suara memelas, "Ayu Candra, bocah ayu yang berhati emas, cantik berbudi seperti Dewi Suprobo, sudikah engkau menolong paman yang sengsara ini? Kalau engkau tidak merasa jijik untuk menggandeng tanganku, agaknya aku akan berjalan lebih cepat, tidak usah merangkak seperti binatang berkaki empat "
Suara itu amat mengharukan hati Ayu Candra yang merasa heran kepada dirinya sendiri mengapa ia begini lemah perasaannya sehingga terhadap laki-laki ini, yang sudah setengah tua, buntung lagi buruk mukanya menjijikkan penuh bekas luka, ia merasa amat kasihan dan juga merasa suka! Betapapun juga, ia memiliki batin yang amat kuat dan masih murni, bersih daripada niat dan pamrih buruk, sehingga andaikata dia tidak merasa amat kasihan kepada Ki Jatoko tentu ia tidak sudi melaksanakan permintaan si buntung itu.
"Marilah agar kita cepat sampai di pondokku," katanya mengulurkan tangan kiri kepada Ki Jatoko.
Dengan pandang mata penuh haru dan syukur laki-laki itu memegang tangan kiri Ayu Candra dengan tangan kanannya. Di dalam hati laki-laki ini menyebut nama Dewata yang memberi berkah sedemikian besar kepadanya. Jantungnya berdebar-debar ketika kulit tangannya meraba kulit tangan gadis remaja yang halus lunak dan hangat itu. Kehangatan lembut yang seakan-akan menjalar melalui tangannya dan bagaikan embun membasahi hatinya yang mulai melayu sehingga hatinya menjadi segar kembali, semangatnya yang sudah tidur menjadi bangkit kembali. Kedua kakinya yang buntung tidak terasa sakit lagi ketika ia berlari-lari kecil dalam langkahnya untuk mengimbangi langkah Ayu Candra yang tentu saja lebih lebar daripada langkah kedua kaki buntungnya.
Siapakah gerangan laki-laki buntung itu? Benarkah seperti Apa yang ia ceritakan bahwa ia dianiaya oleh orang-orang jahat sehingga kedua kakinya buntung dan mukanya penuh cacad? Ah, kalau saja Ayu Candra tahu siapa dia sebenarnya! Laki-laki itu sama sekali bukanlah orang lemah seperti tampaknya. Dan kedua kaki yang buntung itu tidak lagi terasa sakit seperti yang diperlihatkannya. Tidak, sama sekali tidak.
Kaki itu sudah buntung selama lima tahun yang lalu! Dan laki-laki itu sama sekali bukan orang lemah, bahkan dengan kedua kakinya yang buntung itu masih memiliki kesaktian yang hebat. Karena dia ini bukan lain adalah Jokowanengpati! Ya, kedengarannya aneh, akan tetapi sebetulnya tidak aneh. Tidak ada yang aneh di dunia ini, bahkan di alam semesta, apabila Tuhan menghendaki. Semua sudah wajar dan semestinya demikian, sesuai dengan kehendak Tuhan karena apabila Tuhan tidak menghendaki, tentu tidak akan terjadi demikian!
Ketika Jokowanengpati dalam pertandingan melawan pengeroyokan Kartikosari dan Roro Luhito, terjun ke dalam Laut Selatan dan mengejek kedua orang wanita musuh besarnya itu, ia disambar ikan hiu. Dalam pandangan Kartikosari dan Roro Luhito, juga Pujo yang diam-diam menyaksikan babak terakhir pertandingan hebat itu, tentu saja Jokowanengpati tewas karena diseret ikan hiu yang buas dan lenyap ke bawah permukaan air laut. Mereka ini tidak melihat Jokowanengpati muncul kembali, maka sudah tentu menganggap bahwa musuh besarnya itu habis riwayatnya dikubur ke dalam perut ikan. Akan tetapi sesungguhnya tidak seperti yang mereka sangka dan harapkan.
Jokowanengpati adalah seorang yang sakti dan memiliki tubuh yang kebal, juga amat cerdik, licin dan penuh akal. Tadinya ia memang kehilangan akal ketika secara tiba-tiba diserang ikan hiu yang besar dan amat kuat itu. Rasa ngeri dan takut membuat ia menjerit-jerit minta tolong, lupa untuk mempergunakan kecerdikan dan kekuatan sendiri untuk menolong dirinya. Akan tetapi ketika ikan hiu itu membawanya menyelam, menyeretnya sampai jauh di dalam air, dalam keadaan pelik ini, dalam cengkeraman maut yang agaknya takkan dapat dihindarinya lagi, Jokowanengpati menjadi marah sekali.
Marah terhadap ikan itu dan kini seluruh perhatiannya dicurahkan kepada musuh barunya ini, yang mengancam keselamatan nyawanya. Timbul akalnya. Yang digigit ikan itu adalah kedua kakinya. Ketika tadi ia meronta, gigitan ikan itu melorot turun dan kini gigi ikan yang seperti gigi gergaji itu tertanam di kedua paha dekat lutut. Kini kedua tangannya dapat menjangkau ke bawah.
Jokowanengpati tadi telah menghirup napas sepenuh paru-parunya ketika akan dibawa menyelam, ketika ia melepaskan perlawanannya ketika diseret ke bawah permukaan air laut. Kini, sambil mengerahkan seluruh tenaga ke dalam jari-jari tangan kanannya, ia meraih ke depan, sejauh mungkin sehingga ia mampu mencapai mata ikan.
"bocah keparat!"
"Jahanam sialan!"
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini, belum terlambat apabila kalian insyaf dan pergi dari sini."
Akan tetapi dua orang wanita itu mana mau berhenti sampai sekian saja? Sambil memekik nyaring, suaranya melengking seperti bukan suara manusia lagi, kakak beradik yang sakti mandraguna ini lalu menerjang Joko Wandiro. Gerakan mereka cekatan sekali, tubuh mereka seperti lenyap dan hanya tampak bayangan mereka menyambar-nyambar di sekeliling Joko Wandiro. Apabila bayangan tangan mereka berkelebat, terdengar angin bersiutan. membuat debu beterbangan daun-daun pohon waringin yang kecil-kecil itu bergoyang-goyang.
Namun Joko Wandiro menghadapi mereka dengan tenang. Gerakannya pun lambat dan tenang, namun kedua tangannya yang bergerak itu membentuk lingkaran-lingkaran hawa sakti yang amat kuat, yang merupakan benteng melindungi tubuhnya daripada terjangan-terjangan lawan. Semua pukulan lawan, sebelum dapat menyentuh tubuhnya telah bertemu dengar lingkaran hawa sakti itu dan membalik.
Bagi pandangan para perwira yang kurang tinggi ilmunya, keadaan Joko Wandiro seperti terdesak. Pemuda ini kelihatan menggerak-gerakkan kaki tangan melawan dua bayangan yang amat cepatnya. Akan tetapi bagi Ki Patih Suroyuda dan mereka yang ahli, terutarna bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini sendiri, mereka amat kagum menyaksikan perlawanan Joko Wandiro yang jelas membuktikan keunggulannya.
"Pergilah!!" Tiba-tiba Joko Wandiro berseru keras dan tubuh dua orang wanita itu kembali terlempar jauh, melayang seperti daun kering tertiup angin. Bentakan tadi disertai Aji Dirodo Meto dan kedua tangannya mendorong dengan Aji Bojro Dahono. Demikian dahsyat serangan balasan ini sehingga tidak tertahankan oleh kedua orang lawannya yang mencelat sampai beberapa meter jauhnya.
Namun Ni Durgogini dan Ni Nogogini juga bukan orang sembarangan. Biarpun mereka tidak kuat menahan hawa sakti yang mendorong sedemikian dahsyatnya, namun tubuh mereka juga memiliki kekebalan sehingga biarpun terlempar, mereka masih belum terluka karena cepat-cepat mereka tadi mengerahkan tenaga sehingga ketika terbanting ke tanah, mereka dapat mencelat kembali ke atas dan kini sudah berdiri dengan muka merah saking marahnya.
"Tar-tar-tar!!"
Terdengar ledakan-ledakan nyaring ketika Ni Durgogini menggerakkan dan melecutkan cambuknya di udara. Kiranya dalam keadaan marah sekali wanita ini telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu cambuk Sarpokenoko. Juga Ni Nogogini tidak mau ketinggalan. Ia pun merasa marah dan malu, maka dengan gerakan cepat penuh kegemasan ia telah menghunus pusakanya, yaitu sebuah cundrik yang terkenal ampuh dan mengeluarkan sinar berkilauan. Inilah cundrik Embun Sumilir!
Joko Wandiro cepat mengerahkan Bayu Sakti untuk menyelamatkan diri daripada hujan serangan itu. Cambuk Sarpokenoko hebat bukan main. Suaranya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat, karena suara ledakan-ledakan itu mengandung daya menggetarkan jantung. Dari atas, cambuk itu menyambar-nyambar ganas sekali melingkar-lingkar, ujungnya mematuk-matuk mencari bagian tubuh yang berbahaya atau jalan darah mematikan, seperti seekor ular sakti!
Selain diserang oleh sambaran cambuk dari atas yang sudah amat berbahaya, dari bawah Joko Wandiro diterjang bertubi-tubi oleh Ni Nogogini yang mempergunakan keris pusakanya Embun Sumilir. Hanya dengan gerakan Bayu Sakti yang luar biasa cepatnya, barulah ia dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan itu lalu melompat ke belakang. Dua orang lawannya berseru garang dan menerjarg maju lagi.
Akan tetapi pada saat itu, para senopati dan pengawal yang menonton pertandingan, tiba-tiba menjadi gaduh, menuding-nuding ke arah dua orang wanita itu, berseru kaget dan ada yang menahan ketawa. Hal ini mengherankan hati kedua orang wanita itu sehingga sesaat mereka menunda penyerangan mereka lalu saling pandang. Begitu mereka saling pandang, keduanya menahan jerit, tangan kiri membuat gerakan menutup mulut.
"Aiiiiihh! Mbokayu Lasmini....! Kau kenapa....? Rambutmu penuh uban, mukamu penuh keriput....!" Ni Nogogini menegur dengan mata terbelalak.
"Kau...kau...juga, Mandari....!"
Ni Durgogini berkata sambil menudingkan telunjuk kiri ke arah adiknya dan dengan suara terisak. Kedua orang wanita itu lalu sibuk meraba-raba rambut dan wajahnya sendiri. Jelas terasa oleh ujung jari betapa kulit muka yang biasanya halus itu kini menjadi kasar dan kerut-merut berkeriputan. Dan ketika mereka membawa rambut ke depan untuk dilihat, sebagian besar rambut itu membodol (rontok) dan yang masih tinggal bercampur banyak uban!
Sebagai orang-orang berkepandaian tinggi, mengertilah kedua orang wanita ini. Apa yang telah terjadi. Ternyata pukulan pemuda tadi yang mengandung hawa panas seperti halilintar, disertai pekik dahsyat, yang membuat mereka berdua terlempar, telah membuyarkan aji dan khasiat obat Suketsungsang yang membuat mereka menjadi awet muda.
Getaran hebat yang hampir mematahkan tungkai jantung, yang tadi menjalar ke seluruh tubuh, telah membuat mereka terluka di sebelah dalam sehingga hawa yang mempengaruhi jalan darah membuat mereka awet muda itu terdorong keluar. Akibatnya, keadaan mereka menjadi badar dan kembali asal, atau menjadi sewajarnya, Rambut mereka beruban, kulit mereka berkeriput, sesuai dengan keadaan semestinya wanita-wanita yang usianya mendekati enam puluh tahun!.
Bagi seorang wanita biasa dan normal, dalam usia hampir enam puluh tahun, kiranya kenyataan ini tidak mempengaruh铆 hatinya, uban dan keriput bukan hal yang mengecilkan hati. Akan tetapi, bagi Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kenyataan ini amat hebat. Mereka adalah orang-orang yang telah menjadi hamba nafsu berahi, bagi mereka hidup adalah senang, dan senang hanya dapat mereka nikmati melalui wajah cantik dan tubuh muda menarik. Kini mereka telah sadar dan kenyataan ini bagi mereka terasa lebih menderita daripada luka-luka maut. Wajah mereka menjadi pucat sekali, tubuh gemetaran dan urat syaraf lemas, Kedukaan hati mereka demikian besar, jauh melampaui kemarahan mereka terhadap Joko Wandiro. Terdengarlah ratap tangis mereka.
"Aduh Dewa, cabutlah saja nyawa hamba...!" Ni Nogogini mengeluh.
"Aduh rama (ayah)....rama bhagawan.... ketiwasan (celaka), rama.....!"
Ni Durgogini menjerit-jerit lalu lari pergi dari tempat itu sambil menyeret cambuknya. Ni Nogogini juga mengikuti kakaknya sambil menangis. Dalam waktu sebentar saja lenyaplah bayangan kedua orang wanita sakti itu.
Sejenak Joko Wandito berdiri tertegun. Kemudian la menarik napas panjang, hatinya terasa trenyuh. Dia tidak membenci mereka berdua dan hanya menentang mereka berdua karena mereka membuat geger, membunuh banyak orang dan menantang ayah angkatnya. Kini, menyaksikan keadaan mereka, mendengar ratap tangis mereka, hati pemuda ini merasa kasihan dan terharu. Akan tetapi tidak ada rasa sesal di hatinya oleh karena bukan dialah yang membuat mereka berdua menderita. Dia sama sekali tidak ada niat membuat mereka menderita seperti itu dan semua yang terjadi tadi adalah buah daripada perbuatan mereka sendiri.
"Orang muda, kiranya andika adalah seorang satria yang perkasa!" terdengar Ki Patih Suroyudo berkata kagum.
"Raden Joko Wandiro, maafkan kami yang tadi kurang hormat kepada andika," kata seorang perwira.
"Marilah, Joko Wandiro. Mari ikut bersamaku menghadap sang prabu, akan kulaporkan tentang kedigdayaanmu dan kau tentu dianugerahi kedudukan yang pantas," kata pula Ki Patih Suroyudo.
Di dalam hatinya, Joko Wandiro merasa senang. Ternyata sekarang bahwa ki patih dan para ponggawa keraton ini adalah orang-orang yang baik hati, tidak menaruh iri hati dan dengki kepada orang lain yang berjasa. Kiranya tadi memandang rendah kepadanya karena memang ragu-ragu dan tidak percaya kepada seorang pemuda dari dusun seperti lajimnya sikap para bangsawan terhadap rakyat kecil.
Perasaan Joko Wandiro yang halus segera dapat memaklumi hal ini dan dia memang tidak suka memelihara dendam. Akan tetapi, sejak semula ia memang tidak mempunyai hasrat untuk menghambakan diri ke istana. Kalau tadi ia menghadap raja, hanyalah untuk memenuhi pesan gurunya. Dan ia tadi sudah menghadap, berarti ia tidak mengabaikan pesan gurunya. Kalau ia tidak diterima, itu bukan salahnya. Maka ia cepat-cepat memberi hormat dan berkata,
"Gusti patih, hamba tidak berani lagi mengganggu gusti prabu. Biarlah lain kali saja hamba datang menghadap."
Setelah berkata demikian, tanpa jawaban lagi, Joko Wandiro sudah melompat jauh ke belakang lalu menggunakan Aji Bayu Sakti lari meninggalkan tempat itu. Ki Patih Suroyudo dan para senopati dan pasukan pengawal, hanya dapat memandang dengan melongo. Mereka semua merasa menyesal sekali mengapa seorang pemuda sakti mandraguna seperti itu kini tidak mau tinggal di kota raja karena kekeliruan sikap mereka tadi. Agaknya hanya orang sesakti pemuda itu yang akan mampu menandingi si maling haguna yang telah menggegerkan istana sebulan yang lalu.
********************
Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu itu amat luas dan indah. Air kebiruan menelan bayangan pohon-pohon cemara yang tumbuh di tepinya. Sunyi dan damai keadaan sekelilingnya. Hanya kicau burung dan teriakan-teriakan kera bercanda kadang-kadang terdengar, menambah indah keadaan. Hawa udaranya sejuk bersih.
Di pinggir telaga sebelah selatan tampak sebuah pondok kayu berdiri sunyi menyendiri. Para pendeta, pertapa, dan orang-orang yang sudah bosan akan keramaian kota dan dusun, yang ingin menyatukan diri dengan keindahan alam aseli itu, tentu akan mengilar karena kepingin melihat pondok dan suasana di sekitarnya yang hening dan bersih ini.
Dahulu, beberapa tahun yang lalu, pondok ini menjadi tempat tinggal Ki Tejoranu. Seperti telah kita ketahui, Ki Tejoranu beberapa tahun yang lalu telah pergi meninggalkan Pulau Jawa, pulang ke tanah asalnya, yaitu Negeri Cina. Pondok itu ditinggalkan begitu saja tak terpelihara dan menjadi rusak. Akan tetapi setahun yang lalu, datanglah seorang laki-laki tinggi kurus bersama isteri dan puterinya. Mereka menemukan pondok kosong ini, memperbaikinya dan selanjutnya merekalah yang tinggal di tempat indah sunyi ini. Mereka bertiga hidup penuh damai dan bahagia.
Siapakah gerangan mereka bertiga yang memilih tempat sunyi sebagai tempat tinggal ini? Laki-laki tinggi kurus berusia lima puluh tahun itu adalah seorang pendekar terkenal. Namanya Ki Adibroto, seorang sakti mandraguna dari Ponorogo. Di Ponorogo iapun terkenal sebagai seorang warok yang gemblengan dan namanya tidak kalah terkenalnya kalau dibandingkan dengan Ki Warok Gendroyono.
Akan tetapi, berbeda dengan Ki Gendroyono, Ki Adibroto ini adalah tokoh warok golongan putih yang selalu menentang kejahatan. Berkat pimpinan Ki Adibroto bersama saudara-saudara seperguruan dan para tokoh warok aliran atau golongan putih inilah maka daerah Ponorogo menjadi aman dari gangguan para warok golongan hitam. Bahkan Ki Warok Gendroyono yang menjadi tokoh utama warok golongan hitam, terdesak dan akhirnya menghilang dari daerah Ponorogo.
Tadinya, Ki Adibroto hidup bahagia bersama isterinya dan seorang puteri yang diberi nama Ayu Candra, tinggal di Ponorogo sebagai seorang yang dihormati kawan disegani lawan. Namun, seperti segala apa di permukaan bumi ini, juga keadaan hidup seseorang tidaklah kekal. Ketika Ayu Candra berusia satu tahun, ibu anak ini meninggal dunia karena sakit. Hal ini menghancurkan kebahagiaan Ki Adibroto yang tenggelam dalam laut kedukaan. Tidak tahan lagi hati Ki Adibroto untuk tinggal di tempat di mana ia akan selalu terkenang kepada isterinya. Maka ia lalu membawa puterinya yang masih kecil itu pergi merantau.
Pada suatu pagi, sambil memondong puterinya, Ki Adibroto berjalan perlahan melewati sebuah hutan di lereng Gunung Lawu sebelah barat. Ia berniat hendak menuruni gunung ini dari barat. Melihat anaknya yang tidur pulas dalam pondongannya, hati pendekar ini amat trenyuh. Anak ini mirip benar dengan ibunya, dan teringat akan isterinya yang sudah meninggal, meninggalkan dia dan puterinya, Ki Adibroto mengeluh dan mengambungi pipi anaknya yang masih tidur pulas.
"Duh Hyang Wiseso yang menguasai jagad semoga hamba diberi kekuatan menahan segala derita ini demi anak hamba Ayu Candra!"
Dua butir air mata menetes di atas pipi anaknya. Pada saat itu muncullah belasan orang perampok yang segera mengurung Ki Adibroto. Kalau saja Ki Adibroto tidak sedang tenggelam dalam duka nestapa, tentu sejak tadi ia sudah tahu bahwa di sekeliling tempat itu terdapat banyak orang. Kini ia baru sadar bahwa ia telah dikepung, ketika beberapa orang di antara para perampok itu tertawa.
Ki Adibroto mengangkat mukanya dan memandang ke sekeliling. Ada tujuh belas orang laki-laki kasar yang mudah diduga dari golongan apa. Dan di belakang mereka ini, di tempat-tempat tersembunyi, masih ada belasan orang lagi. Di sudut kiri berdiri seorang laki-laki yang mukanya penuh brewok. Melihat pakaiannya, agaknya laki-laki brewokan ini tentulah kepala perampok. Ia berdiri sambil merangkulkan lengan kirinya pada leher seorang wanita yang cantik manis. Heran sekali hati Ki Adibroto melihat seorang wanita cantik dan gerak-geriknya halus seperti itu dapat bersama dengan orang-orang kasar macam ini. Melihat wajah orang-orang kasar yang mengepungnya itu menyeringai, Ki Adibroto menegur,
"Kalian ini mengapa mengepungku?"
"Ha-ha-ha! Lihat mukanya sudah pucat!"
"Heh-heh-heh, tubuhnya menggigil!"
Banyak suara mengejek dan menertawakannya. Kemudian terdengar suara laki-laki brewokan, suara yang parau dan keras, "Kisanak, tinggalkan semua pakaian, juga perhiasan-perhiasan emas di tubuh anak itu!"
Ki Adibroto penasaran.
"Untuk apa harus kutinggalkan?"
Kembali muka-muka yang mengerikan itu tertawa bergelak. "Untuk ditukar dengan nyawamu, tolol!" teriak seorang di antara mereka.
Si kepala rampok hanya tersenyum-senyum saja, tangannya yang merangkul leher itu kini meraih dagu dan hendak mencium muka yang ayu manis itu. Akan tetapi wanita itu mengeluh, memalingkan mukanya dan keningnya berkerut tanda tidak senang hati. Namun pandang mata wanita itu tidak pernah beralih dari anak dalam pondongan Ki Adibroto.
"Ha-ha-ha-ha, bojoku denok ayu, sudah hampir setahun kau bersamaku, mengapa masih jual mahal? Hayo beri cium...!" Laki-Iaki brewokan itu menangkap dagu wanita itu, lalu dengan paksa menariknya dan mencium bibirnya dengan kasar sekali.
Kembali wanita itu mengeluh dan meronta, namun tak mungkin ia dapat melepaskan diri dari cengkeraman dua tangan kasar dan kuat itu. Para anak buah perampok hanya tertawa-tawa menyaksikan perbuatan tak tahu malu ini.
"Kekasihku yang ayu kuning, denok montok, kau lihatlah ada rejeki datang, perhiasan emas anak itu akan menghias tubuhmu, manis..." kata laki-laki brewokan setelah melepaskan mukanya yang brewokan dari atas muka yang halus itu.
Menyaksikan peristiwa ini, dada Ki Adibroto terasa panas. Kemarahan bergejolak dalam hatinya. la dapat menduga kini bahwa wanita cantik itu tentulah seorang wanita yang dipaksa, diperkosa atau diculik oleh kepala perampok itu. Dengan sepasang mata berkilat dan muka merah saking marahnya, Ki Adibroto memandang kepala perampok itu. Agaknya dadanya yang panas terasa oleh anaknya karena tiba-tiba Ayu Candra terbangun dari tidurnya lalu menangis menjerit-jerit!.
"Anakku! Kesinikan anakku!!"
Tiba-tiba wanita cantik itu menjerit dan memberontak dari dekapan kepala perampok. Pengaruh tangisan anak itu sedemikian hebat sehingga agaknya wanita itu memperoleh tenaga mujijat dan ia berhasil merenggutkan diri dan terlepas dari pelukan, lalu lari menubruk Ki Adibroto dengan kedua tangan terbuka, agaknya hendak merampas Ayu Candra.
"Anakku! Kembalikan anakku!"
Berdiri bulu tengkuk Ki Adibroto ketika ia cepat mengelak. Gilakah wanita itu? Ataukah dia sendiri yang gila dan melihat yang bukan-bukan? Ataukah arwah isterinya menyusup kedalam tubuh wanita ini? Akan tetapi, melihat betapa kepala rampok brewokan itu agaknya marah melihat wanita cantik itu melepaskan diri, kemudian sekali menggerakkan cambuk panjang kepala rampok jtu telah membelit kaki si wanita dengan ujung cambuk dan menarik cambuk sehingga wanita itu roboh terguling, hatinya tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Sambil mengeluarkan suara gerengan, Ki Adibroto yang masih memondong anaknya yang menangis menjerit-jerit lalu menerjang ke depan. Tangan kirinya memondong anaknya, namun dengan tangan kanannya ia menyerang. Tubuhnya berkelebat ke arah kepala rampok, tangan kanannya bergerak memukul. Kepala rampok itu berusaha untuk menangkis akan tetapi tangkisan tangannya tidak ada gunanya karena selain tangannya terpental, juga pukulan Ki Adibroto terus meluncur mengenai kepalanya.
"Desss.......!!
Terdengar jerit ngeri dan tubuh kepala rampok yang tinggi besar itu terlempar beberapa meter jauhnya, terbanting ke atas tanah dalam keadaan tidak bernyawa lagi karena kepalanya sudah pecah berantakan terkena hantaman tangan yang ampuh itu.
Para perampok yang terdiri dari orang-orang kasar itu terkejut sekali, akan tetapi mereka kurang cerdik untuk memaklumi bahwa pendekar yang memondong anak kecil itu sama sekali bukanlah tandingan mereka. Mereka hanya menurutkan nafsu amarah melihat kepala mereka roboh tewas. Sambil berteriak-teriak mereka lalu menyerbu dengan senjata di tangan. Golok, pedang, keris dan tombak berkilauan datang bagaikan hujan menyerbu Ki Adibroto.
Tentu saja para perampok kasar itu tidak dipandang sebelah mata oleh Ki Adibroto. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong anaknya, ia lebih mengkhawatirkan keselamatan puterinya itu. Maka cepat ia melolos lepas sabuk dan pinggangnya. Ketika ia menggerakkan sabuk berwarna putih ini di tangan kanannya, terdengar teriakan-teriakan kesakitan. Senjata-senjata lawan beterbangan dan bagaikan membabat rumput saja, tubuh para perampok bergelimpangan.
Ternyata sabuk yang lemas itu ketika disabetkan, dapat memecah kulit meremuk tulang sehingga banyak perampok roboh untuk tak dapat bangun kembali karena telah pingsan. Kini para perampok yang tadinya tinggal di belakang, sudah maju pula. Namun Ki Adibroto mengamuk dan sebentar saja belasan orang perampok sudah roboh.
Setelah setengah lebih para perampok roboh bertumpang tindih, baru sisanya sadar bahwa kalau dilanjutkan pengeroyokan itu, berarti mereka semua membunuh diri. Timbul sifat pengecut mereka. Dengan tubuh gemetar mereka melempar senjata lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menyembah-nyembah minta ampun! Ki Adibroto tegak berdiri. Anaknya di pondongan masih menangis. Ia memandang ke arah para perampok yang berlutut, lalu tersenyum masam.
"Kalau menurut sepatutnya kalian harus kubunuh semua. Akan tetapi biarlah aku melihat muka anakku ini dan mengampuni kalian semua!"
Setelah berkata demikian, tanpa menoleh ke belakang lagi Ki Adibroto lalu meninggalkan tempat itu sambil memondong dan mengayun-ayun anaknya yang masih terus menangis. Hatinya bingung dan gelisah sekali. Pendekar ini boleh jadi gagah perkasa dan selalu tenang menghadapi apapun juga. Akan tetapi, semenjak melakukan perjalanan, apabila anaknya menangis dan rewel seperti ini, ia betul-betul bingung dan tak tahu Apa yang harus ia lakukan kecuali mengayun-ayun tubuh kecil lemah ini dengan keringat membasahi dahi dan jantung serasa diremas-remas. Sudah jauh juga ia meninggalkan tempat pertempuran tadi, akan tetapi anaknya masih juga menangis. Saking bingungnya ia lalu duduk di bawah pohon yang teduh, memangku anaknya sambil mengeluh berkali-kali,
"Aduh anakku sayang....angger Ayu Candra, kau diamlah, nak. Diamlah anakku bocah ayu....jangan kau membikin hancur hati ayahmu..!"
Akan tetapi anak kecil itu tetap menangis sampai terisak-isak. Saking bingungnya, tak terasa pula dua butir air mata menetes turun ke atas pipi Ki Adibroto. Pendekar yang baru saja dengan sebelah tangan membikin kocar-kacir pengeroyokan tiga puluh lebih perampok-kasar, kini ingin sekali menangis meraung-raung saking sedih dan bingungnya menghadapi puterinya yang menangis terus!
"Anakk....! Aduh kasihanilah aku, kasihani anakku....mari kembalikan anakku, biar dia kugendong selendang, kubopong kutimang-timang, kutidur-tidurkan"
Ki Adibroto terkejut. Saking bingungnya, ia tidak tahu bahwa sejak tadi, wanita yang tadi bersama kepala rampok telah rnengikutinya. Cepat ia melompat bangun dan memandang. Wanita itu amat cantik. Cantik jelita, akan tetapi wajahnya pucat, rambutnya kusut, pakaiannya sudah robek sana-sini, sebagian membayangkan kulit tubuhnya yang kuning halus. Kini wanita itu memandangnya dengan mata penuh permohonan, mata yang bercucuran air mata.
"Apa....Apa maksudmu....??!!" Ki Adibroto tergagap. "Siapakah engkau?"
"Dia anakku anakku sayang kembalikanlah...." Kini wanita itu menekuk lutut, mengembangkan kedua lengannya, wajahnya menimbulkan iba.
"Dia anakku, jangan engkau mengaku yang tidak-tidak!" Ki Adibroto berkata, masih ragu-ragu tidak tahu dengan orang bagaimana ia berhadapan. Gilakah wanita ini? Atau mempunyai niat buruk hendak mencelakai puterinya? Ataukah ataukah berpikir begini kembali bulu tengkuknya meremang, arwah isterinya menyusup ke dalam tubuh wanita ini?
"Kasihanilah dia....ooohhh, betapa kejam hatimu...! Lihat, dia menangis begitu hebat....aduh, bisa putus dan sesak napasnya...dia minta dipondong ibunya...hu-hu-huukk!!" Wanita itu menangis makin keras sampai tersedu-sedu.
Ki Adibroto menundukkan muka memandang puterinya. Benar-benar aneh anak ini. Menangis begini hebat. Kembali bulu tengkuknya meremang. Benarkah anak ini minta dipondong ibunya? Dan wanita itu benarkah arwah isterinya di situ? Tanpa disadarinya lagi ia mengulurkan kedua lengan, memberikan puterinya. Namun seluruh urat syaraf di tubuhnya siap untuk mencegah kalau-kalau wanita itu akan mencelakai anaknya. Dengan teriakan girang sekali wanita itu menerima Ayu Candra yang masih menangis, mendekap anak itu ke dadanya, menciumnya sambil bercucuran air mata dan berbisik-bisik,
"Anakku....anakku....diamlah, nak. Ini ibumu ini ibumu..... engkau juntung hatiku, pujaan kalbu, mustika hidupku....ahhh, anakku, Joko Wandiro."
Ki Adibroto memandang dengan mata terbelalak. Benar saja. Anaknya mulai berkurang tangisnya, kemudian malah berhenti menangis ketika wanita itu memangkunya, menidurkannya membujur di ruas pangkuan sambil melepas-lepaskan baju dan selimut sarung yang membungkusnya.
"Aduh kasihan engkau, anakku...tentu saja kau menangis karena panas Orang telah berlaku nakal kepadamu manis? Engkau merasa panas? Ah, tentu saja, tapi diamlah, ibu kini menjagamu, nak"
Ki Adibroto melongo. Tahulah ia kini bahwa anaknya tadi menangis sampai begitu kerasnya. Kiranya anak itu merasa gerah, panas tubuhnya dibungkus serapat itu!.
"Nah, ini dia! Engkau digigit semut ini, anakku? Semut kurang ajar. Huh mampus tidak kau sekarang!" Wanita itu meremas seekor semut angkrang yang tadi rnenempel di paha anak kecil itu.
Makin mengertilah kini Ki Adibroto Kiranya hawa panas dan semut angkrang. la mulai merasa girang dan tertarik ke pada wanita itu. Ia memandang jari-jari tangan halus yang cekatan sekali membuka-buka pakaian anaknya dan tiba-tiba wanita itu terbelalak dan berteriak keras,
"Joko anakku kenapa menjadi perempuan....??? "
Mengertilah kini Ki Adibroto. Wanita ini sama sekali tidak disusupi arwah mendiang isterinya. Wanita ini terganggu jiwanya, agaknya karena kehilangan puteranya yang bernama Joko Wandiro. Entah hilang karena tewas ataukah hilang karena diculik orang. Akan tetapi agaknya puteranya itu tewas, mengingat bahwa wanita ini sendiri terjatuh ke tangan kepala rampok yang demikian kejam. Naik hawa amarah di dadanya, akan tetapi segera dingin kembali setelah ia ingat bahwa kepala rampok itu telah ia bunuh tadi. Mau rasanya ia membunuh sekali lagi kepala rampok keji itu. Dengan hati penuh iba menyaksikan wajah wanita itu demikian kaget, bingung, dan duka, ia lalu berjongkok di dekatnya dan berkata halus,
"Harap andika jangan kaget. Anak ini adalah anak saya, bernama Ayu Candra. Tentu saja perempuan. Karena itulah tadi tidak saya berikan kepadamu." Setelah berkata demikian, Ki Adibroto mengambil anaknya dari pangkuan wanita itu dan memondongnya kembali.
Wanita itu kini diam saja hanya memandang dengan mata terbuka lebar, mata yang bening dan bagus bentuknya, sayang bersinar layu dan penuh duka. Alangkah akan indahnya mata ini kalau sinarnya penuh bahagia pikir Ki Adibroto.
"Aduh, Jagad Dewa Bathara kenapa tidak dicabut saja nyawa hamba??" Wanita itu merintih-rintih lalu menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya sambil tetap berlutut.
Wanita itu bukan lain adalah Listykumolo, isteri Raden Wisangjiwo, mantu Kadipaten Selopenangkep. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini wanita yang bernasib malang ini setelah kehilangan anaknya, Joko Wandiro yang dibawa lari Pujo, telah terganggu ingatannya. Oleh suaminya ia dipulangkan kerumah ayahnya yang menjadi lurah Selogiri di lereng Gunung Lawu. Ketika Wisangjiwo sudah insyaf dan menyuruh pasukan menjemput isterinya, ia mendengar bahwa Listyokumolo telah diculik oleh gerombolan perampok, tidak lama setela pulang ke dusun itu, sedangkan dusun Selogiri dibumi hanguskan para perampok!
Memang amat malang nasib wanita ini. ia diculik oleh perampok kasar dan ada baiknya bahwa kepala rampok itu jatuh cinta padanya, biarpun ia memperlihatkan tanda-tanda tidak waras otaknya. Cinta kasih kepala rampok ini menyelamatkan Listyokumolo dari serbuan para perampok yang haus perempuan itu. Namun, ia harus menderita siksaan lahir batin di tangan kepala perampok. Wanita ini seakan-akan mati sekerat demi sekerat.
Baiknya Ki Adibroto yang membebaskannya dari siksaan batin itu. Melihat Listyokumolo menangis sedih, hati Ki Adibroto serasa ditusuk. Ia merasa terharu dan kasihan sekali. Apalagi ketika itu anaknya mulai menangis lagi!
"Di manakah rumah andika? Biar saya antar andika pulang." Akhirnya Ki Adibroto bertanya, suaranya mengandung getaran iba hati.
Listyokumolo mengangkat mukanya, memandang. Matanya kemerahan, pipinya basah oleh air mata yang masih terus bercucuran, sangat mengharukan.
"Pulang...? Pulang....? Ke mana pulang? Aku aku tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai keluarga...aku sebatangkara....tinggal menanti maut datang menjemput. Sungguh tega benar para Dewata membiarkan aku hidup seperti ini...."
Ki Adibroto menarik napas panjang, kembali memandang anaknya. Berkali-kali ia menggeleng kepala, ragu-ragu. Ia amat mencinta isterinya dan seakan-akan merasa berdosa kalau sepeninggal isterinya ia menoleh kepada wanita lain. Ah, tidak, bukan demi aku sendiri, melainkan demi Ayu Candra, demikian akhirnya ia menghibur hatinya dan menekan debar jantungnya sebelum berkata,
"Saya amat kasihan melihat anda. Siapakah nama anda dan Apa yang telah terjadi dengan keluargamu? Mengapa sampai terjatuh ke tangan perampok laknat itu? Harap anda suka ceritakan kepada saya dan percayalah bahwa saya tentu akan menolong anda sekuasa saya."
Semenjak ditimpa malapetaka ketika la dicilik Pujo sampai saat itu, agaknya baru kali ini Listyokumolo mendengar kata-kata yang menyatakan kasihan kepadanya dan baru kali ini ada orang hendak menolongnya. Hal ini menggetarkan jantungnya dan tangisnya makin tersedu-sedu. Akan tetapi ketika ia mengangkat mukanya melihat anak dalam pondongan Ki Adibroto, kembali ia mengulurkan kedua lengannya ke depan dan merintih,
"Kembalikan anakku...berikan anak itu kepadaku...."
Ki Adibroto menarik napas panjang. Kumat lagi wanita ini, pikirnya.
"Sudah saya jelaskan tadi bahwa anak ini bukanlah anakmu yang bernama Joko Wandiro, anak ini adalah Ayu Candra, anak saya yang sudah tidak beribu lagi "
Listyokumolo membelalakkan mata memandang anak itu. Mata yang masih amat indah bentuknya, lebar dengan bulu mata panjang lentik yang membentuk bayang-bayang teduh di bawah mata, dengan biji mata bening dan ujung mata yang meruncing tajam. Mata yang membayangkan berahi. Akan tetapi mata yang diselimuti kesayuan pandang dan dilayukan hati duka.
"Tidak beribu lagi....?"
Agaknya kenyataan ini sejenak menyadarkan Listyokumolo dari keadaan bingung, timbul dari hati iba. Kemudian ia bangkit dan menghampiri Ki Adibroto.
"Biarkan dia kugendong, biarkan aku menjadi pengganti ibunya, aduh kasihan biar aku menjadi pengganti ibunya dan ia menjadi pengganti anakku...."
Kata-kata Ini dikeluarkan dengan suara penuh harap, setengah berbisik, suara yang keluar langsung dari lubuk hatinya. Ki Adibroto sejenak memandang dan tahulah orang sakti ini bahwa sekaligus hatinya terampas oleh wajah yang ayu tapi menyedihkan itu, terampas oleh kepribadian yang menimbulkan cinta kasih akan tetapi sekaligus keharuan dan iba hati. Ia memberikan anaknya dan berbisik pula,
"Aku...aku akan bahagia sekali Kalau anda sudi menjadi pengganti ibunya"
Mungkin makna dari kata-kata Ki Adibroto ini dapat menembus kegelapan yang menyelimuti pikiran Listyokumolo karena tiba-tiba ketika menerima anak itu, kedua pipinya menjadi kemerahan, matanya menunduk dan bibirnya terhias senyum ditahan, senyum malu-malu. Akan tetapi hanya sebentar saja karena segera wajahnya berubah gembira penuh bahagia ketika ia merasa betapa anak itu bergerak-gerak di dadanya. Sebentar saja anak itupun tertidur setelah didekap oleh dada yang lunak dan hangat.
Tanpa pernah membantah sedikitpun, Listyokumolo lalu ikut dengan Ki Adibroto ke manapun pendekar itu pergi. Setelah setiap hari merawat Ayu Candra, mulai teringatlah ia akan keadaan dirinya dan akhirnya iapun sembuh dari gangguan pikirannya. Bahkan hal yang tak dapat dicegah lagi terjadi setelah wanita cantik jelita yang masih muda ini berkumpul dengan Ki Adibroto, pendekar yang juga belum tua yang gagah serta tampan itu, yaitu mereka saling jatuh cinta. Akhirnya mereka menjadi suami isteri yang saling mencinta, saling menghormat dan saling mengasihi.
Dengan kasih sayang besar mereka berdua mendidik dan membesarkan Ayu Candra sehingga anak ini sama sekali tidak pernah tahu bahwa wanita itu bukanlah ibu kandungnya. Setelah Ayu Candra berusia enam belas tahun, ayah bundanya pindah dan memilih Telaga Sarangan di lereng Gunung Lawu sebagai tempat tinggal yang baru.
Tadinya Ayu Candra yang tinggal bersama orang tuanya di daerah Ponorogo, menyatakan keberatan hatinya mengapa ayahnya ke tempat yang sunyi itu. Akan tetapi mengertilah gadis remaja yang cukup cerdik ini ketika ayahnya menjawab,
"Kita tinggal di tempat aman ini hanya untuk sementara, Candra. Ketahuilah bahwa perang saudara antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala sudah hampir pecah. Permusuhan terjadi di mana-mana. Kalau perang pecah, berarti keadaan akan menjadi kacau dan tidak aman. Engkau sudah remaja puteri, tidak akan baik jadinya kalau kita tinggal di tempat ramai. Biarlah kita tidak mencampuri keributan, kita tinggal di tempat yang indah dan aman ini sampai keadaan Negara menjadi aman kembali. Aku sudah bosan akan perang dan keributan, apalagi perang antara saudara sendiri!"
Mereka bertiga hidup tenang dan penuh damai di pinggir telaga. Sampai setahun lebih lamanya mereka bertiga tinggal di tempat yang indah itu. Akan tetapi hanya kelihatannya saja mereka hidup penuh ketenangan dan damai. Sebetulnya ada hal yang mengganggu hati Listyokumolo. Di waktu malam, setelah tidur pulas, seringkali suami isteri ini berbantahan. Listyokumolo tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya terhadap Pujo!
Dendam ini pula yang membuat ia semenjak menjadi isteri Ki Adibroto, dengan tekun dan rajin bersama puteri tirinya menggembleng diri dengan ilmu silat dan kesaktian. Biarpun ia tidak semaju Ayu Candra, namun setelah lewat enam belas tahun, Listyokumolo yang sekarang bukanlah Listyokumolo belasan tahun yang lalu. Ia kini menjadi seorang wanita yang berkepandaian. Dan setiap malam, ia membujuk suaminya untuk membantunya mencari Pujo, mencari puteranya, Joko Wandiro dan membalaskan dendamnya kepada Pujo.
Ki Adibroto adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan karena ia telah mendengar riwayat isterinya, ia dapat menduga bahwa suami isterinya yang pertama, Raden Wisangjiwo tentu bukan seorang baik-baik sehingga dimusuhi orang yang bernama Pujo. Ia selalu mengingatkan isterinya,
"Engkau sendiri menyatakan bahwa bekas suamimu, Wisangjiwo adalah seorang yang menyeleweng daripada kebenaran. Sangat boleh jadi dia itu melakukan sesuatu yang mendatangkan dendam kepada Pujo."
"Memang begitulah. Agaknya Wisangjiwo telah memperkosa isteri Pujo karena ketika menculikku, Pujo menyatakan hal itu kepadaku. Akan tetapi mengapa dia membalasnya kepadaku dan membawa pergi anakku?" Listyokumolo penasaran.
Ki Adibroto menghela napas panjang. "Isteriku, orang yang diracuni dendam hatinya menjadi seperti orang buta. Mungkin Pujo melarikan engkau, kemudian menculik anakmu, sama sekali tidak bermaksud sesuatu kepada dirimu pribadi melainkan semua ia tujukan untuk merusak hati bekas suamimu. Sudah kukatakan tadi bahwa dendam membuat orang seperti buta sehingga ia tidak melihat bahwa perbuatannya itu bukan hanya merusak hati Wisangjiwo secara tidak langsung, akan tetapi bahkan secara langsung merusak hatimu dan Joko Wandiro. Akan tetapi, setelah tahu bahwa dendam amat tidak baik, apakah engkau masih mau diracuni dendam terhadap Pujo?'
"Kakang Adibroto, aku tidak akan ngawur seperti Pujo. Aku hanya akan membalas kepadanya, bukan kepada orang lain. Pula, aku harus bertemu dengan dia untuk menanyakan dimana adanya Joko Wandiro. Kalau engkau tidak mau mengantarku, biarlah aku mencarinya sendiri. Biarpun belum tentu aku mampu mengalahkan Pujo, akan tetapi apa yang telah kupelajari darimu kiranya cukup untuk bekal melakukan perjalanan."
Ki Adibroto yang amat mencinta isterinya, tentu saja tidak dapat membiarkan isterinya pergi seorang diri menempuh bahaya. Akhirnya ia terpaksa menerima permintaan isterinya. Apalagi kalau ia ingat bahwa kini puterinya, Ayu Candra sudah berusia tujuh belas tahun, sudah cukup dewasa jntuk menjaga diri sendiri di tempat yang aman itu sampai mereka kembali dari perjalanan. Malah selain memenuhi permintaan isterinya, ia juga ada keperluan lain, yaitu pergi menemui sahabat-sahabatnya untuk mencari dan memilihkan seorang calon suami bagi Ayu Candra!
"Candra, ayah bundamu ada keperluan penting sekali, akan pergi untuk beberapa pekan lamanya. Engkau harus tinggal sendiri di sini, menanti sampai kami pulang."
Alis yang kecil panjang hitam melengkung itu berkerut.
"Mengapa aku tidak diajak pergi, ayah? Mengapa ditinggal sendiri di sini? Ayah dan ibu hendak ke manakah?"
"Negara sedang kacau, Candra. Permusuhan terjadi di mana-mana dan banyak orang jahat berkeliaran bebas. Engkau seorang wanita muda yang tentu akan menarik perhatian dan menimbulkan pertentangan. Pula, urusan yang akan kami urus adalah urusan kami orang-orang tua, tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Perhatikanlah, jangan kau pergi ke mana-mana, tinggal saja di sini dan tunggu sampai kami pulang."
Ayu Candra memang seorang anak yang taat kepada ayahnya. Biarpun hatinya amat kecewa dan tidak senang, ia tidak berani banyak membantah lagi. Akan tetapi ketika pagi hari itu ia melihat ayah bundanya pergi turun dari lereng, ia berdiri termangu-mangu dan memandang ke arah bayangan mereka sampai mereka lenyap di sebuah tikungan. Barulah ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menghapus air matanya.
Namun, Ayu Candra bukan seorang anak perempuan yang cengeng. Hanya sebentar saja ia melepaskan kekecewaannya dengan menangis Tidak lama kemudian ia sudah bekerja seperti biasa, menyapu pekarangan mengumpulkan daun kering yang memenuhi pekarangan dan membakarnya. Kemudian ia rnelakukan pekerjaan rumah seperti biasa.dan wajahnya sudah cerah kembali.
Beberapa hari kemudian, karena kayu bakar persediaan mereka habis, Ayu Candra pagi-pagi telah meninggalkan pondoknya dan berlari-lari mendaki jalan yang menanjak. Sejak kecil ia sudah dilatih ayahnya untuk melawan hawa dingin pegunungan di waktu pagi dengan berlari-larian. Amat lincah gerakannya, laksana seekor kijang muda ketika ia lari mendaki jalan yang licin dan sukar itu. Namun bagi Ayu Candra tidaklah sukar.
Selain untuk melawan hawa dingin, juga pagi itu amat indah, udara cerah dan sinar matahari pagi mulai menerobos rnelalui celah-celah daun pohon membagi cahaya kehidupan ke muka bumi. Pagi cerah yang menimbulkan rasa gembira di hati Ayu Candra, segembira burung-burung di pohon yang berkicau riang, segembira bajing-bajing yang berloncatan dari cabang ke cabang, kelinci yang lari berkejaran menyusup semak-semak.
Baru kali ini Ayu Candra merasa betapa senangnya bebas seperti itu. la merasa bebas, seorang diri di dunia ini setelah ayah bundanya pergi. Ia masih ingat akan pesan ayahnya agar ia jangan pergi mengunjungi dusun-dusun yang terletak di kaki gunung. Akan tetapi pagi ini ia tidak mengunjungi dusun-dusun itu, ia malah mendaki naik menjauhi dusun dusun, menjauhi manusia. Apa salahnya?
Belum pernah ia pergi ke hutan di sebelah puncak kiri itu. Ia akan mencari kayu bakar di sana sambil melihat lihat keadaan hutan yang belum pernah ia kunjungi. Dari jauh tampak beberapa batang pohon kelapa dan hal ini menambah tertarik hatinya. Sukar mencari pohon kelapa di daerah Sarangan, dan agaknya hanya kebetulan saja di hutan sebelah depan itu terdapat beberapa batang pohon kelapa. Makin girang hatinya setelah dekat ia melihat bahwa sebatang di antara pohon-pohon kelapa itu ada buahnya yang sudah besar.
Sudah lama ia tidak pernah makan dawegan (kelapa muda), maka tiga butir buah yang tergantung di pohon tinggi itu merupakan daya penarik yang amat kuat sehingga Ayu Candra mempercepat larinya. Setelah tiba di bawah pohon kelapa, ia segera mengambil batu dan dua kali lontaran saja dengan tangannya yang kuat, ia telah berhasil merontokkan tiga butir kelapa muda itu.
Dengan girang ia mengambil tiga butir buah itu, membayangkan kesedapan air dawegan dan kelezatan dagingnya. Akan tetapi teringat olehnya akan kayu bakar yang habis persediaannya. Ia segera pergi mengumpulkan kayu bakar yang amat banyak terdapat di hutan itu, kemudian setelah mengikat kayu-kayu kering itu ia menggendongnya dan menjinjing tiga butir kelapa, hendak dibawa pulang.
Ayu Candra dengan wajah berseri berjalan keluar dari hutan itu. Ia sengaja menahan haus dan baru di pondok nanti akan menikmati air dawegan yang manis dan sedap. Akan tetapi ketika tiba di pinggir hutan dan melewati sebuah pohon randu alas yang besar sekali karena tiga batang pohon tumbuh menjadi satu, mendadak ia berhenti melangkah karena mendengar suara orang!
"Duh Dewa...! kenapa tidak dicabut saja nyawaku? Tidak kuat aku menderita siksaan ini...!
Ayu Candra adalah seorang gadis yang tidak pernah mengenal takut karena sejak kecil ia telah digembleng ayahnya. Akan tetapi, mendengar dengan telinga sendiri betapa pohon randu alas dapat bicara dan mengeluh seperti manusia benar-benar ia merasa ngeri juga dan wajahnya yang cantik jelita itu berubah agak pucat. Ia tahu bahwa iblis dan setan berkeliaran di atas bumi ini, akan tetapi di waktu malam hari.
Sekarang, di waktu matahari masih bersinar seterang-terangnya, menjelang tengah hari, bagaimana ada iblis berani muncul dan memperdengarkan suaranya? Kalau bukan iblis, mustahil ada pohon randu alas benar-benar bisa mengeluh seperti manusia dan menyatakan bosan hidup? Ah tak mungkin, pikirnya. Tentu orang! Akan tetapi kalau ada orangnya, di mana sembunyinya? Ayu Candra merasa curiga dan karena kedua tangannya menjinjing buah buah kelapa, ia lalu melemparkan tiga butir buah kelapa itu ke atas tanah. Kemudian ia mendekati pohon randu alas dan bertanya,
"Siapakah orangnya yang mengeluarkan suara keluhan tadi?"
Sunyi mengikuti pertanyaan ini, seakan akan orang yang mengeluarkan suara tadi merasa kaget. Kemudian terdengar orang merintih, suaranya keluar dari dalam pohon!
"Sudah begini menderita masih ada wanita menggangguku lagi? Ah, Dewata Yang Agung, sampai di ambang maut masih haruskah aku berhadapan dengan penggodaku?"
Tiba-tiba kulit pohon itu terbuka dari dalam dan seorang laki-laki menggelundung keluar. Kiranya batang pohon itu berlubang dalamnya dan laki-laki ini tadi bersembunyi di dalam pohon. Melihat keadaan laki-laki ini, Ayu Candra terkejut bukan main. Keadaan laki-laki ini mengerikan. Laki-laki itu usianya tentu empat puluh tahun lebih pakaiannya compang-camping, wajahnya penuh bekas luka.
Melihat ke bawah Ayu Candra merasa makin ngeri. Kedua kaki orang itu buntung sebatas lutut! Karena celananya juga compang camping maka tampaklah kaki yang buntung itu yang ujungnya merupakan tulang menjedol keluar dikelilingi daging terbungkus kulit berkeriputan. Laki-laki itu setelah menggelundung keluar, lalu menoleh dan sepasang matanya terbelalak penuh kekaguman memandang wajah cantik jelita dan tubuh yang muda, montok, dan padat. Akan tetapi hanya sebentar saja kekaguman itu terpancar keluar dari sinar matanya. Segera ia mengerang kesakitan dan sinar matanya layu.
"aduh....mati aku...!"
Ayu Candra memiliki dasar watak yang penuh welas asih seperti watak ayahnya. Melihat keadaana orang itu dan mendengar rintihannya, ia merasa sangat kasihan sekali. Bagaimana ada orang sampai begini sengsara?
"Kasihan sekali engkau paman. Mengapa engkau sampai menjadi begini?!
Laki-laki itu mengerang panjang, tubuhnya yang miring itu terlentang dan ia memandang ke arah wajah yan cantik Jelita itu.
"Aku....aku menderita sakit...ohh.. tolonglah aaugghhh. Kembali ia mengerang dan melanjutkan, terengah-engah, "lapar....Haus....aduh....."
Ayu Candra merasa hatinya seperti di tusuk-tusuk. Entah bagaimana wajah orang ini mendatangkan iba dalam hatinya. Ia dapat melihat bahwa dahulunya orang ini memiliki bentuk wajah yang tampan dan pakaiannya walaupun butut, dilihat dari celana, baju, kain dan destarnya, pasti bukan orang dusun biasa. Dan sinar mata itu amat tajam berpengaruh menandakan seorang berisi.
"Aku hanya punya kelapa. Maukah kau minum air dawegan?"
Laki-laki itu menggerakkan kepala mengangguk. Ayu Candra lalu berjongkok memungut sebutir dawegan yang tadi ia lemparkan keatas tanah, kemudian menggunakan sepotong batu untuk mengupas kulitnya bagian atas dan membuat lubang. Hal ini dapat ia lakukan dengan mudah, menggunakan tenaga dalam. Orang biasa saja, biarpun ia laki laki, takkan mungkin mengupas kulit kelapa yang amat liat dan keras itu hanya menggunakan sepotong batu! Hal ini rupanya dimengerti pula oleh laki-laki buntung karena ia kini sudah bangkit duduk sambil memandang dengan mata terbelalak kaget.
Kalau saja Ayu Candra tidak sedang asyik membuka kulit kelapa, dan melihat cara laki-laki itu bangkit duduk, tentu ia akan menjadi curiga, Ketika itu, laki-laki buntung itu tidak kelihatan selemah tadi, bahkan sekali tubuhnya bergerak ia sudah dapat bangkit dan duduk. Ketika Ayu Candra membalikkan tubuh membawa kelapa yang sudah terkupas dan terlubang, laki-laki itu kembali kelihatan menyeringai kesakitan, sungguhpun matanya masih terbelalak heran dan kaget.
"Minumlah air kelapa ini, paman. baik untuk kesehatan selain mengurangi haus," kata Ayu Candra dengan suara halus dan penuh perasaan.
Makin dipandang, makin kasihan ia terhadap laki-laki itu. Sebaliknya bagi laki-laki itu, makin dipandang, makin luar biasa cantik jelita dan halus budi pekerti gadis itu, membuat ia menelan ludah bukan karena haus.
"Terima kasih. terima kasih" katanya menerima dawegan, menyembunyikan debar jantungnya yang berdegupan ketika jari tangannya menyentuh jari tangan yang halus dan hangat.
Diteguknya air dawegan itu sampai habis, kemudian diusapnya air yang membasahi ujung bibir dan dagunya.
"Aaahhhh segar sekali. Sudah berkurang peningku. Terima kasih, nak. Engkau sungguh baik sekali."
Tiba-tiba Ayu Candra merasa betapa mukanya menjadi agak panas dan cepat ia membuang muka. Pandang mata orang itu membuat hatinya berdebar. Pandang mata itu seakan-akan menembus jantungnya dan menjenguk isi hati dan pikirannya. Bukan main tajamnya dan ia merasa aneh. Untuk menghilangkan rasa anehnya ini ia lalu memandang dan berkata, "Apakah paman mau dahar daging dawegan ini?"
Kembali laki-laki itu mengangguk-angguk, menjilati bibir dengan lidah dan memandang kelapa muda sambil berkata, "Bagaimana membukanya? Kulihat engkau tidak membawa parang...."
Ayu Candra merasa bahwa di depan seorang tapadaksa itu tidak perlu lagi ia berpura-pura dan menyembunyikan kepandaiannya.
"Tidak perlu pakai parang" katanya singkat sambil mengangkat tangan kanan, dipukulkan pada kelapa muda yang berada di atas telapak tangan kirinya.
"Prakkk!" Kelapa muda itu pecah menjadi dua, terbelah seperti dibacok kapak tajam saja. Padahal kelapa itu masih terbungkus serabutnya yang liat!
Laki-laki itu makin heran sampai melongo, kemudian diam-diam ia mengangguk-anggukkan kepalanya, diterimanya kelapa itu dan dimakanlah daging kelapa muda yang lembut, gurih dan manis dengan lahapnya.
"Mau lagikah, paman? Aku masih punya dua butir..." tanya Ayu Candra sejujurnya ketika melihat orang itu sudah makan daging kelapa muda.
"Tidak...sudah cukup. Terima kasih "
"Di manakah rumah paman? Dan mengapa sampai di tempat. ini dalam keadaan seperti...itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah kedua kaki yang buntung.
Laki-laki itu memandang kepadanya dan pcrlahan-lahan beberapa butir air mata menetes turun....Trenyuh sekali hati Ayu Candra.
"Apakah paman dicelakai orang? Siapa mereka yang mencelakai paman? Kejam benar mereka!"
Mewarisi watak ayahnya, seorang pendekar besar, Ayu Candra mengepal kedua tinju, merasa marah sekali menyaksikan kekejaman orang terhadap laki-laki buntung ini. Dengan suara pilu laki-laki itu berkata,
"Terima kasih atas perhatianmu, nak. Aku....aku memang seorang yang bernasib buruk. Aku disiksa orang-orang jahat, kedua kakiku dibuntungi dan nyaris dibunuh mereka. Akan tetapi, aku sendiri tidak tahu siapa mereka. Namaku Ki Jatoko dan aku tidak bersanak-kadang, tidak berkeluarga tidak punya tempat tinggal. Aku berusaha mencari pedusunan sambil merangkak-rangkak sedapatnya, sampai di tempat ini terserang sakit dan agaknya Dewata sudah akan mencabut nyawaku. Akan tetapi engkau muncul dan menolongku, ini hanya berarti kematianku agak diperpanjang berikut siksaan dan derita"
Wajah Ayu Candra menjadi pucat. Ia tidak tahu bagaimana harus menolong orang ini. Kalau sekarang ia pulang dan meninggalkan orang ini di sini, tentu orang Ini akan mati. KaJau tidak mati diterkam harimau atau binatang buas lain, tentu akan mati kelaparan dan kehausan. Membawanya pulang? Bagaimana caranya? Dia sudah buntung kedua kakinya. Pula, kedua orang tuanya tidak berada di rumah.
"Sayang. Ayah dan ibu tidak ada di rumah. Entah kapan pulangnya. Kalau ada ayah, tentu dia akan dapat menolongmu, paman. Ayah tidak akan membiarkan orang Iain menderita tanpa menolongnya."
Ayu Candra tidak melihat betapa sinar mata laki-laki itu berkilat ketika mendengar bahwa ayah bunda gadis itu tidak berada di rumah.
"Siapakan nama ayahmu yang mulia,nak? Dan siapakah namamu? Aku harus tahu nama dewi penolongku"
"Ayah bernama Ki Adibroto. Kini bersama ibu sedang pergi, mungkin masih lama kembalinya karena baru sepekan dan menurut pesan ayah, mungkin sampai berbulan. Aku bernama Ayu Candra."
"Ayu Candra, anak yang baik, engkau telah menyambung nyawaku tadi apakah sekarang engkau tega meninggalkan paman mati kelaparan di sini? Tolonglah aku, nak, tolonglah....biarlah aku ikut mondok di tempat tinggalmu, sampai orang tuamu datang, atau sampai aku sembuh kembali aduuhhh....!"
Laki-laki itu roboh dan bergulingan di atas tanah. Ayu Candra kaget sekali, cepat ia berjongkok dan meraba dahi orang. Amat panas! Terang bahwa orang ini terkena penyakit demam. Bagaimana mungkin ia membiarkan saja orang yang sakit ini di dalam hutan tanpa menolongnya?
"Aku suka menolongmu, paman. Dan aku tidak keberatan kau mondok di pondok kami. Akan tetapi bagaimana kau dapat sampai ke sana? Dari tempat ini agak jauh juga, dan jalannya sukar, naik turun dan licin."
Laki-laki ini mengeluh dan kembali bangkit duduk sambil menekan tanah. Cepat-cepat ia menjawab, "Jangan khawatir, nak. Keadaanku ini membuat aku terpaksa dapat berjalan menggunakan kedua tanganku. Bertahun-tahun aku melatih jalan dengan kedua tanganku dan aku berhasil. Asal tidak terlalu cepat, agaknya aku akan dapat bersamamu pergi ke pondokmu."
Ayu Candra mengangguk-angguk. "Baiklah, paman. Dan nanti apabila menemui jalan yang terlalu sukar, aku dapat membantumu."
Laki-laki yang mengaku bernama Ki Jatoko itu kelihatan girang sekali. Dengan menekankan kedua tangan ke Atas tanah, ia bangkit dan "berdiri" di atas kedua kakinya" yang buntung. Kemudian ia menggerakkan kedua kaki dan ia dapat berjalan cukup baik, seperti seorang anak kecil.
"Jika aku merasa lelah dan kedua kakiku yang bunting terasa nyeri, aku dapat membantunya dengan kedua tangan seperti ini." katanya dan kini ia berjalan dengan "empat kaki", sehingga Ayu Candra yang melihatnya merasa terharu sekali.
Melihat keharuan membayang di wajah yang cantik manis itu, Ki Jantoko berkata dengan suara memelas, "Ayu Candra, bocah ayu yang berhati emas, cantik berbudi seperti Dewi Suprobo, sudikah engkau menolong paman yang sengsara ini? Kalau engkau tidak merasa jijik untuk menggandeng tanganku, agaknya aku akan berjalan lebih cepat, tidak usah merangkak seperti binatang berkaki empat "
Suara itu amat mengharukan hati Ayu Candra yang merasa heran kepada dirinya sendiri mengapa ia begini lemah perasaannya sehingga terhadap laki-laki ini, yang sudah setengah tua, buntung lagi buruk mukanya menjijikkan penuh bekas luka, ia merasa amat kasihan dan juga merasa suka! Betapapun juga, ia memiliki batin yang amat kuat dan masih murni, bersih daripada niat dan pamrih buruk, sehingga andaikata dia tidak merasa amat kasihan kepada Ki Jatoko tentu ia tidak sudi melaksanakan permintaan si buntung itu.
"Marilah agar kita cepat sampai di pondokku," katanya mengulurkan tangan kiri kepada Ki Jatoko.
Dengan pandang mata penuh haru dan syukur laki-laki itu memegang tangan kiri Ayu Candra dengan tangan kanannya. Di dalam hati laki-laki ini menyebut nama Dewata yang memberi berkah sedemikian besar kepadanya. Jantungnya berdebar-debar ketika kulit tangannya meraba kulit tangan gadis remaja yang halus lunak dan hangat itu. Kehangatan lembut yang seakan-akan menjalar melalui tangannya dan bagaikan embun membasahi hatinya yang mulai melayu sehingga hatinya menjadi segar kembali, semangatnya yang sudah tidur menjadi bangkit kembali. Kedua kakinya yang buntung tidak terasa sakit lagi ketika ia berlari-lari kecil dalam langkahnya untuk mengimbangi langkah Ayu Candra yang tentu saja lebih lebar daripada langkah kedua kaki buntungnya.
Siapakah gerangan laki-laki buntung itu? Benarkah seperti Apa yang ia ceritakan bahwa ia dianiaya oleh orang-orang jahat sehingga kedua kakinya buntung dan mukanya penuh cacad? Ah, kalau saja Ayu Candra tahu siapa dia sebenarnya! Laki-laki itu sama sekali bukanlah orang lemah seperti tampaknya. Dan kedua kaki yang buntung itu tidak lagi terasa sakit seperti yang diperlihatkannya. Tidak, sama sekali tidak.
Kaki itu sudah buntung selama lima tahun yang lalu! Dan laki-laki itu sama sekali bukan orang lemah, bahkan dengan kedua kakinya yang buntung itu masih memiliki kesaktian yang hebat. Karena dia ini bukan lain adalah Jokowanengpati! Ya, kedengarannya aneh, akan tetapi sebetulnya tidak aneh. Tidak ada yang aneh di dunia ini, bahkan di alam semesta, apabila Tuhan menghendaki. Semua sudah wajar dan semestinya demikian, sesuai dengan kehendak Tuhan karena apabila Tuhan tidak menghendaki, tentu tidak akan terjadi demikian!
Ketika Jokowanengpati dalam pertandingan melawan pengeroyokan Kartikosari dan Roro Luhito, terjun ke dalam Laut Selatan dan mengejek kedua orang wanita musuh besarnya itu, ia disambar ikan hiu. Dalam pandangan Kartikosari dan Roro Luhito, juga Pujo yang diam-diam menyaksikan babak terakhir pertandingan hebat itu, tentu saja Jokowanengpati tewas karena diseret ikan hiu yang buas dan lenyap ke bawah permukaan air laut. Mereka ini tidak melihat Jokowanengpati muncul kembali, maka sudah tentu menganggap bahwa musuh besarnya itu habis riwayatnya dikubur ke dalam perut ikan. Akan tetapi sesungguhnya tidak seperti yang mereka sangka dan harapkan.
Jokowanengpati adalah seorang yang sakti dan memiliki tubuh yang kebal, juga amat cerdik, licin dan penuh akal. Tadinya ia memang kehilangan akal ketika secara tiba-tiba diserang ikan hiu yang besar dan amat kuat itu. Rasa ngeri dan takut membuat ia menjerit-jerit minta tolong, lupa untuk mempergunakan kecerdikan dan kekuatan sendiri untuk menolong dirinya. Akan tetapi ketika ikan hiu itu membawanya menyelam, menyeretnya sampai jauh di dalam air, dalam keadaan pelik ini, dalam cengkeraman maut yang agaknya takkan dapat dihindarinya lagi, Jokowanengpati menjadi marah sekali.
Marah terhadap ikan itu dan kini seluruh perhatiannya dicurahkan kepada musuh barunya ini, yang mengancam keselamatan nyawanya. Timbul akalnya. Yang digigit ikan itu adalah kedua kakinya. Ketika tadi ia meronta, gigitan ikan itu melorot turun dan kini gigi ikan yang seperti gigi gergaji itu tertanam di kedua paha dekat lutut. Kini kedua tangannya dapat menjangkau ke bawah.
Jokowanengpati tadi telah menghirup napas sepenuh paru-parunya ketika akan dibawa menyelam, ketika ia melepaskan perlawanannya ketika diseret ke bawah permukaan air laut. Kini, sambil mengerahkan seluruh tenaga ke dalam jari-jari tangan kanannya, ia meraih ke depan, sejauh mungkin sehingga ia mampu mencapai mata ikan.