Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 29
IA sama sekali tidak tahu bahwa Pegunungan Kidul merupakan sebaris pegunungan yang tiada putusnya, pegunungan yang seakan-akan merupakan tanggul yang membendung laut Selatan di sepanjang pantai selatan. Pegunungan Kidul ini terus berbaris sepanjang pantai selatan sampai jauh di sebelah timur, bahkan sambung-menyambung sampai di pegunungan sebelah selatan Kerajaan Jenggala sendiri!
Karena sang puteri mengambil jalan langsung ke timur dari pegunungan, tentu saja la tidak pernah terbebas dari daerah pegunungan sehingga berhari-hari la terus menerus naik turun gunung kecil, melakukan perjalanan yang amat sukar dan lambat. Selama tiga hari ia melakukan perjalanan dan gunung-gunung itu belum juga habis, dusun belum juga ditemukan! Pada hari ke empatnya, ketika pagi pagi ia sudah menuntun kudanya pada jalan sempit yang amat sukar, tiba-tiba terdengar bentakan orang.
"Orang yang lewat, tinggalkan kuda dan pakaian!"
Dari balik semak-semak belukar meloncat keluar lima orang laki-laki tinggi besar yang berdiri menghadang di depan. Mayagaluh kaget sekali sehingga mukanya berubah pucat akan tetapi kelima orang itu lebih kaget dan heran ketika sekarang melihat penuntun kuda yang mereka cegat itu kiranya seorang dara muda yang amat cantik jelita dan berpakaian serba indah! Tentu saja perampok-perampok ini menjadi girang sekali. Kuda itu amat bagus dan tentu mahal harganya. Pakaian wanita itupun amat mewah dan halus, apalagi perhiasan perhiasan emas permata itu. Disamping ini, wanita itu sendiri amat cantik menarik, seperti dewi kahyangan.
Puteri Mayagaluh memandang dengan mata terbelalak. Lima orang itu bertubuh tinggi besar dan berwajah galak, terutama sekali orang yang paling muda di antara mereka yang pakaiannya agak berbeda dan agaknya menjadi kepala, bertubuh seperti raksasa dan memandang kepadanya seperti seorang kelaparan nasi. Ia maklum bahwa mereka adalah perampok-perampok, maka ia segera berkata dengan sikap agung seorang putri raja,
"Jangan kalian mengganggu aku! Aku puteri Raja Jenggala yang kehilangan jalan dan hendak pulang ke Jenggala. Kalau kalian suka, boleh kuhadiahkan gelang dan kalungku." Sambil berkata demikian, sang puteri meloloskan kedua gelangnya.
Akan tetapi, lima orang itu adalah perampok-perampok kasar. Keadaan hidup mereka membuat mereka seakan-akan menjadi raja dalarm hutan, tentu saja mendengar disebutnya Raja Jenggala, mereka tidak menjadi takut. Akan tetapi pemimpin mereka bukan seorang bodoh. la tahu bahwa seorang puteri bangsawan, apalagi puteri raja seperti ini, kalau pergi tentu ada banyak pengawal yang mengantarkannya. Kini sang puteri sesat jalan, tentu sedang dicari-cari. Kalau para pengawal muncul, mereka bisa celaka karena ia mendengar bahwa para pengawal memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Rampas dulu kudanya," katanya kepada anak buahnya.
Dua orang anak buah perampok yang bernafsu sckali untuk segera merampas kuda dan perhiasan serba mahal itu, melompat maju dan dengan kasar bertindak merenngut kendali kuda dari tangan Puteri Mayagaluh.
"Berani kalian merampas kudaku" sang puteri membentak marah, kedua kakinya melakukan gerakan menendang bergantian amat cepatnya, mengarah bawah pusar lawan. Itulah ilmu tendangan yang amat keji dan ganas, begitu tepat mengenai sasaran tentu akan menewaskan lawan. Ilmu tendangan ini adalah satu di antara banyak ilmu yang ia pelajari dari Endang Patibroto.
Terdengar jerit mengerikan dan dua orang perampok itu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak mungkin dapat hidup lebih lama lagi karena anggota tubuh di bawah pusar pecah terkena tendangan tadi! Biarpun semenjak kecil mempelajari ilmu silat, akan tetapi selama hidupnya belum pernah Mayagaluh membunuh orang. Kini menyaksikan betapa dua orang yang ditendangnya itu berkelojotan sekarat, ia merasa ngeri.
"Pergilah....! Jangan ganggu aku....!!" katanya setengah memohon, wajahnya sudah pucat dan tubuhnya menggigil.
Melihat sikap ini, tiga orang perampok itu mengira bahwa tentu tendangan tadi secara kebetulan saja mengenai bagian tubuh yang paling lemah dari kedua kawannya. Kalau gadis itu memang berilmu, tentu tidak ketakutan seperti itu. Kepala rampok yang muda itu lalu membentak kepada dua orang temannya.
"Tangkap kudanya. Masa tidak mampu?" Dua orang perampok maju bersama.
Mayagaluh yang ketakutan itu kini terpaksa menghunus kerisnya, keris kecil yang biasa dipakai para puteri. Kini dua orang perampok itu agak terkejut. Cara puteri itu mencabut dan memegang gagang keris jelas membayangkan bahwa puteri ini mengerti ilmu silat, mahir dalam tata tempur menggunakan keris. Maka mereka bersikap hati-hati dan menubruk dari kanan kiri untuk merampas kendali kuda yang dipegang tangan kiri Mayagaluh.
Puteri ini cepat menggerakkan kerisnya, menerima perampok dari kanan dengan tusukan, sedangkan perampok yang menubruk dari kiri ia sambut dengan sebuah tendangan kilat, kini agak tinggi mengarah lambung. Dua orang perampok yang mati tertendang tadi sebetulnya juga bukan orang lemah, melainkan orang-orang kasar yang biasa berkelahi. Tadi mereka sekali tendang roboh oleh Mayagaluh karena mereka memandang rendah dan tidak menduga-duga.
Kini, dua orang lagi perampok yang sudah berhati-hati, cepat mengelak dan mengurungkan niatnya merampas kendali kuda ketika melihat sambutan wanita muda itu. Maklum bahwa wanita itu bukan seorang lemah, dua orang perampok ini lalu bergerak menyerang, seorang mencengkeram ke arah pergelangan tangan kanan yang memegang keris, orang ke dua menubruk untuk mencengkeram pundak dan menangkapnya! Sebetulnya dua orang perampok ini hanya orang-orang kasar yang lebih banyak mengandalkan tenaga dan keberanian daripada mengandalkan gerakan ilmu silat.
Mayagaluh dapat melihat dengap jelas dan maklum bahwa sebetulnya ia tidak perlu takut melawan mereka. Akan tetapi dasar kurang pengalaman, melihat dua orang laki-laki menerjang dengan muka beringas, mulut menyeringai, mata melotot lebar, ia merasa serem dan muak oleh bau keringat mereka. Karena jijik ia menjadi gugup, menyelinap untuk menjauhkan diri, akan tetapi perasaan jijik dan ngeri membuat ia ingin cepat-cepat mengakhiri ancaman ini maka kerisnya bergerak cepat sekali ke arah lambung perampok ke dua ketika ia menghindar.
"Capp.......!"
Ketika gadis bangsawan ini meloncat sambil mencabut keris, darah muncrat-muncrat dari perut perampok itu yang mendekap perutnya sambil berkaok-kaok seperti kerbau disembelih, lalu roboh dan berkelojotan. Melihat darah muncrat-muncrat ini, hampir saja Mayagaluh pingsan.
"Aduh! Kuminta kepada kalian pergilah, bawa kuda dan perhiasanku semua!" la mengeluh sambil memandang korbannya dengan mata terbelalak ngeri.
Akan tetapi perampok yang melihat kawannya roboh menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya yang besar dan tajam lalu mengayun golok itu, menyerang dengan kemarahan meluap.
"Genjul, jangan bunuh dia!"
Kepala perampok yang muda itu menegur anak buahnya yang tinggal seorang. Akan tetapi si Genjul, perampok itu yang melihat tiga orang kawannya sudah tewas, tak dapat menahan kemarahannya lagi. Goloknya menyambar ganas ke arah leher Mayagaluh. Puteri ini terkejut, cepat ia menekuk lutut miringkan tubuh sehingga golok lawan lewat di atas kepalanya mengeluarkan bunyi "swingggg!!" menyeramkan sekali. la maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat merobohkan orang ini, keselamatannya sendiri terancam. Maka melihat lawan membuka lengan ketika membacok, dari bawah kerisnya meluncur pula menusuk lambung.
Perampok bernama Genjul ini sudah siap-siap, maka cepat ia meloncat mundur sambil mengayun golok ke bawah. Mayagaluh menarik kembali kerisnya, tidak mau membiarkan kerisnya dihantam golok yang berat. Ketika perampok itu menerjang lagi, kini membabat pinggang, Mayagaluh sudah mendahului meloncat ke atas sehingga babatan golok itu lewat di bawah kakinya. Dari atas, Mayagaluh yang sudah menaksir bahwa golok itu tentu akan lewat di bawah kakinya, menggunakan kakinya menendang ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan yang memegang golok.
"Aduhh.....!"
Perampok itu berseru keras, goloknya terlepas dari pegangan. Dan pada saat itu dari atas, tubuh Mayagaluh sudah meluncur dengan didahului kerisnya yang menusuk ke arah leher lawan. Perampok bernama Genjul itu terkejut sekali dan timbul rasa takutnya yang hebat. Ketakutannya membuat Genjul menjadi nekat dan ia segera mengembangkan kedua lengannya, terus menubruk ke depan, ke arah tubuh puteri yang meluncur turun itu, langsung memeluk pinggang yang ramping!
Kalau saja Mayagaluh melanjutkan tusukannya, tentu akan berhasil dan kerisnya akan menembus leher. Akan tetapi melihat betapa laki-laki kasar itu mengembangkan lengannya, Mayagaluh merasa ngeri dan jijik sehingga tangan yang memegang keris seketika menjadi lemas. Ia menjerit ketika merasa betapa pinggangnya dirangkul dan tubuhnya merapat pada tubuh yang tinggi besar dan keras. Hampir saja ia pingsan. Sambil menggigit bibir dan menjauhkan mukanya agar hidungnya tidak dekat dada yang penuh bulu dan keringat, ia menggerakkan tangan kanannya dan..... "ceppp......!!" kerisnya sudah menancap di dada kiri lawannya.
Seketika Genjul seperti disambar halilintar, pelukannya terlepas, mulutnya mengeluarkan suara rintihan, tubuhnya lemas dan berkelojotan. Mayagaluh yang berusaha mencabut kerisnya, tidak berhasil. Keris itu menancap dan menyangkut di antara tulang iga sehingga sukar dicabut. Kalau saja puteri ini tidak hampir pingsan oleh rasa jijik dan ngeri, tentu ia akan dapat mencabut kerisnya. Kini ia meloncat ke belakang, melepaskan gagang keris, takut kalau-kalau darah lawan akan muncrat membasahi tubuh dan mukanya.
Tubuh Genjul berkelojotan dan roboh terlentang, kerongkongannya mengorok dan matanya mendelik. Mayagaluh mengkirik. Pada saat itulah, kepala rampok sudah menerjangnya dari belakangnya dan sebuah pukulan dengan tangan miring tepat menghantam tengkuk Puteri Mayagaluh. Puteri ini mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas, matanya meram. la pingsan!
Kepala rampok yang berhasil merobohkan Mayagaluh, segera memondong puteri itu dan meloncat ke atas punggung kuda sang puteri, terus membedal kuda membalap karena khawatir kalau-kalau para pengawal sang puteri akan menyusul ke tempat itu. Guncangan-guncangan dan tiupan angin menyadarkan Mayagaluh. Ia membuka rnata dan alangkah kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa dia berada dalam pondongan kepala perampok, dilarikan di atas kuda.
"Tolooongggg..... Toloooongggg......!!" ia menjerit dua kali, akan tetapi lalu tak dapat mengeluarkan teriakan lagi karena mulutnya didekap tangan kasar dan kepala rampok itu mengancam,
"Sekali lagi kau berteriak, golokku akan memenggal lehermu!"
Seluruh tubuh Mayagaluh menggigil penuh kengerian. La berusaha meronta-ronta dan membentak-bentak, "Lepaskan aku! Lepaskan! Lepaskan!!"
Namun sia-sia saja dan akhirnya ia tidak berani lagi meronta karena kudanya lari cepat sekali dan apabila ia dapat melepaskan diri, tentu ia akan terbanting dan terseret, mungkin akan terinjak kaki kuda.
"Heh-heh, kau cantik sekali. Kau pantas menjadi biniku, sayang!"
Si kepala rampok terkekeh, kemudian menundukkan mukanya hendak mencium muka yang cantik jelita itu. Mayagaluh terkejut dan lupa akan rasa takutnya. Rasa ngeri dan marah mengaduk hatinya dan kembali ia meronta, tangannya menampar ke atas.
"Plakk!". Muka perampok itu kena tamparan yang cukup keras sehingga kepala rampok itu membatalkan niatnya mencium, mukanya berubah merah dan ia marah sekali. Dengan tangan kirinya, dicekiknya leher Mayagaluh. Sang puteri meronta dan berusaha melepaskan diri namun sia-sia sehingga ia terengah-engah dan tubuhnya menjadi lemas. Setelah Mayagaluh pingsan baru kepala rampok itu menghentikan cekikannya dan terus membalapkan kuda.
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat cepat sekali laksana kijang melompat. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Wandiro! Seperti telah kita ketahui, Joko Wandiro mengejar Ayu Candra yang melarikan diri pergi dari pondoknya bersama Ki Jatoko. Akan tetapi karena tidak tahu ke mana perginya dara itu, juga tidak dapat mengira-ngira ke mana gerangan tujuannya, Joko Wandiro mengejar ke jurusan yang berlawanan.
Pemuda ini mengejar ke selatan, terus ke selatan sampai akhirnya ia tiba di Pegunungan Kidul dan teringatlah ia akan pesan ayah angkatnya bahwa ayah angkatnya dahulu tinggal di Bayuwismo, di pantai Laut Selatan Karena lapun tidak mempunyal tujuan tertentu, tidak tahu pula ke mana harus mencari Ayu Candra, maka ia lalu membelok ke barat, hendak pergi ke Bayuwismo.
Di dalam hutan itu ia tadi mendengar jerit minta tolong. Mendengar jerit wanita minta tolong ini, hatinya berdebar keras. Jangan jangan Ayu Candra yang tertimpa malapetaka, pikirnya sambil meloncat dan mengerahkan aji kesaktian dan lari bagaikan kijang melompat cepatnya. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul dan ia melihat seorang laki-laki tinggi besar memondong tubuh seorang dara yang tak bergerak-gerak dan lemas, agaknya pingsan, kemarahannya timbul. Ia tidak menegur lagi, terus melompat dan tubuhnya menyambar bagaikan seekor elang rajawali, sambil mulutnya membentak,
"Bedebah!"
Kepala rampok melihat tiba-tiba ada orang menyambarnya dari atas seperti Raden Gatutkaca terbang menyambar, kaget setengah mati. Ia melepaskan kendali kuda dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja ia bukan seorang lemah. Tenaganya besar dan ia pandai ilmu silat. Akan tetapi sekali ini ia bertemu batu. Begitu lengannya bertemu dengan lengan Joko Wandiro, tubuhnya terguling dan terlempar dari atas punggung kuda, dan entah bagaimana tahu-tahu tubuh sang puteri telah berpindah tangan, berada di pondongan Joko Wandiro!
Ada rasa kecewa di hati Joko Wandiro ketika ia melirik dan melihat wanita itu, walaupun cantik jelita dan muda remaja, ternyata bukan Ayu Candra. Kemarahannya mereda dan ia berdiri tenang sambil memandang kepala perampok yang kini sudah meloncat bangun sambil mencabut golok.
"Babo-babo, si keparat dari manakah berani merampas tawananku? Hayo kembalikan kalau engkau tidak ingin mampus di tanganku!"
"Kisanak," jawab Joko Wandiro tenang, "namaku Joko Wandiro. Tadi aku mendengar jerit wanita ini minta tolong, lalu melihat engkau melarikannya secara paksa. Tadinya aku ragu-ragu dan tidak tahu siapakah wanita ini dan mengapa kau larikan. Setelah kini aku tahu bahwa dia tawananmu, tentu saja aku tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus menolongnya dan dia takkan kukembalikan kepadamu."
"Keparat Joko Wandiro, kalau begitu kau sudah bosan hidup!" bentak si perampok sambil menerjang maju dengan ayunan goloknya. Melihat gerakan golok yang cepat dan bertenaga, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian biasa saja. Ia mengelak dengan tenang, kakinya menyambar dari samping dan perampok itu terbanting roboh!
Si perampok kaget setengah mati. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seperti ini. Ia bergolok. Orang muda itu bertangap kosong. Bukan itu saja, bahkan kedua tangan orang muda itu memondong tubuh sang puteri, tidak ikut bergerak, hanya menggunakan kakinya tapi dalam segebrakan saja ia roboh! Rasa kaget dan heran merubah penasaran dan marah sekali.
Kembali ia menerjang setelah meloncat bangun, kali ini terjangannya lebih ganas daripada tadi dan kembali Joko Wandiro mengelak sambil mengangkat kaki dan untuk kedua kalinya perampok itu terbantmg roboh, lebih keras daripada tadi. Ia tidak tahu bahwa pemuda sakti itu merobohkannya dengan meminjam tenaganya, maka makin kuat ia menyerang, makin keras pula ia terbanting roboh oleh tangannya sendiri. Sampai nanar kepalanya dan sampai kabur pandang matanya sehingga setelah terbanting roboh, ia hanya mampu bangkit duduk dan sejenak ia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir kepusingan.
Dasar perampok ini seorang kasar dan bodoh. Ia masih belum kapok dirobohkan dua kali, bahkan makin penasaran dan marah. Setelah hilang kepusingan kepalanya, ia meloncat bangun dan sambil mengeluarkan teriakan marah, goloknya diputar-putar, kemudian sambil menubruk maju ia membacokkan goloknya ke arah sang puteri yang dipondong Joko Wandiro! Pemuda ini terkejut dan marah sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan itu akan menggunakan siasat begini keji.
"Manusia jahat!" bentaknya, kini tubuhnya bergerak menendang susul-menyusul. Kaki kanan menendang pergelangan tangan lawan yang memegang golok, kaki kiri mendugang ke arah dada.
"Bress! Ngekkk!!" Tubuh perampok itu terlempar sampai tiga meter ke belakang, goloknya mencelat entah ke mana dan kini ia bangkit duduk sambil terengah-engah dan memegangi ulu hati. Napasnya sesak, perutnya mulas dan ia tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian, matanya jelilatan dan tubuhnya mencelat ke atas, lari ke arah kuda, meloncat ke punggung kuda, dan membalapkan kuda seperti orang dikejar setan!
Joko Wandiro hanya tersenyum-geli melihat tingkah laku perampok itu. Ia mengira bahwa kuda itu kuda tunggangan si perampok, maka ia mendiamkannya saja. Wanita muda dalam pondongannya masih pingsan. Joko Wandiro menduga-duga. Pakaian dara ini amat indah, bukan pakaian sembarang orang. Juga wajahnya yang cantik jelita itu terpelihara, rambutnya halus mengeluarkan ganda harum, terhias emas permata.
Siapakah gadis ini? Baru saja ia dating dari timur dan sepanjang pegunungan itu tidak terdapat dusun. Juga di kanan kiri tempat itu merupakan daerah sunyi dan mati. Tak mungkin gadis ini berasal dari tempat ini, dan agaknya tidak mungkin pula gadis ini seorang dusun. Tentu seorang kota, seorang puteri bangsawan. la mengingat-ingat dan timbul dugaan bahwa tempat tinggal gadis ini tentu berada di sebelah barat.
Bayuwismo tak jauh lagi, juga Selopenangkep. Mungkinkah gadis ini tinggal di Selopenangkep? la tidak tahu lagi siapa gerangan kini yang menguasai Selopenangkep, setelah keluarga ayahnya tidak menguasai tempat itu lagi. Berpikir sampai di situ, Joko Wandiro mengambil keputusan untuk membawa gadis ini ke barat, melanjutkan perjalanan dan kalau perlu mengajaknya ke Bayuwismo atau ke Selopenangkep. Maka ia Lalu mempergunakan ilmu lari cepat, memondong dara ayu itu menuju ke barat.
Matahari telah naik tinggi, hawa mulai panas. Joko Wandiro yang memondong puteri itu, mulai merasa gerah. Ia tidak lelah, tubuhnya sudah amat kuat sehingga untuk berlari cepat sehari saja tidak nanti melelahkannya. Akan tetapi, berlari sambil memondong tubuh orang membuat gerakannya canggung. Apalagi tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ini menurut perasaannya, ditambah teriknya sinar matahari, membuat peluhnya keluar juga. Berhentilah ia sebentar di bawah sebatang pohon, lalu menyusutkan muka pada pundak bahunya di kanan kiri.
Sebenarnya, Sang Puteri Mayagaluh sudah sadar semenjak tadi! Puteri ini tadi sadar dari pingsannya dan segera tahu bahwa ia tidak lagi dibawa lari di atas kuda, melainkan dipondong dan dibawa lari orang. Ketika ia membuka mata dan memandang, ia terheran heran. Wajah di atas itu sama sekali bukan wajah perampok yang kasar, bengis, dan menyeringai menjijikkan. Tubuhnya bukan tubuh penuh bulu pada dada dan lengan. Wajah ini muda dan tampan sekali, lengannya yang kuat berkulit halus tidak berbulu.
Ketika Joko Wandiro berhenti sebentar untuk menghapus peluh di mukanya dengan pundak dan pangkal lengan bajunya, Mayagaluh sudah sadar betul. Ia mengintai muka orang dan jantungnya berdebar. Dapatlah ia menduga bahwa tadi dalam keadaan pingsan, pemuda ini telah menolong dirinya, telah mengalahkan perampok kemudian membawanya pergi.
Ke manakah kudanya? Dan siapakah pemuda ini? Melihat cara pemuda ini mendukungnya, kedua lengannya menyangga bagian punggung, leher dan bawah paha, ia tahu bahwa pemuda ini seorang yang bersusila, tidak seperti perampok tadi yang memeluknya secara kurang ajar.
Joko Wandiro yang sedang mengusap keringatnya, tiba-tiba merasa betapa dada orang yang dipondongnya berdetak-detak keras. Dalam keadaan terpondong itu, samping dada gadis itu tentu saja merapat pada dadanya dan kini dari dalam dada gadis itu timbul detakan-detakan yang seakan-akan memukuli dadanya sendiri. la melirik ke arah muka orang yang dipondongnya.
Joko Wandiro menahan senyumnya. Hemm, ternyata gadis itu sudah sadar, pikirnya. Hampir ia tertawa melihat betapa dara jelita itu berpura-pura pingsan, menutup sebelah mata kanan rapat-rapat, akan tetapi mata kiri bergerak-gerak bulu matanya, agaknya sedang mengintainya dari balik bulu-bulu mata yang panjang lentik. Hemmm, bukan main cantiknya gadis ini, pikir Joko Wandiro. Hatinya juga berdebar dan pipinya terasa panas. Timbul rasa kasihan dan juga suka. Entah bagaimana, perasaan mujijat menguasai hatinya dan membuat ia perlahan-lahan menundukkan mukanya dan hidung dan bibirnya menyentuh pipi yang halus dan putih kemerahan itu.
Hanya sebentar dan cepat-cepat Joko Wandiro menjauhkan lagi mukanya sambil memaki diri sendiri dalam hatinya. Ihh! Benar-benar dia telah gila. Setan telah menguasai hatinya. Benarkah ia seorang mata keranjang? Seorang yang gila akan wajah jelita? Kalau tidak demikian, mengapa ia suka sekali kepada gadis ini, suka mendukungnya dan bahkan ingin sekali berdekatan, ingin sekali menciumnya?
Makin berdebar jantung Joko Wandiro ketika ia merasa betapa dada gadis itu terengah-engah, betapa detak jantung gadis itu seakan-akan hendak memecahkan rongga dadanya, kemudian melihat betapa warna kemerahan pada wajah yang berkulit halus putih itu kini menjadi makin merah seperti udang dipanggang. Tiba-tiba dara itu meronta, membuka matanya yang lebar dan amat indah, mulutnya menahan isak dan ia merintih perlahan, lalu berkata,
"Lepaskan aku.....!"
Joko Wandiro melepaskan dukungannya. Melihat gadis itu berdiri di depannya dengan wajah penuh kemarahan, mata itu memancarkan sinar dan kedua tangan kecil terkepal, Joko Wandiro menundukkan mukanya dan berkata perlahan,
"Maafkan aku, nona. Aku sudah berani....berani memondongmu karena kau tadi dilarikan perampok dan kau pingsan" kata Joko Wandiro gagap.
Mata gadis itu tidak sehebat mata Ayu Candra, akan tetapi harus ia akui bahwa tidak banyak ia bertemu dengan gadis yang bermata seindah ini. Karena tidak berani berterus terang, Joko Wandiro merasa seperti orang membohong dan mukanya seketika menjadi merah sekali.
"Engkau laki-laki lancang! Engkau sudah berani.... hemm.... berbuat kurang ajar kepadaku. Apakah kau tahu siapa aku? Aku adalah Puteri Mayagaluh, puteri Raja Jenggala!"
Bukan main kagetnya hati Joko Wandiro. Celaka, pikirnya. Ia telah melakukan dosa besar sekali. Ia telah berani mencium pipi puteri raja! Dosa yang tak dapat diampuni lagi. Biarpun gurunya berpesan agar ia membantu Kerajaan Panjalu untuk menghadapi Jenggala, namun betapapun juga, Kerajaan Jenggala masih bersaudara dengan Kerajaan Panjalu. Raja Jenggala adalah adik kandung Raja Panjalu, masih keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga. Dan ia telah berani mencium pipi sang puteri. Wajahnya seketika menjadi pucat, kedua kakinya lemas dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan mukanya.
"Karena hamba tidak tahu, hamba mohon paduka suka memberi ampun," katanya merendah.
Dan karena ia tertunduk itulah, ia tidak melihat betapa wajah sang puteri berseri-seri dan kemerahan, betapa sepasang mata yang jeli itu menatap wajahnya dengan tajam dan senyum simpul menghias bibir merah.
"Sudahlah, tidak mengapa. Karena kau tidak tahu, dan juga karena aku sedang pingsan sehingga aku tidak tahu akan perbuatanmu, biarlah kita jangan bicarakan hal itu pula. Betapapun juga, engkau sudah menolongku dari tangan perampok jahat. Orang muda, siapakah namamu?"
Lega rasa hati Joko Wandiro. Terasa lapang dan kepucatan wajahnya segera terganti warna merah. Ia tahu betul bahwa sang puteri tadi tidak pingsan lagi ketika ia menciumnya, tapi kini sang puteri menyatakan bahwa sang puteri dalam keadaan pingsan ketika ia melakukan perbuatan tadi dan menghendaki agar hal itu jangan dibicarakan lagi. Memang tidak akan ia bicarakan, akan tetapi bagaimana akan dapat ia lupakan? Ia telah mencium pipi seorang puteri raja! Biarpun puteri ini puteri Kerajaan Jenggala, namun ternyata baik budi dan mudah mengampuni kesalahan orang serta menghargai pertolongan orang.
"Nama hamba Joko Wandiro, gusti puteri."
"Joko Wandiro, aku mengucap banyak terima kasih kepadamu atas pertolonganmu tadi. Engkau kawula manakah? Dan di mana tempat tinggalmu?"
Joko Wandiro tidak suka menceritakan keadaannya. Apalagi menceritakan tentang gurunya, Ki Patih Narotama karena gurunya ini amat tidak suka kepada ayah puteri ini. Di samping itu, tidak ada keinginan hatinya pula menceritakan keadaan keluarganya. Bukankah ia sekarang sudah yatim piatu? Ayahnya yang bernama Wisangjiwo sudah tewas dalam perang membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi Raja Panjalu, yaitu dalam perang melawan bala tentara ayah puteri ini! Ibunya belum lama ini terbunuh orang pula. Dan tempat tinggalnya Dia tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.
"Hamba adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak mengabdi kepada siapapun juga dan tiada tempat tinggal tertentu seperti sehelai daun kering terbawa angin tanpa tujuan."
Berkerut kening sang puteri, dan pandang matanya membayangkan iba hati. "Ah...! Betapa mungkin seorang seperti engkau tidak mempunyai pekerjaan!"
Hampir saja terloncat kata-kata "gagah dan tampan" dari mulut puteri ini. Segera ia menyambung, "Joko Wandiro, maukah engkau menolongku? Kelak tentu ramanda prabu akan memberi ganjaran yang setimpal dengan jasamu ini."
Lucu, pikir Joko Wandiro. Sudah jelas tadi tanpa diminta ia sudah menolong puteri ini, mengapa sekarang masih ditanya lagi apakah suka menolong. Adapun tentang ganjaran....ah, kembali mukanya menjadi merah sekali karena harus la akui bahwa ia tadi telah menerima ganjaran yang lebih menyenangkan daripada ganjaran apapun juga!
"Tentu saja hamba akan melakukan segala perintah paduka tanpa mengingat akan ganjaran apapun juga."
"Engkau baik sekali, Joko Wandiro. Aku minta agar kau suka mengantar aku pulang ke Jenggala."
"Kalau tidak salah, Kerajaan Jenggala amatlah jauh dari sini, gusti puteri. Maka amatlah mengherankan bagaimana paduka bisa sampai di tempat sejauh ini, seorang diri pula dan terjatuh ke tangan penjahat? "
"Kau tidak tahu, Joko Wandiro. Aku tadinya tidak melakukan perjalanan seorang diri. Aku pergi mengikuti kakakku, Pangeran Panjirawit, dan dikawal oleh panglima kepala pengawal istana sendiri. Akan tetapi ketika kami berlomba, aku kehilangan jalan dan tersesat, kemudian bertemu dengan lima orang perampok. Yang empat orang dapat kurobohkan, akan tetapi kepala perampok itu dapat menawanku dan membawaku lari. Untung ada engkau yang menolong, hanya sayang kudaku tidak dapat kau rampas kembali."
"Ahhh! Kalau hamba tahu bahwa dia itu tadi kepala perampok, tentu hamba tidak akan semudah itu melepaskannya Dan kuda itu hamba sangka miliknya. Benar keparat!"
Joko Wandiro mendongkol sekali, dan berbareng juga kagum terhadap puteri ini. Seorang puteri bangsawan, puteri raja, dapat merobohkan empat orang perampok Benar-benar hebat!
"Sudahlah, engkau sudah membebaskan aku dari tangannya, itu sudah merupakan jasa yang amat besar. Joko Wandiro, mari kau antar aku pulang ke Jenggala."
"Baiklah, gusti. Hanya sayang, kuda itu dirampas perampok. Kalau tidak, tentu paduka dapat menunggang kuda dan perjalanan dapat dilakukan lebih cepat lagi."
"Tidak mengapa. Kita jalan kaki. Jangan kau khawatir, biarpun seorang puteri raja namun aku bukan seorang lemah. Aku dapat berjalan cepat."
"Ssttt....! Ada orang datang! Harap paduka bersembunyi...." bisik Joko Wandiro yang merasa khawatir kalau-kalau yang datang adalah perampok tadi bersama teman-temannya. Jika terjadi pertempuran, ia pikir lebih baik sang puteri bersembunyi saja sehingga tidak menambah bebannya harus melindungi diri sang puteri. Akan tetapi Mayagaluh mengerutkan keningnya dan memasang telinga mendengarkan. Pendengaran telinganya tidak setajam Joko Wandiro dan setelah agak lama barulah ia mendengar derap kaki kuda dari jauh. Segera wajahnya berubah girang.
"Ah, itulah kakakku dan kepala pengawal!" teriaknya sambil meloncat dan menghadap di tengah jalan.
Joko Wandiro juga girang mendengar ini. Kalau puteri ini bertemu dengan kakaknya dan pengawal, ia akan terbebas daripada tugas mengantar ke Jenggala. Sebetulnya, iapun segan untuk pergi ke Jenggala, pertama karena ia masih merasa cemas akan hilangnya Ayu Candra dan sedang mencari dara itu, ke dua ia ingin mengunjungi ayah angkatnya di Bayuwismo, ke tiga iapun merasa tidak enak harus membantu puteri Raja Jenggala yang dianggap musuh oleh gurunya, Ki Patih Narotama.
Setelah derap kaki kuda terdengar makin jelas, Puteri Mayagaluh berseru heran, "Mengapa begitu banyak kuda? Dengan siapakah rakanda pangeran datang??"
Kembali Joko Wandiro merasa tidak enak hatinya. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada waktu lagi bagi sang puteri untuk bersembunyi. Sebelum ia minta kepada sang puteri supaya bersembunyi, para penunggang kuda itu sudah muncul dari sebuah tikungan jalan. Mereka itu ternyata adalah tujuh orang pria menunggang kuda-kuda besar. Lega hati Joko Wandiro ketika melihat tujuh orang itu, karena pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah ponggawa-ponggawa berkedudukan tinggi dan sama sekali bukanlah perampok perampok. Tujuh orang itupun merasa heran melihat dua orang muda itu berada di dalam hutan liar di pegunungan sunyi. Mereka menahan kuda mereka yang tubuhnya sudah basah oleh keringat.
"Eh, bukankah andika Joko Wandiro??" Seorang di antara mereka menegur ketika mengenal pemuda itu.
"Betul, anda Joko Wandiro!" seru orang ke dua.
Joko Wandiro memandang dan kini iapun teringat bahwa dua orang ini adalah dua orang di antara panglima Kerajaan Panjalu, anak buah Ki Patih Suroyudo dan dahulu ikut menyaksikan ketika la menghadapi pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Lima orang yang lain agaknya juga Panglima-panglima Panjalu karena pakaian mereka menunjukkan bahwa merekapun perajurit-perajurit tingkat tinggi dan karena usia mereka sudah tua daripada kedua orang itu, tentu mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi pula.
"Benar, hamba adalah Joko Wandiro. Paduka sekalian ini datang dari mana dan hendak ke mana?"
Akan tetapi sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru sambil memandang kepada sang puteri, "Dan paduka ini bukankah Gusti Puteri Mayagaluh dari Jenggala??"
Yang Iain-Iain kaget dan kini semua orang memandang. Biarpun mereka adalah Panglima-panglima Panjalu yang bermusuhan dengan Jenggala, akan tetapi sang raja di Jenggala adalah putera mendiang Sang Prabu Airlangga pula sehingga puteri ini termasuk anak kemenakan Raja Panjalu, maka tentu saja mereka menghadapinya dengan sikap hormat pula. Dengan sikap agung dan gagah, menyembunyikan kekhawatiran hatinya, Puteri Mayagaluh menjawab,
"Benar, aku adalah Mayagaluh. Paman sekalian hendak ke mana?"
Seorang di antara mereka yang tertua dan yang kumisnya panjang ujungnya menjulang ke atas, segera meloncat turun dari kudanya, diikuti enam orang teman-temannya. Dengan sikap hormat si kumis panjang ini menghampiri sang puteri, kemudian berkata, "Kalau begitu, hamba persilahkan paduka menunggang kuda ini untuk hamba antar menghadap paman paduka, sang prabu di Panjalu."
Puteri itu nampak terkejut. Sebagai seorang puteri raja, tentu saja ia maklum apa artinya kata-kata yang halus itu. Di balik sikap halus dan ucapan mempersilahkan, ia telah dijadikan seorang tawanan! Akan tetapi ia tidak takut. Ia maklum bahwa biarpun ayahnya bermusuhan dengan pamannya, namun permusuhan itu hanya karena urusan kerajaan, sehingga dia sendiri tentu tidak akan diganggu oleh pamannya. la tidak takut maupun khawatir, hanya ia menjadi tidak senang sekali.
"Paman, aku mau pulang ke Jenggala! Kalau aku berniat mengunjungi paman prabu di Panjalu, tidak perlu kalian minta! Pergilah dan jangan menggangguku."
Wajah perwira berkumis panjang itu menjadi merah. la tak dapat menyangkal kebenaran jawaban puteri itu. Akan tetapi, setiap orang ingin menonjolkan pahala kepada yang dipertuan. Secara kebetulan ia bertemu dengan seorang Puteri Jenggala. Kalau ia dapat menawannya ke Panjalu dan menyerahkan puteri itu sebagai tawanan, tak dapat tidak sang prabu tentu akan merasa senang. Biarpun sang puteri takkan diganggu, akan tetapi hal ini sedikitnya akan menyuramkan Jenggala dan siapa tahu puteri itu akan dapat dijadikan semacam cara untuk menundukkan musuh.
"Harap saja paduka tidak menyulitkan hamba. Paduka adalah seorang Puteri Jenggala, karena itu termasuk musuh hamba sekalian. Hanya karena mengingat bahwa paduka adalah anak kemenakan gusti prabu, maka hamba memperlakukan paduka sebagai seorang tamu agung, bukan sebagai seorang tawanan. Gusti puteri, silahkan menunggang kuda ini."
Menyaksikan betapa sang puteri dipaksa secara halus, Joko Wandiro lalu melangkah maju dan berkata, "Paman, yang berselisih adalah Raja Panjalu dan Raja Jenggala, yang berperang adalah perajurit-prajurit Panjalu melawan perajurit-perajurit Jenggala. Kurasa dalam hal itu sang puteri tidak ikut-ikut. Jelas bahwa sang puteri tidak suka singgah di Panjalu, mengapa kalian hendak memaksa? Apakah perbuatan ini tidak memalukan kalian sebagai perwira-perwira yang perkasa? Menghina wanita bukanlah perbuatan jantan!"
Seorang perwira yang paling muda menghardik, "Joko Wandiro! Begini mudahkah engkau berkhianat? Belum lama ini engkau memohon kepada gusti prabu untuk menghambakan diri kepada Panjalu, dan sekarang engkau sudah ingin melindungi puteri musuh?"
"Kalau kalian berperang melawan perajurit-perajurit Jenggala, aku tidak akan membantu Jenggala, akan tetapi saat ini kalian tidak sedang perang, melainkan sedang melakukan perbuatan yang tidak benar. Kalian hendak memaksa, hal itu berarti hendak menculik sang puteri. Hal ini mana mungkin aku mendiamkan saja? Pendeknya, kalau sang puteri tidak dengan suka rela sendiri ikut kalian menghadap pamannya, aku akan membelanya!"
"Keparat, kau memang manusia sombong!" bentak perwira muda itu yang segera menerjang maju dengan pukulan keras ke arah dada Joko Wandiro. Pemuda ini tenang saja, tidak menangkis, juga tidak mengelak.
"Blukkk!!!!"
Kepalan yang besar dan keras itu dengan tenaga dahsyat menghantam dada Joko Wandiro. Akan tetapi akibatnya tubuh perwira Panjalu itu sendiri yang terlempar dan terjengkang ke belakang! Melihat datangnya pukulan tadi, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga kasar yang kuat, maka ia lalu mengerahkan hawa saktinya, menggunakan tenaga menendang pada dadanya sehingga akibatnya lawan itu terjengkang. Bukan main marahnya perwira ini. la meloncat bangun tanpa memperdulikan tangannya yang sakit dan membengkak. Ia telah dibikin malu di depan rekan-rekannya. Seorang perwira Panjalu adalah seorang perajurit pilihan yang sudah lulus ujian ketangkasan, bagaimana kini menghantam dada seorang pemuda malah roboh sendiri? Ia menerjang lagi sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau.
Melihat kenekadan orang ini Joko Wandiro mendongkol. Kini kepalan lawan di arahkan ke perutnya. Sekali lagi ia tidak menangkis rnaupun mengelak, melainkan diam-diam mengerahkan hawa sakti, menggunakan tenaga menempel dan menekan.
"Krakkk!" Si berangasan menjerit dan tubuhnya terlempar sampai tiga meter ke belakang, di mana ia terbanting jatuh dan menggereng kesakitan sambil memegangi lengan yang sudah patah tulangnya.
"Keparat engkau, Joko Wandiro Merobohkan seorang perwira kerajaan berarti memberontak!" bentak perwira ke dua yang bertubuh tinggi besar. Diikuti empat orang temannya yang semua menghunus keris, mereka maju dan menerjang Joko Wandiro.
Pemuda ini merasa menyesal. Teringat akan pesan gurunya, ia tidak suka bermusuhan dengan orang-orang Panjalu. Bahkan ketika ia dipandang rendah di istana dan tidak ditenma penghambaan dirinya, ia tidak merasa sakit hati. Akan tetapi, kali ini ia menghadapi perwira-perwira Panjalu bukan sekali-kali membela Jenggaa, dan di dalam hatinyapun bukan sekali-kali ia hendak membela seorang puteri Jenggala, melainkan ia hendak membela seorang wanita yang terancam kebebasannya oleh sekelompok orang-orang yang hendak menawannya.
"Aku tidak memberontak atau melawan Panjalu, aku menentang dan melawan kalian orang-orang yang hendak menghina wanita!" jawabnya dan kini ia tidak berani menerima sambaran keris para perwira itu. Bukan saja ia khawatir bajunya akan rusak oleh tikaman keris-keris itu, juga ia tahu bahwa perwira-perwira Panjalu bukanlah orang-orang sembarangan dan keris merekapun tentu saja merupakan senjata-senjata ampuh yang tak boleh dipandang rendah.
Memang sesungguhnya demikianlah. Gerakan lima orang itu tangkas dan cepat sekali dan biarpun mereka berlima bergerak berbareng mengurung Joko Wandiro, namun gerakan mereka tidak kacau dan dapat saling membantu. Lima orang perwira ini adalah perwira-perwira setengah tua yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak sembrono seperti perwira berangasan tadi. Mereka tahu bahwa pemuda ini pernah mengalahkan pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang membuktikan bahwa pemuda Ini seorang sakti mandraguna. Oleh karena itulah kini mereka mengeroyok dengan gerakan hati-hati. Kalau saja mereka tidak sudah tahu bahwa Joko Wandiro adalah seorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, tentu saja sebagai perwira-perwira Panjalu mereka akan merasa malu untuk mengeroyok.
Keris pertama yang menyerangnya dengan tusukan kilat ke arah pusar adalah keris perwira tinggi besar. Joko Wandiro menggeser kaki miringkan tubuh. Pada detik berikutnya, dua batang keris perwira Iain menyambarnya dari kanan kiri, mengarah leher dan lambung. Ia merendahkan tubuh mengelak dari tusukan keris di leher sambil memutar tubuh dan mencengkeram lengan yang memegang keris menusuk Iambung sehingga si pemegang keris cepat-repat menarik kembali kerisnya.
Namun pada saat itu, kembali ada dua batang keris menyerangnya dengan gerakan cepat sekali, dari depan dan helakang. Terpaksa Joko Wandiro meloncat ke kanan dan menggerakkan kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawan yang berada di belakang, namun tendangannya juga luput karena perwira itu sudah menarik kembali kerisnya sambil meloncat mundur.
Joko Wandiro terus didesak, dihujani serangan dari lima penjuru, serangan yang cepat, kuat, dan susul-menyusul. Dengan Aji Bayu Sakti, Joko Wandiro seenaknya mengelak ke sana ke mari. Jangankan baru dikeroyok lima, biarpun ditambah sepuluh orang lagi kalau ia menggunakan aji ini, tak mungkin tubuhnya akan dapat dicium senjata lawan. Lima orang perwira itu menjadi pusing dan mata mereka berkunang ketika tubuh lawan yang dikeroyok bergerak-gerak amat cepatnya sehingga lenyap bentuk tubuhnya, hanya tampak bayangan yang tentu saja sukar sekali untuk diserang.
Sementara itu, perwira berkumis panjang yang tidak ikut mengeroyok, cepat-cepat membujuk dengan kata-kata mengandung ancaman. Karena tidak ingin diperlakukan kasar dan dipaksa naik kuda, terpaksa sekali Sang Puteri Mayagaluh meloncat ke atas punggung kuda itu, diikuti oleh perwira berkumis panjang yang meloncat ke atas seekor kuda lain. Mayagaluh menoleh dan melempar pandang terakhir ke arah Joko Wandiro yang masih sibuk menghadapi lima orang pengeroyoknya, kemudian kudanya dicambuk dari belakang oleh perwira berkumis sehingga kuda itu meloncat ke depan dan berlari cepat.
Joko Wandiro mendengar derap kaki kuda cepat menengok. Alangkah kaget dan mendongkol hatinya melihat sang puteri sudah dilarikan seekor kuda, diikuti si perwira berkumis. Tadinya ia tidak berniat merobohkan lima orang perwira ini karena ia masih merasa segan untuk bermusuhan dengan mereka. Akan tetapi melihat sang puteri dibawa pergi dan menduga bahwa betapapun juga, puteri seorang musuh tentu takkan mendapat perlayanan baik kalau terjatuh di tangan musuh, timbul kekhawatirannya. Sekali ia berseru keras, kedua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok tak dapat mempertahankan diri terhadap dorongan kedua tangan Joko Wandiro yang mengandung hawa pukulan luar biasa panasnya itu. Mereka berteriak kaget dan terdorong roboh, keris mereka mencelat entah ke mana. Menggunakan kesempatan ini, Joko Wandiro meloncat jauh melakukan pengejaran.
Biarpun kuda yang membawa lari puteri itu membalap, namun Joko Wandiro yang mengerahkan Aji Bayu Sakti, sebentar saja sudah hampir dapat menyusulnya. Namun tiga orang perwira yang belum roboh, juga sudah mencemplak kuda dan mengejar sambil berteriak-teriak. Tiga orang perwira itu adalah ahli-ahli dalam hal menunggang kuda, maka sebelum Joko Wandiro dapat turun tangan merampas kembali Puteri Mayagaluh, la sudah tersusul dan kembali mereka menerjang dan mengurungnya sambil melompat dari atas kuda masirtg-masing. Gerakan mereka cukup gesit dan tangkas dan sekali lagi Joko Wandiro terpaksa menggunakan Aji Bayu Sakti untuk menghindarkan diri dari hujan tikaman keris.
Melihat sang puteri makin jauh, Joko Wandiro panas hatinya. "Kalian ini benar-benar tak tahu diri!" bentaknya dan mulailah ia menggerakkan kaki tangan untuk menangkis dan balas menyerang.
Pada saat itu, dua orang perwira yang tadi hanya roboh oleh tenaga dorongan dahsyat dan tidak terluka, kini sudah datang pula menyerbu sambil melompat turun dari atas kuda masing-masing. Kembali lima orang perwira mengeroyok Joko Wandiro. Dua orang perwira yang kehilangan keris, kini malah menggunakan tombak yang tadinya terselip di punggung kuda. Dari jauh tampak perwira ke enarn yang patah tulang lengannya, berjalan perlahan karena kudanya ditunggangi oleh sang puteri. Tentu saja setelah tulang lengannya patah, ia tidak dapat membantu teman-temannya.
Tadi ketika Joko Wandiro hanya menggunakan kegesitannya berlandaskan Aji Bayu Sakti untuk mengelak ke sana ke sini, lima orang itu sudah tak berdaya dan sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya. Sekarang, dengan menggunakan Aji Kukilo Sakti yaitu gerak silat tangan kosong yang amat lincah dan hebat, tubuh Joko Wandiro menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda dan kocar-kacirlah lima orang pengeroyoknya. Terdengar teriak-teriakan kaget, keris terlempar dan tubuh terbantmg. Dalam beberapa menit saja, lima orang itu sudah roboh tanpa memegang senjata lagi dan biarpun mereka tidak menderita luka parah, namun tamparan tangan Joko Wandiro membuat mereka pening dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu bangun!
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh lima tahun berdiri di depan Joko Wandiro. Kakek itu bertubuh sedang namun berdiri tegak dan gagah seperti tubuh seorang pemuda, wajahnya kemerahan dan keren gagah, alis, kumis dan jenggotnya masih hitam akan tetapi rambutnya sudah berwarna dua. Di tangan kanannya terpegang sebatang tongkat kehitaman yang mengkilap dan pakaiannya ringkas serba putih.
"Hemmm, pemuda jahat dari manakah berani mengandalkan kepandaian menghina dan merobohkan para perwira Kerajaan Panjalu?" katanya dengan suara keren, matanya bersinar keras dan tangan kirinya mengelus jenggot.
Berkelebatnya bayangan kakek ini tadi membuktikan bahwa kakek ini seorang berilmu, rnaka Joko Wandiro tidak berani memandang rendah. Pemuda ini segera membungkuk dan berkata penuh hormat, "Paman, aku tidak menganggap mereka ini perwira-perwira Panjalu yang gagah, melainkan orang-orang jahat yang hendak menculik seorang wanita. Harap paman jangan mencampuri urusan ini."
Seorang di antara para perwira, yaitu yang lengannya patah, mengenal kakek ini dan segera berkata, "Paman Darmobroto! Saya Jatmiko dari kaki Merbabu pula, sahabat putera paman Joko Seto! Paman, orang muda ini hendak membela seorang puteri Jenggala yang menjadi tawanan kami. Harap paman suka membantu kami dan jangan membiarkan dia mengejar seorang kawan kami yang membawa puteri itu menghadap Gusti Prabu."
"Orang muda, menyerahlah!" Ki Darmobroto, kakek itu membentak.
Mendengar disebutnya nama kakek ini, dan disebutnya pula nama Joko Seto putera kakek ini, sejenak Joko Wandiro tertegun. Itulah nama-nama yang disebut oleh Ki Adibroto dalam pesan terakhir! Inilah Ki Darmobroto calon mertua Ayu Candra! Hatinya makin tidak enak. Kalau tadi ia meragu untuk melawan kakek ini, sekarang ia makin merasa berat pula.
"Paman Darmobroto, kumohon agar paman jangan mencampuri urusan ini, biarlah lain kali aku akan datang menghadap paman, minta maaf dan akan bicara hal yang amat penting bagi paman dan putera paman, Joko Seto "
"Hemm, kau sudah merobohkan perwira-perwira Panjalu, siapa peraaya omonganmu? Bocah, lebih baik kau pergi dan jangan lanjutkan perbuatanmu menentang Panjalu, dan akupun sudah memaafkanmu."
Diam-diam Ki Darmobroto yang kini memperhatikan para perwira yang roboh, merasa kaget dan kagum. Perwira-perwira itu bukan orang-orang muda, tentu bukan perwira sembarangan dan sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Akan tetapi enam perwira itu semua roboh oleh pemuda ini, tanda bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Apalagi melihat betapa mereka berenam itu tidak ada yang menderita luka berat, hal ini kembali membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang yang kejam.
Inilah yang membuat Ki Darmobroto merasa suka dan sayang kepada Joko Wandiro dan ingin menyudahi urusan itu asal Joko Wandiro suka pergi dan tidak melanjutkan usahanya merampas puteri. Akan tetapi justeru hal inilah yang memberatkan hati Joko Wandiro. Ia suka mengalah asal Puteri Mayagaluh dibebaskanl Dengan suara bingung karena sang puteri kini sudah dilarikan jauh, ia berkata,
"Paman Darmobroto, aku tidak berniat melawanmu, juga tidak ingin bermusuhan dengan perwira Panjalu. Aku hanya ingin membebaskan sang puteri!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat sekali, meloncat jauh dan kembali ia mengejar sang puteri dan si perwira berkumis. Ki Darmobroto makin kagum menyaksikan gerakan pemuda itu. Iapun cepat mengejar sambil mengerahkan ilmunya berlari cepat. Alangkah kagum hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ilmu lari cepat pemuda ini tidak kalah olehnya.
Padahal ia sudah mempergunakan aji keringanan tubuh yang merupakan ilmu warisan dari nenek moyangnya dan yang sudah amat terkenal di daerah Merbabu! Ia makin penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun karena Joko Wandiro juga mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari Empu Bharodo, maka pendekar Gunung Merbabu itu hanya mampu membayanginya, belum mampu menyusulnya.
Para perwira juga segera berloncatan ke atas kuda dan mengejar. Perwira yang lengannya patah membonceng salah seekor kuda mereka. Kejar-kejaran terjadi dengan seru. Debu mengepul dan tubuh mereka berkelebat keluar masuk hutan. Dengan loncatan-Ioncatan jauh dan berlari cepat sekali, akhirnya Joko Wandiro berhasil menyusul Mayagaluh dan perwira berkumis.
"Gusti puteri, hentikan kuda paduka! Jangan takut, hamba melindungi paduka!" teriak Joko Wandiro.
Perwira berkumis marah sekali, membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan sebatang tombak yang panjang ke arah Joko Wandiro. Akan tetapi tanpa mengelak, pemuda itu menggerakkan tangan dan berhasil menangkap leher tombak lalu membetot keras. Perwira itu terkejut sekali dan terpaksa melepaskan tombak karena kalau tidak, ia tentu akan turut terbetot jatuh dari atas kuda.
"Perwira Panjalu, jangan kurang ajar dan bebaskan sang puteri!" Joko Wandiro membentak marah.
Puteri Mayagaluh kagum memandang Joko Wandiro, mulutnya tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Ia senang sekali melihat kesetiaan pemuda itu. Maka ia lalu menahan kudanya. Akan tetapi pada saat itu, sesosok bayangan putih sudah tiba di tempat itu dan langsung menerjang Joko Wandiro sambil dibarengi bentakan,
"Orang muda, kaulah yang kurang ajar!"
Itulah Ki Darmobroto yang sudah menyerang dengan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundak Joko Wandiro. Hebat gerakan kakek ini, didahului angin menyambar amat kuat. Joko Wandiro maklum bahwa kakek ini memiliki tenaga yang hebat, maka ia tidak mau membiarkan pundaknya dicengkeram. Akan tetapi iapun sebagai seorang sakti ingin sekali menguji sampai di mana keampuhan tangan kakek Merbabu itu, maka ia lalu mengangkat tangan kanannya menangkis sambil berkata, "Paman, aku hanya ingin mencegah orang menghina seorang wanita!"
Dua buah lengan yang mengandung tenaga mujijat itu saling bertemu dan terkejut bukan main hati pendekar Merbabu ketika tidak hanya lengannya tergetar, bahkan sebagian dadanya kesemutan akibat benturan itu. Di lain pihak, Joko Wandiro juga kagum karena tenaga kakek itu cukup ampuh, tidak kalah banyak kalau dibandingkan dengan tenaga sakti mendiang Wirokolo yang tangguh. Karena maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan berat, maka Ki Darmobroto lalu memegang tongkatnya erat-erat, melangkah maju dan bertanya,
"Orang muda, apakah engkau seorang ponggawa Jenggala? Kalau engkau seorang ponggawa Jenggala, aku hormati kesetiaanmu dan pembelaanmu terhadap gusti puterimu. Akan tetapi kalau engkau bukan ponggawa Jenggala, harap kau suka pergi dengan aman, jangan mencari penyakit."
"Dia bukan ponggawa Jenggala, akan tetapi sebentar lagi tentu dia diberi anugerah kedudukan mulia oleh ramanda prabu!"
Tiba-tiba Puteri Mayagaluh berkata. Joko Wandiro terkejut dan cepat-cepat ia berkata, "Aku bukan ponggawa kerajaan mana pun, paman. Aku membelanya berdasar keadilan karena aku tidak suka melihat seorang wanita muda tanpa dosa diculik."
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang lain sudah tiba di situ dan mendengar ucapan puteri tadi mereka sudah menerjang lagi dan mengurung Joko Wandiro. Adapun Ki Darmobroto yang melihat kenekatan Joko Wandiro hendak melindungi sang puteri, sudah turun tangan pula memutar tongkatnya ikut menerjang.
Sebetulnya, mengingat kedudukannya sebagai seorang tokoh besar Merbabu, seorang angkatan tua yang terkenal, Ki Darmobroto merasa sungkan untuk melawan Joko Wandiro yang bertangan kosong itu dengan tongkatnya yang sakti, Apa pula mengeroyoknya bersama lima orang perwira Panjalu.
Akan tetapi karena yang dihadapinya ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan membela Panjalu, ia mengesampingkan perasaan pribadi dan mendahulukan kepentingan junjungannya. Akan tetapi tidak seperti para perwira yang sudah marah dan terhina karena tadi beberapa kali dikalahkan Joko Wandiro dan kini menyerang dengan mati-matian, Ki Darmobroto menggerakkan tongkatnya hanya untuk merobohkan dan menawan pemuda itu.
Biarpun demikian, segera Joko Wandiro mendapat kenyataan betapa serangan orang tua ini amat hebat, ujung tongkatnya menyambar-nyambar dan pecah menjadi belasan batang agaknya saking cepatnya gerakan. Tongkat kayu cendana itu mengeluarkan bau harum dan ketika digerakkan, memperdengarkan suara mengaung. Joko Wandiro terkejut dan segera ia mengerahkan kepandaiannya untuk menghindari hujan senjata itu.
Serangan para perwira yang lima orang jumlahnya itu dapat dengan mudah ia hindarkan, akan tetapi bayangan tongkat kayu cendana di tangan Ki Darmobroto benar-benar membuat ia repot. Ketika ia melompat jauh ke belakang untuk menjauhi para pengeroyoknya, bayangan tongkat dan bayangan putih itu mengejarnya, ujung tongkat tak pernah meninggalkan jalan darah di lehernya dan terdengar orang tua itu berseru,
"Menyerahlah!" sambil menusukkan ujung tongkat kearah jalan darah di leher yang akan membuatnya lumpuh seketika!
Joko Wandiro terpaksa mengeluarkan kepandaiannya. Dengan kelincahan mengandalkan Aji Bayu Sakti, ia miringkan tubuh ke kiri, kemudian dengan jari jari tangan terbuka ia memukul ujung tongkat. itulah pukulan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya bukan main. Jangankan hanya tongkat kayu, biarpun tongkat besi akan dapat dipukul patah oleh jari jari tangan yang penuh Aji Pethit Nogo! Akan tetapi kakek itu ternyata hebat. Agaknya dari sambaran angin yang keluar dari tangan Joko Wandiro, kakek itu maklum akan keampuhan Pethit Nogo, maka ia menarik tongkatnya dan menggoyang tangan sehingga ujung tongkat itu kini menyambar dan menotok ke arah telapak tangan Joko Wandiro.
Pemuda itu terkejut dan kagum. Dalam segebrakan ini saja ia maklum bahwa tingkat kepandaian Ki Darmobroto ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ni Durgogini atau Ni Nogogini! Totokan pada telapak tangannya itu amat berbahaya. Pusat jalan darah di tangan berada di telapak tangan, antara ibu jari dan telunjuk, kalau sampai kena tertotok, tentu kelima buah jarinya akan kaku dan tak dapat dipergunakan lagi untuk beberapa lama. Totokan serupa ini sekaligus melumpuhkan atau membuyarkan keampuhan ilmu pukulan Pethit Nogo yang dilakukan dengan telapak tangan terbuka, mengandalkan kepretan jari-jari tangan.
Maklum bahwa ilmu tongkat kakek Itu dapat mengatasi ilmunya Pethit Nogo, Joko Wandiro segera menggerakkan tubuhnya dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Bramoro Seto. Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan ia menggunakan kecepatannya yang mengatasi kecepatan kakek itu untuk berusaha merampas tongkat.
Ketika kakek ini menggerakkan tongkatnya menyabet dari kanan ke kiri, Joko Wandiro merendahkan tubuh dan secepat kilat tangannya menyambar ke depan. Di lain saat dua jari tangannya telah berhasil menjepit tongkat kayu cendana itu. Betapa kagetnya hati Ki Darmobroto ketika merasa betapa jepitan itu kuat sekali. la mengerahkan tenaga menarik, namun sia-sia, tongkatnya tak dapat terlepas dan pada detik itu, tangan kiri Joko Wandiro dengan jari tangan terbuka melakukan pukulan Pethit Nogo ke arah pelipisnya!
"Celaka...!!" seru Ki Darmobroto, terkejut sekali. La dapat menduga bahwa pukulan dengan jari tangan itu amat berbahaya, maka ia tadi memunahkannya dengan totokan-totokan tongkat. Kini tongkatnya terjepit dan dengan tangan kosong, tak mungkin ia berani menerima tamparan dengan jari jari seperti itu.
Untuk mengelak, terpaksa ia harus melepaskan tongkatnya dan hal ini alangkah akan mendatangkan malu baginya. Ia bertongkat, bahkan dibantu lima orang perwira. Pemuda itu bertangan kosong, namun pemuda itu masih dapat merampas tongkatnya? Tidak! Tiba-tiba Ki Darmobroto mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menggelinding ke bawah, terus bergulingan dan tentu saja tongkat itupun ikut terbawa olehnya. Caranya bergulingan amat aneh, akan tetapi Joko Wandiro merasa betapa lengannya yang jarinya menjepit tongkat itu tak dapat menahan dan hendak ikut terbawa gerakan si kakek. Terkejutlah ia dan pada saat itu, kakek itu meloncat sambil menggerakkan kedua kakinya, bertubi-tubi melakukan tendangan.
"Bagus!" Joko Wandiro berseru kagum. Terpaksa kini ia melepaskan tongkat kakek itu dan melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kiri menangkis kaki lawannya.
"Desss.....!!"
Tubuh kakek itu berputar-putar, namun dengan cekatan sekali kakek itu melompat ke atas dan mematahkan gaya berpusing sehingga ia tidak sampai roboh. Kembali Joko Wandiro memuji. Akan tetapi Ki Darmobroto mengeluarkan keringat dingin. Dua gebrakan tadi hampir saja mencelakainya. Kini tahulah ia bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, maka ia lalu menggerakkan tongkatnya dan menerjang tanpa sungkan-sungkan lagi.
Karena sang puteri mengambil jalan langsung ke timur dari pegunungan, tentu saja la tidak pernah terbebas dari daerah pegunungan sehingga berhari-hari la terus menerus naik turun gunung kecil, melakukan perjalanan yang amat sukar dan lambat. Selama tiga hari ia melakukan perjalanan dan gunung-gunung itu belum juga habis, dusun belum juga ditemukan! Pada hari ke empatnya, ketika pagi pagi ia sudah menuntun kudanya pada jalan sempit yang amat sukar, tiba-tiba terdengar bentakan orang.
"Orang yang lewat, tinggalkan kuda dan pakaian!"
Dari balik semak-semak belukar meloncat keluar lima orang laki-laki tinggi besar yang berdiri menghadang di depan. Mayagaluh kaget sekali sehingga mukanya berubah pucat akan tetapi kelima orang itu lebih kaget dan heran ketika sekarang melihat penuntun kuda yang mereka cegat itu kiranya seorang dara muda yang amat cantik jelita dan berpakaian serba indah! Tentu saja perampok-perampok ini menjadi girang sekali. Kuda itu amat bagus dan tentu mahal harganya. Pakaian wanita itupun amat mewah dan halus, apalagi perhiasan perhiasan emas permata itu. Disamping ini, wanita itu sendiri amat cantik menarik, seperti dewi kahyangan.
Puteri Mayagaluh memandang dengan mata terbelalak. Lima orang itu bertubuh tinggi besar dan berwajah galak, terutama sekali orang yang paling muda di antara mereka yang pakaiannya agak berbeda dan agaknya menjadi kepala, bertubuh seperti raksasa dan memandang kepadanya seperti seorang kelaparan nasi. Ia maklum bahwa mereka adalah perampok-perampok, maka ia segera berkata dengan sikap agung seorang putri raja,
"Jangan kalian mengganggu aku! Aku puteri Raja Jenggala yang kehilangan jalan dan hendak pulang ke Jenggala. Kalau kalian suka, boleh kuhadiahkan gelang dan kalungku." Sambil berkata demikian, sang puteri meloloskan kedua gelangnya.
Akan tetapi, lima orang itu adalah perampok-perampok kasar. Keadaan hidup mereka membuat mereka seakan-akan menjadi raja dalarm hutan, tentu saja mendengar disebutnya Raja Jenggala, mereka tidak menjadi takut. Akan tetapi pemimpin mereka bukan seorang bodoh. la tahu bahwa seorang puteri bangsawan, apalagi puteri raja seperti ini, kalau pergi tentu ada banyak pengawal yang mengantarkannya. Kini sang puteri sesat jalan, tentu sedang dicari-cari. Kalau para pengawal muncul, mereka bisa celaka karena ia mendengar bahwa para pengawal memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
"Rampas dulu kudanya," katanya kepada anak buahnya.
Dua orang anak buah perampok yang bernafsu sckali untuk segera merampas kuda dan perhiasan serba mahal itu, melompat maju dan dengan kasar bertindak merenngut kendali kuda dari tangan Puteri Mayagaluh.
"Berani kalian merampas kudaku" sang puteri membentak marah, kedua kakinya melakukan gerakan menendang bergantian amat cepatnya, mengarah bawah pusar lawan. Itulah ilmu tendangan yang amat keji dan ganas, begitu tepat mengenai sasaran tentu akan menewaskan lawan. Ilmu tendangan ini adalah satu di antara banyak ilmu yang ia pelajari dari Endang Patibroto.
Terdengar jerit mengerikan dan dua orang perampok itu terpelanting roboh, berkelojotan dan tak mungkin dapat hidup lebih lama lagi karena anggota tubuh di bawah pusar pecah terkena tendangan tadi! Biarpun semenjak kecil mempelajari ilmu silat, akan tetapi selama hidupnya belum pernah Mayagaluh membunuh orang. Kini menyaksikan betapa dua orang yang ditendangnya itu berkelojotan sekarat, ia merasa ngeri.
"Pergilah....! Jangan ganggu aku....!!" katanya setengah memohon, wajahnya sudah pucat dan tubuhnya menggigil.
Melihat sikap ini, tiga orang perampok itu mengira bahwa tentu tendangan tadi secara kebetulan saja mengenai bagian tubuh yang paling lemah dari kedua kawannya. Kalau gadis itu memang berilmu, tentu tidak ketakutan seperti itu. Kepala rampok yang muda itu lalu membentak kepada dua orang temannya.
"Tangkap kudanya. Masa tidak mampu?" Dua orang perampok maju bersama.
Mayagaluh yang ketakutan itu kini terpaksa menghunus kerisnya, keris kecil yang biasa dipakai para puteri. Kini dua orang perampok itu agak terkejut. Cara puteri itu mencabut dan memegang gagang keris jelas membayangkan bahwa puteri ini mengerti ilmu silat, mahir dalam tata tempur menggunakan keris. Maka mereka bersikap hati-hati dan menubruk dari kanan kiri untuk merampas kendali kuda yang dipegang tangan kiri Mayagaluh.
Puteri ini cepat menggerakkan kerisnya, menerima perampok dari kanan dengan tusukan, sedangkan perampok yang menubruk dari kiri ia sambut dengan sebuah tendangan kilat, kini agak tinggi mengarah lambung. Dua orang perampok yang mati tertendang tadi sebetulnya juga bukan orang lemah, melainkan orang-orang kasar yang biasa berkelahi. Tadi mereka sekali tendang roboh oleh Mayagaluh karena mereka memandang rendah dan tidak menduga-duga.
Kini, dua orang lagi perampok yang sudah berhati-hati, cepat mengelak dan mengurungkan niatnya merampas kendali kuda ketika melihat sambutan wanita muda itu. Maklum bahwa wanita itu bukan seorang lemah, dua orang perampok ini lalu bergerak menyerang, seorang mencengkeram ke arah pergelangan tangan kanan yang memegang keris, orang ke dua menubruk untuk mencengkeram pundak dan menangkapnya! Sebetulnya dua orang perampok ini hanya orang-orang kasar yang lebih banyak mengandalkan tenaga dan keberanian daripada mengandalkan gerakan ilmu silat.
Mayagaluh dapat melihat dengap jelas dan maklum bahwa sebetulnya ia tidak perlu takut melawan mereka. Akan tetapi dasar kurang pengalaman, melihat dua orang laki-laki menerjang dengan muka beringas, mulut menyeringai, mata melotot lebar, ia merasa serem dan muak oleh bau keringat mereka. Karena jijik ia menjadi gugup, menyelinap untuk menjauhkan diri, akan tetapi perasaan jijik dan ngeri membuat ia ingin cepat-cepat mengakhiri ancaman ini maka kerisnya bergerak cepat sekali ke arah lambung perampok ke dua ketika ia menghindar.
"Capp.......!"
Ketika gadis bangsawan ini meloncat sambil mencabut keris, darah muncrat-muncrat dari perut perampok itu yang mendekap perutnya sambil berkaok-kaok seperti kerbau disembelih, lalu roboh dan berkelojotan. Melihat darah muncrat-muncrat ini, hampir saja Mayagaluh pingsan.
"Aduh! Kuminta kepada kalian pergilah, bawa kuda dan perhiasanku semua!" la mengeluh sambil memandang korbannya dengan mata terbelalak ngeri.
Akan tetapi perampok yang melihat kawannya roboh menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya yang besar dan tajam lalu mengayun golok itu, menyerang dengan kemarahan meluap.
"Genjul, jangan bunuh dia!"
Kepala perampok yang muda itu menegur anak buahnya yang tinggal seorang. Akan tetapi si Genjul, perampok itu yang melihat tiga orang kawannya sudah tewas, tak dapat menahan kemarahannya lagi. Goloknya menyambar ganas ke arah leher Mayagaluh. Puteri ini terkejut, cepat ia menekuk lutut miringkan tubuh sehingga golok lawan lewat di atas kepalanya mengeluarkan bunyi "swingggg!!" menyeramkan sekali. la maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat merobohkan orang ini, keselamatannya sendiri terancam. Maka melihat lawan membuka lengan ketika membacok, dari bawah kerisnya meluncur pula menusuk lambung.
Perampok bernama Genjul ini sudah siap-siap, maka cepat ia meloncat mundur sambil mengayun golok ke bawah. Mayagaluh menarik kembali kerisnya, tidak mau membiarkan kerisnya dihantam golok yang berat. Ketika perampok itu menerjang lagi, kini membabat pinggang, Mayagaluh sudah mendahului meloncat ke atas sehingga babatan golok itu lewat di bawah kakinya. Dari atas, Mayagaluh yang sudah menaksir bahwa golok itu tentu akan lewat di bawah kakinya, menggunakan kakinya menendang ke depan, tepat mengenai pergelangan tangan yang memegang golok.
"Aduhh.....!"
Perampok itu berseru keras, goloknya terlepas dari pegangan. Dan pada saat itu dari atas, tubuh Mayagaluh sudah meluncur dengan didahului kerisnya yang menusuk ke arah leher lawan. Perampok bernama Genjul itu terkejut sekali dan timbul rasa takutnya yang hebat. Ketakutannya membuat Genjul menjadi nekat dan ia segera mengembangkan kedua lengannya, terus menubruk ke depan, ke arah tubuh puteri yang meluncur turun itu, langsung memeluk pinggang yang ramping!
Kalau saja Mayagaluh melanjutkan tusukannya, tentu akan berhasil dan kerisnya akan menembus leher. Akan tetapi melihat betapa laki-laki kasar itu mengembangkan lengannya, Mayagaluh merasa ngeri dan jijik sehingga tangan yang memegang keris seketika menjadi lemas. Ia menjerit ketika merasa betapa pinggangnya dirangkul dan tubuhnya merapat pada tubuh yang tinggi besar dan keras. Hampir saja ia pingsan. Sambil menggigit bibir dan menjauhkan mukanya agar hidungnya tidak dekat dada yang penuh bulu dan keringat, ia menggerakkan tangan kanannya dan..... "ceppp......!!" kerisnya sudah menancap di dada kiri lawannya.
Seketika Genjul seperti disambar halilintar, pelukannya terlepas, mulutnya mengeluarkan suara rintihan, tubuhnya lemas dan berkelojotan. Mayagaluh yang berusaha mencabut kerisnya, tidak berhasil. Keris itu menancap dan menyangkut di antara tulang iga sehingga sukar dicabut. Kalau saja puteri ini tidak hampir pingsan oleh rasa jijik dan ngeri, tentu ia akan dapat mencabut kerisnya. Kini ia meloncat ke belakang, melepaskan gagang keris, takut kalau-kalau darah lawan akan muncrat membasahi tubuh dan mukanya.
Tubuh Genjul berkelojotan dan roboh terlentang, kerongkongannya mengorok dan matanya mendelik. Mayagaluh mengkirik. Pada saat itulah, kepala rampok sudah menerjangnya dari belakangnya dan sebuah pukulan dengan tangan miring tepat menghantam tengkuk Puteri Mayagaluh. Puteri ini mengeluh dan tubuhnya menjadi lemas, matanya meram. la pingsan!
Kepala rampok yang berhasil merobohkan Mayagaluh, segera memondong puteri itu dan meloncat ke atas punggung kuda sang puteri, terus membedal kuda membalap karena khawatir kalau-kalau para pengawal sang puteri akan menyusul ke tempat itu. Guncangan-guncangan dan tiupan angin menyadarkan Mayagaluh. Ia membuka rnata dan alangkah kaget hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa dia berada dalam pondongan kepala perampok, dilarikan di atas kuda.
"Tolooongggg..... Toloooongggg......!!" ia menjerit dua kali, akan tetapi lalu tak dapat mengeluarkan teriakan lagi karena mulutnya didekap tangan kasar dan kepala rampok itu mengancam,
"Sekali lagi kau berteriak, golokku akan memenggal lehermu!"
Seluruh tubuh Mayagaluh menggigil penuh kengerian. La berusaha meronta-ronta dan membentak-bentak, "Lepaskan aku! Lepaskan! Lepaskan!!"
Namun sia-sia saja dan akhirnya ia tidak berani lagi meronta karena kudanya lari cepat sekali dan apabila ia dapat melepaskan diri, tentu ia akan terbanting dan terseret, mungkin akan terinjak kaki kuda.
"Heh-heh, kau cantik sekali. Kau pantas menjadi biniku, sayang!"
Si kepala rampok terkekeh, kemudian menundukkan mukanya hendak mencium muka yang cantik jelita itu. Mayagaluh terkejut dan lupa akan rasa takutnya. Rasa ngeri dan marah mengaduk hatinya dan kembali ia meronta, tangannya menampar ke atas.
"Plakk!". Muka perampok itu kena tamparan yang cukup keras sehingga kepala rampok itu membatalkan niatnya mencium, mukanya berubah merah dan ia marah sekali. Dengan tangan kirinya, dicekiknya leher Mayagaluh. Sang puteri meronta dan berusaha melepaskan diri namun sia-sia sehingga ia terengah-engah dan tubuhnya menjadi lemas. Setelah Mayagaluh pingsan baru kepala rampok itu menghentikan cekikannya dan terus membalapkan kuda.
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat cepat sekali laksana kijang melompat. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Wandiro! Seperti telah kita ketahui, Joko Wandiro mengejar Ayu Candra yang melarikan diri pergi dari pondoknya bersama Ki Jatoko. Akan tetapi karena tidak tahu ke mana perginya dara itu, juga tidak dapat mengira-ngira ke mana gerangan tujuannya, Joko Wandiro mengejar ke jurusan yang berlawanan.
Pemuda ini mengejar ke selatan, terus ke selatan sampai akhirnya ia tiba di Pegunungan Kidul dan teringatlah ia akan pesan ayah angkatnya bahwa ayah angkatnya dahulu tinggal di Bayuwismo, di pantai Laut Selatan Karena lapun tidak mempunyal tujuan tertentu, tidak tahu pula ke mana harus mencari Ayu Candra, maka ia lalu membelok ke barat, hendak pergi ke Bayuwismo.
Di dalam hutan itu ia tadi mendengar jerit minta tolong. Mendengar jerit wanita minta tolong ini, hatinya berdebar keras. Jangan jangan Ayu Candra yang tertimpa malapetaka, pikirnya sambil meloncat dan mengerahkan aji kesaktian dan lari bagaikan kijang melompat cepatnya. Sebentar saja ia sudah dapat menyusul dan ia melihat seorang laki-laki tinggi besar memondong tubuh seorang dara yang tak bergerak-gerak dan lemas, agaknya pingsan, kemarahannya timbul. Ia tidak menegur lagi, terus melompat dan tubuhnya menyambar bagaikan seekor elang rajawali, sambil mulutnya membentak,
"Bedebah!"
Kepala rampok melihat tiba-tiba ada orang menyambarnya dari atas seperti Raden Gatutkaca terbang menyambar, kaget setengah mati. Ia melepaskan kendali kuda dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga. Tentu saja ia bukan seorang lemah. Tenaganya besar dan ia pandai ilmu silat. Akan tetapi sekali ini ia bertemu batu. Begitu lengannya bertemu dengan lengan Joko Wandiro, tubuhnya terguling dan terlempar dari atas punggung kuda, dan entah bagaimana tahu-tahu tubuh sang puteri telah berpindah tangan, berada di pondongan Joko Wandiro!
Ada rasa kecewa di hati Joko Wandiro ketika ia melirik dan melihat wanita itu, walaupun cantik jelita dan muda remaja, ternyata bukan Ayu Candra. Kemarahannya mereda dan ia berdiri tenang sambil memandang kepala perampok yang kini sudah meloncat bangun sambil mencabut golok.
"Babo-babo, si keparat dari manakah berani merampas tawananku? Hayo kembalikan kalau engkau tidak ingin mampus di tanganku!"
"Kisanak," jawab Joko Wandiro tenang, "namaku Joko Wandiro. Tadi aku mendengar jerit wanita ini minta tolong, lalu melihat engkau melarikannya secara paksa. Tadinya aku ragu-ragu dan tidak tahu siapakah wanita ini dan mengapa kau larikan. Setelah kini aku tahu bahwa dia tawananmu, tentu saja aku tidak boleh tinggal diam saja. Aku harus menolongnya dan dia takkan kukembalikan kepadamu."
"Keparat Joko Wandiro, kalau begitu kau sudah bosan hidup!" bentak si perampok sambil menerjang maju dengan ayunan goloknya. Melihat gerakan golok yang cepat dan bertenaga, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian biasa saja. Ia mengelak dengan tenang, kakinya menyambar dari samping dan perampok itu terbanting roboh!
Si perampok kaget setengah mati. Belum pernah selama hidupnya ia mengalami hal seperti ini. Ia bergolok. Orang muda itu bertangap kosong. Bukan itu saja, bahkan kedua tangan orang muda itu memondong tubuh sang puteri, tidak ikut bergerak, hanya menggunakan kakinya tapi dalam segebrakan saja ia roboh! Rasa kaget dan heran merubah penasaran dan marah sekali.
Kembali ia menerjang setelah meloncat bangun, kali ini terjangannya lebih ganas daripada tadi dan kembali Joko Wandiro mengelak sambil mengangkat kaki dan untuk kedua kalinya perampok itu terbantmg roboh, lebih keras daripada tadi. Ia tidak tahu bahwa pemuda sakti itu merobohkannya dengan meminjam tenaganya, maka makin kuat ia menyerang, makin keras pula ia terbanting roboh oleh tangannya sendiri. Sampai nanar kepalanya dan sampai kabur pandang matanya sehingga setelah terbanting roboh, ia hanya mampu bangkit duduk dan sejenak ia menggoyang-goyangkan kepalanya untuk mengusir kepusingan.
Dasar perampok ini seorang kasar dan bodoh. Ia masih belum kapok dirobohkan dua kali, bahkan makin penasaran dan marah. Setelah hilang kepusingan kepalanya, ia meloncat bangun dan sambil mengeluarkan teriakan marah, goloknya diputar-putar, kemudian sambil menubruk maju ia membacokkan goloknya ke arah sang puteri yang dipondong Joko Wandiro! Pemuda ini terkejut dan marah sekali. Tidak disangkanya bahwa lawan itu akan menggunakan siasat begini keji.
"Manusia jahat!" bentaknya, kini tubuhnya bergerak menendang susul-menyusul. Kaki kanan menendang pergelangan tangan lawan yang memegang golok, kaki kiri mendugang ke arah dada.
"Bress! Ngekkk!!" Tubuh perampok itu terlempar sampai tiga meter ke belakang, goloknya mencelat entah ke mana dan kini ia bangkit duduk sambil terengah-engah dan memegangi ulu hati. Napasnya sesak, perutnya mulas dan ia tidak dapat mengeluarkan suara. Kemudian, matanya jelilatan dan tubuhnya mencelat ke atas, lari ke arah kuda, meloncat ke punggung kuda, dan membalapkan kuda seperti orang dikejar setan!
Joko Wandiro hanya tersenyum-geli melihat tingkah laku perampok itu. Ia mengira bahwa kuda itu kuda tunggangan si perampok, maka ia mendiamkannya saja. Wanita muda dalam pondongannya masih pingsan. Joko Wandiro menduga-duga. Pakaian dara ini amat indah, bukan pakaian sembarang orang. Juga wajahnya yang cantik jelita itu terpelihara, rambutnya halus mengeluarkan ganda harum, terhias emas permata.
Siapakah gadis ini? Baru saja ia dating dari timur dan sepanjang pegunungan itu tidak terdapat dusun. Juga di kanan kiri tempat itu merupakan daerah sunyi dan mati. Tak mungkin gadis ini berasal dari tempat ini, dan agaknya tidak mungkin pula gadis ini seorang dusun. Tentu seorang kota, seorang puteri bangsawan. la mengingat-ingat dan timbul dugaan bahwa tempat tinggal gadis ini tentu berada di sebelah barat.
Bayuwismo tak jauh lagi, juga Selopenangkep. Mungkinkah gadis ini tinggal di Selopenangkep? la tidak tahu lagi siapa gerangan kini yang menguasai Selopenangkep, setelah keluarga ayahnya tidak menguasai tempat itu lagi. Berpikir sampai di situ, Joko Wandiro mengambil keputusan untuk membawa gadis ini ke barat, melanjutkan perjalanan dan kalau perlu mengajaknya ke Bayuwismo atau ke Selopenangkep. Maka ia Lalu mempergunakan ilmu lari cepat, memondong dara ayu itu menuju ke barat.
Matahari telah naik tinggi, hawa mulai panas. Joko Wandiro yang memondong puteri itu, mulai merasa gerah. Ia tidak lelah, tubuhnya sudah amat kuat sehingga untuk berlari cepat sehari saja tidak nanti melelahkannya. Akan tetapi, berlari sambil memondong tubuh orang membuat gerakannya canggung. Apalagi tubuh itu mengeluarkan hawa yang hangat, ini menurut perasaannya, ditambah teriknya sinar matahari, membuat peluhnya keluar juga. Berhentilah ia sebentar di bawah sebatang pohon, lalu menyusutkan muka pada pundak bahunya di kanan kiri.
Sebenarnya, Sang Puteri Mayagaluh sudah sadar semenjak tadi! Puteri ini tadi sadar dari pingsannya dan segera tahu bahwa ia tidak lagi dibawa lari di atas kuda, melainkan dipondong dan dibawa lari orang. Ketika ia membuka mata dan memandang, ia terheran heran. Wajah di atas itu sama sekali bukan wajah perampok yang kasar, bengis, dan menyeringai menjijikkan. Tubuhnya bukan tubuh penuh bulu pada dada dan lengan. Wajah ini muda dan tampan sekali, lengannya yang kuat berkulit halus tidak berbulu.
Ketika Joko Wandiro berhenti sebentar untuk menghapus peluh di mukanya dengan pundak dan pangkal lengan bajunya, Mayagaluh sudah sadar betul. Ia mengintai muka orang dan jantungnya berdebar. Dapatlah ia menduga bahwa tadi dalam keadaan pingsan, pemuda ini telah menolong dirinya, telah mengalahkan perampok kemudian membawanya pergi.
Ke manakah kudanya? Dan siapakah pemuda ini? Melihat cara pemuda ini mendukungnya, kedua lengannya menyangga bagian punggung, leher dan bawah paha, ia tahu bahwa pemuda ini seorang yang bersusila, tidak seperti perampok tadi yang memeluknya secara kurang ajar.
Joko Wandiro yang sedang mengusap keringatnya, tiba-tiba merasa betapa dada orang yang dipondongnya berdetak-detak keras. Dalam keadaan terpondong itu, samping dada gadis itu tentu saja merapat pada dadanya dan kini dari dalam dada gadis itu timbul detakan-detakan yang seakan-akan memukuli dadanya sendiri. la melirik ke arah muka orang yang dipondongnya.
Joko Wandiro menahan senyumnya. Hemm, ternyata gadis itu sudah sadar, pikirnya. Hampir ia tertawa melihat betapa dara jelita itu berpura-pura pingsan, menutup sebelah mata kanan rapat-rapat, akan tetapi mata kiri bergerak-gerak bulu matanya, agaknya sedang mengintainya dari balik bulu-bulu mata yang panjang lentik. Hemmm, bukan main cantiknya gadis ini, pikir Joko Wandiro. Hatinya juga berdebar dan pipinya terasa panas. Timbul rasa kasihan dan juga suka. Entah bagaimana, perasaan mujijat menguasai hatinya dan membuat ia perlahan-lahan menundukkan mukanya dan hidung dan bibirnya menyentuh pipi yang halus dan putih kemerahan itu.
Hanya sebentar dan cepat-cepat Joko Wandiro menjauhkan lagi mukanya sambil memaki diri sendiri dalam hatinya. Ihh! Benar-benar dia telah gila. Setan telah menguasai hatinya. Benarkah ia seorang mata keranjang? Seorang yang gila akan wajah jelita? Kalau tidak demikian, mengapa ia suka sekali kepada gadis ini, suka mendukungnya dan bahkan ingin sekali berdekatan, ingin sekali menciumnya?
Makin berdebar jantung Joko Wandiro ketika ia merasa betapa dada gadis itu terengah-engah, betapa detak jantung gadis itu seakan-akan hendak memecahkan rongga dadanya, kemudian melihat betapa warna kemerahan pada wajah yang berkulit halus putih itu kini menjadi makin merah seperti udang dipanggang. Tiba-tiba dara itu meronta, membuka matanya yang lebar dan amat indah, mulutnya menahan isak dan ia merintih perlahan, lalu berkata,
"Lepaskan aku.....!"
Joko Wandiro melepaskan dukungannya. Melihat gadis itu berdiri di depannya dengan wajah penuh kemarahan, mata itu memancarkan sinar dan kedua tangan kecil terkepal, Joko Wandiro menundukkan mukanya dan berkata perlahan,
"Maafkan aku, nona. Aku sudah berani....berani memondongmu karena kau tadi dilarikan perampok dan kau pingsan" kata Joko Wandiro gagap.
Mata gadis itu tidak sehebat mata Ayu Candra, akan tetapi harus ia akui bahwa tidak banyak ia bertemu dengan gadis yang bermata seindah ini. Karena tidak berani berterus terang, Joko Wandiro merasa seperti orang membohong dan mukanya seketika menjadi merah sekali.
"Engkau laki-laki lancang! Engkau sudah berani.... hemm.... berbuat kurang ajar kepadaku. Apakah kau tahu siapa aku? Aku adalah Puteri Mayagaluh, puteri Raja Jenggala!"
Bukan main kagetnya hati Joko Wandiro. Celaka, pikirnya. Ia telah melakukan dosa besar sekali. Ia telah berani mencium pipi puteri raja! Dosa yang tak dapat diampuni lagi. Biarpun gurunya berpesan agar ia membantu Kerajaan Panjalu untuk menghadapi Jenggala, namun betapapun juga, Kerajaan Jenggala masih bersaudara dengan Kerajaan Panjalu. Raja Jenggala adalah adik kandung Raja Panjalu, masih keturunan mendiang Sang Prabu Airlangga. Dan ia telah berani mencium pipi sang puteri. Wajahnya seketika menjadi pucat, kedua kakinya lemas dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan mukanya.
"Karena hamba tidak tahu, hamba mohon paduka suka memberi ampun," katanya merendah.
Dan karena ia tertunduk itulah, ia tidak melihat betapa wajah sang puteri berseri-seri dan kemerahan, betapa sepasang mata yang jeli itu menatap wajahnya dengan tajam dan senyum simpul menghias bibir merah.
"Sudahlah, tidak mengapa. Karena kau tidak tahu, dan juga karena aku sedang pingsan sehingga aku tidak tahu akan perbuatanmu, biarlah kita jangan bicarakan hal itu pula. Betapapun juga, engkau sudah menolongku dari tangan perampok jahat. Orang muda, siapakah namamu?"
Lega rasa hati Joko Wandiro. Terasa lapang dan kepucatan wajahnya segera terganti warna merah. Ia tahu betul bahwa sang puteri tadi tidak pingsan lagi ketika ia menciumnya, tapi kini sang puteri menyatakan bahwa sang puteri dalam keadaan pingsan ketika ia melakukan perbuatan tadi dan menghendaki agar hal itu jangan dibicarakan lagi. Memang tidak akan ia bicarakan, akan tetapi bagaimana akan dapat ia lupakan? Ia telah mencium pipi seorang puteri raja! Biarpun puteri ini puteri Kerajaan Jenggala, namun ternyata baik budi dan mudah mengampuni kesalahan orang serta menghargai pertolongan orang.
"Nama hamba Joko Wandiro, gusti puteri."
"Joko Wandiro, aku mengucap banyak terima kasih kepadamu atas pertolonganmu tadi. Engkau kawula manakah? Dan di mana tempat tinggalmu?"
Joko Wandiro tidak suka menceritakan keadaannya. Apalagi menceritakan tentang gurunya, Ki Patih Narotama karena gurunya ini amat tidak suka kepada ayah puteri ini. Di samping itu, tidak ada keinginan hatinya pula menceritakan keadaan keluarganya. Bukankah ia sekarang sudah yatim piatu? Ayahnya yang bernama Wisangjiwo sudah tewas dalam perang membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi Raja Panjalu, yaitu dalam perang melawan bala tentara ayah puteri ini! Ibunya belum lama ini terbunuh orang pula. Dan tempat tinggalnya Dia tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.
"Hamba adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak mengabdi kepada siapapun juga dan tiada tempat tinggal tertentu seperti sehelai daun kering terbawa angin tanpa tujuan."
Berkerut kening sang puteri, dan pandang matanya membayangkan iba hati. "Ah...! Betapa mungkin seorang seperti engkau tidak mempunyai pekerjaan!"
Hampir saja terloncat kata-kata "gagah dan tampan" dari mulut puteri ini. Segera ia menyambung, "Joko Wandiro, maukah engkau menolongku? Kelak tentu ramanda prabu akan memberi ganjaran yang setimpal dengan jasamu ini."
Lucu, pikir Joko Wandiro. Sudah jelas tadi tanpa diminta ia sudah menolong puteri ini, mengapa sekarang masih ditanya lagi apakah suka menolong. Adapun tentang ganjaran....ah, kembali mukanya menjadi merah sekali karena harus la akui bahwa ia tadi telah menerima ganjaran yang lebih menyenangkan daripada ganjaran apapun juga!
"Tentu saja hamba akan melakukan segala perintah paduka tanpa mengingat akan ganjaran apapun juga."
"Engkau baik sekali, Joko Wandiro. Aku minta agar kau suka mengantar aku pulang ke Jenggala."
"Kalau tidak salah, Kerajaan Jenggala amatlah jauh dari sini, gusti puteri. Maka amatlah mengherankan bagaimana paduka bisa sampai di tempat sejauh ini, seorang diri pula dan terjatuh ke tangan penjahat? "
"Kau tidak tahu, Joko Wandiro. Aku tadinya tidak melakukan perjalanan seorang diri. Aku pergi mengikuti kakakku, Pangeran Panjirawit, dan dikawal oleh panglima kepala pengawal istana sendiri. Akan tetapi ketika kami berlomba, aku kehilangan jalan dan tersesat, kemudian bertemu dengan lima orang perampok. Yang empat orang dapat kurobohkan, akan tetapi kepala perampok itu dapat menawanku dan membawaku lari. Untung ada engkau yang menolong, hanya sayang kudaku tidak dapat kau rampas kembali."
"Ahhh! Kalau hamba tahu bahwa dia itu tadi kepala perampok, tentu hamba tidak akan semudah itu melepaskannya Dan kuda itu hamba sangka miliknya. Benar keparat!"
Joko Wandiro mendongkol sekali, dan berbareng juga kagum terhadap puteri ini. Seorang puteri bangsawan, puteri raja, dapat merobohkan empat orang perampok Benar-benar hebat!
"Sudahlah, engkau sudah membebaskan aku dari tangannya, itu sudah merupakan jasa yang amat besar. Joko Wandiro, mari kau antar aku pulang ke Jenggala."
"Baiklah, gusti. Hanya sayang, kuda itu dirampas perampok. Kalau tidak, tentu paduka dapat menunggang kuda dan perjalanan dapat dilakukan lebih cepat lagi."
"Tidak mengapa. Kita jalan kaki. Jangan kau khawatir, biarpun seorang puteri raja namun aku bukan seorang lemah. Aku dapat berjalan cepat."
"Ssttt....! Ada orang datang! Harap paduka bersembunyi...." bisik Joko Wandiro yang merasa khawatir kalau-kalau yang datang adalah perampok tadi bersama teman-temannya. Jika terjadi pertempuran, ia pikir lebih baik sang puteri bersembunyi saja sehingga tidak menambah bebannya harus melindungi diri sang puteri. Akan tetapi Mayagaluh mengerutkan keningnya dan memasang telinga mendengarkan. Pendengaran telinganya tidak setajam Joko Wandiro dan setelah agak lama barulah ia mendengar derap kaki kuda dari jauh. Segera wajahnya berubah girang.
"Ah, itulah kakakku dan kepala pengawal!" teriaknya sambil meloncat dan menghadap di tengah jalan.
Joko Wandiro juga girang mendengar ini. Kalau puteri ini bertemu dengan kakaknya dan pengawal, ia akan terbebas daripada tugas mengantar ke Jenggala. Sebetulnya, iapun segan untuk pergi ke Jenggala, pertama karena ia masih merasa cemas akan hilangnya Ayu Candra dan sedang mencari dara itu, ke dua ia ingin mengunjungi ayah angkatnya di Bayuwismo, ke tiga iapun merasa tidak enak harus membantu puteri Raja Jenggala yang dianggap musuh oleh gurunya, Ki Patih Narotama.
Setelah derap kaki kuda terdengar makin jelas, Puteri Mayagaluh berseru heran, "Mengapa begitu banyak kuda? Dengan siapakah rakanda pangeran datang??"
Kembali Joko Wandiro merasa tidak enak hatinya. Akan tetapi sekarang sudah tidak ada waktu lagi bagi sang puteri untuk bersembunyi. Sebelum ia minta kepada sang puteri supaya bersembunyi, para penunggang kuda itu sudah muncul dari sebuah tikungan jalan. Mereka itu ternyata adalah tujuh orang pria menunggang kuda-kuda besar. Lega hati Joko Wandiro ketika melihat tujuh orang itu, karena pakaian mereka menunjukkan bahwa mereka adalah ponggawa-ponggawa berkedudukan tinggi dan sama sekali bukanlah perampok perampok. Tujuh orang itupun merasa heran melihat dua orang muda itu berada di dalam hutan liar di pegunungan sunyi. Mereka menahan kuda mereka yang tubuhnya sudah basah oleh keringat.
"Eh, bukankah andika Joko Wandiro??" Seorang di antara mereka menegur ketika mengenal pemuda itu.
"Betul, anda Joko Wandiro!" seru orang ke dua.
Joko Wandiro memandang dan kini iapun teringat bahwa dua orang ini adalah dua orang di antara panglima Kerajaan Panjalu, anak buah Ki Patih Suroyudo dan dahulu ikut menyaksikan ketika la menghadapi pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Lima orang yang lain agaknya juga Panglima-panglima Panjalu karena pakaian mereka menunjukkan bahwa merekapun perajurit-perajurit tingkat tinggi dan karena usia mereka sudah tua daripada kedua orang itu, tentu mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi pula.
"Benar, hamba adalah Joko Wandiro. Paduka sekalian ini datang dari mana dan hendak ke mana?"
Akan tetapi sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba seorang di antara mereka berseru sambil memandang kepada sang puteri, "Dan paduka ini bukankah Gusti Puteri Mayagaluh dari Jenggala??"
Yang Iain-Iain kaget dan kini semua orang memandang. Biarpun mereka adalah Panglima-panglima Panjalu yang bermusuhan dengan Jenggala, akan tetapi sang raja di Jenggala adalah putera mendiang Sang Prabu Airlangga pula sehingga puteri ini termasuk anak kemenakan Raja Panjalu, maka tentu saja mereka menghadapinya dengan sikap hormat pula. Dengan sikap agung dan gagah, menyembunyikan kekhawatiran hatinya, Puteri Mayagaluh menjawab,
"Benar, aku adalah Mayagaluh. Paman sekalian hendak ke mana?"
Seorang di antara mereka yang tertua dan yang kumisnya panjang ujungnya menjulang ke atas, segera meloncat turun dari kudanya, diikuti enam orang teman-temannya. Dengan sikap hormat si kumis panjang ini menghampiri sang puteri, kemudian berkata, "Kalau begitu, hamba persilahkan paduka menunggang kuda ini untuk hamba antar menghadap paman paduka, sang prabu di Panjalu."
Puteri itu nampak terkejut. Sebagai seorang puteri raja, tentu saja ia maklum apa artinya kata-kata yang halus itu. Di balik sikap halus dan ucapan mempersilahkan, ia telah dijadikan seorang tawanan! Akan tetapi ia tidak takut. Ia maklum bahwa biarpun ayahnya bermusuhan dengan pamannya, namun permusuhan itu hanya karena urusan kerajaan, sehingga dia sendiri tentu tidak akan diganggu oleh pamannya. la tidak takut maupun khawatir, hanya ia menjadi tidak senang sekali.
"Paman, aku mau pulang ke Jenggala! Kalau aku berniat mengunjungi paman prabu di Panjalu, tidak perlu kalian minta! Pergilah dan jangan menggangguku."
Wajah perwira berkumis panjang itu menjadi merah. la tak dapat menyangkal kebenaran jawaban puteri itu. Akan tetapi, setiap orang ingin menonjolkan pahala kepada yang dipertuan. Secara kebetulan ia bertemu dengan seorang Puteri Jenggala. Kalau ia dapat menawannya ke Panjalu dan menyerahkan puteri itu sebagai tawanan, tak dapat tidak sang prabu tentu akan merasa senang. Biarpun sang puteri takkan diganggu, akan tetapi hal ini sedikitnya akan menyuramkan Jenggala dan siapa tahu puteri itu akan dapat dijadikan semacam cara untuk menundukkan musuh.
"Harap saja paduka tidak menyulitkan hamba. Paduka adalah seorang Puteri Jenggala, karena itu termasuk musuh hamba sekalian. Hanya karena mengingat bahwa paduka adalah anak kemenakan gusti prabu, maka hamba memperlakukan paduka sebagai seorang tamu agung, bukan sebagai seorang tawanan. Gusti puteri, silahkan menunggang kuda ini."
Menyaksikan betapa sang puteri dipaksa secara halus, Joko Wandiro lalu melangkah maju dan berkata, "Paman, yang berselisih adalah Raja Panjalu dan Raja Jenggala, yang berperang adalah perajurit-prajurit Panjalu melawan perajurit-perajurit Jenggala. Kurasa dalam hal itu sang puteri tidak ikut-ikut. Jelas bahwa sang puteri tidak suka singgah di Panjalu, mengapa kalian hendak memaksa? Apakah perbuatan ini tidak memalukan kalian sebagai perwira-perwira yang perkasa? Menghina wanita bukanlah perbuatan jantan!"
Seorang perwira yang paling muda menghardik, "Joko Wandiro! Begini mudahkah engkau berkhianat? Belum lama ini engkau memohon kepada gusti prabu untuk menghambakan diri kepada Panjalu, dan sekarang engkau sudah ingin melindungi puteri musuh?"
"Kalau kalian berperang melawan perajurit-perajurit Jenggala, aku tidak akan membantu Jenggala, akan tetapi saat ini kalian tidak sedang perang, melainkan sedang melakukan perbuatan yang tidak benar. Kalian hendak memaksa, hal itu berarti hendak menculik sang puteri. Hal ini mana mungkin aku mendiamkan saja? Pendeknya, kalau sang puteri tidak dengan suka rela sendiri ikut kalian menghadap pamannya, aku akan membelanya!"
"Keparat, kau memang manusia sombong!" bentak perwira muda itu yang segera menerjang maju dengan pukulan keras ke arah dada Joko Wandiro. Pemuda ini tenang saja, tidak menangkis, juga tidak mengelak.
"Blukkk!!!!"
Kepalan yang besar dan keras itu dengan tenaga dahsyat menghantam dada Joko Wandiro. Akan tetapi akibatnya tubuh perwira Panjalu itu sendiri yang terlempar dan terjengkang ke belakang! Melihat datangnya pukulan tadi, Joko Wandiro maklum bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga kasar yang kuat, maka ia lalu mengerahkan hawa saktinya, menggunakan tenaga menendang pada dadanya sehingga akibatnya lawan itu terjengkang. Bukan main marahnya perwira ini. la meloncat bangun tanpa memperdulikan tangannya yang sakit dan membengkak. Ia telah dibikin malu di depan rekan-rekannya. Seorang perwira Panjalu adalah seorang perajurit pilihan yang sudah lulus ujian ketangkasan, bagaimana kini menghantam dada seorang pemuda malah roboh sendiri? Ia menerjang lagi sambil mengeluarkan suara menggereng seperti harimau.
Melihat kenekadan orang ini Joko Wandiro mendongkol. Kini kepalan lawan di arahkan ke perutnya. Sekali lagi ia tidak menangkis rnaupun mengelak, melainkan diam-diam mengerahkan hawa sakti, menggunakan tenaga menempel dan menekan.
"Krakkk!" Si berangasan menjerit dan tubuhnya terlempar sampai tiga meter ke belakang, di mana ia terbanting jatuh dan menggereng kesakitan sambil memegangi lengan yang sudah patah tulangnya.
"Keparat engkau, Joko Wandiro Merobohkan seorang perwira kerajaan berarti memberontak!" bentak perwira ke dua yang bertubuh tinggi besar. Diikuti empat orang temannya yang semua menghunus keris, mereka maju dan menerjang Joko Wandiro.
Pemuda ini merasa menyesal. Teringat akan pesan gurunya, ia tidak suka bermusuhan dengan orang-orang Panjalu. Bahkan ketika ia dipandang rendah di istana dan tidak ditenma penghambaan dirinya, ia tidak merasa sakit hati. Akan tetapi, kali ini ia menghadapi perwira-perwira Panjalu bukan sekali-kali membela Jenggaa, dan di dalam hatinyapun bukan sekali-kali ia hendak membela seorang puteri Jenggala, melainkan ia hendak membela seorang wanita yang terancam kebebasannya oleh sekelompok orang-orang yang hendak menawannya.
"Aku tidak memberontak atau melawan Panjalu, aku menentang dan melawan kalian orang-orang yang hendak menghina wanita!" jawabnya dan kini ia tidak berani menerima sambaran keris para perwira itu. Bukan saja ia khawatir bajunya akan rusak oleh tikaman keris-keris itu, juga ia tahu bahwa perwira-perwira Panjalu bukanlah orang-orang sembarangan dan keris merekapun tentu saja merupakan senjata-senjata ampuh yang tak boleh dipandang rendah.
Memang sesungguhnya demikianlah. Gerakan lima orang itu tangkas dan cepat sekali dan biarpun mereka berlima bergerak berbareng mengurung Joko Wandiro, namun gerakan mereka tidak kacau dan dapat saling membantu. Lima orang perwira ini adalah perwira-perwira setengah tua yang sudah banyak pengalaman. Mereka tidak sembrono seperti perwira berangasan tadi. Mereka tahu bahwa pemuda ini pernah mengalahkan pengeroyokan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang membuktikan bahwa pemuda Ini seorang sakti mandraguna. Oleh karena itulah kini mereka mengeroyok dengan gerakan hati-hati. Kalau saja mereka tidak sudah tahu bahwa Joko Wandiro adalah seorang yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, tentu saja sebagai perwira-perwira Panjalu mereka akan merasa malu untuk mengeroyok.
Keris pertama yang menyerangnya dengan tusukan kilat ke arah pusar adalah keris perwira tinggi besar. Joko Wandiro menggeser kaki miringkan tubuh. Pada detik berikutnya, dua batang keris perwira Iain menyambarnya dari kanan kiri, mengarah leher dan lambung. Ia merendahkan tubuh mengelak dari tusukan keris di leher sambil memutar tubuh dan mencengkeram lengan yang memegang keris menusuk Iambung sehingga si pemegang keris cepat-repat menarik kembali kerisnya.
Namun pada saat itu, kembali ada dua batang keris menyerangnya dengan gerakan cepat sekali, dari depan dan helakang. Terpaksa Joko Wandiro meloncat ke kanan dan menggerakkan kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawan yang berada di belakang, namun tendangannya juga luput karena perwira itu sudah menarik kembali kerisnya sambil meloncat mundur.
Joko Wandiro terus didesak, dihujani serangan dari lima penjuru, serangan yang cepat, kuat, dan susul-menyusul. Dengan Aji Bayu Sakti, Joko Wandiro seenaknya mengelak ke sana ke mari. Jangankan baru dikeroyok lima, biarpun ditambah sepuluh orang lagi kalau ia menggunakan aji ini, tak mungkin tubuhnya akan dapat dicium senjata lawan. Lima orang perwira itu menjadi pusing dan mata mereka berkunang ketika tubuh lawan yang dikeroyok bergerak-gerak amat cepatnya sehingga lenyap bentuk tubuhnya, hanya tampak bayangan yang tentu saja sukar sekali untuk diserang.
Sementara itu, perwira berkumis panjang yang tidak ikut mengeroyok, cepat-cepat membujuk dengan kata-kata mengandung ancaman. Karena tidak ingin diperlakukan kasar dan dipaksa naik kuda, terpaksa sekali Sang Puteri Mayagaluh meloncat ke atas punggung kuda itu, diikuti oleh perwira berkumis panjang yang meloncat ke atas seekor kuda lain. Mayagaluh menoleh dan melempar pandang terakhir ke arah Joko Wandiro yang masih sibuk menghadapi lima orang pengeroyoknya, kemudian kudanya dicambuk dari belakang oleh perwira berkumis sehingga kuda itu meloncat ke depan dan berlari cepat.
Joko Wandiro mendengar derap kaki kuda cepat menengok. Alangkah kaget dan mendongkol hatinya melihat sang puteri sudah dilarikan seekor kuda, diikuti si perwira berkumis. Tadinya ia tidak berniat merobohkan lima orang perwira ini karena ia masih merasa segan untuk bermusuhan dengan mereka. Akan tetapi melihat sang puteri dibawa pergi dan menduga bahwa betapapun juga, puteri seorang musuh tentu takkan mendapat perlayanan baik kalau terjatuh di tangan musuh, timbul kekhawatirannya. Sekali ia berseru keras, kedua tangannya bergerak dan dua orang pengeroyok tak dapat mempertahankan diri terhadap dorongan kedua tangan Joko Wandiro yang mengandung hawa pukulan luar biasa panasnya itu. Mereka berteriak kaget dan terdorong roboh, keris mereka mencelat entah ke mana. Menggunakan kesempatan ini, Joko Wandiro meloncat jauh melakukan pengejaran.
Biarpun kuda yang membawa lari puteri itu membalap, namun Joko Wandiro yang mengerahkan Aji Bayu Sakti, sebentar saja sudah hampir dapat menyusulnya. Namun tiga orang perwira yang belum roboh, juga sudah mencemplak kuda dan mengejar sambil berteriak-teriak. Tiga orang perwira itu adalah ahli-ahli dalam hal menunggang kuda, maka sebelum Joko Wandiro dapat turun tangan merampas kembali Puteri Mayagaluh, la sudah tersusul dan kembali mereka menerjang dan mengurungnya sambil melompat dari atas kuda masirtg-masing. Gerakan mereka cukup gesit dan tangkas dan sekali lagi Joko Wandiro terpaksa menggunakan Aji Bayu Sakti untuk menghindarkan diri dari hujan tikaman keris.
Melihat sang puteri makin jauh, Joko Wandiro panas hatinya. "Kalian ini benar-benar tak tahu diri!" bentaknya dan mulailah ia menggerakkan kaki tangan untuk menangkis dan balas menyerang.
Pada saat itu, dua orang perwira yang tadi hanya roboh oleh tenaga dorongan dahsyat dan tidak terluka, kini sudah datang pula menyerbu sambil melompat turun dari atas kuda masing-masing. Kembali lima orang perwira mengeroyok Joko Wandiro. Dua orang perwira yang kehilangan keris, kini malah menggunakan tombak yang tadinya terselip di punggung kuda. Dari jauh tampak perwira ke enarn yang patah tulang lengannya, berjalan perlahan karena kudanya ditunggangi oleh sang puteri. Tentu saja setelah tulang lengannya patah, ia tidak dapat membantu teman-temannya.
Tadi ketika Joko Wandiro hanya menggunakan kegesitannya berlandaskan Aji Bayu Sakti untuk mengelak ke sana ke sini, lima orang itu sudah tak berdaya dan sama sekali tidak mampu menyentuh ujung bajunya. Sekarang, dengan menggunakan Aji Kukilo Sakti yaitu gerak silat tangan kosong yang amat lincah dan hebat, tubuh Joko Wandiro menyambar-nyambar seperti seekor burung garuda dan kocar-kacirlah lima orang pengeroyoknya. Terdengar teriak-teriakan kaget, keris terlempar dan tubuh terbantmg. Dalam beberapa menit saja, lima orang itu sudah roboh tanpa memegang senjata lagi dan biarpun mereka tidak menderita luka parah, namun tamparan tangan Joko Wandiro membuat mereka pening dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu bangun!
Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan seorang kakek berusia kurang lebih lima puluh lima tahun berdiri di depan Joko Wandiro. Kakek itu bertubuh sedang namun berdiri tegak dan gagah seperti tubuh seorang pemuda, wajahnya kemerahan dan keren gagah, alis, kumis dan jenggotnya masih hitam akan tetapi rambutnya sudah berwarna dua. Di tangan kanannya terpegang sebatang tongkat kehitaman yang mengkilap dan pakaiannya ringkas serba putih.
"Hemmm, pemuda jahat dari manakah berani mengandalkan kepandaian menghina dan merobohkan para perwira Kerajaan Panjalu?" katanya dengan suara keren, matanya bersinar keras dan tangan kirinya mengelus jenggot.
Berkelebatnya bayangan kakek ini tadi membuktikan bahwa kakek ini seorang berilmu, rnaka Joko Wandiro tidak berani memandang rendah. Pemuda ini segera membungkuk dan berkata penuh hormat, "Paman, aku tidak menganggap mereka ini perwira-perwira Panjalu yang gagah, melainkan orang-orang jahat yang hendak menculik seorang wanita. Harap paman jangan mencampuri urusan ini."
Seorang di antara para perwira, yaitu yang lengannya patah, mengenal kakek ini dan segera berkata, "Paman Darmobroto! Saya Jatmiko dari kaki Merbabu pula, sahabat putera paman Joko Seto! Paman, orang muda ini hendak membela seorang puteri Jenggala yang menjadi tawanan kami. Harap paman suka membantu kami dan jangan membiarkan dia mengejar seorang kawan kami yang membawa puteri itu menghadap Gusti Prabu."
"Orang muda, menyerahlah!" Ki Darmobroto, kakek itu membentak.
Mendengar disebutnya nama kakek ini, dan disebutnya pula nama Joko Seto putera kakek ini, sejenak Joko Wandiro tertegun. Itulah nama-nama yang disebut oleh Ki Adibroto dalam pesan terakhir! Inilah Ki Darmobroto calon mertua Ayu Candra! Hatinya makin tidak enak. Kalau tadi ia meragu untuk melawan kakek ini, sekarang ia makin merasa berat pula.
"Paman Darmobroto, kumohon agar paman jangan mencampuri urusan ini, biarlah lain kali aku akan datang menghadap paman, minta maaf dan akan bicara hal yang amat penting bagi paman dan putera paman, Joko Seto "
"Hemm, kau sudah merobohkan perwira-perwira Panjalu, siapa peraaya omonganmu? Bocah, lebih baik kau pergi dan jangan lanjutkan perbuatanmu menentang Panjalu, dan akupun sudah memaafkanmu."
Diam-diam Ki Darmobroto yang kini memperhatikan para perwira yang roboh, merasa kaget dan kagum. Perwira-perwira itu bukan orang-orang muda, tentu bukan perwira sembarangan dan sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Akan tetapi enam perwira itu semua roboh oleh pemuda ini, tanda bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa. Apalagi melihat betapa mereka berenam itu tidak ada yang menderita luka berat, hal ini kembali membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang yang kejam.
Inilah yang membuat Ki Darmobroto merasa suka dan sayang kepada Joko Wandiro dan ingin menyudahi urusan itu asal Joko Wandiro suka pergi dan tidak melanjutkan usahanya merampas puteri. Akan tetapi justeru hal inilah yang memberatkan hati Joko Wandiro. Ia suka mengalah asal Puteri Mayagaluh dibebaskanl Dengan suara bingung karena sang puteri kini sudah dilarikan jauh, ia berkata,
"Paman Darmobroto, aku tidak berniat melawanmu, juga tidak ingin bermusuhan dengan perwira Panjalu. Aku hanya ingin membebaskan sang puteri!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat cepat sekali, meloncat jauh dan kembali ia mengejar sang puteri dan si perwira berkumis. Ki Darmobroto makin kagum menyaksikan gerakan pemuda itu. Iapun cepat mengejar sambil mengerahkan ilmunya berlari cepat. Alangkah kagum hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ilmu lari cepat pemuda ini tidak kalah olehnya.
Padahal ia sudah mempergunakan aji keringanan tubuh yang merupakan ilmu warisan dari nenek moyangnya dan yang sudah amat terkenal di daerah Merbabu! Ia makin penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun karena Joko Wandiro juga mengerahkan seluruh tenaganya, menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari Empu Bharodo, maka pendekar Gunung Merbabu itu hanya mampu membayanginya, belum mampu menyusulnya.
Para perwira juga segera berloncatan ke atas kuda dan mengejar. Perwira yang lengannya patah membonceng salah seekor kuda mereka. Kejar-kejaran terjadi dengan seru. Debu mengepul dan tubuh mereka berkelebat keluar masuk hutan. Dengan loncatan-Ioncatan jauh dan berlari cepat sekali, akhirnya Joko Wandiro berhasil menyusul Mayagaluh dan perwira berkumis.
"Gusti puteri, hentikan kuda paduka! Jangan takut, hamba melindungi paduka!" teriak Joko Wandiro.
Perwira berkumis marah sekali, membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan sebatang tombak yang panjang ke arah Joko Wandiro. Akan tetapi tanpa mengelak, pemuda itu menggerakkan tangan dan berhasil menangkap leher tombak lalu membetot keras. Perwira itu terkejut sekali dan terpaksa melepaskan tombak karena kalau tidak, ia tentu akan turut terbetot jatuh dari atas kuda.
"Perwira Panjalu, jangan kurang ajar dan bebaskan sang puteri!" Joko Wandiro membentak marah.
Puteri Mayagaluh kagum memandang Joko Wandiro, mulutnya tersenyum manis dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri. Ia senang sekali melihat kesetiaan pemuda itu. Maka ia lalu menahan kudanya. Akan tetapi pada saat itu, sesosok bayangan putih sudah tiba di tempat itu dan langsung menerjang Joko Wandiro sambil dibarengi bentakan,
"Orang muda, kaulah yang kurang ajar!"
Itulah Ki Darmobroto yang sudah menyerang dengan tangan kirinya mencengkeram ke arah pundak Joko Wandiro. Hebat gerakan kakek ini, didahului angin menyambar amat kuat. Joko Wandiro maklum bahwa kakek ini memiliki tenaga yang hebat, maka ia tidak mau membiarkan pundaknya dicengkeram. Akan tetapi iapun sebagai seorang sakti ingin sekali menguji sampai di mana keampuhan tangan kakek Merbabu itu, maka ia lalu mengangkat tangan kanannya menangkis sambil berkata, "Paman, aku hanya ingin mencegah orang menghina seorang wanita!"
Dua buah lengan yang mengandung tenaga mujijat itu saling bertemu dan terkejut bukan main hati pendekar Merbabu ketika tidak hanya lengannya tergetar, bahkan sebagian dadanya kesemutan akibat benturan itu. Di lain pihak, Joko Wandiro juga kagum karena tenaga kakek itu cukup ampuh, tidak kalah banyak kalau dibandingkan dengan tenaga sakti mendiang Wirokolo yang tangguh. Karena maklum bahwa pemuda ini merupakan lawan berat, maka Ki Darmobroto lalu memegang tongkatnya erat-erat, melangkah maju dan bertanya,
"Orang muda, apakah engkau seorang ponggawa Jenggala? Kalau engkau seorang ponggawa Jenggala, aku hormati kesetiaanmu dan pembelaanmu terhadap gusti puterimu. Akan tetapi kalau engkau bukan ponggawa Jenggala, harap kau suka pergi dengan aman, jangan mencari penyakit."
"Dia bukan ponggawa Jenggala, akan tetapi sebentar lagi tentu dia diberi anugerah kedudukan mulia oleh ramanda prabu!"
Tiba-tiba Puteri Mayagaluh berkata. Joko Wandiro terkejut dan cepat-cepat ia berkata, "Aku bukan ponggawa kerajaan mana pun, paman. Aku membelanya berdasar keadilan karena aku tidak suka melihat seorang wanita muda tanpa dosa diculik."
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang lain sudah tiba di situ dan mendengar ucapan puteri tadi mereka sudah menerjang lagi dan mengurung Joko Wandiro. Adapun Ki Darmobroto yang melihat kenekatan Joko Wandiro hendak melindungi sang puteri, sudah turun tangan pula memutar tongkatnya ikut menerjang.
Sebetulnya, mengingat kedudukannya sebagai seorang tokoh besar Merbabu, seorang angkatan tua yang terkenal, Ki Darmobroto merasa sungkan untuk melawan Joko Wandiro yang bertangan kosong itu dengan tongkatnya yang sakti, Apa pula mengeroyoknya bersama lima orang perwira Panjalu.
Akan tetapi karena yang dihadapinya ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan membela Panjalu, ia mengesampingkan perasaan pribadi dan mendahulukan kepentingan junjungannya. Akan tetapi tidak seperti para perwira yang sudah marah dan terhina karena tadi beberapa kali dikalahkan Joko Wandiro dan kini menyerang dengan mati-matian, Ki Darmobroto menggerakkan tongkatnya hanya untuk merobohkan dan menawan pemuda itu.
Biarpun demikian, segera Joko Wandiro mendapat kenyataan betapa serangan orang tua ini amat hebat, ujung tongkatnya menyambar-nyambar dan pecah menjadi belasan batang agaknya saking cepatnya gerakan. Tongkat kayu cendana itu mengeluarkan bau harum dan ketika digerakkan, memperdengarkan suara mengaung. Joko Wandiro terkejut dan segera ia mengerahkan kepandaiannya untuk menghindari hujan senjata itu.
Serangan para perwira yang lima orang jumlahnya itu dapat dengan mudah ia hindarkan, akan tetapi bayangan tongkat kayu cendana di tangan Ki Darmobroto benar-benar membuat ia repot. Ketika ia melompat jauh ke belakang untuk menjauhi para pengeroyoknya, bayangan tongkat dan bayangan putih itu mengejarnya, ujung tongkat tak pernah meninggalkan jalan darah di lehernya dan terdengar orang tua itu berseru,
"Menyerahlah!" sambil menusukkan ujung tongkat kearah jalan darah di leher yang akan membuatnya lumpuh seketika!
Joko Wandiro terpaksa mengeluarkan kepandaiannya. Dengan kelincahan mengandalkan Aji Bayu Sakti, ia miringkan tubuh ke kiri, kemudian dengan jari jari tangan terbuka ia memukul ujung tongkat. itulah pukulan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya bukan main. Jangankan hanya tongkat kayu, biarpun tongkat besi akan dapat dipukul patah oleh jari jari tangan yang penuh Aji Pethit Nogo! Akan tetapi kakek itu ternyata hebat. Agaknya dari sambaran angin yang keluar dari tangan Joko Wandiro, kakek itu maklum akan keampuhan Pethit Nogo, maka ia menarik tongkatnya dan menggoyang tangan sehingga ujung tongkat itu kini menyambar dan menotok ke arah telapak tangan Joko Wandiro.
Pemuda itu terkejut dan kagum. Dalam segebrakan ini saja ia maklum bahwa tingkat kepandaian Ki Darmobroto ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Ni Durgogini atau Ni Nogogini! Totokan pada telapak tangannya itu amat berbahaya. Pusat jalan darah di tangan berada di telapak tangan, antara ibu jari dan telunjuk, kalau sampai kena tertotok, tentu kelima buah jarinya akan kaku dan tak dapat dipergunakan lagi untuk beberapa lama. Totokan serupa ini sekaligus melumpuhkan atau membuyarkan keampuhan ilmu pukulan Pethit Nogo yang dilakukan dengan telapak tangan terbuka, mengandalkan kepretan jari-jari tangan.
Maklum bahwa ilmu tongkat kakek Itu dapat mengatasi ilmunya Pethit Nogo, Joko Wandiro segera menggerakkan tubuhnya dan mulailah ia melakukan gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Bramoro Seto. Tubuhnya berkelebat cepat sekali dan ia menggunakan kecepatannya yang mengatasi kecepatan kakek itu untuk berusaha merampas tongkat.
Ketika kakek ini menggerakkan tongkatnya menyabet dari kanan ke kiri, Joko Wandiro merendahkan tubuh dan secepat kilat tangannya menyambar ke depan. Di lain saat dua jari tangannya telah berhasil menjepit tongkat kayu cendana itu. Betapa kagetnya hati Ki Darmobroto ketika merasa betapa jepitan itu kuat sekali. la mengerahkan tenaga menarik, namun sia-sia, tongkatnya tak dapat terlepas dan pada detik itu, tangan kiri Joko Wandiro dengan jari tangan terbuka melakukan pukulan Pethit Nogo ke arah pelipisnya!
"Celaka...!!" seru Ki Darmobroto, terkejut sekali. La dapat menduga bahwa pukulan dengan jari tangan itu amat berbahaya, maka ia tadi memunahkannya dengan totokan-totokan tongkat. Kini tongkatnya terjepit dan dengan tangan kosong, tak mungkin ia berani menerima tamparan dengan jari jari seperti itu.
Untuk mengelak, terpaksa ia harus melepaskan tongkatnya dan hal ini alangkah akan mendatangkan malu baginya. Ia bertongkat, bahkan dibantu lima orang perwira. Pemuda itu bertangan kosong, namun pemuda itu masih dapat merampas tongkatnya? Tidak! Tiba-tiba Ki Darmobroto mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menggelinding ke bawah, terus bergulingan dan tentu saja tongkat itupun ikut terbawa olehnya. Caranya bergulingan amat aneh, akan tetapi Joko Wandiro merasa betapa lengannya yang jarinya menjepit tongkat itu tak dapat menahan dan hendak ikut terbawa gerakan si kakek. Terkejutlah ia dan pada saat itu, kakek itu meloncat sambil menggerakkan kedua kakinya, bertubi-tubi melakukan tendangan.
"Bagus!" Joko Wandiro berseru kagum. Terpaksa kini ia melepaskan tongkat kakek itu dan melompat ke samping sambil menggerakkan tangan kiri menangkis kaki lawannya.
"Desss.....!!"
Tubuh kakek itu berputar-putar, namun dengan cekatan sekali kakek itu melompat ke atas dan mematahkan gaya berpusing sehingga ia tidak sampai roboh. Kembali Joko Wandiro memuji. Akan tetapi Ki Darmobroto mengeluarkan keringat dingin. Dua gebrakan tadi hampir saja mencelakainya. Kini tahulah ia bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, maka ia lalu menggerakkan tongkatnya dan menerjang tanpa sungkan-sungkan lagi.