Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 31
"Aduh, angger Joko Wandiro, anakku....! Semoga Hyang Wisesa mengampuni kita semua, kulup....! Telah terjadi peristiwa yang amat hebat, malapetaka yang mengerikan...."
Tidak syak lagi sekarang hati Joko Wandiro. Sudah tentu perkara kematian ibu kandungnya. "Bibi, ceritakanlah. Saya dapat menahan segala berita yang bagaimanapun. Ceritakanlah, bibi!"
"Mari, anakku. Mari masuk ke pondok dan kau....kau maafkanlah sikap bibimu Kartikosari. Engkau akan mengerti mengapa dia bersikap seperti itu ketika tiba-tiba melihat kedatanganmu, Joko Wandiro."
"Tidak mengapa, bibi. Saya percaya, bibi Kartikosari adalah seorang yang bijaksana dan tentu sikap beliau tadi ada sebabnya yang hebat. Marilah, bibi."
Mereka memasuki pondok kecii sederhana itu. Berdegup jantung Joko Wandiro karena ia mengharapkan untuk bertemu dengan Pujo di dalam pondok. Ia menyapu semua penjuru dengan pandang matanya, namun tidak melihat Pujo di situ. Yang ada hanyalah perabot rumah sederhana dan Kartikosari duduk di atas sebuah balai-balai bambu dengan muka berduka dan kedua pipi basah air mata. Melihat keadaan Kartikosari ini, Roro Luhito yang tadi rnenggandeng tangan Joko Wandiro segera rnelepaskan tangan itu dan lari mengharnpiri Kartikosari dan merangkulnya.
"Apakah engkau datang untuk membalas dendam kematian ibumu? Kalau begitu, hunus kerismu dan tusuklah dadaku, agar himpas dan lunas hutang-pihutang nyawa ini!" kata Kartikosari kepada Joko Wandiro, suaranya gemetar akan tetapi sikapnya tenang.
Joko Wandiro terkejut sekali. Tidak disangkanya akan disambut dengan ucapan seperti itu oleh Kartikosari. Apakah ibu kandungnya tewas di tangan bibinya ini? Ah, tidak mungkin! Ia cukup mengenal ayah angkatnya, dan ia mendengar dari ayah angkatnya bahwa bibi Kartikosari ini dahulu adalah adik seperguruan ayah angkatnya.
Ayah angkatnya adalah seorang satria sejati, memiliki iimu-ilmu kesaktian yang bersih, warisan Sang Resi Bhargowo. Sedangkan yang membunuh ibu kandungnya tentulah yang melukai Ki Adibroto pula, dan melihat luka itu, jelas membayangkan bahwa pemukulnya adalah seorang yang amat ganas dan memiliki ilmu yang jahat dan keji.
"Bibi Kartikosari, mengapa bibi berkata seperti itu? Sesungguhnyalah bahwa secara kebetulan sekali saya bertemu dengan paman Adibroto dan mendengar bahwa ibu kandung saya yang tak pernah saya jumpai itu telah meninggal dunia, tewas di tangan musuh yang juga melukai paman Adibroto sampai tewas Akan tetapi saya tidak tahu siapa pembunuhnya dan kedatangan saya ke Bayuwismo ini sekali-kali bukan untuk urusan itu, melainkan karena sudah rindu kepada bibi berdua, terutama sekali kepada....ayahanda Pujo. Di manakah beliau? Dan Apa yang sudah terjadi di sini, bibi?"
Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali. "Kau tanyakan kakangmas Pujo...? Ayahmu itu kakangmas Pujo...dia...dia telah tewas...dan anak....anakku keparat dia....oohhhh..."
Kartikosari tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia menjatuhkan diri di atas balai bambu sambil menangis tersedu-sedu. Roro Luhito memeluknya dan juga menangis sesenggukan. Joko Wandiro memandang dengan muka pucat. Ayahnya, Pujo, telah tewas? Oleh siapa? Mengapa? Oleh ibunya dan Ki Adibroto? Kemudian mereka berdua itupun tewas dalam pertandingan ini? Melihat betapa dua orang wanita itu menangis penuh kesedihan, dia tidak berani mengganggu dan segera ia menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menunjang dagu dan mengatur napas menenteramkan hatinya.
Melihat betapa Kartikosari tenggelam ke dalam kedukaan yang hebat, Roro Luhito lalu bangun dan duduk menyusuti air matanya. Dia maklum betapa hancur hati Kartikosari, tidak hanya karena kehilangan suami tercinta, melainkan juga kehilangan puteri yang amat diharap-harapkan. Memang betul Endang Patibroto masih hidup, akan tetapi bahkan lebih hebat daripada mati bagi seorang ibu kandung yang melihat puterinya menyeleweng jauh sekali daripada kebenaran! Di samping ini, Roro Luhito kasihan melihat Joko Wandiro yang tentu saja menjadi bimbang dan bingung serta amat mengharapkan penjelasan.
"Anakku Joko Wandiro, kau dengarlah baik-baik Apa yang akan kuceritakan kepadamu dan bersiaplah engkau menerima pukulan batin ini. Aku percaya, sebagai seorang satria murid Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna dan arif bijaksana, dan sebagai seorang yang telah dewasa, engkau tentu akan dapat menerima semua peristiwa yang terjadi ini sebagai sesuatu yang sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa dan bahwa semuanya itu memang sudah semestinya terjadi maka tak seorangpun manusia mampu merubahnya," kata Roro Luhito yang mulai dapat menekan perasaannya sehingga suaranya makin jelas dan tenang.
"Bicaralah, bibi, Biarpun belum tahu jelas, kiranya saya sudah dapat banyak menduganya."
"Aku akan mulai dari permulaan, anakku. Terjadinya kira-kira dua puluh tahun yang lalu, karena sesungguhnya mulai saat itulah terjadinya awal segala peristiwa ini yang kuharapkan sudah berakhir sampai sekian saja. Ketika itu, ayahmu atau gurumu Pujo bersama bibimu Kartikosari masih pengantin baru. Mereka berdua pergi bertapa ke dalam Guha Siluman. Tidak lama kemudian datanglah kakakku, mendiang ayah kandungmu sendiri Raden Wisangjiwo. Aku berterus terang saja, anakku, biar dia kakak kandungku, biar dia itu ayah kandungmu, dia pada masa itu adalah seorang bangsawan muda yang menjadi hamba nafsunya. Dia bersikap kurang baik terhadap bibimu Kartikosari sehingga terjadi pertempuran. Kakangmas Pujo pingsan dan ketika ia sadar, ia melihat betapa bibimu Kartikosari dalam keadaan terluka dan tak berdaya telah diperkosa orang, Keadaan dalam guha itu gelap-gulita dan karena tadinya yang menyerang mereka adalah Raden Wisangjiwo, tidak aneh kalau kakangmas Pujo dan bibimu Kartikosari merasa yakin bahwa Raden Wisangjiwolah orang yang melakukan perbuatan keji itu."
Joko Wandiro menggigit bibirnya. Dahulu pernah ia mendengar tentang permusuhan itu dan ia amat menyesal sekali. Akan tetapi ia tidak mau mengganggu cerita bibinya karena ia maklum bahwa kalau ia membuka mulut tentu suaranya akan gemetar.
"Memang menyesalkan sekali, anakku, akan tetapi itu kenyataan. Nah, semenjak saat itulah kakangmas Pujo berpisah dari bibimu Kartikosari. Kakangmas Pujo yang merasa dihancurkan kebahagiaannya oleh ayah kandungmu, menyerbu ke Kadipaten Selopenangkep. Di sana dia tidak menemukan Raden Wisangjiwo, maka untuk membalas sakit hatinya, ia.... menculik ibu kandungmu, mbokayu Listyokumolo dan engkau sendiri yang pada waktu itu baru berusia satu tahun."
Joko Wandiro menundukkan mukanya untuk menyembunyikan mukanya yang menjadi merah dan terasa panas. Ia juga amat menyesalkan perbuatan ayah angkatnya yang terburu nafsu dan sembrono ini, Akan tetapi tepat seperti dikatakan bibinya tadi, segala sudah terjadi dan ia juga mempunyai keyakinan bahwa segala hal yang sudah, sedang, atau akan terjadi kesemuanya sudah diatur oleh Hyang Maha Wisesa, sedangkan manusia hanyalah menjadi pelaku-pelakunya belaka.
"Kemudian engkau tahu betapa engkau diaku anak oleh kakangmas Pujo dan engkaupun sudah mendengar betapa setelah kakangmas Pujo dan mbokayu Kartikosari tahu bahwa musuh besar mereka sesungguhnya bukan Raden Wisangjiwo melainkan Jokowanengpati si manusia biadab, dari musuh mereka menjadi sahabat. Dan engkaupun tahu betapa ayah kandungmu, biarpun dahulunya pernah melakukan penyelewengan, namun di saat terakhir telah menjadi seorang pahlawan dan tewas dalam medan yuda sebagai seorang pahlawan pula. Akan tetapi ibu kandungmu...." Sampai di sini Roro Luhito berhenti dan menarik napas panjang dan dua titik air mata meloncat ke atas kedua pipinya yang pucat.
"Teruskanlah, bibi. Saya siap mendengar hal yang seburuk-buruknya," kata Joko Wandiro tenang.
"Ibumu, mbokayu Listyokumolo setelah kehilangan kau yang dilarikan oleh kakangmas Pujo, dia....dia menjadi berubah ingatan, kulup. Kasihan sekali. Ayahmu yang pada waktu itu belum sadar daripada penyelewengannya, melihat ibumu seperti orang gila, lalu mengantarnya kembali ke dusun Selogiri di lereng Lawu. Akan tetapi, agaknya memang ibu kandungmu harus banyak menderita di waktu hidupnya. Belum lama tinggal di rumah kakekmu yang menjadi lurah di dusun itu, desa Selogiri menjadi korban serbuan perampok-perampok. Eyangmu dan seluruh keluarganya tewas, ibu kandungmu menjadi tawanan perampok! Dan semenjak itulah kami tidak pernah mendengar apa-apa lagi dari ibumu. Ayahmu setelah insyaf akan kesalahannya, telah bersusah payah, dibantu oleh kami semua dan pasukan-pasukan, berusaha mencari ibumu, akan tetapi sia-sia."
Hemm, setelah itu tentu telah ditolong oleh paman Adibroto, pikir Joko Wandiro, Kemudian setelah ditolong lalu menjadi isteri paman Adibroto dan melahirkan seorang anak, Ayu Candra! Berpikir sampai di sini, jantung Joko Wandiro serasa ditusuk-tusuk, akan tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatahpun kata.
"Siapa dapat menduga, beberapa hari yang lalu..."
"Ibu datang ke sini bersama paman Adibroto?" Tidak tertahankan lagi Joko Wandiro menyambung karena bibinya agak meragu.
"Benar, anakku. Ibumu tidak melupakan dendamnya kepada kakangmas Pujo yang sama sekali tidak menyangka-nyangka dan hidup aman tenteram bersama kami berdua di sini. Ibumu dapat bertemu berdua saja dengan kakangmas Pujo dan kakangmas Pujo....yang selalu merasa berduka dan malu atas semua perbuatannya terhadap ibumu dahulu, mengakui dosanya dan rela menebus dosa, rela dijatuhi hukuman oleh ibumu. Kakangmas Pujo tidak melawan ketika ditusuk keris, sengaja menerima kematian di tangan ibumu agar dosanya tercuci oleh darahnya sendiri...."
Roro Luhito terisak dan Kartikosari yang tadinya sudah agak reda tangisnya, kini tersedu kembali. Joko Wandiro mengepal tinjunya. Ingin ia menjerit-jerit. Ingin ia menangis, menangisi keduanya, menangisi Pujo dan Listyokumolo. Bangga ia mendengar akan sikap Pujo yang ternyata seorang satria utama, seorang jantan sejati. Sedih ia mengingat akan nasib ibu kandungnya, dan dia tidak dapat menyalahkan ibu kandungnya yang tentu saja merasa dirusak kebahagiaan hidupnya oleh Pujo. Ingin sekali ia mendesak bibinya agar bercerita terus, akan tetapi kerongkongannya serasa tercekik.
"Kakangmas Pujo....dia melarang kami menuntut balas....... dia menyatakan rela dan senang mati di tangan ibumu untuk menebus dosa...."
"Aduh ayahku....! Ayah dan guruku....!"
Joko Wandiro bangga sekali dan hampir ia tidak kuat menahan air matanya yang sudah membuat pandang matanya berkaca-kaca.
"Kemudian, secara tak terduga-duga muncullah Endang Patibroto!"
Joko Wandiro terkejut dan mendongakkan muka, memandang bibinya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.
"Sungguh berbahagia sekali kakangmas Pujo ketika melihat puterinya. Baru sekali itu ia memandang wajah anak kandungnya, baru sekali itu, di ambang kematiannya, ia bertemu muka dengan puterinya. Hatinya puas sekali dan merasa betapa mendapat anugerah Dewata. Pertama, sudah dapat menebus dosa di tangan ibumu sendiri, ke dua, sebelum mati dapat bertemu anaknya. Sekali lagi kakangmas Pujo meninggalkan pesan agar jangan membalas kepada ibu kandungmu, bahkan berpesan bahwa untuk menghapus permusuhan itu, Endang Patibroto dijodohkan dengan.... engkau, anakku Joko Wandiro!"
Pemuda itu merasa seakan-akan dadanya hendak meledak, jantungnya berdebar-debar keras sekali. Ia merasa makin bangga kepada Pujo! Bukan main ayahnya, juga gurunya itu, seorang manusia bijaksana, seorang satria sejati.
"Jadi ayah....Pujo tidak membalas kepada ibuku?"
"Tidak. Dia meninggal dunia sambil tersenyum bahagia."
"Dan bibi berdua, juga tidak membalas kepada ibuku...?"
Roro Luhito menggelengkan kepala. "Betapapun sakit dan sedih hati bibimu Kartikosari, namun dia juga seorang berdarah satria utama, dan mematuhi pesan suaminya."
"Kalau begitu, mengapa ibuku...?"
Tiba-tiba Kartikosari melompat turun dan dengan muka pucat, rambut awut-awutan ia menjerit, "Anakku yang membunuhnya! Anakku Endang Patibroto, yang kukandung sembilan bulan, yang kubela dengan taruhan nyawa....dia yang membunuh ibumu! Dan dia pula yang membunuh Ki Adibroto. Ya, anakku! Anak kandungku! Dia yang membunuh ibu kandungmu, Joko Wandiro. Maka itu, kalau kau hendak menuntut balas, jangan ragu-ragu, ini ibunya yang bertanggung jawab. Kaucabutlah senjatamu dan kau bunuhlah aku....aku....takkan melawan...... kau sempurnakan aku....biar aku....aku ikut suamiku...."
Terdengar jerit melengking mengerikan dan tubuh Joko Wandiro sudah mencelat keluar dari pondok itu.
"Joko....!"
Roro Luhito menjerit dan mengejar keluar, juga Kartikosari berlari keluar. Di depan pintu pondok mereka berhenti dan memandang ke depan dengan muka pucat. Mereka melihat betapa Joko Wandiro sambil mengeluarkan suara menggereng-gereng seperti seekor harimau, mengamuk dan kalang kabut menghantami batu-batu karang di pinggir laut! Batu karang pecah berhamburan dan terdengar pemuda itu menggereng-gereng di antara isak tangisnya, terus menghantami batu karang seperti orang gila.
"Joko Wandiro... anakku....! Kau ingatlah, nak.....ingatlah....!"
Roro Luhito lalu berlari-lari dan menubruk kaki keponakannya, juga Kartikosari rnenghampiri dengan bercucuran air mata. Kini Joko Wandiro telah dapat menguasai iblis yang mengamuk di dalam kepala dan dadanya. Ia berdiri dengan kedua kaki tepentang, kedua tangan berlepotan darah karena dalam kemarahannya tadi ia tidak mengerahkan aji kesaktiannya sehingga kulit tangannya tidak kebal dan kini hancur oleh batu karang. Kedua lengan yang tangannya berdarah itu kini tergantung di kanan kiri tubuhnya, darahnya menetes-netes seperti air mata yang juga menetes-netes dari kedua matanya.
"Anakku...ah, anakku Joko Wandiro....jangan salah mengerti, nak. Bibimu....Kartikosari mengeluarkan kata-kata itu saking remuk perasaan hatinya oleh kelakuan anaknya. Kau tidak tahu, setelah Endang Patibroto membunuh Listyokumolo dan melukai Ki Adibroto tanpa dapat kami cegah karena gerakannya yang amat dahsyat, kemudian bibimu Kartikosari mendengar bahwa Endang menjadi kepala pengawal Jenggala. Bibimu marah dan berusaha menginsyafkan puterinya, akan tetapi sia-sia. Bahkan bibimu sudah menyerang hendak membunuhnya, akan tetapi juga tidak berdaya rnenghadapi kesaktian Endang Patibroto yang amat hebat."
Kini Joko Wandiro sudah dapat menekan perasaannya dan ketenangannya pulih kembali. "Saya tidak menaruh dendam kepada bibi Kartikosari, bahkan saya merasa amat terharu dan kasihan., Bibi Kartikosari, maafkan saya, percayalah, saya tidak mempunyai permusuhari apa-apa dengan bibi...."
"Joko Wandiro....kau dianggap putera sendiri oleh kakangmas Pujo dan memang.... memang kau patut menjadi puteranya. Ahh, anakku...!"
Kartikosari merangkul dan mereka berpelukan. "Saya juga tahu akan kesaktian Endang Patibroto, karena sudah dua kali dia menyerang saya, bahkan dia hampir saja membunuh Ayu Candra."
"Ayu Candra? Siapakah dia?" tanya Kartikosari makin sedih mendengar akan penyelewengan puterinya.
"Dia itu....adik tiriku, puteri ibuku dengan paman Adibroto."
Joko Wandiro lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ki Adibroto dan Ayu Candra di dekat Telaga Sarangan, tentang pesan terakhir Ki Adibroto yang melarang anaknya mencari pembunuh ayah bundanya, kemudian tentang lenyapnya Ayu Candra.
"Ah...kakangmas Pujo...agaknya akan sia-sia semua kehendakmu agar permusuhan itu disudahi dengan pengorbanan darah dan nyawamu....bukan saja anak kandung kita sendiri sudah melanggarnya, juga....juga masih ada ekornya lagi, anak Adibroto dan Listyokumolo...."
Kartikosari mengeluh dan menjadi berduka sekali. Suaminya telah mengorbankan nyawa, rela ditusuk sampai tewas oleh Listyokumolo untuk menebus dosa, bahkan melarangnya membalas malah menjodohkan Endang Patibroto dengan Joko Wandiro putera Listyokumolo dalam usaha terakhir menyudahi permusuhan itu. Akan tetapi usaha yang amat mulia dari suaminya itu hancur berantakan, tidak saja oleh anak mereka sendiri, juga kini tentu saja Ayu Candra hendak menuntut balas pula. Dendam permusuhan yang tiada akan habisnya.
"Bibi harap suka tenangkan hati. Saya yang tanggung bahwa Ayu Candra adik saya itu tidak akan melanjutkan permusuhan, tidak akan mencari balas dendam.. "
Kartikosari terharu dan memegang lengan Joko Wandiro. "Anakku....Joko Wandiro, engkau patut menjadi putera dan murid kakangmas Pujo. Engkau....engkau seperti dia, anakku! Terima kasih, Joko Wandiro. Engkau sebagai putera kandung Listyokumolo yang terbunuh oleh Endang Patibroto....engkau tidak menaruh dendam juga engkau hendak....mencegah adikmu Ayu Candra menuntut balas."
"Sudah semestinya begitu, bibi. Tidak mungkin saya dapat membiarkan adik saya menjadi korban nafsu dendam dan permusuhan yang tiada berkeputusan ini."
"Aku percaya engkau akan bisa membujuk adikmu. Sebagai puteri Ki Adibroto aku percaya Ayu Candra dapat mengerti, akan tetapi....ah, kalau aku ingat akan anakku Endang Patibroto ? Dia sukar dikendalikan, memiliki kepandaian seperti iblis betina. Dia telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro, dan tidak hanya mewarisi kedigdayaan raksasa yang mengerikan itu, malah juga celaka sekali, agaknya mewarisi wataknya yang seperti iblis."
Joko Wandiro menggigit bibir Ia masih gemas kalau teringat akan Endang Patibroto. Gadis itu telah banyak melakukan perbuatan keji. Hampir saja membunuh Ayu Candra tanpa sebab, juga menyerangnya dengan keji tanpa sebab. Kemudian, gadis itu malah telah membunuh ibu kandungnya dan Ki Adibroto, sungguhpun telah mendengar pesan terakhir ayahnya. Lebih hebat lagi, Endang Patibroto malah menyakiti hati ibunya, membantah dan melawan!
"Bibi, mengingat akan budi ayah Pujo yang berlimpah-limpah kepada diri saya, saya berjanji akan pergi mencari Endang Patibroto dan akan membujuknya agar supaya ia insyaf kembali daripada kesesatannya dan suka kembali kepada bibi di sini."
"Aduh, anakku! Engkau menumpuk-numpuk budi sehingga membuat aku merasa malu sekali. Kakangmas Pujo....kiranya membekas juga semua jasa dalam hidupmu.......! Joko Wandiro, kau tadi mengatakan bahwa sudah dua kali kau bentrok dengan Endang, sudah kauketahui sendiri kedigdayaannya yang seperti iblis. Bagaimana kalau ia tidak mendengar bujukanmu, bahkan menggunakan kekerasan ? Aduh....alangkah akan baiknya kalau Endang tidak berubah seperti itu dan...dan dapat terlaksana pesan kakangmas Pujo tentang perjodohannya dengan kau...!!"
"Saya berjanji akan mengajak Endang kembali kepadamu, bibi. Tidak perduli dia mau atau tidak, kalau perlu saya akan memaksanya dengan kekerasan!"
"Ah, Joko. Mudah-mudahan saja kau akan berhasil. Aku khawatir sekali, terutama jika aku ingat akan adikmu itu. Usahakanlah agar dia jangan memperhebat lagi permusuhan yang sudah diusahakan pemadamannya oleh ayahmu Pujo."
"Kalau saya pikir-pikir, sungguh menggemaskan orang biadab yang mempergunakan nama Raden Wisangjiwo sehingga tertanam bibit permusuhan sehebat itu. Bibi Kartikosari, siapakah sesungguhnya orang itu?"
Kartikosari tersenyum di antara air matanya. "Iblis itu sudah mampus, Joko! Mampus di tangan bibimu berdua ini. Jokowanengpati telah mati dan mayatnya dikubur dalam perut ikan!"
Kemudian dengan penuh nafsu amarah Kartikosari menceritakan betapa dia dan Roro Luhito memaksa Jokowanengpati terjun ke laut sehingga musuh besar itu disambar ikan dan diseretnya ke dalam lautan. Joko Wandiro menarik napas panjang. Ngeri juga hatinya mendengar nasib orang jahat itu, akan tetapi ia maklum bahwa segala perbuatan jahat biarpun lambat akan tetapi sudah pasti akan menyeret pembuatnya ke dalam lembah kesengsaraan dan malapetaka.
"Kiranya cukuplah, bibi berdua. Saya pamit mundur, karena saya sendiripun berkhawatir akan keselamatan adik saya, Ayu Candra yang belum saya ketahui ke mana perginya. Harap bibi berdua menanti di sini, saya pasti akan datang lagi dan mudah-mudahan dapat bersama Endang."
"Tidak di sini, Joko Kami akan pergi dar i tempat ini."
Ucapan Kartikosari ini tidak hanya mengagetkan Joko Wandiro, juga Roro Luhito terkejut dan terheran.
"Kita hendak pergi ke manakah?" tanyanya sambil memegang tangan Kartikosari.
"Adikku Roro Luhito. Setelah kini kita ketahui bahwa di sana masih ada Ayu Candra yang mungkin akan menuntut balas, lebih baik kita pergi menyembunyikan diri. Siapa tahu sebelum dapat ditemukan Joko Wandiro, dia akan lebih dulu datang ke sini mencari kita. Sesungguhnya aku tidak akan mundur dan rela menyerahkan nyawaku kepada anak Listyokumolo yang terbunuh oleh anakku, akan tetapi kita harus mengingat akan nasib.... anak-anak kita dalam kandungan ini. Setelah jabang bayi terlahir, barulah aku siap menerima pembalasan. Karena ini, aku mengambil keputusan untuk bersembunyi ke Pulau Sempu di mana dahulu ayahku bertapa."
Roro Luhito menundukkan muka dengan terharu. Ucapan ini mengingatkan kepadanya bahwa anak yang ia kandungpun telah yatim, tiada berayah lagi. "Aku menurut segala keputusanmu."
Joko Wandiro mengangguk-angguk. Diam-diam ia terharu juga ketika mendengar bahwa kedua wanita yang di tinggal mati ayah angkatnya ini dalam keadaan mengandung.
"Baiklah, bibi berdua. Saya kelak akan menyusul ke Pulau Sempu."
Setelah bermohon diri, Joko Wandiro lalu meninggalkan Bayuwismo, menunggang kudanya, pemberian Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjalu yang haik hati itu. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah menaburkan bunga di laut sebagai pernyataan selamat tinggal kepada suami mereka, Kartikosari dan Roro Luhito juga meninggalkan Bayuwismo yang menjadi sunyi dan menyedihkan.
Berpekan-pekan Joko Wandiro menjelajah gunung-gunung dan pantai Laut Selatan untuk mencari jejak adiknya, Ayu Candra. Namun hasilnya sia-sia belaka sehingga hatinya menjadi gelisah sekali. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin sekali adiknya itu oleh Ki Jatoko yang mencurigakan itu dibawa ke Bayuwismo. Siapa tahu kalau-kaiau Ayu Candra berusaha membalas dendam sendiri dan minta diantar Ki Jatoko.
Maka ia lalu kembali ke Bayuwismo dan alangkah terkejut hatinya ketika ia mendengar dari penduduk dusun yang berdekatan bahwa memang beberapa hari setelah Kartikosari dan Roro Luhito pergi meninggalkan pantai itu, ada seorang dara cantik bersama pamannya yang kedua kakinya bunting bertanya-tanya kepada penduduk di situ ke mana perginya penghuni Bayuwismo!
Tentu saja tidak ada seorangpun penduduk yang dapat memberi tahu dan kedua orang itu lalu pergi lagi dari situ. Kejadian ini sudah terjadi tiga pekan yang lalu. Aduh, untung bahwa bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito telah pergi. Kalau masih berada di sana, tentu akan terjadi hal yang amat mengerikan. Ia maklum bahwa Ayu Candra sama sekali bukanlah lawan Kartikosari dan Roro Luhito yang sakti, akan tetapi karena ayah bundanya terbunuh, tentu saja gadis itu menjadi nekat, sedangkan Kartikosari yang berwatak gagah itu tentu akan rela memberikan nyawanya seperti yang diperbuat oleh Pujo! Alangkah akan mengerikan kalau gadis itu, adiknya, bekas kekasihnya, melakukan pembunuhan seperti itu.
Karena Ayu Candra dan Ki Jatoko pernah datang ke dusun itu, biarpun telah lewat tiga pekan, namun setidaknya Joko Wandiro mulai mendapatkan jejak mereka. Menurut para penduduk yang melihatnya, dua orang itu pergi menuju ke utara. Dia mengikuti jejak mereka dan tibalah Joko Wandiro di Selopenangkep yang kini telah mempunyai seorang adipati baru, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu. Di tempat ini ia mendapat keterangan pula bahwa memang dua orang itu pernah berada di Selopenangkep, akan tetapi kemudian pergi lagi menuju ke utara.
Joko Wandiro mengikuti terus jejak ini dan selanjutnya dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa tidaklah sukar mengikuti jejak kedua orang itu walaupun sudah lewat belasan hari. Hal ini tidaklah aneh karena memang kedua orang itu menarik perhatian serta mudah diingat. Yang seorang adalah gadis cantik jelita yang sukar dicari bandingannya. Yang ke dua adalah seorang laki-laki bermuka buruk menjijikkan dan buntung kedua kakinya. Tentu saja "pasangan" seperti ini tidak mudah terlupa orang.
Akhirnya, Joko Wandiro mengikuti jejak kedua orang itu menuju ke timur. Hatinya berdebar dan tidak enak. Pulau Sempu letaknya di pantai Laut Selatan sebelah timur dan kini jejak kedua orang itu terus saja ke timur. Apakah dua orang itu telah dapat menduga ke mana perginya Kartikosari dan Roro Luhito? Ah, tidak mungkin! Yang tahu akan hal ini hanyalah mereka bertiga. Kalau begitu, ke manakah tujuan Ayu Candra? Mengapa terus ke timur bahkan sama sekali tidak kembali ke Sarangan?
Makin cepat ia mengejar, jarak di antara mereka makin dekat akan tetapi jejak itu juga makin dekat dengan Pulau Sempu! Ia hampir dapat menyusul mereka ketika tiba di kaki Pegunungan Anjasmoro. Dari seorang petani ia mendapat keterangan bahwa baru beberapa jam yang lalu petani itu melihat seorang buntung yang mengiringkan seorang gadis jelita lewat di dekat sawahnya.
"Bagaimana keadaan gadis itu, paman?" tanya Joko Wandiro setelah minum dari air kendi yang ditawarkan si petani dengan ramah. Petani itu memandang dengan mata penuh selidik. Ia melihat wajah, kemudian melihat pakaian Joko Wandiro, dan bertanya,
"Apakah andika ini seorang perajurit? Kalau seorang perajurit dari Jenggala ataukah dari Panjalu?"
Joko Wandiro cepat menggeleng kepala menyangkal. "Bukan perajurit bukan bangsawan, aku seorang pengelana biasa saja, paman."
"Syukur kalau begitu. Biasanya kalau perajurit, apalagi dari Jenggala, tentu akan terjadi hal yang tidak sedap dipandang kalau bertemu dengan gadis jelita seperti yang lewat tadi. Hemm, engkau bertanya tentang gadis itu, apakah keperluannya, orang muda?"
"paman jangan menaruh curiga. Gadis itu adalah adik saya, dan orang buntung itu adalah paman saya. Saya memang mencari mereka, paman."
"Oooo, begitukah? Gadis itu tampak sehat-sehat saja, agaknya tidak lelah biarpun melakukan perjalanan jauh. Sungguh cantik jelita dan trengginas (tangkas), juga pemberani, buktinya berani melakukan perjalanan hanya dikawal seorang paman yang lumpuh."
Lega hati Joko Wandiro mendengar ini. Ia lalu berpamit dan cepat-cepat ia melakukan pengejaran ke arah lereng Gunung Anjasmoro. Karena Joko Wandiro melakukan pengejaran sambil mengerahkan Aji Bayu Sakti, maka menjelang senja, ia dapat menyusul. Alangkah girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang yang bercakap-cakap di dalam hutan sambil mengaso di bawah pohon itu adalah Ayu Candra dan Ki Jatoko si buntung!
Sambil bersembunyi Joko Wandiro mengintai. Hatinya berdebar-debar girang ketika melihat betapa keterangan paman tani tadi betul. Ayu Candra kelihatan sehat, hanya pada wajahnya terbayang sinar kedukaan yang membuat sinar mata yang biasanya bening berseri-seri itu kini suram, senyumnya yang biasa selalu menghias bibir menambah cerah sinar matahari kini lenyap. Namun dalam kedukaan, bekas kekasihnya itu masih cantik jelita, masih menarik dan masih membuat jantung Joko Wandiro berdegupan keras. Dia adik saya, ia menekan jantungnya, dia adik saya, adik sekandung, adik seibu! Sambil menekankan kenyataan ini di hatinya, Joko Wandiro memandang Ki Jatoko dan ia merasa heran melihat betapa Ki Jatoko kini tidak kelihatan sebagai orang buntung yang lemah. Bahkan hebatnya, kakek buntung itu yang duduk di atas tanah kini menghadapi beberapa ekor ular yang berkelojotan di depannya sambil tertawa-tawa!
"Paman Jatoko, di sepanjang jalan kau membunuhi ular-ular berbisa dan mengambil racunnya untuk meracuni jarum-jarum itu, apakah masih kurang cukup?" Ayu Candra bertanya sambil duduk menjauh, agaknya jijik melihat banyak ular menggehat-geliat dan berkelojotan itu.
"Heh-heh-heh-heh, Ayu Candra cah ayu, cah denok! Kaulihat saja, kalau jarum-jarum ini sudah jadi betul, kemudian kau kuberi pelajaran mempergunakan jarum ini, kau akan memiliki kepandaian seratus kali sambit seratus kali kena! Nah, dengan jarum-jarum inilah kau kiranya. baru akan dapat menghadapi Pujo dan kedua orang isterinya yang sakti. Heh-heh-heh!"
"Paman, bukankah kabarnya menurut penduduk pantai dekat Bayuwismo, Pujo sudah meninggal dunia?"
"Ah-hah, omongan orang desa sebodoh itu tak perlu kaupercaya, cah manis! Mereka tahu Apa? Pujo orangnya belum tua benar dan sakti. Agaknya ia sudah tahu bahwa kau hendak mencarinya dan membalas dendam, maka ia lalu lari menyembunyikan diri bersama kedua isterinya, dan berpura-pura mati. Akan tetapi jangan kau khawatir, sekali kita bertemu dengannya, kau pasti akan mampu membalas dendam. Aku tanggung! Kalau tidak, jangan panggil aku Ki Jatoko lagi, heh-heh!"
Tiba-tiba tubuh orang buntung itu berkelebat ke kiri, cepat sekali gerakannya, tahu-tahu tubuh yang buntung itu telah menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak, lalu muncul dan mencelat lagi ke tempat tadi, tangan kirinya telah menjepit seekor ular bandot yang amat berbisa!
Leher ular itu terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya, kemudian sekali jari-jari tangan kanan mengurut tubuh ular itu dari leher ke ekornya, ular itu sudah berkelojotan tak mampu lari lagi, lalu dilemparkan ke bawah, ke sekumpulan ular-ular tadi.
"Heh-heh, bandot hijau, amat berbisa. Bisanya banyak dan amat ampuh!" kata Ki Jatoko.
Ayu Candra agaknya sudah sering melihat cara kakek buntung itu menangkap ular, maka ia tidak merasa heran lagi. Gadis ini sudah cukup maklum bahwa orang buntung itu sesungguhnya memiliki kesaktian yang hebat sekali. Akan tetapi Joko Wandiro yang tidak menduga sama sekali, menjadi kaget setengah mati, Dapat bergerak secepat itu, si buntung ini memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh pendekar-pendekar kebanyakan yang masih lengkap anggauta badannya! Caranya bergerak melompat tadi amat cepat, juga cara menangkap ular benar-benar mengagumkan. Seorang lawan berat!
"Sudah yakin benarkah kau bahwa musuh kita adalah Pujo dan dua orang isterinya, paman?"
"Kau masih ragu-ragu kepadaku, Ayu? Ah, masih tidak percaya setelah aku membelamu, bersusah payah mengajakmu mencari musuh besarmu? Ayu, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membohongimu. Aku orang Selopenangkep, kau sudah kuceritakan tentang ini. Aku tahu ketika Pujo menculik ibumu Listyokumolo dan anaknya yang masih kecil. Aku tahu betapa ibumu lalu menjadi gila karena perbuatan biadab si Pujo! Kemudian untung tertolong oleh Ki Adibroto, menjadi suami isteri dan mempunyai anak engkau."
Sambil bicara, Ki Jatoko menangkap seekor ular, mengurut tubuh ular itu sehingga racunnya keluar dari mulut yang dijungkirkan. Racun kehijauan yang menetes-netes itu jatuh ke dalam sebuah batok kelapa di mana terdapat puluhan batang jarum yang sudah hijau menghitam warnanya. Setelah racunnya habis, ia membuang tubuh ular itu ke samping dan ternyata binatang itu telah mati. Ia menangkap ular ke dua dan memperlakukannya seperti tadi, kemudian ke tiga dan ke empat, demikian seterusnya.
"Kenapa kau mengajakku ke Kerajaan Jenggala, paman? Bukankah lebih baik kita berdua saja terus mencari si penjahat Pujo?"
Perih hati Joko Wandiro mendengar adiknya menyebut Pujo "penjahat" itu. Ah, adikku yang terkasih, engkau tidak tahu keadaan sebenarnya. Engkau terlalu mabok oleh racun hasutan si buntung yang mencurigakan sekali ini! Demikian dia mengeluh dan merasa marah sekali kepada Ki Jatoko. Akan tetapi mendengar pertanyaan yang diajukan Ayu Candra, ia terkejut dan mendengarkan terus.
"Ayu Candra, cah manis. Engkau percaya sajalah kepadaku. Sudah kukatakan berkali-kali kepadamu, aku seorang yang hidup sebatangkara, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa sisa hidupku ini kuperuntukkan dirimu seorang. Asal kelak engkau dapat mengasihi seorang buntung seperti aku, ahhh....rela aku berkurban Apa saja untukmu, manis. Ketahuilah, untuk mencari Pujo tidak mudah setelah kini kita tidak tahu ke mana ia menyembunyikan diri. Akan tetapi di Jenggala aku mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang sakti. Bahkan sang prabu di Jenggala tentu akan suka membantuku. Dengan bantuan orang-orang sakti dan pasukan, Apa susahnya mencari Pujo? Nah, kalau sudah bertemu, bukankah kita mendapat bantuan orang-orang pandai dan engkau akan dapat melampiaskan dendammu, manis?"
Pucat wajah Joko Wandiro mendengar ini. pucat saking marahnya. Tidak hanya karena kenyataan bahwa manusia buntung ini bersekutu dengan orang-orang sakti yang membantu Jenggala seperti Dibyo Mamangkoro dan yang lain-lain, juga karena sikap dan kata-kata si buntung ini jelas sekali mengandung niat yang tidak wajar. Agaknya si buntung itu diam-diam gandrung dan tergila-gila kepada Ayu Candra, memperlihatkan sikap seperti terhadap kekasihnya. Hanya karena Ayu Candra seorang gadis jujur dan polos, berwatak bersih dan masih bodoh, maka sikap mesra itu dianggapnya sikap ramah dan baik dari seorang paman terhadap keponakan!
Tiba-tiba tubuh si buntung berkelebat lagi menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak seperti tadi dan ketika melompat keluar lagi tangannya sudah menjepit seekor ular yang kulitnya hijau keputihan. Akan tetapi pada saat itu, Joko Wandiro juga sudah melompat keluar menghampiri Ayu Candra.
"Ayu Candra....!"
"Joko.... eh, kakang....engkau....??"
Ayu Candra melompat bangun. Sejenak wajahnya berseri, matanya yang sayu dan wajahnya yang muram itu berseri, bibirnya terbuka mengarah senyum, kedua tangannya diulur ke depan. Joko Wandiro terharu dan melangkah maju hendak memeluk, akan tetapi tiba-tiba dari belakangnya terdengar Ki Jatoko menghardik,
"Mundur engkau! Engkau bernama Joko Wandiro, bukan? Engkau murid terkasih si keparat Pujo, bukan? Engkau ini anak durhaka, anak tidak berbakti! Ibu kandungmu dahulu diculik Pujo, diperkosa, dirusak kehormatannya sampai menjadi gila! Engkau sendiri diculik, akan tetapi karena diperlakukan sebagai murid, engkau lalu lupa akan ibu kandungmu sendiri! Engkau tahu ibumu dibunuh Pujo, akan tetapi engkau melarang Ayu Candra hendak menuntut balas. Cih, laki-laki macam engkau ini mana pantas menjadi kakak Ayu Candra?"
Hebat sekali ucapan ini. Joko Wandiro merasa seakan-akan mukanya ditampar. Ia mengurungkan niatnva memeluk Ayu Candra, lalu perlahan-lahan membalikkan tubuhnya menghadapi si buntung yang duduk di atas tanah memegangi ularnya yang baru saja ditangkapnya tadi. Muka Joko Wandiro sebentar merah sebentar pucat karena perasaannya yang menggelora. Ucapan itu selain kasar dan keras, juga beracun sekali, lebih beracun daripada bisa yang terkumpul di dalam batok. Sekiranya Joko Wandiro belum bertemu dengan Kartikosari dan Roro Luhito, mungkin ia akan terpengaruh oleh kata-kata ini dan akan menjadi ragu-ragu dan malu kepada diri sendiri yang dikatakan tidak berbakti kepada ibu kandungnya! Akan tetapi, ia telah tahu akan duduknya perkara, maka ia menjadi marah bukan main kepada orang buntung ini.
"Paman, engkau seorang tua lagi buntung kedua kakimu. Jagalah mulutmu agar jangan sampai aku seorang muda berlaku kurang ajar kepadamu!" bentak Joko Wandiro menahan kemarahannya.
"Heh-heh-heh, coba sangkal kata-kataku kalau mampu. Ayu Candra, jangan engkau terlalu percaya kepada kakak tirimu ini. Dia sudah diracuni si keparat Pujo, seperti juga bibinya. Ya, aku belum menceritakan kepadamu, Ayu, bahwa adik ayah bocah ini, yang bernama Roro Luhito, ketika di Selopenangkep dahulu juga menjadi korban kebiadaban Pujo, dicemarkan kehormatannya. Kemudian Roro Luhito yang hendak membalas dendam, dikalahkan oleh Pujo, malah dipaksa menjadi bini mudanya sekali! Nah, karena kini Pujo selain menjadi guru dan menjadi pemeliharanya sejak kecil juga menjadi suami bibinya, tentu saja ia tidak akan membiarkan engkau membalas dendam....."
"Tutup mulutmu yang busuk....!"
Joko Wandiro kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia tidak sudi bertengkar mulut dengan orang buntung yang ternyata amat pandai bicara dan pandai membakar hati ini. Paling baik memberinya hajaran lalu mengajak Ayu Candra cepat-cepat pergi dari situ, pikirnya. Dengan sebuah loncatan kilat Joko Wandiro menerkam maju. Akan tetapi pemuda ini terkejut dan cepat mengelak ke belakang ketika tiba-tiba ada suara mendesis dan kepala ular hijau telah menyambar ke arah lehernya.
Kiranya ular itu kini telah dipegang perutnya oleh Ki Jatoko yang mempergunakan ular itu sebagai senjata hidup, diobat-abitkan sehingga kepala ular itu merupakan ujung senjata yang mendesis-desis marah dan siap menggigit! Ular hijau ini baru saja ditangkap oleh Ki Jatoko, masih liar dan belum diambil racunnya, maka amat berbahaya.
Kini Ki Jatoko sudah meloncat berdiri dan menerjang dengan senjata ular itu dengan serangan-serangan dahsyat. Diam-diam Joko Wandiro terkejut. Benar-benar hebat gerakan orang buntung ini sehingga ia menjadi heran sekali. Apalagi semua serangan si buntung itu didasari ilmu meringankan tubuh yang mirip dengan Aji Bayu Sakti!
Agaknya memang Aji Bayu Sakti, hanya menjadi agak berbeda karena dilakukan dengan kedua kaki buntung! Dan ular yang hidup itu digerakkan seperti orang menggerakkan sebatang tongkat atau sebatang tombak saja, bukan main cepatnya dan kepala ular itu saking cepatnya digerakkan, seakan-akan berubah menjadi belasan buah banyaknya.
Di lain fihak Ki Jatoko juga terkejut dan kagum. Orang muda ini ternyata memiliki gerakan yang amat gesit, tidak kalah oleh gerak cepatnya sendiri. Hampir ia tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri. Ia kini menambah serangan dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang disertai Aji Siyung Warak, yang keampuhannya tidak kalah oleh gigitan ular berbisa di tangan kanannya. Namun Joko Wandiro yang maklum bahwa tangan kiri yang mengeluarkan angin dingin itu tentu ampuh, dapat menghindar dengan amat mudah.
Ketika untuk kesekian kalinya tangan kiri Ki Jatoko menampar, Joko Wandiro mengangkat tangan kanan menangkis dan mengerahkan hawa sakti dari dalam pusar disalurkan ke tangan, mencipta gerakan menempel sehingga ketika lengan kiri Ki Jatoko bertemu lengan kanannya, si buntung itu merasa lengannya tergetar dan tak dapat terlepas dari lengan lawan! Ia terkejut, memukulkan ular ke arah leher Joko Wandiro.
Pemuda ini mengeluarkan seruan keras, jari tangan kirinya mempergunakan Aji Pethit Nogo menyampok ke arah kepala ular dan "krakkk!" kepala ular itu hancur berantakan!. Ki Jatoko terkejut dan melompat ke belakang. Tangan kirinya terasa linu dan kejang-kejang. Ia makin terheran-heran. Pemuda ini sama sekali belum membalas dengan serangan, baru mengelak, menangkis dan membunuh ular, namun sudah jelas bahwa dia terdesak dan terjepit. Dalam beberapa gebrakan saja telah terbukti bahwa dia kalah!.
Ki Jatoko dahulu adalah Jokowanengpati yang gemblengan. Dahulu, biarpun kedua kakinya belum buntung, kepandaiannya tidak sematang sekarang. Dahulupun sudah jarang sekali ada orang pandai yang dapat mengalahkannya, apalagi hanya seorang pemuda hijau macam ini! Betapa mungkin pemuda itu dapat mengalahkannya hanya dengan tangan kosong dan tanpa balas menyerang? Ia menjadi penasaran dan marah sekali. Sepasang matanya menjadi merah, mulutnya menyeringai lebar dan ia sudah mencabut sebatang keris yang selama ini selalu tersembunyi di balik bajunya! Melihat kemarahan orang, Joko Wandiro menjadi sabar dan tenang kembali.
"Paman Jatoko, mengingat bahwa selama ini, tak perduli apakah maksud keji yang tersembunyi di dalam pikiranmu, ternyata engkau tidak mengganggu adikku Ayu Candra dan dia dalam keadaan sehat selamat, biarlah kita sudahi pertandingan ini dan kita mengambil jalan masing-masing. Aku akan mengajak adikku pergi dan di antara kita tidak perlu ada urusan dan sangkut-paut lagi."
Andaikata Joko Wandiro mengajukan alasan lain, tentu saja Ki Jatoko juga akan menerima karena dia bukanlah seorang bodoh. Tidak, jauh daripada itu. Ki Jatoko adalah seorang yang cerdik luar biasa, penuh akal bulus dan tipu muslihat. Ia bukan seorang yang nekat yang merasa malu untuk mundur jika keadaan tidak menguntungkan. Ia tahu bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, bahwa belum tentu ia dapat menandinginya. Akan tetapi, alasan yang diajukan Joko Wandiro untuk mengakhiri pertandingan adalah untuk membawa pergi Ayu Candra! Hal ini sama artinya dengan membawa pergi semangat atau nyawanya! Sampai mati ia tidak akan mau berpisah lagi dari Ayu Candra, perawan jelita yang dicintanya sepenuh jiwa raga! Tidak, lebih baik mati daripada harus berpisah dari Ayu Candra,
"Kau bocah kemarin sore tak perlu membujuk seorang seperti aku! Joko Wandiro, aku kasihan melihat Ayu Candra. Ayah bundanya terbunuh orang dan aku tahu siapa pembunuhnya. Kalau engkau seorang laki-laki yang tidak mau menjadi orang durhaka, lebih baik kau mengikuti aku pula dan mari kita bertiga mencari musuh kita. Kalau tidak, kau pergilah, tapi jangan kau ajak pergi Ayu Candra. Aku telah bersumpah akan mengantarkannya sampai bertemu dengan musuh besarnya dan biarpun engkau ini putera kandung Listyokumolo, namun belum tentu kau suka memusuhi Pujo yang menjadi guru dan pamanmu."
Joko Wandiro tidak memperdulikannya lagi, membalikkan tubuhnya menghadapi Ayu Candra. Gadis ini sudah berdiri di balik batang pohon dan wajahnya pucat. Agaknya ia merasa ngeri menyaksikan pertempuran tadi, sungguhpun ia sendiri bukan seorang wanita lemah.
"Ayu, adikku, tidak perlu kita melayani orang buntung ini. Marilah ikut aku, Ayu, dan nanti kau kuberi penjelasan, akan kuceritakan semua kepadamu...."
"Awas....Joko....!!" Ayu Candra menjerit.
Biarpun andaikata tidak diperingatkan Ayu Candra, Joko Wandiro juga tidak akan mudah diserang dari belakang secara menggelap begitu saja. Selain panca indranya yang sudah tajam melebihi manusia biasa, juga ada semacam indra ke enam yang membuat ia seakan-akan mempunyai mata pada belakang kepala nya!
"Wuuuttt.......!!"
Sinar hitam keris di tangan Ki Jatoko menusuk angin ketika tubuh Joko Wandiro yang diserangnya tiba-tiba berkelebat dan meloncat melewati kepalanya! Ki Jatoko membalikkan tubuh dan kembali menubruk sambil menusukkan kerisnya disusul hantaman tangan kiri. Cepat dan bertubi datangnya serangan ini, dan pada saat itu tubuh Joko Wandiro baru saja melayang turun. Namun Joko Wandiro dapat sekaligus menangkis tusukan dan pukulan. Kembali empat lengan bertemu dan Ki Jatoko terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah. Diam-diam Joko Wandiro merasa kasihan dan malu. Lawannya seorang buntung sehingga melangkahpun terhuyung-huyung!.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut karena tubuh itu sudah melayang dan menyerangnya seperti seekor burung garuda menyambar. Hemm, ia mencela kebodohannya sendiri. Biarpun buntung, orang ini sama sekali tidak perlu dikasihani karena ketangkasan dan kedigdayaannya melebihi jagoan-jagoan yang sudah pilih tanding. Ki Jatoko ini seorang yang sakti mandraguna, sama sekali tidak boleh dipandang rendah.
Seperti juga tadi, Joko Wandiro melayani lawannya dengan kedua tangan kosong saja, mengandalkan kegesitan tubuhnya dan kekuatan hawa sakti tubuhnya untuk mengelak atau menangkis. Seperti tadi pula, ia belum mau membalas dan diam-diam memperhatikan gerakan-gerakan lawan. Diam-diam harus ia akui bahwa gerakan Ki Jatoko ini merupakan ilmu-ilmu yang tinggi dan bersih, bahkan hampir sama sumbernya dengan ilmu-ilmu milik Resi Bhargowo.
Biarpun dahsyat dan dilakukan dengan beringas saking penasaran dan marah, namun ilmu tata kelahi orang buntung ini merupakan ilmu yang indah dan amat kuat. Kecepatan gerakannya tak dapat disangkal lagi tentulah Bayu Tantra atau Bayu Sakti, atau setidaknya tentu bersumber dari ilmu gerak cepat keduanya itu. Makin ragu-ragulah ia untuk merobohkan Orang ini. Apakah orang buntung ini pernah belajar ilmu kepada Resi Bhargowo? Ataukah pernah menerima gemblengan Empu Barodo? Mereka berdua itu adalah pendeta-pendeta sakti yang bijaksana dan berbudi, tentu menaruh kasihan kepada seorang buntung dan tidaklah aneh kalau memberi sebuah dua buah ilmu.
"Tahan....!" Tiba-tiba Joko Wandiro berseru seraya melompat mundur dari gelanggang pertempuran.
"Paman Jatoko, aku seperti mengenal gerakan-gerakanmu.....! Bukankah engkau pernah belajar ilmu kepada eyang Empu Bharodo atau eyang Resi Bhargowo....?"
Ki Jatoko terkejut. Semenjak ia menjadi buntung dan rusak mukanya dan berganti nama Ki Jatoko, ia sudah mengubur nama Jokowanengpati dan agar jangan sampai ada orang mengenalnya, ia pun memperdalam ilmunya dan sedapat mungkin merubah gerakan ilmu silatnya agar berubah daripada aslinya dan tidak akan dikenal orang.
Namun, betapa pandainya, tentu saja tidak mungkin ia melenyapkan sama sekali gerakan dasar yang menjadi inti aji kesaktian yang telah ia pelajari. Kini setelah bertanding, pemuda ini dapat mengenal ilmu-ilmunya. Hal ini menandakan bahwa pemuda ini sudah mahir betul akan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi karena maklum bahwa sekali orang tahu akan rahasianya maka keselamatan hidupnya akan selalu terancam, ia menghardik,
"Bocah dusun, engkau melantur tentang Apa? Kalau takut, pergilah, kalau berani, terima ini!" Ia melompat maju, menerkam dengan ganas sambil mengayun kerisnya.
"Manusia tak tahu diri!" Joko Wandiro berkata perlahan, tidak mengelak dari tempatnya, melainkan menyambut serangan itu keras sama keras Kedua tangannya bergerak merampas keris sambil mendorong.
"Desss....weerrrr....!"
Ki Jatoko berteriak kaget, kerisnya terlempar dan tubuhnya juga melayang ke belakang lalu terbanting ke atas tanah. Sejenak orang buntung ini bengong terlongong. Ia mengenal gerakan Pethit Nogo yang membuat kerisnya terlempar tadi karena tenaga yang terkandung di jari-jari tangan itu hebatnya luar biasa sekali, akan tetapi ia tidak tahu dorongan macam Apa tadi yang membuat tubuhnya terlempar seperti daun kering tertiup angin!
Joko Wandiro yang tidak mempunyai niat mencelakai. Ki Jatoko, tidak menyerang lebih lanjut. Ia membalikkan tubuhnya hendak menghampiri Ayu Candra. Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ayu Candra tidak berada di tempat yang tadi pula, tidak tampak bayangannya lagi.
"Ayu! Ke mana engkau pergi....?"
Joko Wandiro berteriak memanggil lalu mencari di sekeliling tempat itu. Namun sia-sia. Ayu Candra seperti hilang ditelan bumi, tak meninggalkan bekas. Joko Wandiro menjadi gelisah. Senja telah mulai menggelapkan cuaca. Ia melompat naik ke atas pohon yang tinggi, seperti seekor kera di atas pohon ia memandang ke sekeliling. Akhirnya ia berseru girang ketika melihat sesosok tubuh seorang wanita di sebelah utara, tubuh seorang wanita muda. Siapa lagi kalau bukan adiknya? Ia melompat turun dan bagaikan seekor kijang cepatnya ia sudah lari mengejar ke arah utara.
Sebentar saja ia sudah dapat menyusul. Bocah nakal, pikirnya. Dari Sarangan pergi tanpa pamit. Susah payah ia mencari kini sudah bertemu, kembali hendak pergi tanpa pamit. Mungkinkah karena kehancuran dan kepatahan hati oleh perubahan hubungan antara mereka dari kekasih menjadi kakak beradik? Joko Wandiro hendak menggodanya, hendak menimbulkan suasana gembira di hati adiknya dan mengusir kekesalan hatinya. Maka ia menghampiri dengan pengerahan tenaga dalam, sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali tak menerbitkan suara sama sekali Setelah dekat, ia melompat dan menubruk dari belakang, langsung ia memeluk tubuh adiknya dari belakang. Sambil menciumi rambut adiknya, ia berbisik,
"Ayu....engkau nakal sekali. Hendak lari ke mana lagi engkau sekarang? Akhirnya aku dapat juga menangkapmu, anak nakal!"
Joko Wandiro merasa heran sekali ketika tubuh yang dipeluknya itu menggigil kemudian menjadi lemas dan kepala yang rambutnya lemas halus dan harum itu rebah di atas dadanya, jari-jari tangan yang halus pula mencengkeram kedua lengannya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba gadis itu merenggutkan tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa sekali sehingga dapat terlepas, lalu membalikkan tubuh menghadapinya.
Hampir saja Joko Wandiro berteriak kaget ketika ia melihat bahwa dara itu sama sekali bukan Ayu Candra, melainkan Endang Patibroto! Endang Patibroto yang berdiri di hadapannya dengan muka menunduk, kemerahan, dan kemalu-maluan! Rasa kaget ini seperti terganti rasa sesal dan kecewa karena kembali ia kehilangan Ayu Candra. Akan tetapi kembali segera berubah menjadi rasa girang karena memang ia sedang mencari-cari gadis ini pula untuk memenuhi janjinya kepada Kartikosari.
"Endang Patibroto! Kebetulan sekali kita berjumpa di sini. Memang aku sedang mencari-carimu. Kau maafkan aku tadi....kau tadi kusangka orang lain...."
Seketika berubahlah wajah wanita cantik itu, Kini Endang Patibroto mengangkat mukanya memandang, tidak malu-malu lagi, tidak berseri lagi, melainkan dengan bayangan perasaan dingin, bibirnya agak tersenyum, wajahnya membayangkan kalau dia sedang kesal hati atau marah.
"Hemmmm......! Ada Apa kau mencariku? Hendak melanjutkan pertandingan?"
"Endang, aku telah bertemu dengan ibumu di Bayuwismo dan...."
"Hemm, engkau sudah mendengar tentang kematian ibumu di tanganku? Nah, kalau engkau mencariku untuk membalas dendam kematian ibumu, hayolah. Aku sudah siap!"
Joko Wandiro menarik napas panjang. Hatinya penuh penyesalan. Gadis yang berdiri gagah di depannya ini adalah seorang dara yang amat cantik jelita, hampir sama dengan bibi Kartikosari, bertubuh ramping padat dan segar bagaikan sekuntum bunga sedang mekar, seorang dara yang sukar dicari bandingnya. Akan tetapi pandang mata gadis ini amat dingin, juga sikapnya, suaranya, mengandung sesuatu yang mendirikan bulu roma.
"Tidak, Endang. Aku tidak bermaksud membalas dendam. Ayahmu karena salah sangka telah menyakiti hati ibuku. Ibu kandungku yang merasa dirusak kebahagiaan hidupnya telah menuntut balas dan sebagai seorang satria utama, ayahmu rela memberikan nyawa menebus dosa. Ayahmu mati di tangan ibuku. Kemudian engkau membalas kematian ayahmu dan membunuh ibuku. Kalau aku sekarang mengambil pembalasan kepadamu, dendam-mendendam ini tiada ada habisnya. Tidak, Endang. Aku murid ayahmu, dan sebagai murid harus mencontoh langkah-langkah nidup gurunya. Aku mencontoh ayahmu, tidak akan menumpuk permusuhan yang tiada habisnya. Yang tewas sudah sempurna, sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa, bukan urusan manusia."
"Kalau begitu, Apa perlunya engkau mencariku? Kalau hanya untuk berkhotbah saja, aku tiada waktu untuk mendengarkan!"
Mau tak mau Joko Wandiro tersenyum. Gadis ini tiada bedanya dengan dahulu ketika masih kecil. Nakal, galak dan jenaka. Sifat ini masih mendasari wataknya, hanya sayang kini tertutup oleh bayangan-bayangan keganasan dan keanehan yang mengerikan, seakan-akan ada hawa iblis yang hitam menyelubungi dirinya.
"Endang telah kukatakan tadi bahwa aku telah bertemu dengan ibumu. Aku telah berjanji kepada ibumu untuk membujukmu agar kau suka insyaf dan kembali kepada ibumu. Endang, ingatlah bahwa ayahmu, ibumu, dan juga eyangmu adalah patriot-patriot perkasa yang selalu membela kebenaran dan membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu. Endang, lupa lagikah engkau kepada eyang Resi Bhargowo? Beliau dahulu di Pulau Sempu begitu sayang kepadamu. Dan ibumu! Dia telah mengorbankan segalanya untukmu, kemudian selama belasan tahun menderita siksa batin karena kau lenyap. Engkau insyaflah, Endang Patibroto, bahwa kedudukanmu sekarang sebagai pengawal Kerajaan Jenggala merupakan penyelewengan besar daripada kebenaran yang selama ini dipegang keluargamu. Kau tinggalkan Jenggala dan temani ibumu yang kini sudah pindah ke Pulau Sempu."
"Ibu ke Pulau Sempu?"
"Ya, dan engkau dinanti-nanti ke sana. Marilah kita pergi bersama menghadap ibumu di sana."
"Pergi bersama menghadap ibu? Apakah....apakah ada hubungannya dengan pesan ayahku....?"
Joko Wandiro memandang. Biarpun cuaca sudah remang-remang, masih jelas tampak olehnya betapa gadis itu menjadi merah mukanya dan sejenak menurunkan pandang mata.
"Pesan ayahmu?"
"Hemm....tentang.....perjodohan.....!"
"Ahh......!" Kini wajah Joko Wandiro jadi merah sekali. "Tidak, Eh...ltu....eh, tidak penting benar....eh, perlu dipikirkan masak-masak lebih dulu. Yang terpenting, engkau harus meninggalkan Jenggala dan kembali menemani ibumu."
"Harus? Siapa yang mengharuskan?"
"Aku."
"Huh! Kalau aku tidak mau, kau mau Apa?" Endang Patibroto membusungkan dadanya yang sudah busung, matanya bersinar-sinar dan sikapnya begitu menantang.
"Biarpun harus menyeretmu, aku akan membawamu kembali kepada ibumu, bocah berkepala batu!" Joko Wandiro menjadi gemas.
"Babo-babo....sumbarmu seperti dapat meloncati puncak Mahameru saja, Joko Wandiro! Kau kira aku takut kepada orang seperti engkau ini? Huh, boleh kau coba!"
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Endang Patibroto sudah menerjang maju dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang jarinya terbuka dan dimiringkan. Joko Wandiro yang sudah marah mengangkat tangan menangkis.
"Desss.....!!"
Hebat pertemuan tenaga yang keluar dari dua tangan itu. Akibatnya., keduanya terhuyung-huyung ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Keduanya terkejut sekali dan cepat meloncat untuk mematahkan tenaga dorongan yang hebat. Lalu keduanya saling pandang, terheran-heran. Joko Wandiro yang sudah menduga akan kesaktian Endang Patibroto, terheran karena tenaga sehebat itu benar-benar tak pernah disangkanya.
Sebaliknya, Endang Patibroto yang masih memandang rendah lawannya, kini merasa kecelik dan diam-diam ia kagum juga. Baru pertama kali ini semenjak keluar dari perguruan, ia bertemu seorang tanding yang dapat menahan pukulan Aji Wisangnolo yang dilancarkan dari jarak dekat. Bukan saja Joko Wandiro telah dapat menahannya, bahkan tangkisannya membuat ia terhuyung sampai jauh! Hal ini menimbulkan rasa penasaran dan kemarahan di hatinya.
Tiba-tiba Endang Patibroto mengeluarkan pekik melengking dahsyat dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, melayang dan menyerang dengan pukulan-pukulan maut bertubi-tubi. Joko Wandiro yang maklum akan kesaktian gadis ini, tidak berani berlaku lengah atau lambat. Ia segera mengerahkan Aji Bayu Sakti, mengelak sambil balas menyerang. Namun serangannya dapat pula dielakkan secara mudah oleh Endang. Serang menyerang terjadi, keduanya mengandalkan tenaga dan hawa sakti, namun ternyata tenaga mereka berimbang.
Tidak syak lagi sekarang hati Joko Wandiro. Sudah tentu perkara kematian ibu kandungnya. "Bibi, ceritakanlah. Saya dapat menahan segala berita yang bagaimanapun. Ceritakanlah, bibi!"
"Mari, anakku. Mari masuk ke pondok dan kau....kau maafkanlah sikap bibimu Kartikosari. Engkau akan mengerti mengapa dia bersikap seperti itu ketika tiba-tiba melihat kedatanganmu, Joko Wandiro."
"Tidak mengapa, bibi. Saya percaya, bibi Kartikosari adalah seorang yang bijaksana dan tentu sikap beliau tadi ada sebabnya yang hebat. Marilah, bibi."
Mereka memasuki pondok kecii sederhana itu. Berdegup jantung Joko Wandiro karena ia mengharapkan untuk bertemu dengan Pujo di dalam pondok. Ia menyapu semua penjuru dengan pandang matanya, namun tidak melihat Pujo di situ. Yang ada hanyalah perabot rumah sederhana dan Kartikosari duduk di atas sebuah balai-balai bambu dengan muka berduka dan kedua pipi basah air mata. Melihat keadaan Kartikosari ini, Roro Luhito yang tadi rnenggandeng tangan Joko Wandiro segera rnelepaskan tangan itu dan lari mengharnpiri Kartikosari dan merangkulnya.
"Apakah engkau datang untuk membalas dendam kematian ibumu? Kalau begitu, hunus kerismu dan tusuklah dadaku, agar himpas dan lunas hutang-pihutang nyawa ini!" kata Kartikosari kepada Joko Wandiro, suaranya gemetar akan tetapi sikapnya tenang.
Joko Wandiro terkejut sekali. Tidak disangkanya akan disambut dengan ucapan seperti itu oleh Kartikosari. Apakah ibu kandungnya tewas di tangan bibinya ini? Ah, tidak mungkin! Ia cukup mengenal ayah angkatnya, dan ia mendengar dari ayah angkatnya bahwa bibi Kartikosari ini dahulu adalah adik seperguruan ayah angkatnya.
Ayah angkatnya adalah seorang satria sejati, memiliki iimu-ilmu kesaktian yang bersih, warisan Sang Resi Bhargowo. Sedangkan yang membunuh ibu kandungnya tentulah yang melukai Ki Adibroto pula, dan melihat luka itu, jelas membayangkan bahwa pemukulnya adalah seorang yang amat ganas dan memiliki ilmu yang jahat dan keji.
"Bibi Kartikosari, mengapa bibi berkata seperti itu? Sesungguhnyalah bahwa secara kebetulan sekali saya bertemu dengan paman Adibroto dan mendengar bahwa ibu kandung saya yang tak pernah saya jumpai itu telah meninggal dunia, tewas di tangan musuh yang juga melukai paman Adibroto sampai tewas Akan tetapi saya tidak tahu siapa pembunuhnya dan kedatangan saya ke Bayuwismo ini sekali-kali bukan untuk urusan itu, melainkan karena sudah rindu kepada bibi berdua, terutama sekali kepada....ayahanda Pujo. Di manakah beliau? Dan Apa yang sudah terjadi di sini, bibi?"
Tiba-tiba Kartikosari bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali. "Kau tanyakan kakangmas Pujo...? Ayahmu itu kakangmas Pujo...dia...dia telah tewas...dan anak....anakku keparat dia....oohhhh..."
Kartikosari tak dapat melanjutkan kata-katanya dan ia menjatuhkan diri di atas balai bambu sambil menangis tersedu-sedu. Roro Luhito memeluknya dan juga menangis sesenggukan. Joko Wandiro memandang dengan muka pucat. Ayahnya, Pujo, telah tewas? Oleh siapa? Mengapa? Oleh ibunya dan Ki Adibroto? Kemudian mereka berdua itupun tewas dalam pertandingan ini? Melihat betapa dua orang wanita itu menangis penuh kesedihan, dia tidak berani mengganggu dan segera ia menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menunjang dagu dan mengatur napas menenteramkan hatinya.
Melihat betapa Kartikosari tenggelam ke dalam kedukaan yang hebat, Roro Luhito lalu bangun dan duduk menyusuti air matanya. Dia maklum betapa hancur hati Kartikosari, tidak hanya karena kehilangan suami tercinta, melainkan juga kehilangan puteri yang amat diharap-harapkan. Memang betul Endang Patibroto masih hidup, akan tetapi bahkan lebih hebat daripada mati bagi seorang ibu kandung yang melihat puterinya menyeleweng jauh sekali daripada kebenaran! Di samping ini, Roro Luhito kasihan melihat Joko Wandiro yang tentu saja menjadi bimbang dan bingung serta amat mengharapkan penjelasan.
"Anakku Joko Wandiro, kau dengarlah baik-baik Apa yang akan kuceritakan kepadamu dan bersiaplah engkau menerima pukulan batin ini. Aku percaya, sebagai seorang satria murid Ki Patih Narotama yang sakti mandraguna dan arif bijaksana, dan sebagai seorang yang telah dewasa, engkau tentu akan dapat menerima semua peristiwa yang terjadi ini sebagai sesuatu yang sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa dan bahwa semuanya itu memang sudah semestinya terjadi maka tak seorangpun manusia mampu merubahnya," kata Roro Luhito yang mulai dapat menekan perasaannya sehingga suaranya makin jelas dan tenang.
"Bicaralah, bibi, Biarpun belum tahu jelas, kiranya saya sudah dapat banyak menduganya."
"Aku akan mulai dari permulaan, anakku. Terjadinya kira-kira dua puluh tahun yang lalu, karena sesungguhnya mulai saat itulah terjadinya awal segala peristiwa ini yang kuharapkan sudah berakhir sampai sekian saja. Ketika itu, ayahmu atau gurumu Pujo bersama bibimu Kartikosari masih pengantin baru. Mereka berdua pergi bertapa ke dalam Guha Siluman. Tidak lama kemudian datanglah kakakku, mendiang ayah kandungmu sendiri Raden Wisangjiwo. Aku berterus terang saja, anakku, biar dia kakak kandungku, biar dia itu ayah kandungmu, dia pada masa itu adalah seorang bangsawan muda yang menjadi hamba nafsunya. Dia bersikap kurang baik terhadap bibimu Kartikosari sehingga terjadi pertempuran. Kakangmas Pujo pingsan dan ketika ia sadar, ia melihat betapa bibimu Kartikosari dalam keadaan terluka dan tak berdaya telah diperkosa orang, Keadaan dalam guha itu gelap-gulita dan karena tadinya yang menyerang mereka adalah Raden Wisangjiwo, tidak aneh kalau kakangmas Pujo dan bibimu Kartikosari merasa yakin bahwa Raden Wisangjiwolah orang yang melakukan perbuatan keji itu."
Joko Wandiro menggigit bibirnya. Dahulu pernah ia mendengar tentang permusuhan itu dan ia amat menyesal sekali. Akan tetapi ia tidak mau mengganggu cerita bibinya karena ia maklum bahwa kalau ia membuka mulut tentu suaranya akan gemetar.
"Memang menyesalkan sekali, anakku, akan tetapi itu kenyataan. Nah, semenjak saat itulah kakangmas Pujo berpisah dari bibimu Kartikosari. Kakangmas Pujo yang merasa dihancurkan kebahagiaannya oleh ayah kandungmu, menyerbu ke Kadipaten Selopenangkep. Di sana dia tidak menemukan Raden Wisangjiwo, maka untuk membalas sakit hatinya, ia.... menculik ibu kandungmu, mbokayu Listyokumolo dan engkau sendiri yang pada waktu itu baru berusia satu tahun."
Joko Wandiro menundukkan mukanya untuk menyembunyikan mukanya yang menjadi merah dan terasa panas. Ia juga amat menyesalkan perbuatan ayah angkatnya yang terburu nafsu dan sembrono ini, Akan tetapi tepat seperti dikatakan bibinya tadi, segala sudah terjadi dan ia juga mempunyai keyakinan bahwa segala hal yang sudah, sedang, atau akan terjadi kesemuanya sudah diatur oleh Hyang Maha Wisesa, sedangkan manusia hanyalah menjadi pelaku-pelakunya belaka.
"Kemudian engkau tahu betapa engkau diaku anak oleh kakangmas Pujo dan engkaupun sudah mendengar betapa setelah kakangmas Pujo dan mbokayu Kartikosari tahu bahwa musuh besar mereka sesungguhnya bukan Raden Wisangjiwo melainkan Jokowanengpati si manusia biadab, dari musuh mereka menjadi sahabat. Dan engkaupun tahu betapa ayah kandungmu, biarpun dahulunya pernah melakukan penyelewengan, namun di saat terakhir telah menjadi seorang pahlawan dan tewas dalam medan yuda sebagai seorang pahlawan pula. Akan tetapi ibu kandungmu...." Sampai di sini Roro Luhito berhenti dan menarik napas panjang dan dua titik air mata meloncat ke atas kedua pipinya yang pucat.
"Teruskanlah, bibi. Saya siap mendengar hal yang seburuk-buruknya," kata Joko Wandiro tenang.
"Ibumu, mbokayu Listyokumolo setelah kehilangan kau yang dilarikan oleh kakangmas Pujo, dia....dia menjadi berubah ingatan, kulup. Kasihan sekali. Ayahmu yang pada waktu itu belum sadar daripada penyelewengannya, melihat ibumu seperti orang gila, lalu mengantarnya kembali ke dusun Selogiri di lereng Lawu. Akan tetapi, agaknya memang ibu kandungmu harus banyak menderita di waktu hidupnya. Belum lama tinggal di rumah kakekmu yang menjadi lurah di dusun itu, desa Selogiri menjadi korban serbuan perampok-perampok. Eyangmu dan seluruh keluarganya tewas, ibu kandungmu menjadi tawanan perampok! Dan semenjak itulah kami tidak pernah mendengar apa-apa lagi dari ibumu. Ayahmu setelah insyaf akan kesalahannya, telah bersusah payah, dibantu oleh kami semua dan pasukan-pasukan, berusaha mencari ibumu, akan tetapi sia-sia."
Hemm, setelah itu tentu telah ditolong oleh paman Adibroto, pikir Joko Wandiro, Kemudian setelah ditolong lalu menjadi isteri paman Adibroto dan melahirkan seorang anak, Ayu Candra! Berpikir sampai di sini, jantung Joko Wandiro serasa ditusuk-tusuk, akan tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatahpun kata.
"Siapa dapat menduga, beberapa hari yang lalu..."
"Ibu datang ke sini bersama paman Adibroto?" Tidak tertahankan lagi Joko Wandiro menyambung karena bibinya agak meragu.
"Benar, anakku. Ibumu tidak melupakan dendamnya kepada kakangmas Pujo yang sama sekali tidak menyangka-nyangka dan hidup aman tenteram bersama kami berdua di sini. Ibumu dapat bertemu berdua saja dengan kakangmas Pujo dan kakangmas Pujo....yang selalu merasa berduka dan malu atas semua perbuatannya terhadap ibumu dahulu, mengakui dosanya dan rela menebus dosa, rela dijatuhi hukuman oleh ibumu. Kakangmas Pujo tidak melawan ketika ditusuk keris, sengaja menerima kematian di tangan ibumu agar dosanya tercuci oleh darahnya sendiri...."
Roro Luhito terisak dan Kartikosari yang tadinya sudah agak reda tangisnya, kini tersedu kembali. Joko Wandiro mengepal tinjunya. Ingin ia menjerit-jerit. Ingin ia menangis, menangisi keduanya, menangisi Pujo dan Listyokumolo. Bangga ia mendengar akan sikap Pujo yang ternyata seorang satria utama, seorang jantan sejati. Sedih ia mengingat akan nasib ibu kandungnya, dan dia tidak dapat menyalahkan ibu kandungnya yang tentu saja merasa dirusak kebahagiaan hidupnya oleh Pujo. Ingin sekali ia mendesak bibinya agar bercerita terus, akan tetapi kerongkongannya serasa tercekik.
"Kakangmas Pujo....dia melarang kami menuntut balas....... dia menyatakan rela dan senang mati di tangan ibumu untuk menebus dosa...."
"Aduh ayahku....! Ayah dan guruku....!"
Joko Wandiro bangga sekali dan hampir ia tidak kuat menahan air matanya yang sudah membuat pandang matanya berkaca-kaca.
"Kemudian, secara tak terduga-duga muncullah Endang Patibroto!"
Joko Wandiro terkejut dan mendongakkan muka, memandang bibinya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.
"Sungguh berbahagia sekali kakangmas Pujo ketika melihat puterinya. Baru sekali itu ia memandang wajah anak kandungnya, baru sekali itu, di ambang kematiannya, ia bertemu muka dengan puterinya. Hatinya puas sekali dan merasa betapa mendapat anugerah Dewata. Pertama, sudah dapat menebus dosa di tangan ibumu sendiri, ke dua, sebelum mati dapat bertemu anaknya. Sekali lagi kakangmas Pujo meninggalkan pesan agar jangan membalas kepada ibu kandungmu, bahkan berpesan bahwa untuk menghapus permusuhan itu, Endang Patibroto dijodohkan dengan.... engkau, anakku Joko Wandiro!"
Pemuda itu merasa seakan-akan dadanya hendak meledak, jantungnya berdebar-debar keras sekali. Ia merasa makin bangga kepada Pujo! Bukan main ayahnya, juga gurunya itu, seorang manusia bijaksana, seorang satria sejati.
"Jadi ayah....Pujo tidak membalas kepada ibuku?"
"Tidak. Dia meninggal dunia sambil tersenyum bahagia."
"Dan bibi berdua, juga tidak membalas kepada ibuku...?"
Roro Luhito menggelengkan kepala. "Betapapun sakit dan sedih hati bibimu Kartikosari, namun dia juga seorang berdarah satria utama, dan mematuhi pesan suaminya."
"Kalau begitu, mengapa ibuku...?"
Tiba-tiba Kartikosari melompat turun dan dengan muka pucat, rambut awut-awutan ia menjerit, "Anakku yang membunuhnya! Anakku Endang Patibroto, yang kukandung sembilan bulan, yang kubela dengan taruhan nyawa....dia yang membunuh ibumu! Dan dia pula yang membunuh Ki Adibroto. Ya, anakku! Anak kandungku! Dia yang membunuh ibu kandungmu, Joko Wandiro. Maka itu, kalau kau hendak menuntut balas, jangan ragu-ragu, ini ibunya yang bertanggung jawab. Kaucabutlah senjatamu dan kau bunuhlah aku....aku....takkan melawan...... kau sempurnakan aku....biar aku....aku ikut suamiku...."
Terdengar jerit melengking mengerikan dan tubuh Joko Wandiro sudah mencelat keluar dari pondok itu.
"Joko....!"
Roro Luhito menjerit dan mengejar keluar, juga Kartikosari berlari keluar. Di depan pintu pondok mereka berhenti dan memandang ke depan dengan muka pucat. Mereka melihat betapa Joko Wandiro sambil mengeluarkan suara menggereng-gereng seperti seekor harimau, mengamuk dan kalang kabut menghantami batu-batu karang di pinggir laut! Batu karang pecah berhamburan dan terdengar pemuda itu menggereng-gereng di antara isak tangisnya, terus menghantami batu karang seperti orang gila.
"Joko Wandiro... anakku....! Kau ingatlah, nak.....ingatlah....!"
Roro Luhito lalu berlari-lari dan menubruk kaki keponakannya, juga Kartikosari rnenghampiri dengan bercucuran air mata. Kini Joko Wandiro telah dapat menguasai iblis yang mengamuk di dalam kepala dan dadanya. Ia berdiri dengan kedua kaki tepentang, kedua tangan berlepotan darah karena dalam kemarahannya tadi ia tidak mengerahkan aji kesaktiannya sehingga kulit tangannya tidak kebal dan kini hancur oleh batu karang. Kedua lengan yang tangannya berdarah itu kini tergantung di kanan kiri tubuhnya, darahnya menetes-netes seperti air mata yang juga menetes-netes dari kedua matanya.
"Anakku...ah, anakku Joko Wandiro....jangan salah mengerti, nak. Bibimu....Kartikosari mengeluarkan kata-kata itu saking remuk perasaan hatinya oleh kelakuan anaknya. Kau tidak tahu, setelah Endang Patibroto membunuh Listyokumolo dan melukai Ki Adibroto tanpa dapat kami cegah karena gerakannya yang amat dahsyat, kemudian bibimu Kartikosari mendengar bahwa Endang menjadi kepala pengawal Jenggala. Bibimu marah dan berusaha menginsyafkan puterinya, akan tetapi sia-sia. Bahkan bibimu sudah menyerang hendak membunuhnya, akan tetapi juga tidak berdaya rnenghadapi kesaktian Endang Patibroto yang amat hebat."
Kini Joko Wandiro sudah dapat menekan perasaannya dan ketenangannya pulih kembali. "Saya tidak menaruh dendam kepada bibi Kartikosari, bahkan saya merasa amat terharu dan kasihan., Bibi Kartikosari, maafkan saya, percayalah, saya tidak mempunyai permusuhari apa-apa dengan bibi...."
"Joko Wandiro....kau dianggap putera sendiri oleh kakangmas Pujo dan memang.... memang kau patut menjadi puteranya. Ahh, anakku...!"
Kartikosari merangkul dan mereka berpelukan. "Saya juga tahu akan kesaktian Endang Patibroto, karena sudah dua kali dia menyerang saya, bahkan dia hampir saja membunuh Ayu Candra."
"Ayu Candra? Siapakah dia?" tanya Kartikosari makin sedih mendengar akan penyelewengan puterinya.
"Dia itu....adik tiriku, puteri ibuku dengan paman Adibroto."
Joko Wandiro lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Ki Adibroto dan Ayu Candra di dekat Telaga Sarangan, tentang pesan terakhir Ki Adibroto yang melarang anaknya mencari pembunuh ayah bundanya, kemudian tentang lenyapnya Ayu Candra.
"Ah...kakangmas Pujo...agaknya akan sia-sia semua kehendakmu agar permusuhan itu disudahi dengan pengorbanan darah dan nyawamu....bukan saja anak kandung kita sendiri sudah melanggarnya, juga....juga masih ada ekornya lagi, anak Adibroto dan Listyokumolo...."
Kartikosari mengeluh dan menjadi berduka sekali. Suaminya telah mengorbankan nyawa, rela ditusuk sampai tewas oleh Listyokumolo untuk menebus dosa, bahkan melarangnya membalas malah menjodohkan Endang Patibroto dengan Joko Wandiro putera Listyokumolo dalam usaha terakhir menyudahi permusuhan itu. Akan tetapi usaha yang amat mulia dari suaminya itu hancur berantakan, tidak saja oleh anak mereka sendiri, juga kini tentu saja Ayu Candra hendak menuntut balas pula. Dendam permusuhan yang tiada akan habisnya.
"Bibi harap suka tenangkan hati. Saya yang tanggung bahwa Ayu Candra adik saya itu tidak akan melanjutkan permusuhan, tidak akan mencari balas dendam.. "
Kartikosari terharu dan memegang lengan Joko Wandiro. "Anakku....Joko Wandiro, engkau patut menjadi putera dan murid kakangmas Pujo. Engkau....engkau seperti dia, anakku! Terima kasih, Joko Wandiro. Engkau sebagai putera kandung Listyokumolo yang terbunuh oleh Endang Patibroto....engkau tidak menaruh dendam juga engkau hendak....mencegah adikmu Ayu Candra menuntut balas."
"Sudah semestinya begitu, bibi. Tidak mungkin saya dapat membiarkan adik saya menjadi korban nafsu dendam dan permusuhan yang tiada berkeputusan ini."
"Aku percaya engkau akan bisa membujuk adikmu. Sebagai puteri Ki Adibroto aku percaya Ayu Candra dapat mengerti, akan tetapi....ah, kalau aku ingat akan anakku Endang Patibroto ? Dia sukar dikendalikan, memiliki kepandaian seperti iblis betina. Dia telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro, dan tidak hanya mewarisi kedigdayaan raksasa yang mengerikan itu, malah juga celaka sekali, agaknya mewarisi wataknya yang seperti iblis."
Joko Wandiro menggigit bibir Ia masih gemas kalau teringat akan Endang Patibroto. Gadis itu telah banyak melakukan perbuatan keji. Hampir saja membunuh Ayu Candra tanpa sebab, juga menyerangnya dengan keji tanpa sebab. Kemudian, gadis itu malah telah membunuh ibu kandungnya dan Ki Adibroto, sungguhpun telah mendengar pesan terakhir ayahnya. Lebih hebat lagi, Endang Patibroto malah menyakiti hati ibunya, membantah dan melawan!
"Bibi, mengingat akan budi ayah Pujo yang berlimpah-limpah kepada diri saya, saya berjanji akan pergi mencari Endang Patibroto dan akan membujuknya agar supaya ia insyaf kembali daripada kesesatannya dan suka kembali kepada bibi di sini."
"Aduh, anakku! Engkau menumpuk-numpuk budi sehingga membuat aku merasa malu sekali. Kakangmas Pujo....kiranya membekas juga semua jasa dalam hidupmu.......! Joko Wandiro, kau tadi mengatakan bahwa sudah dua kali kau bentrok dengan Endang, sudah kauketahui sendiri kedigdayaannya yang seperti iblis. Bagaimana kalau ia tidak mendengar bujukanmu, bahkan menggunakan kekerasan ? Aduh....alangkah akan baiknya kalau Endang tidak berubah seperti itu dan...dan dapat terlaksana pesan kakangmas Pujo tentang perjodohannya dengan kau...!!"
"Saya berjanji akan mengajak Endang kembali kepadamu, bibi. Tidak perduli dia mau atau tidak, kalau perlu saya akan memaksanya dengan kekerasan!"
"Ah, Joko. Mudah-mudahan saja kau akan berhasil. Aku khawatir sekali, terutama jika aku ingat akan adikmu itu. Usahakanlah agar dia jangan memperhebat lagi permusuhan yang sudah diusahakan pemadamannya oleh ayahmu Pujo."
"Kalau saya pikir-pikir, sungguh menggemaskan orang biadab yang mempergunakan nama Raden Wisangjiwo sehingga tertanam bibit permusuhan sehebat itu. Bibi Kartikosari, siapakah sesungguhnya orang itu?"
Kartikosari tersenyum di antara air matanya. "Iblis itu sudah mampus, Joko! Mampus di tangan bibimu berdua ini. Jokowanengpati telah mati dan mayatnya dikubur dalam perut ikan!"
Kemudian dengan penuh nafsu amarah Kartikosari menceritakan betapa dia dan Roro Luhito memaksa Jokowanengpati terjun ke laut sehingga musuh besar itu disambar ikan dan diseretnya ke dalam lautan. Joko Wandiro menarik napas panjang. Ngeri juga hatinya mendengar nasib orang jahat itu, akan tetapi ia maklum bahwa segala perbuatan jahat biarpun lambat akan tetapi sudah pasti akan menyeret pembuatnya ke dalam lembah kesengsaraan dan malapetaka.
"Kiranya cukuplah, bibi berdua. Saya pamit mundur, karena saya sendiripun berkhawatir akan keselamatan adik saya, Ayu Candra yang belum saya ketahui ke mana perginya. Harap bibi berdua menanti di sini, saya pasti akan datang lagi dan mudah-mudahan dapat bersama Endang."
"Tidak di sini, Joko Kami akan pergi dar i tempat ini."
Ucapan Kartikosari ini tidak hanya mengagetkan Joko Wandiro, juga Roro Luhito terkejut dan terheran.
"Kita hendak pergi ke manakah?" tanyanya sambil memegang tangan Kartikosari.
"Adikku Roro Luhito. Setelah kini kita ketahui bahwa di sana masih ada Ayu Candra yang mungkin akan menuntut balas, lebih baik kita pergi menyembunyikan diri. Siapa tahu sebelum dapat ditemukan Joko Wandiro, dia akan lebih dulu datang ke sini mencari kita. Sesungguhnya aku tidak akan mundur dan rela menyerahkan nyawaku kepada anak Listyokumolo yang terbunuh oleh anakku, akan tetapi kita harus mengingat akan nasib.... anak-anak kita dalam kandungan ini. Setelah jabang bayi terlahir, barulah aku siap menerima pembalasan. Karena ini, aku mengambil keputusan untuk bersembunyi ke Pulau Sempu di mana dahulu ayahku bertapa."
Roro Luhito menundukkan muka dengan terharu. Ucapan ini mengingatkan kepadanya bahwa anak yang ia kandungpun telah yatim, tiada berayah lagi. "Aku menurut segala keputusanmu."
Joko Wandiro mengangguk-angguk. Diam-diam ia terharu juga ketika mendengar bahwa kedua wanita yang di tinggal mati ayah angkatnya ini dalam keadaan mengandung.
"Baiklah, bibi berdua. Saya kelak akan menyusul ke Pulau Sempu."
Setelah bermohon diri, Joko Wandiro lalu meninggalkan Bayuwismo, menunggang kudanya, pemberian Pangeran Darmokusumo, Pangeran Panjalu yang haik hati itu. Sementara itu, beberapa hari kemudian setelah menaburkan bunga di laut sebagai pernyataan selamat tinggal kepada suami mereka, Kartikosari dan Roro Luhito juga meninggalkan Bayuwismo yang menjadi sunyi dan menyedihkan.
********************
Berpekan-pekan Joko Wandiro menjelajah gunung-gunung dan pantai Laut Selatan untuk mencari jejak adiknya, Ayu Candra. Namun hasilnya sia-sia belaka sehingga hatinya menjadi gelisah sekali. Kemudian ia berpikir bahwa mungkin sekali adiknya itu oleh Ki Jatoko yang mencurigakan itu dibawa ke Bayuwismo. Siapa tahu kalau-kaiau Ayu Candra berusaha membalas dendam sendiri dan minta diantar Ki Jatoko.
Maka ia lalu kembali ke Bayuwismo dan alangkah terkejut hatinya ketika ia mendengar dari penduduk dusun yang berdekatan bahwa memang beberapa hari setelah Kartikosari dan Roro Luhito pergi meninggalkan pantai itu, ada seorang dara cantik bersama pamannya yang kedua kakinya bunting bertanya-tanya kepada penduduk di situ ke mana perginya penghuni Bayuwismo!
Tentu saja tidak ada seorangpun penduduk yang dapat memberi tahu dan kedua orang itu lalu pergi lagi dari situ. Kejadian ini sudah terjadi tiga pekan yang lalu. Aduh, untung bahwa bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito telah pergi. Kalau masih berada di sana, tentu akan terjadi hal yang amat mengerikan. Ia maklum bahwa Ayu Candra sama sekali bukanlah lawan Kartikosari dan Roro Luhito yang sakti, akan tetapi karena ayah bundanya terbunuh, tentu saja gadis itu menjadi nekat, sedangkan Kartikosari yang berwatak gagah itu tentu akan rela memberikan nyawanya seperti yang diperbuat oleh Pujo! Alangkah akan mengerikan kalau gadis itu, adiknya, bekas kekasihnya, melakukan pembunuhan seperti itu.
Karena Ayu Candra dan Ki Jatoko pernah datang ke dusun itu, biarpun telah lewat tiga pekan, namun setidaknya Joko Wandiro mulai mendapatkan jejak mereka. Menurut para penduduk yang melihatnya, dua orang itu pergi menuju ke utara. Dia mengikuti jejak mereka dan tibalah Joko Wandiro di Selopenangkep yang kini telah mempunyai seorang adipati baru, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu. Di tempat ini ia mendapat keterangan pula bahwa memang dua orang itu pernah berada di Selopenangkep, akan tetapi kemudian pergi lagi menuju ke utara.
Joko Wandiro mengikuti terus jejak ini dan selanjutnya dengan hati girang ia mendapat kenyataan bahwa tidaklah sukar mengikuti jejak kedua orang itu walaupun sudah lewat belasan hari. Hal ini tidaklah aneh karena memang kedua orang itu menarik perhatian serta mudah diingat. Yang seorang adalah gadis cantik jelita yang sukar dicari bandingannya. Yang ke dua adalah seorang laki-laki bermuka buruk menjijikkan dan buntung kedua kakinya. Tentu saja "pasangan" seperti ini tidak mudah terlupa orang.
Akhirnya, Joko Wandiro mengikuti jejak kedua orang itu menuju ke timur. Hatinya berdebar dan tidak enak. Pulau Sempu letaknya di pantai Laut Selatan sebelah timur dan kini jejak kedua orang itu terus saja ke timur. Apakah dua orang itu telah dapat menduga ke mana perginya Kartikosari dan Roro Luhito? Ah, tidak mungkin! Yang tahu akan hal ini hanyalah mereka bertiga. Kalau begitu, ke manakah tujuan Ayu Candra? Mengapa terus ke timur bahkan sama sekali tidak kembali ke Sarangan?
Makin cepat ia mengejar, jarak di antara mereka makin dekat akan tetapi jejak itu juga makin dekat dengan Pulau Sempu! Ia hampir dapat menyusul mereka ketika tiba di kaki Pegunungan Anjasmoro. Dari seorang petani ia mendapat keterangan bahwa baru beberapa jam yang lalu petani itu melihat seorang buntung yang mengiringkan seorang gadis jelita lewat di dekat sawahnya.
"Bagaimana keadaan gadis itu, paman?" tanya Joko Wandiro setelah minum dari air kendi yang ditawarkan si petani dengan ramah. Petani itu memandang dengan mata penuh selidik. Ia melihat wajah, kemudian melihat pakaian Joko Wandiro, dan bertanya,
"Apakah andika ini seorang perajurit? Kalau seorang perajurit dari Jenggala ataukah dari Panjalu?"
Joko Wandiro cepat menggeleng kepala menyangkal. "Bukan perajurit bukan bangsawan, aku seorang pengelana biasa saja, paman."
"Syukur kalau begitu. Biasanya kalau perajurit, apalagi dari Jenggala, tentu akan terjadi hal yang tidak sedap dipandang kalau bertemu dengan gadis jelita seperti yang lewat tadi. Hemm, engkau bertanya tentang gadis itu, apakah keperluannya, orang muda?"
"paman jangan menaruh curiga. Gadis itu adalah adik saya, dan orang buntung itu adalah paman saya. Saya memang mencari mereka, paman."
"Oooo, begitukah? Gadis itu tampak sehat-sehat saja, agaknya tidak lelah biarpun melakukan perjalanan jauh. Sungguh cantik jelita dan trengginas (tangkas), juga pemberani, buktinya berani melakukan perjalanan hanya dikawal seorang paman yang lumpuh."
Lega hati Joko Wandiro mendengar ini. Ia lalu berpamit dan cepat-cepat ia melakukan pengejaran ke arah lereng Gunung Anjasmoro. Karena Joko Wandiro melakukan pengejaran sambil mengerahkan Aji Bayu Sakti, maka menjelang senja, ia dapat menyusul. Alangkah girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang yang bercakap-cakap di dalam hutan sambil mengaso di bawah pohon itu adalah Ayu Candra dan Ki Jatoko si buntung!
Sambil bersembunyi Joko Wandiro mengintai. Hatinya berdebar-debar girang ketika melihat betapa keterangan paman tani tadi betul. Ayu Candra kelihatan sehat, hanya pada wajahnya terbayang sinar kedukaan yang membuat sinar mata yang biasanya bening berseri-seri itu kini suram, senyumnya yang biasa selalu menghias bibir menambah cerah sinar matahari kini lenyap. Namun dalam kedukaan, bekas kekasihnya itu masih cantik jelita, masih menarik dan masih membuat jantung Joko Wandiro berdegupan keras. Dia adik saya, ia menekan jantungnya, dia adik saya, adik sekandung, adik seibu! Sambil menekankan kenyataan ini di hatinya, Joko Wandiro memandang Ki Jatoko dan ia merasa heran melihat betapa Ki Jatoko kini tidak kelihatan sebagai orang buntung yang lemah. Bahkan hebatnya, kakek buntung itu yang duduk di atas tanah kini menghadapi beberapa ekor ular yang berkelojotan di depannya sambil tertawa-tawa!
"Paman Jatoko, di sepanjang jalan kau membunuhi ular-ular berbisa dan mengambil racunnya untuk meracuni jarum-jarum itu, apakah masih kurang cukup?" Ayu Candra bertanya sambil duduk menjauh, agaknya jijik melihat banyak ular menggehat-geliat dan berkelojotan itu.
"Heh-heh-heh-heh, Ayu Candra cah ayu, cah denok! Kaulihat saja, kalau jarum-jarum ini sudah jadi betul, kemudian kau kuberi pelajaran mempergunakan jarum ini, kau akan memiliki kepandaian seratus kali sambit seratus kali kena! Nah, dengan jarum-jarum inilah kau kiranya. baru akan dapat menghadapi Pujo dan kedua orang isterinya yang sakti. Heh-heh-heh!"
"Paman, bukankah kabarnya menurut penduduk pantai dekat Bayuwismo, Pujo sudah meninggal dunia?"
"Ah-hah, omongan orang desa sebodoh itu tak perlu kaupercaya, cah manis! Mereka tahu Apa? Pujo orangnya belum tua benar dan sakti. Agaknya ia sudah tahu bahwa kau hendak mencarinya dan membalas dendam, maka ia lalu lari menyembunyikan diri bersama kedua isterinya, dan berpura-pura mati. Akan tetapi jangan kau khawatir, sekali kita bertemu dengannya, kau pasti akan mampu membalas dendam. Aku tanggung! Kalau tidak, jangan panggil aku Ki Jatoko lagi, heh-heh!"
Tiba-tiba tubuh orang buntung itu berkelebat ke kiri, cepat sekali gerakannya, tahu-tahu tubuh yang buntung itu telah menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak, lalu muncul dan mencelat lagi ke tempat tadi, tangan kirinya telah menjepit seekor ular bandot yang amat berbisa!
Leher ular itu terjepit di antara ibu jari dan telunjuknya, kemudian sekali jari-jari tangan kanan mengurut tubuh ular itu dari leher ke ekornya, ular itu sudah berkelojotan tak mampu lari lagi, lalu dilemparkan ke bawah, ke sekumpulan ular-ular tadi.
"Heh-heh, bandot hijau, amat berbisa. Bisanya banyak dan amat ampuh!" kata Ki Jatoko.
Ayu Candra agaknya sudah sering melihat cara kakek buntung itu menangkap ular, maka ia tidak merasa heran lagi. Gadis ini sudah cukup maklum bahwa orang buntung itu sesungguhnya memiliki kesaktian yang hebat sekali. Akan tetapi Joko Wandiro yang tidak menduga sama sekali, menjadi kaget setengah mati, Dapat bergerak secepat itu, si buntung ini memiliki kepandaian yang tidak kalah oleh pendekar-pendekar kebanyakan yang masih lengkap anggauta badannya! Caranya bergerak melompat tadi amat cepat, juga cara menangkap ular benar-benar mengagumkan. Seorang lawan berat!
"Sudah yakin benarkah kau bahwa musuh kita adalah Pujo dan dua orang isterinya, paman?"
"Kau masih ragu-ragu kepadaku, Ayu? Ah, masih tidak percaya setelah aku membelamu, bersusah payah mengajakmu mencari musuh besarmu? Ayu, aku bersumpah bahwa aku tidak akan membohongimu. Aku orang Selopenangkep, kau sudah kuceritakan tentang ini. Aku tahu ketika Pujo menculik ibumu Listyokumolo dan anaknya yang masih kecil. Aku tahu betapa ibumu lalu menjadi gila karena perbuatan biadab si Pujo! Kemudian untung tertolong oleh Ki Adibroto, menjadi suami isteri dan mempunyai anak engkau."
Sambil bicara, Ki Jatoko menangkap seekor ular, mengurut tubuh ular itu sehingga racunnya keluar dari mulut yang dijungkirkan. Racun kehijauan yang menetes-netes itu jatuh ke dalam sebuah batok kelapa di mana terdapat puluhan batang jarum yang sudah hijau menghitam warnanya. Setelah racunnya habis, ia membuang tubuh ular itu ke samping dan ternyata binatang itu telah mati. Ia menangkap ular ke dua dan memperlakukannya seperti tadi, kemudian ke tiga dan ke empat, demikian seterusnya.
"Kenapa kau mengajakku ke Kerajaan Jenggala, paman? Bukankah lebih baik kita berdua saja terus mencari si penjahat Pujo?"
Perih hati Joko Wandiro mendengar adiknya menyebut Pujo "penjahat" itu. Ah, adikku yang terkasih, engkau tidak tahu keadaan sebenarnya. Engkau terlalu mabok oleh racun hasutan si buntung yang mencurigakan sekali ini! Demikian dia mengeluh dan merasa marah sekali kepada Ki Jatoko. Akan tetapi mendengar pertanyaan yang diajukan Ayu Candra, ia terkejut dan mendengarkan terus.
"Ayu Candra, cah manis. Engkau percaya sajalah kepadaku. Sudah kukatakan berkali-kali kepadamu, aku seorang yang hidup sebatangkara, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa sisa hidupku ini kuperuntukkan dirimu seorang. Asal kelak engkau dapat mengasihi seorang buntung seperti aku, ahhh....rela aku berkurban Apa saja untukmu, manis. Ketahuilah, untuk mencari Pujo tidak mudah setelah kini kita tidak tahu ke mana ia menyembunyikan diri. Akan tetapi di Jenggala aku mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang sakti. Bahkan sang prabu di Jenggala tentu akan suka membantuku. Dengan bantuan orang-orang sakti dan pasukan, Apa susahnya mencari Pujo? Nah, kalau sudah bertemu, bukankah kita mendapat bantuan orang-orang pandai dan engkau akan dapat melampiaskan dendammu, manis?"
Pucat wajah Joko Wandiro mendengar ini. pucat saking marahnya. Tidak hanya karena kenyataan bahwa manusia buntung ini bersekutu dengan orang-orang sakti yang membantu Jenggala seperti Dibyo Mamangkoro dan yang lain-lain, juga karena sikap dan kata-kata si buntung ini jelas sekali mengandung niat yang tidak wajar. Agaknya si buntung itu diam-diam gandrung dan tergila-gila kepada Ayu Candra, memperlihatkan sikap seperti terhadap kekasihnya. Hanya karena Ayu Candra seorang gadis jujur dan polos, berwatak bersih dan masih bodoh, maka sikap mesra itu dianggapnya sikap ramah dan baik dari seorang paman terhadap keponakan!
Tiba-tiba tubuh si buntung berkelebat lagi menubruk dan menyusup ke dalam semak-semak seperti tadi dan ketika melompat keluar lagi tangannya sudah menjepit seekor ular yang kulitnya hijau keputihan. Akan tetapi pada saat itu, Joko Wandiro juga sudah melompat keluar menghampiri Ayu Candra.
"Ayu Candra....!"
"Joko.... eh, kakang....engkau....??"
Ayu Candra melompat bangun. Sejenak wajahnya berseri, matanya yang sayu dan wajahnya yang muram itu berseri, bibirnya terbuka mengarah senyum, kedua tangannya diulur ke depan. Joko Wandiro terharu dan melangkah maju hendak memeluk, akan tetapi tiba-tiba dari belakangnya terdengar Ki Jatoko menghardik,
"Mundur engkau! Engkau bernama Joko Wandiro, bukan? Engkau murid terkasih si keparat Pujo, bukan? Engkau ini anak durhaka, anak tidak berbakti! Ibu kandungmu dahulu diculik Pujo, diperkosa, dirusak kehormatannya sampai menjadi gila! Engkau sendiri diculik, akan tetapi karena diperlakukan sebagai murid, engkau lalu lupa akan ibu kandungmu sendiri! Engkau tahu ibumu dibunuh Pujo, akan tetapi engkau melarang Ayu Candra hendak menuntut balas. Cih, laki-laki macam engkau ini mana pantas menjadi kakak Ayu Candra?"
Hebat sekali ucapan ini. Joko Wandiro merasa seakan-akan mukanya ditampar. Ia mengurungkan niatnva memeluk Ayu Candra, lalu perlahan-lahan membalikkan tubuhnya menghadapi si buntung yang duduk di atas tanah memegangi ularnya yang baru saja ditangkapnya tadi. Muka Joko Wandiro sebentar merah sebentar pucat karena perasaannya yang menggelora. Ucapan itu selain kasar dan keras, juga beracun sekali, lebih beracun daripada bisa yang terkumpul di dalam batok. Sekiranya Joko Wandiro belum bertemu dengan Kartikosari dan Roro Luhito, mungkin ia akan terpengaruh oleh kata-kata ini dan akan menjadi ragu-ragu dan malu kepada diri sendiri yang dikatakan tidak berbakti kepada ibu kandungnya! Akan tetapi, ia telah tahu akan duduknya perkara, maka ia menjadi marah bukan main kepada orang buntung ini.
"Paman, engkau seorang tua lagi buntung kedua kakimu. Jagalah mulutmu agar jangan sampai aku seorang muda berlaku kurang ajar kepadamu!" bentak Joko Wandiro menahan kemarahannya.
"Heh-heh-heh, coba sangkal kata-kataku kalau mampu. Ayu Candra, jangan engkau terlalu percaya kepada kakak tirimu ini. Dia sudah diracuni si keparat Pujo, seperti juga bibinya. Ya, aku belum menceritakan kepadamu, Ayu, bahwa adik ayah bocah ini, yang bernama Roro Luhito, ketika di Selopenangkep dahulu juga menjadi korban kebiadaban Pujo, dicemarkan kehormatannya. Kemudian Roro Luhito yang hendak membalas dendam, dikalahkan oleh Pujo, malah dipaksa menjadi bini mudanya sekali! Nah, karena kini Pujo selain menjadi guru dan menjadi pemeliharanya sejak kecil juga menjadi suami bibinya, tentu saja ia tidak akan membiarkan engkau membalas dendam....."
"Tutup mulutmu yang busuk....!"
Joko Wandiro kini tak dapat lagi menahan kemarahannya. Ia tidak sudi bertengkar mulut dengan orang buntung yang ternyata amat pandai bicara dan pandai membakar hati ini. Paling baik memberinya hajaran lalu mengajak Ayu Candra cepat-cepat pergi dari situ, pikirnya. Dengan sebuah loncatan kilat Joko Wandiro menerkam maju. Akan tetapi pemuda ini terkejut dan cepat mengelak ke belakang ketika tiba-tiba ada suara mendesis dan kepala ular hijau telah menyambar ke arah lehernya.
Kiranya ular itu kini telah dipegang perutnya oleh Ki Jatoko yang mempergunakan ular itu sebagai senjata hidup, diobat-abitkan sehingga kepala ular itu merupakan ujung senjata yang mendesis-desis marah dan siap menggigit! Ular hijau ini baru saja ditangkap oleh Ki Jatoko, masih liar dan belum diambil racunnya, maka amat berbahaya.
Kini Ki Jatoko sudah meloncat berdiri dan menerjang dengan senjata ular itu dengan serangan-serangan dahsyat. Diam-diam Joko Wandiro terkejut. Benar-benar hebat gerakan orang buntung ini sehingga ia menjadi heran sekali. Apalagi semua serangan si buntung itu didasari ilmu meringankan tubuh yang mirip dengan Aji Bayu Sakti!
Agaknya memang Aji Bayu Sakti, hanya menjadi agak berbeda karena dilakukan dengan kedua kaki buntung! Dan ular yang hidup itu digerakkan seperti orang menggerakkan sebatang tongkat atau sebatang tombak saja, bukan main cepatnya dan kepala ular itu saking cepatnya digerakkan, seakan-akan berubah menjadi belasan buah banyaknya.
Di lain fihak Ki Jatoko juga terkejut dan kagum. Orang muda ini ternyata memiliki gerakan yang amat gesit, tidak kalah oleh gerak cepatnya sendiri. Hampir ia tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri. Ia kini menambah serangan dengan pukulan-pukulan tangan kirinya yang disertai Aji Siyung Warak, yang keampuhannya tidak kalah oleh gigitan ular berbisa di tangan kanannya. Namun Joko Wandiro yang maklum bahwa tangan kiri yang mengeluarkan angin dingin itu tentu ampuh, dapat menghindar dengan amat mudah.
Ketika untuk kesekian kalinya tangan kiri Ki Jatoko menampar, Joko Wandiro mengangkat tangan kanan menangkis dan mengerahkan hawa sakti dari dalam pusar disalurkan ke tangan, mencipta gerakan menempel sehingga ketika lengan kiri Ki Jatoko bertemu lengan kanannya, si buntung itu merasa lengannya tergetar dan tak dapat terlepas dari lengan lawan! Ia terkejut, memukulkan ular ke arah leher Joko Wandiro.
Pemuda ini mengeluarkan seruan keras, jari tangan kirinya mempergunakan Aji Pethit Nogo menyampok ke arah kepala ular dan "krakkk!" kepala ular itu hancur berantakan!. Ki Jatoko terkejut dan melompat ke belakang. Tangan kirinya terasa linu dan kejang-kejang. Ia makin terheran-heran. Pemuda ini sama sekali belum membalas dengan serangan, baru mengelak, menangkis dan membunuh ular, namun sudah jelas bahwa dia terdesak dan terjepit. Dalam beberapa gebrakan saja telah terbukti bahwa dia kalah!.
Ki Jatoko dahulu adalah Jokowanengpati yang gemblengan. Dahulu, biarpun kedua kakinya belum buntung, kepandaiannya tidak sematang sekarang. Dahulupun sudah jarang sekali ada orang pandai yang dapat mengalahkannya, apalagi hanya seorang pemuda hijau macam ini! Betapa mungkin pemuda itu dapat mengalahkannya hanya dengan tangan kosong dan tanpa balas menyerang? Ia menjadi penasaran dan marah sekali. Sepasang matanya menjadi merah, mulutnya menyeringai lebar dan ia sudah mencabut sebatang keris yang selama ini selalu tersembunyi di balik bajunya! Melihat kemarahan orang, Joko Wandiro menjadi sabar dan tenang kembali.
"Paman Jatoko, mengingat bahwa selama ini, tak perduli apakah maksud keji yang tersembunyi di dalam pikiranmu, ternyata engkau tidak mengganggu adikku Ayu Candra dan dia dalam keadaan sehat selamat, biarlah kita sudahi pertandingan ini dan kita mengambil jalan masing-masing. Aku akan mengajak adikku pergi dan di antara kita tidak perlu ada urusan dan sangkut-paut lagi."
Andaikata Joko Wandiro mengajukan alasan lain, tentu saja Ki Jatoko juga akan menerima karena dia bukanlah seorang bodoh. Tidak, jauh daripada itu. Ki Jatoko adalah seorang yang cerdik luar biasa, penuh akal bulus dan tipu muslihat. Ia bukan seorang yang nekat yang merasa malu untuk mundur jika keadaan tidak menguntungkan. Ia tahu bahwa pemuda ini benar-benar amat sakti, bahwa belum tentu ia dapat menandinginya. Akan tetapi, alasan yang diajukan Joko Wandiro untuk mengakhiri pertandingan adalah untuk membawa pergi Ayu Candra! Hal ini sama artinya dengan membawa pergi semangat atau nyawanya! Sampai mati ia tidak akan mau berpisah lagi dari Ayu Candra, perawan jelita yang dicintanya sepenuh jiwa raga! Tidak, lebih baik mati daripada harus berpisah dari Ayu Candra,
"Kau bocah kemarin sore tak perlu membujuk seorang seperti aku! Joko Wandiro, aku kasihan melihat Ayu Candra. Ayah bundanya terbunuh orang dan aku tahu siapa pembunuhnya. Kalau engkau seorang laki-laki yang tidak mau menjadi orang durhaka, lebih baik kau mengikuti aku pula dan mari kita bertiga mencari musuh kita. Kalau tidak, kau pergilah, tapi jangan kau ajak pergi Ayu Candra. Aku telah bersumpah akan mengantarkannya sampai bertemu dengan musuh besarnya dan biarpun engkau ini putera kandung Listyokumolo, namun belum tentu kau suka memusuhi Pujo yang menjadi guru dan pamanmu."
Joko Wandiro tidak memperdulikannya lagi, membalikkan tubuhnya menghadapi Ayu Candra. Gadis ini sudah berdiri di balik batang pohon dan wajahnya pucat. Agaknya ia merasa ngeri menyaksikan pertempuran tadi, sungguhpun ia sendiri bukan seorang wanita lemah.
"Ayu, adikku, tidak perlu kita melayani orang buntung ini. Marilah ikut aku, Ayu, dan nanti kau kuberi penjelasan, akan kuceritakan semua kepadamu...."
"Awas....Joko....!!" Ayu Candra menjerit.
Biarpun andaikata tidak diperingatkan Ayu Candra, Joko Wandiro juga tidak akan mudah diserang dari belakang secara menggelap begitu saja. Selain panca indranya yang sudah tajam melebihi manusia biasa, juga ada semacam indra ke enam yang membuat ia seakan-akan mempunyai mata pada belakang kepala nya!
"Wuuuttt.......!!"
Sinar hitam keris di tangan Ki Jatoko menusuk angin ketika tubuh Joko Wandiro yang diserangnya tiba-tiba berkelebat dan meloncat melewati kepalanya! Ki Jatoko membalikkan tubuh dan kembali menubruk sambil menusukkan kerisnya disusul hantaman tangan kiri. Cepat dan bertubi datangnya serangan ini, dan pada saat itu tubuh Joko Wandiro baru saja melayang turun. Namun Joko Wandiro dapat sekaligus menangkis tusukan dan pukulan. Kembali empat lengan bertemu dan Ki Jatoko terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah. Diam-diam Joko Wandiro merasa kasihan dan malu. Lawannya seorang buntung sehingga melangkahpun terhuyung-huyung!.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut karena tubuh itu sudah melayang dan menyerangnya seperti seekor burung garuda menyambar. Hemm, ia mencela kebodohannya sendiri. Biarpun buntung, orang ini sama sekali tidak perlu dikasihani karena ketangkasan dan kedigdayaannya melebihi jagoan-jagoan yang sudah pilih tanding. Ki Jatoko ini seorang yang sakti mandraguna, sama sekali tidak boleh dipandang rendah.
Seperti juga tadi, Joko Wandiro melayani lawannya dengan kedua tangan kosong saja, mengandalkan kegesitan tubuhnya dan kekuatan hawa sakti tubuhnya untuk mengelak atau menangkis. Seperti tadi pula, ia belum mau membalas dan diam-diam memperhatikan gerakan-gerakan lawan. Diam-diam harus ia akui bahwa gerakan Ki Jatoko ini merupakan ilmu-ilmu yang tinggi dan bersih, bahkan hampir sama sumbernya dengan ilmu-ilmu milik Resi Bhargowo.
Biarpun dahsyat dan dilakukan dengan beringas saking penasaran dan marah, namun ilmu tata kelahi orang buntung ini merupakan ilmu yang indah dan amat kuat. Kecepatan gerakannya tak dapat disangkal lagi tentulah Bayu Tantra atau Bayu Sakti, atau setidaknya tentu bersumber dari ilmu gerak cepat keduanya itu. Makin ragu-ragulah ia untuk merobohkan Orang ini. Apakah orang buntung ini pernah belajar ilmu kepada Resi Bhargowo? Ataukah pernah menerima gemblengan Empu Barodo? Mereka berdua itu adalah pendeta-pendeta sakti yang bijaksana dan berbudi, tentu menaruh kasihan kepada seorang buntung dan tidaklah aneh kalau memberi sebuah dua buah ilmu.
"Tahan....!" Tiba-tiba Joko Wandiro berseru seraya melompat mundur dari gelanggang pertempuran.
"Paman Jatoko, aku seperti mengenal gerakan-gerakanmu.....! Bukankah engkau pernah belajar ilmu kepada eyang Empu Bharodo atau eyang Resi Bhargowo....?"
Ki Jatoko terkejut. Semenjak ia menjadi buntung dan rusak mukanya dan berganti nama Ki Jatoko, ia sudah mengubur nama Jokowanengpati dan agar jangan sampai ada orang mengenalnya, ia pun memperdalam ilmunya dan sedapat mungkin merubah gerakan ilmu silatnya agar berubah daripada aslinya dan tidak akan dikenal orang.
Namun, betapa pandainya, tentu saja tidak mungkin ia melenyapkan sama sekali gerakan dasar yang menjadi inti aji kesaktian yang telah ia pelajari. Kini setelah bertanding, pemuda ini dapat mengenal ilmu-ilmunya. Hal ini menandakan bahwa pemuda ini sudah mahir betul akan ilmu-ilmu itu. Akan tetapi karena maklum bahwa sekali orang tahu akan rahasianya maka keselamatan hidupnya akan selalu terancam, ia menghardik,
"Bocah dusun, engkau melantur tentang Apa? Kalau takut, pergilah, kalau berani, terima ini!" Ia melompat maju, menerkam dengan ganas sambil mengayun kerisnya.
"Manusia tak tahu diri!" Joko Wandiro berkata perlahan, tidak mengelak dari tempatnya, melainkan menyambut serangan itu keras sama keras Kedua tangannya bergerak merampas keris sambil mendorong.
"Desss....weerrrr....!"
Ki Jatoko berteriak kaget, kerisnya terlempar dan tubuhnya juga melayang ke belakang lalu terbanting ke atas tanah. Sejenak orang buntung ini bengong terlongong. Ia mengenal gerakan Pethit Nogo yang membuat kerisnya terlempar tadi karena tenaga yang terkandung di jari-jari tangan itu hebatnya luar biasa sekali, akan tetapi ia tidak tahu dorongan macam Apa tadi yang membuat tubuhnya terlempar seperti daun kering tertiup angin!
Joko Wandiro yang tidak mempunyai niat mencelakai. Ki Jatoko, tidak menyerang lebih lanjut. Ia membalikkan tubuhnya hendak menghampiri Ayu Candra. Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ayu Candra tidak berada di tempat yang tadi pula, tidak tampak bayangannya lagi.
"Ayu! Ke mana engkau pergi....?"
Joko Wandiro berteriak memanggil lalu mencari di sekeliling tempat itu. Namun sia-sia. Ayu Candra seperti hilang ditelan bumi, tak meninggalkan bekas. Joko Wandiro menjadi gelisah. Senja telah mulai menggelapkan cuaca. Ia melompat naik ke atas pohon yang tinggi, seperti seekor kera di atas pohon ia memandang ke sekeliling. Akhirnya ia berseru girang ketika melihat sesosok tubuh seorang wanita di sebelah utara, tubuh seorang wanita muda. Siapa lagi kalau bukan adiknya? Ia melompat turun dan bagaikan seekor kijang cepatnya ia sudah lari mengejar ke arah utara.
Sebentar saja ia sudah dapat menyusul. Bocah nakal, pikirnya. Dari Sarangan pergi tanpa pamit. Susah payah ia mencari kini sudah bertemu, kembali hendak pergi tanpa pamit. Mungkinkah karena kehancuran dan kepatahan hati oleh perubahan hubungan antara mereka dari kekasih menjadi kakak beradik? Joko Wandiro hendak menggodanya, hendak menimbulkan suasana gembira di hati adiknya dan mengusir kekesalan hatinya. Maka ia menghampiri dengan pengerahan tenaga dalam, sehingga tubuhnya menjadi ringan sekali tak menerbitkan suara sama sekali Setelah dekat, ia melompat dan menubruk dari belakang, langsung ia memeluk tubuh adiknya dari belakang. Sambil menciumi rambut adiknya, ia berbisik,
"Ayu....engkau nakal sekali. Hendak lari ke mana lagi engkau sekarang? Akhirnya aku dapat juga menangkapmu, anak nakal!"
Joko Wandiro merasa heran sekali ketika tubuh yang dipeluknya itu menggigil kemudian menjadi lemas dan kepala yang rambutnya lemas halus dan harum itu rebah di atas dadanya, jari-jari tangan yang halus pula mencengkeram kedua lengannya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba gadis itu merenggutkan tubuhnya dengan kekuatan yang luar biasa sekali sehingga dapat terlepas, lalu membalikkan tubuh menghadapinya.
Hampir saja Joko Wandiro berteriak kaget ketika ia melihat bahwa dara itu sama sekali bukan Ayu Candra, melainkan Endang Patibroto! Endang Patibroto yang berdiri di hadapannya dengan muka menunduk, kemerahan, dan kemalu-maluan! Rasa kaget ini seperti terganti rasa sesal dan kecewa karena kembali ia kehilangan Ayu Candra. Akan tetapi kembali segera berubah menjadi rasa girang karena memang ia sedang mencari-cari gadis ini pula untuk memenuhi janjinya kepada Kartikosari.
"Endang Patibroto! Kebetulan sekali kita berjumpa di sini. Memang aku sedang mencari-carimu. Kau maafkan aku tadi....kau tadi kusangka orang lain...."
Seketika berubahlah wajah wanita cantik itu, Kini Endang Patibroto mengangkat mukanya memandang, tidak malu-malu lagi, tidak berseri lagi, melainkan dengan bayangan perasaan dingin, bibirnya agak tersenyum, wajahnya membayangkan kalau dia sedang kesal hati atau marah.
"Hemmmm......! Ada Apa kau mencariku? Hendak melanjutkan pertandingan?"
"Endang, aku telah bertemu dengan ibumu di Bayuwismo dan...."
"Hemm, engkau sudah mendengar tentang kematian ibumu di tanganku? Nah, kalau engkau mencariku untuk membalas dendam kematian ibumu, hayolah. Aku sudah siap!"
Joko Wandiro menarik napas panjang. Hatinya penuh penyesalan. Gadis yang berdiri gagah di depannya ini adalah seorang dara yang amat cantik jelita, hampir sama dengan bibi Kartikosari, bertubuh ramping padat dan segar bagaikan sekuntum bunga sedang mekar, seorang dara yang sukar dicari bandingnya. Akan tetapi pandang mata gadis ini amat dingin, juga sikapnya, suaranya, mengandung sesuatu yang mendirikan bulu roma.
"Tidak, Endang. Aku tidak bermaksud membalas dendam. Ayahmu karena salah sangka telah menyakiti hati ibuku. Ibu kandungku yang merasa dirusak kebahagiaan hidupnya telah menuntut balas dan sebagai seorang satria utama, ayahmu rela memberikan nyawa menebus dosa. Ayahmu mati di tangan ibuku. Kemudian engkau membalas kematian ayahmu dan membunuh ibuku. Kalau aku sekarang mengambil pembalasan kepadamu, dendam-mendendam ini tiada ada habisnya. Tidak, Endang. Aku murid ayahmu, dan sebagai murid harus mencontoh langkah-langkah nidup gurunya. Aku mencontoh ayahmu, tidak akan menumpuk permusuhan yang tiada habisnya. Yang tewas sudah sempurna, sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa, bukan urusan manusia."
"Kalau begitu, Apa perlunya engkau mencariku? Kalau hanya untuk berkhotbah saja, aku tiada waktu untuk mendengarkan!"
Mau tak mau Joko Wandiro tersenyum. Gadis ini tiada bedanya dengan dahulu ketika masih kecil. Nakal, galak dan jenaka. Sifat ini masih mendasari wataknya, hanya sayang kini tertutup oleh bayangan-bayangan keganasan dan keanehan yang mengerikan, seakan-akan ada hawa iblis yang hitam menyelubungi dirinya.
"Endang telah kukatakan tadi bahwa aku telah bertemu dengan ibumu. Aku telah berjanji kepada ibumu untuk membujukmu agar kau suka insyaf dan kembali kepada ibumu. Endang, ingatlah bahwa ayahmu, ibumu, dan juga eyangmu adalah patriot-patriot perkasa yang selalu membela kebenaran dan membela Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu. Endang, lupa lagikah engkau kepada eyang Resi Bhargowo? Beliau dahulu di Pulau Sempu begitu sayang kepadamu. Dan ibumu! Dia telah mengorbankan segalanya untukmu, kemudian selama belasan tahun menderita siksa batin karena kau lenyap. Engkau insyaflah, Endang Patibroto, bahwa kedudukanmu sekarang sebagai pengawal Kerajaan Jenggala merupakan penyelewengan besar daripada kebenaran yang selama ini dipegang keluargamu. Kau tinggalkan Jenggala dan temani ibumu yang kini sudah pindah ke Pulau Sempu."
"Ibu ke Pulau Sempu?"
"Ya, dan engkau dinanti-nanti ke sana. Marilah kita pergi bersama menghadap ibumu di sana."
"Pergi bersama menghadap ibu? Apakah....apakah ada hubungannya dengan pesan ayahku....?"
Joko Wandiro memandang. Biarpun cuaca sudah remang-remang, masih jelas tampak olehnya betapa gadis itu menjadi merah mukanya dan sejenak menurunkan pandang mata.
"Pesan ayahmu?"
"Hemm....tentang.....perjodohan.....!"
"Ahh......!" Kini wajah Joko Wandiro jadi merah sekali. "Tidak, Eh...ltu....eh, tidak penting benar....eh, perlu dipikirkan masak-masak lebih dulu. Yang terpenting, engkau harus meninggalkan Jenggala dan kembali menemani ibumu."
"Harus? Siapa yang mengharuskan?"
"Aku."
"Huh! Kalau aku tidak mau, kau mau Apa?" Endang Patibroto membusungkan dadanya yang sudah busung, matanya bersinar-sinar dan sikapnya begitu menantang.
"Biarpun harus menyeretmu, aku akan membawamu kembali kepada ibumu, bocah berkepala batu!" Joko Wandiro menjadi gemas.
"Babo-babo....sumbarmu seperti dapat meloncati puncak Mahameru saja, Joko Wandiro! Kau kira aku takut kepada orang seperti engkau ini? Huh, boleh kau coba!"
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Endang Patibroto sudah menerjang maju dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang jarinya terbuka dan dimiringkan. Joko Wandiro yang sudah marah mengangkat tangan menangkis.
"Desss.....!!"
Hebat pertemuan tenaga yang keluar dari dua tangan itu. Akibatnya., keduanya terhuyung-huyung ke belakang seperti layang-layang putus talinya! Keduanya terkejut sekali dan cepat meloncat untuk mematahkan tenaga dorongan yang hebat. Lalu keduanya saling pandang, terheran-heran. Joko Wandiro yang sudah menduga akan kesaktian Endang Patibroto, terheran karena tenaga sehebat itu benar-benar tak pernah disangkanya.
Sebaliknya, Endang Patibroto yang masih memandang rendah lawannya, kini merasa kecelik dan diam-diam ia kagum juga. Baru pertama kali ini semenjak keluar dari perguruan, ia bertemu seorang tanding yang dapat menahan pukulan Aji Wisangnolo yang dilancarkan dari jarak dekat. Bukan saja Joko Wandiro telah dapat menahannya, bahkan tangkisannya membuat ia terhuyung sampai jauh! Hal ini menimbulkan rasa penasaran dan kemarahan di hatinya.
Tiba-tiba Endang Patibroto mengeluarkan pekik melengking dahsyat dan tubuhnya sudah mencelat ke depan, melayang dan menyerang dengan pukulan-pukulan maut bertubi-tubi. Joko Wandiro yang maklum akan kesaktian gadis ini, tidak berani berlaku lengah atau lambat. Ia segera mengerahkan Aji Bayu Sakti, mengelak sambil balas menyerang. Namun serangannya dapat pula dielakkan secara mudah oleh Endang. Serang menyerang terjadi, keduanya mengandalkan tenaga dan hawa sakti, namun ternyata tenaga mereka berimbang.