Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 32
Karena kedua lengan mereka yang bertemu dengan getaran-getaran dahsyat itu membuat kulit lengan terasa pedas dan mulai menjadi matang biru tanpa ada hasilnya, Endang Patibroto kembali memekik dan tubuhnya lenyap berubah rnenjadi bayang-bayang yang amat cepat gerakannya, seakan-akan seekor burung walet menyarnbar-nyambar dan ganas seperti burung camar menyambar ikan di permukaan air laut. Inilah ilmu yang diciptakan oleh Kartikosari selama bertapa di Laut Selatan, ditambah oleh gemblengan Dibyo Mamangkoro dan dilakukan dengan pengerahan tenaga Wisangnolo yang panas beracun!
Menghadapi dahsyatnya serangan ini, Joko Wandiro segera rnengeluarkan pekik yang tidak kalah dahsyatnya. Kalau pekik Endang Patibroto adalah Aji Sardulo Bairowo (Pekik Harimau) yang suaranya menggetarkan jantung lawan seperti seekor harimau betina mengaum, adalah pekik Joko Wandiro ini Aji Diroto Meto (Gajah Mengamuk) yang lebih dahsyat lagi. Untuk dapat mengimbangi kecepatan gerak lawan, joko Wandiro juga menggunakan Aji Bramoro Seto (Lebah Putih) yang ia pelajari dan Ki Patih Narotama.
Mereka berdua sama-sama maklum bahwa akan percuma saja apabila mereka menggunakan aji-aji yang mereka dapat dari eyang Resi Bhargowo seperti Pethit Nogo atau Gelap Musti, karena keduanya mengenal ilmu ini. Maka kini Endang Patibroto mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia dapat dari ibunya sendiri ditambah gemblengan dari Dibyo Mamangkoro. Di lain pihak, Joko Wandiro juga rnengeluarkan aji-aji yang ia dapat dari Ki Patih Narotama.
Hebat bukan main pertandingan ini. Tubuh kedua orang muda itu sukar dilihat lagi oleh mata biasa. Sudah lenyap bentuknya, berubah sebagai dua baying-bayang yang seperti dua iblis bertanding yuda, kadang-kadang malah lenyap berubah menjadi gundukan sinar bergulung-gulung menjadi satu, sukar dibedakan mana Joko Wandiro mana Endang Patibroto.
Ratusan jurus telah lewat dengan tiada keputusan siapa kalah siapa menang. Bahkan tidak ada yang mendesak atau terdesak. Jurus ditukar jurus, pukulan dibalas tamparan, tendang-menendang, tusuk-menusuk dengan jari yang melebihi keris ampuhnya. Namun semua itu tidak mengenai sasaran, dapat dielakkan atau ditangkis lawan. Mereka setanding, seimbang, baik kegesitan maupun kekuatannya.
Joko Wandiro makin kagum. Baru pertama kali ini ia menemui tanding yang sehebat ini! Semua kepandaiannya telah ia kerahkan, namun tak pernah memperoleh hasil yang baik. Hanya saja bedanya, kalau Endang Patibroto melancarkan serangan-serangan maut yang amat ganas dan dahsyat, dia hanya melakukan serangan-serangan yang kalau mengenai sasaran tidak akan membahayakan keselamatan gadis itu. Betapapun juga, harus ia akui bahwa baginya, tidaklah mudah mengalahkan Endang Patibroto.
Di lain pihak, Endang Patibroto menjadi penasaran sekali.Makin lama ia menjadi makin marah, lalu berseru, "Hayo keluarkan senjatamu!" Teriakan ini ia lakukan berkali-kali, namun selalu Joko Wandiro menjawab,
"Aku tidak hendak mengadu nyawa denganmu, Endang. Kalau kau masih penasaran, boleh kau gunakan senjata, aku takkan mau melayani keganasanmu!"
Endang Patibroto marah sekali. Ia maklum, kalau mereka menggunakan senjata, dia dapat memakai keris pusaka Brojol Luwuk yang ampuhnya menggiriskan itu dan dengan bantuan keris pusaka ini ia tentu akan menang. Akan tetapi Joko Wandiro tidak mau memakai senjata dan untuk menghadapi seorang lawan yang bertangan kosong, tentu saja iapun enggan menggunakan senjata.
Hatinya makin gemas sampai-sampai kalau mungkin, ingin ia menangkap lawannya ini dan menggunakan kuku dan gigi untuk mencakar menggigit! Namun Joko Wandiro terlalu lincah, dan pertahanannya terlampau kokoh kuat, bagaikan batu karang di tengah samudra. Dan memang demikianlah. Semenjak kecil oleh Pujo, Joko Wandiro digembleng melawan gempuran ombak membadai sehingga ia memiliki daya tahan seperti batu karang di laut.
Karena ingin segera memperoleh kemenangan, Endang Patibroto lalu menempuh jalan keras. Mulutnya berkemak-kemik, kedua tangannya saling digosokkan. Kedua telapak tangan itu digosok-gosokkan sampai mengeluarkan asap! Inilah Aji Wisangnolo yang dikerahkan sampai ke puncaknya! Saking hebatnya getaran hawa panas beracun itu, kedua telapak tangan sampai mengeluarkan asap seakan-akan kedua telapak tangan itu sudah membara.
Joko Wandiro terkejut bukan main ketika gadis itu melancarkan serangan dengan mendorong kedua tangan ke arah dadanya. Hawa panas sekali keluar dari dorongan itu dan kedua tangan gadis itu berasap hitam! Ia maklum akan bahayanya serangan ini dan untuk mengelak sudah tidak ada kesempatan lagi. Untuk menangkis lengan, banyak bahayanya karena daya serang yang terpancar keluar dari dua telapak tangan itu dapat melukainya.
Terpaksa iapun lalu mengembangkan kedua lengan ke depan dengan telapak tangan terbuka, lalu menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan pula sambil mengerahkan hawa saktinya. Ia tidak mau menggunakan aji pukulan yang keras karena khawatir kalau-kalau ia akan melukai lawannya, maka ia hanya mengumpulkan tenaga, menyimpannya di dada dan menyalurkan ke arah kedua lengannya sambil mempergunakan hawa itu tebagai tenaga lembek atau lunak.
"Desss,......!!"
Tenaga dahsyat dari kedua telapak tangan Endang Patibroto seakan tersedot ke dalam telapak tangan Joko Wandiro dan gadis itu merasa betapa kedua telapak tangannya bertemu sesuatu yang lunak dan dingin seperti es. Ia terkejut dan menarik kembali tangannya sambil berjungkir balik ke belakang sampai lima kali. Tubuhnya menggigil kedinginan dan mukanya menjadi pucat, namun ia terbebas dari luka berat. Ia mendengar Joko Wandiro mengaduh dan cepat-cepat ia memandang. Kiranya lawannya itu terhuyung-huyung lalu roboh terlentang dalam keadaan pingsan. Dua batang jarum hitam menancap di leher sebelah kiri!
"Heh-heh-heh! Kepandaianmu hebat sekali, nona muda. Akan tetapi lawanmu ini terlalu berbahaya maka aku membantumu merobohkannya. Sekarang lebih baik kau lekas membunuhnya selagi ia pingsan. Heh-heh-heh!"
Berkerut kening Endang Patibroto. Sepasang matanya bersinar-sinar memandang orang buntung yang muncul secara aneh itu.
"Engkau siapakah? Siapa suruh engkau membantuku? Aku tidak butuh bantuanmu!"
Memang yang merobohkan Joko Warndiro adalah Ki Jatoko. Setelah tadi Ki Jatoko dikalahkan Joko Wandiro dan melihat pemuda itu berlari-lari mencari Ayu Candra yang lenyap, Ki Jatoko segera menjumput kerisnya dan iapun menjadi bingung dan gelisah karena tidak melihat gadis yang dicintanya itu. Karena khawatir kalau gadis itu akan diajak pergi Joko Wandiro, maka iapun lalu mengejar. Ia tidak dapat menemukan Ayu Candra, sebaliknya malah melihat Joko Wandiro bertengkar dengan Endang Patibroto.
Hatinya tertarik dan segera ia mengintai dan mendengarkan. Kagetlah ia ketika dari pertengkaran itu ia mendengar bahwa gadis itu adalah kepala pengawal Jenggala yang sudah ia dengar dalam perantauannya. Ia sudah mendengar bahwa kini Jenggala memiliki seorang jago wanita yang amat sakti, yaitu murid dari Sang Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna. Sama senali tidak pernah disangkanya bahwa gadis jagoan itu ternyata adalah puteri Pujo dan Kartikosari, seperti yang dapat ia tarik kesimpulan dari pertengkaran kedua orang muda itu.
Diam-diam ia menjadi girang sekali melihat gadis itu bertengkar dengan Joko Wandiro. Sebagai seorang yang cerdik, dia dapat menduga bahwa setelah menjadi.murid Dibyo Mamangkoro, gadis itu telah menyimpang daripada jejak hidup orang tua dan kakeknya seperti....seperti dia sendiri yang telah menyimpang dari jejak hidup gurunya, Empu Bharodo!
Ketika terjadi pertempuran, ia menonton dengan jantung berdebar-debar. Baru sekali ini ia menyaksikan pertandingan yang serba hebat. Dia sendiri sampai melongo dan harus mengakui bahwa kepandaiannya sendiri sama sekali tidak akan mampu menandingi seorang di antara dua orang muda itu. Hebat bukan main, sampai kabur pandang matanya, sampai pening kepalanya.
Namun kecerdikannya tidak membiarkan ia tinggal diam saja. Diam-diam Ki Jatoko telah menyiapkan jarum-jarumnya, jarum hitam yang telah menghisap banyak racun ular. Pada gebrakan terakhir ketika dua orang muda itu tadi mengadu tenaga sakti yang mengakibatkan tubuh Endang Patibroto berjungkir-balik ke belakang sampai jauh, pada hakekatnya kerugian ada di pihak Joko Wandiro. Karena pemuda ini tidak ingin melukai lawannya, maka ia menggunakan tenaga lunak dan karena inilah maka ia berada di fihak bertahan. Karena tenaga mereka berimbang, biarpun ia berhasil mengembalikan daya pukulan lawan, namun ia sendiri tergetar jantungnya dan seketika kepalanya pening, pandang matanya berputar-putar.
Tampaknya ia tidak bergerak dari tempat ia berpijak, akan tetapi tubuhnya bergoyang-goyang dan kedua matanya meram. Dalam keadaan setengah pingsan ini dan selagi ia mengumpulkan tenaga mengatur napas, Ki Jatoko yang cerdik dapat melihat keadaan dan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dua batang jarum hitam ia sambitkan dan tepat mengenai leher kiri pemuda itu yang berseru "aduhh....!" dan roboh terguling, pingsan!
Menghadapi teguran Endang Patibroto yang bersikap dingin dan tak senang, Ki Jatoko yang cerdik tidak menjadi bingung. Ia segera melangkah maju menghadapi gadis itu dan dengan hormat dan ramah berkata,
"Nona, bukankah namamu Endang Patibroto dan engkau adalah pengawal sang prabu di Jenggala? Bukankah orang tuamu adalah Pujo dan Kartikosari yang dahulu tinggal di Bayuwismo? Aku mengenal orang tuamu baik-baik, Endang Patibroto. Aku orang dari Selopenangkep, dahulu kukenal baik Pujo, Kartikosari, bahkan Sang Resi Bhargowo. Namaku Ki Jatoko. Karena tadi kulihat pemuda lawanmu ini amat tangkas dan berbahaya, maka mengingat akan.....eh, ibumu, maka aku turun tangan membantumu. Harap kau jangan marah."
Diam-diam Endang Patibroto terkejut. Orang ini agaknya benar-benar mengenal orang tuanya baik-baik.
"Kalau kau tidak mau membunuhnya, biarlah aku yang membunuhnya agar di hari kemudian tidak akan ada gangguan lagi dari orang muda ini."
Ki Jatoko menghunus kerisnya dan menghampiri tubuh Joko Wandiro yang masih menggeletak di atas tanah.
"Jangan bunuh!" bentak Endang Patibroto dan dengan heran Ki Jatoko menahan langkahnya. Ia tidak berani membantah, maklum betapa saktinya gadis itu.
"Tanpa bantuanmu, aku tidak akan kalah olehnya. Kelak dia akan kutewaskan sendiri dengan kedua tanganku. Eh, paman buntung. Kau bilang mengenal baik ayah bundaku ada hubungan apakah antara engkau dengan ayah bundaku?"
Ki Jatoko tersenyum, lalu menarik napas panjang. "Kuceritakan juga takkan ada yang percaya. Hubunganku amatlah erat, terutama dengan ibumu. Ada rahasia besar antara ibumu dan aku."
"Rahasia? Rahasia Apa....?" Endang Patibroto penasaran dan marah.
Ki Jatoko orangnya memang cerdik. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Belum tiba saatnya kututurkan kepadamu. Ada hal yang lebih penting lagi. Tahukah engkau bahwa tadi pemuda itu menyangka kau orang lain?"
Merah wajah Endang Patibroto. Bedebah, sumpahnya dalam hati. Si buntung ini agaknya melihat ketika ia dipeluk Joko Wandiro tadi. Ia tidak menjawab, hartya mendengus perlahan.
"Dia tadi sedang mencari Ayu Candra, kekasihnya, juga adik tirinya. Memang pemuda ini seorang yang tidak tahu malu, mencinta adik tiri seibu sendiri! Kekasihnya itu bernama Ayu Candra dan gadis itu adalah puteri Listyokumolo dan Adibroto....!"
"Ahh! Dia mencari aku untuk membalas dendam karena ayah bundanya telah kubunuh!," Endang Patibroto memotong marah.
Diam-diam girang hati Ki Jatoko. Dari pertengkaran antara Joko Wandiro dan gadis ini tadi ia hanya dapat menduga-duga dan sekarang ternyata ia mendapat keterangan yang jelas. Tahulah ia kini Apa yang terjadi. Jelas bahwa Pujo telah dibunuh oleh Listyokumolo, kemudian Listyokumolo bersama Ki Adibroto dibunuh oleh gadis ini! Pantas saja bekas pukulannya pada tubuh Ki Adibroto demikian keji dan mengerikan!
"Memang begitulah, akan tetapi aku telah berhasil membujuknya sehingga ia telah ikut bersamaku, tadinya hendak kuajak dia ke Jenggala. Aku mengenal baik sang prabu di Jenggala, juga para pernbantunya yang sakti banyak yang kukenal. Aku sudah berpikir untuk mengajaknya ke sana bertemu denganmu."
"Hemm, akan kubunuh dia!"
"Tidak begitu, anak yang baik. Ada hukuman yang lebih baik lagi yang tentu akan menyenangkan hatimu."
"Bagaimana?"
"Yaitu..... eh..... , dia akan kupaksa menjadi....... isteriku!"
Terbelalak sepasang mata Endang Patibroto. Ia memandang si buntung itu biarpun cuaca sudah mulai gelap, masih dapat ia melihat bentuk tubuh yang buntung kedua kakinya itu dan ia bergidik. Menjadi isteri orang ini benar-benar lebih mengerikan daripada mati!
"Mengapa aku harus menyerahkan dia kepadamu untuk kauperisteri?"
"Karena....... karena........ eh, rahasia itulah, Endang Patibroto. Kalau engkau sudah tahu akan rahasia antara ibumu dan aku, tentu kau akan dengan segala senang hati menyerahkan dia untuk menyenangkan hatiku. Kau berjanjilah, anak baik, bahwa kalau kau berhasil menangkap Ayu Candra, kau akan menyerahkannya kepadaku, tidak akan membunuhnya, untuk ditukar dengan....... rahasia itu yang tentu akan kuterangkan kepadamu. Sebelum Ayu Candra diserahkan kepadaku, biar dibunuh sekalipun, aku takkan membuka rahasia besar antara ibumu dan aku yang..... eh, ada hubungannya rapat dengan dirimu pula."
Endang Patibroto adalah seorang gadis yang masih muda dan hijau. Penuturan si buntung ini amat menarik hatinya. Apa lagi ia kini merasa seperti pernah melihat orang buntung ini, akan tetapi ia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Tanpa terasa, saking tertarik, ia menganggukkan kepalanya.
"Sudahlah, kau boleh pergi sekarang."
"Akupun hendak menghadap sang prabu di Jenggala. Lebih baik kita pergi bersama."
"Ihh, siapa sudi pergi dengan seorang buntung seperti kau?" Endang Patibroto menghardik. "Pergilah kau lebih dulu!"
Mendongkol juga hati Ki Jatoko. Gadis ini terlalu sombong, akan tetapi harus ia akui bahwa kesaktian gadis itu juga menggiriskan hati. Ia tersenyum dan pergi dari situ, ia tidak berani menyelinap untuk mengintai karena maklum bahwa perbuatan itu amat berbahaya dan kalau sampai diketahui, mungkin gadis yang keji dan ganas itu sekali serang akan merampas nyawanya! Ia sudah merasa girang sekali karena kini ia sudah tahu akan semua kejadiannya, bahkan ia tahu pula bahwa Kartikosari dan Roro Luhito, dua orang wanita musuh besarnya itu, kini bersembunyi di Pulau Sempu!
Dengan bantuan kawan-kawannya di Jenggala, Apa sukarnya menyerbu ke Sempu? Ia akan membalas dendam, ia akan membunuh mereka.....ah, tidak! Tidak akan begitu mudah. Ia akan mempermainkan mereka, memperhina mereka sampai kedua orang wanita cantik itu merindukan kematian. Ia akan membalas dendam sepuasnya. Akan tetapi, ia harus mencari Ayu Candra. Kalau lebih dulu gadis yang dicintanya itu terjatuh ke tangan Endang Patibroto, biarpun Endang sudah berjanji kepadanya untuk menukar Ayu dengan rahasia besar, namun janji seorang gadis liar seperti Endang Patibroto sukar untuk dipercaya. Wataknya yang begitu liar dan ganas sungguh mengerikan. Siapa tahu kalau Ayu Candra akan dibunuhnya lebih dulu!
Sementara itu, setelah si buntung pergi jauh, Endang Patibroto menghampiri tubuh Joko Wandiro. Dipandangnya sosok tubuh yang rebah miring itu, kemudian ia membungkuk dan meraba dadanya. Gadis itu menarik napas lega ketika merasa betapa jantung pemuda itu masih berdegup normal dan pernapasannya masih biasa.
"Hemmm, engkau manusia keji...! Sudah tahu ayah menjodohkan kita, engkau masih berani menyebut-nyebut nama gadis lain di depanku! Sungguh tak menghargai orang, apakah kau merasa terlalu berharga bagiku? Huh, laki-laki sombong!"
Dengan gemas Endang Patibroto lalu meloncat dan menghilang di dalam gelap, meninggalkan Joko Wandiro yang masih menggeletak pingsan di tengah hutan.
Endang Patibroto uring-uringan. Hatinya kecut dan kesal sekali. Bertubi-tubi banyak hal yang tak menyenangkan hatinya telah terjadi, membuat kepalanya serasa pening dan dadanya panas hampir meledak. Dengan selamat ia telah mengantarkan Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh pulang ke istana Jenggala. Hal pertama yang menggemaskan hatinya terjadilah. Ia disambut dengan teguran-teguran pahit oleh para senopati dan penjabat-penjabat tinggi, karena dianggapnya telah membawa pangeran dan puteri itu sehingga menggelisahkan semua keluarga raja.
Karena merasa bahwa memang terlalu lama ia mengajak pergi dua orang muda bangsawan itu dan memang tentu saja telah menggelisahkan mereka, apalagi kalau mereka mendengar akan pengalaman sang puteri yang amat berbahaya, maka Endang Patibroto tidak membantah dan diam saja, biarpun hatinya menjadi panas.
Hal ke dua yang lebih menjengkelkan hatinya menyusul. Ternyata sang prabu tidak menyambut kedatangannya, bahkan tidak berkenan menerimanya menghadap. Menurut desas-desus, sang prabu "sedang sibuk" dengan dua orang wanita sakti yang sejak lama membantu Jenggala, yaitu Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang sudah beberapa hari "dikeram" di dalam istana, bahkan selama itu sang prabu tak pernah menampilkan diri.
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini tiba-tiba muncul dan aneh sekali. Kalau tadinya mereka itu merupakan dua orang wanita cantik genit dan masih muda, sekarang, biarpun pakaian mereka masih mewah dan sikap mereka masih genit, namun mereka telah menjadi tua, menjadi nenek-nenek!"
"Agaknya sang prabu amat percaya kepada mereka. Hemm, tidak akan mengherankan kalau mereka menjadi calon pengawal-pengawal pribadi sang prabu!"
"Memang mereka itu sakti mandraguna!"
"Bukan itu saja, juga ada berita angin yang mengabarkan bahwa mereka itu....hemm....amat pandai merayu hati pria!"
Demikianlah ucapan-ucapan dari para pengawal.yang memasuki telinga Endang Patibroto. Sungguhpun tidak ada seorang juga yang berani menyatakan bahwa kedudukannya digeser atau direbut dua orang wanita itu, namun di dalam hatinya ia merasa dikesampingkan oleh sang prabu. Kejengkelan hati Endang Patibroto membuat ia pergi tanpa pamit! Ia pergi seorang diri tanpa menunggang kuda dan akhirnya tiba di Bukit Anjasmoro di mana ia secara kebetulan bertemu dengan Joko Wandiro!
Mula-mula ketika ia dipeluk dari belakang dan diciumi rambutnya, semacam perasaan aneh yang tak pernah dirasakannya, yang membuat jantungnya berdebar, melemaskan seluruh tubuhnya dan ia merasa nikmat luar biasa ketika ia menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu. Dada Joko Wandiro. Dada pria yang oleh ayahnya telah dicalonkan menjadi suaminya! Akan tetapi, perkembangan selanjutnya makin menjengkelkan hatinya.
Pertandingannya dengan Joko Wandiro, kenyataan bahwa ia tak mampu mengalahkan pemuda itu, menambah kejengkelan dan penasaran hatinya. Kemudian melihat betapa Ki Jatoko si buntung itu merobohkan Joko Wandiro secara curang, semua ini membuat Endang Patibroto uring-uringan dan marah-marah. Ingin ia menumpahkan kemarahannya itu, akan tetapi kepada siapa? Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi dan tampaklah belasan orang penunggang kuda. Endang Patibroto hendak pergi, akan tetapi terdengar teriakan yang sudah dikenalnya,
"Endang....! Endang Patibroto....!"
Itulah suara Pangeran Panjirawit! Endang Patibroto ragu-ragu, kemudian mengambil keputusan untuk menanti dan mendengarkan Apa yang hendak dikatakan pangeran yang menjadi sahabat baiknya itu. Kalau ia sudah tak terpakai lagi di Jenggala, mau Apa Pangeran Panjirawit menyusulnya? Ia tidak akan mudah dibujuk dengan kata-kata halus, biar oleh Pangeran Panjirawit sekalipun!
Benar dugaannya. Yang datang adalah Pangeran Panjirawit bersama empat orang pangeran lain dan para pengawal. Begitu melompat turun dari atas kuda, Pangeran Panjirawit lari menghampiri Endang Patibroto dan memegang tangannya.
"Endang, kenapa engkau pergi? Engkau harus menolong kami, harus menolong kanjeng rama!" kata Pangeran Panjirawit dengan napas terengah-engah. Juga empat orang pangeran yang lain maju pula membujuk. Endang Patibroto tersenyum mengejek dan pandang matanya dingin menyapu para pangeran itu.
"Hemm," katanya kemudian dengan suara dingin, "aku sudah tidak diperlukan lagi, mengapa paduka sekalian menyusul? Kalau ada urusan penting, bukankah di sana sudah ada dua orang wanita sakti yaitu Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sang prabu sama sekali tidak lagi membutuhkan bantuanku!"
"Ah, Endang, engkau sama sekali tidak tahu! Jangan kau menduga yang tidak-tidak terhadap kanjeng rama. Beliau sama sekali bukan tidak menghargai atau membutuhkan bantuanmu lagi. Bahkan sebaliknya, saat ini beliau dan kami semua amat membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, ada perkara apakah, Gusti Pangeran Panjirawit?"
"Endang, menurut hasil para ponggawa setia yang melakukan penyelidikan, ternyata orang-orang sakti yang katanya membantu kanjeng rama, termasuk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono, Ki Krendroyakso, dan sekarang ditambah lagi dengan seorang brahmana tua yang amat sakti bernama Bhagawan Kundolomuko yang katanya adalah ayah dari Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mengadakan persekutuan busuk untuk merampas Kerajaan Jenggala!"
Seketika perhatian Endang Patibroto tertarik dan lenyaplah kekeruhan wajahnya.
"Apa maksud paduka? Harap ceritakan yang jelas."
"Mereka itu bersekutu dengan Adipati Jagalmanik yang menjadi raja muda di Nusabarung, sebuah pulau di Laut Selatan. Sekarang Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah berhasil mempengaruhi kanjeng rama, hal ini termasuk siasat yang mereka rencanakan. Karena kami tidak berani mengganggu kanjeng rama sedangkan tidak ada senopati atau pengawal yang kiranya dapat menanggulangi kesaktian dua orang wanita iblis itu, maka harap kau suka membantu kami. Masuklah ke taman sari dan tangkaplah Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Endang."
"Bagaimana nanti kalau sang prabu marah kepada hamba?" Endang Patibroto meragu.
"Kami yang bertanggung jawab kalau rama prabu marah," kata Pangeran Panjirawit.
"Kanjeng rama sudah lupa segala, tidak pernah bersidang dan tidak pernah mau bertemu dengan siapapun juga. Kami semua khawatir sekali," kata seorang pangeran lain.
"Baiklah. Hamba akan menghadapi dua orang nenek-nenek iblis itu. Para pengawal lain dan juga paduka sekalian harap jangan turut campur."
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya berkelebat Endang Patibroto sudah lenyap dari depan mereka, membuat para pangeran dan pengawal, kecuali Pangeran Panjirawit yang merasa bangga, menjadi terlongong keheranan dan hati penuh kagum. Mereka lalu beramai-ramai pulang ke Jenggala.
Sebelum rombongan Pangeran Panjirawit ini tiba di istana Jenggala, pada senja hari itu terjadi peristiwa hebat di dalam taman sari keraton Jenggala. Pada senja hari itu, di taman sari yang indah itu sunyi sekali, sesunyi tanah kuburan. Semenjak Ni Durgogini dan Ni Nogogini berada di dalam keraton, semua pengawal yang menjaga taman sari, juga para emban pelayan, ditiadakan. Taman sari itu sunyi dan penuh dengan getaran hawa yang aneh, akan tetapi bagi sang prabu, agaknya merupakan sebuah taman Indraloka, surga yang penuh keindahan. Ditemani dua orang wanita itu, sang prabu merasa seakan-akan hidup di taman surga dikawani dua orang bidadari kahyangan yang cantik jelita!
Ketika Endang Patibroto menyusup memasuki taman sari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga tidak menimbulkan suara dan tidak diketahui oleh tiga orang yang berada di taman sari, gadis ini segera dapat melihat bahwa di dalam taman sari telah terjadi hal-hal yang bukan sewajarnya. Hawa dingin penuh getaran kuat dirasainya dan ia maklum bahwa dua orang wanita iblis itu mempergunakan aji yang dahsyat dan memiliki pengaruh yang amat kuat. Ketika ia mengintai, makin jelaslah dan makin yakinlah hatinya bahwa sang prabu berada di dalam cengkeraman kedua orang iblis betina itu yang mempergunakan aji guna-guna yang memabokkan dan mempesona sang prabu.
Ia melihat betapa sang prabu sedang duduk setengah berbaring di sebuah bangku panjang. Ni Durgogini berlutut dan memijiti kedua kaki sang prabu, sedangkan Ni Nogogini menuangkan minuman keras dan memberi minum sang prabu dengan sikap genit sekali. Dengan gaya memikat ketika memberi minum, ia sengaja merapatkan dadanya pada pipi sang prabu. Juga Ni Durgogini memijat sambil mengusap-usap dan membelai mesra. Sang prabu kelihatan senang dan wajahnya amat pucat, pipinya cekung, sekitar matanya menghitam, dan mata itu sendiri setengah dipejamkan.
"Sayang tidak sejak dahulu kalian melayani aku semanis ini, manis!" kata sang prabu sambil membuang napas lega setelah minum, kemudian merebahkan kepala di atas pangkuan Ni Nogogini!
Endang Patibroto memandang dengan kedua pipi berubah merah. Belum pernah ia menyaksikan orang bermesra-mesraan dan bermain cinta, maka kini jantungnya berdebar dan mukanya merah. Akan tetapi saking herannya ia sejenak tak bergerak seperti arca. Jelas tampak olehnya betapa perubahan besar terjadi pada wajah kedua orang wanita itu. Dahulu mereka cantik molek dan kelihatan masih muda, takkan lebih dari tiga puluh tahun usia mereka.
Akan tetapi sekarang telah menjadi nenek-nenek yang peyot dan keriputan, nenek-nenek yang pantasnya berusia enam puluh tahun! Ia tidak tahu bahwa kedua orang wanita ini kehilangan daya ampuh obat Suket Sungsang setelah terkena pukulan tangan Joko Wandiro. Yang membuat Endang Patibroto terheran-heran adalah sikap sang prabu. Agaknya sang prabu tidak menganggap mereka itu buruk dan tua! Hemm, pasti terkena ilmu guna-guna yang amat kuat, pikir Endang Patibroto.
Dugaan gadis sakti ini memang benar. Kedua orang wanita itu boleh jadi kehilangan daya obat muda Suket Sungsang, namun mereka sama sekali tidak pernah kehilangan aji kesaktian mereka. Setelah mereka dikalahkan Joko Wandiro dan dibikin badar sehingga menjadi tua, mereka lari mencari ayah mereka yang bertapa di hutan Gumuk-mas dekat pantai selatan dari mana Pulau Nusabarung sudah tampak. Ternyata kemudian bahwa ayah mereka, Bhagawan Kundolomuko, telah bersekutu dengan sahabatnya, Sang Adipati Jagalmanik dari Nusabarung untuk menguasai Kerajaan Jenggala yang mereka anggap lemah.
Demikianlah, setelah mengadakan persekutuan dengan para pembantu sakti dari Jenggala dengan perantaraan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kedua orang wanita ini lalu mendekati sang prabu dan menjalankan siasat komplotan mereka, yaitu mempengaruhi sang prabu di Jenggala sehingga jatuh di bawah kekuatan mereka.
Secara kebetulan sekali kepala pengawal yang mereka segani, Endang Patibroto, sedang pergi bersama Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh, maka usaha kedua nenek ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Dengan aji pengasihan Guno Asmoro, dengan mudah sang prabu dibuat tak berdaya dan tergila-gila kepada dua orang nenek yang dalam pandangan sang prabu seakan-akan dua orang bidadari cantik jelita itu.
Biarpun keturunan langsung Sang Prabu Airlangga yang sakti mandraguna, namun Raja Jenggala ini sejak mudanya sudah menjadi hamba nafsunya dan bergaul dengan orang-orang yang tidak suci, maka mudah saja terkena pengaruh aji pengasihan yang amat ampuh itu. Ketika melihat betapa Ni Durgogini memeluk pinggang sang prabu sedangkan Ni Nogogini mencium pipinya, Endang Patibroto tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar sambil menepuk kedua tangannya dengan pengerahan Aji Wisangnoio dibarengi pekik sakti Sardulo Bairowo yang amat dahsyat.
Kedua tangannya mengeluarkan suara seperti halilintar menyambar disambung pekiknya yang memekakkan telinga. Hebat bukan main aji kesaktian gadis ini. Mendengar suara yang amat dahsyat itu, seketika sirna pengaruh aji pengasihan Guno Asmoro yang mencengkeram ingatan dan hati sang prabu. Seketika sang prabu menjadi sadar dan memandang dengan mata terbelalak kepada dua orang nenek itu, kemudian ia menjerit dan roboh pingsan di atas bangku!
Ni Durgogini dan Ni Nogogini terkejut setengah mati ketika melihat munculnya Endang Patibroto. Mereka tadinya sudah merasa berhasil dan aman. Setelah sang prabu dikuasai, siapa lagi berani mengganggu? Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis ini sedemikian beraninya memasuki taman sari tanpa ijin sri baginda! Mereka berdua marah sekali, akan tetapi karena mereka maklum bahwa murid Dibyo Mamangkoro ini sama sekali tidak boleh dibuat main-main, mereka yang cerdik menahan kemarahannya dan mengambil sikap lunak.
"Ah, kiranya adinda kepala pengawal yang datang. Apakah sebabnya adinda mengganggu kami berdua yang sedang menghibur sang prabu?" bertanya Ni Durgogini dengan suara merdu dan halus.
"Ah, adinda sungguh main-main sehingga membuat sang prabu jatuh pingsan," Ni Nogogini juga menegur dengan suara halus.
Endang Patibroto membanting kakinya. Cih, perempuan-perempuan tua bangka tak tahu malu, menyebutnya adinda segala! Mereka itu patut menjadi neneknya! Ia tersenyum mengejek ketika berkata, "Kalian tak usah bersandiwara lagi, karena aku sudah tahu betapa kalian menjadi kaki tangan Adipati Jagalmanik di Nusabarung dan bertugas menguasai sang prabu."
Seketika pucat wajah Ni Durgogini dan Ni Nogogini dan secara tak sadar tangan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Namun Ni Durgogini masih bersiasat dan berkata dengan suara penuh bujukan,
"Endang Patibroto, terhadap seorang gadis sakti mandraguna dan cerdik pandai seperti engkau, memang tak perlu lagi kami bersandiwara. Memang Apa yang kaukatakan tadi benar. Akan tetapi, siapa pula orangnya yang sudi menghambakan diri kepada raja yang lemah ini? Kerajaan Jenggala amat lemah dan sudah pasti akan dicaplok Kerajaan Panjalu yang jauh lebih kuat. Kecuali kalau Jenggala berada di bawah pimpinan seorang yang kuat dan pandai seperti Adipati Jagalmanik, barulah dapat menghadapi Panjalu. Endang Patibroto, berpikirlah cerdik dan kiranya gurumu, paman Dibyo Mamangkoro juga akan sependapat dengan kami. Kalau kau membantu Adipati di Nusabarung, kelak engkau tentu akan mendapatkan kemuliaan dan...."
"Cukup! Tutup mulutmu yang beracun! Siapa sudi bersekutu dengan manusia-manusia rendah macam kalian? Saat ini kematian telah menanti kalian, kematian kalian sudah sejak dahulu kuidam-idamkan harus jatuh di tanganku!"
Dua orang wanita itu melompat bangun dan senjata mereka sudah berada di tangan. Ni Durgogini sudah mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu cambuk yang bernama pecut sakti Sarpokenoko. Sedangkan Ni Nogogini juga sudah mencabut keluar cundriknya yang ampuh dan mengeluarkan cahaya berkilat, yaitu cundrik Embun sumilir!
"Babo-babo, keparat Endang Patibroto! Sumbarmu seperti di dunia ini hanya engkau seorang wanita sakti! jangan dikira bahwa kami takut menghadapimu. Hanya karena melihat engkau masih muda dan murid paman Dibyo Mamangkoro maka kami masih bersikap sabar dan mengajakmu bekerja sama. Akan tetapi kalau engkau nekat menantang yuda, jangan mengira kami akan undur setapakpun. Hanya sebelumnya, katakanlah mengapa engkau menghendaki kematian kami di tanganmu."
Senyum yang menghias mulut yang indah bentuknya itu melebar sehingga tampak deretan gigi putih berkilauan. "Ni Durgogini dan Ni Nogogini, coba kalian ingat baik-baik, Apa yang kalian lakukan belasan tahun yang lalu di Pulau Sempu?"
Dua orang nenek itu saling pandang, kemudian Ni Durgogini memandang gadis itu dengan heran. "Di Pulau Sempu? Kami hanya satu kali mengunjungi Pulau Sempu, sebagai utusan sang prabu yang dahulu masih Pangeran Anom. Kami dan rombongan mencari pusaka Mataram yang hilang."
"Bagus kalau kalian masih ingat, kalian takkan mati penasaran. Tentu masih ingat akan perbuatan kalian mengeroyok Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo? Dengarlah, aku adalah cucunya"
"Aiiihhhh.....!" Ni Durgogini berteriak.
"Tapi kenapa kau di Jenggala....?"
Ni Nogogini berseru pula, akan tetapi karena kedua orang wanita itu kini maklum bahwa pertandingan mati-matian tak dapat dicegah lagi, mereka berdua sudah menerjang maju sambil menggerakkan senjata masing-masing. Pecut Sarpokenoko di tangan Ni Durgogini menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala Endang Patibroto seperti petir dan mengeluarkan hawa panas sekali, sedangkan cundrik Embun-sumilir di tangan Ni Nogogini berubah menjadi gulungan sinar kemilau yang mengeluarkan hawa dingin.
"Tar-tar-tar-tar....!!" Cambuk itu meledak-ledak.
"Wuuut.....siuuuutttt....!" Cundrik Embun-sumilir menyambar-nyambar.
Endang Patibroto maklum bahwa kedua orang lawannya ini bukan orang sembarangan sedangkan senjata-senjata merekapun merupakan pusaka-pusaka ampuh. Namun ia tak mau mencabut Ki Brojol Luwuk. Gurunya yang merasa ngeri melihat keris pusaka Mataram itu berpesan agar dia tak menggunakan pusaka itu kalau tidak terlalu terpaksa dan Endang Patibroto adalah seorang gadis perkasa yang amat percaya kepada diri sendiri. Ia merasa sanggup menghadapi dua orang wanita ini, maka ia menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong. Tubuhnya berkelebat cepat sekali sehingga kadang-kadang ia lenyap dari pandangan kedua orang lawannya. Gadis ini telah mainkan ilmu gerak walet dan camar. Tubuhnya demikian ringan dan gesit sehingga ketika mengelak dan meloncat ke sana ke mari tiada ubahnya seekor burung beterbangan saja.
Sesungguhnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini bukanlah wanita biasa saja. Di waktu mereka masih remaja puteri, mereka telah menerima gemblengan ilmu dari ayah mereka yang sakti, yaitu Bhagawan Kundolomuko yang dahulu tinggal di pantai Selat Bali. Biarpun waktu itu mereka hanya mewarisi sebagian kecil ilmu ayahnya, namun mereka sudah termasuk wanita-wanita digdaya. Kemudian, ketika Sang Prabu Airlangga yang ketika itu masih seorang pangeran yang melakukan perantauan dari Bali ke Pulau Jawa, dikawani sahabatnya yang setia Narotama, dua orang pria muda ini bertemulah dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang ketika itu masih bernama Ni Lasmini dan Ni Mandari. Terjalinlah cinta kasih antara mereka yang menciptakan janji.
Setelah Sang Prabu Airlangga menjadi raja di Kahuripan dan Narotama menjadi patihnya, kedua orang wanita cantik dari Selat Bali itu dijemput. Ni Mandari menjadi selir Sang Prabu Airlangga, sedangkan Ni Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama. Mereka berdua begitu cantik jelita, begitu pandai memikat hati pria sehingga baik Sang Prabu Airlangga maupun Ki Patih Narotama amat sayang kepada selir dari Selat Bali ini dan berkenan menurunkan beberapa ilmu kesaktian dan petunjuk.
Namun sebagai orang-orang waspada, mereka melihat dasar-dasar watak yang kurang bersih pada diri selir-selir ini maka yang diturunkan hanya sekedarnya saja. Betapapun juga, tambahan ilmu dari dua orang ini telah membuat Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi wanita-wanita sakti. Setelah dua orang selir itu kemudian diusir karena keduanya tidak setia dan bermain gila dengan pangeran-pangeran muda, Ni Lasmini berganti nama menjadi Ni Durgogini dan bertapa di puncak Girilimut sedangkan Ni Mandari, adiknya, pergi ke pantai selatan dan berganti nama Ni Nogogini. Tentu saja setelah bertapa, ilmu kepandaian mereka makin menjadi hebat. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini baru dua kali Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar kecelik dan terpukul. Pertama ketika mereka menghadapi Joko Wandiro yang sudah mewarisi ilmu kesaktian Ki Patih Narotama. Ke dua adalah sekarang ini ketika mereka mengeroyok Endang Patibroto yang telah mewarisi ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro.
Biarpun mereka berdua menyerang dengan senjata pusaka di tangan, sedangkan Endang Patibroto menghadapi mereka dengan tangan kosong, namun setelah lewat tiga puluh jurus, kedua orang nenek itu mulai terdesak hebat! Hal ini adalah karena selain menggunakan keringanan tubuhnya yang hebat, yang membuat ia mampu berjalan di atas permukaan air mempergunakan mancung kelapa, juga Endang Patibroto mulai membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh, yaitu Aji Wisangnolo.
Hawa pukulan Aji Wisangnolo ini demikian ampuhnya sehingga kedua orang wanita tua yang mengeroyoknya beberapa kali terdorong mundur kepanasan, bahkan ujung cambuk Sarpokenoko setiap kali bertemu dengan hawa pukulan Wisangnolo membalik dan melecut pemegangnya sendiri! Dua orang wanita itu selain kaget juga makin marah dan penasaran. Biarpun menjadi murid Dibyo Mamangkoro, gadis ini masih amat muda, patut menjadi cucu mereka! Masa mereka yang telah matang dalam pengalaman ini tidak mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba Ni Durgogini mengeluarkan pekik melengking nyaring, juga Ni Nogogini menjerit keras, keduanya lalu menerjang dengan nekat sambil mengerahkan tenaga. Ujung cambuk Sarpokenoko berhasil menjerat pangkal lengan kanan Endang Patibroto dengan kuat. Selagi Endang Patibroto membetot lengannya berusaha melepaskan diri, Ni Nogogini sudah menusukkan cundrik Embun sumilir ke arah dada yang membusung itu.
Endang Patibroto tentu saja melihat datangnya cundrik, namun gadis itu hanya tersenyum saja sambil menyalurkan hawa sakti ke arah dada yang tertusuk sedangkan tangan kanannya bergerak ke pinggang kiri. Tangan kanan ini berkelebat dan sinar hitam menyambar ke depan, kemudian secepat kilat ia membiarkan dirinya terbetot cambuk, mendekat Ni Durgogini sambil mengerahkan tenaga melakukan pukulan Wisangnolo ke arah lambung dan lengan kanan Ni Durgogini. Cepat bagaikan kilat menyambar semua gerakan ini, sukar diikuti pandangan mata dan tahu-tahu terdengar jerit dua orang nenek itu, disusul darah menyemprot keluar, tubuh Ni Nogogini terguling dan Ni Durgogini terhuyung ke belakang sedangkan cambuk Sarpokenoko sudah berpindah ke tangan Endang Patibroto.
Apa yang teiah terjadi? Kiranya ketika cundrik Embun sumilir menusuk dada, terdengar suara "desss!" dan yang robek hanya baju Endang Patibroto karena cundrik itu meleset ketika bertemu dengan buah dadanya seolah-olah anggota badan gadis itu terbuat daripada baja murni! Kemudian tangan Endang yang bergerak tadi telah melepaskan panah tangan yang tak dapat dihindarkan lagi menancap tepat di ulu hati Ni Nogogini. Nenek ini menjerit, cundriknya terlempar dan ia mendekap ulu hatinya yang tidak kelihatan terluka karena panah tangan itu menancap terus sampai lenyap! Hanya semprotan darah dari ulu hati yang menyatakan bahwa nenek itu terpanah secara hebat.
Matanya mendelik dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Gerakan selanjutnya dari gadis perkasa yang pangkal lengannya masih terlibat ujung cambuk Sarpokenoko adalah melangkah maju mendekati Ni Durgogini, kemudian langsung mengirim hantaman Wisangnolo. Diserang dari jarak begitu dekat, Ni Durgogini merasa seakan-akan ada gunung api menimpanya, ia tidak kuat menjerit dan melepaskan cambuknya, terhuyung-huyung ke belakang sampai punggungnya menabrak batang pohon. Dengan mata terbelalak penuh ngeri, Ni Durgogini melihat adiknya berkelojotan, kemudian menjadi ketakutan ketika melihat Endang Patibroto melangkah maju menghampirinya perlahan-lahan dengan mata dingin seperti es sedangkan cambuk Sarpokenoko tergoyang-goyang dan bergantung di tangannya.
"Tidak....tidak jangan....." kata Ni Durgogini dengan suara serak.
Agaknya melihat nenek itu ketakutan, Endang Patibroto menjadi senang. Bibirnya tersenyum lebar dan tiba-tiba....."tarrrr.....!" cambuk itu melejit di udara dan di lain saat ujung cambuk telah membelit leher NI Durgogini seperti lilitan buntut seekor ular.
"Aaaah....aaauuughhh....auukkkk!"
Ni Durgogini mengerahkan tenaga, membetot-betot cambuk itu untuk melepaskan lilitan pada lehernya yang makin mencekik, membuat ia tak dapat bernapas. Namun sia-sia usahanya, lilitan makin erat dan makin erat sehingga mata nenek itu mendelik, lidahnya terulur keluar, kemudian ia roboh bergulingan, tangan kakinya berkelojotan seperti Ni Nogogini yang juga berkelojotan! Endang Patibroto kini menjadi beringas dan buas pandang matanya. Menyaksikan kedua orang musuhnya berkelojotan, senyum puas menghias bibirnya dan matanya mengeluarkan sinar seperti mata iblis. Kemudian ia mengerahkan tenaga, menarik gagang cambuk Sarpokenoko sekuat tenaga dan...."rrrrtttt!!...."leher Ni Durgogini putus, membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya!
Sambil tertawa-tawa Endang Patibroto lalu mengangkat gagang cambuk, sekali cambuknya digerakkan ke udara, terdengar suara meledak dan ujung cambuk kini melecut ke bawah, menyambar leher Ni Nogogini yang tubuhnya masih berkelojotan dan sekali sabet saja leher Ni Nogogini juga putus!
Bukan main hebatnya tenaga dan kepandaian Endang Patibroto, dan juga bukan main kejamnya jika menghadapi orang-orang yang dibencinya! Para pangeran dan pengawal yang mengintai dari jauh kini datang berlarian ke dalam taman sari. Mereka menjadi ngeri menyaksikan mayat kedua orang nenek itu. Pangeran Panjirawit yang bijaksana cepat-cepat memberi perintah kepada para pengawal untuk membawa pergi kedua mayat nenek itu dan dia sendiri bersama para pangeran lain lalu beramai-ramai menggotong tubuh sang prabu yang masih pingsan ke dalam keraton.
Ketika sang prabu sadar dari pingsannya, ia seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Dengan sabar dan hati-hati Pangeran Panjirawit lalu menceritakan tentang persekutuan itu, kemudian tentang usaha Ni Durgogini dan Ni Nogogini untuk mempengaruhi dan menguasai sang prabu.
"Sungguh mujur bahwa Endang Patibroto datang menolong kanjeng rama dan membunuh dua orang siluman betina itu."
Pangeran Panjirawit menutup ceritanya. Mendengar penuturan ini, sang prabu menjadi marah sekali. Ia segera memerintahkan para senopatinya untuk memimpin pasukan dan menggempur Nusabarung!
"Sebelum mereka turun tangan menyerbu, kita mendahului mereka menerjang ke sana dan membasmi Nusabarung!" teriak sang prabu yang selain marah juga merasa malu akan kelemahannya sendiri sehingga hampir saja mencelakakan kerajaannya.
Kemudian sang prabu memanggil Endang Patibroto dating menghadap, dan setelah memberi kata-kata pujian dan memberi hadiah emas permata, sang prabu minta agar gadis perkasa ini menyertai pasukan yang menyerbu ke Nusabarung untuk menghadapi pimpinan musuh yang memiliki kesaktian.
Jarum hitam yang menjadi senjata rahasia Ki Jatoko ampuh dan amat berbahaya. Jarum-jarum ini sengaja dibuat oleh Ki Jatoko dengan batang berlubang sehingga ketika ia merendamnya dengan racun ular racun itu memasuki lubang dan mengering di situ. Begitu jarum itu menancap di tubuh lawan, racun yang mengering ini terkena darah lalu ikut keluar dan meracuni darah dalam tubuh. Karena racun di setiap jarum itu banyak sekali, maka sebatang jarum kalau mengenai tubuh orang sama bahayanya dengan gigitan tiga ekor ular berbisa! Gigitan seekor ular berbisa saja sudah cukup untuk merenggut nyawa orang, apalagi tiga ekor!
Joko Wandiro telah terluka oleh sebatang jarum Ki Jatoko. Tepat di lehernya! Kalau bukan Joko Wandiro, tentu seketika akan tewas karena darahnya telah keracunan dan letaknya dekat kepala. Akan tetapi aneh sekali, mengapa ketika Endang Patibroto memeriksanya, pemuda ini tidak tewas, hanya pingsan? Betapapun saktinya pemuda itu, dalam keadaan pingsan tentu ia tidak dapat mengeluarkan kesaktiannya untuk melindungi tubuh dari serangan racun. Bukan, bukan kesaktiannya yang membuat pemuda ini belum tewas. Melainkan darahnya sendiri.
Pemuda ini ketika dahulu berada di Pulau Sempu, setelah menyimpan patung kencana di atas pohon randu alas, telah digigit seekor ular yang sangat beracun. Dalam takut dan nyeri, ia berlari dan balas menggigit leher ular sambil menghisap darah ular sampai habis. Inilah yang membuat darah pemuda itu mengandung racun ular itu dan memberinya daya untuk menahan racun-racun ular sehingga biarpun kini ia terluka dan terkena racun, namun keadaannya tidak separah orang biasa. Racun itu tidak dapat bergerak cepat, tertahan di sekitar luka oleh racun darahnya sendiri yang kini bahkan menjadi semacam obat penawar atau penolak. Betapapun juga, keadaannya bukan tidak berbahaya karena daya tolak itu hanya memperlambat saja menjalarnya racun dari jarum Ki Jatoko.
Joko Wandiro menggeletak pingsan di lereng Bukit Anjasmoro sampai malam tiba dan untung baginya bahwa pada saat ia pingsan itu tidak ada binatang buas yang mengetahui atau kebetulan lewat. Dalam keadaan seperti itu kalau ada seekor harimau menerkamnya, tentu ia akan mati konyol. Memang ada saja sebab atau jalan penyelamatan nyawa seseorang apabila Hyang Maha Wiscsa belum menghendaki kematian orang itu. Menjelang malam, secara tiba-tiba muncul enam bayangan orang.
Bayangan-bayangan ini amat cepat gerak-geriknya. Ada yang meloncat keluar dari balik rumpun alang-alang, ada yang melayang turun dari atas pohon. Mereka itu bertubuh langsing dan berambut panjang. Mereka semua adalah wanita-wanita muda yang amat cekatan. Akan tetapi anehnya, gadis-gadis yang berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun ini hampir bertelanjang bulat. Hanya daun-daun dari kembang-kembang menutupi sebagian tubuh mereka.
Sebagai wanita-wanita muda belia, tentu saja wajah mereka cantik-cantik, akan tetapi kecantikan yang liar, buas, dan tidak terkekang sama sekali. Agaknya mereka ini tidak mengenal peraturan dan tata susila umum. Sampai lama mereka mengelilingi Joko Wandiro. Ada yang meraba-raba, dan ada yang menjambak rambutnya, bahkan ada yang mencium pipinya. Persis perangai serombongan monyet betina! Akan tetapi mereka dapat bicara seperti manusia biasa, sungguhpun bahasa mereka itu kaku.
"Matikah...? "
"Dia tampan....!"
"Dia terluka....."
"Bawa ke kak Dewi!"
"Ya, bawa ke kak Dewi."
Setelah ramai mengutarakan perasaan dengan kata-kata singkat dan kaku, mereka lalu menggotong tubuh Joko Wandiro sambil tertawa cekikikan, lalu berlari-lari membawa pemuda itu ke dalam hutan yang lebat di lereng Gunung Anjasmoro.
Ketika Joko Wandiro membuka matanya, ia menjadi terheran-heran dan mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ia telah berbaring di atas sebuah pembaringan bambu bertilam anyaman daun pandan, di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana namun bersih. Tubuhnya terasa sehat dan segar, akan tetapi perutnya amat lapar. Yang membuat ia merasa terheran-heran dan mengira dalam mimpi adalah ketika pandang matanya melihat tubuh dua orang gadis cantik duduk bersimpuh di atas lantai.
Dua orang gadis bertubuh montok dan setengah telanjang! Dan di luar pondok itu, masih terdapat bayangan beberapa orang gadis yang cantik-cantik dan juga setengah telanjang, menjaga di pintu. Berdebar jantung Joko Wandiro. Ia menahan diri untuk tidak bergerak, pura pura masih tidur atau pingsan, dan mulailah ia mengingat-ingat. Terbayang dalam ingatannya betapa ia bertanding melawan Endang Patibroto, bertanding dalam sebuah pertempuran dahsyat dan seru.
Pertempuran paling hebat yang pernah ia alami. Alangkah digdaya Endang Patibroto. Sukar mengalahkan gadis perkasa itu. Teringat ia betapa mereka berdua mengadu tenaga sakti yang membuat mereka terpental. Pada saat itulah datangnya sinar hitam yang mengenai lehernya. Hemm, aku terkena senjata rahasia, pikirnya dan perlahan-lahan ia meraba lehernya sebelah kiri. Masih ada bekas luka di situ akan tetapi sudah tidak terasa sakit lagi, dan obat bubuk yang menempel pada luka sudah mengering. Ah, tentu aku roboh oleh senjata rahasia yang kecil. Pantasnya jarum.
Hampir saja Joko Wandiro meloncat namun ditahannya. Teringat ia sekarang. Jarum itu menyerangnya dari sebelah kiri, sedangkan Endang Patibroto jelas berada di depan. Jarum itu bukan dilepas oleh Endang Patibroto. Tentu oleh Ki Jatoko! Si buntung keparat itu! Dengan jarum-jarum yang direndam racun ular. Tidak salah lagi. Dan dia roboh pingsan. Akan tetapi kenapa ia masih hidup? Kenapa Ki Jatoko dan Endang Patibroto tidak membunuhnya? Ataukah mereka mengira dia sudah pasti mati karena jarum itu?
Dengan hati-hati Joko Wandiro meraba-raba lehernya. Kenapa ia tidak mati? Ia tahu bahwa jarum yang direndam racun ular itu luar biasa ampuhnya. Kalau ia tidak pingsan, mungkin ia dapat menggunakan hawa sakti untuk memaksa racun keluar. Akan tetapi ia roboh pingsan, entah berapa lamanya. Kenapa ia masih belum mati dan lebih aneh lagi, kenapa ia berada dalam pondok dan di situ banyak terdapat gadis cantik setengah telanjang tak tahu malu?
Diam-diam ia membuka mata dan mengerling ke arah dua orang gadis yang bersimpuh di atas lantai itu. Usia mereka paling banyak delapan belas tahun. Melihat kulit yang putih bersih itu, rambut yang hitam panjang mengkilap, gadis-gadis ini merawat baik-baik tubuh mereka. Akan tetapi mereka hampir telanjang, hanya menutupi bagian tubuh terpenting dengan daun-daun dan rumput hijau saja, namun tidak cukup untuk menutupi tubuh yang berkulit kuning langsat Itu.
Joko Wandiro tak berani memandang terlalu lama. Gadis-gadis ini, juga yang tampak berdiri di luar itu, jelas adalah orang-orang liar dan tentu bukan orang baik-baik. Mungkin sekali mereka ini anak buah Ki Jatoko. Endang Patibroto sudah jelas adalah kepala Pengawal Kerajaan Jenggala, akan tetapi keadaan Ki Jatoko amat mencurigakan. Orang itu penuh rahasia dan tidak mustahil gadis-gadis ini menjadi anak buahnya, dan dia dijadikan tawanan di tempat ini!
Berpikir demikian, seketika Joko Wandiro melompat turun. Akan tetapi sebelum ia dapat keluar, tiba-tiba dua orang gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menubruknya dari kanan kiri dan merangkulnya sambil tertawa-tawa, memaksanya rebah kembali di atas pembaringan.
"Hi-hik, si tampan sudah bangun....!"
"Kau tak boleh bergerak, tunggu kak Dewi....!"
Melihat betapa mereka itu merangkul dan memeluknya begitu saja tanpa malu-malu dan tanpa memperhatikan batas kesusilaan, Joko Wandiro menjadi makin geli hatinya dan tak terasa lagi bulu tengkuknya meremang. Gadis-gadis macam apakah mereka ini? Cepat ia menggunakan tenaganya, menggoyang tubuh dan dua orang gadis itu terlepas dan terpelanting ke kanan kiri, akan tetapi tidaklah terlalu keras karena memang Joko Wandiro tidak tega untuk menyakiti wanita-wanita ini yang belum ia ketahui siapa adanya. Begitu tubuhnya terlepas, ia lalu melompat keluar? kemudian lari menerobos pintu depan.
"Si tampan lari....!"
"Tangkap dia....!"
Jeritan-jeritan ini membuat gadis-gadis yang berada di luar menjadi kaget. Akan tetapi begitu mereka membalikkan tubuh, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Joko Wandiro telah berkelebat keluar dari dalam pondok. Segera terdengar jeritan-jeritan nyaring di sana-sini, disusul suitan-suitan merdu seperti orang bernyanyi. Ke mana pun Joko Wandiro lari, di depannya terdengar suitan-suitan dan jeritan sehingga ia membalik dan akhirnya ia kebingungan sendiri dan tanpa ia sadari, di bawah pohon-pohon cempaka yang bunganya berwarna-warni, ada yang putih, merah, ungu, kebiruan, berdiri empat orang gadis yang sudah menantinya dengan tersenyum-senyum.
Mereka ini lebih cantik daripada para penjaga tadi, usia mereka sekitar dua puluh tahun. Daun-daun yang menutupi tubuh merekapun lebih teratur, menutupi sekitar dada dan sekeliling pangkal paha. Agaknya mereka sudah tahu bahwa pemuda ini tentu akan lari kembali ke tempat ini, maka tadi mereka tidak ikut mengejar seperti wanita-waita lain.
Joko Wandiro memandang ke sekelilingnya. Dari tempat-tempat persembunyian di antara pohon dan kembang, kini bermunculan gadis-gadis dari empat penjuru yang segera mengurungnya dari tempat jauh dan masing-masing kini telah memegang sebatang bambu runcing! Jadi dia bersama empat orang gadis cantik yang menghadapinya kini telah terkurung, dipagar betis!
Terpaksa Joko Wandiro kini mencurahkan perhatiannya kepada empat orang gadis di depannya dengan hati terheran-heran karena ia menaksir bahwa gadit-gadis yang mengurungnya dari jauh itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang! Ia melihat betapa gadis-gadis ini berwajah manis-manis, namun pandang mata mereka liar dan galak, sungguhpun bibir mereka. tersenyum manis. Teringat ia akan wajah Endang Patibroto. Kalau Endang Patibroto menjadi kepala barisan wanita ini, amat tepatlah!
"Kalian ini siapakah dan mengapa menahanku dalam pondok itu?"
Akhirnya ia bertanya. Ia kini dapat menduga bahwa empat orang gadis ini tentulah merupakan pimpinan mereka karena hanya mereka berempat yang kini menghadapinya, sedangkan yang lain berdiri mengurung dari tempat jauh. Empat orang gadis itu saling pandang kemudian tertawa terkekeh sehingga tampak barisan gigi putih bersih di balik bibir merah. Mereka itu tertawa bebas, tidak ditutup-tutupi lagi. Mulut yang kecil itu terbuka memperlihatkan rongga mulut yang gelap dan kemerahan. Joko Wandiro hanya memandang mereka berganti-ganti, hatinya makin tidak enak.
"Namaku Lasmi!" kata gadis yang rambutnya paling panjang dan bulu matanya lentik melengkung.
"Aku Mini.....!" Gadis yang matanya lebar terkekeh lucu
"Namaku Sari....!" kata yang punya lesung pipit di kedua ujung mulutnya.
"Aku Sundari!" kata yang bertahi lalat di pipi kiri.
"Engkau tidak boleh pergi dari sini, demikian pesan kak Dewi," kata Lasmi.
Joko Wandiro mengerutkan keningnya.
"Apa salahku maka aku ditahan di sini? Kuharap kalian tidak menggangguku, karena aku mempunyai urusan penting sekali dan harus pergi sekarang juga." Ia teringat akan Ayu Candra dan ingin cepat-cepat pergi mencari adiknya itu.
'Tanpa perkenan kak Dewi, kau tidak boleh pergi dari sini," kata Mini sambil mendekat dengan lenggang-lenggok genit.
"Hemrn, kalau aku memaksa pergi?"
"Hi-hik! Memaksa pergi? Boleh kau coba, bocah bagus!" kata Sari sambil mengembangkan kedua lengannya sehingga tampak di balik daun-daun itu betapa tubuhnya yang memiliki lekuk lengkung sempurna itu bergerak-gerak.
Joko Wandiro meramkan matanya. Ia tidak percaya kepada pertahanan hatinya sendiri kalau harus terlalu lama menghadapi gadis-gadis cantik ini.
"Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, tidak mengenal kalian. Aku berterima kasih atas pengobatan pada luka di leherku, siapapun dia yang telah mengobatiku. Akan tetapi aku harus pergi, sekarang juga. Harap maafkan!"
Setelah berkata demikian, ia menggunakan ilmunya dan tubuhnya hendak meloncat secepatnya meninggalkan mereka. Akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dan tampak bayangan-bayangan yang langsing berkelebat dan empat orang gadis itu kini telah mengurungnya dengan gerakan yang amat cepat! Joko Wandiro terkejut juga. Kiranya empat orang ini memiliki ilmu gerak cepat yang tak boleh dipandang ringan.
"Aku tidak ingin bertempur dengan kalian empat orang gadis!"
Ia berseru kehabisan kesabaran dan juga bingung karena mereka berempat itu kesemuanya tersenyum dan sukar ditentukan siapa di antara mereka yang paling manis.
"Harap jangan menghalangi!" Ia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba Lasmi telah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah perut.
Menghadapi dahsyatnya serangan ini, Joko Wandiro segera rnengeluarkan pekik yang tidak kalah dahsyatnya. Kalau pekik Endang Patibroto adalah Aji Sardulo Bairowo (Pekik Harimau) yang suaranya menggetarkan jantung lawan seperti seekor harimau betina mengaum, adalah pekik Joko Wandiro ini Aji Diroto Meto (Gajah Mengamuk) yang lebih dahsyat lagi. Untuk dapat mengimbangi kecepatan gerak lawan, joko Wandiro juga menggunakan Aji Bramoro Seto (Lebah Putih) yang ia pelajari dan Ki Patih Narotama.
Mereka berdua sama-sama maklum bahwa akan percuma saja apabila mereka menggunakan aji-aji yang mereka dapat dari eyang Resi Bhargowo seperti Pethit Nogo atau Gelap Musti, karena keduanya mengenal ilmu ini. Maka kini Endang Patibroto mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia dapat dari ibunya sendiri ditambah gemblengan dari Dibyo Mamangkoro. Di lain pihak, Joko Wandiro juga rnengeluarkan aji-aji yang ia dapat dari Ki Patih Narotama.
Hebat bukan main pertandingan ini. Tubuh kedua orang muda itu sukar dilihat lagi oleh mata biasa. Sudah lenyap bentuknya, berubah sebagai dua baying-bayang yang seperti dua iblis bertanding yuda, kadang-kadang malah lenyap berubah menjadi gundukan sinar bergulung-gulung menjadi satu, sukar dibedakan mana Joko Wandiro mana Endang Patibroto.
Ratusan jurus telah lewat dengan tiada keputusan siapa kalah siapa menang. Bahkan tidak ada yang mendesak atau terdesak. Jurus ditukar jurus, pukulan dibalas tamparan, tendang-menendang, tusuk-menusuk dengan jari yang melebihi keris ampuhnya. Namun semua itu tidak mengenai sasaran, dapat dielakkan atau ditangkis lawan. Mereka setanding, seimbang, baik kegesitan maupun kekuatannya.
Joko Wandiro makin kagum. Baru pertama kali ini ia menemui tanding yang sehebat ini! Semua kepandaiannya telah ia kerahkan, namun tak pernah memperoleh hasil yang baik. Hanya saja bedanya, kalau Endang Patibroto melancarkan serangan-serangan maut yang amat ganas dan dahsyat, dia hanya melakukan serangan-serangan yang kalau mengenai sasaran tidak akan membahayakan keselamatan gadis itu. Betapapun juga, harus ia akui bahwa baginya, tidaklah mudah mengalahkan Endang Patibroto.
Di lain pihak, Endang Patibroto menjadi penasaran sekali.Makin lama ia menjadi makin marah, lalu berseru, "Hayo keluarkan senjatamu!" Teriakan ini ia lakukan berkali-kali, namun selalu Joko Wandiro menjawab,
"Aku tidak hendak mengadu nyawa denganmu, Endang. Kalau kau masih penasaran, boleh kau gunakan senjata, aku takkan mau melayani keganasanmu!"
Endang Patibroto marah sekali. Ia maklum, kalau mereka menggunakan senjata, dia dapat memakai keris pusaka Brojol Luwuk yang ampuhnya menggiriskan itu dan dengan bantuan keris pusaka ini ia tentu akan menang. Akan tetapi Joko Wandiro tidak mau memakai senjata dan untuk menghadapi seorang lawan yang bertangan kosong, tentu saja iapun enggan menggunakan senjata.
Hatinya makin gemas sampai-sampai kalau mungkin, ingin ia menangkap lawannya ini dan menggunakan kuku dan gigi untuk mencakar menggigit! Namun Joko Wandiro terlalu lincah, dan pertahanannya terlampau kokoh kuat, bagaikan batu karang di tengah samudra. Dan memang demikianlah. Semenjak kecil oleh Pujo, Joko Wandiro digembleng melawan gempuran ombak membadai sehingga ia memiliki daya tahan seperti batu karang di laut.
Karena ingin segera memperoleh kemenangan, Endang Patibroto lalu menempuh jalan keras. Mulutnya berkemak-kemik, kedua tangannya saling digosokkan. Kedua telapak tangan itu digosok-gosokkan sampai mengeluarkan asap! Inilah Aji Wisangnolo yang dikerahkan sampai ke puncaknya! Saking hebatnya getaran hawa panas beracun itu, kedua telapak tangan sampai mengeluarkan asap seakan-akan kedua telapak tangan itu sudah membara.
Joko Wandiro terkejut bukan main ketika gadis itu melancarkan serangan dengan mendorong kedua tangan ke arah dadanya. Hawa panas sekali keluar dari dorongan itu dan kedua tangan gadis itu berasap hitam! Ia maklum akan bahayanya serangan ini dan untuk mengelak sudah tidak ada kesempatan lagi. Untuk menangkis lengan, banyak bahayanya karena daya serang yang terpancar keluar dari dua telapak tangan itu dapat melukainya.
Terpaksa iapun lalu mengembangkan kedua lengan ke depan dengan telapak tangan terbuka, lalu menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangan pula sambil mengerahkan hawa saktinya. Ia tidak mau menggunakan aji pukulan yang keras karena khawatir kalau-kalau ia akan melukai lawannya, maka ia hanya mengumpulkan tenaga, menyimpannya di dada dan menyalurkan ke arah kedua lengannya sambil mempergunakan hawa itu tebagai tenaga lembek atau lunak.
"Desss,......!!"
Tenaga dahsyat dari kedua telapak tangan Endang Patibroto seakan tersedot ke dalam telapak tangan Joko Wandiro dan gadis itu merasa betapa kedua telapak tangannya bertemu sesuatu yang lunak dan dingin seperti es. Ia terkejut dan menarik kembali tangannya sambil berjungkir balik ke belakang sampai lima kali. Tubuhnya menggigil kedinginan dan mukanya menjadi pucat, namun ia terbebas dari luka berat. Ia mendengar Joko Wandiro mengaduh dan cepat-cepat ia memandang. Kiranya lawannya itu terhuyung-huyung lalu roboh terlentang dalam keadaan pingsan. Dua batang jarum hitam menancap di leher sebelah kiri!
"Heh-heh-heh! Kepandaianmu hebat sekali, nona muda. Akan tetapi lawanmu ini terlalu berbahaya maka aku membantumu merobohkannya. Sekarang lebih baik kau lekas membunuhnya selagi ia pingsan. Heh-heh-heh!"
Berkerut kening Endang Patibroto. Sepasang matanya bersinar-sinar memandang orang buntung yang muncul secara aneh itu.
"Engkau siapakah? Siapa suruh engkau membantuku? Aku tidak butuh bantuanmu!"
Memang yang merobohkan Joko Warndiro adalah Ki Jatoko. Setelah tadi Ki Jatoko dikalahkan Joko Wandiro dan melihat pemuda itu berlari-lari mencari Ayu Candra yang lenyap, Ki Jatoko segera menjumput kerisnya dan iapun menjadi bingung dan gelisah karena tidak melihat gadis yang dicintanya itu. Karena khawatir kalau gadis itu akan diajak pergi Joko Wandiro, maka iapun lalu mengejar. Ia tidak dapat menemukan Ayu Candra, sebaliknya malah melihat Joko Wandiro bertengkar dengan Endang Patibroto.
Hatinya tertarik dan segera ia mengintai dan mendengarkan. Kagetlah ia ketika dari pertengkaran itu ia mendengar bahwa gadis itu adalah kepala pengawal Jenggala yang sudah ia dengar dalam perantauannya. Ia sudah mendengar bahwa kini Jenggala memiliki seorang jago wanita yang amat sakti, yaitu murid dari Sang Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna. Sama senali tidak pernah disangkanya bahwa gadis jagoan itu ternyata adalah puteri Pujo dan Kartikosari, seperti yang dapat ia tarik kesimpulan dari pertengkaran kedua orang muda itu.
Diam-diam ia menjadi girang sekali melihat gadis itu bertengkar dengan Joko Wandiro. Sebagai seorang yang cerdik, dia dapat menduga bahwa setelah menjadi.murid Dibyo Mamangkoro, gadis itu telah menyimpang daripada jejak hidup orang tua dan kakeknya seperti....seperti dia sendiri yang telah menyimpang dari jejak hidup gurunya, Empu Bharodo!
Ketika terjadi pertempuran, ia menonton dengan jantung berdebar-debar. Baru sekali ini ia menyaksikan pertandingan yang serba hebat. Dia sendiri sampai melongo dan harus mengakui bahwa kepandaiannya sendiri sama sekali tidak akan mampu menandingi seorang di antara dua orang muda itu. Hebat bukan main, sampai kabur pandang matanya, sampai pening kepalanya.
Namun kecerdikannya tidak membiarkan ia tinggal diam saja. Diam-diam Ki Jatoko telah menyiapkan jarum-jarumnya, jarum hitam yang telah menghisap banyak racun ular. Pada gebrakan terakhir ketika dua orang muda itu tadi mengadu tenaga sakti yang mengakibatkan tubuh Endang Patibroto berjungkir-balik ke belakang sampai jauh, pada hakekatnya kerugian ada di pihak Joko Wandiro. Karena pemuda ini tidak ingin melukai lawannya, maka ia menggunakan tenaga lunak dan karena inilah maka ia berada di fihak bertahan. Karena tenaga mereka berimbang, biarpun ia berhasil mengembalikan daya pukulan lawan, namun ia sendiri tergetar jantungnya dan seketika kepalanya pening, pandang matanya berputar-putar.
Tampaknya ia tidak bergerak dari tempat ia berpijak, akan tetapi tubuhnya bergoyang-goyang dan kedua matanya meram. Dalam keadaan setengah pingsan ini dan selagi ia mengumpulkan tenaga mengatur napas, Ki Jatoko yang cerdik dapat melihat keadaan dan tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dua batang jarum hitam ia sambitkan dan tepat mengenai leher kiri pemuda itu yang berseru "aduhh....!" dan roboh terguling, pingsan!
Menghadapi teguran Endang Patibroto yang bersikap dingin dan tak senang, Ki Jatoko yang cerdik tidak menjadi bingung. Ia segera melangkah maju menghadapi gadis itu dan dengan hormat dan ramah berkata,
"Nona, bukankah namamu Endang Patibroto dan engkau adalah pengawal sang prabu di Jenggala? Bukankah orang tuamu adalah Pujo dan Kartikosari yang dahulu tinggal di Bayuwismo? Aku mengenal orang tuamu baik-baik, Endang Patibroto. Aku orang dari Selopenangkep, dahulu kukenal baik Pujo, Kartikosari, bahkan Sang Resi Bhargowo. Namaku Ki Jatoko. Karena tadi kulihat pemuda lawanmu ini amat tangkas dan berbahaya, maka mengingat akan.....eh, ibumu, maka aku turun tangan membantumu. Harap kau jangan marah."
Diam-diam Endang Patibroto terkejut. Orang ini agaknya benar-benar mengenal orang tuanya baik-baik.
"Kalau kau tidak mau membunuhnya, biarlah aku yang membunuhnya agar di hari kemudian tidak akan ada gangguan lagi dari orang muda ini."
Ki Jatoko menghunus kerisnya dan menghampiri tubuh Joko Wandiro yang masih menggeletak di atas tanah.
"Jangan bunuh!" bentak Endang Patibroto dan dengan heran Ki Jatoko menahan langkahnya. Ia tidak berani membantah, maklum betapa saktinya gadis itu.
"Tanpa bantuanmu, aku tidak akan kalah olehnya. Kelak dia akan kutewaskan sendiri dengan kedua tanganku. Eh, paman buntung. Kau bilang mengenal baik ayah bundaku ada hubungan apakah antara engkau dengan ayah bundaku?"
Ki Jatoko tersenyum, lalu menarik napas panjang. "Kuceritakan juga takkan ada yang percaya. Hubunganku amatlah erat, terutama dengan ibumu. Ada rahasia besar antara ibumu dan aku."
"Rahasia? Rahasia Apa....?" Endang Patibroto penasaran dan marah.
Ki Jatoko orangnya memang cerdik. Ia menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Belum tiba saatnya kututurkan kepadamu. Ada hal yang lebih penting lagi. Tahukah engkau bahwa tadi pemuda itu menyangka kau orang lain?"
Merah wajah Endang Patibroto. Bedebah, sumpahnya dalam hati. Si buntung ini agaknya melihat ketika ia dipeluk Joko Wandiro tadi. Ia tidak menjawab, hartya mendengus perlahan.
"Dia tadi sedang mencari Ayu Candra, kekasihnya, juga adik tirinya. Memang pemuda ini seorang yang tidak tahu malu, mencinta adik tiri seibu sendiri! Kekasihnya itu bernama Ayu Candra dan gadis itu adalah puteri Listyokumolo dan Adibroto....!"
"Ahh! Dia mencari aku untuk membalas dendam karena ayah bundanya telah kubunuh!," Endang Patibroto memotong marah.
Diam-diam girang hati Ki Jatoko. Dari pertengkaran antara Joko Wandiro dan gadis ini tadi ia hanya dapat menduga-duga dan sekarang ternyata ia mendapat keterangan yang jelas. Tahulah ia kini Apa yang terjadi. Jelas bahwa Pujo telah dibunuh oleh Listyokumolo, kemudian Listyokumolo bersama Ki Adibroto dibunuh oleh gadis ini! Pantas saja bekas pukulannya pada tubuh Ki Adibroto demikian keji dan mengerikan!
"Memang begitulah, akan tetapi aku telah berhasil membujuknya sehingga ia telah ikut bersamaku, tadinya hendak kuajak dia ke Jenggala. Aku mengenal baik sang prabu di Jenggala, juga para pernbantunya yang sakti banyak yang kukenal. Aku sudah berpikir untuk mengajaknya ke sana bertemu denganmu."
"Hemm, akan kubunuh dia!"
"Tidak begitu, anak yang baik. Ada hukuman yang lebih baik lagi yang tentu akan menyenangkan hatimu."
"Bagaimana?"
"Yaitu..... eh..... , dia akan kupaksa menjadi....... isteriku!"
Terbelalak sepasang mata Endang Patibroto. Ia memandang si buntung itu biarpun cuaca sudah mulai gelap, masih dapat ia melihat bentuk tubuh yang buntung kedua kakinya itu dan ia bergidik. Menjadi isteri orang ini benar-benar lebih mengerikan daripada mati!
"Mengapa aku harus menyerahkan dia kepadamu untuk kauperisteri?"
"Karena....... karena........ eh, rahasia itulah, Endang Patibroto. Kalau engkau sudah tahu akan rahasia antara ibumu dan aku, tentu kau akan dengan segala senang hati menyerahkan dia untuk menyenangkan hatiku. Kau berjanjilah, anak baik, bahwa kalau kau berhasil menangkap Ayu Candra, kau akan menyerahkannya kepadaku, tidak akan membunuhnya, untuk ditukar dengan....... rahasia itu yang tentu akan kuterangkan kepadamu. Sebelum Ayu Candra diserahkan kepadaku, biar dibunuh sekalipun, aku takkan membuka rahasia besar antara ibumu dan aku yang..... eh, ada hubungannya rapat dengan dirimu pula."
Endang Patibroto adalah seorang gadis yang masih muda dan hijau. Penuturan si buntung ini amat menarik hatinya. Apa lagi ia kini merasa seperti pernah melihat orang buntung ini, akan tetapi ia sudah lupa lagi kapan dan di mana. Tanpa terasa, saking tertarik, ia menganggukkan kepalanya.
"Sudahlah, kau boleh pergi sekarang."
"Akupun hendak menghadap sang prabu di Jenggala. Lebih baik kita pergi bersama."
"Ihh, siapa sudi pergi dengan seorang buntung seperti kau?" Endang Patibroto menghardik. "Pergilah kau lebih dulu!"
Mendongkol juga hati Ki Jatoko. Gadis ini terlalu sombong, akan tetapi harus ia akui bahwa kesaktian gadis itu juga menggiriskan hati. Ia tersenyum dan pergi dari situ, ia tidak berani menyelinap untuk mengintai karena maklum bahwa perbuatan itu amat berbahaya dan kalau sampai diketahui, mungkin gadis yang keji dan ganas itu sekali serang akan merampas nyawanya! Ia sudah merasa girang sekali karena kini ia sudah tahu akan semua kejadiannya, bahkan ia tahu pula bahwa Kartikosari dan Roro Luhito, dua orang wanita musuh besarnya itu, kini bersembunyi di Pulau Sempu!
Dengan bantuan kawan-kawannya di Jenggala, Apa sukarnya menyerbu ke Sempu? Ia akan membalas dendam, ia akan membunuh mereka.....ah, tidak! Tidak akan begitu mudah. Ia akan mempermainkan mereka, memperhina mereka sampai kedua orang wanita cantik itu merindukan kematian. Ia akan membalas dendam sepuasnya. Akan tetapi, ia harus mencari Ayu Candra. Kalau lebih dulu gadis yang dicintanya itu terjatuh ke tangan Endang Patibroto, biarpun Endang sudah berjanji kepadanya untuk menukar Ayu dengan rahasia besar, namun janji seorang gadis liar seperti Endang Patibroto sukar untuk dipercaya. Wataknya yang begitu liar dan ganas sungguh mengerikan. Siapa tahu kalau Ayu Candra akan dibunuhnya lebih dulu!
Sementara itu, setelah si buntung pergi jauh, Endang Patibroto menghampiri tubuh Joko Wandiro. Dipandangnya sosok tubuh yang rebah miring itu, kemudian ia membungkuk dan meraba dadanya. Gadis itu menarik napas lega ketika merasa betapa jantung pemuda itu masih berdegup normal dan pernapasannya masih biasa.
"Hemmm, engkau manusia keji...! Sudah tahu ayah menjodohkan kita, engkau masih berani menyebut-nyebut nama gadis lain di depanku! Sungguh tak menghargai orang, apakah kau merasa terlalu berharga bagiku? Huh, laki-laki sombong!"
Dengan gemas Endang Patibroto lalu meloncat dan menghilang di dalam gelap, meninggalkan Joko Wandiro yang masih menggeletak pingsan di tengah hutan.
Endang Patibroto uring-uringan. Hatinya kecut dan kesal sekali. Bertubi-tubi banyak hal yang tak menyenangkan hatinya telah terjadi, membuat kepalanya serasa pening dan dadanya panas hampir meledak. Dengan selamat ia telah mengantarkan Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh pulang ke istana Jenggala. Hal pertama yang menggemaskan hatinya terjadilah. Ia disambut dengan teguran-teguran pahit oleh para senopati dan penjabat-penjabat tinggi, karena dianggapnya telah membawa pangeran dan puteri itu sehingga menggelisahkan semua keluarga raja.
Karena merasa bahwa memang terlalu lama ia mengajak pergi dua orang muda bangsawan itu dan memang tentu saja telah menggelisahkan mereka, apalagi kalau mereka mendengar akan pengalaman sang puteri yang amat berbahaya, maka Endang Patibroto tidak membantah dan diam saja, biarpun hatinya menjadi panas.
Hal ke dua yang lebih menjengkelkan hatinya menyusul. Ternyata sang prabu tidak menyambut kedatangannya, bahkan tidak berkenan menerimanya menghadap. Menurut desas-desus, sang prabu "sedang sibuk" dengan dua orang wanita sakti yang sejak lama membantu Jenggala, yaitu Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang sudah beberapa hari "dikeram" di dalam istana, bahkan selama itu sang prabu tak pernah menampilkan diri.
"Ni Durgogini dan Ni Nogogini tiba-tiba muncul dan aneh sekali. Kalau tadinya mereka itu merupakan dua orang wanita cantik genit dan masih muda, sekarang, biarpun pakaian mereka masih mewah dan sikap mereka masih genit, namun mereka telah menjadi tua, menjadi nenek-nenek!"
"Agaknya sang prabu amat percaya kepada mereka. Hemm, tidak akan mengherankan kalau mereka menjadi calon pengawal-pengawal pribadi sang prabu!"
"Memang mereka itu sakti mandraguna!"
"Bukan itu saja, juga ada berita angin yang mengabarkan bahwa mereka itu....hemm....amat pandai merayu hati pria!"
Demikianlah ucapan-ucapan dari para pengawal.yang memasuki telinga Endang Patibroto. Sungguhpun tidak ada seorang juga yang berani menyatakan bahwa kedudukannya digeser atau direbut dua orang wanita itu, namun di dalam hatinya ia merasa dikesampingkan oleh sang prabu. Kejengkelan hati Endang Patibroto membuat ia pergi tanpa pamit! Ia pergi seorang diri tanpa menunggang kuda dan akhirnya tiba di Bukit Anjasmoro di mana ia secara kebetulan bertemu dengan Joko Wandiro!
Mula-mula ketika ia dipeluk dari belakang dan diciumi rambutnya, semacam perasaan aneh yang tak pernah dirasakannya, yang membuat jantungnya berdebar, melemaskan seluruh tubuhnya dan ia merasa nikmat luar biasa ketika ia menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu. Dada Joko Wandiro. Dada pria yang oleh ayahnya telah dicalonkan menjadi suaminya! Akan tetapi, perkembangan selanjutnya makin menjengkelkan hatinya.
Pertandingannya dengan Joko Wandiro, kenyataan bahwa ia tak mampu mengalahkan pemuda itu, menambah kejengkelan dan penasaran hatinya. Kemudian melihat betapa Ki Jatoko si buntung itu merobohkan Joko Wandiro secara curang, semua ini membuat Endang Patibroto uring-uringan dan marah-marah. Ingin ia menumpahkan kemarahannya itu, akan tetapi kepada siapa? Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda mendatangi dan tampaklah belasan orang penunggang kuda. Endang Patibroto hendak pergi, akan tetapi terdengar teriakan yang sudah dikenalnya,
"Endang....! Endang Patibroto....!"
Itulah suara Pangeran Panjirawit! Endang Patibroto ragu-ragu, kemudian mengambil keputusan untuk menanti dan mendengarkan Apa yang hendak dikatakan pangeran yang menjadi sahabat baiknya itu. Kalau ia sudah tak terpakai lagi di Jenggala, mau Apa Pangeran Panjirawit menyusulnya? Ia tidak akan mudah dibujuk dengan kata-kata halus, biar oleh Pangeran Panjirawit sekalipun!
Benar dugaannya. Yang datang adalah Pangeran Panjirawit bersama empat orang pangeran lain dan para pengawal. Begitu melompat turun dari atas kuda, Pangeran Panjirawit lari menghampiri Endang Patibroto dan memegang tangannya.
"Endang, kenapa engkau pergi? Engkau harus menolong kami, harus menolong kanjeng rama!" kata Pangeran Panjirawit dengan napas terengah-engah. Juga empat orang pangeran yang lain maju pula membujuk. Endang Patibroto tersenyum mengejek dan pandang matanya dingin menyapu para pangeran itu.
"Hemm," katanya kemudian dengan suara dingin, "aku sudah tidak diperlukan lagi, mengapa paduka sekalian menyusul? Kalau ada urusan penting, bukankah di sana sudah ada dua orang wanita sakti yaitu Ni Durgogini dan Ni Nogogini? Sang prabu sama sekali tidak lagi membutuhkan bantuanku!"
"Ah, Endang, engkau sama sekali tidak tahu! Jangan kau menduga yang tidak-tidak terhadap kanjeng rama. Beliau sama sekali bukan tidak menghargai atau membutuhkan bantuanmu lagi. Bahkan sebaliknya, saat ini beliau dan kami semua amat membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, ada perkara apakah, Gusti Pangeran Panjirawit?"
"Endang, menurut hasil para ponggawa setia yang melakukan penyelidikan, ternyata orang-orang sakti yang katanya membantu kanjeng rama, termasuk Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Warok Gendroyono, Ki Krendroyakso, dan sekarang ditambah lagi dengan seorang brahmana tua yang amat sakti bernama Bhagawan Kundolomuko yang katanya adalah ayah dari Ni Durgogini dan Ni Nogogini, mengadakan persekutuan busuk untuk merampas Kerajaan Jenggala!"
Seketika perhatian Endang Patibroto tertarik dan lenyaplah kekeruhan wajahnya.
"Apa maksud paduka? Harap ceritakan yang jelas."
"Mereka itu bersekutu dengan Adipati Jagalmanik yang menjadi raja muda di Nusabarung, sebuah pulau di Laut Selatan. Sekarang Ni Durgogini dan Ni Nogogini telah berhasil mempengaruhi kanjeng rama, hal ini termasuk siasat yang mereka rencanakan. Karena kami tidak berani mengganggu kanjeng rama sedangkan tidak ada senopati atau pengawal yang kiranya dapat menanggulangi kesaktian dua orang wanita iblis itu, maka harap kau suka membantu kami. Masuklah ke taman sari dan tangkaplah Ni Durgogini dan Ni Nogogini, Endang."
"Bagaimana nanti kalau sang prabu marah kepada hamba?" Endang Patibroto meragu.
"Kami yang bertanggung jawab kalau rama prabu marah," kata Pangeran Panjirawit.
"Kanjeng rama sudah lupa segala, tidak pernah bersidang dan tidak pernah mau bertemu dengan siapapun juga. Kami semua khawatir sekali," kata seorang pangeran lain.
"Baiklah. Hamba akan menghadapi dua orang nenek-nenek iblis itu. Para pengawal lain dan juga paduka sekalian harap jangan turut campur."
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya berkelebat Endang Patibroto sudah lenyap dari depan mereka, membuat para pangeran dan pengawal, kecuali Pangeran Panjirawit yang merasa bangga, menjadi terlongong keheranan dan hati penuh kagum. Mereka lalu beramai-ramai pulang ke Jenggala.
Sebelum rombongan Pangeran Panjirawit ini tiba di istana Jenggala, pada senja hari itu terjadi peristiwa hebat di dalam taman sari keraton Jenggala. Pada senja hari itu, di taman sari yang indah itu sunyi sekali, sesunyi tanah kuburan. Semenjak Ni Durgogini dan Ni Nogogini berada di dalam keraton, semua pengawal yang menjaga taman sari, juga para emban pelayan, ditiadakan. Taman sari itu sunyi dan penuh dengan getaran hawa yang aneh, akan tetapi bagi sang prabu, agaknya merupakan sebuah taman Indraloka, surga yang penuh keindahan. Ditemani dua orang wanita itu, sang prabu merasa seakan-akan hidup di taman surga dikawani dua orang bidadari kahyangan yang cantik jelita!
Ketika Endang Patibroto menyusup memasuki taman sari mempergunakan aji kesaktiannya sehingga tidak menimbulkan suara dan tidak diketahui oleh tiga orang yang berada di taman sari, gadis ini segera dapat melihat bahwa di dalam taman sari telah terjadi hal-hal yang bukan sewajarnya. Hawa dingin penuh getaran kuat dirasainya dan ia maklum bahwa dua orang wanita iblis itu mempergunakan aji yang dahsyat dan memiliki pengaruh yang amat kuat. Ketika ia mengintai, makin jelaslah dan makin yakinlah hatinya bahwa sang prabu berada di dalam cengkeraman kedua orang iblis betina itu yang mempergunakan aji guna-guna yang memabokkan dan mempesona sang prabu.
Ia melihat betapa sang prabu sedang duduk setengah berbaring di sebuah bangku panjang. Ni Durgogini berlutut dan memijiti kedua kaki sang prabu, sedangkan Ni Nogogini menuangkan minuman keras dan memberi minum sang prabu dengan sikap genit sekali. Dengan gaya memikat ketika memberi minum, ia sengaja merapatkan dadanya pada pipi sang prabu. Juga Ni Durgogini memijat sambil mengusap-usap dan membelai mesra. Sang prabu kelihatan senang dan wajahnya amat pucat, pipinya cekung, sekitar matanya menghitam, dan mata itu sendiri setengah dipejamkan.
"Sayang tidak sejak dahulu kalian melayani aku semanis ini, manis!" kata sang prabu sambil membuang napas lega setelah minum, kemudian merebahkan kepala di atas pangkuan Ni Nogogini!
Endang Patibroto memandang dengan kedua pipi berubah merah. Belum pernah ia menyaksikan orang bermesra-mesraan dan bermain cinta, maka kini jantungnya berdebar dan mukanya merah. Akan tetapi saking herannya ia sejenak tak bergerak seperti arca. Jelas tampak olehnya betapa perubahan besar terjadi pada wajah kedua orang wanita itu. Dahulu mereka cantik molek dan kelihatan masih muda, takkan lebih dari tiga puluh tahun usia mereka.
Akan tetapi sekarang telah menjadi nenek-nenek yang peyot dan keriputan, nenek-nenek yang pantasnya berusia enam puluh tahun! Ia tidak tahu bahwa kedua orang wanita ini kehilangan daya ampuh obat Suket Sungsang setelah terkena pukulan tangan Joko Wandiro. Yang membuat Endang Patibroto terheran-heran adalah sikap sang prabu. Agaknya sang prabu tidak menganggap mereka itu buruk dan tua! Hemm, pasti terkena ilmu guna-guna yang amat kuat, pikir Endang Patibroto.
Dugaan gadis sakti ini memang benar. Kedua orang wanita itu boleh jadi kehilangan daya obat muda Suket Sungsang, namun mereka sama sekali tidak pernah kehilangan aji kesaktian mereka. Setelah mereka dikalahkan Joko Wandiro dan dibikin badar sehingga menjadi tua, mereka lari mencari ayah mereka yang bertapa di hutan Gumuk-mas dekat pantai selatan dari mana Pulau Nusabarung sudah tampak. Ternyata kemudian bahwa ayah mereka, Bhagawan Kundolomuko, telah bersekutu dengan sahabatnya, Sang Adipati Jagalmanik dari Nusabarung untuk menguasai Kerajaan Jenggala yang mereka anggap lemah.
Demikianlah, setelah mengadakan persekutuan dengan para pembantu sakti dari Jenggala dengan perantaraan Ni Durgogini dan Ni Nogogini, kedua orang wanita ini lalu mendekati sang prabu dan menjalankan siasat komplotan mereka, yaitu mempengaruhi sang prabu di Jenggala sehingga jatuh di bawah kekuatan mereka.
Secara kebetulan sekali kepala pengawal yang mereka segani, Endang Patibroto, sedang pergi bersama Pangeran Panjirawit dan Puteri Mayagaluh, maka usaha kedua nenek ini dapat dilaksanakan dengan lancar. Dengan aji pengasihan Guno Asmoro, dengan mudah sang prabu dibuat tak berdaya dan tergila-gila kepada dua orang nenek yang dalam pandangan sang prabu seakan-akan dua orang bidadari cantik jelita itu.
Biarpun keturunan langsung Sang Prabu Airlangga yang sakti mandraguna, namun Raja Jenggala ini sejak mudanya sudah menjadi hamba nafsunya dan bergaul dengan orang-orang yang tidak suci, maka mudah saja terkena pengaruh aji pengasihan yang amat ampuh itu. Ketika melihat betapa Ni Durgogini memeluk pinggang sang prabu sedangkan Ni Nogogini mencium pipinya, Endang Patibroto tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar sambil menepuk kedua tangannya dengan pengerahan Aji Wisangnoio dibarengi pekik sakti Sardulo Bairowo yang amat dahsyat.
Kedua tangannya mengeluarkan suara seperti halilintar menyambar disambung pekiknya yang memekakkan telinga. Hebat bukan main aji kesaktian gadis ini. Mendengar suara yang amat dahsyat itu, seketika sirna pengaruh aji pengasihan Guno Asmoro yang mencengkeram ingatan dan hati sang prabu. Seketika sang prabu menjadi sadar dan memandang dengan mata terbelalak kepada dua orang nenek itu, kemudian ia menjerit dan roboh pingsan di atas bangku!
Ni Durgogini dan Ni Nogogini terkejut setengah mati ketika melihat munculnya Endang Patibroto. Mereka tadinya sudah merasa berhasil dan aman. Setelah sang prabu dikuasai, siapa lagi berani mengganggu? Sama sekali tidak mereka sangka bahwa gadis ini sedemikian beraninya memasuki taman sari tanpa ijin sri baginda! Mereka berdua marah sekali, akan tetapi karena mereka maklum bahwa murid Dibyo Mamangkoro ini sama sekali tidak boleh dibuat main-main, mereka yang cerdik menahan kemarahannya dan mengambil sikap lunak.
"Ah, kiranya adinda kepala pengawal yang datang. Apakah sebabnya adinda mengganggu kami berdua yang sedang menghibur sang prabu?" bertanya Ni Durgogini dengan suara merdu dan halus.
"Ah, adinda sungguh main-main sehingga membuat sang prabu jatuh pingsan," Ni Nogogini juga menegur dengan suara halus.
Endang Patibroto membanting kakinya. Cih, perempuan-perempuan tua bangka tak tahu malu, menyebutnya adinda segala! Mereka itu patut menjadi neneknya! Ia tersenyum mengejek ketika berkata, "Kalian tak usah bersandiwara lagi, karena aku sudah tahu betapa kalian menjadi kaki tangan Adipati Jagalmanik di Nusabarung dan bertugas menguasai sang prabu."
Seketika pucat wajah Ni Durgogini dan Ni Nogogini dan secara tak sadar tangan mereka sudah meraba gagang senjata masing-masing. Namun Ni Durgogini masih bersiasat dan berkata dengan suara penuh bujukan,
"Endang Patibroto, terhadap seorang gadis sakti mandraguna dan cerdik pandai seperti engkau, memang tak perlu lagi kami bersandiwara. Memang Apa yang kaukatakan tadi benar. Akan tetapi, siapa pula orangnya yang sudi menghambakan diri kepada raja yang lemah ini? Kerajaan Jenggala amat lemah dan sudah pasti akan dicaplok Kerajaan Panjalu yang jauh lebih kuat. Kecuali kalau Jenggala berada di bawah pimpinan seorang yang kuat dan pandai seperti Adipati Jagalmanik, barulah dapat menghadapi Panjalu. Endang Patibroto, berpikirlah cerdik dan kiranya gurumu, paman Dibyo Mamangkoro juga akan sependapat dengan kami. Kalau kau membantu Adipati di Nusabarung, kelak engkau tentu akan mendapatkan kemuliaan dan...."
"Cukup! Tutup mulutmu yang beracun! Siapa sudi bersekutu dengan manusia-manusia rendah macam kalian? Saat ini kematian telah menanti kalian, kematian kalian sudah sejak dahulu kuidam-idamkan harus jatuh di tanganku!"
Dua orang wanita itu melompat bangun dan senjata mereka sudah berada di tangan. Ni Durgogini sudah mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu cambuk yang bernama pecut sakti Sarpokenoko. Sedangkan Ni Nogogini juga sudah mencabut keluar cundriknya yang ampuh dan mengeluarkan cahaya berkilat, yaitu cundrik Embun sumilir!
"Babo-babo, keparat Endang Patibroto! Sumbarmu seperti di dunia ini hanya engkau seorang wanita sakti! jangan dikira bahwa kami takut menghadapimu. Hanya karena melihat engkau masih muda dan murid paman Dibyo Mamangkoro maka kami masih bersikap sabar dan mengajakmu bekerja sama. Akan tetapi kalau engkau nekat menantang yuda, jangan mengira kami akan undur setapakpun. Hanya sebelumnya, katakanlah mengapa engkau menghendaki kematian kami di tanganmu."
Senyum yang menghias mulut yang indah bentuknya itu melebar sehingga tampak deretan gigi putih berkilauan. "Ni Durgogini dan Ni Nogogini, coba kalian ingat baik-baik, Apa yang kalian lakukan belasan tahun yang lalu di Pulau Sempu?"
Dua orang nenek itu saling pandang, kemudian Ni Durgogini memandang gadis itu dengan heran. "Di Pulau Sempu? Kami hanya satu kali mengunjungi Pulau Sempu, sebagai utusan sang prabu yang dahulu masih Pangeran Anom. Kami dan rombongan mencari pusaka Mataram yang hilang."
"Bagus kalau kalian masih ingat, kalian takkan mati penasaran. Tentu masih ingat akan perbuatan kalian mengeroyok Bhagawan Rukmoseto atau Resi Bhargowo? Dengarlah, aku adalah cucunya"
"Aiiihhhh.....!" Ni Durgogini berteriak.
"Tapi kenapa kau di Jenggala....?"
Ni Nogogini berseru pula, akan tetapi karena kedua orang wanita itu kini maklum bahwa pertandingan mati-matian tak dapat dicegah lagi, mereka berdua sudah menerjang maju sambil menggerakkan senjata masing-masing. Pecut Sarpokenoko di tangan Ni Durgogini menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala Endang Patibroto seperti petir dan mengeluarkan hawa panas sekali, sedangkan cundrik Embun-sumilir di tangan Ni Nogogini berubah menjadi gulungan sinar kemilau yang mengeluarkan hawa dingin.
"Tar-tar-tar-tar....!!" Cambuk itu meledak-ledak.
"Wuuut.....siuuuutttt....!" Cundrik Embun-sumilir menyambar-nyambar.
Endang Patibroto maklum bahwa kedua orang lawannya ini bukan orang sembarangan sedangkan senjata-senjata merekapun merupakan pusaka-pusaka ampuh. Namun ia tak mau mencabut Ki Brojol Luwuk. Gurunya yang merasa ngeri melihat keris pusaka Mataram itu berpesan agar dia tak menggunakan pusaka itu kalau tidak terlalu terpaksa dan Endang Patibroto adalah seorang gadis perkasa yang amat percaya kepada diri sendiri. Ia merasa sanggup menghadapi dua orang wanita ini, maka ia menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong. Tubuhnya berkelebat cepat sekali sehingga kadang-kadang ia lenyap dari pandangan kedua orang lawannya. Gadis ini telah mainkan ilmu gerak walet dan camar. Tubuhnya demikian ringan dan gesit sehingga ketika mengelak dan meloncat ke sana ke mari tiada ubahnya seekor burung beterbangan saja.
Sesungguhnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini bukanlah wanita biasa saja. Di waktu mereka masih remaja puteri, mereka telah menerima gemblengan ilmu dari ayah mereka yang sakti, yaitu Bhagawan Kundolomuko yang dahulu tinggal di pantai Selat Bali. Biarpun waktu itu mereka hanya mewarisi sebagian kecil ilmu ayahnya, namun mereka sudah termasuk wanita-wanita digdaya. Kemudian, ketika Sang Prabu Airlangga yang ketika itu masih seorang pangeran yang melakukan perantauan dari Bali ke Pulau Jawa, dikawani sahabatnya yang setia Narotama, dua orang pria muda ini bertemulah dengan Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang ketika itu masih bernama Ni Lasmini dan Ni Mandari. Terjalinlah cinta kasih antara mereka yang menciptakan janji.
Setelah Sang Prabu Airlangga menjadi raja di Kahuripan dan Narotama menjadi patihnya, kedua orang wanita cantik dari Selat Bali itu dijemput. Ni Mandari menjadi selir Sang Prabu Airlangga, sedangkan Ni Lasmini menjadi selir Ki Patih Narotama. Mereka berdua begitu cantik jelita, begitu pandai memikat hati pria sehingga baik Sang Prabu Airlangga maupun Ki Patih Narotama amat sayang kepada selir dari Selat Bali ini dan berkenan menurunkan beberapa ilmu kesaktian dan petunjuk.
Namun sebagai orang-orang waspada, mereka melihat dasar-dasar watak yang kurang bersih pada diri selir-selir ini maka yang diturunkan hanya sekedarnya saja. Betapapun juga, tambahan ilmu dari dua orang ini telah membuat Ni Lasmini dan Ni Mandari menjadi wanita-wanita sakti. Setelah dua orang selir itu kemudian diusir karena keduanya tidak setia dan bermain gila dengan pangeran-pangeran muda, Ni Lasmini berganti nama menjadi Ni Durgogini dan bertapa di puncak Girilimut sedangkan Ni Mandari, adiknya, pergi ke pantai selatan dan berganti nama Ni Nogogini. Tentu saja setelah bertapa, ilmu kepandaian mereka makin menjadi hebat. Akan tetapi, selama puluhan tahun ini baru dua kali Ni Durgogini dan Ni Nogogini benar-benar kecelik dan terpukul. Pertama ketika mereka menghadapi Joko Wandiro yang sudah mewarisi ilmu kesaktian Ki Patih Narotama. Ke dua adalah sekarang ini ketika mereka mengeroyok Endang Patibroto yang telah mewarisi ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro.
Biarpun mereka berdua menyerang dengan senjata pusaka di tangan, sedangkan Endang Patibroto menghadapi mereka dengan tangan kosong, namun setelah lewat tiga puluh jurus, kedua orang nenek itu mulai terdesak hebat! Hal ini adalah karena selain menggunakan keringanan tubuhnya yang hebat, yang membuat ia mampu berjalan di atas permukaan air mempergunakan mancung kelapa, juga Endang Patibroto mulai membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh, yaitu Aji Wisangnolo.
Hawa pukulan Aji Wisangnolo ini demikian ampuhnya sehingga kedua orang wanita tua yang mengeroyoknya beberapa kali terdorong mundur kepanasan, bahkan ujung cambuk Sarpokenoko setiap kali bertemu dengan hawa pukulan Wisangnolo membalik dan melecut pemegangnya sendiri! Dua orang wanita itu selain kaget juga makin marah dan penasaran. Biarpun menjadi murid Dibyo Mamangkoro, gadis ini masih amat muda, patut menjadi cucu mereka! Masa mereka yang telah matang dalam pengalaman ini tidak mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba Ni Durgogini mengeluarkan pekik melengking nyaring, juga Ni Nogogini menjerit keras, keduanya lalu menerjang dengan nekat sambil mengerahkan tenaga. Ujung cambuk Sarpokenoko berhasil menjerat pangkal lengan kanan Endang Patibroto dengan kuat. Selagi Endang Patibroto membetot lengannya berusaha melepaskan diri, Ni Nogogini sudah menusukkan cundrik Embun sumilir ke arah dada yang membusung itu.
Endang Patibroto tentu saja melihat datangnya cundrik, namun gadis itu hanya tersenyum saja sambil menyalurkan hawa sakti ke arah dada yang tertusuk sedangkan tangan kanannya bergerak ke pinggang kiri. Tangan kanan ini berkelebat dan sinar hitam menyambar ke depan, kemudian secepat kilat ia membiarkan dirinya terbetot cambuk, mendekat Ni Durgogini sambil mengerahkan tenaga melakukan pukulan Wisangnolo ke arah lambung dan lengan kanan Ni Durgogini. Cepat bagaikan kilat menyambar semua gerakan ini, sukar diikuti pandangan mata dan tahu-tahu terdengar jerit dua orang nenek itu, disusul darah menyemprot keluar, tubuh Ni Nogogini terguling dan Ni Durgogini terhuyung ke belakang sedangkan cambuk Sarpokenoko sudah berpindah ke tangan Endang Patibroto.
Apa yang teiah terjadi? Kiranya ketika cundrik Embun sumilir menusuk dada, terdengar suara "desss!" dan yang robek hanya baju Endang Patibroto karena cundrik itu meleset ketika bertemu dengan buah dadanya seolah-olah anggota badan gadis itu terbuat daripada baja murni! Kemudian tangan Endang yang bergerak tadi telah melepaskan panah tangan yang tak dapat dihindarkan lagi menancap tepat di ulu hati Ni Nogogini. Nenek ini menjerit, cundriknya terlempar dan ia mendekap ulu hatinya yang tidak kelihatan terluka karena panah tangan itu menancap terus sampai lenyap! Hanya semprotan darah dari ulu hati yang menyatakan bahwa nenek itu terpanah secara hebat.
Matanya mendelik dan tubuhnya berkelojotan dalam sekarat! Gerakan selanjutnya dari gadis perkasa yang pangkal lengannya masih terlibat ujung cambuk Sarpokenoko adalah melangkah maju mendekati Ni Durgogini, kemudian langsung mengirim hantaman Wisangnolo. Diserang dari jarak begitu dekat, Ni Durgogini merasa seakan-akan ada gunung api menimpanya, ia tidak kuat menjerit dan melepaskan cambuknya, terhuyung-huyung ke belakang sampai punggungnya menabrak batang pohon. Dengan mata terbelalak penuh ngeri, Ni Durgogini melihat adiknya berkelojotan, kemudian menjadi ketakutan ketika melihat Endang Patibroto melangkah maju menghampirinya perlahan-lahan dengan mata dingin seperti es sedangkan cambuk Sarpokenoko tergoyang-goyang dan bergantung di tangannya.
"Tidak....tidak jangan....." kata Ni Durgogini dengan suara serak.
Agaknya melihat nenek itu ketakutan, Endang Patibroto menjadi senang. Bibirnya tersenyum lebar dan tiba-tiba....."tarrrr.....!" cambuk itu melejit di udara dan di lain saat ujung cambuk telah membelit leher NI Durgogini seperti lilitan buntut seekor ular.
"Aaaah....aaauuughhh....auukkkk!"
Ni Durgogini mengerahkan tenaga, membetot-betot cambuk itu untuk melepaskan lilitan pada lehernya yang makin mencekik, membuat ia tak dapat bernapas. Namun sia-sia usahanya, lilitan makin erat dan makin erat sehingga mata nenek itu mendelik, lidahnya terulur keluar, kemudian ia roboh bergulingan, tangan kakinya berkelojotan seperti Ni Nogogini yang juga berkelojotan! Endang Patibroto kini menjadi beringas dan buas pandang matanya. Menyaksikan kedua orang musuhnya berkelojotan, senyum puas menghias bibirnya dan matanya mengeluarkan sinar seperti mata iblis. Kemudian ia mengerahkan tenaga, menarik gagang cambuk Sarpokenoko sekuat tenaga dan...."rrrrtttt!!...."leher Ni Durgogini putus, membuat kepalanya terpisah dari tubuhnya!
Sambil tertawa-tawa Endang Patibroto lalu mengangkat gagang cambuk, sekali cambuknya digerakkan ke udara, terdengar suara meledak dan ujung cambuk kini melecut ke bawah, menyambar leher Ni Nogogini yang tubuhnya masih berkelojotan dan sekali sabet saja leher Ni Nogogini juga putus!
Bukan main hebatnya tenaga dan kepandaian Endang Patibroto, dan juga bukan main kejamnya jika menghadapi orang-orang yang dibencinya! Para pangeran dan pengawal yang mengintai dari jauh kini datang berlarian ke dalam taman sari. Mereka menjadi ngeri menyaksikan mayat kedua orang nenek itu. Pangeran Panjirawit yang bijaksana cepat-cepat memberi perintah kepada para pengawal untuk membawa pergi kedua mayat nenek itu dan dia sendiri bersama para pangeran lain lalu beramai-ramai menggotong tubuh sang prabu yang masih pingsan ke dalam keraton.
Ketika sang prabu sadar dari pingsannya, ia seperti orang yang baru bangun dari mimpi buruk. Dengan sabar dan hati-hati Pangeran Panjirawit lalu menceritakan tentang persekutuan itu, kemudian tentang usaha Ni Durgogini dan Ni Nogogini untuk mempengaruhi dan menguasai sang prabu.
"Sungguh mujur bahwa Endang Patibroto datang menolong kanjeng rama dan membunuh dua orang siluman betina itu."
Pangeran Panjirawit menutup ceritanya. Mendengar penuturan ini, sang prabu menjadi marah sekali. Ia segera memerintahkan para senopatinya untuk memimpin pasukan dan menggempur Nusabarung!
"Sebelum mereka turun tangan menyerbu, kita mendahului mereka menerjang ke sana dan membasmi Nusabarung!" teriak sang prabu yang selain marah juga merasa malu akan kelemahannya sendiri sehingga hampir saja mencelakakan kerajaannya.
Kemudian sang prabu memanggil Endang Patibroto dating menghadap, dan setelah memberi kata-kata pujian dan memberi hadiah emas permata, sang prabu minta agar gadis perkasa ini menyertai pasukan yang menyerbu ke Nusabarung untuk menghadapi pimpinan musuh yang memiliki kesaktian.
*******************
Jarum hitam yang menjadi senjata rahasia Ki Jatoko ampuh dan amat berbahaya. Jarum-jarum ini sengaja dibuat oleh Ki Jatoko dengan batang berlubang sehingga ketika ia merendamnya dengan racun ular racun itu memasuki lubang dan mengering di situ. Begitu jarum itu menancap di tubuh lawan, racun yang mengering ini terkena darah lalu ikut keluar dan meracuni darah dalam tubuh. Karena racun di setiap jarum itu banyak sekali, maka sebatang jarum kalau mengenai tubuh orang sama bahayanya dengan gigitan tiga ekor ular berbisa! Gigitan seekor ular berbisa saja sudah cukup untuk merenggut nyawa orang, apalagi tiga ekor!
Joko Wandiro telah terluka oleh sebatang jarum Ki Jatoko. Tepat di lehernya! Kalau bukan Joko Wandiro, tentu seketika akan tewas karena darahnya telah keracunan dan letaknya dekat kepala. Akan tetapi aneh sekali, mengapa ketika Endang Patibroto memeriksanya, pemuda ini tidak tewas, hanya pingsan? Betapapun saktinya pemuda itu, dalam keadaan pingsan tentu ia tidak dapat mengeluarkan kesaktiannya untuk melindungi tubuh dari serangan racun. Bukan, bukan kesaktiannya yang membuat pemuda ini belum tewas. Melainkan darahnya sendiri.
Pemuda ini ketika dahulu berada di Pulau Sempu, setelah menyimpan patung kencana di atas pohon randu alas, telah digigit seekor ular yang sangat beracun. Dalam takut dan nyeri, ia berlari dan balas menggigit leher ular sambil menghisap darah ular sampai habis. Inilah yang membuat darah pemuda itu mengandung racun ular itu dan memberinya daya untuk menahan racun-racun ular sehingga biarpun kini ia terluka dan terkena racun, namun keadaannya tidak separah orang biasa. Racun itu tidak dapat bergerak cepat, tertahan di sekitar luka oleh racun darahnya sendiri yang kini bahkan menjadi semacam obat penawar atau penolak. Betapapun juga, keadaannya bukan tidak berbahaya karena daya tolak itu hanya memperlambat saja menjalarnya racun dari jarum Ki Jatoko.
Joko Wandiro menggeletak pingsan di lereng Bukit Anjasmoro sampai malam tiba dan untung baginya bahwa pada saat ia pingsan itu tidak ada binatang buas yang mengetahui atau kebetulan lewat. Dalam keadaan seperti itu kalau ada seekor harimau menerkamnya, tentu ia akan mati konyol. Memang ada saja sebab atau jalan penyelamatan nyawa seseorang apabila Hyang Maha Wiscsa belum menghendaki kematian orang itu. Menjelang malam, secara tiba-tiba muncul enam bayangan orang.
Bayangan-bayangan ini amat cepat gerak-geriknya. Ada yang meloncat keluar dari balik rumpun alang-alang, ada yang melayang turun dari atas pohon. Mereka itu bertubuh langsing dan berambut panjang. Mereka semua adalah wanita-wanita muda yang amat cekatan. Akan tetapi anehnya, gadis-gadis yang berusia antara lima belas sampai dua puluh tahun ini hampir bertelanjang bulat. Hanya daun-daun dari kembang-kembang menutupi sebagian tubuh mereka.
Sebagai wanita-wanita muda belia, tentu saja wajah mereka cantik-cantik, akan tetapi kecantikan yang liar, buas, dan tidak terkekang sama sekali. Agaknya mereka ini tidak mengenal peraturan dan tata susila umum. Sampai lama mereka mengelilingi Joko Wandiro. Ada yang meraba-raba, dan ada yang menjambak rambutnya, bahkan ada yang mencium pipinya. Persis perangai serombongan monyet betina! Akan tetapi mereka dapat bicara seperti manusia biasa, sungguhpun bahasa mereka itu kaku.
"Matikah...? "
"Dia tampan....!"
"Dia terluka....."
"Bawa ke kak Dewi!"
"Ya, bawa ke kak Dewi."
Setelah ramai mengutarakan perasaan dengan kata-kata singkat dan kaku, mereka lalu menggotong tubuh Joko Wandiro sambil tertawa cekikikan, lalu berlari-lari membawa pemuda itu ke dalam hutan yang lebat di lereng Gunung Anjasmoro.
Ketika Joko Wandiro membuka matanya, ia menjadi terheran-heran dan mengira bahwa ia sedang bermimpi. Ia telah berbaring di atas sebuah pembaringan bambu bertilam anyaman daun pandan, di dalam sebuah pondok bambu yang sederhana namun bersih. Tubuhnya terasa sehat dan segar, akan tetapi perutnya amat lapar. Yang membuat ia merasa terheran-heran dan mengira dalam mimpi adalah ketika pandang matanya melihat tubuh dua orang gadis cantik duduk bersimpuh di atas lantai.
Dua orang gadis bertubuh montok dan setengah telanjang! Dan di luar pondok itu, masih terdapat bayangan beberapa orang gadis yang cantik-cantik dan juga setengah telanjang, menjaga di pintu. Berdebar jantung Joko Wandiro. Ia menahan diri untuk tidak bergerak, pura pura masih tidur atau pingsan, dan mulailah ia mengingat-ingat. Terbayang dalam ingatannya betapa ia bertanding melawan Endang Patibroto, bertanding dalam sebuah pertempuran dahsyat dan seru.
Pertempuran paling hebat yang pernah ia alami. Alangkah digdaya Endang Patibroto. Sukar mengalahkan gadis perkasa itu. Teringat ia betapa mereka berdua mengadu tenaga sakti yang membuat mereka terpental. Pada saat itulah datangnya sinar hitam yang mengenai lehernya. Hemm, aku terkena senjata rahasia, pikirnya dan perlahan-lahan ia meraba lehernya sebelah kiri. Masih ada bekas luka di situ akan tetapi sudah tidak terasa sakit lagi, dan obat bubuk yang menempel pada luka sudah mengering. Ah, tentu aku roboh oleh senjata rahasia yang kecil. Pantasnya jarum.
Hampir saja Joko Wandiro meloncat namun ditahannya. Teringat ia sekarang. Jarum itu menyerangnya dari sebelah kiri, sedangkan Endang Patibroto jelas berada di depan. Jarum itu bukan dilepas oleh Endang Patibroto. Tentu oleh Ki Jatoko! Si buntung keparat itu! Dengan jarum-jarum yang direndam racun ular. Tidak salah lagi. Dan dia roboh pingsan. Akan tetapi kenapa ia masih hidup? Kenapa Ki Jatoko dan Endang Patibroto tidak membunuhnya? Ataukah mereka mengira dia sudah pasti mati karena jarum itu?
Dengan hati-hati Joko Wandiro meraba-raba lehernya. Kenapa ia tidak mati? Ia tahu bahwa jarum yang direndam racun ular itu luar biasa ampuhnya. Kalau ia tidak pingsan, mungkin ia dapat menggunakan hawa sakti untuk memaksa racun keluar. Akan tetapi ia roboh pingsan, entah berapa lamanya. Kenapa ia masih belum mati dan lebih aneh lagi, kenapa ia berada dalam pondok dan di situ banyak terdapat gadis cantik setengah telanjang tak tahu malu?
Diam-diam ia membuka mata dan mengerling ke arah dua orang gadis yang bersimpuh di atas lantai itu. Usia mereka paling banyak delapan belas tahun. Melihat kulit yang putih bersih itu, rambut yang hitam panjang mengkilap, gadis-gadis ini merawat baik-baik tubuh mereka. Akan tetapi mereka hampir telanjang, hanya menutupi bagian tubuh terpenting dengan daun-daun dan rumput hijau saja, namun tidak cukup untuk menutupi tubuh yang berkulit kuning langsat Itu.
Joko Wandiro tak berani memandang terlalu lama. Gadis-gadis ini, juga yang tampak berdiri di luar itu, jelas adalah orang-orang liar dan tentu bukan orang baik-baik. Mungkin sekali mereka ini anak buah Ki Jatoko. Endang Patibroto sudah jelas adalah kepala Pengawal Kerajaan Jenggala, akan tetapi keadaan Ki Jatoko amat mencurigakan. Orang itu penuh rahasia dan tidak mustahil gadis-gadis ini menjadi anak buahnya, dan dia dijadikan tawanan di tempat ini!
Berpikir demikian, seketika Joko Wandiro melompat turun. Akan tetapi sebelum ia dapat keluar, tiba-tiba dua orang gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menubruknya dari kanan kiri dan merangkulnya sambil tertawa-tawa, memaksanya rebah kembali di atas pembaringan.
"Hi-hik, si tampan sudah bangun....!"
"Kau tak boleh bergerak, tunggu kak Dewi....!"
Melihat betapa mereka itu merangkul dan memeluknya begitu saja tanpa malu-malu dan tanpa memperhatikan batas kesusilaan, Joko Wandiro menjadi makin geli hatinya dan tak terasa lagi bulu tengkuknya meremang. Gadis-gadis macam apakah mereka ini? Cepat ia menggunakan tenaganya, menggoyang tubuh dan dua orang gadis itu terlepas dan terpelanting ke kanan kiri, akan tetapi tidaklah terlalu keras karena memang Joko Wandiro tidak tega untuk menyakiti wanita-wanita ini yang belum ia ketahui siapa adanya. Begitu tubuhnya terlepas, ia lalu melompat keluar? kemudian lari menerobos pintu depan.
"Si tampan lari....!"
"Tangkap dia....!"
Jeritan-jeritan ini membuat gadis-gadis yang berada di luar menjadi kaget. Akan tetapi begitu mereka membalikkan tubuh, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Joko Wandiro telah berkelebat keluar dari dalam pondok. Segera terdengar jeritan-jeritan nyaring di sana-sini, disusul suitan-suitan merdu seperti orang bernyanyi. Ke mana pun Joko Wandiro lari, di depannya terdengar suitan-suitan dan jeritan sehingga ia membalik dan akhirnya ia kebingungan sendiri dan tanpa ia sadari, di bawah pohon-pohon cempaka yang bunganya berwarna-warni, ada yang putih, merah, ungu, kebiruan, berdiri empat orang gadis yang sudah menantinya dengan tersenyum-senyum.
Mereka ini lebih cantik daripada para penjaga tadi, usia mereka sekitar dua puluh tahun. Daun-daun yang menutupi tubuh merekapun lebih teratur, menutupi sekitar dada dan sekeliling pangkal paha. Agaknya mereka sudah tahu bahwa pemuda ini tentu akan lari kembali ke tempat ini, maka tadi mereka tidak ikut mengejar seperti wanita-waita lain.
Joko Wandiro memandang ke sekelilingnya. Dari tempat-tempat persembunyian di antara pohon dan kembang, kini bermunculan gadis-gadis dari empat penjuru yang segera mengurungnya dari tempat jauh dan masing-masing kini telah memegang sebatang bambu runcing! Jadi dia bersama empat orang gadis cantik yang menghadapinya kini telah terkurung, dipagar betis!
Terpaksa Joko Wandiro kini mencurahkan perhatiannya kepada empat orang gadis di depannya dengan hati terheran-heran karena ia menaksir bahwa gadit-gadis yang mengurungnya dari jauh itu jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang! Ia melihat betapa gadis-gadis ini berwajah manis-manis, namun pandang mata mereka liar dan galak, sungguhpun bibir mereka. tersenyum manis. Teringat ia akan wajah Endang Patibroto. Kalau Endang Patibroto menjadi kepala barisan wanita ini, amat tepatlah!
"Kalian ini siapakah dan mengapa menahanku dalam pondok itu?"
Akhirnya ia bertanya. Ia kini dapat menduga bahwa empat orang gadis ini tentulah merupakan pimpinan mereka karena hanya mereka berempat yang kini menghadapinya, sedangkan yang lain berdiri mengurung dari tempat jauh. Empat orang gadis itu saling pandang kemudian tertawa terkekeh sehingga tampak barisan gigi putih bersih di balik bibir merah. Mereka itu tertawa bebas, tidak ditutup-tutupi lagi. Mulut yang kecil itu terbuka memperlihatkan rongga mulut yang gelap dan kemerahan. Joko Wandiro hanya memandang mereka berganti-ganti, hatinya makin tidak enak.
"Namaku Lasmi!" kata gadis yang rambutnya paling panjang dan bulu matanya lentik melengkung.
"Aku Mini.....!" Gadis yang matanya lebar terkekeh lucu
"Namaku Sari....!" kata yang punya lesung pipit di kedua ujung mulutnya.
"Aku Sundari!" kata yang bertahi lalat di pipi kiri.
"Engkau tidak boleh pergi dari sini, demikian pesan kak Dewi," kata Lasmi.
Joko Wandiro mengerutkan keningnya.
"Apa salahku maka aku ditahan di sini? Kuharap kalian tidak menggangguku, karena aku mempunyai urusan penting sekali dan harus pergi sekarang juga." Ia teringat akan Ayu Candra dan ingin cepat-cepat pergi mencari adiknya itu.
'Tanpa perkenan kak Dewi, kau tidak boleh pergi dari sini," kata Mini sambil mendekat dengan lenggang-lenggok genit.
"Hemrn, kalau aku memaksa pergi?"
"Hi-hik! Memaksa pergi? Boleh kau coba, bocah bagus!" kata Sari sambil mengembangkan kedua lengannya sehingga tampak di balik daun-daun itu betapa tubuhnya yang memiliki lekuk lengkung sempurna itu bergerak-gerak.
Joko Wandiro meramkan matanya. Ia tidak percaya kepada pertahanan hatinya sendiri kalau harus terlalu lama menghadapi gadis-gadis cantik ini.
"Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, tidak mengenal kalian. Aku berterima kasih atas pengobatan pada luka di leherku, siapapun dia yang telah mengobatiku. Akan tetapi aku harus pergi, sekarang juga. Harap maafkan!"
Setelah berkata demikian, ia menggunakan ilmunya dan tubuhnya hendak meloncat secepatnya meninggalkan mereka. Akan tetapi tiba-tiba berkesiur angin dan tampak bayangan-bayangan yang langsing berkelebat dan empat orang gadis itu kini telah mengurungnya dengan gerakan yang amat cepat! Joko Wandiro terkejut juga. Kiranya empat orang ini memiliki ilmu gerak cepat yang tak boleh dipandang ringan.
"Aku tidak ingin bertempur dengan kalian empat orang gadis!"
Ia berseru kehabisan kesabaran dan juga bingung karena mereka berempat itu kesemuanya tersenyum dan sukar ditentukan siapa di antara mereka yang paling manis.
"Harap jangan menghalangi!" Ia melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba Lasmi telah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah perut.