Badai Laut Selatan Jilid 33

Cersil silat kho ping hoo
Sonny Ogawa

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 33

Jari-jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing itu ketika mencengkeram mendatang kan angin sehingga Joko Wandiro cepat mengelak dan diam-diam mengeluh. Akan tetapi kini empat orang gadis itu telah maju mengeroyoknya dengan serangan-serangan cukup dahsyat. Mereka itu memukul, menendang, mencengkeram dan ada yang berusaha merangkul dan memeluknya!

Tentu saja Joko Wandiro menjadi repot sekah. la maklum bahwa kepandaian mereka ini masih jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaiannya, akan tetapi untuk mengalahkan mereka, agaknya ia harus merobohkan mereka, dan hal ini ia tidak menghendaki. Andaikata ia sanggup merobohkan mereka tanpa melukai berat, ia masih harus menghadapi pengeroyokan dua puluh lebih gadis-gadis penjaga yang mengurungnya dengan bambu runcing di tangan!

Karena ia menghadapi pengeroyokan mereka dengan elakan dan tangkisan saja, sedangkan pikirannya masih bingung, tiba-tiba ia tidak dapat mengelak lagi ketika dua lengan yang halus dari Sundari telah memeluk pinggangnya dengan kekuatan yang tak tersangka-sangka. Kedua lengan itu kecil dan halus kulitnya, namun di balik kulit halus itu ternyata bersembunyi tenaga dalam yang hebat!

"Bocah bagus, engkau hendak lari ke mana? Hi-hik!" Sundari mempererat rangkulannya pada pinggang sambil terkekeh genit. Sementara itu, sepasang lengan tangan Lasmi yang tidak kalah halusnya sudah meluncur seperti dua ekor ular hendak merangkul leher Joko Wandiro!

"Celaka....!"

Joko Wandiro bergidik ketika merasa betapa kedua Iengan yang halus itu menyentuh kulit perutnya dan betapa muka yang hangat menempel ketat di punggungnya. Kalau sampai kedua Iengan Lasmi berhasil merangkul lehernya, ia takkan dapat melepaskan diri tanpa menggunakan kekerasan lagi! Cepat ia menyalurkan tenaga pada pinggangnya dan sekali ia menggerakkan pinggul, Sundari menjerit dan pelukannya terlepas.

Pada saat itu, Joko Wandiro sudah berhasil menangkis lengan halus Lasmi yang hendak merangkul lehernya. Melihat temannya terpelanting, Lasmi marah sekali dan dengan jerit seperti seekor kijang betina, ia sudah menyerangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing ke arah muka Joko Wandiro, sedangkan Sundari yang tadi terpelanting sudah melompat bangun lagi, menerjang dari belakang. Mini dan Sari juga maju merangsang dari belakang.

"Kalian sungguh terlalu Jangan salahkan aku kalau terpaksa aku berlaku kasar"

Joko Wandiro berseru dan kini mengembangkan jari tangannya dan siap membalas mereka dengan tamparan yang kiranya cukup membuat mereka terpelanting dan tak berani menyerangnya lagi. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara wanita yang halus merdu namun nyaring berwibawa, "Adik-adikku yang manis, mundurlah kalian berempat!"

Mendengar suara memerintah ini, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari cepat melompat keluar dari gelanggang pertempuran, lalu berlari menghampiri wanita yang baru datang ini, berdiri di belakangnya dengan sinar mata berkilat-kilat menatap Joko Wandiro.

Pemuda inipun sudah menghentikan gerakannya dan kini berdiri memandang wanita yang baru datang. Joko Wandiro kagum. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, namun pasti tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya bundar seperti bulan purnama, sepasang matanya lebar jernih dan bersinar-sinar penuh gairah hidup, dilindungi bulu mata yang panjang melengkung dan alis yang hitam panjang.

Entah mana yang lebih menarik antara mata dan mulutnya. Mulut itu sungguh manis, dengan bibir merah basah yang selalu tersenyum, tampak membayang di balik bibir merah itu kilatan gigi putih. Tubuhnya padat montok, dengan dada membusung dan menantang, kulitnya putih bersih sukar dicari cacadnya. Biarpun gadis ini juga hanya menutup tubuh dengan daun-daun dan bunga-bunga, namun dandanannya lebih indah dan lebih teratur daripada empat orang gadis yang mengeroyoknya tadi. Daun-daun itu diatur rapi sekeliling dada dan pinggulnya, bagian atas dihias bunga-bunga mawar yang segar.

Teringatlah Joko Wandiro akan nama Dewi yang disebut berkali-kali oleh gadis-gadis tadi. Inikah dia yang mereka sebut kak Dewi? Kalau benar demikian, memang tidak berlebihan nama itu. Gadis ini mirip seorang dewi kahyangan, sungguhpun pakaiannya adalah pakaian orang liar. Karena dapat menduga bahwa tentu gadis ini yang menjadi pemimpin barisan wanita itu, Joko Wandiro lalu membungkuk dan menundukkan kepala kepadanya, kemudian berkata,

"Harap dimaafkan kalau saya telah menimbulkan kekacauan di sini."

Gadis itu memperlebar senyumnya dan ketika Joko Wandiro memandangnya, dua pasang mata bertemu dan bertaut sejenak. Kemudian gadis itu menggelengkan kepala berkata, "Sungguh tak kusangka, muda remaja yang tampan, halus, dan sakti seperti ini kiranya hanya seorang yang tak kenal budi. Hemmmm...!"

Joko Wandiro terkejut. Memang tadi ia terburu nafsu menyangka yang tidak baik kepada para gadis itu, lalu memaksa hendak pergi. Kini ia menduga lain. Agaknya mereka itu yang menolongnya sehingga tidak sampai tewas di tangan Endang Patibroto dan Ki Jatoko, lalu menolongnya dan membawanya ke sini, merawat dan mengobatinya. Kalau demikian halnya, memang benar lakunya tadi tidak betul dan kelihatan seperti seorang kurang penerima! Cepat-cepat ia berkata,

"Aku tidak tahu Apa yang telah terjadi. Tahu-tahu aku berada di sini dan ketika hendak pergi, mereka ini.... eh...... mencegah.... sehingga timbul salah faham. Harap kau suka memberi penjelasan, siapakah kalian dan bagaimana aku bias berada di sini?"

"Namaku Dewi. Bersama adik-adikku seperguruan Lasmi, Mini, Sari dan Sundari ini, kami yang memimpin kawan-kawan kami dan hidup aman tenteram di Gunung Anjasmoro sini. Ketika aku melihat betapa engkau terkena jarurn beracun, kusuruh anak buahku untuk membawamu ke sini dan rnengobatimu. Siapakah namamu?"

Joko Wandiro makin kaget. Benar dugaannya. Ia telah dirobohkan lawan secara menggelap dan agaknya tentu akan binasa kalau tidak ditoiong oleh gadis-gadis ini. Dan tadi ia sudah hendak menggunakan kekerasan untuk melawan mereka dan melarikan diri! Sungguh tidak mengenal budi! Ia menundukkan mukanya dan memperkenalkan diri.

"Namaku Joko Wandiro. Aku berhutang budi dan nyawa kepada kalian, tak tahu bagaimana akan dapat membalas budi ini."

Dewi tersenyum manis sekali dan mengulur tangan memegang Iengan pemuda itu, menariknya sambil berkata halus, "Joko Wandiro, mari kita ke pondok dan di sana kita dapat bicara dengan leluasa. Aku akan menceritakan kepadamu tentang keadaan kami."

Jantung pemuda itu berdebat kencang. Biarpun gerak-geriknya lebih halus, namun Dewi yang menjadi kepala sekalian wanita ini memiliki kebebasan yang luar biasa dan tangan yang menggandengnya itu halus dan lemas, hangat dan mesra. Bagaimanakah seorang gadis yang baru bertemu satu kali sudah berani menggandeng tangan seorang pria dan bersikap semesra ini? Namun, mengingat bahwa ia telah berhutang budi, ia mengikuti gadis itu tanpa membantah.

Ketika ia mengerling, ia melihat bahwa hanya empat orang gadis yang tadi mengeroyoknya itu yang mengikuti mereka sambil tersenyum-senyum manis, adapun wanita-wanita yang merupakan barisan mengepung tadi tampak bubar sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Setelah Joko Wandiro dipersilahkan duduk di atas amben bambu yang menjadi tempat tidurnya tadi dan lima orang gadis itu duduk pula mengelilinginya, Dewi mulai bercerita.

"Joko Wandiro, biarpun engkau bertemu dengan aku sebagai seorang gadis gunung, akan tetapi sesungguhnya di dalam tubuhku masih mengalir darah keluarga Kerajaan Wengker. Permaisuri paman Prabu Boko di Kerajaan Wengker adalah bibiku, adik dari ayahku."

Mendengar ini, Joko Wandiro tercengang dan menatap lebih tajam kepada gadis yang duduk di depannya itu. Melihat pandang mata pemuda ini, Dewi tersenyum dan menangkap jari-jari tangan kanan Joko Wandiro, terus digenggamnya, tak dilepaskannya lagi. Joko Wandiro tidak berusaha menarik tangannya, khawatir kalau menyinggung perasaan orang. Untuk menguasai jantungnya yang berdebar tidak keruan itu ia bertanya,

"Aku hanya mendengar cerita bahwa Kerajaan Wengker dihancurkan oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan mendiang Sang Prabu Airlangga. Bagaimana engkau bias berada di gunung ini?"

Dewi mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Mulut yang bentuknya manis dengan bibir merah basah itu agak merengut, seakan-akan pertanyaan ini mengingatkan ia akan hal-hal vang mengesalkan hatinya. Kemudian ia mengangkat muka memandang Joko Wandiro kembali dan wajahnya berseri, kemurungannya lenyap. Sambil mengelus-elus tangan Joko Wandiro, ia lalu berkata,

"Ayahku bernama Pangeran Mamangkurdo, kakak dari bibi Mamangsari yang menjadi permaisuri paman Prabu Boko. Ketika barisan dari Mataram menghancurkan Kerajaan Wengker, ayah berhasil menyelamatkan diri sambil mendukung aku yang masih kecil, baru berusia dua bulan. "

Ia menghela napas panjang. Joko Wandiro memandang penuh perhatian. Kerajaan Wengker merupakan kerajaan yang paling sukar ditundukkan oleh Sang Prabu Airlangga dan setelah Wengker ditaklukkan, barulah perang berhenti. Kalau gadis ini berusia dua bulan ketika Wengker jatuh, agaknya gadis ini satu dua tahun lebih tua daripadanya.

"Ayah harus berpindah-pindah tempat untuk menyembunyikan diri. Bertahun-tahun aku diajak menjadi orang buronan dan setelah aku berusia lima belas tahun, ayah meninggal dunia di Anjasmoro ini. Empat orang adik-adikku ini adalah murid ayah yang juga menjadi adik-adik angkatku. Karena selama ini ayah selalu mencurigai orang lain, maka ayah tidak mau mempergunakan pria untuk menjadi pelayan atau anak buahnya. Dipilihnya wanita-wanita yang hidup sendiri, dilatih dan dibentuknya barisan wanita. Kebiasaan itu kulanjutkan sampai sekarang. Bahkan setiap kali ada laki-laki berani memasuki wilayah kami, tentu dia kami bunuh seketika!"

Joko Wandiro terkejut. "Mengapa begitu?"

Wajah yang manis itu mengeras. "Kami tidak memperbolehkan laki-laki mendekat, karena mereka itu hanya akan mendatangkan malapetaka! Kalau sampai seorang di antara anak buahku terpikat dan pergi bersama seorang pria, bukankah keadaan kami bukan rahasia lagi dan persembunyian kami akan ketahuan sehingga fihak musuh akan dapat mengirim pasukan untuk membasmi kami?"

"Ah, engkau dikejar-kejar kekhawatiranmu sendiri, Dewi. Agaknya karena semenjak bayi engkau dibawa sebagai buronan oleh mendiang ayahmu, jiwamu sudah tercekam rasa takut ketahuan tempat sembunyimu. Apakah engkau tidak tahu bahwa keadaan sudah berubah sama sekali? Tidak seorangpun kini teringat akan keturunan Kerajaan Wengker. Tidak ada yang akan mengejar-ngejarmu. Karena itu, tidak baik kalau kau membunuhi orang yang memasuki wilayah ini."

"Hemm, betapapun juga, ayah dahulu berpesan supaya kami berhati-hati menghadapi setiap orang pria, karena laki-laki adalah mahluk yang paling jahat dan berbahaya. Karena itu, entah sudah berapa puluh orang laki-laki yang kami bunuh ketika mereka lewat daerah ini."

Joko Wandiro menjadi tak senang hatinya mendengar kekejaman ini. Alisnya yang tebal berkerut dan ia bertanya sengat ketus, "Kalau begitu, mengapa engkau malah menolong aku dan tidak membunuhku? Bukankah aku juga laki-laki?"

Dewi tersenyum, empat orang adiknya ikut pula tertawa. "Pertanyaan inilah yang membuat kami terlambat menolongmu, Joko Wandiro. Ketika engkau bertanding melawan wanita sakti itu, kami diam-diam menonton dan kagum. Menurut kebiasaan, tentu kami sudah turun tangan membantu wanita itu membunuhmu. Akan tetapi..... eh........ kami ragu-ragu, berdebat, berunding, bersitegang antara kami berlima, kemudian mengambil keputusan. Akan tetapi sayang terlambat, engkau sudah dirobohkan laki-laki buntung yang curang."

"Ki Jatoko..... ! Sudah kuduga !" Tanpa disadarinya Joko Wandiro berseru, kemudian ia teringat akan penuturan tadi lalu cepat bertanya, "Keputusan Apa yang kau ambil sehingga kalian tidak membunuhku?"

Tiba-tiba wajah yang ayu itu menjadi merah sekali, sedangkan yang empat lain terkekeh-kekeh genit. "Joko Wandiro, ketika ayah hendak mangkat, ayah berpesan agar aku berhati-hati menghadapi pria dan bila berjumpa, lebih baik membunuhnya. Kecuali.... begitu pesan ayah, kecuali.... jika aku bertemu dengan pria yang mencocoki hati, yang dapat kujadikan sandaran hidup, yang patut kuserahi badan dan nyawa, dan melihat engkau.... aku... aku dan adik-adikku. eh...."

Dewi menjadi gagap, kemudian tanpa peringatan terlebih dahulu ia sudah maju merangkul dan mengambung pipi Joko Wandiro!. Joko Wandiro terkejut bukan main, mukanya terasa panas dan jantungnya seperti hendak melompat keluar dari rongga dada. Selagi ia hendak memprotes, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan bulu kuduknya meremang semua karena empat orang gadis yang merubungnya ltupun merangkul dan menciuminya, di kepala, di leher, di bahu dan Iengan!.

"Eiit....... eiittt....... eiiittt....... nanti dulu.......!"

Ia meronta dan melompat turun dari atas pembaringan. Keringatnya membasahi leher dan dahi, keringat dingin yang keluar karena kaget dan bingungnya. Akan tetapi, Dewi dan empat orang adiknya juga melompat turun dengan gerakan sigap sekali, serta-merta mereka berlima menjatuhkan diri di depan kaki Joko Wandiro, berlutut dan menyembah-nyembah!

"Kami berlima menghambakan diri kepadamu dan bersumpah setia sampai mati. Bukan hanya kami berlima, juga tiga puluh orang anak buah kami bersetia kepadamu, Joko Wandiro, siap untuk membela dengan pengorbanan apapun juga."

Setelah berkata demikian, tiba-tiba Dewi mengeluarkan jeritan tiga kali, dan membuka pintu pondok, kemudian mereka berlima beramai-ramai menarik kedua tangan Joko Wandiro keluar pondok. Pemuda ini terpaksa melangkah keluar dan ia tertegun memandang ke depan. Tiga puluh orang wanita yang pakaiannya hanya daun-daunan akan tetapi yang kesemuanya membawa bamboo runcing, telah berada di situ dan kini serentak mereka itu menjatuhkan diri berlutut di depannya, menundukkan kepala dan menyembah!

Ia maklum bahwa jeritan Dewi tadi merupakan komando untuk berkumpul. Akan tetapi ia masih beium mengerti Apa kehendak Dewi dengan mengumpulkan anak buahnya ini. Selagi ia berdiri bingung, Dewi dan empat orang adiknya kembali sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya dan terdengar suara merdu namun lantang,

"Kami telah bersepakat untuk mengabdi kepadamu, Joko Wandiro, dan kami berikut anak buah kami bersumpah untuk bersetia sampai mati kepadamu. Engkaulah pria pilihan kami seperti yang dipesankan oleh mendiang ayahku."

Joko Wandiro berdiri bengong. Tertegun ia memandang tiga puluh lima buah kepala yang berambut hitam halus itu menunduk di depannya dan diam-diam ia menyesali nasibnya yang serba aneh dan ruwet. Cinta kasihnya telah tercurahkan seluruhnya kepada Ayu Candra yang ternyata adalah adik kandungnya sendiri yang tak mungkin menjadi kekasihnya, tak mungkin menjadi jodohnya. Kemudian oleh ayah angkat atau gurunya, ia dijodohkan dengan Endang Patibroto, gadis ganas liar dan pembunuh ibu kandungnya, sehingga jelas tak mungkin pula ia mengawini pembunuh ibu kandungnya sendiri. Dapat ia mengekang diri dan tidak menaruh dendam, akan tetapi akan terlalu durhakalah ia kalau ia menikah dengan gadis yang menjadi pembunuh ibu kandungnya! Kemudian ia bertemu dengan Mayagaluh. Gadis seperti puteri yang baik budi itu kiranya akan mudah menjatuhkan hatinya, akan tetapi kemudian ternyata olehnya betapa sang puteri telah mempunyai seorang kekasih, yaitu Pangeran Darmokusumo.

Dan sekarang, dengan tak tersangka-sangka sama sekali, Dewi menyatakan pasrah jiwa raga kepadanya, hendak mengabdi dan menjadi isterinya, bukan sendirian, melainkan bersama empat orang adik seperguruannya, lima orang dara yang perkasa dan muda belia cantik jelita, masih ditambah lampiran tiga puluh orang wanita cantik-cantik lagi!. Kembali matanya menyapu ke arah tiga puluh lima orang wanita itu. Ia bergidik. Sekaligus dihadiahi tiga puluh lima orang wanita cantik, benar-benar amat terlalu banyak!.

"Ti...... tidak........ tak mungkin ini....! Dewi, aku sendiri seorang sebatangkara, seorang jaka lola yang hidup sengsara dan miskin. Mana mungkin kalian menghambakan diri kepada orang seperti aku ini? Tidak, bangkitlah dan jangan bertindak yang bukan-bukan. Sudah terlalu banyak budi yang kau lepaskan untukku."

Dewi melompat bangun diturut oleh empat orang adiknya. Ketika Joko Wandiro memandang, ia tercengang karena lima orang gadis cantik itu mengalirkan air mata di sepanjang kedua pipi mereka!

"Mengapa kau menolak? Apakah kami tidak cukup berharga bagimu?"

"Bukan! Bukan begitu, bahkan sebaliknya. Kalian terlampau merendahkan diri. Akulah yang sama sekali tidak berharga, jangankan menerima penghambaan kalian semua, menerima penghambaan seorang di antara kalianpun sudah tidak pantas. Aku seorang miskin dan..."

"Joko Wandiro, kami tidak membutuhkan apa-apa, bahkan kalau kau menghendaki sesuatu, kau katakan saja. Kami pasti akan dapat menyediakan untukmu. Kami mengangkatmu menjadi kepala yang memimpin kami semua di tempat ini, dan perintahlah saja, kami akan melakukan segala perintahmu. Biar harus menyerbu lautan api, kami takkan undur setapakpun."

Wajah Joko Wandiro menjadi muram. Ia terharu dan karenanya menjadi sedih. Dengan suara sungguh-sungguh ia berkata, "Dewi, tenangkanlah perasaanmu dan pikirlah masak-masak. Aku ini seorang yang tak berharga dan sama sekali aku tak pernah melakukan sesuatu untuk kalian. Mengapa kini kalian hendak membalas dengan melimpahkan budi yang membuat aku menjadi tidak enak saja? Bahkan sebaliknya kaulah, Dewi, yang sudah menyelamatkan nyawaku sehingga sebenarnya akulah yang harus membalas budi. Kalau saja lain hal yang kauminta untuk membalas budimu, tentu akan kulaksanakan. Akan tetapi permintaanmu itu sungguh hal yang tak mungkin kulakukan dan......."

"Joko Wandiro! Dengar, kami sudah berjanji kepada mendiang ayah untuk membunuh setiap orang pria yang memasuki wilayah ini, tentu saja ada kecualinya, yaitu pria yang dapat kami angkat sebagai kepala. Kau menjadi pilihan kami dan kalau engkau menolak, tidak ada lain jalan lagi bagi kami kecuali membunuhmu atau terbasmi habis oleh tanganmu!"

Dewi mengeluarkan kata-kata ini dengan mata berapi-api dan kedua pipinya merah sekali menambah kecantikannya yang aseli. Joko Wandiro dapat menerima alasan ini, sungguhpun hal itu merupakan suatu keganjilan bagi manusia biasa. Karena itu ia menjadi makin bingung, kemudian ia berkata tenang,

"Boleh kalian coba Dewi. Kalau memang sudah menjadi kehendak Dewata bahwa aku mesti mati di tangan kalian, aku akan rela. Akan tetapi kalau belum mestinya mati, kurasa aku akan berhasil melarikan diri tanpa melukai seorangpun di antara kalian!"

Dewi mengeluarkan jerit melengking dan serentak dia mengurung Joko Wandiro dengan empat orang adiknya, sedangkan tiga puluh orang perajurit wanita itupun bergerak dan berlari-lari membuat pagar mengelilingi pemuda itu dengan bambu runcing siap di tangan! Aneh pagar manusia ini karena terus bergerak, berlari-larian mengelilingi Joko Wandiro dari jarak jauh.

"Boleh kau coba, Joko Wandiro! Kau takkan dapat pergi dari sini tanpa lebih dulu membunuh kami semua dan andaikata dapat juga, kau takkan pernah terlepas daripada pengejaran kami! Kau membunuh kami semua atau kau mati, kalau kau tak mau menerima permintaan kami!"

Joko Wandiro terkejut juga. Kalau sedemikian hebat tekad gadis-gadis ini, memang serba sukarlah baginya. Ia tahu bahwa gadis-gadis ini tidak mempunyai niat buruk, dan setulusnya hati hendak menghambakan diri kepadanya, karenanya ia dapat menduga bahwa andaikata ia dapat lolos, tentu ia akan selalu dicari-cari dan dikejar-kejar kemanapun juga ia pergi.

Namun, tugasnya masih belum selesai. Ia harus mencari Ayu Candra, dan iapun harus mencari Endang Patibroto, membujuknya dan kalau perlu menggunakan kekerasan mengalahkannya untuk membawanya ke depan ibu gadis itu di Sempu. Kemudian, setelah ia berhasil mendapatkan kembali adik kandungnya, ia harus mengatur perjodohan Ayu Candra dengan Joko Seto seperti yang dipesankan oleh ayah Ayu Candra.

Setelah itu, ia masih perlu menyelesaikan tugas yang dipesankan gurunya, yaitu menghadapi orang-orang jahat yang membikin keadaan makin keruh antara Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Kalau orang-orang jahat yang sakti itu dapat dihalau, agaknya masih ada jalan perdamaian antara dua kerajaan yang masih bersaudara itu.

Hal itu bukan tak mungkin dilakukan, mengingat akan perhubungan dua di antara anak-anak mereka yaitu Pangeran Darmokusumo dan Puteri Mayagaluh. Yang bermusuhan adalah si orang-orang tua yang kukuh, sedangkan melihat keadaan orang-orang mudanya, amatlah baik. Ia tidak percaya bahwa orang-orang muda seperti Pangeran Panjirawit dan Pangeran Darmokusumo tidak dapat diajak saling berdamai.

"Joko Wandiro, mengapa kau bengong saja? Apakah kau sudah insyaf dan dapat berlaku bijaksana, menerima permintaan kami?" Tiba-tiba Dewi menegur dengan suara penuh harap.

Joko Wandiro kaget. Ia menggeleng kepala dan menjawab,
"Menyesal sekali, Dewi. Tugasku masih banyak, bagaimana aku dapat tinggal di sini? Aku akan pergi !"

Setelah berkata demikian, tubuh Joko Wandiro tiba-tiba melesat ke atas dalam lompatan yang tinggi. Ia sudah menggunakan Ilmu Bayu Sakti untuk melompat dan lolos melalui atas kepala lima orang gadis yang mengurungnya. Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia menurunkan kedua kakinya ke atas tanah, lima orang gadis itu kembali sudah berdiri mengurungnya, dan mereka berlima mengurung sambil menangis! Dewi yang tepat berada di depannya lalu berkata nyaring,

"Kalau begitu, engkau atau kami yang binasa!"

Kata-kata ini disusul terjangan yang hebat juga, dengan kedua lengan diulur ke depan, jari tangan terbuka membentuk cakar elang menyerang ke arah leher dan dada. Sambaran angin serangan ini cukup dapat ditaksir oleh Joko Wandiro sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Biarpun ia tahu bahwa tingkat kepandaian Dewi dua kali lebih tinggi daripada empat orang adiknya, namun baginya Dewi bukanlah lawan yang sukar untuk dikalahkan. Akan tetapi yang membuat ia kagum adalah cara mereka menyerang dengan teratur.

Tadipun ia sudah kaget ketika melompat melalui atas kepala mereka dan turun, tahu-tahu sudah terkurung lagi sedangkan barisan di luar juga tetap berlari-lari membentuk lingkaran. Ia dapat menduga bahwa biarpun mengenai ilmu silat, ia tidak periu khawatir terhadap pengeroyokan mereka, namun ia harus berhati-hati terhadap ilrnu mereka mengatur dan membentuk barisan. Ayah gadis itu adalah bekas senopati Wengker, seorang ahli perang yang tentu saja pandai mengatur barisan dan agaknya kepandaian ini menurun kepada Dewi.

Serangan Dewi tidak ia tangkis, melainkan dengan miringkan tubuh dan menggeser kaki, ia sudah terbebas puia dari kurungan. Akan tetapi pengurung di sebelah kiri, Mini dan Sari, juga ikut melompat mundur dan kembali ke posisi semula sedangkan tiga orang saudaranya mengejar dan daiam sekejap saja Joko Wandiro sudah terkurung kembali. Kini mereka melancarkan serangan susul-menyusul dan bertubi-tubi. Mereka masih menangis, dan Joko Wandiro melihat betapa serangan mereka itu bersungguh-sungguh, bukan serangan untuk menawan, melainkan serangan untuk membunuh!

Ia merasa serba repot. Meloloskan diri dari kepungan lima orang gadis bertangan kosong ini saja bukan hal mudah, apalagi kalau barisan bambu runcing di luar itu turut mengepung! Memang tidak akan sukar kalau ia membuka jalan darah untuk meloloskan diri, akan tetapi justeru ia tidak menghendaki hal ini terjadi. Agaknya Dewi dan kawan-kawannya memang sudah bertekad bulat untuk memenuhi kata-kata Dewi tadi, yaitu, membunuh atau terbunuh!

Sambil memutar otak untuk mencari akal, Joko Wandiro melayani lima orang gadis itu. Ia kini mulai menangkis dengan menggunakan sedikit tenaga karena ia tidak tega untuk melukai atau menyakiti mereka. Dengan gerakan yang amat ringan dan cepat, sekali bergerak ia sudah dapat menangkis dua tiga serangan, karena hawa sakti yang menyambar keluar dari kedua lengannya saja sudah cukup membuat lawan-lawan itu terdorong ke belakang.

cerita silat online karya kho ping hoo

Segera terdengar jerit-jerit susul-menyusul karena kaget. Akan tetapi begitu terdorong dan hampir roboh, gadis- gadis itu sudah meloncat lagi dan tak pernah merubah posisi pengurungan yang teratur itu. Barisan luar juga terus bergerak menyesuaikan kedudukan mereka dengan kedudukan lima orang pemimpin mereka.

"Dewi, mengapa kau dan adik-adikmu begini keras kepala?" Joko Wandiro berseru jengkel ketika melihat Dewi sendiri terhuyung dan roboh miring, kini sudah meloncat bangun lagi dan menerjangnya dengan hantaman nekad tanpa memperdulikan penjagaan diri lagi. Kembali hantaman itu mengenai ternpat kosong dan Dewi menjawab dengan suara terisak,

"Boleh jadi kami keras kepala, akan tetapi engkau sama sekali tidak mempunyai hati, Joko Wandiro!"

"Hayo bunuh kami, Joko Wandiro!" jerit pula Mini sambil menubruk dengan terkaman seperti seekor harimau kelaparan menubruk kelinci.

Serangan ini disusul oleh Lasmi, Sari, Sundari dan Dewi yang memperhebat serangan tanpa perdulikan penjagaan diri. Joko Wandiro mengeluh. Terpaksa ia mengeraskan hatinya dan kedua lengannya bergerak cepat sekali. Dengan tenaga sedikit ia telah menggunakan Pethit Nogo menampar bahu mereka. Lima orang gadis itu menjerit dan berturut-turut terbanting bergulingan di atas tanah.

Sejenak mereka tak dapat bangun seperti orang disambar petir saking hebatnya Aji Pethit Nogo yang dipergunakan Joko Wandiro. Dengan hati penuh kasihan dan penyesalan, Joko Wandiro yang berhasil merobohkan lima orang pengurungnya itu hendak lari, akan tetapi tiga puluh batang bambu runcing mengurungnya dengan gerakan cepat dan juga teratur sekali.

Bambu-bambu runcing itu tidak hanya menodongnya, akan tetapi juga menjaga jalan keluar dari atas, bahkan menerobos di antara kaki-kaki merekapun tak mungkin karena di situ telah terjaga ujung-ujung bambu pula. Tiga puluh orang gadis itu mengurungnya dengan tiga lapis dari sepuluh orang. Begitu rapatnya penjagaan itu sehingga kalau ia mau meloloskan diri, sedikitnya ia harus membuka jalan darah merobohkan sepuluh orang!

Celakanya, selagi ia meragu, lima orang gadis yang ia robohkan tadi kini sudah bangkit kembali dan sambii terisak menangis telah menerjangnya dengan hebat, seakan-akan pukulan Pethit Nogo yang hebat tadi sama sekali tidak mereka takuti. Mereka menyebutku tidak berhati! Betulkah ini? Joko Wandiro berpikir-pikir dan mempertimbangkan keadaannya. Kemudian ia berhenti bergerak dan mengangkat tangan kanan ke atas.

"Dewi, berhenti dulu, aku mau bicara!"

Dewi mengeluarkan perintah dan semua anak buahnya berhenti bergerak. Ketika Joko memandang lima orang gadis itu, terpaksa ia meramkan matanya karena pertempuran mati-matian tadi, Apalagi pukulannya Pethit Nogo yang merobohkan mereka, membuat pakaian mereka dari daun-daun dan bunga-bunga itu rontok berhamburan dan hanya tinggal sedikit yang masih menutupi tubuh sehingga tampaklah bagian-bagian tubuh yang semestinya ditutupi. Setelah sejenak meramkan mata menekan perasaannya yang berdebar, ia membuka mata kembali lalu berkata, suaranya tenang,

"Dewi, engkau dan anak buahmu agaknya sudah bertekad bulat dan mati-matian untuk mempertahankan permintaanmu. Kenekatan kalian ini membuat aku ragu-ragu dan aku mau mempertimbangkan permintaanmu, Dewi."

Wajah lima orang gadis yang tadinya suram dan menangis itu seketika menjadi berseri. Dewi mengeluarkan aba-aba dan mereka semua serentak menjatuhkan diri berlutut di depan Joko Wandiro!

"Joko Wandiro, percayalah bahwa kami sudah bersumpah memilihmu sebagai pemimpin yang kami idam-idamkan semenjak bertahun-tahun. Tidak terhitung banyaknya pria yang hendak merebut kedudukan pimpinan dan menjajah kami, namun semua dapat kami basmi dan kami bunuh. Kami bertahun-tahun menanti saat ini, menanti datangnya seorang yang tepat menjadi pemimpin kami, yang boleh kami jadikan sandaran hidup selamanya, yang akan kami layani dengan seluruh jiwa raga kami. Engkaulah orangnya, Joko Wandiro. Kami sudah bertekad menghambakan diri kepadamu atau di antara kita harus mati."

Joko Wandiro menarik napas panjang. "Akan menjadi orang jahatlah aku kalau membalas budi pertolongan kalian kepadaku dengan permusuhan, apalagi harus membunuh seorang di antara kalian. Akan tetapi, permintaan kalian sungguh merupakan hal baru dan janggal bagiku. Dewi, aku suka menerima permintaan kalian untuk menjadi pemimpin kalian. Akan tetapi hanya dengan syarat, dan kalau kalian tidak mau memenuhi syarat ini, biarlah kalian bunuh saja aku untuk menebus budi pertolongan kalian, aku takkan melawan lagi."

Dengan teriakan girang Dewi meloncat berdiri, merangkul leher Joko Wandiro dan menciumnya! Joko Wandiro gelagapan, mendorong halus tubuh hampir telanjang itu ke belakang lalu berkata, "Nah, yang beginilah yang tak boleh kau lakukan, Dewi. Bagaimana, maukah kau mendengar syaratku?"

Dewi terdorong ke belakang, mukanya merah dan matanya berkilat-kilat, wajahnya berseri-seri. Ia berlutut kembali dan berkata,
"Katakanlah Apa syaratnya? Andaikata kau minta nyawaku sekarang juga, akan kuserahkan!"

Joko Wandiro merasa lehernya tercekik. Keharuan mencekam hatinya. Biarpun tingkah gadis-gadis ini liar dan ganas, namun harus ia akui bahwa mereka itu benar-benar jujur dan setia, tidak pandai bermanis bibir seperti gadis-gadis kota.

"Tidak, Dewi. Syaratku tidaklah seganas itu. Aku mau menjadi pimpinan kalian, akan tetapi mulai sekarang, kalian tiga puluh lima orang harus tunduk dan taat kepada semua perintahku. Kalau aku merubah peraturan-peraturan yang selama ini berlaku di sini, kalian tidak boleh membantah. Misalnya, peraturan untuk membunuh setiap orang pria yang memasuki wilayah Anjasmoro, inipun akan kurubah. Bagaimana ? "

"Hanya itukah?" tanya Dewi.

"Itu syarat pertama. Syarat ke dua, sebagai seorang pemimpin, aku tidak mau harus selalu tinggal di sini karena aku masih mempunyai banyak sekali tugas di luar yang harus kuselesaikan. Bahkan aku membutuhkan bantuan kalian untuk tugas-tugasku itu, di antaranya, membantu aku mencari adik kandungku yang bernama Ayu Candra dan yang lenyap di daerah Anjasmoro ini ketika aku bertanding kemarin dulu itu. Ke tiga.... eh, ke tiga...."

Sampai di sini Joko Wandiro tak dapat melanjutkan kata-katanya dan mukanya menjadi merah sekali karena malu dan jengah.

"Apakah syarat ke tiga? Harap beritahukan agar dapat kami pertimbangkan."

"Syarat ke tiga.... eh, aku.... aku hanya menjadi pemimpin kalian.... bukan.... bukan suami kalian...."

Setelah menggagap Joko Wandiro dapat menentramkan perasaannya lalu berkata tegas, "Bukan sekali-kali aku tidak menghargai perasaan kalian, hanya.... dalam hal ini tak boleh ada paksaan dan aku.... aku masih belum ingin beristeri...."

Lima orang gadis itu saling pandang sambil tersenyum. Kemudian Dewi ber kata, "Syarat pertama kami dapat menerima dan boleh kau merubah semua peraturan di sini, semua akan kami taati. Syarat ke dua, asal kau suka bersumpah lebih dahulu bahwa kau takkan menipu dan membohongi kami, tidak akan meninggalkan kami untuk selamanya dan tidak menggunakan syarat itu untuk membebaskan diri dari kami, juga kami terima. Tentu saja kalau kau melanggar, kami semua akan mencarimu sampai jumpa ke manapun juga kau pergi. Adapun tentang syarat ke tiga bagaimanakah kau dapat mengajukan syarat seperti itu ? Joko Wandiro, kami sudah bersumpah menyerahkan jiwa raga kami kepadamu, bersetia sampai mati, hal ini berarti bahwa kami semua adalah milikmu, bagaimana engkau akan mengingkari dan menolak kami? Kepada engkau seoranglah kami menyerahkan perasaan cinta kasih kami, kesetiaan, ketaatan, sehingga engkau merupakan junjungan kami, pemimpin kami, juga suami kami!"

Empat orang gadis lain mengangguk-angguk dan lima pasang mata yang bening itu memandang wajah Joko Wandiro penuh sinar mesra dan kasih sayang. Melihat ini, serasa berputar kepala Joko Wandiro dan ia cepat-cepat menggerakkan kedua tangan yang digoyang-goyangkan ke depan. Ia sendiri merasa heran mengapa jantungnya berdebar tidak karuan. Mengapa hatinya merasa senang dan bangga, mengapa penyerahan diri gadis-gadis cantik itu mendatangkan perasaan yang luar biasa anehnya dan yang membuat ia merasa tegang sehingga pikirannya menjadi keruh.

Teringat ia akan penuturan bibinya, Roro Luhito, tentang kelakuan ayahnya di waktu muda. Ayahnya, menurut penuturan bibinya, adalah seorang yang pernah menyeleweng, mengejar-ngejar wanita, seorang pemuda bangsawan yang mata keranjang, gila perempuan, menjadi hamba daripada nafsu berahi!

Teringat akan ini, seketika panas rasanya wajah Joko Wandiro. Cepat-cepat ia membentak, "Tidak! Aku bukan laki-laki mata keranjang!!"

Bentakannya yang dilakukan dalam keadaan tak sadar itu keras sekali, mengejutkan Dewi dan adik-adiknya. Mereka meloncat berdiri dan memandang. Joko Wandiro sadar dan mukanya makin merah.

"Dewi, ketahuiah bahwa pernyataanmu itu, sungguhpun kau keluarkan dengan hati jujur, iklas, dan terbuka, namun di dalam dunia ramai merupakan sebuah penyelewengan yang tidak semestinya dilakukan orang yang hendak berjalan di atas jalan kebenaran. Aku suka menerima permintaan kalian menjadi pemimpin kalian hanya dengan tujuan menuntun kalian ke jalan benar dan mencegah terjadinya permusuhan di antara kita, sama sekali tidak ada pamrih untuk memetik buah yang berupa kenikmatan dan kesenangan. Jalan untuk bersetia dan taat kepada pimpinan bukan hanya dengan cara menyerahkan diri seperti yang kau maksudkan. Tidak, Dewi. Bukan hanya aku seorang laki-laki di dunia ini dan untuk kalian semua, masih ada jodoh masing-masing yang kelak tentu akan kalian temukan setelah aku merubah peraturan di sini. Aku menghendaki agar kalian masing-masing menemukan jodoh kalian, menemukan pria pilihan hati masing-masing untuk memasuki jenjang perjodohan dan hidup bahagia, tidak lagi menjadi orang-orang buronan dan hidup dengan liar seperti sekarang ini. !! "

Tiba-tiba Dewi menangis dan empat orang adiknya ikut pula menangis. Dewi memegang tangan kanan Joko Wandiro dan empat orang yang lain juga ada yang memegang tangan, ada yang berlutut merangkul kaki.

"Tapi aku.... aku sudah menyerahkan hati dan cinta kasihku kepadamu...." kata Dewi.

"Aku juga...." kata Lasmi.

"Aku juga....." sambung Mini, Sari dan Sundari berturut-turut.

Joko Wandiro tersenyum dan melepaskan diri dengan halus. "Kelak akan berubah setelah kalian bertemu dengan pria-pria lain. Sudahlah, hal ini tak perlu kita perbincangkan sekarang. Pendeknya, bukan waktunya sekarang bagiku untuk bersenang dan bicara tentang perjodohan. Aku masih mempunyai banyak tugas dan perlu mendapat bantuan kalian. Mari kita bicara di dalam pondok."

Joko Wandiro dan lima orang gadis itu memasuki pondok di mana pemuda ini duduk di atas bangku bambu dikelilingi lima orang gadis cantik itu yang selalu bersikap mesra kepadanya. Mulailah Joko Wandiro mengeluarkan peraturan-peraturan baru untuk menuntun mereka ke dalam dunia sopan. Melihat betapa mereka ini menyimpan banyak sekali gumpalan emas yang amat berharga, Joko Wandiro lalu memerintahkan agar dengan emas itu Dewi dan adik-adiknya pergi menemui penduduk di kaki Gunung Anjasmoro, membeli pakaian-pakaian untuk mereka semua sehingga mereka tidak akan menjadi sekumpulan wanita liar setengah telanjang lagi.

Kemudian ia mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Dewi dan adik-adiknya cukup baik, terutama sekali ilmu mengatur barisan yang mereka warisi dari mendiang Mamangkurdo ayah Dewi. Karena tingkat kepandaian Joko Wandiro jauh melampaui mereka, maka pemuda ini lalu memberi petunjuk dan menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada mereka berlima sehingga mereka menjadi barisan yang makin hebat dan kuat lagi setelah mereka kelak berlatih matang.

Tiga puluh lima orang wanita itu menjadi girang sekali dan merasa bahagia mendapat seorang pemimpin seperti Joko Wandiro. Setiap hari mereka sibuk bersolek dengan pakaian baru mereka, atau berlatih ilmu baru yang mereka dapat, dan waktu selebihnya mereka pergunakan untuk berusaha menyenangkan hati Joko Wandiro.

Pemuda ini mengambil keputusan untuk tinggal beberapa hari di sini, memimpin mereka membuat pondok-pondok baru dari kayu dan bambu, menuntun mereka menjadi wanita-wanita yang hidup normal tidak liar lagi. Akan tetapi sikap Dewi dan empat orang adiknya yang mesra, amat dan terlalu mesra terhadapnya, benar-benar menggelisahkan hatinya, bahkan kadang-kadang, entah terdorong oleh apa, menciumnya begitu saja! Ia sampai tergidik ngeri, bukan karena merasa jijik. Ah, mana bisa jijik kalau mereka itu merupakan dara-dara yang cantik sekali, yang setiap di antara mereka mampu menjatuhkan hati seorang pendeta alim sekalipun?

Ia bergidik karena merasa ngeri, karena merasa takut akan hatinya sendiri. Jantungnya sering kali terguncang, perasaannya terbuai dan ada kalanya ia hampir tak dapat menguasai hatinya untuk tidak membalas belaian mereka. Ia khawatir kalau-kalau pertahanan hatinya runtuh dan ia akan terseret ke dalam kesesatan dan penyelewengan seperti yang pernah dialami ayahnya di waktu muda dahulu.

Tidak! Ia tidak akan mencontoh kelemahan ayahnya. Ia tidak akan mengulang kesesatan ayahnya. Akan tetapi berkeras dan menolak penumpahan perasaan mereka itupun sukar sekali. Mereka melakukan hal itu karena wajar, karena dorongan rasa hati mereka. Jalan satu-satunya hanya harus cepat-cepat pergi dari tempat ini. Ia maklum bahwa betapapun kuat pertahanan hatinya, sekali waktu pasti akan hancur dan bobol. Bayangkan saja.

Pada malam ke dua ia tinggal di situ, menjelang pagi ia bangun dari tidur dan alangkah kagetnya melihat betapa lima orang gadis itu sudah tidur pula di atas pembaringannya sambil bertumpang tindih memeluknya. Kepala-kepala dengan rambut halus hitam panjang dan harum semerbak karena bunga itu terletak di atas dadanva, perutnya, pahanya, bahkan Dewi memeluk lehernya dengan muka yang dekat sekali dengan mukanya sehingga napas halus Dewi meniupi telinganya!

Hal seperti inilah yang amat berbahaya. Untung ia masih tak kehilangan akalnya dan masih kuat mempertahankan hatinya. Kalau kelak sudah selesai tugas-tugasnya, dan kalau kelak ia ingin memilih seorang calon jodoh, mungkin saja ia memilih seorang di antara mereka berlima ini. Mereka ini cantik-cantik, manis-manis, dan sudah pula ia bayangkan betapa akan manis hidup ini kalau ia beristerikan Dewi dengan empat orang selir seperti Lasmi, Mini, Sari dan Sundari itu!

Ia sudah menceritakan segala keinginan hati dan tugasnya kepada Dewi. Pertama-tama ia akan mencari Ayu Candra dan hari itu, lima hari setelah ia berada di situ, Dewi dan anak buahnya mulai pergi mencari Ayu Candra disekitar daerah Anjasmoro. Joko Wandiro melihat mereka pergi berpencar dan menyusup-nyusup di antara pohon hutan dengan gerakan ringan dan cepat. Hatinya lega. Dengan pembantu-pembantu seperti itu, agaknya Ayu Candra akan dapat ditemukan.

Tentu saja kalau adiknya itu masih berada di sekitar daerah pegunungan ini. Ia menjadi sedih kalau teringat akan adiknya itu. Dan ia menjadi marah sekali kalau ingat kepada Ki Jatoko. Ia akan memberi hajaran kepada si buntung itu kalau dapat bertemu kembali. Si buntung itulah yang menjadi biang keladinya, menjadi pembujuk Ayu Candra dengan kata-kata berbisa sehingga gadis itu lupa akan pesanan ayahnya.

Joko Wandiro berdiri di puncak Anjasmoro, memandang ke sekeiiling untuk melihat kalau-kalau dari tempat itu ia dapat melihat Ayu Candra. Kesunyian. tempat itu dan kekhawatirannya akan nasib adik kandungnya itu membuat pemuda ini melamun dan untuk sejenak kehilangan kewaspadaannya. Karena melamun dan pikirannya melayang-layang, ia sampai tidak tahu bahwa ada sepasang mata memperhatikannya semenjak tadi.

Mata seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa. Mata yang mengenalnya sebagai murid Ki Patih Narotama, sebagai pembunuh Wirokolo, sebagai musuh besarnya. Mata Dibyo Mamangkoro yang makin lama menjadi makin merah saking marah melihat pemuda itu berdiri seorang diri di tempat sunyi.

Biarpun tubuhnya sebesar tubuh raksasa, namun Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna itu dapat bergerak laksana angin cepatnya dan seringan kapas sehingga Joko Wandiro yang sedang dibuai lamunan itu sama sekali tidak tahu. Barulah Joko Wandiro sadar dan terkejut bukan main setelah terlambat. Dua buah Iengan yang besar dan selain berotot juga mengandung hawa sakti yang menggiriskan telah memeluk dan mengempitnya, lengan kiri melingkari pinggang, lengan kanan memiting leher dari belakang. Seketika Joko Wandiro merasa dadanya sesak dan lehernya tercekik, tak dapat bernapas!

"Uhhh.....! Siapakah engkau yang securang ini? Lepaskan.... !"

Joko Wandiro mengerahkan tenaga meronta-ronta. Namun kempitan itu amatlah kuatnya sehingga usahanya melepaskan diri sia-sia belaka. Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak-gelak sehingga air ludahnya memercik ke atas kepala dan tengkuk Joko Wandiro.

"Huah-hah-ha-ha-hah! Murid Narotama, hayo kau kerahkan semua kedigdayaanmu. Kalau engkau dapat melepaskan diri, benar-benar engkau seorang jagoan. Kalau tidak dapat, bersiaplah untuk mampus sebagai pengganti gurumu. Huahha-ha- ha!"

"Dibyo Mamangkoro....!!" Joko Wandiro berseru kaget ketika ia mengenal suara ini. Tahulah ia bahwa ia berada dalam bahaya maut karena raksasa ini adalah musuh gurunya yang pasti takkan ragu-ragu lagi untuk membunuhnya. Apalagi karena dahulu ia telah membunuh Wirokolo, adik seperguruan dan sekutu raksasa ini. Ia terkejut dan gelisah, namun dengan cepat Joko Wandiro dapat menekan perasaannya dan bersikap tenang. Dengan suara mengejek ia lalu berkata,

"Dibyo Mamangkoro terkenal sebagai bekas senopati besar, siapa tahu hari ini memperlihatkan sikap seorang pengecut yang curang. Kalau engkau memang seorang jantan, hayo lepaskan dan mari kita mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang dan ampuhnya kesaktian!"

"Huah-ha-ha-ha! Melawan bocah macam engkau perlu Apa banyak repot? Kau lepaskan dirimu, kalau tidak becus, mampuslah!" Dibyo Mamangkoro memperkuat kempitannya sehingga pemuda itu merasa tubuhnya seakan-akan dihimpit besi-besi baja yang keras dan amat berat.

Joko Wandiro menahan napas lalu mengumpulkan hawa sakti di tubuhnya. Hawa sakti itu berputar-putar di sekitar pusarnya, makin lama makin cepat dan terasa panas, lalu ia dorong hawa itu naik, membentuk tenaga dahsyat dan panas yang mendasari usahanya meronta. Ia memekik dahsyat dan meronta. Bukan main hebatnya tenaga pemuda ini. Pekik tadi adalah pekik Dirodo Meto, dibarengi pengerahan tenaga Bojro Dahono, benar-benar luar biasa dahsyatnya. Andaikata pemuda itu dibelenggu dengan rantai baja sekalipun dengan pekik dan tenaga sakti macam itu, agaknya semua belenggu akan patah-patah dan ia akan terlepas.

Dibyo Mamangkoro terkejut bukan main. Tidak disangkanya bocah ini memiliki kesaktian sehebat itu. Untung dia yang mengempitnya, kalau orang lain tentu akan terjengkang dan roboh, mungkin tewas. Cepat iapun mengerahkan tenaga sambil tertawa berkakakan. Bukan sembarang tertawa, melainkan tertawa berisi aji kesaktian untuk melawan pengaruh pekik Dirodo Meto tadi, kemudian iapun menggunakan hawa sakti di tubuhnya untuk disalurkan ke arah kedua lengan yang mengempit. Keras lawan keras dam keadaan mereka seimbang. Kempitan itu tidak terlepas, hanya akibatnya, Joko Wandiro terengah-engah dan makin sukar bernapas sedangkan wajah Dibyo Mamangk卯茫卯 menjadi pucat, penuh keringat sebesar kacang tanah. Dada dan lengannya berkilat-kilat licin oleh peluh.

Kalau Dibyo Mamangkoro kagum sekali menyaksikan kesaktian pemuda ini, adalah Joko Wandiro yang terkejut bukan main. Ia telah mengerahkan tenaga, namun kempitan itu tidak terlepas, bahkan melonggarpun tidak, malah makin erat. Ia maklum bahwa kalau ia tidak lekas-lekas dapat melepaskan diri, ia akan mati tercekik, mati kehabisan napas dan dengan tulang-tulang iga remuk! Lengan kanan lawan seperti akan mematahkan batang lehernya, sedangkan tangan kiri lawan yang besar seperti hendak mencengkeram dan merobek kulit perutnya.

Joko Wandiro kembali berusaha dengan pengerahan tenaga. Kini hawa murni di tubuhnya bergerak semua, membentuk hawa sakti yang membuat tubuhnya licin bakai belut. Kini pemuda itu menggunakan tenaga lemas, tidak mau menggunakan kekerasan seperti tadi. Tubuhnya menjadi lemas dan licin, tulang-tulangnya seperti lenyap dan tubuhnya seperti berubah menjadi tubuh belut saja! Inilah hasil hawa sakti yang luar biasa. Andaikata pemuda ini dibelit-belit rantai yang kuat sekalipun, dengan aji ini ia tentu mampu meloloskan diri tanpa mematahkan rantainya. Ketika ia mengerahkar tenaga dan tubuhnya bergerak-gerak hampir berhasil melepaskan diri dari kempitan kedua lengan Dibyo Mamangkoro.

"Aiiihhhh....... !!!"

Dibyo Mamangkoro berseru keras dan ia kagum sekali, lalu ia cepat-cepat menambah tenaga dalamnya untuk memperhebat kempitan. Ia kagum bukan main. Sebagai seorang tokoh besar yang sakti, ia maklum pula bahwa lawannya yang masih amat muda ini benar-benar memiliki kedigdayaan dan boleh disebut seorang sakti mardraguna yang jarang bandingnya. Maka ia lalu memperhebat tenaganya dan berusaha meremukkan dada mematahkan batang leher pemuda itu. Otot-otot kedua tangannya sampai timbul, mukanva menjadi beringas, mulutnya membusa.

Joko Wandiro diam-diam mengeluh dalam batinnya. Lawannya ini terlalu cerdik, juga terlalu sakti. Dikempit seperti itu, ia benar-benar tidak dapat mempergunakan aji kepandaiannya. Ia dapat mengimbangi tenaga dalam lawan, namun ia kalah kuat dalam tenaga kasar raksasa itu yang memang hebat. Andaikata ia harus menghadapi kakek itu dalam pertandingan, tentu saja ia dapat mempergunakan semua ajinya, dan belum tentu ia akan kalah. Siapa kira, kakek musuhnya ini demikian licik dan curang, menyerangnya secara menggelap dari belakang.

Betapapun juga, Joko Wandiro tidak mau menyerah mentah-mentah begitu saja. Ia tidak mau mati konyoi tanpa perlawanan, maka kembali ia meronta-ronta. Karena pemuda ini memang amat kuat, biarpun ia tidak berhasil membebaskan diri, namun setidaknya ia membuat kedudukan kaki lawannya menjadi terhuyung dan membuat lawannya itu mandi peluh dan lelah sekali.

Joko Wandiro merasa penasaran sekali bahwa ia akan mengakhiri hidupnya secara demikian mengecewakan. Ia maklum bahwa takkan lama ia dapat bertahan. Napasnya sudah sesak sekali dan setiap kali ia terpaksa menyedot napas, pertahanan tenaga dalamnya menjadi lemah sehingga kempitan itu makin erat menyesakkan dada yang serasa seperti akan remuk tulang-tulangnya. Terlalu lama ia menahan napas dan telinganya sudah terngiang-ngiang, pandang matanya mulai berkunang kemudian hidungnya sudah mencium bau hangus, di depan matanya membentang lautan merah darah. Akan tetapi ia masih tenang.

Memang pemuda ini tidak gentar menghadapi maut. Hal itu menguntungkannya karena ketenangannya serta ketabahannya membuat ia tidak kehabisan akal. Dalam keadaan kritis dan maut sudah mengintai nyawanya itu, Joko Wandiro masih memutar otak mencari akal. Dalam saat terakhir itu bagaikan nyala sebuah obor, Joko Wandiro dapat melihat dengan jelas jalan keluar untuk menolong dirinya. Ah, mengapa ia sebodoh itu?

Mengapa waktu dan tenaganya ia habiskan untuk meronta-ronta secara sia-sia? Mengapa ia mencari jalan sukar, jalan kekerasan, sedangkan di depannya jelas terdapat jalan yang amat mudah tanpa menggunakan kekerasan untuk meloloskan diri? Ia melihat betapa Iengan kanan lawannya itu memiting lehernya, dengan siku ditekuk tepat di depan mukanya, dan betapa tangan kiri lawannya mencengkeram ke depan perutnya. Dan kedua tangannya sendiri bebas!

Teringatlah ia akan semua pelajaran yang ia terima dari Ki Tejoranu yang selain menurunkan ilmu golok, juga memberitahu akan rahasia bagian-bagian tubuh yang lemah. Siku lawan berada di depannya, mudah dicapai tangan kanannya, demikian pula tangan kiri lawan di depan perut itu mudah dicapai tangan kirinya. Karena kini pandang matanya sudah sama sekali menjadi merah dan ia merasa dirinya seperti tenggelam dalam lautan darah, ia meramkan matanya, akan tetapi kedua tangannya mulai bergerak!

Sambil mengerahkan tenaga terakhir, pemuda ini menggunakan tangannya mencengkeram sambungan siku kanan lawan, sedangkan tangan kirinya mencengkeram pusat kekuatan tangan kiri lawan, yaitu di belakang ibu jari, antara telunjuk dan ibu jari. Sekuat tenaga ia mencengkeram dan menggencet, dan ia lapat-lapat pada saat itu terdengar suara nyaring,

"Eyang, lepaskan! Tidak boleh kau membunuh pemimpin kami...."

Joko Wandiro mendengar suara menggereng hebat dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke depan. Untung ia masih belum pingsan sehingga ia dapat cepat mematahkan tenaga lontaran itu dengan berjungkir balik beberapa kali. Namun tetap saja ia terbanting, sungguhpun tidak terlalu keras. Ketika ia meloncat bangun, mengatur pernapasan memulihkan tenaga dan memandang ke depan, ia melihat Dibyo Mamangkoro berdiri dengan mata terbelalak marah sambil memaki-maki Dewi dan ke empat orang adiknya. Ia merasa bersyukur sekali dan mau rasanya ia memberi hadiah ciuman seorang tiga kali kepada lima orang dara yang telah menyelamatkan nyawanya itu!

Memang sesungguhnyalah bahwa mati hidup seorang manusia seluruhnya berada di tangan Hyang Maha Wisesa. Jika belum dikehendakiNya, banyak jalan untuk menolong seseorang daripada marabahaya. Secara kebetulan sekali, ketika Joko Wandiro menggunakan usaha terakhir membebaskan diri tadi, muncul Dewi dan empat orang adiknya yang datang berlari-lari setelah mendapat pelaporan seorang anak buah mereka yang menyaksikan betapa Joko Wandiro terancam maut di tangan Dibyo Mamangkoro.

Anak buah itu tentu saja tak berani bergerak karena Dibyo Mamangkoro adalah terhitung kakek Dewi. Dibyo Mamangkoro adalah paman dari ayah Dewi dan biarpun amat jarang, pernah beberapa kali mengunjungi cucunya di Anjasmoro maka dikenal pula oleh anak buah Dewi. Melihat betapa Joko Wandiro terancam bahaya maut, serentak Dewi dan empat orang adiknya datang menolong. Dewilah yang tadi berteriak menegur eyangnya, dan mereka berlima tadi sudah maju dan memukul ke arah punggung Dibyo Mamangkoro!

Tentu saja pukulan-pukulan lima orang gadis itu tidak terlalu hebat bagi Dibyo Mamangkoro. Akan tetapi pada saat itu Joko Wandro telah mencengkeram siku kanan dan pusat kekuatan tangan kirinya. Karena kedua serangan yang secara kebetulan dating berbareng inilah yang membuat Dibyo Mamangkoro terpaksa melemparkan tubuh Joko Wandiro ke depan, Andaikata lima orang gadis itu tidak menyerang di saat itu, jangan harap cengkeraman Joko Wandiro akan dapat membebaskan dirinya karena selain tenaga pemuda ini sudah mulai lemah, juga lawannya tentu akan dapat mengubah posisi. Juga, andaikata Joko Wandiro tidak sedang mencengkeramnya di saat lima orang gadis itu menyerang, tentu serangan dari belakang itu tidak akan dirasanya, bahkan dengan mudah, menggunakan kedua kakinya kakek raksasa ini akan dapat menghalau lima gadis itu. Memang segalanya tiba secara kebetulan dan seperti sudah diatur sebelumnya sehingga hasilnya menyelamatkan Joko Wandiro!

"Setan cilik! Kucing betina! Berani engkau menyerang eyangmu dan menolong musuh?"

"Eyang, dia junjungan kami! Tidak boleh kaubunuh dia!" Dewi membantah sambil mengangkat dadanya yang membusung, penuh tantangan.

"Bocah goblok! Tidak tahukah kau siapa dia itu? Dia itu murid Ki Patih Narotama, musuh gerotan kita!"

"Tidak, eyang. Dia sudah menjadi pemimpin kami, sudah kami serahkan jiwa raga kami kepadanya." kata pula Dewi.

"Bedebah! Kau berani berkhianat? Kalau begitu lebih dulu kalian akan kubunuh! "

Dengan kemarahan meluap-luap Dibyo Mamangkoro mengangkat tangan kanan ke atas dan menghantam ke arah Dewi dan empat orang adiknya dengan pukulan jarak jauh yang ampuh. Ia terlalu memandang rendah kepada cucunya maka ia hanya menggunakan sebagian kecil tenaga dalamnya. Terdengar suara angin bersiutan menyambar ke arah Dewi dan empat orang adiknya. Namun lima orang gadis itu sudah terlatih baik dan keistimewaan mereka adalah gerakan yang amat cekatan. Mereka menjerit nyaring saking ngeri dan kaget, namun loncatan mereka berhasil menyelamatkan diri mereka daripada sambaran angin pukulan dahsyat itu.

"Krakkkk...... brruuukkkk......... !"

Sebatang pohon sebesar manusia yang mewakili mereka, terkena pukulan itu seperti disambar petir, tumbang seketika? Lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Di lain fihak, muka Dibyo Mamangkoro menjadi merah sekali saking penasaran dan marah melihat pukulannya hanya menumbangkan pohon. Ia melangkah tiga tindak ke depan hendak memukul lagi dengan tenaga penuh akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan dan tahu-tahu Joko Wandiro sudah berada di depannya!

"Dibyo Mamangkoro. Lawanmu adalah aku, Joko Wandiro. Bukan segala bocah perawan yang lemah! Dewi, kau dan adik-adikmu menyingkirlah jauh-jauh dan kalian tonton saja betapa pemimpin kalian merobohkan manusia iblis yang kejam ini!"

Karena amat taat kepada Joko Wandiro, biarpun di dalam hati merasa amat gelisah karena maklum betapa sakti mandraguna eyangnya itu, Dewi mengajak empat orang adiknya menjauhkan diri dan menonton dari jauh dengan jantung berdebar. Mereka diam-diam memberi isyarat kepada semua anak buah mereka, yaitu apabila Joko Wandiro roboh binasa, mereka semua, tiga puluh lima orang wanita banyaknya, akan nekat mengeroyok Dibyo Mamangkoro dan kalau perlu ikut mati bersama pemimpin mereka yang tercinta!

Dibyo Mamangkoro merasa betapa dadanya seperti akan meledak saking marahnya. Ia harus mengakui bahwa setelah berkali-kali mencoba, belum pernah ia dapat mengatasi kesaktian Ki Patih Narotama. Akan tetapi kini ia hanya berhadapan dengan muridnya, seorang bocah yang baru berusia dua puluhan tahun! Dan bocah ini sudah berani menentangnya dengan kata-kata yang diang gapnya sombong.

"Babo-babo.......! Joko Wandiro, sumbarmu menunjukkan bahwa engkau tentulah murid terkasih Narotama yang sudah mewarisi semua aji kesaktiannya. Bagus! Dengan membunuhmu, sama halnya dengan membunuh Narotama sendiri. Akan puaslah hatiku, tertebus sebagian daripada dendamku kepadanya. Huah-ha-ha-ha!"

Tubuh yang tinggi besar itu bergoyang-goyang, kepalanya menengadah dan dalam keadaan begini, siapa mengira bahwa raksasa tua ini siap menyerang? Di sinilah terletak kelicikan dan kecerdikannya. Joko Wandiro juga tidak mengira bahwa lawannya ini sudah siap bertempur maka iapun belum berjaga-jaga. Namun tahu-tahu, dengan suara ketawanya masih menderu, kakek raksasa itu sudah mencelat ke depan dan mengirim pukulan yang hebat bukan main ke arah dada Joko Wandiro!

"Werrr....... dessss.......!!!"

Bukan main hebatnya pertemuan kedua lengan ini. Pukulan yang mengandung tenaga dalam yang amat tinggi, datangnya tidak tersangka-sangka, sungguhpun dapat ditangkis oleh Joko Wandiro, namun tangkisan itu kurang tenaga. Akibatnya tubuh Joko Wandiro mencelat sampai lima meter lebih dan baru berhenti ketika menabrak pohon waru yang menjadi patah seketika!

BADAI LAUT SELATAN JILID 34


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.