Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 34
"Huah-ha-ha-ha! Hanya sebegitu saja kedigdayaanmu bocah sombong? Ha-ha-ha-ha! Bersiaplah untuk mampus!"
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak sambil melangkah lebar menghampiri Joko Wandiro yang biarpun tidak terluka namun agak pening dan kini merangkak bangun sambil menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningannya.
"Iblis curang, majulah!"
la menantang, kini waspada dan hati-hati. la tenang saja karena pertemuan tenaga tadi melegakan hatinya. Biarpun hebat tenaga kakek raksasa ini, namun kiranya ia akan dapat menandinginya. Dari gurunya ia maklum bahwa tenaga sakti timbul dari hawa yang murni di dalam tubuh. Hawa murni hanya dapat dihimpun oleh mereka yang hati dan pikirannya bersih, yang tidak menjadi abdi nafsu. Orang yang menyeleweng hidupnya seperti Dibyo Mamangkoro, hanya dapat memperkuat tenaga saktinya dengan ilmu hitam, namun hawa murni di tubuh makin mengurang dan lemah. Karena inilah, benturan tenaga tadi membuat Joko Wandiro tenang. Akan tetapi, seujung rambutpun ia tidak berani memandang rendah lawannya dan tetap bersikap waspada dan hati-hati.
"Hua-ha-ha, terimalah ini!"
Dibyo Mamangkoro menyeruduk lagi seperti lagak seekor gajah mengamuk. Kedua lengannya yang besar dikembangkan dan kedua kepalan tangannya yang hampir menyamai kepala Joko Wandiro besarnya, menyambar dari kanan kiri, yang kanan menghantam pelipis pemuda itu, yang kiri mencengkeram ke arah lambung. Dua serangan sekaligus yang amat keji dan berbahaya. Satu saja di antara dua tangan itu mengenai sasaran, akan celakalah Joko Wandiro!
Namun kini Joko Wandiro sudah siap siaga. Ia sudah mengisi tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti sehingga kedua kakinya seakan-akan dipasangi per yang kuat. Melihat datangnya pukulan, ia mengelak dengan lincah dan mudah sehingga dua tangan raksasa itu hanya mengenai tempat kosong. Namun harus diakui bahwa kakek raksasa yang tinggi besar itu tidak selamban gajah gerakannya, melainkan setangkas harimau kelaparan.
Begitu serangannya gagal oleh elakan lawan yang melompat ke kiri, ia sudah menubruk lagi ke kiri dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti cakar burung elang menyambar anak ayam. Sampai bersuitan menyakitkan telinga bunyi angin serangan kedua tangan ini sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kalau mengenai sasaran. Serangan susulan ini harus diakui amat cepat. Joko Wandiro sendiri menjadi kagum karena memang di luar persangkaan orang betapa tubuh yang tinggi besar ini dapat bergerak secepat dan selincah itu.
Karena baru saja kedua kaki Joko Wandiro hinggap di atas tanah ketika melompat menghindarkan diri dari serangan pertama tadi, kini menghadapi serangan ke dua, Joko Wandiro sudah roenggulingkan tubuh ke kanan dan dengan jalan ini, kembali terkaman Dibyo Mamangkoro hanya membuat tanah beterbangan. Joko Wandiro sengaja tersenyum-senyum mengejek.
"Hanya sebegitu sajakah hebatnya seranganmu, Dibyo Mamangkoro?"
Sikap ini merupakan siasat pertempuran yang ia pelajari dahulu dari Ki Tejoranu. Menghadapi lawan tangguh, paling penting harus mencari titik kelemahannya, demikian Ki Tejoranu memberi nasehat. Dan sebagian besar orang sakti, tentu memiliki kelemahan masing-masing. Kelemahan umum adalah tak pandai mengendalikan perasaan. Buatlah lawan kacau perhatiannya dan untuk mengacau perhatiannya paling baik membangkitkan amarah di hatinya. Makin marah dia, makin kacau perhatiannya dan makin mudah dicari gerakan-gerakan yang dibuatnya karena terlampau marah dan terburu nafsu hendak menang.
Akal Joko Wandiro itu berhasil. Tentu saja pemuda ini tidaklah sedemikian sombongnya sehingga ia berani memandang rendah kepada Dibyo Mamangkoro. Ia tahu bahwa kakek raksasa ini sakti mandraguna dan digdaya sekali. Mana ia berani memandang rendah? Dibyo Mamangkorolah yang memandang rendah kepada Joko Wandiro. Hal ini tidak aneh. Kakek raksasa ini memang seorang yang sakti pilih tanding. Jarang ia mengalami kekalahan dan hanya oleh Ki Patih Narotama saja ia berkali-kali dikalahkan.
Kini menghadapi seorang pemuda seperti Joko Wandiro tentu saja ia memandang rendah. Betapa takkan memandang rendah kalau diingat bahwa sebelum pemuda itu terlahir di dunia ia sudah menjadi seorang jagoan yang sukar dikalahkan! Inilah kesalahan Dibyo Mamangkoro, juga kesalahan banyak orang-orang pandai. Setelah pandai, mereka mengira bahwa merekalah yang terpandai di jagad raya ini, menjadikan mereka somborg. Dibyo Mamangkoro tidak insyaf bahwa dia kini telah menjadi tua dan menghadapi Joko Wandiro, dalam banyak hal ia kalah oleh pemuda ini. Pertama-tama kalah muda, ke dua kalah tenang, dan ke tiga kalah bersih hatinya.
"Heh, si keparat! Berani engkau memandang rendah kepadaku? Setan alas, rasakan ini!"
Tiba-tiba tubuh Dibyo Mamangkoro berputar-putar dan bagaikan angin puyuh ia menerjang maju. Hebat bukan main gelombang serangan ini. Tubuhnya berputar-putar sehingga kaki tangannya seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang menyerang tubuh Joko Wandiro dari delapan penjuru! Bertubi-tubi datangnya pukulan, tamparan, cengkeraman, dan tendangan yang dilakukan oleh banyak tangan dan kaki itu. Setiap pukulan pasti mengandung tenaga yang dahsyat! Daun-daun kering yang berada di atas tanah terbawa oleh pusingan angin yang diakibatkan tubuh kakek ra ksasa. Yang berputar-putar itu sehingga tubuh keduanya terselimut oleh daun-daun kering dan debu yang membubung ke atas berpusingan!
Hebat bukan main serangan Dibyo Mamangkoro. Namun lebih hebat kegesitan tubuh Joko Wandiro. Tubuh pemuda ini seketika lenyap bagi pandangan Dewi dan adik-adik serta anak buahnya yang menonton dari jauh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tubuh pemuda itu lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat menyelinap di antara tangan dan kaki yang banyak itu. Sungguh merupakan pemandangan yang bagus, aneh, dan menyeramkan. Pertandingan ini jauh lebih hebat daripada pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto.
Kalau dalam pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, pemuda ini banyak mengalah, selalu mengelak dan tak pernah membalas dengan sungguh-sungguh, adalah pertandingan sekarang ini dilakukan dengan mati-matian. Keduanya menyerang dengan serangan maut. Juga Joko Wandiro selalu membalas sedapat mungkin dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun karena lawannya menggunakan ilmu silat yang liar dan ganas seperti tanpa diatur lagi, ia terdesak dan hanya dapat membalas satu kali untuk penyerangan lima kali.
Makin lama Dibyo Mamangkoro makin penasaran. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini demikian hebat. Memang ia tahu bahwa murid Narotama ini seorang yang berbakat baik ketika dahulu anak ini mengalahkan Wirokolo, dan ia sudah mengkhawatirkan bahwa muridnya, Endang Patibroto, tentu akan bertemu tanding yang kuat dalam diri anak ini. Akan tetapi siapa kira bahwa dia sendiri setelah mengerahkan tenaga dan kepandaian, setelah lewat seratus jurus lebih, belum juga berhasil merobohkannya. Dengan gerakan marah ia kembali menubruk, kemudian mengirim pukulan disertai pekik dahsyat. Itulah pekik Sardulo Bairowo (Pekik Harimau) yang disertai pukulan mematikan!
Joko Wandiro terkejut. Berbahaya kalau mengelak pukulan ini, karena pukulan ini mengandung hawa yang menghadang semua jalan keluar. Di samping itu, ia harus pula menghadapi getaran hebat dari pekik Sardulo Bairowo. Maka iapun memekik dengan pengerahan Aji Dirodo Meto, kemudian mengangkat tangannya menangkis pukulan itu. Dua buah tangan yang amat kuat, mendorong ke depan dan dua telapak tangan bertemu di udara!
"Bressss..... !!"
Kalau tubuh Joko Wandiro yang tampak kecil apabila dibandingkan dengan tubuh lawannya itu terlempar seperti daun kering tertiup angin, hal ini masih tidak mengherankan setelah pertemuan dua tenaga dahsyat itu. Akan tetapi adalah amat aneh melihat tubuh kakek raksasa itupun terlempar seperti layang-layang putus talinya, tidak kalah jauhnya oleh tubuh Joko Wandiro. Benturan tenaga mujijat itu membuat mereka terlempar ke belakang sampai sepuluh meter lebih!
Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia merangkak bangun, dadanya turun naik, napasnya menggos-menggos seperti kuda habis membalap, matanya jelilatan merah, mulutnya menyeringai dan ada busa put ih di kedua ujungnya. Joko Wandiro juga sudah melompat lagi. Seperti juga lawannya, iapun tidak terluka, namun terkejut oleh kehebatan hawa pukulan lawan. Kini dengan tenang ia berdiri menentang pandang mata lawannya.
"Bocah keparat, boleh juga kepandaianmu. Akan tetapi kau berhati-hatilah terhadap seranganku kali ini!"
Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggosok-gosok kedua tangannya dan tampaklah asap tebal mengepul dari gosokan kedua telapak tangan itu. Mula-mula kedua tangan yang besar itu tampak kemerahan sampai ke kuku-kukunya seperti membara, makin lama menjadi makin menghitam dan terasalah hawa panas di sekitar kakek ini. Itulah Aji Wisangnolo yang hebatnya menggila!
Untung bagi Joko Wandiro bahwa dia pernah bertanding melawan Endang Patibroto yang seakan-akan merupakan Dibyo Mamangkoro ke dua. Karena itu maka ia mengenal gerakan-gerakan kakek itu, mengenal pula kehebatan Wisangnolo yang berhawa panas. Ia makin berhati-hati dan diam-diam ia membaca mantera dan mengerahkan aji kesaktian Bojro Dahono ke dalam kedua lengan tangannya. Kemudian, untuk memperlihatkan pada lawan bahwa ia sama sekali tidak takut menghadapi kedua tangan yang mengeluarkan asap tebal itu, Joko Wandiro mendahului lawannya melangkah maju!
Setelah jarak di antara mereka tinggal tiga meter lagi, tiba-tiba Dibyo Mamangkoro mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo dan tubuhnya mencelat ke atas. Bagaikan terbang saja kakek raksasa ini meloncat tinggi dan dari udara ia menyambar turun sambil menghantamkan kedua tangannya berturut-turut ke arah Joko Wandiro. Pemuda ini merasa betapa hawa panas menyambar ke arahnya. Cepat ia meloncat sambil menangkis. Walau tangan mereka tidak bersentuhan dan tubuh mereka mencelat di udara, namun dalam gerakan ini mereka telah saling tangkis dengan ilmu-ilmu pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Keduanya kini terpelanting dan berjungkir balik sehingga dapat berdiri kembali di atas tanah. Tanpa membuang waktu lagi, keduanya berlomba untuk membalikkan tubuh dan kembali mereka saling serang mati-matian.
Gerakan mereka kini tidak secepat tadi, bahkan amat lambat seperti orang sedang latihan atau sedang menari saja. Tidak pernah kedua tangan itu bersentuhan, namun mereka itu ternyata sedang mengadu kesaktian dengan cara mati-matian. Tentu saja kedua pasang tangan itu tak sempat bersentuhan karena didahului oleh hawa pukulan jarak jauh yang amat kuat. Dibyo Mamangkoro adalah tokoh besar Kerajaan Wengker, sebuah kerajaan yang dirajai oleh manusia siluman, yaitu Prabu Boko yang makanannyapun daging bayi! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, tergolong seorang datuk kalangan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Ilmu silatnyapun banyak ragamnya dan kini setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya yang muda belia ini ternyata benar-benar sakti mandraguna, Dibyo Mamangkoro menjadi penasaran dan keluarlah semua ajiannya.
Berkali-kali kakek raksasa ini menukar gerakannya dengan bermacam ilmu silat yang aneh-aneh. Ia menang latihan dan menang pengalaman sehingga dengan cara ini ia berhasil membuat Joko Wandiro kebingungan. Selain itu, pengalamannya yang luas itu membuat ia mudah mengenal ilmu orang. Setelah lewat puluhan jurus, kakek itu sudah mengenal inti daripada Ilmu Silat Bramoro Seto yang dimainkan pemuda itu, maka pada jurus berikutnya setelah ia tahu bagaimana perubahan selanjutnya dari gerakan lawan, kakek ini mendahului dengan sebuah dupakan yang tepat mengenai pundak kiri Joko Wandiro.
"Blekkk.......!!"
Tubuh Joko Wandiro seperti disambar petir, terputar-putar sampai lima kali baru roboh bergulingan di atas tanah. Dari jauh terdengar jerit-jerit mengerikan dari Dewi dan empat orang adiknya. Mereka ngeri menyaksikan orang yang mereka kasihi itu tertendang sampai berputaran dan bergulingan seperti itu. Akan tetapi mereka tidak jadi lari menghampiri ketika melihat betapa pemuda itu sudah melompat bangun lagi dengan sigapnya.
Pada saat itu, kaki kiri Dibyo Mamangkoro sudah menyusulkan sebuah tendangan lagi ke arah kepala Joko Wandiro yang dimaksudkan sebagai tendangan maut. Joko Wandiro miringkan kepala dan jari tangannya yang terbuka dikipatkan ke arah betis lawan.
"Plakkk....... ! Auuggghhh........ !!!"
Kakek raksasa itu berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengangkat-angkat kaki kiri yang terasa amat nyeri dan panas karena dicium jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.
Terdengar sorak-sorai Dewi dan empat orang adiknya, diikuti oleh tiga puluh orang wanita anak buahnya. Dibyo Mamangkoro marah bukan main lalu menubruk maju dan kembali ia mengganti gerakan ilmu siiatnya. Kini ilmu siiatnya itu amat aneh karena ia menyerang sambil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sambil bergulingan ia menerjang, mendekati lawan lalu tiba-tiba dari bawah mengirim pukulan, tendangan, atau cengkeraman. Joko Wandiro kembali dibuat bingung oleh gerakan-gerakan ini.
Terpaksa pemuda ini meloncat ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri tanpa mendapat kesempatan untuk membalas serangan lawan. Ia menanti kesempatan untuk balas menyerang dan ketika ia melihat pada suatu saat kakek itu agak lambat menggulingkan diri, ia segera melangkah maju dan menendang punggung kakek itu. Akan tetapi, siapa duga, gerakan melambat itu adalah sebuah pancingan. Begitu Joko Wandiro menendang, kakek itu tiba-tiba mengulur kedua tangan ke depan dan kaki kanan pemuda yang menendang itu telah tertangkap oleh tangan kiri Dibyo Mamangkoro dan sebelum pemuda itu lenyap kagetnya, kaki kirinya sudah ditangkap pula oleh tangan kanan!
"Hua-ha-ha-ha, kubeset kau menjadi dua potong" kakek itu yang masih rebah di atas tanah tertawa sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya.
Tentu saja Joko Wandiro tidak sudi tubuhnya dirobek menjadi dua seperti orang merobek kedua paha ayam saja. Iapun mengerahkan seluruh tenaga dan mempertahankan kedua kakinya. Celaka baginya, kakek yang amat licik itu tiba-tiba menyentakkan kakinya. Tidak dapat ditahan iagi, tergulinglah Joko Wandiro dengan kedua kaki masih dipegangi lawan! Saat itulah yang amat berbahaya karena kalau tidak kuat-kuat ia mempertahankan tubuhnya tentu akan benar-benar robek menjadi dua! Ia sudah merasa sakit pada selangkangannya, maka cepat-cepat tangannya meraih ke pinggang dan ia sudah mencabut keris pusaka Megantoro, keris lekuk tujuh yang ia dapat dari gurunya, Ki Patih Narotama. Ia menekuk pinggangnya dan keris itu ia ayun ke arah kedua tangan lawan yang masih memegangi kaki.
"Heehhhhh.....!"
Dibyo Mamangkoro menggereng dan cepat melepaskan pegangannya sambil melompat bangun. Kembali mereka sudah saling berhadapan. Dibyo Mamangkoro penuh peluh leher dan mukanya. Joko Wandiro agak pucat, dan basah dahinya. Kedua kakinya terasa nyeri dan perih. Biarpun ia sudah berhasil menyelamatkan diri, namun pergelangan kedua kakinya yang tadi kena dicengkeram oleh dua tangan yang mengandung Aji Wisangnolo, kini menjadi merah seperti terbakar!
"Huah-ha-ha! Engkau kewalahan dan memegang pusaka?" Raksasa itu mengejek.
"Engkau memang digdaya, Mamangkoro. Akan tetapi aku masih belum kalah. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita lanjutkan!" jawab Joko Wandiro dengan sikap tenang dan pandang mata
penuh keberanian.
Dibyo Mamangkoro menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya. "Hebat! Baru ini seumur hidupku bertemu tanding seorang muda begini hebat. Kalau aku kalah oleh seorang muda seperti engkau, Joko Wandiro, agaknya memang sudah sepatutnya aku lenyap dari permukaan bumi ini."
Setelah berkata demikian, kedua tangannya meraba pinggang dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang tombak pendek yang dipegang pada tengah-tengahnya. Tombak pendek yang mempunyai dua mata di depan dan belakang itu kini diputar-putar di kedua tangannya dan ia menerjang maju sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
Joko Wandiro cepat mengelak dan keris pusaka di tangannya meluncur maju mencari sasaran melalui bawah tangan lawan yang menyambar. Setelah digembleng oleh Ki Tejoranu, tangan pemuda itu amat gapah mainkan senjata. Senjata keris Megantoro adalah senjata pusaka pemberian Ki Patih Narotama, tentu saja ampuh sekali. Namun menghadapi sepasang tombak pendek yang dimainkan secara hebat luar biasa itu, sebentar saja Joko Wandiro sudah terdesak hebat! Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak saja, dicecer terus secara bertubi-tubi oleh lawannya.
Di dalam hati ia sudah khawatir karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat maupun tenaga, ia masih kalah seusap oleh jagoan tua ini. Ia hanya mengharapkan menang napas dan menang daya tahan. Akan tetapi kalau ia teringat akan cerita bahwa dahulu Dibyo Mamangkoro sanggup melayani gurunya, Ki Patih Narotama sampai dua hari dua malam dalam pertandingan mati- matian, ia menjadi bimbang ragu. Mungkinkah ia dapat menang dalam hal keuletan?
Mereka sudah bertanding selama tiga jam lebih. Kini Dibyo Mamangkoro yang makin bernafsu mengakhiri pertandingan dengan kemenangan di pihaknya, terus-menerus menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Napasnya mendengus-dengus, peluhnya memercik ke sana ke mari dan mulailah Joko Wandiro melihat hal yang melegakan hatinya. Gerakan kakek itu mulai gemetar dan angin pukulannya tidaklah sehebat tadi. Jelas bahwa kakek itu mulai berkurang tenaganya, mulai lelah dan kehabisan napas!
Akan tetapi, dasar ia masih muda, dalam kegirangannya Joko Wandiro lupa bahwa perasaan ini juga merupakan pantangan dalam ilmu bertanding. Tidak hanya kemarahan yang membikin kacau perhatian, juga rasa girang akan mendapatkan kemenangan ini membuat ia kurang waspada. Maka kagetlah ia ketika kerisnya menangkis tombak kiri lawan yang menusuk perutnya, tombak kanan lawan tahu-tahu sudah menyambar dada! Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan.
Tidak seharusnya ia menangkis tombak kiri yang merupakan serangan pembuka. Serangan pembuka harus dielakkan dan barulah serangan penutup kalau perlu boleh ditangkis. Ia telah lupa dan menangkis serangan pembuka sehingga ketika serangan penutup menyusul ke arah dada, ia menjadi bingung. Cepat ia miringkan tubuhnya, namun kurang cepat!
"Desss........ !!"
Pundak kirinya dihajar mata tombak lawan. Biarpun ia sudah menyalurkan tenaga dalam ke arah pundak, tetap saja baju berikut kulit dan dagingnya robek, tulang pundaknya retak! Tubuhnya terguling dan terdengar ia mengeluh.
"Huah-ha-ha-ha! Hanya sekian saja kepandaianmu? Ha-haha, bersiaplah untuk mati di tangan Dibyo Mamangkoro, hehheh-heh. Joko Wandiro, engkau tidak malu mati dan kalah oleh Dibyo Mamangkoro karena telah melakukan perlawanan yang mengagumkan!"
Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro memutar-mutar kedua tombak pendeknya dan melangkah lebar ke depan.
Akan tetapi Joko Wandiro sudah bangun kembali. Pundak kirinya sakit bukan main, lengan kirinya lumpuh tak dapat digerakkan, akan tetapi tangan kanannya masih menggenggam gagang Megantoro erat-erat. Tiba-tiba pemuda ini membelalakkan mata, memandang lawan penuh wibawa. Kaki kanannya menggedrug (menjejak) tanah tiga kali dan terdengar suaranya berpengaruh,
"Apa engkau bilang, Dibyo Mamangkoro? Engkau dapat mengalahkan AKU?? Engkau akan dapat membunuh AKU?? Hemm, engkau kira siapakah kau ini, Mamangkoro, maka akan dapat membunuh AKU? Buka matamu, pandanglah AKU baik-baik, Mamangkoro. Lihat siapa AKU ini, dan kalau engkau berani, cobalah engkau melawan AKU!!"
Luar biasa sekali akibatnya. Dibyo Mamangkoro tiba-tiba terbelalak, matanya melotot dan mulutnya ternganga, mukanya pucat sekali, tubuhnya menggigil. Dalam pandang matanya, ia melihat Joko Wandiro telah berubah menjadi raksasa yang besar sekali, mengerikan dengan muka yang tak terhitung banyaknya, dengan mulut dan mata yang menyemburkan api, dengan tangan yang tak terhitung banyaknya memegang segala macam senjata yang ada di mayapada ini!
Joko Wandiro melangkah maju, keris di tangannya bergerak dua kali ke depan. Dibyo Mamangkoro berusaha menangkis, namun dengan putaran pergelangan yang amat cepat, keris itu menyelinap dan menusuk lengan kakek raksasa itu. Dua kali tusukan tepat mengenai kedua lengan dan terlepaslah tombak-tombak pendek itu dari kedua tangan Dibyo Mamangkoro.
Pada saat itu, kakek raksasa yang sakti mandraguna ini sudah dapat menguasai dirinya kembali. Ia tadi telah terpengaruh oleh aji kesaktian yang mujijat, yang terpaksa dipergunakan oleh Joko Wandiro untuk menolong dirinya. Itulah aji kesaktian Triwikrama dari mendiang Sang Prabu Airlangga atau Sang Resi Gentayu! Akan tetapi karena kurang latihan dan kurang pengalaman, pengaruhnya hanya sebentar saja terhadap seorang sakti seperti Dibyo Mamangkoro.
Dengan lengking panjang macam lengking iblis, Dibyo Mamangkoro yang bertangan kosong itu sudah melompat ke depan, menubruk Joko Wandiro dengan kemarahan meluap-luap. Kedua lengannya terluka oleh keris pusaka, namun tidak mengurangi tenaganya. Hebat bukan main terkaman ini sehingga Joko Wandiro tak sempat mengelak sama sekali. Tahu-tahu kedua tangan raksasa itu, dengan jari-jari tangan yang besar-besar lagi kuat, sudah mencekik lehernya!
Joko Wandiro terguling roboh, tertindih oleh tubuh kakek raksasa itu yang terus mencekik sekuat tenaga. Joko Wandiro mengerahkan tenaga menjaga leher, kemudian tangan kanannya bergerak menusuk dalam keadaan setengah sadar karena cekikan itu benar-benar telah menghentikan jalan darahnya ke kepala. Tiga kali ia menusuk dalam-dalam, dan tusukan yang ketiga kalinya tak dapat diulangi lagi karena kerisnya tertinggal di dalam rongga dada Dibyo Mamangkoro, tinggal gagangnya saja sedangkan Joko Wandiro sendiri juga sudah pingsan!
Ketika sadar dari pingsannya, yang teringat oleh Joko Wandiro adalah bahwa ia bertanding mati-matian dengan Dibyo Mamangkoro dan bahwa kerisnya patah tertinggal di dalam dada lawan yang tubuhnya menindih tubuhnya, sedangkan lehernya tercekik hampir patah dan pundak kirinya sakit sekali membuat lengan kirinya lumpuh. Ketika ia sadar, ia merasa betapa pundaknya masih sakit, lengan kirinya masih tak dapat digerakkan, lehernya juga masih kaku dan nyeri-nyeri, akan tetapi dadanya tidak tertindih lagi. Masih hidupkah ia? Ataukah sudah mati? la tidak akan merasa heran kalau mendapatkan dirinya sudah mati. Dibyo Mamangkoro luar biasa saktinya. Terlalu sakti baginya. Pertandingan tadi hebat dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami pertandingan sebehat itu.
"Dia bergerak.....!"
"Dia sadar kembali.....!"
"Dia hebat sekali, dapat mengalahkan kakek sakti itu."
"Pertandingan yang mengerikan dan seru bukan main."
"Dia benar-benar perkasa, patut menjadi junjungan kita."
Suara percakapan ini merdu dan halus, suara wanita. Kemudian jari-jari tangan yang halus lunak meraba-rabanya, membelainya. Tercium harum rambut wanita ketika bibir yang hanyat menyentuh dahinya. Joko Wandiro tersenyum. Ia teringat, ini tentu Dewi, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari! Lima orang gadis jelita yang hebat. Ia tidak marah lagi mereka belai dengan mesra. Lima orang gadis ini telah membuktikan cinta kasih dan kesetiaan mereka. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawanya pada saat terakhir ketika tadi ia dikempit dari belakang oleh Dibyo Mamangkoro.
Mereka menolongnya dengan taruhan nyawa, karena menolongnya berarti melawan Dibyo Mamangkoro yang masih kakek paman Dewi sendiri! Ia membuka matanya. Kiranya Dewi yang menciumnya. Tanpa disadarinya, Joko Wandiro membalas rangkulannya dan mencium pipi Dewi sambil berbisik,
"Sudahlah, Dewi, jangan menangis. Aku tidak apa-apa lagi...."
Dewi mengangkat mukanya, memandang dengan air mata berlinang, lalu tersenyum manis sekali.
"Kalau tadi kau yang kalah dan mati, kami sudah siap untuk mengadu nyawa dengan eyang Dibyo Mamangkoro!"
"Dibyo Mamangkoro? Ah, di mana dia sekarang.....?"
"Dia sudah tewas, sudah kami kubur di lereng wetan."
Joko Wandiro menarik napas lega. Kiranya luka-lukanya telah dirawat dengan baik-baik oleh Dewi dan adik-adiknya, bahkan ketika ia masih pingsan, tulang pundaknya telah diberi obat penyambung tulang. Untuk menunggu pulihnya tulang pundaknya, ia harus rebah untuk beberapa hari lamanya. Setiap hari, tak pernah lima orang gadis itu membiarkan ia seorang diri. Mereka itu secara bergilir menjaganya, siang malam, dengan penuh perhatian, penuh kesetiaan dan penuh cinta kasih yang mesra.
Kini Joko Wandiro tak pernah menolak sikap mereka yang mencinta. Dia mulai mengenal keadaan hati lima orang gadis ini. Mereka itu adalah orang-orang yang haus akan cinta kasih, semenjak kecil tak pernah mengenal cinta kasih maka sekarang, begitu bertemu dengan dia yang mereka kagumi, mereka menumpahkan seluruh perasaan itu kepadanya dengan harapan untuk mendapatkan cinta kasih. Karena ia tahu betapa mereka itu amat setia kepadanya, bahkan ia telah berhutang budi, ia tidak tega mengecewakan hati mereka. Bahkan seringkali, darah muda di tubuhnya mendesak dan mendorong agar dia mengambil apa yang disodorkan kepadanya, agar dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan diri sendiri dan menikmatinya.
Namun, Joko Wandiro sebagai murid Ki Patih Narotama selalu menekan dan menentang perasaan ini, selalu teringat bahwa sekali ia dikalahkan nafsunya sendiri, ia akan melakukan penyelewengan-penyelewengan daripada jalan kebenaran. Oleh karena inilah, Joko Wandiro selalu kuat bertahan. Dia mengimbangi pernyataan kasih sayang Dewi dan adik-adiknya, namun dalam batas-batas tertentu dan tidak terpeleset ke dalam bujukan iblis nafsu berahi yang akan menyeretnya melalui batas-batas kesusilaan.
Endang Patibroto yang mendapat tugas dari sang prabu di Jenggala untuk memimpin pasukan menyerbu Nusabarung dan menawan Adipati Jagalmanik yang hendak memberontak, hanya menyuruh para senopati menyiapkan seribu orang perajurit pilihan. Dia sendiri lalu bergegas melakukan pengejaran setelah menerima laporan penyelidik bahwa tiga orang sakti lain yang menjadi sekutu Durgogini dan Nogogini, yang tadinya juga membantu Kerajaan Jenggala, telah melarikan diri setelah mendengar akan tewasnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini.
Mereka bertiga ini bukan lain adalah Cekel Aksomolo, Ki Krendoyakso dan Ki Gendroyono. Menurut rencana persekutuan itu semula, setelah Ni Durgogini dan Ni Nogogini berhasil melemahkan Kerajaan Jenggala dengan menggoda rajanya, maka pada saat yang baik dan telah ditentukan, Adipati Jagalmanik akan melakukan penyerbuan dengan bala tentaranya, sedangkan tiga orang kakek sakti ini sebagai pembantu-pembantu Jenggala akan melakukan gerakan membantu dari dalam.
Siapa kira, usaha Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang sudah hampir berhasil itu tiba-tiba hancur dan gagal, bahkan menewaskan mereka. Hal ini selain mengejutkan, juga menggiriskan hati tiga orang kakek sakti itu, maka mereka cepat-cepat melarikan diri dengan maksud menggabungkan diri dengan Adipati Jagalmanik di Nusabarung. Mereka menunggang tiga ekor kuda yang kuat dan meninggalkan Jenggala di malam hari yang gelap.
Pada keesokan harinya, di waktu pagi, mereka telah keluar dari wilayah Jenggala dan menjalankan kuda mereka yang sudah lelah itu perlahan-lahan. Ketika mereka lewat di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba tampak sinar hijau berkelebat dan kuda mereka meringkik keras lalu roboh! Sebagai orang-orang sakti, tentu saja tiga orang kakek ini tidak ikut roboh, melainkan dapat cepat melompat turun.
Mereka kaget sekali melihat betapa tiga ekor kuda mereka berkelojotan lalu mati ! Kiranya tiga batang panah tangan menancap di leher kuda. Marah sekali tiga orang ini. Mereka adalah orang-orang sakti, tokoh-tokoh besar. Siapa berani begitu kurang ajar menyerang mereka dan membunuh kuda tunggangan mereka? Serentak mereka mencabut senjata masing-masing.
"Babo-babo, si keparat pengecut dari mana berani mati menyerang kami?" Cekel Aksomolo berseru dengan suaranya yang tinggi sambil memutar-mutar tasbehnya yang ampuh.
Juga Ki Krendoyakso telah memegang penggadanya Wojo Ireng yang besar dan berat. Adapun Ki Warok Gendroyono sudah mengudar kolor jimatnya Ki Bandot! Tiga orang sakti ini sudah siap menghajar orang yang berani menewaskan kuda tunggangan mereka.
"Hemm, tiga orang tua bangka tak tahu malu! Siapakah yang pengecut? Aku atau kalian yang melarikan diri seperti tiga orang maling kesiangan?"
Suara ini halus merdu, keluar dari bibir merah Endang Patibroto. Namun amat mengejutkan tiga orang itu yang cepat-cepat membalikkan tubuh karena gadis ini muncul dari belakang mereka. Melihat betapa gadis itu hanya seorang diri, bertangan kosong pula, tiga orang tokoh itu dapat menenangkan hati. Mereka maklum bahwa gadis ini adalah murid Dibyo Mamangkoro yang sakti, dan gadis ini pula yang telah menewaskan sekutu mereka, Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Maka di samping rasa kaget meiihat gadis ini, juga timbul kemarahan mereka. Ki Warok Gendroyono yang berdiri paling dekat, tanpa mengeluarkan kata-kata pula sudah menggerakkan senjata kolor mautnya ke atas, memutarnya beberapa kali lalu menghantamkannya ke arah kepala Endang Patibroto.
"Blarrrr....... ! "
Hebat bukan main sambaran senjata kolor maut ini. Namun dengan gerak tubuh amat ringan cekatan, Endang Patibroto sudah memutar tubuh mengelak. Gadis ini tersenyum-senyum mengejek lalu berkata, "Bagus, akan terbalaslah sakit hati eyang Resi Bhargowo....!"
Ucapan ini mengejutkan mereka bertiga dan serentak mereka menahan gerakan senjata masing-masing.
"Uuh-huh, bocah denok yang sombong! Apa kaukatakan tadi? Mengapa engkau memusuhi kami dan Apa hubunganmu dengan Bhargowo?" Cekel Aksomolo yang sudah ompong itu bertanya.
Endang Patibroto berdiri tegak, kedua tangan bertolak pinggang. "Masih ingatkah kalian belasan tahun yang lalu ketika kalian mengeroyok secara curang eyang Resi Bhargowo? Ketika itu aku sudah bersumpah akan membalas kalian berenam. Durgogini dan Nogogini sudah mampus di tanganku, sekarang kalian bertiga mendapat giliran. Hanya masih kurang seorang lagi. Jokowanengpati, dia sudah lebih dahulu mampus di tangan ibuku. Sayang sekali! Ketahuilah, aku adalah cucu eyang Resi Bhargowo yang dahulu kalian keroyok di Pulau Sempu."
Tiga orang itu benar-benar terkejut, juga terheran-heran. "Kalau begitu, mengapa engkau membantu Jenggala? Eyangmu selalu memusuhi Jenggala."
"Bukan urusanmu!" bentak Endang Patibroto dan tiba-tiba tubuh gadis ini sudah menyambar ke depan, mengirim pukulan Pethit Nogo ke arah leher orang terdekat, yaitu Ki Krendoyakso.
Tentu saja kepala rampok Bagelen ini maklum akan dahsyatnya serangan lawan, maka ia menghindar sambil menyabetkan Wojo Ireng ke arah kepala lawan. Pada saat itu, sambil berteriak keras Ki Warok Gendroyono juga sudah menerjang maju dengan kolor mautnya, sedangkan Cekel Aksomolo sudah pula memutar tasbehnya dan menyerbu ke depan.
Endang Patibroto adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa dan sedikit banyak ia ketularan watak gurunya yang terlalu yakin akan kepandaian sendiri serta memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya mengapa ia hanya bertangan kosong saja menghadapi tiga orang tokoh besar yang terkenal sakti ini. Kini ia bagaikan seekor burung pipit yang dijadikan rebutan tiga ekor kucing besar.
Ditubruk sana melejit ke sini, diterkam sini terbang ke sana. Ia hanya mengandaikan Kelincahannya yang memang amat mengagumkan itu untuk berkelebat menyelamatkan diri. Gerakannya amat cepat, tidak kalah cepatnya oleh gerakan senjata tiga orang lawannya sehingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat menyelinap di antara gulungan sinar senjata tiga orang lawannya.
Senjata di tangan Ki Krendoyakso amat mengerikan. Penggada Wojo Ireng yang amat besar dan berat itu bersiutan menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda mencari korban. Rambut kepala Endang Patibroto sampai berkibaran setiap kali kena sambar hawa pukulan yang mendahului penggada raksasa itu. Namun, keganasan penggada Ki Krendoyakso ini masih kalah oleh ketangkasan kolor maut di tangan Ki Warok Gendroyono.
Biarpun kolor itu terbuat daripada bahan lemas dan ringan, namun jangan dikira kalah ampuh oleh penggada yang besar dan berat. Kolor ini seolah-olah hidup di tangan Ki Warok Gendroyono, menyambar-nyambar seperti seekor ular terbang, meledak-ledak di udara ketika melecut dan mengandung hawa yang amat panas.
Kalau Endang masih berani menyampok penggada dengan telapak tangannya, ia sama sekali tidak berani sembrono untuk menangkis kolor maut ini. Namun, harus diakui bahwa yang paling ampuh dan berbahaya adalah tasbeh di tangan Cekel Aksomolo. Kakek ini sudah tua sekali, kalau berdiri biasa sudah "buyuten" (gemetar), akan tetapi ternyata ketika bertanding, sepak terjangnya masih hebat menggiriskan hati. Tasbehnya menyambar-nyambar dan berputar-putar, mengeluarkan suara menggelitik aneh yang amat menyakitkan telinga lawan, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari gerakan tasbeh ini melingkar-lingkar dan berpusing membingungkan lawan.
Endang Patibroto memang seorang gadis sakti mandraguna dan sudah mewarisi sebagian besar ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro. Namun, menghadapi pengeroyokan tiga orang kakek sakti ini, akhirnya ia terdesak dan kewalahan juga. Ia hanya mampu mengelak ke sana ke mari mengandalkan kegesitannya, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Ia mulai penasaran dan marah, namun kemarahannya ini malah melemahkan pertahanannya sehingga ketika ia meloncat ke atas menghindarkan diri dari serampangan penggada ke arah pinggangnya, kemudian di atas ia berjungkir balik untuk mengelak sambaran kolor maut sambil memaki-maki, ia berlaku agak lengah dan pundaknya tercium tasbeh.
"Treekkk........ !"
Tasbeh itu hanya mencium pundak, tidak mengenai secara jitu. Namun tubuh gadis itu berputar-putar seperti gasing lalu roboh dan bergulingan di atas tanah. Pundaknya serasa hancur, kemudian rasa panas yang amat menyakitkan merangsang dari pundak menyerbu ke dalam dada. Endang Patibroto terkejut bukan main, cepat ia mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya, disalurkan ke arah pundak untuk memulihkan tenaganya. Ia masih dalam keadaan setengah berbaring setengah duduk ketika kolor maut melecut dari atas dan menghantam ke arah kepalanya dengan bunyi ledakan dahsyat, disusul dalam detik berikutnya oleh hantaman penggada Wojo Ireng yang menggebug ke arah dadanya.
Keadaan itu amat berbahaya bagi Endang Patibroto. Betapapun saktinya, kalau sampai kolor maut itu mengenai kepalanya, tentu akan hancur kepalanya. Juga penggada yang berat itu kalau sampai mengenai dadanya, tentu akan remuk tulang iganya. Biarpun pundaknya masih terasa sakit dan kepalanya pening, Endang Patibroto tidak kehilangan kewaspadaan dan kegesitannya. Cepat ia membanting tubuhnya ke atas tanah sehingga kolor maut itu menyambar lewat hanya sejengkal di atas kepalanya. Akan tetapi pada detik itu, penggada Wojo Ireng sudah datang menyambar hendak melumatkan tubuhnya yang denok! Angin sambaran penggada sudah mengibarkan ujung kain dan kemben. Tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar kini dan agaknya tubuh gadis itu akan hancur ditumbuk penggada baja!
Pada detik yang amat berbahaya itu, Endang Patibroto yang masih rebah telentang, cepat sekali menggerakkan kedua kakinya ke atas dan pada detik terakhir, kedua telapak kakinya yang halus dan kemerahan itu sudah menangkis penggada, diayunkan ke bawah sedikit lalu dilanjutkan dengan tendangan ke atas sambil mengerahkan tenaganya.
"Hehhhh....... !!"
Ki Krendoyakso terkejut bukan main. Tadinya ia sudah menyeringai kegirangan karena sudah memperhitungkan bahwa kali ini gadis perkasa ini akan remuk oleh senjatanya. Siapa kira, ketika senjatanya sudah hampir mengenai sasaran, yaitu dada yang membusung itu, tiba-tiba diterima oleh dua telapak kaki yang terasa lunak. Tenaga pukulannya seperti tenggelam, kemudian disedot dan selanjutnya malah terdorong ke atas oleh tendangan gadis itu sehingga hampir saja penggadanya terlepas dari tangannya kalau saja ia tidak cepat-cepat meloncat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget.
"Trekk-trekkk.......!!"
Tasbeh di tangan Cekel Aksomolo sudah menyambar lagi ketika kakek ini melihat betapa kedua orang kawannya tidak becus menghabiskan gadis yang sudah ia robohkan itu. Akan tetapi tubuh Endang Patibroto sudah melesat bangun sambil mengelak menjauhi tasbeh yang berbahaya itu. Keringat dingin membasahi dahi dan leher Endang Patibroto. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ia merasa menyesal mengapa ia memandang rendah tiga lawan ini yang ternyata memiliki kesaktian yang melebihi kepandaian Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Karena memandang rendah tadi hampir saja ia mengorbankan nyawanya. Di samping perasaan ini, juga kemarahannya bangkit. Kini sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi-api, senyum mulutnya manis sekali dan lesung pipit di kedua pipinya tampak bersama lekuk-lekuk di dagunya. Inilah tanda bahwa Endang Patibroto sudah memuncak kemarahannya!
"Tua bangka-tua bangka jahanam! Sekarang bersiaplah untuk mampus!!" bentaknya dengan suara tetap halus merdu namun mengandung ancaman yang menyeramkan.
Tiga orang kakek itu yang merasa menang kuat, tertawa berkakakan melihat sikap dan mendengar omongan gadis yang mengancam mereka ini.
"Uuuh-huh-huh-huh, denok montok ayu kuning, galak dan sombongnya bukan kepalang. Uuuhhh-huh, eman-eman (sayang) kalau mati muda. Yang mau kau buat menang saja Apa, cah ayu? Lebih baik kau takluk dan ikut dengan Cekel Aksomolo, uuh-huh, kutanggung kau akan senang, kutanggung kau akan menikmati surga dunia, dan tentang memperdalam ilmu, uuh-huh, kau jadilah muridku, cah manis. Cekel Aksomolo adalah gudang segala ilmu. Menyerahlah, jangan sampai tubuhmu yang denok itu hancur luluh terkena senjataku yang ampuh!"
"Ha-ha-ha, cucu Resi Bhargowo tentu saja sombong dan angkuh! Sudah hampir mampus masih banyak lagak. Heh, bocah, Apa kau tidak tahu betapa kami tadi sudah banyak mengalah? Kalau kami kehendaki, tadipun kau sudah mampus!" Ki Warok Gendroyono juga tertawa mengejek.
"Hua-ha-ha! Kalau dia bosan hidup, biarlah dia mampus! Akan tetapi jangan lumatkan dagingnya, jangan habiskan darahnya! Daging dan darah perawan ini tentu banyak khasiatnya untukku, hua-ha-ha!" Ki Krendoyakso juga mengejek sambii menggerak-gerakkan penggadanya.
Ejekan tiga orang kakek itu bagaikan minyak disiramkan pada api yang sudah bergolak. Kemarahan Endang Patibroto hampir membuat gadis ini menangis. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara melengking tinggi menyeramkan, membuat tiga orang kakek itu terkejut sekali dan memasang kuda-kuda bersikap waspada. Itulah pekik dahsyat Sardulo Bairowo yang menggetarkan pohon-pohon di sekeliling tempat itu, lebih hebat daripada pekik harimau betina yang sedang marah. Kemudian, menyusul pekik ini, tangan Endang Patibroto menggerayang (meraba) pinggang dan di lain saat ia sudah menerjang maju dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan kanan!
Tiga orang kakek ini sama sekali tidak mengenal keris pusaka Brojol Luwuk. Melihat betapa keris itu hanya sebuah senjata kecil keris lekuk tujuh, mereka memandang rendah dan menyambut terjangan Endang Patibroto sambil tertawa mengejek. Akan tetapi mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mereka kaget setengah mati ketika hawa yang panas luar biasa menerjang mereka dan membuat tubuh mereka gemetar dan setengah lumpuh. Barulah mereka sadar bahwa keris itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuhnya menggila, akan tetapi kesadaran ini sudah terlambat karena Endang Patibroto sudah menerjang dengan dahsyat!
Ki Krendoyakso yang paling hebat terpengaruh keampuhan Brojol Luwuk sudah habis tenaganya, namun ia masih berusaha menangkis dengan penggada Wojo Ireng sambil berseru, "Celaka......!"
Ki Warok Gendroyono berusaha membaca mantera dengan suara menggigil, juga kolor mautnya ia ayun untuk menangkis keris pusaka yang kelihatannya seperti halilintar menyambar itu. Adapun Cekel Aksomolo yang paling tinggi ilmunya, sudah memutar-mutar tasbehnya sehingga terdengar suara nyaring sedangkan ia mengerahkan tenaga menjejak tanah melompat ke belakang sampai lima meter, menjauhi pusaka yang panasnya menggila itu.
"Tringggg syeeetttt.....aauuuggghhh.... !!"
Hebat bukan main akibatnya. Dalam detik-detik mengerikan itu, penggada Wojo Ireng pecah dan terlempar jauh dari tangan Ki Krendoyakso, juga kolor maut putus-putus dan hangus, kemudian disusul robohnya tubuh Ki Krendoyakso yang tinggi besar seperti raksasa ketika dadanya tersentuh ujung keris pusaka Brojol Luwuk. Ia terjengkang roboh dan tewas seketika dengan dada hangus seperti disambar petir!
Ki Warok Gendroyono yang merasa tangannya terbakar ketika kolor mautnya bertemu keris pusaka, kini mundur-mundur dengan muka pucat. Namun Endang Patibroto tidak memberi ampun lagi. Gadis ini dengan muka beringas sudah menyerbu lagi ke depan, didahului keris pusakanya yang mengerikan. Ki Warok Gendroyono bukanlah seorang penakut, juga ia terkenal sakti mandraguna. Namun selama hidupnya baru kali ini ia berhadapan dengan pusaka yang sedemikian ampuhnya. Menghadapi gadis ini saja kalau ia seorang diri, ia takkan menang. Apalagi sekarang gadis itu membawa sebuah keris pusaka yang luar biasa.
Namun ia maklum bahwa jalan keluar tidak ada iagi, maka ia lalu menggereng seperti harimau dan dengan nekat ia menubruk maju. Akan tetapi perbuatannya ini sama dengan mengantar nyawa karena sebelum ia dapat mencengkeram gadis itu, hawa yang keluar dari keris pusaka sudah membuat tubuhnya seakan-akan lumpuh dan di lain saat iapun mengeluarkan pekik dahsyat, terjengkang dan ia roboh tewas di dekat mayat Ki Krendoyakso!.
"Cekel busuk ! Kau hendak lari ke mana...... ?? "
Cekel Aksomolo cukup cerdik. Melihat betapa dua orang kawannya roboh sedemikian mudahnya, ia maklum bahwa menghadapi gadis dengan pusakanya yang ampuhnya menggila itu, jalan paling baik adalah lari menyelamatkan diri! Maka ia sudah mengambil langkah seribu melarikan diri ke selatan. Siapa kira, gadis itu memiliki gerakan yang jauh lebih gesit dan tangkas daripada kedua kakinya yang sudah tua dan buyuten, maka dalam belasan kali loncatan saja Endang Patibroto sudah dapat mengejarnya! Terpaksa kakek ini membalikkan tubuhnya, kedua kakinya menggigil ketakutan dan wajahnya pucat!
"Huuuh-huh-huh.... tobat-tobat....Endang Patibroto, engkau mau apakah awakku yang sudah tua renta ini? Auhhh, bocah ayu, bocah denok, kau jangan terlalu kejam, ya? Aku sudah tua, umurku tak berapa lama lagi, tidak diapa-apakan juga akan mati sendiri! Masa kau tega membunuhku, anak rnanis...!"
Muak rasa perut Endang Patibroto menyaksikan sikap pengecut Cekel Aksomolo ini. Ia sudah banyak mendengar tentang sepak terjang cekel tua ini yang amat menjijikkan. Betapa si tua bangka ini banyak disuguhi wanita-wanita muda yang cantik-cantik, yang menjadi kegemarannya. Dia bagaikan seekor bandot tua yang makin tua makin gila, makin suka makan daun-daun muda, bagaikan seekor kumbang tua yang suka mengisap madu kembang-kembang yang baru mekar. Juga ia banyak mendengar betapa kakek ini dapat bersikap galak dan kejam tak mengenal ampun. Masih terbayang olehnya betapa dahulu, di Pulau Sempu, mereka yang mengeroyok eyangnya juga dipimpin oleh kakek ini.
"Cekel Aksomolo, tak perlu banyak cerewet lagi. Hadapilah kematianmu seperti seorang yang berilmu!"
Setelah berkata demikian, Endang Patibroto siap menerjang. Namun ia didahului oleh Cekel Aksomolo. Karena merasa bahwa bujuk dan minta ampun akan percuma belaka, kakek ini sudah mendahului dengan serangan jarak jauh yang hebat. Tasbehnya diputar dan dihantamkan ke arah Endang Patibroto, disusul tangan kirinya yang menggunakan gerak dorong disertai hawa sakti sehingga serangkum angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Endang Patibroto.
Gadis perkasa ini terkejut. Hebat juga pukulan jarak jauh lawan ini. Iapun cepat mengerahkan tenaga di tangan kiri dan mendorong ke depan untuk rnelawan pukulan jarak jauh kakek itu, kemudian keris pusaka Brojol Luwuk ia gerakkan dari samping yang menimbulkan serangkaian hawa panas membara "memotong” dari samping. Berkat hawa panas dan keampuhan keris sakti ini, bobollah tenaga pukulan jarak jauh Cekel Aksomolo sehingga memungkinkan gadis itu terus
menerjang maju.
"Aauuuuh, kau benar-benar kejam membunuhku....?" teriak Cekel Aksomolo, namun teriakannya ini hanya untuk membuyarkan perhatian lawan karena tasbehnya sudah berputar cepat membentuk lingkaran-lingkaran berbahaya yang mengirim serangan-serangan maut secara bertubi-tubi ke arah tubuh Endang Patibroto.
Gadis ini setelah tadi mengalami kekalahan pahit karena kurang waspada, kini tidak berani memandang rendah lagi dan cepat-cepat keris pusakanya digerakkan menangkis. Begitu keris itu bergerak, serangkum hawa panas menyambar dan tasbeh itu terpental sebelum bertemu dengan keris. Cekel Aksomolo terkejut bukan main. Tasbehnya adalah senjata yang ampuh, merupakan barang pusaka yang dua kali sepekan ia beri sesajen. Akan tetapi kini berhadapan dengan pusaka di tangan gadis itu, tasbehnya menjadi melempem seperti kerupuk bertemu air, lenyap wibawa dan dayanya.
Mendadak kakek tua renta itu membunyikan tasbehnya dengan nyaring sekali. Betapapun perkasanya, Endang Patibroto merasa telinganya sakit dan cepat ia mengerahkan hawa murni di tubuhnya. Hal ini membuat kakek itu mendapat kesempatan untuk meloncat ke belakang dan ketika Endang menerjang maju, tangan kiri kakek itu bergerak dan meluncurlah belasan sinar hitam yang menyambar ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Endang Patibroto. Itulah senjata rahasia ganitri (biji tasbeh) yang amat hebat dan berbahaya!
"Haaaiiittt.....!!"
Endang Patibroto berseru keras sambii cepat-cepat memutar senjata kerisnya di depan tubuhnya. la maklum betapa hebat dan berbahayanya sinar-sinar hitam itu, maka ia mengandalkan keampuhan pusakanya. Benar saja, hawa panas pusakanya yang diputar di depan tubuh merupakan benteng yang amat kuat sehingga semua ganitri runtuh di atas tanah sebelum menyentuh kerisnya. Dengan marah Endang Patibroto mengeluarkan panah tangan dan sekaligus ia melepas tujuh batang panah tangan yang diluncurkan menjadi tiga rombongan mengarah tubuh
bawah, tengah dan atas!
"Uuhhhh....!"
Cekel Aksomolo kaget sekali. Ia meiihat betapa tiga rombongan panah tangan itu meluncur cepat dan kiranya akan sukar kalau ia mengelak serombongan demi serombongan, Apa pula menangkis, maka ia lalu berteriak keras dan tubuhnya mencelatt inggi keudara sehingga tiga rombongan panah itu meluncur cepat jauh di bawah kakinya. Akan tetapi, Endang Patibroto yang sudah menduga bahwa lawannya tentu akan menghindarkan serangan panahnya itu dengan meloncat tinggi ke atas, segera memekik nyaring dan tubuhnya juga mencelat tinggi ke depan, menerjang tubuh kakek yang masih melayang itu. Betapa kagetnya Cekel Aksomolo ketika melihat sinar abu-abu yang mengerikan meluncur ke arah dadanya. Cepat ia menggerakkan tasbehnya dengan nekat menangkis keris pusaka Brojol Luwuk.
"Cringgg....bretttt...!!"
Tasbeh itu putus dan biji tasbehnya runtuh semua ke atas tanah. Kakek itu menjerit, akan tetapi jeritnya terhenti di tengah-tengah ketika ujung keris pusaka Brojol Luwuk sudah mencium ulu hatinya dan sekaligus menyedot darah serta menghanguskan dadanya. Cekel Aksomolo telah tewas sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah! Dengan hati puas dan sikap tenang Endang Patibroto memandang mayat tiga orang bekas lawan itu sambil menyimpan keris pusaka Brojol Luwuk setelah mencium gagang keris dan menempelkan mata keris di atas kepalanya.
Pada saa itu terdengar sorak-sorai dan kiranya barisan dari Jenggala sudah tiba di situ. Sorak-sorai makin menggegap gempita ketika para pasukan Jenggala melihat betapa tiga orang sakti yang dari kawan menjadi lawan itu telah menggeletak mati di pinggir jalan, tewas di tangan senopati mereka, puteri Endang Patibroto yang sakti mandraguna. Makin besar hati mereka dengan adanya bukti kesaktian pemimpin mereka. Endang Patibroto lalu meloncat naik ke atas kuda, kemudian ia memimpin pasukan Jenggala menuju ke selatan, ke Nusabarung.
Pulau Nusabarung terletak di sebelah timur, di Laut Selatan. Endang Patibroto sengaja mengambil jalan ke selatan karena ia teringat akan Pulau Sempu dan ada keinginan di hatinya untuk singgah di pulau itu. Ia ingin melihat pulau bekas tempat tinggal eyangnya, Resi Bhargowo di mana ia bersama Joko Wandiro digembleng selama hampir dua tahun. Juga diam-diam ia mengharapkan akan dapat menemukan patung kencana yang disimpan di pulau itu oleh Joko Wandiro!
Dari pantai selatan di mana tampak Pulau Sempu yang tak berapa jauh dari pantai, ia akan memimpin pasukan ke timur sampai di Nusabarung. Karena pasukan yang banyak itu tak dapat melakukan perjalanan cepat, maka Endang Patibroto menyerahkan pimpinan pasukan kepada perwira-perwira pembantunya. Ia memberi perintah agar pasukan terus ke selatan sampai di pantai laut, di mana ia akan menanti pasukan di pantai, tepat berhadapan dengan Pulau Sempu. Kemudian ia membalapkan kudanya mendahului ke selatan. Maksud hatinya, ia hendak singgah sebentar di Sempu dan pada waktu pasukan tiba di pantai, tentu ia sudah kembali dari pulau itu. Ia akan menyeberang ke Sempu seperti yang dilakukan oleh gurunya dahulu, yaitu dengan bantuan mancung kelapa!
Ketika ia tiba di pegunungan selatan, sudah tak jauh lagi dari pantai selatan dan melalui sebuah hutan kecil, dari jauh ia meiihat seorang wanita berjalan seorang diri. Ia menjadi heran karena di pegunungan seperti itu mengapa seorang gadis berkeliaran seorang diri? Dan dari jauhpun sudah tampak bahwa gadis itu bukan seorang gadis dusun atau gunung. Pakaiannya indah, dan dari jauh sudah dapat terlihat bahwa gadis itu seorang yang cantik. Ia menjadi tertarik dan mengeprak kudanya menghampiri. Setelah dekat, gadis itu membalikkan tubuh menghadap kepadanya dan dua-duanya tercengang ketika saling mengenal. Gadis itu bukan lain adalah Ayu Candra!
Endang Patibroto mengenal gadis cantik jelita ini. Inilah gadis yang dahulu ia serang dengan panah tangan di Telaga Sarangan. Inilah gadis yang runtang-runtung dengan Joko Wandiro. Inilah gadis kekasih Joko Wandiro. Ia terbayang ketika Joko Wandiro memeluknya di hutan itu, membelai dan menciumi rambutnya dari belakang. Dia disangka kekasihnya. Tentu disangka gadis inilah! Endang Patibroto sebetulnya tidak mengenal Ayu Candra, tidak pula ada hubungan sesuatu antara dia dan Ayu Candra. Akan tetapi, entah bagaimana, kenyataan bahwa gadis itu kekasih Joko Wandiro, menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata tajam.
Di lain pihak, Ayu Candra menahan kebencian hatinya yang meluap-luap ketika ia melihat bahwa yang datang berkuda adalah Endang Patibroto. Inilah wanita yang telah membunuh ibunya! Ketika Joko Wandiro muncul dan bertanding dengan Ki Jatoko, Ayu Candra telah menyembunyikan diri. Kemudian ia lari dan di dalam hutan secara kebetulan sekali ia menyaksikan pertempuran antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, melihat betapa Joko Wandiro kakak kandungnya itu memeluk Endang Patibroto yang disangka dirinya.
Kemudian mendengar percakapan mereka. Betapa hancur hatinya ketika Joko Wandiro secara terang-terangan menyatakan kepada Endang Patibroto bahwa biarpun pemuda yang menjadi kakaknya itu tahu bahwa puteri perkasa ini yang membunuh ibu kandung mereka, kakaknya itu tidak akan membalas dendam ! Jadi gadis inilah yang membunuh ayah bundanya. Gadis ini yang pernah melukainya pula dengan panah tangan!
Karena hatinya kecewa meiihat kakak kandungnya, ia tidak kuat mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut sehingga tidak sempat menyaksikan pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, tidak tahu pula bahwa Joko Wandiro hampir tewas dalam pertandingan itu oleh kecurangan Ki Jatoko. Ia sudah mendengar cukup jelas. Ia tahu bahwa ia tidak akan dapat melawan Endang Patibroto, maka ia mengambil keputusan untuk mencari ke Pulau Sempu, untuk membalas dan membunuh ibu gadis itu yang menurut percakapan itu telah pindah dan bersembunyi ke Sempu.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat munculnya Endang Patibroto yang ia sangka tentu mengejar dan kini menyusulnya. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak menang menghadapi Endang Patibroto, namun Ayu Candra sudah bulat tekatnya untuk membalas dendam atas kematian ayah bundanya. la telah melakukan perjalanan yang penuh kesukaran dan amat lambat. Ia tidak berani melakukan perjalanan di siang hari, takut kalau-kalau tersusul oleh Ki Jatoko atau Endang Patibroto atau Joko Wandiro yang mengejarnya. Di waktu siang ia bersembunyi, di waktu malam saja ia melanjutkan perjalanan ke Sempu. Setelah dekat dengan pantai selatan, barulah beberapa hari ini ia melakukan perjalanan di siang hari. Siapa kira, di sini ia tersusul musuh.
"Perempuan keji!" Tiba-tiba Ayu Candra mendamprat, ia tidak tahan melihat senyum mengejek dan menghina itu. "Turunlah dari kudamu dan mari kita bertanding mengadu nyawa. Aku untuk membalas kematian ayah bundaku di tanganmu, dan engkau untuk memperbesar dosa-dosamu sebagai seorang iblis betina!"
Endang Patibroto hanya mengenal Ayu. Candra sebagai kekasih Joko Wandiro, ia malah tidak tahu siapa nama gadis ini dan dari mana. Maka tentu saja ia menjadi terheran-heran mendengar ucapan itu. Dengan gerakan ringan ia melompat turun dari atas kudanya, lalu membiarkan kudanya makan rumput. Ia sendiri menghampiri Ayu Candra yang sudah menghunus keris, lalu bertanya, lebih heran dan ingin tahu daripada marah,
"Eh, eh, kau ini bocah lancang mulut! Dahulu engkau kupanah karena lancang mulut, sekarang mungkin akan kubunuh karena lancang mulut pula. Siapakah engkau ini dan mengapa kau bilang hendak membalas kematian ayah bundamu di tanganku? Siapa mereka?"
"Perempuan iblis! Dengarlah baik- baik. Namaku Ayu Candra dan ayahku adalah Ki Adibroto, ibuku Listyokumolo. Karena mereka itu sudah kaubunuh, sekarang aku minta ganti jiwamu atau kau bunuh sekalian aku! " Setelah berkata demikian, Ayu Candra sudah menerjang maju dengan tusukan kerisnya.
Dibyo Mamangkoro tertawa bergelak sambil melangkah lebar menghampiri Joko Wandiro yang biarpun tidak terluka namun agak pening dan kini merangkak bangun sambil menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningannya.
"Iblis curang, majulah!"
la menantang, kini waspada dan hati-hati. la tenang saja karena pertemuan tenaga tadi melegakan hatinya. Biarpun hebat tenaga kakek raksasa ini, namun kiranya ia akan dapat menandinginya. Dari gurunya ia maklum bahwa tenaga sakti timbul dari hawa yang murni di dalam tubuh. Hawa murni hanya dapat dihimpun oleh mereka yang hati dan pikirannya bersih, yang tidak menjadi abdi nafsu. Orang yang menyeleweng hidupnya seperti Dibyo Mamangkoro, hanya dapat memperkuat tenaga saktinya dengan ilmu hitam, namun hawa murni di tubuh makin mengurang dan lemah. Karena inilah, benturan tenaga tadi membuat Joko Wandiro tenang. Akan tetapi, seujung rambutpun ia tidak berani memandang rendah lawannya dan tetap bersikap waspada dan hati-hati.
"Hua-ha-ha, terimalah ini!"
Dibyo Mamangkoro menyeruduk lagi seperti lagak seekor gajah mengamuk. Kedua lengannya yang besar dikembangkan dan kedua kepalan tangannya yang hampir menyamai kepala Joko Wandiro besarnya, menyambar dari kanan kiri, yang kanan menghantam pelipis pemuda itu, yang kiri mencengkeram ke arah lambung. Dua serangan sekaligus yang amat keji dan berbahaya. Satu saja di antara dua tangan itu mengenai sasaran, akan celakalah Joko Wandiro!
Namun kini Joko Wandiro sudah siap siaga. Ia sudah mengisi tubuhnya dengan Aji Bayu Sakti sehingga kedua kakinya seakan-akan dipasangi per yang kuat. Melihat datangnya pukulan, ia mengelak dengan lincah dan mudah sehingga dua tangan raksasa itu hanya mengenai tempat kosong. Namun harus diakui bahwa kakek raksasa yang tinggi besar itu tidak selamban gajah gerakannya, melainkan setangkas harimau kelaparan.
Begitu serangannya gagal oleh elakan lawan yang melompat ke kiri, ia sudah menubruk lagi ke kiri dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya seperti cakar burung elang menyambar anak ayam. Sampai bersuitan menyakitkan telinga bunyi angin serangan kedua tangan ini sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyatnya kalau mengenai sasaran. Serangan susulan ini harus diakui amat cepat. Joko Wandiro sendiri menjadi kagum karena memang di luar persangkaan orang betapa tubuh yang tinggi besar ini dapat bergerak secepat dan selincah itu.
Karena baru saja kedua kaki Joko Wandiro hinggap di atas tanah ketika melompat menghindarkan diri dari serangan pertama tadi, kini menghadapi serangan ke dua, Joko Wandiro sudah roenggulingkan tubuh ke kanan dan dengan jalan ini, kembali terkaman Dibyo Mamangkoro hanya membuat tanah beterbangan. Joko Wandiro sengaja tersenyum-senyum mengejek.
"Hanya sebegitu sajakah hebatnya seranganmu, Dibyo Mamangkoro?"
Sikap ini merupakan siasat pertempuran yang ia pelajari dahulu dari Ki Tejoranu. Menghadapi lawan tangguh, paling penting harus mencari titik kelemahannya, demikian Ki Tejoranu memberi nasehat. Dan sebagian besar orang sakti, tentu memiliki kelemahan masing-masing. Kelemahan umum adalah tak pandai mengendalikan perasaan. Buatlah lawan kacau perhatiannya dan untuk mengacau perhatiannya paling baik membangkitkan amarah di hatinya. Makin marah dia, makin kacau perhatiannya dan makin mudah dicari gerakan-gerakan yang dibuatnya karena terlampau marah dan terburu nafsu hendak menang.
Akal Joko Wandiro itu berhasil. Tentu saja pemuda ini tidaklah sedemikian sombongnya sehingga ia berani memandang rendah kepada Dibyo Mamangkoro. Ia tahu bahwa kakek raksasa ini sakti mandraguna dan digdaya sekali. Mana ia berani memandang rendah? Dibyo Mamangkorolah yang memandang rendah kepada Joko Wandiro. Hal ini tidak aneh. Kakek raksasa ini memang seorang yang sakti pilih tanding. Jarang ia mengalami kekalahan dan hanya oleh Ki Patih Narotama saja ia berkali-kali dikalahkan.
Kini menghadapi seorang pemuda seperti Joko Wandiro tentu saja ia memandang rendah. Betapa takkan memandang rendah kalau diingat bahwa sebelum pemuda itu terlahir di dunia ia sudah menjadi seorang jagoan yang sukar dikalahkan! Inilah kesalahan Dibyo Mamangkoro, juga kesalahan banyak orang-orang pandai. Setelah pandai, mereka mengira bahwa merekalah yang terpandai di jagad raya ini, menjadikan mereka somborg. Dibyo Mamangkoro tidak insyaf bahwa dia kini telah menjadi tua dan menghadapi Joko Wandiro, dalam banyak hal ia kalah oleh pemuda ini. Pertama-tama kalah muda, ke dua kalah tenang, dan ke tiga kalah bersih hatinya.
"Heh, si keparat! Berani engkau memandang rendah kepadaku? Setan alas, rasakan ini!"
Tiba-tiba tubuh Dibyo Mamangkoro berputar-putar dan bagaikan angin puyuh ia menerjang maju. Hebat bukan main gelombang serangan ini. Tubuhnya berputar-putar sehingga kaki tangannya seakan-akan berubah menjadi banyak sekali yang menyerang tubuh Joko Wandiro dari delapan penjuru! Bertubi-tubi datangnya pukulan, tamparan, cengkeraman, dan tendangan yang dilakukan oleh banyak tangan dan kaki itu. Setiap pukulan pasti mengandung tenaga yang dahsyat! Daun-daun kering yang berada di atas tanah terbawa oleh pusingan angin yang diakibatkan tubuh kakek ra ksasa. Yang berputar-putar itu sehingga tubuh keduanya terselimut oleh daun-daun kering dan debu yang membubung ke atas berpusingan!
Hebat bukan main serangan Dibyo Mamangkoro. Namun lebih hebat kegesitan tubuh Joko Wandiro. Tubuh pemuda ini seketika lenyap bagi pandangan Dewi dan adik-adik serta anak buahnya yang menonton dari jauh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tubuh pemuda itu lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat menyelinap di antara tangan dan kaki yang banyak itu. Sungguh merupakan pemandangan yang bagus, aneh, dan menyeramkan. Pertandingan ini jauh lebih hebat daripada pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto.
Kalau dalam pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, pemuda ini banyak mengalah, selalu mengelak dan tak pernah membalas dengan sungguh-sungguh, adalah pertandingan sekarang ini dilakukan dengan mati-matian. Keduanya menyerang dengan serangan maut. Juga Joko Wandiro selalu membalas sedapat mungkin dengan pukulan-pukulan ampuh. Namun karena lawannya menggunakan ilmu silat yang liar dan ganas seperti tanpa diatur lagi, ia terdesak dan hanya dapat membalas satu kali untuk penyerangan lima kali.
Makin lama Dibyo Mamangkoro makin penasaran. Sungguh di luar perkiraannya bahwa pemuda ini demikian hebat. Memang ia tahu bahwa murid Narotama ini seorang yang berbakat baik ketika dahulu anak ini mengalahkan Wirokolo, dan ia sudah mengkhawatirkan bahwa muridnya, Endang Patibroto, tentu akan bertemu tanding yang kuat dalam diri anak ini. Akan tetapi siapa kira bahwa dia sendiri setelah mengerahkan tenaga dan kepandaian, setelah lewat seratus jurus lebih, belum juga berhasil merobohkannya. Dengan gerakan marah ia kembali menubruk, kemudian mengirim pukulan disertai pekik dahsyat. Itulah pekik Sardulo Bairowo (Pekik Harimau) yang disertai pukulan mematikan!
Joko Wandiro terkejut. Berbahaya kalau mengelak pukulan ini, karena pukulan ini mengandung hawa yang menghadang semua jalan keluar. Di samping itu, ia harus pula menghadapi getaran hebat dari pekik Sardulo Bairowo. Maka iapun memekik dengan pengerahan Aji Dirodo Meto, kemudian mengangkat tangannya menangkis pukulan itu. Dua buah tangan yang amat kuat, mendorong ke depan dan dua telapak tangan bertemu di udara!
"Bressss..... !!"
Kalau tubuh Joko Wandiro yang tampak kecil apabila dibandingkan dengan tubuh lawannya itu terlempar seperti daun kering tertiup angin, hal ini masih tidak mengherankan setelah pertemuan dua tenaga dahsyat itu. Akan tetapi adalah amat aneh melihat tubuh kakek raksasa itupun terlempar seperti layang-layang putus talinya, tidak kalah jauhnya oleh tubuh Joko Wandiro. Benturan tenaga mujijat itu membuat mereka terlempar ke belakang sampai sepuluh meter lebih!
Bukan main marahnya Dibyo Mamangkoro. Ia merangkak bangun, dadanya turun naik, napasnya menggos-menggos seperti kuda habis membalap, matanya jelilatan merah, mulutnya menyeringai dan ada busa put ih di kedua ujungnya. Joko Wandiro juga sudah melompat lagi. Seperti juga lawannya, iapun tidak terluka, namun terkejut oleh kehebatan hawa pukulan lawan. Kini dengan tenang ia berdiri menentang pandang mata lawannya.
"Bocah keparat, boleh juga kepandaianmu. Akan tetapi kau berhati-hatilah terhadap seranganku kali ini!"
Sambil berkata demikian, Dibyo Mamangkoro menggosok-gosok kedua tangannya dan tampaklah asap tebal mengepul dari gosokan kedua telapak tangan itu. Mula-mula kedua tangan yang besar itu tampak kemerahan sampai ke kuku-kukunya seperti membara, makin lama menjadi makin menghitam dan terasalah hawa panas di sekitar kakek ini. Itulah Aji Wisangnolo yang hebatnya menggila!
Untung bagi Joko Wandiro bahwa dia pernah bertanding melawan Endang Patibroto yang seakan-akan merupakan Dibyo Mamangkoro ke dua. Karena itu maka ia mengenal gerakan-gerakan kakek itu, mengenal pula kehebatan Wisangnolo yang berhawa panas. Ia makin berhati-hati dan diam-diam ia membaca mantera dan mengerahkan aji kesaktian Bojro Dahono ke dalam kedua lengan tangannya. Kemudian, untuk memperlihatkan pada lawan bahwa ia sama sekali tidak takut menghadapi kedua tangan yang mengeluarkan asap tebal itu, Joko Wandiro mendahului lawannya melangkah maju!
Setelah jarak di antara mereka tinggal tiga meter lagi, tiba-tiba Dibyo Mamangkoro mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo dan tubuhnya mencelat ke atas. Bagaikan terbang saja kakek raksasa ini meloncat tinggi dan dari udara ia menyambar turun sambil menghantamkan kedua tangannya berturut-turut ke arah Joko Wandiro. Pemuda ini merasa betapa hawa panas menyambar ke arahnya. Cepat ia meloncat sambil menangkis. Walau tangan mereka tidak bersentuhan dan tubuh mereka mencelat di udara, namun dalam gerakan ini mereka telah saling tangkis dengan ilmu-ilmu pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Keduanya kini terpelanting dan berjungkir balik sehingga dapat berdiri kembali di atas tanah. Tanpa membuang waktu lagi, keduanya berlomba untuk membalikkan tubuh dan kembali mereka saling serang mati-matian.
Gerakan mereka kini tidak secepat tadi, bahkan amat lambat seperti orang sedang latihan atau sedang menari saja. Tidak pernah kedua tangan itu bersentuhan, namun mereka itu ternyata sedang mengadu kesaktian dengan cara mati-matian. Tentu saja kedua pasang tangan itu tak sempat bersentuhan karena didahului oleh hawa pukulan jarak jauh yang amat kuat. Dibyo Mamangkoro adalah tokoh besar Kerajaan Wengker, sebuah kerajaan yang dirajai oleh manusia siluman, yaitu Prabu Boko yang makanannyapun daging bayi! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, tergolong seorang datuk kalangan hitam yang memiliki bermacam-macam ilmu kesaktian yang aneh-aneh. Ilmu silatnyapun banyak ragamnya dan kini setelah mendapat kenyataan bahwa lawannya yang muda belia ini ternyata benar-benar sakti mandraguna, Dibyo Mamangkoro menjadi penasaran dan keluarlah semua ajiannya.
Berkali-kali kakek raksasa ini menukar gerakannya dengan bermacam ilmu silat yang aneh-aneh. Ia menang latihan dan menang pengalaman sehingga dengan cara ini ia berhasil membuat Joko Wandiro kebingungan. Selain itu, pengalamannya yang luas itu membuat ia mudah mengenal ilmu orang. Setelah lewat puluhan jurus, kakek itu sudah mengenal inti daripada Ilmu Silat Bramoro Seto yang dimainkan pemuda itu, maka pada jurus berikutnya setelah ia tahu bagaimana perubahan selanjutnya dari gerakan lawan, kakek ini mendahului dengan sebuah dupakan yang tepat mengenai pundak kiri Joko Wandiro.
"Blekkk.......!!"
Tubuh Joko Wandiro seperti disambar petir, terputar-putar sampai lima kali baru roboh bergulingan di atas tanah. Dari jauh terdengar jerit-jerit mengerikan dari Dewi dan empat orang adiknya. Mereka ngeri menyaksikan orang yang mereka kasihi itu tertendang sampai berputaran dan bergulingan seperti itu. Akan tetapi mereka tidak jadi lari menghampiri ketika melihat betapa pemuda itu sudah melompat bangun lagi dengan sigapnya.
Pada saat itu, kaki kiri Dibyo Mamangkoro sudah menyusulkan sebuah tendangan lagi ke arah kepala Joko Wandiro yang dimaksudkan sebagai tendangan maut. Joko Wandiro miringkan kepala dan jari tangannya yang terbuka dikipatkan ke arah betis lawan.
"Plakkk....... ! Auuggghhh........ !!!"
Kakek raksasa itu berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan sambil mengangkat-angkat kaki kiri yang terasa amat nyeri dan panas karena dicium jari-jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.
Terdengar sorak-sorai Dewi dan empat orang adiknya, diikuti oleh tiga puluh orang wanita anak buahnya. Dibyo Mamangkoro marah bukan main lalu menubruk maju dan kembali ia mengganti gerakan ilmu siiatnya. Kini ilmu siiatnya itu amat aneh karena ia menyerang sambil menggulingkan tubuh ke atas tanah. Sambil bergulingan ia menerjang, mendekati lawan lalu tiba-tiba dari bawah mengirim pukulan, tendangan, atau cengkeraman. Joko Wandiro kembali dibuat bingung oleh gerakan-gerakan ini.
Terpaksa pemuda ini meloncat ke sana ke mari untuk menyelamatkan diri tanpa mendapat kesempatan untuk membalas serangan lawan. Ia menanti kesempatan untuk balas menyerang dan ketika ia melihat pada suatu saat kakek itu agak lambat menggulingkan diri, ia segera melangkah maju dan menendang punggung kakek itu. Akan tetapi, siapa duga, gerakan melambat itu adalah sebuah pancingan. Begitu Joko Wandiro menendang, kakek itu tiba-tiba mengulur kedua tangan ke depan dan kaki kanan pemuda yang menendang itu telah tertangkap oleh tangan kiri Dibyo Mamangkoro dan sebelum pemuda itu lenyap kagetnya, kaki kirinya sudah ditangkap pula oleh tangan kanan!
"Hua-ha-ha-ha, kubeset kau menjadi dua potong" kakek itu yang masih rebah di atas tanah tertawa sambil mengerahkan tenaga pada kedua lengannya.
Tentu saja Joko Wandiro tidak sudi tubuhnya dirobek menjadi dua seperti orang merobek kedua paha ayam saja. Iapun mengerahkan seluruh tenaga dan mempertahankan kedua kakinya. Celaka baginya, kakek yang amat licik itu tiba-tiba menyentakkan kakinya. Tidak dapat ditahan iagi, tergulinglah Joko Wandiro dengan kedua kaki masih dipegangi lawan! Saat itulah yang amat berbahaya karena kalau tidak kuat-kuat ia mempertahankan tubuhnya tentu akan benar-benar robek menjadi dua! Ia sudah merasa sakit pada selangkangannya, maka cepat-cepat tangannya meraih ke pinggang dan ia sudah mencabut keris pusaka Megantoro, keris lekuk tujuh yang ia dapat dari gurunya, Ki Patih Narotama. Ia menekuk pinggangnya dan keris itu ia ayun ke arah kedua tangan lawan yang masih memegangi kaki.
"Heehhhhh.....!"
Dibyo Mamangkoro menggereng dan cepat melepaskan pegangannya sambil melompat bangun. Kembali mereka sudah saling berhadapan. Dibyo Mamangkoro penuh peluh leher dan mukanya. Joko Wandiro agak pucat, dan basah dahinya. Kedua kakinya terasa nyeri dan perih. Biarpun ia sudah berhasil menyelamatkan diri, namun pergelangan kedua kakinya yang tadi kena dicengkeram oleh dua tangan yang mengandung Aji Wisangnolo, kini menjadi merah seperti terbakar!
"Huah-ha-ha! Engkau kewalahan dan memegang pusaka?" Raksasa itu mengejek.
"Engkau memang digdaya, Mamangkoro. Akan tetapi aku masih belum kalah. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita lanjutkan!" jawab Joko Wandiro dengan sikap tenang dan pandang mata
penuh keberanian.
Dibyo Mamangkoro menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepalanya. "Hebat! Baru ini seumur hidupku bertemu tanding seorang muda begini hebat. Kalau aku kalah oleh seorang muda seperti engkau, Joko Wandiro, agaknya memang sudah sepatutnya aku lenyap dari permukaan bumi ini."
Setelah berkata demikian, kedua tangannya meraba pinggang dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang tombak pendek yang dipegang pada tengah-tengahnya. Tombak pendek yang mempunyai dua mata di depan dan belakang itu kini diputar-putar di kedua tangannya dan ia menerjang maju sambil mengeluarkan pekik dahsyat.
Joko Wandiro cepat mengelak dan keris pusaka di tangannya meluncur maju mencari sasaran melalui bawah tangan lawan yang menyambar. Setelah digembleng oleh Ki Tejoranu, tangan pemuda itu amat gapah mainkan senjata. Senjata keris Megantoro adalah senjata pusaka pemberian Ki Patih Narotama, tentu saja ampuh sekali. Namun menghadapi sepasang tombak pendek yang dimainkan secara hebat luar biasa itu, sebentar saja Joko Wandiro sudah terdesak hebat! Ia kini hanya dapat menangkis dan mengelak saja, dicecer terus secara bertubi-tubi oleh lawannya.
Di dalam hati ia sudah khawatir karena maklum bahwa dalam hal ilmu silat maupun tenaga, ia masih kalah seusap oleh jagoan tua ini. Ia hanya mengharapkan menang napas dan menang daya tahan. Akan tetapi kalau ia teringat akan cerita bahwa dahulu Dibyo Mamangkoro sanggup melayani gurunya, Ki Patih Narotama sampai dua hari dua malam dalam pertandingan mati- matian, ia menjadi bimbang ragu. Mungkinkah ia dapat menang dalam hal keuletan?
Mereka sudah bertanding selama tiga jam lebih. Kini Dibyo Mamangkoro yang makin bernafsu mengakhiri pertandingan dengan kemenangan di pihaknya, terus-menerus menyerang dengan pengerahan seluruh tenaga. Napasnya mendengus-dengus, peluhnya memercik ke sana ke mari dan mulailah Joko Wandiro melihat hal yang melegakan hatinya. Gerakan kakek itu mulai gemetar dan angin pukulannya tidaklah sehebat tadi. Jelas bahwa kakek itu mulai berkurang tenaganya, mulai lelah dan kehabisan napas!
Akan tetapi, dasar ia masih muda, dalam kegirangannya Joko Wandiro lupa bahwa perasaan ini juga merupakan pantangan dalam ilmu bertanding. Tidak hanya kemarahan yang membikin kacau perhatian, juga rasa girang akan mendapatkan kemenangan ini membuat ia kurang waspada. Maka kagetlah ia ketika kerisnya menangkis tombak kiri lawan yang menusuk perutnya, tombak kanan lawan tahu-tahu sudah menyambar dada! Ia tahu bahwa ia telah membuat kesalahan.
Tidak seharusnya ia menangkis tombak kiri yang merupakan serangan pembuka. Serangan pembuka harus dielakkan dan barulah serangan penutup kalau perlu boleh ditangkis. Ia telah lupa dan menangkis serangan pembuka sehingga ketika serangan penutup menyusul ke arah dada, ia menjadi bingung. Cepat ia miringkan tubuhnya, namun kurang cepat!
"Desss........ !!"
Pundak kirinya dihajar mata tombak lawan. Biarpun ia sudah menyalurkan tenaga dalam ke arah pundak, tetap saja baju berikut kulit dan dagingnya robek, tulang pundaknya retak! Tubuhnya terguling dan terdengar ia mengeluh.
"Huah-ha-ha-ha! Hanya sekian saja kepandaianmu? Ha-haha, bersiaplah untuk mati di tangan Dibyo Mamangkoro, hehheh-heh. Joko Wandiro, engkau tidak malu mati dan kalah oleh Dibyo Mamangkoro karena telah melakukan perlawanan yang mengagumkan!"
Setelah berkata demikian, Dibyo Mamangkoro memutar-mutar kedua tombak pendeknya dan melangkah lebar ke depan.
Akan tetapi Joko Wandiro sudah bangun kembali. Pundak kirinya sakit bukan main, lengan kirinya lumpuh tak dapat digerakkan, akan tetapi tangan kanannya masih menggenggam gagang Megantoro erat-erat. Tiba-tiba pemuda ini membelalakkan mata, memandang lawan penuh wibawa. Kaki kanannya menggedrug (menjejak) tanah tiga kali dan terdengar suaranya berpengaruh,
"Apa engkau bilang, Dibyo Mamangkoro? Engkau dapat mengalahkan AKU?? Engkau akan dapat membunuh AKU?? Hemm, engkau kira siapakah kau ini, Mamangkoro, maka akan dapat membunuh AKU? Buka matamu, pandanglah AKU baik-baik, Mamangkoro. Lihat siapa AKU ini, dan kalau engkau berani, cobalah engkau melawan AKU!!"
Luar biasa sekali akibatnya. Dibyo Mamangkoro tiba-tiba terbelalak, matanya melotot dan mulutnya ternganga, mukanya pucat sekali, tubuhnya menggigil. Dalam pandang matanya, ia melihat Joko Wandiro telah berubah menjadi raksasa yang besar sekali, mengerikan dengan muka yang tak terhitung banyaknya, dengan mulut dan mata yang menyemburkan api, dengan tangan yang tak terhitung banyaknya memegang segala macam senjata yang ada di mayapada ini!
Joko Wandiro melangkah maju, keris di tangannya bergerak dua kali ke depan. Dibyo Mamangkoro berusaha menangkis, namun dengan putaran pergelangan yang amat cepat, keris itu menyelinap dan menusuk lengan kakek raksasa itu. Dua kali tusukan tepat mengenai kedua lengan dan terlepaslah tombak-tombak pendek itu dari kedua tangan Dibyo Mamangkoro.
Pada saat itu, kakek raksasa yang sakti mandraguna ini sudah dapat menguasai dirinya kembali. Ia tadi telah terpengaruh oleh aji kesaktian yang mujijat, yang terpaksa dipergunakan oleh Joko Wandiro untuk menolong dirinya. Itulah aji kesaktian Triwikrama dari mendiang Sang Prabu Airlangga atau Sang Resi Gentayu! Akan tetapi karena kurang latihan dan kurang pengalaman, pengaruhnya hanya sebentar saja terhadap seorang sakti seperti Dibyo Mamangkoro.
Dengan lengking panjang macam lengking iblis, Dibyo Mamangkoro yang bertangan kosong itu sudah melompat ke depan, menubruk Joko Wandiro dengan kemarahan meluap-luap. Kedua lengannya terluka oleh keris pusaka, namun tidak mengurangi tenaganya. Hebat bukan main terkaman ini sehingga Joko Wandiro tak sempat mengelak sama sekali. Tahu-tahu kedua tangan raksasa itu, dengan jari-jari tangan yang besar-besar lagi kuat, sudah mencekik lehernya!
Joko Wandiro terguling roboh, tertindih oleh tubuh kakek raksasa itu yang terus mencekik sekuat tenaga. Joko Wandiro mengerahkan tenaga menjaga leher, kemudian tangan kanannya bergerak menusuk dalam keadaan setengah sadar karena cekikan itu benar-benar telah menghentikan jalan darahnya ke kepala. Tiga kali ia menusuk dalam-dalam, dan tusukan yang ketiga kalinya tak dapat diulangi lagi karena kerisnya tertinggal di dalam rongga dada Dibyo Mamangkoro, tinggal gagangnya saja sedangkan Joko Wandiro sendiri juga sudah pingsan!
Ketika sadar dari pingsannya, yang teringat oleh Joko Wandiro adalah bahwa ia bertanding mati-matian dengan Dibyo Mamangkoro dan bahwa kerisnya patah tertinggal di dalam dada lawan yang tubuhnya menindih tubuhnya, sedangkan lehernya tercekik hampir patah dan pundak kirinya sakit sekali membuat lengan kirinya lumpuh. Ketika ia sadar, ia merasa betapa pundaknya masih sakit, lengan kirinya masih tak dapat digerakkan, lehernya juga masih kaku dan nyeri-nyeri, akan tetapi dadanya tidak tertindih lagi. Masih hidupkah ia? Ataukah sudah mati? la tidak akan merasa heran kalau mendapatkan dirinya sudah mati. Dibyo Mamangkoro luar biasa saktinya. Terlalu sakti baginya. Pertandingan tadi hebat dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami pertandingan sebehat itu.
"Dia bergerak.....!"
"Dia sadar kembali.....!"
"Dia hebat sekali, dapat mengalahkan kakek sakti itu."
"Pertandingan yang mengerikan dan seru bukan main."
"Dia benar-benar perkasa, patut menjadi junjungan kita."
Suara percakapan ini merdu dan halus, suara wanita. Kemudian jari-jari tangan yang halus lunak meraba-rabanya, membelainya. Tercium harum rambut wanita ketika bibir yang hanyat menyentuh dahinya. Joko Wandiro tersenyum. Ia teringat, ini tentu Dewi, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari! Lima orang gadis jelita yang hebat. Ia tidak marah lagi mereka belai dengan mesra. Lima orang gadis ini telah membuktikan cinta kasih dan kesetiaan mereka. Bahkan mereka telah menyelamatkan nyawanya pada saat terakhir ketika tadi ia dikempit dari belakang oleh Dibyo Mamangkoro.
Mereka menolongnya dengan taruhan nyawa, karena menolongnya berarti melawan Dibyo Mamangkoro yang masih kakek paman Dewi sendiri! Ia membuka matanya. Kiranya Dewi yang menciumnya. Tanpa disadarinya, Joko Wandiro membalas rangkulannya dan mencium pipi Dewi sambil berbisik,
"Sudahlah, Dewi, jangan menangis. Aku tidak apa-apa lagi...."
Dewi mengangkat mukanya, memandang dengan air mata berlinang, lalu tersenyum manis sekali.
"Kalau tadi kau yang kalah dan mati, kami sudah siap untuk mengadu nyawa dengan eyang Dibyo Mamangkoro!"
"Dibyo Mamangkoro? Ah, di mana dia sekarang.....?"
"Dia sudah tewas, sudah kami kubur di lereng wetan."
Joko Wandiro menarik napas lega. Kiranya luka-lukanya telah dirawat dengan baik-baik oleh Dewi dan adik-adiknya, bahkan ketika ia masih pingsan, tulang pundaknya telah diberi obat penyambung tulang. Untuk menunggu pulihnya tulang pundaknya, ia harus rebah untuk beberapa hari lamanya. Setiap hari, tak pernah lima orang gadis itu membiarkan ia seorang diri. Mereka itu secara bergilir menjaganya, siang malam, dengan penuh perhatian, penuh kesetiaan dan penuh cinta kasih yang mesra.
Kini Joko Wandiro tak pernah menolak sikap mereka yang mencinta. Dia mulai mengenal keadaan hati lima orang gadis ini. Mereka itu adalah orang-orang yang haus akan cinta kasih, semenjak kecil tak pernah mengenal cinta kasih maka sekarang, begitu bertemu dengan dia yang mereka kagumi, mereka menumpahkan seluruh perasaan itu kepadanya dengan harapan untuk mendapatkan cinta kasih. Karena ia tahu betapa mereka itu amat setia kepadanya, bahkan ia telah berhutang budi, ia tidak tega mengecewakan hati mereka. Bahkan seringkali, darah muda di tubuhnya mendesak dan mendorong agar dia mengambil apa yang disodorkan kepadanya, agar dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyenangkan diri sendiri dan menikmatinya.
Namun, Joko Wandiro sebagai murid Ki Patih Narotama selalu menekan dan menentang perasaan ini, selalu teringat bahwa sekali ia dikalahkan nafsunya sendiri, ia akan melakukan penyelewengan-penyelewengan daripada jalan kebenaran. Oleh karena inilah, Joko Wandiro selalu kuat bertahan. Dia mengimbangi pernyataan kasih sayang Dewi dan adik-adiknya, namun dalam batas-batas tertentu dan tidak terpeleset ke dalam bujukan iblis nafsu berahi yang akan menyeretnya melalui batas-batas kesusilaan.
*******************
Endang Patibroto yang mendapat tugas dari sang prabu di Jenggala untuk memimpin pasukan menyerbu Nusabarung dan menawan Adipati Jagalmanik yang hendak memberontak, hanya menyuruh para senopati menyiapkan seribu orang perajurit pilihan. Dia sendiri lalu bergegas melakukan pengejaran setelah menerima laporan penyelidik bahwa tiga orang sakti lain yang menjadi sekutu Durgogini dan Nogogini, yang tadinya juga membantu Kerajaan Jenggala, telah melarikan diri setelah mendengar akan tewasnya Ni Durgogini dan Ni Nogogini.
Mereka bertiga ini bukan lain adalah Cekel Aksomolo, Ki Krendoyakso dan Ki Gendroyono. Menurut rencana persekutuan itu semula, setelah Ni Durgogini dan Ni Nogogini berhasil melemahkan Kerajaan Jenggala dengan menggoda rajanya, maka pada saat yang baik dan telah ditentukan, Adipati Jagalmanik akan melakukan penyerbuan dengan bala tentaranya, sedangkan tiga orang kakek sakti ini sebagai pembantu-pembantu Jenggala akan melakukan gerakan membantu dari dalam.
Siapa kira, usaha Ni Durgogini dan Ni Nogogini yang sudah hampir berhasil itu tiba-tiba hancur dan gagal, bahkan menewaskan mereka. Hal ini selain mengejutkan, juga menggiriskan hati tiga orang kakek sakti itu, maka mereka cepat-cepat melarikan diri dengan maksud menggabungkan diri dengan Adipati Jagalmanik di Nusabarung. Mereka menunggang tiga ekor kuda yang kuat dan meninggalkan Jenggala di malam hari yang gelap.
Pada keesokan harinya, di waktu pagi, mereka telah keluar dari wilayah Jenggala dan menjalankan kuda mereka yang sudah lelah itu perlahan-lahan. Ketika mereka lewat di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba tampak sinar hijau berkelebat dan kuda mereka meringkik keras lalu roboh! Sebagai orang-orang sakti, tentu saja tiga orang kakek ini tidak ikut roboh, melainkan dapat cepat melompat turun.
Mereka kaget sekali melihat betapa tiga ekor kuda mereka berkelojotan lalu mati ! Kiranya tiga batang panah tangan menancap di leher kuda. Marah sekali tiga orang ini. Mereka adalah orang-orang sakti, tokoh-tokoh besar. Siapa berani begitu kurang ajar menyerang mereka dan membunuh kuda tunggangan mereka? Serentak mereka mencabut senjata masing-masing.
"Babo-babo, si keparat pengecut dari mana berani mati menyerang kami?" Cekel Aksomolo berseru dengan suaranya yang tinggi sambil memutar-mutar tasbehnya yang ampuh.
Juga Ki Krendoyakso telah memegang penggadanya Wojo Ireng yang besar dan berat. Adapun Ki Warok Gendroyono sudah mengudar kolor jimatnya Ki Bandot! Tiga orang sakti ini sudah siap menghajar orang yang berani menewaskan kuda tunggangan mereka.
"Hemm, tiga orang tua bangka tak tahu malu! Siapakah yang pengecut? Aku atau kalian yang melarikan diri seperti tiga orang maling kesiangan?"
Suara ini halus merdu, keluar dari bibir merah Endang Patibroto. Namun amat mengejutkan tiga orang itu yang cepat-cepat membalikkan tubuh karena gadis ini muncul dari belakang mereka. Melihat betapa gadis itu hanya seorang diri, bertangan kosong pula, tiga orang tokoh itu dapat menenangkan hati. Mereka maklum bahwa gadis ini adalah murid Dibyo Mamangkoro yang sakti, dan gadis ini pula yang telah menewaskan sekutu mereka, Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Maka di samping rasa kaget meiihat gadis ini, juga timbul kemarahan mereka. Ki Warok Gendroyono yang berdiri paling dekat, tanpa mengeluarkan kata-kata pula sudah menggerakkan senjata kolor mautnya ke atas, memutarnya beberapa kali lalu menghantamkannya ke arah kepala Endang Patibroto.
"Blarrrr....... ! "
Hebat bukan main sambaran senjata kolor maut ini. Namun dengan gerak tubuh amat ringan cekatan, Endang Patibroto sudah memutar tubuh mengelak. Gadis ini tersenyum-senyum mengejek lalu berkata, "Bagus, akan terbalaslah sakit hati eyang Resi Bhargowo....!"
Ucapan ini mengejutkan mereka bertiga dan serentak mereka menahan gerakan senjata masing-masing.
"Uuh-huh, bocah denok yang sombong! Apa kaukatakan tadi? Mengapa engkau memusuhi kami dan Apa hubunganmu dengan Bhargowo?" Cekel Aksomolo yang sudah ompong itu bertanya.
Endang Patibroto berdiri tegak, kedua tangan bertolak pinggang. "Masih ingatkah kalian belasan tahun yang lalu ketika kalian mengeroyok secara curang eyang Resi Bhargowo? Ketika itu aku sudah bersumpah akan membalas kalian berenam. Durgogini dan Nogogini sudah mampus di tanganku, sekarang kalian bertiga mendapat giliran. Hanya masih kurang seorang lagi. Jokowanengpati, dia sudah lebih dahulu mampus di tangan ibuku. Sayang sekali! Ketahuilah, aku adalah cucu eyang Resi Bhargowo yang dahulu kalian keroyok di Pulau Sempu."
Tiga orang itu benar-benar terkejut, juga terheran-heran. "Kalau begitu, mengapa engkau membantu Jenggala? Eyangmu selalu memusuhi Jenggala."
"Bukan urusanmu!" bentak Endang Patibroto dan tiba-tiba tubuh gadis ini sudah menyambar ke depan, mengirim pukulan Pethit Nogo ke arah leher orang terdekat, yaitu Ki Krendoyakso.
Tentu saja kepala rampok Bagelen ini maklum akan dahsyatnya serangan lawan, maka ia menghindar sambil menyabetkan Wojo Ireng ke arah kepala lawan. Pada saat itu, sambil berteriak keras Ki Warok Gendroyono juga sudah menerjang maju dengan kolor mautnya, sedangkan Cekel Aksomolo sudah pula memutar tasbehnya dan menyerbu ke depan.
Endang Patibroto adalah seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa dan sedikit banyak ia ketularan watak gurunya yang terlalu yakin akan kepandaian sendiri serta memandang rendah orang lain. Inilah sebabnya mengapa ia hanya bertangan kosong saja menghadapi tiga orang tokoh besar yang terkenal sakti ini. Kini ia bagaikan seekor burung pipit yang dijadikan rebutan tiga ekor kucing besar.
Ditubruk sana melejit ke sini, diterkam sini terbang ke sana. Ia hanya mengandaikan Kelincahannya yang memang amat mengagumkan itu untuk berkelebat menyelamatkan diri. Gerakannya amat cepat, tidak kalah cepatnya oleh gerakan senjata tiga orang lawannya sehingga tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan hitam yang berkelebat menyelinap di antara gulungan sinar senjata tiga orang lawannya.
Senjata di tangan Ki Krendoyakso amat mengerikan. Penggada Wojo Ireng yang amat besar dan berat itu bersiutan menyambar-nyambar laksana seekor burung garuda mencari korban. Rambut kepala Endang Patibroto sampai berkibaran setiap kali kena sambar hawa pukulan yang mendahului penggada raksasa itu. Namun, keganasan penggada Ki Krendoyakso ini masih kalah oleh ketangkasan kolor maut di tangan Ki Warok Gendroyono.
Biarpun kolor itu terbuat daripada bahan lemas dan ringan, namun jangan dikira kalah ampuh oleh penggada yang besar dan berat. Kolor ini seolah-olah hidup di tangan Ki Warok Gendroyono, menyambar-nyambar seperti seekor ular terbang, meledak-ledak di udara ketika melecut dan mengandung hawa yang amat panas.
Kalau Endang masih berani menyampok penggada dengan telapak tangannya, ia sama sekali tidak berani sembrono untuk menangkis kolor maut ini. Namun, harus diakui bahwa yang paling ampuh dan berbahaya adalah tasbeh di tangan Cekel Aksomolo. Kakek ini sudah tua sekali, kalau berdiri biasa sudah "buyuten" (gemetar), akan tetapi ternyata ketika bertanding, sepak terjangnya masih hebat menggiriskan hati. Tasbehnya menyambar-nyambar dan berputar-putar, mengeluarkan suara menggelitik aneh yang amat menyakitkan telinga lawan, sedangkan hawa pukulan yang keluar dari gerakan tasbeh ini melingkar-lingkar dan berpusing membingungkan lawan.
Endang Patibroto memang seorang gadis sakti mandraguna dan sudah mewarisi sebagian besar ilmu kesaktian Dibyo Mamangkoro. Namun, menghadapi pengeroyokan tiga orang kakek sakti ini, akhirnya ia terdesak dan kewalahan juga. Ia hanya mampu mengelak ke sana ke mari mengandalkan kegesitannya, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang. Ia mulai penasaran dan marah, namun kemarahannya ini malah melemahkan pertahanannya sehingga ketika ia meloncat ke atas menghindarkan diri dari serampangan penggada ke arah pinggangnya, kemudian di atas ia berjungkir balik untuk mengelak sambaran kolor maut sambil memaki-maki, ia berlaku agak lengah dan pundaknya tercium tasbeh.
"Treekkk........ !"
Tasbeh itu hanya mencium pundak, tidak mengenai secara jitu. Namun tubuh gadis itu berputar-putar seperti gasing lalu roboh dan bergulingan di atas tanah. Pundaknya serasa hancur, kemudian rasa panas yang amat menyakitkan merangsang dari pundak menyerbu ke dalam dada. Endang Patibroto terkejut bukan main, cepat ia mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya, disalurkan ke arah pundak untuk memulihkan tenaganya. Ia masih dalam keadaan setengah berbaring setengah duduk ketika kolor maut melecut dari atas dan menghantam ke arah kepalanya dengan bunyi ledakan dahsyat, disusul dalam detik berikutnya oleh hantaman penggada Wojo Ireng yang menggebug ke arah dadanya.
Keadaan itu amat berbahaya bagi Endang Patibroto. Betapapun saktinya, kalau sampai kolor maut itu mengenai kepalanya, tentu akan hancur kepalanya. Juga penggada yang berat itu kalau sampai mengenai dadanya, tentu akan remuk tulang iganya. Biarpun pundaknya masih terasa sakit dan kepalanya pening, Endang Patibroto tidak kehilangan kewaspadaan dan kegesitannya. Cepat ia membanting tubuhnya ke atas tanah sehingga kolor maut itu menyambar lewat hanya sejengkal di atas kepalanya. Akan tetapi pada detik itu, penggada Wojo Ireng sudah datang menyambar hendak melumatkan tubuhnya yang denok! Angin sambaran penggada sudah mengibarkan ujung kain dan kemben. Tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar kini dan agaknya tubuh gadis itu akan hancur ditumbuk penggada baja!
Pada detik yang amat berbahaya itu, Endang Patibroto yang masih rebah telentang, cepat sekali menggerakkan kedua kakinya ke atas dan pada detik terakhir, kedua telapak kakinya yang halus dan kemerahan itu sudah menangkis penggada, diayunkan ke bawah sedikit lalu dilanjutkan dengan tendangan ke atas sambil mengerahkan tenaganya.
"Hehhhh....... !!"
Ki Krendoyakso terkejut bukan main. Tadinya ia sudah menyeringai kegirangan karena sudah memperhitungkan bahwa kali ini gadis perkasa ini akan remuk oleh senjatanya. Siapa kira, ketika senjatanya sudah hampir mengenai sasaran, yaitu dada yang membusung itu, tiba-tiba diterima oleh dua telapak kaki yang terasa lunak. Tenaga pukulannya seperti tenggelam, kemudian disedot dan selanjutnya malah terdorong ke atas oleh tendangan gadis itu sehingga hampir saja penggadanya terlepas dari tangannya kalau saja ia tidak cepat-cepat meloncat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget.
"Trekk-trekkk.......!!"
Tasbeh di tangan Cekel Aksomolo sudah menyambar lagi ketika kakek ini melihat betapa kedua orang kawannya tidak becus menghabiskan gadis yang sudah ia robohkan itu. Akan tetapi tubuh Endang Patibroto sudah melesat bangun sambil mengelak menjauhi tasbeh yang berbahaya itu. Keringat dingin membasahi dahi dan leher Endang Patibroto. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Ia merasa menyesal mengapa ia memandang rendah tiga lawan ini yang ternyata memiliki kesaktian yang melebihi kepandaian Ni Durgogini dan Ni Nogogini. Karena memandang rendah tadi hampir saja ia mengorbankan nyawanya. Di samping perasaan ini, juga kemarahannya bangkit. Kini sepasang matanya mengeluarkan cahaya berapi-api, senyum mulutnya manis sekali dan lesung pipit di kedua pipinya tampak bersama lekuk-lekuk di dagunya. Inilah tanda bahwa Endang Patibroto sudah memuncak kemarahannya!
"Tua bangka-tua bangka jahanam! Sekarang bersiaplah untuk mampus!!" bentaknya dengan suara tetap halus merdu namun mengandung ancaman yang menyeramkan.
Tiga orang kakek itu yang merasa menang kuat, tertawa berkakakan melihat sikap dan mendengar omongan gadis yang mengancam mereka ini.
"Uuuh-huh-huh-huh, denok montok ayu kuning, galak dan sombongnya bukan kepalang. Uuuhhh-huh, eman-eman (sayang) kalau mati muda. Yang mau kau buat menang saja Apa, cah ayu? Lebih baik kau takluk dan ikut dengan Cekel Aksomolo, uuh-huh, kutanggung kau akan senang, kutanggung kau akan menikmati surga dunia, dan tentang memperdalam ilmu, uuh-huh, kau jadilah muridku, cah manis. Cekel Aksomolo adalah gudang segala ilmu. Menyerahlah, jangan sampai tubuhmu yang denok itu hancur luluh terkena senjataku yang ampuh!"
"Ha-ha-ha, cucu Resi Bhargowo tentu saja sombong dan angkuh! Sudah hampir mampus masih banyak lagak. Heh, bocah, Apa kau tidak tahu betapa kami tadi sudah banyak mengalah? Kalau kami kehendaki, tadipun kau sudah mampus!" Ki Warok Gendroyono juga tertawa mengejek.
"Hua-ha-ha! Kalau dia bosan hidup, biarlah dia mampus! Akan tetapi jangan lumatkan dagingnya, jangan habiskan darahnya! Daging dan darah perawan ini tentu banyak khasiatnya untukku, hua-ha-ha!" Ki Krendoyakso juga mengejek sambii menggerak-gerakkan penggadanya.
Ejekan tiga orang kakek itu bagaikan minyak disiramkan pada api yang sudah bergolak. Kemarahan Endang Patibroto hampir membuat gadis ini menangis. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara melengking tinggi menyeramkan, membuat tiga orang kakek itu terkejut sekali dan memasang kuda-kuda bersikap waspada. Itulah pekik dahsyat Sardulo Bairowo yang menggetarkan pohon-pohon di sekeliling tempat itu, lebih hebat daripada pekik harimau betina yang sedang marah. Kemudian, menyusul pekik ini, tangan Endang Patibroto menggerayang (meraba) pinggang dan di lain saat ia sudah menerjang maju dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan kanan!
Tiga orang kakek ini sama sekali tidak mengenal keris pusaka Brojol Luwuk. Melihat betapa keris itu hanya sebuah senjata kecil keris lekuk tujuh, mereka memandang rendah dan menyambut terjangan Endang Patibroto sambil tertawa mengejek. Akan tetapi mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mereka kaget setengah mati ketika hawa yang panas luar biasa menerjang mereka dan membuat tubuh mereka gemetar dan setengah lumpuh. Barulah mereka sadar bahwa keris itu adalah sebuah senjata pusaka yang ampuhnya menggila, akan tetapi kesadaran ini sudah terlambat karena Endang Patibroto sudah menerjang dengan dahsyat!
Ki Krendoyakso yang paling hebat terpengaruh keampuhan Brojol Luwuk sudah habis tenaganya, namun ia masih berusaha menangkis dengan penggada Wojo Ireng sambil berseru, "Celaka......!"
Ki Warok Gendroyono berusaha membaca mantera dengan suara menggigil, juga kolor mautnya ia ayun untuk menangkis keris pusaka yang kelihatannya seperti halilintar menyambar itu. Adapun Cekel Aksomolo yang paling tinggi ilmunya, sudah memutar-mutar tasbehnya sehingga terdengar suara nyaring sedangkan ia mengerahkan tenaga menjejak tanah melompat ke belakang sampai lima meter, menjauhi pusaka yang panasnya menggila itu.
"Tringggg syeeetttt.....aauuuggghhh.... !!"
Hebat bukan main akibatnya. Dalam detik-detik mengerikan itu, penggada Wojo Ireng pecah dan terlempar jauh dari tangan Ki Krendoyakso, juga kolor maut putus-putus dan hangus, kemudian disusul robohnya tubuh Ki Krendoyakso yang tinggi besar seperti raksasa ketika dadanya tersentuh ujung keris pusaka Brojol Luwuk. Ia terjengkang roboh dan tewas seketika dengan dada hangus seperti disambar petir!
Ki Warok Gendroyono yang merasa tangannya terbakar ketika kolor mautnya bertemu keris pusaka, kini mundur-mundur dengan muka pucat. Namun Endang Patibroto tidak memberi ampun lagi. Gadis ini dengan muka beringas sudah menyerbu lagi ke depan, didahului keris pusakanya yang mengerikan. Ki Warok Gendroyono bukanlah seorang penakut, juga ia terkenal sakti mandraguna. Namun selama hidupnya baru kali ini ia berhadapan dengan pusaka yang sedemikian ampuhnya. Menghadapi gadis ini saja kalau ia seorang diri, ia takkan menang. Apalagi sekarang gadis itu membawa sebuah keris pusaka yang luar biasa.
Namun ia maklum bahwa jalan keluar tidak ada iagi, maka ia lalu menggereng seperti harimau dan dengan nekat ia menubruk maju. Akan tetapi perbuatannya ini sama dengan mengantar nyawa karena sebelum ia dapat mencengkeram gadis itu, hawa yang keluar dari keris pusaka sudah membuat tubuhnya seakan-akan lumpuh dan di lain saat iapun mengeluarkan pekik dahsyat, terjengkang dan ia roboh tewas di dekat mayat Ki Krendoyakso!.
"Cekel busuk ! Kau hendak lari ke mana...... ?? "
Cekel Aksomolo cukup cerdik. Melihat betapa dua orang kawannya roboh sedemikian mudahnya, ia maklum bahwa menghadapi gadis dengan pusakanya yang ampuhnya menggila itu, jalan paling baik adalah lari menyelamatkan diri! Maka ia sudah mengambil langkah seribu melarikan diri ke selatan. Siapa kira, gadis itu memiliki gerakan yang jauh lebih gesit dan tangkas daripada kedua kakinya yang sudah tua dan buyuten, maka dalam belasan kali loncatan saja Endang Patibroto sudah dapat mengejarnya! Terpaksa kakek ini membalikkan tubuhnya, kedua kakinya menggigil ketakutan dan wajahnya pucat!
"Huuuh-huh-huh.... tobat-tobat....Endang Patibroto, engkau mau apakah awakku yang sudah tua renta ini? Auhhh, bocah ayu, bocah denok, kau jangan terlalu kejam, ya? Aku sudah tua, umurku tak berapa lama lagi, tidak diapa-apakan juga akan mati sendiri! Masa kau tega membunuhku, anak rnanis...!"
Muak rasa perut Endang Patibroto menyaksikan sikap pengecut Cekel Aksomolo ini. Ia sudah banyak mendengar tentang sepak terjang cekel tua ini yang amat menjijikkan. Betapa si tua bangka ini banyak disuguhi wanita-wanita muda yang cantik-cantik, yang menjadi kegemarannya. Dia bagaikan seekor bandot tua yang makin tua makin gila, makin suka makan daun-daun muda, bagaikan seekor kumbang tua yang suka mengisap madu kembang-kembang yang baru mekar. Juga ia banyak mendengar betapa kakek ini dapat bersikap galak dan kejam tak mengenal ampun. Masih terbayang olehnya betapa dahulu, di Pulau Sempu, mereka yang mengeroyok eyangnya juga dipimpin oleh kakek ini.
"Cekel Aksomolo, tak perlu banyak cerewet lagi. Hadapilah kematianmu seperti seorang yang berilmu!"
Setelah berkata demikian, Endang Patibroto siap menerjang. Namun ia didahului oleh Cekel Aksomolo. Karena merasa bahwa bujuk dan minta ampun akan percuma belaka, kakek ini sudah mendahului dengan serangan jarak jauh yang hebat. Tasbehnya diputar dan dihantamkan ke arah Endang Patibroto, disusul tangan kirinya yang menggunakan gerak dorong disertai hawa sakti sehingga serangkum angin pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Endang Patibroto.
Gadis perkasa ini terkejut. Hebat juga pukulan jarak jauh lawan ini. Iapun cepat mengerahkan tenaga di tangan kiri dan mendorong ke depan untuk rnelawan pukulan jarak jauh kakek itu, kemudian keris pusaka Brojol Luwuk ia gerakkan dari samping yang menimbulkan serangkaian hawa panas membara "memotong” dari samping. Berkat hawa panas dan keampuhan keris sakti ini, bobollah tenaga pukulan jarak jauh Cekel Aksomolo sehingga memungkinkan gadis itu terus
menerjang maju.
"Aauuuuh, kau benar-benar kejam membunuhku....?" teriak Cekel Aksomolo, namun teriakannya ini hanya untuk membuyarkan perhatian lawan karena tasbehnya sudah berputar cepat membentuk lingkaran-lingkaran berbahaya yang mengirim serangan-serangan maut secara bertubi-tubi ke arah tubuh Endang Patibroto.
Gadis ini setelah tadi mengalami kekalahan pahit karena kurang waspada, kini tidak berani memandang rendah lagi dan cepat-cepat keris pusakanya digerakkan menangkis. Begitu keris itu bergerak, serangkum hawa panas menyambar dan tasbeh itu terpental sebelum bertemu dengan keris. Cekel Aksomolo terkejut bukan main. Tasbehnya adalah senjata yang ampuh, merupakan barang pusaka yang dua kali sepekan ia beri sesajen. Akan tetapi kini berhadapan dengan pusaka di tangan gadis itu, tasbehnya menjadi melempem seperti kerupuk bertemu air, lenyap wibawa dan dayanya.
Mendadak kakek tua renta itu membunyikan tasbehnya dengan nyaring sekali. Betapapun perkasanya, Endang Patibroto merasa telinganya sakit dan cepat ia mengerahkan hawa murni di tubuhnya. Hal ini membuat kakek itu mendapat kesempatan untuk meloncat ke belakang dan ketika Endang menerjang maju, tangan kiri kakek itu bergerak dan meluncurlah belasan sinar hitam yang menyambar ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Endang Patibroto. Itulah senjata rahasia ganitri (biji tasbeh) yang amat hebat dan berbahaya!
"Haaaiiittt.....!!"
Endang Patibroto berseru keras sambii cepat-cepat memutar senjata kerisnya di depan tubuhnya. la maklum betapa hebat dan berbahayanya sinar-sinar hitam itu, maka ia mengandalkan keampuhan pusakanya. Benar saja, hawa panas pusakanya yang diputar di depan tubuh merupakan benteng yang amat kuat sehingga semua ganitri runtuh di atas tanah sebelum menyentuh kerisnya. Dengan marah Endang Patibroto mengeluarkan panah tangan dan sekaligus ia melepas tujuh batang panah tangan yang diluncurkan menjadi tiga rombongan mengarah tubuh
bawah, tengah dan atas!
"Uuhhhh....!"
Cekel Aksomolo kaget sekali. Ia meiihat betapa tiga rombongan panah tangan itu meluncur cepat dan kiranya akan sukar kalau ia mengelak serombongan demi serombongan, Apa pula menangkis, maka ia lalu berteriak keras dan tubuhnya mencelatt inggi keudara sehingga tiga rombongan panah itu meluncur cepat jauh di bawah kakinya. Akan tetapi, Endang Patibroto yang sudah menduga bahwa lawannya tentu akan menghindarkan serangan panahnya itu dengan meloncat tinggi ke atas, segera memekik nyaring dan tubuhnya juga mencelat tinggi ke depan, menerjang tubuh kakek yang masih melayang itu. Betapa kagetnya Cekel Aksomolo ketika melihat sinar abu-abu yang mengerikan meluncur ke arah dadanya. Cepat ia menggerakkan tasbehnya dengan nekat menangkis keris pusaka Brojol Luwuk.
"Cringgg....bretttt...!!"
Tasbeh itu putus dan biji tasbehnya runtuh semua ke atas tanah. Kakek itu menjerit, akan tetapi jeritnya terhenti di tengah-tengah ketika ujung keris pusaka Brojol Luwuk sudah mencium ulu hatinya dan sekaligus menyedot darah serta menghanguskan dadanya. Cekel Aksomolo telah tewas sebelum tubuhnya terbanting di atas tanah! Dengan hati puas dan sikap tenang Endang Patibroto memandang mayat tiga orang bekas lawan itu sambil menyimpan keris pusaka Brojol Luwuk setelah mencium gagang keris dan menempelkan mata keris di atas kepalanya.
Pada saa itu terdengar sorak-sorai dan kiranya barisan dari Jenggala sudah tiba di situ. Sorak-sorai makin menggegap gempita ketika para pasukan Jenggala melihat betapa tiga orang sakti yang dari kawan menjadi lawan itu telah menggeletak mati di pinggir jalan, tewas di tangan senopati mereka, puteri Endang Patibroto yang sakti mandraguna. Makin besar hati mereka dengan adanya bukti kesaktian pemimpin mereka. Endang Patibroto lalu meloncat naik ke atas kuda, kemudian ia memimpin pasukan Jenggala menuju ke selatan, ke Nusabarung.
********************
Pulau Nusabarung terletak di sebelah timur, di Laut Selatan. Endang Patibroto sengaja mengambil jalan ke selatan karena ia teringat akan Pulau Sempu dan ada keinginan di hatinya untuk singgah di pulau itu. Ia ingin melihat pulau bekas tempat tinggal eyangnya, Resi Bhargowo di mana ia bersama Joko Wandiro digembleng selama hampir dua tahun. Juga diam-diam ia mengharapkan akan dapat menemukan patung kencana yang disimpan di pulau itu oleh Joko Wandiro!
Dari pantai selatan di mana tampak Pulau Sempu yang tak berapa jauh dari pantai, ia akan memimpin pasukan ke timur sampai di Nusabarung. Karena pasukan yang banyak itu tak dapat melakukan perjalanan cepat, maka Endang Patibroto menyerahkan pimpinan pasukan kepada perwira-perwira pembantunya. Ia memberi perintah agar pasukan terus ke selatan sampai di pantai laut, di mana ia akan menanti pasukan di pantai, tepat berhadapan dengan Pulau Sempu. Kemudian ia membalapkan kudanya mendahului ke selatan. Maksud hatinya, ia hendak singgah sebentar di Sempu dan pada waktu pasukan tiba di pantai, tentu ia sudah kembali dari pulau itu. Ia akan menyeberang ke Sempu seperti yang dilakukan oleh gurunya dahulu, yaitu dengan bantuan mancung kelapa!
Ketika ia tiba di pegunungan selatan, sudah tak jauh lagi dari pantai selatan dan melalui sebuah hutan kecil, dari jauh ia meiihat seorang wanita berjalan seorang diri. Ia menjadi heran karena di pegunungan seperti itu mengapa seorang gadis berkeliaran seorang diri? Dan dari jauhpun sudah tampak bahwa gadis itu bukan seorang gadis dusun atau gunung. Pakaiannya indah, dan dari jauh sudah dapat terlihat bahwa gadis itu seorang yang cantik. Ia menjadi tertarik dan mengeprak kudanya menghampiri. Setelah dekat, gadis itu membalikkan tubuh menghadap kepadanya dan dua-duanya tercengang ketika saling mengenal. Gadis itu bukan lain adalah Ayu Candra!
Endang Patibroto mengenal gadis cantik jelita ini. Inilah gadis yang dahulu ia serang dengan panah tangan di Telaga Sarangan. Inilah gadis yang runtang-runtung dengan Joko Wandiro. Inilah gadis kekasih Joko Wandiro. Ia terbayang ketika Joko Wandiro memeluknya di hutan itu, membelai dan menciumi rambutnya dari belakang. Dia disangka kekasihnya. Tentu disangka gadis inilah! Endang Patibroto sebetulnya tidak mengenal Ayu Candra, tidak pula ada hubungan sesuatu antara dia dan Ayu Candra. Akan tetapi, entah bagaimana, kenyataan bahwa gadis itu kekasih Joko Wandiro, menimbulkan benci di dalam hatinya. Ia tersenyum mengejek dan memandang dengan sinar mata tajam.
Di lain pihak, Ayu Candra menahan kebencian hatinya yang meluap-luap ketika ia melihat bahwa yang datang berkuda adalah Endang Patibroto. Inilah wanita yang telah membunuh ibunya! Ketika Joko Wandiro muncul dan bertanding dengan Ki Jatoko, Ayu Candra telah menyembunyikan diri. Kemudian ia lari dan di dalam hutan secara kebetulan sekali ia menyaksikan pertempuran antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, melihat betapa Joko Wandiro kakak kandungnya itu memeluk Endang Patibroto yang disangka dirinya.
Kemudian mendengar percakapan mereka. Betapa hancur hatinya ketika Joko Wandiro secara terang-terangan menyatakan kepada Endang Patibroto bahwa biarpun pemuda yang menjadi kakaknya itu tahu bahwa puteri perkasa ini yang membunuh ibu kandung mereka, kakaknya itu tidak akan membalas dendam ! Jadi gadis inilah yang membunuh ayah bundanya. Gadis ini yang pernah melukainya pula dengan panah tangan!
Karena hatinya kecewa meiihat kakak kandungnya, ia tidak kuat mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut sehingga tidak sempat menyaksikan pertandingan antara Joko Wandiro dan Endang Patibroto, tidak tahu pula bahwa Joko Wandiro hampir tewas dalam pertandingan itu oleh kecurangan Ki Jatoko. Ia sudah mendengar cukup jelas. Ia tahu bahwa ia tidak akan dapat melawan Endang Patibroto, maka ia mengambil keputusan untuk mencari ke Pulau Sempu, untuk membalas dan membunuh ibu gadis itu yang menurut percakapan itu telah pindah dan bersembunyi ke Sempu.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat munculnya Endang Patibroto yang ia sangka tentu mengejar dan kini menyusulnya. Biarpun ia tahu bahwa ia tidak menang menghadapi Endang Patibroto, namun Ayu Candra sudah bulat tekatnya untuk membalas dendam atas kematian ayah bundanya. la telah melakukan perjalanan yang penuh kesukaran dan amat lambat. Ia tidak berani melakukan perjalanan di siang hari, takut kalau-kalau tersusul oleh Ki Jatoko atau Endang Patibroto atau Joko Wandiro yang mengejarnya. Di waktu siang ia bersembunyi, di waktu malam saja ia melanjutkan perjalanan ke Sempu. Setelah dekat dengan pantai selatan, barulah beberapa hari ini ia melakukan perjalanan di siang hari. Siapa kira, di sini ia tersusul musuh.
"Perempuan keji!" Tiba-tiba Ayu Candra mendamprat, ia tidak tahan melihat senyum mengejek dan menghina itu. "Turunlah dari kudamu dan mari kita bertanding mengadu nyawa. Aku untuk membalas kematian ayah bundaku di tanganmu, dan engkau untuk memperbesar dosa-dosamu sebagai seorang iblis betina!"
Endang Patibroto hanya mengenal Ayu. Candra sebagai kekasih Joko Wandiro, ia malah tidak tahu siapa nama gadis ini dan dari mana. Maka tentu saja ia menjadi terheran-heran mendengar ucapan itu. Dengan gerakan ringan ia melompat turun dari atas kudanya, lalu membiarkan kudanya makan rumput. Ia sendiri menghampiri Ayu Candra yang sudah menghunus keris, lalu bertanya, lebih heran dan ingin tahu daripada marah,
"Eh, eh, kau ini bocah lancang mulut! Dahulu engkau kupanah karena lancang mulut, sekarang mungkin akan kubunuh karena lancang mulut pula. Siapakah engkau ini dan mengapa kau bilang hendak membalas kematian ayah bundamu di tanganku? Siapa mereka?"
"Perempuan iblis! Dengarlah baik- baik. Namaku Ayu Candra dan ayahku adalah Ki Adibroto, ibuku Listyokumolo. Karena mereka itu sudah kaubunuh, sekarang aku minta ganti jiwamu atau kau bunuh sekalian aku! " Setelah berkata demikian, Ayu Candra sudah menerjang maju dengan tusukan kerisnya.