Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 36
Anehnya, gadis-gadis itu amat cepat gerakannya. Gesit seperti kijang betina muda. Melihat betapa gadis-gadis itu berpencaran dan menyusup-nyusup ke dalam semak dikejar oleh banyak perajurit ini, keadaan di hutan itu tiada ubahnya dengan sekumpulan pemburu mengejar kijang-kijang muda.
Tak lama kemudian, kegembiraan para perajurit yang mengejar gadis-gadis itu berubah menjadi jerit maut. Kiranya hutan itu penuh dengan perajurit-perajurit Nusabarung yang bersembunyi dan begitu pasukan Jenggala tercerai-berai dan kacau-balau karena mengejar gadis-gadis cantik, mereka ini muncul dari tempat persembunyiannya dan secara tiba-tiba melakukan serangan! Bahkan gadis-gadis itu sendiri membalik dan dengan senjata tombak yang digerakkan secara cekatan sekali mereka ini merobohkan banyak perajurit yang mengejar mereka.
Memang anak murid Bhagawan Kundilomuko adalah wanita-wanita cantik yang terlatih, memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terjangan mereka yang mengejutkan ini merobohkan banyak lawan. Sisa perajurit yang tadinya tertawa-tawa di pinggir sungai, kaget mendengar teriakan-teriakan maut teman mereka yang mengejar. Akan tetapi sebelum mereka sempat bersiap, hujan anak panah menyerang mereka dari empat penjuru! Makin panik dan kacau keadaan di situ. Banyak sekali perajurit Jenggala yang terjungkal dan mati seketika tanpa mereka itu tahu siapa yang memanah mereka.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan dari tempat-tempat tersembunyi itu menerjang keluar ribuan orang perajurit Nusabarung. Perang campuh terjadi secara hebat di dalam hutan itu. Akan tetapi karena pihak Jenggala sudah panik dan kacau-balau, tidak ada yang memimpin lagi karena lima orang perwira itu sudah roboh binasa, mereka tertekan hebat dan banyak korban roboh di antara mereka. Akhirnya, hanya beberapa ratus orang perajurit Jenggala yang berhasil melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang tewas atau terluka berat. Mereka lari pulang ke Jenggala untuk melaporkan malapetaka yang menimpa pasukan mereka itu.
Akan tetapi, apakah yang didapatkan perajurit-perajurit pelarian itu ketika mereka mundur dan kembali ke Jenggala? Ternyata pasukan besar dari Nusabarung telah menyerang Jenggala, menimbulkan malapetaka besar di sepanjang jalan. Perampokan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran dusun-dusun dilakukan oleh pasukan Nusabarung yang kejam, bahkan kini pasukan itu sudah mulai menerjang kota raja sehingga terjadi perang hebat
Sisa perajurit-perajurit yang mengundurkan diri ini cepat membantu pasukan teman ketika melihat kota raja terancam. Betapapun juga, pasukan-pasukan Jenggala masih cukup kuat dan di sana masih terdapat banyak senopati yang pandai sehingga setelah berperang sampai sepekan lamanya, barisan musuh dapat dipukul mundur. Namun, mundurnya pasukan Nusabarung sambil membawa banyak sekali barang rampasan, selain harta benda, juga banyak para wanita mereka tawan. Sambil kembali ke Nusabarung untuk menyusun kekuatan baru, mereka membakari rumah-rumah di setiap dusun yang mereka lalui, menyebar maut sehingga keadaan Jenggala menjadi kacau-balau!
Adipati Jagalmanik menjadi girang sekali dengan hasil penyerbuan pertama ini. Sang adipati memuji-muji Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko serta mengirim banyak hadiah ke Durgaloka. Mereka berdua ini segera berjanji kepada adipati di Nusabarung untuk membantu penyerbuan-penyerbuan mendatang sampai Jenggala takluk di bawah kekuasaan Nusabarung. Di lain pihak, adipati itupun menjanjikan pangkat dan kemuliaan.
Biarpun pasukan Nusabarung dipukul mundur dan dalam penyerbuan pertama belum berhasil menundukkan Jenggala, namun penyerbuan itu boleh dibilang berhasil baik. Apalagi di samping kemenangan dan banyaknya barang rampasan itu, pasukan Nusabarung juga berhasil menumpas sebagian besar barisan yang dipimpin oleh Endang Patibroto. Tentu saja hal ini membesarkan hati mereka, bahkan para adipati-adipati kecil yang mendengar akan kemenangan Nusabarung, secara suka rela lalu menawarkan bantuan untuk bersekutu dengan harapan kelak akan mendapat bagian hasilnya.
Bhagawan Kundilomuko girang setengah mati. Semua siasat Ki Jatoko yang dijalankan ternyata berhasil dengan baiknya. Kakek pendeta ini selain kegirangan mendapat pujian dan hadiah dari Adipati Jagalmanik di Nusabarung, juga ia girang tekali ketika siasat Ki Jatoko untuk memancing dan menawan Endang Patibroto ternyata berhasil baik. Dan gadis itu.... ah, seketika lenyaplah kemarahan dari hati kakek ini ketika ia melihat Endang Patibroto! Gadis yang cantik jelita seperti bidadari! Gadis yang sakti mandraguna! Gadis seperti inilah yang patut menjadi isterinya. Patut dipuja-puja di Durgaloka, disembah-sembah oleh para murid yang juga menjadi selir-selirnya.
Juga Ki Jatoko menjadi girang sekali. Ia telah dipuji-puji adipati di Nusabarung. Biarpun kini ia menjadi orang buntung, namun derajatnya sudah terangkat lagi dan masa depannya amat luas dan baik. Kini ia menjadi sekutu dan pembantu Adipati Nusabarung di samping seorang sakti seperti Bhagawan Kundilomuko! Endang Patibroto, gadis yang amat berbahaya itu, sudah dapat ditawan, dan ia sudah mendapatkan kembali Ayu Candra! Alangkah baik nasibnya! Dan kini maklumlah ia bahwa amat tidak mungkin kalau ia mengharapkan balas cinta kasih seorang gadis muda belia dan cantik jelita seperti Ayu Candra. Hanya dengan cara yang tidak wajar saja ia boleh mengharapkan cinta kasih Ayu Candra!
Dengan guna-guna, yaitu Aji Guno-asmoro, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempengaruhi seorang gadis yang berwatak bersih seperti Ayu Candra. Hanya seorang saja di dunia ini yang dapat membantunya. Bhagawan Kundilomuko! Kakek ini seorang ahli ilmu hitam, ahli sihir, dan ahli ramu-ramuan beracun yang memabokkan! Ketika Ki Jatoko mengajukan permohonannya kepada kakek itu untuk menolongnya "menundukkan" Ayu Candra, kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Ha-ha-ha-ha! Anak-mas Jatoko, tentu saja aku akan menolongmu. Kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik, harus bantu-membantu dan tolong-menolong. Memang sudah semestinya orang-orang macam kita ini menggunakan kekuatan ilmu untuk menundukkan gadis-gadis cantik jelita yang muda belia. Untuk mendapatkan Endang Patibroto, aku harus menggunakan jampi-jampi. Ha-ha-ha! Kalau tidak, mana mungkin orang seperti Ayu Candra suka melayani seorang seperti kau dan si cantik jelita Endang Patibroto mau melayani seorang kakek macam aku? Ha-ha-ha!"
Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali nasib Ayu Candra dan Endang Patibroto terjatuh ke tangan dua orang yang berwatak rendah dan keji ini. Sebelum Endang Patibroto dan Ayu Candra sadar daripada pengaruh aji penyirepan dan jampi, mereka berdua dicekoki (diberi minum dengan paksa) jamu yang terdiri dari ramuan akar-akar dan daun-daun yang mempunyai khasiat penghapus ingatan! Karena Bhagawan Kundilomuko maklum akan kesaktian Endang Patibroto, maka ia bersabar diri dan setiap hari menyuruh anak muridnya memberi minum jamu yang beracun itu sehingga keadaan Endang Patibroto dan juga Ayu Candra seperti patung hidup.
Mereka berdua sudah sadar dari tidur, akan tetapi ingatan mereka tertutup awan tebal. Endang Patibroto duduk seperti arca matanya melamun memandang jauh sekali. Ia selalu menurut saja setiap kali seorang pelayan menyuruhnya minum, makan atau tidur. Kalau mulutnya mengeluarkan bunyi, yang keluar hanya, "Kubunuh engkau, buntung...! Kubunuh engkau..."
Keadaan Ayu Candra juga sama dengan keadaan Endang Patibroto. Hanya bedanya, bisikan-bisikan yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Kakang Joko Wandiro.... kakang Joko Wandiro...!" Hal ini adalah karena sebelum jatuh pulas, ingatannya yang terakhir tertuju kepada Joko Wandiro.
Adapun Endang Patibroto sebelum roboh oleh pengaruh penyirepan, teringat kepada Ki Jatoko, maklum bahwa ia dijebak dan karenanya ia ingin membunuh orang buntung itu. Ki Jatoko kecewa melihat keadaan Ayu Candra yang seperti patung hidup itu. Ia bukan menghendaki gadis itu tak berdaya, karena kalau hanya demikian yang ia kehendaki, tanpa bantuan Bhagawan Kundilomuko sekalipun ia sanggup menggunakan kepandaiannya menggagahi Ayu Candra. Dengan kepandaiannya ia sanggup membuat gadis itu tidak berdaya. Maka ia menyampaikan kekecewaannya kepada Bhagawan Kundilomuko.
"Ha-ha-ha-ha, anakmas Jatoko, mengapa begitu tak sabar dan tergesa-gesa? Tentu saja tidak hanya sampai di sini. anak-mas. Aku sendiripun tentu saja tak suka dilayani Endang Patibroto yang seperti mayat hidup. Heh-heh-heh, apakah anak tidak melihat bagaimana murid-muridku yang denok ayu itu melayani aku dengan penyerahan diri sebulatnya dan disertai kasih sayang mesra?"
"Saya percaya, paman, dan itulah yang saya harapkan dari Ayu Candra."
"Tentu, tentu! Akupun menghendaki demikian dari Endang Patibroto. Akan tetapi tidak sekarang. Aku membuat mereka kehilangan ingatan agar mereka itu menjadi penurut dan tidak membantah semua apa yang kita perintahkan. Nanti, bersabarlah. Sepekan lagi bulan purnama akan muncul, di sini akan diadakan perayaan pesta pemujaan Sang Hyang Bathari, Pada malam itulah, dengan berkah dan cahaya Sang Hyang Bathari, kita akan memberi minum anggur darah kepada mempelai kita masing-masing, heh-heh-heh!"
Sepasang mata Ki Jatoko bersinar-sinar penuh nafsu. "Apakah anggur darah itu, paman? Dan mengapa ada mempelai? Siapa yang akan kawin?"
"Ha-ha-ha, heh-heh, siapa lagi kalau bukan kita? Pengantin kembar, ha-ha-ha! Engkau dengan Ayu Candra, aku dengan Endang Patibroto si cantik manis, si denok montok, si ayu kuning, ha-ha-ha"
"Cocok dengan dugaanku dahulu, paman. Bukankah Endang Patibroto benar-benar cantik seperti dewi kahyangan? Apakah sekarang paman masih berniat membunuhnya?"
"Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh! Memang kau benar, anak-mas. Tentang anggur darah itu, ha-ha-ha, kaulihat sendiri nanti. Kau akan payah menghadapi tantangan dan kemesraan Ayu Candra, ha-ha-heh heh-heh!"
Keduanya makan minum dengan gembira, dilayani anak-anak murid Sang Bhagawan yang cantik-cantik dan genit-genit. Ki Jatoko merasa tak sabar lagi menanti datangnya malam bulan purnama. Bhagawan Kundilomuko maklum akan hal ini, maka sebagai pengobat rindu, ia memerintahkan seorang di antara anak muridnya yang cantik untuk menjadi kawan Ki Jatoko dan melayani si buntung itu!
Memang, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang inipun, manusia merupakan mahluk yang paling lemah menghadapi keliaran nafsu-nafsu mereka sendiri. Setelah menjadi hamba nafsu, lenyaplah keagungan seorang manusia dan ia tidak akan segan-segan untuk melakukan segala macam perbuatan rendah. Gila akan kedudukan, akan harta benda, kemuliaan, nama besar, pemuasan panca indra, pemuasan nafsu berahi, semua itu timbul sebagai akibat daripada kelemahan menghadapi nafsu pribadi. Sekali menjadi hamba nafsu, manusia tidak segan-segan melakukan segala macam daya upaya tanpa memperhitungkan lagi baik jahatnya, demi pemuasan nafsunya sendiri yang dipertuan. Dan inilah jalan menuju ke segala macam kesengsaraan.
Tuhan pencipta sekalian alam semesta, telah memberi petunjuk dan peringatan melalui kekuasaan alam-Nya kepada manusia. Namun, sekali manusia diperhamba nafsu, ia seakan-akan buta dan tuli. Seorang pendeta ahli tapa seperti Bhagawan Kundilomuko, setelah menjadi hamba nafsu, menjadi seperti buta pula. Rambutnya sudah putih semua, hal sepele (sederhana) ini saja sudah merupakan nasehat dan peringatan, bahwa usia tua mendatangkan rambut putih berarti si manusia supaya memikirkan hal yang bersih-bersih saja seperti warna rambut yang menyelimuti kepalanya!
Namun sayang, setua itu masih saja ia picik dan lemah. Nafsu, terutama nafsu berahi, memang seperti anggur yang keras memabukkan. Sekali orang mencucupnya, ia akan menghendaki lebih dan lebih dan lebih, tak kunjung puas. Karena itu, semenjak dahulu kala sampai sekarang inipun, bahagialah dia yang selalu eling (ingat) dan waspada. Ingat kepada Hyang Maha Wisesa dan waspada terhadap dirinya sendiri!
Waspada dalam arti kata awas dan hati-hati meneliti budi pekerti dan tindak-tanduknya sendiri. Kokoh dan teguh dalam menghadapi godaan nafsu pribadi sehingga akhirnya bukan dia yang diperhamba nafsu, melainkan nafsu yang diperhambanya. Nafsu hanya sekedar alat hidup yang dipergunakan seperlunya, pada waktu, tempat, dan keadaan yang tepat sebagai pelengkap hidup.
Malam bulan purnama yang dinanti nanti itu akhirnya tiba juga. Semenjak sore hari, pertapaan Durgaloka telah dihias megah. Daun-daun, kembang-kembang dan janur (pupus daun kelapa) yang dianyam dan dibentuk beraneka macam menghias pertapaan, terutama sekali bangsal besar tempat yang khusus dibuat sebagai tempat pemujaan Bathari Durgo, yaitu di bawah pohon waringin, dekat sumber mata air Sungai Bondoyudo.
Tempat pemujaan itu terbuka dan agak tinggi semacam panggung, lebih dari dua puluh lima meter lebarnya. Tempat ini dihias dengan bunga-bunga. Semua anak murid Bhagawan Kundilomuko sudah siap berkumpul. Lima belas murid pria menabuh gamelan, yang lima belas orang lagi membawa obor dan berdiri mengelilingi tempat pemujaan itu. Murid perempuan berjumlah semua seratus dua puluh orang!
Kini sebagian menjaga sekitar pertapaan secara bergilir, sebagian pula sibuk di dapur, sebagian sibuk mempersiapkan kebutuhan upacara pemujaan, dan sebagian pula yang bertugas sebagai penyanyi dan penari sibuk bersolek. Semua orang bergembira ria. Tentu saja dua orang tidak tampak gembira. Mereka ini adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto. Dua orang gadis tawanan ini duduk di atas bangku dalam biliknya, duduk melamun seperti patung, dijaga masing-masing oleh lima orang wanita.
Di tengah-tengah pemujaan itu terdapat sebuah patung Bathari Durgo yang amat indah dan seolah-olah hidup. Patung itu sebesar manusia, mengenakan pakaian sutera serba indah dan mahal, bahkan tubuhnya memakai perhiasan-perhiasan emas permata yang gilang-gemilang. Ketika bulan purnama mulai muncul, gamelan ditabuh keras dan meriah. Suara gamelan ini aneh dan tidak sama dengan gamelan biasa, juga lagu dan iramanya liar merangsang. Gadis-gadis yang duduk bersimpuh di pinggir tempat upacara berlutut menyembah ketika Sang Bhagawan Kundilomuko muncul bersama Ki Jatoko. Mereka inipun sudah berpakaian serba indah sehingga Ki Jatoko yang buntung dan berwajah buruK itu kini kelihatan tidak begitu buruk dan agak gagah.
Dengan lagak yang berwibawa, Bhagawan Kundilomuko mengangkat tangan kanan ke atas sebagai balasan salam kepada murid-muridnya, kemudian ia duduk di atas kursi yang sudah dihias, di sebelah kanan patung Bathari Durgo. Ki Jatoko juga dipersilahkan duduk di atas sebuah kursi yang lebih kecil, agak jauh menghadap pendeta itu dan patung dewinya. Dilihat dari jauh, seolah-olah Bhagawan Kundilomuko duduk berdua dengan isterinya, seorang dewi yang berwajah cantik namun menyeramkan. Di bawah permainan api obor yang bergerak-gerak, sepasang mata patung itu seperti melirik-lirik, bibirnya seperti tersenyum-senyum! Di sebelah kanan Sang Bhagawan Kundilomuko terdapat sebuah kursi kosong, demikian pula di sebelah kanan Ki Jatoko terdapat sebuah kursi kosong.
Tak lama kemudian, gamelan ditabuh lebih lambat dan perlahan, kemudian dari dalam pondok keluarlah menuju ke tempat itu dua orang gadis yang cantik jelita dan berpakaian sutera putih indah sekali. Mereka itu bukan lain adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto! Mereka masing-masing dituntun oleh dua orang anak murid sang bhagawan dan kini menaiki anak tangga ke tempat pemujaan.
Pakaian sutera putih yang membungkus tubuh mereka itu amat tipis dan halus sehingga di bawah sinar bulan purnama dibantu sinar-sinar api obor, tampaklah tubuh mereka membayang, elok menggairahkan. Mereka itu berjalan seperti mayat hidup, menurut saja ketika pelayan-pelayan itu menggandeng mereka dan menyuruh mereka bersama berlutut dan menyembah patung Bathari Durgo. Setelah itu, pelayan-pelayan atau anak murid sang bhagawan mengundurkan diri.
Ki Jatoko yang sudah diberi tahu jalannya upacara, sebagai "mempelai pria" bangkit dari kursinya, menghampari Ayu Candra yang masih berlutut di depan patung itu, menariknya bangun dan menggandengnya dengan senyum dan pandang mata mesra, membawanya ke tempat duduknya dan menyuruhnya duduk di atas kursi sebelah kanannya. Juga Bhagawan Kundilomuko sudah menggandeng tangan Endang Patibroto dan mendudukkan gadis jelita itu sampingnya.
Gamelan kini berbunyi gencar dan ramai serta meriah sekali? Beberapa orang gadis yang cantik dan lincah dating berlari-lari membawa buah-buah dan minuman untuk "dua pasang mempelai". Karena ingatan mereka kosong akibat cekokan jampi setiap hari selama dua pekan lebih, Ayu Candra dan Endang Patibroto tidak dapat mengingat maupun berpikir apa-apa. Ketika ditawari buah oleh mempelai laki-laki, mereka mengambil dan makan buah itu secara otomatis.
Mulailah kini dihidangkan tari-tarian oleh belasan orang gadis yang berpakaian indah beraneka warna. Sebelum menari, mereka ini berjongkok menyembah patung Bathary Durgo, lalu menyebarkan kembang yang sejak tadi dibawa dengan selendang mereka. Tubuh patung itu penuh bunga, demikian pula di sekitarnya, di atas lantai penuh bunga. Patung itu seakan-akan memperlebar senyumnya. Kemudian gadis-gadis itu menari indah, seperti kupu-kupu beterbangan.
Pakaian mereka dari sutera tipis, berkibar-kibar ketika mereka bergerak setengah berlari Setelah tari permulaan sebagai pemuja Sang Bathari ini selesai dan para penari turun kembali dari tempat itu, mendadak semua obor yang dipegang oleh lima belas orang anak murid pria dipadamkan. Kini tempat Itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama. Langit terang-benderang. Keadaan amat romantis dan indah. Bunyi gamelan juga berbeda daripada tadi, kini amat luar biasa iramanya.
Kemudian terdengar nyanyian koor belasan orang gadis, makin lama rnakin nyaring mengiringi munculnya serombongan penari baru yang keluar dari dalam pondok dekat tempat pemujaan. Begitu tiba di tempat pemujaan, gadis-gadis penari yang jumlahnya tiga puluh orang ini, murid-murid yang tercantik dari Bhagawan Kundilomuko, dipimpin oleh lima orang muridnya tersayang, sudah berjalan jongkok lalu berlutut di depan patung Bathari Durgo. Mulailah mereka mengikuti para penyanyi, menyanyikan lagu puja-puji kepada Sang Bathari.
Upacara pemujaan dimulailah. Bhagawan Kundilomuko bangkit dari kursinya, lalu menghampiri seorang anak murid yang membawa bokor emas berisi air kembang. Diambilnya setangkai bunga, dicelup ke dalam air suci ini dan dipercik-percikkan ke arah patung. Kemudian ia menuangkan secawan anggur, membawa cawan itu ke dekat mulut patung sampai menempel bibirnya, kemudian ia menaruh cawan di depan patung. Demikian pula dengan beberapa macam buah. Inilah upacara "menghidangkan makan minum" bagi Bathari Durgo yang hanya boleh dilakukan oleh sang bhagawan yang oleh para murid didesas-desuskan sebagai kekasih Sang Bathari Durgo!
Upacara ini amat lama. Setelah Bhagawan Kundilomuko kembali duduk ke kursinya, seorang anak murid perempuan datang membawa sebuah bokor besar sekali. Melihat betapa gadis itu kuat membawa bokor besar yang terisi penuh, dapat dibayangkan bahwa ia tentulah anak murid sang bhagawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga besar. Bokor itu ditaruh di depan kaki sang bhagawan, kemudian setelah menyembah, murid itu mengundurkan diri. Sang bhagawan menoleh ke arah Ki Jatoko dan tersenyum sambil berbisik. "Inilah anggur darah," katanya, menuding ke arah bokor besar tertutup yang terletak di depan kakinya.
Sementara itu, upacara dilakukan terus sampai lama oleh para penari yang tiga puluh orang jumlahnya itu. Mereka bernyanyi-nyanyi puja-puji dan wajah mereka tampak berseri-seri. Sementara itu, bulan naik makin tinggi dan sinarnyapun makin terang. Tiba-tiba Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan memberi isyarat dengan tangan. Para penari itu berhenti menyanyi, kemudian mulai bangkit dan mengatur tempat masing-masing untuk mulai menari. Gamelanpun merobah iramanya, kini bernada gembira dan lebih merangsang daripada tadi. Tarianpun dimulailah. Indah sekali tarian ini, tidak seperti tadi, jauh lebih indah. Lima orang anak murid tersayang itu menjadi penari inti, menari di tengah-tengah, dikelilingi dua puluh lima orang kawannya. Mereka berputar-putar, melenggang-lenggok, berlari-larian, menggoyang-goyang pundak, perut, dan kibul, menggeleng-geleng kepala, makin lama gamelan dibunyikan makin meriah, suara penyanyi makin keras dan gerakan para penari makin penuh gairah.
Melihat gerak tubuh para penari yanh penuh gairah dan merangsang nafsu itu Ki Jatoko sudah tak enak duduknya. Ia melirik ke arah Ayu Candra dan kecewalah hatinya. Ayu Candra tetap saja duduk seperti patung. Lebih mati daripada patung Bathari Durgo itu. Agaknya Bhagawan Kundilomuko melihat keadaan Ki Jatoko yang kecewa ini. Ia bangkit berdiri sambil tertawa, memberi isyarat dengan kedua tangan diacungkan ke atas. Seketika para penairi itu berhenti menari dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, terengah-engah dan napas mereka mendengus-dengus, muka mereka penuh keringat. Gamelan masih berbunyi, perlahan dan lambat iramanya. Sambil menoleh ke arah patung Bathari Durgo, Bhagawan Kundilomuko berkata, suaranya nyaring,
"Kini tiba saatnya memuja Sang Hyang Bathari dengan pengorbanan darah dan daging!"
Terdengarlah sorak-sorai dan tertawa cekikikan di antara anak-anak murid bhagawan Kundilomuko. Kakek pendeta itu sendiri lalu membuka bokor besar, mengambil cawan emas dan menciduk ke dalam bokor. Tercium bau yang harum bercampur amis, dan cawan emas itu penuh dengan benda cair yang merah seperti darah. Cawan yang penuh anggur darah itu oleh sang pendeta dibawa ke depan patung Bathari Durgo seperti tadi, iapun menempelkan cawan ke bibir patung itu sampai lama, kemudian mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan akhirnya menaruh cawan emas itu di depan kaki patung. Setelah itu, tertawalah Bhagawan Kundilomuko. Ia menengadah memandang bulan purnama, tertawa-tawa menyeramkan. Kedua anting-anting di telinganya bergerak-gerak.
"Marilah, anak-anak manis, majulah ke sini. Dengan berkah Sang Hyang Bathari, mari kalian minum anggur darah, cicipilah kesenangan yang menjadi hakmu sepuas hati. Ha-haha-ha!"
Tiga puluh orang penari tadi dengan pandang mata penuh gairah lalu menghampiri sang bhagawan, seorang demi seorang diberi minum anggur merah itu dari sebuah cawan. Gerak mereka ketika menghampiri, ketika minum anggur, ketika mengembalikan cawan kosong, semua adalah gerak tari indah yang diiringi gamelan.
Tak lama kemudian semua murid yang tiga puluh orang jumlahnya itu sudah minum dan kini gamelan dibunyikan keras-keras dan liar sekali. Aneh bukan main, para penari itupun menari dengan gerakan liar, penuh dengus-dengus nafsu. Tiga puluh orang gadis cantik itu seperti mabuk, seperti bukan kehendak sendiri dan agaknya roh-roh jahat telah menyusupi diri mereka.
Wajah mereka yang diangkat menengadah membayangkan nafsu, hidung kembang-kempis mendengus-dengus, mulut menyeringai dalam berahi yang memuncak, gerak tari mereka makin menggila. Tak lama kemudian, beterbanganlah sutera-sutera halus yang tadinya membungkus tubuh mereka. Dengan gerak tari merangsang, mereka menanggalkan sutera-sutera halus itu sambil terus menari.
Ki Jatoko memandang dengan mata melotot, seakan-akan kedua biji matanya hampir terloncat keluar dari pelupuknya. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan pertunjukan yang begini hebat merangsang. Bhagawan Kundilomuko hanya tersenyum-senyum dan tertawa-tawa, mengelus-elus jenggotnya dan melirik ke arah Endang Patibroto yang seperti keadaan Ayu Candra, duduk tak bergerak seperti arca mati.
Kemudian bhagawan ini bangkit berdiri, menyembah ke arah patung Bathari Durgo, kemudian iapun menanggalkan pakaian yang membungkus patung itu satu demi satu sehingga tak lama kemudian patung itupun telanjang bulat seperti para penari itu! Terkena bayangan para penari yang bergerak-gerak di bawah sinar bulan purnama, patung dewi yang telanjang itu kini agaknya juga ikut bergerak-gerak, ikut berlenggang-lenggok genit. Ki Jatoko menjadi makin tak sabar. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Ayu Candra bersikap seperti para penari itu, penuh gairah, penuh semangat, penuh nafsu berahi! Ia menoleh ke arah Bhagawan Kundilomuko dan berkata, suaranya menggigil,
"Paman, mengapa mempelai kita tidak diberi minum anggur darah?"
"Ha-ha-ha, engkau sudah tak sabar sekali, anak-mas Jatoko! Mempelai kita ini harus dipisahkan dari mereka. Tunggulah sebentar lagi!"
Kini para penari itu agaknya sudah tak dapat menahan gelora nafsu mereka. Mereka menari makin liar dan makin mendekati sang bhagawan, bahkan ada yang mendekati Ki Jatoko. Dengan gerakan-gerakan memikat mereka seakan-akan menggoda dan menarik perhatian dua orang laki-laki yang duduk di atas kursi itu. Makin lama makin mendekati dan akhirnya di antara mereka ada yang mulai menyentuh dan mengusap. Agaknya sebentar lagi mereka itu akan nekat menubruk sang bhagawan dan Ki Jatoko. Si buntung itu sudah memandang bingung ke arah sang bhagawan.
Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan tertawa lebar lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya mendorong halus murid-muridnya yang merubung dan hendak mengeroyoknya dengan belaian-belaian mesra itu.
"Ha-ha-ha, anak-anak manis. Tidak ada waktu bagi aku untuk menyambut pelayanan kalian. Malam ini malam baik, berkat restu Sang Hyang Bathari, aku mengizinkan kalian melayani tiga puluh orang murid-murid pria sebagai wakilku!"
Ucapan ini disambut sorak-sorai dan suara gamelan terhenti ketika lima belas orang murid pria bersama lima belas lagi yang tadi memegang obor sudah berlompatan naik ke atas tempat pemujaan. Terjadilah adegan-adegan yang mendirikan bulu roma ketika tiga puluh orang penari cantik itu memilih pasangan masing-masing, tertawa-tawa, menari-nari dan menyanyi-nyanyi, bercumbu-rayu tanpa malu-malu lagi, berpeluk cium dan bersendau-gurau, kemudian pasangan demi pasangan turun dari tempat pemujaan, menyelinap di balik pohon-pohon. Hanya suara ketawa genit cekikikan terdengar dari tempat-tempat tersembunyi. Tempat pemujaan menjadi sunyi. Kini tinggal dua pasang mempelai itu. Bhagawan Kundilomuko lalu mengisi sebuah cawan dengan anggur darah memberikannya kepada Ki Jatoko sambil berkata,
"Anak-mas Jatoko, berilah minum mempelaimu dan kau akan mendapatkan seorang isteri yang panas dan mencinta, tiada keduanya di dunia ini, ha-ha-ha!"
Ki Jatoko menerima cawan itu sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga mengisi sebuah cawan kosong dengan anggur itu. Kedua orang itu kini mengangkat cawan, mendekatkan cawan ke mulut Endang Patibroto dan Ayu Candra yang sama sekali tidak melawan. Bibir cawan sudah menyentuh bibir dua orang gadis yang cantik jelita itu, dan inilah detik yang menentukan karena sekali dua orang gadis itu minum anggur kotor ini, tentu mereka akan mabuk dan lupa diri pula seperti tiga puluh orang penari itu!
"Takkk! Takkk!"
Dua sinar hitam itu bagaikan kilat menyambar telah mengenai cawan-cawan berisi anggur darah. Benturan ini hebat dan keras sekali sehingga baik Ki Jatoko maupun Bhagawan Kundilomuko tak dapat mempertahankan dan cawan itu terpental, terlepas dari tangan sehingga isinya menyiram muka mereka sendiri!
Sambil berseru keras mereka meloncat mundur dan pada saat itu terdengar teriakan menyayat hati dan di sekitar tempat itu telah terjadi pertandingan yang hebat antara murid-murid Durgaloka laki-laki dan wanita yang sebagian besar bertelanjang bulat melawan puluhan perajurit wanita perkasa yang dipimpin oleh lima orang gadis jelita. Mereka ini bukan lain adalah Dewi, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari yang memimpin kawan-kawannya menyerbu Durgaloka!
"Sabbe satta avera hontu, sadhu-sadhu-sadhu (Semoga semua mahluk hidup damai)" Tiba-tiba terdengar pujian ini dan muncullah seorang pendeta yang kepalanya gundul bersama seorang pemuda yang bukan lain adalah Joko Wandiro. Sedangkan pendeta Buddha itu bukan lain adalah Sang Wiku Jaladara!
Sang wiku ini adalah seorang pendeta Buddha yang dahulu pernah mengobati Jokowanengpati dilereng Gunung Lawu akan tetapi kemudian malah hendak dibunuh oleh Jokowanengpati karena sang wiku telah melihat bahwa dia yang mencuri patung kencana pusaka Mataram. Bagaimanakah Joko Wandiro bersama anak buahnya yang dipimpin oleh Dewi dapat datang pada saat yang begitu kebetulan dan tepat? Hal ini adalah jasa para anak buahnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Joko Wandiro ditolong oleh Dewi dan adik-adiknya ketika ia terluka oleh jarum beracun Ki Jatoko, kemudian bahkan diangkat menjadi kepala dan junjungan oleh sekalian wanita cantiK itu. Di Gunung Anjasmoro ini pula dia akhirnya berhasil menewaskan musuh besar gurunya, Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna. biarpun dia sendiri menderita luka-luka dan kembali ia dirawat penuh kasih sayang oleh Dewi dan adik-adiknya.
Kemudian datanglah berita dari anak buah Dewi tentang perang antara Jenggala dan Nusabarung. Betapapun juga, Joko Wandiro tak dapat melupakan Endang Patibroto, dan Juga Puteri Mayagaluh. Apalagi ketika ia mendengar penuturan Dewi bahwa Adipati Nusabarung adalah seorang yang sakti dan kejam, ia lalu mengajak anak buahnya, sebanyak tiga puluh orang itu, untuk menyelidiki ke Jenggala dan untuk mencegah hal-hal yang kurang baik, ia mengajari anak buahnya, kecuali Dewi berlima, untuk menyamar sebagai pria.
Setibanya di Jenggala, dengan kaget Joko Wandiro mendengar bahwa pasukan yang dipimpin oleh Endang Patibroto menyerbu ke Nusabarung mengalami kehancuran sedang Endang Patibroto sendiri tidak ada kabar ceritanya! Ia menjadi khawatir sekali, apalagi ketika Dewi mengemukakan pendapatnya bahwa menurut penuturan para perajurit Jenggala yang tidak tewas, jelas di fihak Nusabarung dibantu oleh orang-orang pandai yang menggunakan wanita-wanita cantik untuk memancing sehingga mengakibatkan hancurnya pasukan itu.
"Aku pernah mendengar penuturan eyang Dibyo Mamangkoro bahwa di kaki Gunung Bromo, di sumbar mata air Sungai Bondoyudo, terdapat sebuah pengikut-pengikut seorang pendeta tua yang memuja Bathari Durgo. Tempat itu disebut pertapaan Durgaloka. Kata eyang Dibyo Mamangkoro, pendeta itu sakti dan pandai ilmu hitam, kalau tidak salah, namanya Bhagawan Kundilomuko. Siapa tahu, dia ini yang menggerakkan anak buahnya membantu Nusabarung sehingga Endang Patibroto yang kaukhawatirkan itu terpedaya olehnya."
Tanpa ragu-ragu lagi Joko Wandiro lalu memimpin anak buahnya untuk melakukan pengejaran ke tempat itu. Sehari sebelum tiba di Durgaloka, ia bertemu dengan Wiku Jaladara! Sang wiku yang bermata tajam dapat mengenal Joko Wandiro dan pengikutnya sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian. Akan tetapi hatinya juga khawatir melihat sekian banyaknya gadis-gadis cantik yang sebagian besar tidak terlalu tinggi ilmunya itu melakukan perjalanan yang menuju ke Durgaloka. Maka ia menyalami dan berkata sungguh-sungguh,
"Andika sekalian kalau melakukan perjalanan, hendaknya berhati-hati dan kalau andika suka mendengarkan nasehat orang tua, sebaiknya andika mengambil jalan lain dan jangan melanjutkan perjalanan ini."
Joko Wandiro juga dapat menduga bahwa kakek yang sudah tua akan tetapi berwajah sehat dan bermata lembut ini tentulah seorang berilmu tinggi, maka cepat ia memberi hormat dan berkata,
"Banyak terima kasih atas petunjuk dan nasehat paman. Akan tetapi maafkan kami orang-orang muda yang kurang terima dan ingin tahu lebih jelas lagi, yaitu apa sebabnya paman menganjurkan agar kami mengambil jalan lain. Adakah bahaya menghadang di depan?"
Wiku Jaladara menarik napas panjang lalu menjawab, "Di depan sana terdapat bahaya mengancam," ia menuding ke depan. "Di sana terdapat orang-orang yang sedang diliputi kegelapan yang mengeruhkan budi pekerti mereka sehingga menyelewengkan mereka daripada kebenaran. Menjauhi kekotoran dan mencegah kekerasan, pergi dengan tenang dan damai adalah pekerti orang-orang bijaksana. Orang muda, harap kauajak rombonganmu ini mengambil jalan lain."
Joko Wandiro bertukar pandang dengan Dewi. Gadis ini tersenyum lalu melangkah maju dan berkata lantang, "Eyang, bukankah yang kaumaksudkan itu adalah pertapaan Durgaloka di mana Bhagawan Kundilomuko tinggal bersama murid-muridnya?"
Sejenak pendeta tua itu tertegun, memandang tajam kepada Dewi dan adik-adiknya, lalu mengelus jenggotnya dan menghela napas pula.
"Sadhu-sadhu-sadhu. semoga damai dan bahagialah diantara semua manusia di permukaan bumi! Ah, nini, terutama sekali engkau dan teman-temanmu ini, seyogyanya jangan melanjutkan perjalanan melalui pertapaan Durgaloka. Sungguh baik kalau kalian sudah tahu, dan orang yang secara sadar menjauhkan diri daripada bencana, adalah seorang bijaksana."
Joko Wandiro cepat bertanya, "Paman, kalau tidak keliru penglihatan saya, paman adalah seorang wiku. Sebagai seorang wiku yang sudah lanjut usia, paman menasehatkan kami orang-orang muda supaya menjauhi bahaya. Akan tetapi mengapa paman sendiri yang sudah tua malah hendak menempuh bahaya itu? Apakah kalau terhadap paman, orang-orang Durgaloka tidak akan mengganggu?"
Kakek itu kembali mengelus-elus jenggotnya dan memandang tajam kepada Joko Wandiro, kemudian berkata, "Orang muda, aku yang tua dan bodoh memang sengaja hendak menemui Bhagawan Kundilomuko. Mendengar akan penyelewengannya, sudah menjadi kewajibanku untuk berusaha mengingatkannya agar jangan makin berlarut-larut dan banyak menimbulkan banyak korban."
"Maaf, paman wiku. Kalau begitu, tugas kita ada persamaannya, yaitu membersihkan dunia daripada yang kotor dan jahat. Hanya bedanya, kalau paman mengusahakan dengan jalan halus dan menyadarkan mereka dengan petuah, kami akan melenyapkan segala kekotoran itu dengan membasmi mereka kalau perlu!"
"Ahhh... manusia dapat berusaha, hanya Hyang Maha Agung yang menentukan. HambaMu sudah berusaha dan segalanya terserah.... terserah...!" Pendeta itu tidak bicara lagi, hanya berjalan dengan kedua tangan dirangkap dan ditaruh di depan dada, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan doa.
Demikianlah maka Joko Wandiro bersama anak buahnya datang ke Durgaloka bersama dengan Wiku Jaladara ini. Dan atas desakan dan anjuran sang wiku pula maka perjalanan itu diteruskan biarpun malam sudah tiba. Sang Wiku Jaladara yang sudah awas paningal (berpemandangan waspada) ini tahu bahwa pada malam bulan purnama itu tentulah terjadi hal-hal mengerikan dan hebat di Durgaloka. Dan untunglah bahwa Sang Wiku Jaladara mendesak Joko Wandiro melanjutkan perjalanan di malam itu, karena terlambat sebentar saja, keadaan Ayu Candra dan Endang Patibroto tak mungkin dapat tertolong lagi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Joko Wandiro ketika dalam penyusupannya ke Durgaloka itu ia melihat Ayu Candra dan Endang Patibroto yang duduk seperti arca hidup itu sedang dirangkul oleh Ki Jatoko dan Bhagawan Kundilomuko untuk diberi minum dari sebuah cawan. Karena dapat menduga bahwa isi cawan itu tentulah benda yang amat berbahaya, maka ia cepat bertindak. Kemarahan yang membakar hatinya jauh melampauhi kekagetannya, maka begitu kedua tangannya bergerak, dua buah batu kerikil terbang dan berhasil memukul jatuh cawan berisi anggur darah yang mengerikan itu.
Sementara itu, Dewi dan adik-adiknya serta anak buahnya sudah pula menyerbu dan mereka ini mendapat sambutan dari para anak murid Bhagawan Kundilomuko sehingga terjadilah perang tanding yang amat seru di sekitar tempat pemujaan dan taman belukar sekeliling sumber mata air Sungai Bondoyudo. Pertandingan mati-matian yang hanya diterangi sinar bulan purnama.
Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko sudah menerjang dengan berbareng, menyerang Joko Wandiro. Ki Jatoko maklum bahwa pemuda ini sakti luar biasa, akan tetapi karena di situ terdapat Bhagawan Kundilomuko, maka ia tidak takut. Dengan keris di tangan ia menerjang Joko Wandiro, sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga sudah menubruk maju sambil menggerakkan sebatang tongkat yang bentuknya seperti seekor ular. Melihat gerakan mereka berdua itu, Joko Wandiro yang sudah siap lalu memapaki mereka dengan gerak tangan yang melancarkan pukulan Bojro Dahono.
"Werrrrr.. desssss.......!!" Ki Jatoko terjungkir-balik oleh hawa pukulan yang dahsyat itu, bahkan Bhagawan Kundilomuko juga terkejut karena tubuhnya terhuyung ke belakang sampai dua langkah. Maklumlah sang bhagawan bahwa pemuda ganteng yang datang ini memiliki kesaktian yang hebat, maka ia cepat berteriak minta bantuan murid-muridnya, Memang jumlah anak murid Bhagawan Kundilomuko jauh lebih banyak, ada kurang lebih seratus onang sedangkan Joko Wandiro hanya diikuti oleh Dewi dan adik-adiknya dan anak buahnya yang jumlahnya hanya tiga puluh orang. Maka kini belasan orang anak murid Bhagawan Kundilomuko sudah menerjang naik ke atas tempat pemujaan untuk mengurung dan mengeroyok Joko Wandiro.
Yang naik adalah murid-murid wanita sehingga dalam sekejap mata saja Joko Wandiro menjadi merah padam mukanya karena harus menghadapi pengeroyokan hampir dua puluh orang gadis yang sebagian besar bertelanjang bulat tidak berpakaian sama sekali! Ia menjadi muak dan marah, akan tetapi juga bingung karena wataknya yang baik membuat ia tidak tega menjatuhkan tangan maut kepada wanita-wanita muda itu.
Sang Wiku Jaladara juga sudah naik ke tempat pemujaan. Ia menghela napas panjang menyaksikan pertempuran yang tak mungkin dapat dicegah lagi itu, kemudian ia lari menghampiri Endang Patibroto dan Ayu Candra. Dipegangnya kedua tangan gadis ini dan ditariknya mereka itu ke pinggir. Kemudian ia cepat-cepat mengambil secepuk obat dari dalam sakunya dan ditekankan cepuk yang sudah dibukanya itu di bawah hidung Ayu Candra, kemudian di bawah hidung Endang Patibroto. Dua orang gadis yang menurut saja seperti arca hidup itu kini terbangkis-bangkis sampai beberapa kali. Mereka berbangkis terus ketika Wiku Jaladara menaruh kedua tangan di atas kepala mereka sambil membaca mantera dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengusir hawa beracun dan awan hitam yang menyelimuti kesadaran dan ingatan kedua orang gadis itu.
Kakek ini begitu tekun dalam usahanya menyadarkan mereka berdua sehingga ia sama sekali tidak memperdulikan pertempuran yang makin menghebat di sekelilingnya. Sang Wiku Jaladara sama sekali tidak tahu betapa Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko menghampirinya dengan mata mendelik saking marahnya. Dua orang ini dapat menduga apa yang sedang dikerjakan oleh pendeta Buddha itu, maka tanpa diberi komando lagi keduanya meloncat maju dengan keris dan tongkat di tangan.
"Cepp! Trakkkk!!" Keris di tangan Ki Jatoko menancap lambung, sedangkan tongkat ular di tangan Bhagawan Kundilomuko menghantam pelipis kepala sampai pecah!
Tanpa mengeluh tubuh Wiku Jaladara menjadi lemas dan terguling. Dari mulutnya terdengar ucapan lemah, "Semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada kalian..!"
Ayu Candra ikut pula terguling dan roboh pingsan. Akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Tentu saja Endang Patibroto memiliki daya tahan dan kekuatan sakti yang jauh lebih unggul daripada Ayu Candra, maka usaha sang wiku tadi sudah berhasil. Begitu ia terlepas daripada penyelimutan hawa hitam dari ilmu sihir dan racun, ia meloncat dan membuka mata lebar-lebar. Seketika ingatlah ia akan semua pengalamannya, maka sambil mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo, tubuhnya menerjang ke depan. Kaki kanannya menendang dada Ki Jatoko membuat si buntung ini terguling-guling jauh sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Bhagawan Kundilomuko. Bhagawan itu kaget sekali, cepat membanting tubuh ke belakang, lalu melarikan diri secepatnya. Juga Ki Jatoko sudah melarikan diri.
Sejenak Endang Patibroto tertegun, lalu ia menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningan dan kehampaan. Ketika ia memandang sekeliling, ia menjadi terheran-heran melihat sekian banyaknya orang bertanding, sebagian besar wanita. Ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan, dan makin heranlah ia ketika melihat Joko Wandiro dikeroyok oleh dua puluh lebih gadis-gadis cantik yang telanjang. Mereka itu mengeroyok sambil cekikikan dan merayu-rayu!
Muak rasa perutnya, dan ia segera meloncat dari situ. Satu-satunya yang ia ketahui benar adalah bahwa Ki Jatoko harus ia bunuh, karena Ki Jatoko inilah yang menyebabkannya. Dan juga kakek tua bangka yang datang bersama Ki Jatoko itu agaknya Bhagawan Kundilomuko, maka kakek itupun harus ia bunuh. Ia dapat menduga! bahwa ia tentu terpedaya oleh kakek itu dengan ilmu mujijat. Cepat-cepat ia lari mencari pondok di mana ia dikeram untuk mengambil kembali pusakanya yang ia sembunyikan.
Dengan hati lega dan gembira Endang Patibroto mendapatkan kembali keris pusakanya, Brojol Luwuk. Ia merasa bersyukur bahwa sebelum ia pingsan, ia masin ingat untuk menyembunyikan pusakanya. Kalau tidak, tentu pusaka itu terjatuh ke tangan musuh dan hal ini amat berbahaya. Kini dengan Brojol Luwuk di tangannya, pulih kembali semua kekuatan dan kegagahannya, maka ia lalu berlari keluar. Begitu ia meloncat keluar, tiga orang laki-laki anak murid Bhagawan Kundilomuko mencegat dan serta-merta menubruk hendak menangkapnya.
"Mampuslah kalian anjing-anjing keparat!" bentak Endang Patibroto, tangan kirinya menampar. Terdengar suara keras dan tiga orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah terkena pukulan halilintar tangan kiri Endang Patibroto! Gadis perkasa ini segera mulai mencari dua ocang yang amat dibencinya di saat itu. Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko!
Dengan sikap beringas penuh amarah bagaikan seekor singa betina, Endang Patibroto mencari Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko. Ia melihat betapa Joko Wandiro dikeroyok puluhan orang wanita telanjang dan anak murid Bhagawan Kundilomuko, melihat pula sepasukan wanita berperang tanding mati-matian melawan para anak murid sang bhagawan, namun ia tidak memperdulikan itu semua.
Setiap kali ada anak buah Durgaloka menghadap di depannya, tangan kirinya menampar dan robohlah si penghadang itu dengan kepala pecah atau dada remuk! Gadis ini sudah marah sekali sehingga setiap gerakannya mengandung hawa pukulan yang amat ganas dan keji. Semua rumah dimasukinya, diobrak-abrik dalam usahanya mencari Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko. Bahkan setiap kali keluar dari pondok kosong, gadis ini mendorong dan menendang roboh pondoK itu, kemudian memasuki pondok lain untuk mencari dua orang yang disangkanya bersembunyi di sebuah di antara pondok-pondoK itu.
Ketika ia memasuki pondok di mana selama ini ia ditahan dan di mana ia tadi mendapatkan kembali pusakanya, ia melihat pakaiannya bertumpuk di atas pembaringan. Teringatlah ia bahwa ia masih mengenakan pakaian sutera putih halus yang amat memalukan itu. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memakai pakaiannya sendiri. Kemudian ia melanjutkan usahnya mencari dua orang yang amat dibencinya itu.
Setelah semua pondoK ia robohkan dan belum juga ia menemukan dua orang yang dicarinya, Endang Patibroto menjadi marah sekali. Ia meloncat keluar dan menyambar seorang anak murid pertapaan yang terdekat. Anak murid itu wanita dan melihat bahwa ia tidak telanjang, tentu bukan seorang di antara tiga puluh orang penari tadi. Wanita itu berusaha melawan dan menusukkan kerisnya ke arah Endang Patibroto.
"Takk!"
Wanita itu menjerit dan memandang dengan muka pucat. Bukan perut gadis itu yang pecah, melainkan keris di tangannya yang patah dan tinggal gagangnya saja! Sebelum hilang kagetnya, tangan kiri Endang Patibroto sudah mencengkeran pundaknya. Wanita itu menjerit-jerit. Rasa nyeri yang amat luar biasa menembus jantung meresap ke seluruh tulang sumsum seakan-akan ribuan ekor semut memasuki tubuhnya dan menggigitnya dari dalam.
"Aduh, mati aku aduhh ampun..... bunuh saja aku" Wanita itu bersambat, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. Namun Endang Patibroto tidak melepaskan cengkeraman pada pundaknya.
"Hayo katakan di mana tempat sembunyi gurumu dan Ki Jatoko!" Endang Patibroto membentak sambil memandang penuh kebencian.
"Aduhh.... ah, kau.... kau mencari pengantin pria....? Auggghh!!" Wanita itu tak sempat melanjutkan kata-katanya karena sebuah tamparan tangan kiri Endang yang amat keras membuat rahang bawah mukanya remuk. Ia berkelojotan sekarat, tak dapat bicara lagi.
Endang Patibroto kini melompat ke depan dan menyambar seorang anak murid pria, tidak perduli bahwa anak murid ini masih telanjang dan sedang sibuk mengeroyok Joko Wandiro di barisan terbelakang. Sekali banting, laki-laki itu roboh dan Endang Patibroto menggerakkan tangan kirinya, menangkap lengan kiri laki-laki itu dan memilinnya.
"Krekk" Lengan itu patah tulangnya dan laki-Iaki itu melolong kesakitan
"Hayo katakan, ke mana larinya gurumu dan Ki Jatoko?"
"Aku.... aku tidak tahu.... mungkin..... kemana lagi kalau tidak ke hutan Gumukmas dekat pantai ?"
"Gumukmas. Tempat apa itu dan di mana? Jawab cepat!"
Endang Patibroto sudah mencengkeram lengan kanan orang itu, membuat gerakan ancaman untuk mematahkan lagi lengan ini.
"Am..... ampun....Gumukmas tempat pertapaan juga dari sini terus ke selatan....mungkin dia belum jauh...."
Hanya sampai di situ, anak murid ini dapat bicara karena tiba-tiba jari tangan kiri Endang Patibroto sudah menyambar ke lehernya dan terdengar suara tulang patah. Laki-laki itu tewas di saat itu juga! Endang Patibroto melempar pandang ke sekelilingnya. Pertandingan masih berlangsung hebat. Joko Wandiro boleh jadi sakti mandraguna, akan tetapi ia melihat bahwa pemuda itu terlalu lemah hatinya.
Dikeroyok banyak wanita telanjang itu kelihatan gugup dan agaknya pemuda itu tidak cukup tega untuk menjatuhkan tangan maut, hanya merobohkan mereka tanpa melukai berat. Tentu saja hal ini membuat para pengeroyoknya makin ganas dan berani sehingga pertempuran menjadi makin lama. Sementara itu, para wanita yang merupakan pasukan yang datang bersama Joko Wandiro juga bertanding ramai sekali melawan anak murid Durgaloka.
Harus diakui bahwa anak murid Durgaloka rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan dan karena jumlah mereka jauh lebih besar, maka para penyerbu menghadapi perlawanan berat dan banyak di antara para penyerbu roboh pula. Endang Patibroto tersenyum mengejek ke arah Joko Wandiro, kemudian seperti seekor burung srikatan saja gesitnya, ia sudah melompat dari situ, lenyap di antara pohon-pohon kemudian lari bagaikan seekor kijang menuju ke arah selatan, melakukan pengejaran terhadap dua orang yang melarikan diri itu.
Pemberitahuan anak murid Durgaloka yang bernasib sial itu tadi memang tidak bohong. Ketika Dhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko tahu bahwa gadis sakti itu sudah sadar kembali dari pengaruh jampi dan guna-guna, mereka menjadi terkejut dan ketakutan, menggunakan kesempatan selagi gadis itu belum sadar benar, cepat mereka berdua melarikan diri.
Setelah di situ muncul seorang pemuda sakti seperti Joko Wandiro, ditambah lagi Endang Patibroto yang sudah sadar, tentu saja mereka berdua tidak berani membahayakan keselamatan diri untuk melawan pendekar-pendekar muda itu. Dan satu-satunya tempat yang dianggap paling aman oleh Bhagawan Kundilomuko adalah hutan Gumukmas, tempat pertapaannya yang kedua karena tempat ini berada di dekat pantai dan dekat pula dengan Pulau Nusabarung.
Semalam suntuk mereka lari dengan kecepatan mereka. Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, barulah kedua orang ini tiba di hutan Gumuk-mas. Biarpun Bhagawan Kundilomuko seorang tua yang sakti, namun oleh karena ia terlalu suka mengumbar nafsu keadaan tubuhnya kekurangan daya sakti sehingga dipakai lari semalam suntuk itu ia merasa lelah dan kehabisan tenaga. Terengah-engah ia lari menubruk dan memeluk kaki sebuah arca Sang Bathari Durgo yang menjadi dewi pujaannya, kemudian mengeluh,
"Duh Sang Bathari pujaan hamba! Hamba mohon perlindungan, Sang Dewi...."
Ki Jatoko yang sepagi itu sudah berpeluh seluruh muka dan lehernya, mengusap peluh sambil memandang dengan hati kecut. Kecewa ia melihat keadaan pendeta itu. Ternyata biarpun sakti mandraguna, pendeta ini seorang pengecut dan penakut. Pertapaan dan anak muridnya diserbu musuh, malah lari seperti seekor anjing digebuk! Diam-diam ia merasa kecewa telah bersekutu dengan seorang yang sama sekali tak dapat diandalkan itu.
"Paman, kenapa kita berhenti di sini? Bukankah lebih baik kita terus saja berlindung di Nusabarung?"
Bhagawan Kundilomuko menggeleng kepala, menarik napas panjang. Wajahnya muram dan ia berduka juga mengingat anak-anak muridnya yang terkasih itu yang tentu akan terbasmi oleh dua orang muda sakti bersama pasukannya.
"Tidak, anakmas, aku tidak akan pergi ke Nusabarung! Setelah kawan-kawan seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain tewas, siapa lagi boleh diandalkan? Tentu Jenggala akan mengerahkan pasukan besar menyerang Nusabarung dan kalau kita berada di sana, sama dengan mencari mampus. Tidak, anakmas, biarpun sudah tua, aku belum kepingin mati. Aku hendak pergi kepada keponakanku, Adipati Blambangan."
"Kenapa, paman bhagawan? Kalau kita membantunya dan mengerahkan pasukan mempertahankan Nusabarung, belum tentu kalah oleh barisan Jenggala."
"Tidak, kau pergilah ke Nusabarung kalau kaukehendaki, anakmas. Aku tetap akan pergi ke Blambangan."
Tiba-tiba wajah Ki Jatoko menjadi pucat, matanya terbelalak. Tanpa mereka ketahui datangnya, tahu-tahu ia melihat bayangan.... Endang Patibroto di balik sebatang pohon, di belakang Bhagawan Kundilomuko! Rasa takut yang hebat menggetarkan jantung Ki Jatoko. Namun tidak menghilangkan kecerdikannya yang luar biasa. Ia maklum dalam sedetik itu bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri haruslah mengambil sikap tepat dan cepat. Ia pura-pura tidak melihat bayangan Endang Patibroto dan meloncat ke depan Bhagawan Kundilomuko, menudingkan telunjuknya ke hidung pendeta itu sambil membentak.
"Huh, kau pendeta bajul buntung! Sudah kusangka bahwa engkau adalah seorang pendeta yang tak patut, siapa kira kenyataannya lebih buruk lagi. Engkau tidak setia, pengecut dan pengkhianat! Sungguh aku menyesal sekali telah mendengar bujukanmu. Dengan baik-baik aku mengajak Endang Patibroto untuk merundingkan perihal perang antara Jenggala dan Nusabarung, tahu-tahu engkau gunakan akal keji untuk merobohkannya! Karena aku tidak ingin melihat dua orang gadis itu kau bunuh, terpaksa aku menurut dan...."
"Jatoko! Tutup mulutmu yang busuk....! Kau....kau...!"
Pendeta itu marah sekali sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya dan langsung saja ia menerjang ke depan dan menghantamkan kepalan tangan kanan ke arah dada Ki Jatoko. Melihat pukulan yang mendatangkan angin dingin itu, Ki Jatoko cepat mengangkat lengan kanan pula dan menangkis dari samping. Inilah kesalahannya. Ia tidak tahu bahwa Biarpun dalam ilmu silat ia belum tentu kalah oleh sang pendeta, namun dalam hal tenaga mujijat ia kalah ampuh, kalah kuat. Pendeta ini seorang ahli ilmu hitam, tenaga sakti di tubuhnya memang melemah karena ia hamburkan untuk mengumbar nafsu, akan tetapi tenaga yang timbul dari ilmu hitam amat kuat dan hebat.
"Dukkk !!"
Hebat pertemuan kedua lengan ini dan Ki Jatoko terkejut sekali, berseru keras ketika tubuhnya terlempar ke belakang sampai beberapa meter jauhnya, kemudian ia terbanting roboh di depan arca Bathari Durgo yang sebesar manusia itu. Untuk mencegah tubuhnya terhuyung-huyung, Ki Jatoko memeluk arca itu sehingga kelihatannya ia memeluk dan mencium tubuh arca yang telanjang! Cepat sekali Ki Jatoko menjatuhkan diri untuk mengelak kalau-kalau lawannya melanjutkan serangannya dari belakang. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring,
"Kundilomuko, bersiaplah kau menerima hukumanku!!"
Ki Jatoko cepat menengok dan melihat betapa Endang Patibroto telah menyerang Bhagawan Kundilomuko dengan garang, ia menonton dengan hati risau dan gelisah sekali. Memang ia telah dapat menyelamatkan diri dari tangan Endang Patibroto untuk sementara waktu dengan jalan mengadu gadis sakti itu melawan Bhagawan Kundilomuko. Akan tetapi sampai di manakah hasil daripada akalnya tadi itu? Keadaannya sekarang masih tidak lebih baik daripada tadi.
Sebelum ia menjalankan siasat membalikkan kepala menentang Bhagawan Kundilomuko, ancaman mutlak datang dari Endang Patibroto, akan tetapi ia masih bersahabat dengan pendeta itu. Kini ia telah merobah keadaannya sendiri. Ia menjadikan pendeta itu sebagai musuhnya, akan tetapi mungkin sekali gadis itu dapat ia bujuk kembali dan sikapnya tadi mungkin akan berhasil mengurangi kebencian Endang Patibroto kepadanya. Kini ia gelisah sendiri.
Gadis itu sakti mandraguna, andaikata ia membantu Bhagawan Kundilomuko, belum tentu dapat menangkan gadis itu. Kalau kini ia membantu Endang Patibroto seperti pernah ia lakukan ketika gadis itu bertanding melawan Joko Wandiro, tentu sang bhagawan akan dapat dirobohkan lebih cepat dan ia akan menggunakan kecerdikannya untuk membujuk gadis yang masih hijau ini. Diam-diam Ki Jatoko sudah mempersiapkan jarum racun ular di tangannya.
Pertandingan antara Endang Patibroto dan Bhagawan Kundilomuko berlangsung seru dan mati-matian. Sang bhagawan mula-mula menerjang hebat mengerahkan semua kepandaian dan mengerahkan tenaga dalamnya, menghujankan pukulan-pukulan tangan miring ke arah tubuh Endang Patibroto. Namun dengan mudah Endang Patibroto mengelak dan menangkis. Melihat rangkaian serangannya gagal sama sekali, sang bhagawan meloncat mundur dan berkata,
"Endang Patibroto, aku masih merasa sayang kepadamu. Mengapa kau berkeras hendak bertanding melawanku? Sayang kalau sampai kau roboh binasa. Sebelum terlambat, kuperingatkan kau bahwa lebih baik kita bersahabat. Aku sayang kepadamu, manis. Engkau akan bahagia hidup menjadi isteri Bhagawan Kundilomuko, minta apapun akan terlaksana."
"Tua bangka jahanam! Sudah mendekati mampus masih banyak cakap?" bentak Endang Patibroto gemas.
Bhagawan Kundilomuko tiba-tiba tertawa, tertawa bergelak sampai suaranya menggetarkan seluruh hutan. Ki Jatoko yang menonton, tiba-tiba merasa perutnya kegelian dan tak dapat tertahan lagi iapun tertawa-tawa mengikuti suara ketawa sang bhagawan. Makin lama makin hebat sampai Ki Jatoko terpingkal-pingkal dan bergulingan di atas tanah, di depan kaki arca Bathari Durgo. Endang Patibroto juga merasa geli dan ingin sekali tertawa, sukar untuk mempertahankannya. Mulutnya sudah bergerak-gerak, bibirnya tersenyum-senyum, akan tetapi sebagai murid tunggal Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna, ia teringat bahwa-ini adalah pengaruh ilmu hitam yang hebat.
Maka ia segera mengerahkan Aji Sardulo Birowo (Pekik Harimau) lalu menjerit atau mengaum dengan keras dan nyaring sekali. Hebat sekali pengaruh pekik mujijat yang disalurkan dengan dorongan tenaga sakti ini. Seketika Bhagawan Kundilomuko menghentikan tawanya, mukanya pucat dan dahinya penuh keringat. Begitu sang bhagawan berhenti tertawa, Ki Jatoko juga otomatis berhenti tertawa. Ki jatoko terkejut dan melompat bangun, mukanya pucat napasnya terengah-engah. Celaka pikirnya, hampir ia menjadi korban. Ia kurang berhati-hati tadi sehingga terseret hawa mujijat dari suara ketawa kakek itu.
Tak lama kemudian, kegembiraan para perajurit yang mengejar gadis-gadis itu berubah menjadi jerit maut. Kiranya hutan itu penuh dengan perajurit-perajurit Nusabarung yang bersembunyi dan begitu pasukan Jenggala tercerai-berai dan kacau-balau karena mengejar gadis-gadis cantik, mereka ini muncul dari tempat persembunyiannya dan secara tiba-tiba melakukan serangan! Bahkan gadis-gadis itu sendiri membalik dan dengan senjata tombak yang digerakkan secara cekatan sekali mereka ini merobohkan banyak perajurit yang mengejar mereka.
Memang anak murid Bhagawan Kundilomuko adalah wanita-wanita cantik yang terlatih, memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terjangan mereka yang mengejutkan ini merobohkan banyak lawan. Sisa perajurit yang tadinya tertawa-tawa di pinggir sungai, kaget mendengar teriakan-teriakan maut teman mereka yang mengejar. Akan tetapi sebelum mereka sempat bersiap, hujan anak panah menyerang mereka dari empat penjuru! Makin panik dan kacau keadaan di situ. Banyak sekali perajurit Jenggala yang terjungkal dan mati seketika tanpa mereka itu tahu siapa yang memanah mereka.
Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menggegap-gempita dan dari tempat-tempat tersembunyi itu menerjang keluar ribuan orang perajurit Nusabarung. Perang campuh terjadi secara hebat di dalam hutan itu. Akan tetapi karena pihak Jenggala sudah panik dan kacau-balau, tidak ada yang memimpin lagi karena lima orang perwira itu sudah roboh binasa, mereka tertekan hebat dan banyak korban roboh di antara mereka. Akhirnya, hanya beberapa ratus orang perajurit Jenggala yang berhasil melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang tewas atau terluka berat. Mereka lari pulang ke Jenggala untuk melaporkan malapetaka yang menimpa pasukan mereka itu.
Akan tetapi, apakah yang didapatkan perajurit-perajurit pelarian itu ketika mereka mundur dan kembali ke Jenggala? Ternyata pasukan besar dari Nusabarung telah menyerang Jenggala, menimbulkan malapetaka besar di sepanjang jalan. Perampokan, pembunuhan, perkosaan dan pembakaran dusun-dusun dilakukan oleh pasukan Nusabarung yang kejam, bahkan kini pasukan itu sudah mulai menerjang kota raja sehingga terjadi perang hebat
Sisa perajurit-perajurit yang mengundurkan diri ini cepat membantu pasukan teman ketika melihat kota raja terancam. Betapapun juga, pasukan-pasukan Jenggala masih cukup kuat dan di sana masih terdapat banyak senopati yang pandai sehingga setelah berperang sampai sepekan lamanya, barisan musuh dapat dipukul mundur. Namun, mundurnya pasukan Nusabarung sambil membawa banyak sekali barang rampasan, selain harta benda, juga banyak para wanita mereka tawan. Sambil kembali ke Nusabarung untuk menyusun kekuatan baru, mereka membakari rumah-rumah di setiap dusun yang mereka lalui, menyebar maut sehingga keadaan Jenggala menjadi kacau-balau!
Adipati Jagalmanik menjadi girang sekali dengan hasil penyerbuan pertama ini. Sang adipati memuji-muji Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko serta mengirim banyak hadiah ke Durgaloka. Mereka berdua ini segera berjanji kepada adipati di Nusabarung untuk membantu penyerbuan-penyerbuan mendatang sampai Jenggala takluk di bawah kekuasaan Nusabarung. Di lain pihak, adipati itupun menjanjikan pangkat dan kemuliaan.
Biarpun pasukan Nusabarung dipukul mundur dan dalam penyerbuan pertama belum berhasil menundukkan Jenggala, namun penyerbuan itu boleh dibilang berhasil baik. Apalagi di samping kemenangan dan banyaknya barang rampasan itu, pasukan Nusabarung juga berhasil menumpas sebagian besar barisan yang dipimpin oleh Endang Patibroto. Tentu saja hal ini membesarkan hati mereka, bahkan para adipati-adipati kecil yang mendengar akan kemenangan Nusabarung, secara suka rela lalu menawarkan bantuan untuk bersekutu dengan harapan kelak akan mendapat bagian hasilnya.
Bhagawan Kundilomuko girang setengah mati. Semua siasat Ki Jatoko yang dijalankan ternyata berhasil dengan baiknya. Kakek pendeta ini selain kegirangan mendapat pujian dan hadiah dari Adipati Jagalmanik di Nusabarung, juga ia girang tekali ketika siasat Ki Jatoko untuk memancing dan menawan Endang Patibroto ternyata berhasil baik. Dan gadis itu.... ah, seketika lenyaplah kemarahan dari hati kakek ini ketika ia melihat Endang Patibroto! Gadis yang cantik jelita seperti bidadari! Gadis yang sakti mandraguna! Gadis seperti inilah yang patut menjadi isterinya. Patut dipuja-puja di Durgaloka, disembah-sembah oleh para murid yang juga menjadi selir-selirnya.
Juga Ki Jatoko menjadi girang sekali. Ia telah dipuji-puji adipati di Nusabarung. Biarpun kini ia menjadi orang buntung, namun derajatnya sudah terangkat lagi dan masa depannya amat luas dan baik. Kini ia menjadi sekutu dan pembantu Adipati Nusabarung di samping seorang sakti seperti Bhagawan Kundilomuko! Endang Patibroto, gadis yang amat berbahaya itu, sudah dapat ditawan, dan ia sudah mendapatkan kembali Ayu Candra! Alangkah baik nasibnya! Dan kini maklumlah ia bahwa amat tidak mungkin kalau ia mengharapkan balas cinta kasih seorang gadis muda belia dan cantik jelita seperti Ayu Candra. Hanya dengan cara yang tidak wajar saja ia boleh mengharapkan cinta kasih Ayu Candra!
Dengan guna-guna, yaitu Aji Guno-asmoro, akan tetapi tidak cukup kuat untuk mempengaruhi seorang gadis yang berwatak bersih seperti Ayu Candra. Hanya seorang saja di dunia ini yang dapat membantunya. Bhagawan Kundilomuko! Kakek ini seorang ahli ilmu hitam, ahli sihir, dan ahli ramu-ramuan beracun yang memabokkan! Ketika Ki Jatoko mengajukan permohonannya kepada kakek itu untuk menolongnya "menundukkan" Ayu Candra, kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Ha-ha-ha-ha! Anak-mas Jatoko, tentu saja aku akan menolongmu. Kita sudah menjadi sahabat-sahabat baik, harus bantu-membantu dan tolong-menolong. Memang sudah semestinya orang-orang macam kita ini menggunakan kekuatan ilmu untuk menundukkan gadis-gadis cantik jelita yang muda belia. Untuk mendapatkan Endang Patibroto, aku harus menggunakan jampi-jampi. Ha-ha-ha! Kalau tidak, mana mungkin orang seperti Ayu Candra suka melayani seorang seperti kau dan si cantik jelita Endang Patibroto mau melayani seorang kakek macam aku? Ha-ha-ha!"
Sungguh mengerikan dan berbahaya sekali nasib Ayu Candra dan Endang Patibroto terjatuh ke tangan dua orang yang berwatak rendah dan keji ini. Sebelum Endang Patibroto dan Ayu Candra sadar daripada pengaruh aji penyirepan dan jampi, mereka berdua dicekoki (diberi minum dengan paksa) jamu yang terdiri dari ramuan akar-akar dan daun-daun yang mempunyai khasiat penghapus ingatan! Karena Bhagawan Kundilomuko maklum akan kesaktian Endang Patibroto, maka ia bersabar diri dan setiap hari menyuruh anak muridnya memberi minum jamu yang beracun itu sehingga keadaan Endang Patibroto dan juga Ayu Candra seperti patung hidup.
Mereka berdua sudah sadar dari tidur, akan tetapi ingatan mereka tertutup awan tebal. Endang Patibroto duduk seperti arca matanya melamun memandang jauh sekali. Ia selalu menurut saja setiap kali seorang pelayan menyuruhnya minum, makan atau tidur. Kalau mulutnya mengeluarkan bunyi, yang keluar hanya, "Kubunuh engkau, buntung...! Kubunuh engkau..."
Keadaan Ayu Candra juga sama dengan keadaan Endang Patibroto. Hanya bedanya, bisikan-bisikan yang keluar dari mulutnya hanyalah, "Kakang Joko Wandiro.... kakang Joko Wandiro...!" Hal ini adalah karena sebelum jatuh pulas, ingatannya yang terakhir tertuju kepada Joko Wandiro.
Adapun Endang Patibroto sebelum roboh oleh pengaruh penyirepan, teringat kepada Ki Jatoko, maklum bahwa ia dijebak dan karenanya ia ingin membunuh orang buntung itu. Ki Jatoko kecewa melihat keadaan Ayu Candra yang seperti patung hidup itu. Ia bukan menghendaki gadis itu tak berdaya, karena kalau hanya demikian yang ia kehendaki, tanpa bantuan Bhagawan Kundilomuko sekalipun ia sanggup menggunakan kepandaiannya menggagahi Ayu Candra. Dengan kepandaiannya ia sanggup membuat gadis itu tidak berdaya. Maka ia menyampaikan kekecewaannya kepada Bhagawan Kundilomuko.
"Ha-ha-ha-ha, anakmas Jatoko, mengapa begitu tak sabar dan tergesa-gesa? Tentu saja tidak hanya sampai di sini. anak-mas. Aku sendiripun tentu saja tak suka dilayani Endang Patibroto yang seperti mayat hidup. Heh-heh-heh, apakah anak tidak melihat bagaimana murid-muridku yang denok ayu itu melayani aku dengan penyerahan diri sebulatnya dan disertai kasih sayang mesra?"
"Saya percaya, paman, dan itulah yang saya harapkan dari Ayu Candra."
"Tentu, tentu! Akupun menghendaki demikian dari Endang Patibroto. Akan tetapi tidak sekarang. Aku membuat mereka kehilangan ingatan agar mereka itu menjadi penurut dan tidak membantah semua apa yang kita perintahkan. Nanti, bersabarlah. Sepekan lagi bulan purnama akan muncul, di sini akan diadakan perayaan pesta pemujaan Sang Hyang Bathari, Pada malam itulah, dengan berkah dan cahaya Sang Hyang Bathari, kita akan memberi minum anggur darah kepada mempelai kita masing-masing, heh-heh-heh!"
Sepasang mata Ki Jatoko bersinar-sinar penuh nafsu. "Apakah anggur darah itu, paman? Dan mengapa ada mempelai? Siapa yang akan kawin?"
"Ha-ha-ha, heh-heh, siapa lagi kalau bukan kita? Pengantin kembar, ha-ha-ha! Engkau dengan Ayu Candra, aku dengan Endang Patibroto si cantik manis, si denok montok, si ayu kuning, ha-ha-ha"
"Cocok dengan dugaanku dahulu, paman. Bukankah Endang Patibroto benar-benar cantik seperti dewi kahyangan? Apakah sekarang paman masih berniat membunuhnya?"
"Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh! Memang kau benar, anak-mas. Tentang anggur darah itu, ha-ha-ha, kaulihat sendiri nanti. Kau akan payah menghadapi tantangan dan kemesraan Ayu Candra, ha-ha-heh heh-heh!"
Keduanya makan minum dengan gembira, dilayani anak-anak murid Sang Bhagawan yang cantik-cantik dan genit-genit. Ki Jatoko merasa tak sabar lagi menanti datangnya malam bulan purnama. Bhagawan Kundilomuko maklum akan hal ini, maka sebagai pengobat rindu, ia memerintahkan seorang di antara anak muridnya yang cantik untuk menjadi kawan Ki Jatoko dan melayani si buntung itu!
Memang, semenjak jaman dahulu kala sampai sekarang inipun, manusia merupakan mahluk yang paling lemah menghadapi keliaran nafsu-nafsu mereka sendiri. Setelah menjadi hamba nafsu, lenyaplah keagungan seorang manusia dan ia tidak akan segan-segan untuk melakukan segala macam perbuatan rendah. Gila akan kedudukan, akan harta benda, kemuliaan, nama besar, pemuasan panca indra, pemuasan nafsu berahi, semua itu timbul sebagai akibat daripada kelemahan menghadapi nafsu pribadi. Sekali menjadi hamba nafsu, manusia tidak segan-segan melakukan segala macam daya upaya tanpa memperhitungkan lagi baik jahatnya, demi pemuasan nafsunya sendiri yang dipertuan. Dan inilah jalan menuju ke segala macam kesengsaraan.
Tuhan pencipta sekalian alam semesta, telah memberi petunjuk dan peringatan melalui kekuasaan alam-Nya kepada manusia. Namun, sekali manusia diperhamba nafsu, ia seakan-akan buta dan tuli. Seorang pendeta ahli tapa seperti Bhagawan Kundilomuko, setelah menjadi hamba nafsu, menjadi seperti buta pula. Rambutnya sudah putih semua, hal sepele (sederhana) ini saja sudah merupakan nasehat dan peringatan, bahwa usia tua mendatangkan rambut putih berarti si manusia supaya memikirkan hal yang bersih-bersih saja seperti warna rambut yang menyelimuti kepalanya!
Namun sayang, setua itu masih saja ia picik dan lemah. Nafsu, terutama nafsu berahi, memang seperti anggur yang keras memabukkan. Sekali orang mencucupnya, ia akan menghendaki lebih dan lebih dan lebih, tak kunjung puas. Karena itu, semenjak dahulu kala sampai sekarang inipun, bahagialah dia yang selalu eling (ingat) dan waspada. Ingat kepada Hyang Maha Wisesa dan waspada terhadap dirinya sendiri!
Waspada dalam arti kata awas dan hati-hati meneliti budi pekerti dan tindak-tanduknya sendiri. Kokoh dan teguh dalam menghadapi godaan nafsu pribadi sehingga akhirnya bukan dia yang diperhamba nafsu, melainkan nafsu yang diperhambanya. Nafsu hanya sekedar alat hidup yang dipergunakan seperlunya, pada waktu, tempat, dan keadaan yang tepat sebagai pelengkap hidup.
Malam bulan purnama yang dinanti nanti itu akhirnya tiba juga. Semenjak sore hari, pertapaan Durgaloka telah dihias megah. Daun-daun, kembang-kembang dan janur (pupus daun kelapa) yang dianyam dan dibentuk beraneka macam menghias pertapaan, terutama sekali bangsal besar tempat yang khusus dibuat sebagai tempat pemujaan Bathari Durgo, yaitu di bawah pohon waringin, dekat sumber mata air Sungai Bondoyudo.
Tempat pemujaan itu terbuka dan agak tinggi semacam panggung, lebih dari dua puluh lima meter lebarnya. Tempat ini dihias dengan bunga-bunga. Semua anak murid Bhagawan Kundilomuko sudah siap berkumpul. Lima belas murid pria menabuh gamelan, yang lima belas orang lagi membawa obor dan berdiri mengelilingi tempat pemujaan itu. Murid perempuan berjumlah semua seratus dua puluh orang!
Kini sebagian menjaga sekitar pertapaan secara bergilir, sebagian pula sibuk di dapur, sebagian sibuk mempersiapkan kebutuhan upacara pemujaan, dan sebagian pula yang bertugas sebagai penyanyi dan penari sibuk bersolek. Semua orang bergembira ria. Tentu saja dua orang tidak tampak gembira. Mereka ini adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto. Dua orang gadis tawanan ini duduk di atas bangku dalam biliknya, duduk melamun seperti patung, dijaga masing-masing oleh lima orang wanita.
Di tengah-tengah pemujaan itu terdapat sebuah patung Bathari Durgo yang amat indah dan seolah-olah hidup. Patung itu sebesar manusia, mengenakan pakaian sutera serba indah dan mahal, bahkan tubuhnya memakai perhiasan-perhiasan emas permata yang gilang-gemilang. Ketika bulan purnama mulai muncul, gamelan ditabuh keras dan meriah. Suara gamelan ini aneh dan tidak sama dengan gamelan biasa, juga lagu dan iramanya liar merangsang. Gadis-gadis yang duduk bersimpuh di pinggir tempat upacara berlutut menyembah ketika Sang Bhagawan Kundilomuko muncul bersama Ki Jatoko. Mereka inipun sudah berpakaian serba indah sehingga Ki Jatoko yang buntung dan berwajah buruK itu kini kelihatan tidak begitu buruk dan agak gagah.
Dengan lagak yang berwibawa, Bhagawan Kundilomuko mengangkat tangan kanan ke atas sebagai balasan salam kepada murid-muridnya, kemudian ia duduk di atas kursi yang sudah dihias, di sebelah kanan patung Bathari Durgo. Ki Jatoko juga dipersilahkan duduk di atas sebuah kursi yang lebih kecil, agak jauh menghadap pendeta itu dan patung dewinya. Dilihat dari jauh, seolah-olah Bhagawan Kundilomuko duduk berdua dengan isterinya, seorang dewi yang berwajah cantik namun menyeramkan. Di bawah permainan api obor yang bergerak-gerak, sepasang mata patung itu seperti melirik-lirik, bibirnya seperti tersenyum-senyum! Di sebelah kanan Sang Bhagawan Kundilomuko terdapat sebuah kursi kosong, demikian pula di sebelah kanan Ki Jatoko terdapat sebuah kursi kosong.
Tak lama kemudian, gamelan ditabuh lebih lambat dan perlahan, kemudian dari dalam pondok keluarlah menuju ke tempat itu dua orang gadis yang cantik jelita dan berpakaian sutera putih indah sekali. Mereka itu bukan lain adalah Ayu Candra dan Endang Patibroto! Mereka masing-masing dituntun oleh dua orang anak murid sang bhagawan dan kini menaiki anak tangga ke tempat pemujaan.
Pakaian sutera putih yang membungkus tubuh mereka itu amat tipis dan halus sehingga di bawah sinar bulan purnama dibantu sinar-sinar api obor, tampaklah tubuh mereka membayang, elok menggairahkan. Mereka itu berjalan seperti mayat hidup, menurut saja ketika pelayan-pelayan itu menggandeng mereka dan menyuruh mereka bersama berlutut dan menyembah patung Bathari Durgo. Setelah itu, pelayan-pelayan atau anak murid sang bhagawan mengundurkan diri.
Ki Jatoko yang sudah diberi tahu jalannya upacara, sebagai "mempelai pria" bangkit dari kursinya, menghampari Ayu Candra yang masih berlutut di depan patung itu, menariknya bangun dan menggandengnya dengan senyum dan pandang mata mesra, membawanya ke tempat duduknya dan menyuruhnya duduk di atas kursi sebelah kanannya. Juga Bhagawan Kundilomuko sudah menggandeng tangan Endang Patibroto dan mendudukkan gadis jelita itu sampingnya.
Gamelan kini berbunyi gencar dan ramai serta meriah sekali? Beberapa orang gadis yang cantik dan lincah dating berlari-lari membawa buah-buah dan minuman untuk "dua pasang mempelai". Karena ingatan mereka kosong akibat cekokan jampi setiap hari selama dua pekan lebih, Ayu Candra dan Endang Patibroto tidak dapat mengingat maupun berpikir apa-apa. Ketika ditawari buah oleh mempelai laki-laki, mereka mengambil dan makan buah itu secara otomatis.
Mulailah kini dihidangkan tari-tarian oleh belasan orang gadis yang berpakaian indah beraneka warna. Sebelum menari, mereka ini berjongkok menyembah patung Bathary Durgo, lalu menyebarkan kembang yang sejak tadi dibawa dengan selendang mereka. Tubuh patung itu penuh bunga, demikian pula di sekitarnya, di atas lantai penuh bunga. Patung itu seakan-akan memperlebar senyumnya. Kemudian gadis-gadis itu menari indah, seperti kupu-kupu beterbangan.
Pakaian mereka dari sutera tipis, berkibar-kibar ketika mereka bergerak setengah berlari Setelah tari permulaan sebagai pemuja Sang Bathari ini selesai dan para penari turun kembali dari tempat itu, mendadak semua obor yang dipegang oleh lima belas orang anak murid pria dipadamkan. Kini tempat Itu hanya diterangi oleh sinar bulan purnama. Langit terang-benderang. Keadaan amat romantis dan indah. Bunyi gamelan juga berbeda daripada tadi, kini amat luar biasa iramanya.
Kemudian terdengar nyanyian koor belasan orang gadis, makin lama rnakin nyaring mengiringi munculnya serombongan penari baru yang keluar dari dalam pondok dekat tempat pemujaan. Begitu tiba di tempat pemujaan, gadis-gadis penari yang jumlahnya tiga puluh orang ini, murid-murid yang tercantik dari Bhagawan Kundilomuko, dipimpin oleh lima orang muridnya tersayang, sudah berjalan jongkok lalu berlutut di depan patung Bathari Durgo. Mulailah mereka mengikuti para penyanyi, menyanyikan lagu puja-puji kepada Sang Bathari.
Upacara pemujaan dimulailah. Bhagawan Kundilomuko bangkit dari kursinya, lalu menghampiri seorang anak murid yang membawa bokor emas berisi air kembang. Diambilnya setangkai bunga, dicelup ke dalam air suci ini dan dipercik-percikkan ke arah patung. Kemudian ia menuangkan secawan anggur, membawa cawan itu ke dekat mulut patung sampai menempel bibirnya, kemudian ia menaruh cawan di depan patung. Demikian pula dengan beberapa macam buah. Inilah upacara "menghidangkan makan minum" bagi Bathari Durgo yang hanya boleh dilakukan oleh sang bhagawan yang oleh para murid didesas-desuskan sebagai kekasih Sang Bathari Durgo!
Upacara ini amat lama. Setelah Bhagawan Kundilomuko kembali duduk ke kursinya, seorang anak murid perempuan datang membawa sebuah bokor besar sekali. Melihat betapa gadis itu kuat membawa bokor besar yang terisi penuh, dapat dibayangkan bahwa ia tentulah anak murid sang bhagawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bertenaga besar. Bokor itu ditaruh di depan kaki sang bhagawan, kemudian setelah menyembah, murid itu mengundurkan diri. Sang bhagawan menoleh ke arah Ki Jatoko dan tersenyum sambil berbisik. "Inilah anggur darah," katanya, menuding ke arah bokor besar tertutup yang terletak di depan kakinya.
Sementara itu, upacara dilakukan terus sampai lama oleh para penari yang tiga puluh orang jumlahnya itu. Mereka bernyanyi-nyanyi puja-puji dan wajah mereka tampak berseri-seri. Sementara itu, bulan naik makin tinggi dan sinarnyapun makin terang. Tiba-tiba Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan memberi isyarat dengan tangan. Para penari itu berhenti menyanyi, kemudian mulai bangkit dan mengatur tempat masing-masing untuk mulai menari. Gamelanpun merobah iramanya, kini bernada gembira dan lebih merangsang daripada tadi. Tarianpun dimulailah. Indah sekali tarian ini, tidak seperti tadi, jauh lebih indah. Lima orang anak murid tersayang itu menjadi penari inti, menari di tengah-tengah, dikelilingi dua puluh lima orang kawannya. Mereka berputar-putar, melenggang-lenggok, berlari-larian, menggoyang-goyang pundak, perut, dan kibul, menggeleng-geleng kepala, makin lama gamelan dibunyikan makin meriah, suara penyanyi makin keras dan gerakan para penari makin penuh gairah.
Melihat gerak tubuh para penari yanh penuh gairah dan merangsang nafsu itu Ki Jatoko sudah tak enak duduknya. Ia melirik ke arah Ayu Candra dan kecewalah hatinya. Ayu Candra tetap saja duduk seperti patung. Lebih mati daripada patung Bathari Durgo itu. Agaknya Bhagawan Kundilomuko melihat keadaan Ki Jatoko yang kecewa ini. Ia bangkit berdiri sambil tertawa, memberi isyarat dengan kedua tangan diacungkan ke atas. Seketika para penairi itu berhenti menari dan menjatuhkan diri berlutut di atas lantai, terengah-engah dan napas mereka mendengus-dengus, muka mereka penuh keringat. Gamelan masih berbunyi, perlahan dan lambat iramanya. Sambil menoleh ke arah patung Bathari Durgo, Bhagawan Kundilomuko berkata, suaranya nyaring,
"Kini tiba saatnya memuja Sang Hyang Bathari dengan pengorbanan darah dan daging!"
Terdengarlah sorak-sorai dan tertawa cekikikan di antara anak-anak murid bhagawan Kundilomuko. Kakek pendeta itu sendiri lalu membuka bokor besar, mengambil cawan emas dan menciduk ke dalam bokor. Tercium bau yang harum bercampur amis, dan cawan emas itu penuh dengan benda cair yang merah seperti darah. Cawan yang penuh anggur darah itu oleh sang pendeta dibawa ke depan patung Bathari Durgo seperti tadi, iapun menempelkan cawan ke bibir patung itu sampai lama, kemudian mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan akhirnya menaruh cawan emas itu di depan kaki patung. Setelah itu, tertawalah Bhagawan Kundilomuko. Ia menengadah memandang bulan purnama, tertawa-tawa menyeramkan. Kedua anting-anting di telinganya bergerak-gerak.
"Marilah, anak-anak manis, majulah ke sini. Dengan berkah Sang Hyang Bathari, mari kalian minum anggur darah, cicipilah kesenangan yang menjadi hakmu sepuas hati. Ha-haha-ha!"
Tiga puluh orang penari tadi dengan pandang mata penuh gairah lalu menghampiri sang bhagawan, seorang demi seorang diberi minum anggur merah itu dari sebuah cawan. Gerak mereka ketika menghampiri, ketika minum anggur, ketika mengembalikan cawan kosong, semua adalah gerak tari indah yang diiringi gamelan.
Tak lama kemudian semua murid yang tiga puluh orang jumlahnya itu sudah minum dan kini gamelan dibunyikan keras-keras dan liar sekali. Aneh bukan main, para penari itupun menari dengan gerakan liar, penuh dengus-dengus nafsu. Tiga puluh orang gadis cantik itu seperti mabuk, seperti bukan kehendak sendiri dan agaknya roh-roh jahat telah menyusupi diri mereka.
Wajah mereka yang diangkat menengadah membayangkan nafsu, hidung kembang-kempis mendengus-dengus, mulut menyeringai dalam berahi yang memuncak, gerak tari mereka makin menggila. Tak lama kemudian, beterbanganlah sutera-sutera halus yang tadinya membungkus tubuh mereka. Dengan gerak tari merangsang, mereka menanggalkan sutera-sutera halus itu sambil terus menari.
Ki Jatoko memandang dengan mata melotot, seakan-akan kedua biji matanya hampir terloncat keluar dari pelupuknya. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan pertunjukan yang begini hebat merangsang. Bhagawan Kundilomuko hanya tersenyum-senyum dan tertawa-tawa, mengelus-elus jenggotnya dan melirik ke arah Endang Patibroto yang seperti keadaan Ayu Candra, duduk tak bergerak seperti arca mati.
Kemudian bhagawan ini bangkit berdiri, menyembah ke arah patung Bathari Durgo, kemudian iapun menanggalkan pakaian yang membungkus patung itu satu demi satu sehingga tak lama kemudian patung itupun telanjang bulat seperti para penari itu! Terkena bayangan para penari yang bergerak-gerak di bawah sinar bulan purnama, patung dewi yang telanjang itu kini agaknya juga ikut bergerak-gerak, ikut berlenggang-lenggok genit. Ki Jatoko menjadi makin tak sabar. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Ayu Candra bersikap seperti para penari itu, penuh gairah, penuh semangat, penuh nafsu berahi! Ia menoleh ke arah Bhagawan Kundilomuko dan berkata, suaranya menggigil,
"Paman, mengapa mempelai kita tidak diberi minum anggur darah?"
"Ha-ha-ha, engkau sudah tak sabar sekali, anak-mas Jatoko! Mempelai kita ini harus dipisahkan dari mereka. Tunggulah sebentar lagi!"
Kini para penari itu agaknya sudah tak dapat menahan gelora nafsu mereka. Mereka menari makin liar dan makin mendekati sang bhagawan, bahkan ada yang mendekati Ki Jatoko. Dengan gerakan-gerakan memikat mereka seakan-akan menggoda dan menarik perhatian dua orang laki-laki yang duduk di atas kursi itu. Makin lama makin mendekati dan akhirnya di antara mereka ada yang mulai menyentuh dan mengusap. Agaknya sebentar lagi mereka itu akan nekat menubruk sang bhagawan dan Ki Jatoko. Si buntung itu sudah memandang bingung ke arah sang bhagawan.
Bhagawan Kundilomuko bangkit berdiri dan tertawa lebar lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya mendorong halus murid-muridnya yang merubung dan hendak mengeroyoknya dengan belaian-belaian mesra itu.
"Ha-ha-ha, anak-anak manis. Tidak ada waktu bagi aku untuk menyambut pelayanan kalian. Malam ini malam baik, berkat restu Sang Hyang Bathari, aku mengizinkan kalian melayani tiga puluh orang murid-murid pria sebagai wakilku!"
Ucapan ini disambut sorak-sorai dan suara gamelan terhenti ketika lima belas orang murid pria bersama lima belas lagi yang tadi memegang obor sudah berlompatan naik ke atas tempat pemujaan. Terjadilah adegan-adegan yang mendirikan bulu roma ketika tiga puluh orang penari cantik itu memilih pasangan masing-masing, tertawa-tawa, menari-nari dan menyanyi-nyanyi, bercumbu-rayu tanpa malu-malu lagi, berpeluk cium dan bersendau-gurau, kemudian pasangan demi pasangan turun dari tempat pemujaan, menyelinap di balik pohon-pohon. Hanya suara ketawa genit cekikikan terdengar dari tempat-tempat tersembunyi. Tempat pemujaan menjadi sunyi. Kini tinggal dua pasang mempelai itu. Bhagawan Kundilomuko lalu mengisi sebuah cawan dengan anggur darah memberikannya kepada Ki Jatoko sambil berkata,
"Anak-mas Jatoko, berilah minum mempelaimu dan kau akan mendapatkan seorang isteri yang panas dan mencinta, tiada keduanya di dunia ini, ha-ha-ha!"
Ki Jatoko menerima cawan itu sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga mengisi sebuah cawan kosong dengan anggur itu. Kedua orang itu kini mengangkat cawan, mendekatkan cawan ke mulut Endang Patibroto dan Ayu Candra yang sama sekali tidak melawan. Bibir cawan sudah menyentuh bibir dua orang gadis yang cantik jelita itu, dan inilah detik yang menentukan karena sekali dua orang gadis itu minum anggur kotor ini, tentu mereka akan mabuk dan lupa diri pula seperti tiga puluh orang penari itu!
"Takkk! Takkk!"
Dua sinar hitam itu bagaikan kilat menyambar telah mengenai cawan-cawan berisi anggur darah. Benturan ini hebat dan keras sekali sehingga baik Ki Jatoko maupun Bhagawan Kundilomuko tak dapat mempertahankan dan cawan itu terpental, terlepas dari tangan sehingga isinya menyiram muka mereka sendiri!
Sambil berseru keras mereka meloncat mundur dan pada saat itu terdengar teriakan menyayat hati dan di sekitar tempat itu telah terjadi pertandingan yang hebat antara murid-murid Durgaloka laki-laki dan wanita yang sebagian besar bertelanjang bulat melawan puluhan perajurit wanita perkasa yang dipimpin oleh lima orang gadis jelita. Mereka ini bukan lain adalah Dewi, Lasmi, Mini, Sari dan Sundari yang memimpin kawan-kawannya menyerbu Durgaloka!
"Sabbe satta avera hontu, sadhu-sadhu-sadhu (Semoga semua mahluk hidup damai)" Tiba-tiba terdengar pujian ini dan muncullah seorang pendeta yang kepalanya gundul bersama seorang pemuda yang bukan lain adalah Joko Wandiro. Sedangkan pendeta Buddha itu bukan lain adalah Sang Wiku Jaladara!
Sang wiku ini adalah seorang pendeta Buddha yang dahulu pernah mengobati Jokowanengpati dilereng Gunung Lawu akan tetapi kemudian malah hendak dibunuh oleh Jokowanengpati karena sang wiku telah melihat bahwa dia yang mencuri patung kencana pusaka Mataram. Bagaimanakah Joko Wandiro bersama anak buahnya yang dipimpin oleh Dewi dapat datang pada saat yang begitu kebetulan dan tepat? Hal ini adalah jasa para anak buahnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Joko Wandiro ditolong oleh Dewi dan adik-adiknya ketika ia terluka oleh jarum beracun Ki Jatoko, kemudian bahkan diangkat menjadi kepala dan junjungan oleh sekalian wanita cantiK itu. Di Gunung Anjasmoro ini pula dia akhirnya berhasil menewaskan musuh besar gurunya, Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna. biarpun dia sendiri menderita luka-luka dan kembali ia dirawat penuh kasih sayang oleh Dewi dan adik-adiknya.
Kemudian datanglah berita dari anak buah Dewi tentang perang antara Jenggala dan Nusabarung. Betapapun juga, Joko Wandiro tak dapat melupakan Endang Patibroto, dan Juga Puteri Mayagaluh. Apalagi ketika ia mendengar penuturan Dewi bahwa Adipati Nusabarung adalah seorang yang sakti dan kejam, ia lalu mengajak anak buahnya, sebanyak tiga puluh orang itu, untuk menyelidiki ke Jenggala dan untuk mencegah hal-hal yang kurang baik, ia mengajari anak buahnya, kecuali Dewi berlima, untuk menyamar sebagai pria.
Setibanya di Jenggala, dengan kaget Joko Wandiro mendengar bahwa pasukan yang dipimpin oleh Endang Patibroto menyerbu ke Nusabarung mengalami kehancuran sedang Endang Patibroto sendiri tidak ada kabar ceritanya! Ia menjadi khawatir sekali, apalagi ketika Dewi mengemukakan pendapatnya bahwa menurut penuturan para perajurit Jenggala yang tidak tewas, jelas di fihak Nusabarung dibantu oleh orang-orang pandai yang menggunakan wanita-wanita cantik untuk memancing sehingga mengakibatkan hancurnya pasukan itu.
"Aku pernah mendengar penuturan eyang Dibyo Mamangkoro bahwa di kaki Gunung Bromo, di sumbar mata air Sungai Bondoyudo, terdapat sebuah pengikut-pengikut seorang pendeta tua yang memuja Bathari Durgo. Tempat itu disebut pertapaan Durgaloka. Kata eyang Dibyo Mamangkoro, pendeta itu sakti dan pandai ilmu hitam, kalau tidak salah, namanya Bhagawan Kundilomuko. Siapa tahu, dia ini yang menggerakkan anak buahnya membantu Nusabarung sehingga Endang Patibroto yang kaukhawatirkan itu terpedaya olehnya."
Tanpa ragu-ragu lagi Joko Wandiro lalu memimpin anak buahnya untuk melakukan pengejaran ke tempat itu. Sehari sebelum tiba di Durgaloka, ia bertemu dengan Wiku Jaladara! Sang wiku yang bermata tajam dapat mengenal Joko Wandiro dan pengikutnya sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian. Akan tetapi hatinya juga khawatir melihat sekian banyaknya gadis-gadis cantik yang sebagian besar tidak terlalu tinggi ilmunya itu melakukan perjalanan yang menuju ke Durgaloka. Maka ia menyalami dan berkata sungguh-sungguh,
"Andika sekalian kalau melakukan perjalanan, hendaknya berhati-hati dan kalau andika suka mendengarkan nasehat orang tua, sebaiknya andika mengambil jalan lain dan jangan melanjutkan perjalanan ini."
Joko Wandiro juga dapat menduga bahwa kakek yang sudah tua akan tetapi berwajah sehat dan bermata lembut ini tentulah seorang berilmu tinggi, maka cepat ia memberi hormat dan berkata,
"Banyak terima kasih atas petunjuk dan nasehat paman. Akan tetapi maafkan kami orang-orang muda yang kurang terima dan ingin tahu lebih jelas lagi, yaitu apa sebabnya paman menganjurkan agar kami mengambil jalan lain. Adakah bahaya menghadang di depan?"
Wiku Jaladara menarik napas panjang lalu menjawab, "Di depan sana terdapat bahaya mengancam," ia menuding ke depan. "Di sana terdapat orang-orang yang sedang diliputi kegelapan yang mengeruhkan budi pekerti mereka sehingga menyelewengkan mereka daripada kebenaran. Menjauhi kekotoran dan mencegah kekerasan, pergi dengan tenang dan damai adalah pekerti orang-orang bijaksana. Orang muda, harap kauajak rombonganmu ini mengambil jalan lain."
Joko Wandiro bertukar pandang dengan Dewi. Gadis ini tersenyum lalu melangkah maju dan berkata lantang, "Eyang, bukankah yang kaumaksudkan itu adalah pertapaan Durgaloka di mana Bhagawan Kundilomuko tinggal bersama murid-muridnya?"
Sejenak pendeta tua itu tertegun, memandang tajam kepada Dewi dan adik-adiknya, lalu mengelus jenggotnya dan menghela napas pula.
"Sadhu-sadhu-sadhu. semoga damai dan bahagialah diantara semua manusia di permukaan bumi! Ah, nini, terutama sekali engkau dan teman-temanmu ini, seyogyanya jangan melanjutkan perjalanan melalui pertapaan Durgaloka. Sungguh baik kalau kalian sudah tahu, dan orang yang secara sadar menjauhkan diri daripada bencana, adalah seorang bijaksana."
Joko Wandiro cepat bertanya, "Paman, kalau tidak keliru penglihatan saya, paman adalah seorang wiku. Sebagai seorang wiku yang sudah lanjut usia, paman menasehatkan kami orang-orang muda supaya menjauhi bahaya. Akan tetapi mengapa paman sendiri yang sudah tua malah hendak menempuh bahaya itu? Apakah kalau terhadap paman, orang-orang Durgaloka tidak akan mengganggu?"
Kakek itu kembali mengelus-elus jenggotnya dan memandang tajam kepada Joko Wandiro, kemudian berkata, "Orang muda, aku yang tua dan bodoh memang sengaja hendak menemui Bhagawan Kundilomuko. Mendengar akan penyelewengannya, sudah menjadi kewajibanku untuk berusaha mengingatkannya agar jangan makin berlarut-larut dan banyak menimbulkan banyak korban."
"Maaf, paman wiku. Kalau begitu, tugas kita ada persamaannya, yaitu membersihkan dunia daripada yang kotor dan jahat. Hanya bedanya, kalau paman mengusahakan dengan jalan halus dan menyadarkan mereka dengan petuah, kami akan melenyapkan segala kekotoran itu dengan membasmi mereka kalau perlu!"
"Ahhh... manusia dapat berusaha, hanya Hyang Maha Agung yang menentukan. HambaMu sudah berusaha dan segalanya terserah.... terserah...!" Pendeta itu tidak bicara lagi, hanya berjalan dengan kedua tangan dirangkap dan ditaruh di depan dada, mulutnya berkemak-kemik membaca mantera dan doa.
Demikianlah maka Joko Wandiro bersama anak buahnya datang ke Durgaloka bersama dengan Wiku Jaladara ini. Dan atas desakan dan anjuran sang wiku pula maka perjalanan itu diteruskan biarpun malam sudah tiba. Sang Wiku Jaladara yang sudah awas paningal (berpemandangan waspada) ini tahu bahwa pada malam bulan purnama itu tentulah terjadi hal-hal mengerikan dan hebat di Durgaloka. Dan untunglah bahwa Sang Wiku Jaladara mendesak Joko Wandiro melanjutkan perjalanan di malam itu, karena terlambat sebentar saja, keadaan Ayu Candra dan Endang Patibroto tak mungkin dapat tertolong lagi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Joko Wandiro ketika dalam penyusupannya ke Durgaloka itu ia melihat Ayu Candra dan Endang Patibroto yang duduk seperti arca hidup itu sedang dirangkul oleh Ki Jatoko dan Bhagawan Kundilomuko untuk diberi minum dari sebuah cawan. Karena dapat menduga bahwa isi cawan itu tentulah benda yang amat berbahaya, maka ia cepat bertindak. Kemarahan yang membakar hatinya jauh melampauhi kekagetannya, maka begitu kedua tangannya bergerak, dua buah batu kerikil terbang dan berhasil memukul jatuh cawan berisi anggur darah yang mengerikan itu.
Sementara itu, Dewi dan adik-adiknya serta anak buahnya sudah pula menyerbu dan mereka ini mendapat sambutan dari para anak murid Bhagawan Kundilomuko sehingga terjadilah perang tanding yang amat seru di sekitar tempat pemujaan dan taman belukar sekeliling sumber mata air Sungai Bondoyudo. Pertandingan mati-matian yang hanya diterangi sinar bulan purnama.
Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko sudah menerjang dengan berbareng, menyerang Joko Wandiro. Ki Jatoko maklum bahwa pemuda ini sakti luar biasa, akan tetapi karena di situ terdapat Bhagawan Kundilomuko, maka ia tidak takut. Dengan keris di tangan ia menerjang Joko Wandiro, sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga sudah menubruk maju sambil menggerakkan sebatang tongkat yang bentuknya seperti seekor ular. Melihat gerakan mereka berdua itu, Joko Wandiro yang sudah siap lalu memapaki mereka dengan gerak tangan yang melancarkan pukulan Bojro Dahono.
"Werrrrr.. desssss.......!!" Ki Jatoko terjungkir-balik oleh hawa pukulan yang dahsyat itu, bahkan Bhagawan Kundilomuko juga terkejut karena tubuhnya terhuyung ke belakang sampai dua langkah. Maklumlah sang bhagawan bahwa pemuda ganteng yang datang ini memiliki kesaktian yang hebat, maka ia cepat berteriak minta bantuan murid-muridnya, Memang jumlah anak murid Bhagawan Kundilomuko jauh lebih banyak, ada kurang lebih seratus onang sedangkan Joko Wandiro hanya diikuti oleh Dewi dan adik-adiknya dan anak buahnya yang jumlahnya hanya tiga puluh orang. Maka kini belasan orang anak murid Bhagawan Kundilomuko sudah menerjang naik ke atas tempat pemujaan untuk mengurung dan mengeroyok Joko Wandiro.
Yang naik adalah murid-murid wanita sehingga dalam sekejap mata saja Joko Wandiro menjadi merah padam mukanya karena harus menghadapi pengeroyokan hampir dua puluh orang gadis yang sebagian besar bertelanjang bulat tidak berpakaian sama sekali! Ia menjadi muak dan marah, akan tetapi juga bingung karena wataknya yang baik membuat ia tidak tega menjatuhkan tangan maut kepada wanita-wanita muda itu.
Sang Wiku Jaladara juga sudah naik ke tempat pemujaan. Ia menghela napas panjang menyaksikan pertempuran yang tak mungkin dapat dicegah lagi itu, kemudian ia lari menghampiri Endang Patibroto dan Ayu Candra. Dipegangnya kedua tangan gadis ini dan ditariknya mereka itu ke pinggir. Kemudian ia cepat-cepat mengambil secepuk obat dari dalam sakunya dan ditekankan cepuk yang sudah dibukanya itu di bawah hidung Ayu Candra, kemudian di bawah hidung Endang Patibroto. Dua orang gadis yang menurut saja seperti arca hidup itu kini terbangkis-bangkis sampai beberapa kali. Mereka berbangkis terus ketika Wiku Jaladara menaruh kedua tangan di atas kepala mereka sambil membaca mantera dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengusir hawa beracun dan awan hitam yang menyelimuti kesadaran dan ingatan kedua orang gadis itu.
Kakek ini begitu tekun dalam usahanya menyadarkan mereka berdua sehingga ia sama sekali tidak memperdulikan pertempuran yang makin menghebat di sekelilingnya. Sang Wiku Jaladara sama sekali tidak tahu betapa Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko menghampirinya dengan mata mendelik saking marahnya. Dua orang ini dapat menduga apa yang sedang dikerjakan oleh pendeta Buddha itu, maka tanpa diberi komando lagi keduanya meloncat maju dengan keris dan tongkat di tangan.
"Cepp! Trakkkk!!" Keris di tangan Ki Jatoko menancap lambung, sedangkan tongkat ular di tangan Bhagawan Kundilomuko menghantam pelipis kepala sampai pecah!
Tanpa mengeluh tubuh Wiku Jaladara menjadi lemas dan terguling. Dari mulutnya terdengar ucapan lemah, "Semoga Sang Buddha memberi penerangan kepada kalian..!"
Ayu Candra ikut pula terguling dan roboh pingsan. Akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Tentu saja Endang Patibroto memiliki daya tahan dan kekuatan sakti yang jauh lebih unggul daripada Ayu Candra, maka usaha sang wiku tadi sudah berhasil. Begitu ia terlepas daripada penyelimutan hawa hitam dari ilmu sihir dan racun, ia meloncat dan membuka mata lebar-lebar. Seketika ingatlah ia akan semua pengalamannya, maka sambil mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo, tubuhnya menerjang ke depan. Kaki kanannya menendang dada Ki Jatoko membuat si buntung ini terguling-guling jauh sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Bhagawan Kundilomuko. Bhagawan itu kaget sekali, cepat membanting tubuh ke belakang, lalu melarikan diri secepatnya. Juga Ki Jatoko sudah melarikan diri.
Sejenak Endang Patibroto tertegun, lalu ia menggoyang-goyang kepalanya mengusir sisa kepeningan dan kehampaan. Ketika ia memandang sekeliling, ia menjadi terheran-heran melihat sekian banyaknya orang bertanding, sebagian besar wanita. Ia tidak tahu siapa kawan siapa lawan, dan makin heranlah ia ketika melihat Joko Wandiro dikeroyok oleh dua puluh lebih gadis-gadis cantik yang telanjang. Mereka itu mengeroyok sambil cekikikan dan merayu-rayu!
Muak rasa perutnya, dan ia segera meloncat dari situ. Satu-satunya yang ia ketahui benar adalah bahwa Ki Jatoko harus ia bunuh, karena Ki Jatoko inilah yang menyebabkannya. Dan juga kakek tua bangka yang datang bersama Ki Jatoko itu agaknya Bhagawan Kundilomuko, maka kakek itupun harus ia bunuh. Ia dapat menduga! bahwa ia tentu terpedaya oleh kakek itu dengan ilmu mujijat. Cepat-cepat ia lari mencari pondok di mana ia dikeram untuk mengambil kembali pusakanya yang ia sembunyikan.
Dengan hati lega dan gembira Endang Patibroto mendapatkan kembali keris pusakanya, Brojol Luwuk. Ia merasa bersyukur bahwa sebelum ia pingsan, ia masin ingat untuk menyembunyikan pusakanya. Kalau tidak, tentu pusaka itu terjatuh ke tangan musuh dan hal ini amat berbahaya. Kini dengan Brojol Luwuk di tangannya, pulih kembali semua kekuatan dan kegagahannya, maka ia lalu berlari keluar. Begitu ia meloncat keluar, tiga orang laki-laki anak murid Bhagawan Kundilomuko mencegat dan serta-merta menubruk hendak menangkapnya.
"Mampuslah kalian anjing-anjing keparat!" bentak Endang Patibroto, tangan kirinya menampar. Terdengar suara keras dan tiga orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah terkena pukulan halilintar tangan kiri Endang Patibroto! Gadis perkasa ini segera mulai mencari dua ocang yang amat dibencinya di saat itu. Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko!
Dengan sikap beringas penuh amarah bagaikan seekor singa betina, Endang Patibroto mencari Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko. Ia melihat betapa Joko Wandiro dikeroyok puluhan orang wanita telanjang dan anak murid Bhagawan Kundilomuko, melihat pula sepasukan wanita berperang tanding mati-matian melawan para anak murid sang bhagawan, namun ia tidak memperdulikan itu semua.
Setiap kali ada anak buah Durgaloka menghadap di depannya, tangan kirinya menampar dan robohlah si penghadang itu dengan kepala pecah atau dada remuk! Gadis ini sudah marah sekali sehingga setiap gerakannya mengandung hawa pukulan yang amat ganas dan keji. Semua rumah dimasukinya, diobrak-abrik dalam usahanya mencari Bhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko. Bahkan setiap kali keluar dari pondok kosong, gadis ini mendorong dan menendang roboh pondoK itu, kemudian memasuki pondok lain untuk mencari dua orang yang disangkanya bersembunyi di sebuah di antara pondok-pondoK itu.
Ketika ia memasuki pondok di mana selama ini ia ditahan dan di mana ia tadi mendapatkan kembali pusakanya, ia melihat pakaiannya bertumpuk di atas pembaringan. Teringatlah ia bahwa ia masih mengenakan pakaian sutera putih halus yang amat memalukan itu. Cepat-cepat ia berganti pakaian, memakai pakaiannya sendiri. Kemudian ia melanjutkan usahnya mencari dua orang yang amat dibencinya itu.
Setelah semua pondoK ia robohkan dan belum juga ia menemukan dua orang yang dicarinya, Endang Patibroto menjadi marah sekali. Ia meloncat keluar dan menyambar seorang anak murid pertapaan yang terdekat. Anak murid itu wanita dan melihat bahwa ia tidak telanjang, tentu bukan seorang di antara tiga puluh orang penari tadi. Wanita itu berusaha melawan dan menusukkan kerisnya ke arah Endang Patibroto.
"Takk!"
Wanita itu menjerit dan memandang dengan muka pucat. Bukan perut gadis itu yang pecah, melainkan keris di tangannya yang patah dan tinggal gagangnya saja! Sebelum hilang kagetnya, tangan kiri Endang Patibroto sudah mencengkeran pundaknya. Wanita itu menjerit-jerit. Rasa nyeri yang amat luar biasa menembus jantung meresap ke seluruh tulang sumsum seakan-akan ribuan ekor semut memasuki tubuhnya dan menggigitnya dari dalam.
"Aduh, mati aku aduhh ampun..... bunuh saja aku" Wanita itu bersambat, menggeliat-geliat seperti cacing terkena abu panas. Namun Endang Patibroto tidak melepaskan cengkeraman pada pundaknya.
"Hayo katakan di mana tempat sembunyi gurumu dan Ki Jatoko!" Endang Patibroto membentak sambil memandang penuh kebencian.
"Aduhh.... ah, kau.... kau mencari pengantin pria....? Auggghh!!" Wanita itu tak sempat melanjutkan kata-katanya karena sebuah tamparan tangan kiri Endang yang amat keras membuat rahang bawah mukanya remuk. Ia berkelojotan sekarat, tak dapat bicara lagi.
Endang Patibroto kini melompat ke depan dan menyambar seorang anak murid pria, tidak perduli bahwa anak murid ini masih telanjang dan sedang sibuk mengeroyok Joko Wandiro di barisan terbelakang. Sekali banting, laki-laki itu roboh dan Endang Patibroto menggerakkan tangan kirinya, menangkap lengan kiri laki-laki itu dan memilinnya.
"Krekk" Lengan itu patah tulangnya dan laki-Iaki itu melolong kesakitan
"Hayo katakan, ke mana larinya gurumu dan Ki Jatoko?"
"Aku.... aku tidak tahu.... mungkin..... kemana lagi kalau tidak ke hutan Gumukmas dekat pantai ?"
"Gumukmas. Tempat apa itu dan di mana? Jawab cepat!"
Endang Patibroto sudah mencengkeram lengan kanan orang itu, membuat gerakan ancaman untuk mematahkan lagi lengan ini.
"Am..... ampun....Gumukmas tempat pertapaan juga dari sini terus ke selatan....mungkin dia belum jauh...."
Hanya sampai di situ, anak murid ini dapat bicara karena tiba-tiba jari tangan kiri Endang Patibroto sudah menyambar ke lehernya dan terdengar suara tulang patah. Laki-laki itu tewas di saat itu juga! Endang Patibroto melempar pandang ke sekelilingnya. Pertandingan masih berlangsung hebat. Joko Wandiro boleh jadi sakti mandraguna, akan tetapi ia melihat bahwa pemuda itu terlalu lemah hatinya.
Dikeroyok banyak wanita telanjang itu kelihatan gugup dan agaknya pemuda itu tidak cukup tega untuk menjatuhkan tangan maut, hanya merobohkan mereka tanpa melukai berat. Tentu saja hal ini membuat para pengeroyoknya makin ganas dan berani sehingga pertempuran menjadi makin lama. Sementara itu, para wanita yang merupakan pasukan yang datang bersama Joko Wandiro juga bertanding ramai sekali melawan anak murid Durgaloka.
Harus diakui bahwa anak murid Durgaloka rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan dan karena jumlah mereka jauh lebih besar, maka para penyerbu menghadapi perlawanan berat dan banyak di antara para penyerbu roboh pula. Endang Patibroto tersenyum mengejek ke arah Joko Wandiro, kemudian seperti seekor burung srikatan saja gesitnya, ia sudah melompat dari situ, lenyap di antara pohon-pohon kemudian lari bagaikan seekor kijang menuju ke arah selatan, melakukan pengejaran terhadap dua orang yang melarikan diri itu.
Pemberitahuan anak murid Durgaloka yang bernasib sial itu tadi memang tidak bohong. Ketika Dhagawan Kundilomuko dan Ki Jatoko tahu bahwa gadis sakti itu sudah sadar kembali dari pengaruh jampi dan guna-guna, mereka menjadi terkejut dan ketakutan, menggunakan kesempatan selagi gadis itu belum sadar benar, cepat mereka berdua melarikan diri.
Setelah di situ muncul seorang pemuda sakti seperti Joko Wandiro, ditambah lagi Endang Patibroto yang sudah sadar, tentu saja mereka berdua tidak berani membahayakan keselamatan diri untuk melawan pendekar-pendekar muda itu. Dan satu-satunya tempat yang dianggap paling aman oleh Bhagawan Kundilomuko adalah hutan Gumukmas, tempat pertapaannya yang kedua karena tempat ini berada di dekat pantai dan dekat pula dengan Pulau Nusabarung.
Semalam suntuk mereka lari dengan kecepatan mereka. Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, barulah kedua orang ini tiba di hutan Gumuk-mas. Biarpun Bhagawan Kundilomuko seorang tua yang sakti, namun oleh karena ia terlalu suka mengumbar nafsu keadaan tubuhnya kekurangan daya sakti sehingga dipakai lari semalam suntuk itu ia merasa lelah dan kehabisan tenaga. Terengah-engah ia lari menubruk dan memeluk kaki sebuah arca Sang Bathari Durgo yang menjadi dewi pujaannya, kemudian mengeluh,
"Duh Sang Bathari pujaan hamba! Hamba mohon perlindungan, Sang Dewi...."
Ki Jatoko yang sepagi itu sudah berpeluh seluruh muka dan lehernya, mengusap peluh sambil memandang dengan hati kecut. Kecewa ia melihat keadaan pendeta itu. Ternyata biarpun sakti mandraguna, pendeta ini seorang pengecut dan penakut. Pertapaan dan anak muridnya diserbu musuh, malah lari seperti seekor anjing digebuk! Diam-diam ia merasa kecewa telah bersekutu dengan seorang yang sama sekali tak dapat diandalkan itu.
"Paman, kenapa kita berhenti di sini? Bukankah lebih baik kita terus saja berlindung di Nusabarung?"
Bhagawan Kundilomuko menggeleng kepala, menarik napas panjang. Wajahnya muram dan ia berduka juga mengingat anak-anak muridnya yang terkasih itu yang tentu akan terbasmi oleh dua orang muda sakti bersama pasukannya.
"Tidak, anakmas, aku tidak akan pergi ke Nusabarung! Setelah kawan-kawan seperti Cekel Aksomolo dan yang lain-lain tewas, siapa lagi boleh diandalkan? Tentu Jenggala akan mengerahkan pasukan besar menyerang Nusabarung dan kalau kita berada di sana, sama dengan mencari mampus. Tidak, anakmas, biarpun sudah tua, aku belum kepingin mati. Aku hendak pergi kepada keponakanku, Adipati Blambangan."
"Kenapa, paman bhagawan? Kalau kita membantunya dan mengerahkan pasukan mempertahankan Nusabarung, belum tentu kalah oleh barisan Jenggala."
"Tidak, kau pergilah ke Nusabarung kalau kaukehendaki, anakmas. Aku tetap akan pergi ke Blambangan."
Tiba-tiba wajah Ki Jatoko menjadi pucat, matanya terbelalak. Tanpa mereka ketahui datangnya, tahu-tahu ia melihat bayangan.... Endang Patibroto di balik sebatang pohon, di belakang Bhagawan Kundilomuko! Rasa takut yang hebat menggetarkan jantung Ki Jatoko. Namun tidak menghilangkan kecerdikannya yang luar biasa. Ia maklum dalam sedetik itu bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri haruslah mengambil sikap tepat dan cepat. Ia pura-pura tidak melihat bayangan Endang Patibroto dan meloncat ke depan Bhagawan Kundilomuko, menudingkan telunjuknya ke hidung pendeta itu sambil membentak.
"Huh, kau pendeta bajul buntung! Sudah kusangka bahwa engkau adalah seorang pendeta yang tak patut, siapa kira kenyataannya lebih buruk lagi. Engkau tidak setia, pengecut dan pengkhianat! Sungguh aku menyesal sekali telah mendengar bujukanmu. Dengan baik-baik aku mengajak Endang Patibroto untuk merundingkan perihal perang antara Jenggala dan Nusabarung, tahu-tahu engkau gunakan akal keji untuk merobohkannya! Karena aku tidak ingin melihat dua orang gadis itu kau bunuh, terpaksa aku menurut dan...."
"Jatoko! Tutup mulutmu yang busuk....! Kau....kau...!"
Pendeta itu marah sekali sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya dan langsung saja ia menerjang ke depan dan menghantamkan kepalan tangan kanan ke arah dada Ki Jatoko. Melihat pukulan yang mendatangkan angin dingin itu, Ki Jatoko cepat mengangkat lengan kanan pula dan menangkis dari samping. Inilah kesalahannya. Ia tidak tahu bahwa Biarpun dalam ilmu silat ia belum tentu kalah oleh sang pendeta, namun dalam hal tenaga mujijat ia kalah ampuh, kalah kuat. Pendeta ini seorang ahli ilmu hitam, tenaga sakti di tubuhnya memang melemah karena ia hamburkan untuk mengumbar nafsu, akan tetapi tenaga yang timbul dari ilmu hitam amat kuat dan hebat.
"Dukkk !!"
Hebat pertemuan kedua lengan ini dan Ki Jatoko terkejut sekali, berseru keras ketika tubuhnya terlempar ke belakang sampai beberapa meter jauhnya, kemudian ia terbanting roboh di depan arca Bathari Durgo yang sebesar manusia itu. Untuk mencegah tubuhnya terhuyung-huyung, Ki Jatoko memeluk arca itu sehingga kelihatannya ia memeluk dan mencium tubuh arca yang telanjang! Cepat sekali Ki Jatoko menjatuhkan diri untuk mengelak kalau-kalau lawannya melanjutkan serangannya dari belakang. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring,
"Kundilomuko, bersiaplah kau menerima hukumanku!!"
Ki Jatoko cepat menengok dan melihat betapa Endang Patibroto telah menyerang Bhagawan Kundilomuko dengan garang, ia menonton dengan hati risau dan gelisah sekali. Memang ia telah dapat menyelamatkan diri dari tangan Endang Patibroto untuk sementara waktu dengan jalan mengadu gadis sakti itu melawan Bhagawan Kundilomuko. Akan tetapi sampai di manakah hasil daripada akalnya tadi itu? Keadaannya sekarang masih tidak lebih baik daripada tadi.
Sebelum ia menjalankan siasat membalikkan kepala menentang Bhagawan Kundilomuko, ancaman mutlak datang dari Endang Patibroto, akan tetapi ia masih bersahabat dengan pendeta itu. Kini ia telah merobah keadaannya sendiri. Ia menjadikan pendeta itu sebagai musuhnya, akan tetapi mungkin sekali gadis itu dapat ia bujuk kembali dan sikapnya tadi mungkin akan berhasil mengurangi kebencian Endang Patibroto kepadanya. Kini ia gelisah sendiri.
Gadis itu sakti mandraguna, andaikata ia membantu Bhagawan Kundilomuko, belum tentu dapat menangkan gadis itu. Kalau kini ia membantu Endang Patibroto seperti pernah ia lakukan ketika gadis itu bertanding melawan Joko Wandiro, tentu sang bhagawan akan dapat dirobohkan lebih cepat dan ia akan menggunakan kecerdikannya untuk membujuk gadis yang masih hijau ini. Diam-diam Ki Jatoko sudah mempersiapkan jarum racun ular di tangannya.
Pertandingan antara Endang Patibroto dan Bhagawan Kundilomuko berlangsung seru dan mati-matian. Sang bhagawan mula-mula menerjang hebat mengerahkan semua kepandaian dan mengerahkan tenaga dalamnya, menghujankan pukulan-pukulan tangan miring ke arah tubuh Endang Patibroto. Namun dengan mudah Endang Patibroto mengelak dan menangkis. Melihat rangkaian serangannya gagal sama sekali, sang bhagawan meloncat mundur dan berkata,
"Endang Patibroto, aku masih merasa sayang kepadamu. Mengapa kau berkeras hendak bertanding melawanku? Sayang kalau sampai kau roboh binasa. Sebelum terlambat, kuperingatkan kau bahwa lebih baik kita bersahabat. Aku sayang kepadamu, manis. Engkau akan bahagia hidup menjadi isteri Bhagawan Kundilomuko, minta apapun akan terlaksana."
"Tua bangka jahanam! Sudah mendekati mampus masih banyak cakap?" bentak Endang Patibroto gemas.
Bhagawan Kundilomuko tiba-tiba tertawa, tertawa bergelak sampai suaranya menggetarkan seluruh hutan. Ki Jatoko yang menonton, tiba-tiba merasa perutnya kegelian dan tak dapat tertahan lagi iapun tertawa-tawa mengikuti suara ketawa sang bhagawan. Makin lama makin hebat sampai Ki Jatoko terpingkal-pingkal dan bergulingan di atas tanah, di depan kaki arca Bathari Durgo. Endang Patibroto juga merasa geli dan ingin sekali tertawa, sukar untuk mempertahankannya. Mulutnya sudah bergerak-gerak, bibirnya tersenyum-senyum, akan tetapi sebagai murid tunggal Dibyo Mamangkoro yang sakti mandraguna, ia teringat bahwa-ini adalah pengaruh ilmu hitam yang hebat.
Maka ia segera mengerahkan Aji Sardulo Birowo (Pekik Harimau) lalu menjerit atau mengaum dengan keras dan nyaring sekali. Hebat sekali pengaruh pekik mujijat yang disalurkan dengan dorongan tenaga sakti ini. Seketika Bhagawan Kundilomuko menghentikan tawanya, mukanya pucat dan dahinya penuh keringat. Begitu sang bhagawan berhenti tertawa, Ki Jatoko juga otomatis berhenti tertawa. Ki jatoko terkejut dan melompat bangun, mukanya pucat napasnya terengah-engah. Celaka pikirnya, hampir ia menjadi korban. Ia kurang berhati-hati tadi sehingga terseret hawa mujijat dari suara ketawa kakek itu.