Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 37
Bhagawan Kundilomuko kini berdiri dengan kedua lengannya bergoyang-goyang ke atas dan jari-jari tangannya bergerak-gerak mencengkeram membuka seperti kuku harimau. jari-jari tangan ini tergetar dan terdengarlah suara "kletak-kletuk" seakan-akan semua kuku-kuku jarinya meledak-ledak. Bibirnya berkemak kemik dan kulit tubuhnya seakan-akan mengeluarkan minyak, menjadi mengkilat. Sang Bhagawan Kundilomuko sedang mengerahkan kesaktiannya dan dalam keadaan seperti itu ia seakan-akan berotot kawat bertulang besi!
"Bocah perawan sombong! Tak boleh diberi hati! Tidak bisa menjadi isteriku, kau akan menjadi mangsaku. Kuminum darahmu, kuganyang dagingmu, kuhisap sumsummu!"
Setelah mengeluarkan ancaman yang menyeramkan ini, sang bhagawan meloncat ke depan. Ki Jatoko hampir berteriak kaget ketika dalam pandangan matanya, kakek itu berubah menjadi seekor ular naga yang bertubuh manusia, atau manusia berkepala ular naga!
Endang Patibroto juga melihat perubahan ini, namun sekali lagi ia memekik dengan Aji Sardulo Bairowo dan lenyap pula perubahan itu dalam pandang matanya, kemudian ia mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menyelinap ke samping, menghindarkan diri dari tubrukan yang disertai cengkeraman ganas itu. Kemudian, dari samping ia mengirim pukulan dengan jari-jari tangan dikembangkan dan ia telah menggunakan aji pukulan Gelap Musti yang ia pelajari dari kakeknya dahulu.
Sang bhagawan menangkis dan ketika dua lengan bertemu, terdengar suara keras seperti logam beradu. Endang Patibroto terkejut karena ia merasa betapa lengan tangannya dingin sekali, rasa dingin yang meresap ke dalam tulang dan membuatnya bergidik kedinginan.
Pada saat itu, sang bhagawan sudah menerjang lagi dan kini hawa pukulannya mengandung hawa dingin yang mengejutkan. Endang Patibroto harus mempergunakan gerak kecepatan Bayu Tantra untuk menyelamatkan diri, bahkan ia lalu memakai ilmu ibunya, yaitu gerakan burung walet dan camar. Dengan gesit sekali tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang melompat tinggi seperti burung terbang dan menyelinap dari bawah amat capetnya.
Kakek ini menjadi geram dan penasaran. Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan tangguh dan harus mengerahkan seluruh aji dan kepandaiannya, karena pertandingan ini adalah pertandingan mengadu nyawa! Sambil memekik dahsyat, ia meloncat ke depan, mencegat tubuh gadis itu yang baru melayang turun ketika menghindar dari tendangan kakinya. Sebelum tubuh Endang Patibroto tiba kembali di atas tanah, Bhagawan Kundilomuko sudah menyambutnya dengan pukulan kedua tangannya yang dilakukan berbareng, yang kanan menghantam perut, yang kiri menampar ke arah muka.
Pukulan yang amat berbahaya ini menyambar cepat sekali, mengeluarkan hawa yang amat dingin. Endang Patibroto terkejut, tidak menyangka lawannya dapat bergerak secepat itu. Pukulan ke arah muka mudah saja dielakkan, akan tetapi pukulan tangan terbuka dan miring ke arah perutnya tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa ia menangkis ke bawah.
"Dukkk...!!"
Tubuh Endang Patibroto yang masih di atas itu terlempar ke belakang dan gadis ini merasa pundaknya kaku dan amat dingin. Ia kaget dan marah sekali, apalagi melihat pendeta tua itu terkekeh mentertawakannya. Dengan muka beringas Endang Patibroto menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan mengebutlah asap dari kedua tangannya itu sedang telapak tangannya menjadi makin merah. Itulah aji Wisangnolo, aji pukulan jarak jauh Api Beracun yang ia warisi dari gurunya, Dibyo Mamangkoro!
Menyaksikan kehebatan ini, seketika terhenti suara ketawa Bhagawan Kundilomuko, akan tetapi kekagetannya ini masih kalah oleh rasa kagetnya ketika pada saat itu terdengar suara mendesir dari sebelah kiri. Cepat ia mengebutkan tangan kirinya dan runtuhlah tiga batang jarum hitam. Ia memandang Ki Jatoko dengan mata mendelik, saking marahnya tak dapat mengeluarkan kata-kata, seperti hendak menelan hidup-hidup orang buntung itu.
Ki Jatoko menjadi pucat wajahnya. Tak disangkanya bahwa sang bhagawan itu benar-benar sakti dan tinggi kepandaiannya. Sementara itu, ketika Endang Patibroto melihat bantuan ini, ia bukan menjadi girang, sebaliknya ia memaki, "Iblis buntung! Siapa sudi akan bantuanmu? Berdiamlah kau di situ menanti giliran!"
Setelah berkata demikian, tanpa memperdulkan si buntung yang berdiri di dekat arca dengan muka pucat dan dahi penuh keringat, Endang Patibroto sudah menerjang maju, menggunakan tangan kanan yang penuh dengan saluran tenaga Wisangnala untuk menyerang lawan. Bhagawan Kundilomuko melangkah mundur menghindar, kemudian balas memukul dengan tangan kiri. Endang Patibroto yang sudah mengerahkan Aji Wisangnala, tidak takut bahkan sengaja menangkis dengan tangan kanannya.
"Plakkkk"
Lengan kiri Bhagawan Kundilomuko dan tangan kanan Endang Patibroto bertemu seakan-akan lengket. Mereka berdua tak bergerak seperti patung, namun kedua lengan yang bertemu itu menggigil karena di situ terjadi adu kekuatan yang dahsyat. Hawa dingin yang keluar dari tangan kiri pendeta itu bertemu dengan hawa panas yang keluar dari tangan Endang Patibroto! Beberapa menit mereka dalam keadaan seperti ini, muka Endang Patibroto menjadi kemerahan dan muka pendeta itu makin lama makin pucat.
Sebagai seorang yang memiliki ilmu tinggi, Ki Jatoko maklum apa yang sedang terjadi. Ia bukan seorang bodoh. Kalau Sang Bhagawan Kundilomuko menang, dia tentu akan diserang kakek itu dan melihat kesaktian kakek ini dalam pertandingan melawan Endang Patibroto, ia merasa tidak kuat untuk menandinginya. Sebaliknya, kalau Endang Patibroto yang menang, biarpun mungkin ia dapat membujuknya namun masih tetap ada bahayanya, mengingat akan watak gadis itu yang liar dan ganas. Mengapa kesempatan sebaiK ini tidaK ia pergunakan? Mereka sedang mengadu tenaga sakti, siapa yang mengalihkan perhatian akan kalah. Oleh karena itu, diam-diam kakinya yang buntung bergerak dan ia menyelinap pergi dari tempat itu. Ia harus melarikan diri, lebih cepat lebih baik.
Tak lama setelah bayangan Ki Jatoko menyelinap pergi, terdengar Endang Patibroto mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga mengeluarkan lengking panjang. Keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi keadaan Bhagawan Kundilomuko lebih payah karena tangan kirinya menjadi lumpuh dan tergantung lemas di samping pinggangnya. Endang Patibroto hanya merasa betapa lengan kanannya kaku dan kesemutan saja.
Sang Bhagawan Kundilomuko menjadi makin marah. Sambil berteriak keras ia melolos ikat pinggangnya yang terbuat daripada logam kuning seperti emas. Senjata itu ia pegang dengan tangan kanan, diputar di atas kepala dan menerjanglah ia dengan dahsyat.
"Trang-trang..!!"
Alangkah kaget hati pendeta ini ketika melihat ikat pinggangnya patah-patah menjadi beberapa potong ketika bertemu dengan sebatang keris yang mengeluarkan cahaya menyeramkan. Kiranya Endang Patibroto yang marah sudah pula mencabut keris pusaka Brojol Luwuk dan dengan mudah keris pusaka ini membabat putus senjata lawan.
"Celaka..!" Teriakan Bhagawan Kundilomuko ini disusul dengan jerit mengerikan ketika ujung keris pusaka Brojol Luwuk menyentuh lambungnya. Kembali keris yang ganas ini telah mendapat mangsa. Seketika tubuh pendeta tua itu roboh dan kering menghitam, tewas di saat itu juga!
Endang Patlbroto menyimpan kerisnya, sepasang matanya mencari-cari dengan pandang mata liar, kemudian tubuhnya berkelebat cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Ia tadi juga melihat betapa Ki Jatoko pergi namun karena pertandingan melawan Bhagawan Kundilomuko tadi membutuhkan pencurahan tenaga dan perhatian, terpaksa ia mendiamkannya saja. Belum lama si buntung pergi, maka iapun cepat mengejar dan mencari. Setelah beberapa kali melayang naik ke atas pohon yang tinggi, akhirnya ia melihat betapa si buntung berlari-lari cepat menuju ke arah barat. Senyum mengejek mengembang di bibirnya ketika Endang Patibroto melayang turun kembali lalu mengerahkan aji berlari cepat melakukan pengejaran ke barat.
Agak lega rasa hati Ki Jatoko setelah ia meninggalkan hutan Gumukmas dan memasuki hutan lain di sebelah barat. Bhagawan Kundilomuko berniat pergi ke Blambangan yang letaknya di sebelah timur. Nusabarung letaknya di seberang pantai selatan dan Jenggala berada di sebelah utara. Agaknya, siapapun yang menang di antara dua orang itu, tidak akan ada yang mengejar ke arah barat. Hatinya lega, dadanya terlalu lapang. Akan tetapi ia cukup hati-hati dan terus mempergunakan ilmu lari cepat. Ia akan berlari-lari terus sehari penuh itu dan takkan mau berhenti sebelum dunia menjadi gelap yang berarti bahwa ia sudah bebas dan aman betul daripada ancaman dua orang sakti itu.
"Ha-ha-ha! Siapa yang kalah okol (kuat) harus mencari kemenangan mengandalkan akal" katanya dalam hati, akan tetapi saking girangnya, suara hati ini terucapkan keluar melalui mulutnya. Akan tetapi, bibirnya yang belum tertutup rapat sehabis mengeluarkan kata-kata itu, kini terbuka lebar, bersaing lebar dengan kedua matanya. Kedua kakinya yang bunting otomatis berhenti bergerak, tubuhnya menggigil dan merasa betapa rambut di tengkuknya bergerak-gerak meremang dan leher terasa kering, jantung di dada berdetak-detak seperti genderang.
Tak jauh di depannya, hanya empat meter jauhnya, berdiri Endang Patibroto dengan senyum di bibir, senyum yang dingin mengerikan! Beberapa kali Ki Jatoko berusaha mengeluarkan suara. Kecerdikannya membuat otaknya bekerja cepat dan ia hendak menyelamatkan diri menggunakan kata-kata, akan tetapi celaka, lidahnya serasa menempel dengan telak, mulutnya tak dapat digerakkan! Dan senyum itu makin melebar, makin manis makin mengerikan, sepasang mata yang bening itu bersinar-sinar seperti hendak menembus jantungnya.
"E...eh... Endang... eh, syukurlah... syukur kau menang! Pendeta kementhus (sombong) itu memang patut mampus! Aku... hemm, aku tadi berusaha membunuhnya dengan jarum, tapi... tapi ia terlampau sakti... sehingga tak berhasil... hehheh, Endang, kau sungguh hebat, sakti mandraguna. Sungguh bagaikan dewi kahyangan saja... heh-heh" Ki Jatoko yang sudah pulih kembali perasaannya makin lancar bicaranya, mulutnya menyeringai, sikapnya menjilat-jilat.
"Cukup! Kau manusia jahanam, jangan mengira aku akan terbujuk oleh omonganmu yang manis lagi! Kau sengaja menjebakku di Durgaloka, kau bersekongkol dengan Bhagawan Kundilomuko untuk menangkap aku! Manusia macam engkau ini sudah selayaknya mampus!" Endang Patibroto maju perlahan, senyumnya makin dingin, matanya seperti mata harimau marah. Serasa lolos melayang semangat Ki Jatoko dari raganya. Ia mundur-mundur dan wajahnya pucat.
"Jangan...! Endang Patibroto, jangan....aku...aku tertipu oleh Kundilomuko, aku terbujuk... apakah kau tadi tidak melihat betapa aku marah dan menyerangnya? Aku... aku... tidak berniat busuk terhadapmu, mana aku berani? Selain tidak berani, akupun tidak sudi berlaku jahat kepadamu, Endang, karena kau sudah baik kepadaku.... kau tidak membunuh Ayu Candra...."
"Tutup mulut" Endang Patibroto menerjang maju dan sebuah tamparan tangannya tak dapat dielakkan Ki Jatoko, tepat mengenai pipinya.
"Plakkk!"
Serasa kiamat dunia ini bagi Ki Jatoko. Matanya berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung ke belakang. Untung ia seorang yang memiliki kesaktian, kalau tidak tentu sudah pecah kepalanya terkena tamparan itu.
"Endang, jangan bunuh aku... ingat... aku bukan musuhmu... aku sudah membuka rahasia..."
"Wuuuutt...dessss !!"
"Aduh mati aku...!" Tubuh Ki Jatoko bergulingan. Untung pukulan pertama yang mengarah pelipisnya dapat ia elakkan dan hanya sebuah tendangan saja yang membuat ia terjungkal dan bergulingan. Kalau pukulan tadi yang mengenainya, belum tentu ia dapat menahannya.
"Memang kau akan mati di tanganku! Hayo bangkit lah. Kau bukan seorang lemah. Kau memiliki kesaktian. Bangkitlah dan mari kita bertanding, jijik aku melihat lawan yang tidak mau bertanding. Jijik aku membunuh orang yang tidak mau melawan. Hayo bangkit!"
"Endang... betul-betulkah kau berniat membunuh aku....?" Suara Ki Jatoko gemetar dan nadanya menimbulkan iba.
"Betul! Mengapa tidak" bentak Endang Patibroto, kedua tangannya sudah menegang, siap mengirim pukulan maut.
"Tidak..... tidak ! Jangan bunuh aku, aku tidak mau melawanmu. Jangan kaubunuh aku, anakku..... jangan!"
"Wuuuuttt..!!" Pukulan ini merupakan tamparan yang hebat sekali, akan tetapi untung bagi Ki Jatoko bahwa ia sudah siap dan cepat-cepat ia menggulingkan tubuh di atas tanah terus menggelinding menjauhkan diri. Endang Patibroto dengan langkah ringan mengejar.
"Hayo bangun! Pengecut menjijikkan! Hayo bangun dan pergunakan kepandaianmu. Bukankah kau laki-laki? Hayo kaulawan aku!"
"Tidak! Tidak bisa kau membunuh aku, Endang Patibroto!"
"Mengapa tidak?"
"Lupakah kau akan ceritaku, akan pembukaan rahasia besar dalam kehidupanmu? Ceritaku belum habis, kau ingatkah?"
Berubah wajah Endang Patibroto, keningnya yang bagus bentuknya itu berkerut-kerut, matanya menyinarkan kebimbangan hatinya dan mata itu menjadi basah. Cerita itu mengguncangkan hatinya. Dia bukan puteri Pujo? Ayah kandungnya Jokowanengpati yang telah dibunuh ibunya dan isteri muda Pujo?
"Andaikata benar dongengmu itu, tetap tidak ada hubungannya dengan kau. Justeru karena kau menceritakan dongeng busuk kepadaku, kemudian menjebakku bersama Bhagawan Kundilomuko, maka sekarang kau akan kubunuh?"
Kembali Endang Patibroto menerjang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Dua kali ia menampar, sekali kena dielakkan oleh Ki Jatoko, yang kedua kali ditangkis, membuat tubuh si buntung kembali jungkir balik dan roboh. Sebelum Endang Patibroto mengirim pukulan terakhir, Ki Jatoko berteriak, "Jangan bunuh aku! Aku... aku ayahmu! Aku ayah kandungmu, karena akulah Jokowanengpati!"
Tangan yang sudah diangkat ke atas dan sudah menegang penuh tenaga sakti itu, tertahan, menggigil kemudian menjadi lemas dan turun kembali. Sepasang mata itu memandang wajah Ki Jatoko, terbelalak dan kosong, bergerak-gerak bingung, hidungnya kembang-kempis, bibir yang tersenyum dingin kini tertarik seperti orang menderita nyeri yang hebat.
"Kau bohong... kau... kau bohong.... kuhancurkan kepalamu..."
"Boleh. Kau pukullah, kau bunuhlah, akan tetapi ingat, aku benar-benar ayah kandungmu. Aku Jokowanengpati dan kau ini anakku, karena dahulu akulah kekasih ibumu, Kartikosari!"
Kini suara Ki Jatoko tenang, hilang rasa takutnya karena ia sudah mempunyai pegangan. Pegangan yang menguatkan hatinya, yang menimbulkan keyakinannya bahwa hanya inilah jalan keluar dari bahaya maut di tangan gadis sakti ini.
"Bohong! Tak mungkin ibu sudi dengan manusia buruk macam engkau! Kau bukan Jokowanengpati karena orang itu sudah tewas di tangan ibuku "
"Ha-ha-ha! Memang mereka mengira aku telah tewas. Memang, ibumu bersama Roro Luhito mengeroyokku di pantai Laut Selatan. Aku terpelanting dan terjatuh ke dalam lautan. Ibumu dan Roro Luhito tak dapat mengejarku. Akan tetapi malang bagiku, seekor ikan hiu besar menyergap dan menyeretku. Biarpun aku berhasil membunuh ikan itu, akan tetapi kedua Kakiku menjadi buntung, tubuhku menjadi cacat dan mukaku rusak. Mereka tentu mengira aku mati karena melihat aku diseret ikan. Kau tanyalah ibumu. Biarpun aku sudah menjadi begini, ibumu tentu akan mengenal aku. Ha ha-ha, karena aku kekasihnya dahulu, aku ayahmu. Ha-haha!" Ki Jatoko tertawa bergelak ketika melihat betapa Endang Patibroto terhuyung ke belakang seperti disambar petir. Dialah yang kini melangkah maju dan menantang,
"Endang Patibroto, kau anakku, karena itu mana mungkin aku berniat buruk dan jahat terhadap dirimu? Tidak, anakku, sama sekali tidak. Kalau kau tidak percaya dan membunuhku, silahkan. Ini kepalaku, pukullah. Ini dadaku, tusuklah, aku takkan melawan anak kandungku sendiri!"
"Diam! Cukup!!" Endang Patibroto menyumbat kedua telinga dengan jari telunjuknya, matanya dipejamkan. Ki Jatoko tertawa bergelak dan baru berhenti ketika gadis itu membuka matanya.
"Dahulu aku tampan sekali, anakku. Tak usah kau malu, karena dahulu aku jadi seorang laki-laki yang dijadikan rebutan kaum wanita! Kau tanyakan saja kepada ibumu. Wajahmu mirip dengan wajahku ketika itu dan..."
"Cukup! Diam kau dan mari kau ikut bersamaku!"
"Ikut? Ke mana...?" Akan tetapi Ki Jatoko tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Endang Patibroto sudah menyambar tangannya dan menyeretnya dengan berlari cepat sekali. Ki Jatoko tak berdaya meronta, terpaksa iapun mengerahkan kepandaiannya untuk berlari cepat kalau tidak mau terseret-seret oleh gadis yang hebat ini. Hatinya mulai berdebar, akan tetapi ia mengandalkan kecerdikannya. Dengan akalnya, kali inipun ia terbebas daripada maut yang mengerikan di tangan Endang Patibroto. Karena itu, ia tidak mau bicara lagi hanya ikut lari, menyerahkan diri kepada nasib dan kecerdikannya.
Perang kecil yang terjadi di pertapaan Durgaloka berlangsung semalam suntuk dan amat serunya. Biarpun Dewi dan teman-temannya merupakan wanita-wanita terlatih dan rata-rata memiliki ketangkasan, namun karena jumlah mereka kalah banyak sehingga setiap orang harus melayani pengeroyokan dua orang, bahkan Dewi dan adik-adiknya berlima dikeroyok oleh belasan orang, maka mereka menemui tanding yang berat dan banyaklah korban yang jatuh di antara kedua pihak.
Joko Wandiro maklum akan hal ini. Akan tetapi ia hanya tega merobohkan para pengeroyok laki-laki saja karena ia merasa ragu-ragu kalau harus membunuh gadis-gadis yang mengeroyoknya. Baru setelah ia mendengar jerit Dewi menyebut namanya, la terkejut dan cepat kaki tangannya bekerja merobohkan para pengeroyoknya. Hanya dengan membuka jalan darah, merobohkan belasan orang di sebelah kiri, ia dapat lolos dari kepungan. Sambil menyerang kanan kiri dan depan, ia maju terus menuju ke arah suara panggilan Dewi.
Betapa sedih hatinya ketika melihat bahwa anak buah Dewi banyak yang roboh tewas. Pertempuran tinggal beberapa kelompok dan yang terbanyak adalah mereka yang mengeroyoknya. Kini Joko Wandiro menjadi marah. Apalagi ketika ia menemukan Dewi rebah telentang dengan tombak menancap di lambungnya, Joko Wandiro mengeluarkan pekik dahsyat dan mengamuk seperti seekor banteng terluka. Anak buah pertapaan Durgaloka terkejut dan gentar, lalu mereka yang masih belum terluka melarikan diri tersebar ke segala penjuru. Sinar matahari mulai menerangi bumi. Hati Joko Wandiro makin hancur setelah ia dapat melihat keadaan Dewi dan teman-temannya. Dewi masih merintih-rintih ketika ia pangku kepalanya.
"Dewi..! Kau.. terluka...." tanya Joko Wandiro lirih sambil memangku kepala gadis itu. Sekali pandang saja ia tahu bahwa gadis ini tak mungkin dapat ditolong lagi. Tombak yang menusuk lambung amat dalam, hampir tembus!
Dewi membuka matanya. Mulut yang tadinya menyeringai kesakitan itu kini tersenyum, bibirnya bergerak-gerak lemah,
"Joko.. kita... kita menang...."
Joko Wandiro terharu, mengangguk dan mendekap kepala yang tersenyum-senyum itu ke dadanya. Ketika ia menengok ke kanan kiri, ia melihat bahwa Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari juga sudah roboh tak bernyawa lagi. Ia terisak dan memejamkan matanya.
"Joko..."
Ia membuka mata, memangku kepala dan memandang wajah Dewi.
"Joko... tak perlu kau bersedih. Kami berkorban dengan segala kerelaan hati...kami... kami puas... kami... telah menemukan kau... seorang yang... patut kami bela... kami mencintamu, Joko...!"
Kedua mata Joko Wandiro menjadi basah. Teringatlah ia betapa lima orang gadis ini selalu mengharapkan balasan cumbu rayu mereka. Akan tetapi ia selalu berteguh hati tidak melayani mereka. Kini ia merasa menyesal, ia selalu mengecewakan hati mereka, padahal mereka itu benar-benar mencintanya, bersetia sampai mati!
Tanpa ia sadari, ia menundukkan mukanya dan mencium mulut yang menyatakan cinta kasih di ambang maut itu. Kini ia mencium penuh perasaan, penuh cinta kasih, penuh berahi. Ia merasa dengan bibirnya betapa mulut itu terbuka, mengeluh dan keluar sedu-sedan dari dada Dewi yang terengah-engah. Ketika ia melepaskan ciumannya dan memandang, ternyata Dewi sudah tak bernafas lagi, sudah mati dalam keadaan masih tersenyum bahagia! Memang bahagialah siapa saja yang mati dengan keyakinan bahwa dirinya mencinta dan dicinta!
Tiga puluh orang anak buah Dewi kini tinggal dua belas orang saja. Yang lain sudah tewas. Joko Wandiro berulang kali menghela napas panjang penuh penyesalan dan kengerian. Mayat-mayat bergelimpangan. Mayat anak buah Dewi yang telah bertempur mati-matian, mati dengan senjata di tangan, dan mayat anak buah Bhagawan Kundilomuko, banyak yang telanjang bulat, menyeramkan. Ia juga menyesal sekali melihat mayat Sang Wiku Jaladara. Banyak sekali yang tewas dalam pertempuran semalam. Tidak kurang dari enam puluh orang anak buah Durgaloka tewas. Dua belas orang anak buah Dewi yang masih hidup semua menangisi teman-teman yang tewas, Joko Wandiro menjadi makin berduka. Tiba-tiba terdengar suara memanggil,
"Kakang...!
Joko Wandiro menoleh dan sejenak terusirlah kedukaannya, wajahnya berseri ketika ia menghampiri dan berseru, "Ayu Candra...!"
Mereka saling tubruk, dan saling peluk. Ayu Candra menangis sesenggukan di dada kakaknya. Tadi ketika ia siuman dan sadar akan keadaan dirinya, melihat pertempuran hebat, ia menyelinap mencari pakaiannya yang lalu dipakainya untuk mengganti pakaian sutera tipis yang menjijikan itu. Ia masih pening, masih belum sadar benar dan masih bingung. Maka ia menjauhkan diri lalu duduk bersila, bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengusir sisa-sisa pengaruh buruk yang menguasai dirinya.
Ketika ia sadar dari samadhinya, perang sudah berhenti, keadaan sunyi, hanya terdengar suara beberapa orang wanita menangis. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melihat bahwa malam telah berganti pagi dan alangkah bahagia hatinya ketika ia melihat Joko Wandiro.
"Terima kasih kepada Hyang Maha Agung yang telah melindungimu sehingga kita dapat bertemu dalam keadaan selamat adikku," kata Joko Wandiro sambil mengelus rambut yang harum dan halus itu, membiarkan adiknya sesenggukan melepas perasaan hati.
"Aduh, kakang, alangkah banyak derita yang kualami.... semua karena aku tidak menurut nasehatmu kakang. Aku menyesal....maafkan aku.....
"Husshhh, sudahlah, adikku sayang. Kau perlu mengaso dulu. Kelak kita bicara karena sekarang aku harus mengurus semua jenazah yang begini banyak ini"
Joko Wandiro melepaskan Ayu Candra yang ia suruh mengaso, kemudian ia minta bantuan dua belas orang anak buah Dewi untuk menggali lubang-lubang dan mengubur semua jenazah baik kawan maupun lawan, secara sederhana. Khusus untuk jenazah Wiku Jaladara, Dewi, Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari mereka buatkan tempat kubur terpisah. Sehari penuh mereka bekerja dan baru selesai setelah matahari tenggelam. Joko Wandiro lalu mengumpulkan dua belas orang wanita itu dan berkata,
"Kalian semua dengarlah nasehatku baik-baik. Setelah Dewi dan adik-adiknya tewas dalam pertempuran semalam, kiranya tidak ada perlunya lagi kehidupan dalam hutan di Anjasmoro yang kalian tempuh selama ini dilarutkan. Seperti telah menjadi peraturanku, kalian masing-masing berhak untuk hidup wajar dalam masyarakat umum, mencari jodoh dan hidup berumah tangga membentuk keluarga. Kalian telah berjasa besar. Tempat ini, di dalam pondok Bhagawan Kundilomuko itu, banyak terdapat barang-barang berharga. Nah, kalian ambil dan bawa, bagi rata di antara kalian dan pergilah kalian, kembali ke masyarakat ramai. Kuanjurkan untuk kembali ke keluarga masing-masing."
Sambil menangis dua belas orang wanita itu mentaati perintah Joko Wandiro, mengumpulkan emas intan dan benda berharga yang banyak terdapat di Durgaloka, kemudian setelah berpamit mereka pergi berbondong meninggalkan tempat itu, menuju penghidupan baru. Setelah semua wanita Gunung Anjasmoro itu pergi, Ayu Candra yang sudah pulih kembali kesehatannya lalu menghampiri Joko Wandiro yang masih termenung karena belum lenyap kedukaannya oleh jatuhnya demikian banyak korban dalam pertempuran semalam.
"Kakang Joko Wandiro, kau berduka karena akibat perbuatanku, ya?" Suara gadis itu penuh haru dan penyesalan, tangannya merangkul lengan Joko Wandiro.
Joko Wandiro menoleh, lalu merangkul pundak gadis itu. "Tidak karena perbuatanmu, Ayu. Jatuhnya banyak korban ini adalah sewajarnya. Untuk memberantas kejahatan harus pula berani berkorban. Dewi dan saudara-saudaranya tewas sebagai wanita-wanita perkasa yang patut dipuji, demikian pula Wiku Jaladara sudah memenuhi kewajibannya sebagai seorang suci. Aku tidak marah kepadamu, adikku, bahkan aku bahagia sekali dapat bertemu denganmu dalam keadaan selamat. Mengapa engkau meninggalkan aku, adikku? Bencikah engkau kepadaku?"
Ayu Candra memundurkan mukanya dan dua butir air mata menetes turun. Ia menarik napas panjang berkali-kali kemudian berkata lirih, "Aku seperti menjadi buta karena bujukan dan hasutan Ki Jatoko, manusia buntung yang amat keji dan jahat itu. Kau maafkan aku, kakang. Terus terang saja semenjak berpisah denganmu di Sarangan....semenjak..... semenjak kau menjadi.... eh, kakak kandungku....aku kecewa dan.... seperti membencimu. Kemudian ditambah oleh hasutan Ki Jatoko, aku makin curiga kepadamu..... ah, aku menyesal, kakang Joko....."
Joko Wandiro memegang kedua tangan gadis itu. Sejenak mereka saling pandang dan rasa haru menyelinap ke dalam jantung masing-masing. Betapapun, keduanya harus mengaku di dalam hati bahwa mereka tak dapat melenyapkan cinta kasih diantara mereka. Hanya oleh kenyataan bahwa mereka bersaudara sekandung, mereka memaksa diri, memaksa menyelimuti rasa cinta kasih dengan rasa persaudaraan yang dipaksakan. Hal ini menimbulkan rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum dalam hati.
"Ki Jatoko memang seorang jahat yang amat berbahaya dan curang. Engkau yang masih belum berpengalaman sampai terkena hasutan dan terbujuk, hal ini tidak dapat aku menyalahkan engkau, Ayu. Bahkan seorang gadis sakti mandraguna dan ganas seperti Endang Patibroto pun jatuh ke dalam bujukannya sehingga sampai menjadi tawanan di sini. Apalagi engkau yang jujur dan polos. Ah, tentu engkau banyak menderita kesengsaraan, adikku. Kalau saja dahulu kau lebih percaya kepadaku, takkan terjadi semua itu."
Ayu Candra memberengut. Setelah berkumpul dengan Joko Wandiro, timbul pula gaya manjanya. Entah mengapa, di dekat, pemuda ini. selalu ia mempunyai hasrat ingin bermanja, baik dahulu sebagai kekasih maupun kini sebagai adik!
"Kalau dipikir, engkau pula yang menjadi biang keladinya, kakang! Mengapa pula engkau tidak mau menuruti keinginan hatiku membalas dendam kepada mereka yang memusuhi ayahku dan ibunda kita? Mengapa engkau tidak membolehkan aku menuntut balas kepada orang yang membunuh ayah bundaku?"
"Panjang sekali ceritanya, adikku. Kalau kau sudah mendengar semua penuturanku, tentu kau akan mengerti dan akan sependapat dengan aku bahwa permusuhan itu tidak semestinya dilanjutkan sampai berlarut-larut. Terputus atau tersambungnya rantai karena tergantung daripada kita sendiri. Kalau balas-membalas dan permusuhan dilanjutkan, takkan ada habisnya. Kita tidak boleh hanya dipengaruhi oleh akibat dan bertindak tanpa menyelidiki sebabnya terlebih dahulu. Adikku, kematian kedua orang tuamu adalah akibat daripada sebab-sebab yang amat panjang dan nanti akan kuceritakan kepadamu. Sekarang lebih baik kita meninggalkan tempat ini."
"Ke mana, kakang?"
"Kau ikut lah saja, aku akan pergi ke Pulau Sempu."
Ayu Candra kelihatan kaget dan ia melepaskan tangannya dari pegangan Joko Wandiro, "Ke Pulau Sempu? Di sana tinggal Kartikosari dan Roro Luhito, musuh besarku!"
Joko Wandiro segera merangkul adiknya. "Ssttt, kau masih belum dapat melenyapkan pengaruh bujukan beracun dari mulut Ki Jatoko. Kau percayalah kepadaku dan sebelum kau kuajak bertemu dengan mereka, kau akan mendengarkan cerita yang menjadi sebab kematian ayah bundamu, Ayu."
Sejenak Ayu Candra diam, bingung dan ragu. Kemudian ia menubruk Joko Wandiro dan menangis di dada pemuda itu. Joko Wandiro mengerti akan perasaan adiknya, maka ia hanya mengelus-elus rambut yang halus itu sambil meramkan mata menahan hati yang seperti akan mencair oleh rasa cinta kasih. Akhirnya Ayu Candra dapat menekan perasaannya dan berkata,
"Aku menurut, kakang. Mulai sekarang aku akan mentaati segala perintahmu, kau... kau pengganti orang tuaku dan apapun yang kau katakan, akan kutaati."
Joko Wandiro mencium rambut di ubun-ubun kepala gadis itu. "Aku tahu, kau seorang gadis yang mulia, Ayu. Mari kita pergi, tidak enak lama-lama berada di tempat yang sudah berubah menjadi kuburan ini."
Mereka bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Ketika hendak keluar dari hutan, mereka melihat seekor kuda yang sedang makan rumput. Kuda itu cukup baik, lengkap dengan pelananya.
"Ah, tentu ini kuda Durgaloka, yang lain-lain tentu telah melarikan diri dalam keributan tadi. Lumayan kuda ini, lebih baik kau naiki, adikku. Malam hampir tiba, mari kita cepat-cepat pergi dari sini."
"Dan kau, kakang?"
"Aku lari di sebelahmu, apa kau kira kalah oleh kuda?"
"Hi-hik, kau memang seperti kuda!" Ayu Candra sudah mulai timbul kejenakaannya.
"Hushh, masa kakakmu seperti kuda? Kalau kakaknya kuda, adiknya apa?" Joko Wandiro mengimbangi kelakar adiknya.
Ayu Candra tersenyum dan melompat ke atas pelana kuda, lalu membalapkan kuda di sebelah Joko Wandiro yang mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke barat. Setelah gelap baru mereka berhenti di bawah pohon besar untuk melewatkan malam, Joko Wandiro menangkap seekor ayam hutan. Malam itu setelah makan bakar ubi dan daging ayam hutan, mereka bercakap-cakap dan Joko Wandiro mulai menceritakan kepada Ayu Candra akan peristiwa belasan tahun yang lalu. Ia menceritakan hal yang ia dengar dari penuturan bibinya, Roro Luhito dan dari Kartikosari.
"Terus terang saja, Ayu, bahwa pokok pangkal segala peristiwa ini adalah karena kesalahan dua orang, yaitu yang pertama ayah kandungku sendiri, mendiang Raden Wisangjiwo, dan ke dua adalah seorang bernama Jokowanengpati. Paman Pujo dan isterinya, bibi Kartikosari yang mula-mula menjadi korban kejahatan."
Mulailah ia menuturkan betapa Kartikosari dan Pujo yang sedang bertapa itu diganggu oleh kedatangan Raden Wisangjiwo sehingga terjadi pertempuran dan yang membuat Pujo dan Kartikosari roboh pingsan. Ketika sadar Pujo tahu bahwa Kartikosari telah diperkosa orang yang tentu saja oleh mereka berdua dianggap bukan lain orang kecuali Raden Wisangjiwo. Perbuatan keji ini menimbulkan dendam sehingga Pujo yang hendak membalas dendam menyerbu ke Selopenangkep, kemudian karena Pujo tidak menemukan Wisangjiwo, dalam sakit hati dan kebencian membuta ia menculik Listyakumolo bersama anaknya.
"Akulah anak itu, Ayu. Aku baru berusia dua tahun ketika ibu diculik Pujo. Akan tetapi sebagai seorang ksatria utama, paman Pujo tidak tega untuk membalas dendam dengan memperkosa ibuku. Dia hanya pergi membawaku dan kemudian aku dianggapnya sebagai puteranya sendiri dan dididiknya seperti murid terkasih. Sampai menjadi dewasa, aku masih beranggapan bahwa aku adalah putera kandung paman Pujo."
Ayu Candra mendengarkan dengan muka pucat. Rasa kasihan yang besar terhadap Pujo dan Kartikosari sudah menghapus sebagian besar dendam hatinya. Tanpa mengganggu sedikitpun ia mendengarkan terus, pandang matanya bergantung pada bibir Joko Wandiro.
"Peristiwa itu membuat paman Pujo dan bibi Kartikosari berpisahan, mereka menderita lahir batin sampai belasan tahun dan bibi Kartikosari yang sudah mengandung kemudian melahirkan anak dalam keadaan yang mengerikan dan menderita sekali "
"Endang Patibroto !!" Ayu Candra memotong cepat.
"Benar," Joko Wandiro mengangguk. "Kemudian ibumu, juga ibuku, Listyakumolo yang bernasib malang, karena kehilangan aku, menerima pukulan batin hebat sehingga terganggu pikirannya. Ayahku yang ketika itu masih menyeleweng dari kebenaran malah mengirimnya pulang kerumah orang tua ibu kita, di lereng Lawu. Kalau nasib sedang dirundung kemalangan, belum lama setelah ibu dipulangkan, daerah itu diserbu perampok, semua keluarga kakek kita di sana habis dibunuh, kecuali ibu kita yang diculik oleh kepala perampok."
"Ah, kasihan ibu...!" Ayu Candra terisak, teringat kepada ibunya yang tercinta.
"tentang nasib ibu kita selanjutnya, aku tidak pernah mendengar ceritanya, dan tahu-tahu ibu kita telah tinggal bersama ayahmu di Sarangan. Sangat boleh jadi ibu kita tertolong oleh ayahmu, kemudian mereka menjadi suami isteri dan lahirlah engkau."
Ayu Candra mengangguk-angguk, air mata bertetesan di atas kedua pipi. Sejenak mereka diam, masing-masing tenggelam dalam lamunan. Ayu Candra mengenangkan ibunya yang tercinta. Adapun Joko Wandiro menekan perasaannya yang terasa perih dan sakit karena selama hidupnya, belum pernah ia berjumpa dengan ibu kandungnya, belum pernah ia melihat bagaimana wajah ibunya. Untuk mencegah agar kenangan pahit ini tidak meracuni hatinya, ia melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan betapa ayahnya, Raden Wisangjiwo, akhirnya sadar namun sudah terlambat karena ketika ayahnya mencari ibunya di lereng Lawu, ibunya sudah tidak ada. Diceritakan pula betapa ayahnya tewas dalam perang ketika membantu Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu.
"Akhirnya, paman Pujo dan bibi Kartikosari bertemu dengan ayahku dan barulah mereka itu tahu bahwa yang melakukan perbuatan keji terhadap diri bibi Kartikosari di dalam Gua Siluman itu bukanlah ayahku, melainkan Jokowanengpati. Paman Pujo menyesali perbuatannya, telah menculik aku dan menyengsarakan kehidupan ibuku. Karena itulah, ketika ibu kita bersama ayahmu datang ke Sungapan dan bertemu dengan paman Pujo, maka paman Pujo menyerahkan nyawanya di tangan ibu kita. Tanpa melawan paman Pujo rela ditusuk keris oleh ibu kita, untuk membalas dan menebus dosanya dahulu. Bahkan sebelum meninggal dunia, paman Pujo melarang bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito, yaitu adik kandung ayahku yang juga menjadi isteri paman Pujo, untuk membalas dendam. Paman Pujo rela menebus permusuhan itu dengan nyawa dan menghabiskan sampai di situ saja."
Ayu Candra memandang wajah kakaknya yang membayangkan keharuan, kekaguman dan kedukaan. Tahulah Ayu Candra bahwa guru kakaknya ini, Pujo, tentulah seorang ksatria yang amat gagah perkasa dan mulia sehingga rela menebus kesalahan dengan menyerahkan nyawa. Iapun menjadi terharu.
"Sayang sekali," Joko Wandiro menghela napas, "manusia berdaya upaya, namun Sang Hyang Wisesa yang menentukan kesudahannya. Maksud mulia paman Pujo itu ternyata gagal karena pada saat itu sebelum ia mati, datang secara tiba-tiba Endang Patibroto yang telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito mentaati pesan paman Pujo, akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Begitu mendengar bahwa paman Pujo adalah ayah kandungnya yang baru saja ia jumpai selama hidupnya, dan melihat betapa ayahnya yang baru dijumpainya itu tewas tanpa melawan oleh ibu kita yang masih berada di situ, ia lalu menerjang dan berhasil menewaskan ibu kita, bahkan melukai ayahmu sehingga ayahmu meninggal dunia."
Ayu Candra terisak menangis. Joko Wandiro mendiamkannya sampai tangis adiknya mereda. Barulah ia bicara lagi dengan suara halus, "Demikianlah, adikku. Kita tidak boleh dihanyutkan oleh dendam. Kalau kita renungkan, bukankah perbuatan Endang Patibroto itupun wajar, seperti engkau pula yang melihat orang tua terbunuh lalu timbul kemarahan dan dendam? Memang, dia terlalu ganas sehingga tidak memperdulikan pesan ayahnya, tidak memperdulikan cegahan ibunya. Akan tetapi, apakah kita perlu meniru dia? Bukankah lebih sempurna kalau kita taati pesan paman Pujo yang hendak menghabiskan urusan permusuhan dengan penebusan nyawanya? Dan terutama sekali, bukankah ayahmu sendiri meninggalkan pesan terakhir sebelum meninggal dunia, bahwa kau dilarang membalas dendam, dilarang untuk melanjutkan permusuhan? Inilah sebabnya, adikku sayang, mengapa aku melarang engkau mencari bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito untuk membalas dendam."
Ayu Candra tidak menjawab, hanya menubruk kakaknya dan menangis dengan muka di atas pangkuan Joko Wandiro. Sampai lama sekali Ayu Candra menangis dan Joko Wandiro mendiamkannya saja, membiarkan gadis itu menghanyutkan semua rasa dendam dan sakit hati keluar bersama air matanya.
Setelah Ayu Candra kini mingsek-mingsek sebagai sisa tangisnya, Joko Wandiro lalu memegang kedua pundaknya dan mendorongnya duduk kembali. "Sekarang, aku sengaja akan mengajakmu ke Pulau Sempu menemui mereka berdua, Ayu, dan aku yakin bahwa kalau kau telah bicara dengan mereka berdua, kaupun pasti akan membenarkan pendapatku ahwa mereka berdua itu bukanlah orang-orang jahat yang patut dijadikan musuh. Kita pergi mengunjungi Pulau Sempu yang tak jauh lagi, kemudian dari sana aku akan mengajakmu ke Panjalu untuk mencari Joko Seto "
"Siapa?" Suara Ayu Candra masih gemetar.
"Joko Seto, putera paman Darmobroto. Lupakah kau akan pesan ayahmu? Engkau dijodohkan dengan Joko Seto, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus perjodohanmu, karena sekarang akulah yang menjadi pengganti orang tuamu, akulah yang menjadi walimu karena aku adalah kakak kandungmu!"
Ayu Candra mengerutkan keningnya yang bagus, lalu menggeleng kepalanya. Aku.... aku tidak mau menikah!"
"Eh, jangan begitu, adikku. Tak mungkin pesan terakhir ayahmu akan engkau abaikan begitu saja dan "
"Sudahlah, aku tidak suka bcara tentang itu. Terserah saja kepadamu kelak. Tentang Pulau Sempu... kakang, perlu benarkah kita ke sana? Rasanya tidak nyaman hatiku kalau harus bertemu dengan mereka, sungguhpun penuturanmu tadi cukup menekan dan menghilangkan tekadku untuk membalas dendam."
Joko Wandiro memegang jari-jari tangan adiknya yang kecil-kecil dan halus. "Ayu Candra, sesungguhnya bukan hanya untuk menghadap kedua orang bibi itu, melainkan aku mempunyai kepentingan yang besar di Pulau Sempu. Aku hendak mengambil pusaka yang kusimpan di sana. Urusan ini amat pentingnya, karena itu adalah urusan Kerajaan Panjalu dan aku harus mentaati pesan eyang guru Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."
Ayu Candra mengangguk-angguk. Sebagai puteri seorang pendekar sakti, ia tahu akan kepentingan ini. "Akan tetapi setelah itu, mengapa harus ke Panjalu? Aku lebih senang kalau kau ajak kembali ke Sarangan, aku... aku kepingin nyekar (menabur bunga) di telaga untuk arwah ayahku...."
Joko Wandiro menarik napas panjang. Ia maklum bahwa sebetulnya gadis ini menyatakan keberatannya pergi ke Panjalu untuk mencari Joko Seto. Diam-diam ia menjadi bingung. Ada rasa syukur dan senang di sudut hatinya melihat betapa gadis ini agaknya tidak suka berjodoh dengan lain orang, berarti tak dapat menghapus cinta kasih di antara mereka, akan tetapi kesadarannya membisukan bahwa ia harus berusaha merangkap perjodohan yang sudah dipesankan oleh ayah gadis ini.
"Begini, adikku. Setelah aku mengambil pusaka, aku harus menghaturkan pusaka itu kepada sang prabu di Panjalu, maka terpaksa aku harus ke sana. Setelah hal itu beres, barulah aku akan mengantarmu ke Sarangan."
Ayu Candra tidak membantah lagi dan malam itu ia tertidur dengan kepala berbantal paha Joko Wandiro yang duduk bersila. Kuda tunggangan mereka juga mengaso di bawah pohon, kadang-kadang menyabetkan ekornya, kadang-kadang mendengus mengusir nyamuk.
Ketika Joko Wandiro dan Ayu Candra sudah sampai di hutan terakhir di Pegunungan Kidul, dekat pantai selatan, tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari dan Ayu Candra juga menahan kendali kuda. Dua orang muda ini berdiri memandang ke depan dengan mata terbelalak, karena di depan mereka telah menghadang dua orang yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka akan mereka jumpai di situ. Mereka berdua itu adalah Endang Patibroto dari Ki Jatoko!!
Endang Patibroto tersenyum mengejek ketika Ayu Candra meloncat turun dari kuda dan menggandeng tangan kiri Joko Wandiro karena gadis ini merasa gelisah dan ngeri. Ia mengenal dua orang itu dan tahu bahwa mereka adalah iblis-iblis yang ganas dan keji lagi berbahaya. Ayu Candra sama sekali tidak tahu bahwa sikapnya yang tampak mesra ini bagi Endang Patibroto merupakan minyak yang menyiram api didada, membuat Endang Patibroto tersenyum dingin untuk menyembunyikan hati yang panas.
"Hemm, bagus sekali! Kebetulan di sini kita bertemu, Joko Wandiro. Di sinilah kita lanjutkan pertandingan kita dahulu. Terimalah seranganku!!"
Endang Patibroto sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada Joko Wandiro dan langsung menerjang dengan gerakan kilat, memukulkan tapak tangannya ke arah dada pemuda itu. Joko Wandiro kaget dan cepat ia mendorong tubuh Ayu Candra ke kiri, kemudian mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis pukulan Endang Patibroto.
"Dukk...!!" Dua orang itu terdorong mundur.
"Endang Patibroto! Gilakah engkau? Begitu tak berbudikah engkau sehingga kau lupa bahwa kakang Joko yang menyelamatkan engkau dari tangan Bhagawan Kundilomuko?"
Ayu Candra berteriak-teriak untuk mencegah pertandingan yang seru. Akan tetapi sia-sia belaka. Endang Patibroto mana mau mendengarkan cegahannya? Gadis ini dengan ganas menerjang terus, seperti dahulu ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
"Hemm, Endang Patibroto. Engkau benar keterlaluan sekali! Juga kau sombong bukan main. Apa kau kira aku tak dapat menanggulangimu?" bentak Joko Wandiro yang mulai marah dan pemuda inipun balas menyerang dengan antep dan cepat.
Ketika Ayu Candra yang gelisah hendak mencegah, tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang. Ia menjerit dan menampar ke belakang, akan tetapi kembali tangannya itu tertangkap. Melihat bahwa yang menangkapnya adalah Ki Jatoko, ia meronta-ronta sekuatnya.
"Heh-heh, cah ayu, biarkan mereka berdua saling hantam. Mari menyelamatkan diri bersamaku. Mari kita cari musuh-musuh kita, kita hancurkan mereka. Lekas, kau ikut denganku!!"
"Tidak... kau lepaskan aku! Lepaskan.....! Manusia iblis kau, jahanam busuk, aku tidak mau dibujuk lagi! " Ayu Candra merenggutkan tangannya dan memutar tubuh sambil memukulkan tangan itu ke arah leher Ki Jatoko. Karena marah dan benci, Ayu Candra menjadi nekat dan serangannya cukup keras dan kuat.
"Wuuuttt.....!!" Dengan mudah Ki Jatoko yang memang memiliki ilmu kepandaian dan pengalaman jauh lebih tinggi daripada gadis jelita itu, miringkan tubuh mengelak dan secepat kilat lenganj kirinya melingkar dan memeluk pinggang Ayu Candra yang kecil ramping.
"Hemm, bocah bodoh!" Sambil berkata begini, dua buah jari tangan kanan Ki Jatoko menusuk tengkuk Ayu Candra, menotok jalah darah dengan kuat dan cepat sekali. Seketika tubuh Ayu Candra menjadi lemas karena ia telah pingsan. Ki Jatoko menangkap dan memondongnya.
Dalam pertandingan menghadapi Endang Patibroto kali ini, Joko Wandiro tidak bersikap mengalah seperti yang lalu. Ia merasa marah, apalagi iapun amat khawatir akan keselamatan Ayu Candra. Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat mengalahkan Endang Patibroto, Ayu Candra akan terancam keselamatannya, terutama oleh Ki Jatoko. Dan untuk mengalahkan Endang Patibroto, bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan pengerahan tenaga dan kepandaian sepenuhnya. Karena inilah maka begitu bertanding, ia mengirim pukulan-pukulan yang hebat dan dahsyat, mengisi kedua lengannya dengan Aji Bojro Dahono dan menggerakkan tubuhnya amat cepat dengan Ilmu Bramoro Seto.
Endang Patibroto terkejut bukan main. Terasa olehnya bahwa gerakan pemuda ini Jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu selalu terdesak olehnya dan hanya menggunakan siasat bertahan, kini dialah yang terdesak. Hawa pukulan yang amat panas membuyarkan Aji Wisangnala yang ia gunakan, dan kecepatan Joko Wandiro membingungkannya.
Pada saat Joko Wandiro berkesempatan mengerlingkan matanya ke arah Ayu Candra dan melihat betapa gadis itu telah pingsan dan dipondong oleh Ki Jatoko yang siap hendak melarikannya, kemarahannya memuncak. Pekik dahsyat keluar dari mulutnya dan terjangannya kali ini biarpun dapat ditangkis oleh Endang Patibroto, namun demikian dahsyatnya sehingga membuat gadis sakti ini terlempar ke belakang sampai lima meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sehingga bergulingan! Ia tidak terluka hebat, namun hal ini membuat ia kaget setengah mati dan terutama malu yang berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap! Baru sekali ini selama hidupnya ia menerima hinaan, dipukul sampai terlempar dan terbanting terguling-guling!
"Joko Wandiro, sekali ini kau mampus di tanganku!" teriaknya sambil mencabut keris pusaka Brojol Luwuk dari pinggangnya!
Akan tetapi begitu ia berhasil merobohkan Endang Patibroto, sekali melompat Joko Wandiro sudah menerjang Ki Jatoko. Si buntung ini tadi sudah meloncat hendak lari, akan tetapi pekik dahsyat Dirodo Meto demikian hebat pengaruhnya sehingga ia terkejut dan kedua kaki buntungnya seakan-akan lumpuh. Pada saat itu, tangan kiri Joko Wandiro memukul punggungnya dengan Aji Pethit Nogo, sedangkan tangan kanan pemuda perkasa ini merenggut dan merampas tubuh Ayu Candra. Ki Jatoko sudah mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, namun tetap saja ia terguling, tidak kuat menerima pukulan ini, dan ia roboh pingsan.
Ketika Joko Wandiro yang kini memondong tubuh adiknya itu memutar tubuh dan melihat Endang Patibroto sudah menghunus keris, ia terkejut sekali. Keris di tangan gadis itu mengeluarkan hawa yang membuat bulu tengkuknya meremang dan jantungnya berdenyut keras. Itulah merupakan tanda bahwa keris pusaka di tangan gadis itu sebuah senjata pusaka yang ampuhnya menggila. Dan ia teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu.
Tak salah lagi, keris itu adalah keris pusaka Brojol Luwuk, keris pusaka Mataram yang dulu dipilih oleh gadis itu di depan eyang guru mereka. Keris pusaka Mataram yamg tersimpan di dalam patung kencana Sri Bathara Wisnu! Akan tetapi mengapa berada di tangan gadis ini. Bukankah dahulu eyang guru mereka, Sang Bhagawan Rukmoseto atau Sang Bhargowo menyuruh mereka menyembunyikan pusaka masing-masing di Pulau Sempu?
"Berhenti kau Joko Wandiro dan mari lanjutkan sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di sini!" bentak Endang Patibroto sambil menerjang maju.
Joko Wandiro tahu akan bahayanya. Dengan keris pusaka sehebat itu, yang hawanya saja hampir melumpuhkan semangatnya, apalagi dengan memondong tubuh Ayu Candra, andaikata tidak demikianpun, belum tentu ia cukup kuat untuk menandingi Endang Patibroto dengan keris pusakanya itu. Maka ia lalu cepat melompat jauh ke kiri? Sengaja memperlambat larinya. Endang Patibroto berseru nyaring,
"Berhenti kau! Jangan lari, pengecut!!" Gadis perkasa itu mengejar dengan keris di tangan.
Entah bagaimana, melihat kembali Joko Wandiro membela dan melindungi Ayu Candra, timbul kemarahan dan kebencian yang amat hebat di hatinya dan niat hatinya pada saat itu tiada lain, membunuh mereka berdua barulah ia akan merasa puas! Ketika melewati segerombolan pohon dan hampir dapat menyusul Joko Wandiro, tiba-tiba pemuda itu membelok ke kanan, memutari pohon dan kini menggunakan Aji Bayu Sakti melompat bagaikan terbang cepatnya, kembali ke tempat tadi atau lebih tepat berlari menuju ke tempat kudanya.
"Berhenti kau, keparat Joko Wandiro! Berhenti!!" Endang Patibroto mengejar dengan marah.
Akan tetapi Joko Wandiro sambil memondong tubuh Ayu Candra yang masih pingsan sudah melompat bagaikan seekor kijang, hinggap di atas pelana kuda. dan pada detik selanjutnya kuda itu sudah dibalapkan cepat meninggalkan tempat itu. Endang Patibroto berhenti mengejar, memandang debu yang mengepul tinggi di belakang kuda. Ia membanting-banting kaki, memaki-maki dan akhirnya ia menjatuhkan diri di atas tanah, menangis terisak-isak dengan perasaan yang tidak karuan. Marah, malu, benci, duka, dan entah perasaan pahit apa lagi yang saat itu mengamuk di dalam hatinya.
Setelah akhirnya gelora hatinya dapat ditekan, Endang Patibroto bangkit, menyimpan keris pusakanya lalu menghampiri tubuh Ki Jatoko yang masih belum bangun. Dengan ujung kakinya ia membalikkan tubuh yang tertelungkup itu, mengguncang-guncangkannya. Ki Jatoko mengeluh dan merangkak bangun. Ketika bagaikan orang bangun dari mimpi buruk ia mengangkat muka dan melihat Endang Patibroto, teringatlah ia akan semua peristiwa dan matanya mencari-cari ke kanan kiri.
"Bangunlah dan hayo kita melanjutkan perjalanan."
"Mana... mana... Ayu Candra..."
"Cerewet! Hayo jalan!" Encang Patibroto menarik lengan Ki Jatoko dan menyeretnya bangun dengan sentakan kasar sekali.
"Aduh...! Aku...punggungku terpukul, sakit bukan main ...!" Ki Jatoko mengeluh lagi. "Kita mengaso dulu, Endang..."
"Tidak! Hayo jalan terus!"
"Kasihanilah, Endang. Aku letih dan lapar, haus dan sakit-sakit tubuhku kau kasihanilah, aku ayah..."
"Diam! Sebelum tiba di Sempu, jangan sebut-sebut lagi hal itu atau kuhancurkan kepalamu!"
Melihat pandang mata yang dingin itu, Ki Jatoko bergidik, kemudian karena maklum bahwa di tangan gadis ini ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, iapun lalu mengikutinya melanjutkan perjalanan.
Sementara itu, Joko Wandiro sudah membawa lari Ayu Candra. Setelah tiba di tepi pantai dari mana tampak Pulau Sempu, barulah ia turun dari kuda. Ayu Candra sudah siuman. Di tengah jalan tadi dengan mengurut punggungnya, Joko Wandiro telah membebaskan pengaruh totokan Ki Jatoko.
"Kakang, kenapa kau tidak lawan dan bunuh saja Endang Patibroto itu? Biarpun kita tidak akan mendendam kepadanya, akan tetapi dia itu seorang gadis jahat dan ganas seperti iblis. Dia yang selalu memusuhi dan menyerangmu terlebih dulu. Mengapa kau selalu mengalah kepadanya?"
"Ah, kau tidak tahu adikku. Dia itu bagaimanapun juga adalah puteri paman Pujo dan bibi Kartikosari, bagaimana aku tega untuk membunuhnya? Selain itu, dengan keris pusaka Mataram di tangannya, tak mungkin aku dapat menang melawan dia. Sudahlah, mari kita mencari perahu. Kuda ini cukup ditukar dengan sebuah perahu kecil."
Dan memang betul dugaannya. Seorang nelayan dengan senang hati menukarkan perahu kecilnya yang butut dengan kuda itu, karena memang kuda ini jauh lebih mahal harganya. Penukaran ini mendatangkan untung besar baginya. Demikianlah, tanpa membuang waktu lagi Joko Wandiro lalu mengajak Ayu Candra untuk berlayar, menyeberang ke Pulau Sempu yang sudah tampak dari pantai Laut Selatan.
Kartikosari dari Roro Luhito hidup dengan aman dan tenang di Pulau Sempu. Pulau ini kosong dan tanahnya cukup subur sehingga dua orang wanita perkasa itu tidak mendapat kesukaran untuk hidup mengasingkan diri di situ. Mereka bercocok tanam dan mendirikan sebuah pondok baru karena pondok bekas tempat tinggal Resi Bhargowo telah rusak. Kandungan mereka sudah makin tua. Kartikosari mengandung tujuh bulan sedangkan Roro Luhito mengandung lima bulan.
Sebagai puteri-puteri yang memiliki kepandaian tinggi, hidup menyendiri di pulau itu bukanlah hal yang sukar bagi mereka, bahkan menenangkan pikiran setelah mereka mengalami hal-hal yang menegangkan di masa yang lalu. Juga merupakan hiburan atas kedukaan hati mereka kehilangan suami. Yang terutama sekali, tempat yang sunyi dan jauh dari dunia ramai ini merupakan tempat sembunyi yang paling aman sehingga tak mungkin ada musuh yang dapat mengganggu mereka. Hanya Joko Wandiro seorang yang tahu akan tempat sembunyi mereka ini. Orang lain siapakah dapat menduga bahwa dua orang puteri itu bersembunyi di pulau kosong?
Mereka mempunyai sebuah perahu dan dengan perahu inilah kadang-kadang Roro Luhito menyeberang untuk mencari kebutuhan mereka yang tak dapat ditemukan di atas pulau. Dan pada siang hari itu, Roro Luhito baru saja datang dari darat, di mana ia mencari dan membeli bumbu-bumbu masak karena persediaan di pulau sudah habis. Mereka berdua duduk meneduh di bawah pohon sambil menikmati angin semilir dan memandang ombak-ombak Laut Selatan yang menggelora ke pantai.
"Kak Sari, ada orang datang berperahu...!" Tiba-tiba Roro Luhito berbisik sambil menudingkan telunjuknya ke arah pantai.
Kartikosari cepat memandang dan bangkit berdiri. Betul saja. Sebuah perahu makin mendekati pulau. Keduanya menduga-duga dengan hati berdebar dan tanpa disadari mereka sudah berpindah tempat, menyelinap di balik segerombolan tanaman untuk menyembunyikan diri. Mereka tidak ingin dilihat orang luar. Sambil bersembunyi dua orang wanita perkasa itu mengintai.
"Mereka Joko Wandiro dan Endang Patibroto...!" Kartikosari berseru setelah perahu itu makin dekat pulau. Suaranya terdengar penuh kegembiraan dan kini mereka berdua melompat keluar dari tempat sembunyi. Setengah berlari mereka menuju ke tepi laut dan melambai-lambaikan tangan.
"Joko...Endang...! Ke sini....!"
Kartikosari berseru keras. Suaranya nyaring terbawa angina melalui atas ombak samudera. Agaknya terdengar oleh Joko Wandiro karena pemuda itu sambil mendayung, sejenak melambaikan tangan ke atas.
"Kak Sari, gadis itu bukan Endang....!!" Roro Luhito berkata, suaranya mulai tegang.
"Bu... bukan Endang... benar, dia bukan anakku...!" Suara Kartikosari tidak hanya tegang, bahkan gemetar.
Roro Luhito dengan halus memegang tangan madunya, menepuk-nepuk perlahan untuk menenangkan hati dan menghiburnya. "Siapapun dia, kalau datang bersama Joko Wandiro, tentu seorang baik-baik."
"Bocah perawan sombong! Tak boleh diberi hati! Tidak bisa menjadi isteriku, kau akan menjadi mangsaku. Kuminum darahmu, kuganyang dagingmu, kuhisap sumsummu!"
Setelah mengeluarkan ancaman yang menyeramkan ini, sang bhagawan meloncat ke depan. Ki Jatoko hampir berteriak kaget ketika dalam pandangan matanya, kakek itu berubah menjadi seekor ular naga yang bertubuh manusia, atau manusia berkepala ular naga!
Endang Patibroto juga melihat perubahan ini, namun sekali lagi ia memekik dengan Aji Sardulo Bairowo dan lenyap pula perubahan itu dalam pandang matanya, kemudian ia mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menyelinap ke samping, menghindarkan diri dari tubrukan yang disertai cengkeraman ganas itu. Kemudian, dari samping ia mengirim pukulan dengan jari-jari tangan dikembangkan dan ia telah menggunakan aji pukulan Gelap Musti yang ia pelajari dari kakeknya dahulu.
Sang bhagawan menangkis dan ketika dua lengan bertemu, terdengar suara keras seperti logam beradu. Endang Patibroto terkejut karena ia merasa betapa lengan tangannya dingin sekali, rasa dingin yang meresap ke dalam tulang dan membuatnya bergidik kedinginan.
Pada saat itu, sang bhagawan sudah menerjang lagi dan kini hawa pukulannya mengandung hawa dingin yang mengejutkan. Endang Patibroto harus mempergunakan gerak kecepatan Bayu Tantra untuk menyelamatkan diri, bahkan ia lalu memakai ilmu ibunya, yaitu gerakan burung walet dan camar. Dengan gesit sekali tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang melompat tinggi seperti burung terbang dan menyelinap dari bawah amat capetnya.
Kakek ini menjadi geram dan penasaran. Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan tangguh dan harus mengerahkan seluruh aji dan kepandaiannya, karena pertandingan ini adalah pertandingan mengadu nyawa! Sambil memekik dahsyat, ia meloncat ke depan, mencegat tubuh gadis itu yang baru melayang turun ketika menghindar dari tendangan kakinya. Sebelum tubuh Endang Patibroto tiba kembali di atas tanah, Bhagawan Kundilomuko sudah menyambutnya dengan pukulan kedua tangannya yang dilakukan berbareng, yang kanan menghantam perut, yang kiri menampar ke arah muka.
Pukulan yang amat berbahaya ini menyambar cepat sekali, mengeluarkan hawa yang amat dingin. Endang Patibroto terkejut, tidak menyangka lawannya dapat bergerak secepat itu. Pukulan ke arah muka mudah saja dielakkan, akan tetapi pukulan tangan terbuka dan miring ke arah perutnya tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa ia menangkis ke bawah.
"Dukkk...!!"
Tubuh Endang Patibroto yang masih di atas itu terlempar ke belakang dan gadis ini merasa pundaknya kaku dan amat dingin. Ia kaget dan marah sekali, apalagi melihat pendeta tua itu terkekeh mentertawakannya. Dengan muka beringas Endang Patibroto menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan mengebutlah asap dari kedua tangannya itu sedang telapak tangannya menjadi makin merah. Itulah aji Wisangnolo, aji pukulan jarak jauh Api Beracun yang ia warisi dari gurunya, Dibyo Mamangkoro!
Menyaksikan kehebatan ini, seketika terhenti suara ketawa Bhagawan Kundilomuko, akan tetapi kekagetannya ini masih kalah oleh rasa kagetnya ketika pada saat itu terdengar suara mendesir dari sebelah kiri. Cepat ia mengebutkan tangan kirinya dan runtuhlah tiga batang jarum hitam. Ia memandang Ki Jatoko dengan mata mendelik, saking marahnya tak dapat mengeluarkan kata-kata, seperti hendak menelan hidup-hidup orang buntung itu.
Ki Jatoko menjadi pucat wajahnya. Tak disangkanya bahwa sang bhagawan itu benar-benar sakti dan tinggi kepandaiannya. Sementara itu, ketika Endang Patibroto melihat bantuan ini, ia bukan menjadi girang, sebaliknya ia memaki, "Iblis buntung! Siapa sudi akan bantuanmu? Berdiamlah kau di situ menanti giliran!"
Setelah berkata demikian, tanpa memperdulkan si buntung yang berdiri di dekat arca dengan muka pucat dan dahi penuh keringat, Endang Patibroto sudah menerjang maju, menggunakan tangan kanan yang penuh dengan saluran tenaga Wisangnala untuk menyerang lawan. Bhagawan Kundilomuko melangkah mundur menghindar, kemudian balas memukul dengan tangan kiri. Endang Patibroto yang sudah mengerahkan Aji Wisangnala, tidak takut bahkan sengaja menangkis dengan tangan kanannya.
"Plakkkk"
Lengan kiri Bhagawan Kundilomuko dan tangan kanan Endang Patibroto bertemu seakan-akan lengket. Mereka berdua tak bergerak seperti patung, namun kedua lengan yang bertemu itu menggigil karena di situ terjadi adu kekuatan yang dahsyat. Hawa dingin yang keluar dari tangan kiri pendeta itu bertemu dengan hawa panas yang keluar dari tangan Endang Patibroto! Beberapa menit mereka dalam keadaan seperti ini, muka Endang Patibroto menjadi kemerahan dan muka pendeta itu makin lama makin pucat.
Sebagai seorang yang memiliki ilmu tinggi, Ki Jatoko maklum apa yang sedang terjadi. Ia bukan seorang bodoh. Kalau Sang Bhagawan Kundilomuko menang, dia tentu akan diserang kakek itu dan melihat kesaktian kakek ini dalam pertandingan melawan Endang Patibroto, ia merasa tidak kuat untuk menandinginya. Sebaliknya, kalau Endang Patibroto yang menang, biarpun mungkin ia dapat membujuknya namun masih tetap ada bahayanya, mengingat akan watak gadis itu yang liar dan ganas. Mengapa kesempatan sebaiK ini tidaK ia pergunakan? Mereka sedang mengadu tenaga sakti, siapa yang mengalihkan perhatian akan kalah. Oleh karena itu, diam-diam kakinya yang buntung bergerak dan ia menyelinap pergi dari tempat itu. Ia harus melarikan diri, lebih cepat lebih baik.
Tak lama setelah bayangan Ki Jatoko menyelinap pergi, terdengar Endang Patibroto mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo sedangkan Bhagawan Kundilomuko juga mengeluarkan lengking panjang. Keduanya terhuyung ke belakang, akan tetapi keadaan Bhagawan Kundilomuko lebih payah karena tangan kirinya menjadi lumpuh dan tergantung lemas di samping pinggangnya. Endang Patibroto hanya merasa betapa lengan kanannya kaku dan kesemutan saja.
Sang Bhagawan Kundilomuko menjadi makin marah. Sambil berteriak keras ia melolos ikat pinggangnya yang terbuat daripada logam kuning seperti emas. Senjata itu ia pegang dengan tangan kanan, diputar di atas kepala dan menerjanglah ia dengan dahsyat.
"Trang-trang..!!"
Alangkah kaget hati pendeta ini ketika melihat ikat pinggangnya patah-patah menjadi beberapa potong ketika bertemu dengan sebatang keris yang mengeluarkan cahaya menyeramkan. Kiranya Endang Patibroto yang marah sudah pula mencabut keris pusaka Brojol Luwuk dan dengan mudah keris pusaka ini membabat putus senjata lawan.
"Celaka..!" Teriakan Bhagawan Kundilomuko ini disusul dengan jerit mengerikan ketika ujung keris pusaka Brojol Luwuk menyentuh lambungnya. Kembali keris yang ganas ini telah mendapat mangsa. Seketika tubuh pendeta tua itu roboh dan kering menghitam, tewas di saat itu juga!
Endang Patlbroto menyimpan kerisnya, sepasang matanya mencari-cari dengan pandang mata liar, kemudian tubuhnya berkelebat cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Ia tadi juga melihat betapa Ki Jatoko pergi namun karena pertandingan melawan Bhagawan Kundilomuko tadi membutuhkan pencurahan tenaga dan perhatian, terpaksa ia mendiamkannya saja. Belum lama si buntung pergi, maka iapun cepat mengejar dan mencari. Setelah beberapa kali melayang naik ke atas pohon yang tinggi, akhirnya ia melihat betapa si buntung berlari-lari cepat menuju ke arah barat. Senyum mengejek mengembang di bibirnya ketika Endang Patibroto melayang turun kembali lalu mengerahkan aji berlari cepat melakukan pengejaran ke barat.
Agak lega rasa hati Ki Jatoko setelah ia meninggalkan hutan Gumukmas dan memasuki hutan lain di sebelah barat. Bhagawan Kundilomuko berniat pergi ke Blambangan yang letaknya di sebelah timur. Nusabarung letaknya di seberang pantai selatan dan Jenggala berada di sebelah utara. Agaknya, siapapun yang menang di antara dua orang itu, tidak akan ada yang mengejar ke arah barat. Hatinya lega, dadanya terlalu lapang. Akan tetapi ia cukup hati-hati dan terus mempergunakan ilmu lari cepat. Ia akan berlari-lari terus sehari penuh itu dan takkan mau berhenti sebelum dunia menjadi gelap yang berarti bahwa ia sudah bebas dan aman betul daripada ancaman dua orang sakti itu.
"Ha-ha-ha! Siapa yang kalah okol (kuat) harus mencari kemenangan mengandalkan akal" katanya dalam hati, akan tetapi saking girangnya, suara hati ini terucapkan keluar melalui mulutnya. Akan tetapi, bibirnya yang belum tertutup rapat sehabis mengeluarkan kata-kata itu, kini terbuka lebar, bersaing lebar dengan kedua matanya. Kedua kakinya yang bunting otomatis berhenti bergerak, tubuhnya menggigil dan merasa betapa rambut di tengkuknya bergerak-gerak meremang dan leher terasa kering, jantung di dada berdetak-detak seperti genderang.
Tak jauh di depannya, hanya empat meter jauhnya, berdiri Endang Patibroto dengan senyum di bibir, senyum yang dingin mengerikan! Beberapa kali Ki Jatoko berusaha mengeluarkan suara. Kecerdikannya membuat otaknya bekerja cepat dan ia hendak menyelamatkan diri menggunakan kata-kata, akan tetapi celaka, lidahnya serasa menempel dengan telak, mulutnya tak dapat digerakkan! Dan senyum itu makin melebar, makin manis makin mengerikan, sepasang mata yang bening itu bersinar-sinar seperti hendak menembus jantungnya.
"E...eh... Endang... eh, syukurlah... syukur kau menang! Pendeta kementhus (sombong) itu memang patut mampus! Aku... hemm, aku tadi berusaha membunuhnya dengan jarum, tapi... tapi ia terlampau sakti... sehingga tak berhasil... hehheh, Endang, kau sungguh hebat, sakti mandraguna. Sungguh bagaikan dewi kahyangan saja... heh-heh" Ki Jatoko yang sudah pulih kembali perasaannya makin lancar bicaranya, mulutnya menyeringai, sikapnya menjilat-jilat.
"Cukup! Kau manusia jahanam, jangan mengira aku akan terbujuk oleh omonganmu yang manis lagi! Kau sengaja menjebakku di Durgaloka, kau bersekongkol dengan Bhagawan Kundilomuko untuk menangkap aku! Manusia macam engkau ini sudah selayaknya mampus!" Endang Patibroto maju perlahan, senyumnya makin dingin, matanya seperti mata harimau marah. Serasa lolos melayang semangat Ki Jatoko dari raganya. Ia mundur-mundur dan wajahnya pucat.
"Jangan...! Endang Patibroto, jangan....aku...aku tertipu oleh Kundilomuko, aku terbujuk... apakah kau tadi tidak melihat betapa aku marah dan menyerangnya? Aku... aku... tidak berniat busuk terhadapmu, mana aku berani? Selain tidak berani, akupun tidak sudi berlaku jahat kepadamu, Endang, karena kau sudah baik kepadaku.... kau tidak membunuh Ayu Candra...."
"Tutup mulut" Endang Patibroto menerjang maju dan sebuah tamparan tangannya tak dapat dielakkan Ki Jatoko, tepat mengenai pipinya.
"Plakkk!"
Serasa kiamat dunia ini bagi Ki Jatoko. Matanya berkunang-kunang, tubuhnya terhuyung ke belakang. Untung ia seorang yang memiliki kesaktian, kalau tidak tentu sudah pecah kepalanya terkena tamparan itu.
"Endang, jangan bunuh aku... ingat... aku bukan musuhmu... aku sudah membuka rahasia..."
"Wuuuutt...dessss !!"
"Aduh mati aku...!" Tubuh Ki Jatoko bergulingan. Untung pukulan pertama yang mengarah pelipisnya dapat ia elakkan dan hanya sebuah tendangan saja yang membuat ia terjungkal dan bergulingan. Kalau pukulan tadi yang mengenainya, belum tentu ia dapat menahannya.
"Memang kau akan mati di tanganku! Hayo bangkit lah. Kau bukan seorang lemah. Kau memiliki kesaktian. Bangkitlah dan mari kita bertanding, jijik aku melihat lawan yang tidak mau bertanding. Jijik aku membunuh orang yang tidak mau melawan. Hayo bangkit!"
"Endang... betul-betulkah kau berniat membunuh aku....?" Suara Ki Jatoko gemetar dan nadanya menimbulkan iba.
"Betul! Mengapa tidak" bentak Endang Patibroto, kedua tangannya sudah menegang, siap mengirim pukulan maut.
"Tidak..... tidak ! Jangan bunuh aku, aku tidak mau melawanmu. Jangan kaubunuh aku, anakku..... jangan!"
"Wuuuuttt..!!" Pukulan ini merupakan tamparan yang hebat sekali, akan tetapi untung bagi Ki Jatoko bahwa ia sudah siap dan cepat-cepat ia menggulingkan tubuh di atas tanah terus menggelinding menjauhkan diri. Endang Patibroto dengan langkah ringan mengejar.
"Hayo bangun! Pengecut menjijikkan! Hayo bangun dan pergunakan kepandaianmu. Bukankah kau laki-laki? Hayo kaulawan aku!"
"Tidak! Tidak bisa kau membunuh aku, Endang Patibroto!"
"Mengapa tidak?"
"Lupakah kau akan ceritaku, akan pembukaan rahasia besar dalam kehidupanmu? Ceritaku belum habis, kau ingatkah?"
Berubah wajah Endang Patibroto, keningnya yang bagus bentuknya itu berkerut-kerut, matanya menyinarkan kebimbangan hatinya dan mata itu menjadi basah. Cerita itu mengguncangkan hatinya. Dia bukan puteri Pujo? Ayah kandungnya Jokowanengpati yang telah dibunuh ibunya dan isteri muda Pujo?
"Andaikata benar dongengmu itu, tetap tidak ada hubungannya dengan kau. Justeru karena kau menceritakan dongeng busuk kepadaku, kemudian menjebakku bersama Bhagawan Kundilomuko, maka sekarang kau akan kubunuh?"
Kembali Endang Patibroto menerjang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Dua kali ia menampar, sekali kena dielakkan oleh Ki Jatoko, yang kedua kali ditangkis, membuat tubuh si buntung kembali jungkir balik dan roboh. Sebelum Endang Patibroto mengirim pukulan terakhir, Ki Jatoko berteriak, "Jangan bunuh aku! Aku... aku ayahmu! Aku ayah kandungmu, karena akulah Jokowanengpati!"
Tangan yang sudah diangkat ke atas dan sudah menegang penuh tenaga sakti itu, tertahan, menggigil kemudian menjadi lemas dan turun kembali. Sepasang mata itu memandang wajah Ki Jatoko, terbelalak dan kosong, bergerak-gerak bingung, hidungnya kembang-kempis, bibir yang tersenyum dingin kini tertarik seperti orang menderita nyeri yang hebat.
"Kau bohong... kau... kau bohong.... kuhancurkan kepalamu..."
"Boleh. Kau pukullah, kau bunuhlah, akan tetapi ingat, aku benar-benar ayah kandungmu. Aku Jokowanengpati dan kau ini anakku, karena dahulu akulah kekasih ibumu, Kartikosari!"
Kini suara Ki Jatoko tenang, hilang rasa takutnya karena ia sudah mempunyai pegangan. Pegangan yang menguatkan hatinya, yang menimbulkan keyakinannya bahwa hanya inilah jalan keluar dari bahaya maut di tangan gadis sakti ini.
"Bohong! Tak mungkin ibu sudi dengan manusia buruk macam engkau! Kau bukan Jokowanengpati karena orang itu sudah tewas di tangan ibuku "
"Ha-ha-ha! Memang mereka mengira aku telah tewas. Memang, ibumu bersama Roro Luhito mengeroyokku di pantai Laut Selatan. Aku terpelanting dan terjatuh ke dalam lautan. Ibumu dan Roro Luhito tak dapat mengejarku. Akan tetapi malang bagiku, seekor ikan hiu besar menyergap dan menyeretku. Biarpun aku berhasil membunuh ikan itu, akan tetapi kedua Kakiku menjadi buntung, tubuhku menjadi cacat dan mukaku rusak. Mereka tentu mengira aku mati karena melihat aku diseret ikan. Kau tanyalah ibumu. Biarpun aku sudah menjadi begini, ibumu tentu akan mengenal aku. Ha ha-ha, karena aku kekasihnya dahulu, aku ayahmu. Ha-haha!" Ki Jatoko tertawa bergelak ketika melihat betapa Endang Patibroto terhuyung ke belakang seperti disambar petir. Dialah yang kini melangkah maju dan menantang,
"Endang Patibroto, kau anakku, karena itu mana mungkin aku berniat buruk dan jahat terhadap dirimu? Tidak, anakku, sama sekali tidak. Kalau kau tidak percaya dan membunuhku, silahkan. Ini kepalaku, pukullah. Ini dadaku, tusuklah, aku takkan melawan anak kandungku sendiri!"
"Diam! Cukup!!" Endang Patibroto menyumbat kedua telinga dengan jari telunjuknya, matanya dipejamkan. Ki Jatoko tertawa bergelak dan baru berhenti ketika gadis itu membuka matanya.
"Dahulu aku tampan sekali, anakku. Tak usah kau malu, karena dahulu aku jadi seorang laki-laki yang dijadikan rebutan kaum wanita! Kau tanyakan saja kepada ibumu. Wajahmu mirip dengan wajahku ketika itu dan..."
"Cukup! Diam kau dan mari kau ikut bersamaku!"
"Ikut? Ke mana...?" Akan tetapi Ki Jatoko tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba Endang Patibroto sudah menyambar tangannya dan menyeretnya dengan berlari cepat sekali. Ki Jatoko tak berdaya meronta, terpaksa iapun mengerahkan kepandaiannya untuk berlari cepat kalau tidak mau terseret-seret oleh gadis yang hebat ini. Hatinya mulai berdebar, akan tetapi ia mengandalkan kecerdikannya. Dengan akalnya, kali inipun ia terbebas daripada maut yang mengerikan di tangan Endang Patibroto. Karena itu, ia tidak mau bicara lagi hanya ikut lari, menyerahkan diri kepada nasib dan kecerdikannya.
********************
Perang kecil yang terjadi di pertapaan Durgaloka berlangsung semalam suntuk dan amat serunya. Biarpun Dewi dan teman-temannya merupakan wanita-wanita terlatih dan rata-rata memiliki ketangkasan, namun karena jumlah mereka kalah banyak sehingga setiap orang harus melayani pengeroyokan dua orang, bahkan Dewi dan adik-adiknya berlima dikeroyok oleh belasan orang, maka mereka menemui tanding yang berat dan banyaklah korban yang jatuh di antara kedua pihak.
Joko Wandiro maklum akan hal ini. Akan tetapi ia hanya tega merobohkan para pengeroyok laki-laki saja karena ia merasa ragu-ragu kalau harus membunuh gadis-gadis yang mengeroyoknya. Baru setelah ia mendengar jerit Dewi menyebut namanya, la terkejut dan cepat kaki tangannya bekerja merobohkan para pengeroyoknya. Hanya dengan membuka jalan darah, merobohkan belasan orang di sebelah kiri, ia dapat lolos dari kepungan. Sambil menyerang kanan kiri dan depan, ia maju terus menuju ke arah suara panggilan Dewi.
Betapa sedih hatinya ketika melihat bahwa anak buah Dewi banyak yang roboh tewas. Pertempuran tinggal beberapa kelompok dan yang terbanyak adalah mereka yang mengeroyoknya. Kini Joko Wandiro menjadi marah. Apalagi ketika ia menemukan Dewi rebah telentang dengan tombak menancap di lambungnya, Joko Wandiro mengeluarkan pekik dahsyat dan mengamuk seperti seekor banteng terluka. Anak buah pertapaan Durgaloka terkejut dan gentar, lalu mereka yang masih belum terluka melarikan diri tersebar ke segala penjuru. Sinar matahari mulai menerangi bumi. Hati Joko Wandiro makin hancur setelah ia dapat melihat keadaan Dewi dan teman-temannya. Dewi masih merintih-rintih ketika ia pangku kepalanya.
"Dewi..! Kau.. terluka...." tanya Joko Wandiro lirih sambil memangku kepala gadis itu. Sekali pandang saja ia tahu bahwa gadis ini tak mungkin dapat ditolong lagi. Tombak yang menusuk lambung amat dalam, hampir tembus!
Dewi membuka matanya. Mulut yang tadinya menyeringai kesakitan itu kini tersenyum, bibirnya bergerak-gerak lemah,
"Joko.. kita... kita menang...."
Joko Wandiro terharu, mengangguk dan mendekap kepala yang tersenyum-senyum itu ke dadanya. Ketika ia menengok ke kanan kiri, ia melihat bahwa Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari juga sudah roboh tak bernyawa lagi. Ia terisak dan memejamkan matanya.
"Joko..."
Ia membuka mata, memangku kepala dan memandang wajah Dewi.
"Joko... tak perlu kau bersedih. Kami berkorban dengan segala kerelaan hati...kami... kami puas... kami... telah menemukan kau... seorang yang... patut kami bela... kami mencintamu, Joko...!"
Kedua mata Joko Wandiro menjadi basah. Teringatlah ia betapa lima orang gadis ini selalu mengharapkan balasan cumbu rayu mereka. Akan tetapi ia selalu berteguh hati tidak melayani mereka. Kini ia merasa menyesal, ia selalu mengecewakan hati mereka, padahal mereka itu benar-benar mencintanya, bersetia sampai mati!
Tanpa ia sadari, ia menundukkan mukanya dan mencium mulut yang menyatakan cinta kasih di ambang maut itu. Kini ia mencium penuh perasaan, penuh cinta kasih, penuh berahi. Ia merasa dengan bibirnya betapa mulut itu terbuka, mengeluh dan keluar sedu-sedan dari dada Dewi yang terengah-engah. Ketika ia melepaskan ciumannya dan memandang, ternyata Dewi sudah tak bernafas lagi, sudah mati dalam keadaan masih tersenyum bahagia! Memang bahagialah siapa saja yang mati dengan keyakinan bahwa dirinya mencinta dan dicinta!
Tiga puluh orang anak buah Dewi kini tinggal dua belas orang saja. Yang lain sudah tewas. Joko Wandiro berulang kali menghela napas panjang penuh penyesalan dan kengerian. Mayat-mayat bergelimpangan. Mayat anak buah Dewi yang telah bertempur mati-matian, mati dengan senjata di tangan, dan mayat anak buah Bhagawan Kundilomuko, banyak yang telanjang bulat, menyeramkan. Ia juga menyesal sekali melihat mayat Sang Wiku Jaladara. Banyak sekali yang tewas dalam pertempuran semalam. Tidak kurang dari enam puluh orang anak buah Durgaloka tewas. Dua belas orang anak buah Dewi yang masih hidup semua menangisi teman-teman yang tewas, Joko Wandiro menjadi makin berduka. Tiba-tiba terdengar suara memanggil,
"Kakang...!
Joko Wandiro menoleh dan sejenak terusirlah kedukaannya, wajahnya berseri ketika ia menghampiri dan berseru, "Ayu Candra...!"
Mereka saling tubruk, dan saling peluk. Ayu Candra menangis sesenggukan di dada kakaknya. Tadi ketika ia siuman dan sadar akan keadaan dirinya, melihat pertempuran hebat, ia menyelinap mencari pakaiannya yang lalu dipakainya untuk mengganti pakaian sutera tipis yang menjijikan itu. Ia masih pening, masih belum sadar benar dan masih bingung. Maka ia menjauhkan diri lalu duduk bersila, bersamadhi untuk memulihkan tenaga dan mengusir sisa-sisa pengaruh buruk yang menguasai dirinya.
Ketika ia sadar dari samadhinya, perang sudah berhenti, keadaan sunyi, hanya terdengar suara beberapa orang wanita menangis. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melihat bahwa malam telah berganti pagi dan alangkah bahagia hatinya ketika ia melihat Joko Wandiro.
"Terima kasih kepada Hyang Maha Agung yang telah melindungimu sehingga kita dapat bertemu dalam keadaan selamat adikku," kata Joko Wandiro sambil mengelus rambut yang harum dan halus itu, membiarkan adiknya sesenggukan melepas perasaan hati.
"Aduh, kakang, alangkah banyak derita yang kualami.... semua karena aku tidak menurut nasehatmu kakang. Aku menyesal....maafkan aku.....
"Husshhh, sudahlah, adikku sayang. Kau perlu mengaso dulu. Kelak kita bicara karena sekarang aku harus mengurus semua jenazah yang begini banyak ini"
Joko Wandiro melepaskan Ayu Candra yang ia suruh mengaso, kemudian ia minta bantuan dua belas orang anak buah Dewi untuk menggali lubang-lubang dan mengubur semua jenazah baik kawan maupun lawan, secara sederhana. Khusus untuk jenazah Wiku Jaladara, Dewi, Lasmi, Mini, Sari, dan Sundari mereka buatkan tempat kubur terpisah. Sehari penuh mereka bekerja dan baru selesai setelah matahari tenggelam. Joko Wandiro lalu mengumpulkan dua belas orang wanita itu dan berkata,
"Kalian semua dengarlah nasehatku baik-baik. Setelah Dewi dan adik-adiknya tewas dalam pertempuran semalam, kiranya tidak ada perlunya lagi kehidupan dalam hutan di Anjasmoro yang kalian tempuh selama ini dilarutkan. Seperti telah menjadi peraturanku, kalian masing-masing berhak untuk hidup wajar dalam masyarakat umum, mencari jodoh dan hidup berumah tangga membentuk keluarga. Kalian telah berjasa besar. Tempat ini, di dalam pondok Bhagawan Kundilomuko itu, banyak terdapat barang-barang berharga. Nah, kalian ambil dan bawa, bagi rata di antara kalian dan pergilah kalian, kembali ke masyarakat ramai. Kuanjurkan untuk kembali ke keluarga masing-masing."
Sambil menangis dua belas orang wanita itu mentaati perintah Joko Wandiro, mengumpulkan emas intan dan benda berharga yang banyak terdapat di Durgaloka, kemudian setelah berpamit mereka pergi berbondong meninggalkan tempat itu, menuju penghidupan baru. Setelah semua wanita Gunung Anjasmoro itu pergi, Ayu Candra yang sudah pulih kembali kesehatannya lalu menghampiri Joko Wandiro yang masih termenung karena belum lenyap kedukaannya oleh jatuhnya demikian banyak korban dalam pertempuran semalam.
"Kakang Joko Wandiro, kau berduka karena akibat perbuatanku, ya?" Suara gadis itu penuh haru dan penyesalan, tangannya merangkul lengan Joko Wandiro.
Joko Wandiro menoleh, lalu merangkul pundak gadis itu. "Tidak karena perbuatanmu, Ayu. Jatuhnya banyak korban ini adalah sewajarnya. Untuk memberantas kejahatan harus pula berani berkorban. Dewi dan saudara-saudaranya tewas sebagai wanita-wanita perkasa yang patut dipuji, demikian pula Wiku Jaladara sudah memenuhi kewajibannya sebagai seorang suci. Aku tidak marah kepadamu, adikku, bahkan aku bahagia sekali dapat bertemu denganmu dalam keadaan selamat. Mengapa engkau meninggalkan aku, adikku? Bencikah engkau kepadaku?"
Ayu Candra memundurkan mukanya dan dua butir air mata menetes turun. Ia menarik napas panjang berkali-kali kemudian berkata lirih, "Aku seperti menjadi buta karena bujukan dan hasutan Ki Jatoko, manusia buntung yang amat keji dan jahat itu. Kau maafkan aku, kakang. Terus terang saja semenjak berpisah denganmu di Sarangan....semenjak..... semenjak kau menjadi.... eh, kakak kandungku....aku kecewa dan.... seperti membencimu. Kemudian ditambah oleh hasutan Ki Jatoko, aku makin curiga kepadamu..... ah, aku menyesal, kakang Joko....."
Joko Wandiro memegang kedua tangan gadis itu. Sejenak mereka saling pandang dan rasa haru menyelinap ke dalam jantung masing-masing. Betapapun, keduanya harus mengaku di dalam hati bahwa mereka tak dapat melenyapkan cinta kasih diantara mereka. Hanya oleh kenyataan bahwa mereka bersaudara sekandung, mereka memaksa diri, memaksa menyelimuti rasa cinta kasih dengan rasa persaudaraan yang dipaksakan. Hal ini menimbulkan rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk jarum dalam hati.
"Ki Jatoko memang seorang jahat yang amat berbahaya dan curang. Engkau yang masih belum berpengalaman sampai terkena hasutan dan terbujuk, hal ini tidak dapat aku menyalahkan engkau, Ayu. Bahkan seorang gadis sakti mandraguna dan ganas seperti Endang Patibroto pun jatuh ke dalam bujukannya sehingga sampai menjadi tawanan di sini. Apalagi engkau yang jujur dan polos. Ah, tentu engkau banyak menderita kesengsaraan, adikku. Kalau saja dahulu kau lebih percaya kepadaku, takkan terjadi semua itu."
Ayu Candra memberengut. Setelah berkumpul dengan Joko Wandiro, timbul pula gaya manjanya. Entah mengapa, di dekat, pemuda ini. selalu ia mempunyai hasrat ingin bermanja, baik dahulu sebagai kekasih maupun kini sebagai adik!
"Kalau dipikir, engkau pula yang menjadi biang keladinya, kakang! Mengapa pula engkau tidak mau menuruti keinginan hatiku membalas dendam kepada mereka yang memusuhi ayahku dan ibunda kita? Mengapa engkau tidak membolehkan aku menuntut balas kepada orang yang membunuh ayah bundaku?"
"Panjang sekali ceritanya, adikku. Kalau kau sudah mendengar semua penuturanku, tentu kau akan mengerti dan akan sependapat dengan aku bahwa permusuhan itu tidak semestinya dilanjutkan sampai berlarut-larut. Terputus atau tersambungnya rantai karena tergantung daripada kita sendiri. Kalau balas-membalas dan permusuhan dilanjutkan, takkan ada habisnya. Kita tidak boleh hanya dipengaruhi oleh akibat dan bertindak tanpa menyelidiki sebabnya terlebih dahulu. Adikku, kematian kedua orang tuamu adalah akibat daripada sebab-sebab yang amat panjang dan nanti akan kuceritakan kepadamu. Sekarang lebih baik kita meninggalkan tempat ini."
"Ke mana, kakang?"
"Kau ikut lah saja, aku akan pergi ke Pulau Sempu."
Ayu Candra kelihatan kaget dan ia melepaskan tangannya dari pegangan Joko Wandiro, "Ke Pulau Sempu? Di sana tinggal Kartikosari dan Roro Luhito, musuh besarku!"
Joko Wandiro segera merangkul adiknya. "Ssttt, kau masih belum dapat melenyapkan pengaruh bujukan beracun dari mulut Ki Jatoko. Kau percayalah kepadaku dan sebelum kau kuajak bertemu dengan mereka, kau akan mendengarkan cerita yang menjadi sebab kematian ayah bundamu, Ayu."
Sejenak Ayu Candra diam, bingung dan ragu. Kemudian ia menubruk Joko Wandiro dan menangis di dada pemuda itu. Joko Wandiro mengerti akan perasaan adiknya, maka ia hanya mengelus-elus rambut yang halus itu sambil meramkan mata menahan hati yang seperti akan mencair oleh rasa cinta kasih. Akhirnya Ayu Candra dapat menekan perasaannya dan berkata,
"Aku menurut, kakang. Mulai sekarang aku akan mentaati segala perintahmu, kau... kau pengganti orang tuaku dan apapun yang kau katakan, akan kutaati."
Joko Wandiro mencium rambut di ubun-ubun kepala gadis itu. "Aku tahu, kau seorang gadis yang mulia, Ayu. Mari kita pergi, tidak enak lama-lama berada di tempat yang sudah berubah menjadi kuburan ini."
Mereka bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Ketika hendak keluar dari hutan, mereka melihat seekor kuda yang sedang makan rumput. Kuda itu cukup baik, lengkap dengan pelananya.
"Ah, tentu ini kuda Durgaloka, yang lain-lain tentu telah melarikan diri dalam keributan tadi. Lumayan kuda ini, lebih baik kau naiki, adikku. Malam hampir tiba, mari kita cepat-cepat pergi dari sini."
"Dan kau, kakang?"
"Aku lari di sebelahmu, apa kau kira kalah oleh kuda?"
"Hi-hik, kau memang seperti kuda!" Ayu Candra sudah mulai timbul kejenakaannya.
"Hushh, masa kakakmu seperti kuda? Kalau kakaknya kuda, adiknya apa?" Joko Wandiro mengimbangi kelakar adiknya.
Ayu Candra tersenyum dan melompat ke atas pelana kuda, lalu membalapkan kuda di sebelah Joko Wandiro yang mengerahkan ilmu lari cepat menuju ke barat. Setelah gelap baru mereka berhenti di bawah pohon besar untuk melewatkan malam, Joko Wandiro menangkap seekor ayam hutan. Malam itu setelah makan bakar ubi dan daging ayam hutan, mereka bercakap-cakap dan Joko Wandiro mulai menceritakan kepada Ayu Candra akan peristiwa belasan tahun yang lalu. Ia menceritakan hal yang ia dengar dari penuturan bibinya, Roro Luhito dan dari Kartikosari.
"Terus terang saja, Ayu, bahwa pokok pangkal segala peristiwa ini adalah karena kesalahan dua orang, yaitu yang pertama ayah kandungku sendiri, mendiang Raden Wisangjiwo, dan ke dua adalah seorang bernama Jokowanengpati. Paman Pujo dan isterinya, bibi Kartikosari yang mula-mula menjadi korban kejahatan."
Mulailah ia menuturkan betapa Kartikosari dan Pujo yang sedang bertapa itu diganggu oleh kedatangan Raden Wisangjiwo sehingga terjadi pertempuran dan yang membuat Pujo dan Kartikosari roboh pingsan. Ketika sadar Pujo tahu bahwa Kartikosari telah diperkosa orang yang tentu saja oleh mereka berdua dianggap bukan lain orang kecuali Raden Wisangjiwo. Perbuatan keji ini menimbulkan dendam sehingga Pujo yang hendak membalas dendam menyerbu ke Selopenangkep, kemudian karena Pujo tidak menemukan Wisangjiwo, dalam sakit hati dan kebencian membuta ia menculik Listyakumolo bersama anaknya.
"Akulah anak itu, Ayu. Aku baru berusia dua tahun ketika ibu diculik Pujo. Akan tetapi sebagai seorang ksatria utama, paman Pujo tidak tega untuk membalas dendam dengan memperkosa ibuku. Dia hanya pergi membawaku dan kemudian aku dianggapnya sebagai puteranya sendiri dan dididiknya seperti murid terkasih. Sampai menjadi dewasa, aku masih beranggapan bahwa aku adalah putera kandung paman Pujo."
Ayu Candra mendengarkan dengan muka pucat. Rasa kasihan yang besar terhadap Pujo dan Kartikosari sudah menghapus sebagian besar dendam hatinya. Tanpa mengganggu sedikitpun ia mendengarkan terus, pandang matanya bergantung pada bibir Joko Wandiro.
"Peristiwa itu membuat paman Pujo dan bibi Kartikosari berpisahan, mereka menderita lahir batin sampai belasan tahun dan bibi Kartikosari yang sudah mengandung kemudian melahirkan anak dalam keadaan yang mengerikan dan menderita sekali "
"Endang Patibroto !!" Ayu Candra memotong cepat.
"Benar," Joko Wandiro mengangguk. "Kemudian ibumu, juga ibuku, Listyakumolo yang bernasib malang, karena kehilangan aku, menerima pukulan batin hebat sehingga terganggu pikirannya. Ayahku yang ketika itu masih menyeleweng dari kebenaran malah mengirimnya pulang kerumah orang tua ibu kita, di lereng Lawu. Kalau nasib sedang dirundung kemalangan, belum lama setelah ibu dipulangkan, daerah itu diserbu perampok, semua keluarga kakek kita di sana habis dibunuh, kecuali ibu kita yang diculik oleh kepala perampok."
"Ah, kasihan ibu...!" Ayu Candra terisak, teringat kepada ibunya yang tercinta.
"tentang nasib ibu kita selanjutnya, aku tidak pernah mendengar ceritanya, dan tahu-tahu ibu kita telah tinggal bersama ayahmu di Sarangan. Sangat boleh jadi ibu kita tertolong oleh ayahmu, kemudian mereka menjadi suami isteri dan lahirlah engkau."
Ayu Candra mengangguk-angguk, air mata bertetesan di atas kedua pipi. Sejenak mereka diam, masing-masing tenggelam dalam lamunan. Ayu Candra mengenangkan ibunya yang tercinta. Adapun Joko Wandiro menekan perasaannya yang terasa perih dan sakit karena selama hidupnya, belum pernah ia berjumpa dengan ibu kandungnya, belum pernah ia melihat bagaimana wajah ibunya. Untuk mencegah agar kenangan pahit ini tidak meracuni hatinya, ia melanjutkan ceritanya. Ia menceritakan betapa ayahnya, Raden Wisangjiwo, akhirnya sadar namun sudah terlambat karena ketika ayahnya mencari ibunya di lereng Lawu, ibunya sudah tidak ada. Diceritakan pula betapa ayahnya tewas dalam perang ketika membantu Pangeran Sepuh yang kini menjadi sang prabu di Panjalu.
"Akhirnya, paman Pujo dan bibi Kartikosari bertemu dengan ayahku dan barulah mereka itu tahu bahwa yang melakukan perbuatan keji terhadap diri bibi Kartikosari di dalam Gua Siluman itu bukanlah ayahku, melainkan Jokowanengpati. Paman Pujo menyesali perbuatannya, telah menculik aku dan menyengsarakan kehidupan ibuku. Karena itulah, ketika ibu kita bersama ayahmu datang ke Sungapan dan bertemu dengan paman Pujo, maka paman Pujo menyerahkan nyawanya di tangan ibu kita. Tanpa melawan paman Pujo rela ditusuk keris oleh ibu kita, untuk membalas dan menebus dosanya dahulu. Bahkan sebelum meninggal dunia, paman Pujo melarang bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito, yaitu adik kandung ayahku yang juga menjadi isteri paman Pujo, untuk membalas dendam. Paman Pujo rela menebus permusuhan itu dengan nyawa dan menghabiskan sampai di situ saja."
Ayu Candra memandang wajah kakaknya yang membayangkan keharuan, kekaguman dan kedukaan. Tahulah Ayu Candra bahwa guru kakaknya ini, Pujo, tentulah seorang ksatria yang amat gagah perkasa dan mulia sehingga rela menebus kesalahan dengan menyerahkan nyawa. Iapun menjadi terharu.
"Sayang sekali," Joko Wandiro menghela napas, "manusia berdaya upaya, namun Sang Hyang Wisesa yang menentukan kesudahannya. Maksud mulia paman Pujo itu ternyata gagal karena pada saat itu sebelum ia mati, datang secara tiba-tiba Endang Patibroto yang telah menjadi murid Dibyo Mamangkoro dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito mentaati pesan paman Pujo, akan tetapi tidak demikian dengan Endang Patibroto. Begitu mendengar bahwa paman Pujo adalah ayah kandungnya yang baru saja ia jumpai selama hidupnya, dan melihat betapa ayahnya yang baru dijumpainya itu tewas tanpa melawan oleh ibu kita yang masih berada di situ, ia lalu menerjang dan berhasil menewaskan ibu kita, bahkan melukai ayahmu sehingga ayahmu meninggal dunia."
Ayu Candra terisak menangis. Joko Wandiro mendiamkannya sampai tangis adiknya mereda. Barulah ia bicara lagi dengan suara halus, "Demikianlah, adikku. Kita tidak boleh dihanyutkan oleh dendam. Kalau kita renungkan, bukankah perbuatan Endang Patibroto itupun wajar, seperti engkau pula yang melihat orang tua terbunuh lalu timbul kemarahan dan dendam? Memang, dia terlalu ganas sehingga tidak memperdulikan pesan ayahnya, tidak memperdulikan cegahan ibunya. Akan tetapi, apakah kita perlu meniru dia? Bukankah lebih sempurna kalau kita taati pesan paman Pujo yang hendak menghabiskan urusan permusuhan dengan penebusan nyawanya? Dan terutama sekali, bukankah ayahmu sendiri meninggalkan pesan terakhir sebelum meninggal dunia, bahwa kau dilarang membalas dendam, dilarang untuk melanjutkan permusuhan? Inilah sebabnya, adikku sayang, mengapa aku melarang engkau mencari bibi Kartikosari dan bibi Roro Luhito untuk membalas dendam."
Ayu Candra tidak menjawab, hanya menubruk kakaknya dan menangis dengan muka di atas pangkuan Joko Wandiro. Sampai lama sekali Ayu Candra menangis dan Joko Wandiro mendiamkannya saja, membiarkan gadis itu menghanyutkan semua rasa dendam dan sakit hati keluar bersama air matanya.
Setelah Ayu Candra kini mingsek-mingsek sebagai sisa tangisnya, Joko Wandiro lalu memegang kedua pundaknya dan mendorongnya duduk kembali. "Sekarang, aku sengaja akan mengajakmu ke Pulau Sempu menemui mereka berdua, Ayu, dan aku yakin bahwa kalau kau telah bicara dengan mereka berdua, kaupun pasti akan membenarkan pendapatku ahwa mereka berdua itu bukanlah orang-orang jahat yang patut dijadikan musuh. Kita pergi mengunjungi Pulau Sempu yang tak jauh lagi, kemudian dari sana aku akan mengajakmu ke Panjalu untuk mencari Joko Seto "
"Siapa?" Suara Ayu Candra masih gemetar.
"Joko Seto, putera paman Darmobroto. Lupakah kau akan pesan ayahmu? Engkau dijodohkan dengan Joko Seto, dan sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus perjodohanmu, karena sekarang akulah yang menjadi pengganti orang tuamu, akulah yang menjadi walimu karena aku adalah kakak kandungmu!"
Ayu Candra mengerutkan keningnya yang bagus, lalu menggeleng kepalanya. Aku.... aku tidak mau menikah!"
"Eh, jangan begitu, adikku. Tak mungkin pesan terakhir ayahmu akan engkau abaikan begitu saja dan "
"Sudahlah, aku tidak suka bcara tentang itu. Terserah saja kepadamu kelak. Tentang Pulau Sempu... kakang, perlu benarkah kita ke sana? Rasanya tidak nyaman hatiku kalau harus bertemu dengan mereka, sungguhpun penuturanmu tadi cukup menekan dan menghilangkan tekadku untuk membalas dendam."
Joko Wandiro memegang jari-jari tangan adiknya yang kecil-kecil dan halus. "Ayu Candra, sesungguhnya bukan hanya untuk menghadap kedua orang bibi itu, melainkan aku mempunyai kepentingan yang besar di Pulau Sempu. Aku hendak mengambil pusaka yang kusimpan di sana. Urusan ini amat pentingnya, karena itu adalah urusan Kerajaan Panjalu dan aku harus mentaati pesan eyang guru Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."
Ayu Candra mengangguk-angguk. Sebagai puteri seorang pendekar sakti, ia tahu akan kepentingan ini. "Akan tetapi setelah itu, mengapa harus ke Panjalu? Aku lebih senang kalau kau ajak kembali ke Sarangan, aku... aku kepingin nyekar (menabur bunga) di telaga untuk arwah ayahku...."
Joko Wandiro menarik napas panjang. Ia maklum bahwa sebetulnya gadis ini menyatakan keberatannya pergi ke Panjalu untuk mencari Joko Seto. Diam-diam ia menjadi bingung. Ada rasa syukur dan senang di sudut hatinya melihat betapa gadis ini agaknya tidak suka berjodoh dengan lain orang, berarti tak dapat menghapus cinta kasih di antara mereka, akan tetapi kesadarannya membisukan bahwa ia harus berusaha merangkap perjodohan yang sudah dipesankan oleh ayah gadis ini.
"Begini, adikku. Setelah aku mengambil pusaka, aku harus menghaturkan pusaka itu kepada sang prabu di Panjalu, maka terpaksa aku harus ke sana. Setelah hal itu beres, barulah aku akan mengantarmu ke Sarangan."
Ayu Candra tidak membantah lagi dan malam itu ia tertidur dengan kepala berbantal paha Joko Wandiro yang duduk bersila. Kuda tunggangan mereka juga mengaso di bawah pohon, kadang-kadang menyabetkan ekornya, kadang-kadang mendengus mengusir nyamuk.
********************
Ketika Joko Wandiro dan Ayu Candra sudah sampai di hutan terakhir di Pegunungan Kidul, dekat pantai selatan, tiba-tiba pemuda itu berhenti berlari dan Ayu Candra juga menahan kendali kuda. Dua orang muda ini berdiri memandang ke depan dengan mata terbelalak, karena di depan mereka telah menghadang dua orang yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka akan mereka jumpai di situ. Mereka berdua itu adalah Endang Patibroto dari Ki Jatoko!!
Endang Patibroto tersenyum mengejek ketika Ayu Candra meloncat turun dari kuda dan menggandeng tangan kiri Joko Wandiro karena gadis ini merasa gelisah dan ngeri. Ia mengenal dua orang itu dan tahu bahwa mereka adalah iblis-iblis yang ganas dan keji lagi berbahaya. Ayu Candra sama sekali tidak tahu bahwa sikapnya yang tampak mesra ini bagi Endang Patibroto merupakan minyak yang menyiram api didada, membuat Endang Patibroto tersenyum dingin untuk menyembunyikan hati yang panas.
"Hemm, bagus sekali! Kebetulan di sini kita bertemu, Joko Wandiro. Di sinilah kita lanjutkan pertandingan kita dahulu. Terimalah seranganku!!"
Endang Patibroto sama sekali tidak mau memberi kesempatan kepada Joko Wandiro dan langsung menerjang dengan gerakan kilat, memukulkan tapak tangannya ke arah dada pemuda itu. Joko Wandiro kaget dan cepat ia mendorong tubuh Ayu Candra ke kiri, kemudian mengelak ke kanan sambil menggerakkan tangan menangkis pukulan Endang Patibroto.
"Dukk...!!" Dua orang itu terdorong mundur.
"Endang Patibroto! Gilakah engkau? Begitu tak berbudikah engkau sehingga kau lupa bahwa kakang Joko yang menyelamatkan engkau dari tangan Bhagawan Kundilomuko?"
Ayu Candra berteriak-teriak untuk mencegah pertandingan yang seru. Akan tetapi sia-sia belaka. Endang Patibroto mana mau mendengarkan cegahannya? Gadis ini dengan ganas menerjang terus, seperti dahulu ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
"Hemm, Endang Patibroto. Engkau benar keterlaluan sekali! Juga kau sombong bukan main. Apa kau kira aku tak dapat menanggulangimu?" bentak Joko Wandiro yang mulai marah dan pemuda inipun balas menyerang dengan antep dan cepat.
Ketika Ayu Candra yang gelisah hendak mencegah, tiba-tiba lengannya dipegang orang dari belakang. Ia menjerit dan menampar ke belakang, akan tetapi kembali tangannya itu tertangkap. Melihat bahwa yang menangkapnya adalah Ki Jatoko, ia meronta-ronta sekuatnya.
"Heh-heh, cah ayu, biarkan mereka berdua saling hantam. Mari menyelamatkan diri bersamaku. Mari kita cari musuh-musuh kita, kita hancurkan mereka. Lekas, kau ikut denganku!!"
"Tidak... kau lepaskan aku! Lepaskan.....! Manusia iblis kau, jahanam busuk, aku tidak mau dibujuk lagi! " Ayu Candra merenggutkan tangannya dan memutar tubuh sambil memukulkan tangan itu ke arah leher Ki Jatoko. Karena marah dan benci, Ayu Candra menjadi nekat dan serangannya cukup keras dan kuat.
"Wuuuttt.....!!" Dengan mudah Ki Jatoko yang memang memiliki ilmu kepandaian dan pengalaman jauh lebih tinggi daripada gadis jelita itu, miringkan tubuh mengelak dan secepat kilat lenganj kirinya melingkar dan memeluk pinggang Ayu Candra yang kecil ramping.
"Hemm, bocah bodoh!" Sambil berkata begini, dua buah jari tangan kanan Ki Jatoko menusuk tengkuk Ayu Candra, menotok jalah darah dengan kuat dan cepat sekali. Seketika tubuh Ayu Candra menjadi lemas karena ia telah pingsan. Ki Jatoko menangkap dan memondongnya.
Dalam pertandingan menghadapi Endang Patibroto kali ini, Joko Wandiro tidak bersikap mengalah seperti yang lalu. Ia merasa marah, apalagi iapun amat khawatir akan keselamatan Ayu Candra. Ia maklum bahwa kalau ia tidak cepat-cepat mengalahkan Endang Patibroto, Ayu Candra akan terancam keselamatannya, terutama oleh Ki Jatoko. Dan untuk mengalahkan Endang Patibroto, bukanlah hal yang mudah dan membutuhkan pengerahan tenaga dan kepandaian sepenuhnya. Karena inilah maka begitu bertanding, ia mengirim pukulan-pukulan yang hebat dan dahsyat, mengisi kedua lengannya dengan Aji Bojro Dahono dan menggerakkan tubuhnya amat cepat dengan Ilmu Bramoro Seto.
Endang Patibroto terkejut bukan main. Terasa olehnya bahwa gerakan pemuda ini Jauh bedanya dengan dahulu. Kalau dahulu selalu terdesak olehnya dan hanya menggunakan siasat bertahan, kini dialah yang terdesak. Hawa pukulan yang amat panas membuyarkan Aji Wisangnala yang ia gunakan, dan kecepatan Joko Wandiro membingungkannya.
Pada saat Joko Wandiro berkesempatan mengerlingkan matanya ke arah Ayu Candra dan melihat betapa gadis itu telah pingsan dan dipondong oleh Ki Jatoko yang siap hendak melarikannya, kemarahannya memuncak. Pekik dahsyat keluar dari mulutnya dan terjangannya kali ini biarpun dapat ditangkis oleh Endang Patibroto, namun demikian dahsyatnya sehingga membuat gadis sakti ini terlempar ke belakang sampai lima meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sehingga bergulingan! Ia tidak terluka hebat, namun hal ini membuat ia kaget setengah mati dan terutama malu yang berubah menjadi kemarahan yang meluap-luap! Baru sekali ini selama hidupnya ia menerima hinaan, dipukul sampai terlempar dan terbanting terguling-guling!
"Joko Wandiro, sekali ini kau mampus di tanganku!" teriaknya sambil mencabut keris pusaka Brojol Luwuk dari pinggangnya!
Akan tetapi begitu ia berhasil merobohkan Endang Patibroto, sekali melompat Joko Wandiro sudah menerjang Ki Jatoko. Si buntung ini tadi sudah meloncat hendak lari, akan tetapi pekik dahsyat Dirodo Meto demikian hebat pengaruhnya sehingga ia terkejut dan kedua kaki buntungnya seakan-akan lumpuh. Pada saat itu, tangan kiri Joko Wandiro memukul punggungnya dengan Aji Pethit Nogo, sedangkan tangan kanan pemuda perkasa ini merenggut dan merampas tubuh Ayu Candra. Ki Jatoko sudah mengerahkan tenaga dalam untuk melawan, namun tetap saja ia terguling, tidak kuat menerima pukulan ini, dan ia roboh pingsan.
Ketika Joko Wandiro yang kini memondong tubuh adiknya itu memutar tubuh dan melihat Endang Patibroto sudah menghunus keris, ia terkejut sekali. Keris di tangan gadis itu mengeluarkan hawa yang membuat bulu tengkuknya meremang dan jantungnya berdenyut keras. Itulah merupakan tanda bahwa keris pusaka di tangan gadis itu sebuah senjata pusaka yang ampuhnya menggila. Dan ia teringat akan peristiwa belasan tahun yang lalu.
Tak salah lagi, keris itu adalah keris pusaka Brojol Luwuk, keris pusaka Mataram yang dulu dipilih oleh gadis itu di depan eyang guru mereka. Keris pusaka Mataram yamg tersimpan di dalam patung kencana Sri Bathara Wisnu! Akan tetapi mengapa berada di tangan gadis ini. Bukankah dahulu eyang guru mereka, Sang Bhagawan Rukmoseto atau Sang Bhargowo menyuruh mereka menyembunyikan pusaka masing-masing di Pulau Sempu?
"Berhenti kau Joko Wandiro dan mari lanjutkan sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa di sini!" bentak Endang Patibroto sambil menerjang maju.
Joko Wandiro tahu akan bahayanya. Dengan keris pusaka sehebat itu, yang hawanya saja hampir melumpuhkan semangatnya, apalagi dengan memondong tubuh Ayu Candra, andaikata tidak demikianpun, belum tentu ia cukup kuat untuk menandingi Endang Patibroto dengan keris pusakanya itu. Maka ia lalu cepat melompat jauh ke kiri? Sengaja memperlambat larinya. Endang Patibroto berseru nyaring,
"Berhenti kau! Jangan lari, pengecut!!" Gadis perkasa itu mengejar dengan keris di tangan.
Entah bagaimana, melihat kembali Joko Wandiro membela dan melindungi Ayu Candra, timbul kemarahan dan kebencian yang amat hebat di hatinya dan niat hatinya pada saat itu tiada lain, membunuh mereka berdua barulah ia akan merasa puas! Ketika melewati segerombolan pohon dan hampir dapat menyusul Joko Wandiro, tiba-tiba pemuda itu membelok ke kanan, memutari pohon dan kini menggunakan Aji Bayu Sakti melompat bagaikan terbang cepatnya, kembali ke tempat tadi atau lebih tepat berlari menuju ke tempat kudanya.
"Berhenti kau, keparat Joko Wandiro! Berhenti!!" Endang Patibroto mengejar dengan marah.
Akan tetapi Joko Wandiro sambil memondong tubuh Ayu Candra yang masih pingsan sudah melompat bagaikan seekor kijang, hinggap di atas pelana kuda. dan pada detik selanjutnya kuda itu sudah dibalapkan cepat meninggalkan tempat itu. Endang Patibroto berhenti mengejar, memandang debu yang mengepul tinggi di belakang kuda. Ia membanting-banting kaki, memaki-maki dan akhirnya ia menjatuhkan diri di atas tanah, menangis terisak-isak dengan perasaan yang tidak karuan. Marah, malu, benci, duka, dan entah perasaan pahit apa lagi yang saat itu mengamuk di dalam hatinya.
Setelah akhirnya gelora hatinya dapat ditekan, Endang Patibroto bangkit, menyimpan keris pusakanya lalu menghampiri tubuh Ki Jatoko yang masih belum bangun. Dengan ujung kakinya ia membalikkan tubuh yang tertelungkup itu, mengguncang-guncangkannya. Ki Jatoko mengeluh dan merangkak bangun. Ketika bagaikan orang bangun dari mimpi buruk ia mengangkat muka dan melihat Endang Patibroto, teringatlah ia akan semua peristiwa dan matanya mencari-cari ke kanan kiri.
"Bangunlah dan hayo kita melanjutkan perjalanan."
"Mana... mana... Ayu Candra..."
"Cerewet! Hayo jalan!" Encang Patibroto menarik lengan Ki Jatoko dan menyeretnya bangun dengan sentakan kasar sekali.
"Aduh...! Aku...punggungku terpukul, sakit bukan main ...!" Ki Jatoko mengeluh lagi. "Kita mengaso dulu, Endang..."
"Tidak! Hayo jalan terus!"
"Kasihanilah, Endang. Aku letih dan lapar, haus dan sakit-sakit tubuhku kau kasihanilah, aku ayah..."
"Diam! Sebelum tiba di Sempu, jangan sebut-sebut lagi hal itu atau kuhancurkan kepalamu!"
Melihat pandang mata yang dingin itu, Ki Jatoko bergidik, kemudian karena maklum bahwa di tangan gadis ini ia tidak akan dapat berbuat sesuatu, iapun lalu mengikutinya melanjutkan perjalanan.
Sementara itu, Joko Wandiro sudah membawa lari Ayu Candra. Setelah tiba di tepi pantai dari mana tampak Pulau Sempu, barulah ia turun dari kuda. Ayu Candra sudah siuman. Di tengah jalan tadi dengan mengurut punggungnya, Joko Wandiro telah membebaskan pengaruh totokan Ki Jatoko.
"Kakang, kenapa kau tidak lawan dan bunuh saja Endang Patibroto itu? Biarpun kita tidak akan mendendam kepadanya, akan tetapi dia itu seorang gadis jahat dan ganas seperti iblis. Dia yang selalu memusuhi dan menyerangmu terlebih dulu. Mengapa kau selalu mengalah kepadanya?"
"Ah, kau tidak tahu adikku. Dia itu bagaimanapun juga adalah puteri paman Pujo dan bibi Kartikosari, bagaimana aku tega untuk membunuhnya? Selain itu, dengan keris pusaka Mataram di tangannya, tak mungkin aku dapat menang melawan dia. Sudahlah, mari kita mencari perahu. Kuda ini cukup ditukar dengan sebuah perahu kecil."
Dan memang betul dugaannya. Seorang nelayan dengan senang hati menukarkan perahu kecilnya yang butut dengan kuda itu, karena memang kuda ini jauh lebih mahal harganya. Penukaran ini mendatangkan untung besar baginya. Demikianlah, tanpa membuang waktu lagi Joko Wandiro lalu mengajak Ayu Candra untuk berlayar, menyeberang ke Pulau Sempu yang sudah tampak dari pantai Laut Selatan.
********************
Kartikosari dari Roro Luhito hidup dengan aman dan tenang di Pulau Sempu. Pulau ini kosong dan tanahnya cukup subur sehingga dua orang wanita perkasa itu tidak mendapat kesukaran untuk hidup mengasingkan diri di situ. Mereka bercocok tanam dan mendirikan sebuah pondok baru karena pondok bekas tempat tinggal Resi Bhargowo telah rusak. Kandungan mereka sudah makin tua. Kartikosari mengandung tujuh bulan sedangkan Roro Luhito mengandung lima bulan.
Sebagai puteri-puteri yang memiliki kepandaian tinggi, hidup menyendiri di pulau itu bukanlah hal yang sukar bagi mereka, bahkan menenangkan pikiran setelah mereka mengalami hal-hal yang menegangkan di masa yang lalu. Juga merupakan hiburan atas kedukaan hati mereka kehilangan suami. Yang terutama sekali, tempat yang sunyi dan jauh dari dunia ramai ini merupakan tempat sembunyi yang paling aman sehingga tak mungkin ada musuh yang dapat mengganggu mereka. Hanya Joko Wandiro seorang yang tahu akan tempat sembunyi mereka ini. Orang lain siapakah dapat menduga bahwa dua orang puteri itu bersembunyi di pulau kosong?
Mereka mempunyai sebuah perahu dan dengan perahu inilah kadang-kadang Roro Luhito menyeberang untuk mencari kebutuhan mereka yang tak dapat ditemukan di atas pulau. Dan pada siang hari itu, Roro Luhito baru saja datang dari darat, di mana ia mencari dan membeli bumbu-bumbu masak karena persediaan di pulau sudah habis. Mereka berdua duduk meneduh di bawah pohon sambil menikmati angin semilir dan memandang ombak-ombak Laut Selatan yang menggelora ke pantai.
"Kak Sari, ada orang datang berperahu...!" Tiba-tiba Roro Luhito berbisik sambil menudingkan telunjuknya ke arah pantai.
Kartikosari cepat memandang dan bangkit berdiri. Betul saja. Sebuah perahu makin mendekati pulau. Keduanya menduga-duga dengan hati berdebar dan tanpa disadari mereka sudah berpindah tempat, menyelinap di balik segerombolan tanaman untuk menyembunyikan diri. Mereka tidak ingin dilihat orang luar. Sambil bersembunyi dua orang wanita perkasa itu mengintai.
"Mereka Joko Wandiro dan Endang Patibroto...!" Kartikosari berseru setelah perahu itu makin dekat pulau. Suaranya terdengar penuh kegembiraan dan kini mereka berdua melompat keluar dari tempat sembunyi. Setengah berlari mereka menuju ke tepi laut dan melambai-lambaikan tangan.
"Joko...Endang...! Ke sini....!"
Kartikosari berseru keras. Suaranya nyaring terbawa angina melalui atas ombak samudera. Agaknya terdengar oleh Joko Wandiro karena pemuda itu sambil mendayung, sejenak melambaikan tangan ke atas.
"Kak Sari, gadis itu bukan Endang....!!" Roro Luhito berkata, suaranya mulai tegang.
"Bu... bukan Endang... benar, dia bukan anakku...!" Suara Kartikosari tidak hanya tegang, bahkan gemetar.
Roro Luhito dengan halus memegang tangan madunya, menepuk-nepuk perlahan untuk menenangkan hati dan menghiburnya. "Siapapun dia, kalau datang bersama Joko Wandiro, tentu seorang baik-baik."