Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Badai Laut Selatan Jilid 38
Mereka berdua berdiri sambil bergandeng tangan, menanti datangnya perahu itu. Setelah perahu tiba di pantai, mereka melihat bahwa gadis itu benar bukan Endang Patibroto, melainkan seorang gadis cantik jelita yang juga memandang mereka penuh perhatian. Joko Wandiro meloncat ke atas pantai dan menyeret perahunya naik. Ayu Candra juga meloncat turun, membantu kakaknya menyeret perahu. Kemudian keduanya berjalan menghampiri dua orang wanita yang telah menunggu.
"Joko Wandiro, di mana Endang Patibroto? Tak berhasilkah engkau membujuknya ikut ke sini?" Kartikosari menegur setelah Joko Wandiro menghaturkan sembah.
"Maafkan saya, bibi Kartikosari. Sudah dua kali saya membujuk dengan kata-kata halus sampai dengan kekerasan, namun sia-sia hasilnya. Hatinya terlalu keras dan kesaktiannya terlalu hebat sehingga saya tidak berhasil. Akan tetapi, saya rasa tak lama lagi ia akan ke sini, bibi. Tak jauh dari pantai saya telah bertemu dengan dia."
"Betulkah?" Kartikosari menjadi gembira "Coba ceritakan apa yang telah terjadi dan gadis ini siapakah?"
"Bibi, inilah Ayu Candra, adik kandung saya...."
Seketika wajah Kartikosari berubah pucat. Ia berseru perlahan dan melangkah mundur. "Kau...? Kau....membawa puteri Listyakumolo ke sini? Joko Wandiro! Kalau kau memang berniat membalas dendam atas kematian ibu kandungmu, mengapa tidak kaulakukan sendiri ketika kita saling bertemu di Bayuwismo? Mengapa baru sekarang"
Juga Roro Luhito terkejut dan menegur keponakannya, "Joko, kau berjanji takkan melanjutkan permusuhan dan dendam, mengapa sekarang kau ajak puteri mbok-ayu Listyakumolo ke sini?"
Mendengar kata kata dan melihat sikap dua orang wanita cantik itu, Ayu Candra cepat maju dan berkata, suaranya halus namun tegas, "Harap bibi berdua jangan khawatir. Memang benar aku pernah menurutkan dendam sakit hati karena duka kehilangan ayah bunda, tanpa mengingat pesan terakhir ayah yang melarangku membalas dendam, tadinya saya berniat untuk mencari bibi dan melakukan pembalasan. Akan tetapi, setelah kakang Joko Wandiro menceritakan semua sebab-sebab permusuhan, saya sudah sadar dan takkan melanjutkan permusuhan ini."
Sejenak Kartikosari dan gadis itu saling pandang, seperti hendak mengukur isi hati masing-masing. Kemudian Kartikosari terisak dan melangkah maju, dan di lain saat Ayu Candra sudah jatuh ke dalam pelukannya. Ayu Candra menangis, Kartikosari juga bercucuran air mata.
"Aduh, anak baik...! Sungguh besar hatiku mendengar kata-katamu. Kau patut menjadi puteri seorang perkasa seperti Ki Adibroto! Akupun selalu rela untuk menebus dosa puteriku, Ayu Candra. Aku siap untuk menerima pembalasan atas kematian ayah bundamu, hanya aku ingin agar supaya anak yang kukandung ini terlahir lebih dahulu, baru aku bersedia menerima kematian. Akan tetapi, kini engkau telah sadar, menghabiskan permusuhan, alangkah bahagia hatiku!"
Setelah reda keharuan hati mereka, Ayu Candra berkata, "Sayangnya, bibi, puterimu Endang Patibroto itu entah mengapa, setiap kali bertemu dengan aku atau kakang Joko Wandiro, tentu menyerang dan hendak membunuh kami! Dia amat benci kepadaku."
"Hemm, kau tinggallah di sini. Biarlah dia datang! Hendak kulihat apakah dia masih melanjutkan sikap gila itu kepadamu. Aku akan membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku, Ayu Candra!" kata Kartikosari dan pada saat seperti itu, wanita cantik ini sikapnya sama benar dengan Endang Patibroto, dadanya dibusungkan, matanya berapi-api, kedua tangan dikepal, sepasang pipinya merah!
"Sudahlah, kiranya tak perlu dibicarakan lagi hal-hal yang tidak menyenangkan hati ini. Marilah kalian ikut kami ke pondok di mana kita dapat bicara dengan leluasa," kata Roro Luhito.
Kartikosari mengangguk dan berangkatlah mereka berempat ke pondok sederhana yang berada di tengah Pulau Sempu. Di dalam pondok, Joko Wandiro lalu menceritakan semua pengalaman dan semua peristiwa yang terjadi selama ini. Ia juga menceritakan sepak terjang Endang Patibroto yang telah menewaskan Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, dan betapa gadis itu bersama Ayu Candra hampir mengalami malapetaka hebat di tangan Bhagawan Kundilomuko. Juga tentang pertemuan-pertemuannya dengan Endang Patibroto, tentang pertandingan di antara mereka. Setelah mendengar semua penuturan Joko Wandiro, Kartikosari termenung, menarik napas panjang lalu berkata lirih,
"Betapapun juga, dia telah dapat membalaskan sakit hati eyangnya dan membasmi orang-orang jahat itu. Ahhh.... Endang.... kalau engkau tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, agaknya kau tidak akan menyeleweng sedemikian jauh."
"Semua sudah dikehendaki Dewata, ayunda Kartikosari," kata Roro Luhito menghibur. "Kalau Endang tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, kurasa juga bukan hal mudah baginya untuk dapat membasmi orang-orang sakti seperti Cekel Aksomolo dan kawan-kawannya!"
Setelah bertemu dengan dua orang wanita perkasa ini, Ayu Candra kembali harus membenarkan sikap kakaknya. Memang dua orang wanita ini jelas adalah orang-orang yang berpribudi tinggi sehingga sebentar saja ia sudah tidak ragu-ragu dan tidak sungkan-sungkan lagi untuk bercakap-cakap dan menuturkan semua riwayatnya. Kartikosari dan Roro Luhito merasa terharu dan menaruh rasa sayang kepada gadis yang kehilangan ayah bunda ini. Sekali lagi Kartikosari menghibur hati Ayu Candra dan mengatakan bahwa kalau benar Endang Patibroto datang ke pulau itu, ia akan mencuci habis permusuhan yang mengotori hati dan pikiran anaknya.
Joko Wandiro lalu minta diri kepada Kartikosari. "Saya hendak mencari pusaka Mataram yang dulu oleh eyang guru diberikan kepada saya untuk disimpan. Pusaka itu masih saya simpan di pulau ini, bibi, dan sekarang saya hendak mencarinya, untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu sang prabu di Panjalu."
Kartikosari dan Roro Luhito tercengang. Baru sekarang mereka mendengar akan hal itu. "Pusaka Mataram?" Kartikosari bertanya heran. "Ramanda resi tak pernah menceritakan hal itu kepadaku. Joko Wandiro, bagaimanakah pusaka Mataram dapat berada di tangan eyang gurumu?"
"Tadinya saya pun tidak tahu, bibi. Akan tetapi ketika saya mengikuti guru saya di Jalatunda, dan mendapat kesempatan bertemu dengan eyang guru yang mengabdi kepada Sang Prabu Airlangga yang bertapa, eyang pernah menceritakannya kepada saya bahwa pusaka Mataram yang lenyap itu sebenarnya dicuri oleh Jokowanengpati. Secara kebetulan pusaka itu dapat dirampas oleh eyang resi dari tangan bedebah itu. Ketika eyang berada di pulau ini dan tahu bahwa musuh-musuh utusan Pangeran Anom datang untuk merampas pusaka, eyang guru lalu membagi pusaka menjadi dua, selubungnya yang berbentuk patung kencana diserahkan kepada saya untuk disimpan dan disembunyikan. Adapun isinya berupa keris pusaka berada di tangan Endang Patibroto, juga untuk disembunyikan. Akan tetapi ketika saya bertemu dengan Endang, dia mempergunakan pusaka itu yang ampuhnya menggila"
Kartikosari mengangguk-angguk. "Biarlah, kalau dia datang, akan kuminta pusaka itu. Pusaka Mataram harus kembali kepada sang prabu di Panjalu, karena tanpa adanya pusaka itu, kerajaan akan selalu menjadi kacau, demikian dahulu rama resi pernah bercerita. Kau pergilah dan cari kembali pusaka yang kausembunyikan dahulu, anakku."
Joko Wandiro lalu keluar dari pondok itu. Masih teringat olehnya betapa selama dua tahun ia bermain-main di pulau ini, bermain-main bersama Endang Patibroto, kadang-kadang sama-sama berlatih ilmu. Kemudian ia teringat betapa ia membawa patung kencana menyusup-nyusup ke tengah pulau menuju ke sebelah barat karena ia memang hendak menyembunyikan pusaka itu di bagian barat pulau. Dari jauh sudah tampak olehnya sebatang pohon randu alas yang besar, menjulang tinggi seperti raksasa. Hatinya berdebar keras.
Pohon itulah tempat rahasianya. Di sanalah ia menyimpan patung kencana dan di sana pula dahulu ia digigit ular berbisa. Semua itu terbayang jelas dan ketika ia sudah tiba di bawah pohon randu alas, ia berdiri termenung. Pohon itu kini sudah menjadi pohon raksasa. Biarpun ia kinipun sudah menjadi seorang dewasa, namun dibandingkan dengan pohon ini, ia kalah jauh pesatnya dalam pertumbuhan. Di manakah kira-kira pusaka itu? Ia masih ingat betul.
Dahulu patung kencana itu ia masukkan dalam sebatang cabang yang berlubang, cabang besar yang letaknya paling tinggi. Akan tetapi pohon itu kini sudah amat banyak cabangnya sehingga sukar baginya untuk menentukan cabang yang mana yang menyimpan patung kencana. Dengan jantung berdebar Joko Wandiro lalu melompat naik dan memanjat pohon. Karena ingat bahwa dulu ia pernah digigit ular berbisa di sini, kini ia memandang teliti kalau-kalau ada ular lagi. Akan tetapi tidak ada ular di situ. Mulailah ia mencari-cari, meneliti setiap cabang besar.
Pada saat Joko Wandiro mencari kembali pusaka yang belasan tahun yang lalu ia sembunyikan di dalam cabang pohon randu alas, di pantai sebelah selatan mendaratlah Endang Patibroto bersama Jokowanengpati atau Ki Jatoko! Ki Jatoko merasa gelisah dan kecut-kecut hatinya, namun ia tidak dapat mundur lagi. Ia telah menjalankan siasat, membujuk gadis itu dan ia maklum bahwa gadis ini tentu hendak membuktikan kebenaran pengakuannya dengan menanyakan hal itu kepada Kartikosari Apa boleh buat, pikir Ki Jatoko. Pengakuannya ini bukan ngawur belaka. Semenjak ia memperkosa Kartikosari, wanita itu berpisah dari suaminya. Kemudian melahirkan Endang Patibroto. Bukankah amat mungkin sekali bahwa gadis ini adalah anaknya? Keturunannya? Ia tak dapat mundur lagi, sekali melangkah harus terus nekat maju.
"Ibu.....!!" Suara Endang Patibroto tercampur isak ketika ia memanggil ibunya.
Kartikosari yang sedang duduk di luar bersama Roro Luhito dan Ayu Candra, cepat menoleh dan ia melompat bangun. Wajahnya tegang, matanya bersinar.
"Endang Patibroto! Engkau datang.....!!" Kemudian matanya menyapu ke arah orang buntung itu, keningnya berkerut, pandangnya tajam penuh selidik.
"Ahhhh...!!!" Roro Luhito menjerit dan mencengkeram tangan Kartikosari.
Wanita ini sekali pandang saja sudah mengenal Ki Jatoko. Sebaliknya, Kartikosari hanya merasa seperti pernah bertemu dengan orang buntung ini, akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan.
"Yunda.... dia... dia... " Roro Luhito tak dapat melanjutkan kata-katanya, mukanya pucat.
"Bibi, dia itu adalah Ki Jatoko yang jahat!" kata Ayu Candra.
Sementara itu, Endang Patibroto juga mengerutkan keningnya ketika melihat Ayu Candra di situ bersama ibunya.
"Ibu, dia anak musuh kita!" bentaknya marah.
"Yunda Sari yunda dia... dia Jokowanengpati...!" Roro Luhito kembali berbisik dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Kartikosari kini mengenal pula si buntung itu dan mukanya menjadi pucat, matanya mengeluarkan cahaya berkilat dan ia membentak puterinya,
"Endang Patibroto! Tahukah engkau, dengan siapa kau datang ini?"
Karena memang maksud kunjungannya ini untuk mempertemukan ibu kandungnya dengan orang yang mengaku ayahnya; maka seketika Endang Patibroto melupakan urusan Ayu Candra. Ia lalu berkata, suaranya lantang menantang, "Ibu, justeru aku yang ingin bertanya apakah ibu mengenal orang ini?"
"Dia.......dia.. Iblis telah melindunginya, dia inilah Jokowanengpati si keparat jahanam!!"
"Ahh, sampai bagaimanapun, mana bisa kau lupakan aku, Kartikosari?" Ki Jatoko berkata lirih, cukup jelas terdengar oleh Endang Patibroto.
"Ibu, baik sekali bahwa ibu seketika mengenal dia. Ada hubungan apakah dia dengan ibu? Jokowanengpati ini mengaku bahwa dia adalah ayah kandungku! Benarkah ibu dahulu menjadi kekasihnya sebelum menikah dengan Pujo, dan benarkah bahwa aku ini... anaknya?"
Hebat bukan main kata-kata ini bagi Kartikosari. Bagaikan sebatang pedang beracun karatan menusuk tembus jantungnya. Matanya terbelalak, mukanya tak berdarah lagi, ingin ia menjerit, memaki, berteriak, namun tenggorokannya penuh sesak oleh hawa amarah yang menyesak ke atas sehingga akhirnya ia terguling dan roboh pingsan! Tentu ia akan terbanting roboh kalau tidak cepat-cepat Ayu Candra memeluknya. Gadis ini lalu duduk dan memangku kepala Kartikosari yang pingsan. Roro Luhito meloncat bangun, menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Endang Patibroto sambil berseru,
"Endang Patibroto! Engkau sungguh terlalu! Sampai hati engkau menghina ibumu sendiri sampai begitu? Engkau telah terkena bujukan iblis ini! Huh, Jokowanengpati, semua keteranganmu tentang Kartikosari dan engkau bohong semua!"
"Hemm, bagaimana bibi Roro Luhito bisa tahu?" Endang Patiproto bertanya, mengejek.
"Mengapa aku tidak tahu.. Ah, kau anak durhaka kepada ibu kandung! Endang Patibroto, jangan percaya mulut bangsat rendah, keparat hina ini. Tahukah engkau bahwa tidak hanya ibumu menjadi korban kekejiannya, akan tetapi juga aku? Ibumu sedang bertapa bersama ayahmu di dalam Gua Siluman, tidak tahu bahwa di dalam guha itu bersembunyi si keparat Jokowanengpati ini. Karena ayah dan ibumu pingsan setelah bertanding melawan kakak kandungku, Wisangjiwo ayah Joko Wandiro, mereka tak berdaya. Jokowanengpati si keparat ini lalu memperkosa ibumu, di depan mata ayahmu! Kemudian ia melarikan diri! Dan bukan itu saja, diapun menggunakan nama kakangmas Pujo untuk memperkosa diriku di tengah malam! Dia ini manusia rendah, iblis bermuka manusia, serigala bertubuh manusia, kau jangan percaya omongannya yang berbisa. Kami, ibumu dan aku sudah menghukumnya sehingga ia terjungkal ke laut, disambar ikan, kami kira sudah mampus... ah...."
Biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, namun di dalam hatinya, Endang Patibroto merasa lega. Iapun tidak suka kalau betul-betul ayah kandungnya adalah si buntung ini. Kini dengan pandang mata dingin ia menoleh kepada Ki Jatoko, suaranya juga dingin sekali ketika bertanya, "Jokowanengpati, betulkah apa yang dikatakan bibi Roro Luhito?"
Maklum bahwa percuma saja untuk berbantah karena tentu Roro Luhito dan Kartikosari akan membuka semua rahasianya, Jokowanengpati atau Ki Jatoko lalu tertawa bergelak.
"Huah-ha-ha-ha-hah! Di dunia ini mana ada perempuan yang mau mengakui penyelewengannya? Endang Patibroto, engkau bukan bocah lagi, engkau sudah dewasa dan sudah dapat mempertimbangkan. Katakanlah bahwa ibumu tidak mengaku sebagai kekasihku, akan tetapi betapapun juga, Roro Luhito sudah mengaku bahwa aku pernah memperkosa Kartikosari. Dan semenjak peristiwa itu Kartikosari tak pernah berdekatan dengan Pujo sampai engkau terlahir!" Ki Jatoko menyeringai penuh kemenangan dan menoleh kepada Kartikosari yang sudah mulai sadar. "Kartikosari, hayo sangkal kalau kau mampu. Semenjak peristiwa malam di dalam guha, bukankah engkau meninggalkan Pujo dan melahirkan Endang Patibroto ini? Hayo jawablah! Engkau tidak mungkin dapat menyembunyikan kenyataan ini! "
Wajah Kartikosari pucat sekali. Terbayang dalam ingatannya semua pengalamannya dahulu. Dahulupun ia sudah seringkali meragu dan keraguan inilah yang merupakan siksaan batinnya sampat berbulan-bulan. Semenjak ia tahu bahwa ia mengandung, ia sudah meragu dan hendak membunuh diri karena ia tidak tahu pasti anak siapakah dalam kandungannya Itu. Bahkan setelah anak itu terlahir, pernah ia melemparkan anak itu ke laut. Kinipun ia menjadi ragu-ragu, tak dapat menjawab!"
"Ibu, jawablah, ibu. Jawablah sejujurnya!" Terdengar suara Endang Patibroto mendesak.
Wajah Kartikosari seperti wajah mayat. Pandang matanya kosong dan bibirnya menggigil.
"Apa apa yang harus kujawab...? Betul semenjak itu aku pergi meninggalkan kakangmas Pujo....akan tetapi kuanggap kau anak kakangmas Pujo. Kalau kuanggap dahulu bahwa engkau bukan anak kakangmas Pujo, tentu sudah kubunuh kau!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Kartikosari menangis tersedu-sedu dan Roro Luhito cepat merangkulnya dan membujuknya agar tidak melayani mereka itu.
Ayu Candra hanya mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, penuh kasihan kepada Kartikosari dan penuh kebencian kepada Ki Jatoko. Diam-diam ia bergidik kalau Ia teringat betapa pernah ia mempercaya manusia iblis dan menyerahkan nasib dirinya kepada Ki Jatoko!
Kembali terdengar Jokowanengpati tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. "Ha-ha-ha-ha! Anakku cah-ayu Endang Patibroto! Baru percayakah engkau sekarang, anakku? Engkau anakku, engkau darah dagingku, tak salah lagi! Bukankah banyak persamaan di antara kita? Bukankah cocok watak kita, sama-sama gagah perkasa, sama-sama cerdik penuh akal dan kalau saja mukaku tidak menjadi rusak begini, wajahmu sama benar dengan wajahku. Aku dahulu tampan, seorang ksatria yang elok, kau tanya saja ibumu. Ha-ha, kau tanya juga Roro Luhito ini, dia dahulu di waktu perawan telah diserahkan oleh ayahnya kepadaku untuk menjadi isteriku. Ha-ha, banyak wanita tergila-gila kepadaku. Kau boleh bangga mempunyai ayah seperti aku ini, Endang... heeee! Endang...! Mau...mau apa kau...?"
Tiba-tiba suara yang penuh kemenangan itu berubah penuh ketakutan. Endang Patibroto kini berdiri memandang wajah si buntung yang mengaku ayahnya dan keadaan gadis ini benar-benar amat mengerikan. Sepasang matanya penuh kemarahan, penuh hawa nafsu membunuh, agaknya mata iblis seperti itulah. Mulutnya setengah tersenyum, wajahnya pucat sekali. Jokowanengpati mundur-mundur ketakutan. Sinar mata itu membisikkan maut, membuat ia bergidik ngeri.
"Endang.... Endang Patibroto.... ingat, kau.... anakku.... mau apa kau....?"
Endang Patibroto melangkah maju, perlahan-lahan, mengikuti gerakan Jokowanengpati yang mundur-mundur. Bibirnya bergerak-gerak, mula-mula hanya bisikan-bisikan lirih yang tidak terdengar orang lain, kemudian makin keras bisikan-bisikannya itu,....kubunuh kau.... ayahku atau bukan... kau yang menyebabkan ibuku sengsara... kau yang mendatangkan kutuk atas diriku... kubunuh kau... kubunuh kau..."
Jokowanengpati takut bukan main. Ke manapun ia mundur, gadis itu terus mengikutinya sehingga mereka berdua makin menjauhi pondok Kartikosari. Tiga orang wanita di depan pondok itu mengikuti mereka berdua dengan pandang mata penuh kengerian. Kartikosati mendekap mulut menahan jerit yang hendak keluar. Biarlah, bisik hatinya, biarlah. Kini ia tidak meragu lagi. Sepatutnya gadis itu memang keturunan Jokowanengpati. Keturunan Pujo tidak seperti itu! Biarlah, biarlah anak dan ayah laknat itu saling bunuh!
"Endang Patibroto... ingatlah... aku... ayahmu..." Jokowanegpati berkali-kali memperingatkan dan mohon dikasihani.
"Ayahku atau bukan, harus kubunuh engkau... kubunuh... kubunuh... "
Tiba-tiba Jokowanengpati atau Ki Jatoko yang sudah ketakutan setengah mati itu meloncat jauh untuk melarikan diri akan tetapi tubuhnya roboh terguling karena Endang Patibroto sudah memukulnya dengan ilmu pukulan jarak jauh. Dan sebelum ia sempat lari lagi, Endang Patibroto sudah meloncat di depannya. Saking takutnya, Jokowanengpati menjadi nekat. Begitu gadis itu mendekat, ia menubruk dengan pukulan keras ke arah pusar.
"Bagus, kau lawanlah!" kata Endang Patibroto sambil miringkan tubuh mengelak, kemudian kedua tangannya bagaikan dua ekor ular cepatnya menyambar dan sudah mencekik leher Jokowanengpati.
"Endang... auughhh...!" Jokowanengpati menggunakan kedua tangannya mencengkeram tangan gadis itu, membetot-betot dan meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Namun usahanya sia-sia. Kedua lengan gadis itu yang berkulit halus putih seolah-olah telah berubah menjadi sepasang jepitan baja yang kokoh kuat. Mata gadis itu masih melotot mengerikan, sama sekali tak pernah berkedip, dan mulutnya yang agak terbuka mengeluarkan kata-kata lirih,
"Kubunuh... kau... kubunuh kau... kubunuh kau...
Makin takutlah Jokowanengpati. Ia kini tahu betul bahwa maut telah membayang di depan matanya. Kalau tadi ia mencengkeram kedua lengan Endang Patibroto berusaha melepaskan cekikan, kini ia mengepal kedua tangannya dan menghantam sekenanya.
Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulannya mengenai perut, lambung dan pangkal lengan Endang Patibroto, namun agaknya sama sekali tidak terasa oleh gadis perkasa itu.
Jokowanengpati menjadi makin ngeri dan takut. Sudah ia kerahkan tenaga untuk melawan dan untuk menahan cekikan, namun cekikan makin erat dan ia sudah tak dapat bernapas lagi, matanya berkunang-kunang telinganya terngiang-ngiang kepalanya berdenyut-denyut. Saking takutnya, kedua tangannya kini tidak memukul-mukul lagi, melainkan menyembah-nyembah minta ampun.
Matanya yang melotot membayangkan rasa takut hebat dan mulutnya terbuka memperlihatkan gigi yang besar-besar dan tidak karuan bentuknya, lidahnya mulai terjulur. Mukanya menjadi merah sekali seperti kepiting direbus.
Endang Patibroto seperti orang mabuk. Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya melotot, napasnya keluar dari mulut, terengah-engah. Cekikannya makin diperkuat. Darah mulai menetes turun dari kedua telinga, mata, hidung dan mulut Jokowanengpatil Muka yang merah itu kini membiru, matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Lidahnya terjulur keluar seperti ditarik. Tubuhnya mengejang, kaki tangannya berkelojotan. Terdengar suara mengorok di kerongkongan. Endang Patibroto makin memperkuat cekikannya.
"Krokkk..."
Batang leher itu patah! Tubuh Jokowanengpati atau Ki Jatoko tidak bergerak lagi. Endang Patibroto melepaskan tangannya dan mendorong tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke samping. Kemudian perlahan-lahan pandang matanya bergerak, beralih dari tubuh yang tak bernyawa itu, kini memandang ke depan, ke arah tiga orang wanita yang berdiri di depan pondok.
Isak tangis keluar dari kerongkongan Kartikosari yang mendekap mulutnya dengan tangan yang menggigil. Ayu Candra berdiri dengan muka pucat saking seremnya. Juga Roro Luhito pucat wajahnya, akan tetapi wanita ini merasa jijik. Pandang mata Endang Patibroto kini seluruhnya ditujukan kepada Ayu Candra. Kemudian terdengar ia berseru, "Ayu Candra, majulah! Kaupun harus mati di tanganku!"
Tiba-tiba, seperti mendapat aba-aba, Kartikosari dan Roro Luhito maju ke depan, melindungi Ayu Candra dengan sikap siap bertanding. Kartikosari berkata, suaranya tenang namun mengandung kemarahan ditahan-tahan,
"Endang Patibroto! Pergilah kau dari sini dan jangan memperlihatkan diri kepadaku lagi! Agaknya engkau memang patut menjadi anak Jokowanengpati dan karena itu aku benci kepadamu! Kau akan membunuh Ayu Candra? Boleh, akan tetapi melalui mayat kami berdua!"
Endang Patibroto mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo. Kemudian ia menjerit, "Ibu, dia itu musuh kita! Kau hendak melindunginya?" Pertanyaannya ini diajukan penuh penasaran, penuh kekecewaan, penuh kedukaan.
"Kalau mau bicara tentang musuh, agaknya engkaulah musuh kami!" jawab pula Kartikosari dengan pandang mata penuh amarah.
Endang Patibroto kembali memekik. Air matanya bercucuran keluar, tangannya menggigil, siap menerjang.
"Ibu....! Ibu....! Begitukah anggapanmu tentang diriku??"
"Apa boleh buat, engkau anak durhaka, engkau anak yang mengotori pesan kakangmas Pujo. Engkau memang pantas menjadi anak Jokowanengpati, karena itu engkau patut pula menjadi musuhku. Hayo, jangan kepalang melakukan kekejian. Aku ibumu, aku yang melahirkanmu, hayo kau bunuhlah aku sekalian, kalau kau berani!"
"Ibu...!!" Jerit ini bercampur isak.
"Hayo pergilah, pergi jangan datang kembali atau....kau maju dan serang aku, bunuh aku!"
"Ibu.....!" Pekik yang dikeluarkan Endang Patibroto menyayat hati. "Ayu Candra, kau pengecut! Hayo maju dan lawanlah aku, jangan kau berlindung di belakang orang-orang tua!".
Pada saat itu, terdengar lengking tinggi di sebelah belakang Endang Patibroto disusul suara yang tenang namun tegar.
"Endang Patibroto, mengapa engkau selalu haus darah? Kaulihat, Ayu Candra sebagai puteri suami isteri yang telah kaubunuh, mau melihat kenyataan dan tidak menaruh dendam, berdamai dengan ibu kandungmu. Akan tetapi engkau, mengapa begini ganas Endang, kau insyaflah, mintalah ampun kepada bibi Kartikosari dan mari kita semua hidup dalam suasana persaudaraan, melenyapkan segala dendam dan"
"Joko Wandiro, keparat! Kau sombong sekali! Kau kira aku takut kepadamu? Kau hendak membela Ayu Candra mati-matian? Boleh, hayo kau majulah!" Setelah berkata demikian, Endang Patibroto sudah meloncat bagaikan terbang menerjang Joko Wandiro yang sudah muncul dan berdiri tak jauh di depannya.
"Endang....! Jangan...." Kartikosari berseru keras penuh kekhawatiran.
Pada saat itu, udara menjadii gelap dan angin bertiup kencang dari arah utara. Daun-daun pohon rontok tertiup angin dan terdengarlah suara angin rnnenggiriskan. Langit mendadak menjadi gelap dan dari dalam mendung tebal tampak kilat menyambar-nyambar.
"Badai.......!" seru Roro Luhito terkejut. "Badai Laut Selatan mengamuk! Mari berlindung!"
Kartikosari yang mengkhawatiran keadaan Endang Patibroto dan Joko Wandiro, tidak mau meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Roro Luhito yang maklum akan bahaya, menarik lengan madunya itu.
"Ayu Candra, bantu aku, mari ajak bibimu berlindung. Berbahaya. Badai Laut Selatan mengamuk. Ganas... ganas...!!"
Selama tinggal di pulau itu, pernah satu kali badai Laut Selatan mengamuk dan hampir saja keduanya tewas. Kini Roro Luhito sudah berpengalaman, maka cepat ia menyeret Kartikosari yang berteriak-teriak memanggil anaknya, dibantu oleh Ayu Candra yang juga menangis, karena gadis ini teringat akan kakaknya. Akhirnya mereka itu sambil berlari-lari setengah merangkak di antara tiupan angin yang amat keras, berhasil tiba di gunungan batu di mana terdapat sebuah guha besar dan di sinilah mereka berlindung.
Angin bertiup amat kerasnya sehingga terdengar suaranya melengking bersiuran. Seluruh pohon di pulau itu diamuk, daun-daun beterbangan, bahkan ada pohon yang tercabut berikut akar-akarnya. Pondok kecil tempat tinggal Kartikosari dan Roro Luhito sudah diterbangkan pula oleh angin, dibawa ke laut dan disambut ombak menggelombang.
Dari atas pulau tampak betapa ombak sebesar gunung bergerak-gerak menuju kepantai selatan. Kepalanya putih, badannya panjang seperti naga hitam berkepala putih. Kilat yang menyambar-nyambar seperti keluar dari mulut naga. Angin datang membawa air hujan. Basah kuyup tubuh tiga orang wanita itu. Pakaian mereka kusut, rambut awut-awutan. Kartikosari menangis ketika Roro Luhito membereskan rambutnya dan menyusut! air yang membasahi seluruh muka.
"Anakku... dan Joko.... di mana...mereka...ehhh !"
"Tenanglah, ayunda Sari. Mereka berdua bukan orang-orang lemah. Badai Laut Selatan takkan mencelakai mereka. Hanya aku khawatir, Endang Patibroto, takkan mau sudah sebelum menandingi Joko Wandiro.."
"Ahhh..bagaimana baiknya? Anakku... dia durhaka...ah, ketika... terlahir dulu juga disambut badai... dia... ganas seperti badai selatan, dia kejam seperti gelombang Laut Selatan. Bagaimana kalau Joko Wandiro..."
"Kakang Joko Wandiro akan mampu melindungi diri sendiri," tiba-tiba terdengar suara Ayu Candra.
Wajah gadis ini pucat, napasnya memburu, namun pandang matanya penuh kepercayaan. Tiga orang itu lalu diam, seperti berdoa, terlalu tegang mereka untuk membuka mulut lagi. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing, atau tertelan oleh suara angina yang memanjang mengerikan. Badai Laut Selatan kembali mengamuk, memperlihatkan keganasan dan kekuatannya.
Apa yang terjadi pada saat itu di atas pulau, di dalam badai mengganas, benar amat hebat mengagumkan. Dua orang muda itu agaknya tidak merasa bahwa badai mengamuk hebat. Begitu Endang Patibroto menerjangnya dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan, Joko Wandiro maklum bahwa ia harus menghadapi gadis ini mati-matian.
Dari keris pusaka itu menyambar hawa panas yang membuat ia silau dan merasa kaki tangannya lumpuh. Ia mengeraskan hati dan mengerahkan semua aji kesaktiannya, namun tetap saja ia gemetar dan ketika mengelak, ia merasa betapa gerakannya berkurang kegesitannya. Maklumlah ia bahwa keris pusaka itu benar-benar amat ampuh dan mempunyai daya kekuatan yang jauh melampaui kekuatan dan hawa saktinya sendiri.
Endang Patibroto seperti sudah gila, atau seperti kesurupan hawa badai yang mengamuk. Ia memekik-mekik dan menyambar-nyambar dengan kerisnya. Suara badai mengamuk memasuki telinganya semerdu suara gamelan yang mendorongnya untuk bergerak makin ganas lagi. Angin yang melengking-lengking meniup pergi suara yang keluar dari mulut Endang Patibroto. Bagaikan mimpi gadis ini berteriak-teriak, memekik-mekik,
"Joko Wandiro! Kau menolak perjodohan denganku dan mencinta gadis lain? Baiklah, memang kau harus mati di tanganku!" teriaknya berkali-kali, akan tetapi suara badai yang hiruk-pikuk disertai lengking angin yang memanjang menulikan telinga, membuat suara gadis ini tidak terdengar oleh Joko Wandiro.
Pula, pemuda ini memang sibuk sekali menghindarkan serangan-serangan Endang Patibroto yang amat berbahaya. Karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, Joka Wandiro mengelak sambil balas memukul, menggerakkan tangan dengan Aji Bojro Dahono.
"Weerrr...!!"
Pukulan Joko Wandiro dahsyat sekali dan biasanya pukulannya ini tidak ada yang kuat menahannya. Akan tetapi, ketika pukulan itu meluncur ke arah Endang Patibroto, secara tiba-tiba pukulan itu terpental mundur oleh hawa yang panas, yang menyerbu keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk! Dan pada saat itu, keris pusaka bagaikan naga sudah menyambar datang menusuk ke arah dadanya. Silau mata Joko Wandiro oleh sinar yang menyambar keluar dari ujung keris pusaka itu.
"Celaka ....... !" serunya dan cepat ia membuang diri ke kiri. Ia berhasil lolos dari cengkeraman maut, akan tetapi tak dapat menghindarkan diri ketika kaki kanan Endang Patibroto menyambar, mencium lambungnya dan tubuh Joko Wandiro roboh tersungkur.
"Matilah kau, Joko Wandiro!"
Ketika itu tubuh Joko Wandiro sudah rebah miring dan keris pusaka Brojol Luwuk menghujam ke bawah mengarah dada. Tampak kilat menyambar dari angkasa, disusul bunyi meledak dan menggeletar. Halilintar menyambar-nyambar dan pada saat itu tampak pula sinar kuning emas menyilaukan mata, sinar yang menyambut datangnya keris pusaka Brojol Luwuk.
"Cringgg ...!!" Bunga api berpijar dan hawa di sekitar tempat itu seperti terbakar.
"Aihhhh ....... !!!" Endang Patibroto menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang. Ia memandang dengan mata terbelalak, marah, penasaran dan juga kaget melihat betapa pusakanya kali ini dapat tertangkis sehingga tubuhnya seperti dilontarkan.
Ketika ia sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang, ternyata Joko Wandiro sudah berdiri dan tangan kanannya memegang sebuah patung kencana Sri Bhatara Whisnu! Golek kencana yang dulu menjadi bahan ejekannya, atau warangka dari keris pusaka Brojol Luwuk! Kiranya benda itulah yang telah dipergunakan pemuda itu untuk menangkis kerisnya. Dan ternyata dari pantung kencana itu keluar hawa yang adem dan mempunyai pengaruh yang menggiriskan!
Namun kenyataan ini bukan meredakan amarahnya, bahkan membuat gadis ini menjadi penasaran sekali. Sambil memekik nyaring ia lalu meloncat maju dan menerjang lagi dengan kecepatan dan kekuatan dahsyat. Joko Wandiro juga sudah timbul kemarahannya. Berkali-kali ia hampir tewas di tangan gadis yang amat ganas ini. Dengan hati-hati ia melayani Endang Patibroto. Hatinya kini besar dan tenang karena tanpa disengaja ia mendapatkan senjata yang ampuh, yang dapat menandingi keris pusaka Brojol Luwuk. Tadi ia telah berhasil menemukan patung kencana Sri Bhatara Whisnu di dalam cabang pohon dan mengambilnya. Ketika ia kembali ke pondok, ternyata Endang Patibroto telah membunuh Ki Jatoko dan sedang mengancam hendak membunuh Ayu Candra.
Tadi ia telah terdesak hebat dan hampir tewas. Dalam keadaan kepepet ia tadi secara kebetulan menggunakan patung kencana untuk menangkis keris pusaka dan hasilnya menakjubkan. Kini hatinya besar dan tahulah ia bahwa keris pusaka itu kehilangan pengaruhnya menghadapi warangkanya.
Hebat bukan main pertandingan kali ini antara Endang Patibroto dan Joko Wandiro. Pemuda itu maklum dari gerak-gerik gadis itu bahwa sekali ini Endang Patibroto hendak mengadu nyawa, bertanding mati-matian. Joko Wandiro betapapun juga tak seujung rambut mempunyai niat untuk membunuh Endang Patibroto, dan ia masih khawatir kalau-kalau gadis sakti yang ganas ini masih akan mengalihkan perhatian untuk mencoba menyerang Ayu Candra. Oleh karena itu, setelah kini ia dapat mengimbangi gerakan lawan dengan patung kencana di tangan, Joko Wandiro main mundur dan memancing Endang Patibroto bertanding makin menjauhi pondok itu.
Dalam keadaan marah yang hebat, juga dalam tiupan angin badai yang menggelora, Endang Patibroto tidak sadar akan hal ini dan tahu-tahu ia bersama lawannya telah bertanding di pinggir pantai. Ombak air Laut Selatan mengamuk naik ke pulau dan di antara sambaran lidah-lidah ombak inilah mereka kini bertanding. Gerakan mereka amat hebat, berloncatan dari karang ke karang, saling sambar di antara kilatan halilintar. Tubuh mereka sudah basah kuyup, namun semangat bertanding makin menggelora.
Untuk kesekian kalinya Endang Patibroto memekik dengan Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya melayang ke atas udara, kemudian dengan ganasnya ia meluncur turun sambil menggerakkan keris pusaka Brojol Luwuk menyerang dada sedangkan tangan kiri melancarkan serangan pukulan jarak jauh dengan Aji Wisangnala yang amat ampuh!
Namun Joko Wandiro sudah bersiap sedia menanti datangnya serangan. Kedua kakinya memasang kuda-Kuda kokoh kuat. Dalam keadaan seperti itu, biarpun diserang ombak besar membadai, ia tidak akan roboh. Kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, kedua telapak kaki seakan-akan sudah berakar pada batu karang yang dipijaknya. Tangan kiri dengan jari-jari terbuka menjaga di depan dada, kemudian ketika ia melihat datangnya keris pusaka, tangan kanan yang memegang patung kencana digerakkan ke atas, menangkis, sedangkan tangan kiri dengan Aji Bojro Dahono mendorong ke depan menerima pukulan Wisangnala.
"Tranggg..! Dessss ...."
Tubuh Endang Patibroto terhuyung-huyung dan pada saat itu, lidah ombak yang besar panjang datang menyambar dan menyeret tubuhnya ke laut! Akan tetapi, gadis perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dari dalam air, kemudian dengan gerakan kacau-balau dan dahsyat bagaikan badai Laut Selatan sendiri, ia sudah menerjang lagi ke arah berdirinya Joko Wandiro!
Bertubi-tubi keris pusakanya menyerang dan bertubi-tubi pula kena ditangkis oleh Joko Wandiro. Namun sekali lagi Joko Wandiro kena diakali karena secara tiba-tiba kaki kiri Endang Patibroto berhasil menendang lututnya sehingga Joko Wandiro terpeleset dan terguling. Kali ini dialah yang digulung ombak. Untung bahwa ombak itu cukup besar sehingga menutup dan menenggelamkan tubuh Joko Wandiro, karena pada saat itu Endang Patibroto sudah terjun pula ke dalam air untuk mengirim tusukan maut. Karena besarnya ombak, tubuh Joko Wandiro lenyap dan hal ini menolongnya. Ketika ombak sudah pergi, mereka berdiri berhadapan di atas pasir dan ternyata jarak di antara mereka amat dekat.
"Singgg...."
Keris pusaka Brojol Luwuk menyambar ke depan. Hawanya yang panas membuat tubuh Joko Wandiro setengah lumpuh rasanya. Namun pemuda ini dapat menggerakkan patung kencana menangkis. Karena kedudukannya agak miring, maka kini ia menangkis dari samping dan kaki patung yang meluncur di depan.
"Siuuuttt.... cappp....!!"
Entah bagaimana kedua orang muda itu sendiri tidak tahu. Bagaikan besi yang tersedot besi sembrani, keris pusaka dan patung kencana itu saling tarik-menarik dan tanpa dapat dicegah lagi, keris pusaka itu menancap ke dalam lubang di bagian bawah patung, masuk ke dalam warangka dan tak dapat dicabut kembali! Joko Wandiro melihat kesempatan baik ini, mengerahkan tenaga di tangan kanan, merenggut patung dan tangan kirinya menampar dengan Aji Pethit Nogo.
"Plakk....! Aduhhh....!!"
Tubuh Endang Patibroto terjengkang dan kebetulan pada saat itu, ombak badai sudah datang lagi sehingga tubuhnya diterima ombak dan dilontarkan sampai jauh! Joko Wandiro cepat meloncat ke atas batu karang dan cepat-cepat ia meloncat lagi menjauhi jangkauan ombak. Hanya sebentar tubuh Endang Patibroto ditelan ombak. Agaknya, ombak badai Laut Selatan masih belum cukup kuat untuk menelan dan melenyapkan tubuh gadis perkasa yang semenjak lahir sudah berada di antara ombak dan badai ini.
Segera ia sudah tampak berloncat-loncatan mengejar Joko Wandiro, rambutnya riap-riapan membasah, pakaiannyapun basah kuyup sehingga menempel pada tubuhnya, menempel ketat mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan? Sepasang matanya bersinar-sinar marah mulutnya berteriak-teriak di antara gemuruh badai, "Joko Wandiro! Kembalikan pusakaku! Keparat, kembalikan...!"
Bagaikan seorang mabuk ia menerjang lagi, dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dan menonjok. Namun dengan mudah Joko Wandiro mengelak dan sekali kakinya menyabet, gadis itu jatuh terduduk.
"Keparat! Pengecut, kembalikan pusakaku!"
"Endang, ingatlah. Pusaka ini bukan milikmu, bukan pula milikku. Lupakah kau bahwa pusaka itu oleh mendiang eyang Resi Bhargowo dititipkan kepada kita untuk disembunyikan dan disimpan agar tidak terjatuh ke tangan orang jahat? Kita tiba saatnya aku mengumpulkan dua pusaka itu dan mengembalikan kepada yang berhak, Endang."
"Kembalikan padaku...! Ahh, kembalikan...!" Kini gadis itu sudah menyergap lagi, tangan kirinya meraih ke arah patung kencana, tangan kanannya memukul dada.
Namun sekarang hati Joko Wandiro sudah lega dan besar. Dengan pusaka di tangan, kesaktiannya makin hebat. Ia membiarkan saja pukulan tangan gadis itu mengenai dadanya.
"Bukk!" Tubuhnya tak bergeming dan sekali dorong, kembali Endang Patibroto terjengkang di atas tanah sampai rambut dan pakaiannya kotor semua terkena tanah.
"Endang, ingatlah. Pusaka ini miliki kerajaan, hendak kukembalikan ke Panjalu. Dahulu guruku berpesan bahwa lenyapnya pusaka menimbulkan geger dan kekacauan, hanya kalau pusaka sudah kembali ke tempatnya, maka negara akan menjadi tata tenteram kerta raharja. Engkau bertobatlah, Endang, kembalilah kepada ibumu. Dia menunggu. Kembalilah dan bebaskan dirimu daripada pengaruh buruk, jangan membiarkan dirimu diperhamba hawa nafsumu sendiri, Endang, kau ingatlah!"
Namun bujukan Joko Wandiro tak pernah didengarkan oleh Endang Patibroto. Beberapa kali ia masih menerjang dengan nekat dan ganas sehingga akhirnya Joko Wandiro terpaksa menampar kepalanya dengan Aji Pethit Nogo sehingga Endang Patibroto terbanting dan roboh pingsan. Badai mulai mengendur dan mereda. Joko Wandiro masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar memandang tubuh Endang Patibroto.
Dalam keadaan pingsan, gadis ini kelihatan cantik jelita, luar biasa sekali kecantikan gadis ini setelah sifat-sifat keji dan ganas lenyap dari permukaan wajahnya. Joko Wandiro menarik napas berkali-kali, kemudian ia membungkuk dan mengempit tubuh Endang Patibroto dan larilah ia dengan ilmu lari cepat menuju ke pondok.
Setelah badai mereda, Kartikosari, Roro Luhito, dan Ayu Candra sudah kembali ke pondok, atau lebih tepat, ke bekas pondok karena pondok itu sendiri hanya tinggal beberapa buah tiang dan lantainya saja. Bilik dan atapnya sudah lenyap dibawa badai!
"Maafkan saya, bibi. Untuk mengakhiri pertandingan yang tak kunjung henti karena kenekatan Endang, terpaksa saya memukulnya pingsan. Saya menyerahkannya kepadamu, bibi. Semoga bibi dapat menyadarkannya daripada jalan sesat. Pusaka Mataram saya bawa untuk saya kembalikan ke Panjalu, dan lebih baik saya segera pergi bersama Ayu Candra sebelum dia sadar untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan."
Kartikosari hanya dapat menggangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu hatinya. Ia memangku anaknya yang pingsan sambil bercucuran air mata. Roro Luhito memandang keponakannya dengan bangga ketika berkata,
"Joko Wandiro, kau pergilah dan laksanakan kewajibanmu dengan baik. Kami hanya dapat memberi bekal doa restu semoga ke manapun juga kau akan selalu bersikap sebagai seorang satria utama dan akan selalu mendapat perlindungan Hyang Maha Wisesa, anakku."
Joko Wandiro menggandeng tangan Ayu Candra lalu mengundurkan diri, pergi mencari perahunya. Untung ia mengikat perahunya kuat-kuat pada pohon di pantai, kalau tidak tentu perahunya akan lenyap tertiup badai.
Kali ini ketika Joko Wandiro mohon menghadap sang prabu di Panjalu, bergegas para penjaga mempersilahkannya menanti dan cepat-cepat orang melaporkan permohonannya kepada sang prabu. Semua orang telah mengenal pemuda sakti ini. Diam-diam Joko Wandiro melihat kenyataan akan bukti watak manusia yang serba palsu ini.
Dahulu, ketika pertama kali menghadap, ia dihina dan dipandang rendah, tidak dilayani sebagaimana mestinya. Sekarang, setelah mereka tahu bahwa dia memiliki kedigdayaan, mereka bersikap berlebih-lebihan. Adakah manusia di dunia ini yang bersikap sewajarnya, tidak membeda-bedakan antara manusia, tidak memandang kekayaan, kedudukan, dan kepandaian? Mungkin sekali ada akan tetapi...ah, alangkah sukarnya mendapatkan manusia seperti itu!
Pada waktu itu, sang prabu di Panjalu sedang dihadap para hulubalang, menteri, dan penasehat, merundingkan tentang peristia pemberontakan Nusabarung terhadap Kerajaan Jenggaia. Biarpun sejak menjadi pangeran dahulu, sang prabu di Jenggala selalu memperlihatkan sikap bermusuh terhadap sang prabu di Panjalu, akan tetapi permusuhan itu merupakan pertikaian keluarga, merupakan urusan dalam. Kini begitu mendengar bahwa Kerajaan Jenggala dimusuhi oleh Nusabarung yang memberontak, sang prabu di Panjalu ikut menjadi marah!
Betapapun juga, Kerajaan Jenggala merupakan sebagian daripada wilayah kerajaan mendiang Sang Prabu Airlangga, ayah mereka berdua. Dan betapapun juga, sang prabu di Jenggala adalah adik sendiri, adik tiri, serama berlainan ibu. Karena mendengar betapa kuatnya pemberontak Nusabarung yang dibantu oleh adipati-adipati di sebelah timur, sang prabu di Panjalu sudah mengutus pasukan untuk membantu Jenggala secara diam-diam dan menggempur Nusabarung. Ketika pasukan pertama ini yang tidak begitu besar menderita kerugian dan terpukul oleh Nusabarung, sang prabu telah mengirim pasukan yang lebih besar lagi!
Pada saat sang prabu merundingkan urusan ini bersama para hulubalangnya, penjaga datang menghadap melaporkan kedatangan Joko Wandiro bersama adiknya yang bernama Ayu Candra mohon menghadap sang prabu. Mendengar disebutkan nama Joko Wandiro ini, seketika berseri wajah sang prabu. Juga para hulubalang dan Ki Patih Suroyudo berubah wajahnya. Tentu saja mereka semua teringat akan pemuda yang dahulu pernah mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini itu. Bahkan ketika sang prabu mendengar tentang sepak terjang pemuda itu, sang prabu lalu mengutus para senopati untuk pergi menyelidik, siapakah sesungguhnya pemuda perkasa yang tadinya mereka pandang rendah itu.
Ketika akhirnya mendengar bahwa Joko Wandiro yang semula mereka sangka seorang anak dusun yang ingin mencari kedudukan di kerajaan itu ternyata adalah murid Ki Patih Narotama, sang prabu dan semua senopati menjadi terkejut dan menyesal bukan main mengapa mereka kurang menaruh perhatian dan penghargaan kepada pemuda itu. Apalagi ketika Ki Darmobroto dan juga puteranya, Joko Seto, datang ke kota raja dan menceritakan keadaan Joko Wandiro, sang prabu merasa makin menyesal. Kini secara tiba-tiba pemuda itu datang hendak menghadap. Hati siapa tidak menjadi kaget dan girang?
"Lekas persilahkan dia masuk dan menghadap padaku!" teriak sang prabu dengan wajah riang.
Sepasang mata sang prabu masih bersinar-sinar terang dan semua mata para hulubalang yang hadir ditujukan kepada Joko Wandiro ketika pemuda ini dengan sikap hormat sekali memasuki ruangan diikuti oleh Ayu Candra. Gadis itu saking kagum menyaksikan ruangan keraton, masuk sambil memandang ke kanan kiri, kemudian ketika ia melihat sang prabu yang duduk penuh wibawa ia menjadi takut dan menundukkan muka, berjalan perlahan memegangi lengan kakaknya.
"Hemm, bagus sekali, Joko Wandiro. Kedatanganmu menghadap kami benar-benar mendatangkan rasa syukur dan gembira di hati kami. Sayang bahwa dahulu ketika engkau datang menghadap, kami belum tahu siapa engkau dan tidak dapat bercakap-cakap sebagaimana mestinya," demikian sang prabu menyambut ketika pemuda itu sudah menghaturkan sembah, adapun Ayu Candra menyembah tanpa dapat mengeluarkan kata saking tertegun dan gentar di hati.
"Joko Wandiro, setelah diri kami mengetahui bahwa engkau adalah murid tersayang mendiang paman Patih Narotama, kami harap kau suka membantu kami di sini mengatur pemerintahan dan memperkuat barisan Panjalu. Kami yakin andaikata paman Patih Narotama masih hidup, tentu akan menganjurkan engkau untuk mengabdi kepada Panjalu."
"Semua sabda paduka gusti benar dan tepat. Memang sesungguhnya dahulu bapa guru meninggalkan pesan agar hamba bersuwita (menghambakan diri) kepada Kerajaan Panjalu. Akan tetapi ketika hamba untuk pertama kali menghadap paduka, sengaja hamba tidak menyebut nama bapa guru oleh karena hamba sungguh merasa malu untuk mencari kedudukan mengandalkan nama besar guru. Menurut pendapat hamba yang picik, pahala harus diperoleh dengan Jasa sendiri, barulah berharga. Pada waktu itu, hamba sama sekali belum melakukan sesuatu untuk paduka, sama sekali belum berjasa. Kalau dahulu paduka memberi kedudukan kepada hamba mengingat akan jasa-jasa bapa guru, bukankah hal itu amat mengecewakan dan bukan sepantasnya diterima oleh seorang satria? Harap paduka sudi mengampuni hamba, jika sekiranya pendapat hamba itu keliru."
Sang prabu tertawa bergelak sambil mengelus dagu yang tak berjenggot. Pandang matanya makin berseri-seri dan diangkatnyalah wajahnya memandang para senopati dan hulubalang yang hadir. Suaranya lantang ketika sang prabu berkata,
"Heh para senopati dan hulubalang, kalian sudah mendengar ucapan seorang satria. Camkanlah baik-baik ucapan itu karena di dalam kata-katanya aku seperti mendengar suara mendiang paman Patih Narotama yang kalian semua sudah mengetahui sebagai seorang yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Inilah Joko Wandiro muridnya yang memiliki pandangan serta pendirian yang sama dengan mendiang paman Patih Narotama. Rendah hati, tidak gila kedudukan, setia, dan jujur." Kemudian Sri Baginda menoleh kepada Joko Wandiro, bertanya, "Aku girang mendengar pendapatmu itu, Joko Wandiro. Sekarang kau datang menghadap, aku tidak mengharapkan jasamu, hanya aku percaya penuh akan kesanggupanmu. Biarpun kau tidak mengutarakannya kepadaku, aku sudah mendengar betapa engkau mengusir dua orang wanita iblis dari Panjalu, bahkan aku mendengar pula akan sepak terjangmu menolong nini Mayagaluh keponakanku dari Jenggala, mendengar pula tentang bantuan-bantuanmu kepada Kerajaan Jenggala. Setelah kau datang menghadap, aku harapkan engkau, suka membantuku dan menerima kedudukan yang akan kuberikan kepadamu. Aku sudah tahu bahwa engkau adalah putera Raden Wisangjiwo dari Selopenangkep, kau cucu bekas Adipati Selopenangkep. Ayahmupun tewas dalam perang membelaku sehingga jasa ayahmu saja sudah cukup bagiku untuk memberi imbangan jasa kepada puteranya."
Joko Wandiro menyembah "Sebelumnya hamba menghaturkan terima kasih atas kurnia paduka kepada hamba. Sesungguhnya, kedatangan hamba menghadap ke depan kaki paduka adalah untuk menyerahkan kembali pusaka Mataram yang lenyap sejak belasan tahun yang lalu."
Saking kagetnya, sang prabu sampai bangkit dari tempat duduknya. Bahkan. Ki Patih Suroyuda dan para senopati sepuh menjadi pucat wajahnya.
"Pusaka... pusaka Mataram...?"
Sang prabu bertanya, suaranya gemetar karena tegangnya. Pusaka ini sudah dianggap lenyap dan hal itu membuat semua keluarga menjadi berduka dan gelisah. Kini secara tiba-tiba Joko Wandiro menyebut-nyebut tentang pusaka, tentu saja mereka semua menjadi terkejut dan heran.
"Benar sabda paduka, gusti. Inilah pusaka Mataram yang baru hari ini dapat hamba persembahkan kepada paduka." Ia mengeluarkan patung kencana dari bungkusan, patung kencana Sri Bhatara Whisnu, lengkap dengan isinya, yaitu keris pusaka Brojol Luwuk. Patung itu mencorong cahayanya dan semua orang menjadi silau memandangnya.
"Duh Jagad Dewa Bathara....!!" Sang prabu bersabda dengan wajah berseri dan bergegas menerima patung kencana itu, diangkatnya patung kencana dengan kedua tangan, dibawanya ke atas ubun-ubun kepalanya dengan khidmat, kemudian diturunkannya ke muka dan diciumnya kaki patung atau gagang keris pusaka. Setelah itu dipeluknya patung kencana, dekat dengan hatinya seakan-akan khawatir kalau-kalau patung kencana itu terlepas lagi dari tangannya.
"Dewata telah mengabulkan doaku siang malam, dan semoga arwah ramanda prabu mengampuni dosaku. Dengan kembalinya pusaka Mataram, akan pulih kembali kebesaran Mataram yang jaya. Akan lenyap segala rubeda (rintangan) dan rakyat senegara akan mengecap kenikmatan tata tenteram kerta raharja!" Suara sang prabu berubah menjadi terharu sekali, dan para senopati mendengarkan dengan muka tertunduk.
"Bocah bagus Joko Wandiro! Tak terkira besar dan bahagianya hati dengan persembahanmu yang sungguh di luar dugaan ini. Satria yang perkasa, coba ceritakanlah bagaimana pusaka yang sudah sekian lamanya lenyap ini dapat terjatuh ke dalam tanganmu."
Keadaan di ruang persidangan sunyi sekali. Semua orang seakan-akan menahan napas dan tidak mau kehilangan sepatahpun kata yang keluar dari mulut Joko Wandiro ketika pemuda ini menceritakan secara singkat tentang pusaka Mataram yang hilang. Betapa pusaka itu dicuri oleh Jokowanengpati, kemudian betapa pusaka itu dirampas dari tangan orang jahat ini oleh Resi Bhargowo yang kemudian menyerahkannya kepada Joko Wandiro dan Endang Patibroto untuk disembunyikan ketika orang-orang sakti utusan Pangeran Anom menyerbu ke Pulau Sempu untuk merampasnya. Kemudian betapa baru-baru ini ia mengambil kembali pusaka itu dan menerima kerisnya dari Endang Patibroto. Ia tentu saja tidak menceritakan tentang peristiwa pribadi yang menyangkut dirinya dan Endang Patibroto.
"Demikianlah, gusti. Setelah hamba berhasil mendapatkan kembali pusaka Mataram dalam keadaan utuh, hamba bergegas menghadap kepada paduka untuk mempersembahkan kembali pusaka ini sesuai dengan perintah eyang Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."
Amat bahagia dan gembira hati sang prabu mendengar penuturan itu. Sambil memeluk keris pusaka dalam patung kencana, sang prabu berkata,
"Joko Wandiro, jasamu besar tak ternilai. Dan siapakah gadis jelita yang ikut datang menghadap bersamamu ini?"
Mendengar dirinya disebut-sebut, Ayu Candra menundukkan mukanya yang menjadi merah, dadanya berdebar penuh ketegangan
"Dia ini adik kandung hamba, Ayu Candra namanya, gusti."
"Hemm, patut menjadi adikmu. Cantik jelita penuh susila. Heh, Joko Wandiro, sebagai imbalan jasamu, mulai saat ini kuangkat engkau menjadi adipati di Selopenangkep dengan julukan Adipati Tejolaksono. Kakang Patih Suroyudo, siapkan sepasukan perajurit pilihan untuk membantu Adipati Tejolaksono memerintah di Selopenangkep. Persidangan kububarkan sekarang juga!" Sang prabu yang masih terharu memeluk pusaka Mataram, memandang ke arah Joko Wandiro yang menyembah dan menghaturkan terima kasih dengan sinar mata penuh haru dan syukur. Sang prabu ingin cepat-cepat menyendiri agar dapat menikmati saat yang amat bahagia itu, saat kembalinya pusaka Mataram yang amat dirindukan oleh segenap isi istana.
Joko Wandiro membalas ucapan selamat para senopati dengan sikap sederhana dan merendah. Matanya memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Akhirnya ia mendapatkan orang yang dicarinya dan segera dengan langkah lebar ia menghampiri Ki Darmobroto yang memang tadi ikut menghadap sang prabu.
"Selamat, anak-mas Joko Wandiro. Aku merasa ikut gembira, bukan hanya karena kembalinya pusaka Mataram, akan tetapi karena engkaulah yang berhasil mengembalikannya. Selamatlah, anakmas adipati "
"Paman Darmobroto, selain bermaksud mempersembahkan pusaka kepada sri baginda, kedatangan saya di kota raja memang khusus hendak menemui paman. Dapatkah kita bicara leluasa?"
Ki Darmobroto melirik ke arah Ayu Candra dan berkata, "Marilah, anak-mas. Mari ke pondokku."
Setelah memberitahu kepada Ki Patih Suroyudo bahwa dia bersama adiknya hendak berkunjung lebih dulu ke pondok Ki Darmobroto, Joko Wandiro lalu menggandeng tangan adiknya. Pondok itu merupakan pasanggrahan yang disediakan oleh kerajaan untuk para satria yang menjadi pembantu luar kerajaan. Pondok yang cukup mewah dan bersih menyenangkan, dengan ruangan muka luas. Di ruangan inilah Ki Darmobroto menerima dua orang tamunya.
Setelah mempersilahkan mereka duduk di atas lantai bertilamkan tikar indah, Ki Darmobroto lalu bertanya, "Silahkan, anakmas. Keperluan apakah gerangan yang hendak anda sampaikan kepadaku?"
Joko Wandiro menggandeng tangan adiknya dan berkata, "Inilah dia adikku, paman. Inilah adikku Ayu Candra. Seperti pernah saya katakan kepada paman, mengenai pesan paman Adibroto, adikku Ayu Candra ini dengan putera paman Joko Seto... eh, di mana pula adanya adimas Joko Seto? Mengapa tidak paman perkenalkan kepada kami?"
Ayu Candra mendengarkan semua ini dengan muka tertunduk, wajahnya agak pucat dan hatinya seperti diiris-iris rasanya. Ia tidak rela mendengar betapa nasib hidupnya diatur dan dibicarakan oleh dua orang itu, ia tidak rela untuk berpisah dari Joko Wandiro dan menjadi isteri siapapun juga. Akan tetapi ia tidak melihat jalan lain. Ia harus tunduk dan taat kepada pesan terakhir ayahnya, pula ia harus taat kepada Joko Wandiro, kakaknya yang kini menjadi walinya, menjadi wakil dan pengganti ayah bundanya. Ingin ia menangis, namun ia tidak berani.
"Joko Wandiro, di mana Endang Patibroto? Tak berhasilkah engkau membujuknya ikut ke sini?" Kartikosari menegur setelah Joko Wandiro menghaturkan sembah.
"Maafkan saya, bibi Kartikosari. Sudah dua kali saya membujuk dengan kata-kata halus sampai dengan kekerasan, namun sia-sia hasilnya. Hatinya terlalu keras dan kesaktiannya terlalu hebat sehingga saya tidak berhasil. Akan tetapi, saya rasa tak lama lagi ia akan ke sini, bibi. Tak jauh dari pantai saya telah bertemu dengan dia."
"Betulkah?" Kartikosari menjadi gembira "Coba ceritakan apa yang telah terjadi dan gadis ini siapakah?"
"Bibi, inilah Ayu Candra, adik kandung saya...."
Seketika wajah Kartikosari berubah pucat. Ia berseru perlahan dan melangkah mundur. "Kau...? Kau....membawa puteri Listyakumolo ke sini? Joko Wandiro! Kalau kau memang berniat membalas dendam atas kematian ibu kandungmu, mengapa tidak kaulakukan sendiri ketika kita saling bertemu di Bayuwismo? Mengapa baru sekarang"
Juga Roro Luhito terkejut dan menegur keponakannya, "Joko, kau berjanji takkan melanjutkan permusuhan dan dendam, mengapa sekarang kau ajak puteri mbok-ayu Listyakumolo ke sini?"
Mendengar kata kata dan melihat sikap dua orang wanita cantik itu, Ayu Candra cepat maju dan berkata, suaranya halus namun tegas, "Harap bibi berdua jangan khawatir. Memang benar aku pernah menurutkan dendam sakit hati karena duka kehilangan ayah bunda, tanpa mengingat pesan terakhir ayah yang melarangku membalas dendam, tadinya saya berniat untuk mencari bibi dan melakukan pembalasan. Akan tetapi, setelah kakang Joko Wandiro menceritakan semua sebab-sebab permusuhan, saya sudah sadar dan takkan melanjutkan permusuhan ini."
Sejenak Kartikosari dan gadis itu saling pandang, seperti hendak mengukur isi hati masing-masing. Kemudian Kartikosari terisak dan melangkah maju, dan di lain saat Ayu Candra sudah jatuh ke dalam pelukannya. Ayu Candra menangis, Kartikosari juga bercucuran air mata.
"Aduh, anak baik...! Sungguh besar hatiku mendengar kata-katamu. Kau patut menjadi puteri seorang perkasa seperti Ki Adibroto! Akupun selalu rela untuk menebus dosa puteriku, Ayu Candra. Aku siap untuk menerima pembalasan atas kematian ayah bundamu, hanya aku ingin agar supaya anak yang kukandung ini terlahir lebih dahulu, baru aku bersedia menerima kematian. Akan tetapi, kini engkau telah sadar, menghabiskan permusuhan, alangkah bahagia hatiku!"
Setelah reda keharuan hati mereka, Ayu Candra berkata, "Sayangnya, bibi, puterimu Endang Patibroto itu entah mengapa, setiap kali bertemu dengan aku atau kakang Joko Wandiro, tentu menyerang dan hendak membunuh kami! Dia amat benci kepadaku."
"Hemm, kau tinggallah di sini. Biarlah dia datang! Hendak kulihat apakah dia masih melanjutkan sikap gila itu kepadamu. Aku akan membela dan melindungimu dengan taruhan nyawaku, Ayu Candra!" kata Kartikosari dan pada saat seperti itu, wanita cantik ini sikapnya sama benar dengan Endang Patibroto, dadanya dibusungkan, matanya berapi-api, kedua tangan dikepal, sepasang pipinya merah!
"Sudahlah, kiranya tak perlu dibicarakan lagi hal-hal yang tidak menyenangkan hati ini. Marilah kalian ikut kami ke pondok di mana kita dapat bicara dengan leluasa," kata Roro Luhito.
Kartikosari mengangguk dan berangkatlah mereka berempat ke pondok sederhana yang berada di tengah Pulau Sempu. Di dalam pondok, Joko Wandiro lalu menceritakan semua pengalaman dan semua peristiwa yang terjadi selama ini. Ia juga menceritakan sepak terjang Endang Patibroto yang telah menewaskan Ni Durgogini, Ni Nogogini, Cekel Aksomolo, Ki Warok Gendroyono, Ki Krendoyakso, dan betapa gadis itu bersama Ayu Candra hampir mengalami malapetaka hebat di tangan Bhagawan Kundilomuko. Juga tentang pertemuan-pertemuannya dengan Endang Patibroto, tentang pertandingan di antara mereka. Setelah mendengar semua penuturan Joko Wandiro, Kartikosari termenung, menarik napas panjang lalu berkata lirih,
"Betapapun juga, dia telah dapat membalaskan sakit hati eyangnya dan membasmi orang-orang jahat itu. Ahhh.... Endang.... kalau engkau tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, agaknya kau tidak akan menyeleweng sedemikian jauh."
"Semua sudah dikehendaki Dewata, ayunda Kartikosari," kata Roro Luhito menghibur. "Kalau Endang tidak menjadi murid Dibyo Mamangkoro, kurasa juga bukan hal mudah baginya untuk dapat membasmi orang-orang sakti seperti Cekel Aksomolo dan kawan-kawannya!"
Setelah bertemu dengan dua orang wanita perkasa ini, Ayu Candra kembali harus membenarkan sikap kakaknya. Memang dua orang wanita ini jelas adalah orang-orang yang berpribudi tinggi sehingga sebentar saja ia sudah tidak ragu-ragu dan tidak sungkan-sungkan lagi untuk bercakap-cakap dan menuturkan semua riwayatnya. Kartikosari dan Roro Luhito merasa terharu dan menaruh rasa sayang kepada gadis yang kehilangan ayah bunda ini. Sekali lagi Kartikosari menghibur hati Ayu Candra dan mengatakan bahwa kalau benar Endang Patibroto datang ke pulau itu, ia akan mencuci habis permusuhan yang mengotori hati dan pikiran anaknya.
Joko Wandiro lalu minta diri kepada Kartikosari. "Saya hendak mencari pusaka Mataram yang dulu oleh eyang guru diberikan kepada saya untuk disimpan. Pusaka itu masih saya simpan di pulau ini, bibi, dan sekarang saya hendak mencarinya, untuk dikembalikan kepada yang berhak, yaitu sang prabu di Panjalu."
Kartikosari dan Roro Luhito tercengang. Baru sekarang mereka mendengar akan hal itu. "Pusaka Mataram?" Kartikosari bertanya heran. "Ramanda resi tak pernah menceritakan hal itu kepadaku. Joko Wandiro, bagaimanakah pusaka Mataram dapat berada di tangan eyang gurumu?"
"Tadinya saya pun tidak tahu, bibi. Akan tetapi ketika saya mengikuti guru saya di Jalatunda, dan mendapat kesempatan bertemu dengan eyang guru yang mengabdi kepada Sang Prabu Airlangga yang bertapa, eyang pernah menceritakannya kepada saya bahwa pusaka Mataram yang lenyap itu sebenarnya dicuri oleh Jokowanengpati. Secara kebetulan pusaka itu dapat dirampas oleh eyang resi dari tangan bedebah itu. Ketika eyang berada di pulau ini dan tahu bahwa musuh-musuh utusan Pangeran Anom datang untuk merampas pusaka, eyang guru lalu membagi pusaka menjadi dua, selubungnya yang berbentuk patung kencana diserahkan kepada saya untuk disimpan dan disembunyikan. Adapun isinya berupa keris pusaka berada di tangan Endang Patibroto, juga untuk disembunyikan. Akan tetapi ketika saya bertemu dengan Endang, dia mempergunakan pusaka itu yang ampuhnya menggila"
Kartikosari mengangguk-angguk. "Biarlah, kalau dia datang, akan kuminta pusaka itu. Pusaka Mataram harus kembali kepada sang prabu di Panjalu, karena tanpa adanya pusaka itu, kerajaan akan selalu menjadi kacau, demikian dahulu rama resi pernah bercerita. Kau pergilah dan cari kembali pusaka yang kausembunyikan dahulu, anakku."
Joko Wandiro lalu keluar dari pondok itu. Masih teringat olehnya betapa selama dua tahun ia bermain-main di pulau ini, bermain-main bersama Endang Patibroto, kadang-kadang sama-sama berlatih ilmu. Kemudian ia teringat betapa ia membawa patung kencana menyusup-nyusup ke tengah pulau menuju ke sebelah barat karena ia memang hendak menyembunyikan pusaka itu di bagian barat pulau. Dari jauh sudah tampak olehnya sebatang pohon randu alas yang besar, menjulang tinggi seperti raksasa. Hatinya berdebar keras.
Pohon itulah tempat rahasianya. Di sanalah ia menyimpan patung kencana dan di sana pula dahulu ia digigit ular berbisa. Semua itu terbayang jelas dan ketika ia sudah tiba di bawah pohon randu alas, ia berdiri termenung. Pohon itu kini sudah menjadi pohon raksasa. Biarpun ia kinipun sudah menjadi seorang dewasa, namun dibandingkan dengan pohon ini, ia kalah jauh pesatnya dalam pertumbuhan. Di manakah kira-kira pusaka itu? Ia masih ingat betul.
Dahulu patung kencana itu ia masukkan dalam sebatang cabang yang berlubang, cabang besar yang letaknya paling tinggi. Akan tetapi pohon itu kini sudah amat banyak cabangnya sehingga sukar baginya untuk menentukan cabang yang mana yang menyimpan patung kencana. Dengan jantung berdebar Joko Wandiro lalu melompat naik dan memanjat pohon. Karena ingat bahwa dulu ia pernah digigit ular berbisa di sini, kini ia memandang teliti kalau-kalau ada ular lagi. Akan tetapi tidak ada ular di situ. Mulailah ia mencari-cari, meneliti setiap cabang besar.
Pada saat Joko Wandiro mencari kembali pusaka yang belasan tahun yang lalu ia sembunyikan di dalam cabang pohon randu alas, di pantai sebelah selatan mendaratlah Endang Patibroto bersama Jokowanengpati atau Ki Jatoko! Ki Jatoko merasa gelisah dan kecut-kecut hatinya, namun ia tidak dapat mundur lagi. Ia telah menjalankan siasat, membujuk gadis itu dan ia maklum bahwa gadis ini tentu hendak membuktikan kebenaran pengakuannya dengan menanyakan hal itu kepada Kartikosari Apa boleh buat, pikir Ki Jatoko. Pengakuannya ini bukan ngawur belaka. Semenjak ia memperkosa Kartikosari, wanita itu berpisah dari suaminya. Kemudian melahirkan Endang Patibroto. Bukankah amat mungkin sekali bahwa gadis ini adalah anaknya? Keturunannya? Ia tak dapat mundur lagi, sekali melangkah harus terus nekat maju.
"Ibu.....!!" Suara Endang Patibroto tercampur isak ketika ia memanggil ibunya.
Kartikosari yang sedang duduk di luar bersama Roro Luhito dan Ayu Candra, cepat menoleh dan ia melompat bangun. Wajahnya tegang, matanya bersinar.
"Endang Patibroto! Engkau datang.....!!" Kemudian matanya menyapu ke arah orang buntung itu, keningnya berkerut, pandangnya tajam penuh selidik.
"Ahhhh...!!!" Roro Luhito menjerit dan mencengkeram tangan Kartikosari.
Wanita ini sekali pandang saja sudah mengenal Ki Jatoko. Sebaliknya, Kartikosari hanya merasa seperti pernah bertemu dengan orang buntung ini, akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan.
"Yunda.... dia... dia... " Roro Luhito tak dapat melanjutkan kata-katanya, mukanya pucat.
"Bibi, dia itu adalah Ki Jatoko yang jahat!" kata Ayu Candra.
Sementara itu, Endang Patibroto juga mengerutkan keningnya ketika melihat Ayu Candra di situ bersama ibunya.
"Ibu, dia anak musuh kita!" bentaknya marah.
"Yunda Sari yunda dia... dia Jokowanengpati...!" Roro Luhito kembali berbisik dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Kartikosari kini mengenal pula si buntung itu dan mukanya menjadi pucat, matanya mengeluarkan cahaya berkilat dan ia membentak puterinya,
"Endang Patibroto! Tahukah engkau, dengan siapa kau datang ini?"
Karena memang maksud kunjungannya ini untuk mempertemukan ibu kandungnya dengan orang yang mengaku ayahnya; maka seketika Endang Patibroto melupakan urusan Ayu Candra. Ia lalu berkata, suaranya lantang menantang, "Ibu, justeru aku yang ingin bertanya apakah ibu mengenal orang ini?"
"Dia.......dia.. Iblis telah melindunginya, dia inilah Jokowanengpati si keparat jahanam!!"
"Ahh, sampai bagaimanapun, mana bisa kau lupakan aku, Kartikosari?" Ki Jatoko berkata lirih, cukup jelas terdengar oleh Endang Patibroto.
"Ibu, baik sekali bahwa ibu seketika mengenal dia. Ada hubungan apakah dia dengan ibu? Jokowanengpati ini mengaku bahwa dia adalah ayah kandungku! Benarkah ibu dahulu menjadi kekasihnya sebelum menikah dengan Pujo, dan benarkah bahwa aku ini... anaknya?"
Hebat bukan main kata-kata ini bagi Kartikosari. Bagaikan sebatang pedang beracun karatan menusuk tembus jantungnya. Matanya terbelalak, mukanya tak berdarah lagi, ingin ia menjerit, memaki, berteriak, namun tenggorokannya penuh sesak oleh hawa amarah yang menyesak ke atas sehingga akhirnya ia terguling dan roboh pingsan! Tentu ia akan terbanting roboh kalau tidak cepat-cepat Ayu Candra memeluknya. Gadis ini lalu duduk dan memangku kepala Kartikosari yang pingsan. Roro Luhito meloncat bangun, menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Endang Patibroto sambil berseru,
"Endang Patibroto! Engkau sungguh terlalu! Sampai hati engkau menghina ibumu sendiri sampai begitu? Engkau telah terkena bujukan iblis ini! Huh, Jokowanengpati, semua keteranganmu tentang Kartikosari dan engkau bohong semua!"
"Hemm, bagaimana bibi Roro Luhito bisa tahu?" Endang Patiproto bertanya, mengejek.
"Mengapa aku tidak tahu.. Ah, kau anak durhaka kepada ibu kandung! Endang Patibroto, jangan percaya mulut bangsat rendah, keparat hina ini. Tahukah engkau bahwa tidak hanya ibumu menjadi korban kekejiannya, akan tetapi juga aku? Ibumu sedang bertapa bersama ayahmu di dalam Gua Siluman, tidak tahu bahwa di dalam guha itu bersembunyi si keparat Jokowanengpati ini. Karena ayah dan ibumu pingsan setelah bertanding melawan kakak kandungku, Wisangjiwo ayah Joko Wandiro, mereka tak berdaya. Jokowanengpati si keparat ini lalu memperkosa ibumu, di depan mata ayahmu! Kemudian ia melarikan diri! Dan bukan itu saja, diapun menggunakan nama kakangmas Pujo untuk memperkosa diriku di tengah malam! Dia ini manusia rendah, iblis bermuka manusia, serigala bertubuh manusia, kau jangan percaya omongannya yang berbisa. Kami, ibumu dan aku sudah menghukumnya sehingga ia terjungkal ke laut, disambar ikan, kami kira sudah mampus... ah...."
Biarpun mulutnya masih tersenyum mengejek, namun di dalam hatinya, Endang Patibroto merasa lega. Iapun tidak suka kalau betul-betul ayah kandungnya adalah si buntung ini. Kini dengan pandang mata dingin ia menoleh kepada Ki Jatoko, suaranya juga dingin sekali ketika bertanya, "Jokowanengpati, betulkah apa yang dikatakan bibi Roro Luhito?"
Maklum bahwa percuma saja untuk berbantah karena tentu Roro Luhito dan Kartikosari akan membuka semua rahasianya, Jokowanengpati atau Ki Jatoko lalu tertawa bergelak.
"Huah-ha-ha-ha-hah! Di dunia ini mana ada perempuan yang mau mengakui penyelewengannya? Endang Patibroto, engkau bukan bocah lagi, engkau sudah dewasa dan sudah dapat mempertimbangkan. Katakanlah bahwa ibumu tidak mengaku sebagai kekasihku, akan tetapi betapapun juga, Roro Luhito sudah mengaku bahwa aku pernah memperkosa Kartikosari. Dan semenjak peristiwa itu Kartikosari tak pernah berdekatan dengan Pujo sampai engkau terlahir!" Ki Jatoko menyeringai penuh kemenangan dan menoleh kepada Kartikosari yang sudah mulai sadar. "Kartikosari, hayo sangkal kalau kau mampu. Semenjak peristiwa malam di dalam guha, bukankah engkau meninggalkan Pujo dan melahirkan Endang Patibroto ini? Hayo jawablah! Engkau tidak mungkin dapat menyembunyikan kenyataan ini! "
Wajah Kartikosari pucat sekali. Terbayang dalam ingatannya semua pengalamannya dahulu. Dahulupun ia sudah seringkali meragu dan keraguan inilah yang merupakan siksaan batinnya sampat berbulan-bulan. Semenjak ia tahu bahwa ia mengandung, ia sudah meragu dan hendak membunuh diri karena ia tidak tahu pasti anak siapakah dalam kandungannya Itu. Bahkan setelah anak itu terlahir, pernah ia melemparkan anak itu ke laut. Kinipun ia menjadi ragu-ragu, tak dapat menjawab!"
"Ibu, jawablah, ibu. Jawablah sejujurnya!" Terdengar suara Endang Patibroto mendesak.
Wajah Kartikosari seperti wajah mayat. Pandang matanya kosong dan bibirnya menggigil.
"Apa apa yang harus kujawab...? Betul semenjak itu aku pergi meninggalkan kakangmas Pujo....akan tetapi kuanggap kau anak kakangmas Pujo. Kalau kuanggap dahulu bahwa engkau bukan anak kakangmas Pujo, tentu sudah kubunuh kau!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba Kartikosari menangis tersedu-sedu dan Roro Luhito cepat merangkulnya dan membujuknya agar tidak melayani mereka itu.
Ayu Candra hanya mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, penuh kasihan kepada Kartikosari dan penuh kebencian kepada Ki Jatoko. Diam-diam ia bergidik kalau Ia teringat betapa pernah ia mempercaya manusia iblis dan menyerahkan nasib dirinya kepada Ki Jatoko!
Kembali terdengar Jokowanengpati tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. "Ha-ha-ha-ha! Anakku cah-ayu Endang Patibroto! Baru percayakah engkau sekarang, anakku? Engkau anakku, engkau darah dagingku, tak salah lagi! Bukankah banyak persamaan di antara kita? Bukankah cocok watak kita, sama-sama gagah perkasa, sama-sama cerdik penuh akal dan kalau saja mukaku tidak menjadi rusak begini, wajahmu sama benar dengan wajahku. Aku dahulu tampan, seorang ksatria yang elok, kau tanya saja ibumu. Ha-ha, kau tanya juga Roro Luhito ini, dia dahulu di waktu perawan telah diserahkan oleh ayahnya kepadaku untuk menjadi isteriku. Ha-ha, banyak wanita tergila-gila kepadaku. Kau boleh bangga mempunyai ayah seperti aku ini, Endang... heeee! Endang...! Mau...mau apa kau...?"
Tiba-tiba suara yang penuh kemenangan itu berubah penuh ketakutan. Endang Patibroto kini berdiri memandang wajah si buntung yang mengaku ayahnya dan keadaan gadis ini benar-benar amat mengerikan. Sepasang matanya penuh kemarahan, penuh hawa nafsu membunuh, agaknya mata iblis seperti itulah. Mulutnya setengah tersenyum, wajahnya pucat sekali. Jokowanengpati mundur-mundur ketakutan. Sinar mata itu membisikkan maut, membuat ia bergidik ngeri.
"Endang.... Endang Patibroto.... ingat, kau.... anakku.... mau apa kau....?"
Endang Patibroto melangkah maju, perlahan-lahan, mengikuti gerakan Jokowanengpati yang mundur-mundur. Bibirnya bergerak-gerak, mula-mula hanya bisikan-bisikan lirih yang tidak terdengar orang lain, kemudian makin keras bisikan-bisikannya itu,....kubunuh kau.... ayahku atau bukan... kau yang menyebabkan ibuku sengsara... kau yang mendatangkan kutuk atas diriku... kubunuh kau... kubunuh kau..."
Jokowanengpati takut bukan main. Ke manapun ia mundur, gadis itu terus mengikutinya sehingga mereka berdua makin menjauhi pondok Kartikosari. Tiga orang wanita di depan pondok itu mengikuti mereka berdua dengan pandang mata penuh kengerian. Kartikosati mendekap mulut menahan jerit yang hendak keluar. Biarlah, bisik hatinya, biarlah. Kini ia tidak meragu lagi. Sepatutnya gadis itu memang keturunan Jokowanengpati. Keturunan Pujo tidak seperti itu! Biarlah, biarlah anak dan ayah laknat itu saling bunuh!
"Endang Patibroto... ingatlah... aku... ayahmu..." Jokowanegpati berkali-kali memperingatkan dan mohon dikasihani.
"Ayahku atau bukan, harus kubunuh engkau... kubunuh... kubunuh... "
Tiba-tiba Jokowanengpati atau Ki Jatoko yang sudah ketakutan setengah mati itu meloncat jauh untuk melarikan diri akan tetapi tubuhnya roboh terguling karena Endang Patibroto sudah memukulnya dengan ilmu pukulan jarak jauh. Dan sebelum ia sempat lari lagi, Endang Patibroto sudah meloncat di depannya. Saking takutnya, Jokowanengpati menjadi nekat. Begitu gadis itu mendekat, ia menubruk dengan pukulan keras ke arah pusar.
"Bagus, kau lawanlah!" kata Endang Patibroto sambil miringkan tubuh mengelak, kemudian kedua tangannya bagaikan dua ekor ular cepatnya menyambar dan sudah mencekik leher Jokowanengpati.
"Endang... auughhh...!" Jokowanengpati menggunakan kedua tangannya mencengkeram tangan gadis itu, membetot-betot dan meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Namun usahanya sia-sia. Kedua lengan gadis itu yang berkulit halus putih seolah-olah telah berubah menjadi sepasang jepitan baja yang kokoh kuat. Mata gadis itu masih melotot mengerikan, sama sekali tak pernah berkedip, dan mulutnya yang agak terbuka mengeluarkan kata-kata lirih,
"Kubunuh... kau... kubunuh kau... kubunuh kau...
Makin takutlah Jokowanengpati. Ia kini tahu betul bahwa maut telah membayang di depan matanya. Kalau tadi ia mencengkeram kedua lengan Endang Patibroto berusaha melepaskan cekikan, kini ia mengepal kedua tangannya dan menghantam sekenanya.
Terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan-pukulannya mengenai perut, lambung dan pangkal lengan Endang Patibroto, namun agaknya sama sekali tidak terasa oleh gadis perkasa itu.
Jokowanengpati menjadi makin ngeri dan takut. Sudah ia kerahkan tenaga untuk melawan dan untuk menahan cekikan, namun cekikan makin erat dan ia sudah tak dapat bernapas lagi, matanya berkunang-kunang telinganya terngiang-ngiang kepalanya berdenyut-denyut. Saking takutnya, kedua tangannya kini tidak memukul-mukul lagi, melainkan menyembah-nyembah minta ampun.
Matanya yang melotot membayangkan rasa takut hebat dan mulutnya terbuka memperlihatkan gigi yang besar-besar dan tidak karuan bentuknya, lidahnya mulai terjulur. Mukanya menjadi merah sekali seperti kepiting direbus.
Endang Patibroto seperti orang mabuk. Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya melotot, napasnya keluar dari mulut, terengah-engah. Cekikannya makin diperkuat. Darah mulai menetes turun dari kedua telinga, mata, hidung dan mulut Jokowanengpatil Muka yang merah itu kini membiru, matanya melotot seperti hendak meloncat keluar dari tempatnya. Lidahnya terjulur keluar seperti ditarik. Tubuhnya mengejang, kaki tangannya berkelojotan. Terdengar suara mengorok di kerongkongan. Endang Patibroto makin memperkuat cekikannya.
"Krokkk..."
Batang leher itu patah! Tubuh Jokowanengpati atau Ki Jatoko tidak bergerak lagi. Endang Patibroto melepaskan tangannya dan mendorong tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke samping. Kemudian perlahan-lahan pandang matanya bergerak, beralih dari tubuh yang tak bernyawa itu, kini memandang ke depan, ke arah tiga orang wanita yang berdiri di depan pondok.
Isak tangis keluar dari kerongkongan Kartikosari yang mendekap mulutnya dengan tangan yang menggigil. Ayu Candra berdiri dengan muka pucat saking seremnya. Juga Roro Luhito pucat wajahnya, akan tetapi wanita ini merasa jijik. Pandang mata Endang Patibroto kini seluruhnya ditujukan kepada Ayu Candra. Kemudian terdengar ia berseru, "Ayu Candra, majulah! Kaupun harus mati di tanganku!"
Tiba-tiba, seperti mendapat aba-aba, Kartikosari dan Roro Luhito maju ke depan, melindungi Ayu Candra dengan sikap siap bertanding. Kartikosari berkata, suaranya tenang namun mengandung kemarahan ditahan-tahan,
"Endang Patibroto! Pergilah kau dari sini dan jangan memperlihatkan diri kepadaku lagi! Agaknya engkau memang patut menjadi anak Jokowanengpati dan karena itu aku benci kepadamu! Kau akan membunuh Ayu Candra? Boleh, akan tetapi melalui mayat kami berdua!"
Endang Patibroto mengeluarkan pekik dahsyat Sardulo Bairowo. Kemudian ia menjerit, "Ibu, dia itu musuh kita! Kau hendak melindunginya?" Pertanyaannya ini diajukan penuh penasaran, penuh kekecewaan, penuh kedukaan.
"Kalau mau bicara tentang musuh, agaknya engkaulah musuh kami!" jawab pula Kartikosari dengan pandang mata penuh amarah.
Endang Patibroto kembali memekik. Air matanya bercucuran keluar, tangannya menggigil, siap menerjang.
"Ibu....! Ibu....! Begitukah anggapanmu tentang diriku??"
"Apa boleh buat, engkau anak durhaka, engkau anak yang mengotori pesan kakangmas Pujo. Engkau memang pantas menjadi anak Jokowanengpati, karena itu engkau patut pula menjadi musuhku. Hayo, jangan kepalang melakukan kekejian. Aku ibumu, aku yang melahirkanmu, hayo kau bunuhlah aku sekalian, kalau kau berani!"
"Ibu...!!" Jerit ini bercampur isak.
"Hayo pergilah, pergi jangan datang kembali atau....kau maju dan serang aku, bunuh aku!"
"Ibu.....!" Pekik yang dikeluarkan Endang Patibroto menyayat hati. "Ayu Candra, kau pengecut! Hayo maju dan lawanlah aku, jangan kau berlindung di belakang orang-orang tua!".
Pada saat itu, terdengar lengking tinggi di sebelah belakang Endang Patibroto disusul suara yang tenang namun tegar.
"Endang Patibroto, mengapa engkau selalu haus darah? Kaulihat, Ayu Candra sebagai puteri suami isteri yang telah kaubunuh, mau melihat kenyataan dan tidak menaruh dendam, berdamai dengan ibu kandungmu. Akan tetapi engkau, mengapa begini ganas Endang, kau insyaflah, mintalah ampun kepada bibi Kartikosari dan mari kita semua hidup dalam suasana persaudaraan, melenyapkan segala dendam dan"
"Joko Wandiro, keparat! Kau sombong sekali! Kau kira aku takut kepadamu? Kau hendak membela Ayu Candra mati-matian? Boleh, hayo kau majulah!" Setelah berkata demikian, Endang Patibroto sudah meloncat bagaikan terbang menerjang Joko Wandiro yang sudah muncul dan berdiri tak jauh di depannya.
"Endang....! Jangan...." Kartikosari berseru keras penuh kekhawatiran.
Pada saat itu, udara menjadii gelap dan angin bertiup kencang dari arah utara. Daun-daun pohon rontok tertiup angin dan terdengarlah suara angin rnnenggiriskan. Langit mendadak menjadi gelap dan dari dalam mendung tebal tampak kilat menyambar-nyambar.
"Badai.......!" seru Roro Luhito terkejut. "Badai Laut Selatan mengamuk! Mari berlindung!"
Kartikosari yang mengkhawatiran keadaan Endang Patibroto dan Joko Wandiro, tidak mau meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Roro Luhito yang maklum akan bahaya, menarik lengan madunya itu.
"Ayu Candra, bantu aku, mari ajak bibimu berlindung. Berbahaya. Badai Laut Selatan mengamuk. Ganas... ganas...!!"
Selama tinggal di pulau itu, pernah satu kali badai Laut Selatan mengamuk dan hampir saja keduanya tewas. Kini Roro Luhito sudah berpengalaman, maka cepat ia menyeret Kartikosari yang berteriak-teriak memanggil anaknya, dibantu oleh Ayu Candra yang juga menangis, karena gadis ini teringat akan kakaknya. Akhirnya mereka itu sambil berlari-lari setengah merangkak di antara tiupan angin yang amat keras, berhasil tiba di gunungan batu di mana terdapat sebuah guha besar dan di sinilah mereka berlindung.
Angin bertiup amat kerasnya sehingga terdengar suaranya melengking bersiuran. Seluruh pohon di pulau itu diamuk, daun-daun beterbangan, bahkan ada pohon yang tercabut berikut akar-akarnya. Pondok kecil tempat tinggal Kartikosari dan Roro Luhito sudah diterbangkan pula oleh angin, dibawa ke laut dan disambut ombak menggelombang.
Dari atas pulau tampak betapa ombak sebesar gunung bergerak-gerak menuju kepantai selatan. Kepalanya putih, badannya panjang seperti naga hitam berkepala putih. Kilat yang menyambar-nyambar seperti keluar dari mulut naga. Angin datang membawa air hujan. Basah kuyup tubuh tiga orang wanita itu. Pakaian mereka kusut, rambut awut-awutan. Kartikosari menangis ketika Roro Luhito membereskan rambutnya dan menyusut! air yang membasahi seluruh muka.
"Anakku... dan Joko.... di mana...mereka...ehhh !"
"Tenanglah, ayunda Sari. Mereka berdua bukan orang-orang lemah. Badai Laut Selatan takkan mencelakai mereka. Hanya aku khawatir, Endang Patibroto, takkan mau sudah sebelum menandingi Joko Wandiro.."
"Ahhh..bagaimana baiknya? Anakku... dia durhaka...ah, ketika... terlahir dulu juga disambut badai... dia... ganas seperti badai selatan, dia kejam seperti gelombang Laut Selatan. Bagaimana kalau Joko Wandiro..."
"Kakang Joko Wandiro akan mampu melindungi diri sendiri," tiba-tiba terdengar suara Ayu Candra.
Wajah gadis ini pucat, napasnya memburu, namun pandang matanya penuh kepercayaan. Tiga orang itu lalu diam, seperti berdoa, terlalu tegang mereka untuk membuka mulut lagi. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing, atau tertelan oleh suara angina yang memanjang mengerikan. Badai Laut Selatan kembali mengamuk, memperlihatkan keganasan dan kekuatannya.
Apa yang terjadi pada saat itu di atas pulau, di dalam badai mengganas, benar amat hebat mengagumkan. Dua orang muda itu agaknya tidak merasa bahwa badai mengamuk hebat. Begitu Endang Patibroto menerjangnya dengan keris pusaka Brojol Luwuk di tangan, Joko Wandiro maklum bahwa ia harus menghadapi gadis ini mati-matian.
Dari keris pusaka itu menyambar hawa panas yang membuat ia silau dan merasa kaki tangannya lumpuh. Ia mengeraskan hati dan mengerahkan semua aji kesaktiannya, namun tetap saja ia gemetar dan ketika mengelak, ia merasa betapa gerakannya berkurang kegesitannya. Maklumlah ia bahwa keris pusaka itu benar-benar amat ampuh dan mempunyai daya kekuatan yang jauh melampaui kekuatan dan hawa saktinya sendiri.
Endang Patibroto seperti sudah gila, atau seperti kesurupan hawa badai yang mengamuk. Ia memekik-mekik dan menyambar-nyambar dengan kerisnya. Suara badai mengamuk memasuki telinganya semerdu suara gamelan yang mendorongnya untuk bergerak makin ganas lagi. Angin yang melengking-lengking meniup pergi suara yang keluar dari mulut Endang Patibroto. Bagaikan mimpi gadis ini berteriak-teriak, memekik-mekik,
"Joko Wandiro! Kau menolak perjodohan denganku dan mencinta gadis lain? Baiklah, memang kau harus mati di tanganku!" teriaknya berkali-kali, akan tetapi suara badai yang hiruk-pikuk disertai lengking angin yang memanjang menulikan telinga, membuat suara gadis ini tidak terdengar oleh Joko Wandiro.
Pula, pemuda ini memang sibuk sekali menghindarkan serangan-serangan Endang Patibroto yang amat berbahaya. Karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, Joka Wandiro mengelak sambil balas memukul, menggerakkan tangan dengan Aji Bojro Dahono.
"Weerrr...!!"
Pukulan Joko Wandiro dahsyat sekali dan biasanya pukulannya ini tidak ada yang kuat menahannya. Akan tetapi, ketika pukulan itu meluncur ke arah Endang Patibroto, secara tiba-tiba pukulan itu terpental mundur oleh hawa yang panas, yang menyerbu keluar dari keris pusaka Brojol Luwuk! Dan pada saat itu, keris pusaka bagaikan naga sudah menyambar datang menusuk ke arah dadanya. Silau mata Joko Wandiro oleh sinar yang menyambar keluar dari ujung keris pusaka itu.
"Celaka ....... !" serunya dan cepat ia membuang diri ke kiri. Ia berhasil lolos dari cengkeraman maut, akan tetapi tak dapat menghindarkan diri ketika kaki kanan Endang Patibroto menyambar, mencium lambungnya dan tubuh Joko Wandiro roboh tersungkur.
"Matilah kau, Joko Wandiro!"
Ketika itu tubuh Joko Wandiro sudah rebah miring dan keris pusaka Brojol Luwuk menghujam ke bawah mengarah dada. Tampak kilat menyambar dari angkasa, disusul bunyi meledak dan menggeletar. Halilintar menyambar-nyambar dan pada saat itu tampak pula sinar kuning emas menyilaukan mata, sinar yang menyambut datangnya keris pusaka Brojol Luwuk.
"Cringgg ...!!" Bunga api berpijar dan hawa di sekitar tempat itu seperti terbakar.
"Aihhhh ....... !!!" Endang Patibroto menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang. Ia memandang dengan mata terbelalak, marah, penasaran dan juga kaget melihat betapa pusakanya kali ini dapat tertangkis sehingga tubuhnya seperti dilontarkan.
Ketika ia sudah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan memandang, ternyata Joko Wandiro sudah berdiri dan tangan kanannya memegang sebuah patung kencana Sri Bhatara Whisnu! Golek kencana yang dulu menjadi bahan ejekannya, atau warangka dari keris pusaka Brojol Luwuk! Kiranya benda itulah yang telah dipergunakan pemuda itu untuk menangkis kerisnya. Dan ternyata dari pantung kencana itu keluar hawa yang adem dan mempunyai pengaruh yang menggiriskan!
Namun kenyataan ini bukan meredakan amarahnya, bahkan membuat gadis ini menjadi penasaran sekali. Sambil memekik nyaring ia lalu meloncat maju dan menerjang lagi dengan kecepatan dan kekuatan dahsyat. Joko Wandiro juga sudah timbul kemarahannya. Berkali-kali ia hampir tewas di tangan gadis yang amat ganas ini. Dengan hati-hati ia melayani Endang Patibroto. Hatinya kini besar dan tenang karena tanpa disengaja ia mendapatkan senjata yang ampuh, yang dapat menandingi keris pusaka Brojol Luwuk. Tadi ia telah berhasil menemukan patung kencana Sri Bhatara Whisnu di dalam cabang pohon dan mengambilnya. Ketika ia kembali ke pondok, ternyata Endang Patibroto telah membunuh Ki Jatoko dan sedang mengancam hendak membunuh Ayu Candra.
Tadi ia telah terdesak hebat dan hampir tewas. Dalam keadaan kepepet ia tadi secara kebetulan menggunakan patung kencana untuk menangkis keris pusaka dan hasilnya menakjubkan. Kini hatinya besar dan tahulah ia bahwa keris pusaka itu kehilangan pengaruhnya menghadapi warangkanya.
Hebat bukan main pertandingan kali ini antara Endang Patibroto dan Joko Wandiro. Pemuda itu maklum dari gerak-gerik gadis itu bahwa sekali ini Endang Patibroto hendak mengadu nyawa, bertanding mati-matian. Joko Wandiro betapapun juga tak seujung rambut mempunyai niat untuk membunuh Endang Patibroto, dan ia masih khawatir kalau-kalau gadis sakti yang ganas ini masih akan mengalihkan perhatian untuk mencoba menyerang Ayu Candra. Oleh karena itu, setelah kini ia dapat mengimbangi gerakan lawan dengan patung kencana di tangan, Joko Wandiro main mundur dan memancing Endang Patibroto bertanding makin menjauhi pondok itu.
Dalam keadaan marah yang hebat, juga dalam tiupan angin badai yang menggelora, Endang Patibroto tidak sadar akan hal ini dan tahu-tahu ia bersama lawannya telah bertanding di pinggir pantai. Ombak air Laut Selatan mengamuk naik ke pulau dan di antara sambaran lidah-lidah ombak inilah mereka kini bertanding. Gerakan mereka amat hebat, berloncatan dari karang ke karang, saling sambar di antara kilatan halilintar. Tubuh mereka sudah basah kuyup, namun semangat bertanding makin menggelora.
Untuk kesekian kalinya Endang Patibroto memekik dengan Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya melayang ke atas udara, kemudian dengan ganasnya ia meluncur turun sambil menggerakkan keris pusaka Brojol Luwuk menyerang dada sedangkan tangan kiri melancarkan serangan pukulan jarak jauh dengan Aji Wisangnala yang amat ampuh!
Namun Joko Wandiro sudah bersiap sedia menanti datangnya serangan. Kedua kakinya memasang kuda-Kuda kokoh kuat. Dalam keadaan seperti itu, biarpun diserang ombak besar membadai, ia tidak akan roboh. Kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, kedua telapak kaki seakan-akan sudah berakar pada batu karang yang dipijaknya. Tangan kiri dengan jari-jari terbuka menjaga di depan dada, kemudian ketika ia melihat datangnya keris pusaka, tangan kanan yang memegang patung kencana digerakkan ke atas, menangkis, sedangkan tangan kiri dengan Aji Bojro Dahono mendorong ke depan menerima pukulan Wisangnala.
"Tranggg..! Dessss ...."
Tubuh Endang Patibroto terhuyung-huyung dan pada saat itu, lidah ombak yang besar panjang datang menyambar dan menyeret tubuhnya ke laut! Akan tetapi, gadis perkasa ini mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas dari dalam air, kemudian dengan gerakan kacau-balau dan dahsyat bagaikan badai Laut Selatan sendiri, ia sudah menerjang lagi ke arah berdirinya Joko Wandiro!
Bertubi-tubi keris pusakanya menyerang dan bertubi-tubi pula kena ditangkis oleh Joko Wandiro. Namun sekali lagi Joko Wandiro kena diakali karena secara tiba-tiba kaki kiri Endang Patibroto berhasil menendang lututnya sehingga Joko Wandiro terpeleset dan terguling. Kali ini dialah yang digulung ombak. Untung bahwa ombak itu cukup besar sehingga menutup dan menenggelamkan tubuh Joko Wandiro, karena pada saat itu Endang Patibroto sudah terjun pula ke dalam air untuk mengirim tusukan maut. Karena besarnya ombak, tubuh Joko Wandiro lenyap dan hal ini menolongnya. Ketika ombak sudah pergi, mereka berdiri berhadapan di atas pasir dan ternyata jarak di antara mereka amat dekat.
"Singgg...."
Keris pusaka Brojol Luwuk menyambar ke depan. Hawanya yang panas membuat tubuh Joko Wandiro setengah lumpuh rasanya. Namun pemuda ini dapat menggerakkan patung kencana menangkis. Karena kedudukannya agak miring, maka kini ia menangkis dari samping dan kaki patung yang meluncur di depan.
"Siuuuttt.... cappp....!!"
Entah bagaimana kedua orang muda itu sendiri tidak tahu. Bagaikan besi yang tersedot besi sembrani, keris pusaka dan patung kencana itu saling tarik-menarik dan tanpa dapat dicegah lagi, keris pusaka itu menancap ke dalam lubang di bagian bawah patung, masuk ke dalam warangka dan tak dapat dicabut kembali! Joko Wandiro melihat kesempatan baik ini, mengerahkan tenaga di tangan kanan, merenggut patung dan tangan kirinya menampar dengan Aji Pethit Nogo.
"Plakk....! Aduhhh....!!"
Tubuh Endang Patibroto terjengkang dan kebetulan pada saat itu, ombak badai sudah datang lagi sehingga tubuhnya diterima ombak dan dilontarkan sampai jauh! Joko Wandiro cepat meloncat ke atas batu karang dan cepat-cepat ia meloncat lagi menjauhi jangkauan ombak. Hanya sebentar tubuh Endang Patibroto ditelan ombak. Agaknya, ombak badai Laut Selatan masih belum cukup kuat untuk menelan dan melenyapkan tubuh gadis perkasa yang semenjak lahir sudah berada di antara ombak dan badai ini.
Segera ia sudah tampak berloncat-loncatan mengejar Joko Wandiro, rambutnya riap-riapan membasah, pakaiannyapun basah kuyup sehingga menempel pada tubuhnya, menempel ketat mencetak bentuk tubuh yang menggairahkan? Sepasang matanya bersinar-sinar marah mulutnya berteriak-teriak di antara gemuruh badai, "Joko Wandiro! Kembalikan pusakaku! Keparat, kembalikan...!"
Bagaikan seorang mabuk ia menerjang lagi, dengan kedua tangan terbuka jarinya, mencengkeram dan menonjok. Namun dengan mudah Joko Wandiro mengelak dan sekali kakinya menyabet, gadis itu jatuh terduduk.
"Keparat! Pengecut, kembalikan pusakaku!"
"Endang, ingatlah. Pusaka ini bukan milikmu, bukan pula milikku. Lupakah kau bahwa pusaka itu oleh mendiang eyang Resi Bhargowo dititipkan kepada kita untuk disembunyikan dan disimpan agar tidak terjatuh ke tangan orang jahat? Kita tiba saatnya aku mengumpulkan dua pusaka itu dan mengembalikan kepada yang berhak, Endang."
"Kembalikan padaku...! Ahh, kembalikan...!" Kini gadis itu sudah menyergap lagi, tangan kirinya meraih ke arah patung kencana, tangan kanannya memukul dada.
Namun sekarang hati Joko Wandiro sudah lega dan besar. Dengan pusaka di tangan, kesaktiannya makin hebat. Ia membiarkan saja pukulan tangan gadis itu mengenai dadanya.
"Bukk!" Tubuhnya tak bergeming dan sekali dorong, kembali Endang Patibroto terjengkang di atas tanah sampai rambut dan pakaiannya kotor semua terkena tanah.
"Endang, ingatlah. Pusaka ini miliki kerajaan, hendak kukembalikan ke Panjalu. Dahulu guruku berpesan bahwa lenyapnya pusaka menimbulkan geger dan kekacauan, hanya kalau pusaka sudah kembali ke tempatnya, maka negara akan menjadi tata tenteram kerta raharja. Engkau bertobatlah, Endang, kembalilah kepada ibumu. Dia menunggu. Kembalilah dan bebaskan dirimu daripada pengaruh buruk, jangan membiarkan dirimu diperhamba hawa nafsumu sendiri, Endang, kau ingatlah!"
Namun bujukan Joko Wandiro tak pernah didengarkan oleh Endang Patibroto. Beberapa kali ia masih menerjang dengan nekat dan ganas sehingga akhirnya Joko Wandiro terpaksa menampar kepalanya dengan Aji Pethit Nogo sehingga Endang Patibroto terbanting dan roboh pingsan. Badai mulai mengendur dan mereda. Joko Wandiro masih berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar memandang tubuh Endang Patibroto.
Dalam keadaan pingsan, gadis ini kelihatan cantik jelita, luar biasa sekali kecantikan gadis ini setelah sifat-sifat keji dan ganas lenyap dari permukaan wajahnya. Joko Wandiro menarik napas berkali-kali, kemudian ia membungkuk dan mengempit tubuh Endang Patibroto dan larilah ia dengan ilmu lari cepat menuju ke pondok.
Setelah badai mereda, Kartikosari, Roro Luhito, dan Ayu Candra sudah kembali ke pondok, atau lebih tepat, ke bekas pondok karena pondok itu sendiri hanya tinggal beberapa buah tiang dan lantainya saja. Bilik dan atapnya sudah lenyap dibawa badai!
"Maafkan saya, bibi. Untuk mengakhiri pertandingan yang tak kunjung henti karena kenekatan Endang, terpaksa saya memukulnya pingsan. Saya menyerahkannya kepadamu, bibi. Semoga bibi dapat menyadarkannya daripada jalan sesat. Pusaka Mataram saya bawa untuk saya kembalikan ke Panjalu, dan lebih baik saya segera pergi bersama Ayu Candra sebelum dia sadar untuk mencegah hal-hal yang tidak menyenangkan."
Kartikosari hanya dapat menggangguk, tak kuasa mengeluarkan kata-kata saking terharu hatinya. Ia memangku anaknya yang pingsan sambil bercucuran air mata. Roro Luhito memandang keponakannya dengan bangga ketika berkata,
"Joko Wandiro, kau pergilah dan laksanakan kewajibanmu dengan baik. Kami hanya dapat memberi bekal doa restu semoga ke manapun juga kau akan selalu bersikap sebagai seorang satria utama dan akan selalu mendapat perlindungan Hyang Maha Wisesa, anakku."
Joko Wandiro menggandeng tangan Ayu Candra lalu mengundurkan diri, pergi mencari perahunya. Untung ia mengikat perahunya kuat-kuat pada pohon di pantai, kalau tidak tentu perahunya akan lenyap tertiup badai.
********************
Kali ini ketika Joko Wandiro mohon menghadap sang prabu di Panjalu, bergegas para penjaga mempersilahkannya menanti dan cepat-cepat orang melaporkan permohonannya kepada sang prabu. Semua orang telah mengenal pemuda sakti ini. Diam-diam Joko Wandiro melihat kenyataan akan bukti watak manusia yang serba palsu ini.
Dahulu, ketika pertama kali menghadap, ia dihina dan dipandang rendah, tidak dilayani sebagaimana mestinya. Sekarang, setelah mereka tahu bahwa dia memiliki kedigdayaan, mereka bersikap berlebih-lebihan. Adakah manusia di dunia ini yang bersikap sewajarnya, tidak membeda-bedakan antara manusia, tidak memandang kekayaan, kedudukan, dan kepandaian? Mungkin sekali ada akan tetapi...ah, alangkah sukarnya mendapatkan manusia seperti itu!
Pada waktu itu, sang prabu di Panjalu sedang dihadap para hulubalang, menteri, dan penasehat, merundingkan tentang peristia pemberontakan Nusabarung terhadap Kerajaan Jenggaia. Biarpun sejak menjadi pangeran dahulu, sang prabu di Jenggala selalu memperlihatkan sikap bermusuh terhadap sang prabu di Panjalu, akan tetapi permusuhan itu merupakan pertikaian keluarga, merupakan urusan dalam. Kini begitu mendengar bahwa Kerajaan Jenggala dimusuhi oleh Nusabarung yang memberontak, sang prabu di Panjalu ikut menjadi marah!
Betapapun juga, Kerajaan Jenggala merupakan sebagian daripada wilayah kerajaan mendiang Sang Prabu Airlangga, ayah mereka berdua. Dan betapapun juga, sang prabu di Jenggala adalah adik sendiri, adik tiri, serama berlainan ibu. Karena mendengar betapa kuatnya pemberontak Nusabarung yang dibantu oleh adipati-adipati di sebelah timur, sang prabu di Panjalu sudah mengutus pasukan untuk membantu Jenggala secara diam-diam dan menggempur Nusabarung. Ketika pasukan pertama ini yang tidak begitu besar menderita kerugian dan terpukul oleh Nusabarung, sang prabu telah mengirim pasukan yang lebih besar lagi!
Pada saat sang prabu merundingkan urusan ini bersama para hulubalangnya, penjaga datang menghadap melaporkan kedatangan Joko Wandiro bersama adiknya yang bernama Ayu Candra mohon menghadap sang prabu. Mendengar disebutkan nama Joko Wandiro ini, seketika berseri wajah sang prabu. Juga para hulubalang dan Ki Patih Suroyudo berubah wajahnya. Tentu saja mereka semua teringat akan pemuda yang dahulu pernah mengusir Ni Durgogini dan Ni Nogogini itu. Bahkan ketika sang prabu mendengar tentang sepak terjang pemuda itu, sang prabu lalu mengutus para senopati untuk pergi menyelidik, siapakah sesungguhnya pemuda perkasa yang tadinya mereka pandang rendah itu.
Ketika akhirnya mendengar bahwa Joko Wandiro yang semula mereka sangka seorang anak dusun yang ingin mencari kedudukan di kerajaan itu ternyata adalah murid Ki Patih Narotama, sang prabu dan semua senopati menjadi terkejut dan menyesal bukan main mengapa mereka kurang menaruh perhatian dan penghargaan kepada pemuda itu. Apalagi ketika Ki Darmobroto dan juga puteranya, Joko Seto, datang ke kota raja dan menceritakan keadaan Joko Wandiro, sang prabu merasa makin menyesal. Kini secara tiba-tiba pemuda itu datang hendak menghadap. Hati siapa tidak menjadi kaget dan girang?
"Lekas persilahkan dia masuk dan menghadap padaku!" teriak sang prabu dengan wajah riang.
Sepasang mata sang prabu masih bersinar-sinar terang dan semua mata para hulubalang yang hadir ditujukan kepada Joko Wandiro ketika pemuda ini dengan sikap hormat sekali memasuki ruangan diikuti oleh Ayu Candra. Gadis itu saking kagum menyaksikan ruangan keraton, masuk sambil memandang ke kanan kiri, kemudian ketika ia melihat sang prabu yang duduk penuh wibawa ia menjadi takut dan menundukkan muka, berjalan perlahan memegangi lengan kakaknya.
"Hemm, bagus sekali, Joko Wandiro. Kedatanganmu menghadap kami benar-benar mendatangkan rasa syukur dan gembira di hati kami. Sayang bahwa dahulu ketika engkau datang menghadap, kami belum tahu siapa engkau dan tidak dapat bercakap-cakap sebagaimana mestinya," demikian sang prabu menyambut ketika pemuda itu sudah menghaturkan sembah, adapun Ayu Candra menyembah tanpa dapat mengeluarkan kata saking tertegun dan gentar di hati.
"Joko Wandiro, setelah diri kami mengetahui bahwa engkau adalah murid tersayang mendiang paman Patih Narotama, kami harap kau suka membantu kami di sini mengatur pemerintahan dan memperkuat barisan Panjalu. Kami yakin andaikata paman Patih Narotama masih hidup, tentu akan menganjurkan engkau untuk mengabdi kepada Panjalu."
"Semua sabda paduka gusti benar dan tepat. Memang sesungguhnya dahulu bapa guru meninggalkan pesan agar hamba bersuwita (menghambakan diri) kepada Kerajaan Panjalu. Akan tetapi ketika hamba untuk pertama kali menghadap paduka, sengaja hamba tidak menyebut nama bapa guru oleh karena hamba sungguh merasa malu untuk mencari kedudukan mengandalkan nama besar guru. Menurut pendapat hamba yang picik, pahala harus diperoleh dengan Jasa sendiri, barulah berharga. Pada waktu itu, hamba sama sekali belum melakukan sesuatu untuk paduka, sama sekali belum berjasa. Kalau dahulu paduka memberi kedudukan kepada hamba mengingat akan jasa-jasa bapa guru, bukankah hal itu amat mengecewakan dan bukan sepantasnya diterima oleh seorang satria? Harap paduka sudi mengampuni hamba, jika sekiranya pendapat hamba itu keliru."
Sang prabu tertawa bergelak sambil mengelus dagu yang tak berjenggot. Pandang matanya makin berseri-seri dan diangkatnyalah wajahnya memandang para senopati dan hulubalang yang hadir. Suaranya lantang ketika sang prabu berkata,
"Heh para senopati dan hulubalang, kalian sudah mendengar ucapan seorang satria. Camkanlah baik-baik ucapan itu karena di dalam kata-katanya aku seperti mendengar suara mendiang paman Patih Narotama yang kalian semua sudah mengetahui sebagai seorang yang arif bijaksana dan sakti mandraguna. Inilah Joko Wandiro muridnya yang memiliki pandangan serta pendirian yang sama dengan mendiang paman Patih Narotama. Rendah hati, tidak gila kedudukan, setia, dan jujur." Kemudian Sri Baginda menoleh kepada Joko Wandiro, bertanya, "Aku girang mendengar pendapatmu itu, Joko Wandiro. Sekarang kau datang menghadap, aku tidak mengharapkan jasamu, hanya aku percaya penuh akan kesanggupanmu. Biarpun kau tidak mengutarakannya kepadaku, aku sudah mendengar betapa engkau mengusir dua orang wanita iblis dari Panjalu, bahkan aku mendengar pula akan sepak terjangmu menolong nini Mayagaluh keponakanku dari Jenggala, mendengar pula tentang bantuan-bantuanmu kepada Kerajaan Jenggala. Setelah kau datang menghadap, aku harapkan engkau, suka membantuku dan menerima kedudukan yang akan kuberikan kepadamu. Aku sudah tahu bahwa engkau adalah putera Raden Wisangjiwo dari Selopenangkep, kau cucu bekas Adipati Selopenangkep. Ayahmupun tewas dalam perang membelaku sehingga jasa ayahmu saja sudah cukup bagiku untuk memberi imbangan jasa kepada puteranya."
Joko Wandiro menyembah "Sebelumnya hamba menghaturkan terima kasih atas kurnia paduka kepada hamba. Sesungguhnya, kedatangan hamba menghadap ke depan kaki paduka adalah untuk menyerahkan kembali pusaka Mataram yang lenyap sejak belasan tahun yang lalu."
Saking kagetnya, sang prabu sampai bangkit dari tempat duduknya. Bahkan. Ki Patih Suroyuda dan para senopati sepuh menjadi pucat wajahnya.
"Pusaka... pusaka Mataram...?"
Sang prabu bertanya, suaranya gemetar karena tegangnya. Pusaka ini sudah dianggap lenyap dan hal itu membuat semua keluarga menjadi berduka dan gelisah. Kini secara tiba-tiba Joko Wandiro menyebut-nyebut tentang pusaka, tentu saja mereka semua menjadi terkejut dan heran.
"Benar sabda paduka, gusti. Inilah pusaka Mataram yang baru hari ini dapat hamba persembahkan kepada paduka." Ia mengeluarkan patung kencana dari bungkusan, patung kencana Sri Bhatara Whisnu, lengkap dengan isinya, yaitu keris pusaka Brojol Luwuk. Patung itu mencorong cahayanya dan semua orang menjadi silau memandangnya.
"Duh Jagad Dewa Bathara....!!" Sang prabu bersabda dengan wajah berseri dan bergegas menerima patung kencana itu, diangkatnya patung kencana dengan kedua tangan, dibawanya ke atas ubun-ubun kepalanya dengan khidmat, kemudian diturunkannya ke muka dan diciumnya kaki patung atau gagang keris pusaka. Setelah itu dipeluknya patung kencana, dekat dengan hatinya seakan-akan khawatir kalau-kalau patung kencana itu terlepas lagi dari tangannya.
"Dewata telah mengabulkan doaku siang malam, dan semoga arwah ramanda prabu mengampuni dosaku. Dengan kembalinya pusaka Mataram, akan pulih kembali kebesaran Mataram yang jaya. Akan lenyap segala rubeda (rintangan) dan rakyat senegara akan mengecap kenikmatan tata tenteram kerta raharja!" Suara sang prabu berubah menjadi terharu sekali, dan para senopati mendengarkan dengan muka tertunduk.
"Bocah bagus Joko Wandiro! Tak terkira besar dan bahagianya hati dengan persembahanmu yang sungguh di luar dugaan ini. Satria yang perkasa, coba ceritakanlah bagaimana pusaka yang sudah sekian lamanya lenyap ini dapat terjatuh ke dalam tanganmu."
Keadaan di ruang persidangan sunyi sekali. Semua orang seakan-akan menahan napas dan tidak mau kehilangan sepatahpun kata yang keluar dari mulut Joko Wandiro ketika pemuda ini menceritakan secara singkat tentang pusaka Mataram yang hilang. Betapa pusaka itu dicuri oleh Jokowanengpati, kemudian betapa pusaka itu dirampas dari tangan orang jahat ini oleh Resi Bhargowo yang kemudian menyerahkannya kepada Joko Wandiro dan Endang Patibroto untuk disembunyikan ketika orang-orang sakti utusan Pangeran Anom menyerbu ke Pulau Sempu untuk merampasnya. Kemudian betapa baru-baru ini ia mengambil kembali pusaka itu dan menerima kerisnya dari Endang Patibroto. Ia tentu saja tidak menceritakan tentang peristiwa pribadi yang menyangkut dirinya dan Endang Patibroto.
"Demikianlah, gusti. Setelah hamba berhasil mendapatkan kembali pusaka Mataram dalam keadaan utuh, hamba bergegas menghadap kepada paduka untuk mempersembahkan kembali pusaka ini sesuai dengan perintah eyang Resi Bhargowo dan bapa guru Narotama."
Amat bahagia dan gembira hati sang prabu mendengar penuturan itu. Sambil memeluk keris pusaka dalam patung kencana, sang prabu berkata,
"Joko Wandiro, jasamu besar tak ternilai. Dan siapakah gadis jelita yang ikut datang menghadap bersamamu ini?"
Mendengar dirinya disebut-sebut, Ayu Candra menundukkan mukanya yang menjadi merah, dadanya berdebar penuh ketegangan
"Dia ini adik kandung hamba, Ayu Candra namanya, gusti."
"Hemm, patut menjadi adikmu. Cantik jelita penuh susila. Heh, Joko Wandiro, sebagai imbalan jasamu, mulai saat ini kuangkat engkau menjadi adipati di Selopenangkep dengan julukan Adipati Tejolaksono. Kakang Patih Suroyudo, siapkan sepasukan perajurit pilihan untuk membantu Adipati Tejolaksono memerintah di Selopenangkep. Persidangan kububarkan sekarang juga!" Sang prabu yang masih terharu memeluk pusaka Mataram, memandang ke arah Joko Wandiro yang menyembah dan menghaturkan terima kasih dengan sinar mata penuh haru dan syukur. Sang prabu ingin cepat-cepat menyendiri agar dapat menikmati saat yang amat bahagia itu, saat kembalinya pusaka Mataram yang amat dirindukan oleh segenap isi istana.
********************
Joko Wandiro membalas ucapan selamat para senopati dengan sikap sederhana dan merendah. Matanya memandang ke kanan kiri, mencari-cari. Akhirnya ia mendapatkan orang yang dicarinya dan segera dengan langkah lebar ia menghampiri Ki Darmobroto yang memang tadi ikut menghadap sang prabu.
"Selamat, anak-mas Joko Wandiro. Aku merasa ikut gembira, bukan hanya karena kembalinya pusaka Mataram, akan tetapi karena engkaulah yang berhasil mengembalikannya. Selamatlah, anakmas adipati "
"Paman Darmobroto, selain bermaksud mempersembahkan pusaka kepada sri baginda, kedatangan saya di kota raja memang khusus hendak menemui paman. Dapatkah kita bicara leluasa?"
Ki Darmobroto melirik ke arah Ayu Candra dan berkata, "Marilah, anak-mas. Mari ke pondokku."
Setelah memberitahu kepada Ki Patih Suroyudo bahwa dia bersama adiknya hendak berkunjung lebih dulu ke pondok Ki Darmobroto, Joko Wandiro lalu menggandeng tangan adiknya. Pondok itu merupakan pasanggrahan yang disediakan oleh kerajaan untuk para satria yang menjadi pembantu luar kerajaan. Pondok yang cukup mewah dan bersih menyenangkan, dengan ruangan muka luas. Di ruangan inilah Ki Darmobroto menerima dua orang tamunya.
Setelah mempersilahkan mereka duduk di atas lantai bertilamkan tikar indah, Ki Darmobroto lalu bertanya, "Silahkan, anakmas. Keperluan apakah gerangan yang hendak anda sampaikan kepadaku?"
Joko Wandiro menggandeng tangan adiknya dan berkata, "Inilah dia adikku, paman. Inilah adikku Ayu Candra. Seperti pernah saya katakan kepada paman, mengenai pesan paman Adibroto, adikku Ayu Candra ini dengan putera paman Joko Seto... eh, di mana pula adanya adimas Joko Seto? Mengapa tidak paman perkenalkan kepada kami?"
Ayu Candra mendengarkan semua ini dengan muka tertunduk, wajahnya agak pucat dan hatinya seperti diiris-iris rasanya. Ia tidak rela mendengar betapa nasib hidupnya diatur dan dibicarakan oleh dua orang itu, ia tidak rela untuk berpisah dari Joko Wandiro dan menjadi isteri siapapun juga. Akan tetapi ia tidak melihat jalan lain. Ia harus tunduk dan taat kepada pesan terakhir ayahnya, pula ia harus taat kepada Joko Wandiro, kakaknya yang kini menjadi walinya, menjadi wakil dan pengganti ayah bundanya. Ingin ia menangis, namun ia tidak berani.