Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 03
Semua orang sudah membencinya, yakin bahwa dialah wanita iblis yang menyebar maut dan kini datang hendak membunuh Pangeran Darmokusumo pula. Lima orang senopati dengan gerakan lincah mendesak maju. Endang Patibroto kewalahan juga karena hujan senjata menyerang dirinya. Ia mengeluarkan pekik melengking saking marahnya dan Aji Sardulo Bairowo ini membuat lima orang pengawal yang kurang kuat terguling roboh.
Menggunakan kesempatan selagi lima orang senopati itu mundur karena pengaruh Sardulo Bairowo, Endang Patibroto meloncat ke belakang. Seorang senopati melontarkan tombaknya. Endang Patibroto membuat gerak loncat berjungkir balik, ujung kakinya menyentuh tombak yang terbang menyeleweng dan menembus dada seorang pengawal, pengawal itu menjerit dan roboh tewas, dadanya ditembus tombak.
Geger di pekarangan istana Pangeran Darmokusumo. Tampak oleh Endang Patibroto kini Pangeran Darmokusumo keluar dari istana berdiri tegak dengan muka marah. Puteri Mayagaluh berdiri di samping suaminya, sebatang keris telanjang di tangan, menjaga keselamatan suaminya. Hampir Endang Patibroto tertawa. Puteri ini masih cantik, bekas sahabatnya,. adik suaminya.
Memegang keris, seakan-akan dengan keris itu akan dapat melawannya. Ingin ia terbang menyambar pangeran itu, namun jarak terlampau jauh dan di depannya terlampau banyak pengawal mengeroyoknya. Bahkan kini lima orang senopati sudah maju lagi, yang kehilangan tombak sudah memegang tombak baru. Juga Ki Patih Suroyudo sudah maju sambil memberi aba-aba membesarkan hati anak buahnya.
Endang Patibroto menarik napas panjang. Percuma saja menggunakan kekerasan. Tak mungkin ia dapat melawan sekian banyaknya perajurit, belum lagi kalau pasukan-pasukan pembantu tiba. Dia seorang diri mana mampu menghadapi ratusan, bahkan ribuan perajurit Panjalu? Juga, tidak baik kalau ia menyebar maut di antara para perajurit ini, yang tidak tahu apa-apa dan yang terkena bujuk Pangeran Darmokusumo si pengkhianat, si pemberontak!
Lebih baik ia pulang, menceritakan terus terang kepada suaminya. Suaminya tentu akan mencari jalan keluar yang baik, mungkin dengan melapor kepada sang prabu di Jenggala. Ingin rasanya ia menangis saking kecewa hatinya. Usahanya gagal malah ia dikurung rapat. Ia menjadi marah dan kembali beberapa orang pengeroyok roboh terjungkal. Ia hanya mengandalkan kaki tangan, namun para perajurit itu tidak berdaya. Sekali tangkis tombak patah, pedang golok beterbangan. Sekali tampar biarpun perlahan, pengeroyok-pengeroyok berjatuhan.
Endang Patibroto memekik lagi, hebat sekali pekik Sardulo Bairowo ini. Para pengeroyok terdekat mundur ketakutan, saling tabrak saling tindih, saling himpit. Endang Patibroto meloncat, dan terus berloncatan menggunakan kepala-kepala dan pundak-pundak para pengeroyok sebagai landasan. Akhirnya ia tiba di luar istana.
"Tangkap....! Bunuh....! Kejar.....!!" Teriakan-teriakan ini saling sahut dan bertubi-tubi. Mereka mengejar, namun sia-sia. Bagaikan bayangan iblis tubuh Endang Patibroto berkelebat dan senjata-senjata beterbangan lagi. Teriak-teriakan kesakitan terdengar susul-menyusul. Para pengeroyok banyak yang roboh, membuat yang lain gentar.
Namun Endang Patibroto tidak berniat membunuh mereka, hanya merobohkan dengan tamparan-tamparan sekedar membuat tulang lengan patah dan kepala pening. Kemudian ia melompat lagi, merobohkan lagi beberapa belas pengeroyok kemudian lenyap menghilang ditelan malam. Hujan masih turun rintik-rintik, keadaan gelap pekat namun para perajurit masih sibuk mencari dan mengejar sampai jauh. Suara mereka berisik, mengagetkan para penduduk yang tidak berani keluar dan menjadi penakut sejak terjadinya peristiwa pembunuhan-pembunuhan aneh pada diri para ponggawa selama ini.
Terengah-engah Endang Patibroto berhenti berlari di dalam hutan, berteduh di bawah sebatang pohon besar. Ia lelah, lelah sekali. Lelah lahir batin, Sudah sepuluh tahun ia tidak pernah bertanding, maka pertandingan melawan Wiku Kalawlsesa yang sakti, ditambah lagi perjalanan tak kunjung henti ke Panjalu, kemudian pengeroyokan ketat tadi, membuat tubuhnya lelah luar biasa. Dan sepuluh tahun ia hidup bahagia, aman tenteram di samping suaminya yang tercinta, kini menghadapi pelbagai hal menjengkelkan hati, batinnyapun lelah sekali. Ia bersandar kepada sebatang pohon, dan tak terasa lagi tertidur, biarpun air hujan ada satu dua yang menetes turun ke atas tubuhnya melalui daun-daun pohon yang lebat.
Hatinya diliputi kekhawatiran besar ketika Endang Patibroto melanjutkan perjalanannya, pulang ke Jenggala. Ia dapat membayangkan betapa gelisah hati suaminya yang malam itu ditinggalkan, kemudian sampai hampir dua pekan ia tidak pulang! Akan tetapi suaminya akan lebih gelisah lagi kalau sudah mendengar ceritanya tentang pengakuan Wiku Kalawisesa. Siapa kira, Pangeran Darmokusumo. Bedebah!
Hari telah senja ketika ia tiba di pintu gerbang sebelah selatan Kota Raja Jenggala. Tiba-tiba dari arah kiri ia mendengar bunyi burung emprit gantil.
"Tiiiiit-tuiiiiit-tuiiit-tit-tit-tit...."
Tak mungkin bunyi burung emprit gantil. Itulah suara tanda rahasia yang biasa dipakai para pengawal suaminya! Hatinya berdebar tak enak dan secepat kilat tubuhnya berkelebat ke kiri. Keadaan sudah remang-remang akan tetapi ia dapat melihat bergeraknya tubuh orang di selokan dekat sawah.
"Gusti puteri....!" Bayangan itu memanggil, lirih dan suaranya mengandung rintihan.
Ia meloncat dekat. Melihat orang itu merangkak keluar dari selokan.
"Gusti puteri.....!"
"Aahhh, engkaukah ini, kakang Sungkono...?" Endang Patibroto meloncat menghampiri dan orang itu mengeluarkan keluhan, lalu menubruk kaki Endang Patibroto.
"Aduhhh, gusti puteri..."
"Ada apa, kakang Sungkono? Mengapa kau di sini dan... eh, kenapa berlumur darah? Engkau terluka, kenapa?" Hati Endang Patibroto seperti ditusuk-tusuk pisau, indra ke enamnya bekerja dan ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat.
"Gust! puteri.... bencana hebat menimpa... gusti pangeran ditangkap dengan tuduhan melindungi paduka.... dituduh memberontak.... karena pembunuhan-pembunuhan itu.... karena paduka menyerang istana Pangeran Darmokusumo....!"
Dada Endang Patibroto terguncang, menggelora, kakinya menggigil. Suaminya ditangkap! Akan tetapi ia masih dapat menguasai suaranya yang bertanya mendesak.
"Lalu bagaimana.....? Dia dibawa kemana....?" Ia merasa ngeri mendengar suaranya sendiri, seperti suara orang lain yang asing, suara yang kosong.
"Mula-mula... pasukan datang.... hendak menangkap paduka, atas perintah gusti prabu. Gusti pangeran membantah, melawan dan dikeroyok. Hamba... hamba membelanya, tapi kena tusuk tombak... aduhh, hamba tak kuat lagi, gusti..."
Endang Patibroto berjongkok, memegang pundak Raden Sungkono yang ternyata terluka parah, terutama di lambungnya.
"Kakang.... ke mana dibawanya suamiku...?"
"Di penjara istana.... paduka larilah.... paduka akan ditangkap... hamba... hamba tak kuat, aduhhhh..." Sungkono menjadi lemas tubuhnya.
"Kakang... ! Kakang Sungkono..." Akan tetapi Endang Patibroto tahu bahwa panggilannya tak terjawab.
Sungkono pengawal setia itu sudah menghembuskan nafas terakhir. Ia meletakkan kepala pengawal itu ke atas tanah, lalu berdiri seperti arca. Suaminya ditangkap gara-gara Pangeran Darmokusumo! Ia menggertakkan giginya. la harus membebaskan suaminya, biar harus mengorbankan nyawa. Ia harus menyerbu penjara istana, biar dikepung seluruh perajurit Jenggala! Suaminya tidak bersalah, suaminya tidak berdosa. Dan kalau hendak menangkap Pangeran Darmokusumo si pengkhianat dianggap dosa, dialah yang berdosa, bukan suaminya.
"Kakangmas pangeran...!" Ia menjerit lalu terduduk mendeprok di atas tanah, dekat mayat Sungkono, menangis! Baru kali ini Endang Patibroto menangis hebat semenjak menjadi isteri Pangeran Panjirawit. Kemudian ia memegang pundak mayat itu dan berbisik, "Terima kasih, kakang.... terima kasih atas pembelaanmu sehingga kau mengorbankan nyawa untuk suamiku.... maafkan aku, tak dapat aku mengurus mayatmu karena aku harus membebaskan suamiku.... selamat tinggal, kakang Sungkono!" Ia lalu meloncat bangun, mukanya beringas dan lahirlah kembali Endang Patibroto wanita sakti mandraguna. Air matanya berhenti mengucur, pandang matanya berkilat ketika tubuhnya melesat jauh ke depan, menuju dinding tinggi yang mengelilingi Kota Raja Jenggala.
Karena sudah sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran Panjirawit, tentu saja Endang Patibroto sudah hafal akan keadaan di istana dan tahu pula di mana letaknya tempat tahanan. Tempat tahanan ini merupakan sebuah gedung besar di sudut belakang kelompok bangunan istana, terbuat daripada dinding batu yang tebal dan kuat, dikelilingi pekarangan yang lebar.
Malam itu amat sunyi di lingkungan istana. Endang Patibroto yang berkelebat melalui jalan di atas wuwungan, melihat betapa penjagaan di tempat-tempat biasa diperketat, bahkan tampak seragam-seragam perajurit yang biasanya tidak tampak menjaga keraton. Ia dapat menduga bahwa pasukan pengawal keraton yang tidak berapa besar jumlahnya, kini ditambah dengan pasukan-pasukan perajurit. Namun berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, Endang Patibroto berhasil menyusup melalui wuwungan-wuwungan, dilindungi kegelapan malam, sampai ia berada dekat dengan rumah tahanan.
Dari atas wuwungan dapur istana di belakang, ia mengintai. Rumah tahanan itu berada di depannya, di bawah. Ketika ia mengintai, kagetlah hatinya melihat banyaknya perajurit dan pengawal memenuhi pekarangan rumah tahanan itu. Bukan main! Sedikitnya tentu ada tiga ratus orang perajurit, mengawal ketat, menjaga rumah tahanan itu seperti semut-semut merubung bangkai jangkerik. Bahkan ia melihat pula banyak perajurit berada di atas wuwungan rumah itu, siap dengan busur dan anak panah!
Kalau ia nekat menyerbu, agaknya takkan mungkinlah menembus penjagaan yang sekuat itu. Kiranya sang prabu Jenggala benar-benar sudah siap sedia menanti kedatangannya! Ia mengertak gigi, hatinya panas sekali. Apapun yang akan terjadi, ia harus dapat membebaskan suaminya! Siapapun orangnya, baik sang prabu sendiri, tidak boleh menahan suaminya, tidak boleh membelenggu suaminya, kecuali melalui mayatnya sendiri!
Endang Patibroto termenung, mengasah otak mencari akal. Ia tidak mau secara sembrono menyerbu begitu saja. Bukan karena ia takut. Ditambah lima kali jumlah itupun ia tidak akan takut, mati bukan apa-apa baginya. Akan tetapi ia harus dapat membebaskan suaminya dan hal ini takkan mungkin terlaksana kalau ia berlaku nekat. Ia harus cerdik. Setelah termenung sejenak, tubuhnya lalu berkelebat, melayang turun di bagian yang tak terjaga. Kurang lebih satu jam kemudian tampak asap mengebul di bagian sebelah kanan dapur istana.
"Kebakaran...! Kebakaran....!!" teriak penjaga yang melihat asap dan api.
"Air...! Air...!"
"Hayo bantu padamkan.... lekas sebelum membesar apinya... !" Seorang perwira berseru keras ketika melihat anak buahnya tersebar panik.
"Hei! Jangan membantu semua! Sebagian tetap menjaga di sini!" Karena tindakan tegas sang perwira, keadaan tidak begitu panik lagi dan hanya beberapa orang penjaga secukupnya saja yang ditugaskan membantu pemadaman apa yang membakar atap bangunan itu. Akan tetapi pada menit-menit berikutnya, kembali tampak asap mengebul, kini di sebelah utara dekat kandang kuda.
"Kebakaran lagi! Itu di sana, dekat kandang!"
"Dan itu di sana ada api! Dekat gudang!"
"Tolong! Bantu! Kebakaran di mana-mana....!"
Kini tak dapat dicegah lagi, kepanikan terjadi dengan hebat. Para perajurit tersebar seperti semut digebah. Seorang di antara para perajurit, yang memisahkan diri, agaknya hendak mencari ember atau alat lain pemadam kebakaran, tiba-tiba menerima pukulan dua jari yang ditekuk, tepat mengenai leher di bawah telinga kiri. Hanya terdengar suara "ngukkk!" dan perajurit ini roboh lemas tak sadarkan diri.
Endang Patibroto cepat menanggalkan pakaian luar perajurit ini, dan cepat pula mengenakan pakaian itu pada tubuhnya sendiri. Tubuh perajurit ini lebih besar daripadanya, akan tetapi karena pakaian itu ia kenakan di luar pakaiannya sendiri, maka tidaklah terlalu besar amat. Rambutnya kini tersembunyl di dalam topi perajurit dan jadilah ia kini seorang perajurit yang tampan dan gagah.
Endang Patibroto menyambar tombak perajurit itu kemudian iapun berlari-lari. Tak lama kemudian, iapun tampak di antara para perajurit dan pengawal yang bercampur-aduk, sehingga tidak ada bahaya baginya ketahuan kepala pasukan. Keadaan amat panik dan lima tempat kebakaran yang dibuat olehnya cukup membuat para perajurit tidak begitu memperhatikan rumah tahanan. Dengan pura-pura berdiri tegak dengan tombak di tangan, Endang Patibroto beraksi menjaga di depan jendela kamar tahanan.
Ketika mendapat kesempatan, ia membuka daun jendela dari kayu itu. Jeruji-jeruji besi di sebelah belakang daun jendela yang sebesar lengan-lengan manusia bukan apa-apa bagi Endang Patibroto. Ia mengerahkan aji kekuatannya dan sekali tangannya mementang, dua buah jeruji melengkung lebar, bahkan bagian atas yang menancap pada kayu terlepas! Bagaikan seekor burung, Ia melompat masuk dan tidak lupa menarik daun jendela dari dalam sehingga jeruji yang tidak sebagaimana mestinya itu tidak tampak dari luar. Cepat ia lari ke dalam.
"Hai... kawan, mau apa kau masuk ke sini?" Tiba-tiba muncul empat orang penjaga penjara, yaitu petugas penjara.
Endang Patibroto meniru suara pria lalu berkata. "Kepala pasukan menyuruh melihat apakah Pangeran Panjirawit masih ada di tempatnya. Di luar banyak terjadi kebakaran, kepala pasukan khawatir kalau-kalau pangeran dilarikan musuh."
"Mana bisa? Kami menjaga di sini siapa dapat melarikannya? Akan tetapi, baik kau lihat sendiri, kawan." Karena keadaan di luar yang panik membuat para penjaga di sebelah dalam juga panik sehingga dalam keadaan kacau itu penistiwa masuknya seorang perajurit yang mestinya tidak wajar dianggap biasa. Bersama empat orang petugas penjara itu, Endang Patibroto dibawa masuk ke sebelah belakang. la melihat bahwa petugas di dalam tahanan hanya ada delapan orang, maka hatinya menjadi lega.
"Nah, itulah dia. Masih meringkuk seperti tikus. Apa kau kira siluman yang menjadi isterinya itu dapat..."
"Ngekk!!" Sebuah tinju mengenai ulu hati si pembicara yang roboh tak bersuara dan tak bernapas lagi. Tiga yang lain terkejut, akan tetapi tiga kali tubuh Endang Patibroto bergerak dan tiga kali terdengar suara mengaduh dibarengi robohnya tiga orang. Mendengar ribut-ribut ini, empat petugas yang lain datang. Inilah yang dikehendaki Endang Patibroto.
"Eh, ada apakah..." Empat orang petugas yang masih mengira Endang Patibroto seorang perajurit biasa, datang berlarian dan bertanya. Namun pertanyaan mereka disambut gerakan kaki tangan yang luar biasa cepatnya dan hampir berbareng empat orang itupun roboh semua.
"Endang...."
"Pangeran...!!"
Mereka berpelukan, saling dekap erat-erat seakan-akan takut kalau-kalau mereka terpisah lagi....
"Aku tahu, kau takkan membiarkan aku dikeram terus, isteriku...." Pangeran Panjirawit merangkul dan menciumi isterinya... Air mata Endang Patibroto membasahi pipi dan dagu suaminya.
"Kakanda....maafkan hamba... telah membikin sengsara kakanda..."
"Hushhh...!" Pangeran Panjirawit menutup mulut isterinya dengan bibir, untuk mencegahnya melanjutkan kata-kata. "Kau tidak pernah salah, aku yakin. Apakah yang telah terjadi? Benarkah engkau menyerbu ke Panjalu? Aku tidak percaya..."
"Nanti saja, kakanda. Kita belum bebas. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat keluar dari sini."
Pangeran Panjirawit baru teringat akan hal ini dan keningnya berkerut penuh kekhawatiran. Ia memandang isterinya yang berubah menjadi seorang perajurit dan kalau saja keadaan tidak berbahaya seperti itu, tentu ia akan mentertawakan dan menggoda isterinya sedemikian rupa sampai isterinya menghentikan godaannya dengan cium, gigit dan cubit. Biasanya begitu kalau di rumah. Kemudian ia melirik ke arah petugas tahanan yang menggeletak malang-melintang.
"Benar, kakanda. Sebaiknya kanda menyamar," kata Endang Patibroto yang agaknya mengikuti gerak mata dan sikap suaminya. Hatinya lega bukan main melihat suaminya dalam keadaan sehat selamat dan hanya hal inilah yang terasa di hatinya. Yang lain-lain tidak ia hiraukan. Cepat Endang Patibroto membelejeti (menanggalkan) pakaian luar seorang di antara para petugas tahanan yang tubuhnya sama besar dengan tubuh suaminya, kemudian membantu suaminya mengenakan pakaian itu. Pada saat itu, terdengar pintu depan digedor-gedor dari luar. Teriakan perwira menggema ke dalam rumah tahanan,
"Haii! Penjaga-penjaga di dalam, apakah kalian tuli? Ataukah tertidur? Keparat, hayo buka pintu ini...!!"
Endang Patibroto memegang lengan suaminya. "Cepat, pangeran." Ia menarik lengan suaminya melalui ruangan dalam, terus menuju ke jendela yang jerujinya sudah ia buka tadi. Dari belakang jendela itu terdengar suara hiruk-pikuk para perajurit dan pintu depan kini digedor-gedor dengan kerasnya, bahkan mulai didorong oleh banyak perajurit.
"Cepat, kakanda. Melalui jendela ini!" bisik Endang Patibroto.
"Tapi.... tapi di luar banyak perajurit, yayi. Bagaimana engkau...?"
Di dalam hatinya Endang Petibroto terharu. Dalam keadaan seperti itu, suaminya masih mengkhawatirkan dirinya, tidak menghiraukan diri sendiri. Sama pula dengan dia, baginya mati tidak apa-apa asal suaminya selamat!
"Jangan khawatir, kakanda sayang, adinda melindungi." Endang Patibroto kini mengerahkan Aji Gelap Musti memukul ke arah jendela dan...
"krekkk!" jeruji-jeruji itu patah-patah semua.
"Mari kugendong, pangeran, agar kita dapat lari lebih cepat, menggunakan ajiku Bayu Tantra!"
Pangeran Panjirawit maklum akan kesaktian isterinya, maklum bahwa dalam usaha melarikan diri ini sepenuhnya tergantung dari tenaga isterinya. Ia lalu merangkul pundak isterinya dari belakang, membiarkan dirinya digendong, mengempit pinggang yang ramping itu dengan kedua kakinya. Mulutnya berbisik di dekat telinga isterinya,
"Aku sudah siap.... mati bersama...."
"Tidak, kita hidup bersama, suamiku" bisik Endang kembali, kemudian ia melangkah mundur tiga tindak lalu mengerahkan Aji Bayu Tantra dan tubuhnya melesat melalui jendela. Daun jendela itu tertabrak dan terbuka lebar. Pangeran Panjirawit sungguhpun sudah yakin akan kesaktian isterinya, tak dapat tidak menjadi kagum sekali ketika tubuhnya diterbangkan melalui lubang jendela yang tidak berapa lebar, begitu tepat dan hanya sedikit pundaknya menyentuh pinggir jendela!
Di luar para perajurit masih sibuk memadamkan api dan sebagian pula mendongkrak pintu depan rumah tahanan. Ketika melihat munculnya seorang perajurit muda menggendong seorang berpakaian penjaga, mereka tertegun dan terbelalak heran. Akan tetapi ketika tubuh perajurit itu meloncat jauh dan mereka mengenal wajah si penjaga yang digendong, berteriak-teriaklah mereka.
"Pangeran lolos...! Kepung....! Tangkap..."
Segera banyak perajurit menghadang dengan tombak dan pedang di tangan. Endang Patibroto sudah menduga bahwa ia harus bertanding mati-matian, tidak membuang banyak waktu, kaki tangannya bergerak dan empat orang perajurit roboh. la tidak biasa menggunakan tombak, maka tombak tadi kini ia serahkan kepada suaminya, sedangkan ia sendiri menyambar sebatang pedang lawan yang ia robohkan.
Mulailah Endang Patibroto mengamuk. Suaminya yang berada di punggungnya juga menggerakkan tombak ke kanan kiri merobohkan perajurit yang datang dari jurusan ini. Biarpun punggungnya menggendong Pangeran Panjirawit, namun gerakan Endang Patibroto masih amat lincah dan ganas.
Pedangnya berkelebat, bergulung-gulung sinarnya dan banyak perajurit roboh. Akan tetapi, makin banyak yang roboh, makin banyak pula yang datang, seperti semut mengeroyoknya dan teriakan-teriakan mereka amat bising. Endang Patibroto mulai khawatlr, mengkhawatirkan suaminya, ia dapat mengamuk lebih leluasa, akan tetapi takut kalau-kalau suaminya terpisah dan terluka.
"Pangeran, buang tombak dan pegang erat-erat!" bisiknya.
Biarpun Pangeran Panjirawit tak mengerti mengapa ia harus membuang tombak, namun percaya penuh kepada isterinya, ia melemparkan tombaknya dan memeluk leher isterinya erat-erat.
"Awas, pangeran!" bisik Endang Patibroto.
Dengan pedangnya ia menyapu dengan gerakan tiba-tiba sehingga lima enam orang prajurit yang tak menyangka-nyangka wanita itu akan berjongkok dan menyapu ke bawah, roboh dengan kaki buntung atau setengah buntung terbabat pedang! Dan tiba-tiba bagaikan seekor burung, Endang Patibroto sudah mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuhnya ke atas genteng rumah tahanan! Akan tetapi sebelum kakinya menginjak genteng, belasan batang anak panah menyambar dari depan seperti hujan!
"Celaka.... awas anak panah, Endang...!" Pangeran Panjirawit berteriak cemas. Akan tetapi kembali ia kagum bukan main karena biarpun tubuhnya masih melayang di udara, namun dengan memutar pedang sampai pedang itu mengeluarkan bunyi mengaung, semua anak panah dapat dipukul runtuh. Bahkan tangan kirinyapun menyambar dan dua batang anak panah dapat ditangkapnya.
Tubuhnya terus ke depan sambil tangan kiranya bergerak menyambitkan anak panah ke depan. Terdengar, teriakan dua orang pemanah yang dadanya termakan senjata sendiri. Kini Endang Patibroto sudah turun ke atas genteng. Segera la dikeroyok oleh belasan orang pengawal yang memiliki ilmu silat lumayan. Di sini Endang Patibroto mengamuk lagi, dalam waktu singkat merobohkan lima orang pengeroyok dengan pedangnya.
Akan tetapi kini banyak pengawal dan perwira yang berkepandaian sudah berlompatan naik ke atas genteng. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang. Endang Patibroto yang sudah banyak pengalamannya bertempur di waktu mudanya, mengerti bahwa tidak akan mungkin dapat melayani mereka semua. Sedangkan kini fajar hampir menyingsing. Kalau malam sudah berganti pagi, tidak mungkin lagi dapat melarikan diri keluar dari kota raja. Ia harus dapat melarikan suaminya sekarang juga. Harus!
"Kakanda, tutup telinga kakanda keduanya..." Ia berbisik dan maklumlah Pangeran Panjirawit bahwa isterinya hendak menggunakan Aji Sardulo Bairowo. Ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi sepasang telinganya. Benar saja, Endang Patibroto lalu mengeluarkan suara pekik dahsyat, melengking tinggi mengatasi semua suara hiruk-pikuk para perajurit!
Semua pengeroyoknya yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu terkejut, bahkan ada delapan orang yang tidak dapat menahan, roboh bergulingan di atas genteng terus jatuh ke bawah! Yang lain-lain tersentak mundur, kaget dan ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Endang Patibroto untuk mengerahkan tenaga meloncat ke atas genteng bangunan yang berdekatan, yaitu bangunan dapur istana. Banyak anak panah mengaung dan bercuitan di kanan kiri, bawah dan atasnya. Akan tetapi tidak sebuahpun mengenainya.
Tiba-tiba Endang Patibroto merasa betapa tubuh suaminya di atas punggungnya menegang.
"Ada apa, pangeran?"
"Ti.... tidak apa-apa..." Suaminya mengerang ditahan. "Lekas pergi, Endang, lekas...!"
Dengan hati berdebar Endang Patibroto mempercepat larinya. Para pengejarnya tertinggal jauh dan anak-anak panah tidak dapat mencapainya lagi. Ia amat khawatir. Apakah suaminya menjadi gentar? Akan tetapi kini selamatlah sudah. la mempercepat pula larinya dan sebentar saja ia sudah berhasil keluar dari dinding kota raja, terus berlari menuju ke selatan.
"Kita selamat dan bebas, pangeran...!" bisiknya sambil lari terus.
"syukurlah.... mari kita istirahat, isteriku...!"
"Nanti, kakanda. Biar jauh dulu..." Endang lari terus, masih amat cepat larinya sehingga bagaikan terbang saja layaknya. Dusun-dusun dilalui, hutan-hutan dan sementara itu, angkasa sudah mulai merah, terbakar sinar sang surya.
"Endang.... nimas.... berhentl dulu ..... aku.... aku tak kuat...."
Endang Patibroto menghentikan larinya dengan tiba-tiba, wajahnya pucat, matanya terbelalak, hampir tidak berani ia menurunkan suaminya, tidak berani melihat suaminya. Jangan-jangan....!
"Paduka.... paduka.... kenapa... kakanda...?"
"ughh, terluka... anak panah...."
Endang Patibroto menahan isak, lari ke sebuah gubuk di tengah sawah yang berada tak jauh dari situ. Kemudian la menurunkan suaminya yang ternyata sudah lemas tubuhnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan cemas hatinya ketika melihat punggung suaminya tertancap anak panah.
"Kakanda... !" Ia menjerit, merebahkan suaminya ia sendiri berlutut memeriksa. Seluruh bulu di tubuhnya berdiri ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap dalam sekali, hampir sampai ke gagangnya, agaknya menembus celah-celah tulang iga. "Kakanda pangeran....!!" kembali ia menjerit dan memeluk, menangis terisak-isak.
Sebagai seorang ahli, sekali pandang tahulah ia bahwa suaminya takkan dapat tertolong lagi. Anak panah itu menancap amat dalam, menembus bagian yang penting. Kalau dicabut, tentu akan mempercepat suaminya meninggalkannya. "Aduh, pangeran....suamiku.... bagaimana...??"
Pangeran Panjirawit meraih leher isterinya sehingga tubuh Endang Patibroto kini juga rebah di sampingnya, miring beradu muka. Diciumnya mulut isterinya, dihisap air matanya, tangannya mengelus-elus rambut, mulutnya berbisik,
"Isteriku, mutiara hatiku.... ingatkah engkau akan pembicaraan kita tentang takdir? Mati hidup manusia dalam tangan Hyang Widhi..."
Endang Patibroto memandang suaminya dan mellhat bahwa mulut itu tersenyum! Ah, hampir ia lupa bahwa suaminya menghadapi maut, bahwa mereka berada di gubuk sawah. Rebah beradu muka seperti ini mebuat ia merasa seakan-akan mereka masih di dalam istana, tidur di atas pembaringan, rebah miring beradu muka, bercengkerama, bersendau gurau, bermain cinta mencurahkan kasih sayang.
"Kakangmas pangeran....!" Ia menjerit lagi dan merangkul leher suaminya, mendekap muka itu ke atas dadanya, seakan-akan ia hendak membenamkan muka itu ke dalam dasar hatinya, menjadi satu dengan dirinya, takkan dilepaskan lagi. "Ah, semua gara-garaku, kakanda.... paduka tertimpa bencana karena hamba....!"
Dengan muka masih terbenam di dada isterinya, Pangeran Panjirawit berbisik, "Hushhh, aku tak pernah menyalahkan engkau, jiwaku. Apapun yang kau lakukan, aku akan berpihak kepadamu, apapun juga yang kau lakukan...!"
Biarpun ucapan ini menunjukkan kasih sayang yang tiada batasnya, namun menusuk perasaan Endang Patibroto karena mengandung pula kepercayaan bahwa dia telah bertindak salah. Maka cepat-cepat ia berkata, "Suamiku, dengarlah baik-baik. Betapapun juga, isterimu tidak melakukan hal-hal yang jahat. Dengarlah...."
"Aku percaya, Endang...."
"Tapi harap paduka mendengarkan... beginilah sebenarnya yang terjadi."
Dengan suara mengandung isak Endang Patibroto menceritakan betapa ia telah berhasil mencari si pembunuh gelap yaitu Wiku Kalawisesa, betapa ia bahkan telah berhasil membunuh si laknat dan mengorek rahasia dari mulutnya, betapa kakek itu mengaku bahwa ia bersekutu dengan Pangeran Darmokusumo yang bermaksud jahat, hendak memberontak.
"Nah, hamba memang menyerbu ke sana. Akan tetapi hanya untuk menawannya dan untuk memaksanya mengaku. semua perbuatan dan dosanya di depan sang prabu, akan tetapi... hamba... Hamba gagal....
"Nimas..... aku percaya.... augghh.... dekaplah aku, nimas, dekaplah aku erat-erat..."
Hati Endang Patibroto bagaikan ditusuk-tusuk keris berkarat. Didekapnya suaminya, diciuminya. "Kakangmas... aku tahu.... kakangmas tak mungkin dapat disembuhkan lagi..."
"Ooohhh, kekasihku... jadi kau sudah tahu....? Susahkah hatimu, sayang..."
Endang Patibroto mencium lagi. "Tidak, pangeran, karena kita akan berangkat bersama. Hamba akan ikut, ke mana juapun paduka pergi. Ingat akan kata-katamu tadi, kakangmas? Kita mati bersama!"
Tiba-tiba tubuh yang sudah lemas itu bertenaga lagi, dekapannya amat kuat dan terdengar pangeran itu mengguguk, menangis!
"Mengapa, suamiku? Jangan takut, kematian bukan apa-apa, dan lagi, hamba berada di samping paduka...!!"
"Tidak! Tidak...!! Sekali lagi tidak...!" Pangeran itu mencengkeram pundak Endang Patibroto seakan-akan hendak menarik tenaga dari isterinya.
"Betapapun hancur hatiku oleh perpisahan ini, namun tidak! Engkau tidak boleh ikut bersamaku.... aku tidak rela membiarkan isteriku membunuh diri...."
Endang Patibroto tersenyum, air matanya masih bercucuran. "Suamiku, kakanda pujaan hati; lupakah kakanda akan nama hamba? Hamba adalah Endang Patibroto? Ingat, kakanda, Patibroto? Hamba adalah seorang isteri yang setia, yang siap sedia dengan segala kesenangan hati untuk ikut mati bersama suaminya!"
"Tidak! Endang, isteriku. Aku akan mati penasaran! Rohku akan menjadi setan gentayangan kalau kau membunuh diri! Aku tidak suka. Tidak suka!!"
Pangeran itu memekik-mekik keras. Pucat wajah Endang Patibroto, kaget hatinya dan ia bangkit duduk. Dipegangnya wajah suaminya, dipandangnya baik-baik dan ia mendapat kenyataan bahwa suaminya masih sadar sepenuhnya.
"Apa... apa maksud paduka... Kembali tubuh pangeran itu menjadi lemas, napasnya terengah-engah karena tadi dikuasai nafsu amarah.
"Endang.... kalau benar kau mencintaku... sepenuh jiwa raga seperti aku mencintamu.... kau mutiara hatiku.... sebelum aku mati.... agar aku dapat mati tenang, kau berjanjilah untuk memenuhi pesanku ini, yaitu... kau jangan ikut, jangan membunuh diri... kau berjanjilah, sayang... demi cintaku... !!"
Jantung Endang Patibroto serasa dikerat-kerat, perih dan sakit. Air matanya membanjir, ia terisak-isak, sesenggukan, tersedu-sedan dan tidak dapat menjawab untuk beberapa lamanya. Ia maklum bahwa suaminya tidak ingin melihat ia mati membunuh diri dan.... tiba-tiba ia teringat bahwa kalau ia mati, siapakah yang akan membalas dendam ini kepada Pangeran Darmokusumo? Teringat akan pangeran yang menjadi biang keladi kematian suaminya ini, timbul semangatnya untuk hidup, dan ia menggangguk sambil berkata,
"Hamba berjanji, kakangmas..."
"Aahhh, terima kasih, Endang. Kini lega hatiku. Ke sinilah, adinda.... mendekatlah engkau, kekasih...!"
Kembali Endang Patibroto rebah berhadapan muka, berpelukan, berbisik-bisik seperti pengantin baru.
"Endang... ingatkah engkau... Dahulu... ketika kita berpengantinan..?"
"Aduhhh.... kakanda..." Endang Patibroto menjerit dari dasar hatinya, tubuhnya menggigil saking sakit hatinya mendengar ucapan itu.
"Eh-eh, biarkan aku mengenangkan kembali peristiwa itu, manis. Biarkan aku mati membawa kenangan masa kita berpengantinan. Ahhh.... mula-mula.... engkau tidak suka kudekati... engkau seperti hendak menolakku..."
"Kakangmas..."
"Aku tahu.... tadinya engkau tidak mencinta.... akan tetapi.... oh, akhirnya cinta kasihku yang murni dan sepenuh jiwa raga... ha-ha, meruntuhkan juga hati bajamu.... mencairkan gunung es.... dan kau menjadi panas membara.... kau menjadi kawah Gunung Bromo.... sampai nanar aku oleh cintamu, nimas.... sampai mabuk aku..... mabuk kebahagiaan.... ah, tiada wanita keduanya sepertimu, adindaku...." Tangan Pangeran Panjirawit membelai-belai, bibirnya mencium-cium, pandang matanya mesra.
Terisak-isak Endang Patibroto. "Kakanda, hamba bersumpah.... sungguhpun amat berat hamba harus hidup menyendiri, paduka tinggalkan.... hamba takkan membunuh diri, hamba akan menanti maut seperti ditakdirkan Hyang Widdhi.... akan tetapi... paduka sabarlah.... sabarlah menanti hamba...!!
"Endang.... auugghhh... terlalu lama kutahankan.... tak kuat lagi aku..... Endang Patibroto, isteriku, ciumlah.... ciumlah..."
Sambil menangis sesunggukan Endang Patibroto menangkap kedua pipi suaminya, lalu mencium mulut yang terengah-engah itu, mencium mesra sepenuh hatinya. Tiba-tiba ia merasa betapa tubuh suaminya mengejang, mengerang dan menghembuskan napas panjang. Endang Patibroto merasa dunia berputar, pandang matanya gelap, akan tetapi ia meramkan mata, tidak melepaskan ciuman, menyedot dari mulut suaminya, seakan hendak menghisap napas terakhir itu.... terasa darah.... darah suaminya.... terasa pelukan tangan suaminya mengendur, lepas, tampak suaminya tersenyum, lalu segala berputaran, gelap, lalu merah, seribu bintang menari.... dan iapun tidak ingat apa-apa lagi.
Endang Patibroto pingsan dengan tubuh masih menelungkupi mayat suaminya, bibir mereka masih saling menempel, kedua tangan Endang Patibroto merangkul leher. Angin pagi yang bertiup di sawah itu menerobos memasuki gubuk, menggerak-gerakkan rambut Endang Patibroto yang tadi dilepas sanggulnya oleh suaminya dan yang kini menyelimuti tubuh mereka berdua.
Wajah mayat Pangeran Panjirawit tersenyum, matanya setengah terbuka, seperti mata orang mengantuk, seperti matanya kalau sedang bercinta dengan isterinya. Ia tidak nampak seperti mati, melainkan seperti orang tidur bermimpi indah, mimpi bercumbu rayu dengan isteri tercinta. Anak panah yang menancap di punggungnya kini membengkok karena tertindih tubuhnya ketika melepaskan napas terakhir dan tubuhnya yang miring menjadi terlentang.
Endang sadar, serasa bangun dari mimpi buruk. Membuka mata. Ah, suaminya masih tidur seperti biasa. Suaminya akan bangun agak siang seperti biasa, tidur kelelahan, dengan wajah membayangkan kelelahan dan kepuasan, kebahagiaan yang nikmat, Endang Patibroto tersenyum. Melihat wajah yang puas dan bahagia itu mendatangkan nikmat luar biasa di dalam hatinya. Ah, ia harus cepat bangun, menyediakan santapan pagi untuk suaminya. Biar banyak abdi dalam di situ, ia selalu menyediakan santapan suaminya dengan tangannya sendiri, pekerjaan ini amat menyenangkan hatinya seperti menyiapkan pakaian, membereskan pembaringan, tak boleh pelayan melakukannya, dilakukan sendiri dengan kasih sayang. Ia menunduk dan mencium perlahan dan.... matanya terbelalak, lehernya serasa dicekik dan dalam sekejap mata teringatlah ia kembali, datanglah semua itu seperti cahaya kilat menyambar.
"Aduh.... kakanda...!!" la menjerit, masih tidak percaya, memandang anak panah di punggung, meraba-raba wajah suaminya, meraba dada, pergelangan tangan sampai ia yakin bahwa suaminya benar-benar telah meninggalkannya. "kakanda pangeran.... suami hamba...!" Ia memeluk tubuh itu, menangis sampai mengguguk, merintih, mengerang seperti orang tersiksa hebat.
"Tangkap....! Tangkap...!!
Bagaikan seekor harimau betina marah, Endang Patibroto yang sedang menangis mengguguk itu membalikkan tubuh. Wajahnya yang pucat penuh air mata amat beringas, rambutnya masih terurai riap-riapan, matanya bersinar-sinar kemarahan. la melihat tiga belas orang perajurit mengepung gubuknya, dengan tombak dan pedang ditodongkan, seperti para pemburu mengurung seekor harimau yang sudah tersudut.
Sejenak Endang Patibroto menyapu mereka dengan pandang mata, kemudian menoleh ke wajah suaminya yang tersenyum. Inilah! Ya, untuk inilah suaminya tidak menghendaki ia ikut mati. Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya mencelat keluar gubuk. Bagaikan angin puyuh tubuhnya bergerak, berputaran di antara para pengepung yang cepat menggerakkan senjata masing-masing. Terdengar tombak-tombak patah, pedang-pedang beterbangan, jerit-jerit kesakitan dan dalam waktu sebentar saja tiga belas orang perajurit itu sudah menggeletak mati semua di tengah sawah!
"Hayoh, majulah semua perajurit Jenggala dan Panjalu! Amuk-amuk suramrata jayamrata! Inilah Endang Patibroto, isteri Pangeran Panjirawit!" Ia menebak-nebak dada, matanya liar memandang, kemudian la melihat penduduk kampung di dekat sawah itu berbondong-bondong keluar karena mendengar ribut-ribut. Melihat mereka ini, Endang Patibroto yang sudah menggila saking marah dan duka, segera meloncat menyambut mereka. Seorang laki-laki tinggi besar yang berada paling depan ditangkapnya seperti seekor burung rajawali menangkap anak ayam, diangkatnya ke atas, diputar-putarnya sehingga penduduk kampung itu kaget dan gentar. Lalu dibantingnya laki-laki itu sampai pecah kepalanya. Endang Patibroto mengamuk dan penduduk kampung Itu tersebar cerai-berai seperti gabah diinteri!
"Wanita gila mengamuk!"
"Bukan! Dia siluman"
"Iblis mengamukl"
Penduduk kampung melarikan diri dan beberapa orang yang kurang cepat menjadi korban amukan Endang Patibroto. Setelah dusun itu kosong, Endang Patibroto kembali ke gubuk dan menangisi mayat suaminya. la tidak tahu bahwa semua gerak-geriknya diikuti orang-orang dari jauh. Itulah pasukan Blambangan yang dipimpin Raden Sindupati.
Kini dari tempat sembunyinya, tidak jauh dari gubuk Itu, Raden Sindupati menyaksikan gerak-gerak Endang Patibroto, kagum melihat wanita itu membunuh tiga belas orang perajurit Jenggala yang hendak menangkapnya, dan ngeri menyaksikan Wanita itu mengamuk ke dusun membuat semua penghuni dusun lari cerai-berai.
Namun ia masih belum yakin benar akan tingginya ilmu kepandaian Endang Patibroto. Ketika Endang Patibroto menyerbu tempat tahanan dan membebaskan suaminya, ia tidak berani membawa pasukannya masuk ke kota raja, hanya menanti di luar dinding, sehingga ia tidak melihat sepak terjang wanita sakti itu yang menggiriskan.
"Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko, kalian ikut bersamaku menghadapinya" katanya tenang.
Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi pucat wajahnya. "Tapi... tapi..." mereka meragu, hati mereka giris menyaksikan kehebatan wanita itu yang tidak saja sudah membunuh Wiku Kalawisesa, juga telah berani menyerbu Panjalu malah berhasil membebaskan suaminya dari keraton Jenggala dan baru saja membunuhi tiga belas orang perajurit danpenduduk kampung.
"Hemm, beginikah sikap prajurit? Takut apa? Aku di samping kalian, dan juga ini hanya siasat. Paman Brejeng, kalau kau melihat kami terdesak, kau dan semua kawan maju, lakukan apa yang sudah kupesan padamu."
Raksasa tua Ki Brejeng hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang ke arah gubuk dengan pandang mata termenung, seperti orang sedih. Dengan langkah tegap yang membesarkan hati Klabangkoro dan Klabangmuko, Sindupati menghampiri gubuk. Dilihatnya Endang Patibroto masih menangisi mayat suaminya. Ia lalu berdiri tegak dan menegur,
"Teja-teja sulaksana! Siapakah gerangan andika, seorang wanita cantik menangis seorang diri di antara sekian banyaknya mayat?"
Endang Patibroto yang sedang menangis dan memeluki tubuh suaminya, mengangkat muka dan menengok. Matanya membendul merah karena tangis, kini mengeluarkan sinar yang beringas dan liar. Sejenak ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya, membuat Klabangkoro undur dan ngeri, kemudian Endang Patibroto turun dari gubuk itu dan berkata, suaranya serak karena terlalu banyak menangis,
"Semua orang harus mati, mengikuti suamiku!" bentaknya sambil melangkah maju.
Sindupati tersenyum, senyumnya yang selalu dapat meruntuhkan hati wanita, baik ketika ia masih muda menjadi senopati di Jenggala dahulu maupun sekarang setelah ia berada di Blambangan. Banyak wanita Blambangan, termasuk puterl adipati sendiri, jatuh hatinya oleh senyum itu. Akan tetapi Endang Patibroto hanya memandang dengan mata mendelik marah.
"Aih-aihh, tidak begitu mudah, wong ayu!" katanya sambil siap karena maklum betapa saktinya wanita ini.
Endang Patibroto mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya sudah menerjang, dengan tangan kanan menghantam arah kepala Sindupati. Lawannya mundur sambil mengerahkan tenaga mengibas, menangkis.
"Dukkkl"
Raden Sindupati terhuyung mundur sampai tiga langkah, terkejut bukan main karena lengan wanita itu mengeluarkan tenaga dahsyat dan hawa panas. Juga Endang Patibroto terheran. Laki-laki itu dapat menangkis pukulannya Gelap Musti? Baik, makin tangguh lawannya makin baik, pikirnya dan timbul kegembiraannya bertanding. la lalu menerjang lagi. Kali ini Sindupati mengelak dengan gerakan yang cepat sekali sehingga kembali Endang Patibroto tertegun.
Pada saat itu, sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau, dari kanan kiri Klabangkoro dan Klabangmuko menerjang maju, menghantam dengan kepalan tangan mereka sebesar buah kelapa muda! Antep dan keras sekali pukulan mereka, seperti serudukan celeng (babi hutan). Namun dengan cekatan Endang Patibroto dapat mengelak, bahkan menyambar dan berhasil menepuk pundak Klabangkoro dengan ujung jari tangan.
Biarpun hanya menepuk karena tangannya tidak sampai, namun ujung-ujung jari itu mengandung Aji Pethit Nogo, maka tubuh Klabangkoro terguling masuk ke selokan, mukanya berlumur lumpur! Ia kaget dan terbelalak, lalu marah dan bangkit kembali Klabangmuko, seperti kakaknya, memilik aji kekebalan Lindungseto sehingga tidak tedas tapak paluning pande sisaning gurindo (tidak mempan senjata tajam), akan tetapi tepukan jari tangan Endang Patibroto membuat kulit pundaknya pedas panas dan tulang pundaknya linu!
Pertandingan itu berlangsung seru. Sepak terjang Klabangkoro dan Klabangmuko seperti dua ekor celeng goteng yang marah membabi-buta, tenaga mereka besar dan pukulan-pukulan mereka walaupun tidak akan menimbulkan luka dalam, namun cukup berbahaya bagi kulit Endang Patibroto yang halus. Adapun Sindupati gerakannya amat cepat, bagaikan seekor trenggiling, adakalanya bergulingan dan memang dia adalah ahli Aji Trenggiling Wesi, semacam ilmu silat mendasarkan gerakan bergulingan kemudian dari bawah mengirim tendangan-tendangan kilat atau kadang-kadang meloncat dan mengirim pukulan-pukulan ampuh.
Endang Patibroto makin gembira. Sudah lama ia tidak bertemu tanding yang tangguh. Wiku Kalawisesa tidak termasuk lawan yang tangguh mengenai ilmu berkelahi, sungguhpun ilmu hitam kakek hitam Itu berbahaya. Kini Endang Patibroto menggunakan ilmunya, gerakannya seperti burung walet, kedua tangannya mengandung aji yang amat ampuh, yang kanan terkepal mengandung Aji Gelap Musti ajaran Dibyo Mamangkoro, yang kiri terbuka, jari-jarinya mengandung Aji Pethit Nogo ajaran kakeknya, mendiang Resi Bhargowo! Hebat bukan main gerakannya, cepat tak dapat diikuti pandang mata, hanya tampak bayangannya berkelebat menyambar ke sana ke mari.
Tiga orang tokoh Blambangan itu terdesak hebat. Klabangkoro roboh terguling-guling ketika kena serempet pukulan Gelap Musti, untungnya hanya terserempet pada pundaknya saja, akan tetapi tulang pundak serasa remuk. Klabangmuko juga roboh terpental oleh tendangan kaki Endang Patibroto, untung Aji Lindungseto membuat ia tidak terluka. Raden Sindupati yang dianggap lawan terberat oleh Endang Patibroto didesak sampai tak mampu balas menyerang. Betapapun tubuhnya bergulingan, selalu dikejar dan dibayangi pukulan-pukulan maut sehingga ia terengah-engah dan wajahnya berubah pucat.
Tiba-tiba sinar terang menyambar dari kiri. Endang Patibroto maklum bahwa lawannya menggunakan senjata. Golok di tangan Klabangkoro yang menyambar itu dielakkan dan terpaksa ia mengurangi tekanannya pada Sindupati karena pada saat yang hampir bersamaan, golok Klabangmuko juga menyambar, membabat ke arah pinggangnya. Dua serangan sekaligus. Ia mengelak, miringkan tubuh dan meloncat ke atas ketika golok ke dua membabat pinggang.
Dari atas ia lalu menerjang Sindupati yang sudah mencabut kerisnya. Keris ini mengeluarkan sinar hijau, keris Nogo kikik berlekuk tujuh dengan gandhik berbentuk kepala anjing serigala. Ada hawa dingin terbawa oleh keris ini. Namun Endang Patibroto sudah menggerakkan kakinya dari depan membuat gerakan melingkar, kemudian dari samping ia menendang dengan tumit kakinya mengenai pergelangan tangan lawan. Sindupati berseru keras dan meloncat menghindarkan tangannya, akan tetapi tusukannya gagal.
Baru saja kaki Endang Patibroto sudah menginjak tanah, kembali dua buah golok menyambar, menyilang dari kanan kiri. Endang Patibroto membiarkan dirinya terancam golok, agaknya ia memang memasang diri untuk dimakan golok yang menyambar dari kanan kiri! Sesuai dengan rencana Sindupati, memang sedapat mungkin kakak beradik itu akan membunuh Endang Patibroto. Kalau ternyata wanita itu terlalu sakti dan kuat, barulah dijalankan siasat selanjutnya. Maka kini melihat betapa golok mereka agaknya akan berhasil mengenai sasaran, kedua kakak beradik ini menjadi girang sekali.
Merupakan pantangan bagi ahli silat untuk terlalu terburu nafsu dan terseret perasaan. Takut, gentar atau girang mabuk kemenangan merupakan titik-titik kelemahan. Karena kegirangan ini, Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi kurang waspada, tidak dapat melihat bahwa wanita itu agaknya sengaja memasang diri untuk dimakan golok dari kanan kiri, suatu hal yang sama sekali tidak wajar dalam perkelahian.
"Awasss....!" teriak Sindupati yang lebih matang dalam siasat pertempuran, namun terlambat. Pada setengah detik terakhir, Endang Patibroto yang berada di tengah itu merendahkan diri, kedua tangannya menangkap ke atas, tepat pada pergelangan tangan kedua lawan yang memegang golok, meminjam tenaga bacokan mereka menarik mereka saling bacok sendiri dan pada detik berikutnya, ia menggantung pada kedua lengan sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri kanan, tepat mengenai perut gendut kedua lawan.
"Blekk! Blekk!!"
"Aduuhh...! Auggh...!" Kedua orang raksasa Blambangan itu terjengkang ke belakang, golok terpental dan pundak mereka berdarah terkena bacokan saudara sendiri! Masih untung bahwa kekebalan mereka membuat golok itu meleset dan hanya melukai kulit dan sedikit daging pundak, akan tetapi tendangan pada perut itu membuat perut mereka seketika mules sekali. Mereka menggeh-menggeh (terengah-engah) memegangi perut sambil menyeringai seperti kuda kedinginan.
Endang Patibroto hendak menerjang Sindupati, akan tetapi orang itu sudah mengangkat tangan kanan ke atas danEndang Patibroto menunda serangannya, melihat dengan mata tajam ke arah pasukan sebanyak puluhan orang yang datang berbondong-bondong dari tempat sembunyi.
"Bagus! Lebih banyak yang mati menjadi pengiring suamiku lebih baik!" bentak Endang Patibroto dan tubuhnya sudah siap menerjang.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba terdengar suara parau besar dan majulah seorang raksasa yang tubuhnya amat kuat dan kokoh, sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Gusti Endang Patibroto.... Gusti puteri....! Ah, kiranya padukakah ini?"
Endang Patibroto memandang dengan mata merah. Ia merasa kenal dengar raksasa ini akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan. Dengan wajah dingin ia membentak, "Siapa engkau?"
Ki Brejeng lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Duhai gusti puteri Endang Patibroto...! Lupakah paduka kepada hamba? Hamba Ki Brejeng...."
Berkerut kening Endang Patibroto. Nama inipun tidak asing baginya. "Brejeng.....?" Suaranya berbisik.
"Ya, hamba Ki Brejeng, pelayan guru paduka, Senopati Dibyo Mamangkoro....! Lupakah paduka ketika di Pulau Iblis hamba mengajak paduka bermain-main....?"
Teringatlah kini Endang Patibroto, matanya berkejap-kejap memandang penuh perhatian, terbayang semua peristiwa ketika ia masih kecil dahulu, bersama gurunya Dibyo Mamangkoro. Ya, Ki Brejeng temannya bermain-main di pulau itu.
"Gusti puteri, kita orang-orang sendiri, bukan musuh... Ah, kenapa gusti sampai menjadi begini....?"
Mendengar suara yang menyatakan belas kasihan ini, tak tertahan lagi air mata Endang Patibroto jatuh berderai, ia terhuyung maju, berlutut di depan Ki Brejeng lalu merangkul pundak raksasa itu, menaruh muka pada dada yang bidang itu sambil menangis.
"Aduh.... paman Brejeng... !!" keluhnya.
Ki Brejeng merangkul pundak wanita Itu, menepuk-nepuk punggungnya, teringat ia dahulu ia seringkali mengendong wanita itu di waktu masih kecil dan tak terasa lagi sepasang mata raksasa yang keras hati ini menjadi basah. Setelah tangis Endang Patibroto mereda, Ki Brejeng lalu berkata halus dan parau,
"Tenanglah, gusti puteri dan mari saya perkenalkan dengan kawan-kawan ini. Sudah lama semenjak guru paduka tewas, hamba melarikan diri ke Blambangan dan bekerja mengabdi pada Adipati Blambangan. Hamba ikut dengan pasukan Blambangan ini, di bawah pimpinan Raden Sindupati untuk menyelidiki keadaan Panjalu dan Jenggala. Marilah gusti...."
Endang Patibroto bangkit berdiri dan Raden Sindupati cepat melangkah maju lalu member! hormat.
"Ah, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami. Sungguh saya menyangka bahwa andika adalah puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal di seluruh dunia! Melihat andika bersama mayat-mayat perajurit Jenggala, kami mengira andika adalah musuh. Maafkan saya Sindupati dari Blambangan."
Kalau tidak ada Ki Brejeng di situ, tentu Endang Patibroto tidak sudi berbicara dengan orang-orang Blambangan. Sikapnya masih angkuh ketika ia bertanya.
"Hemm, kalian orang-orang Blambangan mengapa berada di sini?"
Raden Sindupati tersenyum dan kembali memberi hormat. "Seperti telah dikatakan paman Brejeng tadi, kami bertugas untuk menyelidiki keadaan Jenggala dan Panjalu dan kami banyak mendengar hal-hal aneh sekali yang membayangkan betapa kacau keadaan Jenggala! Hamba mendengar betapa Raja Jenggala menangkap puteranya sendiri, tanda bahwa Kerajaan Jenggala sudah mendekati kehancuran! Blambangan sudah lama mencita-citakan untuk menyerbu Jenggala, membalas atas penumpasan Adipati Nusabarung."
Akan tetapi mendengar peristiwa suaminya disebut-sebut, Endang Patibroto teringat akan suaminya dan ia berkata, "Suamiku, Pangeran Panjirawit telah meninggal dunia...."
"Ya Jagad Dewa Bathara....!" Raden SIndupatl berseru kaget dan di dalam suaranya terkandung iba hati. Akan tetapi Endang Patlbroto sudah menangis lagi dan lari memasuki gubuk, tidak memperdulikan lagi kepada pasukan Blambangan. Raden Sindupati lalu memberi isyarat kepada Ki Brejeng yang menghampirinya, lalu raksasa Itu dibisiki. Ki Brejeng berulang-ulang mengangguk, kemudlan perlahan-lahan memasuki gubuk. Dia memang kasihan kepada Endang Patibroto, maka suaranya menggetar ketika berkata,
"Gusti puteri, yang sudah mati tidak perlu terlalu ditangisi, tidak baik untuk perjalanan ke alam asal. Lebih baik kita merawat dan melakukan penyempurnaan jenazah gusti pangeran suami paduka. Biarlah, serahkan saja kepada Ki Brejeng dan kawan-kawan dari Blambangan, gusti. Percayalah, Ki Brejeng tidak akan menipu paduka, tidak akan membikin susah paduka."
"Aduh... paman Brejeng..." kembali Endang Patibroto menangis mengguguk, akan tetapi ia tidak membantah ketika Ki Brejeng memegang pundaknya dan menariknya keluar dari gubuk.
Kemudian Ki Brejeng yang dibantu Sindupati dan anak buahnya lalu membersihkan jenazah Pangeran Panjirawit, mencabut anak panah dan membereskan pakaiannya. Kebetulan sekali di situ terdapat gubuk itu, mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu mereka semua bermuja samadhi untuk menghormat dan mengantar roh yang mati ke alam akhir.
Semua upacara ini diikuti oleh Endang Patibroto dengan hati penuh keharuan. Akhirnya, ketika api dinyalakan, gubuk dibakar di mana terdapat suaminya, ia menangis lagi mengguguk memanggil-manggil nama suaminya. Semangatnya seakan-akan ikut terbang melayang bersama asap putih yang membubung tinggi.
Sementara itu Ki Brejeng yang menemani dan mendekati Endang Patibroto mulai membujuk Endang Patibroto. la bertanya apa sebenarnya yang sudah terjadi. Karena pada saat seperti itu Endang Patibroto amat membutuhkan seorang kawan yang dapat ia ajak bicara dan dapat mendengarkan curahan hatinya yang penuh penasaran dan karena ia percaya akan kesetiaan raksasa ini, berceritalah ia secara singkat akan segala peristiwa yang sebetulnya sudah diketahui oleh Ki Brejeng. Ki Brejeng menyumpah-nyumpah Pangeran Darmokusumo dan Sang Prabu Jenggala, kemudian ia membujuk Endang Patibroto agar suka ikut ke Blambangan.
"Paduka tentu dicari-cari dan dikejar-kejar oleh kedua kerajaan itu."
"Aku tidak takut! Aku akan melawan!" jawab Endang Patibroto, penuh dendam.
"Apa gunanya, gusti? Apa gunanya paduka seorang diri melawan barisan kedua kerajaan itu? Tidak, seyogianya paduka ke Blambangan. Kebetulan sekali Blambangan memang berniat menggempur Jenggala dan Panjalu, dan Adipati Blambangan amat baik, dapat menghargai orang-orang pandai. Lihat saja, hamba juga telah diterima menjadi ponggawa. Kalau paduka suka bersama hamba ke sana, paduka dapat bersama bala tentara Blambangan kelak maju menggempur Jenggala dan Panjalu dan saat itulah paduka dapat melakukan balas dendam atas kematian suami paduka!"
Akhirnya, setelah Raden Sindupati juga ikut membujuk-bujuk dengan manis budi dan janji-janji yang memungkinkan wanita ini membalas kematian suaminya, Endang Patibroto mengangguk.
"Baiklah, Ki Brejeng, aku menurut nasehatmu. Raden Sindupati, aku suka ikut bersamamu ke Blambangan."
Bukan main girangnya hati Sindupati. Biarpun ia tidak berhasil membunuh Endang Patibroto, namun ia sudah berhasil memancing wanita ini ke sana! Alangkah akan girangnya hati Adipati Blambangan dan untuk ini ia tentu akan menerima pahala besar sekali. Apalagi, ia telah berhasil pula melemahkan kedua kerajaan dengan pembunuhan para ponggawanya. Betapapun juga, di hatinya terkandung niat lain.
Melihat Endang Patibroto, janda kembang yang cantik jelita dan menggairahkan ini, hatinya sudah jatuh! la merasa sayang kalau wanita secantik ini dibunuh begitu saja oleh Adipati Blambangan. Tidak, terlalu sayang kalau begitu! Ia mempunyai siasat lain!
Setelah pembakaran jenazah selesai dan abu jenazah sudah dirawat untuk kemudian dilarung (dihanyutkan) di laut, pasukan itu melanjutkan perjalanan. Endang Patibroto memulai hidup baru dan di sepanjang perjalanan, ia dihibur oleh Ki Brejeng yang betul-betul merasa kasihan kepada bekas junjungannya ini.
Kadipaten Selopenangkep! Kadipaten ini letaknya di tepi Sungai Progo, tidak amat jauh dari pantai Laut Kidul. Kadipaten yang tidak berapa besar, namun jelas tampak keadaan yang aman tenteram kerta raharja meliputi seluruh daerah kadipaten. Pamong tani hidup ayem, tanahnya subur tak kekurangan maupun kebanyakan air, sawah ladang terlalu penuh tanaman yang subur sehingga di waktu habis tandur, sawah ladang tampak ijo (hijau) royo-royo bagaikan lautan tenang. Adapun menjelang panen, sawah ladang berubah menjadi lautan emas dengan padi-padi menguning dan gemuk-gemuk menunduk.
Semua penduduk, dari dusun sampai kadipaten, tiada yang malas, semua rajin bekerja karena hasil karya mereka selain tampak di depan mata, juga terasa sampai di perut sendiri dan perut anak isterinya. Di wajah mereka tampak kegairahan bekerja itu, dari wajah anak-anak penggembala yang mengarit rumput, sampai kepada wajah pamong tani, nelayan, seniman dan pedagang, berseri penuh gairah kerja, memuliakan karya masing-masing dengan hati cinta dan tulus.
Tidak ada iri-mengiri sehingga tak pernah tercipta tindak sesat, tidak ada maling atau perampok. Tidak ada waktu bermalas-malasan yang dapat terisi tindak iseng maksiat, tidak ada perjudian, tidak ada perjinahan atau mabuk-mabukan, semua tunduk kepada hukum yang tak tertulis, hukum kehidupan masyarakat damai, makmur dan tenteram, yang cinta akan ketenteraman.
Menggunakan kesempatan selagi lima orang senopati itu mundur karena pengaruh Sardulo Bairowo, Endang Patibroto meloncat ke belakang. Seorang senopati melontarkan tombaknya. Endang Patibroto membuat gerak loncat berjungkir balik, ujung kakinya menyentuh tombak yang terbang menyeleweng dan menembus dada seorang pengawal, pengawal itu menjerit dan roboh tewas, dadanya ditembus tombak.
Geger di pekarangan istana Pangeran Darmokusumo. Tampak oleh Endang Patibroto kini Pangeran Darmokusumo keluar dari istana berdiri tegak dengan muka marah. Puteri Mayagaluh berdiri di samping suaminya, sebatang keris telanjang di tangan, menjaga keselamatan suaminya. Hampir Endang Patibroto tertawa. Puteri ini masih cantik, bekas sahabatnya,. adik suaminya.
Memegang keris, seakan-akan dengan keris itu akan dapat melawannya. Ingin ia terbang menyambar pangeran itu, namun jarak terlampau jauh dan di depannya terlampau banyak pengawal mengeroyoknya. Bahkan kini lima orang senopati sudah maju lagi, yang kehilangan tombak sudah memegang tombak baru. Juga Ki Patih Suroyudo sudah maju sambil memberi aba-aba membesarkan hati anak buahnya.
Endang Patibroto menarik napas panjang. Percuma saja menggunakan kekerasan. Tak mungkin ia dapat melawan sekian banyaknya perajurit, belum lagi kalau pasukan-pasukan pembantu tiba. Dia seorang diri mana mampu menghadapi ratusan, bahkan ribuan perajurit Panjalu? Juga, tidak baik kalau ia menyebar maut di antara para perajurit ini, yang tidak tahu apa-apa dan yang terkena bujuk Pangeran Darmokusumo si pengkhianat, si pemberontak!
Lebih baik ia pulang, menceritakan terus terang kepada suaminya. Suaminya tentu akan mencari jalan keluar yang baik, mungkin dengan melapor kepada sang prabu di Jenggala. Ingin rasanya ia menangis saking kecewa hatinya. Usahanya gagal malah ia dikurung rapat. Ia menjadi marah dan kembali beberapa orang pengeroyok roboh terjungkal. Ia hanya mengandalkan kaki tangan, namun para perajurit itu tidak berdaya. Sekali tangkis tombak patah, pedang golok beterbangan. Sekali tampar biarpun perlahan, pengeroyok-pengeroyok berjatuhan.
Endang Patibroto memekik lagi, hebat sekali pekik Sardulo Bairowo ini. Para pengeroyok terdekat mundur ketakutan, saling tabrak saling tindih, saling himpit. Endang Patibroto meloncat, dan terus berloncatan menggunakan kepala-kepala dan pundak-pundak para pengeroyok sebagai landasan. Akhirnya ia tiba di luar istana.
"Tangkap....! Bunuh....! Kejar.....!!" Teriakan-teriakan ini saling sahut dan bertubi-tubi. Mereka mengejar, namun sia-sia. Bagaikan bayangan iblis tubuh Endang Patibroto berkelebat dan senjata-senjata beterbangan lagi. Teriak-teriakan kesakitan terdengar susul-menyusul. Para pengeroyok banyak yang roboh, membuat yang lain gentar.
Namun Endang Patibroto tidak berniat membunuh mereka, hanya merobohkan dengan tamparan-tamparan sekedar membuat tulang lengan patah dan kepala pening. Kemudian ia melompat lagi, merobohkan lagi beberapa belas pengeroyok kemudian lenyap menghilang ditelan malam. Hujan masih turun rintik-rintik, keadaan gelap pekat namun para perajurit masih sibuk mencari dan mengejar sampai jauh. Suara mereka berisik, mengagetkan para penduduk yang tidak berani keluar dan menjadi penakut sejak terjadinya peristiwa pembunuhan-pembunuhan aneh pada diri para ponggawa selama ini.
Terengah-engah Endang Patibroto berhenti berlari di dalam hutan, berteduh di bawah sebatang pohon besar. Ia lelah, lelah sekali. Lelah lahir batin, Sudah sepuluh tahun ia tidak pernah bertanding, maka pertandingan melawan Wiku Kalawlsesa yang sakti, ditambah lagi perjalanan tak kunjung henti ke Panjalu, kemudian pengeroyokan ketat tadi, membuat tubuhnya lelah luar biasa. Dan sepuluh tahun ia hidup bahagia, aman tenteram di samping suaminya yang tercinta, kini menghadapi pelbagai hal menjengkelkan hati, batinnyapun lelah sekali. Ia bersandar kepada sebatang pohon, dan tak terasa lagi tertidur, biarpun air hujan ada satu dua yang menetes turun ke atas tubuhnya melalui daun-daun pohon yang lebat.
Hatinya diliputi kekhawatiran besar ketika Endang Patibroto melanjutkan perjalanannya, pulang ke Jenggala. Ia dapat membayangkan betapa gelisah hati suaminya yang malam itu ditinggalkan, kemudian sampai hampir dua pekan ia tidak pulang! Akan tetapi suaminya akan lebih gelisah lagi kalau sudah mendengar ceritanya tentang pengakuan Wiku Kalawisesa. Siapa kira, Pangeran Darmokusumo. Bedebah!
Hari telah senja ketika ia tiba di pintu gerbang sebelah selatan Kota Raja Jenggala. Tiba-tiba dari arah kiri ia mendengar bunyi burung emprit gantil.
"Tiiiiit-tuiiiiit-tuiiit-tit-tit-tit...."
Tak mungkin bunyi burung emprit gantil. Itulah suara tanda rahasia yang biasa dipakai para pengawal suaminya! Hatinya berdebar tak enak dan secepat kilat tubuhnya berkelebat ke kiri. Keadaan sudah remang-remang akan tetapi ia dapat melihat bergeraknya tubuh orang di selokan dekat sawah.
"Gusti puteri....!" Bayangan itu memanggil, lirih dan suaranya mengandung rintihan.
Ia meloncat dekat. Melihat orang itu merangkak keluar dari selokan.
"Gusti puteri.....!"
"Aahhh, engkaukah ini, kakang Sungkono...?" Endang Patibroto meloncat menghampiri dan orang itu mengeluarkan keluhan, lalu menubruk kaki Endang Patibroto.
"Aduhhh, gusti puteri..."
"Ada apa, kakang Sungkono? Mengapa kau di sini dan... eh, kenapa berlumur darah? Engkau terluka, kenapa?" Hati Endang Patibroto seperti ditusuk-tusuk pisau, indra ke enamnya bekerja dan ia tahu bahwa telah terjadi sesuatu yang hebat.
"Gust! puteri.... bencana hebat menimpa... gusti pangeran ditangkap dengan tuduhan melindungi paduka.... dituduh memberontak.... karena pembunuhan-pembunuhan itu.... karena paduka menyerang istana Pangeran Darmokusumo....!"
Dada Endang Patibroto terguncang, menggelora, kakinya menggigil. Suaminya ditangkap! Akan tetapi ia masih dapat menguasai suaranya yang bertanya mendesak.
"Lalu bagaimana.....? Dia dibawa kemana....?" Ia merasa ngeri mendengar suaranya sendiri, seperti suara orang lain yang asing, suara yang kosong.
"Mula-mula... pasukan datang.... hendak menangkap paduka, atas perintah gusti prabu. Gusti pangeran membantah, melawan dan dikeroyok. Hamba... hamba membelanya, tapi kena tusuk tombak... aduhh, hamba tak kuat lagi, gusti..."
Endang Patibroto berjongkok, memegang pundak Raden Sungkono yang ternyata terluka parah, terutama di lambungnya.
"Kakang.... ke mana dibawanya suamiku...?"
"Di penjara istana.... paduka larilah.... paduka akan ditangkap... hamba... hamba tak kuat, aduhhhh..." Sungkono menjadi lemas tubuhnya.
"Kakang... ! Kakang Sungkono..." Akan tetapi Endang Patibroto tahu bahwa panggilannya tak terjawab.
Sungkono pengawal setia itu sudah menghembuskan nafas terakhir. Ia meletakkan kepala pengawal itu ke atas tanah, lalu berdiri seperti arca. Suaminya ditangkap gara-gara Pangeran Darmokusumo! Ia menggertakkan giginya. la harus membebaskan suaminya, biar harus mengorbankan nyawa. Ia harus menyerbu penjara istana, biar dikepung seluruh perajurit Jenggala! Suaminya tidak bersalah, suaminya tidak berdosa. Dan kalau hendak menangkap Pangeran Darmokusumo si pengkhianat dianggap dosa, dialah yang berdosa, bukan suaminya.
"Kakangmas pangeran...!" Ia menjerit lalu terduduk mendeprok di atas tanah, dekat mayat Sungkono, menangis! Baru kali ini Endang Patibroto menangis hebat semenjak menjadi isteri Pangeran Panjirawit. Kemudian ia memegang pundak mayat itu dan berbisik, "Terima kasih, kakang.... terima kasih atas pembelaanmu sehingga kau mengorbankan nyawa untuk suamiku.... maafkan aku, tak dapat aku mengurus mayatmu karena aku harus membebaskan suamiku.... selamat tinggal, kakang Sungkono!" Ia lalu meloncat bangun, mukanya beringas dan lahirlah kembali Endang Patibroto wanita sakti mandraguna. Air matanya berhenti mengucur, pandang matanya berkilat ketika tubuhnya melesat jauh ke depan, menuju dinding tinggi yang mengelilingi Kota Raja Jenggala.
Karena sudah sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran Panjirawit, tentu saja Endang Patibroto sudah hafal akan keadaan di istana dan tahu pula di mana letaknya tempat tahanan. Tempat tahanan ini merupakan sebuah gedung besar di sudut belakang kelompok bangunan istana, terbuat daripada dinding batu yang tebal dan kuat, dikelilingi pekarangan yang lebar.
Malam itu amat sunyi di lingkungan istana. Endang Patibroto yang berkelebat melalui jalan di atas wuwungan, melihat betapa penjagaan di tempat-tempat biasa diperketat, bahkan tampak seragam-seragam perajurit yang biasanya tidak tampak menjaga keraton. Ia dapat menduga bahwa pasukan pengawal keraton yang tidak berapa besar jumlahnya, kini ditambah dengan pasukan-pasukan perajurit. Namun berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, Endang Patibroto berhasil menyusup melalui wuwungan-wuwungan, dilindungi kegelapan malam, sampai ia berada dekat dengan rumah tahanan.
Dari atas wuwungan dapur istana di belakang, ia mengintai. Rumah tahanan itu berada di depannya, di bawah. Ketika ia mengintai, kagetlah hatinya melihat banyaknya perajurit dan pengawal memenuhi pekarangan rumah tahanan itu. Bukan main! Sedikitnya tentu ada tiga ratus orang perajurit, mengawal ketat, menjaga rumah tahanan itu seperti semut-semut merubung bangkai jangkerik. Bahkan ia melihat pula banyak perajurit berada di atas wuwungan rumah itu, siap dengan busur dan anak panah!
Kalau ia nekat menyerbu, agaknya takkan mungkinlah menembus penjagaan yang sekuat itu. Kiranya sang prabu Jenggala benar-benar sudah siap sedia menanti kedatangannya! Ia mengertak gigi, hatinya panas sekali. Apapun yang akan terjadi, ia harus dapat membebaskan suaminya! Siapapun orangnya, baik sang prabu sendiri, tidak boleh menahan suaminya, tidak boleh membelenggu suaminya, kecuali melalui mayatnya sendiri!
Endang Patibroto termenung, mengasah otak mencari akal. Ia tidak mau secara sembrono menyerbu begitu saja. Bukan karena ia takut. Ditambah lima kali jumlah itupun ia tidak akan takut, mati bukan apa-apa baginya. Akan tetapi ia harus dapat membebaskan suaminya dan hal ini takkan mungkin terlaksana kalau ia berlaku nekat. Ia harus cerdik. Setelah termenung sejenak, tubuhnya lalu berkelebat, melayang turun di bagian yang tak terjaga. Kurang lebih satu jam kemudian tampak asap mengebul di bagian sebelah kanan dapur istana.
"Kebakaran...! Kebakaran....!!" teriak penjaga yang melihat asap dan api.
"Air...! Air...!"
"Hayo bantu padamkan.... lekas sebelum membesar apinya... !" Seorang perwira berseru keras ketika melihat anak buahnya tersebar panik.
"Hei! Jangan membantu semua! Sebagian tetap menjaga di sini!" Karena tindakan tegas sang perwira, keadaan tidak begitu panik lagi dan hanya beberapa orang penjaga secukupnya saja yang ditugaskan membantu pemadaman apa yang membakar atap bangunan itu. Akan tetapi pada menit-menit berikutnya, kembali tampak asap mengebul, kini di sebelah utara dekat kandang kuda.
"Kebakaran lagi! Itu di sana, dekat kandang!"
"Dan itu di sana ada api! Dekat gudang!"
"Tolong! Bantu! Kebakaran di mana-mana....!"
Kini tak dapat dicegah lagi, kepanikan terjadi dengan hebat. Para perajurit tersebar seperti semut digebah. Seorang di antara para perajurit, yang memisahkan diri, agaknya hendak mencari ember atau alat lain pemadam kebakaran, tiba-tiba menerima pukulan dua jari yang ditekuk, tepat mengenai leher di bawah telinga kiri. Hanya terdengar suara "ngukkk!" dan perajurit ini roboh lemas tak sadarkan diri.
Endang Patibroto cepat menanggalkan pakaian luar perajurit ini, dan cepat pula mengenakan pakaian itu pada tubuhnya sendiri. Tubuh perajurit ini lebih besar daripadanya, akan tetapi karena pakaian itu ia kenakan di luar pakaiannya sendiri, maka tidaklah terlalu besar amat. Rambutnya kini tersembunyl di dalam topi perajurit dan jadilah ia kini seorang perajurit yang tampan dan gagah.
Endang Patibroto menyambar tombak perajurit itu kemudian iapun berlari-lari. Tak lama kemudian, iapun tampak di antara para perajurit dan pengawal yang bercampur-aduk, sehingga tidak ada bahaya baginya ketahuan kepala pasukan. Keadaan amat panik dan lima tempat kebakaran yang dibuat olehnya cukup membuat para perajurit tidak begitu memperhatikan rumah tahanan. Dengan pura-pura berdiri tegak dengan tombak di tangan, Endang Patibroto beraksi menjaga di depan jendela kamar tahanan.
Ketika mendapat kesempatan, ia membuka daun jendela dari kayu itu. Jeruji-jeruji besi di sebelah belakang daun jendela yang sebesar lengan-lengan manusia bukan apa-apa bagi Endang Patibroto. Ia mengerahkan aji kekuatannya dan sekali tangannya mementang, dua buah jeruji melengkung lebar, bahkan bagian atas yang menancap pada kayu terlepas! Bagaikan seekor burung, Ia melompat masuk dan tidak lupa menarik daun jendela dari dalam sehingga jeruji yang tidak sebagaimana mestinya itu tidak tampak dari luar. Cepat ia lari ke dalam.
"Hai... kawan, mau apa kau masuk ke sini?" Tiba-tiba muncul empat orang penjaga penjara, yaitu petugas penjara.
Endang Patibroto meniru suara pria lalu berkata. "Kepala pasukan menyuruh melihat apakah Pangeran Panjirawit masih ada di tempatnya. Di luar banyak terjadi kebakaran, kepala pasukan khawatir kalau-kalau pangeran dilarikan musuh."
"Mana bisa? Kami menjaga di sini siapa dapat melarikannya? Akan tetapi, baik kau lihat sendiri, kawan." Karena keadaan di luar yang panik membuat para penjaga di sebelah dalam juga panik sehingga dalam keadaan kacau itu penistiwa masuknya seorang perajurit yang mestinya tidak wajar dianggap biasa. Bersama empat orang petugas penjara itu, Endang Patibroto dibawa masuk ke sebelah belakang. la melihat bahwa petugas di dalam tahanan hanya ada delapan orang, maka hatinya menjadi lega.
"Nah, itulah dia. Masih meringkuk seperti tikus. Apa kau kira siluman yang menjadi isterinya itu dapat..."
"Ngekk!!" Sebuah tinju mengenai ulu hati si pembicara yang roboh tak bersuara dan tak bernapas lagi. Tiga yang lain terkejut, akan tetapi tiga kali tubuh Endang Patibroto bergerak dan tiga kali terdengar suara mengaduh dibarengi robohnya tiga orang. Mendengar ribut-ribut ini, empat petugas yang lain datang. Inilah yang dikehendaki Endang Patibroto.
"Eh, ada apakah..." Empat orang petugas yang masih mengira Endang Patibroto seorang perajurit biasa, datang berlarian dan bertanya. Namun pertanyaan mereka disambut gerakan kaki tangan yang luar biasa cepatnya dan hampir berbareng empat orang itupun roboh semua.
"Endang...."
"Pangeran...!!"
Mereka berpelukan, saling dekap erat-erat seakan-akan takut kalau-kalau mereka terpisah lagi....
"Aku tahu, kau takkan membiarkan aku dikeram terus, isteriku...." Pangeran Panjirawit merangkul dan menciumi isterinya... Air mata Endang Patibroto membasahi pipi dan dagu suaminya.
"Kakanda....maafkan hamba... telah membikin sengsara kakanda..."
"Hushhh...!" Pangeran Panjirawit menutup mulut isterinya dengan bibir, untuk mencegahnya melanjutkan kata-kata. "Kau tidak pernah salah, aku yakin. Apakah yang telah terjadi? Benarkah engkau menyerbu ke Panjalu? Aku tidak percaya..."
"Nanti saja, kakanda. Kita belum bebas. Yang penting sekarang bagaimana kita dapat keluar dari sini."
Pangeran Panjirawit baru teringat akan hal ini dan keningnya berkerut penuh kekhawatiran. Ia memandang isterinya yang berubah menjadi seorang perajurit dan kalau saja keadaan tidak berbahaya seperti itu, tentu ia akan mentertawakan dan menggoda isterinya sedemikian rupa sampai isterinya menghentikan godaannya dengan cium, gigit dan cubit. Biasanya begitu kalau di rumah. Kemudian ia melirik ke arah petugas tahanan yang menggeletak malang-melintang.
"Benar, kakanda. Sebaiknya kanda menyamar," kata Endang Patibroto yang agaknya mengikuti gerak mata dan sikap suaminya. Hatinya lega bukan main melihat suaminya dalam keadaan sehat selamat dan hanya hal inilah yang terasa di hatinya. Yang lain-lain tidak ia hiraukan. Cepat Endang Patibroto membelejeti (menanggalkan) pakaian luar seorang di antara para petugas tahanan yang tubuhnya sama besar dengan tubuh suaminya, kemudian membantu suaminya mengenakan pakaian itu. Pada saat itu, terdengar pintu depan digedor-gedor dari luar. Teriakan perwira menggema ke dalam rumah tahanan,
"Haii! Penjaga-penjaga di dalam, apakah kalian tuli? Ataukah tertidur? Keparat, hayo buka pintu ini...!!"
Endang Patibroto memegang lengan suaminya. "Cepat, pangeran." Ia menarik lengan suaminya melalui ruangan dalam, terus menuju ke jendela yang jerujinya sudah ia buka tadi. Dari belakang jendela itu terdengar suara hiruk-pikuk para perajurit dan pintu depan kini digedor-gedor dengan kerasnya, bahkan mulai didorong oleh banyak perajurit.
"Cepat, kakanda. Melalui jendela ini!" bisik Endang Patibroto.
"Tapi.... tapi di luar banyak perajurit, yayi. Bagaimana engkau...?"
Di dalam hatinya Endang Petibroto terharu. Dalam keadaan seperti itu, suaminya masih mengkhawatirkan dirinya, tidak menghiraukan diri sendiri. Sama pula dengan dia, baginya mati tidak apa-apa asal suaminya selamat!
"Jangan khawatir, kakanda sayang, adinda melindungi." Endang Patibroto kini mengerahkan Aji Gelap Musti memukul ke arah jendela dan...
"krekkk!" jeruji-jeruji itu patah-patah semua.
"Mari kugendong, pangeran, agar kita dapat lari lebih cepat, menggunakan ajiku Bayu Tantra!"
Pangeran Panjirawit maklum akan kesaktian isterinya, maklum bahwa dalam usaha melarikan diri ini sepenuhnya tergantung dari tenaga isterinya. Ia lalu merangkul pundak isterinya dari belakang, membiarkan dirinya digendong, mengempit pinggang yang ramping itu dengan kedua kakinya. Mulutnya berbisik di dekat telinga isterinya,
"Aku sudah siap.... mati bersama...."
"Tidak, kita hidup bersama, suamiku" bisik Endang kembali, kemudian ia melangkah mundur tiga tindak lalu mengerahkan Aji Bayu Tantra dan tubuhnya melesat melalui jendela. Daun jendela itu tertabrak dan terbuka lebar. Pangeran Panjirawit sungguhpun sudah yakin akan kesaktian isterinya, tak dapat tidak menjadi kagum sekali ketika tubuhnya diterbangkan melalui lubang jendela yang tidak berapa lebar, begitu tepat dan hanya sedikit pundaknya menyentuh pinggir jendela!
Di luar para perajurit masih sibuk memadamkan api dan sebagian pula mendongkrak pintu depan rumah tahanan. Ketika melihat munculnya seorang perajurit muda menggendong seorang berpakaian penjaga, mereka tertegun dan terbelalak heran. Akan tetapi ketika tubuh perajurit itu meloncat jauh dan mereka mengenal wajah si penjaga yang digendong, berteriak-teriaklah mereka.
"Pangeran lolos...! Kepung....! Tangkap..."
Segera banyak perajurit menghadang dengan tombak dan pedang di tangan. Endang Patibroto sudah menduga bahwa ia harus bertanding mati-matian, tidak membuang banyak waktu, kaki tangannya bergerak dan empat orang perajurit roboh. la tidak biasa menggunakan tombak, maka tombak tadi kini ia serahkan kepada suaminya, sedangkan ia sendiri menyambar sebatang pedang lawan yang ia robohkan.
Mulailah Endang Patibroto mengamuk. Suaminya yang berada di punggungnya juga menggerakkan tombak ke kanan kiri merobohkan perajurit yang datang dari jurusan ini. Biarpun punggungnya menggendong Pangeran Panjirawit, namun gerakan Endang Patibroto masih amat lincah dan ganas.
Pedangnya berkelebat, bergulung-gulung sinarnya dan banyak perajurit roboh. Akan tetapi, makin banyak yang roboh, makin banyak pula yang datang, seperti semut mengeroyoknya dan teriakan-teriakan mereka amat bising. Endang Patibroto mulai khawatlr, mengkhawatirkan suaminya, ia dapat mengamuk lebih leluasa, akan tetapi takut kalau-kalau suaminya terpisah dan terluka.
"Pangeran, buang tombak dan pegang erat-erat!" bisiknya.
Biarpun Pangeran Panjirawit tak mengerti mengapa ia harus membuang tombak, namun percaya penuh kepada isterinya, ia melemparkan tombaknya dan memeluk leher isterinya erat-erat.
"Awas, pangeran!" bisik Endang Patibroto.
Dengan pedangnya ia menyapu dengan gerakan tiba-tiba sehingga lima enam orang prajurit yang tak menyangka-nyangka wanita itu akan berjongkok dan menyapu ke bawah, roboh dengan kaki buntung atau setengah buntung terbabat pedang! Dan tiba-tiba bagaikan seekor burung, Endang Patibroto sudah mengenjot tubuhnya dan melayanglah tubuhnya ke atas genteng rumah tahanan! Akan tetapi sebelum kakinya menginjak genteng, belasan batang anak panah menyambar dari depan seperti hujan!
"Celaka.... awas anak panah, Endang...!" Pangeran Panjirawit berteriak cemas. Akan tetapi kembali ia kagum bukan main karena biarpun tubuhnya masih melayang di udara, namun dengan memutar pedang sampai pedang itu mengeluarkan bunyi mengaung, semua anak panah dapat dipukul runtuh. Bahkan tangan kirinyapun menyambar dan dua batang anak panah dapat ditangkapnya.
Tubuhnya terus ke depan sambil tangan kiranya bergerak menyambitkan anak panah ke depan. Terdengar, teriakan dua orang pemanah yang dadanya termakan senjata sendiri. Kini Endang Patibroto sudah turun ke atas genteng. Segera la dikeroyok oleh belasan orang pengawal yang memiliki ilmu silat lumayan. Di sini Endang Patibroto mengamuk lagi, dalam waktu singkat merobohkan lima orang pengeroyok dengan pedangnya.
Akan tetapi kini banyak pengawal dan perwira yang berkepandaian sudah berlompatan naik ke atas genteng. Jumlah mereka tidak kurang dari tiga puluh orang. Endang Patibroto yang sudah banyak pengalamannya bertempur di waktu mudanya, mengerti bahwa tidak akan mungkin dapat melayani mereka semua. Sedangkan kini fajar hampir menyingsing. Kalau malam sudah berganti pagi, tidak mungkin lagi dapat melarikan diri keluar dari kota raja. Ia harus dapat melarikan suaminya sekarang juga. Harus!
"Kakanda, tutup telinga kakanda keduanya..." Ia berbisik dan maklumlah Pangeran Panjirawit bahwa isterinya hendak menggunakan Aji Sardulo Bairowo. Ia lalu menggunakan kedua tangan menutupi sepasang telinganya. Benar saja, Endang Patibroto lalu mengeluarkan suara pekik dahsyat, melengking tinggi mengatasi semua suara hiruk-pikuk para perajurit!
Semua pengeroyoknya yang berjumlah tiga puluh orang lebih itu terkejut, bahkan ada delapan orang yang tidak dapat menahan, roboh bergulingan di atas genteng terus jatuh ke bawah! Yang lain-lain tersentak mundur, kaget dan ngeri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Endang Patibroto untuk mengerahkan tenaga meloncat ke atas genteng bangunan yang berdekatan, yaitu bangunan dapur istana. Banyak anak panah mengaung dan bercuitan di kanan kiri, bawah dan atasnya. Akan tetapi tidak sebuahpun mengenainya.
Tiba-tiba Endang Patibroto merasa betapa tubuh suaminya di atas punggungnya menegang.
"Ada apa, pangeran?"
"Ti.... tidak apa-apa..." Suaminya mengerang ditahan. "Lekas pergi, Endang, lekas...!"
Dengan hati berdebar Endang Patibroto mempercepat larinya. Para pengejarnya tertinggal jauh dan anak-anak panah tidak dapat mencapainya lagi. Ia amat khawatir. Apakah suaminya menjadi gentar? Akan tetapi kini selamatlah sudah. la mempercepat pula larinya dan sebentar saja ia sudah berhasil keluar dari dinding kota raja, terus berlari menuju ke selatan.
"Kita selamat dan bebas, pangeran...!" bisiknya sambil lari terus.
"syukurlah.... mari kita istirahat, isteriku...!"
"Nanti, kakanda. Biar jauh dulu..." Endang lari terus, masih amat cepat larinya sehingga bagaikan terbang saja layaknya. Dusun-dusun dilalui, hutan-hutan dan sementara itu, angkasa sudah mulai merah, terbakar sinar sang surya.
"Endang.... nimas.... berhentl dulu ..... aku.... aku tak kuat...."
Endang Patibroto menghentikan larinya dengan tiba-tiba, wajahnya pucat, matanya terbelalak, hampir tidak berani ia menurunkan suaminya, tidak berani melihat suaminya. Jangan-jangan....!
"Paduka.... paduka.... kenapa... kakanda...?"
"ughh, terluka... anak panah...."
Endang Patibroto menahan isak, lari ke sebuah gubuk di tengah sawah yang berada tak jauh dari situ. Kemudian la menurunkan suaminya yang ternyata sudah lemas tubuhnya. Dapat dibayangkan betapa kaget dan cemas hatinya ketika melihat punggung suaminya tertancap anak panah.
"Kakanda... !" Ia menjerit, merebahkan suaminya ia sendiri berlutut memeriksa. Seluruh bulu di tubuhnya berdiri ketika ia melihat betapa anak panah itu menancap dalam sekali, hampir sampai ke gagangnya, agaknya menembus celah-celah tulang iga. "Kakanda pangeran....!!" kembali ia menjerit dan memeluk, menangis terisak-isak.
Sebagai seorang ahli, sekali pandang tahulah ia bahwa suaminya takkan dapat tertolong lagi. Anak panah itu menancap amat dalam, menembus bagian yang penting. Kalau dicabut, tentu akan mempercepat suaminya meninggalkannya. "Aduh, pangeran....suamiku.... bagaimana...??"
Pangeran Panjirawit meraih leher isterinya sehingga tubuh Endang Patibroto kini juga rebah di sampingnya, miring beradu muka. Diciumnya mulut isterinya, dihisap air matanya, tangannya mengelus-elus rambut, mulutnya berbisik,
"Isteriku, mutiara hatiku.... ingatkah engkau akan pembicaraan kita tentang takdir? Mati hidup manusia dalam tangan Hyang Widhi..."
Endang Patibroto memandang suaminya dan mellhat bahwa mulut itu tersenyum! Ah, hampir ia lupa bahwa suaminya menghadapi maut, bahwa mereka berada di gubuk sawah. Rebah beradu muka seperti ini mebuat ia merasa seakan-akan mereka masih di dalam istana, tidur di atas pembaringan, rebah miring beradu muka, bercengkerama, bersendau gurau, bermain cinta mencurahkan kasih sayang.
"Kakangmas pangeran....!" Ia menjerit lagi dan merangkul leher suaminya, mendekap muka itu ke atas dadanya, seakan-akan ia hendak membenamkan muka itu ke dalam dasar hatinya, menjadi satu dengan dirinya, takkan dilepaskan lagi. "Ah, semua gara-garaku, kakanda.... paduka tertimpa bencana karena hamba....!"
Dengan muka masih terbenam di dada isterinya, Pangeran Panjirawit berbisik, "Hushhh, aku tak pernah menyalahkan engkau, jiwaku. Apapun yang kau lakukan, aku akan berpihak kepadamu, apapun juga yang kau lakukan...!"
Biarpun ucapan ini menunjukkan kasih sayang yang tiada batasnya, namun menusuk perasaan Endang Patibroto karena mengandung pula kepercayaan bahwa dia telah bertindak salah. Maka cepat-cepat ia berkata, "Suamiku, dengarlah baik-baik. Betapapun juga, isterimu tidak melakukan hal-hal yang jahat. Dengarlah...."
"Aku percaya, Endang...."
"Tapi harap paduka mendengarkan... beginilah sebenarnya yang terjadi."
Dengan suara mengandung isak Endang Patibroto menceritakan betapa ia telah berhasil mencari si pembunuh gelap yaitu Wiku Kalawisesa, betapa ia bahkan telah berhasil membunuh si laknat dan mengorek rahasia dari mulutnya, betapa kakek itu mengaku bahwa ia bersekutu dengan Pangeran Darmokusumo yang bermaksud jahat, hendak memberontak.
"Nah, hamba memang menyerbu ke sana. Akan tetapi hanya untuk menawannya dan untuk memaksanya mengaku. semua perbuatan dan dosanya di depan sang prabu, akan tetapi... hamba... Hamba gagal....
"Nimas..... aku percaya.... augghh.... dekaplah aku, nimas, dekaplah aku erat-erat..."
Hati Endang Patibroto bagaikan ditusuk-tusuk keris berkarat. Didekapnya suaminya, diciuminya. "Kakangmas... aku tahu.... kakangmas tak mungkin dapat disembuhkan lagi..."
"Ooohhh, kekasihku... jadi kau sudah tahu....? Susahkah hatimu, sayang..."
Endang Patibroto mencium lagi. "Tidak, pangeran, karena kita akan berangkat bersama. Hamba akan ikut, ke mana juapun paduka pergi. Ingat akan kata-katamu tadi, kakangmas? Kita mati bersama!"
Tiba-tiba tubuh yang sudah lemas itu bertenaga lagi, dekapannya amat kuat dan terdengar pangeran itu mengguguk, menangis!
"Mengapa, suamiku? Jangan takut, kematian bukan apa-apa, dan lagi, hamba berada di samping paduka...!!"
"Tidak! Tidak...!! Sekali lagi tidak...!" Pangeran itu mencengkeram pundak Endang Patibroto seakan-akan hendak menarik tenaga dari isterinya.
"Betapapun hancur hatiku oleh perpisahan ini, namun tidak! Engkau tidak boleh ikut bersamaku.... aku tidak rela membiarkan isteriku membunuh diri...."
Endang Patibroto tersenyum, air matanya masih bercucuran. "Suamiku, kakanda pujaan hati; lupakah kakanda akan nama hamba? Hamba adalah Endang Patibroto? Ingat, kakanda, Patibroto? Hamba adalah seorang isteri yang setia, yang siap sedia dengan segala kesenangan hati untuk ikut mati bersama suaminya!"
"Tidak! Endang, isteriku. Aku akan mati penasaran! Rohku akan menjadi setan gentayangan kalau kau membunuh diri! Aku tidak suka. Tidak suka!!"
Pangeran itu memekik-mekik keras. Pucat wajah Endang Patibroto, kaget hatinya dan ia bangkit duduk. Dipegangnya wajah suaminya, dipandangnya baik-baik dan ia mendapat kenyataan bahwa suaminya masih sadar sepenuhnya.
"Apa... apa maksud paduka... Kembali tubuh pangeran itu menjadi lemas, napasnya terengah-engah karena tadi dikuasai nafsu amarah.
"Endang.... kalau benar kau mencintaku... sepenuh jiwa raga seperti aku mencintamu.... kau mutiara hatiku.... sebelum aku mati.... agar aku dapat mati tenang, kau berjanjilah untuk memenuhi pesanku ini, yaitu... kau jangan ikut, jangan membunuh diri... kau berjanjilah, sayang... demi cintaku... !!"
Jantung Endang Patibroto serasa dikerat-kerat, perih dan sakit. Air matanya membanjir, ia terisak-isak, sesenggukan, tersedu-sedan dan tidak dapat menjawab untuk beberapa lamanya. Ia maklum bahwa suaminya tidak ingin melihat ia mati membunuh diri dan.... tiba-tiba ia teringat bahwa kalau ia mati, siapakah yang akan membalas dendam ini kepada Pangeran Darmokusumo? Teringat akan pangeran yang menjadi biang keladi kematian suaminya ini, timbul semangatnya untuk hidup, dan ia menggangguk sambil berkata,
"Hamba berjanji, kakangmas..."
"Aahhh, terima kasih, Endang. Kini lega hatiku. Ke sinilah, adinda.... mendekatlah engkau, kekasih...!"
Kembali Endang Patibroto rebah berhadapan muka, berpelukan, berbisik-bisik seperti pengantin baru.
"Endang... ingatkah engkau... Dahulu... ketika kita berpengantinan..?"
"Aduhhh.... kakanda..." Endang Patibroto menjerit dari dasar hatinya, tubuhnya menggigil saking sakit hatinya mendengar ucapan itu.
"Eh-eh, biarkan aku mengenangkan kembali peristiwa itu, manis. Biarkan aku mati membawa kenangan masa kita berpengantinan. Ahhh.... mula-mula.... engkau tidak suka kudekati... engkau seperti hendak menolakku..."
"Kakangmas..."
"Aku tahu.... tadinya engkau tidak mencinta.... akan tetapi.... oh, akhirnya cinta kasihku yang murni dan sepenuh jiwa raga... ha-ha, meruntuhkan juga hati bajamu.... mencairkan gunung es.... dan kau menjadi panas membara.... kau menjadi kawah Gunung Bromo.... sampai nanar aku oleh cintamu, nimas.... sampai mabuk aku..... mabuk kebahagiaan.... ah, tiada wanita keduanya sepertimu, adindaku...." Tangan Pangeran Panjirawit membelai-belai, bibirnya mencium-cium, pandang matanya mesra.
Terisak-isak Endang Patibroto. "Kakanda, hamba bersumpah.... sungguhpun amat berat hamba harus hidup menyendiri, paduka tinggalkan.... hamba takkan membunuh diri, hamba akan menanti maut seperti ditakdirkan Hyang Widdhi.... akan tetapi... paduka sabarlah.... sabarlah menanti hamba...!!
"Endang.... auugghhh... terlalu lama kutahankan.... tak kuat lagi aku..... Endang Patibroto, isteriku, ciumlah.... ciumlah..."
Sambil menangis sesunggukan Endang Patibroto menangkap kedua pipi suaminya, lalu mencium mulut yang terengah-engah itu, mencium mesra sepenuh hatinya. Tiba-tiba ia merasa betapa tubuh suaminya mengejang, mengerang dan menghembuskan napas panjang. Endang Patibroto merasa dunia berputar, pandang matanya gelap, akan tetapi ia meramkan mata, tidak melepaskan ciuman, menyedot dari mulut suaminya, seakan hendak menghisap napas terakhir itu.... terasa darah.... darah suaminya.... terasa pelukan tangan suaminya mengendur, lepas, tampak suaminya tersenyum, lalu segala berputaran, gelap, lalu merah, seribu bintang menari.... dan iapun tidak ingat apa-apa lagi.
Endang Patibroto pingsan dengan tubuh masih menelungkupi mayat suaminya, bibir mereka masih saling menempel, kedua tangan Endang Patibroto merangkul leher. Angin pagi yang bertiup di sawah itu menerobos memasuki gubuk, menggerak-gerakkan rambut Endang Patibroto yang tadi dilepas sanggulnya oleh suaminya dan yang kini menyelimuti tubuh mereka berdua.
Wajah mayat Pangeran Panjirawit tersenyum, matanya setengah terbuka, seperti mata orang mengantuk, seperti matanya kalau sedang bercinta dengan isterinya. Ia tidak nampak seperti mati, melainkan seperti orang tidur bermimpi indah, mimpi bercumbu rayu dengan isteri tercinta. Anak panah yang menancap di punggungnya kini membengkok karena tertindih tubuhnya ketika melepaskan napas terakhir dan tubuhnya yang miring menjadi terlentang.
Endang sadar, serasa bangun dari mimpi buruk. Membuka mata. Ah, suaminya masih tidur seperti biasa. Suaminya akan bangun agak siang seperti biasa, tidur kelelahan, dengan wajah membayangkan kelelahan dan kepuasan, kebahagiaan yang nikmat, Endang Patibroto tersenyum. Melihat wajah yang puas dan bahagia itu mendatangkan nikmat luar biasa di dalam hatinya. Ah, ia harus cepat bangun, menyediakan santapan pagi untuk suaminya. Biar banyak abdi dalam di situ, ia selalu menyediakan santapan suaminya dengan tangannya sendiri, pekerjaan ini amat menyenangkan hatinya seperti menyiapkan pakaian, membereskan pembaringan, tak boleh pelayan melakukannya, dilakukan sendiri dengan kasih sayang. Ia menunduk dan mencium perlahan dan.... matanya terbelalak, lehernya serasa dicekik dan dalam sekejap mata teringatlah ia kembali, datanglah semua itu seperti cahaya kilat menyambar.
"Aduh.... kakanda...!!" la menjerit, masih tidak percaya, memandang anak panah di punggung, meraba-raba wajah suaminya, meraba dada, pergelangan tangan sampai ia yakin bahwa suaminya benar-benar telah meninggalkannya. "kakanda pangeran.... suami hamba...!" Ia memeluk tubuh itu, menangis sampai mengguguk, merintih, mengerang seperti orang tersiksa hebat.
"Tangkap....! Tangkap...!!
Bagaikan seekor harimau betina marah, Endang Patibroto yang sedang menangis mengguguk itu membalikkan tubuh. Wajahnya yang pucat penuh air mata amat beringas, rambutnya masih terurai riap-riapan, matanya bersinar-sinar kemarahan. la melihat tiga belas orang perajurit mengepung gubuknya, dengan tombak dan pedang ditodongkan, seperti para pemburu mengurung seekor harimau yang sudah tersudut.
Sejenak Endang Patibroto menyapu mereka dengan pandang mata, kemudian menoleh ke wajah suaminya yang tersenyum. Inilah! Ya, untuk inilah suaminya tidak menghendaki ia ikut mati. Tiba-tiba ia mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya mencelat keluar gubuk. Bagaikan angin puyuh tubuhnya bergerak, berputaran di antara para pengepung yang cepat menggerakkan senjata masing-masing. Terdengar tombak-tombak patah, pedang-pedang beterbangan, jerit-jerit kesakitan dan dalam waktu sebentar saja tiga belas orang perajurit itu sudah menggeletak mati semua di tengah sawah!
"Hayoh, majulah semua perajurit Jenggala dan Panjalu! Amuk-amuk suramrata jayamrata! Inilah Endang Patibroto, isteri Pangeran Panjirawit!" Ia menebak-nebak dada, matanya liar memandang, kemudian la melihat penduduk kampung di dekat sawah itu berbondong-bondong keluar karena mendengar ribut-ribut. Melihat mereka ini, Endang Patibroto yang sudah menggila saking marah dan duka, segera meloncat menyambut mereka. Seorang laki-laki tinggi besar yang berada paling depan ditangkapnya seperti seekor burung rajawali menangkap anak ayam, diangkatnya ke atas, diputar-putarnya sehingga penduduk kampung itu kaget dan gentar. Lalu dibantingnya laki-laki itu sampai pecah kepalanya. Endang Patibroto mengamuk dan penduduk kampung Itu tersebar cerai-berai seperti gabah diinteri!
"Wanita gila mengamuk!"
"Bukan! Dia siluman"
"Iblis mengamukl"
Penduduk kampung melarikan diri dan beberapa orang yang kurang cepat menjadi korban amukan Endang Patibroto. Setelah dusun itu kosong, Endang Patibroto kembali ke gubuk dan menangisi mayat suaminya. la tidak tahu bahwa semua gerak-geriknya diikuti orang-orang dari jauh. Itulah pasukan Blambangan yang dipimpin Raden Sindupati.
Kini dari tempat sembunyinya, tidak jauh dari gubuk Itu, Raden Sindupati menyaksikan gerak-gerak Endang Patibroto, kagum melihat wanita itu membunuh tiga belas orang perajurit Jenggala yang hendak menangkapnya, dan ngeri menyaksikan Wanita itu mengamuk ke dusun membuat semua penghuni dusun lari cerai-berai.
Namun ia masih belum yakin benar akan tingginya ilmu kepandaian Endang Patibroto. Ketika Endang Patibroto menyerbu tempat tahanan dan membebaskan suaminya, ia tidak berani membawa pasukannya masuk ke kota raja, hanya menanti di luar dinding, sehingga ia tidak melihat sepak terjang wanita sakti itu yang menggiriskan.
"Kakang Klabangkoro dan Klabangmuko, kalian ikut bersamaku menghadapinya" katanya tenang.
Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi pucat wajahnya. "Tapi... tapi..." mereka meragu, hati mereka giris menyaksikan kehebatan wanita itu yang tidak saja sudah membunuh Wiku Kalawisesa, juga telah berani menyerbu Panjalu malah berhasil membebaskan suaminya dari keraton Jenggala dan baru saja membunuhi tiga belas orang perajurit danpenduduk kampung.
"Hemm, beginikah sikap prajurit? Takut apa? Aku di samping kalian, dan juga ini hanya siasat. Paman Brejeng, kalau kau melihat kami terdesak, kau dan semua kawan maju, lakukan apa yang sudah kupesan padamu."
Raksasa tua Ki Brejeng hanya mengangguk, akan tetapi matanya memandang ke arah gubuk dengan pandang mata termenung, seperti orang sedih. Dengan langkah tegap yang membesarkan hati Klabangkoro dan Klabangmuko, Sindupati menghampiri gubuk. Dilihatnya Endang Patibroto masih menangisi mayat suaminya. Ia lalu berdiri tegak dan menegur,
"Teja-teja sulaksana! Siapakah gerangan andika, seorang wanita cantik menangis seorang diri di antara sekian banyaknya mayat?"
Endang Patibroto yang sedang menangis dan memeluki tubuh suaminya, mengangkat muka dan menengok. Matanya membendul merah karena tangis, kini mengeluarkan sinar yang beringas dan liar. Sejenak ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya, membuat Klabangkoro undur dan ngeri, kemudian Endang Patibroto turun dari gubuk itu dan berkata, suaranya serak karena terlalu banyak menangis,
"Semua orang harus mati, mengikuti suamiku!" bentaknya sambil melangkah maju.
Sindupati tersenyum, senyumnya yang selalu dapat meruntuhkan hati wanita, baik ketika ia masih muda menjadi senopati di Jenggala dahulu maupun sekarang setelah ia berada di Blambangan. Banyak wanita Blambangan, termasuk puterl adipati sendiri, jatuh hatinya oleh senyum itu. Akan tetapi Endang Patibroto hanya memandang dengan mata mendelik marah.
"Aih-aihh, tidak begitu mudah, wong ayu!" katanya sambil siap karena maklum betapa saktinya wanita ini.
Endang Patibroto mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya sudah menerjang, dengan tangan kanan menghantam arah kepala Sindupati. Lawannya mundur sambil mengerahkan tenaga mengibas, menangkis.
"Dukkkl"
Raden Sindupati terhuyung mundur sampai tiga langkah, terkejut bukan main karena lengan wanita itu mengeluarkan tenaga dahsyat dan hawa panas. Juga Endang Patibroto terheran. Laki-laki itu dapat menangkis pukulannya Gelap Musti? Baik, makin tangguh lawannya makin baik, pikirnya dan timbul kegembiraannya bertanding. la lalu menerjang lagi. Kali ini Sindupati mengelak dengan gerakan yang cepat sekali sehingga kembali Endang Patibroto tertegun.
Pada saat itu, sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau, dari kanan kiri Klabangkoro dan Klabangmuko menerjang maju, menghantam dengan kepalan tangan mereka sebesar buah kelapa muda! Antep dan keras sekali pukulan mereka, seperti serudukan celeng (babi hutan). Namun dengan cekatan Endang Patibroto dapat mengelak, bahkan menyambar dan berhasil menepuk pundak Klabangkoro dengan ujung jari tangan.
Biarpun hanya menepuk karena tangannya tidak sampai, namun ujung-ujung jari itu mengandung Aji Pethit Nogo, maka tubuh Klabangkoro terguling masuk ke selokan, mukanya berlumur lumpur! Ia kaget dan terbelalak, lalu marah dan bangkit kembali Klabangmuko, seperti kakaknya, memilik aji kekebalan Lindungseto sehingga tidak tedas tapak paluning pande sisaning gurindo (tidak mempan senjata tajam), akan tetapi tepukan jari tangan Endang Patibroto membuat kulit pundaknya pedas panas dan tulang pundaknya linu!
Pertandingan itu berlangsung seru. Sepak terjang Klabangkoro dan Klabangmuko seperti dua ekor celeng goteng yang marah membabi-buta, tenaga mereka besar dan pukulan-pukulan mereka walaupun tidak akan menimbulkan luka dalam, namun cukup berbahaya bagi kulit Endang Patibroto yang halus. Adapun Sindupati gerakannya amat cepat, bagaikan seekor trenggiling, adakalanya bergulingan dan memang dia adalah ahli Aji Trenggiling Wesi, semacam ilmu silat mendasarkan gerakan bergulingan kemudian dari bawah mengirim tendangan-tendangan kilat atau kadang-kadang meloncat dan mengirim pukulan-pukulan ampuh.
Endang Patibroto makin gembira. Sudah lama ia tidak bertemu tanding yang tangguh. Wiku Kalawisesa tidak termasuk lawan yang tangguh mengenai ilmu berkelahi, sungguhpun ilmu hitam kakek hitam Itu berbahaya. Kini Endang Patibroto menggunakan ilmunya, gerakannya seperti burung walet, kedua tangannya mengandung aji yang amat ampuh, yang kanan terkepal mengandung Aji Gelap Musti ajaran Dibyo Mamangkoro, yang kiri terbuka, jari-jarinya mengandung Aji Pethit Nogo ajaran kakeknya, mendiang Resi Bhargowo! Hebat bukan main gerakannya, cepat tak dapat diikuti pandang mata, hanya tampak bayangannya berkelebat menyambar ke sana ke mari.
Tiga orang tokoh Blambangan itu terdesak hebat. Klabangkoro roboh terguling-guling ketika kena serempet pukulan Gelap Musti, untungnya hanya terserempet pada pundaknya saja, akan tetapi tulang pundak serasa remuk. Klabangmuko juga roboh terpental oleh tendangan kaki Endang Patibroto, untung Aji Lindungseto membuat ia tidak terluka. Raden Sindupati yang dianggap lawan terberat oleh Endang Patibroto didesak sampai tak mampu balas menyerang. Betapapun tubuhnya bergulingan, selalu dikejar dan dibayangi pukulan-pukulan maut sehingga ia terengah-engah dan wajahnya berubah pucat.
Tiba-tiba sinar terang menyambar dari kiri. Endang Patibroto maklum bahwa lawannya menggunakan senjata. Golok di tangan Klabangkoro yang menyambar itu dielakkan dan terpaksa ia mengurangi tekanannya pada Sindupati karena pada saat yang hampir bersamaan, golok Klabangmuko juga menyambar, membabat ke arah pinggangnya. Dua serangan sekaligus. Ia mengelak, miringkan tubuh dan meloncat ke atas ketika golok ke dua membabat pinggang.
Dari atas ia lalu menerjang Sindupati yang sudah mencabut kerisnya. Keris ini mengeluarkan sinar hijau, keris Nogo kikik berlekuk tujuh dengan gandhik berbentuk kepala anjing serigala. Ada hawa dingin terbawa oleh keris ini. Namun Endang Patibroto sudah menggerakkan kakinya dari depan membuat gerakan melingkar, kemudian dari samping ia menendang dengan tumit kakinya mengenai pergelangan tangan lawan. Sindupati berseru keras dan meloncat menghindarkan tangannya, akan tetapi tusukannya gagal.
Baru saja kaki Endang Patibroto sudah menginjak tanah, kembali dua buah golok menyambar, menyilang dari kanan kiri. Endang Patibroto membiarkan dirinya terancam golok, agaknya ia memang memasang diri untuk dimakan golok yang menyambar dari kanan kiri! Sesuai dengan rencana Sindupati, memang sedapat mungkin kakak beradik itu akan membunuh Endang Patibroto. Kalau ternyata wanita itu terlalu sakti dan kuat, barulah dijalankan siasat selanjutnya. Maka kini melihat betapa golok mereka agaknya akan berhasil mengenai sasaran, kedua kakak beradik ini menjadi girang sekali.
Merupakan pantangan bagi ahli silat untuk terlalu terburu nafsu dan terseret perasaan. Takut, gentar atau girang mabuk kemenangan merupakan titik-titik kelemahan. Karena kegirangan ini, Klabangkoro dan Klabangmuko menjadi kurang waspada, tidak dapat melihat bahwa wanita itu agaknya sengaja memasang diri untuk dimakan golok dari kanan kiri, suatu hal yang sama sekali tidak wajar dalam perkelahian.
"Awasss....!" teriak Sindupati yang lebih matang dalam siasat pertempuran, namun terlambat. Pada setengah detik terakhir, Endang Patibroto yang berada di tengah itu merendahkan diri, kedua tangannya menangkap ke atas, tepat pada pergelangan tangan kedua lawan yang memegang golok, meminjam tenaga bacokan mereka menarik mereka saling bacok sendiri dan pada detik berikutnya, ia menggantung pada kedua lengan sambil menendang dengan kedua kaki ke kiri kanan, tepat mengenai perut gendut kedua lawan.
"Blekk! Blekk!!"
"Aduuhh...! Auggh...!" Kedua orang raksasa Blambangan itu terjengkang ke belakang, golok terpental dan pundak mereka berdarah terkena bacokan saudara sendiri! Masih untung bahwa kekebalan mereka membuat golok itu meleset dan hanya melukai kulit dan sedikit daging pundak, akan tetapi tendangan pada perut itu membuat perut mereka seketika mules sekali. Mereka menggeh-menggeh (terengah-engah) memegangi perut sambil menyeringai seperti kuda kedinginan.
Endang Patibroto hendak menerjang Sindupati, akan tetapi orang itu sudah mengangkat tangan kanan ke atas danEndang Patibroto menunda serangannya, melihat dengan mata tajam ke arah pasukan sebanyak puluhan orang yang datang berbondong-bondong dari tempat sembunyi.
"Bagus! Lebih banyak yang mati menjadi pengiring suamiku lebih baik!" bentak Endang Patibroto dan tubuhnya sudah siap menerjang.
"Tahan dulu...!" Tiba-tiba terdengar suara parau besar dan majulah seorang raksasa yang tubuhnya amat kuat dan kokoh, sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Gusti Endang Patibroto.... Gusti puteri....! Ah, kiranya padukakah ini?"
Endang Patibroto memandang dengan mata merah. Ia merasa kenal dengar raksasa ini akan tetapi lupa lagi di mana dan kapan. Dengan wajah dingin ia membentak, "Siapa engkau?"
Ki Brejeng lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Duhai gusti puteri Endang Patibroto...! Lupakah paduka kepada hamba? Hamba Ki Brejeng...."
Berkerut kening Endang Patibroto. Nama inipun tidak asing baginya. "Brejeng.....?" Suaranya berbisik.
"Ya, hamba Ki Brejeng, pelayan guru paduka, Senopati Dibyo Mamangkoro....! Lupakah paduka ketika di Pulau Iblis hamba mengajak paduka bermain-main....?"
Teringatlah kini Endang Patibroto, matanya berkejap-kejap memandang penuh perhatian, terbayang semua peristiwa ketika ia masih kecil dahulu, bersama gurunya Dibyo Mamangkoro. Ya, Ki Brejeng temannya bermain-main di pulau itu.
"Gusti puteri, kita orang-orang sendiri, bukan musuh... Ah, kenapa gusti sampai menjadi begini....?"
Mendengar suara yang menyatakan belas kasihan ini, tak tertahan lagi air mata Endang Patibroto jatuh berderai, ia terhuyung maju, berlutut di depan Ki Brejeng lalu merangkul pundak raksasa itu, menaruh muka pada dada yang bidang itu sambil menangis.
"Aduh.... paman Brejeng... !!" keluhnya.
Ki Brejeng merangkul pundak wanita Itu, menepuk-nepuk punggungnya, teringat ia dahulu ia seringkali mengendong wanita itu di waktu masih kecil dan tak terasa lagi sepasang mata raksasa yang keras hati ini menjadi basah. Setelah tangis Endang Patibroto mereda, Ki Brejeng lalu berkata halus dan parau,
"Tenanglah, gusti puteri dan mari saya perkenalkan dengan kawan-kawan ini. Sudah lama semenjak guru paduka tewas, hamba melarikan diri ke Blambangan dan bekerja mengabdi pada Adipati Blambangan. Hamba ikut dengan pasukan Blambangan ini, di bawah pimpinan Raden Sindupati untuk menyelidiki keadaan Panjalu dan Jenggala. Marilah gusti...."
Endang Patibroto bangkit berdiri dan Raden Sindupati cepat melangkah maju lalu member! hormat.
"Ah, mohon maaf sebanyaknya atas kelancangan kami. Sungguh saya menyangka bahwa andika adalah puteri Endang Patibroto yang sudah terkenal di seluruh dunia! Melihat andika bersama mayat-mayat perajurit Jenggala, kami mengira andika adalah musuh. Maafkan saya Sindupati dari Blambangan."
Kalau tidak ada Ki Brejeng di situ, tentu Endang Patibroto tidak sudi berbicara dengan orang-orang Blambangan. Sikapnya masih angkuh ketika ia bertanya.
"Hemm, kalian orang-orang Blambangan mengapa berada di sini?"
Raden Sindupati tersenyum dan kembali memberi hormat. "Seperti telah dikatakan paman Brejeng tadi, kami bertugas untuk menyelidiki keadaan Jenggala dan Panjalu dan kami banyak mendengar hal-hal aneh sekali yang membayangkan betapa kacau keadaan Jenggala! Hamba mendengar betapa Raja Jenggala menangkap puteranya sendiri, tanda bahwa Kerajaan Jenggala sudah mendekati kehancuran! Blambangan sudah lama mencita-citakan untuk menyerbu Jenggala, membalas atas penumpasan Adipati Nusabarung."
Akan tetapi mendengar peristiwa suaminya disebut-sebut, Endang Patibroto teringat akan suaminya dan ia berkata, "Suamiku, Pangeran Panjirawit telah meninggal dunia...."
"Ya Jagad Dewa Bathara....!" Raden SIndupatl berseru kaget dan di dalam suaranya terkandung iba hati. Akan tetapi Endang Patlbroto sudah menangis lagi dan lari memasuki gubuk, tidak memperdulikan lagi kepada pasukan Blambangan. Raden Sindupati lalu memberi isyarat kepada Ki Brejeng yang menghampirinya, lalu raksasa Itu dibisiki. Ki Brejeng berulang-ulang mengangguk, kemudlan perlahan-lahan memasuki gubuk. Dia memang kasihan kepada Endang Patibroto, maka suaranya menggetar ketika berkata,
"Gusti puteri, yang sudah mati tidak perlu terlalu ditangisi, tidak baik untuk perjalanan ke alam asal. Lebih baik kita merawat dan melakukan penyempurnaan jenazah gusti pangeran suami paduka. Biarlah, serahkan saja kepada Ki Brejeng dan kawan-kawan dari Blambangan, gusti. Percayalah, Ki Brejeng tidak akan menipu paduka, tidak akan membikin susah paduka."
"Aduh... paman Brejeng..." kembali Endang Patibroto menangis mengguguk, akan tetapi ia tidak membantah ketika Ki Brejeng memegang pundaknya dan menariknya keluar dari gubuk.
Kemudian Ki Brejeng yang dibantu Sindupati dan anak buahnya lalu membersihkan jenazah Pangeran Panjirawit, mencabut anak panah dan membereskan pakaiannya. Kebetulan sekali di situ terdapat gubuk itu, mereka lalu mengumpulkan kayu-kayu dan daun-daun kering, lalu mereka semua bermuja samadhi untuk menghormat dan mengantar roh yang mati ke alam akhir.
Semua upacara ini diikuti oleh Endang Patibroto dengan hati penuh keharuan. Akhirnya, ketika api dinyalakan, gubuk dibakar di mana terdapat suaminya, ia menangis lagi mengguguk memanggil-manggil nama suaminya. Semangatnya seakan-akan ikut terbang melayang bersama asap putih yang membubung tinggi.
Sementara itu Ki Brejeng yang menemani dan mendekati Endang Patibroto mulai membujuk Endang Patibroto. la bertanya apa sebenarnya yang sudah terjadi. Karena pada saat seperti itu Endang Patibroto amat membutuhkan seorang kawan yang dapat ia ajak bicara dan dapat mendengarkan curahan hatinya yang penuh penasaran dan karena ia percaya akan kesetiaan raksasa ini, berceritalah ia secara singkat akan segala peristiwa yang sebetulnya sudah diketahui oleh Ki Brejeng. Ki Brejeng menyumpah-nyumpah Pangeran Darmokusumo dan Sang Prabu Jenggala, kemudian ia membujuk Endang Patibroto agar suka ikut ke Blambangan.
"Paduka tentu dicari-cari dan dikejar-kejar oleh kedua kerajaan itu."
"Aku tidak takut! Aku akan melawan!" jawab Endang Patibroto, penuh dendam.
"Apa gunanya, gusti? Apa gunanya paduka seorang diri melawan barisan kedua kerajaan itu? Tidak, seyogianya paduka ke Blambangan. Kebetulan sekali Blambangan memang berniat menggempur Jenggala dan Panjalu, dan Adipati Blambangan amat baik, dapat menghargai orang-orang pandai. Lihat saja, hamba juga telah diterima menjadi ponggawa. Kalau paduka suka bersama hamba ke sana, paduka dapat bersama bala tentara Blambangan kelak maju menggempur Jenggala dan Panjalu dan saat itulah paduka dapat melakukan balas dendam atas kematian suami paduka!"
Akhirnya, setelah Raden Sindupati juga ikut membujuk-bujuk dengan manis budi dan janji-janji yang memungkinkan wanita ini membalas kematian suaminya, Endang Patibroto mengangguk.
"Baiklah, Ki Brejeng, aku menurut nasehatmu. Raden Sindupati, aku suka ikut bersamamu ke Blambangan."
Bukan main girangnya hati Sindupati. Biarpun ia tidak berhasil membunuh Endang Patibroto, namun ia sudah berhasil memancing wanita ini ke sana! Alangkah akan girangnya hati Adipati Blambangan dan untuk ini ia tentu akan menerima pahala besar sekali. Apalagi, ia telah berhasil pula melemahkan kedua kerajaan dengan pembunuhan para ponggawanya. Betapapun juga, di hatinya terkandung niat lain.
Melihat Endang Patibroto, janda kembang yang cantik jelita dan menggairahkan ini, hatinya sudah jatuh! la merasa sayang kalau wanita secantik ini dibunuh begitu saja oleh Adipati Blambangan. Tidak, terlalu sayang kalau begitu! Ia mempunyai siasat lain!
Setelah pembakaran jenazah selesai dan abu jenazah sudah dirawat untuk kemudian dilarung (dihanyutkan) di laut, pasukan itu melanjutkan perjalanan. Endang Patibroto memulai hidup baru dan di sepanjang perjalanan, ia dihibur oleh Ki Brejeng yang betul-betul merasa kasihan kepada bekas junjungannya ini.
********************
Kadipaten Selopenangkep! Kadipaten ini letaknya di tepi Sungai Progo, tidak amat jauh dari pantai Laut Kidul. Kadipaten yang tidak berapa besar, namun jelas tampak keadaan yang aman tenteram kerta raharja meliputi seluruh daerah kadipaten. Pamong tani hidup ayem, tanahnya subur tak kekurangan maupun kebanyakan air, sawah ladang terlalu penuh tanaman yang subur sehingga di waktu habis tandur, sawah ladang tampak ijo (hijau) royo-royo bagaikan lautan tenang. Adapun menjelang panen, sawah ladang berubah menjadi lautan emas dengan padi-padi menguning dan gemuk-gemuk menunduk.
Semua penduduk, dari dusun sampai kadipaten, tiada yang malas, semua rajin bekerja karena hasil karya mereka selain tampak di depan mata, juga terasa sampai di perut sendiri dan perut anak isterinya. Di wajah mereka tampak kegairahan bekerja itu, dari wajah anak-anak penggembala yang mengarit rumput, sampai kepada wajah pamong tani, nelayan, seniman dan pedagang, berseri penuh gairah kerja, memuliakan karya masing-masing dengan hati cinta dan tulus.
Tidak ada iri-mengiri sehingga tak pernah tercipta tindak sesat, tidak ada maling atau perampok. Tidak ada waktu bermalas-malasan yang dapat terisi tindak iseng maksiat, tidak ada perjudian, tidak ada perjinahan atau mabuk-mabukan, semua tunduk kepada hukum yang tak tertulis, hukum kehidupan masyarakat damai, makmur dan tenteram, yang cinta akan ketenteraman.