Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 04
SEMUA ini adalah sebagian besar akibat wibawa dan pengaruh dari penguasa setempat, yaitu sang adipati di Selopenangkep. Perbawanya menyorot luas sampai keluar daerah Selopenapgkep, perbawa yang didasari keadilan dan cinta kasih seorang penguasa, seperti keadilan dan cinta kasih seorang bapak terhadap anak-anaknya. Keadilan dan cinta kasih Adipati Tejolaksono seolah-olah sinar matahari yang menyorot ke segenap pelosok, tiada memilih bulu, tidak pilih kasih.
Adil dan keras dalam memberantas kejahatan disertai petunjuk-petunjuk kembali ke jalan benar bagi yang sesat, menghukum bukan karena benci karena bagi sang adipati yang arif bijaksana, bukan manusialah yang dihukum, melainkan kejahatan untuk memaksa manusianya insyaf sadar dan bertaubat, kembali ke jalan benar.
Kebaikan-kebaikan dipuji, dianjurkan, dipupuk, seperti halnya kesenian dan kebudayaan yang serba indah. Kebaikan disamakan dengan keindahan, sehingga kebaikan bukan lagi merupakan perbuatan yang dipamrihi balas jasa dan ingin puji, melainkan menjadi semacam keindahan yang disuka oleh segenap golongan.
Sang Adipati Tejolaksono adalah seorang adipati yang masih muda, baru tiga puluh dua tahun usianya, namun memiliki kebijaksanaan seorang sepuh (tua) yang sepi hawa, artinya sepi daripada hawa nafsu, yang patut menjadi tetuanya masyarakat, yang bekerja bahkan hidup hanya dengan satu pamrlh, yakni mengabdi kepada Hyang Widhi dengan cara menyebar cinta kasih antara manusla, bekerja demi kebahagiaan masyarakatnya, keluarganya, baru dirinya sendiri.
Keadilan dan cinta kasih inilah yang menyinar seperti cahaya matahari merata di antara kawulanya, sehingga menjadi milik semua orang, bahkan meresap menjadi watak semua orang, yaitu, adil dan mencinta sesamanya.
Pagi itu amat indahnya. Matahari bersinar cerah. Pamong tani tidak lagi begitu sibuknya seperti di musim tandur atau panen. Musim tandur baru saja lewat. Padi sudah mulai tumbuh subur. Pekerjaan kaum tani menjadi lebih ringan, hanya menjaga dan merawat agar tanaman mereka tidak kekurangan atau kebanyakan air, tidak terganggu hama dan rumput liar.
Pada hari itu, serombongan orang berkuda keluar dari kadipaten. Dua belas orang perajurit pengawal yang gagah-gagah menunggang kuda, mengiringkan seorang pria yang tampan dan gagah perkasa menunggang kuda putih, berpakaian sederhana namun berbeda dengan kedua belas orang pengawal. Inilah Sang Adipati Tejolaksono sendiri, yang seperti kedua belas orang pengiringnya, menyandang sebatang anak panah.
Sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan, sang adipati mellrik ke arah sampingnya, di mana terdapat seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menunggang kuda berbulu dawuk. Anak ini biarpun baru berusia sepuluh tahun, namun jelas membayangkan sifat-sifat satria, duduk tegak di punggung kuda seperti seorang ahli dan punggungnya tersandang sebuah busur kecil pula, di pinggang kiri tergantung sebatang pisau bersarung kulit.
Sang adipati tersenyum bahagia melihat puteranya ini. Pagi tadi ketika berangkat, isterinya berkali-kali membekali pesan agar hati-hati menjaga Bagus Seta. Isterinya, yang pagi hari itu kelihatan seperti Dewi Sri yang dipuja-puja rakyatnya untuk memberkahi sawah ladang mereka, yang tak pernah kelihatan berubah, tak pernah bertambah tua sejak menikah, seperti ibu-ibu di seluruh dunia ini amat menyayang puteranya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Masih terdengar ucapan isterinya,
"Kakangmas adipati, sebetulnya Baguseta masih terlalu kecil untuk diajak berburu. Di hutan banyak sekali binatang buas."
"Ah, nimas Ayu, mengapa khawatir? Bagus Seta sudah cukup besar dan dapat menjaga diri, apalagi aku tidak akan membiarkan ia diterkam harimau."
"Ihhh, kakangmas mengapa mengeluarkan kata-kata yang mengerikan itu?"
"Ha-ha-ha, nimas, lupakah bahwa engkau sendiri sejak dahulu selalu bermain-main di hutan? Lupakah ketika dahulu kita bermain-main dengan harimau sebesar lembu?
Ayu Candra, isterinya yang sesuai dengan namanya itu amat cantik seperti bulan purnama, tersenyum dan mengerling manja, dengan kedua pipi kemerahan, mengerling malu-malu kepada para pengawal yang sudah siap mengiringkan junjungan mereka. Kalau mereka berdua di dalam kamar di mana tiada mata lain memandang, biasanya kalau sudah bersikap manja begitu Ayu Candra tentu akan mencubitnya, karena percakapan tentang dahulu tentu akan berlarut-larut menjadi godaan dan senda-gurau, menghidupkan lagi kenangan lama yang membuat isterinya tersipu-sipu malu dan manja.
Dulu, sepuluh tahun yang lalu, sebelum menjadi adipati di Selopenangkep atas pengangkatan sang prabu di Panjalu, dia bernama Jaka Wandiro. Setelah mengalami banyak hal-hal yang hebat, akhirnya ia memperoleh Ayu Candra sebagai isteri dan menjadi adipati (baca cerita Badai Laut Selatan).
Dahulu, Ayu Candra sejak kecil ditunangkan dengan Joko Seta yang kemudian gugur dalam perang sehIngga dara itu bebas dan dapat menikah dengannya. Untuk mengenang Joko Seta, seorang satria perkasa yang gugur membela negara, maka putera mereka ini mereka beri nama Bagus Seta. Dan nama ini memang tepat karena semenjak lahirnya, Bagus Seta berkulit putih kuning dan bersih. Hidupnya penuh bahagia!
Memang, sang adipati puas dan selalu bersyukur kepada Hyang Widhi, yang telah melimpahkan berkah yang tiada berkeputusan kepadanya. Di dalam kadipaten, ia merasa seperti di tempat yang aman, tenang, dan menyenangkan selalu. Isterinya setia dan mencintanya sepenuh jiwa raga, dan di samping isteri dan putera mereka, di kadipaten tinggal pula kedua bibinya, yaitu bibi Roro Luhito dan bibi Kartikosari.
Roro Luhito adalah adik kandung mendiang ayahnya, dan Kartikosari bibi gurunya, ibu Endang Patibroto. Kedua orang wanita yang kini usianya sudah sekitar empat puluh tahun ini sudah janda, keduanya adalah isteri mendiang guru pertamanya, atau bapak angkatnya yang bernama Pujo, seorang satria utama pendekar perkasa yang oleh sang adipati dijadikan cermin atau tauladan hidupnya (baca Badal Laut Selatan). Bibinya, Kartikosari, mempunyai seorang puteri yang usianya baru sebelas tahun, bernama Setyaningsih sedang bibinya, Roro Luhito juga mempunyai seorang puteri bernama Pusporini.
Mereka ini kedua adik-adiknya, biar baru berusia dua belas tahun, sudah nampak sebagai dara-dara remaja yang cantik jelita, halus budi pekertinya, sopan santun dan ramah budi bahasanya, pandai dalam segala macam kesenian, merupakan calon-calon puteri pilihan yang menjadi kebanggaan kadipaten. Adipati Tejolaksono dan isterinya amat menyayang kedua orang puteri ini yang terhitung adik-adik misan mereka.
Kini rombongan yang menjalankan kuda perlahan-lahan melalui tegalan yang penuh rumput hijau. Tiga ekor kerbau asyik makan rumput yang gemuk hijau dan tebal. Tiba-tiba sang adipati menghentikan kudanya, diturut oleh puteranya dan para pengawal yang tadinya bersenda-gurau dan bercakap-cakap, otomatis juga menghentikan kuda mereka, tidak ada yang bicara lagi, ikut memperhatikan.
Kiranya sang adipati tekun mendengarkan suara orang menembang, suara yang tidak begitu merdu, agak serak seperti suara orang tua, yang sedang menyanyikan tembang Asmaradana.
"Nora suwe wong urip iki
lelana ing alam donya
tan rinasa pira lawase
weruh-weruh sugih uwan
nora suwe mesti sirna
cilik gedhe cendhek dhuwur
wekasan mesthi palastra
Suglh mlarat kabeh sami
menang kalah nora beda
yen wis pinasthi wancine
kabeh bali marang asal
mula yen sih doyan sega
ja nuruti hawa nepsu
urip pisan sing sampurna."
Terjemahannya :
"Tidak lama manusia hidup ini... berkelana di dalam dunia... tidak terasa berapa lamanya... tahu-tahu banyak uban... tidak lama tentu lenyap... kecil besar pendek tinggi... akhlrnya tentu mati... Kaya miskin semua sama... menang kalah tiada beda... kalau sudah dipastikan waktunya... semua kembali kepada asal... maka kalau masih suka nasi... jangan menurutkan hawa nafsu... hidup sekali yang sempurna."
Sang Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk, terharu dalam hatinya.
"Kulup Bagus Seta. Kau mendengar tembang tadi, bukan?"
Anak itu mengangguk. Sejak kecil ia sudah diajar tembang dan kesenian lain.
"Tembang Asmaradana, ayah. Tapi kata-katanya kasar bersahaja."
"Memang, anakku. Kata-kata itu hanyalah kulitnya belaka. Menilai sesuatu lihatlah isi, jangan terpengaruh kulit. Justeru kesederhanaan itulah yang mengharukan. Kau ingat baik-baik, mencari pujangga-pujangga besar tak usah jauh-jauh ke kota raja. Mencari orang bijaksana tak usah dicari di antara orang cerdik pandai. Dia yang mengerti akan hidup, dialah orang bahagia, bijaksana dan berguna. Di dusun-dusun, di tempat-tempat sunyi tempat orang-orang yang oleh orang kota dianggap bodoh, di mana rakyat hidup diselimuti kesederhanaan yang tak dibuat-buat, di sanalah tempat kebijaksanaan dan kebahagiaan, di mana orang hidup tidak menjadi hamba nafsu, di mana orang hidup penuh kebahaglaan karena mereka ini menerima segala apa yang mereka miliki dengan hati puas, dengan hati menerirna, dengan hati tulus mengucap syukur kepada Hyang Widhi, dijauhkan angkara murka dan iri hati. Kelak, kalau engkau sewaktu-waktu berada di kota raja, dan engkau sudah dewasa, kalau engkau terjalin dalam keributan orang-orang yang berebutan keduniawian, kau ingatlah kepada kesederhanaan tembang dan kehidupan di dusun, anakku."
Bagus Seta belum begitu mengerti atau belum dapat menangkap betul arti daripada wejangan ayahnya, akan tetapi para perajurit pengawal yang berada di belakang menundukkan kepala dan di dalam hati terdapat kesan yang dalam.
Seorang kakek yang berpakaian serba hitam, amat sederhana, akan tetapi biarpun kepalanya penuh uban, wajahnya masih kemerahan dan sinar matanya berseri, muncul dari balik rumput di mana tadi ia mengarit. Ketika melihat rombongan sang adipati yang berkuda berhenti di pinggir sawah, tergopoh-gopoh ia menghampiri dan berjongkok menghaturkan sembah. Adipati Tejolaksono tersenyum mengangguk.
"Paman sedang mengarit rumput menggembala kerbau?" tanyanya dengan suara halus dan pandang mata berseri.
"Benar seperti yang paduka katakan, gusti adipati."
"Kerbaumukah itu, paman?"
"Bukan, gusti. Milik anak mantu hamba yang dua ekor, yang seekor kepunyaan anak hamba. Hamba membantu mereka, gusti."
Diam sejenak, pandang mata sang adipati menyelidik, tertarik. "Paman, maafkan pertanyaanku ini karena, menyangkut penghidupan dan isi hatimu. Bahagiakah hidupmu, paman?"
Kakek itu termenung, agaknya bingung mendengar pertanyaan yang tak pernah disangka-sangkanya ini.
"Bahagia? Apa maksud paduka, gusti? Hamba tidak membutuhkan bahagia itu!"
Sang adipati tertawa bergelak sambil menengadah, memandang angkasa di mana awan putih bergerak seperti domba-domba putih. Ada persamaan antara awan itu dengan kakek ini. Tidak membutuhkan apa-apa, tidak kekurangan sesuatu. Itulah bahagia. Karena tidak mencari maka tidak pernah terluput, karena tidak membutuhkan maka tidak kekurangan. Yang mengejar-ngejar bahagla hanyalah orang pandir.
"Ha-ha-ha! Adipati Tejolaksono tertawa gembira sampai keluar air matanya. Kemudian ia mengambil dua potong emas dari saku bajunya, memberikannya kepada si kakek sederhana.
"Sesungguhnya engkau tidak kekurangan sesuatu, paman, terimalah hadiahku ini, belikan lagi satu dua ekor kerbau untuk membantu pekerjaan keluargamu."
Kakek itu terbelalak, menerima hadiah itu lalu menyembah, menghaturkan terima kasih kepada junjungannya, akan tetapi sang adipati telah menjalankan kudanya lagi, wajahnya berseri-seri. Kakek yang sederhana itu telah mengajarkannya flisafat hidup yang tak terniIai yang hanya dia seorang yang dapat menikmati dan mengertinya karena selosin perajurit pengawalnya itu saling pandang, tidak mengerti. Bagus Seta hanya bergembira karena kembalI ayahnya melakukan perbuatan yang amat elok, yang menyenangkan hati seorang kakek-kakek sederhana.
Mereka berburu di kaki Gunung Merapi, di mana terdapat sebuah hutan yang amat lebat dan liar, penuh binatang-binatang hutan seperti harimau, kijang, dan lain-lain binatang buruan. Mulailah mereka berburu. Yang diutamakan oleh sang adlpati adalah memburu harimau karena pemburuan ini lebih menggembirakan hati, lebih menegangkan. Kalau bertemu harimau, pengawal-pengawalnya lalu menggiring dan mengurungnya, kemudian sang adipati akan menghadapinya dengan tangan kosong, membunuhnya dengan pukulan-pukulan maut. Ini merupakan latihan baginya, di samping kegembiraan mendapat kulit dan daging.
Akan tetapi kalau harimau itu terlalu gesit sehingga tidak dapat dikurung, anak panah dipergunakan untuk merobohkannya. Juga kijang dan binatang-binatang yang mempunyal daging lezat dipanah roboh.
Sudah setengah harian mereka memburu binatang akan tetapi hanya berhasil memanah roboh empat ekor kijang. Tidak ada harimau tampak. Hati sang adlpati mulai kesal. Akan tetapl Bagus Seta yang baru pertama kali ini ikut berburu, menjadi gembira bukan main. Permainan ini penuh ketegangan, dan suasana di dalam hutan liar itu menggairahkan hatinya. Dua kali mereka diserang ular-ular besar, sebesar pahanya, akan tetapi dengan cekatan para pengawal memanah ular-ular itu pada leher dan kepalanya. Mereka mengulitinya dan mengambil kulitnya yang berwarna dan bercorak indah.
"Kita masuk ke dalam, masa tidak ada harimau di sana," kata sang adipati penasaran. Para pengawal menurut, sungguhpun di dalam hati mereka khawatir kalau-kalau mereka akan kemalaman pulang. Belum pernah sang adipati berburu sampai bermalam, karena hal ini tidak pernah diperkenankan isterinya, Juga para bibinya.
Sang adipati mengeprak kuda ke dalam hutan yang amat rungkut, diikutl puteranya, kemudian baru para pengawal yang merupakan barisan di kanan kiri dan belakang, terdiri empat orang masing-masing bagian. Hal ini dilakukan untuk dapat cepat bergerak mengurung kalau ada harimau.
Tiba-tiba kuda sang adipati meringkik aneh. Wajah sang adipatl berseri, karena ia mengenal watak kudanya, mengenal penciuman kudanya yang tajam terlatih. Harimau, pikirnya. Benar saja, terdengar auman keras yang menggetarkan seluruh rimba raya itu. Bagus Seta tergetar hatinya, mendekatkan kudanya. Mereka semua turun, dan Bagus Seta juga cepat-cepat turun terus mendekati ayahnya, matanya memandang ke kanan kiri karena auman harimau itu menimbulkan gema yang sukar ia terka dari mana datangnya. Seakan-akan di sekelilingnya penuh dengan harimau mengaung-ngaung.
Semua pengawal sudah menyiapkan tombak, lalu mereka menyelinap-nyelinap di antara semak belukar berusaha mengurung harimau yang berada di sebuah gerombolan alang-alang. Mereka mengambil batu, melempari semak-semak itu dan mengeprak-ngeprak dengan tombak, berteriak-teriak. Tak lama kemudian, terdengar pula aum yang dahsyat dan tampaklah kepala seekor harimau gembong yang besar sekali.
Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak, mulut celangap. Sebesar kerbau macan itu, pikirnya. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena tegang. la sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak ada rasa takut menyelinap ke dalam hatinya. Sekecil itu ia sudah dapat mempertimbangkan dan menilai keadaan. Betapapun besar dan galaknya macan gembong itu, di situ terdapat dua belas orang pengawal, bahkan terdapat pula ayahnya. Perlu apa takut?
Tiada alasan untuk takut. Maka ia memandang penuh perhatian, ingin melihat dengan mata kepala sendiri kesaktian ayahnya yang sering didengarnya dari dongengan para pengawal, betapa dengan tangan kosong ayahnya sanggup mengalahkan seekor harimau. Kinilah tiba saatnya ia melihat dengan mata kepala sendiri dan mempelajari gerakan-gerakan ayahnya ketika menghadapi macan.
"Dia membawa anaknya...!" Tiba-tiba Bagus Seta tak dapat menahan kata-katanya yang diucapkan setengah berteriak ketika ia melihat kepala macan itu menunduk lenyap ke dalam semak-semak kemudian tampak lagi dan kini seperti seekor kucing, harimau betina yang besar itu menggigit punggung seekor harimau kecil.
Terlambat sang adipati mencegah puteranya berteriak. Harimau itu kaget, kemudian mengeluarkan suara gerengan dengan kerongkongannya dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melompat jauh ke depan. Seorang pengawal yang menjaga di situ, berusaha menggebah sang harimau kembali ke tengah kurungan dengan menusukkan tombaknya. Akan tetapi harimau yang amat besar itu menggerakan kaki depan menyampok dan...
"krekkk...!" Tombak itu patah dua dan si pengawal terpelanting. Harimau lalu lari.
"Biar kupanah dia!" Tiba-tiba sang adipati berseru keras. Seruan ini keras dan seperti auman harimau tadi, mendatangkan gema. Si harimau agaknya terkejut, menengok.
Pada detik itulah anak panah sang adipati menyambar, semula menyambar ke arah leher dengan amat cepatnya, akan tetapi karena harimau itu menoleh, kini anak panah itu tepat sekali mengenai perut harimau kecil yang digigit punggungnya. Harimau kecil meronta, terlepas dari gigitan induknya, dan harimau yang besar itu melompat cepat lalu menghilang ke dalam rimba, meninggalkan raung yang seperti ratap tangis bunyinya. Bagus Seta sudah lari ke arah harimau kecil yang terpanah, melihat harimau itu berlumur darah dan sudah mati dengan pandang mata penuh sesal. Ayahnya datang menghampiri.
"Rama, mengapa memanah anaknya.... ?" tanyanya, suaranya mengandung kemarahan dan kekecewaan.
Sang adipati menaruh tangannya di atas pundak puteranya. "Bukan niatku memanah dia, Bagus. Tadinya kuincar leher induknya, akan tetapi harimau itu menoleh dan anak panah mengenai anaknya."
Karena cuaca sudah mulai gelap di dalam hutan itu, sang adipati lalu mengajak rombongannya pulang. Mereka menunggang kuda mereka dan biarpun sang adipati tidak memperoieh seekor harimau besar sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi rombongan itu tetap gembira karena kijang-kijang dan kulit dua ular besar itu lumayan juga. Sate daging kijang amat lezat, tidak kalah oleh sate daging kambing.
Tiba-tiba terdengar auman yang luar biasa dahsyatnya. Auman yang jauh lebih dahsyat daripada auman harimau tadi. Dan kali ini, auman ini membuat semua kuda, termasuk kuda sang adipati, gemetar dan meringkik ketakutan, berdiri di atas kaki belakang dan bahkan beberapa ekor kuda tunggangan pengawal lalu meloncat dan kabur. Kuda tunggangan Bagus Seta juga berdiri di atas kaki belakang, meringkik-ringkik dan meloncat jauh sambil meringkik terus ketakutan. Bagus Seta yang secara tiba-tiba dibawa lari itu, hampir terlempar jatuh, dan cepat-cepat ia mendekam di atas kudanya, memegangi kendali eret-erat dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia sama sekali tidak mampu lagi menguasai kudanya.
"Bagus...! Bagus...! Adipati Tejoleksono berteriak memanggil, namun karena Bagus Seta tak dapat menguasai kudanya, anak itu hanya berteriak-teriak,
"Ayah...! Ayah...!!"
Para pengawal juga bingung karena kuda mereka semua menjadi binal, apalagi ketika suara auman itu terdengar kembali, membuat kuda mereka semua kabur ke pelbagai jurusan tanpa dapat dicegah. Sang adipati yang mengkhawatirkan puteranya segera melompat turun dari atas kuda, meninggalkan kuda yang tak dapat dikuasai lagi itu lalu berlari cepat melesat di antara semak belukar.
Kuda putih itupun lari sambil meringkik-ringkik. Akan tetapi kuda tunggangan Bagus Seta sudah tak tampak dan dengan hati gelisah sang adipati terus mengejar, mengerahkan ajinya berlarl cepat. Sang adipati memiliki Aji Bayu Sakti yang amat hebat, akan tetapi karena hutan itu amat liar, penuh semak belukar, dan ia tidak tahu ke mana larinya kuda puteranya, ia harus menyusup-nyusup dan menyelinap-nyelinap dengan hati tidak karuan rasanya.
Kuda tunggangan Bagus Seta berlari terus, jauh dari tempat tadi. Tiba-tiba dari gerombolan semak belukar muncul seekor harimau yang amat luar blasa. Harimau ini amat besar, hampir setinggi kuda itu sendiri, berdiri menghadang sambil menggereng. Gerengannya tidak nyarIng, akan tetapi bumi terasa tergetar.
Kuda itu berhenti seketika, ngoplok (menggigil kakinya) dan lumpuh seketika, tidak mampu lari lagi, hanya mengeluarkan suara meringkik seperti orang merintih. Melihat harimau yang amat besar dan berbulu panjang putih ini, Bagus Seta juga merasa takut. Baru kali ini ia merasa takut, karena ayahnya tidak berada di situ, karena ia seorang diri harus menghadapi harimau yang amat luar biasa ini.
Namun darah pendekar mengalir kencang di tubuhnya. Ketika kudanya lumpuh dan mendeprok roboh, ia meloncat turun dan mencabut pisau belatinya. Anak berusia sepuluh tahun ini berdiri tegak, memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan ayahnya, pisau belati di tangan kanan, siap menghadapi terjangan harimau putih yang besar sekali itu! Pantang menyerah sebelum kalah.
Macan putih itu berdiri memandang, agaknya terheran, kepalanya miring ke kanan kemudian ke kiri, lalu membuka, mulutnya yang besar memperlihatkan gigi yang besar-besar panjang dan kuat meruncing, lidahnya merah kasar dan kumisnya yang kaku bergerak-gerak tertarik kulit bibir atas yang menaik.
Kemudian terdengar suara gerengannya, gerengan yang membuat tanah yang terpijak kaki Bagus Seta tergetar, yang membuat daun-daun pohon di atasnya yang sudah menguning tua, rontok melayang-layang. Namun Bagus Seta tidak menjadi gentar, bahkan melangkah maju, mengatur kuda-kuda dan mencari akal bagaimana untuk dapat mengatasi bahaya yang mengancam ini.
Tiba-tiba ia teringat akan busur dan anak panah yang tersandang di punggung. Tangan kirinya perlahan-lahan merayap, bergerak ke punggung, akan tetapi pandang matanya tak pernah terlepas dari kepala harimau dan pisau belati masih terpegang erat-erat di tangan kanan. Ia berhasil mengambil busur dan anak panah dengan tangan kini, kemudian tangan kanannya membantu memasangkan anak panah pada busur, pisau belati digigitnya agar sewaktu-waktu mudah ia pergunakan. Kini ia menghadapi harimau dengan busur terpentang dan anak panah siap diluncurkan.
Harimau itu setelah memandang sejenak tanpa berkejap mata, kini melangkah maju, langkah seenaknya dan sama sekali tidak bersikap untuk menerkam. la melangkah menghampiri Bagus Seta yang tentu saja segera menarik busur sampai melengkung dan begitu jarak antara dia dan macan putih itu tinggal tiga meter lagi, ia melepas anak panahnya! Busur dan anak panah itu memang kecil, akan tetapi Bagus Seta sudah terlatih baik busur itupun buatan seorang ahli dan anak panahnya yang runcing dibungkus timah ujungnya.
"Singggg...!!" Dengan cepat sekali anak panah menyambar ke arah muka harimau, antara kedua matanya. Kalau tepat mengenai sasarannya, tentu akan celaka harimau itu! Akan tetapi ternyata harimau itu hebat sekali. Ia menggereng lagi dan kaki depan kiri diangkat, bergerak cepat menyampok ke depan dan.... anak panah itu dapat ditangkap dalam cengkeramannya!
Bagus Seta tertegun! Di antara para pengawal ayahnya yang gagah perkasa sekalipun tidak ada yang mampu melakukan ini. Hanya ayahnya dan eyang putri Kartikosari saja yang mampu menangkap anak panah terbang. Tapi harimau ini dapat! Bukan main! Harimau itu melemparkan anak panah kemudian melangkah maju terus, menghampiri Bagus Seta. Anak ini melempar busurnya, memegang pisau belatinya dan membentak,
"Pergi....! Pergilah kau, macan!!"
Ketika harimau itu menghampiri terus, Bagus Seta bertekad melakukan perlawanan sedapat mungkin. Ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya menerjang harimau itu, tangan yang memegang pisau bergerak menusuk ke arah leher harimau itu . Akan tetapi sekali lagi harimau putih itu mengangkat kaki depan yang kiri, menangkis dan.... pisau itu terlempar...Bagus Seta terpelanting. Ia meloncat berdiri akan tetapi sebuah tamparan kaki harimau mengenai lehernya, membuat anak itu roboh dan pingsan. Baiknya si harimau putih tidak mengulur kukunya ketika menampar, maka leher anak itu tidak terluka. la hanya pingsan oleh kerasnya tamparan.
Harimau itu mengendus-endus, mencium-cium dengan hidungnya pada muka Bagus Seta, kemudian membuka rahangnya, mendekati kepala anak itu dan menggigit punggung baju Bagus Seta, diangkatnya kemudian dibawanya lari dari situ. Kalau Bagus Seta tidak pingsan dan dapat menyaksikan hal ini, tentu ia akan teringat akan anak harimau yang tadi dibawa induknya dengan cara seperti ini pula, digigit punggungnya!
Harimau putih yang menggondol tubuh Bagus Seta ini kini berlari cepat sekali keluar dari hutan dan terus mendaki gunung. Pada saat itu, Adipati Tejolaksono berada di atas sebuah pohon yang tinggi, meneliti keadaan sekelilingnya dengan pandang matanya, mukanya penuh kekhawatiran. Tadi ia mendengar gerengan-gerengan harimau yang bergema menggetar di seluruh hutan, dan ketika ia mengejar lebih jauh, ia melihat busur, anak panak, dan pisau belati puteranya menggeletak di atas tanah.
"Bagus Seta...!!" Ia mengerahkan suaranya memanggil, namun tiada jawaban. Hatinya gelisah dan akhirnya ia meloncat ke atas pohon, memanjat ke pucuk dan dari tempat tinggi mencari-cari. Akhirnya tampak olehnya bayangan putih itu berlari mendaki bukit, menggondol tubuh puteranya.
"Duh Jagad Dewa Bathara... !" Ia berseru terkejut, melayang turun dari atas pohon dan mengerahkan seluruh aji kesaktiannya untuk lari mengejar ke arah Iarinya harimau yang dilihat dari atas tadi. Dengan jantung berdebar ia berdoa semoga Hyang Widhi melindungi puteranya. Teringat akan hasil panahnya tadi yang mengenai harimau kecil yang digondol induknya, ia cepat membuang busur dan anak panahnya. Ia tidak akan memanah harimau itu, khawatir kalau-kalau mengenai tubuh puteranya sendiri. Di tangannya terpegang sebatang tombak dan ia berlari makin kencang.
Ketika ia mengejar sampai di lereng gunung, hari telah mulai senja. Dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatirnya ketika di luar sebuah hutan kecil ia melihat harimau putih yang besar sekali itu mendekam, tubuh Bagus Seta tak bergerak-gerak rebah menelungkup di depan binatang itu. Saking gelisah, sang adipati tidak melihat adanya bayangan putih yang berdiri tak jauh di sebelah depan harimau itu, teraling pohon.
Cepat ia memasang kuda-kuda, mengambil sasaran lalu tombaknya dilontarkan dengan pengerahan tenaga mengarah leher harlmau yang sedang mendekam. Tombak meluncur melebihi kecepatan anak panah, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar, menuju leher harimau dengan ketepatan yang tak diragukan lagi. Betapapun pandai dan sigapnya sang harimau, tak mungkin dapat mengelak dari sambaran tombak seperti ini.
Dan agaknya tombak itu pasti akan mengena sasaran kalau saja tidak terjadi hal yang mujijat. Akan tetapi terjadilah hal yang mujijat itu. Kurang beberapa centi meter lagi ujung tombak mengenai sasaran leher harimau, tiba-tiba sinar putih yang kecil hampir tak tampak menyentuh tombak dan tombak itu menyeleweng dan menancap ke dalam tanah, ambles sampai setengahnya lebih!
Adipati Tejolaksono terkejut. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan harimau yang berbulu putih, apalagi harimau yang pandai ilmu sihir sehingga tanpa bergerak mampu menangkis serangan tombaknya. Ia menjadi makin marah saking gelisahnya melihat keadaan Bagus Seta yang ia tidak tahu masih hidup ataukah sudah mati, kegelisahan wajar seorang ayah melihat puteranya dalam bahaya. Cepat bagaikan elang menyambar, tubuhnya sudah melesat dan mencelat ke arah harimau putih, pukulan Pethit Nogo sekuatnya berada dalam pukulan itu menyambar kepala harimau, dan mulutnya berseru,
"Macan keparat, berani kau mengganggu puteraku?"
"Desss....!!!" Hebat bukan main pukulan Pethit Nogo itu dan tepat bertemu dengan benda putih, akan tetapi yang terang bukan kepala macan karena ketika Sang Adipati Tejolaksono memandang, macan itu tetap mendekam seakan-akan tidak merasakan sama sekali hantamannya yang begitu hebat.
Ia mengangkat muka dan melihat seorang kakek tua renta berambut panjang putih berdiri di depannya, maka mengertilah ia bahwa kakek ini yang telah rnenangkis tombak dan pukulannya. Kakek ini mengenakan kain putih bersih yang dikelit-kelitkan di tubuhnya, memegang sebatang tongkat bambu kuning gading, kakinya telanjang, kepalanya juga telanjang, alis, dan jenggot kumis semua putih, akan tetapi kulit mukanya segar kemerahan seperti muka seorang pemuda remaja dan sepasang matanya begitu bening dan terang seperti sepasang mata anak kecil.
"Orang muda yang perkasa! Kalau boleh aku bertanya, mengapa andika hendak membunuh harimau ini?"
Sebelum menjawab, sang adipati mengerling ke arah puteranya yang masih rebah menelungkup. Dia seorang ahli maka sekilas pandang saja maklumlah ia bahwa puteranya tidak terluka, juga sama sekali tidak mati, mungkin hanya pingsan saja. Keadaannya seperti orang tidur. Hatinya lega dan kembali ia memperhatikan kakek itu. Ia maklum sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan orang sakti mandraguna, yang entah bagaimana tadi sudah sanggup menangkis pukulannya Pethit Nogo. Akan tetapi karena kakek ini membela harimau, maka ia anggap sebagai musuhnya.
"Kakek tua," jawabnya, suaranya juga halus akan tetapi mengandung penasaran, "tentu saja aku hendak membunuh harimau keparat ini karena dia telah menggondol pergi dan hendak membunuh anakku."
Kakek itu mengulum senyum, wajahnya ramah sekali akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh wibawa. "Orang muda, mengapa andika hendak membunuhnya? Tidak bolehkah ia menggondol puteramu, bahkan hendak memangsanya?"
"Tentu saja tidak boleh! Sebagai seorang ayah aku harus melindungi puteraku, dan harimau yang jahat ini harus dibunuh!"
Kakek itu tertawa, ketawanya halus dan nyaring, wajar tidak dibuat-buat.
"Ahhh, apakah artinya jahat, orang muda? Lebih tepat disebut bodoh, akan tetapi siapakah yang lebih bodoh antara harimau ini dengan andika? Kalau andika bicara tentang kejahatan, andikalah orangnya yang jauh lebih jahat daripada harimau ini."
Adipati Tejolaksono menjadi marah dan penasaran sekali. Ia menatap tajam wajah orang tua itu, dan berkata, "Agaknya karena andika berbaik dengan harimau keparat ini, andika hendak membelanya! Apa maksud andika mengatakan aku lebih jahat daripada binatang ini?" Sikap sang adipati menantang, siap untuk bertarung melawan kakek sakti ini.
Akan tetapi kakek itu tidak marah, hanya pandang matanya tajam menusuk. "Orang muda! kemanakah perginya rasa keadilanmu? Baru saja andika telah membunuh anak harimau ini dan andika sama sekali tidak merasa bersalah, kini, harimau ini baru menggondol pergi puteramu, andika sudah marah-marah hendak membunuhnya!"
Adipati Tejolaksono terkejut sekali.Ia memandang harimau itu yang masih mendekam dan mengertilah ia. Harimau itu tentulah harimau jantan yang menjadi bapak dari harimau kecil yang dipanahnya tadi. Sejenak ia termangu, akan tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja.
"Kakek tua yang sakti, tidak salah wawasan andika. Akan tetapi andika lupa agaknya bahwa aku seorang manusia, dan aku sedang berburu harimau! Aku memanah induknya, tidak sengaja mengenai anaknya. Mana mungkin manusia dapat disamakan dengan binatang harimau?"
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian berkata dengan suara halus, akan tetapi ucapan ini terdengar bagaikan halilintar menyambar bagi sang adipati.
"Heh, orang muda, apakah harimau ini juga tidak berhak berburu? Untuk apa kau berburu harimau? Untuk dimakan dagingnya dan diambil kulitnya untuk perhiasan! Apakah engkau kekurangan makanan di kadipaten sehingga harus mencari daging harimau? Apakah hidupmu akan kekurangan kalau tidak ada hiasan kulit harimau? Engkau berburu hanya untuk menuruti nafsu kesenangan, tidak mempunyai dasar atau alasan yang patut! Akan tetapi harimau berburu karena tuntutan hidup, karena wajar, yaitu bahwa harimau harus makan daging mentah agar dapat hidup. Buaskah dia kalau terpaksa harus menerkam mangsanya karena hanya itulah jalan yang diketahuinya untuk dapat langsung hidup? Patutkah engkau yang tidak membutuhkan dagingnya sebagai penyambung hidup, mengejar-ngejar dan membunuhnya hanya untuk melampiaskan nafsu dan kepuasan hati?"
Sang adipati menundukkan kepalanya. Ucapan itu menusuk perasaannya dan tidak sanggup menjawab. "Tapi... tapi... aku seorang manusia... yang dijelmakan menjadi mahluk tertinggi derajatnya, dan aku hanya melakukan kebiasaan yang dilakukan semua orang..." ia menangkis dan bersandar kepada kebiasaan manusia, termasuk raja dan para bangsawan yang suka berburu.
"Ha-ha-ha, engkau berlindung kepada kebiasaan manusia. Salah kaprah! Kesalahan, betapapun besarnya akan menjadi kebenaran kalau sudah dilakukan semua orang. Begitukah? Hei, orang muda, beginikah ajaran yang kau terima dari guru-gurumu? Dari Sang Patih Narotama yang sakti mandraguna, dari Sang Prabu AirIangga yang arif bijaksana?"
Pucat wajah sang adipati. Ia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Aduh, eyang... ampunkan hamba. Hamba mengaku salah, eyang. Bolehkah hamba mengetahui siapa gerangan julukan eyang panembahan?"
"Hemmm, sang adipati, harap jangan merendahkan diri di depan seorang petani biasa seperti aku. Aku bukan pendeta, bukan pertapa, aku seorang kakek biasa, namaku Ki Tunggaljiwa. Bangkitlah, angger, dan mari kita bicara."
Pada saat itu, Bagus Seta sadar dari pingsannya. Ia membuka mata, teringat akan semua peristiwa. Dia masih hidup! Dan harimau itu mendekam di sebelahnya, sama sekali tidak kelihatan galak. Mata harimau itu kehijauan, amat indahnya. Dan bulunya, seperti bulu kucing putih di kadipaten. Ia meraih, mengelus-elus leher binatang itu dan sang harimau menjilati tangannya. Bagus Seta tersenyum, menoleh dan ketika melihat ayahnya berada di situ bersama seorang kakek tua renta, ia lalu berseru,
"Ayah, lihat! Macan ini besar dan bagus sekali. Hamba kira tadi hendak membunuhku, kiranya tidak, dia macan baik!"
Sang adipati terharu, lalu melangkah maju dan menarik tangan puteranya, diajak menghadap kakek itu yang kini sudah duduk di atas sebuah batu. Sang adipati mengajak puteranya duduk bersila depan kakek itu.
"Eyang Tunggaljiwa, sekarang hamba telah sadar akan semua kesalahan hamba. Hamba berjanji, mulai saat ini, hamba tidak akan berburu binatang lagi."
Kakek itu tersenyum. "Berburu tidak mengapa asal berdasarkan kebutuhan. Memang Hyang Widhi telah menciptakan segala apa di mayapada ini untuk manusia yang amat dikasihi-Nya. Kalau manusia lapar lalu membunuh harimau atau apa saja untuk dimakan, itu wajar namanya, sewajar seekor harimau menerkam dan memangsa kelinci. Akan tetapi kalau membunuh sekedar membunuh, itu keji namanya, tidak wajar dan bersifat merusak. Betapa bodohnya merusak ciptaan Hyang Widhi Wisesa. Sang adipati, bukan hanya kebetulan saja pertemuan antara andika, putera andika, dengan saya. Hyang Widhi sudah menentukannya bahwa puteramu akan ikut bersamaku ke puncak Merapi. Andika harus tega melepaskannya, sang adipati."
Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Melepaskan puteranya, menjadi murid kakek ini? Putera tunggalnya si Bagus Seta? Mana mungkin? Ibu anak inipun tentu akan melarangnya! Ia memegang tangan puteranya erat-erat, lalu menjawab,
"Mohon eyang sudi mengampunkan saya! Agaknya tidak mungkin saya dan ibu anak ini berpisah dari Bagus Seta, eyang. Hanya dia seorang putera kami, betapa dapat kami berpisah daripadanya?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Sang adipati, kehendak Dewata tak dapat dirubah. Perbuatanmu hari ini pasti akan mendatangkan malapetaka dan hukuman yang hebat, yang akan menimpa anak andika. Hanya sebuah syarat membebaskannya, yaitu anakmu ini harus ikut bersamaku selama lima tahun, menjadi muridku dan menjadi sahabat si Putih, menghibur hatinya yang kehilangan anak. Aku tidak memaksa, akan tetapi hanya memberi jalan demi kebaikan keluarga andika. Apalagi karena dalam waktu mendatang, andika harus pergi meninggalkan Selopenangkep, alangkah akan baiknya kalau putera andika dititipkan kepada saya."
"Maafkan saya, eyang. Betapapun juga, saya tidak dapat melepaskan puteraku ini sebelum mendapat persetujuan daripada ibunya."
Kakek ini menghela napas lalu mengelus-elus kepala harimau putih. "Putih, kau terimalah, memang tidak ada mahluk di dunia ini yang hanya mementingkan diri pribadi seperti manusia." Kemudian kepada sang adipati ia berkata, "Kalau begitu, sang adipati, biarlah saya serahkan kepada takdir. Betapapun juga, sewaktu-waktu si Putih dapat mengantar puteramu kepadaku. Nah, selamat berpisah." Kakek itu lalu bangkit berdiri dan pergi dari situ dengan langkah perlahan-lahan, diikuti harimau putih dari belakang.
"Eh, paman macan putih...!" Tiba-tiba Bagus Seta berseru memanggil dan lari menghampiri harimau itu yang menghentikan langkah membalikkan tubuh. Anak itu merangkul lehernya dan si harimau merendahkan tubuh, menjilat-jilat pipinya. ''Engkau ikut saja bersamaku ke kadipaten!"
Harimau itu mengeluarkan suara gerengan perlahan, kemudian membalikkan tubuhnya dan lari mengejar Ki Tunggaljiwa. Bagus Seta tampak kecewa sekali, kembali kepada ayahnya.
"Ayah, macan itu indah dan baik sekali, tidak galak. Ingin aku bermain-main dengannya, menunggang di punggungnya."
Adipati Tejolaksono menghela napas, hatinya merasa tidak enak. Ia seperti dapat merasakan getaran aneh yang mengubungkan puteranya dengan kakek serta macan putih itu.
"Malam hampir tiba, hayo kita pulang. Ibumu tentu akan khawatir sekali," katanya.
Bagus Seta bertepuk tangan gembira.
"Aah, betapa kanjeng ibu akan terheran-heran mendengar cerita hamba tentang macan putihl" soraknya.
Adipati Tejolaksono menggendong puteranya lalu mengerahkan aji kesaktlannya, berlari turun dari lereng. Hari sudah malam ketika ia tiba di hutan dan bertemu dengan para pengawal yang mencari-cari mereka dengan gelisah. Para pengawal menjadi girang sekali dan pulanglah rombongan itu naik kuda yang telah dapat dikumpulkan oleh para pengawal.
Adipati Tejolaksono memberi perintah agar semua hasil buruan itu dibagi-bagi di antara petani di luar kadipaten yang jarang sekali dapat merasai nikmatnya daging kijang. Para pengawal hanya saling pandang dan melongo, namun tak seorangpun berani membantah.
Ketika tiba di kadipaten, sang adipati dan puteranya disambut dengan penuh kelegaan hati oleh keluarganya. Kemudian sang adipati bersama puteranya bercerita di depan isteri dan kedua bibinya. Mendengar cerita suaminya bahwa kakek sakti bernama Tunggaljiwa ini hendak mengambil Bagus Seta menjadl murid, wajah Ayu Candra berubah pucat. Akan tetapi di depan kedua bibinya, ia tidak berkata sesuatu kepada suaminya. Kartikosari mengerutkan keningnya.
"Serasa pernah aku mendengar nama Ki Tunggaljiwa ini. Dahulu ketika aku masih bersama ayah di Bayuwisma dekat pantai, pernah ayah menyebut nama ini sebagai satu-satunya tokoh sakti yang tak pernah mau mencampuri urusan dunia, hanya hidup sebagai petani biasa di puncak Merapi. Siapa kira, hari ini kalian berjumpa dengannya, bahkan beliau hendak mengambil Bagus sebagai murid. Hemmm...." Kartikosari memandang kepada Ayu Candra dan tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi sang adipati maklum dari pandang mata bibinya itu bahwa bibinya menganggap hal itu amat baik dan menguntungkan.
"Orang yang dapat memelihara seekor harimau putih yang besar, tentu seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Tapi aku sendiri belum pernah mendengar nama Ki Tunggaljiwa," kata pula Roro Luhito.
Malam hari itu, ketika berada di dalam kamarnya berdua dengan isterinya, Ayu Candra menangis. Setelah tidak ada orang lain, barulah dia berani menumpahkan segala kekhawatirannya. Adipati Tejolaksono memeluk isterinya.
"Eh-eh, kenapa kau menangis, nimas?"
Ayu Candra merebahkan kepala di dada suaminya, tempat yang aman di seluruh dunia ini baginya, dan makin sesenggukan.
"Kakangmas.... aku... aku khawatir sekali, kakangmas...."
Adipati Tejolaksono merangkul dan membelai rambut isterinya.
"Apa yang kau khawatirkan, nimas? Tentang anak kita si Bagus Seta?"
Isterinya mengangguk. "Tentang kata-kata Ki Tunggaljlwa itu.... bahwa akan tiba hukuman kalau anak kita tidak dibawanya.... ah, aku ngeri, kakangmas."
Adipati Tejolaksono yang amat mencinta isterinya, segera menghibur dan menciumi untuk mengusir kekhawatirannya.
"Apa yang ditakutkan? Ada aku di sini, nimas. Kalau aku berada di sini, siapakah yang akan dapat mengganggu Bagus atau kita? Di samping aku, engkaupun bukan seorang ibu yang boleh dipandang rendah! Belum lagi bicara tentang bibi Roro Luhito yang galak, dan bibi Kartikosari yang sakti mandraguna. Siapa berani main-main hendak mengganggu anak kita?"
"Tapi... tapi..." suara Ayu Candra sudah tidak begitu takut lagi dan bahkan gemetar bukan oleh takut, melainkan oleh rasa mabuk yang selalu datang apabila suaminya sudah menciumi tengkuk dan lehernya seperti itu. "kalau benar kakangmas pergi seperti dikatakan kakek itu..."
"Ah, pergi ke mana? Agaknya, Ki Tunggaljiwa melihat bakat baik dan kebersihan diri anak kita, saking inginnya mengambil murid lalu menakut-nakuti aku..." Akan tetapi, di sudut hatinya, kekhawatiran besar yang timbul sejak pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa tak dapat juga diusirnya. Karena itu, ia mencari perlindungan kepada isterinya, kepada orang yang paling dicintanya di seluruh dunia ini, tenggelam ke dalam pelukannya, membiarkan diri terseret oleh arus nikmat cinta kasih.
Mereka tak bercakap-cakap lagi, tidak ada yang perlu dipercakapkan pada saat itu. Malam menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan semua kekhawatiran di dalam hati, lenyap tak terpikirkan lagi. Bahkan dunia ini seakan-akan hanya berisi mereka berdua.
Alangkah kecil dan lemah manusia ini kalau dibandingkan dengan kebesaran dan kekuasaan alam yang begini hebat dan kuat. Manusia yang banyak akal dan sudah merasa amat maju dengan pelbagal ilmu kepandaian, merasa bahwa dia telah menguasai dan mempermainkan segala apa di alam dunia. Alangkah piciknya pendapat demikian itu. Menguasai alam. Menundukkan alam. Sungguh mentertawakan, menggelikan!
Banyak orang dalam kepicikannya tidak sadar bahwa manusia hidup di dunia bagaikan hidup di atas panggung sandiwara. Dunia bagaikan panggung di mana manusia bermain dalam peran masing-masing yang tanpa dapat dikuasainya telah diserahkan dan diatur, diharuskan oleh Sang Sutradara yang tidak nampak namun yang kekuasaan-Nya amat mutlak!
Manusia berebut untuk merampas peran yang paling tinggi kedudukannya, yang paling mulia dan paling penting menurut anggapan manusia. Sungguh banyak orang lupa diri, mengira bahwa peranannya, yang paling penting. Padahal bukanlah kedudukan peranan yang diperhatikan penonton, yakni manusia-manusia lainnya di dunia, melainkan cara ia memainkan peranan itulah!
Jauh lebih baik menjadi seorang pemegang peran abdi dengan permainan yang baik daripada menjadi pemegang peran raja namun dengan permainan yang amat buruk! Dengan kata-kata yang lebih jelas lagi. Jauh lebih baik hidup sebagai manusia miskin yang kaya akan kebajikan daripada seorang kaya yang miskin akan kebajikan, sebagai manusia miskin yang merasa cukup daripada sebagai manusia kaya yang tak pernah merasa cukup. Jauh lebih baik hidup sebagai manusia berkedudukan rendah namun berkepribadian dan berbudi tinggi daripada sebagai manusia berkedudukan tinggi dengan kepribadian yang rendah!
Adipati Tejolaksono adalah seorang manusia gemblengan lahir batin. Bukan hanya ia sakti mandraguna, murid terkasih dari Rakyana Patih Kanuruhan Sang Narotama, bahkan telah menerima pula aji-aji linuwih dari mendiang Sang Prabu Airlangga sendiri, akan tetapi juga adipati yang masih muda ini memiliki pribudi yang tinggi dan mengabdi kebesaran, keadilan dan kebajikan.
Betapapun juga sang adipati yang bijaksana dan sakti itu tiada lain pun juga seorang manusia biasa. Manusia biasa yang harus tunduk kepada kehendak Sang Sutradara, seorang manusia yang hanya merupakan mahluk lemah, yang kedua kakinya terikat oleh belenggu yang amat kuat, yaitu belenggu cinta kasih kepada isteri dan puteranya. Di dalam pelukan isterinya yang mencintanya sepenuh jiwa raga, Adipati Tejolaksono tenggelam ke dalam madu cinta, menyeret pula isterinya sehingga Ayu Candra akhirnya lupa pula akan segala kekhawatirannya. Mereka berdua untuk kesekian kalinya mabuk oleh cinta mesra masing-masing yang tak pernah mengecil apalagi padam dan akhirnya tertidur pulas dalam pelukan masing-masing, lupa kekhawatirannya dan tidur tanpa mimpi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dengan wajah berseri-seri dan segar, suami isteri ini sedang duduk menghadapi sarapan pagi ketika tiba-tiba pengawal datang menghadap dan mengabarkan bahwa sepagi itu telah datang utusan dari Kerajaan Panjalu.
Berdebar jantung Adipati Tejolaksono. Ia menyuruh pengawalnya keluar dan agar mempersilahkan utusan itu menanti di pendopo. Ia lalu bertukar pandang dengan isterinya. Perasaan hati mereka meraba sesuatu, sehubungan dengan perasaan khawatir yang mereka bicarakan kemarin. Namun, tanpa mengeluarkan kata-kata, Ayu Candra mempersiapkan pakaian untuk suaminya, karena menerima utusan raja harus mengenakan pakaian kebesaran. Dalam hal pakaian dan makan, adipati muda ini tidak pernah mau dilayani orang lain kecuali isterinya, sebaliknya, Ayu Candra juga tidak membiarkan suaminya dilayani orang lain!
Setelah selesai berpakaian, Adipati Tejolaksono pergi keluar menemui utusan. Makin berdebar rasa jantung adipati Itu ketika mendapat kenyataan bahwa pengunjungnya, utusan Kerajaan Panjalu Itu bukanlah sembarang utusan, melainkan Ki Patih Suroyudo sendiri, patih dalam sang prabu di Panjalu!
Tergopoh Adipati Tejolaksono menyambut patih yang sudah putih rambutnya, mempersilahkannya duduk. Kalau sang prabu sampai mengutusnya, seorang patih kerajaan, untuk datang sendiri ke kadipaten, tak dapat diragukan lagi tentu ada urusan yang amat gawat!
Setelah berlangsung salam-menyalam seperti telah menjadi tradisi kebudayaan nenek moyang yang tak pernah meninggalkan tata susila dalam hidup bangsa kita, barulah Ki Patih Suroyudo menyampaikan tugas yang dibebankan ke pundaknya oleh sang prabu junjungannya. Mula-mula Ki Patih Suroyudo menceritakan kepada Adipati Tejolaksono tentang segala petistiwa yang terjadi, yaitu tentang kematian-kematian ajaib yang menimpa beberapa orang perwira dan senopati pilihan di Panjalu.
"Menurut pemeriksaan para ahli pengobatan di kota raja, kematian para ponggawa tinggi itu bukanlah karena serangan semacam penyakit," demikian Ki Patih Suroyudo melanjutkan ceritanya. "Para empu dan ahli mengatakan bahwa mereka itu tewas akibat ilmu hitam yang amat jahat, namun tak seorangpun di antara mereka dapat menangkap penyerang pengecut itu. Kematian para ponggawa semua terjadi dalam waktu cepat, tak tersangka-sangka sehingga kami tidak tahu siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya."
Sang Adipati Tejolaksono mengerutkan keningnya yang hitam tebal. Sepasang matanya yang tajam itu memancarkan sinar aneh. Kemudian terdengar ia bertanya, "Menurut penuturan paman patih tadi, gejala-gejala yang tampak pada jenazah-jenazah para ponggawa adalah pendarahan yang keluar begitu saja dari kaki tangan dan dada tanpa ada luka di bagian-bagian tubuh itu?"
"Benar, anakmas. Tidak ada luka sedikitpun, namun darah bercucuran dari kaki, tangan dan terutama sekali dari ulu hati seakan-akan bagian-bagian itu ditusuk dengan keris. Mereka itu, rekan-rekan kita yang malang, tewas tanpa dapat melakukan perlawanan, juga tidak tahu siapa musuh yang melakukannya. Karena inilah, maka sang prabu mengutus saya untuk datang ke Selopenangkep dan mengundang anakmas datang ke Panjalu menghadap sang prabu setelah anakmas berhasil menangkap penjahat dan pembunuh itu.
"Setelah saya berhasil menangkapnya?" Adipati Tejolaksono menegas.
"Benar, anakmas. Sang prabu berpendapat bahwa hanya anakmas yang akan dapat membikin terang perkara gelap ini karena menurut pendapat umum, menurut pula desas-desus yang menyelinap masuk sampai ke istana, pelaku daripada semua pembunuhan yang terjadi di Panjalu, juga di Jenggala, adalah.... hemm.... puteri mantu sang prabu di Jenggala....
Terbelalak mata yang tajam itu ketika memandang kepada tamunya, "Paman.... paman maksudkan.... isteri Gusti Pangeran Panjirawit, diajeng Endang Patibroto???"
Ki Patih Suroyudo yang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. "Demikianlah bunyi desas-desus, anakmas adipati. Menurut penuturan para ahli kami di Panjalu yang sudah tua-tua, di jaman dahulu yang pandai akan ilmu hitam seperti itu hanyalah tokoh dari Kerajaan Wengker, kerajaan siluman itu. Dan mengingat bahwa... beliau adalah murid Ki Dibyo Mamangkoro... hemm... dan kesaktiannya sudah tersohor di kedua kerajaan, maka bukan hanya semua orang, bahkan sang prabu sendiri berkenan menyatakan kekhawatiran dan dugaan beliau bahwa agaknya memang benarlah isi desas-desus itu. Kemudian sang prabu menyatakan bahwa hanya anakmas adipati seoranglah yang akan dapat mengatasi urusan ini, maka paman diutus untuk menyampaikan semua ini kepada anakmas."
Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Hatinya merasa tidak enak sekali. Mengapa nasib selalu hendak mempertemukannya dengan Endang Patibroto? Terbayanglah semua pengalamannya dahulu dengan wanita sakti itu, dan terbayang pula pertandingannya melawan Endang Patibroto yang mati-matian (BACA KISAH BADAI LAUT SELATAN). Harus ia akui bahwa selama hidupnya, belum pernah ia bertemu tanding sehebat dan sesakti Endang Patibroto. Boleh dikatakan bahwa tingkat ilmu kesaktian mereka seimbang, tidak berbeda jauh. Dan kini, setelah bertahun-tahun ia hidup dalam keadaan aman tenteram, tiba-tiba saja ia dihadapkan perkara yang akan mengharuskan ia lagi-lagi berhadapan dengan Endang Patibroto!
"Baiklah, paman Patih Suroyudo. Hamba menerima tugas ini dengan ketaatan. Harap paman sudi menyampaikan penghaturan sembah bakti saya kepada gusti sesembahan kita di Panjalu dan akan hamba usahakan sekuat tenaga untuk menyelidiki perkara ini kemudian menangkap pelakunya."
Setelah beramah-tamah dan menikmati hidangan, Ki Patih Suroyudo minta diri dan berangkat kembali ke Panjalu diiringkan pasukan pengawalnya. Adipati Tejolaksono termenung sejenak ketika tamunya sudah lama pergi dan barulah sadar daripada lamunannya ketika sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan melihat bahwa Ayu Candra sudah berdiri di situ. Lengannya lalu meraih pinggang yang langsing itu, menariknya duduk di atas kursi di depannya. Karena mereka duduk di pendopo yang terbuka, maka sang adipati menahan hasrat hatinya membelai isterinya. Ia hanya tersenyum dan memandang wajah isterinya yang kelihatan khawatir itu.
"Nimas, kau pergilah menemui kedua bibi dan minta mereka suka datang bercakap-cakap di ruangan dalam. Ada urusan penting yang ingin kusampaikan kepada mereka, bahkan hendak kumintai pertimbangan mereka."
"Ada apakah, kakanda? Ki Patih tadi... membawa kabar apakah?" Tanya Ayu Candra dengan alis berkerut.
Adipati Tejolaksono menangkap tangan isterinya dan meremas-remas jari tangannya. "Jangan kau khawatir, isteriku sayang. Dan sebaiknya kalau adinda suka memanggil kedua bibi agar bersama dapat membicarakan urusan yang dibawa ki patih tadi."
Biarpun hatinya diliputi kekhawatiran, namun melihat wajah suaminya yang tenang, Ayu Candra tidak mendesak lagi. Memang, betapapun juga besar cinta kasih dan kemanjaannya, ia tetap taat akan segala yang diminta dan dikatakan suaminya. Ia mengangguk, lalu pergilah ia masuk ke dalam. Dari belakangnya, Adipati Tejolaksono memandang tubuh belakang isterinya dengan hati gembira. Biarpun sudah menjadi ibu dan usianya sudah bertambah, tiada perbedaan terjadi pada tubuh Ayu Candra. Dan ia tersenyum karena maklum bahwa pendapat ini menambah tebal cinta kasihnya.
Sang adipati lalu masuk ke ruangan dalam. Ketika isterinya kembali bersama dua orang bibi, yaitu Roro Luhito dan Kartikosari yang memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan dan dugaan, barulah Adipati Tejolaksono teringat akan perintah sang prabu dan sikapnya menjadi sungguh-sungguh. Ia mempersilahkan kedua orang wanita setengah tua itu duduk, kemudian mulailah ia bercerita yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ayu Candra, Kartikosari, dan Roro Luhito.
Ketika ia menceritakan tentang pembunuhan-pembunuhan mengerikan dan aneh yang terjadi atas diri banyak ponggawa-ponggawa Panjalu dan Jenggala, tiga orang wanita itu saling pandang dengan perasaan ngeri. Mereka bertiga bukanlah orang-orang lemah, terutama sekali Kartikosari. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan seaneh dan sengeri itu baru sekarang ia pernah mendengarnya.
"Demikianlah, bibi. Karena kejadian aneh itu menimpa para ponggawa dan tidak dapat diduga semula siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya, keadaan di Panjalu menjadi geger dan dicekam suasana ngeri dan takut. Sang prabu mengutus paman Patih Suroyudo untuk memerintahkan saya pergi menanggulangi perkara itu, menyelidiki dan kemudian menangkap si jahat yang melakukan pembunuhan-pembunuhan secara pengecut dan keji."
Menggigil tubuh Ayu Candra. Adipati Tejolaksono tahu benar akan hal ini melihat dari pandang mata serta gerak leher isterinya.
"Aahhh... bagaimana seorang manusia dapat melawan iblis? Kurasa hanya iblis sendiri yang dapat melakukan pembunuhan-pembunuhan keji seperti itu." kata Ayu Candra.
Adipati Tejolaksono tersenyum. Ingin sekali hatinya menceritakan tentang desas-desus yang tertiup angin di Kerajaan Panjalu tentang dugaan umum siapa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu, akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang yang bijaksana. Endang Patibroto adalah anak kandung bibi Kartikosari. Bagaimana ia dapat menyebut nama Endang Patibroto di depan bibinya ini? Tidak, ia tidak akan menceritakan hal itu, apalagi nama Endang terbawa dalam peristiwa itu hanya sebagai desas-desus yang belum ada buktinya. Kecuali kalau memang kemudian ternyata bahwa Endang Patibroto yang melakukan hal itu, dan ini sama sekali tidak dipercayainya, tentu saja ia tidak akan menutupinya.
"Bukan iblis bukan siluman, yayi, melainkan seorang tukang tenung, seorang dukun lepus ahli ilmu hitam. Dan kalau dapat kuselidiki dan kutemui orangnya, tentu akan kuhajar dia! Seorang yang melakukan perbuatan sepertu itu bahkan lebih kejam daripada iblis sendiri."
"Tapi... tapi dia tentu memiliki kesaktian yang amat hebat...!" Kembali Ayu Candra berkata penuh kekhawatiran sambil memandang suaminya, wajahnya agak pucat.
"Ayu, mengapa engkau kini menjadi begini penakut? Mana kegagahanmu yang dahulu, cah ayu? Ahhhh, benar-benar cinta kasih bisa membuat orang menjadi penakut," tegur Roro Luhito kepada Ayu Candra. Memang Roro Luhito kalau bicara jujur tanpa tedeng aling-aling lagi. "Kau tahu bahwa suamimu memiliki kesaktian yang dapat mengatasi musuh-musuhnya, apalagi hanya seorang dukun lepus. Jangan kau khawatir, seperti bukan wanita gemblengan saja!"
"Betul ucapan bibimu Luhito, anakku. Tidak perlu khawatir jika kali ini suamimu melaksanakan tugas dan perintah junjungan. Memang ini sudah menjadi kewajibannya. Apalagi, aku yakin benar bahwa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu bukanlah seorang yang benar-benar sakti mandraguna. Bukanlah seorang sakti yang suka melakukan perbuatan pengecut seperti itu, melainkan seorang lemah dan penakut. Yang tidak berani menghadapi akibat perbuatannya. Jangan kau khawatir, anakku, suamimu tidak akan menemui bahaya."
Mendengar hiburan kedua orang tua itu, agak legalah hati Ayu Candra. Alangkah bangga dan besar hati Adipati Tejolaksono. Untung ada kedua orang bibi ini yang seratus persen boleh diandalkan. Kalau tidak ada mereka, agaknya iapun akan ragu-ragu dan khawatir meninggalkan isteri tercinta sendirian di rumah bersama puteranya. Kalau tidak ada kedua orang bibinya yang boleh dipercaya ini, agaknya ia akan mengantongi isteri dan anaknya itu dan membawanya serta ke manapun ia pergi.
"Saya mohon perhatian dan bantuan bibi berdua, bukan untuk menghadapi urusan pembunuhan di Panjalu, melainkan...hemm... Bagus Seta...
Adil dan keras dalam memberantas kejahatan disertai petunjuk-petunjuk kembali ke jalan benar bagi yang sesat, menghukum bukan karena benci karena bagi sang adipati yang arif bijaksana, bukan manusialah yang dihukum, melainkan kejahatan untuk memaksa manusianya insyaf sadar dan bertaubat, kembali ke jalan benar.
Kebaikan-kebaikan dipuji, dianjurkan, dipupuk, seperti halnya kesenian dan kebudayaan yang serba indah. Kebaikan disamakan dengan keindahan, sehingga kebaikan bukan lagi merupakan perbuatan yang dipamrihi balas jasa dan ingin puji, melainkan menjadi semacam keindahan yang disuka oleh segenap golongan.
Sang Adipati Tejolaksono adalah seorang adipati yang masih muda, baru tiga puluh dua tahun usianya, namun memiliki kebijaksanaan seorang sepuh (tua) yang sepi hawa, artinya sepi daripada hawa nafsu, yang patut menjadi tetuanya masyarakat, yang bekerja bahkan hidup hanya dengan satu pamrlh, yakni mengabdi kepada Hyang Widhi dengan cara menyebar cinta kasih antara manusla, bekerja demi kebahagiaan masyarakatnya, keluarganya, baru dirinya sendiri.
Keadilan dan cinta kasih inilah yang menyinar seperti cahaya matahari merata di antara kawulanya, sehingga menjadi milik semua orang, bahkan meresap menjadi watak semua orang, yaitu, adil dan mencinta sesamanya.
Pagi itu amat indahnya. Matahari bersinar cerah. Pamong tani tidak lagi begitu sibuknya seperti di musim tandur atau panen. Musim tandur baru saja lewat. Padi sudah mulai tumbuh subur. Pekerjaan kaum tani menjadi lebih ringan, hanya menjaga dan merawat agar tanaman mereka tidak kekurangan atau kebanyakan air, tidak terganggu hama dan rumput liar.
Pada hari itu, serombongan orang berkuda keluar dari kadipaten. Dua belas orang perajurit pengawal yang gagah-gagah menunggang kuda, mengiringkan seorang pria yang tampan dan gagah perkasa menunggang kuda putih, berpakaian sederhana namun berbeda dengan kedua belas orang pengawal. Inilah Sang Adipati Tejolaksono sendiri, yang seperti kedua belas orang pengiringnya, menyandang sebatang anak panah.
Sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan, sang adipati mellrik ke arah sampingnya, di mana terdapat seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menunggang kuda berbulu dawuk. Anak ini biarpun baru berusia sepuluh tahun, namun jelas membayangkan sifat-sifat satria, duduk tegak di punggung kuda seperti seorang ahli dan punggungnya tersandang sebuah busur kecil pula, di pinggang kiri tergantung sebatang pisau bersarung kulit.
Sang adipati tersenyum bahagia melihat puteranya ini. Pagi tadi ketika berangkat, isterinya berkali-kali membekali pesan agar hati-hati menjaga Bagus Seta. Isterinya, yang pagi hari itu kelihatan seperti Dewi Sri yang dipuja-puja rakyatnya untuk memberkahi sawah ladang mereka, yang tak pernah kelihatan berubah, tak pernah bertambah tua sejak menikah, seperti ibu-ibu di seluruh dunia ini amat menyayang puteranya dan mengkhawatirkan keselamatannya. Masih terdengar ucapan isterinya,
"Kakangmas adipati, sebetulnya Baguseta masih terlalu kecil untuk diajak berburu. Di hutan banyak sekali binatang buas."
"Ah, nimas Ayu, mengapa khawatir? Bagus Seta sudah cukup besar dan dapat menjaga diri, apalagi aku tidak akan membiarkan ia diterkam harimau."
"Ihhh, kakangmas mengapa mengeluarkan kata-kata yang mengerikan itu?"
"Ha-ha-ha, nimas, lupakah bahwa engkau sendiri sejak dahulu selalu bermain-main di hutan? Lupakah ketika dahulu kita bermain-main dengan harimau sebesar lembu?
Ayu Candra, isterinya yang sesuai dengan namanya itu amat cantik seperti bulan purnama, tersenyum dan mengerling manja, dengan kedua pipi kemerahan, mengerling malu-malu kepada para pengawal yang sudah siap mengiringkan junjungan mereka. Kalau mereka berdua di dalam kamar di mana tiada mata lain memandang, biasanya kalau sudah bersikap manja begitu Ayu Candra tentu akan mencubitnya, karena percakapan tentang dahulu tentu akan berlarut-larut menjadi godaan dan senda-gurau, menghidupkan lagi kenangan lama yang membuat isterinya tersipu-sipu malu dan manja.
Dulu, sepuluh tahun yang lalu, sebelum menjadi adipati di Selopenangkep atas pengangkatan sang prabu di Panjalu, dia bernama Jaka Wandiro. Setelah mengalami banyak hal-hal yang hebat, akhirnya ia memperoleh Ayu Candra sebagai isteri dan menjadi adipati (baca cerita Badai Laut Selatan).
Dahulu, Ayu Candra sejak kecil ditunangkan dengan Joko Seta yang kemudian gugur dalam perang sehIngga dara itu bebas dan dapat menikah dengannya. Untuk mengenang Joko Seta, seorang satria perkasa yang gugur membela negara, maka putera mereka ini mereka beri nama Bagus Seta. Dan nama ini memang tepat karena semenjak lahirnya, Bagus Seta berkulit putih kuning dan bersih. Hidupnya penuh bahagia!
Memang, sang adipati puas dan selalu bersyukur kepada Hyang Widhi, yang telah melimpahkan berkah yang tiada berkeputusan kepadanya. Di dalam kadipaten, ia merasa seperti di tempat yang aman, tenang, dan menyenangkan selalu. Isterinya setia dan mencintanya sepenuh jiwa raga, dan di samping isteri dan putera mereka, di kadipaten tinggal pula kedua bibinya, yaitu bibi Roro Luhito dan bibi Kartikosari.
Roro Luhito adalah adik kandung mendiang ayahnya, dan Kartikosari bibi gurunya, ibu Endang Patibroto. Kedua orang wanita yang kini usianya sudah sekitar empat puluh tahun ini sudah janda, keduanya adalah isteri mendiang guru pertamanya, atau bapak angkatnya yang bernama Pujo, seorang satria utama pendekar perkasa yang oleh sang adipati dijadikan cermin atau tauladan hidupnya (baca Badal Laut Selatan). Bibinya, Kartikosari, mempunyai seorang puteri yang usianya baru sebelas tahun, bernama Setyaningsih sedang bibinya, Roro Luhito juga mempunyai seorang puteri bernama Pusporini.
Mereka ini kedua adik-adiknya, biar baru berusia dua belas tahun, sudah nampak sebagai dara-dara remaja yang cantik jelita, halus budi pekertinya, sopan santun dan ramah budi bahasanya, pandai dalam segala macam kesenian, merupakan calon-calon puteri pilihan yang menjadi kebanggaan kadipaten. Adipati Tejolaksono dan isterinya amat menyayang kedua orang puteri ini yang terhitung adik-adik misan mereka.
Kini rombongan yang menjalankan kuda perlahan-lahan melalui tegalan yang penuh rumput hijau. Tiga ekor kerbau asyik makan rumput yang gemuk hijau dan tebal. Tiba-tiba sang adipati menghentikan kudanya, diturut oleh puteranya dan para pengawal yang tadinya bersenda-gurau dan bercakap-cakap, otomatis juga menghentikan kuda mereka, tidak ada yang bicara lagi, ikut memperhatikan.
Kiranya sang adipati tekun mendengarkan suara orang menembang, suara yang tidak begitu merdu, agak serak seperti suara orang tua, yang sedang menyanyikan tembang Asmaradana.
"Nora suwe wong urip iki
lelana ing alam donya
tan rinasa pira lawase
weruh-weruh sugih uwan
nora suwe mesti sirna
cilik gedhe cendhek dhuwur
wekasan mesthi palastra
Suglh mlarat kabeh sami
menang kalah nora beda
yen wis pinasthi wancine
kabeh bali marang asal
mula yen sih doyan sega
ja nuruti hawa nepsu
urip pisan sing sampurna."
Terjemahannya :
"Tidak lama manusia hidup ini... berkelana di dalam dunia... tidak terasa berapa lamanya... tahu-tahu banyak uban... tidak lama tentu lenyap... kecil besar pendek tinggi... akhlrnya tentu mati... Kaya miskin semua sama... menang kalah tiada beda... kalau sudah dipastikan waktunya... semua kembali kepada asal... maka kalau masih suka nasi... jangan menurutkan hawa nafsu... hidup sekali yang sempurna."
Sang Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk, terharu dalam hatinya.
"Kulup Bagus Seta. Kau mendengar tembang tadi, bukan?"
Anak itu mengangguk. Sejak kecil ia sudah diajar tembang dan kesenian lain.
"Tembang Asmaradana, ayah. Tapi kata-katanya kasar bersahaja."
"Memang, anakku. Kata-kata itu hanyalah kulitnya belaka. Menilai sesuatu lihatlah isi, jangan terpengaruh kulit. Justeru kesederhanaan itulah yang mengharukan. Kau ingat baik-baik, mencari pujangga-pujangga besar tak usah jauh-jauh ke kota raja. Mencari orang bijaksana tak usah dicari di antara orang cerdik pandai. Dia yang mengerti akan hidup, dialah orang bahagia, bijaksana dan berguna. Di dusun-dusun, di tempat-tempat sunyi tempat orang-orang yang oleh orang kota dianggap bodoh, di mana rakyat hidup diselimuti kesederhanaan yang tak dibuat-buat, di sanalah tempat kebijaksanaan dan kebahagiaan, di mana orang hidup tidak menjadi hamba nafsu, di mana orang hidup penuh kebahaglaan karena mereka ini menerima segala apa yang mereka miliki dengan hati puas, dengan hati menerirna, dengan hati tulus mengucap syukur kepada Hyang Widhi, dijauhkan angkara murka dan iri hati. Kelak, kalau engkau sewaktu-waktu berada di kota raja, dan engkau sudah dewasa, kalau engkau terjalin dalam keributan orang-orang yang berebutan keduniawian, kau ingatlah kepada kesederhanaan tembang dan kehidupan di dusun, anakku."
Bagus Seta belum begitu mengerti atau belum dapat menangkap betul arti daripada wejangan ayahnya, akan tetapi para perajurit pengawal yang berada di belakang menundukkan kepala dan di dalam hati terdapat kesan yang dalam.
Seorang kakek yang berpakaian serba hitam, amat sederhana, akan tetapi biarpun kepalanya penuh uban, wajahnya masih kemerahan dan sinar matanya berseri, muncul dari balik rumput di mana tadi ia mengarit. Ketika melihat rombongan sang adipati yang berkuda berhenti di pinggir sawah, tergopoh-gopoh ia menghampiri dan berjongkok menghaturkan sembah. Adipati Tejolaksono tersenyum mengangguk.
"Paman sedang mengarit rumput menggembala kerbau?" tanyanya dengan suara halus dan pandang mata berseri.
"Benar seperti yang paduka katakan, gusti adipati."
"Kerbaumukah itu, paman?"
"Bukan, gusti. Milik anak mantu hamba yang dua ekor, yang seekor kepunyaan anak hamba. Hamba membantu mereka, gusti."
Diam sejenak, pandang mata sang adipati menyelidik, tertarik. "Paman, maafkan pertanyaanku ini karena, menyangkut penghidupan dan isi hatimu. Bahagiakah hidupmu, paman?"
Kakek itu termenung, agaknya bingung mendengar pertanyaan yang tak pernah disangka-sangkanya ini.
"Bahagia? Apa maksud paduka, gusti? Hamba tidak membutuhkan bahagia itu!"
Sang adipati tertawa bergelak sambil menengadah, memandang angkasa di mana awan putih bergerak seperti domba-domba putih. Ada persamaan antara awan itu dengan kakek ini. Tidak membutuhkan apa-apa, tidak kekurangan sesuatu. Itulah bahagia. Karena tidak mencari maka tidak pernah terluput, karena tidak membutuhkan maka tidak kekurangan. Yang mengejar-ngejar bahagla hanyalah orang pandir.
"Ha-ha-ha! Adipati Tejolaksono tertawa gembira sampai keluar air matanya. Kemudian ia mengambil dua potong emas dari saku bajunya, memberikannya kepada si kakek sederhana.
"Sesungguhnya engkau tidak kekurangan sesuatu, paman, terimalah hadiahku ini, belikan lagi satu dua ekor kerbau untuk membantu pekerjaan keluargamu."
Kakek itu terbelalak, menerima hadiah itu lalu menyembah, menghaturkan terima kasih kepada junjungannya, akan tetapi sang adipati telah menjalankan kudanya lagi, wajahnya berseri-seri. Kakek yang sederhana itu telah mengajarkannya flisafat hidup yang tak terniIai yang hanya dia seorang yang dapat menikmati dan mengertinya karena selosin perajurit pengawalnya itu saling pandang, tidak mengerti. Bagus Seta hanya bergembira karena kembalI ayahnya melakukan perbuatan yang amat elok, yang menyenangkan hati seorang kakek-kakek sederhana.
Mereka berburu di kaki Gunung Merapi, di mana terdapat sebuah hutan yang amat lebat dan liar, penuh binatang-binatang hutan seperti harimau, kijang, dan lain-lain binatang buruan. Mulailah mereka berburu. Yang diutamakan oleh sang adlpati adalah memburu harimau karena pemburuan ini lebih menggembirakan hati, lebih menegangkan. Kalau bertemu harimau, pengawal-pengawalnya lalu menggiring dan mengurungnya, kemudian sang adipati akan menghadapinya dengan tangan kosong, membunuhnya dengan pukulan-pukulan maut. Ini merupakan latihan baginya, di samping kegembiraan mendapat kulit dan daging.
Akan tetapi kalau harimau itu terlalu gesit sehingga tidak dapat dikurung, anak panah dipergunakan untuk merobohkannya. Juga kijang dan binatang-binatang yang mempunyal daging lezat dipanah roboh.
Sudah setengah harian mereka memburu binatang akan tetapi hanya berhasil memanah roboh empat ekor kijang. Tidak ada harimau tampak. Hati sang adlpati mulai kesal. Akan tetapl Bagus Seta yang baru pertama kali ini ikut berburu, menjadi gembira bukan main. Permainan ini penuh ketegangan, dan suasana di dalam hutan liar itu menggairahkan hatinya. Dua kali mereka diserang ular-ular besar, sebesar pahanya, akan tetapi dengan cekatan para pengawal memanah ular-ular itu pada leher dan kepalanya. Mereka mengulitinya dan mengambil kulitnya yang berwarna dan bercorak indah.
"Kita masuk ke dalam, masa tidak ada harimau di sana," kata sang adipati penasaran. Para pengawal menurut, sungguhpun di dalam hati mereka khawatir kalau-kalau mereka akan kemalaman pulang. Belum pernah sang adipati berburu sampai bermalam, karena hal ini tidak pernah diperkenankan isterinya, Juga para bibinya.
Sang adipati mengeprak kuda ke dalam hutan yang amat rungkut, diikutl puteranya, kemudian baru para pengawal yang merupakan barisan di kanan kiri dan belakang, terdiri empat orang masing-masing bagian. Hal ini dilakukan untuk dapat cepat bergerak mengurung kalau ada harimau.
Tiba-tiba kuda sang adipati meringkik aneh. Wajah sang adipatl berseri, karena ia mengenal watak kudanya, mengenal penciuman kudanya yang tajam terlatih. Harimau, pikirnya. Benar saja, terdengar auman keras yang menggetarkan seluruh rimba raya itu. Bagus Seta tergetar hatinya, mendekatkan kudanya. Mereka semua turun, dan Bagus Seta juga cepat-cepat turun terus mendekati ayahnya, matanya memandang ke kanan kiri karena auman harimau itu menimbulkan gema yang sukar ia terka dari mana datangnya. Seakan-akan di sekelilingnya penuh dengan harimau mengaung-ngaung.
Semua pengawal sudah menyiapkan tombak, lalu mereka menyelinap-nyelinap di antara semak belukar berusaha mengurung harimau yang berada di sebuah gerombolan alang-alang. Mereka mengambil batu, melempari semak-semak itu dan mengeprak-ngeprak dengan tombak, berteriak-teriak. Tak lama kemudian, terdengar pula aum yang dahsyat dan tampaklah kepala seekor harimau gembong yang besar sekali.
Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak, mulut celangap. Sebesar kerbau macan itu, pikirnya. Jantungnya berdebar, bukan karena takut, melainkan karena tegang. la sudah digembleng sedemikian rupa oleh ayahnya sehingga tidak ada rasa takut menyelinap ke dalam hatinya. Sekecil itu ia sudah dapat mempertimbangkan dan menilai keadaan. Betapapun besar dan galaknya macan gembong itu, di situ terdapat dua belas orang pengawal, bahkan terdapat pula ayahnya. Perlu apa takut?
Tiada alasan untuk takut. Maka ia memandang penuh perhatian, ingin melihat dengan mata kepala sendiri kesaktian ayahnya yang sering didengarnya dari dongengan para pengawal, betapa dengan tangan kosong ayahnya sanggup mengalahkan seekor harimau. Kinilah tiba saatnya ia melihat dengan mata kepala sendiri dan mempelajari gerakan-gerakan ayahnya ketika menghadapi macan.
"Dia membawa anaknya...!" Tiba-tiba Bagus Seta tak dapat menahan kata-katanya yang diucapkan setengah berteriak ketika ia melihat kepala macan itu menunduk lenyap ke dalam semak-semak kemudian tampak lagi dan kini seperti seekor kucing, harimau betina yang besar itu menggigit punggung seekor harimau kecil.
Terlambat sang adipati mencegah puteranya berteriak. Harimau itu kaget, kemudian mengeluarkan suara gerengan dengan kerongkongannya dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah melompat jauh ke depan. Seorang pengawal yang menjaga di situ, berusaha menggebah sang harimau kembali ke tengah kurungan dengan menusukkan tombaknya. Akan tetapi harimau yang amat besar itu menggerakan kaki depan menyampok dan...
"krekkk...!" Tombak itu patah dua dan si pengawal terpelanting. Harimau lalu lari.
"Biar kupanah dia!" Tiba-tiba sang adipati berseru keras. Seruan ini keras dan seperti auman harimau tadi, mendatangkan gema. Si harimau agaknya terkejut, menengok.
Pada detik itulah anak panah sang adipati menyambar, semula menyambar ke arah leher dengan amat cepatnya, akan tetapi karena harimau itu menoleh, kini anak panah itu tepat sekali mengenai perut harimau kecil yang digigit punggungnya. Harimau kecil meronta, terlepas dari gigitan induknya, dan harimau yang besar itu melompat cepat lalu menghilang ke dalam rimba, meninggalkan raung yang seperti ratap tangis bunyinya. Bagus Seta sudah lari ke arah harimau kecil yang terpanah, melihat harimau itu berlumur darah dan sudah mati dengan pandang mata penuh sesal. Ayahnya datang menghampiri.
"Rama, mengapa memanah anaknya.... ?" tanyanya, suaranya mengandung kemarahan dan kekecewaan.
Sang adipati menaruh tangannya di atas pundak puteranya. "Bukan niatku memanah dia, Bagus. Tadinya kuincar leher induknya, akan tetapi harimau itu menoleh dan anak panah mengenai anaknya."
Karena cuaca sudah mulai gelap di dalam hutan itu, sang adipati lalu mengajak rombongannya pulang. Mereka menunggang kuda mereka dan biarpun sang adipati tidak memperoieh seekor harimau besar sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi rombongan itu tetap gembira karena kijang-kijang dan kulit dua ular besar itu lumayan juga. Sate daging kijang amat lezat, tidak kalah oleh sate daging kambing.
Tiba-tiba terdengar auman yang luar biasa dahsyatnya. Auman yang jauh lebih dahsyat daripada auman harimau tadi. Dan kali ini, auman ini membuat semua kuda, termasuk kuda sang adipati, gemetar dan meringkik ketakutan, berdiri di atas kaki belakang dan bahkan beberapa ekor kuda tunggangan pengawal lalu meloncat dan kabur. Kuda tunggangan Bagus Seta juga berdiri di atas kaki belakang, meringkik-ringkik dan meloncat jauh sambil meringkik terus ketakutan. Bagus Seta yang secara tiba-tiba dibawa lari itu, hampir terlempar jatuh, dan cepat-cepat ia mendekam di atas kudanya, memegangi kendali eret-erat dengan kedua tangannya. Akan tetapi ia sama sekali tidak mampu lagi menguasai kudanya.
"Bagus...! Bagus...! Adipati Tejoleksono berteriak memanggil, namun karena Bagus Seta tak dapat menguasai kudanya, anak itu hanya berteriak-teriak,
"Ayah...! Ayah...!!"
Para pengawal juga bingung karena kuda mereka semua menjadi binal, apalagi ketika suara auman itu terdengar kembali, membuat kuda mereka semua kabur ke pelbagai jurusan tanpa dapat dicegah. Sang adipati yang mengkhawatirkan puteranya segera melompat turun dari atas kuda, meninggalkan kuda yang tak dapat dikuasai lagi itu lalu berlari cepat melesat di antara semak belukar.
Kuda putih itupun lari sambil meringkik-ringkik. Akan tetapi kuda tunggangan Bagus Seta sudah tak tampak dan dengan hati gelisah sang adipati terus mengejar, mengerahkan ajinya berlarl cepat. Sang adipati memiliki Aji Bayu Sakti yang amat hebat, akan tetapi karena hutan itu amat liar, penuh semak belukar, dan ia tidak tahu ke mana larinya kuda puteranya, ia harus menyusup-nyusup dan menyelinap-nyelinap dengan hati tidak karuan rasanya.
Kuda tunggangan Bagus Seta berlari terus, jauh dari tempat tadi. Tiba-tiba dari gerombolan semak belukar muncul seekor harimau yang amat luar blasa. Harimau ini amat besar, hampir setinggi kuda itu sendiri, berdiri menghadang sambil menggereng. Gerengannya tidak nyarIng, akan tetapi bumi terasa tergetar.
Kuda itu berhenti seketika, ngoplok (menggigil kakinya) dan lumpuh seketika, tidak mampu lari lagi, hanya mengeluarkan suara meringkik seperti orang merintih. Melihat harimau yang amat besar dan berbulu panjang putih ini, Bagus Seta juga merasa takut. Baru kali ini ia merasa takut, karena ayahnya tidak berada di situ, karena ia seorang diri harus menghadapi harimau yang amat luar biasa ini.
Namun darah pendekar mengalir kencang di tubuhnya. Ketika kudanya lumpuh dan mendeprok roboh, ia meloncat turun dan mencabut pisau belatinya. Anak berusia sepuluh tahun ini berdiri tegak, memasang kuda-kuda seperti yang diajarkan ayahnya, pisau belati di tangan kanan, siap menghadapi terjangan harimau putih yang besar sekali itu! Pantang menyerah sebelum kalah.
Macan putih itu berdiri memandang, agaknya terheran, kepalanya miring ke kanan kemudian ke kiri, lalu membuka, mulutnya yang besar memperlihatkan gigi yang besar-besar panjang dan kuat meruncing, lidahnya merah kasar dan kumisnya yang kaku bergerak-gerak tertarik kulit bibir atas yang menaik.
Kemudian terdengar suara gerengannya, gerengan yang membuat tanah yang terpijak kaki Bagus Seta tergetar, yang membuat daun-daun pohon di atasnya yang sudah menguning tua, rontok melayang-layang. Namun Bagus Seta tidak menjadi gentar, bahkan melangkah maju, mengatur kuda-kuda dan mencari akal bagaimana untuk dapat mengatasi bahaya yang mengancam ini.
Tiba-tiba ia teringat akan busur dan anak panah yang tersandang di punggung. Tangan kirinya perlahan-lahan merayap, bergerak ke punggung, akan tetapi pandang matanya tak pernah terlepas dari kepala harimau dan pisau belati masih terpegang erat-erat di tangan kanan. Ia berhasil mengambil busur dan anak panah dengan tangan kini, kemudian tangan kanannya membantu memasangkan anak panah pada busur, pisau belati digigitnya agar sewaktu-waktu mudah ia pergunakan. Kini ia menghadapi harimau dengan busur terpentang dan anak panah siap diluncurkan.
Harimau itu setelah memandang sejenak tanpa berkejap mata, kini melangkah maju, langkah seenaknya dan sama sekali tidak bersikap untuk menerkam. la melangkah menghampiri Bagus Seta yang tentu saja segera menarik busur sampai melengkung dan begitu jarak antara dia dan macan putih itu tinggal tiga meter lagi, ia melepas anak panahnya! Busur dan anak panah itu memang kecil, akan tetapi Bagus Seta sudah terlatih baik busur itupun buatan seorang ahli dan anak panahnya yang runcing dibungkus timah ujungnya.
"Singggg...!!" Dengan cepat sekali anak panah menyambar ke arah muka harimau, antara kedua matanya. Kalau tepat mengenai sasarannya, tentu akan celaka harimau itu! Akan tetapi ternyata harimau itu hebat sekali. Ia menggereng lagi dan kaki depan kiri diangkat, bergerak cepat menyampok ke depan dan.... anak panah itu dapat ditangkap dalam cengkeramannya!
Bagus Seta tertegun! Di antara para pengawal ayahnya yang gagah perkasa sekalipun tidak ada yang mampu melakukan ini. Hanya ayahnya dan eyang putri Kartikosari saja yang mampu menangkap anak panah terbang. Tapi harimau ini dapat! Bukan main! Harimau itu melemparkan anak panah kemudian melangkah maju terus, menghampiri Bagus Seta. Anak ini melempar busurnya, memegang pisau belatinya dan membentak,
"Pergi....! Pergilah kau, macan!!"
Ketika harimau itu menghampiri terus, Bagus Seta bertekad melakukan perlawanan sedapat mungkin. Ia menggerakkan kakinya dan tubuhnya menerjang harimau itu, tangan yang memegang pisau bergerak menusuk ke arah leher harimau itu . Akan tetapi sekali lagi harimau putih itu mengangkat kaki depan yang kiri, menangkis dan.... pisau itu terlempar...Bagus Seta terpelanting. Ia meloncat berdiri akan tetapi sebuah tamparan kaki harimau mengenai lehernya, membuat anak itu roboh dan pingsan. Baiknya si harimau putih tidak mengulur kukunya ketika menampar, maka leher anak itu tidak terluka. la hanya pingsan oleh kerasnya tamparan.
Harimau itu mengendus-endus, mencium-cium dengan hidungnya pada muka Bagus Seta, kemudian membuka rahangnya, mendekati kepala anak itu dan menggigit punggung baju Bagus Seta, diangkatnya kemudian dibawanya lari dari situ. Kalau Bagus Seta tidak pingsan dan dapat menyaksikan hal ini, tentu ia akan teringat akan anak harimau yang tadi dibawa induknya dengan cara seperti ini pula, digigit punggungnya!
Harimau putih yang menggondol tubuh Bagus Seta ini kini berlari cepat sekali keluar dari hutan dan terus mendaki gunung. Pada saat itu, Adipati Tejolaksono berada di atas sebuah pohon yang tinggi, meneliti keadaan sekelilingnya dengan pandang matanya, mukanya penuh kekhawatiran. Tadi ia mendengar gerengan-gerengan harimau yang bergema menggetar di seluruh hutan, dan ketika ia mengejar lebih jauh, ia melihat busur, anak panak, dan pisau belati puteranya menggeletak di atas tanah.
"Bagus Seta...!!" Ia mengerahkan suaranya memanggil, namun tiada jawaban. Hatinya gelisah dan akhirnya ia meloncat ke atas pohon, memanjat ke pucuk dan dari tempat tinggi mencari-cari. Akhirnya tampak olehnya bayangan putih itu berlari mendaki bukit, menggondol tubuh puteranya.
"Duh Jagad Dewa Bathara... !" Ia berseru terkejut, melayang turun dari atas pohon dan mengerahkan seluruh aji kesaktiannya untuk lari mengejar ke arah Iarinya harimau yang dilihat dari atas tadi. Dengan jantung berdebar ia berdoa semoga Hyang Widhi melindungi puteranya. Teringat akan hasil panahnya tadi yang mengenai harimau kecil yang digondol induknya, ia cepat membuang busur dan anak panahnya. Ia tidak akan memanah harimau itu, khawatir kalau-kalau mengenai tubuh puteranya sendiri. Di tangannya terpegang sebatang tombak dan ia berlari makin kencang.
Ketika ia mengejar sampai di lereng gunung, hari telah mulai senja. Dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatirnya ketika di luar sebuah hutan kecil ia melihat harimau putih yang besar sekali itu mendekam, tubuh Bagus Seta tak bergerak-gerak rebah menelungkup di depan binatang itu. Saking gelisah, sang adipati tidak melihat adanya bayangan putih yang berdiri tak jauh di sebelah depan harimau itu, teraling pohon.
Cepat ia memasang kuda-kuda, mengambil sasaran lalu tombaknya dilontarkan dengan pengerahan tenaga mengarah leher harlmau yang sedang mendekam. Tombak meluncur melebihi kecepatan anak panah, lenyap bentuknya berubah menjadi sinar, menuju leher harimau dengan ketepatan yang tak diragukan lagi. Betapapun pandai dan sigapnya sang harimau, tak mungkin dapat mengelak dari sambaran tombak seperti ini.
Dan agaknya tombak itu pasti akan mengena sasaran kalau saja tidak terjadi hal yang mujijat. Akan tetapi terjadilah hal yang mujijat itu. Kurang beberapa centi meter lagi ujung tombak mengenai sasaran leher harimau, tiba-tiba sinar putih yang kecil hampir tak tampak menyentuh tombak dan tombak itu menyeleweng dan menancap ke dalam tanah, ambles sampai setengahnya lebih!
Adipati Tejolaksono terkejut. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan harimau yang berbulu putih, apalagi harimau yang pandai ilmu sihir sehingga tanpa bergerak mampu menangkis serangan tombaknya. Ia menjadi makin marah saking gelisahnya melihat keadaan Bagus Seta yang ia tidak tahu masih hidup ataukah sudah mati, kegelisahan wajar seorang ayah melihat puteranya dalam bahaya. Cepat bagaikan elang menyambar, tubuhnya sudah melesat dan mencelat ke arah harimau putih, pukulan Pethit Nogo sekuatnya berada dalam pukulan itu menyambar kepala harimau, dan mulutnya berseru,
"Macan keparat, berani kau mengganggu puteraku?"
"Desss....!!!" Hebat bukan main pukulan Pethit Nogo itu dan tepat bertemu dengan benda putih, akan tetapi yang terang bukan kepala macan karena ketika Sang Adipati Tejolaksono memandang, macan itu tetap mendekam seakan-akan tidak merasakan sama sekali hantamannya yang begitu hebat.
Ia mengangkat muka dan melihat seorang kakek tua renta berambut panjang putih berdiri di depannya, maka mengertilah ia bahwa kakek ini yang telah rnenangkis tombak dan pukulannya. Kakek ini mengenakan kain putih bersih yang dikelit-kelitkan di tubuhnya, memegang sebatang tongkat bambu kuning gading, kakinya telanjang, kepalanya juga telanjang, alis, dan jenggot kumis semua putih, akan tetapi kulit mukanya segar kemerahan seperti muka seorang pemuda remaja dan sepasang matanya begitu bening dan terang seperti sepasang mata anak kecil.
"Orang muda yang perkasa! Kalau boleh aku bertanya, mengapa andika hendak membunuh harimau ini?"
Sebelum menjawab, sang adipati mengerling ke arah puteranya yang masih rebah menelungkup. Dia seorang ahli maka sekilas pandang saja maklumlah ia bahwa puteranya tidak terluka, juga sama sekali tidak mati, mungkin hanya pingsan saja. Keadaannya seperti orang tidur. Hatinya lega dan kembali ia memperhatikan kakek itu. Ia maklum sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan orang sakti mandraguna, yang entah bagaimana tadi sudah sanggup menangkis pukulannya Pethit Nogo. Akan tetapi karena kakek ini membela harimau, maka ia anggap sebagai musuhnya.
"Kakek tua," jawabnya, suaranya juga halus akan tetapi mengandung penasaran, "tentu saja aku hendak membunuh harimau keparat ini karena dia telah menggondol pergi dan hendak membunuh anakku."
Kakek itu mengulum senyum, wajahnya ramah sekali akan tetapi matanya bersinar-sinar penuh wibawa. "Orang muda, mengapa andika hendak membunuhnya? Tidak bolehkah ia menggondol puteramu, bahkan hendak memangsanya?"
"Tentu saja tidak boleh! Sebagai seorang ayah aku harus melindungi puteraku, dan harimau yang jahat ini harus dibunuh!"
Kakek itu tertawa, ketawanya halus dan nyaring, wajar tidak dibuat-buat.
"Ahhh, apakah artinya jahat, orang muda? Lebih tepat disebut bodoh, akan tetapi siapakah yang lebih bodoh antara harimau ini dengan andika? Kalau andika bicara tentang kejahatan, andikalah orangnya yang jauh lebih jahat daripada harimau ini."
Adipati Tejolaksono menjadi marah dan penasaran sekali. Ia menatap tajam wajah orang tua itu, dan berkata, "Agaknya karena andika berbaik dengan harimau keparat ini, andika hendak membelanya! Apa maksud andika mengatakan aku lebih jahat daripada binatang ini?" Sikap sang adipati menantang, siap untuk bertarung melawan kakek sakti ini.
Akan tetapi kakek itu tidak marah, hanya pandang matanya tajam menusuk. "Orang muda! kemanakah perginya rasa keadilanmu? Baru saja andika telah membunuh anak harimau ini dan andika sama sekali tidak merasa bersalah, kini, harimau ini baru menggondol pergi puteramu, andika sudah marah-marah hendak membunuhnya!"
Adipati Tejolaksono terkejut sekali.Ia memandang harimau itu yang masih mendekam dan mengertilah ia. Harimau itu tentulah harimau jantan yang menjadi bapak dari harimau kecil yang dipanahnya tadi. Sejenak ia termangu, akan tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja.
"Kakek tua yang sakti, tidak salah wawasan andika. Akan tetapi andika lupa agaknya bahwa aku seorang manusia, dan aku sedang berburu harimau! Aku memanah induknya, tidak sengaja mengenai anaknya. Mana mungkin manusia dapat disamakan dengan binatang harimau?"
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian berkata dengan suara halus, akan tetapi ucapan ini terdengar bagaikan halilintar menyambar bagi sang adipati.
"Heh, orang muda, apakah harimau ini juga tidak berhak berburu? Untuk apa kau berburu harimau? Untuk dimakan dagingnya dan diambil kulitnya untuk perhiasan! Apakah engkau kekurangan makanan di kadipaten sehingga harus mencari daging harimau? Apakah hidupmu akan kekurangan kalau tidak ada hiasan kulit harimau? Engkau berburu hanya untuk menuruti nafsu kesenangan, tidak mempunyai dasar atau alasan yang patut! Akan tetapi harimau berburu karena tuntutan hidup, karena wajar, yaitu bahwa harimau harus makan daging mentah agar dapat hidup. Buaskah dia kalau terpaksa harus menerkam mangsanya karena hanya itulah jalan yang diketahuinya untuk dapat langsung hidup? Patutkah engkau yang tidak membutuhkan dagingnya sebagai penyambung hidup, mengejar-ngejar dan membunuhnya hanya untuk melampiaskan nafsu dan kepuasan hati?"
Sang adipati menundukkan kepalanya. Ucapan itu menusuk perasaannya dan tidak sanggup menjawab. "Tapi... tapi... aku seorang manusia... yang dijelmakan menjadi mahluk tertinggi derajatnya, dan aku hanya melakukan kebiasaan yang dilakukan semua orang..." ia menangkis dan bersandar kepada kebiasaan manusia, termasuk raja dan para bangsawan yang suka berburu.
"Ha-ha-ha, engkau berlindung kepada kebiasaan manusia. Salah kaprah! Kesalahan, betapapun besarnya akan menjadi kebenaran kalau sudah dilakukan semua orang. Begitukah? Hei, orang muda, beginikah ajaran yang kau terima dari guru-gurumu? Dari Sang Patih Narotama yang sakti mandraguna, dari Sang Prabu AirIangga yang arif bijaksana?"
Pucat wajah sang adipati. Ia segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Aduh, eyang... ampunkan hamba. Hamba mengaku salah, eyang. Bolehkah hamba mengetahui siapa gerangan julukan eyang panembahan?"
"Hemmm, sang adipati, harap jangan merendahkan diri di depan seorang petani biasa seperti aku. Aku bukan pendeta, bukan pertapa, aku seorang kakek biasa, namaku Ki Tunggaljiwa. Bangkitlah, angger, dan mari kita bicara."
Pada saat itu, Bagus Seta sadar dari pingsannya. Ia membuka mata, teringat akan semua peristiwa. Dia masih hidup! Dan harimau itu mendekam di sebelahnya, sama sekali tidak kelihatan galak. Mata harimau itu kehijauan, amat indahnya. Dan bulunya, seperti bulu kucing putih di kadipaten. Ia meraih, mengelus-elus leher binatang itu dan sang harimau menjilati tangannya. Bagus Seta tersenyum, menoleh dan ketika melihat ayahnya berada di situ bersama seorang kakek tua renta, ia lalu berseru,
"Ayah, lihat! Macan ini besar dan bagus sekali. Hamba kira tadi hendak membunuhku, kiranya tidak, dia macan baik!"
Sang adipati terharu, lalu melangkah maju dan menarik tangan puteranya, diajak menghadap kakek itu yang kini sudah duduk di atas sebuah batu. Sang adipati mengajak puteranya duduk bersila depan kakek itu.
"Eyang Tunggaljiwa, sekarang hamba telah sadar akan semua kesalahan hamba. Hamba berjanji, mulai saat ini, hamba tidak akan berburu binatang lagi."
Kakek itu tersenyum. "Berburu tidak mengapa asal berdasarkan kebutuhan. Memang Hyang Widhi telah menciptakan segala apa di mayapada ini untuk manusia yang amat dikasihi-Nya. Kalau manusia lapar lalu membunuh harimau atau apa saja untuk dimakan, itu wajar namanya, sewajar seekor harimau menerkam dan memangsa kelinci. Akan tetapi kalau membunuh sekedar membunuh, itu keji namanya, tidak wajar dan bersifat merusak. Betapa bodohnya merusak ciptaan Hyang Widhi Wisesa. Sang adipati, bukan hanya kebetulan saja pertemuan antara andika, putera andika, dengan saya. Hyang Widhi sudah menentukannya bahwa puteramu akan ikut bersamaku ke puncak Merapi. Andika harus tega melepaskannya, sang adipati."
Adipati Tejolaksono terkejut sekali. Melepaskan puteranya, menjadi murid kakek ini? Putera tunggalnya si Bagus Seta? Mana mungkin? Ibu anak inipun tentu akan melarangnya! Ia memegang tangan puteranya erat-erat, lalu menjawab,
"Mohon eyang sudi mengampunkan saya! Agaknya tidak mungkin saya dan ibu anak ini berpisah dari Bagus Seta, eyang. Hanya dia seorang putera kami, betapa dapat kami berpisah daripadanya?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Sang adipati, kehendak Dewata tak dapat dirubah. Perbuatanmu hari ini pasti akan mendatangkan malapetaka dan hukuman yang hebat, yang akan menimpa anak andika. Hanya sebuah syarat membebaskannya, yaitu anakmu ini harus ikut bersamaku selama lima tahun, menjadi muridku dan menjadi sahabat si Putih, menghibur hatinya yang kehilangan anak. Aku tidak memaksa, akan tetapi hanya memberi jalan demi kebaikan keluarga andika. Apalagi karena dalam waktu mendatang, andika harus pergi meninggalkan Selopenangkep, alangkah akan baiknya kalau putera andika dititipkan kepada saya."
"Maafkan saya, eyang. Betapapun juga, saya tidak dapat melepaskan puteraku ini sebelum mendapat persetujuan daripada ibunya."
Kakek ini menghela napas lalu mengelus-elus kepala harimau putih. "Putih, kau terimalah, memang tidak ada mahluk di dunia ini yang hanya mementingkan diri pribadi seperti manusia." Kemudian kepada sang adipati ia berkata, "Kalau begitu, sang adipati, biarlah saya serahkan kepada takdir. Betapapun juga, sewaktu-waktu si Putih dapat mengantar puteramu kepadaku. Nah, selamat berpisah." Kakek itu lalu bangkit berdiri dan pergi dari situ dengan langkah perlahan-lahan, diikuti harimau putih dari belakang.
"Eh, paman macan putih...!" Tiba-tiba Bagus Seta berseru memanggil dan lari menghampiri harimau itu yang menghentikan langkah membalikkan tubuh. Anak itu merangkul lehernya dan si harimau merendahkan tubuh, menjilat-jilat pipinya. ''Engkau ikut saja bersamaku ke kadipaten!"
Harimau itu mengeluarkan suara gerengan perlahan, kemudian membalikkan tubuhnya dan lari mengejar Ki Tunggaljiwa. Bagus Seta tampak kecewa sekali, kembali kepada ayahnya.
"Ayah, macan itu indah dan baik sekali, tidak galak. Ingin aku bermain-main dengannya, menunggang di punggungnya."
Adipati Tejolaksono menghela napas, hatinya merasa tidak enak. Ia seperti dapat merasakan getaran aneh yang mengubungkan puteranya dengan kakek serta macan putih itu.
"Malam hampir tiba, hayo kita pulang. Ibumu tentu akan khawatir sekali," katanya.
Bagus Seta bertepuk tangan gembira.
"Aah, betapa kanjeng ibu akan terheran-heran mendengar cerita hamba tentang macan putihl" soraknya.
Adipati Tejolaksono menggendong puteranya lalu mengerahkan aji kesaktlannya, berlari turun dari lereng. Hari sudah malam ketika ia tiba di hutan dan bertemu dengan para pengawal yang mencari-cari mereka dengan gelisah. Para pengawal menjadi girang sekali dan pulanglah rombongan itu naik kuda yang telah dapat dikumpulkan oleh para pengawal.
Adipati Tejolaksono memberi perintah agar semua hasil buruan itu dibagi-bagi di antara petani di luar kadipaten yang jarang sekali dapat merasai nikmatnya daging kijang. Para pengawal hanya saling pandang dan melongo, namun tak seorangpun berani membantah.
Ketika tiba di kadipaten, sang adipati dan puteranya disambut dengan penuh kelegaan hati oleh keluarganya. Kemudian sang adipati bersama puteranya bercerita di depan isteri dan kedua bibinya. Mendengar cerita suaminya bahwa kakek sakti bernama Tunggaljiwa ini hendak mengambil Bagus Seta menjadl murid, wajah Ayu Candra berubah pucat. Akan tetapi di depan kedua bibinya, ia tidak berkata sesuatu kepada suaminya. Kartikosari mengerutkan keningnya.
"Serasa pernah aku mendengar nama Ki Tunggaljiwa ini. Dahulu ketika aku masih bersama ayah di Bayuwisma dekat pantai, pernah ayah menyebut nama ini sebagai satu-satunya tokoh sakti yang tak pernah mau mencampuri urusan dunia, hanya hidup sebagai petani biasa di puncak Merapi. Siapa kira, hari ini kalian berjumpa dengannya, bahkan beliau hendak mengambil Bagus sebagai murid. Hemmm...." Kartikosari memandang kepada Ayu Candra dan tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi sang adipati maklum dari pandang mata bibinya itu bahwa bibinya menganggap hal itu amat baik dan menguntungkan.
"Orang yang dapat memelihara seekor harimau putih yang besar, tentu seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Tapi aku sendiri belum pernah mendengar nama Ki Tunggaljiwa," kata pula Roro Luhito.
Malam hari itu, ketika berada di dalam kamarnya berdua dengan isterinya, Ayu Candra menangis. Setelah tidak ada orang lain, barulah dia berani menumpahkan segala kekhawatirannya. Adipati Tejolaksono memeluk isterinya.
"Eh-eh, kenapa kau menangis, nimas?"
Ayu Candra merebahkan kepala di dada suaminya, tempat yang aman di seluruh dunia ini baginya, dan makin sesenggukan.
"Kakangmas.... aku... aku khawatir sekali, kakangmas...."
Adipati Tejolaksono merangkul dan membelai rambut isterinya.
"Apa yang kau khawatirkan, nimas? Tentang anak kita si Bagus Seta?"
Isterinya mengangguk. "Tentang kata-kata Ki Tunggaljlwa itu.... bahwa akan tiba hukuman kalau anak kita tidak dibawanya.... ah, aku ngeri, kakangmas."
Adipati Tejolaksono yang amat mencinta isterinya, segera menghibur dan menciumi untuk mengusir kekhawatirannya.
"Apa yang ditakutkan? Ada aku di sini, nimas. Kalau aku berada di sini, siapakah yang akan dapat mengganggu Bagus atau kita? Di samping aku, engkaupun bukan seorang ibu yang boleh dipandang rendah! Belum lagi bicara tentang bibi Roro Luhito yang galak, dan bibi Kartikosari yang sakti mandraguna. Siapa berani main-main hendak mengganggu anak kita?"
"Tapi... tapi..." suara Ayu Candra sudah tidak begitu takut lagi dan bahkan gemetar bukan oleh takut, melainkan oleh rasa mabuk yang selalu datang apabila suaminya sudah menciumi tengkuk dan lehernya seperti itu. "kalau benar kakangmas pergi seperti dikatakan kakek itu..."
"Ah, pergi ke mana? Agaknya, Ki Tunggaljiwa melihat bakat baik dan kebersihan diri anak kita, saking inginnya mengambil murid lalu menakut-nakuti aku..." Akan tetapi, di sudut hatinya, kekhawatiran besar yang timbul sejak pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa tak dapat juga diusirnya. Karena itu, ia mencari perlindungan kepada isterinya, kepada orang yang paling dicintanya di seluruh dunia ini, tenggelam ke dalam pelukannya, membiarkan diri terseret oleh arus nikmat cinta kasih.
Mereka tak bercakap-cakap lagi, tidak ada yang perlu dipercakapkan pada saat itu. Malam menjadi sunyi, sunyi yang mengamankan hati dan semua kekhawatiran di dalam hati, lenyap tak terpikirkan lagi. Bahkan dunia ini seakan-akan hanya berisi mereka berdua.
********************
Alangkah kecil dan lemah manusia ini kalau dibandingkan dengan kebesaran dan kekuasaan alam yang begini hebat dan kuat. Manusia yang banyak akal dan sudah merasa amat maju dengan pelbagal ilmu kepandaian, merasa bahwa dia telah menguasai dan mempermainkan segala apa di alam dunia. Alangkah piciknya pendapat demikian itu. Menguasai alam. Menundukkan alam. Sungguh mentertawakan, menggelikan!
Banyak orang dalam kepicikannya tidak sadar bahwa manusia hidup di dunia bagaikan hidup di atas panggung sandiwara. Dunia bagaikan panggung di mana manusia bermain dalam peran masing-masing yang tanpa dapat dikuasainya telah diserahkan dan diatur, diharuskan oleh Sang Sutradara yang tidak nampak namun yang kekuasaan-Nya amat mutlak!
Manusia berebut untuk merampas peran yang paling tinggi kedudukannya, yang paling mulia dan paling penting menurut anggapan manusia. Sungguh banyak orang lupa diri, mengira bahwa peranannya, yang paling penting. Padahal bukanlah kedudukan peranan yang diperhatikan penonton, yakni manusia-manusia lainnya di dunia, melainkan cara ia memainkan peranan itulah!
Jauh lebih baik menjadi seorang pemegang peran abdi dengan permainan yang baik daripada menjadi pemegang peran raja namun dengan permainan yang amat buruk! Dengan kata-kata yang lebih jelas lagi. Jauh lebih baik hidup sebagai manusia miskin yang kaya akan kebajikan daripada seorang kaya yang miskin akan kebajikan, sebagai manusia miskin yang merasa cukup daripada sebagai manusia kaya yang tak pernah merasa cukup. Jauh lebih baik hidup sebagai manusia berkedudukan rendah namun berkepribadian dan berbudi tinggi daripada sebagai manusia berkedudukan tinggi dengan kepribadian yang rendah!
Adipati Tejolaksono adalah seorang manusia gemblengan lahir batin. Bukan hanya ia sakti mandraguna, murid terkasih dari Rakyana Patih Kanuruhan Sang Narotama, bahkan telah menerima pula aji-aji linuwih dari mendiang Sang Prabu Airlangga sendiri, akan tetapi juga adipati yang masih muda ini memiliki pribudi yang tinggi dan mengabdi kebesaran, keadilan dan kebajikan.
Betapapun juga sang adipati yang bijaksana dan sakti itu tiada lain pun juga seorang manusia biasa. Manusia biasa yang harus tunduk kepada kehendak Sang Sutradara, seorang manusia yang hanya merupakan mahluk lemah, yang kedua kakinya terikat oleh belenggu yang amat kuat, yaitu belenggu cinta kasih kepada isteri dan puteranya. Di dalam pelukan isterinya yang mencintanya sepenuh jiwa raga, Adipati Tejolaksono tenggelam ke dalam madu cinta, menyeret pula isterinya sehingga Ayu Candra akhirnya lupa pula akan segala kekhawatirannya. Mereka berdua untuk kesekian kalinya mabuk oleh cinta mesra masing-masing yang tak pernah mengecil apalagi padam dan akhirnya tertidur pulas dalam pelukan masing-masing, lupa kekhawatirannya dan tidur tanpa mimpi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dengan wajah berseri-seri dan segar, suami isteri ini sedang duduk menghadapi sarapan pagi ketika tiba-tiba pengawal datang menghadap dan mengabarkan bahwa sepagi itu telah datang utusan dari Kerajaan Panjalu.
Berdebar jantung Adipati Tejolaksono. Ia menyuruh pengawalnya keluar dan agar mempersilahkan utusan itu menanti di pendopo. Ia lalu bertukar pandang dengan isterinya. Perasaan hati mereka meraba sesuatu, sehubungan dengan perasaan khawatir yang mereka bicarakan kemarin. Namun, tanpa mengeluarkan kata-kata, Ayu Candra mempersiapkan pakaian untuk suaminya, karena menerima utusan raja harus mengenakan pakaian kebesaran. Dalam hal pakaian dan makan, adipati muda ini tidak pernah mau dilayani orang lain kecuali isterinya, sebaliknya, Ayu Candra juga tidak membiarkan suaminya dilayani orang lain!
Setelah selesai berpakaian, Adipati Tejolaksono pergi keluar menemui utusan. Makin berdebar rasa jantung adipati Itu ketika mendapat kenyataan bahwa pengunjungnya, utusan Kerajaan Panjalu Itu bukanlah sembarang utusan, melainkan Ki Patih Suroyudo sendiri, patih dalam sang prabu di Panjalu!
Tergopoh Adipati Tejolaksono menyambut patih yang sudah putih rambutnya, mempersilahkannya duduk. Kalau sang prabu sampai mengutusnya, seorang patih kerajaan, untuk datang sendiri ke kadipaten, tak dapat diragukan lagi tentu ada urusan yang amat gawat!
Setelah berlangsung salam-menyalam seperti telah menjadi tradisi kebudayaan nenek moyang yang tak pernah meninggalkan tata susila dalam hidup bangsa kita, barulah Ki Patih Suroyudo menyampaikan tugas yang dibebankan ke pundaknya oleh sang prabu junjungannya. Mula-mula Ki Patih Suroyudo menceritakan kepada Adipati Tejolaksono tentang segala petistiwa yang terjadi, yaitu tentang kematian-kematian ajaib yang menimpa beberapa orang perwira dan senopati pilihan di Panjalu.
"Menurut pemeriksaan para ahli pengobatan di kota raja, kematian para ponggawa tinggi itu bukanlah karena serangan semacam penyakit," demikian Ki Patih Suroyudo melanjutkan ceritanya. "Para empu dan ahli mengatakan bahwa mereka itu tewas akibat ilmu hitam yang amat jahat, namun tak seorangpun di antara mereka dapat menangkap penyerang pengecut itu. Kematian para ponggawa semua terjadi dalam waktu cepat, tak tersangka-sangka sehingga kami tidak tahu siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya."
Sang Adipati Tejolaksono mengerutkan keningnya yang hitam tebal. Sepasang matanya yang tajam itu memancarkan sinar aneh. Kemudian terdengar ia bertanya, "Menurut penuturan paman patih tadi, gejala-gejala yang tampak pada jenazah-jenazah para ponggawa adalah pendarahan yang keluar begitu saja dari kaki tangan dan dada tanpa ada luka di bagian-bagian tubuh itu?"
"Benar, anakmas. Tidak ada luka sedikitpun, namun darah bercucuran dari kaki, tangan dan terutama sekali dari ulu hati seakan-akan bagian-bagian itu ditusuk dengan keris. Mereka itu, rekan-rekan kita yang malang, tewas tanpa dapat melakukan perlawanan, juga tidak tahu siapa musuh yang melakukannya. Karena inilah, maka sang prabu mengutus saya untuk datang ke Selopenangkep dan mengundang anakmas datang ke Panjalu menghadap sang prabu setelah anakmas berhasil menangkap penjahat dan pembunuh itu.
"Setelah saya berhasil menangkapnya?" Adipati Tejolaksono menegas.
"Benar, anakmas. Sang prabu berpendapat bahwa hanya anakmas yang akan dapat membikin terang perkara gelap ini karena menurut pendapat umum, menurut pula desas-desus yang menyelinap masuk sampai ke istana, pelaku daripada semua pembunuhan yang terjadi di Panjalu, juga di Jenggala, adalah.... hemm.... puteri mantu sang prabu di Jenggala....
Terbelalak mata yang tajam itu ketika memandang kepada tamunya, "Paman.... paman maksudkan.... isteri Gusti Pangeran Panjirawit, diajeng Endang Patibroto???"
Ki Patih Suroyudo yang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan. "Demikianlah bunyi desas-desus, anakmas adipati. Menurut penuturan para ahli kami di Panjalu yang sudah tua-tua, di jaman dahulu yang pandai akan ilmu hitam seperti itu hanyalah tokoh dari Kerajaan Wengker, kerajaan siluman itu. Dan mengingat bahwa... beliau adalah murid Ki Dibyo Mamangkoro... hemm... dan kesaktiannya sudah tersohor di kedua kerajaan, maka bukan hanya semua orang, bahkan sang prabu sendiri berkenan menyatakan kekhawatiran dan dugaan beliau bahwa agaknya memang benarlah isi desas-desus itu. Kemudian sang prabu menyatakan bahwa hanya anakmas adipati seoranglah yang akan dapat mengatasi urusan ini, maka paman diutus untuk menyampaikan semua ini kepada anakmas."
Adipati Tejolaksono mengangguk-angguk. Hatinya merasa tidak enak sekali. Mengapa nasib selalu hendak mempertemukannya dengan Endang Patibroto? Terbayanglah semua pengalamannya dahulu dengan wanita sakti itu, dan terbayang pula pertandingannya melawan Endang Patibroto yang mati-matian (BACA KISAH BADAI LAUT SELATAN). Harus ia akui bahwa selama hidupnya, belum pernah ia bertemu tanding sehebat dan sesakti Endang Patibroto. Boleh dikatakan bahwa tingkat ilmu kesaktian mereka seimbang, tidak berbeda jauh. Dan kini, setelah bertahun-tahun ia hidup dalam keadaan aman tenteram, tiba-tiba saja ia dihadapkan perkara yang akan mengharuskan ia lagi-lagi berhadapan dengan Endang Patibroto!
"Baiklah, paman Patih Suroyudo. Hamba menerima tugas ini dengan ketaatan. Harap paman sudi menyampaikan penghaturan sembah bakti saya kepada gusti sesembahan kita di Panjalu dan akan hamba usahakan sekuat tenaga untuk menyelidiki perkara ini kemudian menangkap pelakunya."
Setelah beramah-tamah dan menikmati hidangan, Ki Patih Suroyudo minta diri dan berangkat kembali ke Panjalu diiringkan pasukan pengawalnya. Adipati Tejolaksono termenung sejenak ketika tamunya sudah lama pergi dan barulah sadar daripada lamunannya ketika sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan melihat bahwa Ayu Candra sudah berdiri di situ. Lengannya lalu meraih pinggang yang langsing itu, menariknya duduk di atas kursi di depannya. Karena mereka duduk di pendopo yang terbuka, maka sang adipati menahan hasrat hatinya membelai isterinya. Ia hanya tersenyum dan memandang wajah isterinya yang kelihatan khawatir itu.
"Nimas, kau pergilah menemui kedua bibi dan minta mereka suka datang bercakap-cakap di ruangan dalam. Ada urusan penting yang ingin kusampaikan kepada mereka, bahkan hendak kumintai pertimbangan mereka."
"Ada apakah, kakanda? Ki Patih tadi... membawa kabar apakah?" Tanya Ayu Candra dengan alis berkerut.
Adipati Tejolaksono menangkap tangan isterinya dan meremas-remas jari tangannya. "Jangan kau khawatir, isteriku sayang. Dan sebaiknya kalau adinda suka memanggil kedua bibi agar bersama dapat membicarakan urusan yang dibawa ki patih tadi."
Biarpun hatinya diliputi kekhawatiran, namun melihat wajah suaminya yang tenang, Ayu Candra tidak mendesak lagi. Memang, betapapun juga besar cinta kasih dan kemanjaannya, ia tetap taat akan segala yang diminta dan dikatakan suaminya. Ia mengangguk, lalu pergilah ia masuk ke dalam. Dari belakangnya, Adipati Tejolaksono memandang tubuh belakang isterinya dengan hati gembira. Biarpun sudah menjadi ibu dan usianya sudah bertambah, tiada perbedaan terjadi pada tubuh Ayu Candra. Dan ia tersenyum karena maklum bahwa pendapat ini menambah tebal cinta kasihnya.
Sang adipati lalu masuk ke ruangan dalam. Ketika isterinya kembali bersama dua orang bibi, yaitu Roro Luhito dan Kartikosari yang memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan dan dugaan, barulah Adipati Tejolaksono teringat akan perintah sang prabu dan sikapnya menjadi sungguh-sungguh. Ia mempersilahkan kedua orang wanita setengah tua itu duduk, kemudian mulailah ia bercerita yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ayu Candra, Kartikosari, dan Roro Luhito.
Ketika ia menceritakan tentang pembunuhan-pembunuhan mengerikan dan aneh yang terjadi atas diri banyak ponggawa-ponggawa Panjalu dan Jenggala, tiga orang wanita itu saling pandang dengan perasaan ngeri. Mereka bertiga bukanlah orang-orang lemah, terutama sekali Kartikosari. Akan tetapi, peristiwa pembunuhan seaneh dan sengeri itu baru sekarang ia pernah mendengarnya.
"Demikianlah, bibi. Karena kejadian aneh itu menimpa para ponggawa dan tidak dapat diduga semula siapa-siapa yang akan menjadi korban berikutnya, keadaan di Panjalu menjadi geger dan dicekam suasana ngeri dan takut. Sang prabu mengutus paman Patih Suroyudo untuk memerintahkan saya pergi menanggulangi perkara itu, menyelidiki dan kemudian menangkap si jahat yang melakukan pembunuhan-pembunuhan secara pengecut dan keji."
Menggigil tubuh Ayu Candra. Adipati Tejolaksono tahu benar akan hal ini melihat dari pandang mata serta gerak leher isterinya.
"Aahhh... bagaimana seorang manusia dapat melawan iblis? Kurasa hanya iblis sendiri yang dapat melakukan pembunuhan-pembunuhan keji seperti itu." kata Ayu Candra.
Adipati Tejolaksono tersenyum. Ingin sekali hatinya menceritakan tentang desas-desus yang tertiup angin di Kerajaan Panjalu tentang dugaan umum siapa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu, akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang yang bijaksana. Endang Patibroto adalah anak kandung bibi Kartikosari. Bagaimana ia dapat menyebut nama Endang Patibroto di depan bibinya ini? Tidak, ia tidak akan menceritakan hal itu, apalagi nama Endang terbawa dalam peristiwa itu hanya sebagai desas-desus yang belum ada buktinya. Kecuali kalau memang kemudian ternyata bahwa Endang Patibroto yang melakukan hal itu, dan ini sama sekali tidak dipercayainya, tentu saja ia tidak akan menutupinya.
"Bukan iblis bukan siluman, yayi, melainkan seorang tukang tenung, seorang dukun lepus ahli ilmu hitam. Dan kalau dapat kuselidiki dan kutemui orangnya, tentu akan kuhajar dia! Seorang yang melakukan perbuatan sepertu itu bahkan lebih kejam daripada iblis sendiri."
"Tapi... tapi dia tentu memiliki kesaktian yang amat hebat...!" Kembali Ayu Candra berkata penuh kekhawatiran sambil memandang suaminya, wajahnya agak pucat.
"Ayu, mengapa engkau kini menjadi begini penakut? Mana kegagahanmu yang dahulu, cah ayu? Ahhhh, benar-benar cinta kasih bisa membuat orang menjadi penakut," tegur Roro Luhito kepada Ayu Candra. Memang Roro Luhito kalau bicara jujur tanpa tedeng aling-aling lagi. "Kau tahu bahwa suamimu memiliki kesaktian yang dapat mengatasi musuh-musuhnya, apalagi hanya seorang dukun lepus. Jangan kau khawatir, seperti bukan wanita gemblengan saja!"
"Betul ucapan bibimu Luhito, anakku. Tidak perlu khawatir jika kali ini suamimu melaksanakan tugas dan perintah junjungan. Memang ini sudah menjadi kewajibannya. Apalagi, aku yakin benar bahwa pelaku pembunuhan-pembunuhan itu bukanlah seorang yang benar-benar sakti mandraguna. Bukanlah seorang sakti yang suka melakukan perbuatan pengecut seperti itu, melainkan seorang lemah dan penakut. Yang tidak berani menghadapi akibat perbuatannya. Jangan kau khawatir, anakku, suamimu tidak akan menemui bahaya."
Mendengar hiburan kedua orang tua itu, agak legalah hati Ayu Candra. Alangkah bangga dan besar hati Adipati Tejolaksono. Untung ada kedua orang bibi ini yang seratus persen boleh diandalkan. Kalau tidak ada mereka, agaknya iapun akan ragu-ragu dan khawatir meninggalkan isteri tercinta sendirian di rumah bersama puteranya. Kalau tidak ada kedua orang bibinya yang boleh dipercaya ini, agaknya ia akan mengantongi isteri dan anaknya itu dan membawanya serta ke manapun ia pergi.
"Saya mohon perhatian dan bantuan bibi berdua, bukan untuk menghadapi urusan pembunuhan di Panjalu, melainkan...hemm... Bagus Seta...