Perawan Lembah Wilis Jilid 07

Cerita silat karya kho ping hoo
Sonny Ogawa
Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 07

Cerita Silat Online Karya kho Ping Hoo

Endang Patibroto hanya menggeleng kepala, tidak berani mengeluarkan suara karena ia tidak percaya kepada suaranya sendiri yang tentu akan tergetar.

Adapun Mayangkurdo tidak melihat keberatan sesuatu atas kunjungan Endang Patibroto. Biarpun disiksa sejak malam tadi, Tejolaksono tidak pernah mau mengaku sesuatu, hanya tersenyum mengejek dan menerima siksaan sampai berkali-kali jatuh pingsan. Karena itu Mayangkurdo dan yang lain-lain tidak tahu bahwa rahasia busuk mereka telah diketahui Tejolaksono dari mulut Ki Brejeng! Mereka hanya menyangka bahwa Tejolaksono datang atas perintah sang prabu di Panjalu untuk menangkap Endang Patibroto yang sampai sekarang tentu dianggap pemberontak oleh Panjalu, dan Jenggala.

Ketika Endang Patibroto memasuki kamar tahanan, ia melihat Tejolaksono rebah dan setengah bersandar pada dinding. Kaki tangannya dibelenggu dengan rantai besi, juga lehernya. Pakaiannya hancur dan seluruh tubuhnya berdarah bekas cambukan! Ksatria sakti ini tidak pingsan, sadar dan sinar matanya masih penuh semangat sungguhpun tampak lemah sekali. Sedikitpun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya. Mukanya baret-baret bekas cambukan pula, mata kirinya membiru. Hati Endang Patibroto trenyuh sekali. Apalagi melihat betapa sinar mata itu memandangnya dengan senyum, seperti mulutnya.

"Pergilah kalian! Tinggalkan aku sendiri dengan keparat ini!" bentak Endang Patibroto kepada tiga orang algojo tinggi besar yang agaknya kelelahan karena harus terus menyiksa akan tetapi tak boleh membunuh si tahanan. Mereka lalu pergi meninggalkan Endang Patibroto yang segera menutupkan daun pintu besi. Lalu ia berdiri di depan Tejolaksono.

"Hemm, Endang Patibroto. Agaknya engkau puas sekarang. Dapat melampiaskan semua kebencianmu kepadaku. Ah, betapa bencimu kepadaku, Endang. Sejak sepuluh tahun yang lalu! Belum dapatkah engkau melupakan semua peristiwa yang lalu? Endang... demi bibi Kartikosari, demi paman Pujo... kau bunuhlah saja aku. Aku tidak takut menghadapi siksaan, akan tetapi ngeri menghadapi penghinaan. Kau pukullah aku sampai mati, aku akan berterima kasih dan... dan tolonglah kau amat-amati keluargaku di Selopenangkep."

Ucapan itu keluar dengan ringannya dari mulut Tejolaksono, sedikitpun tidak tampak berduka atau takut. Alangkah perkasanya pria ini! Dan tak tertahankan lagi Endang Patibroto terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut, lalu tangannya meraih belenggu-belenggu kaki tangan Tejolaksono.

"Tidak usah, Endang. Tiada gunanya. Kalau aku menghendaki, agaknya aku masih akan sanggup mematahkan belenggu-belenggu ini. Akan tetapi apa gunanya? Penjagaan terlampau kuat dan aku terlalu lelah dan lemah. Apalagi ada engkau, betapa mungkin aku dapat lari?"

Makin mengguguk Endang Patibroto menangis.

"Joko Wandiro.... mengapa...? Mengapa engkau selalu memusuhi aku? Mengapa engkau yang diutus oleh si keparat Darmokusumo untuk mengejar dan menangkap aku? Aku sudah.... sudah tidak lagi menganggap engkau sebagai musuh, tapi.... tapi kau datang ke sini dan...

"Husssshh... engkau salah sangka. Inilah yang hendak kuterangkan kepadamu. Inilah sebabnya mengapa aku selalu hendak menemuimu. Kau tertipu! Kau harus segera lari dari sini. Mereka menipumu. Mereka hendak membunuhmu! Dengarlah baik-baik, Endang Patibroto. Semua peristiwa di Jenggala dan Panjalu diatur oleh si keparat Sindupati!"

"Tidak mungkin! Aku mendengar sendiri dari mulut Wiku Kalawisesa...!"

"Kau dibohongi! Aku tahu semua ini dari mulut Ki Brejeng sebelum ia mati."

"Ki Brejeng? Mati? Apa artinya ini....?"

"Aku memang mengejarmu, dan di tengah jalan aku bertemu Ki Brejeng. Kau masuk perangkap! Wiku Kalawisesa adalah anak buah Sindupati. Sengaja membunuhi para ponggawa untuk melemahkan kedua kerajaan yang akan diserbu. Dan mereka memasang jerat. Menyebar desas-desus memburukkan namamu, hendak mengadu domba. Kau terkena hasutan sehingga kau menyerbu Pangeran Darmokusumo yang tidak berdosa! Kau... eh, kenapa, Endang...?"

Akan tetapi Endang sudah tidak mendengarnya lagi. Wanita ini menjadi pucat wajahnya, lalu berusaha bangkit berdiri, terhuyung-huyung, kedua tangannya memegang kepala sendiri, matanya dimeramkan, mulutnya mengeluh lirih,

"Ahhh... kepalaku... begini pening... panas..."

Tejolaksono terkejut sekali. Sekali pandang melihat wajah yang agak pucat itu kedua pipinya mangar-mangar merah, bibirnya yang terbuka itupun merah seperti habis makan cabe, matanya setengah dipejamkan, napasnya tersendat-sendat, tubuhnya gemetar, tahulah ia bahwa Endang Patibroto yang seperti orang mabok arak ini telah keracunan!

"Endang... kau keracunan... Lekas, bersila mengatur napas, menggunakan tenaga sakti mengusir hawa racun dari dada dan kepalamu... pergunakan Widodo Mantra..." Namun terlambat sudah. Endang Patibroto agaknya sudah tidak dapat menguasai diri dan pikirannya lagi, mulutnya berbisik-bisik, "pangeran... kekasihku pangeran..."

"Ha-ha-ha-ha! Jangan harap dapat lari dariku, diajeng...!!" Daun pintu kamar tahanan terbuka dari luar dan Sindupati melompat masuk. Melihat Endang Patibroto yang terhuyung-huyung seperti orang mabuk, ia terkekeh girang lalu menubruk maju, memeluk dan memondong tubuh Endang Patibroto.

"Diajeng Endang Patibroto....! Aku cinta padamu.... ha-ha-ha... mengapa lari dari kakanda....?"

"...pangeran... pangeran...."

Dengan mata dipejamkan Endang Pathbroto berbisik-bisik dan ia sama sekali tidak marah lagi seperti tadi ketika tubuhnya didekap dan dipondong, bahkan kedua lengannya lalu merayap dan merangkul leher Sindupati, mukanya disembunyikan pada dada senopati itu!

"Ha-ha-ha-ha!" Sindupati tertawa bergelak, lalu sambil memondong tubuh wanita yang mabuk oleh racun pembangkit nafsu berahi yang tadi ia campurkan ke dalam madu, ia mengayun kaki menendang Tejolaksono yang memandang semua itu dengan mata melotot. Dalam keadaan terbelenggu seperti itu, terpaksa Tejolaksono menerima tendangan yang mengenai pinggangnya sehingga tubuhnya terbentur dinding. Kembali Sindupati tertawa sambil membawa tubuh Endang Patibroto keluar dari dalam kamar tahanan.

Blambangan adalah gudangnya ilmu hitam, gudangnya jamu-jamu yang amat mujijat, dan di kadipaten ini terdapat banyak sekali ahli-ahli pembuat racun. Ketika Sindupati malam kemarin memberi minum madu kepada Endang Patibroto, ia mencampurkan bubukan jamur belang yang mengandung racun pembangkit nafsu berahi amat hebat. Orang yang terkena racun ini, terutama sekali wanita, akan mabuk dan tidak dapat menguasai dirinya lagi, tidak sadar apa yang dilakukannya dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu berahi yang menyala-nyala.

Demikian pula, biarpun ia seorang wanita yang sakti mandraguna, namun darahnya yang sudah keracunan membuat Endang Patibroto mabuk juga sehingga terbayang olehnya Pangeran Panjirawit yang tercinta dan ketika ia dipondong Sindupati, ia menganggap bahwa suaminyalah yang memondongnya!

Dengan kegirangan hati yang meluap-luap Sindupati memondong tubuh Endang Patibroto ke dalam rumahnya, masuk ke dalam kamarnya yang tadi ditinggalkan Endang Patibroto. Kini tercapailah keinginan hatinya. Ia ingin memiliki tubuh Endang Patibroto, baik secara suka rela ataupun paksa, dan setelah itu baru ia akan membunuh wanita ini untuk memenuhi perintah Adipati Blambangan!

Kini, setelah Endang Patibroto mabuk oleh racun jamur belang, pasti akan terpenuhi keinginan dan nafsunya! Dengan wajah berseri-seri ia melemparkan tubuh Endang Patibroto ke atas pembaringan. Endang Patibroto hanya mengeluh lirih dan bergulingan gelisah di atas pembaringan itu, matanya dipejamkan.

"Ha-ha-ha-ha, Endang Patibroto. Akhirnya engkau terlempar juga dalam pelukanku, cah ayu denok..." Dengan nafsu berkobar Raden Sindupati menghampiri pembaringan, matanya jalang memerah, napasnya agak terengah-engah panas, hidungnya kembang kempis, wajahnya yang tampan kini tampak buas. Lama ia berdiri di pinggir pembaringan, melahap tubuh Endang Patibroto dengan pandang matanya, kemudian ia membungkuk, terkekeh dan kedua tangannya menjangkau....

"Kakangmas senopati..." Raden Sindupati yang sudah menyentuh pundak Endang Patibroto dan sudah menaikkan sebelah lututnya ke atas pembaringan, tersentak kaget dan turun membalikkan tubuh dan menghardik,

"Umi! Mau apa engkau masuk ke sini? Hayo pergi, kalau tidak ingin kutempiling kau!!"

Wanita muda bermuka pucat itu memandang dengan mata terbelalak ke arah tubuh Endang Patibroto yang bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan. Hatinya menjadI semakin panas sekali, panas oleh cemburu. Biarpun la mengalami banyak derita batin semenjak oleh ayahnya, sang adipati, dihadiahkan kepada senopati Sindupati, namun la telah jatuh cinta kepada laki-laki ini sepenuh hatinya.

Tidak ingin ia melihat suaminya bermain dengan wanita lain, dan hatinya selalu sakit dan hancur kalau ia melihat Sindupati membawa pulang wanita-wanita cantik. Akan tetapi kali ini ia tidak dapat menahan kemarahannya melihat betapa suaminya Itu hendak memiliki seorang wanita dengan cara yang amat tidak patut, yaitu dengan paksa dan dengan bantuan jamu racun perangsang!

"Kakangmas... jangan... jangan lakukan itu..."

Marah sekali Sindupati. Ia melangkah maju mendekati selirnya ini, mukanya merah. "Apa? Sejak kapan engkau berani menghalangi kesenanganku??"

Dewi Umirah, wanita muda itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, kakangmas, saya tidak menghalang kesenanganmu. Sebagai seorang selir, saya tidak berhak melakukan hal itu. Akan tetapi, saya berkewajiban untuk mengingatkan suami daripada perbuatan jahat dan keji! Memperkosa seorang wanita di luar kehendaknya adalah perbuatan jahat dan keji, kakangmas. Ingatlah, dan harap kakangmas sadar, jangan lakukan itu...! Wanita ini tidak sadar... dia mabuk racun... tidak baik memperkosa..."

"Tutup mulutmu! Ha, engkau iri hati! Engkau cemburu, setan...!" Dengan marah sekali Sindupati mendorong pundak selirnya sehingga tubuh Dewi Umirah terlempar ke belakang, menabrak dinding dan terguling.

Namun wanita Itu bangun lagi, berlutut dan berkata, "Saya tidak iri hati, tidak cemburu, kakangmas. Sudah kukubur perasaan itu! Akan tetapi.... melihat kau hendak melakukan perkosaan keji.... ah, bagaimana saya dapat melihat suami saya melakukan kekejian ini dan mendiamkannya saja? Ingat kakangmas, perbuatan ini akan dikutuk para dewata...!"

"Apa? Keparat engkau! Berani mengumpat...! Pergi minggat!!" Sindupati menggerakkan kakinya menendang dan tubuh Dewi Umirah terlempar ke luar melalui pintu! Sindupati sambil memaki-maki lalu membanting daun pintu kamar dan menguncinya dari dalam!
Napasnya terengah-engah saking marahnya dan kemarahan ini telah mengusir gelora nafsu berahinya. Ia jengkel sekali, lalu menyambar sebuah botol berisi arak dari atas meja, menuangkan isinya ke dalam perut. Perut dan dadanya terasa panas kini dan perlahan-lahan nafsunya menggelora lagi. Dilemparkannya botol kosong ke sudut kamar dan ia melangkah maju menghampiri pembaringan di mana Endang Patibroto masih menggeliat-geliat sambil mengeluh lirih. Sindupati terkekeh, tangannya meraih, merenggut, terdengar suara "breettt!!" pakaian robek, disusul ketawa terbahak.

********************

Ketika Tejolaksono melihat betapa tubuh Endang Patibroto yang ia tahu dalam keadaan setengah sadar karena pengaruh racun itu dipondong oleh Sindupati dan dilarikan keluar tahanan, hatinya penuh kegelisahan dan kemarahan. Tadinya ia sudah hampir berputus asa karena kalau ia memberontak dan dapat membebaskan diri, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri, karena di sana, terdapat banyak senopati tangguh terutama sekali ada Endang Patibroto!

Kini, menyaksikan keadaan Endang Patibroto yang terancam bahaya lebih mengerikan daripada maut, timbul semangatnya. Ia segera meramkan mata, mengheningkan cipta, mengumpulkan seluruh daya dan hawa sakti di tubuhnya, mengetrapkan aji-ajinya lalu tiba-tiba terlengkinglah pekik yang dahsyat dari mulutnya, pekik Aji Dirodo Meta (Gajah Mengamuk) dan pada saat itu juga, ia meronta dan terdengar suara keras ketika semua rantai besi yang membelenggu kaki tangan dan lehernya hancur berkeping-keping!!

Tejolaksono melompat bangun dan pada saat itu, para pengawal yang mendengar suara pekikan dahsyat tadi sudah menyerbu ke dalam. Akan tetapi lima orang pengawal termasuk tiga orang algojo yang terdahulu masuk, disambut oleh hantaman yang membuat mereka semua roboh terjengkang kembali keluar pintu! Tubuh Tejolaksono menerjang keluar dan ia telah mengerahkan Aji Triwikrama, sebuah aji kesaktian agung yang didapatnya dari ajaran mendiang sang Prabu Airlangga. Begitu tubuhnya muncul keluar, para pengawal dan penjaga bediri terpaku di tempat masing-masing dengan mata terbelalak dan muka pucat.

Aji kesaktian agung Triwikrama bukanlah sembarang aji dan hanya Tejolaksono seoranglah yang dapat mewarisinya dari Sang Prabu Airlangga. Di jaman Purwacarita, jamannya Mahabharata, yang memiliki aji kesaktian agung ini hanyallah Sang Prabu Dwarawati atau Sri Bathara Kresna. Aji kesaktian ini baru dapat dikeluarkan apabila hati dalam keadaan marah dan sakit hati dan begitu aji ditrapkan, akibatnya hebat luar biasa.

Para lawan akan terpesona, akan ngeri ketakutan karena dari tubuh yang beraji Triwikrama ini seakan-akan keluar hawa mujijat yang menakutkan, mengeluarkan perbawa yang menggiriskan, seakan-akan berubah menjadi seorang raksasa sebesar Gunung Semeru yang akan menghancurkan segala yang menentangnya! Pihak lawan akan dicekam ketakutan sehingga mereka sampai lupa untuk bergerak menentang musuh.

Ketika para pengawal itu berdiri terhenyak pucat ketakutan, Tejolaksono segera melesat keluar dan dengan kecepatan kilat ia sudah melampaui kepala mereka untuk pergi mengejar Sindupati. Selama beberapa pekan menjadi tukang kuda di Blambangan, waktunya tidak dibuang sia-sia sehingga ia sudah hafal akan keadaan di Blambangan, tahu pula di mana adanya istana senopati Sindupati.

Baru setelah Tejolaksono lari jauh, para pengawal sadar akan keadaan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka mengejar. Beberapa orang pengawal yang berada di depan sempat menghadang dan beiasan orang sudah menyeruduk maju dengan tornbak dan golok di tangan. Namun dengan ketangkasan yang luar biasa, terdorong oleh rasa khawatir dan marah mengingat akan nasib Endang Patibroto, Tejolaksono menggerakkan kaki tangannya.

Dua orang roboh mencelat, seorang dapat ia tangkap tengkuknya, ia angkat tubuhnya dan ia putar-putar sedemikian rupa sehingga para pengeroyok cepat mundur dan menahan senjata, takut mengenai tubuh kawan sendiri. Tejolaksono lalu melempar tubuh orang yang dijadikan perisai tadi ke arah para pengeroyok, kemudian menggunakan kepanikan mereka ia meloncat lagi terus melanjutkan pengejarannya.

Makin banyak kini perajurit-perajurit mengejarnya dari belakang, namun tak seorangpun dapat menandingi kecepatan gerak tubuh Tejolaksono yang melesat ke depan seperti burung terbang cepatnya. Empat orang pengawal menyambutnya di depan pintu rumah Raden Sindupati, akan tetapi dalam dua gebrakan saja Tejolaksono sudah merobohkan mereka dengan pukulan-pukulan jari tangannya yang mengandung Aji Pethit Nogo. Ia terus menyerbu ke dalam. Dewi Umirah terbelalak dan dengan muka pucat wanita ini lari keluar dari rumahnya, terus melarikan diri ke istana ayahnya untuk melaporkan segala peristiwa yang amat menghancurkan hatinya.

Tejolaksono tidak mengenal dan tidak memperdulikan Dewi Umirah, bahkan tidak mengganggu para pelayan yang mendeprok dan menggigil di atas lantai terus lari ke dalam. Ia tahu di mana adanya kamar senopati Raden Sindupa karena ia pernah menyelidiki rumah ini di waktu malam. Daun pintu kamar itu tertutup dan la mendengar suara ketawa bergelak di sebelah dalam. Tejolaksono mengerahkan tenaga sakti di dalam tubuhnya lalu menggempur daur pintu dengan bahunya.

"Braaaakkkk...!" Daun pintu jebol dan pecah, tubuhnya menerjang ke dalam kamar.

Mata Tejolaksono menjadi merah saking marahnya ketika ia melihat Sindupati duduk di pinggir pembaringan, dengan tubuh Endang Patibroto rebah atas pembaringan. Pakaian Endang Patibroto terobek dari atas ke bawah, sedangkan senopati itu sambil tertawa-tawa sedang membuka bajunya. Ketika Sindupati mendengar suara keras pecahnya daun pintu, ia menoleh dan matanya terbelalak melihat bahwa yang muncul adalah Tejolaksono yang baru saja tadi ia tending ketika ia melarikan Endang Patibroto. la kaget bukan main, juga terheran-heran, akan tetapi secepat kilat ia meloncat, menyambar tombaknya di sudut kamar kemudian langsung menerjang Tejolaksono dengan tusukan tombak pusakanya.

"Sindupati keparat engkau... !!" Tejolaksono memaki, miringkan tubuh sehingga tombak itu menyeleweng dekat lambungnya. Tangan kiri meyambar menangkap tombak, ditarik dengan gentakan keras sehingga tubuh lawan ikut mendekat, tangan kiri dengan jari-jari terbuka menampar dengan Aji Pethit Nogo.

"Bresssss... !!" Tubuh Sindupati terlempar dibarengi jeritnya dan terus menubruk jeruji jendela yang menjadi patah-patah, tidak tahan menerima hantaman tubuh yang sakti itu, dan tubuh Sindupati terus terlempar keluar kamar, dan terbanting jatuh bergulingan. Pingsan!

Pukulan tadi amat kerasnya, dilakukan dalam keadaan amarah meluap-luap oleh Tejolaksono. Kalau orang lain tentu akan hancur remuk tulang-tulang iganya. Akan tetapi karena Sindupati bukan orang biasa, kekebalannya menyelamatkan nyawa dan ia hanya terlempar dan terbanting pingsan seperti orang diseruduk gajah!

"Endang....!" Tejolaksono melompat mendekati pembaringan.

Hatinya lega melihat dan mendapat kenyataan bahwa kedatangannya belum terlambat. Untung sekali. Beberapa menit lagi saja terlambat tentu....ah, ngeri ia membayangkan. Endang Patibroto meno!eh, akan tetapi matanya setengah terpejam, bibirnya terbuka dan agak terengah sambil tersenyum, berbisik-bisik tak menentu. Ketika Tejolaksono meraba dahi, terasa amat panas. Cepat ia menyambar tubuh Endang Patibroto yang panas dan lemas itu setelah merapikan kembali pakaian yang hampir telanjang, memanggulnya menelungkup di atas pundak kiri, merangkul kedua pahanya dengan lengan kiri kemudian ia cepat membalikkan tubuh karena mendengar gerakan orang-orang di pintu.

"Joko Wandiro! Lebih baik kau menyerah, percuma saja kau melawan. Tempat ini telah terkepung ribuah orang perajurit! Kalau melawan, akan hancur tubuh kalian di bawah senjata kamil" kata Ki Patih Kalanarmodo yang mengepalai sendiri pengejaran terhadap tawanan yang lolos ini. Di sampingnya tampak Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko serta senopati lainnya, senjata di tangan!

"Hai, orang-orang Blambangan! Dengarlah! Inilah aku Adipati Tejolaksono, seorang ponggawa Kerajaan Panjalu yang pantang menyerah! Jangan harap akan dapat menangkap kami berdua sebelum pecah dadaku. Minggir!" Tiba-tiba Tejolaksono menerjang maju, tangan kanannya menyambar ke depan karena ksatria sakti ini telah mempergunakan Aji Bojro Dahono untuk membuka jalan.

Ki Patih Kalanardomo dan Mayangkurdo adalah dua orang tokoh sakti di Blambangan, dan mereka sudah mengerahkan kekebalan untuk menahan pukulan jarak jauh ini, namun tetap saja mereka terdorong roboh ke belakang, terjengkang dan menabrak Klabangkoro dan Klabangmuko! Ributlah keadaan di pintu itu dan Tejolaksono mempergunakan kesempatan ini untuk melesat keluar melalui lubang jendela di mana tadi tubuh Sindupati terlempar. Di luar jendela, tampak Sindupati yang hanya mengenakan sebuah celana hitam sampai ke lutut, berdiri dan mencak-mencak sambil berteriak-teriak,

"Tangkap...! Tangkap....!" Akan tetapi dia sendiri lari mundur saking gentar menghadapi Tejolaksono.

Ksatria ini tidak memperdulikannya, terus saja melesat ke depan lari keluar dari pintu samping. Namun di sini ia tertahan pula oleh barisan pengawal yang sudah menghujankan tombak dan golok ke arah tubuhnya. Tejolaksono menangkis dan merampas sebatang golok. Diputarnya golok ini dan terdengarlah angin bersiutan, goloknya berdesing aneh dan yang tampak hanya segulung sinar putih yang menyelimuti tubuhnya dan tubuh Endang Patibroto.

"Trang-trang-cring....!!" Beberapa batang tombak dan golok lawan patah-patah.

Mereka mundur dan Tejolaksono maju terus sambil memutar golok, mainkan ilmu goloknya yang dahulu ia pelajari dari Ki Tejoranu, pertapa perantau ahli golok. Itulah Ilmu Golok Lebah Putih yang mengeluarkan suara mengaung seperti suara serombongan lebah mengamuk keluar dari sarang mereka yang terganggu. Senjata-senjata lawan beterbangan, terdengar jerit kesakitan dan darah muncrat dari lengan yang tertabas putus atau dari pundak yang terluka. Sebentar saja ujung golok di tangan kanan Tejolaksono telah menjadi merah oleh darah musuh. Ia mengamuk terus sambil bergerak maju sampai akhirnya ia tiba di pekarangan depan di mana musuh lebih banyak lagi mengurungnya.

Kini ia dihadapi oleh para senopati yang dipimpin oleh Ki Patih Kalanarmodo. Terpaksa Tejolaksono tidak dapat melarikan diri dan hanya memutar golok untuk melindungi tubuhnya dan tubuh Endang Patibroto. Ah, kalau saja Endang tidak menjadi korban racun, mereka berdua tentu akan dapat membuka jalan darah dan menerobos keluar, pikir Tejolaksono dengan menyesal. Dengan adanya Endang Patibroto di sampingnya, mereka akan dapat mengamuk dan mengatasi pengeroyokan sekian banyaknya lawan.

"Joko Wandiro...! " Bisikan lemah di dekat telinganya membuat ia berdebar. Endang Patibroto telah sadar! Biarpun masih lemas dan lemah, namun jelas sudah ingat dan buktinya dapat mengenalnya!

"Jangan khawatir, Endang, aku melindungimu!" bisiknya kembali dan "trangg!" ia membuat dua golok di tangan Klabangkoro dan Klabangmuko patah sekaligus!

Dua orang kakak beradik raksasa ini menyumpah-nyumpah karena telapak tangan mereka lecet-lecet. Cepat mereka telah menyambar lain golok dari tangan anak buah mereka. Sementara itu, lain-lain senopati sudah menyerbu dari sekeliling Tejolaksono yang kembali harus memutar golok dengan cepat dan kuat. Ia kini mengambil sikap bertahan sambil memasang mata mencari bagian yang paling lemah untuk dapat menerobos keluar.

Ia pikir bahwa dalam keadaan terkurung ini, sementara ia masih dapat bertahan, karena kalau tidak terkurung, musuh dapat menghujankan anak panah dan ini berbahaya. Akan tetapi kalau terus mempertahankan diri terhadap kepungan yang demiklan ketatnya, sampai berapa lama ia dapat bertahan? Andaikata pengeroyokan itu terjadi di malam hari, ia masih mempunyai banyak kesempatan meloloskan diri. Akan tetapi pada siang hari!

"Joko Wandiro... keteranganmu... tadi... bagaimana itu... Aku tidak mengerti..." Kembali terdengar bisikan suara Endang Patibroto yang kini mulai mengangkat muka dan lengannya tidak lemas lagi melainkan kini dapat merangkul leher menekan pundaknya.

Sebelum menjawab, Tejolaksono mainkan Ilmu Golok Lebah Putih dengan cepat dan mainkan jurus-jurus pertahanan sehingga kini sinar golok putih bergulung-gulung membungkus tubuh mereka berdua. Jangankan hanya hujan senjata lawan, andaikata ada hujan air yang deras sekalipun tubuh mereka takkan menjadi basah! Setelah yakin bahwa pertahanannya cukup kuat dan untuk sementara ia tidak akan dapat terancam, Adipati Tejolaksono lalu membagi perhatiannya kepada Endang Patibroto, lalu berbislk menjawab.

"Aku datang ke Blambangan bukan untuk menangkapmu, Endang. Engkau, juga Panjalu dan Jenggala, semua telah tertipu oleh Sindupati. Wiku Kalawisesa adalah kaki tangan mereka dan kau sengaja diadu domba. Darmokusurno tidak berdosa, maka penyerbuan ke sana tentu saja menimbulkan salah faham. Semua adalah hasil siasat Sindupati yang menjadi utusan pemerintah Blambangan. Sadarlah.... kau hampir saja menjadi korban...

"Ah... aku... aku mengapa tadi....? Sindupati... ah, apa yang terjadi...?" Suara ini bercampur isak.

"Si keparat itu hampir saja mencemarkanmu, hampir memperkosamu, Endang! Kau telah diracun sehingga mabuk dan tidak wajar, tidak sadar... Sindupati adalah kaki tangan Blambangan yang mengatur semua siasat. Dialah musuh besar kita...!"

Endang Patibroto mengeluh.

"Aahhhh.... madu itu.... ahhh... kakang Sindupati.... dia.... dia....!" Kembali Endang Patibroto terisak, agaknya pikirannya yang mulai sadar teringat akan segala peristiwa yang terbang dan saling muncul dalam benaknya.

"Tenanglah, Endang. Kau tidak apa-apa. Belum terlambat. Nyaris.... ah, Dewata masih melindungimu..."

"Trang-trang-cring....!!" Oleh percakapan itu, perhatian Tejolaksono terpecah dan hampir saja ia menjadi korban ketika senjata di tangan Ki Patih Kalanarmodo, Mayangkurdo dan Klabangkoro berhasil menerobos memasuki garis pertahanan gulungan sinar goloknya.

"Joko Wandiro.... kau lepaskan aku.... kau lepaskan, akan kuhancurkan kepala mereka...!"

Berdebar jantung Adipati Tejolaksono. Suara Endang Patibroto itu! Itukah suara Endang Patibroto yang dahulu! Penuh semangat, penuh keberanian, seperti suara seekor harimau betina. Endang Patibroto sudah sadar sepenuhnya! Dan ini merupakan cahaya yang membuka harapan baru untuk kebebasan.

"Tapi, kau masih lemah..."

"Tidak! Tidak, lebih baik kita berdua mati dalam perlawanan daripada aku mati memberatkan engkau seorang diri menghadapi mereka. Turunkan aku, Joko Wandiro!"

Lengan kiri Tejolaksono yang memeluk kedua paha wanita sakti itu dapat merasa betapa di balik kain yang membungkus paha, di balik kulit paha yang halus itu kini terasa bergerak-gerak penuh tenaga sakti, ia girang sekali karena ini merupakan tanda bahwa Endang Patibroto tidak lagi selemah tadi. Ia segera menurunkan tubuh itu, melepaskan pelukannya, akan tetapi masih menjaga dan waspada dengan permainan goloknya agar dapat melindungi tubuh Endang Patibroto.

Kedua kaki Endang Patibroto masih menggigil, kepalanya masih agak pening, tubuhnya masih panas terpengaruh racun perangsang nafsu. Akan tetapi begitu telapak kakinya menginjak tanah, tubuhnya membalik dan kedua tangannya bergerak menyambar.

"Desss....! Prakkkk....!!" Dua orang pengeroyok yang berada di belakang Tejolaksono roboh dengan dada remuk dan kepala pecah terkena sambaran jari tangan Endang Patibroto yang memukul dengan Aji Pethit Nogo!

"Bagus, Endang! Mari kita hajar mereka ini!" seru Tejolaksono gembira sekali dan ia tidak mau kalah, sekali bergerak, tangan kirinya menghantam roboh seorang lawan dan goloknya membabat ke depan mengenai paha kiri Klabangmuko yang memekik dan roboh dengan paha robek. Ia cepat ditolong anak buahnya dan dibawa mundur.

"Mari, Joko Wandiro. Mari kita basmi orang-orang Blambangan!" kata pula Endang Patibroto yang sudah berhasil merobohkan seorang lawan sambil merampas sebatang pedang, lalu mengamuk. Tubuhya masih lemah, kepalanya masih pening, namun para pengeroyok itu bukanlah tandingan wanita sakti ini.

Demikian girangnya hati Tejolaksono sehingga ia kembali mengeluarkan pekik dahsyat Dirodo Meto lalu bersumbar,

"Hayoh orang-orang Blambangan! Babo babo! Inilah Endang Patibroto dan Joko Wandiro, keturunan orang-orang Mataram! Keroyoklah, kerahkan seluruh perajurit Blambangan!!"

Hebat sekali amukan Tejolaksono dan Endang Patibroto. Bertumpuk-tumpuk mayat para pengeroyok, bergelimpangan dan kini kedua orang yang perkasa itu telah keluar dari pekarangan, sampai di jalan-jalan akan tetapi selalu dikeroyok seperti dua ekor jengkerik dikeroyok ribuan semut! Bukan hanya puluhan, ada ratusan orang pengeroyok roboh tewas atau terluka parah. Sudah lima kali Tejolaksono berganti golok yang sudah rompal, demikian dengan Endang Patibroto.

Namun, Endang Patibroto masih belum sehat benar. Pengaruh racun masih amat mengganggunya, membuat darahnya panas bergolak, kepalanya pening, matanya mengantuk! Dan pengeroyokpun amatlah banyaknya, ada ribuan orang banyaknya! Mulailah kedua orang gagah ini terdesak. Tejolaksono boleh jadi gagah perkasa, sakti mandraguna, namun iapun hanya seorang manusia dari darah dan daging. Ia mulai lelah.

"Joko Wandiro....mari kita melarikan diri....aku....aku....ah, panas sekali tubuhku.... pening kepalaku..." Biarpun berkata demikian, namun seorang pengeroyok yang terlalu dekat terbelah dadanya oleh pedang di tangan wanita sakti ini!

"Kurungan terlalu rapat... tak mungin lari...mari kita menyerbu ke istana saja, Endang... Tejolaksono menubruk maju merobohkan dua orang pengeroyok.

"Ke istana....??

"Ya, kita serbu istana dan tawan adipati, baru ada harapan kita selamat. Hayolah...!!

Endang Patibroto mengerti apa yang dimaksudkan Tejolaksono. Memang melihat banyaknya pengeroyok, kiranya tak akan mudah meloloskan diri, apalagi karena dia sendiri masih lemah dan mabuk. Dan kalau mereka berhasil menawan Adipati Menak Linggo, mereka dapat memaksa adipati itu membebaskan mereka! Endang Patibroto lalu mengerahkan tenaga, menahan kepeningan kepalanya lalu mengamuk di samping Tejolaksono. Amukan dua orang sakti ini membuat para pengeroyok terdesak mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tejolaksono untuk menyambar tangan Endang Patibroto, diajaknya meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok naik ke atas atap.

"Kejar...!!"

"Siap barisan panah...!"

Tejolaksono dan Endang Patibroto memutar cepat pedang dan golok rampasan mereka ketika mendengar bersiutnya banyak anak panah menyambar mereka. Anak-anak panah itu runtuh semua ke bawah atap. Akan tetapi para pengeroyok itu sudah mengejar, dan ke mana pun juga dua orang sakti itu melompat dan lari, mereka selalu dikurung dari bawah dan dihujani anak panah.

Tejolaksono dan Endang Patibroto lari terus sampai tiba di atas atap istana. Hari telah mulai menjadi senja. Setengah hari mereka tadi bertanding menghadapi keroyokan ratusan orang perajurit itu.

"Mari kita turun!" kata Tejolaksono. Mereka meloncat turun dan kembali para pengawal mengeroyok mereka sambil berteriak-teriak. Dua orang ini mengamuk lagi, sambil mencari kesempatan untuk menyerbu ke dalam istana.

Tiba-tiba terdengar sambaran anak panah yang banyak sekali. Anak-anak panah ini berbeda dengan yang tadi, menyambarnya dengan kecepatan yang luar biasa tanda bahwa yang melepaskan adalah seorang ahli. Dan melihat banyaknya tentulah banyak orang pula yang melepaskan anak-anak panah itu.

Endang Patibroto dan Tejolaksono cepat memutar senjata menangkis, dan terdengar jerit-jerit mengerikan ketika belasan orang perajurit pengeroyok menjadi korban anak-anak panah ini. Akan tetapi anak-anak panah itu meluncur terus sebagai hujan. Endang Patibroto menjerit lirih. Pahanya terkena anak panah. Karena ia pening dan lelah, dan karena anak-anak panah yang menyambar itu amat kuat dan cepat, akhirnya ia termakan oleh anak panah pada paha kirinya, jauh di atas dekat pangkal pahanya. Ia terhuyung-huyung dan Tejolaksono cepat meloncat dekat dan memutar golok melindungi tubuh Endang Patibroto.

"Kuatkan tubuhmu... hayo kita lari ke dalam !!" Tejolaksono membiarkan Endang Patibroto lari lebih dulu, sedangkan ia melindungi dari belakang dengan putaran golok. Kiranya pihak lawan telah menggunakan ahli panah yang luar biasa dan bahkan mereka tidak segan-segan mengorbankan belasan orang perajurit menjadi korban anak panah mereka sendiri.

Endang Patibroto berhasil memasuki gerbang pendopo dan pada saat Tejolaksono hendak menyelinap masuk, punggungnya terasa nyeri sekali. Kiranya sebatang anak panah telah menancap di punggungnya! la mengerahkan hawa sakti di tubuh menahan sakit dan alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa bagian yang terkena anak panah itu panas dan gatal-gatal tanda bahwa anak panah itu ujungnya diberi racun!

"Cepat! Kita masuk ke dalam, harus tangkap adipati sekarang juga!!" katanya tergesa-gesa. Maklumlah ia bahwa setelah kini dia dan Endang Patibroto terluka, dan anak panah itu mengandung racun pula, kalau mereka tidak lekas-lekas dapat menawan sang adipati, tentu akan celaka!

Beberapa orang pengawal istana yang menghadang mereka, dapat dengan mudah mereka robohkan. Kemudian mereka terus lari memasuki istana, mencari sang adipati di dalam kamarnya. Endang Patibroto yang terpincang-pincang menjadi petunjuk jalan. Tejolaksono melindungi dari belakang. Setelah masuk ke dalam istana mereka aman dari serangan anak panah. Akan tetapi sunyi sekali di dalam istana itu. Bahkan seorangpun abdi dalem tiada tampak. Yang tampak hanya beberapa orang pengawal istana yang kadang-kadang menyambut mereka namun dengan mudah mereka robohkan.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terbahak-bahak. Suara ketawa Sang Adipati Menak Linggo! Girang sekali hati Endang Patibroto dan Tejolaksono. Suara itu keluar dari sebuah kamar yang tertutup pintunya. Setahu Endang Patibroto, kamar ini bukan kamar tidur, bukan pula kamar sidang, melainkan kamar belakang.

Tejolaksono lalu menghampiri pintu kamar dan menendang daun pintunya yang seketika pecah berantakan. Tampaklah kini di sudut kamar itu, sebelah dalam, Adipati Menak Linggo duduk di kursi gading, memangku seorang selir yang muda dan cantik, dan di belakangnya berdiri pula Raden Sindupati, Ki Patih Kalanarmodo, dan senopati Mayangkurdo yang kesemuanya memegang senjata tajam di tangan!

Keadaan dua orang sakti ini sesungguhnya sudah payah. Keringat membasahi seluruh tubuh dan mereka lelah. Lebih-lebih Endang Patibroto yang masih berada dalam pengaruh racun perangsang nafsu. Kini anak panah beracun pula menancap di paha, belum dicabutnya. Anak panah yang menancap di punggung Tejolaksono belum tercabut. Namun dua orang sakti ini tidak menjadi gentar, bahkan kini timbul harapan baru ketika mereka melihat Adipati Menak Linggo.

Akan tetapi, Endang Patibroto yang melihat Raden Sindupati di situ, sama sekali tidak perduli lagi akan sang adipati. Seluruh perhatiannya tertuju kepada Sindupati. Ia memandang dengan kebencian dan kemarahan yang meluap-luap, seolah-olah hendak ditelannya hidup-hidup senopati muda itu yang telah mempermainkannya, betapa ia telah berbaik dengan senopati itu, betapa ia telah menganggapnya sebagai seorang sahabat baik, betapa ia hampir saja ternoda, diperkosa oleh Sindupati! Saking marahnya, Endang Patibroto sampai menggigil tubuhnya dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata.

"Huah-ha-ha-ha! Joko Wandiro dan Endang Patibroto. Dua orang yang amat hebat!" Adipati Menak Linggo tertawa bergelak. "Akan tetapi akan menemui ajal di Blambangan kecuali kalau kalian suka menakluk!"

Endang Patibroto mengeluarkan lengking mengerikan disusul bentakannya, "Sindupati jahanam keji!!" Tubuhnya sudah menerjang masuk ke dalam kamar itu.

"Endang, hati-hati" Tejolaksono terpaksa menerjang masuk pula untuk melindungi temannya. Tadinya ia menaruh curiga, akan tetapi melihat Endang Patibroto sudah melompat masuk, ia tentu saja tidak mau membiarkan temannya itu terancam bahaya. Begitu kaki kedua orang sakti yang melompat ini menyentuh lantai....

"kraaaaakkkk !!" lantai itu terbuka ke bawah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh kedua orang ini terjun ke dalam lubang. Suara ketawa Sang Adipati Menak Linggo menggema mengikuti jatuhnya dua orang itu!

Tejolaksono cepat meraih tangan Endang Patibroto dan dengan menggunakan Aji Bayu Sakti, ia dapat menahan luncuran tubuh sehingga ketika kaki mereka tiba di dasar sumur, tidaklah terbanting keras.

"Ah... keparat... kita tertipu, Joko Wandiro...!" Endang Patibroto mengeluh.

"Kau duduklah istirahat, Endang. Pahamu terluka dan kalau aku tidak keliru sangka, tentu anak panah itu beracun, seperti yang menancap di punggungku. Paling perlu kita harus mencegah menjalarnya racun. Bagaimana rasanya?"

"Memang beracun. Panas dan gatal-gatal," jawab Endang Patibroto sambil menjatuhkan diri duduk di lantai sumur itu dan bersandar pada dinding.

Ternyata sumur ini adalah sumur buatan manusia, dindingnya dari batu yang amat keras, lantainyapun dilapis besi sehingga tidak mungkin menggali terowongan. Tempatnya cukup luas, segi empat dan tidak kurang dari lima meter panjangnya. Keadaan di situ remang-remang, mendapat sinar dari atas karena setelah mereka masuk perangkap, lubang sumur di atas itu dibuka terus dan dijaga kuat.

"Endang Patibroto... dalam keadaan seperti ini, kau maafkan aku, ya? Tiada jalan lain untuk mengatasi racun anak panah kecuali menghisap racunnya keluar. Dapatkah kau mengisap luka anak panah yang menancap di pahamu?"

Endang Patibroto tidak menjawab, lalu mengerahkan tenaga mencabut keluar anak panah yang menancap di pahanya. Darah yang menghitam akan tetapi hanya sedikit sekali, mengalir keluar. Karena memang pakaiannya tadi terobek oleh Sindupati, maka dengan mudah ia menyingkap bagian paha yang terluka itu, lalu ia menundukkan muka ke arah paha sambil mengangkat kakinya. Namun, betapapun ia membungkuk, tak mungkin mulutnya mencapai paha yang terluka. Mulutnya hanya dapat mencapai paha di atas lutut saja, sedangkan yang terluka adalah dekat pangkal paha!

Adipati Tejolaksono dalam keadaan remang-remang itu hanya melihat saja dan merasa kasihan. Ia sudah memeriksa keadaan ruangan ini, mendapat kenyataan bahwa tidak ada jalan keluar bagi mereka, kecuali melalui lubang yang berada di atas itu, yang tingginya tidak kurang dari lima belas meter! Ruangan di bawah tanah yang menjadi penjara mereka ini dilapis besi semua! Kini ia mendekati Endang Patibroto dan berkata,

"Endang Patibroto, kalau tidak dikeluarkan racun itu akan berbahaya. Bolehkah aku membantumu?" Ia ragu-ragu karena tempat yang terkena adalah paha, tempat yang tentu saja merupakan bagian terlarang untuk disentuh orang apa lagi laki-laki!

Kesuraman tempat itu menyembunyikan warna merah yang menjalar di seluruh muka Endang Patibroto, sampai telinga dan lehernya. Ia menunduk dan tidak menjawab. Kepalanya masih pening, dadanya panas sekali dan ia diam tak bergerak seperti arca, tidak kuasa menjawab. Tejolaksono dapat memahami perasaan Endang Patibroto, maka dengan hati-hati ia mendekati, duduk dan berkata perlahan,

"Sekali lagi maafkan aku, Endang. Dalam keadaan seperti ini, segala perasaan sungkan harus ditindas. Yang terpenting adalah menyelamatkan diri dari bahaya racun yang mengancam kita, baru kita mencari jalan untuk berusaha keluar dari sini. Bolehkan aku membantu mengeluarkan racun itu?"

Endang Patibroto masih menunduk dan hanya dapat mengangguk. Tejolaksono lalu membungkuk dan tanpa ragu-ragu menempelkan mulutnya pada paha yang berkulit halus, putih, dan panas itu. Pendekar sakti ini menggunakan seluruh kekuatan batinnya untuk menutup semua panca indra, terutama sekali menutup perasaannya sehingga yang terasa olehnya hanyalah luka yang harus ia hisap dan keluarkan darahnya yang telah keracunan. la menahan napas dan menggunakan tenaganya menghisap sampai mulutnya penuh dengan darah yang memancar keluar dari lubang luka, untuk kemudian diludahkan dan dihisap lagi.

Endang Patibroto yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat mukanya tengadah, keningnya berkerut-kerut, bibirnya digigit. Hampir ia tidak kuat menahan, bukan karena nyeri, melainkan karena ia merasa tersiksa bukan main. Rangsangan racun pada tubuhnya masih mengamuk hebat, membuat seluruh tubuhnya panas, membuat perasaannya haus akan kemesraan, membuat ia ingin sekali menerima belaian cinta kasih pria!

Dan kini merasa betapa mulut Joko Wandiro menempel di paha, tempat yang amat perasa, betapa mulut yang basah dan panas itu menghisap, hampir saja ia tidak kuat bertahan. Napasnya makin terengah-engah dan ia harus menggenggam dan mencengkeram jari-jari tangannya sendiri agar jangan mencengkeram dan merangkul Joko Wandiro!

Hebat bukan main siksaan batin ini dan kedua pipi Endang Patibroto sampai penuh dengan air mata yang bercucuran dari kedua matanya. la membayangkan wajah suaminya, terus berpegang kepada suaminya, kepada kesetiaannya terhadap suaminya almarhum agar dari situ ia mendapat tambahan tenaga untuk melawan rangsangan nafsu berahi yang memuncak!

Akhirnya selesailah siksaan yang dirasakannya amat lama itu. Terdengar suara Joko Wandiro seakan-akan terdengar dari jauh, seperti dalam mimpi,

"Beres sudah, Endang. Semua racun telah keluar dan kau boleh sekarang menghimpun tenaga sakti untuk memulihkan tenagamu."

Endang Patibroto membuka mata, menggunakan punggung tangan kiri menghapus air matanya. "Terima kasih, Joko Wandiro. Sekarang kau membaliklah, biar aku membersihkan racun di punggungmu."

Tejolaksono mengangguk, lalu membalikkan tubuh, duduk bersila membelakangi Endang Patibroto. Wanita perkasa ini lalu menggunakan tangan mencabut anak panah yang menancap di punggung, membuka baju Tejolaksono dan seperti yang dilakukan oleh adipati ini tadi, iapun lalu menempelkan mulutnya pada luka bekas anak panah dan menyedot. Tejolaksono harus mengerahkan tenaga batin untuk melawan perasaan aneh yang menyerang hatinya ketika ia merasa betapa bibir yang lembut dan panas itu menempel punggungnya. Iapun menderita, akan tetapi tidaklah sehebat penderitaan Endang Patibroto yang harus pula menahan serangan racun perangsang yang masih menguasai dirinya.

Akhirnya selesailah cara pengobatan yang sederhana itu. Racun telah keluar semua dari punggung Tejolaksono dan mereka kini duduk bersila, bersamadhi dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga. Bahaya maut yang mengancam mereka melalui racun anak panah sudah terlewat. Akan tetapi bahaya yang lebih besar lagi terbentang di depan mata! Mereka terkurung dan tidak mungkin dapat keluar dari dalam sumur. Seakan-akan mereka berdua telah terkubur hidup-hidup!

"Hujani anak panah saja!"

"Kubur saja mereka dan tutup lubang ini dengan batu-batu besar!"

"Alirkan saja air sungai ke dalam lubang agar mereka mati tenggelam seperti dua ekor tikus!"

Suara-suara ini mereka dengar dari atas sumur dan tampak bayangan-bayangan di atas itu. Mereka berdua hanya dapat menekan batin melawan kengerian, akan tetapi mereka maklum sedalamnya bahwa semua ancaman itu kalau dilaksanakan, akan mengakibatkan mereka tewas di dalam sumur. Tiada bedanya. Apapun yang mereka akan lakukan, akhirnya mereka akan mati!

"Huah-ha-ha-ha, enak benar kalau mereka dibikin mati begitu saja! Tidak, si wanita iblis Endang tidak boleh mati terlalu enak begitu! Biarkan mereka kelaparan sampai mampus di dalam lubang. Ha-ha-ha!"

Ucapan ini, yang biarpun suaranya berubah terdengar dari dalam lubang itu, dapat mereka duga adalah suara Adipati Menak Linggo. Dengan adanya ucapan itu agak legalah hati Endang Patibroto dan Tejolaksono. Ucapan sang adipati merupakan keputusan dan hal ini berarti mereka tidak akan mati seketika, masih akan dapat bertahan sampai beberapa hari. Dan selama nyawa masih berada di dalam tubuh, mereka tidak akan putus asa!

Setelah bersamadhi agak lama, pulih kembali tenaga mereka. Juga Endang Patibroto tidaklah terlalu tersiksa seperti tadi, sungguhpun pengaruh jamu perangsang itu masih belum meninggalkan tubuhnya. Memang hebat sekali daya rangsang racun jamur belang. Sekali memasuki tubuh lewat makanan atau minuman, racun jamur belang ini akan memasuki darah dan tidak akan punah sebelum si korban terlampiaskan dan terpuaskan nafsunya!

Setelah pulih kembali tenaga mereka, mulailah dua orang sakti ini memeriksa keadaan dasar sumur atau ruangan bawah tanah itu. Mereka memeriksa dan meraba-raba akan tetapi ternyata bahwa benar-benar tidak ada jalan keluar melalui bawah. Dinding sebelah kiri adalah batu gunung yang menghitam dan kuat sekali, demikian pula dua dinding yang lain. Adapun dinding di kanan malah dilapis besi, sedikitpun tak dapat digeakkan.

Mereka sudah mencoba untuk menghantam dengan telapak tangan mereka sambil mengerahkan aji kesaktian, namun dinding-dinding itu hanya tergetar saja dan sedikit batu remuk, namun dinding tetap tertutup rapat! Mereka sudah pula berusaha meloncat ke atas mengerahkan Aji Bayu Sakti, namun sia-sia. Tak mungkin meloncat keluar dari tempat sedalam itu, apalagi meloncat secara tegak lurus begitu.

Habis sudah akal mereka pergunakan, semua tenaga mereka kerahkan, namun sia-sia. Andaikata mereka dapat mencapai atas sumur, tetap saja mereka akan berhadapan dengan penjagaan yang amat ketat, dan sebelum dapat keluar tentu akan dihujani anak panah sehingga terpaksa harus turun kembali!

Tejolaksono menindas perasaannya, bersikap tenang. Ia mengajak Endang Patibroto duduk bersila di lantai, berhadapan.

"Tidak ada jalan untuk lolos, Endang Patibroto, akan tetapi aku tetap yakin bahwa selama Hyang Widhi belum menghendaki kita mati, tentu kita akan dapat lolos juga akhirnya."

Endang Patibroto menghela papas panjang. Sudah semalam suntuk mereka berusaha mencari jalan keluar dengan sia-sia. Kini agaknya hari telah siang kembali, melihat sinar terang yang turun dari lubang di atas. Kadang-kadang tampak bayangan kepala orang di atas lubang, akan tetapi biarpun ada orang menjenguk dari atas, dasar lubang terlampau dalam sehingga takkan tampak.

Apalagi, dasar lubang itu merupakan ruangan tiga kali lebih luas daripada mulut lubang sehingga mereka berdua dapat duduk agak terlindung ke pinggir, tidak tepat di bawah lubang sumur. Endang Patibroto juga tidak merasa takut atau susah hatinya. Entah bagaimana, ia malah merasa senang menghadapi kematian di dalam kuburan ini! Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya merasa begini. Yang ia tahu bahwa ia tidak sedih karena di situ ada Joko Wandiro.

"Joko Wandiro, akupun tidak takut menghadapi kematian. Apakah artinya kematian bagi seorang yang sengsara seperti aku? Ahhh, daripada mengenang kesengsaraanku, lebih baik kau ceritakan kembali, kini yang jelas, tentang segala pengalamanmu. Aku masih merasa seolah-olah dalam mimpi mendengar keteranganmu kemarin yang amat mengejutkan hatiku."

"Memang siasat Adipati Blambangan amat busuk, Endang. Demikian rapi dan pandai siasat itu dijalankan sehingga aku tidak bisa menyalahkan engkau. Baiklah kuceritakan sejelasnya agar kau dapat mengerti. Mula-mula aku diperintah oleh sang prabu di Panjalu untuk menyelidiki pembunuhan-pembunuhan aneh yang terjadi di Panjalu dan Jenggala, yang memakan korban nyawa banyak ponggawa penting. Berangkatlah aku segera ke Panjalu dan di sana aku mendengar tentang penyerbuanmu ke istana Pangeran Darmokusumo. Dapat kau bayangkan betapa terkejut dan heran hatiku. Pangeran Darmokusumo adalah suami adik suamimu sendiri, dan di antara kau dan dia ada permusuhan. Kalau kau sudah menyerbu seperti itu, sudah pasti ada alasan-alasan yang sangat kuat. Selain itu, aku mendengar desas-desus bahwa engkaulah orangnya yang melakukan pembunuhan-pembunuhan aneh itu. Hal inipun aku tidak percaya sama sekali karena aku yakin bahwa kau bukanlah seorang yang sudi melakukan pembunuhan secara demikian pengecut dan keji. Tanpa berlaku pengecut dan sembunyi-sembunyi, apa sukarnya kalau kau memang mau membunuh mereka? Mereka itu sama sekali bukan lawanmu. Maka berangkatlah aku ke Jenggala dengan maksud menemuimu sendiri dan bertanya kepadamu secara berterang tentang penyerbuanmu ke Panjalu itu. Dan di Jenggala aku mendengar bahwa kau telah membebaskan suamimu yang dipenjara oleh Sang Prabu Jenggala!"

Tejolaksono berhenti sebentar, memandang wajah yang termenung dan kini alis yang indah bentuknya itu mengerut, sinar mata itu jelas membayangkan kedukaan besar.

"Aku terkejut sekali dan makin terheran-heran. Tentu telah terjadi sesuatu yang amat aneh. Entah kejadian apa dan baru setelah aku bertemu denganmu akan dapat terbuka semua rahasia itu. Maka aku lalu mulai mencarimu. Aku sudah mempunyai dugaan bahwa dalam hal ini tentu terselip rahasia yang besar, dan bahwa orang yang mempunyai keinginan merusak Jenggala dan Panjalu tentulah musuh besar kedua kerajaan itu. Dan siapa musuh besar yang pada saat ini paling kuat kecuali Blambangan? Dengan dasar inilah maka aku segera berangkat ke Blambangan untuk mengusut rahasia itu."

Endang Patibroto menghela napas panjang. "Engkau selalu jauh lebih cerdik daripada aku, Joko Wandiro. Aku sudah tertipu dan terbujuk..."

"Tidak, Endang. Bukan karena aku lebih cerdik, melainkan mungkin lebih teliti dan hati-hati. Dan kebetulan sekali di tengah jalan aku bertemu dengan Ki Brejeng yang menceritakan segala macam rahasia itu. Ki Brejeng menjadi ponggawa Blambangan dan dipercaya untuk ikut dalam pasukan Sindupati."

"Si keparat jahanam Sindupati! Ahh... aku akan mati penasaran sebelum dapat menghancurkan kepala jahanam keji itu"

"Dia memang amat jahat dan cerdik bukan main. Aku telah memukulnya dengan Aji Pethit Nogo, akan tetapi ternyata ia belum mati. Selain cerdik ia juga sakti. Karena kecerdikannya itulah maka dia diserahi pimpinan pasukan untuk mengacau Jenggala dan Panjalu. Dan Sindupati menjalankan siasatnya dengan amat baiknya. Kau tentu ingat akan mendiang Bhagawan Kundilomuko penyembah Bathari Durgo itu, bukan? Nah, Bhagawan Kundilomuko adalah paman dari Adipati Menak Linggo, maka Adipati Blambangan mendendam kepadamu dan berpesan kepada Sindupati agar mencelakaimu atau sedapat mungkin membunuhmu."

"Mengapa Ki Brejeng tidak menceritakan semua itu kepadaku?"

"Biar pun tidak bercerita kepadamu karena takut kepada Sindupati, namun diam-diam Ki Brejeng setia kepadamu, Endang. Nanti akan kuceritakan tentang itu. Menurut penuturan Ki Brejeng, Sindupati mempergunakan dukun lepus Sang Wiku Kalawisesa untuk membunuh-bunuhi para ponggawa penting kedua kerajaan untuk melemahkan kedua kerajaan itu. Di samping itu, Sindupati menyebar desas-desus untuk menjatuhkan nama baikmu. Setelah kau berhasil memaksa Wiku Kalawisesa mengaku, sang wiku yang jahat itu makin menjerumuskan engkau dengan mengaku bahwa Darmokusumo yang menyuruhnya. Demikianlah, tentu saja pihak Panjalu makin menyangka buruk kepadamu ketika kau menyerbu ke sana. Dan Sang Prabu Jenggala setelah melihat bukti penyerbuanmu itu, tentu saja menjadi marah dan menahan suamimu. Engkau menyerbu penjara, memaksa suamimu bebas, kemudian melarikan diri. Nah, tentu saja kalau aku tidak bertemu dan mendengar cerita Ki Brejeng, akupun akan menyesalkan semua yang kau lakukan itu. Ki Brejenglah yang membuka semua rahasia itu."

"Kenapa dia mati? Menurut Sindupati si laknat, Ki Brejeng melarikan diri karena ingin hidup bebas."

"Ha, memang Sindupati pandai berdusta. Ki Brejeng melihat betapa engkau hendak dibunuh dengan racun, maka ia yang masih setia kepadamu mencegah perbuatan itu dengan mengganti makananmu yang teracun. Akibatnya, ia disiksa dan dilempar ke dalam jurang dan disangka sudah mati. Siapa kira, Ki Brejeng memiliki daya tahan luar biasa, sampai tiga malam masih belum mati sehingga ketika aku lewat, dia dapat bertemu dan bicara denganku."

Sepasang mata Endang Patibroto bersinar-sinar penuh kemarahan dan kebencian. "Hemm... si keparat Sindupati! Dan kalau teringat betapa aku selalu menganggapnya orang baik-baik, seorang sahabat sejati... ahh, aku malu kepada diri sendiri. Alangkah bodohku...!"

"Bukan kau yang bodoh, Endang...!" kata Tejolaksono menghibur, "melainkan Sindupati yang terlalu licik dan cerdik. Akan tetapi, ada sebuah hal yang amat menggelisahkan hatiku. Mengapa engkau di Biambangan seorang diri saja, Endang Patibroto? Di manakah kau sembunyikan Pangeran Panjirawit, suamimu...??"

Endang Patibroto menarik napas dari mulut keras-keras seperti tersedak. Ia memandang kepada Tejolaksono dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat. Melihat Tejolaksono mengira bahwa wanita yang keras hati ini kembali kurang percaya kepadanya karena kekurangpercayaan itu memancar dari pandang matanya, maka ia cepat menyambung,

"Kurasa.... kalau ada sang pangeran, beliau tentu tidak akan begitu mudah terbujuk, bersekutu dengan Blambangan."

"Endang....! Endang....! Kau kenapa....??" Tejolaksono terkejut dan heran sekali karena wanita itu tiba-tiba menangis sesenggukan. Jantungnya berdebar keras penuh kekhawatiran dan prasangka buruk.

"Aduh... Joko... kau... kau benar-benarkah tidak tahu...? Apakah kau tidak mendengar dari Ki Brejeng....?"

Tejolaksono menggeleng kepala. "Dia tidak menyebut-nyebut tentang suamimu...

Tangis Endang Patibroto makin mengguguk dan dengan suara tersendat-sendat ia berbisik, "dia.... dia suamiku... dia telah tewas...!"

"Duh Jagad Dewa Bathara...!!!" Tejolaksono berseru kaget sekali dan saking terharu hatinya, la menerima tubuh Endang Patibroto yang menelungkup, memeluk pundak wanita itu yang menangis sesenggukan sepertl anak kecil sehIngga muka itu membasahi dadanya.

Sampai lama Endang Patibroto menangis. Baru sekali ini ia dapat menumpahkan seluruh kedukaan yang terkumpul di hati dan tangisnya kali ini seperti air bah yang jebol tanggulnya. Ia merintih-rintih dan memanggil nama suaminya, memeluk pinggang Tejolaksono, membenamkan mukanya di dada yang bidang Itu.

Tejolaksono mengelus-elus kepala Endang Patibroto. Hatinya penuh keharuan. Betapa buruknya nasib wanita Ini, pikirnya. Terbayanglah ia semenjak Endang Patibroto masih kecil. Demikian banyaknya percobaan hidup, demikian banyaknya kenyataan pahit harus ditelan oleh Endang Patibroto. Kemudian, setelah mengalami masa bahagia bersama suaminya hanya untuk beberapa tahun saja, kini sudah lagi harus menderita sengsara yang amat hebat. Akan tetapi, sebagai jawaban, Endang Patibroto menangis makin mengguguk sehingga Tejolaksono menjadi bingung dan hanya dapat mendekap erat-erat sambil mengelus-elus rambut yang halus itu. Setelah mereda tangis yang menggelora, Endang Patibroto menarik napas panjang, terisak dan tanpa mengangkat mukanya dari dada Tejolaksono ia berbisik,

"Ia terbunuh ketika aku melarikannya, terkena anak panah yang datang bagaikan hujan..."

"Aduh, kasihan kau Endang Patibroto...!" Joko Wandiro atau Tejolaksono kini dapat merasakan betapa hebat penderitaan batin yang menimpa wanita ini. Dengan mata basah ia lalu mendekap kepala Endang Patibroto dengan maksud hatl menghiburnya.

Sementara Itu, Endang Patibroto menangis lagi sampai tubuhnya tergoyang-goyang dalam pelukan Tejolaksono. Sampai lama mereka berpelukan di dasar sumur itu, dan akhirnya tangis Endang Patibroto terhenti. Namun ia tidak bangkit dari atas dada Tejolaksono dan berkata lemah,

"Joko Wandiro... sejak dahulu.... alangkah baiknya engkau terhadap diriku. Aku dahulu seperti orang buta. Engkau.... engkau selalu baik kepadaku, Joko Wandiro..."

Berdebar jantung Tejolaksono. "Endang, kau lupa, aku sekarang adalah Adipati Tejolaksono..." katanya sambil menekan perasaannya.

"Bagiku kau tetap Joko Wandiro yang baik hati, yang selalu mengalah kepadaku..."

"Hemm, dan kau dahulu membenci aku, membenciku setengah mati dan memusuhiku..." Tejolaksono tersenyum, teringat akan watak wanita ini dahulu yang amat keras. Maka amatlah mengherankan melihat wanita ini sekarang menangis begitu sedihnya, dan memeluknya seperti ini. Hampir tak dapat dipercaya!

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 08

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.