Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 10
ADIPATI Tejolaksono tidak dapat melarang isterinya maka berangkatlah suami isteri ini menunggang kuda menuju ke kaki Gunung Merapi di mana dahulu sang adipati pernah bertemu dengan Ki Tunggaljiwa ketika sedang memburu binatang hutan. Setelah perjalanan mendaki gunung sampai di lereng dan amat sukar, terpaksa suami isteri perkasa ini meninggalkan kuda mereka dan melanjutkan pendakian ke puncak dengan jalan kaki.
Hati mereka berdebar keras penuh ketegangan dan harapan ketika dari jauh mereka melihat pondok kecil di dekat puncak itu. Akan tetapi tiba-tiba Adipati Tejolaksono memegang lengan isterinya dan menarik isterinya itu menyelinap ke belakang gerombolan pohon. Cepat ia menutup mulut isterinya dengan tangan ketika melihat Ayu Candra hendak membuka mulut bertanya. Mereka mengintai keluar rumpun dan tampaklah oleh Ayu Candra dua sosok bayangan orang melesat naik ke puncak. Mata wanita itu terbelalak dan bulu tengkuknya berdiri.
Setan-setankah yang dilihatnya itu? Kalau manusia mengapa dapat melakukan gerakan sehebat itu, seolah-olah terbang saja mendaki puncak? Dan melihat bahwa mereka berdua itu agaknya sudah amat tua, sungguh luar biasa sekali. Di dalam hatinya, Adipati Tejolaksono juga terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek yang lewat dengan kecepatan laksana terbang itu adalah orang-orang sakti yang amat luar biasa. Maka ia lalu bersikap hati-hati, mengajak isterinya melanjutkan perjalanan mendekati pondok.
Ketika mereka berdua tiba di depan pondok dan melihat Ki Tunggaljiwa yang duduk di depan pondok di atas tanah bersama Bagus Seta, keduanya tercengang dan terharu sekali. Putera mereka sehat dan selamat. Dan baru sekarang mereka melihat betapa putera mereka itu amat sehat dan tampan, duduk bersila bertelanjang dada seperti sebuah arca Sang Hyang Wishnu sendiri di waktu masih kanak-kanak, tubuhnya yang tertimpa sinar matahari itu bercahaya seperti kencana, dari kepala tampak uap putih membumbung atas membentuk lingkaran pelangi tipis.
Hebat! Dan anak mereka itu sedang tekun bersamadhi. Belum pernah mereka melihat putera mereka bersamadhi seperti itu, demikian tenang, demikian hening, penuh kedamaian yang terpancar keluar dari wajahnya yang tersenyum. Sampai terisak Ayu Candra saking girang dan terharu hatinya melihat puteranya ini. Ingin ia berteriak memanggil dan lari memeluk puteranya, akan tetapi tangannya dipegang dan ditahan oleh Tejolaksono yang tidak berani berlaku sembrono di depan kakek yang ia tahu memiliki kesaktian yang amat tinggi itu.
Tiba-tiba dari belakang pondok itu muncul seekor harimau putih yang langsung melompat ke depan Tejolaksono dan isterinya, lalu mengeluarkan suara gerengan keras dan memperlihatkan taring-taringnya yang runcing. Ayu Candra kaget sekali dan memegang lengan suaminya, siap menghadapi binatang buas yang amat besar dan menyeramkan itu. Akan tetapi Tejolaksono bersikap tenang, bahkan ia lalu maju ke depan harimau itu dan berkata nyaring, "Harimau putih, apakah andika masih menaruh dendam atas kematian anakmu? Tak dapatkah engkau memaafkan aku?"
Ki Tunggaljiwa membuka matanya dan menarik napas panjang, lalu tertawa halus. "Ahh, kiranya Sang Adipati telah datang! Ketahuilah, Angger. Harimau dan semua binatang tidaklah semua pendendam seperti manusia. Kematian anaknya pun dianggapnya sesuatu peristiwa yang wajar dan tak terelakkan, maka tak pernah menaruh dendam, baik kepada manusia maupun dewata, karena segala perbuatan akan menimpa si pembuat sendiri, tidak perlu dibalas oleh orang lain! Tidak, sardulo pethak tidak mendendam kepadamu, tidak pula memaafkan dan tidak sakit hati. Dia hanya merasa khawatir kalau-kalau kalian datang untuk membawa pergi Bagus Seta dari sinil" Dengan perlahan sang pertapa bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya sambil berkata lirih, "Kulup, Bagus Seta muridku yang baik, bangunlah. Ini ayah bundamu telah datang, Angger."
Bagus Seta yang tadinya masih dalam keheningan sarnadhinya tidak mendengar sesuatu, karena sudah biasa gurunya mernbangunkannya dari samadhi, kini menjadi sadar dan membuka matanya. Sepasang mata yang tajam bersinar-sinar akan tetapi kini bertambah dengan kehalusan yang tenang, memandang kepada ayah bundanya. Anak itu lalu melompat bangun dan berseru gembira,
"Kanjeng Rama...! Kanjeng Ibu...!"
"Bagus Seta anakku...!!" Ayu Candra lari menghampiri, berlutut di depan puteranya sambil memeluk dan menciuminya. Air mata ibu ini bercucuran saking girang hatinya. Akan tetapi puteranya bersikap tenang, bahkan sambil merangkul leher ibunya la berkata,
"Ibu, kenapa menangis? Saya tidak apa-apa, senang di sini bersama Bapa Guru dan sardulo pethak."
Aneh sekali tetapi nyata terasa oleh Ayu Candra. Ucapan puteranya ini biarpun diucapkan dengan suara yang sama sebulan yang lalu, yaitu suara puteranya yang nyaring dan halus, namun ada sesuatu yang jauh berbeda. Di dalam suara ini terkandung sesuatu yang amat berpengaruh, sesuatu yang membuat jantungnya berdetak aneh dan yang sekaligus membuat ia malu akan diri sendiri, malu bahwa ia tadi telah memperlihatkan perasaan yang rnembayangkan kelemahan hati.
Puteranya ini sekarang seolah-olah bicara seperti seorang dewata yang memiliki wibawa besar, seperti ayahnya! Diam-diam Tejolaksono yang menyaksikan sikap dan mendengar suara puteranya, juga menjadi heran dan kagum sekali, apalagi ketika ia tadi mendengar kakek itu menyebut murid kepada Bagus Seta dan puteranya itu menyebut bapa guru kepada kakek itu!
Karena maklum bahwa kakek itu bukan seorang manusia sembarangan, maka Tejolaksono menarik tangan Ayu Candra dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Dia seorang adipati dan sebetulnya tidaklah semestinya kalau ia sebagaI seorang pembesar dan bangsawan harus menyembah seorang kakek biasa yang tidak memiliki kedudukan. Akan tetapi Tejolaksono bukan seorang adipati biasa yang terlalu mementingkan dan membanggakan kedudukannya. Di sudut hatinya, dia adalah seorang ksatria yang selalu tahu menghormat dan menjunjung tinggi seorang tua yang sakti, maka kini ia berlutut menyembah tanpa ragu-ragu lagi.
Juga Ayu Candra adalah puteri seorang pertapa sakti, tentu saja wanita inipun bukan seorang penyombong seperti puteri-puteri bangsawan biasa, kini dengan segala kerendahan hati la berlutut menyembah kakek yang ia tahu telah menolong puteranya itu.
"Eyang panembahan, hamba suami isteri menghaturkan banyak terima kasih kepada Eyang panembahan yang sudah menyuruh harimau putih untuk menolong putera kami dari ancaman para perampok yang menyerang Kadipaten Selopenangkep," Tejolaksono berkata dengan sikap menghormat.
Ki Tunggaljiwa tersenyum, mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Ia kagum juga menyaksikan sikap adipati dan isterinya ini yang begitu rendah hati, sikap yang jarang ditemukan di antara pembesar atau bangsawan.
"Harap Andika suka bangkit dan marilah kita duduk dan bicara yang enak dan Angger adipati harap jangan keliru menduga. Saya bukanlah seorang panembahan melainkan seorang petani biasa saja, seorang tua yang lemah dan tidak semestinya Andika sembah. Bangkitlah, Angger dan mari kita duduk di atas rumput yang empuk ini."
Tejolaksono dan isterinya tidak membantah dan mereka lalu duduk bersila di depan Ki Tunggaljiwa, sedangkan Bagus Seta duduk di samping ibunya yang bersimpuh.
"Angger adipati, ketahuilah bahwa puteramu berjodoh dengan saya. Harap jangan mengira bahwa saya yang memaksanya datang ke sini, melainkan dia sendiri yang dengan suka rela ikut bersama sardulo pethak datang ke sini kemudian secara suka rela pula menjadi muridku. Inilah yang dinamakan jodoh dan selama lima tahun saya harap Andika berdua rela melepaskan putera Andika itu untuk tinggal bersamaku mempelajari ilmu."
"Aahhhh... !" Ayu Candra berseru kaget lalu memeluk puteranya seolah-olah tidak merelakan puteranya berpisah dari sampingnya.
"Eyang, seperti telah Eyang saksikan sendiri betapa beratnya seorang ibu berpisah dari puteranya yang hanya satu-satunya. Bagus Seta masih terlalu kecil dan biarpun saya seorang bodoh yang tiada kepandaian, namun saya masih sanggup untuk memberi pendidikan kepada putera saya. Kelak, kalau dia sudah besar dan menghendaki memperdalam ilmunya kepada Eyang, tentu kami tidak keberatan. Akan tetapi sekarang harap Eyang suka memaafkan kalau hamba berdua tidak dapat menyetujuinya" kata Adipati Tejolaksono dengan suara tenang.
"Kanjeng Rama, saya senang sekali menjadi murid Bapa guru, harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu tidak melarang hamba..." kata Bagus Seta tiba-tiba sambil memandang ayah bundanya.
"Hushhh.... Bagus Seta, bagaimana Ibumu dapat berpisah darimu, Nak? Apalagi sampai lima tahun!" kata Ayu Candra.
"Bagus Seta, tidak boleh kau membikin susah hati Ibumu!" kata Tejolaksono.
Ki Tunggaljiwa tertawa.
"Angger adipati berdua harap maklum bahwa kehendak Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh perbuatan manusia. Ketahuilah bahwa bukan semata-mata kehendak saya untuk mengambil murid Bagus Seta, melainkan agaknya Sang Hyang Wishnu sendiri yang memilih anak ini untuk kelak menyelamatkan nama besarNya."
"Akan tetapi, Eyang...!!!"
Suara bantahan Adipati Tejolaksono terhenti karena pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak dan muncullah dua orang kakek yang entah dari mana tahu-tahu telah berada di tempat itu, berdiri sambil tertawa menghadapi Ki Tunggaljiwa. Kakek ini memandang, menghela napas lalu bangkit berdiri. Melihat sikap dua orang yang baru tiba, Adipati Tejolaksono juga bangkit berdiri, diikuti Ayu Candra yang masih memeluk puteranya.
Tejolaksono yang memandang penuh perhatian, diam-diam menjadi terkejut. Dari cahaya muka dan sinar mata mereka, ia maklum bahwa dua kakek ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Kedua orang kakek itu sudah amat tua, sukar diduga berapa usianya, akan tetapi agaknya tidak kalah tua oleh Ki Tunggaljiwa yang juga sukar ditaksir berapa usianya. Yang seorang bertubuh pendek gendut, berkepala gundul licin, dengan jubah kuning yang besar. Wajah kakek ini amat tenang, mulutnya tersenyum dan pandang matanya tajam penuh pengertian seakan-akan tidak ada rahasia lagi baginya akan apa yang terjadi di kolong langit ini.
Tangan kirinya memegang seuntai tasbih dari batu putih halus mengkilap, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu cendana yang kepalanya berbentuk ukiran kepala naga. Seluruh sikap kakek gundul ini, dari kaki sampai ke kepala, pada senyum mulutnya dan sinar matanya, semua membayangkan ketenangan dan kesabaran, kepala yang gundul dan jubbah kuningnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pendeta beragama Buddha dan melihat betapa sinar kasih terpancar keluar dari matanya, mudah diduga bahwa pendeta ini adalah seorang pendeta suci yang sudah matang betul ilmunya.
Orang ke dua adalah seorang kakek tinggi kurus dan kakek inilah yang tadi tertawa-tawa. Kakek ini rambutnya panjang seperti rambut Ki Tunggaljiwa, juga sudah putih semua, akan tetapi mukanya berkulit merah sehat seperti muka seorang anak kecil yang banyak bermain di bawah sinar matahari. Matanya amat tajam dan penuh semangat hidup, penuh gairah dan panas. Anehnya, pakaian kakek ini yang juga merupakan jubah seorang pendeta Hindu, berwarna merah menyolok. Kedua tangannya kosong tidak memegang sesuatu, akan tetapi di pinggangnya tampak terselip gagang sebuah senjata yang tersembunyi di balik jubahnya.
Ki Tunggaljiwa menghela napas panjang dan mengucapkan puja-puji kepada dewata sambil berkata, "Puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wisesa yang telah menurunkan anugerah kebahagiaan pada saat ini! Pantas saja angin bersilir sejuk, burung prenjak mengganter (berkicau riang), bajing lompat-lompat berkejaran gembira, hari cerah dan jauh lebih indah daripada biasanya. Kiranya puncak Merapi mendapat kehormatan besar menerima sentuhan kaki dua orang suci yang mendatangkan kebajikan kepada sesama umat manusia! Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati, selamat datang di puncak Merapi!"
"Sadhu.... sadhu.... sadhu.... semoga Sang Tri Ratna melindungi kita semua!" Biku Janapati yang gendut dan berkepala gundul itu berdoa sambil merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada. "Wahai sang sakti Ki Tunggaljiwa, alangkah pandainya Andika memilih tempat yang begini indah. Sahabatku yang baik Ki Tunggaljiwa, seperti telah dikatakan oleh sabda suci Sang Buddha bahwa yang meninggalkan kejahatan dinamakan Brahmana, yang hidup tenang dan tenteram disebut Samana (orang suci), dan yang mengenyahkan kekotoran dirinya dinamakan Pabbayita (bersih dari noda). Semoga Andika sudah mencapai tingkat itu, oh, sahabat dan saudaraku Ki Tunggaljiwa!"
Ki Tunggaljiwa tersenyum ramah, sepasang matanya yang bening dan bersinar terang itu ikut pula tersenyum.
"Saudaraku yang bijaksana, Sang Biku Janapati. Sabda suci Buddha-darma dalam kitab Dhammapada itu menerangkan tentang sifat-sifat seorang Brahmana dan Andika pergunakan untuk memuji seorang seperti aku. Ha-ha-ha-ha! Terlalu tinggi, sang biku. Mana mungkin seorang petani bodoh macam Ki Tunggaljiwa ini disebut seorang Brahmana? Tidak berani aku menerimanya, Saudaraku. Andika inilah yang patut disebut seorang Bhikku yang telah matang jiwanya, seperti telah disabdakan dalam Dhammapada bahwa seorang Bhikku hendaknya tidak melebih-lebihkan apa yang diterima olehnya, tidak iri hati terhadap orang lain, karena seorang Bhikku yang mengiri terhadap orang lain. takkan memperoleh ketenangan batin!"
"Ucapan Andika amat menyenangkan dan baik, Ki Tunggaljiwa. Sadhu...!"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Semenjak puluhan tahun yang lalu Ki Tunggaljiwa memang seorang yang pandai dan bijaksana. Pandai lahir batin dan pandai pula mengelus hati dan perasaan. Sampai-sampai Biku Janapati dapat kau nina-bobokkan dengan sabda-sabda suci Buddha-dharma (pelajaran Agama Buddha). Akan tetapi, Ki Tunggaljiwa, suara dari mulut itu bukanlah pernyataan pikiran dan senyum bukanlah cermin hati. Karena kita bertiga bukanlah anak-anak kecil lagi, kuminta, Ki Tunggaljiwa, janganlah menggunakan basa-basi dan tak perlu menanam madu di bibir. Lebih baik kita mengeluarkan isi hati dan pikiran sebagaimana adanya. Nah, aku telah berkata demi nama Sang Hyang Syiwa yang berkuasa! Omm, shanti-shanti-shanti...!!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk, masih tersenyum ramah dan sepasang matanya makin tajam bersinar-sinar. Lengan kanannya memeluk dada, lengan kirinya bertopang siku pada lengan kanan dan tangannya mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti benang-benang sutera perak yang halus.
"Duhai, Jagad Dewa Bhatara....! Sang Wasi Bagaspati semenjak puluhan tahun yang lalu masih saja penuh api dan semangat, seperti tidak pernah menjadi tua. Sungguh mengagumkan sekali! Sesungguhnyalah, aku sama sekali tidak berkedok basa-basi yang kosong, Sahabat. Memang aku menanam madu di bibir, akan tetapi, ini merupakan tata susila dan kepribadian bangsa kita. Bukankah amat indah tata susila dan kepribadian bangsa kita, Sang Wasi? Tata susila pencerminan peradaban dan tanpa peradaban, apa bedanya antara manusia dan binatang? Betapa janggalnya kalau Andika berdua datang bertemu dengan aku lalu kita saling memandang dengan mata melotot dan mulut cemberut penuh ancaman seperti sekumpulan binatang bertemu lawan."
Mendengar sikap Ki Tunggaljiwa dan mendengar ucapan kakek ini, Adipati Tejolaksono benar-benar amat kagum dan tertarik hatinya. Juga ia tadi kaget dan kagum mendengar bahwa kakek yang diangkat guru puteranya ini benar-benar adalah Ki Tunggaljiwa seperti yang pernah disangka oleh mendiang bibinya Kartikosari. Saking kagum hatinya, tak terasa lagi ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju dengan bantahan itu.
"Ha-ha-ha! Dia yang tidak mengerti apa-apa, hanya pandai mengangguk-angguk menelan semua kata-kata manis seperti seekor kerbau mendapat makanan rumput kering dari si petani!" kata pula Wasi Bagaspati yang berwatak brangasan itu sambil memandang.
Tejolaksono tentu saja merasa dirinya disindir. Ia mengangkat muka memandang pendeta pemuja Sang Hyang Syiwa itu dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu, ia terkejut bukan main. Dari sepasang mata kakek itu seperti keluar api berkilat yang panas sekali sehingga menyilaukan matanya! Akan tetapi Adipati Tejolaksono bukan orang sembarangan. Dia pernah digembleng oleh Ki Patih Narotama, bahkan pernah pula diwejang oleh Sang Prabu Airlangga, maka diapun memiliki kekuatan batin amat hebat. Cepat ia mengerahkan tenaga batinnya menentang pandang mata ini, namun biar dia kuat menentangnya, tidak urung jantungnya berdebar dan uap panas mengepul dari ubun-ubun kepalanya!
"Ha-ha-ha! Kiranya temanmu yang muda ini seorang muda yang berisi juga, Ki Tunggaljiwa! Muridmukah dia ini? Lebih baik kau menyuruh mereka bertiga ini menyingkir lebih dulu agar percakapan kita yang maha penting tidak terganggu."
Tejolaksono bergidik ketika kakek itu mengalihkan pandang mata kepada Ki Tunggaljiwa. Ia maklum bahwa sebentar lagi, kalau adu pandang itu dilanjutkan, ia takkan kuat bertahan. Alangkah hebatnya kakek pemuja Sang Hyang Syiwa itu!
"Heh-heh, dia bukan orang lain, juga bukan muridku, Sang Wasi. Dia adalah Adipati Tejolaksono, Adipati Selopenangkep."
"Aaahhh! Kiranya dia ponggawa Panjalu, bukan? Bagus sekali! Biarlah dia menjadi saksi dan pendengar untuk menyampaikan kepada sang prabu di Panjalu. Kami tidak takut!"
"Sudahlah, Sabahatku Wasi Bagaspati. Tidak ada yang menentangmu, maka memang tidak ada persoalan berani atau takut. Lebih baik kalau Andika berdua Sang Biku Banaspati menjelaskan maksud kedatangan Andika berdua."
"Ha-ha, seperti anak kecil engkau, Ki Tunggaljiwa. Perlu lagikah dijelaskan kepada seorang sakti mandraguna seperti engkau yang kabarnya memiliki mata batin yang tajam dan awas sehingga dapat melihat keadaan masa mendatang?"
Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepala. "Andika maklum, bukan hak manusia untuk mendahului kehendak Hyang Widhi Wisesa. Kalau engkau enggan mengaku, aku mohon Sang Biku Janapati menjelaskan maksud kedatangannya."
Biku Janapati yang sejak tadi hanya berdiri diam tak bergerak, kini mendehem tiga kali, lalu merangkapkan kedua tangannya lagi. "Ah, saudaraku Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Buddha menjauhkan hatiku daripada kehendak buruk! Kedatanganku ini tidak lain hanya mohon petunjuk dan penjelasan mengenai perjumpaanmu setengah tahun yang lalu di puncak Sanggabuwana dengan seorang di antara murid-muridku. Engkau dan muridku berdebat, juga dengan murid Saudara Wasi Bagaspati, dan mendengar bahwa Andika menentang berkembangnya Agama Buddha dan Agama Shiwa. Aku hanya ingin mendengar dari mulut Andika sendiri, benarkah Andika menentang Agama Buddha?"
"Biku Janapati, perlu apa bertanya lagi? Andaikata benar demikian, tentu Ki Tunggaljiwa yang plintat-plintut ini tidak akan mengaku. Kita semua tahu bahwa dia penyembah Sang Hyang Wishnu dan kita sama tahu pula betapa para penyembah Wishnu selalu menyelamatkan diri di balik ketajaman lidahnya!"
Ki Tunggaljiwa tidak menjadi marah, hanya mengangguk-angguk dan tersenyum lalu mengelus-elus jenggotnya. "Memang benar seperti yang diucapkan Wasi Bagaspati. Perlu apa lagi aku bicara kalau orang datang dengan etika buruk? Orang yang telah diracuni kebencian tidak akan dapat melihat kebenaran, tidak akan dapat mempertimbangkan keadilan! Kalau aku bicara dan membela kebenaran, tentu akan kalian anggap keliru pula, bahkan jangan-jangan aku disangka tumbak-cucukan (penceloteh). Tidak, kedua saudaraku yang bijaksana. Aku tidak akan membela diri dan membenarkan diri sendiri. Hanya pendirianku begini, hendaknya kalian berdua dengarkan secara teliti, dengan kepala dingin. Tidak aku sangkal lagi bahwa aku, bersama sebagian besar rakyat Panjalu dan Jenggala, memuja Sang Bathara Wishnu yang penuh kasih dan yang bijaksana yang hendak menuntun manusia ke jalan kebenaran, tidak melawan kehendak Sang Hyang Widhi Wisesa! Akan tetapi, sungguh menyimpang daripada ajaran Sang Hyang Wishnu kalau kami para pemujanya membenci dan menghalangi perkembangan agama lain, karena kami tahu bahwasanya semua agama itu bagaikan jalan-jalan yang berlainan namun kesemuanya mempunyai titik tujuan yang sama! Sinar agung Sang Hyang Wisesa merupakan mercusuar dan ke arah mercusuar itulah semua jalan menuju. Sahabat berdua, sekali lagi kutekankan bahwa kami anak murid Sri Wishnu tidak akan menentang agama lain, akan tetapi tentu saja kami juga tidak mau ditekan."
"Sungguh baik dan benar wawasan Ki Tunggaljiwa dan semoga Sang Buddha memberkahi kita sekalian yang berkemauan baik," kata Biku Janapati dengan wajah berseri. Akan tetapi Wasi Bagaspati lalu tertawa bergelak penuh ejekan, kemudian berkata, suaranya nyaring,
"Ha-ha-ha, pemutaran kata-kata yang manis beracun! Heh, Ki Tunggaljiwa! Kakek-kakek seperti kita ini, perlu apa memutar-rnutar omongan? Lebih baik engkau katakan bahwa engkau tidak rela melihat agama kami berkembang ke Panjalu dan Jenggala! Aku Wasi Bagaspati semenjak muda terkenal sebagai orang yang paling suka akan sikap jantan yang blak-blakan, membenci sifat plintat-plintut!"
Keras dan memanaskan hati ucapan yang keluar dari tokoh pemuja Agama Shiwa ini, akan tetapi Ki Tunggaljiwa masih tersenyum, bukan senyum sabar melainkan senyum penuh makium, seperti senyum seorang tua melihat kenakalan kanak-kanak.
"Wasi Bagaspati, aku tidak menyembunyikan sesuatu yang aku sudah tahu pula akan latar belakang kemarahan Andika berdua. Misalnya, aku tahu bahwa Andika dan murid Andika adalah utusan-utusan atau wakil Kerajaan Cola yang ingin menancapkan kekuasaan di Jawa-dwipa, seperti juga sahabat Biku Janapati ini adalah utusan Sriwijaya yang semenjak dahulu memang ingin mendesak Mataram! Kedua kerajaan ini memperalat kalian, entah kalian sadari ataukah tidak. Akan tetapi aku tidak mencampuri urusan kerajaan. Bagiku, kujelaskan lagi, asal kalian tidak menekan kami para anak murid Sri Wishnu, kami tidak akan menentang siapa-siapa."
"Ha-ha-ha! Tanpa tedeng aling-aling memang kuakui bahwa aku utusan Kerajaan Cola! Dan Biku Janapati memang utusan Sriwijaya! Akan tetapi kau tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Tunggaljiwa. siapakah tidak tahu kepada engkau dan kakak seperguruanmu Bhagawan Satyadarma di Gunung Agung? Siapakah tidak tahu betapa dahulu, semenjak di Balidwipa, kalian mengusahakan agar dapat menguasai Jawa? Buktinya, anak Balidwipa, murid Bhagawan Satyadarma, menjadi Raja Kahuripan! Dan kini putera-puteranya merajai Jenggala dan Panjalu. Tentu saja engkau melindungi mereka! Pendeknya, Kerajaan Cola dan Sriwijaya akan maju terus, dan kamipun akan maju terus!"
Ki Tunggaljiwa menggeleng kepalanya. "Kalau begitu Sriwijaya dan Cola takkan berhasil dan Andika berdua juga akan menghadapi banyak tantangan!"
"Ahh... begitukah? Dan siapa yang akan menentang kami? Engkaukah, Ki Tunggaljiwa!"
"Mungkin... kalau perlu," jawab Ki Tunggaljiwa dengan sikap tenang.
Wasi Bagaspati mengedikkan kepala, membusungkan dada dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Babo-babo... Ki Tunggaljiwa, kami anak murid Sang Hyang Shiwa memang bertugas membasmi yang jahat!"
"Aku tidak akan menyangkal, Wasi Bagaspati. Sang Hyang Shiwa memang berwenang membasmi akan tetapi pengertianmu tentang yang baik dan yang jahat kacau-balau dan hanya menurutkan nafsu dan mencari kemenangan pribadi belaka. Dengan demikian, kalau engkau menentang yang benar, berarti engkau bahkan mengkhianati tugas suci Sang Hyang Shiwa."
"Bagus! Jadi menurut pendapatmu, siapa yang benar? Orang-orang macam engkau inikah? Atau adipati antek Panjalu ini? Huh, kalau saja dahulu aku diberi kesempatan, sudah kubasmi Airlangga dan Narotama, biang keladi utama sehingga agama-agama lain menjadi mundur dan hanya menonjolkan penyembahan Sang Hyang Wishnu! Hayo, Ki Tunggaljiwa, majulah, biar kumusnahkan sekarang juga agar kelak tidak mendatangkan banyak korban. Engkaulah biang keladi utama sekarang!"
"Wasi Bagaspati, Andika sudah berjanji kepadaku tidak akan menggunakan kekerasan!" Tiba-tiba Biku Janapati berkata dengan suaranya yang tenang dan mantap.
Mendengar ini, Sang Wasi Bagaspati tertawa dan kepalanya menengadah ke atas. "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Biku Janapati. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, akan tetapi kalau tua bangka ini maju, hemmm, dia akan menemui kebinasaan. Orang Mataram semenjak dahulu adalah orang-orang sombong dan pengecut!"
Kalau Ki Tunggaljiwa tersenyum tenang saja mendengar semua kata-kata yang kasar dan menghina itu, adalah Adipati Tejolaksono yang tidak dapat menahan sabar. Tadinya hanya kedua telinganya saja yang merah. Akan tetapi makin lama, warna merah menjalar ke leher dan seluruh mukanya. Apalagi ketika mendengar bahwa Ki Tunggaljiwa adalah saudara seperguruan Sang Bhagawan Satyadharma, ia menjadi terkejut karena Bhagawan Satyadharma adalah eyang gurunya, dan kini melihat Ki Tunggaljiwa yang masih terhitung eyang gurunya pula itu diperhina orang, mendengar pula Mataram dan orang-orang Mataram disebut sombong dan pengecut, malah tadi nama Airlangga dan Narotama disebut-sebut, adipati yang jauh lebih muda ini segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Wasi Bagaspati sambil berkata tandas,
"Heh, nanti dulu, Sang Wasi Bagaspati! Andika mudah saja memaki-maki orang Mataram! Saya mendengar tadi bahwa Andika adalah utusan Kerajaan Cola! Padahal melihat warna mata, rambut dan kulit, Andika adalah bangsa saya juga! Akan tetapi Andika sudah merendahkan diri menjadi antek kerajaan asing! Andika bertugas demi kepentingan Bangsa Cola di seberang lautan! Sebaliknya, kami keturunan orang Mataram mengabdi kepada tanah air dan bangsa! Dan Andika masih berani menyebut orang-orang Mataram sombong dan pengecut?"
"Uaaahhh, babo-babo, si keparat! Engkau bocah masih bau pupuk berani kurangajar terhadap seorang kakek seperti aku? Majulah kalau kau ingin musnah hari ini!"
"Eyang guru Ki Tunggaljiwa tentu sependapat dengan saya bahwa sebagai anak murid Sang Hyang Wishnu yang taat, saya tidak akan menyerang orang lain tanpa sebab dan hanya akan melayaninya apabila diserang!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk girang, akan tetapi Wasi Bagaspati menjadi makin marah sehingga matanya melotot mukanya merah.
"Eyang guru? Jadi Ki Tunggaljiwa ini eyang gurumu? Murid siapa engkau, bocah?"
"Mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama pernah membimbing hamba."
"Hua-ha-ha-ha-ha! Hanya murid si Airlangga dan Narotama sudah berani menentang aku, Wasi Bagaspati?"
"Saya sama sekali tidak menentang seorang tua bernama Wasi Bagaspati, yang saya tentang adalah kelaliman..."
"Huuuuushhh, keparat! Kau bilang aku lalim? Heh, Adipati Tejolaksono, tahukah engkau bahwa dengan mata meram aku sanggup membinasakanmu? Berani kau menerima dua kali pukulanku?"
"Saya tidak menantang, hanya akan membela diri kalau diserang."
"Bagus! Kalau begitu aku akan menyerangmu dengan dua kali pukulan. Nah, kau terimalah pukulan tangan kananku, bocah!"
Wasi Bagaspati tidak melangkah maju, tetap berdiri di tempatnya semula, sejauh dua meter dari Tejolaksono, tangan kanannya dldorongkan ke depan, kelihatannya perlahan saja, namun datanglah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah dada Tejolaksono!
Tejolaksono adalah seorang sakti. la maklum bahwa pukulan jarak jauh yang ampuhnya menggila dan tidak mungkin dielakkan karena jarak lingkungannya tak dapat diduga berapa luasnya. Terpaksa ia lalu mengerahkan seluruh tenaga disalurkan kepada kedua lengannya, sampai ke ujung-ujung jari kemudian kedua tangannya itu dikipatkan ke depan untuk menghalau pukulan lawan. Ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang sudah berkali-kali ternyata keampuhannya dalam menghadapi lawan tangguh.
Sudah banyak sekali lawan sakti roboh olehnya dengan aji pukulan Pethit Nogo ini. Adipati Tejolaksono sudah mahir sekali menggunakan aji pukulan ini sehingga terkenal menjadi buah bibir orang bahwa dengan Aji Pethit Nogo, sang adipati sanggup memukul permukaan sungai sehingga dalam beberapa detik lamanya air itu terpecah atau terpisah sampai tampak dasar sungai! Kini ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo dengan pengerahan seluruh tenaganya, dapat dibayangkan hebatnya dan agaknya si penyerang yang tertangkis tentu akan patah-patah tulang lengannya.
"Syuuuuutttt....!" Dari tangan kanan Wasi Bagaspati dan dari kedua tangan Adipati Tejolaksono meluncur angin yang saling menghantam di tengah udara, di antara tangan mereka yang hanya berpisah satu meter.
"Dessss...!"
Sang adipati merasa betapa kedua telapak tangannya panas seperti dibakar dalam pertemuan tenaga yang tak tampak itu, dan menurut perasaannya, betapapun hebat tenaga Sang Wasi Bagaspati, namun tidak banyak selisihnya dengan tenaga saktinya sendiri. Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika tanpa dapat ia cegah lagi, tubuhnya terlempar ke belakang seperti ditolakkan tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Untung ia tidak kehilangan akal dan cepat berjungkir balik di udara menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga ia dapat melayang turun ke bawah dan tidak sampai terbanting ke atas tanah.
"Hemmm.... kau dapat bertahan? Coba yang kedua kali dan terakhir ini, terimalah!" kata pula Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan. Lebih tepat disebut meluncur karena kedua kakinya tidak tampak bergerak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur maju. Kini tangan kirinya yang mendorong dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari tangannya merenggang.
Sang adipati berlaku hati-hati sekali. Jelas bahwa tadi tangkisan aji pukulan Pethit Nogo tidak kuat menahan pukulan sang wasi, maka kini ia kembali mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan aji pukulan Bojro Dahono yang ia pelajari dari Ki Patih Narotama. Pukulan Bojro Dahono ini setingkat lebih dahsyat daripada Aji Pethit Nogo dan memiliki hawa panas seperti api dari dalam kawah Gunung Merapi. Kalau tidak yakin betul bahwa lawannya seorang yang sakti mandraguna, kiranya Adipati Tejolaksono tidak akan menggunakan aji ini karena ia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kakek itu.
"Wessssssssss...!!" Telapak tangan mereka bertumbuk di udara, belum saling menempel, dalam jarak setengah meter, akan tetapi dari kedua telapak tangan mereka mengebul asap dan uap. Hawa di sekitar tempat itu menjadi panas dan kiranya kedua orang itu menggunakan aji pukulan yang berhawa panas!
Kembali seperti halnya tadi, Tejolaksono merasa bahwa tenaga lawan tidaklah banyak lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Ia hanya kalah seusap. Akan tetapi aneh sekali, kini tangannya itu terbetot oleh tenaga dahsyat yang tak tampak dan betapapun ia mempertahankan diri, tetap saja ia terbetot dan tangannya makin maju mendekati tangan lawan. Ia mengerahkan tenaga menarik, namun percuma, kini bahkan kakinya terseret dan di lain saat, bagaikan besi tertarik besi sembrani, telapak tangannya yang penuh dengan Aji Bojro Dahono itu menempel pada telapak tangan Wasi Bagaspati!
Begitu telapak tangannya menempel pada telapak tangan lawan, Adipati Tejolaksono terkejut bukan main. Ia merasa betapa hawa saktinya tersedot tanpa dapat dicegah lagi, memasuki telapak tangan lawan dan kulit tangannya sendiri terasa seperti dibakar api Kawah Condrodimuko! la mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan tangan, namun sia-sia karena tenaganya amblas ke dalam telapak tangan lawan.
"Huah-ha-ha-ha! Hayo kerahkan seluruh tenagamu, keluarkan semua aji kesaktianmu, coba lepaskan tanganmu kalau engkau mampu, bocah!" Wasi Bagaspati tertawa-tawa dan kelihatan enak-enak saja sedangkan Tejolaksono mulai bermandi peluh dan mukanya berubah pucat, napasnya terengah-engah menahan nyeri dan panas. Kalau dilanjutkan ia tentu akan kehabisan tenaga yang disedot oleh lawan, dan seperti orang kehabisan darah, akhirnya ia akan roboh lemas!
"Lepaskan suamiku...!" Ayu Candra sudah meloncat maju dan mengirim pukulan ke arah lambung Wasi Bagaspati.
Ayu Candra adalah puteri mendiang Ki Adibroto, seorang warok Ponorogo aliran putih yang sakti, tentu saja pukulannya tidak boleh dipandang ringan. Apalagi semenjak menjadi isteri Tejolaksono, ia telah memperoleh banyak kemajuan berkat bimbingan suaminya. Akan tetapi, pukulannya tidak pernah menyentuh kulit lambung Wasi Bagaspati. Kira-kira dalam jarak sejengkal jauhnya dari lambung, pukulan itu bertemu dengan tenaga yang berhawa panas sehingga Ayu Candra yang memukul bahkan terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Wanita itu tentu roboh kalau saja tidak cepat dipeluk dari belakang oleh puteranya, Bagus Seta.
"Ah, Angger adipati, harap Andika mundur karena Wasi Bagaspati bukanlah lawan Andika!"
Mendengar ucapan Ki Tunggaljiwa ini, Wasi Bagaspati tertawa dan Tejolaksono bingung. Tangannya sudah melekat dan tenaga saktinya disedot terus oleh kakek lawannya yang luar biasa itu. Bagaimana ia dapat mundur? Melepaskan tangannya saja tidak mampu! Akan tetapi pada saat itu, Ki Tunggaljiwa memegang pundaknya dan dari tangan kakek itu menjalar hawa yang amat dingin yang menembus punggung berkumpul di pusar, mendatangkan tenaga yang amat hebat. Tejolaksono, seorang yang sakti mandraguna, tahu akan bantuan ini dan cepat menyalurkan hawa itu ke arah lengannya dan terdengar suara seperti api disiram air dingin. Dari telapak tangan yang saling menempel itu keluar asap dan sekali tarik, Tejolaksono berhasil melepaskan tangannya. Ia tidak membuang waktu lagi dan cepat melompat mundur. Akan tetapi karena ia lelah sekali, ia jatuh terduduk lalu bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Tunggaljiwa! Memang bocah ini bukan lawanku. Hayo engkau majulah. Engkau lawanku. Kita tua sama tua!" Wasi Bagaspati menantang sambil membusungkan dadanya yang tipis.
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra memandang wajah kakek penyembah Bathara Shiwa ini, mereka bergidik dan menjadi gentar. Kini mengertilah Tejolaksono mengapa ia tadi tidak berdaya sama sekali menghadapi kakek itu. Ia jauh kalah kuat perbawanya. Sekarang pun memandang wajah kakek itu, ia seakan-akan melihat wajah itu mengeluarkan cahaya mencorong yang membuat hatinya gentar. Hebat bukan main Wasi Bagaspati ini.
Akan tetapi menghadapi Wasi Bagaspati yang brangasan dan tinggi hati ini, Ki Tunggaljiwa tetap tenang dan penuh kesabaran. Ia agaknya tidak memandang mata kepada Wasi Bagaspati yang menantangnya, sebaliknya ia lalu menjura ke arah Biku Janapati dengan sikap menghormat. Pendeta Buddha ini sejak tadi hanya menjadi penonton saja dan sedikitpun tidak ada perubahan pada wajahnya yang amat tenang seperti air telaga yang dalam.
"Aku tidak akan berdebat dengan orang yang telah dikuasai amarah. Saudaraku Biku Janapati, bagaimana pendapat Andika? Apakah aku harus melayani tantangan Wasi Bagaspati?"
Pendeta Buddha yang tak berambut itu menarik napas panjang. "Sadhu, sadhu! Harus diakui bahwa dalam hal pengendalian perasaan, Andika lebih menang setingkat daripada Saudara Wasi Bagaspati, Ki Tunggaljiwa! Memang tidak selayaknya orang-orang tua seperti kita berkelahi seperti orang-orang muda! Bertempur bukanlah permainan para pertapa dan pendeta, melainkan tugas para ksatria. Saudara Wasi Bagaspati, simpanlah kembali aji-aji kesaktianmu. Biarlah kalau kelak terjadi keharusan pertempuran, murid-murid kita yang akan mewakili kita."
"Ha-ha-ha, engkau untung sekali, Ki Tunggaljiwa! Usiamu yang tinggal sedikit diperpanjang beberapa tahun lagi. Kalau Biku Janapati tidak membujukku, betapapun kau mengeluarkan seluruh keampuhanmu, pasti hari ini engkau kukirim kembali ke alam asalmu!"
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan membungkuk. "Akupun amat berterima kasih kepada Biku Janapati atas pengertiannya yang mendalam dan kepadamu yang telah bersikap murah kepadaku, Wasi Bagaspati. Aku setuju dengan pendapat Biku Janapati, biarlah kelak murid-murid kita yang akan mewakili kita dan tentu saja biarlah kelak Sang Hyang Widhi Wisesa yang akan menentukan. Becik ketitik ala ketara (yang baik tampak yang buruk kelihatan)!"
"Berat... berat...! Ki Tunggaljiwa seorang bijaksana dan sakti mandraguna, sungguh merupakan lawan berat. Marilah, Wasi Bagaspati, kita pergi. Selamat tinggal, Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Tri Ratna memberi penerangan kepada Andika!"
"Doa restuku mengiringi perjalananmu, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati!"
Dua orang kakek itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja lenyap dari tempat itu. Adipati Tejolaksono dan isterinya mengikuti bayangan mereka dengan hati kagum dan gentar. Tejolaksono menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh amat berbahaya...!" Ia bergidik kalau teringat pengalamannya tadi. Semenjak muda ia sudah seringkali menghadapi lawan tangguh, akan tetapi sekali ini benar-benar tidak berdaya menghadapi Wasi Bagaspati yang dalam dua kali gebrakan saja hampir menewaskannya dalam keadaan mengerikan, menyedot semua hawa sakti dari dalam tubuhnya!
"Wasi Bagaspati belum seberapa, Angger adipati. Aku yang tua masih sanggup menanggulanginya. Akan tetapi baiknya Biku Janapati berpemandangan luas dan hatinya bersih. Kalau dia yang dimabuk nafsu amarah seperti Wasi Bagaspati, tidak dapat aku membayangkan apa jadinya. Ilmu kesaktian pendeta Buddha itu sedikitnya dua tingkat lebih tinggi daripada tingkat Wasi Bagaspati!"
Adipati Tejolaksono melongo, kaget dan khawatir sekali. Kalau Panjalu dan Jenggala diancam bahaya serangan orang-orang sesakti itu, benar-benar amat mengkhawatirkan! Kemudian ia teringat bahwa kakek ini masih eyang gurunya, maka ia segera memegang tangan isteri dan puteranya, diajak menjatuhkan diri berlutut dan menyembah orang tua itu.
"Mohon Eyang mengampunkan hamba yang tidak tahu bahwa Eyang adalah Paman guru Sang Prabu Airlangga dan Rakyana Patih Narotama. Ternyata Eyang adalah Eyang guru hamba sendiri!"
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, kemudian iapun duduk bersila seperti tadi. "Kalian duduklah baik-baik dan dengarkan aku bicara," katanya.
Sikapnya tak pernah berubah, tetap tenang dan kini matahari yang telah naik tinggi menyoroti rambutnya yang putih seperti perak sehingga berkilauan menambah keagungannya.
"Kiranya Hyang Widhi telah membuka rahasia dengan kunjungan dua orang pendeta tadi. Angger adipati, setelah Andika menyaksikan dan mendengarkan semua, apakah Andika berdua isteri masih ragu-ragu untuk menyerahkan pendidikan puteramu kepadaku? Ketahuilah bahwa menurut penglihatanku, hanya puteramu ini yang kelak akan sanggup menyelamatkan Panjalu dan terutama sekali menyelamatkan kewibawaan dan kebesaran Sang Hyang Wishnu. Kalian tadi telah menyaksikan sendiri betapa saktinya pihak lawan."
Suami isteri itu saling berpandangan dengan pucat. Betapapun berat rasa hati mereka harus berpisah dari Bagus Seta, namun mereka dapat melihat kebenaran kata-kata kakek itu. Musuh yang mengancam negara amat sakti dan kalau tidak ada yang menanggulanginya, akan berbahaya sekali. Mereka amat mencinta putera tunggal mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang berpemandangan picik dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Dari sepasang mata Ayu Candra bertitik dua air mata, akan tetapi Tejolaksono maklum dari pandang mata isterinya bahwa isterinya sudah merelakan puteranya. Maka ia lalu berkata,
"Setelah melihat keadaan dan menginsyafi dasar pengangkatan anak kami sebagai murid Eyang guru, hamba hanya pasrah kepada kebijaksanaan Eyang. Semoga saja Bagus Seta kelak tidak akan mengecewakan mengemban tugas yang maha berat itu."
Ki Tunggaljiwa tertawa. "Bagus sekali kalau kalian berdua sudah rela, Angger. Aku hanya mempunyai kesempatan selama lima tahun dan semoga dalam waktu itu, Sang Hyang Wishnu akan memberi bimbingan kepada puteramu sehingga berhasil dalam mengejar ilmu. Ketahuilah, dua orang pendeta tadi memiliki kesaktian yang amat tinggi. Dalam hal ilmu, kiranya engkau sendiri tidak akan kalah banyak oleh mereka, akan tetapi dalam hal kekuatan batin, ah, mereka itu sukar dilawan dan dikalahkan. Mereka sudah matang dalam gemblengan tapa dan mantra. Andaikata tadi engkau menggunakan Aji Triwikrama, agaknya tidaklah begitu terpengaruh oleh perbawanya yang amat kuat, namun betapapun juga, tidak akan mudah mengalahkan Wasi Bagaspati, apalagi Biku Janapati. Nah, sekarang harap Andika berdua pulang ke Kadipaten Selopenangkep. Masih ada hal yang harus kau hadapi Angger, namun betapapun berat, harus banyak hal yang harus kau hadapi, Angger adipati. Namun, betapapun berat, harus dapat kau hadapi dengan tabah karena segala macam hal yang menimpa diri manusia telah ditentukan oleh Hyang Widhi, sesuai dengan karma dan sesuai pula dengan perbuatan-perbuatan manusia sendiri, sehingga segala hal itu amatlah adil dan wajar. Segala hal yang terjadi pada diri manusia adalah akibat dan mencari sebab dari luar adalah perbuatan bodoh, Angger, karena sebab-sebabnya adalah perbuatan dan pakarti kita sendiri."
Berdebar jantung Tejolaksono. Teringatlah ia akan semua perbuatannya selama ini. Diawali dengan perburuan di hutan dan pembunuhan anak harimau, pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa. Kemudian teringat ia akan pengalamannya dengan Endang Patibroto yang belum sempat ia ceritakan kepada Ayu Candra. Teringat akan ini semua, ia menundukkan mukanya, menduga-duga apa gerangan yang akan menjadi akibat daripada semua perbuatannya itu. Dan adipati yang arif bijaksana dan sakti mandraguna ini mengkirik, ngeri ia melihat kenyataan semua perbuatannya itu. Ah, betapa lemahnya manusia.
Betapa manusia diombang-ambingkan oleh nafsunya sendiri sehingga terbentuklah sebab-sebab yang akan menelurkan akibat-akibat yang di kemudian hari tidak akan diakui sebagai akibat perbuatannya sendiri, lalu menimbulkan sengsara! Tiba-tiba sang adipati merasa nelangsa batinnya dan ia lalu bersembah sungkem di depan Ki Tunggaljiwa dan berkata, suaranya menggetar penuh perasaan haru,
"Duhai, Eyang... hamba mohon petunjuk untuk menggayuh (menjangkau) kesempurnaan, Eyang."
Kakek itu tertawa, suara ketawanya ramah dan lunak. "Ha-ha-ha-ha, Angger Adipati Tejolaksono. Kata-katamu amatlah lucu. Kesempurnaan apakah yang dapat dijangkau, Angger? Dan mengapa mencari kesempurnaan? Lihatlah dirimu sendiri, telitilah sedalam-dalamnya, lihatlah baik-baik segala warna-warni dan bentuk-bentuk, dengarlah segala suara, ciumlah segala ganda (bau), adakah sesuatu di dunia ini yang kurang atau belum sempurna? Segala sesuatu ciptaan Hyang Widhi Wisesa adalah sempurna, Angger, termasuk jasmani dan rohani kita manusia adalah sempurna. Sempurna, bersih dan suci. Yang menjadi persoalan hanyalah betapa cara menjaga kebersihan itu, mempertahankan kesucian itu. Jadi persoalannya hanyalah usaha, ikhtiar yang berupa laku-lampah dan karya kita. Segala perbuatan dan ucapan kita haruslah sesuai dengan isi hati dan pikiran sehingga tidak ada perbedaan antara lahir dan batin, atau jelasnya, perbuatan kita adalah pencerminan daripada isi hati kita. Perbuatan yang sesuai lahir batin inilah, Angger, yang akan menentukan akibat-akibat di belakang hari dalam kehidupan kita."
"Perbuatan yang bagaimanakah, Eyang? Mohon petunjuk."
"Tengoklah sekeliling kita, Angger. Adakah sebuah bendapun yang tiada gunanya bagi kita? Semua berguna, semua demi kenikmatan hidup kita. Demikianlah sifat Hyang Widhi Wisesa, sekalian isi alam diberikan kepada manusia. Memberi, memberi, dan member!, tanpa pamrih! Tidak pernah meminta, tidak pernah menuntut, berkah dan anugerah berlimpah-limpah dalam pemberian yang ikhlas tanpa pamrih. Tidak pilih kasih! Lihat cahaya matahari. Siapapun adanya dia, bodoh atau pintar, kaya atau miskin, boleh menikmatinya. Pendeknya, seluruh ciptaan Hyang Widhi Wisesa diberikan kepada siapa saja yang mau dan dapat menikmatinya! Lalu, apakah balas jasa manusia terhadap semua berkah yang tak kunjung habis itu? Apakah yang telah diberikan oleh manusia? Janganlah hanya pandai meminta, meminta, dan meminta lagi! Kita harus meniru sifat yang amat indah itu, ialah memberi, memberi, dan memberi tanpa pamrih! Melakukan kewajiban sebagai manusia tanpa pamrih, berarti membantu kelancaran perputaran roda kesempurnaan yang diciptakan Hyang Widhi Wisesa."
"Kewajiban dan perbuatan yang bagaimanakah kiranya, Eyang? Maafkan, Eyang, sungguhpun sudah banyak hamba dengar dari para guru, namun petunjuk Eyang akan menjadi penambah sinar terang dalam jalan hidup hamba."
Ki Tunggaljiwa tersenyum. "Memang, manusia harus senantiasa belajar, dan biarlah semua wawasanku ini tidak akan sia-sia. Terutama sekali kutujukan kepada muridku, Bagus Seta karena wawasan inipun merupakan pelajaran baginya."
Bagus Seta yang tadi berada dalam pelukan ibunya, kini duduk bersila dan mendengarkan penuh perhatian.
"Semua sikap dalam hidup sudah digambarkan secara jelas dalam Bhagawad Gita ketika Sang Hyang Wishnu dalam diri Sang Bhatara Kresna memberi wejangan kepada Sang Harjuna. Akan tetapi sebagai dasar permulaan, aku mempunyai dua macam pelajaran yang amat mudah dan sederhana, mudah dimengerti sungguhpun belum tentu mudah dijalankan. Pertama : JANGAN MENYUSAHKAN HATI ORANG LAIN! Pelajaran pertama ini amat luasnya, Angger dan jangan mengira akan mudah saja dilaksanakan. Karena, jika pelajaran pertama ini sudah mendarah daging pada diri kita, maka kita tidak melakukan segala macam perbuatan jahat yang merugikan atau menyinggung perasaan, pendeknya merugikan lain orang. Nah, kalau pelajaran pertama ini sudah benar-benar menjadi watak, mulailah kita meningkat kepada pelajaran ke dua, yaitu : SENANGKANLAH HATI ORANG LAIN! Senangkanlah hati orang lain sesering dan sebanyak mungkin karena sifat ini sesuai dengan semua ciptaan Sang Hyang Widhi yang serba sempurna. Hidup adalah suatu berkah dan nikmat, maka harus dinikmati bersama dengan landasan kasih sayang antar manusia yang sesungguhnya adalah senasib di dalam dunia ini."
Tejolaksono mendengarkan penuh perhatian. Filsafat yang keluar dari mulut kakek itu amatlah sederhana, namun apabila benar-benar dijalankan manusia, kiranya tidak ada perlunya lagi manusia mengejar-ngejar kesempurnaan seperti banyak dilakukan orang sehingga sesat ke mana-mana. Cara hidup baik yang sesungguhnya amat sederhana dan mudah itu menjadi sulit dan membingungkan karena dituangkan dalam wejangan-wejangan dan pelajaran-pelajaran yang rumit-rumit dan sukar dimengerti.
Setelah menerima banyak wejangan tentang sifat-sifat ksatria dan tentang pembelaan keadilan dan kebenaran, Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra berpamit kembali ke Selopenangkep. Ayu Candra dapat menekan keharuan hatinya, hanya memeluk dan mencium pipi puteranya sambil berbisik,
"Yang baik-baik dan rajin engkau belajar di sini, Anakku!"
"Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya tidak akan mengecewakan hati Kanjeng Rama Ibu dan Bapa guru," jawab Bagus Seta dengan tabah. Ada keharuan membayang di pandang mata anak itu, akan tetapi wajahnya tetap berseri dan hal ini menjadi tanda bahwa anak ini sudah mulai pandai menguasai perasaannya.
Melihat ini, kembali Tejolaksono menjadi kagum. Dalam waktu dua bulan lewat saja sudah tampak perubahan besar pada diri puteranya, kemajuan yang kiranya belum tentu dapat dicapai puteranya itu selama setahun dalam gemblengannya. Ia maklum bahwa mengenai kekuatan batin, Ki Tunggaljiwa sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga ia percaya bahwa puteranya tentu akan memperoleh ilmu kesaktian yang takkan pernah dapat ia ajarkan kepada puteranya itu. Hatinya menjadi lega dan gembira, dan sedikitpun pada wajahnya tidak tampak kedukaan seperti terdapat pada wajah isterinya ketika mereka berdua menuruni lereng Gunung Merapi.
Setelah suami isteri itu turun dart puncak Gunung Merapi, barulah Adipati Tejolaksono mendapat waktu dan kesempatan untuk menceritakan pengalamannya yang hebat di Blambangan. Ia menceritakan segala yang dialami Endang Patibroto, tentang tipu muslihat Blambangan dan tentang pengalamannya bersama Endang Patibroto yang terjeblos ke dalam perangkap, dalam sumur yang hampir saja menewaskan mereka berdua. Akhirnya ia menceritakan pula apa yang terjadi di dalam ruangan di bawah tanah itu, betapa dalam menghadapi kematian yang agaknya tak dapat dielakkan lagi, dia dan Endang Patibroto telah terangkap menjadi suami isteri.
Mula-mula mendengar cerita suaminya, Ayu Candra menjadi terharu sekali dan merasa amat kasihan kepada Endang Patibroto yang bernasib malang. Lapun menjadi ikut gelisah dan tegang ketika mendengar cerita betapa suaminya bersama Endang Patibroto menghadapi lawan yang amat banyak, kemudian terjeblos ke dalam lubang jebakan menderita ancaman maut yang mengerikan. Ketika mendengar penuturan suaminya dengan suara tersendat-sendat tentang hubungan suaminya dengan Endang Patibroto sebagai suami isteri, wajah Ayu Candra menjadi pucat sekali dan sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya langkah-langkah kaki mereka saja yang terdengar dan kini langkah Ayu Candra agak lemas. Tejolaksono memegang tangan isterinya dan berdiri berhadapan di sebuah lereng.
"Nimas, aku harap Adinda tidak akan menjadi marah. Percayalah, Nimas, bahwa hal ini terjadi di waktu kami menghadapi maut yang kami anggap tak dapat dihindarkan lagi sehingga pikiran kami menjadi gelap. Andaikata tidak dalam keadaan seperti itu, aku yakin hal itu tidak akan terjadi. Adinda tentu tahu bahwa kalaupun aku berhasrat mengambil selir, tentu dengan persetujuanmu lebih dahulu. Maka, harap Adinda tidak marah dan kalau hal ini menyinggung perasaanmu harap kau suka memaafkan kami..."
Kini Ayu Candra tersenyum, wajahnya berseri dan ia membenamkan mukanya di dada suaminya. "Maaf, Kakangmas. Sebentar tadi aku digoda cemburu. Tidak...! Aku tidak cemburu. Apalagi Endang Patibroto yang menjadi selirmu. Aku bahkan bangga mempunyai madu seorang wanita yang sakti mandraguna! Memang dia patut dikasihani, Kakangmas. Apalagi setelah kanjeng bibi Kartikosari tidak ada. Biarlah, dia akan kusambut sebagai saudaraku, sebagai adikku, karena memang dia maduku, dia isterimu. Aku tidak cemburu, Kakangmas."
Alangkah girang dan besar hati Tejolaksono. Ia maklum akan kehalusan budi Ayu Candra. Ia lalu memegang wajah isterinya di antara kedua tangan, diangkatnya muka yang cantik jelita itu sehingga muka mereka berhadapan, mata mereka saling tatap. Tejolaksono melihat betapa pandang mata isterinya benar-benar tutus ikhlas, tidak ada sedikitpun bayangan amarah atau cemburu. Ia amat bersyukur dan berterima kasih maka diciumnya mata yang indah itu. Ayu Candra meramkan matanya dan merangkul leher suaminya yang amat dikasihinya.
Ketika suami isteri ini tiba kembali di Kadipaten Selopenangkep, mereka disambut oleh Roro Luhito dan puterinya, Pusporini, kemudian puteri Kartikosari yang bernama Setyaningsih, dan seorang lagi yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati suami isteri itu, yakni Endang Patibroto!
Melihat Endang Patibroto, Ayu Candra lalu maju dan merangkulnya. "Adikku wong ayu, Endang Patibroto... aku sudah mendengar semua tentang dirimu. Ahhh, betapa banyak kesengsaraan kau derita, Adikku. Biarlah mulai sekarang kita bersama menikmati kebahagiaan, dan aku sungguh girang dapat memelukmu seperti seorang kakak, Adikku."
Endang Patibroto sekilas mengerling kepada Tejolaksono yang tersenyum kepadanya, maka mengertilah wanita ini bahwa Tejolaksono telah membuka rahasia mereka kepada Ayu Candra. Hal ini amat menggelisahkan hatinya tadi, menjadi ganjalan karena ia merasa malu kepada Ayu Candra dan selalu mengkhawatirkan pertemuan ini. Apalagi ketika ia tiba di Selopenangkep dan mendengar tentang tewasnya ibu kandungnya, hatinya makin trenyuh dan gelisah.
Akan tetapi setelah kini bertemu, sikap Ayu Candra benar-benar tak pernah ia sangka-sangka dan hatinya menjadi lega dan terharu sekali. Wanita ini telah ia bunuh ayah ibunya (baca Badai Laut Selatan), dan kini bahkan seakan-akan ia curi suaminya, akan tetapi menerimanya seramah ini. Ia balas merangkul dan berkata lirih,
"terima kasih... engkau baik sekali.... sudi menerima orang yang buruk watak dan buruk nasib seperti aku... biarlah mulai saat ini aku mengaku ayunda kepadamu.... dan aku akan mentaatimu seperti mentaati kakak sendiri..."
Melihat betapa dua orang wanita itu berpelukan terharu, Roro Luhito mengerutkan keningnya. Wanita ini tahu benar akan watak Endang Patibroto, dan sudah mengenal pula watak Ayu Candra. Sifat dan watak kedua orang wanita ini bagaikan bumi dan langit. Endang Patibroto liar dan keras, berdarah panas dan tidak punya rasa rendah hati sama sekali, sukar ditundukkan. Adapun Ayu Candra lemah lembut dan manja atau ingin dimanjakan suaminya. Betapa mungkin dua orang wanita ini menjadi madu?
Dia tadi kaget bukan main mendengar percakapan dua orang wanita ini karena semenjak datang ke Selopenangkep pagi tad!, Endang Patibroto tidak pernah bercerita tentang itu. "Anaknda adipati, harap ceritakan bagaimana dengan hasil usaha kalian mencari Bagus Seta. Mana dia? Mengapa tidak ikut pulang?"
Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara keras untuk menutupi ketidak senangan hatinya melihat Endang Patibroto dan Ayu Candra berpelukan sebagai madu. Roro Luhito sama sekali bukan tidak setuju kalau Adipati Tejolaksono mernpunyai selir. Dia sendiri adalah isteri ke dua, isteri selir. Akan tetapi karena persatuan antara Endang Patibroto dan Ayu Candra, menurut pemandangannya, dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan ada bahaya meruntuhkan kebahagiaan rumah tangga Tejolaksono, maka ia merasa tidak setuju di dalam hatinya. Tentu saja bagi Roro Luhito, yang terpenting adalah kebahagiaan Tejolaksono karena adipati ini adalah keponakannya, putera dari kakaknya.
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra menceritakan tentang keadaan Bagus Seta yang dalam keadaan selamat dan menjadi murid kakek sakti Ki Tunggaljiwa, Roro Luhito menjadi lega hatinya. Sebagai orang tua, ia maklum bahwa pada saat itu merupakan pertemuan segi tiga yang mesra antara Tejolaksono dan kedua orang isterinya, maka ia lalu menggandeng tangan Pusporini dan Setyaningsih sambil berkata,
"Anaknda adipati tentu lelah dan ingin beristirahat. Marilah, kedua anakku, kita ke belakang."
Setyaningsih yang digandeng Roro Luhito, beberapa kali menengok ke arah Endang Patibroto. Semenjak Endang Patibroto datang pagi tadi, anak ini selaIu memandang kakaknya itu dengan pandang mata kagum dan penuh kasih. Sudah banyak ia mendengar dari mendiang ibunya tentang kakaknya ini yang menurut ibunya amat sakti mandraguna. Kini setelah ibunya meninggal dunia, munculnya kakaknya ini seakan-akan menjadi pengganti ibunya. Sebaliknya, Endang Patibroto juga amat mencinta adik kandungnya ini.
Adipati Tejolaksono yang bercakap-cakap dengan kedua isterinya, agaknya penuh dengan kebahagiaan dan suasana tenteram damai penuh kasih menyelimuti mereka bertiga. Agaknya kekhawatiran Roro Luhito adalah kekhawatiran kosong belaka. Ayu Candra telah rela dan ikhlas terhadap Endang Patibroto, demi cinta kasihnya yang murni terhadap suaminya. Bahkan malam hari itu, sebagai isteri pertama yang bijaksana, Ayu Candra membujuk suaminya agar menemani Endang Patibroto di dalam kamarnya.
Sukar dilukiskan betapa besar kebahagiaan hati Tejolaksono dan Endang Patibroto yang melihat bahwa hubungan mereka dapat perlangsung dengan amat baiknya, tiada halangan sesuatu. Dan dalam pertemuan yang mesra itu Endang Patibroto menceritakan tentang perang yang dilakukan Jenggala dan Panjalu terhadap Kadipaten Blambangan. Kedua kerajaan ini mengirim pasukan besar. Bahkan Panjalu mengirim pasukan istimewa yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Darmokusumo dan setelah kedua pasukan ini menggabung, penyerbuan Blambangan dimulai.
Blambangan dilanda serbuan besar-besaran dan biarpun Blambangan melakukan perlawanan mati-matian, namun kadipaten ini bukanlah lawan pasukan kedua kerajaan yang dipimpin orang-orang pandai. Apalagi ada Endang Patibroto di dalam pasukan itu yang mengamuk hebat dan banyak senopati Blambangan roboh di dalam tangan wanita sakti ini.
Dalam waktu beberapa hari saja pertahanan Blambangan dapat dipatahkan, kadipaten diserbu, dan Adipati Menak Linggo tewas pula di tangan Endang Patibroto. Juga Ki Patih Kalanarmodo dan Senonati Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko semua tewas dalam perang yang pendek namun dahsyat. Hanya Sindupati yang dapat melarikan diri, berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah perahu menyebrang selat dan bersembunyi di Bali-dwipa, dimana ia mencari orang-orang pandai untuk memperdalam ilmunya sambil bersembunyi dari pengejaran musuh...
Hati mereka berdebar keras penuh ketegangan dan harapan ketika dari jauh mereka melihat pondok kecil di dekat puncak itu. Akan tetapi tiba-tiba Adipati Tejolaksono memegang lengan isterinya dan menarik isterinya itu menyelinap ke belakang gerombolan pohon. Cepat ia menutup mulut isterinya dengan tangan ketika melihat Ayu Candra hendak membuka mulut bertanya. Mereka mengintai keluar rumpun dan tampaklah oleh Ayu Candra dua sosok bayangan orang melesat naik ke puncak. Mata wanita itu terbelalak dan bulu tengkuknya berdiri.
Setan-setankah yang dilihatnya itu? Kalau manusia mengapa dapat melakukan gerakan sehebat itu, seolah-olah terbang saja mendaki puncak? Dan melihat bahwa mereka berdua itu agaknya sudah amat tua, sungguh luar biasa sekali. Di dalam hatinya, Adipati Tejolaksono juga terkejut dan maklum bahwa dua orang kakek yang lewat dengan kecepatan laksana terbang itu adalah orang-orang sakti yang amat luar biasa. Maka ia lalu bersikap hati-hati, mengajak isterinya melanjutkan perjalanan mendekati pondok.
Ketika mereka berdua tiba di depan pondok dan melihat Ki Tunggaljiwa yang duduk di depan pondok di atas tanah bersama Bagus Seta, keduanya tercengang dan terharu sekali. Putera mereka sehat dan selamat. Dan baru sekarang mereka melihat betapa putera mereka itu amat sehat dan tampan, duduk bersila bertelanjang dada seperti sebuah arca Sang Hyang Wishnu sendiri di waktu masih kanak-kanak, tubuhnya yang tertimpa sinar matahari itu bercahaya seperti kencana, dari kepala tampak uap putih membumbung atas membentuk lingkaran pelangi tipis.
Hebat! Dan anak mereka itu sedang tekun bersamadhi. Belum pernah mereka melihat putera mereka bersamadhi seperti itu, demikian tenang, demikian hening, penuh kedamaian yang terpancar keluar dari wajahnya yang tersenyum. Sampai terisak Ayu Candra saking girang dan terharu hatinya melihat puteranya ini. Ingin ia berteriak memanggil dan lari memeluk puteranya, akan tetapi tangannya dipegang dan ditahan oleh Tejolaksono yang tidak berani berlaku sembrono di depan kakek yang ia tahu memiliki kesaktian yang amat tinggi itu.
Tiba-tiba dari belakang pondok itu muncul seekor harimau putih yang langsung melompat ke depan Tejolaksono dan isterinya, lalu mengeluarkan suara gerengan keras dan memperlihatkan taring-taringnya yang runcing. Ayu Candra kaget sekali dan memegang lengan suaminya, siap menghadapi binatang buas yang amat besar dan menyeramkan itu. Akan tetapi Tejolaksono bersikap tenang, bahkan ia lalu maju ke depan harimau itu dan berkata nyaring, "Harimau putih, apakah andika masih menaruh dendam atas kematian anakmu? Tak dapatkah engkau memaafkan aku?"
Ki Tunggaljiwa membuka matanya dan menarik napas panjang, lalu tertawa halus. "Ahh, kiranya Sang Adipati telah datang! Ketahuilah, Angger. Harimau dan semua binatang tidaklah semua pendendam seperti manusia. Kematian anaknya pun dianggapnya sesuatu peristiwa yang wajar dan tak terelakkan, maka tak pernah menaruh dendam, baik kepada manusia maupun dewata, karena segala perbuatan akan menimpa si pembuat sendiri, tidak perlu dibalas oleh orang lain! Tidak, sardulo pethak tidak mendendam kepadamu, tidak pula memaafkan dan tidak sakit hati. Dia hanya merasa khawatir kalau-kalau kalian datang untuk membawa pergi Bagus Seta dari sinil" Dengan perlahan sang pertapa bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya sambil berkata lirih, "Kulup, Bagus Seta muridku yang baik, bangunlah. Ini ayah bundamu telah datang, Angger."
Bagus Seta yang tadinya masih dalam keheningan sarnadhinya tidak mendengar sesuatu, karena sudah biasa gurunya mernbangunkannya dari samadhi, kini menjadi sadar dan membuka matanya. Sepasang mata yang tajam bersinar-sinar akan tetapi kini bertambah dengan kehalusan yang tenang, memandang kepada ayah bundanya. Anak itu lalu melompat bangun dan berseru gembira,
"Kanjeng Rama...! Kanjeng Ibu...!"
"Bagus Seta anakku...!!" Ayu Candra lari menghampiri, berlutut di depan puteranya sambil memeluk dan menciuminya. Air mata ibu ini bercucuran saking girang hatinya. Akan tetapi puteranya bersikap tenang, bahkan sambil merangkul leher ibunya la berkata,
"Ibu, kenapa menangis? Saya tidak apa-apa, senang di sini bersama Bapa Guru dan sardulo pethak."
Aneh sekali tetapi nyata terasa oleh Ayu Candra. Ucapan puteranya ini biarpun diucapkan dengan suara yang sama sebulan yang lalu, yaitu suara puteranya yang nyaring dan halus, namun ada sesuatu yang jauh berbeda. Di dalam suara ini terkandung sesuatu yang amat berpengaruh, sesuatu yang membuat jantungnya berdetak aneh dan yang sekaligus membuat ia malu akan diri sendiri, malu bahwa ia tadi telah memperlihatkan perasaan yang rnembayangkan kelemahan hati.
Puteranya ini sekarang seolah-olah bicara seperti seorang dewata yang memiliki wibawa besar, seperti ayahnya! Diam-diam Tejolaksono yang menyaksikan sikap dan mendengar suara puteranya, juga menjadi heran dan kagum sekali, apalagi ketika ia tadi mendengar kakek itu menyebut murid kepada Bagus Seta dan puteranya itu menyebut bapa guru kepada kakek itu!
Karena maklum bahwa kakek itu bukan seorang manusia sembarangan, maka Tejolaksono menarik tangan Ayu Candra dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Dia seorang adipati dan sebetulnya tidaklah semestinya kalau ia sebagaI seorang pembesar dan bangsawan harus menyembah seorang kakek biasa yang tidak memiliki kedudukan. Akan tetapi Tejolaksono bukan seorang adipati biasa yang terlalu mementingkan dan membanggakan kedudukannya. Di sudut hatinya, dia adalah seorang ksatria yang selalu tahu menghormat dan menjunjung tinggi seorang tua yang sakti, maka kini ia berlutut menyembah tanpa ragu-ragu lagi.
Juga Ayu Candra adalah puteri seorang pertapa sakti, tentu saja wanita inipun bukan seorang penyombong seperti puteri-puteri bangsawan biasa, kini dengan segala kerendahan hati la berlutut menyembah kakek yang ia tahu telah menolong puteranya itu.
"Eyang panembahan, hamba suami isteri menghaturkan banyak terima kasih kepada Eyang panembahan yang sudah menyuruh harimau putih untuk menolong putera kami dari ancaman para perampok yang menyerang Kadipaten Selopenangkep," Tejolaksono berkata dengan sikap menghormat.
Ki Tunggaljiwa tersenyum, mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Ia kagum juga menyaksikan sikap adipati dan isterinya ini yang begitu rendah hati, sikap yang jarang ditemukan di antara pembesar atau bangsawan.
"Harap Andika suka bangkit dan marilah kita duduk dan bicara yang enak dan Angger adipati harap jangan keliru menduga. Saya bukanlah seorang panembahan melainkan seorang petani biasa saja, seorang tua yang lemah dan tidak semestinya Andika sembah. Bangkitlah, Angger dan mari kita duduk di atas rumput yang empuk ini."
Tejolaksono dan isterinya tidak membantah dan mereka lalu duduk bersila di depan Ki Tunggaljiwa, sedangkan Bagus Seta duduk di samping ibunya yang bersimpuh.
"Angger adipati, ketahuilah bahwa puteramu berjodoh dengan saya. Harap jangan mengira bahwa saya yang memaksanya datang ke sini, melainkan dia sendiri yang dengan suka rela ikut bersama sardulo pethak datang ke sini kemudian secara suka rela pula menjadi muridku. Inilah yang dinamakan jodoh dan selama lima tahun saya harap Andika berdua rela melepaskan putera Andika itu untuk tinggal bersamaku mempelajari ilmu."
"Aahhhh... !" Ayu Candra berseru kaget lalu memeluk puteranya seolah-olah tidak merelakan puteranya berpisah dari sampingnya.
"Eyang, seperti telah Eyang saksikan sendiri betapa beratnya seorang ibu berpisah dari puteranya yang hanya satu-satunya. Bagus Seta masih terlalu kecil dan biarpun saya seorang bodoh yang tiada kepandaian, namun saya masih sanggup untuk memberi pendidikan kepada putera saya. Kelak, kalau dia sudah besar dan menghendaki memperdalam ilmunya kepada Eyang, tentu kami tidak keberatan. Akan tetapi sekarang harap Eyang suka memaafkan kalau hamba berdua tidak dapat menyetujuinya" kata Adipati Tejolaksono dengan suara tenang.
"Kanjeng Rama, saya senang sekali menjadi murid Bapa guru, harap Kanjeng Rama dan Kanjeng Ibu tidak melarang hamba..." kata Bagus Seta tiba-tiba sambil memandang ayah bundanya.
"Hushhh.... Bagus Seta, bagaimana Ibumu dapat berpisah darimu, Nak? Apalagi sampai lima tahun!" kata Ayu Candra.
"Bagus Seta, tidak boleh kau membikin susah hati Ibumu!" kata Tejolaksono.
Ki Tunggaljiwa tertawa.
"Angger adipati berdua harap maklum bahwa kehendak Hyang Widhi tidak dapat diubah oleh perbuatan manusia. Ketahuilah bahwa bukan semata-mata kehendak saya untuk mengambil murid Bagus Seta, melainkan agaknya Sang Hyang Wishnu sendiri yang memilih anak ini untuk kelak menyelamatkan nama besarNya."
"Akan tetapi, Eyang...!!!"
Suara bantahan Adipati Tejolaksono terhenti karena pada saat itu terdengar suara ketawa bergelak dan muncullah dua orang kakek yang entah dari mana tahu-tahu telah berada di tempat itu, berdiri sambil tertawa menghadapi Ki Tunggaljiwa. Kakek ini memandang, menghela napas lalu bangkit berdiri. Melihat sikap dua orang yang baru tiba, Adipati Tejolaksono juga bangkit berdiri, diikuti Ayu Candra yang masih memeluk puteranya.
Tejolaksono yang memandang penuh perhatian, diam-diam menjadi terkejut. Dari cahaya muka dan sinar mata mereka, ia maklum bahwa dua kakek ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Kedua orang kakek itu sudah amat tua, sukar diduga berapa usianya, akan tetapi agaknya tidak kalah tua oleh Ki Tunggaljiwa yang juga sukar ditaksir berapa usianya. Yang seorang bertubuh pendek gendut, berkepala gundul licin, dengan jubah kuning yang besar. Wajah kakek ini amat tenang, mulutnya tersenyum dan pandang matanya tajam penuh pengertian seakan-akan tidak ada rahasia lagi baginya akan apa yang terjadi di kolong langit ini.
Tangan kirinya memegang seuntai tasbih dari batu putih halus mengkilap, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu cendana yang kepalanya berbentuk ukiran kepala naga. Seluruh sikap kakek gundul ini, dari kaki sampai ke kepala, pada senyum mulutnya dan sinar matanya, semua membayangkan ketenangan dan kesabaran, kepala yang gundul dan jubbah kuningnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang pendeta beragama Buddha dan melihat betapa sinar kasih terpancar keluar dari matanya, mudah diduga bahwa pendeta ini adalah seorang pendeta suci yang sudah matang betul ilmunya.
Orang ke dua adalah seorang kakek tinggi kurus dan kakek inilah yang tadi tertawa-tawa. Kakek ini rambutnya panjang seperti rambut Ki Tunggaljiwa, juga sudah putih semua, akan tetapi mukanya berkulit merah sehat seperti muka seorang anak kecil yang banyak bermain di bawah sinar matahari. Matanya amat tajam dan penuh semangat hidup, penuh gairah dan panas. Anehnya, pakaian kakek ini yang juga merupakan jubah seorang pendeta Hindu, berwarna merah menyolok. Kedua tangannya kosong tidak memegang sesuatu, akan tetapi di pinggangnya tampak terselip gagang sebuah senjata yang tersembunyi di balik jubahnya.
Ki Tunggaljiwa menghela napas panjang dan mengucapkan puja-puji kepada dewata sambil berkata, "Puji syukur kepada Sang Hyang Widhi Wisesa yang telah menurunkan anugerah kebahagiaan pada saat ini! Pantas saja angin bersilir sejuk, burung prenjak mengganter (berkicau riang), bajing lompat-lompat berkejaran gembira, hari cerah dan jauh lebih indah daripada biasanya. Kiranya puncak Merapi mendapat kehormatan besar menerima sentuhan kaki dua orang suci yang mendatangkan kebajikan kepada sesama umat manusia! Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati, selamat datang di puncak Merapi!"
"Sadhu.... sadhu.... sadhu.... semoga Sang Tri Ratna melindungi kita semua!" Biku Janapati yang gendut dan berkepala gundul itu berdoa sambil merangkapkan kedua telapak tangan ke depan dada. "Wahai sang sakti Ki Tunggaljiwa, alangkah pandainya Andika memilih tempat yang begini indah. Sahabatku yang baik Ki Tunggaljiwa, seperti telah dikatakan oleh sabda suci Sang Buddha bahwa yang meninggalkan kejahatan dinamakan Brahmana, yang hidup tenang dan tenteram disebut Samana (orang suci), dan yang mengenyahkan kekotoran dirinya dinamakan Pabbayita (bersih dari noda). Semoga Andika sudah mencapai tingkat itu, oh, sahabat dan saudaraku Ki Tunggaljiwa!"
Ki Tunggaljiwa tersenyum ramah, sepasang matanya yang bening dan bersinar terang itu ikut pula tersenyum.
"Saudaraku yang bijaksana, Sang Biku Janapati. Sabda suci Buddha-darma dalam kitab Dhammapada itu menerangkan tentang sifat-sifat seorang Brahmana dan Andika pergunakan untuk memuji seorang seperti aku. Ha-ha-ha-ha! Terlalu tinggi, sang biku. Mana mungkin seorang petani bodoh macam Ki Tunggaljiwa ini disebut seorang Brahmana? Tidak berani aku menerimanya, Saudaraku. Andika inilah yang patut disebut seorang Bhikku yang telah matang jiwanya, seperti telah disabdakan dalam Dhammapada bahwa seorang Bhikku hendaknya tidak melebih-lebihkan apa yang diterima olehnya, tidak iri hati terhadap orang lain, karena seorang Bhikku yang mengiri terhadap orang lain. takkan memperoleh ketenangan batin!"
"Ucapan Andika amat menyenangkan dan baik, Ki Tunggaljiwa. Sadhu...!"
"Ha-ha-ha-ha-ha! Semenjak puluhan tahun yang lalu Ki Tunggaljiwa memang seorang yang pandai dan bijaksana. Pandai lahir batin dan pandai pula mengelus hati dan perasaan. Sampai-sampai Biku Janapati dapat kau nina-bobokkan dengan sabda-sabda suci Buddha-dharma (pelajaran Agama Buddha). Akan tetapi, Ki Tunggaljiwa, suara dari mulut itu bukanlah pernyataan pikiran dan senyum bukanlah cermin hati. Karena kita bertiga bukanlah anak-anak kecil lagi, kuminta, Ki Tunggaljiwa, janganlah menggunakan basa-basi dan tak perlu menanam madu di bibir. Lebih baik kita mengeluarkan isi hati dan pikiran sebagaimana adanya. Nah, aku telah berkata demi nama Sang Hyang Syiwa yang berkuasa! Omm, shanti-shanti-shanti...!!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk, masih tersenyum ramah dan sepasang matanya makin tajam bersinar-sinar. Lengan kanannya memeluk dada, lengan kirinya bertopang siku pada lengan kanan dan tangannya mengelus-elus jenggotnya yang putih seperti benang-benang sutera perak yang halus.
"Duhai, Jagad Dewa Bhatara....! Sang Wasi Bagaspati semenjak puluhan tahun yang lalu masih saja penuh api dan semangat, seperti tidak pernah menjadi tua. Sungguh mengagumkan sekali! Sesungguhnyalah, aku sama sekali tidak berkedok basa-basi yang kosong, Sahabat. Memang aku menanam madu di bibir, akan tetapi, ini merupakan tata susila dan kepribadian bangsa kita. Bukankah amat indah tata susila dan kepribadian bangsa kita, Sang Wasi? Tata susila pencerminan peradaban dan tanpa peradaban, apa bedanya antara manusia dan binatang? Betapa janggalnya kalau Andika berdua datang bertemu dengan aku lalu kita saling memandang dengan mata melotot dan mulut cemberut penuh ancaman seperti sekumpulan binatang bertemu lawan."
Mendengar sikap Ki Tunggaljiwa dan mendengar ucapan kakek ini, Adipati Tejolaksono benar-benar amat kagum dan tertarik hatinya. Juga ia tadi kaget dan kagum mendengar bahwa kakek yang diangkat guru puteranya ini benar-benar adalah Ki Tunggaljiwa seperti yang pernah disangka oleh mendiang bibinya Kartikosari. Saking kagum hatinya, tak terasa lagi ia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju dengan bantahan itu.
"Ha-ha-ha! Dia yang tidak mengerti apa-apa, hanya pandai mengangguk-angguk menelan semua kata-kata manis seperti seekor kerbau mendapat makanan rumput kering dari si petani!" kata pula Wasi Bagaspati yang berwatak brangasan itu sambil memandang.
Tejolaksono tentu saja merasa dirinya disindir. Ia mengangkat muka memandang pendeta pemuja Sang Hyang Syiwa itu dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu, ia terkejut bukan main. Dari sepasang mata kakek itu seperti keluar api berkilat yang panas sekali sehingga menyilaukan matanya! Akan tetapi Adipati Tejolaksono bukan orang sembarangan. Dia pernah digembleng oleh Ki Patih Narotama, bahkan pernah pula diwejang oleh Sang Prabu Airlangga, maka diapun memiliki kekuatan batin amat hebat. Cepat ia mengerahkan tenaga batinnya menentang pandang mata ini, namun biar dia kuat menentangnya, tidak urung jantungnya berdebar dan uap panas mengepul dari ubun-ubun kepalanya!
"Ha-ha-ha! Kiranya temanmu yang muda ini seorang muda yang berisi juga, Ki Tunggaljiwa! Muridmukah dia ini? Lebih baik kau menyuruh mereka bertiga ini menyingkir lebih dulu agar percakapan kita yang maha penting tidak terganggu."
Tejolaksono bergidik ketika kakek itu mengalihkan pandang mata kepada Ki Tunggaljiwa. Ia maklum bahwa sebentar lagi, kalau adu pandang itu dilanjutkan, ia takkan kuat bertahan. Alangkah hebatnya kakek pemuja Sang Hyang Syiwa itu!
"Heh-heh, dia bukan orang lain, juga bukan muridku, Sang Wasi. Dia adalah Adipati Tejolaksono, Adipati Selopenangkep."
"Aaahhh! Kiranya dia ponggawa Panjalu, bukan? Bagus sekali! Biarlah dia menjadi saksi dan pendengar untuk menyampaikan kepada sang prabu di Panjalu. Kami tidak takut!"
"Sudahlah, Sabahatku Wasi Bagaspati. Tidak ada yang menentangmu, maka memang tidak ada persoalan berani atau takut. Lebih baik kalau Andika berdua Sang Biku Banaspati menjelaskan maksud kedatangan Andika berdua."
"Ha-ha, seperti anak kecil engkau, Ki Tunggaljiwa. Perlu lagikah dijelaskan kepada seorang sakti mandraguna seperti engkau yang kabarnya memiliki mata batin yang tajam dan awas sehingga dapat melihat keadaan masa mendatang?"
Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepala. "Andika maklum, bukan hak manusia untuk mendahului kehendak Hyang Widhi Wisesa. Kalau engkau enggan mengaku, aku mohon Sang Biku Janapati menjelaskan maksud kedatangannya."
Biku Janapati yang sejak tadi hanya berdiri diam tak bergerak, kini mendehem tiga kali, lalu merangkapkan kedua tangannya lagi. "Ah, saudaraku Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Buddha menjauhkan hatiku daripada kehendak buruk! Kedatanganku ini tidak lain hanya mohon petunjuk dan penjelasan mengenai perjumpaanmu setengah tahun yang lalu di puncak Sanggabuwana dengan seorang di antara murid-muridku. Engkau dan muridku berdebat, juga dengan murid Saudara Wasi Bagaspati, dan mendengar bahwa Andika menentang berkembangnya Agama Buddha dan Agama Shiwa. Aku hanya ingin mendengar dari mulut Andika sendiri, benarkah Andika menentang Agama Buddha?"
"Biku Janapati, perlu apa bertanya lagi? Andaikata benar demikian, tentu Ki Tunggaljiwa yang plintat-plintut ini tidak akan mengaku. Kita semua tahu bahwa dia penyembah Sang Hyang Wishnu dan kita sama tahu pula betapa para penyembah Wishnu selalu menyelamatkan diri di balik ketajaman lidahnya!"
Ki Tunggaljiwa tidak menjadi marah, hanya mengangguk-angguk dan tersenyum lalu mengelus-elus jenggotnya. "Memang benar seperti yang diucapkan Wasi Bagaspati. Perlu apa lagi aku bicara kalau orang datang dengan etika buruk? Orang yang telah diracuni kebencian tidak akan dapat melihat kebenaran, tidak akan dapat mempertimbangkan keadilan! Kalau aku bicara dan membela kebenaran, tentu akan kalian anggap keliru pula, bahkan jangan-jangan aku disangka tumbak-cucukan (penceloteh). Tidak, kedua saudaraku yang bijaksana. Aku tidak akan membela diri dan membenarkan diri sendiri. Hanya pendirianku begini, hendaknya kalian berdua dengarkan secara teliti, dengan kepala dingin. Tidak aku sangkal lagi bahwa aku, bersama sebagian besar rakyat Panjalu dan Jenggala, memuja Sang Bathara Wishnu yang penuh kasih dan yang bijaksana yang hendak menuntun manusia ke jalan kebenaran, tidak melawan kehendak Sang Hyang Widhi Wisesa! Akan tetapi, sungguh menyimpang daripada ajaran Sang Hyang Wishnu kalau kami para pemujanya membenci dan menghalangi perkembangan agama lain, karena kami tahu bahwasanya semua agama itu bagaikan jalan-jalan yang berlainan namun kesemuanya mempunyai titik tujuan yang sama! Sinar agung Sang Hyang Wisesa merupakan mercusuar dan ke arah mercusuar itulah semua jalan menuju. Sahabat berdua, sekali lagi kutekankan bahwa kami anak murid Sri Wishnu tidak akan menentang agama lain, akan tetapi tentu saja kami juga tidak mau ditekan."
"Sungguh baik dan benar wawasan Ki Tunggaljiwa dan semoga Sang Buddha memberkahi kita sekalian yang berkemauan baik," kata Biku Janapati dengan wajah berseri. Akan tetapi Wasi Bagaspati lalu tertawa bergelak penuh ejekan, kemudian berkata, suaranya nyaring,
"Ha-ha-ha, pemutaran kata-kata yang manis beracun! Heh, Ki Tunggaljiwa! Kakek-kakek seperti kita ini, perlu apa memutar-rnutar omongan? Lebih baik engkau katakan bahwa engkau tidak rela melihat agama kami berkembang ke Panjalu dan Jenggala! Aku Wasi Bagaspati semenjak muda terkenal sebagai orang yang paling suka akan sikap jantan yang blak-blakan, membenci sifat plintat-plintut!"
Keras dan memanaskan hati ucapan yang keluar dari tokoh pemuja Agama Shiwa ini, akan tetapi Ki Tunggaljiwa masih tersenyum, bukan senyum sabar melainkan senyum penuh makium, seperti senyum seorang tua melihat kenakalan kanak-kanak.
"Wasi Bagaspati, aku tidak menyembunyikan sesuatu yang aku sudah tahu pula akan latar belakang kemarahan Andika berdua. Misalnya, aku tahu bahwa Andika dan murid Andika adalah utusan-utusan atau wakil Kerajaan Cola yang ingin menancapkan kekuasaan di Jawa-dwipa, seperti juga sahabat Biku Janapati ini adalah utusan Sriwijaya yang semenjak dahulu memang ingin mendesak Mataram! Kedua kerajaan ini memperalat kalian, entah kalian sadari ataukah tidak. Akan tetapi aku tidak mencampuri urusan kerajaan. Bagiku, kujelaskan lagi, asal kalian tidak menekan kami para anak murid Sri Wishnu, kami tidak akan menentang siapa-siapa."
"Ha-ha-ha! Tanpa tedeng aling-aling memang kuakui bahwa aku utusan Kerajaan Cola! Dan Biku Janapati memang utusan Sriwijaya! Akan tetapi kau tidak perlu berpura-pura lagi, Ki Tunggaljiwa. siapakah tidak tahu kepada engkau dan kakak seperguruanmu Bhagawan Satyadarma di Gunung Agung? Siapakah tidak tahu betapa dahulu, semenjak di Balidwipa, kalian mengusahakan agar dapat menguasai Jawa? Buktinya, anak Balidwipa, murid Bhagawan Satyadarma, menjadi Raja Kahuripan! Dan kini putera-puteranya merajai Jenggala dan Panjalu. Tentu saja engkau melindungi mereka! Pendeknya, Kerajaan Cola dan Sriwijaya akan maju terus, dan kamipun akan maju terus!"
Ki Tunggaljiwa menggeleng kepalanya. "Kalau begitu Sriwijaya dan Cola takkan berhasil dan Andika berdua juga akan menghadapi banyak tantangan!"
"Ahh... begitukah? Dan siapa yang akan menentang kami? Engkaukah, Ki Tunggaljiwa!"
"Mungkin... kalau perlu," jawab Ki Tunggaljiwa dengan sikap tenang.
Wasi Bagaspati mengedikkan kepala, membusungkan dada dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. "Babo-babo... Ki Tunggaljiwa, kami anak murid Sang Hyang Shiwa memang bertugas membasmi yang jahat!"
"Aku tidak akan menyangkal, Wasi Bagaspati. Sang Hyang Shiwa memang berwenang membasmi akan tetapi pengertianmu tentang yang baik dan yang jahat kacau-balau dan hanya menurutkan nafsu dan mencari kemenangan pribadi belaka. Dengan demikian, kalau engkau menentang yang benar, berarti engkau bahkan mengkhianati tugas suci Sang Hyang Shiwa."
"Bagus! Jadi menurut pendapatmu, siapa yang benar? Orang-orang macam engkau inikah? Atau adipati antek Panjalu ini? Huh, kalau saja dahulu aku diberi kesempatan, sudah kubasmi Airlangga dan Narotama, biang keladi utama sehingga agama-agama lain menjadi mundur dan hanya menonjolkan penyembahan Sang Hyang Wishnu! Hayo, Ki Tunggaljiwa, majulah, biar kumusnahkan sekarang juga agar kelak tidak mendatangkan banyak korban. Engkaulah biang keladi utama sekarang!"
"Wasi Bagaspati, Andika sudah berjanji kepadaku tidak akan menggunakan kekerasan!" Tiba-tiba Biku Janapati berkata dengan suaranya yang tenang dan mantap.
Mendengar ini, Sang Wasi Bagaspati tertawa dan kepalanya menengadah ke atas. "Ha-ha-ha, jangan khawatir, Biku Janapati. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, akan tetapi kalau tua bangka ini maju, hemmm, dia akan menemui kebinasaan. Orang Mataram semenjak dahulu adalah orang-orang sombong dan pengecut!"
Kalau Ki Tunggaljiwa tersenyum tenang saja mendengar semua kata-kata yang kasar dan menghina itu, adalah Adipati Tejolaksono yang tidak dapat menahan sabar. Tadinya hanya kedua telinganya saja yang merah. Akan tetapi makin lama, warna merah menjalar ke leher dan seluruh mukanya. Apalagi ketika mendengar bahwa Ki Tunggaljiwa adalah saudara seperguruan Sang Bhagawan Satyadharma, ia menjadi terkejut karena Bhagawan Satyadharma adalah eyang gurunya, dan kini melihat Ki Tunggaljiwa yang masih terhitung eyang gurunya pula itu diperhina orang, mendengar pula Mataram dan orang-orang Mataram disebut sombong dan pengecut, malah tadi nama Airlangga dan Narotama disebut-sebut, adipati yang jauh lebih muda ini segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah Wasi Bagaspati sambil berkata tandas,
"Heh, nanti dulu, Sang Wasi Bagaspati! Andika mudah saja memaki-maki orang Mataram! Saya mendengar tadi bahwa Andika adalah utusan Kerajaan Cola! Padahal melihat warna mata, rambut dan kulit, Andika adalah bangsa saya juga! Akan tetapi Andika sudah merendahkan diri menjadi antek kerajaan asing! Andika bertugas demi kepentingan Bangsa Cola di seberang lautan! Sebaliknya, kami keturunan orang Mataram mengabdi kepada tanah air dan bangsa! Dan Andika masih berani menyebut orang-orang Mataram sombong dan pengecut?"
"Uaaahhh, babo-babo, si keparat! Engkau bocah masih bau pupuk berani kurangajar terhadap seorang kakek seperti aku? Majulah kalau kau ingin musnah hari ini!"
"Eyang guru Ki Tunggaljiwa tentu sependapat dengan saya bahwa sebagai anak murid Sang Hyang Wishnu yang taat, saya tidak akan menyerang orang lain tanpa sebab dan hanya akan melayaninya apabila diserang!"
Ki Tunggaljiwa mengangguk-angguk girang, akan tetapi Wasi Bagaspati menjadi makin marah sehingga matanya melotot mukanya merah.
"Eyang guru? Jadi Ki Tunggaljiwa ini eyang gurumu? Murid siapa engkau, bocah?"
"Mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narotama pernah membimbing hamba."
"Hua-ha-ha-ha-ha! Hanya murid si Airlangga dan Narotama sudah berani menentang aku, Wasi Bagaspati?"
"Saya sama sekali tidak menentang seorang tua bernama Wasi Bagaspati, yang saya tentang adalah kelaliman..."
"Huuuuushhh, keparat! Kau bilang aku lalim? Heh, Adipati Tejolaksono, tahukah engkau bahwa dengan mata meram aku sanggup membinasakanmu? Berani kau menerima dua kali pukulanku?"
"Saya tidak menantang, hanya akan membela diri kalau diserang."
"Bagus! Kalau begitu aku akan menyerangmu dengan dua kali pukulan. Nah, kau terimalah pukulan tangan kananku, bocah!"
Wasi Bagaspati tidak melangkah maju, tetap berdiri di tempatnya semula, sejauh dua meter dari Tejolaksono, tangan kanannya dldorongkan ke depan, kelihatannya perlahan saja, namun datanglah angin pukulan yang amat dahsyat menyambar ke arah dada Tejolaksono!
Tejolaksono adalah seorang sakti. la maklum bahwa pukulan jarak jauh yang ampuhnya menggila dan tidak mungkin dielakkan karena jarak lingkungannya tak dapat diduga berapa luasnya. Terpaksa ia lalu mengerahkan seluruh tenaga disalurkan kepada kedua lengannya, sampai ke ujung-ujung jari kemudian kedua tangannya itu dikipatkan ke depan untuk menghalau pukulan lawan. Ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo yang sudah berkali-kali ternyata keampuhannya dalam menghadapi lawan tangguh.
Sudah banyak sekali lawan sakti roboh olehnya dengan aji pukulan Pethit Nogo ini. Adipati Tejolaksono sudah mahir sekali menggunakan aji pukulan ini sehingga terkenal menjadi buah bibir orang bahwa dengan Aji Pethit Nogo, sang adipati sanggup memukul permukaan sungai sehingga dalam beberapa detik lamanya air itu terpecah atau terpisah sampai tampak dasar sungai! Kini ia menggunakan aji pukulan Pethit Nogo dengan pengerahan seluruh tenaganya, dapat dibayangkan hebatnya dan agaknya si penyerang yang tertangkis tentu akan patah-patah tulang lengannya.
"Syuuuuutttt....!" Dari tangan kanan Wasi Bagaspati dan dari kedua tangan Adipati Tejolaksono meluncur angin yang saling menghantam di tengah udara, di antara tangan mereka yang hanya berpisah satu meter.
"Dessss...!"
Sang adipati merasa betapa kedua telapak tangannya panas seperti dibakar dalam pertemuan tenaga yang tak tampak itu, dan menurut perasaannya, betapapun hebat tenaga Sang Wasi Bagaspati, namun tidak banyak selisihnya dengan tenaga saktinya sendiri. Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika tanpa dapat ia cegah lagi, tubuhnya terlempar ke belakang seperti ditolakkan tenaga yang luar biasa dahsyatnya. Untung ia tidak kehilangan akal dan cepat berjungkir balik di udara menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga ia dapat melayang turun ke bawah dan tidak sampai terbanting ke atas tanah.
"Hemmm.... kau dapat bertahan? Coba yang kedua kali dan terakhir ini, terimalah!" kata pula Wasi Bagaspati dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan. Lebih tepat disebut meluncur karena kedua kakinya tidak tampak bergerak akan tetapi tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur maju. Kini tangan kirinya yang mendorong dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari tangannya merenggang.
Sang adipati berlaku hati-hati sekali. Jelas bahwa tadi tangkisan aji pukulan Pethit Nogo tidak kuat menahan pukulan sang wasi, maka kini ia kembali mengerahkan seluruh tenaganya dan menggunakan aji pukulan Bojro Dahono yang ia pelajari dari Ki Patih Narotama. Pukulan Bojro Dahono ini setingkat lebih dahsyat daripada Aji Pethit Nogo dan memiliki hawa panas seperti api dari dalam kawah Gunung Merapi. Kalau tidak yakin betul bahwa lawannya seorang yang sakti mandraguna, kiranya Adipati Tejolaksono tidak akan menggunakan aji ini karena ia tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kakek itu.
"Wessssssssss...!!" Telapak tangan mereka bertumbuk di udara, belum saling menempel, dalam jarak setengah meter, akan tetapi dari kedua telapak tangan mereka mengebul asap dan uap. Hawa di sekitar tempat itu menjadi panas dan kiranya kedua orang itu menggunakan aji pukulan yang berhawa panas!
Kembali seperti halnya tadi, Tejolaksono merasa bahwa tenaga lawan tidaklah banyak lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Ia hanya kalah seusap. Akan tetapi aneh sekali, kini tangannya itu terbetot oleh tenaga dahsyat yang tak tampak dan betapapun ia mempertahankan diri, tetap saja ia terbetot dan tangannya makin maju mendekati tangan lawan. Ia mengerahkan tenaga menarik, namun percuma, kini bahkan kakinya terseret dan di lain saat, bagaikan besi tertarik besi sembrani, telapak tangannya yang penuh dengan Aji Bojro Dahono itu menempel pada telapak tangan Wasi Bagaspati!
Begitu telapak tangannya menempel pada telapak tangan lawan, Adipati Tejolaksono terkejut bukan main. Ia merasa betapa hawa saktinya tersedot tanpa dapat dicegah lagi, memasuki telapak tangan lawan dan kulit tangannya sendiri terasa seperti dibakar api Kawah Condrodimuko! la mengerahkan tenaga membetot untuk melepaskan tangan, namun sia-sia karena tenaganya amblas ke dalam telapak tangan lawan.
"Huah-ha-ha-ha! Hayo kerahkan seluruh tenagamu, keluarkan semua aji kesaktianmu, coba lepaskan tanganmu kalau engkau mampu, bocah!" Wasi Bagaspati tertawa-tawa dan kelihatan enak-enak saja sedangkan Tejolaksono mulai bermandi peluh dan mukanya berubah pucat, napasnya terengah-engah menahan nyeri dan panas. Kalau dilanjutkan ia tentu akan kehabisan tenaga yang disedot oleh lawan, dan seperti orang kehabisan darah, akhirnya ia akan roboh lemas!
"Lepaskan suamiku...!" Ayu Candra sudah meloncat maju dan mengirim pukulan ke arah lambung Wasi Bagaspati.
Ayu Candra adalah puteri mendiang Ki Adibroto, seorang warok Ponorogo aliran putih yang sakti, tentu saja pukulannya tidak boleh dipandang ringan. Apalagi semenjak menjadi isteri Tejolaksono, ia telah memperoleh banyak kemajuan berkat bimbingan suaminya. Akan tetapi, pukulannya tidak pernah menyentuh kulit lambung Wasi Bagaspati. Kira-kira dalam jarak sejengkal jauhnya dari lambung, pukulan itu bertemu dengan tenaga yang berhawa panas sehingga Ayu Candra yang memukul bahkan terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung. Wanita itu tentu roboh kalau saja tidak cepat dipeluk dari belakang oleh puteranya, Bagus Seta.
"Ah, Angger adipati, harap Andika mundur karena Wasi Bagaspati bukanlah lawan Andika!"
Mendengar ucapan Ki Tunggaljiwa ini, Wasi Bagaspati tertawa dan Tejolaksono bingung. Tangannya sudah melekat dan tenaga saktinya disedot terus oleh kakek lawannya yang luar biasa itu. Bagaimana ia dapat mundur? Melepaskan tangannya saja tidak mampu! Akan tetapi pada saat itu, Ki Tunggaljiwa memegang pundaknya dan dari tangan kakek itu menjalar hawa yang amat dingin yang menembus punggung berkumpul di pusar, mendatangkan tenaga yang amat hebat. Tejolaksono, seorang yang sakti mandraguna, tahu akan bantuan ini dan cepat menyalurkan hawa itu ke arah lengannya dan terdengar suara seperti api disiram air dingin. Dari telapak tangan yang saling menempel itu keluar asap dan sekali tarik, Tejolaksono berhasil melepaskan tangannya. Ia tidak membuang waktu lagi dan cepat melompat mundur. Akan tetapi karena ia lelah sekali, ia jatuh terduduk lalu bersila dan mengatur pernapasan untuk memulihkan tenaga.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Tunggaljiwa! Memang bocah ini bukan lawanku. Hayo engkau majulah. Engkau lawanku. Kita tua sama tua!" Wasi Bagaspati menantang sambil membusungkan dadanya yang tipis.
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra memandang wajah kakek penyembah Bathara Shiwa ini, mereka bergidik dan menjadi gentar. Kini mengertilah Tejolaksono mengapa ia tadi tidak berdaya sama sekali menghadapi kakek itu. Ia jauh kalah kuat perbawanya. Sekarang pun memandang wajah kakek itu, ia seakan-akan melihat wajah itu mengeluarkan cahaya mencorong yang membuat hatinya gentar. Hebat bukan main Wasi Bagaspati ini.
Akan tetapi menghadapi Wasi Bagaspati yang brangasan dan tinggi hati ini, Ki Tunggaljiwa tetap tenang dan penuh kesabaran. Ia agaknya tidak memandang mata kepada Wasi Bagaspati yang menantangnya, sebaliknya ia lalu menjura ke arah Biku Janapati dengan sikap menghormat. Pendeta Buddha ini sejak tadi hanya menjadi penonton saja dan sedikitpun tidak ada perubahan pada wajahnya yang amat tenang seperti air telaga yang dalam.
"Aku tidak akan berdebat dengan orang yang telah dikuasai amarah. Saudaraku Biku Janapati, bagaimana pendapat Andika? Apakah aku harus melayani tantangan Wasi Bagaspati?"
Pendeta Buddha yang tak berambut itu menarik napas panjang. "Sadhu, sadhu! Harus diakui bahwa dalam hal pengendalian perasaan, Andika lebih menang setingkat daripada Saudara Wasi Bagaspati, Ki Tunggaljiwa! Memang tidak selayaknya orang-orang tua seperti kita berkelahi seperti orang-orang muda! Bertempur bukanlah permainan para pertapa dan pendeta, melainkan tugas para ksatria. Saudara Wasi Bagaspati, simpanlah kembali aji-aji kesaktianmu. Biarlah kalau kelak terjadi keharusan pertempuran, murid-murid kita yang akan mewakili kita."
"Ha-ha-ha, engkau untung sekali, Ki Tunggaljiwa! Usiamu yang tinggal sedikit diperpanjang beberapa tahun lagi. Kalau Biku Janapati tidak membujukku, betapapun kau mengeluarkan seluruh keampuhanmu, pasti hari ini engkau kukirim kembali ke alam asalmu!"
Ki Tunggaljiwa tersenyum dan membungkuk. "Akupun amat berterima kasih kepada Biku Janapati atas pengertiannya yang mendalam dan kepadamu yang telah bersikap murah kepadaku, Wasi Bagaspati. Aku setuju dengan pendapat Biku Janapati, biarlah kelak murid-murid kita yang akan mewakili kita dan tentu saja biarlah kelak Sang Hyang Widhi Wisesa yang akan menentukan. Becik ketitik ala ketara (yang baik tampak yang buruk kelihatan)!"
"Berat... berat...! Ki Tunggaljiwa seorang bijaksana dan sakti mandraguna, sungguh merupakan lawan berat. Marilah, Wasi Bagaspati, kita pergi. Selamat tinggal, Ki Tunggaljiwa. Semoga Sang Tri Ratna memberi penerangan kepada Andika!"
"Doa restuku mengiringi perjalananmu, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati!"
Dua orang kakek itu berkelebat dan dalam sekejap mata saja lenyap dari tempat itu. Adipati Tejolaksono dan isterinya mengikuti bayangan mereka dengan hati kagum dan gentar. Tejolaksono menghela napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sungguh amat berbahaya...!" Ia bergidik kalau teringat pengalamannya tadi. Semenjak muda ia sudah seringkali menghadapi lawan tangguh, akan tetapi sekali ini benar-benar tidak berdaya menghadapi Wasi Bagaspati yang dalam dua kali gebrakan saja hampir menewaskannya dalam keadaan mengerikan, menyedot semua hawa sakti dari dalam tubuhnya!
"Wasi Bagaspati belum seberapa, Angger adipati. Aku yang tua masih sanggup menanggulanginya. Akan tetapi baiknya Biku Janapati berpemandangan luas dan hatinya bersih. Kalau dia yang dimabuk nafsu amarah seperti Wasi Bagaspati, tidak dapat aku membayangkan apa jadinya. Ilmu kesaktian pendeta Buddha itu sedikitnya dua tingkat lebih tinggi daripada tingkat Wasi Bagaspati!"
Adipati Tejolaksono melongo, kaget dan khawatir sekali. Kalau Panjalu dan Jenggala diancam bahaya serangan orang-orang sesakti itu, benar-benar amat mengkhawatirkan! Kemudian ia teringat bahwa kakek ini masih eyang gurunya, maka ia segera memegang tangan isteri dan puteranya, diajak menjatuhkan diri berlutut dan menyembah orang tua itu.
"Mohon Eyang mengampunkan hamba yang tidak tahu bahwa Eyang adalah Paman guru Sang Prabu Airlangga dan Rakyana Patih Narotama. Ternyata Eyang adalah Eyang guru hamba sendiri!"
Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, kemudian iapun duduk bersila seperti tadi. "Kalian duduklah baik-baik dan dengarkan aku bicara," katanya.
Sikapnya tak pernah berubah, tetap tenang dan kini matahari yang telah naik tinggi menyoroti rambutnya yang putih seperti perak sehingga berkilauan menambah keagungannya.
"Kiranya Hyang Widhi telah membuka rahasia dengan kunjungan dua orang pendeta tadi. Angger adipati, setelah Andika menyaksikan dan mendengarkan semua, apakah Andika berdua isteri masih ragu-ragu untuk menyerahkan pendidikan puteramu kepadaku? Ketahuilah bahwa menurut penglihatanku, hanya puteramu ini yang kelak akan sanggup menyelamatkan Panjalu dan terutama sekali menyelamatkan kewibawaan dan kebesaran Sang Hyang Wishnu. Kalian tadi telah menyaksikan sendiri betapa saktinya pihak lawan."
Suami isteri itu saling berpandangan dengan pucat. Betapapun berat rasa hati mereka harus berpisah dari Bagus Seta, namun mereka dapat melihat kebenaran kata-kata kakek itu. Musuh yang mengancam negara amat sakti dan kalau tidak ada yang menanggulanginya, akan berbahaya sekali. Mereka amat mencinta putera tunggal mereka, akan tetapi mereka bukanlah orang-orang yang berpemandangan picik dan hanya mementingkan diri sendiri saja. Dari sepasang mata Ayu Candra bertitik dua air mata, akan tetapi Tejolaksono maklum dari pandang mata isterinya bahwa isterinya sudah merelakan puteranya. Maka ia lalu berkata,
"Setelah melihat keadaan dan menginsyafi dasar pengangkatan anak kami sebagai murid Eyang guru, hamba hanya pasrah kepada kebijaksanaan Eyang. Semoga saja Bagus Seta kelak tidak akan mengecewakan mengemban tugas yang maha berat itu."
Ki Tunggaljiwa tertawa. "Bagus sekali kalau kalian berdua sudah rela, Angger. Aku hanya mempunyai kesempatan selama lima tahun dan semoga dalam waktu itu, Sang Hyang Wishnu akan memberi bimbingan kepada puteramu sehingga berhasil dalam mengejar ilmu. Ketahuilah, dua orang pendeta tadi memiliki kesaktian yang amat tinggi. Dalam hal ilmu, kiranya engkau sendiri tidak akan kalah banyak oleh mereka, akan tetapi dalam hal kekuatan batin, ah, mereka itu sukar dilawan dan dikalahkan. Mereka sudah matang dalam gemblengan tapa dan mantra. Andaikata tadi engkau menggunakan Aji Triwikrama, agaknya tidaklah begitu terpengaruh oleh perbawanya yang amat kuat, namun betapapun juga, tidak akan mudah mengalahkan Wasi Bagaspati, apalagi Biku Janapati. Nah, sekarang harap Andika berdua pulang ke Kadipaten Selopenangkep. Masih ada hal yang harus kau hadapi Angger, namun betapapun berat, harus banyak hal yang harus kau hadapi, Angger adipati. Namun, betapapun berat, harus dapat kau hadapi dengan tabah karena segala macam hal yang menimpa diri manusia telah ditentukan oleh Hyang Widhi, sesuai dengan karma dan sesuai pula dengan perbuatan-perbuatan manusia sendiri, sehingga segala hal itu amatlah adil dan wajar. Segala hal yang terjadi pada diri manusia adalah akibat dan mencari sebab dari luar adalah perbuatan bodoh, Angger, karena sebab-sebabnya adalah perbuatan dan pakarti kita sendiri."
Berdebar jantung Tejolaksono. Teringatlah ia akan semua perbuatannya selama ini. Diawali dengan perburuan di hutan dan pembunuhan anak harimau, pertemuannya dengan Ki Tunggaljiwa. Kemudian teringat ia akan pengalamannya dengan Endang Patibroto yang belum sempat ia ceritakan kepada Ayu Candra. Teringat akan ini semua, ia menundukkan mukanya, menduga-duga apa gerangan yang akan menjadi akibat daripada semua perbuatannya itu. Dan adipati yang arif bijaksana dan sakti mandraguna ini mengkirik, ngeri ia melihat kenyataan semua perbuatannya itu. Ah, betapa lemahnya manusia.
Betapa manusia diombang-ambingkan oleh nafsunya sendiri sehingga terbentuklah sebab-sebab yang akan menelurkan akibat-akibat yang di kemudian hari tidak akan diakui sebagai akibat perbuatannya sendiri, lalu menimbulkan sengsara! Tiba-tiba sang adipati merasa nelangsa batinnya dan ia lalu bersembah sungkem di depan Ki Tunggaljiwa dan berkata, suaranya menggetar penuh perasaan haru,
"Duhai, Eyang... hamba mohon petunjuk untuk menggayuh (menjangkau) kesempurnaan, Eyang."
Kakek itu tertawa, suara ketawanya ramah dan lunak. "Ha-ha-ha-ha, Angger Adipati Tejolaksono. Kata-katamu amatlah lucu. Kesempurnaan apakah yang dapat dijangkau, Angger? Dan mengapa mencari kesempurnaan? Lihatlah dirimu sendiri, telitilah sedalam-dalamnya, lihatlah baik-baik segala warna-warni dan bentuk-bentuk, dengarlah segala suara, ciumlah segala ganda (bau), adakah sesuatu di dunia ini yang kurang atau belum sempurna? Segala sesuatu ciptaan Hyang Widhi Wisesa adalah sempurna, Angger, termasuk jasmani dan rohani kita manusia adalah sempurna. Sempurna, bersih dan suci. Yang menjadi persoalan hanyalah betapa cara menjaga kebersihan itu, mempertahankan kesucian itu. Jadi persoalannya hanyalah usaha, ikhtiar yang berupa laku-lampah dan karya kita. Segala perbuatan dan ucapan kita haruslah sesuai dengan isi hati dan pikiran sehingga tidak ada perbedaan antara lahir dan batin, atau jelasnya, perbuatan kita adalah pencerminan daripada isi hati kita. Perbuatan yang sesuai lahir batin inilah, Angger, yang akan menentukan akibat-akibat di belakang hari dalam kehidupan kita."
"Perbuatan yang bagaimanakah, Eyang? Mohon petunjuk."
"Tengoklah sekeliling kita, Angger. Adakah sebuah bendapun yang tiada gunanya bagi kita? Semua berguna, semua demi kenikmatan hidup kita. Demikianlah sifat Hyang Widhi Wisesa, sekalian isi alam diberikan kepada manusia. Memberi, memberi, dan member!, tanpa pamrih! Tidak pernah meminta, tidak pernah menuntut, berkah dan anugerah berlimpah-limpah dalam pemberian yang ikhlas tanpa pamrih. Tidak pilih kasih! Lihat cahaya matahari. Siapapun adanya dia, bodoh atau pintar, kaya atau miskin, boleh menikmatinya. Pendeknya, seluruh ciptaan Hyang Widhi Wisesa diberikan kepada siapa saja yang mau dan dapat menikmatinya! Lalu, apakah balas jasa manusia terhadap semua berkah yang tak kunjung habis itu? Apakah yang telah diberikan oleh manusia? Janganlah hanya pandai meminta, meminta, dan meminta lagi! Kita harus meniru sifat yang amat indah itu, ialah memberi, memberi, dan memberi tanpa pamrih! Melakukan kewajiban sebagai manusia tanpa pamrih, berarti membantu kelancaran perputaran roda kesempurnaan yang diciptakan Hyang Widhi Wisesa."
"Kewajiban dan perbuatan yang bagaimanakah kiranya, Eyang? Maafkan, Eyang, sungguhpun sudah banyak hamba dengar dari para guru, namun petunjuk Eyang akan menjadi penambah sinar terang dalam jalan hidup hamba."
Ki Tunggaljiwa tersenyum. "Memang, manusia harus senantiasa belajar, dan biarlah semua wawasanku ini tidak akan sia-sia. Terutama sekali kutujukan kepada muridku, Bagus Seta karena wawasan inipun merupakan pelajaran baginya."
Bagus Seta yang tadi berada dalam pelukan ibunya, kini duduk bersila dan mendengarkan penuh perhatian.
"Semua sikap dalam hidup sudah digambarkan secara jelas dalam Bhagawad Gita ketika Sang Hyang Wishnu dalam diri Sang Bhatara Kresna memberi wejangan kepada Sang Harjuna. Akan tetapi sebagai dasar permulaan, aku mempunyai dua macam pelajaran yang amat mudah dan sederhana, mudah dimengerti sungguhpun belum tentu mudah dijalankan. Pertama : JANGAN MENYUSAHKAN HATI ORANG LAIN! Pelajaran pertama ini amat luasnya, Angger dan jangan mengira akan mudah saja dilaksanakan. Karena, jika pelajaran pertama ini sudah mendarah daging pada diri kita, maka kita tidak melakukan segala macam perbuatan jahat yang merugikan atau menyinggung perasaan, pendeknya merugikan lain orang. Nah, kalau pelajaran pertama ini sudah benar-benar menjadi watak, mulailah kita meningkat kepada pelajaran ke dua, yaitu : SENANGKANLAH HATI ORANG LAIN! Senangkanlah hati orang lain sesering dan sebanyak mungkin karena sifat ini sesuai dengan semua ciptaan Sang Hyang Widhi yang serba sempurna. Hidup adalah suatu berkah dan nikmat, maka harus dinikmati bersama dengan landasan kasih sayang antar manusia yang sesungguhnya adalah senasib di dalam dunia ini."
Tejolaksono mendengarkan penuh perhatian. Filsafat yang keluar dari mulut kakek itu amatlah sederhana, namun apabila benar-benar dijalankan manusia, kiranya tidak ada perlunya lagi manusia mengejar-ngejar kesempurnaan seperti banyak dilakukan orang sehingga sesat ke mana-mana. Cara hidup baik yang sesungguhnya amat sederhana dan mudah itu menjadi sulit dan membingungkan karena dituangkan dalam wejangan-wejangan dan pelajaran-pelajaran yang rumit-rumit dan sukar dimengerti.
Setelah menerima banyak wejangan tentang sifat-sifat ksatria dan tentang pembelaan keadilan dan kebenaran, Adipati Tejolaksono dan Ayu Candra berpamit kembali ke Selopenangkep. Ayu Candra dapat menekan keharuan hatinya, hanya memeluk dan mencium pipi puteranya sambil berbisik,
"Yang baik-baik dan rajin engkau belajar di sini, Anakku!"
"Jangan khawatir, Kanjeng Ibu. Saya tidak akan mengecewakan hati Kanjeng Rama Ibu dan Bapa guru," jawab Bagus Seta dengan tabah. Ada keharuan membayang di pandang mata anak itu, akan tetapi wajahnya tetap berseri dan hal ini menjadi tanda bahwa anak ini sudah mulai pandai menguasai perasaannya.
Melihat ini, kembali Tejolaksono menjadi kagum. Dalam waktu dua bulan lewat saja sudah tampak perubahan besar pada diri puteranya, kemajuan yang kiranya belum tentu dapat dicapai puteranya itu selama setahun dalam gemblengannya. Ia maklum bahwa mengenai kekuatan batin, Ki Tunggaljiwa sudah mencapai tingkat amat tinggi sehingga ia percaya bahwa puteranya tentu akan memperoleh ilmu kesaktian yang takkan pernah dapat ia ajarkan kepada puteranya itu. Hatinya menjadi lega dan gembira, dan sedikitpun pada wajahnya tidak tampak kedukaan seperti terdapat pada wajah isterinya ketika mereka berdua menuruni lereng Gunung Merapi.
Setelah suami isteri itu turun dart puncak Gunung Merapi, barulah Adipati Tejolaksono mendapat waktu dan kesempatan untuk menceritakan pengalamannya yang hebat di Blambangan. Ia menceritakan segala yang dialami Endang Patibroto, tentang tipu muslihat Blambangan dan tentang pengalamannya bersama Endang Patibroto yang terjeblos ke dalam perangkap, dalam sumur yang hampir saja menewaskan mereka berdua. Akhirnya ia menceritakan pula apa yang terjadi di dalam ruangan di bawah tanah itu, betapa dalam menghadapi kematian yang agaknya tak dapat dielakkan lagi, dia dan Endang Patibroto telah terangkap menjadi suami isteri.
Mula-mula mendengar cerita suaminya, Ayu Candra menjadi terharu sekali dan merasa amat kasihan kepada Endang Patibroto yang bernasib malang. Lapun menjadi ikut gelisah dan tegang ketika mendengar cerita betapa suaminya bersama Endang Patibroto menghadapi lawan yang amat banyak, kemudian terjeblos ke dalam lubang jebakan menderita ancaman maut yang mengerikan. Ketika mendengar penuturan suaminya dengan suara tersendat-sendat tentang hubungan suaminya dengan Endang Patibroto sebagai suami isteri, wajah Ayu Candra menjadi pucat sekali dan sejenak suasana menjadi sunyi. Hanya langkah-langkah kaki mereka saja yang terdengar dan kini langkah Ayu Candra agak lemas. Tejolaksono memegang tangan isterinya dan berdiri berhadapan di sebuah lereng.
"Nimas, aku harap Adinda tidak akan menjadi marah. Percayalah, Nimas, bahwa hal ini terjadi di waktu kami menghadapi maut yang kami anggap tak dapat dihindarkan lagi sehingga pikiran kami menjadi gelap. Andaikata tidak dalam keadaan seperti itu, aku yakin hal itu tidak akan terjadi. Adinda tentu tahu bahwa kalaupun aku berhasrat mengambil selir, tentu dengan persetujuanmu lebih dahulu. Maka, harap Adinda tidak marah dan kalau hal ini menyinggung perasaanmu harap kau suka memaafkan kami..."
Kini Ayu Candra tersenyum, wajahnya berseri dan ia membenamkan mukanya di dada suaminya. "Maaf, Kakangmas. Sebentar tadi aku digoda cemburu. Tidak...! Aku tidak cemburu. Apalagi Endang Patibroto yang menjadi selirmu. Aku bahkan bangga mempunyai madu seorang wanita yang sakti mandraguna! Memang dia patut dikasihani, Kakangmas. Apalagi setelah kanjeng bibi Kartikosari tidak ada. Biarlah, dia akan kusambut sebagai saudaraku, sebagai adikku, karena memang dia maduku, dia isterimu. Aku tidak cemburu, Kakangmas."
Alangkah girang dan besar hati Tejolaksono. Ia maklum akan kehalusan budi Ayu Candra. Ia lalu memegang wajah isterinya di antara kedua tangan, diangkatnya muka yang cantik jelita itu sehingga muka mereka berhadapan, mata mereka saling tatap. Tejolaksono melihat betapa pandang mata isterinya benar-benar tutus ikhlas, tidak ada sedikitpun bayangan amarah atau cemburu. Ia amat bersyukur dan berterima kasih maka diciumnya mata yang indah itu. Ayu Candra meramkan matanya dan merangkul leher suaminya yang amat dikasihinya.
Ketika suami isteri ini tiba kembali di Kadipaten Selopenangkep, mereka disambut oleh Roro Luhito dan puterinya, Pusporini, kemudian puteri Kartikosari yang bernama Setyaningsih, dan seorang lagi yang amat mengejutkan dan menggirangkan hati suami isteri itu, yakni Endang Patibroto!
Melihat Endang Patibroto, Ayu Candra lalu maju dan merangkulnya. "Adikku wong ayu, Endang Patibroto... aku sudah mendengar semua tentang dirimu. Ahhh, betapa banyak kesengsaraan kau derita, Adikku. Biarlah mulai sekarang kita bersama menikmati kebahagiaan, dan aku sungguh girang dapat memelukmu seperti seorang kakak, Adikku."
Endang Patibroto sekilas mengerling kepada Tejolaksono yang tersenyum kepadanya, maka mengertilah wanita ini bahwa Tejolaksono telah membuka rahasia mereka kepada Ayu Candra. Hal ini amat menggelisahkan hatinya tadi, menjadi ganjalan karena ia merasa malu kepada Ayu Candra dan selalu mengkhawatirkan pertemuan ini. Apalagi ketika ia tiba di Selopenangkep dan mendengar tentang tewasnya ibu kandungnya, hatinya makin trenyuh dan gelisah.
Akan tetapi setelah kini bertemu, sikap Ayu Candra benar-benar tak pernah ia sangka-sangka dan hatinya menjadi lega dan terharu sekali. Wanita ini telah ia bunuh ayah ibunya (baca Badai Laut Selatan), dan kini bahkan seakan-akan ia curi suaminya, akan tetapi menerimanya seramah ini. Ia balas merangkul dan berkata lirih,
"terima kasih... engkau baik sekali.... sudi menerima orang yang buruk watak dan buruk nasib seperti aku... biarlah mulai saat ini aku mengaku ayunda kepadamu.... dan aku akan mentaatimu seperti mentaati kakak sendiri..."
Melihat betapa dua orang wanita itu berpelukan terharu, Roro Luhito mengerutkan keningnya. Wanita ini tahu benar akan watak Endang Patibroto, dan sudah mengenal pula watak Ayu Candra. Sifat dan watak kedua orang wanita ini bagaikan bumi dan langit. Endang Patibroto liar dan keras, berdarah panas dan tidak punya rasa rendah hati sama sekali, sukar ditundukkan. Adapun Ayu Candra lemah lembut dan manja atau ingin dimanjakan suaminya. Betapa mungkin dua orang wanita ini menjadi madu?
Dia tadi kaget bukan main mendengar percakapan dua orang wanita ini karena semenjak datang ke Selopenangkep pagi tad!, Endang Patibroto tidak pernah bercerita tentang itu. "Anaknda adipati, harap ceritakan bagaimana dengan hasil usaha kalian mencari Bagus Seta. Mana dia? Mengapa tidak ikut pulang?"
Pertanyaan ini ia ajukan dengan suara keras untuk menutupi ketidak senangan hatinya melihat Endang Patibroto dan Ayu Candra berpelukan sebagai madu. Roro Luhito sama sekali bukan tidak setuju kalau Adipati Tejolaksono mernpunyai selir. Dia sendiri adalah isteri ke dua, isteri selir. Akan tetapi karena persatuan antara Endang Patibroto dan Ayu Candra, menurut pemandangannya, dapat menimbulkan hal-hal yang tidak baik dan ada bahaya meruntuhkan kebahagiaan rumah tangga Tejolaksono, maka ia merasa tidak setuju di dalam hatinya. Tentu saja bagi Roro Luhito, yang terpenting adalah kebahagiaan Tejolaksono karena adipati ini adalah keponakannya, putera dari kakaknya.
Ketika Tejolaksono dan Ayu Candra menceritakan tentang keadaan Bagus Seta yang dalam keadaan selamat dan menjadi murid kakek sakti Ki Tunggaljiwa, Roro Luhito menjadi lega hatinya. Sebagai orang tua, ia maklum bahwa pada saat itu merupakan pertemuan segi tiga yang mesra antara Tejolaksono dan kedua orang isterinya, maka ia lalu menggandeng tangan Pusporini dan Setyaningsih sambil berkata,
"Anaknda adipati tentu lelah dan ingin beristirahat. Marilah, kedua anakku, kita ke belakang."
Setyaningsih yang digandeng Roro Luhito, beberapa kali menengok ke arah Endang Patibroto. Semenjak Endang Patibroto datang pagi tadi, anak ini selaIu memandang kakaknya itu dengan pandang mata kagum dan penuh kasih. Sudah banyak ia mendengar dari mendiang ibunya tentang kakaknya ini yang menurut ibunya amat sakti mandraguna. Kini setelah ibunya meninggal dunia, munculnya kakaknya ini seakan-akan menjadi pengganti ibunya. Sebaliknya, Endang Patibroto juga amat mencinta adik kandungnya ini.
Adipati Tejolaksono yang bercakap-cakap dengan kedua isterinya, agaknya penuh dengan kebahagiaan dan suasana tenteram damai penuh kasih menyelimuti mereka bertiga. Agaknya kekhawatiran Roro Luhito adalah kekhawatiran kosong belaka. Ayu Candra telah rela dan ikhlas terhadap Endang Patibroto, demi cinta kasihnya yang murni terhadap suaminya. Bahkan malam hari itu, sebagai isteri pertama yang bijaksana, Ayu Candra membujuk suaminya agar menemani Endang Patibroto di dalam kamarnya.
Sukar dilukiskan betapa besar kebahagiaan hati Tejolaksono dan Endang Patibroto yang melihat bahwa hubungan mereka dapat perlangsung dengan amat baiknya, tiada halangan sesuatu. Dan dalam pertemuan yang mesra itu Endang Patibroto menceritakan tentang perang yang dilakukan Jenggala dan Panjalu terhadap Kadipaten Blambangan. Kedua kerajaan ini mengirim pasukan besar. Bahkan Panjalu mengirim pasukan istimewa yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Darmokusumo dan setelah kedua pasukan ini menggabung, penyerbuan Blambangan dimulai.
Blambangan dilanda serbuan besar-besaran dan biarpun Blambangan melakukan perlawanan mati-matian, namun kadipaten ini bukanlah lawan pasukan kedua kerajaan yang dipimpin orang-orang pandai. Apalagi ada Endang Patibroto di dalam pasukan itu yang mengamuk hebat dan banyak senopati Blambangan roboh di dalam tangan wanita sakti ini.
Dalam waktu beberapa hari saja pertahanan Blambangan dapat dipatahkan, kadipaten diserbu, dan Adipati Menak Linggo tewas pula di tangan Endang Patibroto. Juga Ki Patih Kalanarmodo dan Senonati Mayangkurdo, Klabangkoro dan Klabangmuko semua tewas dalam perang yang pendek namun dahsyat. Hanya Sindupati yang dapat melarikan diri, berhasil menyelamatkan diri dengan sebuah perahu menyebrang selat dan bersembunyi di Bali-dwipa, dimana ia mencari orang-orang pandai untuk memperdalam ilmunya sambil bersembunyi dari pengejaran musuh...