Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 11
"SETELAH Blambangan terbasmi, aku meninggalkan pasukan dan berpamit dari Pangeran Darmokusumo untuk pergi lebih dulu karena kuanggap tugasku sudah selesai. Hanya sayang sekali, si keparat Sindupati dapat meloloskan diri, agaknya ia melarikan diri ke Bali-dwipa, akan tetapi aku tidak sempat mengejarnya, Kakangmas. Karena... karena... aku ingin sekali segera menyusulmu ke Selopenangkep."
Adipati Tejolaksono tertawa dan mencium isterinya ini yang bercerita sambil rebah dalam pelukannya. "Mati hidup berada di tangan Hyang Widhi, adinda Endang Patibroto. Agaknya memang belum tiba saatnya Sindupati menerima hukumannya. Memang tepat sekali adinda cepat-cepat datang ke Selopenangkep karena... hemm... aku telah rindu sekali..."
Sejenak sunyi di antara mereka karena Endang Patibroto terbuai dalam belaian suaminya yang mesra dan penuh kasih sayang. Kemudian terdengar ia berkata, "Kakangmas, sesungguhnya... baru berpisah hampir dua bulan bagiku pun amat berat. Akan tetapi... ah, terus terang saja, Kakangmas. Sebelum bertemu dengan engkau dan ayunda Ayu Candra, hatiku amat gelisah dan khawatir. Aku telah banyak melakukan kesalahan dahulu terhadap ayunda Ayu Candra, dan tadinya aku takut untuk bertemu muka, takut untuk mengakui hubungan antara kita, takut dan malu. Tadinya aku bahkan hendak diam-diam pergi minggat saja, biar aku hidup sebagai pertapa, biar selamanya tidak bertemu dengan ayunda Ayu Candra, betapa pun akan beratnya penanggulangan hatiku yang penuh dendam rindu kepadamu, tapi..."
Adipati Tejolaksono menghentikan kata-kata isterinya dengan ciuman. Kemudian ia tertawa. "Cukuplah, Yayi, tidak perlu dilanjutkan persangkaan yang bukan-bukan itu, karena buktinya sekarang tidak seperti yang kau khawatirkan, bukan?"
Endang Patibroto menarik napas panjang dengan hati lapang. "Memang, dan aku bersyukur kepada Dewata, berterima kasih kepada ayunda Ayu Candra yang bijaksana dan berbudi luhur. Sesungguhnya, akan kelirulah kalau aku menuruti kata hati lalu minggat meninggalkanmu untuk selamanya seperti yang tadinya terniat di hatiku. Aduhh... betapa akan sengsaranya hatiku kalau begitu. Untung... untung sekali ada sesuatu yang memaksa aku harus bertemu dengan engkau, Kakangmas. Yang memaksakan datang ke Selopenangkep dan yang mencegah aku pergi minggat mengasingkan diri."
Adipati Tejolaksono menunda belaian kasih sayangnya dan menatap wajah dalam rangkulannya, memandang penuh pertanyaan. "Apakah sesuatu itu, Yayi?"
Tiba-tiba ia melihat air mata berlinangan di mata yang indah itu. Endang Patibroto menangis! Akan tetapi bukan tangis karena duka, buktinya bibir yang merah membasah itu tersenyum! Segera Tejolaksono mengecup sepasang mata itu untuk menghapus beberapa titik air mata bening yang turun ke pipi. Kedua lengan Endang Patibroto merangkul lehernya dengan ketat dan mulutnya berbisik dekat telinga Tejolaksono,
"Kakangmas... Joko Wandiro...." Suaranya menggetar penuh perasaan dan jantung Tejolaksono berdebar pula mendengar disebutnya nama kecilnya. "aku... aku telah mengandung... semenjak kita berpisah dari Blambangan..." Dan kini air mata makin deras berlinang dari sepasang mata itu. Air mata kebahagiaan! Selama sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto tidak mempunyai anak dan kini ia telah mengandung keturunan Joko Wandiro, pria yang dahulu untuk pertama kalinya telah merebut kasih hatinya namun bertentangan karena keadaan.
"Heeeiiii...???" Saking kaget dan girangnya, Adipati Tejolaksono melompat turun dari pembaringan, memandang kepada Endang Patibroto dengan mata terbelalak.
"Ti...tidak girangkah... hatimu... mendengar hal itu... Kakanda...?"
"Girang?? Ha-ha-ha-ha! Hampir gila aku karena girang! Aduh, adinda pujaan hati, kekasih hatiku, engkau masih bertanya apakah aku girang...? Ha-haha!" Adipati Tejolaksono merangkul dan mengangkat tubuh isterinya, dipondong dan dibawa berjingkrakan dan berputaran di dalam kamar mereka!
Malam penuh madu asmara, penuh kebahagiaan bagi kedua orang ini. Malam yang indah di mana seluruh perasaan cinta kasih ditumpahkan dan saling dilimpahkan satu kepada yang lain. Malam bahagia yang agaknya menyangkal kekhawatiran hati Roro Luhito. Dan agaknya memang demikianlah kalau ditengok keadaan Ayu Candra yang rebah sendirian di dalam kamarnya, kadang-kadang tersenyum puas karena selain puteranya selamat dan menjadi murid seorang sakti, suaminya telah berkumpul kembali dengan kekasih lama.
Sebagai seorang wanita, ia berperasaan halus dan sejak dahulupun ia sudah menduga bahwa ada jalinan kasih yang terpendam di antara suaminya dan Endang Patibroto. Kini agaknya Endang Patibroto sudah insyaf, sudah merubah wataknya yang liar dan ia merasa puas. Malam itu, biarpun tidur sendirian di dalam kamarnya, Ayu Candra tidur pulas tanpa mimpi.
Akan tetapi, jalan hidup manusia sudah ada garisnya yang ditentukan oleh Tuhan. Garis ini wajar dan sudah semestlnya terjadi demikian, sudah adil dan baik, sesuai dengan karma manusia masing-masing. Berat atau ringan, duka atau suka dalam menerima garis ini tergantung kepada manusia sendiri. Manusia tak mampu merubahnya. Manusia hanya wajib mengisi hidupnya dengan kebaikan karena hanya dengan cara ini sajalah, dengan menumpuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, manusia akan dapat meluruskan garis hidupnya di kemudian hari karena Tuhan itu Maha Adil. Dosa-dosa yang lalu hanya dapat ditebus dengan rasa tobat yang setulusnya disertai pemupukan perbuatan-perbuatan yang baik dan penerimaan hukuman dengan ikhlas dan sadar. Perbuatan-perbuatan baik barulah benar kalau dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan anugerah atau hadiah!
Kekhawatiran Roro Luhito bukanlah kekhawatiran dungu, bukan ditimbulkan karena hati iri atau dengki, bukan pula oleh benci atau marah. Roro Luhito seorang wanita yang sudah tua, sudah banyak makan garam dunia, sudah berpengalaman dan wawasannya juga tajam berdasarkan pandangan luas. Pada malam berikutnya, terbuktilah apa yang dikhawatirkan oleh Roro Luhito.
Adipati Tejolaksono, sebagai seorang suami bijaksana, sungguhpun dendam rindunya terhadap Endang Patibroto masih menggelora, pada malam ke dua itu berdiam di dalam kamar Ayu Candra. Seperti biasa, suami isteri yang saling mencinta ini berkasih-kasihan, berbisik-bisik di atas pembaringan dan dalam kesempatan ini, Tejolaksono menceritakan isterinya tentang Endang Patibroto yang telah mengandung!
"Kiranya Hyang Widhi Wisesa juga memberkahi perjodohanku dengan Endang Patibroto, nimas Ayu. Buktinya, ikatan jodoh yang kami laksanakan di dalam ruangan bawah tanah dalam menghadapi maut itu ternyata dianugerahi dewata dan dia kini telah mengandung dua bulanl" Untuk menjaga perasaan isterinya pertama ini, sang adipati menekan kegirangan hatinya, namun dalam suaranya masih jelas terdengar kegirangan yang meluap-luap.
Ayu Candra mula-mula tersenyum dan ikut merasa bahagia. Akan tetapi, ketika suaminya hampir pulas, Ia tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan menangislah Ayu Candra! Sebagai seorang sakti mandraguna yang memiliki tubuh selalu dalam keadaan siap siaga, sedikit saja keadaan tidak wajar telah membuat Adipati Tejolaksono lenyap kantuknya dan ia bangkit duduk. Dlpandangnya isterinya dan la bertanya Iirih dan halus,
"Yayi dewi... mengapa kau menangis? Apakah yang menyusahkan hatimu?"
Pertanyaan ini membuat Ayu Candra makin sedih dan menangis sampai mengguguk, menyembunyikan mukanya di atas bantal. Setelah dua tiga kali suaminya bertanya, barulah ia menjawab dengan suara tersendat-sendat,
"Aku... aku teringat akan Bagus Seta...!
"Aaah, mengapa, Yayi? Bukankah putera kita itu sudah aman tenteram di bawah bimbingan Eyang Guru Ki Tunggaljiwa? Bayangkan betapa kelak ia akan pulang sebagai seorang ksatria yang gagah perkasa dan...!
"Kakangmas... aku besok akan pergi menyusulnya di puncak Merapi...!"
"Ehhhh...?? Tejolaksono terkejut dan memegang kedua pundak isterinya, dibangunkannya isterinya itu duduk di depannya. Rambut yang terurai itu menutupi sebagian muka Ayu Candra. "Kenapa begitu, Nimas?"
"Aku... aku tidak dapat berpisah darinya... aku akan menjaga dan menemaninya di sana sampai ia lulus dari perguruan di sana... aku... aku..." Ayu Candra terisak-isak.
Tejolaksono menarik napas panjang, bingung dan tidak mengerti. "Nimas Ayu, engkau tentu maklum bahwa aku sendiripun merasa berat berpisah dari Bagus Seta, akan tetapi... kita sudah melihat peristiwa yang terjadi di sana dan sudah mendengar semua penuturan Eyang Guru Ki Tunggaljiwa. Betapapun berat rasa hatiku berpisah dari putera kita, terpaksa kutahankan karena...."
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain, Kakangmas! Engkau dan diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan kalian, akan tetapi aku... aku tidak punya siapa-siapa..."
Diam-diam Tejolaksono tersentak kaget. Jantungnya berdebar dan ia maklum bahwa inilah sebuah di antara akibat daripada perbuatannya!
"Aduh, nimas Ayu... mengapa engkau berpendapat begitu? Ingatlah, Nimas... anak Endang Patibroto adalah anakku, dan anakku berarti anakmu pula, bukan? Ahhh, apakah akan jadinya kalau engkau pergi menyusul Bagus Seta? Hal ini tidak mungkin, tidak boleh kau lakukan, Nimas. Engkau tahu bahwa kalau hal itu kau lakukan, berarti engkau akan menghancurkan hatiku... betapa engkau tega melakukan hal seperti itu..."
Ayu Candra mengangkat mukanya memandang wajah suaminya. Melihat betapa sepasang alis suaminya berkerut, sepasang mata itu sayu dan sedih, ia lalu menubruk, merangkul dan membenamkan muka di dada suaminya.
"Duh... Kakangmas... ampunkan hamba... ampunkan hamba yang picik dan lemah... Kakangmas, legakan hatimu, aku... aku takkan melakukan hal itu... betapapun berat rasa hatiku, akan kukuat-kuatkan..."
Rasa hati Tejolaksono seperti disiram air embun di puncak Semeru. Batu seberat gunung yang menindih hati serasa diangkat. Lapang bukan main rasa dadanya. Diciumnya ubun-ubun kepala Isterinya dengan sepenuh kasih sayangnya dan ia berbisik,
"Aku tahu.... aku tidak pernah meragukanmu, Yayi... aku tahu bahwa engkau adalah isteriku yang tercinta, seorang isteri yang setia dan bijaksana..."
Agaknya urusan itu akan menjadi beres kembali dan hanya sampai sekian saja karena Ayu Candra sudah kelihatan tenang kembali dan hati Tejolaksono sudah menjadi lega dan girang. Akan tetapi sang adipati ini tidak melihat dan tidak tahu apa yang terjadi di luar kamarnya. Kalau saja ia tahu, tentu ia tidak akan dapat begitu bahagia memadu kasih dengan Ayu Candra.
Dengan gerakan yang amat ringan, Endang Patibroto meninggalkan jendela kamar Ayu Candra. Ia menahan suara isak tangisnya dengan kedua tangan yang didekapkan rapat-rapat ke depan mulut dan hidung, kemudian setelah agak jauh, ia lari memasuki taman yang gelap dan sunyi. Ia tidak berani kembali ke kamarnya, karena khawatir kalau-kalau suara tangisnya terdengar oleh bibi Roro Luhito.
Kini ia berada di taman sari yang sunyi dan gelap dan di sinilah, di atas sebuah bangku di bawah pohon kenanga, Endang Patibroto menangis mengguguk. Dengan kekerasan hatinya ditahannya tangis itu, dan kini ia hanya terisak-isak dan duduk melamun. Percakapan antara Tejolaksono dan Ayu Candra masih terngiang-ngiang di telinganya dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk.
Apa yang selama ini ia khawatirkan terjadi! Ayu Candra tidak rela ia menjadi isteri Tejolaksono, tidak rela ia berada di situ! Memang tidak terang-terangan menyatakan ketidakrelaannya, akan tetapi sama saja artinya. Masih terngiang dalam telinganya ucapan Ayu Candra sambil menangis tadi.
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain! Engkau dan diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan kalian, akan tetapi aku... aku tidak punya siapa-siapa..."
Ayu Candra bahkan rela hendak meninggalkan kadipaten! Ah, betapa mungkin ia mendesak kedudukan Ayu Candra seperti ini? Dahulu ia sudah melakukan banyak hal yang menyakitkan hati Ayu Candra. Membunuh ayah kandung dan ibu tirinya, bahkan hendak membunuh Ayu Candra. Dan sekarang, ia merampas suaminya dan hendak merebut pula kedudukannya? Tidak! Sampai matipun tidak sudi ia melakukan hal tak tahu malu ini! Dialah yang harus pergi dari situ! Memang sejak semula ia sudah ingin pergi, akan tetapi... cinta kasihnya terhadap Joko Wandiro demikian besar... ingin ia selalu berdampingan, dan karena kandungannya, ia tak ingin berpisah lagi dari suaminya itu, ayah dari anak dalam kandungannya.
Akan tetapi sekarang jelas baginya bahwa tidak mungkin terlaksana keinginan hatinya itu. Ayu Candra hanya di lahirnya saja mau menerimanya dengan rela, akan tetapi batinnya menolak dan membencinya! Dan Adipati Tejolaksono amat mencinta Ayu Candra! Dia tidak sudi kalau harus memperebutkan cinta! Dia tidak sudi kalau harus tunduk, memperlihatkan kelemahan hatinya. Tidak, hidup seperti itu akan membuatnya sengsara dan sewaktu-waktu ia tentu takkan dapat mengendalikan hatinya lagi dan mungkin timbul keributan kalau ia sampai bertentangan dengan madunya. Ia tidak ingin menimbulkan ribut dan dosa lagi. Ia akan pergi mengasingkan diri, mencari tempat sunyi.
Biarpun hatinya mengambil keputusan demikian, namun Endang Patibroto merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk yang membuatnya menangis tersedu-sedu lagi. Teringat ia akan Tejolaksono, terbayang ia akan segala kemesraan yang dinikmatinya malam tadi. Ia tahu bahwa sesungguhnya pria inilah yang ia idam-idamkan semenjak dahulu. Dan sekarang, setelah menjadi miliknya, harus ia lepaskan lagi! Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya diikuti suara yang halus pula, menggetar penuh keharuan,
"Ayunda.... mengapa ayunda menangis...?"
Mendengar suara adik kandungnya ini, makin sedih hati Endang Patibroto. Ia meraih Setyaningsih, merangkul dan mendekapnya sambil menangis makin sesenggukan. Setyaningsih biarpun baru berusia sebelas tahun, akan tetapi anak ini mewarisi watak ayahnya, yaitu mendiang Pujo, satria yang sakti mandraguna, bijaksana, berpandangan luas dan bersikap tenang. Setyaningsih biarpun saudara sekandung Endang Patibroto, namun wataknya jauh berbeda. Tidak mudah terseret perasaan sehingga biarpun kini air matanya juga turun bercucuran, namun ia dapat menahan diri, tidak sampai mengguguk seperti tangis Endang Patibroto. Wanita perkasa ini dahulu juga memiliki watak yang kuat, akan tetapi kekuatannya berdasarkan kekerasan, bukan seperti Setyaningsih yang berdasarkan ketenangan,
"Ayunda, apakah ayunda teringat kepada ibunda? Ah, ayunda. Kanjeng Ibu sudah seda (tewas) sebagai seorang wanita utama, sebagai seorang perajurit perkasa. Selayaknyakah kalau puteri-puterinya menangisinya terus? Ayunda, harap ayunda jangan menangis..." Setyaningsih membelai-belai rambut kakaknya dengan penuh kasih sayang.
"Aduh, adikku Setyaningsih..." Endang Patibroto mencium pipi adiknya dan sambil memegangi kedua pundak anak itu, mereka berpandangan. "Engkau benar, Setyaningsih, tidak perlu banyak menangis karena menangis adalah tanda kelemahan. Dan kita berdua bukanlah orang-orang lemah, kita berdua adalah keturunan suami isteri yang sakti mandraguna! Kini ayah bunda kita telah meninggal dunia, adikku dan aku hanya mempunyai engkau, engkaupun hanya mempunyai aku! Karena itu kita harus pergi dari sini, Setyaningsih, sekarang juga."
Setyaningsih memandang ayundanya dengan sepasang mata terbelalak kaget dan heran. Ucapan ayundanya ini sama sekali tak pernah disangkanya. Biarpun ia baru berusia sebelas tahun, namun dia bersama Pusporini sudah mengerti bahwa ayundanya ini menjadi garwa selir Adipati Tejolaksono.
"Akan tetapi... Ayunda... bukankah ayunda telah menjadi isteri rakanda adipati?"
Endang Patibroto menghela napas panjang. "Benar, adikku. Akan tetapi rumah ini adalah milik ayunda Ayu Candra. Setelah ibu kita sekarang meninggal dunia, kita berdua tidak berhak lagi tinggal di sini."
"Mengapa begitu, ayunda? Kalau ayunda menjadi isteri rakanda adipati, ayunda mempunyai hak sepenuhnya tinggal di sini. Siapakah yang akan melarang Ayunda? Saya kira tidak ada seorangpun yang akan merasa keberatan dan..."
"Sudahlah, Setyaningsih. Engkau masih terlalu kecil untuk dapat mengerti urusanku. Pendeknya, malam ini juga aku akan pergi dari sini. Kalau engkau kasihan dan mencinta kepada ayundamu ini, marilah engkau ikut bersamaku."
Sambil berkata demikian, Endang Patibroto bangkit berdiri. Setyaningsih bangkit pula dan memegang tangan ayundanya erat-erat.
"Ayunda menjadi pengganti kanjeng ibu. Aku ikut..."
"Anak baik, seharusnya begitulah. Mari kita pergi!" Endang Patibroto memondong tubuh Setyaningsih dan dibawanya meloncat cepat meninggalkan taman sari, menghilang di dalam kegelapan malam.
Beberapa kali Setyaningsih menoleh dan memandang lampu-lampu yang menerangi gedung kadipaten sampai akhirnya bayangan gedung itu lenyap. Dua matanya menjadi basah dan di dalam hati anak ini timbul kesangsian apakah ia akan dapat melihat kembali gedung Kadipaten Selopenangkep ini.
Pada keesokan harinya, keluarga kadipaten menjadi gempar ketika melihat lenyapnya Endang Patibroto dan Setyaningsih. Lenyap begitu saja tanpa meninggalkan pesan, bahkan pakaian Setyaningsih di dalam kamarnyapun masih lengkap yang berarti bahwa anak itu lenyap hanya membawa pakaian yang dipakainya malam itu!
Roro Luhito menghela napas dan memeluk puterinya yang menangis karena hilangnya Setyaningsih, saudara tirinya yang amat dikasihinya.
"Ahhh, kukira tentu Endang Patibroto yang membawa Setyaningsih pergi. Agaknya masih juga belum berubah watak yang keras dan aneh luar biasa dari Endang Patibroto. Aku sudah merasa tidak enak hati dan menduga tentu akan terjadi sesuatu yang tidak baik ketika ia datang. Ah, angger, anakku adipati, kuatkanlah hatimu menghadapi ujian Hyang Widhi yang amat berat ini." Kembali Roro Luhito menghela napas lalu menggandeng tangan Pusporini diajak masuk ke belakang. Tak tahan ia menyaksikan pandang mata sayu Adipati Tejolaksono.
Hanya suami isteri itulah yang mengerti apa sebabnya Endang Patibroto melarikan diri. Mereka dapat menduganya. Tentu Endang Patibroto telah mendengar percakapan antara mereka semalam! Melihat sinar mata suaminya yang begitu sayu, wajah yang pucat dan muram, tarikan mulut yang membayangkan kedukaan yang hebat, Ayu Candra lalu membalikkan tubuhnya, terisak dan lari memasuki kamarnya.
Adipati Tejolaksono melangkah dengan lemas mengikuti isterinya, memasuki kamar. Ketika Ayu Candra melihat suaminya masuk kamar, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki suaminya, menangis dan berkata,
"Aduh, Kakangmas Adipati. Semua adalah kesalahanku...! Karena kelemahan dan kepicikanku... tentu diajeng Endang Patibroto mendengarnya dan merasa tersinggung hatinya... padahal sungguh mati aku sudah menghapus perasaan itu, Kakangmas. Pergilah menyusulnya, Kakangmas. Bujuklah agar suka kembali ke sini dan aku akan mohon ampun kepadanya..."
Sejenak Adipati Tejolaksono termenung. Terbayanglah di depan matanya segala peristiwa dahulu di waktu dia masih muda. Watak Endang Patibroto amatlah keras liar dan aneh. Biarpun akhir-akhir ini Endang Patibroto bersikap amat mesra, lembut, dan merupakan seorang wanita yang mencintanya dengan seluruh jiwa raga, yang sepenuhnya wanita, namun agaknya, tepat seperti wawasan Roro Luhito, Endang Patibroto masih belum berubah wataknya yang keras dan aneh luar biasa.
Dan mengingat akan watak ini, agaknya akan sia-sia belaka kalau Ia menyusul. Selain amatlah sukar mencari seorang wanita sesakti Endang Patibroto yang melarikan diri, juga andaikata bertemu kiranya tidak mudah membujuknya untuk pulang ke Selopenangkep. la tahu bahwa Endang Patibroto mencintanya, namun kekerasan hati wanita itu akan mengalahkan cinta kasihnya karena wanita itu berwatak baja, tidak mau tunduk terhadap siapapun juga. Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat bangun Ayu Candra.
"Tidak akan ada gunanya, Nimas. Seorang yang berhati baja seperti diajeng Endang Patibroto, tidak akan mudah dibujuk. Dia tidak akan menyerah sampai mati, kalau tidak karena kehendak sendiri. Dia sudah pergi, dan satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah menanti sampai dia suka pulang sendiri. Apa boleh buat seorang manusia hanya dapat menerima apa yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi..."
Semenjak terjadi peristiwa ini, terjadi perubahan yang amat besar di dalam Kadipaten Selopenangkep. Perubahan yang amat terasa oleh seluruh penghuni kadipaten. Ayu Candra seringkali termenung dan berduka, tidak hanya karena rindunya kepada Bagus Seta, juga karena rasa penyesalan di dalam hati karena wanita yang halus budi ini tak pernah berhenti menyesali diri sendiri dan menganggap dialah yang menyebabkan larinya Endang Patibroto sehingga akibatnya, dia pula yang menyebabkan suaminya selalu berduka.
Tubuh Adipati Tejolaksono menjadi kurus dan adipati yang sakti ini kehilangan cahaya kegairahan sinar matanya. Sikapnya menjadi makin tenang dan pendiam sungguhpun terhadap Ayu Candra tidak pernah berubah kemesraan cinta kasihnya. Kadipaten yang bertahun-tahun selalu gembira dan suasana riang dengan adanya tiga orang yaitu Setyaningsih, Pusporini dan Bagus Seta, kini kelihatan sunyi karena dua dari tiga orang anak itu telah pergi dan kini tinggal Pusporini seorang.
Karena di situ hanya tinggal Puspotini seoranglah maka sang adipati dan isterinya melimpahkan rasa sayangnya kepada anak ini. Seakan-akan anak ini yang merupakan penghibur bagi mereka. Memang Pusporini seorang anak yang dapat mendatangkan kegembiraan. Dia amat lincah dan gembira, cerdik dan pandai bicara. Melihat kecerdikan Pusporini, Adipati Tejolaksono lalu mulai mendidik anak ini dengan ilmu silat dan kedigdayaan.
Roro Luhito amat girang melihat hal ini. Terutama sekali girang karena anak keponakannya itu dan isterinya mendapat hiburan dengan adanya Pusporini, maka iapun melepas tangan dan membiarkan puterinya menerima gemblengan sang adipati yang memiliki ilmu kesaktian jauh lebih tinggi daripada dia sendiri. Maka mulai tenteram pulalah keadaan hati Adipati Tejolaksono dan isterinya. Memang mereka selalu masih merindukan Bagus Seta dan menyesalkan kepergian Endang Patibroto, akan tetapi hati mereka terobat oleh kelincahan dan keriangan Pusporini. Hanya di waktu malam yang sunyi, kadang-kadang apabila teringat akan puteranya dan akan Endang Patibroto, Ayu Candra suka menangis dan suaminya selalu siap untuk menghiburnya. Suami isteri ini seolah-olah mengikuti hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun mengharapkan lewatnya lima tahun untuk menyambut kembalinya putera mereka, Bagus Seta.
Pusporini seorang anak perempuan yang cerdik sekali di samping wajahnya yang cantik manis. Kulit tubuhnya hitam manis seperti ibunya, perawakannya singsat padat dan langsing, rambutnya hitam agak berikal. Anak ini maklum akan kehebatan ilmu kesaktian rakandanya, maka ia belajar dengan amat tekun dan berIatih amat rajin sehingga amat mengagumkan hati Tejolaksono. Adipati ini maklum bahwa puteranya mendapatkan guru yang jauh lebih sakti daripadanya dan karena tidak ada anak lain yang akan ia warisi ilmunya, maka satu-satunya anak yang telah menjadi muridnya adalah adik misannya ini, puteri bibinya yang ternyata merupakan murid yang patut dibanggakan.
Yang terutama sekali mengagumkan pada diri Pusporini adalah bakatnya dalam ilmu meringankan tubuh dan gerakan yang amat gesit lincah, sesuai dengan wataknya yang periang. Bakatnya dalam hal ini jauh lebih menonjol daripada yang lain-lain sehingga dalam beberapa tahun saja ia sudah pandai berloncatan dan berkelebat cepat sekali melampaui kecepatan ibu kandungnya sendiri, bahkan menyusul pula tingkat Ayu Candra!
Aji kecepatan Bayu Tantra dapat ia pelajari dengan mudah dan tidak menghabiskan waktu terlalu lama, bahkan empat tahun kemudian ia sudah mulai mempelajari aji kecepatan Bayu Sakti! Dalam hal ilmu silat, memang terdapat bakat menari pada diri Pusporini. Ia dapat bergerak dengan lemas dan lemah gemulai sehingga di waktu ia dilatih ilmu silat oleh Adipati Tejolaksono, gerakan-gerakannya begitu indahnya seperti orang menari-nari saja.
Rakandanya yang menjadi gurunya ini sampai menjadi terheran-heran dan juga amat kagum, tak pernah menyangka bahwa ilmu silatnya dan aji-aji seperti Pethit Nogo yang dahsyat dan terkenal keampuhannya itu dapat dimainkan sedemikian indahnya sehingga merupakan tari-tarian luar biasa oleh Pusporini!
Bakat-bakat yang baik dalam diri Pusporini menambah kegembiraan Adipati Tejolaksono dalam memberi pelajaran, dan kemajuan-kemajuan anak ini menambah rasa sayang pada hati ketiga orang tua itu, Roro Luhito, Tejolaksono dan Ayu Candra. Bahkan bukan hanya tiga orang ini saja yang menaruh rasa sayang kepada Pusporini, juga semua abdi dalem Kadipaten Selopenangkep dan akhirnya rasa sayang ini menjalar sampai keluar kadipaten, di antara para ponggawa dan penduduk sekitar kadipaten.
Hal ini adalah karena Pusporini yang lincah gembira itu selalu bersikap baik dan ramah kepada siapapun juga, selalu rendah hati dan tidak sombong seperti biasanya puteri-puteri bangsawan yang memandang rendah rakyat kecil. Tidak, Pusporini tidak seperti itu. Puteri ini bahkan seringkali membantu para petani dalam pekerjaan di sawah ladang milik sang adipati. Membantu dalam hal bercocok tanam, ramai-ramai ikut menanam dan memotong padi dengan paman-paman dan bibi-bibi tani.
Juga ia amat terkenal dan disayang di antara para pengawal dan perajurit karena selain memiliki ilmu kepandaian yang mengagumkan, juga Pusporini ikut pula berlatih perang-perangan, berlatih menunggang kuda sehingga semua perajurit yang menyaksikan ketangkasan gadis cilik ini menjadi kagum dan sayang.
Jangan disangka bahwa Pusporini hanya suka akan olah keperajuritan, sama sekali bukan demikian. Iapun terkenal di dalam kadipaten, di antara para abdi dalem, di antara para seniman dan seniwati kadipaten karena anak ini semenjak kecil ikut pula belajar seni tari di mana bakatnya amat menonjol dan belajar pula seni suara dengan suaranya yang nyaring sekali.
Demikianlah, dengan adanya Pusporini, sedikitnya mendung yang menyelimuti Kadipaten Selopenangkep dapat terusir. Atau setidaknya, pada lahirnya Pusporini dapat menciptakan sinar kegembiraan di dalam kadipaten sehingga sang adipati dan isterinya dapat terhibur dan agaknya keadaanpun menjadi aman dan tenteram.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan-bulan ditelan tahun. Sang Waktu bergerak terus, tiada kekuasaan di bumi ini yang dapat menahannya, merayap amat perlahan jika diperhatikan, membalap cepat melebih kilat apabila tidak diingat. Betapapun juga, segala yang tampak dan tidak tampak di dunia ini, besar maupun kecil, keras maupun lunak, apa saja tidak pandang bulu, kesemuanya ditelan habis oleh Sang Waktu yang memegang rahasia akhir kemenangan.
Segala sesuatu yang diperoleh manusia di dunia ini tidak ada yang kekal. Pertemuan akan berakhir perpisahan. Yang mendapatkan atau mempunyai akan kehilangan. Karena sesungguhnya, segala di dunia ini bukanlah milik manusia. Manusia hanya berhak menikmati, namun sama sekali tidak berhak memiliki. Harta benda dan kedudukan, semua itu hanya benda titipan, sewaktu-waktu kita akan dipaksa berpisah dari mereka, mau atau tidak, suka atau tidak. Harta benda atau kedudukan akan pergi meninggalkan kita, atau kita yang akan pergi meninggalkan mereka. Bahkan keluarga yang kita cinta, anak-anak, isteri dan semua keluarga, sesungguhnya bukanlah milik kita!
Manusia hanya mendapat titipan yang dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban sebagai manusia beradab, dan tidak lebih daripada itu. Jika sudah tiba saatnya Yang Maha Kuasa yang menjadi Pemilik Sejati mengambilnya kembali dari tangan kita, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan menahan atau mencegahnya. Harta benda dan kedudukan bisa musnah sewaktu-waktu. Anggota keluarga tersayang bisa mati sewaktu-waktu.
Atau dengan lain cara, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, kita sendiri bisa mati sewaktu-waktu meninggalkan dan berpisah dari kesemuanya itu! Ditinggalkan oleh atau meninggalkan segala sesuatu yang hanya dititipkan kepada kita. Karena itu, makin besar cinta kasih kita kepada semua itu, makin sengsaralah apabila dipisah dari kita. Seperti dua buah benda, makin kuat melekat, makin parah kalau dipaksa berpisah, makin parah luka yang terobek oleh perpisahan paksaan itu.
Sesungguhnyalah bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan atas segala benda, yang terkecil maupun terendah sekalipun, bahkan,, tidak mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri, tidak kuasa mengatur denyut jantung, aliran darah, tumbuhnya kuku dan rambut di tubuh kita. Tidak kuasa atas nyawa sendiri. Karena hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang berkuasa atas segala benda, yang tampak maupun tidak!
Manusia tidak punya kuasa, hanya mempunyai hak menikmati anugerah dan kewajiban memelihara segala sesuatu yang dititipkan atau dianugerahkan kepadanya. Kalau tidak melaksanakan kewajiban, tidak benar pemeliharaannya, akan rusaklah kesemuanya itu dan akibatnya menimpa diri sendiri. Segala peristiwa yang terjadi di atas bumi ini telah dikehendaki oleh Yang Maha Adil, dan betapapun peristiwa itu, adalah sudah tepat, wajar dan adil!
Bukanlah hal yang aneh kalau sesuatu peristiwa mendapat tanggapan yang berlawanan. Ada yang menganggapnya adil ada pula yang tidak, karena manusia amat dipengaruhi oleh nafsu ego masing-masing yang selalu mementingkan diri pribadi. Peristiwa yang menguntungkan dirinya pribadi akan dianggap adil, dan sebaliknya yang merugikan atau tidak menyenangkan dirinya pribadi akan dianggap tidak adil! Akan tetapi sesungguhnya, setiap peristiwa itu adalah wajar dan adil, sesuai dengan sifat Yang Maha Adil!
Manusia yang tidak dapat melihat keadilan dalam setiap peristiwa, hanya disebabkan karena tidak mengertinya. Tentu saja orang tidak akan dapat melihat keadilan kalau dia tidak mengerti akan duduknya perkara, tidak tahu akan sebab akibat. Peristiwa yang menimpa diri Adipati Tejolaksono berturut-turut kalau dipandang dan dinilai mata manusia biasa tampaknya juga tidak adil karena satria perkasa ini seakan-akan selalu ditimpa kemalangan.
Empat tahun telah lewat semenjak Endang Patibroto minggat pada malam hari itu, tak diketahui ke mana perginya, membawa Setyaningsih bersamanya. Empat tahun telah lalu semenjak Bagus Seta tidak berada di Kadipaten Selopenangkep.
Sementara itu, bahaya besar datang mengurung, seperti mendung-mendung hitam yang ditiup datang oleh angin angkasa yang keras sehingga tanpa disangka-sangka tahu-tahu telah memenuhi udara di atas kepala. Tadinya Adipati Tejolaksono hanya mendengar berita bahwa ada pergerakan pasukan-pasukan asing di barat dan utara, akan tetapi karena tidak terjadi perampokan dan penyerbuan terhadap dusun-dusun, maka tidak ada laporan apa-apa yang sampai ke telinganya.
Kalau terjadi perampokan-perampokan seperti yang dilakukan pasukan gerombolan Lembah Serayu seperti yang terjadi empat tahun yang lalu, tentu siang-siang sudah banyak rakyat yang datang melapor ke kadipaten. Akan tetapi malam hari itu hati Sang Adipati Tejolaksono merasa gelisah tanpa sebab. Seringkali jantungnya berdebar aneh. Sebagai seorang sakti, sang adipati segera memasuki kamar dan duduk bersila di atas pembaringan, bermuja samadhi. Isterinya, Ayu Candra, juga merasa tidak enak hati, maka iapun duduk di dekat suaminya, siap melayani kebutuhan suaminya yang sedang bersamadhi itu.
Di dalam keheningan samadhinya, telinga sang adipati menangkap suara berisik, seolah-olah ia mendengar ombak laut selatan mengamuk, atau seolah-olah mendengar kawah Gunung Mahameru mendidih, ataukah Sungai Progo membanjir? Bulu tengkuknya meremang dan ia sadar dari samadhinya, menoleh kepada isterinya sambil menarik napas panjang.
"Nimas, apakah engkau merasa juga apa yang kurasakan?"
Ayu Candra mengangguk. "Semenjak sore tadi hatiku merasa tidak enak..."
"Biarlah kita serahkan segalanya kepada kehendak Hyang Widhi, Nimas. Sekarang kau perintahkan pengawal untuk memanggil kepala pengawal menghadap, sekarang juga."
Biarpun agak heran mendengar suaminya menyuruh kepala pengawal menghadap di malam hari, hampir tengah malam, namun Ayu Candra tidak membantah, tidak pula bertanya, melainkan bergegas dari kamar dan memanggil pengawal yang menjaga di depan kadipaten. Seorang di antara para pengawal itu cepat melakukan perintah ini, pergi memanggil kepala pengawal yang tinggal di ksatrian.
Tentu saja kepala pengawal segera menghadap dengan gelisah. Kalau pada waktu seperti itu sang adipati memanggilnya menghadap, sudah pasti terjadi hal yang amat penting. Alangkah herannya ketika menghadap, sang adipati memerintahkan dia membawa pasukan dan berangkat malam itu juga keluar dari kadipaten, membagi pasukan dan melakukan penyelidikan ke barat dan utara.
"Bawa separuh pasukan keluar dan bagi menjadi dua, selidiki keluar kadipaten bagian barat dan utara. Separuh pasukan tinggalkan menjaga kadipaten, perkuat penjagaan dan perketat kewaspadaan. Kau sendiri pimpinlah pasukan yang bertugas keluar, kakang Mundingyudo, dan selidikilah desas-desus tentang gerakan pasukan asing di barat dan di utara itu. Kalau bertemu dengan pasukan-pasukan itu, jangan sekali-kali turun tangan menggempur mereka sebelum mengetahui apa kehendak mereka. Kemudian kirim laporan kepadaku tentang penyelidikanmu."
Maka ributlah para perajurit Kadipaten Selopenangkep karena pada tengah malam itu mereka semua diperintah untuk bangun dan bersiap-siap. Kepala pasukan Raden Mundingyudo segera membagi-bagi tugas dengan para bawahannya dan setelah berunding secara singkat, berangkatlah pasukan-pasukan Selopenangkep ini keluar dari kota kadipaten dan seperti rombongan semut pindah tempat mereka terpecah menjadi dua bagian, sebagian ke barat dan sebagian lagi ke utara.
Pasukan-pasukan yang tertinggal di kadipaten memperkuat penjagaan dan kewaspadaan sesuai dengan perintah sang adipati melalui Raden Mundingyudo. Semua persiapan bahkan sampai pemberangkatan pasukan keluar kadipaten, dilangsungkan dengan rapi dan tidak sampai diketahui para penduduk sehingga tidak menimbulkan kepanikan.
Adipati Tejolaksono sendiri lalu mengajak isterinya pergi menghadap Roro Luhito di bagian belakang kadipaten kemudian sang adipati menceritakan tentang perasaannya yang tidak enak.
"Pergerakan pasukan-pasukan asing itu amat mencurigakan, Bibi. Karena itu malam ini juga saya sendiri akan pergi melakukan penyelidikan. Harap Kanjeng Bibi dan Ayu Candra bersikap waspada memimpin pasukan yang melakukan penjagaan di kadipaten."
"Jangan khawatir, Ananda Adipati. Memang seyogianya dilakukan penyelidikan sendiri. Setelah apa yang Ananda saksikan ketika terjadi pertemuan di puncak Merapi, desas-desus tentang pasukan-pasukan asing itu harus dicurigai. Tentang kadipaten, cukup berada di tanganku dan isterimu Ayu Candra. Juga Pusporini sekarang bukan kanak-kanak lagi, tenaganya dapat kita pergunakan untuk memperkuat penjagaan kadipaten;" demikian kata Roro Luhito yang biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, hampir lima puluh dua tahun, namun semangatnya masih besar dan ketangkasannya tidak banyak berkurang.
Setelah meninggalkan pesan kepada isterinya agar berhati-hati menjaga kadipaten, dan mengatakan bahwa penyelidikannya tidak akan lebih daripada sepekan lamanya, Tejolaksono malam itu juga menyusul keberangkatan pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Raden Mundingyudo dan teman-temannya. Karena Ia ingin agar penyelidikannya dapat dilakukan dengan leluasa, maka Adipati Tejolakspno mengganti pakaiannya dengan pakaian petani biasa dan ia berangkat dengan jalan kaki saja.
Namun, kiranya jika ia berkuda, tidak akan secepat perjalanannya sekarang karena ia mempergunakan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya berkelebat cepat sekali bagaikan burung terbang sehingga dalam waktu singkat ia telah melampaui pasukannya yang menuju ke barat. Kalau Mundingyudo ia perintahkan menyelidiki keadaan dan gerak-gerik pasukan asing yang kabarnya bergerak di daerah barat dan utara, adalah dia sendiri ingin menyelidiki keadaan rakyat di dusun-dusun, ingin melihat apakah terjadi sesuatu di dalam tata kehidupan rakyat pedesaan, terutama sekali tentang kehidupan budaya dan kepercayaan agama, karena sang adipati khawatir kalau-kalau rakyat akan dipaksa dalam hal ini oleh kekuatan-kekuatan asing.
Dalam penyamarannya sebagai seorang petani sederhana, dengan mudah Tejolaksono dapat masuk keluar dusun-dusun tanpa ada yang mengenalnya. Dan apa yang disaksikan membuat ia terkejut bukan main. Memang, pada lahirnya, tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan di dalam dusun-dusun itu dan keadaan rakyatnya tampak senang dan tata tenteram kerta raharja. Akan tetapi sesungguhnya telah terjadi perubahan yang hebat.
Di dalam beberapa buah dusun ia melihat telah didirikan wihara-wihara dan candi dan sebagian besar penduduk dusun sudah menukar pujaan mereka. Di sebuah dusun, penduduknya mulai menukar pujaan menjadi pemeluk Agama Buddha, dan di lain dusun memuja Sang Hyang Shiwa. Akan tetapi karena ia tidak melihat kekerasan atau paksaan dalam hal pengembangan kedua agama itu, ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Hanya ia melihat gejala-gejala aneh dalam penukaran pujaan ini, yaitu lenyapnya para pendeta pemuja Sang Hyang Wishnu dan digantinya kepala-kepala dusun oleh pemuja Sang Hyang Shiwa atau yang beragama Buddha! Di samping itu, rakyat tertarik berganti pujaan karena kegaiban-kegaiban yang didemonstrasikan oleh pendeta-pendeta pembawa agama baru itu.
Adipati Tejolaksono lalu mendatangi Dusun Sumber karena ia mengenal baik kepala dusun di situ. Bahkan dia sendiri yang mengangkat Ki Sentana menjadi kepala dusun Sumber. Ia tahu benar bahwa Ki Sentana adalah seorang pemeluk atau pemuja Sang Hyang Wishnu yang patuh, seorang bekas perajurit Panjalu yang setia. Ia mengharapkan keterangan yang jelas dari bawahannya itu tentang segala rahasia yang kini mencengkeram dusun-dusun di sebelah barat Selopenangkep.
Ia memasuki dusun Sumber di waktu senja dan langsung mendatangi rumah kepala dusun. Rumah itu sunyi dan gelap, bahkan di ruangan depan tidak ada meja kursinya, juga pekarangan depannya kotor sekali, tidak terpelihara. Tejolaksono memasuki halarnan yang penuh dengan daun kering, terus maju memasuki ruangan depan, memandang ke arah pintu yang terbuka separuh sambil berseru,
"Kulonuwun...."
Tidak ada jawaban, akan tetapi telinganya yang tajam mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah itu. Langkah kaki wanita, pikirnya, karena langkah itu halus perlahan, ia menanti dengan hati berdebar. Ada sesuatu yang tidak wajar dalam rumah Ki Sentana ini, pikirnya. Mengapa begini sunyi dan gelap? Mengapa rumah kepala dusun begini kotor tidak terawat?
Sinar terang tampak dari dalam dan tak lama kemudian muncullah wanita yang langkah kakinya terdengar oleh Tejolaksono. Wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wanita yang cantik dengan sepasang mata yang bersinar tajam dan kerling serta tarikan mulutnya genit sekali. Wanita ini melangkah keluar dengan lenggang menarik, membawa sebuah lampu kecil.
Begitu muncul dari pintu dan berhadapan dengan Tejolaksono, ia memandang penuh selidik dan pandang mata itu menjadi manis sekali, diikuti senyumnya memikat dan malu-malu. Biarpun wanita itu tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya penuh pertanyaan dan Tejolaksono cepat memperkenalkan diri tanpa menyebut namanya, "Maafkan kalau saya menganggu. Saya mohon berjumpa dengan Paman Sentana lurah dusun ini."
"Oohhh, sungguh tidak kebetulan sekali. Paman Sentana sedang tidak berada di rumah."
Suara wanita itu halus dan merdu seperti suara seorang waranggana, dan di waktu bicara, bibirnya bergerak memikat dan tampak giginya yang putih rata menggigit-gigit bibir bawah menyeling kata-katanya. Bibir yang penuh basah dan bergerak seperti itu, gigitan bibir, dagu yang kadang-kadang menggeser ke kanan kiri, kerling yang tajam menyambar, semua itu membayangkan kegenitan yang memikat sehingga Tejolaksono terheran-heran dan menduga-duga siapa gerangan wanita ini. Ia tahu bahwa Ki Sentana yang sudah tua tidak mempunyai puteri, hanya ada dua orang puteranya yang lima tahun lalu masih perjaka. Apakah wanita ini seorang di antara menantunya?
"Kalau bibi... adakah...?" tanyanya agak gugup, karena memang merasa canggung sekali dan tidak terduga-duga bahwa kedatangannya akan disambut seorang wanita muda yang selain cantik jelita juga jelas memperlihatkan sikap genit memikat!
Wanita itu menahan senyum, bibir bawah agak berjebi dan menggeleng kepala. "Sayang sekali, bibi juga pergi bersama Paman Sentana."
Makin tidak enak rasa hati Tejolaksono melihat bibir yang berjebi sehingga tampak penuh dan merah itu serta mata yang makin menantang. "Kalau begitu, biarlah lain kali saya datang lagi..."
Ia sudah hendak memutar tubuh ketika wanita itu berkata, "Aehh, nanti dulu harap jangan tergesa-gesa pergi. Saya bukanlah orang lain, melainkan keponakan Paman Sentana, namaku Sariwuni. Lebih baik andika menanti di sini sebentar, karena malam ini paman dan bibi akan pulang. Paman dan bibi tentu marah sekali kepada saya kalau mendengar bahwa ada tamu datang tidak saya persilahkan menunggu. Silahkan masuk, Raden.... kamar tamu di sebelah kiri ini kosong. Harap suka menanti sebentar, tidak lama lagi paman dan bibi tentu akan pulang."
Lenyap keraguan hati Tejolaksono. Hemm, kiranya anak keponakan Ki Sentana. Heran dia bahwa Ki Sentana mempunyai seorang anak keponakan yang secantik dan segenit ini! Tidak apalah ia menanti sebentar, karena ia ingin sekali bicara dengan Ki Sentana. Pula, kalau ia tidak mau menanti, ke manakah ia akan mencari keterangan? Tanpa berkata sesuatu ia lalu menganggukkan kepala dan memasuki rumah itu, terus memasuki sebuah kamar yang cukup bersih namun sederhana di sebelah kiri ruangan depan. Wanita yang bernama Sariwuni itu meninggalkan pelitanya dalam kamar, lalu berkata manis,
"Silahkan Raden beristirahat sambil menanti."
Berdebar hati Tejolaksono. Baru sekarang ia melihat kejanggalan itu. Sudah dua kali Sariwuni menyebutnya "Raden"! Tentu saja hal ini janggal dan aneh sekali! Biarpun ia seorang adipati, akan tetapi pada saat itu ia menyamar sebagai seorang petani sederhana dan wanita ini tidak mengenal siapa dia. Mengapa menyebut Raden? Hatinya tidak enak, akan tetapi wanita itu sudah melangkah keluar dari pintu kamarnya. Jelas tampak sepasang buah pinggul wanita itu bergoyang turun naik karena langkahnya yang sengaja dibuat-buat melenggang-lenggok. Ah, kalau tidak sudah terlanjur memasuki kamar tamu, dan kalau tidak amat penting baginya menemui Ki Sentana, tentu ia tidak suka berada di sini. Ada sesuatu yang aneh pada diri wanita itu, seperti anehnya keadaan di rumah Ki Sentana ini yang sunyi dan tidak seperti dahulu.
Tejolaksono duduk di atas pembaringan di dalam kamar itu, pembaringan terbuat dari kayu jati. la termenung dan mengharapkan kedatangan Ki Sentana dengan cepat. Akan tetapi ketika terdengar langkah kaki, ia tahu bahwa yang mendatangi kamarnya kembali adalah wanita cantik itu. la tetap duduk dan mengangkat muka memandang ke arah pintu. Benar saja, Sariwuni yang muncul di pintu kamar, kini kedua tangannya membawa sebuah penampan (baki) berisi nasi panas, lauk-pauk dan kendi air. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri-seri mata bersinar-sinar, Sariwuni menurunkan penampan dan mengatur hidangan itu di atas meja dalam kamar, dan berkata, suaranya halus,
"Raden, silahkan dahar seadanya."
Sambil berkata demikian, Sariwuni dengan gerakan yang luwes menuangkan air ke dalam kobokan (tempat mencuci tangan sebelum makan), kemudian memandang wajah Tejolaksono, tersenyum dan matanya menunduk seperti malu-malu dan mengundurkan diri.
"Nanti dulu...!" Tejolaksono berkata dan Sariwuni berhenti melangkah lalu membalikkan tubuhnya yang ramping, memandang dengan alis terangkat. Manis sekali sikap dan wajahnya.
"Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Raden?"
"Tahukah engkau ke mana perginya paman dan bibi? Hari telah menjadi malam dan mereka belum juga pulang."
Dengan gerakan kenes wanita itu mengangkat kedua pundaknya dan kembali giginya tampak berkilau terkena sinar api pelita ketika ia membuka bibir.
"Saya tidak tahu ke mana, Raden. Akan tetapi paman tadi berkata bahwa tidak akan lama pergi dan malam ini pasti pulang."
Tejolaksono mengangguk-angguk dan ketika wanita itu hendak membalikkan tubuh lagi ia berkata, "Eh, Sariwuni, mengapa engkau menyebut aku Raden? Aku hanya seorang petani kenalan Paman Sentana..."
Sariwuni tertawa dan menutupi mulut dengan tangan kirinya. Kembali gerakan ini amat manis dan kenes, gerakan wanita yang tahu akan kebiasaan puteri-puteri bangsawan dan tidak seperti biasanya seorang perawan dusun yang polos dan jujur.
"Hi-hik.... seorang petani tidak bicara sehalus bicaramu, Raden. Juga kaki tangannya tidak sehalus kaki tanganmu, kulitnya tidak seputih dan sebersih kulitmu. Selain itu, wajah seorang petani... eh, tidak setampan..." Wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya, lalu membalikkan tubuh dan setengah berlari keluar kamar meninggalkan suara ketawa ditahan.
Tejolaksono termangu, mengerutkan keningnya kemudian karena memang perutnya sudah lapar dan mulutnya haus, ia minum air dari kendi, mencuci tangan dan makan nasi putih yang pulen ditemani lauk-pauk yang cukup sedap. Selesai makan, ia mencuci tangan, membersihkan kakinya lalu naik ke pembaringan, duduk bersila menanti kedatangan Ki Lurah Sentana.
Akan tetapi sampai lama dan jauh malam, belum juga tuan rumah yang dinanti-nantinya itu datang. Tejolaksono menjadi hilang sabar. Akan tetapi ketika ia hendak turun dari pembaringan untuk menyelidiki hal ini, tiba-tiba pintu kamarnya itu terbuka dari luar. la terkejut karena kali ini ia tidak mendengar langkah kaki. Tahu-tahu pintu kamar itu terbuka dan muncul pula Sariwuni.
Tejolaksono yang masih duduk bersila di atas pembaringan, memandang dengan mata terbelalak. Wanita itu kini telah berubah jauh sekali. Kalau tadi hanya bersikap manis, kini sikapnya benar-benar keterlaluan. Menantang! Senyumnya masih manis memikat seperti tadi, rnatanya bersinar-sinar penuh daya tarik, rambutnya terurai lepas dan pakaian yang menutupi tubuhnya hanyalah sehelai tapih pinjung yang membungkus tubuh sampai ke dada kemudian bagian atasnya disuwelkan begitu saja di antara lekuk-lekuk dadanya.
Begitu ia masuk, bau yang harum menyerbu kamar. Bau mawar yang segar, seakan-akan Wanita itu baru mandi keramas air mawar? Kulit pundak dan lengan yang kuning langsat itu seperti lilin diraut, halus dan tipis sehingga membayangkan urat-urat yang halus berwarna kemerahan. Dengan lenggang lemah gemulai, disertai pandang mata dan senyum malu-malu yang makin memperkuat daya pikat, Sariwuni bergerak memasuki kamar dan mendekati Tejolaksono. Bau harum bunga mawar makin memabukkan. Bau bunga mawar ini memang amat sedap dan kiranya tidak ada orang di dunia ini, terutama kalau ia laki-laki, yang tidak menyukainya.
"Raden... tentu engkau merasa kesal menanti kembalinya paman dan bibi... agaknya mereka besok pagi kernbali... biarlah saya menemani Raden malam ini di sini..." Suaranya tersendat-sendat, dada itu bergelombang turun naik dan suwelan tapih itu lama-lama tentu akan terlepas oleh gerakan dada.
Tejolaksono adalah seorang laki-laki. Pemandangan yang dihadapinya itu tentu saja amat menarik dan menggairahkan karena diapun seorang pria yang sehat dan normal. Akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang ksatria sejati. Keteguhan batinnya tidak mudah tergoncang oleh pikatan dan bujuk rayu karena didasari keyakinan bahwa hal ini adalah tidak benar!
Dia memiliki harga diri yang tinggi, tidak sudi ia melakukan pelanggaran susila yang akan menyeretnya turun ke lembah kehinaan. Wanita ini adalah keponakan Ki Sentana dan ia sebagai seorang tamu, bagaimana ia akan sudi mencemarkan kehormatan keluarga tuan rumah? Pula, ia dapat melihat bahwa watak yang rendah sajalah yang dapat mendorong seorang wanita muda seperti Sariwuni untuk bersikap tidak tahu malu seperti ini.
"Eh, perempuan! Di mana kesusilaanmu? Mundurlah!" Bentaknya dengan muka menjadi merah.
Akan tetapi Sariwuni tidak menjadi takut, apalagi mundur. la berjebi sehingga bibir bawahnya melebar, memperlihatkan bagian bibir yang sebelah dalam dan amat merah.
"Duhai Raden, mengapa menolak cinta kasih mesra yang kusodorkan kepadamu? Jangan khawatir, paman dan bibi tidak ada, dan di rumah ini hanya ada kita berdua!" Tiba-tiba Sariwuni sudah melangkah dekat dan kedua lengannya bergerak merangkul, suwelan tapihnya tiba-tiba terlepas dan ia hendak mencium muka sang adipati,
"Perempuan tak tahu malu! Pergilah!" Tejolaksono menggerakkan tangan kirinya mendorong pundak Sariwuni. Tubuh wanita itu terdorong dan terlempar ke belakang. Akan tetapi alangkah kaget hati Tejolaksono ketika melihat wanita itu membuat gerakan jungkir balik ke belakang sehingga tidak sampai roboh dan kini sudah berdiri dengan mata terbelalak marah! Kedua tangan itu kini mengikatkan lagi ujung tapih yang terlepas, mengikatnya erat-erat pada dadanya. Lenyaplah kini sikapnya yang memikat, berganti pandang marah dan mulutnya cemberut.
Lenyaplah wajah bidadari terganti wajah iblis betina yang siap nenerkam korbannya! Setelah ikatan kainnya erat betul-betul, wanita itu menggerakkan kedua lengannya dengan gerakan aneh, membentuk lingkaran dan terdengar suara berkerotokan seolah-olah kedua lengannya menjadi patah-patah! Dan perlahan-lahan kedua tangan itu, dari ujung kuku sampai ke pergelangan tangan, berubah menjadi hitam. Pandang matanya menjadi buas ketika ia memekik,
"Si keparat Tejolaksono! Kau tidak suka mati dalam kenikmatan, biarlah kau mampus dalam penderitaan!" Mendadak sekali wanita cantik itu menubruk maju, kedua tangannya yang berkuku hitam itu mencengkeram ke arah muka dan perut. Serangannya ini ganas dan cepat bukan main!
Tejolaksono masih duduk bersila di atas pembaringan. Dia tadi terlampau kaget dan heran menyaksikan perubahan ini, apalagi mendengar namanya disebut. Akan tetapi ia maklum bahwa wanita ini bukan orang sembarangan. Terjangannya amat kuat dan cepat, sepasang tangan yang berkuku hitam itu dahsyat sekali. lapun tahu bahwa aji pukulan ini mengandung racun yang amat jahat. Bau harum kembang mawar kini lenyap tertutup bau wengur seperti bau ular berbisa. Karena maklum bahwa sepuluh buah kuku hitam itu tidak boleh menggurat kulitnya, ia lalu mengerahkan Ayi Pethit Nogo menyampok dari samping.
"Plakkk...!!"
Sariwuni merintih perlahan dan terdorong mundur terhuyung-huyung. Akan tetapi ia tidak roboh dan hal ini saja membuktikan bahwa dia memang kuat dan berilmu tinggi. Tidak sembarang orang dapat bertahan terhadap sampokan Pethit Nogo. Maka Tejolaksono berlaku hati-hati dan sekali ia bergerak, tubuhnya sudah melompat turun, berdiri dan hersiap sedia menanti serangan lawan, sikapnya tenang. Ia memandang tajam dan bertanya dengan suara tegas,
"Perempuan, siapakah gerangan engkau sesungguhnya? Tidak mungkin keponakan Paman Sentana!" Tiba-tiba wanita itu terkekeh ketawa. Suara ketawanya berbeda dengan tadi. Kalau tadi halus merdu dan penuh rayuan, kini seperti suara ketawa seekor kuntilanak.
"Hi-hi-hi-hi-hik...!"
"Wuni, keluarlah engkau...!" Tiba-tiba dari luar rumah itu terdengar suara laki-laki yang besar dan parau. Mendengar ini, kembali Sariwuni terkekeh lalu tubuhnya berkelebat, ia sudah lenyap menerobos keluar dari dalam kamar melalui pintu. Suara ketawanya masih terdengar sebentar, kemudian suasana menjadi sunyi kembali.
Adipati Tejolaksono tidak mengejar. Ia seorang yang waspada. la maklum bahwa munculnya wanita itu memang sudah diatur terlebih dahulu. Pihak musuh, entah siapa mereka, telah mengenalnya, telah tahu akan kedatangannya dan sengaja menyuruh wanita iblis itu menjaga di pintu. Agaknya tadinya mereka hendak menggunakan wanita cantik itu menjebaknya, menggunakan kecantikannya. Ia bergidik kalau teringat. Andaikata batinnya tidak teguh dan ia roboh oleh rayuan dan kecantikan wajah dan tubuh wanita itu, tentu ia benar-benar akan mati dalam kenikmatan seperti yang dikatakan Sariwuni tadi!
Andaikata ia meladeni rayuan Sariwuni, tentu ia akan dibunuhnya pula. Dan alangkah mudahnya ia akan terbunuh kalau ia melayaninya berkasih asmara! Sungguh berbahaya! Dan karena semua sudah diatur, maka ia yakin bahwa musuh-musuhnya telah mengatur jebakan pula di luar rumah itu. Ia heran ke mana perginya Ki Sentana? Apakah yang terjadi dengan kepala dusun itu dan keluarganya? Ia merasa khawatir sekali karena di dusun-dusun lain banyak pula terjadi hal aneh, yaitu lenyapnya kepala-kepala dusun tanpa meninggalkan bekas!
Ada pula yang kepala dusunnya masih ada, akan tetapi para pendeta dan pemimpin agama yang lenyap tak meninggalkan bekas. Apakah Ki Sentana juga telah lenyap pula? Dengan hati khawatir Tejolaksono lalu melompat keluar dari kamar itu dengan sikap waspada dan seluruh urat syaraf di tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga menghadapi segala bahaya. Ia menyambar sebuah lampu di ruangan tengah yang sunyi, terus ia berjalan memeriksa sampai ke belakang. Dan di ruangan belakang, dekat dapur, ia melihat Nyi Sentana meringkuk di sudut dalam keadaan terbelenggu!
Selain terbelenggu, juga muka wanita tua ini matang biru bekas pukulan dan cambukan, mulutnya tersumbat kain sehingga ia tidak mampu bergerak atau bersuara, hanya sepasang matanya saja yang sayu penuh kedukaan memandang terbelalak ketika Tejolaksono mendekatinya. Cepat Tejolaksono berjongkok dan membuka ikatan tangan lalu membuang kain penyumbat mulut. Ia membantu wanita tua itu bangun duduk. Nyi Sentana mengeluh dan memijit-mijit kedua pilingan kepalanya, lalu mengurut-urut kedua pergelangan tangannya.
"Bibi....apakah yang terjadi, Bibi? Di mana Paman Sentana..."
"Aduh, Kanjeng Adipati !!" Wanita itu menubruk kaki Tejolaksono dan menangis sesenggukan. Beberapa kali ia membuka mulut hendak bicara, akan tetapi yang keluar hanyalah isak dan sedu sedan.
Tejolaksono membimbing wanita tua itu bangkit berdiri dan menuntunnya duduk di atas balai-balai di dalam dapur. Diambilnya sebuah kendi air di dalam dapur itu dan diberinya minum. Wanita itu dengan gemetar minum air kendi dan berulang kali menghela napas panjang.
"Tenanglah, Bibi, dan ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi di dusun ini, apa yang terjadi dengan keluargamu."
Wanita itu terisak-isak, akan tetapi sekarang sudah dapat mengatasi gelora hatinya yang penuh kedukaan dan kegelisahan.
"Aduh, Gusti Adipati... malapetaka besar menimpa keluarga hamba, juga dusun ini... !"
"Di manakah adanya Paman Sentana, Bibi?"
"Entah ke mana dia pergi, Gusti... tadipun masih berada di sini... ah, dia telah menjadi seperti gila semenjak... mereka datang..."
"Mereka? Siapakah? Siapa pula wanita yang bernama Sariwuni itu? Apakah benar dia keponakanmu?"
Wanita itu menggeleng-geleng kepala. "Semenjak... iblis betina itu datang dan kawan-kawannya.... ah, dusun ini berubah sama sekali, rumah ini menjadi neraka bagi saya, ahhh... Kembali ia menangis.
"Bibi, tenanglah dan ceritakan yang jelas dari permulaan." Wanita itu menghentikan tangisnya, mengusap air mata, menarik napas panjang beberapa kali lalu memandang celingukan ke kanan kiri seperti orang ketakutan. Kemudian ia memegang tangan Tejolaksono dan berkata,
"Dua tiga bulan sudah saya menahan kesengsaraan hati, tak berani membuka mulut karena diancam. Sekarang, karena paduka sudah datang, baru hamba berani bercerita malapetaka besar menimpa keluarga hamba. Mula-mula datang perempuan itu yang diambil selir oleh Ki Sentana dan teman-teman perempuan itu seringkali datang bertemu. Mereka seperti iblis semua. Akan tetapi... Ki Sentana sudah gila agaknya, tunduk di bawah kekuasaan wanita cantik seperti iblis...!"
"Sariwuni...???"
"Benar, Gusti. Kedua putera hamba menentang ayah mereka, akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana tak seorangpun mengetahuinya. Ki Sentana masih menjadi kepala dusun seperti semula, akan tetapi semua kekuasaan berada di tangan iblis betina itu. Ki Sentana hanya melakukan semua perintahnya. Dan hamba... hamba tidak dibunuh agaknya untuk mengelabui mata rakyat. Hamba menjadi satu-satunya pelayan di rumah ini, yang lain-lain telah dikeluarkan. Ki Sentana seperti gila...rakyat dianjurkan untuk menyembah Sang Hyang Shiwa dan Bathari Durga yang menjadi pujaan wanita iblis itu. Hamba takut disiksa dan disumbat agar jangan membuka suara, kemudian bahkan diikat dan disumbat mulut hamba, karena mereka tahu bahwa paduka akan datang... dan..."
Tiba-tiba Sang Adipati Tejolaksono mendorong tubuh Nyi Sentana sampai terguling dan ia sendiri melompat ke samping, menggerakkan tangannya memukul sehingga angin pukulannya menderu dan memukul runtuh belasan batang anak panah. Akan tetapi ia mendengar jerit lemah dan ketika ia memandang, ternyata leher Nyi Sentana telah tertembus anak panah dan wanita tua itu berkelojotan sebentar kemudian tak bergerak lagi...
Adipati Tejolaksono tertawa dan mencium isterinya ini yang bercerita sambil rebah dalam pelukannya. "Mati hidup berada di tangan Hyang Widhi, adinda Endang Patibroto. Agaknya memang belum tiba saatnya Sindupati menerima hukumannya. Memang tepat sekali adinda cepat-cepat datang ke Selopenangkep karena... hemm... aku telah rindu sekali..."
Sejenak sunyi di antara mereka karena Endang Patibroto terbuai dalam belaian suaminya yang mesra dan penuh kasih sayang. Kemudian terdengar ia berkata, "Kakangmas, sesungguhnya... baru berpisah hampir dua bulan bagiku pun amat berat. Akan tetapi... ah, terus terang saja, Kakangmas. Sebelum bertemu dengan engkau dan ayunda Ayu Candra, hatiku amat gelisah dan khawatir. Aku telah banyak melakukan kesalahan dahulu terhadap ayunda Ayu Candra, dan tadinya aku takut untuk bertemu muka, takut untuk mengakui hubungan antara kita, takut dan malu. Tadinya aku bahkan hendak diam-diam pergi minggat saja, biar aku hidup sebagai pertapa, biar selamanya tidak bertemu dengan ayunda Ayu Candra, betapa pun akan beratnya penanggulangan hatiku yang penuh dendam rindu kepadamu, tapi..."
Adipati Tejolaksono menghentikan kata-kata isterinya dengan ciuman. Kemudian ia tertawa. "Cukuplah, Yayi, tidak perlu dilanjutkan persangkaan yang bukan-bukan itu, karena buktinya sekarang tidak seperti yang kau khawatirkan, bukan?"
Endang Patibroto menarik napas panjang dengan hati lapang. "Memang, dan aku bersyukur kepada Dewata, berterima kasih kepada ayunda Ayu Candra yang bijaksana dan berbudi luhur. Sesungguhnya, akan kelirulah kalau aku menuruti kata hati lalu minggat meninggalkanmu untuk selamanya seperti yang tadinya terniat di hatiku. Aduhh... betapa akan sengsaranya hatiku kalau begitu. Untung... untung sekali ada sesuatu yang memaksa aku harus bertemu dengan engkau, Kakangmas. Yang memaksakan datang ke Selopenangkep dan yang mencegah aku pergi minggat mengasingkan diri."
Adipati Tejolaksono menunda belaian kasih sayangnya dan menatap wajah dalam rangkulannya, memandang penuh pertanyaan. "Apakah sesuatu itu, Yayi?"
Tiba-tiba ia melihat air mata berlinangan di mata yang indah itu. Endang Patibroto menangis! Akan tetapi bukan tangis karena duka, buktinya bibir yang merah membasah itu tersenyum! Segera Tejolaksono mengecup sepasang mata itu untuk menghapus beberapa titik air mata bening yang turun ke pipi. Kedua lengan Endang Patibroto merangkul lehernya dengan ketat dan mulutnya berbisik dekat telinga Tejolaksono,
"Kakangmas... Joko Wandiro...." Suaranya menggetar penuh perasaan dan jantung Tejolaksono berdebar pula mendengar disebutnya nama kecilnya. "aku... aku telah mengandung... semenjak kita berpisah dari Blambangan..." Dan kini air mata makin deras berlinang dari sepasang mata itu. Air mata kebahagiaan! Selama sepuluh tahun menjadi isteri Pangeran Panjirawit, Endang Patibroto tidak mempunyai anak dan kini ia telah mengandung keturunan Joko Wandiro, pria yang dahulu untuk pertama kalinya telah merebut kasih hatinya namun bertentangan karena keadaan.
"Heeeiiii...???" Saking kaget dan girangnya, Adipati Tejolaksono melompat turun dari pembaringan, memandang kepada Endang Patibroto dengan mata terbelalak.
"Ti...tidak girangkah... hatimu... mendengar hal itu... Kakanda...?"
"Girang?? Ha-ha-ha-ha! Hampir gila aku karena girang! Aduh, adinda pujaan hati, kekasih hatiku, engkau masih bertanya apakah aku girang...? Ha-haha!" Adipati Tejolaksono merangkul dan mengangkat tubuh isterinya, dipondong dan dibawa berjingkrakan dan berputaran di dalam kamar mereka!
Malam penuh madu asmara, penuh kebahagiaan bagi kedua orang ini. Malam yang indah di mana seluruh perasaan cinta kasih ditumpahkan dan saling dilimpahkan satu kepada yang lain. Malam bahagia yang agaknya menyangkal kekhawatiran hati Roro Luhito. Dan agaknya memang demikianlah kalau ditengok keadaan Ayu Candra yang rebah sendirian di dalam kamarnya, kadang-kadang tersenyum puas karena selain puteranya selamat dan menjadi murid seorang sakti, suaminya telah berkumpul kembali dengan kekasih lama.
Sebagai seorang wanita, ia berperasaan halus dan sejak dahulupun ia sudah menduga bahwa ada jalinan kasih yang terpendam di antara suaminya dan Endang Patibroto. Kini agaknya Endang Patibroto sudah insyaf, sudah merubah wataknya yang liar dan ia merasa puas. Malam itu, biarpun tidur sendirian di dalam kamarnya, Ayu Candra tidur pulas tanpa mimpi.
Akan tetapi, jalan hidup manusia sudah ada garisnya yang ditentukan oleh Tuhan. Garis ini wajar dan sudah semestlnya terjadi demikian, sudah adil dan baik, sesuai dengan karma manusia masing-masing. Berat atau ringan, duka atau suka dalam menerima garis ini tergantung kepada manusia sendiri. Manusia tak mampu merubahnya. Manusia hanya wajib mengisi hidupnya dengan kebaikan karena hanya dengan cara ini sajalah, dengan menumpuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, manusia akan dapat meluruskan garis hidupnya di kemudian hari karena Tuhan itu Maha Adil. Dosa-dosa yang lalu hanya dapat ditebus dengan rasa tobat yang setulusnya disertai pemupukan perbuatan-perbuatan yang baik dan penerimaan hukuman dengan ikhlas dan sadar. Perbuatan-perbuatan baik barulah benar kalau dilakukan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan anugerah atau hadiah!
Kekhawatiran Roro Luhito bukanlah kekhawatiran dungu, bukan ditimbulkan karena hati iri atau dengki, bukan pula oleh benci atau marah. Roro Luhito seorang wanita yang sudah tua, sudah banyak makan garam dunia, sudah berpengalaman dan wawasannya juga tajam berdasarkan pandangan luas. Pada malam berikutnya, terbuktilah apa yang dikhawatirkan oleh Roro Luhito.
Adipati Tejolaksono, sebagai seorang suami bijaksana, sungguhpun dendam rindunya terhadap Endang Patibroto masih menggelora, pada malam ke dua itu berdiam di dalam kamar Ayu Candra. Seperti biasa, suami isteri yang saling mencinta ini berkasih-kasihan, berbisik-bisik di atas pembaringan dan dalam kesempatan ini, Tejolaksono menceritakan isterinya tentang Endang Patibroto yang telah mengandung!
"Kiranya Hyang Widhi Wisesa juga memberkahi perjodohanku dengan Endang Patibroto, nimas Ayu. Buktinya, ikatan jodoh yang kami laksanakan di dalam ruangan bawah tanah dalam menghadapi maut itu ternyata dianugerahi dewata dan dia kini telah mengandung dua bulanl" Untuk menjaga perasaan isterinya pertama ini, sang adipati menekan kegirangan hatinya, namun dalam suaranya masih jelas terdengar kegirangan yang meluap-luap.
Ayu Candra mula-mula tersenyum dan ikut merasa bahagia. Akan tetapi, ketika suaminya hampir pulas, Ia tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan menangislah Ayu Candra! Sebagai seorang sakti mandraguna yang memiliki tubuh selalu dalam keadaan siap siaga, sedikit saja keadaan tidak wajar telah membuat Adipati Tejolaksono lenyap kantuknya dan ia bangkit duduk. Dlpandangnya isterinya dan la bertanya Iirih dan halus,
"Yayi dewi... mengapa kau menangis? Apakah yang menyusahkan hatimu?"
Pertanyaan ini membuat Ayu Candra makin sedih dan menangis sampai mengguguk, menyembunyikan mukanya di atas bantal. Setelah dua tiga kali suaminya bertanya, barulah ia menjawab dengan suara tersendat-sendat,
"Aku... aku teringat akan Bagus Seta...!
"Aaah, mengapa, Yayi? Bukankah putera kita itu sudah aman tenteram di bawah bimbingan Eyang Guru Ki Tunggaljiwa? Bayangkan betapa kelak ia akan pulang sebagai seorang ksatria yang gagah perkasa dan...!
"Kakangmas... aku besok akan pergi menyusulnya di puncak Merapi...!"
"Ehhhh...?? Tejolaksono terkejut dan memegang kedua pundak isterinya, dibangunkannya isterinya itu duduk di depannya. Rambut yang terurai itu menutupi sebagian muka Ayu Candra. "Kenapa begitu, Nimas?"
"Aku... aku tidak dapat berpisah darinya... aku akan menjaga dan menemaninya di sana sampai ia lulus dari perguruan di sana... aku... aku..." Ayu Candra terisak-isak.
Tejolaksono menarik napas panjang, bingung dan tidak mengerti. "Nimas Ayu, engkau tentu maklum bahwa aku sendiripun merasa berat berpisah dari Bagus Seta, akan tetapi... kita sudah melihat peristiwa yang terjadi di sana dan sudah mendengar semua penuturan Eyang Guru Ki Tunggaljiwa. Betapapun berat rasa hatiku berpisah dari putera kita, terpaksa kutahankan karena...."
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain, Kakangmas! Engkau dan diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan kalian, akan tetapi aku... aku tidak punya siapa-siapa..."
Diam-diam Tejolaksono tersentak kaget. Jantungnya berdebar dan ia maklum bahwa inilah sebuah di antara akibat daripada perbuatannya!
"Aduh, nimas Ayu... mengapa engkau berpendapat begitu? Ingatlah, Nimas... anak Endang Patibroto adalah anakku, dan anakku berarti anakmu pula, bukan? Ahhh, apakah akan jadinya kalau engkau pergi menyusul Bagus Seta? Hal ini tidak mungkin, tidak boleh kau lakukan, Nimas. Engkau tahu bahwa kalau hal itu kau lakukan, berarti engkau akan menghancurkan hatiku... betapa engkau tega melakukan hal seperti itu..."
Ayu Candra mengangkat mukanya memandang wajah suaminya. Melihat betapa sepasang alis suaminya berkerut, sepasang mata itu sayu dan sedih, ia lalu menubruk, merangkul dan membenamkan muka di dada suaminya.
"Duh... Kakangmas... ampunkan hamba... ampunkan hamba yang picik dan lemah... Kakangmas, legakan hatimu, aku... aku takkan melakukan hal itu... betapapun berat rasa hatiku, akan kukuat-kuatkan..."
Rasa hati Tejolaksono seperti disiram air embun di puncak Semeru. Batu seberat gunung yang menindih hati serasa diangkat. Lapang bukan main rasa dadanya. Diciumnya ubun-ubun kepala Isterinya dengan sepenuh kasih sayangnya dan ia berbisik,
"Aku tahu.... aku tidak pernah meragukanmu, Yayi... aku tahu bahwa engkau adalah isteriku yang tercinta, seorang isteri yang setia dan bijaksana..."
Agaknya urusan itu akan menjadi beres kembali dan hanya sampai sekian saja karena Ayu Candra sudah kelihatan tenang kembali dan hati Tejolaksono sudah menjadi lega dan girang. Akan tetapi sang adipati ini tidak melihat dan tidak tahu apa yang terjadi di luar kamarnya. Kalau saja ia tahu, tentu ia tidak akan dapat begitu bahagia memadu kasih dengan Ayu Candra.
Dengan gerakan yang amat ringan, Endang Patibroto meninggalkan jendela kamar Ayu Candra. Ia menahan suara isak tangisnya dengan kedua tangan yang didekapkan rapat-rapat ke depan mulut dan hidung, kemudian setelah agak jauh, ia lari memasuki taman yang gelap dan sunyi. Ia tidak berani kembali ke kamarnya, karena khawatir kalau-kalau suara tangisnya terdengar oleh bibi Roro Luhito.
Kini ia berada di taman sari yang sunyi dan gelap dan di sinilah, di atas sebuah bangku di bawah pohon kenanga, Endang Patibroto menangis mengguguk. Dengan kekerasan hatinya ditahannya tangis itu, dan kini ia hanya terisak-isak dan duduk melamun. Percakapan antara Tejolaksono dan Ayu Candra masih terngiang-ngiang di telinganya dan jantungnya serasa ditusuk-tusuk.
Apa yang selama ini ia khawatirkan terjadi! Ayu Candra tidak rela ia menjadi isteri Tejolaksono, tidak rela ia berada di situ! Memang tidak terang-terangan menyatakan ketidakrelaannya, akan tetapi sama saja artinya. Masih terngiang dalam telinganya ucapan Ayu Candra sambil menangis tadi.
"Karena engkau sebentar lagi akan mempunyai putera lain! Engkau dan diajeng Endang Patibroto akan mempunyai seorang putera yang selalu dekat dengan kalian, akan tetapi aku... aku tidak punya siapa-siapa..."
Ayu Candra bahkan rela hendak meninggalkan kadipaten! Ah, betapa mungkin ia mendesak kedudukan Ayu Candra seperti ini? Dahulu ia sudah melakukan banyak hal yang menyakitkan hati Ayu Candra. Membunuh ayah kandung dan ibu tirinya, bahkan hendak membunuh Ayu Candra. Dan sekarang, ia merampas suaminya dan hendak merebut pula kedudukannya? Tidak! Sampai matipun tidak sudi ia melakukan hal tak tahu malu ini! Dialah yang harus pergi dari situ! Memang sejak semula ia sudah ingin pergi, akan tetapi... cinta kasihnya terhadap Joko Wandiro demikian besar... ingin ia selalu berdampingan, dan karena kandungannya, ia tak ingin berpisah lagi dari suaminya itu, ayah dari anak dalam kandungannya.
Akan tetapi sekarang jelas baginya bahwa tidak mungkin terlaksana keinginan hatinya itu. Ayu Candra hanya di lahirnya saja mau menerimanya dengan rela, akan tetapi batinnya menolak dan membencinya! Dan Adipati Tejolaksono amat mencinta Ayu Candra! Dia tidak sudi kalau harus memperebutkan cinta! Dia tidak sudi kalau harus tunduk, memperlihatkan kelemahan hatinya. Tidak, hidup seperti itu akan membuatnya sengsara dan sewaktu-waktu ia tentu takkan dapat mengendalikan hatinya lagi dan mungkin timbul keributan kalau ia sampai bertentangan dengan madunya. Ia tidak ingin menimbulkan ribut dan dosa lagi. Ia akan pergi mengasingkan diri, mencari tempat sunyi.
Biarpun hatinya mengambil keputusan demikian, namun Endang Patibroto merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk yang membuatnya menangis tersedu-sedu lagi. Teringat ia akan Tejolaksono, terbayang ia akan segala kemesraan yang dinikmatinya malam tadi. Ia tahu bahwa sesungguhnya pria inilah yang ia idam-idamkan semenjak dahulu. Dan sekarang, setelah menjadi miliknya, harus ia lepaskan lagi! Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya diikuti suara yang halus pula, menggetar penuh keharuan,
"Ayunda.... mengapa ayunda menangis...?"
Mendengar suara adik kandungnya ini, makin sedih hati Endang Patibroto. Ia meraih Setyaningsih, merangkul dan mendekapnya sambil menangis makin sesenggukan. Setyaningsih biarpun baru berusia sebelas tahun, akan tetapi anak ini mewarisi watak ayahnya, yaitu mendiang Pujo, satria yang sakti mandraguna, bijaksana, berpandangan luas dan bersikap tenang. Setyaningsih biarpun saudara sekandung Endang Patibroto, namun wataknya jauh berbeda. Tidak mudah terseret perasaan sehingga biarpun kini air matanya juga turun bercucuran, namun ia dapat menahan diri, tidak sampai mengguguk seperti tangis Endang Patibroto. Wanita perkasa ini dahulu juga memiliki watak yang kuat, akan tetapi kekuatannya berdasarkan kekerasan, bukan seperti Setyaningsih yang berdasarkan ketenangan,
"Ayunda, apakah ayunda teringat kepada ibunda? Ah, ayunda. Kanjeng Ibu sudah seda (tewas) sebagai seorang wanita utama, sebagai seorang perajurit perkasa. Selayaknyakah kalau puteri-puterinya menangisinya terus? Ayunda, harap ayunda jangan menangis..." Setyaningsih membelai-belai rambut kakaknya dengan penuh kasih sayang.
"Aduh, adikku Setyaningsih..." Endang Patibroto mencium pipi adiknya dan sambil memegangi kedua pundak anak itu, mereka berpandangan. "Engkau benar, Setyaningsih, tidak perlu banyak menangis karena menangis adalah tanda kelemahan. Dan kita berdua bukanlah orang-orang lemah, kita berdua adalah keturunan suami isteri yang sakti mandraguna! Kini ayah bunda kita telah meninggal dunia, adikku dan aku hanya mempunyai engkau, engkaupun hanya mempunyai aku! Karena itu kita harus pergi dari sini, Setyaningsih, sekarang juga."
Setyaningsih memandang ayundanya dengan sepasang mata terbelalak kaget dan heran. Ucapan ayundanya ini sama sekali tak pernah disangkanya. Biarpun ia baru berusia sebelas tahun, namun dia bersama Pusporini sudah mengerti bahwa ayundanya ini menjadi garwa selir Adipati Tejolaksono.
"Akan tetapi... Ayunda... bukankah ayunda telah menjadi isteri rakanda adipati?"
Endang Patibroto menghela napas panjang. "Benar, adikku. Akan tetapi rumah ini adalah milik ayunda Ayu Candra. Setelah ibu kita sekarang meninggal dunia, kita berdua tidak berhak lagi tinggal di sini."
"Mengapa begitu, ayunda? Kalau ayunda menjadi isteri rakanda adipati, ayunda mempunyai hak sepenuhnya tinggal di sini. Siapakah yang akan melarang Ayunda? Saya kira tidak ada seorangpun yang akan merasa keberatan dan..."
"Sudahlah, Setyaningsih. Engkau masih terlalu kecil untuk dapat mengerti urusanku. Pendeknya, malam ini juga aku akan pergi dari sini. Kalau engkau kasihan dan mencinta kepada ayundamu ini, marilah engkau ikut bersamaku."
Sambil berkata demikian, Endang Patibroto bangkit berdiri. Setyaningsih bangkit pula dan memegang tangan ayundanya erat-erat.
"Ayunda menjadi pengganti kanjeng ibu. Aku ikut..."
"Anak baik, seharusnya begitulah. Mari kita pergi!" Endang Patibroto memondong tubuh Setyaningsih dan dibawanya meloncat cepat meninggalkan taman sari, menghilang di dalam kegelapan malam.
Beberapa kali Setyaningsih menoleh dan memandang lampu-lampu yang menerangi gedung kadipaten sampai akhirnya bayangan gedung itu lenyap. Dua matanya menjadi basah dan di dalam hati anak ini timbul kesangsian apakah ia akan dapat melihat kembali gedung Kadipaten Selopenangkep ini.
Pada keesokan harinya, keluarga kadipaten menjadi gempar ketika melihat lenyapnya Endang Patibroto dan Setyaningsih. Lenyap begitu saja tanpa meninggalkan pesan, bahkan pakaian Setyaningsih di dalam kamarnyapun masih lengkap yang berarti bahwa anak itu lenyap hanya membawa pakaian yang dipakainya malam itu!
Roro Luhito menghela napas dan memeluk puterinya yang menangis karena hilangnya Setyaningsih, saudara tirinya yang amat dikasihinya.
"Ahhh, kukira tentu Endang Patibroto yang membawa Setyaningsih pergi. Agaknya masih juga belum berubah watak yang keras dan aneh luar biasa dari Endang Patibroto. Aku sudah merasa tidak enak hati dan menduga tentu akan terjadi sesuatu yang tidak baik ketika ia datang. Ah, angger, anakku adipati, kuatkanlah hatimu menghadapi ujian Hyang Widhi yang amat berat ini." Kembali Roro Luhito menghela napas lalu menggandeng tangan Pusporini diajak masuk ke belakang. Tak tahan ia menyaksikan pandang mata sayu Adipati Tejolaksono.
Hanya suami isteri itulah yang mengerti apa sebabnya Endang Patibroto melarikan diri. Mereka dapat menduganya. Tentu Endang Patibroto telah mendengar percakapan antara mereka semalam! Melihat sinar mata suaminya yang begitu sayu, wajah yang pucat dan muram, tarikan mulut yang membayangkan kedukaan yang hebat, Ayu Candra lalu membalikkan tubuhnya, terisak dan lari memasuki kamarnya.
Adipati Tejolaksono melangkah dengan lemas mengikuti isterinya, memasuki kamar. Ketika Ayu Candra melihat suaminya masuk kamar, ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua kaki suaminya, menangis dan berkata,
"Aduh, Kakangmas Adipati. Semua adalah kesalahanku...! Karena kelemahan dan kepicikanku... tentu diajeng Endang Patibroto mendengarnya dan merasa tersinggung hatinya... padahal sungguh mati aku sudah menghapus perasaan itu, Kakangmas. Pergilah menyusulnya, Kakangmas. Bujuklah agar suka kembali ke sini dan aku akan mohon ampun kepadanya..."
Sejenak Adipati Tejolaksono termenung. Terbayanglah di depan matanya segala peristiwa dahulu di waktu dia masih muda. Watak Endang Patibroto amatlah keras liar dan aneh. Biarpun akhir-akhir ini Endang Patibroto bersikap amat mesra, lembut, dan merupakan seorang wanita yang mencintanya dengan seluruh jiwa raga, yang sepenuhnya wanita, namun agaknya, tepat seperti wawasan Roro Luhito, Endang Patibroto masih belum berubah wataknya yang keras dan aneh luar biasa.
Dan mengingat akan watak ini, agaknya akan sia-sia belaka kalau Ia menyusul. Selain amatlah sukar mencari seorang wanita sesakti Endang Patibroto yang melarikan diri, juga andaikata bertemu kiranya tidak mudah membujuknya untuk pulang ke Selopenangkep. la tahu bahwa Endang Patibroto mencintanya, namun kekerasan hati wanita itu akan mengalahkan cinta kasihnya karena wanita itu berwatak baja, tidak mau tunduk terhadap siapapun juga. Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat bangun Ayu Candra.
"Tidak akan ada gunanya, Nimas. Seorang yang berhati baja seperti diajeng Endang Patibroto, tidak akan mudah dibujuk. Dia tidak akan menyerah sampai mati, kalau tidak karena kehendak sendiri. Dia sudah pergi, dan satu-satunya yang dapat kita lakukan hanyalah menanti sampai dia suka pulang sendiri. Apa boleh buat seorang manusia hanya dapat menerima apa yang telah ditentukan oleh Hyang Widhi..."
Semenjak terjadi peristiwa ini, terjadi perubahan yang amat besar di dalam Kadipaten Selopenangkep. Perubahan yang amat terasa oleh seluruh penghuni kadipaten. Ayu Candra seringkali termenung dan berduka, tidak hanya karena rindunya kepada Bagus Seta, juga karena rasa penyesalan di dalam hati karena wanita yang halus budi ini tak pernah berhenti menyesali diri sendiri dan menganggap dialah yang menyebabkan larinya Endang Patibroto sehingga akibatnya, dia pula yang menyebabkan suaminya selalu berduka.
Tubuh Adipati Tejolaksono menjadi kurus dan adipati yang sakti ini kehilangan cahaya kegairahan sinar matanya. Sikapnya menjadi makin tenang dan pendiam sungguhpun terhadap Ayu Candra tidak pernah berubah kemesraan cinta kasihnya. Kadipaten yang bertahun-tahun selalu gembira dan suasana riang dengan adanya tiga orang yaitu Setyaningsih, Pusporini dan Bagus Seta, kini kelihatan sunyi karena dua dari tiga orang anak itu telah pergi dan kini tinggal Pusporini seorang.
Karena di situ hanya tinggal Puspotini seoranglah maka sang adipati dan isterinya melimpahkan rasa sayangnya kepada anak ini. Seakan-akan anak ini yang merupakan penghibur bagi mereka. Memang Pusporini seorang anak yang dapat mendatangkan kegembiraan. Dia amat lincah dan gembira, cerdik dan pandai bicara. Melihat kecerdikan Pusporini, Adipati Tejolaksono lalu mulai mendidik anak ini dengan ilmu silat dan kedigdayaan.
Roro Luhito amat girang melihat hal ini. Terutama sekali girang karena anak keponakannya itu dan isterinya mendapat hiburan dengan adanya Pusporini, maka iapun melepas tangan dan membiarkan puterinya menerima gemblengan sang adipati yang memiliki ilmu kesaktian jauh lebih tinggi daripada dia sendiri. Maka mulai tenteram pulalah keadaan hati Adipati Tejolaksono dan isterinya. Memang mereka selalu masih merindukan Bagus Seta dan menyesalkan kepergian Endang Patibroto, akan tetapi hati mereka terobat oleh kelincahan dan keriangan Pusporini. Hanya di waktu malam yang sunyi, kadang-kadang apabila teringat akan puteranya dan akan Endang Patibroto, Ayu Candra suka menangis dan suaminya selalu siap untuk menghiburnya. Suami isteri ini seolah-olah mengikuti hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun mengharapkan lewatnya lima tahun untuk menyambut kembalinya putera mereka, Bagus Seta.
Pusporini seorang anak perempuan yang cerdik sekali di samping wajahnya yang cantik manis. Kulit tubuhnya hitam manis seperti ibunya, perawakannya singsat padat dan langsing, rambutnya hitam agak berikal. Anak ini maklum akan kehebatan ilmu kesaktian rakandanya, maka ia belajar dengan amat tekun dan berIatih amat rajin sehingga amat mengagumkan hati Tejolaksono. Adipati ini maklum bahwa puteranya mendapatkan guru yang jauh lebih sakti daripadanya dan karena tidak ada anak lain yang akan ia warisi ilmunya, maka satu-satunya anak yang telah menjadi muridnya adalah adik misannya ini, puteri bibinya yang ternyata merupakan murid yang patut dibanggakan.
Yang terutama sekali mengagumkan pada diri Pusporini adalah bakatnya dalam ilmu meringankan tubuh dan gerakan yang amat gesit lincah, sesuai dengan wataknya yang periang. Bakatnya dalam hal ini jauh lebih menonjol daripada yang lain-lain sehingga dalam beberapa tahun saja ia sudah pandai berloncatan dan berkelebat cepat sekali melampaui kecepatan ibu kandungnya sendiri, bahkan menyusul pula tingkat Ayu Candra!
Aji kecepatan Bayu Tantra dapat ia pelajari dengan mudah dan tidak menghabiskan waktu terlalu lama, bahkan empat tahun kemudian ia sudah mulai mempelajari aji kecepatan Bayu Sakti! Dalam hal ilmu silat, memang terdapat bakat menari pada diri Pusporini. Ia dapat bergerak dengan lemas dan lemah gemulai sehingga di waktu ia dilatih ilmu silat oleh Adipati Tejolaksono, gerakan-gerakannya begitu indahnya seperti orang menari-nari saja.
Rakandanya yang menjadi gurunya ini sampai menjadi terheran-heran dan juga amat kagum, tak pernah menyangka bahwa ilmu silatnya dan aji-aji seperti Pethit Nogo yang dahsyat dan terkenal keampuhannya itu dapat dimainkan sedemikian indahnya sehingga merupakan tari-tarian luar biasa oleh Pusporini!
Bakat-bakat yang baik dalam diri Pusporini menambah kegembiraan Adipati Tejolaksono dalam memberi pelajaran, dan kemajuan-kemajuan anak ini menambah rasa sayang pada hati ketiga orang tua itu, Roro Luhito, Tejolaksono dan Ayu Candra. Bahkan bukan hanya tiga orang ini saja yang menaruh rasa sayang kepada Pusporini, juga semua abdi dalem Kadipaten Selopenangkep dan akhirnya rasa sayang ini menjalar sampai keluar kadipaten, di antara para ponggawa dan penduduk sekitar kadipaten.
Hal ini adalah karena Pusporini yang lincah gembira itu selalu bersikap baik dan ramah kepada siapapun juga, selalu rendah hati dan tidak sombong seperti biasanya puteri-puteri bangsawan yang memandang rendah rakyat kecil. Tidak, Pusporini tidak seperti itu. Puteri ini bahkan seringkali membantu para petani dalam pekerjaan di sawah ladang milik sang adipati. Membantu dalam hal bercocok tanam, ramai-ramai ikut menanam dan memotong padi dengan paman-paman dan bibi-bibi tani.
Juga ia amat terkenal dan disayang di antara para pengawal dan perajurit karena selain memiliki ilmu kepandaian yang mengagumkan, juga Pusporini ikut pula berlatih perang-perangan, berlatih menunggang kuda sehingga semua perajurit yang menyaksikan ketangkasan gadis cilik ini menjadi kagum dan sayang.
Jangan disangka bahwa Pusporini hanya suka akan olah keperajuritan, sama sekali bukan demikian. Iapun terkenal di dalam kadipaten, di antara para abdi dalem, di antara para seniman dan seniwati kadipaten karena anak ini semenjak kecil ikut pula belajar seni tari di mana bakatnya amat menonjol dan belajar pula seni suara dengan suaranya yang nyaring sekali.
Demikianlah, dengan adanya Pusporini, sedikitnya mendung yang menyelimuti Kadipaten Selopenangkep dapat terusir. Atau setidaknya, pada lahirnya Pusporini dapat menciptakan sinar kegembiraan di dalam kadipaten sehingga sang adipati dan isterinya dapat terhibur dan agaknya keadaanpun menjadi aman dan tenteram.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan-bulan ditelan tahun. Sang Waktu bergerak terus, tiada kekuasaan di bumi ini yang dapat menahannya, merayap amat perlahan jika diperhatikan, membalap cepat melebih kilat apabila tidak diingat. Betapapun juga, segala yang tampak dan tidak tampak di dunia ini, besar maupun kecil, keras maupun lunak, apa saja tidak pandang bulu, kesemuanya ditelan habis oleh Sang Waktu yang memegang rahasia akhir kemenangan.
Segala sesuatu yang diperoleh manusia di dunia ini tidak ada yang kekal. Pertemuan akan berakhir perpisahan. Yang mendapatkan atau mempunyai akan kehilangan. Karena sesungguhnya, segala di dunia ini bukanlah milik manusia. Manusia hanya berhak menikmati, namun sama sekali tidak berhak memiliki. Harta benda dan kedudukan, semua itu hanya benda titipan, sewaktu-waktu kita akan dipaksa berpisah dari mereka, mau atau tidak, suka atau tidak. Harta benda atau kedudukan akan pergi meninggalkan kita, atau kita yang akan pergi meninggalkan mereka. Bahkan keluarga yang kita cinta, anak-anak, isteri dan semua keluarga, sesungguhnya bukanlah milik kita!
Manusia hanya mendapat titipan yang dilengkapi dengan kewajiban-kewajiban sebagai manusia beradab, dan tidak lebih daripada itu. Jika sudah tiba saatnya Yang Maha Kuasa yang menjadi Pemilik Sejati mengambilnya kembali dari tangan kita, tidak ada kekuasaan lain di dunia ini yang akan menahan atau mencegahnya. Harta benda dan kedudukan bisa musnah sewaktu-waktu. Anggota keluarga tersayang bisa mati sewaktu-waktu.
Atau dengan lain cara, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, kita sendiri bisa mati sewaktu-waktu meninggalkan dan berpisah dari kesemuanya itu! Ditinggalkan oleh atau meninggalkan segala sesuatu yang hanya dititipkan kepada kita. Karena itu, makin besar cinta kasih kita kepada semua itu, makin sengsaralah apabila dipisah dari kita. Seperti dua buah benda, makin kuat melekat, makin parah kalau dipaksa berpisah, makin parah luka yang terobek oleh perpisahan paksaan itu.
Sesungguhnyalah bahwa manusia tidak mempunyai kekuasaan atas segala benda, yang terkecil maupun terendah sekalipun, bahkan,, tidak mempunyai kekuasaan atas dirinya sendiri, tidak kuasa mengatur denyut jantung, aliran darah, tumbuhnya kuku dan rambut di tubuh kita. Tidak kuasa atas nyawa sendiri. Karena hanya Yang Maha Kuasa sajalah yang berkuasa atas segala benda, yang tampak maupun tidak!
Manusia tidak punya kuasa, hanya mempunyai hak menikmati anugerah dan kewajiban memelihara segala sesuatu yang dititipkan atau dianugerahkan kepadanya. Kalau tidak melaksanakan kewajiban, tidak benar pemeliharaannya, akan rusaklah kesemuanya itu dan akibatnya menimpa diri sendiri. Segala peristiwa yang terjadi di atas bumi ini telah dikehendaki oleh Yang Maha Adil, dan betapapun peristiwa itu, adalah sudah tepat, wajar dan adil!
Bukanlah hal yang aneh kalau sesuatu peristiwa mendapat tanggapan yang berlawanan. Ada yang menganggapnya adil ada pula yang tidak, karena manusia amat dipengaruhi oleh nafsu ego masing-masing yang selalu mementingkan diri pribadi. Peristiwa yang menguntungkan dirinya pribadi akan dianggap adil, dan sebaliknya yang merugikan atau tidak menyenangkan dirinya pribadi akan dianggap tidak adil! Akan tetapi sesungguhnya, setiap peristiwa itu adalah wajar dan adil, sesuai dengan sifat Yang Maha Adil!
Manusia yang tidak dapat melihat keadilan dalam setiap peristiwa, hanya disebabkan karena tidak mengertinya. Tentu saja orang tidak akan dapat melihat keadilan kalau dia tidak mengerti akan duduknya perkara, tidak tahu akan sebab akibat. Peristiwa yang menimpa diri Adipati Tejolaksono berturut-turut kalau dipandang dan dinilai mata manusia biasa tampaknya juga tidak adil karena satria perkasa ini seakan-akan selalu ditimpa kemalangan.
Empat tahun telah lewat semenjak Endang Patibroto minggat pada malam hari itu, tak diketahui ke mana perginya, membawa Setyaningsih bersamanya. Empat tahun telah lalu semenjak Bagus Seta tidak berada di Kadipaten Selopenangkep.
Sementara itu, bahaya besar datang mengurung, seperti mendung-mendung hitam yang ditiup datang oleh angin angkasa yang keras sehingga tanpa disangka-sangka tahu-tahu telah memenuhi udara di atas kepala. Tadinya Adipati Tejolaksono hanya mendengar berita bahwa ada pergerakan pasukan-pasukan asing di barat dan utara, akan tetapi karena tidak terjadi perampokan dan penyerbuan terhadap dusun-dusun, maka tidak ada laporan apa-apa yang sampai ke telinganya.
Kalau terjadi perampokan-perampokan seperti yang dilakukan pasukan gerombolan Lembah Serayu seperti yang terjadi empat tahun yang lalu, tentu siang-siang sudah banyak rakyat yang datang melapor ke kadipaten. Akan tetapi malam hari itu hati Sang Adipati Tejolaksono merasa gelisah tanpa sebab. Seringkali jantungnya berdebar aneh. Sebagai seorang sakti, sang adipati segera memasuki kamar dan duduk bersila di atas pembaringan, bermuja samadhi. Isterinya, Ayu Candra, juga merasa tidak enak hati, maka iapun duduk di dekat suaminya, siap melayani kebutuhan suaminya yang sedang bersamadhi itu.
Di dalam keheningan samadhinya, telinga sang adipati menangkap suara berisik, seolah-olah ia mendengar ombak laut selatan mengamuk, atau seolah-olah mendengar kawah Gunung Mahameru mendidih, ataukah Sungai Progo membanjir? Bulu tengkuknya meremang dan ia sadar dari samadhinya, menoleh kepada isterinya sambil menarik napas panjang.
"Nimas, apakah engkau merasa juga apa yang kurasakan?"
Ayu Candra mengangguk. "Semenjak sore tadi hatiku merasa tidak enak..."
"Biarlah kita serahkan segalanya kepada kehendak Hyang Widhi, Nimas. Sekarang kau perintahkan pengawal untuk memanggil kepala pengawal menghadap, sekarang juga."
Biarpun agak heran mendengar suaminya menyuruh kepala pengawal menghadap di malam hari, hampir tengah malam, namun Ayu Candra tidak membantah, tidak pula bertanya, melainkan bergegas dari kamar dan memanggil pengawal yang menjaga di depan kadipaten. Seorang di antara para pengawal itu cepat melakukan perintah ini, pergi memanggil kepala pengawal yang tinggal di ksatrian.
Tentu saja kepala pengawal segera menghadap dengan gelisah. Kalau pada waktu seperti itu sang adipati memanggilnya menghadap, sudah pasti terjadi hal yang amat penting. Alangkah herannya ketika menghadap, sang adipati memerintahkan dia membawa pasukan dan berangkat malam itu juga keluar dari kadipaten, membagi pasukan dan melakukan penyelidikan ke barat dan utara.
"Bawa separuh pasukan keluar dan bagi menjadi dua, selidiki keluar kadipaten bagian barat dan utara. Separuh pasukan tinggalkan menjaga kadipaten, perkuat penjagaan dan perketat kewaspadaan. Kau sendiri pimpinlah pasukan yang bertugas keluar, kakang Mundingyudo, dan selidikilah desas-desus tentang gerakan pasukan asing di barat dan di utara itu. Kalau bertemu dengan pasukan-pasukan itu, jangan sekali-kali turun tangan menggempur mereka sebelum mengetahui apa kehendak mereka. Kemudian kirim laporan kepadaku tentang penyelidikanmu."
Maka ributlah para perajurit Kadipaten Selopenangkep karena pada tengah malam itu mereka semua diperintah untuk bangun dan bersiap-siap. Kepala pasukan Raden Mundingyudo segera membagi-bagi tugas dengan para bawahannya dan setelah berunding secara singkat, berangkatlah pasukan-pasukan Selopenangkep ini keluar dari kota kadipaten dan seperti rombongan semut pindah tempat mereka terpecah menjadi dua bagian, sebagian ke barat dan sebagian lagi ke utara.
Pasukan-pasukan yang tertinggal di kadipaten memperkuat penjagaan dan kewaspadaan sesuai dengan perintah sang adipati melalui Raden Mundingyudo. Semua persiapan bahkan sampai pemberangkatan pasukan keluar kadipaten, dilangsungkan dengan rapi dan tidak sampai diketahui para penduduk sehingga tidak menimbulkan kepanikan.
Adipati Tejolaksono sendiri lalu mengajak isterinya pergi menghadap Roro Luhito di bagian belakang kadipaten kemudian sang adipati menceritakan tentang perasaannya yang tidak enak.
"Pergerakan pasukan-pasukan asing itu amat mencurigakan, Bibi. Karena itu malam ini juga saya sendiri akan pergi melakukan penyelidikan. Harap Kanjeng Bibi dan Ayu Candra bersikap waspada memimpin pasukan yang melakukan penjagaan di kadipaten."
"Jangan khawatir, Ananda Adipati. Memang seyogianya dilakukan penyelidikan sendiri. Setelah apa yang Ananda saksikan ketika terjadi pertemuan di puncak Merapi, desas-desus tentang pasukan-pasukan asing itu harus dicurigai. Tentang kadipaten, cukup berada di tanganku dan isterimu Ayu Candra. Juga Pusporini sekarang bukan kanak-kanak lagi, tenaganya dapat kita pergunakan untuk memperkuat penjagaan kadipaten;" demikian kata Roro Luhito yang biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, hampir lima puluh dua tahun, namun semangatnya masih besar dan ketangkasannya tidak banyak berkurang.
Setelah meninggalkan pesan kepada isterinya agar berhati-hati menjaga kadipaten, dan mengatakan bahwa penyelidikannya tidak akan lebih daripada sepekan lamanya, Tejolaksono malam itu juga menyusul keberangkatan pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Raden Mundingyudo dan teman-temannya. Karena Ia ingin agar penyelidikannya dapat dilakukan dengan leluasa, maka Adipati Tejolakspno mengganti pakaiannya dengan pakaian petani biasa dan ia berangkat dengan jalan kaki saja.
Namun, kiranya jika ia berkuda, tidak akan secepat perjalanannya sekarang karena ia mempergunakan Aji Bayu Sakti sehingga tubuhnya berkelebat cepat sekali bagaikan burung terbang sehingga dalam waktu singkat ia telah melampaui pasukannya yang menuju ke barat. Kalau Mundingyudo ia perintahkan menyelidiki keadaan dan gerak-gerik pasukan asing yang kabarnya bergerak di daerah barat dan utara, adalah dia sendiri ingin menyelidiki keadaan rakyat di dusun-dusun, ingin melihat apakah terjadi sesuatu di dalam tata kehidupan rakyat pedesaan, terutama sekali tentang kehidupan budaya dan kepercayaan agama, karena sang adipati khawatir kalau-kalau rakyat akan dipaksa dalam hal ini oleh kekuatan-kekuatan asing.
Dalam penyamarannya sebagai seorang petani sederhana, dengan mudah Tejolaksono dapat masuk keluar dusun-dusun tanpa ada yang mengenalnya. Dan apa yang disaksikan membuat ia terkejut bukan main. Memang, pada lahirnya, tidak terjadi sesuatu yang menghebohkan di dalam dusun-dusun itu dan keadaan rakyatnya tampak senang dan tata tenteram kerta raharja. Akan tetapi sesungguhnya telah terjadi perubahan yang hebat.
Di dalam beberapa buah dusun ia melihat telah didirikan wihara-wihara dan candi dan sebagian besar penduduk dusun sudah menukar pujaan mereka. Di sebuah dusun, penduduknya mulai menukar pujaan menjadi pemeluk Agama Buddha, dan di lain dusun memuja Sang Hyang Shiwa. Akan tetapi karena ia tidak melihat kekerasan atau paksaan dalam hal pengembangan kedua agama itu, ia tidak dapat berbuat sesuatu.
Hanya ia melihat gejala-gejala aneh dalam penukaran pujaan ini, yaitu lenyapnya para pendeta pemuja Sang Hyang Wishnu dan digantinya kepala-kepala dusun oleh pemuja Sang Hyang Shiwa atau yang beragama Buddha! Di samping itu, rakyat tertarik berganti pujaan karena kegaiban-kegaiban yang didemonstrasikan oleh pendeta-pendeta pembawa agama baru itu.
Adipati Tejolaksono lalu mendatangi Dusun Sumber karena ia mengenal baik kepala dusun di situ. Bahkan dia sendiri yang mengangkat Ki Sentana menjadi kepala dusun Sumber. Ia tahu benar bahwa Ki Sentana adalah seorang pemeluk atau pemuja Sang Hyang Wishnu yang patuh, seorang bekas perajurit Panjalu yang setia. Ia mengharapkan keterangan yang jelas dari bawahannya itu tentang segala rahasia yang kini mencengkeram dusun-dusun di sebelah barat Selopenangkep.
Ia memasuki dusun Sumber di waktu senja dan langsung mendatangi rumah kepala dusun. Rumah itu sunyi dan gelap, bahkan di ruangan depan tidak ada meja kursinya, juga pekarangan depannya kotor sekali, tidak terpelihara. Tejolaksono memasuki halarnan yang penuh dengan daun kering, terus maju memasuki ruangan depan, memandang ke arah pintu yang terbuka separuh sambil berseru,
"Kulonuwun...."
Tidak ada jawaban, akan tetapi telinganya yang tajam mendengar suara langkah kaki dari dalam rumah itu. Langkah kaki wanita, pikirnya, karena langkah itu halus perlahan, ia menanti dengan hati berdebar. Ada sesuatu yang tidak wajar dalam rumah Ki Sentana ini, pikirnya. Mengapa begini sunyi dan gelap? Mengapa rumah kepala dusun begini kotor tidak terawat?
Sinar terang tampak dari dalam dan tak lama kemudian muncullah wanita yang langkah kakinya terdengar oleh Tejolaksono. Wanita yang masih muda, kurang lebih dua puluh lima tahun usianya. Wanita yang cantik dengan sepasang mata yang bersinar tajam dan kerling serta tarikan mulutnya genit sekali. Wanita ini melangkah keluar dengan lenggang menarik, membawa sebuah lampu kecil.
Begitu muncul dari pintu dan berhadapan dengan Tejolaksono, ia memandang penuh selidik dan pandang mata itu menjadi manis sekali, diikuti senyumnya memikat dan malu-malu. Biarpun wanita itu tidak berkata sesuatu, namun pandang matanya penuh pertanyaan dan Tejolaksono cepat memperkenalkan diri tanpa menyebut namanya, "Maafkan kalau saya menganggu. Saya mohon berjumpa dengan Paman Sentana lurah dusun ini."
"Oohhh, sungguh tidak kebetulan sekali. Paman Sentana sedang tidak berada di rumah."
Suara wanita itu halus dan merdu seperti suara seorang waranggana, dan di waktu bicara, bibirnya bergerak memikat dan tampak giginya yang putih rata menggigit-gigit bibir bawah menyeling kata-katanya. Bibir yang penuh basah dan bergerak seperti itu, gigitan bibir, dagu yang kadang-kadang menggeser ke kanan kiri, kerling yang tajam menyambar, semua itu membayangkan kegenitan yang memikat sehingga Tejolaksono terheran-heran dan menduga-duga siapa gerangan wanita ini. Ia tahu bahwa Ki Sentana yang sudah tua tidak mempunyai puteri, hanya ada dua orang puteranya yang lima tahun lalu masih perjaka. Apakah wanita ini seorang di antara menantunya?
"Kalau bibi... adakah...?" tanyanya agak gugup, karena memang merasa canggung sekali dan tidak terduga-duga bahwa kedatangannya akan disambut seorang wanita muda yang selain cantik jelita juga jelas memperlihatkan sikap genit memikat!
Wanita itu menahan senyum, bibir bawah agak berjebi dan menggeleng kepala. "Sayang sekali, bibi juga pergi bersama Paman Sentana."
Makin tidak enak rasa hati Tejolaksono melihat bibir yang berjebi sehingga tampak penuh dan merah itu serta mata yang makin menantang. "Kalau begitu, biarlah lain kali saya datang lagi..."
Ia sudah hendak memutar tubuh ketika wanita itu berkata, "Aehh, nanti dulu harap jangan tergesa-gesa pergi. Saya bukanlah orang lain, melainkan keponakan Paman Sentana, namaku Sariwuni. Lebih baik andika menanti di sini sebentar, karena malam ini paman dan bibi akan pulang. Paman dan bibi tentu marah sekali kepada saya kalau mendengar bahwa ada tamu datang tidak saya persilahkan menunggu. Silahkan masuk, Raden.... kamar tamu di sebelah kiri ini kosong. Harap suka menanti sebentar, tidak lama lagi paman dan bibi tentu akan pulang."
Lenyap keraguan hati Tejolaksono. Hemm, kiranya anak keponakan Ki Sentana. Heran dia bahwa Ki Sentana mempunyai seorang anak keponakan yang secantik dan segenit ini! Tidak apalah ia menanti sebentar, karena ia ingin sekali bicara dengan Ki Sentana. Pula, kalau ia tidak mau menanti, ke manakah ia akan mencari keterangan? Tanpa berkata sesuatu ia lalu menganggukkan kepala dan memasuki rumah itu, terus memasuki sebuah kamar yang cukup bersih namun sederhana di sebelah kiri ruangan depan. Wanita yang bernama Sariwuni itu meninggalkan pelitanya dalam kamar, lalu berkata manis,
"Silahkan Raden beristirahat sambil menanti."
Berdebar hati Tejolaksono. Baru sekarang ia melihat kejanggalan itu. Sudah dua kali Sariwuni menyebutnya "Raden"! Tentu saja hal ini janggal dan aneh sekali! Biarpun ia seorang adipati, akan tetapi pada saat itu ia menyamar sebagai seorang petani sederhana dan wanita ini tidak mengenal siapa dia. Mengapa menyebut Raden? Hatinya tidak enak, akan tetapi wanita itu sudah melangkah keluar dari pintu kamarnya. Jelas tampak sepasang buah pinggul wanita itu bergoyang turun naik karena langkahnya yang sengaja dibuat-buat melenggang-lenggok. Ah, kalau tidak sudah terlanjur memasuki kamar tamu, dan kalau tidak amat penting baginya menemui Ki Sentana, tentu ia tidak suka berada di sini. Ada sesuatu yang aneh pada diri wanita itu, seperti anehnya keadaan di rumah Ki Sentana ini yang sunyi dan tidak seperti dahulu.
Tejolaksono duduk di atas pembaringan di dalam kamar itu, pembaringan terbuat dari kayu jati. la termenung dan mengharapkan kedatangan Ki Sentana dengan cepat. Akan tetapi ketika terdengar langkah kaki, ia tahu bahwa yang mendatangi kamarnya kembali adalah wanita cantik itu. la tetap duduk dan mengangkat muka memandang ke arah pintu. Benar saja, Sariwuni yang muncul di pintu kamar, kini kedua tangannya membawa sebuah penampan (baki) berisi nasi panas, lauk-pauk dan kendi air. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri-seri mata bersinar-sinar, Sariwuni menurunkan penampan dan mengatur hidangan itu di atas meja dalam kamar, dan berkata, suaranya halus,
"Raden, silahkan dahar seadanya."
Sambil berkata demikian, Sariwuni dengan gerakan yang luwes menuangkan air ke dalam kobokan (tempat mencuci tangan sebelum makan), kemudian memandang wajah Tejolaksono, tersenyum dan matanya menunduk seperti malu-malu dan mengundurkan diri.
"Nanti dulu...!" Tejolaksono berkata dan Sariwuni berhenti melangkah lalu membalikkan tubuhnya yang ramping, memandang dengan alis terangkat. Manis sekali sikap dan wajahnya.
"Apakah yang dapat saya lakukan untukmu, Raden?"
"Tahukah engkau ke mana perginya paman dan bibi? Hari telah menjadi malam dan mereka belum juga pulang."
Dengan gerakan kenes wanita itu mengangkat kedua pundaknya dan kembali giginya tampak berkilau terkena sinar api pelita ketika ia membuka bibir.
"Saya tidak tahu ke mana, Raden. Akan tetapi paman tadi berkata bahwa tidak akan lama pergi dan malam ini pasti pulang."
Tejolaksono mengangguk-angguk dan ketika wanita itu hendak membalikkan tubuh lagi ia berkata, "Eh, Sariwuni, mengapa engkau menyebut aku Raden? Aku hanya seorang petani kenalan Paman Sentana..."
Sariwuni tertawa dan menutupi mulut dengan tangan kirinya. Kembali gerakan ini amat manis dan kenes, gerakan wanita yang tahu akan kebiasaan puteri-puteri bangsawan dan tidak seperti biasanya seorang perawan dusun yang polos dan jujur.
"Hi-hik.... seorang petani tidak bicara sehalus bicaramu, Raden. Juga kaki tangannya tidak sehalus kaki tanganmu, kulitnya tidak seputih dan sebersih kulitmu. Selain itu, wajah seorang petani... eh, tidak setampan..." Wanita itu tidak melanjutkan kata-katanya, lalu membalikkan tubuh dan setengah berlari keluar kamar meninggalkan suara ketawa ditahan.
Tejolaksono termangu, mengerutkan keningnya kemudian karena memang perutnya sudah lapar dan mulutnya haus, ia minum air dari kendi, mencuci tangan dan makan nasi putih yang pulen ditemani lauk-pauk yang cukup sedap. Selesai makan, ia mencuci tangan, membersihkan kakinya lalu naik ke pembaringan, duduk bersila menanti kedatangan Ki Lurah Sentana.
Akan tetapi sampai lama dan jauh malam, belum juga tuan rumah yang dinanti-nantinya itu datang. Tejolaksono menjadi hilang sabar. Akan tetapi ketika ia hendak turun dari pembaringan untuk menyelidiki hal ini, tiba-tiba pintu kamarnya itu terbuka dari luar. la terkejut karena kali ini ia tidak mendengar langkah kaki. Tahu-tahu pintu kamar itu terbuka dan muncul pula Sariwuni.
Tejolaksono yang masih duduk bersila di atas pembaringan, memandang dengan mata terbelalak. Wanita itu kini telah berubah jauh sekali. Kalau tadi hanya bersikap manis, kini sikapnya benar-benar keterlaluan. Menantang! Senyumnya masih manis memikat seperti tadi, rnatanya bersinar-sinar penuh daya tarik, rambutnya terurai lepas dan pakaian yang menutupi tubuhnya hanyalah sehelai tapih pinjung yang membungkus tubuh sampai ke dada kemudian bagian atasnya disuwelkan begitu saja di antara lekuk-lekuk dadanya.
Begitu ia masuk, bau yang harum menyerbu kamar. Bau mawar yang segar, seakan-akan Wanita itu baru mandi keramas air mawar? Kulit pundak dan lengan yang kuning langsat itu seperti lilin diraut, halus dan tipis sehingga membayangkan urat-urat yang halus berwarna kemerahan. Dengan lenggang lemah gemulai, disertai pandang mata dan senyum malu-malu yang makin memperkuat daya pikat, Sariwuni bergerak memasuki kamar dan mendekati Tejolaksono. Bau harum bunga mawar makin memabukkan. Bau bunga mawar ini memang amat sedap dan kiranya tidak ada orang di dunia ini, terutama kalau ia laki-laki, yang tidak menyukainya.
"Raden... tentu engkau merasa kesal menanti kembalinya paman dan bibi... agaknya mereka besok pagi kernbali... biarlah saya menemani Raden malam ini di sini..." Suaranya tersendat-sendat, dada itu bergelombang turun naik dan suwelan tapih itu lama-lama tentu akan terlepas oleh gerakan dada.
Tejolaksono adalah seorang laki-laki. Pemandangan yang dihadapinya itu tentu saja amat menarik dan menggairahkan karena diapun seorang pria yang sehat dan normal. Akan tetapi Adipati Tejolaksono adalah seorang ksatria sejati. Keteguhan batinnya tidak mudah tergoncang oleh pikatan dan bujuk rayu karena didasari keyakinan bahwa hal ini adalah tidak benar!
Dia memiliki harga diri yang tinggi, tidak sudi ia melakukan pelanggaran susila yang akan menyeretnya turun ke lembah kehinaan. Wanita ini adalah keponakan Ki Sentana dan ia sebagai seorang tamu, bagaimana ia akan sudi mencemarkan kehormatan keluarga tuan rumah? Pula, ia dapat melihat bahwa watak yang rendah sajalah yang dapat mendorong seorang wanita muda seperti Sariwuni untuk bersikap tidak tahu malu seperti ini.
"Eh, perempuan! Di mana kesusilaanmu? Mundurlah!" Bentaknya dengan muka menjadi merah.
Akan tetapi Sariwuni tidak menjadi takut, apalagi mundur. la berjebi sehingga bibir bawahnya melebar, memperlihatkan bagian bibir yang sebelah dalam dan amat merah.
"Duhai Raden, mengapa menolak cinta kasih mesra yang kusodorkan kepadamu? Jangan khawatir, paman dan bibi tidak ada, dan di rumah ini hanya ada kita berdua!" Tiba-tiba Sariwuni sudah melangkah dekat dan kedua lengannya bergerak merangkul, suwelan tapihnya tiba-tiba terlepas dan ia hendak mencium muka sang adipati,
"Perempuan tak tahu malu! Pergilah!" Tejolaksono menggerakkan tangan kirinya mendorong pundak Sariwuni. Tubuh wanita itu terdorong dan terlempar ke belakang. Akan tetapi alangkah kaget hati Tejolaksono ketika melihat wanita itu membuat gerakan jungkir balik ke belakang sehingga tidak sampai roboh dan kini sudah berdiri dengan mata terbelalak marah! Kedua tangan itu kini mengikatkan lagi ujung tapih yang terlepas, mengikatnya erat-erat pada dadanya. Lenyaplah kini sikapnya yang memikat, berganti pandang marah dan mulutnya cemberut.
Lenyaplah wajah bidadari terganti wajah iblis betina yang siap nenerkam korbannya! Setelah ikatan kainnya erat betul-betul, wanita itu menggerakkan kedua lengannya dengan gerakan aneh, membentuk lingkaran dan terdengar suara berkerotokan seolah-olah kedua lengannya menjadi patah-patah! Dan perlahan-lahan kedua tangan itu, dari ujung kuku sampai ke pergelangan tangan, berubah menjadi hitam. Pandang matanya menjadi buas ketika ia memekik,
"Si keparat Tejolaksono! Kau tidak suka mati dalam kenikmatan, biarlah kau mampus dalam penderitaan!" Mendadak sekali wanita cantik itu menubruk maju, kedua tangannya yang berkuku hitam itu mencengkeram ke arah muka dan perut. Serangannya ini ganas dan cepat bukan main!
Tejolaksono masih duduk bersila di atas pembaringan. Dia tadi terlampau kaget dan heran menyaksikan perubahan ini, apalagi mendengar namanya disebut. Akan tetapi ia maklum bahwa wanita ini bukan orang sembarangan. Terjangannya amat kuat dan cepat, sepasang tangan yang berkuku hitam itu dahsyat sekali. lapun tahu bahwa aji pukulan ini mengandung racun yang amat jahat. Bau harum kembang mawar kini lenyap tertutup bau wengur seperti bau ular berbisa. Karena maklum bahwa sepuluh buah kuku hitam itu tidak boleh menggurat kulitnya, ia lalu mengerahkan Ayi Pethit Nogo menyampok dari samping.
"Plakkk...!!"
Sariwuni merintih perlahan dan terdorong mundur terhuyung-huyung. Akan tetapi ia tidak roboh dan hal ini saja membuktikan bahwa dia memang kuat dan berilmu tinggi. Tidak sembarang orang dapat bertahan terhadap sampokan Pethit Nogo. Maka Tejolaksono berlaku hati-hati dan sekali ia bergerak, tubuhnya sudah melompat turun, berdiri dan hersiap sedia menanti serangan lawan, sikapnya tenang. Ia memandang tajam dan bertanya dengan suara tegas,
"Perempuan, siapakah gerangan engkau sesungguhnya? Tidak mungkin keponakan Paman Sentana!" Tiba-tiba wanita itu terkekeh ketawa. Suara ketawanya berbeda dengan tadi. Kalau tadi halus merdu dan penuh rayuan, kini seperti suara ketawa seekor kuntilanak.
"Hi-hi-hi-hi-hik...!"
"Wuni, keluarlah engkau...!" Tiba-tiba dari luar rumah itu terdengar suara laki-laki yang besar dan parau. Mendengar ini, kembali Sariwuni terkekeh lalu tubuhnya berkelebat, ia sudah lenyap menerobos keluar dari dalam kamar melalui pintu. Suara ketawanya masih terdengar sebentar, kemudian suasana menjadi sunyi kembali.
Adipati Tejolaksono tidak mengejar. Ia seorang yang waspada. la maklum bahwa munculnya wanita itu memang sudah diatur terlebih dahulu. Pihak musuh, entah siapa mereka, telah mengenalnya, telah tahu akan kedatangannya dan sengaja menyuruh wanita iblis itu menjaga di pintu. Agaknya tadinya mereka hendak menggunakan wanita cantik itu menjebaknya, menggunakan kecantikannya. Ia bergidik kalau teringat. Andaikata batinnya tidak teguh dan ia roboh oleh rayuan dan kecantikan wajah dan tubuh wanita itu, tentu ia benar-benar akan mati dalam kenikmatan seperti yang dikatakan Sariwuni tadi!
Andaikata ia meladeni rayuan Sariwuni, tentu ia akan dibunuhnya pula. Dan alangkah mudahnya ia akan terbunuh kalau ia melayaninya berkasih asmara! Sungguh berbahaya! Dan karena semua sudah diatur, maka ia yakin bahwa musuh-musuhnya telah mengatur jebakan pula di luar rumah itu. Ia heran ke mana perginya Ki Sentana? Apakah yang terjadi dengan kepala dusun itu dan keluarganya? Ia merasa khawatir sekali karena di dusun-dusun lain banyak pula terjadi hal aneh, yaitu lenyapnya kepala-kepala dusun tanpa meninggalkan bekas!
Ada pula yang kepala dusunnya masih ada, akan tetapi para pendeta dan pemimpin agama yang lenyap tak meninggalkan bekas. Apakah Ki Sentana juga telah lenyap pula? Dengan hati khawatir Tejolaksono lalu melompat keluar dari kamar itu dengan sikap waspada dan seluruh urat syaraf di tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga menghadapi segala bahaya. Ia menyambar sebuah lampu di ruangan tengah yang sunyi, terus ia berjalan memeriksa sampai ke belakang. Dan di ruangan belakang, dekat dapur, ia melihat Nyi Sentana meringkuk di sudut dalam keadaan terbelenggu!
Selain terbelenggu, juga muka wanita tua ini matang biru bekas pukulan dan cambukan, mulutnya tersumbat kain sehingga ia tidak mampu bergerak atau bersuara, hanya sepasang matanya saja yang sayu penuh kedukaan memandang terbelalak ketika Tejolaksono mendekatinya. Cepat Tejolaksono berjongkok dan membuka ikatan tangan lalu membuang kain penyumbat mulut. Ia membantu wanita tua itu bangun duduk. Nyi Sentana mengeluh dan memijit-mijit kedua pilingan kepalanya, lalu mengurut-urut kedua pergelangan tangannya.
"Bibi....apakah yang terjadi, Bibi? Di mana Paman Sentana..."
"Aduh, Kanjeng Adipati !!" Wanita itu menubruk kaki Tejolaksono dan menangis sesenggukan. Beberapa kali ia membuka mulut hendak bicara, akan tetapi yang keluar hanyalah isak dan sedu sedan.
Tejolaksono membimbing wanita tua itu bangkit berdiri dan menuntunnya duduk di atas balai-balai di dalam dapur. Diambilnya sebuah kendi air di dalam dapur itu dan diberinya minum. Wanita itu dengan gemetar minum air kendi dan berulang kali menghela napas panjang.
"Tenanglah, Bibi, dan ceritakan kepadaku apa yang telah terjadi di dusun ini, apa yang terjadi dengan keluargamu."
Wanita itu terisak-isak, akan tetapi sekarang sudah dapat mengatasi gelora hatinya yang penuh kedukaan dan kegelisahan.
"Aduh, Gusti Adipati... malapetaka besar menimpa keluarga hamba, juga dusun ini... !"
"Di manakah adanya Paman Sentana, Bibi?"
"Entah ke mana dia pergi, Gusti... tadipun masih berada di sini... ah, dia telah menjadi seperti gila semenjak... mereka datang..."
"Mereka? Siapakah? Siapa pula wanita yang bernama Sariwuni itu? Apakah benar dia keponakanmu?"
Wanita itu menggeleng-geleng kepala. "Semenjak... iblis betina itu datang dan kawan-kawannya.... ah, dusun ini berubah sama sekali, rumah ini menjadi neraka bagi saya, ahhh... Kembali ia menangis.
"Bibi, tenanglah dan ceritakan yang jelas dari permulaan." Wanita itu menghentikan tangisnya, mengusap air mata, menarik napas panjang beberapa kali lalu memandang celingukan ke kanan kiri seperti orang ketakutan. Kemudian ia memegang tangan Tejolaksono dan berkata,
"Dua tiga bulan sudah saya menahan kesengsaraan hati, tak berani membuka mulut karena diancam. Sekarang, karena paduka sudah datang, baru hamba berani bercerita malapetaka besar menimpa keluarga hamba. Mula-mula datang perempuan itu yang diambil selir oleh Ki Sentana dan teman-teman perempuan itu seringkali datang bertemu. Mereka seperti iblis semua. Akan tetapi... Ki Sentana sudah gila agaknya, tunduk di bawah kekuasaan wanita cantik seperti iblis...!"
"Sariwuni...???"
"Benar, Gusti. Kedua putera hamba menentang ayah mereka, akan tetapi mereka itu lenyap, entah ke mana tak seorangpun mengetahuinya. Ki Sentana masih menjadi kepala dusun seperti semula, akan tetapi semua kekuasaan berada di tangan iblis betina itu. Ki Sentana hanya melakukan semua perintahnya. Dan hamba... hamba tidak dibunuh agaknya untuk mengelabui mata rakyat. Hamba menjadi satu-satunya pelayan di rumah ini, yang lain-lain telah dikeluarkan. Ki Sentana seperti gila...rakyat dianjurkan untuk menyembah Sang Hyang Shiwa dan Bathari Durga yang menjadi pujaan wanita iblis itu. Hamba takut disiksa dan disumbat agar jangan membuka suara, kemudian bahkan diikat dan disumbat mulut hamba, karena mereka tahu bahwa paduka akan datang... dan..."
Tiba-tiba Sang Adipati Tejolaksono mendorong tubuh Nyi Sentana sampai terguling dan ia sendiri melompat ke samping, menggerakkan tangannya memukul sehingga angin pukulannya menderu dan memukul runtuh belasan batang anak panah. Akan tetapi ia mendengar jerit lemah dan ketika ia memandang, ternyata leher Nyi Sentana telah tertembus anak panah dan wanita tua itu berkelojotan sebentar kemudian tak bergerak lagi...