Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 12
Tejolaksono maklum bahwa wanita itu telah tewas dan ia tak dapat menolongnya lagi. Kemarahan memenuhi dadanya dan pada saat itu terdengar suara ketawa terkekeh-kekeh. Suara ketawa Sariwuni.
"Keparat jahanam!" Tejolaksono membentak marah sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke atas.
Demikian hebatnya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga terdengar suara keras ketika tubuhnya yang mencelat ke atas dan jebollah atap rumah berikut gentengnya! Kini tubuhnya sudah berada di atas genteng dan ia berdiri tegak memandang ke bawah, ke arah luar rumah Ki Sentana. Ternyata di depan rumah itu telah penuh dengan orang-orang yang menjadi anak buah Sariwuni dan teman-temannya, maka ia memandang penuh perhatian.
Inikah pasukan asing yang kabarnya tidak pernah mengganggu dusun-dusun? Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa orang-orang yang jumlahnya lima puluh lebih itu ternyata adalah penduduk dusun Sumber! Dan di barisan depan, berdiri Ki Sentana sendiri dengan sebatang tombak di tangan. Di kanannya berdiri Sariwuni, kini sudah berpakaian lengkap dan ringkas, kelihatan cantik dan gagah, sebatang pedang di tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Ada pula beberapa orang laki-laki tinggi besar yang ia tidak tahu siapa, entah penduduk dusun entah orang lain.
"Tangkap penjahat !"
"Tangkap pembunuh.... !!"
Penduduk dusun itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata dan obor ketika mereka melihat munculnya Tejolaksono di atas genteng. Mereka tadinya mengepung rumah itu dan menanti munculnya penjahat ini dari pintu, siapa kira tahu-tahu telah berada di atas genteng. Tejolaksono lalu melompat ke wuwungan paling depan, sehingga ia berada di atas sekumpulan penduduk dusun di bawah dan mereka semua dapat melihatnya dengan penerangan obor yang amat banyak itu.
"Heeeeeh, rakyat Sumber semua dengarlah baik-baik! Aku bukan penjahat bukan pula pembunuh. Aku adalah junjungan kalian, aku Adipati Tejolaksono, adipati di Selopenangkep! Kalian telah tertipu! Kepala dusun kalian, Ki Sentana, telah jatuh di bawah pengaruh orang-orang jahat. Sariwuni adalah seorang wanita iblis yang amat jahat! Insyaflah, hei rakyat dusun Sumber!" Suara Tejolaksono amat nyaring dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk karena ia mengerahkan hawa sakti untuk mendorong suaranya.
Mendengar suara ini, serentak suara para penduduk terhenti. Nama besar Adipati Tejolaksono amat mereka kenal dan masih amat besar pengaruhnya. Mereka menjadi bimbang dan ragu-ragu. Tadi Ki Sentana, kepala dusun mereka yang akhir-akhir ini amat royal dalam membagi-bagi hadiah kepada rakyatnya, mengumpulkan rakyat yang katanya harus menangkap dan mengeroyok seorang penjahat sakti yang membunuh isteri Ki Sentana. Akan tetapi mengapa penjahat itu adalah sang adipati di Selopenangkep sendIri yang terkenal sakti mandraguna dan adil bijaksana?
"Tejolaksono! Engkau tidak patut menjadi junjungan kami lagi! Tidak patut menjadi Adipati Selopenangkep. Lihat saja, sebentar lagi engkau tentu akan dihentikan menjadi adipati. Engkau seorang penjahat besar! Siapa yang tidak mendengar nama busuk wanita iblis Endang Patibroto yang telah banyak membunuh banyak ponggawa Panjalu? Dan engkau malah menjadi suaminya! Hahaha, tak perlu kau membohongi rakyatmu. Hai, kawan-kawan, mari kepung dan tangkap si laknat ini. Isteriku telah dibunuhnya!"
"Bohong... !!" Tejolaksono hanya mampu mengeluarkan ucapan ini karena ia terlalu terheran-heran. Jelas bahwa yang bicara itu adalah Ki Sentana, orang bawahannya yang dikenalnya baik, yang menjadi sahabatnya, bekas perajurit Panjalu kawakan yang setia. Benar-benarkah itu Ki Sentana? Orangnya memang itu, juga suaranya. Akan tetapi terdapat perubahan yang amat jauh berbeda. Apakah karena pengaruh Sariwuni? Akan tetapi penduduk kini sebagian sudah ada yang menerobos masuk dan tak lama kemudian mereka keluar sambil berteriak-teriak,
"Benar, dia pembunuh jahat! Nyi Sentana telah dibunuhnya Hayo tangkap! Kepung!"
Tejolaksono maklum bahwa dalam keributan seperti itu, percuma saja berdebat dengan kata-kata. Paling perlu menawan Ki Sentana untuk mengorek rahasia para penjahat itu dan juga menawan atau membunuh Sariwuni yang jelas merupakan biang keladi semua peristiwa ini. Ia lalu menggerakkan tubuhnya melayang turun bagaikan seekor burung garuda melayang. Para penduduk dusun Sumber ternganga dan kesima menyaksikan ini. Baru sekarang mereka menyaksikan seorang manusia dapat melayang turun dari tempat setinggi itu seperti seekor burung saja! Mereka menjadi gentar dan lupa untuk menyerang! Akan tetapi ada beberapa orang yang menerjang maju, didahului oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi berdiri di dekat Ki Sentana.
Dua orang itu bersenjata pedang pula seperti Sariwuni dan bersama lima orang penduduk lain, mereka menyambut turunnya tubuh Tejolaksono. Sang adipati menggerakkan kaki tangannya dan lima orang penduduk itu terpental mundur dan tombak mereka terlepas dari pegangan kena gempuran hawa sakti yang keluar dari kaki tangan sang adipati. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati Tejolaksono ketika melihat bahwa dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak terpengaruh dorongannya dan terus menerjang dengan babatan pedang mereka yang mengeluarkan angin saking kuat dan cepatnya.
"Hemm... !" Ia mendengus dan tubuhnya cepat menyelinap ke kanan, kemudian begitu dua batang pedang itu lewat, ia mendorong maju dan tubuhnya doyong pula ke depan. Cepat sekali kedua tangannya ini bergerak, tahu-tahu telah tiba di depan dada dua orang lawannya. Hal ini tidak aneh karena sang adipati yang perkasa telah menggunakan aji pukulan Kukilo Sakti sehingga gerakan kedua tangannya seperti dua buah kepala burung yang mematuk amat cepatnya!
"Singgg.... siuuuuttt.... !!"
Adipati Tejolaksono terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya sehingga pukulan Kukilo Sakti itu hanyalah mengenai dada kedua orang lawan dengan seperempat tenaganya saja karena dari belakangnya menyambar sebatang pedang yang hebat gerakannya dan tusukan sebatang tombak. Namun ia tahu bahwa pukulannya itu sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan yang sakti. Maka, amatlah kagetnya ketika dua orang tinggi besar itu hanya terhuyung mundur empat langkah saja dan terus maju lagi! Ah, kiranya di sini banyak orang sakti, pikirnya. Tentu dua orang ini merupakan kawan-kawan Sariwuni!
Betapapun juga, ia terpaksa membalikkan tubuh menghadapi serangan dari belakang tadi. Pedang yang menyambar dapat dielakkan dan kuku hitam yang mencengkeram dapat pula ia tangkis. Tubuh Sariwuni untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Tombak di tangan Ki Sentana yang menyambar ia biarkan lewat di dekat perutnya dengan miringkan tubuh, kemudian secara mendadak ia menubruk maju dan di lain saat ia telah mengempit tubuh Ki Sentana yang tua Itu sehingga tak dapat berkutik lagi!
Dengan lengan kiri mengempit tubuh Ki Sentana, Tejolaksono membalikkan tubuh, tangan kanannya siap untuk memukul atau menawan Sariwuni, akan tetapi ternyata wanita itu telah Ienyap. Demikian pula dua orang laki-laki tinggi besar tadi, dan kini para penduduk Sumber mengeroyoknya seperti rombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
"Aaahhh, kalian orang-orang bodoh!" bentak Tejolaksono dengan gemas, akan tetapi tentu saja ia tidak mau memusuhi rakyatnya sendiri, maka sekali mengenjot kedua kakinya dengan Aji Bayu Sakti ia meloncat tinggi melampaui kepala para pengurungnya, melesat jauh.
Tiba-tiba dari rombongan penduduk dusun itu menyambar tubuh Sariwuni menyerangnya dengan pedang yang menusuk ke arah leher. Pada saat itu, tubuh Tejolaksono masih meloncat, maka cepat-cepat ia menggunakan tangannya yang kanan menyampok dengan jari-jari tangannya yang tepat mengenai pergeIangan tangan wanita itu. Sariwuni menjerit, pedangnya terpental entah ke mana dan pergelangan tangannya menjadi lumpuh. Tak kuat ia menahan benturan jari tangan Tejolaksono yang mengandung aji pukulan Bojro Dahono yang panas laksana halllintar. Akan tetapi berbareng dengan jerit Sariwuni yang terhuyung ke belakang, juga Ki Sentana memekik.
Kagetlah Tejolaksono ketika memandang dan melihat betapa pipi Ki Sentana terdapat guratan menghitam. Kiranya wanita iblis Itu tadi menyerangnya dengan pedang dan berbareng menyerang Ki Sentana dengan kuku tangan kiri! Karena ingin mendengar penjelasan Ki Sentana, apalagi melihat betapa para penduduk Sumber terus mengepungnya, ia tidak mau melayani lagi. Musuhnya hanyalah Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar itu, dan kini wanita itupun sudah lenyap lagi, agaknya bersembunyi di antara penduduk yang demikian banyak. Ia mengerahkan tenaga melompat terus berlari menghilang di dalam kegelapan malam sambil mengempit tubuh Ki Sentana.
Setelah lari jauh meninggalkan dusun Sumber dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang mengejar lagi, barulah Tejolaksono berhenti dan menurunkan tubuh Ki Sentana. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ki Sentana telah menjadi mayat! Di bawah sinar bulan yang cukup terang, ia melihat betapa muka Ki Sentana kini telah berubah hitam yang menjalar sampai ke leher dan kulit muka dan leher itu telah mulai rusak dan membusuk!
Tejolaksono bergidik. Alangkah jahatnya kuku iblis betina itu. Inilah agaknya ilmu hitam yang disebut aji pukulan Wisakenaka (Kuku Beracun). Hawa beracun disalurkan melalui lengan sampai ke kuku tangan dan sekali kuku itu menggurat, racun akan memasuki kulit, menjalar sampai ke dalam jalan darah seperti gigitan ular yang paling berbisa! .
Tejolaksono termenung. la merasa kasihan kepada Ki Sentana ini. Ia dapat menduga kini apa yang telah terjadi. Tentu Ki Sentana ini telah dipengaruhi oleh segerombolan penjahat yang amat sakti. Mula-mula kepala dusun yang sudah tua ini dipikat dengan kecantikan Sariwuni dan ia tidak menyalahkan Ki Sentana kalau sampai jatuh hatinya. Memang wanita itu hebat dan cantik sekali. Kemudian, melihat keadaan yang tidak wajar, tentu Ki Sentana ini jatuh di bawah pengaruh ilmu hitam sehingga keadaannya seperti orang yang kehilangan kesadaran atau pikiran. Dua orang puteranya tentu diculik dan tewas, isterinyapun tewas dan kini dia sendiri karena tertawan dan mereka tidak menghendaki ia membuka rahasia, ditewaskan pula. Seluruh keluarga Ki Sentana terbasmi habis! Dan semua itu dilakukan dengan amat halus dan cerdiknya sehingga rakyat bahkan membela mereka!
Benar-benar amat luar biasa kali ini musuh-musuh Panjalu melakukan penyerbuan ke daerah Panjalu. Bukan dengan kekerasan merampoki dusun-dusun seperti yang dilakuka gerombolan Gagak Serayu, melainkan dengan halus, yaitu mempengaruhi, menundukkan bahkan menculik para tokoh terkemuka di setiap dusun, yang mau tunduk menjadi kaki tangan, yang tidak tunduk diculik dan lenyap, diganti orang-orang yang mau bersekutu, kemudian melalui tokoh-tokoh yang menjadi kaki tangan ini, rakyat dipengaruhi dan dibelokkan kepercayaan mereka sehingga Agama Wishnu terdesak oleh agama baru yang memuja Shiwa, atau Bathari Durga, tentulah perbuatan kaki tangan Kerajaan Cola dan Sriwijaya!
Terbuktilah kini ancaman yang dikeluarkan pendeta-pendeta Agama Buddha dan Shiwa dahulu itu dan cocok pula dengan apa yang ia dengar dalam pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati! Mengembangkan agama tidak dengan kekerasan, menaklukkan negara tidak dengan perang, akan tetapi membersihkan tokoh-tokoh yang menentang. Dan mengingat betapa baru kaki tangan mereka saja, seperti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang sanggup menahan pukulan-pukulannya, Tejolaksono bergidik. Bahaya besar mengancam Kerajaan Panjalu, bahaya yang datangnya dari barat dan utara, yang datang bagaikan air banjir seperti yang ia lihat dalam samadhinya malam itu di Kadipaten Selopenangkep.
Teringat akan kadipaten yang ditinggalkannya, Tejolaksono tersentak kaget. Musuh amat banyak, juga amat pandai dan sakti. Perjalanannya meninggalkan kadipaten sudah diketahui musuh. Buktinya Sariwuni dapat tahu siapa dia. Hal ini amatlah berbahaya. Bagaimana kalau kadipaten diserbu selagi ia tidak ada? Seperti yang dilakukan Lima Gagak Serayu dahulu? Tejolaksono cepat menggali lubang dan mengubur jenazah Ki Sentana. Kemudian malam itu juga ia melanjutkan perjalanan dengan cepat, kini menuju ke Selopenangkep.
Ketika tiba di Selopenangkep, kota kadipaten tampak sunyi, akan tetapi hatinya lega dan kagum menyaksikan penjagaan yang rapi dan kuat. Benar-benar bibi Roro Luhito boleh diandalkan, pikirnya, karena ia tahu bahwa bibinya itulah yang mengepalai penjagaan ini. Heran, apakah bibinya sudah tahu akan ancaman bahaya besar sehingga Kadipaten Selopenangkep siap sedia dalam keadaan perang. Ataukah Mundingyudo sudah kembali dari penyelidikannya?
Malam hari itu ia memasuki Kadipaten Selopenangkep dan kembali la girang dan kagum sekali ketika ia baru saja meloncati tembok pintu gerbang dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, dari sebelah dalam muncul belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi dan barisan tombak menghadangnya, diikuti bentakan keras,
"Berhenti!"
Akan tetapi para perajurit Itu terkejut dan girang mendapat kenyataan bahwa yang bayangannya berkelebat mencurigakan itu ternyata adalah sang adipati sendiri. Mereka lalu memberi hormat.
"Bagus! Teruskanlah penjagaan kalian dengan waspada." Sang adipati memuji lalu melanjutkan perjalanan menuju ke gedung kadipaten.
Kalau para penjaga itu dapat melihat kedatangannya, berarti bahwa kadipaten tidak akan mudah kebobolan. Memang baris pendam penting sekali untuk menghadapi penyerbuan diam-diam dari orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi.
Biarpun waktu itu sudah malam, namun Roro Luhito, Ayu Candra, dan Pusporini menyambutnya dengan pakaian ringkas dan dalam keadaan siap siaga, senjata tidak terlepas dari tangan. Jelas nampak terbayang pada wajah tiga orang wanita ini, terutama wajah Ayu Candra, betapa girang dan lega hati mereka melihat kembalinya Adipati Tejolaksono.
Dengan singkat Adipati Tejolaksono menceritakan pengalamannya dan tiga orang wanita itu mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka maklum akan besarnya bahaya yang mengancam.
"Aku sudah menaruh curiga ketika mendengar laporan Mundingyudo," kata Roro Luhito. "Biarpun pasukan-pasukan asing Itu tidak melakukan penyerbuan, akan tetapi mereka amat banyak dan melakukan gerakan mengurung Selopenangkep, karena Itu aku segera mengatur penjagaan sekuat-kuatnya."
"Memang keadaannya gawat sekali, Kanjeng Bibi," kata Tejolaksono yang segera menyuruh panggil Mundingyudo menghadap. Kepala pengawal Selopenangkep ini segera datang dan menuturkan hasil penyelidikannya.
"Hamba melihat banyak sekali pasukan campuran yang datang dari barat dan utara," demikian antara lain laporan Mundingyudo. "Biarpun mereka itu tidak pernah menyerbu sebuah dusun, namun mereka amat mencurigakan. Bahkan menurut penyelidikan anak buah hamba, terdapat pula orang-orang bekas gerombolan Gagak Serayu, para penjahat dari Lembah Serayu, di antara pasukan. Pimpinan mereka, yang dari utara adalah pedanda-pedanda (pendeta Buddha) dan yang dari barat adalah pendeta-pendeta Agama Shiwa. Pasukan-pasukan kita tidak menemui tentangan, akan tetapi mereka itu makin mendekati Selopenangkep dari pelbagai jurusan, agaknya hendak mengurung. Hamba mohon keputusan paduka."
Tejolaksono mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan Selopenangkep, yang lebih ia khawatirkan adalah keselamatan Kerajaan Panjalu.
"Kakang Mundingyudo, malam ini juga engkau berangkatlah ke Kerajaan Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu menghaturkan surat laporanku. Agar engkau tahu akan maksud tugasmu ini, ketahuilah bahwa pasukan-pasukan asing itu menurut perkiraanku dan hal ini tidak meleset kiranya, adalah pasukan-pasukan kaki tangan Sriwijaya dan Kerajaan Cola yang selain akan memperkembangkan agama, juga bermaksud memperluas wilayah jajahan mereka di Jawa-dwipa. Maka itu, biarpun mereka tidak melakukan gerakan menyerang, namun perlu mereka itu disapu dari wilayah Panjalu karena mereka telah melanggar perbatasan. Agar jangan sampai terlambat, sekarang juga seyogianya Kerajaan Panjalu mengerahkan barisan dan melakukan pembersihan. Demikian isi laporanku, Kakang."
Setelah menulis surat laporan dan menyerahkannya kepada pembantunya itu, berangkatlah Mundingyudo malam itu juga menuju ke Panjalu. Kemudian Adipati Tejolaksono memasuki kamarnya untuk beristirahat, diikuti oleh isterinya.
"Kejar.... !
"Tangkap mata-mata...!
"Bunuh.... !!"
"Aduhh... ahhh... aduhh... trang-trang-trang.... !!
Suara ini memecahkan kesunyian di pagi hari depan gedung Kadipaten Selopenangkep. Para perajurit pengawal sibuk mengurung empat orang sambil berteriak-teriak dan beberapa orang pengawal roboh tumpang tindih. Seorang di antara mereka yang dikeroyok pengawal ini diam saja, hanya melangkah maju memasuki pekarangan kadipaten sambil tersenyum. Sikapnya tenang namun ia congkak sekali, mengangkat muka dan membusungkan dada yang tipis.
Seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, tubuhnya kurus tinggi, rambutnya penuh uban panjang terurai di kedua pundak sampai ke pinggang, pakaiannya jubah pendeta berwarna kuning, telanjang dan memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering. Wajah laki-laki tua ini merah seakan-akan bagian tubuhnya itu penuh dengan darah di dalamnya, bahkan kedua matanya juga kemerahan. Hidungnya panjang melengkung seperti paruh betet, mulutnya lebar dan karena selalu tersenyum, tampak deretan gigi yang ompong dan menguning. Kalau rambutnya panjang, adalah mukanya yang merah itu sama sekali tidak berambut, tidak ada sehelaipun kumis atau jenggot, agaknya habis dicabuti.
Adapun tiga orang yang mengikutinya adalah dua orang laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun dan seorang wanita cantik berusia dua puluh lima tahun. Laki-laki tua berjubah pendeta itu berjalan tanpa memperdulikan pengeroyokan dan pengejaran, akan tetapi, tiga orang inilah yang melindunginya dan setiap ada perajurit yang maju menyerang tentu perajurit itu terlempar berikut senjata mereka. Tiga orang ini hebat bukan main, dengan tangan kosong mampu melempar-lemparkan para perajurit yang berani mendekat dan menyerang.
Empat orang ini pagi tadi dengan enak dan tenangnya memasuki pintu gerbang yang baru terbuka, tidak perduli akan larangan dan teguran para penjaga. Mereka berjalan terus memasuki kota, menuju ke kadipaten, terus berjalan maju dan tiga orang itu membabati semua penghalang, namun agaknya mereka menjaga agar mereka tidak sampai membunuh para perajurit sehingga mereka yang dilempar-lemparkan atau dirobohkan hanya mengalami babak-belur dan patah tulang saja.
Seorang di antara para pengawal sudah masuk ke gedung kadipaten untuk melaporkan datangnya empat orang aneh itu. Adipati Tejolaksono segera keluar diikuti Ayu Candra, Roro Luhito, dan Pusporini, kesemuanya sudah siap siaga dengan keris di pinggang. Begitu keluar dari gedung dan melihat empat orang itu menghadapi kepungan para pengawal dengan tenang, melihat pula betapa tiga orang itu dengan mudahnya melempar-lemparkan para perajurit yang berani menyerang
Tejolaksono segera berseru, "Para pengawal, tahan dan mundur semual"
Perajurit-perajurit pengawal berbesar hati melihat munculnya Adipati Tejolaksono. Mereka maklum bahwa empat orang yang datang ini adalah orang-orang sakti dan untuk menghadapi mereka ini, hanyalah sang adipati dan keluarganya yang akan mampu menanggulangi. Mereka lalu mengundurkan diri namun masih mengurung dari jarak jauh, siap menanti perintah sang adipati.
Tejolaksono diikuti tiga orang wanita itu melangkah maju perlahan-lahan memasuki halaman kadipaten yang amat luas, merupakan sebuah alun-alun kecil. Diam-dian Tejolaksono marah sekali ketika mengenal tiga orang itu. Wanita cantik itu bukan lain adalah Sariwuni yang pernah dijumpainya, bahkan yang pernah menggodanya dengan sikap yang tak tahu malu. Kini wanita itu berdiri dan memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan bibir yang manis itu tersenyum-senyum.
Sungguh seorang wanita yang tidak tahu malu dan mengingatkan ia akan dua orang tokoh wanita ketika ia masih kecil, yaitu Ni Nogogini dan Ni Durgogini. Melihat Sariwuni, otomatis Tejolaksono melirik ke arah kedua tangannya, tangan dengan kuku beracun yang telah menggurat tewas Ki Sentana. Akan tetapi kedua tangan itu indah bentuknya, jari-jarinya runcing halus dan kuku-kuku jarinya yang diruncingkan itu putih halus kemerahan!
Adapun dua orang laki-laki tinggi besar di sebelah wanita itupun dikenalnya sebagai dua orang laki-laki tangguh yang pernah ia lihat di dusun Sumber. Akan tetapi laki-laki tua berpakaian pendeta itu baru kali ini ia lihat dan ia sama sekali tidak mengenalnya. Betapapun juga, melihat sikapnya, ia dapat menduga bahwa pendeta itu tentulah seorang yang sakti, karena buktinya tiga orang itu bertindak sebagai pelindungnya. Maka ia bersikap waspada dan hati-hati, terus melangkah sampai berhadapan dengan empat orang tamu aneh itu. Kini mereka berdiri berhadapan, saling memandang penuh perhatian. Kemudian Adipati Tejolaksono berkata,
"Kalau saya tidak salah mengira, tiga orang yang melindungi andika ini pernah saya jumpai di dusun Sumber."
Sariwuni memperlebar senyumnya dan memandang Tejolaksono dari atas ke bawah dengan kekaguman yang tidak disembunyi-sembunyikan,
"Aduh, Adipati Tejolaksono. Setelah kini melihatmu berpakalan adipati, tidak menyamar sebagai seorang petani kotor, engkau menjadi jauh lebih tampan dan gagah. Sungguh... !!" Senyumnya berubah senyum mengejek ketika wanita ini melihat pandang mata berapi penuh kemarahan dari Ayu Candra yang berdiri di sebelah kiri suaminya.
Ingin Ayu Candra memaki dan menerjang wanita itu setelah kini ia dapat menduga bahwa tentu inilah Sariwuni yang diceritakan suaminya, akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menyerahkan sikap menyambut empat orang aneh ini kepada suaminya.
Tejolaksono tidak memperdulikan wanita cantik itu, melainkan berkata lagi kepada si pendeta, "Menurut pelaporan para penjaga, andika bermaksud menemui saya dan menggunakan kekerasan memasuki kadipaten. Melihat pakaian andika, tak akan keliru kiranya kalau saya mengatakan bahwa andika seorang pendeta yang sudah pandai menguasai nafsu diri, akan tetapi melihat sepak terjang andika dan kawan-kawan andika, sungguh belum pernah saya mendengar ada tamu yang datang secara paksa dan menggunakan kekerasan, kecuali sebangsa perampok dan penjahat!" Halus kata-kata Tejolaksono, namun langsung menusuk perasaan dan merupakan teguran keras.
Namun empat orang tamu itu sama sekali tidak kelihatan marah dan hanya tersenyum-senyum, yaitu Sariwuni dan si pendeta karena dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak pernah tersenyum, juga tidak tampak marah. Wajah keduanya seperti wajah arca dari batu saja, sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa.
Melihat ini semua, Tejolaksono dapat menduga bahwa mereka ini benar-benar telah memiliki kekuatan dalam yang hebat dan tidak lagi mudah dikuasai perasaan. Maka iapun tidak mau lagi banyak menyerang dengan kata-kata, lalu langsung saja bertanya,
"Kisanak, pendeta atau perampok adanya andika, setelah berhadapan muka dengan aku, katakanlah siapa andika dan apa kehendak andika mendatangi Kadipaten Selopenangkep!"
"Heh-heh-heh, Adipati Tejolaksono. Andika ingin mengenalku? Aku adalah Cekel Wisangkoro, abdi dan murid, juga utusan Sang Wicaksono Wasi Bagaspati! Adapun maksud kedatangan kami adalah dengan hati terbuka, maksud baik dan membawa uluran tangan sang wasi."
Tidak heran hati Tejolaksono mendengar ini. Memang ia sudah menduga bahwa semua peristiwa yang terjadi adalah kelanjutan daripada munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati di puncak Merapi empat tahun yang lalu. Dengan hati panas Tejolaksono tersenyum pahit.
"Adakah hati terbuka dan maksud baik diawali dengan pertempuran melawan para penjaga Selopenangkep?"
Kembali Cekel Wisangkoro tertawa. "Adipati Tejolaksono, periksalah baik-baik semua perajuritmu. Adakah seorang saja yang tewas di tangan kami? Kami memasuki Selopenangkep dengan hati terbuka dan maksud baik, akan tetapi para perajuritmu menyerang kami.. Sungguhpun demikian, kami masih menaruh kasihan dan tidak membunuh seorangpun, hanya merobohkan karena kami harus membela diri, bukan? Hal itu saja sudah membuktikan bahwa kami datang dengan maksud baik!"
Di dalam hatinya, Tejolaksono tak dapat membantah kebenaran ucapan itu. Memang, empat orang ini belum melakukan sesuatu yang jahat di Kadipaten Selopenangkep dan semua perajurit yang roboh tidak terbunuh, hanya babak-belur dan patah tulang saja.
"Hemmm, katakanlah terus terang, Cekel Wisangkoro, sebagai utusan, apakah kehendakmu dan apakah yang akan kau sampaikan kepadaku?"
"Kami datang mengulurkan tangan kepadamu, Adipati Tejolaksono, untuk bekerja sama dan menjadi sahabat. Kita semua tahu betapa lemahnya Kerajaan Panjalu dan Jenggala, kerajaan yang dahulunya besar kini terpecah-belah, dikuasai oleh raja-raja lalim! Tidak hanya rajanya yang lalim, juga para ponggawanya tidak becus dan kepentingan rakyat tidak ada yang menghiraukan. Kami datang untuk membebaskan rakyat daripada kesengsaraan. Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola siap untuk mengangkat kehidupan rakyat Jawa-dwipa ke tingkat yang lebih tinggi, mengajar rakyat ilmu-ilmu yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan. Karena kami tahu bahwa andika adalah seorang adipati yang baik, maka Sang Wasi Bagaspati berpesan kepada kami untuk menghubungimu dan mengulurkan tangan kepadamu agar kita bersekutu ... !"
"Menjadi kaki tangan Kerajaan Cola atau dibunuh seperti halnya Ki Sentana, lurah dusun Sumber?" Adipati Tejolaksono memotong dengan suara marah. "Heh, Cekel Wisangkoro! Kau pergilah dan sampaikan kepada Wasi Bagaspati bahwa angkara murka Kerajaan Cola ini takkan berhasil! Penyerbuan rahasia dan secara halus mengelabui rakyat ini akan menghadapi tantangan rakyat dan seluruh perajurit Panjalu dan Jenggala! Niat keji kalian takkan tercapai! Lebih baik kalian membawa pergi semua pasukan berandal itu sebelum diganyang hancur oleh rakyat Panjalu!"
"Hi-hi-hik, Tejolaksono. Ucapanmu itu menggelikan sekali! Justeru kami kuat karena rakyat berada di belakang kami. Kami datang untuk mengangkat rakyat, bagaimana kau bilang rakyat akan menentang kami? Hi-hik, sang adipati yang tampan dan gagah. Pikirlah baik-baik, bukankah jauh lebih baik kalau engkau dan aku menjadi sahabat daripada menjadi musuh? Aku percaya bahwa kalau engkau dan aku menjadi sahabat.... ehemm... kita dapat menciptakan surga di atas bumi ini karena engkau dan aku cocok sekali! Hi-hi-hik!"
Tiba-tiba Pusporini, dara remaja berusia lima belas tahun yang cantik manis dan bertubuh ramping padat dan seperti bunga mulai mekar itu, melangkah maju dan suaranya nyaring sekali ketika la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Sariwuni yang masih terkekeh genit,
"Ihhh, bukankah kamu ini yang bernama Sariwuni? Rakanda adipati sudah bercerita tentang kamu dan tahukah kamu apa yang dikatakan oleh abdi pelayanku? Bahwa Sariwuni adalah seorang perempuan rendah dan hina, tak tahu malu, cabul dan kotor, tak mengenaI susila....
"Pusporini ...diam ...! Roro Luhito membentak puterinya.
Akan tetapi Sariwuni yang tadi dapat menahan perasaan dan hanya tersenyum-senyum, kini telah menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Tak dapat ia menahan kemarahannya karena dimaki-maki seperti itu di depan orang banyak.
"Bocah.... kau sudah bosan hidup....!" Tanpa disangka-sangka, dengan gerak cepat yang dahsyat sekali, tubuhnya sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan yang menggunakan kuku mencakar ke arah muka Pusporini.
"Rini... Pethit Nogo.... Tejolaksono berseru karena untuk bergerak menolong sudah tak keburu lagi.
Pukulan yang dilakukan oleh Sariwuni dengan kuku mencakar itu ia tahu amat berbahaya karena kuku itu mengandung racun yang ampuh dan hanya Aji Pethit Nogo saja yang akan dapat menyelamatkan adiknya juga muridnya itu karena Aji Pethit Nogo yang mengandalkan kepretan jari yang penuh hawa sakti dapat melawan kuku-kuku beracun.
Biarpun Pusporini masih muda dan lincah gembira, namun ia gesit sekali dan sudah digembleng oleh Adipati Tejolaksono. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi tangannya sudah bergerak, dengan jari-jari terbuka dan lurus ia menggerakkan Aji Pethit Nogo sehingga jari-jari tangan yang kecil mungil itu tersalur hawa sakti dan tergetar ketika ia pergunakan untuk menangkis.
"Plakk....
Cakaran tangan Sariwuni terpental, akan tetapi tubuh Pusporini terdorong ke belakang. Dara remaja ini tentu akan roboh terguling oleh hawa pukulan lawan yang jauh lebih kuat kalau saja ia tidak meloncat dan berjungkir balik dengan gerakan manis sekali sehingga dorongan hawa pukulan lawan itu terpatahkan. Ia meloncat turun dan tersenyum.
"Wah, cakaran itu mengingatkan aku akan Si Belang, kucingku yang karena makan bangkai tikus yang sudah busuk tiba-tiba menjadi gila dan mencakar kalang-kabut seperti itu. Kamu tidak ada bedanya seujung rambutpun dengan kucing yang gila itu. Agaknya engkaupun terkena racun bangkai yang kau makan!"
Sariwuni makin marah, akan tetapi tiba-tiba Cekel Wisangkoro berkata halus kepadanya,
"Sudahlah, Wuni, untuk apa melayani seorang anak kecil?"
"Cekel Wisangkorb, andika sebagai utusan bicaralah, jangan membiarkan sembarang orang mengacau dengan kata-kata kosong memancing keributan." Tejolaksono menegur.
"Heh-heh-heh, maafkan, Adipati Tejolaksono. Akan tetapi Sariwuni bukanlah orang sembarangan atau orang lain, dia adalah adik seperguruanku pula. Dan apa yang diucapkannya tadi benar belaka. Percuma saja kalau andika hendak menolak, lebih baik andika mencari jalan yang lebih menyenangkan kedua pihak dan menerima uluran tangan kami. Andika tetap menjadi adipati yang dipertuan di Selopenangkep dan membiarkan kami bergerak ke timur."
"Kalau aku menolak?"
"Kalau engkau menolak berarti engkau dan keluargamu akan terbasmi, Selopenangkep akan mempunyai seorang adipati baru dan kami tetap saja akan dapat bergerak ke timur. Jangan bodoh, Tejolaksono, bukalah matamu dan lihat baik-baik. Kadipaten ini telah terkurung oleh barisan yang sedikitnya sepuluh kali lebih besar daripada pasukan Selopenangkep dan ribuan orang rakyat sebagai sukarelawan datang pula dan siap membantu kami, mengapa kau menolak?"
"Kami tidak takut! Eh, pendeta bau apek, jangan kau banyak tingkah!"
Pusporini sudah tak dapat menahan kemarahannya lalu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cekel Wisangkoro.
"Biar barisanmu seratus kali lebih banyak, akan kami lawan!" kata pula Ayu Candra yang juga sudah marah.
"Anaknda adipati. Menghadapl tikus-tikus macam ini saja biar serahkan kepada kanjeng bibi! Biar sudah tua, aku sanggup memimpin pasukan membasmi tikus-tikus ini!" kata Roro Luhito sambil melangkah maju dan meraba gagang kerisnya.
Adipati Tejolaksono tertawa dan menghadapi Cekel Wisangkoro. "Engkau telah menyaksikan dan mendengar sendiri, Cekel Wisangkoro. Sedangkan bibiku, isteriku, dan adikku saja tidak takut menghadapi ancamanmu, apalagi aku! Pasukan-pasukanmu yang menyerbu akan kami hadapi dan anggap sebagai musuh negara, adapun rakyat dusun yang terbujuk olehmu dan ikut menyerbu akan kami anggap sebagai pemberontak! Tidak perlu kau mengancam dan banyak cakap lagi karena aku tahu bahwa kalian adalah kaki tangan Kerajaan Cola yang mengilar melihat negara kami dan ingin menjajah. Pendeknya, hanya ada dua pilihan bagi kalian, yaitu pergi membawa kembali pasukanmu ke tempat asalmu atau maju dan hancur lebur menghadapi perlawanan rakyat Panjalu!"
Kini senyum di mulut Cekel Wisangkoro lenyap, terganti kemarahan yang membayang di mukanya yang halus dan merah itu. Sinar matanya berkilat-kilat, dan dadanya dibusungkan.
"Babo-babo.... Tejolaksono! Engkau tak dapat diajak berbaik! Engkau telah menentukan kehancuran keluargamu sendiri, seperti pohon itu!" Cekel Wisangkoro meloncat ke kiri, mendekati pohon sawo yang tumbuh di halaman kadipaten itu, tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menyambar ke arah batang pohon yang besar itu dan menampar.
"Blukkk...!" Pohon itu bergoyang-goyang akan tetapi tidak roboh.
Semua perajurit Selopenangkep yang melihat betapa pohon itu tak dapat dipukul roboh, tertawa-tawa mengejek , akan tetapi suara ketawa itu segera sirep dan suasana menjadi sunyi, mata mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga ketika melihat betapa daun-daun pohon sawo itu menjadi layu dan rontok seperti hujan, diikuti buah-buah sawo yang tadinya masih mentah kini menjadi busuk dan berjatuhan!
Keadaan yang hening itu segera berubah menjadi berisik ketika para perajurit menjadi marah dan mereka kini mengurung maju dengan sikap mengancam! Juga Roro Luhito sudah marah sekali. Wanita tua perkasa ini mencabut kerisnya dan melangkah maju sambil menudingkan kerisnya ke arah empat orang lawan itu,
"Pendeta bajul! Apa kau kira dengan sihirmu ini kami menjadi takut?!"
Dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di sebelah kiri Cekel Wisangkoro meloncat maju sambil mencabut pedang, agaknya hendak menerjang Roro Luhito. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Tejolaksono menyambut mereka sambil membentak,
"Keparat, kalian mau apa?"
Dua orang tinggi besar itu menggerakkan pedang membacok, gerakan mereka cepat sekali dan amat kuat sehingga pedang mereka mengeluarkan angin dan menimbulkan suara berdesing. Pedang itu menyambar dari kanan kiri ke arah leher dan lambung Sang Adipati Tejolaksono. Demikian cepatnya pedang menyambar sehingga para perajurit Selopenangkep menahan napas. Agaknya takkan dapat dihindarkan lagi bahwa tubuh sang adipati tentu akan terbabat putus menjadi tiga potong! Hanya keluarga sang adipati itu saja yang memandang dengan tenang dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka cukup mengenaI akan kesaktian Tejolaksono dan percaya sepenuhnya bahwa sang adipati akan dapat menjaga dan menyelamatkan dirinya.
Harapan mereka ini tidak sia-sia. Dengan gerakan amat tenang, Tejolaksono tidak mengelak, bahkan tidak menggerakkan tubuh sama sekali, hanya kedua tangannya saja menyambut. Dua orang tinggi besar itu berseru kaget dan kesakitan karena entah bagaimana, tahu-tahu pergelangan tangan mereka kena dicengkeram oleh Tejolaksono dan terdengar bunyi "krek-krek!" ketika sang adipati mengerahkan tenaga, tanda bahwa tutang lengan kanan mereka patah!
Adipati Tejolaksono menarik kedua tangannya dan pedang lawan telah terampas olehnya, kini kedua kakinya bergerak cepat sekali bergantian dan mencelatlah tubuh dua orang tinggi besar itu sampai empat meter ke belakang di mana mereka terbanting dan meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanan yang sudah patah tulangnya. Hebatnya, mereka sedikitpun tidak mengeluarkan suara keluhan sungguhpun rasa sakit pada lengan mereka menusuk sampai ke ulu hati. Dengan dua batang pedang di tangan, Tejolaksono menghadapi Cekel Wisangkoro dan berkata,
"Cekel Wisangkoro, aku yakin bahwa kalau aku menghendaki, kalian berempat akan mati di tempat ini sekarang juga. Akan tetapi, aku mengenal tata susila dan mengingat bahwa kalian adalah raka (utusan) dan adalah menjadi hak mutlak caraka untuk datang dan pergi lagi tanpa terganggu, maka aku membiarkan kalian pergi dalam keadaan hidup. Kalau dua orang temanmu ini terluka, hal itu hanya karena kesalahan mereka sendiri sebagai hukuman dariku atas kelancangan mereka. Nah, kau pergilah dan boleh bawa sebatang pedang yang tiada gunanya ini!" Sang Adipati Tejolaksono mengerahkan kedua tangannya dan "krak-krak!!" Dua batang pedang itu patah-patah lalu dilemparkannya ke kaki Cekel Wisangkoro! Para perajurit bersorak memuji menyaksikan kesaktian junjungan mereka ini.
Cekel Wisangkoro menoleh ke arah kedua orang temannya itu dan memaki,
"Sungguh bodoh kalian!" Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh menghadapi Tejolaksono lagi, ia sudah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. "Engkau sombong, Tejolaksono! Tahukah engkau bahwa jika sekarang aku melontarkan tongkatku ini ke angkasa, dari empat penjuru akan menyerbu pasukan-pasukanku dan dalam waktu singkat Kadipaten Selopenangkep akan menjadi karang-abang (lautan api)? Akan tetapi karena engkau menggunakan tata susila tidak mau nyerang caraka, akupun hendak mengimbangimu, tidak akan menyerang sebelum menyodorkan kesempatan terakhir. Nah, kami memberi kesempatan kepadamu sampai sehari ini. Kalau sampai senja kala nanti engkau tidak datang kepada kami di dalam hutan sebelah barat Selopenangkep untuk menerima uluran tangan kami, jangan sesalkan kami kalau kami terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Sudah cukup banyak kau mengoceh, Cekel Wisangkoro! Pergilah sebelum para perajuritku kehabisan sabar!"
Dengan lagak angkuh Cekel Wisangkoro lalu pergi dari halaman gedung kadipaten, diikuti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang masih memegangi pergelangan tangan kanan mereka yang patah tulangnya. Para perajurit pengawal mengiringkan mereka dengan ejekan dan tertawaan.
Akan tetapi setelah empat orang tamu itu pergi jauh, Adipati Tejolaksono segera memanggil semua pembantunya dan membagi-bagi tugas mengatur penjagaan di sekeliling kadipaten. Kadipaten Selopenangkep tidak mempunyai pasukan yang besar. Seluruh pasukan hanya terdiri dan dua ratus empat puluh orang perajurit. Akan tetapi biasanya, pasukan yang tergembleng ini di bawah pimpinan Tejolaksono merupakan barisan yang amat kuat dan boleh diandalkan untuk menjaga keselamatan kadipaten. Kini pasukan yang kecil itu dipecah-pecah untuk menjaga kadipaten secara bergiliran.
Sang adipati sendiri, bersama isterinya, Pusporini dan Roro Luhito, tidak tinggal diam. Mereka berempat ini maklum akan ancaman bahaya dari pihak lawan, maka merekapun sibuk melakukan perondaan dalam keadaan siap siaga.
Namun tepat seperti ancaman Cekel Wisangkoro, sehari itu sama sekali tidak terjadi penyerbuan musuh, bahkan di luar sekeliling kadipaten tidak tampak bayangan seorangpun musuh. Malam hari itupun tidak ada penyerbuan musuh secara terbuka. Akan tetapi banyak hal menggiriskan hati para perajurit telah terjadi. Rombongan penjaga di sebelah utara dan timur, terdiri masing-masing dari tiga puluh orang perajurit, menjadi ketakutan setengah mati setelah peristiwa yang hebat dan menyeramkan menimpa diri mereka. Malam itu, menjelang tengah malam, mereka sedang meronda dan memeriksa bagian tirmur dan utara. Malam sunyi dan gelap, tak tampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak terdengar sesuatu. Bulan bersinar terang, didampingi banyak bintang. Udara cerah dan pemandangan indah yang terbentang di angkasa itu sedikit banyak mengurangi ketegangan hati mereka.
Mula-mula mereka tidak menaruh curiga ketika ada segumpal awan hitam menutupi sinar bulan. Barulah mereka mulai panik ketika "awan" ini dapat melayang turun dan merupakan asap hitam yang menyerang mereka! Keadaanmakin menjadi gelap sehingga akhirnya mereka tak dapat melihat tangan sendiri!
Dan di dalam kepanikan yang makin meningkat ini, mereka baru tahu bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi. Apalagi ketika di dalam kegelapan yang hebat itu mereka mendengar suara-suara aneh, bukan suara manusia, gerengan-gerengan dan ketawa-ketawa seakan-akan semua jin dan setan keluar dari neraka dan berkumpul di tempat itu. Dan mulailah mereka melihat muka-muka yang mengerikan, muka yang besar seperti kepala raksasa, akan tetapi tanpa tubuh.
Paniklah para perajurit. Ada pula yang pemberani lalu menerjang ke arah bayangan-bayangan itu hanya untuk menghantam kawan-kawan sendiri karena di dalam kegelapan itu mereka tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan!
Setelah terjadi pukul-memukul dan serang-menyerang antara kawan sendiri yang dalam kepanikan disangka musuh sampai beberapa jam lamanya, akhirnya "awan" hitam itu lenyap dan keadaan menjadi terang kembali. Dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan gelisah hati para kepala pasukan ketika menyaksikan akibat peristiwa itu. Enam orang perajurit luka-luka oleh pukulan kawan sendiri, dan sepuluh orang perajurit lenyap tak meninggalkan jejak, entah melarikan diri entah bagaimana!
Para penjaga di sebelah selatan dan barat juga mengalami hal yang amat luar biasa. Juga jumlah mereka ini adalah dua pasukan terdiri dari tiga puluh orang perajurit tiap pasukan. Pengalaman mereka tidaklah mengerikan seperti apa yang dialami para penjaga di timur dan utara, akan tetapi akibatnya malah lebih mencelakakan lagi. Selagi mereka menjaga malam itu dekat tengah malam, juga dalam sinar bulan yang cemerlang dan indah romantis, dari dalam kesunyilan muncul tujuh belas orang wanita cantik jelita yang hanya mengenakan pakaian tipis dan rambut mereka terurai. Wanita-wanita ini dengan sikap amat menarik hati menggoda mereka dengan bujuk rayu dan pikatan.
Kepala kedua pasukan yang tetap waspada membentak pasukan masing-masing dan memerintahkan pasukannya menangkapi tujuh belas orang wanita cantik yang mencurigakan itu. Akan tetapi, mendadak tercium ganda yang harum semerbak dan semua perajurit seperti mabuk karenanya, bahkan dua orang kepala pasukan itu tidaklah sebengis tadi dan hanya tertawa-tawa ketika melihat betapa anak-anak buah mereka bersendau-gurau dan bermesraan dengan tujuh belah orang wanita itu. Barulah keadaan menjadi kacau-balau ketika menjelang fajar, mereka mendapatkan diri mereka tertidur dan ketika dicacahkan, ternyata dua puluh orang perajurit telah lenyap bersama tujuh belas orang wanita cantik tadi!
Tidak hanya di tempat-tempat penjagaan terjadi hal aneh. Bahkan hal-hal aneh menimpa dan terjadi di dalam kadipaten sendiri! Malam itu setelah melakukan perondaan sendiri sekeliling kadipaten, Adipati Tejolaksono kembali ke gedungnya. Suasana sekeliling kadipaten seperti malam-malam biasa, sunyi senyap, tidak ada pergerakan musuh. Akan tetapi hal ini amat mencurigakan hatinya dan sang adipati yang melihat betapa bibinya Roro Luhito, Pusporini, dan Ayu Candra sendiri masing-masing melakukan penjagaan di dalam gedung, lalu memasuki sanggar pamujan untuk bersamadhi, mempertinggi kewaspadaan dan memohon perlindungan dari para dewata.
Belum lama sang adipati bermuja samadhi, tiba-tiba ia merasa betapa kedua matanya diserang kantuk yang amat hebat hampir tak tertahankan lagi. Karena tadinya ia menyangka bahwa kantuk ini datang karena lelah dan tegang, maka hampir saja Tejolaksono tunduk dan menyerah, akan tidur barang sebentar. Akan tetapi ketika cuping hidungnya bergerak mengendus ganda kembang menyan, seketika kewaspadaannya timbul kembali. Aji penyirepan! Tak salah lagi, ini tentulah akibat penyirepan yang amat kuat!
Sang adipati yang Sakti mandraguna ini lalu cepat mengerahkan seluruh tenaga batinnya sehingga hawa sakti menggetar keluar dari tubuhnya membentuk gelombang getaran di angkasa dan menolak getaran aji penyirepan itu. Dari perasaan tertekan dan tertindih di dadanya, sang adipati maklum bahwa yang melepas aji penyirepan adalah seorang yang memiliki hawa sakti yang amat kuat. Terjadilah "perang tanding" yang aneh dan tidak tampak oleh mata manusia, pertandingan antara dua getaran hawa sakti, tolak-menolak, dorong-mendorong dan tindih-menindih.
Kalau ada orang secara kebetulan melihat ke atas atap gedung kadipaten, tentu mereka akan merasa terheran-heran melihat adanya segumpal asap putih yang seperti bermain-main di angkasa, kadang-kadang terdorong ke depan kadang-kadang mundur pula ke belakang dan akhirnya setelah lama maju mundur, asap putih yang berbau harum kembang menyan ini hancur dan buyar lalu lenyap! Hal ini menandakan bahwa aji penyirepan yang tadinya menguasai sekeliling gedung kadipaten telah dikalahkan oleh getaran hawa sakti yang membubung keluar dari sanggar pamujan.
Pusporini dara remaja yang cantik manis dan perkasa itu tadinya juga menjaga gedung kadipaten bersama ibunya dan ayundanya. Dara ini telah siap siaga, pakaiannya serba ringkas. Betisnya yang masih kecil akan tetapi sudah berbentuk padi bunting dan kulit halus itu tampak. Pakaian kain seperti ini membuat ia akan leluasa bergerak kalau bertempur, tidak menghalangi gerak langkah atau tendangannya. Di pinggangnya tampak sebatang keris luk tiga menyelempit di balik sabuk sutera.
Rambutnya yang hitam gemuk halus dan panjang sampai ke pinggul itu kini ditekuk dan diikat menjadi satu dengan kuat sehingga ujungnya yang berjuntai hanya sampai ke pundak, tidak disanggul seperti biasa karena kalau dipakai bertempur dikhawatirkan sanggul terlepas dan rambut terurai membuat gerakan tidak leluasa lagi. Tangan kanannya memegang sebatang golok, karena ia telah mempelajari permainan golok indah dari sang adipati, yaitu permainan Golok Lebah Putth. Golok yang kecil bentuknya, lebih kecil daripada golok biasa, gagangnya kayu terukir dan memakai ronce-ronce sutera merah.
Seperti umumnya watak orang muda Pusporini juga haus akan petualangan hebat. Suasana kadipaten yang mencekam perasaan dan amat menegangkan itu merupakan pengalaman menggembirakan bagi dara remaja ini. Kini tibalah saatnya ia akan dapat membuktikan segala aji yang selama ini ia pelajari, pikirnya.
Dan seorang muda seperti dia sama sekali tidak mengenal takut, belum begitu yakin akan tingginya langit dalamnya lautan! Ia menanti-nanti datangnya musuh untuk dibabat dengan goloknya seperti membabat rumput, dipukul remuk dengan ajinya Pethit Nogo di tangan kini seperti menghancurkan buah-buah mentimun. Akan tetapi setelah menanti sampai jauh malam tidak juga muncul seorangpun musuh, hatinya menjadi kesal dan bosan. Maka ditinggalkannya ibu dan ayundanya untuk "mencari angin sejuk" di belakang kadipaten, di dalam taman bunga.
Angin dingin sejuk memang ia dapatkan, dan hampir saja ia celaka oleh angin dingin sejuk ini. Tadinya ia bermaksud menjaga di taman dan mengharapkan munculnya musuh di dalam taman. Akan tetapi begitu ia melangkahkan kaki memasuki taman sari, angin sejuk menyambutnya dan saking kesal hatinya, dara remaja ini duduk di atas bangku dalam taman. Angin sejuk semilir menggerayangi muka dan lehernya, menimbulkan rasa nyaman.
Ganda harum semerbak yang datang terbawa angin tidak membangkitkan kewaspadaannya, tidak menimbulkan kecurigaannya karena ia menganggap itu adalah ganda bunga-bunga yang tumbuh di taman. Malah cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis menyedot ganda harum sedap itu. Maka dengan mudah saja getaran hawa sakti aji penyirepan menguasainya, membuat dara ini tiga empat kali menguap saking mengantuknya, tiap kali menutup mulut dengan punggung tangan kirinya. Tak lama kemudian Pusporini pun tertidurlah dengan pulas sambil duduk di atas bangku.
Tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan seorang laki-laki tinggi besar yang meloncat keluar dari balik pohon di taman itu. Dengan beberapa loncatan saja orang ini telah mendekati Pusporini yang masih tidur dengan napas panjang teratur. Ketika melihat dara remaja itu tidak bergerak dan tidur, laki-laki itu menyergap ke depan dan di lain saat tubuh dara remaja itu telah disambar dan dipondongnya. Golok yang dipegang Pusporini terlepas dan jatuh! Pusporini masih pulas dan hanya mengeluarkan suara rintihan perlahan seperti orang ngelindur ketika tubuhnya dipondong dan dibawa lari.
Sementara itu, Roro Luhito dan Ayu Candra yang masih duduk menjaga di ruangan dalam, bercakap-cakap. Dua orang wanita ini maklum akan bahaya yang mengancam kadipaten, namun mereka itu biar tegang di hati, sikap mereka masih tenang saja dan memang ketegangan hati mereka bukanlah tanda hati khawatir.
Mereka tidak khawatir, juga tidak takut karena mereka percaya penuh akan kesaktian Adipati Tejolaksono, juga percaya akan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi musuh. Kedua orang wanita ini, seperti juga Pusporini, berpakaian ringkas dan di sabuk mereka terselip senjata pusaka mereka. Sebatang tombak berada di samping mereka selalu.
Dua orang wanita ini sudah dua kali menguap dan Ayu Candra tidak dapat menahan kantuknya lagi, mulai melenggut. Tiba-tiba Roro Luhito memegang pundaknya, mengguncangnya dan berbisik,
"Ayu.... Bangun.... Awas, musuh menggunakan aji penyirep!"
Biarpun terpengaruh aji penyirepan, karena memang Ayu Candra bukan wanita sembarangan dan sudah memiliki kekuatan batin yang tangguh, guncangan ini cukup menyadarkan dan bersama Roro Luhito ia cepat duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin untuk melawan pengaruh aji penyirepan ini. Bau kembang menyan mengambar-nyambar semerbak memenuhi ruangan itu membuat kepala mereka terasa pening. Akhirnya mereka dapat menguasai diri mereka dan Roro Luhito berbisik,
"Cepat..... kita cari Pusporini..... !"
Mereka meloncat bangun dan menggunakan Aji Widodo Mantera untuk memperkuat batin. Setelah menyambar tombak masing-masing, mereka lalu meloncat dan lari ke arah belakang. Angin sejuk menyambut mereka ketika mereka keluar dari pintu butulan di belakang, memasuki taman sari.
"Ah, Bibi.... lihat...!!" Ayu Candra berseru kaget dan menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Sesosok bayangan laki-laki tinggi besar lari memondong tubuh Pusporini!
"Keparat.... ! Kejar.... !!" teriak Roro Luhito sambil meloncat ke depan, diikuti Ayu Candra.
Akan tetapi mendadak muncul empat orang laki-laki tinggi besar. Seperti juga laki-laki yang menculik Pusporini tadi, empat orang laki-laki inipun selain tinggi besar, juga kepalanya gundul, ditutup ikat kepala berwarna biru tua dan muka mereka seperti muka arca atau muka mayat. Mereka muncul begitu saja, tidak mengeluarkan suara dan secara tiba-tiba langsung menubruk dan menyerang Roro Luhito dan Ayu Candra. Jari-jari tangan mereka yang sebesar pisang itu terbuka dan lengan tangan mereka yang penuh bulu amat besar dan kuat menyeramkan.
Roro Luhito dan Ayu Candra terkejut, cepat mengelak sambil memutar tombak, menghadapi masing-masing dua orang lawan yang bertubuh kuat dan bersenjata golok besar. Terjadilah pertempuran hebat di dalam taman, dan terdengar suara senjata berdencingan ketika bertemu berkali-kali. Dua orang wanita perkasa itu mendapat kenyataan bahwa empat orang lawan mereka memiliki tenaga yang amat kuat sehingga tiap kali beradu senjata, mereka merasa telapak tangan mereka panas dan sakit.
Roro Luhito marah sekali, mengeluarkan pekik seperti seekor kera dan gerakannya menjadi cepat laksana halilintar menyambar-nyambar. Dalam amarahnya karena teringat akan puterinya yang terculik, wanita ini telah mengeluarkan ajinya Sosro Satwo yang dahulu ia pelajari dari gurunya, yaitu Resi Telomoyo. Seketika tombaknya berubah menjadi banyak ujungnya dan dalam gebrakan selanjutnya kedua lawan yang menjadi berkunang-kunang pandang matanya itu dapat ia tusuk dengan ujung tombak, tepat mengenai paha dan perut.
Akan tetapi betapa terkejutnya ketika kedua tusukannya itu membalik dan ternyata ujung tombaknya hanya merobek pakaian dan kulit sedikit saja, tidak mampu menembus daging. Kiranya dua orang lawannya ini selain amat kuat juga memiliki tubuh yang kebal! Ia makin marah dan kini menujukan ujung-ujung tombaknya kepada bagian-bagian yang lemah, terutama ke arah mata kedua orang lawan.
Ayu Candra mengalami hal yang sama. Ia menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari suaminya sehingga kini ia dapat mengatasi kedua lawannya karena gerakannya jauh lebih cepat. Beberapa kali tombaknya dapat menusuk leher dan lambung, namun kesemuanya meleset seakan-akan menusuk karet yang licin sekali. Seperti juga bibinya, kini ia bergerak lebih cepat dan mengarahkan ujung tombak ke bagian-bagian berbahaya dari kedua orang lawan yang terus mengamuk membabi buta tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.
Adipati Tejolaksono setelah berhasil membuyarkan getaran aji penyirepan, lalu bangun dari samadhinya, keluar dari sanggar pamujan dan bergerak cepat keluar. Sanggar pamujan ini letaknya di bagian samping gedung, dan kini setelah keluar ia mendengar suara senjata beradu di sebelah belakang, di taman sari. Cepat ia berkelebat memasuki taman sari dan terkejut hatinya melihat isterinya dan bibinya dikeroyok empat orang laki-laki tinggi besar yang agaknya kebal karena dari jauh ia melihat betapa tombak isterinya dan bibinya itu berkali-kali meleset jika mengenai tubuh lawan. Ia menjadi marah sekali, bagaikan seekor garuda melayang tubuhnya mencelat dan menyambar ke depan.
"Siuuuuttt..... dess! dessss!"
Dua kali tangannya menghantam dengan pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggila itu. Kalau lawan lain terkena hantaman ini tentu tubuhnya akan roboh dan hangus, atau setidaknya tentu akan patah-patah tulang iganya. Akan tetapi dua orang pengeroyok Ayu Candra itu terkena pukulan ini hanya mencelat roboh tergiling-guling tanpa mengeluh, kemudian merangkak dan bangkit kembali! Terbelalak mata Tejolaksono memandang saking herannya.
Dua orang ini sama halnya dengan dua orang tinggi besar anak buah Cekel Wisangkoro yang ia patahkan pergelangan tangannya, sama pula dengan Sariwuni, memiliki kekebalan luar biasa sehingga dapat menahan keampuhan pukulan tangannya. Ia menjadi penasaran sekali. Ditiupnya kedua tangannya kemudian ketika dua orang laki-laki gundul itu menerjang maju, ia memapak dengan loncatan dan hantaman kedua tangan ke arah kepala mereka.
"Keparat jahanam!" Tejolaksono membentak marah sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke atas.
Demikian hebatnya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Aji Bayu Sakti sehingga terdengar suara keras ketika tubuhnya yang mencelat ke atas dan jebollah atap rumah berikut gentengnya! Kini tubuhnya sudah berada di atas genteng dan ia berdiri tegak memandang ke bawah, ke arah luar rumah Ki Sentana. Ternyata di depan rumah itu telah penuh dengan orang-orang yang menjadi anak buah Sariwuni dan teman-temannya, maka ia memandang penuh perhatian.
Inikah pasukan asing yang kabarnya tidak pernah mengganggu dusun-dusun? Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat bahwa orang-orang yang jumlahnya lima puluh lebih itu ternyata adalah penduduk dusun Sumber! Dan di barisan depan, berdiri Ki Sentana sendiri dengan sebatang tombak di tangan. Di kanannya berdiri Sariwuni, kini sudah berpakaian lengkap dan ringkas, kelihatan cantik dan gagah, sebatang pedang di tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Ada pula beberapa orang laki-laki tinggi besar yang ia tidak tahu siapa, entah penduduk dusun entah orang lain.
"Tangkap penjahat !"
"Tangkap pembunuh.... !!"
Penduduk dusun itu berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata dan obor ketika mereka melihat munculnya Tejolaksono di atas genteng. Mereka tadinya mengepung rumah itu dan menanti munculnya penjahat ini dari pintu, siapa kira tahu-tahu telah berada di atas genteng. Tejolaksono lalu melompat ke wuwungan paling depan, sehingga ia berada di atas sekumpulan penduduk dusun di bawah dan mereka semua dapat melihatnya dengan penerangan obor yang amat banyak itu.
"Heeeeeh, rakyat Sumber semua dengarlah baik-baik! Aku bukan penjahat bukan pula pembunuh. Aku adalah junjungan kalian, aku Adipati Tejolaksono, adipati di Selopenangkep! Kalian telah tertipu! Kepala dusun kalian, Ki Sentana, telah jatuh di bawah pengaruh orang-orang jahat. Sariwuni adalah seorang wanita iblis yang amat jahat! Insyaflah, hei rakyat dusun Sumber!" Suara Tejolaksono amat nyaring dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk karena ia mengerahkan hawa sakti untuk mendorong suaranya.
Mendengar suara ini, serentak suara para penduduk terhenti. Nama besar Adipati Tejolaksono amat mereka kenal dan masih amat besar pengaruhnya. Mereka menjadi bimbang dan ragu-ragu. Tadi Ki Sentana, kepala dusun mereka yang akhir-akhir ini amat royal dalam membagi-bagi hadiah kepada rakyatnya, mengumpulkan rakyat yang katanya harus menangkap dan mengeroyok seorang penjahat sakti yang membunuh isteri Ki Sentana. Akan tetapi mengapa penjahat itu adalah sang adipati di Selopenangkep sendIri yang terkenal sakti mandraguna dan adil bijaksana?
"Tejolaksono! Engkau tidak patut menjadi junjungan kami lagi! Tidak patut menjadi Adipati Selopenangkep. Lihat saja, sebentar lagi engkau tentu akan dihentikan menjadi adipati. Engkau seorang penjahat besar! Siapa yang tidak mendengar nama busuk wanita iblis Endang Patibroto yang telah banyak membunuh banyak ponggawa Panjalu? Dan engkau malah menjadi suaminya! Hahaha, tak perlu kau membohongi rakyatmu. Hai, kawan-kawan, mari kepung dan tangkap si laknat ini. Isteriku telah dibunuhnya!"
"Bohong... !!" Tejolaksono hanya mampu mengeluarkan ucapan ini karena ia terlalu terheran-heran. Jelas bahwa yang bicara itu adalah Ki Sentana, orang bawahannya yang dikenalnya baik, yang menjadi sahabatnya, bekas perajurit Panjalu kawakan yang setia. Benar-benarkah itu Ki Sentana? Orangnya memang itu, juga suaranya. Akan tetapi terdapat perubahan yang amat jauh berbeda. Apakah karena pengaruh Sariwuni? Akan tetapi penduduk kini sebagian sudah ada yang menerobos masuk dan tak lama kemudian mereka keluar sambil berteriak-teriak,
"Benar, dia pembunuh jahat! Nyi Sentana telah dibunuhnya Hayo tangkap! Kepung!"
Tejolaksono maklum bahwa dalam keributan seperti itu, percuma saja berdebat dengan kata-kata. Paling perlu menawan Ki Sentana untuk mengorek rahasia para penjahat itu dan juga menawan atau membunuh Sariwuni yang jelas merupakan biang keladi semua peristiwa ini. Ia lalu menggerakkan tubuhnya melayang turun bagaikan seekor burung garuda melayang. Para penduduk dusun Sumber ternganga dan kesima menyaksikan ini. Baru sekarang mereka menyaksikan seorang manusia dapat melayang turun dari tempat setinggi itu seperti seekor burung saja! Mereka menjadi gentar dan lupa untuk menyerang! Akan tetapi ada beberapa orang yang menerjang maju, didahului oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang tadi berdiri di dekat Ki Sentana.
Dua orang itu bersenjata pedang pula seperti Sariwuni dan bersama lima orang penduduk lain, mereka menyambut turunnya tubuh Tejolaksono. Sang adipati menggerakkan kaki tangannya dan lima orang penduduk itu terpental mundur dan tombak mereka terlepas dari pegangan kena gempuran hawa sakti yang keluar dari kaki tangan sang adipati. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya hati Tejolaksono ketika melihat bahwa dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak terpengaruh dorongannya dan terus menerjang dengan babatan pedang mereka yang mengeluarkan angin saking kuat dan cepatnya.
"Hemm... !" Ia mendengus dan tubuhnya cepat menyelinap ke kanan, kemudian begitu dua batang pedang itu lewat, ia mendorong maju dan tubuhnya doyong pula ke depan. Cepat sekali kedua tangannya ini bergerak, tahu-tahu telah tiba di depan dada dua orang lawannya. Hal ini tidak aneh karena sang adipati yang perkasa telah menggunakan aji pukulan Kukilo Sakti sehingga gerakan kedua tangannya seperti dua buah kepala burung yang mematuk amat cepatnya!
"Singgg.... siuuuuttt.... !!"
Adipati Tejolaksono terpaksa harus menarik kembali kedua tangannya sehingga pukulan Kukilo Sakti itu hanyalah mengenai dada kedua orang lawan dengan seperempat tenaganya saja karena dari belakangnya menyambar sebatang pedang yang hebat gerakannya dan tusukan sebatang tombak. Namun ia tahu bahwa pukulannya itu sudah cukup kuat untuk merobohkan lawan yang sakti. Maka, amatlah kagetnya ketika dua orang tinggi besar itu hanya terhuyung mundur empat langkah saja dan terus maju lagi! Ah, kiranya di sini banyak orang sakti, pikirnya. Tentu dua orang ini merupakan kawan-kawan Sariwuni!
Betapapun juga, ia terpaksa membalikkan tubuh menghadapi serangan dari belakang tadi. Pedang yang menyambar dapat dielakkan dan kuku hitam yang mencengkeram dapat pula ia tangkis. Tubuh Sariwuni untuk kedua kalinya terhuyung ke belakang. Tombak di tangan Ki Sentana yang menyambar ia biarkan lewat di dekat perutnya dengan miringkan tubuh, kemudian secara mendadak ia menubruk maju dan di lain saat ia telah mengempit tubuh Ki Sentana yang tua Itu sehingga tak dapat berkutik lagi!
Dengan lengan kiri mengempit tubuh Ki Sentana, Tejolaksono membalikkan tubuh, tangan kanannya siap untuk memukul atau menawan Sariwuni, akan tetapi ternyata wanita itu telah Ienyap. Demikian pula dua orang laki-laki tinggi besar tadi, dan kini para penduduk Sumber mengeroyoknya seperti rombongan semut mengeroyok seekor jengkerik.
"Aaahhh, kalian orang-orang bodoh!" bentak Tejolaksono dengan gemas, akan tetapi tentu saja ia tidak mau memusuhi rakyatnya sendiri, maka sekali mengenjot kedua kakinya dengan Aji Bayu Sakti ia meloncat tinggi melampaui kepala para pengurungnya, melesat jauh.
Tiba-tiba dari rombongan penduduk dusun itu menyambar tubuh Sariwuni menyerangnya dengan pedang yang menusuk ke arah leher. Pada saat itu, tubuh Tejolaksono masih meloncat, maka cepat-cepat ia menggunakan tangannya yang kanan menyampok dengan jari-jari tangannya yang tepat mengenai pergeIangan tangan wanita itu. Sariwuni menjerit, pedangnya terpental entah ke mana dan pergelangan tangannya menjadi lumpuh. Tak kuat ia menahan benturan jari tangan Tejolaksono yang mengandung aji pukulan Bojro Dahono yang panas laksana halllintar. Akan tetapi berbareng dengan jerit Sariwuni yang terhuyung ke belakang, juga Ki Sentana memekik.
Kagetlah Tejolaksono ketika memandang dan melihat betapa pipi Ki Sentana terdapat guratan menghitam. Kiranya wanita iblis Itu tadi menyerangnya dengan pedang dan berbareng menyerang Ki Sentana dengan kuku tangan kiri! Karena ingin mendengar penjelasan Ki Sentana, apalagi melihat betapa para penduduk Sumber terus mengepungnya, ia tidak mau melayani lagi. Musuhnya hanyalah Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar itu, dan kini wanita itupun sudah lenyap lagi, agaknya bersembunyi di antara penduduk yang demikian banyak. Ia mengerahkan tenaga melompat terus berlari menghilang di dalam kegelapan malam sambil mengempit tubuh Ki Sentana.
Setelah lari jauh meninggalkan dusun Sumber dan mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang mengejar lagi, barulah Tejolaksono berhenti dan menurunkan tubuh Ki Sentana. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika melihat bahwa Ki Sentana telah menjadi mayat! Di bawah sinar bulan yang cukup terang, ia melihat betapa muka Ki Sentana kini telah berubah hitam yang menjalar sampai ke leher dan kulit muka dan leher itu telah mulai rusak dan membusuk!
Tejolaksono bergidik. Alangkah jahatnya kuku iblis betina itu. Inilah agaknya ilmu hitam yang disebut aji pukulan Wisakenaka (Kuku Beracun). Hawa beracun disalurkan melalui lengan sampai ke kuku tangan dan sekali kuku itu menggurat, racun akan memasuki kulit, menjalar sampai ke dalam jalan darah seperti gigitan ular yang paling berbisa! .
Tejolaksono termenung. la merasa kasihan kepada Ki Sentana ini. Ia dapat menduga kini apa yang telah terjadi. Tentu Ki Sentana ini telah dipengaruhi oleh segerombolan penjahat yang amat sakti. Mula-mula kepala dusun yang sudah tua ini dipikat dengan kecantikan Sariwuni dan ia tidak menyalahkan Ki Sentana kalau sampai jatuh hatinya. Memang wanita itu hebat dan cantik sekali. Kemudian, melihat keadaan yang tidak wajar, tentu Ki Sentana ini jatuh di bawah pengaruh ilmu hitam sehingga keadaannya seperti orang yang kehilangan kesadaran atau pikiran. Dua orang puteranya tentu diculik dan tewas, isterinyapun tewas dan kini dia sendiri karena tertawan dan mereka tidak menghendaki ia membuka rahasia, ditewaskan pula. Seluruh keluarga Ki Sentana terbasmi habis! Dan semua itu dilakukan dengan amat halus dan cerdiknya sehingga rakyat bahkan membela mereka!
Benar-benar amat luar biasa kali ini musuh-musuh Panjalu melakukan penyerbuan ke daerah Panjalu. Bukan dengan kekerasan merampoki dusun-dusun seperti yang dilakuka gerombolan Gagak Serayu, melainkan dengan halus, yaitu mempengaruhi, menundukkan bahkan menculik para tokoh terkemuka di setiap dusun, yang mau tunduk menjadi kaki tangan, yang tidak tunduk diculik dan lenyap, diganti orang-orang yang mau bersekutu, kemudian melalui tokoh-tokoh yang menjadi kaki tangan ini, rakyat dipengaruhi dan dibelokkan kepercayaan mereka sehingga Agama Wishnu terdesak oleh agama baru yang memuja Shiwa, atau Bathari Durga, tentulah perbuatan kaki tangan Kerajaan Cola dan Sriwijaya!
Terbuktilah kini ancaman yang dikeluarkan pendeta-pendeta Agama Buddha dan Shiwa dahulu itu dan cocok pula dengan apa yang ia dengar dalam pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan Biku Janapati dan Wasi Bagaspati! Mengembangkan agama tidak dengan kekerasan, menaklukkan negara tidak dengan perang, akan tetapi membersihkan tokoh-tokoh yang menentang. Dan mengingat betapa baru kaki tangan mereka saja, seperti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang sanggup menahan pukulan-pukulannya, Tejolaksono bergidik. Bahaya besar mengancam Kerajaan Panjalu, bahaya yang datangnya dari barat dan utara, yang datang bagaikan air banjir seperti yang ia lihat dalam samadhinya malam itu di Kadipaten Selopenangkep.
Teringat akan kadipaten yang ditinggalkannya, Tejolaksono tersentak kaget. Musuh amat banyak, juga amat pandai dan sakti. Perjalanannya meninggalkan kadipaten sudah diketahui musuh. Buktinya Sariwuni dapat tahu siapa dia. Hal ini amatlah berbahaya. Bagaimana kalau kadipaten diserbu selagi ia tidak ada? Seperti yang dilakukan Lima Gagak Serayu dahulu? Tejolaksono cepat menggali lubang dan mengubur jenazah Ki Sentana. Kemudian malam itu juga ia melanjutkan perjalanan dengan cepat, kini menuju ke Selopenangkep.
Ketika tiba di Selopenangkep, kota kadipaten tampak sunyi, akan tetapi hatinya lega dan kagum menyaksikan penjagaan yang rapi dan kuat. Benar-benar bibi Roro Luhito boleh diandalkan, pikirnya, karena ia tahu bahwa bibinya itulah yang mengepalai penjagaan ini. Heran, apakah bibinya sudah tahu akan ancaman bahaya besar sehingga Kadipaten Selopenangkep siap sedia dalam keadaan perang. Ataukah Mundingyudo sudah kembali dari penyelidikannya?
Malam hari itu ia memasuki Kadipaten Selopenangkep dan kembali la girang dan kagum sekali ketika ia baru saja meloncati tembok pintu gerbang dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, dari sebelah dalam muncul belasan orang penjaga yang tadinya bersembunyi dan barisan tombak menghadangnya, diikuti bentakan keras,
"Berhenti!"
Akan tetapi para perajurit Itu terkejut dan girang mendapat kenyataan bahwa yang bayangannya berkelebat mencurigakan itu ternyata adalah sang adipati sendiri. Mereka lalu memberi hormat.
"Bagus! Teruskanlah penjagaan kalian dengan waspada." Sang adipati memuji lalu melanjutkan perjalanan menuju ke gedung kadipaten.
Kalau para penjaga itu dapat melihat kedatangannya, berarti bahwa kadipaten tidak akan mudah kebobolan. Memang baris pendam penting sekali untuk menghadapi penyerbuan diam-diam dari orang-orang sakti yang memiliki kepandaian tinggi.
Biarpun waktu itu sudah malam, namun Roro Luhito, Ayu Candra, dan Pusporini menyambutnya dengan pakaian ringkas dan dalam keadaan siap siaga, senjata tidak terlepas dari tangan. Jelas nampak terbayang pada wajah tiga orang wanita ini, terutama wajah Ayu Candra, betapa girang dan lega hati mereka melihat kembalinya Adipati Tejolaksono.
Dengan singkat Adipati Tejolaksono menceritakan pengalamannya dan tiga orang wanita itu mendengarkan dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka maklum akan besarnya bahaya yang mengancam.
"Aku sudah menaruh curiga ketika mendengar laporan Mundingyudo," kata Roro Luhito. "Biarpun pasukan-pasukan asing Itu tidak melakukan penyerbuan, akan tetapi mereka amat banyak dan melakukan gerakan mengurung Selopenangkep, karena Itu aku segera mengatur penjagaan sekuat-kuatnya."
"Memang keadaannya gawat sekali, Kanjeng Bibi," kata Tejolaksono yang segera menyuruh panggil Mundingyudo menghadap. Kepala pengawal Selopenangkep ini segera datang dan menuturkan hasil penyelidikannya.
"Hamba melihat banyak sekali pasukan campuran yang datang dari barat dan utara," demikian antara lain laporan Mundingyudo. "Biarpun mereka itu tidak pernah menyerbu sebuah dusun, namun mereka amat mencurigakan. Bahkan menurut penyelidikan anak buah hamba, terdapat pula orang-orang bekas gerombolan Gagak Serayu, para penjahat dari Lembah Serayu, di antara pasukan. Pimpinan mereka, yang dari utara adalah pedanda-pedanda (pendeta Buddha) dan yang dari barat adalah pendeta-pendeta Agama Shiwa. Pasukan-pasukan kita tidak menemui tentangan, akan tetapi mereka itu makin mendekati Selopenangkep dari pelbagai jurusan, agaknya hendak mengurung. Hamba mohon keputusan paduka."
Tejolaksono mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengkhawatirkan keadaan Selopenangkep, yang lebih ia khawatirkan adalah keselamatan Kerajaan Panjalu.
"Kakang Mundingyudo, malam ini juga engkau berangkatlah ke Kerajaan Panjalu, menghadap sang prabu di Panjalu menghaturkan surat laporanku. Agar engkau tahu akan maksud tugasmu ini, ketahuilah bahwa pasukan-pasukan asing itu menurut perkiraanku dan hal ini tidak meleset kiranya, adalah pasukan-pasukan kaki tangan Sriwijaya dan Kerajaan Cola yang selain akan memperkembangkan agama, juga bermaksud memperluas wilayah jajahan mereka di Jawa-dwipa. Maka itu, biarpun mereka tidak melakukan gerakan menyerang, namun perlu mereka itu disapu dari wilayah Panjalu karena mereka telah melanggar perbatasan. Agar jangan sampai terlambat, sekarang juga seyogianya Kerajaan Panjalu mengerahkan barisan dan melakukan pembersihan. Demikian isi laporanku, Kakang."
Setelah menulis surat laporan dan menyerahkannya kepada pembantunya itu, berangkatlah Mundingyudo malam itu juga menuju ke Panjalu. Kemudian Adipati Tejolaksono memasuki kamarnya untuk beristirahat, diikuti oleh isterinya.
********************
"Kejar.... !
"Tangkap mata-mata...!
"Bunuh.... !!"
"Aduhh... ahhh... aduhh... trang-trang-trang.... !!
Suara ini memecahkan kesunyian di pagi hari depan gedung Kadipaten Selopenangkep. Para perajurit pengawal sibuk mengurung empat orang sambil berteriak-teriak dan beberapa orang pengawal roboh tumpang tindih. Seorang di antara mereka yang dikeroyok pengawal ini diam saja, hanya melangkah maju memasuki pekarangan kadipaten sambil tersenyum. Sikapnya tenang namun ia congkak sekali, mengangkat muka dan membusungkan dada yang tipis.
Seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, tubuhnya kurus tinggi, rambutnya penuh uban panjang terurai di kedua pundak sampai ke pinggang, pakaiannya jubah pendeta berwarna kuning, telanjang dan memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering. Wajah laki-laki tua ini merah seakan-akan bagian tubuhnya itu penuh dengan darah di dalamnya, bahkan kedua matanya juga kemerahan. Hidungnya panjang melengkung seperti paruh betet, mulutnya lebar dan karena selalu tersenyum, tampak deretan gigi yang ompong dan menguning. Kalau rambutnya panjang, adalah mukanya yang merah itu sama sekali tidak berambut, tidak ada sehelaipun kumis atau jenggot, agaknya habis dicabuti.
Adapun tiga orang yang mengikutinya adalah dua orang laki-laki tinggi besar berusia empat puluhan tahun dan seorang wanita cantik berusia dua puluh lima tahun. Laki-laki tua berjubah pendeta itu berjalan tanpa memperdulikan pengeroyokan dan pengejaran, akan tetapi, tiga orang inilah yang melindunginya dan setiap ada perajurit yang maju menyerang tentu perajurit itu terlempar berikut senjata mereka. Tiga orang ini hebat bukan main, dengan tangan kosong mampu melempar-lemparkan para perajurit yang berani mendekat dan menyerang.
Empat orang ini pagi tadi dengan enak dan tenangnya memasuki pintu gerbang yang baru terbuka, tidak perduli akan larangan dan teguran para penjaga. Mereka berjalan terus memasuki kota, menuju ke kadipaten, terus berjalan maju dan tiga orang itu membabati semua penghalang, namun agaknya mereka menjaga agar mereka tidak sampai membunuh para perajurit sehingga mereka yang dilempar-lemparkan atau dirobohkan hanya mengalami babak-belur dan patah tulang saja.
Seorang di antara para pengawal sudah masuk ke gedung kadipaten untuk melaporkan datangnya empat orang aneh itu. Adipati Tejolaksono segera keluar diikuti Ayu Candra, Roro Luhito, dan Pusporini, kesemuanya sudah siap siaga dengan keris di pinggang. Begitu keluar dari gedung dan melihat empat orang itu menghadapi kepungan para pengawal dengan tenang, melihat pula betapa tiga orang itu dengan mudahnya melempar-lemparkan para perajurit yang berani menyerang
Tejolaksono segera berseru, "Para pengawal, tahan dan mundur semual"
Perajurit-perajurit pengawal berbesar hati melihat munculnya Adipati Tejolaksono. Mereka maklum bahwa empat orang yang datang ini adalah orang-orang sakti dan untuk menghadapi mereka ini, hanyalah sang adipati dan keluarganya yang akan mampu menanggulangi. Mereka lalu mengundurkan diri namun masih mengurung dari jarak jauh, siap menanti perintah sang adipati.
Tejolaksono diikuti tiga orang wanita itu melangkah maju perlahan-lahan memasuki halaman kadipaten yang amat luas, merupakan sebuah alun-alun kecil. Diam-dian Tejolaksono marah sekali ketika mengenal tiga orang itu. Wanita cantik itu bukan lain adalah Sariwuni yang pernah dijumpainya, bahkan yang pernah menggodanya dengan sikap yang tak tahu malu. Kini wanita itu berdiri dan memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan bibir yang manis itu tersenyum-senyum.
Sungguh seorang wanita yang tidak tahu malu dan mengingatkan ia akan dua orang tokoh wanita ketika ia masih kecil, yaitu Ni Nogogini dan Ni Durgogini. Melihat Sariwuni, otomatis Tejolaksono melirik ke arah kedua tangannya, tangan dengan kuku beracun yang telah menggurat tewas Ki Sentana. Akan tetapi kedua tangan itu indah bentuknya, jari-jarinya runcing halus dan kuku-kuku jarinya yang diruncingkan itu putih halus kemerahan!
Adapun dua orang laki-laki tinggi besar di sebelah wanita itupun dikenalnya sebagai dua orang laki-laki tangguh yang pernah ia lihat di dusun Sumber. Akan tetapi laki-laki tua berpakaian pendeta itu baru kali ini ia lihat dan ia sama sekali tidak mengenalnya. Betapapun juga, melihat sikapnya, ia dapat menduga bahwa pendeta itu tentulah seorang yang sakti, karena buktinya tiga orang itu bertindak sebagai pelindungnya. Maka ia bersikap waspada dan hati-hati, terus melangkah sampai berhadapan dengan empat orang tamu aneh itu. Kini mereka berdiri berhadapan, saling memandang penuh perhatian. Kemudian Adipati Tejolaksono berkata,
"Kalau saya tidak salah mengira, tiga orang yang melindungi andika ini pernah saya jumpai di dusun Sumber."
Sariwuni memperlebar senyumnya dan memandang Tejolaksono dari atas ke bawah dengan kekaguman yang tidak disembunyi-sembunyikan,
"Aduh, Adipati Tejolaksono. Setelah kini melihatmu berpakalan adipati, tidak menyamar sebagai seorang petani kotor, engkau menjadi jauh lebih tampan dan gagah. Sungguh... !!" Senyumnya berubah senyum mengejek ketika wanita ini melihat pandang mata berapi penuh kemarahan dari Ayu Candra yang berdiri di sebelah kiri suaminya.
Ingin Ayu Candra memaki dan menerjang wanita itu setelah kini ia dapat menduga bahwa tentu inilah Sariwuni yang diceritakan suaminya, akan tetapi ia menahan kemarahannya dan menyerahkan sikap menyambut empat orang aneh ini kepada suaminya.
Tejolaksono tidak memperdulikan wanita cantik itu, melainkan berkata lagi kepada si pendeta, "Menurut pelaporan para penjaga, andika bermaksud menemui saya dan menggunakan kekerasan memasuki kadipaten. Melihat pakaian andika, tak akan keliru kiranya kalau saya mengatakan bahwa andika seorang pendeta yang sudah pandai menguasai nafsu diri, akan tetapi melihat sepak terjang andika dan kawan-kawan andika, sungguh belum pernah saya mendengar ada tamu yang datang secara paksa dan menggunakan kekerasan, kecuali sebangsa perampok dan penjahat!" Halus kata-kata Tejolaksono, namun langsung menusuk perasaan dan merupakan teguran keras.
Namun empat orang tamu itu sama sekali tidak kelihatan marah dan hanya tersenyum-senyum, yaitu Sariwuni dan si pendeta karena dua orang laki-laki tinggi besar itu tidak pernah tersenyum, juga tidak tampak marah. Wajah keduanya seperti wajah arca dari batu saja, sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa.
Melihat ini semua, Tejolaksono dapat menduga bahwa mereka ini benar-benar telah memiliki kekuatan dalam yang hebat dan tidak lagi mudah dikuasai perasaan. Maka iapun tidak mau lagi banyak menyerang dengan kata-kata, lalu langsung saja bertanya,
"Kisanak, pendeta atau perampok adanya andika, setelah berhadapan muka dengan aku, katakanlah siapa andika dan apa kehendak andika mendatangi Kadipaten Selopenangkep!"
"Heh-heh-heh, Adipati Tejolaksono. Andika ingin mengenalku? Aku adalah Cekel Wisangkoro, abdi dan murid, juga utusan Sang Wicaksono Wasi Bagaspati! Adapun maksud kedatangan kami adalah dengan hati terbuka, maksud baik dan membawa uluran tangan sang wasi."
Tidak heran hati Tejolaksono mendengar ini. Memang ia sudah menduga bahwa semua peristiwa yang terjadi adalah kelanjutan daripada munculnya Biku Janapati dan Wasi Bagaspati di puncak Merapi empat tahun yang lalu. Dengan hati panas Tejolaksono tersenyum pahit.
"Adakah hati terbuka dan maksud baik diawali dengan pertempuran melawan para penjaga Selopenangkep?"
Kembali Cekel Wisangkoro tertawa. "Adipati Tejolaksono, periksalah baik-baik semua perajuritmu. Adakah seorang saja yang tewas di tangan kami? Kami memasuki Selopenangkep dengan hati terbuka dan maksud baik, akan tetapi para perajuritmu menyerang kami.. Sungguhpun demikian, kami masih menaruh kasihan dan tidak membunuh seorangpun, hanya merobohkan karena kami harus membela diri, bukan? Hal itu saja sudah membuktikan bahwa kami datang dengan maksud baik!"
Di dalam hatinya, Tejolaksono tak dapat membantah kebenaran ucapan itu. Memang, empat orang ini belum melakukan sesuatu yang jahat di Kadipaten Selopenangkep dan semua perajurit yang roboh tidak terbunuh, hanya babak-belur dan patah tulang saja.
"Hemmm, katakanlah terus terang, Cekel Wisangkoro, sebagai utusan, apakah kehendakmu dan apakah yang akan kau sampaikan kepadaku?"
"Kami datang mengulurkan tangan kepadamu, Adipati Tejolaksono, untuk bekerja sama dan menjadi sahabat. Kita semua tahu betapa lemahnya Kerajaan Panjalu dan Jenggala, kerajaan yang dahulunya besar kini terpecah-belah, dikuasai oleh raja-raja lalim! Tidak hanya rajanya yang lalim, juga para ponggawanya tidak becus dan kepentingan rakyat tidak ada yang menghiraukan. Kami datang untuk membebaskan rakyat daripada kesengsaraan. Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cola siap untuk mengangkat kehidupan rakyat Jawa-dwipa ke tingkat yang lebih tinggi, mengajar rakyat ilmu-ilmu yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan. Karena kami tahu bahwa andika adalah seorang adipati yang baik, maka Sang Wasi Bagaspati berpesan kepada kami untuk menghubungimu dan mengulurkan tangan kepadamu agar kita bersekutu ... !"
"Menjadi kaki tangan Kerajaan Cola atau dibunuh seperti halnya Ki Sentana, lurah dusun Sumber?" Adipati Tejolaksono memotong dengan suara marah. "Heh, Cekel Wisangkoro! Kau pergilah dan sampaikan kepada Wasi Bagaspati bahwa angkara murka Kerajaan Cola ini takkan berhasil! Penyerbuan rahasia dan secara halus mengelabui rakyat ini akan menghadapi tantangan rakyat dan seluruh perajurit Panjalu dan Jenggala! Niat keji kalian takkan tercapai! Lebih baik kalian membawa pergi semua pasukan berandal itu sebelum diganyang hancur oleh rakyat Panjalu!"
"Hi-hi-hik, Tejolaksono. Ucapanmu itu menggelikan sekali! Justeru kami kuat karena rakyat berada di belakang kami. Kami datang untuk mengangkat rakyat, bagaimana kau bilang rakyat akan menentang kami? Hi-hik, sang adipati yang tampan dan gagah. Pikirlah baik-baik, bukankah jauh lebih baik kalau engkau dan aku menjadi sahabat daripada menjadi musuh? Aku percaya bahwa kalau engkau dan aku menjadi sahabat.... ehemm... kita dapat menciptakan surga di atas bumi ini karena engkau dan aku cocok sekali! Hi-hi-hik!"
Tiba-tiba Pusporini, dara remaja berusia lima belas tahun yang cantik manis dan bertubuh ramping padat dan seperti bunga mulai mekar itu, melangkah maju dan suaranya nyaring sekali ketika la menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah muka Sariwuni yang masih terkekeh genit,
"Ihhh, bukankah kamu ini yang bernama Sariwuni? Rakanda adipati sudah bercerita tentang kamu dan tahukah kamu apa yang dikatakan oleh abdi pelayanku? Bahwa Sariwuni adalah seorang perempuan rendah dan hina, tak tahu malu, cabul dan kotor, tak mengenaI susila....
"Pusporini ...diam ...! Roro Luhito membentak puterinya.
Akan tetapi Sariwuni yang tadi dapat menahan perasaan dan hanya tersenyum-senyum, kini telah menjadi merah mukanya seperti udang direbus. Tak dapat ia menahan kemarahannya karena dimaki-maki seperti itu di depan orang banyak.
"Bocah.... kau sudah bosan hidup....!" Tanpa disangka-sangka, dengan gerak cepat yang dahsyat sekali, tubuhnya sudah menerjang dengan pukulan tangan kanan yang menggunakan kuku mencakar ke arah muka Pusporini.
"Rini... Pethit Nogo.... Tejolaksono berseru karena untuk bergerak menolong sudah tak keburu lagi.
Pukulan yang dilakukan oleh Sariwuni dengan kuku mencakar itu ia tahu amat berbahaya karena kuku itu mengandung racun yang ampuh dan hanya Aji Pethit Nogo saja yang akan dapat menyelamatkan adiknya juga muridnya itu karena Aji Pethit Nogo yang mengandalkan kepretan jari yang penuh hawa sakti dapat melawan kuku-kuku beracun.
Biarpun Pusporini masih muda dan lincah gembira, namun ia gesit sekali dan sudah digembleng oleh Adipati Tejolaksono. Mulutnya masih tersenyum akan tetapi tangannya sudah bergerak, dengan jari-jari terbuka dan lurus ia menggerakkan Aji Pethit Nogo sehingga jari-jari tangan yang kecil mungil itu tersalur hawa sakti dan tergetar ketika ia pergunakan untuk menangkis.
"Plakk....
Cakaran tangan Sariwuni terpental, akan tetapi tubuh Pusporini terdorong ke belakang. Dara remaja ini tentu akan roboh terguling oleh hawa pukulan lawan yang jauh lebih kuat kalau saja ia tidak meloncat dan berjungkir balik dengan gerakan manis sekali sehingga dorongan hawa pukulan lawan itu terpatahkan. Ia meloncat turun dan tersenyum.
"Wah, cakaran itu mengingatkan aku akan Si Belang, kucingku yang karena makan bangkai tikus yang sudah busuk tiba-tiba menjadi gila dan mencakar kalang-kabut seperti itu. Kamu tidak ada bedanya seujung rambutpun dengan kucing yang gila itu. Agaknya engkaupun terkena racun bangkai yang kau makan!"
Sariwuni makin marah, akan tetapi tiba-tiba Cekel Wisangkoro berkata halus kepadanya,
"Sudahlah, Wuni, untuk apa melayani seorang anak kecil?"
"Cekel Wisangkorb, andika sebagai utusan bicaralah, jangan membiarkan sembarang orang mengacau dengan kata-kata kosong memancing keributan." Tejolaksono menegur.
"Heh-heh-heh, maafkan, Adipati Tejolaksono. Akan tetapi Sariwuni bukanlah orang sembarangan atau orang lain, dia adalah adik seperguruanku pula. Dan apa yang diucapkannya tadi benar belaka. Percuma saja kalau andika hendak menolak, lebih baik andika mencari jalan yang lebih menyenangkan kedua pihak dan menerima uluran tangan kami. Andika tetap menjadi adipati yang dipertuan di Selopenangkep dan membiarkan kami bergerak ke timur."
"Kalau aku menolak?"
"Kalau engkau menolak berarti engkau dan keluargamu akan terbasmi, Selopenangkep akan mempunyai seorang adipati baru dan kami tetap saja akan dapat bergerak ke timur. Jangan bodoh, Tejolaksono, bukalah matamu dan lihat baik-baik. Kadipaten ini telah terkurung oleh barisan yang sedikitnya sepuluh kali lebih besar daripada pasukan Selopenangkep dan ribuan orang rakyat sebagai sukarelawan datang pula dan siap membantu kami, mengapa kau menolak?"
"Kami tidak takut! Eh, pendeta bau apek, jangan kau banyak tingkah!"
Pusporini sudah tak dapat menahan kemarahannya lalu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Cekel Wisangkoro.
"Biar barisanmu seratus kali lebih banyak, akan kami lawan!" kata pula Ayu Candra yang juga sudah marah.
"Anaknda adipati. Menghadapl tikus-tikus macam ini saja biar serahkan kepada kanjeng bibi! Biar sudah tua, aku sanggup memimpin pasukan membasmi tikus-tikus ini!" kata Roro Luhito sambil melangkah maju dan meraba gagang kerisnya.
Adipati Tejolaksono tertawa dan menghadapi Cekel Wisangkoro. "Engkau telah menyaksikan dan mendengar sendiri, Cekel Wisangkoro. Sedangkan bibiku, isteriku, dan adikku saja tidak takut menghadapi ancamanmu, apalagi aku! Pasukan-pasukanmu yang menyerbu akan kami hadapi dan anggap sebagai musuh negara, adapun rakyat dusun yang terbujuk olehmu dan ikut menyerbu akan kami anggap sebagai pemberontak! Tidak perlu kau mengancam dan banyak cakap lagi karena aku tahu bahwa kalian adalah kaki tangan Kerajaan Cola yang mengilar melihat negara kami dan ingin menjajah. Pendeknya, hanya ada dua pilihan bagi kalian, yaitu pergi membawa kembali pasukanmu ke tempat asalmu atau maju dan hancur lebur menghadapi perlawanan rakyat Panjalu!"
Kini senyum di mulut Cekel Wisangkoro lenyap, terganti kemarahan yang membayang di mukanya yang halus dan merah itu. Sinar matanya berkilat-kilat, dan dadanya dibusungkan.
"Babo-babo.... Tejolaksono! Engkau tak dapat diajak berbaik! Engkau telah menentukan kehancuran keluargamu sendiri, seperti pohon itu!" Cekel Wisangkoro meloncat ke kiri, mendekati pohon sawo yang tumbuh di halaman kadipaten itu, tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menyambar ke arah batang pohon yang besar itu dan menampar.
"Blukkk...!" Pohon itu bergoyang-goyang akan tetapi tidak roboh.
Semua perajurit Selopenangkep yang melihat betapa pohon itu tak dapat dipukul roboh, tertawa-tawa mengejek , akan tetapi suara ketawa itu segera sirep dan suasana menjadi sunyi, mata mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga ketika melihat betapa daun-daun pohon sawo itu menjadi layu dan rontok seperti hujan, diikuti buah-buah sawo yang tadinya masih mentah kini menjadi busuk dan berjatuhan!
Keadaan yang hening itu segera berubah menjadi berisik ketika para perajurit menjadi marah dan mereka kini mengurung maju dengan sikap mengancam! Juga Roro Luhito sudah marah sekali. Wanita tua perkasa ini mencabut kerisnya dan melangkah maju sambil menudingkan kerisnya ke arah empat orang lawan itu,
"Pendeta bajul! Apa kau kira dengan sihirmu ini kami menjadi takut?!"
Dua orang laki-laki tinggi besar yang berada di sebelah kiri Cekel Wisangkoro meloncat maju sambil mencabut pedang, agaknya hendak menerjang Roro Luhito. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan Tejolaksono menyambut mereka sambil membentak,
"Keparat, kalian mau apa?"
Dua orang tinggi besar itu menggerakkan pedang membacok, gerakan mereka cepat sekali dan amat kuat sehingga pedang mereka mengeluarkan angin dan menimbulkan suara berdesing. Pedang itu menyambar dari kanan kiri ke arah leher dan lambung Sang Adipati Tejolaksono. Demikian cepatnya pedang menyambar sehingga para perajurit Selopenangkep menahan napas. Agaknya takkan dapat dihindarkan lagi bahwa tubuh sang adipati tentu akan terbabat putus menjadi tiga potong! Hanya keluarga sang adipati itu saja yang memandang dengan tenang dengan sikap penuh kewaspadaan karena mereka cukup mengenaI akan kesaktian Tejolaksono dan percaya sepenuhnya bahwa sang adipati akan dapat menjaga dan menyelamatkan dirinya.
Harapan mereka ini tidak sia-sia. Dengan gerakan amat tenang, Tejolaksono tidak mengelak, bahkan tidak menggerakkan tubuh sama sekali, hanya kedua tangannya saja menyambut. Dua orang tinggi besar itu berseru kaget dan kesakitan karena entah bagaimana, tahu-tahu pergelangan tangan mereka kena dicengkeram oleh Tejolaksono dan terdengar bunyi "krek-krek!" ketika sang adipati mengerahkan tenaga, tanda bahwa tutang lengan kanan mereka patah!
Adipati Tejolaksono menarik kedua tangannya dan pedang lawan telah terampas olehnya, kini kedua kakinya bergerak cepat sekali bergantian dan mencelatlah tubuh dua orang tinggi besar itu sampai empat meter ke belakang di mana mereka terbanting dan meringis kesakitan sambil memegangi tangan kanan yang sudah patah tulangnya. Hebatnya, mereka sedikitpun tidak mengeluarkan suara keluhan sungguhpun rasa sakit pada lengan mereka menusuk sampai ke ulu hati. Dengan dua batang pedang di tangan, Tejolaksono menghadapi Cekel Wisangkoro dan berkata,
"Cekel Wisangkoro, aku yakin bahwa kalau aku menghendaki, kalian berempat akan mati di tempat ini sekarang juga. Akan tetapi, aku mengenal tata susila dan mengingat bahwa kalian adalah raka (utusan) dan adalah menjadi hak mutlak caraka untuk datang dan pergi lagi tanpa terganggu, maka aku membiarkan kalian pergi dalam keadaan hidup. Kalau dua orang temanmu ini terluka, hal itu hanya karena kesalahan mereka sendiri sebagai hukuman dariku atas kelancangan mereka. Nah, kau pergilah dan boleh bawa sebatang pedang yang tiada gunanya ini!" Sang Adipati Tejolaksono mengerahkan kedua tangannya dan "krak-krak!!" Dua batang pedang itu patah-patah lalu dilemparkannya ke kaki Cekel Wisangkoro! Para perajurit bersorak memuji menyaksikan kesaktian junjungan mereka ini.
Cekel Wisangkoro menoleh ke arah kedua orang temannya itu dan memaki,
"Sungguh bodoh kalian!" Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh menghadapi Tejolaksono lagi, ia sudah tertawa, sikapnya tenang-tenang saja sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. "Engkau sombong, Tejolaksono! Tahukah engkau bahwa jika sekarang aku melontarkan tongkatku ini ke angkasa, dari empat penjuru akan menyerbu pasukan-pasukanku dan dalam waktu singkat Kadipaten Selopenangkep akan menjadi karang-abang (lautan api)? Akan tetapi karena engkau menggunakan tata susila tidak mau nyerang caraka, akupun hendak mengimbangimu, tidak akan menyerang sebelum menyodorkan kesempatan terakhir. Nah, kami memberi kesempatan kepadamu sampai sehari ini. Kalau sampai senja kala nanti engkau tidak datang kepada kami di dalam hutan sebelah barat Selopenangkep untuk menerima uluran tangan kami, jangan sesalkan kami kalau kami terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Sudah cukup banyak kau mengoceh, Cekel Wisangkoro! Pergilah sebelum para perajuritku kehabisan sabar!"
Dengan lagak angkuh Cekel Wisangkoro lalu pergi dari halaman gedung kadipaten, diikuti Sariwuni dan dua orang laki-laki tinggi besar yang masih memegangi pergelangan tangan kanan mereka yang patah tulangnya. Para perajurit pengawal mengiringkan mereka dengan ejekan dan tertawaan.
Akan tetapi setelah empat orang tamu itu pergi jauh, Adipati Tejolaksono segera memanggil semua pembantunya dan membagi-bagi tugas mengatur penjagaan di sekeliling kadipaten. Kadipaten Selopenangkep tidak mempunyai pasukan yang besar. Seluruh pasukan hanya terdiri dan dua ratus empat puluh orang perajurit. Akan tetapi biasanya, pasukan yang tergembleng ini di bawah pimpinan Tejolaksono merupakan barisan yang amat kuat dan boleh diandalkan untuk menjaga keselamatan kadipaten. Kini pasukan yang kecil itu dipecah-pecah untuk menjaga kadipaten secara bergiliran.
Sang adipati sendiri, bersama isterinya, Pusporini dan Roro Luhito, tidak tinggal diam. Mereka berempat ini maklum akan ancaman bahaya dari pihak lawan, maka merekapun sibuk melakukan perondaan dalam keadaan siap siaga.
Namun tepat seperti ancaman Cekel Wisangkoro, sehari itu sama sekali tidak terjadi penyerbuan musuh, bahkan di luar sekeliling kadipaten tidak tampak bayangan seorangpun musuh. Malam hari itupun tidak ada penyerbuan musuh secara terbuka. Akan tetapi banyak hal menggiriskan hati para perajurit telah terjadi. Rombongan penjaga di sebelah utara dan timur, terdiri masing-masing dari tiga puluh orang perajurit, menjadi ketakutan setengah mati setelah peristiwa yang hebat dan menyeramkan menimpa diri mereka. Malam itu, menjelang tengah malam, mereka sedang meronda dan memeriksa bagian tirmur dan utara. Malam sunyi dan gelap, tak tampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak terdengar sesuatu. Bulan bersinar terang, didampingi banyak bintang. Udara cerah dan pemandangan indah yang terbentang di angkasa itu sedikit banyak mengurangi ketegangan hati mereka.
Mula-mula mereka tidak menaruh curiga ketika ada segumpal awan hitam menutupi sinar bulan. Barulah mereka mulai panik ketika "awan" ini dapat melayang turun dan merupakan asap hitam yang menyerang mereka! Keadaanmakin menjadi gelap sehingga akhirnya mereka tak dapat melihat tangan sendiri!
Dan di dalam kepanikan yang makin meningkat ini, mereka baru tahu bahwa hal yang tidak wajar telah terjadi. Apalagi ketika di dalam kegelapan yang hebat itu mereka mendengar suara-suara aneh, bukan suara manusia, gerengan-gerengan dan ketawa-ketawa seakan-akan semua jin dan setan keluar dari neraka dan berkumpul di tempat itu. Dan mulailah mereka melihat muka-muka yang mengerikan, muka yang besar seperti kepala raksasa, akan tetapi tanpa tubuh.
Paniklah para perajurit. Ada pula yang pemberani lalu menerjang ke arah bayangan-bayangan itu hanya untuk menghantam kawan-kawan sendiri karena di dalam kegelapan itu mereka tidak dapat membedakan mana kawan mana lawan!
Setelah terjadi pukul-memukul dan serang-menyerang antara kawan sendiri yang dalam kepanikan disangka musuh sampai beberapa jam lamanya, akhirnya "awan" hitam itu lenyap dan keadaan menjadi terang kembali. Dapat dibayangkan betapa heran, kaget dan gelisah hati para kepala pasukan ketika menyaksikan akibat peristiwa itu. Enam orang perajurit luka-luka oleh pukulan kawan sendiri, dan sepuluh orang perajurit lenyap tak meninggalkan jejak, entah melarikan diri entah bagaimana!
Para penjaga di sebelah selatan dan barat juga mengalami hal yang amat luar biasa. Juga jumlah mereka ini adalah dua pasukan terdiri dari tiga puluh orang perajurit tiap pasukan. Pengalaman mereka tidaklah mengerikan seperti apa yang dialami para penjaga di timur dan utara, akan tetapi akibatnya malah lebih mencelakakan lagi. Selagi mereka menjaga malam itu dekat tengah malam, juga dalam sinar bulan yang cemerlang dan indah romantis, dari dalam kesunyilan muncul tujuh belas orang wanita cantik jelita yang hanya mengenakan pakaian tipis dan rambut mereka terurai. Wanita-wanita ini dengan sikap amat menarik hati menggoda mereka dengan bujuk rayu dan pikatan.
Kepala kedua pasukan yang tetap waspada membentak pasukan masing-masing dan memerintahkan pasukannya menangkapi tujuh belas orang wanita cantik yang mencurigakan itu. Akan tetapi, mendadak tercium ganda yang harum semerbak dan semua perajurit seperti mabuk karenanya, bahkan dua orang kepala pasukan itu tidaklah sebengis tadi dan hanya tertawa-tawa ketika melihat betapa anak-anak buah mereka bersendau-gurau dan bermesraan dengan tujuh belah orang wanita itu. Barulah keadaan menjadi kacau-balau ketika menjelang fajar, mereka mendapatkan diri mereka tertidur dan ketika dicacahkan, ternyata dua puluh orang perajurit telah lenyap bersama tujuh belas orang wanita cantik tadi!
Tidak hanya di tempat-tempat penjagaan terjadi hal aneh. Bahkan hal-hal aneh menimpa dan terjadi di dalam kadipaten sendiri! Malam itu setelah melakukan perondaan sendiri sekeliling kadipaten, Adipati Tejolaksono kembali ke gedungnya. Suasana sekeliling kadipaten seperti malam-malam biasa, sunyi senyap, tidak ada pergerakan musuh. Akan tetapi hal ini amat mencurigakan hatinya dan sang adipati yang melihat betapa bibinya Roro Luhito, Pusporini, dan Ayu Candra sendiri masing-masing melakukan penjagaan di dalam gedung, lalu memasuki sanggar pamujan untuk bersamadhi, mempertinggi kewaspadaan dan memohon perlindungan dari para dewata.
Belum lama sang adipati bermuja samadhi, tiba-tiba ia merasa betapa kedua matanya diserang kantuk yang amat hebat hampir tak tertahankan lagi. Karena tadinya ia menyangka bahwa kantuk ini datang karena lelah dan tegang, maka hampir saja Tejolaksono tunduk dan menyerah, akan tidur barang sebentar. Akan tetapi ketika cuping hidungnya bergerak mengendus ganda kembang menyan, seketika kewaspadaannya timbul kembali. Aji penyirepan! Tak salah lagi, ini tentulah akibat penyirepan yang amat kuat!
Sang adipati yang Sakti mandraguna ini lalu cepat mengerahkan seluruh tenaga batinnya sehingga hawa sakti menggetar keluar dari tubuhnya membentuk gelombang getaran di angkasa dan menolak getaran aji penyirepan itu. Dari perasaan tertekan dan tertindih di dadanya, sang adipati maklum bahwa yang melepas aji penyirepan adalah seorang yang memiliki hawa sakti yang amat kuat. Terjadilah "perang tanding" yang aneh dan tidak tampak oleh mata manusia, pertandingan antara dua getaran hawa sakti, tolak-menolak, dorong-mendorong dan tindih-menindih.
Kalau ada orang secara kebetulan melihat ke atas atap gedung kadipaten, tentu mereka akan merasa terheran-heran melihat adanya segumpal asap putih yang seperti bermain-main di angkasa, kadang-kadang terdorong ke depan kadang-kadang mundur pula ke belakang dan akhirnya setelah lama maju mundur, asap putih yang berbau harum kembang menyan ini hancur dan buyar lalu lenyap! Hal ini menandakan bahwa aji penyirepan yang tadinya menguasai sekeliling gedung kadipaten telah dikalahkan oleh getaran hawa sakti yang membubung keluar dari sanggar pamujan.
Pusporini dara remaja yang cantik manis dan perkasa itu tadinya juga menjaga gedung kadipaten bersama ibunya dan ayundanya. Dara ini telah siap siaga, pakaiannya serba ringkas. Betisnya yang masih kecil akan tetapi sudah berbentuk padi bunting dan kulit halus itu tampak. Pakaian kain seperti ini membuat ia akan leluasa bergerak kalau bertempur, tidak menghalangi gerak langkah atau tendangannya. Di pinggangnya tampak sebatang keris luk tiga menyelempit di balik sabuk sutera.
Rambutnya yang hitam gemuk halus dan panjang sampai ke pinggul itu kini ditekuk dan diikat menjadi satu dengan kuat sehingga ujungnya yang berjuntai hanya sampai ke pundak, tidak disanggul seperti biasa karena kalau dipakai bertempur dikhawatirkan sanggul terlepas dan rambut terurai membuat gerakan tidak leluasa lagi. Tangan kanannya memegang sebatang golok, karena ia telah mempelajari permainan golok indah dari sang adipati, yaitu permainan Golok Lebah Putth. Golok yang kecil bentuknya, lebih kecil daripada golok biasa, gagangnya kayu terukir dan memakai ronce-ronce sutera merah.
Seperti umumnya watak orang muda Pusporini juga haus akan petualangan hebat. Suasana kadipaten yang mencekam perasaan dan amat menegangkan itu merupakan pengalaman menggembirakan bagi dara remaja ini. Kini tibalah saatnya ia akan dapat membuktikan segala aji yang selama ini ia pelajari, pikirnya.
Dan seorang muda seperti dia sama sekali tidak mengenal takut, belum begitu yakin akan tingginya langit dalamnya lautan! Ia menanti-nanti datangnya musuh untuk dibabat dengan goloknya seperti membabat rumput, dipukul remuk dengan ajinya Pethit Nogo di tangan kini seperti menghancurkan buah-buah mentimun. Akan tetapi setelah menanti sampai jauh malam tidak juga muncul seorangpun musuh, hatinya menjadi kesal dan bosan. Maka ditinggalkannya ibu dan ayundanya untuk "mencari angin sejuk" di belakang kadipaten, di dalam taman bunga.
Angin dingin sejuk memang ia dapatkan, dan hampir saja ia celaka oleh angin dingin sejuk ini. Tadinya ia bermaksud menjaga di taman dan mengharapkan munculnya musuh di dalam taman. Akan tetapi begitu ia melangkahkan kaki memasuki taman sari, angin sejuk menyambutnya dan saking kesal hatinya, dara remaja ini duduk di atas bangku dalam taman. Angin sejuk semilir menggerayangi muka dan lehernya, menimbulkan rasa nyaman.
Ganda harum semerbak yang datang terbawa angin tidak membangkitkan kewaspadaannya, tidak menimbulkan kecurigaannya karena ia menganggap itu adalah ganda bunga-bunga yang tumbuh di taman. Malah cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis menyedot ganda harum sedap itu. Maka dengan mudah saja getaran hawa sakti aji penyirepan menguasainya, membuat dara ini tiga empat kali menguap saking mengantuknya, tiap kali menutup mulut dengan punggung tangan kirinya. Tak lama kemudian Pusporini pun tertidurlah dengan pulas sambil duduk di atas bangku.
Tak lama kemudian muncullah sesosok bayangan seorang laki-laki tinggi besar yang meloncat keluar dari balik pohon di taman itu. Dengan beberapa loncatan saja orang ini telah mendekati Pusporini yang masih tidur dengan napas panjang teratur. Ketika melihat dara remaja itu tidak bergerak dan tidur, laki-laki itu menyergap ke depan dan di lain saat tubuh dara remaja itu telah disambar dan dipondongnya. Golok yang dipegang Pusporini terlepas dan jatuh! Pusporini masih pulas dan hanya mengeluarkan suara rintihan perlahan seperti orang ngelindur ketika tubuhnya dipondong dan dibawa lari.
Sementara itu, Roro Luhito dan Ayu Candra yang masih duduk menjaga di ruangan dalam, bercakap-cakap. Dua orang wanita ini maklum akan bahaya yang mengancam kadipaten, namun mereka itu biar tegang di hati, sikap mereka masih tenang saja dan memang ketegangan hati mereka bukanlah tanda hati khawatir.
Mereka tidak khawatir, juga tidak takut karena mereka percaya penuh akan kesaktian Adipati Tejolaksono, juga percaya akan kemampuan diri sendiri untuk menghadapi musuh. Kedua orang wanita ini, seperti juga Pusporini, berpakaian ringkas dan di sabuk mereka terselip senjata pusaka mereka. Sebatang tombak berada di samping mereka selalu.
Dua orang wanita ini sudah dua kali menguap dan Ayu Candra tidak dapat menahan kantuknya lagi, mulai melenggut. Tiba-tiba Roro Luhito memegang pundaknya, mengguncangnya dan berbisik,
"Ayu.... Bangun.... Awas, musuh menggunakan aji penyirep!"
Biarpun terpengaruh aji penyirepan, karena memang Ayu Candra bukan wanita sembarangan dan sudah memiliki kekuatan batin yang tangguh, guncangan ini cukup menyadarkan dan bersama Roro Luhito ia cepat duduk bersila dan mengerahkan segala kekuatan batin untuk melawan pengaruh aji penyirepan ini. Bau kembang menyan mengambar-nyambar semerbak memenuhi ruangan itu membuat kepala mereka terasa pening. Akhirnya mereka dapat menguasai diri mereka dan Roro Luhito berbisik,
"Cepat..... kita cari Pusporini..... !"
Mereka meloncat bangun dan menggunakan Aji Widodo Mantera untuk memperkuat batin. Setelah menyambar tombak masing-masing, mereka lalu meloncat dan lari ke arah belakang. Angin sejuk menyambut mereka ketika mereka keluar dari pintu butulan di belakang, memasuki taman sari.
"Ah, Bibi.... lihat...!!" Ayu Candra berseru kaget dan menudingkan telunjuknya ke arah kiri. Sesosok bayangan laki-laki tinggi besar lari memondong tubuh Pusporini!
"Keparat.... ! Kejar.... !!" teriak Roro Luhito sambil meloncat ke depan, diikuti Ayu Candra.
Akan tetapi mendadak muncul empat orang laki-laki tinggi besar. Seperti juga laki-laki yang menculik Pusporini tadi, empat orang laki-laki inipun selain tinggi besar, juga kepalanya gundul, ditutup ikat kepala berwarna biru tua dan muka mereka seperti muka arca atau muka mayat. Mereka muncul begitu saja, tidak mengeluarkan suara dan secara tiba-tiba langsung menubruk dan menyerang Roro Luhito dan Ayu Candra. Jari-jari tangan mereka yang sebesar pisang itu terbuka dan lengan tangan mereka yang penuh bulu amat besar dan kuat menyeramkan.
Roro Luhito dan Ayu Candra terkejut, cepat mengelak sambil memutar tombak, menghadapi masing-masing dua orang lawan yang bertubuh kuat dan bersenjata golok besar. Terjadilah pertempuran hebat di dalam taman, dan terdengar suara senjata berdencingan ketika bertemu berkali-kali. Dua orang wanita perkasa itu mendapat kenyataan bahwa empat orang lawan mereka memiliki tenaga yang amat kuat sehingga tiap kali beradu senjata, mereka merasa telapak tangan mereka panas dan sakit.
Roro Luhito marah sekali, mengeluarkan pekik seperti seekor kera dan gerakannya menjadi cepat laksana halilintar menyambar-nyambar. Dalam amarahnya karena teringat akan puterinya yang terculik, wanita ini telah mengeluarkan ajinya Sosro Satwo yang dahulu ia pelajari dari gurunya, yaitu Resi Telomoyo. Seketika tombaknya berubah menjadi banyak ujungnya dan dalam gebrakan selanjutnya kedua lawan yang menjadi berkunang-kunang pandang matanya itu dapat ia tusuk dengan ujung tombak, tepat mengenai paha dan perut.
Akan tetapi betapa terkejutnya ketika kedua tusukannya itu membalik dan ternyata ujung tombaknya hanya merobek pakaian dan kulit sedikit saja, tidak mampu menembus daging. Kiranya dua orang lawannya ini selain amat kuat juga memiliki tubuh yang kebal! Ia makin marah dan kini menujukan ujung-ujung tombaknya kepada bagian-bagian yang lemah, terutama ke arah mata kedua orang lawan.
Ayu Candra mengalami hal yang sama. Ia menggunakan Aji Bayu Sakti yang ia dapat dari suaminya sehingga kini ia dapat mengatasi kedua lawannya karena gerakannya jauh lebih cepat. Beberapa kali tombaknya dapat menusuk leher dan lambung, namun kesemuanya meleset seakan-akan menusuk karet yang licin sekali. Seperti juga bibinya, kini ia bergerak lebih cepat dan mengarahkan ujung tombak ke bagian-bagian berbahaya dari kedua orang lawan yang terus mengamuk membabi buta tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.
Adipati Tejolaksono setelah berhasil membuyarkan getaran aji penyirepan, lalu bangun dari samadhinya, keluar dari sanggar pamujan dan bergerak cepat keluar. Sanggar pamujan ini letaknya di bagian samping gedung, dan kini setelah keluar ia mendengar suara senjata beradu di sebelah belakang, di taman sari. Cepat ia berkelebat memasuki taman sari dan terkejut hatinya melihat isterinya dan bibinya dikeroyok empat orang laki-laki tinggi besar yang agaknya kebal karena dari jauh ia melihat betapa tombak isterinya dan bibinya itu berkali-kali meleset jika mengenai tubuh lawan. Ia menjadi marah sekali, bagaikan seekor garuda melayang tubuhnya mencelat dan menyambar ke depan.
"Siuuuuttt..... dess! dessss!"
Dua kali tangannya menghantam dengan pukulan Bojro Dahono yang ampuhnya menggila itu. Kalau lawan lain terkena hantaman ini tentu tubuhnya akan roboh dan hangus, atau setidaknya tentu akan patah-patah tulang iganya. Akan tetapi dua orang pengeroyok Ayu Candra itu terkena pukulan ini hanya mencelat roboh tergiling-guling tanpa mengeluh, kemudian merangkak dan bangkit kembali! Terbelalak mata Tejolaksono memandang saking herannya.
Dua orang ini sama halnya dengan dua orang tinggi besar anak buah Cekel Wisangkoro yang ia patahkan pergelangan tangannya, sama pula dengan Sariwuni, memiliki kekebalan luar biasa sehingga dapat menahan keampuhan pukulan tangannya. Ia menjadi penasaran sekali. Ditiupnya kedua tangannya kemudian ketika dua orang laki-laki gundul itu menerjang maju, ia memapak dengan loncatan dan hantaman kedua tangan ke arah kepala mereka.