Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 13
TERDENGAR suara seperti buah kelapa dipukul pecah dan dua orang Itu terbanting roboh tak bergerak lagi kini karena kepala mereka pecah oleh hantaman kedua tangan sang adipati!
Ayu Candra sudah membantu Roro Luhito menghadapi dua orang laki-laki tinggi besar yang lain. Karena kini satu lawan satu, dua orang laki-laki tinggi besar itu terdesak hebat, golok mereka telah dapat dipukul runtuh dan tombak Roro Luhito sudah berhasil menusuk mata kiri lawannya sampai masuk ke kepala dan orang itu roboh berkelojotan sebentar lalu diam dan tewas. Ayu Candra yang terus mencecer bagian mata, hampir berhasil pula, akan tetapi tiba-tlba Tejolaksono berseru,
"Jangan bunuh, aku hendak menangkapnya!" Ayu Candra mundur dan Tejolaksono menerjang, menghantam roboh orang itu dengan memukul dadanya.
Orang iu terbanting roboh, merangkak hendak bangun akan tetapi kena dipiting oleh Tejolaksono sehingga tak mampu berkutik lagi. Pada saat itu, beberapa orang pengawal yang mendengar ribut-ribut di taman, sudah datang dan atas perintah Tejolaksono mereka segera menelikung orang tinggi besar itu sampai tak mampu berkutik.
"Pusporini.... dia dilarikan penjahat....!"
"Lekas kau kejar, Kakangmas...."
Mendengar ucapan Roro Luhito dan Ayu Candra ini, bukan main kagetnya hati Tejolaksono. Tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah yang ditunjuk oleh dua wanita itu. Roro Luhito dan Ayu Candra segera menyusul dan berpencar untuk mencari Pusporini yang diculik.
Akan tetapi mereka bertiga tidak dapat menemukan jejak Pusporini, sebaliknya mendapatkan keadaan para penjaga yang kacau-balau! Para penjaga di utara dan timur kehilangan sepuluh orang perajurit sedangkan enam orang luka-luka dalam perang tanding sendiri akibat kekacauan keadaan yang gelap-gulita dan penuh godaan iblis. Sedangkan para penjaga di sebelah selatan dan barat lebih celaka lagi keadaannya. Mereka semua tertidur dalam keadaan tidak karuan, ada yang bertelanjang bulat, ada yang tertawa-tawa seperti orang mabuk, bersikap seperti orang kegilaan wanita, dan dua puluh orang di antara mereka lenyap.
Adipati Tejolaksono terpaksa kembali ke gedung kadipaten dan memanggil semua pembantunya mendengar pelaporan mereka yang aneh. Malam itu Kadipaten Selopenangkep geger dan mengalami kerugian besar. Enam orang luka-luka dan tiga puluh orang perajurit lenyap, Pusporini terculik dan sebagai gantinya hanya dapat membunuh tiga orang laki-laki gundul dan menawan seorang.
Roro Luhito pucat mukanya, dan hanya dengan kekerasan hati saja wanita tua perkasa ini dapat menahan tangisnya.
"Aduh, Anaknda Adipati, bagaimana dengan nasib Pusporini....?" Ia mengeluh.
Tejolaksono dan Ayu Candra juga gelisah memikirkan Pusporini. Tejolaksono menghibur, "Kita harus tenang, Kanjeng Bibi. Saya rasa Cekel Wisangkoro tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu Pusporini, karena kalau ia melakukan hal itu, kalau terganggu seujung rambutpun dari Pusporini, ia tahu bahwa Tejolaksono akan mencarinya sampai dapat dan akan menghancurkan kepalanya!" Berkata demikian sang adipati tampak marah sekali, kemudian ia menghela napas panjang untuk menekan perasaannya.
"Agaknya dia menangkap Pusporini dengan maksud untuk memaksa kita menyerah, Akan tetapi, saya akan berusaha merampas Pusporini kembali. Karena itu, kebetulan sekali kita dapat menawan hidup-hidup seorang di antara empat iblis gundul itu. Heh, pengawal, seret tawanan itu ke sini!"
Tawanan laki-laki tinggi besar gundul yang sudah ditelikung seperti ayam itu diseret ke depan Tejolaksono. Adipati ini terhetan-heran melihat betapa tawanan ini sama sekali tidak mengeluh, juga sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang seperti wajah mayat. Ia berusaha mengorek rahasia dari tawanan ini dengan janji-janji manis dan ancaman-ancaman mengerikan, namun tawanan itu hanya memandang dengan mata melotot dan bodoh, tidak menjawab, mengangguk tidak menggelengpun tidak!
"Hemm, engkau jangan berpura-pura bodoh!" bentak sang adipati. "Melihat kepandaian, kekebalan dan sepak terjangmu, engkau bukan orang bodoh! Hayo mengakulah, ke mana Pusporini adikku dibawa pergi. Kalau engkau mengaku dan mau membawaku ke sana, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi kalau tidak, hemm.... engkau akan kusuruh hukum picis!"
Hukum picis adalah hukuman yang amat mengerikan pada waktu itu. Tubuh seorang tawanan akan diikat dan di situ disediakan sebatang pisau tajam, air asam garam. Setiap orang perajurit akan mengerat tubuh si tawanan dan menyiramkan air asam garam pada luka guratan itu. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang akan dialami orang yang dihukum picis sebelum ia mati kehabisan darah.
Namun tawanan itu hanya melototkan mata makin lebar saja, tak menyatakan sesuatu, baik dengan suara maupun gerakan. Ia hanya mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan. Melihat ini, sang adipati menjadi curiga, lalu menggunakan jari tangan untuk menusuk beberapa bagian jalan darah di tubuh tawanan itu. Ia tidak menyaksikan gerakan tubuh yang mengerahkan kekebalan atau hawa sakti, akan tetapi jarinya yang menusuk perlahan itu meleset! Ia mengangguk-angguk, lalu memegang kepala orang itu dan membuka pelupuk matanya memeriksa biji mata yang selalu dipelototkan.
"Ahhhhh.... sungguh kasihan orang ini..." Ia berkata kemudian sambil memberi isyarat kepada pengawal untuk membawa pergi si tawanan. Kemudian ia duduk termenung.
"Apakah artinya semua itu, kakangmas?" tanya Ayu Candra. Juga Roro Luhito tidak mengerti.
"Si keparat Cekel Wisangkoro atau siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Orang-orang itu bergerak bukan atas kehendak sendiri. Mereka seperti mayat-mayat yang telah dikuasai oleh iblis-iblis itu, tubuh mereka kebal dan mereka amat kuat dan pandai berkelahi hanya karena berada dalam pengaruh sihir yang amat kuat! Tentu saja dia tidak dapat menjawab karena dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu apa-apa, tidak dapat bicara, hanya dapat bergerak untuk menghancurkan segala yang merintangi mereka, sesuai dengan perintah rahasia yang diberikan oleh iblis berupa manusia melalui getaran dalam otak mereka. Dia itu telah mati, mati dalam hidup. Hanya jasmaninya saja yang hidup akan tetapi perasaan dan semangatnya telah berada dalam genggaman orang yang menguasai mereka."
"Si bedebah! Kalau begitu, anakku...." Roro Luhito menahan kata-katanya dan mengerutkan keningnya.
"Aduh, Kakangmas, bagaimana dengan Pusporini?"
"Harap Kanjeng Bibi dan engkau Yayi, tenang pada saat seperti ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa Pusporini ditawan musuh. Akan tetapi itu hanya merupakan satu di antara akibat perang yang kita hadapi. Perang yang aneh melawan orang-orang yang seperti iblis. Kita belum kalah dan kita harus mempertahankan diri di Selopenangkep. Pada waktu ini, yang terpenting adalah menjaga agar musuh tidak sampai dapat menguasai Selopenangkep. Kalau aku membawa pasukan mencari Pusporini, atau pergi mengejar, berarti keadaan Selopenangkep akan kosong dan lemah. Agaknya memang siasat ini dipergunakan musuh untuk memancing aku keluar dari kadipaten. Biarlah kita bersabar, menjaga kadipaten sambil menanti datangnya Kakang Mundingyudo yang tentu akan membawa bala bantuan dari Panjalu. Kita akan menghancurkan musuh dan percayalah, Sang Hyang Widhi tentu akan melindungi Pusporini. Orang yang benar pasti akan mendapat kemenangan terakhir."
Biarpun perasaan hati mereka hancur dan penuh kegelisahan, namun kedua orang wanita itu harus membenarkan pendapat sang adipati ini, maka mereka tak dapat berbuat lain kecuali berprihatin sambil memperkuat penjagaan dan mempertebal kewaspadaan.
Laki-laki tinggi besar berkepala gundul yang menculik Pusporini terus lari meninggalkan kota Kadipaten Selopenangkep. Dia keluar dari kadipaten melalui pintu gerbang selatan di mana para penjaganya tertidur semua setelah tergoda oleh tujuh belas orang wanita cantik. Tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari pintu gerbang itu tanpa terhalang. Larinya cepat sekali, dengan langkah lebar dan selama itu laki-laki ini tidak pernah mengeluarkan kata-kata, juga mukanya yang tersinar bulan tidak menyatakan atau membayangkan sesuatu.
Keadaan laki-laki ini tiada bedanya dengan empat orang gundul yang menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan yang dirobohkan oleh Adipati Tejolaksono. Laki-laki ini hanya bergerak menurutkan yang memerintahnya dan kini iapun lari menuju ke arah datangnya getaran yang menguasainya, menuju ke sebuah bukit kecil di sebelah barat.
Pusporini yang tadi tertidur pulas akibat aji penyirepan, kini setelah agak lama dibawa lari dan mukanya tertiup angin malam yang dingin, mulai sadar. Mula-mula ia membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mendapatkan dirinya dipondong oleh seorang laki-laki tinggi besar dan dibawa lari di malam gelap! Karena marah dan kaget, tubuhnya bergerak dan biarpun laki-laki itu seperti boneka hidup, namun pengaruh yang menguasainya membuatnya cerdik sekali dalam menghadapi lawan.
Ketika merasa betapa gadis dalam pondongannya bergerak, cepat laki-laki itu menangkap pergelangan tangan Pusporini, digenggam dalam jari-jari tangan kirinya yang panjang dan kuat seperti jepitan besi, sedangkan lengan kanannya merangkul kedua kaki dara remaja itu sehingga Pusporini tak dapat berkutik lagi!
"Lepaskan aku....! Bedebah.... lepaskan aku...!! Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta. Namun sia-sia belaka. Laki-laki itu sama sekali tidak menjawab, dan ia hanya dapat menggerakkan pinggangnya meronta-ronta sedangkan kaki tangannya sama sekali tidak dapat terlepas dari pergelangan laki-laki tinggi besar Itu.
Tentu saja, dalam hal tenaga kasar, Pusporini sama sekali bukan tandingan laki-laki ini. Akhirnya dara remaja yang cerdik ini sadar bahwa mengandalkan tenaga kasar, ia takkan mungkin dapat terbebas. Ia tidak meronta lagi, juga tidak mengeluarkan suara lagi, bahkan mengendurkan tubuhnya bersandar pada pundak laki-laki itu, meramkan mata mencari akal.
Teringat ia akan dongeng yang pernah diceritakan ibunya tentang Dewi Shinta yang diculik dan dilarikan Sang Prabu Dhasamuka. Keadaannya sekarang ini persis dengan dongeng yang diceritakan ibunya itu. Ia dipondong dalam keadaan tidak berdaya dan dibawa lari. Laki-laki ini tinggi besar dan mengerikan, patut pula menjadi Prabu Dhasamuka.
Dan teringat akan hal ia ingat pula bahwa ibunya menceritakan betapa Dewi Shinta dapat dirampas dari tangan Dhasamuka oleh burung sakti Jentayu, akan tetapi Dewi Shinta yang merasa ngeri karena jatuh ke cengkeraman burung raksasa, lalu mempergunakan aji kesaktian memberatkan tubuh sehingga terlepas dari cengkeraman burung yang tidak kuat membawanya. Aji memberatkan tubuh itu telah ia tanyakan kepada rakandanya sang adipati yang juga menjadi gurunya. Dan sang adipati yang sakti mandraguna telah mengajarkan aji seperti itu!
Teringat akan ini, Pusporini lalu meramkan mata seperti orang samadhi, mengheningkan cipta menenteramkan batinnya, kemudian ia berkemak-kemik membaca mantera sambil menekan dan menyalurkan hawa sakti dari dalam pusarnya. Aji kesaktian ini oleh Tejolaksono diberi nama Aji Argoselo dan kini tubuh Pusporini terasa berat seperti sebongkah batu gunung. Orang tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara "uh-uhh....!" dan langkahnya terhuyung-huyung.
Hampir ia tidak kuat dan karena ini tangan kirinya melepaskan kedua lengan Pusporini untuk membantu memeluk kedua kaki dara ini agar tidak terlepas. Kesempatan inilah yang dinanti-nanti Pusporini. Ia menahan napas, membelalakkan kedua matanya dan menyalurkan hawa sakti menjadi tenaga dahsyat kepada kedua tangannya yang sudah ia isi dengan Aji Pethit Nogo. Kini kedua tangannya bergerak, dari kanan kiri menghimpit kepala orang yang memondongnya itu dalam hantaman yang tiba-tiba, cepat dan kuat.
Orang itu terhuyung, ikat kepalanya terlepas dan tampaklah kepalanya yang gundul, kedua tangannya yang memeluk kaki Pusporini dilepaskan untuk memegang kepalanya yang serasa akan pecah. Kesempatan ini dipergunakan Pusporini untuk meloncat turun dari atas pondongan lawan, memandang terbelalak heran melihat kepala orang itu tidak pecah oleh pukulan Pethit Nogo yang dilakukannya amat kuat tadi.
Tidak, sama sekali orang laki-laki tinggi besar berkepala gundul itu tidak mati, bahkan robohpun tidak. Setelah terhuyung-huyung, laki-laki itu dapat pulih kembali dan kini menerjang dengan kedua lengan terpentang, hendak menubruk dan menangkap kembali tawanannya yang terlepas. Namun tubrukannya hanya mengenai angin belaka karena tahu-tahu tubuh dara remaja itu sudah melejit lenyap dan berpindah tempat di sebelah kanannya, langsung mengirim tamparan lagi dengan Aji Pethit Nogo yang mengenai lehernya.
"Plakkkk!!"
Kembali orang itu terpelanting, namun segera bangkit lagi dan menghadapi Pusporini dengan mata melotot. Bulu tengkuk dara ini meremang. Dua kali pukulannya tadi amat hebat, dan dengan pukulan-pukulan itu kiranya batu gunungpun akan terpukul pecah. Akan tetapi kenapa orang ini mengeluhpun tidak?
Ia telah mempelajari banyak macam aji-aji yang ampuh dari Adipati Tejolaksono, akan tetapi pukulannya yang terampuh adalah Aji Pethit Nogo. Ketika melihat orang itu menyerangnya lagi hendak menangkap, dengan mudahnya Pusporini mengelak. Dengan aji keringanan tubuh Bayu Sakti, tentu saja dengan mudah ia dapat menghindarkan setiap serangan laki-laki tinggi besar yang baginya terlalu lamban ini, akan tetapi ia masih penasaran kalau belum dapat memukul roboh orang yang telah menculiknya ini. Berkali-kali ia memukul dan mengeluarkan semua aji pukulannya, namun orang itu hanya terhuyung, paling-paling terjungkal untuk bangkit kembali dan menerjangnya makin hebat!
"Eh-eh, engkau ini manusia ataukah iblis? Disuruh mampus saja kok tidak mau, keparat!" Pusporini memaki, akan tetapi sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa ngeri dan serem. Sekali lagi ia mengelak sambil mengirim pukulan keras yang membuat tubuh laki-laki tinggi besar itu terguling-guling, dan ketika laki-laki itu seperti tadi bangkit berdiri lagi, Pusporini telah hilang dari tempat itu karena dara remaja ini dengan penuh kengerian telah melarikan diri. Siapa orangnya tidak akan merasa ngeri kalau bertanding melawan orang nekat macam itu? Sampai lelah kedua tangannya memukul dan orang itu berkali-kali jatuh lalu bangun lagi!
Karena Pusporini mempergunakan Aji Bayu Sakti yang membuat larinya seperti seekor kijang muda, maka laki-laki tinggi besar itu tertinggal jauh, bahkan laki-laki itu mengejar ke arah yang berlainan! Akan tetapi, biarpun semenjak kecil digembleng olah keperajuritan dan tata kelahi, Pusporini tidak pernah keluar dari Kadipaten Selopenangkep. Apalagi setelah Sang Adipati Tejolaksono menghapuskan kebiasaan berburu, dara remaja ini tidak mengenal daerah di luar Selopenangkep.
Tadi ketika diculik, ia berada dalam keadaan pulas sehingga tidak tahu dibawa ke mana. Sekarang, barulah ia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana jalan pulang ke Selopenangkep. Tanpa ia sadari, la bukannya menuju kembali ke Selopenangkep, melainkan menyusup makin dalam ke hutan yang lebat. Juga tidak tahu bahwa gerak-geriknya semenjak bertanding melawan orang tinggi besar tadi telah diperhatikan oleh banyak orang!
Tengah malam telah lewat dan bulan sepotong yang keluarnya hampir tengah malam itu kini sudah naik tinggi, menyinarkan cahaya yang redup namun cukup terang, menimbulkan suasana yang amat indah menyeramkan di dalam hutan!
Pusporini mulai merasa bingung ketika hutan yang dilaluinya makin lama makin liar dan gelap. Agak lega hatinya ketika di tengah-tengah hutan liar itu ia mendapatkan sebuah lapangan yang luasnya ada seratus meter, berbentuk bundar dan lapangan terbuka ini tidak ditumbuhi pohon sehingga sinar bulan terang memenuhi lapangan itu. Rumput hijau tebal menutupi lapangan seperti permadani hijau dibentangkan, amat indah dan bersihnya. Pusporini mengambil keputusan untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di tempat ini. Besok kalau matahari sudah menerangi bumi, ia akan dapat keluar dari hutan ini dan pulang, pikirnya.
Tempat ini amat enak, juga ia dapat memandang ke sekelilingnya tanpa terhalang pohon sehingga kalau ada musuh mendatang, jauh-jauh sudah akan melihatnya. Sambil menghela napas lega dara remaja ini duduk dan melenggut saking mengantuk dan lelahnya. Kadang-kadang ia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya yang sunyi untuk melihat kalau-kalau si gundul mengerikan tadi datang mengejarnya. Sebenarnya hal ini tidak perlu ia lakukan karena kalau ada orang datang berlari menghampirinya, tentu pendengarannya yang tajam akan dapat menangkap langkah kakinya.
Akan tetapi, bagaimana pendengarannya akan dapat menangkap kalau benda-benda bergerak itu menghampirinya tanpa melangkahkan kaki, melainkan merayap seperti segerombolan ular? Dan bagaimana ia dapat melihat mereka itu kalau mereka menyusup-nyusup di antara rumput-rumput yang tebal dan tinggi?
Tidak, Pusporini sama sekali tidak tahu, menyangkapun tidak bahwa pada saat itu, ada belasan orang mengurungnya dari semua penjuru, menghampirinya sambil merayap di antara rumput tanpa mengeluarkan suara! Mereka itu adalah orang-orang wanita, masih muda-muda. Ketika mereka ini merayap, dengan pinggang ramping bergerak-gerak, pinggul ke kanan kiri, pakaian setengah telanjang, mereka merupakan binatang-binatang yang amat aneh!
Pusporini sedang melenggut ketika tiba-tiba tubuhnya ditubruk oleh empat orang wanita yang menggelut dan memitingnya dengan gerakan seperti ular-ular membelit leher, lengan dan kaki. Dara remaja ini menjerit saking kaget dan ngerinya. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang mengeroyok dan menggelutnya adalah empat orang wanita, kemarahannya bangkit. Apalagi ketika ia melihat betapa kini tampak belasan orang wanita lain telah mengurungnya. Ia meronta, mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki tangan.
"Plak-plak-buk-desss!!" Kini empat orang wanita itu yang menjerit dan tubuh mereka terlempar oleh pukulan dan tendangan si dara perkasa. Akan tetapi empat orang dirobohkan, belasan orang menyerbu dan kembali tubuh Pusporini sudah digelut. Pusporini marah sekali dan selagi ia hendak mengamuk, tiba-tiba mukanya disiram bubukan putih yang mengenai mata dan hidungnya.
Seketika Pusporini gelagapan, kedua tangannya menutupi mata dan ia terbangkis-bangkis. Kiranya orang telah menyerang mukanya dengan bubukan merica! Bukan main pedih matanya, sampai bercucuran air mata dan betapapun ia menahan, tetap saja ia terbangkis-bangkis sampai terbungkuk-bungkuk. Ia sampai tidak merasa bahwa kedua kaki tangannya sudah ditelikung seperti seekor domba hendak disembelih dan ketika tubuhnya dipanggul oleh para wanita itu, ia masih saja bercucuran air mata dan terbangkis-bangkis, ditertawai oleh mereka yang menawannya.
"Setan! hidungku terus mengucurkan darah, mimisen!"
"Gigiku patah dua, yang depan lagi. Sialan!"
"Perutku masih mulas terus terkena tendangannya!"
"Lihat garesku, matang biru dan aku akan terpincang sampai beberapa hari."
Empat orang wanita yang terkena hantaman dan tendangan Pusporini tadi memaki-maki dan mengancam hendak membunuh Pusporini. Terdengar suara seorang di antara mereka, yang tercantik dan melihat lagaknya tentu ia pimpinan rombongan wanita itu,
"Sudahlah, Ni Dewi menghendaki kita menangkapnya hidup-hidup, tidak boleh diganggu, masa kalian berani hendak membunuhnya? Kalau tidak ada pesan Ni Dewi, apa kaukira aku suka malam-malam susah-payah menangkapnya hidup-hidup? Dia ini adik adipati di Selopenangkep, amat dibutuhkan oleh sang wasi" Terdengar suara di sana-sini dalam rombongan wanita yang kini berjalan pergi sambil memanggul tubuh Pusporini, diseling ketawa cekikikan.
"Wah, agaknya dia ini terpilih oleh sang wasi...!" kata suara yang kecil tinggi penuh iri hati.
"Tentu saja! Sang wasi cukup waspada dalam memilih. Bocah ini seorang dara remaja yang cantik jelita. Lihat saja kulitnya begini halus, tertimpa sinar bulan seperti kencana saja. Dan mata yang kini tertutup mempunyai bulu mata begitu panjang melengkung, bukan main. Kau ingat matanya tadi ketika terbelalak? Begitu lebar, indah dan bening. Dia masih dara remaja, bagaikan bunga seperti kuncup baru mekar sedang harum-harumnya, bagaikan buah seperti buah ranum mentah tidak matang tidak sedang lezat-lezatnya. Tidak seperti engkau!"
"Kalau aku mengapa? Jangan lancang mulut kau!"
"Hi-hik! Kalau dia itu bagaikan bunga mulai melayu dan buah mulai membusuk!!" sambung suara lain.
"Mana pantas untuk sang wasi? Paling-paling menjadi mangsa Ki Kalohangkoro, hi-hik!" kata suara lain lagi.
"Apa? Kalian ini benar-benar bermulut busuk, penuh bau kotor! Kucakar muka kalian baru tahu...!"
"Ssttt....! Diamlah kalian. Ribut saja! Ni Dewi ingin agar kita cepat membawa Pusporini menghadap untuk melengkapi upacara sesaji di malam Respati. Kalau kalian ribut mulut saja, bagaimana perjalanan dapat dilakukan cepat-cepat?" tegur sang pemimpin dan rombongan wanita itu tidak berani saling maki lagi, hanya mengutarakan kemarahan dengan pandang mata saling melotot.
Siapakah rombongan wanita ini? Mereka itu rata-rata masih muda, bahkan ada beberapa orang di antara mereka, terutama pemimpinnya berwajah cantik dan bertubuh langsing menggairahkan. Gerakan mereka gesit-gesit, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini sesungguhnya masih sekawan dengan tujuh belas orang wanita cantik yang menggoda para penjaga Kadipaten Selopenangkep dan kemudian menculik dua puluh orang penjaga.
Mereka adalah anak buah dari pesanggrahan Durgaloka, sebuah pesanggrahan atau perkumpulan yang terdiri dari wanita semua, wanita-wanita muda yang kesemuanya dilatih dalam pelbagai ilmu kesaktian, dipimpin oleh seorang wanita cantik bernama Ni Dewi Nilamanik. Perkumpulan ini adalah wanita-wanita penyembah Sang Hyang Bathari Durga dan pada waktu itu mempunyai markas di puncak Gunung Mentasari.
Semenjak Sang Bhagawan Kundilomuko pemimpin para penyembah Sang Bhatari Durga di hutan Gumukmas dihancurkan oleh Endang Patibroto, maka perkumpulan-perkumpulan penyembah Dewi Kejahatan itu tidak berani muncul lagi dan kalaupun ada rombongan-rombongan kecil pemuja Sang Bhatari Durga, maka rombongan ini tidaklah begitu menonjol dan tidak mempengaruhi atau meluaskan pengaruhnya kepada penduduk dusun.
Akan tetapi secara tiba-tiba di puncak Gunung Mentasari muncul perkumpulan ini yang mempunyai anggauta sembilan puluh sembilan orang! Dan secara terang-terangan perkumpulan ini mulai mengembangkan pengaruhnya di sekitar Gunung Mentasari, bahkan mulai memasuki daerah Selopenangkep. Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa perkumpulan ini masih erat hubungannya dengan Kerajaan Cola.
Seperti ternyata dalam pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan dua orang pendeta, Wasi Bagaspati adalah seorang pendeta pemuja Sang Bathara Shiwa yang menjadi kaki tangan Kerajaan Cola. Dan Ni Dewi Nilamanik, pemimpin Agama Durga itu, adalah tangan kanan, bahkan bekas kekasih Wasi Bagaspati! Kalau Wasi Bagaspati kadang-kadang menamakan dirinya Shiwamurti dan mengaku sebagai titisan Sang Hyang Shiwa, adalah Ni Dewi Nilamanik ini mengaku sebagai titisan Sang Bathari Durga!
Di samping Ni Dewi Nilamanik, bersama rombongan Wasi Bagaspati terdapat pula seorang pembantu yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoro yang mengepalai para pemuja Sang Bathara Kala! Malah keadaan anak buah Ki Kolohangkoro ini lebih kuat daripada anak buah Ni Dewi Nilamanik, terdiri dari orang-orang tinggi besar yang berilmu tinggi, sebanyak seratus orang lebih!
Pada malam Respati, di puncak Gunung Mentasari diadakan upacara pemujaan Sang Hyang Bathari Durga. Di atas sebuah lapangan rumput yang terbuka dan mendapat cahaya bulan yang kehijauan, berdiri tiga macam arca yang hesar, arca Sang Bathari Durga. Sebelah kiri berdiri arca Sang Bathari Durga sebagai Dewi Maut, dalam bentuk yang amat mengerikan sekali. Bertubuh seorang raksasa wanita, rambutnya gimbal sampai ke tanah, kedua kakinya menginjak tengkorak manusia, payudaranya (buah dadanya) panjang tergantung sampai ke perut, lidahnya lebih panjang lagi, seperti seekor ular, sihungnya panjang meruncing dan kuku jari tangannya panjang-panjang pula.
Yang berdiri di sebelah kanan Sang Bathari Durga Bucari, tubuhnya mengeluarkan api menyala-nyala, tubuhnya ramping menggairahkan, dada terbuka, akan tetapi mukanya juga muka raksasa betina, wajahnya membayangkan kebengisan dan kekejaman. Arca ke tiga yang berdiri di tengah, menggambarkan Sang Hyang Bathari Durga dalam bentuk seorang wanita yang cantik jelita, wajahnya yang cantik itu tersenyum memikat penuh nafsu berahi, tubuhnya yang langsing setengah telanjang memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang menggairahkan. Di depan tiga buah arca ini penuh dengan kembang-kembang dan barang-barang sesaji terdiri dari makanan-makanan dan daging-daging mentah, dan asap kemenyan dan dupa mengepul tinggi.
Di sebelah kiri lapangan itu belasan orang wanita menabuh gamelan yang iramanya riang gembira menyelimuti suara orang-orang yang bercakap-cakap dan bersendau-gurau. Ni Dewi Nilamanik duduk di atas sebuah kursi yang terukir indah, melayani beberapa orang tamu bercakap-cakap dan bersendau-gurau, tamu-tamu yang baru saja tiba dan dipersilahkan duduk di kursi-kursi kehormatan yang berkelompok tak jauh dari tiga buah arca itu.
Ni Dewi Nilamanik adalah seorang wanita yang usinya sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi masih tampak cantik menarik dengan gerak-gerik yang luwes. Dia termasuk di antara wanita-wanita yang biarpun usianya sudah lanjut namun masih belum ditinggalkan daya tarik yang khas. Bahkan tampak kematangan lahir batin yang membuat gerak-geriknya terkendali dan tenang, wajahnya dapat membayangkan hati dingin seperti embun pagi hari di puncak Mahameru, di waktu panas membayangkan kegairahan yang membakar. Pakaiannya indah sekali, dengan warna menyolok.
Baju merah tipis sekali membayangkan kulit pundak dan lengan serta punggung yang putih kuning, belum kisut masih padat berisi, juga membayangkan kemben pembungkus pinggang yang ramping dan singset. Kainnya berkembang dengan dasar warna hijau yang membungkus ketat tubuh dari perut sampai ke mata kaki. Sepasang kakinya tampak kecil dan bersih halus, kaki yang terpelihara baik-baik sehingga tumitnya halus kemerahan dan kuku jari kaki mengkilap.
Dia seorang wanita cantik yang masak, hanya sayang bibirnya yang merah basah itu kadang-kadang membayangkan senyum yang penuh kekejaman dan dingin menusuk jantung, sepasang matanya kadang-kadang mengerling tajam penuh kegairahan, mata seorang wanita pengabdi nafsu berahi. Inilah Ni Dewi Nilamanik, yang selain cantik jelita, juga memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Dia seorang wanita berasal dart pesisir Banten yang sudah amat terkenal di daerah Banten akan tetapi baru sekarang ini terbawa oleh gerakan Kerajaan Cola bertualang ke timur.
Ni Dewi Nilamanik yang mengaku sebagai titisan Sang Bathari Durga sendiri. Ketika bercakap-cakap dengan para tamu, kadang-kadang bibirnya yang merah itu terbuka dan tampaklah deretan gigi putih berkilau. Yang mendapat kehormatan duduk di atas kursi-kursi kehormatan mengitari sebuah meja besar bersama Ni Dewi Nilamanik hanya beberapa orang saja.
Pertama-tama, yang mendapat kursi pertama di sebelah kanannya, adalah seorang kakek tinggi kurus bermuka merah yang tertawa-tawa dan suaranya keras nyaring. Dia ini bukan lain adalah Sang Wasi Bagaspati sendiri! Hanya terhadap Wasi Bagaspati inilah Ni Dewi Nilamanik bersikap menghormat, agak berlebihan, bahkan tadi ketika Wasi Bagaspati dan rombongannya tiba, Ni Dewi Nilamanik menyambutnya dengan sembah dan mencium ujung kakinya!
Tidaklah mengherankan karena Wasi Bagaspati ketua Agama Shiwa ini adalah junjungannya, kekasihnya, juga sebagian daripada ilmu-ilmunya yang hebat ia pelajari dari kakek inilah! Seperti ketika ia mengunjungi puncak Merapi dahulu, sekarangpun kakek ini memakai jubah pendeta yang berwarna merah darah sehingga rambutnya yang panjang putih itu tampak seperti perak! Hanya bedanya, kalau dahulu pakaiannya itu sederhana, kini terbuat daripada sutera halus berkilauan dan kedua kakinya juga memakai alas kaki jepitan. Rambut yang putih itu kini ia gelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain sutera merah pula.
Anak buah Wasi Bagaspati amatlah banyaknya, merupakan sebagian daripada pasukan Kerajaan Cola yang bergerak memasuki wilayah Panjalu. Akan tetapi yang pada saat itu mengiringkannya untuk menghadiri upacara pemujaan Sang Bathari Durga pada malam Respati itu hanya beberapa orang muridnya terkasih, yaitu pertama-tama adalah Sariwuni yang selain menjadi murid Wasi Bagaspati juga tentu saja menjadi kekasihnya pula. Di samping ini, juga Sariwuni adalah seorang penyembah Durga, maka tentu saja ia hadir dalam pesta itu untuk membantu Ni Dewi Nilamanik. Sariwuni yang sudah kita kenal, yang cantik molek inipun kini berpakaian indah, dan sikapnya terhadap Wasi Bagaspati jelas amat menjilat!
Cekel Wisangkoro juga hadir sebagai abdi (cekel) sang wasi, juga sebagai murid yang sudah tinggi tingkat ilmunya. Rambut Cekel Wisangkoro yang panjang penuh uban dibiarkan terurai sampai ke pinggang. Jubahnya berwarna kuning dengan hiasan merah di pinggirnya. Tubuhnya juga tinggi kurus seperti gurunya, akan tetapi melihat, hidungnya yang seperti paruh burung betet, ia lebih kentara keturunan Hindu daripada gurunya. Karena keyakinan ilmu hawa sakti yang sama dengan gurunya, wajah sang cekel inipun halus kemerahan. Tongkat hitam berbentuk ular tak pernah terlepas dari tangan kanannya. Cekel Wisangkoro yang kini hadir di antara "orang-orang tinggi", tampak sungkan-sungkan dan tidak banyak bicara.
Masih ada dua lusin pengikut Sang Wasi Bagaspati, laki-laki yang rata-rata bertubuh kuat dan berkepala gundul, yang wajahnya seperti arca. Mereka ini sesungguhnya anak buah Cekel Wisangkoro, orang-orang yang semangat dan pikirannya telah dikuasai oleh Cekel Wisangkoro dengan cengkeraman ilmu hitam. Akan tetapi dua puluh empat orang mayat hidup ini hanya duduk di atas tikar-tikar pandan yang dihamparkan di atas tanah, mereka duduk berjajar seperti arca.
Di sebelah Cekel Wisangkoro duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun dan keadaan jasmani laki-laki ini sungguh amat menyeramkan. Dia paling tinggi besar di antara semua yang hadir, seorang raksasa yang tubuhnya membayangkan tenaga kasar yang dahsyat. Duduknya tegak, sikapnya agung dan matanya melotot galak, tidak banyak cakap akan tetapi kalau sekali-kali bicara menjawab pertanyaan Ni Dewi Nilamanik, suaranya nyaring parau seperti suara geluduk dan sepasang anting-anting atau gelang emas di kedua telinganya bergoyang-goyang.
Inilah Ki Kolohangkoro yang mengepalai para pemuja Bathara Kala. Dia bersama anak buahnya yang tidak kurang dari seratus orang merupakan bala bantuan yang amat kuat bagi pergerakan yang dipimpin oleh Wasi Bagaspati. Kolohangkoro ini adalah adik seperguruan Wiku Kalawisesa, akan tetapi ia sakti mandraguna melebihi kakak seperguruannya yang dulu tewas di tangan Endang Patibroto itu. Bahkan ia menganggap dirinya sebagai penjelmaan Sang Bathara Kala sendiri, maka di dunia ini hanya dua orang yang ia hormati, yaitu pertama adalah Wasi Bagaspati yang dianggap titisan Sang Hyang Shiwa sendiri dan kedua Ni Dewi Nilamanik yang dianggap titisan Bathari Durga. Bukankah Bathara Kala adalah putera sepasang tokoh dewa yang hebat itu?
Di antara seratus orang anak buahnya, hanya tiga puluh orang yang ia ajak ikut menghadiri pesta perayaan untuk memuja Bathari Durga ini. Anak buahnya ini rata-rata juga tinggi besar dan kasar. Mereka duduk berkelompok di dekat para penabuh gamelan, bersendau-gurau, bercakap-cakap dan menggoda wanita-wanita penabuh gamelan dengan sikap terbuka tanpa malu-malu lagi.
Di bagian tamu kehormatan masih terdapat beberapa orang tamu laki-laki yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh kaum sesat di sebelah barat yang sudah terbujuk oleh Wasi Bagaspati dan menjadi sekutunya untuk menghadapi Panjalu dan Jenggala. Mereka ini adalah kepala-kepala rampok dan kepala-kepala bajak, yang merajai hutan-hutan, gunung, dan sungai-sungai. Mereka datang menghadapi pesta bersama beberapa orang pembantu mereka yang pilihan. Di antara para tokoh ini tampak Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, yaitu dua orang di antara Lima Gagak Serayu yang masih hidup. Tiga orang Gagak lainnya telah tewas di tangan Adipati Tejolaksono. Anak buah mereka inipun masih banyak, akan tetapi yang mereka bawa pada malam hari itu hanya belasan orang saja.
Dengan adanya para tamu yang jumlahnya amat banyak ini, maka ramailah lapangan di puncak Gunung Mentasari pada malam Respati itu. Suara gamelan mengungkung, alunan getaran paduan suara gamelan melayang sampai jauh ke lereng-lereng Gunung Mentasari. Suara ini mengiringi nyanyian waranggana yang merdu merayu dan menghidangkan bermacam-macam tembang.
"Ha-ha-ha-ha, suasana dalam pesta yang sudah-sudah tidaklah segembira malam hari ini. Entah mengapa, hatiku senang sekali!" Demikian kata Wasi Bagaspati sambil memandang ke arah wajah Ni Dewi Nilamanik..."
"Kebahagiaan hati Rakanda Wasi ini menandakan bahwa malam ini diberkahi oleh Sang Hyang Bathara Shiwa, dan saya merasa yakin bahwa Rakanda akan menjadi makin berbahagia kalau melihat apa yang akan saya perlihatkan sebentar di dalam upacara pemujaan!" kata Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum gembira.
Sepasang alis putih tebal Sang Wasi Bagaspati terangkat dan matanya bersinar, wajahnya berseri.
"Heh, Ni Dewi... sudah berhasilkah engkau menangkap isteri Adipati Tejolaksono?"
Ni Dewi Nilamanik memperlebar senyumnya, matanya mengerling genit dan kepalanya digeleng-gelengkan.
"Ayu Candra memang ayu, akan tetapi dia isteri orang lain, saya rasa kurang patut dihidangkan kepada Sang Hyang Bathara Shiwa...."
"Eh, Ni Dewi, jangan kau beranggapan begitu. Siapapun dia yang telah menarik minat hati, tidak perduli dia itu tua atau muda, perawan atau janda, dia patut sudah. Pula, mendapatkan dia berarti memukul hancur sang adipati yang pengung (bodoh) dan keras kepala itu!"
"Semua yang paduka katakan memang tepat, Rakanda Wasi. Akan tetapi sayang sekali, bukan Ayu Candra yang tertawan oleh anak buahku, melainkan seorang yang menurut perasaan saya, lebih baik lagi. Dia masih perawan, usianya baru lima belas tahun, bertulang kuat berdarah bersih, cantik manis dan muda belia, juga dia adalah adik misan, bahkan murid terkasih Adipati Tejolaksono."
"Waah-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu!"
Sang Wasi Bagaspati tertawa-tawa gembira dan mengelus dagunya, matanya bersinar-sinar. Ki Kolohangkoro yang duduk dekat Ni Dewi Nilamanik menoleh kepada wanita itu dan berkata perlahan,
"Bunda Dewi... apakah dalam kesempatan baik ini Bunda Dewi lupa kepada saya?"
Memang mengherankan bagi orang lain kalau mendengar betapa kakek berusia lima puluh tahunan yang bertubuh raksasa ini memanggil "bunda" kepada Ni Dewi Nilamanik yang baru berusia empat puluh tahunan! Hal ini adalah karena Ki Kolohangkoro yang menganggap diri sebagai titisan Bathara Kala menganggap Ni Dewi Nilamanik titisan Bathari Durga, karena itu seperti ibunya! Dan terhadap Sang Wasi Bagaspatipun ia menyebut "ramanda wasi"!
Ni Dewi Nilamanik menoleh kepada raksasa ini dan tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilau.
"Jangan khawatir, Kolohangkoro. Aku tidak lupa akan pesananmu dan ingat bahwa saatnya tepat untuk memberi persembahan kepada Sang Hyang Bathara Kala!""
"Terima kasih.... terima kasih, Ibunda Dewi.... !" kata Ki Kolohangkoro dengan girang sekali.
Dengan mengangkat lengannya ke atas, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat dan berubahlah kini suara gamelan yang ditabuh oleh wanita-wanita muda itu. Waranggana berhenti menyanyi dan suara gamelan kini iramanya cepat dan nyaring, makin lama makin tinggi, seperti suara orang merintih mengerang, seperti napas terengah-engah, seperti suara ketawa ditahan-tahan. Bukan main hebatnya suara gamelan kini, dibarengi dengan pembakaran dupa yang amat harum. Asap dupa yang kebiruan bergerak perlahan, makin lama makin tebal dan dari balik asap ini sekarang bermunculan serombongan wanita penari yang berlari-lari sambil menari-nari, kemudian setelah tiga puluh sembilan orang penari ini tiba di depan arca-arca dan tamu-tamu terhormat, mereka membentuk baris seperti bunga teratai lalu menyembah ke arah arca Bathari Durga.
Mereka menyembah sambil merebahkan tubuh atau menelungkup ke atas tanah, kedua kaki ditekuk di bawah paha. Sampai lama mereka rebah seperti ini, tidak bergerak seolah-olah mati. Gamelan yang tadinya ramai dan penuh semangat, kini menurun iramanya sehingga terdengar perlahan dan tenang. Suasana menjadi hening dan sunyi, angker menyeramkan. Upacara pemujaan dan penghaturan sesaji telah dimulai.
Tiga puluh sembilan penari masih menelungkup dan tidak bergerak. Ni Dewi Nilamanik lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah dan menaburkan isinya pada pedupaan. Seperti tadi, asap mengebul tebal dan tinggi, akan tetapi kalau tadi berwarna kebiruan, kini berwarna kemerahan, amat indah tersinar cahaya bulan dan cahaya obor yang dipasang di sekitar lapangan itu. Pembakaran dupa yang berasap merah dan menghamburkan ganda harum yang aneh ini merupakan isyarat bagi serombongan penari lain yang telah siap.
Dari balik tabir asap kemerahan ini muncul tiga belas orang penari. Berbeda dengan tiga puluh sembilan orang rombongan pertama tadi yang berpakaian sutera beraneka warna, tiga belas penari ini semua berpakaian putih, sutera tipis sekali sehingga sinar obor menembus pakaian tipis itu membuat bentuk tubuh mereka tampak nyata. Juga tiga belas orang penari ini masih muda remaja dan semua cantik jelita. Tarian mereka juga berbeda, gerakan mereka halus dan lemah gemulai.
Tangan kiri mereka menyangga sebuah bokor emas di atas pundak, lengan kanan menari-nari dan kaki mereka seperti melayang saja ketika bergerak di atas rumput lapangan, seolah-olah mereka terbang. Ketika mereka tiba di depan tiga buah arca Bathari Durga, mereka bersimpuh, kemudian berjalan jongkok menghampiri arca. Dengan gerakan berirama sesuai dengan irama gamelan, setibanya di kaki arca, mereka kembali menyembah dan meletakkan bokor emas masing-masing di depan tubuh mereka.
Pada saat itu, tiga puluh sembilan orang yang tadi menelungkup, kini menggerakkan tubuh tegak sambil menembang. Paduan suara tembang mereka mengalun dalam sebuah lagu pujaan yang aneh dan menimbulkan serem karena suara mereka seperti orang merintih, kadang-kadang seperti menangis dan tiba-tiba berubah menjadi suara orang bergembira tertawa!
Tiga belas orang wanita berpakaian putih kini menyebarkan bunga rampai dari dalam bokor kencana ke arah tiga buah arca sehingga tubuh arca-arca itu penuh kembang. Bau yang amat wangi memenuhi seluruh lapangan, bau kembang rampai bercampur harum dedes dan dupa. Setelah semua kembang dalam bokor habis, tiga belas orang wanita berpakaian putih itu yang masih duduk bersimpuh, menggerak-gerakkan tubuh atas mereka, bergoyang-goyang seperti ombak ke kanan kiri, ke depan belakang dengan berbareng dan dari mulut mereka terdengar suara mereka membaca mantera yang mengagung-agungkan nama Sang Bathari Durga.
Ni Dewi Nilamanik kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri arca Bathari Durga yang berada di tengah, lalu berlutut dan membaca mantera pula, seirama dengan tiga belas orang muridnya. Pada saat itu, suasana di lapangan itu benar-benar amat menyeramkan. Asap kemerahan yang mengebul dari depan arca, membuat tiga buah arca itu seolah-olah bergerak-gerak dan bernapasl Dua buah arca Bathari Durga yang mengerikan di kanan kiri itu seolah-olah melotot dan menyeringai, dan hawa busuk keluar dari tubuh dua buah arca itu. Adapun arca yang di tengah, yang cantik dan molek, seperti ikut pula menari dan bibirnya tersenyum-senyum.
Suara nyanyian bersama itu makin` membubung tinggi, kadang-kadang menjadi rendah sekali dan dari dalam nyanyian ini seperti terdengar suara-suara aneh, pekik-pekik dahsyat, gerengan-gerengan, pendeknya seolah-olah semua setan iblis brekasakan bangkit dari neraka jahanam, memenuhi pangilan yang tersalur lewat kekuasaan Sang Bathari Durga yang menjadi ratu sekalian jin setan dan iblis!
Setelah pembacaan mantera habis, ketiga belas orang dara berpakaian putih itu bangkit, menari dan dengan langkah-langkah teratur pergi meninggalkan lapangan itu, kemudian tak lama datang lagi membawa sesajen yang disunggi di atas kepala. Bermacam-macam sesajen itu, dari buah-buahan, sayur-sayuran sampai daging segala macam hewan sembelihan, yang matang dan yang mentah. Tidak ketinggalan kembang dan arak! Semua sesajen ini dijajarkan di depan ketiga buah arca.
Setelah upacara ini yang dikepalai oleh Ni Dewi Nilamanik yang mengatur persembahan sesajen itu, maka upacara selesai dan kini tinggal perayaan pestanya. Ni Dewi Nilamanik lalu berkata kepada Sang Wasi Bagaspati sambil mendekatinya, "Rakanda wasi, bersiaplah menerima persembahan hamba." Kemudian wanita cantik itu memberi isyarat dengan tangan. Tiga betas orang wanita berpakaian putih menyembah lalu bangkit lagi menari sambil meninggalkan lapangan.
Gamelan ditabuh gencar dan kini tiga puluh sembilan penari mengikuti irama yang gencar dan cepat. Mereka itu bergerak cepat, berputaran melenggang-lenggok, memainkan kedua lengan yang lemas, menggerak-gerakkan pinggang yang ramping dan leher yang indah bentuknya, melirik-lirik dan tersenyum-senyum memikat. Akan tetapi, bertepatan dengan perubahan bunyi gamelan, mereka berhenti menari, lalu terpecah menjadi dua barisan dan membuat lingkaran lalu duduk bersimpuh dan kembali tubuh atas mereka menelungkup mencium tanah dengan kedua lengan dilonjorkan di depan, menelungkup pula di atas tanah.
Gamelan kini berirama tenang dan amat indah, tidak lagi aneh atau liar seperti tadi, namun teratur dan halus. Inilah gamelan yang biasa dimainkan untuk mengiringi tari-tarian bidadari yang seringkali ditarikan di gedung-gedung para bangsawan. Semua mata memandang ke arah tabir asap dan tampaklah tiga belas orang wanita yang berpakaian putih tadi muncul lagi, berjalan sambil menari perlahan-lahan dengan gerakan lemah gemulai.
Namun mereka itu tampak kasar ketika semua mata memandang seorang dara yang mereka iringkan. Seorang dara remaja yang cantik manis, dan gerakan lengan kakinya ketika menari amatlah lemas dan indah! Diiringkan tiga belas orang wanita cantik berpakaian sutera putih itu, dara remaja ini tampak seperti setangkai kuncup bunga yang sedang mekar dengan segarnya di antara tiga belas tangkai bunga yang sudah terlalu banyak kehilangan madu karena setiap hari dihisap kumbang.
Dara remaja ini bukan lain adalah Pusporini! Baru pagi tadi rombongan anak buah Ni Dewi Nilamanik yang menawannya tiba di puncak Mentasari. Pusporini disambut dengan bangga dan girang oleh Ni Dewi Nilamanik yang segera membuatnya pingsan dengan ilmunya, kemudian memberi minum secara paksa ramuan obat yang membuat dara itu tidak sadar akan keadaan dirinya lagi!
Inilah sebabnya mengapa pada malam hari itu, ketika Pusporini disambut oleh tiga belas orang wanita berpakaian putih dan diperintahkan menari, seperti sebuah boneka berjiwa Pusporini lalu keluar dari tempat tahanan, dan begitu mendengar suara gamelan dan melihat tiga belas orang itu menari, iapun lalu melangkah maju dan menari! Tentu saja tarian Pusporini amat indah karena dara remaja ini memang seorang ahli tari di Selopenangkep! Ia menari dengan kedua mata setengah terpejam, bibirnya otomatis tersenyum manis karena guru tarinya selalu memesan bahwa dalam membawakan tarian, wajah harus berseri dan bibir tersenyum manis, senyum sopan untuk mempercantik wajah.
Semenjak ia masih kecil, Pusporini sudah belajar menari dan setiap kali di Kadipaten Selopenangkep diadakan tari-tarian, tentu dia menjadi bintang panggungnya. Kini, dalam keadaan tidak sadar akibat pengaruh jamu yang dicekokkan kepadanya ketika ia pingsan, Pusporini menari dengan perasaan bahwa dia harus menari seperti yang ia lakukan di Selopenangkep. Menari seindah-indahnya.
"Bagaimana, Rakanda Wasi? Apakah cukup memuaskan hati Rakanda?" bisik Ni Dewi Nilamanik sambil mendekati Wasi Bagaspati yang duduk terhenyak dan kesima memandang ke arah Pusporini. Teguran ini membuat ia sadar dan ia cepat memegang tangan Ni Dewi Nilamanik, ditariknya wanita itu mendekat dan dengan mata masih memandang ke arah Pusporini, ia mengambung pipi kanan wanita cantik itu di depan semua orang yang memandang hal ini tanpa heran sedikitpun.
"Wah, Yayi Dewi, benar hebat....! Tiada ubahnya dengan Dewi Sang Hyang Saraswati sendiri....! Dan dara ini adik misan Tejolaksono? Bagus! Hukuman baik bagi adipati yang keras kepala itu. Biarkan dia menghibur dengan tari-tarian sampai pestamu selesai, Yayi. Sesudah itu, bawa dia ke kamarku, akan tetapi aku menghendaki dia seaseli-aselinya, tanpa pengaruh jamu-jamu"
Ni Dewi Nilamanik tersenyum dan maklum akan kehendak Sang Wasi Bagaspati. Ia mengangguk lalu duduk kembali ke atas kursinya sambil memberi isyarat dengan tangan untuk meningkatkan acara perayaan. Tiga belas orang wanita berpakaian putih itu lalu menari sambil mengurung Pusporini dan mengiring dara remaja ini naik ke sebuah panggung yang paling tinggi di samping barisan tiga buah arca. Panggung ini hanya dua meter luasnya, agak tinggi dan bentuknya bundar. Tiga buah obor besar menyala di belakang panggung sehingga ketika Pusporini menari-nari di atas panggung sendirian saja, tampak seperti seorang bidadari menari. Permainan cahaya dan bayangan yang menyelimuti tubuh dan wajahnya benar-benar amat indah.
Setelah Pusporini "disingkirkan" di atas panggung menyendiri dan menari dijadikan tontonan dan dikagumi semua orang, Ni Dewi Nilamanik kembali memberi isyarat dengan tangan. Tiga belas orang wanita berpakaian putih itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang berlari-lari sambil menari dan masing-masing membawa sebuah bokor pula, kini bokor perak yang berisi benda cair berwarna merah. Begitu mereka memasuki lapangan, bau yang harum bercampur amis berhamburan dan semua orang yang hadir, baik laki-laki maupun perempuan tertawa-tawa gembira dan pandang mata mereka penuh kehausan melihat ke arah bokor-bokor itu.
Semua bokor perak, tiga belas buah jumlahnya, kini ditaruh di depan kaki tiga buah arca. Ni Dewi Nilamanik lalu bangkit dan menghampiri, mencelupkan sebatang daun ke dalam bokor-bokor itu dan memercik-mercikkan cairan merah ke arah tiga arca hingga tubuh arca-arca itu berwarna merah, bertotol-totol seperti darah. Kemudian Ni Dewi Nilamanik mengambil dua buah cawan, mengisinya dengan cairan merah itu dan ia menghampiri Wasi Bagaspati. Dengan sikap hormat sambil bersimpuh di depan sang wasi, ia menyodorkan sebuah cawan yang diterima sambil tertawa oleh Wasi Bagaspati. Kemudian kedua orang ini minum cairan merah itu dari dalam cawan, terus ditenggak sampai habis.
Semua anak buah laki-laki perempuan yang hadir di situ bersorak gembira dan mulailah mereka berteriak-teriak minta bagian cairan merah yang mereka sebut "Anggur Darah". Di Dewi Nilamanik memberi isyarat dengan tangan. Di bawah hujan sorak-sorai gemuruh, tiga belas orang wanita berpakaian putih, kini dibantu oleh tiga puluh sembilan wanita berpakaian aneka warna mulai membagi-bagikan anggur darah dari tiga belas bokor perak itu kepada semua orang. Mula-mula tentu saja para tamu yang duduk di kursi kehormatan yang menerima secawan yang mereka minum dengan lahap. Kemudian semua orang mendapat bagian, sampai para penabuh gamelan dan semua anggauta, baik anggauta penyembah Durga maupun penyembah Shiwa dan Kala.
Setelah semua orang minum, makin riuhlah suasana, makin gembira seakan-akan mereka semua itu mabuk oleh secawan anggur darah itu. Gamelan dibunyikan dengan keras dan iramanya panas merangsang, lima puluh dua penari itu kini menari-nari secara liar, makin lama makin cepat gerakan mereka, makin cepat dan makin liar.
Aneh dan hebat bukan main. Setelah minum anggur darah yang berwarna merah itu, wanita-wanita itu tidak hanya seperti mabuk, bahkan seperti orang-orang yang telah kemasukan roh jahat. Juga suasana makin menjadi berubah sama sekali. Seluruh lapangan itu seakan-akan terselimut hawa yang dingin menyeramkan, namun yang mengandung rangsangan hawa panas yang membuat darah mendidih, yang membangkitkan gairah nafsu berahi, dan jelas terasa getaran-getaran aneh yang tidak sewajarnya. Malam di puncak Gunung Mentasari ini menjadi malam penuh hawa kotor, dikuasai iblis.
Tiga puluh sembilan orang wanita yang berpakaian sutera tipis beraneka warna itu makin hebat tariannya. Tidak lagi mengikuti bunyi gamelan yang iramanya makin panas merangsang, melainkan menari secara liar, menggerak-gerakkan pinggul ke kanan kiri ke depan belakang, membusungkan dada dan menggerak-gerakkan pundak, pinggang mereka bergoyang-goyang, tubuh mereka seolah-olah menjadi tubuh ular yang meliuk-liuk, melekuk, melengkung dan menggeliat-geliat.
Wajah mereka yang rata-rata cantik dan muda itu kini agak pucat, keringat membasahi dahi dan leher, muka diangkat ditengadahkan membayangkan gairah nafsu berahi, mata setengah terpejam, cuping hidung berkembang kempis mendengus-dengus, bibir terbuka memperlihatkan kilauan gigi putih di antara rongga mulut yang merah seperti dasar mereka, ujung lidah merah meruncing menjilat-jilat bibir seperti lidah ular, membasahi bibir yang merah basah, dada yang membusung itu turun naik terengah-engah seperti ombak samudra dilanda badai.
Nafsu berahi makin memuncak dalam suasana yang tidak wajar itu. Keadaan seperti ini makin lama menjalar sehingga tiga belas orang wanita remaja berpakaian putih itupun terkena pengaruhnya dan merekapun mulai meniru gerak-gerik tiga puluh sembilan orang rekannya yang tingkatnya lebih rendah itu.
Gamelan ditabuh makin menggila. Tari-tarian itupun makin menggila. Para anggauta wanita penyembah Bathari Durga itu kini mulai pula menggerak-gerakkan tubuh mengikuti irama gamelan. Merekapun terpengaruh setelah tadi minum secawan anggur darah. Juga para tamu, anak buah Wasi Bagaspati dan Ki Kolohangkoro, mulai berteriak-teriak seperti gila, menjadi histeris dan dengan pandang mata seperti hendak melahap dan menelan bulat-bulat para penari itu.
Yang tidak terpengaruh oleh anggur darah, biarpun ikut minum, hanya para pimpinan saja. Sang Wasi Bagaspati, biarpun wajahnya menjadi makin merah, namun tetap tenang dan memandang kesemuanya itu sambil tersenyum gembira. Ni Dewi Nilamanik, juga merah sepasang pipinya, membuatnya tampak makin cantik dan kini pimpinan penyembah Bathari Durga melempar kerling mata penuh nafsu ke arah Sang Wasi Bagaspati, namun ia tetap duduk tenang.
Di samping kedua orang sakti ini, Ki Kolohangkoro juga tidak terpengaruh. Matanya terbelalak lebar dan ia minum arak terus-menerus, kadang-kadang tertawa bergelak seperti orang gila. Yang lainnya, termasuk Cekel Wisangkoro, Sariwuni, kedua orang Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, terseret pula oleh gelombang getaran hawa nafsu berahi, bahkan Sariwuni dan kedua orang Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sudah saling mendekat dan saling pegang dalam belaian-belaian penuh nafsu.
Yang mengherankan adalah dua puluh empat orang tinggi besar gundul, anak buah Cekel Wisangkoro. Mereka ini tadipun mendapat bagian anggur darah, akan tetapi mereka kini tetap saja duduk di bawah tanpa bergerak dengan mata memandang kosong ke depan!
Tak lama kemudian, setelah gamelan kini berbunyi kacau-balau karena para penabuhnya sudah mabuk semua, beterbanganlah sutera-sutera halus yang tadi membungkus tubuh lima puluh dua orang penari itu. Sorak-sorai terdengar dan para wanita penyembah Bathari Durga semua lalu ikut menari sambil menanggalkan pakaian, melempar-lemparkan pakaian mereka dan mempermainkannya seperti selendang, sementara tubuh mereka terus melanjutkan tari-tarian penuh gairah.
Sorak-sorai dari mulut para pria yang hadir makin gemuruh dan merekapun bangkit tanpa aturan lagi, ikut menari-nari dan mendapatkan pasangan masing-masing. Bahkan Cekel Wisangkoro sudah pula meloncat dari tempat duduknya dan terjun ke dalam medan tari-tarian menggila itu. Suara ketawa bercampur cekikikan dan semua bercumbuan mengotorkan udara.
"Hua-ha-ha-ha, Bunda Dewi! Manakah hidanganku yang Bunda janjikan tadi?" terdengar suara Ki Kolohangkoro menggema dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk dari mereka yang berpesta-pora dalam nafsu binatang itu.
"Jangan... khawatir.... Kolohangkoro," jawab Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum, lalu ia memanggil Sariwuni, "Sariwuni, kau ambillah si bagus ke sini, berikan kepada Kolohangkoro!"
Sariwuni terpaksa melepaskan diri dari pelukan Gagak Dwipa, lalu tubuhnya yang kini sudah setengah telanjang itu melesat pergi. Hanya sebentar ia menghilang karena sepuluh menit kemudian wanita sakti ini telah datang kembali, memondong seorang anak laki-laki yang bertubuh montok dan berwajah tampan. Anak laki-laki itu berusia kurang lebih enam tahun, matanya lebar terbelalak memandang ketakutan dan di kedua pipinya yang segar kemerahan dan montok itu tampak titik-titik air mata.
Ki Kolohangkoro memekik keriangan ketika ia menyambar tubuh anak ini dari tangan Sariwuni yang terkekeh genit dan meloncat lagi ke dalam pelukan Gagak Dwipa sambil mendorong pergi seorang wanita penari yang tadi menggantikan tempatriya.
"Kolohangkoro, kau bawa pergi korbanmu itu dari depan mataku," kata Sang Wasi Bagaspati sambil menyeringai.
Ki Kolohangkoro yang memeluk anak itu tertawa, membungkuk lalu meloncat pergi, akan tetapi saking tak dapat menahan nafsunya, ia berlari sambil menundukkan mukanya ke arah leher anak Itu yang berkulit putih halus. Rahangnya bergerak, tampak giginya yang meruncing dan terdengarlah jerit anak itu yang tenggelam ke dalam suara ketawa di tenggorokan Ki Kolohangkoro yang mulai menghisap darah segar!
Pusporini yang tadinya menari-nari di atas panggung bundar, kini masih menari-nari seperti kehilangan semangat. Karena gamelan kini tidak berbunyi lagi dan para penabuhnya sudah pula terjun ke dalam kancah nafsu jalang yang dipuja-puja, Pusporini kini berdiri termangu-mangu seperti orang bingung. Sepasang matanya kini terbelalak, penuh kengerian akan tetapi juga seperti orang dalam mimpi. Pengaruh jamu yang membiusnya masih belum lenyap semua, akan tetapi penglihatan yang terbentang di depan matanya terlalu hebat sehingga mengguncangkan perasaannya, membuatnya terbelalak penuh kengerian, ketakutan, dan kebingungan.
Apa yang terjadi di lapangan puncak Gunung Mentasari itu memang tidak lumrah. Seorang manusia normal tentu akan terguncang perasaannya menyaksikan semua itu. Agaknya semua orang yang berada di situ telah terseret ke dalam tingkat yang amat hina dan rendah, jauh lebih rendah daripada binatang-binatang yang tidak berakal budi. Mengerikan dan memuakkan!
Sang Wasi Bagaspati dan Ni Dewi Nilamanik masih duduk tenang, sungguhpun kini mereka duduk berdekatan dan tangan Wasi Bagaspati membelai-belai rambut, kadang-kadang mencium muka Ni Dewi Nilamanik. Mereka berdua yang sakti mandraguna, yang dengan pengaruh ilmu hitam mereka telah menimbulkan suasana seperti ini, tentu saja dapat menguasai diri dan keadaan. Ketika Pandang mata Wasi Bagaspati beralih ke arah Pusporini yang berdiri bingung di atas panggung, ia segera bangkit perlahan, menudingkan telunjuknya ke arah Pusporini dan berkata perlahan,
"Ni Dewi, aku ingin mengaso dan antarkan dia itu kepadaku."
Ni Dewi Nilamanik juga bangkit berdiri dan tersenyum lebar. "Baiklah, Rakanda Wasi. Saya sendiri yang akan menjemput dan mengantarnya kepadamu."
Akan tetapi pada saat itu, secara tiba-tiba sekali jatuhlah air hujan dari angkasa! Kedua orang itu kaget dan menengadah. Langit yang tadinya bersih kini tertutup mendung menghitam. Sinar bulan tertutup mendung dan datang pula angin bertiup sehingga banyak obor secara tiba-tiba menjadi padam. Suasana menjadi gelap, angin bertiup, dan air hujan turun makin deras. Akan tetapi, pasangan-pasangan yang sudah dimabuk nafsu itu masih berdekapan dan bergulingan di atas tanah berumput, sama sekali tidak perduli akan turunnya air hujan. Suara ketawa dan cekikikan masih terdengar, bahkan agaknya makin gembira dengan turunnya air hujan!
"Ah, hujan....!" seru Ni Dewi Nilamanik dengan kaget dan heran. "Biar saya menyuruh Sariwuni menjemputnya!"
Karena Sariwuni yang dipanggil dua kali tidak mendengar, asyik mengumbar nafsu binatang bersama Gagak Dwipa, sekali bergerak Ni Dewi Nilamanik sudah mendekati lalu menarik bangun wanita itu. "Sariwuni! Kau bawa dara remaja itu ke dalam!"
Ayu Candra sudah membantu Roro Luhito menghadapi dua orang laki-laki tinggi besar yang lain. Karena kini satu lawan satu, dua orang laki-laki tinggi besar itu terdesak hebat, golok mereka telah dapat dipukul runtuh dan tombak Roro Luhito sudah berhasil menusuk mata kiri lawannya sampai masuk ke kepala dan orang itu roboh berkelojotan sebentar lalu diam dan tewas. Ayu Candra yang terus mencecer bagian mata, hampir berhasil pula, akan tetapi tiba-tlba Tejolaksono berseru,
"Jangan bunuh, aku hendak menangkapnya!" Ayu Candra mundur dan Tejolaksono menerjang, menghantam roboh orang itu dengan memukul dadanya.
Orang iu terbanting roboh, merangkak hendak bangun akan tetapi kena dipiting oleh Tejolaksono sehingga tak mampu berkutik lagi. Pada saat itu, beberapa orang pengawal yang mendengar ribut-ribut di taman, sudah datang dan atas perintah Tejolaksono mereka segera menelikung orang tinggi besar itu sampai tak mampu berkutik.
"Pusporini.... dia dilarikan penjahat....!"
"Lekas kau kejar, Kakangmas...."
Mendengar ucapan Roro Luhito dan Ayu Candra ini, bukan main kagetnya hati Tejolaksono. Tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah yang ditunjuk oleh dua wanita itu. Roro Luhito dan Ayu Candra segera menyusul dan berpencar untuk mencari Pusporini yang diculik.
Akan tetapi mereka bertiga tidak dapat menemukan jejak Pusporini, sebaliknya mendapatkan keadaan para penjaga yang kacau-balau! Para penjaga di utara dan timur kehilangan sepuluh orang perajurit sedangkan enam orang luka-luka dalam perang tanding sendiri akibat kekacauan keadaan yang gelap-gulita dan penuh godaan iblis. Sedangkan para penjaga di sebelah selatan dan barat lebih celaka lagi keadaannya. Mereka semua tertidur dalam keadaan tidak karuan, ada yang bertelanjang bulat, ada yang tertawa-tawa seperti orang mabuk, bersikap seperti orang kegilaan wanita, dan dua puluh orang di antara mereka lenyap.
Adipati Tejolaksono terpaksa kembali ke gedung kadipaten dan memanggil semua pembantunya mendengar pelaporan mereka yang aneh. Malam itu Kadipaten Selopenangkep geger dan mengalami kerugian besar. Enam orang luka-luka dan tiga puluh orang perajurit lenyap, Pusporini terculik dan sebagai gantinya hanya dapat membunuh tiga orang laki-laki gundul dan menawan seorang.
Roro Luhito pucat mukanya, dan hanya dengan kekerasan hati saja wanita tua perkasa ini dapat menahan tangisnya.
"Aduh, Anaknda Adipati, bagaimana dengan nasib Pusporini....?" Ia mengeluh.
Tejolaksono dan Ayu Candra juga gelisah memikirkan Pusporini. Tejolaksono menghibur, "Kita harus tenang, Kanjeng Bibi. Saya rasa Cekel Wisangkoro tidak akan begitu bodoh untuk mengganggu Pusporini, karena kalau ia melakukan hal itu, kalau terganggu seujung rambutpun dari Pusporini, ia tahu bahwa Tejolaksono akan mencarinya sampai dapat dan akan menghancurkan kepalanya!" Berkata demikian sang adipati tampak marah sekali, kemudian ia menghela napas panjang untuk menekan perasaannya.
"Agaknya dia menangkap Pusporini dengan maksud untuk memaksa kita menyerah, Akan tetapi, saya akan berusaha merampas Pusporini kembali. Karena itu, kebetulan sekali kita dapat menawan hidup-hidup seorang di antara empat iblis gundul itu. Heh, pengawal, seret tawanan itu ke sini!"
Tawanan laki-laki tinggi besar gundul yang sudah ditelikung seperti ayam itu diseret ke depan Tejolaksono. Adipati ini terhetan-heran melihat betapa tawanan ini sama sekali tidak mengeluh, juga sama sekali tidak membayangkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang seperti wajah mayat. Ia berusaha mengorek rahasia dari tawanan ini dengan janji-janji manis dan ancaman-ancaman mengerikan, namun tawanan itu hanya memandang dengan mata melotot dan bodoh, tidak menjawab, mengangguk tidak menggelengpun tidak!
"Hemm, engkau jangan berpura-pura bodoh!" bentak sang adipati. "Melihat kepandaian, kekebalan dan sepak terjangmu, engkau bukan orang bodoh! Hayo mengakulah, ke mana Pusporini adikku dibawa pergi. Kalau engkau mengaku dan mau membawaku ke sana, aku tidak akan membunuhmu. Akan tetapi kalau tidak, hemm.... engkau akan kusuruh hukum picis!"
Hukum picis adalah hukuman yang amat mengerikan pada waktu itu. Tubuh seorang tawanan akan diikat dan di situ disediakan sebatang pisau tajam, air asam garam. Setiap orang perajurit akan mengerat tubuh si tawanan dan menyiramkan air asam garam pada luka guratan itu. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang akan dialami orang yang dihukum picis sebelum ia mati kehabisan darah.
Namun tawanan itu hanya melototkan mata makin lebar saja, tak menyatakan sesuatu, baik dengan suara maupun gerakan. Ia hanya mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan. Melihat ini, sang adipati menjadi curiga, lalu menggunakan jari tangan untuk menusuk beberapa bagian jalan darah di tubuh tawanan itu. Ia tidak menyaksikan gerakan tubuh yang mengerahkan kekebalan atau hawa sakti, akan tetapi jarinya yang menusuk perlahan itu meleset! Ia mengangguk-angguk, lalu memegang kepala orang itu dan membuka pelupuk matanya memeriksa biji mata yang selalu dipelototkan.
"Ahhhhh.... sungguh kasihan orang ini..." Ia berkata kemudian sambil memberi isyarat kepada pengawal untuk membawa pergi si tawanan. Kemudian ia duduk termenung.
"Apakah artinya semua itu, kakangmas?" tanya Ayu Candra. Juga Roro Luhito tidak mengerti.
"Si keparat Cekel Wisangkoro atau siapa saja yang melakukan perbuatan-perbuatan keji itu. Orang-orang itu bergerak bukan atas kehendak sendiri. Mereka seperti mayat-mayat yang telah dikuasai oleh iblis-iblis itu, tubuh mereka kebal dan mereka amat kuat dan pandai berkelahi hanya karena berada dalam pengaruh sihir yang amat kuat! Tentu saja dia tidak dapat menjawab karena dalam keadaan seperti itu, mereka tidak tahu apa-apa, tidak dapat bicara, hanya dapat bergerak untuk menghancurkan segala yang merintangi mereka, sesuai dengan perintah rahasia yang diberikan oleh iblis berupa manusia melalui getaran dalam otak mereka. Dia itu telah mati, mati dalam hidup. Hanya jasmaninya saja yang hidup akan tetapi perasaan dan semangatnya telah berada dalam genggaman orang yang menguasai mereka."
"Si bedebah! Kalau begitu, anakku...." Roro Luhito menahan kata-katanya dan mengerutkan keningnya.
"Aduh, Kakangmas, bagaimana dengan Pusporini?"
"Harap Kanjeng Bibi dan engkau Yayi, tenang pada saat seperti ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa Pusporini ditawan musuh. Akan tetapi itu hanya merupakan satu di antara akibat perang yang kita hadapi. Perang yang aneh melawan orang-orang yang seperti iblis. Kita belum kalah dan kita harus mempertahankan diri di Selopenangkep. Pada waktu ini, yang terpenting adalah menjaga agar musuh tidak sampai dapat menguasai Selopenangkep. Kalau aku membawa pasukan mencari Pusporini, atau pergi mengejar, berarti keadaan Selopenangkep akan kosong dan lemah. Agaknya memang siasat ini dipergunakan musuh untuk memancing aku keluar dari kadipaten. Biarlah kita bersabar, menjaga kadipaten sambil menanti datangnya Kakang Mundingyudo yang tentu akan membawa bala bantuan dari Panjalu. Kita akan menghancurkan musuh dan percayalah, Sang Hyang Widhi tentu akan melindungi Pusporini. Orang yang benar pasti akan mendapat kemenangan terakhir."
Biarpun perasaan hati mereka hancur dan penuh kegelisahan, namun kedua orang wanita itu harus membenarkan pendapat sang adipati ini, maka mereka tak dapat berbuat lain kecuali berprihatin sambil memperkuat penjagaan dan mempertebal kewaspadaan.
********************
Laki-laki tinggi besar berkepala gundul yang menculik Pusporini terus lari meninggalkan kota Kadipaten Selopenangkep. Dia keluar dari kadipaten melalui pintu gerbang selatan di mana para penjaganya tertidur semua setelah tergoda oleh tujuh belas orang wanita cantik. Tentu saja dengan mudah ia dapat keluar dari pintu gerbang itu tanpa terhalang. Larinya cepat sekali, dengan langkah lebar dan selama itu laki-laki ini tidak pernah mengeluarkan kata-kata, juga mukanya yang tersinar bulan tidak menyatakan atau membayangkan sesuatu.
Keadaan laki-laki ini tiada bedanya dengan empat orang gundul yang menyerbu Kadipaten Selopenangkep dan yang dirobohkan oleh Adipati Tejolaksono. Laki-laki ini hanya bergerak menurutkan yang memerintahnya dan kini iapun lari menuju ke arah datangnya getaran yang menguasainya, menuju ke sebuah bukit kecil di sebelah barat.
Pusporini yang tadi tertidur pulas akibat aji penyirepan, kini setelah agak lama dibawa lari dan mukanya tertiup angin malam yang dingin, mulai sadar. Mula-mula ia membuka matanya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mendapatkan dirinya dipondong oleh seorang laki-laki tinggi besar dan dibawa lari di malam gelap! Karena marah dan kaget, tubuhnya bergerak dan biarpun laki-laki itu seperti boneka hidup, namun pengaruh yang menguasainya membuatnya cerdik sekali dalam menghadapi lawan.
Ketika merasa betapa gadis dalam pondongannya bergerak, cepat laki-laki itu menangkap pergelangan tangan Pusporini, digenggam dalam jari-jari tangan kirinya yang panjang dan kuat seperti jepitan besi, sedangkan lengan kanannya merangkul kedua kaki dara remaja itu sehingga Pusporini tak dapat berkutik lagi!
"Lepaskan aku....! Bedebah.... lepaskan aku...!! Ia berteriak-teriak sambil meronta-ronta. Namun sia-sia belaka. Laki-laki itu sama sekali tidak menjawab, dan ia hanya dapat menggerakkan pinggangnya meronta-ronta sedangkan kaki tangannya sama sekali tidak dapat terlepas dari pergelangan laki-laki tinggi besar Itu.
Tentu saja, dalam hal tenaga kasar, Pusporini sama sekali bukan tandingan laki-laki ini. Akhirnya dara remaja yang cerdik ini sadar bahwa mengandalkan tenaga kasar, ia takkan mungkin dapat terbebas. Ia tidak meronta lagi, juga tidak mengeluarkan suara lagi, bahkan mengendurkan tubuhnya bersandar pada pundak laki-laki itu, meramkan mata mencari akal.
Teringat ia akan dongeng yang pernah diceritakan ibunya tentang Dewi Shinta yang diculik dan dilarikan Sang Prabu Dhasamuka. Keadaannya sekarang ini persis dengan dongeng yang diceritakan ibunya itu. Ia dipondong dalam keadaan tidak berdaya dan dibawa lari. Laki-laki ini tinggi besar dan mengerikan, patut pula menjadi Prabu Dhasamuka.
Dan teringat akan hal ia ingat pula bahwa ibunya menceritakan betapa Dewi Shinta dapat dirampas dari tangan Dhasamuka oleh burung sakti Jentayu, akan tetapi Dewi Shinta yang merasa ngeri karena jatuh ke cengkeraman burung raksasa, lalu mempergunakan aji kesaktian memberatkan tubuh sehingga terlepas dari cengkeraman burung yang tidak kuat membawanya. Aji memberatkan tubuh itu telah ia tanyakan kepada rakandanya sang adipati yang juga menjadi gurunya. Dan sang adipati yang sakti mandraguna telah mengajarkan aji seperti itu!
Teringat akan ini, Pusporini lalu meramkan mata seperti orang samadhi, mengheningkan cipta menenteramkan batinnya, kemudian ia berkemak-kemik membaca mantera sambil menekan dan menyalurkan hawa sakti dari dalam pusarnya. Aji kesaktian ini oleh Tejolaksono diberi nama Aji Argoselo dan kini tubuh Pusporini terasa berat seperti sebongkah batu gunung. Orang tinggi besar itu tiba-tiba mengeluarkan suara "uh-uhh....!" dan langkahnya terhuyung-huyung.
Hampir ia tidak kuat dan karena ini tangan kirinya melepaskan kedua lengan Pusporini untuk membantu memeluk kedua kaki dara ini agar tidak terlepas. Kesempatan inilah yang dinanti-nanti Pusporini. Ia menahan napas, membelalakkan kedua matanya dan menyalurkan hawa sakti menjadi tenaga dahsyat kepada kedua tangannya yang sudah ia isi dengan Aji Pethit Nogo. Kini kedua tangannya bergerak, dari kanan kiri menghimpit kepala orang yang memondongnya itu dalam hantaman yang tiba-tiba, cepat dan kuat.
Orang itu terhuyung, ikat kepalanya terlepas dan tampaklah kepalanya yang gundul, kedua tangannya yang memeluk kaki Pusporini dilepaskan untuk memegang kepalanya yang serasa akan pecah. Kesempatan ini dipergunakan Pusporini untuk meloncat turun dari atas pondongan lawan, memandang terbelalak heran melihat kepala orang itu tidak pecah oleh pukulan Pethit Nogo yang dilakukannya amat kuat tadi.
Tidak, sama sekali orang laki-laki tinggi besar berkepala gundul itu tidak mati, bahkan robohpun tidak. Setelah terhuyung-huyung, laki-laki itu dapat pulih kembali dan kini menerjang dengan kedua lengan terpentang, hendak menubruk dan menangkap kembali tawanannya yang terlepas. Namun tubrukannya hanya mengenai angin belaka karena tahu-tahu tubuh dara remaja itu sudah melejit lenyap dan berpindah tempat di sebelah kanannya, langsung mengirim tamparan lagi dengan Aji Pethit Nogo yang mengenai lehernya.
"Plakkkk!!"
Kembali orang itu terpelanting, namun segera bangkit lagi dan menghadapi Pusporini dengan mata melotot. Bulu tengkuk dara ini meremang. Dua kali pukulannya tadi amat hebat, dan dengan pukulan-pukulan itu kiranya batu gunungpun akan terpukul pecah. Akan tetapi kenapa orang ini mengeluhpun tidak?
Ia telah mempelajari banyak macam aji-aji yang ampuh dari Adipati Tejolaksono, akan tetapi pukulannya yang terampuh adalah Aji Pethit Nogo. Ketika melihat orang itu menyerangnya lagi hendak menangkap, dengan mudahnya Pusporini mengelak. Dengan aji keringanan tubuh Bayu Sakti, tentu saja dengan mudah ia dapat menghindarkan setiap serangan laki-laki tinggi besar yang baginya terlalu lamban ini, akan tetapi ia masih penasaran kalau belum dapat memukul roboh orang yang telah menculiknya ini. Berkali-kali ia memukul dan mengeluarkan semua aji pukulannya, namun orang itu hanya terhuyung, paling-paling terjungkal untuk bangkit kembali dan menerjangnya makin hebat!
"Eh-eh, engkau ini manusia ataukah iblis? Disuruh mampus saja kok tidak mau, keparat!" Pusporini memaki, akan tetapi sebetulnya di dalam hatinya, ia merasa ngeri dan serem. Sekali lagi ia mengelak sambil mengirim pukulan keras yang membuat tubuh laki-laki tinggi besar itu terguling-guling, dan ketika laki-laki itu seperti tadi bangkit berdiri lagi, Pusporini telah hilang dari tempat itu karena dara remaja ini dengan penuh kengerian telah melarikan diri. Siapa orangnya tidak akan merasa ngeri kalau bertanding melawan orang nekat macam itu? Sampai lelah kedua tangannya memukul dan orang itu berkali-kali jatuh lalu bangun lagi!
Karena Pusporini mempergunakan Aji Bayu Sakti yang membuat larinya seperti seekor kijang muda, maka laki-laki tinggi besar itu tertinggal jauh, bahkan laki-laki itu mengejar ke arah yang berlainan! Akan tetapi, biarpun semenjak kecil digembleng olah keperajuritan dan tata kelahi, Pusporini tidak pernah keluar dari Kadipaten Selopenangkep. Apalagi setelah Sang Adipati Tejolaksono menghapuskan kebiasaan berburu, dara remaja ini tidak mengenal daerah di luar Selopenangkep.
Tadi ketika diculik, ia berada dalam keadaan pulas sehingga tidak tahu dibawa ke mana. Sekarang, barulah ia menjadi bingung karena tidak tahu ke mana jalan pulang ke Selopenangkep. Tanpa ia sadari, la bukannya menuju kembali ke Selopenangkep, melainkan menyusup makin dalam ke hutan yang lebat. Juga tidak tahu bahwa gerak-geriknya semenjak bertanding melawan orang tinggi besar tadi telah diperhatikan oleh banyak orang!
Tengah malam telah lewat dan bulan sepotong yang keluarnya hampir tengah malam itu kini sudah naik tinggi, menyinarkan cahaya yang redup namun cukup terang, menimbulkan suasana yang amat indah menyeramkan di dalam hutan!
Pusporini mulai merasa bingung ketika hutan yang dilaluinya makin lama makin liar dan gelap. Agak lega hatinya ketika di tengah-tengah hutan liar itu ia mendapatkan sebuah lapangan yang luasnya ada seratus meter, berbentuk bundar dan lapangan terbuka ini tidak ditumbuhi pohon sehingga sinar bulan terang memenuhi lapangan itu. Rumput hijau tebal menutupi lapangan seperti permadani hijau dibentangkan, amat indah dan bersihnya. Pusporini mengambil keputusan untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di tempat ini. Besok kalau matahari sudah menerangi bumi, ia akan dapat keluar dari hutan ini dan pulang, pikirnya.
Tempat ini amat enak, juga ia dapat memandang ke sekelilingnya tanpa terhalang pohon sehingga kalau ada musuh mendatang, jauh-jauh sudah akan melihatnya. Sambil menghela napas lega dara remaja ini duduk dan melenggut saking mengantuk dan lelahnya. Kadang-kadang ia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya yang sunyi untuk melihat kalau-kalau si gundul mengerikan tadi datang mengejarnya. Sebenarnya hal ini tidak perlu ia lakukan karena kalau ada orang datang berlari menghampirinya, tentu pendengarannya yang tajam akan dapat menangkap langkah kakinya.
Akan tetapi, bagaimana pendengarannya akan dapat menangkap kalau benda-benda bergerak itu menghampirinya tanpa melangkahkan kaki, melainkan merayap seperti segerombolan ular? Dan bagaimana ia dapat melihat mereka itu kalau mereka menyusup-nyusup di antara rumput-rumput yang tebal dan tinggi?
Tidak, Pusporini sama sekali tidak tahu, menyangkapun tidak bahwa pada saat itu, ada belasan orang mengurungnya dari semua penjuru, menghampirinya sambil merayap di antara rumput tanpa mengeluarkan suara! Mereka itu adalah orang-orang wanita, masih muda-muda. Ketika mereka ini merayap, dengan pinggang ramping bergerak-gerak, pinggul ke kanan kiri, pakaian setengah telanjang, mereka merupakan binatang-binatang yang amat aneh!
Pusporini sedang melenggut ketika tiba-tiba tubuhnya ditubruk oleh empat orang wanita yang menggelut dan memitingnya dengan gerakan seperti ular-ular membelit leher, lengan dan kaki. Dara remaja ini menjerit saking kaget dan ngerinya. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang mengeroyok dan menggelutnya adalah empat orang wanita, kemarahannya bangkit. Apalagi ketika ia melihat betapa kini tampak belasan orang wanita lain telah mengurungnya. Ia meronta, mengerahkan tenaga dan menggerakkan kaki tangan.
"Plak-plak-buk-desss!!" Kini empat orang wanita itu yang menjerit dan tubuh mereka terlempar oleh pukulan dan tendangan si dara perkasa. Akan tetapi empat orang dirobohkan, belasan orang menyerbu dan kembali tubuh Pusporini sudah digelut. Pusporini marah sekali dan selagi ia hendak mengamuk, tiba-tiba mukanya disiram bubukan putih yang mengenai mata dan hidungnya.
Seketika Pusporini gelagapan, kedua tangannya menutupi mata dan ia terbangkis-bangkis. Kiranya orang telah menyerang mukanya dengan bubukan merica! Bukan main pedih matanya, sampai bercucuran air mata dan betapapun ia menahan, tetap saja ia terbangkis-bangkis sampai terbungkuk-bungkuk. Ia sampai tidak merasa bahwa kedua kaki tangannya sudah ditelikung seperti seekor domba hendak disembelih dan ketika tubuhnya dipanggul oleh para wanita itu, ia masih saja bercucuran air mata dan terbangkis-bangkis, ditertawai oleh mereka yang menawannya.
"Setan! hidungku terus mengucurkan darah, mimisen!"
"Gigiku patah dua, yang depan lagi. Sialan!"
"Perutku masih mulas terus terkena tendangannya!"
"Lihat garesku, matang biru dan aku akan terpincang sampai beberapa hari."
Empat orang wanita yang terkena hantaman dan tendangan Pusporini tadi memaki-maki dan mengancam hendak membunuh Pusporini. Terdengar suara seorang di antara mereka, yang tercantik dan melihat lagaknya tentu ia pimpinan rombongan wanita itu,
"Sudahlah, Ni Dewi menghendaki kita menangkapnya hidup-hidup, tidak boleh diganggu, masa kalian berani hendak membunuhnya? Kalau tidak ada pesan Ni Dewi, apa kaukira aku suka malam-malam susah-payah menangkapnya hidup-hidup? Dia ini adik adipati di Selopenangkep, amat dibutuhkan oleh sang wasi" Terdengar suara di sana-sini dalam rombongan wanita yang kini berjalan pergi sambil memanggul tubuh Pusporini, diseling ketawa cekikikan.
"Wah, agaknya dia ini terpilih oleh sang wasi...!" kata suara yang kecil tinggi penuh iri hati.
"Tentu saja! Sang wasi cukup waspada dalam memilih. Bocah ini seorang dara remaja yang cantik jelita. Lihat saja kulitnya begini halus, tertimpa sinar bulan seperti kencana saja. Dan mata yang kini tertutup mempunyai bulu mata begitu panjang melengkung, bukan main. Kau ingat matanya tadi ketika terbelalak? Begitu lebar, indah dan bening. Dia masih dara remaja, bagaikan bunga seperti kuncup baru mekar sedang harum-harumnya, bagaikan buah seperti buah ranum mentah tidak matang tidak sedang lezat-lezatnya. Tidak seperti engkau!"
"Kalau aku mengapa? Jangan lancang mulut kau!"
"Hi-hik! Kalau dia itu bagaikan bunga mulai melayu dan buah mulai membusuk!!" sambung suara lain.
"Mana pantas untuk sang wasi? Paling-paling menjadi mangsa Ki Kalohangkoro, hi-hik!" kata suara lain lagi.
"Apa? Kalian ini benar-benar bermulut busuk, penuh bau kotor! Kucakar muka kalian baru tahu...!"
"Ssttt....! Diamlah kalian. Ribut saja! Ni Dewi ingin agar kita cepat membawa Pusporini menghadap untuk melengkapi upacara sesaji di malam Respati. Kalau kalian ribut mulut saja, bagaimana perjalanan dapat dilakukan cepat-cepat?" tegur sang pemimpin dan rombongan wanita itu tidak berani saling maki lagi, hanya mengutarakan kemarahan dengan pandang mata saling melotot.
Siapakah rombongan wanita ini? Mereka itu rata-rata masih muda, bahkan ada beberapa orang di antara mereka, terutama pemimpinnya berwajah cantik dan bertubuh langsing menggairahkan. Gerakan mereka gesit-gesit, tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka ini sesungguhnya masih sekawan dengan tujuh belas orang wanita cantik yang menggoda para penjaga Kadipaten Selopenangkep dan kemudian menculik dua puluh orang penjaga.
Mereka adalah anak buah dari pesanggrahan Durgaloka, sebuah pesanggrahan atau perkumpulan yang terdiri dari wanita semua, wanita-wanita muda yang kesemuanya dilatih dalam pelbagai ilmu kesaktian, dipimpin oleh seorang wanita cantik bernama Ni Dewi Nilamanik. Perkumpulan ini adalah wanita-wanita penyembah Sang Hyang Bathari Durga dan pada waktu itu mempunyai markas di puncak Gunung Mentasari.
Semenjak Sang Bhagawan Kundilomuko pemimpin para penyembah Sang Bhatari Durga di hutan Gumukmas dihancurkan oleh Endang Patibroto, maka perkumpulan-perkumpulan penyembah Dewi Kejahatan itu tidak berani muncul lagi dan kalaupun ada rombongan-rombongan kecil pemuja Sang Bhatari Durga, maka rombongan ini tidaklah begitu menonjol dan tidak mempengaruhi atau meluaskan pengaruhnya kepada penduduk dusun.
Akan tetapi secara tiba-tiba di puncak Gunung Mentasari muncul perkumpulan ini yang mempunyai anggauta sembilan puluh sembilan orang! Dan secara terang-terangan perkumpulan ini mulai mengembangkan pengaruhnya di sekitar Gunung Mentasari, bahkan mulai memasuki daerah Selopenangkep. Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa perkumpulan ini masih erat hubungannya dengan Kerajaan Cola.
Seperti ternyata dalam pertemuan antara Ki Tunggaljiwa dengan dua orang pendeta, Wasi Bagaspati adalah seorang pendeta pemuja Sang Bathara Shiwa yang menjadi kaki tangan Kerajaan Cola. Dan Ni Dewi Nilamanik, pemimpin Agama Durga itu, adalah tangan kanan, bahkan bekas kekasih Wasi Bagaspati! Kalau Wasi Bagaspati kadang-kadang menamakan dirinya Shiwamurti dan mengaku sebagai titisan Sang Hyang Shiwa, adalah Ni Dewi Nilamanik ini mengaku sebagai titisan Sang Bathari Durga!
Di samping Ni Dewi Nilamanik, bersama rombongan Wasi Bagaspati terdapat pula seorang pembantu yang amat diandalkan, yaitu Ki Kolohangkoro yang mengepalai para pemuja Sang Bathara Kala! Malah keadaan anak buah Ki Kolohangkoro ini lebih kuat daripada anak buah Ni Dewi Nilamanik, terdiri dari orang-orang tinggi besar yang berilmu tinggi, sebanyak seratus orang lebih!
Pada malam Respati, di puncak Gunung Mentasari diadakan upacara pemujaan Sang Hyang Bathari Durga. Di atas sebuah lapangan rumput yang terbuka dan mendapat cahaya bulan yang kehijauan, berdiri tiga macam arca yang hesar, arca Sang Bathari Durga. Sebelah kiri berdiri arca Sang Bathari Durga sebagai Dewi Maut, dalam bentuk yang amat mengerikan sekali. Bertubuh seorang raksasa wanita, rambutnya gimbal sampai ke tanah, kedua kakinya menginjak tengkorak manusia, payudaranya (buah dadanya) panjang tergantung sampai ke perut, lidahnya lebih panjang lagi, seperti seekor ular, sihungnya panjang meruncing dan kuku jari tangannya panjang-panjang pula.
Yang berdiri di sebelah kanan Sang Bathari Durga Bucari, tubuhnya mengeluarkan api menyala-nyala, tubuhnya ramping menggairahkan, dada terbuka, akan tetapi mukanya juga muka raksasa betina, wajahnya membayangkan kebengisan dan kekejaman. Arca ke tiga yang berdiri di tengah, menggambarkan Sang Hyang Bathari Durga dalam bentuk seorang wanita yang cantik jelita, wajahnya yang cantik itu tersenyum memikat penuh nafsu berahi, tubuhnya yang langsing setengah telanjang memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang menggairahkan. Di depan tiga buah arca ini penuh dengan kembang-kembang dan barang-barang sesaji terdiri dari makanan-makanan dan daging-daging mentah, dan asap kemenyan dan dupa mengepul tinggi.
Di sebelah kiri lapangan itu belasan orang wanita menabuh gamelan yang iramanya riang gembira menyelimuti suara orang-orang yang bercakap-cakap dan bersendau-gurau. Ni Dewi Nilamanik duduk di atas sebuah kursi yang terukir indah, melayani beberapa orang tamu bercakap-cakap dan bersendau-gurau, tamu-tamu yang baru saja tiba dan dipersilahkan duduk di kursi-kursi kehormatan yang berkelompok tak jauh dari tiga buah arca itu.
Ni Dewi Nilamanik adalah seorang wanita yang usinya sudah empat puluh tahun lebih, akan tetapi masih tampak cantik menarik dengan gerak-gerik yang luwes. Dia termasuk di antara wanita-wanita yang biarpun usianya sudah lanjut namun masih belum ditinggalkan daya tarik yang khas. Bahkan tampak kematangan lahir batin yang membuat gerak-geriknya terkendali dan tenang, wajahnya dapat membayangkan hati dingin seperti embun pagi hari di puncak Mahameru, di waktu panas membayangkan kegairahan yang membakar. Pakaiannya indah sekali, dengan warna menyolok.
Baju merah tipis sekali membayangkan kulit pundak dan lengan serta punggung yang putih kuning, belum kisut masih padat berisi, juga membayangkan kemben pembungkus pinggang yang ramping dan singset. Kainnya berkembang dengan dasar warna hijau yang membungkus ketat tubuh dari perut sampai ke mata kaki. Sepasang kakinya tampak kecil dan bersih halus, kaki yang terpelihara baik-baik sehingga tumitnya halus kemerahan dan kuku jari kaki mengkilap.
Dia seorang wanita cantik yang masak, hanya sayang bibirnya yang merah basah itu kadang-kadang membayangkan senyum yang penuh kekejaman dan dingin menusuk jantung, sepasang matanya kadang-kadang mengerling tajam penuh kegairahan, mata seorang wanita pengabdi nafsu berahi. Inilah Ni Dewi Nilamanik, yang selain cantik jelita, juga memiliki ilmu kesaktian yang hebat. Dia seorang wanita berasal dart pesisir Banten yang sudah amat terkenal di daerah Banten akan tetapi baru sekarang ini terbawa oleh gerakan Kerajaan Cola bertualang ke timur.
Ni Dewi Nilamanik yang mengaku sebagai titisan Sang Bathari Durga sendiri. Ketika bercakap-cakap dengan para tamu, kadang-kadang bibirnya yang merah itu terbuka dan tampaklah deretan gigi putih berkilau. Yang mendapat kehormatan duduk di atas kursi-kursi kehormatan mengitari sebuah meja besar bersama Ni Dewi Nilamanik hanya beberapa orang saja.
Pertama-tama, yang mendapat kursi pertama di sebelah kanannya, adalah seorang kakek tinggi kurus bermuka merah yang tertawa-tawa dan suaranya keras nyaring. Dia ini bukan lain adalah Sang Wasi Bagaspati sendiri! Hanya terhadap Wasi Bagaspati inilah Ni Dewi Nilamanik bersikap menghormat, agak berlebihan, bahkan tadi ketika Wasi Bagaspati dan rombongannya tiba, Ni Dewi Nilamanik menyambutnya dengan sembah dan mencium ujung kakinya!
Tidaklah mengherankan karena Wasi Bagaspati ketua Agama Shiwa ini adalah junjungannya, kekasihnya, juga sebagian daripada ilmu-ilmunya yang hebat ia pelajari dari kakek inilah! Seperti ketika ia mengunjungi puncak Merapi dahulu, sekarangpun kakek ini memakai jubah pendeta yang berwarna merah darah sehingga rambutnya yang panjang putih itu tampak seperti perak! Hanya bedanya, kalau dahulu pakaiannya itu sederhana, kini terbuat daripada sutera halus berkilauan dan kedua kakinya juga memakai alas kaki jepitan. Rambut yang putih itu kini ia gelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain sutera merah pula.
Anak buah Wasi Bagaspati amatlah banyaknya, merupakan sebagian daripada pasukan Kerajaan Cola yang bergerak memasuki wilayah Panjalu. Akan tetapi yang pada saat itu mengiringkannya untuk menghadiri upacara pemujaan Sang Bathari Durga pada malam Respati itu hanya beberapa orang muridnya terkasih, yaitu pertama-tama adalah Sariwuni yang selain menjadi murid Wasi Bagaspati juga tentu saja menjadi kekasihnya pula. Di samping ini, juga Sariwuni adalah seorang penyembah Durga, maka tentu saja ia hadir dalam pesta itu untuk membantu Ni Dewi Nilamanik. Sariwuni yang sudah kita kenal, yang cantik molek inipun kini berpakaian indah, dan sikapnya terhadap Wasi Bagaspati jelas amat menjilat!
Cekel Wisangkoro juga hadir sebagai abdi (cekel) sang wasi, juga sebagai murid yang sudah tinggi tingkat ilmunya. Rambut Cekel Wisangkoro yang panjang penuh uban dibiarkan terurai sampai ke pinggang. Jubahnya berwarna kuning dengan hiasan merah di pinggirnya. Tubuhnya juga tinggi kurus seperti gurunya, akan tetapi melihat, hidungnya yang seperti paruh burung betet, ia lebih kentara keturunan Hindu daripada gurunya. Karena keyakinan ilmu hawa sakti yang sama dengan gurunya, wajah sang cekel inipun halus kemerahan. Tongkat hitam berbentuk ular tak pernah terlepas dari tangan kanannya. Cekel Wisangkoro yang kini hadir di antara "orang-orang tinggi", tampak sungkan-sungkan dan tidak banyak bicara.
Masih ada dua lusin pengikut Sang Wasi Bagaspati, laki-laki yang rata-rata bertubuh kuat dan berkepala gundul, yang wajahnya seperti arca. Mereka ini sesungguhnya anak buah Cekel Wisangkoro, orang-orang yang semangat dan pikirannya telah dikuasai oleh Cekel Wisangkoro dengan cengkeraman ilmu hitam. Akan tetapi dua puluh empat orang mayat hidup ini hanya duduk di atas tikar-tikar pandan yang dihamparkan di atas tanah, mereka duduk berjajar seperti arca.
Di sebelah Cekel Wisangkoro duduk seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun dan keadaan jasmani laki-laki ini sungguh amat menyeramkan. Dia paling tinggi besar di antara semua yang hadir, seorang raksasa yang tubuhnya membayangkan tenaga kasar yang dahsyat. Duduknya tegak, sikapnya agung dan matanya melotot galak, tidak banyak cakap akan tetapi kalau sekali-kali bicara menjawab pertanyaan Ni Dewi Nilamanik, suaranya nyaring parau seperti suara geluduk dan sepasang anting-anting atau gelang emas di kedua telinganya bergoyang-goyang.
Inilah Ki Kolohangkoro yang mengepalai para pemuja Bathara Kala. Dia bersama anak buahnya yang tidak kurang dari seratus orang merupakan bala bantuan yang amat kuat bagi pergerakan yang dipimpin oleh Wasi Bagaspati. Kolohangkoro ini adalah adik seperguruan Wiku Kalawisesa, akan tetapi ia sakti mandraguna melebihi kakak seperguruannya yang dulu tewas di tangan Endang Patibroto itu. Bahkan ia menganggap dirinya sebagai penjelmaan Sang Bathara Kala sendiri, maka di dunia ini hanya dua orang yang ia hormati, yaitu pertama adalah Wasi Bagaspati yang dianggap titisan Sang Hyang Shiwa sendiri dan kedua Ni Dewi Nilamanik yang dianggap titisan Bathari Durga. Bukankah Bathara Kala adalah putera sepasang tokoh dewa yang hebat itu?
Di antara seratus orang anak buahnya, hanya tiga puluh orang yang ia ajak ikut menghadiri pesta perayaan untuk memuja Bathari Durga ini. Anak buahnya ini rata-rata juga tinggi besar dan kasar. Mereka duduk berkelompok di dekat para penabuh gamelan, bersendau-gurau, bercakap-cakap dan menggoda wanita-wanita penabuh gamelan dengan sikap terbuka tanpa malu-malu lagi.
Di bagian tamu kehormatan masih terdapat beberapa orang tamu laki-laki yang kesemuanya adalah tokoh-tokoh kaum sesat di sebelah barat yang sudah terbujuk oleh Wasi Bagaspati dan menjadi sekutunya untuk menghadapi Panjalu dan Jenggala. Mereka ini adalah kepala-kepala rampok dan kepala-kepala bajak, yang merajai hutan-hutan, gunung, dan sungai-sungai. Mereka datang menghadapi pesta bersama beberapa orang pembantu mereka yang pilihan. Di antara para tokoh ini tampak Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, yaitu dua orang di antara Lima Gagak Serayu yang masih hidup. Tiga orang Gagak lainnya telah tewas di tangan Adipati Tejolaksono. Anak buah mereka inipun masih banyak, akan tetapi yang mereka bawa pada malam hari itu hanya belasan orang saja.
Dengan adanya para tamu yang jumlahnya amat banyak ini, maka ramailah lapangan di puncak Gunung Mentasari pada malam Respati itu. Suara gamelan mengungkung, alunan getaran paduan suara gamelan melayang sampai jauh ke lereng-lereng Gunung Mentasari. Suara ini mengiringi nyanyian waranggana yang merdu merayu dan menghidangkan bermacam-macam tembang.
"Ha-ha-ha-ha, suasana dalam pesta yang sudah-sudah tidaklah segembira malam hari ini. Entah mengapa, hatiku senang sekali!" Demikian kata Wasi Bagaspati sambil memandang ke arah wajah Ni Dewi Nilamanik..."
"Kebahagiaan hati Rakanda Wasi ini menandakan bahwa malam ini diberkahi oleh Sang Hyang Bathara Shiwa, dan saya merasa yakin bahwa Rakanda akan menjadi makin berbahagia kalau melihat apa yang akan saya perlihatkan sebentar di dalam upacara pemujaan!" kata Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum gembira.
Sepasang alis putih tebal Sang Wasi Bagaspati terangkat dan matanya bersinar, wajahnya berseri.
"Heh, Ni Dewi... sudah berhasilkah engkau menangkap isteri Adipati Tejolaksono?"
Ni Dewi Nilamanik memperlebar senyumnya, matanya mengerling genit dan kepalanya digeleng-gelengkan.
"Ayu Candra memang ayu, akan tetapi dia isteri orang lain, saya rasa kurang patut dihidangkan kepada Sang Hyang Bathara Shiwa...."
"Eh, Ni Dewi, jangan kau beranggapan begitu. Siapapun dia yang telah menarik minat hati, tidak perduli dia itu tua atau muda, perawan atau janda, dia patut sudah. Pula, mendapatkan dia berarti memukul hancur sang adipati yang pengung (bodoh) dan keras kepala itu!"
"Semua yang paduka katakan memang tepat, Rakanda Wasi. Akan tetapi sayang sekali, bukan Ayu Candra yang tertawan oleh anak buahku, melainkan seorang yang menurut perasaan saya, lebih baik lagi. Dia masih perawan, usianya baru lima belas tahun, bertulang kuat berdarah bersih, cantik manis dan muda belia, juga dia adalah adik misan, bahkan murid terkasih Adipati Tejolaksono."
"Waah-ha-ha-ha! Bagus sekali kalau begitu!"
Sang Wasi Bagaspati tertawa-tawa gembira dan mengelus dagunya, matanya bersinar-sinar. Ki Kolohangkoro yang duduk dekat Ni Dewi Nilamanik menoleh kepada wanita itu dan berkata perlahan,
"Bunda Dewi... apakah dalam kesempatan baik ini Bunda Dewi lupa kepada saya?"
Memang mengherankan bagi orang lain kalau mendengar betapa kakek berusia lima puluh tahunan yang bertubuh raksasa ini memanggil "bunda" kepada Ni Dewi Nilamanik yang baru berusia empat puluh tahunan! Hal ini adalah karena Ki Kolohangkoro yang menganggap diri sebagai titisan Bathara Kala menganggap Ni Dewi Nilamanik titisan Bathari Durga, karena itu seperti ibunya! Dan terhadap Sang Wasi Bagaspatipun ia menyebut "ramanda wasi"!
Ni Dewi Nilamanik menoleh kepada raksasa ini dan tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih berkilau.
"Jangan khawatir, Kolohangkoro. Aku tidak lupa akan pesananmu dan ingat bahwa saatnya tepat untuk memberi persembahan kepada Sang Hyang Bathara Kala!""
"Terima kasih.... terima kasih, Ibunda Dewi.... !" kata Ki Kolohangkoro dengan girang sekali.
Dengan mengangkat lengannya ke atas, Ni Dewi Nilamanik memberi isyarat dan berubahlah kini suara gamelan yang ditabuh oleh wanita-wanita muda itu. Waranggana berhenti menyanyi dan suara gamelan kini iramanya cepat dan nyaring, makin lama makin tinggi, seperti suara orang merintih mengerang, seperti napas terengah-engah, seperti suara ketawa ditahan-tahan. Bukan main hebatnya suara gamelan kini, dibarengi dengan pembakaran dupa yang amat harum. Asap dupa yang kebiruan bergerak perlahan, makin lama makin tebal dan dari balik asap ini sekarang bermunculan serombongan wanita penari yang berlari-lari sambil menari-nari, kemudian setelah tiga puluh sembilan orang penari ini tiba di depan arca-arca dan tamu-tamu terhormat, mereka membentuk baris seperti bunga teratai lalu menyembah ke arah arca Bathari Durga.
Mereka menyembah sambil merebahkan tubuh atau menelungkup ke atas tanah, kedua kaki ditekuk di bawah paha. Sampai lama mereka rebah seperti ini, tidak bergerak seolah-olah mati. Gamelan yang tadinya ramai dan penuh semangat, kini menurun iramanya sehingga terdengar perlahan dan tenang. Suasana menjadi hening dan sunyi, angker menyeramkan. Upacara pemujaan dan penghaturan sesaji telah dimulai.
Tiga puluh sembilan penari masih menelungkup dan tidak bergerak. Ni Dewi Nilamanik lalu mengeluarkan sebuah bungkusan merah dan menaburkan isinya pada pedupaan. Seperti tadi, asap mengebul tebal dan tinggi, akan tetapi kalau tadi berwarna kebiruan, kini berwarna kemerahan, amat indah tersinar cahaya bulan dan cahaya obor yang dipasang di sekitar lapangan itu. Pembakaran dupa yang berasap merah dan menghamburkan ganda harum yang aneh ini merupakan isyarat bagi serombongan penari lain yang telah siap.
Dari balik tabir asap kemerahan ini muncul tiga belas orang penari. Berbeda dengan tiga puluh sembilan orang rombongan pertama tadi yang berpakaian sutera beraneka warna, tiga belas penari ini semua berpakaian putih, sutera tipis sekali sehingga sinar obor menembus pakaian tipis itu membuat bentuk tubuh mereka tampak nyata. Juga tiga belas orang penari ini masih muda remaja dan semua cantik jelita. Tarian mereka juga berbeda, gerakan mereka halus dan lemah gemulai.
Tangan kiri mereka menyangga sebuah bokor emas di atas pundak, lengan kanan menari-nari dan kaki mereka seperti melayang saja ketika bergerak di atas rumput lapangan, seolah-olah mereka terbang. Ketika mereka tiba di depan tiga buah arca Bathari Durga, mereka bersimpuh, kemudian berjalan jongkok menghampiri arca. Dengan gerakan berirama sesuai dengan irama gamelan, setibanya di kaki arca, mereka kembali menyembah dan meletakkan bokor emas masing-masing di depan tubuh mereka.
Pada saat itu, tiga puluh sembilan orang yang tadi menelungkup, kini menggerakkan tubuh tegak sambil menembang. Paduan suara tembang mereka mengalun dalam sebuah lagu pujaan yang aneh dan menimbulkan serem karena suara mereka seperti orang merintih, kadang-kadang seperti menangis dan tiba-tiba berubah menjadi suara orang bergembira tertawa!
Tiga belas orang wanita berpakaian putih kini menyebarkan bunga rampai dari dalam bokor kencana ke arah tiga buah arca sehingga tubuh arca-arca itu penuh kembang. Bau yang amat wangi memenuhi seluruh lapangan, bau kembang rampai bercampur harum dedes dan dupa. Setelah semua kembang dalam bokor habis, tiga belas orang wanita berpakaian putih itu yang masih duduk bersimpuh, menggerak-gerakkan tubuh atas mereka, bergoyang-goyang seperti ombak ke kanan kiri, ke depan belakang dengan berbareng dan dari mulut mereka terdengar suara mereka membaca mantera yang mengagung-agungkan nama Sang Bathari Durga.
Ni Dewi Nilamanik kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri arca Bathari Durga yang berada di tengah, lalu berlutut dan membaca mantera pula, seirama dengan tiga belas orang muridnya. Pada saat itu, suasana di lapangan itu benar-benar amat menyeramkan. Asap kemerahan yang mengebul dari depan arca, membuat tiga buah arca itu seolah-olah bergerak-gerak dan bernapasl Dua buah arca Bathari Durga yang mengerikan di kanan kiri itu seolah-olah melotot dan menyeringai, dan hawa busuk keluar dari tubuh dua buah arca itu. Adapun arca yang di tengah, yang cantik dan molek, seperti ikut pula menari dan bibirnya tersenyum-senyum.
Suara nyanyian bersama itu makin` membubung tinggi, kadang-kadang menjadi rendah sekali dan dari dalam nyanyian ini seperti terdengar suara-suara aneh, pekik-pekik dahsyat, gerengan-gerengan, pendeknya seolah-olah semua setan iblis brekasakan bangkit dari neraka jahanam, memenuhi pangilan yang tersalur lewat kekuasaan Sang Bathari Durga yang menjadi ratu sekalian jin setan dan iblis!
Setelah pembacaan mantera habis, ketiga belas orang dara berpakaian putih itu bangkit, menari dan dengan langkah-langkah teratur pergi meninggalkan lapangan itu, kemudian tak lama datang lagi membawa sesajen yang disunggi di atas kepala. Bermacam-macam sesajen itu, dari buah-buahan, sayur-sayuran sampai daging segala macam hewan sembelihan, yang matang dan yang mentah. Tidak ketinggalan kembang dan arak! Semua sesajen ini dijajarkan di depan ketiga buah arca.
Setelah upacara ini yang dikepalai oleh Ni Dewi Nilamanik yang mengatur persembahan sesajen itu, maka upacara selesai dan kini tinggal perayaan pestanya. Ni Dewi Nilamanik lalu berkata kepada Sang Wasi Bagaspati sambil mendekatinya, "Rakanda wasi, bersiaplah menerima persembahan hamba." Kemudian wanita cantik itu memberi isyarat dengan tangan. Tiga betas orang wanita berpakaian putih menyembah lalu bangkit lagi menari sambil meninggalkan lapangan.
Gamelan ditabuh gencar dan kini tiga puluh sembilan penari mengikuti irama yang gencar dan cepat. Mereka itu bergerak cepat, berputaran melenggang-lenggok, memainkan kedua lengan yang lemas, menggerak-gerakkan pinggang yang ramping dan leher yang indah bentuknya, melirik-lirik dan tersenyum-senyum memikat. Akan tetapi, bertepatan dengan perubahan bunyi gamelan, mereka berhenti menari, lalu terpecah menjadi dua barisan dan membuat lingkaran lalu duduk bersimpuh dan kembali tubuh atas mereka menelungkup mencium tanah dengan kedua lengan dilonjorkan di depan, menelungkup pula di atas tanah.
Gamelan kini berirama tenang dan amat indah, tidak lagi aneh atau liar seperti tadi, namun teratur dan halus. Inilah gamelan yang biasa dimainkan untuk mengiringi tari-tarian bidadari yang seringkali ditarikan di gedung-gedung para bangsawan. Semua mata memandang ke arah tabir asap dan tampaklah tiga belas orang wanita yang berpakaian putih tadi muncul lagi, berjalan sambil menari perlahan-lahan dengan gerakan lemah gemulai.
Namun mereka itu tampak kasar ketika semua mata memandang seorang dara yang mereka iringkan. Seorang dara remaja yang cantik manis, dan gerakan lengan kakinya ketika menari amatlah lemas dan indah! Diiringkan tiga belas orang wanita cantik berpakaian sutera putih itu, dara remaja ini tampak seperti setangkai kuncup bunga yang sedang mekar dengan segarnya di antara tiga belas tangkai bunga yang sudah terlalu banyak kehilangan madu karena setiap hari dihisap kumbang.
Dara remaja ini bukan lain adalah Pusporini! Baru pagi tadi rombongan anak buah Ni Dewi Nilamanik yang menawannya tiba di puncak Mentasari. Pusporini disambut dengan bangga dan girang oleh Ni Dewi Nilamanik yang segera membuatnya pingsan dengan ilmunya, kemudian memberi minum secara paksa ramuan obat yang membuat dara itu tidak sadar akan keadaan dirinya lagi!
Inilah sebabnya mengapa pada malam hari itu, ketika Pusporini disambut oleh tiga belas orang wanita berpakaian putih dan diperintahkan menari, seperti sebuah boneka berjiwa Pusporini lalu keluar dari tempat tahanan, dan begitu mendengar suara gamelan dan melihat tiga belas orang itu menari, iapun lalu melangkah maju dan menari! Tentu saja tarian Pusporini amat indah karena dara remaja ini memang seorang ahli tari di Selopenangkep! Ia menari dengan kedua mata setengah terpejam, bibirnya otomatis tersenyum manis karena guru tarinya selalu memesan bahwa dalam membawakan tarian, wajah harus berseri dan bibir tersenyum manis, senyum sopan untuk mempercantik wajah.
Semenjak ia masih kecil, Pusporini sudah belajar menari dan setiap kali di Kadipaten Selopenangkep diadakan tari-tarian, tentu dia menjadi bintang panggungnya. Kini, dalam keadaan tidak sadar akibat pengaruh jamu yang dicekokkan kepadanya ketika ia pingsan, Pusporini menari dengan perasaan bahwa dia harus menari seperti yang ia lakukan di Selopenangkep. Menari seindah-indahnya.
"Bagaimana, Rakanda Wasi? Apakah cukup memuaskan hati Rakanda?" bisik Ni Dewi Nilamanik sambil mendekati Wasi Bagaspati yang duduk terhenyak dan kesima memandang ke arah Pusporini. Teguran ini membuat ia sadar dan ia cepat memegang tangan Ni Dewi Nilamanik, ditariknya wanita itu mendekat dan dengan mata masih memandang ke arah Pusporini, ia mengambung pipi kanan wanita cantik itu di depan semua orang yang memandang hal ini tanpa heran sedikitpun.
"Wah, Yayi Dewi, benar hebat....! Tiada ubahnya dengan Dewi Sang Hyang Saraswati sendiri....! Dan dara ini adik misan Tejolaksono? Bagus! Hukuman baik bagi adipati yang keras kepala itu. Biarkan dia menghibur dengan tari-tarian sampai pestamu selesai, Yayi. Sesudah itu, bawa dia ke kamarku, akan tetapi aku menghendaki dia seaseli-aselinya, tanpa pengaruh jamu-jamu"
Ni Dewi Nilamanik tersenyum dan maklum akan kehendak Sang Wasi Bagaspati. Ia mengangguk lalu duduk kembali ke atas kursinya sambil memberi isyarat dengan tangan untuk meningkatkan acara perayaan. Tiga belas orang wanita berpakaian putih itu lalu menari sambil mengurung Pusporini dan mengiring dara remaja ini naik ke sebuah panggung yang paling tinggi di samping barisan tiga buah arca. Panggung ini hanya dua meter luasnya, agak tinggi dan bentuknya bundar. Tiga buah obor besar menyala di belakang panggung sehingga ketika Pusporini menari-nari di atas panggung sendirian saja, tampak seperti seorang bidadari menari. Permainan cahaya dan bayangan yang menyelimuti tubuh dan wajahnya benar-benar amat indah.
Setelah Pusporini "disingkirkan" di atas panggung menyendiri dan menari dijadikan tontonan dan dikagumi semua orang, Ni Dewi Nilamanik kembali memberi isyarat dengan tangan. Tiga belas orang wanita berpakaian putih itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang berlari-lari sambil menari dan masing-masing membawa sebuah bokor pula, kini bokor perak yang berisi benda cair berwarna merah. Begitu mereka memasuki lapangan, bau yang harum bercampur amis berhamburan dan semua orang yang hadir, baik laki-laki maupun perempuan tertawa-tawa gembira dan pandang mata mereka penuh kehausan melihat ke arah bokor-bokor itu.
Semua bokor perak, tiga belas buah jumlahnya, kini ditaruh di depan kaki tiga buah arca. Ni Dewi Nilamanik lalu bangkit dan menghampiri, mencelupkan sebatang daun ke dalam bokor-bokor itu dan memercik-mercikkan cairan merah ke arah tiga arca hingga tubuh arca-arca itu berwarna merah, bertotol-totol seperti darah. Kemudian Ni Dewi Nilamanik mengambil dua buah cawan, mengisinya dengan cairan merah itu dan ia menghampiri Wasi Bagaspati. Dengan sikap hormat sambil bersimpuh di depan sang wasi, ia menyodorkan sebuah cawan yang diterima sambil tertawa oleh Wasi Bagaspati. Kemudian kedua orang ini minum cairan merah itu dari dalam cawan, terus ditenggak sampai habis.
Semua anak buah laki-laki perempuan yang hadir di situ bersorak gembira dan mulailah mereka berteriak-teriak minta bagian cairan merah yang mereka sebut "Anggur Darah". Di Dewi Nilamanik memberi isyarat dengan tangan. Di bawah hujan sorak-sorai gemuruh, tiga belas orang wanita berpakaian putih, kini dibantu oleh tiga puluh sembilan wanita berpakaian aneka warna mulai membagi-bagikan anggur darah dari tiga belas bokor perak itu kepada semua orang. Mula-mula tentu saja para tamu yang duduk di kursi kehormatan yang menerima secawan yang mereka minum dengan lahap. Kemudian semua orang mendapat bagian, sampai para penabuh gamelan dan semua anggauta, baik anggauta penyembah Durga maupun penyembah Shiwa dan Kala.
Setelah semua orang minum, makin riuhlah suasana, makin gembira seakan-akan mereka semua itu mabuk oleh secawan anggur darah itu. Gamelan dibunyikan dengan keras dan iramanya panas merangsang, lima puluh dua penari itu kini menari-nari secara liar, makin lama makin cepat gerakan mereka, makin cepat dan makin liar.
Aneh dan hebat bukan main. Setelah minum anggur darah yang berwarna merah itu, wanita-wanita itu tidak hanya seperti mabuk, bahkan seperti orang-orang yang telah kemasukan roh jahat. Juga suasana makin menjadi berubah sama sekali. Seluruh lapangan itu seakan-akan terselimut hawa yang dingin menyeramkan, namun yang mengandung rangsangan hawa panas yang membuat darah mendidih, yang membangkitkan gairah nafsu berahi, dan jelas terasa getaran-getaran aneh yang tidak sewajarnya. Malam di puncak Gunung Mentasari ini menjadi malam penuh hawa kotor, dikuasai iblis.
Tiga puluh sembilan orang wanita yang berpakaian sutera tipis beraneka warna itu makin hebat tariannya. Tidak lagi mengikuti bunyi gamelan yang iramanya makin panas merangsang, melainkan menari secara liar, menggerak-gerakkan pinggul ke kanan kiri ke depan belakang, membusungkan dada dan menggerak-gerakkan pundak, pinggang mereka bergoyang-goyang, tubuh mereka seolah-olah menjadi tubuh ular yang meliuk-liuk, melekuk, melengkung dan menggeliat-geliat.
Wajah mereka yang rata-rata cantik dan muda itu kini agak pucat, keringat membasahi dahi dan leher, muka diangkat ditengadahkan membayangkan gairah nafsu berahi, mata setengah terpejam, cuping hidung berkembang kempis mendengus-dengus, bibir terbuka memperlihatkan kilauan gigi putih di antara rongga mulut yang merah seperti dasar mereka, ujung lidah merah meruncing menjilat-jilat bibir seperti lidah ular, membasahi bibir yang merah basah, dada yang membusung itu turun naik terengah-engah seperti ombak samudra dilanda badai.
Nafsu berahi makin memuncak dalam suasana yang tidak wajar itu. Keadaan seperti ini makin lama menjalar sehingga tiga belas orang wanita remaja berpakaian putih itupun terkena pengaruhnya dan merekapun mulai meniru gerak-gerik tiga puluh sembilan orang rekannya yang tingkatnya lebih rendah itu.
Gamelan ditabuh makin menggila. Tari-tarian itupun makin menggila. Para anggauta wanita penyembah Bathari Durga itu kini mulai pula menggerak-gerakkan tubuh mengikuti irama gamelan. Merekapun terpengaruh setelah tadi minum secawan anggur darah. Juga para tamu, anak buah Wasi Bagaspati dan Ki Kolohangkoro, mulai berteriak-teriak seperti gila, menjadi histeris dan dengan pandang mata seperti hendak melahap dan menelan bulat-bulat para penari itu.
Yang tidak terpengaruh oleh anggur darah, biarpun ikut minum, hanya para pimpinan saja. Sang Wasi Bagaspati, biarpun wajahnya menjadi makin merah, namun tetap tenang dan memandang kesemuanya itu sambil tersenyum gembira. Ni Dewi Nilamanik, juga merah sepasang pipinya, membuatnya tampak makin cantik dan kini pimpinan penyembah Bathari Durga melempar kerling mata penuh nafsu ke arah Sang Wasi Bagaspati, namun ia tetap duduk tenang.
Di samping kedua orang sakti ini, Ki Kolohangkoro juga tidak terpengaruh. Matanya terbelalak lebar dan ia minum arak terus-menerus, kadang-kadang tertawa bergelak seperti orang gila. Yang lainnya, termasuk Cekel Wisangkoro, Sariwuni, kedua orang Gagak Dwipa dan Gagak Kroda, terseret pula oleh gelombang getaran hawa nafsu berahi, bahkan Sariwuni dan kedua orang Gagak Dwipa dan Gagak Kroda sudah saling mendekat dan saling pegang dalam belaian-belaian penuh nafsu.
Yang mengherankan adalah dua puluh empat orang tinggi besar gundul, anak buah Cekel Wisangkoro. Mereka ini tadipun mendapat bagian anggur darah, akan tetapi mereka kini tetap saja duduk di bawah tanpa bergerak dengan mata memandang kosong ke depan!
Tak lama kemudian, setelah gamelan kini berbunyi kacau-balau karena para penabuhnya sudah mabuk semua, beterbanganlah sutera-sutera halus yang tadi membungkus tubuh lima puluh dua orang penari itu. Sorak-sorai terdengar dan para wanita penyembah Bathari Durga semua lalu ikut menari sambil menanggalkan pakaian, melempar-lemparkan pakaian mereka dan mempermainkannya seperti selendang, sementara tubuh mereka terus melanjutkan tari-tarian penuh gairah.
Sorak-sorai dari mulut para pria yang hadir makin gemuruh dan merekapun bangkit tanpa aturan lagi, ikut menari-nari dan mendapatkan pasangan masing-masing. Bahkan Cekel Wisangkoro sudah pula meloncat dari tempat duduknya dan terjun ke dalam medan tari-tarian menggila itu. Suara ketawa bercampur cekikikan dan semua bercumbuan mengotorkan udara.
"Hua-ha-ha-ha, Bunda Dewi! Manakah hidanganku yang Bunda janjikan tadi?" terdengar suara Ki Kolohangkoro menggema dan mengatasi semua suara hiruk-pikuk dari mereka yang berpesta-pora dalam nafsu binatang itu.
"Jangan... khawatir.... Kolohangkoro," jawab Ni Dewi Nilamanik sambil tersenyum, lalu ia memanggil Sariwuni, "Sariwuni, kau ambillah si bagus ke sini, berikan kepada Kolohangkoro!"
Sariwuni terpaksa melepaskan diri dari pelukan Gagak Dwipa, lalu tubuhnya yang kini sudah setengah telanjang itu melesat pergi. Hanya sebentar ia menghilang karena sepuluh menit kemudian wanita sakti ini telah datang kembali, memondong seorang anak laki-laki yang bertubuh montok dan berwajah tampan. Anak laki-laki itu berusia kurang lebih enam tahun, matanya lebar terbelalak memandang ketakutan dan di kedua pipinya yang segar kemerahan dan montok itu tampak titik-titik air mata.
Ki Kolohangkoro memekik keriangan ketika ia menyambar tubuh anak ini dari tangan Sariwuni yang terkekeh genit dan meloncat lagi ke dalam pelukan Gagak Dwipa sambil mendorong pergi seorang wanita penari yang tadi menggantikan tempatriya.
"Kolohangkoro, kau bawa pergi korbanmu itu dari depan mataku," kata Sang Wasi Bagaspati sambil menyeringai.
Ki Kolohangkoro yang memeluk anak itu tertawa, membungkuk lalu meloncat pergi, akan tetapi saking tak dapat menahan nafsunya, ia berlari sambil menundukkan mukanya ke arah leher anak Itu yang berkulit putih halus. Rahangnya bergerak, tampak giginya yang meruncing dan terdengarlah jerit anak itu yang tenggelam ke dalam suara ketawa di tenggorokan Ki Kolohangkoro yang mulai menghisap darah segar!
Pusporini yang tadinya menari-nari di atas panggung bundar, kini masih menari-nari seperti kehilangan semangat. Karena gamelan kini tidak berbunyi lagi dan para penabuhnya sudah pula terjun ke dalam kancah nafsu jalang yang dipuja-puja, Pusporini kini berdiri termangu-mangu seperti orang bingung. Sepasang matanya kini terbelalak, penuh kengerian akan tetapi juga seperti orang dalam mimpi. Pengaruh jamu yang membiusnya masih belum lenyap semua, akan tetapi penglihatan yang terbentang di depan matanya terlalu hebat sehingga mengguncangkan perasaannya, membuatnya terbelalak penuh kengerian, ketakutan, dan kebingungan.
Apa yang terjadi di lapangan puncak Gunung Mentasari itu memang tidak lumrah. Seorang manusia normal tentu akan terguncang perasaannya menyaksikan semua itu. Agaknya semua orang yang berada di situ telah terseret ke dalam tingkat yang amat hina dan rendah, jauh lebih rendah daripada binatang-binatang yang tidak berakal budi. Mengerikan dan memuakkan!
Sang Wasi Bagaspati dan Ni Dewi Nilamanik masih duduk tenang, sungguhpun kini mereka duduk berdekatan dan tangan Wasi Bagaspati membelai-belai rambut, kadang-kadang mencium muka Ni Dewi Nilamanik. Mereka berdua yang sakti mandraguna, yang dengan pengaruh ilmu hitam mereka telah menimbulkan suasana seperti ini, tentu saja dapat menguasai diri dan keadaan. Ketika Pandang mata Wasi Bagaspati beralih ke arah Pusporini yang berdiri bingung di atas panggung, ia segera bangkit perlahan, menudingkan telunjuknya ke arah Pusporini dan berkata perlahan,
"Ni Dewi, aku ingin mengaso dan antarkan dia itu kepadaku."
Ni Dewi Nilamanik juga bangkit berdiri dan tersenyum lebar. "Baiklah, Rakanda Wasi. Saya sendiri yang akan menjemput dan mengantarnya kepadamu."
Akan tetapi pada saat itu, secara tiba-tiba sekali jatuhlah air hujan dari angkasa! Kedua orang itu kaget dan menengadah. Langit yang tadinya bersih kini tertutup mendung menghitam. Sinar bulan tertutup mendung dan datang pula angin bertiup sehingga banyak obor secara tiba-tiba menjadi padam. Suasana menjadi gelap, angin bertiup, dan air hujan turun makin deras. Akan tetapi, pasangan-pasangan yang sudah dimabuk nafsu itu masih berdekapan dan bergulingan di atas tanah berumput, sama sekali tidak perduli akan turunnya air hujan. Suara ketawa dan cekikikan masih terdengar, bahkan agaknya makin gembira dengan turunnya air hujan!
"Ah, hujan....!" seru Ni Dewi Nilamanik dengan kaget dan heran. "Biar saya menyuruh Sariwuni menjemputnya!"
Karena Sariwuni yang dipanggil dua kali tidak mendengar, asyik mengumbar nafsu binatang bersama Gagak Dwipa, sekali bergerak Ni Dewi Nilamanik sudah mendekati lalu menarik bangun wanita itu. "Sariwuni! Kau bawa dara remaja itu ke dalam!"