Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo
Perawan Lembah Wilis Jilid 15
PUNGGUNG dan pundak itu kuat sekali, dan tak mungkin Pusporini dapat menggunakan ajinya dalam keadaan terbelenggu seperti itu. Karena tahu bahwa sia-sia saja ia meronta-ronta, akhirnya dara itu diam dan hatinya mulai diliputi kekhawatiran dan ketakutan. Ke mana ia hendak dibawa? Siapakah sesungguhnya, pemuda ini dan mengapa agaknya tidak suka kepada keluarga kadipaten?
"Kau... mau bawa aku ke mana...?" Akhirnya Pusporini tak kuat menahan kegelisahan hatinya, bertanya tanpa meronta lagi di atas pundak pemuda itu.
"Hemm.... ke mana lagi kalau tidak ke dasar neraka? Kau tadi sendiri bilang aku dari dasar neraka. Wanita galak macam engkau ini patutnya dijadikan umpan setan neraka!"
Jawaban ini tidak menimbulkan takut, malah menambah kemarahan hati Pusporini. Ia meronta-ronta lagi kemudian kakinya menendang-nendang, namun hal ini malah membuat lengan pemuda itu memeluk kedua kakinya lebih erat sehingga perutnya tertekan pada pundak dan mebuatnya sukar bernapas. Terpaksa ia diam lagi tidak meronta dan Joko Pramono melanjutkan larinya yang cepat sekali.
"Awas kau kalau terjatuh ke tanganku kelak..." mengancam, suaranya penuh kegemasan dan sakit hati.
"Sekarang juga akupun sudah awas!" jawab pemuda itu menggoda terus.
Karena tubuhnya "disampirkan" di pundak pemuda itu sehingga kepalanya tergantung ke bawah, lama-kelamaan Pusporini menjadi lelah dan pening. Sedikit demi sedikit ia melorot turun dan agaknya pemuda itupun maklum akan keadaannya maka membiarkan saja, bahkan melonggarkan pelukan lengannya sehingga kini bukan kaki yang dirangkulnya, melainkan paha dan pinggul sehingga kepala Pusporini sekarang mendekati pundak dan leher.
Karena keadaannya tidak begitu melelahkan lagi, agak lega hati Pusporini. Ia memandang leher yang dekat sekali itu, melihat betapa otot-otot yang kuat tampak merentang di bawah kulit yang bersih halus, betapa anak rambut yang hitam gemuk tumbuh melingkar di tengkuk yang kuat itu. Heran sekali dia mengapa pemandangan yang selama hidupnya tak pernah ia perhatikan ini, tengkuk seorang laki-laki, sekarang tampak begini indah! Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kemarahan dan kebenciannya kepada laki-laki yang menggemaskan hatinya ini.
"Engkau kenapa membenci keluarga rakanda adipati?" ia bertanya, perlahan karena toh mulutnya sudah dekat telinga. Biarpun lirih suaranya, namun Joko Pramono masih dapat menangkap nada penuh kemarahan dalam suara itu.
"Huh, keluarga sombong! Busuk hati! Karena keluarga Selopenangkep itulah pamanku Adibroto sampai mengorbankan nyawa secara sia-sia! Padahal mendiang Paman Adiproto, menurut mendiang ibuku, adalah seorang yang paling baik di dunia ini."
"Hemm, kau maksudkan Ki Adibroto warok Ponorogo aliran putih?" Pusporini yang sudah pernah mendengar cerita dari ibunya bertanya, diam-diam ia kaget dan menduga-duga.
"Betul dia. Ah, engkau mengenaI pula namanya. Apa yang kau tahu tentang mendiang pamanku?"
"Aku hanya mendengar bahwa Ki Adibroto adalah ayah kandung ayunda Ayu Candra, isteri rakanda Adipati Tejolaksono! Jadi engkau ini masih adik misan ayunda Ayu Candra! Mengapa memusuhi Kadipaten Selopenangkep?"
Mendengar ini, pemuda itu berhenti dan dengan sikap kasar ia menurunkan tubuh Pusporini ke atas tanah. Gadis ini tergelimpang lalu bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangan terbelenggu ke belakang. Ia masih marah sekali dan diam-diam ia terheran-heran mengapa tadi ia dapat bercakap-cakap dengan penawannya seperti dua orang sahabat lama saja. Ia kini cemberut dan membuang muka, tidak mau memandang muka orang yang duduk di depannya menghapus peluh dari dada dan leher. Mereka berhenti di dalam hutan, dan enak sekali berteduh di bawah pohon besar itu. Joko Pramono memandang wajah dara yang membuang muka itu, lalu sambil mengebut-ngebut lehernya dengan kain, ia bercerita tentang dirinya.
Di dalam cerita BADAI LAUT SELATAN diceritakan betapa ibu Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono yang bernama Listyakumolo, setelah berpisah dengan suaminya, Raden Wisangjiwo, telah menikah lagi dengan seorang warok gagah perkasa bernama Ki Adibroto yang juga telah mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ayu Candra. Dengan demikian, Adipati Tejolaksono dengan isterinya itu adalah dua orang saudara tiri yang sama sekali tidak ada hubungan darah. Adapun ibu kandung Ayu Candra yang lebih dulu telah meninggal dunia bernama Ni Rasmi. Ni Rasmi mempunyai seorang adik perempuan bernama Ni Wirani.
Semenjak Ni Rasmi meninggal dunia dan Ki Adibroto membawa Ayu Candra pergi merantau dalam kesedihan, putuslah hubungan antara Ni Wirani dengan kakak iparnya itu. Ni Wirani menikah dengan seorang petani dan mempunyai putera yang diberi nama Joko Pramono. Akan tetapi malapetaka menimpa Ni Wirani dan suaminya ketika Joko Pramono baru berusia sepuluh tahun, yaitu ketika suami isteri dan anak mereka ini menyeberang sungai yang banjir, perahu mereka terguling dan mereka hanyut. Suami isteri itu tewas, dan Joko Pramono yang baru berusia sepuluh tahun tertolong oleh seorang sakti, yaitu Resi Adiluhung pendeta perantau .yang kemudian mengambilnya sebagai murid dan membawanya ke pertapaan di puncak Gunung Sindoro.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Badai Laut Selatan, Ki Adibroto tewas bersama Listyakumolo di tangan Endang Patibroto karena permusuhan yang balas-membalas dengan Pujo, ayah Endang Patibroto, suami Kartikosari dan Roro Luhito, atau juga ayah Pusporini dan Setyaningsih.
"Di waktu masih kecil, ibuku telah menceritakan tentang paman. Adibroto," demikian antara lain dengan muka keruh Joko Pramono bercerita di depan Pusporini yang mendengarkan dengan jantung berdebar karena ia sudah tahu semua akan peristiwa yang terjadi sebelum ia terlahir itu, mendengar dari penuturan ibunya. "Paman Adibroto yang berbudi mulia dan bijaksana itu mati karena ikatan perjodohannya dengan puteri mantu Selopenangkep. Mati di tangan anak perempuan dari Pujo yang bernama Endang Patibroto, mati penasaran! Kalau pamanku itu tidak berhubungan dengan orang-orang Selopenangkep, tentu tidak akan terbunuh sia-sia."
Pusporini memandang wajah pemuda itu, matanya bersinar dan mukanya merah. Ia marah dan penasaran.
"Akan tetapi, hal itu adalah urusan orang-orang tua dahulu. Bahkan ayunda Ayu Candra kini menjadi isteri Adipati Selopenangkep. Bukankah ayunda Ayu Canda itu puteri kandung Ki Adibroto dan sama sekali tidak menaruh dendam apa-apa? Kenapa engkau ini yang hanya keponakan Ki Adibroto, kini menaruh dendam dan marah-marah seperti orang sinting?"
"Memang ayunda Ayu Candra sudah menjadi orang Selopenangkep. Hal ini membuktikan kelemahan hatinya. Kasihan sekali paman Adibroto, mempunyai seorang keturunan saja mengkhianatinya. Akan tetapi aku tidak! Akulah yang akan membalaskan sakit hatinya. Aku yang akan kelak mencari Endang Patibroto dan menghadapi semua keluarga Selopenangkep yang sombong, termasuk engkau!"
"Cih! Kepalamu besar sekali, sebesar kelenting (tempat air), sebentar lagi tentu pecah berantakan! Orang macam engkau ini mana mungkin melawan kakakku Endang Patibroto? Idih, sombongnya. Belajarlah kau seratus tahun lagi, masih juga belum dapat mengalahkan tangan kiri kakakku Endang Patibroto!"
Joko Pramono meloncat bangun, wajahnya merah matanya terbelalak marah. "Dia kakakmu? Jadi engkau ini puteri Pujo pula? Anak Kartikosari atau anak Roro Luhito?"
Kalau saja kedua tangannya tidak dibelenggu, tentu Pusporini sudah menerjang dan menyerang dengan nekad saking marahnya mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kedua orang ibunya begitu saja. Alangkah kurang ajarnya.
"Benar sekali! Pujo adalah mendiang ramandaku! Roro Luhito adalah ibu kandungku. Kau mau apa? Mau bunuh aku? Bunuhlah, kau kira aku takut mati? Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya membuka mulut besar terhadap lawan yang terbelenggu. Lepaskan aku, dan kepalamu tentu akan lumat!"
Sejenak kedua tangan pemuda itu tergetar, seakan-akan ia hendak memukul hancur tubuh dara yang menjadi tawanannya. Akan tetapi pandang matanya bersinar aneh ketika bertemu pandang dengan Pusporini yang melotot dan sedikitpun tidak takut itu. Kemudian Joko Pramono tertawa lebar.
"Ha-ha-ha-ha, enak benar! Kau sudah tertawan, itu buktinya kau kalah olehku. Dan jangan kira begitu enak saja kau mati. Tidak! Aku akan menyeretmu ke dasar neraka! Ha-ha, engkau akan kujadikan tawanan dan pancingan agar orang-orang Selopenangkep datang. Akan kubalas sakit hati pamanku Adibroto. Kalau Endang Patibroto mau datang dan berhasil kubunuh, barulah kau akan kubebaskan. Aku tidak bermusuhan dengan engkau, sungguhpun engkaupun seorang anggauta keluarga Selopenangkep yang sombong, berkepala batu dan galak!"
"Engkau yang sombong! Engkau yang besar kepala! Lepaskan aku!"
Akan tetapi pemuda itu hanya tertawa, lalu menyeret tubuh Pusporini ke dekat pohon, menggunakan ujung ikat kepala yang membelenggu kedua tangan dara itu, diikatkan pada batang pohon. Setelah itu, sambil tersenyum ia lalu meloncat pergi dari tempat itu.
Pusporini berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Ikatan itu kuat sekali dan tubuhnya mulai lemah. Lemah, karena lelah dan lapar dan marah. Ia ditinggalkan di dalam hutan, dalam keadaan terbelenggu. Kalau datang seekor harimau, tentu ia akan diterkam dan tak dapat melawan. Atau ular... Ular?? Ia bergidik dan hampir menjerit ngeri. Teringat akan binatang ini, Pusporini yang biasanya tabah dan tidak takut mati itu menjadi ngeri ketakutan. Ingin ia menjerit minta tolong, siapa tahu terdengar orang di dekat tempat itu. Akan tetapi ia teringat akan pemuda tadi yang mungkin sekali bersembunyi dan mentertawakan ketakutannya, maka tiba-tiba saja kemarahan mengusir rasa takutnya. Ia diam saja, bahkan tidak merasa ngeri lagi. Jangan harap aku akan minta tolong dan minta-minta kepadamu, kau monyet kurang ajar, pikirnya gemas.
Tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan Joko Pramono telah berada di depan Pusporini, tangan kiri membawa sesisir pisang ambon yang sudah matang dan tangan kanan membawa sebutir buah semangka yang besar. Anehnya, pada saat itu, wajah pemuda ini sama sekali tidak mengejek, juga tidak marah, malah senyumnya wajar dan ramah. Ketika bicara, sinar matanya berseri gembira.
"Tidak ada dusun dekat. Untung sekali aku bisa mendapatkan pisang dan semangka Lumayan untuk mengusir lapar. Kau makanlah!"
"Tidak sudi!"
Agaknya Joko Pramono baru teringat bahwa mereka bukanlah dua orang sahabat yang sedang pesiar! Dan wajahnya yang tampan itu kini berubah seperti tadi lagi, keruh, marah, dan mengejek.
"Heh-heh, kau tidak mau makan, tidak mau minum biar mati kelaparan, ya? Kok enak benar. Apa kau kira aku tidak bisa mendublak (menjejalkan makanan ke mulut) secara paksa? Mau tidak mau, perutmu harus dimasuki pisang ini, sedikitnya dua buah, dan air semangka ini!"
Joko Pramono mengambil sebuah pisang, mengupas kulitnya perlahan-lahan sehingga tampak daging pisang yang putih kuning, baunya harum sedap menimbulkan selera. Pusporini tadinya membuang muka, akan tetapi karena merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya dan menjejalkan makanan ke mulutnya dengan paksa, ia kini memandang dengan mata lebar, lalu berkata,
"Lepaskan dulu tanganku, dengan tangan terbelenggu, bagaimana aku bisa makan?"
"Melepaskan kau dan membiarkan kau memukul pecah kepalaku dengan jari-jari tanganmu yang ampuh itu? Enaknya! Nih, kau makanlah, jangan membikin aku jengkel dan memaksamu." Pemuda itu mendekatkan ujung pisang kupasan ke mulut Pusporini.
Dara ini marah sekali, merasa dihina, akan tetapi iapun takut kalau-kalau ia akan dijejal dengan paksa. Ia tahu bahwa pemuda kurang ajar ini agaknya sampai hati melakukan ancamannya, maka dengan muka merah dan mata berapi-api, ia membuka mulutnya, menerima pisang itu memasuki mulut lalu menggigit sepotong.
"Nah, begitu baru anak baik!" kata Joko Pramono, wajahnya berseri lagi memandang Pusporini yang mengunyah pisang dengan terpaksa dan marah, kemudian pemuda itu juga menggigit sepotong pisang dari bekas gigitan Pusporini itu. Dara ini makin merah kedua pipinya melihat betapa musuh yang dibencinya ini makan pisang bekas gigitannya. Kembali Joko Pramono menyodorkan sisa pisang itu ke depan mulutnya yang sudah kosong.
"Tidak sudi! Bekas gigitanmu!" bentak Pusporini.
Joko Pramono membelalakkan mata mengangkat alis, lalu berkata dengan nada kesal, "Wah, dasar sombong! Tadipun aku tidak menolak bekas gigitanmu. Kalau bekas gigitanku kenapa sih? Gigiku tidak beracun seperti gigi ular."
"Lebih baik makan bekas gigitan ular daripada bekas gigitanmu. Pendeknya, kalau bekasmu itu, aku tidak sudi, biar kau mau jejal, terserah!"
Joko Pramono menarik napas panjang, seperti orang yang menyabarkan dirinya, lalu mengupas pisang lain dan menyuapkan pisang itu ke mulut Pusporini. Kini mereka makan pisang dan semangka tanpa bicara sampai kenyang. Biarpun ia makan dengan hati marah dan secara terpaksa, akan tetapi setelah perutnya terisi dua buah pisang ambon yang besar-besar dan setengah butir semangka jingga yang manis dan banyak airnya, Pusporini merasa tubuhnya segar kembali dan pulih kekuatannya.
Melihat betapa sekitar mulut dan dagu dara itu basah oleh air semangka, Joko Pramono menggunakan ujung bajunya dan menghapus dengan gerakan cepat dan kasar. Pusporini berusaha mengelak dengan menggeleng-gelengkan kepala ke kanan kiri sambil berseru marah.
"Lepaskan! Tak sudi aku.... !!"
Akan tetapi Joko Pramono memaksanya sampai bersih air semangka dari sekeliling mulut dan dagu. "Huh, kau jangan mengira aku melakukan ini karena memanjakanmu, ya? Aku hanya tidak ingin nanti pundakku kotor dan basah jika aku memondongmu. Hayo, kita berangkat!" Ia melepaskan ikatan pada batang pohon lalu memondong tubuh Pusporini lagi di atas pundaknya seperti tadi, kemudian berlari cepat meninggalkan hutan itu, terus ke arah utara.
Pusporini yang kini menjadi marah bercampur dengan rasa gelisah, hanya dapat memandang ke arah belakang pundak Joko Pramono dengan mata terbelalak. Ia harus dapat membebaskan diri dan membalas semua penghinaan yang telah dialaminya ini, pikirnya. Tak mungkin ia begini tak berdaya dan diam saja dilarikan seorang yang begini kurang ajar. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tangannya terbelenggu. Akan tetapi mulutnya tidak! Kalau tangannya terbelenggu dan kedua kakinya dipeluk kuat sehingga tak dapat meronta, ia dapat mempergunakan giginya! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, Pusporini lalu menundukkan mukanya dan menggigit daging pundak pemuda itu sekuatnya.
"Aduhh-duh-duh-duh.... aduhhhh!"
Joko Pramono berteriak-teriak kesakitan, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar pinggul di depannya itu beberapa kali.
"Plak-plak-plak-plak....!"
Pusporini terbelalak kaget, malu, dan kesakitan. Pinggulnya menjadi panas dan ngilu, akan tetapi ia sudah nekat dan tidak mau melepaskan gigitannya, bahkan memperkuatnya.
"Lepaskan.... aduhhh-duh-duh... lepaskan... kau kucing, monyet....!" Joko Pramono tak dapat menahan rasa nyeri di pundaknya dan terpaksa ia lalu melemparkan tubuh tawanannya. Tubuh Pusporini terlempar, gigitannya terlepas dan kini kembali pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai ia mengeluarkan suara "hekkk!" dan sekarang tak dapat ditahannya lagi Pusporini menangis!
Menghadapi serangan dan maki-makian Pusporini, Joko Pramono sama sekali tidak gentar, akan tetapi sekarang menghadapi dara remaja yang menangis itu, yang mempergunakan "senjata terampuh" seorang wanita, pemuda itu melongo! Ia meraba-raba pundaknya yang menjadi matang biru bekas gigitan Pusporini, akan tetapi matanya menatap wajah yang kini basah air mata itu dengan perasaan kasihan.
"Kenapa kau menangis?" Ia mengomel untuk menutupi perasaan iba hatinya. "Aku tidak akan mengganggumu, hanya menawanmu agar keluargamu mencari dan menyusulmu. Aku ingin membalas dendam pamanku kepada Endang Patibroto dan keluarga Selopenangkep yang sombong."
Pusporini terisak-isak kemudian berkata di antara tangisnya, "Kau manusia kejam, laki-laki kurang ajar... Kenapa tidak kau bunuh saja aku?"
"Habis engkau menggigit, sih! Apa kau kira tidak sakit digigit pundaknya? Lihat, bajuku sampai robek dan kalau tidak kuat kulitku tentu robek pula. Lihat, sampai matang biru!" Pemuda ini membuka bajunya memperlihatkan kulit pundak yang membiru. Melihat ini, tiba-tiba ada perasaan geli di dalam hati Pusporini, geli dan puas. Sedikitnya ia telah dapat membalas, biarpun hanya merupakan gigitan di pundak sampai kulit pundak itu matang biru.
"Kalau kau tidak menggigit, aku tentu tidak akan menampar dan membantingmu," kata pula Joko Pramono. "Kalau kau diam saja menurut kubawa sebagai tawanan dan umpan keluargamu agar menyusulmu, aku bersumpah tidak akan mengganggu seujung rambutmu. Aku bukan seorang laki-laki yang suka mengganggu seorang gadis cilik macam engkau." Setelah berkata demikian, Joko Pramono kembali memondong tubuh Pusporini dan berlari cepat sekali.
Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti. Ucapan pemuda itu yang menyebutnya seorang gadis cilik, membuat ia mendongkol dan tidak senang. Dia dianggap seperti anak kecil! Awas kau, demikian bisik hatinya dan tiba-tiba ia menjadi girang sekali. Ikatan pada kedua pergelangan tangannya mengendur!
Mungkin karena banyak pergerakan, atau mungkin karena tadi ia diikat pada batang pohon, kemudian terbanting tadi, ikatan itu mengendur di luar tahu Joko Pramono yang tak pernah memeriksanya. Mulailah dara ini menggerak-gerakkan kedua tangan di belakang, berusaha membebaskan belenggu yang mulai mengendur itu. Jantungnya berdebar-debar karena tegang dan khawatir. Ia harus dapat membebaskan kedua tangannya sebelum pemuda ini tahu bahwa ikatan telah mengendur.
"Heh-heh-heh, hi-hik!"
Pusporini terkejut. Celaka, pikirnya, pemuda ini tentu mentertawakan usahanya untuk membebaskan ikatan! Berarti pemuda ini sudah tahu akan keadaan belenggunya yang hampir terlepas. Akan tetapi karena Joko Pramono berlari terus, ia memberanikan diri bertanya,
"Kenapa kau cekikikan seperti orang gila?"
"Heh-heh, detik jantungmu begitu keras, sampai keri (geli) rasanya di pundakku!" jawab Joko Pramono yang berlari terus.
Seketika wajah Pusporini menjadi merah. Sungguhpun maksudnya lain sekali, namun pemuda ini mengingatkannya betapa dadanya terhimpit di atas pundak pemuda itu dalam usahanya meloloskan diri dari ikatan.
Akhirnya terlepaslah belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Pusporini! Dengan hati-hati sekali dara remaja ini menggerak-gerakkan jari tangannya, membuka dan menutup untuk melancarkan jalan darahnya yang agak kaku. Kemudian, dengan gerakan hati-hati sekali ia mengangkat tangan kanan, meluruskan jari-jarinya, mengerahkan tenaga dan bagaikan ular mematuk, tangannya bergerak turun menyambar ke arah tengkuk Joko Pramono, di belakang telinga.
"Kukkkk!!" Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo dengan cepat menghantam bagian kepala itu. Mulut Joko Pramono mengeluh lirih, tubuhnya seketika menjadi lemas, kedua kakinya tertekuk dan robohlah pemuda itu tanpa dapat bersambat lagi, roboh terguling miring dalam keadaan pingsan!
"Uuugghhh...." Joko Pramono menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri. Seluruh tubuhnya juga bergerak-gerak, otot-otot di tubuh itu menegang, akan tetapi ia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Ia membuka mata, memandang ke kanan kiri dan meIihat Pusporini berdiri sambil bertolak pinggang, teringatlah ia dan mulutnya menyumpah, "Bodoh aku! Mudah saja dicurangi seorang bocah! Sudah sepatutnya celaka." Dengan gerakan sukar ia bangun duduk, kembali menggoyang kepalanya yang terasa pening oleh pukulan tiba-tiba tadi. Setelah bumi di sekelilingnya tidak berputaran lagi, ia menentang pandang dara itu, tersenyum mengejek, senyum yang amat dibenci Pusporini lalu berkata,
"Perempuan gagah macam apa kau ini? Kalau memang kau gagah perkasa, hayo lepaskan ikatan kaki tanganku dan kita bertanding sampai tujuh hari tujuh malam!"
Kini Pusporini yang tersenyum, senyum yang membuat wajahnya yang amat manis itu menjadi makin manis melebihi madu. Akan tetapi senyum yang luar biasa manisnya ini menusuk hati Joko Pramono karena senyum itu mengandung ejekan dan penghinaan kepadanya.
"Hi-hik, alangkah enaknya kau minta dibebaskan! Uhh, tak tahu malu benar, muka tebal! Engkau kini sudah tertawan olehku, ini merupakan bukti kuat bahwa engkau sudah kalah olehku. Hi-hik, mau apa lagi?" Sambil tersenyum-senyum mengejek, Pusporini berdiri di depan pemuda itu sambil bertolak pinggang. Rambutnya yang panjang hitam dan terlepas sanggulnya itu sebagian terurai ke depan menutupi matanya. Pusporini menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya tersingkap ke belakang, sebuah gerakan wanita yang amat indah menarik.
Joko Pramono menghela napas panjang, hatinya terserang bermacam-macam perasaan yang teraduk-aduk menjadi satu. Ia marah kepada diri sendiri yang bodoh sehingga kurang waspada dan lengah, ia gemas kepada dara remaja ini yang benar-benar memanaskan hatinya, akan tetapi iapun kagum. Makin lama, makin tertarik hatinya oleh segala polah-tingkah dan gerak-gerik dara. Biarpun sedang marah, mengejek, ketakutan, atau menangis, semua gerak-geriknya memikat hati dan amat manis!
Ada sesuatu terpancar keluar dari kepribadian dara ini yang mencengkeram perasaan hatinya, yang membuatnya merasa suka dan gemas, bukan gemas untuk memukul atau membunuh, melainkan gemas untuk mencubitnya dan mendekapnya kuat-kuat, seperti perasaan gemas-gemas sayang seseorang terhadap seorang bayi yang montok menyenangkan. Bahkan saat itupun, di waktu nyawanya terancam bahaya maut di tangan Pusporini, ia tidak dapat membenci dara ini.
"Pusporini, tak usah banyak lagak. Memang aku telah kau curangi, telah kau akali sehingga aku tertawan. Nah, kau mau apakan aku sekarang?"
"Mau diapakan? Kau sudah menyerah? Minta diapakan kau, manusia kurang ajar?"
Joko Pramono tetap tersenyum. Ia sudah menyadari sepenuhnya bahwa ia kini berada di tangan Pusporini yang tentu akan membalas dendam.
"Mau kau apakan terserahlah. Mau bunuh juga, silahkan. Kau kira akupun takut mati? Huh!"
"Bunuh? Nanti dulu! Kau tidak akan mati begitu enaknya, sebelum engkau menerima balasan penghinaan-penghinaan yang telah kau lakukan kepadaku tadi! Kau sekarang menjadi tawananku, hendak kuseret ke depan rakanda adipati agar beliau dapat memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan atas dirimu. Hayoh.....!" Pusporini membungkuk, menyambak rambut pemuda itu yang hitam lalu menyeretnya.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang pemuda sakti mandraguna, kalau baru dijambat dan diseret seperti ini saja tentu Joko Pramono tidak terlalu menderita. Ia malah tertawa dan berkata mengejek,
"Pusporini, kau bilang hendak membalas semua penghinaanku tadi? Tadi kau menjadi tawananku, sekarang aku menjadi tawananmu, ini sudah adil. Tadi aku membawamu pergi dan memondongmu, sekarang... hayo kau lekas pondong aku dan bawa lari, baru adil namanya!"
Pusporini bersungut-sungut. Ia kini yang menang, akan tetapi tetap saja pemuda itu yang mengejek-ejeknya. "Tidak sudi!" bentaknya dan menyeret terus, seperti seorang pemburu menyeret seekor bangkai kijang yang menjadi hasil buruannya. Tubuh Joko Pramono terlentang dan pemuda ini merem melek, kelihatan enak benar diseret seperti itu.
"Wah, angger....! Cepatan lagi, Pusporini, enak benar ini.... ha-ha...!" Dan untuk membuktikan omongannya, tak lama kemudian Joko Pramono yang diseret-seret itu tidur mendengkur.
Pusporini makin marah dan mendongkol. Tangannya sudah lelah menyeret. Karena yang dijambaknya rambut, benda lemas ini lama-lama menyakiti jari-jari tangannya. Rambut itu terlalu lemas dan tubuh pemuda itu terlalu berat. Apalagi melalui jalan tanjakan, benar-benar membuat lengannya kesemutan dan lelah sekali. Kini dia yang kecapaian dan pemuda itu keenakan tidur. Ia menyumpah-nyumpah, hatinya panas. Sambil mengerahkan tenaga, ia menjambak lebih keras, lalu lari dan sengaja mengambil jalan berbatu-batu. Tangannya makin lelah dan sakit, akan tetapi Joko Pramono tidak mungkin tidur keenakan lagi karena tubuhnya terbentur-bentur pada batu, berguncang dan terbanting-banting. Benar saja, pemuda itu mengeluh.
"Wah-wah-wah, kau gilakah? Kalau mau bunuh, bunuhlah, mengapa mesti menyiksa seperti ini?"
"Rasakan!"
Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa Pusporini bukan ingin menyiksanya, melainkan ingin membalas kemarahannya, ingin memancingnya dengan siksaan atau apapun juga agar dia ketakutan atau sakit hati, maka ia lalu diam saja dan diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membuat tubuhnya kebal dan tidak terlalu tersiksa oleh bantingan-bantingan di jalan itu.
Benar saja dugaannya, setelah ia diam saja tidak mengeluh, Pusporini merasa kecewa dan marah-marah. Pemuda ini tetap tidak merasa sakit, tidak merasa lelah, sedangkan ia telah mandi peluh, tangannya pedas lengannya kesemutan. Keparat! Kini mereka tiba di dalam hutan, di mana tadi ketika Joko Pramono menawan Pusporini, mereka berhenti dan makan pisang.
"Pusporini.... mukamu buruk seperti setan kalau begini. Rambutmu awut-awutan, mukamu kotor karena peluh dan debu, lihat kakimu juga kotor berlumpur. Ihhhh, puteri kadipaten kok begini..." Joko Pramono mengejek untuk menambah kemarahan dara itu.
"Brukkk!" Dengan gerakan kasar Pusporini melepaskan jambakannya sehingga kepala Joko Pramono terbanting ke atas tanah. Sejenak dara itu memandang marah, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum kepadanya. Tiba-tiba Pusporini membalikkan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu. Akan tetapi tidak lama ia pergi. Sebentar lagi ia sudah kembali ke tempat itu dan kaki tangan dan muka serta lehernya telah bersih sekali, bekas dibersihkan dengan air sungai bening yang mengalir di dalam hutan itu. Juga rambutnya, biarpun tidak disisir rapi, namun tidaklah awut-awutan lagi seperti tadi.
Dalam pandangan Joko Pramono, dia sama sekali tidak tampak lebih cantik karena memang sejak tacil dara itu sudah cantik jelita dan manis dalam pandangannya! Melihat betapa dara itu mencuci muka dan kaki tangan, diam-diam Joko Pramono menjadi geli hatinya.
"Nah, begini barulah kau tampak cantik jelita seperti seorang puteri asli, Pusporini!" Ia amat senang melihat betapa kedua pipi dara itu menjadi merah maka ia terus menggodanya. "Dan mana bawaanmu, Pusporini?"
Dara itu tak dapat mempertahankan kemarahannya, tak dapat terus memuramkan mukanya menghadapi pujian ini. Pertanyaan itu menerjangnya tiba-tiba sehingga tanpa ia sadari, ia menjawab, "Bawaan apa? Apa maksudmu?"
"Ha-ha-ha-ha! Masa engkau pelupa benar, Pusporini? Bukankah kau bilang bahwa kau akan membalas semua penghinaanku? Lupakah kau bahwa di tempat ini benar aku telah mendulangmu (menyuapimu) dengan pisang dan semangka? Lihat tuh kulit pisang dan kulit semangka masih di situ. Sekarang tentu akan kau balas penghinaanku tadi. Lekas kau cari buah-buahan yang segar dan lezat, dan kau suapi aku, perutku sudah lapar sekali!"
"Kau.... lancang mulut! Kau kurang ajar!!" Pusporini marah lagi dan membentak gemas.
Akan tetapi Joko Pramono malah tertawa memanaskan hati. "Eeehooo! Bukankah aku bicara sebenarnya? Untuk membalas seadilnya, sekarang kau harus menyuapkan makanan ke mulutku, kemudian kau pondong aku lagi dan.... dan..... kau berikan pundakmu untuk kugigit.....!"
"Cihh! Laki-laki ceriwis! Kuhancurkan mulutmu!"
Dengan kemarahan meluap, Pusporini melangkah maju, tangannya diangkat untuk menghantam muka pemuda itu. Joko Pramono tetap tersenyum dan memandang dengan sepasang mata yang sama sekali tidak kelihatan takut, wajahnya berseri. Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti. Tangan yang sudah diangkatnya itu mendadak menjadi lemas, tidak kuasa ia menurunkan tangannya menghantam muka yang tersenyum seperti itu, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar tajam seperti sepasang bintang.
"Kau.... memang kurang ajar!" Hanya demikian ia berkata.
"Pukullah, mengapa tidak jadi? Pukullah agar sempurna ketidak adilanmu terhadap aku. Aku merobohkanmu dengan pertandingan, sebaliknya kau merobohkan aku dengan akal curang. Aku menawanmu dan membawa pergi dengan memondongmu, sebaliknya engkau menawan dan membawaku pergi dengan menyeret-nyeretku. Aku memberimu makan buah agar kau tidak kelaparan, sebaliknya engkau memberi makan aku dengan maki-makian! Engkau menggigit pundakku sampai matang biru dan aku..."
"Cukup! Cerewet amat engkau ini!" Pusporini kembali menyambar rambut Joko Pramono dan menyeretnya pergi melanjutkan perjalanan. Ingin ia lekas-lekas sampai di Selopenangkep menyerahkan orang yang memusuhi Kadipaten Selopenangkep ini kepada rakandanya, agar la bebas dari orang yang selalu menimbulkan gemas di hatinya ini.
Akan tetapi belum jauh ia pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu, seperti setan saja agaknya, di depan Pusporini telah berdiri dua orang. Dapat dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro! Wanita cantik jelita yang berwajah angker dan bersinar mata kejam itu berdiri tegak memandang Pusporini, kemudian melirik ke arah Joko Pramono yang rebah telentang dalam keadaan terbelenggu pula.
Wanita ini kelihatan marah, alisnya yang tipis dan ditebalkan dengan penghitam, berkerut, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang pengebut yang terbuat daripada ekor kuda berwarna kemerahan. Adapun Ki Kolohangkoro yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, berdiri seperti sebuah tugu, kokoh kuat menyeramkan. Matanya yang lebar memandang Pusporini, mulutnya menyeringai dan sikapnya memandang rendah. Kepada Joko Pramono, ia menengokpun tidak.
Joko Pramono yang tadinya terseret meramkan matanya, kini la membuka mata dan ia memandang dua orang itu penuh perhatlan. Sebagal murld seorang sakti, ia dapat menduga bahwa dua orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu memlliki kesaktlan tinggl. Akan tetapi karena tidak mengenal Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, sesuai dengan wataknya, ia tidak gentar dan bahkan memandang rendah. Maka iapun tersenyum, dan mengejek ketika melihat betapa Pusporini tampak khawatir,
"Eh, Pusporini, sekarang kau baru tahu rasa, bertemu dengan dua orang siluman penjaga hutan!"
Pusporini tidak memperdulikan pemuda itu, hanya siap dengan waspada, ingin melakukan perlawanan mati-matian sungguhpun ia tahu bahwa Ni Dewi Nilamanik yang ia tahu menjadi pemimpin para penyembah Durga di puncak Gunung Mentasari tentulah memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, bahkan jauh lebih sakti daripada Sariwuni!
Ni Dewi Nilamanik membuka mulut, terdengar suaranya yang lemah lembut, akan tetapi mengandung getaran penuh nafsu dan kekejaman,
"Pusporini, hayo lekas kau maju berlutut dan minta ampun, baru aku dapat mengampunlmu dan membawamu menghadap sang wasl yang menantlmu di puncak."
Pusporini teringat akan pengalamannya di puncak Mentasari, la bergidik dan timbul kenekatannya. Lebih baik mat! dalam perlawanan daripada menyerah dan mengalami penghinaan yang hebat di tempat neraka itu. Ia mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya mencelat maju menerjang, mengirim pukulan Bojro Dahono yang belum sempurna itu ke arah dada Ni Dewi Nilamanik. Sungguh seperti seekor capung menyerang gapura batu! Jangankan Aji Bojro Dahono itu belum terlatih sempurna, andaikata sudah sempurna latihannya sekalipun, belum tentu Pusporini dapat merobohkan Nilamanik dengan sekali pukul.
Wanita penyembah Durga itu mengikik tertawa, tubuhnya lama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya kebutan di tangannya bergerak dan tahu-tahu ujung bulu kebutan itu menerima pukulan Pusporini, membelit pergelangan tangannya dan sekali sendal, tubuh Pusporini terlempar ke belakang dan jatuh tunggang-langgang!
"Huah-ha-ha-ha! Bocah ini seperti seekor singa betina!" Ki Kolohangkoro tertawa bergelak ketika melihat betapa Pusporini yang terbanting jatuh itu telah meloncat bangun dengan sigapnya dan sama sekali tidak tampak ketakutan membayang di wajah yang manis itu, bahkan wajah itu membayangkan kebencian dan kemarahan besar ketika dara ini melangkah maju dan siap menerjang lagi.
"Kolohangkoro, engkau jangan tertawa-tawa saja. Hayo kau wakili aku tangkap bocah ini!" Ni Dewi Nilamanik berkata kepada temannya itu dengan suara memerintah.
"Baiklah, Ibunda Dewi! Eh, bocah perawan galak! Kenapa kau tidak lekas-lekas tunduk akan perintah Ibunda Dewi? Hayo berlutut kau!" Sambil berseru demikian, Ki Kolohangkoro menubruk kedepan, ke arah Pusporini.
Dara yang sudah siap siaga ini dengan kemarahan memuncak menyambut tubrukan Ki Kolohangkoro dengan pukulannya, kini ia menggunakan kedua tangannya, mengerahkan Aji Pethit Nogo, tangan kiri menampar ke arah leher dan tangan kanan menghantam ke arah dada.
"Plak-plak...."
Dua pukulan Pethit Nogo itu tepat mengenai leher dan dada Ki Kolohangkoro. Akan tetapi raksasa itu hanya terkekeh tertawa dan dua pukulan itu membalik, bahkan Pusporini merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi sakit-sakit dan panas, seakan-akan memukul baja yang amat kuatnya. Sebelum ia sempat mengelak, kedua pundaknya sudah dipegang oleh tangan-tangan yang besar itu dan ia dipaksa berlutut dengan tekanan seperti gunung beratnya. Tak dapat lagi Pusporini menahan tubuhnya dan kedua lututnya sudah tertekuk, ia berlutut di atas tanah.
"Keparat, lepaskan dia"
Tiba-tiba tubuh Koko Pramono menerjang maju. Pemuda ini sebetulnya tadi hanya berpura-pura saja ketika ditawan Pusporini. Kalau ia mau, dengan tenaga saktinya ia mampu membebaskan diri daripada ikatan kaki tangannya. Kini, melihat betapa dua orang yang dipandang rendah itu ternyata sakti bukan main, ia terkejut dan cepat-cepat ia meronta dan membebaskan diri. Melihat betapa Pusporini tidak berdaya menghadapi Ni Dewi Nilamanik dan kini bahkan ditekan dan dipaksa berlutut oleh Ki Kolohangkoro, ia sudah menerjang maju dan mengirim serangan pukulan ke arah punggung Ki Kolohangkoro.
Kakek raksasa yang sakti mandraguna inipun memandang rendah. Ia tahu bahwa ada orang memukulnya dari belakang, akan tetapi karena ia tadi sudah melihat bahwa orang yang terbelenggu dan kini terlepas dan menyerangnya itu hanyalah seorang pemuda, maka ia sengaja diam saja, mengerahkan tenaga ke arah punggung untuk menyambut pukulan.
"Desss....
Joko Pramono berseru kaget dan memegangi tangan kanannya yang serasa remuk tulang-tulangnya, akan tetapi Ki Kolohangkoro juga berseru kaget karena tubuhnya terhuyung ke depan dan pegangannya pada pundak Pusporini terlepas. Tak disangkanya bahwa pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya! Melihat ini, Ni Dewi Nilamanik menjadi kagum dan tertarik.
"Aihhh, boleh juga bocah ini!" Kedua kakinya tidak tampak bergerak, akan tetapi tubuhnya sudah melayang ke arah Joko Pramono.
Pemuda ini maklum bahwa wanita ini amat sakti, bahkan agaknya lebih sakti daripada si raksasa tua, maka iapun cepat menahan rasa nyeri pada tangannya dan menyambut datangnya Ni Dewi Nilamanik dengan sebuah pukulan tangan kiri. Tubuhnya agak merendah, hampir berjongkok dan tangan kirinya dengan tenaga penuh menonjok ke arah perut lawan.
"Ceppp.... !!"
Pukulan Joko Pramono itu bukanlah pukulan sembarangan. Itulah aji pukulan yang amat tua dan ampuh, yang sudah jarang dikenal orang. Aji ini disebut aji pukulan Cantuka Sekti yang hebat sekali. Akan tetapi begitu mengenai perut Ni Dewi Nilamanik, tangan kirinya itu amblas ke dalam perut, masuk ke perut sampai ke pergelangan tangan dan tak dapat ditarik kembali! Joko Pramono terkejut, cepat ia memukul dengan tangan kanannya yang masih sakit, akan tetapi tiba-tiba kebutan ekor kuda di tangan Ni Dewi Nilamanik berkelebat, ujung kebutan mengenai pundak laIu berkelebat lagi mencium punggung dan seketika lemaslah tubuh Joko Pramono! Tidak hanya kedua lengannya yang tumpuh, juga kedua kakinya kehilangan tenaga dan ia tentu sudah roboh terguling kalau saja tangan kirinya tidak terjepit di perut wanita itu!
Kini sambil tersenyum dan mengeluarkan suara memuji kagum, Ni Dewi Nilamanik mempergunakan tangan kirinya, meraba-raba seluruh tubuh Joko Pramono, dari kepala terus turun, ke lehernya, dadanya, pundaknya, lambungnya, pusarnya, terus turun sampai ke kakinya.
"Bagus.... bagus.... sukar mendapatkan bocah sebaik ini....!" katanya memuji. Joko Pramono bergidik seluruh tubuhnya, menggigil dan ngeri sekali.
"Kau lepaskan dia, perempuan tak tahu malu!" Kini Pusporini yang menerjang maju menyerang Ni Dewi Nilamanik.
Memang aneh watak dara ini. Tadi ia membenci Joko Pramono, gemas dan ingin menyiksanya, ingin menyakitkan hatinya. Akan tetapi, begitu melihat pemuda itu tadi membelanya dan kini terjatuh ke dalam tangan wanita iblis yang Sakti itu ia melupakan kelemahan sendiri dan menyerang dengan nekat. Akan tetapi, gerakannya terhenti ketika tiba-tiba pinggangnya disambar orang dari belakang dan ia hanya dapat meronta-ronta dalam kempitan dengan tangan Ki Kolohangkoro yang amat kuat.
"Ha-ha-ha, Ibunda Dewi. Engkau mendapatkan si bagus itu dan ramanda wasi mendapatkan si manis ini, benar-benar pasangan yang cocok, memenuhi selera kalian. Heh, adapun aku.... ha-ha, aku akan puas kalau Ibunda dapat memberi seperti kemarin itu satu lagi saja."
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan tangan klrinya dan tubuh Joko Pramono juga sudah dikempitnya, lalu menoleh kepada Ki Kolohangkoro.
"Engkau rakus sekali, Kolohangkoro! Marilah, jangan kita membuat rakanda wasi terlalu lama menanti. Kalau kau menghaturkan bocah itu kepadanya, tentu dia akan senang hati dan mungkin suka menurunkan ilmu yang kau idam-idamkan itu."
"Aji Werjit Kencana? Aha, aku akan rela menukar ilmu itu dengan lengan kiriku, Ibunda Dewi. Akan tetapi tidak mungkin ramanda wasi sudi menurunkan aji itu kepadaku, kecuali kalau Ibunda suka membantuku membujuknya."
"Bagaimana nanti sajalah, Kolohangkoro. Hayo kita pergi!"
Dua orang yang sakti mandraguna, keduanya adalah pemimpin dari agama pecahan yang terdiri dari orang-orang penyembah Bhatari Durga dan Bathara Kala, dengan gerakan luar biasa cepatnya telah berkelebat meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh dua orang muda yang setengah pingsan dan sama sekali tidak mampu berkutik lagi.
Waktu itu, hari telah mulai ditelan senja, keadaan menjadi remang-remang. Bayangan dua orang sakti itu seperti bayangan iblis sendiri, berkelebat keluar dari dalam hutan. Tiba-tiba terdengar suara yang halus, suara orang membaca mantera, suara yang mengandung getaran halus yang bergelombang dan seketika tubuh dua orang sakti itu menggigil dan otomatis kaki mereka berhenti melangkah.
Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seperti terpaku pada tanah, mata mereka memandang seorang kakek yang duduk bersila di depan mereka, di pinggir jalan yang mereka lalui, seorang kakek yang pakaiannya seperti pakaian seorang pertapa akan tetapi robek-robek dan butut seperti pakaian seorang jembel. Kakek ini duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, matanya meram, rambutnya riap-riapan, tangan kiri memegang sebuah batok kelapa dan tangan kanan memegang sebuah sapu, yaitu seikat sapu lidi. Kakek ini seperti tidak tahu akan kehadiran mereka dan terus membaca mantera dengan suaranya yang halus mengandung getaran mujijat,
"Om, Ksantawya kayika dosah, Ksantawya wacika mama, Ksantawya manasa dosah, Tat pranadam ksama swamam. Shanti..... shanti..... shanti"
(Ya Tuhan, ampunilah kesalahan kami yang timbul dari tingkah laku, ampunilah kesalahan kami dari kata-kata, ampunilah kesalahan kami yang timbul dari fikiran. Damai.... damai.....).
Ki Kolohangkoro mendengus dan membuat gerakan hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi Ni Dewi Nilamanik mengangkat tangan kanan yang memegang kebutan, memberi isyarat kepada raksasa itu untuk berhenti dulu. Kemudian, Ki Kolohangkoro memandang dengan mata terbelalak heran ketika ia melihat Ni Dewi Nilamanik melempar tubuh Joko Pramono ke atas tanah, kemudian wanita sakti ini menghampiri kakek yang duduk bersila, menekuk lutut di depan kakek itu dan menyembah! Selagi ia terheran-heran dan bingung, ia mendengar Ni Dewi Nilamanik berkata,
"Paman resi, mohon maaf sebesarnya bahwa hamba berlaku kurang hormat karena tidak mengira akan bertemu dengan Paman di sini. Hamba mohon diperkenankan lewat."
Ki Kolohangkoro membelalakkan kedua matanya. Inilah suatu keanehan yang tak pernah ia saksikan atau dengar selama hidupnya, Ni Dewi Nilamanik bersikap begini merendah! Menyembah-nyembah dan mohon diperkenankan lewat! Apa-apaan ini? Siapakah jembel tua ini?
Kakek itu membuka kedua pelupuk matanya dan Ki Kolohangkoro makin terkejut. Mata itu tidak ada maniknya, hanya putih saja. Kakek jembel tua renta yang buta! Akan tetapi, suara kakek ini penuh getaran yang berwibawa ketika ia berkata,
"Wahai, Nilamanik. Makin tebal saja uap kotor menyelimuti dirimu. Ahhhh..... betapa sedih hatiku karena ini, Nilamanik. Sesal kemudian tiada guna, mengapa tidak juga mau bertaubat sebelum terlambat?"
Ni Dewi Nilamanik tidak menjawab, hanya mengangkat muka memandang penuh rasa takut. Hal ini membuat Ki Kolohangkoro marah sekali. Kakek tua bangka jembel buta begini saja mengapa ditakuti? Sekali tiup juga akan roboh! Mengapa mendadak saja Ni Dewi Nilamanik yang ia tahu amat sakti mandraguna, tidak kalah olehnya itu kini menjadi begini penakut? Karena kemarahannya, Ki Kolohangkoro juga melempar tubuh Pusporini ke atas tanah, lalu menggeleng-geleng kepalanya sehingga anting-anting telinganya bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara berdering.
"Ibunda Dewi! Apa-apaan ini? Mengapa ibunda merendahkan diri sedemikian rupa terhadap seorang tua bangka jembel buta yang hina-dina? Seorang jembel lebih hina daripada seorang sudera, biar dia berpakaian resi akan tetapi keadaannya melebihi jembel yang paling miskin! Harap ibunda suka mundur, biar kuhancurkan dia sekali pukul, kurobohkan dia sekali tiup dan kulemparkan dia sekali tendang! Mundurlah, Ibunda Dewi!"
"Kolohangkoro.... Jangan sembrono kau !" Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi Ni Dewi Nilamanik sudah bangkit berdiri dan mengundurkan diri, memandang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Kakek ini mengangkat muka, dihadapkan ke arah Ki Kolohangkoro, lalu tersenyum dan keluarlah suara ketawa halus dari kerongkongannya.
"Bahkan Sang Hyang Bathara Kala sendiri, hanya dapat bergerak untuk memenuhi tugas, tidak akan mampu mengganggu selembar rambut manusia apabila tidak dikehendaki Sang Hyang Widhi Wasesa! Andika ini siapakah, begini berani hendak mendahului dan memperkosa kehendak Sang Hyang Trimurti?"
"Ha-ha-ha-ha! Kakek jembel tua bangka, sikap dan kata-katamu sombong bukan main, seolah-olah hanya engkau seorang di dunia ini yang paling tahu! Agar engkau tidak mati penasaran sehingga nyawamu akan menjadi setan gentayangan, dengarlah bahwa calon pembunuhmu ini adalah Ki Kolohangkoro!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudah kuduga... sudah kuduga... waaah, Nilamanik, engkau benar-benar jauh tersesat..."
Ki Kolohangkoro tak dapat menahan kemarahannya lagi. Mukanya menjadi merah, hidungnya mendengus seperti mengeluarkan hawa panas berapi, otot-otot di tubuhnya menggembung. Diapun bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia dapat menduga bahwa sedikit banyak, kakek jembel itu tentu memiliki kepandaian, sungguhpun ia tidak memandang sebelah mata. Maka ia lalu mengerahkan aji kesaktiannya, seluruh tubuhnya mengeluarkan bunyi berkerotokan seolah-olah semua tulangnya saling beradu. Kemudian ia membentak,
"Terimalah kematianmu!" dan tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju, menubruk kakek yang masih duduk bersila itu dan kedua tangannya dengan kepalan sebesar buah kelapa menyambar dari kanan kiri ke arah kepala si kakek jembel.
Kakek tua renta itu tidak mengelak, hanya menggerakkan tangan kanan yang memegang sapu lidi lambat-lambat dan perlahan ke atas.
"Heeeitttt.... auuggggghhh...!"
Tubuh raksasa Ki Kolohangkoro tergetar dan terdorong ke belakang, kedua kakinya menggigil-gigil dan dengan susah payah akhirnya ia berhasil mencegah tubuhnya terdorong roboh. Ia membelalakkan matanya memandang kakek yang masih duduk bersila itu. Tadi ia hanya merasa betapa kedua pukulannya terbentur oleh hawa yang menyambar keluar dari sapu lidi dan tanpa menyentuh sapu lidi itu, apalagi tubuh si kakek, ia telah terdorong oleh hawa sakti yang mujijat sehingga hampir roboh! Tentu saja ia menjadi marah dan penasaran sekali.
"Tua bangka keparat! Berani kau main-main terhadap Ki Kolohangkoro? Jangan mengira bahwa kau sudah menang, terimalah pusakaku ini!" Berkata demikian, Ki Kolohangkoro sudah mencabut senjatanya yang hebat, yaitu senjata berat berbentuk tombak pendek yang ia sebut senjata Nenggala. Kemudian dengan gerakan seperti seekor gajah mengamuk, ia menerjang maju, menghantamkan senjatanya ke arah kepala kakek itu.
"Kolohangkoro.... jangan....!" terdengar jerit Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi karena melihat kawannya sudah menerjang maju, iapun lalu meloncat dengan gerakan ringan mendekati kakek itu dari samping, kemudian menggerakkan senjatanya yang aneh dan dahsyat keampuhannya, yaitu kebutan merah buntut kuda, mengarah leher!
"Plakkk.... Brettt.... !!"
Hebat bukan main serangan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik tadi, dan kedua serangan itu tiba hampir berbareng. Dari depan menyambar nenggala Ki Kolohangkoro yang menusuk ubun-ubun, dari samping menyambar kebutan mengarah pusat jalan darah di leher. Dan menghadapi dua serangan ini, kakek tua renta itu sama sekali tidak mengelak. Seperti tadi, ia hanya mengangkat kedua tangan, batok kelapa di tangan kiri menangkis senjata nenggala, sedangkan sapu lidi di tangan kanan menyampok kebutan. Dan akibatnya... ujung kebutan putus sedangkan nenggala di tangan Ki Kolohangkoro patah!
Dua orang sakti itu terhuyung-huyung mundur dengan muka pucat, kemudian tanpa dikomando lagi, Ki Kolohangkoro mencontoh Ni Dewi Nilamanik yang melarikan diri tanpa pamit! Bagaikan dikejar-kejar iblis, kedua orang sakti ini lari sampai jauh dan setelah merasa yakin bahwa kakek tua renta itu tidak mengejar, barulah Ni Dewi Nilamanik berhenti, menyusut keringat dan berkata perlahan,
"Aduhhh.... berbahaya sekali....! Si tua itu makin tua makin mengerikan kesaktiannya!"
Muka Ki Kolohangkoro menjadi merah sekali. Kini barulah ia mengerti mengapa Ni Dewi Nilamanik tadi menyembah-nyembah dan bersikap amat takut dan hormat kepada kakek jembel itu. Kiranya kakek itu memiliki kesaktian seperti dewa!
"Ibunda Dewi, siapakah.... dia tadi....?" tanyanya sambil bergidik.
Ni Dewi Nilamanik menghela napas panjang. "Ah, rakanda wasi tentu akan terkejut dan marah bahwa tua bangka itu telah menampakkan diri pula. Kolohangkoro, dia itu adalah paman guruku sendiri, dialah Resi Mahesapati...."
"Wahhh.....!" Barulah Ki Kolohangkoro terkejut seperti disambar petir.
Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Resi Mahesapati yang kabarnya dahulu, puluhan tahun yang lalu, setelah menggegerkan Kerajaan Sriwijaya di seberang lautan, telah lenyap dan kabarnya bertapa di pantai laut Banten. Kiranya orang sakti yang amat luar biasa itu kini telah memperlihatkan diri sebagai seorang kakek yang berpakaian jembel.
"Kesaktiannya memang hebat dan agaknya hanya rakanda wasi saja yang akan mampu menandinginya. Mendiang guruku sendiri dahulu selalu memuji-muji paman Resi Mahesapati, bahkan selalu berpesan agar dalam keadaan apapun juga, aku selalu harus mentaatinya. Biasanya dia itu keras dan galak, masih untung tadi kita terbebas daripada maut."
Ki Kolohangkoro membanting-banting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah. Wajahnya keruh dan ia marah, penasaran, juga menyesal.
"Celaka! Kedua orang tawanan itu mengapa kita tinggalkan?"
"Tentu saja! Kau sangka mengapa Resi Mahesapati menghadang kita di sana tadi?"
"Mengapa?"
"Apalagi kalau bukan karena dua orang tawanan kita. Sudahlah, kita bukan lawan dia. Biar rakanda Wasi Bagaspati sendiri yang memutuskan. Setelah kakek itu muncul, kita harus lebih berhati-hati lagi." Dua orang itu melanjutkan perjalanan dengan cepat dan hati kesal.
Joko Pramono yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh Ni Dewi Nilamanik dan menyaksikan semua peristiwa dengan mata terbelalak kagum, kini melihatbetapa dua orang iblis jahat itu pergi, cepat ia menghampiri kakek yang duduk bersila tadi sambil menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Duhai eyang resi yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tak terkatakan betapa besar rasa syukur dan terima kasih hamba akan pertolongan eyang. Dapatkah hamba mengetahui nama eyang resi yang mulia?"
Sebelum kakek itu menjawab, secara tiba-tiba ada suara menyambung di belakang Joko Pramono, suara Pusporini yang juga sudah berlutut menyembah, agak berjauhan dengan pemuda itu. Suaranya lantang mengatasi suara Joko Pramono,
"Eyang resi yang budiman tentu hanya menolong manusia baik-baik, dan harap eyang ketahui bahwa bocah ini masih disangsikan kebaikannya! Hamba menghaturkan sembah sujud dan terima kasih kepada Eyang dan hamba rasa Eyang tentu telah mengenaI rakanda Adipati Tejolaksono, atau mendiang ayah hamba Pujo dan mendiang eyang hamba Resi Bhargowo."
Kakek itu sudah sejak tadi tersenyum, mengelus jenggotnya dan mengejap-ngejapkan matanya yang putih. Kini ia mengangguk-angguk.
"Nini Pusporini bocah kewek, tentu saja aku mengenal eyangmu Resi Bhargowo dan tahu akan rakandamu dan mendiang ayahmu."
Mendengar ini, Pusporini memandang kepada Joko Pramono sambil mencebirkan bibirnya dan berkata, "Nah, kau dengar tidak? Eyang resi ini mengusir dua orang iblis tadi hanya karena aku, karena eyang resi ini telah mengenal keluargaku, keluarga Selopenangkep! Kau hanya kebetulan saja terbawa-bawa! Kalau tidak ada aku, engkau tentu telah mampus! Masih hendak berlagak lagi?"
Joko Pramono tersenyum. Ia mulai mengenal watak dara remaja ini. Biarpun lagaknya galak dan menyakitkan hati, namun itu hanyalah watak lahirnya saja, padahal batinnya tidaklah begitu buruk. Bukankah dara ini tadi sudah jelas memperlihatkan sikap membelanya ketika ia tertawan oleh Ni Dewi Nilamanik? Dara ini tidak membencinya seperti yang hendak diperlihatkannya! Karena sudah mulai mengenal watak dara ini, maka sikapnya itu tidaklah menyakitkan hatinya lagi. Ia malah ingin menggodanya terus.
"Wah, engkau ini memang seorang bocah yang sombong dan banyak lagak! Sudahlah, perlu apa melayani orang seperti engkau?" Joko Pramono menengok lagi ke arah kakek itu dan berkata, "Eyang resi, mohon Eyang sudi memberitahu nama dan julukan Eyang yang mulia."
"Eyang resi! Jangan ladeni bocah itu! Dia bocah busuk hatinya, berani ia memaki-maki keluarga Selopenangkep!" teriak Pusporini yang kini meloncat bangun dan memandang Joko Pramono dengan sinar mata mengancam.
"Eyang resi, hamba yang mohonkan ampun bagi perawan kasar tak kenal susila dan berani bersikap tidak semestinya di depan paduka Eyang resi," kata pula Joko Pramono dan biarpun kata-katanya ini ditujukan kepada kakek itu namun pada hakekatnya seperti memaki-maki Pusporini! Tentu saja dara ini menjadi makin marah, mukanya merah sekali, matanya berapi-api dan hidungnya kembang-kempis.
"Heh, keparat! Aku bersikap kasar kepadamu, setan! Bukan kepada eyang resi yang kuhormati! Jangan kau mencoba untuk membakar hati eyang resi! Bangkitlah dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus! Biar eyang resi yang menjadi saksi dan juri!"
"Boleh, memang kau bocah sombong. Apa kau kira aku takut padamu?" Joko Pramono juga seorang pemuda yang masih remaja, darahnya masih panas, maka kini ditantang di depan kakek sakti itu, ia merasa malu kalau tidak menerimanya.
la pun bangkit berdiri menghadapi Pusporini dan dua orang muda ini sudah siap seperti dua ekor jago aduan saling mengereki untuk segera bertanding.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha....!" Tiba-tiba kakek itu tertawa. Suara ketawanya halus akan tetapi mengandung getaran yang membuat kedua orang muda itu seketika menjadi lemas, lenyap segala kemarahan dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya menoleh ke arah kakek itu dan tersenyum lebar! Tak mungkin dapat menahan ketawa melihat dan mendengar suara ketawa kakek seperti itu.
Andaikata api membara kemarahan mereka tadi, suara ketawa itu seolah-olah merupakan air wayu yang amat dingin dan yang membuat kemarahan seperti api membara itu menjadi padam sama sekali!
"Ha-ha-ha, Joko Pramono! Apa kau kira gurumu Resi Adiluhung akan suka melihat sikapmu terhadap keluarga Kadipaten Selopenangkep? Tidak, Kulup, sebaliknya engkau tentu akan ditegur habis-habisan kalau Resi Adiluhung mengetahuinya. Dan engkau, nini Pusporini, apa kau kira rakandamu Adipati Tejolaksono suka melihat sikapmu terhadap Joko Pramono? Padamkan kemarahan kalian dan dengarkan kata-kataku."
Joko Pramono terkejut bukan main. Kakek aneh ini telah mengetahui namanya, bahkan nama gurunya! Cepat ia menjatuhkan lagi dirinya di depan kakek itu, berlutut dan menyembah. Akan tetapi gerakan ini didahului Pusporini sehingga mereka seperti berlomba menghormat kakek itu, bahkan menyembah dengan berbareng saling berdampingan. Sehabis menyembah, mereka saling lirik dengan mata melotot!
"Hamba mentaati perintah Eyang resi," kata Pusporini.
"Hamba sendika (sanggup mematuhi) akan dawuh (perintah) paduka Eyang resi, selanjutnya hamba mohon petunjuk," kata pula Joko Pramono dan kata-katanya inipun bercampuran dengan ucapan Pusporini tadi karena dilakukan berbareng.
Kembali kakek itu tersenyum lebar. Ia yang telah waspada akan segala peristiwa di dunia, yang awas dan tahu akan gerak-gerik manusia, seakan-akan dapat membaca isi hati kedua orang muda itu dan karenanya ia merasa kagum akan kegaiban kekuasaan Hyang Widhi Wasesa, kagum dan ikut bergembira.
"Ha-ha-ha, kalian berdua ini selalu tidak mau saling mengalah, tidak mau kalah dan bersaingan. Bagus sekali! Joko Pramono dan engkau nini Pusporini, sudah ditentukan oleh Hyang Jagad Pratingkah bahwasanya kalian berdua berjodoh untuk menjadi murid-muridku. Ketahuilah bahwa aku adalah Resi Mahesapati dan karena getaran gaib yang berupa perintah belakalah yang memaksaku turun ke dunia ramai dan menjumpai kalian di sini. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan keteranganku, aku ingin mendengar lebih dulu kesanggupan kalian. Kalian harus ikut bersamaku, menjauhkan diri daripada dunia ramai, sebentarpun tidak boleh keluar dari tempat pertapaan selama lima tahun dan kemudian setelah lima tahun aku ingin melihat siapa di antara kalian yang lebih menang dan maju. Bagaimana, sanggupkah?"
Memang pintar sekali Sang Resi Mahesapati ini. Tadinya, mendengar bahwa mereka akan diambil murid dan harus mengasingkan diri selama lima tahun, terasa berat sekali di hati kedua orang muda itu. Akan tetapi kalimat terakhir itu membuat mereka panas hati dan bangkit semangat. Kakek ini ingin melihat siapa di antara mereka yang lebih maju setelah lima tahun, berarti mereka berdua disuruh berlomba dan bersaing!
"Hamba setuju! Biar dia belajar penuh semangat sampai lima tahun juga, tidak nanti dia dapat mengalahkan hamba," kata Joko Pramono.
"Kau... mau bawa aku ke mana...?" Akhirnya Pusporini tak kuat menahan kegelisahan hatinya, bertanya tanpa meronta lagi di atas pundak pemuda itu.
"Hemm.... ke mana lagi kalau tidak ke dasar neraka? Kau tadi sendiri bilang aku dari dasar neraka. Wanita galak macam engkau ini patutnya dijadikan umpan setan neraka!"
Jawaban ini tidak menimbulkan takut, malah menambah kemarahan hati Pusporini. Ia meronta-ronta lagi kemudian kakinya menendang-nendang, namun hal ini malah membuat lengan pemuda itu memeluk kedua kakinya lebih erat sehingga perutnya tertekan pada pundak dan mebuatnya sukar bernapas. Terpaksa ia diam lagi tidak meronta dan Joko Pramono melanjutkan larinya yang cepat sekali.
"Awas kau kalau terjatuh ke tanganku kelak..." mengancam, suaranya penuh kegemasan dan sakit hati.
"Sekarang juga akupun sudah awas!" jawab pemuda itu menggoda terus.
Karena tubuhnya "disampirkan" di pundak pemuda itu sehingga kepalanya tergantung ke bawah, lama-kelamaan Pusporini menjadi lelah dan pening. Sedikit demi sedikit ia melorot turun dan agaknya pemuda itupun maklum akan keadaannya maka membiarkan saja, bahkan melonggarkan pelukan lengannya sehingga kini bukan kaki yang dirangkulnya, melainkan paha dan pinggul sehingga kepala Pusporini sekarang mendekati pundak dan leher.
Karena keadaannya tidak begitu melelahkan lagi, agak lega hati Pusporini. Ia memandang leher yang dekat sekali itu, melihat betapa otot-otot yang kuat tampak merentang di bawah kulit yang bersih halus, betapa anak rambut yang hitam gemuk tumbuh melingkar di tengkuk yang kuat itu. Heran sekali dia mengapa pemandangan yang selama hidupnya tak pernah ia perhatikan ini, tengkuk seorang laki-laki, sekarang tampak begini indah! Tapi hal ini sama sekali tidak mengurangi kemarahan dan kebenciannya kepada laki-laki yang menggemaskan hatinya ini.
"Engkau kenapa membenci keluarga rakanda adipati?" ia bertanya, perlahan karena toh mulutnya sudah dekat telinga. Biarpun lirih suaranya, namun Joko Pramono masih dapat menangkap nada penuh kemarahan dalam suara itu.
"Huh, keluarga sombong! Busuk hati! Karena keluarga Selopenangkep itulah pamanku Adibroto sampai mengorbankan nyawa secara sia-sia! Padahal mendiang Paman Adiproto, menurut mendiang ibuku, adalah seorang yang paling baik di dunia ini."
"Hemm, kau maksudkan Ki Adibroto warok Ponorogo aliran putih?" Pusporini yang sudah pernah mendengar cerita dari ibunya bertanya, diam-diam ia kaget dan menduga-duga.
"Betul dia. Ah, engkau mengenaI pula namanya. Apa yang kau tahu tentang mendiang pamanku?"
"Aku hanya mendengar bahwa Ki Adibroto adalah ayah kandung ayunda Ayu Candra, isteri rakanda Adipati Tejolaksono! Jadi engkau ini masih adik misan ayunda Ayu Candra! Mengapa memusuhi Kadipaten Selopenangkep?"
Mendengar ini, pemuda itu berhenti dan dengan sikap kasar ia menurunkan tubuh Pusporini ke atas tanah. Gadis ini tergelimpang lalu bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangan terbelenggu ke belakang. Ia masih marah sekali dan diam-diam ia terheran-heran mengapa tadi ia dapat bercakap-cakap dengan penawannya seperti dua orang sahabat lama saja. Ia kini cemberut dan membuang muka, tidak mau memandang muka orang yang duduk di depannya menghapus peluh dari dada dan leher. Mereka berhenti di dalam hutan, dan enak sekali berteduh di bawah pohon besar itu. Joko Pramono memandang wajah dara yang membuang muka itu, lalu sambil mengebut-ngebut lehernya dengan kain, ia bercerita tentang dirinya.
Di dalam cerita BADAI LAUT SELATAN diceritakan betapa ibu Joko Wandiro atau Adipati Tejolaksono yang bernama Listyakumolo, setelah berpisah dengan suaminya, Raden Wisangjiwo, telah menikah lagi dengan seorang warok gagah perkasa bernama Ki Adibroto yang juga telah mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Ayu Candra. Dengan demikian, Adipati Tejolaksono dengan isterinya itu adalah dua orang saudara tiri yang sama sekali tidak ada hubungan darah. Adapun ibu kandung Ayu Candra yang lebih dulu telah meninggal dunia bernama Ni Rasmi. Ni Rasmi mempunyai seorang adik perempuan bernama Ni Wirani.
Semenjak Ni Rasmi meninggal dunia dan Ki Adibroto membawa Ayu Candra pergi merantau dalam kesedihan, putuslah hubungan antara Ni Wirani dengan kakak iparnya itu. Ni Wirani menikah dengan seorang petani dan mempunyai putera yang diberi nama Joko Pramono. Akan tetapi malapetaka menimpa Ni Wirani dan suaminya ketika Joko Pramono baru berusia sepuluh tahun, yaitu ketika suami isteri dan anak mereka ini menyeberang sungai yang banjir, perahu mereka terguling dan mereka hanyut. Suami isteri itu tewas, dan Joko Pramono yang baru berusia sepuluh tahun tertolong oleh seorang sakti, yaitu Resi Adiluhung pendeta perantau .yang kemudian mengambilnya sebagai murid dan membawanya ke pertapaan di puncak Gunung Sindoro.
Seperti telah diceritakan dalam cerita Badai Laut Selatan, Ki Adibroto tewas bersama Listyakumolo di tangan Endang Patibroto karena permusuhan yang balas-membalas dengan Pujo, ayah Endang Patibroto, suami Kartikosari dan Roro Luhito, atau juga ayah Pusporini dan Setyaningsih.
"Di waktu masih kecil, ibuku telah menceritakan tentang paman. Adibroto," demikian antara lain dengan muka keruh Joko Pramono bercerita di depan Pusporini yang mendengarkan dengan jantung berdebar karena ia sudah tahu semua akan peristiwa yang terjadi sebelum ia terlahir itu, mendengar dari penuturan ibunya. "Paman Adibroto yang berbudi mulia dan bijaksana itu mati karena ikatan perjodohannya dengan puteri mantu Selopenangkep. Mati di tangan anak perempuan dari Pujo yang bernama Endang Patibroto, mati penasaran! Kalau pamanku itu tidak berhubungan dengan orang-orang Selopenangkep, tentu tidak akan terbunuh sia-sia."
Pusporini memandang wajah pemuda itu, matanya bersinar dan mukanya merah. Ia marah dan penasaran.
"Akan tetapi, hal itu adalah urusan orang-orang tua dahulu. Bahkan ayunda Ayu Candra kini menjadi isteri Adipati Selopenangkep. Bukankah ayunda Ayu Canda itu puteri kandung Ki Adibroto dan sama sekali tidak menaruh dendam apa-apa? Kenapa engkau ini yang hanya keponakan Ki Adibroto, kini menaruh dendam dan marah-marah seperti orang sinting?"
"Memang ayunda Ayu Candra sudah menjadi orang Selopenangkep. Hal ini membuktikan kelemahan hatinya. Kasihan sekali paman Adibroto, mempunyai seorang keturunan saja mengkhianatinya. Akan tetapi aku tidak! Akulah yang akan membalaskan sakit hatinya. Aku yang akan kelak mencari Endang Patibroto dan menghadapi semua keluarga Selopenangkep yang sombong, termasuk engkau!"
"Cih! Kepalamu besar sekali, sebesar kelenting (tempat air), sebentar lagi tentu pecah berantakan! Orang macam engkau ini mana mungkin melawan kakakku Endang Patibroto? Idih, sombongnya. Belajarlah kau seratus tahun lagi, masih juga belum dapat mengalahkan tangan kiri kakakku Endang Patibroto!"
Joko Pramono meloncat bangun, wajahnya merah matanya terbelalak marah. "Dia kakakmu? Jadi engkau ini puteri Pujo pula? Anak Kartikosari atau anak Roro Luhito?"
Kalau saja kedua tangannya tidak dibelenggu, tentu Pusporini sudah menerjang dan menyerang dengan nekad saking marahnya mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kedua orang ibunya begitu saja. Alangkah kurang ajarnya.
"Benar sekali! Pujo adalah mendiang ramandaku! Roro Luhito adalah ibu kandungku. Kau mau apa? Mau bunuh aku? Bunuhlah, kau kira aku takut mati? Huh, manusia macam engkau ini beraninya hanya membuka mulut besar terhadap lawan yang terbelenggu. Lepaskan aku, dan kepalamu tentu akan lumat!"
Sejenak kedua tangan pemuda itu tergetar, seakan-akan ia hendak memukul hancur tubuh dara yang menjadi tawanannya. Akan tetapi pandang matanya bersinar aneh ketika bertemu pandang dengan Pusporini yang melotot dan sedikitpun tidak takut itu. Kemudian Joko Pramono tertawa lebar.
"Ha-ha-ha-ha, enak benar! Kau sudah tertawan, itu buktinya kau kalah olehku. Dan jangan kira begitu enak saja kau mati. Tidak! Aku akan menyeretmu ke dasar neraka! Ha-ha, engkau akan kujadikan tawanan dan pancingan agar orang-orang Selopenangkep datang. Akan kubalas sakit hati pamanku Adibroto. Kalau Endang Patibroto mau datang dan berhasil kubunuh, barulah kau akan kubebaskan. Aku tidak bermusuhan dengan engkau, sungguhpun engkaupun seorang anggauta keluarga Selopenangkep yang sombong, berkepala batu dan galak!"
"Engkau yang sombong! Engkau yang besar kepala! Lepaskan aku!"
Akan tetapi pemuda itu hanya tertawa, lalu menyeret tubuh Pusporini ke dekat pohon, menggunakan ujung ikat kepala yang membelenggu kedua tangan dara itu, diikatkan pada batang pohon. Setelah itu, sambil tersenyum ia lalu meloncat pergi dari tempat itu.
Pusporini berusaha melepaskan diri, namun sia-sia. Ikatan itu kuat sekali dan tubuhnya mulai lemah. Lemah, karena lelah dan lapar dan marah. Ia ditinggalkan di dalam hutan, dalam keadaan terbelenggu. Kalau datang seekor harimau, tentu ia akan diterkam dan tak dapat melawan. Atau ular... Ular?? Ia bergidik dan hampir menjerit ngeri. Teringat akan binatang ini, Pusporini yang biasanya tabah dan tidak takut mati itu menjadi ngeri ketakutan. Ingin ia menjerit minta tolong, siapa tahu terdengar orang di dekat tempat itu. Akan tetapi ia teringat akan pemuda tadi yang mungkin sekali bersembunyi dan mentertawakan ketakutannya, maka tiba-tiba saja kemarahan mengusir rasa takutnya. Ia diam saja, bahkan tidak merasa ngeri lagi. Jangan harap aku akan minta tolong dan minta-minta kepadamu, kau monyet kurang ajar, pikirnya gemas.
Tak lama kemudian tampak bayangan berkelebat dan Joko Pramono telah berada di depan Pusporini, tangan kiri membawa sesisir pisang ambon yang sudah matang dan tangan kanan membawa sebutir buah semangka yang besar. Anehnya, pada saat itu, wajah pemuda ini sama sekali tidak mengejek, juga tidak marah, malah senyumnya wajar dan ramah. Ketika bicara, sinar matanya berseri gembira.
"Tidak ada dusun dekat. Untung sekali aku bisa mendapatkan pisang dan semangka Lumayan untuk mengusir lapar. Kau makanlah!"
"Tidak sudi!"
Agaknya Joko Pramono baru teringat bahwa mereka bukanlah dua orang sahabat yang sedang pesiar! Dan wajahnya yang tampan itu kini berubah seperti tadi lagi, keruh, marah, dan mengejek.
"Heh-heh, kau tidak mau makan, tidak mau minum biar mati kelaparan, ya? Kok enak benar. Apa kau kira aku tidak bisa mendublak (menjejalkan makanan ke mulut) secara paksa? Mau tidak mau, perutmu harus dimasuki pisang ini, sedikitnya dua buah, dan air semangka ini!"
Joko Pramono mengambil sebuah pisang, mengupas kulitnya perlahan-lahan sehingga tampak daging pisang yang putih kuning, baunya harum sedap menimbulkan selera. Pusporini tadinya membuang muka, akan tetapi karena merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya dan menjejalkan makanan ke mulutnya dengan paksa, ia kini memandang dengan mata lebar, lalu berkata,
"Lepaskan dulu tanganku, dengan tangan terbelenggu, bagaimana aku bisa makan?"
"Melepaskan kau dan membiarkan kau memukul pecah kepalaku dengan jari-jari tanganmu yang ampuh itu? Enaknya! Nih, kau makanlah, jangan membikin aku jengkel dan memaksamu." Pemuda itu mendekatkan ujung pisang kupasan ke mulut Pusporini.
Dara ini marah sekali, merasa dihina, akan tetapi iapun takut kalau-kalau ia akan dijejal dengan paksa. Ia tahu bahwa pemuda kurang ajar ini agaknya sampai hati melakukan ancamannya, maka dengan muka merah dan mata berapi-api, ia membuka mulutnya, menerima pisang itu memasuki mulut lalu menggigit sepotong.
"Nah, begitu baru anak baik!" kata Joko Pramono, wajahnya berseri lagi memandang Pusporini yang mengunyah pisang dengan terpaksa dan marah, kemudian pemuda itu juga menggigit sepotong pisang dari bekas gigitan Pusporini itu. Dara ini makin merah kedua pipinya melihat betapa musuh yang dibencinya ini makan pisang bekas gigitannya. Kembali Joko Pramono menyodorkan sisa pisang itu ke depan mulutnya yang sudah kosong.
"Tidak sudi! Bekas gigitanmu!" bentak Pusporini.
Joko Pramono membelalakkan mata mengangkat alis, lalu berkata dengan nada kesal, "Wah, dasar sombong! Tadipun aku tidak menolak bekas gigitanmu. Kalau bekas gigitanku kenapa sih? Gigiku tidak beracun seperti gigi ular."
"Lebih baik makan bekas gigitan ular daripada bekas gigitanmu. Pendeknya, kalau bekasmu itu, aku tidak sudi, biar kau mau jejal, terserah!"
Joko Pramono menarik napas panjang, seperti orang yang menyabarkan dirinya, lalu mengupas pisang lain dan menyuapkan pisang itu ke mulut Pusporini. Kini mereka makan pisang dan semangka tanpa bicara sampai kenyang. Biarpun ia makan dengan hati marah dan secara terpaksa, akan tetapi setelah perutnya terisi dua buah pisang ambon yang besar-besar dan setengah butir semangka jingga yang manis dan banyak airnya, Pusporini merasa tubuhnya segar kembali dan pulih kekuatannya.
Melihat betapa sekitar mulut dan dagu dara itu basah oleh air semangka, Joko Pramono menggunakan ujung bajunya dan menghapus dengan gerakan cepat dan kasar. Pusporini berusaha mengelak dengan menggeleng-gelengkan kepala ke kanan kiri sambil berseru marah.
"Lepaskan! Tak sudi aku.... !!"
Akan tetapi Joko Pramono memaksanya sampai bersih air semangka dari sekeliling mulut dan dagu. "Huh, kau jangan mengira aku melakukan ini karena memanjakanmu, ya? Aku hanya tidak ingin nanti pundakku kotor dan basah jika aku memondongmu. Hayo, kita berangkat!" Ia melepaskan ikatan pada batang pohon lalu memondong tubuh Pusporini lagi di atas pundaknya seperti tadi, kemudian berlari cepat meninggalkan hutan itu, terus ke arah utara.
Pusporini yang kini menjadi marah bercampur dengan rasa gelisah, hanya dapat memandang ke arah belakang pundak Joko Pramono dengan mata terbelalak. Ia harus dapat membebaskan diri dan membalas semua penghinaan yang telah dialaminya ini, pikirnya. Tak mungkin ia begini tak berdaya dan diam saja dilarikan seorang yang begini kurang ajar. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Tangannya terbelenggu. Akan tetapi mulutnya tidak! Kalau tangannya terbelenggu dan kedua kakinya dipeluk kuat sehingga tak dapat meronta, ia dapat mempergunakan giginya! Begitu pikiran ini memasuki benaknya, Pusporini lalu menundukkan mukanya dan menggigit daging pundak pemuda itu sekuatnya.
"Aduhh-duh-duh-duh.... aduhhhh!"
Joko Pramono berteriak-teriak kesakitan, lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar pinggul di depannya itu beberapa kali.
"Plak-plak-plak-plak....!"
Pusporini terbelalak kaget, malu, dan kesakitan. Pinggulnya menjadi panas dan ngilu, akan tetapi ia sudah nekat dan tidak mau melepaskan gigitannya, bahkan memperkuatnya.
"Lepaskan.... aduhhh-duh-duh... lepaskan... kau kucing, monyet....!" Joko Pramono tak dapat menahan rasa nyeri di pundaknya dan terpaksa ia lalu melemparkan tubuh tawanannya. Tubuh Pusporini terlempar, gigitannya terlepas dan kini kembali pinggulnya terbanting ke atas tanah sampai ia mengeluarkan suara "hekkk!" dan sekarang tak dapat ditahannya lagi Pusporini menangis!
Menghadapi serangan dan maki-makian Pusporini, Joko Pramono sama sekali tidak gentar, akan tetapi sekarang menghadapi dara remaja yang menangis itu, yang mempergunakan "senjata terampuh" seorang wanita, pemuda itu melongo! Ia meraba-raba pundaknya yang menjadi matang biru bekas gigitan Pusporini, akan tetapi matanya menatap wajah yang kini basah air mata itu dengan perasaan kasihan.
"Kenapa kau menangis?" Ia mengomel untuk menutupi perasaan iba hatinya. "Aku tidak akan mengganggumu, hanya menawanmu agar keluargamu mencari dan menyusulmu. Aku ingin membalas dendam pamanku kepada Endang Patibroto dan keluarga Selopenangkep yang sombong."
Pusporini terisak-isak kemudian berkata di antara tangisnya, "Kau manusia kejam, laki-laki kurang ajar... Kenapa tidak kau bunuh saja aku?"
"Habis engkau menggigit, sih! Apa kau kira tidak sakit digigit pundaknya? Lihat, bajuku sampai robek dan kalau tidak kuat kulitku tentu robek pula. Lihat, sampai matang biru!" Pemuda ini membuka bajunya memperlihatkan kulit pundak yang membiru. Melihat ini, tiba-tiba ada perasaan geli di dalam hati Pusporini, geli dan puas. Sedikitnya ia telah dapat membalas, biarpun hanya merupakan gigitan di pundak sampai kulit pundak itu matang biru.
"Kalau kau tidak menggigit, aku tentu tidak akan menampar dan membantingmu," kata pula Joko Pramono. "Kalau kau diam saja menurut kubawa sebagai tawanan dan umpan keluargamu agar menyusulmu, aku bersumpah tidak akan mengganggu seujung rambutmu. Aku bukan seorang laki-laki yang suka mengganggu seorang gadis cilik macam engkau." Setelah berkata demikian, Joko Pramono kembali memondong tubuh Pusporini dan berlari cepat sekali.
Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti. Ucapan pemuda itu yang menyebutnya seorang gadis cilik, membuat ia mendongkol dan tidak senang. Dia dianggap seperti anak kecil! Awas kau, demikian bisik hatinya dan tiba-tiba ia menjadi girang sekali. Ikatan pada kedua pergelangan tangannya mengendur!
Mungkin karena banyak pergerakan, atau mungkin karena tadi ia diikat pada batang pohon, kemudian terbanting tadi, ikatan itu mengendur di luar tahu Joko Pramono yang tak pernah memeriksanya. Mulailah dara ini menggerak-gerakkan kedua tangan di belakang, berusaha membebaskan belenggu yang mulai mengendur itu. Jantungnya berdebar-debar karena tegang dan khawatir. Ia harus dapat membebaskan kedua tangannya sebelum pemuda ini tahu bahwa ikatan telah mengendur.
"Heh-heh-heh, hi-hik!"
Pusporini terkejut. Celaka, pikirnya, pemuda ini tentu mentertawakan usahanya untuk membebaskan ikatan! Berarti pemuda ini sudah tahu akan keadaan belenggunya yang hampir terlepas. Akan tetapi karena Joko Pramono berlari terus, ia memberanikan diri bertanya,
"Kenapa kau cekikikan seperti orang gila?"
"Heh-heh, detik jantungmu begitu keras, sampai keri (geli) rasanya di pundakku!" jawab Joko Pramono yang berlari terus.
Seketika wajah Pusporini menjadi merah. Sungguhpun maksudnya lain sekali, namun pemuda ini mengingatkannya betapa dadanya terhimpit di atas pundak pemuda itu dalam usahanya meloloskan diri dari ikatan.
Akhirnya terlepaslah belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangan Pusporini! Dengan hati-hati sekali dara remaja ini menggerak-gerakkan jari tangannya, membuka dan menutup untuk melancarkan jalan darahnya yang agak kaku. Kemudian, dengan gerakan hati-hati sekali ia mengangkat tangan kanan, meluruskan jari-jarinya, mengerahkan tenaga dan bagaikan ular mematuk, tangannya bergerak turun menyambar ke arah tengkuk Joko Pramono, di belakang telinga.
"Kukkkk!!" Sebuah pukulan dengan Aji Pethit Nogo dengan cepat menghantam bagian kepala itu. Mulut Joko Pramono mengeluh lirih, tubuhnya seketika menjadi lemas, kedua kakinya tertekuk dan robohlah pemuda itu tanpa dapat bersambat lagi, roboh terguling miring dalam keadaan pingsan!
"Uuugghhh...." Joko Pramono menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri. Seluruh tubuhnya juga bergerak-gerak, otot-otot di tubuh itu menegang, akan tetapi ia tidak mampu menggerakkan kaki dan tangannya. Ia membuka mata, memandang ke kanan kiri dan meIihat Pusporini berdiri sambil bertolak pinggang, teringatlah ia dan mulutnya menyumpah, "Bodoh aku! Mudah saja dicurangi seorang bocah! Sudah sepatutnya celaka." Dengan gerakan sukar ia bangun duduk, kembali menggoyang kepalanya yang terasa pening oleh pukulan tiba-tiba tadi. Setelah bumi di sekelilingnya tidak berputaran lagi, ia menentang pandang dara itu, tersenyum mengejek, senyum yang amat dibenci Pusporini lalu berkata,
"Perempuan gagah macam apa kau ini? Kalau memang kau gagah perkasa, hayo lepaskan ikatan kaki tanganku dan kita bertanding sampai tujuh hari tujuh malam!"
Kini Pusporini yang tersenyum, senyum yang membuat wajahnya yang amat manis itu menjadi makin manis melebihi madu. Akan tetapi senyum yang luar biasa manisnya ini menusuk hati Joko Pramono karena senyum itu mengandung ejekan dan penghinaan kepadanya.
"Hi-hik, alangkah enaknya kau minta dibebaskan! Uhh, tak tahu malu benar, muka tebal! Engkau kini sudah tertawan olehku, ini merupakan bukti kuat bahwa engkau sudah kalah olehku. Hi-hik, mau apa lagi?" Sambil tersenyum-senyum mengejek, Pusporini berdiri di depan pemuda itu sambil bertolak pinggang. Rambutnya yang panjang hitam dan terlepas sanggulnya itu sebagian terurai ke depan menutupi matanya. Pusporini menggerakkan kepalanya sehingga rambutnya tersingkap ke belakang, sebuah gerakan wanita yang amat indah menarik.
Joko Pramono menghela napas panjang, hatinya terserang bermacam-macam perasaan yang teraduk-aduk menjadi satu. Ia marah kepada diri sendiri yang bodoh sehingga kurang waspada dan lengah, ia gemas kepada dara remaja ini yang benar-benar memanaskan hatinya, akan tetapi iapun kagum. Makin lama, makin tertarik hatinya oleh segala polah-tingkah dan gerak-gerik dara. Biarpun sedang marah, mengejek, ketakutan, atau menangis, semua gerak-geriknya memikat hati dan amat manis!
Ada sesuatu terpancar keluar dari kepribadian dara ini yang mencengkeram perasaan hatinya, yang membuatnya merasa suka dan gemas, bukan gemas untuk memukul atau membunuh, melainkan gemas untuk mencubitnya dan mendekapnya kuat-kuat, seperti perasaan gemas-gemas sayang seseorang terhadap seorang bayi yang montok menyenangkan. Bahkan saat itupun, di waktu nyawanya terancam bahaya maut di tangan Pusporini, ia tidak dapat membenci dara ini.
"Pusporini, tak usah banyak lagak. Memang aku telah kau curangi, telah kau akali sehingga aku tertawan. Nah, kau mau apakan aku sekarang?"
"Mau diapakan? Kau sudah menyerah? Minta diapakan kau, manusia kurang ajar?"
Joko Pramono tetap tersenyum. Ia sudah menyadari sepenuhnya bahwa ia kini berada di tangan Pusporini yang tentu akan membalas dendam.
"Mau kau apakan terserahlah. Mau bunuh juga, silahkan. Kau kira akupun takut mati? Huh!"
"Bunuh? Nanti dulu! Kau tidak akan mati begitu enaknya, sebelum engkau menerima balasan penghinaan-penghinaan yang telah kau lakukan kepadaku tadi! Kau sekarang menjadi tawananku, hendak kuseret ke depan rakanda adipati agar beliau dapat memutuskan hukuman apa yang harus dijatuhkan atas dirimu. Hayoh.....!" Pusporini membungkuk, menyambak rambut pemuda itu yang hitam lalu menyeretnya.
Sebagai seorang yang memiliki kepandaian tinggi, seorang pemuda sakti mandraguna, kalau baru dijambat dan diseret seperti ini saja tentu Joko Pramono tidak terlalu menderita. Ia malah tertawa dan berkata mengejek,
"Pusporini, kau bilang hendak membalas semua penghinaanku tadi? Tadi kau menjadi tawananku, sekarang aku menjadi tawananmu, ini sudah adil. Tadi aku membawamu pergi dan memondongmu, sekarang... hayo kau lekas pondong aku dan bawa lari, baru adil namanya!"
Pusporini bersungut-sungut. Ia kini yang menang, akan tetapi tetap saja pemuda itu yang mengejek-ejeknya. "Tidak sudi!" bentaknya dan menyeret terus, seperti seorang pemburu menyeret seekor bangkai kijang yang menjadi hasil buruannya. Tubuh Joko Pramono terlentang dan pemuda ini merem melek, kelihatan enak benar diseret seperti itu.
"Wah, angger....! Cepatan lagi, Pusporini, enak benar ini.... ha-ha...!" Dan untuk membuktikan omongannya, tak lama kemudian Joko Pramono yang diseret-seret itu tidur mendengkur.
Pusporini makin marah dan mendongkol. Tangannya sudah lelah menyeret. Karena yang dijambaknya rambut, benda lemas ini lama-lama menyakiti jari-jari tangannya. Rambut itu terlalu lemas dan tubuh pemuda itu terlalu berat. Apalagi melalui jalan tanjakan, benar-benar membuat lengannya kesemutan dan lelah sekali. Kini dia yang kecapaian dan pemuda itu keenakan tidur. Ia menyumpah-nyumpah, hatinya panas. Sambil mengerahkan tenaga, ia menjambak lebih keras, lalu lari dan sengaja mengambil jalan berbatu-batu. Tangannya makin lelah dan sakit, akan tetapi Joko Pramono tidak mungkin tidur keenakan lagi karena tubuhnya terbentur-bentur pada batu, berguncang dan terbanting-banting. Benar saja, pemuda itu mengeluh.
"Wah-wah-wah, kau gilakah? Kalau mau bunuh, bunuhlah, mengapa mesti menyiksa seperti ini?"
"Rasakan!"
Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa Pusporini bukan ingin menyiksanya, melainkan ingin membalas kemarahannya, ingin memancingnya dengan siksaan atau apapun juga agar dia ketakutan atau sakit hati, maka ia lalu diam saja dan diam-diam mengerahkan tenaganya untuk membuat tubuhnya kebal dan tidak terlalu tersiksa oleh bantingan-bantingan di jalan itu.
Benar saja dugaannya, setelah ia diam saja tidak mengeluh, Pusporini merasa kecewa dan marah-marah. Pemuda ini tetap tidak merasa sakit, tidak merasa lelah, sedangkan ia telah mandi peluh, tangannya pedas lengannya kesemutan. Keparat! Kini mereka tiba di dalam hutan, di mana tadi ketika Joko Pramono menawan Pusporini, mereka berhenti dan makan pisang.
"Pusporini.... mukamu buruk seperti setan kalau begini. Rambutmu awut-awutan, mukamu kotor karena peluh dan debu, lihat kakimu juga kotor berlumpur. Ihhhh, puteri kadipaten kok begini..." Joko Pramono mengejek untuk menambah kemarahan dara itu.
"Brukkk!" Dengan gerakan kasar Pusporini melepaskan jambakannya sehingga kepala Joko Pramono terbanting ke atas tanah. Sejenak dara itu memandang marah, akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum kepadanya. Tiba-tiba Pusporini membalikkan tubuh dan berkelebat pergi dari tempat itu. Akan tetapi tidak lama ia pergi. Sebentar lagi ia sudah kembali ke tempat itu dan kaki tangan dan muka serta lehernya telah bersih sekali, bekas dibersihkan dengan air sungai bening yang mengalir di dalam hutan itu. Juga rambutnya, biarpun tidak disisir rapi, namun tidaklah awut-awutan lagi seperti tadi.
Dalam pandangan Joko Pramono, dia sama sekali tidak tampak lebih cantik karena memang sejak tacil dara itu sudah cantik jelita dan manis dalam pandangannya! Melihat betapa dara itu mencuci muka dan kaki tangan, diam-diam Joko Pramono menjadi geli hatinya.
"Nah, begini barulah kau tampak cantik jelita seperti seorang puteri asli, Pusporini!" Ia amat senang melihat betapa kedua pipi dara itu menjadi merah maka ia terus menggodanya. "Dan mana bawaanmu, Pusporini?"
Dara itu tak dapat mempertahankan kemarahannya, tak dapat terus memuramkan mukanya menghadapi pujian ini. Pertanyaan itu menerjangnya tiba-tiba sehingga tanpa ia sadari, ia menjawab, "Bawaan apa? Apa maksudmu?"
"Ha-ha-ha-ha! Masa engkau pelupa benar, Pusporini? Bukankah kau bilang bahwa kau akan membalas semua penghinaanku? Lupakah kau bahwa di tempat ini benar aku telah mendulangmu (menyuapimu) dengan pisang dan semangka? Lihat tuh kulit pisang dan kulit semangka masih di situ. Sekarang tentu akan kau balas penghinaanku tadi. Lekas kau cari buah-buahan yang segar dan lezat, dan kau suapi aku, perutku sudah lapar sekali!"
"Kau.... lancang mulut! Kau kurang ajar!!" Pusporini marah lagi dan membentak gemas.
Akan tetapi Joko Pramono malah tertawa memanaskan hati. "Eeehooo! Bukankah aku bicara sebenarnya? Untuk membalas seadilnya, sekarang kau harus menyuapkan makanan ke mulutku, kemudian kau pondong aku lagi dan.... dan..... kau berikan pundakmu untuk kugigit.....!"
"Cihh! Laki-laki ceriwis! Kuhancurkan mulutmu!"
Dengan kemarahan meluap, Pusporini melangkah maju, tangannya diangkat untuk menghantam muka pemuda itu. Joko Pramono tetap tersenyum dan memandang dengan sepasang mata yang sama sekali tidak kelihatan takut, wajahnya berseri. Entah mengapa Pusporini sendiri tidak mengerti. Tangan yang sudah diangkatnya itu mendadak menjadi lemas, tidak kuasa ia menurunkan tangannya menghantam muka yang tersenyum seperti itu, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar tajam seperti sepasang bintang.
"Kau.... memang kurang ajar!" Hanya demikian ia berkata.
"Pukullah, mengapa tidak jadi? Pukullah agar sempurna ketidak adilanmu terhadap aku. Aku merobohkanmu dengan pertandingan, sebaliknya kau merobohkan aku dengan akal curang. Aku menawanmu dan membawa pergi dengan memondongmu, sebaliknya engkau menawan dan membawaku pergi dengan menyeret-nyeretku. Aku memberimu makan buah agar kau tidak kelaparan, sebaliknya engkau memberi makan aku dengan maki-makian! Engkau menggigit pundakku sampai matang biru dan aku..."
"Cukup! Cerewet amat engkau ini!" Pusporini kembali menyambar rambut Joko Pramono dan menyeretnya pergi melanjutkan perjalanan. Ingin ia lekas-lekas sampai di Selopenangkep menyerahkan orang yang memusuhi Kadipaten Selopenangkep ini kepada rakandanya, agar la bebas dari orang yang selalu menimbulkan gemas di hatinya ini.
Akan tetapi belum jauh ia pergi, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu, seperti setan saja agaknya, di depan Pusporini telah berdiri dua orang. Dapat dibayangkan betapa kaget hati dara ini ketika mengenal bahwa mereka itu bukan lain adalah Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro! Wanita cantik jelita yang berwajah angker dan bersinar mata kejam itu berdiri tegak memandang Pusporini, kemudian melirik ke arah Joko Pramono yang rebah telentang dalam keadaan terbelenggu pula.
Wanita ini kelihatan marah, alisnya yang tipis dan ditebalkan dengan penghitam, berkerut, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang pengebut yang terbuat daripada ekor kuda berwarna kemerahan. Adapun Ki Kolohangkoro yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, berdiri seperti sebuah tugu, kokoh kuat menyeramkan. Matanya yang lebar memandang Pusporini, mulutnya menyeringai dan sikapnya memandang rendah. Kepada Joko Pramono, ia menengokpun tidak.
Joko Pramono yang tadinya terseret meramkan matanya, kini la membuka mata dan ia memandang dua orang itu penuh perhatlan. Sebagal murld seorang sakti, ia dapat menduga bahwa dua orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu memlliki kesaktlan tinggl. Akan tetapi karena tidak mengenal Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro, sesuai dengan wataknya, ia tidak gentar dan bahkan memandang rendah. Maka iapun tersenyum, dan mengejek ketika melihat betapa Pusporini tampak khawatir,
"Eh, Pusporini, sekarang kau baru tahu rasa, bertemu dengan dua orang siluman penjaga hutan!"
Pusporini tidak memperdulikan pemuda itu, hanya siap dengan waspada, ingin melakukan perlawanan mati-matian sungguhpun ia tahu bahwa Ni Dewi Nilamanik yang ia tahu menjadi pemimpin para penyembah Durga di puncak Gunung Mentasari tentulah memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, bahkan jauh lebih sakti daripada Sariwuni!
Ni Dewi Nilamanik membuka mulut, terdengar suaranya yang lemah lembut, akan tetapi mengandung getaran penuh nafsu dan kekejaman,
"Pusporini, hayo lekas kau maju berlutut dan minta ampun, baru aku dapat mengampunlmu dan membawamu menghadap sang wasl yang menantlmu di puncak."
Pusporini teringat akan pengalamannya di puncak Mentasari, la bergidik dan timbul kenekatannya. Lebih baik mat! dalam perlawanan daripada menyerah dan mengalami penghinaan yang hebat di tempat neraka itu. Ia mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya mencelat maju menerjang, mengirim pukulan Bojro Dahono yang belum sempurna itu ke arah dada Ni Dewi Nilamanik. Sungguh seperti seekor capung menyerang gapura batu! Jangankan Aji Bojro Dahono itu belum terlatih sempurna, andaikata sudah sempurna latihannya sekalipun, belum tentu Pusporini dapat merobohkan Nilamanik dengan sekali pukul.
Wanita penyembah Durga itu mengikik tertawa, tubuhnya lama sekali tidak bergerak dari tempatnya, hanya kebutan di tangannya bergerak dan tahu-tahu ujung bulu kebutan itu menerima pukulan Pusporini, membelit pergelangan tangannya dan sekali sendal, tubuh Pusporini terlempar ke belakang dan jatuh tunggang-langgang!
"Huah-ha-ha-ha! Bocah ini seperti seekor singa betina!" Ki Kolohangkoro tertawa bergelak ketika melihat betapa Pusporini yang terbanting jatuh itu telah meloncat bangun dengan sigapnya dan sama sekali tidak tampak ketakutan membayang di wajah yang manis itu, bahkan wajah itu membayangkan kebencian dan kemarahan besar ketika dara ini melangkah maju dan siap menerjang lagi.
"Kolohangkoro, engkau jangan tertawa-tawa saja. Hayo kau wakili aku tangkap bocah ini!" Ni Dewi Nilamanik berkata kepada temannya itu dengan suara memerintah.
"Baiklah, Ibunda Dewi! Eh, bocah perawan galak! Kenapa kau tidak lekas-lekas tunduk akan perintah Ibunda Dewi? Hayo berlutut kau!" Sambil berseru demikian, Ki Kolohangkoro menubruk kedepan, ke arah Pusporini.
Dara yang sudah siap siaga ini dengan kemarahan memuncak menyambut tubrukan Ki Kolohangkoro dengan pukulannya, kini ia menggunakan kedua tangannya, mengerahkan Aji Pethit Nogo, tangan kiri menampar ke arah leher dan tangan kanan menghantam ke arah dada.
"Plak-plak...."
Dua pukulan Pethit Nogo itu tepat mengenai leher dan dada Ki Kolohangkoro. Akan tetapi raksasa itu hanya terkekeh tertawa dan dua pukulan itu membalik, bahkan Pusporini merasa betapa kedua telapak tangannya menjadi sakit-sakit dan panas, seakan-akan memukul baja yang amat kuatnya. Sebelum ia sempat mengelak, kedua pundaknya sudah dipegang oleh tangan-tangan yang besar itu dan ia dipaksa berlutut dengan tekanan seperti gunung beratnya. Tak dapat lagi Pusporini menahan tubuhnya dan kedua lututnya sudah tertekuk, ia berlutut di atas tanah.
"Keparat, lepaskan dia"
Tiba-tiba tubuh Koko Pramono menerjang maju. Pemuda ini sebetulnya tadi hanya berpura-pura saja ketika ditawan Pusporini. Kalau ia mau, dengan tenaga saktinya ia mampu membebaskan diri daripada ikatan kaki tangannya. Kini, melihat betapa dua orang yang dipandang rendah itu ternyata sakti bukan main, ia terkejut dan cepat-cepat ia meronta dan membebaskan diri. Melihat betapa Pusporini tidak berdaya menghadapi Ni Dewi Nilamanik dan kini bahkan ditekan dan dipaksa berlutut oleh Ki Kolohangkoro, ia sudah menerjang maju dan mengirim serangan pukulan ke arah punggung Ki Kolohangkoro.
Kakek raksasa yang sakti mandraguna inipun memandang rendah. Ia tahu bahwa ada orang memukulnya dari belakang, akan tetapi karena ia tadi sudah melihat bahwa orang yang terbelenggu dan kini terlepas dan menyerangnya itu hanyalah seorang pemuda, maka ia sengaja diam saja, mengerahkan tenaga ke arah punggung untuk menyambut pukulan.
"Desss....
Joko Pramono berseru kaget dan memegangi tangan kanannya yang serasa remuk tulang-tulangnya, akan tetapi Ki Kolohangkoro juga berseru kaget karena tubuhnya terhuyung ke depan dan pegangannya pada pundak Pusporini terlepas. Tak disangkanya bahwa pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya! Melihat ini, Ni Dewi Nilamanik menjadi kagum dan tertarik.
"Aihhh, boleh juga bocah ini!" Kedua kakinya tidak tampak bergerak, akan tetapi tubuhnya sudah melayang ke arah Joko Pramono.
Pemuda ini maklum bahwa wanita ini amat sakti, bahkan agaknya lebih sakti daripada si raksasa tua, maka iapun cepat menahan rasa nyeri pada tangannya dan menyambut datangnya Ni Dewi Nilamanik dengan sebuah pukulan tangan kiri. Tubuhnya agak merendah, hampir berjongkok dan tangan kirinya dengan tenaga penuh menonjok ke arah perut lawan.
"Ceppp.... !!"
Pukulan Joko Pramono itu bukanlah pukulan sembarangan. Itulah aji pukulan yang amat tua dan ampuh, yang sudah jarang dikenal orang. Aji ini disebut aji pukulan Cantuka Sekti yang hebat sekali. Akan tetapi begitu mengenai perut Ni Dewi Nilamanik, tangan kirinya itu amblas ke dalam perut, masuk ke perut sampai ke pergelangan tangan dan tak dapat ditarik kembali! Joko Pramono terkejut, cepat ia memukul dengan tangan kanannya yang masih sakit, akan tetapi tiba-tiba kebutan ekor kuda di tangan Ni Dewi Nilamanik berkelebat, ujung kebutan mengenai pundak laIu berkelebat lagi mencium punggung dan seketika lemaslah tubuh Joko Pramono! Tidak hanya kedua lengannya yang tumpuh, juga kedua kakinya kehilangan tenaga dan ia tentu sudah roboh terguling kalau saja tangan kirinya tidak terjepit di perut wanita itu!
Kini sambil tersenyum dan mengeluarkan suara memuji kagum, Ni Dewi Nilamanik mempergunakan tangan kirinya, meraba-raba seluruh tubuh Joko Pramono, dari kepala terus turun, ke lehernya, dadanya, pundaknya, lambungnya, pusarnya, terus turun sampai ke kakinya.
"Bagus.... bagus.... sukar mendapatkan bocah sebaik ini....!" katanya memuji. Joko Pramono bergidik seluruh tubuhnya, menggigil dan ngeri sekali.
"Kau lepaskan dia, perempuan tak tahu malu!" Kini Pusporini yang menerjang maju menyerang Ni Dewi Nilamanik.
Memang aneh watak dara ini. Tadi ia membenci Joko Pramono, gemas dan ingin menyiksanya, ingin menyakitkan hatinya. Akan tetapi, begitu melihat pemuda itu tadi membelanya dan kini terjatuh ke dalam tangan wanita iblis yang Sakti itu ia melupakan kelemahan sendiri dan menyerang dengan nekat. Akan tetapi, gerakannya terhenti ketika tiba-tiba pinggangnya disambar orang dari belakang dan ia hanya dapat meronta-ronta dalam kempitan dengan tangan Ki Kolohangkoro yang amat kuat.
"Ha-ha-ha, Ibunda Dewi. Engkau mendapatkan si bagus itu dan ramanda wasi mendapatkan si manis ini, benar-benar pasangan yang cocok, memenuhi selera kalian. Heh, adapun aku.... ha-ha, aku akan puas kalau Ibunda dapat memberi seperti kemarin itu satu lagi saja."
Ni Dewi Nilamanik menggerakkan tangan klrinya dan tubuh Joko Pramono juga sudah dikempitnya, lalu menoleh kepada Ki Kolohangkoro.
"Engkau rakus sekali, Kolohangkoro! Marilah, jangan kita membuat rakanda wasi terlalu lama menanti. Kalau kau menghaturkan bocah itu kepadanya, tentu dia akan senang hati dan mungkin suka menurunkan ilmu yang kau idam-idamkan itu."
"Aji Werjit Kencana? Aha, aku akan rela menukar ilmu itu dengan lengan kiriku, Ibunda Dewi. Akan tetapi tidak mungkin ramanda wasi sudi menurunkan aji itu kepadaku, kecuali kalau Ibunda suka membantuku membujuknya."
"Bagaimana nanti sajalah, Kolohangkoro. Hayo kita pergi!"
Dua orang yang sakti mandraguna, keduanya adalah pemimpin dari agama pecahan yang terdiri dari orang-orang penyembah Bhatari Durga dan Bathara Kala, dengan gerakan luar biasa cepatnya telah berkelebat meninggalkan tempat itu sambil mengempit tubuh dua orang muda yang setengah pingsan dan sama sekali tidak mampu berkutik lagi.
Waktu itu, hari telah mulai ditelan senja, keadaan menjadi remang-remang. Bayangan dua orang sakti itu seperti bayangan iblis sendiri, berkelebat keluar dari dalam hutan. Tiba-tiba terdengar suara yang halus, suara orang membaca mantera, suara yang mengandung getaran halus yang bergelombang dan seketika tubuh dua orang sakti itu menggigil dan otomatis kaki mereka berhenti melangkah.
Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro seperti terpaku pada tanah, mata mereka memandang seorang kakek yang duduk bersila di depan mereka, di pinggir jalan yang mereka lalui, seorang kakek yang pakaiannya seperti pakaian seorang pertapa akan tetapi robek-robek dan butut seperti pakaian seorang jembel. Kakek ini duduk bersila dengan tubuh tegak lurus, matanya meram, rambutnya riap-riapan, tangan kiri memegang sebuah batok kelapa dan tangan kanan memegang sebuah sapu, yaitu seikat sapu lidi. Kakek ini seperti tidak tahu akan kehadiran mereka dan terus membaca mantera dengan suaranya yang halus mengandung getaran mujijat,
"Om, Ksantawya kayika dosah, Ksantawya wacika mama, Ksantawya manasa dosah, Tat pranadam ksama swamam. Shanti..... shanti..... shanti"
(Ya Tuhan, ampunilah kesalahan kami yang timbul dari tingkah laku, ampunilah kesalahan kami dari kata-kata, ampunilah kesalahan kami yang timbul dari fikiran. Damai.... damai.....).
Ki Kolohangkoro mendengus dan membuat gerakan hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi Ni Dewi Nilamanik mengangkat tangan kanan yang memegang kebutan, memberi isyarat kepada raksasa itu untuk berhenti dulu. Kemudian, Ki Kolohangkoro memandang dengan mata terbelalak heran ketika ia melihat Ni Dewi Nilamanik melempar tubuh Joko Pramono ke atas tanah, kemudian wanita sakti ini menghampiri kakek yang duduk bersila, menekuk lutut di depan kakek itu dan menyembah! Selagi ia terheran-heran dan bingung, ia mendengar Ni Dewi Nilamanik berkata,
"Paman resi, mohon maaf sebesarnya bahwa hamba berlaku kurang hormat karena tidak mengira akan bertemu dengan Paman di sini. Hamba mohon diperkenankan lewat."
Ki Kolohangkoro membelalakkan kedua matanya. Inilah suatu keanehan yang tak pernah ia saksikan atau dengar selama hidupnya, Ni Dewi Nilamanik bersikap begini merendah! Menyembah-nyembah dan mohon diperkenankan lewat! Apa-apaan ini? Siapakah jembel tua ini?
Kakek itu membuka kedua pelupuk matanya dan Ki Kolohangkoro makin terkejut. Mata itu tidak ada maniknya, hanya putih saja. Kakek jembel tua renta yang buta! Akan tetapi, suara kakek ini penuh getaran yang berwibawa ketika ia berkata,
"Wahai, Nilamanik. Makin tebal saja uap kotor menyelimuti dirimu. Ahhhh..... betapa sedih hatiku karena ini, Nilamanik. Sesal kemudian tiada guna, mengapa tidak juga mau bertaubat sebelum terlambat?"
Ni Dewi Nilamanik tidak menjawab, hanya mengangkat muka memandang penuh rasa takut. Hal ini membuat Ki Kolohangkoro marah sekali. Kakek tua bangka jembel buta begini saja mengapa ditakuti? Sekali tiup juga akan roboh! Mengapa mendadak saja Ni Dewi Nilamanik yang ia tahu amat sakti mandraguna, tidak kalah olehnya itu kini menjadi begini penakut? Karena kemarahannya, Ki Kolohangkoro juga melempar tubuh Pusporini ke atas tanah, lalu menggeleng-geleng kepalanya sehingga anting-anting telinganya bergoyang-goyang dan mengeluarkan suara berdering.
"Ibunda Dewi! Apa-apaan ini? Mengapa ibunda merendahkan diri sedemikian rupa terhadap seorang tua bangka jembel buta yang hina-dina? Seorang jembel lebih hina daripada seorang sudera, biar dia berpakaian resi akan tetapi keadaannya melebihi jembel yang paling miskin! Harap ibunda suka mundur, biar kuhancurkan dia sekali pukul, kurobohkan dia sekali tiup dan kulemparkan dia sekali tendang! Mundurlah, Ibunda Dewi!"
"Kolohangkoro.... Jangan sembrono kau !" Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi Ni Dewi Nilamanik sudah bangkit berdiri dan mengundurkan diri, memandang dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Kakek ini mengangkat muka, dihadapkan ke arah Ki Kolohangkoro, lalu tersenyum dan keluarlah suara ketawa halus dari kerongkongannya.
"Bahkan Sang Hyang Bathara Kala sendiri, hanya dapat bergerak untuk memenuhi tugas, tidak akan mampu mengganggu selembar rambut manusia apabila tidak dikehendaki Sang Hyang Widhi Wasesa! Andika ini siapakah, begini berani hendak mendahului dan memperkosa kehendak Sang Hyang Trimurti?"
"Ha-ha-ha-ha! Kakek jembel tua bangka, sikap dan kata-katamu sombong bukan main, seolah-olah hanya engkau seorang di dunia ini yang paling tahu! Agar engkau tidak mati penasaran sehingga nyawamu akan menjadi setan gentayangan, dengarlah bahwa calon pembunuhmu ini adalah Ki Kolohangkoro!"
Kakek itu mengangguk-angguk. "Sudah kuduga... sudah kuduga... waaah, Nilamanik, engkau benar-benar jauh tersesat..."
Ki Kolohangkoro tak dapat menahan kemarahannya lagi. Mukanya menjadi merah, hidungnya mendengus seperti mengeluarkan hawa panas berapi, otot-otot di tubuhnya menggembung. Diapun bukan seorang yang sembrono dan bodoh. Ia dapat menduga bahwa sedikit banyak, kakek jembel itu tentu memiliki kepandaian, sungguhpun ia tidak memandang sebelah mata. Maka ia lalu mengerahkan aji kesaktiannya, seluruh tubuhnya mengeluarkan bunyi berkerotokan seolah-olah semua tulangnya saling beradu. Kemudian ia membentak,
"Terimalah kematianmu!" dan tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju, menubruk kakek yang masih duduk bersila itu dan kedua tangannya dengan kepalan sebesar buah kelapa menyambar dari kanan kiri ke arah kepala si kakek jembel.
Kakek tua renta itu tidak mengelak, hanya menggerakkan tangan kanan yang memegang sapu lidi lambat-lambat dan perlahan ke atas.
"Heeeitttt.... auuggggghhh...!"
Tubuh raksasa Ki Kolohangkoro tergetar dan terdorong ke belakang, kedua kakinya menggigil-gigil dan dengan susah payah akhirnya ia berhasil mencegah tubuhnya terdorong roboh. Ia membelalakkan matanya memandang kakek yang masih duduk bersila itu. Tadi ia hanya merasa betapa kedua pukulannya terbentur oleh hawa yang menyambar keluar dari sapu lidi dan tanpa menyentuh sapu lidi itu, apalagi tubuh si kakek, ia telah terdorong oleh hawa sakti yang mujijat sehingga hampir roboh! Tentu saja ia menjadi marah dan penasaran sekali.
"Tua bangka keparat! Berani kau main-main terhadap Ki Kolohangkoro? Jangan mengira bahwa kau sudah menang, terimalah pusakaku ini!" Berkata demikian, Ki Kolohangkoro sudah mencabut senjatanya yang hebat, yaitu senjata berat berbentuk tombak pendek yang ia sebut senjata Nenggala. Kemudian dengan gerakan seperti seekor gajah mengamuk, ia menerjang maju, menghantamkan senjatanya ke arah kepala kakek itu.
"Kolohangkoro.... jangan....!" terdengar jerit Ni Dewi Nilamanik, akan tetapi karena melihat kawannya sudah menerjang maju, iapun lalu meloncat dengan gerakan ringan mendekati kakek itu dari samping, kemudian menggerakkan senjatanya yang aneh dan dahsyat keampuhannya, yaitu kebutan merah buntut kuda, mengarah leher!
"Plakkk.... Brettt.... !!"
Hebat bukan main serangan Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik tadi, dan kedua serangan itu tiba hampir berbareng. Dari depan menyambar nenggala Ki Kolohangkoro yang menusuk ubun-ubun, dari samping menyambar kebutan mengarah pusat jalan darah di leher. Dan menghadapi dua serangan ini, kakek tua renta itu sama sekali tidak mengelak. Seperti tadi, ia hanya mengangkat kedua tangan, batok kelapa di tangan kiri menangkis senjata nenggala, sedangkan sapu lidi di tangan kanan menyampok kebutan. Dan akibatnya... ujung kebutan putus sedangkan nenggala di tangan Ki Kolohangkoro patah!
Dua orang sakti itu terhuyung-huyung mundur dengan muka pucat, kemudian tanpa dikomando lagi, Ki Kolohangkoro mencontoh Ni Dewi Nilamanik yang melarikan diri tanpa pamit! Bagaikan dikejar-kejar iblis, kedua orang sakti ini lari sampai jauh dan setelah merasa yakin bahwa kakek tua renta itu tidak mengejar, barulah Ni Dewi Nilamanik berhenti, menyusut keringat dan berkata perlahan,
"Aduhhh.... berbahaya sekali....! Si tua itu makin tua makin mengerikan kesaktiannya!"
Muka Ki Kolohangkoro menjadi merah sekali. Kini barulah ia mengerti mengapa Ni Dewi Nilamanik tadi menyembah-nyembah dan bersikap amat takut dan hormat kepada kakek jembel itu. Kiranya kakek itu memiliki kesaktian seperti dewa!
"Ibunda Dewi, siapakah.... dia tadi....?" tanyanya sambil bergidik.
Ni Dewi Nilamanik menghela napas panjang. "Ah, rakanda wasi tentu akan terkejut dan marah bahwa tua bangka itu telah menampakkan diri pula. Kolohangkoro, dia itu adalah paman guruku sendiri, dialah Resi Mahesapati...."
"Wahhh.....!" Barulah Ki Kolohangkoro terkejut seperti disambar petir.
Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Resi Mahesapati yang kabarnya dahulu, puluhan tahun yang lalu, setelah menggegerkan Kerajaan Sriwijaya di seberang lautan, telah lenyap dan kabarnya bertapa di pantai laut Banten. Kiranya orang sakti yang amat luar biasa itu kini telah memperlihatkan diri sebagai seorang kakek yang berpakaian jembel.
"Kesaktiannya memang hebat dan agaknya hanya rakanda wasi saja yang akan mampu menandinginya. Mendiang guruku sendiri dahulu selalu memuji-muji paman Resi Mahesapati, bahkan selalu berpesan agar dalam keadaan apapun juga, aku selalu harus mentaatinya. Biasanya dia itu keras dan galak, masih untung tadi kita terbebas daripada maut."
Ki Kolohangkoro membanting-banting kedua kakinya yang sebesar kaki gajah. Wajahnya keruh dan ia marah, penasaran, juga menyesal.
"Celaka! Kedua orang tawanan itu mengapa kita tinggalkan?"
"Tentu saja! Kau sangka mengapa Resi Mahesapati menghadang kita di sana tadi?"
"Mengapa?"
"Apalagi kalau bukan karena dua orang tawanan kita. Sudahlah, kita bukan lawan dia. Biar rakanda Wasi Bagaspati sendiri yang memutuskan. Setelah kakek itu muncul, kita harus lebih berhati-hati lagi." Dua orang itu melanjutkan perjalanan dengan cepat dan hati kesal.
Joko Pramono yang tadi dilemparkan ke atas tanah oleh Ni Dewi Nilamanik dan menyaksikan semua peristiwa dengan mata terbelalak kagum, kini melihatbetapa dua orang iblis jahat itu pergi, cepat ia menghampiri kakek yang duduk bersila tadi sambil menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Duhai eyang resi yang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Tak terkatakan betapa besar rasa syukur dan terima kasih hamba akan pertolongan eyang. Dapatkah hamba mengetahui nama eyang resi yang mulia?"
Sebelum kakek itu menjawab, secara tiba-tiba ada suara menyambung di belakang Joko Pramono, suara Pusporini yang juga sudah berlutut menyembah, agak berjauhan dengan pemuda itu. Suaranya lantang mengatasi suara Joko Pramono,
"Eyang resi yang budiman tentu hanya menolong manusia baik-baik, dan harap eyang ketahui bahwa bocah ini masih disangsikan kebaikannya! Hamba menghaturkan sembah sujud dan terima kasih kepada Eyang dan hamba rasa Eyang tentu telah mengenaI rakanda Adipati Tejolaksono, atau mendiang ayah hamba Pujo dan mendiang eyang hamba Resi Bhargowo."
Kakek itu sudah sejak tadi tersenyum, mengelus jenggotnya dan mengejap-ngejapkan matanya yang putih. Kini ia mengangguk-angguk.
"Nini Pusporini bocah kewek, tentu saja aku mengenal eyangmu Resi Bhargowo dan tahu akan rakandamu dan mendiang ayahmu."
Mendengar ini, Pusporini memandang kepada Joko Pramono sambil mencebirkan bibirnya dan berkata, "Nah, kau dengar tidak? Eyang resi ini mengusir dua orang iblis tadi hanya karena aku, karena eyang resi ini telah mengenal keluargaku, keluarga Selopenangkep! Kau hanya kebetulan saja terbawa-bawa! Kalau tidak ada aku, engkau tentu telah mampus! Masih hendak berlagak lagi?"
Joko Pramono tersenyum. Ia mulai mengenal watak dara remaja ini. Biarpun lagaknya galak dan menyakitkan hati, namun itu hanyalah watak lahirnya saja, padahal batinnya tidaklah begitu buruk. Bukankah dara ini tadi sudah jelas memperlihatkan sikap membelanya ketika ia tertawan oleh Ni Dewi Nilamanik? Dara ini tidak membencinya seperti yang hendak diperlihatkannya! Karena sudah mulai mengenal watak dara ini, maka sikapnya itu tidaklah menyakitkan hatinya lagi. Ia malah ingin menggodanya terus.
"Wah, engkau ini memang seorang bocah yang sombong dan banyak lagak! Sudahlah, perlu apa melayani orang seperti engkau?" Joko Pramono menengok lagi ke arah kakek itu dan berkata, "Eyang resi, mohon Eyang sudi memberitahu nama dan julukan Eyang yang mulia."
"Eyang resi! Jangan ladeni bocah itu! Dia bocah busuk hatinya, berani ia memaki-maki keluarga Selopenangkep!" teriak Pusporini yang kini meloncat bangun dan memandang Joko Pramono dengan sinar mata mengancam.
"Eyang resi, hamba yang mohonkan ampun bagi perawan kasar tak kenal susila dan berani bersikap tidak semestinya di depan paduka Eyang resi," kata pula Joko Pramono dan biarpun kata-katanya ini ditujukan kepada kakek itu namun pada hakekatnya seperti memaki-maki Pusporini! Tentu saja dara ini menjadi makin marah, mukanya merah sekali, matanya berapi-api dan hidungnya kembang-kempis.
"Heh, keparat! Aku bersikap kasar kepadamu, setan! Bukan kepada eyang resi yang kuhormati! Jangan kau mencoba untuk membakar hati eyang resi! Bangkitlah dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus! Biar eyang resi yang menjadi saksi dan juri!"
"Boleh, memang kau bocah sombong. Apa kau kira aku takut padamu?" Joko Pramono juga seorang pemuda yang masih remaja, darahnya masih panas, maka kini ditantang di depan kakek sakti itu, ia merasa malu kalau tidak menerimanya.
la pun bangkit berdiri menghadapi Pusporini dan dua orang muda ini sudah siap seperti dua ekor jago aduan saling mengereki untuk segera bertanding.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha....!" Tiba-tiba kakek itu tertawa. Suara ketawanya halus akan tetapi mengandung getaran yang membuat kedua orang muda itu seketika menjadi lemas, lenyap segala kemarahan dan tanpa dapat mereka cegah lagi, keduanya menoleh ke arah kakek itu dan tersenyum lebar! Tak mungkin dapat menahan ketawa melihat dan mendengar suara ketawa kakek seperti itu.
Andaikata api membara kemarahan mereka tadi, suara ketawa itu seolah-olah merupakan air wayu yang amat dingin dan yang membuat kemarahan seperti api membara itu menjadi padam sama sekali!
"Ha-ha-ha, Joko Pramono! Apa kau kira gurumu Resi Adiluhung akan suka melihat sikapmu terhadap keluarga Kadipaten Selopenangkep? Tidak, Kulup, sebaliknya engkau tentu akan ditegur habis-habisan kalau Resi Adiluhung mengetahuinya. Dan engkau, nini Pusporini, apa kau kira rakandamu Adipati Tejolaksono suka melihat sikapmu terhadap Joko Pramono? Padamkan kemarahan kalian dan dengarkan kata-kataku."
Joko Pramono terkejut bukan main. Kakek aneh ini telah mengetahui namanya, bahkan nama gurunya! Cepat ia menjatuhkan lagi dirinya di depan kakek itu, berlutut dan menyembah. Akan tetapi gerakan ini didahului Pusporini sehingga mereka seperti berlomba menghormat kakek itu, bahkan menyembah dengan berbareng saling berdampingan. Sehabis menyembah, mereka saling lirik dengan mata melotot!
"Hamba mentaati perintah Eyang resi," kata Pusporini.
"Hamba sendika (sanggup mematuhi) akan dawuh (perintah) paduka Eyang resi, selanjutnya hamba mohon petunjuk," kata pula Joko Pramono dan kata-katanya inipun bercampuran dengan ucapan Pusporini tadi karena dilakukan berbareng.
Kembali kakek itu tersenyum lebar. Ia yang telah waspada akan segala peristiwa di dunia, yang awas dan tahu akan gerak-gerik manusia, seakan-akan dapat membaca isi hati kedua orang muda itu dan karenanya ia merasa kagum akan kegaiban kekuasaan Hyang Widhi Wasesa, kagum dan ikut bergembira.
"Ha-ha-ha, kalian berdua ini selalu tidak mau saling mengalah, tidak mau kalah dan bersaingan. Bagus sekali! Joko Pramono dan engkau nini Pusporini, sudah ditentukan oleh Hyang Jagad Pratingkah bahwasanya kalian berdua berjodoh untuk menjadi murid-muridku. Ketahuilah bahwa aku adalah Resi Mahesapati dan karena getaran gaib yang berupa perintah belakalah yang memaksaku turun ke dunia ramai dan menjumpai kalian di sini. Akan tetapi sebelum aku melanjutkan keteranganku, aku ingin mendengar lebih dulu kesanggupan kalian. Kalian harus ikut bersamaku, menjauhkan diri daripada dunia ramai, sebentarpun tidak boleh keluar dari tempat pertapaan selama lima tahun dan kemudian setelah lima tahun aku ingin melihat siapa di antara kalian yang lebih menang dan maju. Bagaimana, sanggupkah?"
Memang pintar sekali Sang Resi Mahesapati ini. Tadinya, mendengar bahwa mereka akan diambil murid dan harus mengasingkan diri selama lima tahun, terasa berat sekali di hati kedua orang muda itu. Akan tetapi kalimat terakhir itu membuat mereka panas hati dan bangkit semangat. Kakek ini ingin melihat siapa di antara mereka yang lebih maju setelah lima tahun, berarti mereka berdua disuruh berlomba dan bersaing!
"Hamba setuju! Biar dia belajar penuh semangat sampai lima tahun juga, tidak nanti dia dapat mengalahkan hamba," kata Joko Pramono.